screening saham syariah dan implementasinya

281
i SCREENING SAHAM SYARIAH DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL (Studi Perusahaan pada Daftar Efek Syariah) Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Pengkajian Islam Oleh: Fauzani NIM: 31141200000052 Pembimbing: Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM Konsentrasi Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2021

Upload: khangminh22

Post on 08-May-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

SCREENING SAHAM SYARIAH DAN IMPLEMENTASINYA

TERHADAP PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

(Studi Perusahaan pada Daftar Efek Syariah)

Disertasi

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Doktor dalam Bidang Pengkajian Islam

Oleh:

Fauzani

NIM: 31141200000052

Pembimbing:

Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA

Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM

Konsentrasi Ekonomi Islam

Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2021

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena atas segala rahmat dan

inayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi di

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga

selalu tercurahkan keharibaan jungjungan alam, nabi Muhammad SAW, keluarga,

para sahabat, dan kaum muslimin yang selalu istiqomah mengikuti sunnahnya.

Penyelesaian disertasi ini, tak lepas dari dukungan dan kontribusi banyak

pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan

penuh hormat, pertama-tama penulis sampaikan kepada Rektor UIN Syarif

Hidayutullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.,

beserta jajarannya, Direktur SPs UIN Jakarta Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar,

MA. Begitu pula halnya kepada Dr. Hamka Hasan, Lc., MA selaku Wakil Direktur,

Prof. Dr. Didin Saepudin, MA selaku Ketua Program Studi Doktor dan Arif Zamhari,

MA.g., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya juga disampaikan

kepada Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA dan Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM selaku

Pembimbing yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan kritik

membangun secara kontinue kepada penulis sehingga penyelesaian disertasi ini bisa

sampai pada ujian tahap akhir. Kesediaan beliau melakukan sharing dan berdiskusi

secara langsung tentang konsep yang dibahas dalam disertasi ini sehingga

mempermudah penulis dalam menuangkan pikiran secara sistematis dan terarah

dalam penulisan disertasi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada team penguji, terdiri dari Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH,

MA, MM, Prof. Dr. U. Maman, M.Si, dan Prof. Dr. Muhammad Bin Said, yang penuh

dedikasi memberikan saran dan komentar mengarahkan penulis saat ujian promosi

agar disertasi ini bisa lebih mampu berkontribusi untuk orang banyak.

Penulis juga tidak lupa sampaikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh

civitas akademika SPs UIN Jakarta mulai dari para Guru Besar dan Dosen yang telah

melakukan transfer of knowledge kepada penulis. Terima kasih dukungan dari

seluruh pegawai dan staf sekretariat SPs, staf Pepustakaan SPS UIN Jakarta, dengan

penuh keikhlasan mereka melayani penulis dalam menyiapkan berbagai kebutuhan

dan fasilitas yang dibutuhkan agar bisa menyelesaikan disertasi ini dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Agama RI atas

beasiswa program 5000 Doktor yang diberikan pada tahun 2014, walaupun tidak

diberikan bantuan sampai penyelesain akhir studi terkait diberlakuan peraturan baru,

namun tentunya tetap harus disyukuri dan banyak berterima kasih.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ketua STAI Ma’arif Sarolangun, Dr.

Fahrizal, M.Pd dan seluruh civitas akademik sebagai tempat penulis mengabdi yang

telah memberikan kesempatan dan motivasi kepada penulisan untuk melanjutkan

kuliah ke jenjang S3.

iii

Dengan kerendahan hati dari lubuk hati yang paling dalam, penulis haturkan

rasa ta’zim kepada orang tua penulis, Iliyasak (alm) dan Fatimah (Mak), H. Jubni,

S.IP., ME (Ayah) dan Hj. Yunani (Umak) serta keluarga besar yang tak pernah

berhenti berdo’a dan memberikan motivasi serta dukungannya. Semoga senantiasa

diberikan kesehatan di tengah kondisi Covid-19 sekarang ini, diberikan keberkahan

dan kebahagiaan dalam hidup oleh Allah SWT. Spesial kepada istriku Permata Neka,

STr.Keb dengan penuh kesabaran telah memberikan dukungan, doa, dan cinta

kasihnya. Tiga putra yang selalu Abi banggakan: M. Kafa Zhafar al-Fayyadh, M.

Aufa Zhafran al-Fatih, dan M. Aflah Rafan al-Hannan, semoga menjadi anak-anak

shalih dan dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya demi menggapai cita-cita.

Akhirnya, penulis menyadari adanya kekurangan dan kektidaksempurnaan

disertasi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang

bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi sempurnanya disertasi ini. Semoga

disertasi ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi pegaliat dunia saham dan

pembuat kebijakan dalam industri pasar modal syariah. Mohon maaf atas kekhilafan

dan keterbatasan. Semoga Allah SWT. selalu meridhai setiap langkah perjuangan

kita. A<mi>n Ya> Rabbal ‘A <lami<n.

Jakarta, Juni 2021

Penulis,

Fauzani

viii

ABSTRAK

Disertasi ini bertujuan untuk mengeksplorasi tentang screening saham

syariah dan implementasinya terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial

perusahan pada Daftar Efek Syariah (DES). Proses screening saham tersebut tidak

terlepas dari Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK sebagai regulator yang

menentukan saham sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DSN-MUI dan OJK

dituntut untuk menentukan standarisasi screening saham pada objek usaha

(kualitatif) dan rasio finansial (kuantitatif) serta tingkat toleransinya. Selanjutnya,

mengkaji perusahaan yang terdaftar pada DES yang telah melewati proses screening

apakah mampu mengungkapkan tanggung jawab sosial.

Sumber primer dalam penelitian ini adalah Fatwa DSN-MUI dan Peraturan

OJK. Selain itu, laporan tahunan perusahaan pada DES dari tahun 2013-2017 untuk

memperkuat analisis empiris kebijakan screening saham syariah terhadap tanggung

jawab sosial. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis (Shar‘i) dan

ekonomi. Selanjutnya, data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis isi

(content analysis).

Temuan disertasi ini membuktikan bahwa semakin ketat proses screening

saham maka akan semakin banyak perusahaan yang dapat mengungkapkan tanggung

jawab sosialnya. Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK tentang kebijakan screening saham syariah hanya lebih ketat pada kriteria objek usaha, sedangkan kriteria rasio

keuangan belum sepenuhnya mampu dan masih memberikan toleransi dengan

ambang batas yang relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan perusahaan pada DES belum

mampu sepenuhnya mengungkapkan tanggung jawab sosialnya berdasarkan laporan

tahunan perusahaan dengan menggunakan pendekatan Islamic Social Reporting

(ISR).

Hasil penelitian ini sependapat dengan pemikiran Adam dan Bakar (2014)

bahwa screening saham harus dilakukan untuk mengeliminasi saham yang diyakini

tidak dapat diterima oleh investor Islam. Blancard dan Monjon (2014) juga

menjelaskan bahwa emiten yang masuk ke pasar modal syariah tanpa proses

screening akan menyebabkan tingginya biaya pemurnian dan menekan kinerja

keuangan emiten. Penelitian serupa oleh Erragraguy Elias (2015) mengungkapkan

bahwa sebagai tolak ukur saham yang sesuai dengan prinsip syariah adalah yang

memiliki nilai tanggung jawab sosial.

Sebaliknya, disertasi ini tidak sependapat dengan Alhabsyi (2008),

Khatkhatay dan Nisar (2007) serta Derigs dan Marzban (2008) bahwa pada kondisi

sekarang ini saham murni syariah dan terbebas dari spekulasi hampir mustahil

ditemukan dalam proses screening. Pernyataan serupa oleh AlSaadi (2017),

Binmahfous, dan Hasan (2013) menyatakan bahwa proses screening yang ditetapkan

oleh fatwa syariah tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah, karena screening

syariah hanya berkonsentrasi pada negatif screening, sehingga kesejahteraan

ekonomi, sosial, dan lingkungan kurang diperhatikan.

Kata Kunci: Screening Saham, Tanggung Jawab Sosial, Daftar Efek Syariah.

ix

ABSTRACT

This dissertation aims to explores the policy of sharia stock screening and

the implementation of corporate social responsibility disclosure in the Sharia

Securities List (DES). The share screening process is inseparable from the DSN-MUI

fatwa and OJK regulations as the regulator that determines shares in accordance with

sharia principles. DSN-MUI and OJK must establish a standardized inventory

inspection for business objects (qualitative) and financial ratios (quantitative) as well

as tolerance levels. Then companies registered with DES that have passed the

verification process are examined to determine whether they are able to disclose

social responsibility.

The primary data of this research are the DSN-MUI Fatwas and OJK’s

Regulations. In addition, to strengthen empirical analysis of Islamic stock screening

policies on social responsibility the researcher took the company annual report on

DES from 2013-2017. The data are analysed by using juridical (Shar'i) and economic

approachs. Then the data is analyzed using content analysis.

This dissertation argues the higher stock screening process the more

companies express their social responsibility. The DSN-MUI fatwas and OJK

regulations regarding the sharia stock screening policy are stringent to the criteria

for business objects, than the criteria for financial ratios whose not yet fully capable

and still tolerate a relatively high threshold. This resulted in companies at DES are

not being able to fully express their social responsibility based on the company's

annual report using the Islamic Social Reporting (ISR) approach.

The argument of this dissertation concur with Adam and Bakar (2014) who

stated that stock screening must be carried out to eliminate stocks that are believed

to be unacceptable to Islamic investors. Blancard and Monjon (2014) also explained

that issuers that enter the Islamic capital market without conducting a screening

process will cause high refining costs and will suppress the issuer's financial

performance. Similar research by Erragraguy Elias (2015) revealed that as a

benchmark for stocks that are in accordance with sharia principles are those that have

values of social responsibility.

On the other hand, this dissertation disagrees with Alhabsyi (2008),

Khatkhatay and Nisar (2007), and Derigs and Marzban (2008) that at present

conditions pure Islamic stocks and free from speculation in the screening process are

almost impossible to find. Similar statements by AlSaadi, Binmahfous, and Hasan

stated that the screening process established by the sharia fatwas are not fully in

accordance with sharia principles because sharia screening only concentrates on

negative screening so that it does not pay attention to economic, social and

environmental welfare.

Keywords: Stock Screening, Social Responsibility, Sharia Securities List.

x

ملخص البحث

ملسؤولية ا لإلفصاح عن هالفرز الشرعي لألسهم وتنفيذيسعى هذا البحث إىل استكشاف , وال (DES) االجتماعية يف الشركات املدرجة لقائمة األوراق املالية املتوافقة مع الشريعة اإلسالمية

الشرعية الوطنية جمللس العلماء اإلندونيسي اهليئة عن فتاوى زلفر اذلك عملية اءات جر إميكن فصل هذه (DSN-MUI ( ومجيع لوائح هيئة اخلدمات املالية )OJK) بصفتها اجلهة املنظمة اليت حتدد األسهم

مل ) عايريوفقا اإلندونيسي العلماء جمللس الوطنية الشرعية اهليئة يلتزم اإلسالمية. -DSNالشريعة MUI( وهيئة اخلدمات املالية )OJK) دة لفرز األسهم على كائنات األعمال إبنشاء املعايري املوح

قة مبستوى التسامح. يتم تقييم الشركاتابإلضافة إىل هذا س)النوعية( والنسب املالية )الكمية( امللحاليت متت ابلفعل جتاوز عملية (DES) قائمة األوراق املالية املتوافقة مع الشريعة اإلسالمية املسجلة يف

املسؤولية االجتماعية. فصاحاإلز ملعرفة ما إذا كانت قادرة على الفر فتاوى من البحث هذا يف األولية املصادر العلماء تتكون جمللس الوطنية الشرعية اهليئة

ابإلضافة إىل ذلك, (OJKيئة اخلدمات املالية )هل اللوائح التنظيمية ( وDSN-MUIاإلندونيسي ) املدرجة لقائمة األوراق املالية املتوافقة مع الشريعة اإلسالميةدخلت فيها التقارير السنوية للشركات

(DES) األسهم املتوافقة مع فرزوذلك لتعزيز التحليل التجرييب لسياسات 2017-2013 سنة منمث يتم حتليل البياانت حيثمنهجا فقهيا واقتصادي , الشريعة يف املسؤولية االجتماعية. ويتناول البحث

.ابستخدام حتليل احملتوىأثبت هذا البحث أنه كلما كانت عملية فرز األسهم تتزايد صرامة ، زادت قدرة الشركات فقد

عنعلى عن إفصاح الصادرة الفتاوى وتعترب االجتماعية. الوطنية جمللس مسؤوليتها الشرعية اهليئة املالية )DSN-MUIالعلماء اإلندونيسي ) ( املتعلقة OJK( واللوائح املعتمدة من هيئة اخلدمات

بسياسة فرز األسهم املتوافقة مع الشريعة اإلسالمية تستدعي إجراءات عملية فرز األسهم أكثر صرامة , ويدل ذلك النسب املالية ليست قادرة متاما بعد واصفاتيف مشاريع بند كائن من األعمال بينما م

ويؤدي ذلك إىل أنه مل تتمكن للشركات نسبي ا.وفري الفرص ال يزال مفتوحا مع عتبة عالية على أن تبشكل كامل عن فصاحمن اإل (DES) املدرجة لقائمة األوراق املالية املتوافقة مع الشريعة اإلسالمية

تماعية اإلسالمية مسؤوليتها االجتماعية بناء على التقرير السنوي للشركات ابستخدام هنج التقارير االج(ISR.)

xi

بضرورة إجراء فرز األسهم (2014) آدم وبكار مع تفكري كانت نتائج هذا البحث تتفققبل املستثمرين اإلسالميني. وأوضح بالنكارد أهنا غري مقبولة من للتخلص من األسهم اليت يعتقد

أن املصدرين الذين يدخلون يف أسواق رأس املال اإلسالمية بدون إجراء عملية (2014) وموجنونيتفق هذا البحث و ء املايل للمصدر. األدا من حد فرز سيؤدي إىل ارتفاع تكاليف التكرير وكذلك سي

حيث قال أبن املعايري الشرعية لألسهم هي اليت هلا من قيم ( 2015)مع حبوث إراجراجوي إلياس املسؤولية االجتماعية.

، ودريغز (2007)، وخطايت ، ونصار ( 2008)وال يتفق هذا البحث مع أراء احلبسي يكاد يكون من املستحيل العثور على أسهم إسالمية على أنه يف الظروف احلالية( 2008)ومارزابن

( 2013)حمفوس وحسن ن وب (2017) خالصة وخالية من املضاربة يف عملية الفرز. وأفاد السعدييف تصرحيات مماثلة أبن قيام عملية الفرز اليت أقرهتا الفتاوى الشرعية ال يتوافق متاما مع ضوابط الشريعة

للفرز فقط ألن الفرز الشرعي لألسه التأثري السليب يقل لفت االنتباه إىل حتفظ إىل أنم يركز على الرفاهية االقتصادية واالجتماعية والبيئية.

الشريعة مع املتوافقة املالية األوراق قائمة اإلجتماعية, املسئولية األسهم, فرز املفتاحية: الكلمات اإلسالمية

xii

PEDOMAN PENULISAN

KUTIPAN DAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Disertasi ini menggunakan sistem penulisan kutipan dan bibliografi model Turabian,

sementara pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan adalah ALA-LC

Romanization Tables.

A. Konsonan

ا

ب

=

=

Tak

dilangbangkan

b

ز

=

z ف = f

q = ق s = س t = ت

k = ك sh = ش th = ث

l = ل }s = ص j = ج

m = م }d = ض h = ح

n = ن }t = ط kh = خ

h = ه }z = ظ d = د

w = و ‘ = ع dh = ذ

y = ي gh = غ r = ر

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah a A ـــ

Kasrah i I ـــ

Dhammah u U ـــ

2. Vokal rangkap

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan ya ai A dan i ـــي

Kasrah dan wau au A dan u ـــو

Contoh;

H{aul : حول H{usain : حسين

xiii

C. Maddah

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan Alif a> a dan garis di ataas ــا

Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ــي

Dhammah dan wau u> u dan garis di atas ــو

D. D. Ta’ Marbutah

Transliterasi ta’ marbutah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata

sesudahnya maupun tidak. Contoh;

مرأة: Mar’ah

مدرسة: Madrasah

المنورة المدينة: Al-Madinah al-Munawwarah

E. Shaddah Shaddah atau Tashdid ditransliterasi ini dilambangkan dengan huruf yang sama

dengan huruf yang bershaddad. Contoh;

ربنا: Rabbana

نزل: Nazzala

F. Kata Sandang

Kata sandang “ال” dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya. Kata

sandang dikuti oleh huruf syamsiyah maka akan ditulis sesuai dengan harus

bersangkutan, namun bila diikuti oleh huruf qamariyah akan ditulis “al.”

Selanjutnya al ditulis lengkap seperti kata al-Qamaru (القمر) dan al-syamsiyah

seperti ar-rajulu (الرجل). Contoh:

شمسال : ash-Shams لنعيم ا : an-Na'i>m

al-Qalam : القلم

G. Pengecualian Transliterasi

Pengecualian transliterasi adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim

digunakan dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dari bahasa Indonesia.

Contoh kata dalam bahasa Arab yang dikecualikan transliterasinya adalah

seperti lafaz Allah, asma’ al-husna, dan ibn. Namun demikian, lafaz-lafaz

tersebut tersebut tetap akan ditransliterasi bila terdapat dalam konteks aslinya

dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................................... iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... v

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ...................................... vii

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... xii

DAFTAR ISI........................................................................................................ xiv

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvi

DAFTAR GRAFIK .............................................................................................. xvii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Permasalahan .............................................................................. 14

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ............................................. 15

D. Kajian Terdahulu yang Relevan .................................................. 16

E. Metodologi Penelitian ................................................................ 20

F. Sistematika Penulisan ................................................................. 23

BAB II DISKURSUS SCREENING SAHAM SYARIAH DAN

PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL ...................... 25

A. Prinsip Dasar Saham Syariah pada Pasar Modal Syariah ............ 25

B. Perbandingan Metodologi Screening pada Pelbagai Indeks

Saham Syariah Global ................................................................. 31

C. Konsep Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial pada Manajemen

Investasi ...................................................................................... 43

BAB III DEWAN SYARIAH NASIONAL DAN OTORITAS JASA

KEUANGAN .................................................................................... 75

A. Dewan Syariah Nasional (DSN) ................................................. 75

B. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ..................................................... 85

BAB IV SCREENING SAHAM SYARIAH MENURUT FATWA DSN-MUI

DAN PERATURAN OJK .................................................................. 91

A. DSN-MUI dalam Menetapkan Fatwa Standar Screening Saham

Syariah ........................................................................................ 91

B. OJK dalam Menetapkan Peraturan Standar Screening Saham

Syariah ........................................................................................ 111

xv

BAB V IMPLEMENTASI SCREENING SAHAM SYARIAH PADA

DAFTAR EFEK SYARIAH DALAM MENGUNGKAPKAN

TANGGUNG JAWAB SOSIAL ...................................................... 121

A. Penilaian Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

pada DES .................................................................................... 121

B. Implementasi Screening Saham Syariah terhadap Pengungkapan

Tanggung Jawab Sosila Perusahaan pada DES ............................ 135

C. Urgensi Mas}lah}ah sebagai Dasar Hukum terhadap Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan pada DES ........................................... 169

D. Saham Syariah yang Memiliki Tanggung Jawab Sosial ............. 174

BAB VI PENUTUP ........................................................................................ 191

A. Kesimpulan ................................................................................ 191

B. Saran dan Rekomendasi .............................................................. 192

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 195

GLOSARIUM ..................................................................................................... 215

INDEKS .............................................................................................................. 221

LAMPIRAN

BIODATA PENULIS

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Kriteria Screening menurut Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK

terhadap Kegiatan Bertentangan Syariah ....................................... 9

Tabel 1.2 Hasil Proses Pengambilan Sampel .................................................. 22

Tabel 2.1 Screening batas utang pada berbagai indeks .................................... 41

Tabel 5.1 Pengungkapan ISR Tema Pembiayaan dan Investasi ..................... 124

Tabel 5.2 Pengungkapan ISR Tema Produk dan Jasa ..................................... 127

Tabel 5.3 Pengungkapan ISR Tema Karyawan .............................................. 128

Tabel 5.4 Pengungkapan ISR Tema Masyarakat ............................................. 129

Tabel 5.5 Pengungkapan ISR Tema Lingkungan ............................................ 131

Tabel 5.6 Pengungkapan ISR Tema Tata Kelola Perusahaan ......................... 131

Tabel 5.7 Daftar Perusahan Skor Indeks Tema IST Tertinggi ........................ 133

Tabel 5.8 Pengungkapan Kehalalan Produk Thn. 2013-2017 ......................... 153

Tabel 5.9 Skor Pengungkapan IST Tema Karyawan ...................................... 159

xvii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Rasio Keuangan Utang Bunga terhadap Total Aset .................. 113

Grafik 4.2 Persentase rata-rata total utang bunga terhadap aset ................ 114

Grafik 4.3 Rasio Keuangan Utang Bunga terhadap Total Ekuitas .............. 115

Grafik 4.4 Persentase rata-rata Utang Bunga terhadap Ekuitas .................. 115

Grafik 4.5 Perkembangan Saham Syariah ................................................... 116

Grafik 4.6 Rasio Keuangan pendapatan bunga dan total pendapatan ......... 118

Grafik 4.7 Persentase pendapatan bunga .................................................... 118

Grafik 5.1 Total Skor Indeks ISR Tahun 2013-2017 .................................. 122

Grafik 5.2 Total Skor Indeks ISR Masing-masing Tema

Tahun 2013-2017 ........................................................................ 124

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses screening indek saham syariah di Malaysia .................... 37

Gambar 2.2 Tiga Dimensi Berkelanjutan ...................................................... 52

Gambar 2.3 Kerangka Syariah Tanggung Jawab Sosial ................................ 63

Gambar 3.1 Susunan Pengurus DSN-MUI .................................................... 77

Gambar 3.2 Sturuktur Organisasi OJK .......................................................... 87

Gambar 4.1 Proses Screening Saham Syariah ............................................... 98

Gambar 5.1 Konsep Pengawasan Pasar Eksternal ......................................... 185

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Investasi sebagai salah satu aktivitas mu’a>malah ma>liyah (kegiatan

ekonomi) tidak terlepas dari kajian hukum Islam.1 Pada dasarnya Islam adalah

agama yang pro investasi, karena diyakini membawa pada peningkatan

produktifitas sektor rill dan memberikan manfaat bagi umat.2 Oleh karena itu,

Islam melarang sumber daya yang dimiliki seseorang hanya disimpan dan tidak

produktif (idle asset).3 Namun, bukan berarti penggunaan kekayaan tersebut dengan

bebas tanpa ada peraturan, melainkan harus tetap memperhatikan rambu-rambu

yang berlaku jangan sampai melanggar dari prinsip-prinsip syariah.4

Salah satu sarana investasi melalui penanaman saham syariah pada pasar

modal. Kajian mengenai saham syariah baik berkaitan masalah hukum maupun

praktik jual belinya telah menjadi perbincangan para pakar akademik, ulama fikih

(fuqaha>’), dan praktisi ekonomi sejak tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena

larangan Islam terhadap aktivitas bisnis tertentu yang terus berkembang. Oleh

karena itu, untuk memenuhi kepentingan pemodal muslim yang mengharapkan

kegiatan investasinya berdasarkan prinsip syariah, maka di sejumlah bursa efek

dunia telah disusun indeks yang secara khusus terdiri dari komponen saham-saham

yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah.5

1Secara bahasa kata hukum berasal dari kata Arab h}ukm (jamaknya ah}ka>m) yang

berarti putusan, ketetapan, perintah, kekuasaan, hukuman, dan lain-lain. Kata hukum dalam

al-Qur’an antara lain digunakan untuk pengertian “putusan” atau “ketetapan” yang ada

hubungan dengan perbuatan Allah dan ada juga berhubungan dengan perbuatan manusia.

Namun ketika konteks hukum di hubungkan dengan “Islam” dalam al-Qur’an sama sekali

tidak ditemukan. Dalam al-Qur’an yang ada kata syariah, fikh, hukum Allah, dan yang

seakar dengannya. Karenanya dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup hukum

syariah dan hukum fikih, karena arti syarak dan fikih mencakup di dalamnya. Lebih lengkap

lihat Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep (Jakarta:

Sinar Grafika, 2013), 41- 43. 2 Nurul Huda, “Kinerja Pasar Modal Syariah Indonesia Suatu Kajian terhadap

Saham Syariah”, Makalah di sampaikan dalam Diskusi Bulanan IAEI, FE Yarsi, (11

Agustus 2006). 3Shafiqur Rahman, “Ethical Investment in Stock Screening and Zakat on Stock”,

Journal of Islamic Finance, Vol. 4 No. 1 (2015): 39-62. 4Yani Mulyaningsih, “Kriteria Investasi Syariah Dalam Konteks Kekinian,” dalam

Jusmaliani, Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik

(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), 91. Lihat juga Zamir Iqbal, An Inroduction to Islamic Finance:Theory and Practice (Singapore: Jhon Wiley & Sons, 2007), 172.

5Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah (Jakarta: Kencana, 2008), 45. Lihat juga Hakim, S. and M. Rashidian, "Risk and Return of

2

Sebagai pelopor yang menetapkan indeks syariah di perkenalkan oleh RHB

Unit Trust Management Berhad di Malaysia pada tahun 1996, menyusul Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) pada tahun 1999, Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI) dan Global Islamic Index Series (FTSE) keduanya diluncurkan pada tahun

1999. 6 Sejak itu, indeks syariah global dan lokal terkenal lainnya terus

diperkenalkan, antara lain Morgan Stanley Capital International World Islamic Index (MSCI) pada tahun 2007, Kerachi Meezan Index pada tahun 2009, dan

STOXX Europe Islamic Index pada tahun 2011.7

Untuk konteks Indonesia, kemunculan produk syariah pertama kali di pasar

modal Indonesia ditandai dengan diluncurkannya Danareksa Syariah oleh PT

Danareksa Investment Management (DIM) pada 3 Juli 1997. DIM merupakan reksa

dana saham pertama kali secara eksplisit menyatakan investasinya bersifat syariah.

Selanjutnya, pada 3 Juli 2000 Bursa Efek Indonesia (BEI) bekerja sama dengan PT

Danareksa Investment Management meluncurkan indeks saham Jakarta Islamic Index (JII) merupakan indeks terakhir yang terdiri dari 30 saham paling likuid dan

memenuhi prinsip syariah.8 Namun, pasar modal syariah hadir secara resmi di

Indonesia pada 14 Maret 2003, berdasarkan penandatanganan Nota Kesepahaman

antara Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK)

dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).9

Penandatanganan Nota Kesepahaman tersebut menjadi pijakan dukungan

yang kuat terhadap pengembangan pasar modal berbasis syariah di Indonesia,

terutama sejak Bapepam-LK tahun 2006 menerbitkan Peraturan Bapepam-LK

Nomor IX.A13 tentang Penerbitan Efek Syariah dan Nomor IX.A.14 tentang Akad-

akad yang digunakan dalam penerbitan efek syariah di pasar modal dan diikuti

dengan peluncuran Daftar Efek Syariah (DES)10 oleh Bapepam-LK pada tanggal 12

Islamic Stock Market Indexes", Presented at the International Seminar of Nonbank Financial Institutions: Islamic Alternatives, Kuala Lumpur, Malaysia. (2004), 1.

6Atina Shofawati, “Islamic Screening Mechanism of Islamic Capital Market- A

Comparison Between the Fatwa- DSN-MUI, the Kuala Lumpur Stock Exchange Islamic

Index and the Dow Jones Islamic Market Index”, The International Conference of Organizational Innovation (ICOI-2018): 1141-1151. Lihat juga, Al-Bashir, “Comments of

Muhammad Al-Bashir Muhammad Al-Amine on Reviewing the Concept of Shares:

Towards Dynamic Legal Perspective”, http://www.kantakji.com/media/163527/file521.pdf

(artikel diakses 02 Juni 2018). 7 Ramazan Yildirim dan Bilal Ilhan, “Shari’ah Screening Methodology-New

Shari’ah Compliant Approach”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol.

14, No. 1, (January-March, 2018): 168-189. 8Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Cet.

IV (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 230. 9Abdul Manan, Aspek Hukum dalam Penyeleggaraan Investasi di Pasar Modal

Syariah Indonesia (Jakarta: Kencana, 2012), 114. Lihat juga Bapepam dan LK, “Sejarah

PasarModalSyariah,”http://www.bapepam.go.id/syariah/sejarah_pasar_modal_syariah.html,

(artikel diakses 02 Juni 2015). 10Daftar Efek Syariah adalah kumpulan efek syariah, yang ditetapkan oleh Otoritas

Jasa Keuangan atau diterbitkan oleh pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. Terbagi menjadi

3

September 2007. Sejak pertama kali diterbitkan berjumlah 174 saham syariah

terbukti terus bertambah tiap tahunnya. Hal ini sebagaimana tampak pada Grafik

1.1 yang tercatat dari periode 1 tahun 2013 sampai periode 2 tahun 2019 berikut

ini.

Grafik 1.1

Perkembangan Saham Syariah

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (OJK).11

Berdasarkan Grafik 1.1 di atas, nampak jelas perkembangan saham syariah

yang terdaftar pada DES setiap tahunnya terus meningkat. Berawal dari 302

perusahaan periode pertama tahun 2013 terus meningkat hingga mencapai 451

perusahaan periode kedua tahun 2019. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa

keinginan masyarakat dan investor terhadap pertofolio efek syariah semakin besar

dikarenakan efek syariah merupakan alternatif lain bagi masyarakat, khususnya

masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.12

Saham sebelum terdaftar sebagai indeks syariah pada Daftar Efek Syariah

(DES), seluruh emiten yang terdaftar (listing) perlu dilakukan screening terlebih

dahulu sebagai perbedaan mendasar dengan saham konvensional. Dengan demikian,

seluruh proses screening bertujuan untuk mengidentifikasi saham-saham yang

melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti praktik riba, perjudian (maysir), dan

dua jenis, yaitu Pertama DES periodik, merupakan DES yang diterbitkan secara berkala

yaitu pada akhir Mei dan November setiap tahunnya. Kedua DES insidentil, merupakan

DES yang diterbitkan tidak secara berkala. https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-

statistik/daftar-efek-syariah/default.aspx (diakses pada 09 Juni 2016). 11 DES periode II tahun 2019 ditetapkan melalui Surat Keputusan Dewan

Komisioner OJK Nomor KEP-76/D.04/2019 tentang Daftar Efek Syariah, yang berlaku 1

Desember 2019 sampai dengan 31 Mei 2020. 12Rizki Dwi Kurniawan dan Nadia Asandimitra, “Analisis Perbadingan Kinerja

Indeks Saham Syariah dan Kinerja Indeks Saham Konvensional,” Jurnal Ilmu Manajemen, Vol. 2, No. 4; (2014): 1355.

4

ketidakpastian (gharar).13 Namun, terjadi perbedaan pendapat menyikapi proses

screening terhadap emiten, di antaranya diungkapkan oleh Alhabsyi, mengatakan

bahwa saham harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah atau terlepas dari

spekulasi adalah suatu keharusan. Akan tetapi menurutnya, pada situasi sekarang

ini tidak memungkinkan sepenuhnya dilarang dan terbebas dari spekulasi dalam

proses screening.14

Pendapat senada diungkapkan sebelumnya oleh Khatkhatay dan Nisar

mengatakan bahwa saham sepenuhnya murni syariah sangat langkah bisa

diterapkan.15 Bahkan Derigs dan Marzban dengan tegas mengatakan bahwa hampir

mustahil dapat menemukan kegiatan investasi yang sepenuhnya memenuhi kriteria

kepatuhan syariah. 16 Argumen mereka bahwa sebagian besar negara memiliki

lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan

institusi tersebut tidak akan bisa menghindar dari kegiatan riba yang sudah jelas

dilarang dalam Islam. Di samping itu, screening untuk saham syariah adalah proses

yang membosankan dan menghambat investor untuk berinvestasi.17

Usmani juga punya pendapat yang serupa bahwa sangat sulit menemukan

perusahaan yang benar-benar telah memenuhi prinsip syariah, karena ahli fiqh

memiliki berbagai pengertian mendefinisikan kepatuhan dan ketidakpatuhan

terhadap syariah itu sendiri.18 Kafou dan Chakir berpendapat bahwa terjadinya

perbedaan pandangan tersebut tidak dapat dihindari, bahkan perbedaan ini sudah

ada dari sebelum diterapkannya indeks syariah, semua tergantung pada metodologi

screening yang dijadikan standar dari masing-masing lembaga fatwa.19

13Elfakhani, S and Hassan, MK, “Performance of Islamic Mutual Funds, paper

Presented of Economic Research Forum,” The 12th Annual Conference, Kairo, (19-21

Desember 2005). 14Alhabsyi, S. Y. “Stock Screening Process,” Islamic Finance Bulletin (2008, June):

24-30. 15Khatkhatay, M.H. and Nisar, S. “Investment in Stocks: A Critical Review of

Dow Jones Shariah Screening Norms,” Paper presented at the International Conference on Islamic Capital Markets. (2007), http://www.kantakji.com/fiqh/Files/Fatawa/15404.pdf

(artikel diakses 15 Juni 2015). 16Derigs, M. and Marzban, S. “Review and analysis of current Shariah-compliant

equity screening practices”. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance

and Management, Vol 1 (2008): 285-303. 17Siddiqi, M.N “Shariah, Economics and the Progress of Islamic Finance: The Role

of Shariah Experts,” 7th Harvard Islamic Forum on Islamic Finance, (2006). Lihat juga

Popotte, M.: Industry Snapshot: Opening the Black Box of Shariah Stock Screening,”

http://www.opalesque.com/OIFIArticle/96/the_Black_Box_of_Shariah_Stock850.html

(diakses 06 Maret 2016). 18Maulana Taqi Usmani, “Principles of Shari’ah Governing Islamic Investment

Funds,” International Journal of Islamic Financial Services , Vol 1 (2), (1999): 45-58. 19Ali Kafou and Ahmed Chakir, “From Screening to Compliance Strategis: The

Case of Islamic Indices with Application on “MASI”, Islamic Economic Studies Vol. 25,

No. Special Issues, (April 2017): 55-84.

5

Abdullah Alsaadi et al. menyatakan bahwa proses screening saham syariah

yang diterapkan oleh komite syariah tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip

syariah. Hal ini karena proses screening yang dilakukan secara eksklusif hanya

berkonsentrasi pada screening negatif atau pada aktivitas bisnis (core bisnis) dari

pada memperhatikan kesejahteraan sosial, lingkungan, dan transparansi.20 Bahkan,

Binmahfouz dan Hasan melakukan kritikan tegas, menurutnya bagaimana bisa

sebuah perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan kerusakan

lingkungan dapat menjalankan prinsip-prinsip syariah? Bukankah harusnya

sebaliknya, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip fundamental keuangan dan

investasi Islam yang lebih mengedepankan nilai etika dan akhlak dalam semua

aktivitas ekonomi.21

Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, maka dapat dipahami bahwa

proses screening pada saham syariah tidak sepenuhnya dapat diterapkan sesuai

dengan prinsip-prinsip syariah. Ini juga tentunya yang membuat sebagian fuqaha>’ mengharamkan praktik jual beli saham. Karena praktik jual beli saham menurut

sebahagian pendapat, sarat dengan unsur gharar atau tindakan spekulatif. Tujuan

investor melakukan jual beli saham hanya untuk mendapatkan capital gain, bukan

untuk tujuan kepemilikan perusahaan. Di samping itu, memiliki motif

memanfaatkan ketidakpastian untuk keuntungan jangka pendek (short term). 22

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni> dalam

bukunya, al-Niza>m al-Iqtis}a>di> fi al-Isla>m, menegaskan bahwa shirkah musahamah adalah bentuk shirkah yang batal secara hukum, karena tidak terdapat ijab dan

kabul bagi yang berserikat. Transaksi hanyalah sepihak dari para investor yang

menyertakan modalnya dengan cara membeli saham di pasar modal tanpa

perundingan atau negosiasi dengan pihak perusahaan.23

Argumen tersebut diperkuat oleh al-Sabatin menurutnya halal atau

tidaknya saham dilihat dari perseroan yang mengeluarkan saham. Jika perusahaan

tersebut tidak bertentangan dengan syarat-syarat perusahaan dalam Islam, maka

dibolehkan menanamkan saham pada perusahaan tersebut. Namun, secara tegas al-

Sabatin mengatakan perusahaan yang tidak bertentangan dengan syariah Islam

pada realitanya tidak ada bahkan tidak terbayang dalam pemikiran apalagi pada

prakteknya.24

20Abdullah Alsaadi et al., “Corporate Social Responsibility, Shariah-Compliance,

and Earnings Quality”, J Financ Serv Res (2017):169–194. 21 BinMahfouz, S., & Kabir Hassan, M. “Sustainable and socially responsible

investing: Does Islamic investing make a difference?,” Humanomics, 29 (3), (2013): 164-

186. 22Rodney Wilson, “Islamic finance and Ethical Investment”, International Journal

of Social Economics, Vol. 24 No. 11, (1997): 1325-1342. Lihat juga M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (UI-Pres, 2011), 206.

23Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni>, al-Niza>m al-Iqtis}a>di> fi al-Isla>m (Beirut:Dar el Ummah,

2004), 3. 24 Yusuf al-Sabatin, al-Buyu>‘ al-Qadi>mah wa al-Mu‘a>s}irah wa al-Bu>rs}a>t al-

Maha>lliyah wa al-Duwaliyyah (Beirut: Dar el-Bayariq, 2002), 53.

6

Terhadap pemikiran dari kelompok di atas yang secara mutlak menolak

saham sebagai bagian dari shirkah musa>hamah bahkan mengharamkan karena

dianggap batal secara hukum, penulis sendiri kurang sependapat atas pandangan

tersebut. Hal ini karena tidak ada nas} secara qat}‘i baik al-Qur’an maupun hadits

yang secara eksplisit mengharamkan praktik saham. Oleh karena itu, adanya

pandangan bahwa shirkah pada saham tidak memenuhi syarat-syarat akad, ijab, dan

kabul perlu dikaji ulang, karena pada praktiknya bahwa sebenarnya ada kesepakatan

sebelum melakukan investasi antara pemilik modal dengan pihak perusahaan,

misalnya diwakilkan kepada manager investasi untuk mengelola dana tersebut, hal

ini tentu telah mewakili unsur dalam ijab dan kabul.

Begitu juga halnya terhadap pernyataan bahwa tidak mungkin bisa terbebas

dari gharar atau tindakan spekulasi dalam praktik saham. Diakui, memang untuk

menghindar sepenuhnya sulit untuk dipraktikkan, namun setidaknya secara

bertahap ada upaya untuk menghindar dari praktik yang bertentangan dengan

prinsip-prinsip syariah tersebut. Salah satu upaya dilakukan dengan melakukan

proses screening terhadap saham syariah. Di samping itu, bahwa saham sudah

menjadi kebutuhan masyarakat muslim sebagai salah satu wadah investasi dan

sebagai penggerak perekonomian suatu negara yang sepatutnya diakomodir.

Pandangan penulis di atas, sejalan dengan pemikiran Gholamreza Zandi,

menurutnya bahwa di setiap negara pasar modal sangat penting sebagai salah satu

penggerak perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, sistem pasar ekuitas harus

diawasi dengan benar. Metodologi screening adalah salah satu elemen penting

dalam melakukan pengawasan terhadap emiten di pasar modal yang perlu

ditingkatkan dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan, status saham pada sebuah

negara akan mempengaruhi terhadap keputusan investor terutama investor Muslim

untuk berinvestasi.25

Adam dan Bakar juga mengungkapkan bahwa syariah screening harus

dilakukan untuk mengeliminasi saham yang diyakini tidak dapat diterima oleh

investor Islam, yaitu terlibat dalam aktivitas bisnis yang dilarang dalam Islam,

seperti perjudian (maysir), ketidakpastian yang berlebihan (gharar), dan riba. 26

Tidak hanya sebatas itu, Jaballah dkk. menjelaskan bahwa screening juga mengkaji

pada aspek keuangan, yaitu memberikan informasi bagi investor bahwa persoalan

utang perusahaan terbatas dianggap positif oleh investor dan tingkat utang

perusahaan yang rendah menunjukkan risiko kebangkrutan yang lebih rendah.27

Penelitian senada disampaikan oleh Blancard dan Monjon, menjelaskan

bahwa emiten yang masuk ke pasar modal syariah tanpa adanya proses screening

25 Gholamreza Zandi, dkk, “Stock Market Screening: An Analogical Study on

Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets,” Asian Social Science; Vol. 10, No.

22; (2014): 270. 26Adam, N. L., & Bakar, N. A. “Shariah screening process in Malaysia”, Procedia -

Social and Behavioral Sciences, 121, (2014): 113-123. 27 Jaballah, J., Peillex, J., & Weill, L., “Is being Sharia compliant worth it?”,

“Economic Modelling, 72 (2018): 353-362.

7

diawal akan menyebabkan tingginya biaya pemurnian dan akan menekan kinerja

keuangan emiten tersebut.28 Penelitian ini secara eksplisit membuktikan pentingnya

screening agar mengurangi biaya pemurnian dan kinerja keuangan perusahaan akan

lebih baik.

Penelitian Erragraguy Elias mengungkapkan bahwa sebagai tolak ukur

saham yang sesuai dengan syariah adalah yang di dalamnya memiliki nilai

tanggung jawab sosial. Untuk membuktikannya, Elias melakukan perbandingan

antara screening prinsip-prinsip etika Islam dan praktik Socially Responsible Investment (SRI). Studi beliau fokus pada integrasi kriteria lingkungan, sosial, dan

tata kelola (ESG) ke dalam investasi yang sesuai dengan syariah. Hasil penelitian

beliau menyimpulkan bahwa tidak ada yang merugikan efek apabila dikaitkan

screening ESG dengan etika Islam bahkan menghasilkan kinerja yang jauh lebih

tinggi untuk portofolio dengan kinerja positif dalam tata kelola selama periode

2008-2011.29

Lebih lanjut dilakukan oleh Seif El-Din I Taj walaupun tidak secara

langsung berpendapat bahwa penting melakukan proses screening dan mengatakan

haramnya saham, akan tetapi berdasarkan penelitian beliau membuktikan bahwa

sebenarnya masih terdapat unsur gharar dan kurangnya pengetahuan

(jaha>la/ignorance) dalam transaksi stock market syariah. Hal ini menunjukkan

bahwa pentingnya melakukan screening tersebut. Oleh karena itu, menurutnya

harus ada regulasi dan aturan yang bisa meminimalisir unsur-unsur tersebut.30

Pendapat di atas sejalan dengan Zamir Iqbal, menurutnya bahwa meskipun

ada unsur gharar transaksi saham di pasar modal, tapi itu dapat di terima karena

semua transaksi itu didasarkan kepada analisis fundamental variable-variabel

ekonomi dan merupakan subjek level ketidakpastian yang dapat diterima, dalam

artian bukan sepenuhnya spekulasi murni. Bahkan ia menegaskan bahwa pada

dasarnya konsep pasar saham sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, hanya

saja tidak semua bisnis yang terdaftar pada pasar saham sepenuhnya sesuai dengan

syariah. Oleh karena itu, penting dilakukan screening terhadap emiten yang

melanggar dari aturan hukum Islam. Permasahan ini tentunya sebagai tantangan

bagi perkembangan pasar modal Islam.31

Pernyataan sama disampaikan oleh Sami al-Suwailem bahwa dalam pasar

modal syariah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Lebih lanjut ia

menggambarkan, bahwa transaksi dalam pasar modal syariah berbeda dengan

permainan judi yang mengandung unsur spekulatif. Dalam permainan lotre,

28Gunther Capelle-Blancard dan Stephanie Monjon, “The Performance of Socially

Responsible Funds Does The Screening Process Matter?,” European Financial Management, 20 (3), (2014): 494–520.

29 Erragraguy Elias, "The performance of Socially Responsible Investment:

Evidence from Shariah-Compliant Stock”, Finance Reconsidered, (2015): 1- 41. 30Seif El-Din I Taj El-D, “Towards an Islamic Model of Stock Market,” J. KAU:

Islamic Econ., Vol. 14, (1422 A.H / 2002 A.D): 25-26. 31Zamir Iqbal, An Inroduction to Islamic Finance:Theory and Practice, 68 dan 173.

8

misalnya, kemungkinan menang kepada kedua belah pihak yang bermain adalah

mustahil (impossible), karena ia merupakan a zero sum game, di mana yang

menang adalah satu pihak dan yang lain dirugikan. Berbeda halnya dalam stock market, semua partisipan mempunyai peluang yang sama untuk menang.32

Dalam konteks para fuqaha>’, temuan disertasi ini juga memperkuat

pemikiran S{a>lih} ibn Muh}ammad ibn Sulayma>n al-S{ult}a>n dalam al-Ashum h}ukmuh}a> wa-A<tha>ruha>, dan Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khali>l dalam al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-Fiqhi al-Isla>mi>. Keduanya telah sepakat bahwa saham dalam

Islam adalah bagian dari investasi yang tidak bertentangan dengan syariah Islam.

Oleh karena itu, setiap transaksi hakikatnya adalah boleh (muba>h}) kecuali jika

melanggar prinsip-prinsip syariah, maka dilarang dilakukan. Screening saham

sebagai upaya menjaga saham syariah, dengan melakukan dua ketegori penilaian.

Yaitu pertama, diharamkan syariah karena bendanya (li ‘aynih) atau zatnya. Seperti

khamar, babi, bangkai, dan darah. Kedua, haram li-ghayrih. Yakni halal zatnya akan

tetapi haram cara memperolehnya, seperti ribá, maysir, mencuri, dan lain-lain.33

Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, penelitian ini memberikan

kontribusi terhadap perdebatan yang sedang berlangsung di kalangan akademik dan

praktisi Islam, dengan menganalisis persoalan screening saham terhadap emiten

yang terdaftar pada Daftar Efek Syariah (DES) dalam mengungkapkan tanggung

jawab sosial. Lebih tepatnya, penelitian ini memberikan kontribusi tentang

perkembangan screening syariah yang tidak hanya fokus pada objek usaha dan rasio

keuangan, tetapi secara praktik juga akan melihat pada aspek-aspek lingkungan,

sosial, dan tata kelola perusahaan dengan menggunakan pendekatan Islamic Social Reporting (ISR).

Secara umum, proses screening terdapat dua aspek yang harus dipenuhi

emiten agar perusahaannya dapat masuk DES, yaitu aspek kualitatif dan aspek

kuantitatif. Aspek kualitatif meliputi kriteria obyek usaha, apakah perusahaan

tersebut bergerak dalam sektor yang bertentangan dengan prinsip syariah seperti

unsur-unsur riba, gharar, maysir, perdagangan yang tidak disertai dengan

penyerahan barang/jasa (future non delivery trading/margin trading), barang atau

jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat; dan melakukan transaksi yang

mengandung unsur suap. Selanjutnya, aspek kuantitatif (akuntansi), seperti debt and equity ratio dan valuasi atas hasil appraisal bisnis yang bersangkutan.34

Obyek usaha emiten (perusahaan) merupakan penyeleksian terhadap bisnis

yang dijalankan oleh setiap emiten pada aspek kehalalannya. Kriteria halal dan

haram merupakan kriteria mendasar dan bersifat mutlak bagi setiap emiten agar

32 Sami Al-Suwailem, “Towards Objective Measure of Gharar in Exchange,”

Islamic Economic Studies, Vol.7. No.1 dan 2 (April 2000): 80. 33Sa>lih} ibn Muh}ammad ibn Sulayma>n al-Sult}a>n, al-Ashum h}ukmuh}a> wa-a>sa>ruha

(Saudi Arabia: Da>r ibn Jauzi , 2006), 62. Lihat juga Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khali>l dalam

al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-Fiqhi al-Isla>mi ((Saudi Arabia: Da>r Ibn Al-

Jauzi>, 2005), I52. 34Elfakhani, S and Hassan, 2005, “Performance of Islamic Mutual Funds, paper

Presented of Economic Research Forum, 12th Annual Conference, 19-21 Desember, Kairo.

9

dapat menjadi saham syariah. Kriteria setiap negara tentunya bisa saja memiliki

standar yang berbeda karena merupakan keputusan mutlak oleh dewan syariah pada

masing-masing negara.35

Di Indonesia, penilaian terhadap obyek usaha investasi pada pasar modal

berdasarkan pada keputusan Fatwa DSN-MUI dan keputusan Ketua OJK. Fatwa

DSN-MUI No: 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum

Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal pada Pasal 3 ayat 2 terhadap

jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah dan

Keputusan Peraturan OJK Nomor 35/POJK/201736 tentang Kriteria dan Penerbitan

Daftar Efek Syariah.

Tabel 1.1

Kriteria screening Saham menurut Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK

Fatwa DSN-MUI Peraturan OJK

Fatwa DSN-MUI Nomor: 40/DSN-

MUI/X/2003 Pasal 3 ayat 2 tentang

emiten yang menerbitkan Efek

Syariah:

a. Perjudian dan permainan yang

tergolong judi atau perdagangan

yang dilarang;

b. Lembaga keuangan konvensional

(ribawi>), termasuk perbankan

dan asuransi konvensional;

c. Produsen, distributor, serta

pedagang makanan dan

minuman yang haram; dan

d. produsen, distributor, dan/atau

penyedia barang-barang ataupun

jasa yang merusak moral dan

bersifat mudarat

e. Melakukan investasi pada

POJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang

Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek

Syariah:37

a. Perjudian dan permainan yang

tergolong judi;

b. Jasa keuangan ribawi;

c. Jual beli risiko yang mengandung

ketidakpastian (gharar) dan atau judi

(maysir); d. Memproduksi, mendistribusikan,

memperdagangkan, dan/atau

menyediakan:

- barang dan atau jasa yang haram

karena zatnya (h}ara>m li-dha>tih);

- barang dan atau jasa yang haram

bukan karena zatnya (h}ara>m li-ghayrih) yang ditetapkan oleh

DSN-MUI;

35Syafiq M. Hanafi, “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah

Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 45

No. II, (Juli-Desember 2011): 1406. 36Sebelumnya Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP.-130/BL/2006 yang

kemudian direvisi. 37Sebelumnya Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP.-181/BL/2009 tentang

Penerbitan Efek Syariah dengan sedikit perbedaan bahwa pada peraturan Bapepam-LK

2009 belum mencantumkan rasio keuangan. Kemudian Peraturan Ketua Bapepam-LK

Nomor: KEP-208/BL/2012 tentang kriteria dan penerbitan daftar efek syariah baru

menetapkan rasio keuangan dan mengganti melakukan transaksi yang mengandung unsur

suap (risywah) dengan kegiatan lain yang bertentangan dengan prinsip syariah.

10

emiten (perusahaan) yang pada

saat transaksi tingkat (nisbah)

hutang perusahaan kepada

lembaga keuangan ribawi lebih

dominan dari modalnya.

- barang dan atau jasa yang merusak

moral dan bersifat mudarat; dan

/atau

- barang atau jasa lainnya yang

bertentangan dengan prinsip

syariah berdasarkan ketetapan dari

DSN-MUI

e. Melakukan kegiatan lain yang

bertentangan dengan prinsip syariah

berdasarkan ketetapan dari DSN-

MUI.

Sumber: Data diolah oleh penulis dari Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK

Berdasarkan Tabel 1.1 bahwa antara Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK

terdapat persamaan dalam hal melakukan screening terhadap kriteria usaha emiten

yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, investor muslim

dapat menginvestasikan dananya pada proyek pembangunan di sektor riil atau

perdagangan yang diperbolehkan oleh syariah kecuali industri yang memproduksi

barang haram, misalnya industri perjudian, lembaga keuangan konvesional (ribawi>), produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram, dan

sebagainya.

Namun jika diperhatikan terhadap obyek usaha berdasarkan keputusan

DSN-MUI dan Peraturan OJK, sangat sedikit secara eksplisit menjelaskan jenis-

jenis kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hal ini tentunya

jauh berbeda jika dibandingkan dengan fatwa dewan pada negara yang lain.

Misalnya pada Dow Jones Islamic Markert Index (DJIM), 38 melarang alkohol,

minuman keras, tembakau, senjata, alat perang, pornografi serta industri hiburan.

Malaysia melakukan screening berdasarkan pada ketentuan yang ditetapkan

oleh Majelis Penasehat Syariah Syariah Advisory Council (SAC) dari Komisi

Sekuritas Malaysia (SC), yaitu dengan melakukan screening terhadap dua indek

saham syariah di Malaysia, Kuala Lumpur Syariah Indek (KLSI) dan Rashid Husein

Berhad Islamic Market Indek (RHBIMI), di antaranya melarang judi, maysir, hiburan yang bertentangan dengan syariah, tembakau serta produk turunannya.39

Beberapa kriteria tersebut, terhadap usaha emiten tidak ditemukan dalam

kajian fikih muamalat dan merupakan persoalan hukum yang bersifat ijtiha>di>. Misalnya perusahaan rokok dan persenjataan dipandang sebagai kegiatan usaha

38Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) sebagai pasar indek Islam pertama di

dunia muslim pada Februari 1999 yaitu berdasarkan Sharia Suvervisory Board (SSB).

Sharia Suvervisory Board (SSB) dari Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) melakukan

filterisasi terhadap saham-saham halal berdasarkan aktivitas bisnis dan rasio finansialnya.

Lihat www.djindexes.com (diakses 06 April 2015). 39 Noor Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar, “Shariah Screening Process in

Malaysia” Procedia - Social and Behavioral Sciences 121, ( 2014 ): 116.

11

yang bersifat membahayakan baik untuk kesehatan maupun perdamaian dunia.

Oleh karena itu, perluasan larangan usaha tersebut sebenarnya bertujuan untuk

melindungi kepentingan (mas}lah}ah) manusia dibandingkan kepentingan bisnis itu

sendiri.40 Dalam artian mengutamakan kemaslahatan dan menghindari usaha yang

bersifat kemudharatan dan merusak moral.

Dalam konteks ini, menurut penulis penting bagi DSN-MUI dan OJK

mencantumkan secara eksplisit dengan menambah beberapa kriteria usaha emiten,

misalnya larangan perusahaan tembakau dan pornografi, walaupun perusahaan go public di Indonesia relatif belum sebanyak dibandingkan di dua indeks tersebut.41

Oleh karena itu, penting untuk dipertimbangkan, apalagi jika melihat konteks

setting sosio-cultural masyarakat Indonesia mayoritas muslim terbesar di dunia,

tidak menutup kemungkinan suatu saat misalnya, emiten berbau pornografi

terdaftar pada indeks saham syariah yang dapat merusak moral bangsa.

Selanjutnya, OJK juga melakukan screening terhadap total hutang yang

berbasis bunga dan total pendapatan bunga dikenal dengan rasio finansial.

Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan

Penerbitan Daftar Efek Syariah tentang kriteria dan penerbitan daftar efek syariah

yaitu tidak melebihi rasio-rasio keuangan sebagai berikut. Pertama, Total utang

yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45% (empat

puluh lima persen). Kedua, Total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal

lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain tidak

lebih dari 10% (sepuluh persen);

Kriteria rasio finansial di atas, kalau diperhatikan lebih didasarkan pada

screening rasio finansial pada kinerja keuangan perusahaan yang diperbolehkan

menurut ketentuan syariah. Kriteria tersebut menyangkut sumber dana dari utang

dan jumlah maksimal pendapatan non-halal. Perusahaan syariah yang mendapatkan

dana pembiyaan atau sumber dana dari utang pada indek syariah di Indonesia

adalah jumlah total yang menggunakan bunga tidak melebihi 45%% terhadap total

aset. Ketentuan ini menyebabkan bercampurnya modal syariah dengan modal

ribawi yang sulit untuk dilakukan pemisahan dan pengawasannya.

Berdasarkan data di atas dapat dipahami bahwa perusahaan yang tercatat di

Daftar Efek Syariah (DES) masih menggunakan hutang perusahaan dengan

mekanisme bunga, bahkan Indonesia boleh sampai 45% berbasis bunga. Besaran

rasio ini lebih tinggi jika dibandingkan batasan Sharia Suvervisory Board (SSB)

terhadap DJIM dengan 33%. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perusahaan

40Syafiq M. Hanafi. “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indeks Saham Syari’ah

Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” 1406. 41Menurut hasil penelitian Siddiqui bahwa jumlah perusahaan yang sesuai dengan

proses screening pada pasar modal syariah Amerika Serikat adalah jauh lebih besar

dibandingkan Negara-negara muslim, seperti Malaysia atau Indonesia. Lihat, Siddiqui, R.

“Shari'ah compliance, performance, and conversion: the case of the Dow Jones Islamic

Market Indexs,” Chicago Journal of Internasional Law, (2007): 496

12

di Asia Tenggara termasuk Indonesia memiliki rata-rata tingkat hutang yang

tinggi.42

OJK juga memberikan batasan pendapatan non-halal antar indek syariah

dengan menetapkan tidak lebih dari 10%. Tampak bahwa dibolehkannya investasi

pada perusahaan yang pendapatannya mengandung ribawi ini tidak konsisten

dengan prinsip awal hukum riba dalam prinsip-prinsip syariah. Dalam praktiknya di

Indonesia masih memberikan sejumlah kelonggaran pada emiten yang masih

bergerak pada bidang pendapatan tidak halal, dengan syarat tidak boleh lebih dari

10%. Langkah ini dilakukan dengan alasan mengingat hampir tidak mungkin

mendapatkan emiten yang tidak terlibat dengan bunga dalam aktivitas bisnisnya.43

Berbeda halnya dengan Malaysia, menetapkan batasan yang bervariasi yaitu dari

yang terendah 5% sampai yang tertinggi 20%.44 Terjadinya perbedaan tersebut

sebenarnya dilihat dari aspek objek usaha emiten (kualitatif) yang dijalankan oleh

setiap emiten.45

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam menjalankan proses

screening atau penyaringan terhadap emiten yang akan memperdagangkan

sahamnya pada pasar modal syariah berbagai lembaga pengindeks saham syariah di

negara yang memiliki pasar modal syariah tidak hanya melakukan penilaian

terhadap objek usaha emiten, namun juga melakukan penilaian terhadap rasio

keuangan emiten, yang mana setiap negara memiliki standar indeks saham syariah

berbeda baik pada objek usaha maupun rasio keuangan.

Secara konseptual, dapat dijelaskan bahwa sesuatu yang diharamkan dalam

Islam dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, haram karena bendanya yang

haram. Kedua, haram karena selain bendanya, misalnya ada unsur Najsy, bay al-Ma‘du>m, gharar, riba, dan ihtikar.46 Sementara itu, implementasinya di Indonesia,

investasi di pasar modal syariah hanya baru melakukan screening secara ketat

terkait dengan sesuatu dikatakan haram karena bendanya (business screening)

terhadap perusahaan penerbit saham. Karenanya, perusahaan yang ingin

menerbitkan saham harus terbebas dari sektor usaha yang aktivitas bisnisnya

berkaitan dengan benda haram tidak boleh listing di pasar modal syariah.

Sementara untuk sesuatu yang haram karena selain zatnya masih dimungkinkan

42 Lang, Leslie dan Young, “Debt and Expropriation,” Working Paper,

www.yahoo.com2000. (diakses 28 Juli 2015). 43Yani Mulyaningsih, “Kriteria Investasi Syariah dalam Konteks Kekinian”, dalam

Jusmaliani, Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, 115-

116. Lihat juga M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, 210. 44 Noor Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar, “Shariah Screening Process in

Malaysia,” Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121, ( 2014 ): 116.

45 Ali Waris, Hafiz Ali Hassan, Sayyid Khawar Abbas, Muhammad Mohsin,

Nauman Waqar, “Sharia Screening Process: A Comparison of Pakistan and Malaysia,”

Assian Journal of Multidiscplinary Studies, 6, (2018): 13-21. 46Sa>lih} ibn Muh}ammad ibn Sulayma>n al-Sult}a>n, al-Asham h}ukmuh}a> wa-a>sa>ruha,

62. Lihat juga Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khali>l, al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-Fiqhi al-Isla>mi, I52.

13

adanya kompromi, seperti halnya masalah riba, gharar (terkait aktivitas spekulasi),

dan praktik lainnya. Terjadinya pilihan kompromi tersebut dilakukan, karena pada

zaman modern ini belum memungkinkan mengimplementasikan prinsip-prinsip

syariah tersebut secara totalitas.47

Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan screening saham pada kriteria

obyek usaha tidak hanya difokuskan pada negative screening (obyek emiten yang

bersifat halal dan haram), akan tetapi juga menekankan positive screening terhadap

aktivitas perusahaan yang dianggap memberikan kemaslahatan umat manusia dan

perbaikan dunia, seperti menjaga konservasi lingkungan hidup, adanya jaminan

kesehatan dan keselamatan kerja, persamaan gaji, produk ramah lingkungan, dan

lain-lain yang dikenal dengan istilah memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) dalam menjalankan perusahaannya.48

Ungkapan tanggung jawab sosial sebagai salah satu bentuk akuntabilitas

perusahaan yang mana perusahaan tidak hanya dituntut dan dihadapkan pada

tanggung jawab yang berpijak pada kondisi keuangannya (ekonomi) saja tetapi juga

masalah sosial dan lingkungan.49 Konsep ini dalam Islam dikenal dengan istilah

Islamic Social Reporting (ISR), 50 sedangkan barat dengan istilah ethical

investment (IE), 51 atau socially responsible investment (SRI) yang telah

berkembang sejak awal periode 1970-an. 52 Konsep investasi etis yang

47Yani Mulyaningsih, “Kriteria Investasi Syariah Dalam Konteks Kekinian,” dalam

Jusmaliani, Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, 104. 48Maria Torres, Maria AŁngeles Fernandez-Izquierdo and Maria Rosario Balaguer

Franch, “The social responsibility performance of ethical and solidarity funds: an approach

to the case of Spain” Business Ethics: A European Review Blackwell Publishing Ltd.

Volume 13 Numbers ( 2004), 17. 49Lantos mengungkapkan bahwa dalam tanggung jawab sosial perusahaan terdapat

tiga tipe tanggung jawab, yaitu tangung jawab etis, altruistik, dan strategis. Lihat G. P.

Lantos, “The Ethicality of Altruitistic Corporate Social Responsibility,” Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 No. 3, (2002): 205-230.

50 Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspektive,”

Indonesian Management and Accounting Research Journal. Vol. 1 No. 2, (2002). 51Wilson membagi ethical investment kepada dua jenis, yaitu negatif dan positif.

Investasi negative maksudnya perusahaan diseleksi jangan sampai bergerak pada sektor

industri yang bertentangan dengan moral. Sedangkan kriteria positif adalah perusahaan

tersebut harus peduli atau ramah terhadap lingkungan. Lihat Wilson, R., “Islamic Finance

and Ethical Investmen,” International Journal of Social Economic, (1997): 24. 52Dunia barat mengenal investasi etis sejak sekte Quaker menolak aktivitas bisnis

yang berkaitan dengan perang dan perdagangan budak pada abad ke 16-17. Kalangan

muslim telah menjalankan investasi etis 12 abad lebih dulu dibanding dunia barat, tetapi

kalangan barat telah memperluas jangkauan negative screening dalam investasi seperti yang

kita kenal saat ini. Lihat M. Hanafi, Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indeks Saham

Syari’ah Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones, 1416. Lihat juga, Haas, Robert, Robert

Brady, Barbara Widstrand, “Screening Investment of Stakeholders: SRI in USA,” Social Investment Forum, (2003): 12-15.

14

mengembangkan investasi melarang aktivitas yang bertentangan dengan moral,

seperti pornografi, minuman keras, nuklir, senjata, dan tembakau.53

Karenanya, para pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh

keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan juga memberikan kontribusi positif

atas segala dampak dari kegiatan bisnisnya terhadap lingkungan sosial. Namun

permasalahannya, bagaimana Islam menyikapinya, walaupun berbagai nilai-nilai

universal dalam Islam ada hubungan dengan konsep SRI oleh Barat, di antaranya

komitmen untuk mendahulukan kepentingan sosial, peduli terhadap lingkungan,

dan menghindari kegiatan berbahaya, misalnya larangan pembuatan senjata,

produksi alkohol atau tembakau. Perbedaannya, bahwa tanggung jawab sosial

dalam Islam dibangun untuk melindungi kepentingan (mas}lah}ah) manusia

dibandingkan kepentingan bisnis itu sendiri.54 Bisnis tidak akan berjalan sukses

tanpa memperhatikan mas}lah}ah, bahkan investor harus mengorbankan beberapa

bagian dari kinerja keuangan untuk mencapai tujuan sosial yang dianggapnya lebih

penting.

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis merasakan penting untuk

mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap kebijakan screening saham syariah di

Indonesia, baik secara konsep yang telah dirumuskan oleh DSN-MUI bersama OJK

maupun dalam tataran implementasi kepada berbagai bentuk transaksi atau

instrumen bisnis saham pada setiap perusahaan yang terdaftar pada Daftar Efek

Syariah (DES) dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

penulis dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan yang muncul berkenaan

dengan screening pada saham syariah, antara lain adalah:

a. Perdebatan disekitar saham tidak hanya dalam hal menyikapi hukum saham,

tetapi juga terhadap praktik jual beli. Hal ini terjadi, karena tidak semua

pemikir Islam sepakat bahwa setelah dilakukan screening saham, sehingga

saham tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

b. Kriteria screening masing-masing negara memiliki perbedaan. Perbedaan

tersebut dikarenakan keputusan dewan syariah pada masing-masing negara

berbeda.

c. Standar screening saham syariah memiliki dua aspek, yaitu aspek kualitatif dan

aspek kuantitatif. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, banyak saham

syariah yang memenuhi standar secara kualitatif tetapi belum secara

kuantitatif.

53 Jolly, C., “Ethical Demands and Requirements in Investment Management,”

Business Ethics: A European Review, 2:4, (1993): 171–177. 54M. Hanafi Syafiq, “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indeks Saham Syari’ah

Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 45

No. II, (Juli-Desember 2011): 1406.

15

d. Nilai universal pelaku bisnis Islam dan Barat memiliki kesamaan terhadap

pengungkapkan tanggung jawab sosial. Namun ada perbedaan bahwa tanggung

jawab sosial dalam Islam di bangun atas dasar melindungi kepentingan

(mas}lah}ah) manusia di bandingkan kepentingan bisnis itu sendiri.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka

masalah utama yang akan diteliti dan dijawab sebagai rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah menganalisis “Bagaimana screening saham syariah menurut

Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK sehingga mampu menghasilkan tanggung

jawab sosial baik bagi investor, emiten, dan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan prinsip-prinsip syariah?” Dengan mengacu pada masalah utama tersebut,

maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

a. Bagaimana DSN-MUI menetapkan fatwa tentang standar screening saham

syariah?

b. Bagaimana OJK menetapkan peraturan tentang standar screening saham

syariah?

c. Bagaimana implementasi kebijakan screening saham syariah pada perusahaan

yang terdaftar pada Daftar Efek Syariah dalam mengungkapkan tanggung

jawab sosial?

3. Pembatasan Masalah

Mengingat begitu luasnya permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini

penulis perlu untuk melakukan suatu batasan, sehingga tidak terlalu luas dan keluar

dari masalah inti yang dibahas. Untuk itu penulis memfokuskan penelitian terhadap

kebijakan screening saham syariah menurut DSN-MUI dan Otoritas Jasa Keuangan

serta implementasinya pada perusahaan Daftar Efek Syariah dalam mengungkapkan

tanggung jawab sosial bagi kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi,

sosial, dan lingkungan. Obyek penelitian difokuskan pada saham yang terdaftar

pada DES berdasarkan laporan tahunan (annual report) dengan rentang waktu 5

tahun terhitung dari tahun 2013-2017.

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

a. Menganalisis dan mengelaborasi DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tentang

standar screening saham syariah.

b. Menganalisis dan mengelaborasi OJK dalam menetapkan peraturan tentang

standar screening saham syariah.

c. Mengeksplorasi dan mensintesiskan implementasi screening saham syariah

pada perusahaan yang terdaftar pada Dafar Efek Syariah dalam

mengungkapkan tanggung jawab sosial.

16

2. Signifikansi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Menghasilkan kebijakan screening saham syariah yang dapat diaplikasikan

secara operasional oleh saham syariah di DES sehingga perdebatan tentang

keraguan masyarakat halal atau haramnnya saham dapat terpecahkan.

b. Menjadi acuan dan bahan pertimbangan bagi DSN-MUI dan OJK dalam

membuat fatwa dan peraturan terhadap screening saham syariah dalam upaya

menciptakan tanggung jawab sosial bagi kesejahteraan masyarakat.

D. Kajian Terdahulu yang Relevan

Sebelum melakukan penelitian, maka perlu dilakukan kajian terdahulu yang

ada relevansinya dengan tema disertasi ini. Berdasarkan penelusuran peneliti,

bahwa penelitian yang berkaitan tentang screening saham diakui oleh penulis sudah

banyak yang membahasnya, akan tetapi lebih pada secara empiris bukan pada

kebijakan atau sebaliknya masih secara normatif dan belum membahas secara

komprehensif. Beberapa kajian antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Noor

Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar dalam penelitiannya berjudul Shariah Screening Process in Malaysia. 55 Adam dan Abu Bakar menjelaskan proses

screening dirancang untuk menghindar dari unsur-unsur yang melanggar aturan dan

pedoman Syariah Islam, yaitu berpedoman kepada al-Qur'an, dan hadith. Di antara

larangan Islam adalah praktek riba, perjudian (maysir), dan ketidakpastian (Gharar). Untuk mengatasi masalah ini, para ulama telah menetapkan beberapa kriteria yang

dapat diterima bagi perusahaan untuk melakukan bisnis agar terhindar dari

pendapatan non-halal.

Penelitian ini hanya fokus kepada proses screening sebelum disertifikasi

sebagai saham syariah oleh Sharia Suvervisory Board (SSB), sedangkan konsep

screening itu sendiri tidak dibahas secara komprehensif. Penelitiannya juga

dilengkapi dengan melakukan perbandingan kriteria screening antara Sharia

Suvervisory Board (SSB) dan Dow Jones Islamic Market Indexes (DJIM) dilihat

pada aspek aktivitas bisnis dan rasio finansial, namun pembahasannya hanya

menjelaskan perbedaan kriteria screening yang ada pada ke dua dewan syariah

tersebut, tanpa memberikan konsep screening yang sesuai dengan hukum Islam

(Shariah Compliant) dan implementasinya terhadap tanggung jawab sosial

perusahaan yang terdaftar.

Maiyaki dalam penelitian yang berjudul Principles of Islamic Capital Market (ICM).56 Penulis membuktikan bahwa pasar modal syariah di dunia global

lebih unggul dan terus berkembang dengan pesat. Hal ini berawal dari

55 Noor Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar, “Shariah Screening Process in

Malaysia,” Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121 (2014). Published by Elsevier

Ltd. 56 Ahmad Audu Maiyaki, “Principles of Islamic Capital Market,” International

Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences Vol. 3,

No. 4, (October 2013).

17

kemampuannya untuk mendukung sistem keuangan global terutama setelah

kegagalan sistem keuangan konvensional menghadapi krisis global. Lebih lanjut,

beliau juga menjelaskan screening saham syariah yang dilakukan oleh Dow Jones

Islamic Index (Amerika Serikat), Meezan Islamic Fund Criteria (Pakistan), Kuala

Lumpur Stock Exchange Shari'ah Index (Malaysia). Dewan syariah tersebut

menetapkan pedoman bagi investor yang dilakukan dengan dua cara yaitu screening

kualitatif dan kuantitatif, keduanya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan

oleh dewan penasihat Syariah. Dewan ini mengawasi dan memastikan bahwa

semua ekuitas yang terdaftar pada ICM adalah benar-benar syariah compliant. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasar modal syariah memiliki kinerja

yang relatif lebih baik dibandingkan pasar modal konvensional. Oleh karena itu,

Pasar modal syariah di seluruh dunia harus berusaha untuk berpartisipasi secara

aktif di pasar global, dengan selalu memperhatikan standar etika dan prinsip-prinsip

syariah.

Dalam penelitian ini membicarakan prinsip pasar modal syariah, akan

tetapi dengan konteks yang berbeda yaitu lebih kepada perkembangan pasar modal

syariah di dunia global. Walaupun pada salah satu pembahasannya ada sedikit

membahas persoalan saham berkaitan masalah screening saham yang dibagi dalam

dua macam, yaitu screening kualitatif dan kuantitatif namun tidak secara spesipik

menjelaskan kedua macam screening tersebut dan implementasinya pada saham

syariah.

Wee Ching Pok dalam penelitiannya yang berjudul Analysis of Syariah Quantitative Screening Norms Among Malaysia Syariah-compliant Stocks, 57

bertujuan untuk menguji apakah kriteria screening syariah diadopsi oleh SAC dari

SC Malaysia jauh lebih liberal daripada penyedia indeks terkemuka di dunia. Untuk

membuktikannya, peneliti melakukan penelitian sejauh mana saham syariah SAC

SC Malaysia memenuhi kriteria screening kuantitatif yang ditetapkan oleh tiga

indeks ekuitas terkemuka, terdiri dari DJIM, S & P, dan penyedia indeks FTSE

syariah berdasarkan daftar yang dirilis oleh SC pada tanggal 31 Mei 2010.

Untuk membuktikannya, 477 (56,3%) perusahaan Syariah go public dari

846 perusahaan yang menjadi populasi, diuji dengan menggunakan rasio keuangan,

yaitu rasio likuiditas, rasio bunga, rasio hutang dan rasio pendapatan non-halal

yang digunakan oleh penyedia indeks terkemuka dunia. Penelitian tersebut

menunjukkan bahwa terdapat (12.16%) perusahaan yang memenuhi kriteria DJIM

dan (63,10%) perusahaan yang memenuhi syarat kriteria FTSE. Dengan demikian

dapat simpulkan, bahwa saham syariah Malaysia lebih mudah dan lebih longgar

daripada saham syariah di tempat lain. Bahkan menurut pernyataan beliau, kriteria

screening saham di Malaysia terlalu 'liberal'. Penelitian ini berbeda dengan

pembahasan penulis karena penelitian ini fokus pada aplikasi screening saham

secara kuantitatif di berbagai indeks saham syariah pada negara yang berbeda

dengan melakukan komparasi.

57 Wee Ching Pok, “Analysis of Syariah quantitative screening norms among

Malaysia Syariah-compliant stocks,” Investment Management and Financial Innovations,

Volume 9, Issue 2, (2012).

18

Penelitian senada dilakukan oleh Gholamreza Zandi, dkk. Dalam Stock Market Screening: An Analogical Study on Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets. 58 Penelitian ini mencoba melakukan perbandingan saham syariah-compliant terdaftar di Bursa Malaysia. Apakah saham yang telah melewati proses

screening oleh SAC SC juga diterima sebagai saham syariah oleh Indeks

Internasional. Sebagai sampel 35 saham syariah terdaftar di Bursa Malaysia diuji

terhadap empat kriteria penyaringan saham, terdiri dari DJIM, MSCI, FTSE dan S

& P. Hasilnya menunjukkan bahwa saham syariah-compliant terdaftar di Bursa

Malaysia tidak semuanya diterima pada saham Syariah-Compliant dalam empat

Indeks DJIM, MSCI, FTSE, dan S & P. Hal ini disebabkan oleh utang yang tinggi

dan kapitalisasi pasar yang rendah merupakan faktor utama menjatuhkan saham

syariah Malaysia dari empat Indeks yang lain.

M. Cholil Nafis dalam bukunya (seri disertasi) yang berjudul “Teori Hukum Ekonomi Syariah.” Menurutnya walalupun pasar modal syariah sudah melewati

proses screening dengan batasan aset yang mengandung riba adalah 30% dari total

aset emiten, akan tetapi timbul pertanyaan apakah ada jaminan bahwa aset suatu

emiten yang mengandung usur riba tidak lebih dari 30%. Oleh karena itu,

permasalahannya bukan pada berapa persen ada unsur ribawi, karena banyak atau

sedikit tetap haram hukumnya. Disamping itu, beliau juga mengkritik fatwa DSN-

MUI hanya melihat persoalan pasar modal dari sudut barang yang diperjualbelikan

dan proses transaksi antara pihak penjual dan pembeli yang harus sesuai prinsip-

prinsip syariah. Padahal tidak hanya sebatas itu, penting juga diperhatikan

perseroannya. Hal ini penting karena perseroan adalah bentuk kerjasama antara dua

orang atau lebih, perlu menerapkan prinsip syariah, misalnya keharusan akad, ija>b dan qabu>l dalam menjalankan bisnis.59

Dalam penelitian tersebut, diakui penulis sedikit ada kesamaan, yaitu

secara konseptual sama-sama mengkaji fatwa DSN-MUI dan hubungannya dengan

screening, namun kajiannya lebih fokus pada konsideran, landasan hukum, dan

keputusan ditetapkannya fatwa tersebut. Sementara itu, penulis selain meneliti hal

tersebut secara konsep juga melihat dinamika ditetapkannya fatwa tersebut,

hubungan fatwa dengan peraturan Bapepam-LK dan implementasinya pada Dafar

Efek Syariah dalam mewujudkan tanggung jawab sosial setiap emiten.

Penelitian Agus Triyanta dalam penelitiannya berjudul Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait Screening Criteria di Jakarta Islamic Index.60 Memaparkan bagaimana konsep gharar dalam hukum keuangan Islam, serta

bagaimana implementasinya dalam Screening Criteria pada Jakarta Islamic Index

(JII). Untuk membuktikannya, peneliti mengumpulkan berbagai data berupa norma

dan peraturan, baik berasal dari hukum Islam maupun yang dikeluarkan oleh

58 Gholamreza Zandi, dkk, “Stock Market Screening: An Analogical Study on

Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets,” Asian Social Science; Vol. 10, No.

22, Published by Canadian Centerof Science and Education, (2014): 270. 59M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, 208-210. 60Agus Triyanta, “Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait

Screening Criteria di Jakarta Islamic Index,” Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17 Oktober (2010).

19

lembaga pemerintah terkait dengan pasar modal. Berdasarkan data tersebut beliau

menyimpulkan bahwa gharar yang ada dalam hukum Islam adalah suatu unsur

tersembunyi yang dapat menyebabkan kerugian atau bahaya dari para pihak yang

terlibat dalam sebuah transaksi. Untuk membuktikan kriteria syariah bagi proses

screening (seleksi) pada JII ada dua aspek yang dilakukan, yaitu: Pertama, perusahaan yang masuk pada JII adalah perusahaan yang tidak menyelenggarakan

layanan jasa keuangan yang menerapkan konsep ribawi, gharar dan perjudian

(maysir). Kedua, perdagangan yang dilakukan di JII haruslah memenuhi prinsip

kehati-hatian (ih}tiyat}), tidak spekulatif dan manipulatif (dharar, gharar, riba, maysir, risywah, dan kezaliman). Penelitian Agus Triyanta ini diakui penulis,

memang mengkaji konsep screening pada Fatwa DSN-MUI dan Bapepam-LK serta

implementasinya pada Jakarta Islamic Index. Namun penelitian ini tidak dilakukan

dengan komprehensif, hanya sebatas persoalan gharar dilihat kriteria usaha.

Berbeda dengan penulis konsep screening juga dapat dilakukan pada aspek rasio

finansial.

Penelitian Erragraguy Elias yang berjudul The performance of Socially Responsible Investment: Evidence from Shariah-Compliant Stock mengungkapkan

bahwa sebagai tolak ukur saham yang sesuai dengan prinsip syariah adalah di

dalamnya memiliki nilai tanggung jawab sosial. Untuk membuktikannya, Elias

melakukan perbandingan antara screening prinsip-prinsip etika Islam dan praktik

Socially Responsible Investment (SRI). Studi ini fokus pada integrasi kriteria

lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) ke dalam investasi yang sesuai dengan

Syariah. Hasil penelitian beliau menyimpulkan bahwa tidak ada efek yang

merugikan apabila dikaitkan screening ESG dengan etika Islam bahkan

menghasilkan kinerja yang jauh lebih tinggi untuk portofolio dengan kinerja positif

dalam tata kelola selama periode 2008-2011.61

Terakhir penelitian Kuncoro Hadi yang berjudul Pengaruh Kebijakan Sharia Screening terhadap Pertumbuhan Nilai Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan pada Daftar Efek Syariah). 62 Menurutnya bahwa terjadi perbedaan tentang struktur

modal perusahaan ketika dikaitkan dengan utang. Di mana Indonesia sudah

menetapkan kebijakan sharia screening terhadap struktur modal perusahaan yang

terdaftar di Daftar Efek Syariah yang membolehkan rasio utang berbasis bunga

sampai 45%. Menurut Hadi ada dua teori yang berbeda dalam menyikapinya,

Pertama, teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi hutang maka semakin tinggi

nilai perusahaan (modigliani miller theory dan trade off theory). Para

pendukungnya, seperti Fraser, Zhang dan Derashid, Levati, dan Prashant. Kedua,

teori yang menyatakan bahwa semakin rendah utang maka semakin tinggi nilai

perusahaan (pecking order theory), para pendukungnya, seperti Nikolaos, Dimitrios,

dan Zee.

61 Erragraguy Elias, "The performance of Socially Responsible Investment:

Evidence from Shariah-Compliant Stock”, Finance Reconsidered, (2015): 1- 41. 62 Kuncoro Hadi yang berjudul: Pengaruh Kebijakan Sharia Screening terhadap

Pertumbuhan Nilai Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan pada Daftar Efek Syariah), (Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

20

Terhadap dua teori yang berbeda tersebut, Hadi lebih sependapat dengan

yang kedua, yakni semakin rendah utang semakin bagus performance perusahaan,

sebab banyaknya utang perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap nilai

perusahaan. hal ini juga yang telah dipraktekkan di Indonesia, membatasi rasio

utang tidak lebih 45% berdasarkan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP-

208/BL/2012 dengan melakukan screening terhadap industri syariah. Dalam

penelitian tersebut diakui penulis walaupun ada sedikit kesamaan, terutama sama-

sama mengkaji kebijakan screening syariah, namun kajiannya hanya fokus pada

rasio keuangan tepatnya masalah rasio total hutang yang berbasis bunga bukan

pada objek usaha dan pendapatan non halal. Sementara itu, penulis selain meneliti

hal tersebut secara konsep juga mengkaji implementasinya pada Daftar Efek

Syariah dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial.

E. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian adalah suata proses penelitian atau pemahaman yang

berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah

agama. 63 Oleh karena itu, agar penelitian ilmiah dapat diterima dan dipercaya

kebenarannya, tentunya harus mampu disusun dengan menggunakan metode yang

tepat dan benar.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Berdasarkan bidang keilmuan penulis, penelitian ini merupakan penelitian

ekonomi Islam, yakni penelitian ini mengkaji konsep-konsep ekonomi Islam terkait

dengan konsep screening saham syariah menurut Fatwa DSN-MUI dan Peraturan

OJK, kemudian dikaitkan dengan melihat fakta atau implementasi yang terjadi di

lapangan dengan menggunakan data-data kuantitatif terhadap laporan tahunan

perusahaan-perusahaan yang terdaftar di DES untuk membuktikan tanggung jawab

sosial perusahaan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

(Shar‘i) dan ekonomi. Pendekatan yuridis dipilih mengkaji Fatwa DSN-MUI dan

Peraturan OJK tentang screening saham syariah, sehingga diperoleh data-data

secara yuridis-normatif yang penulis merasa perlu menganalisanya dari kaca mata

shar‘i. Di mana tujuan utama dari syariah (maqa>s}id al-shari>‘ah) itu sendiri adalah

adanya mas}lah}ah. Selanjutnya, formulasi ini diimplementasikan ke dalam sistem

ekonomi. Penulis akan menjelaskan fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan

mengenai kebijakan screening saham syariah di Daftar Efek Syarih (DES),

bagaimana implementasi kebijakan screening tersebut terhadap tanggung jawab

sosial perusahaan yang pada gilirannya akan memperoleh pemahaman yang lebih

komprehensif mengenai persoalan yang diteliti.

63Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Gaung Persada, 2009), 11.

21

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan

(library research). Sebagai data primer dalam penelitian ini adalah: 1) Fatwa DSN

No. 20/DSN-MUI/IV/2001; 2) Fatwa DSN No: 40/DSN-MUI/X/2003; 3) Peraturan

Bapepam-LK No: KEP-314/BL/2007; 4) Peraturan Bapepam-LK No: KEP-

181/BL/2009; 5) Peraturan Bapepam-LK No: KEP-208/BL/2012; dan 6) peraturan

OJK Nomor 35/POJK.04/2017. Di samping itu, untuk menganalisis tanggung jawab

sosial dengan melihat laporan tahunan perusahaan pada DES sebagai data lapangan

baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif untuk memperkuat analisa empiris

kebijakan screening saham syariah terhadap tanggung jawab sosial.

Adapun data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan secara maksimal

bahan-bahan pustaka yang relevan untuk menjawab permasalahan penelitian, di

antaranya, Peraturan Bank Indonesia dan kitab-kitab fiqh muamalah tentang norma

atau kaidah sebagaimana yang dirumuskan dalam hukum Islam, terkait dengan

konsep screening saham syariah dan hubungannya dengan pengungkapan tanggung

jawab sosial. Sumber data diperoleh dari berbagai artikel jurnal, buku ilmiah, koran,

majalah,64 serta penulis juga memanfaatkan teknologi internet, yaitu sebagai upaya

mencari artikel atau tulisan-tulisan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

bahasan yang sedang dikaji. Peneliti juga menggunakan data dari wawancara tidak

terstruktur (unstructured interview) 65 dengan seorang anggota DSN-MUI yang

membidangi pasar modal syariah dan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang harus pertama kali dimiliki adalah Fatwa DSN-MUI dan

Peraturan OJK. Selanjutnya mengumpulkan data daftar perusahaan yang masuk

DES. Adapun data yang diperoleh dari DES sebagai populasi berjumlah 375

perusahaan, lalu diseleksi untuk dijadikan sampel.66 Metode pengambilan sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling yang

bertujuan untuk proses pengambilan sampel dengan membatasi jumlah sampel

sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti sendiri.67

64 Lexy J. Mowleong, Metedologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-13 (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2000), 113. 65Wawancara tidak terstruktur dapat digunakan secara bebas dimana si peneliti

tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan secara sistematis, dalam

pengertian hanya berupa garis besar-garis terhadap permasalahan yang akan ditanyakan.

Lihat, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2013), 74. 66Sampel merupakan bagian dari populasi atau sejumlah cuplikan tertentu yang

diambil dari suatu populasi. Lihat lebih lengkap Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif, (Jakarta: PT. GrapindoPersada, 2008), 162.

67Purposive sampling merupakan salah satu teknik yang paling sering digunakan

dalam penelitian kuantitatif. Uma Sekaran dan Bougie, Metode Penelitian untuk Bisnis (Jakarta: Salemba Empat, 2017), 89.

22

Adapun tahapan pengambilan sampel dalam penelitian ini sebagaimana di

jelaskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.2

Hasil Proses Pengambilan Sampel

No. Kriteria Jumlah

Perusahaan

1. Perusahaan yang masuk dalam DES selama

sepuluh periode dan secara berturut-turut tercatat

(listed) di BEI selama kurun waktu 2013-2017.

182

2. Eliminasi perusahaan yang menggunakan mata

uang selain Rupiah

(35)

3. Eliminasi perusahaan yang laporan tahunannya

tidak tersedia secara lengkap di situs official website BEI (www.idx.com), atau official website OJK (http://ojk.go.id) atau situs masing-

masing perusahaan.

(8)

Total Perusahaan 139

Sumber: Hasil olah penulis

Dengan demikian, jumlah sampel yang terpilih dalam penelitian ini

sebanyak 139 perusahaan.

4. Teknis Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kajian isi (content analysis) atau yang sering dikatakan sebagai analisis isi, 68 yaitu suatu teknik

sistematika untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya terhadap data atau fakta

yang disusun dari berbagai data baik data primer maupun sekunder, kemudian

menarik kesimpulan melalui usaha memunculkan karakteristik pesan yang

dilakukan secara logis, kritis, objektif, dan sistematis.69

Dalam penelitian ini content analysis yang dimaksud adalah untuk

mengkaji terhadap kebijakan screening saham syariah menurut Fatwa DSN-MUI

dan Peraturan OJK. Di samping itu, untuk mengidentifikasi jenis pengungkapan

tanggung jawab sosial dengan menggunakan alat ukur Islamic Social Reporting

68Content Analysis adalah upaya untuk menelaah maksud dari isi sesuatu bentuk

informasi yang termuat dalam dokumen, syair, lukisan, pidato tertulis, naskah atau

perundang-undangan. Lihat. Earl Babbie, The Practice of Social Research (Belfast

California: Wardswort Publishing, 1980), 267. Belakangan berkembang Contents Analysis juga dapat digunakan untuk menganalisis surat kabar, situs web, iklan, rekaman wawancara,

dan juga laporan tahunan perusahaan. Sujono dan Abdurrahman, Metodologi Penelitian, Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 13.

69Bagong Suryanto dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2005), 125.

23

(ISR) dengan cara membaca dan menganalisis laporan tahunan, laporan Program

Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), dan laporan PROPER terhadap

perusahaan yang terdaftar pada DES, untuk melihat seberapa besar tingkat

pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sudah melalui proses

screening saham sebelumnya.

F. Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam disertasi ini direncanakan akan disajikan dalam enam

bab yang disusun secara sistematis dan saling terkait. Bab pertama merupakan

bagian pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah. Bagian ini

menjelaskan bahwa terjadi perbedaan dikalangan ulama dan pemikir ekonomi Islam

tentang konsep screening saham syariah. Perbedaan ini disinyalir oleh adanya

kebijakan atau fatwa yang berbeda yang ditetapkan oleh dewan syariah masing-

masing negara. Selain itu, bab ini juga menjelaskkan tujuan dan manfaat penelitian

yang dijadikan langkah awal sebelum melakukan analisa lebih jauh terhadap

permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan penelitian terdahulu yang relevan

berguna untuk apakah penelitian ini sudah pernah dilakukan, di samping itu untuk

membedakan peneliti dengan penelitian sebelumnya dan untuk menghindar

terjadinya plagiasi. Adapun metode penelitian berguna untuk mengarahkah

penelitian ini agar lebih fokus, yaitu dengan menggunakan beberapa pendekatan,

proses pengumpulan sampai pada analisis data. Pada bagian akhir Bab I ini adanya

sistematika penulisan untuk memberikan gambaran secara umum hubungan antara

satu bab dengan bab yang lain.

Bab kedua masuk pada kerangka teori atau perdebatan akademik yang

membahas tentang diskursus screening saham dan pengungkapan tanggung jawab

sosial, terdiri dari tiga sub bab pokok pembahasan. Bagian ini penting dimasukkan

pada bab kedua bertujuan untuk menjelaskan lebih jauh prinsip dasar saham

syariah, melakukan perbandingan terhadap kriteria screening saham pada pelbagai

indeks syariah dan konsep tanggung jawab sosial pada manajemen investasi.

Bab ketiga gambaran umum daripada objek penelitian. Terdiri dari dua sub

bab pembahasan, sub bab pertama membahas sekilas tentang lembaga Dewan

Syariah Nasional (DSN) terdiri dari sejarah awal pembentukan, kedudukan DSN

dalam menetapkan fatwa, dan metodologi penetapan fatwa DSN-MUI. Bagian

kedua gambaran singkat tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), membahas sekilas

tentang sejarah pembentukan, struktur OJK, dan fungsi dan tugas OJK terhadap

pasar modal syariah

Bab keempat sudah masuk kepada bagian awal daripada objek penelitian,

yaitu menganalisis standar screening saham syariah menurut fatwa DSN-MUI dan

peraturan OJK. Bab ini penting untuk diuraikan, dalam rangka memberikan

gambara latar belakang dan pemicu ditetapkannya produk hukum baik Fatwa DSN-

MUI atau Peraturan OJK. Bagian pertama membahas screening saham syariah

menurut DSN-MUI. Meliputi fatwa DSN-MUI tentang screening saham syariah,

analisis terhadap fatwa DSN-MUI dan kaitannya dengan screening saham syariah,

dan DSN-MUI dalam melakukan proses screening saham syariah. Bagian kedua,

24

membahas peranan OJK dalam menetapkan peraturan standar screening saham

Syariah. Meliputi screening rasio utang berbasis bunga terhadap total aset dan

screening rasio pendapatan bunga terhadap total pendapatan.

Bab kelima lebih kepada wujud nyata bentuk tanggung jawab sosial setiap

perusahaan yang ada pada DES. Pada bab ini peneliti akan melakukan penilaian

indeks ISR untuk melihat persentase dari beberapa indikator tanggung jawab sosial

dari masing-masing parusahaan yang ada pada DES. Selanjutnya mengkaji secara

komprehensif implementasinya pada setiap perusahaan di DES dalam mewujudkan

tanggung jawab sosial. Bahkan, lebih detail sejauh mana kesedian perusahaan untuk

mengorbankan keuangannya demi mewujudkan tanggung jawab sosial berdasarkan

laporan tahunan yang sudah dipublikasikan. Terakhir, memberikan kesadaran bagi

perusahaan bahwa pentingnya mengedepankan konsep mas}lah}ah dan terakahir

memberikan pencerahan bagaimana bisa merealisasikan saham syariah yang benar-

benar memiliki rasa tanggung jawab sosial bukan hanya kepentingan bisnis atau

keuntungan semata.

Bab keenam merupakan bagian akhir dari keseluruhan penelitian ini. Bab

penutup ini akan dilengkapi dengan beberapa saran dan rekomendasi yang

diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada semua pihak. Khususnya kepada

DSN-MUI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjadi acuan dan bahan

pertimbangan dalam membuat peraturan serta bagi perusahaan-perusahaan di DES

sehingga tidak ada lagi ada perdebatan tentang keraguan masyarakat halal atau

haramnya investasi pada pasar modal syariah umumnya dan khususnya di saham

syariah.

25

BAB II

DISKURSUS SCREENING SAHAM SYARIAH

DAN PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

Pembahasan dalam bab ini mengenai tinjauan teoritis konsep screening saham syariah dan tanggung jawab sosial perusahaan. Pembahasan pertama,

menguraikan tentang prinsip dasar saham syariah, yaitu mengeksplorasi peranan

saham syariah sebagai bagian dari investasi pada pasar modal syariah dengan

syarat tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Kedua, perbandingan kriteria

screening saham syariah pada berbagai indeks saham syariah di sebahagian negara

global. Pembahasan ini di dasari oleh tidak adanya regulasi yang sama dalam

menetapkan standarisasi screening saham syariah pada setiap fatwa dewan syariah,

khususnya dalam menetapkan kriteria objek usaha (kualitatif) dan rasio finansial

(kuantitatif) pada indeks syariah.

Selanjutnya, pembahasan pengungkapan tanggung jawab sosial pada

manajemen investasi. Pada bagian ini akan dijelaskan pelaporan tanggung jawab

sosial pada bisnis konvensional dan perspektif Islam dengan melakukan studi

komparasi.

A. Prinsip Saham Syariah pada Pasar Modal Syariah

Masyarakat muslim saat ini terkenal memiliki religiusitas yang tinggi

sehingga berimplikasi pada penerapan nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitas

kehidupan. Oleh karena itu, ketersediaan instrumen keuangan syariah, seperti

perbankankan, asuransi, dan pasar modal sangat penting sebagai wadah investasi

bagi masyarakat muslim untuk memenuhi aktivitas ekonominya agar sesuai

syariah.1

Saham merupakan salah satu media investasi2 pada pasar modal. Secara

global, peran pasar modal sebagai salah satu pilar penting dalam meningkatkan

sistem keuangan perekonomian dunia saat ini. Banyak industri dan perusahaan

yang menggunakan pasar modal sebagai media untuk menyerap investor dan

1Atina Shofawati, “Islamic Screening Mechanism of Islamic Capital Market- A

Comparison Between the Fatwa- DSN-MUI, the Kuala Lumpur Stock Exchange Islamic

Index and the Dow Jones Islamic Market Index”, The International Conference of Organizational Innovation (ICOI-2018): 1141-1151.

2 Kata investasi berasal dari bahasa Inggris Investment yang memiliki arti

“menanam”. Dalam kamus istilah Pasar Modal dan Keuangan kata investasi diartikan

sebagai penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan yang bertujuan untuk

memperoleh keuntungan. Lihat Johar Arifin, Kamus Istilah Pasar Modal, Akuntansi, Keuangan, dan Perbankan (Jakarta: Gramedia, 1999), 125.

26

memperkuat posisi keuangannya.3 Dengan demikian, pentingnya peranan saham

dalam rangka memobilisasi dana dari masyarakat dan dapat juga dijadikan sebagai

indikator perekonomian suatu negara.4 Namun, saham yang ada selama ini masih

banyak terjadi perbedaan tentang kebolehannya, karena sebagian ada yang

berpandangan masih mengandung berbagai hal yang menyimpang dari prinsip-

prinsip syariah, seperti riba, maysir, dan gharar (spekulasi).5

Instrumen investasi yang diperdagangkan di pasar modal ada yang bersifat

kepemilikan dan utang (bonds). 6 Adapun Instrumen pasar modal yang bersifat

kepemilikan adalah saham dan yang bersifat utang adalah obligasi. 7 Saham

merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling populer yang tidak

berdiri sendiri, namun terkait erat dengan pasar modal sebagai tempat perdagangan

dan juga terkait dengan perseroan publik (Perseroan Terbatas) sebagai pihak yang

menerbitkannya. Oleh karenanya, saham merupakan salah satu instrumen pasar

modal yang dapat diperdagangkan di Bursa Efek.8

Saham merupakan instrumen pasar modal berupa surat bukti kepemilikan

atas suatu perusahaan yang melakukan penawaran umum (go public) dalam

nominal atau persentase tertentu. Abdul Aziz mendefinisikan saham sebagai tanda

penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau

perseroan terbatas. Dengan menyatakan modal tersebut, maka pihak tersebut

memiliki klaim atas pendapatan perusahaan, klaim atas aset perusahaan, dan

berhak hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).9 Pengertian yang

sama juga diungkapkan oleh Veithzal Rivai dkk., secara sederhana saham dapat

3Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah (Bandung: Alfabeta, 2010), 68. Lihat

juga, Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2008), 217.

4Muhammad, Dasar- Dasar Keuangan Islami (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), 147. 5Seif El-Din I Taj El-D, “Towards an Islamic Model of Stock Market,” J. KAU:

Islamic Econ, Vol. 14, (1422 A.H / 2002 A.D): 25-26. 6Jenis efek Syariah yang ada di pasar modal syariah mencakup saham syariah,

obligasi syariah, Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK

EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Lihat

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO: 40/DSN-MUI/X/2003. Belakangan, instrumen

keuangan syariah bertambah dalam fatwa DSN-MUI Nomor 65/DSN-MUI/III/2008 tentang

Hak Memesan Efek TErlebih Dahulu (HMETD) Syariah dan fatwa DSN-MUI Nomor

66/DSN/MUI/III/2008 tentang Waran Syariah pada tanggal 6 Maret 2008. 7Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2004), 194-195; Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam (Surakarta:

Muhammadiyah University Press, 2006), 163. 8M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan

(Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), 78. 9Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah, 84.

27

didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan

dalam suatu perusahaan.10

Sementara menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia,11 saham

merupakan surat berharga yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan yang

berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau yang biasa disebut emiten. Saham

menyatakan bahwa pemilik saham tersebut adalah juga pemilik sebagian dari

perusahaan tersebut. Dengan demikian, apabila seorang investor membeli saham,

maka ia pun menjadi pemilik dan disebut pemegang saham perusahaan.

Dengan kata lain, saham adalah surat berharga yang bersifat kepemilikan

terhadap suatu perusahaan. Wujud saham adalah berupa selembar kertas yang

menerangkan siapa pemiliknya. Semakin banyak saham yang ia miliki, maka

semakin besar pula kekuasaan dan wewenangnya pada perusahaan tersebut. Selain

dari deviden yang dapat diperoleh para pemegang saham (stock holder), nilai

keuntungan yang merupakan selisih positif harga beli dan harga jual saham (capital gain) juga merupakan benefit selanjutnya yang dapat dinikmati oleh pemegang

saham.

Secara praktis dalam Islam instrumen saham belum terjadi pada zaman

nabi Muhammad SAW. dan para sahabat. Pada masa tersebut yang dikenal

hanyalah praktek perdagangan barang riil seperti layaknya yang terjadi pada pasar

biasa. Dengan demikian, pada masa itu pengakuan kepemilikan sebuah perusahaan

atau jual beli atas sebuah aset hanya melalui mekanisme jual beli belum dinyatakan

dalam bentuk saham seperti sekarang ini.12

Dalam literatur fiqh kontemporer, saham diambil dari istilah musa>hamah,

yang berasal dari kata sahm (stock) ,13 yang berarti saling memberikan saham atau

bagian.14 Dalam akad ini tujuan dari pemilik saham adalah menerima pengembalian

sesuai dengan persentase modalnya apabila perusahaan yang menerbitkan saham

tersebut mengalami keuntungan. Sebaliknya, jika perusahaan mengalami kerugian

pemilik sahampun ikut serta menanggung kerugian sesuai dengan persentase

modalnya. Oleh karena itu, musa>hamah diklasifikasikan oleh ahli fiqh kontemporer

sebagai salah satu bentuk shirkah atau musha>rakah (perserikatan dagang) yang

10Veithzal Rivai dkk, Bank and Financial Institution Management (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2007), 984. 11Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-

undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 12Mohammad Heykal, Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah (Jakarta: PT Elex

Media Komputindo, 2012), 42. 13Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khali>l, al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-

Fiqhi al-Isla>mi (Saudi Arabia: Da>r Ibn Al-Jauzi>, 2005), 47. 14Pengertian saham dimaksud hanya ada dalam fiqh kontemporer sementara tidak

ditemukan dalam fikih klasik. Persoalan ini timbul belakangan termasuk dalam akad

syirkah (perserikatan dagang) yang kemudian dikenal dengan istilah syirkah al-hasan. Lebih lengkap lihat Abdul Azis Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet 1, (Jakarta:

PT. Ichtar Baru Van Hoeve, 1996), 1244.

28

sifatnya bagi penanam modal adalah untuk mengharapkan keuntungan, sedangkan

bagi pengelola atau pemilik perusahaan dimaksudkan untuk pengembangan

usaha.15

Pada prinsipnya, investasi pada saham syariah tidak terlalu berbeda dengan

investasi pada saham konvensional. Namun, terdapat beberapa perbedaan filosofis

yang mendasari perbedaan tersebut. Investasi pada saham syariah harus didasarkan

pada 3 prinsip utama syariah, yaitu dilarangnya riba (bunga), maysir (judi), dan

ghahar (ketidak pastian/spekulasi).

Prinsip riba merupakan bagian dari mekanisme pembiyaan dalam pasar

modal konvensional. Berbeda dengan pasar modal syariah melarang adanya praktik

riba. Pelarangan tersebut telah diatur dalam berbagai ayat al-Qur’an. Akibat

larangan tersebut sehingga dalam mekanisme pembiyaan di pasar sekuritas,

investasi syariah tidak menerapkan bunga namun menerapkan mekanisme profit-loss sharing. Dalam hal ini, investasi mengikatkan entitas atau individu dengan

aset yang bersangkutan sehingga terjadi proses pertanggungjawaban yang adil.16

Unsur gharar atau ketidakpastian yang tercermin dalam upaya spekulasi

juga sangat dilarang dalam investasi Islam. Meskipun unsur kepastian hampir tidak

mungkin bisa diprediksi, namun investor harus mendasari keputusan investasinya

dengan menghitung risiko dan return yang akan dihadapinya atas dasar berbagai

kajian baik aspek makro yaitu fundamental ekonomi maupun aspek mikro yaitu

kinerja perusahaannya, yang tidak bisa ditentukan di depan tapi hanya dapat

diestimasikan. Nurul Huda menyatakan bahwa kegiatan seperti ini disebut rational speculation, yang pada gilirannya akan mendorong terakumulasinya kapital, karena

setiap investasi setiap orang didasari pada pencapaian performa perusahaan, dan

sebaliknya, disebut blind speculation yang dilarang dalam Islam merupakan

15Terhadap shirkah musa>hamah sebagai sistem yang digunakan dalam transaksi

saham, namun pada kenyataannya tidak semua fuqaha kontemporer sepakat dengan itu,

sehingga terjadi perbedaan tentang kebolehannya. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok

yang berbeda dalam menyikapinya. Kelompok pertama, yang membolehkan secara mutlak

diwakili oleh Abdul Wahab Khalaf dan Muhammad ‘Abduh yang berpendapat bahwa para

fuqaha mengenai persyaratan tidak boleh ada bagian tertentu bagi salah seorang anggota

shirkah, tidaklah memiliki dalil syar’i yang kuat. Pendapat kedua, kelompok yang

membolehkan tetapi dengan syarat tidak adanya riba dalam shirkah kecuali dalam keadaan

dharurat, antara lain diwakili oleh Mahmud Syaltut dan Muhammad Yu>suf Mu>sa yang

sama-sama melihat urgensi shirkah bagi pemenuhan kebutuhan umat. Kelompok ketiga,

membolehkan dengan syarat tidak adanya unsur riba dan penggunaan harta shirkah untuk

keperluan yang bukan diharamkan. Kelompok ini antara lain diwakili oleh Ali al-Khafif,

‘Abdul al-Khiyath, Sholeh Marzuki, dan al-Khaslishi. Argumen utama pendapat kelompok

ini adalah aspek kebutuhan masyarakat terhadap shirkah ini sebagai sesuatu yang secara

syar’i harus diakomodasi, juga formatnya yang dekat dengan shirkah ‘inan. Lebih lengkap

lihat, Rahmani Timurita Yulianti, “Direct Financial Market: Islamic Equity Market (Bursa

Saham dalam Islam),” Almawarid, Vol. XI, No. 1, (Feb-Agust 2010): 21-26. 16Agus Triyanta, “Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait

Screening Criteria di Jakarta Islamic Index,” Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17 Oktober (2010):

626.

29

kegiatan yang hanya mencari keuntungan jangka pendek dari ketidakpastian yang

lebih banyak membawa pada gejala negatif dalam perekonomian, seperti perjudian,

short selling, dan insider trading.17

Pendapat senada diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhayli, gharar dapat

diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, gharar fahisy. Gharar fahisy adalah gharar yang memang jelas-jelas tingkat gharar-nya sangat tinggi. Gharar fahisy ini

menurut para ulama disepakati tidak boleh ada di dalam kontrak. Kedua gharar yasir. Gharar yasir ini adalah tingkat gharar-nya sangat tipis atau kecil, dan di

samping itu terkadang sesuatu hal yang terkadang tidak mungkin dapat dihindari

dalam sebuah kontrak atau transaksi.18

Melihat berbagai pandangan tersebut, maka dapat dipahami bahwa gharar yasir atau gharar yang ringan ini memang sebagian orang tidak mempermasalahkan

atau memang tidak mungkin untuk diketahui. Di samping itu, gharar semacam ini

secara umum dipandang sebagai sesuatu yang dapat ditolerir atau dimaklumi. Oleh

karenanya, gharar (spekulasi) dalam Islam tidak dilarang sejauh hal tersebut

didasarkan pada kalkulasi rasional untuk mendapatkan keuntungan yang

memberikan kontribusi pada sektor riil, dan bukan pada keuntungan pribadi yang

dapat membawa destabilitas pasar modal. Karenanya motivasi terjadinya spekulasi

perlu dipandang secara cermat.

Lebih lanjut, perilaku investor menjadi dasar dalam melihat apakah

spekulasi itu konstruktif atau sebaliknya. Artinya, tidak dapat dipungkiri bahwa

perilaku untuk mendapat keuntungan jangka pendek bisa saja terjadi baik di pasar

konvensional maupun syariah. Bedanya, di pasar modal syariah, upaya untuk

berprilaku semacam itu ditekan dan diminimalisir dengan aturan hukum.

Terkait dengan upaya meminimalisir dampak spekulasi dan pembebasan

bunga, pasar modal syariah mampu berfungsi untuk memisahkan operasi kegiatan

bisnis dari fluktuasi untuk memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi

jangka pendek pada harga saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal

konvensional. Namun, praktik pembebasan bunga secara total masih sulit

dilakukan mengingat bunga telah menjadi bagian dalam sistem perekonomian

dunia, maka negara-negara Islam biasanya mengadopsi sistem yang masih

menggunakan bunga. Dengan second-best solution semacam ini tetap

memungkinkan pasar Islami untuk berinteraksi dalam sistem keuangan dunia. Oleh

karena itu, dalam ekonomi syariah terdapat mekanisme cleansing atau pembersihan

pendapatan yang diperoleh dari kegiatan yang haram, atau kegiatan yang masih

memiliki tingkat pelanggaran prinsip syariah.

Mengingat unsur spekulasi sangat sulit dicegah, peraturan dan perangkat

pasar modal syariah harus dapat menyaring motif tersebut. Hal ini

17Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah

(Jakarta: Kencana, 2008), 59. 18 Wahbah Al-Zuhayli, “Financial Transaction in Islamic Jurisprudence.”

Translation of Al-Fiqh al-Islamiy wa ’Adillatuh,” Vol 1, Mahmoud A.El-Gamal, Trans,

(2003): 84-85.

30

diimplementasaikan dalam beberapa bentuk mekanisme, misalnya dengan

menetapkan minimum holding period atau jangka waktu memegang saham

minimum dalam bertransaksi. Dengan aturan ini, saham tidak bisa diperjualbelikan

setiap saat, sehingga meredam motivasi mencari untung dari pergerakan harga

saham semata. Persoalan timbul, pertanyaannya adalah berapa lama minimum

holding period yang wajar. Pembatasan itu memang meredam spekulasi, akan

tetapi juga membuat investasi di pasar modal menjadi tidak likuid. Padahal bukan

tidak mungkin seorang investor yang rasional betul-betul membutuhkan likuiditas

mendadak. Sehingga, ia harus mencairkan saham yang dipegangnya dan ia

terhalang karena belum lewat masa minimum holding period-nya.19

Metwally, seorang pakar ekonomi Islam dan modeling economics mengusulkan bahwa jangka waktu minimum holding period untuk menahan aset

setidaknya satu minggu. Di samping itu, ia juga memandang perlu adanya celling price berdasarkan nilai pasar perusahaan. Konsep ini masih dipertimbangkan

karena pada praktiknya, jangka waktu minimum sulit ditentukan karena terkait

dengan kebutuhan likuiditas investor yang tidak bisa diprediksi. Lebih lanjut,

Akram Khan juga mengusulkan, untuk mencegah spekulasi di pasar modal maka

jual beli saham harus diikuti dengan serah terima bukti kepemilikan fisik saham

yang diperjual belikan. Namun, hal ini juga akan sulit untuk dijalankan dalam

praktiknya.20

Begitu pentingnya tiga hal tersebut sehingga dibutuhkan mekanisme

proses screening atau penyeleksian atas saham. Untuk lebih jelasnya, berikut ini

akan dijelaskan beberapa prinsip dasar untuk menyatakan bahwa suatu saham bisa

dikategorikan tidak melanggar ketentuan syariah. 21 Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara

pengelolaan perusahaan yang mengeluarkan saham (emiten) atau perusahaan

publik yang menerbitkan saham syariah tidak boleh bertentangan dengan

prinsip syariah, yang terbebas dari unsur riba dan gharar serta memiliki produk

yang halal.

2. Emiten yang menerbitkan saham syariah wajib untuk menandatangani dan

memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas saham syariah yang

dikeluarkan.

3. Perusahaan tersebut mempunyai sosial responsibility yang tinggi sehingga

punya kepedulian terhadap umat, dan memiliki ethical behaviour. Sektor

kegiatan usaha oleh perusahaan yang bersangkutan.

4. Sektor pemodalan perusahaan pada indeks bursa saham Islam memiliki

pemodalan sebagai berikut:

19Nurul Huda dan Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, 79-80. 20Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah,

78-82. 21 Rahmi Timorita Yulianti, “Direct Financial Market: Islamic Equity Market

(Bursa Saham dalam Islam)”, Al-Mawarid, Vol. XI, No. 1, (Februri-Agustus 2010): 23.

Lihat juga, Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah, 89.

31

a. Rasio atas utang dan ekuitas (debt to equity ratio)

b. Cash and interest bearing securities to equity ratio

c. Rasio atas kas dan aset (cash to aset ratio).

Sementara Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid menjelaskan, ada beberapa hal

yang harus diperhatikan baik investor maupun oleh emiten saat dibukanya

penawaran umum pada pasar perdana, antara lain: 22

1. Efek yang diperjual belikan harus sejalan dengan prinsip syariah, seperti saham

syariah dan sukuk yang terbebas dari unsur riba (interest) dan gharar (ketidakpastian).

2. Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah. Karenanya,

bentuk usaha seperti kasino, perusahaan rokok, minuman keras, dan bisnis

asusila akan membuat emiten tidak boleh masuk dalam bursa saham dan

obligasi Islami.

3. Semua efek harus berbasis pada harta (berbasis aset) atau transaksi yang riil,

bukan mengharapkan keuntungan dari kontrak utang piutang. Oleh karena itu,

hasil investasi yang akan diterima permodal merupakan fungsi dari manfaat

yang diterima perusahaan dari dana atau harta hasil penjualan efek.

4. Semua transaksi tidak mengandung ketidakjelasan yang berlebihan (gharar) atau spekulasi murni.

5. Mematuhi semua aturan Islam yang berhubungan dengan utang piutang,

seperti tidak dibenarkan jual beli utang dengan cara diskon; tidak boleh ada

kompensasi yang berdasarkan pada pembaharuan (rescheduling) dari utang dan

tidak benarkan melakukan jual beli forward pada transaksi valuta asing.

B. Perbandingan Metodologi Screening pada Pelbagai Indeks Saham Syariah

Global

Perdebatan sekitar metodologi screening saham syariah sampai sekarang

masih terus berlangsung dan selalu hangat untuk diperbincangkan. Metodologi

Screening adalah proses seleksi suatu efek konvensional agar bisa masuk dalam

kategori efek syariah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Proses

penyaringan baik secara kualitatif maupun kuantitatif bertujuan agar jangan

sampai bercampur kriteria antara yang halal dan haram. Di samping itu,

mempersempit jumlah saham yang memenuhi syarat untuk investasi, sehingga

menghasilkan lebih sedikit jumlah saham yang tersedia untuk membentuk

portofolio yang efisien.23

22Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul

Hakim, 2008), 128-129. 23Shaharuddin Ayedh, A. M. A., & Kamaruddin, M. I. H. “Shariah Screening

Methodology: Does It ‘Really’Shariah Compliance?”, IQTISHADIA, 12, (2), (2019): 144-

172.

32

Ada banyak yang membuat terjadinya inkonsistensi metodologi penyaringan

saham syariah di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan Dewan Pengawas masing-

masing negara berbeda dalam menerapkan persyaratan emiten yang akan

diklasifikasikan menjadi saham syariah. Dewan Pengawas masing-masing negara

merujuk pada pendapat ulama klasik yang berbeda ketika menentukan kriteria yang

akan diterapkan pada indeks masing-masing negara. Perbedaan penggunaan kriteria

oleh ulama juga dipengaruhi oleh kondisi obyektif masing-masing negara yang

berkaitan dengan jumlah perusahaan, obyek usaha, dan karakteristik

keuangannya.24

Terjadi perbedaan dalam menyikapi persoalan proses screening saham, ada

yang menolak dan mengatakan tidak penting untuk dilakukan, seperti pernyataan

Al-Habsyi,25 Khatkhatay dan Nisar,26 dan Donia dan Marzban,27 yang berargumen

bahwa pada kondisi sekarang ini saham dalam proses screening sepenuhnya untuk

menerapkan murni dan terbebas dari spekulasi sangat langkah dan hampir mustahil

bisa diterapkan. Alasannya, sebagian besar negara memiliki lembaga keuangan

konvensional, sehingga perusahaan dihadapkan pada praktik riba saat berhadapan

dengan lembaga tersebut.

Pernyataan di atas bertolak belakang dengan beberapa pemikiran yang lain,

menyimpulkan bahwa penting melakukan proses screening. Misalnya pemikiran

Gholamreza Zandi,28 Seif el-Din I Taj,29 Zamir Iqbal,30 dan Sami al-Suwailem.31

Semuanya sepakat bahwa di setiap negara pasar modal sangat penting sebagai

salah satu penggerak perekonomian suatu negara. Karenanya, sistem pasar ekuitas

24Syafiq M. Hanafi, “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah

Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol.

45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1405. 25 Alhabsyi, S. Y. “Stock Screening Process,” Islamic Finance Bulletin (2008,

June), 24-30. 26Khatkhatay, M.H. and Nisar, S. “Investment in Stocks: A Critical Review of

Dow Jones Shariah Screening Norms,” Paper presented at the International Conference on Islamic Capital Markets. (2007), http://www.kantakji.com/fiqh/Files/Fatawa/15404.pdf

(diakses 02 April 2015). 27 Donia, M. and Marzban, S.. “Identifying Shariah-Compliant Equities a

Challenging Task, Global Islamic Finance,” 2008) http://www.global-islamic-

finance.com/2008/11/identifying-shariah-compliant-equities.html (diakses 06 April 2015). 28 Gholamreza Zandi, dkk, “Stock Market Screening: An Analogical Study on

Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets,” Asian Social Science; Vol. 10, No.

22; (2014): 270. 29Seif El-Din I Taj El-D, “Towards an Islamic Model of Stock Market,” J. KAU:

Islamic Econ., Vol. 14, (1422 A.H / 2002 A.D): 25-26. 30Zamir Iqbal, An Inroduction to Islamic Finance:Theory and Practice (Jhon Wiley

& Sons, Singapore, 2007), 172. 31 Sami Al-Suwailem, “Towards Objective Measure of Gharar in Exchange,”

Islamic Economic Studies, Vol.7.No.1 dan 2 (April 2000): 80.

33

harus diawasi dengan baik, salah satu pengawasan di maksud dengan melakukan

screening terhadap emiten sebelum masuk pada indek saham syariah.

Secara umum, proses screening terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi

emiten agar perusahaannya dapat masuk indeks saham syariah, yaitu kriteria

kualitatif dan aspek kuantitatif. Aspek kualitatif meliputi kriteria obyek usaha

emiten (perusahaan), merupakan inti bisnis (core bisnis) yang dijalankan oleh

setiap emiten dan harus bersifat halal menurut ajaran Islam. Halal dan haram

merupakan kriteria mendasar yang harus dipenuhi oleh emiten. Kriteria tersebut

merupakan keputusan mutlak yang diterapkan oleh dewan syariah masing-masing

negara.32 Halal dan haram mengalami perluasan makna dan meliputi segala sesuatu

yang dianggap berbahaya (mudharat) dan demi kepentingan umum (maslahah).

Oleh karena itu, negara yang telah memiliki keragaman usaha emiten, maka

pelarangan obyek usaha lebih luas dibanding negara yang relatif belum memiliki

keragaman usaha emitennya.

Adapun kriteria kuantitatif (akuntansi), seperti debt and equity ratio dan

valuasi atas hasil appraisal bisnis yang bersangkutan.33 Merupakan kriteria yang

diperuntukkan pada aspek keuangan perusahaan yang terdiri dari aspek modal,

utang, pendapatan non halal, likuiditas, dan piutang perusahaan. Kriteria yang

digunakan perusahaan masing-masing negara juga berbeda dengan melihat kondisi

emiten dan keputusan dewan syariah.

Penyedia screening saham syariah ini telah mengeluarkan berbagai jenis

metodologi skrining yang akan dijelaskan di sub bab berikut. Pertanyaan yang

mungkin timbul dari perbedaan tersebut adalah metodologi mana yang paling baik

atau paling 'Islami' dalam melakukan pemeriksaan saham syariah. Karena

masalahnya metodologi yang digunakan oleh indeks internasional dapat berubah

dari waktu ke waktu, efek pada kinerja saham dapat menjadi salah satu penentu

untuk memodifikasi metodologi penyaringan.

1. Kriteria Screening Saham Syariah di Indonesia

Untuk konteks Indonesia, screening indek saham syariah pertama

dilakukan pada Jakarta Islamic Index (JII) yang mencakup 30 jenis saham sebagai

langkah awal perkembangan pasar modal di Indonesia. Saham syariah tersebut

merupakan sekumpulan saham yang telah diseleksi oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ)

bersama dengan PT Dana Reksa Investment Management (DIM). Secara formal,

penyeleksian saham syariah di Indonesia secara umum mengacu pada nota

kesepahaman antara Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-

MUI) yang ditindaklanjuti dengan keputusan Ketua Bapepam-LK yang dilanjutkan

32Syafiq M. Hanafi, “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah

Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol.

45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1406. 33Elfakhani, S and M.K. Hassan, “Performance of Islamic Mutual Funds,” Paper

Presented on Economic Research Forum, 12th Annual Conference, (Kairo: 19-21 December

2005).

34

dengan nota kesepahaman antara DSN-MUI dengan SRO (Self Regulatory Organizations). Dengan adanya Nota Kesepahaman tersebut menjadi pijakan

dukungan yang kuat terhadap pengembangan pasar modal berbasis prinsip syariah

di Indonesia yang menyepakati adanya pola hubungan koordinasi, konsultasi, dan

kerjasama untuk pengaturan yang efektif dan efisien dalam rangka akselerasi

pertumbuhan produk keuangan syariah.34

Keputusan DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan

Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal Pasal 3 angka 2

menjelaskan jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip

Syariah, antara lain:

1. perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;

2. lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi

konvensional;

3. produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan

4. produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang

merusak moral dan bersifat mudarat.

5. melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi

tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih

dominan dari modalnya;

Kriteria DSN-MUI tersebut dipertegas dengan Peraturan OJK Nomor

35/POJK.04/20017 Tentang Kriteria dan Penerbitan Efek Syariah menjelaskan

kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah antara lain:

1. perjudian dan permainan yang tergolong judi;

2. jasa keuangan ribawi;

3. jual beli risiko yang mengandung ketidakpastian (gharar) dan atau judi

(maysir);

4. memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan atau menyediakan:

a. barang dan atau jasa yang haram karena zatnya (haram li-dzatihi);

b. barang dan atau jasa yang haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan atau

c. barang dan atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat; dan /atau

d. barang atau jasa lainnya yang bertentangan dengan prinsip syariah

berdasarkan ketatapn DSN-MUI;

5. melakukan kegiatan lain yang bertentangan dengan prinsip syariah berdasarkan

ketetapan dari DSN-MUI.

34Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, 125-126; Rahmi

Timorita Yulianti, “Direct Financial Market: Islamic Equity Market (Bursa Saham dalam

Islam)”, 23; Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Prenada

Media Kencana, 2009), 116-117. Lihat juga Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 4.

35

Kriteria yang menjelaskan objek usaha emiten (perusahaan) yang

bertentangan dengan prinsip Syariah di atas, baik yang telah ditetapkan oleh DSN-

MUI atau Bapepam-LK pada hakikatnya tidak jauh berbeda. Pada umumnya,

keduanya sama-sama melarang terhadap usaha yang terdapat ribawi, jual beli risiko

yang mengandung gharar, maysir, dan pedagang makanan dan minuman yang

haram serta penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat

mudarat.

Kriteria kuantitatif (akuntansi) pada Pasar Modal Syariah di Indonesia

telah diatur dalam POJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan

Daftar Efek Syariah yaitu tidak melebihi rasio-rasio keuangan sebagai berikut:

1. total hutang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih

dari 45%; dan

2. total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan

dengan total pendapatan (revenue) tidak lebih dari 10%;

2. Kriteria Screening Saham Syariah di Malaysia

Indek saham syariah di Malaysia pertama diperkenalkan oleh Rashid

Husein Berhad Unit Trust Bhd pada tahun 1996 didirikan oleh swasta yang

diperkenalkan oleh Rashid Hussein group Malaysia. RHBIMI ini adalah indek yang

berbasis kapitalisasi yang didasarkan pada perusahaan yang terdaftar di papan

utama dan papan kedua Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE). Kedua, Kuala

Lumpur Shariah Index (KLSI) yang didirikan oleh pemerintah Malaysia pada

tanggal 17 April 1999 yang terdiri dari saham-saham yang tercatat pada papan

utama Kuala Lumpur Composite Index (KLCI). Dengan demikian, munculnya dua

indek tersebut menunjukkan besarnya minat investor lokal dan asing yang ingin

berinvestasi. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari emiten yang selalu

bertambah dan saat ini saham syariah telah menguasai 88% dari seluruh saham

yang tercatat di KLSE pada tahun 2010.35 KLSI ssendiri yang awalnya hanya ada

279 perusahaan per 17 April 1999, namun telah berkembang menjadi 696

perusahaan per 29 November 2019, yang merupakan 77% dari total perusahaan

yang terdaftar di Bursa Malaysia.36

Untuk dapat dimasukkan ke dalam indek syariah, maka saham-saham

perusahaan tersebut harus mengalami penyaringan sesuai ketentuan yang

ditetapkan oleh the Shariah Advisory Council (SAC), badan khusus yang dibentuk

oleh the Securities Commision (SC) Malaysia. SAC menerapkan kriteria

35 Mohammad Ma’sum Billah, Applied Islamic Law of Trade and Finance

(Selangor: Sweet & Maxwell Asia, 2009), 87. 36SC., “List of Shariah-Compliant Securities by SC’s Shariah Advisory Council”,

Kuala Lumpur: Securities Commission of Malaysia (SC), (2019), https://

www.sc.com.my/development/islamic-capital-market/list-of-shariah-compliant-securities

by-scs-shariah-advisory-council, (diakses 7 Mei 2020).

36

penyaringan tersebut dengan dua metode, yakni secara kualitatif dan kuantitatif.37

Pertama, pendekatan kualitatif dilakukan untuk menyeleksi objek usaha pada

perusahaan agar tidak bergerak pada aktivitas yang dilarang oleh Islam, antara lain

terlibat dalam kegiatan sebagaimana disebutkan di bawah ini:38

1. Jasa keuangan berbasis bunga

2. Aktivitas yang mengandung unsur permainan, judi, maysir

3. Perusahaan atau menjual dan memproduksi produk nonhalal

4. Asuransi konvensional

5. Aktivitas hiburan yang bertentangan dengan syariah

6. Militer dan tenaga nuklir

7. Perusahaan yang memproduksi dan menjual tembakau dan produk turunannya

8. Jasa perantara dan perdagangan saham yang diragukan kesyariahannya

9. Aktivitas perusahaan yang dianggap bertentangan dengan syariah.

Kedua, kriteria kuantitatif sebagai dasar penyeleksain rasio finansial

perusahaan. Untuk menentukan toleransi percampuran antara saham yang

diperbolehkan dan tidak diperbolehkan terhadap pendapatan dan keuntungan

sebelum pajak sebuah perusahaan. Shariah Advisory Council (SAC) menetapkan

beberapa pembanding yang didasarkan pada ijtihad. Jika pendapatan dari usaha

yang tidak diperbolehkan syariah melebihi batas, maka saham perusahaan tersebut

tidak dikatagorikan sebagai saham syariah. Batasan tersebut adalah:

a. Batasan 5%

Batasan ini dipergunakan dari berbagai aktivitas bisnis yang secara tegas

dilarang oleh syariah seperti bunga (riba, dari lembaga keuangan konvensional

seperti bank, perjudian dan aktivitas minuman keras dan babi).

b. Batasan 10%

Batasan ini dipergunakan dari berbagai aktivitas bisnis yang dilarang tetapi

sangat sulit dihindari, seperti bunga simpanan deposito perbankan konvensional

dan tembakau.

c. Batasan 20 %

Batasan ini dipergunakan terhadap penenerimaan sewa dari aktivitas bisnis

yang tidak diperkenankan oleh syariah seperti penerimaan dari perjudian, minuman

keras dan lainnya.

d. Batasan 25%

Batasan ini dipergunakan untuk aktivitas bisnis yang diperbolehkan oleh

syariah dan memiliki kemaslahatan tetapi masih terdapat unsur yang dapat

37M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht, Islamic Capital Markets Products and

Strategies (United Kingdom: A John Wiley and Sons, Ltd., Publication), 56-57. 38Noripah Kamso dan Tsu Mae ng, Investing in Islamic Funds (Singapore: Jhon

Wiley & Sons Singapore, 2013), 72.

37

mempengaruhi kesyariahan aktivitas tersebut. Aktivitas tersebut adalah hotel,

perdagangan saham, dan aktivitas bisnis yang bertentangan dengan syariah.

Secara substansi, angka toleransi 5% sampai mencapai 25% menunjukkan

bahwa tidak ada kejelasan hukum yang pasti terhadap indeks saham syariah. Di

Malaysia, toleransi pendapatan nonhalal yang jelas dilarang oleh syariah angka

toleransinya paling rendah yakni 5%. Aktivitas bisnis dengan batasan 5% adalah

aktivitas bisnis dengan bunga, perjudian, minuman keras, dan babi. Toleransi 10%

diberikan pada aktivitas bisnis yang sangat sulit menghindari aktivitas bunga,

seperti penyimpanan deposito pada perbankan konvensional dan pendapatan dari

tembakau yang menjadi bisnis perusahaan. Batasan 20% dipergunakan pada

pendapatan yang segmen bisnis merupakan campuran antara bisnis yang

diperbolehkan oleh syariah dan bisnis dilarang syariah, seperti minuman keras,

perjudian, dan lainnya. Batasan 25% dipergunakan untuk aktivitas bisnis yang

diperbolehkan syariah tetapi bercampur dengan hal-hal dilarang oleh syariah,

seperti bisnis hotel, restoran, jual beli saham, dan perantara perdagangan saham. 39

Gambar 2.1

Proses screening indek saham syariah di Malaysia

39 Noor Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar, “Shariah Screening Process in

Malaysia,” Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121, ( 2014 ): 116.

Primary Shariah Screening

Core business activities 1 Non-Halal Stop/Reject

out

Mixed business

activities

Halal & Non-

halal

Proced to the

Next level 2

Core business activities Halal & Non-

halal

Proced to the

Next level 3

Secondary Shariah Screening

Quantitative analysis

Compare the income generated

from non-halal activities to the

total revenue & profit before tax

Qualitative analysis

Analysis based on:

Image Maslahah

Urf Umum balwa

38

Sumber: Kabir Hasssan dan Michael Mahlknecht, 2009.

Ketentuan tersebut merupakan ijtihad ulama Malaysia dan merupakan

batasan paling toleran dan relatif lebih longgar dalam indek syariah. Kriteria

tersebut menjadikan saham syariah sangat dominan pada Bursa Efek Kuala

Lumpur dengan 88% dari seluruh total saham terdaftar. Perbedaan tersebut karena

Malaysia dalam melakukan proses screening saham syariah lebih menitikberatkan

pada aspek objek usaha emiten atau penilaian secara kualitatif.40

Selanjutnya, batasan screening kuantitatif tersebut, terdapat revisi kriteria

oleh Security Commission (SC) di tahun 2013, terlihat lebih ketat dari

sebelumnya. Dalam perubahan proses screening syariah, Security Commission

(SC) memberlakukan 5% untuk pendapatan dari sumber non halal seperti dari bank

konvensional dan asuransi, perjudian, babi, minuman keras, tembakau, dan lain-

lain. Kemudian, 20% digunakan untuk pendapatan dari kegiatan usaha yang terdiri

dari usaha perhotelan dan pialang saham. Selain pendekatan pendapatan, rasio

finansial juga diterapkan oleh Security Commission (SC), terdiri dari dua tolak

ukur. Pertama, rasio kas atas total aset tidak boleh melebihi 33%. Pertimbangan

dari tolak ukur tersebut adalah bahwa aset tetap dalam perspektif Islam adalah aset

yang menghasilkan uang, artinya, Islam mendorong produktivitas aset itu sendiri.

Kedua, hutang atas total aset. Pada rasio ini ambang batasnya adalah 33%, yang

artinya total hutang yang dimiliki oleh perusahaan tidak boleh melebihi batas

tersebut. Namun, perseroan bisa melampaui patokan tersebut jika sumber utangnya

berasal dari transaksi kepatuhan syariah (shariah compliance). Dengan demikian,

ambang batas rasio 33% hanya berlaku untuk hutang yang bersumber dari

konvensional.41

40 Waris Ali, dkk., “Sharia Screening Process: A Comparison of Pakistan and

Malaysia,” Assian Journal of Multidiscplinary Studies, Vol. 6, (2018): 13-21. 41 Kasi, U., & Muhammad, J., “Strict and Uniform Shariah Screening

Methodologies in Selected Asian Countries in Comparison with the United States”, Asian Journal of Finance & Accounting, 8 (1), (2016): 38.

Banchmark

5 % Riba, Gambling,

Liquor, Pork

20% Mixed

Rental Income

10 % Interest

Income, tobacco

25% Hotel

39

3. Kriteria Screening Saham Syariah di Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI)

Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) meluncurkan pasar indek Islam

pada Februari 1999 dan merupakan indeks Islam pertama di dunia muslim.42 Sharia Suvervisory Board (SSB) sebagai dewan syariah terhadap Dow Jones Islamic

Market Index (DJIM) yang bertujuan melakukan filterisasi terhadap saham-saham

halal berdasarkan aktivitas bisnis dan rasio finansialnya. Berdasarkan filterisasi

tersebut terdapat 2700 saham dari 64 indek negara yang di sesuai dengan prinsip

syariah. DJIMI mencakup 10 sektor ekonomi, 19 sektor pasar, 41 grup industri, dan

114 sub grup.43 SSB secara lebih spesifik langsung mengeluarkan perusahaan yang

memiliki usaha dalam bidang-bidang berikut:

a. Alkohol

b. Minuman keras dan produk turunannya

c. Jasa Keuangan Konvensional

d. Industri Hiburan

e. Tembakau

f. Senjata dan alat pertahanan

Ada tiga kriteria rasio keuangan yang harus dipenuhi oleh perusahaan agar

prinsip-prinsip syariah dan harus kurang dari 33%, yaitu:44

1. Rasio hutang:45

Total debt

Trailing 24 months average market capitalization < 33%

42Pencetus dan perintis ide pendirian Dow Jones Islamic Market Index (DJIM)

adalah A. Rushdi Siddiqui. Ia sebelumnya pernah bekerja sebagai analis saham di sebuah

perusahaan invesment bank di Wall Street sebagai analis. Tugas utamanya adalah meneliti

saham-saham yang listing di bursa, seperti saham perbankan, asuransi dan lembaga

investasi. Ia telah meneliti apakah usaha para emiten sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.

Pelan tapi pasti, hasil kerja kerasnya membuahkan hasil. Analis ini berhasil mengumpulkan

1.708 emiten yang berasal dari 34 negara di dunia. Berdasarkan temua itu, lalu ia

menyodorkan ide pembentukan indeks syariah kepada David Moran, pimpinan Dow Jones Index. Moran akhirnya tertarik pada usulan tersebut dan mengajak Siddiqui bergabung

dengan Dow Jones. Dua bulan kemudian ia berhasil merekalisasikan indeks syariah dengan

dibereikan nama Dow Jones Islamic Market (DJIM) dan ia pun terpilih menjadi direktur

pertama waktu itu. Lihat, Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, 141-142.

43Noripah Kamso dan Tsu Mae ng, Investing in Islamic Funds (Singapore: Jhon

Wiley & Sons Singapore, 2013), 69. 44 Noripah Kamso dan Tsu Mae eng, Investing in Islamic Funds ,70. 45This screening process will exclude the companies for wich totak debt divided by

trailing Twelv Month Average Market Capitalization (TTMAMC) is greater than or equal

to 33%.

Computed as: = Total Interest Bearing Debt

12 months Average Market Cap x 100

40

2. Rasio kas:46

Total cash and interest-bearing securities

Trailing 24 months average market capitalization < 33%

3. Rasio piutang:47

Account receivable

Trailing 24 months average market capitalization < 33%

4. Kritik atas Perbedaan Kriteria Screening Saham Syariah

Screening saham syariah yang ditetapkan oleh dewan syariah pada setiap

negara berbeda, baik pada objek usaha begitu juga rasio keuangan yang diterapkan,

sehingga sampai saat ini tidak ada standar screening syariah internasional memiliki

kesepakatan. Dengan demikian, saham didistribusikan di seluruh dunia, apakah

saham tersebut sesuai dengan syariah atau tidak, tergantung pada negara penerbit

saham itu sendiri.48 Misalnya, kriteria objek usaha, Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI) terdiri dari rokok, pertahanan atau alat perang dan hiburan yang

dilarang, sedangkan di Malaysia kriteria tentang persepsi publik dan imej

perusahaan harus baik. Kriteria-kriteria tersebut merupakan kriteria usaha yang

tidak diperbolehkan dalam saham syariah pada dua indek tersebut. Di samping itu,

tidak ditemukan dalam kajian fikih muamalat dan merupakan persoalan hukum

yang bersifat ijtiha>di. Untuk Indonesia sendiri di Bursa Efek Indonesia (BEI)

kriteria perusahaan syariah relatif lebih sedikit dibanding Dow Jones Islamic

Market dan Malaysia. Perusahaan pornografi, prostitusi, pembuatan dan pemasaran

senjata misalnya, tidak terdaftar di BEI. Perusahaan go publik di Indonesia relatif

belum sebanyak di banding di dua indek tersebut.

Kriteria rasio kuantitatif (akuntansi) merupakan batasan rasio keuangan

perusahaan yang dibolehkan menurut ketentuan syariah. Kriteria tersebut meliputi

rasio utang, rasio aset, pendapatan non-halal, likuiditas dan piutang. Namun, tidak

ada sumber-sumber Islam secara eksplisit menyatakan ambang batas yang dapat

diterima untuk analisis keuangan, para dewan syariah menetapkan ini sesuai

46Liquid Assets to TTMAMC

Computed as: = Cash Deposito + Marketable Securities + Interest Bearing Instruments x 100

TTMAMC 47Receivable to TTMAMC

Computed as: = Cash Deposito + Marketable Securities + Interest Bearing Instruments x 100

TTMAMC

Lebih lengkap lihat M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht, Islamic Capital Markets Products and Strategies (United Kingdom: A John Wiley and Sons, Ltd.,

Publication), 66. 48 Wan Zainal, et al., “Disputes And Resemblance: Comparative Analysis Of

Shariah Advisory Committee Methodology And International Indices”, Malaysian Accounting Review, Vol. 15, No. 2, (2016).

41

dengan upaya interpretatif. Hal ini tentunya membuat kepatuhan pada prinsip-

prinsip syariah menjadi diskusi kritis, karena proses screening yang berbeda di

seluruh dewan Syariah, tergantung pada tingkat liberalisme Islam masing-masing

mereka.

Terkait dengan rasio utang, ada perbedaan masing-masing indek syariah.

Rasio utang di DJIM adalah 33% terhadap kapitalisasi pasar selama satu tahun.

Rasio utang tersebut setara dengan sepertiga total jumlah utang perusahaan yang

diperbolehkan menurut ketentuan syariah oleh SBB. Begitu juga dengan indeks

syariah yang lain, hampir sama untuk ambang batas hutang, yaitu kurang 33 %,

seperti S&P Sharī‘ah, Islamic MSCI, FTSE Sharī‘ah, dan Islamic STOXX.

Namun, berbeda dalam hal menghitung rasio hutang ada indeks berdasarkan

kapitalisasi pasar dan berdasarkan total aset. Sebagaimana terdapat pada tabel di

bawah ini.

Tabel 2.1

Screening batas utang pada berbagai indeks

Sumber: Ali Kafou dan Ahmed Chakir49

Jauh berbeda dengan indeks rasio screening utang di Indonesia, rasio utang

berbasis bunga terhadap total ekuitas sebesar 0,82. Hal ini setara dengan 45:55

(total utang berbasis bunga dibandingkan total aset). Perbedaan rasio utang

tersebut, antara 33% dan 45% menunjukkan bahwa toleransi batasan bunga dalam

utang di Indonesia lebih besar jika dibandingkan yang lain. Oleh karena itu, dapat

dipahami bahwa tingkat kebutuhan utang perusahaan di Indonesia relatif masih

tinggi sehingga perusahaan mendanai operasionalisasi dengan dana pinjaman yang

masih dominan dengan sistem bunga. Batasan toleransi tersebut menunjukkan

bahwa perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek masih sedikit. Kelonggaran

49Ali Kafou dan Ahmed Chakir, “From Screening to Compliance Strategies: The

Case of Islamic Stock Indices with Application on “MASI”, Islamic Economic Studies Vol.

25, No. Special Issue, (April 2017): 55-84.

42

tersebut dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi perusahaan untuk

tercatat sebagai saham syariah.

Berbeda lagi halnya dalam menentukan rasio pendapatan non halal pada

masing-masing indeks syariah. Setiap dewan syariah berbeda dalam

menetapkannya. Indonesia menetapkan 10% dan Malaysia menetapkan batasan

yang beragam dari 5%, 10%, sampai 20%. Batasan tersebut diperoleh dari total

pendapatan perusahaan. Lain lagi halnya dengan DJIM tidak didasarkan pada

prosentase pendapatan non halal akan tetapi lebih pada jumlah kas dan penempatan

dana perusahaan pada surat berharga dengan rasio di bawah 33%.

Terjadinya perbedaan fatwa dewan syariah dari berbagai negara untuk

menilai pengukuran kuantitatif dan kualitatif menunjukkan bahwa fatwa

memainkan peran penting untuk menentukan kepatuhan syariah dalam industri

keuangan syariah. Mengingat pentingnya proses screening dalam industri keuangan

syariah, dewan fatwa syariah harus mengelolanya dengan baik serta meningkatkan

proses screening untuk menjaga kepercayaan stakeholders keuangan syariah yang

akan mempengaruhi kinerja pelaku keuangan syariah. Di samping itu, fatwa yang

dibuat akan mempengaruhi masyarakat sebagai pihak yang terlibat pada industri

keuangan syariah.50

Dengan demikian, diakui meskipun kriteria screening syariah umumnya

digunakan dan diterima secara umum pada indeks syariah, namun tampaknya tidak

ada kode etik investasi syariah yang seragam atau seperangkat kriteria screening

syariah yang telah ditentukan sebelumnya. Menarik untuk dicatat bahwa Akademi

Fiqih Islam Internasional (OKI) belum mengeluarkan resolusi yang mengadopsi

atau mendukung metodologi penyaringan rasio keuangan. Namun, beberapa

anggota Akademi Fiqih Islam Internasional, dalam kapasitas individu mereka

sebagai anggota dewan syariah dari indeks syariah terkemuka dan AAOIFI telah

menyetujui penyaringan rasio keuangan.51

Beberapa ahli terkemuka banyak menyarankan bahwa sebaiknya

metodologi penyaringan dapat diseragamkan sehingga tidak ada lagi perbedaan

untuk bisa menjadi saham syariah global. Dengan memiliki metodologi

pemeriksaan saham standar, investor dari seluruh dunia dapat berdagang tanpa

perlu memeriksa status kepatuhan untuk setiap bursa. Ini akan mendorong

investasi asing dan dengan demikian memperluas ekonomi dunia.52

50 Faaza Fakhrunnas, “Fatwa on the Islamic Law Transaction and Its

Role in the Islamic Finance Ecosystem”, Al Tijarah: Vol. 4 No. 1, (Juni 2018): 42-53. 51 Shafiqur Rahman, “Ethical Investment in Stock Screening and Zakat on Stock”,

Journal of Islamic Finance, Vol. 4 No. 1 (2015): 39-62. 52 Gholamreza Zandi, et.al “Stock Market Screening: An Analogical Study on

Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets”, Asian Social Science; Vol. 10, No.

22, (2014): 270-279.

43

C. Konsep Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial pada Manajemen Investasi

1. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial

Pengungkapan (disclosure)) secara sederhana dapat diartikan sebagai

pengeluaran informasi yang diberikan oleh perusahaan. 53 Suatu pengungkapan

harus memuat semua informasi termasuk informasi kuantitatif (seperti persediaan

dalam nilai mata uang) dan kualitatif (seperti tuntutan hukum).54

Menurut Evans dan Dean bahwa pengungkapan erat kaitannya dengan

empat pertanyaan, yaitu pertama, untuk siapa informasi diungkapkan?, kedua, mengapa pengungkapan perlu untuk dibuat?, ketiga, berapa banyak informasi yang

harus diungkapkan?, dan keempat, kapan informasi harus diungkapkan. Keempat

pertanyaan tersebut harus dijawab oleh perusahaan yang akan melakukan

pengungkapan untuk mengetahui siapa saja pihak yang akan menggunakan

informasi, tujuan dan alasan dilakukannya pengungkapan, banyaknya

pengungkapan yang diungkap, dan waktu yang tepat untuk melakukan

pengungkapan.55

Ada dua macam tipe pengungkapan dalam laporan keuangan (financial report) dan laporan tahunan (annual report), 56 yaitu pengungkapan wajib

(mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). 57

Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan oleh

peraturan yang berlaku. Dalam hal ini, peraturan yang berlaku di Indonesia adalah

peraturan mengenai pengungkapan laporan keuangan dikeluarkan oleh Badan

Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) melalui Surat

Edaran Nomor: SE-02/PM/2002, Surat Edaran Nomor: SE-02/BL/2008, dan Surat

Edaran Nomor: SE-03/BL/2011 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan

53Ardi Murdoko Sudarmadji dan Lana Sularto, “Pengaruh Ukuran Perusahaan,

Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan terhadap Luas Voluntary

Disclosure Laporan Keuangan Tahunan,” Proceeding PESAT, Vol. 2 (2007): 53-61. 54GAAP 98: Interpretation and Application of Generally Accepted Accounting

Principles, 1998, Wiley, 42 55 James R. Evans and Jr. James W. Dean, Total Quality: Management,

Organization, and Strategy 3rd. (Ohio: South-Western, 2003), 145. 56 Laporan tahunan (annual report) merupakan alat yang digunakan oleh

manajemen untuk melakukan pengungkapan dan pertanggungjawaban kinerja perusahaan

kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat. Namun, menurut Darwin

saat ini berkembang pelaporan perusahaan mengenai kinerja ekonomi, sosial, dan

lingkungan yang berdiri sendiri dan terpisah dari laporan tahunan perusahaan, yang dikenal

dengan Sustainability Report (SR). Perusahaan-Perusahaan di Indonesia yang sudah

membuat sustainability report antara lain adalah PT Astra Internasional, PT Aneka

Tambang, dan PT Bukit Asam. Ali Darwin, “Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan

Pengungkapan CSR bagi Perusahaan di Indonesia,” EBAR (Economic, Business Accounting

Review). Corporate Social Responsibility. Edisi III/ Sept – Des 2006. 57William R Scott, Financial Accounting Theory, Edisi 6 (New Jersey: Prentice

Hall, 2012), 15-17

44

Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik dan Ikatan Akuntansi

Indonesia.

Pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan melebihi yang

diwajibkan. Pengungkapan sukarela yang termasuk dalam kategori ini adalah

pengungkapan tambahan terkait informasi keuangan perusahaan dan pengungkapan

tanggung jawab sosial perusahaan yang seringkali diungkapkan dalam bentuk

laporan tahunan (annual report). Menurut Sudarmadji dan Sularto pengungkapan

sukarela merupakan berapa banyak informasi yang diungkapkan suatu perusahaan

melebihi yang diwajibkan oleh Bapepam dan LK. Pengungkapan sukarela

merupakan cara untuk mewujudkan transparansi dalam bidang bisnis. Selain itu,

pengungkapan sukarela dapat meningkatkan kepercayaan investor dan pengguna

laporan keuangan lainnya.58 Dengan kata lain, pengungkapan suka rela yang lebih

luas merupakan salah satu cara bagi manajer untuk meningkatkan kredibilitas

perusahaan.

Meek et.al dalam Benardi memaparkan bahwa pengungkapan sukarela

merupakan pilihan bebas bagi manajemen perusahaan untuk memberikan informasi

keuangan dan informasi non-keuangan yang dianggap relevan untuk pengambilan

keputusan oleh para pengguna laporan keuangan.59

Berdasarkan dua macam bentuk pengungkapan laporan tersebut, yang

sangat penting untuk diperhatikan adalah ketika pengungkapan yang sifatnya

sukarela (voluntary disclosure). Karena tidak ada yang memonitor dan tidak ada

standar yang jelas berapa banyak perusahaan mengeluarkan dana untuk dana

kepentingan lain. Oleh karena itu, sepatutnya informasi keuangan yang diberikan

dan pelaksanaan tanggung jawab sosial kiranya harus diberikan pengungkapan

secara memadai selain pengungkapan minimum yang diwajibkan agar dapat

dipahami oleh para pengguna.

Dalam perspektif ekonomi, menurut Verrecchia, bahwa perusahaan akan

mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut akan meningkatkan nilai

perusahaan.60 Berbeda dengan Islam tidak hanya melihat pada peningkatan nilai

perusahaan akan tetapi perusahaan akan menghasilkan pengungkapan yang benar,

adil, dan transparan apabila memiliki akuntabilitas, yakni akuntabilitas terhadap

Allah SWT. Konsep dasar akuntabilitas Islam ini percaya bahwa seluruh sumber

daya yang telah disediakan dan diciptakan adalah untuk kemaslahatan setiap

58Ardi Murdoko Sudarmadji dan Lana Sularto, “Pengaruh Ukuran Perusahaan,

Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan terhadap Luas Voluntary

Disclosure Laporan Keuangan Tahunan,” Proceeding PESAT, Vol. 2 (2007): 53-61. 59Meliana Benardi, dkk., “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan

dan Implikasinya terhadap Asimetri Informasi,” Jurnal Symposium Nasional Akuntasi (SNA) XII (Palembang, 2009).

60 Verrecchia, R. E. “Discretionary Disclosure,” Journal of Accounting and Economics, Vol. 5 No. 3 (1983): 179-194.

45

manusia. Oleh karena itu, pengungkapan fakta keuangan harus berisi informasi

yang benar, akurat, dan tersedia bebas untuk para pengguna laporan keuangan.61

Akhtaruddin mengungkapan bahwa permintaan terhadap penerbitan

informasi keuangan perusahaan di seluruh dunia terus meningkat. Hal ini karena

para pengguna informasi keuangan perusahaan mulai menyadari akan pentingnya

informasi tersebut. Namun, biasanya pengungkapan yang disajikan tidak

memenuhi kebutuhan para pengguna informasi keuangan perusahaan karena

manajer cenderung mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri. Hal ini

menimbulkan kesenjangan pengungkapan (disclosure gap) atau lebih dikenal

dengan principal-agent problems.62

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengungkapan wajib

merupakan pengungkapan yang timbul sebagai konsekuensi dari keberadaan

perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Sedangkan, pengungkapan

sukarela merupakan pengungkapan yang murni timbul dari hasil analisis cost and benefit perusahaan yang bersangkutan. Pengungkapan yang lebih banyak

membutuhkan biaya dan sangat penting untuk diperhatikan adalah pengungkapan

yang sifatnya sukarela. Oleh karena itu, wajar apabila perusahaan melakukan

pengungkapan sukarela yang bentuk dan isinya berbeda, karena tidak ada yang

memonitor dan tidak ada standar yang jelas berapa banyak perusahaan

mengeluarkan dana untuk kepentingan di luar perusahaan.

Terkait dengan pengertian tanggung jawab sosial atau lebih dikenal dengan

istilah Corporate Social Responsibility (CSR, hingga saat ini belum ada kesamaan

pemahaman pengertian dan belum ada upaya melacak perkembangan pengertian

tersebut secara universal.63 Masing-masing pihak memiliki definisi dan interpretasi

yang berbeda. Perbedaan ini terjadi sesungguhnya merupakan cerminan dari

perbedaan latar belakang serta pola pikir para praktisi dan lembaga/organisasi yang

mendefinisikannya, walaupun secara garis besar dapat terlihat bahwa mereka telah

memiliki benang merah yang sama.

Terdapat banyak definisi, antara lain pengertian secara formal mengenai

CSR diperoleh dari hasil dialog internasional bertajuk “The World Business Council for Sustainable Development” (WBCSD) Stakeholder Dialogue on CSR” di Netherlands pada 6-8 September, sebagai lembaga internasional yang

beranggotakan perusahaan multinasional 1998. Definisi CSR menurut WBCSD

adalah “Corporate social responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the work force and their families as well as of the local

61Siti Amerieska, dkk., “Akuntabilitas pada Baitul Maal Wat Tamwil Ditinjau dari

Perspektif Shari’ate Enterprise Theory,” Jurnal Ekonomi & Keuangan Islam, Vol. 2 No. 1

(2012: 27-39. 62M. Akhtaruddin, “Corporate Mandatory Disclosure Practicies in Bangladesh,”

The International Journal of Accounting, Vol. 40 No. 4 (2005): 399-422. 63 Garriga and Mele, “Corporate Sosial Responsibility Theories: Mapping the

Territory” Journal of Business Ethics, Vol. 53 (2004): 51-71.

46

community and society at large,” CSR merupakan suatu bentuk komitmen bisnis

berkelanjutan dari dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi

dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas

masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas.64

Pengertian CSR juga dikemukakan oleh World Bank (2002), “CSR is committment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of live, in ways that are both good for business and good for development,” CSR merupakan suatu komitmen bisnis untuk

berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan yang dapat bekerja

dengan karyawan dan perwakilan mereka, masyarakat sekitar dan masyarakat yang

lebih luas untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara yang baik bagi bisnis

maupun pengembangan.65

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa satu kata kunci penting

yakni “komitmen” perusahaan sebagai pelaku bisnis untuk dapat berprilaku etis

dan turut berkontribusi dalam membangun perekonomian negara. Ungkapan serupa

disampaikan oleh Kotler and Lee, menurutnya pengertian CSR yang dikembangkan

saat ini adalah pengembangan CSR dari Bowen yang mendasari CSR sebagai

komitmen untuk memperbaiki kesejahteraan komunitas melalui praktik-praktik

kebijakan bisnis dengan keterlibatan dari sumber-sumber perusahaan.66

Lain lagi halnya menurut Business in the Community (BITC) dalam

Grosser dan Moon (2005), pelaporan CSR seharusnya tidak hanya berisi komitmen,

tetapi juga berisi elaborasi antara komitmen tersebut dengan hasil yang dicapai.

Pelaporan CSR dapat memperluas praktik bisnis karena perusahaan mengakui

manfaat pelaporan tersebut lebih dari sekedar reputasi yang akan diperoleh apabila

dialog dengan para pemangku kepentingan dilakukan secara lebih terbuka dan

seimbang. Dengan kata lain, pelaporan CSR memiliki peran penting dalam

menentukan kesuksesan suatu perusahaan.

Ungkapan serupa menurut ISO 26000, CSR adalah bentuk kepedulian

sosial perusahaan yang saat ini menjadi aspek penting dalam rangka meningkatkan

kinerja perusahaan. Kontribusi perusahaan terhadap komunitas merupakan salah

satu bentuk keterlibatan perusahaan dalam mengoptimalkan di bidang sosial,

ekonomi, dan lingkungan sehingga dapat mewujudkan pembangunan secara

64The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) merupakan

lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120

perusahaan multinasional yang berasal dari 30 negara. Lihat WBCSD, CSR: Meeting Changing Expectations (World Business Council on Sustainable Development, 1998): 3;

M. Rahman Nurdizal, dkk., Panduan Lengkap Perencanaan CSR (Depok: Penebar Swadaya,

2011), 20. 65 Fox, Ward and Howard (2002), 1, dalam Agnes Sunartiningsih, Strategi

Pemberdayaan Masyarakat (Aditya Media-Fisip UGM, 2004), 217. 66Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility: Doing The Most

Good foor Your Company and Your Cause (Jhon Wiley & Sons Inc, New Jersey, 2005), 1.

47

berkelajutan. Di samping itu harus sejalan dengan hukum yang berlaku dan

terintegrasi dengan seluruh komponen organisai.67

Untuk konteks Indonesia, Bisnis Watch Indonesia mendefinisikan CSR

sebagai komitmen perusahaan pada perilaku etis. Etis dalam artian berlaku adil

(fair) dan bertanggung jawab pada stakeholders. Dengan demikian CSR dampak

mengurangi dampak negatif pada masyarakat dan mengupayakan dampak positif

pada masyarakat.

Berdasarkan dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

pengertian CSR menjadi sangat beragam. Intinya, CSR merupakan tanggung jawab

bisnis secara etis kepada pemangku kepentingan. Pemikiran ini dilandasi bahwa

perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban kepada pemegang saham

(shareholder) tetapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak lain yang

berkepentingan (stakeholder) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban

terhadap pemegang saham.68

Oleh karena itu, kesadaran untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial

merupakan suatu keharusan bagi perusahaan, bahkan menjadi tren global seiring

dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk

yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah

sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. 69 Tren di bidang pasar modal

misalnya, penerapan indeks yang memasukkan ketegori saham-saham yang telah

mempraktikkan tanggung jawab sosial. Misalnya, New York Stock Exchange

memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI).70

Dengan demikian, bila ditelaah CSR berhubungan erat dengan

pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di mana bahwa suatu

perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya

tidak semata berdasarkan faktor keuntungan (profitability) perusahaan semata,

misalnya deviden melainkan juga harus mengedepankan bisnis yang berkelanjutan

(sustainability).

67 International Organization for Standarization (ISO) sebagai induk organisasi

standarisasi internasional, berinisatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim

yang membidani lahirnya panduan standarisasi CSR yang diberi nama ISO 26000.

http/www.iso.org/iso/socialresbonsibility.pdf. (diakses 5 Agustus 2017). 68 Rika Nurlela dan Islahuddin, “Pengaruh Corporate Social Responsibility

Terhadap Nilai Perusahaan dengan Persentase Kepemilikan Managemen Sebagai Variabel

Modetaring (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta),”

Simposium Nasional Akuntansi XI. (Juli 2008). 69 Elsa Rumiris Monika dan Dwi Hartanti, “Analisis Hubungan Value Based

Management dengan Corporate Social Responsibility dalam Iklim Bisnis Indonesia (Studi

Kasus Perusahaan SWA 100 2006)”, Simposium Nasional Akuntansi XI, (Juli 2008). 70 Mas Ahmad Daniri, “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”,

http://development.bumn.go.id (diakses 13 Oktober 2017).

48

2. Teori Konsep Tanggung Jawab Sosial

Teori yang mengatakan bahwa kewajiban perusahaan tidak hanya kepada

shareholder tetapi juga terhadap stakeholeders sehingga muncul beberapa teori

yang menjadi dasar konsep CSR, antara lain meliputi: pertama, teori legitimasi.

Sebuah teori yang menjelaskan bahwa perusahaan akan secara sukarela

melaporkan aktivitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang

diharapkan komunitas. Teori legitimasi didasarkan pada gagasan terdapat kontrak

sosial antara organisasi dan masyarakat. Kontrak sosial dapat didefinisikan

sebagai ekspektasi eksplisit dan implisit dari masyarakat terkait bagaimana

perusahaan seharusnya beroperasi.71

Kedua, teori stakeholder, 72 menjelaskan bahwa perusahaan bukanlah

entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun memberikan

manfaat bagi stakeholder atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam

perusahaan. Dengan demikian, keberadaan perusahaan sangat dipengaruhi oleh

dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut.

Teori ini menunjukkan bahwa kebutuhan pemegang saham tidak dapat

dipenuhi tanpa memuaskan kebutuhan pemangku kepentingan lainnya. Ketika

perusahaan berhasil melayani para pemegang saham, hal itu mungkin pengaruh

dari stakeholder lain. Oleh karena itu, manager diharapkan dapat melakukan

aktivitas-aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholders, dan melaporkan

aktivitas-aktivitas tersebut. Menurut Freeman, stakeholder sebagai redistribute benefits to stakeholders, dan redistribute important decision-making power to stakeholders.73 Artinya, stakeholders pada dasarnya dapat mengendalikan atau

memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi

yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh

besar kecilnya kekuatan yang mereka miliki atas sumber tersebut. Kekuatan

tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi

yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh,

kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi

konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan.74 Oleh karena itu,

ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi

perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan

keinginan stakeholders.

71Deegan, Craig. Financial Accounting Theory, (McGraw-Hill: Australia Chapter

1), 253. 72Teori ini diperkenalkan oleh Freeman pada pertengahan 1980-an. Dalam teori ini,

Freeman mendefiniskan stakeholders yaitu, “any group or individual who can affect or is

affected, by the achievement of the organization’s objective”. Donald Nurnberg, “The

Ethic of Corporate Govermance”, London Metropolitan University, (Agustus 2016). 73R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach. (New

York: Cambridge University Press, 2010). 74 Kariyoto, “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam

Perspektif Teoritis,” Jurnal Tema, Vol. 10, No. 1 (2011): 24-38.

49

Ketiga, teori keagenan (agency theory), yaitu berkaitan dengan hubungan

antara prinsipal (pemegang saham) dan agen (manajemen). Prinsipal (pemegang

saham) merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak

atas nama prinsipal, sedangkan agen (manajemen) merupakan pihak yang diberi

amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan.75

Teori keagenan yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1997)

menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai kepentingan yang

berbeda.76 Karena kepentingan yang berbeda sering muncul konflik kepentingan

antara pemegang saham/pemilik (principal) dengan manajemen (agent).77

Konflik kepentingan antara pemegang saham/pemilik (principal) dengan

manajemen (agen) terjadi karena ketidakseimbangan informasi yang dimilki oleh

principal dibandingkan dengan informasi perusahaan yang dimiliki oleh agen.

Perbedaan informasi yang dimilki oleh manajer dan pemilik (asimetri informasi) seringkali lebih menguntungkan pihak manajer karena mengetahui kegiatan

perusahaan sehari-hari secara mendetail. Pemisahaan tanpa disertai pengawsan

yang baik dapat memberikan keleluasan bagi pengelola perusahaan untuk

memaksimalkan kepentingannya sendiri melalui pembebanan biaya yang

ditanggung oleh pemilik perusahaan.78 konflik kepentingan ini yang lebih dikenal

dengan istilah agency problem.

Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Bambang menyatakan bahwa

teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia, yaitu 1) manusia pada

umumnya mementingkan diri sendiri (self interest) 2) manusia memiliki daya

pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan 3)

manusia selalu menghindari resiko (risk averse).79 Berdasarkan asumsi sifat dasar

manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu

mengutamakan kepentingan pribadinya. Manajer sebagai pengelola perusahaan

lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang

akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban

memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang

diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti

75Lex Donaldson and James H. Davis “Stewardship Theory or Agency Theory:

CEO Governance and Shareholder Returns”, Australian Journal of Management, Vol. 16,

No. 1, (June 1991): 49-65. 76M.C. Jensen and W.H. Meckling, “Theory of the Firm: Managerial behavior,

agency costs, and ownership structure,” Journal of Financial Economics, Vol 3, No. 4

(1976): 305–360. 77Sunarto, “Teori Kegenan dan Manajemen Laba”. Kajian Akuntansi, Vol. 1 No. 1

(Pebruari 2009): 13-28. 78Herry dan Hamin, “Tingkat Kepemilikan Manajerial dan Nilai Perusahaan: Bukti

Empiris pada Perusahaan Publik di Indonesia”, Jurnal Riset & Bisnis, Vol. 1, No. 2 (Desember 2006): 135-151.

79 Muh. Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka, “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan (Studi pada Perusahaan Go Public Sektor Manufaktur)”, Simposium Nasional Akuntansi X, (Juli 2007).

50

laporan keuangan. Laporan keungan tersebut penting bagi para pengguna

ensternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling

besar ketidakpastiannya.

