kekuasaan negara atas tubuh perempuan: studi kasus female genital mutilation di sierra leone
TRANSCRIPT
1
Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan:
Studi Kasus Female Genital Mutilation di
Sierra Leone
Dewi Idam Sari
G1B040078 Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran,
Jatinangor, 2008.
2
ABSTRAK
Dewi Idam Sari. Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan: Studi Kasus Female
Genital Mutilation di Sierra Leone. Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2008.
Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman tentang
bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan berkaitan dengan
masih dijalankannya praktik Female Genital Mutilation(FGM) yang merupakan salah
satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Perempuan yaitu penghilangan hak
perempuan atas tubuhnya.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini berupa teori dan konsep
yang terdapat dalam pendekatan feminisme. Dimana sebagai ideologi pembebasan
perempuan dari segala bentuk diskriminasi yang ada di dunia ini, feminisme mampu
menjawab suara hati perempuan serta mengungkap segala bentuk kekuasaan yang
membentengi perempuan menggapai kebebasan hak asasinya.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif yang berperspektif feminisme. Sehingga segala sesuatu dalam penelitian ini
tidak terlepas dari nila-nilai feminisme itu sendiri. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, jasa internet, dan
wawancara.
Hasil penelitian menunjukan bahwa betapa hak asasi perempuan atas tubuhnya
dikuasai oleh kekuasaan yang berlapis-lapis. Sehingga dalam Kasus Female Genital
Mutilation di Sierra Leone ini, perempuan sama sekali tidak punya hak atas tubuhnya
3
karena secara tidak langsung negara sudah berkuasa atas tubuh perempuan. Maka
dalam hal ini negara sama sekali tidak berguna bagi perempuan.
4
ABSTRACT
Dewi Idam Sari. State‟s Authority on Woman‟s Body: Case study Female Genital
Mutilation Practice in Sierra Leone. Departement of International Relations, Faculty
of Social and Political Sience.Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2008.
This Research is making for take the description dan undestanding about how the
state‟s authority of Sierra Leone on Woman‟s Body, which is the practice of Female
Genital Mutilation is still exist over there. It‟s kind of women‟s rights violence, the
shape is women‟s rights violence on her body as her rights.
The framework thinking in this research refer to theory and concept in feminism
perspective. As an ideology for women‟s freedom from all forms of discrimination
against women, feminism appear to answer all of women‟s heart voices, showing up
all of authority that fortify women in reaching their rights.
The research method in this reasearch is qualitative method with feminism
perspective. So, all kind of forms in this research is awalys stay in feminism values.
The data is collected by library research, internet service, and interview
The result shown that how women‟s rights on her body is authorized by multi
authorities that deep and strong. So, in this case of female genital mutilation in Sierra
Leone, women do not have rights on their body anymore, because state has being
authorized on women‟s body. So, in this case state does not usefull anymore for
women
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak Asasi Perempuan (HAP) merupakan suatu jaminan bahwa perempuan tidak
akan mengalami diskriminasi yang berdasar atas jenis kelaminnya sebagai
perempuan.1 Namun pada kenyataannya, di berbagai belahan dunia sering terjadi
pelanggaran terhadap HAP dimana perempuan sering mengalami diskriminasi
diberbagai sektor kehidupan. Faktor utama penyebab masalah ini adalah masih
dianutnya paham patriakal di sebagian besar masyarakat dunia, dimana laki-laki
dianggap sebagai makhluk yang lebih superior dibandingkan perempuan. Dalam
masyarakat yang patriakal, sering sekali perempuan diperlakukan sebagai benda milik
dan hampir tidak memiliki hak atas apapun, baik harta benda, kebebasan menentukan
masa depan, bahkan kontrol atas diri dan tubuhnya.2
Pelanggaran-pelanggaran HAP tidak saja terjadi di ruang publik, dalam ruang
domestik, perempuan juga paling besar terlanggar hak asasinya. Pada konteks ini
maka perempuan dalam banyak kesempatan mengalami korban kekerasan berganda.
Ia tidak saja menjadi korban fisik, tetapi juga psikis, sosial dan budaya dalam
masyarakat patriarki. Salah satu dampak buruk bagi perempuan adalah seringnya
1Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.
2 Debu Batara Lubis,”Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya” dalam
Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan
Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor, 2006, hal. 489
6
terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan baik oleh laki-laki, masyarakat, maupun
negara terhadap perempuan, baik yang berupa kekerasan fisik maupun psikis.
Menghadapi situasi ini, hukum dalam masyarakat cenderung menutup diri dan tidak
mau mengambil tindakan karena masalah ini dianggap sebagai masalah interen yang
tabu untuk dibicarakan atau diselesaikan di muka umum, apalagi yang menyangkut
masalah tubuh dan seksualitas perempuan.
Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan ini diklaim oleh sebagian besar
kaum feminis sebagai penekanan dalam banyak cara tergantung pada kebudayaan,
kelas, dan ras yang berbasis gender.3
Salah satu bentuk ketertindasan dan
diskriminasi terhadap perempuan yang berdasar atas kebudayaan adalah Female
Genital Mutilation (FGM) yang merupakan penghilangan hak perempuan atas
tubuhnya. Berdasarkan fact sheet no.23, Harmfull Traditional Practices Affecting the
Health of Women and Children yang dikeluarkan oleh Office of the High
Commissioner for Human rights, FGM adalah istilah yang dipakai untuk mengacu
pada tindakan pembedahan untuk mengangkat sebagian atau seluruh bagian organ
genital perempuan yang paling sensitif.4
Praktik FGM ini dapat dianggap sebagai hal yang umum di banyak bagian
dunia, karena berdasarkan data yang dihimpun oleh World Health Organization
(WHO) diperkirakan bahwa sekitar 100-132 juta perempuan di seluruh dunia ini telah
3 J. Ann Tickner, Gender in International Relations Feminist Perspectives on Achieving Global
Security, New York, Columbia University Press, 1992, hal. 15 4 fact sheet no.23, Harmfull Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children dalam
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan
Keadilan. Jakarta, Yayasan Obor, 2006, hal. 491
7
menjadi korban praktik FGM, dan setiap tahunnya sekitar 2 juta perempuan terancam
terkena praktik ini.5 Praktik FGM berlangsung lebih di 100 kelompok etnis yang
berada di 40 lebih negara di Afrika, Timur Tengah, Amerika bagian selatan, Asia dan
Australia.6 Kebanyakan dari praktik FGM di seluruh dunia dilakukan di 28 negara
Afrika diantaranya yang terbesar yaitu Djibouti, Etrirea, Sierra Leone, Somalia, dan
Sudan dimana sekitar 90% perempuannya mengalami praktik ini.7 Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Departemen Amerika Serikat, diantara kelima negara ini, tiga
negara sudah melakukan pelarangan terhadap praktik FGM, dimana Djibouti telah
mengeluarkan pelarangan pada tahun 1998, Eritrea pada tahun 1995, dan Somalia
pada tahun 1999.
Sierra Leone sebagai salah satu negara yang masih mempertahankan praktik
FGM ini telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1988, namun tidak satupun
hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah Sierra Leone untuk menentang praktik
FGM ini.8
FGM masih saja terus berlangsung di Sierra Leone sebagai sebuah
kebudayaan yang melanggar HAP. Negara seolah-olah tidak peduli terhadap masalah
pelanggaran HAP Sierra Leone ini.
5 http://www.ipu.org/wmn-e/fgm-what.htm, diakses 7 September 2007
6 Berdasarkan data dari http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting, diakses 28
September 2007 7 World Health Organization. (August 1996). Estimated Prevalence of Female Genital Mutilation in
Africa. Diakses melalui http://haneydaw.myweb.uga.edu/twwh/fgm.html, diakses 28 September 2007 8 http://www.afrod.com/articles/15927, diakses 22 Agustus 2007
8
Berdasarkan keterangan-keterangan diatas, peneliti sangat tertarik untuk
meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh
perempuan dengan masih dijalankannya praktik FGM. Berikut beberapa hal yang
membuat peneliti tertarik untuk meneliti masalah ini :
1. Tubuh perempuan sebagai Hak Asasi Perempuan menjadi tidak berarti
ketika praktik FGM di Sierra Leone terjadi.
2. Bahwa FGM dengan segala dampak negatifnya terhadap perempuan
dan sudah dikecam sebagai praktik yang berbahaya oleh beberapa
lembaga internasional tetapi masih saja dipertahankan di Sierra Leone.
3. Peneliti juga ingin menunjukan urgensi kajian gender dalam analisis
Hubungan Internasional dengan penggambaran bahwa praktik FGM di
Sierra Leone tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan atas gender dan
seksualitas oleh negara yang maskulin.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penulis bermaksud melakukan penelitian
dengan judul:
Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan : Studi Kasus Praktik Female
Genital Mutilation di Sierra Leone
Penelitian ini didukung oleh dua mata kuliah pada Jurusan Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, antara
lain:
1. Teori Hubungan Internasional
9
Mata kuliah ini mengkaji mengenai keberagaman teori internasional di
dalam Studi Hubungan Internasional sebagai salah suatu konstruksi
akademik/disipliner yang berkembang dan emansipatoris. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan salah satu pendekatan yang
dipelajari pada mata kuliah ini yaitu pendekatan feminisme.
2. Gender dan Seksualitas dalam Politik Dunia
Mata kuliah ini mengkaji bahwa betapa semua fenomena yang terjadi
di dunia ini termasuk fenomena hubungan internasional tidak terlepas
dari masalah gender dan seks.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Identifikasi Masalah
"I was genitally mutilated at the age of ten. When the operation began, I
put up a big fight. The pain was terrible and unbearable… I was badly cut
and lost blood… I was genitally mutilated with a blunt penknife. After the
operation, no one was allowed to aid me to walk… Sometimes I had to
force myself not to urinate for fear of the terrible pain. I was not given any
anesthetic in the operation to reduce my pain, nor any antibiotics to fight
against infection. Afterwards, I hemorrhaged and became anemic. This
was attributed to witchcraft. I suffered for a long time from acute vaginal
infections." -Hannah Koroma, Sierra Leone9
Melalui gambaran pengalaman salah seorang perempuan Sierra Leone yang
telah melakukan FGM, dapat dilihat bahwa tindakan FGM sangat merugikan dan
9http://www.amnestyusa.org/Violence/Womens_Human_Rights/page.do?id=1108439&n1=3&n2=39&
n3=739, diakses 7 September 2007
10
membuat seorang perempuan menderita. Perempuan benar-benar tidak berdaya untuk
mengontrol tubuhnya sendiri, ia harus menyerah pada tuntutan adat. FGM
dipraktikkan oleh seluruh kelompok masyarakat adat di Sierra Leone kecuali
kelompok Chirstian Krio yang bertempat tinggal di bagian barat.10
Tipe FGM yang
biasanya dipraktikkan di Sierra Leone adalah:11
1. Tipe I (menghilangkan bagian permukaan klitoris)
2. Tipe II (pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau
seluruh bagian dari labia minoria).
Kedua tipe FGM ini sudah dinyatakan pelarangannya oleh berbagai kesepakatn
internasional seperti yang dikeluarkan oleh United Nation, WHO, UNICEF, dan
CEDAW. Dalam CEDAW terdapat 2 artikel yang berkaitan dengan kewajiban negara
atas praktik FGM ini, yaitu pasal 2f dan 5a.
Sierra Leone telah meratifikasi CEDAW pada tahun 1988, ini berarti Sierra
Leone setuju untuk mengambil tindakan terhadap segala bentuk tindakan diskriminasi
dan pelanggaran hak asasi atas perempuan. Namun pada praktik
pengimplementasiannya Sierra Leone masih melakukan praktik FGM ini dengan
berbagai alasan diantaranya praktik FGM ini merupakan bagian dari proses seorang
anak perempuan untuk bisa menjadi perempuan seutuhnya (from childhood to
womanhood). Masyarakat Sierra Leone meyakini bahwa dengan menghilangkan
klitoris maka dasar dari kemaskulinan (disini klitoris dianggap sebagai penis yang
10
Ibid 11
Ibid
11
kecil) akan hilang dari tubuh perempuan sehingga perempuan tersebut bisa menjadi
„perempuan seutuhnya‟12
. Biasanya orang yang melakukan FGM dalam proses
pemotongannya tanpa menggunakan obat bius. Hal tersebut tentu saja sangat
menyiksa perempuan yang melakukan FGM. Sebagaimana kesaksian salah seorang
perempuan Sierra Leone Hannah Koroma, yang melakukan FGM ini, ia menderita
infenksi vagina akut dan kehilangan bagian dari tubuhnya. Tidak hanya konsekuensi
atas dasar kesehatan saja yang bisa dialami oleh perempuan yang melakukan FGM ini
tetapi juga konsekuensi seksual, dimana perempuan yang sudah di mutilasi tidak akan
mampu menikmati hubungan seksual karena perempuan tersebut sudah kehilangan
sensitifitas akibat dari FGM tersebut.13
Kehilangan sensitifitas berarti tidak bisa
merasakan sehingga kehilangan kenikmatan. Segala bentuk tindakan untuk
mengurangi memperoleh kenikmatan serta penggunaan hak-hak asasi perempuan
berarti merupakan tindakan diskriminasi terhadap perempuan. 14
Menurut laporan Division for the Advancement of Women tahun 2004,
penilaian situasi di Sierra Leone dalam hal respektasi terhadap implementasi
CEDAW pada artikel 2f dan 5a dibutuhkan sebuah pengenalan mengenai HAP di
Sierra Leone tanpa harus ditunda dengan alasan pertimbangan pola sosial dan budaya.
Namun, dalam masalah FGM sendiri, masih belum ada tanggapan dari pemerintah
12
Perempuan yang dikonstruksikan feminin sehingga akan tunduk terhadap sistem patriarki 13
http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting, diakses 20 Agustus 2007 14
Mengacu pada pasal 1 CEDAW: Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh
atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya
atau apapun karena statusnya sebagai perempuan .
12
Sierra Leone dan tidak secara terbuka didiskusikan dimana tidak ada keinginan untuk
memasukan masalah FGM ini sebagai salah satu kejahatan atas Hak Asasi Manusia.15
FGM sudah mengakar pada praktik kebudayaan di Sierra Leone. Hal ini
dibuktikan dengan adanya Secret Societies yaitu institusi kebudayaan kuno yang
ditujukan untuk mengatur identitas seksual dan kelakuan sosial. Secret Societies ini
dikenal dengan sebutan Sande di daerah selatan dan Bondo di daerah utara, dan
Freetown untuk sebutan secara umum di Sierra Leone. Secret Societies ini memiliki
hubungan antara suatu kota dan pinggiran kota di Sierra Leone.16
Kekuatan kebudayaan FGM di Sierra Leone ini menjadikan advokasi
mengenai penghapusan FGM ini diterima sebagai sebuah musuh besar oleh berbagai
lapisan masyarakat di negara ini. FGM berlangsung untuk terus menjaga stereotip
perempuan. Praktik tradisional ini mengajarkan bahwa perempuan dan anak
perempuan untuk menjadi subordinat laki-laki dalam berbagai pola termasuk
seksualitas.
