optimasi suhu dan lama waktu steam blanching terhadap

89
OPTIMASI SUHU DAN LAMA WAKTU STEAM BLANCHING TERHADAP KADAR KARBOHIDRAT LARUT AIR, DAYA PATAH, DAN TINGKAT KECERAHAN CHIPS GEMBILI (Dioscorea esculenta L.) MENGGUNAKAN RESPONSE SURFACE METHODOLOGY (RSM) SKRIPSI Oleh : CHLARINTA PUSPA DEWI 145100501111006 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Upload: khangminh22

Post on 31-Mar-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

OPTIMASI SUHU DAN LAMA WAKTU STEAM BLANCHING TERHADAP

KADAR KARBOHIDRAT LARUT AIR, DAYA PATAH, DAN TINGKAT

KECERAHAN CHIPS GEMBILI (Dioscorea esculenta L.) MENGGUNAKAN

RESPONSE SURFACE METHODOLOGY (RSM)

SKRIPSI

Oleh :

CHLARINTA PUSPA DEWI

145100501111006

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

OPTIMASI SUHU DAN LAMA WAKTU STEAM BLANCHING TERHADAP

KADAR KARBOHIDRAT LARUT AIR, DAYA PATAH, DAN TINGKAT

KECERAHAN CHIPS GEMBILI (Dioscorea esculenta L.) MENGGUNAKAN

RESPONSE SURFACE METHODOLOGY (RSM)

SKRIPSI

Oleh :

CHLARINTA PUSPA DEWI

145100501111006

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Teknologi Pangan

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak ke-2 yang dilahirkan di

Tangerang pada tanggal 1 november 1996 dari

pasangan Bapak (Alm.) Sudjatmiko dan Ibu Sri Winanti.

Penulis menempuh pendidikannya dimulai dari

SD Negeri 6 Tangerang pada tahun 2002-2008. Pada

Tahun 2008 melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1

Tangerang dan tamat sekolah pada tahun 2011.

Setelah tamat SMP, penulis melanjutkan pendidikan

lagi ke jenjang yang lebih yaitu di SMA Negeri 7 Tangerang dan tamat sekolah

pada tahun 2014.

Tahun 2014, penulis menjadi peserta didik Universitas Brawijaya melalui

Jalur SNMPTN. Pada tahun 2018 penulis telah berhasil menyelesaikan

pendidikannya di Universitas Brawijaya Malang di Fakultas Teknologi Pertanian

dengan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Judul skripsi yang diangkat adalah

“Optimasi Suhu dan Lama Waktu Steam Blanching terhadap Kadar

Karbohidrat Larut Air, Daya Patah, dan Tingkat Kecerahan Chips Gembili

(Dioscorea esculenta L.) Menggunakan Metode Response Surface

Methodology (RSM)”.

Pada masa pendidikannya, penulis aktif pada kegiatan kemahasiswaan

seperti HIMALOGISTA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian)

sebagai anggota divisi STRAKOMINFO tahun 2016 dan kegiatan kepanitiaan

yang diadakan baik di Jurusan dan Fakultas. Pada tahun 2017, penulis

melaksanakan Praktek Kerja Lapang di PT. Frisian Flag Indonesia – Pasar Rebo,

Jakarta Timur pada bagian Quality Assurance.

CHLARINTA PUSPA DEWI. 145100501111006. Optimasi Suhu dan Lama Waktu Steam Blanching terhadap Kadar Karbohidrat Larut Air, Daya Patah, dan Tingkat Kecerahan Chips Gembili (Dioscorea esculenta L.) Menggunakan Metode Response Surface Methodology (RSM). Tugas Akhir. Pembimbing: Dr. Widya Dwi Rukmi Putri S.TP, MP

RINGKASAN

Gembili (Dioscorea esculenta L.) dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat alternatif. Salah satu jenis karbohidrat larut air dominan yang terkandung dalam gembili dan berpotensi untuk dikembangkan adalah inulin. Selain inulin, gembili mengandung senyawa bioaktif lain seperti dioscorin dan diosgenin, sehingga berpotensi besar untuk didiversifikasi lebih lanjut menjadi produk dengan umur simpan panjang seperti chips. Sifat karbohidrat yang larut air terutama air panas, membuat proses pengolahan chips gembili harus diperhatikan agar kandungan karbohidrat larut air seperti inulin tetap terjaga. Perlakuan steam blanching mampu meningkatkan kualitas chips yang dihasilkan. Kombinasi suhu dan lama waktu steam blanching yang diterapkan dapat menghasilkan kualitas chips yang berbeda secara fisik dan kimiawi. Upaya meningkatkan keefektifan blanching dapat dilakukan dengan mengoptimasi proses steam blanching terhadap kedua faktor (suhu dan lama waktu). Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan suhu dan lama waktu steam blanching optimum untuk menghasilkan karakteristik terbaik pada chips gembili berdasarkan sifat fisik dan kimia serta mengetahui pengaruh karakterisasi chips gembili terhadap suhu dan lama waktu steam blanching optimum. Penelitian ini menggunakan metode Response Surface Methodology (RSM) dengan rancangan Central Composite Design (CCD) menggunakan Software Design Expert 10.0.1. Terdapat dua faktor pada penelitian ini yaitu suhu (X1) dan lama waktu steam blanching (X2), dan akan mengasilkan 13 kombinasi perlakuan yang masing-masing dianalisa sesuai respon. Respon yang dianalisa berupa kadar karbohidrat larut air, daya patah, dan tingkat kecerahan. Hasil optimasi kemudian diverifikasi dan dilanjutkan dengan uji karakterisasi berupa kadar air, kadar abu, kadar serat pangan, kadar pati, dan kadar amilosa. Hasil penelitian menunjukkan ketiga respon bersifat kuadratik. Pada respon kadar karbohidrat larut air dan tingkat kecerahan, faktor lama waktu blanching tidak memberikan pengaruh besar. Faktor suhu blanching memberikan pengaruh dimana nilai akan semakin tinggi sesuai dengan kenaikan suhu hingga mencapai titik optimal dan menurun seiring meningkatnya suhu. Sementara untuk respon daya patah, kedua faktor tidak memberikan pengaruh besar, hasil daya patah cenderung pada kisaran nilai yang sama. Solusi titik optimum yang diprediksikan oleh program berada pada suhu 70,63°C dan lama waktu 5,87 menit. Sementara hasil kadar karbohidrat larut air tertinggi yang diperoleh sebesar 12,56%, tingkat kecerahan tertinggi sebesar 68, dan nilai daya patah rata-rata sebesar 6,9 N. Hasil verifikasi data pada ketiga respon masuk dalam rentang nilai PI (Prediction Interval) sehingga sesuai untuk diterapkan. Karakterisasi fisik dan kimia chips optimal diperoleh nilai untuk kadar air 6,29%, kadar abu 2,20%, kadar amilosa 3,90%, kadar pati 32,75%, kadar serat 3,58%, tingkat kecerahan (L) 67,5, dan daya patah 5,8 N. Karakteristik tersebut sesuai dengan standar SNI 01-4305-1996. Kata Kunci : Chips Gembili, Kadar Karbohidrat larut air, Response Surface Methodology, Steam Blanching.

CHLARINTA PUSPA DEWI. 145100501111006. Optimization of Temperature and Steam Blanching Time Towards Water Soluble Carbohydrate Content, Fracturability, and Brightness Level of Lesser yam (Dioscorea esculenta L.) Chips Using Response Surface Methodology (RSM). Undergraduate Final Project Report. Supervisor: Dr. Widya Dwi Rukmi Putri S.TP, MP

SUMMARY

Lesser Yam (Dioscorea esculenta L.) is used as alternative carbohydrate source. Inulin is one kind of dominant water soluble carbohydrate that contained in lesser yam and potentially to be developed. Besides inulin, lesser yam has another bioactive compound like dioscorin and diosgenin, therefore lesser yam has a big potential to diverse more as a product with longer shelf-life such as chips. A water-solubility behavior of carbohydrate, especially in hot water cause the processing of chips lesser yam must be considered in order to keep the dominant content as inulin. Steam blanching treatment can increase the quality of chips. The combination of temperature and steam blanching time applied will produce different quality of chips chemically and physically. The effectiveness of blanching can be done by optimizing the steam blanching process for both factors (temperature and time). The aim of this study is to get the optimum temperature and steam blanching time to obtain the optimum characteristic on lesser yam chips based on its chemical and physical properties and also to understand the impact of lesser yam chips characterization on the optimum level of temperature and steam blanching time. The research method was designed by Response Surface Methodology (RSM) with Central Composite Design (CCD) by Design Expert 10.0.1. This study has two factors, namely temperature (X1) and steam blanching time (X2), therefore it has 13 treatment combination and each combination is analyzed by each response. The optimal result will be verified and continued with characterization test such as moisture content, ash content, fiber content, starch content, and amylose content This research resulted that three responses were quadratic. Blanching time did not have a big influence for inulin content and brightness level. Temperature of blanching give an influence for inulin content and brightness level where the value will get higher according to temperature increased until it reached the optimal point and decreased with the increased temperature. Meanwhile, both factors did not give big influence for fracturability where the result was tend to have the same value. The optimal solutions predicted by the program are 70,63°C for temperature and 5,87 minutes for duration time. Highest content for soluble carbohydrate is 12,56%, highest brightness level is 68, and the average value for fracturability is 6,9 N. The verification result of three responses are within the PI (Prediction Interval) value, therefore the condition were applicable. The characterization of the optimum chips resulted that the moisture content is 6,29%, ash content is 2,20%, amylose content 3,90%, starch content 32,75%, fiber content 3,58%, brightness level (L) 67,5, and fracturability 5,8 N. The characteristics correspond to SNI 01-4305-1996.

Keyword : Lesser yam Chips, Water-soluble Carbohydrate Content, Response Surface Methodology, Steam Blanching.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul Optimasi Suhu dan Lama Waktu Steam Blanching terhadap

Kadar Karbohidrat Larut Air, Daya Patah, dan Tingkat Kecerahan Chips Gembili

(Dioscorea esculenta L.) Menggunakan Metode Response Surface Methodology

(RSM) dengan baik. Penulis berharap semoga dalam proses penyelesaian

skripsi ini, penulis selalu mendapatkan rahmat, ridho serta petunjuk dari Allah

SWT. Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Teti Estiasih, STP. MP. selaku ketua jurusan Teknologi Hasil

Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.

2. Ibu Dr. Widya Dwi Rukmi S.TP, MP selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah memberikan waktu luangnya, memberikan ilmu-ilmunya dan

penuh kesabaran dalam menghadapi penulis selama ini sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Mama, (Alm) Papa, Kakak dan seluruh keluarga yang selalu menjadi

motivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir dengan semangat.

4. Rizqi Adlina Firdaus, Nisrina Fakhriyah, Bella, Yayank, Niar dan teman-

teman THP angkatan 2014 yang telah memberikan motivasi, semangat,

kerjasama dan mendorong penulis untuk menyelesaikan penelitian ini

dengan cepat dan tepat.

Penulis berharap, semoga hasil dari penelitian ini dapat memberikan

informasi dan bermanfaat bagi pihak yang membaca maupun pihak yang terkait

dengan penelitian ini.

Malang,

Chlarinta Puspa Dewi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii

RIWAYAT HIDUP ................................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................... iv

RINGKASAN .......................................................................................... v

SUMMARY ............................................................................................. vi

KATA PENGANTAR .............................................................................. vii

DAFTAR ISI .......................................................................................... viii

DAFTAR TABEL .................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 3

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 3

1.5 Hipotesis Penelitian .......................................................................... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 4

2.1 Gembili (Dioscorea esculenta L.) ...................................................... 4

2.2 Komponen Kimia dan Nilai Gizi Gembili ............................................ 5

2.3 Senyawa Bioaktif Umbi Gembili ........................................................ 7

2.3.1 Polisakarida Larut Air (PLA) ...................................................... 7

2.3.2 Dioscorin ................................................................................... 10

2.3.3 Diosgenin .................................................................................. 10

2.4 Chips Gembili .................................................................................. 11

2.5 Parameter Kualitas Chips ................................................................ 12

2.5.1 Warna ....................................................................................... 12

2.5.2 Daya Patah ............................................................................... 12

2.6 Browning ........................................................................................... 13

2.7 Blanching .......................................................................................... 14

2.8 Response Surface Methodology (RSM) ........................................... 15

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................. 18

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ...................................................... 18

3.2 Alat dan Bahan ................................................................................. 18

3.2.1 Alat ............................................................................................ 18

3.2.2 Bahan ........................................................................................ 18

3.3 Metode Penelitian ............................................................................. 18

3.4 Pelaksanaan Penelitian .................................................................... 20

3.4.1 Penelitian Pendahuluan ............................................................. 20

3.4.2 Penelitian Utama ....................................................................... 21

3.5 Pengamatan dan Analisa Data ......................................................... 23

3.5.1 Pengamatan .............................................................................. 23

3.5.2 Analisa Data .............................................................................. 24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 25

4.1 Karakteristik Bahan Baku .................................................................. 25

4.2 Optimasi Suhu dan Lama Waktu Blanching pada Chips Gembili ...... 29

4.3 Analisa Respon Kadar Karbohidrat Larut Air ..................................... 32

4.3.1 Evaluasi Model Respon Kadar Karbohidrat Larut Air ................. 32

4.3.2 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Kadar Karbohidrat Larut Air . 35

4.3.3 Pengaruh Lama Waktu dan Suhu Blanching terhadap Respon

Kadar Karbohidrat Larut Air ....................................................... 37

4.4 Analisa Respon Daya Patah ............................................................. 39

4.4.1 Evaluasi Model Respon Daya Patah ......................................... 39

4.4.2 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Daya Patah ......................... 42

4.3.3 Pengaruh Lama Waktu dan Suhu Blanching terhadap Respon

Daya Patah ............................................................................... 43

4.5 Analisa Respon Tingkat Kecerahan .................................................. 46

4.5.1 Evaluasi Model Respon Tingkat Kecerahan .............................. 46

4.5.2 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Tingkat Kecerahan .............. 48

4.5.3 Pengaruh Lama Waktu dan Suhu Blanching terhadap Respon

Tingkat Kecerahan .................................................................... 50

4.6 Penentuan Kondisi Optimum Blanching terhadap Respon Kadar

Karbohidrat Larut Air, Daya Patah dan Tingkat Kecerahan ............... 52

4.7 Verifikasi Kondisi Optimum ............................................................... 54

4.8 Karakterisasi Fisik dan Kimia Chips Gembili Perlakuan Terbaik........ 56

BAB V. PENUTUP ................................................................................. 61

5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 61

5.2 Saran ................................................................................................ 61

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 62

LAMPIRAN ............................................................................................. 75

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi Zat Gizi Gembili ..................................................... 6

Tabel 3.1 Kode Level dan Nilai Level Faktor Lama Waktu dan Suhu

Blanching ................................................................................. 19

Tabel 3.1 Matriks Rancangan Kombinasi Perlakuan ............................... 19

Tabel 4.1 Karakteristik Fisik Umbi Gembili .............................................. 25

Tabel 4.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Gembili dari Dua Wilayah

Berbeda ................................................................................... 26

Tabel 4.3 Karakteristik Gembili Bahan Baku ........................................... 27

Tabel 4.4 Data Respon Kadar Karbohidrat Larut air, Daya Patah, dan

Tingkat Kecerahan ................................................................... 29

Tabel 4.5 DataSequential Model Sum of Squares Respon Karbohidrat

Larut Air ................................................................................... 32

Tabel 4.6 Data Uij Ketidaktepatan Respon Karbohidrat Larut Air ............ 33

Tabel 4.7 Data Model Summary Statistics Respon Karbohidrat Larut

Air ............................................................................................ 34

Tabel 4.8 Data Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Respon Karbohidrat

Larut Air ................................................................................... 35

Tabel 4.9 Data Sequential Model Sum of Squares Respon Daya Patah . 40

Tabel 4.10 Data Uji Ketidaktepatan Respon Daya Patah ........................ 40

Tabel 4.11 Data Model Summary Statistics Respon Daya Patah ............ 41

Tabel 4.12 Data Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Respon Daya Patah .... 42

Tabel 4.13 Data Sequential Model Sum of Squares Respon Tingkat

Kecerahan ............................................................................... 46

Tabel 4.14 Data Uij Ketidaktepatan Respon Tingkat Kecerahan ............. 47

Tabel 4.15 Data Model Summary Statistics Respon Tingkat Kecerahan . 47

Tabel 4.16 Data Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Respon Tingkat

Kecerahan ............................................................................. 48

Tabel 4.17 Batasan Variabllel terhadap Respon Optimum Blanching ..... 52

Tabel 4.18 Data Perbandingan Hasil Verifikasi Dengan Prediksi ............ 54

Tabel 4.19 Hasil Karakterisasi Kimia Chips Gembili Perlakuan Terbaik .. 56

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.Umbi Gembili ...................................................................... 5

Gambar 2.2 Struktur Kimia Inulin ........................................................... 9

Gambar 2.3 Struktur Kimia Glukomanan ............................................... 9

Gambar 3.1 Diagram Alir Tahapan Penelitian ......................................... 20

Gambar 3.2 Alur Penelitian Optimasi Steam Blanching dengan RSM ..... 21

Gambar 3.3.Diagram Alir Proses Pembuatan Chips Gembili .................. 23

Gambar 4.1.Umbi Gembili (Dioscorea esculenta L.) (a) Gembili Tanpa

Kupas; (b) Gembili Kupas ..................................................... 26

Gambar 4.2.Grafik Normal Plot of Residuals terhadap Respon Kadar

Karbohidrat Larut Air ............................................................ 37

Gambar 4.3.Grafik Kontur Lama Waktu dan Suhu Blanching Pada

Respon Kadar Karbohidrat Larut Air ..................................... 38

Gambar 4.4.Grafik 3D-Surace Lama Waktu dan Suhu Blanching Pada

Respon Karbohidrat Larut Air ............................................... 38

Gambar 4.5.Grafik Normal Plot of Residuals terhadap Respon Daya

Patah .................................................................................... 44

Gambar 4.6.Grafik Kontur Lama Waktu dan Suhu Blanching Pada

Respon Daya Patah .............................................................. 44

Gambar 4.7.Grafik 3D-Surace Lama Waktu dan Suhu Blanching Pada

Respon Daya Patah ............................................................. 45

Gambar 4.8.Grafik Normal Plot of Residuals terhadap Respon Tingkat

Kecerahan............................................................................ 50

Gambar 4.9.Grafik Kontur Lama Waktu dan Suhu Blanching Pada

Respon Tingkat Kecerahan ................................................... 50

Gambar 4.10.Grafik 3D-Surace Lama Waktu dan Suhu Blanching Pada

Respon Tingkat Kecerahan .................................................. 51

Gambar 4.11. Solusi Kondisi Optimum Blanching ................................... 53

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Analisa ................................................................. 75

Lampiran 1.1 Analisa Kadar Karbohidrat Larut Air .................................. 75

Lampiran 1.2 Analisa Tingkat Kecerahan ............................................... 77

Lampiran 1.3 Analisa Daya Patah ........................................................... 77

Lampiran 1.4 Analisa Kadar Air .............................................................. 78

Lampiran 1.5 Analisa Kadar Abu ............................................................ 79

Lampiran 1.6 Analisa Kadar Amilosa ...................................................... 80

Lampiran 1.7 Analisa Kadar Pati ............................................................. 81

Lampiran 1.8 Analisa Kadar Serat Pangan ............................................. 81

Lampiran 2. Hasil Respon Berdasarkan Penelitian Pribadi ..................... 83

Lampiran 2.1 Data Ulangan Respon Kadar Karbohidrat Larut Air ........... 83

Lampiran 2.2 Data Ulangan Respon Daya Patah.................................... 83

Lampiran 2.3 Data Ulangan Respon Tingkat Kecerahan ........................ 84

Lampiran 2.4 Data Ulangan Analisa Bahan Baku ................................... 84

Lampiran 3. Hasil Analisa Data Menggunakan RSM ............................... 85

Lampiran 3.1 Input Data Hasil Analisa pada RSM (Aktual dan Terkode) 85

Lampiran 3.2 Data Fit Summary Respon Karbohidrat Larut

Air (Summary) .................................................................... 86

Lampiran 3.3 Data Fit Summary Respon Karbohidrat Larut

Air (Sequential Model Sum of Squares) ............................ 86

Lampiran 3.4 Data Fit Summary Respon Karbohidrat larut

Air (Lack of Fit) .................................................................. 86

Lampiran 3.5 Data Fit Summary Respon Karbohidrat Larut

Air (Model Summary Statistics) ......................................... 87

Lampiran 3.6 Data Analisa Ragam (ANOVA) Respon Karbohidrat

Larut Air ............................................................................ 87

Lampiran 3.7 Final Equation in Terms .................................................... 87

Lampiran 3.8 Grafik Diagnostics Respon Karbohidrat Larut Air .............. 88

Lampiran 3.9 Model Graphs 2D dan 3D Respon Kadar Karbohidrat

Larut Air ........................................................................... 88

Lampiran 3.10 Data Fit Summary Respon Daya Patah (Summary) ........ 89

Lampiran 3.11 Data Fit Summary Respon Daya Patah (Sequential Model

Sum of Squares) ............................................................... 89

Lampiran 3.12 Data Fit Summary Respon Daya Patah (Lack of Fit) ....... 90

Lampiran 3.13 Data Fit Summary Respon Daya Patah (Model Summary

Statistics) .......................................................................... 90

Lampiran 3.14 Data Analisa Ragam (ANOVA) Respon Daya Patah ....... 90

Lampiran 3.15 Final Equation in Terms .................................................. 91

Lampiran 3.16 Grafik Diagnostics Respon Daya Patah........................... 91

Lampiran 3.17 Model Graphs 2D dan 3D Respon Daya Patah ............... 92

Lampiran 3.18 Data Fit Summary Respon Tingkat Kecerahan (Summary) 93

Lampiran 3.19 Data Fit Summary Respon Tingkat Kecerahan (Sequential

Model Sum of Squares) .................................................... 93

Lampiran 3.20 Data Fit Summary Respon Tingkat Kecerahan (Lack of Fit) 93

Lampiran 3.21 Data Fit Summary Respon Tingkat Kecerahan (Model

Summary Statistics) ........................................................ 94

Lampiran 3.22 Data Analisa Ragam (ANOVA) Respon Tingkat Kecerahan 94

Lampiran 3.23 Final Equation in Terms .................................................. 94

Lampiran 3.24 Grafik Diagnostics Respon Tingkat Kecerahan ............... 95

Lampiran 3.25 Model Graphs 2D dan 3D Respon Tingkat Kecerahan .... 95

Lampiran 3.26 Solusi Titik Optimum ....................................................... 96

Lampiran 3.27 Grafik Prediksi Tingkat Respon dan Desirabilitas ............ 97

Lampiran 3.28 Grafik Overlay Plot .......................................................... 98

Lampiran 4. Hasil Verifikasi berdasarkan Penelitian Pribadi ................... 99

Lampiran 4.1 Data Ulangan Verifikasi Respon Kadar Karbohidrat Larut

Air ..................................................................................... 99

Lampiran 4.2 Data Ulangan Verifikasi Respon Daya Patah .................... 99

Lampiran 4.3 Data Ulangan Verifikasi Respon Tingkat Kecerahan ......... 99

Lampiran 4.4 Data Ulangan Hasill Karakterisasi ..................................... 99

Lampiran 5. Dokumentasi Hasil Penelitian .............................................. 100

Lampiran 5.1 Alat dan Bahan yang Digunakan Dalam Penelitian ........... 102

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karbohidrat merupakan penyumbang energi terbesar bagi tubuh dan

berperan penting untuk menjaga kesehatan. Guna memenuhi kebutuhan

karbohidrat masyarakat mengonsumsi beberapa jenis sumber karbohidrat seperti

beras, jagung, singkong, dan beberapa jenis umbi-umbian lainnya. Salah satu

jenis umbi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi dan banyak tumbuh di

Indonesia yaitu umbi gembili. Gembili (Dioscorea esculenta L.) berasal dari

keluarga Dioscoreacea dapat berpotensi sebagai sumber karbohidrat alternatif

(Rauf dan Lestari, 2009). Gembili mengandung karbohidrat larut air, salah satu

komponen karbohidrat larut air yang dominan ada pada gembili adalah inulin,

dimana inulin dapat berfungsi sebagai prebiotik (Winarti dkk., 2011). Menurut

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya umbi Dioscorea spp menghasilkan

inulin yang cukup tinggi sekitar 2,88 – 14,77% (Winarti dkk., 2011) dan kadar

inulin untuk umbi gembili sendiri sebesar 14,77%. Selain tinggi karbohidrat,

gembili juga mengandung senyawa bioaktif seperti polisakarida laut air (PLA),

dioscorin, diosgenin yang dapat juga dimanfaatkan oleh tubuh. Kadar rendemen

pada tepung umbi gembili telah diteliti sebelumnya sebesar 24,28% (Richana

dan Sunarti, 2004)

Gembili sebagai umbi lokal mudah untuk dibudidayakan karena tidak

memerlukan perlakuan khusus, sehingga di daerah pedesaan cukup mudah

untuk menjumpai gembili. Selama ini pemanfaatan gembili sebatas proses

tradisional seperti direbus atau digoreng bahkan ada yang dibiarkan tumbuh dan

tidak dipanen. Masa dormansi gembili yang cukup lama sekitar 1 – 6 bulan dan

umur simpan setelah panen yang singkat memerlukan pemanfaatan gembili yang

sesuai agar gembili dapat dikonsumsi sepanjang tahun. Diversifikasi pangan

berbahan dasar gembili yang dapat dilakukan adalah mengolah gembili menjadi

chips atau keripik.

