pendidikan matematika 3 prosiding snmpm universitas sebelas maret 2012 283 pengaruh penggunaan...

74
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 283 PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN DAN TEKNIK MOTIVASI TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMA Indra Martha Rusmana Program Studi Pendidikan Matematika FTMIPA Unindra PGRI Jakarta Jl. Nangka No. 58 C Tanjung Barat, Jagakarsa Jakarta Selatan [email protected] Abstrak Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui : 1) pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar matematika; 2) pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika; 3) pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan mengambil responden sebanyak 120 responden. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 SMA di Kabupaten Serang. Teknik pengolahan dan analisa data menggunakan Anova 2 arah. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPSS 13.0 for windows pada taraf signifikansi 0,05. Penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan utama, yaitu ; pertama, tidak terdapat pengaruh antara penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar matematika; keduaterdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika; ketiga tidak terdapat pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dengan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika siswa Implikasi dalam penelitian ini mencakup (1) penggunaan metode pembelajaran resitasi menjadikan hasil belajar matematika menjadi lebih baik daripada metode pembelajaran konvensional; (2) penggunaan teknik motivasi non verbal lebih berpengaruh dalam meningkatkan hasil belajar matematika; selain itu, (3) penggunaan metode pembelajaran resitasi dan teknik motivasi non verbal secara bersamaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar matematika. Kata Kunci : metode pembelajaran, teknik motivasi, hasil belajar matematika PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan mengembangkan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Hal ini diperkuat menurut Ruseffendi (1991: 260), yang menyatakan bahwa ”matematika timbul karena pikiran-pikiran yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran”. Matematika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari secara bertahap dan berkelanjutan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Suherman, dkk (2003: 22) bahwa “konsep- konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks”. Oleh karena kehierarkisan matematika tersebut, maka dalam belajar matematika harus dilakukan secara bertahap, berurutan disesuaikan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa dan berkelanjutan berdasarkan pada pengalaman yang lalu. Siswa tingkat sekolah menengah pertama (SMP) akan mempelajari konsep matematika berdasarkan pemahaman konsep matematika yang diperoleh di bangku sekolah dasar (SD), begitu pula siswa tingkat sekolah menengah atas (SMA) akan mempelajari konsep matematika berdasarkan konsep yang diperoleh di SMP.

Upload: undana

Post on 24-Jan-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

283

PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN DAN TEKNIK

MOTIVASI TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMA

Indra Martha Rusmana

Program Studi Pendidikan Matematika FTMIPA Unindra PGRI Jakarta

Jl. Nangka No. 58 C Tanjung Barat, Jagakarsa – Jakarta Selatan

[email protected]

Abstrak

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui : 1) pengaruh penggunaan metode

pembelajaran terhadap hasil belajar matematika; 2) pengaruh penggunaan teknik motivasi

terhadap hasil belajar matematika; 3) pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran

dan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika. Penelitian ini menggunakan metode

kuasi eksperimen dengan mengambil responden sebanyak 120 responden. Penelitian ini

dilaksanakan pada 2 SMA di Kabupaten Serang. Teknik pengolahan dan analisa data

menggunakan Anova 2 arah. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPSS 13.0 for

windows pada taraf signifikansi 0,05. Penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan utama, yaitu ;

pertama, tidak terdapat pengaruh antara penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil

belajar matematika; keduaterdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan teknik

motivasi terhadap hasil belajar matematika; ketiga tidak terdapat pengaruh interaksi

penggunaan metode pembelajaran dengan teknik motivasi terhadap hasil belajar

matematika siswa

Implikasi dalam penelitian ini mencakup (1) penggunaan metode pembelajaran resitasi

menjadikan hasil belajar matematika menjadi lebih baik daripada metode pembelajaran

konvensional; (2) penggunaan teknik motivasi non verbal lebih berpengaruh dalam

meningkatkan hasil belajar matematika; selain itu, (3) penggunaan metode pembelajaran

resitasi dan teknik motivasi non verbal secara bersamaan memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap hasil belajar matematika.

Kata Kunci : metode pembelajaran, teknik motivasi, hasil belajar matematika

PENDAHULUAN

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern,

mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan mengembangkan daya

pikir manusia. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan

penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Hal ini diperkuat menurut Ruseffendi (1991: 260),

yang menyatakan bahwa ”matematika timbul karena pikiran-pikiran yang berhubungan dengan

ide, proses dan penalaran”.

Matematika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari secara bertahap dan

berkelanjutan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Suherman, dkk (2003: 22) bahwa “konsep-

konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep

yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks”. Oleh karena kehierarkisan

matematika tersebut, maka dalam belajar matematika harus dilakukan secara bertahap,

berurutan disesuaikan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa dan berkelanjutan

berdasarkan pada pengalaman yang lalu. Siswa tingkat sekolah menengah pertama (SMP) akan

mempelajari konsep matematika berdasarkan pemahaman konsep matematika yang diperoleh di

bangku sekolah dasar (SD), begitu pula siswa tingkat sekolah menengah atas (SMA) akan

mempelajari konsep matematika berdasarkan konsep yang diperoleh di SMP.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

284

Kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari metode pembelajaran. Pemilihan

model/metode pembelajaran sangat menentukan keberhasilan belajar dalam hal ini

keberhasilan belajar siswa. Metode yang digunakan tidak sembarangan, melainkan sesuai

dengan tujuan pembelajaran (Djamarah dan Zaid, 2002: 177). Salah satu kenyataan yang

sering hadir pada pembelajaran matematika adalah bahwa pembelajaran matematika yang

dilaksanakan dewasa ini lebih cenderung pada pencapaian target materi atau sesuai isi materi

buku yang digunakan sebagai buku wajib dengan berorientasi pada soal-soal ujian nasional.

Akibatnya kecerdasanyang dimiliki oleh siswa tidak tergali dengan baik.

Berkenaan dengan hal di atas, Ruseffendi (1991: 157) menyatakan ”terdapat banyak anak

yang setelah belajar matematika bagian yang sederhana banyak yang tidak dipahaminya, bahkan

banyak konsep yang dipahami secara keliru, matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar,

ruwet dan banyak memperdayakan”. Hal ini membuktikan bahwa banyak anak yang mengalami

kesulitan belajar matematika disebabkan mereka bukan memahami konsepnya melainkan hanya

menghafalnya, sehingga dalam menerapkan suatu konsep matematika, mereka tidak dapat

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain konsep belajar yang keliru, pandangan siswa terhadap matematika sebagai ilmu

yang sukar dan ruwet juga karena di pengaruhi oleh motivasi belajar mereka yang rendah.

Ketika siswa merasa tidak dapat mengerjakan soal matematika, maka mereka akan berhenti

sampai di situ tanpa mau lagi berusaha mengerjakannya. Apalagi jika guru matematika diam

tidak memperhatikan siswa tersebut, maka akan terjadi rasa malas dan tidak berminat untuk

belajar matematika.

Walaupun matematika merupakan pelajaran yang berdaya guna tinggi, namun sebagian

besar siswa masih kurang termotivasi dalam belajar matematika. Mereka masih beranggapan

bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit, sukar, dan menegangkan. Hal ini didukung

dengan sebagian besar guru matematika yang berpenampilan kurang familiar atau terlalu serius,

selain itu kurang adanya teknik motivasi yang diberikan kepada siswa yang berkemampuan

kurang terhadap matematika.

Sehingga motivasi belajar siswa dalam mempelajari matematika kurang optimal dan

menjadikan hasil belajarnya menjadi rendah. Hasil belajar matematika siswa dipengaruhi oleh

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam

diri siswa itu sendiri, seperti; motivasi, kecerdasan logika-matematis, kecerdasan emosional,

rasa percaya diri, kemandirian, sikap dan lainnya. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor

yang berasal dari luar diri siswa, seperti ; sarana dan pra sarana, lingkungan, kurikulum, metode

mengajar, dan motivasi dari guru itu sendiri.

Dari kedua faktor tersebut, ternyata saling mendukung satu sama lain. Metode mengajar

dan guru menjadi faktor eksternal yang paling berpengaruh di dalam kelas. Jika metode yang

digunakan hanya mencatat, kemudian memberikan tugas tanpa diperiksa hasil pekerjaan siswa,

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

285

maka hasil belajar akan rendah. Begitu pula jika terdapat siswa yang kurang dalam pelajaran

matamatika, kemudian guru tersebut diam tanpa memberikan motivasi kepada siswa tersebut,

maka hasil belajar dan motivasi belajar siswa tersebut akan rendah. Selain itu, motivasi juga

biasanya berasal dari dalam diri siswa itu sendiri dengan belajar di rumah dan belajar di sekolah

yang dipandu oleh guru. Jika hasil belajar siswa rendah, maka guru dapat memberikan siswa

tersebut berupa hadiah agar mereka lebih semangat untuk belajar dan mencapai hasil yang

diinginkan.

Dengan demikian metode pembelajaran yang menarik dan teknik motivasi yang

dilakukan guru akan berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa. Oleh karena itu

metode pembelajaran dan teknik memotivasi diharapkan dapat merangsang kemampuan

berpikir siswa secara aktif dan kreatif, karena dapat memotivasi siswa dalam belajar sehingga

menghasilkan proses belajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat meningkatkan hasil

belajar siswa.

Keberhasilan proses belajar dan mengajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya

pemilihan metode/ model pembelajaran, minat siswa terhadap materi yang diajarkan dan

peranan guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswa serta motivasi dari siswa itu sendiri untuk

belajar dan memahami materi.

Pemilihan metode pembelajaran yang baik agar hasil yang optimal dapat diperoleh

merupakan suatu hal yang penting. Karena hal ini dapat memotivasi siswa untuk

mengembangkan pengetahuannya tanpa merasa bahwa materi yang diberikan oleh guru sangat

menyulitkan dan membosankan. Berdasarkan hal inilah, seorang pendidik dan pengajar harus

mampu memberikan motivasi yang besar kepada siswanya agar dapat menerima materi yang

disampaikan dengan baik. Pemilihan metode pembelajaran merupakan strategi guru dalam

proses pembelajaran matematika hendaklah dapat merangsang dan melibatkan siswa secara

aktif, baik secara fisik (psikomotor), intelektual (kognitif), dan emosionalnya (afektif).

Permasalahan-permasalahan di atas, yaitu kurangnya variasi dalam penggunaan metode

pembelajaran yang dilakukan guru dan kurangnya kreativitas guru dalam memotivasi siswa

untuk belajar serta rendahnya hasil belajar matematika juga dialami pada siswa SMA di wilayah

Kota Serang. Hal ini masih terlihat dari hasil belajar matematika siswa masih rendah jika

dibandingkan dengan pelajaran yang lain, baik dari hasil ulangan harian, ujian tengah semester,

ujian akhir semester, bahkan ujian akhir nasional.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan suatu kajian atau penelitian dengan judul “Pengaruh Penggunaan Metode

Pembelajaran dan Teknik Motivasi terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SMA”.

Eksperimen dilakukan pada siswa kelas X di SMA Islam Al-Fahmi dan SMA Nusantara Serang.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

286

KAJIAN TEORI

Belajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 729) definisi belajar yaitu ”usaha

memperoleh kepandaian atau ilmu tertentu dengan tergantung pada kekuatan harapan bahwa

tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik hasil itu bagi orang

bersangkutan”.

Sedangkan menurut Hamalik, O (2009: 27) belajar didefinisikan yaitu modifikasi atau

memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or

strengthening of behavior through experiencing).”

Berdasarkan teori dan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah

proses yang berkaitan dengan perubahan tingkah laku yang menetap pada pengetahuan

(kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor) yang didapatkan melalui dari

pengalaman yang dilalui atau latihan yang berulang-ulang.

Hasil Belajar Matematika

Hasil belajar merupakan puncak atau akhir dari suatu kegiatan belajar. Menurut Slameto

(2003: 3) menyatakan ”hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi secara

berkesinambungan dan tidak statis”

Belajar merupakan proses yang unik di mana banyak faktor yang mempengaruhi

keberhasilan belajar. Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu :

1. Faktor intern, yakni faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor

individual. Menurut Slameto faktor individual dibedakan menjadi tiga faktor, yaitu : “(1)

faktor jasmaniah, (2) faktor psikologis, dan (3) faktor kelelahan”.

2. Faktor ekstern, yakni faktor yang ada di luar siswa atau faktor sosial. Slameto

menjabarkan lagi faktor ini menjadi tiga faktor, yaitu “faktor keluarga, sekolah, dan

masyarakat.

Hasil belajar yang dicapai siswa melalui proses belajar mengajar yang optimal cenderung

menunjukan hasil yang berciri sebagai berikut:

1. Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi pada diri siswa

2. Menambah keyakinan akan kemampuan dirinya.

3. Hasil belajar yang dicapai bermakna bagi dirinya seperti akan tahan lama diingatannya,

membentuk prilakunya, bemanfat untuk mempelajarai aspek lain, dapat digunakan sebagai

alat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang lainya.

4. Kemampuan siswa untuk mengontrol atau menilai dan mengendalikan dirinya terutama

dalam menilai hasil yang dicapainya maupun menilai dan mengendalikan proses dan usaha

belajarnya

Berdasarkan pendapat-pendapat dan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil

belajar adalah puncak atau akhir dari kegiatan belajar yang menghasilkan perubahan tingkah

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

287

laku yang dapat dilihat dan diukur, yaitu berupa kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan

keterampilan (psikomotor) yang terjadi secara berkesinambungan dan bersifat dinamis.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang didapatkan dan dipelajari oleh

siswa mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah. Selain itu, matematika

merupakan ilmu pengetahuan yang penerapannya benar-benar sangat bermanfaat di dalam

kehidupan, mulai dari transaksi jual-beli di pasar, transaksi di bank sampai dengan program

pengiriman pesawat ke luar angkasa semuanya menggunakan matematika.

Ciri utama Matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau

pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan

antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten.

Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif

melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk

mempelajari konsep Matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta

yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru

yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar

induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari

Matematika.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar

matematika adalah pengetahuan atau keterampilan yang dikuasai dan dimiliki oleh siswa setelah

menerima pengalaman belajar matematika di sekolah dan hasilnya dapat berupa pengetahuan,

pemahaman konsep, perhitungan dan pemecahan masalah yang dapat dituliskan berupa nilai

(angka atau huruf) atas suatu tes tertentu.

Metode Pembelajaran Resitasi

Dalam proses belajar mengajar, agar siswa dapat belajar dengan baik sesuai dengan

tujuan yang diharapkan, maka guru harus memiliki keterampilan, yaitu dengan menguasai

metode mengajar. Metode mengajar merupakan salah satu cara yang digunakan guru

mengadakan interaksi dengan siswa, pada saat berlangsungnya pengajaran. Salah satu metode

mengajar yang digunakan ialah metode Resitasi (penugasan), di mana metode ini adalah

penyajian bahan dimana guru memberi tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.

Tugas tersebut dapat dilaksanakan di kelas, luar sekolah, di laboratorium, di perpustakaan atau

di mana saja (Djamarah, 1995:96).

Kegiatan interaksi belajar harus selalu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Selama

dalam lingkungan sekolah, siswa memiliki beragam aktifitas yang dilaksanakan oleh sekolah,

sehingga menyita banyak waktu siswa untuk mempelajari materi yang telah diberikan oleh guru.

Untuk mengatasi hal tersebut, guru diharapkan memberikan tugas-tugas yang dapat

dikerjakan oleh siswa di luar jam pelajaran sekolah, hal ini dikarenakan jumlah jam untuk setiap

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

288

mata pelajaran di sekolah dibatasi hanya 45 menit (untuk siswa SMA), hal ini tidak akan

mencukupi tuntutan kurikulum akan tuntasnya materi yang disediakan di dalam kurikulum.

Dalam pemberian tugas ini, guru diharapkan dapat membahas dan mengecek tugas yang

telah diberikan pada pertemuan selanjutnya, sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam

mengerjakan tugas yang diberikan pada kegiatan selanjutnya. Selain dibahas dan dicek, tugas

yang diberikan oleh guru hendaknya dievaluasi dan diberi nilai sesuai dengan kemampuannya.

Sistem pemberian tugas semacam inilah yang disebut dengan resitasi.

Selain itu, metode resitasi sering disebut juga metode pemberian tugas yaitu guru

memberikan seperangkat tugas kepada siswa untuk dipelajari atau untuk dikerjakan baik secara

individu maupun kelompok dan disusun berupa laporan atau resume kemudian hasilnya

didiskusikan di kelas atau dibahas.

Metode resitasi biasanya digunakan dengan tujuan agar siswa memiliki hasil belajar yang

lebih mantap, karena siswa melaksanakan latihan-latihan selama melakukan tugas, sehingga

pengalaman siswa dalam mempelajari materi lebih terintegrasi (Rostiyah, 2001:133). Dengan

melaksanakan tugas siswa menjadi aktif belajar dan terangsang untuk meningkatkan belajar

yang lebih baik, memupuk inisiatif dan berani bertanggung jawab.

Metode resitasi ini dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri

dan mendidik siswa untuk bertanggung jawab dalam melaksakan tugas, sehingga baik disadari

maupun tidak siswa mampu bekerja atau belajar sendiri tanpa disuruh.

Menurut Djamarah (1995:97) Langkah-langkah yang harus digunakan dalam metode

Resitasi, yaitu:

a. Fase pemberian tugas

Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan

1) kemampuan siswa;

2) tujuan yang akan dicapai;

3) jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan;

4) ada petunjuk/ sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa; dan

5) sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut.

b. Fase pelaksanaan tugas

1) diberikan bimbingan / pengawasan oleh guru

2) diberikan dorongan sehingga siswa mau bekerja

3) diusahakan / dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain

4) dianjurkan siswa mencatat hasil-hasil yang ia peroleh dengan baik dan sistematik.

c. Fase pertanggungjawaban tugas

1) laporan siswa baik tulis/ lisan dari apa yang telah dikerjakan

2) ada tanya jawab/ diskusi kelas

3) penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun nontes atau cara lain.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

289

Pada fase pertanggung jawaban tugas inilah yang disebut Resitasi.

Motivasi Belajar

Seseorang akan berhasil dalam belajar, jika pada dirinya sendiri ada keinginan untuk

belajar. Inilah prinsip dan hukum pertama dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran.

Keinginan atau dorongan inilah yang disebut dengan motivasi. Motivasi dalam hal ini meliputi

dua hal : (1) mengetahui apa yang akan dipelajari ; dan (2) memahami mengapa hal tersebut

patut dipelajari. Dengan berpijak pada kedua unsur motivasi inilah sebagai dasar permulaan

yang baik untuk belajar. Sebab tanpa motivasi (tidak mengerti apa yang akan dipelajari dan

tidak memahami mengapa hal itu perlu dipelajari) kegiatan belajar mengajar sulit untuk berhasil

(M., Sardiman A. 2007 : 40).

Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu ; (1) Kebutuhan, (2) Dorongan dan (3)

Tujuan. Kebutuhan terjadi apabila individu merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang ia

miliki dan ia harapkan. Sedangkan, dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan

kegiatan dalam rangka memenuhi harapan/ kebutuhan tersebut. Selain itu, dorongan pun

merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian tujuan.

Dorongan yang berorientasi pada tujuan tersebut merupakan inti dari motivasi.

Para pakar humanistik menitikberatkan pentingnya motivasi dari dalam diri sendiri (self

motivation), mereka menganjurkan agar para guru mendorong berkembangnya rasa ingin tahu

dan minat siswa dalam belajar. Sedangkan para pakar behavioristik menekankan pula

pentingnya persekitaran dalam menciptakan kondisi yang memotivasi siswa.

Mereka menganjurkan agar para guru mengaitkan belajar dengan rangsangan yang

menimbulkan perasaan senang dan membentuk tingkah laku siswa melalui pemberian hadiah

atau hal lainnya, ini berarti seorang guru harus mengetahui teknik motivasi agar siswa dapat

termotivasi dalam belajar.

Dilihat dari jenisnya, terdapat dua jenis motivasi, yaitu motivasi instrinsik (motivasi yang

berasal dari dalam diri seseorang) dan motivasi ekstrinsik (motivasi yang datangnya dari luar).

Untuk meningkatkan motivasi instrinsik siswa, seorang guru hendaknya mampu memberikan

motivasi yang sifatnya dari luar diri siswa tersebut, sehingga mampu membangkitkan minat dan

perhatian siswa selama pembelajaran berlangsung.

Selain itu, seorang guru harus mampu mengarahkan siswanya untuk mau mengulang dan

mempelajari kembali di rumah terhadap materi-materi yang telah disampaikan di sekolah.

Mengingat demikian pentingnya motivasi belajar yang harus dimiliki oleh siswa, maka seorang

guru diharapkan mampu membangkitkan motivasi siswa dalam belajar. Sebagaimana yang

dikatakan Hakim dalam Rusmana, Indra M., (2009);

”Cara membangkitkan motif-motif ekstrinsik itu dapat dilakukan dengan

memiliki berbagai keinginan yang perlu dimiliki untuk membangkitkan

motivasi belajar, diantaranya sebagai berikut:

a. Keinginan untuk mendapat nilai ujian yang baik

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

290

b. Keinginan untuk menjadi juara kelas

c. Keinginan menjaga harga diri atau gengsi

d. Keinginan menjadi siswa teladan

e. Keinginan untuk menang bersaing

f. Keinginan untuk dikagumi, karena menjadi seseorang yang berprestasi

g. Keinginan untuk menutupi kekurangan diri dengan berprestasi tinggi

h. Keinginan untuk melaksanakan anjuran dari orang lain”

Selain itu, menurut Uno, Hamzah B. (2007:34), beberapa teknik motivasi yang dapat

dilakukan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Pernyataan penghargaan secara verbal.

b. Menggunakan nilai ulangan sebagai pemacu keberhasilan.

c. Menimbulkan rasa ingin tahu.

d. Memunculkan sesuatu yang tidak diduga oleh siswa.

e. Menjadikan tahap dini dalam belajar mudah bagi siswa.

f. Menggunakan materi yang dikenal sebagai contoh dalam belajar.

g. Gunakan kaitan yang unik dan tak terduga untuk menerapkan suatu konsep dan prinsip

yang telah dipahami.

h. Menuntut siswa untuk menggunakan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya.

i. Menggunakan simulasi dan permainan.

j. Memberi kesempatan kepada siswa untuk memperlihatkan kemahirannya di depan

umum.

k. Mengurangi akibat yang tidak menyenangkan dan keterlibatan siswa dalam belajar.

l. Memahami iklim sosial dalam sekolah.

m. Memanfaatkan kewibawaan guru secara tepat.

n. Memperpadukan motif-motif yang kuat.

o. Memperjelas tujuan belajar yang hendak dicapai.

p. Merumuskan tujuan-tujuan sementara.

q. Memberitahukan hasil kerja yang telah dicapai.

r. Membuat suasana persaingan yang sehat diantara para siswa.

s. Mengembangkan persaingan dengan diri sendiri.

t. Memberikan contoh yang positif.

