melayu dan raja nya
TRANSCRIPT
English Version | Bahasa Indonesia
Beranda Tentang Kami Hubungi Kami Komentar Donasi Iklan Asosiasi Kerajaan Peta Situs
Kesultanan Serdang
Sejarah Kerajaan
Tentang Raja
Istana / Keraton
Koleksi
Acara & Upacara
Beranda » Asia » Indonesia » Kesultanan Serdang » Artikel
Adat Kontrak Sosial Antara Raja Dan Rakyat Kesultanan Serdang03 Januari 2011 06:32
Oleh Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH
Pendahuluan
I. Masuknya Islam di Pantai Timur Sumatera
Di pesisir timur Sumatera menghadap Selat Melaka telah ada di
samping Pasai (Samudera), juga Kerajaan Temiang, Haru, dan Panai
yang beragama Hindu/Budha takluk ke Malayu (Jambi) dan Sriwijaya
(Palembang). Terkenal kontrak sosial antara raja dan rakyat di
Bukit Siguntang antara Sang Sapurba dengan Demang Lebar Daun jadi
Mangkubumi bahwa anak cucunya tidak akan berkhianat pada Sang
Sapurba dan turunannya selagi Sang Sapurba atau turunannya tidak
memberi malu mereka. Lihat “Sejarah Melayu”. Ini adalah hubungan
yang sakral.
Menurut Hikayat Raja-raja Pasai, rombongan Nakhoda Ismail dan Fakir
Muhammad (dari Malabar dan Medina) mengIslamkan Pasai/Samudera
(Raja Merah Silau) dan sekaligus juga Haru. Merah Silau itulah
menjadi Sultan Malik As Saleh. Petualang Italia bernama Marco
Polo ketika pulang dari China ke Eropah berlayar sempat singgah
di Pasai ini bertemu dengan Sultan Malik as Saleh. Di Pasai
sekarang masih ada batu nisan Sultan Malik as Saleh yang indah
bertarikh 1297 M. Masa pemerintahan Kaisar China Kublai Khan,
Kerajaan Haru sudah mengirim misi ke China di tahun 1282 M dan
dipimpin oleh orang yang beragama Islam.
Kerajaan Haru yang didirikan etnis Karo itu, sudah menjadi
Kerajaan Melayu Islam, pada abad ke-15 M sudah menguasai Temiang
dan Panai, dan menjadi Kerajaan Islam yang setarap dengan Pasai
dan Melaka menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka.
Kerajaan-kerajaan Islam tadi dikunjungi oleh para pedagang China
yang armadanya dikepalai oleh Laksemana Cheng Ho/Zeng He
(beragama Islam) selama era abad ke-15 itu. Perdagangan rempah
(terutama lada) yang menjadi komoditas penting di samping emas
yang membuat sering terjadi peperangan di antara Pasai-Haru-
Melaka sampai pada pertengahan abad ke-16 M.
II. Konflik Imperium Melayu Johor/Riau dengan Imperium Aceh
Di ujung barat pulau Sumatera berdiri Kerajaan Lamuri (Lamri)
sejak zaman Hindu di abad ke-12 M. Berseberangan dengan Sungai
Aceh yang membelah kerajaan itu, berdiri 2 kerajaan kecil yaitu
Darul Kamal dan Mahkota Alam saling berebut pengaruh. Dalam tahun
1521 M, Sultan Ali Mughayat Shah bilad Mahkota Alam berhasil
mempersatukan semua kerajaan kecil-kecil yang ada di Aceh seperti
Perlak, Pidie, Pasai. Di zaman pemerintahan puteranya, Sultan
Alaiddin Riayat Shah
(1537-1568 M), Kerajaan Aceh telah menyerang dan menaklukkan
Kerajaan Haru dalam suatu peperangan dahsyat selama 7 hari dan
menguasai ibukota Deli Tua (1539 M).
Masa itulah terbit hikayat yang terkenal: Puteri Hijau. Masa itu
Haru berbaikan dengan Portugis di Melaka dan Kerajaan Johor-Riau,
terutama setelah Sultan Husin Shah dari Haru kawin dengan Puteri
Sultan Mahmud Shah Melaka, bernama Tun Putih (1520 M). Memang
baik Portugis di Melaka maupun Imperium Melayu Johor-Riau
mendapat serangan dari Aceh. Ketika mengantar Puteri Tun Putih ke
Haru, ribuan pengiring orang Melayu Melaka dan Johor berdiam di
Haru itu sehingga sejak 1520 M itu adat dan kebudayaan Melayu
Melaka/Johor-Riau sudah berkembang sehingga penduduk Batak di
pedalaman pegunungan Bukit Barisan sebahagian sudah “masuk
Melayu” (Islam dan berbudaya bilateral Melayu).Sejak berkali-kali
penyerangan Aceh itu, yang membakar semua tanaman lada dan rempah
dan yang mengangkut penduduk kerja paksa ke Aceh, membuat bekas
wilayah Haru (pesisir Sumatera Timur) lengang dan menjadi sarang
perompak laut.