Chips atau keripik adalah produk yang diiris tipis dengan ketebalan 1-2

mm dan langsung dikeringkan (Djuwardi, 2009). Kadar air chips yang rendah

membuat umur simpannya menjadi panjang dan memudahkan proses

pendistribusian. Pembuatan chips gembili dapat dijadikan sebagai produk

pertengahan untuk bahan baku ekstrak kandungan karbohidrat larut air seperti

inulin dan lainnya serta diolah lebih lanjut seperti dijadikan tepung gembili, atau

dapat langsung dikonsumsi menjadi makanan ringan. Proses pengeringan dalam

pembuatan chips gembili berjalan lambat karena adanya kandungan polisakarida

larut air (PLA) yang memiliki daya ikat tinggi terhadap air (Wisono, 2016). PLA

yang bercampur dengan air dapat membentuk lendir (Prabowo, 2014) yang

membuat gembili mengandung lendir yang tinggi dan berakibat terjadinya

browning pada pembuatan chips. Browning terjadi ketika enzim fenolase pada

lendir mengalami kontak langsung dengan udara (Nurfitasari dkk., 2015) yang

memicu terjadinya reaksi antara enzim polifenoloksidase (PPO) dan peroksidase

(POD) dengan polifenol yang membentuk quinon dan kemudian terpolimerisasi

sehingga terbentuk pigmen warna coklat (Vega et al., 2008).

Beberapa cara untuk menghambat proses pencoklatan diantaranya

dengan melakukan pre-treatment berupa blanching. Blanching merupakan

proses pemanasan yang diberikan pada suatu bahan untuk menginaktivasi

enzim, melunakkan jaringan, dan mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang

merugikan (Sucitra dkk., 2017). Blanching untuk umbi – umbian dapat dilakukan

dalam dua cara yaitu menggunakan hot water blanching dan steam blanching.

Berbagai penelitian blanching pada umbi – umbian telah dilakukan. Pada gembili

dilakukan dengan perendaman air panas dengan suhu 80ºC selama 1 menit

(Dewati dkk., 2013) dan untuk ubi jalar pada suhu 85ºC selama 7,5 menit

(Suprapto, 2004). Penerapan blanching yang dilakukan sebelum bahan dipotong

berbentuk chips berpengaruh nyata terhadap kadar air dan pengeringan yang

diduga akibat adanya peningkatan sifat permeabilitas dinding sel selama proses

blanching sehingga memudahkan penguapan air keluar dari dalam bahan (Ayu

dkk., 2014). Pemekaran dan pengembangan struktur granula pati terjadi saat

proses blanching (Puspasari, 2012) yang membuat rongga pada bahan akan

semakin luas dan mudah menyerap air tetapi mudah untuk melepas air ketika

proses pengeringan (Ayu dkk., 2014).

Pre-treatment yang dilakukan pada berbagai jenis umbi – umbian tersebut

memerlukan kondisi yang optimal, jika suhu yang diberikan terlalu tinggi

menyebabkan terjadinya gelatinisasi dan berdampak pada rendahnya

karakteristik yang dihasilkan (Ayu dkk., 2014). Sehingga perlu dilakukan

penelitian mengenai optimasi suhu dan lama waktu blanching untuk

menghasilkan karakteristik chips terbaik.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Berapa suhu dan lama waktu blanching optimum yang dapat menghasilkan

karakteristik terbaik pada chips gembili berdasarkan sifat fisik dan kimia?

2. Bagaimana pengaruh karakterisasi chips gembili terhadap suhu dan lama

waktu blanching yang optimum?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui suhu dan lama waktu blanching optimum yang dapat

menghasilkan karakteristik terbaik pada chips gembili berdasarkan sifat fisik

dan kimia

2. Mengetahui pengaruh karakterisasi chips gembili terhadap suhu dan lama

waktu blanching optimum.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi mengenai suhu

dan lama waktu blanching yang optimal dalam mengolah umbi gembili menjadi

chips sebagai produk pertengahan atau produk siap konsumsi. Hasil tersebut

dapat dimanfaatkan oleh petani gembili dan pelaku industri dalam mengolah

umbi gembili menjadi chips dengan kualitas terbaik guna mendukung

peningkatan dalam pemanfaatan umbi gembili sebagai sumber karbohidrat

alternatif.

1.5 Hipotesis

Suhu dan lama waktu blanching yang optimal akan memberikan

karakteristik terbaik pada chips gembili berdasarkan sifat kimia, daya patah, dan

tingkat kecerahan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gembili (Dioscorea esculenta L.)

Gembili (Dioscorea esculenta L.) merupakan tanaman umbi-umbian yang

dapat tumbuh pada dataran rendah hingga 900 m diatas permukaan laut

(Mustofa dkk., 2018). Tanaman gembili tumbuh berbentuk perdu memanjat

dengan ketinggian bervariasi antara 3 – 5 m dengan ciri khas daunnya yang

berbentuk seperti ginjal, batang bulat berduri, memiliki bulu halus, dan setiap

pohon rata-rata memiliki buah sebanyak 20 – 40 buah. Umumnya, umbi gembili

memiliki bentuk yang bulat hingga lonjong, namun tidak jarang juga ditemukan

bentuk gembili yang bercabang dan cenderung melebar (Prameswari dan

Estiasih, 2013). Daging gembili berwarna putih bersih dengan permukaan licin,

kulit umbi berwarna coklat muda dengan sedikit akar dan korteks kuning

kehijauan. Ukuran rata – rata gembili adalah berdiameter 2,7 - 4 cm, panjang 5 –

10 cm, ketebalan kulit sekitar 0,04 mm, dan beratnya 50 hingga 150 gram

(Winarti dkk., 2011).

Gembili berasal dari Thailand dan Indo China yang kemudian terdistribusi

menyebar pada wilayah beriklim tropis dan subtropis seperti Asia Tenggara,

Madagaskar, India Utara, Papua Nugini, Kepulauan Karibia, Ocenia dan

Indonesia. Tanaman ini juga disebut sebagai tanaman lokal di Nigeria, Jamaica,

Brazil, dan China (Nattapulwat et al., 2008). Sebaran terbaik umbi gembili

terletak pada daerah dengan curah hujan 875 – 1750 mm per tahun dengan

suhu minimum 22,7ºC, kondisi tanah yang gembur, bertekstur ringan, sistem

drainase yang baik, serta mengandung banyak bahan organik. Di Indonesia,

gembili memiliki beberapa sebutan lokal seperti ubi aung, huwi buntul, kombili,

dan lainnya. Gembili dapat mulai dipanen pada umur 8 – 9 bulan dan memiliki

masa dormansi atau istirahat selama 1 hingga 6 bulan. Menjelang musim

penghujan gembili akan bertunas dan kemudian dimanfaatkan sebagai bibit. Di

daerah pedesaan, penanaman gembili masih cukup luas, walaupun

kelestariannya semakin terancam.

Spesies Dioscorea selain gembili yang terdapat di Indonesia meliputi

Dioscorea alata (umbi uwi), Dioscorea hispida (umbi gadung), Dioscorea

pentaphylla (umbi tomboreso/ubi pasir), dan Dioscorea bulbifera (umbi gembolo)

(Kasno dkk., 2006). Sistematika taksonomi gembili menurut Richana (2012)

dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbiji tertutup)

Kelas : Liliopsida (biji berkeping satu)

Ordo : Dioscoreales

Famili : Dioscoreaceae

Genus : Dioscorea

Spesies : Dioscorea esculenta (Lour.) Burk.

Gambar 2.1 Umbi Gembili

(Dokumentasi Pribadi)

2.2 Komponen Kimia dan Nilai Gizi Gembili

Gembili merupakan suatu bahan pangan yang baik karena mengandung

karbohidrat tinggi, serat, dan lemak yang rendah (Grindley et al., 2002; Jaleel et

al., 2007; Jaleel et al., 2008). Gembili juga mengandung komponen gizi lain

seperti zat besi sebesar 0,8 mg dan vitamin B1 sebesar 0,05 mg (Bekti,2010).

Kadar kalsium pada gembili sebesar 14 mg dan kadar vitamin C sebesar 4 mg

(Suhardi, 2002). Jenis protein yang terdapat pada gembili adalah asam amino

arginin, leusin, valin, dan lainnya. Karbohidrat yang terdapat pada gembili

umumnya mengandung pati dan tersusun atas amilosa, amilopektin, dan gula.

Komponen gula pada gembili terdiri dari glukosa, sukrosa, dan fruktosa dengan

kadarnya mencapai 7 – 11 % (Nugraheni, 2014) sehingga menimbulkan rasa dan

aroma manis pada gembili yang telah diolah. Menurut Richana dan Sunarti

(2004) kandungan pati pada gembili sebesar 21,44%. Pati gembili memiliki

ukuran granula yang kecil yaitu 0,75 µm dan berbentuk heksagonal. Komposisi

zat gizi pada gembili dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi zat gizi gembili

Komponen Satuan Komposisi Zat Gizi

a

Komposisi Zat Gizi

b

Karbohidrat by difference

% 9,18 14,76

Protein kasar % 5,73 2,80 Lemak % 0,73 0,66

Kadar air % 76,79 79,37 Kadar abu % 7,57 2,41 Serat kasar % 2,34 2,16

Sumber : a = Polycarp et al., (2012) , b = Suwita dkk., (2012)

Pati gembili memiliki beberapa sifat fungsional seperti viskositas pasta,

kekuatan pemekaran, daya serap air (water holding capacity), tekstur pasta, dan

kejernihan pasta (Herlina, 2010). Sifat fungsional ini muncul akibat kemampuan

pati dalam berinteraksi dengan senyawa – senyawa lain secara langsung atau

tidak langsung sehingga pati memegang peran penting dalam mutu dan tingkat

penerimaan produk. Hal tersebut membuat gembili dapat dikembangkan menjadi

produk intermediet seperti tepung umbi gembili untuk kemudian diaplikasikan

pada beberapa produk seperti pada penelitian Pratiwi dkk (2016) yang

menjadikan tepung gembili sebagai filler nugget. Bekti (2010) pada pembuatan

pangsit, Prameswari dan Estiasih (2013) pada pembuatan cookies, dan flakes

oleh Gisca (2013).

Pati tersusun atas dua fraksi yaitu amilosa (rantai lurus) dan amilopektin

(rantai bercabang). Kadar amilosa pada gembili menurut Prameswari dan

Estiasih (2013) sebesar 14,2% dan menurut Richana dan Sunarti (2004) kadar

amilosa gembili sebesar 24,30% sementara amilopektin sebesar 75,70%.

Perbedaan kadar amilosa dan amilopektin akan berpengaruh pada

pengaplikasian produk gembili, proses gelatinisasi, retrogradasi, dan karakteristik

pasta pati. Gembili tidak memerlukan suhu tinggi dan energi yang besar untuk

gelatinisasi karena kandungan kadar amliosa yang rendah sehingga jumlah

rantai lurus yang ada pada granula sedikit (Richana dan Sunarti, 2004).

2.3 Senyawa Bioaktif Umbi Gembili

Senyawa bioaktif merupakan metabolit sekunder yang memiliki efek

fisiologis dalam tubuh dan berpengaruh positif terhadap kesehatan manusia.

Senyawa bioaktif dihasilkan tumbuhan sebagai hasil samping metabolit primer.

Genus Dioscorea dikenal memiliki senyawa bioaktif hasil metabolit sekunder

yang menghasilkan saponin, terpenoid, dan alkaloid (Brunnschweller, 2004).

Umbi gembili khususnya memiliki beberapa senyawa bioaktif seperti polisakarida

larut air (PLA) (Liu dan Lin, 2009), diosgenin (Chou et al., 2006; Braun, 2008),

dan dioscoin (Hou et al., 2001; Chan et al., 2006; Liu et al., 2007).

2.3.1 Polisakarida Larut Air (PLA)

Gembili memiliki lendir kental yang terdiri dari glikoprotein dan

polisakarida larut air (PLA) yang bersifat hidrokoloid. Jenis polisakarida yang ada

pada gembili adalah polisakarida larut air non pati. Polisakarida merupakan salah

satu senyawa jenis karbohidrat yang terbentuk dari kumpulan monosakarida

(Yofananda dan Estiasih, 2016). Prabowo dkk (2014); Saputro dan Estiasih

(2015) menjelaskan polisakarida merupakan serat pangan larut air yang tidak

terdegradasi secara enzimatis menjadi sub unit yang dapat diserap di lambung

dan usus halus. PLA bersifat hidrokoloid, sehingga dimanfaatkan dalam industri

pangan untuk mencapai kualitas yang diharapkan dalam hal viskositas, stabilitas,

tekstur, dan penampilan (Ha et al., 2000) karena berfungsi sebagai bahan

pengikat air, pengental, penstabil, suspending agent, dan meningkatkan mouth

feel (Dodic et al., 2005). Di bidang medis, PLA gembili memiliki sifat fungsional

berupa penurunan kadar glukosa darah (Saputro dan Estiasih, 2015). Metode

ekstraksi PLA menggunakan ragi tempe memiliki potensi penurunan kadar

glukosa darah lebih tinggi dibanding menggunakan papain atau air (Suwita dkk,

2012). Selain itu PLA gembili memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi

(Rimbawan dan Nurbayani, 2013).

Komponen karbohidrat larut air berjenis polisakarida yang terdapat pada

gembili dan kadarnya cukup tinggi adalah Inulin. Inulin termasuk dalam

polisakarida larut air non pati (serat pangan) (Brownawell, 2012) yang terdapat

pada gembili dan merupakan salah satu komponen bioaktif (Roberfroid, 2005).

Kadar inulin pada umbi gembili sebesar 14,629% (Yuniar, 2010) dan

diperbaharui oleh Winarti dkk (2011) sebesar 14,77%. Inulin merupakan polimer

fruktosa yang sebagian besar mengandung sekitar 35 unit fruktosa yang

dihubungkan satu sama lain oleh ikatan β-2,1 glikosida (Ma’aruf dkk, 2011).

Komponen karbohidrat larut air dominan lainnya yang terdapat pada

gembili adalah glukomanan. Herlina (2012) menyatakan Polisakarida larut air

(PLA) umbi gembili mengandung glukomanan sebesar 39,49%. Glukomanan

merupakan polisakarida yang tersusun atas satuan D-glukosa sebanyak 67%

dan D-mannosa 33% (Saputro dkk., 2014) dengan ikatan β 1,4-glikosidik. Parry

(2009) menyebutkan bahwa glukomanan memiliki gugus asetil setiap 10-19 unit

gugus karbon pada posisi C2, C3, dan C6, gugus asetil tersebut berperan pada

sifat fisik glukomanan seperti sifat kelarutan dalam air. Glukomanan memiliki

ukuran antara 0,5-2 mm dan 10-20 kali lebih besar dari sel pati. Bobot molekul

glukomanan relatif tinggi sebesar 200.000-2.000.000 dalton dengan bobot

molekul rata-rata 1.000.000 dalton (Keithley et al., 2013). Bobot molekul yang

relatif tinggi membuat glukomanan memiliki karakteristik istimewa, salah satunya

memiliki sifat-sifat antara seluosa dan galaktomanan yakni mampu mengalami

pengkristalan dan dapat membentuk struktur serat-serat halus (Wijiastuti, 2016).

Inulin dan glukomanan tidak dapat dicerna oleh enzim – enzim

pencernaan sehingga akan terfermentasi oleh mikroflora di dalam usus besar.

Atas dasar tersebut keduanya disebut sebagai prebiotik (Widowati, 2005; Wu et

al., 2014). Inulin dan glukomanan secara selektif akan merangsang pertumbuhan

dan aktivitas berbagai bifidobakteria atau bakteri sehat (Langlands et al., 2004;

Pompei et al., 2008; Harmayani et al., 2014; Wu et al., 2014) yang dapat

meningkatkan kesehatan.

Inulin dengan rantai panjang (22 – 60 unit) digunakan sebagai pengganti

fungsi lemak karena bersifat kurang larut sehingga cenderung kental (Toneli et

al., 2008; Tarrega et al., 2011) dan menghasilkan kalori lebih rendah. Tekstur

bahan pangan juga dapat dimodifikasi oleh inulin, hal ini diperkuat oleh penelitian

Dewanti (2013) dimana inulin membantu memodifikasi tekstur pada es krim

karena daya ikatnya terhadap air dan kemampuan pembentukkan mikrokristal

apabila dilarutkan dengan air atau susu. Sifat fungsional inulin sebagai serat

makanan larut sangat bermanfaat bagi pencernaan dan kesehatan tubuh.

Hidayat (2006) menyatakan bahwa inulin membantu mengoptimalkan

penyerapan kalsium dan magnesium dalam tubuh. Selain itu, Inulin digunakan

untuk membantu mengatasi diabetes mellitus, mengurangi resiko kanker usus

besar (Franck et al., 2005) inulin juga dapat membantu memetabolisme lemak

sehingga mempengaruhi penurunan kolesterol dan trigliserida (Kaur and Gupta,

2002).

Glukomanan memiliki berbagai aplikasi yang dapat diterapkan pada

industri pangan dalam hal bahan tambahan pangan. Glukomanan digunakan

sebagai bahan baku pada pembuatan keju olahan rendah lemak dan dapat

meningkatkan sifat rheology, kestabilan dan tekstur dari keju (Felix da Silva et al.,

2016). Glukomanan juga dapat digunakan sebagai bahan penstabil pada es krim

untuk meningkatkan kelembutan, selain itu digunakan sebagai penstabil pada

busa bir sehingga dihasilkan busa yang kecil dan seragam (Yang et al.,2017).

Seperti inulin, glukomanan berperan sebagai serat yang berfungsi untuk

mengurangi resiko kanker, menurunkan kolesterol LDL (Connolly et al., 2010),

dan meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek (SCFA) yaitu asetat,

propionat, dan butirat (Wu et al., 2014). Struktur kimia inulin dan glukomanan

disajikan pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.

Gambar 2.2 Struktur Kimia Inulin (Mensink et al, 2015)

Gambar 2.3 Struktur Kimia Glukomanan

(Harding et al., 2011)

2.3.2 Dioscorin

Dioscorin (C13H19O2N) merupakan senyawa bioaktif golongan protein

paling dominan pada lendir gembili yang memiliki sifat antioksidan, scavengeing

agent terhadap oksigen aktif, antihipertensi, tripsin inhibitor, dan Angiotensin

Converting Enzyme (ACE) (Ko et al., 2007). Kandungan dioscorin dalam gembili

dilaporkan sebesar 0,77% dan pada tepung gembili sebesar 2,04% (Prabowo,

2013). Sebagai umbi – umbian keluarga Dioscorea, dioscorin berfungsi sebagai

cadangan protein yang bersifat larut air (Prabowo dkk, 2014). Dioscorin memiliki

karakteristik berupa padatan berwana kuning kehijauan dengan titik leleh 54 -

55ºC. Dioscorin yang telah dimurnikan memperlihatkan aktivitas antioksidan

terhadap penangkapan radikal bebas (Shajeela et al., 2011; Mar’attirosyidah dan

Estiasih, 2015). Liu et al (2007) melaporkan bahwa dioscorin dapat berfungsi

sebagai senyawa immunomodulatory.

2.3.3 Diosgenin

Diosgenin merupakan steroid sapogenin alami dan dapat diisolasi dari

tumbuhan Dioscorea sp, Costus speciosus, Trigonella sp, Agavaceae, dan

Liliaceae dimana steroid sapogenin adalah metabolit sekunder yang merupakan

prekusor biosintesis sterol terutama kolesterol (Sumunar dan Estiasih, 2015;

Prabowo dkk., 2014). Diosgenin adalah spirostanol saponin yang tersusun atas

gula hidrofilik dan terikat dengan aglikon steroid hidrofobik (Raju and Mehta,

2009). Struktur diosgenin hampir serupa dengan kolesterol dan steroid lainnya

(Rasooli, 2012). Rumus molekul diosgenin adalah C27H4O3 dengan berat molekul

414,61. Diosgenin diketahui dapat larut dalam pelarut organik (Rasooli, 2012).

Diosgenin pada bidang farmasi dijadikan sebagai prekursor untuk menghasilkan

berbagai steroid sintesik (Prabowo dkk., 2014; Rasooli, 2012)

Diosgenin memiliki manfaat antioksidan dan antiinflamasi. Diosgenin akan

mengaktifkan gen penekan tumor TP53 yang kemudian akan menghambat

aktivitas proliferasi dan kanker payudara (Olayemi dan Ajaiyeoba, 2007).

Penelitian lain menyatakan bahwa diosgenin dapat diserap melalui usus dan

berperan penting dalam mengatur metabolism kolesterol, mengurangi resiko

penyakit jantung, kanker paru – paru, dan kanker darah serta memiliki aktiivtas

anti - aging (Okwu et al., 2006).

2.4 Chips Gembili

Pengawetan dibutuhkan pada bahan pangan untuk mencapai beberapa

tujuan seperti mencegah pembusukan, menjaga kandungan nutrisi, dan menjaga

ketersediaan pangan tersebut ada di sepanjang tahun. Beberapa metode dapat

dilakukan untuk pengawetan seperti pembekuan, pengalengan, pickling,

penggaraman, penggulaan, pengeringan, iradiasi, dan pengemasan vakum.

Metode – metode tersebut dapat dilakukan bersamaan maupun tidak. Bentuk

pengawetan yang sesuai untuk gembili salah satunya dengan menggunakan

metode pengeringan. Pengeringan akan mengurangi kadar air dan menghasilkan

bahan kering yang memiliki kadar air setara dengan kadar air keseimbangan

udara (atmosfir) normal atau setara dengan nilai aktivitas air (Aw) yang aman

dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimiawi (Setyawan dkk, 2013).

Pengeringan gembili akan menghasilkan produk berupa chips gembili dengan

ketebalan 1–2 mm. Djuwardi (2009) menjelaskan bahwa chips atau keripik

merupakan produk yang diiris tipis dengan ketebalan 1–2 mm dan langsung

dikeringkan.

Metode pengeringan memiliki beberapa keuntungan karena membuat

kadar air bahan menjadi menurun yang membuat bahan menjadi tahan lama dan

volume bahan mengecil sehingga memudahkan proses pendistribusian dan

penyimpanan. Pengeringan dapat dilakukan secara alami (natural drying) dan

pengeringan buatan (artificial drying). Pengeringan secara alami dilakukan

dengan memanfaatkan sinar matahari namun cara ini sulit terkontrol, sangat

tergantung cuaca, memerlukan tempat luas, waktu yang lama, dan kurang

terjaga kebersihannya (Mujumdar, 2006). Pengeringan buatan dengan alat

pengering membutuhkan waktu yang lebih singkat dan dapat memanfaatkan

sumber panas buatan. Contoh pengeringan buatan dengan menggunakan

cabinet dryer, tray dryer, fluid bed fryer, vacuum dryer, dan freeze dryer dimana

masing – masing alat memberikan kualitas produk yang berbeda (Chen &

Mujumdar, 2008; Setyawan dkk., 2013). Hasil pengeringan berupa chips gembili

dapat dijadikan sebagai produk pertengahan atau intermediate untuk kemudian

dimanfaatkan menjadi produk yang diinginkan seperti pembuatan tepung gembili

dan ekstraksi inulin atau senyawa bioaktif lainnya maupun dijadikan sebagai

produk siap konsumsi sebagai referensi tambahan dalam pemilihan produk

makanan ringan.

2.5 Parameter Kualitas Chips

2.5.1 Warna

Warna menjadi salah satu bagian dari faktor sensori makanan yang

penting karena dijadikan sebagai parameter pertama bagi konsumen untuk

menentukan kualitas suatu produk secara subjektif dan mempengaruhi

penerimaan produk pangan (Leon, 2005; Holinesti, 2009). Umumnya konsumen

akan lebih memilih produk dengan warna yang lebih disukai meskipun

kandungan nilai gizi, rasa, dan faktor lainnya lebih rendah dibanding produk

dengan warna yang tidak begitu menarik. Selain sebagai faktor yang

menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran dan

kematangan pada bahan pangan segar. Pengukuran warna secara visual

cenderung sulit untuk dilakukan karena keterbatasan indera pengelihatan

manusia dalam menganalisa dan membedakan perbedaan warna yang minim.

