pengaruh penggunaan campuran bahan bakar

10
PENGARUH PENGGUNAAN CAMPURAN BAHAN BAKAR PERTALITE DENGAN KAPUR BARUS TERHADAP EMISI GAS BUANG PADA MOBIL TOYOTA AVANZA VVT-i TAHUN 2010 Daniel Chrystiawan Mangontan 1 , Amin Nur Akhmadi 2 , M. Taufik Qurohman 3 Email : [email protected] D3 Teknik Mesin, Politeknik Harapan Bersama Tegal, Jl. Dewi Sartika No. 71 Kota Tegal ABSTRAK Perkembangan jumlah kendaraan yang semakin meningkat, mendorong masyarakat untuk mempelajari tentang komponen- komponen pada mesin. Salah satunya sistem kontrol elektronik pada mobil yaitu EFI (Electronik Fuel Injector) adalah suatu sistem penyemprotan bahan bakar yang dalam kerjanya dikontrol secara elektronik oleh ECU (Electronik Control Unit) agar didapatkan nilai campuran udara dan bahan bakar sesuai kebutuhan motor bakar. Penelitian ini menggunakan mesin Toyota Avanza VVT˗i tahun 2010 menggunakan bahan bakar pertalite dan bahan bakar pertalite yang dicampur dengan kapur barus dengan perbandingan 1 gram kapur barus untuk 1 liter bahan bakar. Menggunakan variasi putaran mesin 1.000 rpm, 1.500 rpm, 2.000 rpm, dan 2.500 rpm, menghasilkan emisi gas buang berupa emisi CO, emisi CO2, emisi O2, dan emisi HC. Hasil penelitian menunjukan terjadinya penurunan emisi CO dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO dengan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi CO tertinggi pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 0,054% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 0,01%. Terjadinya penurunan emisi CO2 dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO2 menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi CO2 tertinggi pada putaran mesin 1.500 rpm sebesar 0,433% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 0,63%. Terjadi penurunan emisi O2 dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi O2 menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi O2 tertinggi pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 8,304% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 0,353%. Terjadi penurunan emisi HC dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi HC menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi HC tertinggi pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 34,36% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 2,83%. Dengan demikian penggunaan campuran bahan bakar pertalite dan kapur barus menghasilkan emisi gas buang paling rendah, dibandingkan menggunakan bahan bakar pertalite. Kata kunci : Emisi gas buang, variasi putaran mesin, pertalite, kapur barus. A. Pendahuluan Banyaknya kebutuhan angkut barang maupun manusia saat ini mengakibatkan perusahaan transportasi berlomba-lomba memproduksi alat tranportasi baru baik transportasi darat, laut, maupun udara. Semakin banyak alat transportasi, maka akan menimbulkan semakin banyak pula gas buang kendaraan tersebut dan menyebabkan polusi udara. Semakin ketatnya regulasi emisi, memaksa produsen harus memperkecil kapasitas mesin dan meningkatkan efisiensi kerjanya [1]. B. Landasan Teori 1. Pengertian EFI EFI (Electronic Fuel Injection) adalah sebuah sistem penyemprotan bahan bakar yang dalam kerjanya dikontrol secara elektronik agar didapatkan nilai campuran udara dan bahan bakar selalu sesuai dengan kebutuhan motor bakar, maka proses pembakaran yang terjadi diruang bakar akan terjadi secara sempurna sehingga didapatkan daya motor yang optimal serta didapatkan gas buang yang ramah lingkungan. Proses

Upload: khangminh22

Post on 01-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGARUH PENGGUNAAN CAMPURAN BAHAN BAKAR PERTALITE DENGAN KAPUR BARUS TERHADAP EMISI GAS BUANG PADA MOBIL

TOYOTA AVANZA VVT-i TAHUN 2010

Daniel Chrystiawan Mangontan1, Amin Nur Akhmadi2, M. Taufik Qurohman3 Email : [email protected]

D3 Teknik Mesin, Politeknik Harapan Bersama Tegal, Jl. Dewi Sartika No. 71 Kota Tegal