Dengan demikian, doktrin CSR merupakan salah satu aspek penting dari

akuntabilitas suatu perusahaan, sehingga perusahaan tidak hanya mempunyai

kewajiban-kewajiban ekonomi dan legal hanya kepada pemegang saham

(shareholder) saja, tetapi juga terhadap pihak lain yang berkepentingan

(stakeholder), seperti pelanggan (customer), pegawai, komunitas, investor,

pemerintah, suplier bahkan juga kompetitor. Di samping itu, mempertimbangkan

dampak sosial, etika, dan lingkungan yang lebih luas di samping kekhawatiran

keuangan. Namun terjadi banyak perbedaan bentuk laporan dalam mewujudkan

tanggung jawab sosial tersebut. Perbedaan tidak hanya sebatas pada nama dan

definisinya, namun juga aplikasinya. Baik laporan CSR menurut ekonomi

konvensional begitu juga dalam ekonomi Islam.

3. Pelaporan CSR pada Bisnis Konvensional

Terdapat banyak bentuk pelaporan CSR sebagai bentuk pengungkapan

tanggung jawab sosial perusahaan yang berkembang dewasa ini. Pelaporan CSR

merupakan salah satu aspek penting dari akuntabilitas perusahaan terhadap sosial

dan lingkungan. Hal ini selaras dengan semakin meluasnya bentuk-bentuk

akuntansi sosial sejak tahun 1970-an, di pasar modal misalnya, New York Stock

Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI), London Stock

Exchange memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial

Times Stock Exchange (FTSE) memiliki FTSE4 Good. Inisiatif ini bahkan mulai

diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock Exchange dan

Singapore Stock Exchange.80

Dalam 20 tahun terakhir, Socially Responsible Investment (SRI) semakin

menarik minat investor individu dan swasta, serta akademisi.81 SRI sendiri secara

formal sudah lama dipraktikkan oleh investor-investor religius hampir 100 tahun

yang lalu, di mana mereka menghindar dari menginvestasikan dananya pada

perusahaan yang menghasilkan alkohol, rokok, tembakau, dan judi. 82 Menurut

80Soraya Fitria dan Dwi Hartanti, “Studi Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan

Global Reporting Initiative Index Dan Islamic Social Reporting Index”, Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto, (2010): 2.

81Elias Erragraguy, Christophe Revelli, “Should Islamic investors consider SRI

criteria in their investment strategies?” Elsevier, Finance Research Letters 14 (2015): 11-

19. 82 Socially Responsible Investment (SRI) telah mengalami perkembangan yang

cepat di Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Berawal pada tahun 1920 di Inggris ketika

Gereja Methodist mulai menghindar dari ‘sinful stocks’ dalam kebijakan investasi. Pada

tahun 1960, gerakan keuangan-moralis ini mulai menyebar ke seluruh Eropa, Gereja dan

kelompok agama berusaha untuk menempatkan investasi keuangan mereka sejalan dengan

pandangan dan prinsip-prinsip mereka. Pada 1971, di dorong oleh United Methodist Church

dan respons kekhawatiran etis tentang persenjataan, the Pax World Fund lahir. Kemudian,

51

Peter D. Kinder, gerakan ini lahir pada tahun 1920 di Inggris, ketika Gereja

Methodist mulai menghindarkan diri dari keuntungan “sinful stocks” (saham

berdosa) terdiri dari tembakau dan alkohol dalam kebijakan investasi.83

Banyak penulis telah mencoba untuk membuat sebuah definisi yang lebih

komprehensif, namun belum ada yang konsensus secara tegas. Antara lain, menurut

Cowton mendefinisikan Socially Responsible Investments (SRI) atau ethical investment sebagai orang-orang yang menggunakan kriteria etika dan sosial dalam

pemilihan dan pengelolaan portofolio investasi.84

Di samping itu, istilah SRI dan ethical investment sering digunakan secara

bergantian, namun ada yang membedakan kedua istilah tersebut. Ethical investment merupakan konsep yang reaktif dengan ruang lingkup lebih sempit

yang biasanya memerlukan screening negatif. SRI, di sisi lain, termasuk konsep

proaktif yang akan mencari perusahaan yang menjunjung tinggi praktek yang baik,

dan berusaha untuk mengubah perilaku perusahaan melalui keterlibatan positif

dengan manajemen. Dengan kata lain, SRI dipandang sebagai istilah umum yang

lebih luas yang mencakup investasi etis, sosial, dan lingkungan.85

Definisi lain datang dari the European Social Investment Forum (EuroSIF)

menyatakan bahwa SRI menggabungkan tujuan keuangan investor dengan

keprihatinan mereka tentang permasalahan sosial, lingkungan, dan etika. 86 Di

samping itu, memperhatikan tata kelola perusahaan, sehingga menjadi lingkungan,

sosial, dan tata kelola yang baik. Dengan demikian, menghasilkan kinerja keuangan

sesuai dengan dikemukakan oleh John Eklington (1997), terkenal dengan The Triple Botton Line yang terdapat dalam buku Cannibalts with Forks: The Triple Botton Line of Twentieth Century Business. Dalam buku tersebut, ia menjelaskan

bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada

single botton line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan

dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus

berpijak pada triple botton lines. Di sini botton line lainnya, selain finansial adalah

sosial dan lingkungan. Umumnya dikenal sebagai "three P’s rule: people, planet and profit”.87

pada tahun 1984, Friends Provident sebuah perusahaan asuransi yang didirikan oleh The

Society of Friends meluncurkan the Friend Provident Stewardship. 83Peter D. Kinder, Socially Responsible Investing: An Evolving Concept in a

Changing World. KLD Research & Analytics, (2005), 11-12. 84Cowton, C, “the Development of Ethical Investment Product,” in A.R. Prindl

and B. Prodan (ed.), Ethical Confilict in Finance (Blackwell: Oxford, 1994). 85Charles Scanlan (ed.), “Socially Responsible Investment: A Guide for Pension

Schemes and Charities (London: Key Haven Publication, 2005). 86 EuroSIF, “European Sri Study 2006,” European Social Investment Forum,

(2006):1. 87J. Elkington. Cannibal With Work: The Triple Bottom Line in 21st Century

Business, Gabriola Island (BS: New Society Publisher. 1997), 7.

52

Gambar 2.2

Tiga Dimensi Berkelanjutan

Sumber: Dyllick dan Hockerts (2002).

Berdasarkan Gambar 2.2 menunjukkan bahwa terdapat tiga dimensi utama

dalam pembangungan berkelanjutan (sustainable), yakni ekonomi, ekologi, dan

sosial. Dengan demikian, kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai

perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Oleh karena itu, dimensi

ekonomi, ekologi, dan sosial harus dipenuhi secara simultan untuk mencapai

keberlanjutan jangka panjang karena ketiga dimensi tersebut saling berhubungan

dan saling mempengaruhi satu sama lain.88

Ungkapan serupa juga disampaikan oleh the North American Social

Investment Forum hanya sedikit ada perberbedaan, yang menyatakan bahwa

socially responsible investments (SRI) merupakan proses investasi yang

mempertimbangkan konsekuensi sosial dan lingkungan dari investasi, baik positif

maupun negatif, dalam konteks analisis keuangan yang lebih ketat.89

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, kesimpulannya bahwa SRI tidak

hanya mempertimbangkan aspek keuangan investor saja akan tetapi juga harus

memperhatikan permasalahan sosial, lingkungan, dan etika. Investasi tidak akan

berjalan dengan baik tanpa memperhatikan tiga aspek tersebut. Bahkan, investor

harus mengorbankan beberapa bagian dari kinerja keuangan untuk mencapai tujuan

sosial yang dianggapnya lebih penting.

Luc Renneboog dkk., mengungkapkan bahwa Social Responsible Investment (SRI) sering juga disebut Ethical Investment atau Sustainable Investment,90 belakangan terus berkembang pesat di seluruh dunia, mencerminkan

88 Thomas Dyllick and Kai Hockerts, “Beyond The Business for Corporate

Sustainability,” John Wiley & Sons, Ltd and ERP Environment (2002): 130-141.

DOI:10.1002/bse.323. 89The Social Investment Forum, Report on Responsible Investing Trends in The

US (2005), www. Socialinvest.org (diakses 19 Maret 2016). 90Konsep dasar SRI bercita-cita untuk memperhatikan pentingnya isu-isu sosial,

etika, dan lingkungan dalam melakukan keputusan investasi. Namun, tidak semua sepakat

Economic

Sustainability

Environmental

Sustainability Social

Sustainability

53

meningkatnya kesadaran investor mengintegrasikan tata kelola sosial, lingkungan,

dan pertimbangan etis dalam pengambilan keputusan investasi saham pada

perusahaan.91 Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan investor agar

berkesempatan memperoleh return investasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip

yang diyakini dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka miliki.92

Menurut Ethical Investment Association Australian investasi yang

bertanggung jawab adalah sebuah pendekatan untuk investasi yang secara jelas

mengakui relevansi investor terhadap lingkungan, sosial, tata kelola (ESG), dan

kesehatan jangka panjang serta stabilitas pasar secara keseluruhan. Pendapat

senada diungkapkan oleh Social Investment Forum, SRI sebagai motivasi untuk

“Build a better tomorrow while earning competitive return today. 93 Dengan

demikian melakukan investasi tidak hanya bertujuan untuk maksimisasi

kesejahteraan pemilik modal, tetapi juga memastikan bahwa perusahaan tersebut

tetap berada dalam domain investasi yang tidak merugikan pihak lain.

SRI merupakan investasi yang berkembang sangat pesat dalam beberapa

tahun terakhir. Menurut laporan Social Investment Forum ditemukan bahwa Di

Eropa aset SRI mencapai hampir 1,15 milyar euro, yang terdiri dari 10-15% dari

keseluruhan aset yang dikelola. Terbukti bahwa 94% dari aset tersebut milik

investor institusi, dana pensiun dan gereja, misalnya Gereja Methodist, Quaker,

Presbiterian dan Anglikan. Di Australia, dana meningkat 32% dalam setahun yaitu

dari A$10,5 miliar pada 2001 menjadi A$13,9 miliar pada 2002. Di Amerika

Serikat pada 2005 tercatat dana SRI mencapai US$2,29 Triliun SRI juga semakin

dengan konsep ini, banyak kritik dari berbagai kalangan terhadap konsep ini. Hal ini selain

belum konsensus di dalam dunia akademik tentang definisi yang digunakan juga bahwa

bahasa yang digunakan untuk menggambarkan dana SRI, termasuk istilah 'SRI' itu sendiri

belum jelas. Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan filosofi investasi ini,

misalnya social investment, mission-based investing, green investment, dan masih banyak

lagi istilah yang digunakan, tetapi dua istilah yang paling populer dan sering digunakan

adalah ethical investment dan socially respobsible investment (SRI). Perbedaannya Istilah

ethical investment banyak digunakan di Inggris, Kanada dan Australia sementara di

Amerika lebih banyak menggunakan istilah Socially Resposible Intestment. Lebih lengkap

lihat Paul Hawken, Socially Responsible Investing (California: Natural Capital, 2004);

Severyan T. Bruyn, The Field of Social Investment (Cambridge: Cambridge University

Press, 1987); Steven D. Lydenberg & Peter D. Kinder, Mission-Based Investing (Boston

Mass: KLD, 1998), dan R. Hinkel., Kraus A., & Zechner, J., “The Effect of Green

Investment on Corporate Behaviour,” Journal of Financial and Quantitative Analysis, 36

(2001): 431; Hellsten, S. and C. Mallin, “Are Ethical or Socially Responsible Investments

Socially Responsible?”, Journal of Business Ethics, 66 (2006): 396-406. 91Luc Renneboog, Jenke Ter Horst, and Chendi Zhang b, “Socially responsible

investments: Institutional aspects, performance, and investor behavior,” Journal of Banking & Finance 32 (2008): 1723–1742.

92Iggi H. Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 86.

93Social Investment Forum, Report on Responsible Investing Trends in US, SRI, (2007), www. Socialinvest.org (diakses 25 Maret 2016).

54

penting di Amerika Serikat pada 2005, di mana sekitar 2,29 miliar dolar, atau 9,4%

dari total aset yang dikelola.94

Pada awalnya, untuk mengetahui perusahaan yang akan dilibatkan dalam

SRI hanya melalui proses screening negatif atau positif terhadap kriteria tertentu

yang telah ditetapkan, kemudian ditetapkan mana yang bisa menerima dana SRI

dan mana yang tidak. Namun, akhir-akhir ini pelibatan berkembang, manajer

investasi membuat kontak yang aktif dengan perusahaan untuk meningkatkan

perilaku mereka sehubungan dengan isu etika, sosial, dan lingkungan. Perusahaan

yang akan menerima SRI perlu menjaga keterbukaan (transparency), laporan

tahunan harus menjelaskan secara rinci hal-hal seperti sumber-sumber material,

pengelolaan SDM, di samping tentunya keuangan perusahaan. Jadi, SRI

mempertimbangkan baik kebutuhan finansial investor maupun dampak investasi

tadi pada masyarakat.95

Pada umumnya SRI berkaitan dengan investasi dalam saham suatu

perusahaan. Investor yang bertanggung jawab secara sosial, harus merasa nyaman

dengan bagaimana perusahaan tadi dikelola sebelum ia membeli sahamnya.

Investor harus yakin terhadap masalah ini baik jika ia membeli saham secara

langsung maupun melalui fund manager. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh

Inggris oleh Asosiasi perusahaan penjamin (The Association of British Insurrers)

mengeluarkan panduan yang membawa tanggung jawab sosial ke dalam pemikiran

dan praktik mainstream investasi. Sejak juli 2000, dana pensiun mengelurkan

pernyataan tentang prinsip-prinsip investasi yang menyatakan sejauh mana

pertimbangan etika, sosial, dan lingkungan diperhatikan dalam proses investasi.

Dalam perkembangannya, SRI tidak hanya membatasi diri dengan tidak

menanamkan modalnya pada perusahaan-perusahaan yang menghasilkan rokok,

alkohol, dan judi, melainkan melangkah lebih jauh dengan memasukkan 4 aspek:

Pertama, Social Research. Aspek ini diperlukan untuk mencari perusahaan-

perusahaan dengan manajemen yang baik dan risiko rendah. Dalam screening

terhadap perusahaan, menurut Kerr & Zubevich hal-hal yang mereka lakukan

adalah:

1. Negative Screens. Kriteria seleksi yang digunakan mengharuskan fund manager mengeliminasi jenis-jenis aktivitas atau instrumen tertentu. Misalnya

negative screen akan mencoret individu pada perusahaan yang berkaitan

dengan uranium, pembalakan hutan, dan sebagainya.

2. Positive Screens. Dengan pendekatan ini, fund manager akan memberikan

preferensi pada investasi atau aktivitas tertentu yang dinilai bertanggung

94The Social Investment Forum, Report on Responsible Investing Trends in The

US (2005), www. Socialinvest.org (diakses 25 Maret 2016). 95Jusmaliani, “Investasi yang Islami: Investasi dengan Etika,” dalam Jusmaliani,

Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2008), 62-68.

55

jawab secara sosial dan lingkungan. Misalnya pada perusahaan yang

menghasilkan energi hijau yang terbarukan.

3. Best of Sector Screens. Semua perusahaan dibuat peringkatan dengan kriteria

sosial dan lingkungan. Kemudian investasi dilakukan hanya pada perusahaan-

perusahaann yang ratingnya tinggi pada setiap sektor industri.

Selain ketiga cara melakukan screening ini, ada pula yang menggunakan

keterlibatan konstruktif (constructive engagement). Dengan pendekatan ini, isu-isu

sosial dan lingkungan tertentu ditentukan oleh fund manager. Jika investasi sudah

dilakukan pada suatu perusahaan, namun kinerja perusahaan tadi ketika diukur

dengan isu yang berkembang buruk, maka fund manager akan mendorong

perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya.

Kedua, Shareholder Advocacy. Dalam hal ini subyektifitas nilai-nilai

individu perlu dipetimbangkan, karena apa yang dianggap etis oleh individu yang

satu belum tentu juga dianggap etis oleh yang lainnya. Misalnya pendanaan untuk

perusahaan yang mendukung aborsi, produksi senjata, hak azasi manusia, produksi

kertas yang mencemari lingkungan dan lain sebagainya. Shareholder Advocacy

bentuknya beragam, sejak dari hubungan telepon, menyurati, sampai dengan

mengisi formulir resolusi pemegang saham agar perusahaan melakukan tindakan

tertentu.

Ketiga, Social Venture Capital. Menempatkan dana pada tahap awal di

perusahaan-peruahaan (misal di perusahaan yang bergerak di bidang energi

alternatif) adalah cara yang menguntungkan dalam memenuhi kebutuhan

masyarakat sebelum saham-saham tadi diperdagangkan pada publik. Investasi di

awal ini akan menjamin perusahaan dengan pendanaan yang dibutuhkan dan sering

memberi keuntungan yang sehat bagi pemilik saham.

Keempat, Community Investing. Menyalurkan kredit yang terjangkau pada

masyarakat yang tidak dapat dilayani oleh pasar kredit. Ini akan membantu dalam

menciptakan lapangan kerja, membangun rumah ataupun mendanai fasilitas

masyarakat. Investor sering siap menerima hasil investasi yang lebih rendah untuk

mendorong lebih banyak investasi yang akan membantu masyarakat.

Berbagai kebijakan yang telah ditetapkan dalam SRI dengan konsep dan

berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan, agar manfaat yang akan

diperoleh tidak hanya sebatas investasi demi mendapat keuntungan materi, namun

juga pertimbangan sosial dan lingkungan. Namun, pada praktiknya tidak semua

pihak sepakat dan mendukung konsep SRI ini. Di tengah kecenderungan

pertumbuhannya yang pesat tidak terlepas dari berbagai kritikan, di antaranya

datang dari kelompok Investment-U. Mengikuti pernyataan Friedman, mengatakan

bahwa dalam ekonomi neo-klasik rasionalitas ekonomi adalah satu-satunya bentuk

rasionalitas yang bertujuan untuk membuat uang. Di bidang investasi,

mensyaratkan bahwa satu-satunya fokus investor yang rasional dimaksud adalah

untuk memaksimalkan pengembalian keuangan atau nilai sekarang bersih dari

investasi yang dilakukan. Ia menegaskan SRI tidak lebih dari sekedar smart money karena bagaimanapun tanggung jawab sosial hanyalah produk sampingan suatu

56

usaha yang berhasil dan bukan prinsip untuk memotivasi pemodal. Jika ini

merupakan tujuan utama dari usaha maka haruslah ada cara untuk mengukurnya.96

Pendapat kelompok ini berdasarkan fakta studi yang dilakukan Wharton

School pada tahun 2003 yang menyimpulkan bahwa investor SRI menderita

kerugian 3,5 % points per tahun. Selanjutnya investor SRI tertinggal dari inverstor

non-SRI dengan 18 % per tahun. Investasi USS 100,000 untuk periode 20 tahun

pada SRI hanya akan menghasilkan 5,5% pertahun sedangkan non-SRI 8% per

tahun yang jika dikonversi adalah kehilangan laba sejumlah USS 174,000

(Investment U).

Pendapat senada diungkapkan Rothchild, bahwa membatasi pilihan

kesempatan investasi akan memperburuk kinerja portofolio investor. Ia

mengungkapkan Limitating choices based on non-financial criteria is detrimental to financial gains of portofolio performance. Hal tersebut dikarenakan beberapa

ethical fund yang ditelitinya secara rata-rata underperform (lebih jelek)

dibandingkan S&P 500. Di samping itu, Grossman dan Sharpe beragumentasi

bahwa portofolio SRI juga akan kurang likuid.97

Ungkapan Milton Friedman dan beberapa pendapat serupa lainnya,

tentunya tidak semuanya sejalan dan sepakat. Beberapa dekade terakhir adanya

pemikiran baru di kalangan ekonom dan filsuf moral, sepakat pentingnya

memasukkan nilai etika dalam ekonomi. Meskipun masih mempertahankan

perspektif utilitarian. Amartya Sen misalnya, menyoroti pentingnya dalam

investasi untuk mengenali motivasi individu, selain kepentingan pribadi juga

perhatian yang lebih besar dan lebih eksplisit untuk pertimbangan etis yang

membentuk perilaku manusia.98

Berdasarkan beberapa studi dan penelitian yang telah dilakukan jauh

sebelumnya, misalnya ketika diluncurkannya Domini 400 Social Index pada tangal

1 May 1990, terdiri dari 250 saham dari S&P 500 dan 150 saham lain di luar S&P

500 yang dianggap sangat bertanggung jawab secara sosial. Index komitmen untuk

mengeluarkan segala investasi yang di dalamnya terdapat kegiatan alkohol,

tembakau, perjudian, nuklir, dan persenjataan. Berdasarkan laporan bulan Mei

1998, diperoleh temuan menarik yang menunjukkan bahwa selama lima tahun

terakhir sampai 30 April 1998, annualized return Domini 400 Social Index ternyata

lebih tinggi dari S&P 500. Social index tercatat menghasilkan 24,3% annulaized return, dibandingkan 23.23% yang dihasilkan S&P 500.99

Penelitian Richard Hudson menunjukkan bahwa 70% kalangan investor

Dow Jones melakukan investasi pada Investment Ethics sebagai diversifikasi

96 Milton Friedman, “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its

Profit,” The New York Times Magazine, (1970). 97Iggi H. Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek

Manajemen Portofolio Syariah, 89. 98Amartya Sen, On Ethics and Economics (Oxford: Brasil Blackwell, 1987). 99Iggi H. Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek

Manajemen Portofolio Syariah, 87.

57

portofolio investasi mereka. Motivasi investor tersebut beragam, para investor

menilai bahwa IE relatif memiliki risiko yang lebih kecil dibanding saham biasa

karena telah melewati seleksi.100 Alasan lain menunjukkan bahwa investasi pada IE

merupakan bagian dalam keikutsertaan mereka untuk berinvestasi yang didukung

oleh masyarakat luas. Ketertarikan investor pada IE menunjukkan bahwa IE dapat

memberikan tingkat keuntungan finansial yang kompetitif dan keuntungan

nonfinansial. Keuntungan nonfinansial yang diperoleh adalah investasi yang

didukung masyarakat luas untuk menuju perubahan dunia yang lebih baik.101

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, setidaknya memberikan

sanggahan terhadap anggapan yang menolak konsep SRI dan beberapa studi yang

mengatakan bahwa investasi tanpa mempertimbangkan sosial dan lingkungan lebih

unggul dibandingkan dengan investasi yang lain.

4. Pelaporan CSR Perspektif Islam: Islamic Social Reporting (ISR)

Bagian kedua ini berusaha untuk menjelaskan pengungkapan tanggung

jawab sosial dari perspektif Islam. Konsep CSR tidak hanya berkembang pada

ekonomi konvensional, tetapi juga berkembang dalam ekonomi Islam. Bahkan

konsep tanggung jawab sosial dalam Islam bukanlah sesuatu yang baru, jauh

sebelumnya dalam al-Qur’an telah dijelaskan, seperti dalam QS. al-Ru>m [30]: 41-

42, QS. al-A‘ra>f [7]: 56-58, dan QS. Al-Qas{as} [28]: 77 secara umum menjelaskan

bahwa kerusakan yang terjadi di bumi diakibatkan oleh tangan manusia sendiri,

serta QS. Al-Ma>’idah [5]: 2 menjelaskan adanya anjuran untuk melaksanakan

hubungan atau interaksi sosial antar manusia. Oleh karena itu, manusia harus

bertanggung jawab terhadap Allah dalam melaksanakan aktivitasnya dalam upaya

mencapai ridho-Nya.102 Sehingga hubungan dan tanggung jawab antar manusia

dengan Allah ini akan melahirkan kontrak relijius (divine contract) dan bukan

sekedar kontrak sosial belaka (social contract).103

Siwar dan Hossain juga menjelaskan bahwa nilai-nilai Islam yang dibawa

oleh Nabi Muhammad SAW. memiliki hubungan yang relevan dan berkontribusi

terhadap konsep social report yang terus berkembang saat ini, sehingga dapat

dijadikan sebagai landasan tanggung jawab sosial perusahaan. Di mana nabi

Muhammad SAW. merupakan utusan Allah SWT. untuk semesta alam. Islam tidak

hanya sebuah agama, melainkan juga sebagai petunjuk kehidupan bagi umatnya. Di

samping itu, bahwa Islam menempatkan manusia sebagai khalifah Allah SWT.

Oleh karenanya, manusia memiliki tanggung jawab untuk memelihara seluruh

100Richard Hudson, “Business Ethics Quarterly,” Vol. 15, Issue 4, 641-657. 101 Diana J Beal, Michelle Goyen, and Peter Phlilips, “Why Do We Invest

Ethically?” The Journal of Investing, Fall, (2005): 33. 102Al-Attas Naquib Syed Muhammad,1996. Konsep Pendidikan Dalam Islam cet.

Ke-7 (Bandung: Mizan, 1996) 103Fathi Osman, “Islam and Human Rights: The Challenge to Muslims and the

World”, dalam Rethinking Islam and Modernity, Essay in Honour of Osman (London: The

Islamic Foundation, 2001), 122.

58

ciptaan Allah SWT.104

Namun permasalahannya, bagaimana Islam menyikapinya, walaupun

berbagai nilai-nilai universal dalam Islam ada hubungan dengan konsep SRI oleh

Barat, di antaranya dalam hal komitmen untuk mendahulukan kepentingan sosial,

peningkatan kesejahteraan manusia, peduli terhadap lingkungan, kepedulian

keadilan ekonomi dan sosial, dan menjunjung tinggi untuk menghindari kegiatan

berbahaya, misalnya larangan pembuatan senjata, produksi alkohol atau tembakau.

Perbedaannya, bahwa tanggung jawab sosial dalam Islam dibangun berasal dari

paradigma ila>hi. Tanggung jawab sosial menjaga hubungan antara manusia dengan

Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan ciptaan Tuhan lainnya. Inti dari

paradigma ini adalah gagasan tentang tauhid (keesaan Allah), di mana semua

ciptaan hanya tunduk dan tidak menyekutukan-Nya.105 Dengan demikian, larangan

usaha tersebut sebenarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan (mas}lah}ah)

manusia dibandingkan kepentingan bisnis itu sendiri. 106 Dalam artian,

mengutamakan kemaslahatan dan menghindari usaha yang bersifat mudharat dan

merusak moral serta implikasinya pada isu tanggung jawab sosial dalam urusan

ekonomi terutama dalam investasi Islam.

Ada banyak definisi mas}lah}ah107 yang dikemukakan oleh ulama us}u>l al-fiqh, baik ulama klasik maupun kontemporer, yang seluruhnya mengandung esensi

yang sama. Secara sederhana, mas}lah}ah diartikan sesuatu yang baik, bermanfaat

dan dapat diterima oleh akal sehat, baik dalam arti menarik keuntungan atau

kesenangan, atau dalam arti menolak atau menghindar kemudharatan. al-Ghaza>li>

mendefinisikan mas}lah}ah adalah mendatangkan manfaat (keuntungan) dan

menolak kemudharatan (kerusakan). Dalam rangka memelihara tujuan syara’

(dalam menetapkan hukum). Dalam upaya memperoleh kesejahteraan (mas}lah}ah)

ada lima tujuan dasar 1) agama (di>n); 2) hidup atau jiwa (nafs); 3) kelurga atau

keturunan (nasl); 4) harta atau kekayaan (māl); dan 5) intlektual atau aqal (‘aql).108

Definisi senada tentang mas}lah}ah juga dikemukakan oleh Fakhr al-Di>n al-

104C. Siwar, and M. T. Hossain, “An analysis of Islamic CSR Concept and The

Opinion of Malaysian Managers”, Management of Environmental Quality: An International Journal, Vol. 20 (2009): 290-298.

105 M. Aslam Haneef, “ Islam, Its Worldview and Islamic Economics,” IIUM Journal of Economic and Management, 5, 1 (1997).

106Syafiq, M. Hanafi. “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indeks Saham Syari’ah

Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones.” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol.

45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1406. 107Mas}lah}ah berasal dari kata s}-l-h}; ia merupakan bentuk masdar dari kata kerja

salaha dan saluha, secara etimologi berarti manfaat, bagus, baik, layak, dan sesuai. Kata

maslahah yang bentuk jamaknya adalah masalih (kebaikan) kebalikan dari al-fasad (kerusakan). Ibn al-Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), 348; Amir

Syarifuddin, Ushul Fiqh, jld.1 Cet. Ke-5 (Jakarta: Prenada Media, 2014), 323. 108Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas}fá fi> ‘Ilm al-Us}u>l (Beiru>t: Dar al-Kutub al-

‘Ilmi>yah, 2008), 286-287. Lihat juga, Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, Ih{ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, Jld. 2 (Beirut: Da>r al-Nahdah, T.t.), 109.

59

Rāzi109 al-T{ūfi, 110 al-Shat}ibi>, 111 Khalla>f,112

Abū Zahrah,113 dan lain sebagainya.

Semua definisi yang mereka buat memiliki arti yang hampir punya kesamaan

dengan definisi yang dibuat al-Ghaza>li> sebelumnya. Hal ini jika diperhatikan

bahwa definisi-definisi oleh ulama belakangan hanya mengembangkan definisi

yang dibuat oleh al-Ghaza>li>. Perbedaannya hanya terletak pada uraian mereka

tentang cakupan, kewenangan, dan pemakaian mas}lah}ah dalam pengambilan atau

penetapan hukum.

Dari definisi al-Ghaza>li> tersebut, mas}lah}ah terkait erat dengan maqa>s}id al- shari>‘ah. Dalam hal ini, al-Ghaza>li> merinci keterkaitan maslahat tersebut. Ada

kemaslahatan yang terkait dengan hal-hal yang penting (d}arūri>yah), ada

kemaslahatan yang terakit dengan hal-hal sekunder (h}aji>yah), dan ada

kemaslahatan yang terkait dengan hal-hal pelengkap (tah}sīni>yah). 114 Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi al- Ghaza>li> mas}lah}ah di atas menjadi

bukti bahwa beliaulah yang secara teoritik merumuskan konsep maqa>s}id al-shari>‘ah yang kemudian secara luas dan mendalam dikembangkan oleh al-Shat}ibi>.

Konsep mas}lah}ah al-Shat}ibi> dianggap telah banyak mengembangkan teori

maqa>s}id al-shari>‘ah. Dalam banyak kajiannya, konsep mas}lah}ah sering dipakai

secara bergantian dengan maqa>s}id al-shari>‘ah dengan arti yang lebih kurang sama.

Jika mas}lah}ah adalah konsep kebaikan yang diakui secara umum, maka maqa>s}id al-shari>‘ah adalah instrumen yang menopang dan mengoperasikan konsep mas}lah}ah tersebut. Menurut al-Shat}ibi>, tujuan awal pemberlakuan syariah adalah

mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok yang telah disebutkan di atas,

yang sering disebut sebagai al-kulli>yah al-khamsah atau al-d}arūri>yah al-khamsah. 115 Namun, tidak hanya sebatas itu, harus dipahami dalam arti luas,

termasuk semua manfaat yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, orang-orang

109 Fakhr al-Di>n al-Rāzi>, al-Mahsūl fi> ‘Ilmi al-Us}ūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-

‘Ilmiyah, 1988), 67. 110Najm al-Din al-T{ūfi>, Sharh al-Arba‘īn, dimuat dalam lampiran Must}afá Zayd,

al-Maslahat fi al-Tashrī’ al-Islāmi> wa Najmuddin al-T{ūfi (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi>,

1954), 18. 111Ibra>hi>m ibn Musá al-Shat}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Sharī‘ah, jilid II (Beirut:

Da>r al-Ma’rifah, t.t.), 16. 112Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}ūl al-Fiqh, Cet. 8 (Mesir: Maktabat al-Da‘wah

al-Islāmiyah Shabāb, 1990), 356. 113Muhammad Abū Zah{rah, Us{ūl al-Fiqh (Mesir: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 366. 114Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Must}as{fá fi> ‘Ilm al-Us}u>l, 274. 115 Dalam contoh klasik al-Shat}ibi menyatakan bahwa tidak terwujudnya

kebutuhan d}arūriyāt akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan manusia bahkan berakibat

fatal bagi kelangsungan hidup manusia di dunia dan akhirat secara keseluruhan. Sementara

pengabaian pada kebutuhan h}ājiyāt tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok,

akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam

merealisasikannya, sedangkan tidak terpenuhinya kebutuhan tah{sīniyāt membawa upaya

pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lihat Abū Isha>q al-Shat}ibi, al-Muwa>faqa>t fî Us}u>l al-Sharī‘ah, 8-11.

60

dari individu dan masyarakat, material, moral dan spiritual, serta

mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang.

Dari paparan ulama us}u>l al-fiqh nampak jelas bahwa ide sentral dan

sekaligus yang menjadi tujuan akhir dari maqa>s}id al-shari>‘ah adalah mas}lah}ah. Oleh karenanya, kemaslahatan yang hendak dicapai oleh syariah bersifat umum

dan universal, bukan hanya untuk kepentingan individu melainkan untuk semua

manusia, disamping itu bukan hanya untuk terbatas masa tertentu, melainkan juga

untuk sepanjang kehidupan manusia di bumi.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar Chapra dkk., bahwa gagasan

pelestarian lima unsur maqa>s}id (sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghaza>li> dan

disepakati al-Shat}ibi>) harus dianggap sebagai dasar atau pokok dari mas}lah}ah dalam mengisi pembangunan ekonomi. Beliau menjelaskan prinsip menjaga jiwa

manusia, memperkaya keimanan, intelek, keturunan dan menjaga harta benda

merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan

ekonomi dengan mengabaikan aspek prasyarat di atas (lima unsur maqa>s}id) dalam

rangka merealisasikan visi Islam memang akan membuat dunia Islam meraih

pertumbuhan yang lebih tinggi dalam jangka pendek, namun akan sulit menjaga

kesinambungannya dalam jangka panjang karena akan meningkatnya

ketidakmerataan, ketidaksejahteraan, disentegrasi keluarga, kriminal, dan

ketegangan sosial.116 Oleh karena itu, lima unsur maqa>s}id harus menjadi sebagai

dasar dari mas}lah}ah, baru kemudian unsur-unsur lain dari maqa>s}id yang dianggap

ada hubungan yang tentu penting dalam keberlanjutan jangka panjang untuk

kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, selain dari gagasan umum mas}lah}ah, dua

tujuan lain dari syariah yang telah diakui secara luas oleh para ahli hukum adalah

'membangun keadilan' dan 'mendidik individu’. 117 Fazlur Rahman lalu

meringkasnya ke dalam konsep monoteisme dan keadilan sosial.118

Belakangan Yusuf al-Qard{awi mengembangkan prinsip mas}lah}ah dengan

menyatakan, “di mana ada kemaslahatan, di sanalah terdapat hukum Allah”. Di

bagian lainnya, al-Qard}awi menyebutkan bahwa menjaga lingkungan sama dengan

menjaga agama merusak lingkungan dan abai terhadap lingkungan sama dengan

menodai kesucian agama serta meniadakan tujuan-tujuan syari’ah.119

Melihat dari prinsip al-Qard{awi tersebut, nampaknya ia ingin

mengembangkan konsep maqa>s}id al-shari>‘ah dari al-Shat}ibi> yang menyatakan

bahwa pemeliharaan atas al-d}arūri>yah al-khamsah adalah sebuah kemutlakan total

116M. Umer Chapra, Shiraz Khan & Al Shaikh Anas Ali, The Islamic Vision of

Depelopment in the Light of Maqasid al-Shariah (London: International Institute of Islamic

Thought, 2008), 5. Lihat juga M. Umer Chapra, “Ethics and Economics: an Islamic

Perspektive” Islamic Economic Studies Vol. 16. No. 1-2 (August 2008-Jan 2009). 117Mohammad Hashim Kamali, Shiraz Khan & Al-Shaikh Anas Ali, Maqasid al-

Shari’ah Made Simple (London: International Institute of Islamic Thought, 2008). 118Fazlur Rahman, “Interpreting al-Qur’an,” Inquiry, (Mei 1986): 49. 119Yusuf al-Qarad{awi, al-Ijtiha>d al-Mu‘as}ir (Beirut: Al-Maktab Al-Isla>mi, 1998),

68.

61

yang meliputi pemeliharaan atas keberadaannya dan pemeliharaan atas

kepunahannya. Meski konsep ini dikemukakan pada abad ke-14 Masehi (masa

hidup al-Shat}ibi>), namun prinsip-prinsip dasarnya dapat digunakan dengan

modifikasi-modifikasi baru dalam upaya Islam melakukan konservasi lingkungan

sebagai bahagian tanggung jawab sosial.

Dengan demikian walaupun secara eksplisit al-Shat}ibi tidak menjelaskan

h}ifz{ al-‘a>la>m (konservasi lingkungan) sebagai bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah,

namun terdapat beberapa penjelasan al-Qur’an maupun hadist yang menerangkan

urgensi pemeliharaan lingkungan/alam. 120 Karena itu, h}ifz al-‘a>la>m dapat

dijadikan sebagai mediator utama bagi terlaksananya al-d}arūri>yah al-khamsah

tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Shat}ibi>, menurutnya bahwa “telah

di ketahui bahwa diundangkannya syariah Islam adalah untuk mewujudkan

kemaslahatan makhluk secara mutlak.”121

Begitu juga halnya meski teori mas}lah}ah sudah ada pada zaman al-

Ghaza>li>, namun argumen prinsipnya masih relevan dengan isu-isu lingkungan

hidup dengan memperluas cakupan argumen instrumentalnya. Karena itu,

memelihara alam semesta merupakan pesan moral yang bersifat universal yang

telah disampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup

merupakan bagian integral dari tingkat keimananan seseorang.

Berangkat dari dinamisnya konsep maqa>s}id al-shari>‘ah, elaborasi-elaborasi

mas}lah}ah terus mengalami dinamika dan berkesinambungan. Must}afa Abu-Sway,

misalnya, juga menggunakan konsep mas}lah}ah sebagai pedoman memproteksi

lingkungan. Dia memakai konsep ini dalam bingkai maqa>s}id al-shari>‘ah. Bahkan ia

berpendapat bahwa memelihara lingkungan adalah tujuan tertinggi syariah.122

Pendapat semacam ini, tentu saja sangat tegas dan belum pernah disampaikan oleh

ulama sebelumnya, apalagi ulama-ulama klasik.

Berdasarkan uraian tersebut, maka yang perlu diperhatikan dalam

mewujudkan tanggung jawab sosial adalah memperkuat konsep mas}lah}ah dan

120Mohammad Shomali menyatakan bahwa terdapat lebih dari 750 ayat di dalam

al-Qur’an yang terkait dengan alam. Demikian pula ada sejumlah kasus di mana Allah

mengambil sumpah dengan memakai fenomena lingkungan/alam, seperti: ‘al-fajr’ (fajar),

dan sumpah dengan menyebut ‘pohon ara dan pohon zaitun’

Kata air (al-mā’), bumi (al-

‘ardh), binatang ternak (al-’anfāl), langit (al-samā’). Aspek-aspek lingkungan di dalam al-

Qur’an selain yang telah disebut di atas, ada lagi ayat-ayat yang secara tegas dan spesifik

bicara soal krisis lingkungan. Di antaranya: QS, al-Rūm [30]:41, al-Wāqi’ah [56]:68-70,

al-A’rāf [7]:56,

dan al-An’ām [6]:38. Dalam empat ayat itu, membahas tentang krisis

lingkungan yang meliputi kompenen daratan, lautan, binatang, dan jenis makhluk lainnya.

Lebih lengkap lihat, Mohammad Shomali, “Aspects of Environmental Ethics: An

Islamic Perspective,” http://www.thinkingfaith.org/articles/200811111.htm, (diakse 15

Maret 2016). 121Ibrahim ibn Musa al-Shat}ibi>, al-Muwa>faqa>t fî> Us}u>l al-Sharī‘ah, 11. 122Must}afa Abu-Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment, Fiqh

al-Bî’ah fî al-Islām, http://homepages.iol.ie/~afifi/Articles/htm. 1998 (diakses 25 Maret

2016).

62

maqa>s}id shari>‘ah sehingga mencakup konservasi lingkungan sebagai bahagian

tanggung jawab sosial yang patut tetap harus di jaga kelestariannya.

Terkait dengan adanya kebutuhan mengenai pengungkapan tanggung

jawab sosial sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, saat ini marak diperbincangkan

mengenai Islamic Social Reporting Index (selanjutnya disebut indeks ISR). Indeks

ISR dikembangkan oleh Haniffa (2002) berisi kompilasi item-item standar CSR

yang ditetapkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial

Institutions (AAOIFI)123 yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Othman

et al di Malaysia. Secara khusus indeks ISR adalah perluasan dari social reporting yang meliputi harapan masyarakat tidak hanya mengenai peran perusahaan dalam

perekonomian, tetapi juga peran perusahaan dalam perspektif spiritual.124 Selain

itu, indeks ISR juga menekankan pada keadilan sosial terkait pelaporan mengenai

lingkungan, hak minoritas, dan karyawan.

Hannifa menambahkan bahwa aspek spritual harus dijadikan sebagai fokus

utama dalam pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan karena para pembuat

keputusan Muslim memiliki ekspektasi agar perusahaan mengungkapkan

informasi-informasi terbaru secara sukarela guna membantu dalam pemenuhan

kebutuhan spiritual mereka. Oleh karena itu, ia memandang bahwa untuk

mengungkapkan semuanya itu, perlu dibuat kerangka khusus untuk pelaporan

pertanggungjawaban sosial yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

123 Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institutions

(AAOIFI) adalah lembaga internasioal independen yang didukung oleh lebih dari 200

lembaga anggota dari 45 negara, termasuk di dalamnya bank sentral, Lembaga keuangan

Syariah, dan partisipan lain dari kalangan industri perbankan dan keuangan internasional.

Tujuan utama Lembaga ini adalah menyiapkan standar akuting, auditing, tata kelola, etika,

dan Syariah untuk Lembaga keuangan dan industri berlandaskan Syariah. Lembaga ini

didirikan pada 1 Safar 1410 H/ 26 Februari 1990 di Aljzair, kemudian didaftarkan pada 11

Ramadhan 1411 H/27 Maret 1991 di Bahrain. Info lengkap dapat ditemukan di

http://www.aaoifi.com. Lihat juga Zulkifli Hasan, Legal Aspects of Islamic Finance (Kuala

Lumpur: Universitas Sains Islam Malaysia, 2012),

http://zulkiflihasan.fileswordpress.com/2008/06/shariah-governance-framework-ifsb-and

aaoifi.pdf (diakses 27 maret 2018). 124R. Othman & Md. Thani, A., “Islamic social reporting of listed companies in

Malaysia,” International Business and Economics Research Journal, Vol. 9, No. 4, (2010):

135-144.

63

Gambar 2.3

Kerangka Syariah Tanggung Jawab Sosial

Kerangka Syariah

Tawh}i>d

(Unity of God)

Philosophical view

Pointi

Divine Law for Human Conduct:

Divine Ethical

Concepts:

Sumber: Haniffa, (2002)

Berdasarkan pada Gambar 2.3 di atas, nampak jelas bahwa faktor penting

yang menjadi dasar syariah dalam pembentukan ISR adalah Tawh}i>d. 125 Dengan

125 Begitu pentingnya bertauhid dalam kehidupan sehingga ada pendapat yang

mengatakan bahwa tawh}i>dillah dapat dibagi menjadi tiga jenis, pertama, tawh}i>d Rubu>bi>yah

Ethics

Iman (Faith)

Taqwa (Piety)

Amanah (Trust)

Ibadah (Workship)

Khilafah (Vicegerent)

Ummah (Community)

Akhirah Day of Reckoning

Adl (Justice) v Zulm (Tyranny)

Halal (Allowable) v Haram (Forbidden)

I’tidal (Moderation) v Israf (Extravagance)

Politics Economy Social

Accounting

ISR

Qur’an

Hadith

Ijma

Qias

Ijtihad

Fiqh

Shari’a (the pathway)

Objective:

To establish social justice and seek success

in this world and here after (Al-falah)

64

cara tidak menyekutukan-Nya, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, tunduk

terhadap segala perintah-Nya, dan menjauhi dari segala larangan-Nya.

Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyah mengatakan: “Orang yang mau

mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi

ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah SWT serta taat kepada Rasulullah

SAW. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini, fitnah, musibah, paceklik,

dikuasai musuh penyebabnya adalah tidak mencontoh kehidupan Rasulullah SAW

dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah swt. Orang yang merenungi hal ini

dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya

maupun diluar dirinya.”

Pemahaman yang totalitas tentang konsep tawh}i>d (shaha>dah) ini

berimplikasi kepada keseluruhan kegiatan kehidupan dan perilaku manusia di

dunia. Shaha>dah adalah kesaksian sekaligus pernyataan moral yang mendorongnya

secara menyeluruh termasuk dalam merumuskan kehidupan ekonomi umat

manusia.126

Selanjutnya, tawh}i>d melahirkan aturan-aturan yang dibutuhkan manusia

dalam kehidupan sehari-hari, yakni prinsip-prinsip syariah. Prinsip tersebut berasal

dari tiga sumber utama. Secara hierarki, sumber prinsip-prinsip syariah berawal

dari al-Qur’an, hadits, fikih, lalu sumber-sumber lain seperti qias, ijtihad, dan ijma.

Prinsip-prinsip syariah fokus pada menegakkan keadilan sosial dan mencapai

kesukesan di dunia dan akhirat (al-Fala>h}).

Gambar 2.2 juga menunjukkan bahwa konsep tawh}i>d tidak terhenti hanya

pada prinsip-prinsip syariah namun juga konsep etika. Secara umum, nilai-nilai

etika dalam Islam terdiri dari sepuluh konsep yang dapat dikelompokkan, terdiri

dari hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia,

dan hubungan manusia dengan alam semesta. Penerapan sepuluh konsep tersebut

adalah iman berarti percaya kepada kita suci al-Qur’an sebagai pedoman bagi

manusia. Taqwa berarti mematuhi segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala

larangan-Nya. Amanah dari Sang Pencipta kepada manusia adalah menjaga

memelihara, dan melestarikan segala ciptaan-Nya. Ibadah merupakan bentuk

adalah pengesaan Allah dalam hal segala perbuatannya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri

yang menciptakan alam semesta dan isinya. Pada jenis ini, semua manusia secara fitrah,

telah mengakui dan membenarkan hal ini, termasuk orang kafir dan musyrik, karena sudah

fitrah manusia untuk mengakuinya. Kedua, tawh}i>d Ulu>hi>yah adalah mengesakan Allah

dengan perbuatan berdasarkan niat taqarrub yang disyariatkan seperti doa, nadzar, kurban,

takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan ina>bah (kembali). Ketiga, tawh}i>d

Asma wa S}ifat. Tauhid ini adalah beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya.

Pengenalan manusia terhadap asma> wa s}ifat Allah akan membawa dampak besar dalam

sikap dan perilaku. Di antaranya Allah itu al-Rahma>n (Maha Pengasih), al-Rahi>m (Maha

Penyayang), al-Ghaffar (Maha Pengampun), dan lain sebagainya yang tercermin dalam

Asma’ al-Husna. Abdullah Fauzan, Tauh}i>d Shaleh bin Fauzan jilid 1-3 (Jakarta: Da>r al-

Haq, 1999). 126 Abu A’la al-Mawdudi, The Process of Islamic Revolution (Lahore: Islamic

Publications , 1967), 41.

65

penyembahan manusia kepada Allah SWT. Khila>fah merupakan konsep di mana

manusia sebagai utusan Allah SWT wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan

bumi milik-Nya. Ummah mengandung arti suatu sistem mengedepankan keadilan

sosial. Akhirah Day of Reckoning merupakan konsep percaya pada akhir di mana

segala perbuatan baik dan buruk manusia di bumi akan diberikan balasan berupa

pahala dan dosa. Adl mengandung arti adil, lurus, atau tidak berbuat kejam (zalim).

Islam mengenal dua titik ekstrim hukum atas sebuah tindakan, yakni halal dan

haram. Halal merupakan sesuatu yagn sah, sedangkan haram merupakan sesuatu

yang dilarang. Konsep etika yang terakhir adalah bersikap sederhana (i’tidal) tanpa

bersikap berlebih-lebihan.

Prinsip-prinsip syariah tidak hanya berisi konsep-konsep etika dalam

perspektif Islam, tetapi juga berisi berbagai macam petunjuk yang dekat dengan

kehidupan sehari-hari, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Sesuai dengan Gambar

4.1 di atas, ISR berada pada lingkup aspek ekonomi atau lebih spesifik berada pada

lingkup aspek akuntansi.

Berikut ini enam tema kerangka pengungkapan ISR dengan rujukan utama

tetap pada Haniffa (2002) yang kemudian sedikit dimodifikasi oleh Othman et.al (2009) dengan menambah pengungkapan tata kelola perusahaan dan item-item

lain, antara lain:

a. Pembiayaan dan Investasi (Finance and Investment)

Indikator yang diungkapkan dalam tema pembiayaan dan ivestasi terdapat

beberapa tema pengungkapan, antara lain: praktek interest-free (riba) dan

speculative-free (gharar). Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (al-Ziya>dah), berkembang (An-Nuwuw), meningkat (al-Irtifa’), dan membesar (al-‘uluw). Antonio memaparkan mengenai masalah riba sebagai setiap penambahan

yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti (‘iwad) yang

dibenarkan syariah.127

Sama halnya dengan riba, gharar juga secara tegas dilarang dalam Islam.

Gharar merupakan ketidakpastian yang terjadi ketika terdapat incomplete information antara kedua belah pihak yang bertransaksi, bisa saja dalam hal

kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan dan akad. Salah satu contoh bentuk

transaksi yang mengandung gharar adalah perdagangan tanpa penyerahan barang

(future non delivery trading), transaksi lease and purchase (sewa-beli), melakukan

penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (short selling), jual beli valuta

asing bukan transaksi komersial (arbitage) baik spot maupun forward, dan

transaksi-transaksi derivatif lainnya.128 Oleh karena itu, untuk menjunjung tinggi

nilai transparansi kepada stakeholders, seluruh sumber pembiayaan dan investasi

yang mengandung riba dan gharar harus diidentifikasi dan dilaporkan secara jelas.

127M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani

Press, 2001), 37-38. 128Zainul Arifin, Dasar-dasar Manjemen Bank Syariah (Jakarta: Azkia Publisher,

2009), 57.

66

Selanjutnya, aspek lain yang harus diungkapkan oleh perusahaan-

perusahaan yang menjalankan prinsip-prinsip syariah adalah praktik pembayaran

zakat. Zakat merupakan kewajiban bagi seluruh umat Muslim atas harta benda

yang dimiliki ketika mencapai nisab, tidak terkecuali bagi perusahaan sebagai

bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah dan wujud akuntabilitas perusahaan

kepada masyarakat. Aspek lainnya terkait dengan kebijakan atas keterlambatan

pembayaran hutang dan kebangkrutan klien. Penangguhan atau penghapusan utang

harus dilakukan dengan adanya penyelidikan terlebih dahulu kepada pihak debitur

atau klien terkait ketidakmampuannya dalam pembayaran hutang. Penangguhan

atau penghapusan utang merupakan suatu bentuk sikap tolong-menolong (ta‘a>wun)

yang dianjurkan di dalam Islam.129

Item pengungkapan selanjutnya adalah current value balance sheet. Prinsip

current value balance sheet bertolak dari konsep kewajiban membayar zakat,

pengungkapan penuh (full disclosure), serta dalam rangka mencapai keadilan sosial

ekonomi (socio-economy justice). Namun, di Indonesia tidak berlaku, karena

PSAK Indonesia masih memberlakukan nilai historis atas nilai-nilai neraca. Salah

satu aspek yang masih mengandung nilai historis adalah pengukuran setelah

pengakuan aset tidak berwujud. Oleh karena itu, aspek ini tidak relevan untuk

dijadikan kriteria dalam pengungkapan penelitian ini.

Kriteria pengungkapan selanjutnya terkait dengan Value added statement. Menurut Staden value added adalah nilai yang tercipta dari hasil aktivitas

perusahaan dan karyawan-karyawannya. Sedangkan value added statement merupakan pernyataan yang melaporkan perhitungan nilai tambah beserta

pemanfaatannya oleh para pemangku kepentingan perusahaan. 130 Istilah value added statement pada dewasa ini diartikan lebih merujuk pada laporan

pertambahan nilai. Value Added Statement lebih berkembang di negara-negara

maju dibandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga, dalam

penelitian ini istilah value added statement lebih merujuk pada pernyataan nilai

tambah yang ada dalam laporan tahunan perusahaan.

Berdasarkan pembahasan di atas, kriteria pengungkapan pada tema

pembiyaan dan investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kegiatan yang

mengandung riba, gharar, zakat, kebijakan piutang, dan pernyataan nilai tambah

perusahaan.

b. Produk dan Jasa (Products and Services)

Barang atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan sudah seharusnya

diungkapkan secara menyeluruh pada laporan tahunan. Pada industri manufaktur

misalnya, produk yang dijalankan harus yang ramah lingkungan (green product). Tidak sedikit kerusakan yang terjadi di bumi ini tidak hanya isu nasional

melainkan juga isu internasional di seluruh belahan dunia disebabkan oleh produk

129QS. al-Baqarah [2]: 280. 130 Staden, C.v. The Value Added Statement: Bastion of Social Reporting or

Dinosaur of Financing Reporting? 1-15.

67

atau jasa yang tidak ramah dengan lingkungan. Seperti terjadinya pemanasan

global (global warming), polusi air bersih, kekeringan, hutan gundul, efek rumah

kaca, dan lain-lain.

Selanjutnya, termasuk status kehalalan produk (halal status of the product) juga harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Secara logis, tujuannya

agar para pemangku kepentingan mengetahui apakah barang atau jasa tersebut

diperbolehkan atau dilarang oleh agama Islam sehingga dapat membantu mereka

dalam mengambil keputusan. Di Indonesia, status kehalalan suatu produk

diketahui setelah mendapatkan sertifikat kehalalan produk dari Majelis Ulama

Indonesia (MUI).

Setelah produk dinyatakan halal, hal lain yang juga penting terutama bagi

pihak konsumen adalah tentang keamanan dan kualitas suatu produk (product safety and quality). Produk yang berkualitas dan aman akan meningkatkan

kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap suatu perusahaan. Kualitas dan

keamanan suatu produk perusahaan dinyatakan dengan adanya ISO 9000:2000

yang merupakan sertifikat manajemen mutu.

Pengungkapan selanjutnya adalah mengenai keluhan konsumen atau

pelayanan pelanggan. Suatu perusahaan diharapkan tidak hanya berfokus pada

produk yang dihasilkan (product-oriented) atau terhenti pada kegiatan jual beli,

tetapi juga memberikan pelayanan terhadap konsumen yang memuaskan

(consumer-oriented) dengan tujuan untuk menarik investasi-investasi lain. Salah

satu bentuk kebijakan yang berorientasi pelanggan adalah dengan menyediakan

pusat layanan keluhan konsumen setelah proses jual beli.

Berdasarkan pemaparan di atas, kriteria pengungkapan pada tema produk

dan jasa terdiri dari produk ramah lingkungan, kehalalan produk, keamanan dan

kualitas produk, dan pelayanan pelanggan.

c. Karyawan (Employes)

Karyawan salah satu faktor penting maju mundurnya suatu perusahaan.

Oleh karena itu, karyawan harus diperlakukan secara adil dan dibayar secara wajar.

Selain itu, pemberi kerja juga harus memenuhi kewajiban terhadap karyawan

dalam hal kebutuhan spritual mereka. Gray et al. pernah melakukan penelitian

terhadap laporan CSR di UK pada periode 1979-1991. Hasil penelitian tersebut

membuktikan bahwa pengungkapan paling luas laporan CSR terjadi pada tema

karyawan.131 Oleh karena itu, sangat penting bagi perusahaan untuk melakukan

pengungkapan seluas-luasnya terkait dengan aspek-aspek karyawan dalam laporan

tahunan.

Dalam penelitian ini, kriteria pengungkapan pada tema karyawan yang

digunakan adalah jam kerja, hari libur dan cuti, tunjangan, remunerasi, pendidikan

dan pelatihan kerja (pengembangan sumber daya manusia), kesetaraan hak antara

131 Gray, R., Kouhy, R., and Laver, S. “Corporate Social and Environmental

Reporting: A Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure,”

Accounting Auditing and Accountability, Vol. 8, (1995): 47- 77.

68

pria dan wanita, keterlibatan karyawan dalam diskusi manajemen dan pengambilan

keputusan, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, lingkungan kerja, karyawan

dari kelompok khusus (misalnya capek fisik, mantan narapidana, mantan pecandu

narkoba), karyawan tingkat atas melaksanakan ibadah bersama-sama dengan

karyawan tingkat menengah dan tingkat bawah, karyawan muslim diperbolehkan

menjalankan ibadah di waktu-waktu shalat dan berpuasa saat ramadhan, dan

tempat ibadah yang memadai.

d. Masyarakat (Society theme)

Item-item pengungkapan dalam tema masyarakat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sodaqoh/donasi, wakaf, qard al-h}asan, sukarelawan dari pihak

karyawan, pemberian beasiswa sekolah, pemberdayaan kerja bagi siswa yang lulus

sekolah/kuliah berupa magang atau praktik kerja lapangan, pengembangan dalam

kepemudaan, peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin, kepedulian terhadap

anak-anak, kegiatan amal/bantuan/kegiatan sosial lain, dan mensponsori berbagai

macam kegiatan, seperti kesehatan, hiburan, olahraga, budaya, pendidikan dan

keagamaan. Menurut Haniffa bahwa konsep dasar yang mendasari tema ini adalah

ummah, amanah, dan adl. Konsep tersebut menekankan pada pentingnya saling

berbagi dan meringankan beban orang lain dengan hal-hal yang telah disebutkan

pada item-item pengungkapan di atas. Perusahaan memberikan bantuan dan

kontribusi kepada masyarakat dengan tujuan semata-mata untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi dan membantu menyelesaikan permasalahan sosial di

masyarakat seperti membantu memberantas buta aksara, memberikan beasiswa,

dan lain-lain.

e. Lingkungan (Environment)

Dalam tema ini, Hanifa menegaskan bahwa penting bagi seluruh makhluk

hidup untuk melindungi lingkungan sekitarnya. Konsep yang mendasari tema

lingkungan dalam penelitian ini adalah mizan, i‘tida>l, khilafah, dan akhirah. Konsep-konsep tersebut menekankan pada prinsip keseimbangan, kesederhanaan,

dan tanggung jawab dalam menjaga lingkungan. Oleh karena itu, informasi-

informasi yang berhubungan dengan penggunaan sumber daya dan program-

program yang digunakan untuk melindungi lingkungan harus diungkapkan dalam

laporan tahunan perusahaan.

f. Tata kelola perusahaan (Corporate Governance)

Tema tata kelola perusahaan dalam ISR merupakan penambahan dari

Othman et.al (2009) dimana tema ini tidak bisa dipisahkan dari perusahaan guna

memastikan pengawasan pada aspek syaraiah perusahaan. Pada tema tata kelola

perusahaan dalam sistem ekonomi Islam memiliki cakupan yang lebih luas

dibandingkan dengan tata kelola perusahaan dalam sistem ekonomi

69

konvensional. 132 Kemunculan tata kelola perusahaan dalam Islam berasal dari

konsep kha>lifah.133 Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT. dalam surat al-

Baqarah [2]: 30 berikut:

إن ئكة للمل ربك قال من إوذ فيها تعل أ قالوا خليفة رض

ٱل ف جاعل

علم ما أ قال إن لك س ونقد بمدك نسبح ونن ٱلماء ويسفك فيها ل يفسد

تعلمون

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya

Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:

"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang

akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami

senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"

Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu

ketahui".

Makna ayat di atas dengan sangat jelas bahwa Allah Swt. menjadikan

manusia sebagai khalifah di bumi. Manusia ditunjuk Allah Swt. sebagai pengganti-

Nya dalam mengolah bumi sekaligus memakmurkannya. Manusia diberi tugas dan

tanggung jawab untuk menggali potensi-potensi yang terdapat di bumi ini,

mengolahnya, dan menggunakannya dengan baik sebagai sarana untuk beribadah

kepada Allah Swt. Kedudukan istimewa manusia menuntut tanggung jawab besar

tidak hanya kepada masyarakat atau pemangku kepentingan, tetapi juga kepada

Allah SWT sebagai pemilik dari bumi beserta isinya. Dalam Islam, tujuan utama

akuntabilitas adalah semata-mata untuk mencapai fala>h} dan kesejahteraan sosial

sedangkan dalam ekonomi konvensional, tujuan utama akuntabilitas adalah sebagai

bentuk transparansi dalam rangka menciptakan pasar efisien yang sesuai dengan

aturan yang berlaku.

Pada tema yang ke enam ini, terdapat beberapa penyesuaian kriteria

pengungkapan ISR. Diantaranya kriteria pengungkapan terkait jumlah pemegang

saham muslim dan persentase Dewan Direksi Muslim. Kedua tema tersebut

perusahaan-perusahaan Indonesia tidak mencantumkan informasi mengenai agama

dan profil mereka pada laporan tahunan perusahaan, sehingga pada bagian ini yang

132 Abu-Tapanjeh, A.M. “Corporate governance from the Islamic perspektive: A

comparative analysis with OECD principles,” Critical Perspectives on Accounting, 20,

(2009): 556-567. 133Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini pada hakekatnya

menunjukkan bahwa manusia tidak lain hanyalah wakil belaka atau petugas yang bekerja

pada milik Allah demi kebaikan masyarakat Islam. Karena kewajiban wakil adalah harus

merasa terikat dengan ajaran-ajaran siapa yang diwakilinya dan tidak boleh keluar

daripadanya. Ahmad Muhammad al’Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, terj. Abu Ahmadi dan Anshori Umar

(Surabaya: Bina Ilmu, 1980), 39.

70

membedakan kondisi Indonesia dengan kondisi Malaysia. Malaysia dikenal sebagai

negara yang dominan warganya memeluk agama Islam, sehingga Muslim atau

tidaknya seseorang dapat diidentifikasi secara langsung melalui nama

penduduknya. Di samping itu, terkait kriteria pengungkapan kegiatan yang

mengandung judi tidak dimasukkan dalam tema tata kelola perusahaan karena

sudah termasuk dalam tema pembiayaan dan investasi. Dengan demikian terdapat

enam kriteria yang disajikan dalam penelitian ini, yakni status kepatuhan terhadap

syariah, struktur kepemilikan saham, profil dewan direksi, pengungkapan ada atau

tidaknya praktik monopoli usaha/menimbun bahan kebutuhan pokok/manipulasi

harga, pengungkapan ada atau tidaknya perkara hukum, dan kebijakan anti korupsi.

Good Governance Bisnis Syariah (GGBS) memaparkan bahwa pedoman

umum prinsip-prinsip tata kelola perusahaan dalam ekonomi Islam terbagi menjadi

lima, yaitu:

1) Akuntabilitas (Accountability)

Akuntabilitas mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan

cara mempertanggungjawabkannya. Pelaku bisnis syariah harus dapat

mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Oleh karena

itu, bisnis syariah harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan

kepentingan pelaku bisnis syariah dengan tetap memperhitungkan pemangku

kepentingan dan masyarakat pada umumnya. Akuntabilitas juga dapat diartikan

sebagai sikap yang bertanggungjawab apabila terjadi kesalahan, mengambil

langkah yang tetap untuk memperbaiki kesalahan tersebut, dan melakukan

tindakan pencegahan agar kejadian tersebut tidak lagi terulang.

2) Keterbukaan (transparency).

Transpransi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan

informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan.

Transparansi diperlukan agar pelaku bisnis syariah menjalankan bisnis secara

objektif dan sehat. Adanya informasi yang akurat dan dapat diaudit oleh pihak

ketiga yang independen sebagai laporan kepada pemegang saham, sehingga

pemegang saham dapat mengetahui perkembangan dan kemerosotan perusahaan.

Konsep transparansi, perusahaan harus mengungkapkan informasi yang terkait

dengan kebijakan-kebijakan perusahaan, aktivitas-aktivitas bisnis yang dilakukan,

kontribusi perusahaan terhadap masyarakat, penggunaan sumber daya yang telah

dimanfaatkan, dan upaya perlindungan lingkungan.

3) Tanggung jawab (responsibility)

Konsep tanggung jawab erat kaitannya dengan konsep akuntabilitas.

Pelaku bisnis syariah untuk lebih mematuhi aturan-aturan yang digariskan dalam

pengelolaan perusahaan. Peraturan yang ditetapkan pemerintah berupa perundang-

undangan, ketentuan bisnis syariah, serta melaksanakan tanggung jawab terhadap

71

masyarakat dan lingkungan. Tanggung jawab atas perbuatan manusia akan diminta

baik di dunia apalagi di akhirat nantinya.

4) Independensi

Independensi terkait dengan konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap

berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus menghadapi resiko. Karenanya,

bisnis syariah harus dikelola secara independen sehingga masing-masing pihak

tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat intervensi oleh pihak manapun.

5) Kewajaran dan Kesataraan

Kewajaran (fairness) dan kesetaraan mengandung unsur kesamaan

perlakuan dan kesempatan. Kewajaran merupakan salah satu manifestasi adil

dalam dunia bisnis. Setiap keputusan bisnis, baik dalam skala individu maupun

lembaga, hendaklah dilakukan sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan apa

yang biasa berlaku, dan tidak diputuskan berdasar suka atau tidak suka. Pada

dasarnya, semua keputusan bisnis akan mendapatkan hasil yang seimbang dengan

apa yang dilakukan oleh setiap entitas bisni, baik di dunia maupun di akhirat.

Berdasarkan ke lima prinsip di atas, merupakan tolak ukur sejauh mana

saham syariah mampu melaksanakan tata kelola perusahaan sesuai dengan prinsip

syariah.134 Tanpa adanya penerapan tata kelola perusahaan yang efektif, saham

syariah akan sulit untuk bisa memberikan keyakinan kepada stakeholders untuk

membuktikan kinerjanya yang efektif. Selain itu, kelima prinsip juga sebagai

penyeimbang antara kinerja bisnis yang beorientasi profit dengan kinerja sosialnya

sebagai wujud tangung jawab sosial perusahaan. Hannifa menambahkan bahwa

tanggungjawab sosial perusahaan pada sistem konvensional hanya fokus pada

aspek material dan moral berbeda dalam Islam dengan menambahkan aspek

spritual.

5. Pelaporan CSR di Indonesia

Konsep CSR di dunia telah menggeliat sejak tahun 1950-an, 135 tetapi

khusus di Indonesia baru dimulai sejak 1990-an, berawal dari program PUKK

(Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi), kemudian semakin meluas

penyelenggaraan CSR di lingkungan BUMN dan perusahaan swasta, didorong oleh

SK Menteri BUMN No. 03/Keputusan PER-5/MBU/2007, yang mewajibkan semua

134Menurut Budi Untung dari kelima macam prinsip tersebut, bahwa yang sangat

berhubungan dengan pelaksanaan CSR adalah prinsip bertanggungjawab (responsibility).

Hal ini menurutnya karena prinsip akuntabilitas, keterbukaan, independensi, kewajaran dan

kesetaraan hanya mementingkan kelangsungan perusahaan pada kepentingan pemegang

saham (shareholders), sedangkan prinsip responsibility mengedepankan kepentingan

stakeholders. Lihat Budi Untung, CSR dalam Dunia Bisnis, 10. 135 Konsep CSR dipopulerkan pada tahun 1953 dengan diterbitkan buku yang

berjudul “Social Responsibilities of the Businessman” Karya Howard R. Bowen.

72

BUMN untuk melaksanakan CSR dalam bentuk Program Kemitraan dan Bina

Lingkungan (PK-BL).136

Dasar hukum sebagai regulasi pelaksanaan CSR di Indonesia mengenai

pelaporan CSR telah diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang dituangkan

dalam Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1

(Revisi 2009) paragraf 12 yang berbunyi sebagai berikut:

Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan

mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktor lingkungan hidup

memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan

sebagai kelompok pengguna laporan yang menganggap peranan penting.

Laporan tahunan tersebut di luar ruang lingkup standar Akuntansi

Keuangan.

Selain organisasi IAI, Pemerintah juga turut mendukung praktik pelaporan

CSR melalui Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

atau dalam UU PT dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)

menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perseroan di Indonesia, yang

secara substansial Pasal 74 ayat (1) UU PT menjelaskan bahwa perusahaan yang

menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya

alam wajib melaksanakaan tangung jawab sosial dan lingkungan (TJSL).

Selanjutnya, disebutkan bahwa perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban

tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam

UU Penanaman Modal pasal 15 disebutkan bahwa setiap penanam modal

berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial persahaan. Terkait dengan

sanksi, pasal 34 menyatakan bahwa perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban

tersebut dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan

kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan / atau fasilitas penanaman modal,

atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

Dalam UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 tersebut terkesan seolah-olah

hanya perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam yang mempunyai

kewajiban. Namun, jika dikaji lebih lanjut dengan mambaca penjelasan Pasal 74

ayat (1) maka akan muncul penafsiran yang lebih luas terhadap subyek yang

dikenai kewajiban TJSL. Penjelasan Pasal 74 ayat (1) menyebutkan “Perseroan

yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah

perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya

alam. Adapun yang dimaksud “perseroan yang menjalankan usahanya berkaitan

dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak

memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi

kemampuan sumber daya alam.137

Persoalan kemudian muncul, UU PT tidak memberikan batasan mengenai

kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Pada

136Budi Untung, CSR dalam Dunia Bisnis (Yogyakarta: Andi Offset, 2014), 114. 137Mahmuddin Yasin, dkk., Perusahaan Bertanggung Jawab CSR vs PKBL, 33.

73

tataran implementasi hal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir dan

ketidakpastian hukum. Penafsiran secara luas terhadap pasal 74 ayat 1 UU PT

beserta penjelasannya yang didasarkan pada pemikiran bahwa pada hakekatnya

setiap perseroan, sekecil apapun penggunaannya akan selalu menggunakan sumber

daya alam dalam menjalankan aktivitasnya dan akibat dari penggunaan sumber

daya alam tersebut dapak berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam

apabila penggunaannya tidak memperhatikan aspek lingkungan, akan bermuara

pada kesimpulan bahwa semua perseroan memiliki kewajiban melakukan TJSL.

Mengingat pentingnya TJSL tersebut, sehingga juga diatur dalam undang-

undang yang lain, bahkan sangat dimungkinkan perseroan yang kegiatan usahanya

di luar bidang atau tidak berkaitan dengan sumber daya alam tetap dikenai

kewajiban. Contohnya Undang-undang RI No. 25 Tahun 2008. Pasal 15, 17, dan 34

tentang Penanaman Modal. Mewajibkan setiap perusahaan untuk melaksanakan

tanggung jawab sosial dan melestarikan lingkungan. Bahkan pada pasal 15

ditegaskan bagi perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka

undang-undang memberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis,

pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan kegiatan

usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 Ayat (1) No. 25 tahun 2008

tentang Penanaman Modal).

Sejalan dengan hal tersebut, Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012

tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, di mana

tanggung jawab perusahaan adalah melanjutkan komitmen sebagai bisnis untuk

bersikap secara ethic, bermoral dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi

serta meningkatkan kualitas kehidupan dari tenaga kerja dan keluarganya maupun

komunitas lokal dan masyarakat.

Selain itu, Peraturan Bapepam-LK Nomor X.K.6 tentang Kewajiban

Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau Perusahaan Publik menyatakan

bahwa salah satu isi dari laporan tahunan wajib memuat uraian singkat mengenai

penerapan tata kelola perusahaan yang telah dan yang akan dilaksanakan oleh

perusahaan dalam periode laporan keuangan tahunan terakhir, salah satunya

mengenai aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab

sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.

Di antara Undang-undang dan peraturan di atas, yang secara tegas

mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan pengungkapan CSR adalah Undang-

undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74. Berdasarkan pasal

tersebut, meskipun pelaporan CSR di Indonesia bersifat wajib, namun pelaporan

CSR belum memilki standar baku yang berlaku umum terkait dengan hal-hal apa

saja yang harus diungkapkan di dalamnya sehingga setiap perusahaan dapat

melakukan pelaporan CSR yang berbeda-beda. Pedoman yang paling banyak

digunakan oleh perusahaan-perusaaan diseluruh dunia adalah Sustainability Reportin Guidelines yang dikenal dengan Kerangka Pelaporan Global Reporting Guidelines yang diterbitkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) pada tahun

2000, 2003, dan 2006 (G3). Keseluruhan dokumen-dokumen Kerangka Pelaporan

GRI dikembangkan menggunakan proses konsensus melalui dialog antara

74

pemangku kepentingan bisnis, kominitas investor, tenaga kerja, masyarakat sipil,

akuntan, akademisi, dan lain-lain.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa UU tersebut bukan lagi suatu

tanggung jawab biasa (responsibility), tetapi merupakan suatu kewajiban hukum

(liability) yang memiliki sanksi hukum jika tidak dilaksanakan dengan baik.

Karenanya, dengan adanya regulasi ini diharapkan ada keserasian hubungan dan

simbiosis mutualisme antara perseroan dan lingkungan sosial. Mengingat peran

serta dunia usaha dalam mengimplementasikan CSR selama ini masih lebih banyak

bersifat voluntary dan philanthropy sehingga jangkauan program CSR yang

dilaksanakan oleh kalangan dunia usaha relatif terbatas dan tidak efektif.138

138Mahmuddin Yasin, dkk., Perusahaan Bertanggung Jawab CSR vs PKBL, 37.

75

BAB III

DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN)

DAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

A. Dewan Syariah Nasional (DSN)

1. Sejarah awal pembentukan DSN

Rekomendasi pembentukan DSN berawal dari Lokakarya keuangan syariah

oleh MUI, untuk merespon meningkatnya pendirian lembaga keuangan yang

beroperasi berdasarkan prinsip syariah pada 29-30 Juli 1997 di Jakarta. Berlanjut

dengan pengesahan Tim Pembentukan DSN tanggal 14 Oktober 1997, mereka

menyepakati pembentukan DSN dan menyampaikannya ke pengurus MUI dan

akhirnya sejak 1998 DSN resmi didirikan oleh MUI sebagai lembaga di bawah

MUI.1 Meskipun demikian, pengukuhan DSN baru dilakukan melalui SK Dewan

Pimpinan MUI Nomor Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999, dan

dilantik oleh Menteri Agama H. A. Malik Fadjar.2

Struktur kepengurusan DSN pada awal dilantik terdiri dari dua bagian,

yaitu pengurus yang bersifat umum (Pengurus Pleno), dan Badan Pengurus Harian

Dewan Syariah Nasional (BPH-DSN). Pengurus Pleno di mana Ketua dan

Sekretarisnya dijabat secara ex. officio oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum

MUI, yaitu Prof. KH. Ali Yafie (Ketua) dan Drs. H.A. Nazri Adlani (Sekretaris),

sedangkan BPH-DSN dipimpin oleh KH. Ma’ruf Amin (Ketua) dan H. M. Ichwan

Syam (Sekretaris), di dampingi oleh seorang wakil ketua dan seorang wakil

sekretaris, serta seorang bendahara.

Seiring perkembangan waktu dan pergantian Dewan Pimpinan MUI,

struktur dan personal Susunan Pengurus DSN pun mengalami penyesuaian.

Berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI (DP MUI) No. Kep-98/MUI/III/2001

tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI Masa Bakti tahun 2000-

2005. Susunan pengurus pleno baru DSN-MUI terdiri atas 26 orang, dengan

pimpinan dijabat secara ex. officio oleh KH. M.A. Sahal Mahfudh (Ketua) dan

Prof. Dr. Din Syamsuddin (Sekretaris), di dampingi oleh dua wakil ketua dan

seorang sekretaris. Sedangkan BPH-DSN beranggotakan 13 orang dengan

1 MUI adalah organisasi keagamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi

kepada salah satu partai politik, mazhab atau aliran keagamaan Islam yang ada di

Indonesia. Azumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tanggapan,

Cet. I (Bandung: Roskarya, 2000, 65. Memiliki lima fungsi utama, yaitu: 1) Sebagai

pewaris tugas-tugas para Nabi; 2) Sebagai pemberi fatwa; 3) Sebagai pembimbing dan

pelayan umat; 4) Sebagai perbaikan (isla>h) dan pembaharuan (al-tajdi>d), dan 5) Sebagai

penegak amar ma’ruf dan nahi munkar. Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988,

Edisi dwi bahasa (Jakarta: INIS, 1993), 63. 2Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional, dalam Himpunan Fatwa Dewan Syariah

Nasional (Jakarta: DSN-MUI-BI, 2003), cetakan kedua, bagian III.

76

pimpinan yang sama dengan periode kepengurusan sebelumnya. Lalu berdasarkan

SK DP MUI Nomor Kep-200/MUI/VI/2003 tentang Pengembangan Organisasi dan

Keanggotaan Dewan Syariah Nasional Periode Tahun 2000-2005, jumlah Pengurus

DSN-MUI bertambah menjadi 57 orang, termasuk di dalamnya 18 anggota BPH

DSN-MUI.

Pimpinan dan anggota Pleno DSN-MUI masa bakti 2005-2010 yang

ditetapkan pada tanggal 13 Juli 2007 terdiri 37 orang yang meliputi; Ketua, Ketua

Pelaksana, Empat orang wakil ketua, Sekretaris, Dua orang wakil sekretaris dan

Anggota. Sementara BPH-DSN Periode 2005-2010 terdiri dari 21 orang yang

meliputi: 1 orang ketua, 1 orang ketua pelaksana, 3 orang wakil ketua, 1 orang

sekretaris, 2 orang wakil sekretaris, 1 orang bendahara, dan 13 orang anggota

kelompok kerja (Pokja) perbankan dan pegadaian, kelompok kerja asuransi dan

perniagaan, dan kelompok kerja pasar modal dan program. Namun demikian, antara

pengurus pleno dan Badan Pelaksana terdapat seorang ketua yang merangkap

pengurus (jabatan), seperti KH. Ma’ruf Amin, Drs. Ichwan Sam dan Dr. H.

Hasanuddin. Maka jumlah seluruh pengurus Pleno dan BPH menurut surat

keputusan MUI sebanyak 58, tetapi jumlahnya 55 orang. Oleh karena itu, struktur

pengurus 2005-2010 sedikit berbeda dengan sebelumya, baik dari jumlah anggota

maupun menambah bidang lain terutama pada BPH-DSN dengan menambah

Kelompok kerja (Pokja) Asuransi, Perbankan dan Pegadaian, Pasar Modal Dan

Program Program.

Selajutnya, perkembangan struktur juga terjadi pada tahun 2015-2020.

Berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI (DP MUI) No. Kep-7211/MUI/XI/2017

tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI Masa Bakti tahun 2015-

2020. Susunan pengurus baru DSN-MUI terdiri atas 58 orang, dengan pimpinan

dijabat secara ex officio oleh KH. Ma’ruf Amin (Ketua) dan Dr. H. Anwar Abbas,

M.M., M.Ag. (Sekretaris), di dampingi oleh tiga wakil ketua dan seorang

sekretaris. Sedangkan BPH-DSN beranggotakan 49 orang.

Dari jumlah pengurus dibandingkan periode sebelumnya baik pengurus

pleno maupun BPH-DSN mengalami peningkatan yang tinggi. Hal ini terjadi di

samping memang menambah jumlah anggota pada setiap susunan pengurus juga

pada BPH-DSN dengan menambah beberapa bidang pada Kelompok kerja (Pokja)

yang sebelumnya cuma terdiri dari tiga bagian bertambah menjadi lima bagian

dengan mengganti nama bidang yang ada sebelumnya, antara lain: Bidang

Perbankan Syariah, Bidang Pasar Modal Syariah, Bidang IKNB Syariah, Bidang

Industri bisinis dan Ekonomi Syariah, Bidang Edukasi, Sosialisasi, dan

Literasi/DSN-MUI Institute. Rangkap jabatan juga terjadi yaitu antara pengurus

pleno dan BPH terdapat seorang Ketua yang merangkap pengurus (jabatan), seperti

KH. Ma’ruf Amin (Ketua) dan Anwar Abbas (Sekretaris).

Terakhir pengurus DSN-MUI periode 2021-2025. Berdasarkan SK Dewan

Pimpinan MUI (DP MUI) No. Kep-146/DP-MUI/XII/2020 tentang Susunan dan

Personalisa Pengurus DSN-MUI Masa Khidmat 2021-2025. Terjadi perbedaan jika

dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, baik secara struktur maupun

jumlah pengurus. Pada struktur misalnya, periode sebelumnya terjadi rangkap

77

Sumber: https://dsnmui.or.id/kami/pengurus/

jabatan. Ketua dan Sekretaris pada pengurus Pleno dan BPH adalah orang yang

sama dijabat secara ex officio Ketua dan Sekerataris Umum MUI, namun pada

periode sekarang dijabat oleh orang yang berbeda. Ketua Pleno dijabat oleh K.H.

Miftachul Akhyar dan sebagai sekretaris Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A.,

sementara Ketua BPH dijabat oleh Dr. K.H. Hasanudin, M.Ag. dan sebagai

sekretaris Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, S.E., M.H., M.Ag. DSN-MUI juga dibantu

oleh Sekretariat terdiri dari Kepala Sekretariat dan dibantu oleh 10 orang staf.

Perbedaan juga terdapat dari jumlah personalia pengurus. Periode

sebelumnya berjumlah 58 anggota bertambah menjadi 135 anggota. Periode

sebelumnya pada tingkat pleno, wakil ketua hanya 3 orang bertambah jadi 4 orang,

Sekretaris dibantu oleh 2 orang wakil sekretaris, dan 66 orang anggota. Sementara

pada tingkat Badan Pelaksanan Harian (BPH) kompisi bidang pada Kelompok

kerja (Pokja) masih sama dengan sebelumnya, yaitu terdiri dari 5 kelompok kerja,

akan tetapi juga terjadi penambahan jumlah personalia pengurus. Struktur

Organisasi Pengurus DSN-MUI masa khidmat 2021-2025 sebagaimana terdapat

pada gambar di bawah ini:

Gambar 3.1

Susunan Pengurus DSN-MUI Masa Khidmat 2021-2025

PENGURUS PLENO

BADAN PELAKSANA

HARIAN

Pojka

Perbankan

Syariah

Pokja Pasar

Modal Syariah

Pokja Industri

Bisnis dan Eko.