Pengukuran warna dapat dilakukan menggunakan alat seperti spektrofotometer,

color reader, dan lainnya (Putri, 2012). Hasil pengukuran wana diperoleh dalam

unit berupa L,A,B. Masing – masing angka mewakilkan makna tersendiri dari

dimensi yang dibentuk. Unit L* digunakan untuk mendeskripsikan kecerahan

warna berkisar dari 0 – 100 dimana 0 untuk hitam dan 100 untuk putih, unit a*

mendeskripsikan jenis warna dari hijau – merah, dimana huruf a* dengan notasi

negatif mengindikasi warna hijau, dan huruf a* dengan notasi positif mengindikasi

warna merah, sedangkan unit b* mendeskripsikan warna biru – kuning, dimana

huruf b* dengan notasi negatif mengindikasikan warna biru dan huruf b* positif

mengindikasikan warna kuning (Hunterlab, 2008).

2.5.2 Daya Patah

Tekstur merupakan salah satu segi penilaian yang dikritisi saat penentuan

kualitas makanan kering khususnya chips. Dalam industri pangan tekstur menjadi

salah satu faktor terpenting khususnya sebagai indikator aspek non – visual

(Putri, 2012; Sucitra dkk., 2017). Tekstur juga menjadi salah satu ukuran daya

terima konsumen terhadap suatu produk yang kemudian akan dijadikan

penentuan standar kualitas oleh industri dalam segi pengemasan dan

penyimpanan. Tekstur suatu bahan pangan sangat dipengaruhi oleh

mikrostruktur dan makrostruktur penyusunnya. Penilaian tekstur dapat berupa

kerenyahan, kekerasan dan daya patah yang dapat diukur secara sederhana

menggunakan tangan kosong dengan mematahkan chips maupun menggunakan

alat uji khusus seperti texture analyzer (Hawa dkk., 2016). Pengujian dengan

texture analyzer dilakukan dengan cara memberi penekanan atau beban dari luar

menggunakan lengan penekan. Gaya tekan yang dibutuhkan menjukkan derajat

kekerasan (firmness) dari bahan yang dinyatakan dalam satuan gram/cm2.

2.6 Browning

Browning merupakan salah satu efek yang muncul pada proses

pengolahan bahan pangan segar yang mengandung senyawa fenolik terutama

untuk bahan yang dikeringkan atau yang pada prosesnya melibatkan panas.

Browning secara fisik berarti reaksi pencoklatan berupa terbentuknya warna

coklat pada bahan dan biasa terjadi bila terdapat luka pada jaringan berupa

goresan atau potongan. Secara kimiawi, browning dibagi menjadi dua jenis yaitu

browning enzimatis dan non-enzimatis (Vega et al., 2008). Jenis enzim yang

dapat mengkatalisa oksidasi pada proses pencoklatan dikenal dengan berbagai

nama seperti fenol oksidase, polifenol oksidase (PPO), fenolase, atau

polifenolase (Wulandari, 2016) yang secara spesifik akan bekerja untuk substrat

tertentu (Winarno, 2002). Browning enzimatis terjadi pada bahan yang

mengandung substrat fenolik terutama yang berjenis ortodihidroksi atau

trihidroksi yang saling berdekatan (Arsa, 2016). Luka pada jaringan membuat

enzim dapat kontak dengan substrat berupa asam amino tirosin dan komponen

fenolik seperti katekin, asam kafeat, dan asam klorogenat, sehingga substrat

fenolik pada tanaman akan dihidroksilasi menjadi 3,4 – dihidroksifenilalanin dan

dioksidasi menjadi kuinon oleh enzim fenolase (Afoakwa, 2010).

Vega et al., (2008) menjelaskan lebih sederhana mengenai mekanisme

browning yaitu pembentukan pigmen berwana coklat dipicu oleh reaksi oksidasi

yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifeol oksidase dimana enzim

tersebut mengkatalisis perubahan senyawa fenol menjadi kuinon dan kemudian

terpolimerisasi menjadi pigmen melanoidin berwana coklat. Sementara browning

non–enzimatis merupakan reaksi pencoklatan yang timbul tanpa pengaruh enzim

melainkan adanya proses pengolahan terutama yang melibatkan panas (Arsa,

2016). Browning non–enzimatis juga disebut sebagai reaksi maillard (Catrien

dkk., 2008). Terjadinya reaksi ini akibat adanya gugus karbonil dari karbohidrat

(gula reduksi) dan asam amino dari protein pada suhu tinggi dan waktu yang

lama sehingga menghasilkan senyawa kompleks (Sucitra dkk., 2017). Terdapat

tiga jenis reaksi browning non-enzimatis yaitu reaksi maillard, karamelisasi, dan

pencoklatan akibat oksidasi vitamin C (Winarno, 2002; Catrien dkk., 2008).

Reaksi browning non enzimatis dapat terjadi pada proses pengeringan. Reaksi

browning dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, dimana terkadang

reaksi ini diinginkan dan tidak diinginkan. Aplikasi pada beberapa hal seperti

pembuatan roti, kopi, karamel, dan kokoa reaksi ini diinginkan karena akan

membuat aroma, rasa, dan warna khas yang diinginkan. Namun pada buah

segar, sayuran segar, dan susu reaksi ini tidak diinginkan karena dapat

menurunkan kualitas dari bahan baik dari segi fisik maupun kimiawi.

2.7 Blanching

Kualitas chips yang dihasilkan tidak hanya bergantung pada jenis

pengeringan yang dipilih, namun juga bergantung pada proses pre dan post

treatment yang diterapkan (Chen dan Mujumdar, 2008; Setyawan dkk., 2013).

Pre – treatment merupakan proses perlakuan pendahuluan dengan tujuan untuk

menjaga mutu dan nilai nutrisi dari suatu bahan pangan. Proses blanching

merupakan salah satu proses perlakuan pendahuluan yang digunakan untuk

beberapa jenis buah dan sayuran. Tujuan dari proses blanching untuk

menginaktivasi enzim – enzim oksidatif yang menyebabkan perubahan kualitas

bahan pangan dan diterapkan terutama pada bahan segar yang mudah

mengalami kerusakan akibat aktivitas enzim yang tinggi (Estiasih dan Ahmadi,

2009). Tujuan lain dari blanching adalah untuk menghasilkan bahan baku

dengan karakeristik tertentu, mencegah pencoklatan (Ayu dkk., 2014),

pengurangan gas antar sel, mempermudah pengisian kaleng, penurunan jumlah

mikroorganisme (Estiasih dan Ahmadi, 2009), melunakkan jaringan pada bahan

dan membuka pori – pori bahan sehingga mempermudah proses pengeringan

(Asgar dan Musaddad, 2006).

Metode blanching dapat dilakukan dalam dua cara yaitu menggunakan air

panas (Hot Water Blanching) dan uap panas (Steam Blancing). Blanching

menggunakan air panas memiliki tujuan memberikan panas secara merata dan

mengurangi kontak dengan oksigen (Sucitra dkk., 2017). Metode blanching

dengan air panas juga lebih banyak digunakan pada industri karena menekan

biaya operasional dan memberikan efisiensi panas mencapai 60%. Kekurangan

metode dengan air panas adalah air yang digunakan merupakan medium

pertumbuhan mikroba yang baik dan potensi kehilangan komponen bahan larut

air yang lebih besar (Estiasih dan Ahmadi, 2009). Sementara itu metode

blanching dengan uap panas (steam blanching) memiliki kelebihan yaitu potensi

kehilangan komponen larut air yang lebih rendah (Rimbawan dan Nurbayani,

2013). Namun kekurangannya adalah panas yang diberikan tidak bisa dipastikan

merata ke seluruh bagian bahan sehingga diperlukan proses pengadukan atau

pemutaran bahan. Metode dengan uap panas ini juga disebut sebagai metode

pengukusan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada proses blanching adalah

memastikan enzim oksidatif seperti enzim peroksidase, katalase, polifenol

oksidase, lipoksigenase telah inaktif. Enzim polifenol oksidase inakif pada suhu

65⁰C (Okwu, 2006; Baah 2009). Akissoe et al., (2003) melakukan blanching pada

suhu 65⁰C selama 20 menit pada Dioscorea cayanensis rotudanta dan diperoleh

hasil penurunan aktivitas enzim PPO dan peroksidase penyebab pencoklatan

secara signifikan. Selain itu dibutuhkan pengontrolan terhadap waktu dan suhu

yang digunakan karena akan berpengaruh terhadap keseragaman kualitas yang

dihasilkan. Proses blanching dilakukan dalam rentang suhu 65 - 90ºC selama 5 –

15 menit tergantung dari karakteristik bahan dan proses pengolahan selanjutnya

setelah bahan di blanching dan tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa

bahan yang memiliki titik terbaik blanching di luar rentang suhu dan waktu

tersebut. Beberapa penelitian telah menemukan suhu dan waktu yang tepat

untuk bahan tertentu seperti pada rebung bambu tabah kering perlakuan terbaik

ada pada blanching suhu 50ºC selama 10 menit (Kertanegara dkk., 2014), lobak

dengan hasil lobak kering pada suhu 75ºC selama 10 menit (Asgar dan

Musaddad, 2008), kentang pada suhu 100ºC selama 10 menit (Anggraini, 2005),

ubi jalar pada suhu 85ºC selama 7,5 menit (Suprapto, 2004), brokoli pada suhu

80ºC selama 2 menit (Oktaviani, 2011), dan bubur kacang tanah pada suhu 85ºC

selama 30 menit.

2.8 Response Surface Methodology (RSM)

Response Surface Methodology atau metode permukaan respon

merupakan sebuah metode yang ditemukan pada tahun 1951 oleh Box dan

Wilson (Nuryanti dan Salimy, 2008) dengan ide dasar memanfaatkan desain

eksperimen dengan bantuan statistika untuk mencari nilai optimal dari suatu

respon. Metode ini menggabungkan teknik matematik dan statistik untuk

membuat model empiris dan bertujuan untuk mengoptimalkan respon yang

dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas (Iriawan dan Astuti, 2006).

Keunggulan metode RSM dibandingan dengan metode untuk proses optimasi

lainnya adalah metode RSM secara langsung tidak memperlihatkan model first

order maupun second order. Metode RSM dapat “menggeser” level faktor yang

akan diteliti sedemikian rupa kea rah optimalisasi respon, dimana proses ini

disebut sebagai steepest ascent/descent. Pergeseran level – level faktor ke arah

kondisi optimum respon ini yang menjadi keunggulan dalam rsm, dimana pada

metode ini level faktor tidak berhenti pada angka yang sudah ditentukan sebagai

batas bawah dan batas atas, namun juga dapat melacak titik optimum respon di

luar area level eksperimen (Hadiyat, 2012). Proses pertama dalam menggunakan

model ini yaitu menemukan beberapa kisaran variabel bebas kemudian

dimasukkan ke dalam aplikasi berupa Design Expert untuk mendapatkan

beberapa kombinasi perlakuan atau daerah percobaan. Masing – masing daerah

percobaan menghasilkan respon berbeda-beda, model respon dengan tingkat

ketepatan lebih tinggi dapat digunakan untuk mendapatkan nilai variabel

sebenarnya yang akan menghasilkan respon optimum (Surrianingsih, 2017).

Respon optimum yang dihasilkan memiliki arti bahwa respon tersebut

maksimum, minimum, atau in range sesuai dengan tujuan dan keinginan awal

masing-masing peneliti. Penerapan metode ini ada pada bidang rancangan,

pengembangan dan perumusan produk baru, serta pada peningkatan rancangan

produk yang sudah ada (Astrini, 2013). Selain dalam bentuk kuantitatif, metode

ini juga menjelaskan hubungan antara respon dengan variabel secara visual

menggunakan grafik 3 dimensi berupa contour plot dan surface plot

(Ongkowijoyo, 2016). Metode RSM memiliki beberapa kegunaan antara lain

(Biorata, 2012) :

1. Menunjukkan bagaimana variabel respon (y) dipengaruhi oleh variabel

bebas (x) di wilayah yang secara tertentu diperhatikan

2. Menentukan pengaturan variabel bebas yang paling tepat, dimana akan

memberikan hasil yang memenuhi spesifikasi dari respon

3. Mengeksplorasi ruang dari variabel bebas (x) untuk mendapatkan hasil

terbaik dan menentukan sifat dasar dari nilai terbaik.

Kelebihan dari program ini yaitu dapat digunakan untuk analisis dan

permodelan dari suatu permasalahan dengan satu atau lebih perlakuan dalam

penelitian (Montgomery,2001; Bas and Boyaci, 2007; Raissi and Farzani, 2009).

Model yang akan terpilih memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu

signifikansi model, signifikansi lack of fit, adjusted R-square, Predicted R-square.

Pemilihan model dilihat berdasarkan nilai probabilitas di tiap kriteria pada analisis

ragam atau ANOVA. Probabilitas merupakan peluang yang tarafnya diatur sesuai

kebutuhan dan secara umum menggunakan nilai probabilitas 5% (α 0,05). Jika

nilai probabilitas kurang dari nilai α 5% maka dapat dikatakan faktor berpengaruh

nyata atau signifikan terhadap respon pada taraf signifikansi 5%.

Berbeda dengan penentuan pada lack of fit, yang membutuhkan hal yang

berkebalikan. Lack of fit menunjukkan sebuah ketidaksesuaian model dengan

data. Nilai lack of fit kurang dari nilai α 5% atau signifikan, maka model dikatakan

tidak sesuai dengan data yang ada karena ketidaksesuaian model bernilai nyata.

Nilai lack of fit yang tidak signifikan merupakan syarat untuk model yang baik

karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon dengan model (Keshani et

al, 2010). Adjusted R-square merupakan R-square hitung berdasarkan data yang

diperoleh dan Predicted R-square merupakan R-square prediksi. Jika selisih

kedua nilai R-square kurang atau sama dengan 2 maka dikatakan data dalam

keadaan in reasonable agreement yang berarti nilai respon prediksi sesuai

dengan nilai respon aktual sehingga model yang diperoleh dapat memodelkan

data dengan baik (Montgomery, 2001).

Data pada masing-masing respon dilakukan optimasi sesuai dengan

tujuan optimasinya. Formula atau saran yang dapat digunakan dari program

adalah yang memiliki nilai desirabilitas maksimum. Nilai desirabilitas merupakan

nilai fungsi tujuan optimasi yang menunjukkan kemampuan program untuk

memenuhi keinginan berdsarkan kriteria yang diterapkan pada data akhir

(Nurmiah dkk, 2013). Kisaran nilai desirabilitas adalah 0 hingga 1,0. Tujuan

optimasi bukan untuk memperoleh nilai desirabilitas 1,0 melainkan untuk mencari

kondisi terbaik yang mempertemukan semua fungsi tujuan (Raissi and Farzani,

2009).

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan

dan Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Fakultas Teknologi Pertanian,

Universitas Brawijaya Malang pada bulan November 2017 hingga Mei 2018.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah dandang aluminium, slicer

(San Xing), cabinet dryer tenaga listrik (lokal), blender (Cosmos CB 721 G),

Microwave (Samsung M745), freezer (GEA AB-375 LT), centrifugal separator

(WINA Instrument 5020A), oven listrik 220 V (Memmert), termometer, mortar,

timbangan analitik (Camry), pisau stainless, gelas beker (Pyrex, Iwaki), gelas

ukur, corong plastik, kain saring, aluminium foil, botol plastik, tabung sentrifugasi,

tensile strength instrument (Imada ZP-200N), color reader (Conica Minolta R-10),

Spektrofotometer (Shimadzu), Kompor Listrik (Maspion), Tanur (Thermolyne),

Shaker Waterbath (Memmert).

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah gembili yang diperoleh dari Banyuwangi

dan Gresik dengan kriteria berumur 7-9 bulan, kulit berwarna coklat dan sedikit

berakar, daging berwana putih, ukuran panjang rata – rata 8 cm, diameter rata –

rata 3,5 cm, reagen Nelson A, reagen Nelson B, Bubuk fruktosa Murni, reagen

arsenomolybdat, dan aquades.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian disusun dan dirancang menggunakan metode Respon Surface

Metodology (RSM) dengan rancangan Central Composite Design (CCD).

Penelitian ini dipengaruhi oleh dua faktor bebas sehingga memiliki nilai α sebesar

1,41. Jumlah Respon yang akan dilihat pengaruhnya terhadap faktor sebanyak

tiga respon. Faktor pertama yaitu suhu blanching dan faktor kedua adalah waktu

blanching sementara untuk respon pertama adalah kadar karbohidrat larut air,

respon kedua adalah daya patah chips, dan respon ketiga adalah tingkat

kecerahan (L) chips gembili. Suhu dan waktu blanching yang dipilih sebagai titik

tengah didasari oleh suhu minimum untuk menginaktivasi enzim PPO (65⁰C)

serta penelitian pendahuluan dan penelitian terdahulu yang menghasilkan

gembili atau umbi – umbian dengan efek pencoklatan paling rendah. Faktor suhu

blanching memiliki batas bawah 60ºC (-1 level) dan batas atas 90ºC (+1 level).

Sedangkan waktu blanching memiliki batas bawah 2 menit (-1 level) dan batas

atas 10 menit (+1 level). Setelah dioperasikan menggunakan aplikasi Design

Expert 7.0.0 akan menghasilkan 13 kombinasi untuk kedua faktor. Tabel 3.1

menjelaskan kode level dan nilai level untuk tiap faktor dan Tabel 3.2

menggambarkan matriks rancangan kombinasi perlakuan yang dihasilkan oleh

software Design Expert 10.0.1.

Tabel 3.1 Kode Level dan Nilai Level Faktor Lama Waktu dan Suhu Blanching

Faktor Bebas -α (-1,41) -1 0 1 +α (1,41)

Lama Waktu (menit)(X1) 0,34 2 6 10 11,65 Suhu Blanching (⁰) (X2) 53,78 60 75 90 96,21

Tabel 3.2 Matriks Rancangan Kombinasi Perlakuan

Variabel Aktual Variabel Terkode

Variabel respon

Std Run Faktor 1 : Waktu

Blanching

Faktor 2 : Suhu

Blanching

X1 X2 Respon 1

Kadar KH Larut

Air

Respon 2

Daya patah Chips

Respon 3

Tingkat Kecerahan Chips

1 7 2.00 60.00 -1,00 -1,00 2 1 10.00 60.00 1,00 -1,00 3 5 2.00 90.00 -1,00 1,00 4 2 10.00 90.00 1,00 1,00 5 3 0.34 75.00 -1,41 0,00 6 8 11.65 75.00 1,41 0,00 7 13 6.00 53.78 0,00 -1,41 8 12 6.00 96.21 0,00 1,41 9 10 6.00 75.00 0,00 0,00 10 9 6.00 75.00 0,00 0,00 11 4 6.00 75.00 0,00 0,00 12 11 6.00 75.00 0,00 0,00 13 6 6.00 75.00 0,00 0,00

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan seperti

Gambar 3.1 dan dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

Penelitian dimulai dengan melakukan karakterisasi bahan baku yaitu umbi

gembili. Analisa yang dilakukan untuk karakterisasi bahan baku adalah analisa

kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar serat, kadar amilosa, kadar karbohidrat

larut air, daya patah, dan tingkat kecerahan (L). Kemudian dilakukan penentuan

titik tengah suhu dan lama waktu steam blanching berdasarkan penelitian

pendahuluan. Setelah diperoleh titik tengah, dilakukan penelitian utama yaitu

optimasi suhu dan lama waktu steam blanching. 13 kombinasi perlakuan diuji

untuk masing-masing respon. Data optimasi selanjutnya dilakukan verifikasi

untuk melilhat kesesuaian hasil kombinasi yang disarankan program dengan

aktual dengan batas maksimal perbedaan 5%.

3.4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan menggunakan bahan gembili yang

diperoleh dari Banyuwangi dengan kriteria memiliki kondisi yang baik (tidak

mengalami kerusakan seperti busuk dan berjamur), berumur kurang lebih 9

bulan, kulit berwarna coklat dan sedikit berakar, daging berwana putih, ukuran

panjang rata – rata 8 cm, diameter rata – rata 3,5 cm. Tujuan utama penelitian

Karakterisasi Gembili

Penelitian Optimasi suhu dan lama waktu steam blanching

menggunakan Response Surface Methodology

Penentuan titik tengah suhu dan lama waktu steam

blanching

Mulai

Selesai

Verifikasi perlakuan steam blanching optimum

Gambar 3.1 Diagram Alir Tahapan Penelitian

pendahuluan yaitu mendapatkan titik tengah, titik minimum (lower limit), dan titik

maksimum (upper limit) pada suhu dan waktu blanching yang berfungsi sebagai

variabel bebas dalam penelitian. Tujuan lainnya adalah mendapatkan suhu dan

waktu yang sesuai untuk pengeringan chips gembili.

Pelaksanaan dimulai dengan tahap sortasi gembili dan dibersihkan

dengan air mengalir, ditimbang, kemudian di steam blanching dengan

menggunakan kombinasi suhu 60ºC, 70ºC, 75ºC, 85ºC, 90ºC dan waktu selama

5 menit, 10 menit, dan 15 menit (Asgar & Musaddad, 2008; Oktaviani, 2011;

Harzau, 2013; Mushollaeni, 2008; Ayu at al., 2014; Prameswari, 2013). Hasil

blanching kemudian dikupas, diiris dengan ketebalan 1-2 mm dan dikeringkan

cabinet dryer suhu 60ºC dan perlakuan lama waktu 6 jam dan 7 jam (Hawa dkk.,

2016). Hasil berupa chips gembili kemudian dianalisa berdasarkan daya patah,

tingkat kecerahan, dan ada tidaknya gelatinisasi secara visual. Hasil dari

penelitian pendahuluan yaitu titik tengah suhu dan waktu blanching adalah 75ºC

selama ± 6 menit, kemudian waktu pengeringan yaitu selama 5 jam ± 30 menit

dengan suhu 55ºC ± 5ºC.

3.4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan suhu dan waktu

blanching yang optimal untuk menghasilkan chips gembili terbaik bagi respon.

Penentuan respon dilakukan berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat

perubahan variabel bebas yaitu suhu dan waktu blanching. Respon yang dipilih

menggambarkan parameter mutu chips gembili yang dihasilkan. Penelitian ini

dilakukan dengan melakukan proses blanching untuk seluruh kombinasi

perlakuan sesuai suhu dan waktu yang ditentukan oleh program aplikasi Design

Expert 10.0.1. Setelah dimasukkan nilai dari masing-masing respon, dilakukan

penentuan kombinasi perlakuan yang menghasilkan respon terbaik berdasarkan

sasaran yang diinginkan untuk masing-masing respon. Hasil kondisi kombinasi

perlakuan terbaik berdasarkan ketiga kriteia respon disebut sebagai kondisi

optimum proses. Dilakukan uji verifikasi berdasarkan kondisi kombinasi

perlakuan terbaik untuk membuktikan kesesuaian prediksi yang diberikan aplikasi

dengan aktual. Alur penelitian optimasi steam blanching terhadap respon chips

gembili dengan metode RSM secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 3.2

berikut.

Gambar 3.2 Alur Penelitian Optimasi Steam Blanching dengan Response

Surface Methodology

Sebelum mendapatkan titik optimum terlebih dahulu dilakukan pembuatan chips

umbi gembili sebagai berikut :

1. Gembili siap pakai yang telah disortasi dari umbi yang busuk, rusak, atau

terkena penyakit

2. Dicuci dengan air mengalir sambil digosok untuk menghilangkan pengotor

seperti tanah yang terikut

3. Dilakukan steam blanching sesuai dengan suhu dan waktu perlakuan

metode RSM (Response Surface Methodology)

4. Gembili yang telah di blanching kemudian ditimbang dan dikupas kulitnya

5. Gembili di iris menggunakan slicer dengan ketebalan 1-2 mm

6. Irisan di tata pada tray beralaskan aluminium foil dan dikeringkan pada

cabinet dryer dengan suhu 55ºC ± 5ºC selama 5 jam ± 30 menit.

7. Hasil chips gembili ditimbang

8. Dilakukan analisa warna dan daya patah chips gembili

Alur proses pembuatan chips gembili secara ringkas dapat dilihat pada Gambar

3.3 berikut.

