potensi jalur hijau wilayah jakarta timur sebagai habitat burung
TRANSCRIPT
POTENSI JALUR HIJAU WILAYAH JAKARTA TIMUR
SEBAGAI HABITAT BURUNG
AULIA ULFAH
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/ 1434 H
POTENSI JALUR HIJAU WILAYAH JAKARTA TIMUR
SEBAGAI HABITAT BURUNG
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
AULIA ULFAH
108095000047
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/ 1434 H
i
ABSTRAK
Aulia Ulfah. Potensi Jalur Hijau Wilayah Jakarta Timur sebagai Habitat Burung.
Skripsi Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Pembangunan infrastruktur berupa jalan raya menyebabkan penurunan
luas ruang terbuka hijau (jalur hijau jalan) yang berdampak pada penurunan
jumlah jenis burung di Jakarta. Penelitian ini dilakukan di tiga jalur hijau wilayah
Jakarta Timur. Metode yang digunakan adalah metode desktriptif dengan
kombinasi metode transek dan titik hitung (Point count). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pemanfaatan jalur hijau sebagai habitat burung. Burung yang
dijumpai tergolong kedalam 15 famili dengan 23 jenis. Nilai indeks
keanekaragaman terbesar pada jalur hijau Halim Perdana Kusuma (H’= 2,649),
kemudian Raden Inten (H’= 2,448), dan terakhir I Gusti Ngurah Rai (H’= 1,879).
Berdasarkan hasil pengujian Principle Component Analysis (PCA) faktor fisik
dari yang paling berpengaruh terhadap kehadiran burung adalah kelembaban
(0,966), diikuti kebisingan (0,881), kecepatan angin (0,850), suhu udara (0,794),
dan intensitas cahaya (0,754). Hasil uji korelasi keanekaragaman jenis tumbuhan
terhadap keanekaragaman jenis burung menunjukkan keanekaragaman jenis
tumbuhan tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung. Ketiga jalur
hijau yang diamati dapat mendukung aktifitas burung, baik sebagai penyedia
pakan, tempat beristirahat dan bersosialisasi, maupun sebagai tempat bersarang.
Kata kunci: Burung, faktor fisik lingkungan, dan jalur hijau.
ii
ABSTRACT
Aulia Ulfah. Potential of the Green Line Road as a Bird Habitat Area in East
Jakarta. Under-graduate Thesis Biological Student. Faculty of Science and
Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Infrastructure development in such as highway has been causing decrease
of green space area (green line road), which significantly reduced the number of
birds in Jakarta. The research was conducted in three green line area of East
Jakarta. The data were collected with description method that combination
between transect and point count. This study aimed to examine the use of green
line road as a bird habitat. Amount of bird was found are 23 species from 15
families. The highest diversity index values at Halim Perdana Kusuma green line
(H'= 2.649), diversity index values at Raden Inten (H' = 2.448), and the lowest
values of diversity index is I Gusti Ngurah Rai (H' = 1.879). Based on the test
results using Principle Component Analysis (PCA) of the physical factors that
most affect the bird's presence is humidity (0.966), followed by noise (0.881),
wind speed (0.850), temperature (0.794), and light intensity (0.754). The
Correlation test results between diversity of plant species and diversity of bird
species, showed there is no effect between the diversity of plant species and
diversity of bird species. The three green lines can support the activity of birds
observed, both as a provider of food, a place to rest and socialize, and a nesting
site.
Keywords: Green Line, birds, and physical factors
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya milik Allah SWT Yang Maha Kuasa, atas segala
rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dengan
segala kemampuan yang ada, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Potensi Jalur Hijau Wilayah Jakarta Timur Sebagai Habitat Burung”.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan untuk baginda Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman
Penulis juga telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak dalam
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Kedua orangtua penulis, Ayahanda Fahrurozi dan Ibunda Siti Aminah, yang
selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan do’a kepada penulis.
2. Dr. Agus Salim, M.Si., selaku Dekan Fakultas Sains dan Tekhnologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lily Surayya E.P., M.Env.Stud., selaku Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dra. Etyn Yunita, M.Si. Selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si, selaku pembimbing I dan pembimbing
akademik yang selalu memberikan saran, bimbingan dan motivasi hingga
selesainya skripsi ini.
iv
6. Drs. Paskal Sukandar, M.Si, selaku pembimbing II yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, pengetahuan dan motivasi bagi
penulis.
7. Priyanti, M.Si, selaku penguji I, dan Narti Fitriana, M.Si, selaku penguji II
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan kritik dan saran dalam
penyusunan skripsi ini.
8. Seluruh dosen Biologi yang telah mencurahkan ilmu dan pengalamannya
baik dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan.
9. Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Wilayah Jakarta Timur, atas izin
yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menggunakan
jalur hijau sebagai lokasi penelitian.
10. Farida Ahmad, S.Pd dan Puji Astuti, S.Si selaku laboran di lab Biologi
Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta, atas izin yang telah diberikan
kepada penulis sehingga dapat menggunakan alat lab.
11. Andang Mulya Sari, S.Si, teman terbaik dalam menempuh pendidikan di
Biologi UIN Jakarta, yang selalu meluangkan waktu untuk membagi suka
dan duka, serta selalu memberikan saran dan kritik yang membangun
pengetahuan penulis.
12. Teman-teman terdekat penulis, Kamal Tamasuki, Gita Widya, Juny Susanti,
Eva Hardianti, Nilawati, Faradhillah, dan Maulina, yang bersedia
mendengar suka dan duka penulis dalam menempuh pendidikan di Biologi,
dan selalu memberikan semangat kepada penulis.
v
13. Teman-teman mahasiswa Biologi angkatan 2008 yang telah berbagi
keceriaan, semoga silaturahmi tetap terjaga.
14. Maulya Arfi Syaputra, yang telah meluangkan waktu untuk berbagi
pengetahuan dalam bidang Ornithologi.
15. Semua pihak yang tak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang turut
membantu penulis dalam penyelesaian Skripsi ini.
Semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis menjadi
amal yang diterima di hadirat Allah SWT. Amin. Penulis berharap skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis dan pembaca serta
memperkaya pengetahuan mengenai konservasi burung di lingkungan perkotaan.
Jakarta, Januari 2013
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
ABSTRAK ................................................................................................... iii
ABSTRACT.................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................... v
DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
1.4. Hipotesis Penelitian .................................................................... 5
1.5. Manfaat penelitian ...................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Burung ................................................................................... 6
2.1.1. Habitat Burung ............................................................... 6
2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Burung .............. 9
2.1.3. Manfaat Burung .............................................................. 10
2.1.4. Jenis Burung yang terdapat di Jakarta ............................. 11
2.2. Jalur Hijau ............................................................................... 17
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 20
3.2 Alat-alat Penelitian ................................................................... 20
3.3 Metode Pengamatan ................................................................. 22
vii
3.3.1.Pengamatan Burung, Vegetasi, dan Faktor Fisik
Lingkungan ..................................................................... 22
3.4. Teknik Analisis Data Jenis Burung ........................................... 23
3.4.1. Frekuensi atau Sebaran Burung ....................................... 24
3.4.2. Kelimpahan Relatif ......................................................... 24
3.4.3. Indeks Nilai Penting........................................................ 24
3.4.4. Indeks Dominansi ........................................................... 25
3.4.5. Keanekaragaman Jenis .................................................... 25
3.4.6. Keseragaman .................................................................. 26
3.4.7. Indeks Kesamaan Jenis ................................................... 26
3.5. Analisis Komponen yang Berpengaruh terhadap Kehadiran
Burung ................................................................................... 27
3.6. Analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) ............... 27
3.7. Korelasi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dengan
Keanekaragaman Jenis Burung ................................................. 27
3.8. Tingkat Penggunaan Jenis Vegetasi oleh Burung ..................... 28
3.9. Skala Gambar ........................................................................... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......................................... 29
4.2. Keanekaragaman Jenis Burung ................................................. 32
4.3. Komposisi Jenis Burung ........................................................... 36
4.4. Pengaruh Faktor Fisik Lingkungan terhadap Kehadiran Burung 66
4.5. Hubungan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dengan
Keanekaragaman Jenis Burung ................................................. 71
4.6. Tingkat Penggunaan Vegetasi oleh Burung ............................... 72
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan .............................................................................. 78
5.2. Saran ........................................................................................ 78
viii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 79
LAMPIRAN ................................................................................................. 82
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik lokasi penelitian ......................................................... 29
Tabel 2. Faktor fisik lingkungan lokasi penelitian ......................................... 30
Tabel 3. Jenis burung berdasarkan suku yang dijumpai dalam penelitian ....... 34
Tabel 4. Indeks kesamaan jenis burung di lokasi penelitian ........................... 39
Tabel 5. Hasil analisis Nilai Loading factor Komponen Principal
Component Analysis (PCA) faktor fisik yang mempengaruhi
keberadaan burung .......................................................................... 69
Tabel 6. Hasil analisis korelasi pearson product moment keanekaragaman
burung dengan keanekaragaman tumbuhan...................................... 73
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan ..................................... 18
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian .......................................................... 21
Gambar 3. Plot Pengamatan di Jalur Hijau Jalan.................................... 23
Gambar 4. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung ................................. 35
Gambar 5. Komposisi Jenis Burung di Lokasi Penelitian ....................... 37
Gambar 6. Jumlah Jenis Burung di Lokasi Penelitian ............................ 38
Gambar 7. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis) Terbang .................. 41
Gambar 8. Walet Linci (Collocalia linchi) Terbang ............................... 43
Gambar 9. Kapinis Rumah (Apus affinis) .............................................. 44
Gambar 10. Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis) .............................. 45
Gambar 11. Layang-layang Batu (Hirundo tahitica) bertengger di
Lampu Jalan ........................................................................ 45
Gambar 12. Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus) bertengger di
Pohon Akasia (Acacia auriculiformes) ................................. 47
Gambar 13. Cipoh Kacat (Aegitia tiphia) bertengger di Pohon Tanjung
(Mimusops elengi)................................................................ 48
Gambar 14 Burung Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang
dijumpai di lokasi penelitian. A.Sepasang Kutilang yang
bertengger di lampu jalan, B. Kutilang bertengger di pohon
Tanjung (Mimusops elengi) .................................................. 49
Gambar 15. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus aurigaster) bertengger di
Pohon Beringin (Ficus benjamina) ....................................... 50
Gambar 16. Burung Gelatik Batu Kelabu (Parus major) bertengger di
Pohon Dadap Merah (Erythrina crysta)................................ 51
xi
Gambar 17 Burung Remetuk Laut (Gerygone sulphurea) yang dijumpai
di Lokasi Penelitian. A. Seekor Remetuk Laut. B. Sepasang
Remetuk Laut (Gerygone sulphurea) bertengger di Pohon
Tanjung (Mimusops elengi) ................................................. 52
Gambar 18. Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius) ................................. 53
Gambar 19. Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) ................................ 54
Gambar 20. Prenjak Jawa (Prinia familiaris) bertengger di Pohon
Akasia Daun Kecil (Acacia acuiliformes) ............................. 55
Gambar 21. Kipasan Belang (Rhipidura javanica) .................................. 56
Gambar 22. Burung Kekep Babi (Arthamus leucorhyncus) yang
dijumpai di Lokasi Penelitian. A. Kekep Babi bertengger di
Tiang Lampu Jalan, B. Kekep Babi Terbang ........................ 57
Gambar 23. Burung Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) yang
dijumpai di Lokasi Penelitian. A. Burung Madu Kelapa
Jantan, B. Burung Madu Kelapa Betina ................................ 58
Gambar 24. Sarang Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) di
Pohon Beringin (Ficus benjamina) ....................................... 59
Gambar 25. Burung Burung Madu Sriganti (Cynniris jugularis) yang
dijumpai di Lokasi Penelitian. A. Burung Madu Sriganti
Jantan, B. Burung Madu Sriganti Betina .............................. 61
Gambar 26. Burung Cabai jawa (Dicaceum trochileum) yang dijumpai
di Lokasi Penelitian. A. Cabai Jawa Jantan, B. Cabai Jawa
Betina .................................................................................. 62
Gambar 27. Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) di pohon Bunga
Sikat Botol (Callistemon lanceolatus) .................................. 63
Gambar 28. Burung Gereja Eurasia (Passer montanus) ........................... 65
Gambar 29. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) Jantan dan Betina
di Pohon Beringin (Ficus benjamina) ................................... 66
Gambar 30. Sekelompok Bondol Peking (Lonchura punctulata) di
Lahan Pertanian Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma............ 67
Gambar 31. Grafik Faktor Fisik Lingkungan Lokasi Penelitian ............... 68
xii
Gambar 32. Grafik Analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA)
Jenis Burung berdasarkan Faktor Fisik Lingkungan Lokasi
Penelitian ............................................................................. 71
Gambar 33. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman Oleh Burung di
Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma...................................... 74
Gambar 34. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman Oleh Burung di
Jalur Hijau Radin Inten ....................................................... 75
Gambar 35. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman Oleh Burung di
Jalur Hijau I Gusti Ngurah Rai ............................................. 76
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Nilai Indeks Dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr),
Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’)
di Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma ..................................... 82
Lampiran 2. Nilai Indeks Dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr),
Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’)
di Jalur Hijau Raden Inten ....................................................... 83
Lampiran 3. Nilai Indeks Dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr),
Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’)
di Jalur Hijau I Gusti Ngurah Rai.............................................. 84
Lampiran 4. Nilai Indeks Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting
(NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di Jalur
Hijau Halim Perdana Kusuma................................................... 85
Lampiran 5. Nilai Indeks Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting
(NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di Jalur
Hijau Raden Inten ..................................................................... 86
Lampiran 6. Nilai Indeks Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting
(NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di Jalur
Hijau I Gusti Ngurah Rai .......................................................... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DKI Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia yang memiliki fungsi
dan peran penting, baik dalam lingkup nasional maupun daerah. Jakarta terus
mengalami perubahan dalam pembangunan infrastruktur dan jumlah penduduk.
Pada tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 9.588.198 orang,
dengan laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta per tahun selama sepuluh tahun
terakhir (tahun 2000‐2010) yaitu sebesar 1,40 % (BPS DKI Jakarta, 2010). Status
DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara, menjadikan masyarakat di luar
Jakarta bermigrasi untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik dalam pendidikan
maupun pekerjaan.
Migrasi dan penambahan jumlah penduduk yang terjadi di Jakarta
menyebabkan pembangunan infrastruktur (pemukiman, sarana pariwisata, sarana
komersial, dan sarana transportasi), guna memfasilitasi masyarakat Jakarta.
Pembangunan infrastruktur yang terjadi di wilayah Jakarta dapat menyebabkan
penurunan luas area RTH (Ruang Terbuka Hijau). Hal tersebut berdampak positif
bagi peningkatan perekonomian daerah namun berdampak negatif pada
lingkungan, khususnya terhadap ekosistem di DKI Jakarta. Fungsi RTH sangat
penting bagi kehidupan manusia yaitu fungsi utamanya sebagai fungsi ekologis
serta fungsi tambahan sebagai fungsi sosial, ekonomi dan estetika kota
(Diskominfomas Prov DKI Jakarta, 2011).
2
Berdasarkan Permendagri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan perkotaan, RTH adalah ruang-ruang dalam kota atau
wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area atau kawasan maupun dalam
bentuk area memanjang, jalur tersebut dalam penggunaannya lebih bersifat
terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Luasan ideal dari Ruang Terbuka
Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah 20% dari luas kawasan perkotaan.
Jakarta telah merencanakan luas RTH sampai dengan tahun 2030 adalah 34,51%
dari luas wilayah, hal tersebut dicantumkan dalam peraturan daerah tentang
rencana tata ruang wilayah 2030 pasal 5 ayat 5. Menurut Kusumadewi (2011)
Jumlah RTH di Jakarta yang telah tersedia adalah 9,8 %.
Jalur hijau atau koridor hijau merupakan RTH yang memiliki fungsi
ekologis mengurangi polutan di udara. Fungsi ekologis lainnya dari jalur hijau
hijau adalah sebagai penghubung antar kawasan, wilayah jelajah burung, dan
berperan dalam penghubung antar kawasan hijau di Jakarta (Wardojo, 2008).
Jumlah jalur hijau mulai mengalami penyusutan luas wilayah yang menyebabkan
penyusutan jenis burung ibukota. Keberadaan burung pada tahun 1946 di Jakarta
ditemukan sebanyak 256 jenis burung. Namun pada tahun 2006-2007, survey
yang dilakukan oleh Jakarta Green Monster (JGM) dan Fauna Flora Indonesia
(FFI) hanya menemukan 121 jenis burung, sudah termasuk burung pantai
(Kristanto dan Frank, 2008).
Burung merupakan indikator penting yang digunakan dalam menentukan
daerah pelestarian alam, satwa ini hidup di seluruh habitat, dan peka terhadap
perubahan lingkungan (Marwanzis, 2011). Kehadiran burung berperan dalam
3
keberlangsungan suatu ekosistem, maka perlu dipertahankan jumlah jenis burung
yang berada di Jakarta dengan menambah jumlah luas RTH dan jalur hijau
sebagai penunjangnya. Keberadaan dan keanekaragaman jenis vegetasi, serta
faktor fisik jalur hijau juga perlu diperhatikan, untuk mendukung peran jalur hijau
sebagai habitat burung. Suryowati (2000) menyatakan bahwa kepadatan burung
pada suatu jalur hijau dapat dipengaruhi oleh kepadatan kendaraan bermotor.
Kepadatan kendaraan bermotor merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang
dapat mempengaruhi keberadaan burung pada jalur hijau jalan.
Selama ini, penelitian terhadap komunitas burung di perkotaan umumnya
dilakukan di taman atau hutan kota, sedangkan penelitian komunitas burung yang
dilakukan di jalur hijau masih sangat jarang. Oleh karena itu, penelitian ini
diperlukan, terutama untuk mengetahui pemanfaatan jalur hijau sebagai habitat
burung. Jalur hijau yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalur hijau Jalan
Raya yang berada di wilayah Jakarta Timur, yaitu Halim Perdanakusuma, Raden
Inten, dan I Gusti Ngurah Rai. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan luasan area,
kondisi fisik jalur hijau yang dapat mewakili kondisi jalur hijau di wilayah Jakarta
Timur pada umumnya.