ABSTRAK

Perkembangan jumlah kendaraan yang semakin meningkat, mendorong masyarakat untuk mempelajari tentang komponen- komponen pada mesin. Salah satunya sistem kontrol elektronik pada mobil yaitu EFI (Electronik Fuel Injector) adalah suatu sistem penyemprotan bahan bakar yang dalam kerjanya dikontrol secara elektronik oleh ECU (Electronik Control Unit) agar didapatkan nilai campuran udara dan bahan bakar sesuai kebutuhan motor bakar. Penelitian ini menggunakan mesin Toyota Avanza VVT ˗i tahun 2010 menggunakan bahan bakar pertalite dan bahan bakar pertalite yang dicampur dengan kapur barus dengan perbandingan 1 gram kapur barus untuk 1 liter bahan bakar. Menggunakan variasi putaran mesin 1.000 rpm, 1.500 rpm, 2.000 rpm, dan 2.500 rpm, menghasilkan emisi gas buang berupa emisi CO, emisi CO2, emisi O2, dan emisi HC. Hasil penelitian menunjukan terjadinya penurunan emisi CO dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO dengan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi CO tertinggi pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 0,054% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 0,01%. Terjadinya penurunan emisi CO2 dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO2 menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi CO2 tertinggi pada putaran mesin 1.500 rpm sebesar 0,433% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 0,63%. Terjadi penurunan emisi O2 dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi O2 menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi O2 tertinggi pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 8,304% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 0,353%. Terjadi penurunan emisi HC dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi HC menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi HC tertinggi pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 34,36% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 2,83%. Dengan demikian penggunaan campuran bahan bakar pertalite dan kapur barus menghasilkan emisi gas buang paling rendah, dibandingkan menggunakan bahan bakar pertalite.

Kata kunci : Emisi gas buang, variasi putaran mesin, pertalite, kapur barus. A. Pendahuluan Banyaknya kebutuhan angkut barang maupun manusia saat ini mengakibatkan perusahaan transportasi berlomba-lomba memproduksi alat tranportasi baru baik transportasi darat, laut, maupun udara. Semakin banyak alat transportasi, maka akan menimbulkan semakin banyak pula gas buang kendaraan tersebut dan menyebabkan polusi udara. Semakin ketatnya regulasi emisi, memaksa produsen harus memperkecil

kapasitas mesin dan meningkatkan efisiensi kerjanya [1]. B. Landasan Teori 1. Pengertian EFI EFI (Electronic Fuel Injection) adalah sebuah sistem penyemprotan bahan bakar yang dalam kerjanya dikontrol secara elektronik agar didapatkan nilai campuran udara dan bahan bakar selalu sesuai dengan kebutuhan motor bakar, maka proses pembakaran yang terjadi diruang bakar akan terjadi secara sempurna sehingga didapatkan daya motor yang optimal serta didapatkan gas buang yang ramah lingkungan. Proses

pemberian bahan bakar dari ECU (Electronic Control Unit) ke injector yang didasarkan pada signal-signal dari sensor-sensor antara lain sensor air flow meter, manifold absolute pressure, sensor putaran mesin, water temperature sensor, throttle position sensor dan lain - lain. EFI dipakai oleh merk Toyota, sedangkan merk lain mempunyai nama yang berbeda, yakni : PGMFI/ Honda (Programed Fuel Injection), EPI/ Suzuki (Electronic Petrol Injection), EGI/ Mazda (Electronic Gasoline Injection), Jetronik (Bosch), Multec/ General Motor (Multi Technology) dan lain-lain akan tetapi prinsip dari semua sistem tersebut adalah sama [2].

3. Pengertian VVT-I (Variable Valve Timing - Intelligent)

Sistem teknologi VVT-i (Variable Valve Timing - Intelligent) merupakan serangkaian peranti untuk mengontrol penggerak camshaft yang diperkenalkan pada tahun 1996. Pada teknologi VVT-i ini bagian yang divariasikan adalah timing (waktu buka- tutup) intake valve dengan mengubah atau menggeser posisi intake camshaft terhadap puli camshaft drive. Fluida yang digunakan sebagai aktuator untuk menggeser posisi camshaft adalah oli mesin yang diberikan tekanan [3].