Gembili 300±5 g

Dicuci dengan air

Optimasi suhu dan lama waktu steam blanching berdasarkan metode Response Surface Method

Chips

Verifikasi perlakuan blanching

optimum

Karakterisasi Fisik dan Kimia

Analisa Respon: - Kadar KH Larut Air -Tingkat Kecerahan - Daya Patah

Penentuan titik optimum suhu dan lama stream blanching

berdasarkan metode Response Surface Method

Dicuci dengan air mengalir

Steam blanching dengan suhu dan lama waktu sesuai perlakuan

Dikupas kulitnya

Diiris 1 - 2 mm

Pengeringan dengan pengering kabinet 55ºC ± 5ºC selama 5 jam ± 30 menit

Gambar 3.3. Diagram Alir Proses Pembuatan Chips Gembili

1.5 Pengamatan dan Analisa Data

3.5.1 Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan terdiri dari analisa fisik kimia dan terbagi

atas tiga jenis, yaitu :

1. Karakterisasi Gembili

Bahan awal berupa gembili mentah dan dilakukan analisa kimia proksimat

dengan parameter yang diamati antara lain :

- Kadar Air (AOAC, 2006)

- Kadar Abu (AOAC, 1995)

- Kadar Amilosa (Juliano, 1985)

- Kadar Serat Pangan (AOAC, 1995)

- Kadar Pati (AOAC, 1995)

2. Analisa Respon Optimasi

- Kadar Karbohidrat Larut Air metode Nelson Somogyi (Nelson, 1944)

- Tingkat Kecerahan metode Color Reader (Yuwono dan Susanto, 1998)

- Daya Patah

Gembili 300±5 gram

Chips gembili

3. Analisa Chips Gembili Hasil Optimasi

Chips dengan perlakuan terbaik dilakukan verifikasi, hasil verifikasi

kemudian di analisa kimia proksimat dengan parameter berikut :

- Kadar Air (AOAC, 2006)

- Kadar abu (AOAC, 1995)

- Kadar Amilosa (Juliano, 1985)

- Kadar Serat Pangan (AOAC, 1995)

- Kadar Pati (AOAC, 1995)

Prosedur pengamatan analisa kimia proksimat dan analisa respon optimasi

secara berturut – turut dapat dilihat pada (Lampiran 1).

3.5.2 Analisa Data

Respon yang telah diukur dari setiap daerah persebaran diinput dan

selanjutnya dilakukan analisis data oleh program Design Expert 10.0.1. Program

Design Expert 10.0.1 akan memberikan hasil analisis berupa model polinomial

yang sesuai dengan hasil pengukuran setiap respon (Waziiroh dkk, 2016).

Proses selanjutnya adalah melakukan pemilihan model respon sesuai yang

disarankan oleh Design Expert 10.0.1 dan melihat grafik interaksi antar variabel.

Proses selanjutnya yaitu melakukan optimasi dan verifikasi. Proses optimasi

ditentukan dari nilai desirabilitas, nilai desirabilitas dinotasikan dengan angka

kisaran 0-1 dimana nilai desirabilitas yang mendekati 1 merupakan perlakuan

dengan tingkat kesesuaian tertinggi sesuai dengan variabel respon yang

dikehendaki (Haliza dkk., 2012).

Verifikasi merupakan tindakan pengecekan kesesuaian antara hasil

analisis dan respon menunjukkan hasil yang sama, minimal sama pada respon

yang dihasilkan (Khuri et al., 2010 dalam Maliaentika dkk., 2016). Proses

verifikasi dilakukan dengan membuat chips dengan dua kali pengulangan sesuai

dengan hasil optimasi yang disarankan. Hasil verifikasi kemudian dibandingkan

dengan hasil analisa pada titik optimum, apabila selisih kurang dari 5% maka

kedua nilai tidak berbeda jauh dan menunjukkan ketepatan model (Wu, et al.,

2006 dalam Maliaentika dkk., 2016).

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini berupa umbi gembili

(Dioscorea esculenta L.) yang berasal dari beberapa petani di daerah

Banyuwangi dan Gresik. Umbi gembili yang digunakan dalam penelitian berjenis

gembili Srewot. Gembili srewot memiliki beberapa ciri fisik yang dapat membantu

untuk membedakan dengan jenis gembili lainnya seperti memiliki kulit luar

berwarna coklat muda hingga coklat tua dengan rambut akar di permukaannya

dengan panjang rambut akar sekitar 2-3 cm. Bagian daging umbi gembili memiliki

permukaan yang licin dan berwarna putih. Besar umbi gembili berkisar antara 4–

12 cm dengan bentuk bulat lonjong. Berat umbi gembili sekitar 30–150 gram.

Perbedaan ciri fisik beberapa jenis gembili terdapat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik fisik umbi gembili

Parameter Umbi Gembili

Gembili

Srewot

Gembili

Teropong

Gembili Gajah

Warna Kulit Coklat Coklat Coklat

Bentuk Bulat lonjong Bulat memanjang Menjari

Tekstur Kulit Kasar Halus Kasar

Jumlah Lendir Berlendir Sedikit berlendir Sedikit berlendir

Keberadaan Rambut Akar Ada Tidak ada Tidak ada

Tekstur Daging Halus Halus Halus

Hasil analisa karakteristik fisik gembili menunjukkan beberapa parameter

memiliki persamaan. Perbedaan mencolok antara ketiga jenis gembili diatas

adalah ada tidaknya rambut akar pada bagian kulit dan jumlah lendir yang

dimiliki. Pemilihan jenis gembili yang digunakan berdasarkan pada jumlah lendir

yang dimiliki. (Liu et al., 2009) menyatakan bahwa lendir yang terdapat pada

umbi gembili diduga kuat sebagai polisakarida larut air yang memiliki sifat

fungsional. Herlina (2010) memperkuat pernyataan tersebut dengan

penelitiannya yang menyebutkan lendir umbi gembili mengandung PLA yang

sangat tinggi. Sehingga diharapkan pemilihan jenis umbi gembili srewot mampu

menyesuaikan dengan respon yang akan diteliti. Gambar 4.1 memperlihatkan

bentuk fisik dari gembili srewot.

Gambar 4.1. Umbi Gembili (Dioscorea esculenta L.) (a) gembili tanpa kupas; (b) gembili

kupas (Dokumentasi Pribadi, 2018)

Pengujian karakteristik selanjutnya dilakukan terhadap gembili srewot yang

berasal dari daerah Banyuwangi dan Gresik . Dilakukan uji kesesuaian karakteristik

antara gembili yang berasal dari dua wilayah yang berbeda untuk memastikan bahwa

gembili tersebut tidak memiliki perbedaan karakteristik. Pengujian karakterisik fisik dan

kimia gembili asal Gresik dan Banyuwangi disajikan pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Gembili dari Dua Wilayah Berbeda

Parameter Umbi Gembili

Gembili

Banyuwangi

Gembili Gresik Gembili Malang

Warna Kulit Coklat Coklat Coklat

Bentuk Bulat lonjong Bulat Lonjong Bulat Lonjong

Tekstur Kulit Kasar Kasar Halus

Jumlah Lendir Berlendir berlendir Sedikit berlendir

Keberadaan Rambut Akar Ada ada Tidak ada

Tekstur Daging Halus Halus Halus Kadar KH Larut Air (%) 7,66 7,75 3,84

Tingkat Kecerahan (chips) 66,9 66,7 65,3 Daya Patah 4,9 5,1 5,1

Hasil pengujian menunjukkan tidak terdapat perbedaan karakteristik fisik

antara gembili asal Banyuwangi dan gembili Gresik, namun terdapat perbedaan

yang signifikan pada gembili asal Malang. Uji karakteristik Kimia menunjukkan

tidak terdapat perbedaan besar pada gembili asal Banyuwangi dan Gresik, dan

terdapat perbedaan besar pada gembili asal Malang terutama pada kadar

(a) (b)

karbohidrat larut air. Berdasarkan hasil pengujian ini, gembili asal Banyuwangi

dan Gresik memiliki tingkat kesamaan yang tinggi sehingga dapat digunakan

dalam penelitian. Gembili kemudian dilakukan analisa karakteristik kimia dengan

parameter bahan baku yang dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar pati,

kadar amilosa, dan kadar serat. Hasil pengujian karakterisasi bahan baku

disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Karakteristik Kimia Gembili Bahan Baku

Parameter Umbi Gembili

Hasil Analisa Literatur

Kadar Air (%bb) 72.35 ± 0.62 67-81a

Kadar Abu (%bb) 0,55 ± 0.04 0,50-1,24a

Kadar Amilosa (%bb) 2,38 ± 0.22 1,15c

Kadar Pati (%bb) 23, 73 ± 0,14 21,44b

Kadar Serat Pangan(%bb) 4,17 ± 0,12 6,3d

Keterangan = 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan hasil analisis penelitian 2. Angka di belakang ± merupakan standar deviasi

a : Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010

b : Richana dkk, 2004

c :

Rakhmita, 2010

d : Yuniar, 2010

Tabel 4.3 menunjukkan hasil analisis kadar air pada bahan baku umbi

gembili sebesar 72,35%. Kadar air gembili menurut uji memiliki nilai yang sesuai

dengan kadar air gembli menurut literatur Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010)

yaitu 67 – 81%. Asgar (2006) menyatakan bahwa kadar air dalam suatu bahan

akan berpengaruh terhadap tekstur produk yang dihasilkan. Tingginya kadar air

pada umbi gembili menyebabkan umur simpan gembili singkat sehingga

dibutuhkan penanganan untuk membuat umur simpan gembili menjadi panjang

salah satunya dengan pengeringan. Hasil analisis kadar abu gembili yaitu 0,55%,

dan telah sesuai dengan literatur Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010) dimana

dalam penelitian yang mereka lakukan kandungan kadar abu pada gembili

adalah 0,50-1,24%. Analisis kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya

kandungan mineral yang terdapat dalam bahan pangan (Sandjaja,2009)

sehingga dapat diketahui bahwa kandungan mineral dalam umbi gembili rendah.

Hasil analisis kadar pati yaitu sebesar 23,73%, artinya tidak menunjukkan

hasil yang jauh berbeda dengan literatur yaitu sebesar 21,44%. Kadar pati pada

penelitian lebih tinggi dari literatur dan diperkirakan karena jenis gembili yang

digunakan berbeda kemudian faktor lain yang dapat mempengaruhi yaitu faktor

lingkungan, proses pengolahan bahan baku, serta jenis tingkat kedalaman

penanaman dan jenis lahan juga turut mempengaruhi perbedaan komposisi

kandungan kimia suatu bahan pangan. Sementara itu, hasil analisa kadar

amilosa dengan kadar amilosa dengan literatur tidak berbeda jauh. Kandungan

pati yang tinggi pada gembili banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal, Sukija et

al, (2015) mengatakan pati gembili dapat digunakan untuk bahan baku

pembuatan lapisan tipis (film). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan

Pakatong dkk (2014) dimana pati gembili dengan penambahan plasticizer dapat

digunakan sebagai edible coating pada buah stroberi dengan hasil jika stroberi

disimpan pada suhu 27ºC akan bertahan selama 4 hari dan jika disimpan pada

suhu 2ºC akan bertahan hingga 28 hari. Sifat fungsional pati gembili dapat

ditingkatkan dengan memodifikasi pati gembili secara fisik, kimia maupun

enzimatis. Pati gembili yang dimodifikasi secara esterifikasi cocok digunakan

sebagai bahan tambahan makanan untuk produk beku dan filler (bahan pengisi)

(Herlina, 2010). Pada bahan pengisi nugget ayam dengan presentasi 5%

mengasilkan tingkat kekenyalan nugget yang sama dengan kontrol serta memiliki

akseptabilitas dengan nilai 4,00-4,15 (suka-sangat suka) (Rachman, 2014).

Sementara jika digunakan sebagai bahan pengisi pada nugget ikan tongkol

terdapat penurunan tingkat kekerasan (hardness) nugget namun tidak

mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap karakteristik sensoris nugget

ikan tongkol (Pratiwi dkk., 2016).

Hasil analisis serat pangan umbi gembili adalah 4,17%, sedangkan

menurut literatur 6,3%. Perbedaan hasil analisa antara keduanya dapat

disebabkan karena proses pengolahannya yang berbeda, umur gembili yang

digunakan berbeda, iklim tempat tumbuh dan cara budidaya yang dapat

mempengaruhi komposisi yang terdapat dalam umbi gembili. Hasil kadar serat

yang didapat sudah tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan umbi lain

seperti umbi uwi putih yang memiliki kadar serat 2,14% (Arbianto,2013).

Tingginya kadar serat pada gembili dapat dimanfaatkan sebagai bahan substitusi

untuk produk lain guna meningkatkan kadar serat produk tersebut. Seperti pada

penelitian Pratiwi dkk (2016) yang menggunakan tepung gembili sebagai

subtitusi tepung terigu pada filler nugget ikan tongkol. Hasil yang didapat kadar

serat pada nugget ikan tongkol meningkat seiring meningkatnya jumlah tepung

gembili yang dihasilkan. Serat pangan pada gembili juga dapat menurunkan

kadar glukosa darah melalui mekanisme penghambatan penyerapan glukosa ke

dalam darah (Saputro dkk., 2015).

4.2 Optimasi Suhu dan Lama Waktu Blanching pada Chips Gembili

Optimasi proses pembuatan chips gembili dilakukan dengan mengontrol

lama waktu dan suhu blanching. Proses blanching dipilih sebagai proses yang

dioptimasi karena pada pembuatan chips gembili, blanching merupakan kondisi

kritis, jika prosesnya tidak optimum maka akan mempengaruhi karakteristik fisik

chips gembili yang nantinya juga akan berpengaruh terhadap produk lanjutan

seperti jika akan di jadikan bahan baku ekstraksi komponen bioaktif, dijadikan

tepung gembili, atau jika akan dijadikan produk lainnya. Oleh karena itu, perlu

dilakukan optimasi untuk mendapatkan kondisi optimum proses sehingga dapat

menghasilkan produk dengan jumlah dan karakteristik yang optimal. Data hasil

pengukuran respon optimasi suhu dan lama waktu blanching dari chips gembili

disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Data Respon Kadar Karbohidrat Larut Air, Daya Patah, dan Tingkat Kecerahan

Std Run Faktor 1 : Lama waktu

Blanching

Faktor 2 : Suhu

Blanching

Respon 1 Kadar KH Larut Air

(%)

Respon 2 Daya Patah Chips (N)

Respon 3 Tingkat

kecerahan Chips (L)

1 7 2.00 60.00 9,01 ± 0,60 6,6 ± 0,56 66,3 ± 1,27 2 1 10.00 60.00 5,73 ± 0,20 6,4 ± 0,56 67,6 ± 0,28 3 5 2.00 90.00 6,26 ± 0,48 8,4 ± 0,28 65,7 ± 1,27 4 2 10.00 90.00 6,71 ± 0,29 8,6 ± 0,42 64,6 ± 0,98 5 3 0.34 75.00 7,62 ± 0,23 6,8 ± 0,84 66,0 ± 0,28 6 8 11.65 75.00 6,31 ± 0,08 6,8 ± 1,83 66,6 ± 0,56 7 13 6.00 53.78 5,76 ± 1,19 5,7 ± 0,28 67,9 ± 0,98 8 12 6.00 96.21 4,09 ± 0,63 9,2 ± 0,84 65,4 ± 0,28 9 10 6.00 75.00 10,68 ± 0,24 6,5 ± 0,70 67,5 ± 0,70 10 9 6.00 75.00 12,56 ± 0,53 6,7 ± 1,41 68,0 ± 0,42 11 4 6.00 75.00 10,69 ± 0,50 6,3 ± 0,28 67,3 ± 1,13 12 11 6.00 75.00 9,92 ± 0,35 6,1 ± 0,56 67,9 ± 1,27 13 6 6.00 75.00 9,70 ± 0,17 6,7 ± 2,12 67,7 ± 0,84

Respon pertama yang dipilih pada penelitian ini adalah kadar karbohidrat

larut air, pemilihan tersebut didasarkan pada adanya potensi gembili dalam

mengasilkan KH larut air yang cukup tinggi dan kadar yang dominan adalah

inulin. Inulin banyak dimanfaatkan pada bidang industri pangan, bidang medis

dan farmasi karena mengandung serat tinggi, salah satu komponen produk

rendah lemak, bersifat prebiotik, serta dapat mengurangi resiko kanker usus

besar dan menormalkan kadar gula darah pada penderita diabetes (Franck et al.,

2005). Secara komersil inulin berasal dari Jerusalem artichoke (Helianthys

tuberosus) dan chicory (Cichorium intybus) namun tanaman tersebut tidak

banyak ditemukan di Indonesia sehingga kebanyakan inulin masih diimpor.

Besarnya kandungan inulin pada gembili diharapkan mampu memenuhi

kebutuhan inulin dalam negeri.

Respon kedua yang dipilih adalah daya patah chips gembili. Daya patah

merupakan hal terpenting pada produk yang mengandung unsur kerenyahan

seperti keripik (Levine and Finley, 2018) untuk menentukan mutu dan kelayakan

produk. Daya patah merupakan salah satu parameter dalam pengukuran tekstur,

dimana tekstur menjadi salah satu faktor penting dalam industri pangan dan

dijadikan sebagai indikator dari aspek non-visual. Tekstur yang diharapkan pada

produk chips adalah renyah atau mudah patah. Respon ketiga yang dipilih

merupakan warna, dalam hal ini warna yang diinginkan adalah tingkat kecerahan

(L). Tingkat kecerahan yang dihasilkan akan berkisar antara 0-100 dengan 0

sangat gelap dan 100 sangat terang. Semakin terang respon yang dihasilkan

maka semakin baik karena menandakan proses blanching telah sesuai dimana

enzim PPO telah inaktif. Tingkat kecerahan akan berpengaruh pada produk.

Pada produk intermediet akan menentukan warna produk selanjutnya atau pada

produk jadi akan menentukan presepsi konsumen terhadap produk dan

menentukan mutu dari produk tersebut.

Jumlah kombinasi perlakuan yang diberikan oleh program DX 10.0.1

disesuaikan dengan titik tengah yang dimiliki. Sebelum mengetahui jumlah

kombinasi faktor, diperlukan sebuah titik tengah (center point) untuk mengetahui

batas bawah dan batas atas masing-masing faktor. Penetapan titik tengah

dilakukan setelah melihat hasil dari penelitian pendahuluan dengan cara

mengkombinasikan berbagai lama waktu dan suhu blanching yang telah

dipublikasi oleh peneliti terdahulu. Peneliti terdahulu melakukan penelitian pada

gembili dilakukan blanching dengan perendaman air panas dengan suhu 80ºC

selama 1 menit (Dewati dkk., 2013), pada umbi kentang selama 10 menit dengan

suhu 100ºC (Anggraini, 2005), dan ubi jalar pada suhu 85ºC selama 7,5 menit

(Suprapto, 2004). Sementara penelitian yang dilakukan oleh Abdulla et al (2014)

menyatakan blanching dengan suhu 65ºC selama 5 menit memberikan pengaruh

nyata terhadap kecerahan dan meningkatkan nilai tekstur chips ubi jalar

dibandingkan kontrol. Pendapat lain dikemukaan oleh Padreschi et al (2005)

yang melaporkan bahwa keripik kentang yang diberikan perlakuan blanching

pada suhu 85ºC selama 3,5 menit memiliki peningkatan kerenyahan chips dan

warna yang cenderung lebih seragam, sementara perlakuan blanching selama 3

menit pada chips uwi putih memberikan pengaruh pada nilai daya patah dan nilai

kecerahan (Sucitra dkk.,2017). Perbedaan lama waktu dan suhu yang digunakan

oleh para peneliti terdahulu diuji untuk menentukan titik tengah penelitian.

Penetapan titik tengah didasarkan pada chips gembili yang sangat minimum

mengalami pencoklatan (browning) setelah dilakukan blanching. Setelah data

dari masing-masing respon dimasukkan ke program DX 10.0.1, data tersebut

kemudian dianalisa secara statistik dan akan mendapatkan hasil analisa ragam,

prediksi model persamaan, dan penentuan titik optimum pada respon. Respon

optimum dapat berupa respon yang bernilai maksimum, minimum, atau

disesuaikan dengan tujuannya (Astrini, 2013).

Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar karbohidrat larut air pada

kondisi blanching 60⁰C 10 menit lebih rendah dari 60⁰C 2 menit. Hal ini diduga

karena lama waktu kontak antara uap air dengan bahan pada waktu 10 menit

yang lebih panjang, sehingga semakin banyak komponen karbohidrat larut air

yang leaching menuju media. Pada suhu rendah, perpindahan masa terjadi

secara lambat sehingga memerlukan waktu yang lebih lama bagi karbohidrat

larut air untuk terputus dan keluar dari bahan (Scher et al., 2015). Kadar

karbohidrat larut air pada suhu 60⁰C dibandingkan dengan suhu 75⁰C lebih

rendah, hal ini disebabkan oleh aktivasi sejumlah enzim pektin metilesterase

yang terdapat pada dinding sel gembili saat menuju suhu 70⁰C, yang

menyebabkan peningkatan resistensi jaringan sehingga jaringan menjadi kokoh

dan menurunkan laju difusi karbohidrat larut air menuju media. Pada kondisi ini

diperkirakan karbohidrat larut air tertahan pada dinding sel sehigga jumlah

komponen yang leaching menuju media lebih rendah. Enzim pektin metilesterase

(PME) akan mengalami inaktivasi dengan seiring meningkatnya suhu yang

diberikan. (Agcam et al., 2016) menyebutkan bahwa tingkat inaktivasi enzim

PME tertinggi terdapat pada suhu 85⁰C, (Sener and Unal, 2015) menyatakan

bahwa pada suhu 80⁰C enzim PME tidak memiliki aktivitas apapun. Inaktivasi

enzim PME menyebabkan jaringan kehilangan resistensinya sehingga komponen

karbohidrat larut air dapat dengan mudah leaching menuju media. Sejalan

dengan pernyataan tersebut, pada suhu 90⁰C kadar karbohidrat larut air

menurun, maka diperkirakan suhu 75⁰C adalah titik optimum perlakuan.

4.3 Analisis Respon Kadar Karbohidrat Larut Air

4.3.1 Evaluasi Model Respon Kadar Karbohidrat Larut Air

Pada metode permukaan respon (RSM) dengan rancangan model

komposit terpusat (CCD) memiliki beberapa jenis model polinomial. Model yang

mungkin terpilih dari metode RSM adalah linier, 2FI (interaksi antara dua faktor),

kubik, dan kuadratik. Pemilihan model disesuaikan dalam penggunaannya

berdasarkan perhitungan nilai probabilitas (p value) dimana syarat untuk model

diterima jika memiliki nilai probabilitas <5% atau <(0,05) sehingga model tersebut

bernilai nyata atau memiliki pengaruh signifikan terhadap respon. Model yang

terpilih pada Tabel 4.5 akan terbaca berdasarkan keterangan pada masing –

masing model apakah disarankan (suggested) atau tidak disarankan (aliased).

Analisis pemilihan model pada setiap respon berdasarkan pada jumlah kuadrat

dari urutan model (Sequential Model Sum of Squares), pengujian ketidaktepatan

model (Lack of Fit Tests), dan ringkasan model secara statistik (Model Summary

Statictics).

Tabel 4.5. Data Sequential Model Sum of Squares Respon Karbohidrat Larut Air

Sumber Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

F Hitung

Nilai P Prob>F

Keterangan

Mean vs Total 848,71 1 848,72 Linear vs Mean 4,87 2 2,44 0,34 0,7175 2FI vs Linear 3,48 1 3,48 0,46 0,5131 Kuadratik vs 2FI 60,36 2 30,18 29,50 0,0004 Disarankan Kubik 0,16 2 0,082 0,058 0,9440 Aliased Residu 7,00 5 1,40 Total 924,60 13 71,12

Berdasarkan Tabel 4.5 terlihat bahwa model Linear dan 2FI memiliki nilai

P (p value) sebesar 0,7175 dan 0,5131 yang artinya nilai P tersebut melebihi 5%

(0,05) maka model tersebut berpeluang memiliki kesalahan yang lebih dari 5%

sehingga memberikan pengaruh yang tidak nyata/tidak signifikan terhadap

respon. Terlebih untuk model kubik memiliki nilai P sebesar 0,9940 dan terdapat

keterangan bahwa model ini aliased atau ditolak. Dari keterangan tersebut

diketahui bahwa model terpilih untuk dapat menjelaskan respon kadar KH larut

air adalah model kuadratik karena memiliki nilai P sebesar 0,0004 dan memiliki

keterangan suggested atau disarankan. Nilai P tersebut < 5% sehingga peluang

kesalahan dari model kurang dari 5%, dengan kata lain model tersebut

berpengaruh nyata untuk dapat menjelaskan respon.