Syariah

Pokja Edukasi,

soialisasi dan

literasi

Ketua DSN-MUI

Ex. Officio Ketua Umum MUI

Sekretaris

Ketua BPH

Pojka IKNB

Syariah

Sekretaris BPH

Bendahara BPH

Sekretaris DSN-MUI

Ex. Officio Sek. Umum MUI

Wakil Sekrataris

Anggota

Wakil Ketua BPH

Wakil Sekretaris BPH

Wakil Bendahara BPH

Wa

78

Struktur organisasi DSN-MUI sebagaimana terdapat dalam gambar di atas

adalah Pengurus Pleno dan BPH-DSN. Pengurus pleno yang merupakan organisasi

tertinggi dalam DSN-MUI. Ketua pleno adalah ex. Officio ketua umum MUI,

sehingga koordinasi tertinggi dalam organisasi DSN berada di tingkat pleno.

Pengurus pleno inilah yang akan bertanggung jawab kepada stakeholders (pemangku kepentingan) DSN, yakni majelis Ulama Indonesia. Anggota pengurus

Pleno terdiri dari para pimpinan MUI, beberapa anggota komisi fatwa, para pakar

hukum Islam dari perguruan tinggi Islam, para pakar ekonomi dan keuangan Islam,

para pelaku ekonomi dan keuangan Islam, dan para ahli dalam bidang muamalah

dari pondok pesantren. Pengurus BPH adalah organisasi yang secara teknis

menjalankan tugas-tugas DSN-MUI. BPH terdiri dari para ahli hukum Islam dan

para ahli di bidang ekonomi dan keuangan Islam, baik dalam bidang perbankan,

asuransi, pasar modal, pegadaian, dan perniagaan lain yang Islami. BPH

bertanggung jawab langsung kepada Pengurus Pleno DSN. Pelaksanaan tugas BPH

terbagi menjadi lima kelompok kerja yang masing-masing diketuai oleh seorang

ketua bidang. Mereka adalah kelompok kerja bidang perbankan syariah, bidang

pasar modal syariah, bidang industri bisnis dan ekonomi syariah, bidang IKNB

syariah, dan bidang edukasi, sosialisasi dan literasi/DSN-MUI Institute.3

2. Kedudukan DSN-MUI dalam Menetapkan Fatwa

Penting untuk diketahui bahwa pada umumnya dalil-dalil muamalah yang

dikandung oleh al-Qur’an 4 dan al-Sunnah bersifat global (mujma>l) dan sedikit

sekali yang terperinci dan qat}‘i, sehingga memiliki banyak peluang untuk

melakukan jalan ijtihad hukum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Djamil bahwa

secara umum ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama,

bersifat absolut, universal, dan permanen, yaitu al-Qur’an dan hadits mutawatir

yang penunjukannya sudah jelas. Kedua, bersifat relatif, tidak universal, dan tidak

permanen, yaitu ajaran Islam hasil dari proses ijtihad.5

Menurut Abu> Zahrah bahwa تتناهى والنصوص تتناهى ال احلوادث إ ن (sesungguhnya peristiwa itu tidak terbatas sementara nas} itu terbatas).6 Dalam

aktivitas ekonomi misalnya, Islam memberikan pedoman baik yang termaktub di

dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Namun, permasalahan yang tidak diatur

3Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor 02

Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia (PRT DSN-MUI) Nomor 02 Tahun 2000 Pasal 2. 4Jumlah ayat al-Qur’an yang berbicara langsung tentang muamalah hanya berkisar

antara 230 sampai dengan 250 ayat. ‘Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Us}l al-Fiqh Cet. 8 (Mesir: Maktabat al-Da‘wah al-Islāmiyah Shabāb, 1990), 22-23.

5 Fatuhurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 27-28.

6Muh{ammad Abu> Zahrah, al-Jari>mah wa al-‘uku>bah fi> al-fiqh al-Isla>mi (Cairo: Da>r

al-Fikr al-‘Arabi, 1998), 165.

79

secara jelas dalam kedua sumber hukum tersebut, diperoleh ketentuannya dengan

jalan ijtihad, 7 agar pemeluknya terdorong aktif, kreatif, dan produktif dalam

menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang terus berkembang dengan pesat.8

Menurut Mudzhar bahwa ada empat macam produk pemikiran hukum

Islam, yaitu kitab-kitab fiqh, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim

(qa>nu>n), keputusan-keputusan pengadilan agama (qad}a>), dan fatwa-fatwa ulama.

Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khas dan

perbedaan dalam menyikapi persoalan hukum, di antaranya kalau fatwa dan kitab-

kitab fikih tidak mempunyai daya ikat berbeda dengan keputusan pengadilan dan

peraturan perundangan di Indonesia yang sifatnya mengikat, di samping itu fatwa

dan keputusan pengadilan agama sifatnya kasuistik sementara kitab-kitab fiqh

sifatnya kebal terhadap perubahan dan meliputi semua aspek bahasan hukum

Islam.9

Al-Qard}a>wi menegaskan bahwa ada beberapa prinsip dasar atau metode

dalam mengistinbat}kan fatwa. Pertama, tidak fanatik dan tidak taqli>d buta; kedua,

mempermudah atau memperingan; ketiga, berbicara kepada manusia dengan

bahasa zamannya; keempat, menghindar dari sesuatu yang tidak bermafaat; kelima

bersikap moderat, antara memperlonggar dan memperketat; keenam, memberikan

hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan yang cukup.10

Terhadap prinsip yang kedua mempermudah atau memperingan ada

hubungan dengan screening saham oleh Fatwa DSN-MUI. Kaidah ini didasarkan

pada dua alasan: 1) bahwa syariah dibangun atas dasar memberikan kemudahan

dan menghilangkan kesulitan bagi manusia; 2) karakteristik zaman yang terus

berubah. Lalu bersikap moderat juga ada hubungan. Sikap moderat ini adalah sikap

yang paling banyak dipegang oleh al-Qardawi sebagaimana diakui beliau sendiri.

Moderat disini adalah sikap pertengahan, antara tafrith (meringan-ringankan)

dengan ifrath (memberat-beratkan), antara orang yang hendak melepaskan hukum

yang telah ditetapkan dan alasan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Fatwa merupakan nasihat, petuah, dan respon terhadap peristiwa hukum.

Pemberi fatwa (mufti>) dalam merespons peristiwa hukum tidak selalu atas dasar

adanya pertanyaan yang diajukan individu, masyarakat maupun lembaga tetapi

bisa juga inisiatif mufti> sendiri untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang

7Ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang

bersifat zanni>, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan

kemampuannya. Al-A<midi>, al-Ih}ka>m fi> Usu>l al-Ah}ka>m, jld 4 (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, tt), 218. 8 Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan

Realita Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut (Yogyakarta: LESFI, 2003), 84-

85. 9Mohammad Atho Mudzhar “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhy

Munawwar-Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan

Wakaf Paramadina, 1994). 10 Yusuf al-Qard}a>wi, Fata>wa Mu‘as}irah, Cet. Ke-8 (al-Qaherah: Daral-Qalam,

2000), 107-142.

80

dihadapi. Mehmood menambahkan bahwa fatwa akan dikeluarkan apabila terdapat

beberapa hal yang sangat penting bagi umat baik dalam bidang ekonomi, sosial,

pribadi, dan kepentingan umum. Selain itu, kondisi masyarakat yang berbeda juga

dapat menghasilkan pendapat hukum yang berbeda. 11 Oleh karena itu, fatwa

bersifat dinamis, situsional, kasuistik, dan temporal.

Fatwa-fatwa hukum Islam yang dikeluarkan oleh MUI ditetapkan dalam

Surat Keputusan MUI Nomor U-596/MUI/X/1997. Dalam surat keputusan ini

terdapat tiga hal, yaitu dasar umum penetapan fatwa, prosedur fatwa, teknik serta

kewenangan organisasi dalam menetapkan fatwa. Dasar umum penetapan fatwa

adillat al-ahka>m yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat dengan

berpijak pada al-Qur’an, H{adith, Ijma‘ dan qiya>s dan dalil hukum lainnya.12

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dalam menetapkan

suatu fatwa menggunakan metodologi dan argumentasi yang digunakan oleh

fuqaha>, baik imam mazhab maupun bukan, kemudian dilakukan pemilihan

pendapat yang paling kuat tanpa harus terikat dengan pendapat imam mazhab

tertentu (tarji>h). Apabila permasalahan tersebut tidak terdapat dalil qat}‘i yang

mengaturnya maka dilakukanlah dengan cara ijtiha>d jama>‘i (kolektif). Dalam

menentukan pendapat yang paling baik, komisi fatwa tidak hanya memperhatikan

kekuatan argumentasi dalam ber istinba>t, tetapi juga memperhatikan dan

mempertimbangkan pendapat yang mengandung mas}lah}at paling besar bagi

masyarakat.

Setiap negara dalam memfungsikan fatwa beragam, setidaknya dapat

dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, negara yang menempatkan syari’at Islam

sebagai dasar dan Undang-undang negara, sehingga fatwa menjadi keputusan

hukum yang sifatnya mengikat. Kedua, negara yang berdasarkan hukum sekuler,

maka fatwa tidak berperan dan tidak memiliki fungsi apapun. Ketiga, negara yang

menggabungkan antara hukum sekuler dengan hukum Islam, maka fatwa berfungsi

hanya berlaku dalam ranah hukum Islam.13

Dari ketiga pola tersebut, yang ketiga ini tentunya yang berlaku di

Indonesia, termasuk di dalamnya fatwa DSN-MUI.14 Dengan demikian, DSN-MUI

11Mehmood, M. I. “Islamic concept of Fatwa, Practice of Fatwa in Malaysia and

Pakistan: The Relevance of Malaysian Fatwa model for legal system of Pakistan Fatwa in

Islamic Law”, Mehmood, Arts Social Science Journal, 4 (9), (2015): 46–51. 12Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Persada, 2006), 196 13 J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World (New York: New

York University Press, 1959), 86. 14Umat Islam Indonesia dengan berbagai macam faham dan organisasi, sehingga

memiliki banyak lembaga fatwa. Setiap organisasi memiliki lembaga fatwa dengan nama

sendiri. Seperti Nahdatul Ulama (NU) memiliki forum kajian keagamaan dan lembaga

fatwa dengan nama Lembaga Bahthul Masa>’il, Sarekat Islam (SI) memiliki lembaga fatwa

yang disebut Majelis Syuro, Muhammadiyah memiliki lembaga fatwa yang disebut Majelis

Tarjih, Persatuan Islam (Persis) memiliki lembaga fatwa yang disebut Dewan Hisbah, al

Jami‘at al-Was}liyah memiliki lembaga fatwa yang disebut Dewan Fatwa, dan Majelis

81

merupakan mitra lembaga pemerintah yang diberi amanat oleh undang-undang

untuk menetapkan fatwa-fatwa tentang ekonomi dan keuangan syariah kepada

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam menjalankan aktivitasnya. Peraturan

perundang-undangan menyebutkan bahwa lembaga yang mempunyai otoritas

menentukan aspek kesyariahan dalam bidang ekonomi dan keuangan adalah MUI.

Lalu dibentuk lembaga khusus bernama Dewan Syariah Nasional (DSN) pada

tahun 1999. Ketentuan hukum itu bagi LKS sangat penting dan menjadi dasar

hukum utama dalam perjalanan operasinya. Tanpa adanya ketentuan hukum akan

menyulitkan LKS dalam menjalankan seluruh aktivitasnya.15

DSN-MUI merupakan satu-satunya badan yang berwenang dan mempunyai

tugas utama untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk, dan jasa

kuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa. Berdasarkan fatwa ini menjadi

pedoman bagi OJK untuk mengeluarkan peraturan dengan prinsip syariah pada

pasar modal syariah. Februari tahun 2017 DSN-MUI telah mengeluarkan 109 fatwa

yang berkaitan dengan transaksi ekonomi (fiqh mu’amalah). Fatwa-fatwa tersebut

meliputi fatwa tentang transaksi perbankan syariah, fatwa tentang pasar modal

syariah, fatwa tentang obligasi syariah, fatwa tentang ekspor-impor syariah, dan

fatwa tentang asuransi syariah.16

Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I, keberadaan DSN-MUI menjadi

penting ketika lembaga yang seharusnya mempunyai kewenangan mengurus LKS

tidak diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk merumuskan

prinsip-prinsip syariah ke dalam fatwa. DSN-MUI yang diberikan hak tersebut oleh

peraturan perundang-undangan untuk menetapkan fatwa telah mengemukakan

bahan-bahan fatwa yang diperlukan oleh lembaga regulator atau ahli perekonomian

dan keuangan syariah. Sehingga kedudukan DSN-MUI terhadap lembaga regulator

yang lain adalah sebagai mitra kerja.

Dalam keputusan MUI disebutkan bahwa DSN bertugas membantu pihak

terkait, seperti OJK dalam menyusun peraturan untuk lembaga keuangan syariah

dengan cara: 1) menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam

kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; 2)

mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan 3) mengeluarkan fatwa atas

Ulama Indonesia (MUI) juga mempunyai wadah untuk menyelesaikan masalah keagamaan

dan fatwa yang disebut Komisi Fatwa. Namun yang menjadi mitra dengan pemerintah

hanya Fatwa MUI. Murtadho Ridwan, “Analisis Penyerapan Fatwa DSN-MUI Tentang

Asuransi Syariah ke dalam PSAK 108,” ADDIN, 141-142. 15 Dalam al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m istilah muamalah berarti hukum

syariah yang berkaitan degan urusan hidup secara umum. Sementara Wahbah

mengemukakan muamalah termasuk kepada bahagian dari syariah Islam terdiri dari hukum-

hukum ‘amali, yaitu hukum yang berkaitan dengan bidang ibadah dan hukum yang

berkenaan dengan bidang muamalah. Louis Ma’luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A‘la>m (Beiru>t: Da>r al-Mashriq, 1986), 531. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz 2 (Damsyiq: Da>r al-Fikr), 19.

16https://dsnmuiinstitute.com/profil/ (diakses 23 September 2018).

82

produk dan jasa keuangan syariah, dan 4) mengawasi penerapan fatwa yang telah

dikeluarkan. 17

Secara operasional DSN berwenang untuk 1) mengeluarkan fatwa yang

mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masig lembaga keuangan syariah

dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait 2) mengeluarkan fatwa yang

menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang

berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia 3) memberikan

rekomendasi dan /atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk

sebagai dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah 4)

mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam

pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam

maupun luar negari, dan 5) memberikan peringatan kepada lembaga keuangan

syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh

DSN.

3. Metodologi penetapan Fatwa DSN-MUI

Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan

kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum-hukum yang dalam

penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (al-nus}us al-shari>‘ah)

menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang terus

muncul, seiring perkembangan zaman yang tidak tercakup dalam nas}-nas}

keagamaan yang tersurat. Di sinilah kemudian pentingnya peran fatwa sebagai

peran sentral guna menjawab berbagai macam persoalan tersebut.18

Fatwa MUI berdasarkan forum yang menetapkannya terbagi empat jenis,

hal ini sebagaimana terdapat dalam website resmi MUI. Pertama, fatwa yang

dihasilkan melalui rapat Komisi Fatwa MUI. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi

Fatwa MUI diikuti oleh seluruh anggota Komisi Fatwa dengan melakukan

pengkajian terhadap suatu permasalahan. Misalnya komisi fatwa tentang hukum

menggunakan atribut non muslim. Sebelum membahas sebuah masalah, rapat

terlebih dahulu mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat dari Mustafti (orang atau lembaga yang meminta fatwa) ataupun para ahli dalam bidang yang

berkaitan dengan masalah tersebut, sehingga menghasilkan fatwa yang tepat.

Kedua, fatwa yang dihasilkan melalui Musyawarah Nasional (Munas)

MUI. Pelaksanaan Munas MUI lima tahun sekali, terakhir pada tahun 2015. Di

antara fatwa yang dihasilkan fatwa kriminalisasi hubungan suami istri dan fatwa

tentang pendayagunaan Ziswaf untuk pembangunan sarana air bersih.

Ketiga, fatwa yang dihasilkan melalui rapat Dewan Syariah Nasioanal

(DSN). Fatwa yang dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam

adanya penerapan perekonomian dan keuangan sesuai dengan tuntunan syariah

17Keputusan DSN-MUI Nomor 01 Tahun 2000. 18 Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia Kajian Kritis

tentang Karakteristik, Praktik, dan Implikasinya (Jakarta: Gramedia, 2016), 159-163.

83

Islam. Misalnya, fatwa asuransi syariah, saham syariah, reksadana syariah, dan

lain-lain.

Keempat, fatwa yang dihasilkan melalui Ijtima‘ Ulama. Merupakan fatwa

hasil pertemuan seluruh komisi fatwa se-Indonesia terdiri dari Komisi Fatwa Pusat

dan Provinsi, Lembaga Organisasi Kemasyarakatan Islam tingkat pusat, dan unsur

pesantren serta Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia dalam rangka membahas

masalah-masalah strategis kebangsaan dan keummatan. Misalnya hasil ijtima’

terakhir dilaksanakan pada tahun 2015 menghasilkan keputusan tentang kedudukan

pemimpin yang tidak menempati janji, kriteria pengkafiran, radikalisme agama,

penyerapan hukum Islam ke dalam hukum nasional. Dari keempat jenis fatwa

tersebut fatwa ijtima’ ulama memiliki posisi yang lebih kuat karena ini merupakan

hasil pembahasan yang dilakukan oleh ulama se Indonesia.

Menurut Rumadi Ahmad ada empat fase yang dilalui dalam mengkaji

metodologi penetapan fatwa MUI sejak awal berdirinya.19 Fase pertama (1975-

1986), ditandai dengan tidak adanya pedoman baku dalam menetapakan fatwa.

Beberapa fatwa menurut Atho Mudzhar merujuk kepada al-Qur’an dan hadits, atau

merujuk pada naskah fikih, namun ada juga yang tidak menggunakan dalil sama

sekali dalam menetapkan fatwa. 20 Fase kedua (1986-1997), ditandai dengan

terbitnya Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa yang ditetapkan melalui rapat

pengurus MUI tanggal 18 Januari 1986. Pedoman tersebut terdiri dari 5 pasal,

antara lain menyatakan: Dasar-dasar fatwa disebutkan yaitu al-Qur’an, Sunnah,

ijma’ dan qiyas. Metode yang digunakan dalam menetapkan fatwa harus melalui

Komisi Fatwa. Dalam rapat Komisi Fatwa tersebut selain dihadiri oleh para

anggota Komisi juga mengundang tenaga ahli sebagai peserta rapat apabila

dipandang perlu.

Fase Ketiga (1997-2002), melakukan pembaharuan terhadap pedoman

tahun 1986 dengan membuat pedoman baru yang diputuskan tanggal 2 Oktober

1997 melalui SK Dewan Pimpinan MUI Nomor: U-596/MUI/IX/1997. Dari segi isi

tidak begitu banyak perubahan dengan yang sebelumnya, namun di dalamnya

menjelaskan lebih rinci prosedur penetapan fatwa. Fase keempat (2003 –

sekarang), terbitnya pedoman dan prosedur dalam penetapan fatwa MUI dalam

ijtima’ ulama tahun 2003.

Secara garis besar, dari keempat fase tersebut bahwa tidak ada perbedaan

yang mendasar. Perbedaannya hanya pada penempatan klausul-klausul, misalnya

klausul mengenai keharusan meninjau pendapat ulama, dalam SK 1997

ditempatkan pada Dasar Umum sementara dalam Pedoman 2003 ditempatkan pada

metode. Perbedaan lainnya adalah dimasukkannya beberapa ketentuan baru pada

pedoman 2003 yang belum diatur sebelumnya, seperti dimasukkannya aspek

maqa>s}id al-Syari>‘ah sebagai satu pertimbangan penting dalam pembuatan fatwa.

Ma’aruf Amin menjelaskan, bahwa ada tiga pendekatan atau metode yang

dipergunakan dalam menetapkan fatwa, yaitu pendekatan nas} qat}‘i, pendekatan

19Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antaragama, 156.

20Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, 80.

84

qauli dan pendekatan manha>ji.21 Melaui ketiga pendekatan itu, setiap persoalan

yang muncul diharapkan akan mampu terjawab. Pertama, pendekatan nas} qat}‘i digunakan dengan mendasarkan fatwa pada nas} al-Qur’an dan hadits. Kedua, pendekatan qauli adalah pendekatan dalam menetapkan fatwa dengan mendasarkan

pada pendapat para imam madzhab dalam kitab-kitab terkemuka (al-kutu>b al-mu‘tabarah). Pendekatan ini menurut Amin memiliki beberapa persyaratan, yaitu

hanya terdapat satu pendapat yang dianggap masih relevan dengan konteks

kekinian serta illat nya tidah berubah.

Pendekatan ketiga (manha>ji). Pendekatan ini baru bisa dipergunakan jika

kedua pendekatan sebelumnya tidak dapat menjawab permasalahan yang akan

difatwakan. Pendekatan ini diterapkan dengan menggunakan kaidah-kaidah pokok

(al-qawa>‘id al-us}u>li>yah) ditambah metodologi yang dikembangkan oleh imam-

imam madzhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan ini

dilakukan melalui ijtihad kolektif (ijtiha>d jama>‘i) 22 dengan menggunakan metode

al-jam‘u wa al-taufiq (menemukan titik temu di antara pendapat para imam

madzhab), tarji>h}i> (memilih pendapat yang paling kuat dalil dan argumentasinya)

dengan cara perbandingan madzhab, ilha>qi (mencari padanan kasus dengan kasus-

kasus yang ada dalam kitab-kitab mu’tabarah) dan istinba>ti> (menggunakan qiya>s,

istis}la>hi, dan sadd al-adhari‘ah) dengan tetap senantiasa memperhatikan

kemaslahatan umum (masha>lih al-‘a>mmah dan maqa>s}id al-Syari>‘ah).23

Dalam konteks pengembangan lembaga kuangan syariah, Frank E. Vogel

memetakan bahwa terdapat empat metode yang biasa digunakan ulama untuk

mengembangkan produk lembaga keuangan syariah. Pertama, melakukan ijtihad

langsung dari sumber hukum, yakni al-Qur’an dan Sunnah, yang bertujuan untuk

menemukan instrumen hukum baru yang belum pernah dirumuskan oleh para

ulama sebelumnya. Kedua, ijtihad tidak langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, yaitu

dengan memilih pendapat ulama yang sudah ada. Metode memilih ini memiliki

tiga kriteria dalam melakukan proses pemilihan. Kriteria itu tersusun dari yang

paling ambisius, karena ketatnya, sampai pada yang paling longgar. Kriteria

pertama, kembali pada al-Qur’an dan Sunnah dan kaidah untuk menentukan

pendapat terbaik atau paling kuat berdasar teks wahyu. Kriteria kedua,

mengevaluasi sebuah pendapat dengan aturan internal yang ditetapkan mazhab

tertentu. Kriteria ketiga, menguji pendapat yang mana yang paling dapat

melahirkan kemaslahatan umum. Kriteria terakhir ini disebut oleh Vogel sebagai

utilatarian choice. Metode ketiga, mengizinkan seseorang untuk mengadopsi

sebuah ketentuan, termasuk produk keuangan konvensional, walaupun

21Ma‘ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Islam (Jakarta: LeKAS, 2007), 261. 22 Pengertian Ijtiha>d Kolektif menurut Musfiri>n al-Qaht}a>n adalah pengerahan

segala kemampuan mayoritas pakar dalam mengetahui hukum shara‘ dan kesepakatan

mereka atasnya setelah dilakukan musyawarah. Musfiri>n al-Qaht}a>n, Manhaj Istinba>t} Ahka>m al-Nawa>zil al-Fiqhiyah al-Mu‘a>s}irah ( Jiddah: Da>r Ibn Hazam, 2010 ), 233.

23KH. Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: eLSAS, 2017),

269-271. Lihat juga Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta:

Erlangga), 5-6.

85

bertentangan dengan ketentuan syariah karena alasan d}aru>rah (necessity). Metode

keempat, mencari jalan keluar dari kebuntuan hukum dengan terobosan hukum

melalui celah hukum yang masih ada (the legal artifices hiyal).24

Dengan demikian dapat dipahami jika melihat keempat metode Vogel

tersebut dapat dikategorisasikan menjadi dua kelompok. Hal ini sebagaimana

diungkapkan oleh al-Zaybari dalam Sofian Hakim yaitu dua metode pertama Vogel

termasuk fatwa tergolong ketat (al-Tashdi>d fi> al-Fatwa>), ditandai dengan

pengembangan produk lembaga keuangan syariah yang selau merujuk pada teks al-

Qur’an dan hadits atau pendapat ulama dalam memahami teks. Lalu untuk dua

metode terakhir termasuk fatwa yang longgar (al-Taysi>r fi> al-Fatwa>). Disebut

longgar karena masih ada peluang untuk menyisakan celah hukum. 25

B. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

1. Sejarah singkat pembentukan OJK

Sejarah awal sebelum berganti nama menjadi Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) dinamakan dengan Bapepam. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52

Tahun 1976 tentang Pasar Modal. Bapepam merupakan Badan Pelaksana Pasar

Modal, yakni pihak yang melakukan pengelolaan, pengaturan, penilaian, dan

pengawasan di bursa efek. Bapepam dipimpin oleh seorang ketua yang diangkat

oleh presiden, dan dalam melaksanakan tugasnya, ia bertanggung jawab kepada

menteri Kuangan RI. Pada mulanya, terjadi dualisme dalam pelaksanaan tugas

Bapepam ini, yaitu selain bertindak sebagai penyelenggara, juga bertindak sebagai

pembina dan pengawas. adanya dualisme ini ditemukan hambatan-hambatan

akhirnya dihilangkan dengan keluarnya Kepres Nomor 53 Tahun 1990 tentang

Pasar Modal dan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1548 Tahun 1990.

Lahirnya kedua peraturan ini akhirnya dualisme pelaksanaan tugas dihapus

sehingga lembaga ini dapat memfokuskan diri pada pengawasan dan pembinaan

pasar modal.26

Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal yang

mencabut Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1976 telah mengubah Bapepam

dari Badan Pelaksana Pasar Modal menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. 27

24Frank E. Vogel and Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance; Religion, Risk

and Return (The Hague: Kluwer Law International, 1998), 34. 25Sofian Hakim, Dinamika Fatwa Mudharabah dan Murabahah di Indonesia dan

Malaysia (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2019), 36-37. 26Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Hukum Pasar Modal di Indonesia (Jakarta:

Sinar Grafika, 2009), 12. 27Secara umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 mengatur kewenangan dan

tugas dari Bapepam sebagai: 1) Lembaga pembina; 2) Lembaga pengatur; 3). Lembaga

pengawas. Ketiga kewenangan ini dilakukan oleh Bapepam dengan tujuan mewujudkan

terciptanya pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien serta melindungi kepentingan

pemodal dan masyarakat. (Pasar 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995).

86

Dengan demikian, Bapepam dipisahkan dari Bursa Efek karena menimbulkan

konflik kepentingan. Bagaimana mungkin sebuah badan dapat melaksanakan

fungsinya secara maksimal kalau mempunyai fungsi ganda? Di satu sisi berfungsi

mengelola kegiatan pasar modal sementara pada sisi lain mempunyai kewenangan

mengeluarkan serangkaian regulasi untuk mengatur mekanisme di pasar modal dan

pada saat yang sama mempunyai fungsi melakukan pengawasan terhadap sebuah

kegiatan yang dilakukannya sendiri. Atas dasar itulah, Bapepam dipisahkan dari

Bursa Efek, Bapepam difungsikan sebagai Otoritas Pengawas di pasar modal.

Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor KMK

606/KMK.01/2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, organisasi unit eselon I

Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan unit eselon I Direktorat Jenderal

Lembaga Keuangan (DJLK) digabungkan menjadi satu organisasi unit eselon I,

yaitu menjadi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-

LK).

Perubahan terakhir dan berlaku sampai sekarang diganti menjadi Otoritas

Jasa Keuangan (OJK). OJK lahir berawal dari terbitnya Undang-undang Nomor 21

Tahun 2011. Dengan penerbitan dan berlakunya UU OJK tersebut menandakan

terjadinya pergeseran model pengawasan dalam industri keuangan, pengawasan

Bank yang selama ini berada dibawah pengawasan Bank Indonesia (BI) dan

pengawasan pada lembaga keuangan non bank yang berada dibawah pengawasan

Badan Pengawas Pasar Modal maupun Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), yang

dilimpahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan demikian, kehadiran

OJK menyebabkan semua industri jasa keuangan akan disatukan pengawasannya di

bawah satu atap, sehingga tidak ada lagi saling lempar tanggung jawab terhadap

pengawasannya. Sistem pengawasan terpadu ini juga akan semakin memudahkan

dalam pertukaran informasi antar lembaga keuangan.28

Setelah Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 disahkan, Presiden Republik

Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Juli 2012 menetapkan

struktur organisasi OJK terdiri dari sembilan anggota dewan komisioner Otoritas

Jasa Keuangan, termasuk dua anggota komisioner ex-officio dari Kementerian

Keuangan dan Bank Indonesia serta menetapkan tujuh anggota pelaksana kegitan

operasional.

Struktur Dewan Komisioner terdiri atas:

a. Ketua merangkap anggota;

b. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite merangkap anggota;

c. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;

d. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;

e. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;

28 Muhammad Fakhri Amir “Peran Dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Dalam Sistem Keuangan Di Indonesia (Perspektif Hukum Islam), Al-Amwal, Vol 5 No. 1 (Maret 2020).

87

f. Kepala Dewan Audit merangkap anggota;

g. Anggota yang membidangi Edukasi dan perlindungan konsumen;

h. Anggota ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan

Gubernur Bank Indonesia; dan

i. Anggota ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat

setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

Sementara pelaksana kegiatan operasional terdiri atas:

a. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I;

b. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II;

c. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan sektor

Perbankan;

d. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan

Sektor Pasar Modal;

e. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang

Pengawas sektor IKNB;

f. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko;

dan

g. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen

memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.

Gambar 3.2

Sturuktur Organisasi OJK

Sumber: www.ojk.go.id

Struktur organisasi OJK sebagaimana terdapat dalam Gambar 3.2

menunjukkan bahwa setiap Kepala Eksekutif dibantu oleh Deputi Komisioner dan

Kepala Departemen yang masing-masing membawahi suatu bidang yang spesifik.

88

Misalnya, Kepala Eksekutif Pasar Modal dibantu oleh Deputi Komisioner

Pengawas Pasar Modal I dan Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II. Di

bawah dua Deputi Komisioner tersebut ada Departemen Pengawasan PM 1A,

Departemen Pengawasan PM 1B, Departemen Pengawasan PM 2A dan

Departemen Pengawasan PM 2B.

2. Fungsi dan Tugas OJK tehadap Pasar Modal Syariah

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang

terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Hal ini sejalan

dengan tujuan dibentuknya OJK yaitu: Pertama, agar keseluruhan kegiatan di

dalam sector jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan

akuntabel. Kedua, Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil. Ketiga, Mampu melindungi kepentingan konsumen dan

masyarakat. Disamping itu tujuan pembentukan OJK ini agar BI fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor perekonomian.29

Dalam sektor pasar modal OJK memiliki peran khusus, di antaranya

memperkuat dasar hukum, mengupayakan insentif untuk produk syariah,

memperluas peran pelaku pasar modal syariah, memperkuat landasan hukum pada

transaksi di dalam pasar modal syariah.30

Adapun tugas pokok Otoritas Jasa Keuangan pada sektor pasar modal

antara lain:

a. Menyusun peraturan pelaksanaan bidang Pasar Modal.

b. Melaksanakan Protokol Manajemen Krisis Pasar Modal.

c. Menetapkan ketentuan akuntasi di bidang Pasar Modal.

d. Merumuskan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di bidang Pasar

Modal.

e. Melaksanakan analisis, pengembangan dan pengawasan Pasar Modal termasuk

Pasar Modal Syariah.

f. Melaksanakan penegakan hukum di bidang Pasar Modal.

g. Menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh

OJK, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga

Penyimpanan dan Penyelesaian.

h. Merumuskan prinsip-prinsip Pengelolaan Investasi, Transaksi dan Lembaga

Efek, dan tata kelola Emiten dan Perusahaan Publik.

i. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperolah izin

usaha, persetujuan, pendaftaran dari OJK dan pihak lain yang bergerak di

bidang Pasar Modal.

j. Memberikan perintah tertulis, menunjuk dan/atau menetapkan penggunaan

pengelola statuter terhadap pihak/lembaga jasa keuangan yang melakukan

29Irham Fahmi, Manajemen Perbankan Konvensional & Syariah (Jakarta, Mitra

Wacana Media. 2015), 21. 30https://www.kompasiana.com (diakses 12 Februari 2018).

89

kegiatan di bidang Pasar Modal dalam rangka mencegah dan mengurangi

kerugian konsumen, masyarakat dan sektor jasa keuangan.

k. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Dewan Komisioner.

Pelaku pasar modal yang mencakup pengawasan Otoritas Jasa Keuangan

ini antara lain, perusahaan efek, wakil perusahaan efek, pengelolaan investasi,

emiten dan perusahaan publik, Lembaga dan profesi penunjang pasar modal serta

pasar modal syariah. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang dibuat untuk sektor

pasar modal juga mencakup hal yang paling terkecil. Misalnya, POJK Nomor

29/POJK.04/2017 tentang laporan Wali Amanat atau POJK Nomor

23/POJK.04/2017 tentang Prospektus Awal dan Info Memo.

90

91

BAB IV

SCREENING SAHAM SYARIAH MENURUT

FATWA DSN-MUI DAN PERATURAN OJK

Sejarah panjang perkembangan pasar modal di Indonesia, hingga 1970

sebagian besar masyarakat muslim tidak dapat terlibat dalam investasi di pasar

modal. Hal ini disebabkan karena larangan Islam pada aktivitas-aktivitas bisnis

tertentu. Untuk memenuhi kepentingan pemodal yang ingin menjalankan kegiatan

investasinya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah, maka di sejumlah bursa efek

syariah di dunia telah disusun indeks dengan melakukan filterisasi terlebih dahulu,

agar kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.1

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa setiap negara

memiliki metodologi berbeda-beda dalam proses dan menetapkan standarisasi

screening saham syariah.2 Perbedaan tersebut didasari oleh tidak adanya regulasi

yang sama pada setiap dewan syariah dalam menghasilkan fatwa pada masing-

masing negara.

Untuk membahas lebih lanjut, pada sub-sub bab berikut ini akan menelaah

secara mendalam terhadap fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh DSN-MUI dan

Peraturan OJK terkait kebijakan screening saham syariah yang mempengaruhi

perkembangan saham syariah di Indonesia.

A. DSN-MUI dalam Menetapkan Fatwa Standar Screening Saham Syariah

Keberadaan Fatwa DSN-MUI menjadi standar tunggal untuk meyakinkan

masyarakat yang ingin menjalankan bisnis ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip

syariah. Keberadaan fatwa telah mengalami pergeseran, jika secara teoritik fatwa

tidak mengikat, namun secara de jure dan de facto sebenarnya mengikat. Artinya,

fatwa akan mengikat industri khususnya di bidang keuangan syariah. 3 Hal ini

sebagaimana pernyataan fatwa DSN bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI

1Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah

(Jakarta: Kencana, 2008), 45. 2Untuk negara-negara Asean berdasarkan temuan Ardiansyah, dkk. memiliki dua

kecenderungan berbeda. Bagi negara dengan mayoritas penduduknya muslim dibuktikan

dengan banyaknya ahli syariah, maka mereka akan menggunakan model screening berdasarkan kebijakan lembaga fatwa yang ada di negara tesebut, seperti Indonesia dan

Malaysia, sementara bagi negara yang mayoritas bukan muslim, mereka lebih cenderung

menggunakan model screening yang banyak digunakan secara global, misalnya DJIM,

FTSE, dll. Model yang kedua ini dianut oleh Singapura, Thailand, dan Filipina. Lihat M.

Ardiansyah, dkk., “Telaah Kritis Model Screening Saham Syariah menuju Pasar Tunggal

ASEAN.” Ijtihad Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol. 16, No. 2 (2016):

197-216. 3Laldin, M. A., Khir, M. F. A., & Parid, N. M. “Fatwas in Islamic Banking: a

Comparative Study Between Malaysia and Gulf Cooperation Council (Gcc Countries),

International Shari’ah Reseach Academy for Islamic Finance ISRA INCEIF, (2012):1–40.

92

mengikat bagi perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia,

meskipun pengikatan fatwa DSN-MUI melalui proses otorisasi dari regulator

(pemerintah). Namun, keberadaan fatwa menjadi dasar bagi peraturan Bank

Indonesia, Kementerian Keuangan, Pasar Modal, dan lembaga regulasi lainnya

dalam menetapkan peraturan atau undang-undang yang berlaku.4

Di samping itu, isu nilai-nilai syariah pada perusahaan yang ditetapkan

oleh dewan fatwa menjadi suatu hal penting yang sangat diperhatikan oleh banyak

investor, baik individu dan institusi. Kebanyakan investor menjadi tertarik untuk

menginvestasikan uangnya pada industri keuangan syariah karena dianggap

sebagai industri etis dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ini artinya, ada

beberapa investor religius yang tidak hanya berinvestasi untuk mencari uang

(profit) tetapi juga harus patuh pada nilai-nilai syariah. Investor jenis ini terutama

berasal dari Timur Tengah yang merupakan investor kaya yang memiliki banyak

uang, berusaha untuk berinvestasi hanya pada saham-saham yang sesuai dengan

syariah.5

Oleh karenanya, pertumbuhan dan perkembangan luar biasa dalam industri

keuangan global tentunya tidak terlepas peran dari dewan syariah. Salah satu

bidang yang mempengaruhi pertumbuhan keuangan Islam baru-baru ini adalah

investasi di pasar saham internasional. Menurut Thomson Reuters sebagaimana

dikutip oleh Yildirim dan Ilhan melaporkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata

8% per tahun, dengan aset dana Islam yang dikelola sekitar USD 65 miliar pada

tahun 2015 dan USD 88 miliar pada tahun 2020.6

DSN-MUI tentunya juga berperan sangat penting terhadap perkembangan

LKS di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan, LKS mampu bertahan tidak terlepas

dari pengawasan DSN-MUI. Sebagaimana menurut Herwidyatmono, bahwa DSN

mempunyai wewenang penuh untuk memberikan keputusan tentang berhak

4 Hasanuddin mencatat bahwa ada banyak peraturan lembaga negara yang

bersumber dari fatwa DSN-MUI, baik di lembaga perbankan maupun non bank. Misalnya

1) Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor per-04/BI/ 2007 Tentang akad-akad yang

digunakan dalam kegiatan perusahaan pembiyaan berdasarkan prinsip syariah, tanggal 10

Desember 2007. Peraturan ini mengatur tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan

di pasar modal sesuai dengan prinsip syariah. Peraturan ini dipengaruhi oleh Fatwa DSN

tentang akad-akad. 2) peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga

Keuangan Nomor: Per-03/BI/2007 Tentang kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah. Dalam ketentuan ini selain mengakui keberadaan DSN-MUI dan DPS, juga

diatur tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan pembiyaan syariah. Hasanudin,

“Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia.” (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 146-148. 5Pok, W. C., “Analysis of Syariah Quantitative Screening Norms Among Malaysia

Syariah-Compliant Stocks”, Investment Management and Financial Innovations,

9 (2), (2012): 69–80. 6 Ramazan Yildirim dan Bilal Ilhan, “Shari’ah Screening Methodology – New

Shari’ah Compliant Approach”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol.

14, No. 1, (January-March, 2018): 168-189.

93

tidaknya sebuah efek menyandang label syariah. Hal ini sesuai dengan tugas DSN

yang memberikan fatwa-fatwa sehubungan dengan kegiatan emisi, perdagangan,

pengelolaan pertofolio efek-efek syariah, dan kegiatan lainnya yang berhubungan

dengan efek-efek syariah.7

DSN-MUI juga mempunyai hubungan yang erat dengan permasalahan di

pasar modal syariah bahkan berfungsi sebagai pusat referensi (reference center) atas semua aspek-aspek syariah. Salah satunya fatwa tentang screening saham

syariah yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Menurut penulis, fatwa DSN tentang

screening saham walaupun secara eksplisit tidak dibunyikan pada Surat Keputusan

tentang screening namun dari keputusan hukum yang dihasilkan dapat dipahami

bahwa ada standarisasi hukum yang harus dipatuhi oleh emiten sebelum

perusahaan tersebut terdaftar pada Daftar Efek Syariah (DES).

Dikeluarkannya fatwa biasanya karena adanya permintaan fatwa (mustafti) dari pemerintah ataupun masyarakat terhadap permasalahan yang sedang aktual

pada saat itu, pun demikian fatwa screening saham syariah DSN menerbitkan

fatwa tersebut berdasarkan kepada kebutuhan negara dan masyarakat melakukan

investasi pada pasar modal. Pasar modal yang sudah ada dianggap tidak sesuai

dengan prinsip-prinsip syariah, sehingga diperlukan fatwa khusus tentang pasar

modal untuk dijadikan pedoman bagi para pelaku ekonomi syariah dalam

melakukan investasi pada pasar modal.

1. Fatwa DSN-MUI tentang Screening Saham Syariah

Fatwa yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah Fatwa DSN

Nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan

Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. Bila diperhatikan dari ketiga metode

penetapan fatwa, jika dilihat pada persoalan hukum pasar modal tepatnya saham

syariah tentunya timbul pertanyaan, pendekatan mana yang digunakan oleh DSN-

MUI, sehingga saham tidak dilarang dalam syariah Islam karena telah memenuhi

prinsip-prinsip syariah. Untuk pendekatan yang pertama misalnya, yakni nas} qat}‘i tentunya tidak tepat karena tidak ada nas} secara eksplisit membolehkan jual beli

saham dalam al-Qur’an dan hadits, sementara untuk pendekatan yang kedua

(pendekatan qauli) juga tidak terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab persoalan saham

adalah masalah baru yang belum ada dalam kitab-kitab terkemuka (al-kutu>b al-mu‘tabarah) di samping itu tidak semua ulama dan imam-imam mazhab fiqh

sepakat membolehkan adanya praktik saham. Lalu untuk pendekatan yang ketiga

(manha>ji), tentunya perlu dikaji secara mendalam, sebab manha>ji terbagi lagi

menjadi beberapa bagian.

Oleh karena itu, permasalahan ini harus direspon dan dicari jawabannya,

sebab tidak mungkin berbagai macam masalah tersebut dibiarkan tanpa ada

jawaban, dengan alasan tidak ada nas{ atau tidak ada qaul dalam al-kutu>b al-mu‘tabarah atau karena masalah itu belum pernah dilontarkan ulama terdahulu

7Herwidyatmono, “Prinsip-prinsip Pengaturan Pasar Modal Syariah di Indonesia,”

Makalah Peluncuran Pasa Modal Syariah, Jakarta (2003).

94

atau suatu kebijakan yang belum pernah ditetapkan oleh ulama terdahulu.

Karenanya, perlu adanya suatu manha>j yang dijadikan pedoman untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan baru tersebut.8 Ditetapkannya fatwa tersebut

tujuan utamanya jelas untuk membolehkan lembaga keuangan non bank termasuk

jual beli saham dengan berbagai argumen yang dijelaskan pada bagian konsideran

fatwa.9

Secara umum, setiap fatwa yang dihasilkan dapat dipetakan menjadi tiga

bagian, yaitu konsideran (pertimbangan-pertimbangan), isi atau substansi fatwa,

dan penutup. Pada bagian konsideran fatwa tersebut, terlihat setidaknya ada tiga

hal yang menjadi pertimbangan DSN-MUI menetapakan fatwa tersebut. Yakni,

pertimbangan secara sosial-ekonomi, juridis-formal, dan berupa dalil-dalil al-

Qur’an, hadits, dan kaidah-kaidah fiqh.

Menurut Mudzhar, fatwa itu sendiri berupa pernyataan-pernyataan yang

diumumkan baik oleh komisi Fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriyah fatwa

pada intinya tidak ada perbedaan yang mendasar, biasanya dimulai dengan

keterangan bahwa komisi telah melakukan sidang pada tanggal tertentu berkaitan

dengan pertanyaan yang diajukan oleh orang atau badan tertentu. Kemudian

dilanjutkan dengan dalil-dalil sebagai dasar penetapan. Dalil-dalil biasanya dimulai

dengan ayat al-Qur’an disertai hadits-hadits yang terkait ditambah pendapat para

ulama dalam kitab-kitab fiqh. Dalil rasional juga diberikan sebagai keterangan

pendukung. Setelah itu barulah diberikan pernyataan fatwa itu sendiri dan biasanya

dicantumkan di bagian akhir.10

Pertimbangan yang bersifat sosial-ekonomi dari fatwa tersebut terdapat

empat alasan. Pertama, perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari

perkembangan pasar modal; kedua, pasar modal berdasarkan prinsip syariah telah

dikembangkan di berbagai negara; ketiga, umat Islam Indonesia memerlukan Pasar

modal yang aktivitasnya sejalan dengan prinsip syariah; keempat, untuk memenuhi

kebutuhan tersebut, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan

fatwa tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di

Bidang Pasar Modal.

Pertimbangan yang berupa dalil nas} al-Qur’an, Hadits, dan kaidah fiqh.

Secara umum, pertimbangan yang berupa dalil dapat dikelompokkan menjadi tiga.

Ayat al-Qur’an sebanyak 5 ayat, hadits nabi Muhammad Saw sebanyak 10 hadits

dan 2 kaidah fiqh.

Lima ayat tersebut terdiri dari: QS. al-Baqarah [2]: 275 tentang kehalalan

jual beli dan keharaman riba; QS. al-Baqarah [2]:278-279 tentang perintah untuk

meninggalkan sisa-sisa riba sebagai tanda orang yang beriman; QS. al-Nisa>’ [4]: 29

tentang larangan memakan dengan cara yang batil; QS. al-Jumu‘ah [62]: 10

tentang boleh bertebaran untuk mencari rizki dengan syarat telah menunaikan

8Ma‘ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Islam, 257. 9 Fatwa DSN Nomor 40/DSN-MUI/X/2003. 10Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, 80.

95

kewajiban shalat; dan QS. al-Ma>’idah [5]: 1 tentang sebagai tanda orang beriman

akan menjaga dengan baik akad-akad jangan sampai terjadi kecurangan.

Sepuluh Hadits yang dijadikan dalil adalah: 1) HR. Ibn Ma>jah dari ‘Uba>dah

ibn Sha>mit, Ah{mad dari ibn ‘Abbas, dan Ma>lik dari Yah}ya tentang tidak boleh

membahayakan diri sendiri dan begitu juga orang lain; 2) HR. al-Khomsah dari

Hukaim ibn H{iza>m) tentang larangan menjual sesuatu yang tidak ada pada diri

kita; 3) HR. al-Khomsah dari ‘Amr ibn Syu’aib tentang tidak halal (memberikan)

pinjaman dan penjualan, tidak halal (menetapkan) dua syarat dalam suatu jual beli,

tidak halal keuntungan sesuatu yang tidak ditanggung resikonya, dan tidak halal

(melakukan) penjualan sesuatu yang tidak ada padamu; 4) HR. al-Baihaqi> dari Ibn

Umar tentang larangan praktek jual beli gharar; 5) HR. Muttafaq ‘alaih tentang

larangan melakukan penawaran palsu (al-najs); 6) HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi,

dan al-Nasa>’i tentang larangan praktek pembelian ganda pada satu transaksi

pembeliaan; 7) HR. Baihaqi dari Hukaim ibn Hizam tentang larangan menjual

sesuatu hingga kita memilikinya; 8) HR. Al-Tirmizi dari ‘Amr ibn ‘Auf tentang

pentingnya perdamaian kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau

menghalalkan yang haram. 9) HR. Abu> Dawud, al-Da>r quthni, al-H{a>kim, dan al-

Baihaqi tentang pentingnya kejujuran dan berbisnis; 10) HR. Muslim tentang

tidaklah melakukan ihtikar (penimbunan/monopoli) kecuali orang yang bersalah.

Sedangkan kaidah fiqh yang dijadikan dalil ada dua macam. Pertama,

hukum pokok dalam bermuamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang

menunjukkan keharamannya.11 Kedua, tidak boleh melakukan perbuatan hukum

atas milik orang lain tanpa seizinnya.12

Pertimbangan terakhir yang bersifat yuridis formal adalah: Pertama,

pendapat para ulama: 1) pendapat Ibn Quda>mah dalam al-Mughni tentang

bolehnya dua orang bermitra membeli porsi mitra serikatnya karena membeli pihak

lain; 2) pendapat Wah}bah al-Zuhaili> tentang bertransaksi dengan saham hukumnya

boleh; 3) pendapat banyak ulama yang membolehkan jual beli saham pada

perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan

oleh Dr. Muhammad ‘Abd al-Ghaffar al-Syari>f, Dr. Muhammad Yu>suf Musa; Dr.

Muhammad Rawas Qal’ahji; Shaikh Dr. ‘Umar ibn ‘Abd ‘Azi>z al-Matrak. 4)

Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi suatu surat

berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat

berharga (bi-idhni sha>rikihi). Dalam Al-Majmu‘ Sharh al-Muhadhzab IX/265 dan

Al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuhu IV/881; 5) Keputusan Muktamar ke-7 Majma‘

Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah tentang boleh menjual atau menjamin saham

dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan.

Kedua, Keputusan dan Rekomendasi Lokakarya Alim Ulama tentang

Reksa Dana Syariah tanggal 24-25 Rabi’ul Awal 1417 H/ 29-30 Juli 1997 M.

Ketiga, Undang-Undang RI nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Keempat,

األصل ىف املعامال ت األابحة ما مل يدل دليل على حترميها 11 ال جيوز ألأ حد أن يتصرف يف ملك الغري بال إذنه 12

96

SK DSN - MUI No. 01 Tahun 2001 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah

Nasional. Kelima, Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan Bapepam tanggal

14 Maret 2003 M./ 11 Muharram 1424 H dan Pernyataan Bersama Bapepam, APEI,

dan SRO tanggal 14 Maret 2003 tentang Kerjasama Pengembangan dan

Implementasi Prinsip Syariah di Pasar Modal Indonesia. Keenam, Nota

Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SRO tanggal 10 Juli 2003 M/ 10 Jum.

Awal 1424 H tentang Kerjasama Pengembangan dan Implementasi Prinsip Syariah

di Pasar Modal Indonesia. Ketujuh, Workshop Pasar Modal Syariah di Jakarta pada

14-15 Maret 2003 M/11-12 Muharram 1424 H; Kedelapan, Pendapat peserta Rapat

Pleno Dewan Syariah Nasional MUI pada hari Sabtu, tanggal 08 Sya’ban 1424

H./04 Oktober 2003 M.13

2. Analisis terhadap Fatwa DSN-MUI dan Kaitannya dengan Screening Saham

Syariah

Berdasarkan isi dari konsideran fatwa tersebut di atas, jika diperhatikan

metode yang gunakan lebih kepada pendekatan minha>ji. Hal ini dapat dilihat dari

beberapa faktor: 1) pertimbangan sosial-ekonomis lebih dikarenakan permintaan

negara terhadap perkembangan pasar modal dan keinginan umat Islam memiliki

pasar modal sesuai dengan prinsip syariah. 2) dilihat dari dalil baik al-Qur’an dan

Hadits tidak ada yang secara tegas menyinggung masalah saham, walaupun

mencantumkan banyak ayat dan hadits tapi penggunaannya masih bersifat umum

dan tidak bersinggungan langsung dengan saham syariah pada pasar modal. Lain

halnya ketika DSN menjelaskan pada aspek yuridis formal, dijelaskan lebih tegas

dan komprehensif berdasarkan pendapat para ulama dengan pendekatan ijtihad

kolektif (ijtiha>d jama>‘i) melalui metode al-jam‘u wa al-taufi>q (menemukan titik

temu di antara pendapat para imam madhhab), seperti pendapat Ibn Qudamah,

Wahbah al-Zuhaili, Muhammad ‘Abd al-Ghaffar al-Shari>f, dan lainnya, keputusan-

keputusan, dan nota kesepahaman. Ini membuktikan bahwa kebolehan pasar modal,

masih terjadi perbedaan di kalangan para ulama.

Selanjutnya, terkait dengan ketentuan isi fatwa, yang terdiri dari tujuh bab

yang memuat delapan pasal. Bab I membahas tentang ketentuan umum yang terdiri

dari pengertian beberapa istilah dalam pasar modal. Pada ketentuan umum ini,

fatwa DSN sepenuhnya menggunakan istilah dalam bahasa ekonomi modern yang

telah dinyatakan oleh Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Di dalamnya

tidak ada menyingung corak pemikiran atau metode penetapan hukum yang

digunakan, sebab hanya menjelaskan tentang difinisi pasar modal yang tidak ada

kaitannya dengan perbedaan pendapat imam mazhab fiqh. Bab II prinsip-prinsip

syariah di Bidang Pasar Modal, Prinsip syariah yang dimaksud tidak dipaparkan

secara jelas dan terperinci, tetapi hanya menetapkan harus sesuai dengan syariah.

Bab III Emiten yang menerbitkan efek syariah. Bab IV Kriteria dan Jenis efek

syariah. Bab V Transaksi efek. Bab VI Pelaporan dan keterbukaan informasi. Bab

VII Ketentuan dan penutup.

13Fatwa DSN Nomor 40/DSN-MUI/X/2003.

97

Dalam penelitian ini, penulis hanya fokus membahas Fatwa DSN pada Bab

III dan Bab V. Bertujuan agar lebih fokus dan sesuai kepada permasalahan yang

diteliti, yakni tentang konsep screening yang dilakukan oleh DSN-MUI. Pada Bab

III Pasal 3 menjelaskan beberapa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan

prinsip syariah, antara lain: 1) perjudian, dan permainan yang tergolong judi atau

perdagangan yang dilarang; 2) lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk

perbankan dan asuransi. 3) produsen, distributor, serta perdagangan makanan dan

minuman yang haram; dan 4) produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-

barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat; 5) melakukan

investasi pada emiten yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) utang perusahaan

kepada lembaga keungan ribawi lebih dominan dari modalnya (ekuitas).14

Bagian ini menurut penulis ada kesamaan dengan fatwa sebelumnya, pada

Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk

Reksa Dana Syariah. Bab IV Pasal 8, yang menjelaskan tentang jenis usaha emiten

yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Dijelaskan bahwa di antara

usaha-usaha yang bertentangan dengan syariah Islam antara lain: 1) Perjudian dan

permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; 2) Usaha ribawi

termasuk perbankan dan asuransi konvensional; 3) memproduksi, mendistribusi,

serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram; 4) memproduksi,

mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak

moral dan bersifat mudarat.15

Sedikit perbedaan, dengan menambah satu ayat lagi pada fatwa DSN-MUI

tahun 2003, yaitu melakukan investasi pada emiten yang pada saat transaksi

tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan

dari modalnya. Sebenarnya pada Fatwa DSN-MUI tahun 2001 juga dijelaskan

namun pada pasal yang lain dan lebih jelas dengan mencantumkan angka

persentase di dalamnya, yaitu pasal 10 tentang kondisi emiten yang tidak layak.

Dalam pasal tersebut dijelaskan suatu emiten tidak layak diinvestasikan oleh reksa

dana syariah apabila suatu emiten memiliki nisbah utang terhadap modal lebih dari

82% (utang 45%, modal 55%).16

3. DSN-MUI dalam Melakukan Proses Screening Saham Syariah

Pada bagian akhir sub bab ini akan melihat bagaimana DSN-MUI

melakukan proses screening terhadap perusahaan sebelum masuk Daftar Efek

Syariah. Proses tersebut secara umum sebenarnya ada kesamaan dengan OJK

karena berdasarkan nota kesepahaman antara dua lembaga ini. Walaupun pada

bagian tertentu nantinya ada perbedaan. Hal ini sebagaimana terlihat pada gambar

di bawah ini.

14 Fatwa DSN Nomor 40/DSN-MUI/X/2003, pasal 3. 15 Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001, pasal 8. 16 Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001, pasal 10.

98

Gambar 4.1

Proses Screening Saham Syariah

Sumber: Materi TOT Pasar Modal Syariah OJK, 2015.

Berdasarkan gambar di atas, bahwa ada dua kriteria proses screening

syariah sebelum terdaftar sebagai saham syariah pada DES, yakni screening kriteria objek usaha (kualitatif) dan screening rasio finansial (kuantitatif). Sejalan

dengan yang ditetapkan oleh ke dua fatwa di atas, agar emiten tidak bertentangan

dengan prinsip-prinsip syariah, maka oleh DSN emiten tidak boleh menjalankan

usahanya dalam bidang usaha yang diharamkan. seperti judi, usaha ribawi,

makanan dan minuman yang haram, dan yang merusak moral dan membawa

mudharat.

Dengan demikian, apabila dikaji isi dari ke dua fatwa tersebut, pada satu

sisi menunjukkan bahwa DSN serius ingin membuktikan bahwa emiten yang sudah

lulus proses screening benar-benar sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Namun, kalau dikaji lebih jauh larangan tersebut sebenarnya DSN hanya

memberikan ketegasan screening pada objek barang atau jasa yang haram karena

dzatnya (haram lidhatihi), belum sepenuhnya pada yang haram selain dzatnya

(haram lighairihi). Perlu dipertegas bahwa tujuan penyaringan syariah kualitatif

adalah untuk mengecualikan perusahaan dengan kegiatan bisnis utama yang tidak

diperbolehkan.17

Dari fatwa tersebut DSN secara tegas menjelaskan di antara jenis usaha

yang dikatakan haram karena dianggap bertentangan dengan syariah Islam. Banyak

ayat al-Qur’an dan hadits yang secara tegas menjelaskan haramnya

17Habib, F., & Faruq Ahmad, A. U. “Revisiting the AAOIFI Shariah Standards’

Stock Screening Criteria”, International Journal of Business & Society, 18, (1), (2017):

151-166.

99

memperdagangkan barang-barang yang diharamkan oleh syariah, misalnya ayat al-

Qur’an dan hadits tentang keharaman khamar, bangkai, babi, dan berhala berikut

ini:

إنذما ين ءامنوا ها ٱلذ يأ زلم رجس من عمل ي

نصاب وٱل

ٱلمر وٱلميس وٱل

يطن فٱجتنبوه لعلذكم تفلحون ٩٠ٱلشذHai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,

(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu

mendapat keberuntungan. (QS. al-Ma>idah [5]: 90).

Rasulullah bersabda:

ع رسول اللهأ صلى هللا عليه ـ أنهه سأ عبدأ اللهأ ـ رضى هللا عنهما وسلم عن جابأرأ بنأ كهة بأ وهو ، الفتحأ عام والأنزأيرأ "يـقول تةأ والميـ المرأ بـيع حرهم ورسوله الله إأنه

."واألصنامأ

Dari Ja>bir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma>, sesungguhnya ia mendengar

Rasulullah bersabda pada tahun Fath} (Makkah), dan ia berada di Makkah,

“Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual-beli khamr,

bangkai, babi, dan berhala”.18

Al-Qard}awi menegaskan bahwa Islam melarang aktivitas apa pun yang

membawa kepada kemaksiatan hukumnya tetap haram meskipun sesuatu itu

dianggap bermanfaat bagi manusia tetapi termasuk dalam kemaksiatan. Dengan

demikian, emiten yang melakukan aktivitas perdagangan dengan produk yang

haram hukumnya adalah haram. Termasuk dalam kategori ini adalah sekuritas

perusahaan rokok, hotel, ritel, minuman keras, perbankan, dan emiten lain yang

mempraktikkan sistem bunga.19

Menurut penulis, permasalahan haram terkait objek usaha (h}ara>m li dhatihi) adalah persoalan hukum yang sudah final dan tidak perlu diperdebatkan

keharamannya, sebab benda yang halal maupun yang haram sudah jelas. Lain

halnya ketika berbicara permasalahan haram li ghairihi terdapat banyak perdebatan

ulama di dalamnya. Hal ini karena haram li ghairihi meliputi dua aspek, yaitu pada

satu aspek disyariatkan, akan tetapi pada aspek yang lain dilarang karena bersifat

mudharat. Misalnya, melaksanakan shalat dengan pakaian yang di-gasab (mencuri)

18HR. al-Bukhari, 2/779 no. 2121; Muslim, 3/1207 no. 1581. 19 Yu>suf al-Qarad}awi, Halal dan Haram Dalam Islam (Jakarta: Robbani Press,

2000), 351.

100

dan bertransaksi jual beli saat kumandang adzan shalat Jum’at berlangsung. 20

Haram seperti ini yang banyak ditemukan dalam praktik muamalah, karena amat

sulit untuk diidentifikasi beberapa transaksi yang pada objek barang dan jasanya

itu sah namun kemudian pada akad atau proses transaksi terdapat hal-hal keliru

yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Berdasarkan fatwa DSN tersebut bahwa perusahaan dapat diklasifikasikan

menjadi tiga kelompok, yaitu: (1). Perusahaan dengan operasi dan transaksi yang

diizinkan. Saham perusahaan ini dapat dimiliki dan diperdagangkan; (2).

Perusahaan dengan operasi dan transaksi terlarang: Misalnya, layanan keuangan

konvensional, daging babi, alkohol, tembakau, hiburan. Saham perusahaan-

perusahaan ini tidak dapat dimiliki dan diperdagangkan; (3). Perusahaan dengan

operasi yang diizinkan tetapi juga terlibat dalam transaksi yang tidak diizinkan.

Misalnya, deposito terhadap bunga, memperoleh hutang berbunga, dan pendapatan

non-halal.21

Emiten untuk jenis yang pertama tentu saja boleh diperdagangkan di bursa

efek karena aktivitasnya sudah jelas halal. Emiten jenis yang kedua, seperti

perusahaan memproduksi minuman keras, perjudian, pelacuran, dan aktivitas

haram lainnya tentu saja dilarang karena bertentangan dengan syariah Islam.

Sementara untuk emiten jenis ketiga, misalnya sekuritas persahaan yang modalnya

halal tetapi untuk meningkatkan laveragenya menggunakan pinjaman ribawi, atau

ia menjalankan akad-akad haram seperti money laoundry, atau lain sebagainya.

Dari ketiga jenis emiten tersebut, jenis yang ketiga ini banyak ditemukan

di pasar modal syariah, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Para fukaha sendiri

berbeda pendapat menyikapinya, ada yang membolehkan dan ada juga yang secara

mutlak mengharamkan. Perbedaan pendapat ini sebagaimana penulis peroleh dari

Sahroni dan Karim dalam bukunya Maqashid Bisnis & Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi yang mereka kutif dari beberapa sumber. 22 Di antaranya

pendapat Lembaga Fiqh Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dana halal yang

bercampur dengan dana nonhalal hukumnya haram. Dilansir berdasarkan

Keputusan lembaga fikh Islam No. 7/1/65, pada pertemuan ke-7 sebagai berikut:

غرضها اإلسهام يف شركات حرمة يف كالتعامل أنه الخالف حمرم األساسي شركات أو ابلراب يف حرمةاإلسهام واألصل . هبا املتاجرة أو احملرمات إنتاج

تتعامالحياان بلمحر مات كالراب وحنوه اب لرغم من أن أنشطتها األساسية مشروعة

20 Anas Muh}ammad Ah}mad Di>n, “al-H{ara>m li- Ghayrih: Dira>sah Naz}ari>yah

Tat}biqi>yah ‘ala al-Nawa>zil”, (Thesis: Ja>mi‘at Umm al-Qura´, 1435 H), 174-178. 21Ramazan Yildirim dan Bilal Ilhan, “Shari’ah Screening Methodology – New

Shari’ah Compliant Approach”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol.

14, No. 1, (January-March, 2018): 168-189.. 22 Oni Sahroni dan Adiwarman Karim dalam bukunya Maqashid Bisnis &

Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 218-

224.

101

Bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa membeli saham pada

perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan usaha yang haram, seperti

transaksi ribawi, memproduksi barang yang haram, jual beli barang yang

haram. Pada prinsipnya, haram membeli saham pada perusahaan yang

kadang-kadang melakukan transaksi yang seperti transaksi ribawi dan sejenisnya, walaupun kegiatan utama perusahaan tersebut itu adalah usaha

yang halal.23

Sebagai dalil yang digunakan adalah kaidah fiqh berikut:

إذا اجتمع احلال ل واحلرام غلب احلرام Jika bercampur dana halal dan haram, maka menjadi dana haram.24

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa jika dana yang halal lebih

dominan daripada dana non-halal, maka keseluruhan dana tersebut menjadi halal.25

Dengan beberapa argumen berikut:

a. Kaidah fiqh

لأألكثر حكم الكل Hukum mayoritas sama seperti hukum keseluruhan.26

جيوز تبعا ما ال جيوز استقالالHal yang dibolehkan karena sifatnya pelengkap, itu menjadi tidak

dibolehkan karena sifatnya independen.27

b. Maslahat (al-Hajah al-Syar‘iyah).

Kedua kaidah fiqh dan dalil mashlahat di atas menjelaskan bahwa yang

menjadi standar adalah bagian yang lebih dominan, jika yang menjadi standar

adalah pendapatan halal, maka seluruh dana tersebut menjadi halal, dan begitu pula

sebaliknya, karena hukum mayoritas seperti hukum keseluruhan.

Ibn Nujaim al-Hanafi juga berpendapat bahwa jika dalam suatu negara,

dana halal bercampur dengan dana haram, maka dana tersebut boleh dibeli dan

diambil, kecuali jika dalil yang menunjukkan bahwa dana tersebut haram.28

23 Qararat wa taushiyat majma al-Fiqh al-Islami at-tabi’li li munadzamati al-

Mu’tamar- al Islami. Hlm. 212. 24 Jala>l al-Di>n abd. al-Rahman al-Suyu>t}i, Al-Ashbah Wa Al-Naz}a>ir, (Beiru>t: Da>r

al-Kutub al-‘ilmi>ah, 1983), 105. 25Al-Musahamah fi asy-syarikat tata‘amalu bi al-fawa‘id al-ribawiyah, Abd as-

Sattar Abu Guddah, al-Haihah asy-syar‘iyah li al-barakah, Majmuatudallah al-barakah,

(Jeddah, 2003), 306. Lihat juga asy-Syarhu al-Kabir ma‘a dasuqi (3/15). 26 al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam Syarh

Majallati al-Ahkam, Ali Haidar, 1/183. 27al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/183.

102

Ungkapan serupa disampaikan oleh Imam Nawawi, bercampurnya dana

haram yang tidak terbatas dengan dana halal yang terbatas di suatu negeri, maka

tidak lantas menjadikan pembelian di negeri itu haram. Dibolehkan membeli

sesuatu yang tidak dapat dipastikan keharamannya hingga ada tanda-tanda yang

menunjukkan bahwa sesuatu itu haram. Jika tanda-tanda seperti itu tidak ada,

sesuatu itu tidak haram tetapi meninggalkan perbuatan tersebut itu dicintai Allah

SWT, setiap kali dana haram tersebut banyak, maka harus disikapi dengan wara‘.29

Ibn Taimiyah mengungkapkan, adapun orang yang bertransaksi secara

ribawi, maka yang dominan adalah halal kecuali diketahui bahwa yang dominan

adalah makruh. Karena jika seseorang menjual 1000 seharga 1.200 maka yang

haram adalah marginnya saja. Jika pendapatannya terdiri dari dana halal dan haram

yang bercampur, maka bagian yang haram ini tidak mengharamkan bagian yang

halal, ia bisa mengambil bagian yang halal tersebut, sebagaimana jika dana miliki

dua orang syarik, dana syirkah telah bercampur dan menjadi milik kedua, maka

dana tersebut dibagi kepada dua syarik tersebut. begitu juga dana halal bercampur

dengan dana haram maka persentase dana haram dikeluarkan, maka sisanya adalah

dana halal.30

Ibn Rajab al-Hanbali mengatakan bahwa dibolehkan melakukan transaksi

dengan seseorang yang hartanya merupakan percampuran antara yang halal dan

haram, namun harta halalnya harus lebih banyak. Jika mayoritas hartanya haram,

Imam Ahmad berpendapat untuk menjauhinya.

Menurut Adiwarman Karim dan Oni Sahroni bahwa pendapat yang kedua

ini lebih tepat untuk diterapkan, karena beberapa hal: Pertama, Umum al-balwa,

maksudnya dana halal yang bercampur tersebut menjadi sulit dihindarkan dalam

aktivitas bisnis dan/atau selain bisnis. Kedua, Raf‘ul haraj wa al-hajah al-ammah (meminimalisir kesulitan dan memenuhi hajat umum), di antaranya, lingkungan

dan pranata ekonomi masih belum islami; masyarakat yang belum paham ekonomi

syariah, industri konvensional yang mendominasi, sehingga transaksi dengan

konvensional menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Ketiga, Muro‘at qowa‘id al-katsrah wa al-ghalabah¸ standar hukum adalah bagian lebih dominan. Keempat, kaidah sebagian fuqaha tentang tafriq shafqah (memisah transaksi halal dari

transaksi yang haram).

Fatwa DSN-MUI juga banyak dilandasi kaidah tafri>q al-h}ala>l min al-hara>m (memisahkan yang halal dari yang haram) dan i‘a>dat al-nazar. tafri>q al-h}ala>l min al-hara>m memiliki prinsip apabila harta yang halal bercampur dengan yang haram

sedangkan bagian yang haram dapat diidentifikasi dan dipisahkan, maka harta yang

tersisa hukumnya halal. Hal ini disebabkan harta oleh fiqh dinyatakan haram

bukanlah benda haram karena zatnya tapi karena cara memperolehnya. i‘a>dat al-

28 Ibn Nujaim, Al-Asybah wa al-Nadzair, 345. 29Abi Zakariya al-Anshari, Al-Majmu´ Sharh al-Muhadzdzab, (al- Mathba‘ah al-

Muniriyah), 418. 30Ibn Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, cet.

I), 268.

103

nazar (telaah ulang) adalah melakukan kajian kembali terhadap alasan hukum

(‘illah) dari pendapat ulama terdahulu tentang suatu persoalan. Hal ini dilakukan

karena alasan hukum yang dikemukakan oleh mereka dianggap tidak lagi cocok

dengan kondisi saat ini.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, walaupun ada peluang dan

kecenderungan membolehkan pendapatan halal yang bercampur dengan yang

haram asal tidak berlebihan, namun sebisa mungkin untuk menghindari

perdagangan sekuritas jenis ketiga ini. Sebagaimana yang terjadi pada regulasi

saham syariah di Indonesia, berdasarkan Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/20017

screening saham pada rasio keuangan yang membolehkan penghasilan riba asal

tidak lebih dari 10%. DSN-MUI beranggapan bahwa 10% adalah batas yang wajar

dan masih kecil jika dibandingkan dengan KLSI Malaysia yang sampai 20% untuk

pendapatan non-halal. Namun, harapannya 10% ini bukan berarti berlaku untuk

selamanya, suatu saat bisa turun jadi 5% ketika sudah banyak emiten yang

terdaftar pada saham syariah. Hal ini sebagaimana yang dipraktikkan sebagian

besar metodologi penyaringan syariah di seluruh dunia global menggunakan

ambang batas 5% sebagai persentase yang diperbolehkan, seperti oleh Dow Jones

Islamic World Index (DJIMI), Financial Times Stock Exchange Shariah Index

(FTSE), Standard and Poor's Shariah Index (S&P), Morgan Stanley Compliance

Islamic Index (MSCI), Thompson Reuters Ideal Ratings Islamic Indices dan

STOXX Europe Islamic Index adalah persentase yang diperbolehkan atas

pendapatan yang tidak sesuai dengan Syariah dari total pendapatan bisnis. Bahkan

tidak menutup kemungkinan 0%, artinya tidak ada satu persen pun dari pendapatan

perusahaan yang tidak sesuai dengan syariah.31

Poin yang ke-5 masih pada pasal dan ayat yang sama (Pasal 3 ayat 2),

menjelaskan perusahaan bertentangan dengan prinsip syariah bahwa transaksi

tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keungan ribawi lebih dominan

dari modalnya. Permasalahan ini sebenarnya sudah ditetapkan oleh Fatwa DSN

20/DSN-MUI/IV/2001 Pasal 10 poin b dengan secara tegas menetapkan persentase

di dalamnya. Di mana suatu emiten tidak layak diinvestasikan oleh Reksa Dana

Syariah apabila emiten memiliki nisbah utang terhadap modal lebih dari 82%

(utang 45%, modal 55 %).32

Adanya peluang dibolehkan rasio utang terhadap ekuitas kepada lembaga

keuangan ribawi dengan syarat tidak melebihi 45% penting untuk dikaji ulang.

Karena jika dibandingkan dengan indeks syariah di negara lain, misalnya KLSI,

DJIMI, S&P Shariah, dan ISRA Bloomberg menggunakan 33%, AAOIFI, STOXX

Europe Islamic Index dan Thompson Reuters Ideal Ratings Islamic Indic

menggunakan 30%, FTSE dan MSCI menggunakan 33,33% sebagai persentase

31A.M.A. Ayedh, et.al., “Challenging the Current Shariah Screening Methodology

Assessments in Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI)”, International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Science Vol.9 No. 4, (October 2019):

253-268. 32 Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001, tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi

Untuk Reksa Dana Syari'ah, Pasal 10 poin b.

104

yang diizinkan. 33 Hal ini tentunya jauh berbeda dengan ambang batas yang

diterapkan di Indonesia mencapai 45%.

Menurut Ayedh, dkk.34 perbedaan fatwa ulama terhadap besaran persentase

yang diperbolehkan karena berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan

oleh Sa’ad ibn Abi> Waqqa>s berikut:

أو كبري -الث لث والث لث كثري Sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak atau besar.35

Hadith ini kurang tepat dijadikan dasar hukum dan di luar konteks. 36

Pertama, Hadith ini hadir dalam konteks wasiat, Rasulullah menganjurkan Sa’ad

untuk menyumbangkan hanya sepertiga dari kekayaannya dan menyimpan dua

pertiga untuk putrinya, bukan tentang pendapatan yang sesuai dengan syariah.37

Kedua, Hadith ini dengan jelas menyatakan sepertiga, yang artinya 33,33%.

Dengan demikian, dua jumlah lainnya yang digunakan oleh beberapa metodologi

penyaringan syariah utama yaitu 30% dan 33% tidak bisa dikatakan akurat jika

jumlahnya berdasarkan hadis ini. Ketiga, di mana sepertiga mengacu pada total

ekuitas yang dimiliki oleh Sa’ad ibn Abi> Waqqa>s (tidak termasuk hutangnya).38

Lalu bagaimana dengan fatwa DSN-MUI, apakah yang menjadi dasar

hukum sehingga membolehkan ambang batas utang berbasis bunga mencapai 45%.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan Bapak Kanny Hidaya mengungkapkan

bahwa 45% tersebut masih di bawah 50% sementara aset mencapai 55 %, sehingga

masih pada ambang batas yang wajar. Hal ini dinisbatkan kepada pendapat Imam

al-Ghazali yang mengatakan bahwa dalam sebuah bisnis atau usaha modal harus

lebih besar dari utang.39 Ke depan kita berharap apabila sudah banyak investor

33A. M. A Ayedh, Shaharuddin, A., & Kamaruddin, M. I. H. “Shariah Screening

Methodology: Does It ‘Really’Shariah Compliance?”, IQTISHADIA, 12, (2), (2019): 144-

172. 34A.M.A. Ayedh, et.al., “Challenging the Current Shariah Screening Methodology

Assessments in Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI)”, International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Science Vol.9 No. 4, (October 2019):

253-268. 35S}ah}i>h} al-Bukhari, Hadits No. 5659.

36 Saeed bin Mahfooz and Ahmed Habib, “Shariah Investment Screening Criteria: A

Critical Review”, Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics, 27 (1), (2014):

3-36. 37 Mohammed Obaidullah, “Islamic Financial Services”, Islamic Economics

Research Center, Jeddah: King Abdulaziz University, (2005). 38 R. Yildirim, & Ilhan, B., “Shari'ah Screening Methodology - New Shari'ah

Compliant Approach”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 14, (1), (2018):

168-191. 39Yoyok Prasetyo, “Rasio Keuangan Sebagai Kriteria Saham Syariah”, Jurnal

Ekubis, Vol. 1, No. 1 (Februari 2017): 161-171.

105

menanam sahamnya pada saham syariah maka ambang batas tersebut bisa

dikurangi, ungkapnya. 40

Di samping itu, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah tidak hanya

terjadi pada tataran praktik, tetapi juga pada tataran teori. Salah satu hal yang

perlu diperhatikan adalah teori bagaimana dengan nilai perusahaan yang memiliki

utang. Menurut teori konvensional, utang merupakan salah satu faktor yang dapat

meningkatkan nilai perusahaan. Teori ini di antaranya dikemukakan oleh

Modigliani & Miller dan Trade off Theory. Mereka menyatakan bahwa semakin

besar utang suatu perusahaan, maka semakin besar nilai perusahaan karena nilai

perusahaan adalah total saham ditambah utang.41

Teori ini ditolak oleh Steward C Meyrs seorang Profesor Ekonomi

Keuangan di MIT Sloan School of Management (1984) mengatakan bahwa

pertumbuhan nilai perusahaan mengikuti kaidah yaitu semakin rendah utang maka

akan semakin tinggi nilai perusahaan.42 Teori ini lebih dikenal dengan pecking

order theory.43

Lalu bagaimana kecenderungan teori ekonomi syariah, apakah lebih

cenderung kepada teori Modigliani & Miller atau sebaliknya lebih kepada teori

Pecking Order, khususnya kebijakan screening saham di Indonesia terhadap rasio

keuangan yang menetapkan rasio utang berbasis bunga maksimum 45% dari total

aset.

Teori yang pertama tentunya bertolak belakang dan tidak sejalan dengan

Islam, memang Islam mengajarkan bahwa peningkatan nilai perusahaan adalah

keuntungan. Namun, hukumnya menjadi haram bila peningkatan nilai itu

merugikan pihak lain. Karenanya, teori yang mengakui utang sebagai harta (aset)

perusahaan dianggap bertentangan dengan syariah. Pengakuan utang sebagai aset

termasuk dalam kategori memiliki harta dengan cara batil yang dilarang dalam

Islam.

Hal ini karena setiap pinjaman berdampak pada pembayaran bunga.

Adakalanya perusahaan mengalami keuntungan namun tidak menutup

kemungkinan mengalami kerugian hanya karena beban pinjaman. Salah satu

tindakan penyelamatan adalah mengurangi jumlah utang, diganti dengan modal

atau ekuitas. Ini berarti perusahaan akan menjual sekuritas baru untuk membayar

40Kanny Hidaya, Pengurus Pleno DSN-MUI, Wawancara, 08 Februari 2017. 41Franco Modigliari and Merton H. Miller, “Corporate Income Taxes and the Cost

of Capital A Correction,” The American Economic Review Vol. 53, No. 3 (Jun 1963), 433-

443. http://www.jstor.orf/stable/1809167, (artikel diakses 22 November 2018). 42Steward C Meyrs And Majluf Nicholas S, “Corporate Financing and Investment

Decisions When Firms Have Information that Investors Do Not Have,“ Journal of Financial Economics 13 (1984): 187-221.

43Terhadap perdebatan dua teori ini dibahas dengan lengkap oleh Kuncoro dalam

disertasinya. Kuncoro Hadi, “Pengaruh Kebijakan Sharia Screening terhadap Pertumbuhan

Nilai Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan pada Daftar Efek Syariah)” (Disertasi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

106

utang dan tindakan ini akan merubah komposisi modal menjadi bertambah dan

pinjaman menjadi kecil.

Penting untuk diketahui bahwa konsep utang dalam Islam terbagi menjadi

dua macam, yaitu utang melalui pinjaman (al-Qard}) 44 dan utang melalui

pembiayaan (al-Dayn). 45 Utang melalui pinjaman berbeda dengan utang

pembiayaan. Hal ini karena utang pinjaman muncul disebabkan pemberi pinjaman

(kreditor) memberikan pinjaman kepada debitor (muqtarid}), baik berupa barang

ataupun uang. Pinjaman ini akan dibayar kembali dengan jenis dan jumlah yang

sama pada waktu yang telah disepakati dan tidak boleh ada imbalan, hadiah atau

penambahan di dalamnya.46 Lain halnya penambahan tersebut tidak disyaratkan di

awal pinjaman, hanya sebatas berbuat baik maka hal ini dibelolehkan. Akad ini

dibolehkan karena bersifat tabarru‘ dalam upaya menghilangkan kesulitan dan

berusaha membantu memenuhi keperluan seseorang.47

Berbeda halnya dengan utang yang timbul sebagai akibat dari kontrak

pembiayaan jual beli, seperti utang yang timbul karena adanya transaksi

perdagangan, karena utang dalam bentuk ini mengindikasikan adanya pemindahan

hak milik kepada orang lain dan terjadi penundaan tangungjawab yang

menyebabkan pertukaran nilai. Beberapa kontrak dimaksud adalah bay‘ bithaman ‘ajil, bay‘ al-mura>bah}ah, ija>rah, bay‘ al-sala>m, al-istisna’ yang mana semua jenis

perdagangan ini berbentuk utang, dimana penyerahan barangnya dilakukan saat

sekarang, sedangkan pembayarannya dilakukan secara berutang pada masa yang

akan datang.

سم فٱكتبوه جل مين ءامنوا إذا تداينتم بدين إل أ ها ٱلذ ي

أ ي

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang

untuk waktu pembayaran yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya. (QS. al-Baqarah [2]: 282.