Pernyataan seperti ”Bagus Sekali”, ”Hebat”, ”Menakjubkan” di samping akan

menyenangkan siswa, pernyataan verbal seperti itu juga mengandung makna interaksi dan

pengalaman pribadi yang langsung antara siswa dan guru, dan penyampaiannya konkret,

sehingga merupakan suatu persetujuan pengakuan sosial, apalagi kalau penghargaan verbal itu

diberikan di depan orang banyak.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fakta empiris dan menganalisis tentang :

1. Pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar matematika.

2. Pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika.

3. Pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi terhadap hasil

belajar matematika.

Jenis Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan metode eksperimen, yaitu dengan memberikan jenis

perlakuan yang berbeda pada dua kelompok belajar siswa. Satu kelompok dijadikan sebagai

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

291

kelompok eksperimen, yaitu diberikan perlakuan pembelajaran matematika dengan metode

pembelajaran resitasi, sedangkan kelompok yang satu lagi sebagai kelompok kontrol dengan

perlakuan pembelajaran dengan metode pembelajaran konvesional. Dari masing-masing

kelompok kemudian diberikan teknik motivasi verbal dan teknik motivasi non-verbal.Perhatikan

tabel desain penelitian di bawah ini :

Tabel 1

Desain Faktorial 2 x 2 untuk

Variabel Metode Pembelajaran dan Teknik Motivasi

Metode Pembelajaran

Teknik Motivasi

Res

ita

si

(A1)

Ko

nv

ensi

on

al

(A2)

Ju

mla

h

Verbal (B1) A1B1 A2B1 B1

Non Verbal (B2) A1B2 A2B2 B2

Jumlah A1 A2 A x B

Keterangan :

A1B1 : kelompok siswa dengan metode resitasi yang diberi teknik motivasi verbal

(eksperimen A).

A2B1 : kelompok siswa dengan metode konvensional yang diberi teknik motivasi verbal

(kontrol A).

A1B2 : kelompok siswa dengan metode resitasi yang diberi teknik motivasi non verbal

(eksperimen B).

A2B2 : kelompok siswa dengan metode konvensional yang diberi teknik motivasi non verbal

(kontrol B).

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas X di SMA Nusantara dan SMA Islam

Terpadu Al-Fahmi Serang pada semester genap tahun ajaran 2010 – 2011.

Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi terukur adalah seluruh siswa kelas X SMA

di Serang. Sedangkan populasi targetnya adalah seluruh siswa SMA Islam Terpadu Al-Fahmi

dan SMA Nusantara kelas X, penulis bermaksud mengadakan uji coba di kelas X untuk bahasan

materi Logika Matematika.

Dalam penelitian ini sampel diambil sebanyak 100% dari kelompok eksperimen dan

100% dari kelompok kontrol dari masing-masing kelas di SMA Islam Al-Fahmi dan SMA

Nusantara. Jadi, penelitian ini menggunakan sampel populasi sebagai sampelnya.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

292

Karena berjumlah 2 kelas pada masing-masing sekolah, maka sampel dibagi menjadi

30orang siswa dengan metode resitasi dan teknik motivasi verbal, 30 orang siswa dengan

metode resitasi dan teknik motivasi non verbal, 30 orang siswa dengan metode konvensional

dan teknik motivasi verbal serta 30 orang siswa dengan metode konvensional dan teknik

motivasi non verbal.

Prosedur

Prosedur penelitian ini memiliki tahapan sebagai berikut :

a. Mendefinisikan dan merumuskan masalah

b. Melakukan studi kepustakaan

c. Merumuskan hipotesis

d. Menentukan model atau desain penelitian

e. Mengumpulkan data

f. Mengolah dan menyajikan informasi

g. Menganalisis dan menginterpretasikan data

h. Membuat kesimpulan

Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui instrumen penelitian yang dibuat peneliti

menggunakan soal tes yang berbentuk pilihan ganda dan angket atau kuesioner yang disebarkan

kepada sampel penelitian.

Teknik pengumpulan data variabel hasil belajar menggunakan data sekunder yang

dihasilkan setelah melakukan tes evaluasi akhir pelajaran matematika berupa tes pilihan ganda

dengan 5 item pilihan.

Pengumpulan data data dilakukan selama 2 bulan 3 minggu dan teknik pengolahan data

pada penelitian ini menggunakan aplikasi program pengolahan data SPSS 13.0 for windows.

Teknik Analisis Data

Uji statistik yang digunakan dalam analisis data adalah uji statistik inferensial dengan

menggunakan anova dua jalur menggunakan bantuan aplikasi program pengolahan data statistik

(Statistical Product and Service Solutions),SPSS 13.0 for windows.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dapat terlihat dalam Tabel 2. Dari data yang telah didapatkan dan diolah

dengan bantuan software SPSS 13.0 for windows pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kelas

yang di ajar dengan menggunakan metode pembelajaran resitasi dan teknik motivasi non verbal

(A1B2) mempunyai rata-rata hasil belajar matematika siswa yang lebih baik daripada kelas

yang lain yaitu sebesar 12,667, sedangkan untuk kelas A1B1 rata-ratanya 7,433, A2B1 rata-

ratanya 6,833 dan A2B2 rata-ratanya adalah 12,633.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

293

Tabel 2. Rangkuman Data Hasil Penelitian

Resitasi (A1)

Konvensional

(A2) Jumlah

Teknik Motivasi

Verbal

(B1)

nA1B1 = 30

XA1B1 = 7,433

S2 = 1,406

nA2B1 = 30

XA2B1 = 6,833

S2 = 1,555

nB1 = 60

XB1 = 7,133

S2

B1= 1,501

Teknik Motivasi

Non Verbal

(B2)

nA1B2 = 30

XA1B2 = 12,667

S2 = 2,604

nA2B2 = 30

XA2B2 = 12,633

S2 = 2,282

nB2 = 60

XB2 = 12,650

S2

B2= 2,427

Jumlah

nA1 = 60

XA1 = 10,05

S2

A1 = 3,357

nA2 = 60

XA2 = 9,733

S2A2 = 3,507

nT = 120

XT = 9,891

S2

T= 3,432

Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa rata-rata hasil belajar matematika yang di ajar

dengan menggunakan metode pembelajaran resitasi dan teknik motivasi non verbal lebih baik

daripada kelas lain yang menjadi sampel.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Ringkasan ANOVA 2 Jalur

Hipotesis yang akan diuji dalam hipotesis pertama dinyatakan dalam hipotesis statistik

sebagaiberikut :

Ho : μ1 = μ2 (tidak ada pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar

matematika)

H1 : μ1 ≠ μ2 (ada pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar

matematika)

Dengan kriteria uji :

Jika Fhitung> Ftabel, maka signifikan (tolak Ho)

Jika Fhitung< Ftabel, maka tidak signifikan (terima Ho)

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

294

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa nilai Fhitung untuk mengetahui pengaruh

penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar matematikaadalah 0,734 sedangkan

Ftabel untuk dk1 = 1 dan dk2 = 119 adalah 3,92 dan ternyata harga Fhitung< Ftabel jadi H0 diterima,

yaitu tidak ada pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar matematika.

Jika pun ada pengaruh, karena Sig. 0,393 > = 0,05 tetapi tidak signifikan pengaruhnya.

Hipotesis yang akan diuji dalam hipotesis kedua yaitu dinyatakan dalam hipotesis

statistik sebagaiberikut :

Ho : μ1 =μ2 (tidak ada pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar

matematika)

H1 : μ1 ≠ μ2 (ada pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika)

Dengan kriteria uji:

Jika Fhitung> Ftabel, maka signifikan (tolak Ho)

Jika Fhitung< Ftabel, maka tidak signifikan (terima Ho)

Untuk melihat hasil uji hipotesis kedua, perhatikan tabel Ringkasan ANOVA di atas,

terlihat bahwa nilai Fhitung untuk mengetahui pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap

hasil belajar matematikasiswa adalah 222,888. Sedangkan Ftabel untuk dk1 = 1dan dk2 = 119

adalah 3,92 dan ternyata harga Fhitung> Ftabel jadi H0 ditolak, maka terdapat/ ada pengaruh

penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika.

Hipotesis yang akan diuji dalam hipotesis ketiga yaitu dinyatakan dalam hipotesis

statistik sebagaiberikut :

Ho : μ01=μ02 (tidak ada pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik

motivasi terhadap hasil belajar matematika)

H1 : μ01≠μ02 (ada pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi

terhadap hasil belajar matematika)

Kriteria uji:

Jika Sig. > = 0,05 (terima Ho)

Jika Sig. < = 0,05 (tolak Ho)

Untuk melihat hasil uji hipotesis ketiga, perhatikan tabel Ringkasan ANOVA di atas. Dari

tabel, didapatkan nilai Sig. 0,445 > = 0,05, dalam hal ini Sig. > = 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik

motivasi terhadap hasil belajar matematika, karena Sig. > = 0,05 maka tidak dilakukan uji

lanjut untuk menentukan interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi

terhadap hasil belajar matematika.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara

penggunaan metode pembelajaran dengan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika.

Hal ini dikarenakan penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi secara bersama-sama

menjadikan nilai rata-rata hasil belajar matematika siswa perbedaannya tidak terlalu jauh.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

295

Selain hal tersebut di atas, ditemukan pula bahwa penggunaan metode resitasi lebih baik

dalam meningkatkan hasil belajar matematika, Kemudian teknik motivasi non verbal pun

ternyata lebih baik dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa jika dibandingkan

dengan teknik motivasi verbal. Apalagi jika penggunaan metode pembelajaran resitasi dan

teknik motivasi non verbal dilakukan secara bersama-sama, maka hasil belajar matematika

siswa lebih baik daripada penggunaan metode pembelajaran konvensional dan teknik motivasi

verbal secara bersama-sama.

Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran yang variatif dan

penggunaan teknik motivasi non verbal dapat menjadikan siswa lebih tertarik dalam

mempelajari matematika sehingga hasil belajar matematika dapat meningkat, baik terhadap

siswa yang berkemampuan biasa ataupun luar biasa.

Selain itu, secara umum ditemukan pula bahwa hasil belajar matematika siswa yang

diajar dengan menggunakan teknik motivasi verbal lebih tinggi daripada teknik motivasi non-

verbal. Hal ini dikarenakan dalam diri siswa dan semua orang terdapat kebutuhan-kebutuhan

yang harus dipenuhi, salah satunya menurut Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri.

Selama proses belajar di dalam kelas, siswa akan lebih merasa dihargai keberadaannya jika dia

dipuji dan mendapatkan ucapan-ucapan verbal di depan teman-temannya, sambil diberikan

reward. Dalam hal ini dituntut kemampuan guru untuk dapat memberikan ungkapan atau kata-

kata yang dapat memotivasi siswa dalam belajar dan pemberian reward secara variatif.

Selain itu, berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini maka dalam kapasitasnya

sebagai seorang pendidik atau guru matematika harus mampu memahami tingkat motivasi

belajar dari masing-masing siswa agar dapat dilakukan pemilahan dan perlakuan yang tepat

dalam kegiatan pembelajaran. Sementara dalam kapasitasnya sebagai pengajar, maka guru

matematika harus mampu mendesain rancangan kegiatan pembelajaran dengan memilih metode

pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan belajar siswa.

Dalam memilih dan menerapkan metode pembelajaran matematika, guru harus banyak

membaca dan saling berbagi pengetahuan baru serta mempelajari berbagai teori tentang metode

pembelajaran, sehingga guru dapat menerapkan ilmunya dengan baik. Selain itu, wadah

MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) matematika dapat digunakan dalam

mengembangkan kemampuan guru.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan dari hasil pengujian hipotesis penelitian dan analisis pengolahan data dengan

bantuan software SPSS 13.0 for windows, maka hasil penelitian dengan judul : Pengaruh

Penggunaan Metode Pembelajaran dan Teknik Motivasi terhadap Hasil Belajar Matematika

Siswa SMA (eksperimen dilakukan pada siswa kelas X di SMA Islam Terpadu Al-Fahmi dan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

296

SMA Nusantara pada semester genap tahun pelajaran 2010/ 2011), dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Tidak terdapat pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar

matematika, hal ini dikarenakan nilaiFhitung(0,724)<Ftabel(3,92). Sekalipun ada pengaruhnya,

tetapi tidak terlalu signifikan.

2. Terdapat pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika, hal ini

berdasarkan harga Fhitung(222,888) > Ftabel(3,92). Pengaruh teknik motivasi terhadap hasil

belajar matematika cukup signifikan.

3. Tidak terdapat pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi

terhadap hasil belajar matematika, hal ini diperoleh dari nilai Sig. yang lebih besar dari =

5% yaitu Sig. 0,445 > = 0,05.

Selain itu, didapatkan pula kelebihan dan kelemahan dalam menggunakan metode

pembelajaran resitasi ini, yaitu :

Kelebihan :

1) merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar individual ataupun kelompok

2) mengembangkan kemandirian siswa di luar pengawasan guru

3) membina tanggung jawab dan disiplin siswa

4) mengembangkan kreativitas siswa

Kekurangan :

1) siswa sulit dikontrol, apakah benar tugas tersebut dikerjakan sendiri atau orang lain.

2) untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikannya

adalah anggota tertentu saja, sedangkan yang lain tidak berpartipasi.

3) tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa.

Setelah melakukan penelitian dan melihat serta merasakan proses pembelajaran dengan

metode resitasi dan teknik motivasi verbal dan non verbal, serta memperhatikan simpulan di

atas, maka saran yang dapat dikemukakan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Bagi para pembaca khususnya tenaga pendidik (guru); pembelajaran dengan metode

pembelajaran resitasi dan teknik motivasi verbal dan non verbal dapat dijadikan sebagai

salah satu alternatif kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan variatif serta dapat

diterapkan di kelas dalam usaha untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa.

2. Pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran resitasi menuntut siswa untuk

lebih mandiri dalam belajar. Sehingga guru diharapkan dapat membimbing siswanya dalam

belajar agar semua aspek kecerdasan yang dimiliki siswa dapat berkembang dengan optimal.

3. Karena dalam mengembangkan metode pembelajaran ini menggunakan musik sebagai latar

atau alat untuk membangkitkan motivasi siswa, yang merupakan salah satu teknik motivasi

non verbal maka sebaiknya audio yang digunakan dapat menggunakan media yang efektif

dan efisien.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

297

4. Diperlukan kerjasama antar guru matematika dalam mengoptimalkan kemampuan dalam

belajar matematika. Kerjasama ini diperlukan sebagai sarana tukar pengalaman mengajar

tentang metode pembelajaran resitasi dan metode yang digunakan oleh masing-masing guru

5. Bagi penelitian yang akan datang dan tertarik dengan penggunaan metode pembelajaran ini,

hendaknya mengembangkan instrumen lain untuk materi ajar yang berbeda atau untuk kelas

dalam jenjang pendidikan yang lain atau populasi yang tidak serupa dengan penelitian yang

telah dilakukan pada penelitian kali ini.

DAFTAR PUSTAKA

Djamarah & Zaid. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Djamarah. (1995). Strategi Belajar Mengajar. Banjarmasin: Rineka Cipta.

Gawatri, dkk. (2004). Matematika untuk Tingkat I SMK. Jakarta: Yudhistira.

Hamalik, Oemar. (2009). Psikologi Belajar dan Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara

M,. Sardiman A. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Rostiyah. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Ruseffendi, E.T. (1991).Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya.

Semarang: IKIP Semarang Press.

Rusmana, Indra Martha. (2009). Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran Slim-n-Bil

Terhadap Prestasi dan Motivasi Belajar Matematika Siswa SMP.Skripsi, tidak

dipublikasikan. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa : Serang.

Slameto, (2003).Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.

Sugiyono. (2005). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI.

Surapranata, S. (2006). Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes Implementasi

Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tim Penyusun. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Uno, H. B. (2007). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

298

KEMAMPUAN AWAL MATEMATIS SISWA SEBAGAI BEKAL MENGIKUTI PEMBELAJARAN ARITMETIKA SOSIAL MELALUI PENDEKATAN METAKOGNITIF DENGAN MENGINTEGRASIKAN SOFT

SKILL

Atma Murni

Dosen Pendidikan Matematika, Universitas Riau E-mail: [email protected]

Abstrak

Aritmetika Sosial merupakan materi matematika yang wajib dipelajari siswa kelas VII dan

kaya akan konsep-konsep bilangan bulat, pecahan, dan aljabar. Topik-topik yang dibahas

meliputi: untung, rugi, persentase untung, persentase rugi, diskon (rabat), neto, bruto, tara,

bunga tabungan dan pajak. Masalah yang dipecahkan terkait dengan masalah kontekstual

yang sering dijumpai dan dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan

dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa memecahkan masalah terkait

Aritmetika Sosial. Meskipun masalah yang dimunculkan berhubungan dengan kehidupan

sehari-hari siswa, namun siswa masih mengalami kesulitan menerapkan konsep-konsep

prasyarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang diberikan. Untuk itu perlu

menganalisis kemampuan awal matematis (KAM) siswa dalam mengikuti pembelajaran

Aritmetika Sosial yang dilaksanakan melalui penerapan pendekatan metakognitif dengan

mengintegrasikan soft skill pada siswa kelas VII sekolah level tinggi dan sekolah level

sedang di Kota Pekanbaru. Data KAM dianalisis menggunakan uji t dan uji ANAVA satu

jalur. KAM siswa dikelompokan menjadi KAM atas, tengah, dan bawah. Hasil analisis

menyatakan bahwa: (1) rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi lebih besar dari rata-rata

KAM sekolah level sedang untuk ketiga pendekatan pembelajaran; (2) KAM siswa pada

setiap kelompok pembelajaran lebih dominan berada pada kategori tengah; (3) ada

perbedaan secara signifikan KAM siswa sekolah level tinggi dan sekolah level sedang; (4)

ada kesetaraan rata-rata KAM siswa ketiga pendekatan pembelajaran untuk setiap level

sekolah; dan (5) dari jawaban siswa terlihat siswa masih mengalami kekeliruan, kesulitan,

dan bahkan belum dapat menyelesaikan soal-soal materi prasyarat yang sangat diperlukan

dalam pembelajaran Aritmetika Sosial.

Kata kunci: Kemampuan awal matematis, aritmetika sosial, metakognitif, soft skill

PENDAHULUAN

Kemampuan awal siswa merupakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki

siswa sebelum mengikuti pembelajaran. Kemampuan awal menggambarkan kesiapan siswa

dalam menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh guru. Dengan memiliki kemampuan

awal tentang materi tertentu, siswa dapat dengan mudah mempelajari materi baru yang akan

diajarkan guru. Sebagaimana dinyatakan Arends (2008), bahwa kemampuan awal siswa untuk

mempelajari ide-ide baru bergantung pada pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur

kognitif yang sudah ada.

Kemampuan awal siswa penting untuk diketahui guru sebelum ia mulai dengan

pembelajarannya, karena dengan demikian dapat diketahui: (1) apakah siswa telah memiliki

pengetahuan prasyarat (prerequisite) untuk mengikuti pembelajaran; (2) sejauh mana siswa

telah mengetahui materi yang akan disajikan. Dengan mengetahui kedua hal tersebut, guru akan

dapat merancang pembelajaran dengan lebih baik.

Kenyataan sehari-hari dalam pembelajaran matematika menunjukkan seringkali guru

merancang dan melaksanakan pembelajaran berdasarkan asumsi bahwa siswa telah memiliki

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

299

kemampuan awal matematis yang baik dan siswa belum mengetahui sama sekali materi yang

akan disajikan sehingga pembelajaran seringkali tidak diawali dengan menggali pengetahuan

awal matematis siswa yang relevan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila

pembelajaran menjadi tidak efektif karena siswa belum mempunyai kesiapan untuk menerima

pelajaran.

Makalah ini khusus membahas tentang kemampuan awal matematis (KAM) siswa dalam

mengikuti pembelajaran Aritmetika Sosial yang dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan

penelitian yang menerapkan tiga pendekatan yaitu: (1) pembelajaran metakognitif dengan

mengintegrasikan soft skill (PMSS); (2) pembelajaran metakognitif (PM); dan (3) pembelajaran

konvensional (PK).

Biryukov (2003) mengemukakan bahwa metakognisi merupakan dugaan pemikiran

seseorang tentang pemikirannya yang meliputi pengetahuan metakognitif (kesadaran seseorang

tentang apa yang diketahuinya), keterampilan metakognitif (kesadaran seseorang tentang

sesuatu yang dilakukannya) dan pengalaman metakognitif (kesadaran seseorang tentang

kemampuan kognitif yang dimilikinya). Berdasarkan pendapat tersebut, pembelajaran

metakognitif dalam penelitian ini adalah pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran

matematika terhadap siswa secara individual yang memiliki komponen: (1) menanamkan

kesadaran kepada siswa suatu proses bagaimana merancang, memonitor, dan mengevaluasi

aktivitas yang dilakukan untuk menentukan solusi dari suatu permasalahan; (2) memfokuskan

pertanyaan kepada pemahaman masalah; (3) mengembangkan hubungan antara pengetahuan

yang lalu dan sekarang; (4) menggunakan strategi penyelesaian permasalahan yang tepat; dan

(5) merefleksikan proses dan solusi.

Pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian initidak hanya penerapan pembelajaran

metakognitif saja melainkan mengintegrasikannya dengan soft skill. Soft skill menurut

Mu‟addap (2010) bisa digolongkan kedalam dua kategori yaitu intrapersonal dan interpersonal

skill. Intrapersonal skill adalah keterampilan seseorang dalam mengatur diri sendiri, sementara

interpersonal skill adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan

orang lain. Intrapersonal skill sebaiknya dibenahi terlebih dahulu sebelum seseorang mulai

berhubungan dengan orang lain. Intrapersonal skill mencakup : (1) self awareness (kesadaran

diri), meliputi: (a) self confident (percaya diri), (b) self assessment (penilaian diri), (c) trait &

preference (berkarakter dan preferensi ), dan (d) emotional awareness (kesadaran emosional);

(2) self skill (keterampilan diri), meliputi: (a) improvement (kemajuan/perbaikan), (b) self

control (kontrol diri), (c) trust (percaya), (d) worthiness (bernilai), (e) time/source management

(manajemen waktu/sumber), (f) proactivity (proaktif), dan (g) conscience (hati nurani).