Proses pemilihan model kedua yaitu dengan melakukan uji

ketidaktepatan model (Lack of Fit Test). Adna (2013) menyatakan tujuan dari uji

Lack of Fit adalah untuk mengetahui ketidaksesuaian model. Pada proses ini

terdapat aturan yang berbeda dari uji sebelumnya dimana pemilihan model

dilakukan berdasarkan nilai P tertinggi atau lebih dari 5% yang memiliki arti

model tersebut yang memiliki pengaruh tidak nyata terhadap respon. Pemilihan

model berdasarkan uji ketidaktepatan dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Data Uji Ketidaktepatan Respon Kadar Karbohidrat Larut Air

Sumber

Jumlah Kudrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

F Hitung Nilai P Prob>F

Keterangan

Linear 65,93 6 10,99 8,67 0,0277 2FI 62,46 5 12,49 9,86 0,0228 Kuadratik 2,09 3 0,70 0,55 0,6741 Disarankan Kubik 1,93 1 1,93 1,52 0,2846 Aliased Galat 5,07 4 1,27

Dalam pengujian Lack of Fit hipotesis yang digunakan adalah :

Ho = Tidak ada Lack of Fit dalam model

H1 = Ada Lack of Fit dalam model

Dalam menentukan diterima atau ditolak nya Ho dapat dilakukan dengan melihat

nilai P, apabila nilai P lebih besar dari tingkat signifikansi yang dipilih (5%) maka

Ho diterima dan model dinyatakan cocok atau sesuai. Dari hasil analisa untuk

model Linear dan 2FI terlihat bahwa nilai P kurang dari 5% sehingga model tidak

disarankan karena ketidaksesuaiannya memiliki pengaruh yang nyata terhadap

respon. Sementara untuk model kubik meskipun memiliki nilai P lebih dari 5%

namun berdasarkan program, model tersebut ditolak (aliased) sehingga model

kubik tidak terpilih untuk proses analisis. Model dengan nilai P tertinggi didapat

oleh model kuadratik yakni sebesar 0,6741 dengan keterangan suggested atau

disarankan sehingga model kuadratik telah memenuhi syarat nilai P > 5%. Hal

tersebut memiliki arti bahwa model kuadratik memiliki tingkat ketidakcocokan

yang tidak signifikan atau tidak mempengaruhi respon sehingga model kuadratik

dapat memodelkan respon kadar KH larut air dengan tepat.

Proses pemilihan model selanjutnya ditinjau dari segi ringkasan model

statistik (Model Summary Statistics). Pada tahap ini pemilihan model didasari

oleh beberapa hal yakni berdasar nilai standar deviasi dan nilai PRESS

(Prediction Residuals Error Sum of Square) terendah. Semakin kecil nilai standar

deviasi akan menunjukkan bahwa data semakin seragam dan jika nilai PRESS

semakin rendah maka menunjukkan tingkat kesalahan data semakin rendah

pula. Selanjutnya Montgomery (2002) dan Biorata (2012) menyatakan bahwa

parameter statistik yang digunakan untuk memilih model yang terbaik difokuskan

pada nilai adjusted R-Square dan predicted R-Square tertinggi. Data Model

Summary Statistics disajikan pada Tabel 4.7

Tabel 4.7 Data Model Summary Statistics Respon Karbohidrat Larut Air

Sumber Standar Deviasi

R2 Adjusted

R2

R2 Prediksi

PRESS Keterangan

Linear 2,66 0,0642 -0,1229 -0,5253 115,73 2FI 2,74 0,1101 -0,1866 -0,6644 126,29 Kuadratik 1,01 0,9056 0,8382 0.6994 22,81 Disarankan Kubik 1,18 0,9078 0,7786 -0,7238 131,48 Aliased

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa pada model Linear, 2FI, dan kubik

memiliki nilai PRESS tinggi sehingga tingkat kesalahan pada ke-tiga model ini

pun tinggi kemudian pada ke-tiga model tersebut terdapat beberapa notasi

negatif pada nilai R2 sehingga tidak dapat dipilih menjadi model yang disarankan

karena menurut Nisfiannoor (2009) semakin kecil nilai R-square menunjukkan

semakin lemahnya hubungan antara variabel dependen dan independen. Pada

model kubik, meski memiliki nilai R2 yang lebih besar dari model kuadratik, tidak

disarankan untuk menjadi model yang terpilih (aliased) karena standar deviasi

dan nilai PRESS yang dimiliki lebih besar dari model kuadratik. Dari beberapa

kriteria yang sudah dijelaskan sebelumnya, model yang disarankan (suggested)

untuk proses analisis adalah model kuadratik. Model kuadratik terpilih karena

memiliki nilai standar deviasi terendah (1,01), nilai R2, adjusted R2 dan R2

prediksi tertinggi, serta nilai PRESS terendah (22,81) sehingga memenuhi setiap

persyaratan.

4.3.2 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Kadar Karbohidrat Larut Air

Proses analisis yang dilakukan selanjutnya yaitu analisis ragam terhadap

model terpilih, yakni model kuadratik. Data proses analisis ragam (ANOVA)

terhadap kadar karbohidrat larut air disajikan pada Tabel 4.8

Tabel 4.8 Data Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Respon Karbohidrat Larut Air

Sumber Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

F Hitung Nilai P Prob > F

Keterangan

Model 68,71 5 13,74 13,43 0,0018 Signifikan A-Lama waktu

2,74 1 2,74 2,68 0,1457 Tidak Signifikan

B-Suhu blanching

2,13 1 2,13 2,09 0,1919 Tidak Signifikan

AB 3,48 1 3,48 3,40 0,1077 Tidak Signifikan

A2 18,41 1 18,41 18,00 0,0038 Signifikan

B2 48,74 1 48,74 47,64 0,0002 Signifikan

Residu 7,16 7 1,02 Lack of Fit 2,09 3 0,70 0,55 0,6741 Tidak

Signifikan Galat 5,07 4 1,27 Cor Total 75,88 12

Keterangan : A = Variabel X1 (Lama waktu) B = Variabel X2 (Suhu) AB = Interaksi Antar Perlakuan

Berdasarkan Tabel 4.8 model kuadratik memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap respon kadar KH larut air. Hal tersebut ditunjukan dengan

nilai P <5% (p-value < 0,05) yakni sebesar 0,0018, dengan demikian model

kuadratik sesuai dalam menunjukan pola nilai respon kadar KH larut air.

Kemudian pada kolom nilai uji ketidaktepatan menunjukan nilai sebesar 0,6741

atau 67,41% yang berarti tidak signifikan sehingga dapat diketahui bahwa model

telah sesuai dengan rancangan. Menurut Shabbiri et al, (2012) hasil uji

ketidaktepatan harus dalam kondisi tidak signifikan apabila dalam kondisi

signifikan maka model yang digunakan tidak tepat. Bila ditinjau dari interaksi

kedua variabel (AB) lama waktu (A) dan variabel suhu blanching (B) memberikan

pengaruh yang tidak nyata terhadap respon kadar KH larut air dengan

ditunjukannya nilai P >5% yaitu sebesar 0,1077. Hal ini disebabkan karena tidak

selalu dalam tiap kenaikan lama waktu dan suhu blanching terjadi peningkatan

kadar KH larut air yang diperoleh. Semakin lama waktu blanching menyebabkan

kontak bahan dengan media uap air lebih lama, maka terjadi proses leaching

komponen pada bahan menuju media. Suhu rendah yang diterapkan bila

dikombinasikan dengan waktu yang lama juga membuat adanya leaching menuju

media, Scher et al., (2015) menyebutkan bahwa pada suhu rendah, perpindahan

masa terjadi secara lambat sehingga memerulkan waktu yang lebih lama untuk

membuat komponen keluar dari bahan dan menuju media. Sementara untuk

variabel lama waktu kuadrat (A2) dan variabel suhu blanching (B2) memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap respon kadar KH larut air dengan nilai P <

5%. Menurut Subangkit (2012) Selain kriteria diatas, terdapat kriteria tambahan

yaitu Adequate Precision. Adeq Precision atau Adequate Precision merupakan

ukuran rentang nilai respon prediksi yang dihubungkan dengan error sehingga

nilai ini menunjukkan presisi data. Nilai adeq precision yang baik adalah lebih

dari 4, yang berarti presisi data baik. Nilai adeq precision untuk respon kadar KH

larut air adalah sebesar 8,767. Nilai tersebut melebihi 4 sehingga dapat

dikatakan presisi data sudah baik. Berdasarkan hasil ANOVA kadar KH larut air

dari model kuadratik, diperoleh persamaan regresi berdasarkan respon kadar KH

larut air yang dipengaruhi oleh lama waktu (X1) dan suhu blanching (X2) adalah

sebagai berikut :

Y = -48,66827 – 0,091801 X1 + 1,63690 X2 + 0,015542 X1X2 - 0,10168 X12 – 0,011764

X22

Keterangan: Y = Respon Kadar KH larut air (%); X1 = Lama Waktu Blanching (menit); X2

= Suhu Blanching (⁰)

Persamaan tersebut merupakan persamaan aktual yang diperlukan untuk

mengetahui respon kadar KH larut air yang didapatkan jika nilai variabel yang

diperlukan berbeda. Persamaan tersebut menunjukkan X12 dan X2

2 yang memiliki

konstanta negatif, yang mengindikasikan adanya titik stasiuonaer maksimum dari

permukaan respon, atau grafik parabola terbuka kebawah (Budiandari dan

widjanarko, 2014) . Hal ini sesuai dengan grafik interaksi 3D (Gambar 4.4) yang

menghasilkan grafik parabola terbuka kebawah. Setiap faktor mempengaruhi

respon sesuai dengan nilai konstanta yang ada, dimana konstanta positif

memberi nilai setara dengan respon, sedangkan konstanta negatif memberi

pengaruh berkebalikan dengan respon. Peningkatan kadar KH larut air

dipengaruhi oleh faktor suhu blanching, dan tidak dipengaruhi oleh faktor lama

waktu blanching.

Persamaan yang dihasilkan menunjukkan interaksi lama waktu dan suhu

blanching meningkatkan nilai kadar KH larut air. Namun, pada hasil ANOVA

mendapatkan hasil interaksi kedua faktor tidak berpengaruh secara signifikan.

Pada penelitian ini diduga terdapat interaksi antara kedua faktor, namun besar

perbedaan kadar KH larut air yang dihasilkan tidak terlihat secara besar. Hal ini

dapat disebabkan karena rentang lama waktu dan suhu blanching yang masih

berdekatan.

4.3.3 Pengaruh Lama Waktu dan Suhu Blanching terhadap Respon Kadar

Karbohidrat Larut Air

Grafik uji kenormalan (Gambar 4.2) akan menggambarkan

pendistribusian sebaran data. Grafik ini dapat digunakan untuk mengetahui

model terpilih telah signifikan. Hubungan antara variabel lama waktu (X1) dan

suhu blanching (X2) terhadap respon karbohidrat larut air digambarkan melalui

kontur plot dan grafik permukaan respon. Respon karbohidrat larut air

digambarkan dalam kontur-kontur plot yang masing-masing koordinatnya

menunjukkan taraf setiap variabel. Satu kontur yang muncul merupakan

perwakilan dari spesifik tinggi permukaan respon. Berdasarkan Gambar 4.2

diketahui rata – rata titik residual berada mendekati sepanjang garis normal,

sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa data respon kadar KH larut air

menyebar dengan normal. Hubungan antara faktor lama waktu dan faktor suhu

blanching juga digambarkan oleh sebuah grafik kontur dalam bentuk 2D dan 3D.

Rakhmi (2013) menjelaskan bahwa grafik kontur menampilkan kondisi kedua

faktor dimana nilai respon maksimal akan ditandai dengan wilayah bertingkat

kecerahan merah.

Gambar 4.2 Grafik Normal Plot of Residuals terhadap Respon KH Larut Air

Gambar 4.3. Grafik Kontur Lama Waktu Dan Suhu Blanching Pada Respon KH Larut Air

Gambar 4.4. Grafik 3D – Surface Lama Waktu Dan Suhu Blanching Pada Respon

KH Larut Air

Gambar 4.3 menunjukan grafik kontur 2 dimensi, terlihat bahwa warna

yang nampak pada titik tengah gambar adalah jingga kemerahan. Kontur plot

terlihat warna jingga pudar melingkar yang semakin melebar diikuti dengan

gradasi warna kuning menuju biru. Warna jingga pada grafik menunjukkan hasil

kadar KH larut air tertinggi sementara warna biru menunjukkan hasil terendah.

Semakin kuat perbedaan warna yang ada menunjukkan perbedaan nilai yang

semakin besar (Anugroh, 2017). Terdapat 5 titik merah pada bagian tengah

KH

Laru

t A

ir (

%)

gambar yang menandakan lima center point atau titik pusat dari percobaan yang

dilakukan, sehingga dalam kombinasi percobaan terdapat lima titik lama waktu

dan suhu blanching yang sama (pengulangan). Dari gambar pula dapat diketahui

bahwa titik pusat tidak tepat pada bagian tengah lingkaran, melainkan sedikit

bergeser ke arah kanan. Kondisi tersebut diartikan bahwa nilai respon terbaik

akan diperoleh dengan membuat kedua faktor sedikit bergeser dari titik pusatnya.

Pada Gambar 4.4 merupakan grafik tiga dimensi yang menampilkan

permukaan model dari kedua faktor. Model parabola yang dimiliki sesuai dengan

tabel anova yang menghasilkan p-value pada faktor suhu dengan nilai 0,0002

(0,02%) dan faktor lama waktu dengan nilai 0,0038 (0,38%) kurang dari 5%.

Gradasi warna yang ada juga menandakan bahwa chips gembili memiliki kadar

KH larut air yang semakin tinggi sesuai dengan kenaikan suhu dan waktu yang

digunakan hingga mencapai titik optimal sekitar pada suhu 75ºC selama 6 menit,

kemudian kadar KH larut air akan menurun seiring dengan naiknya suhu.

Semakin tinggi suhu yang digunakan maka akan terjadi gelatinisasi, dimana pada

proses gelatinisasi air akan berpenetrasi masuk dalam granula pati

menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah (Rosa, 2010). Pada

penelitian ini uap air dari proses steam blanching dapat berpenetrasi masuk

dalam granula pati gembili melalui pori-pori kulit yang terbuka saat proses

blanching. Sesuai dengan sifat KH larut air yang mudah larut dalam air panas,

diperkirakan pada proses gelatinisasi, KH larut air terikut larut dalam uap air yang

menempel pada bagian kulit gembili ketika dilakukan proses blanching sehingga

kadar KH larut air berkurang. Salah satu komponen dominan yang ada pada

karbohidrat larut air gembili adalah inulin, menurut (Scher et al., 2015) pada suhu

90⁰C tingkat kelarutan inulin pada air mencapai 34% sehingga leaching yang

terjadi cukup besar. Hal ini didukung oleh Susilowati dkk (2015) menyatakan

gelatinisasi pada suhu 85ºC-90ºC dengan pH alkali (10) menyebabkan sebagian

polimer fruktan terdegradasi.

4.4 Analisis Respon Daya Patah

4.4.1 Evaluasi Model Respon Daya Patah

Pemilihan model berdasarkan uraian jumlah kuadrat dari urutan model.

Model dapat dipilih jika memiliki nilai P (p – value) < 5% dan memiliki keterangan

suggested atau disarankan sehingga model tersebut bernilai nyata atau memiliki

pengaruh signifikan terhadap respon. Pemilihan model berdasarkan uraian

jumlah kuadrat dari urutan model tertera pada Tabel 4.9

Tabel 4.9 Data Sequential Model Sum of Squares Respon Daya Patah

Sumber Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

Nilai F Nilai P Prob>F

Keterangan

Mean vs Total

634,20 1 634,20

Linear vs Mean

10,01 2 5,01 14,88 0,0010

2FI vs Linear

0,040 1 0,040 0,11 0,7469

Kuadratik 2,66 2 1,33 13,97 0,0036 Disarankan Kubik 0,11 2 0,056 0,51 0,6289 Aliased Residu 0,55 5 0,11 Total 647,58 13 49,81

Model yang terpilih berdasarkan data sequetial model sum of squares

adalah model kuadratik. Terlihat bahwa model kuadratik memiliki nilai P sebesar

0,0036 dan berstatus suggested, dimana nilai tersebut lebih rendah dari 5%

sehingga sesuai dengan syarat diterimanya sebuah model. Terdapat model yang

memiliki nilai P yang lebih rendah dari model kuadratik, yaitu model Linear vs

Mean dengan nilai P 0,0010. Model Linear tidak disarankan oleh program untuk

dipilih karena diperkirakan akan memberikan pengaruh yang kurang sesuai

terhadap respon. Kemudian untuk dua model lainnya yaitu model 2FI dan kubik

sangat tidak disarankan karena memiliki nilai P berurutan sebesar 0,7469 dan

0,6289. Kedua nilai tersebut sangat jauh dari batas nilai alfa 5% sehingga kedua

model tersebut jika dipilih akan memberikan pengaruh yang tidak signifikan atau

tidak nyata terhadap respon.

Proses pemilihan model dilanjutkan dengan uji ketidaktepatan (Lack of

Fit). Pemilihan model berdasarkan uji ketidaktepatan dapat dilihat pada Tabel

4.10. Berdasarkan Tabel 4.10 model terpilih dalam uji ketidaktepatan adalah

model kuadratik. Hasil pengujian model kuadratik memiliki nilai P sebesar 0,2662

dan terdapat keterangan suggested.

Tabel 4.10 Data Uji Ketidaktepatan Respon Daya Patah

Sumber

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

Nilai F Nilai P Prob>F

Information

Linear 3,09 6 0,52 7,58 0,0351 2FI 3,05 5 0,61 8,98 0,0269 Kuadratik 0,39 3 0,13 1,93 0,2662 Disarankan Kubik 0,28 1 0,28 4,14 0,1117 Aliased Galat 0,27 4 0,068

Model kuadratik telah sesuai dengan syarat bahwa dalam uji Lack of Fit

harus memiliki nilai P > 5% atau memiliki arti ketidaktepatan model tidak

signifikan, sehingga model yang dipilih cocok (dapat menjelaskan respon). Dilihat

dari model lain yaitu Linear dan 2FI memiliki nilai P kurang dari 5% sehingga

tidak dapat dipilih menjadi model yang disarankan karena tidak memenuhi syarat.

Sementara untuk model kubik memiliki nilai P>5% namun model tersebut tidak

dipilih dan disarankan karena model kuadratik memiliki nilai P yang lebih besar.

Analisis terakhir untuk penentuan model yaitu berdasarkan ringkasan

model statistik (Model Summary Statistics). Dari beberapa jenis model yang

disajikan oleh software DX 10.0.1 akan dipilih satu model yang memenuhi

beberapa persyaratan untuk pemenuhan model. Menurut Apriani (2013) syarat

pemilihan model didasarkan pada model yang memiliki standar deviasi terendah,

R2 tertinggi, adjusted R2 tertinggi, R2 prediksi tertinggi, dan nilai PRESS

(Predition Error Sum of Square) terendah. Data hasil analisis ringkasan model

statistik disajikan pada Tabel 4.11

Tabel 4.11 Data Model Summary Statictics Respon Daya Patah

Sumber Standar Deviasi

R2 Adjusted

R2

R2 Prediksi PRESS Keterangan

Linear 0,58 0,7485 0,6982 0,5722 5,72 2FI 0,61 0,7515 0,6686 0,2961 9,42 Kuadratik 0,31 0,9502 0,9147 0.7588 3,23 Disarankan Kubik 0,33 0,9586 0,9007 -0,3774 18,42 Aliased

Berdasarkan Tabel 4.11 didapatkan 4 model yang disarankan, dan model

yang terpilih atau yang disarankan oleh program adalah model kuadratik. Ditinjau

dari segi standar deviasi, model kuadratik memiliki nilai terendah. Kemudian diliat

dari beberapa jenis R2, model kuadratik sudah sesuai dengan persyaratan yaitu

memiliki nilai tertinggi terutama pada adjusted R2 dan R

2 prediksi. Untuk nilai

PRESS, model kuadratik memiliki nilai terendah yaitu 3,23 sehingga

dimungkinkan model ini memiliki tingkat kesalahan dalam jumlah kuadrat yang

rendah. Sementara untuk model kubik terdapat keterangan aliased atau ditolak.

Model ini tidak disarankan oleh program meskipun memiliki nilai standar deviasi

yang rendah dan R2 yang tinggi, karena pada jenis prediksi R

2 memiliki nilai

negatif dan memiliki nilai PRESS yang sangat tinggi yakni sebesar 18,42

sehingga tingkat kesalahan jumlah kuadrat model kubik sangat tinggi.

4.4.2 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Daya Patah

Hasil dari analisis pemilihan model didapatkan bahwa model terbaik yang

terpilih adalah model kuadratik. Selanjutnya dilakukan analisis ragam terhadap

model kuadratik untuk respon daya patah. Data proses analisis ragam (ANOVA)

terhadap kadar KH Larut air disajikan pada Tabel 4.12. Hasil dari Tabel 4.12

menunjukkan pemilihan model kuadratik untuk proses analisis sudah signifikan,

hal ini ditunjukan dengan nilai P sebesar <0,0001. Nilai P tersebut sesuai dengan

syarat diterimanya sebuah model yaitu <5%. Dilihat dari interaksi kedua variabel

(AB) memberikan hasil yang signifikan atau nyata terhadap respon karena

memiliki nilai P sebesar 0,0028 dimana nilai tersebut kurang dari 5%.

Ditinjau dari masing – masing variabel kuadrat (A2) dan (B2), variabel

lama waktu (A2) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap respon karena

memiliki nilai P 0,0991. Sedangkan untuk variabel suhu blanching (B2) memiliki

nilai P 0,0026. Nilai tersebut >5% sehingga variabel tersebut menujukan

pengaruh yang signifikan terhadap respon daya patah.

Tabel 4.12 Data Analisis Ragam (ANOVA) Respon Daya Patah

Sumber Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

Nilai F Nilai P Prob>F

Keterangan

Model 20,86 5 4,17 40,09 <0,0001 Signifikan A-Lama waktu

0,031 1 0,031 0,30 0,6008 Tidak Signifikan

B-Suhu blanching

16,39 1 16,39 157,43 <0,0001 Signifikan

AB 2,10 1 2,10 20,20 0,0028 Signifikan A

2 0,38 1 0,38 3,61 0,0991 Tidak

Signifikan B

2 2,16 1 2,16 20,77 0,0026 Signifikan

Residu 0,73 7 0,10 Lack of Fit 0,46 3 0,15 2,24 0,2261 Tidak

Signifikan Galat 0,27 4 0,068 Cor Total 21,59 12

Keterangan : A = Variabel X1 (Lama waktu)

B = Variabel X2 (Suhu) AB = Interaksi Antar Perlakuan

Berdasarkan analisa nilai Lack of Fit (uji ketidaktepatan) ditunjukan bahwa

pada respon daya patah memiliki nilai lack of fit sebesar 0,2261. Menurut

Chaerunnisa (2014) lack of fit merupakah sebuah kriteria penerimaan model

yang menunjukkan ketidaksesuaian model dengan data, jika nilai lack of fit

kurang dari 5% atau signifikan maka model dikatakan tidak sesuai dengan data

yang ada. Sehingga pada analisa respon daya patah ini menunjukkan nilai lack

of fit yang melebihi 5% sehingga model telah sesuai dengan data yang ada.

Adequate precision untuk respon daya patah adalah 20,839 yang

menunjukan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Syarif dkk (2012) menyatakan

bahwa nilai adequate precision yang lebih besar dari 4 mengindikasikan sinyal

yang memadai sehingga model ini dapat dijadikan sebagai pedoman design

space. Keseluruhan dari pengujian kriteria model, model kuadratik telah

memenuhi seluruh kriteria sehingga diharapkan dapat memberi prediksi yang

baik. Berdasarkan hasil ANOVA daya patah dari model kuadratik, diperoleh

persamaan regresi berdasarkan respon daya patah yang dipengaruhi oleh lama

waktu (X1) dan suhu blanching (X2) adalah sebagai berikut :

Y = + 19,29578 – 0,32281 X1 – 0,32792 X2 + 1,66667E-003 X1X2 + 0,016484 X12 +

2,61667E-003 X22.

Keterangan : Y = Respon Daya Patah (%); X1 = Lama Waktu Blanching (menit); X2 =

Suhu Blanching (⁰)

Persamaan diatas ditujukan untuk mengetahui nilai respon daya patah

apabila faktor lama waktu dan suhu blanching yang dilakukan berbeda.

Berdasarkan persamaan tersebut terlihat bahwa faktor lama waktu kuadrat (A2)

memiliki koefisien positif, sementara pada ANOVA faktor lama waktu kuadrat

memiliki keterangan tidak signifikan. Hal ini diduga terjadi karena perubahan

yang terjadi akibat faktor lama waktu kuadrat tidak begitu terlihat. Persamaan

diatas menunjukkan setiap peningkatan lama waktu blanching sebesar x maka

nilai daya patah akan mengalami penurunan 0,32281 kali ditambah 19,29578

dan setiap peningkatan suhu blanching sebesar x maka nilai daya patah akan

mengalami penurunan 0,32792 kali ditambah 19,29578.

4.4.3 Pengaruh Lama Waktu dan Suhu Blanching terhadap Respon

Daya Patah

Gambar 4.5 menunjukkan grafik persebaran uji normalitas nilai residual

yang akan menggambarkan pendistribusian sebaran data. Grafik ini dapat

digunakan untuk mengetahui model terpilih telah signifikan. Hubungan antara

variabel lama waktu (X1) dan suhu blanching (X2) terhadap respon daya patah

digambarkan melalui kontur plot dan grafik permukaan respon. Respon daya

patah digambarkan dalam kontur-kontur plot yang masing-masing koordinatnya

menunjukkan taraf setiap variabel. Berdasarkan Gambar 4.5 berikut

menunjukkan bahwa titik data mendekati garis normal yang berarti data telah

menyebar dengan baik. Satu kontur yang muncul pada grafik merupakan

perwakilan dari spesifik tinggi permukaan respon.