Ayat 282 tesebut menjelaskan arti pentingnya dokumen yang akurat dalam

transaksi perdagangan yang dilakukan secara berutang, karena penyerahan atau

pembayaran dilakukan pada masa yang akan datang. Transaksi seperti ini mesti

dijelaskan secara terperinci waktu penyerahannya, maupun waktu pembayarannya,

44 Qard} artinya memotong. Karena orang yang meminjam memotong hartanya

untuk diberikan pada peminjam. Menurut istilah qard} menyerahkan harta kepada orang lain

untuk digunakan dan akan dikembalikan pada masa yang telah disepakati. Al-Jazirim,

Kitab al-Fiqh ‘ala> mad}a>hib al-Arba‘ah (Qaherah: Maktabah Tija>rah Kubra>, 1969), 339. 45Utang berupa pembiayan lebih dikenal dengan istilah al-Dayn. Dalam Majallah

al-Ahkam dijelaskan al-dayn adalah sesuatu yang t}abit pada tanggungan, seperti jumlah

uang dirham yang berada pada tanggungan seseorang. Lihat Al-Majalla al-Ahkam al-‘Adli>yah, 1968, Ed. Ke-5: 33.

46Fatwa DSN-MUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh. 47 QS. Al-Baqarah [2]: 245.

107

serta hak dan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan kontrak, dan

menuliskan jumlah utangnya.

Kata dayn dan tada>yantum merupakan kunci utama dalam traksaksi. Utang

dalam konteks ini dimaksud terhadap penundaan tanggung jawab yang muncul dari

kontrak yang melibatkan pertukaran nilai. Karena itu, tanggungjawab yang muncul

dari penundaan ini merujuk kepada utang. Hal ini berbeda dengan tanggungjawab

yang muncul dari pinjaman secara langsung atau qard}, yang mana ia juga

merupakan penundaan tanggungjawab, tetapi kontrak ini bukan muncul dari

pertukaran nilai.

Di samping itu, kata tada>yantum menunjukkan pada fenomena sosial yang

selalu berulang, di mana ia digunakan untuk mendorong sifat timbal balik dan

pertukaran barang serta penjelasan terhadap dasar tanggungjawab yang tertunda.

Kenyataannya kata tada>yantum dalam teks tersebut diikuti oleh bi dayn

(kewajiban pada yang akan datang) mengimplikasikan suatu penekanan yang

menegaskan teks yang sebelumnya dan membuktikan tema dari perbincangan ini

adalah al-dayn (utang).

Terhadap utang perusahaan pada saham syariah tentunya lebih tepat

disebut utang yang berbentuk pinjaman qard}, karena tidak terjadi transaksi

perdagangan di dalamnya. Sebagai konsekuensinya, tidak boleh mengambil

keuntungan dari sesuatu yang diutangkan. Namun permasalahannya, siapa yang

mau memberikan pinjaman tanpa ada margin keuntungan di dalamnya. Apalagi

adanya kebolehan utang yang diperoleh dari lembaga kuangan ribawi yang sudah

jelas berorientasi kepada profit dan komersil. Sementara para ulama telah ijma’

tentang diharamkannya mengambil bunga sebagai uang pengganti pinjaman, baik

bunga itu dalam bentuk tambahan jumlah atau kriteria (kualitas) mereka sepakat

bahwa itu adalah riba yang diharamkan.48

Selanjutnya, pada Bab V pasal 5 menjelaskan transaksi yang dilarang. Ayat

1 menjelaskan pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian

serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manupulasi yang di dalamnya

mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat, dan kezhaliman.

Kegiatan tersebut lalu dijelaskan pada ayat berikutnya, meliputi: 1) Najsy, yaitu

melakukan penawaran palsu; 2) Bai al-Ma’du>m yaitu melakukan penjualan atas

barang yang belum dimiliki (short selling); 3) Insider trading, yaitu memakai

informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atau transaksi yang dilarang;

4) Menimbulkan informasi yang menyesatkan; 5) Margin Trading, yaitu melakukan

transaksi atas Efek Syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atau

kewajiban penyelesaian pembelian Efek Syariah tersebut; dan 6) Ihtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu Efek

Syariah untuk menyebabkan perubahan harga Efek Syariah, dengan tujuan

48Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam terj.

(Jakarta: Darul Haq, 2008), 259.

108

mempengaruhi pihak lain; 7) dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-

unsur di atas.49

Bagian ini menurut penulis juga ada kesamaan dengan fatwa sebelumnya,

pada Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi

untuk Reksa Dana Syariah. Bab IV Pasal 9, yang menjelaskan tentang Prinsip

pelaksanaan investasi adalah kehati-hatian (prudential management/ihtiyath) serta

tidak boleh melakukan spekulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar. Tindakan ini dijelaskan pada ayat berikutnya, terdiri dari: 1) Najsy, yaitu

melakukan penawaran palsu; 2) Bai al-Ma’dum yaitu melakukan penjualan atas

barang yang belum dimiliki (short selling); 3) Insider trading yaitu

menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang

dalam untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang; 4) Melakukan

investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) utangnya lebih

dominan dari modalnya.50

Kalau dilihat isi kedua fatwa yang telah dijelaskan di atas, banyak terjadi

kesamaan, terutama dalam hal persyaratan emiten biar bisa dikatakan tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Kedua fatwa ini dikeluarkan dengan

fase yang berbeda, yakni fase ketiga dan keempat.

Terlepas dari persoalan kenapa terjadi adanya kesamaan terhadap dua

fatwa ini, bahkan dengan tahun yang berbeda ketika ditetapkan, yang terpenting

dari semua itu adalah peneliti ingin menjelaskan bahwa bagaimana ke dua fatwa ini

mampu menjadi standarisasi screening saham syariah di Indonesia.

Dalam ke dua fatwa tersebut menjelaskan tidak boleh melakukan spekulasi

yang di dalamnya mengandung unsur gharar. Gharar di maksud terbagi menjadi

tiga macam, yaitu: 1) gharar al-kathi>r¸ yaitu gharar yang jumlah atau kuantitasnya

banyak, hukumnya dilarang karena merusak transaksi. Hal ini didasarkan kepada

ijma’. Seperti menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di

udara; 2) gharar al-ya>sir, yaitu gharar yang jumlah atau kuantitasnya sedikit,

hukumnya dibolehkan menurut ijma’. Seperti transaksi membeli rumah tetapi

fondasi rumahnya tidak dapat dilihat; 3) gharar al-mutawassit} yaitu gharar yang

jumlah dan kuantitasnya pertengahan, hukumnya masih diperbincangkan, namun

ukuran untuk mengetahui banyak atau sedikitnya dikembalikan kepada kebiasaan.

51

Ibn Rusyd menjelaskan bahwa gharar al-kathi>r pada mulanya terdapat pada

kecurangan dan pengurangan informasi tentang sifat dan barang yang

diperjualbelikan, keraguan akan adanya, keraguan dalam kuantitasnya, informasi

tentang harga yang tidak wajar dalam bentuk pembayaran. Gharar juga berkaitan

dengan masa pembayaran dan penyerahan barang berdasarkan waktu yang telah

disepakati. Lebih jauh Ibnu Rusyd menambahkan bahwa jenis yang pasti dari

49Fatwa DSN Nomor 40/DSN-MUI/X/2003, pasal 5. 50Fatwa DSN Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001, pasal 9. 51Mohammad Hashim Kamali, Islamic Commercial Law, an Analysis of Future

and Options, (Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, 2002), 78.

109

perdagangan yang termasuk gharar kathir adalah dilarang berdasarkan hadits.52

Yusuf Qardawi mengungkapkan apabila kualitas gharar tersebut sedikit, maka jual

beli menjadi tidak haram, karena sudah difahami melalui‘urf.53

Sementara itu ulama kontemporer seperti al-Zarqa‘ meyimpulkan gharar mengikut konteks tersendiri, yaitu tipu daya melalui perkataan ataupun perbuatan

dalam rangka menarik minat seseorang untuk melakukan suatu kontrak. Ia bagi

menjadi dua macam, yaitu gharar qauli dan gharar fi‘li.54

Ada beberapa unsur suatu perbuatan tersebut tergolong kepada gharar, yaitu; 1) Barang yang diperdagangkan belum ada; 2)Penjual tidak dapat

menyerahkan barang; 3) Penjualan barang dilakukan dengan cara melakukan

transaksi; 4) Kontraknya tidak jelas sehingga dapat menggiring pembeli kepada

suatu praktik penipuan.55

Ulama klasik membedakan antara gharar yang membatalkan akad dan

gharar yang dimaafkan. Berkaitan dengan ini mayoritas fuqaha meletakkan tiga

syarat bagi suatu gharar yang dimaafkan, yaitu 1) gharar tersebut kecil; 2) barang

yang diperdagangkan tersebut diperlukan oleh masyarakat; 3) gharar tidak mampu

dielakkan melainkan dengan mashaqqah yang dilegitimasi oleh syara‘.

Meskipun demikian, pada praktiknya di lapangan agak sulit memberikan

batasan tindakan gharar karena besar atau kecil perbuatan gharar tersebut memiliki

tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan pengembalian lebih terhadap apa yang

dikorbankan atau dikeluarkan. Sementara DSN tidak menjelaskan dalam fatwanya

batasan gharar dimaksud. Apakah larangan praktek gharar dimaksud adalah gharar secara umum atau ada pengecualian bagi gharar al-yasi>r atau gharar al-mustawassit} sehingga masih dimaafkan dalam proses screening saham syariah.

Fatwa DSN Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 Pasal 11 menjelaskan bahwa

ada tiga penghasilan investasi yang diperoleh dari saham berupa dividen, rights, dan capital gain. Dividen merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan

dari laba bersih setelah dipotong pajak (net income afer tax) atau laba ditahan

(retained earning) yang dihasilkan emiten. Selain berbentuk tunai, deviden

seringkali dibagikan dalam bentuk saham dan biasanya dividen ini dibagikan

setelah adanya persetujuan pemegang saham dengan pemilik perusahaan. 56

52Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtasid, Juz 2, hlm. 148-149. 53Yu>suf al-Qard}a>wi, al-Halal wa al-Hara>m fi> al-Isla>m (al-Maktaba al-Isla>mi> li al-

Tiba‘ah wa al-Nashr, 1967), 209. 54Must}afa al-Zarqa‘, al-Madkhal al-Fiqh al-‘am, Juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), 379-

380. 55Al-Sanhuri>, Masa>dir al-Haq fi al-Fiqh al-Isla>mi>, Juz 3 (Qaherah: Da>r Ihya> al-

Turath al-‘Arabi, 1967), 13. 56 Penyebab deviden sering dibagikan dalam bentuk saham adalah karena

perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan atau memerlukan biaya untuk

pengembangan. Oleh karena itu laba bersih setelah pajak sangat diperlukan oleh semua

pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, karena hal ini akan menunjukkan dana yang

masih tersedia, apakah itu untuk membayar deviden bagi para pemegang saham, atau

110

Biasanya dilakukan setahun sekali. Agar para investor berhak atas dividen,

pemodal tersebut harus memegang saham tersebut untuk kurun waktu tertentu

hingga kepemilikan saham tersebut diakui sebagai pemegang saham yang sah dan

berhak atas dividen.57

Rights yang merupakan hak yang diberikan emiten kepada investor untuk

memesan efek lebih dahulu. Sedangkan capital gain merupakan keuntungan yang

diperoleh dari jual-beli saham di pasar modal yang diperoleh dari selisih antara

harga beli dan harga jual. 58 Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas

perdagangan di pasar sekunder. Umumnya investor jangka pendek mengharapkan

keuntungan dari capital gain. Saham memungkinkan pemodal mendapatkan

keuntungan dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu yang singkat. Namun,

seiring dengan berfluktuasinya harga saham, maka saham juga dapat membuat

investor mengalami kerugian besar dalam waktu singkat. Dengan demikian, saham

memiliki karakteristik The high risk the high return. Hal ini sejalan dengan

pendapat Speidel yang menyatakan bahwa semakin tinggi resiko suatu portofolio

yang ditanggung, maka semakin tinggi return yang akan diharapkan dalam jangka

panjang.59

Untuk itu, keuntungan yang diperoleh para investor tidak saja melalui

pembagian deviden dan rights, tetapi diperoleh dari selisih harga jual dan harga

beli. Seorang investor hanya berpedoman pada simbol dan pergerakan harga saham

apakah ia berkeinginan untuk buy atau sell.

Terjadinya ketidak stabilan harga saham pada bursa efek karena

dipengaruhi oleh keadaan pasar yang berubah-ubah (fluktuatif). Apabila pasar

bergairah (bullish), maka hampir semua harga saham di bursa efek mengalami

kenaikan. Sebaliknya, apabila pasar lesu (bearish), harga saham akan ikut

mengalami penurunan. Perubahan psikologi pasar dapat menyebabkan harga surat

berharga anjlok terlepas dari adanya perubahan fundamental atas kemampuan

perolehan laba perusahaan.60

Lebih jauh Jones dalam Tandelilin mendefinisikan pasar bullish sebagai

suatu kecenderungan pergerakan naik (upward trend) yang terjadi di pasar modal.

Hal ini ditandai dengan kecenderungan peningkatan harga-harga saham (indeks

ditahan dalam rangka pengembangan atau mempertahankan usaha di masa datang. Lihat

Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Hukum Pasar Modal di Indonesia (Jakarta: Sinar

Grafika, 2009), 109-111. 57Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Hukum Pasar Modal di Indonesia (Jakarta:

Sinar Grafika, 2009), 19. 58 Sebalik dari capital gain adalah Capital loss, yaitu kerugian akibat harga beli

saham lebih tinggi dibanding harga saham ketika dijual. 59 Ari Noviastuty, “Evaluasi Kinerja Portofolio Antara Saham Syariah dengan

saham konvensional di Bursa Efek Indonesia”, Performance Vol. 14 No. 2 (September,

2011): 2. 60Gatot Supramono, Transaksi Bisnis Saham & Penyelesaian Sengketa Melalui

Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2014), 34.

111

pasar) yang mampu menembus nilai di atas harga (indeks pasar) sebelumnya,

ataupun kalau ada penurunan harga tidak sampai melewati batas harga (indeks)

terbawah yang terjadi sebelumnya. Sedangkan istilah pasar bearish diartikan

sebaliknya, yaitu kecenderungan pergerakan turun (downward trend) yang terjadi

di pasar modal. Indikasinya adalah jika harga (indeks) baru gagal menembus batas

tertinggi harga sebelumnya, atau jika penurunan harga (indeks) yang terjadi

mampu menembus batas bawah harga (indeks) yang terjadi sebelumnya.61

Menyikapi adanya capital gain yang bisa saja menjadi tujuan utama

investor untuk melakukan investasi perdagangan saham di lantai bursa, tentunya

perlu disikapi lebih arif. Karena yang terjadi niatan investor untuk melakukan

investasi bukan lagi untuk membantu emiten dalam mengembangkan usahanya

dengan memberikan suntikan modal, akan tetapi hanya mengharapkan keuntungan

dalam jumlah besar dengan menjual dan membeli saham dalam waktu singkat.

Dalam Islam apakah ini tidak termasuk bahagian dari spekulasi, yang jelas-jelas

dilarang dan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Demikian beberapa analisis penulis terhadap fatwa-fatwa DSN-MUI

terkait permasalahan screening saham syariah. Agar bisa berjalan dengan baik

sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka harus ada ‘etika’ pada setiap aktivitas

ekonomi. Jika diperhatikan bahwa etika ekonomi Islam dalam fatwa DSN lebih

dominan pada aspek normatif, yaitu lebih banyak ditemukan pada bagian

pertimbangan dan dasar hukum fatwa, sementara pada bagian putusan fatwa, etika

ekonomi tidak sebanyak yang ditemukan pada konsiderannya. Hal ini menunjukkan

bahwa normativitas etika berasal dari sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, hadits,

dan kaidah fiqh. Namun, etika objek akad lebih banyak ditemukan pada bagian

putusan daripada konsiderannya.

Etika ekonomi tersebut mencukupi untuk mendukung aspek terpenuhinya

ketentuan syariah terutama untuk menghindari larangan riba. Namun begitu,

karena etika tersebut dominan pada ranah konsideran hukum, penerapan kepatuhan

syariah menuntut komitmen pihak-pihak yang melakukan kontrak.

B. OJK dalam Menetapkan Peraturan Standar Screening Saham Syariah

OJK memiliki peranan khusus terhadap pasar modal syariah, di antaranya

memperkuat dasar hukum, mengupayakan insentif untuk produk syariah,

memperluas peran pelaku pasar modal syariah, dan memperkuat landasan hukum

pada transaksi di dalam pasar modal syariah.62

Ke empat peran di atas sangat erat dengan keterlibatan OJK terhadap

screening saham syariah terutama upaya memperkuat dasar hukum, sebagaimana

telah diatur dalam nota kesepahaman Bapepam LK dengan Fatwa DSN MUI.

Karenanya, jika dihubungkan dengan fatwa yang keluarkan oleh DSN-MUI yang

61Jones, Charles P, 2000, Investment Analysis and Management, Tenth Edition,

(New York: John Wiley & Sons, Inc. Tandelilin, Eduardus, 2001), 261. Analisis Investasi

dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta), 2001. 62https://www.kompasiana.com (diakses 12 Februari 2018).

112

mana tidak serta merta fatwa tersebut bisa diterapkan dalam Lembaga Keuangan

Syariah (LKS) yang ada di Indonesia. Fatwa tersebut perlu diimplementasikan

dalam hukum positif, baik dalam bentuk UU, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan

Menteri Keuangan, dan Peraturan OJK. Terjadinya proses perubahan fatwa

tersebut disebut taqni>n.63

Proses taqni>n salah satunya Fatwa DSN-MUI yang diadopsi ke dalam

peraturan Bapepam-LK. Misalnya Fatwa DSN-MUI Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003

tentang emiten yang menerbitkan Efek Syariah diadopsi oleh Keputusan Ketua

Bapepam-LK Nomor: KEP.-181/BL/2009 tentang penerbitan efek syariah.

Selanjutnya Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang pedoman pelaksanaan

investasi untuk Reksa Dana Syariah diadopsi oleh Peraturan Ketua Bapepam-LK

Nomor: KEP-314/BL/2007 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah

yang dimuat dalam Peraturan II.K1.64 Dengan demikian, banyak Peraturan OJK

yang secara substansi merupakan akomodasi dari Fatwa DSN-MUI.

1. Screening Rasio Utang Berbasis Bunga Terhadap Total Aset

Secara umum Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK memiliki kesamaan,

maka disebut dengan nota kesepahaman. Namun, jika diperhatikan secara detail,

bahwa ada perbedaan yang mendasar antara keduanya, di antaranya pada kriteria

rasio keuangan (kuantitatif) dalam menetapkan rasio total utang yang berbasis

bunga. Awalnya berdasarkan nota kesepahaman Fatwa DSN No: 20/DSN-

MUI/IV/2001 dan Peraturan Bapepam-LK Nomor: KEP-314/BL/2007 bahwa total

hutang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total ekuitas tidak lebih dari

45%:55%. Namun pada tahun 2012 Bapepam-LK merubah kebijakan tersebut

tanpa ada nota kesepahaman dengan DSN-MUI, yaitu melalui penerbitan

Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP-208/BL/2012 merubah pembanding

63Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa upaya taqni>n dalam bidang ekonomi Syariah

sudah mulai dilakukan sejak awal 1990, di mana saat itu MUI mengadakan lokakarya yang

salah satu hasilnya adalah membentuk Tim Perbankan MUI guna merintis pendirian bank

tanpa bunga di Indonesia. Upaya ini mendapat respon dari pemerintah dengan memuat

aturan yang mengakomodasi operasional perbankan operasional perbankan dengan system

bagi hasil dalam UU nomor 7 tahun 1992. Selanjutnya UU ini diubah dengan UU nomor 10

tahun 1998 tentang perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang secara

eksplisit adanya dual banking system. 64Hasanuddin mencatat ada banyak peraturan lembaga negara yang bersumber dari

fatwa DSN, antara lain: 1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank

Umum yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah; 2) Peraturan Ketua

Bapepam LK Nomor 04/BI/2007 tentang Akad-akad yang digunakan dalam kegiatan

perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; 3) Peraturan Ketua Bapepam LK

Nomor: Per-03/BI/2007 tentang Kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah. Hasanuddin, Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia,” (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008),

119-120.

113

-

5.000

10.000

15.000

20.000

2013 2014 2015 2016 2017

Rasio Keuangan

Utang Bunga Aset

total ekuitas (modal) menjadi total asset yang terus berlanjut sampai sekarang

dengan Peraturan POJK Nomor 35/POJK.04/2017.65

Grafik 4.1

Rasio Keuangan Utang Bunga terhadap Total Aset

Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis

Grafik 4.1 sebagai standar rasio keuangan menunjukkan sebagai data

pembanding antara utang berbasis bunga dan total aset dalam lima tahun pada

DES. Data tersebut nampak jelas bahwa pada tahun 2013 dan 2014 utang bunga

terhadap total aset terdapat perbedaan signifikan berada antara angka 6000 dan

14.000, namun tahun 2015 dan 2016 total utang bunga menurun pada angka 5000

terakhir tahun 2017 kembali naik pada angka 6000, sementara total aset

mengalami kenaikan dari angka 16.000 pada tahun 2016 jadi 18.000 pada tahun

2017. Berdasarkan data tersebut, walaupun ada perbedaan yang signifikan total

utang berbasis bunga terhadap aset namun jika dipersentasekan secara rata-rata

masih ambang batas yang cukup tinggi jika berpedoman pada standar screening saham yang ditetapkan oleh DSN-MUI dan OJK. Hal ini sebagaimana dijelaskan

pada grafik di bawah ini.

65Dalam melakukan analisis keuangan perusahaan, ada alat ukuran yang sangat

penting untuk diperhatikan oleh investor, yaitu ukuran solvabilitas. Solvabilitas dapat

dibagi menjadi tiga macam: (1) Debt to Asset Ratio (DAR), merupakan rasio yang

digunakan untuk membandingkan besarnya aktiva perusahaan dengan jumlah hutang secara

total. (2) Debt to Equity Ratio (DER), merupakan rasio yang digunakan untuk mengetahui

perbandingan yang menunjukkan total utang dengan ekuaitas (modal bersih) yang dimiliki

perusahaan setelah membayarkan semua kewajibannya. (3) Tangible Assets Debt Coverage, merupakan rasio solvabilitas yang dapat digunakan untuk mengatahui

perbandingan antara hutang jangka panjang yang ditanggung oleh perusahaan dengan

aktiva tetap terwujud. Accounting, “Memahami Rasio Solvabilitas untuk Pengembangan

Perusahaan”, https://www.harmony.co.id/blog/memahami-rasio-solvabilitas-untuk-

pengembangan perusahaan diakses pada 22 Oktober 2020).

114

46 44 38

35 37

-

10

20

30

40

50

2013 2014 2015 2016 2017

Persentase

Grafik 4.2

Persentase rata-rata total utang bunga terhadap aset

Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis

Berdasarkan grafik 4.2 di atas menunjukkan bahwa persentase rata-rata

total utang yang berbasis bunga setiap tahun terus berkurang, dari 46% tahun 2013

terus menurun ke 37% pada tahun 2017. Ini artinya secara rata-rata dari seluruh

perusahaan yang berjumlah 139 perusahaan mulai tahun 2014 hingga tahun 2017

telah memenuhi salah satu syarat sebagai saham syariah karena rasio utang hanya

45%. Namun jika di lihat rasio keuangan per perusahaan selama lima tahun bahwa

terdapat berjumlah 60 perusahaan total utangnya melebihi 45%, sisanya 79

perusahaan memenuhi kriteria screening bahkan ada sebagian perusahaan total

utangnya di bawah 10% berjumlah 4 perusahaan.

Keadaan ini berbeda ketika sebelum terjadinya perubahan peraturan.

Perubahan standar kriteria ini menyebabkan adanya kelonggaran dalam rasio

keuangan saham syariah di Indonesia. Kelonggaran perubahan peraturan ini

terletak pada emiten yang mempunyai modal negatif (negatif equity) yang pada

keputusan sebelumnya tidak dapat masuk DES karena rasionya negatif, sehingga

jika modalnya negatif berarti rasio utang berbasis bunga terhadap total modal juga

negatif. Dengan peraturan yang baru di mana pembandingnya adalah total asset,

maka emiten-emiten yang mempunyai modal negatif pun masih ada peluang untuk

masuk, karena walaupun modalnya negatif tetapi assetnya bisa saja positif.

Keadaan ini sebagaimana di jelaskan pada grafik berikut.

115

-

5.000

10.000

15.000

20.000

2013 2014 2015 2016 2017

Rasio Keuangan

Utang Bunga Ekuitas

85 80

61 50 47

-

20

40

60

80

100

2013 2014 2015 2016 2017

Persentase

Grafik 4.3

Rasio Keuangan Utang Bunga terhadap Total Ekuitas

Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis

Grafik 4.3 sebagai rasio keuangan menunjukkan data pembanding antara

total utang berbasis bunga dan total modal (ekuitas) tiap tahun pada DES. Data

tersebut nampak jelas bahwa dari tahun 2013 sampai 2015 total hutang berbasis

bunga dan ekuitas tidak jauh berbeda, yaitu berada antara angka 6000 sampai 9000.

Baru kemudian tahun 2016 dan 2017 terjadi peningkatan dan perbedaan jumlah

signifikan, berbanding 5000 total utang dan 14000 total ekuitas. Ini membuktikan

bahwa rata-rata modal perusahaan kebanyakan diperoleh dari utang perusahaan.

Grafik 4.4

Persentase rata-rata utang bunga terhadap ekuitas

Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis

Grafik 4.4 menunjukkan persentase rata-rata total utang berbasis bunga

terhadap ekuitas dari seluruh perusahaan yang diteliti dari tahun 2013-2017

menunjukkan bahwa ada penurunan persentase dari 85% tahun 2013 turun menjadi

47% tahun 2017. Namun walaupun ada penurunan persentase yang cukup

116

signifikan tentunya tidak banyak yang memenuhi kriteria sebagai saham syariah,

dari 139 DES hanya 40 perusahaan yang memenuhi syarat, sementara sisanya yang

99 tidak memenuhi persyaratan, karena rasio keuangan masih jauh di atas 45%,

sementara DSN-MUI dan OJK sendiri menetapkan 45% sebagai standar maksimal

total utang yang berbasis bunga. Dengan demikian, jika ambang batas ini masih di

berlakukan untuk mengukur rasio keuangan dalam screening saham syariah maka

tentunya banyak perusahaan tidak memenuhi syarat, karena rata-rata rasio utang

melebihi dari 45% yang pada akhirnya membuat proses penyaringan saham syariah

bisa lebih ketat.

Kelonggaran ini menurut Prasetyo bisa jadi disebabkan masukan dari para

pelaku pasar yang menghendaki saham yang berkapitalisasi besar namun bermodal

negatif karena terjangan krisis bisa masuk kembali menjadi saham Syariah. 66

Kelonggaran rasio utang berbasis bunga ini juga bisa terlihat dari jumlah saham

syariah yang masuk ke dalam DES sebelum dan sesudah peraturan ini mengalami

perubahan. Pada tahun 2011 ketika masih menggunakan acuan Peraturan

Bapepam-LK Nomor: KEP-314/BL/2007 ada sebanyak 253 saham syariah per

november 2011, sementara sejak ditetapkan Peraturan Bapepam-LK Nomor: KEP-

208/BL/2012 terdapat 321 saham Syariah per november 2012, yang mana

mengalami kenaikan jumlah sebanyak 68 saham Syariah.

Grafik 4.5

Perkembangan Saham Syariah

Sumber: OJK

Terjadinya perubahan ini walaupun secara akuntansi sama tetapi pada

aplikasinya memberikan pengaruh yang berbeda yaitu masuknya emiten yang

bermodal negatif seperti yang telah disebutkan di atas. Emiten yang bermodal

66 Yoyok Prasetyo, “Rasio Keuangan Sebagai Kriteria Saham Syariah”, Jurnal

Ekubis, Vol. 1, No. 1 (Februari 2017): 161-171.

117

negatif pasti akan mempunyai utang yang besar. Hal ini menurut pengertian bahwa

modal (equitas) merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yang merupakan

selisih antara aktiva (asset) dan kewajiban (utang) yang ada. Jika suatu emiten

modalnya negatif maka konsekuensinya utangnya akan menjadi besar. Hal ini

karena penjumlahan modal dan utang yang berupa asset bernilai positif.

Padahal kalau peraturan OJK konsisten terhadap nota kesapahaman dengan

fatwa DSN-MUI bahwa modal harus lebih besar dari utang, maka secara otomatis

emiten yang modalnya negatif tidak akan pernah masuk DES. Modal negatif

emiten adalah disebabkan oleh kerugian emiten dalam beberapa tahun berjalan,

sehingga kerugian ini menggerogoti modal emiten. Hal ini tentunya menjadi

indikasi awal bahwa emiten tersebut kurang baik kinerjanya.

Untuk itu, sebaiknya OJK mengembalikan lagi kriteria rasio utang berbasis

bunga terhadap modal bukan terhadap asset yaitu dikembalikan seperti pada

Peraturan Bapepam-LK Nomor: KEP-314/BL/2007. Bahkan jika perlu mengambil

filosofi bahwa modal harus lebih dominan terhadap hutang secara umum baik

ribawi maupun non ribawi, maka rasio yang paling tepat adalah Debt to Equity Ratio (DER) sebagai salah satu kriteria saham syariah.

2. Screening Rasio Pendapatan Bunga terhadap Total Pendapatan

Screening rasio finansial yang kedua adalah pendapatan bunga dan non

halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan (revenue) bahwa tidak lebih

dari 10%. Terhadap rasio ini tidak terdapat dalam Fatwa DSN-MUI sebelumnya,

sehingga dapat dipahami bahwa kebijakan tersebut murni berdasarkan keputusan

Bapepam LK sendiri tanpa diadopsi atau ada akta kesepahaman dengan Fatwa

DSN. Belakangan diketahui berdasarkan pengakuan dari OJK bahwa ada surat

persetujuan rapat DSN-MUI Nomor: B-370/DSNMUI/ X/2011 tanggal 20 Oktober

2011 perihal Penjelasan DSN-MUI atas penggunaan Total Asset sebagai Pengganti

Total Ekuitas dalam Kriteria Rasio Keuangan Saham Syariah. Hal ini dilakukan

karena jika harus menunggu fatwa akan memerlukan waktu dan prosedur yang

lama. Oleh karenanya, tidak mengapa landasannya adalah surat persetujuan bukan

dalam bentuk fatwa, dan hal ini dikemukakan oleh wakil sekretaris BPH DSN-

MUI. Alasannya karena produk hukum dari DSN-MUI bisa dalam bentuk fatwa

dan surat persetujuan.67 Keadaan ini sebagaimana di jelaskan pada grafik berikut.

67Yoyok Prasetyo, “Rasio Keuangan Sebagai Kriteria Saham Syariah”, Jurnal

Ekubis, Vol. 1, No. 1 (Februari 2017): 161-171.

118

-

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

2013 2014 2015 2016 2017

Rasio Keuangan

Pendapatan Bunga Total Pendapatan

1,79

2,50

1,86 1,56

2,30

-

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

2013 2014 2015 2016 2017

Persentase

Grafik 4.6

Rasio Keuangan pendapatan bunga dan total pendapatan

Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis

Grafik 4.6 sebagai rasio keuangan menunjukkan data pembanding antara

pendapatan bunga dan non halal lainnya terhadap total pendapatan tiap tahun pada

DES. Data tersebut nampak jelas bahwa rata-rata total pendapatan bunga dari

tahun 2013 sampai 2017 tidak ada perbedaan yang signikan, yaitu antara 1800 dan

2400 begitu juga total pendapatan berada sekitar 100.000 sampai 111.000. Lalu

jika dipersentasekan pendapatan bunga dan total pendapatan tersebut dapat

diketahui bahwa pendapatan perusahaan yang bersumber dari non-halal dan bunga

di bawah 10%. Hal ini sebagaimana di jelaskan pada grafik berikut.

Grafik 4.7

Persentase pendapatan bunga

Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis

119

Grafik tersebut membuktikan bahwa rata-rata pendapatan perusahaan DES

hanya sedikit diperoleh dari pendapatan bunga dan non-halal lainnya. Hal ini

sebagaimana dapat dilihat pada grafik bahwa dari tahun 2013 sampai 2017 tidak

ada yang lebih dari 10%, walaupun terjadi naik turun dari setiap tahunnya tapi

masih di bawah standar rasio keuangan yang ditetapkan oleh OJK. Berdasarkan

hasil penelitian dari 139 perusahaan bahwa hanya ada satu perusahaan rata-rata

melebihi ambang batas yaitu 10,62%, yaitu PT Surya Semesta Internusa Tbk.

(Infrastruktur). Namun jika dianalisis pada laporan keuangan perusahaan tersebut

ternyata perusahaan tidak secara ekplisit dalam laporan laba rugi mengungkapkan

bersumber dari pendapatan bunga namun bersumber dari pendapatan lainnya.

Sebagaimana diketahui bahwa pendapatan lainnya bisa saja diperoleh dari

pendapatan sewa, pendapatan bunga, dan deviden sehingga belum bisa dipastikan

apakah yang dimaksud pendapatan lainnya perusahaan tersebut murni bersumber

dari pendapatan bunga.

Ambang batas ini termasuk kecil jika dibandingkan dengan negara

Malaysia yang membolehkan pendapatan non halal dari 5% hingga boleh sampai

20% dari total pendapatan. Namun, setidaknya ada keputusan bersama minimal

dengan DSN-MUI sebagai lembaga yang diberikan otoritas oleh pemerintah

mengeluarkan fatwa tentang perkembangan LKS. Pertanyaannya kemudian kenapa

DSN tidak mengeluarkan fatwa yang sama sebagaimana ketika ditetapkan rasio

total utang terhadap aset sebelumnya agar regulasi ini lebih kuat terutama bagi

umat Islam yang masih meragukan melakukan investasi pada saham syariah.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan Bapak Kanny Hidaya 68

menurutnya bahwa diterapkannya kriteria rasio finansial tersebut oleh DSN-MUI

dan Bapepam-LK dengan pertimbangan masih sedikitnya investor yang menanam

modalnya di saham syariah. Jika harus diperketat pada ambang batas kurang dari

45% terhadap modal yang diperoleh dari utang berbasis bunga dan kurang 10%

pendapatan non halal antar indeks dikhawatirkan akan sedikit perusahaan yang

lolos dari proses screening. Pendapat serupa disampaikan oleh Nur Sigit Warsidi

bahwa ke depan secara bertahap bisa saja dikurangi menjadi 30% pada utang

berbasis bunga dan 5% pada pendapatan non-halal ketika sudah banyak perusahaan

yang terdaftar.69 Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang mereka gunakan sebagai

landasan hukum:

إذا ضاق األمر اتسع إذا اتسع األمر ضاق

Segala sesuatu, jika sempit maka menjadi luas, dan jika (kembali) luas

maka menjadi sempit.70

68Kanny Hidaya, Pengurus Pleno DSN-MUI, Wawancara, 08 Februari 2017. 69Nur Sigit Warsidi, Direktur Pasar Modal Syariah, Wawancara, 03 April 2017. 70Al-Ima>m Jala>l al-Di>n Abd al-Rah}man al-Suyut}i, Al-As}ba>h wa al-Naz}a>ir (Beirut:

Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1983), 83.

120

Bagian akhir sub bab ini peneliti menyampaikan bahwa DSN-MUI dan

OJK sebaiknya melakukan revisi pada standar screening tersebut secara progresif

dan berkala, dengan membuat nota kesepahaman untuk menghindari kesalahan

persepsi atau pemahaman publik mengenai screening saham syariah di Indonesia.71

Meskipun ada peraturan yang direvisi oleh OJK, yaitu peraturan OJK No. 35/POJK

04/2017 namun isi kebijakannya terutama pada rasio keuangan tidak mengalami

perubahan, baik pada rasio utang yang mengandung bunga maupun rasio

pendapatan bunga dan tidak halal lainnya terhadap total pendapatan masih sama

dengan peraturan yang ada sebelumnya.

71Rahmati Muin, dkk., “Tinjauan Metode Screening Saham Syariah Pada Bursa

Efek Indonesia”, Laa Maisyir Vol. 7, No. 1, (Juni 2020): 115-128.

121

BAB V

IMPLEMENTASI SCREENING SAHAM SYARIAH PADA

DAFTAR EFEK SYARIAH DALAM MENGUNGKAPKAN

TANGGUNG JAWAB SOSIAL

Keberadaan perusahaan tidak bisa berdiri dalam ruangan yang steril.

Perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri

saja sehingga teralienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat

sekitar. Bagaimanapun, keberadaan perusahaan merupakan pertemuan sejumlah

kepentingan. Ada kepentingan bisnis, ada pula kepentingan sosial dan lingkungan.1

Karenanya, perusahaan harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan

tersebut melalui sejumlah kegiatan dan inisiatif sosial yang berdampak positif bagi

masyarakat, lingkungan, dan ekonomi pada umumnya sehingga perusahaan dapat

tumbuh dengan sehat dalam suatu ekosistem yang berkelanjutan (sustainable).

Untuk membuktikan semua hal tersebut, dibutuhkan guideline untuk

mengukur sejauh mana perusahaan-perusahaan yang masuk DES yang berjumlah

139 perusahaan mengungkapkan tanggung jawab sosial sesuai standar Fatwa DSN-

MUI dan Peraturan OJK melalui laporan tahunan (annual raport). Hal ini

sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa perusahaan yang terdaftar pada

DES telah melewati proses screening sehingga apakah sudah mampu

mengakomodir terhadap kepentingan-kepentingan tersebut.

A. Penilaian Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada DES

Penting dilakukan penilaian terhadap adanya pengungkapan kinerja sosial

oleh perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada DES, terutama sekali bagi

investor. Investor akan mempertimbangkan sebelum melakukan investasi

berdasarkan informasi yang didapat, sehingga dalam pengambilan keputusan

investor tidak semata-mata mendasarkan pada informasi laba saja, namun juga

infomasi kinerja sosial perusahaan.2

Untuk Indonesia sejauh ini untuk mengukur pengungkapan tanggung jawab

sosial pada perusahaan terdaftar pada DES masih mengacu kepada Global Reporting Initiative Index (indeks GRI). Padahal, terkait dengan adanya kebutuhan

mengenai pengungkapan kinerja sosial yang bersifat suka rela saat marak

diperbincangkan mengenai pengungkapan kinerja sosial dalam konteks syariah

dengan menggunakan model indeks Islamic Social Reporting (ISR). Oleh karena

itu, peneliti pada bagian ini akan menganalisis pengungkapan tanggung jawab

sosial dengan menggunakan model indeks ISR dengan analisis data dilakukan

1 Mahmuddin Yasin, dkk., Perusahaan Bertanggung Jawab CSR vs PKBL,

(Semarang: Universitas Dipenogoro, 2013), xviii. 2 Yosefa Sayekti dan Ludovicus Sensi Wondabio, “Pengaruh CSR Disclosure

Terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada Perusahaan yang

Terdaftar di Bursa Efek Jakarta), Simposium Nasional Akuntansi X, (2007).

122

26932712

27512771

2826

2600

2650

2700

2750

2800

2850

2013 2014 2015 2016 2017

Tot

al s

kor

inde

ks IS

R

TAHUN

dengan memberikan tanda checklist pada tiap item yang mengungkapkan aktivitas

sosial pada laporan tahunan. Jika terdapat satu item yang diungkapkan maka akan

diberikan skor angka “1”, dan jika tidak maka akan mendapatkan skor angka “0”.

Pemberian tanda checklist didasarkan pada content analysis yang terdapat

dalam laporan tahunan, laporan keberlanjutan, dan/atau laporan PKBL dalam

kurun waktu 2013-2017. Indeks ISR yang digunakan sebagai indikator dalam

pelaporan kinerja sosial perusahaan bisnis syariah terbagi menjadi 6 tema, yaitu:

Tema Pendanaan dan investasi, produk dan jasa, karyawan, masyarakat,

lingkungan, dan tata kelola perusahaan. Di mana total item yang digunakan dalam

penelitian ini sebanyak 44 item setelah dilakukan modifikasi oleh peneliti di mana

yang relevan dengan pengungkapan annual report dari perusahaan yang terdaftar

dan lebih sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia.

Berikut ini skoring pelaporan kinerja sosial pada perusahaan yang terdaftar

pada DES dengan melihat pada tabel di bawah ini.

1. Skor Indeks Pelaporan ISR

Skor indeks ISR dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan

metode content analysis terhadap laporan perusahaan yang masuk dalam sampel

perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada Daftar Efek Syariah (DES) dalam

kurun waktu 2013-2017. Hasil content analysis total skor indeks ISR ini secara

lebih lengkap disajikan pada grafik 5.1 di bawah ini:

Grafik 5.1

Total Skor Indeks ISR Tahun 2013-2017

Sumber: Hasil pengolahan data

Grafik 5.1 menunjukkan, bahwa total skor indeks ISR tahun 2013-2017

dapat dilihat bahwa secara keseluruhan skor indeks ISR mengalami peningkatan

setiap tahunnya, yaitu dengan total sebanyak 2.693 pokok pengungkapan di tahun

2013 dan terus meningkat hingga 2.826 pokok pengungkapan di tahun 2017. Hal

123

ini menandakan bahwa perusahaan yang kegiatan operasinya sesuai dengan prinsip

syariah terus mengalamai peningkatan setiap tahunnya. Ini menunjukkan

perusahaan telah melakukan peningkatan pelaksanaan, pelaporan, dan

pengungkapan tanggung jawab sosial yang sesuai dengan prinsip syariah selama

kurun waktu 2013-2017. Hasil ini tentunya diharapkan memberikan dampak positif

bagi perkembangan praktik tanggung jawab sosial sesuai dengan prinsip syariah

bagi perusahaan DES di Indonesia.

Terjadi kenaikan pengungkapan ISR setiap tahunnya sangat dimungkinkan

karena terbitnya Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tangung jawab

sosial dan lingkungan perseroan terbatas melengkapi panduan penting bagaimana

tanggung jawab sosial dan lingkungan di laksanakan. Sehingga tidak bisa

dipungkiri hal tersebut cukup mempengaruhi beberapa poin pengungkapan

tanggung jawab sosial pada masing-masing perusahaan.

Namun terjadi perbedaan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial

secara syariah pada setiap perusahaan, walaupun secara rata-rata, semua

perusahaan telah melaksanakan sub item dari kategori ini, akan tetapi tidak ada

satu perusahaan yang melaporkannya secara sempurna (100%) pada seluruh sub

item berdasarkan model indeks ISR. Ada perusahaan yang telah mampu

melaporkan tanggung jawab sosial secara syariah dengan baik, sebaliknya ada juga

perusahaan yang mengungkapkannya dengan sangat minim meskipun perusahaan

tersebut telah dikategorikan sebagai perusahaan syariah oleh OJK dan DSN-MUI

melalui proses screening saham.

Terjadinya perbedaan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial secara

syariah setiap perusahaan disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu faktor internal

dan eksternal perusahaan. Salah satu faktor internal adalah kebijakan pimpinan

setiap perusahaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Fitria dan Hartanti bahwa

kebijakan pimpinan sangat mempengaruhi pola pelaksanaan tanggung jawab sosial

di perusahaan syariah.3 Sedangkan, salah satu faktor eksternal adalah tekanan dari

para pemangku kepentingan masing-masing perusahaan syariah untuk

melaksanakan, melaporkan, dan mengungkapkan tanggung jawab sosial yang

sesuai dengan ketentuan syariah. Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial

secara syariah sifatnya sukarela, jadi tidak ada standar mengenai pelaksanaan

tanggung jawab sosial secara syariah sehingga pengungkapan tanggung jawab

sosial perusahaan menjadi tidak seragam.

2. Skor Pengungkapan ISR pada masing-masing Tema

Pembahasan content analysis juga dapat dilakukan dari segi masing-

masing tema indeks ISR yang diperoleh dari laporan tahunan perusahaan. Indeks

ISR terdiri dari enam tema, antara lain pembiayaan dan investasi, produk dan jasa,

karyawan, masyarakat, lingkungan, dan tata kelola perusahaan. Hasil content

3 Soraya Fitria dan Dwi Hartanti, “Islam dan Tanggung Jawab Sosial: Studi

Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan Global Reporting Initiative Indeks dan Islamic Social Reporting Indeks”. Simposium Nasional Akuntansi 13 Purwokerto, (2010): 2.

124

Pembiyaandan Investasi

Produk danJasa

Karyawan Masyarakat LingkunganTata KelolaPerusahaan

2013 385 288 734 622 306 358

2014 386 289 736 624 308 369

2015 397 298 736 626 310 384

2016 399 300 740 624 308 400

2017 401 307 737 631 318 432

0100200300400500600700800

Sko

r In

deks

ISR

TEMA PELAPORAN

analysis skor indeks ISR masing-masing tema disajikan lebih lengkap

pergerakannya dari tahun ke tahun seperti terdapat pada grafik di bawah ini:

Grafik 5.2

Total Skor Indeks ISR Masing-masing Tema Tahun 2013-2017

Sumber: Hasil pengolahan data

Grafik 5.2 menunjukkan bahwa secara umum skor indeks ISR masing-

masing tema mengalami peningkatan selama tahun 2013-2017, walaupun tidak

terlalu signifikan, kecuali tema masyarakat dan lingkungan yang mengalami naik

turun. Tema masyarakat terjadi penurunan dari 626 pengungkapan pada tahun

2015 menjadi 624 pokok pengungkapan tahun 2016 kemudian naik kembali

menjadi 631 pengungkapan tahun 2017. Selajutnya tema lingkungan mengalami

penurun dari 310 pengungkapan tahun 2015 turun menjadi 308 tahun 2016

kemudian naik cukup siginifikan yaitu 318 pengungkapan tahun 2017. Selebihnya

tema pengungkapan yang terus mengalami peningkatan dari tahun 2013 sampai

2019. Diantaranya Tema pembiayaan dan investasi meningkat dari 385 pokok

pengungkapan di tahun 2013 terus meningkat menjadi 401 pokok pengungkapan di

tahun 2017. Tema produk dan jasa mengalamai peningkatan dari 288 pokok

pengungkapan di tahun 2013 terus meningkat menjadi 307 pokok pengungkapan di

tahun 2017. Selain itu, tema karyawan juga mengalami kenaikan dari 734 pokok

pengungkapan pada tahun 2013 menjadi 737 pokok pengungkapan pada tahun

2017. Terakhir, tema tata kelola perusahaan yang mengalami peningkatan cukup

signifikan di bandingkan tema yang lain, yaitu dari 358 pokok pengungkapan pada

tahun 2013 menjadi 432 pada tahun 2017.

125

Berdasarkan grafik 5.2 di atas, untuk memberikan penjelasan dari masing-

masing tema akan diuraikan satu per satu. Berikut ini adalah penjelasan hasil

content analysis untuk setiap tema indeks ISR dengan menggunakan persentase.

a. Tema Pembiayan dan Investasi

Tema pembiayaan dan investasi terdiri dari lima pokok pengungkapan,

meliputi pengungkapan aktivitas riba, gharar, zakat, kebijakan keterlambatan

piutang dan penghapusan piutang tak tertagih, dan pernyataan nilai tambah

perusahaan. Tabel 5.1 mengungkapkan persentase pengungkapan berdasar item-

item pengungkapan dengan tema pembiayaan dan investasi.

Tabel 5.1

Pengungkapan ISR Tema Pembiayaan dan Investasi

No. Item Hasil Skoring

(persen)

1. Aktivitas yang mengandung riba 100

2. Aktivitas yang mengandung gharar 40

3. Aktivitas Zakat 0,7

4. Kebijakan keterlambatan piutang dan

penghapusan piutang tak tertagih

68

5. Pernyataan Nilai Tambah Perusahaan 75

Sumber: Hasil pengolahan data

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 139 perusahaan yang menjadi sampel

penelitian semua perusahaan melaporkan item riba, menunjukkan angka 100%.

Pengungkapan tersebut mencakup jumlah utang yang mengandung bunga, jumlah

beban bunga, tujuan penggunaan utang yang mengandung bunga, serta pendapatan

bunga.

Pengungkapan apakah perusahan melakukan kegiatan yang mengandung

gharar atau tidak hanya menunjukkan angka 40%, berarti 60% lagi perusahaan

tidak melaporkan item tersebut. Dari data yang diperoleh setiap tahun ada

peningkatan jumlah perusahaan yang mengungkapkanya, namun tidak signifikan.

Pada tahun 2013 ada 47 perusahaan terus meningkat mencapai 61 perusahaan pada

tahun 2016 dan 2017. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan syariah di Indonesia

dalam mengungkapkan kegiatan gharar masih sangat minim sementara sudah

melewati proses screening sebelum perusahaan tersebut terdaftar sebagai

perusahaan menjalankan prinsip syariah dalam operasionalnya, padahal syarat

mendasar perusahaan tersebut dikatakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah

salah satunya adalah harus terbebas dari unsur gharar di dalamnya. Oleh karena itu

harus menjadi perhatian terutama DSN-MUI untuk meyakinkan para investor

muslim agar mau melakukan investasi pada saham syariah.

126

Lalu untuk pengungkapan item yang ke tiga dalam hal aktivitas perusahaan

yang melaporkan pembayaran zakat. Saham syariah sebagai bahagian dari produk

pasar modal syariah sudah sepatutnya perusahaan yang terdaftar pada DES

melakukan pembayaran zakat dan mengungkapkannya kepada publik. Namun,

kenyataannya dalam hal ini hanya 0,7% atau hanya ada satu perusahaan yang

mengungkapkan hal tersebut, yaitu hanya perusahaan Astra International (ASII)

yang secara konsisten mengungkapkan dari tahun 2013 sampai tahun 2017. Hal ini

menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut belum secara jelas dan tegas

pentingnya mengungkapkan kegiatan zakat. Dengan tidak diungkapkannya perihal

zakat dalam laporan perusahaan mengundang dua kemungkinan, yakni bisa saja

perusahaan telah membayar zakat akan tetapi tidak mengungkapkannya di laporan

perusahaan atau perusahaan memang tidak membayar zakat sama sekali sehingga

perusahaan tidak mengungkapkan dalam laporan tahunannya.

Selanjutnya, item kebijakan keterlambatan pembayaran piutang dan

penghapusan piutang tak tertagih. Lebih dari setengah perusahaan sampel

mengungkapkan kebijakan tersebut, di mana persentasenya mencapai 68%. Skor

ini menunjukkan bahwa perusahaan syariah di Indonesia sudah mulai baik dalam

mengungkapkan penghapusan piutang tak tertagih. Hal ini karena memang telah

diberlakukannya PSAK 50 (Revisi 2006) pada 1 Januari 2010. Dalam PSAK 50

tersebut dijelaskan bahwa perusahaan harus mengungkapkan mengenai resiko-

resiko yang melekat pada kegiatan usaha perusahaan, salah satunya adalah risiko

kredit. Dampak dari hal tersebut membuat sebagian besar perusahaan

mengungkapkan kebijakan atas pembayaran piutang dan penghapusan piutang

tertagih secara lebih komprehensif.

Pokok pengungkapan yang terakhir dalam tema ini terkait dengan ada atau

tidaknya pernyataan nilai tambah dalam laporan perusahaan. Jumlah perusahaan

yang mengungkapkan hal ini relatif cukup tinggi dalam kurun waktu tahun 2013-

2017 dengan persentase 75% karena pernyataan nilai tambah biasanya

diungkapkan pada bagian visi, misi, nilai-nilai perusahaan, laporan Dewan

Komisaris, atau laporan Dewan Direksi yang isinya cenderung hampir sama setiap

tahunnya.

Secara keseluruhan, jumlah perusahaan yang mengungkapkan tiap-tiap

item pengungkapan pada tema investasi dan keuangan cukup stabil, kecuali untuk

item gharar dan zakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perusahaan masih

belum sepenuhnya mengungkapkan tema investasi dan keuangan ini secara baik.

Perlu untuk meningkatkan kualitas pengungkapan agar lebih sesuai dengan prinsip-

prinsip syariah.

b. Tema Produk dan Jasa

Dalam tema produk dan jasa terdapat empat pokok pengungkapan, antara

lain: pengungkapan terkait dengan produk atau kegiatan operasi ramah lingkungan,

status kehalalan produk, keamanan dan kualitas produk, serta yang terakhir

pelayanan pelanggan.

127

Tabel 5.2

Pengungkapan ISR Tema Produk dan Jasa

No. Item Hasil Skoring

(persen)

6. Produk/kegiatan operasi ramah lingkungan 79

7. Status kehalalan produk 12

8. Keamanan dan Kualitas produk 75

9. Pelayanan pelanggan 47

Sumber : Hasil pengolahan data

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa tema produk dan jasa yang

pertama adalah terkait dengan pengungkapan produk atau kegiatan operasi ramah

lingkungan. Dapat di lihat bahwa hampir semua perusahaan mengungkapkan

produk atau kegiatan operasional yang ramah lingkungan yang dilakukan oleh

masing-masing perusahaan, hanya 21% atau 29 perusahaan saja dari total 139

perusahaan yang tidak mengungkapkan item terkait produk atau kegiatan ramah

lingkungan. Bahkan terus menunjukkan peningkatan dari 109 tahun 2013 menjadi

112 perusahaan tahun 2017 yang mengungkapan item produk atau kegiatan ramah

lingkungan.

Selanjutnya, pokok pengungkapan yang berhubungan dengan status

kehalalan produk, sebagian besar perusahaan masih tidak mengungkapkan

mengenai kehalalan produknya dalam laporan perusahaan di mana dibuktikan item

ini hanya mempunyai persentase 12% atau 17 perusahaan dari 139 perusahaan

sampel. Selama tahun pengamatan yang selalu mengungkapkan mengenai biasanya

perusahaan yang bergerak di industri food and baverages, seperti perusahaan

Indofood (INDF dan ICBP), selain itu juga ada perusahaan yang bergerak di bidang

agriculture-palm oil (LSIP) dan consumer goods (Unilever-UNVR). Perusahaan

yang tidak mengungkapkan kehalalan produk dalam laporannya bukan berarti

produk yang dihasilkan perusahaan tersebut tidak halal, perusahaan yang

mengungkapkan status kehalalan produk adalah perusahaan yang bergerak pada

sektor makanan dan minuman, agriculture, serta industri farmasi. Mengingat,

perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada DES bergerak di berbagai sektor, maka

perusahaan-perusahaan yang tidak bergerak di domain tersebut tidak

mengungkapkan status kehalalan produk, karena produk yang dihasilkan tidak

dikonsumsi oleh masyarakat.

Pokok pengungkapan berikutnya adalah keamanan dan kualitas produk,

persentase pengungkapan selama tahun pengamatan adalah 75%, ini menunjukkan

bahwa hanya sebahagian kecil perusahaan tidak mengungkapkan item keamanan

dan kualitas produk dalam laporan tahunannya. Sedangkan pengungkapan terakhir

terkait pelayanan pelanggan hanya mencapai 47%. Ini menunjukkan bahwa tidak

mencapai setengah dari jumlah perusahaan yang diteliti, yaitu hanya berjumlah ±

65 perusahaan setiap tahunnya.

128

Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan tema

produk dan jasa mengalami peningkatan. Terjadinya peningkatan pengungkapan

tersebut diharapkan dapat memenuhi informasi yang dibutuhkan oleh para

konsumen.

c. Tema Karyawan

Tema karyawan terdiri dari tiga belas pokok pengungkapan, meliputi

berbagai hal sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.3

Pengungkapan ISR Tema Karyawan

No. Item Hasil Skoring

(persen)

10. Jam kerja 13

11. Hari libur dan cuti 13

12. Tunjangan 91

13. Remunerasi 68

14. Pendidikan dan pelatihan 43

15. Kesetaraan hak antara pria dan wanita 47

16. Keterlibatan karyawan dalam diskusi/

pengambilan keputusan 5,2

17. Kesehatan dan keselataman kerja 83

18. Lingkungan kerja 79

19. Karyawan dari kelompok khusus (disabilitas) 2,2

20. Karyawan yang lebih tinggi melaksanakan

ibadah bersama karyawan bawahannya

0,7

21. Karyawan muslim boleh menjalankan ibadah

shalat dan puasa Ramadhan

0,7

22. Tempat ibadah yang memadai 32

Sumber : Hasil pengolahan data

Item tunjangan merupakan pokok pengungkapan paling tinggi, hingga

mencapai 91% selama periode pengamatan peneliti, di mana hanya terdapat 12

perusahaan saja yang tidak mengungkapkan item ini selama tahun pengamatan.

Begitu juga pengungkapan terkait tentang kesehatan dan keselamatan tertinggi ke

dua dengan persentase mencapai 83%.

Selanjutnya, perusahaan melakukan pengungkapan mengenai lingkungan

kerja juga menunjukkan persentase yang cukup tinggi mencapai 79%. Terakhir

pokok pengungkapan yang mempunyai persentase masih di atas 50% adalah

remunerasi dengan persentase 68%. Selebihnya menunjukkan pengungkapan yang

129

mempunyai persentase yang rendah, yaitu di bawah 50% bahkan ada yang hanya

0,7% yaitu pada pengungkapan karyawan muslim boleh menjalankan ibadah shalat

dan puasa ramadhan. Ini artinya bahwa hanya terdapat 1 perusahaan dari 174 yang

mengungkapkan item tersebut selama tahun pengamatan, yaitu perusahaan PT

Indo Acidatama Tbk (SRSN) bergerak pada sektor industri dasar dan kimia.

Dari serangkaian hasil di atas menunjukkan bahwa item pengungkapan

tunjangan, kesehatan keselamatan kerja, lingkungan kerja, dan remunerasi

merupakan pokok pengungkapan yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan.

Hal ini menunjukkan bahwa aspek tersebut merupakan aspek paling penting bagi

kesejahteraan dan keselamatan karyawan sehingga perusahaan sudah selayaknya

memberikan reward kepada seluruh karyawan yang bernilai lebih.

Pada bagian lain terlihat bahwa perusahaan tidak terlalu menaruh perhatian

penuh pada pengungkapan jam kerja, hari libur dan cuti, kesamaan gender,

keterlibatan karyawan dalam diskusi manajeman dan pengambilan keputusan,

karyawan dari kelompok khusus, karyawan yang lebih tinggi melaksanakan ibadah

bersama karyawan bawahannya, karyawan (muslim) diperbolehkan menjalankan

ibadah di waktu-waktu shalat dan berpuasa di saat ramadhan, dan tempat ibadah

yang memadai. Hal ini ditandai bahwa persentase item-item pengungkapan

tersebut rata-rata 40% ke bawah. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa terdapat

hak-hak dasar karyawan (muslim) yang belum sepenuhnya diungkapkan secara baik

dalam laporan tahunan perusahaan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan

yang terdapat pada DES belum mengungkapkan aspek-aspek karyawan dengan

baik. Perusahaan sudah seharusnya memenuhi kebutuhan spiritual tiap

karyawannya dan mengungkapkannya dalam laporan perusahaan sebagai suatu

bentuk pelaporan sosial perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

d. Tema Masyarakat

Pokok pengungkapan pada tema masyarakat terbagi menjadi sebelas

bagian. Untuk lebih jelasnya sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.4

Pengungkapan ISR Tema Masyarakat

No. Item Hasil Skoring

(persen)

23. Sedekah, donasi atau sumbangan 94

24. wakaf 1,3

25. Qard Hassan 4,9

26. Sukarelawan dari kalangan karyawan 9,4

27. Pemberian beasiswa sekolah 45

28. Pemberdayaan kerja para lulusan 32

130

sekolah/kuliah (praktek kerja lapangan).

29. Pengembangan generasi muda 24

30. Peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin 36

31. Kepedulian terhadap anak-anak 39

32. Kegiatan Amal atau sosial 91

33. Mensponsori kegiatan-kegiatan kesehatan,

budaya, pendidikan, keagamaan, dll.

71

Sumber : Hasil pengolahan data

Berdasarkan tabel di atas, pengungkapan yang paling menonjol untuk

diungkapkan selama tahun pengamatan adalah pengungkapan terkait dengan

sedekah, donasi atau sumbangan 94%, kegiatan amal atau sosial 91% serta

mensponsori kegiatan di berbagai bidang 71%. Hal ini mengindikasikan bahwa

sebagian besar perusahaan yang terdaftar pada DES di Indonesia telah memiliki

kesadaran yang baik mengenai pentingnya berbagi dalam bentuk kegiatan amal,

sedekah, dan mensponsori kegiatan-kegiatan sosial dengan tujuan untuk saling

meringankan beban orang lain. Namun tentunya ke depan masih perlu untuk

ditingkatkan dengan harapan bisa mencapai 100%.

Selanjutnya pengungkapan dengan skor di bawah 50% adalah pemberian

beasiswa hanya 45%, kepeduliaan terhadap anak-anak 39%, peningkatan kualitas

hidup masyarakat miskin 36%, pemberdayaan kerja para lulusan 32%,

pengembangan generasi muda 24%. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar

perusahaan belum mampu sepenuhnya memiliki tanggung jawab untuk

meningkatkan kesejahteraan dan pendidikan masyarakat sebagai salah satu upaya

dalam rangka meningkatkan pertumbuhan negara.

Pokok pengungkapan tiga yang terakhir menunjukkan pengungkapan yang

sangat rendah di bawah 10%. Yaitu sukarelawan dari kalangan karyawan 9,4%,

Qard Hassan 4,9%, dan wakaf 1,3%. Ketiga program tersebut merupakan program

yang tidak umum dimiliki seluruh perusahaan. Karakteristik ketiga program

tersebut sifatnya bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan dengan

memperhitungkan terlebih dahulu tujuan, biaya, dan manfaat dari program tersebut

bagi perusahaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepedulian

perusahaan terhadap masyarakat tergolong cukup baik. Penjelasan terkait

mengenai pihak yang menerima bantuan dan bukti konkrit berupa foto pada

dasarnya telah diungkapkan oleh sebagian perusahaan secara luas dalam laporan

tahunan. Walaupun, masih ditemukannya keterbatasan dalam pengungkapan

aspek-aspek yang berkaitan dengan prinsip-prinsip syariah. Seperti wakaf dan qard hassan yang tidak hanya sebatas ibadah sosial namun juga diyakini bagi umat

Islam ada nilai spritual di dalamnya.

131

e. Tema Lingkungan

Tabel 5.5

Pengungkapan ISR Tema Lingkungan

No. Item Hasil Skoring

(persen)

34. Konservasi lingkungan hidup 82

35. Kegiatan mengurangi efek pemanasan global 72

36. Pendidikan mengenai lingkungan hidup 18

37. Audit lingkungan/pernyataan verifikasi

independen

23

38. Sistem manajemen lingkungan/kebijakan 28

Sumber : Hasil pengolahan data

Tema lingkungan terbagi menjadi lima tema, dalam kurun waktu 2013-

2017, pokok pengungkapan yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan dengan

persentase sebanyak 82% adalah konservasi lingkungan hidup. Pokok

pengungkapan tertinggi kedua adalah pokok kegiatan mengurangi efek terhadap

pemanasan global sebanyak 72%. Kegiatan tersebut dapat diwujudkan dalam

bentuk minimalisasi polusi, pengelolaan limbah, pengelolaan air bersih, dan lain-

lain.

Salah satu tanda yang menunjukkan bahwa perusahaan memiliki sistem

manajemen lingkungan yang baik terlihat dari kepemilikan sertifikasi ISO 14001

Sistem Manajemen Lingkungan. Kedua pokok pengungkapan tersebut sebagian

besar dilakukan oleh perusahaan di industri pertambangan, properti, dan

perkebunan.

Berikutnya tiga pokok pengungkapan yang tidak mencapai 50%, yaitu

sistem manajemen lingkungan 28%, audit lingkungan 23%, dan pendidikan

mengenai lingkungan hidup 18%. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak

banyaknya perusahaan yang melakukan dan mengungkapkan mengenai pernyataan

verifikasi independen atau audit lingkungan adalah faktor biaya. Oleh karena itu,

biasanya perusahaan yang telah melakukan dan mengungkapkan hal tersebut

hanyalah perusahaan-perusahaan besar.

f. Tema Tata Kelola Perusahaan

Tabel 5.6

Pengungkapan ISR Tema Tata Kelola Perusahaan

No. Item Hasil Skoring

(persen)

39 Status kepatuhan terhadap syariah 0

132

40 Struktur kepemilikan saham 100

41 Profil dewan direksi 99

42 Pengungkapan praktik monopoli 0,7

43 Pengungkapan adanya perkara hukum 51

44 Kebijakan anti korupsi 29

Sumber : Hasil pengolahan data

Tema tata kelola perusahaan mencakup enam pokok pengungkapan. Pokok

pengungkapan yang paling tinggi adalah sktruktur kepemilikan saham mencapai

100%, ini artinya bahwa diungkapakan oleh seluruh perusahaan. Selanjutnya pokok

pengungkapan profil dewan direksi mencapai 99%. Kedua pokok pengungkapan

tersebut merupakan pokok pengungkapan yang diwajibkan oleh OJK sehingga

semua perusahaan dipastikan melaporkan item tersebut pada laporan tahunannya.

Berikutnya, pokok pengungkapan yang mencapai 51% adalah

pengungkapan adanya perkara hukum. Selebihnya pokok pengungkapan kebijakan

anti korupsi hanya 29%, pengungkapan praktik monopoli 0,7%. Terakhir pokok

pengungkapan status kepatuhan terhadap syariah tidak ada satupun perusahaan

yang mengungkapkannya.

3. Pengungkapan dengan Skor Indeks Tema ISR tertinggi

Pada bagian ini akan membahas terkait daftar perusahaan dengan skor

indeks ISR tertinggi dan terendah per masing-masing tema. Setiap perusahaan

memiliki concern yang berbeda-beda terhadap aspek yang ingin perusahaan

tonjolkan dalam laporan-laporan ataupun press release yang perusahaan terbitkan.

Aspek-aspek tersebut tentu selaras dengan visi dan misi perusahaan dalam rangka

mencapai tujuan perusahaan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila perusahaan

dengan karakteristik bisnis yang berbeda memiliki kecenderungan pengungkapan

yang berbeda atas ke enam tema indeks ISR tersebut.

Tabel 5. 7

Daftar Perusahaan dengan Skor Indeks Tema ISR Tertinggi

No Tema

Skor Indeks Tema ISR Tertinggi

2013 2014 2015 2016 2017

Kode Sk

or Kode

Sk

or Kode

Sk

or Kode

Sk

or Kode

Sk

or

1. Pembiayaan

dan Investasi

ASII

5

ASII

5

ASII

1

ASII

5

ASII

5

2. Produk dan

Jasa

DVLA

ICBP

INAF, INDF

KAEF, MBTO

MERK, DNET

4 DVLA,

ICBP,

INAF, INDF

KAEF, MBTO

MERK,DNET

4 DVLA

ICBP

INAF, INDF

KAEF,MBTO

MERK, TCID

4 DVLA

ICBP

INAF, INDF

KAEF, KLBF

MBTO,

4 DVLA

ICBP

INAF, INDF

KAEF,KLBF

MBTO,

4

133

DNET, MICE

MERK

TCID,DNET

MICE

MERK

TCID, DNET

MICE

3. Karyawan ANTM,

PTBA,

TINS,

WIKA,

TLKM

9 ANTM,

PTBA,

TINS,

WIKA,

TLKM

9 ANTM,

PTBA,

TINS,

WIKA,

TLKM

9 ANTM,

PTBA,

TINS,

WIKA,

TLKM

9 ANTM,

PTBA,

TINS,

WIKA,

TLKM

9

4. Masyarakat ELSA,

INTP,SMGR

,ASII,DILD,

UNTR

8 ELSA,

INTP,SMG

R,ASII,AP

LN,DILD,

UNTR

8 ELSA,

INTP,SMG

R,ASII,APL

N,DILD,U

NTR

8 INTP,SM

GR,ASII,

UNTR,

8 INTP,SMG

R,ASII,AP

LN,DILD,

UNTR.

8

5. Lingkungan ELSA, PTBA

TINS, INDF,

ADHI

5 ELSA, PTBA

TINS, INDF,

ADHI

5 ELSA, PTBA

TINS, INDF,

ADHI

5 ELSA,

PTBA

TINS,INDF,

ADHI

5 ELSA,

PTBA

TINS, INDF,

ADHI

5

6. Tata Kelola

Perusahaan

PTBA

TINS, SMGR,

ASII, AISA

INAF, KLBF

UNVR, ASRI

BSDE, CTRA,

TLKM, AKRA

4 INTP 5 INTP,

MERK

5 MERK 5 MERK 5

Sumber: Hasil pengolahan data

Berdasarkan Tabel 5.7 di atas, penjelasan untuk masing-masing tema akan

dijelaskan satu persatu. Pertama, daftar perusahaan yang memiliki kecenderungan

pengungkapan pada tema pembiyaan dan investasi ada peningkatan setiap

tahunnya. Pengungkapan tertinggi hanya ada satu perusahaan yang mampu

mengungkapkan ke lima item indikator pengungkapan. Yaitu PT Astra

International Tbk. bergerak pada sektor industri. Sementara perusahaan perusahaan

yang lain rata-rata hanya mampu mengungkapkan 3-4 indikator. Seperti PT Elnusa

Tbk. pada sektor industri pertambangan dan PT. Intiland Development Tbk. di

sektor industri properti.

Kedua, perusahaan yang concern dengan tema produk dan jasa juga

mengalami peningkatan, bahkan bervariatif pada setiap tahunnya. Dari 8

perusahaan tahun 2013-2014 meningkat menjadi 10 perusahaan 2015 dan terus

meningkat menjadi 11 perusahaan pada tahun 2016-2017. Tiga perusahaan yang

bertambah hingga tahun 2017 yaitu, TCID, MICE, dan KLBF. Salah satu

perusahaan yang tetap fokus pada pengungkapan produk dan jasa adalah PT. Kimia

Farma (Persero) Tbk (KAEF). Seperti diketahui PT. Kimia Farma merupakan

perusahaan BUMN dan perusahaan manufaktur yang bergerak dalam bidang

kesehatan. Dengan demikian, sudah sewajarnya PT. Kimia Farma melakukan

pengungkapan yang lebih utama pada tema produk dan jasa karena bidang

usahanya berhubungan dengan tanggung jawab moral kesehatan masyarakat luas.

PT. Kimia Farma harus meyakinkan masyarakat luas bahwa obat-obatan yang

dihasilkan merupakan produk yang ramah lingkungan, halal, aman untuk

dikonsumsi, serta memiliki kualitas terbaik.

134

Ketiga, adalah tema karyawan. Dalam tema ini terdapat lima perusahaan

memiliki skor indeks ISR tertinggi pada tema karyawan dalam kurun waktu 2013-

2017. Tiga perusahaan pertama bergerak pada industri pertambangan (ANTM,

PTBA, TINS), sementara dua perusahaan lagi pada industri properti (WIKA) dan

infrastruktur TLKM). Dalam berbagai laporannya kelima peruasahaan memang

terlihat memiliki komitmen penuh untuk selalu meningkatkan kesejahteraan para

karyawannya.

Keempat, tema masyarakat. Memiliki perbedaan jumlah pengungkapan

hampir pada setiap tahunnya. Tahun 2013 ada enam perusahaan, 2014 dan 2015

naik menjadi tujuh perusahaan, 2016 turun hanya ada empat perusahaan, dan 2017

kembali naik ada enam perusahaan. Ketujuh perusahaan juga bergerak dalam

bidang usaha yang berbeda. PT Elnusa Tbk (ELSA) merupakan perusahaan

pertambangan, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dan PT Semen

Indonesia Tbk (SMGR) keduanya bergerak pada sektor dasar dan kimia, PT. Astra

International Tbk (ASII) perusahaan aneka industri, PT. Agung Pomoro Land Tbk.

((APLN) dan PT Intiland Developments Tbk. (DILD) keduanya bergerak pada

sektor properti, dan terakhir PT. United Tractors Tbk. (UNTR) merupakan

perusahaan bergerak pada sektor perdagangan. Ke tujuh perusahaan tersebut,

walaupun bergerak pada sektor usaha yang berbeda namun memiliki satu kesamaan

mengungkapkan pentingnya peran masyarakat bagi perusahaan.

Kelima, tema lingkungan merupakan tema indeks ISR yang cukup banyak

mendapat sorotan dari masyarakat. Dalam penelitian ini terdapat bahwa ada lima

perusahaan pada tahun 2013 dan bertahan sampi 2017 dengan jumlah perusahaan

yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Kelima perusahaan tersebut tiga

pertama bergerak dalam bidang industri pertambangan, perusahaan keempat pada

industri konsumsi, dan perusahaan kelima pada industri properti.

Keenam, tema tata kelola perusahaan. Pada tema ini tahun 2013 terdapat

13 perusahaan, namun turun drastis tahun 2014 hanya tinggal satu perusahaan, lalu

naik lagi menjadi dua perusahaan tahun 2015 dan turun lagi sisa satu perusahaan

pada tahun 2016 dan 2017. Adanya perbedaan pada setiap tahunnya disebabkan

ada perbedaan skor tertinggi antara tahun 2013 dan 2014-2017.

Hasil keenam tema tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan-

perusahaan yang terdaftar pada DES belum mampu secara komprehensif

mengungkapkan tanggung jawab sosial pada laporan tahunan perusahaannya,

hanya sebahagian kecil yang mengungkapkannya. Sepatutnya, perusahaan DES

harus mampu memberikan informasi lebih lengkap, apalagi sebagai acuan investasi

bagi para investor yang ingin berinvestasi pada saham syariah. Karenanya, banyak

perusahaan pada DES hanya mampu menyajikan informasi mengenai daftar

perusahaan-perusahaan yang sudah di screening tanpa memberikan informasi lebih

detail mengenai misalnya apakah kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut

telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

135

B. Implementasi Screening Saham Syariah terhadap Pengungkapan Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan pada DES

Komitmen mengenai pentingnya praktik pengungkapan tanggung jawab

sosial perusahaan secara umum telah banyak diterapakan di Indonesia, tidak

terkecuali perusahaan terdaftar pada Daftar Efek Syariah (DES), terlepas berapa

besar persentase pada masing-masing perusahaan dalam mengungkapkannya. Di

samping adanya undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah juga

adanya kesadaran bagi setiap perusahaan. Ini menunjukkan bahwa pengungkapan

tangung jawab sosial ini sangat penting terutama bagi investor. Investor akan

mempertimbangkan informasi CSR yang diungkapan dalam laporan tahunan

perusahaan, sehingga dalam pengambilan keputusan investor tidak semata-mata

mendasarkan pada informasi profit saja.4

Hal ini dapat dibuktikan dari kebijakan screening saham erat kaitannya

bahwa setiap perusahaan yang menjalankan kegiatan bisnis harus sesuai dengan

prinsip-prinsip syariah. Secara eksplisit disebutkan dalam Fatwa DSN-MUI No.

40/DSN-MUI/X/2003 bahwa melarang kegiatan usaha yang bertentangan dengan

prinsip syariah salah satu poinnya menyebutkan memproduksi, mendistribusi,

dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan

bersifat mudarat.

Kriteria DSN-MUI tersebut dipertegas dengan Peraturan OJK Nomor:

35/POJK.04/2017 menjelaskan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip

prinsip syariah selain larangan memproduksi, mendistribusikan,

memperdagangkan, dan atau menyediakan barang dan atau jasa yang haram karena

zatnya (haram li-dzatihi), haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang

ditetapkan oleh DSN-MUI dan poin ke 3 barang dan atau jasa yang merusak moral

dan bersifat mudarat.

Berdasarkan Fatwa DSN dan Peraturan OJK tersebut di atas, maka

menurut penulis bahwa screening saham syariah ada hubungan terhadap tanggung

jawab sosial perusahaan. Hal ini berdasarkan kalimat larangan “kegiatan usaha

yang bertentangan prinsip syariah adalah barang atau jasa yang dapat merusak

moral dan bersifat mudarat”. Ini artinya perusahaan-perusahaan yang terdaftar

pada DES seharusnya terbebas dari merusak moral dan membawa mudharat,

misalnya larangan merusak kelestarian lingkungan dan alam sekitar.

Konsep ini sejalan dengan konsep tanggung jawab sosial oleh SRI dari

barat. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada sosial, lingkungan, dan

etika. Umumnya dikenal sebagai "three P’s rule: people, planet and profit”. Menunjukkan bahwa terdapat tiga dimensi utama dalam pembangungan

berkelanjutan (sustainable), yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Dengan demikian,

kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara

4 Yosefa Sayekti dan Ludovicus Sensi Wondabio, “Pengaruh CSR Disclosure

Terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada Perusahaan yang

Terdaftar di Bursa Efek Jakarta), Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar (2007).

136

berkelanjutan (sustainable) karena ketiga dimensi tersebut saling berhubungan dan

saling mempengaruhi satu sama lain.5

Bahkan Islam tidak hanya sebatas menjaga tiga hal tersebut tapi juga

hubungan spritual. Sebagaimana diungkapkan oleh Hannifa bahwa tanggungjawab

sosial perusahaan pada sistem konvensional hanya fokus pada aspek material dan

moral berbeda dalam Islam dengan menambahkan aspek spritual, beliau kenal

dengan Islamic Social Reporting (ISR). 6

Berdasarkan laporan tahunan perusahaan DES dengan menggunakan

pendekatan Islamic Social Reporting (ISR) bahwa setiap perusahaan sudah

menerapkannya, sebagaimana telah di bahas pada sub bab sebelumnya. Tinggal

lagi permasalahannya adalah sejauh mana perusahaan tersebut mampu

mengimplementasikan tanggung jawab sosial tersebut terhadap perusahaannya.

Berdasarkan pengungkapan ISR, ada banyak bentuk penerapan tanggung jawab

sosial yang telah dilakukan bagi perusahaan 7 yang terdaftar pada DES, yaitu

terbagi kepada enam pokok pembahasan.

1. Tema Pendanaan dan investasi

Tema pendanaan dan investasi terdiri dari lima pokok pengungkapan.

Pertama, yaitu pokok pengungkapan aktivitas yang mengandung unsur riba. Merupakan pokok pengungkapan yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan.

Semua perusahaan mengungkapkan bahwa terlibat dalam praktik riba hingga

mencapai 100%. Pengungkapan tersebut mencakup jumlah utang yang

mengandung bunga, jumlah beban bunga, tujuan penggunaan utang yang

mengandung bunga, serta pendapatan bunga.

Selanjutnya, aktivitas perusahaan mengandung g{}{{}}}}harar hanya 40% yang

mengungkapkan pada laporan tahunan, tentunya juga belum tau pasti 60% sisanya

yang tidak mengungkapkan pada laporan tahunan bahwa tidak terlibat dalam

aktivitas gharar. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan syariah di

Indonesia belum secara komprehensif mampu mengungkapkan sepenuhnya apakah

mereka terlibat dalam kegiatan gharar atau tidak.

5 Thomas Dyllick and Kai Hockerts, “Beyond The Business for Corporate

Sustainability,” John Wiley & Sons, Ltd and ERP Environment (2002): 130-141.

DOI:10.1002/bse.323. 6 Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspective,”

Indonesian Management and Accounting Research Journal, Vol. 1 No. 2 (2002) 7Di dalam al-Qur’an banyak di singgung secara eksplisit tentang industri antara

lain: industry besi, baja, dan kuningan. Saba‘ [34]: 10,11, dan 12; industri perhiasan emas,

perak, mutiara, dan sustra. Al-Insa>n [76]: 15-16, Al-Kahfi {[18]: 31; industri minyak nabati

dan pertambangan. Al-Mu’minun [23]: 20, Al-Hadid [57]: 25; industri tekstil dan kaca. An-

Nahl [16]: 80. An-Naml [27]: 44; industri keramik, batu bata, dan bangunan. Al-Qasa>s

[28]38, al-Mu’min [40]: 36-37, Al-Fajr [89]: 6-9; industri perkapalan. Hu>d [11]: 37, 38, dan

42. Al-Qamar [54]: 13-14.

137

Terhadap dua item pengungkapan tersebut, jika dihubungkan dengan

Fatwa DSN-MUI disebutkan bahwa salah satu kriteria prinsip-prinsip syariah pada

pasar modal syariah adalah terbebas dari unsur riba dan gharar,8 begitu juga dengan

keputusan OJK.9 Ini menunjukkan bahwa belum tegasnya DSN-MUI dan OJK

dalam proses screening sehingga terkesan masih terlalu longgar dalam proses

penyeleksian saham syariah. Belum lagi ketidakjelasan besarnya persentase

praktek riba yang terjadi pada setiap perusahaan. Hal ini karena pada laporan

tahunan perusahaan tidak dirincikan secara komprehensif besarnya keterlibatan

dalam praktek riba dan terjadinya gharar pada perusahaan bersangkutan.

Para pakar cendikiawan muslim kontemporer telah memberikan beberapa

dasar pemikiran logis bagi larangan riba (bunga) dengan menunjukkan secara tidak

langsung konsekuensi dari praktek bunga pada masyarakat, yaitu merupakan

bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi yang merusak inti ajaran Islam tentang

keadilan sosial. Karena itu, penghapusan bunga dari sistem ekonomi ditujukan

untuk memberikan keadilan ekonomi, keadilan sosial, dan perilaku ekonomi yang

benar secara etis dan moral. 10

Di samping itu, bahwa eksistensi riba tidak sesuai dengan sistem nilai

Islam, yang melarang semua bentuk pencarian kekayaan yang tidak bisa

dibenarkan. Riba yang mempresentasikan keuntungan keuangan yang tidak setara

dan karena itu tidak dibenarkan, berbeda dari perdagangan yang menghasilkan

pertukaran nilai setara. Dengan menghilangkan riba, tiap pihak dalam akad

mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada akhirnya akan mengarah

kepada distribusi penghasilan yang setara dan kemudian sistem ekonomi yang

lebih adil.11

Sementara itu, dasar pemikiran dari mengapa al-Qur’an mewahyukan ayat

yang tegas melarang riba adalah karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi

dan mendukung sistem ekonomi yang bertujuan menegakkan keadilan sosial

ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Karena itu Islam mengutuk

semua bentuk eksploitasi khususnya ketidakadilan. Dalam al-Qur’an ditemukan

informasi mengenai riba terulang sebanyak delapan kali terangkum dalam empat

surat yang berbeda, yaitu: al-Ru>m [30]: 39; A<li ‘Imra>n [3]: 130; al-Baqarah [2]:

275-279; al-Nisa>’ [4]: 161. Beragamnya ayat tentang riba tersebut sehingga yang

membuat kemudian al-S{a>bu>ni> dan Ah}mad Must}afa> al-Mara>ghi>, berkesimpulan

bahwa larangan terhadap praktik riba tersebut terjadi secara bertahap dan perlu

proses. Pada tahap awal riba dilarang karena ada unsur negatif di dalamnya, al-

Ru>m [30]: 39, berlanjut al-Nisa>’ [4]: 161 yang memberikan isyarat keharamannya,

8 Keputusan DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan

Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. 9Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar

Efek Syariah. 10Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory

and Practice (Singapore: Jhon Wiley & Son, 2007), 81-83. 11Zamir Iqbal and Abbad Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance, 82.