Mengacu pada laporan Sierra Leone dalam pengimplementasian CEDAW
tahun 2006, FGM masih belum didiskusikan secara terbuka dan belum ditetapkan
sebuah hukum yang melarang praktik ini. Bagi Sierra Leone isu FGM ini merupakan
isu yang sangat sensitif untuk dibahas karena menyangkut kebudayaan. Negara tidak
memberikan ijin kepada universitas, asosiasi medis, dan organisasi perempuan untuk
15
Laporan Division for the Advancement of Women, CEDAW mission to Sierra Leone, 0ktober 2004 16 http://www.unhcr.org/cgi-
bin/texis/vtx/refworld/rwmain/opendocpdf.pdf?docid=46cee3152, diakses 28 September
2007
13
mengambil data mengenai praktik FGM karena ini masih sangat tertutup dan
dirahasiakan.
Menurut laporan Comittee on the Elimination of Discrimination Against Women
pada sesi ke-38 Maret 2007, Sierra Leone merupakan negara yang tingkat
diskriminasi terhadap perempuannya cukup tinggi dimana lebih dari seperempat dari
sejuta perempuan diperkosa selama perang berlangsung, Human Right Watch
mencatat sebanyak 275.000 perempuan dan anak perempuan di Sierra Leone
mengalami tindak kejahatan seksual.17
Kekerasan seksual merata terjadi di negara
ini, dan perundang-undangan di negara ini sangat lemah dalam mengatur hal tersebut
Selain itu terdapat beberapa pemaksaan-pemaksaan legal terhadap perempuan di
Sierra Leone. Di bawah konstitusi yang berlangsung, perempuan sering tidak
diuntungkan oleh hukum yang mengatur tentang hak milik, perkawinan, dan hak-hak
warisan yang cenderung lebih berpihak pada laki laki seperti masalah perkawinan.
Ketika laki-laki Sierra Leone boleh melakukan perkawinan dengan perempuan di luar
negaranya, tetapi tidak dengan perempuan Sierra Leone, mereka tidak boleh
melakukan perkawinan dengan laki-laki di luar Sierra Leone.
Begitu banyak masalah perempuan yang diabaikan di Sierra Leone termasuk
FGM padahal praktik ini sangat dalam terpancang di kebudayaan Sierra Leone dan
memengaruhi 90% perempuan di negara ini. Perempuan di bawah perhitungan dalam
pembuatan keputusan di dalam pemerintahan Sierra Leone, dan ketika terdapat
perempuan dalam level bawah pemerintahan, hanya ada sedikit menteri dan hanya
17
Laporan Division for the Advancement of Women, CEDAW mission to Sierra Leone, 0ktober 2004
14
ada satu orang duta besar yang perempuan. Hal inilah yang menjadikan stereotip
peran gender sangat terlihat dimana hanya 29% perempuan yang berpendidikan di
Sierra Leone.18
Patriarki di Sierra Leone berjalan sangat kuat dan yang sering menjadi
korban adalah perempuan, namun kejahatan domestik bukanlah sebuah masalah yang
menjadi bahasan masyarakat di Sierra Leone begitu juga dengan FGM. Ini dianggap
sebagai masalah domestik sehingga apapun yang terjadi akibat FGM merupakan
rahasia perempuan Sierra Leone.19
Walaupun berbagai alasan yang dikemukakan
untuk tetap mempertahankan kebudayaan FGM, namun kebudayaan ini telah
dinyatakan berbahaya oleh United Nation dalam Fact Sheet No. 23 tentang Harmful
Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Mengingat begitu luasnya permasalahan yang ada, peneliti membatasinya
pada masalah kekuasaan negara atas tubuh perempuan melalui praktik FGM di Sierra
Leone. Sehingga dengan demikian penelitian ini juga dibatasi dengan batasan waktu
dari tahun 2004, dua tahun setelah perang Sierra Leone dinyatakan berakhir sampai
dengan tahun 2007. Hal ini dimaksudkan untuk memberi jarak situasi Sierra Leone
pasca perang dengan usaha rekonstruksi negaranya hingga tersentuhnya masalah Hak
Asasi Perempuan Sierra Leone dalam praktik FGM.
18
http://www.peacewomen.org/un/ecosoc/CEDAW/38th_Session/Sierra%20Leone/PW_ReviewSierra
Leone.html, diakses 7 September 2007 19
http://www.cceia.org/resources/publications/dialogue/2_03/articles/630.html, diakses 7 september
2007
15
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah
yang telah diuraikan di atas, maka dalam hal ini peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan dengan
masih dijalankannya praktik FGM?”
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk:
1. Mendeskripsikan bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas
tubuh perempuan Sierra Leone sehubungan dengan masih adanya
praktik FGM di Sierra Leone.
2. Menganalisis sejauh mana Hak Asasi Perempuan Siera Leone dalam
mengontrol tubuhnya sehubungan dengan kekuasaan negara Sierra
Leone atas tubuh perempuan melalui praktik FGM ini.
3. Memahami bahwa untuk mewujudkan Hak Asasi Perempuan yang
seutuhnya terutama dalam kasus FGM tidak terlepas dari kekuasaan
negara atas tubuh perempuan.
16
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1. Memberikan informasi dan pengetahuan khususnya bagi perempuan
mengenai FGM serta dampak dan akibatnya bagi perempuan, sehingga
pandangan dan pendapat yang keliru mengenai FGM dapat
dihilangkan.
2. Menunjukkan bahwa Hak Asasi Perempuan terutama hak perempuan
atas kontrol tubuhnya saat ini belum murni sebagai hak yang asasi
tetapi masih dalam kuasa pemerintah negara sebagai representasi dari
kesepakatan masyarakat yang patriarki.
3. Agar perempuan sadar akan keberadaan hak asasinya, baik di ranah
privat, domestik, maupun internasional
1.4 Kerangka Pemikiran
1.4.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
feminisme. Maggie Humm20
menjelaskan feminisme sebagai sebuah ideologi
pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah
keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya,
karena ia adalah perempuan. Feminisme sebagai pendekatan mengenai perempuan
akan lebih bisa menggambarkan hal-hal mengenai diri perempuan, segala sesuatu
20
Maggie Humm, Esiklopedia Feminisme, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru, 2002, hal. 177
17
yang dialami oleh perempuan seperti halnya pelaksanaan FGM yang dialami
langsung oleh perempuan-perempuan di Sierra Leone termasuk bagaimana kontrol
negara atas tubuh perempuan Sierra Leone karena seksnya adalah perempuan, bukan
laki-laki.
Feminisme dalam hal ini lebih ditekankan pada feminisme hubungan
internasional gelombang pertama yang mengkritik teori-teori mainstream hubungan
internasional dan mempertanyakan dimana keberadaan perempuan dalam hubungan
internasional. Beberapa kritik feminisme gelombang pertama terhadap hubungan
internasional, secara garis besarnya yaitu:21
1. Hubungan internasional secara implisit terikat pada pengetahuan yang
prinsip-prinsip serta sistemnya merupakan sebuah tempat untuk
manusia yang disebut laki-laki. Hal ini disebabkan karena salah satu
karakteristik dari hubungan internasional yang mainstream
dimunculkan sebagai gender blind (hubungan internasional itu tidak
mempelihatkan adanya perbedaan gender antar aktor-aktornya).
2. Bahwa laki-laki memiliki keterkaitan yang erat dengan hubungan
internasional, sedangkan perempuan hanya ditempatkan sebagai yang
mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh laki-laki.
3. Bahwa laki-laki dalam hubungan internasional digambarkan sebagai
negara, pembuat kebijakan, tentara, teroris, dan karakter-karakter
21
Christine Sylvester. 1994. Feminist Theory and International Relations in a Postmodern Era.
Cambridge University Press. Hal. 4 -5.
18
lainnya yang menggambarkan kekuatan dan kekuasaan laki-laki itu
lebih daripada perempuan.
Selain feminisme hubungan internasional gelombang pertama peneliti juga
menggunakan feminisme radikal yang meyakini bahwa sistem seks dan gender adalah
penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan.22
Sistem seks dan gender ini
menunjukkan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki dan bahwa perbedaan itu
bukan hanya berlaku paralel tetapi lebih bersifat superior sehingga memunculkan
kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Perempuan adalah satu kelas dan laki-laki
adalah kelas yang lain. Kaum feminis radikal melihat problemnya adalah patriarki,
yaitu seluruh kekuasaan laki-laki atas perempuan.23
Intinya adalah feminis radikal menolak konsep kesetaraan gender dengan
standar laki-laki karena mereka melihat bahwa konsep yang diajukan mengacu pada
aturan masyarakat patriarki. Aturan masyarakat patriarki ini meliputi aturan yang ada
dalam institusi negara. Sierra Leone adalah sebuah negara yang bergender, seperti
kebanyakan negara-negara lain di dunia gendernya adalah maskulin. Dalam negara
yang maskulin sistem dan strukturnya akan lebih berpihak pada laki-laki. Masalah
perempuan menjadi the others apalagi ketika perbedaan biologis menjadi alasan yang
menyebabkan perempuan masih belum mendapatkan hak asasinya secara utuh. Hal
ini juga berkaitan dengan kekuasaan negara.
22
Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought , terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung, Jalasutra,
2004, hal. 69 23
Marisa Rueda, dkk. Feminisme Untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal.120
19
1.4.2 Kerangka Konseptual
Dalam Gendered States, V. Spike Peterson menjelaskan bahwa ketika
kebiasaan-kebiasaan patriakal mendahului dan memungkinkan pembentukan negara,
itulah yang merupakan awal negara yang berdasar atas sistem maskulin dan dominasi
kelas diinstusionalisasikan; eksploitasi atas perempuan sebagai sebuah „kelas
gender/seks‟ dilatarbelakangi oleh kekuasaan koersif negara dan reproduksi
pengaturan gender dijadikan sebagai akibat dari suatu rekonfigurasi ideologi yang
sah. Negara yang maskulin tidak hanya berdasarkan atas konstruksi tetapi juga
merupakan manipulasi atas ideologi penggambaran ruang publik dan ruang privat
dalam kehidupan. Negara mengggambarkan dirinya sebagai dunia politik dan
mempromosikan defenisi politik dekat dengan hubungan kekuasaan. 24
Sebagai
sebuah negara Sierra Leone memiliki gender maskulin yang berdasar atas sistem
maskulin dan dominasi kelas yang diinstitusikan. Sistem kelas di Sierra Leone ini
dipegang oleh kaum maskulin sehingga kebijakan-kebijakannya berdasarkan
pemikiran maskulin juga.
Hal ini diklaim oleh kaum feminis dengan pernyataan „personal is political‟,
dimana feminis berpendapat bahwa hubungan antara privat dan sosial pada
kenyataannya termasuk kekuasaan, biasanya ketidaksetaraan kekuasaan (power)
dilatarbelakangi oleh kekuasaan publik. Feminis juga mengklaim bahwa „the political
is personal‟ dimana manusia (laki-laki) yang menguasai kehidupan publik telah
24
V. Spike Peterson, Gendered States, Lynne Rienner Publisher Inc, 1992, hal. 33
20
menggunakan kekuatan kekuasaan mereka untuk mengatur hubungan privat dalam
kontrol politik maskulin.25
Konsep „personal is political‟ ini juga dijelaskan Cynthia Enloe dalam
bukunya Bananas, Beach and Bases dimana untuk menjawab penolakan sistem dunia
terhadap pentingnya pengalaman perempuan, feminis menegaskan bahwa tidak hanya
„personal is political‟, tetapi juga „personal is international‟. Cynthia Enloe
menjelaskan bahwa „the personal is political‟ memberi kesan bahwa politik tidak
dibentuk hanya oleh apa yang terjadi dalam debat legislatif, kedai voting, atau ruang
perang. Ketika laki-laki, yang telah mendominasi publik kehidupan, dan telah
mengatakan kepada perempuan untuk tinggal di dapur, mereka (laki-laki)
menggunakan kekuasaan publik mereka untuk mengonstruk hubungan privat dalam
segala cara yang mengandalkan kontrol politik maskulin.26
Kedua konsep ini sama-sama mengedepankan hal-hal personal yang dalam hal
ini yaitu segala sesuatu yang ada dan terjadi atas perempuan seperti pengalaman
perempuan sebagai titik tolak dalam membahas masalah perempuan. Seperti halnya
masalah perempuan yaitu FGM, adalah masalah yang perlu ditelaah dari sudut
pandang perempuan karena perempuanlah yang lebih mengerti tentang dirinya dan
bagaimana perempuan mengangkat isu-isu personal sebagai suatu hal yang akan
menghasikan konsep politik yang menguntungkan bagi dirinya. Mengacu pada
„personal is international‟, dimana pemerintahan tergantung pada berbagai macam
25
Ibid 26
Cynthia Enloe. Bananas, Beach, and Bases, London, Pandora Press, 1990, hal. 195
21
dugaan hubungan privat yang pada dasarnya untuk mendukung kebijakan luar
negerinya.27
Lingkaran pembuatan keputusan internasional seperti layaknya sebuah
men‟s club, namun politik internasional secara keseluruhan membutuhkan perempuan
untuk berpartisipasi di dalamnya.28
Bentuk partisipasi ini bisa dikaitkan dengan
terbentuknya suatu konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan yaitu CEDAW.
Menurut Simone de Beauvoir29
, seorang feminis Perancis dalam bukunya yang
berjudul The Second Sex, dijelaskan betapa begitu jelasnya diskriminasi terhadap
perempuan dalam streotip yang membedakan perempuan dan laki-laki dan
mempertanyakan “what is a woman?”:
1. Seorang laki-laki tidak pernah memulai untuk meresentasikan dirinya
sebagai seorang individu dari seks yang benar. Ia tak perlu
menekankan bahwa ia adalah seorang laki-laki. Seorang laki-laki
berada di sisi yang benar menjadi seorang laki-laki, dan sebaliknya
menjadi seorang perempuan adalah sisi yang salah.
2. Perempuan memiliki ovarium, sebuah uterus : hal inilah yang
memenjarakan perempuan ke dalam subjektivitas, dan membatasi
suatu hal yang alami dalam diri perempuan.
3. Humanitas adalah laki-laki, dan laki-laki mengartikan perempuan
tidak seperti apa adanya perempuan, tetapi sebagai relativitas laki-laki.
27
Ibid, hal. 196 28
Ibid, hal. 197 29
Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989
22
4. Laki-laki mampu berfikir dengan dirinya sendiri tanpa perempuan,
tetapi sebaliknya perempuan tidak mampu berfikir akan dirinya sendiri
tanpa laki-laki.
5. Perempuan merupakan apa yang laki-laki putuskan dan tetapkan.
Perempuan dinamakan „the sex‟ dengan maksud bahwa perempuan
muncul berguna untuk laki-laki sebagai „sexual being‟. Perempuan
hanyalah seks- absolut seks, tidak lebih.
6. Perempuan diartikan dan dibedakan dengan referensinya terhadap laki-
laki, bukan terhadap perempuan itu sendiri. Perempuan adalah suatu
kebetulan. Dengan demikian laki-laki adalah subjek, laki-laki adalah
absolut, sedangkan perempuan adalah yang lainnya (the Other).