Interpersonal skill mencakup: (1) social awareness (kesadaran sosial), meliputi: (a) political

awareness (kesadaran politik), (b) developing others (mengembangkan orang lain), (c)

leveraging diversity (pengaruh yang berbeda), (d) service orientation (berorientasi pada

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

300

pelayanan), dan (e) emphaty (empati); (2) social skill (keterampilan sosial), meliputi: (a)

leadership (kepemimpinan), (b) influence (pengaruh), (c) communication (komunikasi), (d)

conflict management (manajemen konflik), (d) cooperation (kooperatif), (e) team work (kerja

kelompok), dan (f) synergy (sinergi). Seiring dengan itu, Ayu (2011) juga menyatakan bahwa

soft skill dapat mempengaruhi seseorang untuk memperlihatkan dirinya lebih beretika, percaya

diri, dapat menghargai diri sendiri dan orang lain, dapat mengatur kepribadian dalam menjaga

emosi dan tingkah laku.

Berdasarkan pengertian tentang metakognitif dan soft skill maka dapat dikemukakan

bahwa pembelajaran metakognitif dengan mengintegrasikan soft skill dalam penelitian ini

adalah pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran matematika yang memiliki komponen

pembelajaran metakognitif yang telah diuraikan di atas disertai dengan pembinaan soft skill

siswa (percaya diri, proaktif, empati, kerjasama tim dan komunikasi).

Kemampuan awal yang dibahas dalam penelitian ini adalah kemampuan awal matematis

siswa kelas VII yang diperlukan dalam mengikuti materi Arimetika Sosial. Topik-topik yang

dibahas dalam pembelajaran Aritmetika Sosial meliputi: untung, rugi, persentase untung,

persentase rugi, diskon (rabat), neto, bruto, tara, bunga tabungan dan pajak. Aritmetika Sosial

kaya dengan konsep-konsep bilangan bulat, pecahan, dan aljabar. Agar siswa tidak mengalami

kesulitan dalam mengikuti pembelajaran Aritmetika Sosial maka siswa perlu memiliki

kemampuan awal matematis yang optimal pada topik-topik prasyarat tersebut.

Tujuan akhir dari penelitian adalah mengungkap dan menganalisis secara komprehensif

hasil belajar matematika siswa pada materi Aritmetika Sosial. Hasil belajar matematika yang

dimaksud adalah kemampuan pemecahan masalah matematis (KPMM) dan kemampuan

representasi matematis (KRM) yang dijaring melalui tes. Sehubungan dengan itu, KAM

menjadi salah satu aspek yang ditinjau dalam melakukan analisis peningkatan KPMM dan KRM

siswa melalui ketiga pendekatan pembelajaran pada sekolah level tinggi dan sekolah level

sedang.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan tahap awal dari penelitian eksperimental-semu (quasi-

experimental research) melalui penerapan pendekatan metakognitif dengan mengintegrasikan

soft skill dalam pembelajaran matematika untuk mengungkap peningkatan KPMM dan KRM.

Khusus untuk pembahasan dalam makalah ini dapat digolongkan pada penelitian deskriptif

yaitu mendeskripsikan KAM siswa yang diperlukan dalam mengikuti pembelajaran Aritmetika

Sosial. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII pada satu sekolah level tinggi dan satu

sekolah level sedang di Kota Pekanbaru sebanyak 202 orang. Pengambilan sekolah level tinggi

dan sedang dilakukan secara acak terhadap seluruh sekolah yang terdapat pada setiap level. Dari

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

301

tiap sekolah diambil tiga kelas yaitu: kelas eksperimen-1, kelas eksperimen-2, dan kelas

kontrol.

Instrumen penelitian adalah tes KAM yang memuat materi prasyarat untuk mengikuti

pembelajaran materi Aritmetika Sosial pada kelas VII semester ganjil, yaitu: (1) operasi hitung

bilangan bulat; (2) pecahan; (3) operasi hitung pecahan; (4) operasi bentuk aljabar; dan (5)

persamaan linear satu variabel. Tes KAM menggunakan soal pilihan ganda sebanyak 28 butir.

Sebelum tes KAM digunakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas.

Hasil uji coba tes KAM menunjukkan bahwa 26 butir soal dinyatakan valid dengan reliabilitas

sangat tinggi (0,919).

Tes KAM yang diberikan meminta siswa menuliskan langkah perhitungan yang

dilakukan pada tempat yang telah disediakan. Hal ini bertujuan melihat kemampuan siswa

dalam menguasai materi prayarat. Selain mendeskripsikan KAM setiap siswa, tes KAM juga

bertujuan untuk menentukan kategori kemampuan siswa yang terdiri dari kelompok atas,

tengah, dan bawah. Siswa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok KAM yaitu siswa kelompok

KAM atas, KAM tengah, dan KAM bawah. Kriteria pengelompokan berdasarkan skor rata-rata

(𝑥 ) dan simpangan baku (SB) menurut (Ratnaningsih, 2007) seperti tabel 1 berikut.

Data KAM siswa dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Langkah awal dilakukan

perhitungan rata-rata dan simpangan baku data KAM ketiga kelompok pendekatan

pembelajaran untuk setiap level sekolah. Bersamaan dengan itu dilakukan pengelompokan

siswa berdasarkan kategori KAM dan sekaligus menghitung rata-rata dan simpangan baku pada

setiap kategori KAM ketiga pendekatan pembelajaran. Langkah berikutnya dilakukan analisis

inferensial untuk menentukan perbedaan data KAM antar kedua level sekolah menggunakan uji

t dan menentukan kesetaraan data KAM ketiga pendekatan pembelajaran untuk setiap level

sekolah menggunakan uji ANAVA satu jalur. Sebelum melakukan uji statistik dilakukan uji

asumsi yaitu uji normalitas data dan uji homogenitas varians.

Tabel 1

Kriteria Pengelompokan

Kelompok Kriteria

Atas KAM ≥ 𝑥 + SB

Tengah 𝑥 – SB ≤ KAM <𝑥 + SB

Bawah KAM <𝑥 – SB

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data KAM dikumpulkan dan dianalisis untuk mengetahui kualitas KAM siswa sebelum

siswa mengikuti pembelajaran Aritmetika Sosial di kelas VII. Selain itu juga digunakan sebagai

dasar penentuan kelompok siswa pada kelas eksperimen-1 yaitu kelompok Pembelajaran

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

302

Metakognitif dengan Mengintegrasikan Soft Skill (PMSS). Untuk memperoleh gambaran kualitas

KAM siswa tersebut, data dianalisis secara deskriptif dan inferensial.

Analisis Deskriptif Data KAM

Pengolahan data secara deskriptif bertujuan untuk mengetahui rata-rata dan simpangan

baku setiap kategori KAM siswa yaitu atas (A), tengah (T), dan bawah (B). Rangkuman hasil

analisis deskriptif data KAM siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran dan level sekolah

disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Pada Tabel 2 berikut dapat dilihat bahwa berdasarkan kelompok pendekatan

pembelajaran, ketiga kelompok siswa yang mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat

pendekatan PM, dan yang mendapat pendekatan PK pada setiap level sekolah dan gabungannya

memiliki kualitas KAM yang relatif sama. Gambaran kualitas KAM ini cukup memenuhi syarat

untuk memberikan perlakuan yang berbeda pada setiap kelompok. Jika terjadi perbedaan

peningkatan kemampuan siswa pada akhir proses pembelajaran maka perbedaan tersebut dapat

dilihat sebagai akibat adanya perlakuan yang berbeda pada ketiga kelompok, bukan karena

adanya perbedaan ketiga kelompok sebelum pembelajaran. Pada Tabel 2 juga dapat dilihat

bahwa rata-rata KAM siswa pada sekolah level sedang lebih rendah dibanding rata-rata KAM

siswa pada sekolah level tinggi. Data ini memperkuat alasan penetapan sekolah tempat

penelitian sebagai sekolah level sedang dan sekolah level tinggi.

Tabel 2.

Deskripsi Data KAM Siswa Ketiga Pendekatan Pembelajaran

untuk Setiap Level Sekolah dan Gabungannya

Level

Sekolah Statistik

Pendekatan Gabungan

PMSS PM PK

Tinggi

N 35 35 34 104

Rata-rata 12,57 11,29 11,35 11,74

Simpangan Baku 4,374 4,055 3,507 4,005

Sedang

N 33 32 33 98

Rata-rata 9,39 8,84 9,24 9,16

Simpangan Baku 4,023 3,521 4,479 3,997

Gabungan

N 68 67 67 202

Rata-rata 11,03 10,12 10,31 10,49

Simpangan Baku 4,472 3,975 4,124 4,195

Pada Tabel 3 berikut dapat dilihat bahwa berdasarkan kelompok pendekatan

pembelajaran, ketiga kelompok siswa yang mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat

pendekatan PM, dan yang mendapat pendekatan PK pada setiap kategori KAM memiliki

kualitas KAM yang relatif sama. Gambaran kualitas KAM ini cukup memenuhi syarat untuk

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

303

memberikan pembelajaran dengan pendekatan yang berbeda pada masing-masing kelompok.

Tetapi, jika dilihat dari setiap kategori KAM, kualitas KAM setiap kelompok siswa relatif

berbeda. Hal ini dapat diterima karena siswa dikelompokkan berdasarkan kategori KAM yaitu

atas (A), tengah (T), dan bawah (B). Pada Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa kemampuan siswa

paling banyak berada pada kategori KAM tengah untuk ketiga pendekatan pembelajaran.

Tabel 3

Deskripsi Data KAM Siswa Ketiga Pendekatan Pembelajaran

untuk Setiap Kategori KAM

Kategori

KAM Statistik

Pendekatan Gabungan

PMSS PM PK

Atas

N 12 8 13 33

Persentase Jumlah Siswa (%) 18 12 20 16

Rata-rata 17,17 16,25 15,92 16,45

Simpangan Baku 2,691 3,615 1,533 2,563

Tengah

N 42 50 43 135

Persentase Jumlah Siswa (%) 61 75 64 67

Rata-rata 11,14 10,24 10,14 10,49

Simpangan Baku 2,851 2,421 2,532 2,614

Bawah

N 14 9 11 34

Persentase Jumlah Siswa (%) 21 13 16 17

Rata-rata 5,43 4,00 4,36 4,71

Simpangan Baku 1,651 1,803 1,567 1,733

Analisis Inferensial Data KAM

Sebelum melakukan uji statistik terlebih dahulu dilakukan uji asumsi, yaitu uji

normalitas data dan uji homogenitas varians.

Rumusan hipotesis untuk menguji normalitas data adalah:

H0 : sampel berdistribusi normal

H1 : sampel tidak berdistribusi normal.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) dari Z lebih

besar dari α = 0,05, maka H0 diterima; dalam hal lainnya, H0 ditolak. Uji normalitas data yang

digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas data KAM siswa kedua level

sekolah berdasarkan ketiga kelompok pendekatan pembelajaran disajikan pada Tabel 4.

Pada Tabel 4 berikut dapat dilihat bahwa nilai significance (sig.) data KAM untuk setiap

pendekatan pembelajaran pada setiap level sekolah lebih besar dari 0,05 yang berarti H0

diterima. Dengan demikian, berdasarkan pengelompokan pendekatan pembelajaran pada setiap

level sekolah, sampel berdistribusi normal. Pada Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa nilai

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

304

significance (sig.) data KAM siswa untuk setiap pendekatan pembelajaran pada kedua level

sekolah lebih besar dari 0,05 yang berarti H0 diterima. Dengan demikian, berdasarkan data KAM

siswa untuk setiap pendekatan pembelajaran pada kedua level sekolah, sampel berdistribusi

normal. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa nilai significance (sig.) data KAM gabungan siswa

yang mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat pendekatan PM, dan yang mendapat

pendekatan PK, lebih besar dari 0,05 yang berarti H0 diterima. Dengan demikian, berdasarkan data

gabungan ketiga pendekatan pembelajaran untuk setiap level sekolah, sampel berdistribusi

normal.

Tabel 4. Uji Normalitas Data KAM Siswa Kedua Level Sekolah

Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran

Level

Sekolah Statistik

Pendekatan Gabungan

PMSS PM PK

Tinggi

N 35 35 34 104

KS-Z 0,089 0,109 0,136 0,083

Sig. 0,200 0,200 0,110 0,076

H0 Diterima Diterima Diterima Diterima

Sedang

N 33 32 33 98

KS-Z 0,135 0,090 0,101 0,083

Sig. 0,131 0,200 0,200 0,090

H0 Diterima Diterima Diterima Diterima

Gabungan

N 68 67 67

KS-Z 0,101 0,079 0,103

Sig. 0,085 0,200 0,073

H0 Diterima Diterima Diterima

Pengujian Perbedaan KAM antar Kedua Level Sekolah

Pada Tabel 4 telah dilihat bahwa berdasarkan data KAM siswa untuk setiap level

sekolah, sampel berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas varians data KAM

untuk kedua level sekolah. Rumusan hipotesis untuk melakukan uji homogenitas adalah:

H0 : σ12 = σ2

2

H1 : σ12 ≠ σ2

2

dengan

σ12adalah varians data KAM siswa sekolah level tinggi

σ22

adalah varians data KAM siswa sekolah level sedang.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

305

Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari α = 0,05,

maka H0 diterima; dalam hal lainnya, H0 ditolak. Uji homogenitas varians yang digunakan

adalah uji Levene. Hasil uji homogenitas kedua level sekolah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5

Uji Homogenitas Kedua Level Sekolah

Statistik Levene dk1 dk2 Sig. H0 Kesimpulan

0,553 1 200 0,458 Diterima Data KAM kedua level

sekolah homogen

Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai significance (sig.) lebih besar dari α = 0,05, berarti H0

diterima. Dengan demikian, data KAM siswa sekolah level tinggi dan sekolah level sedang

memiliki varians homogen.

Untuk pengujian perbedaan rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi dan sekolah level

sedang dilakukan menggunakan uji-t. Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah:

H0 : μ1 = μ2

H1 : μ1 ≠ μ2

dengan

μ1 adalah rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi

μ2 adalah rata-rata KAM siswa sekolah level sedang.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05,

maka H0 diterima; dalam hal lainnya H0 ditolak. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan

menggunakan uji t terhadap data KAM siswa berdasarkan level sekolah disajikan pada Tabel 6.

Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai significance (sig.) lebih kecil dari 0,05, berarti H0

ditolak. Jadi, ada perbedaan KAM yang signifikan antara siswa sekolah level tinggi dengan siswa

sekolah level sedang. Hasil ini memperkuat alasan pemilihan kedua level sekolah dan hasil

analisis deskriptif pada Tabel 2 di atas.

Tabel 6

Uji Perbedaan Data KAM Siswa antar Kedua Level Sekolah

Level

Sekolah

Pembelajaran N Simpangan

Baku

t dk Sig.

(2 tailed)

H0

Tinggi

PMSS 35 4,374

4,575 200 0,000 Ditolak

PM 35 4,055

PK 34 3,507

Sedang

PMSS 32 4,023

PM 33 3,521

PK 33 4,479

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

306

Pengujian Kesetaraan KAM Ketiga Kelompok Pembelajaran

Pada Tabel 4 telah dinyatakan bahwa data KAM berdasarkan ketiga pendekatan

pembelajaran berdistribusi normal. Sebelum melakukan uji kesetaraan KAM ketiga kelompok

pembelajaran terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas varians, dengan rumusan hipotesis

statistik adalah:

H0 : σ12 = σ2

2= σ3

2

H1 : σ12 ≠ σ2

2≠ σ3

2

dengan

σ12adalah varians data KAM siswa yang mendapat pendekatan PMSS.

σ22

adalah varians data KAM siswa yang mendapat pendekatan PM.

σ32 adalah varians data KAM siswa yang mendapat pendekatan PK.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari α = 0,05,

maka H0 diterima; dalam hal lainnya, H0 ditolak. Uji homogenitas varians yang digunakan

adalah uji Levene. Hasil uji homogenitas varians ketiga kelompok pembelajaran adalah:

Tabel 7

Uji Homogenitas Ketiga Pendekatan Pembelajaran

Statistik Levene dk1 dk2 Sig. H0 Kesimpulan

1,530 2 199 0,219 Diterima Data KAM ketiga

pendekatan pembelajaran

homogen

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai significance (sig.) lebih besar dari α = 0,05,

berarti H0 diterima. Dengan demikian, data KAM berdasarkan pengelompokan ketiga

pendekatan pembelajaran memiliki varians homogen.

Selanjutnya perlu dilakukan pengujian kesetaraan rata-rata KAM siswa berdasarkan ketiga

pendekatan pembelajaran. Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah:

H0 : μ1 = μ2 = μ3

H1 : μ1 ≠ μ2 ≠ μ3

dengan

μ1 adalah rata-rata KAM siswa yang mendapat pendekatan PMSS.

μ2 adalah rata-rata KAM siswa yang mendapat pendekatan PM.

μ3 adalah rata-rata KAM siswa yang mendapat pendekatan PK.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05,

maka H0 diterima; dalam hal lainnya H0 ditolak. Uji kesetaraan rata-rata data KAM siswa

berdasarkan ketiga pendekatan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan uji analisis

varians (ANAVA) satu jalur. Hasil uji kesetaraan data KAM siswa berdasarkan pendekatan

pembelajaran disajikan pada Tabel 8.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

307

Tabel 8.

Uji Kesetaraan Data KAM Ketiga Pendekatan Pembelajaran

Sumber Jumlah

Kuadrat dk

Rata-rata

Kuadrat F Sig. H0 Kesimpulan

Antar

Kelompok

31,076 2 15,538 0,882 0,416 Diterima Data KAM

ketiga

kelompok

pembelajaran

homogen

Dalam

Kelompok

3505,404 199 17,615

Total 3536,480 201

Pada Tabel 8 terlihat bahwa nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05, berarti H0

diterima. Dengan demikian, ada kesetaraan data KAM yang signifikan antara siswa yang

mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat pendekatan PM, dan yang mendapat pendekatan

PK. Hasil ini memperkuat alasan pemilihan ketiga kelompok pembelajaran dan juga hasil

analisis deskriptif Tabel 2 dan Tabel 3 di atas.

Pengujian Kesetaraan KAM Siswa Ketiga Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level

Sekolah

Sebelum melakukan uji kesetaraan KAM ketiga pendekatan pembelajaran untuk setiap

level sekolah, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas varians dengan hasil sebagaimana

disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9

Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data KAM

Siswa Ketiga Pendekatan Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah

Level

Sekolah Pendekatan N

Simpangan

Baku F Sig. H0

Tinggi

PMSS 35 4,374

0,949 0,391 Diterima PM 35 4,055

PK 34 3,507

Sedang

PMSS 32 4,023

0,161 0,143 Diterima PM 33 3,521

PK 33 4,479

Pada Tabel 9 terlihat bahwa kedua nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05,

sehingga H0 diterima. Jadi, data KAM ketiga pendekatan pembelajaran pada setiap level sekolah

mempunyai varians yang homogen.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

308

Untuk menguji kesetaraan KAM ketiga pendekatan pembelajaran dari setiap level sekolah

diajukan hipotesis statistik sebagai berikut.

H0 : μ1 = μ2 = μ3

H1 : μ1 ≠ μ2 ≠ μ3

dengan

μ1 adalah rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi (atau sedang) yang mendapat pendekatan

PMSS.

μ2 adalah rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi (atau sedang) yang mendapat pendekatan

PM.

μ3 adalah rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi (atau sedang) yang mendapat pendekatan

PK.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05,

maka H0 diterima; dalam hal lainnya, H0 ditolak. Pengujian hipotesis tentang kesetaraan data

KAM siswa antara yang mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat pendekatan PM, dan

yang mendapat pendekatan PK dari setiap level sekolah tersebut digunakan uji ANAVA satu

jalur. Hasil uji tersebut disajikan pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Uji Kesetaraan Data KAM Siswa Ketiga Pendekatan

Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah

Level

Sekolah Pendekatan N

Rata-

rata F Sig. H0 Kesimpulan

Tinggi

PMSS 35 12,57

1,141 0,323 Diterima

Ada kesetaraan

data KAM siswa

ketiga

pendekatan

pembelajaran

untuk setiap level

sekolah.

PM 35 11,29

PK 34 11,35

Sedang

PMSS 33 9,39

0,161 0,852 Diterima PM 32 8,84

PK 33 9,24

Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai significance (sig.) data KAM siswa ketiga

pendekatan pembelajaran untuk setiap level sekolah lebih besar dari 0,05, berarti H0 diterima.

Dengan demikian, ada kesetaraan KAM yang signifikan antara siswa yang mendapat

pendekatan PMSS, yang mendapat pendekatan PM, dan yang mendapat pendekatan PK dari

setiap level sekolah. Hal ini, memperkuat alasan melakukan perlakuan yang berbeda pada ketiga

kelompok siswa untuk setiap level sekolah sehingga dapat dilihat perubahan yang terjadi

sebagai akibat dari perlakuan yang diberikan.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

309

Analisis Jawaban Siswa

Dari jawaban siswa, secara global dapat dikemukakan bentuk hasil kerja siswa, yaitu:

(1) keliru dalam menentukan selisih dua bilangan yang memerlukan teknik peminjaman pada

angka sebelumnya; (2) tidak memperhatikan hierakhis penggunaan operasi hitung dalam

melakukan perhitungan; (3) tidak cermat atau tidak dapat melakukan operasi bentuk aljabar; (4)

keliru memahami soal; (5) tidak dapat merubah pecahan biasa menjadi persen atau sebaliknya;

(6) keliru atau tidak dapat melakukan operasi antara persen dengan bilangan bulat; (7) tidak

dapat menentukan prosedur penyelesaian soal; dan (8) keliru atau tidak dapat mencari solusi

persamaan linear.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan bahwa KAM siswa sekolah level

tinggi lebih besar dari sekolah level sedang untuk ketiga pendekatan pembelajaran. KAM siswa

pada setiap kelompok pembelajaran lebih dominan berada pada kategori tengah. Hasil analisis

data secara inferensial menunjukkan bahwa ada perbedaan secara signifikan KAM siswa

sekolah level tinggi dan sekolah level sedang. Selain itu, ada kesetaraan KAM siswa ketiga

pendekatan pembelajaran untuk setiap level sekolah. Dari jawaban siswa pada tes KAM terlihat

siswa masih mengalami kekeliruan, kesulitan, dan bahkan belum dapat menyelesaikan soal-soal

materi prasyarat yang sangat diperlukan dalam pembelajaran Aritmetika Sosial.