4. Kapur Barus

Kapur barus mengandung zat naftalena yang merupakan salah satu senyawa aromatik, dimana sebutir kapur barus biasanya mengandung 250-500 mg naftalena. Senyawa ini bersifat volatil, mudah menguap walau dalam bentuk padatan. Uap yang dihasilkan bersifat mudah terbakar [4]. Naphtalene merupakan suatu larutan kimia yang memberikan pengaruh positif untuk meningkatkan angka oktan dari bensin. Besarnya angka oktan ini dapat diukur dengan mesin CFR. Naphtalene yang sebenarnya merupakan produk untuk menghilangkan bau busuk, anti jamur dan pencegah serangga, ternyata juga memberikan dampak positif untuk peningkatan angka oktan dari bensin. Naphtalene merupakan rangkaian hidrokarbon jenis aromatik, bahkan dapat disebut polyaromatik dengan struktur kimia berbentuk

cincin benzena yang bersekutu dalam satu ikatan atau dua orto lingkaran benzena dimana pada proses penggabungan tersebut kehilangan 2 atom C dan 4 atom H sehingga rumus kimiannya menjadi C 10 H 8 [5]. Secara fisik, naphtalene merupakan zat yang berbentuk keping kristal, mudah menguap dan menyublim serta tak berwarna, umumnya berasal dari minyak bumi atau batu bara. Karena bentuk struktur kimia naphtalene serta sifat kearomatisan tersebut maka naphtalene seperti halnya benzena, mempunyai sifat antiknock yang baik. Oleh sebab itu penambahan naphtalene pada bensin akan meningkatkan mutu antiknock dari bensin tersebut . 5. Bahan Bakar Pertalite Pertalite merupakan BBM baru yang diluncurkan Pertamina di akhir Juli untuk memenuhi Surat Keputusan Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 313 Tahun 2013 tentang Spesifikasi BBM RON 90. Dari sisi teknologi, sebenarnya kendaraan roda empat di Indonesia rata-rata bisa mengonsumsi BBM RON 90-92. Beberapa keunggulan pertalite versi Pertamina adalah [6].

1. Lebih bersih ketimbang premium karena

memiliki RON di atas 88, dibanderol dengan harga lebih murah dari pertamax, dan miliki warna hijau dengan penampilan visual jernih dan terang.

2. Tidak ada kandungan timbal serta memiliki kandungan sulfur maksimal 0,05 persen m/m atau setara dengan 500 ppm.

5. Emisi Gas Buang Emisi gas buang kendaraan adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar di dalam mesin kendaraan yang dikeluarkan melalui sistem pembuangan mesin, sedangkan proses pembakaran adalah reaksi kimia antara oksigen di dalam udara dengan senyawa hidrokarbon di dalam bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Dalam reaksi yang sempurna, maka sisa hasil pembakaran adalah berupa gas buang yang mengandung karbondioksida (CO2), uap air

(H2O), Oksigen (O2) dan Nitrogen (N2). Dalam prakteknya, pembakaran yang terjadi di dalam mesin kendaraan tidak selalu berjalan sempurna sehingga di dalam gas buang mengandung senyawa berbahaya seperti karbonmonoksida (CO), hidrokarbon (HC), Nitrogenoksida (NOx) dan partikulat. Di samping itu untuk bahan bakar yang mengandung timbal dan sulfur, hasil pembakaran di dalam mesin kendaraan juga akan menghasilkan gas buang yang mengandung sulfurdioksida (SO2) dan logam berat (Pb) [7]. 1. Hidrokarbon (HC)

Bensin adalah senyawa hidrokarbon, jadi setiap HC yang didapat di gas buang kendaraan menunjukkan adanya bensin yang tidak terbakar dan terbuang bersama sisa pembakaran. Apabila suatu senyawa hidrokarbon terbakar sempurna (bereaksi dengan oksigen) maka hasil reaksi pembakaran tersebut adalah karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Walaupun rasio perbandingan antara udara dan bensin (AFR=Air-to-Fuel-Ratio) sudah tepat dan didukung oleh desain ruang bakar mesin saat ini yang sudah mendekati ideal, tetapi tetap saja sebagian dari bensin seolah-olah tetap dapat “bersembunyi” dari api saat terjadi proses pembakaran dan menyebabkan emisi HC pada ujung knalpot cukup tinggi.

2. Karbon Monoksida (CO)

Gas karbon monoksida adalah gas yang relative tidak stabil dan cenderung bereaksi dengan unsur lain. Karbon monoksida, dapat diubah dengan mudah menjadi CO2 dengan bantuan sedikit oksigen dan panas. Saat mesin bekerja dengan AFR yang tepat, emisi CO pada ujung knalpot berkisar 0.5% sampai 1% untuk mesin yang dilengkapi dengan sistem injeksi atau sekitar 2.5% untuk mesin yang masih menggunakan karburator. Dengan bantuan air injection sistem atau CC, maka CO dapat dibuat serendah mungkin mendekati 0%.

