potensi jalur hijau wilayah jakarta timur sebagai habitat burung

103
POTENSI JALUR HIJAU WILAYAH JAKARTA TIMUR SEBAGAI HABITAT BURUNG AULIA ULFAH PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M/ 1434 H

Upload: khangminh22

Post on 23-Apr-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

POTENSI JALUR HIJAU WILAYAH JAKARTA TIMUR

SEBAGAI HABITAT BURUNG

AULIA ULFAH

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M/ 1434 H

POTENSI JALUR HIJAU WILAYAH JAKARTA TIMUR

SEBAGAI HABITAT BURUNG

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

AULIA ULFAH

108095000047

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M/ 1434 H

i

ABSTRAK

Aulia Ulfah. Potensi Jalur Hijau Wilayah Jakarta Timur sebagai Habitat Burung.

Skripsi Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Pembangunan infrastruktur berupa jalan raya menyebabkan penurunan

luas ruang terbuka hijau (jalur hijau jalan) yang berdampak pada penurunan

jumlah jenis burung di Jakarta. Penelitian ini dilakukan di tiga jalur hijau wilayah

Jakarta Timur. Metode yang digunakan adalah metode desktriptif dengan

kombinasi metode transek dan titik hitung (Point count). Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui pemanfaatan jalur hijau sebagai habitat burung. Burung yang

dijumpai tergolong kedalam 15 famili dengan 23 jenis. Nilai indeks

keanekaragaman terbesar pada jalur hijau Halim Perdana Kusuma (H’= 2,649),

kemudian Raden Inten (H’= 2,448), dan terakhir I Gusti Ngurah Rai (H’= 1,879).

Berdasarkan hasil pengujian Principle Component Analysis (PCA) faktor fisik

dari yang paling berpengaruh terhadap kehadiran burung adalah kelembaban

(0,966), diikuti kebisingan (0,881), kecepatan angin (0,850), suhu udara (0,794),

dan intensitas cahaya (0,754). Hasil uji korelasi keanekaragaman jenis tumbuhan

terhadap keanekaragaman jenis burung menunjukkan keanekaragaman jenis

tumbuhan tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung. Ketiga jalur

hijau yang diamati dapat mendukung aktifitas burung, baik sebagai penyedia

pakan, tempat beristirahat dan bersosialisasi, maupun sebagai tempat bersarang.

Kata kunci: Burung, faktor fisik lingkungan, dan jalur hijau.

ii

ABSTRACT

Aulia Ulfah. Potential of the Green Line Road as a Bird Habitat Area in East

Jakarta. Under-graduate Thesis Biological Student. Faculty of Science and

Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Infrastructure development in such as highway has been causing decrease

of green space area (green line road), which significantly reduced the number of

birds in Jakarta. The research was conducted in three green line area of East

Jakarta. The data were collected with description method that combination

between transect and point count. This study aimed to examine the use of green

line road as a bird habitat. Amount of bird was found are 23 species from 15

families. The highest diversity index values at Halim Perdana Kusuma green line

(H'= 2.649), diversity index values at Raden Inten (H' = 2.448), and the lowest

values of diversity index is I Gusti Ngurah Rai (H' = 1.879). Based on the test

results using Principle Component Analysis (PCA) of the physical factors that

most affect the bird's presence is humidity (0.966), followed by noise (0.881),

wind speed (0.850), temperature (0.794), and light intensity (0.754). The

Correlation test results between diversity of plant species and diversity of bird

species, showed there is no effect between the diversity of plant species and

diversity of bird species. The three green lines can support the activity of birds

observed, both as a provider of food, a place to rest and socialize, and a nesting

site.

Keywords: Green Line, birds, and physical factors

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya milik Allah SWT Yang Maha Kuasa, atas segala

rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dengan

segala kemampuan yang ada, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Potensi Jalur Hijau Wilayah Jakarta Timur Sebagai Habitat Burung”.

Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan untuk baginda Nabi Muhammad

SAW beserta keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman

Penulis juga telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak dalam

penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan

terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua penulis, Ayahanda Fahrurozi dan Ibunda Siti Aminah, yang

selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan do’a kepada penulis.

2. Dr. Agus Salim, M.Si., selaku Dekan Fakultas Sains dan Tekhnologi

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Lily Surayya E.P., M.Env.Stud., selaku Ketua Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dra. Etyn Yunita, M.Si. Selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas

Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si, selaku pembimbing I dan pembimbing

akademik yang selalu memberikan saran, bimbingan dan motivasi hingga

selesainya skripsi ini.

iv

6. Drs. Paskal Sukandar, M.Si, selaku pembimbing II yang telah meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan, pengetahuan dan motivasi bagi

penulis.

7. Priyanti, M.Si, selaku penguji I, dan Narti Fitriana, M.Si, selaku penguji II

yang telah meluangkan waktu untuk memberikan kritik dan saran dalam

penyusunan skripsi ini.

8. Seluruh dosen Biologi yang telah mencurahkan ilmu dan pengalamannya

baik dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan.

9. Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Wilayah Jakarta Timur, atas izin

yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menggunakan

jalur hijau sebagai lokasi penelitian.

10. Farida Ahmad, S.Pd dan Puji Astuti, S.Si selaku laboran di lab Biologi

Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta, atas izin yang telah diberikan

kepada penulis sehingga dapat menggunakan alat lab.

11. Andang Mulya Sari, S.Si, teman terbaik dalam menempuh pendidikan di

Biologi UIN Jakarta, yang selalu meluangkan waktu untuk membagi suka

dan duka, serta selalu memberikan saran dan kritik yang membangun

pengetahuan penulis.

12. Teman-teman terdekat penulis, Kamal Tamasuki, Gita Widya, Juny Susanti,

Eva Hardianti, Nilawati, Faradhillah, dan Maulina, yang bersedia

mendengar suka dan duka penulis dalam menempuh pendidikan di Biologi,

dan selalu memberikan semangat kepada penulis.

v

13. Teman-teman mahasiswa Biologi angkatan 2008 yang telah berbagi

keceriaan, semoga silaturahmi tetap terjaga.

14. Maulya Arfi Syaputra, yang telah meluangkan waktu untuk berbagi

pengetahuan dalam bidang Ornithologi.

15. Semua pihak yang tak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang turut

membantu penulis dalam penyelesaian Skripsi ini.

Semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis menjadi

amal yang diterima di hadirat Allah SWT. Amin. Penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis dan pembaca serta

memperkaya pengetahuan mengenai konservasi burung di lingkungan perkotaan.

Jakarta, Januari 2013

Penulis

vi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................ i

ABSTRAK ................................................................................................... iii

ABSTRACT.................................................................................................. iv

DAFTAR ISI ............................................................................................... v

DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 4

1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4

1.4. Hipotesis Penelitian .................................................................... 5

1.5. Manfaat penelitian ...................................................................... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Burung ................................................................................... 6

2.1.1. Habitat Burung ............................................................... 6

2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Burung .............. 9

2.1.3. Manfaat Burung .............................................................. 10

2.1.4. Jenis Burung yang terdapat di Jakarta ............................. 11

2.2. Jalur Hijau ............................................................................... 17

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 20

3.2 Alat-alat Penelitian ................................................................... 20

3.3 Metode Pengamatan ................................................................. 22

vii

3.3.1.Pengamatan Burung, Vegetasi, dan Faktor Fisik

Lingkungan ..................................................................... 22

3.4. Teknik Analisis Data Jenis Burung ........................................... 23

3.4.1. Frekuensi atau Sebaran Burung ....................................... 24

3.4.2. Kelimpahan Relatif ......................................................... 24

3.4.3. Indeks Nilai Penting........................................................ 24

3.4.4. Indeks Dominansi ........................................................... 25

3.4.5. Keanekaragaman Jenis .................................................... 25

3.4.6. Keseragaman .................................................................. 26

3.4.7. Indeks Kesamaan Jenis ................................................... 26

3.5. Analisis Komponen yang Berpengaruh terhadap Kehadiran

Burung ................................................................................... 27

3.6. Analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) ............... 27

3.7. Korelasi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dengan

Keanekaragaman Jenis Burung ................................................. 27

3.8. Tingkat Penggunaan Jenis Vegetasi oleh Burung ..................... 28

3.9. Skala Gambar ........................................................................... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......................................... 29

4.2. Keanekaragaman Jenis Burung ................................................. 32

4.3. Komposisi Jenis Burung ........................................................... 36

4.4. Pengaruh Faktor Fisik Lingkungan terhadap Kehadiran Burung 66

4.5. Hubungan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dengan

Keanekaragaman Jenis Burung ................................................. 71

4.6. Tingkat Penggunaan Vegetasi oleh Burung ............................... 72

BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan .............................................................................. 78

5.2. Saran ........................................................................................ 78

viii

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 79

LAMPIRAN ................................................................................................. 82

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik lokasi penelitian ......................................................... 29

Tabel 2. Faktor fisik lingkungan lokasi penelitian ......................................... 30

Tabel 3. Jenis burung berdasarkan suku yang dijumpai dalam penelitian ....... 34

Tabel 4. Indeks kesamaan jenis burung di lokasi penelitian ........................... 39

Tabel 5. Hasil analisis Nilai Loading factor Komponen Principal

Component Analysis (PCA) faktor fisik yang mempengaruhi

keberadaan burung .......................................................................... 69

Tabel 6. Hasil analisis korelasi pearson product moment keanekaragaman

burung dengan keanekaragaman tumbuhan...................................... 73

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan ..................................... 18

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian .......................................................... 21

Gambar 3. Plot Pengamatan di Jalur Hijau Jalan.................................... 23

Gambar 4. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung ................................. 35

Gambar 5. Komposisi Jenis Burung di Lokasi Penelitian ....................... 37

Gambar 6. Jumlah Jenis Burung di Lokasi Penelitian ............................ 38

Gambar 7. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis) Terbang .................. 41

Gambar 8. Walet Linci (Collocalia linchi) Terbang ............................... 43

Gambar 9. Kapinis Rumah (Apus affinis) .............................................. 44

Gambar 10. Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis) .............................. 45

Gambar 11. Layang-layang Batu (Hirundo tahitica) bertengger di

Lampu Jalan ........................................................................ 45

Gambar 12. Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus) bertengger di

Pohon Akasia (Acacia auriculiformes) ................................. 47

Gambar 13. Cipoh Kacat (Aegitia tiphia) bertengger di Pohon Tanjung

(Mimusops elengi)................................................................ 48

Gambar 14 Burung Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang

dijumpai di lokasi penelitian. A.Sepasang Kutilang yang

bertengger di lampu jalan, B. Kutilang bertengger di pohon

Tanjung (Mimusops elengi) .................................................. 49

Gambar 15. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus aurigaster) bertengger di

Pohon Beringin (Ficus benjamina) ....................................... 50

Gambar 16. Burung Gelatik Batu Kelabu (Parus major) bertengger di

Pohon Dadap Merah (Erythrina crysta)................................ 51

xi

Gambar 17 Burung Remetuk Laut (Gerygone sulphurea) yang dijumpai

di Lokasi Penelitian. A. Seekor Remetuk Laut. B. Sepasang

Remetuk Laut (Gerygone sulphurea) bertengger di Pohon

Tanjung (Mimusops elengi) ................................................. 52

Gambar 18. Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius) ................................. 53

Gambar 19. Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) ................................ 54

Gambar 20. Prenjak Jawa (Prinia familiaris) bertengger di Pohon

Akasia Daun Kecil (Acacia acuiliformes) ............................. 55

Gambar 21. Kipasan Belang (Rhipidura javanica) .................................. 56

Gambar 22. Burung Kekep Babi (Arthamus leucorhyncus) yang

dijumpai di Lokasi Penelitian. A. Kekep Babi bertengger di

Tiang Lampu Jalan, B. Kekep Babi Terbang ........................ 57

Gambar 23. Burung Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) yang

dijumpai di Lokasi Penelitian. A. Burung Madu Kelapa

Jantan, B. Burung Madu Kelapa Betina ................................ 58

Gambar 24. Sarang Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) di

Pohon Beringin (Ficus benjamina) ....................................... 59

Gambar 25. Burung Burung Madu Sriganti (Cynniris jugularis) yang

dijumpai di Lokasi Penelitian. A. Burung Madu Sriganti

Jantan, B. Burung Madu Sriganti Betina .............................. 61

Gambar 26. Burung Cabai jawa (Dicaceum trochileum) yang dijumpai

di Lokasi Penelitian. A. Cabai Jawa Jantan, B. Cabai Jawa

Betina .................................................................................. 62

Gambar 27. Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) di pohon Bunga

Sikat Botol (Callistemon lanceolatus) .................................. 63

Gambar 28. Burung Gereja Eurasia (Passer montanus) ........................... 65

Gambar 29. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) Jantan dan Betina

di Pohon Beringin (Ficus benjamina) ................................... 66

Gambar 30. Sekelompok Bondol Peking (Lonchura punctulata) di

Lahan Pertanian Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma............ 67

Gambar 31. Grafik Faktor Fisik Lingkungan Lokasi Penelitian ............... 68

xii

Gambar 32. Grafik Analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA)

Jenis Burung berdasarkan Faktor Fisik Lingkungan Lokasi

Penelitian ............................................................................. 71

Gambar 33. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman Oleh Burung di

Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma...................................... 74

Gambar 34. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman Oleh Burung di

Jalur Hijau Radin Inten ....................................................... 75

Gambar 35. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman Oleh Burung di

Jalur Hijau I Gusti Ngurah Rai ............................................. 76

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Nilai Indeks Dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr),

Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’)

di Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma ..................................... 82

Lampiran 2. Nilai Indeks Dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr),

Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’)

di Jalur Hijau Raden Inten ....................................................... 83

Lampiran 3. Nilai Indeks Dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr),

Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’)

di Jalur Hijau I Gusti Ngurah Rai.............................................. 84

Lampiran 4. Nilai Indeks Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting

(NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di Jalur

Hijau Halim Perdana Kusuma................................................... 85

Lampiran 5. Nilai Indeks Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting

(NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di Jalur

Hijau Raden Inten ..................................................................... 86

Lampiran 6. Nilai Indeks Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting

(NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di Jalur

Hijau I Gusti Ngurah Rai .......................................................... 87

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

DKI Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia yang memiliki fungsi

dan peran penting, baik dalam lingkup nasional maupun daerah. Jakarta terus

mengalami perubahan dalam pembangunan infrastruktur dan jumlah penduduk.

Pada tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 9.588.198 orang,

dengan laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta per tahun selama sepuluh tahun

terakhir (tahun 2000‐2010) yaitu sebesar 1,40 % (BPS DKI Jakarta, 2010). Status

DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara, menjadikan masyarakat di luar

Jakarta bermigrasi untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik dalam pendidikan

maupun pekerjaan.

Migrasi dan penambahan jumlah penduduk yang terjadi di Jakarta

menyebabkan pembangunan infrastruktur (pemukiman, sarana pariwisata, sarana

komersial, dan sarana transportasi), guna memfasilitasi masyarakat Jakarta.

Pembangunan infrastruktur yang terjadi di wilayah Jakarta dapat menyebabkan

penurunan luas area RTH (Ruang Terbuka Hijau). Hal tersebut berdampak positif

bagi peningkatan perekonomian daerah namun berdampak negatif pada

lingkungan, khususnya terhadap ekosistem di DKI Jakarta. Fungsi RTH sangat

penting bagi kehidupan manusia yaitu fungsi utamanya sebagai fungsi ekologis

serta fungsi tambahan sebagai fungsi sosial, ekonomi dan estetika kota

(Diskominfomas Prov DKI Jakarta, 2011).

2

Berdasarkan Permendagri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Terbuka Hijau Kawasan perkotaan, RTH adalah ruang-ruang dalam kota atau

wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area atau kawasan maupun dalam

bentuk area memanjang, jalur tersebut dalam penggunaannya lebih bersifat

terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Luasan ideal dari Ruang Terbuka

Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah 20% dari luas kawasan perkotaan.

Jakarta telah merencanakan luas RTH sampai dengan tahun 2030 adalah 34,51%

dari luas wilayah, hal tersebut dicantumkan dalam peraturan daerah tentang

rencana tata ruang wilayah 2030 pasal 5 ayat 5. Menurut Kusumadewi (2011)

Jumlah RTH di Jakarta yang telah tersedia adalah 9,8 %.

Jalur hijau atau koridor hijau merupakan RTH yang memiliki fungsi

ekologis mengurangi polutan di udara. Fungsi ekologis lainnya dari jalur hijau

hijau adalah sebagai penghubung antar kawasan, wilayah jelajah burung, dan

berperan dalam penghubung antar kawasan hijau di Jakarta (Wardojo, 2008).

Jumlah jalur hijau mulai mengalami penyusutan luas wilayah yang menyebabkan

penyusutan jenis burung ibukota. Keberadaan burung pada tahun 1946 di Jakarta

ditemukan sebanyak 256 jenis burung. Namun pada tahun 2006-2007, survey

yang dilakukan oleh Jakarta Green Monster (JGM) dan Fauna Flora Indonesia

(FFI) hanya menemukan 121 jenis burung, sudah termasuk burung pantai

(Kristanto dan Frank, 2008).

Burung merupakan indikator penting yang digunakan dalam menentukan

daerah pelestarian alam, satwa ini hidup di seluruh habitat, dan peka terhadap

perubahan lingkungan (Marwanzis, 2011). Kehadiran burung berperan dalam

3

keberlangsungan suatu ekosistem, maka perlu dipertahankan jumlah jenis burung

yang berada di Jakarta dengan menambah jumlah luas RTH dan jalur hijau

sebagai penunjangnya. Keberadaan dan keanekaragaman jenis vegetasi, serta

faktor fisik jalur hijau juga perlu diperhatikan, untuk mendukung peran jalur hijau

sebagai habitat burung. Suryowati (2000) menyatakan bahwa kepadatan burung

pada suatu jalur hijau dapat dipengaruhi oleh kepadatan kendaraan bermotor.

Kepadatan kendaraan bermotor merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang

dapat mempengaruhi keberadaan burung pada jalur hijau jalan.