Saran

Pada kegiatan awal pembelajaran perlu melakukan apersepsi dan revisi tentang materi

prayarat yang sangat diperlukan dalam pemberian setiap topik dari Aritmetika Sosial

berdasarkan kelemahan siswa sesuai temuan yang telah diuraikan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R.I. (2008). Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Buku Satu.

Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ayu, K. (2011). Pentingnya Soft Skill. [Online]. Tersedia: http://komangayu-

as.blogspot.com/2011/01/pentingnya-soft-skill.html. [8 April 2011]

Biryukov, P. (2003). Metacognitive Aspect of Solving Combinatorics Problems. [Online].

Tersedia:http://www.cimt.pymouth.ac.uk/journal/biryukov.pdf [27 Oktober 2009]

Mu‟addab, H. (2010). Pengertian Soft Skill dan Hard Skill. [Online]. Tersedia:

http://hafismuaddab.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-soft-skill-dan-hard-skill/. [8

April 2011]

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

310

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir

Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas.

Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

311

Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan

Pendidikan Karater di Sekolah Dasar

Riyadi, Mardiyana, Rukayah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menemukan bentuk prototype model pembelajaran

matematika dengan pendekatan pendidikan karakter yang sesuai dengan kebutuhan guru di

Sekolah Dasar. (2) Mendapatkan masukan dari stakeholders terhadap prototype model

pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di Sekolah Dasar; (3)

Menemukan model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter yang

tepat/cocok untuk diimplementasikan di Sekolah Dasar.

Penelitin ini dibatasi pada “pembelajaran matematika di sekolah dasar” yang

dilakukan dalam jangka waktu dua tahun. Tahun pertama mencakup tahap studi

pendahuluan/eksplorasi dan tahap pengembangan model. Tahun kedua mencakup tahap

pengujian model dan tahap diseminasi. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar di

wilayah eks karesidenan Surakarta. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cluster

random sampling. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, catatan

lapangan, dan analisis dokumen. Analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif,

sedangkan hasil eksperimen dengan teknik t-test.

Hasil penelitian pada tahun pertama diuraikan sebagai berikut: 1) Model pembelajaran

yang berhasil dikembangkan adalah model pembelajaran bebasis masalah dengan pendekatan

kontekstual yang sintaksnya mempunyai tujuh fase, 2) Pedoman penilaian karakter yang

berhasil dikembangkan dilengkapi dengan indikator-indikator untuk sembilan nilai karakter

yang cocok untuk dikembangkan pada mata pelajaran matematika di sekolah dasar, dan 3)

Berdasarkan uji coba terbatas dan uji coba luas diperoleh hasil: model pembelajaran bebasis

masalah dengan pendekatan kontekstual dan pedoman penilaian karakter dapat

diimplementasikan dengan baik di sekolah dasar.

Kata kunci : model pembelajaran berbasis masalah, pendekatan kontekstual,

pendidikan karakter. PENDAHULUAN

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional menegaskan

bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun upaya pendidikan

yang dilakukan oleh lembaga pendidikan belum sepenuhnya mengarahkan perhatian secara

komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim (Ruslan Burhani, 2012)

menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah masih terkendala pemahaman

guru yang belum mampu mengintegrasikannya dalam mata pelajaran. Lebih lanjut, Musliar

Kasim menyatakan bahwa tidak ada mata pelajaran khusus yang membahas mengenai

pendidikan karakter tetapi terintegrasi pada setiap mata pelajaran. Hal ini berarti ketika hendak

memasukkan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, tidak perlu membentuk mata

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

312

pelajaran baru karena sifat-sifat yang hendak dibentuk pada peserta didik tidak dapat dijadikan

sebagai suatu mata pelajaran.

Salah satu model pembelajaran yang di dalamnya memuat pelatihan untuk

menyelesaikan masalah adalah Problem Based Learning (PBL) atau di Indonesia dikenal

dengan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), karena salah satu karakteristik dari PBM adalah

menggunakan masalah untuk mengawali proses pembelajaran. Selain PBM memuat pelatihan

untuk menyelesaikan masalah, dan berdasarkan beberapa hasil penelitian menghasilkan

kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan model Pembelajaran

Berbasis Masalah. PBM lebih baik jika dibandingkan dengan prestasi belajar matematika siswa

yang diajar dengan model pembelajaran konvensional

Namun, model pembelajaran ini masih memiliki beberapa kelemahan, salah satunya

adalah menimbulkan frustasi pada kalangan siswa jika mereka belum dapat menemukan solusi

dari permasalahan (Martinis Yamin, 2008:85). Hal ini tidak akan terjadi jika permasalahan

disusun berdasarkan pengalaman mereka pada kehidupan nyata yang telah mereka alami

(kontekstual). Menyusun permasalahan sesuai dengan kehidupan nyata yang telah dialami siswa

(kontekstual) tentu bukan hal mudah, sehingga perlu menganalisis materi pelajaran terlebih

dahulu.

Berdasarkan uraian di muka, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1).Bagaimanakah bentuk prototype model pembelajaran matematika dengan pendekatan

pendidikan karakter yang sesuai dengan kebutuhan guru di Sekolah Dasar? 2) Bagaimanakah

tanggapan stakeholders terhadap prototype model pembelajaran matematika dengan pendekatan

pendidikan karakter di Sekolah Dasar? 3) Bagaimanakah hasil pengembangan prototype

menjadi suatu model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di

Sekolah Dasar?

Berikut diuraikan kajian teoritis yang mendasari dalam mencari jawaban atas

pemasalahan tersebut.

Pembelajaran matematika adalah suatu cara untuk membuat siswa belajar matematika.

Mengingat bahwa matematika merupakan ilmu yang deduktif aksiomatik dan objek

penelaahannya abstrak, sedangkan matematika sudah harus diajarkan mulai anak-anak, maka

kegiatan pembelajaran matematika harus direncanakan sesuai dengan kemampuan intelektual

siswa. Oleh karena itu cara membelajarkan matematika kepada anak-anak dan orang dewasa

harus berbeda, karena kemampuan intelektualnya berbeda. Menurut Doman, seperti yang

dikutip oleh Herman Hudojo, menyatakan bahwa apabila fakta-fakta matematika diberikan

kepada anak-anak balita sesuai dengan kemampuannya, mereka akan dapat menemukan sendiri

aturan-aturan yang ada di dalamnya (Herman Hudojo, 1988: 95). Hal ini berarti bahwa

matematika dapat diajarkan kepada siapa saja tanpa memandang usia, asal disesuaikan dengan

kemampuan intelektualnya.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

313

Keberhasilan guru dalam membelajarkan siswa dipengaruhi oleh banyak hal, salah

satunya adalah model pembelajaran yang digunakan guru. Oleh karena itu pemilihan model

pembelajaran merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian. Model pembelajaran adalah

kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para

perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas

pembelajaran. Menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2009:23), terdapat empat ciri dari model

pembelajaran yang dapat membedakan model pembelajaran dengan metode, strategi maupun

prinsip pembelajaran, empat ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1) Memiliki rasional teoritik

kuat yang disusun oleh penciptanya, 2) Terdapat tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, 3)

Mempunyai aturan tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat berjalan

dengan baik, dan 4) Pensetingan lingkungan belajar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Berkaitan dengan pemilihan model pembelajaran, Nieveen dalam Trianto (2009: 24-25)

mengemukakan tiga kriteria untuk menentukan kualitas model pembelajaran, yaitu validitas,

kepraktisan dan keefektifan, yang masing-masing diuraikan dengan aspek-aspek sebagai

berikut. 1) Aspek validitas (validity) dikaitkan dengan dua hal, yaitu: a) model pembelajaran

dikembangkan berdasarkan pada rasional teoritik yang kuat, dan b) model pembelajaran

mempunyai konsistensi internal. 2) Aspek kepraktisan (practicality), maksudnya yaitu model

pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan. 2) Aspek keefektifan (effectiveness), yaitu

model pembelajaran dikatakan efektif jika ahli dan praktisi berdasarkan pengalamannya

menyatakan bahwa model tersebut praktis dan secara operasional model tersebut memberikan

hasil sesuai dengan yang diharapkan.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga

sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,

sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan

karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi

pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu

dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.

Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter

bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi

manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang

berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya

diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

Kemdiknas (2010: 11) menyebutkan ada empat prinsip yang digunakan dalam

pengembangan pendidikan karakter, yaitu 1) berkelanjutan, 2) melalui semua mata pelajaran, 3)

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

314

nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar, dan 4) Proses pendidikan

dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran matematika

yang mengintegrasikan pendidikan karakter di Sekolah Dasar. Oleh karena itu model yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Research and Development).

Penelitian pengembangan ini dilakukan dengan menempuh prosedur penelitian pengembangan

seperti diuraikan oleh Sugiyono (2010: 409), yang meliputi sepuluh langkah. Dalam

pelaksanaan penelitian pengembangan ini, dari sepuluh langkah dirampatkan menjadi empat

tahap yang akan dilaksanakan dalam waktu dua tahun yaitu: A) Tahun Pertama, meliputi

langkah-langkah (1) studi pendahuluan atau tahap eksplorasi, dan (2) tahap pengembangan

model, dan B) Tahun kedua, meliputi langkah-langkah (1) tahap pengujian model, dan (2) tahap

diseminasi.

Studi pendahuluan atau eksplorasi dilakukan untuk memperoleh informasi yang

mendalam tentang (1) kondisi nyata mengenai pembelajaran matematika Sekolah Dasar di

wilayah eks karesidenan Surakarta; (2) kondisi nyata tentang kebutuhan guru di SD mengenai

pedoman pembelajaran matematika.

Subjek penelitian ini adalah (1) siswa kelas V sekolah dasar; (2) para guru kelas V

sekolah dasar; dan (3) Stakeholders yang akan ditetapkan kemudian dalam menentukan tokoh-

tokoh yang terlibat dalam mengambil kebijakan. SD yang digunakan penelitian ini adalah SD di

wilayah eks karesidenan Surakarta. Penentuan SD dilakukan dengan cluster random sampling.

Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, diperoleh lokasi penelitian ini meliputi tiga

SD, yaitu Sekolah Dasar Angkasa Colomadu Karanganyar, Sekolah Dasar Negeri Kleco II

Laweyan Surakarta, dan Sekolah Dasar Negeri Sekip II Banjarsari Surakarta.

Teknik pengumpulan data tahap ini adalah (1) observasi, (2) wawancara, (3) catatan

lapangan, dan (4) analisis dokumen.

Teknik analisis data yang digunakan pada tahun pertama penelitian ini adalah model

analisis interaktif dengan teknik deskriptif kualitatif. Teknik ini sesuai dengan model Miles &

Huberman dalam Sugiyono (2010: 337), yang menyatakan bahwa di dalam proses analisis ada

tiga komponen yang harus disadari oleh peneliti. Tiga komponen tersebut adalah sebagai

berikut: 1) Reduksi Data, 2) Penyajian Data, dan 3) Penarikan simpulan, verifikasi, dan refleksi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Eksplorasi/Sudi Pendahluan

Hasil analisis dokumentasi terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas V

SD Negeri Kleco II Kecamatan Laweyan Surakarta, SD Negeri Sekip II Kecamatan Banjarsari

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

315

Surakarta dan SD Angkasa Kecamatan Colomadu Karanganyar dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Guru kelas V di tiga sekolah dasar tersebut telah mengembangkan nilai-nilai karakter, 2)

Nilai-nilai karakter yang telah dikembangkan, diantaranya religius, sopan santun, demokratis,

disiplin, tanggung jawab, tekun, ketelitian, kreatifitas, kerjasama, toleransi, keberanian, percaya

diri dan rasa ingin tahu, 3) Pengembangan nilai-nilai karakter di tiga sekolah dasar tersebut

adalah nilai-nilai karakter yang sifatnya masih umum yang dapat dikembangkan untuk semua

mata pelajaran, 4) Pengembangan nilai karakter di ketiga sekolah dasar tersebut juga sudah

dilengkapi dengan rubrik penilaianya, namun belum semua nilai karakter sudah dilengkapi

dengan rubrik penilaiannya.

Hasil tersebut di atas juga sejalan dengan hasil wawancara yang petikan wawancaranya

dinyatakan sebagai berikut.

P-01: Pak, apakah nilai-nilai karakter seperti religius, jujur, disiplin, dan

sebagainya dikembangkan kepada siswa SD kelas V? G-01: Ya, itu kan program pemerintah, jadi kita harus mendukungnya. P-01: Lalu, bagaimana cara mengembangkan nilai-nilai karakter

tersebut, Pak? G-01: Untuk nilai karakter religius, setiap akan mulai dan menutup

pelajaran anak-anak diminta berdoa sesuai agama masing-masing.

Untuk nilai karakter disiplin, anak-anak diminta masuk kelas tidak

terlambat dan guru member contoh dengan cara masuk kelas tidak

terlambat? P-01: Pak, tadi kan nilai-nilai karakter umum yang dapat dikembangkan

untuk semua mata pelajaran. Apa ada nilai-nilai karakter yang

dikembangkan khusus untuk mata pelajaran matematika? G-01: Maksudnya bagaimana? P-01: Maksud saya nilai-nilai karakter tersebut diintegrasikan ke dalam

mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, guru akan

mengembangkan nilai karakter kejujuran maka guru memberi

permasalahan yang mengintegrasikan nilai kejujuran. Contohnya

begini: Amin membeli 5 buku dengan harga setiap buku Rp 2.500

dan 2 bolpoint dengan harga setiap bolpoint Rp 4.500,-. Amin

membayar dengan uang Rp 20.000,- dan Amin mendapat

pengembalian sebesar Rp 5.000,-. Setelah dihitung ternyata

penegembaliannya berlebih. Amin seorang yang jujur, maka ia

mengembalikan kelebihan uang pengembaliannya. Berapa uang

yang akan dikembalikan Amin kepada penjual buku dan bolpoint

tersebut? G-01: Oh, kalau yang seperti itu belum. Tapi yang seperti itu, menurut

saya baik untuk dikembangkan.

Berdasarkan hasil wawancara, juga diketahui bagaimana cara guru mengembangkan

nilai-nilai karakter, beberapa contoh diuraikan sebagai berikut:

1). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai disiplin antara lain dilakukan

dengan: a) Memberi teladan disiplin dengan cara masuk kelas tepat waktu, b) Memberi

teladan berpakaian seragam sesuai aturan, dan c) Mengecek kehadiran siswa.

2). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai sopan santun antara lain dilakukan

dengan: a) Sebelum masuk kelas mencium tangan guru, b) Memberi teladan berpakaian rapi,

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

316

c) Memberi teladan menerima dan memberi dengan tangan kanan, dan d) Menegur siswa

yang mengucapkan kata-kata kotor.

3). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai tanggung jawab antara lain

dilakukan dengan: a) Membiasakan siswa mengerjakan tugas yang diberikan, b) Memberi

teladan dengan mengembalikan peralatan yang sudah dipakai ke tempatnya semula, dan c)

Membiasakan siswa menjaga kebersihan kelas.

Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa guru belum melakukan penilaian

terhadap pencapaian siswa nilai karakter, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan wawancara

berikut.

P-01: Pak, tadi Bapak sudah menyampaikan bahwa Bapak telah

mengembangkan nilai-nilai karakter seperti religius, jujur, disiplin, dan

sebagainya. G-02: Ya, betul. P-01: Apakah Bapak melakukan penilaian terhadap pencapaian atau

perkembangan nilai-nilai karakter yang telah dikembangkan? G-02: Maksudnya bagaimana? P-01: Maksudnya begini Pak. Dalam buku panduan yang diterbitkan

Kemdinas, di sana dijelaskan ada empat kriteria perkembangan nilai-

nilai karakter, yaitu BT (Belum Terlihat), MT (Mulai Terlihat), MB

(Mulai Berkembang) dan MK (Membudaya). Apakah sudah melihat

tingkat pencapaian setiap siswa Bapak apakah siswa tertentu sudah

mencapai MT, MB atau MK? G-02: Maksudnya bagaimana? G-02: Oh, kalau yang seperti itu belum. P-01: Mengapa Pak? G-02: Begini Pak, guru SD serba susah, di satu sisi pemerintah mempunyai

program-program yang harus dijalankan, di lain pihak wali murid

menuntut bahwa yang penting pada saat ujian akhir sekolah nilai

matematikanya tinggi. Berdasarkan tuntutan itu, guru mengajar

cenderung bagaimana siswa menguasai konsep yang disampaikan,

sehingga tidak sempat melakukan penilain terhadap pencapaian nilai-

nilai karakter yang sudah ditanamkan. Di samping itu juga jam

pelajaran matematika sekarang sudah berkurang, dulu 6 jam pelajaran

sekarang cuma 4 jam pelajaran.

Guru belum melakukan penilaian terhadap perkembangan nilai karakter siswa, hal ini

didasarkan pada alasan-alasan: 1) Jumlah pelajaran matematika hanya 5 jam pelajaran per

minggu, padahal muatan kurikulumnya padat, 2) Adanya tuntutan wali murid bahwa yang

penting pada saat ujian akhir sekolah nilai matematikanya tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam

pembelajaran, guru masih dominan menggunakan model pembelajaran langsung. Pembelajaran

langsung adalah model pembelajaran yang bersifat teacher center. Menurut Arends (dalam

Trianto, 2009: 41), model pembelajaran langsung adalah salah satu model pembelajaran yang

dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan

deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baikyang dapat diajarkan dengan

pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Dalam model pembelajaran langsung,

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

317

guru pada umumnya memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kepada para siswa

tanpa memperhatikan prakonsepsi (prior knowledge) siswa atau gagasan-gagasan yang telah ada

dalam diri siswa sebelum mereka belajar secara formal di sekolah. Kegiatan mengajar dalam

pembelajaran langsung cenderung diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa, serta

penggunaan metode ceramah terlihat sangat dominan. Adapun langkah-langkah pembelajaran

langsung adalah sebagai berikut: 1) Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin

dicapai dan mempersiapkan siswa, 2) Guru menyajikan informasi kepada siswa secara tahap

demi tahap, 3) Guru membimbing pelatihan, 4) Guru mengecek keberhasilan siswa dan

memberikan umpan balik, dan 5) Guru memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan di rumah

(Trianto, 2009: 43).

Hasil Pengembangan Model Pembelajaran

Berdasarkan kajian terhadap kelebihan, kekurangan dan sintaks model pembelajaran

berbasis masalah dan pendekatan kontekstual diperoleh hal-hal sebagai berikut. 1). Pada

pendekatan kontekstual dari Fase 1 yaitu berpikir (thinking) ke Fase 2 yaitu masyarakat belajar

terasa ada lompatan. Hal ini dikarenakan pada Fase 1, guru mengajukan pertanyaan atau

masalah nyata terkait materi yang akan dipelajari dan meminta siswa berpikir untuk mencari

jawaban sendiri atas masalah tersebut, kemudian langsung diikuti Fase 2 yaitu belajar dalam

kelompok (masyarakat belajar). Mestinya dari Fase 1 ke Fase 2 ada langkah dimana guru

memberi bimbingan kepada siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah yang disampaikan

guru. 2) Di lain pihak pada Fase 1 model pembelajaran berbasis masalah, guru menyampaikan

masalah, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas

pemecahan masalah yang dipilih. Kelemahannya adalah masalah yang disampaikan guru belum

tentu masalah nyata (kontekstual) sehingga akan sulit dipahami siswa. Hal ini tidak sesuai Teori

Jean Piaget yang menyebutkan bahwa siswa sekolah dasar masih berada pada tahap berpikir

operasi konkret.

Berdasarkan analisis tersebut dikembangkan model pembelajaran yang merupakan

perpaduan dari model pembelajaran berbasis masalah dan pendekatan kontekstual. Model baru

tersebut diberi nama model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Kontekstual.

Model baru tersebut mempunyai 7 fase, yaitu a) Fase 1 : Orientasi Siswa pada Masalah, b) Fase

2 : Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar, c) Fase 3 : Membantu Penyelidikan Individu

maupun Kelompok, d) Fase 4 : Pemodelan (modelling), e) Fase 5 : Berbagi (sharing), f) Fase 6 :

Refleksi (reflection), dan g) Fase 6 : Penilaian (authentic assesment).

Hasil Pengembangan Pedoman Penilaian Karakter

Pedoman penilaian karakter yang berhasil dikembangkan dilengkapi dengan indikator-

indikator untuk 9 nilai karakter yang cocok untuk dikembangkan pada mata pelajaran di sekolah

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

318

dasar, yaitu a) teliti, b) kreatif, c) rasa ingin tahu, d) kerja keras, e) mandiri, f) tanggung jawab,

g) disiplin, h) kejujuran, dan g) demokratis. Pada masing-masing nilai karakter, peneliti hanya

mengembangkan 5 indikator.

Berikut disajikan contoh pedoman penilaian karakter yang telah dikembangkan.

Tabel 1

Pedoman Penilaian Karakter

No. Nama

Aspek yang Dinilai

Teliti Kreatif Rasa Ingin

Tahu Kerja Keras

Indikator masing-masing aspek diuraikan pada Tabel 2 berikut

Tabel 2 Nilai Karakter dan Indikator yang Dikembangkan

Nilai Indikator

1. Teliti a. Ketepatan dalam memilih rumus yang digunakan. b. Keruntutan dalam menggunakan prosedur/langkah.

c. Ketepatan hasil perhitungan. d. Ketepatan dalam melakukan pengukuran. e. Mengecek kembali hasil pekerjaan sebelum dikumpulkan.

2. Kreatif a. Mencoba cara-cara baru untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

b. Menggunakan berbagai media/sumber untuk menyelesaikan suatu

permasalahan. c. Bertanya tentang materi terkait untuk memperoleh ide atau gagasan. d. Mempunyai penyelesaian suatu masalah yang berbeda dengan orang

yang lain. e. Mempunyai banyak gagasan dan usul terhadap suatu permasalahan.

3. Rasa Ingin

Tahu a. Bertanya kepada guru atau teman tentang materi yang belum

diketahui.

b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada guru atau teman terkait

materi yang sedang dipelajari. c. Mencari informasi dari berbagai sumber.

d. Mencari/menemukan cara baru untuk menyelesaikan suatu masalah. e. Berani mencoba alat atau metode baru.