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa perempuan sebagai inferior dan
laki-laki sebagai superior. Hal inilah yang menyebabkan perempuan sering mendapat
tindak kekerasan yang melanggar Hak Asasi Perempuan. Feminis radikal menyatakan
bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental dari opresi terhadap
perempuan. Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, klaim tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:30
1. Bahwa perempuan adalah, secara historis kelompok teropresi yang
pertama.
30
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Though, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung ,
Jalasutra, 2004, Hal. 69
23
2. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang paling menyebar, dan
ada di dalam hampir setiap masyarakat yang diketahui.
3. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti
bahwa opresi ini merupakan bentuk opresi yang paling sulit
dihapuskan, dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan sosial yang
lain, misalnya dengan penghapusan masyarakat kelas.
4. Bahwa opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang
paling buruk bagi korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,
meskipun penderitaan yang ditimbulkan muncul dengan tidak disadari
karena adanya prasangka seksis, baik dari pihak opresor maupun dari
pihak korban.
5. Bahwa opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual
terhadap opresi yang lain.
Ideologi patriakal, menurut Millet, membesar-besarkan perbedaan biologis
antara laki-laki dan perempuan, dan memastikan bahwa laki-laki selalu mempunyai
peran yang maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu mempunyai peran
yang subordinat, atau feminin. Ideologi ini begitu kuat, hingga laki-laki biasanya
mampu mendapatkan persetujuan dari perempuan yang mereka opresi.31
Perbedaan biologis inilah yang merupakan salah satu sumber
ketidakberuntungan perempuan dimana perempuan yang sudah terkonstruksi sebagai
makhluk yang lemah akan mudah teropresi. Dalam kasus FGM, perempuan Sierra
31
Ibid, hal. 73
24
Leone cenderung menerima opresi atas dirinya yaitu praktik FGM sebagai salah satu
ciri yang mereka yakini sebagai bagian dari memperkuat femininitas mereka. Hal ini
berkaitan erat dengan politik dan kekuasaan sebagai alat untuk membentuk opresi
atas perempuan tersebut.
Millet berpendapat bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-
laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. Konsep
ini didukung oleh Foucault yang melihat bahwa relasi antara kuasa dan seksualitas
selalu terjebak dalam lima hal pokok, yaitu:32
1. Kuasa dan seks selalu bersifat negatif, dimana ia berisi pengendalian,
penyangkalan serta pengucilan dan selalu mengatakan tidak untuk
kenikmatan seksual.
2. Seks selalu dipandang sebagai sesuatu yang berposisi biner halal-
haram, dilarang-tidak dilarang, boleh-tidak boleh. Pandangan ini
secara yuridis menempatkan kuasa yang selalu memasung seksualitas.
3. Seks selalu dipandang dengan siklus larangan, dengan dominan kata
“jangan!”; jangan menyentuh; dilarang menikmati; tidak boleh
membicarakannya.
4. Logika sensor/pemotongan yang menegaskan pelarangan seks.
Menolak keberadaannya dengan tidak mendekatinya,
membicarakannya, serta mewacanakannya.
32
Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin, Yogyakarta, INSISTPress, 2007, hal. 52
25
5. Lahirnya beberapa aparatus seragam yang bergerak dalam wadah
hukum, penyensoran, dan peradilan.
Salah satu kontrol seksualitas yang timbul atas kuasa ilmiah adalah kontrol terhadap
tubuh perempuan, di mana secara seksual ia hanya mempunyai peran-peran yang
cenderung bersifat feminin dan domestik seperti melahirkan, menyusui, dan
melahirkan anak.33
Ini disebutkan Hatib Abdul Kadir dalam bukunya Tangan Kuasa
dalam Kelamin.
Simone de Beauvoir dalam bukunya the Second Sex mengatakan bahwa
seksualitas memainkan peran sangat penting dalam kehidupan manusia; bahkan dapat
dikatakan menyebar ke seluruh kehidupan.34
Sehingga masalah seks ini juga menjadi
sasaran kejahatan terhadap perempuan. Kejahatan seksual merupakan salah satu
bentuk pelanggaran hak asasi perempuan, dimana secara umum karakteristik dari
setiap kebudayaan manusia merupakan kualitas ketahanan terhadap ketidaksamaan
gender.35
Kebudayaan erat kaitannya dengan mitos. Beberapa mitos lebih
menguntungkan bagi kasta yang berkuasa daripada mitos tentang perempuan: hal itu
membenarkan semua hak istimewa mereka bahkan mengesahkan
penyalahgunaannya. Kaum laki-laki tidak perlu terganggu dengan rasa sakit dan
beban yang secara kejiwaan banyak dialami nasib perempuan: karena hal-hal
tersebut “disengaja oleh alam”, mereka tetap mempergunakannya sebagai dalih untuk
33
Ibid. Hal. 59 34
Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989, hal 64 35
James W. Presscot, Genital Mutilation of children: Failure of Humanity and Humanism. 2003
26
lebih meningkatkan kesengsaraan perempuan, misalnya menolak untuk menjamin hak
memperoleh kenikmatan seksual.36
Hal ini ditunjukkan dengan masih
dipertahankannya praktik FGM sebagai salah satu bentuk kekuasaan negara Sierra
Leone atas tubuh perempuannya.
1.5 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.5.1 Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah:
Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Menurut mereka pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan
individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.37
Metode kualitatif disini mengacu pada metode penelitian kualitatif yang berperspektif
feminisme, yaitu:38
1. Penelitian feminisme dituntun oleh teori feminisme
Dalam penelitian feminisme biasanya dituntun oleh teori feminisme untuk
menyusun pertanyaan-pertanyaan dan menafsirkan data. Variabel yang
digunakan adalah gender, keperempuanan, dan kekuasaan atau pengalaman
sebagai hubungan yang diselidiki. Dengan menerapkan teori feminisme, para
36
Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989, hal. 380 37
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2000, hal.3 38
Shulamit Reinharz, Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Women Research
Institute.1992
27
peneliti feminis berupaya untuk memperlihatkan jangkauan yang politis ke
wilayah-wilayah yang sejauh ini dianggap sebagai wilayah personal, di
samping wilayah yang selalu dipandang sebagai yang politis. Perspektif
feminisme membuka kemampuan melihat dan menganalisis politik gender dan
konflik gender.
2. Penelitian feminisme mengedepankan advokasi perspektif dan posisi nilai
feminisme.
Nilai-nilai feminisme yang memperjuangkan kebebasan hak-hak asasi
perempuan sangat ditonjolkan dalam hal ini. Nilai-nilai ini tidak terlepas dari
pengalaman personal perempuan dan pengalaman menjadi perempuan.
Feminisme menjunjung tinggi kesetaraan serta keadilan gender dengan tidak
menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki.
Sehingga nilai-nilai feminisme ini sering berbenturan dengan kenyataan yang
diteliti, untuk itu sangat dimunculkan kritik atas segala pelanggaran nilai-nilai
hak asasi perempuan yang belum terbebaskan tersebut karena tidak sesuai
dengan nilai feminisme.
3. Penelitian feminisme sensitif terhadap bagaimana hubungan antar gender dan
kekuasaan yang terserap dalam semua aspek kehidupan.
Dalam hal ini, segala sesuatu yang dimunculkan dalam penelitian ini
diupayakan sensitif dalam membaca ketimpangan-ketimpangan atas
ketertindasan salah satu jenis kelamin atas nama gender. Kekuasaan atas
penindasan gender ini harus mampu dibaca dalam penelitian feminisme secara
28
mendalam karena akan terdapat hubungan antara sebuah kekuasaan atas
ketertindasan perempuan dengan bentuk kekuasaan atas ketertindasan yang
lainnya.
4. Penelitian feminisme bersifat lintas disiplin
Sebagai fenomena postmodern, penelitian feminisme melebur genre dengan
melebur disiplin. Akar terhadap penindasan perempuan tersembunyi dibalik
berbagai disiplin dan sisi-sisi kehidupan. Untuk itu penelitian feminisme
sangat perlu untuk melakukan kajian lintas ilmu. Harus ada lebih banyak
investigasi empiris dan lintas budaya terhadap pengalaman hidup perempuan.
5. Penelitian feminisme bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial
Bagi banyak feminis, penelitian diwajibkan memberi sumbangan pada
perubahan sosial lewat penyadaran atau rekomendasi kebijakan spesifik.
Penelitian feminisme ini biasanya disertai dengan banyak kritikan yang tajam
atas bentuk-bentuk ketidakadilan atas perempuan, sehingga bisa
menginspirasikan solusi atas permasalahan yang ada karena penelitian feminis
merupakan pembongkaran atas suatu fenomena secara dalam.
6. Penelitian feminisme menyertakan peneliti sebagai seorang pribadi.
Keterlibatan peneliti diperlukan dalam analisa serta kritik feminisme. Dalam
hal ini penelitian feminis adalah penelitian yang dilakukan oleh seorang
feminis. Hal ini merupakan syarat ketika pengalaman personal peneliti sebagai
feminis dalam menganalisa serta memperkuat nilai-nilai serta kritik dalam
penelitian feminisme.
29
7. Penelitian feminisme sering menentukan hubungan khusus dengan pembaca
Penelitian feminisme memiliki keinginan untuk menghadapkan langsung
pembaca dan mempertautkan pembaca dan orang-orang yang ditelitinya lewat
dirinya. Sehingga dalam hal ini akan dipaparkan data-data berupa pernyataan
langsung dari objek yang diteliti, baik itu wawancara dengan nara sumber
ataupun penggambaran pengalaman nara sumber. Tujuannya adalah pembaca
dapat merasakan apa yang objek peneliti rasakan, sehingga akan timbul
sebuah penggugahan. Selain itu penelitian feminisme juga berusaha menyapa
pembaca dengan harapan bahwa pembaca akan membebaskan diri sendiri dari
nilai patriarki.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi kasus untuk memberi
ilustrasi suatu ide, menerangkan proses perkembangan melintasi waktu, menunjukkan
batas-batas generalisasi, menjelajahi isu-isu yang tidak terpetakan dengan bermula
pada kasus yang terbatas, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang.
Minat peneliti sebagai feminis pada studi kasus berasal dari keinginan untuk
meluruskan penelitian yang dinodai oleh gynopia39
, misogini40
dan penyusunan teori
yang didominasi laki-laki.
Penerapan studi kasus ini merujuk pada kasus tunggal atau isu tunggal, dalam
hal ini peneliti memfokuskan pada kasus praktik Female Genital Mutilation di negara
Sierra Leone. Berdasarkan tiga tujuan utama studi kasus feminis yaitu:
39
Gynopia adalah ketidakmampuan untuk memandang keberadaan perempuan atau untuk memandang
perempuan dalam cara yang tidak rancu. 40
Misogini adalah kebencian pada perempuan.
30
1. Menguji teori, dimana pada bab. 2 peneliti akan memaparkan teori
feminisme radikal dan seks serta gender dalam hubungan internasional
sehingga membulatkan sebuah konsep mengenai kekuasaan negara atas
tubuh perempuan.
2. Menganalisis perubahan fenomena sepanjang waktu. Dalam hal ini
peneliti menggambarkan fenomena FGM di Sierra Leone sebagai sebuah
fenomena pelanggaran HAP yang tidak tersentuh oleh negara dari waktu-
ke waktu. Ini tergambar dalam latar belakang dan indentifikasi masalah
pada bab.1, lalu dilanjutkan pada bab.3, 4 dan 5.
3. Menganalisis hubungan antar bagian dari fenomena. Maksudnya disini
adalah bagaimana FGM sebagai sebuah fenomena global menyentuh sisi-
sisi lain dari sekedar FGM sebagai sebuah kebudayaan, tetapi juga
mengandung unsur-unsur politis, mitos, kekuasaan atas tubuh perempuan
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai bentuk dari
pelanggaran atas HAP. Analisis ini digambarkan pada bab.5 sebagai bab
hasil dan pembahasan kasus. Keterhubungan ini pada akhirnya juga akan
kembali memunculkan fenomena baru yang layak untuk kembali diteliti,
sebagaimana digambarkan pada bab akhir dalam penelitian ini.
Studi kasus feminis terdiri dari deskripsi mengenai suatu peristiwa, orang,
atau kelompok, organisasi, atau komunitas tunggal. Untuk melengkapi pendeskripsian
ini, maka peneliti memasukkan data berupa pengalaman perempuan Sierra Leone itu
sendiri sebagai individu, mengumpulkan data dari organisasi yang ada di Sierra
31
Leone ataupun organisasi di luar Sierra Leone namun bekerja untuk Sierra Leone.
Selain itu data dari komunitas tunggal berupa komunitas yang memperjuangkan
HAM dan HAP juga menjadi fokus peneliti dalam mengumpulkan data untuk
melengkapi deskripsi mengenai studi kasus FGM di Sierra Leone beserta analisisnya.
Pada intinya metode kualitatif yang berperspektif feminis yang peneliti
gunakan akan selalu berpijak pada nilai-nilai feminisme dan hal ini akan diperkuat
oleh keterlibatan peneliti sendiri sebagai seorang feminis. Sehingga setiap kata dan
makna yang ada pada tulisan dalam penelitian ini akan selalu dibaca melalui
perspektif feminisme itu sendiri.
1.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Penulis melakukan pengumpulan data melalui teknik studi kepustakaan
(library research), yang ditujukan untuk memperoleh data-data dan informasi-
informasi sekunder yang diperlukan dan relevan dengan penelitian, yang bersumber
dari buku-buku, majalah, surat kabar, jurnal, serta sumber-sumber informasi lainnya
seperti data-data yang terdokumentasikan melalui situs-situs internet yang
bersangkutan.
Penelitian ini juga direncanakan akan melakukan wawancara dengan beberapa
key informan mengenai masalah ini. Peneliti direncanakan melakukan wawancara
langsung dengan cara bertatap muka dengan informan untuk memperoleh data-data
primer.
32
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
1.5.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa instansi dan perpustakaan yang dianggap
relevan untuk mengumpulkan data-data penelitian, yaitu:
1. Perpustakaan Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21,
Jatinangor, Sumedang;
2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran.
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang;
3. Perpustakaan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jl. Taman
Pejambon No.6, Gedung eks BP-7, Jakarta Pusat;
4. Perpustakaan Lembaga Kajian Wanita Universitas Indonesia, Jl. Salemba
Raya 4, Jakarta;
5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jl. Latuhahary No. 4B Menteng Jakarta
Pusat
6. Yayasan Jurnal Perempuan, Jl. Tebet Barat VIII no. 27 Jakarta Selatan.
1.6.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai dari bulan September 2007 berakhir di bulan
Februari 2008.
33
1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini akan disusun dalam enam bagian yang disesuaikan
dengan kebutuhan penelitian. Sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
1. BAB I: PENDAHULUAN. Bab ini berisikan apa-apa yang melatarbelakangi
peneliti memilih studi kasus FGM di Sierra Leone sebagai fokus kajian dalam
membahas kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Bab ini menyajikan
pendekatan dan kerangka pemikiran, tujuan serta kegunaan penelitian ini yang
berdasar pada perspektif feminisme. Selain itu juga dipaparkan metode
penelitian yaitu kualitatif berperspektif feminis sebagai landasan bahwa
penelitian ini adalah penelitian feminis. Tempat penelitian yang peneliti tuju
juga kebanyakan akan dilakukan di lembaga-lembaga yang bergerak untuk
masalah perempuan.