Selama ini, penelitian terhadap komunitas burung di perkotaan umumnya

dilakukan di taman atau hutan kota, sedangkan penelitian komunitas burung yang

dilakukan di jalur hijau masih sangat jarang. Oleh karena itu, penelitian ini

diperlukan, terutama untuk mengetahui pemanfaatan jalur hijau sebagai habitat

burung. Jalur hijau yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalur hijau Jalan

Raya yang berada di wilayah Jakarta Timur, yaitu Halim Perdanakusuma, Raden

Inten, dan I Gusti Ngurah Rai. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan luasan area,

kondisi fisik jalur hijau yang dapat mewakili kondisi jalur hijau di wilayah Jakarta

Timur pada umumnya.

Jakarta Timur memiliki karakteristik yang membedakan dengan

kotamadya lainnya yaitu, memiliki kawasan industri, terdapat beberapa jenis pasar

induk, memiliki badar udara Halim Perdana Kusuma, dan memiliki obyek wisata

Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan lubang buaya, jumlah penduduk wilayah

Jakarta Timur hanya 10% dari jumlah penduduk DKI Jakarta (Pemkot adm

4

Jaktim, 2013). Berdasarkan karakteristik lingkungan tersebut, maka dapat

dimungkinkan wilayah Jakarta Timur memiliki potensi sebagai habitat burung.

1.2 Perumusan Masalah

a. Bagaimana keanekaragaman jenis burung di jalur hijau yang diamati?

b. Bagaimana pengaruh faktor fisik terhadap kehadiran burung di jalur

hijau?

c. Bagaimana pemanfaatan tumbuhan di jalur hijau oleh burung?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui tingkat keanekaragaman jenis burung di Jakarta Timur.

b. Mengetahui faktor fisik yang berpengaruh terhadap kehadiran burung

di Jalur Hijau.

c. Mengetahui pemanfaatan vegetasi di jalur hijau oleh burung.

1.4 Hipotesis Penelitian

a. Tingkat Keanekaragaman burung di tiga jalur hijau yang diamati

bernilai rendah.

b. Kehadiran burung di jalur hijau dipengaruhi oleh suhu, kelembaban,

intensitas cahaya, kecepatan angin, dan tingkat kebisingan.

c. Burung-burung di jalur hijau yang diamati memanfaatkan vegetasi yang

terdapat di jalur hijau sebagai tempat melakukan aktivitas berkembang

biak, mencari makan, berlindung dan bersarang.

5

1.5 Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah

daerah dalam mengelola koridor hijau sebagai habitat burung di Jakarta.

b. Memberikan informasi mengenai keberadaan jenis burung yang dapat

menggunakan koridor hijau di daerah Jakarta Timur, sebagai habitat

burung yang belum terdata sebelumnya.

c. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat di bidang

pelestarian lingkungan, dengan menjaga ketersediaan koridor hijau

sebagai salah satu ruang terbuka hijau dan habitat burung.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Burung

Burung merupakan vertebrata yang termasuk kelas Aves, binatang

berdarah panas yang memiliki sayap dan berkembang biak dengan bertelur.

Burung memiliki perbedaan yang khas dibandingkan dengan vertebrata berdarah

panas lainnya, yaitu tidak memiliki gigi tetapi memiliki paruh. Burung

mempunyai karakteristik yaitu, tubuhnya ditutupi oleh bulu, mempunyai sayap,

kaki yang ditutupi oleh sisik dan dilengkapi dengan kuku, serta memiliki paruh

yang digunakan sebagai alat bantu untuk makan.

2.1.1. Habitat Burung

Burung sebagai salah satu komponen ekosistem memerlukan tempat atau

ruang yang digunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan

tempat untuk berkembang biak, semuanya itu membentuk suatu kesatuan yang

disebut habitat. Alikodra (1990) menjelaskan, bahwa habitat merupakan kawasan

yang terdiri dari berbagai komponen, baik secara fisik maupun biotik yang

merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta

berkembang biaknya satwa liar.

Amama (2008) menyatakan bahwa, terdapat beberapa tipe tumbuhan yang

penting bagi habitat burung, tipe tersebut antara lain:

7

Peneduh. Pohon yang termasuk dalam tipe peneduh adalah pohon berdaun

jarum seperti Pinus dan Cemara, serta pohon rindang seperti Beringin,

Kapuk, dan Sengon. Saat panas terik, burung-burung yang tidak terlalu aktif

akan memilih berteduh di pepohonan tipe ini.

Pelindung sekaligus penyedia biji-bijian. Tumbuhan pelindung dan

penyedia biji-bijian sebagai pakan burung antara lain rerumputan, polong-

polongan seperti Angsana, Akasia, Asoka, dan Dadap. Tumbuhan jenis ini

selain menyediakan perlindungan bagi burung-burung yang bersarang dekat

tanah, juga menyediakan biji-bijian untuk pakannya.

Penghasil nektar. Tanaman hias yang termasuk dalam tipe ini adalah,

Dadap, Pisang hias, dan Palem, sedangkan pohon buah-buahan seperti

Jambu, Mangga, dan Rambutan saat musim berbunga sering didatangi

burung.

Beberapa jenis tumbuhan atau pepohonan yang dapat dimanfaatkan oleh

burung perkotaan antara lain:

Pohon Beringin (Ficus benjamina, F.variegata, dan F. glaberrina) buah

pohon ini banyak dimakan oleh burung seperti Punai Gading (Treron

vernans), Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), dan Merbah Cerukcuk

(Pycnonotus goiavier) (Kristanto dan Dedy, 2011).

Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasilkan nektar. Beberapa

jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yang tengah

berbunga antara lain: Betet (Psittacula alexandri), Serindit (Loriculus

8

pusillus), suku Jalak-jalakan (Sturnidae), dan beberapa jenis Burung Madu

(Kristanto dan Dedy, 2011). Pohon ini juga menjadi sarang favorit Prenjak

Jawa (Prinia familiaris) dan Cinenen Jawa (Orthomus sepium) (Amama,

2008).

Bambu (Bambusa sp.) burung Blekok (Ardeola speciosa) dan Manyar

(Ploceus sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung lainnya

seperti Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), Celepuk Reban (Otus lempiji),

Kipasan Belang (Rhipidura javanica), bertelur pada pangkal cabangnya,

diantara dedaunan dan di dalam batangnya (Kristanto dan Dedy, 2011).

Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) sebagai penyedia serangga untuk

burung Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Remetuk Laut (Gerygone

sulphurea), Prenjak Jawa (Prinia familiaris), dan Merbah Cerukcuk

(Pycnonotus goiavier). Cabai Jawa (Diacaeum trochileum) memanfaatkan

benalu yang ada pada pohon ini sebagai pakannya (Kristanto, 2006).

Angsana (Pterocarpus indicus) merupakan sumber makanan, tempat

singgah, bermain, dan bersarang bagi burung Remetuk Laut (Gerygone

sulphurea). Jenis pohon ini merupakan pohon yang dianggap baik untuk

tanaman tepi jalan, karena pohonnya berdahan banyak dan tajuknya lebat.

Memiliki bunga yang berwarna kuning keemasan, kecil, dan harum. Jenis

pohon ini menarik jenis serangga ordo Diptera.

9

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Burung

Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan,

tempat untuk istirahat, main, kawin, bersarang, bertengger, dan berlindung.

Keadaan dan kondisi lingkungan yang berubah-ubah, dapat mempengaruhi

kehidupan makhluk hidup di lingkungannya. Populasi burung akan memberikan

respon terhadap perubahan lingkungan yang berfluktuasi secara teratur maupun

tidak teratur (Stanley, 1989).

Keragaman jenis burung sangat dipengaruhi oleh potensi tanaman yang

terdapat dalam habitatnya, terutama tanaman yang dapat menjadi sumber pakan

(Kuswanda, 2010). Keberadaan manusia dan aktifitas manusia yang terdapat di

lokasi penelitian dapat menjadi salah satu faktor kehadiran suatu jenis burung.

Adanya aktifitas manusia pada tipe hutan tertentu memberikan pengaruh pada

komposisi jenis burung yang dijumpai (Warsito dan Yuliana, 2007).

Ukuran luas habitat akan mempengaruhi keanekaragaman burung, jika

semakin luas habitatnya, cenderung semakin tinggi keanekaan jenis burungnya

(Ferianita, 2007). Kemampuan areal dalam menampung burung ditentukan oleh

luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk

habitat (Dewi, 2005). Kawasan hijau yang tanpa penghubung antar kawasan hijau

dapat mempengaruhi populasi burung. Hal ini dapat terjadi karena, jika burung-

burung terkurung di kawasan hijau yang berukuran kecil dan terisolasi, maka

persaingan untuk mendapatkan makanan dan tempat bersarang menjadi sangat

tinggi. Hal ini akan berakhir dengan punahnya beberapa jenis burung di kawasan

hijau tersebut (Rombang, 2008).

10

Menurut Wardojo (2008), kawasan konservasi di Jawa-Bali yang

terfragmentasi, menyebabkan penghuninya sulit untuk bertahan dan

melangsungkan hidup. Jika tanpa ketersediaan koridor hijau sebagai penghubung,

dalam jangka waktu beberapa tahun, kemungkinan besar akan terjadi kepunahan

karena terjadiya perkawinan antar keluarga dekat (Imbreeding). Koridor hijau

sangat penting sebagai jalur jelajah burung agar terhindar dari keterkungkungan

dalam satu tempat, koridor hijau dapat berperan sebagai batu loncatan atau

wilayah jelajah burung untuk berpindah dari satu blok kawasan hijau ke blok

lainnya (Rombang, 2008; Wardojo, 2008). Faktor lain yang dapat mempengaruhi

kehidupan burung adalah kebisingan. Penelitian Morrison (1986) (dalam

Suryowati, 2000), melaporkan bahwa suara gaduh dan suara kendaraan bermotor

juga dapat mengubah kebiasaan dan pergerakan berbagai jenis burung.

2.1.3 Manfaat Burung

Burung adalah indikator alami kebersihan dan mutu lingkungan perkotaan

(Rombang, 2008). Hal ini terbukti dengan adanya beberapa jenis burung yang

tidak mampu hidup di lingkungan yang tercemar. Menurut Kristanto dan Dedy

(2011) Selain sebagai bioindikator pencemaran lingkungan, manfaat lain dari

burung adalah:

Membantu mengendalikan serangga hama, proses penyerbukan bunga dan

pemencar biji. Hal tersebut dapat menjadikan burung sebagai indikator

kualitas lingkungan karena apabila terjadi degradasi lingkungan, burung

menjadi komponen alam terdekat yang langsung terkena dampak.

11

Mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi. Ekspor burung sebagai

komoditi non migas mempunyai potensi besar, komoditi yang terkenal yaitu

sarang walet, yang dihasilkan oleh beberapa jenis walet seperti jenis walet

sarang putih (Collocalia fuchipaga). Produksi sarang walet ini tidak hanya

mampu menambah devisa negara, tetapi juga secara tidak langsung telah

menjaga produksi padi, karena walet umumnya memakan serangga di

sekitar persawahan.

Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi rekreasi. Kecenderungan

masyarakat untuk ingin menikmati keindahan warna bulu, kemerduan bunyi

ataupun kecakapan burung yang dapat dilihat di kebun binatang, taman

burung dan taman safari. Jenis rekreasi ini juga dapat dinikmati di

lingkungan pemukiman dengan menghadirkan burung di lingkungan

pemukiman dengan menanam pohon di pekarangan rumah.

Obyek untuk pendidikan dan penelitian. Banyak ekologiawan yang

mengembangkan konsep ilmunya berasal dari mempelajari burung.

2.1.4 Jenis Burung yang Terdapat Di Jakarta

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, terdapat beberapa jenis burung

mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi di Jakarta.

Umumnya burung-burung di perkotaan bukan merupakan penerbang yang kuat

dan lebih banyak bertengger atau berada dekat dengan permukaan tanah. Hasil

penelitian sebelumnya menunjukkan sebagian besar jenis burung yang terdapat di

kota Jakarta merupakan jenis burung pemakan serangga. Pernyataan tersebut

12

dibuktikan dalam penelitian Rosanna, 2005; Suryowati, 2000; dan Ernawati;

2002. Hal itu disebabkan karena sebagian besar jenis pohon yang ditanam pada

ruang terbuka hijau kota Jakarta merupakan jenis pohon penyedia serangga.

Jenis- jenis burung yang sering dijumpai di Ruang Terbuka Hijau Jakarta,

pada survey terdahulu dapat dikelompokkan berdasarkan suku antara lain:

Silviidae. Suku ini dibagi menjadi enam kelompok yaitu; Remetuk; Cikrak;

Kerakbasi, Kecici, dan Cicakoreng; Cinenen; dan Prenjak; Tesia buntut

tumpul dan Ceret (MacKinnon dkk). Menurut hasil penelitian Ernawati

(2002), jenis burung dari suku ini merupakan yang paling banyak dijumpai

di ruang terbuka hijau. Jenis burung yang ditemukan di Jakarta adalah

Remetuk Laut (Gerygone sulphurea), Cinenen Pisang (Orthotomus

sutorius), dan Prenjak Jawa (Prinia familiaris) (Kristanto dan Dedy, 2011).

Muscicapidae. Suku burung ini merupakan pemakan serangga, dengan ciri

morfologi, kepala bulat, paruh runcing kecil berpangkal lebar. Dapat dibagi

menjadi tiga kelompok utama yaitu; Sikatan asli, Kipasan, dan Sikatan Raja

(MacKinnon dkk). Jenis burung dari suku ini yang dapat dijumpai di Jakarta

adalah Kipasan Belang (Rhipidura javanica), dan Sikatan Emas (Ficedula

zanthopygia) (Kristanto dan Dedy, 2011).

Nectariidae. Jenis burung pada suku ini umumnya memakan nektar, tetapi

ada juga yang pemakan serangga dan sari bunga (MacKinnon dkk). Jenis

burung dari suku ini yang dijumpai di Jakarta adalah Burung Madu Sriganti

(Cinnyris jugularis), dan Burung Madu Kelapa (Anthereptes malacensis)

(Fadliah, 2010).

13

Dicaeidae. Burung dari suku ini memiliki bentuk paruh yang bervariasi, dari

tajam-meruncing sampai tebal. Hidup di puncak-puncak pohon, memakan

serangga kecil dan buah-buahan kecil (MacKinnon dkk). Jenis burung yang

dijumpai di Jakarta adalah Cabai Jawa (Dicaeum trochileum) (Ernawati,

2002; Fadliah, 2010; Rosanna, 2005; Suryowati, 2000).

Laniidae. Merupakan jenis burung pemangsa, dengan bentuk kepala yang

besar, paruh menakik dengan gigi kuat mengait pada ujungnya. Bertengger

pada semak rendah, kabel telepon atau tiang. Bentuk sarang mangkuk

terbuka, yang diletakkan pada percabangan pohon (MacKinnon dkk). Jenis

yang terdapat di Jakarta adalah Bentet Kelabu (Lanius schach) (Ernawati,

2002; Kristanto dan Dedy, 2011; Suryowati, 2000)

Ploceidae. Burung yang termasuk suku ini, memiliki bentuk tubuh yang

berukuran kecil, paruh tebal-pendek, pakannya berupa biji-bijian

(MacKinnon dkk). Jenis yang ditemukan di Jakarta adalah Bondol Jawa

(Lonchura leucogastroides), Bondol Haji (Lonchura maja), Bondol dada

sisik (Lonchura punculata), Bondol Hitam (Lonchura malacca) dan Burung

gereja (Passer montanus).

Paridae. Merupakan burung petengger yang berukuran kecil, yang

bersarang di lubang pohon (MacKinnon dkk). Jenis yang dapat ditemukan di

Jakarta adalah Gelatik Batu Kelabu (Parus major) (Ernawati, 2002; Fadliah,

2010; Kristanto dan Dedy, 2011; Rosanna, 2005).

Oriolidae. Merupakan pemakan buah dan serangga, yang sarangnya berupa

mangkuk tersulam rapi yang terdiri atas akar-akar dan serat-serat jalin

14

berjalin, didukung oleh ranting dan bergantung di cabang pohon

(MacKinnon dkk). Jenis yang dapat ditemukan di Jakarta adalah Kepudang

Kuduk Hitam (Oriolus chinensis) (Ernawati, 2002; Fadliah, 2010; Kristanto

dan Dedy, 2011; Suryowati, 2000).

Pycnonotidae. Ciri morfologi dari burung ini adalah memiliki leher dan

sayap pendek, ekor agak panjang dan paruh ramping, bulu halus dan lembut,

beberapa jenis berjambul tegak (MacKinnon dkk). Jenis yang biasa dijumpai

di Jakarta adalah Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), dan Merbah

Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) (Ernawati, 2002; Fadliah, 2010; Kristanto

dan Dedy, 2011; Suryowati, 2000).

Campephagidae. Burung pada suku ini, memiliki warna bulu yang buram,

hitam-putih, atau abu-abu. Jenis pakan serangga, dan beberapa jenis juga

pemakan buah-buahan (MacKinnon dkk). Kapasan Kemiri (Lalage nigara)

merupakan satu-satunya jenis burung pada suku Campephagidae yang dapat

ditemukan di Jakarta (Kristanto dan Dedy, 2011).

Hirundinidae. Memiliki bentuk badan ramping, dan sayap yang panjang

meruncing, biasa hidup berkelompok dan menangkap serangga di udara,

berburu di sepanjang sungai atau terbang melingkar di udara. Mirip seperti

walet, tetapi terbang lebih lamban, dengan sayap setengah tertutup. Sering

bertengger pada pohon, kawat telepon, antena televisi, tiang, atau rumah

(MacKinnon dkk). Jenis yang dapat ditemukan di Jakarta hanya Layang-

layang Batu (Hirundo tahitica) (Kristanto dan Dedy, 2011).

15

Zosteropidae. Memiliki lingkar bulu keperakan di sekitar mata (terlihat

seperti kacamata) dan dinamakan burung kacamata. Umumnya berukuran

kecil dan bulu berwarna zaitun kehijauan atau kekuningan, paruh kecil,

ramping, dan sedikit melengkung, sayap pendek dan kaki kecil kuat

(MacKinnon dkk). Jenis burung Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus)

merupakan burung pada suku ini yang dapat ditemukan di Jakarta (Kristanto

dan Dedy, 2011).