III. Lahirnya Kerajaan-kerajaan Islam Melayu di Pesisir Sumatera
Timur
Dengan hancurnya Kerajaan Haru, maka pada awal abad ke-17 M
berdirilah berbagai Kerajaan-kerajaan Melayu Islam di muara-muara
sungai yang besar di pesisir timur Sumatera, seperti : Temiang,
Langkat, Deli, Serdang, Batubara, dan Asahan. Untuk melawan
pengaruh Portugis dari Melaka dan untuk mengadakan pengembangan
Islam bagi penduduk di pedalaman, maka Sultan Iskandar Muda dari
Aceh mengirimkan berbagai ekspedisi militer untuk menaklukkan
Johor, Pahang, Kedah, Bengkulu, Riau dan mengepung benteng A.
Famosa Portugis di Melaka.
Salah seorang Panglima Angkatan Perang Aceh yang perkasa,
berpangkat Laksamana Kuda Bintan, ditugaskan menjadi Wakil Sultan
Aceh untuk bekas wilayah Haru berkedudukan di Deli. Baginda
berasal dari keturunan Mani Purindam dari Deli Akbar yang
neneknya pernah menjadi Bendahara Pasai, lalu mengabdi sebagai
Panglima utama dari Sultan Iskandar Muda Aceh (1636 M), dikenal
sebagai Tuanku Gocah Pahlawan.
Oleh empat Raja Urung Batak Karo (Sunggal, XII Kuta, Sukapiring,
dan Senembah), Baginda diangkat menjadi Raja, ketika Sultan
Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani mangkat, dan Aceh
diperintah oleh Raja Perempuan. Di zaman pemerintahan puteranya,
Tuanku Panglima Perunggit (1699 M), diproklamirkanlah kemerdekaan
Deli lepas dari Aceh. Di zaman pemerintahan puteranya, Tuanku
Panglima Paderap, Aceh kembali berkuasa.
Tuanku Panglima Paderap mempunyai 4 orang putera yaitu : Tuanku
Metar, Pasutan, Kejeruan Santun (Wahidin) dan dari putera
Permaisuri (Tuanku Puan Sampali) lahir Tuanku Umar (Baginda
Junjungan). Ketika Tuanku Panglima Paderap mangkat terjadilah
konflik siapa pengganti. Tuanku Metar di Mabar menderita cacat
fisik sehingga tidak terpilih. Kemudian di antara 4 Orang Besar
(Datuk Berempat) terjadi pula perselisihan. Datuk XII Kuta dan
Sukapiring memilih Tuanku Pasutan, sedangkan Senembah dan Sunggal
memilih Tuanku Umar karena bayi yang masih kecil ini adalah
putera Permaisuri (Gahara).