2. BAB II: KEKUASAAN NEGARA ATAS TUBUH PEREMPUAN:
FEMINISME. Bab ini merupakan kajian pustaka yang berisi konsep-konsep
dan teori-teori yang peneliti gunakan sebagai pisau analisis. Peneliti
menurunkan pendekatan feminisme melalui aliran feminisme radikal dan seks
dan gender dalam hubungan internasional. Sehingga menjadikan sebuah
paduan konsep untuk menganalisis masalah kekuasaan negara atas tubuh
perempuan dalam kasus FGM.
3. BAB III: FEMALE GENITAL MUTILATION. Bab ini akan memaparkan apa
yang menjadi obyek penelitian yaitu FGM. Dalam bab ini dipaparkan
34
gambaran FGM secara umum dan bagaimana FGM ini menyakiti tubuh
perempuan.
4. BAB IV: SIERRA LEONE. Bab ini merupakan kelanjutan dari bab
sebelumnya yang berisikan objek kajian tentang Sierra Leone tempat dimana
FGM itu berlangsung. Disini digambarkan bagaimana keadaan umum negara
ini serta bagaimana kekerasan terhadap perempuan beroperasi di negara ini
khususnya FGM.
5. BAB V: FGM SEBAGAI BENTUK KEKUASAAN NEGARA SIERRA
LEONE ATAS TUBUH PEREMPUAN SIERRA LEONE. Bab ini akan
memaparkan hasil penelitian dan analisis pembahasan,. Melalui pisau analisis
pada bab.2, maka dalam bab ini akan diuraikan bagaimana sesungguhnya
bentuk nyata kekuasaan negara Sierra Leone ini terhadap tubuh
perempuannya. Melalui pendekatan feminisme akan diungkap bahwa FGM
itu adalah sebuah pelanggaran HAP atas nama kekuasaan negara.
6. BAB VI: APA GUNANYA NEGARA BAGI PEREMPUAN?. Pada bab ini
akan berisikan kesimpulan dari pembahasan tentang kekuasaan negara atas
tubuh perempuan melalui studi kaus FGM di Sierra Leone. Kesimpulan dan
saran yang diberikan merupakan bagian dari nilai-nilai dan perjuangan
feminisme yaitu mewujudkan kembali hak perempuan atas tubuhnya tanpa
dikuasai oleh negara dan kekuasaan-kekuasaan lain yang bernaung di
dalamnya.
35
BAB II
KEKUASAAN NEGARA ATAS TUBUH PEREMPUAN : PENDEKATAN
FEMINISME
Bab ini berisi kajian pustaka yaitu teori-teori dan konsep-konsep yang relevan
yang akan peneliti gunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.
2.1 Feminisme
Meminjam istilah Simone de Beauvoir seorang feminis Prancis dalam the
Second Sex41
, perempuan dalam masyarakat patriarki diidentikkan sebagai the other
dengan laki-laki menempati posisi core-nya. Sebagai the other, perempuan seringkali
mengalami berbagai tindakan diskriminasi dalam berbagai sektor kehidupannya.
Diskriminasi dalam hal ini dapat didefenisikan sebagaimana pasal 1 CEDAW:
Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan
atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau apapun
karena statusnya sebagai perempuan .
Feminisme lahir atas dasar diskriminasi terhadap perempuan ini yang
bertujuan untuk membebaskan perempuan menuntut hak-hak mereka sebagai
manusia yang seutuhnya dengan menentang relasi antara laki-laki sebagai core dan
41
Simone de Beauvoir. The Second Sex. New York: Vintage.1989. Sebuah karya fundamental Simone
de Beavoir mengenai feminisme yang erat kaitannya dengan konsep penubuhan perempuan serta
pembedaan seks dan gender.
36
perempuan sebagai the other dan melawan segenap struktur kekuasaan, hukum, dan
aturan-aturan yang menjadikan kaum perempuan sebagai yang direndahkan,
subordinat, dan dijadikan kelas kedua setelah laki-laki sebagai kelas utama.42
Feminisme ini tidak terlepas dari masalah gender dan seks. Gender
merupakan sejumlah atribut perilaku yang dibentuk secara kultural dan dikenakan
pada diri perempuan dan laki-laki.43
Gender tidak mengacu pada perbedaan biologis
antara perempuan dan laki-laki melainkan hubungan ideologis dan materil antara
kedua kelompok jenis kelamin tersebut44
. Simone de Beauvoir sendiri menetapkan
konsep gender sebagai “One is not born, but rather becomes, a woman”. Seseorang
tidak dilahirkan perempuan, tetapi menjadi perempuan. Ini berarti bahwa bukan
hanya faktor biologis saja yang menjadi patokan seseorang menjadi perempuan tetapi
juga dipengaruhi oleh lingkungan dan peradaban dimana ia berada.
Jika gender adalah istilah yang mengacu pada kultural maka seks mengacu
kepada jenis kelamin. Pembedaan konsep antara seks dan gender ini merupakan hal
yang penting dalam pendekatan feminisme karena sangat berguna dalam menjelaskan
bahwa situasi opresif yang dihadapi perempuan bukanlah suatu takdir dan bukan juga
sesuatu yang alamiah. Perempuan secara biologis berbeda dengan perempuan secara
sosial kultural. Namun masyarakat patriakal membentuk suatu konstruk yang
42
Feminisme untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal. 3 43
Maggie Humm, Esiklopedia Feminisme, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2002,hal. 177 44
Jill Steans, Gender and International Relations: An Introduction (Oxford: Polity Press,1998), hal. 10
37
menyituasikan bahwa perempuan adalah perempuan secara biologis dan karena itu
harus menjadi feminin, yang bermakna perempuan secara kultural.45
Nilai-nilai perempuan secara kultural ditetapkan oleh masyarakat patriakal
sebagai manusia yang memiliki sifat-sifat tertentu yang berbeda dengan sifat-sifat
yang dimiliki laki-laki. Berikut tabel yang menggambarkan sebagian dari sifat-sifat
tersebut:
Tabel.1
Stereotip46
Karakter Perempuan dan Laki-Laki
Laki-laki Perempuan
Agresif Pasif
Rasional Tidak rasional
Kuat dan perkasa Lemah dan lembut
Asertif Mengalah
Sumber: Peneliti
Sifat-sifat yang ditentukan oleh masyarakat patriakal ini merupakan sebuah kondisi
yang menekankan pada bagaimana seharusnya seorang perempuan dan laki-laki
sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat patriakal bukan merupakan sesuatu
yang intrinsik dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin tersebut. Walaupun tidak
45
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra dan Budaya
Pop,Yogyakarta&Bandung, 2006, hal.51-52 46
Stereotipe adalah sebuah pelabelan yang dikenakan terhadap suatu objek dalam hal ini perempuan
dan laki-laki ,biasanya pelabelan ini berkonotasi negatif sehingga tercipta sebuah kondisi sobordinasi
dimana satu pihak akan lebih rendah dari pihak yang lain
38
mewakili suatu kebenaran, stereotip ini dipercayai validitasnya dan diwariskan secara
turun temurun dalam masyarakat patriarki.
Kaum feminis menolak stereotip yang diciptakan oleh masyarakat patriakal
tersebut. Seseorang yang lahir dengan vagina adalah suatu fakta yang tidak dapat
ditolak, karena itu ia dinamai perempuan, tetapi fakta tersebut tidak berarti bisa
menggambarkan perempuan tersebut secara keseluruhan. Fakta tersebut adalah suatu
bagian dari proses menjadi perempuan, karena bagian dari menjadi tersebut
mencakup ke dalam elemen budaya, sosial, lokasi, ras, etnisitas, dan elemen lain
yang menjadi bagian dari proses menjadi tersebut.47
Sebagaimana dengan tubuh,
sebagai salah satu elemen yang sangat penting dalam proses menjadi perempuan,
tubuh juga bukan merupakan sesuatu yang ajeg tetapi tubuh itu adalah situasi.
Kebanyakan masyarakat dalam budaya patriarki mendefenisikan tubuh bukan
sebagai situasi tetapi sebagai benda. Seperti halnya pandangan Decrates yang
mengatakan bahwa tubuh itu tidak lebih dari tubuh biologis yang ditentukan oleh
fungsi biologis organnya.48
Perempuan dengan rahim yang ada pada tubuhnya
difungsikan untuk mengandung dan melahirkan anak dan kemudian dikonstruksikan
menjadi peran ibu yang merawat anak tersebut sekaligus rumah dan suaminya. Hal
inilah yang diklaim oleh feminis sebagai opresi terhadap sistem seks dan gender.
Bahwa ketika seorang perempuan dilahirkan dengan vagina, kemudian mengalami
47
Ibid, hal 53 48
Shirley Lie, Pembebasan Tubuh Perempuan Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya
Patriakat, Jakarta, grasindo, 2005, hal. 14
39
perkembangan payudara dan rahim, ia seakan-akan diharuskan dan terkungkung
dengan fakta biologisnya tersebut.
Simone de Beauvoir menyatakan bahwa perempuan seharusnya tidak merasa
rendah dengan segala yang ada pada tubuhnya seperti halnya menstruasi, perempuan
harus menolak untuk merasa konyol dengan kehamilannya, bahwa perempuan harus
merasa bangga dengan tubuhnya, dan seksualitas perempuannya Pernyataan ini
kembali didukung oleh Simone de Beauvoir:49
Tidak ada alasan sama sekali untuk terjebak dalam sesuatu yang sudah
merupakan ”takdir”, suatu sistem yang kemudian menjadi kebudayaan
dan harus menekan hal-hal kodrati itu. Perempuan mempunyai hak penuh
untuk menjadi bangga sebagai perempuan, seperti juga laki-laki bangga
menjadi laki-laki. Pada akhirnya laki-laki memang berhak bangga atas
kelaki-lakiannya dengan syarat tentu saja bahwa laki-laki tidak
mengambil hak perempuan untuk juga memiliki kebanggaan yang sama
menjadi perempuan. Setiap orang dapat bahagia dengan tubuhnya. Tetapi
tidak selayaknya kita menempatkan tubuh sebagai pusat dari jagad ini.
Perempuan memiliki keistimewaan dalam tubuhnya yang dapat membuat
perempuan bangga atas diri dan tubuhnya. Dalam buku the Vagina Monologues, Eve
Ensler mengatakan bahwa salah satu bagian perempuan yang fungsinya adalah untuk
merasakan kenikmatan semata yaitu klitoris. Ini disebabkan karena klitoris ini
memiliki banyak kumpulan syaraf. Terdapat sekitar 8000 syaraf dan jumlah ini
melebihi bagian tubuh manapun, termasuk lidah, ujung jari, dan bibir. Jumlah syaraf
yang ada pada klitoris ini melebihi jumlah syaraf yang ada pada penis.50
Inilah salah
49
Diadopsi dari Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro,
Bandung , Jalasutra, 2004, Hal. 281 50
Arians Athena, Seksualitas Lesbian, dalam Jurnal Perempuan edisi. 41
40
satu contoh bahwa tubuh perempuan itu adalah sesuatu yang merupakan kebanggaan
bukan sesuatu yang memalukan atau menjijikkan sebagaimana yang dikonstruksikan
oleh wacana patriarki.
Opresi terhadap perempuan ini tidak hanya bekerja pada tingkat sosial
kultural tetapi juga pada tingkatan tubuh. Perempuan dengan segala elemen tubuh
yang dimilikinya menanggung stereotip sebagai manusia yang lemah dan
memerlukan laki-laki sebagai penjaganya. Persoalan tubuh perempuan ini erat
kaitannya dengan masalah seksualitas yang merupakan salah satu bagian dalam
feminisme dimana pembebasan perempuan bukanlah hanya mengenai hak-hak dan
ketidakadilan terhadap kaum perempuan, namun mengenai bagian paling intim dari
tubuh perempuan. Jika selama ini pandangan dominan mengenai seks selama
berabad-abad didasarkan pada penetrasi dan orgasme laki-laki, kaum feminis
menyuarakan kenikmatan dari klitoris sebagai satu-satunya organ manusia yang
fungsi satu-satunya ialah kenikmatan.51
, sementara ia hanya ada pada tubuh
perempuan, tidak pada laki-laki.
Melihat begitu kompleks dan indahnya elemen-elemen yang ada pada tubuh
perempuan membuat masyarakat patriarki menetapkan batasan-batasan yang
mengungkung tubuh perempuan ini dalam sebuah sangkar yang disebut moral,
agama, budaya, dan berbagai macam bentuk kurungan lainnya yang menjadikan
tubuh perempuan sebagai salah satu akar opresi terhadap diri dan kehidupan
perempuan. Dalam hal ini feminisme sebagai salah satu ideologi pembebasan
51
Feminisme untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal. 134-135
41
perempuan membuat suatu kerangka konseptual dimana ada dua cabang dari
feminisme yang lebih fokus dalam membahas hal ini yaitu feminisme gelombang
kedua yang lebih bertumpu pada aliran feminisme radikal yang mengasumsikan seks
sebagai akar dari opresi terhadap perempuan dan feminisme hubungan internasional
gelombang pertama yang bertumpu pada masalah seks dan gender dalam hubungan
internasional.
2.1.1 Feminisme Radikal
Feminisme radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970-an dimana aliran ini
menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran
ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis
kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan
industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu
fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Menurut Alison Jaggar dan Paula
Rothenberg, klaim tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:52
1. Bahwa perempuan adalah, secara historis kelompok teropresi yang pertama53
.
2. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang paling menyebar, dan ada di
dalam hampir setiap masyarakat yang diketahui.
52
Rosemarie Putnam Tong.. Feminist Thought , terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung :
Jalasutra, 2004, Hal. 69 53
Yang pertama maksudnya adalah bahwa dari semua bentuk opresi terhadap manusia, perempuan
selalu menjadi orang yang utama sebagai korban dari berbagai bentuk tindakan opresi tersebut.
42
3. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti bahwa
opresi ini merupakan bentuk opresi yang paling sulit dihapuskan, dan tidak
dapat dihilangkan dengan perubahan sosial yang lain, misalnya dengan
penghapusan masyarakat kelas.
4. Bahwa opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling
buruk bagi korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, meskipun
penderitaan yang ditimbulkan muncul dengan tidak disadari karena adanya
prasangka seksis, baik dari pihak opresor maupun dari pihak korban.
5. Bahwa opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual terhadap
opresi yang lain.
Opresi terhadap kaum perempuan ini diklaim oleh femimins radikal sebagai
akibat sistem patriarki yaitu: seluruh sistem kekuasaan laki-laki atas perempuan.