Artamidae. Merupakan burung pemakan serangga yang memiliki ekor

pendek dan bentuk sayap segitiga panjang, paruh kuat. Biasa menangkap

serangga sambil terbang melayang dan melingkar (MacKinnon dkk). Hanya

terdapat satu jenis yaitu Kekep Babi (Artamus leucorhynchus) yang umum

ditemukan di Jakarta pada kawasan pesisir, sawah, kebun, taman kota

hingga pemukiman (Kristanto dan Dedy, 2011).

Chloropseidae. Tubuh berukuran kecil sampai sedang, dengan warna hijau,

memiliki kaki pendek dan kuat serta paruh panjang dan sedikit melengkung.

Kebanyakan jenis pemakan buah-buahan dan atau serangga. Burung pada

suku ini biasa membuat sarang seperti mangkuk yang diletakkan di ujung

cabang pohon atau pada semak berdaun lebat (MacKinnon dkk). Pada

beberapa penelitian yang menggunakan lokasi di ruang terbuka hijau

Jakarta, menemukan jenis burung dari suku ini hanya jenis Cipoh Kacat

(Aegithia tiphia).

Picidae. Merupakan suku burung pelatuk yang mempunyai dua jari

kebelakang seperti takur, tetapi memiliki warna bulu yang menyerupai

16

burung pipit. Memiliki paruh pendek dan kuat, tanpa bulu kumis. Bersarang

pada lubang pohon dan memakan lebah dan tawon (MacKinnon dkk). Jenis

yang dapat ditemukan di Jakarta adalah Caladi Tilik (Dendrocopus

moluccensis) dan Caladi Ulam (Dendrocopus macei).

Capitonidae. Suku burung kerabat dekat dengan pelatuk, mempunyai

kebiasaan yang sama, yaitu membuat lubang pada pohon untuk sarang.

Memakan buah-buahan terutama menyukai buah ara yang kecil, biji, dan

bunga. Jenis yang dapat dijumpai di Jakarta adalah Takur Ungkut-ungkut

(Megalaima haemacephala).

Alcedinidae. Memiliki kaki dan ekor yang pendek, kepala besar, paruh

panjang kuat. Pemakan serangga atau vertebrata kecil, beberapa jenis

memangsa ikan (MacKinnon dkk). Berdasarkan hasil survey oleh Kristanto

dan Dedy (2011), jenis yang ditemukan di Jakarta adalah jenis Raja Udang

Meninting (Alcedo meninting), Raja Udang Biru (Alcedo coerulescens), dan

Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris)

Apodidae. Merupakan suku burung pemakan serangga, terbang cepat, dan

tersebar luas di dunia. Memiliki ciri khas sayap panjang dan runcing,

menunjuk kebelakang saat terbang, ekor pendek persegi atau panjang

menajam, kaki sangat kecil dan jarang bertengger di pohon (MacKinnon

dkk). Jenis yang dapat ditemukan di Jakarta adalah Walet Linchi (Collocalia

linchi) dan Kapinis Rumah (Apus affinis).

Psittacidae. Memiliki bentuk kepala yang besar dengan paruh bengkok, kaki

kuat dan lincah dengan dua jari kaki menghadap ke belakang. Kebanyakan

17

jenisnya memakan buah-buahan, biji-bijian, dan tepung sari (MacKinnon

dkk). Jenis Betet Biasa (Psittacula alexandri) dan Kakatua Jambul Kuning

(Cacatua sulphurea) dapat ditemukan di Kebun Binatang Ragunan.

Columbidae. Makanan utama burung yang tergolong pada suku ini adalah

buah-buahan dan biji-bijian. Dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu;

Punai/walik (Treron, Ptilinopus), Pergam (Ducula, Columba), dan Merpati

tanah (Macropygia, Streptopelia, Geopelia, dan Caloenas) (MacKinnon

dkk). Jenis yang dapat dijumpai di Jakarta adalah Punai Gading (Treron

vernans), dan Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis).

2.2 Jalur Hijau

Definisi jalur hijau menurut Menteri Pekerjaan Umum nomor:

05/PRT/M/2008, adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya

yang terletak di dalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang

pengawasan jalan (RUWASJA). Sering disebut jalur hijau karena dominasi

elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau.

Sedangkan menurut BIPR DirJen PR Kemen PU (2012), jalur hijau jalan adalah

pepohonan, rerumputan, dan tanaman perdu yang ditanam pada pinggiran jalur

pergerakan di samping kiri-kanan jalan dan median jalan. RTH jalur pengaman

jalan terdiri dari RTH jalur pejalan kaki, taman pulo jalan yang terletak di tengah

persimpangan jalan, dan taman sudut jalan yang berada di sisi persimpangan jalan.

Median jalan adalah ruang yang disediakan pada bagian tengah dari jalan untuk

18

membagi jalan dalam masing-masing arah yang berfungsi mengamankan ruang

bebas samping jalur lalu lintas.

Manfaat langsung jalur hijau, yaitu membentuk keindahan dan

kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual

(kayu, daun, bunga, buah). Sedangkan manfaat tidak langsung (berjangka

panjang), yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan

kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala

isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati)

(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 05/PRT/M/2008).

Jalur hijau jalan atau jalur hijau jalan, Ruang terbuka hijau pada kriteria ini

disediakan dengan penempatan tanaman antara 20–30% dari ruang milik jalan

(RUMIJA) sesuai dengan kelas jalan. Untuk menentukan pemilihan jenis

tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan persyaratan

penempatannya. Disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat,

yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah (Permen

PU nomor: 05/PRT/M/2008).

Gambar 1. Contoh tata Letak Jalur Hijau Jalan (Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum nomor: 05/PRT/M/2008)

Wilayah Jakarta Timur memiliki jalur hijau sebanyak 27 jalur (Sudin

pertamanan kota administrasi Jak-Tim, 2011). Lokasi yang digunakan dalam

19

penelitian ini adalah jalur hijau jalan raya Halim Perdana Kusuma, Raden Inten,

dan I Gusti Ngurah Rai. Ketiga jalur hijau tersebut memiliki karakteristik yang

berbeda, seperti luasan dan komposisi jenis tumbuhan, dan kondisi lingkungan

sekitar yang berbeda.

Jalur hijau jalan raya Halim Perdana Kusuma, merupakan jalur hijau yang

sejuk karena didominasi oleh pohon Mimusops elengi (Tanjung). Terdapat jalan

trotoar dan berbatasan dengan ruang terbuka hijau seperti lapangan golf, lahan

perkebunan, dan sawah. Jalan raya Halim Perdana Kusuma ini merupakan akses

utama menuju bandar udara Halim Perdana Kusuma. Luas jalur hijau ini adalah

45.000 m2 dengan panjang jalur kurang lebih 2 Km.

Jalur Hijau Jalan raya Raden Inten terletak di daerah Duren Sawit. Luas

jalur hijau ini adalah 18.600 m2 dengan panjang jalur kurang lebih 1,2 Km. Jenis

tumbuhan yang terdapat pada jalur ini adalah Swietenia mahagoni (Mahoni),

Ficus benjamina (Beringin), Pterocarpus indicus (Angsana), dan Callistemon

lanceolatus (Bunga Sikat botol).

Jalur hijau jalan raya I Gusti Ngurah Rai terletak di daerah Pondok Kopi.

Luas jalur hijau ini adalah 3.965 m2 dengan panjang jalur kurang lebih 700 m.

Berdasarkan letaknya, jalur hijau pada jalan raya ini didominasi pada bagian

median jalan, sedangkan tepi jalan raya ini didominasi oleh bangunan. Terdapat

stasiun Kereta Rel Listrik (KRL), dan lintasan kereta api yang bersebelahan

dengan jalur ini.

20

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Agustus 2012.

Pengamatan burung dilakukan pada pagi hari pukul 05.30 WIB sampai dengan

pukul 08.00 WIB, dan sore hari pada pukul 15.30 WIB sampai pukul 17.30.

Waktu tersebut adalah saat burung mulai aktif, dan kondisi jalan yang belum

dipadati kendaraan bermotor, dan saat burung mulai kembali ke sarang. Lokasi

penelitian menggunakan tiga jalur hijau yang berada di wilayah Jakarta Timur,

yaitu Jalan Raya Halim Perdanakusuma, Jalan Raden Inten, dan Jalan I Gusti

Ngurah Rai (Gambar 2).

3.2 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: teropong

(Binocular), jam tangan digital, thermometer, anemometer, luxmeter, hygrometer,

Sound level meter, Kamera Digital SLR Canon dengan lensa 55mm-250mm, alat

tulis, lembar pengamatan, dan buku panduan lapangan “Burung-burung di

Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan” (MacKinnon dkk, 2010) dan “Burung Ibu

Kota” (Kristanto & Dedy, 2011). Objek yang digunakan adalah jenis burung,

jumlah individu dan aktifitas burung yang dijumpai di lokasi pengamatan, serta

jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh burung.

Gambar 2. Denah Lokasi Tiga Jalur Hijau (maps.google.co.id)

Jalan Raden Inten

Jalan I Gusti Ngurah Rai

Jalan Halim Perdanakusuma

22

3.3 Metode Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian kali ini adalah metode

deskriptif dengan teknik pengambilan data menggunakan metode survey dan

pengumpulan data burung menggunakan metode titik hitung (Point Count)

dengan mengikuti transek. Pengambilan data berupa jenis tanaman, dan

penggunaan tanaman oleh burung yang berada di dalam plot penelitian.

3.3.3 Pengamatan Burung, Vegetasi dan Faktor Fisik Lingkungan

Pengamatan burung dilakukan pada pagi dan sore hari saat burung mulai

aktif, dan saat burung mulai kembali ke sarang. Pengamatan diulang sebanyak

tujuh kali pada hari yang berbeda, artinya setiap lokasi dilakukan pengamatan

selama tujuh hari. Metode yang dilakukan pada pengamatan burung, merupakan

kombinasi dari titik hitung (point count) dan metode jalur (transek). Pada metode

ini pengamat berjalan sepanjang jalur yang sudah ada dan berhenti pada titik

tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Metode ini menggunakan panjang

transek atau jarak minimal antar titik pengamatan adalah 200 meter, dengan

periode pengamatan adalah selama 10 menit dan waktu penyesuaian awal adalah 1

menit (Gregory dkk, 2004). Jumlah plot masing-masing jalur adalah 3 titik, yaitu 2

titik pada masing-masing ujung jalur dan 1 titik di tengah jalur (Gambar 3).

Penentuan ini dengan asumsi bahwa titik tersebut cukup mewakili jenis burung

yang terdapat di lokasi penelitian dan kondisi lingkungan dalam satu jalur adalah

sama.

23

Gambar 3. Plot pengamatan di jalur hijau jalan

Pengamatan vegetasi yang meliputi, pencatatan jumlah individu tumbuhan,

pencatatan jenis tumbuhan yang berada dalam titik pengamatan, dan aktifitas

burung yang berlangsung di pohon. Pengukuran faktor fisik lingkungan berupa

suhu, intensitas cahaya, kelembaban, kecepatan angin, dan tingkat kebisingan

dilakukan sebelum dan sesudah pengamatan burung dalam satu plot. Pengamatan

burung dengan cara mencatat ciri umum fisik dan perkiraan ukuran tubuh burung

yang terlihat pada titik pengamatan. Identifikasi jenis burung berdasarkan

kombinasi dari beberapa ciri khas, termasuk penampakan umum, suara, dan

tingkah laku (MacKinnon, 2010). Ciri tersebut kemudian dicocokkan dengan

buku panduan lapangan sebagai referensi identifikasi.

3.4 Teknik Analisis Data Jenis Burung

Data keanekaragaman jenis burung yang diperoleh kemudian ditentukan

tingkat keanekaragaman jenis, kelimpahan relatif, frekuensi atau sebaran burung,

dominansi atau kerapatan burung, dan indeks kesamaan jenis.

24

3.4.1 Frekuensi atau Sebaran Burung

Tingkat keseringan suatu jenis burung yang dijumpai di areal pengamatan,

dapat ditentukan menggunakan rumus frekuensi jenis. Semakin tinggi nilai

frekuensi suatu jenis burung berarti penyebaran jenis burung itu tinggi (Ferianita,

2007). Rumus frekuensi suatu jenis adalah sebagai berikut:

Fr = fi x 100%

Dimana fi =

3.4.2 Kelimpahan Relatif

Kelimpahan merupakan total jumlah individu burung yang ditemukan

selama pengamatan. Indeks kelimpahan memberikan gambaran suatu komposisi

jenis dalam komunitas. Menurut Ferianita (2007), kelimpahan relatif (Kr) dapat

dihitung menggunakan rumus:

Kr =

3.4.3 Nilai Penting

Nilai penting (NP) untuk setiap jenis burung diperoleh dengan cara

menjumlahkan nilai kelimpahan relatif (Kr) dan nilai frekuensi relatif (Fr) dari

jenis burung yang dijumpai.

NP = Kr + Fr

25

3.4.4 Indeks Dominansi

Tingkat dominansi suatu spesies dapat ditentukan menggunakan Indeks

Dominansi Simpson menurut Odum (1996), dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan : D = Indeks dominansi Simpson

ni = Jumlah individu -i

N = Jumlah total individu seluruh

Bila persentase > 5% merupakan species pre-dominan,

Bila persentase 2-5% merupakan species sub-dominan, dan

Bila persentase < 2% merupakan species tidak dominan.

3.4.5 Keanekaragaman Jenis

Tingkat keanekargaman jenis burung dapat diketahui dengan

menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Wienner yang diacu dalam Ferianita

(2007), sebagai berikut:

Di mana H’ = nilai index Shannon-Wiener, dan pi = proporsi dari tiap species i.

Pi=

Jadi, H’ adalah jumlah dari seluruh pi ln pi untuk semua species dalam komunitas.

Jika komunitas hanya memiliki 1 species, maka H’ = 0. Semakin tinggi nilai H’

mengindikasikan semakin tinggi jumlah species dan semakin tinggi kelimpahan

26

relatifnya. Nilai indeks <1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah,

selanjutnya nilai yang berkisar antara 1,5-3,5 menunjukkan nilai keanearagaman

yang sedang dan nilai >3,5 menunjukkan nilai keanekaragaman tinggi (Odum,

1996).

3.4.6 Keseragaman

Keanekaragaman jenis burung pada suatu lokasi dipengaruhi oleh

keseragaman atau sebaran kelimpahan tiap-tiap jenis dalam komunitas (Fadliah,

2010). Keseragaman komunitas dapat ditentukan dengan rumus:

e =

. S

S = banyaknya jenis individu atau species,

e = merupakan nilai indeks kesamaan atau keseimbangan antara jenis, dan

H’ = merupakan indeks keanekaragaman

3.4.7 Indeks Kesamaan Jenis

Indeks kesamaan jenis adalah untuk membandingkan komunitas burung

antar berbagai tipe habitat. Perhitungan indeks kesamaan jenis Sorensens sebagai

berikut:

IS =

IS = Indeks kesamaan jenis

a/b = Jumlah jenis burung yang hanya terdapat pada komunitas a/b

c = Jumlah jenis burung yang terdapat pada kedua komunitas

27

3.5 Analisis Komponen Yang Berpengaruh Terhadap Kehadiran Burung

Analisis komponen utama (Principal Componenet Analysis), digunakan

dalam menganalisis faktor fisik lingkungan yang memepengaruhi kehadiran jenis

burung dalam suatu lokasi. Principal Componenet Analysis (PCA) merupakan

metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan dalam bentuk

grafik, maksimum informasi yang terdapat dalam suatu matriks data. Analisis

komponen utama ini menggunakan perangkat lunak SPSS IBM 20 for Windows.

3.6 Analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA)

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengelompokkan jenis burung

berdasarkan faktor lingkungan. Hasil analisis ini menunjukkan kehadiran jenis

burung yang dapat dikelompokkan berdasarkan parameter-parameter lingkungan

yang mempengaruhinya. Analisis CCA ini menggunakan perangkat lunak

CANOCO for Windows 4.5.

3.7 Korelasi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dengan Keanekaragaman

Jenis Burung

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keanekaragaman

burung dengan jumlah jenis tumbuhan, dengan pengujian menggunakan korelasi

Pearson product moment dengan perangkat lunak SPSS IBM 20 for Windows.

Koefisien korelasi Pearson product moment mengukur tingkat keeratan hubungan

diantara hasil-hasil pengamatan dari populasi yang mempunyai dua varian.

28

3.8 Tingkat Penggunaan Vegetasi oleh Burung

Teknik analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penggunaan jenis

tumbuhan oleh burung, setiap jenis tumbuhan digunakan oleh burung sebagai

tempat untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti mencari makan (Feeding),

membersihkan bulu dan bertengger (Resting), bergerak dan sosial (Social)

maupun bersarang (Nest). Penggunaan vegetasi oleh burung dapat dihitung

dengan menggunakan rumus:

Ft = Fungsi suatu jenis vegetasi bagi burung

St = Banyaknya jenis burung yang menggunakan suatu jenis vegetasi pada plot

pengamatan

Sp = Seluruh jenis burung pada plot pengamatan yang terdapat suatu jenis

vegetasi tersebut

Skala Gambar

Skala yang terdapat pada foto hasil penelitian diperoleh dengan mengukur

objek burung pada hasil foto, kemudian dihitung menggunakan rumus:

3.9

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lingkungan Lokasi Penelitian

Tata letak jalur hijau jalan yang berada di wilayah Jakarta Timur terdapat

di sisi trotoar dan median jalan. Keberadaan jalur hijau biasa dimanfaatkan untuk

peneduh pejalan kaki, aktifitas olahraga pada pagi hari ataupun untuk berdagang.

Jalur hijau yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kondisi yang berbeda,

kondisi lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Lokasi Penelitian

Karakteristik

Jalur Hijau

Halim Perdana

Kusuma

Jalur Hijau

Raden Inten

Jalur Hijau

I Gusti Ngurah

Rai

Kondisi

umum lokasi

pengamatan

Ruang terbuka Lapangan golf,

ladang, dan

hutan kota

kompleks

landasan udara.

Semak terbuka,

kebun penelitian

dan banjir kanal

Timur.