3. Karbon Dioksida (CO2) Konsentrasi CO2 menunjukkan secara langsung status proses pembakaran di ruang bakar. Semakin tinggi maka semakin baik. Saat

AFR berada di angka ideal, emisi CO2 berkisar antara 12% sampai 15%. Apabila AFR terlalu kurus atau terlalu kaya, maka emisi CO2 akan turun secara drastis. Apabila CO2 berada dibawah 12%, maka kita harus melihat emisi lainnya yang menunjukkan apakah AFR terlalu kaya atau terlalu kurus. Perlu diingat bahwa sumber dari CO2 ini hanya ruang bakar dan CC. Apabila CO2 terlalu rendah tapi CO dan HC normal, menunjukkan adanya kebocoran exhaust pipe. 4. Karbon Dioksida (CO2) Konsentrasi CO2 menunjukkan secara langsung status proses pembakaran di ruang bakar. Semakin tinggi maka semakin baik. Saat AFR berada di angka ideal, emisi CO2 berkisar antara 12% sampai 15%. Apabila AFR terlalu kurus atau terlalu kaya, maka emisi CO2 akan turun secara drastis. Apabila CO2 berada dibawah 12%, maka kita harus melihat emisi lainnya yang menunjukkan apakah AFR terlalu kaya atau terlalu kurus. Perlu diingat bahwa sumber dari CO2 ini hanya ruang bakar dan CC. Apabila CO2 terlalu rendah tapi CO dan HC normal, menunjukkan adanya kebocoran exhaust pipe. B. Metodeologi Penelitian 1. Diagram Alur Penelitian

Gambar 1. Diagram alur penelitian

2. Alat Dan Bahan a. Alat Pada pengujian emisi gas buang alat uji yang digunakan adalah : 1. Gas Analyzer Gas Analyzer digunakan untuk mengukur kadar emisi gas buang, terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Gas Analyzer

2. Gelas Ukur Gelas ukur pada penelitian ini digunakan untuk mengukur volume bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus, terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Gelas ukur.

3. Timbangan Digital Timbangan digital digunakan untuk menimbang kapur barus yang akan dicampurkan ke bahan bakar, terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Timbangan Digital.

4. Scanner

Scanner digunakan untuk melihat temperatur mesin saat mesin bekerja, terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Scanner

b. Bahan 1. Engine Stand Engine stand menggunakan mesin mobil Toyota Avanza VVT-i tahun 2010, terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Engine Stand

2. Bahan Bakar Pertamax

Bahan bakar pertalite pada penelitian ini digunakan sebagai bahan bakar pada mesin Toyota Avanza VVT-I tahun 2010 untuk mengetahui emisi gas buangnya, terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Bahan Bakar Pertalite.

3. Kapur Barus

Kapur barus digunakan sebagai campuran bahan bakar pertamax pada mesin Toyota Avanza VVT-I tahun 2010 untuk mengetahui emisi gas buangnya,terlihat pada Gambar.8.

Gambar 8. Kapur Barus

3. Metode Pengumpulan Data Metode Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode, yaitu : a. Metode Literatur Pada metode ini penulis melakukan pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data-data dari internet, baik buku refrensi maupun jurnal-jurnal yang relevan terkait dengan topik penelitian yang di bahas. b. Metode Interview Pada metode ini penulias melakukan pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan keterangan atau pendirian responden melalui tanya jawab langsung dosen pembimbing. c. Metode Eksperimen Pada metode ini penulis melakukan pengumpulan data dengan cara melakukan percobaan dengan mengalami untuk membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. 4. Variabel Penelitian Variabel penelitian yang digunakan pada pengujian emisi gas buang, yaitu : a. Variabel Bebas Variabel bebas penelitian yaitu penggunaan bahan bakar Pertalite dan campuran bahan bakar Pertalite dengan kapur barus sebanyak 1 gram untuk 1 liter bahan bakar dengan variasi putaran mesin 1.000 rpm, 1.500 rpm, 2.000 rpm, dan 2.500 rpm. b. Variabel Terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah emisi gas buang CO, CO2, O2, dan HC.