4. Kerja Keras a. Kesulitan tidak membuat berhenti belajar/menyelesaikan tugas. b. Bertanya tentang tugas atau materi pelajaran yang belum dikuasai ke

teman atau guru. c. Mencari/menemukan cara baru untuk menyelesaikan suatu tugas. d. Berusaha menemukan sendiri konsep/materi yang sedang dipelajari. e. Mengerjakan semua tugas dengan baik walaupun tugas tersebut

sulit/berat.

Pedoman penskoran:

1). Masing-masing aspek diberi skor 5, jika kelima indikator pada masing-masing aspek

muncul semua.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

319

2). Masing-masing aspek diberi skor 4, jika hanya 4 dari 5 indikator pada masing-masing

aspek yang muncul.

3). Masing-masing aspek diberi skor 3, jika hanya 3 dari 5 indikator pada masing-masing

aspek yang muncul.

2). Masing-masing aspek diberi skor 2, jika hanya 2 dari 5 indikator pada masing-masing

aspek yang muncul.

1). Masing-masing aspek diberi skor 1, jika hanya 1 dari 5 indikator pada masing-masing

aspek yang muncul.

Nilai masing-masing aspek = 1005

diperolehyangSkor = ….

Kriteria perkembangan nilai karakter:

Belum Terlihat : jika peserta didik memperoleh skor 1 – 25.

Mulai Terlihat : jika peserta didik memperoleh skor 26 – 50.

Mulai Berkembang : jika peserta didik memperoleh skor 51 – 75.

Mulai Membudaya : jika peserta didik memperoleh skor 76 – 100.

Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan pada tanggal 3

November 2012 di Kampus Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan dihadiri oleh 23 guru dan kepala sekolah

dari dua kabupaten/kota yaitu Surakarta, Karanganyar dan Boyolali diperoleh hasil sebagai

berikut: 1). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa baik ditinjau dari segi substansi maupun

ditinjau segi sintaksisnya, model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kontekstual

sudah baik karena dikembangkan berdasarkan filsafat konstruktivisme dan pembelajarannya

berpusat pada siswa. Mereka memberi saran bahwa ada pemilihan kata dan struktur kalimatnya

perlu diperbaiki. 2). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa model pembelajaran berbasis

masalah dengan pendekatan kontekstual merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat

diimplementasikan di sekolah dasar. 3). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa mereka

merasa mendapat pencerahan bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam mata

pelajaran matematika di sekolah dasar. 4). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa mereka

merasa mendapat pencerahan bagaimana cara melakukan pengukuran (penilaian) nilai-nilai

karakter dalam mata pelajaran matematika di sekolah dasar.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh beberapa

kesimpulan, sebagai berikut: 1) Model pembelajaran yang berhasil dikembangkan adalah model

pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kontekstual yang sintaksnya terdiri dari

tujuh fase, 2) Pedoman penilaian karakter yang berhasil dikembangkan dilengkapi dengan

indikator-indikator untuk sembilan nilai karakter yang cocok untuk dikembangkan pada mata

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

320

pelajaran di sekolah dasar, dan 3) Berdasarkan uji coba terbatas dan uji coba luas diperoleh hasil

bahwa model kontekstual dengan pendekatan masalah dan pedoman penilaian karakter dapat

diimplementasikan dengan baik di sekolah dasar.

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, kepada para guru sekolah dasar, penulis

menyarankan: 1) Guru sesekali perlu menggunakan model pembelajaran kontekstual dengan

pendekatan masalah sebagai dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar yang

mengitegrasikan nilai-nilai karakter. 2) Guru perlu melakukan pengukuran/penilaian terhadap

nilai-nilai karakter yang dikembangkan. Salah satu pedoman penilain yang dapat digunakan

adalah pedoman penilaian karakter yang dikembangkan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Depdikbud.

Kemendiknas.2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah

Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

Martinis Yamin, 2008. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Gaung Persada Pres: Jakarta.

Ruslan Burhani. 2012. Wamendikbud: Pendidikan Karakter Terkendala Pemahaman Guru.

Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/1327069057 /wamendikbud-pendidikan-

karakter-terkendala-pemahaman-guru pada tanggal 1 April 2012.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan

Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

321

Mengembangkan Intuisi Melalui Visualisasi Grafik untuk Membangun

PemahamanKonsep Turunan dalam Kalkulus

Dyah Ratri Aryuna

Program Studi Pendidikan Matematika PMIPA FKIP UNS

Jl. Ir Sutami 36A Surakarta, e-mail : [email protected]

Abstrak

Dalam silabus mata kuliah kalkulus, konsep turunan dibangun melalui konsep limit -

dimulai dengan meninjau kemiringan garis singgung sebagai limit dari kemiringan tali busur

kemudian dilanjutkan dengan memberikan definisi turunan dari suatu fungsi f sebagai fungsi

'f yang nilainya di sebarang titik x sama dengan h

xfhxf

h

)()(lim

0

. Ide geometris

secara visual digunakan untuk membangun konsep turunan. Tetapi data empiris menunjukkan

ide visual yang dianggap intuitif bagi matematikwan bisa jadi tidak intuitif bagi mahasiswa.

Perkembangan pembelajaran kalkulus belakangan ini menyarankan pembelajaran diawali

dengan eksplorasi terhadap perbesaran grafik untuk mengenalkan konsep kemiringan kurva

dan kemudian perubahan kemiringan kurva dapat disajikan secara numerik disertai dengan

ilustrasi grafik sehingga diharapkan dibangun konsep turunan sebagai suatu fungsi. Visualisasi

grafik memungkinkan jangkauan yang lebih luas tentang contoh dan non contoh untuk ditinjau,

sehingga mahasiswa tidak hanya belajar bagaimana menghitung turunan tetapi juga memberi

arti untuk fungsi yang dapat diturunkan atau tidak dapat diturunkan. Dalam tulisan ini

visualisasi grafik dilakukan dengan menggunakan piranti lunak interaktif Maple 13.0

Kata kunci : intuisi visual,kalkulus, turunan

PENDAHULUAN

Dalam silabus mata kuliah kalkulus ide turunan diperkenalkan melalui ide geometris secara

visual . Dapat diturunkan di suatu titik c dilihat sebagai adanya limit dari kemiringan tali busur-

tali busur di dekat titik c tersebut. Selanjutnya diberikan defisini untuk turunan, yakni turunan

dari suatu fungsi f adalah fungsi lain, yang dinotasikan dengan 'f , yang nilainya disebarang

titik x diberikan sama dengan h

xfhxf

h

)()(lim

0

( Purcell, 2004 ).

Silabus kalkulus secara tradisional yang mencoba mengenalkan pengertian limit sebelum

membicarakan kemiringan kurva menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya ( Tall 1985 ).

Kesulitan tersebut antara lain disebabkan adanya pertentangan antara ide intuisi siswa tentang

laju perubahan, kemiringan garis singgung dengan definisi formal turunan ( Barnes 1995 ).

Penelitian empiris menunjukkan bahwa siswa memiliki sejumlah kesulitan dengan cara ini. Tall

( 1991 ), mencontohkan suatu hasil penelitian Orton ( 1977 )

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

322

Gambar 1

Dilaporkan bahwa dari 110 responden, ketika ditanyakan apa yang terjadi dengan talibusur-

talibusur PQ pada sketsa kurva, jika titik Q mendekati P , 43 siswa tidak mampu melihat

bahwa proses itu akan menuju pada garis singgung kurva. Terdapat kebingungan yang perlu

untuk diperhatikan bahwa tali busur diabaikan oleh siswa, mereka lebih memperhatikan busur

PQ. Tipikal jawaban yang tidak memuaskan tersebut diantaranya : garisnya semakin pendek,

tali busur menjadi titik, luas daerah semakin kecil.

Penelitian Tall ( 1986 ) sendiri juga menunjukkan hal yang hampir serupa. Diberikan

pertanyaan berikut pada 160 siswa yang mulai mengikuti kalkulus di Inggris, 96 diantaranya

telah mempelajari kalkulus sebelumnya

Gambar 2

Hanya 16 anak ( 10% ) yang menemukan nilai gradien AB adalah 1k dan nilai gradien AT

adalah 2 dan 44 anak ( 27.5 % ) menjawab 1

12

k

k dan 2. Setelah mengikuti kuliah kalkulus

selama 2 bulan , jumlah tersebut tidak banyak berubah, masing-masing menjadi 17 ( 11% ) dan

P

1Q

3Q

2Q

A

k

2k B

Pada grafik 2xy , titik A adalah ( 1,1),

titik B adalah ),( 2kk dan T adalah suatu

titik pada garis yang menyinggung grafik

pada A

(i) Tentukan gradien AB

(ii) Tentukan gradien AT

Jelaskan bagaimana anda mencari gradien

AT dengan menggunakan gradien AB

T

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

323

38 anak ( 24% ). Dari yang menjawab demikian, hanya satu anak pada pretest ( telah pernah

belajar kalkulus ) dan satu anak pada posttest yang melihat jika k mendekati 1, maka 1k

menuju 2. Pada wawancara dengan siswa lainnya tidak terlihat sama sekali ide limit muncul.

Ketika pertanyaan yang sama diajukan pada mahasiswa peserta mata kuliah Kalkulus 1 di

Program Studi Pendidikan Matematika UNS diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda dengan

hasil penelitian Orton dan Tall . Untuk pertanyaan pertama, dari 38 responden 52 % menjawab

tali busur akan semakin pendek dan 15 % menjawab titik Q mendekati P hingga berimpit.

Sisanya memberikan jawaban yang beragam antara lain : kemiringan garis akan semakin landai,

gradien garis akan semakin kecil, panjang tali busur berbanding lurus dengan dengan panjang

busur PQ, tali busur memiliki kemiringan yang bernilai sama pada masing-masing titik, tali

busur mendekati titik singgung dan lainnya yang bahkan tidak ada kaitannya dengan

pertanyaan. Untuk pertanyaan kedua , 38% anak bisa menjawab bahwa kemiringan segmen

garis AB adalah 1k tetapi tidak ada satupun responden yang melihat bahwa jika B mendekati

A maka tali busur-tali busur AB akan mendekati garis singgung dan memiliki kemiringan 1k

dengan k mendekati 1 sehingga kemiringan garis singgung dapat diduga adalah 2.

Data empiris menunjukkan bahwa membelajarkan konsep turunan melalui konsep limit

dengan berusaha membuatnya intuitif secara geometri dengan cara seperti yang telah

dikemukakan di atas terlihat tidak memuaskan. Sesuatu yang dianggap intuitif oleh para

matematikawan atau dosen, belum tentu intuitif menurut mahasiswa.

Belakangan ini telah terjadi gerakan pada banyak bagian dunia untuk mereformasi

pembelajaran Kalkulus. Di Inggris, David Tall mengenalkan suatu pendekatan inovatif

menggunakan grafik komputer. Idenya telah diadopsi dan diakui dalam banyak proyek

kurikulum. Di Amerika Serikat, pendanaan yang besar telah dibuat selama tahun 1980 untuk

reformasi kalkulus, dan banyak proyek besar dirancang. Kebanyakan berkaitan dengan

pembelajaran pada tingkat perguruan tinggi, tapi sebagian juga terkait dengan sekolah

menengah. Di Australia , pada tahun 1988 Department of Employement Education and Training

telah mendanai Introductory Calculus Project. Tujuan proyek tersebut adalah untuk

meningkatkan minat dan partisipasi siswa pada Kalkulus ( Mary Barnes, 1995 )

Berbagai pendekatan digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang Kalkulus.

Proyek investigasi atau diskusi dan interaksi dalam kelompok kecil, bertujuan untuk mengikat

minat siswa dan melibatkan mereka dalam pembelajaran yang aktif dan penuh makna, tetapi

aspek kunci hampir pada semua proyek reformasi itu adalah digunakannya grafik kalkulator

atau komputer untuk membangun pemahaman intuisi yang lebih baik.

PEMBAHASAN

Proses penyempurnaan yang berlangsung selama berabad-abad menghasilkan pendekatan

logika pada pembelajaran kalkulus. Misalnya kemiringan garis singgung dipandang sebagai

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

324

limit dari tali busur dan ide turunan didefinisikan sebagai limit, sehingga dengan pendekatan

logika pengertian limit dikenalkan sebelum mempelajari turunan. Tetapi Tall ( 1985 ),

mengemukakan suatu kritik yang dilontarkan oleh Richard Skemp dalam pendahuluan

Psychology of Learning Mathematics ( 1971 ) berkaitan dengan pendekatan logika tersebut : It

gives only the end-product of mathematical discovery („This is it: all you have to do is learn it‟),

and fails to bring about in the learner those processes by which mathematical discoveries are

made. It teaches mathematical thought, not mathematical thinking. Pendekatan logika

menyebabkan siswa hanya melihat produk akhir dari penemuan secara matematika bukan

bagaimana temuan matematika tersebut diperoleh, yang diajarkan adalah pemikiran matematika

bukan berpikir matematika.

Pembelajaran yang lebih memperhatikan perkembangan kognitif siswa, dianggap lebih

mampu membangun pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik. Tall ( 2004 )

mengemukakan bahwa sebenarnya terdapat tiga tipe perkembangan kognitif yang berbeda, yang

mendiami tiga “dunia” matematika yang berbeda tapi saling terkait dalam perkembangannya.

Dua yang pertama mendominasi matematika elementer sedangkan yang ketiga membangun

berpikir matematika tingkat tinggi. Ketiga dunia tersebut adalah :

(i) “ conceptual-embodied“yang berkembang berdasarkan persepsi dan refleksi terhadap sifat-

sifat yang dimiliki objek

(ii) “ proceptual-symbolic “yang tumbuh dari “ embodied world ” melalui kegiatan ( seperti

menghitung ) dan simbolisasi ke dalam konsep yang dapat dipikirkan ( seperti bilangan ),

membangun simbol sebagai fungsi dari proses mengerjakan dan konsep berpikir tentang

sesuatu ( disebut procepts )

(iii) “ axiomatic formal “ yang berdasarkan pada definisi formal dan bukti, barisan konstruksi

pengertian dari konsep yang telah diketahui menuju konsep formal berdasarkan himpunan

definisi teoritik.

Lebih jauh menurut Tall ( 2008 ) Kombinasi dari ketiga dunia tersebut mungkin saja terjadi

, seperti “symbolic-embodied” dimana simbol di persepsi dan direfleksi, “ embodied formal ”

menterjemahkan ide ke dalam struktur formal dan “ symbolic formal ” dimana ide simbolik di

terjemahkan ke dalam bahasa formal. Pada Gambar 3, disajikan skema perkembangan kognitif

menurut David Tall.

Jika memperhatikan tipe perkembangan kognitif dalam belajar yang dikemukakan oleh

David Tall, maka seharusnya pembelajaran matematika dikembangkan dengan bertitik tolak

dari dunia “conceptual-embodied“. Dunia “ conceptual-embodied“ merujuk pada ide yang

spesifik, yakni menggabungkan atau mengorganisir ide melalui percobaan berdasarkan persepsi

dan refleksi pada sifat-sifat objek. Dalam hal ini biasanya digunakan gambar geometri.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

325

Gambar 3. Skema perkembangan kognitif menurut David Tall

Menurut Bruner (1977), intuisi adalah tindakan seseorang menggapai makna atau struktur

suatu masalah, yang tidak menggantungkan secara eksplisit pada analisis dalam bidang

keahliannya. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik

sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-

contoh tindakan intuitif. Intuisi dekat dengan suasana permainan, yang dapat menerima

kesalahan sebagai sesuatu yang wajar. Intuisi merupakan kegiatan yang lebih menghargai proses

belajar, yang tidak hanya menekankan pentingnya jawaban benar saja.

Dalam essainya “Towards a disciplined intuition” , Bruner mengelompokkan dua

pendekatan dalam menyelesaikan masalah, yakni pendekatan intuisi dan analitik . Lebih lanjut

mengenai intuisi, Bruner mengemukakan : ... in general intuition is less rigorous with respect to

proof, more oriented to the whole problem than to particular parts, less verbalized with respect

to justification, and based upon a confidence to operate with insufficient data Secara umum

intuisi tidak seketat bukti, berorientasi pada masalah secara keseluruhan bukan pada bagian

yang khusus, tidak severbal justifikasi dan berdasarkan pada keyakinan meski dengan data yang

mugkin kurang lengkap. Adanya perbedaan dalam model berpikir, menyebabkan adanya

perbedaan antara proses berpikir intuisi dan berpikir menggunakan logika matematika yang

formal. Intuisi melibatkan pemrosesan yang sangat berbeda dalam langkah demi langkahnya

dibandingkan pemrosesan yang membutuhkan deduksi yang ketat. ( Tall, 1991 ).

Dalam penelitian matematika, bukti adalah penting tapi itu adalah akhir dari suatu proses.

Sebelum dapat dibuktikan, mesti ada ide dari teorema yang berharga untuk digunakan dalam

pembuktian. Tahap penyelidikan dalam berpikir matematika membangun semua gambaran

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

326

hubungan dan gambaran hubungan tersebut dapat diperoleh dari visualisasi. Menolak visualisasi

berarti menolak akar dari banyak ide matematika. Dalam tahap awal penemuan teori fungsi,

limit, kontinu dan lainnya, terbukti bahwa visualisasi adalah sumber dari ide-ide. Menjauhkan

visualisasi dari siswa adalah seperti memotong akar sejarah dari teori-teori tersebut. Ide yang

diperoleh dari visualisasi dapat mengantarkan pada intuisi yang sangat kuat untuk nantinya

dapat digunakan dalam pembuktian matematika yang ketat.

Namun demikian, pengembangan intuisi melalui visualisasi dalam pembelajaran perlu

dirancang dengan cermat. Ide visual yang dianggap intuitif bagi matematikawan bisa jadi tidak

intuitif bagi siswa. Intuisi adalah resonansi global di dalam otak dan bergantung pada struktur

kognitif individu yang bergantung pada pengalaman sebelumnya dari individu. Tidak ada alasan

untuk berharap bahwa pemula akan memiliki intuisi yang sama dengan ahli, bahkan jika ditinjau

pada pemahaman visual yang sederhana sekalipun. Penelitian pada bidang pendidikan

matematika menunjukkan bahwa ide siswa yang muncul pada banyak konsep tidak seperti yang

diharapkan ( Tall, 1991 )

Pembelajaran konsep turunan dapat diawali dengan eksplorasi terhadap perbesaran grafik

untuk mengenalkan konsep kemiringan kurva dan kemudian perubahan kemiringan grafik

secara numerik disajikan dan diilustrasikan dengan grafik, sehingga dapat membangun konsep

turunan sebagai suatu fungsi. Visualisasi grafik memungkinkan jangkauan yang lebih luas

tentang contoh dan non contoh untuk ditinjau, sehingga siswa tidak hanya belajar bagaimana

menghitung turunan tetapi juga memberi arti untuk fungsi yang dapat diturunkan atau tidak

dapat diturunkan. Ide limit muncul secara implisit dalam eksplorasi, tetapi implementasi penuh

ide limit dan turunan secara formal dapat diundur pada tingkat yang lebih lanjut ( Tall, 1985 ).

Keberadaan perangkat lunak visual interaktif memungkinkan pendekatan eksplorasi yang dapat

membuat pengguna mendapatkan pemahaman konsep melalui intuisi dan menghasilkan dasar

kognitif dimana teori matematika yang bermakna dapat dibangun ( Tall, 1986). Barnes ( 1995 ),

mengemukakan ide visual yang digunakan untuk mengembangkan intuisi dalam memahami

konsep turunan bisa ditampilkan dengan menggunakan berbagai piranti lunak interaktif yang

memungkinkan mahasiswa melakukan eksperimen untuk melihat banyak contoh, mengamati

pola dan membuat dugaan dengan menggunakan grafik, antara lain mahasiswa dapat :

- menginvestigasi apakah suatu grafik fungsi secara lokal lurus ( locally straight ) dengan

melakukan perbesaran grafik berkali-kali pada suatu titik.

- menggambar fungsi kemiringan grafik dan menggunakan tebak dan periksa untuk

mendapatkan aturan pencarian turunan

- membuat kaitan antara data numerik, grafik dan representasi simbolik dari fungsi

Berikut akan dikemukakan beberapa hal yang dapat diupayakan untuk mengembangkan

intuisi melalui visualisasi grafik untuk membangun pemahaman konsep turunan. Visualisasi

dilakukan dengan menggunakan piranti lunak interaktif Maple 13.0

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

327

Tall ( 1986 ), mengemukakan bahwa untuk membangun konsep turunan, kita tidak harus

memulai dengan kemiringan garis singgung atau tali busur yang mendekati posisi garis

singgung, tapi secara lebih sederhana kemiringan grafik itu sendiri ( the gradient of the graph

itself ). Walaupun grafik berupa kurva, dengan perbesaran grafik bagian kecil dari kurva terlihat

hampir lurus. Dalam cara ini kita dapat bicara tentang kemiringan kurva sebagai kemiringan

dari bagian perbesaran grafik yang mendekati lurus ( aproximately straight )

Sebagai contoh, bagian dari grafik 2xy didekat 1x diperbesar. Dengan memberikan

sedikit waktu untuk bereksperimen, mahasiswa dapat membuat dugaan bahwa semakin grafik

diperbesar maka semakin kecil bagian kurva yang diperoleh dan sampai pada suatu perbesaran

yang cukup tinggi kurva akan terlihat seperti segmen garis. Dengan menggunakan Maple 13.0

hal tersebut dapat ditampilkan seperti Gambar 4 berikut ini :

Gambar 4

Selanjutnya dapat diperkirakan kemiringan segmen garis 2 . Jadi kemiringan grafik di 1x

adalah 2 ( lihat Gambar 5 ).

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

328

Gambar 5

Dengan cara ini kemiringan grafik dapat diselidiki secara eksperimental sebelum pengertian

limit secara formal diberikan.

Menurut Tall ( 1986 ) , jika dalam kuliah tradisional perilaku fungsi yang tidak dapat

diturunkan di suatu titik dipelajari belakangan, dengan menggunakan bahasa kemiringan kurva

yang telah dikemukakan di atas kita dapat mengenalkannya lebih awal. Jika dipandang bahwa

fungsi dapat diturunkan di suatu titik jika fungsi tersebut secara lokal lurus ( locally straight ),

maka yang tidak dapat diturunkan secara sederhana dapat kita pandang sebagai tidak dapat

secara lokal lurus ( not locally straight ).