Tidak ada

Rel kereta api dan

stasiun

Tidak ada Tidak ada ada

Vegetasi

Jumlah vegetasi 12 spesies 5 spesies 9 spesies

Vegetasi dominan

berdasarkan indeks

dominansi

Tanjung

(Mimusops

elengi).

Mahoni

(Swietenia

mahagoni).

Kaliandra

(Albizia

saman).

Aktifitas

manusia

yang dapat

mengganggu

burung

Kebisingan

kendaraan

bermotor

Ada Ada Ada

Kebisingan kereta

api

Tidak ada Tidak ada ada

Penangkapan

burung

Ada Ada Tidak ada

Olahraga pagi di

trotoar

Ada Tidak ada Tidak ada

Berjualan di trotoar Tidak ada Ada Tidak ada

Pertanian Ada Tidak ada Tidak ada

30

Perbedaan karakteristik lokasi penelitian Tabel 1. Ketiga lokasi penelitian

memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, jalur hijau jalan Halim Perdana

Kusuma terletak di jalan utama menuju landasan udara Halim Perdana kusuma, di

sisi jalur ini terdapat beberapa ruang terbuka. Jalur hijau jalan Raden Inten

berlokasi di daerah Duren Sawit, terletak dekat dengan ruang terbuka, di sisi jalur

ini merupakan perumahan dan pertokoan, tanaman di lokasi ini memiliki tutupan

tajuk yang rapat. Jalur hijau I Gusti Ngurah Rai terletak di daerah Pondok Kopi, di

sisi jalur ini terdapat stasiun dan rel kereta api, pertokoan dan perumahan

penduduk.

Tabel 2. Faktor Fisik Lingkungan Lokasi Penelitian

Parameter fisik

lingkungan

Jalur Hijau

Halim Perdana

Kusuma (HPK)

Jalur Hijau

Raden Inten (RI)

Jalur Hijau

I Gusti Ngurah

Rai (IGNR)

Suhu udara (°C) 29,3 ± 0,83

30,4 ± 0,58

29,4 ± 0,22

Kelembaban udara (%) 70,5 ± 7,29

66,9 ± 7,84

66,7 ± 7,22

Intensitas cahaya (Klx) 6,5 ± 1,58

5,0 ± 1,37

9,3 ± 2

Kecepatan angin (m/s) 0,3 ± 0,01

0,6 ± 0,04

0,6 ± 0,12

Kebisingan (dB) 79,0 ± 3,06

85,5 ± 1,03

85,9 ± 1,12

Kondisi faktor fisik lingkungan ketiga lokasi penelitian memiliki nilai

yang berbeda. Perbedaan faktor fisik lingkungan berupa suhu, kelembaban,

intensitas cahaya, kecepatan angin, dan kebisingan di lokasi penelitian tercantum

dalam Tabel 2. Jalur hijau Halim Perdana Kusuma memiliki nilai tingkat

kelembaban relatif yang paling tinggi diantara lokasi lainnya. Hal tersebut dapat

terjadi karena jalur hijau ini memiliki tanaman yang paling banyak yaitu 92

individu tanaman (Lampiran 4). Banyaknya tanaman yang terdapat di lokasi

31

Halim Perdana Kusuma menjadikan lokasi ini memiliki nilai faktor fisik berupa

kecepatan angin dan tingkat kebisingan yang paling rendah, karena pohon dapat

meredam kecepatan angin yang melintas dan meredam kebisingan.

Suhu udara di jalur hijau Raden Inten merupakan yang tertinggi

dibandingkan dua jalur hijau lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya

jumlah individu tanaman yang terdapat di lokasi ini, sehingga fungsi tanaman

sebagai peneduh belum dapat dirasakan di lokasi ini. Tutupan tajuk tanaman di

lokasi ini merupakan yang paling rimbun diantara lokasi penelitian lainnya

sehingga di lokasi ini memiliki nilai intensitas cahaya yang paling rendah

dibandingkan lokasi lainnya.

Jalur hijau I Gusti Ngurah Rai memiliki nilai intensitas cahaya, kecepatan

angin, dan tingkat kebisingan yang lebih tinggi dibandingkan dua jalur hijau

lainnya. Tingginya nilai intensitas cahaya, dapat disebabkan oleh kondisi vegetasi

yang memiliki tutupan tajuk yang jarang. Tanaman di jalur hijau ini didominasi

oleh tanaman yang terdapat di median jalan sehingga angin yang melintas tidak

dapat diredam dan menyebabkan tingginya kecepatan angin di lokasi ini. Tingkat

kebisingan yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya kereta yang melintas dan

kebisingan stasiun kereta api yang terdapat di sisi jalur hijau ini.

4.2 Keanekaragaman Jenis Burung

Hasil pengamatan di lapangan selama bulan April 2012 sampai bulan Mei

2012 di jalan raya Halim Perdana Kusuma, Raden Inten, dan I Gusti Ngurah Rai,

diperoleh 23 jenis burung dari 15 suku. Jenis dan suku burung yang dijumpai

32

dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Indeks keanekaragaman jenis burung

di lokasi penelitian berkisar antara 1,897 hingga 2,694. Nilai indeks tersebut

termasuk dalam kategori sedang (Odum, 1971).

Gambar 4. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung di Lokasi Penelitian

Nilai indeks keanekaragamanan jenis burung di tiga lokasi berbeda-beda,

perbedaan nilai tersebut dapat dilihat dalam Gambar 4. Jalur hijau yang memiliki

nilai indeks keanekaragaman tertinggi adalah jalur hijau Halim Perdana Kusuma

(H’ = 2,694), kemudian Jalur Hijau Raden Inten (H’= 2,448), dan tingkat

keanekaragaman terendah adalah jalur hijau I Gusti Ngurah Rai (H’= 1,897).

Perbedaan nilai indeks keanekaragaman dapat dikarenakan kondisi fisik dan

faktor fisik lingkungan di seluruh lokasi penelitian berbeda.

Jalur hijau Halim Perdana Kusuma memiliki nilai indeks keanekaragaman

jenis burung tertinggi (H’= 2,694) dan jumlah individu terbanyak yaitu, 154

individu (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena lokasi penelitian ini memiliki luasan

tertinggi diantara lokasi lainnya, dan letak yang berdekatan dengan ruang terbuka

hijau, seperti lapangan golf dan kebun pertanian (Tabel 1), yang dapat

menyediakan banyak sumber pakan bagi burung. Lokasi ini memiliki 12 jenis

tanaman, jumlah tersebut merupakan jumlah jenis tanaman terbanyak diantara

2,694 2,448

1,897

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

Halim Perdana

Kusuma

Raden Inten I Gusti Ngurah Rai

Lokasi Penelitian

33

lokasi penelitian (Lampiran 4). Faktor lain yang mendukung kehidupan burung

pada lokasi ini adalah rendahnya tingkat kebisingan (Tabel 2). Apabila kebisingan

melebihi batas toleransi, maka akan mengganggu burung (Suryowati, 2000).

Tingkat keanekaragaman jenis burung (H’) di jalur hijau Raden Inten

adalah 2,448. Jumlah individu yang dijumpai pada lokasi ini sebanyak 115 ekor

(Tabel 3). Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan jalur hijau Halim Perdana

Kusuma, namun tidak lebih rendah dibandingkan jalur hijau I Gusti Ngurah Rai.

Hal tersebut dapat dikarenakan jalur hijau ini memiliki tingkat kebisingan yang

lebih tinggi daripada jalur hijau Halim Perdana Kusuma, namun tingkat

kebisingan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan jalur hijau I Gusti Ngurah

Rai. Selain itu keberadaan burung di jalur hijau ini terganggu oleh adanya

pemukiman dan adanya pedagang yang berjualan di trotoar. Aktifitas manusia

dapat menjadi pengganggu burung sehingga burung tidak dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya dengan baik (Dewi, 2005).

Jalur hijau I Gusti Ngurah Rai memiliki indeks keanekaragaman burung

1,897, dan jumlah individu burung yang dijumpai sebanyak 90 ekor (Tabel 3),

nilai ini merupakan yang terendah dibandingkan lokasi lainnya. Rendahnya

tingkat keanekaragaman jenis burung di lokasi ini disebabkan karena minimnya

luas area jalur hijau ini. Area yang sempit tidak mampu menampung

keanekaragaman jenis burung yang tinggi, selain itu ketersediaan kebutuhan hidup

burung juga terbatas pada areal yang sempit (Dewi, 2005). Penyebab lain dari

rendahnya keanekaragaman jenis di jalur ini adalah, lokasi ini memiliki tingkat

kebisingan tertinggi (85,9 ± 1,2 dB) dibandingkan dengan lokasi lain.

34

Tabel 3. Jenis Burung Berdasarkan Sukunya yang dijumpai dalam Penelitian

Suku-Spesies Nama Lokal lokasi

Jumlah Status

konservasi HPK RI IGNR

Columbidae

1 Streptopelia chinensis Tekukur Biasa 1 9 0 10 -

Apodidae

2 Collocalia linchi Walet Linci 5 9 4 18 -

3 Apus affinis Kepinis Rumah 3 8 5 16 -

Picidae

4 Dendrocopus moluccensis Caladi Tilik 0 1 0 1 -

Hirundinidae

5 Hirundo tahitica Layang-layang Batu 7 10 10 27 -

Campephagidae

6 Pericrocotus cinnamomeus Sepah Kecil 1 0 0 1 -

Chloropseidae

7 Aegithina tiphia Cipoh Kacat 3 0 0 3 -

Pycnonotidae

8 Pycnonotus aurigaster Kutilang 9 22 20 51 -

9 Pycnonotus goiavier Merbah cerukcuk 0 10 0 10 -

Paridae

10 Parus major Gelatik-batu Kelabu 4 0 0 4 -

Silviidae

11 Gerygone sulphurea Remetuk laut 22 7 5 34 -

12 Orthotomus sutorius Cinenen Pisang 9 0 0 9 -

13 Orthotomus ruficeps Cinenen Kelabu 13 0 1 14 -

14 Prinia familiaris Perenjak Jawa 2 0 0 2 -

Muscicapidae

15 Rhipidura javanica Kipasan Belang 2 0 0 2 UU/AB

Artamidae

16 Artamus leucorhynchus Kekep Babi 1 0 3 4 -

Nectariniidae

17 Anthreptes malacensis Burung-madu Kelapa 12 7 3 22 UU/AB

18 Cinnyris jugularis Burung-madu Sriganti 8 4 0 12 UU/AB

Dicaeidae

19 Dicaeum trochileum Cabai Jawa 20 15 8 43 -

Zosteropidae

20 Zosterops palpebrosus Kacamata Biasa 9 2 0 11 -

Ploceidae

21 Passer montanus Burung-gereja Erasia 8 7 31 46 -

22 Lonchura leucogastroides Bondol Jawa 0 4 0 4 -

23 Lonchura punctulata Bondol Peking 15 0 0 15 -

Total 154 115 90 359

ket

35

Keterangan

HPK : Halim Perdana Kusuma

RI : Raden Inten

IGNR : I Gusti Ngurah Rai

UU/AB : Undang-undang (UU) A) No.5 tahun 1990, B) Peraturan Pemerintah

(PP) No.7 tahun 1999

Berdasarkan Sukmantoro., dkk (2010), jenis burung yang dijumpai di

lokasi penelitian tidak ada yang memiliki status terancam kepunahan (IU), dan

status perdagangan (CI), namun terdapat jenis burung yang memiliki Status

perlindungan (UU) dalam Peraturan Republik Indonesia. Jenis burung yang

memiliki status tersebut adalah Kipasan Belang (Rhipidura javanica), Burung

Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) dan Burung Madu Sriganti (Cinnyris

jugularis). Ketiga jenis burung tersebut dilindungi oleh Undang-undang (UU)

No.5 tahun 1990, dan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999.

4.3 Komposisi Jenis Burung

Komposisi jenis burung yang dijumpai lokasi pengamatan berdasarkan

Suku, marga, dan jenis (Gambar 5), masing-masing jalur hijau memiliki

komposisi jenis burung yang berbeda, di jalur hijau Halim Perdana Kusuma

(HPK) terdapat 14 suku dan 20 jenis burung, jalur hijau Raden Inten (RI)

dijumpai 10 suku dan 14 jenis burung, sedangkan di jalur hijau I Gusti Ngurah

Rai (IGNR) hanya terdapat 8 suku dan 10 jenis burung. Hal ini dapat disebabkan

karena jenis tanaman yang tersedia di lokasi penelitian didominasi dengan jenis

tanaman yang berasosiasi dengan serangga sehingga terdapat banyak serangga

yang terdapat di pohon tersebut yang menjadi sumber pakan burung.

36

Gambar 5. Komposisi Jenis Burung di Lokasi Penelitian

Komposisi jenis burung yang dijumpai di seluruh lokasi penelitian terdiri

dari jenis burung pemakan serangga, biji-bijian, buah dan biji-bijian, serta

penghisap madu. Jenis burung pemakan serangga merupakan jenis burung yang

paling banyak ditemui, yaitu sebanyak 11 suku dengan 15 jenis. Jenis burung

pemakan biji-bijian yang dijumpai hanya suku Plocidae. Burung pemakan buah

dan serangga Chloropseidae, Pycnonotidae, dan Zosteropidae. Jenis burung

pemakan buah dan biji-bijian adalah suku Columbidae. Jenis burung penghisap

madu adalah suku Nectariniidae.

Gambar 6. Jumlah Jenis Burung Berdasarkan Suku di Lokasi Penelitian

1

2

0

1 1 1 1 1

4

1 1

2

1 1

2

1

2

1 1

0 0

2

0

1

0 0

2

1 1

2

0

2

0

1

0 0

1

0

2

0

1 1 1

0

1

Ju

mla

h J

en

is B

uru

ng

Suku Burung

HPK

RI

IGNR

14

10 8

19

13

10

20

14

10

0

5

10

15

20

25

Halim Perdana Kusuma Raden Inten I Gusti Ngurah Rai

Jalur Hijau

Suku

Marga

Jenis

37

Jenis burung yang dijumpai di tiga lokasi pengamatan yang berbeda dapat

dikelompokkan berdasarkan suku (Gambar 6). Jenis burung terbanyak di seluruh

lokasi penelitian berasal dari suku Silviidae yang merupakan suku pemakan

serangga, hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan di sepanjang

koridor Kebun Binatang Ragunan-Hutan Kota UI oleh Ernawati (2002). Hal ini

dapat disebabkan karena pakan burung dari suku ini banyak terdapat di lokasi

penelitian. Suku burung tersebut merupakan pemakan serangga yang terbagi

menjadi 6 kelompok (MacKinnon dkk., 2010). Jenis burung dari suku Silviidae

yang paling sering dijumpai dalam penelitian ini adalah jenis Remetuk Laut

(Gerygone sulphurea).

Suku burung yang hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma

(HPK) adalah Campephagidae, Chloropseidae, Paridae, dan Muscicapidae. Hal

tersebut dikarenakan suku tersebut senang mengunjungi lahan pertanian ataupun

hutan terbuka. Seperti suku Campephagidae yang dijumpai di lokasi penelitian

adalah jenis Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus). Jenis ini menyukai lahan

pertanian terbuka dan sedikit berhutan, terutama di dataran rendah, dan terkadang

mengunjungi pedesaan dan pinggiran kota yang berhutan (Holmes, 1999). Lokasi

jalur hijau Halim Perdana Kusuma dekat dengan ruang terbuka seperti lahan

pertanian maupun hutan kota, yang dapat mendukung jalur hijau tersebut sebagai

habitat burung.

Picidae merupakan suku burung pelatuk yang hanya dijumpai di jalur hijau

Raden Inten. Lokasi penelitian ini tersusun atas pepohonan tinggi yang rimbun,

38

sehingga dimungkinkan dapat dimanfaatkan sebagai tempat beristirahatnya

burung tersebut. Suku Artamidae hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana

Kusuma (HPK) dan I Gusti Ngurah Rai (IGNR). Burung dari suku ini dijumpai di

tempat terbuka, saat bertengger di tiang lampu maupun saat terbang. Burung ini

tidak dijumpai di Raden Inten dimungkinkan karena lokasi tersebut kurang

mendukung aktifitasnya.

Jumlah terbanyak dari suatu jenis burung di tiga jalur hijau yang diamati

memiliki nilai yang berbeda. Jenis burung yang memiliki kelimpahan terbesar

(Lampiran 1) di jalur hijau Halim Perdana Kusuma adalah jenis Remetuk

(Gerygone sulphurea) (14,29%), di jalur hijau I Gusti Ngurah Rai adalah jenis

Burung Gereja Eurasia (Passer montanus) (34,44%), sedangkan di jalur hijau

Raden Inten adalah jenis Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) (19,13%). Jenis

burung tersebut sangat umum terdapat di daerah perkotaan, karena merupakan

jenis burung pemakan biji-bijian, serangga kecil, buah-buahan kecil, dan ulat,

masing-masing bahan pakan tersebut mudah dijumpai di perkotaan.

Burung Gereja Eurasia (Passer montanus) memiliki daya adaptasi yang

cukup tinggi terhadap kondisi perkotaan (Suryowati, 2000). Passer montanus

merupakan jenis burung yang akrab dengan manusia, sering bergerombol di

bangunan rumah, rerumputan dan bersarang di atap rumah. Cucak Kutilang

(Pycnonotus aurigaster) merupakan jenis burung yang sering ditemui di

pepohonan yang terbuka, semak, taman atau jalur hijau kota, kebun sampai ke

hutan pinggir kota untuk mencari makan berupa buah-buahan kecil dan serangga

(Suryowati, 2000; MacKinnon, 2010; Kristanto dan Dedy, 2010). Kehadiran

39

Remetuk (Gerygone sulphurea) dapat didukung oleh kondisi habitat yang berupa

semak dan hutan terbuka (Desmawati 2010; MacKinnon dkk., 2010)

Tabel 4. Indeks kesamaan jenis burung di lokasi penelitian

HPK RI IGNR

HPK - 64,71% 68,97%

RI - - 69,57%

Hasil perhitungan Indeks Kesamaan Sorensen terhadap jenis burung

(Tabel 4), secara umum dapat diketahui jenis burung di lokasi penelitian memiliki

kesamaan komposisi jenis burung karena memiliki nilai indeks di atas 60%. Jalur

hijau Halim Perdana Kusuma dengan I Gusti Ngurah Rai memiliki kesamaan

yang paling tinggi yaitu 69,57%, walaupun jarak kedua jalur ini berjauhan, namun

hal ini dapat disebabkan karena kedua jalur hijau ini memiliki jenis tanaman yang

beranekaragam. Terdapat jenis tanaman yang sama yaitu Angsana (Pterocarpus

indicus) dan Dadap merah (Erythrina crista). Karakteristik suatu habitat akan

mempengaruhi jumlah jenis burung di suatu habitat tersebut, apabila dua habitat

yang berbeda jarak namun memiliki karakteristik habitat yang sama maka, jumlah

jenis burung yang ada tidak akan berbeda jauh (Lack, 1971). Penyebab lain dari

tingginya tingkat kesamaan jenis dari kedua lokasi ini adalah, seluruh jenis burung

yang dijumpai di jalur hijau I Gusti Ngurah Rai dijumpai pula di jalur hijau Halim

Perdana Kusuma.