Gambar 4.5 Grafik Normal Plot of Residuals terhadap Respon Daya Patah

Gambar 4.6. Grafik Kontur Lama Waktu Dan Suhu Blanching Pada Respon

Daya Patah

Hubungan pengaruh lama waktu dan suhu blanching terhadap respon

daya patah digambarkan secara detail pada Gambar 4.6 dan Gambar 4.7. Pada

gambar 4.6 terlihat bahwa garis terluar dengan warna merah merupakan respon

daya patah tertinggi dan garis terdalam dengan warna biru merupakan respon

daya patah terendah. Pada gambar 4.7 merupakan grafik permukaan respon

variabel suhu dan lama waktu blanching terhadap respon daya patah yang

menghasilkan model kurva 3 dimensi. Dari grafik yang diperoleh diketahui bahwa

respon daya patah hanya memiliki satu faktor yang signifikan yaitu faktor suhu

blanching sementara lama waktu blanching tidak berpengaruh signifikan

terhadap daya patah produk yang ditunjukan oleh warna yang terbentuk

cenderung sama pada lama waktu blanching. Suprapto (2004) dalam

penelitiannya menyimpulakan bahwa blanching menurunkan daya patah karena

adanya peristiwa gelatinisasi yang akan membentuk tekstur yang kokoh. Gao et

al (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa chips ubi jalar dengan

perlakuan blanching memiliki peningkatan tingkat kekerasan dibandingan dengan

chips ubi jalar tanpa blanching karena adanya pemutusan beberapa jaringan

akibat proses gelatinisasi yang menyebabkan terikatnya pati dengan komponen

lain. Kondisi ini sesuai dengan tabel anova yang menghasilkan p-value sebesar

0,0026 (0,26%) pada faktor suhu blanching (B2). Hal ini diperkirakan terjadi

karena interval waktu yang digunakan terlalui sempit, sehingga perbedaan daya

patah tidak terlalu besar dalam setiap kenaikan waktu blanching dan cenderung

memiliki hasil pada kisaran nilai yang sama.

Gambar 4.7. Grafik 3D – Surface Lama Waktu Dan Suhu Blanching Pada Respon

Daya Patah

4.5 Analisis Respon Tingkat kecerahan

4.5.1 Evaluasi Model Respon Tingkat kecerahan

Pemilihan model yang tepat untuk respon tingkat kecerahan terdiri dari

beberapa tahapan dan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Tahapan pertama

ditinjau dari segi sequential model sum of square yang terdapat pada pilihan fit

summary. Dalam proses pemilihannya, terdapat kriteria yang harus dipenuhi

yakni model harus memiliki nilai P (p-value) < 5% dan terdapat keterangan

suggested. Pemilihan model berdasarkan uraian jumlah kuadrat dari urutan

model tertera pada Tabel 4.13. Berdasarkan pada Tabel 4.13, terdapat satu

model yang disarankan oleh program yaitu model kuadratik. Model tersebut

terpilih karena memiliki nilai P < 5% yakni 0,0004 sehingga model kuadratik

memiliki pengaruh yang signifikan atau nyata terhadap data respon tingkat

kecerahan. Sementara untuk model lain tidak dipilih karena memiliki nilai P>5%

terutama untuk model kubik sangat tidak disarankan untuk dipilih karena terdapat

keterangan aliased dan model tersebut memiliki nilai P tertinggi yakni 0,8820

sehingga model akan memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap respon.

Tabel 4.13 Data Sequential Model Sum of Squares Respon Tingkat Kecerahan

Sumber Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

Nilai F Nilai P Prob>F

Keterangan

Mean vs Total

58009,12 1 58009,12

Linear vs Mean

6,35 2 3,18 3,63 0,0653

2FI vs Linear

1,56 1 1,56 01,96 0,1953

Kuadratik vs 2FI

6,41 2 3,21 29,13 0,0004 Disarankan

Kubik 0,038 2 0,019 0,13 0,8820 Aliased Residu 0,73 5 0,15 Total 58024,22 13 4463,40

Tahap pemilihan model selanjutnya dilakukan dengan analisa lack of fit.

Dalam tahap analisa ini terdapat kriteria penerimaan model yang berbeda yakni

model yang terpilih harus memiliki nilai P lebih dari 5%. Jika model memiliki nilai

P kurang dari 5% maka model tersebut memiliki taraf ketidaksesuaian yang

nyata. Dengan kata lain model tersebut tidak tepat untuk menjelaskan respon.

Data analisis model berdasarkan uji ketidaktepatan dapat dilihat pada Tabel

4.14.

Tabel 4.14 Data Uji Ketidaktepatan Respon Tingkat kecerahan

Sumber

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

Nilai F Nilai P Prob>F

Keterangan

Linear 8,42 6 1,40 17,11 0,0080 2FI 6,86 5 1,37 16,73 0,0087 Kuadratik 0,44 3 0,15 1,80 0,2867 Disarankan Kubik 0,40 1 0,40 4,94 0,0904 Aliased Galat 0,33 4 0,082

Tabel 4.14 menunjukkan bahwa model yang terpilih model kuadratik, hal

ini karena model kuadratik memiliki nilai P (p-value) sebesar 0,2867. Nilai P

tersebut sudah sesuai dengan kriteria yaitu melebihi 5% agar model terpilih

memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap data. Sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa model kuadratik sudah dapat menjelaskan respon karena

tingkat ketidaksesuaian model tidak signifikan atau tidak nyata terhadap respon.

Pada model kubik meskipun memiliki nilai P diatas 0,0904 (>5%) tidak dapat

dipilih karena terdapat keterangan aliased atau ditolak. Selain itu nilai P pada

model kuadratik lebih tinggi dari model kubik sehingga lebih disarankan untuk

memilih model kuadratik karena semakin tinggi nilai P maka ketidaksesuaian

akan semakin tidak nyata.

Analisis selanjutnya yaitu berdasarkan ringkasan model statistic (Model

Summary Statistics). Pada tahap ini beberapa kriteria yang harus dipenuhi yaitu,

pemilihan model didasarkan pada nilai standar deviasi dan nilai PRESS

terendah, dan nilai R2 tertinggi. Myers and Montgomery (2002) menyatakan

bahwa penentuan model yang terbaik difokuskan pada nilai adjusted R-square

dan Predicted R-square yang maksimal. Hal ini dikarenakan semakin kecil nilai

R2 menunjukkan semakin lemahnya hubungan antara variabel dependen dan

independen (Nisfiannoor,2009). Data Model Summary Statistics disajikan pada

Tabel 4.15

Tabel 4.15 Data Model Summary Statistics Respon Tingkat kecerahan

Sumber Standar Deviasi

R2 Adjusted

R2

R2

Prediksi

PRESS Keterangan

Linear 0,94 0,4207 0,3040 0,0088 14,97 2FI 0,89 0,5242 0,3655 -0,3047 19,70 Kuadratik 0,33 0,9490 0,9125 0.7575 3,66 Disarankan Kubik 0,38 0,9515 0,8835 -0,7505 26,43 Aliased

Berdasarkan Tabel 4.15, terlihat bahwa model terbaik yang disarankan

oleh program DX 10.0.1 adalah model kuadratik dengan keterangan suggested.

Model kuadratik dinilai telah memenuhi seluruh kriteria dengan nilai standar

deviasi terendah dari model lainnya yakni 0,33, nilai R-square tertinggi yakni

0,9490, nilai adjusted R2 (R-square hitung berdasarkan data yang diperoleh) dan

R2 prediksi tertinggi yakni 0,9125 dan 0,7575. Nilai Adjuested R2 sebesar 0,9125

menunjukkan adanya korelasi positif atau keeratan hubungan antara faktor lama

waktu dan suhu blanching terhadap respon tingkat kecerahan sebesar 91,25%.

Program DX 10.0.1 memberikan toleransi selisih antara kedua R2 sebanyak 2

nilai, jika selisih antar kedua R2 kurang atau sama dengan dua maka dikatakan

data dalam kondisi in reasonable agreement yang berarti nilai respon prediksi

sesuai dengan nilai respon aktuan sehingga model yang diperolah dapat

memodelkan data dengan baik (Montgomery,2001) dalam (Ernes,2017).

Kemudian dilihat dari nilai PRESS model kuadratik memiliki nilai terendah yakni

3,66 sehingga kemungkinan kesalahan dari model ini sangat rendah.

4.5.2 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Tingkat kecerahan

Model yang terpilih selanjutnya akan dilakukan analisa ragam. Data

proses analisis ragam (ANOVA) terhadap kadar KH larut air disajikan pada Tabel

4.16

Tabel 4.16 Data Analisis Ragam (ANOVA) Respon Tingkat kecerahan

Sumber Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Rata-rata Kuadrat

Nilai F Nilai P Prob>F

Keterangan

Model 14,33 5 2,87 26,03 0,0002 Signifikan A-Lama waktu

0,16 1 0,16 1,50 0,2606 Tidak Signifikan

B-Suhu blanching

6,19 1 6,19 56,19 0,0001 Signifikan

AB 1,56 1 1,56 14,19 0,0070 Signifikan A

2 4,48 1 4,48 40,69 0,0004 Signifikan

B2 2,74 1 2,74 24,88 0,0016 Signifikan

Residu 0,77 7 0,11 Lack of Fit 0,44 3 0,15 1,80 0,2867 Tidak

Signifikan Galat 0,33 4 0,082 Cor Total 15,10 12

Keterangan : A = Variabel X1 (Lama waktu)

B = Variabel X2 (Suhu) AB = Interaksi Antar Perlakuan

Tabel 4.16 menunjukkan bahwa hasil analisa ragam (ANOVA) variabel

lama waktu dan suhu blanching pada model kuadratik memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap respon kadar air, yang ditunjukkan oleh nilai P pada

model kurang dari 5% yakni 0,0002 (0,02%). Ditinjau dari interaksi variabel, lama

waktu dan suhu blanching (AB) memberikan pengaruh yang signifikan karena

memiliki nilai P sebesar 0,0070. Lama waktu kuadrat (A2) dan (B2) juga memiliki

pengaruh yang signifikan dengan nilai P masing-masing sebesar 0,0004 dan

0,0016. Dalam pengujian lack of fit, nilai P yang diperoleh sebesar 0,2867 (>5%).

Hal ini menunjukkan bahwa ketidaksesuaian model tidak memberikan

pengaruh yang nyata, sehingga model kuadratik dapat menggambarkan data

respon tingkat kecerahan dengan baik. Kemudian untuk analisa kriteria

tambahan yakni adeq precision, memiliki nilai sebesar 13,347. Hal tersebut

sudah memenuhi kriteria yaitu model sudah dapat dikatakan baik jika nilai adeq

prescision melebihi nilai 4. Keseluruhan dari pengujian kriteria model, model

kuadratik telah memenuhi seluruh kriteria sehingga diharapkan dapat memberi

prediksi yang baik. Persamaan regresi model kuadratik berdasarkan respon

tingkat kecerahan yang dipengaruhi oleh lama waktu (X1) dan suhu blanching

(X2) sebagai berikut :

Y = + 50,12030 + 1,37995 X1 + 0,41470 X2 - 0,010000 X1X2 - 0,049766 X12 - 2,76111E-

003 X22.

Keterangan : Y = Respon Tingkat Kecerahan (%); X1 = Lama Waktu Blanching (menit);

X2 = Suhu Blanching (⁰)

Persamaan tersebut merupakan persamaan aktual yang diperlukan untuk

mengetahui respon tingkat kecerahan yang didapatkan jika nilai variabel yang

diperlukan berbeda. Persamaan tersebut menunjukkan X12 dan X2

2 yang memiliki

konstanta negatif, yang mengindikasikan adanya titik stasioner maksimum dari

permukaan respon, atau grafik parabola terbuka kebawah (Budiandari dan

widjanarko, 2014) . Hal ini sesuai dengan grafik interaksi 3D (Gambar 4.10) yang

menghasilkan grafik parabola terbuka kebawah. Persamaan tersebut

menjelaskan bahwa setiap peningkatan lama waktu blanching sebesar x maka

nilai tingkat kecerahan akan mengalami peningkatam sebesar 1,37995 kali

ditambah 50,12030. Peningkatan suhu blanching sebesar x juga akan

meningkatkan nilai tingkat kecerahan sebesar 0,41470 kali ditambah dengan

50,12030.

4.5.3 Pengaruh Lama Waktu dan Suhu Blanching terhadap Respon

Tingkat kecerahan

Berdasarkan pemilihan model untuk respon kadar air, diketahui bahwa

model yang disarankan yaitu model kuadratik. Sehingga perlu diketahui apakah

model kuadratik dapat memberikan pengaruh signifikan atau tidak terhadap

respon tingkat kecerahan. Salah satu cara untuk mengetahui hal tersebut yakni

melalui grafik uji normalitas nilai residual. Grafik uji normalitas nilai residual

respon kadar tingkat kecerahan dari model yang disarankan disajikan pada

Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Grafik Normal Plot of Residuals terhadap Respon Tingkat

Kecerahan

Gambar 4.9 Grafik Kontur Lama Waktu Dan Suhu Blanching Pada Respon

Tingkat Kecerahan

Gambar 4.8 menunjukkan bahwa tidak semua titik residual berada tepat

disepanjang garis tengah, akan tetapi masih tersebar di sepanjang garis tengah.

Menurut Myers and Montogemery (2002) jika rata-rata titik residual berada di

sepanjang garis tengah maka dapat diasumsikan bahwa kenormalan model

terpilih dapat terpenuhi. Hubungan antara faktor lama waktu dan faktor suhu

blanching digambarkan oleh sebuah grafik kontur dalam bentuk 2D dan 3D.

Rakhmi (2013) menjelaskan bahwa grafik kontur menampilkan kondisi kedua

faktor dimana nilai respon maksimal ditandai dengan wilayah bertingkat

kecerahan merah. Gambar 4.9 menunjukkan bahwa sumbu (x) merupakan lama

waktu dan sumbu (Y) merupakan suhu blanching terhadap tingkat kecerahan.

Garis melingkar merupakan respon dimana garis terluar dengan warna biru

menunjukkan nilai respon tingkat kecerahan terendah, sedangkan semakin

kedalam dengan warna merah jingga menunjukkan nilai respon tingkat

kecerahan tertinggi. Dapat diketahui bahwa hasil optimum berdasarkan gambar

diatas terletak pada lingkaran kedua dari dalam kontur plot yang ditandai oleh

lingkaran bertingkat kecerahan merah (node). Gradasi warna yang terbentuk dan

dilalui garis berubah dari warna biru, hijau, kuning, jingga kemerahan, namun

tidak kembali ke warna biru sehingga pada grafik 3 dimensi tidak membentuk

parabola penuh karena terdapat sisi yang tidak kembali menurun kebawah.

Gambar 4.10 Grafik 3D – Surface Lama Waktu Dan Suhu Blanching Pada

Respon Tingkat Kecerahan

Gambar 4.10 merupakan grafik 3D hubungan antara kedua variabel.

Terlihat pada grafik terdapat titik cembung yang diartikan chips gembili memiliki

nilai kecerahan semakin tinggi sesuai dengan kenaikan suhu blanching hingga

mencapai titik optimal pada suhu sekitar 75ºC dan menurun seiring naiknya

suhu. Penurunan warna seiring dengan naiknya suhu blanching disebabkan

karena terjadinya gelatinisasi pada sebagian besar gembili yang ditandai dengan

warna putih transparan sehingga ketika dikeringkan akan membentuk warna

kuning kecoklatan dan mempengaruhi warna chips ketika dilakukan pembacaan

pada color reader. Ginting dkk (2014) menyatakan bahwa suhu 70ºC merupakan

temperatur terbaik untuk gelatinisasi pati umbi talas, sedangkan pada suhu 80ºC

mengalami penurunan sifat kekuatan tarik dikarenakan pati mengalami

pengembungan butiran sehingga butiran pati akan rusak dan kekentalan larutan

akan menurun sehingga pati mengalami proses retrogradasi. Selain itu, Polnaya

et al (2015) melaporkan bahwa suhu awal gelatinisasi ubi jalar adalah 79,5ºC

dan suhu puncak gelatinisasi sebesar 88,5ºC.

4.6 Penentuan Kondisi Optimum Steam Blanching terhadap Respon

Kadar Karbohidrat Larut Air, Daya Patah, dan Tingkat kecerahan

Solusi kondisi optimum didapatkan dari program Design Expert 10.0.1

dengan menetapkan beberapa kriteria yang diinginkan terhadap masing-masing

respon. Kriteria yang ditetapkan disajikan pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17 Batasan Variabel terhadap Respon Optimum Blanching

Nama Target Batas Bawah

Batas Atas

Kepentingan

Waktu In range/Kisaran 2 10 3 (+++) Suhu In range/Kisaran 60 90 3 (+++) KH Larut Air

Maximize/Maksimal 4,09 12,56 3 (+++)

Daya Patah In range/Kisaran 5,7 9,6 3 (+++)

Tingkat kecerahan

Maximize/Maksimal 64,6 68 3 (+++)

Berdasarkan Tabel 4.15 variabel lama waktu dan suhu blanching yang

diinginkan adalah pada rentang yang telah ditentukan batas minimum dan

maksimumnya, yaitu waktu pada rentang 2-10 menit dan suhu pada rentang 60-

90⁰C. Pada respon kadar KH larut air dan tingkat kecerahan, sasaran yang

diinginkan adalah maximize atau tertinggi dengan batas bawah dan atas untuk

respon kadar KH larut air sebesar 4,09% dan 12,56% dan batas bawah dan atas

untuk respon tingkat kecerahan sebesar 64,6 dan 68. Pemilihan kriteria ini

karena penelitian ini ingin melihat kadar KH larut air terbesar yang dapat

dihasilkan oleh umbi gembili serta peneliti ingin mendapatkan lama waktu dan

suhu blanching yang tepat untuk menghasilkan tingkat kecerahan chips tercerah

(L) dari umbi gembili, karena tingkat kecerahan chips yang dihasilkan akan

memberikan pengaruh terhadap tingkat kecerahan bubuk karbohidrat larut air

yang akan didapatkan. Pada respon daya patah, sasaran yang diinginkan adalah

in range dengan batas bawah sebesar 5,7 N dan batas atas 9,6 N karena nilai

rata-rata daya patah dalam seluruh kombinasi perlakuan cukup bagus dan tinggi.

Setelah ditetapkan kriteria yang diinginkan, program DX 10.0.1 akan memberikan

solusi kondisi optimum proses blanching terhadap chips gembili seperti pada

Gambar 4.11.

Gambar 4.11 Solusi Kondisi Optimum Blanching

Solusi dari Gambar 4.11 menjelaskan bahwa hasil analisis pengolahan

data menggunakan model kuadratik dengan lama waktu 5,87 menit dan suhu

sebesar 70,6ºC harus menghasilkan respon kadar KH larut air sebesar 10,66;

daya patah sebesar 6,09 N; dan tingkat kecerahan sebesar 67,8 dengan tingkat

desirabilitas 0,864 (86,4%). Menurut (Ramadhani dkk, 2017) formula yang paling

optimal adalah formula dengan nilai desirabilitas maksimum, dimana nilai ini

merupakan nilai fungsi untuk tujuan optimasi yang menunjukkan kemampuan

program untuk memenuhi keinginan berdasarkan kriteria yang ditetapkan pada

Kadar KH larut Air

produk akhir. Nilai desirabilitas yang semakin mendekati 1,0 menunjukkan

kemampuan program untuk menghasilkan produk yang dikehedaki semakin

sempurna (Raissi and Farzani, 2009).

4.7 Verifikasi Kondisi Optimum

Verifikasi dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan bahwa solusi dari

titik optimum yang diberikan software DX 10.0.1 akan memberikan hasil respon

yang sesuai dengan yang disarankan. Proses verifikasi dilakukan dengan

menguji ulang sesuai dengan rancangan optimum yang disarankan program

kemudian membandingkan hasil solusi optimum dari program yang disarankan

dengan hasil verifikasi yang dilaksanakan secara langsung (aktual).

Perbandingan hasil verifikasi dengan nilai prediksi disajikan pada Tabel 4.18

Tabel 4.18 Data Perbandingan Hasil Verifikasi Dengan Prediksi

Waktu Suhu Kadar KH Larut Air

(%)

Daya Patah (N)

Tingkat kecerahan

(L)

Prediksi 5,87 70,63 10,66 6,09 67,80 Verifikasi 5,87 70,63 8,56 5,80 67,50

95% PI Bawah - - 5,13 4,33 66,06 95% PI Atas - - 16,89 7,86 69,68

Tingkat Ketepatan (%) 80,30 95,23 99,55

Keterangan : 95% PI low : Batas Bawah Prediksi Interval 95% 95% PI high : Batas Atas Prediksi Interval 95% Tingkat ketepatan dihitung berdasarkan nilai verifikasi/prediksi x 100%

Tabel 4.18 menunjukkan perbandingan hasil respon kadar KH larut air

antara prediksi dan verifikasi yang telah dilakukan. Pada respon kadar KH larut

air, prediksi yang diberikan oleh program adalah sebesar 10,66% sementara

hasil verifikasi didapatkan kadar KH larut air sebesar 8,56%. Selisih nilai respon

kadar KH larut air penelitian dengan prediksi software adalah sebesar 19,7%.

Selisih antara hasil prediksi software dengan analisis diduga dipengaruhi oleh

lama penyimpanan bahan baku. Selama proses penyimpanan, gembili tetap

melakukan respirasi sehingga semakin lama penyimpanan gembili membuat

kadar karbohidrat semakin rendah karena terjadi pemecahan karbohidrat menjadi

komponen gula yang lebih sederhana. Herianto dkk (2018) memiliki pendapat

yang sama bahwa kadar karbohidrat larut air berupa inulin pada umbi dahlia

menurun seiring lamanya masa penyimpanan. Menurut Megawati (2013) selama

proses penyimpanan berlangsung karbohidrat pada umbi akan terpecah mejadi

gula sederhana yang digunakan sebagai substrat selama proses respirasi

berlangsung. Penelitian yang dilakukan oleh Panneerselvam et al. (2007)

terhadap Dioscorea esculenta L. menyatakan bahwa pada saat pertunasan,

kandungan gula dan enzim yang memetabolisme karbohidrat meningkat pesat

sedangkan kandungan pati menurun. Hal tersebut disebabkan karena pati

didegradasi oleh enzim α amilase menjadi gula sederhana dan kemudian

diangkut menuju titik tumbuh. Sementara Kusdibyo dan Asandhi (2004)

melakukan penyimpanan umbi kentang granola selama 5 hari dan terjadi

penurunan kandungan pati mencapai 0,98%.Pada respon daya patah, prediksi

yang diberikan program sebesar 6,09 N sementara hasil verifikasi didapatkan

nilai daya patah sebesar 5,8 N. Tingkat ketepatan antara hasil analisa daya

patah prediksi dengan verifikasi sebesar 95,23%, maka selisih antar keduanya

sebesar 4,77%. Hasil selisih tersebut tidak melebihi 5% sehingga hasil verifikasi

untuk daya patah dapat diterima dan mengindikasikan model tersebut cukup

tepat untuk proses. Pada respon tingkat kecerahan, prediksi yang diberikan

sebesar 67,8 sementara hasil verifikasi didapat hasil sebesar 67,5. Tingkat

ketepatan antara keduanya sebesar 99,55%, maka selisih antar keduanya

sebesar 0,45% sehingga hasil verifikasi dapat diterima seperti respon lainnya.

Hasil verifikasi ini telah sesuai dengan Amalia (2016) yang menyatakan Verifikasi

akan diterima jika hasil perbandingan yang dihasilkan kurang dari 5%. Jika

dibandingkan dengan nilai 95% PI bawah dan 95% PI atas, ketiga respon masih

berada di dalam rentang keduanya. Menurut Buxton (2007) hasil verifikasi yang

berada dalam rentang nilai 95% PI high dan 95% PI low menunjukkan bahwa

formula optimum dengan nilai dengan nilai desirabilitas tertinggi memiliki hasil

yang sesuai dengan prediksi yang direkomendasikan oleh program. Sehingga

ketiga respon pengujian verifikasi telah sesuai dengan solusi kondisi optimum

yang disarankan oleh program DX 10.0.1.

4.8 Karakterisasi Fisik dan Kimia Chips Gembili Perlakuan Terbaik

Hasil verifikasi pada program mendapatkan solusi bahwa lama waktu

5,87 menit dan suhu blanching 70,63ºC merupakan kondisi optimal untuk

menghasilkan kadar KH larut air, daya patah dan tingkat kecerahan maksimum.

Kondisi tersebut dinyatakan sebagai perlakuan terbaik yang kemudian dilakukan

uji karakterisasi kimia dan fisik chips gembili. Karakterisasi kimia yang dilakukan

meliputi kadar air, kadar abu, kadar amilosa, kadar pati, dan kadar serat.