Meminta mahasiswa untuk langsung memberikan contoh fungsi not locally straight

mungkin akan menyulitkan, oleh sebab itu sebelumnya mahasiswa dapat bereksperimen dengan

grafik-grafik xy , xy sin , xxy 2 untuk melihat bahwa mereka punya sudut ( corner

) yang jika diperbesar menunjukkan dua segmen garis yang gradiennya berbeda bertemu di

suatu titik .

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa perbesaran grafik grafik xy sin di sekitar x ,

memberikan dua segmen garis yang gradiennya berbeda bertemu di titik x . Jadi xy sin

not locally straight di sekitar x , sehingga fungsi xxf sin)( tidak dapat diturunkan di

x

Juga menarik untuk meninjau fungsi seperti

xxxf

1sin)( atau bahkan

xxxxg

1sin)()( . Pada Gambar 7, dapat dilihat grafik dari kedua fungsi tersebut yang

dibuat dengan menggunakan Maple 13.0.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

329

Gambar 6

Gambar 7

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

330

Perbesaran di sekitar titik asal, akan menunjukkan bahwa grafik f berosilasi secara liar di

sekitar titik asal dan g meskipun locally straight di satu sisi tetapi berosilasi di sisi lain,

sehingga fungsi f dan g not locally straight disekitar 0x . Jadi f dan g tidak dapat

diturunkan di 0x

Karena kemiringan grafik di suatu titik dipandang sebagai kemiringan dari bagian

perbesaran grafik yang mendekati lurus disekitar titik tersebut, maka kemiringan kurva di

sebarang titik x bisa di pandang sebagai c

xfcxf )()( untuk suatu c yang kecil. Adalah

suatu hal yang mudah untuk menghitung ekspresi c

xfcxf )()( untuk suatu nilai c yang

kecil dengan x yang bervariasi dengan menggunakan komputer. Secara numerik dapat

ditunjukkan kaitan antara x dengan nilai-nilai kemiringan grafik di x adalah suatu fungsi dan

sekaligus diperoleh titik-titik yang menjadi “outline” dari grafik fungsi kemiringan dan

mengenalinya sebagai turunan dari f ( Tall, 1986 ).

Sebagai contoh, dengan menggunakan Maple 13.0 , dapat ditampilkan secara numerik

nilai-nilai x dan 05,0

)cos()05,0cos( xx dengan x yang bervariasi dan dari titik-titik tersebut

diperoleh “outline” dari grafik fungsi kemiringannya ( Lihat Tabel 1 dan Gambar 8 )

Gambar 8

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

331

n x

05,0

cos)05,0cos( xx

Tabel 1

Jika diperhatikan kaitan antara x dan kemiringan grafik di x seperti yang terlihat pada

tabel di atas dan dari plot titik-titik tersebut pada bidang- xy , maka tampak bahwa kemiringan

adalah fungsi dari x . Lebih jauh dengan menggunakan Maple 13.0 dapat ditampilkan grafik

xy cos dan 05,0

cos)05,0cos( xxy

dalam sistem koordinat yang sama seperti Gambar 9

berikut :

Gambar 9

xy cos

05,0

)cos()05,0cos( xxy

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

332

Hingga tahap ini, diharapkan mahasiswa telah mendapatkan pemahaman konsep dapat

diturunkan di suatu titik dan konsep turunan secara intuisi melalui visualisasi grafik dan

diharapkan dapat menghasilkan dasar kognitif dimana teori formal yang bermakna dapat

dibangun selanjutnya.

Selain apa yang telah dikemukan, melalui visualisasi grafik mahasiswa juga bisa

mendapatkan intuisi untuk kemudian membuat dugaan ( conjecture ) untuk beberapa hal, yang

kelak pada tahap formal dapat ditunjukkan sebagai sebuah teorema atau rumus ( formula ) .

Misalnya, melalui pengalaman memplot berbagai titik x dan kemiringannya mahasiswa dapat

membuat dugaan bagaimana perilaku kemiringan grafik di suatu interval mempengaruhi

perilaku grafiknya. Mahasiswa juga dapat mengeksplorasi berbagai grafik fungsi dan grafik

fungsi kemiringannya untuk kemudian membuat dugaan tentang rumus fungsi turunan untuk

fungsi-fungsi sederhana seperti fungsi pangkat, fungsi polinomial dan fungsi trigonometri ( Tall,

1985 )

Sebagai contoh, mahasiswa terlebih dahulu meninjau grafik fungsi dan grafik fungsi

kemiringannya untuk 2x dan

3x . Dengan menggunakan Maple 13.0 , dapat ditampilkan seperti

Gambar 10 berikut :

Gambar 10

Mahasiswa dapat melihat bahwa turunan dari 2)( xxf adalah x2 dan turunan dari

3)( xxf adalah 23x dan mencoba membuat dugaan bahwa rumus untuk turunan dari

nxxf )( adalah 1nnx . Selanjutnya mahasiswa dapat melakukan investigasi dengan

mengeksplorasi grafik nxy dan grafik fungsi kemiringannya dan membandingkannya dengan

grafik 1 nnxy , untuk berbagai n . Pada tahap formal nanti dapat dibuktikan bahwa jika

nxxf )( maka 1)(' nnxxf

2xy

05,0

)05,0( 22 xxy

3xy

05,0

)05,0( 33 xxy

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

333

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam mengembangkan intuisi melalui visualisasi grafik untuk membangun pemahaman

konsep turunan dapat diupayakan hal-hal berikut :

1. Mengenal kemiringan kurva sebagai kemiringan dari perbesaran bagian kecil dari grafik

yang terlihat mendekati lurus.

2. Mengeksplorasi fungsi-fungsi yang secara lokal lurus ( locally straight ) atau tidak dapat

secara lokal lurus ( not locally straight ) pada suatu titik dan mengenal konsep dapat

diturunkan pada suatu titik secara intuisi terkait dengan sifat locally straight dan not

locally straight

3. Bereksplorasi dengan menghitung ekspresi c

xfcxf )()( untuk suatu nilai c yang kecil

dengan x yang bervariasi dan memplot titik-titik

c

)()( ,

xfcxfx untuk beragam

fungsi f pada bidang- xy . Mengamati data dan plot titik-titik data untuk melihat kaitan

antara x dengan nilai-nilai kemiringan grafik di x sebagai suatu fungsi dan mengenal

konsep turunan secara intuisi.

4. Melakukan eksperimen dan kemudian membuat dugaan tentang berbagai hal yang

berkaitan dengan pencarian turunan dan penggunaan turunan , misalnya dugaan tentang

rumus fungsi turunan untuk fungsi-fungsi sederhana seperti fungsi pangkat, fungsi

polinomial dan fungsi trigonometri dan kaitan antara kemiringan kurva dengan perilaku

grafik.

Dalam eksplorasi, investigasi atau eksperimen yang dilakukan untuk menampilkan grafik dan

perbesarannya disekitar suatu titik, menghitung ekspresi c

xfcxf )()( dan memplot titik-

titik

c

)()( ,

xfcxfx dapat dilakukan dengan menggunakan Maple 13.0

Selanjutnya dari terkait dengan tulisan ini, dikemukakan saran-saran berikut :

1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat keefektifan visualisasi grafik dalam

mengembangkan intuisi mahasiswa dalam membangun pemahaman konsep turunan dan

melihat pengaruhnya terhadap kemampuan mahasiswa dalam mempelajari konsep turunan

dalam tahap formal.

2. Jika ditemui keterbatasan ketersediaan komputer, sekalipun hanya dengan satu komputer di

depan kelas dengan panduan dosen hal-hal yang dikemukakan di atas ini masih dapat

dilakukan. Jika memungkinkan setiap mahasiswa menggunakan komputer, penggunaan

Maple 13.0 dapat dikembangkan lebih jauh atau dicari piranti lunak interaktif lain yang

bersifat tutorial agar lebih mudah dan langsung bisa digunakan mahasiswa. .

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

334

DAFTAR PUSTAKA

Bruner, J.S. 1977 „Bruner on the learning of mathematics – A “process” orientation. Dalam

Aichele, D.B., Readings in Secondary School Mathematics. Boston : Prindle, Weber, &

Schmidt.

Barnes, Mary. An Intutive Aproach to Calculus. Diakses pada 11/20/2012 : 3:22 PM dari

http://hsc.ssu.edu.au/maths/teacher_resources/2384/barnes.htm

Tall, D.O. 1985 The Gradient of a Graph. Mathematics Teaching , 111, 48–52.

Tall, D.O. 1986. Graphic Insigth into Mathematical Concept.The Influence of Computers and

Informatic on Mathematics and Teaching ( ed Howson G & Kahane J-P ), C.U.P

Tall, D. O ( 1991) Intuition and Rigour : the role of visualization in the Calculus. Visualization

in Mathematics (ed. Zimmermann & Cunningham), M.A.A., Notes No. 19, 105–119

Tall, D. O. (2004). Introducing The three worlds of mathematics. For the Learning of

Mathematics, 23 (3). 29–33.

Tall, D. O. (2008). The Transition to Formal Thinking in Mathematics. Mathematics Education

Research Journal, 20 (2), 5-24.

Varberg, Dale.,Purcell.Edwin J., Rigdon. Steven.E. 2004. Kalkulus Edisi 8 ( alih bahasa I.

Nyoman Susila ) . Jakarta : Erlangga

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

335

PENGEMBANGAN INTUISI SISWA DALAM MEMECAHKAN

MASALAH MATEMATIKA

Budi Usodo

Staf Pengajar pada program studi Pendidikan Matematika

Univ. Sebelas Maret Surakarta

ABSTRAK

Matematika adalah ilmu deduktif, tetapi belajar matematika tidak selalu dimulai

dengan pola pikir deduktif. Setiap anak pada awalnya berpikir matematika secara intuitif.

Berdasarkan pengetahuan intuitifnya itu, anak akan mengkonstruksi pengetahuan

matematika secara formal. Oleh sebab itu belajar matematika memerlukan intuisi. Intuisi

adalah kognisi segera yang keberadaannya tidak melalui proses penalaran secara deduktif

serta mempunyai ciri-ciri yaitu direct (langsung), self evident (benar dengan sendirinya),

intrinsic certainty (pasti secara intrinsik),coerciveness (penggiringan), Extrapolativeness

(pemerkiraan) dan Globality (Global). Intuisi sangat berperan dalam pemecahan masalah,

oleh sebab itu perlu upaya pengembangan intuisi siswa dalam memecahkan masalah.

Salah satu upaya untuk mengembangkan intuisi siswa dalam memecahkan

masalah dapat dilakukan dengan mendisain kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran

yang didisain dapat mendasarkan pada tahapan untuk memunculkan intuisi, yaitu (1) tahap

persiapan, adalah tahap mendefinisikan masalah dan mengumpulkan semua informasi

terkait untuk memverifikasi apakah sebuah solusi bisa diterima atau tidak, (2) tahap

inkubasi, adalah dalah tahap mundur dari persoalan dan membiarkan pikiran kita bekerja

di belakang layar, (3) tahap iluminasi, adalah tahap bermunculannya ide-ide dari pikiran

yang menyediakan dasar untuk respons kreatif. Ide-ide tersebut merupakan intuisi. Tahap

ini berlangsung singkat dan sering berupa inspirasi sesaat yang intens, (4) tahap verifikasi,

adalah pengujian untuk menentukan apakah inspirasi yang diperoleh dari tahap sebelumnya

memenuhi kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan.

Kata kunci: intuisi, pengembangan intuisi, persiapan, inkubasi, iluminasi, verifikasi

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pada kegiatan pembelajaran, tentunya siswa diajarkan memecahkan masalah. Dalam

mengajarakan bagaimana memecahkan masalah, berbagai guru atau pendidik mempunyai cara

yang berbeda-beda. Diantaranya adalah dengan selalu memberikan contoh-contoh bagaimana

memecahkan suatu masalah, tanpa memberikan kesempatan banyak pada siswa untuk berusaha

menemukan sendiri penyelesaiannya.

Dengan cara demikian siswa menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah.

Akibatnya siswa hanya mampu memecahkan masalah bila telah diberikan caranya oleh guru.

Dengan kondisi demikian, maka siswa seringkali dihadapkan pada beberapa kesulitan,

misalnya siswa tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan masalah yang diberikan atau bila

telah dapat memulai menjawab, namun mengalami kemacetan di tengah penyelesaian soal

tersebut, meskipun sebenarnya telah dimilikinya bekal yang cukup untuk memecahkan masalah

tersebut.

Disamping itu kebiasaan penggunaan tes obyektif sebagai evaluasi hasil belajar siswa,

menyebabkan siswa tidak terbiasa menyelesaikan soal yang berbentuk uraian. Dampak yang

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

336

muncul dari kondisi semacam itu adalah siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan

masalah. Karena dalam menyelesaikan masalah dibutuhkan kemampuan untuk analisis, sintesis

bahkan evaluasi. Sehingga akan menjadikan siswa lemah dalam memecahkan masalah yang

membutuhkan kemampuan kognitif yang tinggi.

Di pihak lain, pada pembelajaran yang ada saat ini masih dijumpai pembelajaran yang

dilakukan secara mekanistik, yaitu menekankan untuk mengajarkan dalam menjawab

pertanyaan bagaimana, dibanding dengan pertanyaan mengapa. Dalam membelajarkan konsep,

guru lebih pada memberikan konsep itu kepada siswanya secara final, dibanding dengan

bagaimana guru mendisain pembelajarannya agar siswa berproses untuk memperoleh konsep

tersebut. Pembelajaran dengan cara tersebut cenderung dilakukan dengan bahasa formal tanpa

mempertimbangkan pengetahuan informal siswa dan cenderung menekankan hasil akhir.

Menurut Bruner (1977), pengajaran yang terlalu dini menggunakan bahasa formal atau

yang menekankan hasil akhir, berdampak kurang baik pada hasil belajar. Pengetahuan menjadi

tampak sebagai barang asing yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan informal anak.

Formalisme dalam pembelajaran tidak memberi kesempatan bagi anak untuk berpikir sendiri

mengenai gagasan suatu pengetahuan. Anak menjadi kurang percaya diri akan kemampuannya

dalam melakukan proses belajar. Bahkan keadaan yang paling buruk, pembelajaran tersebut

tidak memberi tempat untuk berkembangnya ide-ide kreatif anak, yang sebenarnya berkaitan

erat dengan cara alamiah anak dalam belajar.

Walaupun proses berpikir analitik dan logika memainkan peranan penting dalam

merepresentasikan struktur logika suatu pengetahuan. Akan tetapi, mengejar ketepatan dan

formalisme hanyalah hasil akhir dari aktivitas belajar. Proses membangun pengetahuan tanpa

disadari menghasilkan pengenalan tentang kepastian atau ketakpastian, verifikasi atau

penyangkalan tanpa pembuktian (Kossak, 1966). Karena itu diasumsikan bahwa aktivitas

mental seseorang terdiri atas kognisi formal (formal cognition) dan kognisi intuitif (intuitive

cognition) dari suatu pengetahuan. Kognisi formal merujuk kepada kognisi yang dikontrol oleh

logika dan bersifat analitis (Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara ketat

memahami seuatu pengetahuan. Kognisi formal juga perlu bagi siswa untuk maju ke tingkat

pengetahuan yang lebih tinggi.Akan tetapi kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah

berpikir dalam aktivitas belajar. Pengembangan kemampuan memahami dan menggunakan

pengetahuan formal tidak selalu dapat dikembangkan suatu kreativitas yang diperlukan dalam

proses belajar, seperti membuat dugaan atau klaim pengetahuan baru. Siswa mungkin sangat

yakin akan kemampuan pengetahuan formalnya. Akan tetapi hanya sedikit siswa yang berhasil

dengan baik dalam aktivitas menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali

menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah. Karena itu diduga bahwa ada aktivitas

mental berbeda dari kognisi formal. Hal tersebut disebut kognisi intuitif (intuitive cognition),

atau intuisi (intuition).

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

337

Keberadaan intuisi dalam kaitannya untuk memecahkan permasalahan dapat dilihat

dari sejarah para tokoh-tokoh terkemuka. Jules Henri Poincaré dianggap sebagai salah seorang

ilmuwan terbesar dan paling kreatif yang pernah dimiliki Prancis. Selain dikenal sebagai ahli

matematika, dia juga terkenal dengan sumbangannya di dunia fisika teoritis dan ahli filsafat

ilmu pengetahuan. Sepanjang hidupnya, dia berhasil merumuskan banyak penemuan penting

seperti Fuchsian series, meletakkan landasan untuk teori khaos, fraktal, dan prinsip-prinsip

dasar teori relativitas. Poincare berhasil memakai intuisinya untuk membantu melakukan

penemuan penting. Menurut penuturannya sendiri, dia berusaha selama 15 hari untuk

membuktikan sebuah teka-teki matematika yang selama ini belum bisa dipecahkan. Setiap hari

dia duduk di meja kerja selama satu atau dua jam, mencoba berbagai kombinasi dan tanpa hasil.

Lalu suatu sore, berlawanan dengan kebiasaannya, dia meminum kopi hitam dan tidak bisa

tidur. Tiba-tiba, ide datang secara bertubi-tubi. Ide-ide tersebut bertabrakan dan akhirnya

menyatu dalam kesatuan, atau menurut istilah Poincare, membuat kombinasi yang stabil.

Keesokan harinya dia hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk menuliskan hasilnya.

Kristalisasi tahap pertama telah terjadi.

Dia lalu menjelaskan bagaimana kristalisasi tahap kedua terjadi, yang dibantu oleh

analogi. Dia meninggalkan Caen, dimana dia tinggal, untuk pergi ke sebuah perjalanan

penggalian geologi. Perubahan lingkungan tersebut membuatnya melupakan matematika. Suatu

ketika, ketika dia sedang memasuki sebuah bus, dan kakinya berada di tangga bus, sebuah ide

datang, tanpa ada pikiran sadar yang mencoba mengarahkannya. Dia tiba-tiba menyadari bahwa

transformasi yang digunakan untuk mendefinisikan fungsi baru yang sedang ditelitinya identik

dengan transformasi yang dipakai oleh persamaan geometri lain. Dia tidak memverifikasi ide

tersebut, namun dia yakin sepenuhnya. Belakangan dia baru melakukan verifikasi di waktu

luangnya ketika kembali ke Caen.

Banyak yang mengatakan bahwa itu adalah tanda kejeniusan Poincare, tetapi dia tidak

puas dengan penjelasan sederhana tersebut. Dia berusaha mencari penjelasan yang lebih

mendalam. Poincare kemudian membuat hipotesa bahwa proses seleksi tersebut dilakukan oleh

apa yang disebutnya sebagai subliminal self. Diri subliminal ini, menurut Poincare, akan

mengevaluasi kombinasi yang luar biasa banyaknya yang mungkin menghasilkan solusi atas

masalah, tetapi hanya kemungkinan solusi yang menarik yang akan muncul ke kesadaran. Solusi

atas masalah matematika diseleksi oleh diri subliminal berdasarkan „keindahan matematisnya‟.

(http://www.itpin.com/blog/category/ mind-thinking/intuition/)

Keberadaan intuisi juga dapat diamati dari siswa-siswa pada saat memecahkan

permasalahan. Banyak siswa pandai dalam memecahkan permasalahan (misalnya soal

matematika) sering menggunakan cara-cara yang “smart”, di luar dugaan dan kebiasaan,

sehingga memberikan jawaban yang singkat dan akurat. Sebaliknya pada siswa-siswa yang

mempunyai kemampuan sedang atau rendah, cara yang digunakan untuk memecahkan soal,

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

338

cenderung memberikan jawaban yang panjang lebar dan terkadang kurang akurat, bahkan

banyak siswa yang kesulitan untuk menemukan cara dalam memecahkan masalah. Hal tersebut

tentunya ada kaitan antara pengetahuan yang dimiliki dengan kemampuan siswa dalam

memecahkan masalah. Semakin kompleks pengetahuan yang dimiliki, diduga semakin

berkembang intuisi yang digunakan dalam memecahkan masalah. Oleh sebab itu diduga intuisi

dapat dikembangkan untuk memecahkan masalah.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimana mengembangkan intuisi siswa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah?

TEORI TENTANG INTUISI

Pengertian Intuisi

Menurut Fiscbein (1999), tidak ada definisi intuisi yang diterima secara bersama-sama

oleh para ahli. Istilah intuisi biasanya digunakan sebagai istilah primitif dalam matematika,

seperti titik, garis, himpunan dan lain-lain. Namun demikian para ahli menerima sifat-sifat

secara implisit dari intuisi yaitu self evident yang berlawanan dengan usaha secara logika dan

analitis.

Penjelasan tentang intuisi oleh para ahli, diantaranya adalah Bruner menjelaskan intuisi

dengan memperbandingkan pemikiran analitik, Poincaré membandingkan intuisi dengan

logika, Skemp membandingkan pemikiran intuitif dengan pemikiran reflektif sebagai gaya

aktivitas mental yang berbeda (Tall, 1980). Sedangkan, Descartes dan Spinoza,

mempresentasikan intuisi sebagai sumber asli dari pengetahuan yang benar. Bergson

membedakan antara intelegensi dan intuisi, (Fischbein, 1999).

Menurut Bruner (1977), intuisi adalah tindakan seseorang menggapai makna atau

struktur suatu masalah, yang tidak menggantungkan secara eksplisit pada analisis dalam bidang

keahliannya. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik

sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-

contoh tindakan intuitif. Intuisi dekat dengan suasana permainan, yang dapat menerima

kesalahan sebagai sesuatu yang wajar. Intuisi merupakan kegiatan yang lebih menghargai proses

belajar, yang tidak hanya menekankan pentingnya jawaban benar saja.

Setiap anak pada awalnya berpikir secara intuitif. Berdasarkan pengetahuan intuitifnya

itu, dalam perkembangan berpikirnya anak membangun/ mengkonstruksi model bagi gagasan

yang diperolehnya di sekolah. Model ini berupa seperangkat struktur yang diinternalisasikan

dalam pikiran si anak, yang merepresentasikan/mewakili gagasan tersebut. Mungkin anak ini

tidak dapat menjelaskan atau mengemukakan secara lisan model yang dibangunnya itu, tetapi

dia mampu memperagakannya. Sebagai contoh, anak yang telah dapat memahami gagasan

konservasi jumlah atau sifat asosiatif penjumlahan, dia dapat memperagakan bilangan 6 dengan

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

339

benda-benda dalam bermacam-macam susunan, seperti 2 + 2 + 2, 3 + 3, 2 + 4, 4 + 2, 2 + (3 +

1), (2 + 3) + 1.