40

Jalur hijau Halim Perdana Kusuma dan Raden Inten memiliki tingkat

kesamaan terendah yaitu 64,71%. Rendahnya tingkat kesamaan kedua jalur ini,

karena kedua jalur ini memiliki perbedaan karakteristik habitat. Jalur hijau Halim

Perdana Kusuma memiliki jenis vegetasi yang beranekaragam, sedangkan jalur

hijau Raden Inten hanya memiliki 5 jenis tanaman. Perbedaan jenis tanamanan

yang tersedia, maka ketersediaan pakan dan pendukung kebutuhan burung akan

berbeda pula. Penyebab lain dari rendahnya tingkat kesamaan jenis pada kedua

jalur ini adalah kedua jalur ini memiliki luasan jauh yang berbeda, kondisi

lingkungan yang berbeda, dan faktor fisik lingkungan yang berbeda pula.

Jenis burung yang dijumpai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis)

Gambar 7. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis) Terbang (Dok. Pribadi, 2012)

Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis) yang dijumpai dalam penelitian ini

merupakan jenis burung dengan ukuran terbesar (30 cm) yang dijumpai di lokasi

penelitian. Bentuk tubuh burung ini menyerupai burung dara, namun warna

tubuhnya hanya kombinasi warna coklat, putih, dan hitam. Bagian anterior tubuh

burung ini berwarna coklat muda dengan sayap berwarna coklat yang lebih gelap.

Skala 1:10

41

Bagian posterior tubuh (perut hingga tungging) berwarna putih. Kepala hingga

perut berwarna coklat muda. Ekor berukuran sedang, berbentuk membulat saat

terbang, berwarna hitam dan putih dibagian ujungnya yang menjadi ciri utama

dalam membedakan Tekukur Biasa dengan burung dara. Jenis pakan Tekukur

Biasa (Streptopelia chinensis) adalah biiji-bijian.

Berdasarkan hasil pengamatan jenis burung ini menyukai pepohonan yang

tinggi dan tutupan tajuk yang rapat seperti pohon Beringin (Ficus benjamina).

Jenis burung ini hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma dan Raden

Inten. Hal ini dapat dikarenakan tanaman yang terdapat di kedua jalur ini

merupakan pepohonan dengan ukuran yang cukup tinggi dan memiliki tajuk yang

rapat. Berbeda dengan kondisi pepohonan yang terdapat di jalur hijau I Gusti

Ngurah Rai yang memiliki tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat. Jenis burung ini

biasa hidup bersama manusia disekitar desa dan sawah, dan mencari makan di atas

permukaan tanah, berpasangan di jalan yang terbuka (MacKinnon dkk., 2010).

2. Walet Linchi (Collocalia linchi)

Walet Linchi (Collocalia linchi) merupakan jenis walet yang dapat dijumpai

di perkotaan. Jenis burung ini termasuk dalam suku Apodidae yang merupakan

burung pemakan serangga. Ukuran tubuh burung ini cukup kecil yaitu 9 cm.

Burung ini sering dijumpai hanya saat terbang, sepintas mirip seperti burung

layang-layang yang memiliki bentuk sayap yang meruncing. Cara membedakan

burung ini dengan walet saat terbang adalah dengan memperhatikan warna tubuh

bagian posterior. Bagian dagu hingga dada berwarna hitam, perut dan tungging

42

berwarna putih. Ekor berukuran pendek dengan ujung sedikit bercabang dan

berwarna hitam. Tubuh bagian anterior dan sayap burung ini berwarna hitam.

Walet jenis ini tidak dapat dibedakan dengan walet sapi (Collocalia esculenta),

namun bagian sayap berwarna hijau berkilap (MacKinnon dkk., 2010).

Gambar 8. Walet Linchi (Collocalia linchi) Terbang (Dok. Pribadi, 2012)

Berdasarkan hasil penelitian, burung ini dijumpai di seluruh lokasi

pengamatan. Burung ini tidak pernah dijumpai pada saat bertengger di pohon

maupun di tiang bangunan. MacKinnon (2010) menjelaskan bahwa burung dalam

suku Apodidae jarang bertengger di pohon, biasanya beristirahat dengan cara

bergantungan di dinding karang dengan kukunya yang tajam.

3. Kepinis Rumah (Apus affinis)

Kepinis Rumah (Apus affinis) merupakan jenis burung yang berasal dari suku

yang sama dengan walet linci (Collocalia linchi) yaitu Apodidae. Kepinis rumah

yang dijumpai dalam penelitian ini memiliki ukuran tubuh sekitar 11 cm, dan

sayap yang lebih lebar. Jenis burung ini sering dijumpai saat terbang, dengan

kepakan sayap yang cepat. Tubuh burung ini berwarna kehitaman. Dapat

Skala 1:6

43

dibedakan dengan layang-layang batu atau walet linci dengan memperhatikan

tubuh bagian posterior yang berwarna gelap dari bagian kepala hingga tungging.

Kepinis Rumah memiliki kebiasaan hidup dalam kelompok besar, berburu di atas

daerah terbuka (MacKinnon dkk., 2010).

Gambar 9. Kapinis Rumah (Apus affinis) (Dok. Pribadi, 2012)

Sama dengan Walet Linchi (Collocalia linchi), burung ini dijumpai di

seluruh lokasi pengamatan dan tidak pernah dijumpai pada saat bertengger di

pohon maupun di tiang bangunan. Jenis burung ini memiliki kebiasaan hidup

dalam kelompok besar, dan berburu dengan cara terbang. Walet Linchi

(Collocalia linchi) bersarang di bawah atap rumah, di tebing-tebing, atau pada

mulut gua (MacKinnon dkk., 2010).

4. Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis)

Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis) merupakan satu-satunya jenis

burung pelatuk (suku Picidae) yang dijumpai di lokasi penelitian, yaitu di jalur

hijau Raden Inten. Berdasarkan pengamatan di lapangan burung ini memiliki

Skala 1: 7

44

tubuh berukuran kecil yaitu sekitar 13 cm. Saat terbang terlihat tubuh bagian

anterior yang berwarna hitam dan bagian posterior yang berwarna putih. Warna

tubuh burung ini hitam dan putih, tubuh bagian posterior berwarna hitam dengan

bintik putih, sedangkan bagian tubuh bagian anterior berwarna putih dengan

coretan hitam. Sisi muka berwarna putih dengan bercak pipi abu-abu.

Gambar 10. Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis) (MacKinnon, 2010)

Saat dijumpai, burung ini terbang dari pohon beringin (Ficus benjamina).

Burung ini memiliki kebiasaan bergerak pada batang pohon atau pohon mati

untuk mencari makan, tinggal di hutan sekunder, hutan terbuka dan hutan

mangrove (Kristanto dan Dedy, 2011). Kebiasaan khas burung ini adalah

menyendiri dan bergerak perlahan pada batang pohon atau pohon mati untuk

mencari makan. Tinggal di hutan sekunder, lahan terbuka, dan hutan mangrove

(MacKinnon, 2010).

Skala 1:1,6

45

5. Layang-layang Batu (Hirundo tahitica)

Layang-layang batu merupakan jenis dari suku Hirundinidae yang mudah

ditemui di perkotaan. Ukuran tubuh burung layang-layang batu yang dijumpai di

lokasi penelitian adalah sekitar 12 cm, bentuk ekor seperti terpotong, tidak terlalu

panjang. Bagian bawah tubuh (posterior) dari dada sampai tungging terlihat

berwarna putih saat burung terbang ataupun saat burung bertengger. Tubuh bagian

dari mahkota hingga tungging berwarna biru. Paruh berwarna hitam, dahi, dada

dan dagu berwarna coklat berangan yang terlihat seperti jingga. Burung ini saat

terbang mirip seperti walet, namun dapat dibedakan dari bagian posterior yang

berwarna putih dari dada sampai tungging, sedangkan walet bagian posterior

berwarna putih hanya bagian perut hingga tungging.

Gambar 11. Layang-layang batu (Hirundo tahitica) bertengger di Lampu Jalan

(Dok. Pribadi, 2012)

Hasil penelitian burung ini dijumpai di tiga jalur hijau dengan jumlah

individu yang relatif banyak. Jenis burung ini senang mendatangi lahan semak

terbuka, sering dijumpai saat terbang atau bertengger pada lampu jalan dan kabel

listrik. Burung ini banyak terdapat di daerah terbuka terutama di atas air sampai

Skala 1:12

46

ketinggian 1.500 meter. Biasa dijumpai dalam kelompok kecil yang terpisah-

pisah, mencari makan dengan melayang rendah di atas air, menangkap serangga di

udara. Sarang berupa cangkir dari gumpalan lumpur, menempel di bawah langit-

langit bangunan rumah, jembatan atau bergantung di bebatuan (MacKinnon dkk,

2010).

6. Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus)

Sepah kecil merupakan jenis burung dari suku Campephagidae yang hanya

dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma, dan hanya 1 individu.

Berdasarkan hasil pengamatan ukuran tubuh burung ini seperti Cucak Kutilang

yaitu sekitar 14 cm, namun memiliki ekor yang panjang. Bagian kepala, dan

mantel berwarna abu-abu, sedangkan bagian posterior dari tubuh burung ini

berwarna abu-abu cerah (keputih-putihan). Sayap berwarna hitam dengan corak

berwarna kuning pada bulu sekunder. Ekor berwarna hitam dengan bagian

tungging hingga bagian bawah ekor berwarna kuning.

Gambar 12. Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus) bertengger di Pohon

Akasia (Acacia auriculiformes) (Dok. Pribadi, 2012)

Skala 1:4

47

Ciri-ciri tersebut sesuai dengan ciri yang dideskripsikan oleh MacKinnon

dkk., (2010), tubuh berukuran kecil (15 cm), berwarna abu-abu, merah, dan hitam.

Sepah yang dijumpai merupakan sepah betina, sesuai dengan pernyataan Holmes

(1999) betina memiliki warna tubuh lebih abu-abu, dengan warna kuning pada

sayap dan tunggir. Sepah kecil memiliki perbedaan yang sangat jelas dari jenis

sepah lainnya karena bagian kepala dan mantel jantan berwarna abu-abu serta

tubuh bagian bawahnya keputih-putihan.

Burung ini ditemui saat bertengger dan memakan serangga yang berada di

pohon Akasia Daun Kecil (Acacia auriculiformis), yang berada di dekat lahan

pertanian yang berada di sisi jalur hijau Halim Perdana Kusuma. Jenis burung ini

menyukai hutan terbuka, hutan mangrove, tanah pertanian dan pedesaan, mencari

makan di puncak pohon yang tinggi (MacKinnon dkk, 2010).

7. Cipoh Kacat (Aegithina tiphia)

Cipoh kacat yang dijumpai di lokasi penelitian ini merupakan jenis burung

dari suku Chloropseidae, hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma

dengan jumlah individu sebanyak 3 ekor. Tubuh burung ini berukuran kecil, yaitu

sekitar 12 cm, berwarna hijau zaitun pada anterior dan berwarna kuning tua pada

bagian posteriornya. Paruh berwarna hitam, sayap berwarna hitam dengan tepi

bulu berwarna putih kekuningan.

48

Gambar 13. Cipoh Kacat (Aegithina tiphia) bertengger di Pohon Tanjung

(Mimusops elengi) (Dok. Pribadi, 2012)

Saat pengamatan burung ini terlihat senang memakan serangga yang

berada di dalam bunga yang terdapat di pohon Tanjung (Mimusops elengi).

Burung ini memiliki kebiasaan membuat sarang yang berbentuk seperti mangkuk

yang diletakkan di ujung cabang pohon atau pada semak berdaun lebat. Cipoh

kacat menghuni taman, hutan mangrove, hutan terbuka, dan hutan sekunder.

Cipoh Kacat senang berlompatan di cabang-cabang pohon kecil, dan merupakan

tempat bersembunyi yang baik baginya (MacKinnon dkk, 2010).

8. Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster)

Burung ini termasuk dalam suku Pycnonotidae yang mudah dijumpai di

perkotaan, seperti pada hasil pengamatan, burung ini dijumpai di seluruh lokasi

penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan tubuh berukuran besar yaitu

sekitar 20 cm sampai 25 cm dengan warna abu-abu. Bagian kepala dan paruh

berwarna hitam dan terdapat jambul dibagian atas kepala. Sayap berwarna hitam

kecoklatan dan ekor berwarna coklat dengan bagian tungging berwarna kuning.

Burung ini biasa memakan serangga yang terdapat di pohon, dan bertengger di

Skala 1:6

49

pohon atau tiang. Ekor burung ini tidak terlalu panjang seperti burung sepah.

Tubuh bagian dada, hingga tunggir berwarna abu-abu muda kecokelatan.

Gambar 14. Burung Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang dijumpai di

Lokasi Penelitian. A) Sepasang Kutilang yang bertengger di Lampu

Jalan, B) Kutilang yang bertengger di Pohon Tanjung (Mimusops

elengi) (Dok. Pribadi, 2012)

Hasil pengamatan di lapangan diketahui burung ini memanfaatkan jenis

pohon Swietenia mahagoni, Ficus benjamina, Pterocarpus indicus, Mimusops

elengi, Leucaena leucocephala, Bambusa sp, Albizia saman, Cerbera manghas,

Oreodoxa regia, Erythrina crista. Hidup berkelompok sering berbaur dengan jenis

Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier). Secara singkat MacKinnon dkk., (2010)

menjelaskan, Cucak Kutilang menyukai pohon terbuka atau habitat bersemak, di

pinggir hutan, tanaman sekunder, taman, dan pekarangan, atau bahkan kota besar.

Krebs (1978) menegaskan bahwa burung Cucak kutilang kerap mengunjungi

tempat-tempat terbuka, tepi jalan, kebun, pekarangan, semak belukar dan hutan

sekunder, sampai dengan ketinggian sekitar 1.600m dpl. Burung Cucak kutilang

biasanya berkelompok, baik ketika mencari makanan maupun bertengger, dengan

jenisnya sendiri maupun dengan jenis merbah yang lain, atau bahkan dengan jenis

burung yang lain (Holmes,1999).

Skala 1: 11,5 Skala 1:7

A B

50

9. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier)

Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) merupakan jenis burung yang berasal

dari suku yang sama dengan Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster).

merupakan burung yang sering dijumpai di daerah perkotaan, namun hasil

penelitian menunjukkan, burung ini hanya dijumpai di jalur hijau Raden Inten,

dengan ukuran tubuh burung sama dengan Kutilang yaitu sekitar 20 cm. Namun

bentuk tubuh yang sedikit lebih ramping dibandingkan Kutilang. Kepala berwarna

putih dengan jambul berwarna coklat, paruh berwarna hitam, dan terdapat coretan

berwarna hitam pada bagian kekang. Tubuh bagian posterior (dagu hingga perut)

berwarna putih, tunggir berwarna kuning. Tubuh bagian anterior dan sayap

berwarna coklat. Ekor bercabang berwarna coklat dan tidak terlalu panjang

dengan unjung agak membulat.

Gambar 15. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) bertengger di Pohon

Beringin (Ficus benjamina) (Dok. Pribadi, 2012)

Saat pengamatan di lapangan, dijumpai jumlah individu burung ini cukup

banyak. Burung ini terlihat senang bertengger di pohon Ficus benjamina dan

memakan buah yang terdapat di pohon tersebut, dan berbaur dengan cucak

Skala 1:7 Skala 1:8

51

kutilang dalam satu pohon. Merbah Cerukcuk menyukai habitat terbuka, tanaman

sekunder, tepi jalan, dan kebun (MacKinnon dkk, 2010).

10. Burung Gelatik Batu Kelabu (Parus major)

Jenis Burung Gelatik Batu Kelabu (Parus major) hanya dijumpai di jalur

hijau Halim Perdana Kusuma. Jenis burung ini termasuk dalam suku Paridae

dengan ukuran tubuh dari paruh hingga ekor kurang lebih 15 cm. Memiliki paruh

yang berwarna hitam. Bagian sisi perut berwarna abu-abu (kelabu) dan terdapat

warna hitam dari bagian dagu sampai perut. Bagian kepala berwarna hitam dan

terdapat warna putih di pipi. Punggung atau mantel hingga tungging berwarna

kelabu. Sayap berwana hitam dengan garis putih di tengah, dan ekor berwarna

hitam.

Gambar 16. Burung Gelatik Batu Kelabu (Parus major) bertengger di Pohon

Dadap Merah (Erythrina crysta) (Dok. Pribadi, 2012)

Burung ini sering dijumpai saat bertengger dengan pasangannya di pohon

dadap merah (Erythrina crista), dan bertengger di batang pohon yang sudah mati.

Merupakan jenis burung petengger yang aktif dan lincah, memakan beragam

makanan tetapi kebanyakan serangga yang dikumpulkan di pohon. Biasa berburu

Skala 1:3

52

dalam kelompok keluarga atau berpasangan. Burung ini bersarang pada lubang

pohon, biasa dijumpai di hutan mangrove, pekarangan dan hutan terbuka

(MacKinnon dkk, 2010).

11. Remetuk Laut (Gerygone sulphurea)

Remetuk Laut yang dijumpai dalam penelitian ini merupakan jenis burung

yang termasuk dalam suku Silviidae yang sering dijumpai di daerah perkotaan.