c. Variabel Kontrol Variabel kontrol dalam penelitian ini yaitu temperatur mesin 93˚C, temperatur ruangan 30˚C, oli mesin menggunakan oli pertamina mesran super SAE 20W-50, dan menggunakan tipe busi standar Denso K20PR-011 dengan celah busi 0,8 mm. D. Hasil Dan Pembahasan 1. Data dan analisa hasil pengujian emisi CO (Karbon Monoksida) Pengujian emisi CO dilakukan menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dengan variasi putaran mesin 1.000 rpm, 1.500 rpm, 2.000 rpm, dan 2.500 rpm dengan temperatur mesin 93°C dan temperatur ruangan 30°C pada mesin tanpa beban. Hasil pengujian akan dibandingkan untuk mengetahui penurunan atau peningkatan emisi CO yang terjadi. Tabel 1 menunjukkan hasil emisi CO dengan variasi putaran mesin menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus. Sedangkan Gambar 1 menunjukkan hasil emisi CO dengan variasi putaran mesin menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus.

Tabel 1 Hasil pengujian emisi CO bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus menggunakan variasi putaran mesin.

Gambar 9. Hasil pengujian emisi CO bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus menggunakan variasi putaran mesin. Analisa hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan emisi CO menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO menggunakan bahan bakar pertalite pada setiap kenaikan putaran mesin. Penurunan emisi CO tertinggi menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO bahan bakar pertalite pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 0,054% sedangkan penurunan emisi CO terendah menggunakan bahan bakar campuran pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO bahan bakar pertalite pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 0,01%. 2. Data dan analisa hasil pengujian emisi CO2 ( Karbon Dioksida ) Pengujian emisi CO2 dilakukan menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dengan variasi putaran mesin 1.000 rpm, 1.500 rpm, 2.000 rpm, dan 2.500 rpm dengan temperatur mesin 93°C dan temperatur ruangan 30°C pada mesin tanpa beban. Hasil pengujian akan dibandingkan untuk mengetahui penurunan atau peningkatan emisi CO2 yang terjadi. Tabel 2 menunjukkan hasil emisi CO2

dengan variasi putaran mesin menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus. Sedangkan Gambar 2 menunjukkan hasil emisi CO2

dengan variasi putaran mesin menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus. Tabel 2 Hasil pengujian emisi CO2 bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus menggunakan variasi putaran mesin.

Gambar 10 Hasil pengujian emisi CO2 bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus menggunakan variasi putaran mesin. Analisa hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan emisi CO2 menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO2 menggunakan bahan bakar pertalite pada setiap kenaikan putaran mesin. Penurunan emisi CO2 tertinggi menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO2 bahan bakar pertalite pada putaran mesin 1.500 rpm sebesar 0,433%, sedangkan penurunan emisi CO2 terendah menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO2 bahan bakar pertalite pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 0,63%. 3. Data dan analisa hasil pengujian emisi O2

( Oksigen ) Pengujian emisi O2 dilakukan menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dengan variasi putaran mesin 1.000 rpm, 1.500 rpm, 2.000 rpm, dan 2.500 rpm dengan temperatur mesin 93°C dan temperatur ruangan 30°C pada mesin tanpa beban. Hasil pengujian akan dibandingkan untuk mengetahui penurunan atau peningkatan emisi O2 yang terjadi.

Tabel 3 menunjukkan hasil emisi O2

dengan variasi putaran mesin menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus. Sedangkan Gambar 3 menunjukkan hasil emisi O2 dengan variasi putaran mesin menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus. Tabel 3 Hasil pengujian emisi O2 bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus menggunakan variasi putaran mesin.

Gambar 11 Hasil pengujian emisi O2 bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus menggunakan variasi putaran mesin. Analisa hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan emisi O2 menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi O2 menggunakan bahan bakar pertalite pada setiap kenaikan putaran mesin. Penurunan emisi O2 tertinggi menggunakan bahan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi O2 bahan bakar pertalite pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 8,304% sedangkan penurunan emisi O2 terendah menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi O2 bahan bakar pertalite pada putaran mesin 2.000 rpm sebesar 0,353%.

4. Data dan analisa hasil pengujian emisi HC ( Hidrokarbon ) Pengujian emisi HC dilakukan menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dengan variasi putaran mesin 1.000 rpm, 1.500 rpm, 2.000 rpm, dan 2.500 rpm dengan temperatur mesin 93°C dan temperatur ruangan 30°C pada mesin tanpa beban. Hasil pengujian akan dibandingkan untuk mengetahui penurunan atau peningkatan emisi HC yang terjadi. Tabel 4 menunjukkan hasil emisi HC

dengan variasi putaran mesin menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus. Sedangkan gambar 4 menunjukkan hasil emisi HC dengan variasi putaran mesin menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus. Tabel 4 Hasil pengujian emisi HC bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus menggunakan variasi putaran mesin.