Jakarta Timur memiliki karakteristik yang membedakan dengan
kotamadya lainnya yaitu, memiliki kawasan industri, terdapat beberapa jenis pasar
induk, memiliki badar udara Halim Perdana Kusuma, dan memiliki obyek wisata
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan lubang buaya, jumlah penduduk wilayah
Jakarta Timur hanya 10% dari jumlah penduduk DKI Jakarta (Pemkot adm
4
Jaktim, 2013). Berdasarkan karakteristik lingkungan tersebut, maka dapat
dimungkinkan wilayah Jakarta Timur memiliki potensi sebagai habitat burung.
1.2 Perumusan Masalah
a. Bagaimana keanekaragaman jenis burung di jalur hijau yang diamati?
b. Bagaimana pengaruh faktor fisik terhadap kehadiran burung di jalur
hijau?
c. Bagaimana pemanfaatan tumbuhan di jalur hijau oleh burung?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui tingkat keanekaragaman jenis burung di Jakarta Timur.
b. Mengetahui faktor fisik yang berpengaruh terhadap kehadiran burung
di Jalur Hijau.
c. Mengetahui pemanfaatan vegetasi di jalur hijau oleh burung.
1.4 Hipotesis Penelitian
a. Tingkat Keanekaragaman burung di tiga jalur hijau yang diamati
bernilai rendah.
b. Kehadiran burung di jalur hijau dipengaruhi oleh suhu, kelembaban,
intensitas cahaya, kecepatan angin, dan tingkat kebisingan.
c. Burung-burung di jalur hijau yang diamati memanfaatkan vegetasi yang
terdapat di jalur hijau sebagai tempat melakukan aktivitas berkembang
biak, mencari makan, berlindung dan bersarang.
5
1.5 Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dalam mengelola koridor hijau sebagai habitat burung di Jakarta.
b. Memberikan informasi mengenai keberadaan jenis burung yang dapat
menggunakan koridor hijau di daerah Jakarta Timur, sebagai habitat
burung yang belum terdata sebelumnya.
c. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat di bidang
pelestarian lingkungan, dengan menjaga ketersediaan koridor hijau
sebagai salah satu ruang terbuka hijau dan habitat burung.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Burung
Burung merupakan vertebrata yang termasuk kelas Aves, binatang
berdarah panas yang memiliki sayap dan berkembang biak dengan bertelur.
Burung memiliki perbedaan yang khas dibandingkan dengan vertebrata berdarah
panas lainnya, yaitu tidak memiliki gigi tetapi memiliki paruh. Burung
mempunyai karakteristik yaitu, tubuhnya ditutupi oleh bulu, mempunyai sayap,
kaki yang ditutupi oleh sisik dan dilengkapi dengan kuku, serta memiliki paruh
yang digunakan sebagai alat bantu untuk makan.
2.1.1. Habitat Burung
Burung sebagai salah satu komponen ekosistem memerlukan tempat atau
ruang yang digunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan
tempat untuk berkembang biak, semuanya itu membentuk suatu kesatuan yang
disebut habitat. Alikodra (1990) menjelaskan, bahwa habitat merupakan kawasan
yang terdiri dari berbagai komponen, baik secara fisik maupun biotik yang
merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta
berkembang biaknya satwa liar.
Amama (2008) menyatakan bahwa, terdapat beberapa tipe tumbuhan yang
penting bagi habitat burung, tipe tersebut antara lain:
7
Peneduh. Pohon yang termasuk dalam tipe peneduh adalah pohon berdaun
jarum seperti Pinus dan Cemara, serta pohon rindang seperti Beringin,
Kapuk, dan Sengon. Saat panas terik, burung-burung yang tidak terlalu aktif
akan memilih berteduh di pepohonan tipe ini.
Pelindung sekaligus penyedia biji-bijian. Tumbuhan pelindung dan
penyedia biji-bijian sebagai pakan burung antara lain rerumputan, polong-
polongan seperti Angsana, Akasia, Asoka, dan Dadap. Tumbuhan jenis ini
selain menyediakan perlindungan bagi burung-burung yang bersarang dekat
tanah, juga menyediakan biji-bijian untuk pakannya.
Penghasil nektar. Tanaman hias yang termasuk dalam tipe ini adalah,
Dadap, Pisang hias, dan Palem, sedangkan pohon buah-buahan seperti
Jambu, Mangga, dan Rambutan saat musim berbunga sering didatangi
burung.
Beberapa jenis tumbuhan atau pepohonan yang dapat dimanfaatkan oleh
burung perkotaan antara lain:
Pohon Beringin (Ficus benjamina, F.variegata, dan F. glaberrina) buah
pohon ini banyak dimakan oleh burung seperti Punai Gading (Treron
vernans), Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), dan Merbah Cerukcuk
(Pycnonotus goiavier) (Kristanto dan Dedy, 2011).
Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasilkan nektar. Beberapa
jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yang tengah
berbunga antara lain: Betet (Psittacula alexandri), Serindit (Loriculus
8
pusillus), suku Jalak-jalakan (Sturnidae), dan beberapa jenis Burung Madu
(Kristanto dan Dedy, 2011). Pohon ini juga menjadi sarang favorit Prenjak
Jawa (Prinia familiaris) dan Cinenen Jawa (Orthomus sepium) (Amama,
2008).
Bambu (Bambusa sp.) burung Blekok (Ardeola speciosa) dan Manyar
(Ploceus sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung lainnya
seperti Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), Celepuk Reban (Otus lempiji),
Kipasan Belang (Rhipidura javanica), bertelur pada pangkal cabangnya,
diantara dedaunan dan di dalam batangnya (Kristanto dan Dedy, 2011).
Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) sebagai penyedia serangga untuk
burung Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Remetuk Laut (Gerygone
sulphurea), Prenjak Jawa (Prinia familiaris), dan Merbah Cerukcuk
(Pycnonotus goiavier). Cabai Jawa (Diacaeum trochileum) memanfaatkan
benalu yang ada pada pohon ini sebagai pakannya (Kristanto, 2006).
Angsana (Pterocarpus indicus) merupakan sumber makanan, tempat
singgah, bermain, dan bersarang bagi burung Remetuk Laut (Gerygone
sulphurea). Jenis pohon ini merupakan pohon yang dianggap baik untuk
tanaman tepi jalan, karena pohonnya berdahan banyak dan tajuknya lebat.
Memiliki bunga yang berwarna kuning keemasan, kecil, dan harum. Jenis
pohon ini menarik jenis serangga ordo Diptera.
9
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Burung
Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan,
tempat untuk istirahat, main, kawin, bersarang, bertengger, dan berlindung.
Keadaan dan kondisi lingkungan yang berubah-ubah, dapat mempengaruhi
kehidupan makhluk hidup di lingkungannya. Populasi burung akan memberikan
respon terhadap perubahan lingkungan yang berfluktuasi secara teratur maupun
tidak teratur (Stanley, 1989).
Keragaman jenis burung sangat dipengaruhi oleh potensi tanaman yang
terdapat dalam habitatnya, terutama tanaman yang dapat menjadi sumber pakan
(Kuswanda, 2010). Keberadaan manusia dan aktifitas manusia yang terdapat di
lokasi penelitian dapat menjadi salah satu faktor kehadiran suatu jenis burung.
Adanya aktifitas manusia pada tipe hutan tertentu memberikan pengaruh pada
komposisi jenis burung yang dijumpai (Warsito dan Yuliana, 2007).
Ukuran luas habitat akan mempengaruhi keanekaragaman burung, jika
semakin luas habitatnya, cenderung semakin tinggi keanekaan jenis burungnya
(Ferianita, 2007). Kemampuan areal dalam menampung burung ditentukan oleh
luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk
habitat (Dewi, 2005). Kawasan hijau yang tanpa penghubung antar kawasan hijau
dapat mempengaruhi populasi burung. Hal ini dapat terjadi karena, jika burung-
burung terkurung di kawasan hijau yang berukuran kecil dan terisolasi, maka
persaingan untuk mendapatkan makanan dan tempat bersarang menjadi sangat
tinggi. Hal ini akan berakhir dengan punahnya beberapa jenis burung di kawasan
hijau tersebut (Rombang, 2008).
10
Menurut Wardojo (2008), kawasan konservasi di Jawa-Bali yang
terfragmentasi, menyebabkan penghuninya sulit untuk bertahan dan
melangsungkan hidup. Jika tanpa ketersediaan koridor hijau sebagai penghubung,
dalam jangka waktu beberapa tahun, kemungkinan besar akan terjadi kepunahan
karena terjadiya perkawinan antar keluarga dekat (Imbreeding). Koridor hijau
sangat penting sebagai jalur jelajah burung agar terhindar dari keterkungkungan
dalam satu tempat, koridor hijau dapat berperan sebagai batu loncatan atau
wilayah jelajah burung untuk berpindah dari satu blok kawasan hijau ke blok
lainnya (Rombang, 2008; Wardojo, 2008). Faktor lain yang dapat mempengaruhi
kehidupan burung adalah kebisingan. Penelitian Morrison (1986) (dalam
Suryowati, 2000), melaporkan bahwa suara gaduh dan suara kendaraan bermotor
juga dapat mengubah kebiasaan dan pergerakan berbagai jenis burung.
2.1.3 Manfaat Burung
Burung adalah indikator alami kebersihan dan mutu lingkungan perkotaan
(Rombang, 2008). Hal ini terbukti dengan adanya beberapa jenis burung yang
tidak mampu hidup di lingkungan yang tercemar. Menurut Kristanto dan Dedy
(2011) Selain sebagai bioindikator pencemaran lingkungan, manfaat lain dari
burung adalah:
Membantu mengendalikan serangga hama, proses penyerbukan bunga dan
pemencar biji. Hal tersebut dapat menjadikan burung sebagai indikator
kualitas lingkungan karena apabila terjadi degradasi lingkungan, burung
menjadi komponen alam terdekat yang langsung terkena dampak.
11
Mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi. Ekspor burung sebagai
komoditi non migas mempunyai potensi besar, komoditi yang terkenal yaitu
sarang walet, yang dihasilkan oleh beberapa jenis walet seperti jenis walet
sarang putih (Collocalia fuchipaga). Produksi sarang walet ini tidak hanya
mampu menambah devisa negara, tetapi juga secara tidak langsung telah
menjaga produksi padi, karena walet umumnya memakan serangga di
sekitar persawahan.
Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi rekreasi. Kecenderungan
masyarakat untuk ingin menikmati keindahan warna bulu, kemerduan bunyi
ataupun kecakapan burung yang dapat dilihat di kebun binatang, taman
burung dan taman safari. Jenis rekreasi ini juga dapat dinikmati di
lingkungan pemukiman dengan menghadirkan burung di lingkungan
pemukiman dengan menanam pohon di pekarangan rumah.
Obyek untuk pendidikan dan penelitian. Banyak ekologiawan yang
mengembangkan konsep ilmunya berasal dari mempelajari burung.
2.1.4 Jenis Burung yang Terdapat Di Jakarta
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, terdapat beberapa jenis burung
mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi di Jakarta.
Umumnya burung-burung di perkotaan bukan merupakan penerbang yang kuat
dan lebih banyak bertengger atau berada dekat dengan permukaan tanah. Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan sebagian besar jenis burung yang terdapat di
kota Jakarta merupakan jenis burung pemakan serangga. Pernyataan tersebut
12
dibuktikan dalam penelitian Rosanna, 2005; Suryowati, 2000; dan Ernawati;
2002. Hal itu disebabkan karena sebagian besar jenis pohon yang ditanam pada
ruang terbuka hijau kota Jakarta merupakan jenis pohon penyedia serangga.
Jenis- jenis burung yang sering dijumpai di Ruang Terbuka Hijau Jakarta,
pada survey terdahulu dapat dikelompokkan berdasarkan suku antara lain:
Silviidae. Suku ini dibagi menjadi enam kelompok yaitu; Remetuk; Cikrak;
Kerakbasi, Kecici, dan Cicakoreng; Cinenen; dan Prenjak; Tesia buntut
tumpul dan Ceret (MacKinnon dkk). Menurut hasil penelitian Ernawati
(2002), jenis burung dari suku ini merupakan yang paling banyak dijumpai
di ruang terbuka hijau. Jenis burung yang ditemukan di Jakarta adalah
Remetuk Laut (Gerygone sulphurea), Cinenen Pisang (Orthotomus
sutorius), dan Prenjak Jawa (Prinia familiaris) (Kristanto dan Dedy, 2011).
Muscicapidae. Suku burung ini merupakan pemakan serangga, dengan ciri
morfologi, kepala bulat, paruh runcing kecil berpangkal lebar. Dapat dibagi
menjadi tiga kelompok utama yaitu; Sikatan asli, Kipasan, dan Sikatan Raja
(MacKinnon dkk). Jenis burung dari suku ini yang dapat dijumpai di Jakarta
adalah Kipasan Belang (Rhipidura javanica), dan Sikatan Emas (Ficedula
zanthopygia) (Kristanto dan Dedy, 2011).
Nectariidae. Jenis burung pada suku ini umumnya memakan nektar, tetapi
ada juga yang pemakan serangga dan sari bunga (MacKinnon dkk). Jenis
burung dari suku ini yang dijumpai di Jakarta adalah Burung Madu Sriganti
(Cinnyris jugularis), dan Burung Madu Kelapa (Anthereptes malacensis)
(Fadliah, 2010).
13
Dicaeidae. Burung dari suku ini memiliki bentuk paruh yang bervariasi, dari
tajam-meruncing sampai tebal. Hidup di puncak-puncak pohon, memakan
serangga kecil dan buah-buahan kecil (MacKinnon dkk). Jenis burung yang
dijumpai di Jakarta adalah Cabai Jawa (Dicaeum trochileum) (Ernawati,
2002; Fadliah, 2010; Rosanna, 2005; Suryowati, 2000).
Laniidae. Merupakan jenis burung pemangsa, dengan bentuk kepala yang
besar, paruh menakik dengan gigi kuat mengait pada ujungnya. Bertengger
pada semak rendah, kabel telepon atau tiang. Bentuk sarang mangkuk
terbuka, yang diletakkan pada percabangan pohon (MacKinnon dkk). Jenis
yang terdapat di Jakarta adalah Bentet Kelabu (Lanius schach) (Ernawati,
2002; Kristanto dan Dedy, 2011; Suryowati, 2000)
Ploceidae. Burung yang termasuk suku ini, memiliki bentuk tubuh yang
berukuran kecil, paruh tebal-pendek, pakannya berupa biji-bijian
(MacKinnon dkk). Jenis yang ditemukan di Jakarta adalah Bondol Jawa
(Lonchura leucogastroides), Bondol Haji (Lonchura maja), Bondol dada
sisik (Lonchura punculata), Bondol Hitam (Lonchura malacca) dan Burung
gereja (Passer montanus).
Paridae. Merupakan burung petengger yang berukuran kecil, yang
bersarang di lubang pohon (MacKinnon dkk). Jenis yang dapat ditemukan di
Jakarta adalah Gelatik Batu Kelabu (Parus major) (Ernawati, 2002; Fadliah,
2010; Kristanto dan Dedy, 2011; Rosanna, 2005).
Oriolidae. Merupakan pemakan buah dan serangga, yang sarangnya berupa
mangkuk tersulam rapi yang terdiri atas akar-akar dan serat-serat jalin
14
berjalin, didukung oleh ranting dan bergantung di cabang pohon
(MacKinnon dkk). Jenis yang dapat ditemukan di Jakarta adalah Kepudang
Kuduk Hitam (Oriolus chinensis) (Ernawati, 2002; Fadliah, 2010; Kristanto
dan Dedy, 2011; Suryowati, 2000).
Pycnonotidae. Ciri morfologi dari burung ini adalah memiliki leher dan
sayap pendek, ekor agak panjang dan paruh ramping, bulu halus dan lembut,
beberapa jenis berjambul tegak (MacKinnon dkk). Jenis yang biasa dijumpai
di Jakarta adalah Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), dan Merbah
Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) (Ernawati, 2002; Fadliah, 2010; Kristanto
dan Dedy, 2011; Suryowati, 2000).
Campephagidae. Burung pada suku ini, memiliki warna bulu yang buram,
hitam-putih, atau abu-abu. Jenis pakan serangga, dan beberapa jenis juga
pemakan buah-buahan (MacKinnon dkk). Kapasan Kemiri (Lalage nigara)
merupakan satu-satunya jenis burung pada suku Campephagidae yang dapat
ditemukan di Jakarta (Kristanto dan Dedy, 2011).
Hirundinidae. Memiliki bentuk badan ramping, dan sayap yang panjang
meruncing, biasa hidup berkelompok dan menangkap serangga di udara,
berburu di sepanjang sungai atau terbang melingkar di udara. Mirip seperti
walet, tetapi terbang lebih lamban, dengan sayap setengah tertutup. Sering
bertengger pada pohon, kawat telepon, antena televisi, tiang, atau rumah
(MacKinnon dkk). Jenis yang dapat ditemukan di Jakarta hanya Layang-
layang Batu (Hirundo tahitica) (Kristanto dan Dedy, 2011).
15
Zosteropidae. Memiliki lingkar bulu keperakan di sekitar mata (terlihat
seperti kacamata) dan dinamakan burung kacamata. Umumnya berukuran
kecil dan bulu berwarna zaitun kehijauan atau kekuningan, paruh kecil,
ramping, dan sedikit melengkung, sayap pendek dan kaki kecil kuat
(MacKinnon dkk). Jenis burung Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus)
merupakan burung pada suku ini yang dapat ditemukan di Jakarta (Kristanto
dan Dedy, 2011).
Artamidae. Merupakan burung pemakan serangga yang memiliki ekor
pendek dan bentuk sayap segitiga panjang, paruh kuat. Biasa menangkap
serangga sambil terbang melayang dan melingkar (MacKinnon dkk). Hanya
terdapat satu jenis yaitu Kekep Babi (Artamus leucorhynchus) yang umum
ditemukan di Jakarta pada kawasan pesisir, sawah, kebun, taman kota
hingga pemukiman (Kristanto dan Dedy, 2011).