Sedangkan untuk karakterisasi fisik meliputi daya patah dan tingkat kecerahan

chips gembili.

Hasil karakterisasi kimia disajikan pada Tabel 4.19. Berdasarkan tabel

tersebut terlihat bahwa kadar air chips gembili hasil verifikasi sebesar 6,29%.

Menurut SNI nomor 01-4305-1996 kadar air pada keripik singkong maksimal

sebesar 6,0 sehingga jika dibandingkan chips gembili sudah cukup memenuhi

standar. Hasil yang lebih tinggi dari standar SNI dapat disebabkan oleh

perbedaan ketebalan pemotongan chips serta perbedaan metode pengeringan

yang digunakan. Winarno (2002) menyatakan bahwa bahan yang telah

dihilangkan kadar airnya hingga mencapai rentang 3-7% akan mencapai

kestabilan optimum bahan sebab dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan

reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak bahan makanan seperti browning,

hidrolisis atau oksidasi lema. Rendahnya kadar air yang dimiliki akan membuat

umur simpan chips gembili menjadi meningkat.

Tabel 4.19 Hasil Karakterisasi Kimia Chips Gembili Perlakuan Terbaik

Parameter Chips gembili Hasil Optimasi

Literatur

Kadar Air (%) 6,29 ± 0.07 Maks 6,0a

Kadar Abu (%) 2,20 ± 0.67 Maks 2,5a

Kadar Amilosa (%) 3,91 ± 0.75 - Kadar Pati (%) 32,75 ± 0,06 -

Kadar Serat Pangan (%) 3,58 ± 0,08 7,1b

Kadar KH Larut Air (%) 8.56 ± 0.13 - Tingkat Kecerahan (L) 67,5 ± 0.94 Normal

a

Daya Patah (N) 5,80 ± 0.60 Renyaha

Keterangan = 1. Setiap data merupakan rerata 3 kali ulangan 2. Angka dibelakang symbol ± merupakan standar deviasi

a : SNI 01-4305-1996 (1996)

b : USDA (2018)

Adanya proses blanching sebagai perlakuan pendahuluan sebelum

pengeringan juga mempengaruhi kadar air karena proses blanching akan

melunakkan pori-pori bahan sehingga memudahkan proses pengeringan (Asgar

& Musaddad, 2006). Namun jika suhu dan lama waktu blanching yang digunakan

tidak sesuai akan meningkatkan kadar air produk yang dihasilkan. Perdana dan

Muchsiri (2014) dalam penelitiannya melakukan pengeringan bekatul pada suhu

70ºC, bekatul yang di blanching selama 5 menit pada suhu 50ºC memiliki kadar

air yang lebih rendah dari bekatul yang di blanching selama 15 menit pada suhu

70ºC yang disebabkan oleh semakin lamanya waktu blanching yang akan

meningkatkan jumlah molekul air yang terakumulasi dalam bahan dimana

molekul air tersebut memiliki kemampuan untuk berikatan dengan sesama

molekul air atau dengan substansi lainnya sehingga kadar air akan meningkat.

Dibandingkan dengan literatur kontrol yang didapat, kadar air penelitian lebih

tinggi dari literatur yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti waktu

pengeringan yang lebih pendek dari literatur dan perbedaan metode pengeringan

yang digunakan.

Kadar abu yang diperoleh pada hasil karakterisasi perlakuan terbaik

sebesar 2,20% sementara menurut SNI 01-4305-1996 kadar abu maksimal

sebesar 2,5%. Jika dibandingkan dengan SNI, chips gembili telah memenuhi

standar sehingga chips gembili dapat dikomersilkan dan layak untuk dikonsumsi.

Dibandingkan dengan kadar abu pada bahan baku, kadar abu chips verifikasi

lebih tinggi. Hal ini disebabkan adanya proses blanching yang berperan untuk

menginaktifkan enzim yang ada pada suatu bahan dan dapat mempengaruhi

kadar abu yang dihasilkan. Waktu blanching yang lebih lama akan menyebabkan

lebih banyak enzim yang mengalami kerusakan kemudian blanching diatas 50ºC

akan membuat enzim menjadi inaktif karena protein terdenaturasi (Perdana dan

Muchsiri, 2014). Jika enzim mengalami kerusakan maka lebih banyak protein

yang rusak karena enzim berasal dari protein, maka akan lebih banyak pula

mineral seperti fosfor, belerang, besi, dan lainnya yang berasal dari protein akan

terakumulasi dalam bahan pangan sehingga akan menaikkan kadar abu.

Kadar amilosa yang didapat pada hasil karakterisasi sebesar 3,91%. jika

dibandingkan dengan kadar amilosa gembili segar pada analisa bahan baku,

memiliki hasil yang lebih tinggi dan terpaut cukup jauh (2,38%). Hal ini

diasumsikan terjadi karena adanya proses pengeringan dengan suhu yang cukup

tinggi pada chips verifikasi menyebabkan terjadinya pemutusan rantai amilosa-

amilopektin penyusun granula sehingga menyebabkan rasio amilosa pada chips

verifikasi semakin meningkat (Jading, 2011). Sementara kadar pati yang

dihasilkan pada chips verifikasi relatif sama dengan literatur, namun kadar pati

gembili segar jauh lebih rendah dari kadar pati chips verifikasi yang dapat

disebabkan karena gembili yang digunakan untuk proses verifikasi tetap

mengalami proses respirasi sehingga dapat menurunkan kadar pati akibat

pemecahan pati menjadi komponen yang lebih sederhana. Kadar KH larut air

yang diperoleh pada chips hasil karakterisasi perlakuan terbaik sebesar 8,56%.

Kadar yang diperoleh relatif tinggi sehingga chips gembili cukup berpotensi untuk

dijadikan bahan baku atau media ekstraksi KH larut air seperti inulin.

Hasil analisa kadar serat hasil karakterisasi sebesar 3,58% dan menurut

United States Department of Agriculture (USDA) kadar serat pada chips singkong

sebesar 7,1% sehingga kadar serat yang dihasilkan belum memenuhi

persyaratan. Terjadi penurunan kadar serat pada chips gembili yang diasumsikan

terjadi karena adanya leaching pada komponen serat akibat adanya kondisi

panas pada proses blanching yang membuat dinding sel dari bahan larut dalam

air selama proses blanching sehingga stuktur gel hemiselilosa yang tersurai oleh

pemanasan juga akan larut pada saat proses blanching (Suprapto, 2004 dalam

Kusumawati dkk, 2012). Hal ini sesuai dengan hasil lapang bahwa umbi gembili

setelah di blanching akan memiliki kulit yang cenderung berair. Sehingga ketika

dilakukan pengupasan dimungkinkan dinding sel akan terikut terbuang. Hasil ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Prabasini dkk (2013) yang

menyatakan bahwa kadar serat kasar tepung labu kuning dengan perlakuan

blanching lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan perendaman dalam

natrium metabisulfit.

Hasil uji daya patah terhadap chips gembili perlakuan terbaik diperoleh

sebesar 5,8 N. standar SNI memberikan keterangan bahwa tekstur yang baik

untuk produk chips adalah renyah. Kerenyahan berhubungan dengan daya

patah. Daya patah merupakan besarnya usaha yang dilakukan untuk

mematahkan produk, semakin rendah nilai daya patah maka akan semakin

meningkatkan nilai kerenyahannya (Ernawati, 2011). Kerenyahan pada chips

juga berhubungan dengan nilai kekerasan (hardness), semakin tinggi nilai

kekerasan maka produk mempunyai daya patah relatif keras dan bersifat kurang

renyah dibandingkan produk dengan nilai kekerasan rendah (Apriyani, 2009).

Pada chips hasil verifikasi memiliki daya patah lebih tinggi dari perlakuan kontrol

(2,9 N) sehingga chips perlakuan kontrol lebih renyah. Perbedaan antara

keduanya diperkirakan terjadi karena adanya perlakuan blanching yang

menyebabkan sifat permeabilitas dinding sel meningkat dan mengakibatkan

mengembangnya struktur granula pati sehingga ketika proses pengeringan akan

mudah mengalami penguapan (kandungan air berkurang) dan perubahan

struktur sehingga menjadi lebih keras dan daya patah menjadi lebih tinggi. Xiao

et al (2017) menyatakan bahwa proses blanching dapat meningkatkan derajat

retrogradasi pada chips kentang kering sehingga tekstur menjadi lebih kompak

dan kuat.

Tingkat kecerahan yang dihasilkan oleh chips perlakuan terbaik yaitu

sebesar 67,5. Standar SNI menjelaskan bahwa syarat keripik layak konsumsi

memiliki warna yang normal. Sementara tingkat kecerahan yang dihasilkan oleh

perlakuan kontrol sebesar 65,2. Tingkat kecerahan dengan perlakuan blanching

lebih tinggi dari kontrol namun hasilnya tidak jauh berbeda. Hal tersebut sesuai

dengan Indrastuti dkk, (2012) yang menyebutkan bahwa tepung uwi dengan

perlakuan blanching memiliki nilai tingkat kecerahan lebih tinggi dibandingkan

tepung uwi tanpa blanching. Salah satu manfaat yang diperoleh dari pemberian

blanching pada gembili adalah mencegah terjadinya perubahan yang tidak

diinginkan selama proses pengolahan dalam segi tingkat kecerahan karena

dengan dilakukannya blanching akan menginaktivasi enzim polifenolase yang

menyebabkan browning sehingga reaksi browning akan sangat minim muncul.

Hal ini didukung oleh Apriana dkk (2016) yang menyatakan bahwa seiring

tinggi suhu blanching yang digunakan maka tingkat kecerahan tepung ubi jalar

ungu yang dihasilkan akan semakin ungu sehingga blanching dapat

mempertahankan tingkat kecerahan ubi jalar ungu. Terlebih jika dilakukan dalam

kondisi yang optimal, maka tingkat kecerahan yang dihasilkan akan semakin

baik. Waktu blanching optimal yang direkomendasikan penting untuk dipatuhi

karena proses blanching yang berlebihan akan menyebabkan produk menjadi

matang berlebih dan akan kehilangan flavor, tingkat kecerahan, serta komponen

nutrisi. Proses blanching yang dilakukan tidak dapat menghentikan keseluruhan

proses browning, karena pada saat proses pengeringan masih dapat terjadi

browning non enzimatis dikarenakan adanya panas pada proses pengeringan,

sehingga akan terjadi proses oksidasi fenol lebih lanjut, namun reaksi

pencoklatan yang dihasilkan dalam jumlah rendah.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghambat reaksi browning

diantaranya dengan melakukan kombinasi perlakukan pre-treatment seperti

proses blanching dan proses perendaman pada CaCl2. Kazemi et al., (2013)

menyebutkan bahwa CaCl2 dapat mencegah reaksi pencoklatan non enzimatis

karena ion kalsium akan berikatan dengan asam amino sehingga menghambat

terjadinya reaksi antara amino dan gula reduksi yang menyebabkan pencoklatan

saat pemanasan. Bahan lain yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya

browning non-enzimatis adalah natrium metabisulfit. Natrium metabisulfit

digunakan sebagai senyawa antipencoklatan pada umbi kentang, sekaligus

dapat mengawetkan bahan (Setyaningsih, 2010).

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Hasil dari analisa proses optimasi blanching chips gembili menggunakan

Response Surface Methodology (RSM) diperoleh model yang disarankan

adalah model kuadratik pada setiap respon. Persamaan yang diperoleh

untuk respon kadar karbohidrat larut air yaitu (Y = -48,66827 – 0,091801

X1 + 1,63690 X2 + 0,015542 X1X2 - 0,10168 X12 – 0,011764 X2

2) ;

persamaan untuk respon daya patah yaitu (Y = + 19,29578 – 1,09625 X1

– 0,34875 X2 + 0,012083 X1X2 + 0,014531 X12 + 2,47778E-003 X2

2) ; dan

persamaan untuk respon tingkat kecerahan yaitu (Y = + 49,68123 +

1,41902 X1 + 0,42220 X2 - 0,010417 X1X2 - 0,050516 X12 - 2,88889E-003

X22).

2. Dari proses optimasi diperoleh lama waktu blanching optimum yaitu 5,87

menit dan suhu blanching optimum yaitu 70,63°C yang akan

menghasilkan kadar karbohidrat larut air, tingkat kecerahan, dan daya

patah terbaik. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa kadar

karbohidrat larut air tertinggi sebesar 12,56%; nilai daya patah tertinggi

sebesar 9,2 N; dan nilai tingkat kecerahan tertinggi sebesar 68.

3. Hasil karakterisasi chips perlakuan perlakuan terbaik rata-rata

memberikan hasil yang lebih baik dan sesuai dengan standar SNI dan

USDA kecuali untuk kadar air dan serat. Sehingga adanya perlakuan

blanching pada titik optimum menghasikan karakteristik fisik dan kimia

yang lebih baik dan layak untuk dikonsumsi.

4. Chips Gembili dapat dijadikan sebagai bahan baku ekstraksi komponen

bioaktif yang bermanfaat seperti dioscorin, diosgenin, dan Polisakarida

Larut Air (PLA).

5.2 Saran

1. Perlunya dilakukan karakterisasi lebih lanjut pada chips gembili untuk

melihat potensi chips gembili sebagai bahan baku ekstraksi.

2. Perlunya dilakukan pemanfaatan lebih lanjut dan dilakukan analisa

kelayakan pasar produk chips gembili siap konsumsi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulla, G., Gehan,A., El-Shourbagy and Sitohy, M.Z. 2014. Effect of Pre-drying, Blanching, and Citric Acid Treatments on The Quality of Fried Sweet Potato Chips. American Journal of Food Technology Vol 9: 39-48. Adna, S.F. 2013. Uji Lack of Fit Dengan Pendekatan Uji F Melalui Statistik Uji Wald Type Pada Rancangan Blocked Response Surface. Tesis. Program Studi S2 Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Afoakwa, E.O. 2010. Chocolate Science and Technology. Wiley-Blackwell Agcam, E., Polat, S., Akyildiz, A., and fenercioglu, H. 2016. Inactivation Kinetics of Pectin Methyl Esterase under Thermosonication and Thermal Pasteurisation Process Condition in Orange Juice. Akademik Gida 14(2): 85-91. Akissoe, N., Hounhouigan,J., Mestres, C. and Nago,M. 2003. How Blanching and Drying Affect The Colour and Functional Characteristic of Yam (Dioscorea cayanensis-rotundata) Flour. Food Chemistry 82: 257-264 Anggraini, K. 2005. Pengaruh Metode Blansing dan Pencelupan dalam Lemak Jenuh terhadap Kualitas French Fries Kentang Varietas Hertha dan Granola. Skripsi. UNSOED: Purwokerto. Anugroh, E.B. 2017. Optimasi Pemucatan (Bleaching) Minyak Hasil Samping Penepungan Ikan Lemuru (Sardinella sp.) Menggunakan Adsorben Zeolit, Bentonit, dan Arang Aktif. Skripsi. Malang : FTP, Universitas Brawijaya. AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemist. 16th (ed.). Washington D.C. AOAC, 2006. Official Methods of Analysis of The Association of analytical Chemist. 18th ed. W. Horwitz (ed.). Washington D.C Apriana, D., Basuki,E., dan Alamsyah, A. 2016 Pengaruh Suhu dan Lama Blanching Terhadap Beberapa Komponen Mutu Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L). Pro Food (Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan) Vol.2 No. 1: 94-100 Apriani, Fitri. 2013. Optimasi Formula Losio Sarang Burung Walet Putih

(Aerodramus Fuciphagus) Sebagai Pencerah Kulit Menggunakan Metode Simplex Lattice Design. Naskah Publikasi. Pontianak: Univeristas Tanjungpura

Apriyani,R.N. 2009. Mempelajari Pengaruh Ukuran Parikel dan Kadar Air Tepung

Jagung Serta Kecepatan Ulir Ekstruder Terhadap Karakteristik Snack Esktrusi. Skripsi. Bogor: IPB.

Arbianto, R. 2010. Potensi Umbi Uwi (Dioscorea Alata L.) Sebagai Pangan Alternatif yang Kaya dengan Antioksidan. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul. Arsa,M. 2016. Proses Pencoklatan (Browning Process) Pada Bahan Pangan. FMIPA UNUD: Denpasar. Asgar,A. dan D. Musaddad., 2006. Optimalisasi Cara, Suhu, dan Lama Blansing sebelum Pengeringan pada Wortel. J.Hort. 16(3): 245-252. Asgar,A. dan D. Musaddad., 2008. Pengaruh Media, Suhu, dan Lama Blansing Sebelum Pengeringan terhadap Mutu Lobak Kering. J.Hort. 18(1): 87-94. Astrini, Y.P. 2013. Optimasi Permukaan Respon Kuadratik Menggunakan Analisis Ridge. Skripsi. FMIPA UGM : Yogyakarta. Ayu, D.C. dan Yuwono, S.S. 2014. Pengauruh Suhu Blansing dan Lama Perendaman Terhadap Sifat Fisik Kimia Tepung Kimpul (Xanthosoma sagittifolium). Jur Pang Agroindustri Vol. 2 No. 2 p 110-120. Baah, D.F. 2009. Characterization of Water Yam (Dioscorea atalanta) For Exsisting and Potential Food Product. Thesis. Nigeria: Faculty of Biosciences Kwame Nkrumah University. Badan Standarisasi Nasional, 1996. Keripik Singkong. SNI 01-4305-1996. Hal : 1-4 Bas, D. and Boyaci, I.H. 2007. Modeling and Optimization I: Usability of Response Surface Methodology. J. Food Eng. 78:836-845. Bekti, Endang,K. 2010. Karakteristik Kimiawi dan Tingkan Pengembangan Pangsit dengan Subtitusi Tepung Gembili (Dioscorea esculenta). Jur TekPang Vol. 5 No. 2 Hal 99-111 Biorata, A.M. 2012. Optimasi Produksi Selulase dari Bachillus sp BPPT CC RK 2 Menggunakan Metode Respon Permukaan dengan Variasi Rasio C/N dan Waktu Fermentasi. Skipsi. FT UI: Depok. Braun,L. 2008. Wild Yam Dioscorea sp. Complementary Medicine. 7:40-42. Brownawell, A. M., dkk. 2012. Prebiotics and the Health Benefits of Fiber: Current Regulatory Status, Future Research, and Goals. J. Nutr. 142:962-974. Brunnschweller, Judith. 2004. Structure and Texture of Yam (DIoscorea spp.) and Processed Yam Products. Dissertation. Swiss Federal Institute of Technology. Zurich Bohm, J., Awad,W.A., Ghareeb, K., Nitch, S., Pasteiner, S., Raheem, S.A. 2005. Effect of Dietary Inclusion of Probiotic, Prebiotic, and Synbiotic on Intestinal Glucose Absorbtion of Broiler Chicken. International Journal of Poultry Science 7:688-691. Buxton,R. 2007. Design Expert 7. Mathematics Learning Support Centre.

Catrien., Surya, Y.S., Ertanto, T. 2008. Reaksi Maillard pada Produk Pangan. Bogor: IPB. Chaerunnisa, S. 2014. Formulasi Minuman Fungsional Instan Berbasis Pegagan (Caniella asiatica) Dengan Potensi Sebagai Antihiperurisemia. Skripsi. Bogor: IPB. Chan, Y.C. Hsu, C.K. Wang, M.F, Liao, J.W, Su, T.Y. 2006. Beneficial Effect of Yam On The Amyloid β-protein, Monoamine Oxidase B and Cognitive Deficit In Mice With Accelerated Senescence. J Sci Food Agaric 86: 1517- 1525 Chen, X. D., dan Mujumdar, A.S. 2008. Drying Technologies In Food Processing. Blackwell Publishing Ltd. United Kingdom Chou, S.T, Chiang, B.H, Chung, Y.C, Chen, P.C, Hsu, C.K. 2006. Effects of Storage Temperatures On The Antioxidative Activity and Composition of Yam. Food Chem 98: 618-623 Dewanti, F.K. dan Rahayuni,A. 2013. Substitusi Inulin Umbi Gembili (Dioscorea esculentai) Pada Produk Es Krim Sebagai Alternatif Produk Makanan Tinggi Serat dan Rendah Lemak. Journal of Nutrition College Vol. 2 No. 4. Dewati, A.D.A.R, Utami, R., Widowati, E. 2013. Kajian Penggunaan Tepung Gembili (Dioscorea esculenta) Dalam Pembuatan Minuman Sinbiotik Terhadap Total Bakteri Probiotk, Karakter Mutu, dan Karakter Sensoris. J. Tek Pang Vol. 2 No. 3. ISSN: 2302 - 0733 Djuwardi, Anton. 2009. Cassava, Solusi Pemberagaman Kemandirian Pangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Dodic, J. D. Pejin, S. Dodic, S. Pupon, J. Mastilovic, J.P. Rajic and S. Zivanovic. 2007. Effects of Hydrophillic Hydrocolloids or Dough and Bread Performance of Samples Made From Frozen Dought. J. Food Sci, 72:235- 244 Ernawati,2011. Pengembangan Produk Tahu Menjadi Tofu Chips (Kajian Jenis Bahan Baku,Suhu Penggorengan dan Biaya Produksi). Jurnal Tek.Pang. Vol. 1 No. 1 Hal. 86 Estiasih, T dan Kgs Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Felix da Silva, D., Barbosa de Souza Ferreira, S., Bruschi, M.L., Britten, M., Matumoto-Pintro, P.T. 2016. Effect of Commercial Konjac Glucomannan and KOnjac Flours on Textural, Rheological and Microstructural Properties of Low Fat Processed Chesse. Food Hydrocoll 60:308-316. Franck A., De Leenher L., and Belgium. 2005. Inulin in Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry. Steinbuchel A, Rhee SK (ed). Wiley- VCH.