138

dan tahap berikutnya secara eksplisit redaksi ayatnya menyatakan keharaman

tentang riba yang diungkapkan dalam A<li ‘Imra>n [3]: 130, serta tahap terakhir

diharamkan secara konkret dalam berbagai bentuknya dalam al-Baqarah [2]: 278.12

Sementara itu ulama tafsir lainnya memberi penjelasan bahwa kandungan

al-Ru>m [30]: 39 itu adalah merupakan riba atas pemberian sesuatu kepada orang

lain karena ada motif-motif tertentu, seperti menginginkan balasan hadiah yang

lebih besar atau karena ingin mendapatkan fasilitas, dengan demikian tidak

berdasarkan keikhlasan murni. Pendapat tersebut berpijak dari riwayat berasal dari

Ibn Abbas yang menyatakan bahwa riba dalam al-Ru>m [30]: 39 ini adalah riba

berkaitan dengan hadiah yang mengharapkan balasan yang lebih besar.

Rashid Rid}á mengemukakan pendapat yang menarik, Ia berpendapat bahwa

riba yang diharamkan itu adalah adanya unsur berlipat ganda di dalamnya. Rashid

Rid}a menjadikan A<li ‘Imra>n [3]: 130 sebagai yang substansial mengenai keharaman

riba. Pendapatnya ini terlihat jelas ketika ia mengaitkan kata الربوا dalam surat al-

Baqarah [2]: 275-278 yang difahaminya mempunyai unsur berlipat ganda.

Pendapat ini didukung argumentasi bahwa kata الربوا dalam surat A<li ‘Imra>n 130

dan surat al-Baqarah 275-278 sama-sama berbentuk makrifat. Menurutnya, bahwa

telah menjadi kaidah bahasa, apabila terdapat kosa kata berbentuk ma’rifat

mengalami pengulangan, maka pengertian kosa kata kedua (kata الربوا dalam surat

al-Baqarah) sama dengan pengertian لربواا dari kosa kata pertama dalam surat A<li

‘Imra>n ayat 130. Dengan demikian berarti, bahwa الربوا dimaksud pada tahapan

kedua (surat al-Baqarah ayat 275-278) adalah bentuk 13.أضعافا مضاعفا

Sementara itu menurut Abu> Zahrah, riba yang diharamkan oleh al-Qur’a>n

adalah setiap tambahan sebagai imbalan masa tertentu yang ditangguhkan, baik

yang bersifat konsumtif maupun produktif.14

Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor menjelaskan setidaknya ada dua

persyaratan dibolehkan pemasukan yang berasal dari bunga, yaitu: Pertama,

pemegang saham harus menolak dan mengekpresikan ketidaksetujuannya terhadap

bunga tersebut, kalau perlu menentang aktivitas tersebut berkembang pada saat

rapat umum pemegang saham tahunan perusahaan. Kedua, melakukan pembersihan

pendapatan bunga melalui pemberian sumbangan. Oleh karena itu, pendapatan

bunga dalam dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham harus diberikan

untuk amal sosial dan tidak boleh diambil oleh pemegang saham sebagai bagian

dari keuntungan yang diperoleh. Misalnya terdapat 10% dari keseluruhan

12Muh}ammad ‘Ali> al-S}a>bu>ni>, Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-

Qur’a>n (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Islami>yah, 2001), 389. Lihat juga Ah}mad ibn Must}afa> al-

Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi> (Kairo: Shirkah Maktabah Must}afa> al-Ba>b al-H{alabi>, 1946), 59-

61. 13Muh}ammad Rashid Rid}á Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}aki>m (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-

‘Ilmi>yah, 1999), 145. 14Muh}ammad Abu> Zahrah, Buh}u>th fi al-Riba> (Kairo: Da>r al-Buh}u>th al-‘Ilmi>yah,

tt), 125.

139

pemasukan berasal dari simpanan berbasis bunga, maka 10% deviden tersebut

harus diberikan untuk amal agar dapat mensucikan pendapatan dividen.15

Berdasarkan dua persyaratan tersebut, jelas bahwa sebenarnya Islam

menolak pendapatan yang diperoleh dari bunga. Jika pun terdapat pendapatan dari

hasil bunga harus ditentang dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik saham.

Terhadap dua persyaratan tersebut, untuk konteks saham-saham syariah di

Indonesia menurut pengamatan penulis belum berjalan dengan maksimal. Adanya

penolakan dan mengekpresikan ketidaksetujuan oleh pemegang saham pada saat

rapat umum tahunan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, pun demikian

mengeluarkan seluruh pendapatan bunga untuk disumbangkan kepada pihak yang

berhak menerimanya juga tidak diungkapkan berapa persentase yang dikeluarkan

untuk amal kebajikan pada laporan tahunan perusahaan yang diperoleh dari hasil

pendapatan bunga.

Ke depan sudah seharusnya, DSN mempertegas setiap emiten untuk bisa

menghindar dari praktik riba. Untuk menjaga terjadinya perdebatan adanya

pemahaman bahwa praktik riba sedikit ataupun banyak tetap di larang dan tidak

ada ‘illat yang membolehkannya. Hal ini permasalahannya bukan pada berapa

persentasi unsur ribawi yang dipraktikkan. Dengan demikian saham yang

diterbitkan dan diperdagangakan dari suatu emiten yang terlibat unsur ribawi

menjadi haram. Sebab terjadi percampuran antara modal yang halal dengan modal

yang haram, sehingga tidak bisa dipilah-pilah lagi mana modal murni dengan

bunganya.16

Setelah larangan praktek riba, menurut Bal‘abbas muncul larangan-

larangan lainnya dalam akad keuangan Islam, seperti ihtika>r (monopoli), gharar (ketidakpastian), jaha>lah (ketidakjelasan), maysir (judi), tadli>s (informasi palsu),

dan sebagainya. Sama halnya zakat sebagai fondasi sistem ekonomi syariah

mencakup kepada berbagai jenis pemberian, seperti sedekah sunat, kafarat, wakaf,

wasiat, waris, hibah, dan sebagainya.17

Pengungkapan selanjutnya tentang pengungkapan gharar. Gharar merupakan ketidakpastian yang terjadi akibat incomplete information dalam lima

hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan, dan akad. 18 Sementara itu yang mengungkapkan dalam laporan tahunan hanya mencapai 40

persen. Ini artinya bahwa hanya 45 persen perusahaan yang terlibat dalam praktek

gharar. Perusahaan yang terlibat tersebut ternyata terdapat antara praktek gharar

15Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory

and Practice, 245.

16 Taqyuddin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif

Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 124. 17‘Abd. al-Razzaq Sa‘id Bal‘abbas, “Hal Qas}ar al-Fuqaha>’ al-Mu‘a>s}irun fi Bayan

Us}u>l al-Niz}a>m al-Iqtisa>d al-Isla>my?,” Jurnal Ekonomi Islam Universitas King Abdul Aziz,

Vol. 21, No.1. 18 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Cet-7 (Jakarta: Azkia

Publisher, 2009), 76.

140

dalam bentuk warant dan option,19 sementara untuk praktek hegding, short selling,

dan derivatif lainnya tidak ada yang mengungkapkannya.20

Waran menurut Undang Undang No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal

adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada

pemegang efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga tertentu

setelah enam bulan atau lebih sejak efek dimaksud diterbitkan.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa waran adalah hak

untuk membeli saham atau obligasi bukan kewajiban dengan harga yang telah

ditentukan sebelumnya oleh penerbit waran atau emiten. Ini artinya jika pemilik

waran tidak mau melaksanakan haknya menukar jadi saham maka tidak masalah,

tapi kalau tidak dieksekusikan maka waran tersebut akan hangus setelah jatuh

tempo.

Waran sendiri merupakan sekuritas atau efek yang sebenarnya adalah

sebuah call option. Biasanya, produk ini diterbitkan ketika perusahaan melakukan

initial pulic offering (IPO) atau right issue. Tujuannya supaya investor semakin

tertarik untuk ikut dalam aksi korporasi perusahaan (IPO/right issue) dan biasanya

dilakukan bagi perusahaan yang saham publiknya sedikit kurang likuid. Jadi,

warrant dan option sebenarnya fungsinya adalah sebatas pemanis (sweetener)21 karena dikenal sebagai salah satu efek yang diperjualbelikan di pasar modal yang

secara fisik belum ada tetapi sudah bisa diperjualbelikan sebagai turunan langsung

dari saham.22

19Salah satu instrument derivatif yang memegang perang penting dalam pasar

derivatif adalah opsi. Berdasarkan jenis hak yang diberikan kepada pemegangnya, opsi

terbagi menjadi dua yaitu opsi beli (call option) dan opsi jual (put option). Opsi beli adaah

yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli sejumlah tertentu saham suatu

perusahaan dengan harga dan waktu tertentu. Sedangkan opsi jual memberikan hak kepada

pemegangnya untuk menjual sejumlah tertentu saham perusahaan dengna harga dan waktu

tertentu pula. Sedangkan bila berdasarkan periode waktu dan hak yang dimiliki

pemegangnya, opsi terbagi menjadi dua tipe yaitu American Option dan European Option.

American merupakan suatu tipe opsi yang mengizinkan pemilik dari opsi untuk meng-

exercise opsi tersebut kapan saja baik sbelum jatuh tmepu maupun pada saat jatuh tempo.

Sedangkan, European mengizinkan pemilik dari opsi untuk meng-exercise opsi hanya pada

saat jatuh tempo. Sawidji Widioatmodjo, Cara Sehat Investasi di Pasar Modal (Jakarta:

Elex Media Computindo, 2005), 163. 20 Bentuk gharar dalam ekonomi konvensional meliputi perdagangan tanpa

penyerahan (future non delivery trading) atau margin trading, jual beli valuta asing bukan

transaksi komersial (arbitrage) baik spot maupun forward, melakukan penjualan melebihi

jumlah yang dimiliki atau beli (short selling), melakukan transaksi pure swap, capital, lease, future warant, option, dan transaksi-transaksi derivatif lainnya. Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, 81.

21Adrian Sutedi, Pasar Modal: Mengenal Nasabah sebagai Pencegahan Pencucian Uang (Bandung: Alfabeta, 2013), 108.

22Aturan Daftar Efek Syariah Terbelit Waran Dan Option

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17458/aturan-daftar-efek-syariah-terbelit

waran-dan-option/ (diakses 27 Agustus 2019).

141

Dalam transaksi jual beli waran di bursa tidak terlepas dari empat hal,

yaitu harga wajar, tanggal jatuh tempo untuk eksekusi/penebusan, harga

penebusan/eksekusi, dan harga saham induk dari waran dimaksud. Pertama,

mencari harga wajar sebuah waran, yaitu dengan melihat harga saham induknya

dikurangi harga eksekusi. Misalnya, saham WXYZ sekarang sudah menjadi Rp.600

per saham sedangkan harga eksekusi sebesar Rp.500. Maka rumusnya Rp. 600 –

Rp.500 = Rp.100. Itu lah harga wajar sahamnya dan menjadi acuan untuk jual beli

waran.

Lalu harus mengetahui tanggal jatuh tempo eksekusi atau penebusan waran

menjadi saham berguna sebagai proyeksi dan strategi apakah akan menjual atau

membeli waran tersebut. Dalam masalah ini, bagi pemilik waran, jika dia tidak

berminat menggunakan haknya menebus menjadi saham sedangkan masa jatuh

tempo misalnya tinggal dua bulan lagi maka dia harus menjual. Berapapun itu

harganya karena gratis. Namun bagi investor yang berniat membeli waran tersebut,

perhitungannya harus matang. Jika sisa hanya dua bulan jelang jatuh tempo

penebusan sedangkan harga induk sahamnya, misalnya saham WXYZ, itu tadi

tiba-tiba turun menjadi Rp.400, resikonya adalah rugi besar. Sebab saat jatuh

tempo terjadi dan dia harus menebusnya menjadi saham maka ada potensi nombok

Rp.100 sebab harga penebusan alias eksekusinya waran itu menjadi saham

ditetapkan Rp.500. Di sisi lain, jika dia mau jual lagi, harga waran yang terimbas

negatif berupa penurunan harga saham induknya sampai di bawah harga eksekusi,

nilainya bisa turun parah bahkan bisa sampai Rp 1 per waran. Sebaliknya, jika

harga saham induknya naik, harga transaksi waran di bursa juga bisa ikut naik

bahkan persentase kenaikannya jauh melebihi persentase kenaikan harga saham

induknya. Sebab selain ada selisih, ada analisa juga, misalnya kelak harga saham

induknya akan naik lebih tinggi lagi. Tentu saja dengan asumsi perusahaan

penerbit saham itu kinerjanya bagus atau ada proyeksi positif di masa mendatang.

Adanya praktek seperti ini sudah jelas di larang dalam Islam.23

Inilah yang membuat waran masih ada sebahagian yang melarang, karena

ada untung-untungan di dalamnya dan memperjualbelikan yang secara fisik belum

ada. Berdasarkan analisa jatuh tempo dan kondisi perusahaan. Jika prediksinya

tepat bisa untung namun kalau prediksi salah bisa berakibat rugi besar. Ini juga

yang kemudian DSN-MUI mempermasalahkan keberadaan waran ini sebelum

masuk emiten pada DES. Sebagaimana di sampaikan oleh Anggota DSN MUI

Mohammad Hidayat tahun 2007 mengatakan waran dan option bersinggungan

dengan prinsip-prinsip syariah. Artinya, ada prinsip-prinsip syariah yang

dikhawatirkan akan terlanggar. Hidayat menjelaskan "Salah satu prinsip syariah

yang tidak boleh dilanggar, khususnya untuk produk waran dan option ini adalah

yang bersifat gharar (tidak jelas) dan maysir (judi). Itulah yang dikhawatirkan

kalau produk ini bisa memasuki wilayah itu," ucapnya kepada hukumonline.

23http://investasiku.co.id/blog/blog_id/mengenal-waran-pemanis-yang-bisa

berubah-jadi-pahit-2017-11-28-15-19-34 (diakses 22 Januari 2019).

142

Belakangan DSN akhirnya membolehkan praktek waran pada pasar modal.

Hal ini berdasarkan fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN/MUI/III/2008 tentang

Waran Syariah pada tanggal 6 Maret 2008. Dalam fatwa tersebut menjelaskan

waran berdasarkan prinsip syariah adalah efek yang diterbitkan oleh suatu

perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek yang termasuk dalam Daftar

Efek Syariah (DES) untuk memesan saham dari emiten pada harga tertentu untuk

jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih sejak diterbitkannya tersebut. Dengan

demikian berdasarkan fatwa ini dapat dipahami waran adalah produk turunan

saham (derivatif) yang dinilai sesuai dengan kriteria DSN. Pemilik saham dengan

waran diperbolehkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain

dengan mendapat imbalan.24 Sementara fatwa DSN-MUI dan Bapepam LK sendiri

sudah mentapkan sebelumnya dalam nota kesepahaman tentang kriteria efek yang

dapat dimasukkan dalam Daftar Efek Syariah (DES) bahwa terbebas dari transaksi

yang di dalamnya mengandung unsur d}arar, gharar, riba, maisir, rishwah, maksiat

dan kezhaliman. Lalu kenapa praktek ini terjadi pada beberapa perusahaan DES,

ini lah yang menjadi permasalahan bahwa masih ada kelonggaran-kelonggaran

pada saham syariah walaupun sudah melewati proses screening sebelumnya.

Dari 139 perusahaan di DES bahwa tidak sampai setengahnya perusahaan

yang menginformasikan bahwa terlibat kegiatan gharar, padahal kalau kita melihat

dari beberapa pemikiran ulama klasik bahwa pada zaman sekarang untuk terlepas

dari praktik gharar bukan persoalan gampang dan mustahil keseluruhan dapat

dihindari dan dihapuskan dalam praktik jual beli. Ini juga yang kemudian membuat

sebagian ada yang membolehkan praktik gharar selagi tidak terlalu banyak. Yusu>f

Qard}awi misalnya, mengungkapkan bahwa gharar yang di larang adalah yang

sifatnya al-kathi>r¸ yakni jumlah atau kuantitas ghararnya banyak karena merusak

transaksi sementara gharar al-yasi>r (sedikit) dan tidak sampai menimbulkan

kerugian dan resiko yang besar hukumnya menjadi tidak haram, karena sudah

difahami melalui‘urf.25

Pendapat sama dari Ibn Qayyim bahwa gharar dalam jumlah sedikit atau

tidak mungkin dihindari dan tidak mempengaruhi keabsahan akad berbeda

24Awaluddin, “Pasar Modal Syariah : Analisis Penawaran Efek Syariah Di Bursa

Efek Indonesia”, Maqdis: Jurnal Kajian Ekonomi Islam, Vol. 1, No. 2, (2016): 137-150. 25‘Urf adalah sesuatu yang manusia sepakat atas perbuatan itu dalam hidupnya.

‘Urf dapat dibedakan menjadi‘Urf s}ahih dan Urf fa>sid. Urf s}ahih adalah apa-apa yang

diketahui orang banyak, tidak menyalahi syariat, tidak mengharamkan sesuatu yang haram

dan tidak membatalkan sesuatu yang wajib. Sedangkan Urf fa>sid yaitu apa yang saling

dikenal manusia, tapi bertentangan dengan syariat, atau menghalalkan sesuatu yang haram,

atau mengharamkan sesuatu yang halal, atau membatalkan sesuatu yang wajib.Yulizar D.

Sanrego Nz, Falsafah Ekonomi Islam: Ihtiar Membangun dan Menjaga Tradisi Ilmiah Paradigma dalam Menggapai Falah (Jakarta: Karya Abadi, 2014), 133. Lihat juga Yu>suf al-

Qard}a>wi, al-Halal wa al-Hara>m fi> al-Isla>m (al-Maktabah al-Isla>mi> li al-Tiba‘ah wa al-

Nashr, 1967), 209.

143

masalahnya gharar dengan nisbah besar atau mungkin untuk dihindari maka tetap

diharamkan.26

Hashim Kamali dalam Islamic Commercial Law menjelaskan bahwa untuk

dapat memiliki akibat hukum gharar ada empat syarat. Pertama, tingkatan gharar tersebut sangat tinggi (eksessif). Kedua, harus terjadi pada kontrak yang bersifat

kumulatif (mu‘awad{a>t), bukannya semacam pemberian (tabarru‘at). Ketiga,

kesamaran itu terjadi pada objek utama, bukan objek pelengkap. Keempat, bahwa

objek dalam kontrak tersebut bukan suatu barang yang sedang dalam kebutuhan

mendesak. Dari empat hal di atas, meski gharar itu dapat berupa berbagai macam,

namun empat elemen gharar tersebut dengan jelas memberikan batasan bahwa

tidak setiap gharar berperan sebagai faktor yang dapat melarang suatu transaksi.

Hanya gharar yang tinggi tingkatannya (eksessif) yang pada gilirannya jika sebuah

kontrak terlibat hal ini akan menjadikan kerugian di salah satu pihak, lain halnya

gharar tingkat rendah yang sudah umum terjadi dan sulit dihindari serta biasanya

diterima oleh para pihak.27

Erwandi Tarmizi juga memberikan pemahaman yang sama dengan

memetakan bahwa ada beberapa kriteria gharar yang tergolong diharamkan dengan

beragumen kepada beberapa hadits dan pendapat ulama, yaitu 1) tingkatan nisbah

gharar dalam akad yang besar; 2) keberadaan gharar dalam akad mendasar bukan

sebagai akad pengikut;28 3) akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad

yang dibutuhkan orang banyak; 4) gharar terjadi pada akad jual beli.29

Selanjutnya menurut Al-Sanhuri bahwa ada beberapa unsur suatu

perbuatan tersebut tergolong kepada gharar, yaitu 1) barang yang diperdagangkan

belum ada; 2) penjual tidak dapat menyerahkan barang; 3) penjualan barang

dilakukan dengan cara melakukan transaksi; 4) kontraknya tidak jelas sehingga

dapat menggiring pembeli kepada suatu praktik penipuan.30

Dari beberapa macam gharar yang dikemukakan di atas, lalu yang menjadi

pertanyaannya, apakah praktik gharar yang terjadi pada perusahaan DES termasuk

26Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Za>d al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad Cet. XXVII

(Kuwait: Maktabah AL Manar, 1994), 820. 27Muhammad Hashim Kamali, Islamic Commercial Law; an Analysis of Futures

and Options (Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher, 2002), 84. 28Erwandi menjelaskan adapun gharar pada akad hanya sebagai pengikut maka

dibolehkan karena tidak merusak akad. Dengan demikian menjual binatang ternak yang

bunting, menjual binatang yang menyusui, dan menjual pohon yang ada sebagian buahnya

yang belum matang hukumnya dibolehkan. Hal ini disebabkan janin, susu, dan buah

tersebut tidak jelas, karena keberadaanya dalam akad hanya sebagai pengikut dan bukan

tujuan akad jual beli. Sebagaimana hadits Nabi SAW:

ط املبتاع )رواه البخارى واملسلم( من ابتاع خنال بعد أن تـؤبر ، فثمرهتا للبائع إال أن يشت 29Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, Cet-21 (Bogor: Berkat

Mulia Insani, 2019), 248-251. 30Al-Sanhuri>, Masa>dir al-Haq fi al-Fiqh al-Isla>mi>, Juz 3 (Qaherah: Da>r Ihya> al-

Turath al-‘Arabi, 1967), 13.

144

gharar yang dibolehkan atau dilarang. Hal ini tentunya belum bisa di jawab dengan

tegas, karena untuk memenuhi syarat gharar yang dibolehkan harus memenuhi

beberapa persyaratan di atas. Hal ini tentunya susah bagi perusahaan untuk

membuktikannya, misalnya tingkat nisbah gharar tidak jelas apakah tergolong

tinggi atau rendah, karena tidak disampaikan dalam laporan tahunan begitu juga

bahwa gharar bisa dimaafkan barang yang diproduksi haruslah termasuk yang

dibutuhkan orang banyak. Sementara tidak semua perusahaan DES memproduksi

kebutuhan orang banyak, ada yang bergerak pada industri batu bara, semen, kebun

sawit, properti, dan lain sebagainya.

Ungkapan berikutnya adalah kewajiban zakat, yang mana hanya ada satu

perusahaan yang mengungkapkan dalam laporan tahunannya dari tahun 2013-2017,

yaitu perusahaan PT Astra International (ASII). Ironis memang, begitu banyak

perusahaan yang masuk DES hanya satu perusahaan yang mengungkapkannya.

Tidak terbayangkan, jika perusahaan pada DES bersedia mengeluarkan zakatnya,

tentu sangat membantu masyarakat miskin minimal di sekitar perusahaan tersebut

beroperasi.

Sebab zakat merupakan poros dan urat nadi sumber keuangan negara dalam

Islam, meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi.31 Dalam bidang moral dengan

mengeluarkan zakat akan mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya

terhadap harta yang dimiliki. Dalam bidang sosial, sebagai instrumen khas yang

diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan

menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam

bidang ekonomi, mencegah penumpukan harta kekayaan yang hanya terdapat pada

kalangan elit ekonomi saja.32

Namun pada kenyataannya zakat, infak, dan sedekah (ZIS) sebagai sumber

pendanaan sosial ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan sosio-ekonomi

yang dihadapi masyarakat. Padahal, berdasarkan sejumlah penelitian, potensi zakat

di Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun. Namun, yang baru terkumpul hanya 0,2

persen atau Rp 6 triliun pertahun. Ini artinya, masih ada sebesar 98 persen lagi

yang belum terkumpul.33

31 Keberhasilan zakat ini setidaknya bisa terlihat pada zaman pemerintahan

khalifah Umar ibn Abdul Aziz, hanya dalam waktu sekitar dua tahun lima bulan masa

pemerintahannya, program ZIS terbukti dapat menghilangkan kemiskinan di wilayah yang

dipimpinnya. Bahkan hasil dana zakat yang terkumpul dikirim ke negara tetangga,

khususnya Afrika Utara yang masih hidup penuh kemiskinan. Lihat Multifiah, “Peranan

Zakat, Infak, dan Shadaqah Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Miskin,” Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Vol 21, Nomor 1, (Februari 2009): 2.

32Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti

Wakaf, 1995), 256; Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan Pasar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017), 80

33 Republika.co.id, “Kemenag:Potensi Zakat Nasional Capai Rp217 Triliun”,

www.republika.co.id/berita/dunia-islam-nusantara/18/02/23/p4mlgs409-kemenag-potensi-

zakat-nasional-capai-rp-217-triliun. (Diakses 22 Desember 2019).

145

M. Fahim Khan memberikan perspektif dinamis bahwa zakat memberikan

efek positif bagi perekonomian. Dengan memberikan model sederhana meskipun

terdapat kemungkinan penurunan aggregate savings bagi perusahaan dalam jangka

pendek, tetapi penurunan tersebut segera berbalik dan mendorong income dan

pertumbuhan jangka panjang yang lebih tinggi. Hal ini bisa terjadi ketika kondisi

ekonomi masyarakat miskin semakin membaik akan membuka peluang kegiatan

perusahaan semakin produktif yang pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas

pendapatan perusahaan.34

Lalu pertanyaannya, kenapa perusahaan yang terdaftar di DES banyak

tidak mengungkapkannya, jika dilihat dari nama-nama pemilik perusahaan pada

tingkat direksi dan dewan komisaris bisa jadi memang kebanyakan mereka non

Muslim sehingga tidak ada kewajiban untuk membayar zakat, berbeda halnya

dengan Malaysia, Muslim atau tidaknya seseorang dapat langsung diindentifikasi

secara langsung melalui nama penduduknya. Namun, terlepas dari itu semua, yang

terpenting adalah dilihat pada aspek kelembagaan, setidaknya pemerintah

membuat ketegasan ketika perusahaan tersebut tergolong perusahaan sesuai

dengan prinsip-prinsip syariah tentunya juga ada kewajiban membayar zakat di

dalamnya, sebagaimana lembaga perbankan syariah sudah menerapkan kewajiban

zakat pada setiap bank syariah.35

Hal ini sebagaimana telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 pasal 4

menjelaskan, bahwa perbankan syariah memiliki kewajiban untuk menjalankan

fungsi menghimpun (funding) dan menyalurkan (lending) dana dari masyarakat.

Selain itu, dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitulmal, 36

yakni menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana

sosial lainnya, dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.37

34M. Fahim Khan, Essay in Islamic Economic (UK: Islamic Foundation, 1995),

175. 35 Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan 20 Badan/Lembaga sebagai

penerima zakat atau sumbagan keagamaan yang sifatnya wajib. Zakat atau sumbangan

keagamaan ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana telah diatur dalam

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2011. 36 Baitulmal dalam Islam adalah Gudang kekayaan negara yang di dalamnya

terdapat hak orang- orang miskin pada masing-masing bagiannya. Hal itu karena Baitulmal

ada empat macam; 1). Baitulmal untuk menyimpan harta rampasan perang 2). Baitulmal

untuk menyimpan pungutan upeti dan pajak. 3). Baitulmal untuk menyimpan zakat. 4).

Baitulmal untuk harta yang tidak bertuan. Muh}ammad Abu> Zahrah, Buh}u>th fi al-Riba, 14-

16. 37Dengan adanya UU ini sebagian Bank ada yang memiliki yayasan atau lembaga

amil zakat perusahaan sendiri. Misalnya, Bank Muamalat Indonesia mendirikan Baitul Mal

Muamalat, Bank Syariah Mandiri mendirikan Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS)

BSM Umat. Sebagian Bank yang lain dengan bermitra dengan pihak lain. Misalnya, Bank

Syariah Mega Indonesia (BSMI) bekerja sama dengan beberapa yayasan social seperti

Yayasan Islam al-Muawanah pimpinan Prof. Dr. Umar Shihab, Yayasan Bintang Rahman

(RS. Sari Asih), Lazis Muhammadiyah, Lazis Nahdatul Ulama, Pesantren-psantren, dan

Majelis Ulama Indonesia. Bank Syariah Mega Indonesia: Laporan Tahunan 2010.

146

Dalam Islam sendiri telah telah diatur tentang zakat investasi berbentuk

saham, walaupun terjadi perbedaan berapa persentase yang harus dikeluarkan,

yaitu ada dua pendapat. Pendapat pertama, datang dari beberapa ulama terkemuka

abad ke-20, seperti Muhammad Abu Zahrah, 'Abd al-Rahman Hasan, dan Abd al-

Wahhab Khallaf, berpendapat bahwa saham dianggap sebagai barang yang dapat

diperdagangkan (urud al tija>rah), maka kewajiban zakatnya sebagai barang niaga.

Penghitungan berdasarkan nilai pasarnya saat jatuh tempo zakat ditambah semua

pembagian pendapatan dari tahun tersebut dalam bentuk dividen. Adapun ukuran

zakatnya adalah 2,5 persen. Pendapat ini sejalan dengan al-Qardawi (1999), The

Zakat Foundation of America, The International Islamic Fiqh Academy of the OIC

(OKI) karena pendekatan ini lebih cocok untuk pembayar zakat karena lebih

sederhana dan mudah penghitungannya.

Pendapat kedua, investasi saham diperlakukan seperti tanah pertanian dan

dibebaskan dari zakat. Jika seorang investor telah membeli saham dengan tujuan

untuk investasi jangka panjang, keuntungan sebenarnya - dan bukan modal

produktif itu sendiri-yang harus dikeluarkan zakatnya. Pendapatan dari saham

serupa dengan “hasil dari tanah yang dibajak” dan oleh karena itu dividen dan

capital gain dikenakan zakat dengan tarif 10 persen. Hal ini dikiaskan dengan

keuntungan dari lahan pertanian yang diairi oleh air hujan dan bukan dengan

mekanisme irigasi. Amana Mutual Funds Trust dan Mahmoud Abu-Saud

mendukung pendapat ini, menurutnya lebih rasional dan lebih adil memperlakukan

investasi sama dengan menggarap lahan pertanian, terutama di zaman sekarang ini

di mana kegiatan industri, komersial, dan pertanian telah menjadi begitu terkait

dan saling bergantung sehingga sulit untuk memisahkan atau membedakannya dari

yang lain. Belakangan di ketahui al-Qardawi lebih cenderung mendukung pendapat

kedua walaupun awalnya beliau lebih menyukai pendapat pertama yang

memperlakukan investasi pada saham sebagai aset yang dapat diperdagangkan

yang tunduk pada zakat sebesar 2,5 persen. Tampaknya al-Qardawi percaya bahwa

kedua pendapat itu masuk akal dan menyarankan bahwa metode mana pun dapat

dipilih oleh pengelola zakat atau muzakki.38

Choudhuri menegaskan bahwa zakat merupakan salah satu syarat dan

komponen penting dalam laporan keuangan perusahaan yang menjalankan prinsip-

prinsip syariah. Model analisis keuangan yang ditawarkan juga berbanding lurus

antara zakat, income, dan employment, karena ide dasar diwajibkan zakat adalah

transformasi produktif sehingga bisa tumbuh dan berkembang.39

Oleh karena itu, pemerintah memiliki peranan yang amat penting dalam

pengelolaan zakat, sebab tanpa landasan dan yudisial yang kuat dari negara, tidak

mungkin zakat bisa berjalan dengan baik. Kewajiban zakat di Indonesia sebenarnya

38Shafiqur Rahman, “Ethical Investment in Stock Screening and Zakat on Stock”,

Journal of Islamic Finance, Vol. 4 No. 1 (2015): 39-62. 39M. A. Choudury, Contribution to Islamic Economy Theory: A Study in Social

Economic (London: MacMillan, 1992), 81.

147

sudah diatur oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-undang, Keputusan

Presiden dan Keputusan Menteri tentang zakat, yaitu:

1. Pada tanggal 23 September 1999, disahkan Undang-undang Nomor 38 Tahun

1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dan pada tanggal itu pula diundangkan oleh

Menteri Negara Sekretaris Negara RI, Muladi, dengan Lembaran Negara RI

Tahun 1999 Nomor 164.

2. Tahun yang sama, diterbitkan pula Keputusan Menteri Agama Nomor 581

tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat.

3. Tahun 2001, keluar pula Keputusan Presiden RI Nomor 8 tahun 2001 tentang

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).

4. Tahun 2003, dikeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003

tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat.40

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tersebut, hasil

amandemen Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

karena dianggap belum mampu menjawab pemasalahan pengelolaan, namun

mengakibatkan terjadinya perdebatan serius. Salah satu isu kritis yang menjadi

perdebatan adalah sentralisasi zakat. Sebagian kalangan menghendaki zakat

dikelola oleh negara, baik secara langsung atau tidak langsung. Zakat dikelola

negara secara langsung sebagai satu instrumen pendapatan negara, selain pajak.

Adapun dikelola negara secara tidak langsung berarti zakat dikelola oleh Badan

Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Kelompok lain mengharap pengelolaan

zakat diserahkan kepada masyarakat, peran negara sebatas sebagai pengawas dan

regualator saja.41

Dengan dikeluarkan Undang-undang amandemen tersebut tentunya umat

Islam di Indonesia sepatutnya merasa lega, karena kedudukan zakat sudah

menempati posisi formal dan memiliki regulasi payung hukum yang kuat di

Indonesia. Pada Bab II Pasal 5 ayat 1 secara tegas menyebutkan, “Untuk

melaksanakan pengelolaan zakat, pemerintah membentuk BAZ”. 42 Berdasarkan

40 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan

Peraturan Pelaksanaan Lainnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 711-744. 41Muhammad Maksum, “Pengelolaan Zakat Perspektif Peraturan Perundangan”

diambil dari Muhammad Atho Mudzar dan Muhammad Maksum, Fikih Responsif: Dinamika Integrasi Ilmu Hukum, Hukum Ekonomi dan Hukum Keluarga Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), 64-65.

42Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, Bab I Pasal 1 dijelaskan

bahwa ada tiga organisasi zakat yang diakui, yaitu BAZNAS, Lembaga Amil Zakat (LAZ),

dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ). LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang

memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

148

UU tersebut, pemerintah mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) yang langsung di

bawahi negara. Badan amil zakat didirikan pada semua tingkatan, mulai tingkat

nasional hingga kabupaten/kota. Posisi ini semakin diperkuat dengan keputusan

Presiden RI Nomor 8 Tahun 2001 tentang dibentuknya Badan Amil Zakat Nasional

(BAZNAS).

Reduksi undang-undang tersebut kalau diperhatikan dengan seksama masih

memiliki kelemahan, yaitu pemerintah hanya memiliki wewenang untuk

membentuk amil zakat yang bertugas untuk mengumpulkan dana zakat dan

mendistribusikannya kepada yang mustahik. Untuk itu ada beberapa kelemahan,

yaitu: pertama, tidak ada wewenang BAZ untuk bertindak dan bertanggungjawab

memungut zakat terhadap muzakki. Kedua, BAZ tidak diberikan wewenang dan

tangung jawab menghitung harta muzakki, sedangkan muzakki sama sekali tidak

dibebankan sanksi bagi yang sudah diwajibkan untuk berzakat (muzakki) untuk

dibayar kepada negara, hal ini sifatnya hanya kesadaran (volountary system(. Ketiga, tidak ada mekanisme yang jelas apabila muzakki membagi-bagi zakatnya

kepada mustahiq, apakah perlu memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ,

kemudian disahkan oleh BAZ, dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika

membayar pajak, guna mendapatkan pengurangan, sesuai dengan besar zakat yang

telah dikeluarkan.43

Berbeda dengan negara muslim lainnya, misalnya Malaysia, regulasi yang

berlaku di negara tersebut menetapkan bahwa zakat dapat mengurangi kewajiban

pajak. Hal itu berlaku jika Muzaki membayarkan zakatnya ke lembaga zakat yang

diakui oleh kerajaan seperti Pusat Pungutan Zakat (PPZ) Selangor. Jadi, jika

seorang Muzaki membayar zakat ke PPZ, maka zakat yang telah dibayarkan bisa

mengurangi beban pajak yang ditanggung. Mekanisme zakat pengurang pajak di

Malaysia sudah sangat jelas. Dalam pelaksanaannya pajak akan langsung mengalir

ke pemerintah dan zakat ke lembaga pengelola zakat. Dalam praktiknya, dengan

adanya kejelasan mekanisme ini penerimaan zakat di Malaysia cenderung naik dan

pada saat bersamaan penerimaan pajak juga mengalami peningkatan.44

Sedikit berbeda dengan Arab Saudi, bahwa zakat dan pajak dikelola di

bawah Kementerian Keuangan melalui badan khusus yang bernama Department of

Zakat and Income Tax (Mashlahah az-Zakaah Wa ad-Dakhl). Sejak tahun 1951 M.

pelaksanaan zakat diatur oleh Undang-undang berupa Keputusan Raja (Royal Court) No. 17/2/28/8634 tertanggal 7 April 1951 M (29/6/1370 H) yang

menetapkan sistem wajib zakat (zakat syar’i). Dalam keputusan tersebut zakat

diwajibkan sesuai dengan ketentuan syariah Islam dan diwajibkan kepada individu

Adapun UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk BAZNAS untuk membantu

mengumpulkan zakat. 43Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan

Pasar, 83-84. Sukron Jamil, LAZIS Masjid al-Markaz al-Islami; Menuju Medel Untuk Keadilan Sosial dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar, Revatalisasi Filantropi Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2005), 208.

44www.republika.co.id, akses 14 November 2020.

149

dan perusahaan yang memiliki kewarganegaraan Arab Saudi. Dalam perkembangan

peraturan berikutnya pemerintah Arab Saudi membolehkan bagi individu untuk

menyalurkan sendiri zakatnya maksimal setengah dari pembayaran zakatnya, dan

sisanya harus disetorkan ke Kementerian Keuangan, sedangkan untuk perusahaan

harus menyetor semua kewajiban zakatnya ke Kementerian Keuangan melalui

Department of Zakat and Income Tax.45 Salah satu keunggulan dalam pengelolaan

zakat di Arab Saudi adalah pengumpulan zakat dan pajak telah menggunakan

sistem online. Department of Zakat and Income Tax di negara tersebut memiliki

pusat data dan informasi yang lengkap dan didukung perangkat ICT (Information and Communication Technology).46

Dalam Islam sendiri banyak di singgung dalam banyak ayat al-Qur’an47

dan hadits yang menjadi dalil bahwa kewajiban zakat bukan semata-mata bersifat

amal karitatif (kedermawanan), melainkan juga kewajiban bersifat mutlak dan

otoritatif (ijba>ry).48 Artinya, kewajiban tersebut tidak hanya sebatas kesadaran

pemilik harta, tetapi pemerintah harus turun tangan memungut langsung walaupun

45 Kementerian Agama RI, Modul Penyuluhan Zakat, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam

Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2013) h. 78 46Nurul Huda, Keuangan Publik Islami, Pendekatan Teoritis dan Sejarah (Jakarta:

Kencana Prenada Media, 2012), h. 347. 47Yusu>f al-Qard}awi mengungkapkan bahwa perkataan zakat disebut dalam dalam

Al-Qur’an sampai 27 kali dan selalu dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Yusu>f al-

Qard}awi, (1997). Fiqh al-Zakat, (Beiru>t: Mu’assasat al-Risa>lah, 1997). Ulama yang lain

berpendapat bahwa terdapat delapan puluh ayat kata-kata kewajiban zakat dirangkaikan

dengan kata-kata shalat. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Kuwait: Da>r el-Bayan,

1968), 5. Ada juga yang mengatakan sampai delapan puluh dua kali disebutkan dan selalu

dirangkaikan dengan shalat. Lihat Nazaruddin Umar, Makalah Zakat dan Peran Negara dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia, dalam Southeast Asia Zakat Movement, edit,

M. Arifin Purwakananta, Noor Aflah, (Jakarta: FOZ, Domper Dhuafa dan Pemkot Padang,

2008), 36. 48Kata“ijbari” secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory). K. Lubis

dan Komis mendefiniskan yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Ijbari juga

berlaku dalam hukum waris, artinya bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak

peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya

itu dibatasi oleh ketentuan yang ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia

tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya; karena dengan

kematiannya itu secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu

suka atau tidak. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Hukum Perdata (Burgerlij Wetboek) disingkat (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan

pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan

sendirinya. Dalam (BW) ini diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan,

karena menerima akan membawa akibat menanggung risiko untuk melunasi utang pewaris.

Lubis. K dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),

36.

150

dengan secara paksa ketika mereka menolak untuk membayarnya.49 Sebagaimana

dinyatakan secara tegas dalam al-Qur’a>n:

تك خ صلو إنذ عليهم وصل بها وتزكيهم تطهرهم صدقة لهم مو

أ من ذ

سميع عليم ذهم وٱللذ سكن ل

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.

Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Taubah [9]:

103).

Ada banyak hikmah dan fungsi zakat dalam Islam, di samping dapat

membersihkan dan mensucikan dari perbuatan dosa, karenanya zakat menempati

posisi yang sangat urgen. Sayyid Qut}ub mengungkapkan setidaknya ada dua fungsi

dibalik kewajiban zakat, yaitu: Pertama zakat sebagai asuransi sosial (al-ta‘mi>n al-ijtima>‘i>). Nasib manusia tidak konstan pada satu kondisi saja, adakalanya orang

yang wajib membayar zakat pada masa tertentu karena memiliki kekayaan banyak,

dan tidak menutup kemungkinan pada masa berikutnya ia malah termasuk orang

yang berhak menerima zakat karena jatuh miskin. Kedua, zakat berfungsi sebagai

jaminan sosial (al-d}ama>n al-ijtima>‘i>), melalui zakat orang-orang yang selama

hidupnya belum memiliki kesempatan mendapatkan rezeki yang mencukupi,

kewajiban orang-orang Islam yang mampu untuk membantu mencukupi kebutuhan

hidup mereka.50

Pada masa mendatang, kita mengharapkan semoga perhatian pemerintah

terhadap persoalan zakat terus meningkat dengan terus membenahi Badan Amil

Zakat yang ada serta terus menyempurnakan undang-undang zakat sehingga

kewajiban zakat tidak lagi sifatnya suka rela akan tetapi wajib untuk dibayar

kepada negara bagi yang tidak mengeluarkannya ada konsekuensi hukum yang

harus diterima.

2. Tema Produk dan Jasa

Tema produk dan jasa salah satunya pengungkapan produk atau kegiatan

operasi ramah lingkungan. Berdasarkan hasil uji indeks ISR pada Sub Bab

sebelumnya bahwa hampir semua perusahaan mengungkapkan produk atau

kegiatan operasional yang ramah lingkungan, hingga mencapai 79% dari berbagai

macam perusahaan. Pada bagian ini nampaknya pemerintah berhasil memberikan

49 Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia (Depok:

PrenadaMedia, 2015), 249. 50Sayyid Qut}b, Fi> Zhila>l al-Qur’a>n (Beiru>t: Da>r Ihya>’ al-Tura>ts al-‘Arabiy, 1971),

244.

151

kesadasaran kepada perusahaan agar memproduksi barang yang ramah terhadap

lingkungan.

Salah satu bentuk keseriusan pemerintah dengan menetapkan industri hijau

sebagai salah satu tujuan pembangunan industri, sebagaimana tercantum dalam

UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Industri hijau sudah dimulai sejak

tahun 2010 dan kepesertaannya bersifat partisipatif, sukarela (tidak ditunjuk), dan

terbuka bagi seluruh industri nasional baik skala besar, menengah maupun kecil.

Pemerintah memberikan apresisasi bagi perusahaan yang ramah

lingkungan, melalui Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartanto,

menganugerahkan penghargaan industri hijau kepada industri yang telah

melakukan upaya penghematan dan penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) yang

ramah lingkungan dan terbarukan. Hingga Tahun 2018 menyerahkan Penghargaan

Industri Hijau kepada 143 perusahaan yang terdiri dari 87 perusahaan mendapat

level 5 dan 56 perusahaan dengan level 4.51 Ini menjadi indikasi bahwa industri

nasional semakin peduli terhadap penerapan industri hijau dalam proses

produksinya, di samping Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2018 tentang

Pemberdayaan Industri, mengatur pemerintah pusat dan daerah memprioritaskan

penggunaan produk yang memiliki Sertifikat Industri Hijau.

Industri hijau 52 adalah Industri yang dalam proses produksinya

mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara

berkelanjutan, sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan

kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi

masyarakat.53

Beberapa perusahaan menerapkan industri ramah lingkungan yang terdiri

dari berbagai sektor. Antara lain, PT BISI International Tbk. (Pertanian). Sebagai

wujud peduli dengan lingkungan hidup perusahaan telah mengikuti standar

PROPER, 54 antara lain pengujian limbah cair dilakukan setiap bulan dan

pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Pada sebagian proses

51Klasifikasi penghargaan industri hijau dimulai dari level 1 sampai 5, di mana

level 5 merupakan peringkat tertinggi. 52Secara umum Industri hijau memiliki karakteristik, antara lain menggunakan

bahan kimia yang ramah lingkungan, menerapkan reduce, recycle, reuse dan recovery pada

proses produksi, menggunakan intensitas energi yang rendah, menggunakan intensitas air

yang rendah, menggunakan SDM yang kompeten, melakukan minimisasi limbah dan,

menggunakan teknologi rendah karbon.. 53UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

54 Penilaian PROPER (Program Peringkat Kinerja Perusahaan) adalah program

penilaian kinerja lingkungan dilakukan oleh sebuah tim ahli dan independen di bawah

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan merupakan salah satu instrumen

pengawasan pengelolaan lingkungan perusahaan di semua sektor dengan tujuan untuk

mendorong perusahaan agar menerapkan sistem yang baik dalam pengelolaan lingkungan.

Mencakup berbagai kriteria, di antaranya ijin lingkungan dan pengelolaan limbah

berbahaya, hingga pengendalian polusi udara dan air serta pengendalian kerusakan

lingkungan.

152

produksi, yaitu di fasilitas pengeringan, perseroan telah menggunakan gelondong

jagung sebagai bahan bakar sehingga dapat mengurangi pemakaian solar dan

batubara. Selain itu, kerak yang dihasilkan dari pembarakan tersebut dapat

digunakan sebagai pupuk yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat.55

Selanjutnya, PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (Pertambangan),

melakukan pencegahan dan pengendalian dampak tambang batubara terhadap

lingkungan. Banyak solusi yang dilakukan, antara lain pengelolaan dan pengolahan

limbah dengan menerapkan prinsip 3R: reuse (pemakaian ulang), reduce

(mengurangi limbah), dan recycle (daur ulang). Khusus limbah mengandung bahan

berbahaya dan beracun (B3) dikelola dengan cara diserahkan kepada pihak ketiga

berizin untuk diolah lebih lanjut. Oleh pihak ketiga diolah menjadi kompos,

konstruksi paving black, dan campuran bahan peledak ANFO. Tidak hanya sebatas

itu, pasca tambang perusahaan melakukan reklamasi di areal tambang dan kegiatan

penanaman Daerah Aliran Sungai (DAS) di dalam dan/atau diluar kawasan hutan

area tambang. 56 Kegiatan rehabilitasi DAS dimaksudkan untuk memulihkan,

mempertahankan dan meningkatkan fungsi daerah aliran sungai sehingga daya

dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga

kehidupan tetap terjaga.57

Berikutnya perusahaan pada sektor perdagangan, jasa, dan investasi, salah

satunya PT United Tractors Tbk. Untuk menjaga lingkungan perseroan

memfokuskan kegiatan pada 3 asek kegiatan, yaitu mengurangi penggunaan

sumber daya alam dan meningkatkan efisiensi energi, mengurangi limbah, emisi

dan gas rumah kaca, dan menghindari zat-zat yang menyebabkan penipisan ozon,

dan pengelolaan limbah, baik limbah cair maupun padat.

Dua perusahaan berikutnya masih pada sektor produk ramah lingkungan,

namun bergerak pada industri barang konsumsi. Pertama, PT Indofood CBP Sukses

Makmur Tbk. termasuk salah satu meraih green industry award dari Kementerian

Perindustrian atas kinerjanya di bidang manajemen lingkungan dan sumber daya,

bahkan termasuk pada level lima selama lima tahun belakangan. Bentuk kegiatan

produk ramah lingkungan, antara lain: 1) pengelolaan jejak karbon; 2) mendorong

perilaku ramah lingkungan di tempat kerja; 3) pengelolaan air, dan 4) pengelolaan

limbah.58

Kedua, PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Bentuk produk ramah lingkungan,

antara lain: 1) Konsep Hemat Energi melalui konsep energi terbarukan. Kimia

Farma telah menggunakan lampu penerangan Light Emitting Diode (LED) yang

merupakan teknologi ramah lingkungan dan kebijakan penggunaan Air Conditioner

55Laporan tahunan PT. BISI International Tbk.

56Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2010

jo PP No.105 Tahun 2015 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No.P.50/ Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016

Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tanggal 1 Juni 2016. 57Laporan Tahunan PT Indo Tambangraya Megah Tbk. 58Laporan Tahunan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk.

153

(AC) di seluruh kantor dengan mengatur suhu 220-230 C; 2) sistem pengelolaan

limbah. Kimia Farma sangat memperhatikan dampak limbah yang dihasilkan oleh

pabrik pembuatan obat, sehingga banyak upaya untuk mengembangkan konsep

pengelolaan limbah secara aktif, misalnya pengelolaan limbah berbasis efisiensi

dan penggunaan kembali atau recycle, pengelolaan sampah organik menjadi pupuk

organik, pengelolaan limbah/sampah cair dan sampah padat; 3) Pengurangan emisi

gas rumah kaca.59

Dari beberapa perusahaan yang diungkapkan, dapat dipahami bahwa

hampir semua perusahaan ada kesamaan terhadap program-program yang dibuat

dalam upaya produk yang ramah lingkungan, mulai dari konsep hemat energi,

menggunakan teknologi rendah karbon, sampai kepada menerapkan prinsip 3R:

reuse (pemakaian ulang), reduce (mengurangi limbah), dan recycle (daur ulang)

pada proses produksi.

Program ini tentunya sejalan dengan apa yang diharapkan oleh DSN-MUI

dan Bapepam LK. Secara tegas disebutkan dalam Fatwa DSN No. 20/DSN-

MUI/IV/2001 dan No: 40/DSN-MUI/X/2003, juga Keputusan Ketua Bapepam-LK

Nomor:KEP-181/BL/2009 dan Nomor: KEP-208/BL/2012 melarang memproduksi,

mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak

moral dan bersifat mudarat.

Selanjutnya, pengungkapan yang berhubungan dengan status kehalalan

produk. Kalau dilihat dari pembahasan sebelumnya, yang mana sebagian besar

perusahaan masih belum mengungkapkan pada laporan tahunan perusahaan, di

mana hanya 12% atau 17 perusahaan dari 139 perusahaan yang konsisten dari

tahun 2013-2017. Bahkan dari tabel menunjukkan nampaknya perusahaan lebih

menekankan pada keamanan dan kualitas produk mencapai 75% dan memberikan

pelayaan maksimal pada pelanggan mencapai 47%. Ironis sebenarnya ditengah

regulasi yang sudah jelas ditetapkan oleh DSN MUI dan Bapepam-LK secara tegas

larangan memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan atau

menyediakan barang dan atau jasa yang haram karena zatnya (hara>m li-dhatihi) pada setiap perusahaan yang dinyatakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Lebih lengkap bisa dilihat pada tabel 5.8 di bawah ini.

Tabel 5.8

Pengungkapan Kehalalan Produk

Tahun 2013-2017

Industri

Barang Konsumsi

Perdagangan, Jasa,

dan Investasi

1. PT Tiga Pilar Sejahtera Food

Tbk.

2. PT Darya-Varia Laboratoria Tbk.

1. PT Indoritel Makmur Internasional

Tbk.

2. PT Multi Indocitra Tbk.

59Laporan Tahunan PT Kimia Farma (Persero) Tbk.

154

3. PT Indofood CBP Sukses

Makmur Tbk.

4. PT Indofarma (Persero) Tbk.

5. PT Indofood Sukses Makmur

Tbk.

6. PT Kimia Farma (Persero) Tbk.

7. PT Martina Berto Tbk.

8. PT Merck Tbk.

9. PT Mustika Ratu Tbk.

10. PT Mayora Indah Tbk.

11. PT Sekar Laut Tbk.

12. PT Mandom Indonesia Tbk.

13. PT Ultrajaya Milk Industry &

Trading Company Tbk.

14. PT Unilever Indonesia Tbk.

3. PT Fast Food Indonesia Tbk.

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Berdasarkan tabel 5.8 di atas nampak jelas bahwa dari 17 perusahaan tidak

semuanya bergerak pada sektor industri barang konsumsi, hanya 14 perusahaan

selebihnya 3 perusahaan lagi pada sektor perdagangan, jasa, dan investasi.

Keseluruhan jumlah perusahaan pada sektor industri barang konsumsi berjumlah 20

perusahaan, ini artinya terdapat 6 perusahaan yang tidak mengungkapkan

kehalalan pada produk yang dihasilkannya. Di antaranya, PT Akasha Wira

International Tbk. (ADES), PT Kedawung Setia Industrial Tbk. (KDSI), PT Kalbe Farma

Tbk. (KLBF), PT Langgeng Makmur Industri Tbk. (LMPI), PT Pyridam Farma Tbk.

(PYFA), dan PT Tempo Scan Pacific Tbk. (TSPC). Sepatutnya bahwa semua

perusahaan yang bergerak dalam bidang konsumsi mengungkapkan kehalalan

produk yang dihasilkan, tidak tau pasti alasan kenapa tidak seluruh perusahaan

mampu mengungkapkannya.

Padahal penting untuk diungkapkan kehalalan suatu produk, sebagaimana

sudah diatur dalam Undang-undang Nomor: 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal terdiri atas 11 bab dan 69 pasal. Achmad Syalabi Ichsan mengatakan

kekuatan utama UU JPH tersebut yang mana sifatnya mandatory (diwajibkan) bagi

semua pelaku usaha di negeri ini untuk menjelaskan status produknya lewat

sertifikasi dan labelisasi.60Artinya, jika halal maka dilabelkan halal, sebaliknya jika

haram dilabelkan tidak halal.

60Ada tiga Lembaga yang terkait untuk menerbitkan sebuah sertifikat halal. Ketiga

Lembaga tersebut yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Lembaga

Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia. Adapun fungsi BPJPH untuk

menerbitkan sertifikat halal yang ditetapkan MUI, mencabut registrasi sertifikat halal,

menetapkan dan mengakreditasi LPH, menerima laporan pemeriksaan LPH, melaporkan

hasil pemeriksaan LPH kepada MUI. LPH berfungsi untuk mengaudit dan memeriksa

produk yang diajukan pelaku usaha, melaporkan hasil pemeriksaaan kepada BPJPH

155

Dengan disahkan UU JPH tersebut secara yuridis tentunya dapat

memberikan perlindungan bagi konsumen dan memberi kepastian bagi konsumen

Muslim di Indonesia untuk dapat mengonsumsi produk halal lagi baik. Banyak

kasus yang cukup melukai hak konsumen. Seperti kasus biskuit mengandung babi

di gerai Indomaret,61 rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah yang tidak

bersitifikat halal yang mencapai hampir 90% di seluruh Indonesia, sapi

gelonggongan, ajinomoto (2001), ayam tiren, vaksin meningitis (2009), bakso tiren

(2012), dan lain sebagainya. Dengan demikian, pengesahan UU JPH ini sebagai

jawaban atas penantian panjang umat Islam atas kepastian hukum mengonsumsi

produk halal.62

Ada sedikit kelemahan terhadap UU JPH tersebut yaitu belum memberikan

sanksi. Meski mewajibkan sertifikasi halal, tidak ada satu pun pasal menghukum

kepada pelaku usaha yang tidak mengajukan sertifikasi. Sanksi hanya diterapkan

untuk produk yang sudah bersertikasi, tapi tidak melakukan kewajiban, seperti

tidak mencantumkan label halal sifatnya pun masih sebatas sanksi adiministrasi.63

Sangat disayangkan jika perusahaan di Indonesia tidak mampu

mengungkapkan bahwa perusahaannya termasuk produk halal. Karena kehalalan

produk bukan hanya sebatas ikatan emosional agama dan memberikan

perlindungan kepada masyarakat Muslim semata, namun sebagai potensi untuk

menarik investor dan peluang pasar bahkan kepada investor luar negeri. Menurut

M. Irvan produk yang berlabel halal dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi

karena dapat meningkatkan daya saing produk di pemasaran.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan industri halal perlu dilakukan

transformasi industri halal. Transformasi dalam pandangan Meitra Ninanda adalah

dengan melakukan perubahan paradigma pelaku bisnis dalam meningkatkan

produk-produk halal. Pelaku industri harus mampu menjadikan halal produk

sebagai suatu gaya hidup (life style) dalam masyarakat. Termasuk juga setiap

upaya menggali potensi Industri halal yaitu dengan memanfaatkan jumlah umat

Islam di seluruh dunia.

Hal ini sebagaimana lagi semangat-semangatnya dipraktekkan oleh

Malaysia. Kini Malaysia sudah mencitrakan dirinya Halal Hab dunia di bawah

naungan JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia). Malaysia menjadi pusat

sertifikasi halal dunia dan akan mempromosikan dirinya ke tingkat global.

sementara MUI bertugas untuk menerima laporan pemeriksaan LPH dari BPJPH,

menetapkan fatwa halal produk, menyertifikasi auditor halal. Lihat lengkap lihat Farid

Wadji, Jaminan Produk Halal di Indonesia: Urgensi Sertifikasi dan Labelisasi Halal (Depok: RajaGrafindo, 2019), 2.

61Republika, 29 Mei 2014. 62Farid Wadji, Jaminan Produk Halal di Indonesia, 2.

63Secara normatif peraturan hukum yang mengatur sertifikasi halal sebenarnya

sudah ada sebelumnya walaupun hanya bersifat sukarela. Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 7

Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan konsumen, dan Pasal 98 ayat (3) UUNomor: 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

156

Berbagai inisiatif mereka berikan untuk mewujudkan semuanya itu. Misalnya

dengan membentuk badan khusus yang bertugas mendorong industri halal yaitu

Halal Development Corporation (HDC) sebagai pusat rujukan halal. Bahkan HDC

memperkenalkan aplikasi halal (smartphone) untuk memudahkan konsumen

mencari lokasi makanana dan restoran yang halal dengan menggunakan perangkat

teknologi GPS (Global Positioning System).64

Keadaan ini, jika dibandingkan dengan Indonesia sangat jauh tertinggal

dalam hal standar halal. Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) Bambang

Prasetyo mengatakan Indonesia sangat jauh tertinggal dari Malaysia dalam hal

standar. Dari total yang diperdagangkan di Tanah Air, baru 20% yang berlabelkan

halal, sedangkan di Malaysia sudah di atas 90%.

Oleh karena itu, jika tidak memanfaatkan kesempatan ini, maka Indonesia

akan tertinggal jauh. Karena industri halal bukan hanya untuk kalangan Muslim,

namun juga non-muslim. Halal selain menjadi alat untuk memasuki pasar yang

lebih luas, juga gerbang untuk memasuki pasar dan komunitas global. Untuk

mempermudah langkah ini, perlu adanya strategi dalam mengembangkan industri

makanan halal itu. Paling tidak harus ada beberapa unsur yang dipenuhi dalam

mengupayakan percepatan pengembangan industri makanan halal, antara lain:

industri, pemerintah, lembaga sertifikasi, dan akademisi yang berperan aktif dan

membuat kerja sama yang baik dengan industri.65

Terhadap dua ungkapan tersebut, yakni produk ramah lingkungan dan

produk halal menurut pengamatan penulis bahwa perusahaan-perusahaan yang

terdaftar pada DES sebagian besar sudah sejalan dengan harapan Fatwa DSN dan

Peraturan OJK, yakni bagaimana produk yang dihasilkan halal dan tidak merusak

moral dan bersifat mudharat atau efek negatif. Bahkan perusahaan-perusahaan

tersebut juga mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan

lingkungan, seperti pengelolaan limbah hasil produksi menjadi pupuk kompos,

pengelolaan limbah/sampah cair dan sampah padat, dan pengurangan emisi gas

rumah kaca (GRK), dan lain sebagainya. Dengan demikian, ke depan diharapkan

bahwa screening saham tidak cukup dilihat pada aspek negatif produk (negatif screening), namun juga lebih memperhatikan aspek positif (positive screening) dari

produk yang dihasilkan bagi masyarakat dan lingkungan.

3. Tema Karyawan

Karyawan salah satu faktor penting maju mundurnya suatu perusahaan.

Oleh karena itu, karyawan harus diperlakukan secara adil dan dibayar secara wajar.

64

Farid Wadji,“Transformasi Industri Halal”

http://faridwajdi.com/detailpost/transformasi-industri-halal (diakses 22 November 2019).

65Farid Wadji, Jaminan Produk Halal di Indonesia, 10.

157

Selain itu, pemberi kerja juga harus memenuhi kewajiban terhadap karyawan

dalam hal kebutuhan spritual mereka.66

Persoalan ketenagakerjaan atau buruh merupakan persoalan yang cukup

banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik ekonom, pemerhati

hukum, maupun pengambil kebijakan. Ini menujukkan bahwa begitu banyak

permasalahan buruh, misalnya upah yang tidak layak, jaminan kesehatan,

remunerasi, dan persoalan lainnya. Untuk Indonesia sendiri, dengan jumlah

penduduk 2 juta lebih di mana lebih dari 85% penduduknya beragama Islam. Dari

85% tersebut, lebih dari 50% berprofesi sebagai buruh yang terdiri dari buruh

pabrik, buruh lepas, buruh tani, buruh pasar, buruh nelayan, dan lain-lain. Sehingga

dapat dipahami bahwa ketika membicarakan persoalan hak buruh, secara tidak

langsung kita sedang membicarakan hak-hak kaum mislimin itu sendiri yang ada di

Indonesia.67

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, bahwa tema karyawan secara umum

sudah mengungkapkan dengan baik, rata-rata mencapai lebih 80%. Walaupun dari

13 item tersebut ada sebagian yang masih rendah, seperti memfasilitasi bagi

karyawan muslim untuk menjalankan ibadah shalat dan puasa Ramadhan hanya

0,7%. Namun bukan berarti ada larangan dari perusahaan bahwa tidak boleh

mengerjakan ibadah. Selanjutnya, melibatkan karyawan dari kelompok disabilitias

juga sedikit hanya 2,2%. Berikut ini beberapa perusahaan yang melaporkan hampir

dari seluruh item yang ada pada tema karyawan.

PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. Perseroan memiliki kepedulian

yang tinggi terhadap karyawannya. Hal ini dapat dilihat bahwa hampir semua

laporan tentang karyawan perusahaan ikut terlibat di dalamnya, yakni dari 14 item

laporan sampai 9 yang diungkapkan dalam laporan tahunan. Di antaranya,

perseroan memberikan kesempatan yang sama untuk rekrutmen pekerja tanpa

memandang pria, wanita, etnik, agama, gender dan sebagainya. Dalam upaya

meningkatkan kualitas SDM, menyelenggarakan berbagai Program Pelatihan dan

Pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan bisnis. Perusahaan juga telah

memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB), bentuknya seperti kewajiban dan hak

pegawai, hari kerja, jam kerja, dan kerja lembur, cuti dan izin meninggalkan

pekerjaan, pembinaan dan pengembangan, jaminan sosial dan jaminan

pemeliharaan kesehatan, keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan hidup dan

lain sebagainya. Adanya Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Upaya

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan bagi para pegawai dan keluarga mereka

dikelola ke dalam dua kelompok yaitu kesehatan kerja yang bersifat medis, dan

kesehatan kerja yang bersifat kesehatan lingkungan kerja. Untuk yang bersifat

medis, Perseroan memiliki unit Rumah Sakit Bukit Asam sedangkan untuk

kesehatan lingkungan kerja dikelola oleh satuan kerja KP& K3L-UPTE.68

66 Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspektive,”

Indonesian Management and Accounting Research Journal. Vol. 1 No. 2, (2002). 67Isnaini Hrp, dkk., Hadis-hadis Ekonomi, Cet-2 (Jakarta: Kencana, 2017), 71. 68Laporan tahunan PT Tambang Batubara Bukit Asam.

158

PT Sat Nusapersada Tbk memiliki program pengembangan SDM

merupakan perencanan pengembangan pegawai agar berkembang ke arah yang

lebih baik, meningkat kompetensi, keterikatan, dan mampu menghasilkan kinerja

yang maksimal. Untuk mewujudkannya dengan kegiatan Pelatihan dan

Pengembangan SDM. Bentuk kegiatannya, antara lain Pelatihan P3K, Pelatihan

Mikroelektronika, Pelatihan bahasa mandarin, Pelatihan Satpam oleh Polda Kepri,

Training strategi membangun struktur & skala upah, Business analysis manager,

Training K3 boiler kelas 1, dan sebagainya. Satnusa memberikan kesempatan

pengembangan kompetensi bagi seluruh karyawannya tanpa membedakan gender,

ras, warna kulit, agama, kondisi fisik, atau asal negara mereka. Salah satu bentuk

komitmen atas kepedulian terhadap kesejahteraan karyawannya dengan

menerapkan beberapa program, antara lain: 1) Program pemeriksaan kesehatan; 2)

Didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan

Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan

Jaminan Pensiun (JP). Program Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan,

dengan menyediakan fasilitas dan alat proteksi/pelindung diri, pembentukan

Panitia Pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan penyediaan

perlengkapan kerja. Program Asuransi Kecelakaan diri untuk Pengemudi dan

Penumpang Bus Karyawan Perusahaan menetapkan jumlah dan besarnya

remunerasi berdasarkan posisi, kompetensi, dan akuntabilitas dengan menciptakan

ekuitas internal berdasarkan kriteria yang bersifat obyektif.69

PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk. sebagai perusahaan yang bergerak

dalam bidang infrastruktur, utilitas, dan transportasi termasuk salah satu yang

paling banyak mengungkapkan kepedulian terhadap karyawan dalam laporan

tahunnya, yaitu terdapat 10 item yang diungkapkan dari 14 pengungkapan

terhadap karyawan. Di antaranya, pengembangan karyawan Departemen SDM

bersama pimpinan menjalankan Talent Management, beberapa talent sudah dipilih

dan mulai diberikan penugasan khusus untuk mempercepat proses pengembangan.

Kebijakan remunerasi juga terus diperbaiki untuk bisa menghasilkan standar

remunerasi yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Yaitu dengan

memberikan imbalan yang setara dengan tugas, peran, dan tanggung jawab

(internal equity) serta sejalan dengan kondisi pasar (external equity). Tidak hanya

sebatas itu, perusahaan juga berupaya untuk memperbaiki strategi pemberian

bonus dan insentf agar bisa tepat sasaran juga terus dilakukan. Bidang Kesehatan,

semua karyawan yang berhak diberi asuransi kesehatan, dan berupaya menyediakan

lingkungan kerja yang sehat, dan terakhir keselamatan kerja, yang mana banyak

kebijakan dan sistem keselamatan kerja untuk menjamin keselamatan karyawan

MBSS dan memperkecil frekuensi kecelakaan. 70

Dari serangkaian hasil di atas menunjukkan bahwa item pengungkapan

remunerasi, tunjangan, kesehatan keselamatan kerja, lingkungan kerja, serta

pendidikan dan pelatihan kerja merupakan pokok pengungkapan yang paling

69Laporan tahunan PT Sat Nusapersada Tbk. 70Laporan tahunan PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk.

159

banyak dilakukan oleh perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa aspek tersebut

merupakan aspek paling penting bagi kesejahteraan karyawan sehingga perusahaan

sudah selayaknya memberikan reward kepada seluruh karyawan yang bernilai

lebih. Hasil content analysis menunjukkan bahwa seluruh perusahaan berkomitmen

untuk selalu meningkatkan kualitas karyawannya.

Namun terdapat sedikit kekurangan bahwa perusahaan tidak terlalu

perhatian pada tiga item pengungkapan, yaitu 1) mengakomodir karyawan dari

kelompok khusus, seperti cacat fisik, mantan narapidana, mantan pecandu dan

narkoba; 2) karyawan yang lebih tinggi di perusahaan melaksanakan ibadah

bersama-sama dengan karyawan tingkat menengah dan tingkat bawah; 3)

karyawan muslim diperbolehkan menjalankan ibadah shalat wajib dan berpuasa di

saat Ramadhan pada hari kerja sehingga tidak memasukkan dalam laporan

tahunannya. Berdasarkan data tidak banyak perusahaan yang mampu

mengungkapkannya, tidak sampai 2 persen. Ini artinya dari 134 perusahaan hanya

3 perusahaan yang mengungkapkannya. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada tabel di

bawah ini.

Table 5.9

Skor Pengungkapan ISR Tema Karyawan

Item Disabilitas Item Ibadah Bersama Boleh Menjalankan

Ibadah

1. PT PP London

Sumatra Indonesia

Tbk. (Pertanian)

1. PT Tiga Pilar Sejahtera

Food Tbk. (Barang

konsumsi)

1. PT Indo Acidatama

Tbk. (Dasar dan

kimia)

2. PT Sampoerna Agro

Tbk. (Pertanian)

2. PT Salim Ivomas

Pratama Tbk.

(Pertanian)

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Berdasarkan tabel tema karyawan di atas terlihat jelas bahwa hanya ada tiga

perusahaan yang mengungkapkan pada item disabilitas, satu perusahaan

mengungkapkan terlibatnya atasan dalam melaksankan ibadah bersama

bawahannya, dan hanya 1 perusahaan yang secara langsung membolehkan

melaksanakan ibadah wajib baik shalat, puasa, dan sebagainya. Hasil tersebut

mengindikasikan bahwa terdapat hak-hak dasar karyawan (muslim) yang belum

sepenuhnya diungkapkan secara baik dalam laporan tahunan perusahaan. Untuk itu

ke depan penting bagi perusahaan memperhatikan tiga hal ini, terutama

memberikan kebebasan dan kesempatan bagi karyawanya untuk melaksanakan

ibadah, terutama ibadah wajib walaupun tidak ada perusahaan yang melarang

secara tertulis, namun akan lebih baik disampaikan dalam laporan tahunannya

sebagai suatu bentuk pelaporan sosial perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip

160

syariah. Misalnya ada waktu istirahat ketika jadwal masuk waktu shalat sehingga

tidak terganggu ibadah seseorang untuk dekat dengan Tuhan-nya. Dalam Islam

sangat dianjurkan punya etos kerja namun jangan sampai pekerjaan tersebut

membuat kita lalai mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.

4. Tema Masyarakat

Terhadap tema masyarakat secara umum perusahaan belum sepenuhnya

mengungkapkan dalam laporan tahunannya. Hal ini dapat dilihat dari skor 14 item

pengungkapan hanya item sedekah dan kegiatan amal yang memiliki skor cukup

tinggi hingga mencapai 94%, selebihnya rata-rata rendah, terutama wakaf 1,3%

dan qard hassan 4,9%, begitu juga ungkapan membantu peningkatan kualitas hidup

masyarakat miskin hanya 36%.

Sedekah dan bentuk amal lainnya tidak ada batasan banyaknya, berbeda

halnya dengan kewajiban zakat yang wajib dibayar setelah sampai nisab dan haul. al-Ghazali mengungkapkan, bahwa kadar yang diwajibkan zakat hanyalah standar

minimum yang mesti dibayarkan seseorang. Karena itu, tidak benar pendapat

sebagian menyatakan bahwa mengeluarkan sebagian harta di luar zakat hanya

bersifat sunat belaka. Menurutnya sedekah, menyantuni anak yatim, infaq juga

merupakan kewajiban bagi mereka yang memiliki kelebihan harta dalam ukuran

tertentu.71

Barangkali, inilah yang menjadi rahasia mengapa di dalam al-Qur’an zakat

sering diwakili oleh kata al-s}adaqah, haqqun ma‘lu>m, dan lain sebagainya. Karena

memang makna yang terkandung di dalamnya bukan hanya mengacu pada

kewajiban zakat belaka, tapi juga kewajiban lain seperti yang disebutkan

sebelumnya.72

Sabda Rasulullah SAW dalam haditsnya,

فيل عن شريك عن اىب محزة عن عن عبد هللا بن عبد الرمحن عن حممد بن الطعامر الشعىب عن فاطمة بنت قيس عن النىب صلى هللا عليه وسلم قال : ان ىف املال

حقا سوى الز كاة ) رواه التمذى (.

“Dari Abdullah Ibn Abdul Rah}man dari Muh}ammad Ibn al-T}ufail dari

Shuraik dari Abi H}amzah dari Amir al-Sa‘bi dan Fatimah Bint Qais dan

Nabi Muhammad Saw ia bersabda: sesungguhnya dalam harta itu ada

kewajiban selain zakat. (HR. At-Tarmidhi).”73

71Al-Ghazali, al-Isla>m al-Muftara> ‘Alaih (Kuwait: Da>r al-Baya>n, tt), 156. 72 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan

Pasar, 74. 73Abi> ‘I>sa> Muh}ammad ibn ‘Isa> ibn Su>rah ibn Mu>sa> al-Tirmidhi, Ja>mi’ al-Tirmizi,

Cet. I (Riyad: Da>r al-Sala>m li al-Nasy wa al-Tawzi’, 1999), 169.

161

Hadits di atas jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa ada

kewajiban lain yang melekat pada harta kekayaan selain zakat. Para ahli terbagi

menjadi dua pendapat tentang ada tidaknya kewajiban harta selain mengeluarkan

zakat. Pertama, sebagian besar para ahli beranggapan bahwa satu-satunya

kewajiban dalam harta adalah zakat dan orang yang telah mengeluarkan zakat

tidak dibebani lagi dengan kewajiban yang lain, kecuali hanya sekedar anjuran agar

dapat ganjaran pahala yang besar. Kedua, sebagian ahli berpendapat bahwa ada

kewajiban lain dalam harta selain zakat, seperti halnya memberikan hak kerabat,

hak tamu dan berbagai kewajiban lainnya.74

Ibn Hazm termasuk salah seorang fuqaha yang setuju dengan pendapat

yang kedua ini, bahkan menurutnya bahwa suatu kewajiban sosial di samping zakat

yang dibebankan kepada orang-orang kaya di setiap negara untuk menanggulangi

secara bersama-sama kebutuhan orang fakir dan miskin. Sedang pihak penguasa

boleh campur tangan untuk menekan mereka dalam pelaksanaannya, apabila harta

zakat dan harta kaum muslimin yang lain tidak mencukupi untuk mengatasi

kebutuhan-kebutuhan pokok fakir dan miskin tersebut.75

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa tuntutan kepada orang yang

memiliki kekayaan untuk membantu pakir miskin tidak hanya sebatas kewajiban

mengeluarkan zakat, namun bisa dengan bersedekah, berinfak, dan sebagainya

sebagai wujud kepekaan sosial dengan sesama umat manusia. Sementara

pemerintah dengan powernya memerintahkan kepada orang-orang yang memiliki

kekayaan untuk menanggulanginya sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok

mereka.

Metwally berpendapat bahwa keberhasilan perusahaan tidak hanya

dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat keuntungan yang diperoleh, tetapi juga

oleh pengeluaran yang bersifat sosial dalam bentuk charity atau good deeds. 76 Oleh

karena itu, perusahaan terdaftar di DES sepatutnya harus mampu mencapai tingkat

keuntungan yang wajar guna mempertahankan kegiatan usahanya dengan mencoba

memaksimumkan fungsi daya guna. Fungsi daya guna tersebut merupakan fungsi

dari jumlah pengeluaran untuk sedekah, Infaq, wakaf, dan amal kebajikan lainnya,

dengan konsekuensi keuntungan berkurang setelah mengeluarkan pembayaran

zakat yang sifatnya wajib. Pengeluaran perusahaan untuk amal akan meningkatkan

permintaan akan produksi. Berarti tingkat pengeluaran untuk sedekah pada

74Suhar, Paradigma Politik Hukum Islam: Manajemen Pendistribusian Pendapatan

dan Kekayaan Negara (Jakarta: Hayfa Press, 2007), 149. 75Ibn Hazm berpedoman kepada QS. Ash Shu‘ara>’ [26]: 17 dan QS. Ya > Si>n [36]:4.

Allah mewajibkan untuk memberikan hak orang-orang miskin, Ibn Sabil, dan orang-orang

yang menjadi tanggungan, demikian juga hak kerabat. Allah juga mewajibkan unutk

berbuat ihsan kepada kedua orang tua, orang-orang miskin, tetangga dan melarang manusia

untuk berlaku jahat, tanpa ada keraguan. Abu> Muhammad ‘Ali> Ibn Ah}mad Ibn Sa’i>d Ibn

Hazm al-Andalu>si>, al-Muhalla> bi al-At}ar, jld 4, (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988),

281. 76 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Terj. M. Husein Sawit,

(Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995), 36-37.

162

akhirnya akan menghasilkan efek penggandaan terhadap kenaikan kemampuan beli

masyarakat.

Persoalannya, walaupun item sedekah, donasi dan kegiatan amal cukup

tinggi hingga mencapai 94%, namun hal ini tidak memiliki efek positif dan tidak

berbanding lurus bagi item yang di bawahnya terutama keterlibatan perusahaan

meningkatkan kualitas masyarakat miskin hanya mencapai 36%.

Didin Hafidhudin menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang

menyebabkan terjadi kemiskinan. Pertama, kultural, terjadinya kemiskinan

disebabkan tidak mau bekerja dan malas; Kedua, sturuktural, terjadinya

kemiskinan disebabkan oleh orang lain, kebijakan berbagai peraturan yang tdak

menguntungkan dan pola ketidakadilan kepada pakir miskin; Ketiga, natural, adanya perbedaan dengan dua faktor di atas, yakni kemiskinan yang terjadi karena

faktor alam disekelilingnya yang tidak mendukung, seperti tanah tandus, tidak ada

aliran sungai, dan sebagainya.77

Sebagai solusi ada dua instrumen publik yang saling melengkapi untuk

mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi ditengah

masyarakat. Pertama, perlu adanya perhatian dan tanggungjawab pemerintah untuk

mencukupi dan menfasilitasi kebutuhan rakyatnya, khususnya kaum fakir dan

miskin. Kedua, pentingnya tolong menolong diantara sesama masyarakat, terutama

antara si kaya dengan si miskin sehingga semuanya dapat menikmati kehidupan

yang layak dan bermartabat dan tidak terjadi jurang pemisah diantara dua belah

pihak.78

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa mengatasi kemiskinan tidak

cukup hanya tugas pemerintah, namun juga kepada yang memiliki kemampuan

termasuk tentunya perusahaan-perusahaan di DES yang menjadi objek dalam

penelitian ini. Lalu pertanyaannya apa saja upaya dan kontribusi perusahaan untuk

menyelesaikan kemiskinan ini, antara lain: PT Astra Agro Lestari dengan program

pemberdayaan ekonomi masyarakat melaui program kemitraan. Ada beberapa pola

kemitraan yang dikembangkan di antaranya pola kerjasama kemitraan dengan para

petani Plasma/KKPA dan pola kemitraan IGA (Income Generating Activities).

Perseroan melibatkan peran serta masyarakat dalam menjalankan industry kelapa

sawit berkelanjutan. Melalui program kemitraan diharapkan dapat mendorong

multiplier effect terhadap perekonomian dan kemajuan masyarakat yang berada di

sekitar areal perkebunan.79

Kontribusi yang serupa diungkapkan oleh PT Aneka Tambang Tbk.

Bergerak dalam bentuk Program Kemitraan. Program ini diwujudkan dengan

77Didin Hafidhudin dan Ahmad Juwaini, Membangun Peradaban Zakat Meniti

Jalan Kegemilangan Zakat, (Jakarta: Bamuis BNI dan Divisi Publikasi Institut Manajemen

Zakat, 2007), 23-24. 78 Tulus, Makalah Strategi Lembaga Pengelola Zakat dalam Mengurangi

Kemiskinan dalam Southeast Asia Zakat Movement, edit, M. Arifin Purwakananta, Noor

Aflah, (Jakarta: FOZ, Domper Dhuafa dan Pemkot Padang, 2008), 170. 79Laporan tahunan PT. Astra Agro Lestari

163

memberikan pinjaman modal usaha disertai dengan pendampingan dan pembinaan

agar menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri. Pada tahun 2017, realisasi

penyaluran dana PK mencapai Rp. 17,93 miliar yang terdiri dari Rp. 16, 51 miliar

untuk pinjaman mitra binaan dan Rp. 1,42 miiliar untuk pembinaan mitra binaan.