Chloropseidae. Tubuh berukuran kecil sampai sedang, dengan warna hijau,
memiliki kaki pendek dan kuat serta paruh panjang dan sedikit melengkung.
Kebanyakan jenis pemakan buah-buahan dan atau serangga. Burung pada
suku ini biasa membuat sarang seperti mangkuk yang diletakkan di ujung
cabang pohon atau pada semak berdaun lebat (MacKinnon dkk). Pada
beberapa penelitian yang menggunakan lokasi di ruang terbuka hijau
Jakarta, menemukan jenis burung dari suku ini hanya jenis Cipoh Kacat
(Aegithia tiphia).
Picidae. Merupakan suku burung pelatuk yang mempunyai dua jari
kebelakang seperti takur, tetapi memiliki warna bulu yang menyerupai
16
burung pipit. Memiliki paruh pendek dan kuat, tanpa bulu kumis. Bersarang
pada lubang pohon dan memakan lebah dan tawon (MacKinnon dkk). Jenis
yang dapat ditemukan di Jakarta adalah Caladi Tilik (Dendrocopus
moluccensis) dan Caladi Ulam (Dendrocopus macei).
Capitonidae. Suku burung kerabat dekat dengan pelatuk, mempunyai
kebiasaan yang sama, yaitu membuat lubang pada pohon untuk sarang.
Memakan buah-buahan terutama menyukai buah ara yang kecil, biji, dan
bunga. Jenis yang dapat dijumpai di Jakarta adalah Takur Ungkut-ungkut
(Megalaima haemacephala).
Alcedinidae. Memiliki kaki dan ekor yang pendek, kepala besar, paruh
panjang kuat. Pemakan serangga atau vertebrata kecil, beberapa jenis
memangsa ikan (MacKinnon dkk). Berdasarkan hasil survey oleh Kristanto
dan Dedy (2011), jenis yang ditemukan di Jakarta adalah jenis Raja Udang
Meninting (Alcedo meninting), Raja Udang Biru (Alcedo coerulescens), dan
Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris)
Apodidae. Merupakan suku burung pemakan serangga, terbang cepat, dan
tersebar luas di dunia. Memiliki ciri khas sayap panjang dan runcing,
menunjuk kebelakang saat terbang, ekor pendek persegi atau panjang
menajam, kaki sangat kecil dan jarang bertengger di pohon (MacKinnon
dkk). Jenis yang dapat ditemukan di Jakarta adalah Walet Linchi (Collocalia
linchi) dan Kapinis Rumah (Apus affinis).
Psittacidae. Memiliki bentuk kepala yang besar dengan paruh bengkok, kaki
kuat dan lincah dengan dua jari kaki menghadap ke belakang. Kebanyakan
17
jenisnya memakan buah-buahan, biji-bijian, dan tepung sari (MacKinnon
dkk). Jenis Betet Biasa (Psittacula alexandri) dan Kakatua Jambul Kuning
(Cacatua sulphurea) dapat ditemukan di Kebun Binatang Ragunan.
Columbidae. Makanan utama burung yang tergolong pada suku ini adalah
buah-buahan dan biji-bijian. Dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu;
Punai/walik (Treron, Ptilinopus), Pergam (Ducula, Columba), dan Merpati
tanah (Macropygia, Streptopelia, Geopelia, dan Caloenas) (MacKinnon
dkk). Jenis yang dapat dijumpai di Jakarta adalah Punai Gading (Treron
vernans), dan Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis).
2.2 Jalur Hijau
Definisi jalur hijau menurut Menteri Pekerjaan Umum nomor:
05/PRT/M/2008, adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya
yang terletak di dalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang
pengawasan jalan (RUWASJA). Sering disebut jalur hijau karena dominasi
elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau.
Sedangkan menurut BIPR DirJen PR Kemen PU (2012), jalur hijau jalan adalah
pepohonan, rerumputan, dan tanaman perdu yang ditanam pada pinggiran jalur
pergerakan di samping kiri-kanan jalan dan median jalan. RTH jalur pengaman
jalan terdiri dari RTH jalur pejalan kaki, taman pulo jalan yang terletak di tengah
persimpangan jalan, dan taman sudut jalan yang berada di sisi persimpangan jalan.
Median jalan adalah ruang yang disediakan pada bagian tengah dari jalan untuk
18
membagi jalan dalam masing-masing arah yang berfungsi mengamankan ruang
bebas samping jalur lalu lintas.
Manfaat langsung jalur hijau, yaitu membentuk keindahan dan
kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual
(kayu, daun, bunga, buah). Sedangkan manfaat tidak langsung (berjangka
panjang), yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan
kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala
isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati)
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 05/PRT/M/2008).
Jalur hijau jalan atau jalur hijau jalan, Ruang terbuka hijau pada kriteria ini
disediakan dengan penempatan tanaman antara 20–30% dari ruang milik jalan
(RUMIJA) sesuai dengan kelas jalan. Untuk menentukan pemilihan jenis
tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan persyaratan
penempatannya. Disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat,
yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah (Permen
PU nomor: 05/PRT/M/2008).
Gambar 1. Contoh tata Letak Jalur Hijau Jalan (Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum nomor: 05/PRT/M/2008)
Wilayah Jakarta Timur memiliki jalur hijau sebanyak 27 jalur (Sudin
pertamanan kota administrasi Jak-Tim, 2011). Lokasi yang digunakan dalam
19
penelitian ini adalah jalur hijau jalan raya Halim Perdana Kusuma, Raden Inten,
dan I Gusti Ngurah Rai. Ketiga jalur hijau tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda, seperti luasan dan komposisi jenis tumbuhan, dan kondisi lingkungan
sekitar yang berbeda.
Jalur hijau jalan raya Halim Perdana Kusuma, merupakan jalur hijau yang
sejuk karena didominasi oleh pohon Mimusops elengi (Tanjung). Terdapat jalan
trotoar dan berbatasan dengan ruang terbuka hijau seperti lapangan golf, lahan
perkebunan, dan sawah. Jalan raya Halim Perdana Kusuma ini merupakan akses
utama menuju bandar udara Halim Perdana Kusuma. Luas jalur hijau ini adalah
45.000 m2 dengan panjang jalur kurang lebih 2 Km.
Jalur Hijau Jalan raya Raden Inten terletak di daerah Duren Sawit. Luas
jalur hijau ini adalah 18.600 m2 dengan panjang jalur kurang lebih 1,2 Km. Jenis
tumbuhan yang terdapat pada jalur ini adalah Swietenia mahagoni (Mahoni),
Ficus benjamina (Beringin), Pterocarpus indicus (Angsana), dan Callistemon
lanceolatus (Bunga Sikat botol).
Jalur hijau jalan raya I Gusti Ngurah Rai terletak di daerah Pondok Kopi.
Luas jalur hijau ini adalah 3.965 m2 dengan panjang jalur kurang lebih 700 m.
Berdasarkan letaknya, jalur hijau pada jalan raya ini didominasi pada bagian
median jalan, sedangkan tepi jalan raya ini didominasi oleh bangunan. Terdapat
stasiun Kereta Rel Listrik (KRL), dan lintasan kereta api yang bersebelahan
dengan jalur ini.
20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Agustus 2012.
Pengamatan burung dilakukan pada pagi hari pukul 05.30 WIB sampai dengan
pukul 08.00 WIB, dan sore hari pada pukul 15.30 WIB sampai pukul 17.30.
Waktu tersebut adalah saat burung mulai aktif, dan kondisi jalan yang belum
dipadati kendaraan bermotor, dan saat burung mulai kembali ke sarang. Lokasi
penelitian menggunakan tiga jalur hijau yang berada di wilayah Jakarta Timur,
yaitu Jalan Raya Halim Perdanakusuma, Jalan Raden Inten, dan Jalan I Gusti
Ngurah Rai (Gambar 2).
3.2 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: teropong
(Binocular), jam tangan digital, thermometer, anemometer, luxmeter, hygrometer,
Sound level meter, Kamera Digital SLR Canon dengan lensa 55mm-250mm, alat
tulis, lembar pengamatan, dan buku panduan lapangan “Burung-burung di
Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan” (MacKinnon dkk, 2010) dan “Burung Ibu
Kota” (Kristanto & Dedy, 2011). Objek yang digunakan adalah jenis burung,
jumlah individu dan aktifitas burung yang dijumpai di lokasi pengamatan, serta
jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh burung.
Gambar 2. Denah Lokasi Tiga Jalur Hijau (maps.google.co.id)
Jalan Raden Inten
Jalan I Gusti Ngurah Rai
Jalan Halim Perdanakusuma
22
3.3 Metode Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian kali ini adalah metode
deskriptif dengan teknik pengambilan data menggunakan metode survey dan
pengumpulan data burung menggunakan metode titik hitung (Point Count)
dengan mengikuti transek. Pengambilan data berupa jenis tanaman, dan
penggunaan tanaman oleh burung yang berada di dalam plot penelitian.
3.3.3 Pengamatan Burung, Vegetasi dan Faktor Fisik Lingkungan
Pengamatan burung dilakukan pada pagi dan sore hari saat burung mulai
aktif, dan saat burung mulai kembali ke sarang. Pengamatan diulang sebanyak
tujuh kali pada hari yang berbeda, artinya setiap lokasi dilakukan pengamatan
selama tujuh hari. Metode yang dilakukan pada pengamatan burung, merupakan
kombinasi dari titik hitung (point count) dan metode jalur (transek). Pada metode
ini pengamat berjalan sepanjang jalur yang sudah ada dan berhenti pada titik
tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Metode ini menggunakan panjang
transek atau jarak minimal antar titik pengamatan adalah 200 meter, dengan
periode pengamatan adalah selama 10 menit dan waktu penyesuaian awal adalah 1
menit (Gregory dkk, 2004). Jumlah plot masing-masing jalur adalah 3 titik, yaitu 2
titik pada masing-masing ujung jalur dan 1 titik di tengah jalur (Gambar 3).
Penentuan ini dengan asumsi bahwa titik tersebut cukup mewakili jenis burung
yang terdapat di lokasi penelitian dan kondisi lingkungan dalam satu jalur adalah
sama.
23
Gambar 3. Plot pengamatan di jalur hijau jalan
Pengamatan vegetasi yang meliputi, pencatatan jumlah individu tumbuhan,
pencatatan jenis tumbuhan yang berada dalam titik pengamatan, dan aktifitas
burung yang berlangsung di pohon. Pengukuran faktor fisik lingkungan berupa
suhu, intensitas cahaya, kelembaban, kecepatan angin, dan tingkat kebisingan
dilakukan sebelum dan sesudah pengamatan burung dalam satu plot. Pengamatan
burung dengan cara mencatat ciri umum fisik dan perkiraan ukuran tubuh burung
yang terlihat pada titik pengamatan. Identifikasi jenis burung berdasarkan
kombinasi dari beberapa ciri khas, termasuk penampakan umum, suara, dan
tingkah laku (MacKinnon, 2010). Ciri tersebut kemudian dicocokkan dengan
buku panduan lapangan sebagai referensi identifikasi.
3.4 Teknik Analisis Data Jenis Burung
Data keanekaragaman jenis burung yang diperoleh kemudian ditentukan
tingkat keanekaragaman jenis, kelimpahan relatif, frekuensi atau sebaran burung,
dominansi atau kerapatan burung, dan indeks kesamaan jenis.
24
3.4.1 Frekuensi atau Sebaran Burung
Tingkat keseringan suatu jenis burung yang dijumpai di areal pengamatan,
dapat ditentukan menggunakan rumus frekuensi jenis. Semakin tinggi nilai
frekuensi suatu jenis burung berarti penyebaran jenis burung itu tinggi (Ferianita,
2007). Rumus frekuensi suatu jenis adalah sebagai berikut:
Fr = fi x 100%
Dimana fi =
3.4.2 Kelimpahan Relatif
Kelimpahan merupakan total jumlah individu burung yang ditemukan
selama pengamatan. Indeks kelimpahan memberikan gambaran suatu komposisi
jenis dalam komunitas. Menurut Ferianita (2007), kelimpahan relatif (Kr) dapat
dihitung menggunakan rumus:
Kr =
3.4.3 Nilai Penting
Nilai penting (NP) untuk setiap jenis burung diperoleh dengan cara
menjumlahkan nilai kelimpahan relatif (Kr) dan nilai frekuensi relatif (Fr) dari
jenis burung yang dijumpai.
NP = Kr + Fr
25
3.4.4 Indeks Dominansi
Tingkat dominansi suatu spesies dapat ditentukan menggunakan Indeks
Dominansi Simpson menurut Odum (1996), dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan : D = Indeks dominansi Simpson
ni = Jumlah individu -i
N = Jumlah total individu seluruh
Bila persentase > 5% merupakan species pre-dominan,
Bila persentase 2-5% merupakan species sub-dominan, dan
Bila persentase < 2% merupakan species tidak dominan.
3.4.5 Keanekaragaman Jenis
Tingkat keanekargaman jenis burung dapat diketahui dengan
menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Wienner yang diacu dalam Ferianita
(2007), sebagai berikut:
Di mana H’ = nilai index Shannon-Wiener, dan pi = proporsi dari tiap species i.
Pi=
Jadi, H’ adalah jumlah dari seluruh pi ln pi untuk semua species dalam komunitas.
Jika komunitas hanya memiliki 1 species, maka H’ = 0. Semakin tinggi nilai H’
mengindikasikan semakin tinggi jumlah species dan semakin tinggi kelimpahan
26
relatifnya. Nilai indeks <1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah,
selanjutnya nilai yang berkisar antara 1,5-3,5 menunjukkan nilai keanearagaman
yang sedang dan nilai >3,5 menunjukkan nilai keanekaragaman tinggi (Odum,
1996).
3.4.6 Keseragaman
Keanekaragaman jenis burung pada suatu lokasi dipengaruhi oleh
keseragaman atau sebaran kelimpahan tiap-tiap jenis dalam komunitas (Fadliah,
2010). Keseragaman komunitas dapat ditentukan dengan rumus:
e =
. S
S = banyaknya jenis individu atau species,
e = merupakan nilai indeks kesamaan atau keseimbangan antara jenis, dan
H’ = merupakan indeks keanekaragaman
3.4.7 Indeks Kesamaan Jenis
Indeks kesamaan jenis adalah untuk membandingkan komunitas burung
antar berbagai tipe habitat. Perhitungan indeks kesamaan jenis Sorensens sebagai
berikut:
IS =
IS = Indeks kesamaan jenis
a/b = Jumlah jenis burung yang hanya terdapat pada komunitas a/b
c = Jumlah jenis burung yang terdapat pada kedua komunitas
27
3.5 Analisis Komponen Yang Berpengaruh Terhadap Kehadiran Burung
Analisis komponen utama (Principal Componenet Analysis), digunakan
dalam menganalisis faktor fisik lingkungan yang memepengaruhi kehadiran jenis
burung dalam suatu lokasi. Principal Componenet Analysis (PCA) merupakan
metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan dalam bentuk
grafik, maksimum informasi yang terdapat dalam suatu matriks data. Analisis
komponen utama ini menggunakan perangkat lunak SPSS IBM 20 for Windows.
3.6 Analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA)
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengelompokkan jenis burung
berdasarkan faktor lingkungan. Hasil analisis ini menunjukkan kehadiran jenis
burung yang dapat dikelompokkan berdasarkan parameter-parameter lingkungan
yang mempengaruhinya. Analisis CCA ini menggunakan perangkat lunak
CANOCO for Windows 4.5.
3.7 Korelasi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dengan Keanekaragaman
Jenis Burung
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keanekaragaman
burung dengan jumlah jenis tumbuhan, dengan pengujian menggunakan korelasi
Pearson product moment dengan perangkat lunak SPSS IBM 20 for Windows.
Koefisien korelasi Pearson product moment mengukur tingkat keeratan hubungan
diantara hasil-hasil pengamatan dari populasi yang mempunyai dua varian.
28
3.8 Tingkat Penggunaan Vegetasi oleh Burung
Teknik analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penggunaan jenis
tumbuhan oleh burung, setiap jenis tumbuhan digunakan oleh burung sebagai
tempat untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti mencari makan (Feeding),
membersihkan bulu dan bertengger (Resting), bergerak dan sosial (Social)
maupun bersarang (Nest). Penggunaan vegetasi oleh burung dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
Ft = Fungsi suatu jenis vegetasi bagi burung
St = Banyaknya jenis burung yang menggunakan suatu jenis vegetasi pada plot
pengamatan
Sp = Seluruh jenis burung pada plot pengamatan yang terdapat suatu jenis
vegetasi tersebut
Skala Gambar
Skala yang terdapat pada foto hasil penelitian diperoleh dengan mengukur
objek burung pada hasil foto, kemudian dihitung menggunakan rumus:
3.9
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lingkungan Lokasi Penelitian
Tata letak jalur hijau jalan yang berada di wilayah Jakarta Timur terdapat
di sisi trotoar dan median jalan. Keberadaan jalur hijau biasa dimanfaatkan untuk
peneduh pejalan kaki, aktifitas olahraga pada pagi hari ataupun untuk berdagang.
Jalur hijau yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kondisi yang berbeda,
kondisi lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Lokasi Penelitian
Karakteristik
Jalur Hijau
Halim Perdana
Kusuma
Jalur Hijau
Raden Inten
Jalur Hijau
I Gusti Ngurah
Rai
Kondisi
umum lokasi
pengamatan
Ruang terbuka Lapangan golf,
ladang, dan
hutan kota
kompleks
landasan udara.
Semak terbuka,
kebun penelitian
dan banjir kanal
Timur.
Tidak ada
Rel kereta api dan
stasiun
Tidak ada Tidak ada ada
Vegetasi
Jumlah vegetasi 12 spesies 5 spesies 9 spesies
Vegetasi dominan
berdasarkan indeks
dominansi
Tanjung
(Mimusops
elengi).
Mahoni
(Swietenia
mahagoni).
Kaliandra
(Albizia
saman).