IV. Kasus Membangkitkan Kesultanan Serdang, Lahirnya Kerajaan
Serdang (1723 M)
Dua orang Datuk Urung yaitu Urung Sunggal Merga Surbakti dan
Urung Senembah merga Barus beserta Raja Tanjong Morawa dari Merga
Saragih (Batak Timur) dan utusan Aceh yaitu Uleebalang Lumu,
segera membawa Tuanku Umar beserta ibundanya Permaisuri Puan
Sampali ke muara sungai Serdang dan merajakan Tuanku Umar sebagai
Sultan Serdang yang pertama (1723 M). Mereka membawa Sarakata
dengan Cap Sikureung dari Sultan Aceh untuk pesan penobatan
Tuanku Umar yaitu sebagai berikut:
“Memerintah Negeri Serdang dengan peringgannya, yang termadzkur,
dan menghukumkan atas sekalian rakyatnya, dan mengambil wadsil,
dan adat serta derajat, seperti yang kanun oleh paduka mahkota
alam Iskandar muda, dan hendaklah menjunjungkan yang titah Allah,
dan sabda Rasul dan menyarankan sekalian Raja-raja dan
menyarankan kami, serta menjauhkan larangannya Liqaulihi Ta’ala
Amarabil ma’rufi, wanaha’anilmunkari, dan lagi firmanNya ‘athiaulaha wa’athi
aul Rasuli wa’ulul amriminkum, dan hendaklah memeliharakan segala hamba
Allah, jangan teraniaya, dan mencurahkan sekalian rakyat pada
perintah jalan syariah dini Muhammadin, karena firman Allah Ta’ala
wa’aqimursalata wa’atuzakata watsumu ramdhana watahiyul baita kanistatha illahi
sabila, lagi pula hendaklah dikuatkan atas sekalian rakyat
sembahyang Jum’at pada tiap-tiap mesjid dan sembahyang berjamaah
pada tiap-tiap waktu adanya. Waba’dahu apabila memutuskan barang
diperhukuman hendaklah dengan mau dengan periksanya sehabis-habis
ijtihad, karena firman Allah Ta’ala Innallaha ja’murukum bil’adil walihsin,
dan lagi firmanNya, fahkum bainakum bima anzalallahu walatattabi’ilhawa,
dan lagi firmanNya yaadauda tahakamta binan nasi antahkumabil adli fihadizil
kudsi, sebagai lagi wilayah nikah, fasah, fitrah anak yatim dan
menerima harta baitalmal yang dalam daerah segala peringgannya.
Maka barang siapa yang berkehendak kamu sekalian datanglah kepada
kami.” Raja itu adalah zillullah fi’l alam.
Setelah dibacakan oleh utusan Aceh itu, dipukullah gendang dan
naubat. Maka oleh Raja Urung Senembah dinyatakanlah bahwa:
“Ada Raja Adat Berdiri, Tiada Raja Adat Mati.”
“Raja Adil Raja Disembah, Raja Zalim Raja Disanggah”.
(Tidak durhaka tetapi, negeri ditinggalkan seperti di dalam
hikayat lama, negeri itu akan lengang ibarat disambar
garuda. Raja akan kehilangan daulatnya, menjadi miskin dan
turunlah derajatnya).
Oleh Kadhi Malikul Adil berbicara:
Di dalam Surat an-Nisa’ Ayat 59 diterakan:
Wahai orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada Rasulullah dan kepada Ulil Amri (orang yang berkuasa) dari kalangan
kamu!
Dari Anas ibn Malik r.a. bahwa Nabi bersabda:
Dengar oleh kamu kata raja kamu dan ikut oleh kamu akan dia, jikalau ada ia
sahaya yang Habshi sekalipun!
Dari Sheikh Abdullah dalam “Bayan al Asma”:
Raja itu ibarat zat, dan menteri itu ibarat sifat. Maka zat dan sifat itu tiada ia
bercerai keduanya.
Dari kitab “Bustanussalatin” (III):
Barangsiapa mati itu dan tiada diketahuinya dan tiada dikenalnya akan raja
pada masanya itu maka ia akan mati dengan kematiannya yang durhaka![i]
Maka oleh Raja Urung Sunggal (Serbanyaman) dinyatakanlah petuah:
Dua sifat penting yang harus dimiliki oleh raja yakni sifat pemurah (kepada rakyat) dan
berani. Sifat pemurah syarat penting kepada raja yang ingin melaksanakan keadilan.
Keadilan jalan menuju taqwa. Raja ibarat kayu besar di tengah padang. Akarnya ialah
rakyat, batangnya ialah Orang Besar, tempat berteduh di hari hujan tempat bernaung
di hari panas. Akarnya tempat duduk, batangnya tempat bersandar.
Setelah berbagai ucapan taat setia yang tiada berubah dari utusan
penghulu adat di kampung-kampung, maka diserukanlah 3x dipimpin
oleh Raja Urung Sunggal: “Daulat Tuanku!” (Daulat hanya ada pada
diri Raja). Sejak itu terjalinlah suasana harmonisasi diantara
Sultan dan rakyat Serdang. Dikenang oleh cerita rakyat akan
Tuanku Umar Baginda Junjungan itu sebagai: “Raja yang memegang
adat yang kanun adat pusaka turun-temurun adil, arif, bijak
bersusun, pandai meneliti zaman beralun.” Masa pemerintahan
Tuanku Umar Baginda Junjungan dipenuhi dengan pembangunan
kampung-kampung di sepanjang arah ke hulu sungai Serdang dan
Sungai Ular dan Denai. Pada tahun 1787 M, Baginda mangkat
digantikan puteranya Tuanku Sultan Johan Alamshah.