Penguasa laki-laki, tatanan militer, industri, politik dan agama yang laki-laki, serikat-
serikat buruh yang laki-laki dan kelompok kiri yang didominasi oleh laki-laki
semuanya merupakan bagian dari patriarki yang memperkuat dan diperkuat oleh
kekuasaan individu laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga mereka.54
Ideologi patriarki, menurut Millet dalam Sexual Politics, membesar-besarkan
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dan memastikan bahwa laki-laki
selalu mempunyai peran maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu
mempunyai peran yang subordinat, atau feminin dengan menggunakan sistem seks
dan gender sebagai suatu rangkaian pengaturan untuk menransformasi seksualitas
54
Feminisme untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal 120
43
biologis menjadi produk kegiatan manusia. Seperti halnya masyarakat patriarki
menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki (kromosom,
anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku
feminin dan maskulin untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan.
Dalam hal ini, masyarakat patriarki meyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi
budayanya adalah alamiah dan oleh sebab itu normalitas seseorang bergantung pada
kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender yang secara
kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.55
Menurut Simone de
Beauvoir terdapat beberapa hal mengenai streotip yang membedakan perempuan dan
laki-laki dan hal ini mempertanyakan “what is a woman?”:56
1. Seorang laki-laki tidak pernah memulai untuk memprentasikan dirinya
sebagai seorang individu dari seks yang benar. Ia tak perlu menekankan
bahwa ia adalah seorang laki-laki. Seorang laki-laki berada di sisi yang
benar menjadi seorang laki-laki, dan sebaliknya menjadi seorang
perempuan adalah sisi yang salah.
2. Perempuan memiliki ovarium, sebuah uterus : hal inilah yang
memenjarakan perempuan ke dalam subjektivitas, dan membatasi suatu
hal yang alami dalam diri perempuan.
3. Humanitas adalah laki-laki, dan laki-laki mengartikan perempuan tidak
seperti apa adanya perempuan, tetapi sebagai relativitas laki-laki.
55
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro Bandung : Jalasutra,
2004, hal. 72 56
Simone de Beauvoir. The Second Sex. New York: Vintage.1989.
44
4. Laki-laki mampu berfikir dengan dirinya sendiri tanpa perempuan, tetapi
sebaliknya perempuan tidak mampu berfikir akan dirinya sendiri tanpa
laki-laki.
5. Perempuan merupakan apa yang laki-laki putuskan dan tetapkan.
Perempuan dinamakan „the sex‟ dengan maksud bahwa perempuan
muncul berguna untuk laki-laki sebagai „sexual being‟. Perempuan
hanyalah seks- absolut seks, tidak lebih.
6. Perempuan diartikan dan dibedakan dengan referensinya terhadap laki-
laki, bukan terhadap perempuan itu sendiri. Perempuan adalah suatu
kebetulan. Dengan demikian laki-laki adalah subjek, laki-laki adalah
absolut, sedangkan perempuan adalah yang lainnya (the Other).
Feminis Radikal mengklaim bahwa gender itu terpisah dari seks, dan
masyarakat patriarki menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan bahwa
perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan
persetujuan, baik ,dan ramah) dan laki laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin
tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, dan kompetitif). Seks
selama ini mungkin adalah gender, karena itu bagi masyarakat patriarki tubuh
dikonstruksi untuk menampilkan suatu gender tertentu yang sudah dikonstruksi
terlebih dahulu sebelum tubuh itu sendiri ada.57
Karena itu cara bagi perempuan untuk
menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, adalah dengan
57
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra dan Budaya
Pop,Yogyakarta&Bandung, 2006, hal.52
45
pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan menjadi pasif, seperti
juga laki-laki tidak ditakdirkan menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan
kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling merefleksikan
kepribadian unik mereka masing-masing.58
Perempuan tidak seharusnya menjadi
feminin dengan takaran nilai-nilai feminin yang ditentukan oleh masyarakat patriarki
karena sesungguhnya begitu banyak perempuan mengandung kedua nilai-nilai baik
feminin ataupun maskulin. Sehingga tidak selayaknya seorang perempuan harus
terjebak untuk mengikuti nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat patriarki
tersebut.
2.1.2 Seks dan Gender dalam Hubungan Internasional
Memasuki abad ke-20 dunia dihadapkan pada permasalahan-permasalahan
global yang semakin meningkat hingga kemunculannya tidak dapat dipecahkan oleh
teori-teori hubungan internasional mainstream yang ada. Ketika penelitian
kontemporer terhadap negara mulai berpengaruh terhadap lahan hubungan
internasional, tidak satupun yang memberikan perhatian terhadap gender, para
peneliti negara tidak memunculkan peran bahwa pembagian kerja yang bergender dan
kekuasaan memainkan peran dalam memelihara negara dan fungsinya, mereka juga
tidak menyelidiki implikasi dari fakta bahwa sebagian besar dunia publik negara dan
kekuasaan politik antar negara didominasi oleh laki-laki. Jika kita melihat pada
58
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro Bandung , Jalasutra,
2004. hal. 73
46
pembagian kerja dan power yang bergender, kita akan menyetujui bahwa negara-
negara modern dan sistem kontemporer antar negara tergantung pada pemeliharaan
dan hubungan ketidakadilan gender.59
Hal inilah yang di klaim oleh kaum feminis
dimana mereka mengkritik teori-teori mainstream hubungan internasional sekaligus
mempertanyakan dimana keberadaan perempuan dalam hubungan internasional.
Beberapa kritik feminis terhadap hubungan internasional:60
1. Hubungan internasional secara implisit terikat pada pengetahuan yang prinsip-
prinsip serta sistemnya merupakan sebuah tempat untuk manusia yang disebut
laki-laki. Hal ini disebabkan karena salah satu karakteristik dari hubungan
internasional yang mainstream dimunculkan sebagai gender blind (hubungan
internasional itu tidak mempelihatkan adanya perbedaan gender antar aktor-
aktornya).
2. Bahwa laki-laki memiliki keterkaitan yang erat dengan hubungan
internasional, sedangkan perempuan hanya ditempatkan sebagai yang
mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh laki-laki.
3. Bahwa laki-laki dalam hubungan internasional digambarkan sebagai negara,
pembuat kebijakan, tentara, teroris, dan karakter-karakter lainnya yang
menggambarkan kekuatan dan kekuasaan laki-laki itu lebih daripada
perempuan.
59
J. Ann Tickner, “Foreward” dalam . Peterson, V Spike, Gendered States, Lynne Rienner Publisher
Inc, 1992. 60
Christine Sylvester. 1994. Feminist Theory and International Relations in a Postmodern Era.
Cambridge University Press. Hal. 4 -5.
47
Negara sebagai aktor yang dominan dalam hubungan internasional dan
menjadi aktor penting dalam realisme sudah tidak mampu lagi menjawab segala
permasalahan dalam hubungan internasional karena sebagai yang bergender, negara
memihak salah satu gender yang dominan yaitu maskulin. V. Spike Peterson61
dalam
bukunya yang berjudul Gendered State menjelaskan bahwa ketika kebiasaan-
kebiasaan patriakal mendahului dan memungkinkan pembentukan negara, itulah yang
merupakan awal negara yang berdasar atas sistem maskulin dan dominasi kelas
diinstusionalisasikan; eksploitasi atas perempuan sebagai sebuah „kelas gender/seks‟
dilatarbelakangi oleh kekuasaan koersif negara dan reproduksi pengaturan gender
dijadikan sebagai akibat dari suatu rekonfigurasi ideologi yang sah. Negara yang
maskulin tidak hanya berdasarkan atas konstruksi tetapi juga merupakan manipulasi
atas ideologi penggambaran ruang publik dan ruang privat dalam kehidupan.
Ideologi ini berasal dari ilmu pengetahuan yang berlaku dalam masyarakat
dibuat oleh laki-laki dan pengetahuan ini dikenal sebagai pengetahuan manusia tanpa
mempertimbangkan perempuan. Sehingga teori, konsep, dan metodologi serta
tujuannya diklaim sebagai hasil pemikiran manusia. Dengan demikian implikasi dari
fakta bahwa pengertian publik atas kealamian negara serta tujuan-tujuan dibentuknya
negara otomatis dianalisis berdasar atas pengalaman laki-laki.
61
V. Spike Peterson, “Security and Sovereign State” dalam Peterson, V Spike, Gendered States. Lynne
Rienner Publisher Inc, 1992
48
Negara mengggambarkan dirinya sebagai dunia politik dan mempromosikan
defenisi politik dekat dengan hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan ini
berkaitan dengan tiga macam dikotomis dalam konsep negara:62
1. Pembagian antara publik-privat dan produksi-reproduksi telah
dimunculkan kepermukaan secara berulangkali sebagai sebuah prinsip
yang mengatur pembuatan negara modern. Secara historis, pembagian ini
tidak hanya dipolakan sebagai aktifitas yang saling berlawanan, tetapi juga
menuntut pengangkatan dimana yang satu lebih daripada yang lain.
Sehingga berbagai pola dari pekerjaan perempuan dicemarkan dan secara
harfiah diturunkan nilainya. Contoh jelasnya adalah masalah aktifitas
reproduktif baik biologis maupun sosial dimana secara sistematis memiliki
konsekuensi terhadap kehidupan perempuan dan pilihan-pilihan. Dalam
hal ini kaum feminis mengambil sebuah kesimpulan bahwa pembagian
kerja membutuhkan sebuah transformasi dimana tidak hanya memberikan
hak kepada perempuan untuk melakukan apa yang laki-laki lakukan tetapi
membuat sebuah kesepakatan mengenai reproduktif.
2. Pembagian wilayah publik dan privat ini juga dimunculkan dalam
dikotomi yang kedua yang dikenal dengan reason-affect, mind-body,
freedom-nessecity, abstract-concrete, culture-nature. Filosofi maskulin
mengkonstruksi politik sebagai suatu ketetapan (disembedded) dan bukan
suatu hal yang substansial (dissembodied). Dalam hal ini feminis
62
Ibid, hal.54-55
49
mengklaim bahwa politik itu not disembedded tetapi merupakan situasi
dalam kemungkinan sejarah dan kebudayaan, yang diakui sebagai dimensi
power politik dalam hubungan sosial yang asimetris dan terdiri atas
beragam pola kebudayaan dengan sistem pengetahuan yang komplek yang
berkontradiksi dengan sistem power.
3. Ketiga, pembagian hirarki dari protector-protected yang
mengkonstruksikan bahwa protected dipandang lebih rendah daripada
protector. Ini adalah hasil dari pengdikotomian kedua diatas dimana
setelah konstruksi pendikotomian tesebut berlangsung maka akan timbul
protected dan protector sebagai sebuah inferior dan superior dalam sistem
negara.
Feminis mengklaim bahwa dalam hal ini dekonstruksi diperlukan dengan
menambahkan perempuan serta pengalaman perempuan dalam struktur sistem.
Perempuan tidak lagi menjadi invisible karena pengalaman perempuan yang berbeda
berdasarkan kelas, etnis, kebangsaan, umur, orientasi seksual atau kemampuan fisik
telah dimasukan ke dalam sistem sosial yang hirarki. Kunci untuk proyek
rekonstruksi ini adalah hubungan konsep gender, feminis mengklaim bahwa semua
kehidupan sosial itu bergender. Berikut dua asumsi feminis mengenai hal ini:
1. Bahwa gender adalah konstruksi sosial, menghasilkan identitas subjektif
melalui apa yang kita lihat dan ketahui tentang dunia.
2. Bahwa isi dunia ini dibentuk oleh pengertian gender.
50
Kenyataan-kenyataan tersebut sangat jelas terlihat dalam hubungan
internasional yang mainstream yang menempatkan aktor-aktor dalam hubungan
internasional ( state-non state) sebagai representasi dari gender maskulin.
Sebagaimana dalam kegiatan-kegiatan hubungan internasional seperti di dalam
pengambilan keputusan, negosiasi internasional, bahkan perang, perempuan
seringkali tidak dilibatkan sebagai aktor utama, selalu sebagai pelengkap laki-laki.
Sebagaimana yang disebutkan Cynthia Enloe63
dalam Bananas, Beach and Bases
dimana perempuan dalam perang hanya menempati fungsi sexism, dengan contoh
nyata kasus perempuan jugun ianfu64
pada masa perang dunia ke-2.
Sebagai representasi dari kritik feminisme hubungan internasional gelombang
pertama ini, Cynthia Enloe memunculkan bahwa sesungguhnya perempuan juga ada
sebagai bagian dari hubungan internasional melalui dua konsepnya yaitu pesonal is
political dan personal is international
2.1.2.1 Personal is Political
Personal is political menekankan pada penolakan atas pendikotomian wilayah
publik dan privat dimana hal-hal yang bersifat personal dibatasi oleh politik sehingga
hubungan antara privat dan sosial pada kenyataannya termasuk kekuasaan. Biasanya
63
Cynthia Enloe. Bananas, Beach, and Bases. London: Pandora Press. 1990 64
Perempuan yang dijadikan budak seks selama perang
51
ketidaksetaraan kekuasaan (power) ini dilatarbelakangi oleh kekuasaan publik yang
bersifat politik. Politik disini tidak hanya diartikan dalam atau antar negara saja tetapi
politik juga berarti hubungan pribadi laki-laki atas perempuan sebagai kelas sosial,
politik juga berarti pertarungan perempuan atas kedaulatan tubuhnya. 65
Ini
menjelaskan bagaimana pada wacana hak asasi perempuan, konsep personal is
political sangat membantu untuk menempatkan kekerasan domestik sebagai sebuah
isu internasional yang mencakup pelanggaran hak asasi manusia yang dipandang
sebagai sebuah masalah yang bersifat publik bahkan mengglobal.
Feminis juga mengklaim bahwa „the political is personal‟ dimana manusia
(laki-laki) yang menguasai kehidupan publik telah menggunakan kekuatan kekuasaan
mereka untuk mengatur hubungan privat dalam kontrol politik maskulin. 66
Dalam hal
ini kekuasaan yang telah lebih dahulu diperoleh laki-laki menjadikan mereka
memanfaatkan ini sebagai suatu politik penguasaan terhadap ranah privat yang telah
dikonstruksi sebagai tempat perempuan ada.
2.1.2.2. Personal is International
Personal is international adalah kelanjutan dari konsep personal is political.