Aktifitas
manusia
yang dapat
mengganggu
burung
Kebisingan
kendaraan
bermotor
Ada Ada Ada
Kebisingan kereta
api
Tidak ada Tidak ada ada
Penangkapan
burung
Ada Ada Tidak ada
Olahraga pagi di
trotoar
Ada Tidak ada Tidak ada
Berjualan di trotoar Tidak ada Ada Tidak ada
Pertanian Ada Tidak ada Tidak ada
30
Perbedaan karakteristik lokasi penelitian Tabel 1. Ketiga lokasi penelitian
memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, jalur hijau jalan Halim Perdana
Kusuma terletak di jalan utama menuju landasan udara Halim Perdana kusuma, di
sisi jalur ini terdapat beberapa ruang terbuka. Jalur hijau jalan Raden Inten
berlokasi di daerah Duren Sawit, terletak dekat dengan ruang terbuka, di sisi jalur
ini merupakan perumahan dan pertokoan, tanaman di lokasi ini memiliki tutupan
tajuk yang rapat. Jalur hijau I Gusti Ngurah Rai terletak di daerah Pondok Kopi, di
sisi jalur ini terdapat stasiun dan rel kereta api, pertokoan dan perumahan
penduduk.
Tabel 2. Faktor Fisik Lingkungan Lokasi Penelitian
Parameter fisik
lingkungan
Jalur Hijau
Halim Perdana
Kusuma (HPK)
Jalur Hijau
Raden Inten (RI)
Jalur Hijau
I Gusti Ngurah
Rai (IGNR)
Suhu udara (°C) 29,3 ± 0,83
30,4 ± 0,58
29,4 ± 0,22
Kelembaban udara (%) 70,5 ± 7,29
66,9 ± 7,84
66,7 ± 7,22
Intensitas cahaya (Klx) 6,5 ± 1,58
5,0 ± 1,37
9,3 ± 2
Kecepatan angin (m/s) 0,3 ± 0,01
0,6 ± 0,04
0,6 ± 0,12
Kebisingan (dB) 79,0 ± 3,06
85,5 ± 1,03
85,9 ± 1,12
Kondisi faktor fisik lingkungan ketiga lokasi penelitian memiliki nilai
yang berbeda. Perbedaan faktor fisik lingkungan berupa suhu, kelembaban,
intensitas cahaya, kecepatan angin, dan kebisingan di lokasi penelitian tercantum
dalam Tabel 2. Jalur hijau Halim Perdana Kusuma memiliki nilai tingkat
kelembaban relatif yang paling tinggi diantara lokasi lainnya. Hal tersebut dapat
terjadi karena jalur hijau ini memiliki tanaman yang paling banyak yaitu 92
individu tanaman (Lampiran 4). Banyaknya tanaman yang terdapat di lokasi
31
Halim Perdana Kusuma menjadikan lokasi ini memiliki nilai faktor fisik berupa
kecepatan angin dan tingkat kebisingan yang paling rendah, karena pohon dapat
meredam kecepatan angin yang melintas dan meredam kebisingan.
Suhu udara di jalur hijau Raden Inten merupakan yang tertinggi
dibandingkan dua jalur hijau lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya
jumlah individu tanaman yang terdapat di lokasi ini, sehingga fungsi tanaman
sebagai peneduh belum dapat dirasakan di lokasi ini. Tutupan tajuk tanaman di
lokasi ini merupakan yang paling rimbun diantara lokasi penelitian lainnya
sehingga di lokasi ini memiliki nilai intensitas cahaya yang paling rendah
dibandingkan lokasi lainnya.
Jalur hijau I Gusti Ngurah Rai memiliki nilai intensitas cahaya, kecepatan
angin, dan tingkat kebisingan yang lebih tinggi dibandingkan dua jalur hijau
lainnya. Tingginya nilai intensitas cahaya, dapat disebabkan oleh kondisi vegetasi
yang memiliki tutupan tajuk yang jarang. Tanaman di jalur hijau ini didominasi
oleh tanaman yang terdapat di median jalan sehingga angin yang melintas tidak
dapat diredam dan menyebabkan tingginya kecepatan angin di lokasi ini. Tingkat
kebisingan yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya kereta yang melintas dan
kebisingan stasiun kereta api yang terdapat di sisi jalur hijau ini.
4.2 Keanekaragaman Jenis Burung
Hasil pengamatan di lapangan selama bulan April 2012 sampai bulan Mei
2012 di jalan raya Halim Perdana Kusuma, Raden Inten, dan I Gusti Ngurah Rai,
diperoleh 23 jenis burung dari 15 suku. Jenis dan suku burung yang dijumpai
32
dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Indeks keanekaragaman jenis burung
di lokasi penelitian berkisar antara 1,897 hingga 2,694. Nilai indeks tersebut
termasuk dalam kategori sedang (Odum, 1971).
Gambar 4. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung di Lokasi Penelitian
Nilai indeks keanekaragamanan jenis burung di tiga lokasi berbeda-beda,
perbedaan nilai tersebut dapat dilihat dalam Gambar 4. Jalur hijau yang memiliki
nilai indeks keanekaragaman tertinggi adalah jalur hijau Halim Perdana Kusuma
(H’ = 2,694), kemudian Jalur Hijau Raden Inten (H’= 2,448), dan tingkat
keanekaragaman terendah adalah jalur hijau I Gusti Ngurah Rai (H’= 1,897).
Perbedaan nilai indeks keanekaragaman dapat dikarenakan kondisi fisik dan
faktor fisik lingkungan di seluruh lokasi penelitian berbeda.
Jalur hijau Halim Perdana Kusuma memiliki nilai indeks keanekaragaman
jenis burung tertinggi (H’= 2,694) dan jumlah individu terbanyak yaitu, 154
individu (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena lokasi penelitian ini memiliki luasan
tertinggi diantara lokasi lainnya, dan letak yang berdekatan dengan ruang terbuka
hijau, seperti lapangan golf dan kebun pertanian (Tabel 1), yang dapat
menyediakan banyak sumber pakan bagi burung. Lokasi ini memiliki 12 jenis
tanaman, jumlah tersebut merupakan jumlah jenis tanaman terbanyak diantara
2,694 2,448
1,897
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
Halim Perdana
Kusuma
Raden Inten I Gusti Ngurah Rai
Lokasi Penelitian
33
lokasi penelitian (Lampiran 4). Faktor lain yang mendukung kehidupan burung
pada lokasi ini adalah rendahnya tingkat kebisingan (Tabel 2). Apabila kebisingan
melebihi batas toleransi, maka akan mengganggu burung (Suryowati, 2000).
Tingkat keanekaragaman jenis burung (H’) di jalur hijau Raden Inten
adalah 2,448. Jumlah individu yang dijumpai pada lokasi ini sebanyak 115 ekor
(Tabel 3). Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan jalur hijau Halim Perdana
Kusuma, namun tidak lebih rendah dibandingkan jalur hijau I Gusti Ngurah Rai.
Hal tersebut dapat dikarenakan jalur hijau ini memiliki tingkat kebisingan yang
lebih tinggi daripada jalur hijau Halim Perdana Kusuma, namun tingkat
kebisingan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan jalur hijau I Gusti Ngurah
Rai. Selain itu keberadaan burung di jalur hijau ini terganggu oleh adanya
pemukiman dan adanya pedagang yang berjualan di trotoar. Aktifitas manusia
dapat menjadi pengganggu burung sehingga burung tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan baik (Dewi, 2005).
Jalur hijau I Gusti Ngurah Rai memiliki indeks keanekaragaman burung
1,897, dan jumlah individu burung yang dijumpai sebanyak 90 ekor (Tabel 3),
nilai ini merupakan yang terendah dibandingkan lokasi lainnya. Rendahnya
tingkat keanekaragaman jenis burung di lokasi ini disebabkan karena minimnya
luas area jalur hijau ini. Area yang sempit tidak mampu menampung
keanekaragaman jenis burung yang tinggi, selain itu ketersediaan kebutuhan hidup
burung juga terbatas pada areal yang sempit (Dewi, 2005). Penyebab lain dari
rendahnya keanekaragaman jenis di jalur ini adalah, lokasi ini memiliki tingkat
kebisingan tertinggi (85,9 ± 1,2 dB) dibandingkan dengan lokasi lain.
34
Tabel 3. Jenis Burung Berdasarkan Sukunya yang dijumpai dalam Penelitian
Suku-Spesies Nama Lokal lokasi
Jumlah Status
konservasi HPK RI IGNR
Columbidae
1 Streptopelia chinensis Tekukur Biasa 1 9 0 10 -
Apodidae
2 Collocalia linchi Walet Linci 5 9 4 18 -
3 Apus affinis Kepinis Rumah 3 8 5 16 -
Picidae
4 Dendrocopus moluccensis Caladi Tilik 0 1 0 1 -
Hirundinidae
5 Hirundo tahitica Layang-layang Batu 7 10 10 27 -
Campephagidae
6 Pericrocotus cinnamomeus Sepah Kecil 1 0 0 1 -
Chloropseidae
7 Aegithina tiphia Cipoh Kacat 3 0 0 3 -
Pycnonotidae
8 Pycnonotus aurigaster Kutilang 9 22 20 51 -
9 Pycnonotus goiavier Merbah cerukcuk 0 10 0 10 -
Paridae
10 Parus major Gelatik-batu Kelabu 4 0 0 4 -
Silviidae
11 Gerygone sulphurea Remetuk laut 22 7 5 34 -
12 Orthotomus sutorius Cinenen Pisang 9 0 0 9 -
13 Orthotomus ruficeps Cinenen Kelabu 13 0 1 14 -
14 Prinia familiaris Perenjak Jawa 2 0 0 2 -
Muscicapidae
15 Rhipidura javanica Kipasan Belang 2 0 0 2 UU/AB
Artamidae
16 Artamus leucorhynchus Kekep Babi 1 0 3 4 -
Nectariniidae
17 Anthreptes malacensis Burung-madu Kelapa 12 7 3 22 UU/AB
18 Cinnyris jugularis Burung-madu Sriganti 8 4 0 12 UU/AB
Dicaeidae
19 Dicaeum trochileum Cabai Jawa 20 15 8 43 -
Zosteropidae
20 Zosterops palpebrosus Kacamata Biasa 9 2 0 11 -
Ploceidae
21 Passer montanus Burung-gereja Erasia 8 7 31 46 -
22 Lonchura leucogastroides Bondol Jawa 0 4 0 4 -
23 Lonchura punctulata Bondol Peking 15 0 0 15 -
Total 154 115 90 359
ket
35
Keterangan
HPK : Halim Perdana Kusuma
RI : Raden Inten
IGNR : I Gusti Ngurah Rai
UU/AB : Undang-undang (UU) A) No.5 tahun 1990, B) Peraturan Pemerintah
(PP) No.7 tahun 1999
Berdasarkan Sukmantoro., dkk (2010), jenis burung yang dijumpai di
lokasi penelitian tidak ada yang memiliki status terancam kepunahan (IU), dan
status perdagangan (CI), namun terdapat jenis burung yang memiliki Status
perlindungan (UU) dalam Peraturan Republik Indonesia. Jenis burung yang
memiliki status tersebut adalah Kipasan Belang (Rhipidura javanica), Burung
Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) dan Burung Madu Sriganti (Cinnyris
jugularis). Ketiga jenis burung tersebut dilindungi oleh Undang-undang (UU)
No.5 tahun 1990, dan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999.
4.3 Komposisi Jenis Burung
Komposisi jenis burung yang dijumpai lokasi pengamatan berdasarkan
Suku, marga, dan jenis (Gambar 5), masing-masing jalur hijau memiliki
komposisi jenis burung yang berbeda, di jalur hijau Halim Perdana Kusuma
(HPK) terdapat 14 suku dan 20 jenis burung, jalur hijau Raden Inten (RI)
dijumpai 10 suku dan 14 jenis burung, sedangkan di jalur hijau I Gusti Ngurah
Rai (IGNR) hanya terdapat 8 suku dan 10 jenis burung. Hal ini dapat disebabkan
karena jenis tanaman yang tersedia di lokasi penelitian didominasi dengan jenis
tanaman yang berasosiasi dengan serangga sehingga terdapat banyak serangga
yang terdapat di pohon tersebut yang menjadi sumber pakan burung.
36
Gambar 5. Komposisi Jenis Burung di Lokasi Penelitian
Komposisi jenis burung yang dijumpai di seluruh lokasi penelitian terdiri
dari jenis burung pemakan serangga, biji-bijian, buah dan biji-bijian, serta
penghisap madu. Jenis burung pemakan serangga merupakan jenis burung yang
paling banyak ditemui, yaitu sebanyak 11 suku dengan 15 jenis. Jenis burung
pemakan biji-bijian yang dijumpai hanya suku Plocidae. Burung pemakan buah
dan serangga Chloropseidae, Pycnonotidae, dan Zosteropidae. Jenis burung
pemakan buah dan biji-bijian adalah suku Columbidae. Jenis burung penghisap
madu adalah suku Nectariniidae.
Gambar 6. Jumlah Jenis Burung Berdasarkan Suku di Lokasi Penelitian
1
2
0
1 1 1 1 1
4
1 1
2
1 1
2
1
2
1 1
0 0
2
0
1
0 0
2
1 1
2
0
2
0
1
0 0
1
0
2
0
1 1 1
0
1
Ju
mla
h J
en
is B
uru
ng
Suku Burung
HPK
RI
IGNR
14
10 8
19
13
10
20
14
10
0
5
10
15
20
25
Halim Perdana Kusuma Raden Inten I Gusti Ngurah Rai
Jalur Hijau
Suku
Marga
Jenis
37
Jenis burung yang dijumpai di tiga lokasi pengamatan yang berbeda dapat
dikelompokkan berdasarkan suku (Gambar 6). Jenis burung terbanyak di seluruh
lokasi penelitian berasal dari suku Silviidae yang merupakan suku pemakan
serangga, hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan di sepanjang
koridor Kebun Binatang Ragunan-Hutan Kota UI oleh Ernawati (2002). Hal ini
dapat disebabkan karena pakan burung dari suku ini banyak terdapat di lokasi
penelitian. Suku burung tersebut merupakan pemakan serangga yang terbagi
menjadi 6 kelompok (MacKinnon dkk., 2010). Jenis burung dari suku Silviidae
yang paling sering dijumpai dalam penelitian ini adalah jenis Remetuk Laut
(Gerygone sulphurea).
Suku burung yang hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma
(HPK) adalah Campephagidae, Chloropseidae, Paridae, dan Muscicapidae. Hal
tersebut dikarenakan suku tersebut senang mengunjungi lahan pertanian ataupun
hutan terbuka. Seperti suku Campephagidae yang dijumpai di lokasi penelitian
adalah jenis Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus). Jenis ini menyukai lahan
pertanian terbuka dan sedikit berhutan, terutama di dataran rendah, dan terkadang
mengunjungi pedesaan dan pinggiran kota yang berhutan (Holmes, 1999). Lokasi
jalur hijau Halim Perdana Kusuma dekat dengan ruang terbuka seperti lahan
pertanian maupun hutan kota, yang dapat mendukung jalur hijau tersebut sebagai
habitat burung.
Picidae merupakan suku burung pelatuk yang hanya dijumpai di jalur hijau
Raden Inten. Lokasi penelitian ini tersusun atas pepohonan tinggi yang rimbun,
38
sehingga dimungkinkan dapat dimanfaatkan sebagai tempat beristirahatnya
burung tersebut. Suku Artamidae hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana
Kusuma (HPK) dan I Gusti Ngurah Rai (IGNR). Burung dari suku ini dijumpai di
tempat terbuka, saat bertengger di tiang lampu maupun saat terbang. Burung ini
tidak dijumpai di Raden Inten dimungkinkan karena lokasi tersebut kurang
mendukung aktifitasnya.
Jumlah terbanyak dari suatu jenis burung di tiga jalur hijau yang diamati
memiliki nilai yang berbeda. Jenis burung yang memiliki kelimpahan terbesar
(Lampiran 1) di jalur hijau Halim Perdana Kusuma adalah jenis Remetuk
(Gerygone sulphurea) (14,29%), di jalur hijau I Gusti Ngurah Rai adalah jenis
Burung Gereja Eurasia (Passer montanus) (34,44%), sedangkan di jalur hijau
Raden Inten adalah jenis Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) (19,13%). Jenis
burung tersebut sangat umum terdapat di daerah perkotaan, karena merupakan
jenis burung pemakan biji-bijian, serangga kecil, buah-buahan kecil, dan ulat,
masing-masing bahan pakan tersebut mudah dijumpai di perkotaan.
Burung Gereja Eurasia (Passer montanus) memiliki daya adaptasi yang
cukup tinggi terhadap kondisi perkotaan (Suryowati, 2000). Passer montanus
merupakan jenis burung yang akrab dengan manusia, sering bergerombol di
bangunan rumah, rerumputan dan bersarang di atap rumah. Cucak Kutilang
(Pycnonotus aurigaster) merupakan jenis burung yang sering ditemui di
pepohonan yang terbuka, semak, taman atau jalur hijau kota, kebun sampai ke
hutan pinggir kota untuk mencari makan berupa buah-buahan kecil dan serangga
(Suryowati, 2000; MacKinnon, 2010; Kristanto dan Dedy, 2010). Kehadiran
39
Remetuk (Gerygone sulphurea) dapat didukung oleh kondisi habitat yang berupa
semak dan hutan terbuka (Desmawati 2010; MacKinnon dkk., 2010)
Tabel 4. Indeks kesamaan jenis burung di lokasi penelitian
HPK RI IGNR
HPK - 64,71% 68,97%
RI - - 69,57%
Hasil perhitungan Indeks Kesamaan Sorensen terhadap jenis burung
(Tabel 4), secara umum dapat diketahui jenis burung di lokasi penelitian memiliki
kesamaan komposisi jenis burung karena memiliki nilai indeks di atas 60%. Jalur
hijau Halim Perdana Kusuma dengan I Gusti Ngurah Rai memiliki kesamaan
yang paling tinggi yaitu 69,57%, walaupun jarak kedua jalur ini berjauhan, namun
hal ini dapat disebabkan karena kedua jalur hijau ini memiliki jenis tanaman yang
beranekaragam. Terdapat jenis tanaman yang sama yaitu Angsana (Pterocarpus
indicus) dan Dadap merah (Erythrina crista). Karakteristik suatu habitat akan
mempengaruhi jumlah jenis burung di suatu habitat tersebut, apabila dua habitat
yang berbeda jarak namun memiliki karakteristik habitat yang sama maka, jumlah
jenis burung yang ada tidak akan berbeda jauh (Lack, 1971). Penyebab lain dari
tingginya tingkat kesamaan jenis dari kedua lokasi ini adalah, seluruh jenis burung
yang dijumpai di jalur hijau I Gusti Ngurah Rai dijumpai pula di jalur hijau Halim
Perdana Kusuma.