Makanan utama dari burung ini adalah serangga yang terdapat di pepohonan.

berdasarkan pengamatan di lapangan burung ini memiliki ukuran tubuh yang kecil

yaitu sekitar 8 cm sampai 10 cm. Memiliki paruh yang kecil, runcing, dan

berwarna hitam. Kepala berwarna coklat dengan dagu yang berwarna hijau zaitun.

Bagian anterior tubuh burung ini berwarna coklat, sedangkan bagian posterior

tubuh burung ini berwarna kuning. Ekor berwarna coklat dengan sedikit bintik

putih pada ujung ekor, berukuran pendek.

Gambar 17. Burung Remetuk Laut (Gerygone sulphurea) yang dijumpai di

Lokasi Penelitian. A) Seekor Remetuk Laut, B) Sepasang Remetuk

Laut yang bertengger di Pohon Tanjung (Mimusops Elengi) (Dok.

Pribadi, 2012)

Skala 1:2 Skala 1:2,7

B A

53

Kicauan burung ini sangat nyaring dan khas, sehingga keberadaannya

mudah diketahui melalui kicauannya. Burung ini sering bersembunyi di dalam

pohon yang rimbun. Saat pengamatan di tiga jalur hijau burung ini terlihat hidup

berpasangan, dan beraktifitas di dalam tajuk pohon Beringin (Ficus benjamina),

Tanjung (Mimusops elengi), Mahoni (Swietenia mahagoni), dan Tabebuia

(Tabebuia chrysotrica). Menurut MacKinnon (2010) Remetuk Laut sering

mengunjungi semak-semak tepi pantai, hutan mangrove, perkebunan karet, dan

hutan terbuka, terutama rumpun bambu, dan cemara.

12. Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)

Berdasarkan hasil penelitian, jenis burung ini hanya dijumpai di jalur hijau

Halim Perdana Kusuma. Burung ini memiliki ukuran tubuh sekitar 11 cm. Bagian

wajah kanan dan kiri berwarna abu-abu, paruh kecil dan lancip, mahkota berwarna

coklat kemerahan. Tubuh bagian posterior burung ini berwarna putih kotor.

Bagian mantel berwarna hijau metalik. Sayap dan ekor berwarna hijau zaitun

dengan bagian yang lebih gelap di ujungnya.

Gambar 18. Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius) (Dok. Pribadi, 2012)

Skala 1: 3,4

54

Selama pengamatan burung ini sering dijumpai saat bergerak aktif di

tanah, semak, ataupun di tepian saluran drainase. MacKinnon (2010) menegaskan

bahwa, Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius) memiliki kebiasaan mengunjungi

hutan terbuka, hutan sekunder, dan pekarangan. Lincah dan selalu bergerak,

tinggal di semak bawah dan bersembunyi di dalam kerimbunan.

13. Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps)

Berdasarkan hasil penelitian, jenis burung Cinenen Kelabu (Orthotomus

ruficeps) dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma dan jalur hijau I Gusti

Ngurah Rai. Burung ini memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan

Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius) yaitu sekitar 11 cm. Memiliki warna yang

hampir sama dengan Cinenen Pisang, namun perbedaan yang jelas adalah pada

bagian wajah, wajah Cinenen Kelabu berwarna coklat kemerahan, sedangkan

Cinenen Pisang wajah berwarna abu-abu. Warna tubuh merupakan kombinasi

coklat, abu-abu, hitam, dan putih. Tubuh bagian anterior berwarna abu-abu, tubuh

bagian posterior berwarna putih kotor. Sayap dan ekor berwarna coklat dengan

garis hitam di bagian ujungnya, memiliki warna kaki merah jambu.

Gambar 19. Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) (Dok. Pribadi, 2012)

Skala 1:2

55

Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) banyak dijumpai di jalur hijau

Halim Perdana Kusuma. Burung ini sangat aktif, lincah, dan senang berpindah-

pindah pohon dan ranting pohon. Menurut MacKinnon (2010), jenis burung ini

senang mengunjungi hutan terbuka, tepi hutan, hutan mangrove, semak-semak

tepi pantai, kebun, tanaman sekunder dan rumpun bambu.

14. Prenjak Jawa (Prinia familiaris)

Prenjak Jawa (Prinia familiaris) termasuk jenis burung dari suku Silviidae,

yang hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma dan hanya 2 individu.

Ukuran tubuh burung ini sekitar 12 cm. Memiliki ekor yang panjang, berwarna

coklat dan terdapat warna hitam dan putih di ujung ekor. Bagian anterior tubuh

burung ini berwarna abu-abu, sayap berwarna coklat keabuan dengan dua garis

putih di bagian tengah sayap. Bagian posterior tubuh burung ini berwarna abu-abu

terang di dagu sampai perut, sedangkan perut sampai tungging berwarna kuning

muda. Kepala berwarna abu-abu dengan paruh hitam.

Gambar 20. Perenjak Jawa (Prinia familiaris) bertengger di Pohon Akasia Daun

Kecil (Acacia auriculiformis) (Dok. Pribadi, 2012).

Skala 1:2,5

56

Burung ini dijumpai saat bertengger di pohon Acacia auriculiformis,

Mimusops elengi, Ficus benjamina. Habitat yang biasa disukai burung ini di hutan

mangrove dan habitat sekunder terbuka, terutama kebun taman. Memiliki

kebiasaan berburu di sekitar permukaan tanah sampai puncak pohon (MacKinnon

dkk, 2010).

15. Kipasan Belang (Rhipidura javanica)

Jenis burung dari suku Muscicapidae yang dijumpai di lokasi penelitian

adalah Kipasan Belang (Riphidura javanica). Sepasang burung ini dijumpai di

jalur hijau Halim Perdana Kusuma. Deskripsi umum Kipasan Belang saat

dijumpai, tubuh berukuran 15 cm, bagian dada hingga tunggir berwarna putih

bersih, dada berwarna hitam. Kepala dan sisi kepala berwarna hitam, terdapat

warna putih yang melingkar dibagian kerongkongan. Ekor berukuran panjang dan

berwarna hitam. Tubuh bagian atas (anteroir) berwarna hitam. Sepintas mirip

seperti Gelatik Batu Kelabu (Parus major) namun sisi tubuh dan tubuh bagian

bawah (posterior) berwarna putih bersih, serta terdapat warna putih yang

melingkar di tenggorokan seperti memakai kalung.

Gambar 21. Kipasan Belang (Riphidura javanica) (MacKinnon, 2010)

Skala 1:2

57

Saat dijumpai, burung ini sedang bertengger di pohon Tanjung (Mimusops

elengi). Burung ini sangat aktif berpindah dari satu tenggeran ke tenggeran

lainnya, mencari makan sendiri atau berpasangan (MacKinnon dkk., 2010).

Habitat burung ini di daerah terbuka, hutan kota, hutan mangrove, pekarangan dan

bantaran sungai (Kristanto dan Dedy, 2011).

16. Kekep Babi (Artamus leucorhynchus)

Suku Artamidae hanya memiliki satu jenis burung yaitu jenis Kekep Babi

(Artamus leucorhynchus), jenis burung ini dijumpai di jalur hijau Halim Perdana

Kusuma dan I Gusti Ngurah Rai. Kekep Babi yang dijumpai saat pengamatan

memiliki ciri tubuh berukuran kurang lebih 18 cm - 20 cm, ekor tidak terlalu

panjang, dan tidak bercabang pada bagian ujungnya. Bagian kepala hingga batas

dada berwarna coklat kehitaman, dengan paruh tebal yang berwarna abu-abu

kebiruan. Tubuh bagian anterior berwarna coklat, sedangkan bagian posterior

tubuh (dada hingga tungging) burung ini berwarna putih. Sisi tubuh berwarna

putih, sayap dan ekor berwarna coklat kehitaman. Pada saat terbang burung ini

hanya terlihat bagian posterior yang berwarna putih dan kepala yang berwarna

gelap. Sayap berbentuk segitiga lebar dan ekor yang berbentuk persegi, terbang

seperti burung layang-layang, melayang tanpa mengepakkan sayap (MacKinnon

dkk., 2010).

58

Gambar 22 Burung Kekep Babi (Artamus leucorhyncus) yang dijumpai di

Lokasi Penelitian. A) Kekep Babi bertengger di Tiang Lampu Jalan,

B) Kekep Babi Terbang (Dok. Pribadi, 2012)

Di jalur hijau Halim Perdana Kusuma burung ini dijumpai saat bertengger

di lampu jalan pada pagi hari, dan di jalur I Gusti Ngurah Rai burung ini hanya

melintas. Burung ini tidak memanfaatkan pohon di kedua jalur hijau sebagai

sumber pakan, ataupun untuk aktifitas lainnya. Menurut MacKinnon dkk., (2010)

burung ini senang bertengger di pohon kering, pohon cemara, kabel telepon,

tiang-tiang atau tenggeran lain, terbang melingkar untuk memburu serangga,

terkadang di atas air.

17. Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis)

Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) merupakan jenis burung

dari suku Nectariniidae. Jenis burung ini dijumpai di seluruh lokasi penelitian.

Berdasarkan hasil pengamatan, tubuh burung ini berukuran sedang yaitu 11 cm.

Jantan dan betina memiliki warna tubuh yang berbeda.

Skala 1:6 Skala 1:10

A B

59

Gambar 23. Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) yang dijumpai di

Lokasi Penelitian. A) Burung Madu Kelapa Jantan, B) Burung

Madu Kelapa Betina (Dok. Pribadi, 2012)

Tubuh burung jantan berwarna-warni dengan bagian dahi, kekang, dan

mahkota hingga punggung berwarna biru bersinar atau hijau metalik (bersinar).

Sayap, penutup sayap, dan ekor berwarna hitam. Bagian posterior tubuh (dada

hingga tungging) berwarna kuning. Bagian kepala (paruh, penutup telinga, dan

dagu hingga dada) berwarna hitam. Warna tubuh burung betina, bagian anterior

berwarna hijau zaitun, sedangkan bagian posterior berwarna kuning muda.

Gambar 24. Sarang Burung Madu Kelapa di pohon Beringin (Ficus benjamina)

(Dok. Pribadi, 2012)

Burung Madu Kelapa memanfaatkan tumbuhan Pterocarpus indicus, Ficus

benjamina, Callistemon lanceolatus, Swietenia mahagoni, Leucaena

Skala 1:3,5 Skala 1:2,5

Skala 1:5

A

Q

B

Q

60

leucocephala, Bauhinia purpurea, Erythrina crista, Thuja orientalis, Albizia

saman, Tabebuia chrysotricha, Cassia siamea. Jenis burung ini sering dijumpai

saat menghisap nektar, memakan serangga yang berada di benalu pohon Mahoni

atau memakan sari bunga di pohon yang sedang berbunga. Sarang burung madu

kelapa dibuat di pohon yang rimbun, saat penelitian dijumpai sarang burung ini di

pohon beringin (Ficus benjamina), dengan bahan sarang berupa serabut akar

gantung dari pohon tersebut (Gambar 24). Burung ini biasa mencari makan

dengan berpasangan atau sendiri. Senang berada di pekarangan terbuka,

perkebunan kelapa, semak pantai dan hutan mangrove (MacKinnon dkk., 2010).

18. Burung Madu Sriganti (Cinnyris jugularis)

Burung Madu Sriganti (Cinnyris jugularis) merupakan jenis burung dari

suku yang sama dengan Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis), yaitu suku

Nectariniidae. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ukuran tubuh burung

Madu Sriganti secara sepintas sama dengan Burung Madu Kelapa yaitu sekitar

11cm. Warna tubuh jantan dan betina berbeda. Tubuh betina bagian anterior (dagu

hingga ekor) berwarna hijau zaitun, sedangkan bagian posterior (dagu hingga

tungging) berwarna kuning. Kaki, ekor dan paruh berwarna hitam. Burung Madu

Sriganti betina dengan Burung Madu Kelapa betina terlihat mirip, namun bila

dilihat lebih seksama pada tubuh bagian posterior Burung Madu Kelapa memiliki

warna kuning yang lebih muda dibandingkan dengan Burung Madu Sriganti.

Selain itu, pada burung madu sriganti betina bagian tepi sayap berwarna hitam,

sedangkan burung madu kelapa tidak memiliki warna yang lebih gelap

61

(hitam) di bagian tepi sayapnya. Warna tubuh Burung Madu Sriganti jantan di

bagian perut hingga tungging berwarna kuning. Bagian anterior dari mahkota

hingga penutup ekor berwarna hijau zaitun. Sayap berwarna coklat tua. Dahi,

kekang, dagu hingga dada berwarna ungu tua. Paruh, ekor, dan kaki berwarna

hitam.

Gambar 25. Burung Madu Sriganti (Cinnyris jugularis) yang dijumpai di

Lokasi Penelitian. A) Burung Madu Sriganti Jantan, B) Burung

Madu Sriganti Betina (Dok. Pribadi, 2012)

Jenis burung ini dijumpai di lokasi penelitian. Sering terlihat berpasangan

atau sendiri dalam satu pohon yang sedang berbunga. Burung Madu Sriganti

memanfaatkan tumbuhan Swietenia mahagoni, Callistemon lanceolatus,

Pterocarpus indicus, Ficus benjamina, Mimusops elengi, Thuja orientalis,

Erythrina crista, Bauhinia purpurea, Morinda citrifolia. Merupakan jenis burung

madu yang umum di daerah perkotaan. Burung ini sering ribut dalam kelompok

kecil, berpindah-pindah pohon atau semak berbunga. Burung madu ini juga

senang mengunjungi pekarangan, semak pantai, dan hutan mangrove (MacKinnon

dkk., 2010).

Skala 1: 2,5 Skala 1:2,7

A

s

B

s

62

19. Cabai Jawa (Dicaeum trochileum)

Jenis burung dari suku Dicaeidae yang dijumpai selama penelitian hanya jenis

Cabai Jawa (Dicaeum trochileum). Burung Cabai Jawa (Dicaeum trochileum)

yang dijumpai dalam penelitian ini berukuran tubuh kecil yaitu sekitar 11 cm.

Paruh berbentuk runcing dan berwarna hitam. Sayap dan kaki dari burung ini

berwarna hitam. Ekor berukuran pendek dan berwarna hitam. Warna tubuh jantan

dan betina berbeda. Tubuh betina berwarna coklat, abu-abu, hitam, dan merah.

Betina memiliki tubuh bagian anterior berwarna coklat, dengan tunggir berwarna

merah. Tubuh bagian posterior berwarna abu-abu. Warna tubuh burung jantan

merah-jingga, abu-abu, dan hitam. Bagian anterior tubuh (dahi hingga tunggir)

berwarna merah-jingga, dengan sayap dan ekor berwarna hitam.

Gambar 26. Burung Cabai Jawa (Dicaeum trochileum) yang dijumpai di Lokasi

Penelitian. A) Cabai Jawa Betina, B) Cabai Jawa Jantan (Dok.

Pribadi, 2012)

Sering dijumpai di pohon yang memiliki banyak benalu dan serangga

seperti pohon Mahoni (Swietenia mahagoni). Tumbuhan lain yang dimanfaatkan

oleh burung ini antara lain Pterocarpus indicus, Callistemon lanceolatus, Cassia

fistula, Ficus benjamina, Leucaena leucocephala, Mimusops elengi, Bauhinia

Skala 1: 2 Skala 1:2,3

A B

63

purpurea, Albizia saman, Cerbera manghas. Burung ini memiliki kebiasaan

senang mengunjungi pekarangan dan daerah terbuka, termasuk kota, daerah pantai

dan hutan mangrove, senang mengunjungi rumpun benalu untuk memakan

buahnya yang lengket (MacKinnon dkk., 2010).

20. Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus)

Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) yang dijumpai dalam penelitian

ini memiliki tubuh berukuran kecil sekitar 10 cm, memiliki kombinasi warna hijau

kekuningan, dan abu-abu. Bagian kepala berwarna hijau kekuningan sampai dada,

terdapat warna putih yang mengelilingi mata dan terlihat seperti lingkar kacamata,

kekang berwarna hitam, paruh berwarna abu-abu kehitaman dengan bentuk

meruncing. Bagian posterior tubuh, perut abu-abu, dan tungging berwarna kuning.

Tubuh bagian anterior berwarna hijau kekuningan. Sayap berwarna hijau

kekuningan dengan tepi sayap berwarna hitam. Ekor berukuran tidak terlalu

panjang dengan ujung tidak bercabang dan berwarna hitam. Kaki berwarna abu-

abu gelap.

Gambar 27. Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) di Pohon Bunga Sikat Botol

(Callistemon lanceolatus) (Dok. Pribadi, 2012)

Skala 1:3

64

Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) merupakan jenis dari suku

Zosteropidae yang hanya dijumpai di dua lokasi penelitian yaitu Raden Inten dan

Halim Perdana Kusuma. Selama pengamatan, burung ini terlihat senang

mengunjungi pepohonan yang terdapat di median jalan, mencari makan

berpasangan maupun sendiri. Pohon yang dimanfaatkan burung ini antara lain

Callistemon lanceolatus, Ficus benjamina, Pterocarpus indicus, Mimusops elengi,

Acacia auriculiformis, Gliricidia sepium. Burung jenis ini memakan serangga

atau ulat yang terdapat di pohon. Menurut MacKinnon dkk (2010), Kacamata

Biasa sering mengunjungi tanaman primer dan tanaman sekunder, dan

berterbangan diantara puncak-puncak pohon tertinggi. Umum di dataran rendah

dan perbukitan, jarang dijumpai di hutan mangrove dan daerah pesisir.

21. Burung Gereja Erasia (Passer montanus)

Burung Gereja Erasia (Passer montanus) merupakan jenis burung yang

termasuk dalam suku Ploceidae yang sangat familiar dengan keberadaan manusia.

Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, tubuh burung ini berukuran sedang

sekitar 13 cm – 15 cm. Memiliki kombinasi warna coklat, hitam, dan abu-abu.

Memiliki paruh yang berwarna hitam, bagian dahi hingga tengkuk berwarna

coklat tua, bagian sekitar mata berwarna hitam, dagu hingga tenggorokan

berwarna hitam, pipi berwarna putih dengan bercak hitam. Sayap berwarna coklat

dengan garis hitam dan putih. Ekor berukuran tidak terlalu panjang dan berwarna

coklat. Tubuh bagian bawah (posterior) berwarna abu-abu terang. Burung gereja

65

dijumpai di seluruh lokasi penelitian. Burung ini biasa memakan biji-bijian,

serangga, ataupun sisa makanan manusia yang terdapat di pekarangan.