Penyaluran dana PK terbagi menjadi 7 sektor yakni industri, perdagangan,

perkebunan, peternakan, pertanian, perikanan, dan jasa.80

PT Citatah Tbk sebagai bentuk perhatian perusahaan terhadap masyarakat

di sekitar pabrik dan tambang dengan melaksanakan bakti sosial berupa sembako

dan hewan Qurban pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tahun 2017. Selain itu,

sumbangan berupa program pengembangan masyarakat setempat yang mencakup

perawatan jalan, perbaikan infrastruktur, dan rehabilitasi masjid termasuk

memasok material bahan bangunan serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.81

PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Program kemitraan, yakni membantu

tumbuh dan berkembangnya usaha kecil dan koperasi yang mandiri melalui

penyaluran dan pembinaan tangguh dan berdaya saing, mampu meningkatkan

penyerapan tenaga kerja melalui pengelolaan yang profesional, dan etika.82

Astra International (Aneka Industri) melakukan pemberdayaan ekonomi

masyarakat melalui peningkatan keterampilan wirausaha berbasis ekonomi kreatif,

dukungan pemasaran, penguatan forum “AKU BISA” (Asosiasi Pelaku Usaha

Kecil Binaan Astra) yang berfokus pada masyarakat dan penyandang disabilitas.

PT Total Bangun Persada Tbk. (Properti). Dalam bidang pengembangan

sosial dan kemasyarakat, Perseroan mengacu pada ISO 26000 dengan ruang

lingkup: 1) keterlibatan masyarakat dalam pendidikan dan kebudayaan; 2)

penciptaan lapangan kerja dan peningkatan keterampilan; 3) pengembangan dan

akses terhadap teknologi informasi; 4) Kesejahteraan dan peningkatan pendapatan;

5) Kesehatan; 6) investasi sosial.

Demikian beberapa bentuk kegiatan perusahaan yang bergerak dalam sosial

kemasyarakatan. Dari pelaporan setiap perusahaan tersebut dapat dipahami bahwa

ada persamaan namun ada juga yang berbeda dalam hal bentuk kegiatan sosial

kemasyarakatan. Ini membuktikan bahwa beragamnya bentuk kegiatan yang

dilakukan. Walaupun secara umum mengakui sebagai dasar kegiatannya Undang-

Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Pemerintah

No. 47 Tahun 2012 dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, wajib

dilaporkan dalam suatu kesatuan dengan Laporan Tahunan Perusahaan.

Penulis menyimpulkan bahwa bentuk pengungkapan sosial kemasyarakatan

setiap perusahaan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu 1) bakti sosial berupa

pemberian sembako, donor darah, dan penyaluran hewan qorban; 2) pemberdayaan

ekonomi masyarakat melaui program kemitraan dan pemberdayaan. Misalnya,

kerjasama kemitraan dengan para petani plasma, memberikan pinjaman modal

80Laporan tahunan PT Aneka Tambang Tbk. 81Laporan tahunan PT CITATAH Tbk 82Laporan tahunan PT Semen Indonesia (Persero)

164

usaha, wirausaha berbasis ekonomi keratif, dan membantu tumbuh dan

berkembangnya usaha kecil dan koperasi.

Dengan demikian, dari sekian banyak perusahaan yang telah berupaya

memberantas kemiskinan yaitu berjumlah 50 perusahaan dari 139 perusahaan

sebagian hanya sebatas dalam bentuk kegiatan sosial dan sifatnya konsumtif,

misalnya dengan memberikan bantuan khitanan massal, atau mendirikan tempat

ibadah, namun sebagian perusahaan ada juga dalam bentuk yang sifatnya

produktif, misalnya memberikan modal kerja, mendirikan kegiatan unit usaha, atau

membekali mereka dengan keterampilan sehingga bisa mandiri tanpa harus minta

belas kasih dari orang lain. Hal ini karena dengan memberdayakan masyarakat

miskin dengan cara mengangkat derajat taraf hidup masyarakat khususnya yang

bermukim di sekitar perusahaan lebih bermanfaat daripada hanya memberikan

bantuan yang sifatnya konsumtif.

5. Tema lingkungan (Enviroment)

Dari lima item tema lingkungan yang paling banyak pada item konservasi

lingkungan hidup83 hingga mencapai 82%. Terhadap item ini sebenarnya tidak jauh

berbeda dengan tema dua sebelumnya, yaitu tentang produk atau kegiatan operasi

ramah lingkungan. Perbedaannya hanya kalau yang pengungkapan sebelumnya

lebih kepada bagaimana produk yang dihasilkan jangan sampai merusak

lingkungan dan masyarakat sementara konservasi lingkungan lebih kepada

keterlibatan dan kepedulian perusahaan dalam menjaga lingkungan hidup yang

berkelanjutan (sustability).

Mudhofir mengatakan konservasi sumber daya alam merupakan langkah

nyata advokasi untuk menanggulangi krisis lingkungan. Jadi konservasi adalah

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dan teratur

baik sumber daya hayati dan non hayati dengan melindungi proses-proses ekologis

dalam sistem penyangga kehidupan dan juga pengawetan keanekaragaman hayati.84

Beikut ini beberapa perusahaan yang terlibat dalam konservasi lingkungan,

antara lain, PT Resource Alam Indonesia Tbk. bergerak dalam usaha tambang.

Perseroan melakukan berbagai kegiatan pelestarian lingkungan hidup yang dibagi

menjadi kegiatan lingkungan hidup internal dan eksternal. Kegiatan lingkungan

83Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together)

dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang

kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Dalam arti luas,

konservasi adalah pemakaian dan perlindungan sumber daya-sumber daya alam secara

berkelanjutan meliputi tanaman (hutan), binatang, deposit-deposit mineral, tanah, air

bersih, dan bahan bakar fosil seperti batu bara, petroleum, dan gas-gas alam. Muhammad

Fathurrohman, “Metode Dan Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi Serta Konsep Konservasi

Lingkungan,” https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/11/metode-dan-ijtihad-

yusuf-al-qardhawi-serta-konsep-konservasi-lingkungan/, (artikel diakses 04 Januari 2020). 84Abdullah Mudhofir, Al-Quran dan Konservsi Lingkungan: Argumen Konservasi

Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah (Jakarta: Dian Rakyat, 2010).

165

internal terdiri dari Perseroan melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi pada

lokasi pertambangan. Pada tahun 2017 lahan yang telah direklamasi seluas 29,65

Ha. dan yang telah direvegetasi seluas 39,76 Ha dari total lahan yang dibuka untuk

tambang seluas 158,28 Ha. Sementara kegiatan lingkungan hidup eksternal, antara

lain, 1) turut serta dalam program KALTIM GREEN, yaitu “One Man Five Trees” yang dicanangkan oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; 2) berperan aktif di

berbagai kegiatan memperingati Hari Lingkungan Hidup; 3) pemberian sumbangan

bibit pohon dan melakukan penanaman di sejumlah titik; 4) normalisasi sungai; 5)

sosialisasi bahaya kolam bekas tambang (Void) ke sekolah-sekolah di sekitar

lingkungan tambang dari jenjang PAUD sampai dengan SMA.85

PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. Perusahaan yang bergerak di

sektor pertambangan batubara sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan yang

mana berpartisipasi aktif dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan

(PKBL)86 sebagai wujud pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap

kehidupan masyarakat dan kelestarian lingkungan sekitar perusahaan. Beberapa

bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain, 1) konstruksi Kebun Raya Sriwijaya,

2) penanaman Hutan Kota H. Kalamudin, 3) Pembangunan kota wisata tanjung

enim, dan 4) pembangunan agroforestry, sylvopastura, dan agroindustri.87

PT Bumi Serpong Damai Tbk. Bentuk nyata kegiatan konservasi

lingkungan yaitu dalam rangka memperingati Hari Pohon Sedunia, yang jatuh

tanggal 28 November setiap tahunnya, sekaligus Bulan Menanam Nasional (BMN)

yang diperingati setiap Desember, Perusahaan melakukan upaya nyata pelestarian

lingkungan dengan menanam dan membagikan 1.000 batang pohon kepada

masyarakat. Kegiatan tersebut dipusatkan di kawasan Vanya Park, dan BSD

City.88

Ungkapan berikutnya item pendidikan mengenai lingkungan hidup

merupakan bahagian dari konservasi lingkungan. Yaitu membangun kesadaran bagi

masyarakat pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini sebagaimana

dilakukan oleh PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. bergerak dalam usaha Industri

Dasar dan Kimia. Salah satu program CSR yang menjadi fokus Perseroan adalah

Tanggung Jawab Lingkungan Hidup yang merefleksikan kesadaran semua pihak di

Perseroan akan perlunya menjaga lingkungan. Perseroan senantiasa bekerja untuk

mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya mengelola

lingkungan secara arif. Perseroan merujuk ke ISO 14001 Environmental

85Laporan Tahunan PT Resource Alam Indonesai Tbk.

86Pelaksanaan PKBL tersebut berpedoman pada Peraturan Menteri Negeri BUMN

No. 09/MBU/07/2015 tanggal 3 Juli 2017 tentang Program Kemitraan dan Program Bina

Lingkungan Badan Usaha Milik Negara beserta perubahan dan penerapan pasal 74 Undang-

Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 87Laporan Tahunan PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. 88Laporan Tahunan PT Bumi Serpong Damai Tbk.

166

Management System, sebuah standar internasional untuk Sistem Pengelolaan

Lingkungan (SPL).89

Kegiatan yang serupa oleh PT Agung Podomoro Land Tbk. Berpartisipasi

aktif dalam pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan

(PKBL) seiring pertumbuhan perusahaan Mendorong agar organ Perseroan dalam

membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi

dan kepatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan, serta kesadaran akan

adanya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pemangku kepentingan maupun

kelestarian lingkungan di sekitar perusahaan.90

Berdasarkan beberapa kegiatan tersebut maka dapat dipahami bahwa

bentuk kegiatan dari setiap perusahaan hampir sama sebagai upaya memberikan

kesadaran bagi karyawan dan masyarakat begitu pentingnya menjaga alam,

menghemat sumber energi, sumbangan bibit pohon, dan melakukan penanaman

yang kesemuanya itu demi menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Dalam Islam sendiri sebenarnya sudah jauh sebelumnya diajarkan

pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini sebagaimana terdapat

penjelasannya dari al-Qur’an, antara lain al-Rūm [30]:41, al-Wāqi’ah [56]:68-70,

al-A’rāf [7]:56, dan al-An’ām [6]: 38. Dalam empat ayat itu, membahas tentang

krisis lingkungan yang meliputi kompenen daratan, lautan, binatang, dan jenis

makhluk lainnya.

Begitu pentingnya, sehingga banyak berpendapat bahwa menjaga

korservasi lingkungan merupakan kewajiban. Hal ini sebagaimana diungkapkan

oleh Yusuf al-Qard}awi, menurutnya bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan

mengenai pemeliharaan alam semesta (h}ifz{ al-‘a>la>m). Pertama, pemeliharaan

alam semesta dipandang sebagai bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah. Dalam

pandanganya, ketersediaan lingkungan hidup yang baik akan menentukan

terwujudnya norma-norma yang sesuai syariah. Bahkan ia merumuskan istilah hifz} al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-di>n (memelihara lingkungan adalah bagian dari

memelihara agama), h}ifz{ al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-nafs (memelihara

lingkungan adalah bagian dari memelihara jiwa), h}ifz{ al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-nasl (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara keturunan),

h}ifz{ al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-‘aql (memelihara lingkungan adalah bagian

dari memelihara akal), h}ifz{ al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-ma>l (memelihara

lingkungan adalah bagian dari memelihara harta).91

Kedua, tanpa merubah struktur (al-kulli>yah al-khamsah) al-Shat}ibi,

namun dapat digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan: ma> la> yatimmu al-waji>b illa> bihi> fahuwa al-wa>jib (sesuatu yang menjadi mediator pelaksanaan

sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib). Dengan argumentasi ini dapat

dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta tidak termasuk dalam

89Laporan Tahunan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. 90Laporan Tahunan PT Agung Podomoro Land Tbk 91Yu>suf al-Qarad{awi, Al-Ijtiha>d al-Mu‘as{ir (Beirut: Al-Maktab Al-Isla>mi, 1998),

70.

167

kategori al-kulli>yah al-khamsah, tetapi al-kulli>yah al-khamsah itu tidak mungkin

terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta diabaikan.

Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Jasser Audah bahwa diantara

fungsi maqa>s}id al-shari>‘ah membuka sarana (fat} al-zara‘i) dan memblokir sarana

(sadd al-zara‘i). Memblokir sarana (sadd al-zara‘i) bermakna melarang sebuah

aksi legal, karena akan mengakibatkan aksi yang tidak legal. Menurutnya,

pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya aksi illegal yang

melebihi kemungkinan tidak terjadinya. Sebaliknya, maqa>s}id al-shari>‘ah untuk

membuka sarana bagi tujuan mas}lah}ah.92 Sebagai contoh, upaya memelihara jiwa

tidak akan berhasil dengan baik apabila kita mengabaikan pemeliharaan terhadap

lingkungan, upaya pemeliharaan keluarga tidak akan berhasil dengan sempurna

apabila kita mengabaikan pemeliharaan lingkungan, dan seterusnya terhadap

pemeliharaan al-d}arūri>yah al-khamsah.

Pendapat senada oleh ‘Abd al-Majid al-Najja>r dalam bukunya Maqa>s}id al-Shari>‘ah biab‘a>d Jadi>dah, menguraikan banyak ayat yang menjelaskan keharusan

untuk menjaga lingkungan dan ancaman bagi orang yang merusaknya. Oleh karena

itu, ia memasukkan dalam bukunya ini h}ifz} al-bi>’ah sebagai bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah. Menurutnya wujud kepedulian Islam terhadap lingkungan tersebut dapat

dibagi menjadi empat bagian: 1) keharusan untuk menjaga lingkungan dari

tindakan destruktif; 2) menjaga lingkungan dari segala macam bentuk pengotoran

dan pencemaran; 3) menjaga lingkungan dari prilaku konsumtif yang berlebihan; 4)

menjaga lingkungan dengan cara reboisasi.93

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa Islam sangat

peduli terhadap lingkungan. Oleh karena itu, menjaga konservasi lingkungan

sebagai bagian tanggung jawab sosial setiap perusahaan yang wajib di jaga

kelestariannya dan jangan sampai merusaknya karena akan berakibat patal bagi

yang lain.

6. Tata Kelola Perusahaan (corporate governance)94

Menurut Turnbull corporate governance adalah suatu sistem perusahaan

terhadap pengawasan internal sesuai maksud pemilik perusahaan dalam mengelola

92 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems

Approach (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007), 95. 93‘Abd al-Majid al-Najja>r, Maqa>s}id al-Shari>‘ah biab‘ad Jadi>dah (Beirut: Da>r al-

Garb al-‘Arabi>, 2008), 208-239.

94 Kebanyakan peneliti tidak mampu membedakan antara istilah corporate

governance dengan istilah good corporate governance, namun kedua istilah tersebut

sebenarnya ada perbedaan. Istilah corporate governance menunjuk kepada suatu konsep

atau suatu sistem dalam mengelola perusahaan; sistem ini menunjukkan adanya struktur

perusahaan terdiri dari organ dan key position. Sementara istilah good corporate governance sebagai hasil penerapan konsep yang ingin dicapai. Sehingga dapat dipahami

apabila capaian penerapan corporate governance dalam suatu perusahaan tidak berjalan

sesuai konsep atau bahkan sampai terjadi pelanggaran, maka keadaan seperti ini disebut

bad corporate governance atau low corporate governance.

168

risiko-risiko yang penting guna memenuhi tujuan bisnisnya dengan mengamankan

aset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham. 95 Jika

diperhatikan apa yang ditulis oleh Turnbull ini lebih fokus kepada pengawasan

internal guna menyelamatkan aset perusahaan.

Lain halnya menurut Institusi Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), corporate governance sebagai sebuah elemen kunci

dalam memperbaiki efisiensi ekonomi dan tumbuhnya peningkatan kepercayaan

investor, meliputi suatu hubungan di antara manejemen perusahaan seperti direksi,

pemegang saham (shareholder ) dan pemangku kepentingan (stakeholder). Di

samping itu juga menyediakan struktur di mana tujuan perusahaan ditetapkan dan

pengawasan pelaksanaan telah ditentukan.96

Ahmad Syakhroza merumuskan suatu sistem yang dipakai untuk

mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi pengelolaan sumber daya

organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif dengan prinsip-prinsip

transparan, accountable, responsible, independent dan fairness dalam rangka

mencapai tujuan organisasi.97

Dari beberapa definisi yang sudah dikemukakan di atas, bisa dipahami

bahwa corporare governance adalah aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas

antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang akan melakukan

pengawasan terhadap keputusan tersebut. Baik itu dilingkungan internal terdiri

dari pemegang saham, direksi,98 komisaris,99 dan karyawan maupun di lingkungan

eksternal terdiri dari regulator, auditor, pemasok, agen, konsumen, dan lain-lain,

semuanya berinteraksi dengan baik. Secara keseluruhan diharapkan akan

meningkatkan atau memaksimalkan nilai tambah bagi pemegang saham.

Sementara itu, pengertian corporate governance tidak ditemukan dalam

undang-undang pereroan terbatas nomor 40 tahun 2007 dan juga undang-undang

perbankan syariah nomor 21 tahun 2008, keduanya hanya menyebutkan prinsip

corporate governance atau tata kelola perusahaan. Tidak terkecuali Bank Indonesia

95Turnbull, “International Control Guidance for Directors on the Combined Code”

London: The Institute of Chartered Accountants in England & Wales (September 1999):

46. www.jstor.org/stable/3867928 (diakses 19 Februari 2018). 96Organization for Economic Co-operation and Development, OECD Principles of

Corporate Governance (Perancis: OECD Publications Service, 2004), 15. 97 Akhmad Syakhroza, “Best Practices Corporate Governance Dalam Konteks

Kondisi Lokal Perbankan Syariah,” Majalah Usahawan No. 06 (Juni 2003), 14.

98 Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab

sepenuhnya atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, mewakili Perseroan

baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar di

bawah pengawasan Dewan Komisaris.

99Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang memiliki tugas dan bertanggung

jawab atas pengawasan kebijakan kepengurusan dan jalannya pengurusan pada umumnya,

baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan yang dilakukan oleh Direksi,

memberikan nasihat kepada Direksi serta mengawasi penerapan GCG di Perseroan.

169

tidak menyatakan terminologi corporate governance hanya menjelaskan prinsip-

prinsipnya yang tertera dalam surat Edaran huruf A Umum angka 1.100

Tata kelola yang bagus memiliki pedoman umum prinsip-prinsip tata

kelola perusahaan. Dalam ekonomi Islam sendiri terbagi menjadi lima prinsip,

yaitu akuntabilitas, keterbukaan, tanggungjawab, independensi, dan kewajaran dan

kesetaraan. Sementara ISO 26000 sebagai standar International membagi kepada

prinsip dasar dalam melaksanakan tata kelola perusahaan, yaitu: 1) akuntabilitas;

2) tranparansi; 3) berprilaku etis; 4) menghormati kepentingan stakeholders; 5)

kepatuhan pada aturan hukum; 6) mematuhi norma perilaku Internasional; 7)

menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).

Lalu jika dilihat dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada DES,

hampir semua perusahaan memberikan informasi pada laporan tahunannya. Hal ini

bisa dilihat dari 6 pokok pengungkapan ada yang mencapai 100%, seperti struktur

kepemilikan saham dan profil dewan direksi 99%. Ini menunjukkan bahwa dari 174

perusahaan semuanya menyampaikan pada laporan tahunan setiap perusahaan. Hal

ini sebagaimana terdapat pada laporan tahunan dua perusahaan di bawah ini.

PT Agung Podomoro Land Tbk. (Properti). Penerapan tata kelola

perusahaan yang baik (good corporate governance) di Perseroan berlandaskan pada

komitmen untuk menciptakan perusahaan yang transparan, akuntabel,

bertanggjung jawab, independen, dan memperhatikan kesetaraan dan kewajaran di

dalam setiap kegiatan usaha yang dijalankannya. Pelaksanaan praktik-praktik GCG

merupakan salah satu langkah penting yang diwajibkan bagi Perseroan sebagai

perusahaan terbuka yang bertujuan untuk meningkatkan dan memaksimalkan nilai

perusahaan, mendorong pengelolaan perusahaan yang profesional, transparan, dan

efisien, sehingga memacu kinerja finansial dan operasional perusahaan serta

meningkatkan kepercayaan investor. Untuk mewujudkan ke lima prinsip tersebut

yang mana perusahaan memiliki struktur kepemilikan saham, profil dan struktur

dewan direksi, pengungkapan tidak adanya perkara hukum dan perusahaan

menetapkan kebijakan anti korupsi yang berlaku di lingkungan perseroan dengan

melibatkan seluruh karyawan, pelanggan, mitra bisnis maupun pemangku

kepentingan, sebagai upaya untuk memberikan keyakinan kepada stakeholders.101

PT Sampoerna Agro Tbk. (Pertanian). Sampoerna Agro juga menyadari

bahwa penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance)

sangat penting bagi perusahaan dalam mewujudkan keunggulan bisnis dan

pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan, di tengah kondisi pasar yang

semakin dinamis dan sarat persaingan. Perseroan berlandaskan pada lima prinsip

GCG, yakni transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan

kewajaran pada setiap aktivitas perusahaannya.102

100Bank Indonesia, Surat Edaran No. 12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang

pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. www.bi.go.id (diakses 27 Mei 2018).

101Laporan Tahunan PT Agung Podomoro Land Tbk. 102Laporan Tahunan PT Sampoerna Agro Tbk.

170

Namun demikian walaupun sebagian besar perusahaan telah terlibat dalam

tema tata kelola perusahaan, akan tetapi ada sedikit kekurangan dan kelemahan

terutama pada profil dewan direksi dan dewan komisarias. Direksi dan Komisaris

menurut teori agency103 dapat dikatakan sebagai agen atau perwakilan dari para

pemegang saham yang mengurus perseroan sedangkan menurut teori stewardship104 merupakan orang kepercayaan yang membantu pemegang saham untuk mengelola

perusahaan. Dari kedua teori tersebut sebenarnya tidak jauh beda, intinya bahwa

direksi dan komisaris mempunyai tanggung jawab terhadap segala tindakan

pengurusannya kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).105

Oleh karena itu, dikarenakan anggota Direksi mempunyai tanggung jawab

terhadap semua pemegang saham, penting bahwa perusahaan hendaknya dikelola

secara profesional, dalam artian dikelola oleh orang-orang yang mempunyai

keahlian bidang ekonomi syariah. Misalnya, profil latar belakang pendidikan

direksi, yang mana tidak ada memiliki keahlian di bidang ekonomi syariah,

sebahagian besar dari pendidikan umum. Sementara Bapepam-LK sendiri memang

tidak menetapkan adanya syarat keahlian syariah tersebut untuk menjadi direksi

sebuah perusahaan. Walaupun ada peraturan OJK Nomor 33/POJK.4/ Tahun 2014

menjelaskan syarat menjadi Direksi harus memiliki akhlak, moral, dan juga

memiliki pengetahuan atau keahlian di bidang yang dibutuhkan perusahaan publik.

Pada peraturan OJK tersebut disebutkan memiliki pengetahuan atau keahlian

sesuai kebutuhan perusahaan publik bukan pengetahuan atau keahlian ekonomi

Syariah.106

Persoalan yang sama pada tingkat Dewan Komisaris, bahwa syarat mutlak

untuk menjadi seorang komisaris tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan

emiten atau perusahaan publik, anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau

pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik. 107 Tidak adanya

103Teori agensi terfokus pada dua individu yaitu prinsipal dan agen. Baik prinsipal

maupun agen diasumsikan sebagai orang-orang ekonomi yang rasional yang semata-mata

termotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga sering terjadi konfil kepentingan. Lihat Eko

Raharjo, “Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntasi,” Fokus Ekonomi, Vol.2 No. 1 (Juni 2007): 37-46.

104Teori Stewardship didefinisikan sebagai situasi dimana manajer sebagai pihak

yang tidak mempunyai kepentingan pribadi tapi lebih mementingkan keinginan prinsipal,

yakni baik bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Lihat Eko Raharjo, “Teori Agensi

dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntasi,” : 37-46. 105Tarmizi Achmad, “Dewan Komisaris dan Transparansi: Teori Keagenan atau

Teori Stewardship,” Jurnal Keuangan dan Perbankan Syariah, Vol. 16, No.1 (Januari 2012):

1-12. 106Peraturan OJK Nomor 33/POJK.4/ Tahun 2014 Tentang Direksi dan Dewan

Komisaris Emiten atau Perusahaan.

107 POJK No. 33/2014 tentang direksi dan dewan komisaris emiten, Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan

OJK Nomor 21/POJK.04/2015 tentang Penerapan Pedoman Tata Kelola Perusahaan

Terbuka.

171

persyaratan lain, misalnya harus memiliki keahlian di bidang syariah. Semua profil

komisaris tidak ditemukan harus memiliki keahlian di bidang syariah. Padahal

keahlian ini pada salah seorang komisaris diperlukan ketika membaca dan

mengevaluasi laporan keuangan khususnya pada penerapan akuntansi syariah, dan

juga laporan mengenai operasional produk, dan hal-hal lain yang perlu dibahas

dengan para direksi perusahaan.

Dengan adanya fenomena ini, kelihatannya regulator belum memikirkan

implikasi pengaturan pengangkatan direksi dan dewan komisaris perusahaan yang

memiliki keahlian syariah. Syarat ahli syariah tersebut diperlukan, bila tidak ada

ahli syariah sulit menyamakan persepsi dan mindset mereka yang berasal dari pasar

modal konvensional. Kita tidak mengharapkan seluruh direksi atau komisaris

memiliki keahlian syariah, tapi cukuplah secara berimbang dari komposisi

ditentukan ada yang memiliki keahlian di bidang syariah. Di samping itu juga

berguna secara sosiologis untuk membangun image kepercayaan yang positif dari

masyarakat terhadap pasar modal syariah yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.

Setelah membahas tuntas komitmen setiap perusahaan yang terdaftar di

DES terhadap tanggung jawab sosial pada laporan tahunannya yang berjumlah 174

perusahaan publik, penulis menyimpulkan bahwa belum ada perusahaan yang

mampu memberikan informasi secara total. Oleh karenanya, perlu didorong secara

lebih komprehensif agar tidak sekedar berhenti pada proses screening untuk

membuktikan bahwa perusahaan tersebut sebagai sarana investasi yang sejalan

dengan prinsip-prinsip syariah, namun juga mendorong perusahaan yang mampu

berorientasi pada pemenuhan tujuan utama syariah (maqa>s}id al-shari>‘ah) itu

sendiri, yaitu adanya konsep mas}lah}ah.108

C. Urgensi Mas}lah}ah sebagai Dasar Hukum Terhadap Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan pada DES

Implikasi dari konsep maslah{ah{ bagi perusahaan yang terdaftar pada DES

setelah proses screening, yang mana tidak boleh perusahaan tersebut hanya

berorientasi pada profit, melainkan juga harus berusaha menjalankan fungsi

pembinaan masyarakat, menegakkan keadilan, dan mengupayakan pemerataan

kemaslahatan ekonomi serta mampu memelihara kelestarian lingkungan

sekitarnya. Di samping itu, mereka juga harus terbebas dari kegiatan perjudian,

pornografi, alkohol, degradasi lingkungan, gharar, ihtikar, dan kegiatan lainnya

yang mengandung riba dan kemudaratan.

Ke depan konsep maslah{ah{ ini harus dipikirkan oleh DSN-MUI dan OJK

dalam menetapkan screening saham syariah, sehingga antara regulasi dan

penerapan pada perusahaan DES berbanding lurus. Prinsip dasar syariat Islam di

tengah-tengah kehidupan umat manusia tidak lain adalah bertujuan bagaimana

mampu merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemudharatan dalam berbagai

aspek yang menyangkut hajat hidup manusia banyak, baik dalam persoalan dunia

108M.A. Choudury, ”Islamic Economics and Finance: Where Do They Stand?,”

International Journal of Accounting and Finance, Vol. 1, Issue 2, (2008): 24-25.

172

maupun akhirat. Begitu juga hendaknya yang terjadi pada saham syariah di

Indonesia.

Dengan demikian, maslah{ah{ sebagai salah satu acuan pengembangan

ekonomi syariah sangatlah urgent, sebab kehadiran lembaga-lembaga keuangan

syariah, misalnya, juga didasarkan kepada mas}lah}ah. Inovasi pelaksanaan zakat

produktif dan wakaf tunai juga didasarkan kepada mas}lah}ah. Singkatnya, semua

aktivitas dan perilaku dalam perekonomian tidak terlepas dari pijakan maslah{ah{.

Jika di dalamnya ada kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh

syariah. Sebaliknya, jika di sana ada kemudaratan dan mafsadah, maka praktiknya

tidak dibenarkan.

Fenomena perkembangan pasar modal syariah tentu harus diimbangi

dengan upaya-upaya cerdas sebagai bentuk pengembangan ekonomi syariah. Jika

memperhatikan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, prinsip utama dalam

formulasi saham syariah harus menuju ke arah terciptanya kemaslahatan.

Penempatan mas}lah}ah sebagai prinsip utama dalam saham syariah ini menjadi

penting, sebab mas}lah}ah merupakan konsep yang paling penting di dalam syariah

guna mewujudkan gagasan ideal maqasidh syariah.109

Dinamika kemajuan sains dan teknologi modern telah menimbulkan

dampak besar terhadap kehidupan manusia, khususnya terhadap kegiatan ekonomi

dan bisnis baik di Indonesia maupun dalam skala global. Cara berekonomi dan

berbisnis mengalami perkembangan yang luar biasa yang tidak terbayangkan

sebelumnya, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, mobile banking,

perdagangan internasional/ekspor impor dengan media L/C, jaminan fidusia (rahn tasjiliy) dalam pembiayaan, dan sebagainya. Demikian juga lembaga-lembaga

keuangan syariah, seperti asuransi, sukuk, pegadaian, leasing, pasar modal, obilagasi, MLM (multi level marketing) tidak terlepas dari imbas kemajuan

tersebut.

Oleh karenanya, untuk menghadapi perubahan dan kemajuan sains dan

teknologi yang pesat tersebut haruslah senantiasa didasarkan kepada mas}lah}ah. Jadi, untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonom Muslim cukup dengan

berpegang kepada mas}lah}ah, di samping keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan

(tawa>zun). Kemaslahatan dalam ekonomi sangat mungkin dapat dijangkau dan

ditemukan oleh akal pikiran manusia. Dengan demikian, ketika berpedoman pada

konsep mas}lah}ah pada berbagai aktivitas produksi, maka dengan sendirinya emiten

yang terdaftar di DES tersebut akan mendapatkan legalitasnya dalam Islam.

Dalam Islam bahwa agama dan kegiatan bisnis memiliki posisi yang sangat

penting dan mulia, karena bukan hanya sekedar pilihan melainkan justru

diperintahkan. Namun, bisnis yang dimaksud tentunya tidak hanya sebatas

memperoleh keuntungan materi semata, jauh dari itu Islam menyuruh umatnya

untuk menggunakan sebagian hartanya untuk kemaslahatan umat salah satunya

tanggung jawab sosial terhadap sesama. Kesadaran yang telah dibangun bersama

sebagai komitmen untuk membangun masyarakat muslim yang ciri dasarnya

109Abdul Ghofur, Falsafah Ekonomi Syariah (Depok: Raawali Pers, 2020), 64.

173

adalah ta‘awun (tolong menolong), takaful (saling menanggung), dan tad{a>mun (memiliki solidaritas).110

Hal inilah yang membedakan prinsip CSR dalam Islam dengan prinsip CSR

secara konvensional. CSR dalam Islam diwarnai dimensi religiusitas dan

spritualitas yang menjadi roh dalam pelaksanaan, sehingga CSR bukan sekedar

kewajiban bisnis semata akan tetapi CSR merupakan kesadaran bagi perusahaan

agar mampu memberikan kontribusi positif sebesar-besarnya bagi lingkungan

sekitarnya dan ikut berkontribusi dalam pembangunan.

Berbeda dengan prinsip CSR secara konvensional yang dianggap hanya

sebagai kewajiban bisnis semata. Oleh karena itu, Swasono berpandangan bahwa

CSR harus diarahkan pada alturism-filantropis yang merupakan tuntunan hidup

dan aturan dalam agama.111 Di Indonesia alturism-filantropis sudah menjadi sebuah

kewajiban bagi perseroan dengan diterapkannya UU Nomor 40 tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas. Dengan adanya Undang-undang ini pemerintah

mendorong badan usaha baik punya pemerintah maupun swasta untuk bersifat

altruistik, artinya pemerintah mendidik masyarakatnya untuk menghindari sifat

egoistik dan mengemban karakter peduli terhadap kesejahteraan orang lain.

Dengan kata lain, CSR merupakan salah satu derivate dari tanggung jawab sosial

sebagai manusia (human social responsibility) dan tanggung jawab sosial sebagai

warga negara (citizen social responsibility) sebagai anggota masyarakat.112 Namun

keberadaan CSR tidak boleh melepas kemandirian ekonomi rakyat dan

menempatkannya sebagai penerima aliran dana CSR sebagai ketergantungan.

Untuk menjelaskan konsep mas}lah}ah pada CSR secara komprehensif, perlu

menganalisis berbagai tingkat proses pengambilan keputusan pada masing-masing

prinsip. Pada tingkatan pertama (d}arūri>yah), manager diharapkan berusaha untuk

melindungi kebutuhan pemangku kepentingan utama (al-d}arūri>yah al-khamsah)

dan publik secara umum. Sebagai contoh dalam penerapan CSR, perusahaan harus

melindungi kebutuhan dasar dengan menyediakan ruang ibadah, memberikan

jaminan kesehatan, dan perlindungan keselamatan kerja bagi karyawan. Oleh

karena itu, perusahaan memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk

menghindari kegiatan yang dapat menganggu dan memberi efek negatif dalam

kehidupan masyarakat.113

110 Edi Suharto, “Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan”,

http://www.policy.hu/suharto/Naskah persen20PDF/ModalSosialIslamDompetDhuafa.pdf

(diakses pada Februari 2016). 111Sri Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme

(Jakarta: Yayasan Hatta, 2010), 55. 112Sri Edi Swasono, “Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Ekonomi

dan Kesejahteraan Sosial,” Prosiding Kongres Pancasila V (Yogyakarta: PSP Universitas

Gajah Mada, 2013), 107. 113Asyraf Wajdi Dusuki and Nurdianawati Irwani Abdullah, “Maqa>s}id al-Shari>‘ah,

Mas}lah}ah, and Corporate Social Responsibilty”, The American Journal of Islamic Social Science, 24:1, (2008).

174

Begitu tanggung jawab tingkat (d}arūri>yah) ini telah terpenuhi, perusahaan

harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang kedua, yakni sekunder

(h}aji>yah). Pada tingkatan ini yang mana perusahaan tidak wajib untuk

melaksanakannya, akan tetapi jika tidak dipenuhi akan menimbulkan kesulitan-

kesulitan bagi perusahaan di masa yang akan datang. Misalnya, seorang manager

akan terus memperpanjang komitmen tanggung jawab sosialnya dengan

memperluas kebutuhan pokok karyawan, seperti gaji yang adil dan tempat kerja

yang aman, memberikan pelatihan-pelatihan bagi karyawan secara

berkesinambungan dalam meningkatkan sumber daya manusia karyawan. Hal ini

tidak benar-benar urgen dan krusial, karena mengabaikan tingkatan ini tidak

mengancam keberadaan karyawan. Namun dengan asumsi, ketika memenuhi

kebutuhan ini akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan.

Pada tingkat tertinggi, sebagai kebutuhan pelengkap (tah}sīni>yah). Di mana

perusahaan diharapkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial mereka dengan

terlibat langsung dalam kegiatan yang dapat meningkatkan kehidupan masyarakat

menjadi lebih baik. Contohnya dengan membantu orang-orang miskin yang

sifatnya pemberdayaan dan memberikan bantuan beasiswa kepada anak-anak.

Terhadap ketiga tingkatan tersebut, menurut penulis untuk kasus Indonesia

mengeluarkan rakyat dari kemisikinan tergolong memenuhi kebutuhan d}arūri>yah. Mengingat kondisi objektif kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia, secara

statistika masih terdapat 40 juta jiwa yang hidup dalam garis kemiskinan. Nilai ini

jika dihubungkan lagi dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta dan 80

persen-nya beragama Islam, maka dapat disimpulkan dari nilai 40 persen

penduduk miskin itu adalah umat Islam, jadi sekitar 35 juta adalah penduduk

muslim yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Dengan berpatokan pada kondisi di atas, maka pemulihan dan peningkatan

sentra-sentra ekonomi juga berada dalam posisi d}arūri>yah yang wajib segera

dipenuhi untuk mengeliminasi angka kemisikinan pada umat Islam. Oleh karena

itu, mengeluarkan rakyat dari belenggu kemiskinan bukan hanya tanggung jawab

negara, melainkan juga tanggung jawab seluruh umat Islam termasuk perusahaan

yang terdaftar pada DES, karenanya dituntut secara bersama-sama untuk

mengimplementasikan nilai ukhuwah, insa>niyah, ta‘a>wun, sebagai kewajiban

internal umat Islam dan sebagai tanggung jawab sosial ekonomi terhadap

sesamanya.114

D. Saham Syariah yang Memiliki Tanggung Jawab Sosial

1. Prinsip Dasar Produksi pada Saham Syariah

Dalam proses produksi115 yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah harus

memerhatikan beberapa aspek, antara lain jumlah produksi, kualitas produksi,

114 Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia: Perspektif

Sosioyuridis (Jakarta: elSAS, 2006), 294-295. 115 Muhammad Rawwas Qalahji dalam Nadratuzzaman Hosen memberikan

padanan kata “produksi” dalam Bahasa Arab dengan kata al-inta>j yang secara harfiyah

175

efisiensi produksi, dan produksi yang tidak merusak alam. Dengan demikian proses

produksi hendaknya dilakukan secara efisien. Dalam artian proses produksi

tersebut menggunakan sumber-sumber alam yang optimum. Proses produksi yang

efisien akan berdampak pada penggunaan sumber-sumber alam yang efisien dan

berdampak pada biaya produksi yang murah dan akan menjadikan harga jual

produk tersebut menjadi murah pula. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Al-

Furqan [25]: 67. Di samping itu, aktivitas produksi yang dilakukan tidak boleh

membuat kerusakan, baik itu merusak tanaman, binatang, atau bentuk kerusakan di

muka bumi lainnya sebagaimana tercantum dalam al-Baqarah [2]: 205 dan al-

Qashash [28]: 77.

OJK bersama DSN-MUI sebagai perpanjangan tangan negara memiliki

peran penting dalam memastikan bahwa produk syariah diregulasi secara

komprehensif meskipun diimplementasikan secara parsial, baik aspek legalitas

maupun aspek maqa>s{id al-shari>’ah di bidang ekonomi dan keuangan. Hal ini akan

menyediakan dasar bagi pengawasan terhadap fungsi dan kinerja produk syariah

yang lebih total karena acuan yang lebih komprehensif dan didukung oleh negara.

Dengan demikian, produk syariah sekaligus akan berfungsi sebagai duta bagi nilai-

nilai syariah sekaligus konkretisasi nilai-nilai demokrasi ekonomi Pancasila yang

mengamanatkan keadilan dan kesejahteraan sosial ekonomi yang seluas-luasnya

kepada seluruh rakyat Indonesia.

Untuk menjaga integrasi komprehensif nilai-nilai syariah dalam produk

syariah, maka produk syariah tidak boleh dibiarkan larut ke sistem kapitalisme.

Sebagaimana ditegaskan oleh Dawam Rahardjo bahwa produk syariah harus

didorong lebih positif dengan bertolak dari ontologi ekonomi syariah yang

berorientasi ekosistem, ekologis, anti penindasan dan konsentrasi kekuatan

ekonomi, mengutamakan kerjasama dan menyelanggarakan perdagangan yang

berkeadilan menuju kepada kesejahteraan sosial.116

Pada umumnya perusahaan-perusahaan kapitalis mencurahkan segala

potensi yang mereka miliki untuk mencapai laba (profit) atau keuntungan material

(uang) secara optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan selalu berusaha

mencari peluang dan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat

memberikan nilai tambah, agar tujuan perusahaan tercapai baik jangka pendek

(short run profit) maupun jangka panjang (long run profit).117 Jika hal itu tidak

dimaknai dengan ijadul sil‘atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyim min ‘anashir al-inta>j dhamina itharu zamanin muhabbadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan

unsur-unsur produksi yang terbingkai dalm waktu yang terbatas). Nadratuzzaman Hosen,

dkk., Dasar-dasar Ekonomi Islam (Jakarta: PKES, 2009), 116.

116 M. Dawam Rahardjo, “Kritik Nalar Ekonomi Islam.” dalam Kritik Nalar

Islamisme dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Freedom Institute, 2012), 178. Sri Edi

Swasono, “Ekonomi Islam dalam Pancasila,” Makalah International Seminar on Implementation of Islamic Economics, UNAIR Surabaya, (2009): 9.

117Abdul Ghofur, Falsafah Ekonomi Syariah, 104

176

dapat dikendalikan, kemungkinan akan muncul dampak-dampak negatif yang dapat

merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Hal ini tentu jauh berbeda dengan konsep produksi dalam ekonomi syariah.

Khaf, misalnya mengungkapkan bahwa kegiatan produksi dalam perspektif Islam

sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materilnya

saja akan tetapi juga moralitas untuk kemudian sebagai sarana mencapai tujuan

hidup, yaitu kebahagian dunia dan akhirat (fala>h), sehingga produk-produk yang

menjauhkan manusia dari nilai-nilai moral di larang dalam Islam.118 Ini artinya

bahwa profit bukanlah merupakan tujuan utama dari produksi akan tetapi hanya

sebatas tujuan yang melekat.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh ‘Abd al-Rah}man Yusro Ah}mad

bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan tolak ukur adalah nilai

manfaat (utility) yang diperoleh dari hasil produksi tersebut. Karenanya, produksi

harus mengacu dalam bingkai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi seseorang

ataupun sekelompok masyarakat.119

Oleh karena itu, hal penting menyertai motivasi produsen adalah masalah

etika dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana diketahui, keuntungan maksimal

telah menjadi sebuah intensif yang teramat kuat bagi produsen untuk

melaksanakan produksi. Akibatnya, motivasi untuk mencari keuntungan maksimal

sering kali menyebabkan perusahaan mengabaikan etika dan tanggung jawab

sosialnya, meskipun mungkin tidak melakukan pelanggaran terhadap undang-

undang yang berlaku. Bahkan, terkadang segala sesuatu dilakukan oleh perusahaan

dalam rangka untuk mencapai keuntungan setinggi mungkin.

Kajian ekonomi kapitalis menyatakan secara tegas bahwa satu-satunya

fungsi dunia usaha adalah melakukan aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan

keuntungan, sepanjang hal ini didasarkan pada aturan hukum (rule of the game)

yang berlaku. Dengan kata lain mereka hanya perlu patuh pada hukum formal

saja.120 Karenanya, jika hanya hukum formal jadi pedoman bisa berakibat buruk,

karena aturan formal hanyalah buatan manusia yang secara politis dapat direkayasa

dan terkadang tidak menyentuh kepada kebutuhan hakiki masyarakat yang ada.

Di samping itu, ekonomi konvensional kadang tidak memikirkan ke mana

produknya mengalir, sepanjang efisiensi ekonomi tercapai dengan keuntungan yang

memadai. Pun jika yang mengkonsumsi barang/jasa tersebut hanya kalangan

tertentu yang berakibat pada timbulnya budaya konsumerisme tidak menjadi

permasalahan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan prisip-prinsip dasar

118 Monzer Khaf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem

Ekonomi Islam, terj Machnun Husein dari judul aslinya The Islamic Economy, Analytical of The Functioning of the Islamic Economic System (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995),

36-38. 119 ‘Abd al-Rah}man Yusro Ah}mad, Muqaddimah fi> ‘ilm al-iqtis}a>d al-Isla>miy

(Iskandariyah, 1988), 39. 120M. Dawam Raharjo, Arsitektur Ekonomi Islam Menuju Kesejahteraan Sosial

(Bandung: Mizan, 2015), 238.

177

dalam ekonomi syariah yang menekankan bahwa motivasi produsen semestinya

sejalan dengan tujuan produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika

tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan materil dan spritual untuk

menciptakan mas}lah}ah, maka motivasi produsen tentu saja mencari mas}lah}ah, di

mana hal ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan manusia secara keseluruhan.

Dengan demikian, produsen dalam pandangan ekonomi syariah adalah mas}lah}ah maximizer.

Sebagai solusi menjawab permasalahan-permasalahan di atas, penting

untuk memunculkan prinsip-prinsip syariah dalam berbagai aktivitas ekonomi baik

secara konseptual-teoretik maupun aktualisasinya, sebagai sebuah sistem yang

utuh dan applicable di antara sejumlah sistem ekonomi yang lebih dahulu

berkembang dan dipraktekkan di Indonesia. Dengan mengaktualisasikan prinsip

dasar tersebut dalam aktivias kegiatan ekonomi sebagai upaya untuk memahami,

mengkonseptualisasikan, dan mewujudkan prinsip-prinsip tersebut bagi

perusahaan, masyarakat, dan lingkungan.

a. Prinsip halal dan haram dalam produksi

Prinsip dasar dalam ekonomi Syariah tentang produksi yaitu adanya

perintah untuk mencari sumber-sumber yang halal dan baik bagi produksi dan

memanfaatkan output produksi pada jalan kebaikan dengan cara tidak menzalimi

pihak lain. Sebagai contoh memiliki kebun anggur tapi didistribusikan hasil

panennya untuk bahan minuman keras. Ketentuan ini memperlihatkan bahwa

pengaturan akad tidak saja pada prosesnya, tetapi juga pada dampak yang

ditimbulkan darinya.121 Oleh karena itu, penentuan input dan output dari produksi

haruslah sesuai dengan prinsip dasar ekonomi syariah dan tidak mengarah kepada

kerusakan dan kemudharatan.122 Allah SWT berfirman dalal al-Qur’an:

يطن ٱلشذ ت خطو تتذبعوا ول طيب ا حلل رض ٱل ف ا ممذ كوا ٱنلذاس ها ي

أ ي

بني إنذهۥ لكم عدو م

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat

di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. al-

Baqarah [2]: 168).

121Misalnya menjual barang yang dapat menghantarkan pada perbuatan dosa dan

tindakan permusuhan dihukumi transaksinya tidak sah. Contoh menjual vcd porno, menjual

Senjata di daerah konflik, menjual minuman keras, menjual bahan dan sarana pembuatan

barang haram, dan sebagainya. Sa‘d al-Di>n Muhammad al-Kibby, al-Mu‘a>malat al-Ma>liyah al-Mu‘ashirah, 188.

122 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah (Jakarta: Kencana, 2015), 123.

178

Ayat di atas memberikan penegasan bahwa dalam mengonsumsi barang

haruslah dipastikan kehalalan dan kelayakannya dan tidak boleh mengikuti

kecenderugan nafsu syaitan. Perkataan hala>lan t}aiban merupakan kata kunci dalam

menentukan sebuah objek atau benda dapat tidaknya mengkonsumsi dengan

mempergunakan indra yang diberikan Tuhan yang tetap mengacu pada syariah-

Nya.

Sementara standar kehalalan dan keharaman suatu objek dapat dilihat dari

dua sudut. Pertama, haram li-za>tihi, objek atau benda yang akan dikonsumsi asal

dan zatnya memang sejak awalnya diharamkan dan tidak ada tawar mewar lagi

terhadapnya. Dan segala derivasi dari objek yang zatnya haram adalah juga

diharamkan. Kedua, haram ‘arid (diharamkan karena sesuatu sebab). Suatu objek

mungkin zatnya/wujudnya bukan termasuk yang diharamkan, akan tetapi karena

proses atau cara perolehan dan pengolahannya di dalamnya mengandung unsur-

unsur keharaman, seperti uang sogok, hasil korupsi, hasil judi, hasil penjualan

dengan cara spekulasi, dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan upaya mendapatkan harta, baik untuk digunakan secara

jasmaniah maupun untuk dikonsumsi, Allah SWT mengingatkan agar senantiasa

tetap dalam koridor ketentuannya, yaitu:

تكون ن أ إلذ بٱلبطل بينكم لكم مو

أ كلوا

تأ ل ءامنوا ين ٱلذ ها ي

أ ي

ا كن بكم رحيم نفسكم إنذ ٱللذ تجرة عن تراض منكم ول تقتلوا أ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu

membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu. (QS. al-Nisa>’ [4]: 29).

Ayat ini sangat relevan dengan aktivitas ekonomi yang mengajarkan

manusia untuk mendapatkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

Secara kodrati manusia diberikan hak otonomi untuk bertindak dan menuai

hasilnya. Namun demikian, dalam bertindak senantiasa menghindari ke arah batil,

artinya yang bertentangan dengan syariah Islam. Jika sebuah tindakan dalam

kualifikasi batil kemudian dilanjutkan dengan mengkonsumsi hasilnya, merupakan

tindakan batil yag berantai, hal ini sungguh bertentangan dengan nilai-nilai ajaran

Islam di bidang ekonomi. Salah satu praktek ekonomi secara batil yang sudah

mengkristal dalam kehidupan yang harus dikikis secara total.

Dalam pandangan ini, terlihat jelas bahwa nilai yang terutama dalam

kegiatan ekonomi, bukanlah terletak pada hasil yang dicapai akan tetapi yang lebih

utama terletak dalam prosesnya. Oleh karena itu, dalam ekonomi Islam pendekatan

yang tepat digunakan bukan hanya pendekatan hasil, melainkan pendekatan

proses.

Dengan demikian, di masa yang akan datang secara perlahan diharapkan

kompromi ini dapat dihapuskan, jangan sampai terus menjadi perdebatan di

179

kalangan intelektual. Sebagai langkah awal yang digunakan dalam rangka

kompromi tersebut yaitu melakukan proses pemurnian terhadap pendapatan

(cleansing or purifying process) agar tidak terjadi keraguan atas pendapatan yang

mungkin tercampur dengan yang non-halal. Karena dalam Islam disyaratkan bahwa

yang halal harus dipisahkan dengan yang haram agar terpenuhi kriteria investasi

yang berprinsipkan syariah tersebut.123

b. Pencegahan dari ketidakamanan produk

Kemajuan teknologi dan berkembangnya volume perdagangan menuntut

pengawasan yang ekstra terhadap risiko-risiko yang mungkin timbul akibat

penggunaan produk tertentu. Hal ini seharusnya menjadikan pelaku usaha lebih

berhati-hati dan bukan pembeli yang berhati-hati. Karena mayoritas pembeli atau

konsumen tidak mengetahui kemajuan teknologi, yang berdampak pada keamanan

produk yang mereka konsumsi. Adanya ketidakmampuan konsumen dalam

menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang

dipasarkan, menyebabkan hal tersebut disalahgunakan oleh para pelaku usaha.

Sehingga konsumen dengan sangat mudah terkena dampak yang membahayakan

akibat efek samping yang ditimbulkan dari pemakaian produk yang ada di

pasaran.124

Permasalahan ini sebagaimana pernah terjadi pada zaman Ibn Taimiyah,

dalam bukunya al-H{isbah fi> al-Isla>m mengungkapkan bahwa wali al-h{isbah hendaknya menghukum para ahli kimia yang pandai memalsukan mata uang,

barang-barang perhiasan, wangi-wangian, dan lain sebagainya. Ketika mereka

menyatakan bahwa barang yang mereka jual merupakan ciptaan Allah (asli),

padahal itu adalah barang ciptaan mereka.125 Ungkapan serupa disampaikan oleh

Ibn Qayyim al-Jawzi>yah menyatakan bahwa hakikat ilmu kimia, bisa

menyerupakan antara yang asli dan yang buatan kimia dan perbuatan-perbuatan

semacam ini sangat banyak terjadi, dilakukan oleh mereka yang menguasai

keahlian ini.126

Menarik untuk kemudian dikaji, bahwa pada masa Ibn Taimiyah dan Ibn

Qayyim al-Jawzi>yah, sudah terdapat barang-barang palsu produk kimiawi yang

kemudian di pasarkan dengan informasi palsu, bahwa barang-barang tersebut asli.

Akan tetapi belum ada catatan tentang pemakaian bahan kimia dalam bahan

makanan. Terlebih lagi perkembangan pertanian dengan bioteknologi. Di era

sekarang, bahan-bahan kimia telah dipakai bahan pembuat makanan, artinya

123Sofyan Syafri Harahap, Teori Akuntansi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005),

293-294. 124Muhammad & Alimin, Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam

(Yogyakarta: BPFE, 2005), 216. 125Ibn Taimiyah, Al-Hisbah fi> al-Isla>m¸ Tahqi>q: Sai>d Muhammad bin Abi> Sa‘a>dah

(Kuwait: Da>r al-Arqa>m, 1983), 20. 126 Ibn Qayyim al-Jawzi>yah, al-T}uruq al-Hukmi>yah fi al-Siya>sa>t al-Shar‘i>yat

(Kairo: al-Mus‘assasat al-Atabi>yah, 1961), 281.

180

tingkat kerusakannya lebih tinggi karena bahan kimia sangat sudah terserap tubuh

manusia. Dan potensi manusia untuk sakit pun semakin besar, dikarenakan mereka

nyaman mengonsumsi segala jenis makanan yang berbahan kimia, tanpa adanya

kesadaran dalam diri mereka bahwa barang yang dikonsumsi tersebut tidak sehat

dan membahayakan bagi kehidupan.127

Hal tersebut sangat berseberangan dengan konsep maqa>s}id shari>‘ah dalam

ekonomi Islam, terutama yang berkaitan dengan produksi. Seorang produsen ketika

memproduksi suatu barang/jasa hendaknya selalu mengingat keamanan produk/jasa

yang mereka tawarkan. Karena aktivitas produksi bukan hanya berkaitan dengan

profit dan benefit, melainkan juga berkaitan dengan penegakan kemaslahatan

masyarakat. Sudah seharusnya produk yang ada bisa menjaga beberapa aspek

dalam maqa>s}id al-shari>‘ah yang mencakup penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan,

dan harta. Dengan memperhitungkan aspek keamanan dan kesehatan dalam

komposisi produk yang dipasarkan, maka akan merealisasikan penjagaan ke lima

hal tersebut. Sebaliknya, ketika produsen memproduksi produk yang

membahayakan, maka akan menimbulkan kerusakan dalam diri manusia dan hal ini

bertentangan dengan maqa>s}id al-shari>‘ah.

Oleh karena itu salah satu sikap para pelaku pasar modal syariah adalah

mesti memberi manfaat terhadap orang lain, dan tidak saling merugikan. Lebih

mengutamakan sifat amanah dan jujur supaya tidak membawa kerugian kepada

pelaku pasar yang lain. Rasulullah SAW telah menjelaskan mengenai tentang

pentingnya sifat jujur:

ر الصهدوقأ األمأي مع النهبأيأي, والصهدأيقأي, والشهداءأ التهاجأDari Abu Sa‘id dari Nabi SAW berkata: pedagang yang jujur dan amanah,

ditempatkan bersama para Nabi, siddiqin, dan syuhada’ (HR. Tirmiz}i).

c. Efisiensi sumber daya dan menjaga kelestarian lingkungan

Dalam upaya memaksimalkan keuntungan ekononomi konvensional sangat

mendewakan produktitivitas dan efisiensi ketika berproduksi. Sikap ini sering

membuat mereka mengabaikan masalah-masalah ekternal perusahaan, ataupun

dampak negatif akibat adanya proses produksi. Dampak negatif tersebut kerap kali

menimpa sekelompok masyarakat yang tidak berhubungan dengan aktivitas

produksi baik sebagai konsumen, distributor, produsen, maupun menjadi bagian

dari faktor industri itu sendiri, misalnya sebagai tenaga kerja diperusahaan

tersebut. Negative externalities yang ditumbulkan bisa berupa polusi udara, polusi

tanah, polusi air, eksploitasi terhadap sumber daya alam, pencemaran lingkungan

di daerah sekitar pabrik, penipuan produk halal terhadap konsumen, dan lain

sebagainya.128 Begitu besarnya dampak negatif dalam kehidupan masyarakat, maka

127 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 255-256. 128 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 122.

181

masyarakat pun menginginkan agar dampak negatif ini dikendalikan sehingga

dampak negatif yang ditimbulkan tidak semakin besar.

Kelompok yang paling banyak menderita yaitu masyarakat sekitar pabrik

karena pencemaran lingkungan dan kerusakan alam yang secara tidak langsung

akan menimbulkan bencana. Padahal, semua manusia harus menyadari bahwa

sesungguhnya alam dan juga sumber daya yang diperoleh darinya bukan hanya

diperuntukkan untuk diri sendiri dan kehidupan masa kini. Akan tetapi jauh ke

depan, generasi akan datang juga mempunyai hak yang sama atas alam ini.129

Tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah mengelola

sumber daya yang telah disediakan olah Allah secara efisien dan optimal agar

kesejahteraan dan keadilan dapat ditegakkan. Allah SWT berfirman:

هنذ ى فسوذ ماء ٱلسذ إل ٱستوى ثمذ ا جيع رض ٱل ف ا مذ لكم خلق ي ٱلذ هو ء عليم ت وهو بكل ش سبع سمو

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan

Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.

Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah [2]: 29).

Kandungan ayat tersebut sangat bernilai ekonomi. Yaitu berkaitan dengan

tugas kekhalifahan manusia di bumi mengandung dua dimensi pokok jika

dibandingkan dengan peran dan tugas malaikat. Pertama tugas kekhalifahan itu

mengusung misi perpanjangan tangan Tuhan ke bumi, manusia sebagai mandataris

maka ia harus melaksanakan tugas sesuai yang diamanatkannya, khususnya tugas

penghambaan langsung kepada Tuhan, seperti halnya malaikat. Kedua, tugas

kekhalifahan juga bermakna pemberian otonomi dalam rangka memakmurkan

dunia dalam kehidupan seluas-luasnya sesuai prinsip pemberi kuasa (Allah) beserta

segenap kewenangan dan kebebasan yang diberikan kepadanya. Pada tugas inilah

Allah memberikan peran khusus bagi manusia melebihi tugas malaikat.130

Sebagai konsekuensi tugas kekhalifahan harus melaksanakan dan

menyeimbangkan hubungan vertikal (Allah) dan hubungan horizontal (sebagai

khalifah di bumi). Di satu sisi aktivitas ‘ubudiyah harus berlangsung dengan baik

dan pada sisi lainnya nilai-nilai ‘ubudiyah itu harus mewarnai aktivitas yang

sifatnya muamalah.

Lebih dari itu, seorang mulim tidak hanya bekerja demi mencapai

mas}lah}ah komunitas manusia, tetapi juga wajib bekerja untuk memanfaatkan

seluruh makhluk hidup, termasuk hewan dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu

konsep halal dalam Islam tidak hanya sebatas dimensi pada produk yang hasilkan

129 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 123. 130 Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (Perspektif

Sosioyuridis) (Jakarta: elSAS, 2006), 223.

182

akan tetapi juga proses produksinya jangan sampai produk yang dihasilkan tersebut

merusak terhadap lingkungan dan sebagainya.

Dari Anas ibn Ma>lik r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda:

ما مأن مسلأم يـغرأس غرسا, أو يـزرع زرعا فـيأكل مأنه طري أو إأنسان أو هبأيمة إأاله كان له بأهأ صدقة

“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman

kemudian pohon/tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia, atau

binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits

no. 2321).

Hadits ini memberikan pelajaran bagi kita semua tentang betapa

pentingnya menjaga kelestarian alam yang kita tempati ini. Kita sebagai manusia

tidak ada larangan untuk mengelolanya, seperti dimanfaatkan untuk bercocok

tanam misalnya, akan tetapi jangan sampai merusaknya. Sebagaimana

diungkapkan oleh Ekonom Islam Iman al-Ghazali, bahwa produksi adalah

pengerahan secara maksimal sumber daya alam (raw material) oleh sumber daya

manusia (SDM), agar menjadi barang yang bermanfaat bagi manusia tanpa harus

merusaknya.131

2. Urgensi Lembaga Pengawas (Hisbah) pada Pasar Modal Syariah

Di Indonesia agar aktivitas perdagangan pada pasar modal berjalan dengan

baik dan lancar, maka dipercayakan kepada Bapepam-LK (sekarang OJK).

Lembaga ini bertugas mengawasi semua aktivitas pasar di bursa saham agar tidak

menyimpang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar modal.

Namun bagiamanapun masih banyak terdapat aktivitas-aktivitas yang merugikan

investor, seperti short selling, spekulasi, dan penipuan.132

Dengan demikian, lembaga pengawas syariah memiliki peranan yang

sangat penting bagi perkembangan pasar modal syariah. Sebagaimana yang sudah

diterapkan bagi Bank Syariah berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas telah mengisyaratkan dalam satu pasalnya, yaitu

kewajiban adanya lembaga Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank

syariah di Indonesia untuk memastikan bahwa produk yang ditawarkan kepada

masyarakat sesuai syariah Islam. 133 Dengan disahkannya Undang-undang ini

menunjukkan bahwa salah satu yang membedakan perbankan syariah dengan

perbankan konvensional adanya DPS. Ditetapkannya Undang-undang perseroan

131Abdur Rahman, Ekonomi al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam

Ihya>’ ‘Ulu>muddi>n (Surabaya: Bina Ilmu, 2010), 102-103. 132Hulwati, Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya, 293. 133Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 109.

Lihat juga Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 32.

183

terbatas tersebut juga menunjukkan merupakan bukti kuat legitimasi dan politik

hukum di Indonesia yang mendukung sepenuhnya perkembangan bank syariah di

Indonesia.

Meskipun keberadaan DPS sebagian kalangan mengganggap masih

dipertanyakan fungsinya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Wafik Grais and

Matteo Pellegrini, berdasarkan hasil penelitian keduanya terhadap beberapa bank

Islam di beberapa negara, seperti Jordan, Malaysia, Kuwait, Mesir, Rusia,

Baharain, Pakistan, Dubai, Thailand, Indonesia, Filifina, dan Emirat membuktikan

bahwa praktik yang terjadi pada bank Islam sangat tergantung kepada DPS,

sementara DPS belum pasti bisa berlaku independen, merahasiakan informasi, dan

konsistensi pernyataan antara DPS di berbagai negara dan masalah regulator di

negara-negara muslim.134

Berbeda halnya dengan pasar modal di Indonesia belum memiliki Undang-

undang yang jelas mewajibkan adanya lembaga pengawas syariah terhadap

perusahaan yang terdaftar pada saham syariah. Untuk perusahaan publik yang

terdaftar pada DES berdasarkan undang-undang hanya diharuskan setiap

perusahaan memiliki Dewan Komisaris yang bertugas untuk mengawasi kinerja

direksi perusahaan agar jangan melanggar dari tujuan perusahaan.135 Yang jelas

tujuan di maksud bukan tujuan menjalankan prinsip-prinsip syariah. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa pasar modal hanya memiliki pengawasan

sebatas administrasi keuangan melalui dewan komisaris yang dipilih oleh

perusahaan melalui Rapat Umum Pemegang Saham sementara dalam hal

kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah tidak dimiliki.

Sudah seharusnya pasar modal syariah di Indonesia juga memiliki Dewan

Pengawas Syariah yang sifatnya independen dan terpisah dengan pasar modal

konvensional. Karena dikhawatirkan masih terdapat aktivitas-aktivitas merugikan

investor, seperti jual beli singkat (short selling), spekulasi, dan penipuan. Selama

ini yang terjadi, DSN hanya bertugas untuk menetapkan produk atau instrumen-

instrumen harus mengikut kriteria syariah dan mereka tidak langsung mengawal

bagaimana kegiatan transaksi pada pasar modal syariah dijalankan. Tegasnya

bahwa keberadaan dewan syariah hanya berdiri di luar bursa. Mereka tidak

mengetahui dengan pasti bagaimana pelaku pasar melakukan jual beli dan

bagaimana instrumen yang ada diperdagangkan di pasar modal.136 Berbeda halnya

dengan Malaysia, Dewan syariah pasar modalnya bersifat independen sebagai

lembaga khusus yang berwenang mengurusi pasar modal syarah di Malaysia.137

134 Wafik Grais dan Matteo Pellegerini, “Corporate Governance and Shariah

Compliance in Institutions Offering Islamic Financial Services.” World Bank Policy Research Working Paper 4054 (November 2006). http://elibrary.worldbank.org/doi.

(diakses 12 Februari 2018). 135Peraturan OJK Nomor 33/POJK.04/2014 Tentang Direksi dan Dewan Komisaris

Emiten atau Perusahaan Publik. 136Hulwati, Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya, 294. 137 Lembaga di maksud adalah Suruhunjaya Sekuriti atau Security Commision

(SC), didirikan dengan Akta Suruhunjaya Sekuriti Tahun 1993, di bawah kewenangan

184

Berkenaan dengan hal ini, erat hubungannya apa yang telah dilakukan Rasulullah

Saw. menegur terhadap pedagang di pasar yang berniat ingin menipu pembeli.

صلى هللا عليه وسلم مر على صربة طعام فأدخل عن أيب هريرة مث أن رسول هللا السماء اي قال أصابته الطعام ما هذا اي صاحب فقال بلال فنالت أصابعه فيها يده رسول هلل قال أفال جعلته فوق الطعام كي يراه الناس من غشنا فليس مين )رواه املسلم(

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah melalui suatu timbunan

makanan, kemudian Rasul Allah memasukkan tangannya ke dalam

timbunan tersebut, sehingga jari-jarinya terkena basah. Kemudian

Rasulullah bertanya: “Apakah ini hai pemilik makanan ?” menjawab kena

hujan ya Rasulullah, lalu beliau bersabda mengapa tidak engkau letakkan

saja dibahagian atas agar orang lain dapat melihatnya? Siapa menipu, maka

bukan dari ummatku (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits tersebut, nampak jelas bahwa Rasulullah SAW ikut

serta melakukan pengawasan secara langsung ke pasar untuk melihat praktik yang

terjadi, di mana terdapat salah seorang pedagang yang melakukan penipuan

sehingga pembeli tidak mengetahuinya. Penipuan yang semacam ini tidak mungkin

diketahui dengan pasti kalau tidak beliau langsung mengawasi perdagangan

tersebut. Oleh karenanya, para pelaku pasar bisa saja berbuat apa saja terhadap

instrumen yang mereka miliki, sementara investor sebagai pembeli tidak

mengetahuinya yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi investor di pasar

modal.

Oleh karenanya, penting adanya dewan pengawas supaya turut mengawasi

bagaimana sikap dan perilaku pedagang dan pembeli pada pasar modal, juga harus

memahami bagaimana kondisi keuangan perusahaan, sehingga bermanfaat untuk

menciptakan pasar modal yang sesuai dengan prinsip syariah. Di samping itu juga

untuk meyakinkan investor bahwa perusahaan tersebut terbebas dari riba, spekulasi

dan sebagainya.138

Sebagaimana diungkapkan oleh Ika Yunia Fauzia berdasarkan pemikiran

Muhammad Fa>ruq al-Nabha>ny. Menurutnya bahwa penting adanya lembaga h}isbah

yang di bagi menjadi pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal

dalam pasar mencakup bagaimana seorang pelaku pasar bersikap baik dalam segala

bentuk transaksi yang dilakukannya. Perilaku yang baik dalam diri seorang pelaku

pasar berdasarkan ajaran Islam. Ketika seseorang sudah bersyahadat dan mengaku

dirinya sebagai seorang muslim, maka kewajibannya tidak hanya berhenti di

Menteri Keuangan. Dewan ini terpisah dengan dewan Syariah nasional yang bertugas untuk

memberikan persetujuan, rekomendasi, dan mengawasi industri sekuritas. Ia merupakan

badan pengawas tunggal dan independent untuk melakukan pengawasan dan

pengembangan aktifitas pasar modal di Malaysia. Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2009), 231.

138Edi Dwi Efendi, “Idealitas dan Realitas Pasar Modal” Republika, 23 April 2003.

185

wilayah yang bersifat ritual, seperti shalat akan tetapi ketika ia berdagang,

memproduksi, atau mengkonsumsi dan berbagai kegiatan lainnya, harus didasarkan

karena motivasi ibadah kepada Allah. Dengan begitu, maka ia akan selalu

mengawasi dirinya agar tidak masuk ke area yang dilarang oleh Allah dan

perbuatan yang merugikan orang lain.139

Adapun pengawasan eksternal dilakukan oleh suatu institusi pengawas

pasar bertujuan untuk menghindari perilaku yang menyimpang dari para pelaku

bisnis di dalam pasar. Seorang pengawas pasar mempunyai kewenangan untuk

menindak para pelaku kejahatan di dalam pasar. Kejahatan tersebut bisa saja

berbentuk beberapa kecurangan yang mengakibatkan kerugian bagi pihak mana

pun. Untuk lebih jelas mekanisme tersebut pada gambar di bawah ini:

Gambar 5.1 Konsep Pengawasan Pasar Eksternal140

139 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 214 140 Muhammad Fa>ruq al-Nabha>ni>, al-Ittija>h al-Jama>‘i fi> al-Tas}ri> al-Iqtis}a>di> al-

Isla>mi> (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985), 360.

3. Negara menetapkan jaminan sosial dalam masyarakat

Negara bertanggungjawab atas fakir miskin, anak-anak

yatim, dan para pengangguran, juga atas janda dan orang-

orang jompo. Yaitu, dibiayai dari uang kas negara yang

dahulu dkenal Bait al-Ma>l.

4. Negara dan para pemimpinnya wajib menjaga dan

melindungi aset umum. Dan, menindak seseorang ataupun

kelompok yang merusak dan menguasai aset tersebut.

2. Menjaga dan mengawasi kemaslahatan publik

1) Menghukum bagi yang menggunakan uangnya untuk

sesuatu yang bertentangan dengan hukum yang berlaku;

2) Pengawasan adanya praktik riba;

3) Pengawasan terhadap keuangan individu, jika dianggap

merugikan masyarakat ataupun hukum yang beralaku;

4) Membela seseorang yang menjadi korban kejahatan

ekonomi;

5) Pelanggaran terhadap ih}tika>r; 6) Penetapan harga sesuai dengan kemaslahatan konsumen

dan produsen;

Tugas

Negara

1. Mengawasi jalannya perekonomian

Diadakannya al-Niz}a>m al-H}isbah: Muslim, berakal, kuat,

bijaksana, jujur, dan berani memerangi ketidakadilan.

Beberapa tindakan ih}tisa>b antara lain:

1) Memberikan teguran kepada yang melanggar;

2) Memberikan nasihat;

3) Dengan tindakan (batasan yang wajar);

4) Penjara.

186

Berdasarkan gambar di atas nampak jelas pentingnya lembaga pengawas

eksternal. Adanya aturan pengawasan (niz}a>m al-h}isbah) dimulai dengan

ditunjuknya oleh pemerintah seseorang yang bertugas mengawasi kegiatan

perekonomian, dengan beberapa persyaratan, antara lain Muslim yang berakal,

kuat, bijaksana, jujur, dan berani memerangi ketidak adilan. Adapun bentuk ih}tisab (pengawasan) antara lain: 1) dengan memberikan teguran kepada yang melanggar,

2) dengan memberikan nasihat ketiga teguran tidak berhasil; 3) dengan tindakan

(dengan syarat dalam Batasan yang wajar); dan 4) pelaku kejahatan pasar

dipenjara. Dalam Islam dikenalkan suatu konsep tentang tanggung jawab negara di

dalam mengawasi pertumbuhan ekonomi, yang di dalamnya juga membahas

tentang pengawasan negara terhadap praktik-praktik muamalat yang dilarang.141

Beberapa aturan niz}a>m al-h}isbah menunjukkan bahwa yang bertugas pada

institusi hisbah harus berani berbuat kebaikan (ma‘ruf) dan mencegah segala

kemungkaran.

ة يدعون مذأ منكم بٱلمعروف وينهون عن ٱلمنكر ولكن مرون

ويأ إل ٱلي

ئك هم ٱلمفلحون ول وأ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran [3]:104)

Menurut al-Mubarak institusi h}isbah berfungsi sebagai pengawal dari

pemerintah melalui aktivitas perseorangan khususnya dalam bidang moral, agama,

dan ekonomi. Dalam artian berkaitan dengan kehidupan bersama untuk mencapai

keadilan dan kejujuran berdasarkan prinsip syariah Islam. 142 Dengan demikian

tugas institusi al-Niz}a>m al-H}isbah salah satunya adalah mengawal berbagai

aktivitas ekonomi pasar modal yang diangkat oleh penguasa sebagai wakilnya.

Tugas utamanya adalah melakukan pengawasan secara kontiniu terhadap kegiatan

yang berjalan di pasar, seperti mengurangi takaran, mengawasi harga supaya stabil,

dan menjaga kualitas barang. Karena itu peranan Dewan Pengawas Syariah yang

ada di Indonesia seharusnya juga demikian, tidak hanya sebatas mengawasi dan

menentukan mana instrumen yang tidak melanggar prinsip syariah, namun juga

harus mengawal setiap praktik perusahaan yang terjadi di pasar.

3. Bursa Efek Syariah sebagai Solusi Penerapan Prinsip-prinsip Syariah

Sistem ekonomi konvensional telah mengkristal, menggurita, dan melekat

dalam sistem perekonomian global. Dalam kondisi seperti ini paling tidak

memunculkan tiga pilihan yang harus ditempuh perilaku ekonomi syariah.

141 Muh}ammad Fa>ruq al-Nabha>ni>, al-Ittija>h al-Jama>‘i fi> al-Tas}ri> al-Iqtis}a>di> al-

Isla>mi> , 360-402. 142A.A Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyah, terj. H. Anshari Thalib (Surabaya:

PT Bina Ilmu, 1997), 236.

187

Pertama, memandang dan menerima praktek ekonomi konvensional itu karena

tidak mungkin bisa menghindar karena bunga belum tentu sama dengan riba,

makanya boleh-boleh saja untuk ikut terlibat di dalamnya. Kedua, mengupayakan

proses islamisasi kegiatan ekonomi seperti yang banyak diterapkan saat ini, secara

bertahap mengembangkan ekonomi syariah namun tidak pindah rumah hanya

melakukan pembaharuan dan penggantian perabotnya agar sesuai dengan nilai-nilai

ekonomi syariah. Ketiga, melakukan tindakan radikal dengan meninggalkan semua

konsep-konsep ekonomi konvensional dengan menggantinya sistem ekonomi yang

baru.

Untuk praktik yang terjadi pada pasar modal syariah di Indonesia lebih

cenderung pada tingkatan yang kedua. Yaitu melakukan islamisasi pada pasar

modal dengan syarat bahwa produk-produk yang ditawarkan tidak bertentang

dengan prinsip-prinsip syariah. Kedepan diharapkan tentunya tidak lagi saham

syariah berbasis produk atau melakukan islamisasi akan tetapi harus berani tidak

menyatu dengan lembaga Bursa Efek konvensional.

Adanya keinginan yang kuat dari kaum Muslim untuk melakukan investasi

pada pasar modal berdasarkan prinsip-prinsip syariah (syariah complaint), maka

merupakan keharusan untuk mewujudkan kebutuhan terhadap pasar modal syariah

tersebut, karena pasar modal konvensional melaksanakan transaksi perdagangan

yang tidak sejalan dengan prinisip-prinsip syariah. 143 Perlu diyakini bahwa

berpegang pada nilai-nilai keislaman, termasuk melakukan transaksi di pasar

merupakan tindakan-tindakan awal untuk menegakkan prinsip perdagangan yang

jujur, adil, tidak serakah, monopoli, spekulasi, insider trading serta menghindari

umat Islam dari belenggu sistem riba. Memelihara harta merupakan salah satu hal

yang penting karena merupakan bagian dari mas}lah}ah.

Di samping itu, pasar modal konvensional sudah tidak lagi menarik bagi

investor. Kalangan yang tertarik hanyalah para spekulan. Investor enggan

memasuki pasar modal karena takut menjadi korban permainan bursa yang sangat

spekulatif, tidak sehat, dan tidak fair. Contoh kasus adalah emiten yang melakukan

kecurangan dengan membuat manupulasi laporan keuangan. Seorang analis yang

membeberkan fakta tersebut malah menjadi tersangka. Ini membuktikan tidak

sehat dan tidak fair-nya pasar modal konvensional.144

Saat ini, kita bisa menyaksikan bahwa sistem bisnis yang berbasis syariah

menjadi trend dunia apalagi di masa yang akan datang. Kedepan apabila pasar

modal konvensional tidak segera dibenahi, maka akan kehilangan atau bahkan

mungkin ditinggalkan oleh para investor yang menjadikan Islam sebagai way of life. Investor ketika berinvestasi tidak hanya dipengaruhi oleh keuntungan yang

akan mereka dapati, akan tetapi juga oleh nilai-nilai agama. Masyarakat

menginginkan investasi yang sehat material dan spritual. Hal ini dapat dilihat

143Hulwati, Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya, 290. 144Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 325-326

188

adanya kecenderungan bahwa perekonomian modern mulai melirik syariah sebagai

platform dunia usaha.145

Bursa Efek Indonesia tidak mau ketinggalan terhadap peluang besar ini.

Untuk menyambut new trend’s demand146 dan supply pada sektor keuangan, DSN

bersama Bapepam-LK meluncurkan pasar modal syariah dengan pendekatan

produk. Terjadinya new trend’s demand itu sesusai dengan hukum pasar sehingga

memerlukan adanya supply produk yang dapat menjawab trend tersebut, yakni

produk-produk yang berprinsip Islam (Islamic product). Islamic product merupakan

produk yang mewajibkan adanya keterbukaan dan transpransi yang didukung oleh

pasar yang fair.

Langkah maju untuk mengurangi pelanggaran syariah di pasar modal

konvensional ini belum sepenuhnya dapat menghilangkan pelanggaran syariah pada

transaksi di bursa efek. Secara tidak sadar dan tanpa disengaja, masih banyak

praktik yang sebenarnya menyuburkan praktik perdagangan atau bisnis dan

lembaga yang melanggar syariah. 147 Dengan demikian, yang dibutuhkan tidak

cukup produk syariah dari bursa efek sebagaimana yang ada di Indonesia,

melainkan harus mampu menghadirkan bursa efek syariah khusus yang terpisah

dari pasar modal konvensional sebagaimana pada Bank Syariah.148 Langkah radikal

ini diperlukan untuk menciptakan pasar modal yang terbebas dari pelanggaran

syariah.149

Hal ini tentunya sangat berbeda jika dibandingkan dengan negara lain,

Malaysia misalnya, walaupun penduduk Muslimnya hanya sekitar 52 persen

ternyata investasi dan sektor keuangan syariah di sana berkembang dengan pesat,

bahkan sudah mampu bersaing dan sejajar dengan lembaga keuangan konvensional.

Pesatnya perkembangan tersebut karena mereka telah memiliki pasar modal murni

syariah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Achsien (2000) menunjukkan

bahwa kinerja Syariah Fund, yang diukur menggunakan Risk-adjusted return dengan indeks Sharpe, Treynor, dan Jensen membuktikan bahwa Syariah Fund

lebih unggul dari semua kompetitornya, yaitu Fund Konvensional Rashid Husein

145Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 229. 146New trend’s demand di maksud adalah munculnya permintaan (demand) pasar

yang membutuhkan keterbukaan dan transpransi pasar serta adanya pasar yang fair. 147Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 175. 148 Jika ditinjau dari aspek yuridis, perkembangan bank syariah mengamali

beberapa amandemen UU. Berawal UU No. 7 Tahun 1992. UU ini lalu diamandemen

dengan UU No. 10 Tahun 1998 terakhir ditetapkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah. Dengan diberlakukannya UU khusus yang mengatur perbankan syariah

serta instrumen hukumnya, maka landasan hukum bank syariah cukup jelas dan kuat baik

dan diharapkan eksistensi perbankan syariah semakin kokoh, para investor semakin tertarik

untuk melakukan bisnis di bank syariah sehingga perbankan syariah di Indonesia semakin

lebih baik lagi. Abdul Rasyid, “Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,” https://business-

law.binus.ac.id/2015/06/02/hukum-perbankan-syariah-di-indonesia/ (diakses 23 Desember

2019). 149Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 174.

189

Bhd, Islamic Index, dan KLSE Composite Index. Semua ini bisa berjalan berkat

dukungan dari semua pihak, baik lembaga swasta maupun pemerintah, terutama

tentunya peran serta kerajaan yang sangat mendukung perkembangan institusi

keuangan syariah di Malaysia.150 Di samping itu, untuk membangun kepercayaan

kepada semua pihak terdapat beberapa pihak yang terlibat, di antaranya Bank

Negara Malaysia, pengawas dan pengelola pasar modal (Security Commision), dan

agen pengukuran.151

Dengan jumlah emiten 311 saham syariah dari 535 total saham yang

tercatat di BEI pada tahun 2006, bahwa 61% atau lebih dari setengah aktivitas

perdagangan di BEI didominasi oleh saham syariah. 152 Ini membuktikan

sebenarnya Indonesia sudah mampu untuk mendirikan bursa efek syariah. Minimal

emiten-emiten yang ada bisa melakukan dual listing pada bursa saham. Walapun

proses untuk mewujudkan semua itu bukanlah proses yang mudah. Proses ini

memerlukan kajian yang mendalam, baik secara fikih maupun secara praktis.

Pendirian bursa efek syariah memiliki prospek yang menjanjikan, karena

adanya demand dan supply yang potensial, baik dari sisi investor maupun

emiten. 153 Oleh karena itu, sangat dibutuhkan dorongan dari berbagai pihak,

terutama badan legislatif dan pemerintah atau otoritas jasa keuangan untuk

mengeluarkan undang-undang. Para pelaku bisnis dan intelektual muslim,

khususnya yang terlibat dalam bidang investasi harus lebih aktif memasyarakatkan

bursa efek sehingga masyarakat lebih melek terhadap investasi syariah. Demikian

pula, dunia kampus dan lembaga-lembaga pengambangan ekonomi syariah harus

melakukan kajian-kajian ilmiah. Singkatnya, dibutuhkan jamaah yang sangat

heterogen. Jika pihak-pihak tersebut bersatu, niscaya bursa efek yang beroperasi

secara syariah secepatnya bisa terealisasi.