Cynthia Enloe dalam bukunya Bananas, Beach and Bases menjelaskan bahwa untuk
65
R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Pergulatan Feminisme dan HAM, Bandung: Institut
Perempuan,2007, hal. 50 66
Cynthia Enloe. Bananas, Beach, and Bases. London: Pandora Press. 1990, Hal. 195
52
menjawab penolakan sistem dunia terhadap pentingnya pengalaman perempuan,
feminis menegaskan bahwa tidak hanya „personal is political‟, tetapi juga „personal
is international‟. Cynthia Enloe menjelaskan bahwa „the personal is political‟
memberi kesan bahwa politik tidak dibentuk hanya oleh apa yang terjadi dalam debat
legislatif, kedai voting, atau ruang perang. Ketika laki-laki, yang telah mendominasi
publik kehidupan, dan telah mengatakan kepada perempuan untuk tinggal di dapur,
mereka (laki-laki) menggunakan kekuasaan publik mereka untuk mengonstruk
hubungan privat dalam segala cara yang mengandalkan kontrol politik maskulin.67
Personal is international mengimplikasikan bahwa pemerintah bergantung
pada bentuk yang pasti dari dugaan hubungan privat dalam konteks untuk
membentuk kebijakan luar negeri mereka. Pemerintah membutuhkan lebih dari
sekedar kerahasiaan dan intelegensi, mereka butuh istri yang akan
mempertimbangkan keputusan diplomatis mereka. Oleh sebab itu maka dalam sebuah
politik pemikiran perempuan sebagai bagian dari sistem dibutuhkan karena sistem
dunia ini terdiri dai manusia yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Konsep „personal is internasional‟ ini lebih menekankan bahwa
pemerintahan tergantung pada berbagai macam dugaan hubungan privat yang pada
dasarnya untuk mendukung kebijakan luar negerinya.68
Lingkaran pembuatan
keputusan internasional seperti layaknya sebuah men‟s club, namun politik
67
Ibid 68
Ibid, hal. 196
53
internasional secara keseluruhan membutuhkan perempuan untuk berpartisipasi di
dalamnya.69
2.2 Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan
Melalui kedua kacamata feminisme radikal dan feminisme hubungan
internasional gelombang pertama terdapat hubungan antara akar dari opresi terhadap
perempuan yang dimunculkan oleh kedua feminisme ini. Sistem seks yang
dimunculkan oleh feminisme radikal dan sistem negara yang dimunculkan oleh
feminisme hubungan internasional gelombang pertama. Kedua sistem ini dilingkari
oleh sistem gender yang didominasi oleh gender maskulin sebagai representasi dari
masyarakat patriarki.
Feminis radikal melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan berlangsung
akibat sistem gender yang merugikan perempuan. Sistem gender tersebut dikenal
dengan patriarki yang tidak hanya telah mengakibatkan perempuan menjadi objek
yang pasif, inferior dan dirugikan, namun juga menjadikan perempuan sendiri belajar
untuk menjadi lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan perempuan tersebut baik
yang dipelajari secara sadar ataupun tidak, secara sukarela ataupun tidak, telah
membuat perempuan menjadi korban kekerasan. Diakui atau tidak mayoritas negara-
negara di dunia masih menjalankan politik patriarki. Politik patriarki tersebut
69
Ibid, hal. 197
54
merupakan turunan dari karakteristik negara yang patriarki, negara mengedepankan
kepentingan laki-laki dan yang pada dasarnya bekerja pada nilai-nilai patriarki.70
Kontribusi patriarki ini digunakan oleh negara dan dieksploitasi oleh negara
untuk melanggengkan kekuasaannya. Dalam hal ini kekuasaan negara meliputi
segenap aspek kehidupan perempuan dari hal-hal yang personal meliputi konsep
seksualitas sebagai bagian paling privat dari diri perempuan yang menjadi bagian dari
kekuasaan negara.
Seksualitas, sebagaimana istilah gender pada dasarnya dimaksudkan untuk
menekankan sebuah ide yang berurusan dengan fenomena budaya, bukan dengan hal-
hal yang sifatnya alamiah.71
Oleh karena itu wacana seksualitas selalu terkungkung
dalam wacana kekuasaan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Foucault, bahwa relasi
antara kuasa dan seksualitas selalu terjebak dalam lima hal pokok, yaitu:72
1. Kuasa dan seks selalu bersifat negatif, dimana ia berisi pengendalian,
penyangkalan serta pengucilan dan selalu mengatakan tidak untuk kenikmatan
seksual.
2. Seks selalu dipandang sebagai sesuatu yang berposisi biner halal-haram,
dilarang-tidak dilarang, boleh-tidak boleh. Pandangan ini secara yuridis
menempatkan kuasa yang selalu memasung seksualitas.
70
Luh Ayu Saraswati A, Kekerasan Negara, Perempuan, dan Refleksi Negara Patriarki, dalam Jurnal
Perempuan. Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan, 2000, hal.40 71
Nur Iman Subono, Kekuasaan Negara, Seksualitas dan Perubahan Kebijakan di Amerika Latin,
dalam Jurnal Perempuan edisi. 41, 2005, hal. 92 72
Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin. Yogyakarta: INSISTPress., 2007 Hal. 52
55
3. Seks selalu dipandang dengan siklus larangan, dengan dominan kata
“jangan!”; jangan menyentuh; dilarang menikmati; tidak boleh
membicarakannya.
4. Logika sensor/pemotongan yang menegaskan pelarangan seks. Menolak
keberadaannya dengan tidak mendekatinya, membicarakannya, serta
mewacanakannya.
5. Lahirnya beberapa aparatus seragam yang bergerak dalam wadah hukum,
penyensoran, dan peradilan.
Foucault melihat bahwa kelima hal ini dalam melihat seksual secara paradoks,
menindas dan tidak inovatif. Sebaliknya kuasa berada pada titik yang menang, secara
hirarkis selalu di atas karena dialah yang berhak mengatur, membolehkan serta
melarang.
Kekuasaan negara atas seksualitas diawali oleh kekuasaan negara atas tubuh.
Secara biologis tubuh perempuan berbeda dengan tubuh laki-laki sehingga melalui
tubuhnya secara umum perempuan dapat dibedakan dengan laki-laki. Perempuan
memiliki wajah yang lebih halus, dada berpayudara, pinggul yang menonjol,serta
memiliki vagina dan rahim sehingga organ-organ reproduksinya juga berbeda dengan
laki-laki.
Kaum feminis mengklaim bahwa setiap perempuan berhak atas tubuhnya.
Negara sebagai sebuah sistem membatasi segala detail tubuh perempuan ini dari
ujung rambut sampai dengan mata kaki atas nama moralitas. Secara definitif
moralitas merupakan seperangkat nilai, peraturan dan tindakan yang diajukan
56
terhadap individu dengan dipersyaratkan oleh beberapa agen atau penentu standar
moralitas seperti keluarga, institusi pendidikan, agama, dan sejenisnya. Moralitas
menjadi sebuah pengontrol dalam masyarakat.73
Tubuh perempuan sebagai salah satu elemen yang mengandung unsur hak
asasi dalam pengontrolannya tidak mendapatkan tempat dalam moralitas maupun
negara. Moralitas dengan sub-tubuh agama dan budaya telah mengungkung tubuh
perempuan ke dalam penjara-penjara nista dengan iming-iming surga atau negara,
baik atau buruk, mahal atau murahan, dan berbagai pendikotomian lainnya. Hal ini
mungkin tidaklah menjadi suatu masalah ketika keadilan gender benar-benar
terwujud. Ketika tubuh perempuan dibatasi, ditutup-tutupi, dimarginalisasi oleh
balutan moralitas, sebaliknya tubuh laki-laki mengalami kebebasan untuk
dipertontonkan dalam rangka perwujudan maskulinitas yang superior.
Tubuh perempuan dalam budaya patriarki yang dianut oleh hampir seluruh
negara di dunia cenderung mengalami ketertindasan. Ketika agama mengharuskannya
ditutupi dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki kecuali mata dan telapak tangan
di wilayah dengan iklim tropis sampai dengan iklim sepanas padang pasir, begitu
pula dengan bagian-bagian tubuh perempuan lainnya dipandang oleh moralitas
sebagai sesuatu yang tersubordinat.
Dalam hal ini negara cenderung mengamini moralitas tersebut. Dimana
negara tidak memiliki aturan dan seperangkat hukum yang mengatur mengenai hak
tentang tubuh perempuan. Negara bahkan membuat aturan yang cenderung
73
Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin. Yogyakarta: INSISTPress., 2007, Hal. 36
57
memenjarakan kembali tubuh perempuan setelah berulang kali dipenjarakan oleh
moralitas sebagai representasi dari agama dan budaya. Jangankan wajah yang lembut,
payudara yang indah, ataupun pinggul yang seksi dari seorang perempuan, organ
reproduksi perempuan sebagai sebuah elemen penting dalam tubuh perempuan
maupun sebagai elemen terpenting dalam kelangsungan kehidupan manusia pun telah
menjadi sasaran kekuasaan negara.
Keluarga berencana dan aborsi adalah bentuk dari penjara kekuasaan negara
tersebut. Ayu Utami74
mengatakan bahwa kebanyakan perempuan menerima bahwa
ia harus meminum pil, menanamkan spiral di badannya untuk mengontrol tubuhnya
hanya karena laki-laki yang tidak mau memakai kondom, padahal sejauh digunakan
dengan benar kondom adalah penjegah kehamilan yang aman untuk tubuh
perempuan.75
Dalam hal ini pemerintah sebagai badan pengontrol jumlah penduduk
lebih memilih mempromosikan keluarga bencana dengan sistem pengontrolan tubuh
perempuan daripada promosi kondom.
Kekuasaan negara ini berujung pada tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Berikut jenis-jenis kekerasan politik yang dilakukan negara terhadap perempuan:76
1. Sterilisasi (pemandulan) paksa
2. Kehamilan paksa
3. Aborsi
74
Ayu Utami adalah seorang penulis Indonesia sekaligus seorang aktifis feminis 75
Ayu Utami, Seks, Sketsa, dan Cerita. Jakarta, Gagas Media, 2003, hal.51 76
Toeti Heraty Noerhadi, Kekerasan Negara terhadap Perempuan, dalam Jurnal Perempuan. Negara
dan Kekerasan terhadap Perempuan, 2000, hal.31
58
4. Kontrasepsi
5. Kekerasan dalam situasi perang
6. Kekerasan terhadap perempuan yang dibiarkan oleh negara
Dari segala bentuk kekerasan tersebut diatas, yang paling menderita adalah
tubuh perempuan. Biasanya yang menjadi korban paling menderita adalah tubuh
perempuan yang tersembunyi dibalik pakaiannya.77
Perempuan ditutupi tubuhnya
dengan berbagai versi, namun biasanya yang tertutup dari semua versi tersebutlah
yang rentan dan seringkali mengalami tindak kekerasan seperti halnya punggung,
payudara, perut, dan vagina sebagai organ paling tertutupi dari kebanyakan organ
tubuh perempuan lainnya. Salah satu kekerasan terhadap vagina perempuan ini adalah
praktik Female Genital Mutilation sebagai sebuah bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang dibiarkan oleh negara.
2.3 Negara dalam Relasi Kekuasaan: Diskursus Female Genital Mutilation
Vagina dalam wacana masyarakat patriarki erat kaitannya dengan masalah
keperawanan. Arti penting yang diberikan oleh keperawanan dan selaput dara yang
utuh dalam masyarakat patriarki merupakan alasan mengapa penyunatan perempuan
masih dijalankan secara luas karena dibalik penyunatan itu terdapat kepercayaan
bahwa dengan membuang bagian-bagian tertentu organ kelamin seorang perempuan,
hasrat seksualnya bisa dikurangi. Ini mengharuskan seorang perempuan dalam usia
77
Berdasarkan yang diutarakan dalam Lokakarya Kepekaan Gender diselenggarakan oleh Jaringan
Mitra Perempuan, Bandung, Januari 2008.
59
puberitasnya untuk menjaga keperawanannya dan juga kehormatannya dengan sangat
hati-hati.78
Perempuan yang menjaga keperawanannya adalah sebuah bentuk peran
gender yang dituntutkan oleh masyarakat patriarki terhadap perempuan untuk
mengontrol tubuh seksualnya.
Bentukan gender ini didukung oleh berkembangnya mitos-mitos tentang
perempuan dan tubuhnya. Simone de Beauvoir menekankan bahwa mitos yang
diciptakan laki-laki adalah untuk mencari sosok perempuan yang ideal bagi laki-laki
yaitu perempuan yang akan menjadikannya lengkap. Perempuan yang ideal disini
maksudnya adalah perempuan yang percaya bahwa tugas mereka adalah untuk
mengorbankan diri agar menyelamatkan laki-laki. Selain mengidealkan perempuan
yang rela mengorbankan diri, mitos laki-laki tentang perempuan mengkhianati
ambivalensi fundamental sifat-sifat alami perempuan. Tubuh perempuan tersebut
dihiasi dan disembunyikan dari laki-laki sehingga menjadikan perempuan tidak
mampu mengendalikan hak atas tubuhnya. Pada akhirnya yang menjadikan mitos
tentang perempuan ini menjadi sangat mengerikan adalah karena banyak perempuan
menginternalisasi mitos tersebut sebagai refleksi akurat dari makna menjadi
perempuan. 79
Mitos-mitos ini secara tidak langsung telah membentuk identitas perempuan.
Dalam budaya patriarki, kelemahan relatif tubuh perempuan dijadikan kelemahan
78
Nawal El Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001,
Hal.62 79
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Though, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung ,
Jalasutra, 2004, hal.267
60
absolut dan menandai seluruh identitas dirinya sebagai kelamin kedua.80
Sehingga
budaya partiarki memberikan pelabelan identitas perempuan berdasarkan tubuh
biologisnya. Karena memiliki rahim, budaya patriarki menetapkan bahwa kewajiban
utama perempuan adalah menjadi ibu, menstruasi diberi nilai sebagai kekuatan alam
yang negatif dan tak bisa dikuasai, perempuan dilatih untuk memikat laki-laki melalui
tubuhnya karena sikapnya yang menyenangkan dan memikat laki-laki adalah bagian
dari sekian kewajiban yang harus dilakukan perempuan untuk mendapatkan suami
sebagai pelindung. Namun dibalik semua itu tugas perempuan adalah mengakhiri
hasrat yang ditimbulkan tubuhnya81
Tubuh perempuan terdiri dari beberapa bagian yang fungsinya tidak hanya
sebagai fungsi gender tetapi perempuan juga memiliki tubuh dengan fungsi seksual.
Bagian-bagian tersebut diantaranya adalah payudara yang juga bisa mengalami
kenikmatan jika dirangsang menjadi fungsi kenikmatan seksual, selain bisa juga
untuk menyusui anak. Vagina dan bagiannya bisa mengalami kenikmatan dengan
jilatan lidah atau belaian tangan/penis pada klitoris bisa membawa perempuan kepada
multiple orgasme.82
Mungkin sebenarnya kelebihan dari klitoris yang dimiliki kaum
perempuan ini sudah disadari sejak lama. Sehingga tidak heran timbul praktik female
genital mutilation pada masyarakat di beberapa negara.83
Hal ini bertujuan untuk
melanggengkan kekuasaan atas seks dengan tujuan ganda melanggengkan juga peran
80
Shirley Lie, Pembebasan Tubuh Perempuan Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya
Patriakat, Jakarta, Grasindo, 2005, hal. 33 81
Ibid, hal. 34 82
Arians Athena, Seksualitas Lesbian, dalam Jurnal Perempuan edisi. 41 83
Ibid.
61
gender yang ditentukan masyarakat partriarki terhadap perempuan. Negara dalam hal
ini mengabaikan praktik ini sebagai salah satu upaya mempertahankan kekuasaannya
atas masyarakat patriarki yang merupakan bagian paling dominan dari masyarakat
negara.
62
BAB III
FEMALE GENITAL MUTILATION
Pada bab ini akan diuraikan objek kajian dalam penelitian. Dalam hal ini
peneliti membagi objek kajian ke dalam dua bab yang berbeda dengan tujuan
memudahkan pengklasifikasian objek.