40
Jalur hijau Halim Perdana Kusuma dan Raden Inten memiliki tingkat
kesamaan terendah yaitu 64,71%. Rendahnya tingkat kesamaan kedua jalur ini,
karena kedua jalur ini memiliki perbedaan karakteristik habitat. Jalur hijau Halim
Perdana Kusuma memiliki jenis vegetasi yang beranekaragam, sedangkan jalur
hijau Raden Inten hanya memiliki 5 jenis tanaman. Perbedaan jenis tanamanan
yang tersedia, maka ketersediaan pakan dan pendukung kebutuhan burung akan
berbeda pula. Penyebab lain dari rendahnya tingkat kesamaan jenis pada kedua
jalur ini adalah kedua jalur ini memiliki luasan jauh yang berbeda, kondisi
lingkungan yang berbeda, dan faktor fisik lingkungan yang berbeda pula.
Jenis burung yang dijumpai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis)
Gambar 7. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis) Terbang (Dok. Pribadi, 2012)
Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis) yang dijumpai dalam penelitian ini
merupakan jenis burung dengan ukuran terbesar (30 cm) yang dijumpai di lokasi
penelitian. Bentuk tubuh burung ini menyerupai burung dara, namun warna
tubuhnya hanya kombinasi warna coklat, putih, dan hitam. Bagian anterior tubuh
burung ini berwarna coklat muda dengan sayap berwarna coklat yang lebih gelap.
Skala 1:10
41
Bagian posterior tubuh (perut hingga tungging) berwarna putih. Kepala hingga
perut berwarna coklat muda. Ekor berukuran sedang, berbentuk membulat saat
terbang, berwarna hitam dan putih dibagian ujungnya yang menjadi ciri utama
dalam membedakan Tekukur Biasa dengan burung dara. Jenis pakan Tekukur
Biasa (Streptopelia chinensis) adalah biiji-bijian.
Berdasarkan hasil pengamatan jenis burung ini menyukai pepohonan yang
tinggi dan tutupan tajuk yang rapat seperti pohon Beringin (Ficus benjamina).
Jenis burung ini hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma dan Raden
Inten. Hal ini dapat dikarenakan tanaman yang terdapat di kedua jalur ini
merupakan pepohonan dengan ukuran yang cukup tinggi dan memiliki tajuk yang
rapat. Berbeda dengan kondisi pepohonan yang terdapat di jalur hijau I Gusti
Ngurah Rai yang memiliki tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat. Jenis burung ini
biasa hidup bersama manusia disekitar desa dan sawah, dan mencari makan di atas
permukaan tanah, berpasangan di jalan yang terbuka (MacKinnon dkk., 2010).
2. Walet Linchi (Collocalia linchi)
Walet Linchi (Collocalia linchi) merupakan jenis walet yang dapat dijumpai
di perkotaan. Jenis burung ini termasuk dalam suku Apodidae yang merupakan
burung pemakan serangga. Ukuran tubuh burung ini cukup kecil yaitu 9 cm.
Burung ini sering dijumpai hanya saat terbang, sepintas mirip seperti burung
layang-layang yang memiliki bentuk sayap yang meruncing. Cara membedakan
burung ini dengan walet saat terbang adalah dengan memperhatikan warna tubuh
bagian posterior. Bagian dagu hingga dada berwarna hitam, perut dan tungging
42
berwarna putih. Ekor berukuran pendek dengan ujung sedikit bercabang dan
berwarna hitam. Tubuh bagian anterior dan sayap burung ini berwarna hitam.
Walet jenis ini tidak dapat dibedakan dengan walet sapi (Collocalia esculenta),
namun bagian sayap berwarna hijau berkilap (MacKinnon dkk., 2010).
Gambar 8. Walet Linchi (Collocalia linchi) Terbang (Dok. Pribadi, 2012)
Berdasarkan hasil penelitian, burung ini dijumpai di seluruh lokasi
pengamatan. Burung ini tidak pernah dijumpai pada saat bertengger di pohon
maupun di tiang bangunan. MacKinnon (2010) menjelaskan bahwa burung dalam
suku Apodidae jarang bertengger di pohon, biasanya beristirahat dengan cara
bergantungan di dinding karang dengan kukunya yang tajam.
3. Kepinis Rumah (Apus affinis)
Kepinis Rumah (Apus affinis) merupakan jenis burung yang berasal dari suku
yang sama dengan walet linci (Collocalia linchi) yaitu Apodidae. Kepinis rumah
yang dijumpai dalam penelitian ini memiliki ukuran tubuh sekitar 11 cm, dan
sayap yang lebih lebar. Jenis burung ini sering dijumpai saat terbang, dengan
kepakan sayap yang cepat. Tubuh burung ini berwarna kehitaman. Dapat
Skala 1:6
43
dibedakan dengan layang-layang batu atau walet linci dengan memperhatikan
tubuh bagian posterior yang berwarna gelap dari bagian kepala hingga tungging.
Kepinis Rumah memiliki kebiasaan hidup dalam kelompok besar, berburu di atas
daerah terbuka (MacKinnon dkk., 2010).
Gambar 9. Kapinis Rumah (Apus affinis) (Dok. Pribadi, 2012)
Sama dengan Walet Linchi (Collocalia linchi), burung ini dijumpai di
seluruh lokasi pengamatan dan tidak pernah dijumpai pada saat bertengger di
pohon maupun di tiang bangunan. Jenis burung ini memiliki kebiasaan hidup
dalam kelompok besar, dan berburu dengan cara terbang. Walet Linchi
(Collocalia linchi) bersarang di bawah atap rumah, di tebing-tebing, atau pada
mulut gua (MacKinnon dkk., 2010).
4. Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis)
Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis) merupakan satu-satunya jenis
burung pelatuk (suku Picidae) yang dijumpai di lokasi penelitian, yaitu di jalur
hijau Raden Inten. Berdasarkan pengamatan di lapangan burung ini memiliki
Skala 1: 7
44
tubuh berukuran kecil yaitu sekitar 13 cm. Saat terbang terlihat tubuh bagian
anterior yang berwarna hitam dan bagian posterior yang berwarna putih. Warna
tubuh burung ini hitam dan putih, tubuh bagian posterior berwarna hitam dengan
bintik putih, sedangkan bagian tubuh bagian anterior berwarna putih dengan
coretan hitam. Sisi muka berwarna putih dengan bercak pipi abu-abu.
Gambar 10. Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis) (MacKinnon, 2010)
Saat dijumpai, burung ini terbang dari pohon beringin (Ficus benjamina).
Burung ini memiliki kebiasaan bergerak pada batang pohon atau pohon mati
untuk mencari makan, tinggal di hutan sekunder, hutan terbuka dan hutan
mangrove (Kristanto dan Dedy, 2011). Kebiasaan khas burung ini adalah
menyendiri dan bergerak perlahan pada batang pohon atau pohon mati untuk
mencari makan. Tinggal di hutan sekunder, lahan terbuka, dan hutan mangrove
(MacKinnon, 2010).
Skala 1:1,6
45
5. Layang-layang Batu (Hirundo tahitica)
Layang-layang batu merupakan jenis dari suku Hirundinidae yang mudah
ditemui di perkotaan. Ukuran tubuh burung layang-layang batu yang dijumpai di
lokasi penelitian adalah sekitar 12 cm, bentuk ekor seperti terpotong, tidak terlalu
panjang. Bagian bawah tubuh (posterior) dari dada sampai tungging terlihat
berwarna putih saat burung terbang ataupun saat burung bertengger. Tubuh bagian
dari mahkota hingga tungging berwarna biru. Paruh berwarna hitam, dahi, dada
dan dagu berwarna coklat berangan yang terlihat seperti jingga. Burung ini saat
terbang mirip seperti walet, namun dapat dibedakan dari bagian posterior yang
berwarna putih dari dada sampai tungging, sedangkan walet bagian posterior
berwarna putih hanya bagian perut hingga tungging.
Gambar 11. Layang-layang batu (Hirundo tahitica) bertengger di Lampu Jalan
(Dok. Pribadi, 2012)
Hasil penelitian burung ini dijumpai di tiga jalur hijau dengan jumlah
individu yang relatif banyak. Jenis burung ini senang mendatangi lahan semak
terbuka, sering dijumpai saat terbang atau bertengger pada lampu jalan dan kabel
listrik. Burung ini banyak terdapat di daerah terbuka terutama di atas air sampai
Skala 1:12
46
ketinggian 1.500 meter. Biasa dijumpai dalam kelompok kecil yang terpisah-
pisah, mencari makan dengan melayang rendah di atas air, menangkap serangga di
udara. Sarang berupa cangkir dari gumpalan lumpur, menempel di bawah langit-
langit bangunan rumah, jembatan atau bergantung di bebatuan (MacKinnon dkk,
2010).
6. Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus)
Sepah kecil merupakan jenis burung dari suku Campephagidae yang hanya
dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma, dan hanya 1 individu.
Berdasarkan hasil pengamatan ukuran tubuh burung ini seperti Cucak Kutilang
yaitu sekitar 14 cm, namun memiliki ekor yang panjang. Bagian kepala, dan
mantel berwarna abu-abu, sedangkan bagian posterior dari tubuh burung ini
berwarna abu-abu cerah (keputih-putihan). Sayap berwarna hitam dengan corak
berwarna kuning pada bulu sekunder. Ekor berwarna hitam dengan bagian
tungging hingga bagian bawah ekor berwarna kuning.
Gambar 12. Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus) bertengger di Pohon
Akasia (Acacia auriculiformes) (Dok. Pribadi, 2012)
Skala 1:4
47
Ciri-ciri tersebut sesuai dengan ciri yang dideskripsikan oleh MacKinnon
dkk., (2010), tubuh berukuran kecil (15 cm), berwarna abu-abu, merah, dan hitam.
Sepah yang dijumpai merupakan sepah betina, sesuai dengan pernyataan Holmes
(1999) betina memiliki warna tubuh lebih abu-abu, dengan warna kuning pada
sayap dan tunggir. Sepah kecil memiliki perbedaan yang sangat jelas dari jenis
sepah lainnya karena bagian kepala dan mantel jantan berwarna abu-abu serta
tubuh bagian bawahnya keputih-putihan.
Burung ini ditemui saat bertengger dan memakan serangga yang berada di
pohon Akasia Daun Kecil (Acacia auriculiformis), yang berada di dekat lahan
pertanian yang berada di sisi jalur hijau Halim Perdana Kusuma. Jenis burung ini
menyukai hutan terbuka, hutan mangrove, tanah pertanian dan pedesaan, mencari
makan di puncak pohon yang tinggi (MacKinnon dkk, 2010).
7. Cipoh Kacat (Aegithina tiphia)
Cipoh kacat yang dijumpai di lokasi penelitian ini merupakan jenis burung
dari suku Chloropseidae, hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma
dengan jumlah individu sebanyak 3 ekor. Tubuh burung ini berukuran kecil, yaitu
sekitar 12 cm, berwarna hijau zaitun pada anterior dan berwarna kuning tua pada
bagian posteriornya. Paruh berwarna hitam, sayap berwarna hitam dengan tepi
bulu berwarna putih kekuningan.
48
Gambar 13. Cipoh Kacat (Aegithina tiphia) bertengger di Pohon Tanjung
(Mimusops elengi) (Dok. Pribadi, 2012)
Saat pengamatan burung ini terlihat senang memakan serangga yang
berada di dalam bunga yang terdapat di pohon Tanjung (Mimusops elengi).
Burung ini memiliki kebiasaan membuat sarang yang berbentuk seperti mangkuk
yang diletakkan di ujung cabang pohon atau pada semak berdaun lebat. Cipoh
kacat menghuni taman, hutan mangrove, hutan terbuka, dan hutan sekunder.
Cipoh Kacat senang berlompatan di cabang-cabang pohon kecil, dan merupakan
tempat bersembunyi yang baik baginya (MacKinnon dkk, 2010).
8. Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster)
Burung ini termasuk dalam suku Pycnonotidae yang mudah dijumpai di
perkotaan, seperti pada hasil pengamatan, burung ini dijumpai di seluruh lokasi
penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan tubuh berukuran besar yaitu
sekitar 20 cm sampai 25 cm dengan warna abu-abu. Bagian kepala dan paruh
berwarna hitam dan terdapat jambul dibagian atas kepala. Sayap berwarna hitam
kecoklatan dan ekor berwarna coklat dengan bagian tungging berwarna kuning.
Burung ini biasa memakan serangga yang terdapat di pohon, dan bertengger di
Skala 1:6
49
pohon atau tiang. Ekor burung ini tidak terlalu panjang seperti burung sepah.
Tubuh bagian dada, hingga tunggir berwarna abu-abu muda kecokelatan.
Gambar 14. Burung Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang dijumpai di
Lokasi Penelitian. A) Sepasang Kutilang yang bertengger di Lampu
Jalan, B) Kutilang yang bertengger di Pohon Tanjung (Mimusops
elengi) (Dok. Pribadi, 2012)
Hasil pengamatan di lapangan diketahui burung ini memanfaatkan jenis
pohon Swietenia mahagoni, Ficus benjamina, Pterocarpus indicus, Mimusops
elengi, Leucaena leucocephala, Bambusa sp, Albizia saman, Cerbera manghas,
Oreodoxa regia, Erythrina crista. Hidup berkelompok sering berbaur dengan jenis
Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier). Secara singkat MacKinnon dkk., (2010)
menjelaskan, Cucak Kutilang menyukai pohon terbuka atau habitat bersemak, di
pinggir hutan, tanaman sekunder, taman, dan pekarangan, atau bahkan kota besar.
Krebs (1978) menegaskan bahwa burung Cucak kutilang kerap mengunjungi
tempat-tempat terbuka, tepi jalan, kebun, pekarangan, semak belukar dan hutan
sekunder, sampai dengan ketinggian sekitar 1.600m dpl. Burung Cucak kutilang
biasanya berkelompok, baik ketika mencari makanan maupun bertengger, dengan
jenisnya sendiri maupun dengan jenis merbah yang lain, atau bahkan dengan jenis
burung yang lain (Holmes,1999).
Skala 1: 11,5 Skala 1:7
A B
50
9. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier)
Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) merupakan jenis burung yang berasal
dari suku yang sama dengan Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster).
merupakan burung yang sering dijumpai di daerah perkotaan, namun hasil
penelitian menunjukkan, burung ini hanya dijumpai di jalur hijau Raden Inten,
dengan ukuran tubuh burung sama dengan Kutilang yaitu sekitar 20 cm. Namun
bentuk tubuh yang sedikit lebih ramping dibandingkan Kutilang. Kepala berwarna
putih dengan jambul berwarna coklat, paruh berwarna hitam, dan terdapat coretan
berwarna hitam pada bagian kekang. Tubuh bagian posterior (dagu hingga perut)
berwarna putih, tunggir berwarna kuning. Tubuh bagian anterior dan sayap
berwarna coklat. Ekor bercabang berwarna coklat dan tidak terlalu panjang
dengan unjung agak membulat.
Gambar 15. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) bertengger di Pohon
Beringin (Ficus benjamina) (Dok. Pribadi, 2012)
Saat pengamatan di lapangan, dijumpai jumlah individu burung ini cukup
banyak. Burung ini terlihat senang bertengger di pohon Ficus benjamina dan
memakan buah yang terdapat di pohon tersebut, dan berbaur dengan cucak
Skala 1:7 Skala 1:8
51
kutilang dalam satu pohon. Merbah Cerukcuk menyukai habitat terbuka, tanaman
sekunder, tepi jalan, dan kebun (MacKinnon dkk, 2010).
10. Burung Gelatik Batu Kelabu (Parus major)
Jenis Burung Gelatik Batu Kelabu (Parus major) hanya dijumpai di jalur
hijau Halim Perdana Kusuma. Jenis burung ini termasuk dalam suku Paridae
dengan ukuran tubuh dari paruh hingga ekor kurang lebih 15 cm. Memiliki paruh
yang berwarna hitam. Bagian sisi perut berwarna abu-abu (kelabu) dan terdapat
warna hitam dari bagian dagu sampai perut. Bagian kepala berwarna hitam dan
terdapat warna putih di pipi. Punggung atau mantel hingga tungging berwarna
kelabu. Sayap berwana hitam dengan garis putih di tengah, dan ekor berwarna
hitam.
Gambar 16. Burung Gelatik Batu Kelabu (Parus major) bertengger di Pohon
Dadap Merah (Erythrina crysta) (Dok. Pribadi, 2012)
Burung ini sering dijumpai saat bertengger dengan pasangannya di pohon
dadap merah (Erythrina crista), dan bertengger di batang pohon yang sudah mati.
Merupakan jenis burung petengger yang aktif dan lincah, memakan beragam
makanan tetapi kebanyakan serangga yang dikumpulkan di pohon. Biasa berburu
Skala 1:3
52
dalam kelompok keluarga atau berpasangan. Burung ini bersarang pada lubang
pohon, biasa dijumpai di hutan mangrove, pekarangan dan hutan terbuka
(MacKinnon dkk, 2010).
11. Remetuk Laut (Gerygone sulphurea)
Remetuk Laut yang dijumpai dalam penelitian ini merupakan jenis burung
yang termasuk dalam suku Silviidae yang sering dijumpai di daerah perkotaan.
Makanan utama dari burung ini adalah serangga yang terdapat di pepohonan.
berdasarkan pengamatan di lapangan burung ini memiliki ukuran tubuh yang kecil
yaitu sekitar 8 cm sampai 10 cm. Memiliki paruh yang kecil, runcing, dan
berwarna hitam. Kepala berwarna coklat dengan dagu yang berwarna hijau zaitun.