Gao, M., Huam, J., Moallc, C., Ashu, G.M., CiXia,Q., Stewart,L., Njiti,V., Jamee,M., Lu,G., and Bhatnagar,D. 2014. Structure-related Properties of Sweetotato Critically Impact The Textural Quality of Fried Chips. Africal Journal of Agricultural Research Vol. 9 No.14. http://www.academicjournals.org. Diakses pada tanggal 4 Juli 2018 Ginting, M.H.S., SInaga,R.F., Hasibuan,R., dan Ginting,G., 2014. Pengaruh Variasi Temperatur Gelatinisasi Pati terhadap Sifat Kekuatan dan Pemanjangan Pada Saat Putus Bioplastik Pati Umbi Talas. ISSN: 2407- 1846. Gisca, Bernadetha. 2013. Penambahan Gembili pada Flakes Jewawut Ikan gabus Sebagai Alternatif Makanan Tambahan Anak Gizi Kurang. Skripsi program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang. Grindley, P.B.A., Omoruyi, F., Asemota, H.N., Morrison, E.Y.A. 2002. Carbohydrate Digestion and Intestinal ATPases In Streptozotocin Induced Diabetic Rats Fed Extract of Yam (Dioscorea cayenensis) or Dasheen (Colocasia esculenta). Nutr Res. 22,333-341. Ha, M.A., M.C. Jarvis and J.L. Man. 2000. A definition for Dietary Fiber. Eur J Clin Nutr. 54: 861-864. Hafsah,M.J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Haliza, W., Kailaku, S.I., dan Yuliani, S. 2012. Penggunaan Mixture Response Surface Methodology pada Optimasi Formula Brownies Berbasis Tepung Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) Sebagai Alternatif Pangan Sumber Serat. Harmayani, E., Aprilia, V., dan Marsono, Y. 2014. Characterizaiton of Glucomannan from Amorphophallus oncophyllusand its Prebiotic Activity In Vivo. Carbohydrate Polymers. 112: 475-479 Harzau, H., dan Estiasih, T. 2013. Karakteristik Cookies Umbi Inferior Uwi Putih (Kajian Proporsi Tepung Uwi: Pati Jagung dan Penambahan Margarin). J. Pangan dan Agroind 1(1): 138-147. Hawa, L.C. Dewi, S.R. Izza, N. dan Wigati, L.P. 2016. Analisa Karakteristik Fisik Chips Umbi Talas (Colocasia esculenta L) Berbasis Machine Vision (Studi Pengeringan dengan Tray Dryer). J.Rekapangan Vol. 10 No. 1 Herianto, E., Efendi, R., dan Zalfiatri, Y. Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Karakteristik Umbi Dahlia. JOM Faperta Vol. 5 No. 1 Herlina, 2010. Karakterisasi Sifat Fisik, Kimia, Dan Fungsional Bahan Pati Umbi Gembili (Dioscorea Esculenta L.) Termodifikasi Secara Ikatan Silang Dengan Natrium Tripolifosfat. Jurnal agrotek vol. 4, No. 1, 2010:60-67. Universitas jember

Herlina, 2012. Karakterisasi dan Aktivitas Hipolipodemik serta Potensi Prebiotik Polisakarida Larut Air Umbi Gemili (Dioscorea esculenta L.). Disertasi. Program Doktor Ilmu-Ilmu Pertanian. Malang : Universitas Brawijaya Hidayat, M,A, 2012. Response Surface dan Taguchi: Sebuah Alternatif atau Kompetensi dalam Optimasi Secara Praktis. Skripsi. Surabaya: Jurusan Teknik Industi, Universitas Surabaya. Hidayat, R. 2006. Pembuatan Roti Tawar (Kajian Subsitusi Tepung Tapioka dan Penambahan Gliserol Monostearat). Jurnal Teknologi Pangan. Hal : 130- 136. Holinesti, S. 2009. Studi Pemanfaatan Pigmen Brazilein Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Sebagai Pewarna Alami Serta Stabilitasnya pada Model Pangan. J. Pendidikan dan Keluarga UNP, 1(2):11-21 Hou, W.C, Lee, M.H, Chen, H.J, Liang, W.L, Han, C.H, Liu, Y.W, Lin, Y.H. 2001. Antioxidant Activites of Dioscorin, The Storage Protein of Yam (Dioscorea batatas Decne) Tuber. J Agric Food Chem 49: 4956 – 4960 Indrastuti,E., Harijono., dan Susilo,B. 2012. Karakteristik Tepung Uwi Ungu (Dioscorea alata L.) Yang Direndam dan Dikeringkan Sebagai Bahan Edible Paper. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 13 No.3: 169-176. Indrayani, 2012. Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih (Curcuma zedoaria Berg. Rose). Skripsi. FP UNHAS: Makassar Jading,A., Tethcol,E., Payung,P., dan Gultom,S. 2011. Karakteristik Fisikokimia Pati Sagu Hasil Pengeringan Secara Fluidasi Menggunakan Alat Pengering Cross Flow Fluidized Bed Bertenaga Surya dan Biomasa. Reaktor 13(3):155-164 Jaleel, C.A., Gopi, R., Manivannan, P., Kishorekumar, A., Gomathinayagam, M., Panneerselvam, R. 2007. Changes in biochemical constituents and induction of early sprouting by triadimefon treatment in white yam (Dioscorea rotundata Poir.) tubers during storage. J Zhejiang Univ Sci. B 8, 283- 288. Jaleel, C.A, Panneerselvam, R. 2008. Starch and Sugar Conversion In Dioscorea esculenta Tubers and Curcuma longa Rhizome During Storage. J.Env.Sci.Vol. 6 No. 2 pp. 151-160. Juliano, B. O. 1985. Rice: Chemistry and Technology. 2nd Edition. Cereal Chemistry, USA. Kasno,A., Saleh, N., dan Ginting, E. 2006. Pengembangan Pangan Berbasis Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Guna Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Buletin Palawija 12:43-51. Kazemi, D., Jafararpoor, M., and Golparvar, A. 2013. Effects of Sodium and Calcium Treatments on The Shelf Life and Quality of Pomegranate. Int J. Farm Alli Sci. 2(26): 1375-1378

Kaur, N. and Gupta A.K. 2002. Applications of Inulin and Oligofructose in Health and Nutrition. J. Biosci 27: 703–714 Keithley, J.K., Swanson,B., Mikolaitis, S.L., DeMeo, M., Zeller, J.M., Fogg, L., and Adamji, J. 2013. Safety and Efficacy of Glucomannan for Weight Loss in Overweight and Moderately Obese Adults. J Obes 2013:610908. Kertanegara, I.M.F., Kencana, D. P.K., dan Arda,G., 2014. Pengaruh Suhu dan Waktu Blanching terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Produk Rebung Bambu Tabah Kering (Gigantochloa nigrociliata (Buese) Kurz). Jurnal BETA (Biosistem dan Teknik Pertanian) (S.1) Vol. 2 No. 1 Keshani, S.A.L., Chuah, M.M.N., Russly, A.R., and Jamilah, B. 2010. Optimization of Concentration Process on Pomelo Fruit Juice Using Simplex Lattice Design, International Food Research Journal, Vol. 17. Page: 733-742. Khuri. A.I. dan Mukhopadhyay. S. 2010. Response Surface Methodology. Wiley Interdisciplinay Reviews: Computational Statistics. 2(2): 128-149 Kusdibyo., dan Asandhi, A.A. 2004. Waktu Panen dan Penyimpanan Pasca Panen Untuk Mempertahankan Mutu Umbi Kentang Olahan. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 11(1): 51-62 Kusumawati, D. D., Amanto, B. S., dan Muhammad, D. R. A. 2012. Pengaruh perlakuan pendahuluan dan suhu pengeringan terhadap sifat fisik, kimia dan sensori tepung biji nangka (Artocarpus heterophyllus). Jurnal Teknologi Pangan. 1 (1) : 41-48. Kierstan, M. P. J. 1989. Biotechnology and Bioengineering 20: 447-450. New York (USA): John Wiley&sons. Ko YH, Lin KW, Hsu JY Chu JJ. .2007.Dioscorin Protects Tight Junction Protein Expression in A549 Human Airway Epithelium Cells from Dust Mite Damage. Journal Microbial Immunol Infect. 2009;42: 457-463. Iriawan, D. dan Astuti, S. P. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14, Yogyakarta: Penerbit Andi. Langlands, J.T.C., Paula, M,. Fernanda, E., X, Murr. dan Park, K.J. (2004). Study of The Inulin Concentration by Physical Methods. Procedings of The International Drying Symposium (IDS 2004) vol B, pp, 868-875. Leon, K.D., dan Pedreschi,F., 2005. Color Measurement In L*a*b* Units From RGB Digital Images. Publication in Journal of Food Eng Vol. 1 Page 1-23. Levine, H., dan Finley, W.J., 2018. Texture. Chapter 8: Book Publication Springer International Publishing AG Liu Y.W., Shang, H.F., Wang, C.K., Hsu,F.L. and Hou,W.C. 2007. Immunomodulatory Activity of Dioscorin, The Storage Protein of Yam (Dioscore alata cv Tainong No1) Tuber.Food Chem.Toxicol.45:2312- 2318.

Liu YM, Lin KW. (2009)Antioxidative Ability, Dioscorin stability, and the Quality of Yam Chips from Various Yam Species as Affected by Processing Method.Journal of Food Science 74 pp:118-125. Maliaentika,S., Yuwono,S.S., dan Wijayanti,N. 2016. Optimasi Penurunan Kadar Air Madu Metode Adsorption Drying dengan Response Surface Methodology (RSM). Jur Pang dan Agroindustri Vol. 4 No. 2 : 505-514. Ma’aruf, Y., Efri, D., Khairul., dan Azhar,M. 2011. Penentuan Kadar RBB pada Senyawa Inulin-RBB Secara HPLC. Jur Ris Kim Vol. 4 No.2 Mar’atirrosyidah,R. dan T. Estiasih., 2015. Aktivitas Antioksidan Senyawa Bioaktif Umbi-Umbian Lokal Inferior : Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No. 2 p.594-601. Megawati, L.S. 2013. Karakter Fisiologi dan Biokimia Umbi Kimpul Putih (Xanthosoma sagittifolium L.) dan Kimpul Hitam (Xanthosoma nigrum Vell.) Pada Suhu Penyimpanan yang Berbeda. Skripsi. Surakarta: Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. UNS Mensink, M.A., Frijlink, W.H., Maarschalk, K.V.D.V., and Hinrichs, W.L.J. 2015. Inulin, A Flexible Oligosaccharide I: Review of Its Physicochemical Characteristics. Carbohydrate Polymers Vol. 130 page 405-419. Http://www.sciencedirect.com. Diakses Pada Tanggal 8 Juli 2018. Montgomery,D.C. 2002. Introduction to Statistical Quality Control 4th Edition, John Wiley & Sons (Asia) Pte. Ltd., Singapore Mushollaeni,W. dan Wirawan., 2008. Optimasi Lama Blanching Pengolahan Selai Kacang Tanah Metode Regresi Kuadratik. Buana Sains Vol.1: 73-80.

Muchtadi, T. R., dan Ayustaningwarno, F., 2010, Teknologi Proses Pengolahan Pangan, Alfabeta, Bandung.

Mujumdar, A.S. 2006. Handbook of Industrial Drying 3rd Edition. Singapura: Taylor & Francis Group, LLC. Mustofa, H.M., Al-Arifa, N.S., dan Subejo. 5 Pilar Kedaulatan Pangan Nusantara. Yogyakarta: UGM PRESS. Nattapulwat, N. Purkkao, N. dan Suwithayapanth, O. 2008. Evaluation of Native and Carboxymethyl Yam (Dioscorea esculenta) Starches as Tablet Disintegrants. Silpakom U Science & Tech J. 2 No. 2: 18-25. Nelson, N. 1944. A Photometric Adaption of The Somogyi Method For The

Determination of Glucos. J Biol Chem. 153: 375-380. Ningsih, B. 2017. Optimasi Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak dalam

Pembuatan Bioetanol dari Batang Kelapa Sawit dengan Metode Respon Permukaan. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung

Nurfitasari, L., Sumarlan, S. H., dan Yulianingsih, R. 2015. Pengaruh waktu blanching dan konsentrasi larutan metabisulfit terhadap karakter fisik dan kimia stik uwi putih (Dioscorea alata). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis. 3 (2): 39-46. Nurmiah, S., Syarief, R., Sukarno, Peranginangin, R., dan Nurtama, B. 2013. Aplikasi Response Surface Methodology Pada Optimalisasi Kondisi Proses Pengolahan Alkali Treated Cottonii (ATC). JPB Kelautan dan Perikanan. Vol. 8 No. 1 hal : 9-22 Nugraheni, M. 2014. Peran Makanan Bagi Manusia. Http://www.staff.uny.ac.id. Diakses Pada Tanggal 3 November 2017. Nuryanti. dan Salimy,D.H. 2008. Metode Permukaan Respon dan Aplikasinya Pada Optimasi Eksperimen Kimia. Lokakarya Komputasi dalam Sains dan Teknologi Nuklir (373-391).

Oktaviani,A.L. 2011. Studi Optimalisasi Pre-Treatment Blanching dan Metode Pembekuan Pada Brokoli (Brassica oleracea L. var. Italica). Skripsi. FP Universitas Katolik Soegijapranata: Semarang

Okwu, D.E. and C.U. Ndu. 2006. Evaluation of The Phytonutrients, Mineral and Vitamin Contents of Some Varieties of Yam (Dioscorea sp.). International Journal of Molecular Medicine and Advance Science, 2: 199-203.

Olayemi, J.O., and Ajaiyeoba, E.O. 2007. Anti-Inflamatory Studies of Yam (Dioscorea esculenta) Extract on Wistar Rats. J. Biotech Vol. 6 No. 1684- 5315: 1913-115. University of Ibadan : Africa.

Ongkowijoyo, S. Mulyana, J. Mulyono, J. 2016. Penentuan Parameter Setting Mesin Pada Proses Corrugating. Media Teknika Jurnal Teknologi Vol. 11 No.1.

Pakatong, D. W. R., Lestari, C., dan Mastuti, T.S. 2014. Pemanfaat Pati Gembili (Dioscorea esculenta Lour Burkill) Dengan Penambahan Plasticizer Sebagai Edible Coating Pada Stroberi (Fragaria ananassa). Prosiding SNST ke-5. Semarang: Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim.

Panneerselva,. E., Jaleel, A., Somasundaram, C., Sridharan, R., and Gomathinayagam, R. M. 2007. Carbohydrate Metabolism in Dioscorea esculenta (Lour.) Burk. Tubers and Curcuma Llonga L. rhizomes During Two Phases of Dormancy. Colloids Durf B Biointerfaces 59(1):59-66

Parry, J.M. 2009. Food Stabilizers, Thickeners, and Gelling Agents Chapter 11: Konjac Glucomannan. United Kingdom: A John Willey & Sons, Ltd., pp 198-216.

Pedreschi,F., and Moyano,P. 2005. Effect of Pre-drying On Texture and Oil Uptake of Potato Chips. LWT Food Science and Technology Vol. 38. Perdana,D.S. dan Muchsiri,M. 2014. Pengaruh Waktu Blanching dan Suhu Pengeringan Pada Pembuatan Tepung Bekatul. ISSN 2301-4199

Polycarp D., Afoakwa E. O., Budu A. S., and Otoo E.. 2012. Characterization of

chemical composition and anti‐nutritional factors in seven species within the Ghanaian yam (Dioscorea) germplasm. Int. Food Res. J. 19:985–992. Polnaya, F.J., Breemer,R., Augustyn, G.H., Helen, C.D., dan Tuhumury. Karakterstik Sifat-Sifat Fisiko Kimia Pati Ubi Jalar, Ubi Kayu, Keladi, dan Sagu. Jur. Agrinimal Vol. 5 No. 1 Hal 37-42. Pompei, A.,L.Cordisco, S. Raimondi, A. Amaretti, dan U.M. Pagnoni. 2008. In vitro comparation of the prebiotic effect of two inulin-type fruktans. Aerobe 14: 280-286. Prabasini, H., Ishartani, D., dan muhammad D.R.A. 2013. Kajian Sifat Kimia dan Fisik Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata) Dengan Perlakuan Blanching dan Perenaman Dalam Natrium Metabisulfit (na2S2O5). Jurnal Teknosoins Pangan. Vol. 2 No. 2 Prabowo,A.Y. 2013. Karakteristik Fisiko Kimia, Bioaktif, dan Organoleptik Mie Berbasis Tepung Gembili (Dioscorea esculenta L.). Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya Prabowo,A.Y, Estiasih. T, dan Purwantiningrum, I. 2014 Umbi Gembili (Dioscorea esculenta L.) Sebagai Bahan Pangan Mengandung Senyawa Bioaktif : Kajian Pustakka. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.2 No.3 p. 129-135 Prameswari, R.D dan Estiasih, T. 2013. Pemanfaatan Tepung Gembili (Dioscorea esculenta L.) Dalam Pembuatan Cookies. Jur Pang dan Agroindustri Vol. 1 No. 1 p. 115-128. Pratiwi, T., Affandi, D.R., Manuhara, G.R., 2016. Aplikasi Tepung Gembili (Dioscorea esculenta) Sebagai Subtitusi Tepung Terigu Pada Filler Nugget Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Jur TekPang Vol. IX No. 1. Puspasari, F. M.2012 Pemanfaatan Tepung Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) Terfermentasi sebagai Bahan Baku pembuatan Beras Tiruan (Kajian Proporsi Tepung Kimpul Terfermentasi : Tepung Mocaf). Skripsi THP FTP UB. Malang Putri,A.R. 2012. Pengaruh Kadar Air Terhadap Tekstur dan Warna Keripik Pisang Kepok (Musa parasidiaca formatypica). Skripsi. Makassar: UNHAS. Rachman, A.B. 2014. Tingkat Penggunakan Presentase Pati Gembili (Dioscorea esculenta L.) Pada Sifat Fisik dan Akseptabilitas Nugget Ayam. Prosiding Seminar Nasional.Yogyakarta: UGM. Raissi,S., R.E. Farzani,2009. Statistical Process Optimization Through Multi- Response Surface Methodology, World Academy of Science, Engineering and Technology, hal. 267–271

Rakhmi, I.N. 2013. Optimasi Tingkat Hidrolisis Enzimatik Minyak Ikan untuk Produksi Omega-3 Dengan Metode Respon Permukaan. Skripsi. Bogor : IPB Rakhmita, I.S., Harijono., Estiasih,T., Sunarharum, W.B., 2010. Karakteristik Kimia Ekstrak Polisakarida Larut Air dari Umbi Gembili (Dioscorea esculenta) yang Ditunaskan. Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Ramadhani,R.A., Riyadi,D.H.S., Triwibowo,B., dan Kusumaningtyas,R.D. 2017. Review Pemanfaatan Design Expert untuk Optimasi Komposisi Campuran Minyak Nabati sebagai Bahan Baku Sintesis Biodiesel. J.Tek.Kim.Ling vol. 1(1): 11-16. Raju, J. and R. Mehta. 2009. Cancer Chemopreventive And Therapeutic Effects Of Diosgenin, A Food Saponin. Nutr Cancer, 61(1): 27-35 Rasooli, I. 2012. Bioactive Compound in Phytomedicine. 126, InTech, Kroasia. Rauf., W dan M. S. Lestari. 2009. Pemanfaatan komoditas pangan lokal sebagai sumber pangan alternatif di Papua. Balai pengkajian teknologi pertanian papua Richana,N. 2012. Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Bandung : Nuansa Cendikiawan Richana, N dan T.C Sunarti. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan Tepung Pati Dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi kelapa dan Gembili. Jurnal Pascapanen 1(1) 2004: 29-37 Rimbawan, dan Nurbayani, R. 2013. Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Gembili (Discorea esculenta). Jurnal Gizi dan Pangan. 8(2): 145-150. Roberfroid, M.B. (2005). Introducing inulin-type fructans”. British Journal. British journal of nutrition 93: Suppl. 1,S13- S15. Rosa,N. 2010. Pengaruh Penambahan Umbi Garut (Maranta arumdinasceae L.) Dalam Bentuk Tepung dan Pati Sebagai Probiotik Pada Yoghurt Sebagai Produk Sinbiotik Terhadap Daya Hambat Bakteri Escherichia coli. Skripsi. Semarang: UNDIP. Saputro, P. S., & Estiasih, T. 2015. Pengaruh Polisakarida Larut Air (PLA) dan Serat Pangan Umbi-umbian Terhadap Glukosa Darah : Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri , 756-762. Saputro, E.A., Lefiyanti, O., Mastuti, E. 2014. Pemurnian Tepung Glukomanan Dari Umbi Porang (Amorphophallus muelleri Blume) Menggunakan Proses Ekstraksi/Leaching Dengan Larutan Etanol. Simposium Nasional RAPI XIII. ISSN 1412-9612. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Scher, F.C., Brandell, A., and Norena, C.Z. 2015. Yacon Inulin Leaching During Hot Water Blanching. Ciểnc Agrotec Lavras vol. 39 No, 5 p: 523-529

Sener,A., and ὒnal, M.U. 2015. Extraction and Characterization of Pectin Methylesterase From Alyanak Apricot (prunus armeniaca L). J Food Sci Technol 52(2) :1194-1199 Setyaningsih, E. 2010. Penghambatan Reaksi Pencoklatan Enzimatis dan Non Enzimatis Pada Pembuatan Tepung Kentang. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB Setyawan, A.D, Sugiyarto, Solichatun, Susilowati,A. 2013. Review: Physical, Physical Chemistries, Chemical and Sensorial Characteristics of The Several Fruits and Vegetables Chips Produced by Low-Temperatue of Vacuum Frying Machine. Nusantara Bioscience Vol. 5 No. 2 pp 86 – 103 Shabbiri,K., Adnan,A., Jamil,S., Ahmad,W., Noor,B., and Rafique,W. 2012. Medium Optimization of Protease Production by Brevibacterium linens DSM 20158 Using Statistical Approach. Braz J Microbiol 1051-1061. 43(3) Published Online. http://ncbi.nlm.nih.gov. Diakses Pada Tanggal 12 Mei 2016. Shajeela, P. S., Mohan, V. R., Jesudas, L. L., and Soris, P. T. 2011. Nutritional and Antinutritional Evaluation of Wild Yam (Dioscorea spp.) Tropical and Subtropical Agroecosystems 14: 723-730 Sucitra, N. Mas’udah, S. Putri, W.D.R. 2017. Efek Perendaman dengan CaCl2 Dan Lama Blansing Terhadap Karakteristik Kimia, Fisik, Dan Sensori Chip Uwi Putih (Dioscorea alata L.). Prosiding Seminar Nasional FKPT- TPI. Kendari Sandjaja,A. 2009 Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. Subangkit,N. 2012. Optimasi Penggunaan Tepung Komposit Jagung dan Ubi Jalar Dalam Pembuatan Kukis. Skripsi. Bogor: IPB Suhardi, 2002. Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Penerbit KANISUS. Sukhija, S., Singh, S., and Riar, C.S. 2016. Isolation of Starches From Different Tubers and Study of Their Physicochemical, Thermlal, Rheologyclal and Morphological Characteristics. Starch : Biosynthesis, Nutrition, and Biomedical, Vol. 68 (1-2): 160-168 Susilowati,A., Lotulung, P.D., Iskandar, Y.M., Aspiyanto., Melanie,H., dan Maryati,Y. 2015. Perbedaan Karakteristik Oligofruktosa dan Komposisi Serat Inulin Hasil Hidrolisis dan Tanpa Hidrolisis Enzim Inulinase Acremonium sp-Cbs3 dari Umbi Dahlia Merah (Dahlia sp.L) Lokal untuk Anti Kolesterol. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 4(4). Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Sumunar,S.R. dan Estiasih,T. 2015. Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Sebagai Bahan Pangan Mengandung Senyawa Bioaktif : Kajian Pustaka. Jur Pang dan Agroindustri Vol. 3 No. 1 p 108-112

Suprapto. 2004. Pengaruh Lama Blanching Terhadap Kualitas Stik Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) dari tiga varietas. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 220-228. Surrianingsih,R. 2017. Aplikasi Central Composite Design Dalam Optimasi Permesinan Magnesium AZ31. Skripsi. FT UNILA: Lampung Suwita, I.K., Harijono, Estiasih, T., dan Sunarharum, W. B.,. 2012. Efek Hipoglikemik Polisakarida Larut Air Gembili (Dioscorea esculenta) yang Diekstrak dengan Berbagai Metode. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Syarif,R., Wahyudi, Nurtama,B., Widowati,S. 2012. Optimization of Extrusion Products Macaroni Snack From Breadfruit (Artocarpus altilis) Flour With Mixture Design Method. Bogor: IPB Tárrega A., Torres J.D., Costell E. 2011. Influence of the chain-length distribution of inulin on the rheology and microstructure of prebiotic dairy desserts. Journal of Food Engineering. Elsevier; ; 356– 363. Toneli, J.T.C.L., K.J. Park, J.R.P. Ramalho, F.E.X. Murr dan I.M.D. Fabbro. 2008. Rheological characterization of chicory root (Cichorium intybus L.) inulin solution. Brazilian Journal of Chemical Engineering 25: 461-471. [USDA] United States Department of Agriculture, 2018. Cassava Chips, UPC: 071123001830. United State Department of Agriculture, United State. Vega, W.R., Cortez, Prado, A.M.B., Soares, J.M., dan Fonseca, G.G., 2008. Effect of LAscorbic Acid and Sodium Metabisulfite in the Inhibition of the Enzymatic Browning of Minimally Processed Apple. International Journal of Agricultural Research 3: 196-201. Waziiroh, E., dan Istianah, N. 2016. Gluten Free Biscuit Made of Sweet Potato Puree (Ipomea batatas L.) for Autistic Disorder. Jur TekPang Vol. 17 No. 2 Widowati, S., Santosa, B.A.S., Sunarti, T.C., and Zaharani, A. 2005. Characterization of Inulin from Some Dahlia (Dahlia pinnata) Tuber. In Proceeding of The 9th ASEAN Food Conference. Jakarta : LIPI Press; Pp 1606-1621. Winarti, S., Harmayani, E. dan Nurismanto, R. 2011 . Karakteristik dan profil inulin beberapa jenis uwi (Dioscorea spp.). AGRITECH 31:4,378-383. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Wisono,P.S. 2016. Karakterisasi Beras Tiruan Berbasis Tepung Gembili (Dioscorea esculenta L) (Kajian Proporsi Tepung Gembili : Tepung Beras dan Konsentrasi Alginat). Thesis. Universitas Brawijaya.

Wu. M. Sing H. Wang S.. dan Xu S. 2006. Optimizing Condition for the Purification of Linoleic Acid from Sunflower Oil by Urea Complex Fractionation. Journal Am Oil Chem 85: 677-684 Wu, W.T., Yang, L.C., and Chen, H. L. 2014. Effects of Konjac Glucomannan , Inulin, and Cellulose on Acute Colonic Response to Genotoxic Azoxymethane. Food Chemistry 155: 304-310. Wulandari,C. 2016. Pengaruh Asam Sitrat Terhadap Indeks Browning, Kandungan Karbohidrat Terlarut Total, dan Aktifitas Enzim Dehidrogenase Pada Buah Pir Vali (Pyrus bretschneideri Rehd.) Skripsi. FMIPA UNILA : Lampung Yang,D., Yuan, Yi., Wang, L., Wang, X., Mu, R., Pang, J., Xiao, J., and Zheng, Y. 2017. A review on Konjac Glucomannan Gels: Microstructure and Application. Int. J. Mol. Sci. 18: 2250. Yuniar, P.D. 2010. Karakteristik Beberapa Umbi Uwi (Dioscorea spp.) dan Kajian Potensi Kadar Inulinnya. Skripsi. Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Indusri, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Yuwono, S.S., dan Susanto, T. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Malang : Universitas Brawijaya Yofananda,O. dan Estiasih,T. 2016. Potensi Senyawa Bioakif Umbi-Umbian Lokal Sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah: Kajia Pustaka. Jur Pang dan Agroindustri Vol. 4 No. 1 p 410-416