Masa Pemerintahan Sultan Johan Alamshah (1787 M-1817 M)[ii]
Pada masa ini, Kerajaan Serdang sudah merdeka penuh. Senembah,
Tg. Morawa, Negeri Denai, Negeri Perbaungan, Negeri Percut,
berada di bawah kedaulatan Baginda. Usaha baginda selanjutnya
ialah melebarkan kekuasaan ke Tanah Batak sambil membawa agama
Islam dan kebudayaan Melayu (masuk Melayu). Oleh sebab itu, di
Serdang yang menjadi Melayu tidak lagi terikat kepada faktor
genealogis (keturunan hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh
faktor kultural (budaya Melayu) yang sama yaitu beragama Islam,
berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan pengakuan sebagai
orang Melayu dengan ikatan kekeluargaan.
Parental.
Baginda menerbitkan Motto Serdang: Al Wasiku Billah (berpegang pada
tali Allah dan jangan bercerai berai), Surah Al-Imran; 102.
Baginda Sultan Johan Alamshah mangkat ditahun 1817 M. Putera
baginda yang tertua, Tengku Besar Zainal Abidin, lebih dahulu
mangkat tewas di Pungai ketika pasukan Serdang membantu salah
satu pihak di dalam perang saudara di Langkat (Marhom Mangkat di
Pungei).
Maka adindanya, Tengku Thaf Sinar, diangkat oleh Orang Besar dan
rakyat menjadi Sultan Serdang ke-3 di tahun 1817 M.
Kerajaan Serdang Masa Pemerintahan Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah (1817-
1850 M)
Masa pemerintahan Baginda ditandai oleh beberapa peristiwa besar.
antara lain :
A. Lembaga Dewan Diraja, kawan raja musyawarah diperteguh yaitu:
1. Raja Muda (kemudian puteranya pengganti bergelar Bendahara (Luhak Lubuk Pakam).
2. Sri Maharaja (Luhak Ramunia).3. Datuk Paduka Raja (Batangkuis) keturunan Kejeruan Lumu Aceh.4. Datuk Maha Menteri (Araskabu) (Disebut WAZIR BEREMPAT atau
Dewan Diraja, yang harus bersama Sultan memutuskan sesuatu).
Majelis Orang Besar, yaitu Raja dan Kepala Negeri yang ditaklukkan,
dan jajahan. Oleh sebab itu, Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah
memakai gelar “Sri Paduka Duli Yang Maha Mulia Tuanku Thaf Sinar
Basar Shah Sultan Kerajaan Serdang dengan Rantau, Jajahan, dan
Takluknya”.
B. Baginda menaklukkan negeri Padang dan Bedagai serta
mengangkat Wakil Sultan di sana.
C. Baginda mengadakan hubungan politik dan dagang dengan
Pemerintah Inggris di Penang (Missi John Anderson 1823).
D. Baginda memajukan perdagangan dan industri dan kemakmuran
sehingga banyak saudagar negeri-negeri lain mengekspor melalui
Serdang termasuk dari Pantai Barat Sumatera (Barus, Alas).
E. Karena kemakmuran negeri Serdang maka Kerajaan Siak datang
menyerang sehingga Sultan Sinar terpaksa mengakui hegemoni
Siak (1817 M).
F. Ditetapkan bahwa fungsi Raja Serdang ialah:
1. Sebagai Kepala Pemerintahan.2. Sebagai Kepala Agama Islam.3. Sebagai Kepala Adat.
G. Banyak raja dan kepala daerah tunduk karena sifat yang baik
dimiliki Baginda:
- Pemurah, adil, dan memerintah dengan lemah lembut.
- Elok berkata-kata manis dan lemah lembut budi bahasanya.
- Selalu pandai mengambil hati rakyatnya sehingga bertambah-
tambah kemakmuran negeri.
- Ringan tangan dan kasih sayang membantu orang susah.
- Berani di dalam peperangan sehingga para panglima dan
prajurit setia dan berbakti pada baginda.
- Sangat gemar belajar mengenai berbagai hal di dunia.
Baginda mangkat dalam tahun 1850 M digantikan puteranya Tengku
Basyaruddin.
Serdang Masa Pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Shah
(1850-28 Desember 1880)
Masa pemerintahan Baginda penuh dengan peperangan, terutama
dengan Deli, memperebutkan wilayah Bedagai, Padang dan Percut,
yang mau dirampas oleh Deli.