Bagian anterior tubuh burung ini berwarna coklat, sedangkan bagian posterior
tubuh burung ini berwarna kuning. Ekor berwarna coklat dengan sedikit bintik
putih pada ujung ekor, berukuran pendek.
Gambar 17. Burung Remetuk Laut (Gerygone sulphurea) yang dijumpai di
Lokasi Penelitian. A) Seekor Remetuk Laut, B) Sepasang Remetuk
Laut yang bertengger di Pohon Tanjung (Mimusops Elengi) (Dok.
Pribadi, 2012)
Skala 1:2 Skala 1:2,7
B A
53
Kicauan burung ini sangat nyaring dan khas, sehingga keberadaannya
mudah diketahui melalui kicauannya. Burung ini sering bersembunyi di dalam
pohon yang rimbun. Saat pengamatan di tiga jalur hijau burung ini terlihat hidup
berpasangan, dan beraktifitas di dalam tajuk pohon Beringin (Ficus benjamina),
Tanjung (Mimusops elengi), Mahoni (Swietenia mahagoni), dan Tabebuia
(Tabebuia chrysotrica). Menurut MacKinnon (2010) Remetuk Laut sering
mengunjungi semak-semak tepi pantai, hutan mangrove, perkebunan karet, dan
hutan terbuka, terutama rumpun bambu, dan cemara.
12. Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)
Berdasarkan hasil penelitian, jenis burung ini hanya dijumpai di jalur hijau
Halim Perdana Kusuma. Burung ini memiliki ukuran tubuh sekitar 11 cm. Bagian
wajah kanan dan kiri berwarna abu-abu, paruh kecil dan lancip, mahkota berwarna
coklat kemerahan. Tubuh bagian posterior burung ini berwarna putih kotor.
Bagian mantel berwarna hijau metalik. Sayap dan ekor berwarna hijau zaitun
dengan bagian yang lebih gelap di ujungnya.
Gambar 18. Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius) (Dok. Pribadi, 2012)
Skala 1: 3,4
54
Selama pengamatan burung ini sering dijumpai saat bergerak aktif di
tanah, semak, ataupun di tepian saluran drainase. MacKinnon (2010) menegaskan
bahwa, Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius) memiliki kebiasaan mengunjungi
hutan terbuka, hutan sekunder, dan pekarangan. Lincah dan selalu bergerak,
tinggal di semak bawah dan bersembunyi di dalam kerimbunan.
13. Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps)
Berdasarkan hasil penelitian, jenis burung Cinenen Kelabu (Orthotomus
ruficeps) dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma dan jalur hijau I Gusti
Ngurah Rai. Burung ini memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan
Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius) yaitu sekitar 11 cm. Memiliki warna yang
hampir sama dengan Cinenen Pisang, namun perbedaan yang jelas adalah pada
bagian wajah, wajah Cinenen Kelabu berwarna coklat kemerahan, sedangkan
Cinenen Pisang wajah berwarna abu-abu. Warna tubuh merupakan kombinasi
coklat, abu-abu, hitam, dan putih. Tubuh bagian anterior berwarna abu-abu, tubuh
bagian posterior berwarna putih kotor. Sayap dan ekor berwarna coklat dengan
garis hitam di bagian ujungnya, memiliki warna kaki merah jambu.
Gambar 19. Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) (Dok. Pribadi, 2012)
Skala 1:2
55
Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) banyak dijumpai di jalur hijau
Halim Perdana Kusuma. Burung ini sangat aktif, lincah, dan senang berpindah-
pindah pohon dan ranting pohon. Menurut MacKinnon (2010), jenis burung ini
senang mengunjungi hutan terbuka, tepi hutan, hutan mangrove, semak-semak
tepi pantai, kebun, tanaman sekunder dan rumpun bambu.
14. Prenjak Jawa (Prinia familiaris)
Prenjak Jawa (Prinia familiaris) termasuk jenis burung dari suku Silviidae,
yang hanya dijumpai di jalur hijau Halim Perdana Kusuma dan hanya 2 individu.
Ukuran tubuh burung ini sekitar 12 cm. Memiliki ekor yang panjang, berwarna
coklat dan terdapat warna hitam dan putih di ujung ekor. Bagian anterior tubuh
burung ini berwarna abu-abu, sayap berwarna coklat keabuan dengan dua garis
putih di bagian tengah sayap. Bagian posterior tubuh burung ini berwarna abu-abu
terang di dagu sampai perut, sedangkan perut sampai tungging berwarna kuning
muda. Kepala berwarna abu-abu dengan paruh hitam.
Gambar 20. Perenjak Jawa (Prinia familiaris) bertengger di Pohon Akasia Daun
Kecil (Acacia auriculiformis) (Dok. Pribadi, 2012).
Skala 1:2,5
56
Burung ini dijumpai saat bertengger di pohon Acacia auriculiformis,
Mimusops elengi, Ficus benjamina. Habitat yang biasa disukai burung ini di hutan
mangrove dan habitat sekunder terbuka, terutama kebun taman. Memiliki
kebiasaan berburu di sekitar permukaan tanah sampai puncak pohon (MacKinnon
dkk, 2010).
15. Kipasan Belang (Rhipidura javanica)
Jenis burung dari suku Muscicapidae yang dijumpai di lokasi penelitian
adalah Kipasan Belang (Riphidura javanica). Sepasang burung ini dijumpai di
jalur hijau Halim Perdana Kusuma. Deskripsi umum Kipasan Belang saat
dijumpai, tubuh berukuran 15 cm, bagian dada hingga tunggir berwarna putih
bersih, dada berwarna hitam. Kepala dan sisi kepala berwarna hitam, terdapat
warna putih yang melingkar dibagian kerongkongan. Ekor berukuran panjang dan
berwarna hitam. Tubuh bagian atas (anteroir) berwarna hitam. Sepintas mirip
seperti Gelatik Batu Kelabu (Parus major) namun sisi tubuh dan tubuh bagian
bawah (posterior) berwarna putih bersih, serta terdapat warna putih yang
melingkar di tenggorokan seperti memakai kalung.
Gambar 21. Kipasan Belang (Riphidura javanica) (MacKinnon, 2010)
Skala 1:2
57
Saat dijumpai, burung ini sedang bertengger di pohon Tanjung (Mimusops
elengi). Burung ini sangat aktif berpindah dari satu tenggeran ke tenggeran
lainnya, mencari makan sendiri atau berpasangan (MacKinnon dkk., 2010).
Habitat burung ini di daerah terbuka, hutan kota, hutan mangrove, pekarangan dan
bantaran sungai (Kristanto dan Dedy, 2011).
16. Kekep Babi (Artamus leucorhynchus)
Suku Artamidae hanya memiliki satu jenis burung yaitu jenis Kekep Babi
(Artamus leucorhynchus), jenis burung ini dijumpai di jalur hijau Halim Perdana
Kusuma dan I Gusti Ngurah Rai. Kekep Babi yang dijumpai saat pengamatan
memiliki ciri tubuh berukuran kurang lebih 18 cm - 20 cm, ekor tidak terlalu
panjang, dan tidak bercabang pada bagian ujungnya. Bagian kepala hingga batas
dada berwarna coklat kehitaman, dengan paruh tebal yang berwarna abu-abu
kebiruan. Tubuh bagian anterior berwarna coklat, sedangkan bagian posterior
tubuh (dada hingga tungging) burung ini berwarna putih. Sisi tubuh berwarna
putih, sayap dan ekor berwarna coklat kehitaman. Pada saat terbang burung ini
hanya terlihat bagian posterior yang berwarna putih dan kepala yang berwarna
gelap. Sayap berbentuk segitiga lebar dan ekor yang berbentuk persegi, terbang
seperti burung layang-layang, melayang tanpa mengepakkan sayap (MacKinnon
dkk., 2010).
58
Gambar 22 Burung Kekep Babi (Artamus leucorhyncus) yang dijumpai di
Lokasi Penelitian. A) Kekep Babi bertengger di Tiang Lampu Jalan,
B) Kekep Babi Terbang (Dok. Pribadi, 2012)
Di jalur hijau Halim Perdana Kusuma burung ini dijumpai saat bertengger
di lampu jalan pada pagi hari, dan di jalur I Gusti Ngurah Rai burung ini hanya
melintas. Burung ini tidak memanfaatkan pohon di kedua jalur hijau sebagai
sumber pakan, ataupun untuk aktifitas lainnya. Menurut MacKinnon dkk., (2010)
burung ini senang bertengger di pohon kering, pohon cemara, kabel telepon,
tiang-tiang atau tenggeran lain, terbang melingkar untuk memburu serangga,
terkadang di atas air.
17. Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis)
Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) merupakan jenis burung
dari suku Nectariniidae. Jenis burung ini dijumpai di seluruh lokasi penelitian.
Berdasarkan hasil pengamatan, tubuh burung ini berukuran sedang yaitu 11 cm.
Jantan dan betina memiliki warna tubuh yang berbeda.
Skala 1:6 Skala 1:10
A B
59
Gambar 23. Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) yang dijumpai di
Lokasi Penelitian. A) Burung Madu Kelapa Jantan, B) Burung
Madu Kelapa Betina (Dok. Pribadi, 2012)
Tubuh burung jantan berwarna-warni dengan bagian dahi, kekang, dan
mahkota hingga punggung berwarna biru bersinar atau hijau metalik (bersinar).
Sayap, penutup sayap, dan ekor berwarna hitam. Bagian posterior tubuh (dada
hingga tungging) berwarna kuning. Bagian kepala (paruh, penutup telinga, dan
dagu hingga dada) berwarna hitam. Warna tubuh burung betina, bagian anterior
berwarna hijau zaitun, sedangkan bagian posterior berwarna kuning muda.
Gambar 24. Sarang Burung Madu Kelapa di pohon Beringin (Ficus benjamina)
(Dok. Pribadi, 2012)
Burung Madu Kelapa memanfaatkan tumbuhan Pterocarpus indicus, Ficus
benjamina, Callistemon lanceolatus, Swietenia mahagoni, Leucaena
Skala 1:3,5 Skala 1:2,5
Skala 1:5
A
Q
B
Q
60
leucocephala, Bauhinia purpurea, Erythrina crista, Thuja orientalis, Albizia
saman, Tabebuia chrysotricha, Cassia siamea. Jenis burung ini sering dijumpai
saat menghisap nektar, memakan serangga yang berada di benalu pohon Mahoni
atau memakan sari bunga di pohon yang sedang berbunga. Sarang burung madu
kelapa dibuat di pohon yang rimbun, saat penelitian dijumpai sarang burung ini di
pohon beringin (Ficus benjamina), dengan bahan sarang berupa serabut akar
gantung dari pohon tersebut (Gambar 24). Burung ini biasa mencari makan
dengan berpasangan atau sendiri. Senang berada di pekarangan terbuka,
perkebunan kelapa, semak pantai dan hutan mangrove (MacKinnon dkk., 2010).
18. Burung Madu Sriganti (Cinnyris jugularis)
Burung Madu Sriganti (Cinnyris jugularis) merupakan jenis burung dari
suku yang sama dengan Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis), yaitu suku
Nectariniidae. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ukuran tubuh burung
Madu Sriganti secara sepintas sama dengan Burung Madu Kelapa yaitu sekitar
11cm. Warna tubuh jantan dan betina berbeda. Tubuh betina bagian anterior (dagu
hingga ekor) berwarna hijau zaitun, sedangkan bagian posterior (dagu hingga
tungging) berwarna kuning. Kaki, ekor dan paruh berwarna hitam. Burung Madu
Sriganti betina dengan Burung Madu Kelapa betina terlihat mirip, namun bila
dilihat lebih seksama pada tubuh bagian posterior Burung Madu Kelapa memiliki
warna kuning yang lebih muda dibandingkan dengan Burung Madu Sriganti.
Selain itu, pada burung madu sriganti betina bagian tepi sayap berwarna hitam,
sedangkan burung madu kelapa tidak memiliki warna yang lebih gelap
61
(hitam) di bagian tepi sayapnya. Warna tubuh Burung Madu Sriganti jantan di
bagian perut hingga tungging berwarna kuning. Bagian anterior dari mahkota
hingga penutup ekor berwarna hijau zaitun. Sayap berwarna coklat tua. Dahi,
kekang, dagu hingga dada berwarna ungu tua. Paruh, ekor, dan kaki berwarna
hitam.
Gambar 25. Burung Madu Sriganti (Cinnyris jugularis) yang dijumpai di
Lokasi Penelitian. A) Burung Madu Sriganti Jantan, B) Burung
Madu Sriganti Betina (Dok. Pribadi, 2012)
Jenis burung ini dijumpai di lokasi penelitian. Sering terlihat berpasangan
atau sendiri dalam satu pohon yang sedang berbunga. Burung Madu Sriganti
memanfaatkan tumbuhan Swietenia mahagoni, Callistemon lanceolatus,
Pterocarpus indicus, Ficus benjamina, Mimusops elengi, Thuja orientalis,
Erythrina crista, Bauhinia purpurea, Morinda citrifolia. Merupakan jenis burung
madu yang umum di daerah perkotaan. Burung ini sering ribut dalam kelompok
kecil, berpindah-pindah pohon atau semak berbunga. Burung madu ini juga
senang mengunjungi pekarangan, semak pantai, dan hutan mangrove (MacKinnon
dkk., 2010).
Skala 1: 2,5 Skala 1:2,7
A
s
B
s
62
19. Cabai Jawa (Dicaeum trochileum)
Jenis burung dari suku Dicaeidae yang dijumpai selama penelitian hanya jenis
Cabai Jawa (Dicaeum trochileum). Burung Cabai Jawa (Dicaeum trochileum)
yang dijumpai dalam penelitian ini berukuran tubuh kecil yaitu sekitar 11 cm.
Paruh berbentuk runcing dan berwarna hitam. Sayap dan kaki dari burung ini
berwarna hitam. Ekor berukuran pendek dan berwarna hitam. Warna tubuh jantan
dan betina berbeda. Tubuh betina berwarna coklat, abu-abu, hitam, dan merah.
Betina memiliki tubuh bagian anterior berwarna coklat, dengan tunggir berwarna
merah. Tubuh bagian posterior berwarna abu-abu. Warna tubuh burung jantan
merah-jingga, abu-abu, dan hitam. Bagian anterior tubuh (dahi hingga tunggir)
berwarna merah-jingga, dengan sayap dan ekor berwarna hitam.
Gambar 26. Burung Cabai Jawa (Dicaeum trochileum) yang dijumpai di Lokasi
Penelitian. A) Cabai Jawa Betina, B) Cabai Jawa Jantan (Dok.
Pribadi, 2012)
Sering dijumpai di pohon yang memiliki banyak benalu dan serangga
seperti pohon Mahoni (Swietenia mahagoni). Tumbuhan lain yang dimanfaatkan
oleh burung ini antara lain Pterocarpus indicus, Callistemon lanceolatus, Cassia
fistula, Ficus benjamina, Leucaena leucocephala, Mimusops elengi, Bauhinia
Skala 1: 2 Skala 1:2,3
A B
63
purpurea, Albizia saman, Cerbera manghas. Burung ini memiliki kebiasaan
senang mengunjungi pekarangan dan daerah terbuka, termasuk kota, daerah pantai
dan hutan mangrove, senang mengunjungi rumpun benalu untuk memakan
buahnya yang lengket (MacKinnon dkk., 2010).
20. Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus)
Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) yang dijumpai dalam penelitian
ini memiliki tubuh berukuran kecil sekitar 10 cm, memiliki kombinasi warna hijau
kekuningan, dan abu-abu. Bagian kepala berwarna hijau kekuningan sampai dada,
terdapat warna putih yang mengelilingi mata dan terlihat seperti lingkar kacamata,
kekang berwarna hitam, paruh berwarna abu-abu kehitaman dengan bentuk
meruncing. Bagian posterior tubuh, perut abu-abu, dan tungging berwarna kuning.
Tubuh bagian anterior berwarna hijau kekuningan. Sayap berwarna hijau
kekuningan dengan tepi sayap berwarna hitam. Ekor berukuran tidak terlalu
panjang dengan ujung tidak bercabang dan berwarna hitam. Kaki berwarna abu-
abu gelap.
Gambar 27. Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) di Pohon Bunga Sikat Botol
(Callistemon lanceolatus) (Dok. Pribadi, 2012)
Skala 1:3
64
Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) merupakan jenis dari suku
Zosteropidae yang hanya dijumpai di dua lokasi penelitian yaitu Raden Inten dan
Halim Perdana Kusuma. Selama pengamatan, burung ini terlihat senang
mengunjungi pepohonan yang terdapat di median jalan, mencari makan
berpasangan maupun sendiri. Pohon yang dimanfaatkan burung ini antara lain
Callistemon lanceolatus, Ficus benjamina, Pterocarpus indicus, Mimusops elengi,
Acacia auriculiformis, Gliricidia sepium. Burung jenis ini memakan serangga
atau ulat yang terdapat di pohon. Menurut MacKinnon dkk (2010), Kacamata
Biasa sering mengunjungi tanaman primer dan tanaman sekunder, dan
berterbangan diantara puncak-puncak pohon tertinggi. Umum di dataran rendah
dan perbukitan, jarang dijumpai di hutan mangrove dan daerah pesisir.
21. Burung Gereja Erasia (Passer montanus)
Burung Gereja Erasia (Passer montanus) merupakan jenis burung yang
termasuk dalam suku Ploceidae yang sangat familiar dengan keberadaan manusia.
Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, tubuh burung ini berukuran sedang
sekitar 13 cm – 15 cm. Memiliki kombinasi warna coklat, hitam, dan abu-abu.
Memiliki paruh yang berwarna hitam, bagian dahi hingga tengkuk berwarna
coklat tua, bagian sekitar mata berwarna hitam, dagu hingga tenggorokan
berwarna hitam, pipi berwarna putih dengan bercak hitam. Sayap berwarna coklat
dengan garis hitam dan putih. Ekor berukuran tidak terlalu panjang dan berwarna
coklat. Tubuh bagian bawah (posterior) berwarna abu-abu terang. Burung gereja
65
dijumpai di seluruh lokasi penelitian. Burung ini biasa memakan biji-bijian,
serangga, ataupun sisa makanan manusia yang terdapat di pekarangan.