Fischbein (1994) mendefinisikan intuisi sebagai immediate knowledge (kognisi

segera) yang disetujui secara langsung tanpa pembenaran. Sejalan dengan itu Piaget (Tall,

1992) memandang intuisi sebagai kognisi yang diterima langsung tanpa kebutuhan untuk

menjastifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit.

Selain itu kognisi yang dikembangkan individu yang tidak bergantung kepada

pembelajaran tetapi sebagai efek dari pengalaman pribadi, kita sebut kognisi intuitif primer

(primary intuitive cognition), sebagai contoh anak sekolah dasar kelas I dan II mempunyai

intuisi bahwa pembagian akan mengasilkan sesuatu yang lebih kecil, karena anak tersebut

melihat dari kejadian sehari-hari sesuatu yang dibagi-bagi akan menjadi lebih sedikit. Pada sisi

lain, intuisi baru dapat dikembangkan melalui pembelajaran atau pelatihan sistematik kita sebut

kognisi intuitif sekunder (secondary intuitive cognition), misalnya siswa yang telah dikenalkan

bilangan rasional dan diajarkan pembagian dengan bilangan rasional akan memiliki intuisi

bahwa pembagian dengan pembagi kecil sekali akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar.

Fischbein (1999) telah menyajikan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam

matematika, yang merupakan sesuatu yang mendasar dan yang sangat jelas dari suatu kognisi

intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah sebagai berikut.

1) Kognisi langsung, kognisi self evident (direct, self evident cognitions)

Kognisi langsung, kognisi self evident yang dimaksud adalah bahwa intuisi adalah

kognisi yang diterima sebagai feeling individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian

lebih lanjut . Sebagai contoh: jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus. Hal tersebut

adalah self evident, pernyataan yang kebenarannya diterima secara langsung.

2) Kepastian intrinsik (intrinsic certainty).

Kepastian intuisi biasanya dihubungkan dengan feeling tertentu dari kepastian intrinsik.

Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah subyektif, terasa seperti sudah suatu ketentuan.

Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung eksternal yang diperlukan untuk memperoleh

semacam kepastian langsung (baik secara formal atau empiris)

3) Pemaksaan (coerciveness).

Intuisi menggunakan efek memaksa pada strategi penalaran individual. Hal ini berarti

bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi intuisinya.

Biasanya siswa dan bahkan orang dewasa percaya bahwa perkalian akan menjadikan lebih besar

dan pembagian akan menjadikan lebih kecil. Hal ini karena pada masa kanak-kanak terbiasa

dengan mengoperasikan bilangan asli. Di kemudian hari setelah belajar bilangan rasional masih

dirasa untuk memperoleh keyakinan yang sama, yang secara jelas sudah tidak sesuai lagi.

4) Extrapolativeness

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

340

Sifat penting dari kognisi intuitif adalah kemampuan untuk meramalkan di balik suatu

pendukung empiris. Sebagai contoh: pernyataan ”melalui satu titik diluar garis hanya dapat

digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut” mengekspresikan kemampuan

ekstrapolasi dari intuisi. Tidak ada bukti empiris dan formal yang dapat mendukung pernyataan

tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut dapat diterima secara intuitif, suatu kepastian,

sebagai selfevident. Ektrapolasi tersebut berasal dari kognisi intuitif itu sendiri. Kemampuan

ekstrapolatif merupakan wujud dari intuisi.

5) Keseluruhan (Globality)

Intuisi adalah kognisi global yang berlawanan dengan kognisi yang diperoleh secara

logika, berurutan dan secara analitis.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intuisi adalah kognisi yang self evident

(secara subyektif kebenarannya terkandung di dalamnya), sebagai pengetahuan segera

(immediate knowledge), bersifat holistik, mempunyai efek memaksa, bersifat ekstrapolatif,

tanpa suatu proses penalaran secara sadar (mendalam) dan tidak bersifat analitik. Sedangkan

membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari

manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-contoh tindakan

intuitif.

Jenis-jenis Intuisi

Menurut Fischbein (1999), intuisi dikategorikan menjadi dua, yaitu intuisi afirmatori

(affirmatory intuition) dan intuisi antisipatori (anticipatory intuition). Semua pembahasan

karakteristik umum dalam matematika seperti yang di sampaikan di atas merupakan intuisi

afirmatori. Intuisi afirmatori berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi yang secara

individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan cukup secara instrinsik.

Disamping kategori intuisi afirmatori, terdapat kategori intuisi lain yang berbeda,

disebut intuisi antisipatori. Karakteristik intuisi antisipatori adalah sebagai berikut. a) intuisi

tersebut akan muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah. b) intuisi tersebut

menyajikan ciri-ciri yang bersifatr global. c) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada

umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling, meskipun pembenaran secara rinci atau

bukti belum ditemukan.

Selain jenis-jenis intuisi yang disampaikan Fischbein di atas, Poincare (http://www-

history.mcs.st-andrews.ac.uk/Extras/Poincare_Intuition.html) membagi intuisi menjadi 3 jenis,

yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indera dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada

generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan ekxperimental, (3) intuisi

yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara nyata, seperti intuisi dari

bilangan murni yang menghasilkan aksioma yang dikenal dengan prinsip induksi matematika.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

341

Peran Intuisi Dalam Memecahkan Masalah

Di dalam essainya, yaitu “Towards a disciplined intuition”, Bruner mengkarakterisasi

dua alternatif pendekatan untuk memecahkan masalah, yaitu intuisi dan analitik.

In virtually any field of intellectual endeavour one may distinguish two approaches

usually asserted to be different. One is intuitive, the other analytic ... in general

intuition is less rigorous with respect to proof, more oriented to the whole problem

than to particular parts, less verbalized with respect to justification, and based upon

a confidence to operate with insufficient data. (Bruner 1977).

Dari ungkapan di atas, intuisi berlawanan dengan analitik. Intuisi kurang ketat (rigour),

lebih berorientasi pada masalah global, kurang verbal dan didasarkan pada keyakinan dengan

data yang tidak mencukupi.

Menurut Roger Walcot Sperry dalam Edward (1996), dalam memecahkan masalah dua

belahan otak kiri dan otak kanan sangat diperlukan. Otak kanan mempunyai peran sebagai

pemroses data secara menyeluruh (holistic) dan otak kiri menguji kelogisannya yang diperlukan

dalam pemecahan masalah. Ketika penyelesaiannya didapat, otak kanan akan bertugas

memperhatikan situasi secara menyeluruh untuk memeriksa jawaban yang diperoleh. Dengan

demikian dalam memecahkan masalah akan mengaktifkan otak kanan maupun kiri.

Sedangkan dari hasil penelitian Fischbein et al (1996), intuisi selalu didasarkan pada

struktur skemata tertentu. Selain itu ditemukan pula bahwa intuisi sebagai dugaan spontan yang

merupakan fakta dibalik layar skemata.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa intuisi dapat terjadi karena struktur

skemata tertentu. Oleh sebab itu jika siswa sedang memecahkan masalah, tentunya akan

menggunakan struktur skema yang dimiliki, sehingga sangat mungkin pada saat memecahkan

masalah, muncul intuisi yang merupakan dugaan spontan akibat fakta dibalik layar skemata.

Tahapan proses munculnya intuisi

Seorang insinyur dan ahli psikologi Graham Wallis (1926) telah menyelidiki fenomena

intuisi ini dan membangun sebuah model untuk menggambarkan cara kerja proses kreatif

sehingga muncul intuisi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Cara kerja tersebut

terdiri dari 4 tahapan, yaitu:

a. Tahap persiapan. Pada tahap ini, kita mendefinisikan masalah atau tujuan, dan

mengumpulkan semua informasi terkait, dan menentukan kriteria untuk memverifikasi

apakah sebuah solusi bisa diterima atau tidak.

b. Tahap inkubasi. Pada tahap ini, kita mundur dari persoalan dan membiarkan pikiran

kita bekerja di belakang layar. Sama seperti tahap persiapan, tahap ini bisa berakhir

dalam beberapa menit, minggu, atau bahkan bertahun-tahun.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

342

c. Tahap iluminasi. Pada tahap ini, ide-ide bermunculan dari pikiran yang menyediakan

dasar untuk respons kreatif. Ide-ide tersebut bisa berupa bagian-bagian dari

keseluruhan, atau langsung keseluruhan. Ide-ide tersebut merupakan intuisi. Berbeda

dengan tahapan lainnya, tahap ini berlangsung singkat dan sering berupa inspirasi sesaat

yang intens. Momen Eureka Archimedes atau mimpi Kekule termasuk pada tahapan ini.

d. Tahap verifikasi. Tahap ini merupakan tahapan terakhir di mana pengujian dilakukan

untuk menentukan apakah inspirasi yang diperoleh dari tahap sebelumnya memenuhi

kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan.

Dari model ini, Wallis mengakui adanya kerja sama yang erat antara alam pikiran sadar

yang berpikiran rasional (pada tahap persiapan dan verifikasi) dengan alam bawah sadar yang

bercorak intuitif (pada tahap inkubasi dan iluminasi) untuk membantu pemecahan masalah yang

kreatif. Intuisi, tampaknya, bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Peranannya dalam

penyelesaian masalah sangat besar dan tidak kalah dengan cara berpikir rasional

(http://www.itpin.com/blog/category/mind-thinking/intuition/)

PEMBAHASAN

Mengembangkan intuisi siswa dalam memecahkan masalah

Dengan mendasarkan pada tahapan yang dikemukkan oleh Wallis di atas,

pengembangan intuisi siswa dapat dilakukan dengan merancang kegiatan pembelajaran.

Bentuknya berupa pemunculan ide atau gagasan penyelesaian permasalahan dan kolaborasi dari

berbagai ide yang ada. Untuk itu guru dapat merancang strategi pembelajarannya agar ide atau

gagasan siswa dalam memecahkan masalah menjadi berkembang. Salah satunya adalah

menggunakan metode tanya jawab. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memancing

munculnya ide untuk menyelesaikan soal. Sebagai contoh, misalnya siswa SMA yang telah

belajar barisan bilangan diberikan soal berikut :

Diberikan barisan bilangan berikut :

1, 3, 6, 10, …… Tentukan suku ke-100 dari barisan bilangan tersebut.

Tentunya soal tersebut tidak diselesaikan dengan mendaftar semua bilangan sampai suku ke-

100.

Tahap persiapan: siswa diarahkan untuk memahami permasalahan, dan mengumpulkan semua

informasi terkait, dan menentukan kriteria untuk memverifikasi apakah sebuah solusi bisa

diterima atau tidak.

G : Apakah barisan tersebut termasuk barisan aritmetika ?

S : Tidak

G : Kenapa

S : Karena 3 – 1 ≠ 6 – 3. Tidak ditemukan bedanya.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

343

G : Kalau begitu apa barisan geometri ?

S : Juga tidak karena 3 : 1 ≠ 6 : 3.

G : Kalau begitu barisan apa?

S : (diam)

G : Apakah ada yang melihat hal istimewa dari barisan tersebut ?

S : (diam)

G : Coba perhatikan, 3 – 1, 6 – 3, 10 – 6, ….. Apa yang dapat anda katakan ?

S : Hasilnya 2, 3, 4, Jadi suku ke 5 adalah 10 + 5 = 15.

G : Apakah sudah ada ide untuk menyelesaikan soal ?

Tahap inkubasi.

Pada tahap ini, tanya jawab dihentikan sementara, siswa dibiarkan berpikir dengan

menggunakan informasi yang telah dipunyai (sekitar 5 menit). Mungkin siswa dalam

berpikir sambil melakukan corat-coret.

Tahap iluminasi. Pada tahap ini, diharapkan ide-ide dari siswa, mulai bermunculan dari

pikiran yang menyediakan dasar untuk respons kreatif. Guru melanjutkan tanya jawab

kepada siswanya.

G : Bagaimana? Apakah sudah ada ide untuk menyelesaikan soal ?

S : Kalau begitu suku ke-100 adalah suku ke 99 + 100 ?

G : Tapi suku ke 99 kan belum tahu ?

S : (menuliskan idenya)

U100 = U99 + 100. Jadi U100 - U99 = 100.

U99 = U98 + 99. Jadi U99 – U98 = 99

U98 = U97 + 98. Jadi U98 – U97 = 98

.................................................................... dan seterusnya

U3 = U2 + 3. Jadi U3 – U2 = 3

U2 = U1 + 2. Jadi U2 – U1 = 2 +

U100 – U1 = 2 + 3 + ....+ 99 + 100

U100= 1+ 2 + 3 + ....+ 99 + 100

= 5050

Tahap verifikasi. Tahap ini merupakan tahapan terakhir untuk menguji, apakah ide yang

digunakan sudah memenuhi kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan. Guru

melakukan tanya jawab lagi pada siswa untuk memastikan ide yang digunakan adalah benar.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

344

G : Apakah hasil yang diperoleh itu benar?

S : Benar, Pak. Karena langkah-langkahnya kelihatnnya benar.

G : Bagaimana kalau tidak berdasar langkah-langkah tetapi dengan melihat rumus

untuk suku ke-n.

S : Iya Pak. Dari U100= 1+ 2 + 3 + ....+ 99 + 100, disimpulkan Un = 1 + 2 + ....+ n

Jadi kita uji, misalnya n = 3, sehingga diperoleh U3 = 1 + 2 + 3 = 6

Penjelasan di atas hanya sebagai contoh untuk menjelaskan tahap-tahap untuk

memunculkan intuisi siswa. Skenario tanya jawab tersebut, untuk memungkinkan tahap-tahap

tersebut dapat dilalui. Tentu tidak mudah untuk memunculkan ide dari siswa, sehingga guru

perlu kesabaran dalam melatih munculnya intuisi siswa. Pada awalnya mungkin guru masih

banyak menintervensi ide untuk memecahkan masalah, namun secara bertahap, siswa dibiarkan

untuk mengembangkan idenya sendiri dalam memecahkan masalah.

Di samping strategi pengembangan “intuisi” yang dilakukan guru dengan menggunakan

metode tanya jawab, pengembangan “intuisi” dapat dilakukan dengan mendemonstrasikan

kegagalan-kegalan dalam upaya menemukan ide untuk menyelesaikan soal. Jadi guru tidak

harus melakukan sesuatu yang “sempurna” dihadapan siswanya, karena kalau setiap

permasalahan diselesaikan oleh guru, maka siswa hanya sebagai obyek bukan subyek

pembelajaran. Dampaknya setelah pembelajaran selesai siswa hanya memiliki catatan jawaban

penyelesaian dan bukan kemampuan untuk menjawab permasalahan.

Mendemonstrasikan Kegagalan-kegagalan dalam upaya menemukan ide adalah upaya

trial and error. Kegiatan trial and error ini merupakan tahap persiapan yang akan mengantar

pada tahap inkubasi dan tahap iluminasi. Dengan kegiatan trial and error tersebut, jalinan

informasi dalam pikiran akan semakin jelas, sehingga skemata menjadi lebih siap untuk

menyelesaikan masalah.

Sebagai contoh, Guru akan menjelaskan penyelesaian dari 1

33x

dx.

Karena akan merasionalkan penyebut maka ide yang muncul sesaat adalah menggunakan

substitusi u = x3 –1. Sehingga guru melakukan langkah dengan menggunakan substitusi

tersebut, akhirnya diperoleh du = 3x2 dx. Pada langkah ini akan mengalami kegagalan karena

tidak akan dapat mengubah integran dalam variabel u. Sehingga harus berpikir ulang untuk

menemukan lagi cara menyelesaikan soal tersebut. Dengan refleksi pada langkah yang gagal,

maka yang dilakukan dengan mengubah substitusi yaitu u3 = x

3 – 1. Sehingga diperoleh 3u

2 du

= 3x2 dx. Pada langkah inipun juga gagal dalam menyelesaikan integral tersebut, karena juga

tidak akan mengubah integran dalam variabel u. Kegagalan demi kegagalan yang

didemonstrasikan guru dapat menyebabkan berkembangnya ide untuk menyelesaikan di

kalangan siswa. Selain itu pula kegagalan yang didemonstrasikan akan memperkuat ingatan

akan teknik integrasi yang digunakan dengan fungsi integran yang sejenis.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

345

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat dibuat kesimpulan yaitu:

1. Intuisi adalah kognisi yang self evident (secara subyektif kebenarannya terkandung di

dalamnya), sebagai pengetahuan segera (immediate knowledge), bersifat holistik,

mempunyai efek memaksa, bersifat ekstrapolatif, tanpa suatu proses penalaran secara sadar

(mendalam) dan tidak bersifat analitik. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat,

menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal

dalam pembuktian, merupakan contoh-contoh tindakan intuitif.

2. Upaya untuk mengembangkan intuisi siswa dalam memecahkan masalah dapat dilakukan

dengan mendisain kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang didisain dapat

mendasarkan pada tahapan untuk memunculkan intuisi, yaitu tahap persiapan, tahap

inkubasi, tahap iluminasi dan tahap verifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bruner, J.S. 1977 „Bruner on the learning of mathematics – A “process” orientation. Dalam

Aichele, D.B., Readings in Secondary School Mathematics. Boston : Prindle, Weber, &

Schmidt.

Edward, Betty. (1996). The Left and Right Sides of the Brain. http://members.ozemail.com.au.

Download 3 Juli 2003

Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht, The Netherlands: D.

Reidel.

Fischbein, E. and Grossman, A.: 1997, „Schemata and intuitions in combinatorial

reasoning‟,Educational Studies in Mathematics 34, 27–47.

Fischbein, E. & Schnarch, D. 1997. The Evolution With Age of Probabilistic, Intuitively based

Misconseptions. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol No. Vol

28.

Fischbein, E. 1999. Intuition and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies In

Mathematics Vol. 38: Netherland: Kluwer Academic Publishers

Hudojo, Herman. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas

Negeri malang

Mulligan, J.T. & Mitchelmore, M.C. 1997. Young Children‟s Intuitive Models of Multiplication

and Division. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol 28. No. 3.

309-330.

Polya, George.1980. Problem Solving in School Mathematics: On Solving Mathematical

Problems In High School. National Council of Teachers of Mathematics

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

346

Spinoza, B. 1967. Ethics and treatise on the correction of the understanding (A. Boyle, Trans.).

London: Everyman‟s Library Dent

Tall, D. 1991. Intuition and rigour :the role of visualization in the calculus, Visualization in

Mathematics (ed. Zimmermann & Cunningham), M.A.A., Notes No. 19, 105–119

Tall, D. 1992. The transition to advanced mathematical thinking: functions, limits, infinity, and

proof. In D. A. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and

learning (pp. 495-511). New York: Macmillan

http://www.itpin.com/blog/category/mind-thinking/intuition/ Peranan Intuisi Dalam Kreativitas

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

347

REKONSTRUKSI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM MENCAPAI

TUJUAN YANG BERSIFAT MATERIAL DAN FORMAL

Budi Usodo

Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Matematika

Univ. Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Pembelajaran matematika memuat dua tujuan, yaitu tujuan yang bersifat material

dan formal. Tujuan yang bersifat formal lebih menekankan kepada penataan nalar dan

membentuk kepribadian. Sedangkan tujuan yang bersifat material lebih menekankan

kepada kemampuan matematika dan ketrampilan metematika. Saat ini pembelajaran

matematika kurang memperhatikan pencapaian tujuan yang bersifat formal. Sehingga

kurang diperolehnya nilai edukasi akibat dari pembelajaran matematika. Pemerolehan nilai

edukasi dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1)

dengan memantapkan materi matematika dan (2) dengan mendisain pembelajaran,

sehingga diperolehnya nilai-nilai edukasi. Oleh sebab itu perlu ada upaya untuk

merekonstruksi pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran matematika.

Untuk keperluan tersebut maka perlu perubahan paradigma pembelajaran

matematika dan penilaiannya. Perubahan paradigma pembelajaran meliputi perubahan dari

paradigma mengajar ke paradigma belajar, transfer pengetahuan ke konstruksi

pengetahuan, pembelajaran beorientasi guru ke siswa, dominasi oleh guru ke aktivitas

optimal siswa, mekanistik ke konseptual, pertanyaan apa dan bagaimana ke pertanyaan

mengapa, pencapaian ranah kognitif saja ke semua ranah, pembelajaran minim nilai ke

eksplorasi banyak nilai. Perubahan paradigma penilaian meliputi penilaian yang

menekankan produk saja ke penilaian hasil dan proses, penilaian dengan sedikit model ke

banyak model, penilaian yang bersifat sentralistik ke desentralistik, penilaian yang hanya

sebatas tujuan material ke penilaian tujuan material dan formal termasuk nilai, penilaian

hanya sebatas ranah kognitif ke semua ranah, penilaian yang bersifat diskrit ke kontinyu

Kata kunci : tujuan material, tujuan formal, nilai edukasi, paradigma pembelajaran

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah upaya sadar yang dilakukan agar peserta didik atau siswa dapat

mencapai tujuan tertentu untuk mencapai kedewasaan. Agar siswa dapat mencapai tujuan

pendidikan yang telah ditentukan, maka diperlukan “sesuatu” yang digambarkan sebagai

“kendaraan” untuk membawa siswa ke tujuan tertentu. Dengan demikian pembelajaran

matematika adalah kegiatan pendidikan yang menggunakan matematika sebagai “kendaraan:

untuk mencapai tujuan tertentu (Sudjadi, 2000).

Guru matematika atau pendidik matematika hendaknya dapat menggunakan

“kendaraan” matematika untuk membawa siswa ke tujuan tertentu. Oleh sebab itu pendidik

matematika hendaknya memahami dengan baik tentang matematika yang akan digunakan

sebagai wahana untuk membawa siswa ke tujuan yang ditentukan. Disamping itu juga

mempunyai ketrampilan yang baik bagaimana membelajarkan matematika tersebut. Bila

disadari bahwa matematika dapat berfungsi sebagai “kendaraan” , mestinya tidak hanya

digunakan untuk hanya hal-hal yang terkait dengan penguasaan materi matematika, namun lebih

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

348

dari itu diharapkan dengan belajar matematika dapat membawa siswa dalam mencapai

kedewasaan. Diantaranya kedewasaan berpikir, bersikap dan bertindak.

Dari beberapa kesempatan bertemu dengan guru-guru baik dalam kegiatan diskusi

maupun kegiatan yang lain, tampaknya dalam praktek pembelajaran matematika selama ini

terkadang masih kita jumpai hal-hal yang agak menyimpang dari kaidah-kaidah pembelajaran

matematika. Contohnya beberapa guru SD dalam mengajarkan konsep perkalian bilangan

negatif dengan bilangan negatif dengan memberikan “doktrin” bahwa “min kali min = plus”.