Menurut London Treaty tahun 1824 antara Inggris dengan Belanda maka
Sumatera diserahkan Inggris di bawah pengaruh Belanda. Pemerintah
Hindia Belanda lalu mendekati Siak yang sedang lemah karena
perang saudara, dan berhasil menekan Siak membuat perjanjian
Kontrak Politik Siak-Belanda, 1 Februari 1858. Di dalam Kontrak
itu Siak berada di bawah naungan Pemerintah Hindia Belanda. Siak
mohon bantuan Belanda agar mengusir pengaruh Aceh pada kerajaan-
kerajaan di Sumatera Timur. Atas dasar itu maka Residen Belanda
di Riau, E. Netscher, mulai mengunjungi kerajaan Langkat, Deli,
Asahan, dan Serdang.
Di Serdang, Pemerintah Hindia Belanda mengakui bahwa Padang,
Bedagai, Percut, Perbaungan, dan Denai tetap jajahan Serdang
(Pernyataan Belanda 16-8-1862). Tetapi karena Asahan dan Serdang
serta Temiang bermufakat dengan Aceh
untuk membendung penetrasi Belanda ke Sumatera Timur, maka
Pemerintah Hindia Belanda dengan Keputusan Gubernur Jenderal no.
1 tanggal 25-8-1865 mengirim satu ekspedisi militer yang besar
dan tangguh dibawa 7 buah kapal perang dengan serdadu dan marinir
dilengkapi meriam dan mortar serta bedil yang mutakhir. Ekspedisi
itu dinamakan “Militaire Expeditie Tegen serdang en asahan”.
Dengan kekuatan yang begitu besar dan modern itu tentu saja
kerajaan bumiputera yang kecil dan sederhana kalah. Pada tanggal
1 Oktober 1865 pasukan Belanda memblokade dan mendarat di Serdang
dan pada tanggal 6 Oktober Serdang menyerah. Sebagai hukuman
wilayah Percut, Padang, dan Bedagai dirampas Belanda. Sultan
Basyaruddin, sesuai gelarnya yakni Syaiful Alamshah (Pedang
Alam), suka berperang dan memiliki sifat pemberani, seperti kata
pepatah :
Bersungut dawai mati berkapan cindai bermata kucing setia tiada bertukar
bertangan besi pantang surut biar selangkah!
Baginda kurang pandai berdiplomasi, melawan kepada kekuatan
imperialisme dan kolonialisme Barat yang sedang berada di
puncaknya di dunia. Sejak kekalahan itu, baginda menyendiri dan
bersuluk dan mangkat pada tanggal 28 Desember 1880 meninggalkan
hanya seorang putera yaitu Tengku Sulaiman.
Pemerintahan Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah (1880 -13 Oktober 1946)
Pada masa ini, semua kerajaan bumiputera di Indonesia sudah
dijajah Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membuat Politik
Kontrak (1907) dengan Kerajaan Serdang yang berada di bawah
protektorate. Ia tidak boleh berhubungan dengan pemerintah asing
dan rakyatnya adalah rakyat asli Serdang saja. Mahkamah Kerajaan
tidak boleh menghukum rejam, atau potong tangan atau hukuman dera
cambuk. Hukuman mati dan hukum buang harus dengan seizin
pemerintah Hindia Belanda. Semua hasil negeri diambil 50% oleh
Pemerintah Hindia Belanda.
Sultan Sulaiman terkenal sebagai raja yang selalu melawan dan
sabotase setiap tekanan Belanda dan bersimpati kepada gerakan
kemerdekaan Indonesia. Karena pemerintahannya yang banyak sekali
untuk pembangunan dan pendidikan serta kesehatan rakyat, maka
ketika baginda sakit di tahun 1927, ribuan rakyat berkunjung ke
Istana Kota Galuh Perbaungan. Baginda melindungi rakyatnya dari
kekerasan Jepang yang mau menangkap pemuda untuk dijadikan
romusha kerja paksa dan wanita gyanfu.
Ketika diproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17-8-1945, Baginda
segera mengirim telegram kepada Presiden Sukarno, bahwa Kerajaan
Serdang berdiri dan akan mempertahankan Republik Indonesia.
Tetapi di daerah Sumatera Timur berkecamuk kegiatan pengaruh kaum
komunis yang mensponsori diadakannya coup “Revolusi Sosial”.
Banyaklah raja-raja dan bangsawan yang ditangkap dan dibunuh dan
istana direbut dan dibakar. Sultan Sulaiman selamat dijaga oleh
Tentera Republik Indonesia di istana tetapi karena sakit dan usia
tua baginda mangkat 13-10-1946 dan dimakamkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan kehormatan dan diiringi ribuan rakyat.