Gambar 28. Burung Gereja Erasia (Passer montanus) (Dok. Pribadi, 2012)
Jenis burung ini sering bertengger di tiang, kabel listrik atau di bangunan.
Hidup berkelompok, bersarang di rumah, gedung atau bangunan lainnya. Mencari
makan di tanah, dan lahan pertanian, memakan biji-biji kecil atau beras
(MacKinnon dkk., 2010).
22. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides)
Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) memiliki sebutan lain pipit
bondol, emprit bondol, atau piit bondol. Jenis burung ini termasuk dalam suku
Ploceidae. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian burung ini memiliki
ukuran tubuh sedang yaitu 11 cm dengan kombinasi warna coklat, hitam dan
putih. Jantan dan betina memiliki warna yang sama namun umumnya warna tubuh
burung jantan lebih gelap dibandingkan betina, selain itu panjang dan bentuk ekor
jantan dan betina berbeda. Ekor burung betina memiliki ukuran yang panjang
dengan ujung persegi, sedangkan jantan memiliki ekor yang pendek yang
Skala 1:3 Skala 1:4,5
66
membulat dengan ujung meruncing. Tubuh bagian anterior berwarna coklat tua,
bagian dahi berwarna coklat kehitaman. Tubuh bagian posterior berwarna putih
bersih, bagian dagu hingga dada berwarna hitam, tungging hingga ekor berwarna
hitam. Paruh pendek dan tebal dengan warna paruh bagian atas kehitaman,
sedangkan paruh bawah berwarna abu-abu.
Gambar 29. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) Jantan dan Betina di
Pohon Beringin (Ficus benjamina) (Dok. Pribadi, 2012)
Burung ini hanya dijumpai di jalur hijau Raden Inten, dan sering
bertengger di pohon bunga sikat botol (Callistemon lanceolatus), dan beringin
(Ficus benjamina). Mencari makan sendiri dan membawa pergi makannya ke
sarang, ataupun mencari makan dengan pasangannya. Jumlah individu yang
dijumpai hanya sebanyak 4 ekor. Burung ini memiliki kebiasaan mengunjungi
lahan pertanian saat musim panen padi dengan berkelompok hingga puluhan
individu dan memakan bulir padi. Mencari makan di atas tanah atau mametik biji
dari bulir rumput, bersuara gaduh dan menyelisik di pohon-pohon besar
(MacKinnon dkk., 2010).
Skala 1:3
67
23. Bondol Peking (Lonchura punctulata)
Bondol peking (Lonchura punctulata) merupakan jenis burung dari suku
Ploceidae. Saat pengamatan, sepintas Bondol Peking dengan Bondol Jawa terlihat
mirip, warna tubuh nyaris sama, ukuran tubuh burung ini adalah 11 cm. Tubuh
Bondol Peking bagian anterior berwarna coklat, sama dengan Bondol Jawa.
Perbedaan burung Bondol Peking dengan Bondol Jawa terletak pada warna tubuh
bagian posterior, pada Bondol Jawa Perut berwarna putih bersih, sedangkan
Bondol Peking bagian perut berwarna putih dengan corak bersisik yang berwarna
coklat, tunggir berwarna putih. Bagian kepala Bondol Peking dari dagu hingga
tenggorokan berwarna coklat kemerahan, paruh tebal dan pendek berwarna abu-
abu (Gambar 30).
Gambar 30. Sekelompok Bondol Peking (Lonchura punctulata) di Lahan
Pertanian Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma (Dok. Pribadi, 2012)
Jenis burung ini merupakan hama lahan pertanian, karena saat panen tiba
burung ini secara berkelompok menyerang sawah untuk memperoleh pakan dari
bulir padi. Saat pengamatan kelompok burung ini dijumpai di sawah yang berada
di samping jalur hijau Halim Perdana Kusuma. Bondol Peking sering
Skala 1:10
68
mengunjungi padang rumput terbuka di lahan pertanian, sawah, kebun dan semak
(MacKinnon dkk., 2010).
4.4 Pengaruh Faktor Fisik Lingkungan Terhadap Kehadiran Burung
Penyebaran dan populasi burung di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor
fisik lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari dan faktor biologis
yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Champbell, 2002). Faktor fisik
lingkungan lokasi penelitian berupa suhu, kelembaban, intensitas cahaya,
kecepatan angin (Gambar 31), hasil tersebut menunjukkan bahwa lokasi penelitian
memiliki kondisi lingkungan yang berbeda.
Gambar 31. Faktor Fisik Lingkungan Lokasi Penelitian
Jalur hijau I Gusti Ngurah Rai memiliki nilai intensitas cahaya, kecepatan
angin, dan tingkat kebisingan yang paling tinggi, dijumpai 10 jenis burung. Jalur
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Nil
ai
Faktor Fisik Lingkungan
I Gusti Ngurah Rai
Halim Perdana Kusuma
Raden Inten
69
hijau Halim Perdana Kusuma memiliki nilai kelembaban yang paling tinggi, jenis
burung yang dijumpai pada jalur ini adalah 20 jenis burung. Faktor fisik
lingkungan berupa suhu, jalur hijau Raden Inten memiliki nilai tertinggi
dibandingkan jalur hijau lainnya, di lokasi ini dijumpai 14 jenis burung.
Perbedaan tingkat keanekaragaman jenis burung yang terdapat di jalur hijau dapat
dikarenakan oleh perbedaan faktor fisik lingkungan di masing-masing lokasi.
Hasil penelitian menujukkan bahwa perbedaan kondisi fisik lingkungan
yang terdapat di lokasi penelitian, maka berbeda pula jenis burung yang dijumpai
di masing-masing lokasi penelitian. Distribusi burung yang dipengaruhi oleh
komponen faktor fisik lingkungan dapat diilustrasikan dengan menggunakan
diagram PCA (Principal Componen Analysis). Diagram PCA didukung dengan
data jumlah individu dan spesies burung pada tiap titik pengamatan (Tabel 5).
PCA merupakan analisis multivariat yang didasarkan pada analisis komponen
utama.
Tabel 5. Hasil analisis Nilai loading factor komponen Principle Component
Analysis (PCA) faktor fisik yang mempengaruhi keberadaan burung
Component Matrixa
Component
1 2
Suhu udara .794 -.543
Kelembaban udara -.966 .028
Intensitas cahaya .754 -.425
kec.angin .850 .458
Tingkat kebisingan .442 .881
Hasil Principle Component Analysis (PCA) menunjukkan komponen yang
paling berpengaruh hingga tidak terlalu berpengaruh dengan keberadaan burung,
70
yang di tunjukkan dengan nilai hasil ekstraksi, bila nilai semakin besar dari 0,500
maka, komponen tesebut merupakan komponen yang sangat berpengaruh dengan
kehadiran burung. Hasil analisis PCA dengan 2 komponen utama menggambarkan
urutan komponen dari yang paling berpengaruh hingga tidak terlalu berpengaruh.
Peringkat komponen yang paling berpengaruh hingga tidak berpengaruh
berdasarkan hasil analisis PCA adalah kelembaban (0,966), kebisingan (0,881),
kecepatan angin (0,850), suhu (0,794) dan intensitas cahaya (0,754) (Tabel 6).
Suhu udara dipengaruhi oleh intensitas cahaya dengan asumsi bahwa
ketika suhu naik, intensitas cahaya naik, kecepatan angin turun, dan kelembaban
turun. Suatu jenis burung memiliki kepekaan terhadap faktor fisik lingkungan
tertentu dan tipe habitat yang berbeda dengan jenis burung lainnya. Hasil
penelitian Desmawati (2010) menunjukkan bahwa, burung yang cenderung
dipengaruhi oleh kelembaban udara adalah Kipasan belang. Burung ini
memanfaatkan area bervegetasi untuk beristirahat, bermain maupun mencari
makanan. Tingkat kebisingan merupakan komponen yang dapat berpengaruh
terhadap kehadiran burung, hal ini dikarenakan suara gaduh dan suara kendaraan
bermotor dapat mengubah kebiasaan dan pergerakan berbagai jenis burung
(Morisson, 1986).
71
Gambar 32. Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis
burung berdasarkan faktor fisik lingkungan lokasi penelitian
Keterangan: 1= Pycnonotus aurigaster, 2= Gerygone sulphurea, 3=
Dicaeum trochileum, 4= Passer montanus,5= Hirundo tahitica. 6=
Colocalia linchi,7= Lonchura leucogastroides, 8= Pycnonoctus
goiavier, 9= Anthreptes malacensis, 10= Cinnyris jugularis, 11=
Apus affinis, 12= Streptopelia cinensis,13= Zosterops palpebrosus,
14= Dendrocopus moluccensis,15= Artamus leucorhyncus, 16=
Orthotomus ruficeps, 17= O.sutorius, 18= L. Punctulata, 19=
Aegitina thipia,20= Parus major, 21= Prinia familiaris, 22=
Pericrocotus cinnamomeus, 23= Rhipidura javanica
Hasil analisis Correspondence Analysis (CCA) (Gambar 31),
menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok burung yang kehadirannya
dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan, yaitu:
a) Kelompok yang terdiri dari jenis Dendrocopus moluccensis, Pericrocotus
cinnamomeus, Rhipidura javanica, sangat dipengaruhi oleh Suhu,
kelembaban, dan cahaya. Dendrocopus moluccensis hadir pada saat intensitas
cahaya rendah dan kecepatan angin yang tinggi, jenis Pericrocotus
cinnamomeus hadir saat kondisi lingkungan memiliki nilai kelembaban
tinggi, kecepatan angin rendah, tingkat kebisingan rendah, sedangkan
Rhipidura javanica dijumpai pada saat kondisi lingkungan penelitian
-1.5 1.0
-0.4
0.8
1
2
3
4 5 6
7
8
9
10
11 12
13
14
15
16 17 18
19 20
21
22 23
Suhu
Kelembaban Cahaya
Kecepatan angin
Kebisingan
72
memiliki nilai suhu rendah, kecepatan angin rendah, kelembaban udara
tinggi.
b) Kelompok yang terdiri dari jenis Lonchura leucogastroides, Streptopelia
cinensis, L. Punctulata, Atrhamus leuchorryncus, Orthotomus sutorius,
Aegitina thipia, Parus major, dan Prinia familiaris, dipengaruhi oleh
kelembaban dan suhu yang rendah.
c) Pycnonotus aurigaster, Gerygone sulphurea, Dicaceum trochileum, Passer
montanus, Hirundo tahitica, Colocalia linchi, Lonchura leucogastroides,
Anthreptes malacensis, Cinnyris jugularis, Apus affinis, Zosterops
palpebrosus merupakan jenis burung yang dijumpai setiap pengamatan dan
tidak terikat dengan kondisi fisik lingkungan.
4.5 Hubungan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dengan
Keanekaragaman Jenis Burung
Tingginya keanekaragaman jenis burung di suatu kawasan didukung oleh
tingginya keanekaragaman habitat yang secara umum berfungsi sebagai tempat
mencari makan, istirahat dan berkembang biak (Walida, 2006). Keragaman
komposisi jenis tanaman yang menjadi sumber pakan burung berpotensi untuk
menarik kehadiran jenis burung yang lebih banyak. Setiawan dkk., (2006)
menjelaskan bahwa keanekaragaman jenis burung di hutan kota Bandar Lampung
berkorelasi positif dengan keanekaragaman jenis pohon. Hasil penelitian
Kuswanda (2010), menegaskan bahwa komposisi tumbuhan di kawasan Taman
Nasional Batang Gadis (TNBG) mempengaruhi sebesar 90,4% terhadap
73
keanekaragaman jenis burung, 94,3% terhadap kelimpahan jenis burung, dan
hanya 67,3% terhadap kepadatan suatu jenis burung.
Pernyataan tersebut berbeda dengan hasil pengamatan, di jalur hijau Raden
Inten yang memiliki 5 jenis tanaman, di lokasi ini dijumpai 14 jenis burung,
sedangkan di jalur hijau I Gusti Ngurah Rai yang memiliki jenis tanaman lebih
banyak (9 jenis), hanya dijumpai 10 jenis burung. Berdasarkan hasil analisis
korelasi statistik dengan uji korelasi Pearson product moment (tabel 6),
didapatkan hasil bahwa tidak terdapat korelasi antara tingkat keanekaragaman
burung dengan tingkat keanekaragaman tumbuhan. Hal ini dapat disebabkan
karena jenis tumbuhan yang tersedia bukan termasuk jenis tumbuhan pendukung
aktifitas burung seperti penyedia pakan, tempat istirahat, sosial maupun bersarang.
Selain itu kehadiran burung dapat pula dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan,
seperti adanya aktifitas manusia yang dapat mengganggu burung, tingkat
kebisingan, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan intensitas cahaya di lokasi
penelitian.
Tabel 6. Hasil analisis korelasi Pearson product moment keanekaragaman
burung dengan keanekaragaman tumbuhan
Correlations
H’ burung H’ tumbuhan
H’ burung
Pearson Correlation 1 -.404
Sig. (2-tailed) .427
N 6 6
H’ tumbuhan
Pearson Correlation -.404 1
Sig. (2-tailed) .427
N 6 6
74
4.6 Tingkat Penggunaan Vegetasi oleh Burung
Menurut Alikodra dkk., (2006) setiap jenis pohon dan komposisi jenis
pohon suatu komunitas (hutan kota) dapat menciptakan berbagai kondisi
lingkungan dan ketersediaan makanan yang spesifik bagi jenis-jenis burung
tertentu (niche atau relung ekologi), semakin banyak jenis pohon berarti akan
tercipta banyak relung ekologi yang memungkinkan berbagai jenis burung dapat
hidup secara bersama. Jenis tanaman yang dimanfaatkan oleh burung di Halim
Perdana Kusuma terdapat 13 jenis pohon, jalur hijau Raden Inten terdapat 5 jenis
pohon, dan jalur hijau I Gusti Ngurah Rai terdapat 9 jenis pohon (Lampiran
4,5,6). Komposisi jenis tanaman yang beragam berpotensi untuk menarik jenis
burung lebih banyak, terutama jenis tanaman yang merupakan sumber pakan
burung.
Gambar 33. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman oleh Burung di Jalur
Hijau Halim Perdana Kusuma
Persentase penggunaan jenis tanaman oleh burung untuk aktifitasnya di
jalur hijau Halim Perdana Kusuma (Gambar 33), menunjukkan bahwa jenis
1,34%
16,57%
40,62%
14,14%
2,66% 2,92% 7,34%
1,47%
8,70%
0,80% 0,94% 2,01% 0,54%
penggunaan jenis tanaman
75
tanaman Tanjung (Mimusops elengi) memiliki nilai persentase relatif tertinggi
yaitu sebesar 40,62%. Jenis tanaman ini di jalur hijau Halim Perdana Kusuma
merupakan tanaman dengan jumlah individu tertinggi dan Indeks Nilai Penting
(INP) tertinggi, yaitu 64.49 (Lampiran 4). Pohon Tanjung (Mimusops elengi)
menyediakan sumber pakan bagi burung berupa serangga. Selain itu pohon
Tanjung memiliki tutupan tajuk yang rimbun, dan biasa dimanfaatkan burung
untuk aktifitas sosial, dan istirahat atau bertengger. Dalam penelitian ini jenis
burung yang memanfaatkan pohon ini adalah Remetuk laut (Gerygone sulphurea),
Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps), Cipoh kacat (Aegithina tiphia), dan
Kipasan belang (Rhipidura javanica).
Tanaman lain yang memiliki persentase relatif tinggi di jalur Halim
Perdana Kusuma adalah beringin (Ficus benjamina) (12,57%) dan petai cina
(Leucaena leucocephala) (14,14%). Jalur hijau Halim Perdana Kusuma memiliki
kondisi umum yang berbeda dari kedua lokasi lainnya yaitu, terdapat lahan
pertanian (sawah) di sisi jalur hijau ini. Jenis burung yang dijumpai sawah
tersebut adalah Bondol Peking (Lonchura punctulata). Saat padi (Oryza sativa)
yang ditanam di sawah tersebut mulai menguning, sekelompok burung bondol
peking memanfaatkan bulir padi sebagai pakannya.
Gambar 34. Persentase Penggunaan Jenis Tanaman oleh Burung di Jalur Hijau
Raden Inten
30,17%
13,30%
35,59%
19,82%
1,13%
Swietenia
mahagoni
Callistemon
lanceolatus
Ficus
benjamina
Pterocarpus
indicus
Penggunaan jenis tumbuhan
Thespasia sp.
76
Jalur hijau Raden Inten yang berlokasi di Duren Sawit hanya memiliki 5
jenis tanaman (Lampiran 5). Persentase penggunaan jenis tanaman di jalur hijau
Raden Inten (Gambar 34), menunjukkan jenis tanaman dengan presentase relatif
penggunaan tanaman oleh burung tertinggi adalah Ficus benjamina (35,60%).
Tutupan tajuk yang rimbun dari pohon ini, ditemui sarang dari burung madu
kelapa (Anthreptes malacensis). Jenis aktifitas burung tertinggi hingga terendah
pada pohon ini secara berurutan adalah makan (43,78%), istirahat (27,86%), sosial
(19,40%), dan bersarang (8,96%). Tingginya aktifitas makan pada Ficus
benjamina, dikarenakan tanaman ini memiliki buah yang disukai oleh burung
Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Merbah Cerukcuk (Pycnonotus
goiavier).
Gambar 35. Persentase penggunaan jenis tanaman oleh burung di jalur hijau
I Gusti Ngurah Rai
11,26% 18,55%
44,06%
4,33% 9,23% 6,69%
2,13% 2,85% 0,91%
penggunaan jenis tanaman
77
Persentase penggunaan tanaman untuk aktifitas burung di jalur hijau I
Gusti Ngurah Rai (Gambar 34), jenis tanaman Kaliandra (Albizia saman)
merupakan tanaman dengan persentase penggunaan relatif tertinggi yaitu 44,06%.