Atau pada operasi pembagian pecahan bahwa “pembagian sama dengan perkalian untuk

pecahan yang dibelakang dibalik”.

Bila ditelusuri lebih lanjut terkadang dijumpai guru yang mengajarkan dengan cara

tersebut tidak memhami konsep yang diajarkan. Selain itu terkadang guru enggan menjelaskan

secara konseptual tentang konsep yang diajarkannya, menurutnya yang penting siswa dapat

mengerjakan soal.

Contoh lain misalnya, pada beberapa topik matematika seperti menentukan

penyelesaian dari sistem persamaan linear. Pada materi tersebut akhirnya sampai pada

penggunakan prosedur atau cara, baik dengan metode grafik, substitusi, eliminasi maupun

dengan determinan. Mestinya ada beberapa hal yang dapat dibelajarkan pada siswa tidak hanya

sekedar dapat menyelesaikan SPL dengan terlebih dahulu diberikan caranya, yaitu bagaimana

menemukan cara tidak sekedar menggunakan cara. Pembelajaran dengan tipe-tipe tersebut

termasuk bentuk pembelajaran yang bersifat mekanistik.

Dari beberapa contoh di atas dapat digambarkan bahwa ada beberapa hal yang sangat

penting dalam pembelajaran matematika namun terkadang para pendidik meninggalkannya.

Hal yang dimaksud adalah nilai-nilai edukasi yang diperoleh dari pembelajaran, misalnya sifat

kritis, objektif, cermat. Oleh sebab itu perlu ada upaya agar pembelajaran matematika yang

dilaksanakan mencapai tujuan hakiki dari pembelajaran matematika.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah :

Bagaimana merekonstruksi pembelajaran matematika agar mencapai tujuan yang bersifat

material dan formal?

PEMBAHASAN MASALAH

Tujuan Pembelajaran Matematika

Mencermati materi pada kurikulum matematika sekolah, terkadang kita berpikir,

mengapa para siswa diajarkan materi matematika, yang terkadang sangat tidak berkaitan

langsung dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan materi matematika tersebut termasuk materi

yang cukup rumit. Sehingga terkadang akan terpikir apakah tidak mubadzir siswa-siswa

diajarkan materi tersebut?

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

349

Beberapa pertanyaan tersebut mestinya sudah mulai terjawab dengan mengingat

kembali makna matematika sekolah dan tujuan pembelajarannya. Matematika sekolah memang

berbeda dengan matematika sebagai ilmu. Matematika sekolah memuat bagian-bagian

matematika yang dipilih dan berorientasi kepada kepentingan kependidikan dan perkembangan

IPTEK (Soedjadi, 2000).

Sedangkan bila dicermati lebih lanjut tujuan pembelajaran matematika baik di sekolah

dasar, sekolah lanjutan, dapat diklasifikasikan ke dalam dua tujuan, yaitu (1) tujuan yang

bersifat formal dan (2) tujuan yang bersifat material. Tujuan yang bersifat formal lebih

menekankan kepada penataan nalar dan membentuk kepribadian. Sedangkan tujjuan yang

bersifat material lebih menekankan kepada kemempuan menerapkan matematika dan

ketrampilan metematika.

Sebagai contoh, Pada pembelajaran operasi pembagian pecahan di sekolah dasar.

Tentunya siswa diharapkan mampu dalam melakukan operasi pembagian, misalnya 3

2:2 .

Dengan cara membalik 3

2 menjadi

2

3, kemudian mengalikannya dengan 2 diperoleh

32

6

2

32 x . Dengan mengingat bahwa pada pembelajaran matematika terdapat dua tujuan,

maka dalam pembelajaran topik tersebut mestinya tidak cukup hanya sebatas itu, karena hanya

sebatas pada pencapaian tujuan material. Untuk mencapai tujuan yang bersifat formal, tentunya

siswa diarahkan untuk bertanya mengapa langkah yang dilakukan demikian, kemudian siswa

juga diarahkan untuk dapat menjawabnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu

diharapkan dapat melatih agar siswa terbiasa berpikir kritis. Berpikir kritis inilah salah satu

tujuan formal dalam pembelajaran matematika. Tujuan yang bersifat formal dalam

pembelajaran matematika akan merupakan nilai edukasi, yaitu nilai yang diperoleh dari proses

pembelajaran yang secara langsung dan tidak langsung akan bermanfaat dalam kehidupannya.

Pemerolehan Nilai dalam Pendidikan Matematika

Berdasarkan fenomena pembelajaran matematika saat ini, mestinya kita perlu

mencermati kembali tujuan pembelajaran matematika kususnya tujuan yang bersifat formal.

Karena dengan tercapainya tujuan matematika yang bersifat formal maka pembelajaran

matematika akan memberikan “sesuatu “ yang bukan hanya berupa penguasaan kemampuan dan

ketrampilan matematika. “sesuatu” itu disebut nilai (value). Pembentukan nilai dalam

pembelajaran matematika dapat terjadi dengan dua cara, yaitu akibat penguasaan materi

matematika secara baik dan pembelajaran yang dirancang untuk memperoleh nilai tersebut

(Jack R, 1977).

Menyimak karakteristik matematika yang meliputi (1) memiliki objek kajian abstrak,

(2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4) memiliki simbol yang kosong

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

350

dari arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, (6) konsisten dalam sistemnya, memberikan

gambaran bahwa dengan mempelajari matematika maka secara tidak langsung terkait dengan

hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik matematika (Soedjadi, 200). Oleh sebab itu bila

seseorang belajar matematika dengan baik, maka sifat-sifat seperti menghargai kesepakatan,

konsisten dalam bertindak, selalu bertumpu pada ketentuan (semesta pembicaraan) secara

otomatis akan melekat pada diri orang tersebut. Dengan demikian nilai pada diri sesorang dapat

terjadi dengan mempelajari matematika secara baik.

Pembentukan nilai akibat dari penguasaan secara baik dapat digambarkan sebagai

berikut :

Lingkaran yang di dalam memberikan gambaran penguasaan materi matematika.

Tentunya penguasan matematika yang dimaksudkan, adalah penguasaan matematika secara

baik. Tidak sekedar penguasaan matematika yang hanya akan digunakan untuk menyiasati

dalam mengerjakan ujian-ujian dengan bentuk tes obyektif. Pembelajaran yang dilaksanakan

hendaknya tidak dilaksanakan secara mekanistik, tetapi lebih banyak dilakukan untuk

menjawab pertanyaan mengapa.

Lingkaran tengah memberikan gambaran tentang nilai-nilai matematika yang langsung

didapatkan dari penguasaan matematika, misalnya penataan nalar, ketelitian, kecermatan, kritis,

banyak ide, dan lain-lain. Semakin baik penguasaan matematika pada lingkaran yang di dalam,

maka semakin banyak dan terasa nilai-nilai yang diperolehnya. Sebagai contoh pada

pembelajaran operasi pada bilangan. Bila pembelajaran tersebut sampai pada konsep operasi,

tidak hanya bagaimana mengoperasikan, maka menjadikan siswa tersebut kritis sebelum

melakukan sesuatu. Karena siswa tersebut terbiasa berpikir mengapa caranya demikian. Karena

terbiasa berpikir sebelum mengoperasikan bilangan, hingga diperoleh pula sifat teliti. Lain

halnya kalau siswa hanya belajar bagaimana mengoperasikan bilangan, yang mungkin terjadi

adalah sikap yang penurut seperti robot.

Sedangkan lingkaran yang di luar menggambarkan nilai-nilai yang tidak secara

langsung diperoleh dari penguasaan materi matematika. Nilai tersebut diperoleh dari

karakteristik matematika ataupun dari nilai-nilai langsung yang digambarkan pada lingkaran

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

351

tengah. Nilai-nilai tersebut sangat erat kaitannya dengan kehidupan nyata, misalnya sikap

demokratis, taat aturan, konsisten dalam segala hal, selalu berpikir objektif dan lain-lain.

Pembentukan nilai juga dapat dilakukan dengan merancang pembelajarannya yang

secara sengaja memasukkan nilai-nilai dalam tujuan pembelajarannya (Soedjadi, 2000). Model-

model pembelajaran inovatif yang berkembang saat ini banyak nilai-nilai yang diperoleh.

Misalnya pelaksaan model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan sikap saling

menghargai, sikap saling bekerjasama, mempunyai sikap bersaing secara sehat, menumbuhkan

keberanian dalam berpendapat. Selain model-model pembelajaran inovatif yang ada, sebagai

guru dapat mengembangkan pembelajaran sehari-hari untuk memperoleh nilai. Sebagai contoh

dapat disajikan kegiatan belajar mengajar pada siswa SMP topik jajargenjang.

1) siswa diberikan sebuah segitiga ABC. Pada salah satu titik tengah sisi segitiga ABC misal

titik P titik tengah dari AC, siswa diminta memutar segitiga ABC searah jarum jam sebesar

180o. Bila segitiga pada letak awal dan akhir dijiplak maka diperoleh sebuah bangun

segiempat yang diberi nama jajr genjang ABCB.

2) Siswa diminta mengamati hasil kerjanya dan mencari sisi-sisi dan sudut yang sama, sebagai

akibat pemutaran itu. Temuan masing-masing ditulis.

3) Berdasar temuan masing-masing siswa, siswa yang bersangkutan diminta membuat kalimat

definisi.

4) Tentu akan diperoleh beberapa definisi sesuai dengan temuan siswa

5) Guru mencermati setiap definsi yang didapatkan oleh siswa dan mendiskusikan mana yang

benar dan mana yang salah.

6) Selanjutnya secara bersama-sama dengan siswa guru menentukan sifat-sifat jajargenjang

dari suatu definsi yang ditemukan dari siswa.

Kalau diperhatikan secara seksama, rancangan pembelajaran tersebut secara sengaja

memasukkan nilai-nilai edukasi sesuai dengan ranah afektif dan psikomotor. Siswa dapat secara

langsung aktif membentuk bangun jajargenjang. Selanjutnya siswa dituntut cermat dalam

mencari sisi-sisi dan sudut-sudut yang sama. Kemudian siswa secara bebas mengemukakan

pendapatnya untuk merumuskan definisi jajargenjang. Dari beberapa pendapat mungkin tidak

sama bahkan ada yang saling bertentangan. Namun akhirnya diperleh suatu kesepakatan untuk

mendefinisikan jajargenjang.

Dari uraian di atas dapat ditangkap bahwa dalam pembelajaran matematika

dapat dirancang untuk menumbuhkan sikap demokrasi (tidak hanya dalam ucapan). Siswa dapat

dilatih untuk bekerja dengan cermat serta dapat mengemukakan pendapatnya. Siswa dilatih

untuk menerima perbedaan dan menghargai perbedaan tersebut. Dari beberapa perbedaan yang

ada siswa dilatih juga untuk membuat kesepakatan.

Gambaran hasil belajar tersebut, ternyata akan sangat bermanfaat dalam hidup

bermasyarakat kelak. Hal tersebut yang menjadi salah satu outcome dari pembelajaran

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

352

matematika. Dengan demikian pembelajaran matematika tidaklah hanya menghasilkan output

yang pandai matematika tetapi yang lebih penting adalah hal-hal yang sangat erat kaitannya

dalam hidup bermasyarakat yang baik dapat dipelajarinya sejak dini.

Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika

Terkadang menjadi suatu ironi, bila terdapat guru yang ingin tampil sempurna

dihadapan muridnya dengan cara dalam melaksanakan pembelajaran matematika cenderung

untuk menyampaikan informasi secara tuntas. Siswa yang dihadapinya hanyalah menjadi

penonton yang terkagum-kagum akan penampilan “sempurna” gurunya. Semua materi seakan-

akan sangat dikuasainya, sehingga semua soal-soal matematika dikerjakannya dihadapan

siswanya. Semua pertanyaan siswanya selalu dijawab tanpa memberikan kesempatan siswa

yang lain untuk terlibat dalam menjawab. Akhirnya diperoleh gambaran dari pembelajaran

tersebut siapa sebenarnya yang belajar, guru atau siswa?

Ilustrasi di atas memberikan sebuah gambaran bahwa ada yang salah dengan proses

tersebut. Pada suatu pembelajaran, pada prinsipnya yang belajar adalah siswa bukanlah guru.

Oleh sebab, pembelajaran yang dilaksanakan semaksimal mungkin dapat mejadikan siswa

belajar dengan optimal. Dengan demikian siswa dapat melakukan proses yang disebut

“matematisasi”. Matematisasi yaitu proses untuk menemukan konsep matematika dengan

berbuat (by doing mathematics), melakukan refleksi terhadap tindakannya lalu menemukan

konsep-konsep, sifat-sifat konsep, hubungan antara konsep-konsep, aturan-aturan atau prinsip.

Siswalah yang mengkonstruksinya. Dengan demikian siswa hendaknya diberikan kesempatan

yang cukup untuk mengkontruksi pengetahuan tersebut ( Marpaung 2002)

Pengetahuan tidaklah cukup hanya dengan ditransfer dari mereka yang sudah tahu

(guru) kepada mereka yang sedang belajar (siswa). Jadi dalam pembelajaran matematika guru

tidak memindahkan pengetahuan dari pikirannya ke pikiran siswa lewat ceramah. Namun yang

harus dilakukan guru adalah membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan itu ke dalam

pikirannya. Guru menciptakan situasi belajar yang memungkinkan siswa melakukan proses

konstruksi. Saat ini telah cukup banyak pendekatan dan model pembelajaran untuk tujuan

tersebut yang dikembangkan oleh para ahli, misalnya pembelajaran kooperatif, pembelajaran

kontekstual, pembelajaran matematika realistik dan masih banyak lagi lainnya.

Di samping guru menciptakan kondisi agar siswa dapat mengkonstruksi

pengetahuannya secara optimal, tentunya juga dapat mengemas materi ajar agar bermakna bagi

siswa. Hal ini berarati siswa menyadari bahwa matematika yang dipelajarinya kelak akan

merupakan sesuatu yang penting dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Oleh

sebab itu mestinya guru dapat mengemas materi ajar agar realistik bagi siswa. Pendekatan

pembelajaran kontekstua/realistik dapat menjadi salah satu pendekatan pembelajaran yang

dipilih untuk keperluan tersebut.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

353

Di lain pihak tuntutan perkembangan jaman tidak cukup siswa mengetahuai materi

matematika (secara kognitif). Era globalisasi menuntut persaingan yang keras, namun tetap

dalam kerangka manusia yang berbudaya. Oleh sebab itu tujuan pembelajaran tidaklah cukup

pada domain koginif saja, namun hendaknya meluas pada domain yang lain. Pembelajaran

matematika hendaknya pada perolehan nilai-nilai edukasi. Guru hendaknya mengoptimalkan

pembelajaran agar nilai-nilai edukasi tersebut sebanyak mungkin dapat diperoleh dari

pembelajaran yang dilaksanakan. Dengan demikian guru dituntut untuk mampu merancang

pembelajaran matematika agar diperoleh nilai-nilai edukasi tersebut.

Mengamati praktek pembelajaran selama ini, memang masih sangat jarang yang

dilakukan guru agar sesuai dengan gambaran di atas. Hal ini dapat dimaklumi karena kebiasaan

yang sudah cukup lama mempunyai kecenderungan untuk sulit diubah. Selain itu karena adanya

kondisi tertentu, misalnya guru diberi target waktu untuk menuntaskan materi ajar, sarana dan

prasarana yang ada, sistem penilaian yang berlaku, yang kesemuanya ini akan menyulitkan

untuk merubah paradigma pembelajaran matematika.

Perubahan paradigma pembelajaran ini dapat dilakukan secara makro dan mikro. Secara

makro yaitu dengan mengubah sistem pendidikan secara nasional. Hal ini sering dilakukan

dengan selalu mengubah kurikulum. Namun terkadang perubahan tersebut tidak membawa

perubahan secara substansial. Oleh sebab itu perubahan secara mikro yang mungkin dapat

dilakukan. Guru berinisiatif sendiri melakukan perubahan paradigma pembelajaran walaupun

hal ini jelas-jelas akan menuntut pengorbanan pikiran, waktu dan biaya. Tetapi kalau tidak

melakukan reformasi pembelajaran kapan pembelajaran matematika akan membawa suatu

perubahan?

Perubahan Paradigma Penilaian Pembelajaran Matematika

Sistem penilaian yang dilaksanakan sekarang lebih banyak menggunakan tes dengan

bentuk obyektif. Dengan sistem semacam itu akan berdampak luar biasa dalam pembelajaran

matematika. Hal-hal yang terkait dengan tujuan yang bersifat formal seakan tidak tersentuh.

Dengan demikian pembelajaran matematika yang terjadi saat ini seakan-akan hanya beorientasi

pada pencapaian tujuan yang bersifat material. Walaupun hal tersebut tidak sepenuhnya

substansial. Sehingga kemungkinan yang dapat terjadi, guru matematika dalam membelajarkan

matematika lebih menekankan bagaimana siswanya nanti dapat mengerjakan soal-soal

metematika yang bentuknya obyektif tersebut. Bahkan kadang-kadang yang terjadi pada

pembelajaran matematika seakan hanya mengajarkan siswanya bagaimana menyelesaikan soal

matematika dengan cepat. Tes bukan lagi alat mengukur sejauh mana siswa telah mencapai

tujuan. Bahkan ada siswa lebih rajin mengikuti bimbingan tes yang ditawarkan oleh lembaga-

lembaga bimbingan tes dengan menawarkan metode smartnya, dibandingkan dengan mengikuti

pelajaran sekolah.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

354

Gambaran di atas menunjukkan bahwa penilaian yang dilaksankan lebih menekankan

pada hasil belajar. Padahal menurut Herman Hudoyo (1988) hasil belajar dan proses belajar

sama-sama penting. Dalam belajar terjadi proses berpikir. Seseorang dikatakan berpikir bila

orang itu melakukan kegiatan mental, bukan sekedar kegiatan motorik, walaupun kegiatan

motorik ini dapat bersama-sama dengan kegiatan mental tersebut. Dengan demikian penilaian

hasil belajar harus dapat mengungkap aktivitas mental tersebut,

Menilik dari perubahan paradigma pembelajaran, tentunya sistem penilaian serta

alatnya juga berubah. Penilaian pembelajaran matematika mestinya lebih mengoptimalkan

pada penilaian proses belajar. Dengan demikian penggunaan tes obyektif kemungkinan menjadi

kurang efektif untuk keperluan tersebut. Karena tes obyektif hanya mementingkan produk dari

pada proses. Tes obyektif sulit untuk mengukur tingkat kognitif yang tinggi (analisis, sintesis,

penilaian).

Keberadan penggunaan tes obyektif pada saat ini dan beberapa saat yang lalu memang

menjadi suatu pilihan karena selama ini sistem penilaian bersifat sentralistik. Sehingga populasi

testi cukup besar. Memang secara administratif penggunaan tes obyektif menjadi sangat efisien.

Namun demikian bila sistem penilaian tersebut tetap diberlakukan kemungkinan praktek

pembelajaran matematika semakin tidak semestinya. Nampaknya hal ini mulai disadari oleh

penentu kebijakan, sehingga pola-pola yang sifatnya sentralistik mulai ditiadakan.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka sistem penilaian tidak sentralistik

lagi. Dengan kebijakan tersebut mestinya dapat ditangkap untuk membenahi sistem penilaian

agar lebih berorientasi pada proses. Hal ini dapat dilakukan dengan misalnya melaksanakan

ujian dengan bentuk tes uraian. Tes uraian yang dikembangkan hendaknya tidak hanya sekedar

untuk menjawab pertanyaan apa dan bagaimana, tetapi lebih ke pertanyaan mengapa. Dengan

tes semacam itu, maka pembelajaran matematika tidak memungkinkan lagi dilakukan terjadi

secara mekanistik.

Pembenahan sistem penilaian juga dapat dilakukan dengan mengembangkan model-

model penilaian yang lebih berorientasi pada proses, misalnya penilaian potofolio, penilaian

berbasis kelas, penilaian konerja dan yang lain.

Di samping hal-hal tersebut seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa

pembelajaran matematika hendaknya dapat mencapai dua tujuan yaitu tujuan material dan

formal. Sampai saat ini memang belum dikembangkan suatu tes yang dapat mengkur

pencapaian tujuan yang bersifat formal. Namun demikian mungkin dapat dikembangkan alat

penilaian non tes yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, misalnya observasi, angket.

Dengan sistem penilaian tersebut maka pembelajaran matematika tidak hanya sekedar

pencapaian ranah kognitif saja, namun dapat meluas ke ranah yang lain. Sehingga pembelajaran

matematika mempunyai makna lebih bagi perkembangan siswa, karena selain diperolehnya

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

355

kemampuan material, juga nilai-nilai edukasi. Nilai-nilai edukasi inilah yang jelas-jelasi akan

bermanfaat pada kehidupannya kelak.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika harus diarahkan

untuk mencapai tujuan secara material dan formal. Agar pembelajaran matematika dapat

mencapai tujuan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma

pembelajaran dan penilaiannya, yaitu : Perubahan dari paradigma mengajar ke paradigma

belajar, transfer pengetahuan ke konstruksi pengetahuan, pembelajaran beorientasi guru ke

siswa, dominasi oleh guru ke aktivitas optimal siswa, mekanistik ke konseptual, pembelajaran

yang menekankan pertanyaan apa dan bagaimana ke pertanyaan mengapa, indoktrinasi ke

rasional, pencapaian tujuan material saja ke semua tujuan (material dan formal), pembelajaran

minim nilai ke eksplorasi banyak nilai.

Perubahan paradigma penilaian meliputi penilaian yang menekankan produk saja ke

penilaian hasil dan proses, penilaian dengan sedikit model ke banyak model, penilaian yang

bersifat sentralistik ke desentralistik, penilaian yang hanya sebatas tujuan material ke penilaian

tujuan material dan formal termasuk nilai, penilaian hanya sebatas ranah kognitif ke semua

ranah, penilaian yang bersifat diskrit ke kontinyu

DAFTAR PUSTAKA

Frankel Jack R. (1977). How To Teach About Value, ______________

Herman Hudoyo, (1988). Mengajar Belajar Matematika. Depdikbud, Jakarta

Marpaung, Yansen (2002). Reformasi Pembelajaran matematika dan Penilaiannya, Pada

Seminar Regional Pendidikan Matematika, Pascasarjana UNS, 22 Mei 2002

Soedjadi, (2000), Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia. Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta

_______, (1986). Studi Tentang Nilai-nilai Filosofik Pelajaran Matematika. Pusat Penelitian

IKIP Surabaya

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

356