Sejak 3 Maret 1946 oleh “Revolusi Sosial” itu lenyaplah semua
kerajaan yang ada di Sumatera Timur dan Aceh.[iii] Berdasarkan
pasal 18D UUD 1945 (perobahan ke-2) sistem Kerajaan seperti zaman
Belanda tidak berlaku lagi.
V. Masa Reformasi Demokrasi di Indonesia
Periode 1946-2000 adalah masa yang sangat menyedihkan pada
masyarakat Melayu di Propinsi Sumatera Utara :
1. Kerajaan Melayu di Langkat, Deli, Serdang, Asahan dan lainlain telah hapus.
2. Semua istana raja, sebagai pusat adat-budaya Melayu hancur (kecuali istana Maimun di Medan yang pada waktu Revolusi Sosial dijaga oleh tentara British-Indian Divisi ke-27).
3. Hak istimewa masyarakat Melayu, seperti hak atas tanah adat (Ulayat/Jaluran) telah pupus dan diduduki masyarakat suku/etnis lain, yang di tahun 1946-1954 disponsori oleh kaum komunis (BTI/Sarbupri).
4. Masyarakat Melayu sudah menjadi minoritas di negeri sendiri (11%).
5. Masyarakat Melayu susah duduk di dalam pemerintahan dan instansi sipil/militer
6. Mereka terdesak didalam lapangan pendidikan dan mata pencaharian sehingga tergolong masyarakat miskin.
Karena trauma tragedi Revolusi Sosial 1946 banyak yang takut
mengaku Melayu.
Oleh sebab itulah masa periode 1975-2000 mulai timbul kesadaran
kepada orang-orang tua untuk menyelamatkan Adat-Budaya Melayu
karena takut kehilangan Jatidiri Melayu untuk generasi muda yang
akan datang. Berdirilah organisasi bercorak seni-budaya seperti:
Lembaga Kebudayaan Melayu (LKM) dan Majelis Adat Budaya Melayu
Indonesia (MABMI), tahun 1972. Bermula untuk kegiatan kesenian
(music & dance group) yang nampaknya digemari secara nasional.
Berbagai seminar budaya diadakan tetapi sebaliknya banyak terjadi
pengkhianatan dan perpecahan dengan berdirinya splinter groups yang
memakai nama seni budaya Melayu juga. Mendekati awal abad ke-21,
orang tua-tua masa kegemilangan Kerajaan Melayu sudah meninggal
dunia dan kini keturunan raja/bangsawan terdiri atas anak-anak
muda yang sama sekali tidak pernah lagi mengenal adat-istiadat
berraja.
Ketika saya menjadi Presiden “Majelis Adat Budaya Melayu
Indonesia” (MABMI, 2000-2004), saya gerakkan usaha sosialisasi di
kalangan generasi muda untuk bangga dengan tingginya seni-budaya
dan peradaban Melayu di dunia dengan berbagai seminar dan tatap
muka. Menggerakkan popularitas menggunakan pakaian Melayu pada
upacara (perkawinan/rapat). Disponsori menggunakan upacara adat
Melayu dalam acara perkawinan (upacara Meminang Pengantin,
Upacara Bersanding, Tepung Tawar dan Balai Upacara Berinai, lomba
berpantun dan lain-lain).
Periode 1990-2000 adalah era membangkitkan kesadaran sebagai
putera Melayu, meninggalkan sikap fatal berserah diri saja; rasa
rendah diri mengatasi cemoohan orang luar bahwa “Melayu
Malas”atau ”Melayu Bodoh” dan sikap pesimis untuk berjuang di
bidang pendidikan dan usaha kreatif. Lalu timbullah kesan dari
kalangan muda, harus ada pedoman yang satu tentang adat-istiadat
Melayu yang kini sudah luntur dan dipengaruhi oleh adat etnis
lain dan pengaruh asing karena faktor globalisasi melalui film
dan televisi.
Digerakkanlah, khususnya di daerah bekas wilayah Kerajaan Serdang
(Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai), bahwa di
zaman Kerajaan, Adat-Istiadat-Adat yang Diadatkan jika ada pelanggaran
oleh Sultan dikenakan sanksi yang berupa sanksi pidana seperti
hukuman penjara atau hukuman buang ke luar negeri atau hukuman
mati dan Sangsi Sosial (Social sanction) seperti menyatakan
bersalah akan sikapnya diiringi kenduri kepada masyarakat
kampungnya. Jika itu tidak dilaksanakan oleh pelanggar maka ia
akan dikucilkan dari kehidupan bersama.