3.1 Apa itu Female Genital Mutilation
Terdapat beberapa definisi mengenai Female Genital Mutilation (FGM):
1. Berdasarkan WHO information fact sheet No.241 June 2000, FGM
merupakan semua prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh
bagian dari organ genital perempuan atau tindakan melukai lainnya terhadap
organ genital perempuan baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan
lainnya yang tidak berkaitan dengan penyembuhan
2. Berdasarkan fact sheet no.23, Harmful Traditional Practices Affecting the
Health of Women and Children yang dikeluarkan oleh Office of the High
Commissioner for Human Rights, FGM adalah istilah yang dipakai mengacu
pada tindakan pembedahan untuk mengangkat sebagian atau seluruh bagian
organ genital perempuan yang paling sensitif.
3. Berdasarkan Stedman‟s medical Dictionary, 26th
Edition, 1995 mutilasi
didefenisikan sebagai perusakan atau tindakan melukai dengan mengangkat
63
atau merusakkan bagian-bagian yang nyata terlihat atau bagian penting dari
tubuh
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa FGM adalah segala
prosedur atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan dan melukai sebagian
atau seluruh organ genital dari perempuan.
3.2 Asal Mula Female Genital Mutilation84
Menurut pendapat beberapa ahli, pada awalnya FGM berasal dari Mesir.
Tujuan dilakukannya FGM ini adalah sebagai perayaan saat seorang perempuan
mencapai kedewasaan. Praktik ini merupakan akulturasi budaya antara penduduk
Romawi yang waktu itu banyak tinggal di Mesir. Dahulunya masyarakat Romawi
mempraktikkan FGM ini pada perempuan kalangan budak untuk meningkatkan daya
jual mereka di pasar. Masyarakat Mesir kemudian mengadopsi kebudayaan ini
dengan tujuan membuat perempuan-perempuan Mesir lebih diminati sekaligus untuk
menjaga keperawanan. Selanjutnya FGM berkembang menjadi tradisi religi dan
mulai dipraktikkan oleh kelompok agama dan seiring dengan berjalannya waktu,
tradisi ini menjadi populer dan agama bukanlah satu-satunya alasan FGM dilakukan.
3.3. Tipe-Tipe Female Genital Mutilation
84
Debu Batar Lubis, ”Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya”, dalam
Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan
Obor, 2006
64
Ada empat macam tipe FGM menurut fact sheet no.23, Harmful Traditional
Practices Affecting the Health of Women and Children:
1. Tipe I : Sirkumsisi (Circumcision)
Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa diikuti pengangkatan
sebagian atau seluruh bagian dari klitoris. Ketika prosedur ini dilakukan
terhadap bayi perempuan atau anak kecil perempuan, bisa jadi bagian atau
keseluruhan dari klitoris dan sekeliling jaringan (tissues) akan terbuang.
2. Tipe II : Eksisi (Excission)
Pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh
bagian dari labia minora.
3. Tipe III : Infabulasi (Infibulation)
Merupakan excission yang diikuti dengan pengangkatan labia mayora serta
menempelkan kedua sisi vagina dengan jalan menjahit atau menyatukan
secara alami jaringan yang terluka dengan mempergunakan media berupa
duri, sutera, atau benang dari usus kucing. Pada infabulation akan
ditinggalkan lubang yang sangat kecil (kurang lebih sebesar kepala korek api)
yang dipergunakan untuk sekresi dan keluarnya cairan menstruasi.
4. Tipe IV : Introsisi (Introcission)
Jenis FGM yang dipraktikkan oleh suku Pitta-Pitta Aborigin di Australia,
dimana pada saat seorang perempuan mencapai usia puber, maka seluruh suku
akan dikumpulkan dan seorang yang dituakan dalam masyarakat akan
bertindak sebagai pemimpin prosedur FGM. Lubang vagina perempuan
65
tersebut akan diperlebar dengan jalan merobek dengan menggunakan tiga jari
tangan yang diikat dengan tali dan sisi lain dari perineum yang akan dipotong
dengan menggunakan pisau batu. Ritual ini biasanya akan diikuti dengan
aktivitas seksual secara paksa dengan beberapa lelaki muda. Selain di
Australia, introcission juga dipraktikkan di Meksiko Timur, Brazil, Peru, dan
suku Conibos. Serta sebagian dari suku Pano Indian di bagian tenggara. Pada
suku-suku tersebut operasi dilaksanakan oleh seorang perempuan yang
dituakan dengan menggunakan pisau bambu, perempuan ini akan memotong
jaringan sekitar selaput dara serta mengangkat bagian labia pada saat yang
bersamaan membuka klitoris, tumbuhan obat akan dipergunakan untuk
menyembuhkan diikuti dengan memasukkan objek berbentuk penis yang
terbuat dari tanah liat.
GAMBAR.1
TIPE-TIPE FGM
Normal female genital anatomy.
66
Type I FGM.: Circumcission
Type II FGM.: Excission
Type III FGM : infabulation
67
Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting#World_Health_Organization_ca
tegorization
3.4. Prosedur dan Usia Dilakukannya Female Genital Mutilation
Tidak ada prosedur standar dalam melakukan FGM, karena prosedur yang
dipraktikkan oleh masyarakat dunia sangatlah bervariasi tergantung pada daerah,
kebiasaan masyarakat serta adat-istiadat dimana perempuan tersebut tinggal. Sebagai
contoh prosedur introcission yang dipraktekkan oleh suku Pitta-Patta Aborigin di
Australia sangatlah berbeda dengan prosedur introcission yang dipraktekkan di
Meksiko.
Menurut Amnesti Internasional terdapat prosedur secara umum mengenai
proses dilakukannya FGM yaitu:85
1. Seorang perempuan yang akan melakukan FGM akan disuruh duduk
di dalam air dingin untuk mematikan rasa di daerah yang akan
dipotong serta mengurangi kemungkinan pendarahan. Pada umumnya
perempuan tersebut tidak akan diberikan penghilang rasa sakit,
perempuan tersebut akan dibuat tidak bergarak dengan cara dipegangi
oleh perempuan-perempuan yang lebih tua, kaki perempuan tersebut
akan dibuka dengan lebar sehingga bagian vagina akan terekspos.
85
http://www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen/fgm , diakses 17 September 2007
68
2. Mutilasi akan dilakukan dengan mempergunakan alat pemotong
seperti pecahan kaca, besi tipis, gunting, silet atau benda-benda tajam
lainnya. Bila tipe FGM yang dilakukan adalah infabulasi maka duri
atau jahitan yang akan dipergunakan untuk menahan serta merapatkan
kedua sisi dari labia mayora dan labia minora yang telah dipotong
dengan terlebih dahulu menyelipkan bambu atau kayu untuk
menciptakan lubang pada daerah yang dirapatkan.
3. Selanjutnya perempuan tersebut akan diikat kakinya dan dibiarkan
tergantung selama kurang lebih 40 hari, untuk menyembuhkan luka
penggunaan bubuk antiseptik dimungkinkan, tetapi biasanya
dipergunakan salep yang mengandung campuran tumbuh-tumbuhan
obat, susu, telur, abu atau kotoran yang dipercaya memiliki khasiat
untuk menyembuhkan.
Bagi perempuan yang diinfabulasi tidak akan memiliki besar lubang vagina
yang normal, lubang vagina ini menjadi sangat kecil kira-kira hanya sebesar kepala
korek api dan tidak mungkin melakukan aktifitas seksual. Hal ini dimungkinkan
karena tujuan utama dari dilakukannya infabulasi adalah menjaga keperawanan
perempuan yang belum menikah. Bila perempuan yang diinfabulasi hendak
melakukan aktivitas seksual, maka ia harus dibuka kembali (defibulasi), dan nantinya
dibuka lebih lebar lagi untuk kepentingan persalinan. Pada banyak kebudayaan,
defibulasi ini akan dilakukan oleh seorang suami setelah mengetahui bahwa
pengantinnya masih perawan. Proses defabulasi ini dilakukan dengan
69
mempergunakan alat-alat tajam ataupun kuku dari sang suami sendiri. Defulasi oleh
bidan hanya dilakukan bila sang suami mengijinkan. Proses ini dilakukan berulang-
ulang sehingga perempuan juga akan merasakan kesakitan dan penderitaan yang
berulan-ulang apalagi nantinya akan sangat berisiko terkena penyakit.
Mengenai tempat, pelaksanaan FGM ini biasanya dilakukan di rumah pribadi,
tetangga, kerabat pusat kesehatan, atau bila FGM dianggap sebagai proses inisiasi
maka akan dipilih sungai atau pohon tertentu.86
Prosedur FGM ini sangatlah
menyakitkan, baik pada saat prosedur dilaksanakan maupun pada masa setelah
prosedur selesai. Tetapi anehnya sebagian besar pelaku FGM adalah perempuan
sendiri dan hanya sedikit kebudayaan yang memungkinkan prosedur ini dilakukan
pria.
Seperti halnya prosedur usia dilakukannya FGM juga bervariasi namun pada
umumnya FGM biasa dipraktekkan pada perempuan yang berumur 4 sampai 10
tahun, walaupun di beberapa komunitas tertentu FGM ini dipraktekkan pada masa
bayi atau ditunda sampai seorang perempuan akan menikah. Pada beberapa tempat
terutama di pedesaan, orang yang melakukan pemutilasian ini yaitu dukun mutilasi
atau bidan akan mendapat upah walaupun proses pelaksanaannya tanpa obat bius.
Dalam proses FGM biasanya digunakan beberapa alat seperti pisau, pecahan gelas,
pisau cukur, atau gunting. Namun, di negara-negara yang sudah berkembang FGM
dilakukan secara higienis dengan menggunakan obat bius.
86
http://www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen/fgm , diakses 17 September 2007
70
3.5. Alasan-Alasan dipraktikkannya Female Genital Mutilation
Ada beberapa alasan dilakukannya FGM yang dikelompokkan ke dalam
empat alasan utama, yaitu:87
1. Identitas budaya
Budaya dan tradisi merupakan alasan utama dilakukannya FGM, karena
FGM menentukan siapa sajakah yang dapat dianggap sebagai bagian dari
masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi seorang perempuan
untuk memasuki tahap kedewasaan. Dalam masyarakat yang mempraktikan
hal ini, FGM dianggap sebagai hal yang biasa dan seorang perempuan tidak
akan dianggap dewasa sebelum melakukan FGM.
2. Identitas gender
FGM dianggap penting bagi seorang gadis bila ingin menjadi
perempuan seutuhnya, praktik ini memberikan suatu perbedaan jenis kelamin
dikaitkan dengan peran mereka di masa depan dalam kehidupan perkawinan.
Pengangkatan bagian klitoris dianggap sebagai penghilangan organ di tubuh
perempuan sehingga feminitas perempuan akan utuh dan sempurna, karena
trauma yang didapatkan setelah proses ini berlangsung akan memengaruhi
perempuan. FGM juga dianggap sebagai pemberian pelajaran kepada
perempuan mengenai perannya dalam masyarakat.
3. Mengontrol seksualitas perempuan serta fungsi reproduksinya
87
http://www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen/fgm , diakses 17 September 2007
71
FGM dipercaya dapat mengurangi hasrat seksual perempuan akan seks,
sehingga dapat mengurangi terjadinya praktik seks di luar nikah. Kesetiaan
seorang perempuan yang tidak dimutilasi terhadap pasangannya akan sangat
diragukan oleh masyarakat. Dalam masyarakat yang mempraktikkan FGM,
seorang perempuan yang tidak dimutilasi tidak akan mungkin mendapatkan
jodoh.
4. Alasan kebersihan, kesehatan, dan keindahan
Alasan ini merupakan alasan pembenaran yang dipakai oleh banyak
masyarakat di dunia untuk melakukan FGM. Mutilasi yang sering dikaitkan
dengan tindakan penyucian atau pembersihan dalam masyarakat yang
mempraktikan FGM. Seorang perempuan yang tidak dimutilasi dianggap
tidak bersih dan tidak akan diperkenankan menyentuh makanan atau air.
FGM sering sekali dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan
perempuan serta anak yang dilahirkannya, dikatakan bahwa perempuan yang
melakukan FGM akan lebih subur serta mudah melahirkan. Pendapat ini lebih
merupakan mitos yang dipercaya masyarakat saja dan tidak memiliki bukti
medis. Dari penjelasan mengenai prosedur serta dampak FGM dapat dilihat
bahwa FGM ini dapat membahayakan jiwa, kesehatan, dan kesuburan seorang
perempuan.
3.6 Dampak Praktik Female Genital Mutilation
Dampak dilakukannya FGM adalah sebagai berikut:
72
1. Konsekuensi Medis
Perempuan yang menjalankan prosedur FGM sangat berisiko besar
mengalami berbagai masalah serius baik fisik maupun psikis. Masalah
kesehatan yang dapat ditimbulkan berkaitan dengan tingkat higienitas alat
yang dipakai dalam prosedur, keahlian orang-orang yang melaksanakan
prosedur tersebut, serta tahapan-tahapan prosedur FGM itu sendiri.
Dampak fisik yang ditimbulakn oleh FGM terbagi menjadi dampak
jangka pendek.dan jangka panjang Dampak jangka pendek dari FGM
meliputi pembengkakan pada jaringan sekitar vagina yang akan
menghalagi proses pembuangan cairan, infeksi yang disebabkan
pemakainan alat yang tidak steril, serta kontaminasi luka karena air seni,
pendarahan parah dan shock, pembuluh darah dari klitoris dapat
mengalami pendarahan, terjadinya infeksi, tercemarnya darah oleh racun
dari alat yang tidak steril, dan kerusakan pada jaringan di sekitar klitoris
serta labia yang setelah beberapa waktu akan menyebabkan tersumbatnya
urine yang berimplikasi pada infeksi serius.
Dampak jangka panjang yang ditimbulkan FGM yaitu infeksi saluran
kencing. Hal ini disebabkan karena terdapatnya penyakit yang timbul
karena adanya bakteri serta sisa-sisa sel darah putih dan juga karena
infeksi yang berulang-ulang pada saluran reproduksi. Lubang vagina yang
menjadi sempit akan menyebabkan terganggunya saluran menstruasi
sehingga perempuan akan merasa sangat kesakitan karena penumpukan
73
residu pada vagina. Dampak lain yang ditimbulkan adalah infeksi pelvic
yang menyebabkan tersumbatnya tuba fallopi yang nantinya akan
berakibat pada kemandulan.88
Pada tipe infabulasi dampak jangka panjang yang ditimbulkan akan
menjadi lebih serius yaitu infeksi pada saluran kencing dan ureter,
kerusakan pada ginjal, infeksi saluran reproduksi yang disebabkan
terganggunya siklus menstruasi, infeksi parah pada pelvic sehingga
menyumbat tuba fallopi, perluasan jaringan yang terluka, keloid, sakit
yang diderita pada saat berhubungan (making love), dan kesulitan pada
saat melahirkan akibat hilangnya elastisitas serta saluran pelicin pada
vagina.89
Perempuan yang diinfabulasi akan membutuhkan 15 menit untuk
kencing dan periode menstruasi mencapai 10 hari, kadang-kadang karena
sempitnya lubang ini darah menstruasi akan berkumpul di perut.