150Hulwati, Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya, 230 151Nik Ramlah Mahmood, Regulatory Framework and the Role of Suruhhanjaya

Sekuritas in Developing the Islamic Capital Market, Prisiding Seminar Kebangsaan

Perbankan dan Investoran Islam (Kuala Lumpur, 1996), 5. 152Nicky Hogan, “Saham Syariah Alternatif Pembiyaan Infrastruktur,” Makalah

Seminar Pasar Modal (18 November 2016). 153Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 331.

190

191

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan, penelitian ini merumuskan

kesimpulan sebagai berikut:

DSN-MUI menetapkan fatwa standar screening saham syariah bertujuan

untuk memastikan bahwa perusahaan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip

syariah. Untuk mencapai hal ini, etika harus berlaku dalam setiap aktivitas

ekonomi. Namun jika dikaji terhadap fatwa yang ditetapkan oleh DSN-MUI, etika

dimaksud banyak ditemukan dalam pembukaan (konsideran) dan dasar hukum

fatwa, sedangkan keputusan atau isi fatwa lebih didasarkan pada etika pada objek

usaha, yaitu bahwa perusahaan tidak boleh menjalankan usahanya dalam bidang

usaha yang diharamkan seperti perjudian, usaha ribawi, makanan dan minuman

yang haram, merusak moral, dan membawa mudharat. Hal ini kemudian membuat

screening saham perusahaan di DES lebih selektif terhadap objek barang atau jasa

yang haram karena dzatnya (haram lidhatihi), karena memang isi dari fatwa itu

sendiri lebih berkaitan dengan objek usaha, bukan bagaimana aktivitas ekonomi

yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

OJK selaku otoritas keuangan dalam menetapkan standar screening saham

syariah berdasarkan pada nota kesepahaman dengan Fatwa DSN-MUI, khususnya

mengenai kriteria objek usaha emiten pada Daftar Efek Syariah. Namun untuk

kriteria rasio keuangan OJK merubah kebijakan tersebut tanpa ada nota

kesepahaman dengan DSN-MUI, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Ketua

Bapepam-LK Nomor: KEP-208/BL/2012, dimana total ekuitas (modal) diubah

menjadi total asset yang terus berlanjut sampai sekarang dengan Peraturan POJK

Nomor 35/POJK.04/2017. Hasil kebijakan OJK menunjukkan bahwa screening

saham pada rasio finansial masih memberikan toleransi dengan ambang batas yang

relatif tinggi, terutama pada rasio utang berbasis bunga terhadap total aset, di mana

banyak perusahaan pada DES yang melewati ambang batang 45%. Berdasarkan

rasio keuangan per perusahaan selama lima tahun dari 139 perusahaan, terdapat 60

perusahaan dengan total utang berbasis bunga melebihi 45%, sedangkan sisanya 79

perusahaan memenuhi kriteria saham syariah.

Implementasi screening saham syariah perusahaan yang ada pada DES

untuk mewujudkan tanggung jawab sosial berdasarkan laporan tahunan dari 139

perusahaan menunjukkan bahwa total skor indeks ISR mengalami peningkatan

setiap tahun selama 2013-2017. Berdasarkan data dari total 2.693 pokok

pengungkapan di tahun 2013 dan selanjutnya terus meningkat hingga 2.826 pada

tahun 2017. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan secara umum telah mampu

mengungkapkan tanggung jawab sosial. Namun, tidak ada perusahaan yang

memiliki komitmen untuk mengungkapkan secara total dan lengkap. Di samping

192

itu, sebagian besar bentuk pengungkapan masih sebatas kegiatan sosial yang

sifatnya konsumtif. Ketidaklengkapan suatu perusahaan dalam melaporkan

tanggung jawab sosialnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor. 1) Screening

saham syariah yang diterapkan lebih pada objek usaha; 2) Fatwa DSN-MUI dan

Peraturan OJK tidak secara eksplisit mengharuskan perusahaan memiliki tanggung

jawab sosial; 3) tidak memiliki lembaga pengawas syariah di setiap perusahaan; 4)

lembaga pasar modal syariah masih berbasis produk dan belum mampu menerapkan

pasar modal murni syariah atau memiliki lembaga Bursa Efek Syariah.

B. Saran dan Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut ini saran dan rekomendasi dari

peneliti agar DSN-MUI dan OJK dalam menetapkan standar screening saham

syariah dan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan pada DES dapat

ditingkatkan ke arah yang lebih baik.

Pertama, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengembangan

variabel yang lebih bervariatif dan komprehensif. Peneliti selanjutnya perlu

mengkaji lebih jauh tidak hanya pendekatan hukum dan ekonomi, tetapi juga

kepada setting sosial yang mendasari DSN-MUI dan OJK dalam menetapkan

standar screening saham syariah yang berbeda dengan negara lain.

Kedua, DSN-MUI dan OJK perlu melakukan revisi regulasi dalam

menetapkan standar screening saham syariah secara progresif dan berkala dengan

membuat nota kesepahaman untuk menghindari kesalahan persepsi publik

mengenai screening saham syariah di Indonesia. Selama ini screening yang

dimaksud masih terbatas pada core business agar terbebas dari sesuatu yang

diharamkan (hara>m li dhatihi). Seperti berjudi, makanan dan minum yang haram,

merusak moral dan membawa kemudhratan. Semoga kedepannya juga dilakukan

upaya screening pada perusahaan DES yang mampu memberikan kemaslahatan.

Meski ada beberapa regulasi yang telah direvisi oleh OJK, yaitu peraturan OJK No.

35/POJK 04/2017, namun isi kebijakan tersebut, terutama pada rasio keuangan

tidak mengalami perubahan. Baik pada rasio utang yang mengandung bunga

maupun rasio pendapatan bunga dan tidak halal lainnya terhadap total pendapatan

masih sama dengan peraturan sebelumnya.

Ketiga, seluruh perusahaan yang terdaftar di DES selalu mengungkapkan

tanggung jawab sosialnya dalam setiap laporan tahunan. Namun implementasinya

lebih pada keuntungan (profit oriented). Hal ini dapat dibuktikan bahwa masih

banyak perusahaan yang melewati batas persentase maksimal screening saham yang

telah ditetapkan, terutama pada rasio utang bunga terhadap total aset. Oleh karena

itu, penting bagi DSN-MUI dan OJK melakukan ketegasan bahwa bagi yang

melanggar ambang batas tidak akan dimasukkan dalam DES sebagai perusahaan

saham syariah. Hal ini bisa terealisasi dengan baik dan tentunya memerlukan

pengawasan dan kontrol yang ketat di setiap perusahaan.

193

Keempat, Perusahaan yang terdaftar di DES harus mampu mengubah

paradigma program tanggung jawab sosial dari yang berbentuk sedekah, donasi

atau sumbangan (charity) menjadi program pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Berdasarkan laporan tahunan, sebagian besar perusahaan pada DES hanya

memberikan sumbangan berupa bantuan yang sifatnya konsumtif dan jangka

pendek kepada masyarakat, terutama terhadap masyarakat yang tertimpa bencana

alam. Namun, belum mampu memberikan bantuan ekonomi jangka panjang dan

berkelanjutan.

194

195

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

A.A Islahi. Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyah, terj. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997.

Abdul Aziz. Manajemen Investasi Syariah. Bandung: Alfabeta, 2010.

Abdul Ghofur. Falsafah Ekonomi Syariah. Depok: Rajawali Pers, 2020.

Abdul Manan. Aspek Hukum dalam Penyeleggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia. Jakarta: Kencana, 2012.

____________. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Persada, 2006.

Abdur Rahman. Ekonomi al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya>’ ‘Ulu>muddi>n. Surabaya: Bina Ilmu, 2010.

Abū Zah{rah, Muhammad. Us{ūl al-Fiqh. Mesir: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

____________________. al-Jari>mah wa al-‘uku>bah fi> al-fiqh al-Isla>mi. Cairo: Da>r

al-Fikr al-‘Arabi, 1998.

____________________. Buh}u>th fi al-Riba>. Kairo: Da>r al-Buh}u>th al-‘Ilmi>yah, tt.

Ah}mad, ‘Abd al-Rah}man Yusro. Muqaddimah fi> ‘ilm al-iqtis}a>d al-Isla>miy.

Iskandariyah, 1988.

Ahmad, Rumadi. Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia Kajian Kritis tentang Karakteristik, Praktik, dan Implikasinya. Jakarta: Gramedia, 2016.

Al’Assal, Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abdul Karim. Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, terj. Abu Ahmadi dan Anshori

Umar Surabaya: Bina Ilmu, 1980.

Al-A<midi. al-Ih}ka>m fi> Usu>l al-Ah}ka>m, jld 4. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.

al-Andalu>si>, Abu> Muhammad ‘Ali> Ibn Ah}mad Ibn Sa’i>d Ibn Hazm. al-Muhalla> bi al-At}ar, jld 4. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.

al-Anshari, Abi Zakariya. Al-Majmu´ Sharh al-Muhadzdzab. Al- Mathba‘ah al-

Muniriyah.

Al-Attas Naquib Syed Muhammad. Konsep Pendidikan Dalam Islam cet. Ke-7.

Bandung: Mizan, 1996.

al-Ghaza>li>, Abu> H{a>mid. al-Mustas}fá fi> ‘Ilm al-Us}u>l. Beiru>t: Dar al-Kutub al-

‘Ilmi>yah, 2008

__________________. Ih{ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, Jld. 2. Beirut: Da>r al-Nahdah, T.t.

__________________. Al-Isla>m al-Muftara> ‘Alaih. Kuwait: Da>r al-Baya>n, tt.

196

Al-Ima>m Jala>l al-Di>n Abd al-Rah}man al-Suyut}i. Al-As}ba>h wa al-Naz}a>ir. Beirut:

Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1983.

Al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam Syarh

Majallati al-Ahkam, Ali Haidar, 1/183.

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. Za>d al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad Cet. XXVII.

Kuwait: Maktabah Al Manar, 1994.

______________________. al-T}uruq al-Hukmi>yah fi al-Siya>sa>t al-Shar‘i>yat. Kairo:

al-Mus‘assasat al-Atabi>yah, 1961.

Al-Jazirim. Kitab al-Fiqh ‘ala> mad}a>hib al-Arba‘ah. Qaherah: Maktabah Tija>rah

Kubra>, 1969.

al-Khali>l, Ah}mad ibn Muh}ammad. al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-Fiqhi al-Isla>mi. Saudi Arabia: Da>r Ibn Al-Jauzi>, 2005.

Al-Mara>ghi>, Ah}mad ibn Must}afa.> Tafsi>r al-Mara>ghi>. Kairo: Shirkah Maktabah

Must}afa> al-Ba>b al-H{alabi>, 1946.

al-Mawdudi, Abu A’la. The Process of Islamic Revolution. Lahore: Islamic

Publications, 1967.

Al-Musahamah fi asy-syarikat tata‘amalu bi al-fawa‘id al-ribawiyah, Abd as-Sattar

Abu Guddah, al-Haihah asy-syar‘iyah li al-barakah, Majmuatudallah al-

barakah, (Jeddah, 2003).

Al-Nabha>ni>, Muhammad Fa>ruq. al-Ittija>h al-Jama>‘i fi> al-Tas}ri> al-Iqtis}a>di> al-Isla>mi>. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985.

Al-Nabha>ni>, Taqi> al-Di>n. Al-Niza>m al-Iqtis}a>di> fi al-Isla>m. Beirut:Dar el Ummah,

2004.

____________________. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.

Al-Najja>r, ‘Abd al-Majid. Maqa>s}id al-Shari>‘ah biab‘ad Jadi>dah. Beirut: Da>r al-Garb

al-‘Arabi>, 2008.

Al-Qaht}a>n, Musfiri>n. Manhaj Istinba>t} Ahka>m al-Nawa>zil al-Fiqhiyah al-Mu‘a>s}irah. Jiddah: Da>r Ibn Hazam, 2010.

Al-Qarad{awi, Yu>suf. Al-Ijtiha>d al-Mu‘as{ir. Beirut: Al-Maktab Al-Isla>mi, 1998.

________________. Al-Halal wa al-Hara>m fi> al-Isla>m. al-Maktaba al-Isla>mi> li al-

Tiba‘ah wa al-Nashr, 1967.

________________. Fata>wa Mu‘as}irah, Cet. Ke-8. al-Qaherah: Daral-Qalam, 2000.

________________. Fiqh al-Zakat. Beiru>t: Mu’assasat al-Risa>lah, 1997.

Al-Rāzi>, Fakhr al-Di>n. Al-Mahsūl fi> ‘Ilmi al-Us}ūl. Beirut: Dār al-Kutub al-

‘Ilmiyah, 1988.

197

Al-S}a>bu>ni>, Muh}ammad ‘Ali>. Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n. Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Islami>yah, 2001.

al-Sabatin, Yusuf. al-Buyu>‘ al-Qadi>mah wa al-Mu‘a>s}irah wa al-Bu>rs}a>t al-Maha>lliyah wa al-Duwaliyyah. Beirut: Dar el-Bayariq, 2002.

Al-Sanhuri. Masa>dir al-Haq fi al-Fiqh al-Isla>mi>, Juz 3. Qaherah: Da>r Ihya> al-Turath

al-‘Arabi, 1967.

Al-T{ūfi>, Najm al-Din. Sharh al-Arba‘īn, dimuat dalam lampiran Must}afá Zayd, al-Maslahat fi al-Tashrī’ al-Islāmi> wa Najmuddin al-T{ūfi. Kairo: Dār al-Fikr

al-‘Arabi>, 1954.

Al-Tirmidhi, Abi> ‘I>sa> Muh}ammad ibn ‘Isa> ibn Su>rah ibn Mu>sa>. Ja>mi’ al-Tirmizi, Cet. I. Riyad: Da>r al-Sala>m li al-Nasy wa al-Tawzi’, 1999.

Al-Zarqa‘, Must}afa. al-Madkhal al-Fiqh al-‘am, Juz I. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

Al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz 2. Damsyiq: Da>r al-Fikr.

Amin, Ma‘ruf. Prospek Cerah Perbankan Islam. Jakarta: LeKAS, 2007.

____________. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: eLSAS, 2017.

. Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975.

Jakarta: Erlangga.

Anderson, J.N.D. Islamic Law in the Modern World. New York: New

York University Press, 1959.

Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani

Press, 2001.

Arief, Abd. Salam. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita

Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. Yogyakarta: LESFI,

2003.

Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Cet-7. Jakarta: Azkia

Publisher, 2009.

Ash-Shawi, Shalah dan Abdullah al-Muslih. Fikih Ekonomi Keuangan Islam terj.

Jakarta: Darul Haq, 2008.

Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 2007.

Babbie, Earl. The Practice of Social Research. Belfast California: Wardswort

Publishing, 1980.

Barlinti, Yeni Salma. “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem

Hukum Nasional di Indonesia” (Disertasi, Universitas Indonesia, 2010).

Billah, Mohammad Ma’sum. Applied Islamic Law of Trade and Finance .Selangor:

Sweet & Maxwell Asia, 2009.

198

Chapra, M. Umer Shiraz Khan & Al Shaikh Anas Ali. The Islamic Vision of Depelopment in the Light of Maqasid al-Shariah. London: International

Institute of Islamic Thought, 2008.

Charles, P Jones. Investment Analysis and Management, Tenth Edition. New York:

John Wiley & Sons, Inc. Tandelilin, Eduardus, 2001.

Choudury, M. A. Contribution to Islamic Economy Theory: A Study in Social Economic. London: MacMillan, 1992.

Cowton, C. “the Development of Ethical Investment Product,” in A.R. Prindl and

B. Prodan (ed.), Ethical Conflict in Finance. Blackwell: Oxford, 1994.

Craig, Deegan. Financial Accounting Theory. McGraw-Hill: Australia Chapter 1).

Dahlan, Abdul Azis. dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet 1. Jakarta: PT. Ichtar

Baru Van Hoeve, 1996.

Djamil, Fathurrahman. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Edward, Freeman, R. Strategic Management: A Stakeholder Approach. New York:

Cambridge University Press, 2010.

Evans, James R. and Jr. James W. Dean, Total Quality: Management, Organization, and Strategy 3rd. Ohio: South-Western, 2003.

Fauzan, Abdullah. Tauh}i>d Shaleh bin Fauzan jilid 1-3. Jakarta: Da>r al-Haq, 1999.

Fauzia, Ika Yunia dan Abdul Kahar Riyadi. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah. Jakarta: Kencana, 2015.

Fox, Ward. and Howard (2002), 1, dalam Agnes Sunartiningsih, Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Aditya Media-Fisip UGM, 2004.

GAAP 98: Interpretation and Application of Generally Accepted Accounting Principles, 1998, Wiley, 42

Hafidhudin, Didin dan Ahmad Juwaini. Membangun Peradaban Zakat Meniti Jalan Kegemilangan Zakat. Jakarta: Bamuis BNI dan Divisi Publikasi Institut

Manajemen Zakat, 2007.

Hakim, Sofian. Dinamika Fatwa Mudharabah dan Murabahah di Indonesia dan

Malaysia. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2019.

Hamid, Arifin. Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (Perspektif Sosioyuridis). Jakarta: elSAS, 2006.

Harahap, Sofyan Syafri. Teori Akuntansi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.

Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan.

Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996.

199

Hasanudin. “Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia.” (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008).

Hassan, M. Kabir dan Michael Mahlknecht. Islamic Capital Markets Products and Strategies. United Kingdom: A John Wiley and Sons, Ltd., Publication.

Hawken, Paul. Socially Responsible Investing. California: Natural Capital, 2004.

Heykal, Mohammad. Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah. Jakarta: PT Elex

Media Komputindo, 2012.

Hosen, Nadratuzzaman dkk., Dasar-dasar Ekonomi Islam. Jakarta: PKES, 2009.

Huda, Nurul dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah.

Jakarta: Kencana, 2008.

Hulwati. Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Ciputat Press, 2009.

Ibn al-Manzur. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.

Ibn Taimiyah. Al-Hisbah fi> al-Isla>m. Tahqi>q: Sai>d Muhammad bin Abi> Sa‘a>dah.

Kuwait: Da>r al-Arqa>m, 1983.

Ibn Taimiyah. Majmu‘ al-Fatawa al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, cet. I.

Ibra>hi>m ibn Musá al-Shat}ibi>. Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Sharī‘ah, jilid II. Beirut: Da>r

al-Ma’rifah, t.t.

Iggi H. Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2000.

Iqbal, Zamir dan Abbas Mirakhor. Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik.

Jakarta: Kencana, 2008.

Iqbal, Zamir. An Inroduction to Islamic Finance:Theory and Practice. Singapore:

Jhon Wiley & Sons, 2007.

Iskandar. Metodologi Penelitian Kualitatif . Jakarta: Gaung Persada, 2009.

Isnaini Hrp, dkk., Hadis-hadis Ekonomi, Cet-2. Jakarta: Kencana, 2017.

Jamil, Sukron. LAZIS Masjid al-Markaz al-Islami; Menuju Medel Untuk Keadilan Sosial dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar, Revatalisasi Filantropi Islam. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif

Hidayatullah, 2005.

Jusmaliani. “Investasi yang Islami: Investasi dengan Etika.” dalam Jusmaliani, Ed.,

Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik.

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.

200

Kamali, Mohammad Hashim, Shiraz Khan & Al-Shaikh Anas Ali. Maqasid al-Shari’ah Made Simple. London: International Institute of Islamic Thought,

2008.

Kamali, Muhammad Hashim. Islamic Commercial Law; an Analysis of Futures and Options. Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers, 2002.

Kamso, Noripah dan Tsu Mae ng. Investing in Islamic Funds. Singapore: Jhon

Wiley & Sons Singapore, 2013.

Kasmir. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2004.

Khaf, Monzer. Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Khalla>f, Abd al-Wahha>b. ‘Ilm Us}ūl al-Fiqh, Cet. 8. Mesir: Maktabat al-Da‘wah al-

Islāmiyah Shabāb, 1990.

Khan, M. Fahim. Essay in Islamic Economic. UK: Islamic Foundation, 1995.

Kotler, Philip dan Nancy Lee. Corporate Social Responsibility: Doing The Most Good for Your Cause. New Jersey: John Willey &Sons Inc, 2005.

Lubis. K dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika,

1995.

Lydenberg, Steven D. & Peter D. Kinder. Mission-Based Investing. Boston Mass:

KLD, 1998.

Ma’luf, Louis. al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A‘la>m. Beiru>t: Da>r al-Mashriq, 1986.

Maksum, Muhammad. “Pengelolaan Zakat Perspektif Peraturan Perundangan”

diambil dari Muhammad Atho Mudzar dan Muhammad Maksum, Fikih Responsif: Dinamika Integrasi Ilmu Hukum, Hukum Ekonomi dan Hukum Keluarga Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017.

Mannan, Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti

Wakaf, 1995.

Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Depok:

PrenadaMedia, 2015.

Metwally, M.M. Teori dan Model Ekonomi Islam, Terj. Jakarta: Bangkit Daya

Insana, 1995.

Mowleong, Lexy J. Metedologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-13. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2000.

Mudhofir, Abdullah. Al-Quran dan Konservsi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah. Jakarta: Dian Rakyat,

2010.

201

Mudzhar, Mohammad Atho. “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”. dalam Budhy

Munawwar-Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.

Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994.

_________________. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Edisi dwi bahasa. Jakarta:

INIS, 1993.

Muhammad & Alimin. Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam.

Yogyakarta: BPFE, 2005.

Muhammad. Dasar- Dasar Keuangan Islami. Yogyakarta: Ekonosia, 2004.

__________. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif. Jakarta: PT. GrapindoPersada, 2008.

Mujahidin, Akhmad. Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan Pasar. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017.

Mulyaningsih, Yani. “Kriteria Investasi Syariah Dalam Konteks Kekinian,” dalam

Jusmaliani, Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.

Nachrowi, D.N. & Usman. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 2006.

Nafik HR, Muhammad. Bursa Efek dan Investasi Syariah. Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta, 2009.

Nafis. M. Cholil. Teori Hukum Ekonomi Syariah. UI-Pres, 2011.

Nurdizal, M. Rahman dkk., Panduan Lengkap Perencanaan CSR. Depok: Penebar

Swadaya, 2011.

Qararat wa taushiyat majma al-Fiqh al-Islami at-tabi’li li munadzamati al-

Mu’tamar- al Islami.

Qut}b, Sayyid. Fi> Zhila>l al-Qur’a>n. Beiru>t: Da>r Ihya>’ al-Tura>ts al-‘Arabiy, 1971.

Rahardjo, M. Dawam. “Kritik Nalar Ekonomi Islam.” dalam Kritik Nalar Islamisme

dan Kebangkitan Islam. Jakarta: Freedom Institute, 2012.

________________ . Arsitektur Ekonomi Islam Menuju Kesejahteraan Sosial. Bandung: Mizan, 2015.

Rid}á, Muh}ammad Rashid. Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}aki>m. Beirut: Da>r al-Kutu>b al-

‘Ilmi>yah, 1999.

Rivai, Veithzal dkk,. Bank and Financial Institution Management. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2007.

Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Zikrul

Hakim, 2008.

202

Sa>lih} ibn Muh}ammad ibn Sulayma>n al-Sult}a>n. al-Ashum h}ukmuh}a> wa-a>sa>ruha. Saudi Arabia: Da>r ibn Jauzi , 2006.

Sahroni, Oni dan Adiwarman Karim. Maqashid Bisnis & Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.

Sanrego Nz, Yulizar D. Falsafah Ekonomi Islam: Ihtiar Membangun dan Menjaga Tradisi Ilmiah Paradigma dalam Menggapai Falah. Jakarta: Karya Abadi,

2014.

Scanlan, Charles (ed.), “Socially Responsible Investment: A Guide for Pension

Schemes and Charities. London: Key Haven Publication, 2005.

Scott, William R. Financial Accounting Theory, Edisi 6. New Jersey: Prentice Hall,

2012.

Sen, Amartya. On Ethics and Economics. Oxford: Brasil Blackwell, 1987.

Severyan T. Bruyn. The Field of Social Investment. Cambridge: Cambridge

University Press, 1987.

Sholahuddin. Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam. Surakarta: Muhammadiyah

University Press, 2006.

Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Prenada Media

Kencana, 2009.

______________. Masa Depan Pasar Modal Syariah di Indonesia. Jakarta:

Kencana, 2014.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif . Bandung: Alfabeta, 2013.

Suhar. Paradigma Politik Hukum Islam: Manajemen Pendistribusian Pendapatan dan Kekayaan Negara. Jakarta: Hayfa Press, 2007.

Sujono dan Abdurrahman. Metodologi Penelitian, Suatu Pemikiran dan Penerapan. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.

Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Cet.

IV. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Supramono, Gatot. Transaksi Bisnis Saham & Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan. Jakarta: Kencana, 2014.

Suryanto, Bagong dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana, 2005.

Sutedi, Adrian. Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

_____________. Pasar Modal: Mengenal Nasabah sebagai Pencegahan Pencucian Uang. Bandung: Alfabeta, 2013.

203

Swasono, Sri Edi. Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme.

Jakarta: Yayasan Hatta, 2010.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jld.1 Cet. Ke-5. Jakarta: Prenada Media, 2014.

Tarmizi, Erwandi. Harta Haram Muamalat Kontemporer, Cet-21. Bogor: Berkat

Mulia Insani, 2019.

Tavinayati dan Yulia Qamariyanti. Hukum Pasar Modal di Indonesia. Jakarta:

Sinar Grafika, 2009.

Tulus. Makalah Strategi Lembaga Pengelola Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan dalam Southeast Asia Zakat Movement, edit, M. Arifin Purwakananta,

Noor Aflah. Jakarta: FOZ, Domper Dhuafa dan Pemkot Padang, 2008.

Uma Sekaran dan Bougie. Metode Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba

Empat, 2017.

Umar, Nazaruddin. Zakat dan Peran Negara dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia, dalam Southeast Asia Zakat Movement, edit, M. Arifin

Purwakananta, Noor Aflah. Jakarta: FOZ, Domper Dhuafa dan Pemkot

Padang, 2008.

Untung, Budi. CSR dalam Dunia Bisnis. Yogyakarta: Andi Offset, 2014.

Vogel, Frank E. and Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance; Religion, Risk and Return. The Hague: Kluwer Law International, 1998.

Wadji, Farid. Jaminan Produk Halal di Indonesia: Urgensi Sertifikasi dan Labelisasi Halal. Depok: RajaGrafindo, 2019.

Widioatmodjo, Sawidji. Cara Sehat Investasi di Pasar Modal. Jakarta: Elex Media

Computindo, 2005.

Yasin, Mahmuddin dkk., Perusahaan Bertanggung Jawab CSR vs PKBL. Semarang:

Universitas Dipenogoro, 2013.

JURNAL

Abu-Tapanjeh, A.M. “Corporate governance from the Islamic perspektive: A

comparative analysis with OECD principles.” Critical Perspectives on Accounting, 20, (2009): 556-567.

Achmad, Tarmizi. “Dewan Komisaris dan Transparansi: Teori Keagenan atau Teori

Stewardship.” Jurnal Keuangan dan Perbankan Syariah, Vol. 16, No.1

(Januari 2012): 1-12.

Adam, Noor Latiffah dan Nordin Abu Bakar. “Shariah Screening Process in

Malaysia.” Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121 (2014): 116.

204

Alhabsyi, S. Y. “Stock Screening Process,” Islamic Finance Bulletin (2008, June):

24-30.

Al-Majalla al-Ahkam al-‘Adli>yah, 1968, Ed. Ke-5: 33.

Al-Qard}awi, Yusuf. Fiqh Prioritas. Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah, 1990.

Alsaadi, Abdullah et al. “Corporate Social Responsibility, Shariah-Compliance, and

Earnings Quality”. J Financ Serv Res (2017):169–194.

Al-Suwailem, Sami. “Towards Objective Measure of Gharar in Exchange”. Islamic Economic Studies, Vol.7. No.1 dan 2 (April 2000): 80.

Al-Zuhayli, Wahbah. “Financial Transaction in Islamic Jurisprudence”. Translation

of Al-Fiqh al-Islamiy wa ’Adillatuh.” Vol 1, Mahmoud A.El-Gamal, Trans, (2003): 84-85.

Amerieska, Siti dkk. “Akuntabilitas pada Baitul Maal Wat Tamwil Ditinjau dari

Perspektif Shari’ate Enterprise Theory.” Jurnal Ekonomi & Keuangan Islam, Vol. 2 No. 1 (2012): 27-39.

Aturan Daftar Efek Syariah Terbelit Waran Dan Option

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17458/aturan-daftar-efek-

syariah-terbelit waran-dan-option/ (diakses 27 Agustus 2019).

Awaluddin. “Pasar Modal Syariah : Analisis Penawaran Efek Syariah Di Bursa Efek

Indonesia”. Maqdis: Jurnal Kajian Ekonomi Islam, Vol. 1, No. 2, (2016): 137-150.

Bal‘abbas, ‘Abd. al-Razzaq Sa‘id. “Hal Qas}ar al-Fuqaha>’ al-Mu‘a>s}irun fi Bayan

Us}u>l al-Niz}a>m al-Iqtisa>d al-Isla>my?.” Jurnal Ekonomi Islam Universitas King Abdul Aziz, Vol. 21, No.1.

Bank Indonesia, Surat Edaran No. 12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. www.bi.go.id (diakses 27 Mei 2018).

Bapepam dan LK,“Sejarah PasarModalSyariah,” http://www.bapepam.go.id/syariah/sejarah_pasar_modal_syariah.html,

(artikel diakses 02 Juni 2015).

Beal, Diana J Michelle Goyen, and Peter Phlilips. “Why Do We Invest Ethically?”

The Journal of Investing, Fall, (2005): 33.

Benardi, Meliana dkk., “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan

dan Implikasinya terhadap Asimetri Informasi.” Jurnal Symposium Nasional Akuntasi (SNA) XII (Palembang, 2009).

BinMahfouz, S., & Kabir Hassan, M. “Sustainable and socially responsible

investing: Does Islamic investing make a difference?”. Humanomics, 29 (3),

(2013): 164-186.

205

C., Jolly. “Ethical Demands and Requirements in Investment Management,”

Business Ethics: A European Review, 2:4, (1993): 171–177.

Capelle-Blancard Gunther dan Stephanie Monjon. “The Performance of Socially

Resposnsible Funds Does The Screening Process Matter?.” European Financial Management, 20 (3), (2014): 494–520.

Chapra, M. Umer. “Ethics and Economics: an Islamic Perspektive.” Islamic Economic Studies Vol. 16. No. 1-2 (August 2008-Jan 2009).

Daniri, Mas Ahmad. “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.”

http://development.bumn.go.id (diakses 13 Oktober 2017).

Di>n, Anas Muh}ammad Ah}mad. “al-H{ara>m li- Ghayrih: Dira>sah Naz}ari>yah

Tat}biqi>yah ‘ala al-Nawa>zil”. (Thesis: Ja>mi‘at Umm al-Qura´, 1435 H).

Donaldson, Lex and James H. Davis “Stewardship Theory or Agency Theory: CEO

Governance and Shareholder Returns”. Australian Journal of Management, Vol. 16, No. 1, (June 1991): 49-65.

Donia, M. and Marzban, S. “Identifying Shariah-Compliant Equities a Challenging

Task, Global Islamic Finance.” 2008) http://www.global-islamic-

finance.com/2008/11/identifying-shariah-compliant-equities.html (diakses

06 April 2015).

Dusuki, Asyraf Wajdi and Nurdianawati Irwani Abdullah. “Maqa>s}id al-Shari>‘ah,

Mas}lah}ah, and Corporate Social Responsibilty”, The American Journal of Islamic Social Science, 24:1, (2008).

Dyllick, Thomas and Kai Hockerts. “Beyond The Business for Corporate

Sustainability.” John Wiley & Sons, Ltd and ERP Environment (2002):

130-141. DOI:10.1002/bse.323.

Efendi, Edi Dwi. “Idealitas dan Realitas Pasar Modal” Republika, 23 April 2003.

Elias, Erragraguy. "The performance of Socially Responsible Investment: Evidence

from Shariah-Compliant Stock”. Finance Reconsidered, (2015): 1- 41.

Elkington, J. Cannibal With Work: The Triple Bottom Line in 21st Century

Business, Gabriola Island. BS: New Society Publisher. 1997.

EuroSIF.“European Sri Study 2006,” European Social Investment Forum, (2006):1.

Fitria, Soraya dan Dwi Hartanti. “Islam dan Tanggung Jawab Sosial: Studi

Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan Global Reporting Initiative Indeks dan Islamic Reporting Indeks.” Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto, (2010): 7.

Friedman, Milton. “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its Profit.”

The New York Times Magazine, (1970).

Garriga and Mele. “Corporate Sosial Responsibility Theories: Mapping the

Territory”. Journal of Business Ethics, Vol. 53 (2004): 51-71.

206

Grais, Wafik dan Matteo Pellegerini. “Corporate Governance and Shariah

Compliance in Institutions Offering Islamic Financial Services.” World Bank Policy Research Working Paper 4054 (November 2006).

http://elibrary.worldbank.org/doi. (diakses 12 Februari 2018).

Gray, R., Kouhy, R., and Laver, S. “Corporate Social and Environmental

Reporting: A Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK

Disclosure.” Accounting Auditing and Accountability, Vol. 8, (1995): 47-

77.

Haas, Robert, Robert Brady, Barbara Widstrand, “Screening Investment of

Stakeholders: SRI in USA,” Social Investment Forum, (2003): 12-15.

Hadi, Kuncoro. “Pengaruh Kebijakan Sharia Screening terhadap Pertumbuhan Nilai

Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan pada Daftar Efek Syariah)” (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

Hanafi, Syafiq M. “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah

Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones”. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1406.

Haneef, M. Aslam. “ Islam, Its Worldview and Islamic Economics.” IIUM Journal of Economic and Management, 5, 1 (1997).

Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspective.”

Indonesian Management and Accounting Research Journal, Vol. 1 No. 2

(2002);

Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspektive.”

Indonesian Management and Accounting Research Journal. Vol. 1 No. 2,

(2002).

Hasan, Zulkifli. Legal Aspects of Islamic Finance. Kuala Lumpur: Universitas

Sains Islam Malaysia, 2012),

http://zulkiflihasan.fileswordpress.com/2008/06/shariah-governance-

framework-ifsb-and aaoifi.pdf (diakses 27 maret 2018).

Herry dan Hamin. “Tingkat Kepemilikan Manajerial dan Nilai Perusahaan: Bukti

Empiris pada Perusahaan Publik di Indonesia”. Jurnal Riset & Bisnis, Vol.

1, No. 2 (Desember 2006): 135-151.

Herwidyatmono. “Prinsip-prinsip Pengaturan Pasar Modal Syariah di Indonesia.”

Makalah Peluncuran Pasa Modal Syariah, Jakarta (2003).

Hinkel, R. Kraus A., & Zechner, J., “The Effect of Green Investment on Corporate

Behaviour. ” Journal of Financial and Quantitative Analysis, 36 (2001): 431

Hogan, Nicky. “Saham Syariah Alternatif Pembiyaan Infrastruktur.” Makalah Seminar Pasar Modal (18 November 2016).

207

Huda, Nurul. “Kinerja Pasar Modal Syariah Indonesia Suatu Kajian terhadap

Saham Syariah,” Makalah di sampaikan dalam Diskusi Bulanan IAEI, FE

Yarsi, (11 Agustus 2006).

Islamic Capital Market Fact Finding Report OICU-IOSCO. Report Of The Islamic Capital Market Task Force Of The International Organization Of Securities Commissions 2004. http://islamic-finance.netmediaICM-

IOSCOFactfindingReport.pdf (artikel diakses 25 April 2015).

Jensen, M.C. and W.H. Meckling, “Theory of the Firm: Managerial behavior,

agency costs, and ownership structure,” Journal of Financial Economics,

Vol 3, No. 4 (1976): 305–360.

Kafou, Ali and Ahmed Chakir. “From Screening to Compliance Strategis: The Case

of Islamic Indices with Application on “MASI”. Islamic Economic Studies Vol. 25, No. Special Issues, (April 2017): 55-84.

Kariyoto.“Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Perspektif

Teoritis.” Jurnal Tema, Vol. 10, No. 1 (2011): 24-38.

Kinder, Peter D. Socially Responsible Investing: An Evolving Concept in a

Changing World. KLD Research & Analytics, (2005): 11-12.

Kurniawan, Rizki Dwi dan Nadia Asandimitra. “Analisis Perbadingan Kinerja

Indeks Saham Syariah dan Kinerja Indeks Saham Konvensional”. Jurnal Ilmu Manajemen, Vol. 2, No. 4; (2014): 1355.

Lantos, G. P. “The Ethicality of Altruitistic Corporate Social Responsibility,”

Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 No. 3, (2002): 205-230.

Latiffah, Noor Adam and Nordin Abu Bakar. “Shariah Screening Process in

Malaysia”. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121, ( 2014 ): 116.

Leslie, Lang dan Young. “Debt and Expropriation”. Working Paper, www.yahoo.com2000. (diakses 28 Juli 2015).

M. Akhtaruddin. “Corporate Mandatory Disclosure Practicies in Bangladesh.” The International Journal of Accounting, Vol. 40 No. 4 (2005): 399-422.

M. Ardiansyah, dkk. “Telaah Kritis Model Screening Saham Syariah menuju Pasar

Tunggal ASEAN.” Ijtihad Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan

Vol. 16, No. 2 (2016): 197-216.

M. Derigs and Marzban, S. “Review and analysis of current Shariah-compliant

equity screening practices”. International Journal of Islamic and Middle

Eastern Finance and Management, Vol 1 (2008): 285-303.

M. Popotte. Industry Snapshot: Opening the Black Box of Shariah Stock

Screening”.http://www.opalesque.com/OIFIArticle/96/the_Black_Box_of_

Shariah_Stock850.html (diakses 06 Maret 2016).

208

M.A. Choudury. ”Islamic Economics and Finance: Where Do They Stand?.”

International Journal of Accounting and Finance, Vol. 1, Issue 2, (2008):

24-25.

M.H. Khatkhatay and Nisar, S. “Investment in Stocks: A Critical Review of Dow

Jones Shariah Screening Norms,” Paper presented at the International Conference on Islamic Capital Markets. (2007),

http://www.kantakji.com/fiqh/Files/Fatawa/15404.pdf (artikel diakses 15

Juni 2015).

M.N. Siddiqi. “Shariah, Economics and the Progress of Islamic Finance: The Role

of Shariah Experts,” 7th Harvard Islamic Forum on Islamic Finance,

(2006).

Mahmood, Nik Ramlah. Regulatory Framework and the Role of Suruhhanjaya Sekuritas in Developing the Islamic Capital Market, Prisiding Seminar

Kebangsaan Perbankan dan Investoran Islam (Kuala Lumpur, 1996).

Maiyaki, Ahmad Audu. “Principles of Islamic Capital Market”. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences Vol. 3, No. 4, (October 2013).

Maria Torres, Maria AŁngeles Fernandez-Izquierdo and Maria Rosario Balaguer

Franch, “The social responsibility performance of ethical and solidarity

funds: an approach to the case of Spain” Business Ethics: A European

Review Blackwell Publishing Ltd. Volume 13 Numbers ( 2004), 17.

Meyrs, Steward C And Majluf Nicholas S. “Corporate Financing and Investment

Decisions When Firms Have Information that Investors Do Not Have.“

Journal of Financial Economics 13 (1984): 187-221.

Modigliari, Franco and Merton H. Miller. “Corporate Income Taxes and the Cost of

Capital A Correction.” The American Economic Review Vol. 53, No. 3

(Jun 1963), 433-443. http://www.jstor.orf/stable/1809167, (artikel diakses

22 November 2018).

Monika, Elsa Rumiris dan Dwi Hartanti. “Analisis Hubungan Value Based Management dengan Corporate Social Responsibility dalam Iklim Bisnis

Indonesia (Studi Kasus Perusahaan SWA 100 2006).” Simposium Nasional Akuntansi XI, (Juli 2008).

Muhammad Fathurrohman, “Metode Dan Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi Serta Konsep

Konservasi Lingkungan,”

https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/11/metode-dan-ijtihad-

yusuf-al-qardhawi-serta-konsep-konservasi-lingkungan/, (artikel diakses 04

Januari 2020).

Multifiah. “Peranan Zakat, Infak, dan Shadaqah Terhadap Kesejahteraan Rumah

Tangga Miskin.” Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Vol 21, Nomor 1. (Februari

2009):2.

209

Must}afa Abu-Sway. “Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment, Fiqh

al-Bî’ah fî al-Islām.” http://homepages.iol.ie/~afifi/Articles/htm. 1998

(diakses 25 Maret 2016).

Noviastuty, Ari. “Evaluasi Kinerja Portofolio Antara Saham Syariah dengan saham

konvensional di Bursa Efek Indonesia”. Performance Vol. 14 No. 2

(September, 2011): 2.

Nurlela, Rika dan Islahuddin. “Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap

Nilai Perusahaan dengan Persentase Kepemilikan Managemen Sebagai

Variabel Modetaring (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di

Bursa Efek Jakarta),” Simposium Nasional Akuntansi XI. (Juli 2008).

Nurnberg, Donald. “The Ethic of Corporate Govermance”. London Metropolitan

University, (Agustus 2016).

Organization for Economic Co-operation and Development, OECD Principles of Corporate Governance (Perancis: OECD Publications Service, 2004), 15.

Osman, Fathi. “Islam and Human Rights: The Challenge to Muslims and the

World”. dalam Rethinking Islam and Modernity, Essay in Honour of Osman. London: The Islamic Foundation, 2001.

Othman, R., et al.“Determinants of Islamic Social Reporting Among Top Shariah-

Approved Companies in Bursa Malaysia.” Research Journal of International Studies, Vol. 12, (2009).

Pok, Wee Ching. “Analysis of Syariah quantitative screening norms among

Malaysia Syariah-compliant stocks.” Investment Management and Financial Innovations, Volume 9, Issue 2, (2012).

R. Othman & Md. Thani, A., “Islamic social reporting of listed companies in

Malaysia.” International Business and Economics Research Journal, Vol. 9,

No. 4, (2010): 135-144.

R. Siddiqui. “Shari'ah compliance, performance, and conversion: the case of the

Dow Jones Islamic Market Indexs”. Chicago Journal of Internasional Law,

(2007): 496.

R.M. Haniffa. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspektive”.

Indonesian Management and Accounting Research Journal. Vol. 1 No. 2,

(2002): 128-146

Raharjo, Eko. “Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntasi,”

Fokus Ekonomi, Vol.2 No. 1 (Juni 2007): 37-46.

Rahman, Fazlur. “Interpreting al-Qur’an.” Inquiry, (Mei 1986): 49.

Renneboog, Luc Jenke Ter Horst, and Chendi Zhang b. “Socially responsible

investments: Institutional aspects, performance, and investor behavior,”

Journal of Banking & Finance 32 (2008): 1723–1742.

Republika, 29 Mei 2014.

210

Ridwan, Murtadho. “Analisis Penyerapan Fatwa DSN-MUI Tentang Asuransi

Syariah ke dalam PSAK 108.” ADDIN, Vol. 8, No. 1, (Februari 2014): 137.

S. Elfakhani and Hassan. MK 2005, “Performance of Islamic Mutual Funds, paper

Presented of Economic Research Forum,” The 12th Annual Conference, Kairo, (19-21 Desember 2005).

S. Hakim and M. Rashidian. "Risk and Return of Islamic Stock Market Indexes".

Presented at the International Seminar of Nonbank Financial Institutions:

Islamic Alternatives, Kuala Lumpur, Malaysia. (2004), 1.

S. Hellsten, and C. Mallin. “Are Ethical or Socially Responsible Investments

Socially Responsible?”, Journal of Business Ethics, 66 (2006).

Sayekti, Yosefa dan Ludovicus Sensi Wondabio. “Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada

Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta), Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar (2007).

Seif El-Din I Taj El-D. “Towards an Islamic Model of Stock Market”. J. KAU: Islamic Econ., Vol. 14, (1422 A.H / 2002 A.D): 25-26.

Shomali, Mohammad. “Aspects of Environmental Ethics: An Islamic

Perspective.” http://www.thinkingfaith.org/articles/200811111.htm,

(diakses 15 Maret 2016).

Siwar, C. and M. T. Hossain. “An analysis of Islamic CSR Concept and The

Opinion of Malaysian Managers.” Management of Environmental Quality: An International Journal, Vol. 20 (2009): 290-298.

Social Investment Forum. Report on Responsible Investing Trends in US, SRI. (2007), www. Socialinvest.org (diakses 25 Maret 2016).

Soraya, Fitria dan Dwi Hartant. “Studi Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan

Global Reporting Initiative Index Dan Islamic Social Reporting Index”,

Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto, (2010): 2.

Staden, C.v. The Value Added Statement: Bastion of Social Reporting or Dinosaur

of Financing Reporting? 1-15.

Sudarmadji, Ardi Murdoko dan Lana Sularto. “Pengaruh Ukuran Perusahaan,

Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan terhadap Luas

Voluntary Disclosure Laporan Keuangan Tahunan.” Proceeding PESAT, Vol. 2 (2007): 53-61.

Suharto, Edi. “Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan”. (diakses pada

Februari 2016).

Sulaiman, M., “Islamic Corporate Reporting: Between the Desirable and the

Desired,” Research Centre IIUM Publication (2005).

Sunarto. “Teori Kegenan dan Manajemen Laba”. Kajian Akuntansi, Vol. 1 No. 1

(Pebruari 2009): 13-28.

211

Swasono, Sri Edi. “Ekonomi Islam dalam Pancasila.” Makalah International Seminar on Implementation of Islamic Economics, UNAIR Surabaya,

(2009): 9.

________, Sri Edi. “Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Ekonomi

dan Kesejahteraan Sosial.” Prosiding Kongres Pancasila V. Yogyakarta:

PSP Universitas Gajah Mada, 2013.

Syafiq M. Hanafi. “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah

Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones.” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1405.

Syakhroza, Akhmad. “Best Practices Corporate Governance Dalam Konteks

Kondisi Lokal Perbankan Syariah.” Majalah Usahawan No. 06 (Juni 2003),

14.

The Social Investment Forum, Report on Responsible Investing Trends in The US (2005), www. Socialinvest.org (diakses 19 Maret 2016).

Triyanta, Agus. “Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait

Screening Criteria di Jakarta Islamic Index”. Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17

Oktober (2010): 626.

Turnbull. “International Control Guidance for Directors on the Combined Code”

London: The Institute of Chartered Accountants in England & Wales (September 1999): 46. www.jstor.org/stable/3867928 (diakses 19 Februari

2018).

Ujiyantho Muh. dan Bambang Agus Pramuka. “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan (Studi pada Perusahaan Go Public Sektor Manufaktur)”. Simposium Nasional Akuntansi X, (Juli 2007).

Usmani, Maulana Taqi. “Principles of Shari’ah Governing Islamic Investment

Funds”. International Journal of Islamic Financial Services , Vol 1 (2),

(1999): 45-58.

Verrecchia, R. E. “Discretionary Disclosure.” Journal of Accounting and Economics, Vol. 5 No. 3 (1983): 179-194.

Wadji, Farid. “Transformasi Industri Halal”

http://faridwajdi.com/detailpost/transformasi-industri-halal (diakses 22

November 2019).

Waris, Ali Hafiz Ali Hassan, Sayyid Khawar Abbas, Muhammad Mohsin, Nauman

Waqar. “Sharia Screening Process: A Comparison of Pakistan and

Malaysia”. Assian Journal of Multidiscplinary Studies, 6, (2018): 13-21.

WBCSD, CSR: Meeting Changing Expectations (World Business Council on

Sustainable Development, 1998): 3.

Wilson, Rodney. “Islamic finance and Ethical Investment”. International Journal of Social Economics, Vol. 24 No. 11, (1997): 1325-1342.

212

Yulianti, Rahmani Timurita. “Direct Financial Market: Islamic Equity Market

(Bursa Saham dalam Islam)”. Almawarid, Vol. XI, No. 1, (Feb-Agust

2010): 21-26.

Zandi, Gholamreza dkk. “Stock Market Screening: An Analogical Study on

Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets.” Asian Social Science; Vol. 10, No. 22, Published by Canadian Centerof Science and

Education, (2014): 270.

UNDANG-UNDANG, PERATURAN PEMERINTAH DAN FATWA

Fatwa DSN-MUI No. 20/DSN-MUI/IV/2001

Fatwa DSN-MUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh.

Fatwa DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman

Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

Fatwa DSN-MUI No. 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih

Dahulu (HMETD) Syariah.

Fatwa DSN-MUI No. 66/DSN/MUI/III/2008 tentang Waran Syariah.

Peraturan Bapepam-LK KEP-208/BL/2012 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar

Efek Syariah.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (Permen LHK) No.P.50/

Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan

Hutan.

Peraturan OJK Nomor 21/POJK.04/2015 tentang Penerapan Pedoman Tata Kelola

Perusahaan Terbuka.

Peraturan OJK Nomor 33/POJK.04/2014 Tentang Direksi dan Dewan Komisaris

Emiten atau Perusahaan Publik.

Peraturan OJK Nomor 33/POJK.4/ Tahun 2014 Tentang Direksi dan Dewan

Komisaris Emiten atau Perusahaan.

Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar

Efek Syariah

Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2010 jo PP No.105 Tahun 2015 Tentang

Penggunaan Kawasan Hutan

POJK No. 33/2014 tentang direksi dan dewan komisaris emiten.

Surat Keputusan DSN-MUI Nomor 02 Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah

Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PRT DSN-

MUI) Nomor 02 Tahun 2000 Pasal 2.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 109.

213

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 32.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Oaatoritas Jasa Keuangan, Pasal 6.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 8 ayat (1)

UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, dan Pasal 98 ayat (3)

UU Nomor: 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

WEBSITE

http/www.iso.org/iso/socialresbonsibility.pdf. (diakses 5 Agustus 2017).

http://investasiku.co.id/blog/blog_id/mengenal-waran-pemanis-yang-bisa berubah-

jadi-pahit-2017-11-28-15-19-34 (diakses 22 Januari 2019).

http://www.bapepam.go.id/syariah/sejarah_pasar_modal_syariah.html, (artikel

diakses 02 Juni 2015).

http://www.policy.hu/suharto/Naskahpersen20PDF/ModalSosialIslamDompetDhua

fa.pdf (diakses pada Februari 2016).

https://dsnmuiinstitute.com/profil/ (diakses 23 September 2018).

https://www.harmony.co.id/blog/memahami-rasio-solvabilitas-untuk

pengembangan perusahaan (diakses pada 22 Oktober 2020).

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17458/aturan-daftar-efek-syariah

terbelit waran-dan-option/ (diakses 27 Agustus 2019).

https://www.kompasiana.com (diakses 12 Februari 2018).

Republika.co.id (diakses 22 Desember 2019).

www.bi.go.id (diakses 27 Mei 2018).

www.djindexes.com (diakses 06 April 2015).

www.ojk.go.id (diakses pada 09 Juni 2016).

215

GLOSARIUM\

Aset : Semua sumber ekonomi atau nilai suatu kekayaan

oleh suatu entitas tertentu yang diharapkan

memberikan manfaat usaha di kemudian hari. Aset

dimasukkan dalam neraca dengan saldo

normal debit.

Bursa Efek Syariah : Kumpulan efek syariah, yang ditetapkan oleh

Otoritas Jasa Keuangan atau diterbitkan oleh

pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.

Capital gain

: Keuntungan nilai yang berubah dalam skala besar

ketika melakukan investasi dengan menjual aset

baik itu properti, saham, atau yang lainnya.

Corporate Social Reporting

(CSR)

: Suatu konsep bahwa organisasi, khususnya

perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab

terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham,

komunitas dan lingkungan dalam segala aspek

operasional perusahaan seperti terhadap masalah-

masalah yang berdampak pada lingkungan.

Daftar Efek Syariah (DES) : Kumpulan Efek Syariah, yang ditetapkan oleh

Otoritas Jasa Keuangan atau diterbitkan oleh

Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.

Dividen

: Bagian dari laba bersih perusahaan dan dibagikan

kepada para pemegang saham dalam periode waktu

tertentu.

Emiten

: Pihak yang menerbitkan menjual Efek kepada

masyarakat berdasarkan tata cara yang telah diatur

dalam peraturan undang-undang yang berlaku.

Fatwa : Pendapat ahli hukum Islam tentang sesuatu yang

ditanyakan

Gharar yasi>r : Tingkat gharar-nya sangat tipis atau kecil, dan di

samping itu terkadang sesuatu hal yang terkadang

tidak mungkin dapat dihindari dalam sebuah

kontrak atau transaksi.

Gharar fahisy : Gharar yang memang jelas-jelas tingkat gharar-nya

sangat tinggi.

Go public : Kegiatan penawaran saham yang dilakukan

perusahaan untuk menjual saham atau efek kepada

216

masyarakat umum sesuai tata cara yang telah

diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan

Pelaksanaannya.

Holding period

: Merupakan periode yang menunjukkan panjangnya

jangka waktu antara pembeli dan waktu penjualan

saham yang dilakukan oleh investor.

Ihtikar : Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seorang

pelaku ekonomi dengan menimbun suatu barang

dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-

besarnya tanpa melihat kesusahan orang lain.

Ijtihad

: Mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara

bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu

hukum. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad

apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu

pekerjaan.

Insider trading

: Praktik kecurangan yang terjadi ketika ada oknum

yang memanfaatkan informasi material yang

diperoleh (entah dengan cara apa pun) sebelum

dibuka pada publik, demi kepentingannya pribadi.

Dengan berbekal informasi yang belum diketahui

oleh umum itu, sang oknum kemudian melakukan

transaksi demi meraup keuntungan pribadi.

Investasi : Penanaman uang atau modal dalam suatu

perusahaan yang bertujuan untuk memperoleh

keuntungan

Islamic Social Reporting : Standar pelaporan kinerja sosial perusahaan-

perusahaan yang berbasis syariah. Indeks ini lahir

dikembangkan dengan dasar dari standar pelaporan

AAOIFI yang kemudian dikembangkan oleh

masing-masing peneliti berikutnya.

Maqa>s}id al-shari>‘ah : Tujuan yang dikehendaki syariat dan rahasia-

rahasia yang ditetapkan oleh syariat pada setiap

hukum.

Musa>hamah : Salah satu bentuk shirkah yang sifatnya bagi

penanam modal adalah untuk mengharapkan

keuntungan, sedangkan bagi pengelola atau

pemilik perusahaan dimaksudkan untuk

pengembangan usaha.

Otoritas Jasa Keuangan

: OJK sebagai lembaga independen maksudnya

adalah lembaga yangbertugas mengatur dan

mengawasi lembaga keuangan bebas dari campur

217

tangan pihak manapun kecuali untuk hal-hal yang

disebutkan secara tegas dalam UU.

Pajak

: Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh

orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Pasar Modal Syariah : Seluruh kegiatan di pasar modal yang tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Pendapatan : Arus kas masuk yang berasal dari kegiatan normal

perusahaan dalam penciptaan barang atau jasa

yang mengakibatkan kenaikan aktiva dan

penurunan kewajiban.s

Pengungkapan : Pengeluaran informasi yang diberikan oleh

perusahaan. Terbagi pada pengungkapan wajib

(mandatpry disclosure) dan pengungkapan sukarela

(voluntary disclosure).

Qard al-h}asan : Suatu sistem yang berkaitan dengan segala bentuk

pinjaman tanpa imbalan.

Ramah lingkungan (go green)

: Istilah keberlanjutan dan pemasaran yang mengacu

pada barang dan jasa, hukum, pedoman dan

kebijakan yang mengklaim berkurangnya,

minimalnya bahaya, bahkan tidak membahayakan

ekosistem atau lingkungan.

Rasio Solvabilitas : Perbandingan antara besarnya aktiva yang dimiliki

perusahaan dengan utang-utang yang harus

ditanggung.

Riba

: Suatu kegiatan pengambilan nilai tambah yang

memberatkan dari akad perekonomian, seperti jual

beli atau utang piutang, dari penjual terhadap

pembeli atau dari pemilik dana kepada peminjam

dana, baik diketahui bahkan tidak diketahui, oleh

pihak kedua.

Saham Syariah : Efek berbentuk saham yang tidak bertentangan

dengan prinsip syariah di Pasar Modal.

Screening saham : Penentuan kriteria-kriteria yang harus di penuhi

oleh emiten untuk masuk dalam kategori saham

syariah.

218

Sertifikat halal : Pengakuan kehalalan suatu produk yang

dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan

Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal

tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama

Indonesia (MUI).

Short selling

: Suatu cara yang digunakan dalam penjualan saham

di mana investor atau trader meminjam dana untuk

menjadi saham (yang belum dimiliki) dengan harga

tinggi dengan harapan akan membeli kembali dan

mengembalikan pinjaman saham ke pialangnya

pada saat saham turun.

Socially Responsible : merupakan proses investasi yang

mempertimbangkan konsekuensi sosial dan

lingkungan dari investasi, baik positif maupun

negatif, dalam konteks analisis keuangan yang

lebih ketat

Stakeholder

: Pihak pemangku kepentingan atau beberapa

kelompok orang yang memiliki kepentingan di

dalam perusahaan yang dapat mempengaruhi atau

dipengaruhi oleh tindakan dari bisnis secara

keseluruhan.

Ta‘awun

: Tolong menolong dalam hal kebaikan antar sesama

umat muslim dan bisa dilakukan dimana saja

kapan saja asalkan kita siap untuk menolong orang

yang sedang kesulitan dan butuh pertolongan.

Triple botton : Kerangka kerja akuntansi dengan tiga bagian:

sosial, lingkungan (atau ekologi) dan keuangan.

Us}u>l al-fiqh

: Ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari

kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber

secara terperinci dalam rangka menghasilkan

hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber

tersebut.

Utang : Kewajiban yang muncul karena transaksi

pembelian barang atau jasa secara kredit yang

berhubungan dengan kegiatan operasional

perusahaan dan harus segera dibayarkan dalam

jangka waktu singkat.

Wakaf

: Menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya

tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya

(‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.

219

Warant

: Sebuah hak yang diberikan kepada pemegang

saham untuk membeli lembar saham pada harga

yang telah ditentukan (harga eksekusi) oleh emiten

yang menerbitkannya dalam jangka waktu

tertentu.

Zakat

: Sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh umat

Muslim dan diberikan kepada golongan yang

berhak menerimanya sesuai dengan syarat yang

telah ditetapkan.

221

INDEKS

A

AAOIFI, 42, 62, 96, 101, 212

Abbas Mirakhor, 26, 135, 136, 137, 195

Abdul Hamid, 31, 34, 39, 197

Abdullah Alsaadi, 5

Adiwarman Karim, 98, 100, 198

ahli fiqh, 4

Ahmad Rodoni, 31, 34, 39

al-Ghaza>li, 58, 59, 60, 61, 191

Alkohol, 39

al-Nabha>ni>, 5

Al-Nabha>ni>, 192

al-Qur’an, 1

Al-Qur’an, 147

Alsaadi, 5, 200

al-Sabatin, 5, 6

Al-Zarqa‘, 193

Amartya Sen, 56

annual report, 15

Aset, 26, 110, 111, 211

asset, 1

Asset, 111, 115

Atho Mudzhar, 75, 79, 82, 83, 92

B

Bapepam-LK, 2, 9, 19, 20, 21, 33, 35, 73, 85,

86, 90, 110, 111, 114, 115, 117, 151, 168,

180, 186, 208

BEI, 2, 22, 40, 187

Bina Lingkungan, 23, 72, 163, 164

Binmahfouz dan Hasan, 5

Budi Untung, 71, 72

C

capital gain, 5

Capital gain, 108, 211

Choudhuri, 144

content analysis, 22, 23

Corporate Governance, 49, 68, 166, 167, 181,

200, 202, 205, 207

CSR, 43, 45, 46, 47, 48, 50, 57, 58, 62, 67, 71,

72, 73, 74, 119, 133, 163, 171, 197, 199,

203, 206, 207, 211

D

Daftar Efek Syariah, 2, 3, 8, 9, 11, 12, 14, 15,

19, 20, 35, 91, 95, 103, 110, 120, 133, 135,

138, 140, 200, 202, 208, 211

Derigs, 4, 203

Didin Hafidhudin, 160

Dividen, 107, 211

DJIM, 2, 10, 12, 16, 17, 18, 39, 41, 42, 89

Dow Jones Islamic Index, 17

DSN-MUI, 2, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 18, 19, 20,

21, 23, 24, 25, 26, 33, 34, 35, 75, 76, 77,

78, 79, 80, 81, 82, 89, 90, 91, 92, 94, 95,

100, 101, 102, 103, 104, 106, 107, 109,

110, 112, 114, 115, 117, 118, 119, 121,

123, 133, 135, 139, 140, 151, 169, 173,

189, 190, 206, 208

E

ekuitas, 6, 17

Ekuitas, 115

emiten, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19

Emiten, 30, 31, 44, 73, 88, 94, 98, 114, 168,

181, 208, 211

ethical investment, 13

Ethical investment, 51

F

Fatuhurrahman Djamil, 78

fatwa, 4, 10, 16, 18, 23

Fatwa, 2, 9, 10, 15, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26,

42, 75, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 89, 90,

91, 92, 94, 95, 100, 101, 104, 106, 107,

109, 110, 115, 119, 133, 135, 151, 154,

222

189, 191, 193, 194, 195, 197, 206, 208,

211

Filantropi, 146, 195

Friedman, 55, 56, 201

FTSE, 2, 17, 18, 41, 50, 89, 101

fuqaha>’, 1, 5, 8

Fuqaha>’, 137, 200

G

Gharar, 8, 16, 19, 28, 29, 32, 65, 106, 137,

200, 207, 211

Gholamreza Zandi, 6, 18, 32, 42

H

H{adith, 79

Halal, 33, 65, 97, 107, 140, 152, 153, 154,

192, 199, 207, 213

Haniffa, 13, 62, 63, 65, 68, 134, 155, 202, 205

haram, 8, 9, 10, 12, 13, 18

Haram, 97, 98, 141, 199

Howard R. Bowen, 71

Hulwati, 180, 181, 185, 187, 195

I

Ibn Qayyim, 140, 141, 177, 192

Ibn Taimiyah, 64, 100, 177, 184, 191, 195

Iggi H. Achsin, 53, 56, 195

ihtikar, 13

Ihtikar, 105, 212

Ijtihad, 78, 89, 162, 203, 204, 212

Ika Yunia Fauzia, 175, 178, 179, 182, 183

Indeks, 3, 11, 14, 18, 31, 58, 62, 120, 121,

122, 130, 201, 203, 212

Indonesia, 1, 2, 3, 9, 11, 12, 13, 14, 20, 21, 27,

32, 33, 35, 40, 41, 42, 43, 47, 49, 58, 66,

67, 69, 71, 72, 73, 75, 77, 78, 79, 80, 81,

82, 83, 84, 85, 86, 89, 90, 91, 92, 94, 98,

101, 102, 103, 106, 108, 110, 112, 118,

119, 120, 121, 123, 124, 128, 132, 133,

134, 137, 140, 142, 143, 144, 145, 147,

148, 151, 152, 153, 154, 155, 157, 161,

162, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173,

175, 179, 180, 181, 184, 185, 186, 187,

190, 191, 193, 194, 195, 196, 197, 198,

199, 200, 202, 203, 204, 205, 207, 208,

209, 213

Insider trading, 105, 106, 212

Investasi, 1, 2, 12, 13, 26, 27, 28, 29, 30, 34,

43, 52, 53, 54, 55, 56, 65, 88, 89, 95, 101,

106, 109, 123, 130, 138, 151, 182, 185,

186, 187, 191, 195, 197, 198, 199, 212

ISR, 8, 13, 23, 24, 57, 62, 63, 65, 68, 69, 119,

120, 121, 122, 123, 125, 126, 127, 129,

130, 132, 134, 148, 157, 189

J

Jasser Audah, 165

JII, 2, 19, 33

K

Karyawan, 67, 126, 131, 154, 156, 157

Khatkhatay, 4, 32, 204

Khila>fah, 65

KLSI, 2, 11

Komisaris, 124, 166, 168, 181, 199, 208

Kotler, 46, 196

Kuala Lumpur Stock Exchange, 2, 17, 25, 35

Kualitatif, 20, 21, 195, 196, 198

Kuantitatif, 21, 197

L

laporan tahunan, 15, 20, 21, 22, 23, 24

Laporan tahunan, 43, 72, 150, 155, 156, 160,

161

li-dha>tih, 10

li-ghayrih, 8, 10

lingkungan, 5, 7, 8, 13, 14, 15, 19

Lingkungan, 23, 68, 72, 73, 126, 129, 131,

149, 150, 156, 162, 163, 164, 196, 204,

208

listing, 3, 13

LKS, 80, 81, 90, 110, 117

M

Mahmuddin Yasin, 72, 74, 119

223

Malaysia, 2, 6, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 18,

32, 33, 35, 37, 38, 40, 42, 58, 62, 70, 79,

84, 89, 90, 101, 117, 143, 146, 153, 154,

181, 182, 186, 194, 195, 199, 202, 203,

205, 206, 207

maqa>s}id al-shari>‘ah, 21

Maqa>s}id al-shari>‘ah, 212

mas}lah}ah, 11, 14, 15, 21, 24, 58, 59, 60, 61,

165, 169, 170, 171, 175, 179, 185

Mas}lah}ah, 58, 169, 171, 201

Masyarakat, 25, 46, 68, 75, 127, 131, 158,

185, 194

Metwally, 30, 159, 196

Modigliani, 103

Mudhofir, 162, 196

Muhammad Nafik, 182, 185, 186, 187

musa>hamah, 6, 27, 28

N

Najsy, 12, 105, 106

Nurul Huda, 1

O

OJK, 3, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 20, 21, 22,

23, 24, 34, 75, 81, 85, 86, 87, 88, 89, 95,

96, 101, 109, 110, 112, 114, 115, 117, 118,

119, 121, 130, 133, 135, 154, 168, 169,

173, 180, 181, 189, 190, 208, 212

Oni Sahroni, 98, 100

Option, 138, 200

P

Pajak, 143, 213

pasar modal, 1, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 17,

18, 19, 21, 24

Pasar modal, 17, 91, 92, 180

Pengawas, 2, 32, 43, 81, 85, 86, 87, 90, 180,

181, 184

Pengungkapan, 43, 44, 45, 50, 119, 121, 123,

125, 126, 127, 129, 130, 131, 133, 134,

137, 151, 157, 200, 201, 206

Peraturan Pemerintah, 73, 121, 149, 150, 161,

208

Perusahaan, 11, 19, 22, 30, 36, 40, 43, 44, 47,

49, 54, 68, 72, 73, 74, 88, 98, 103, 111,

119, 123, 125, 127, 129, 130, 131, 133,

137, 149, 155, 156, 161, 163, 165, 168,

169, 181, 190, 199, 201, 202, 204, 205,

206, 207, 208

positive, 13

Positive, 54

prinsip syariah, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 13,

15, 17, 18, 19

Prinsip syariah, 94

Prinsip Syariah, 9

Profit, 56, 201

Q

Qard}, 60, 79, 97, 104, 107, 140, 147, 164, 200

R

Rashid Rid}á, 136

rasio utang, 20

Rasio utang, 41

Responsibility, 5, 13, 43, 45, 46, 47, 48, 56,

134, 155, 196, 200, 201, 202, 203, 204,

205

Riba, 65, 135, 136, 143, 191, 213

Richard Hudson, 56, 57

RUPS, 26, 168

S

saham syariah, 1, 3, 4, 5, 8, 9, 11, 12, 14, 15,

16, 17, 18, 20, 21, 23, 24

Saham syariah, 33, 124

Sayyid Qut}b, 148

Screening, 1, 2, 4, 6, 7, 8, 11, 12, 14, 16, 17,

18, 19, 25, 28, 31, 32, 33, 35, 37, 38, 39,

40, 41, 42, 89, 90, 91, 94, 95, 96, 98, 101,

102, 103, 109, 110, 115, 118, 133, 144,

189, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 207,

208, 213

Securities Commision, 35

Sedekah, 127, 158

Seif el-Din, 32

Seif El-Din, 7

224

Shareholder, 49, 55, 201

Short selling, 213

Solvabilitas, 111

Stakeholder, 45, 48, 194, 214

T

Ta‘awun, 214

Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni, 5

Tauhid, 64

Tawh}i>d, 63

Triple botton, 214

U

Umar Chapra, 60

Undang-undang, 27, 73, 80, 85, 86, 145, 146,

152, 171, 180, 181, 198

Us}u>l al-fiqh, 214

utang, 7, 11, 18, 20

Utang, 104, 105, 110, 111, 214

W

Wahbah al-Zuhayli, 29

Wakaf, 79, 142, 196, 197, 214

Warant, 214

Y

Yusuf al-Qard{awi, 60

Z

Zakat, 1, 26, 42, 66, 123, 142, 143, 144, 145,

146, 147, 148, 160, 192, 194, 196, 199,

204, 214

Zamir Iqbal, 1, 7, 8, 26, 32, 135, 136, 137

225

Lampiran 1

SKOR PENGUNGKAPAN ISR INDEX

No. POKOK-POKOK PENGUNGKAPAN

A TEMA PEMBIAYAAN DAN INVESTASI

1 Aktivitas yang mengandung riba (beban bunga dan pendapatan bunga).

2 Pengungkapan aktivitas yang mengandung gharar atau tidak pasti (hegding, future non delivery trading/margin trading, arbitrage baik spot maupun forward, short selling, pure swap, warrant, dan lain-lain.

3 Aktivitas Zakat

4 Kebijakan atas keterlambatan pembayaran piutang dan penghapusan piutang tak

bertagih

5 Pernyataan Nilai Tambah Perusahaan (Value Added Statement)

B TEMA PRODUK DAN JASA

6 Produk atau kegiatan operasi ramah lingkungan (green product)

7 Status kehalalan produk

8 Keamanan dan Kualitas produk

9 Pelayanan pelanggan

C TEMA KARYAWAN

10 Jam kerja

11 Hari libur dan cuti

12 Tunjangan

13 Remunerasi

14 Pendidikan dan pelatihan/pengembangan sumber daya manusia

15 Kesetaraan hak antara pria dan wanita

16 Keterlibatan karyawan dalam diskusi manajemen dan pengambilan keputusan

17 Kesehatan dan keselataman kerja

18 Lingkungan kerja

19 Karyawan dari kelompok khusus (cacat fisik, mantan narapidana, mantan

pecandu dan narkoba).

20 Karyawan yang lebih tinggi di perusahaan melaksanakan ibadah bersama-sama

dengan karyawan tingkat menengah dan tingkat bawah

21 Karyawan muslim diperbolehkan menjalankan ibadah shalat wajib dan berpuasa

di saat Ramadhan pada hari kerja

22 Tempat ibadah yang memadai

D TEMA MASYARAKAT

23 Sedekah, donasi atau sumbangan

24 wakaf

25 Qard Hassan

226

26 Sukarelawan dari kalangan karyawan

27 Pemberian beasiswa sekolah

28 Pemberdayaan kerja para lulusan sekolah/kuliah (praktek kerja lapangan).

29 Pengembangan generasi muda

30 Peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin (underprivileged community)

31 Kepedulian terhadap anak-anak

32 Kegiatan Amal atau sosial lain (bantuan bencana alam, donor darah, sunatan

masal, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.

33 Mensponsori kegiatan-kegiatan kesehatan, hiburan, olahraga, budaya,

pendidikan, dan keagamaan.

E TEMA LINGKUNGAN

34 Konservasi lingkungan hidup

35 Kegiatan mengurangi efek pemanasan global (meminimalisasi polusi lingkungan

hidup, pengelolaan limbah, pengelolaan air bersih, dll.)

36 Pendidikan mengenai lingkungan hidup

37 Audit lingkungan/pernyataan verifikasi independen/pemerintah.

38 Sistem manajemen lingkungan/kebijakan

F TEMA TATA KELOLA PERUSAHAAN

39 Status kepatuhan terhadap syariah

40 Struktur kepemilikan saham

41 Profil dewan direksi

42 Pengungkapan kegiatan terlarang: praktik monopoli/penimbunan bahan

kebutuhan pokok/manipulasi harga.

43 Pengungkapan adanya perkara hukum atau tidak

44 Kebijakan anti korupsi

227

Lampiran 2

DAFTAR PERUSAHAAN SAMPEL

TAHUN 2013-2017

No. Kode Nama Perusahaan Sektor

1. AALI PT Astra Agro Lestari Tbk. Pertanian

2. BISI PT BISI International Tbk. Pertanian

3. IIKP PT Inti Agri Resources Tbk. Pertanian

4. LSIP PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. Pertanian

5. SGRO PT Sampoerna Agro Tbk. Pertanian

6. SIMP PT Salim Ivomas Pratama Tbk. Pertanian

7. ANTM PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Pertambangan

8. CTTH PT Citatah Tbk. Pertambangan

9. ELSA PT Elnusa Tbk. Pertambangan

10. MITI PT Mitra Investindo Tbk. Pertambangan

11. PTBA PT Tambang Batubara Bukit Asam

(Persero) Tbk. Pertambangan

12. SMRU PT SMR Utama Tbk. Pertambangan

13. TINS PT Timah (Persero) Tbk. Pertambangan

14. AKPI PT Argha Karya Prima Industry Tbk. Dasar dan Kimia

15. ALDO PT Alkindo Naratama Tbk. Dasar dan Kimia

16. ALKA PT Alakasa Industrindo Tbk. Dasar dan Kimia

17. AMFG PT Asahimas Flat Glass Tbk. Dasar dan Kimia

18. APLI PT Asiaplast Industries Tbk. Dasar dan Kimia

19. ARNA PT Arwana Citramulia Tbk. Dasar dan Kimia

20. BTON PT Betonjaya Manunggal Tbk. Dasar dan Kimia

21. CPIN PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Dasar dan Kimia

22. DPNS PT Duta Pertiwi Nusantara Tbk. Dasar dan Kimia

23. GDST PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Dasar dan Kimia

24. IGAR PT Champion Pacific Indonesia Tbk. Dasar dan Kimia

25. INAI PT Indal Aluminium Industry Tbk. Dasar dan Kimia

26. INCI PT Intanwijaya Internasional Tbk. Dasar dan Kimia

27. INTP PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Dasar dan Kimia

28. JPRS PT Jaya Pari Steel Tbk. Dasar dan Kimia

29. KIAS PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk. Dasar dan Kimia

30. LION PT Lion Metal Works Tbk. Dasar dan Kimia

31. LMSH PT Lionmesh Prima Tbk. Dasar dan Kimia

32. SMCB PT Holcim Indonesia Tbk. Dasar dan Kimia

33. SMGR PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Dasar dan Kimia

34. SRSN PT Indo Acidatama Tbk. Dasar dan Kimia

35. TOTO PT Surya Toto Indonesia Tbk. Dasar dan Kimia

36. TRST PT Trias Sentosa Tbk. Dasar dan Kimia

37. YPAS PT Yanaprima Hastapersada Tbk. Dasar dan Kimia

38. ASII PT Astra International Tbk. Aneka Industri

39. AUTO PT Astra Otoparts Tbk. Aneka Industri

228

40. INDS PT Indospring Tbk. Aneka Industri

41. KBLI PT KMI Wire and Cable Tbk. Aneka Industri

42. KBLM PT Kabelindo Murni Tbk. Aneka Industri

43. RICY PT Ricky Putra Globalindo Tbk. Aneka Industri

44. SCCO PT Supreme Cable Manufacturing &

Commerce Tbk. Aneka Industri

45. SMSM PT Selamat Sempurna Tbk. Aneka Industri

46. SSTM PT Sunson Textile Manufacturer Tbk. Aneka Industri

47. STAR PT Star Petrochem Tbk. Aneka Industri

48. TRIS PT Trisula International Tbk. Aneka Industri

49. VOKS PT Voksel Electric Tbk. Aneka Industri

50. ADES PT Akasha Wira International Tbk. Barang Konsumsi

51. AISA PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Barang Konsumsi

52. DVLA PT Darya-Varia Laboratoria Tbk. Barang Konsumsi

53. ICBP PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Barang Konsumsi

54. INAF PT Indofarma (Persero) Tbk. Barang Konsumsi

55. INDF PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Barang Konsumsi

56. KAEF PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Barang Konsumsi

57. KDSI PT Kedawung Setia Industrial Tbk. Barang Konsumsi

58. KLBF PT Kalbe Farma Tbk. Barang Konsumsi

59. LMPI PT Langgeng Makmur Industri Tbk. Barang Konsumsi

60. MBTO PT Martina Berto Tbk. Barang Konsumsi

61. MERK PT Merck Tbk. Barang Konsumsi

62. MRAT PT Mustika Ratu Tbk. Barang Konsumsi

63. MYOR PT Mayora Indah Tbk. Barang Konsumsi

64. PYFA PT Pyridam Farma Tbk. Barang Konsumsi

65. SKLT PT Sekar Laut Tbk. Barang Konsumsi

66. TCID PT Mandom Indonesia Tbk. Barang Konsumsi

67. TSPC PT Tempo Scan Pacific Tbk. Barang Konsumsi

68. ULTJ PT Ultrajaya Milk Industry & Trading

Company Tbk. Barang Konsumsi

69. UNVR PT Unilever Indonesia Tbk. Barang Konsumsi

70. ADHI PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Properti

71. APLN PT Agung Podomoro Land Tbk. Properti

72. ASRI PT Alam Sutera Realty Tbk. Properti

73. BEST PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk. Properti

74. BKDP PT Bukit Darmo Property Tbk. Properti

75. BKSL PT Sentul City Tbk. Properti

76. BSDE PT Bumi Serpong Damai Tbk. Properti

77. CTRA PT Ciputra Development Tbk. Properti

78. DART PT Duta Anggada Realty Tbk. Properti

79. DGIK PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk. Properti

80. DILD PT Intiland Development Tbk. Properti

81. EMDE PT Megapolitan Developments Tbk. Properti

82. FMII PT Fortune Mate Indonesia Tbk. Properti

83. GAMA PT Gading Development Tbk. Properti

84. GMTD PT Gowa Makassar Tourism

Development Tbk. Properti

229

85. JRPT PT Jaya Real Property Tbk. Properti

86. KIJA PT Kawasan Industri Jababeka Tbk. Properti

87. LAMI PT Lamicitra Nusantara Tbk. Properti

88. LPKR PT Lippo Karawaci Tbk. Properti

89. MKPI PT Metropolitan Kentjana Tbk. Properti

90. MTLA PT Metropolitan Land Tbk. Properti

91. PTPP PT Pembangunan Perumahan (Persero)

Tbk. Properti

92. PWON PT Pakuwon Jati Tbk. Properti

93. RODA PT Pikko Land Development Tbk. Properti

94. SCBD PT Danayasa Arthatama Tbk. Properti

95 SMRA PT Summarecon Agung Tbk. Properti

96. SSIA PT Surya Semesta Internusa Tbk. Properti

97. TOTL PT Total Bangun Persada Tbk. Properti

98. WIKA PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Properti

99. LAPD PT Leyand International Tbk. Infrastruktur

100. NELY PT Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk. Infrastruktur

101. SDMU PT Sidomulyo Selaras Tbk. Infrastruktur

102. TLKM PT Telekomunikasi Indonesia (Persero)

Tbk. Infrastruktur

103. ACES PT Ace Hardware Indonesia Tbk. Perdagangan

104. AIMS PT Akbar Indo Makmur Stimec Tbk. Perdagangan

105. AKRA PT AKR Corporindo Tbk. Perdagangan

106. ASGR PT Astra Graphia Tbk. Perdagangan

107. BAYU PT Bayu Buana Tbk. Perdagangan

108. BMTR PT Global Mediacom Tbk Perdagangan

109. CNKO PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk. Perdagangan

110. DNET PT Indoritel Makmur Internasional Tbk. Perdagangan

111. EPMT PT Enseval Putera Megatrading Tbk. Perdagangan

112. ERAA PT Erajaya Swasembada Tbk. Perdagangan

113. FAST PT Fast Food Indonesia Tbk. Perdagangan

114. GEMA PT Gema Grahasarana Tbk. Perdagangan

115. GOLD PT Golden Retailindo Tbk. Perdagangan

116. GREN PT Evergreen Invesco Tbk. Perdagangan

117. INPP PT Indonesian Paradise Property Tbk. Perdagangan

118. INTD PT Inter Delta Tbk. Perdagangan

119. KBLV PT First Media Tbk. Perdagangan

120. KOIN PT Kokoh Inti Arebama Tbk Perdagangan

121. LTLS PT Lautan Luas Tbk. Perdagangan

122. MFMI PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk. Perdagangan

123. MICE PT Multi Indocitra Tbk. Perdagangan

124. MPPA PT Matahari Putra Prima Tbk. Perdagangan

125. MTDL PT Metrodata Electronics Tbk. Perdagangan

126. PSKT PT Red Planet Indonesia Tbk. Perdagangan

127. PTSP PT Pioneerindo Gourmet International Tbk.

128. RALS PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. Perdagangan

129. RANC PT Supra Boga Lestari Tbk. Perdagangan

130. SDPC PT Millennium Pharmacon International Perdagangan

230

Tbk.

131. SONA PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. Perdagangan

132. SRAJ PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk. Perdagangan

133. TGKA PT Tigaraksa Satria Tbk. Perdagangan

134. TIRA PT Tira Austenite Tbk. Perdagangan

135. TMPO PT Tempo Inti Media Tbk. Perdaganga

136. TURI PT Tunas Ridean Tbk. Perdagangan

137. UNTR PT United Tractors Tbk. Perdagangan

138. WAPO PT Wahana Pronatural Tbk. Perdagangan

139. WICO PT Wicaksana Overseas International Tbk. Perdagangan

231

232

233

234

235

237

238

239

240

241

243

244

245

246

247

249

250

251

252

253

255

256

257

258

259

261

Lampiran 8: Ringkasan Fatwa DSN-MUI

262

263

264

265

267

Lampiran 8 : Peraturan Bapepam-LK/OJK

268

269

270

271

273

274

275

277