Gambar 12 Hasil pengujian emisi HC bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus menggunakan variasi putaran mesin.

Analisa hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan emisi HC menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi HC menggunakan bahan bakar pertalite pada setiap kenaikan putaran mesin. Penurunan emisi HC tertinggi menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi HC bahan bakar pertalite pada putaran mesin 2.000 rpm sebesar 34,36% sedangkan penurunan emisi HC terendah menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi HC bahan bakar pertalite pada putaran mesin 2.000 rpm sebesar 2,83%. E. Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian pengujian emisi gas buang menggunakan bahan bakar pertalite dan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dengan variasi putaran mesin 1.000 rpm, 1.500 rpm, 2.000 rpm, dan 2.500 rpm pada mesin tanpa beban yaitu sebagai berikut : 1. Terjadi penurunan emisi CO dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi CO tertinggi pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 0,54% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 0,01%. 2. Terjadi penurunan emisi CO2 dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus dibanding emisi CO2 menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi CO2 tertinggi pada putaran mesin 1.500 rpm sebesar 0,433% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 0,63%. 3. Terjadi penurunan emisi O2 dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite dengan kapur barus di banding emisi O2 menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi O2 tertinggi pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 8,304% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 2.000 rpm sebesar 0,353%. 4. Terjadi penurunan emisi HC dengan menggunakan campuran bahan bakar pertalite

dengan kapur barus dibanding emisi HC menggunakan bahan bakar pertalite. Penurunan emisi HC tertinggi pada putaran mesin 2.500 rpm sebesar 34,36% dan penurunan emisi terendah pada putaran mesin 1.000 rpm sebesar 2,83%. Dengan demikian penggunaan campuran bahan bakar pertalite dan kapur barus menghasilkan emisi gas buang paling rendah, dibandingkan menggunakan bahan bakar pertalite. Daftar Pustaka [1] Novita Eka Jayanti, Mohamad Hakam, Indri Santiasih, 2014. "Emisi Gas Carbon Monoksida (CO) dan Hidrocarbon (HC) pada Rekayasa Jumlah Blade Turbo Ventilator Sepeda Motor “Supra X 125 Tahun 2006”. Jurnal ROTASI-Vol. 16, No. 2, (hlm: 1-6). Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Jl. Teknik Kimia Kampus ITS Keputihan Sukolilo Surabaya 60111. [2] Ruswid, 2008. ''Modul 4 Electronic Fuel Injection''. Sirampog : SMK Al Hikmah 01. [3]Tulus Burhanuddin Sitorus, 2009. ''Tinjauan Teoritis Performansi Mesin Berteknologi VVT-I''. Jurnal Dinamis Vol. I, No. 5, ISSN 0216 - 7492. Universitas Sumatera Utara. [4] Wahyudwi Prasetyo, 2015. " Kaji Eksperimental Unjuk Kerja Motor Bakar Bensin Berbahan Bakar Premium Dengan Campuran Naftalena Yang Terdapat Pada Kapur Barus". Jurnal Teknos, No. 27, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri Universitas Bung Hatta. [5] Rahardjo Tirtoatmodjo, 2000. ''Pengaruh Naphtalene Terhadap Perubahan Angka Oktan Bensin, Unjuk Kerja Motor dan Gas Buangnya''. Jurnal Teknik Mesin Vol. 2, No. 2, (hlm. 97-101). Dosen Fakultas Teknologi Industri Jurusan Teknik Mesin – Universitas Kristen Petra. [6] Anton Suhartono, 2015. ''Berikut Perbedaan Pertalite Dengan BBM Jenis Lain''. https://otomotif.okezone.com/read/2015/07/24/15/1184765/berikut- perbedaan-pertalite-dengan-bbm-jenis-lain, diakses pada 30 Mei 2020 pukul 10.00 wib.

[7] Joko Winarno, 2014. ''Studi Emisi Gas Buang Kendaraan Bermesin Bensin Pada Berbagai Merk Kendaraan dan Tahun Pembuatan''. Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra Jl. TR. Mataram No. 55 – 57 Yogyakarta 55231.