Gambar 28. Burung Gereja Erasia (Passer montanus) (Dok. Pribadi, 2012)

Jenis burung ini sering bertengger di tiang, kabel listrik atau di bangunan.

Hidup berkelompok, bersarang di rumah, gedung atau bangunan lainnya. Mencari

makan di tanah, dan lahan pertanian, memakan biji-biji kecil atau beras

(MacKinnon dkk., 2010).

22. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides)

Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) memiliki sebutan lain pipit

bondol, emprit bondol, atau piit bondol. Jenis burung ini termasuk dalam suku

Ploceidae. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian burung ini memiliki

ukuran tubuh sedang yaitu 11 cm dengan kombinasi warna coklat, hitam dan

putih. Jantan dan betina memiliki warna yang sama namun umumnya warna tubuh

burung jantan lebih gelap dibandingkan betina, selain itu panjang dan bentuk ekor

jantan dan betina berbeda. Ekor burung betina memiliki ukuran yang panjang

dengan ujung persegi, sedangkan jantan memiliki ekor yang pendek yang

Skala 1:3 Skala 1:4,5

66

membulat dengan ujung meruncing. Tubuh bagian anterior berwarna coklat tua,

bagian dahi berwarna coklat kehitaman. Tubuh bagian posterior berwarna putih

bersih, bagian dagu hingga dada berwarna hitam, tungging hingga ekor berwarna

hitam. Paruh pendek dan tebal dengan warna paruh bagian atas kehitaman,

sedangkan paruh bawah berwarna abu-abu.

Gambar 29. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) Jantan dan Betina di

Pohon Beringin (Ficus benjamina) (Dok. Pribadi, 2012)

Burung ini hanya dijumpai di jalur hijau Raden Inten, dan sering

bertengger di pohon bunga sikat botol (Callistemon lanceolatus), dan beringin

(Ficus benjamina). Mencari makan sendiri dan membawa pergi makannya ke

sarang, ataupun mencari makan dengan pasangannya. Jumlah individu yang

dijumpai hanya sebanyak 4 ekor. Burung ini memiliki kebiasaan mengunjungi

lahan pertanian saat musim panen padi dengan berkelompok hingga puluhan

individu dan memakan bulir padi. Mencari makan di atas tanah atau mametik biji

dari bulir rumput, bersuara gaduh dan menyelisik di pohon-pohon besar

(MacKinnon dkk., 2010).

Skala 1:3

67

23. Bondol Peking (Lonchura punctulata)

Bondol peking (Lonchura punctulata) merupakan jenis burung dari suku

Ploceidae. Saat pengamatan, sepintas Bondol Peking dengan Bondol Jawa terlihat

mirip, warna tubuh nyaris sama, ukuran tubuh burung ini adalah 11 cm. Tubuh

Bondol Peking bagian anterior berwarna coklat, sama dengan Bondol Jawa.

Perbedaan burung Bondol Peking dengan Bondol Jawa terletak pada warna tubuh

bagian posterior, pada Bondol Jawa Perut berwarna putih bersih, sedangkan

Bondol Peking bagian perut berwarna putih dengan corak bersisik yang berwarna

coklat, tunggir berwarna putih. Bagian kepala Bondol Peking dari dagu hingga

tenggorokan berwarna coklat kemerahan, paruh tebal dan pendek berwarna abu-

abu (Gambar 30).

Gambar 30. Sekelompok Bondol Peking (Lonchura punctulata) di Lahan

Pertanian Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma (Dok. Pribadi, 2012)

Jenis burung ini merupakan hama lahan pertanian, karena saat panen tiba

burung ini secara berkelompok menyerang sawah untuk memperoleh pakan dari

bulir padi. Saat pengamatan kelompok burung ini dijumpai di sawah yang berada

di samping jalur hijau Halim Perdana Kusuma. Bondol Peking sering

Skala 1:10

68

mengunjungi padang rumput terbuka di lahan pertanian, sawah, kebun dan semak

(MacKinnon dkk., 2010).

4.4 Pengaruh Faktor Fisik Lingkungan Terhadap Kehadiran Burung

Penyebaran dan populasi burung di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor

fisik lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari dan faktor biologis

yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Champbell, 2002). Faktor fisik

lingkungan lokasi penelitian berupa suhu, kelembaban, intensitas cahaya,

kecepatan angin (Gambar 31), hasil tersebut menunjukkan bahwa lokasi penelitian

memiliki kondisi lingkungan yang berbeda.

Gambar 31. Faktor Fisik Lingkungan Lokasi Penelitian

Jalur hijau I Gusti Ngurah Rai memiliki nilai intensitas cahaya, kecepatan

angin, dan tingkat kebisingan yang paling tinggi, dijumpai 10 jenis burung. Jalur

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Nil

ai

Faktor Fisik Lingkungan

I Gusti Ngurah Rai

Halim Perdana Kusuma

Raden Inten

69

hijau Halim Perdana Kusuma memiliki nilai kelembaban yang paling tinggi, jenis

burung yang dijumpai pada jalur ini adalah 20 jenis burung. Faktor fisik

lingkungan berupa suhu, jalur hijau Raden Inten memiliki nilai tertinggi

dibandingkan jalur hijau lainnya, di lokasi ini dijumpai 14 jenis burung.

Perbedaan tingkat keanekaragaman jenis burung yang terdapat di jalur hijau dapat

dikarenakan oleh perbedaan faktor fisik lingkungan di masing-masing lokasi.

Hasil penelitian menujukkan bahwa perbedaan kondisi fisik lingkungan

yang terdapat di lokasi penelitian, maka berbeda pula jenis burung yang dijumpai

di masing-masing lokasi penelitian. Distribusi burung yang dipengaruhi oleh

komponen faktor fisik lingkungan dapat diilustrasikan dengan menggunakan

diagram PCA (Principal Componen Analysis). Diagram PCA didukung dengan

data jumlah individu dan spesies burung pada tiap titik pengamatan (Tabel 5).

PCA merupakan analisis multivariat yang didasarkan pada analisis komponen

utama.

Tabel 5. Hasil analisis Nilai loading factor komponen Principle Component

Analysis (PCA) faktor fisik yang mempengaruhi keberadaan burung

Component Matrixa

Component

1 2

Suhu udara .794 -.543

Kelembaban udara -.966 .028

Intensitas cahaya .754 -.425

kec.angin .850 .458

Tingkat kebisingan .442 .881

Hasil Principle Component Analysis (PCA) menunjukkan komponen yang

paling berpengaruh hingga tidak terlalu berpengaruh dengan keberadaan burung,

70

yang di tunjukkan dengan nilai hasil ekstraksi, bila nilai semakin besar dari 0,500

maka, komponen tesebut merupakan komponen yang sangat berpengaruh dengan

kehadiran burung. Hasil analisis PCA dengan 2 komponen utama menggambarkan

urutan komponen dari yang paling berpengaruh hingga tidak terlalu berpengaruh.

Peringkat komponen yang paling berpengaruh hingga tidak berpengaruh

berdasarkan hasil analisis PCA adalah kelembaban (0,966), kebisingan (0,881),

kecepatan angin (0,850), suhu (0,794) dan intensitas cahaya (0,754) (Tabel 6).

Suhu udara dipengaruhi oleh intensitas cahaya dengan asumsi bahwa

ketika suhu naik, intensitas cahaya naik, kecepatan angin turun, dan kelembaban

turun. Suatu jenis burung memiliki kepekaan terhadap faktor fisik lingkungan

tertentu dan tipe habitat yang berbeda dengan jenis burung lainnya. Hasil

penelitian Desmawati (2010) menunjukkan bahwa, burung yang cenderung

dipengaruhi oleh kelembaban udara adalah Kipasan belang. Burung ini

memanfaatkan area bervegetasi untuk beristirahat, bermain maupun mencari

makanan. Tingkat kebisingan merupakan komponen yang dapat berpengaruh

terhadap kehadiran burung, hal ini dikarenakan suara gaduh dan suara kendaraan

bermotor dapat mengubah kebiasaan dan pergerakan berbagai jenis burung

(Morisson, 1986).

71

Gambar 32. Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis

burung berdasarkan faktor fisik lingkungan lokasi penelitian

Keterangan: 1= Pycnonotus aurigaster, 2= Gerygone sulphurea, 3=

Dicaeum trochileum, 4= Passer montanus,5= Hirundo tahitica. 6=

Colocalia linchi,7= Lonchura leucogastroides, 8= Pycnonoctus

goiavier, 9= Anthreptes malacensis, 10= Cinnyris jugularis, 11=

Apus affinis, 12= Streptopelia cinensis,13= Zosterops palpebrosus,

14= Dendrocopus moluccensis,15= Artamus leucorhyncus, 16=

Orthotomus ruficeps, 17= O.sutorius, 18= L. Punctulata, 19=

Aegitina thipia,20= Parus major, 21= Prinia familiaris, 22=

Pericrocotus cinnamomeus, 23= Rhipidura javanica

Hasil analisis Correspondence Analysis (CCA) (Gambar 31),

menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok burung yang kehadirannya

dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan, yaitu:

a) Kelompok yang terdiri dari jenis Dendrocopus moluccensis, Pericrocotus

cinnamomeus, Rhipidura javanica, sangat dipengaruhi oleh Suhu,

kelembaban, dan cahaya. Dendrocopus moluccensis hadir pada saat intensitas

cahaya rendah dan kecepatan angin yang tinggi, jenis Pericrocotus

cinnamomeus hadir saat kondisi lingkungan memiliki nilai kelembaban

tinggi, kecepatan angin rendah, tingkat kebisingan rendah, sedangkan

Rhipidura javanica dijumpai pada saat kondisi lingkungan penelitian

-1.5 1.0

-0.4

0.8

1

2

3

4 5 6

7

8

9

10

11 12

13

14

15

16 17 18

19 20

21

22 23

Suhu

Kelembaban Cahaya

Kecepatan angin

Kebisingan

72

memiliki nilai suhu rendah, kecepatan angin rendah, kelembaban udara

tinggi.

b) Kelompok yang terdiri dari jenis Lonchura leucogastroides, Streptopelia

cinensis, L. Punctulata, Atrhamus leuchorryncus, Orthotomus sutorius,

Aegitina thipia, Parus major, dan Prinia familiaris, dipengaruhi oleh

kelembaban dan suhu yang rendah.

c) Pycnonotus aurigaster, Gerygone sulphurea, Dicaceum trochileum, Passer

montanus, Hirundo tahitica, Colocalia linchi, Lonchura leucogastroides,

Anthreptes malacensis, Cinnyris jugularis, Apus affinis, Zosterops

palpebrosus merupakan jenis burung yang dijumpai setiap pengamatan dan

tidak terikat dengan kondisi fisik lingkungan.

4.5 Hubungan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dengan

Keanekaragaman Jenis Burung

Tingginya keanekaragaman jenis burung di suatu kawasan didukung oleh

tingginya keanekaragaman habitat yang secara umum berfungsi sebagai tempat

mencari makan, istirahat dan berkembang biak (Walida, 2006). Keragaman

komposisi jenis tanaman yang menjadi sumber pakan burung berpotensi untuk

menarik kehadiran jenis burung yang lebih banyak. Setiawan dkk., (2006)

menjelaskan bahwa keanekaragaman jenis burung di hutan kota Bandar Lampung

berkorelasi positif dengan keanekaragaman jenis pohon. Hasil penelitian

Kuswanda (2010), menegaskan bahwa komposisi tumbuhan di kawasan Taman

Nasional Batang Gadis (TNBG) mempengaruhi sebesar 90,4% terhadap

73

keanekaragaman jenis burung, 94,3% terhadap kelimpahan jenis burung, dan

hanya 67,3% terhadap kepadatan suatu jenis burung.

Pernyataan tersebut berbeda dengan hasil pengamatan, di jalur hijau Raden

Inten yang memiliki 5 jenis tanaman, di lokasi ini dijumpai 14 jenis burung,

sedangkan di jalur hijau I Gusti Ngurah Rai yang memiliki jenis tanaman lebih

banyak (9 jenis), hanya dijumpai 10 jenis burung. Berdasarkan hasil analisis

korelasi statistik dengan uji korelasi Pearson product moment (tabel 6),

didapatkan hasil bahwa tidak terdapat korelasi antara tingkat keanekaragaman

burung dengan tingkat keanekaragaman tumbuhan. Hal ini dapat disebabkan

karena jenis tumbuhan yang tersedia bukan termasuk jenis tumbuhan pendukung

aktifitas burung seperti penyedia pakan, tempat istirahat, sosial maupun bersarang.

Selain itu kehadiran burung dapat pula dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan,

seperti adanya aktifitas manusia yang dapat mengganggu burung, tingkat

kebisingan, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan intensitas cahaya di lokasi

penelitian.

Tabel 6. Hasil analisis korelasi Pearson product moment keanekaragaman

burung dengan keanekaragaman tumbuhan

Correlations

H’ burung H’ tumbuhan

H’ burung

Pearson Correlation 1 -.404

Sig. (2-tailed) .427

N 6 6

H’ tumbuhan

Pearson Correlation -.404 1

Sig. (2-tailed) .427

N 6 6

74

4.6 Tingkat Penggunaan Vegetasi oleh Burung

Menurut Alikodra dkk., (2006) setiap jenis pohon dan komposisi jenis

pohon suatu komunitas (hutan kota) dapat menciptakan berbagai kondisi

lingkungan dan ketersediaan makanan yang spesifik bagi jenis-jenis burung

tertentu (niche atau relung ekologi), semakin banyak jenis pohon berarti akan

tercipta banyak relung ekologi yang memungkinkan berbagai jenis burung dapat

hidup secara bersama. Jenis tanaman yang dimanfaatkan oleh burung di Halim

Perdana Kusuma terdapat 13 jenis pohon, jalur hijau Raden Inten terdapat 5 jenis

pohon, dan jalur hijau I Gusti Ngurah Rai terdapat 9 jenis pohon (Lampiran

4,5,6). Komposisi jenis tanaman yang beragam berpotensi untuk menarik jenis

burung lebih banyak, terutama jenis tanaman yang merupakan sumber pakan

burung.

Gambar 33. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman oleh Burung di Jalur

Hijau Halim Perdana Kusuma

Persentase penggunaan jenis tanaman oleh burung untuk aktifitasnya di

jalur hijau Halim Perdana Kusuma (Gambar 33), menunjukkan bahwa jenis

1,34%

16,57%

40,62%

14,14%

2,66% 2,92% 7,34%

1,47%

8,70%

0,80% 0,94% 2,01% 0,54%

penggunaan jenis tanaman

75

tanaman Tanjung (Mimusops elengi) memiliki nilai persentase relatif tertinggi

yaitu sebesar 40,62%. Jenis tanaman ini di jalur hijau Halim Perdana Kusuma

merupakan tanaman dengan jumlah individu tertinggi dan Indeks Nilai Penting

(INP) tertinggi, yaitu 64.49 (Lampiran 4). Pohon Tanjung (Mimusops elengi)

menyediakan sumber pakan bagi burung berupa serangga. Selain itu pohon

Tanjung memiliki tutupan tajuk yang rimbun, dan biasa dimanfaatkan burung

untuk aktifitas sosial, dan istirahat atau bertengger. Dalam penelitian ini jenis

burung yang memanfaatkan pohon ini adalah Remetuk laut (Gerygone sulphurea),

Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps), Cipoh kacat (Aegithina tiphia), dan

Kipasan belang (Rhipidura javanica).

Tanaman lain yang memiliki persentase relatif tinggi di jalur Halim

Perdana Kusuma adalah beringin (Ficus benjamina) (12,57%) dan petai cina

(Leucaena leucocephala) (14,14%). Jalur hijau Halim Perdana Kusuma memiliki

kondisi umum yang berbeda dari kedua lokasi lainnya yaitu, terdapat lahan

pertanian (sawah) di sisi jalur hijau ini. Jenis burung yang dijumpai sawah

tersebut adalah Bondol Peking (Lonchura punctulata). Saat padi (Oryza sativa)

yang ditanam di sawah tersebut mulai menguning, sekelompok burung bondol

peking memanfaatkan bulir padi sebagai pakannya.

Gambar 34. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman oleh Burung di Jalur Hijau

Raden Inten

30,17%

13,30%

35,59%

19,82%

1,13%

Swietenia

mahagoni

Callistemon

lanceolatus

Ficus

benjamina

Pterocarpus

indicus

Penggunaan jenis tumbuhan

Thespasia sp.

76

Jalur hijau Raden Inten yang berlokasi di Duren Sawit hanya memiliki 5

jenis tanaman (Lampiran 5). Persentase penggunaan jenis tanaman di jalur hijau

Raden Inten (Gambar 34), menunjukkan jenis tanaman dengan presentase relatif

penggunaan tanaman oleh burung tertinggi adalah Ficus benjamina (35,60%).

Tutupan tajuk yang rimbun dari pohon ini, ditemui sarang dari burung madu

kelapa (Anthreptes malacensis). Jenis aktifitas burung tertinggi hingga terendah

pada pohon ini secara berurutan adalah makan (43,78%), istirahat (27,86%), sosial

(19,40%), dan bersarang (8,96%). Tingginya aktifitas makan pada Ficus

benjamina, dikarenakan tanaman ini memiliki buah yang disukai oleh burung

Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Merbah Cerukcuk (Pycnonotus

goiavier).

Gambar 35. Persentase penggunaan jenis tanaman oleh burung di jalur hijau

I Gusti Ngurah Rai

11,26% 18,55%

44,06%

4,33% 9,23% 6,69%

2,13% 2,85% 0,91%

penggunaan jenis tanaman

77

Persentase penggunaan tanaman untuk aktifitas burung di jalur hijau I

Gusti Ngurah Rai (Gambar 34), jenis tanaman Kaliandra (Albizia saman)

merupakan tanaman dengan persentase penggunaan relatif tertinggi yaitu 44,06%.