Karena pemerintahan Kerajaan di Indonesia sudah tidak ada lagi
dalam Republik Indonesia ini, maka harus dilanjutkan kembali
fungsi pribadi Raja dan Orang Besarnya sebagai Penguasa Adat–
Istiadat (pengawal, pengatur dan salah satu unsur adat itu).
Pepatah Melayu mengatakan “Biar mati anak daripada mati adat,
mati anak gempar sekampung, mati adat gempar sebangsa. Hidup
dikandung adat, mati dikandung tanah”. Maka oleh masyarakat
Melayu Serdang didukung oleh berbagai organisasi Melayu (MABMI,
GAMI, LKM dan lain-lain), maka pada tahun 1997 ditegakkanlah
kembali institusi Orang Besar (4 Wazir) diambil dari turunan
mereka yang dahulu. Maka para Wazir dan Kepala adat negeri-Luhak
itu bermusyawarah dan mengangkat kembali Tuanku Kepala Adat
Kesultanan Serdang.
Fungsi Sultan sebagai Kepala Adat tidak dihapuskan Pemerintah
Republik Indonesia selagi masih ada masyarakat adat Serdang
sebagai pendukungnya. Karena istana Serdang sudah habis terbakar,
maka upacara penabalan putera Sultan Sulaiman alm. diadakan di
lapangan Perbaungan yang dihadiri oleh lebih 1000 orang utusan
dari daerah dan kampung-kampung dan tokoh masyarakat. Pertama
diangkat Tuanku Abunawar Sinar bin Sultan Sulaiman Syariful
Alamshah, setelah mangkat
Di tahun 2002 lalu saya adindanya dipilih oleh Orang Besar untuk
pengganti sampai sekarang.
Untuk melestarikan adat-istiadat Melayu Serdang, maka saya
mengadakan gerakan sebagai berikut :
1. Mengumpulkan kembali seluruh arsip Kerajaan Serdang yang dapat diselamatkan.
2. Wawancara dengan orang tua-tua mengenai adat-istiadat masa Kerajaan Serdang masih ada.
3. Mengadakan Konvensi Adat-Budaya Melayu Kesultanan Serdang dan dihadiri oleh utusan dari distrik di Serdang/para budayawan/sejarahwan dari perguruan tinggi dan menyusun adat-istiadat yang lama dan yang kini berkembang baru (sesuai pepatah adat “Sekali air bah, sekali tepian berubah”), sama disahkan dalam Konvensi di Perbaungan tanggal 27-28 Juli 2007.
4. Menabalkan tokoh-tokoh di setiap kecamatan yang dipilih masyarakat yang dianggap sadar adat-budaya, berkelakuan baik, berpengaruh dan berpenghasilan, diangkat menjadi DatukPenghulu Adat.
5. Menyerahkan kepada Datuk Penghulu Adat dan Orang Besar buku hasil Konvensi tanggal 28-29 Juli 2007 sebagai pegangan dan untuk sosialisasi kepada masyarakat dan generasi muda.
6. Menyerahkan buku hasil Konvensi Adat-Budaya Melayu Kesultanan Serdang kepada Menteri Kehakiman-HAM untuk diberiHak Paten.
7. Menyerukan kepada pemerintah di kecamatan agar Datuk Penghulu Adat dijadikan mitra (partner) dalam masaalah adat-budaya Melayu.
8. Menginstruksikan kepada Datuk Penghulu Adat agar melaksanakan upacara-upacara adat Melayu seperti “Jamu Laut”,“Jamu Sawah”, Perayaan Islam di Mesjid, dan lokakarya
di daerahnya, dihadiri dan diberkati oleh Tuanku Kepala AdatKesultanan Serdang.
9. Mengadakan tuntutan Tanah Konsesi (Ulayat/adat).10. Membantu agar keluarga Kesultanan Asahan, Langkat, dan
Deli bangkit kembali dan harus dekat dengan rakyatnya, terutama angkatan muda.
Demikianlah perjuangan kami untuk menegakkan petuah kuno adat
nenek moyang kita “Ada Raja Adat berdiri, Tiada Raja Adat Mati”
dan “Biar mati anak daripada mati Adat. Mati anak gempar
sekampung, mati adat gempar sebangsa”! Indonesia adalah sebuah
Republik Demokratis dan perlakuan terhadap semua etnis groups
adalah sama berdasarkan azas Pancasila. Oleh sebab itu,
membangkitkan kembali kesadaran adat beraja di kalangan
masyarakat Melayu yang minoritas miskin terbelakang terpengaruh
oleh pornograficaction dan narcotics di Sumatera Timur adalah
perjuangan cukup berat, hanya didukung biaya pribadi sendiri.
Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH, Pemangku Adat Kesultanan
Serdang
Referensi:
1. C.O. Blagden, 1925. “An Unpublished Variant Version of the Malay Annals”, JMBRAS III part I, p. 31-39.
2. DR. A.C. Milner, “The Malay Raja: A Study of Malay PoliticalCulture in East Sumatra and The Malay Peninsula in the early19th Century”, 1977-Chapter VII.
3. “Ming Shih”, p. 7919.4. J.P. Moquette, “De grafsteen te Pase en Grisee” & “De Eerste
Vorsten van Samudr-Pase”.5. John Anderson, 1824. Mission to the Eastcoast of Sumatra, Edinburg.6. L. Hambis (ed.), 1955. Marco Polo La description du Monde, Paris.
7. Ma Huan, 1451. “Yin-Ya-Sheng-Lan”.8. Mahkota Adat dan Budaya Melayu Serdang”, Hasil Konvensi Adat
dan seni Budaya Melayu Kesultanan Serdang, 28-29 Juli 2007, Perbaungan. Medan: Yayasan Kesultanan Serdang.
9. “Mengenang Kewiraan Pemuka Adat dan Masyarakat Adatnya di Sumatera Utara Menentang Kolonial Belanda”, dalam FORKALA SU., Medan, 2007, p. 72-86.
10. R.O. Winstedt, 1938. “The Cronicle of Pasai”, JMBRAS XVI, pt. II, p. 24-25
11. Raffles, Malay MS8, London: Royal Asiatic Society,12. “Shin Cha Sheng Lan”, Chapter 2, p. 27.13. Tengku Luckman Sinar, “Mahkota Adat dan Budaya Melayu
Serdang”, Konvensi Adat-Seni-Budaya Melayu14. Tengku Luckman Sinar, “Sari Sejarah Serdang”, 1970.15. Tengku Luckman Sinar, 1977. “The Kingdom of Haru and
The Legend of ‘Puteri Hijau’, dalam Seminar IAHA Conference ke-7, Bangkok-Thailand.
16. Tengku Luckman Sinar, 2005. Kronik Mahkota Kesultanan Serdang. Medan: Yandira Agung Medan.
17. Tengku Luckman Sinar, 2007. Jatidiri Melayu. Medan: YayasanKesultanan Serdang, p. 8-9.
18. Tun Seri Lanang, 1997. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Dewan Bahasa dan Pustaka.
19. W.H.M. Schadee, “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust”, I, Amsterdam 1918.
20. W.H.M. Schadee, 1918. Geschiedenis van Sumatra Oostkust.21. Yule, “Marco Polo”, II, p. 242.
Dibaca : 2655 kali« Beranda kerajaan Share
Form Komentar
Nama Email
Komentar
Login Member
Mendaftar Lupa Password
Quick Search
Sejarah Kerajaan / Kesultanan Tentang Raja / Sultan / Pemangku Adat Keluarga Raja / Sultan Rumahtangga Kerajaan / Kesultanan Aktivitas Sosial Raja / Sultan Raja / Sultan dan Pemerintahan Sekarang Gelar Kerajaan / Kesultanan Penghargaan atau gelar yang diterima Tentang Istana Tempat Ibadah Petilasan Makam Koleksi Undang-undang dan Hukum Adat Acara dan Upacara
Adat Istiadat Kerajaan / Kesultanan Seni dan Budaya Istana Kesusastraan Busana Kerajaan / Kesultanan Kuliner Kerajaan / Kesultanan Obat & Pengobatan Tradisional Militer dan Jenjangnya Tokoh Keagamaan Galeri Foto Galeri Video Galeri Musik Berita Opini Artikel Obyek Wisata Alamat dan Peta Lokasi Kerajaan / Kesultanan
Statistik Pengunjung Online 69 Hari Ini 672 Kemarin 1,535 Minggu Kemarin 11,445 Bulan Kemarin 47,585 Total Pengunjung 1,254,453
Beranda Tentang Kami Hubungi Kami Komentar Donasi Iklan Asosiasi Kerajaan Peta Situs
© Copyright 2010 - 2012. Kerajaan Nusantara, All Rights Reserved.