Hal ini dapat dikarenakan tanaman ini memiliki bunga yang dapat menarik
serangga sehingga tanaman ini dapat menyediakan pakan untuk burung pemakan
serangga. Selain itu tanaman Kaliandra (Albizia saman) merupakan jenis
tumbuhan di jalur hijau I Gusti Ngurah Rai dengan jumlah terbanyak yaitu 16
individu pohon (Lampiran 6) Jenis burung yang dijumpai memanfaatkan tanaman
ini adalah Remetuk Laut (Gerygone sulphurea), Cucak Kutilang (Pycnonotus
aurigaster), dan Cabai Jawa (Dicaceum trochileum). Persentase relatif
penggunaan jenis tanaman dengan nilai terendah adalah tanjung (Mimusops
elengi), tumbuhan tersebut hanya di manfaatkan oleh jenis burung Cabai Jawa
(Dicaceum trochileum) sebagai sumber pakannya. Tanjung (Mimusops elengi)
menyediakan serangga yang dapat dimanfaatkan sebgai sumber pakan.
78
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
a. Tingkat keanekaragaman jenis burung di jalur hijau bernilai sedang.
Nilai H’ di jalur hijau Halim Perdana Kusuma adalah 2,649, Raden
Inten 2,448, dan I Gusti Ngurah Rai 1,879.
b. Faktor fisik dari yang paling berpengaruh terhadap kehadiran burung di
jalur hijau adalah kelembaban, kebisingan, kecepatan angin, suhu
udara, intensitas cahaya.
c. Ketiga jalur hijau yang diamati dapat mendukung aktifitas burung, baik
sebagai penyedia pakan, tempat beristirahat dan bersosialisasi, maupun
sebagai tempat bersarang.
5.2 Saran
a. Untuk meningkatkan keanekaragaman jenis burung di Jakarta,
khususnya di jalur hijau kota Jakarta maka perlu meningkatkan luas dan
jenis tanaman yang berasosiasi dengan hewan (seperti burung dan
serangga) di jalur hijau yang dapat berfungsi sebagai alternatif Ruang
Terbuka Hijau.
b. Meningkatkan keanekaragaman jenis pepohonan penghasil buah yang
dapat menarik kehadiran burung di lingkungan perkotaan.
79
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas
Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Amama, F. P. 2008. Pekarangan Rindang, Burung pun datang. Artikel. Burung
No. 1/TH.II/Januari 2008 halaman 14-17. Burung Indonesia. Bogor.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010.
Artikel. Data Agregat Per Kabupaten/Kota. Provinsi DKI Jakarta.
Balai Informasi Penataan Ruang Direktorat Jendral Penataan Ruang Kementerian
Pekerjaan Umum. 2012. Artikel. Balai Informasi Penataan Ruang. Denpasar.
Champbell,Neil A., Jane B. Reece., Lawrence G., dan Mitchell. 2004. Biologi
edisi kelima. Erlangga. Jakarta.
Dinas Komunikasi dan Informasi Masyarakat Provinsi DKI Jakarta. 2011. Artikel.
Ruang Terbuka Hijau. Jakarta.
Desmawati, I. 2010. Studi Distribusi Jenis-Jenis Burung Dilindungi Perundang-
undangan Indonesia di Kawasan Wonorejo, Surabaya. Skripsi: Prodi Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Sepuluh
November. Surabaya.
Dewi, T.S. 2005. Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di berbagai Tipe Lanskap
Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu).
Skripsi: Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ernawati. 2002. Keanekarragaman Vegetasi dan berbagai Jenis Burung di
sepanjang Koridor Kebun Binatang Ragunan-Hutan Kota UI. Tesis. Jurusan
Biologi Fakultas MIPA-Universitas Indonesia. Jakarta.
Fadliah, E. 2010. Hubungan Keanekaragaman Burung dengan Jumlah Jenis,
Volume Tajuk, Luas Tajuk, dan Basal Area Pohon di Tiga Taman Kota,
Jakarta Selatan. Skripsi: Sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Negeri Jakarta. Jakarta
Ferianita, F. M. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta
80
Gregory, R. D., D .W. Gibbons dan P. F. Donald. 2004. Bird census and survey
techniques. Artikel. suther-02
Holmes, D. 1999. Burung-burung di Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI.
Bogor.
Kristanto, A dan D. Istanto. 2011. Burung Ibu Kota Panduan Mengamati dan
Memotret Burung-burung Jakarta. Jakarta.
__________ dan F. Momberg. 2008. Alam Jakarta Panduan Keanekaragaman
Hayati yang Tersisa di Jakarta. Fauna dan flora International-Indonesia
Programme. Jakarta.
Kristanto, A. 2006. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Burung di Tiga
Taman Kota. Skripsi: Universitas Nasional. Jakarta.
Krebs J.L. 1978. Ecology The Eksperimental Analysis of Distribution and
Abundance, second edition. Harper dan Row, Publisher. New York.
Kusumadewi, A dan D. Aquina. 2011. Foke Pesimistis Jakarta Jadi Kota Hijau.
http://VIVAnews.com. 24 Februari. 2012, pkl 8.23 WIB.
Kuswanda, W. 2010. Pengaruh Komposisi Tumbuhan terhadap Populasi Burung
di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara. Jurnal. Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam. Vol. VII No.2 : 193-213, 2010.
Lack D. 1971. Ecological Isolation in Birds.Blackwell Scintific Publication,
Oxford.
MacKinnon, J., K. Philips dan Bas Van Balen.1998. Burung - burung di
Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk Sabah, Serawak, dan Brunei
Darussalam). Puslitbang Biologi-LIPI dan Birdlife International - Indonesian
Programme. Bogor.
Marwanzis. 2011. Burung Bisa Menjadi Indikator Kelestarian Ekosistem. Artikel.
Referensi Berita Lingkungan.
Morrison, M. L. 1986. Bird Pupolation as Indicators of Environmental Change.
Dalam Suryowati C. 2000. Persebaran Burung di Koridor Hijau Jalan (Studi
Kasus di Koridor Hijau Jalan di Jakarta). Tesis: Program Studi Ilmu
Lingkungan, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta.
Odum, E.P. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga, Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamental Ecology. W. B. Saunders Company. Philadelphia
81
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur. 2013. Artikel. Demografi wilayah
Jakarta Timur. http://timur.jakarta.go.id. 28 Januari 2013 pukul 21.00 WIB.
Rombang, W. M. 2008. Benteng Terakhir untuk Burung Kota. Artikel. Burung
No. 1/TH.II/Januari 2008. Burung Indonesia. Bogor.
Rosanna ,Y. 2005. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Habitat Burung Di Perkotaan
(Kajian Terhadap Habitat Burung dan Nilai Estetika Kota). Tesis: Program
Kajian Pengembangan Perkotaan, Program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia. Jakarta.
Setiawan, Agus., H.S. Alikodra, A. Gunawan dan D. Darnaedi. 2006.
Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung di Beberapa Areal Hutan Kota
Bandar Lampung. Jurnal. Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 1 : 1-13
(2006).
Stanley, A. T dan J. A. Wiens. 1989. Bird Populations and Environmental
Changes: Can Birds Be Bio-indicators?. Artikel. Population Study American
Birds.
Sukmantoro, W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, N. Kemp dan M.
Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia no. 2. Artikel. Indonesian
Ornithologists’ Union. Bogor.
Suryowati, C. 2000. Persebaran Burung di Koridor Hijau Jalan (Studi Kasus di
Koridor Hijau Jalan di Jakarta). Tesis: Program Studi Ilmu Lingkungan,
Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta.
Wardojo, W. 2008. Koridor Hijau Selamatkan Burung. Artikel. Burung No. 5.
Edisi mei 2007. Burung Indonesia. Bogor.
Warsito,H dan S. Yuliana. 2007. Keanekaragaman Jenis Burung di Saribi,
Numfor Barat, Papua: Beberapa Catatan (Notes on Birds Biodiversity In
saribi, West Namfor, Papua). Jurnal. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam,
Vol IV No. 6.
Walida, F. S. 2006. Interaksi Burung Dan Tumbuhan Di Kawasan Koridor Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak. Skripsi: Departemen Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
82
Lampiran 1. Nilai Indeks dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung
(H’) di Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma
No Jenis Burung titik sampling
total frekuensi Di (%) Kr Fr NP pi Ln pi H' 1 2 3
1 Streptopelia cinensis 1 0 0 1 1 0,28 0,649 2,500 3,149 0,006 -5,037 0,033
2 Colocalia linchi 3 2 0 5 2 1,39 3,247 5,000 8,247 0,032 -3,428 0,111
3 Apus affinis 1 2 0 3 2 0,84 1,948 5,000 6,948 0,019 -3,938 0,077
4 Hirundo tahitica 5 2 0 7 2 1,95 4,545 5,000 9,545 0,045 -3,091 0,141
5 Pericrocotus cinnamomeus 0 0 1 1 1 0,28 0,649 2,500 3,149 0,006 -5,037 0,033
6 Aegitina thipia 1 2 0 3 2 0,84 1,948 5,000 6,948 0,019 -3,938 0,077
7 Pycnonotus aurigaster 5 2 2 9 3 2,51 5,844 7,500 13,344 0,058 -2,840 0,166
8 Parus major 1 3 0 4 2 1,11 2,597 5,000 7,597 0,026 -3,651 0,095
9 Gerygone sulphurea 5 9 8 22 3 6,13 14,286 7,500 21,786 0,143 -1,946 0,278
10 Orthotomus sutorius 2 1 6 9 3 2,51 5,844 7,500 13,344 0,058 -2,840 0,166
11 Orthotomus ruficeps 1 4 8 13 3 3,62 8,442 7,500 15,942 0,084 -2,472 0,209
12 Prinia familiaris 0 0 2 2 1 0,56 1,299 2,500 3,799 0,013 -4,344 0,056
13 Rhipidura Javanica 0 2 0 2 1 0,56 1,299 2,500 3,799 0,013 -4,344 0,056
14 Artamus leucorhyncus 0 0 1 1 1 0,28 0,649 2,500 3,149 0,006 -5,037 0,033
15 Anthreptes malacensis 5 7 0 12 2 3,34 7,792 5,000 12,792 0,078 -2,552 0,199
16 Cinnyris jugularis 1 3 4 8 3 2,23 5,195 7,500 12,695 0,052 -2,958 0,154
17 Dicaceum trochileum 4 6 10 20 3 5,57 12,987 7,500 20,487 0,130 -2,041 0,265
18 Zosterops palpebrosus 7 2 0 9 2 2,51 5,844 5,000 10,844 0,058 -2,840 0,166
19 Passer montanus 5 3 0 8 2 2,23 5,195 5,000 10,195 0,052 -2,958 0,154
20 Lonchura punctulata 0 0 15 15 1 4,18 9,740 2,500 12,240 0,097 -2,329 0,227
154 40 42,90 100,000 100,000 200,000 1,000 -67,619 2,694
83
No Jenis Burung titik sampling
total frekuensi Di (%) Kr Fr NP pi Ln pi H' 1 2 3
1 Streptopelia cinensis 3 4 2 9 3 2,51 7,826 9,375 17,201 0,078 -2,548 0,199
2 Colocalia linchi 2 4 3 9 3 2,51 7,826 9,375 17,201 0,078 -2,548 0,199
3 Apus affinis 1 2 5 8 3 2,23 6,957 9,375 16,332 0,070 -2,665 0,185
4 Dendrocopos moluccensis 0 0 1 1 1 0,28 0,870 3,125 3,995 0,009 -4,745 0,041
5 Hirundo tahitica 4 3 3 10 3 2,79 8,696 9,375 18,071 0,087 -2,442 0,212
6 Pycnonotus goiavier 1 9 0 10 2 2,79 8,696 6,250 14,946 0,087 -2,442 0,212
7 Pycnonotus aurigaster 6 11 5 22 3 6,13 19,130 9,375 28,505 0,191 -1,654 0,316
8 Gerygone sulphurea 4 3 0 7 2 1,95 6,087 6,250 12,337 0,061 -2,799 0,170
9 Anthreptes malacensis 0 2 5 7 2 1,95 6,087 6,250 12,337 0,061 -2,799 0,170
10 Cinnyris jugularis 2 2 0 4 2 1,11 3,478 6,250 9,728 0,035 -3,359 0,117
11 Dicaceum trochileum 5 8 2 15 3 4,18 13,043 9,375 22,418 0,130 -2,037 0,266
12 Zosterops palpebrosus 0 2 0 2 1 0,56 1,739 3,125 4,864 0,017 -4,052 0,070
13 Passer montanus 4 0 3 7 2 1,95 6,087 6,250 12,337 0,061 -2,799 0,170
14 Lonchura leucogastroides 2 2 0 4 2 1,11 3,478 6,250 9,728 0,035 -3,359 0,117
115 32 32,03 100,000 100,000 200,000 1,000 -40,247 2,448
Lampiran 2. Nilai Indeks dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’) di
Jalur Hijau Raden Inten
84
No Jenis Burung titik sampling
total frekuensi D (%) Kr Fr NP pi Ln pi H' 1 2 3
1 Colocalia linchi 3 1 0 4 2 1,11 4,444 8,333 12,778 0,044 -3,114 0,138
2 Apus affinis 3 0 2 5 2 1,39 5,556 8,333 13,889 0,056 -2,890 0,161
3 Hirundo tahitica 4 2 4 10 3 2,79 11,111 12,500 23,611 0,111 -2,197 0,244
4 Pycnonotus aurigaster 3 10 7 20 3 5,57 22,222 12,500 34,722 0,222 -1,504 0,334
5 Gerygone sulphurea 2 2 1 5 3 1,39 5,556 12,500 18,056 0,056 -2,890 0,161
6 Orthotomus ruficeps 1 0 0 1 1 0,28 1,111 4,167 5,278 0,011 -4,500 0,050
7 Anthreptes malacensis 1 2 0 3 2 0,84 3,333 8,333 11,667 0,033 -3,401 0,113
8 Dicaceum trochileum 3 2 3 8 3 2,23 8,889 12,500 21,389 0,089 -2,420 0,215
9 Artamus leucorhyncus 1 0 2 3 2 0,4 3,333 8,333 11,667 0,033 -3,401 0,113
10 Passer montanus 17 10 4 31 3 8,64 34,444 12,500 46,944 0,344 -1,066 0,367
90 24 25,07 100,000 100,000 200,000 1,000 -27,384 1,897
Lampiran 3. Nilai Indeks dominansi (Di), Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Burung (H’) di
Jalur Hijau I Gusti Ngurah Rai
85
Lampiran 4. Nilai Indeks, Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di
Jalur Hijau Halim Perdana Kusuma
no Jenis Tumbuhan Titik Sampling
total frekuensi Kr Fr NP pi Log pi H' 1 2 3
1 Ficus benjamina 2 0 1 3 2 3,26 11,11 14,37 0,033 -1,49 0,048
2 Mimusops elengi 12 25 7 44 3 47,83 16,67 64,49 0,478 -0,32 0,153
3 Bauhinia purpurea 4 0 0 4 1 4,35 5,56 9,90 0,043 -1,36 0,059
4 Erythrina crista 2 4 0 6 2 6,52 11,11 17,63 0,065 -1,19 0,077
5 Pterocarpus indicus 2 0 0 2 1 2,17 5,56 7,73 0,022 -1,66 0,036
6 Leucaena leucocephala 0 0 2 2 1 2,17 5,56 7,73 0,022 -1,66 0,036
7 Thuja orientalis 5 9 7 21 3 22,83 16,67 39,49 0,228 -0,64 0,146
8 Acacia auriculiformis 1 0 1 2 2 2,17 11,11 13,29 0,022 -1,66 0,036
9 Morinda citrifolia 0 0 2 2 1 2,17 5,56 7,73 0,022 -1,66 0,036
10 Gliricidia sepium 1 0 0 1 1 1,09 5,56 6,64 0,011 -1,96 0,021
11 Bambusa sp 0 5 0 5 1 5,43 5,56 10,99 0,054 -1,26 0,069
92 18 100,00 100,00 200,00 1,000 -14,88 0,719
86
no Jenis Tumbuhan Titik Sampling
total frekuensi Kr Fr NP pi Log pi H' 1 2 3
1 Swietenia mahagoni 6 9 5 20 3 30,77 25,00 55,77 0,308 -0,51 0,158
2 Ficus benjamina 1 5 7 13 2 20,00 16,67 36,67 0,200 -0,70 0,140
3 Callistemon lanceolatus 3 5 5 13 3 20,00 25,00 45,00 0,200 -0,70 0,140
4 Pterocarpus indicus 0 2 0 2 1 3,08 8,33 11,41 0,031 -1,51 0,047
5 Thespasia sp. 12 3 2 17 3 26,15 25,00 51,15 0,262 -0,58 0,152
65 12 100,00 100,00 200,00 1,000 -4,00 0,484
Lampiran 5. Nilai Indeks, Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di
Jalur Hijau Raden Inten
87
no Jenis Tumbuhan Titik Sampling
total frekuensi Kr Fr NP pi Log pi H' 1 2 3
1 Albizia saman 3 6 7 16 3 27,59 18,75 46,34 0,276 -0,56 0,154
2 Swietenia mahagoni 1 0 3 4 3 6,90 18,75 25,65 0,069 -1,16 0,080
3 Pterocarpus indicus 3 1 0 4 2 6,90 12,50 19,40 0,069 -1,16 0,080
4 Tabebuia chrysotricha 7 5 0 12 2 20,69 12,50 33,19 0,207 -0,68 0,142
5 Cassia siamea 6 2 0 8 1 13,79 6,25 20,04 0,138 -0,86 0,119
6 Cerbera manghas 0 3 5 8 2 13,79 12,50 26,29 0,138 -0,86 0,119
7 Oreodoxa regia 0 1 0 1 1 1,72 6,25 7,97 0,017 -1,76 0,030
8 Erythrina crista 0 4 0 4 1 6,90 6,25 13,15 0,069 -1,16 0,080
9 Mimusops elengi 0 1 0 1 1 1,72 6,25 7,97 0,017 -1,76 0,030
58 16 100,00 100,00 200,00 1,000 -9,98 0,834
Lampiran 6. Nilai Indeks, Kelimpahan (Kr), Frekuensi (Fr), Nilai Penting (NP), dan Indeks Keanekaragaman Tumbuhan (H’) di
Jalur Hijau I Gusti Ngurah Rai