Hal ini dapat dikarenakan tanaman ini memiliki bunga yang dapat menarik

serangga sehingga tanaman ini dapat menyediakan pakan untuk burung pemakan

serangga. Selain itu tanaman Kaliandra (Albizia saman) merupakan jenis

tumbuhan di jalur hijau I Gusti Ngurah Rai dengan jumlah terbanyak yaitu 16

individu pohon (Lampiran 6) Jenis burung yang dijumpai memanfaatkan tanaman

ini adalah Remetuk Laut (Gerygone sulphurea), Cucak Kutilang (Pycnonotus

aurigaster), dan Cabai Jawa (Dicaceum trochileum). Persentase relatif

penggunaan jenis tanaman dengan nilai terendah adalah tanjung (Mimusops

elengi), tumbuhan tersebut hanya di manfaatkan oleh jenis burung Cabai Jawa

(Dicaceum trochileum) sebagai sumber pakannya. Tanjung (Mimusops elengi)

menyediakan serangga yang dapat dimanfaatkan sebgai sumber pakan.

78

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

a. Tingkat keanekaragaman jenis burung di jalur hijau bernilai sedang.

Nilai H’ di jalur hijau Halim Perdana Kusuma adalah 2,649, Raden

Inten 2,448, dan I Gusti Ngurah Rai 1,879.

b. Faktor fisik dari yang paling berpengaruh terhadap kehadiran burung di

jalur hijau adalah kelembaban, kebisingan, kecepatan angin, suhu

udara, intensitas cahaya.

c. Ketiga jalur hijau yang diamati dapat mendukung aktifitas burung, baik

sebagai penyedia pakan, tempat beristirahat dan bersosialisasi, maupun

sebagai tempat bersarang.

5.2 Saran

a. Untuk meningkatkan keanekaragaman jenis burung di Jakarta,

khususnya di jalur hijau kota Jakarta maka perlu meningkatkan luas dan

jenis tanaman yang berasosiasi dengan hewan (seperti burung dan

serangga) di jalur hijau yang dapat berfungsi sebagai alternatif Ruang

Terbuka Hijau.

b. Meningkatkan keanekaragaman jenis pepohonan penghasil buah yang

dapat menarik kehadiran burung di lingkungan perkotaan.

79

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas

Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Amama, F. P. 2008. Pekarangan Rindang, Burung pun datang. Artikel. Burung

No. 1/TH.II/Januari 2008 halaman 14-17. Burung Indonesia. Bogor.

Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010.

Artikel. Data Agregat Per Kabupaten/Kota. Provinsi DKI Jakarta.

Balai Informasi Penataan Ruang Direktorat Jendral Penataan Ruang Kementerian

Pekerjaan Umum. 2012. Artikel. Balai Informasi Penataan Ruang. Denpasar.

Champbell,Neil A., Jane B. Reece., Lawrence G., dan Mitchell. 2004. Biologi

edisi kelima. Erlangga. Jakarta.

Dinas Komunikasi dan Informasi Masyarakat Provinsi DKI Jakarta. 2011. Artikel.

Ruang Terbuka Hijau. Jakarta.

Desmawati, I. 2010. Studi Distribusi Jenis-Jenis Burung Dilindungi Perundang-

undangan Indonesia di Kawasan Wonorejo, Surabaya. Skripsi: Prodi Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Sepuluh

November. Surabaya.

Dewi, T.S. 2005. Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di berbagai Tipe Lanskap

Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu).

Skripsi: Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan

dan Ekowisata. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ernawati. 2002. Keanekarragaman Vegetasi dan berbagai Jenis Burung di

sepanjang Koridor Kebun Binatang Ragunan-Hutan Kota UI. Tesis. Jurusan

Biologi Fakultas MIPA-Universitas Indonesia. Jakarta.

Fadliah, E. 2010. Hubungan Keanekaragaman Burung dengan Jumlah Jenis,

Volume Tajuk, Luas Tajuk, dan Basal Area Pohon di Tiga Taman Kota,

Jakarta Selatan. Skripsi: Sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Negeri Jakarta. Jakarta

Ferianita, F. M. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta

80

Gregory, R. D., D .W. Gibbons dan P. F. Donald. 2004. Bird census and survey

techniques. Artikel. suther-02

Holmes, D. 1999. Burung-burung di Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI.

Bogor.

Kristanto, A dan D. Istanto. 2011. Burung Ibu Kota Panduan Mengamati dan

Memotret Burung-burung Jakarta. Jakarta.

__________ dan F. Momberg. 2008. Alam Jakarta Panduan Keanekaragaman

Hayati yang Tersisa di Jakarta. Fauna dan flora International-Indonesia

Programme. Jakarta.

Kristanto, A. 2006. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Burung di Tiga

Taman Kota. Skripsi: Universitas Nasional. Jakarta.

Krebs J.L. 1978. Ecology The Eksperimental Analysis of Distribution and

Abundance, second edition. Harper dan Row, Publisher. New York.

Kusumadewi, A dan D. Aquina. 2011. Foke Pesimistis Jakarta Jadi Kota Hijau.

http://VIVAnews.com. 24 Februari. 2012, pkl 8.23 WIB.

Kuswanda, W. 2010. Pengaruh Komposisi Tumbuhan terhadap Populasi Burung

di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara. Jurnal. Penelitian Hutan

dan Konservasi Alam. Vol. VII No.2 : 193-213, 2010.

Lack D. 1971. Ecological Isolation in Birds.Blackwell Scintific Publication,

Oxford.

MacKinnon, J., K. Philips dan Bas Van Balen.1998. Burung - burung di

Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk Sabah, Serawak, dan Brunei

Darussalam). Puslitbang Biologi-LIPI dan Birdlife International - Indonesian

Programme. Bogor.

Marwanzis. 2011. Burung Bisa Menjadi Indikator Kelestarian Ekosistem. Artikel.

Referensi Berita Lingkungan.

Morrison, M. L. 1986. Bird Pupolation as Indicators of Environmental Change.

Dalam Suryowati C. 2000. Persebaran Burung di Koridor Hijau Jalan (Studi

Kasus di Koridor Hijau Jalan di Jakarta). Tesis: Program Studi Ilmu

Lingkungan, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

Odum, E.P. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga, Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Odum, E.P. 1971. Fundamental Ecology. W. B. Saunders Company. Philadelphia

81

Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur. 2013. Artikel. Demografi wilayah

Jakarta Timur. http://timur.jakarta.go.id. 28 Januari 2013 pukul 21.00 WIB.

Rombang, W. M. 2008. Benteng Terakhir untuk Burung Kota. Artikel. Burung

No. 1/TH.II/Januari 2008. Burung Indonesia. Bogor.

Rosanna ,Y. 2005. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Habitat Burung Di Perkotaan

(Kajian Terhadap Habitat Burung dan Nilai Estetika Kota). Tesis: Program

Kajian Pengembangan Perkotaan, Program Pasca Sarjana Universitas

Indonesia. Jakarta.

Setiawan, Agus., H.S. Alikodra, A. Gunawan dan D. Darnaedi. 2006.

Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung di Beberapa Areal Hutan Kota

Bandar Lampung. Jurnal. Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 1 : 1-13

(2006).

Stanley, A. T dan J. A. Wiens. 1989. Bird Populations and Environmental

Changes: Can Birds Be Bio-indicators?. Artikel. Population Study American

Birds.

Sukmantoro, W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, N. Kemp dan M.

Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia no. 2. Artikel. Indonesian

Ornithologists’ Union. Bogor.

Suryowati, C. 2000. Persebaran Burung di Koridor Hijau Jalan (Studi Kasus di

Koridor Hijau Jalan di Jakarta). Tesis: Program Studi Ilmu Lingkungan,

Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

Wardojo, W. 2008. Koridor Hijau Selamatkan Burung. Artikel. Burung No. 5.

Edisi mei 2007. Burung Indonesia. Bogor.

Warsito,H dan S. Yuliana. 2007. Keanekaragaman Jenis Burung di Saribi,

Numfor Barat, Papua: Beberapa Catatan (Notes on Birds Biodiversity In

saribi, West Namfor, Papua). Jurnal. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam,

Vol IV No. 6.

Walida, F. S. 2006. Interaksi Burung Dan Tumbuhan Di Kawasan Koridor Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak. Skripsi: Departemen Biologi. Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

82

Lampiran 1. Nilai Indeks dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung

(H’) di Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma

No Jenis Burung titik sampling

total frekuensi Di (%) Kr Fr NP pi Ln pi H' 1 2 3

1 Streptopelia cinensis 1 0 0 1 1 0,28 0,649 2,500 3,149 0,006 -5,037 0,033

2 Colocalia linchi 3 2 0 5 2 1,39 3,247 5,000 8,247 0,032 -3,428 0,111

3 Apus affinis 1 2 0 3 2 0,84 1,948 5,000 6,948 0,019 -3,938 0,077

4 Hirundo tahitica 5 2 0 7 2 1,95 4,545 5,000 9,545 0,045 -3,091 0,141

5 Pericrocotus cinnamomeus 0 0 1 1 1 0,28 0,649 2,500 3,149 0,006 -5,037 0,033

6 Aegitina thipia 1 2 0 3 2 0,84 1,948 5,000 6,948 0,019 -3,938 0,077

7 Pycnonotus aurigaster 5 2 2 9 3 2,51 5,844 7,500 13,344 0,058 -2,840 0,166

8 Parus major 1 3 0 4 2 1,11 2,597 5,000 7,597 0,026 -3,651 0,095

9 Gerygone sulphurea 5 9 8 22 3 6,13 14,286 7,500 21,786 0,143 -1,946 0,278

10 Orthotomus sutorius 2 1 6 9 3 2,51 5,844 7,500 13,344 0,058 -2,840 0,166

11 Orthotomus ruficeps 1 4 8 13 3 3,62 8,442 7,500 15,942 0,084 -2,472 0,209

12 Prinia familiaris 0 0 2 2 1 0,56 1,299 2,500 3,799 0,013 -4,344 0,056

13 Rhipidura Javanica 0 2 0 2 1 0,56 1,299 2,500 3,799 0,013 -4,344 0,056

14 Artamus leucorhyncus 0 0 1 1 1 0,28 0,649 2,500 3,149 0,006 -5,037 0,033

15 Anthreptes malacensis 5 7 0 12 2 3,34 7,792 5,000 12,792 0,078 -2,552 0,199

16 Cinnyris jugularis 1 3 4 8 3 2,23 5,195 7,500 12,695 0,052 -2,958 0,154

17 Dicaceum trochileum 4 6 10 20 3 5,57 12,987 7,500 20,487 0,130 -2,041 0,265

18 Zosterops palpebrosus 7 2 0 9 2 2,51 5,844 5,000 10,844 0,058 -2,840 0,166

19 Passer montanus 5 3 0 8 2 2,23 5,195 5,000 10,195 0,052 -2,958 0,154

20 Lonchura punctulata 0 0 15 15 1 4,18 9,740 2,500 12,240 0,097 -2,329 0,227

154 40 42,90 100,000 100,000 200,000 1,000 -67,619 2,694

83

No Jenis Burung titik sampling

total frekuensi Di (%) Kr Fr NP pi Ln pi H' 1 2 3

1 Streptopelia cinensis 3 4 2 9 3 2,51 7,826 9,375 17,201 0,078 -2,548 0,199

2 Colocalia linchi 2 4 3 9 3 2,51 7,826 9,375 17,201 0,078 -2,548 0,199

3 Apus affinis 1 2 5 8 3 2,23 6,957 9,375 16,332 0,070 -2,665 0,185

4 Dendrocopos moluccensis 0 0 1 1 1 0,28 0,870 3,125 3,995 0,009 -4,745 0,041

5 Hirundo tahitica 4 3 3 10 3 2,79 8,696 9,375 18,071 0,087 -2,442 0,212

6 Pycnonotus goiavier 1 9 0 10 2 2,79 8,696 6,250 14,946 0,087 -2,442 0,212

7 Pycnonotus aurigaster 6 11 5 22 3 6,13 19,130 9,375 28,505 0,191 -1,654 0,316

8 Gerygone sulphurea 4 3 0 7 2 1,95 6,087 6,250 12,337 0,061 -2,799 0,170

9 Anthreptes malacensis 0 2 5 7 2 1,95 6,087 6,250 12,337 0,061 -2,799 0,170

10 Cinnyris jugularis 2 2 0 4 2 1,11 3,478 6,250 9,728 0,035 -3,359 0,117

11 Dicaceum trochileum 5 8 2 15 3 4,18 13,043 9,375 22,418 0,130 -2,037 0,266

12 Zosterops palpebrosus 0 2 0 2 1 0,56 1,739 3,125 4,864 0,017 -4,052 0,070

13 Passer montanus 4 0 3 7 2 1,95 6,087 6,250 12,337 0,061 -2,799 0,170

14 Lonchura leucogastroides 2 2 0 4 2 1,11 3,478 6,250 9,728 0,035 -3,359 0,117

115 32 32,03 100,000 100,000 200,000 1,000 -40,247 2,448

Lampiran 2. Nilai Indeks dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’) di

Jalur Hijau Raden Inten

84

No Jenis Burung titik sampling

total frekuensi D (%) Kr Fr NP pi Ln pi H' 1 2 3

1 Colocalia linchi 3 1 0 4 2 1,11 4,444 8,333 12,778 0,044 -3,114 0,138

2 Apus affinis 3 0 2 5 2 1,39 5,556 8,333 13,889 0,056 -2,890 0,161

3 Hirundo tahitica 4 2 4 10 3 2,79 11,111 12,500 23,611 0,111 -2,197 0,244

4 Pycnonotus aurigaster 3 10 7 20 3 5,57 22,222 12,500 34,722 0,222 -1,504 0,334

5 Gerygone sulphurea 2 2 1 5 3 1,39 5,556 12,500 18,056 0,056 -2,890 0,161

6 Orthotomus ruficeps 1 0 0 1 1 0,28 1,111 4,167 5,278 0,011 -4,500 0,050

7 Anthreptes malacensis 1 2 0 3 2 0,84 3,333 8,333 11,667 0,033 -3,401 0,113

8 Dicaceum trochileum 3 2 3 8 3 2,23 8,889 12,500 21,389 0,089 -2,420 0,215

9 Artamus leucorhyncus 1 0 2 3 2 0,4 3,333 8,333 11,667 0,033 -3,401 0,113

10 Passer montanus 17 10 4 31 3 8,64 34,444 12,500 46,944 0,344 -1,066 0,367

90 24 25,07 100,000 100,000 200,000 1,000 -27,384 1,897

Lampiran 3. Nilai Indeks dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’) di

Jalur Hijau I Gusti Ngurah Rai

85

Lampiran 4. Nilai Indeks, Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di

Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma

no Jenis Tumbuhan Titik Sampling

total frekuensi Kr Fr NP pi Log pi H' 1 2 3

1 Ficus benjamina 2 0 1 3 2 3,26 11,11 14,37 0,033 -1,49 0,048

2 Mimusops elengi 12 25 7 44 3 47,83 16,67 64,49 0,478 -0,32 0,153

3 Bauhinia purpurea 4 0 0 4 1 4,35 5,56 9,90 0,043 -1,36 0,059

4 Erythrina crista 2 4 0 6 2 6,52 11,11 17,63 0,065 -1,19 0,077

5 Pterocarpus indicus 2 0 0 2 1 2,17 5,56 7,73 0,022 -1,66 0,036

6 Leucaena leucocephala 0 0 2 2 1 2,17 5,56 7,73 0,022 -1,66 0,036

7 Thuja orientalis 5 9 7 21 3 22,83 16,67 39,49 0,228 -0,64 0,146

8 Acacia auriculiformis 1 0 1 2 2 2,17 11,11 13,29 0,022 -1,66 0,036

9 Morinda citrifolia 0 0 2 2 1 2,17 5,56 7,73 0,022 -1,66 0,036

10 Gliricidia sepium 1 0 0 1 1 1,09 5,56 6,64 0,011 -1,96 0,021

11 Bambusa sp 0 5 0 5 1 5,43 5,56 10,99 0,054 -1,26 0,069

92 18 100,00 100,00 200,00 1,000 -14,88 0,719

86

no Jenis Tumbuhan Titik Sampling

total frekuensi Kr Fr NP pi Log pi H' 1 2 3

1 Swietenia mahagoni 6 9 5 20 3 30,77 25,00 55,77 0,308 -0,51 0,158

2 Ficus benjamina 1 5 7 13 2 20,00 16,67 36,67 0,200 -0,70 0,140

3 Callistemon lanceolatus 3 5 5 13 3 20,00 25,00 45,00 0,200 -0,70 0,140

4 Pterocarpus indicus 0 2 0 2 1 3,08 8,33 11,41 0,031 -1,51 0,047

5 Thespasia sp. 12 3 2 17 3 26,15 25,00 51,15 0,262 -0,58 0,152

65 12 100,00 100,00 200,00 1,000 -4,00 0,484

Lampiran 5. Nilai Indeks, Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di

Jalur Hijau Raden Inten

87

no Jenis Tumbuhan Titik Sampling

total frekuensi Kr Fr NP pi Log pi H' 1 2 3

1 Albizia saman 3 6 7 16 3 27,59 18,75 46,34 0,276 -0,56 0,154

2 Swietenia mahagoni 1 0 3 4 3 6,90 18,75 25,65 0,069 -1,16 0,080

3 Pterocarpus indicus 3 1 0 4 2 6,90 12,50 19,40 0,069 -1,16 0,080

4 Tabebuia chrysotricha 7 5 0 12 2 20,69 12,50 33,19 0,207 -0,68 0,142

5 Cassia siamea 6 2 0 8 1 13,79 6,25 20,04 0,138 -0,86 0,119

6 Cerbera manghas 0 3 5 8 2 13,79 12,50 26,29 0,138 -0,86 0,119

7 Oreodoxa regia 0 1 0 1 1 1,72 6,25 7,97 0,017 -1,76 0,030

8 Erythrina crista 0 4 0 4 1 6,90 6,25 13,15 0,069 -1,16 0,080

9 Mimusops elengi 0 1 0 1 1 1,72 6,25 7,97 0,017 -1,76 0,030

58 16 100,00 100,00 200,00 1,000 -9,98 0,834

Lampiran 6. Nilai Indeks, Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di

Jalur Hijau I Gusti Ngurah Rai