Sehubungan dengan penularan penyakit berbahaya, FGM juga merupakan
sarana yang berbahaya dan riskan bagi penularan virus HIV dan hepatitis,
diakibatkan pemakaian alat yang tidak steril.90
2. Konsekuensi Seksual
Secara seksual FGM berdampak pada rusaknya ransangan seksual
pada perempuan. Hal ini disebabkan karena klitoris yang sudah
88
Debu Batar Lubis.”Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya”, dalam
Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan
Obor, hal. 496 89
http://www.transaricaforum.or/reports/viewpoint041300_fgm.html, diakses 17 September 2007 90
http://www.ag.gov.au/flca/female%20Mutilation.htm#head-5, diakses 17 september 2007
74
dihilangkan akibat praktik FGM. Klitoris merupakan organ seksual utama
pada perempuan yang memiliki banyak sekali syaraf yang sangat peka
terhadap sentuhan, sedangkan bagian lain dari vagina hanya memiliki
respon yang minim terhadap sentuhan.91
Dengan dihilangkannya klitoris
pada FGM, maka secara otomatis ransangan seksual pada perempuan akan
menurun secara drastis sehingga akan butuh waktu yang sangat lama bagi
perempuan dalam berhubungan seks untuk mencapai orgasme bahkan
tidak mampu sama sekali dalam mencapai orgasme.
Hal ini tidak hanya berdampak pada perempuan saja. Secara tidak
langsung laki-laki juga terkena dampaknya. Sebagai contoh di Mesir
dimana terjadi peningkatan laki-laki yang menggunakan narkotika akibat
dari hanya sedikit sekali laki-laki sehat yang dapat membuat seorang
perempuan yang dimutilasi mencapai orgasme.92
Berikut dua contoh kasus yang menunjukkan dampak FGM ini dari
segi seksualitas:
1. Pengakuan dari seorang laki-laki Sudan tentang pengalaman
seksualnya pada malam pertama perkawinannya.
”the first experience were very painful for her. For a long
time we could not enjoy sex together, because it was a
uniteral thing. It was I who had the orgasm. She only had
fear and pain. I had had some experience, and knew
either I would ruin the whole relationship, or with
genteless and patience I would eventually solve the
91
Ibid 92
ibid
75
problem. I love her very much, and for a long time, for
several months, we both tried very hard to make it work.
It was a nightmare. Of course I wanted sex. Everytime I
approach her sexually, she bled. The wound I had caused
was never able to heal. I felt horribly guilty. The whole
thing was so abnormal. The thought that I was hurting
someone I loved so dearly trouble me greatly. I felt like
an animal. This is an experience that I would rather not
remember.”93
2. Pengalaman Amina, seorang perempuan berusia 25 tahun dari
Somali.
”I was infabulated when i was nine years old. I have had
four operations to open up the infibulation for sexual
relations with my husband since I got married four years
ago but all this has been unsuccessful. Each time my
husband comes near me the place close up. He cannot
enter me. I have been through a lot of pain even to the
pointthat I wanted to commit suicide.my husband
unfortunately emotionally abuses me. He says I am a
useless woman. It hurt me so much. I cannot speak to my
family or to any member of the community. This will
bring shame on my family. I need to see I psychologist,
there will be gossip in the community and I will be
dismissed as a mad person.94
Dari kedua konsekuensi yang ditimbulkan oleh FGM, maka akan
menimbulkan dampak yang ketiga yaitu konsekuensi psikologis yang akan diderita
oleh perempuan yang melakukan FGM.
3. Konsekuensi Psikologis
93
Efua Dorkenoo, Cutting the Rose Female Genital Mutilation: the practice and its Prevention,
Minoiry Right Group, United Kingdom, 1994. hal.23 94
Ibid, hal 24
76
Selain dampak fisik, FGM juga menimbulkan dampak psikis terhadap
perempuan yang melakukan FGM. Dampak psikisnya yaitu perasaan
cemas, takut, malu, serta perasaan dikhianati yang dapat menimbulkan
dampak negatif jangka panjang pada kondisi psikis perempuan.
Berdasarkan penelitian beberapa ahli, shock dan trauma yang diderita
dapat menyebabkan terbentuknya sifat pendiam dan penurut pada
perempuan. Sifat-sifat ini dianggap baik bagi masyarakat yang
mempraktikkan FGM95
. Walaupun disaat perayaan perempuan yang
melakukan FGM akan mendapat hadiah akan menghilangkan sedikit
trauma, namun dampak psikologis yang paling penting adalah perasaan
merasa diterima sebagai bagian dari anggota masyarakat serta perasaan
telah memenuhi persyaratan untuk menikah.
Berikut pernyataan Dr. Nahid Toubia, seorang gynaecology yang telah
melakukan penelitian terhadap hal ini terhadap pasiennya di sebuah klinik
di Sudan:
“Thousand of women present themselves with vague
complaints all metaphorically linked to their pelvises,
which really means their genital since they are socially too
shy to speak of their genitals. They complain of symptoms
of anxiety and depression, loss of sleep, backache and
many other complaints uttered in sad monotonous voices.
When I probe them a little, the flood of their pain and
anxiety over their genitals, their sexual lives, their fertility
and all the other physical and psychological complications
of their circumcision is unbearable. These women are
holding back a silent sream so strong, if uttered, it would
95
http//www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen, diakses 17 September 2007
77
shake the earth. Instead it is held back depleting their
energy and darining their confidence in their abilities.
Meanwhile the medical establishment treats them as
malingerers and a burden on the healtg system and its
resources.96
96
Ibid, hal 26
78
BAB IV
SIERRA LEONE
Bab ini merupakan kelanjutan objek kajian yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya. Dalam bab ini diuraikan mengenai gambaran umun negara Sierra Leone
serta keadaan perempuannya
4.1 Geografi
Sierra Leone terletak di wilayah pesisir Afrika Barat. Berbatasan langsung
dengan Guinea di bagian utara, Liberia di bagian selatan, dan Samudera Atlantik di
bagian barat. Bentuk negara Sierra Leone adalah republik dengan ibukotanya
Freetown. Dengan luas area yang mencapai 71,740 km2, menurut perkiraan pada
tahun 2007 Sierra Leone berpenduduk sekitar 6,144,562 jiwa, dengan pertumbuhan
2.3%, angka kelahiran 45.5/1000, kematian bayi 158.3/1000, tingkat harapan hidup
40.6, serta kepadatan penduduk mencapai 222/m2.97
Berikut profil negaranya:
1. Full name: Republic of Sierra Leone
2. Capital: Freetown
3. Presiden: Ernest Koroma, from election 2007
4. Area: 71,740 sq km (27,699 sq miles)
97
http://id.wikipedia.org/wiki/Sierra_Leone, diakses 12 September 2007
79
5. Major languages: English, Krio (Creole language derived from English) and
a range of African languages
6. Major religions: Islam 60%, Christianity 10%, african traditional religi 30%
7. Life expectancy: 39 years (men), 42 years (women) (UN)
8. Monetary unit: Leone
9. Main exports: Diamonds, rutile, cocoa, coffee, fish
10. GNI per capita: US $220 (World Bank, 2006)
GAMBAR. 2
PETA SIERRA LEONE
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sierra_Leone
80
4.2 Ekonomi
Sierra Leone merupakan salah satu negara yang termiskin di dunia dengan
jumlah populasi pengangguran yang besar. Perang sipil baru saja berakhir tahun 2002
sehingga pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat. Kemiskinan di Sierra Leone
menyebar luas dimana lebih dari setengah populasi Sierra Leone tergolong
masyarakat yang miskin. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok dalam
hal suplai makanan dan kebutuhan nutrisi dikarenakan penghasilan mereka rata-rata
hanya bisa mencapai 1$ per hari. Kemiskinan di Sierra Leone ini dapat dikategorikan
menjadi:
1. The poorest (popolipo), yaitu orang-orang yang sama sekali tidak
mampu memenuhi kebutuhan akan makanan, tempat tinggal, dan
pakaian.
2. The poorer (po-pas-po), Orang-orang yang terkadang punya
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
3. The poor (po), yaitu orang-orang yang sudah mulai mampu memenuhi
kebutuhannya sehari-hari walaupun masih belum mampu memenuhi
dari segi nutrisi.
81
4. The better off, yaitu orang-orang yang sudah mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya beserta keluarganya.98
Tingkat kemiskinan perempuan dan laki-laki sangat berbeda di Sierra Leone
dimana perempuan hidup jauh lebih miskin dibanding laki-laki. Penyebab banyaknya
perempuan yang hidup dibawah garis kemiskinan karena perempuan tidak mendapat
kesempatan yang sama dengan laki-laki sehingga berpengaruh pada kesempatan
ekonomi mereka.
4.3 Sosial Budaya
4.3.1 Status dan Peran Gender Perempuan ( Women’s Gender Role and
Statuses)99
Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam bekerja. Laki-laki
melakukan pekerjaan yang dianggap hebat secara fisik seperti halnya membajak
sawah, sedangkan peran perempuan sebagai penanam benih, mengumpulkan kayu,
memasak, mencuci, dan anak kecil terutama yang perempuan memiliki kewajiban
untuk membantu perempuan dewasa.
98
http://www.irinnews.org/country.aspx?CountryCode=SL&RegionCode=WA, diakses 12 September
2007 99
http://www.everyculture.com/Sa-Th/Sierra-Leone.html, diakses 12 September 2007
82
Status perempuan di Sierra Leone dinilai sebagai suatu yang paradoks.
Perempuan memiliki status yang rendah dimana secara teknis perempuan selalu hidup
berada di bawah kekuasaan laki-laki yang menjadi suami mereka. Selain itu
perempuan Sierra Leone juga memiliki hak yang rendah dalam memperoleh
pendidikan formal sehingga banyak diantara mereka yang buta huruf. Disisi lain
perempuan Sierra Leone memiliki organisasi tersendiri dalam mengontrol kehidupan
mereka sebagai perempuan. Organisasi ini disebut Bondo/Sande yang berfungsi
dalam mengontrol kehidupan perempuan Sierra Leone bagaimana perempuan Sierra
Leone dapat menjadi perempuan yang sesungguhnya agar bisa diterima sebagai
bagian dari masyarakat dengan statusnya sebagai perempuan.
Perempuan Sierra Leone tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki
dalam memperoleh akses dalam bidang pendidikan, kesempatan ekonomi, fasilitas
kesehatan dan kebebasan sosial. Perempuan yang tinggal di daerah pedesaan hanya
bekerja sebagai petani yang menanam sayur-sayuran dan sangat kecil kemungkinan
bagi mereka untuk memperoleh pendidikan formal.
83
4.3.2 Perkawinan, Keluarga, dan Hubungan Kekeluargaan (Marriage, Family,
and Kinship)100
Bagi masyarakat Sierra Leone perkawinan adalah sebuah tanda dari
kedewasaan seseorang dan membawa pertimbangan prestige terhadap kedua belah
pihak yaitu pengantin laki-laki dan perempuan. Prestige disini berhubungan dengan
sebuah keluarga dengan semakin memiliki banyak anggota keluarga maka prestige
yang diperoleh akan semakin tinggi. Hal ini menjadikan kebanyakan laki-laki Sierra
Leone melakukan poligami.
Masyarakat Sierra Leone menyukai memiliki banyak anak. Anak perempuan
merupakan aset untuk memperoleh kekayaan yang lebih dikarenakan ketika anak
perempuan mereka menikah, maka mereka akan mendapatkan harta lebih dari pihak
laki-laki yang mengawini anak perempuan tersebut. Namun dari segi warisan anak
laki-laki lah yang memiliki hak untuk mewarisi harta kekayaan dari orang tuanya
karena sistem yang digunakan adalah sistem patrilineal.
100
ibid
84
4.4. Kekerasan terhadap Perempuan101
GAMBAR. 3
PEREMPUAN SIERRA LEONE KORBAN KEKERASAN
Sumber: Integrated Regional Information Networks (IRIN)
101
http://www.bellaonline.com/articles/art24082.asp, diakses 10 Januari 2008
85
Diperkirakan 94% rumah tangga di Sierra Leone di survei oleh sebuah
lembaga Hak Asasi Manusia di Sierra Leone Physicians for Human Rights (PHR).
bahwa satu orang dari anggota rumah tangga tersebut mengalami kekerasan dan
tindak pelanggaran hak asasi manusia selama sepuluh tahun terakhir ini. Kekerasan
ini meliputi, abduction, pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan, dan bentuk lainnya
dari kekerasan seksual, pemaksaan kerja, penembakan yang mengakibatkan luka,
luka yang serius, dan amputasi. Ketakutan akan pembalasan dan keinginan untuk
berdamai disebutkan oleh kebanyakan perempuan Sierra Leone sebagai sebuah alasan
untuk tidak menekan dan melaporkan tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi
manusia ini.
Melalui 80 % perempuan yang telah di survei, lebih dari setengahnya
menyatakan bahwa suami mereka memiliki hak untuk memukul dan merupakan
kewajiban mereka sebagai istri untuk melakukan dan melayani hasrat seksual dari
suami mereka walaupun mereka tidak menginginkannya. Sepertiga dari mereka juga
mengaku telah diperkosa oleh gang rape. Kekerasan seksual dan pemerkosaan
terhadap perempuan Sierra Leone ini sangat tinggi, pada tahun 2007 diperkirakan
215.000-257.000 perempuan mengalaminya. Dari jumlah ini diperkirakan kasus
kekerasan seksual meliputi rape (89%), being forced to undress/stripped of clothing (37%),
gang rape (33%), abduction (33%), molestation (14%), sexual slavery (15%), forced
marriage (9%), and insertion of foreign objects into the genital opening or anus (4%).
86
Kenyataannya 23% dari perempuan yang mengalami kekerasan seksual ini dilaporkan
menjadi hamil
Isata, seorang perempuan Sierra Leone (15 tahun) yang mengalami tindak
kekerasan seksual ini mengakui bahwa:
"... I don't have any children. I was a virgin before. They ruined me. I was
at home when they came and kidnapped me ... They demanded money. My
family has no money ... they said to my parents, come and see how we use
your children. They undressed five of us, laid us down, used us in front of
my family and took us away with them. They wouldn't release us, they kept
us with them in the bush ... When I escaped, I couldn't walk - the pain. I
was bleeding from my vagina."
Lembaga-lembaga HAM di Sierra Leone seperti PHR telah memberikan
peringatan kepada pemerintah Sierra Leone untuk secara aktif dalam memberikan
solusi terhadap permasalahan perempuan Sierra Leone ini seperri pemberian
pendidikan yang layak bagi para perempuan Sierra Leone yang masih sangat bodoh
dan memberikan kesempatan kepada organisasi-organisasi internasional seperti
United Nation untuk bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan HAM ini.
87
4.5. FGM di Sierra Leone102
GAMBAR. 4
RITUAL FGM DI SIERRA LEONE
Sumber: IRIN
102
Efua Dorkenoo. Cutting the Rose Female Genital Mutilation: the practice and its
Prevention.Minoiry Right Group. United Kingdom. 1994. hal. 109-110
88
Tipe FGM yang dipraktekkan di Sierra Leone adalah FGM tipe I dan tipe II.
Praktik ini dilakukan pada seluruh perempuan Sierra Leone dari semua kelas
termasuk kelas elit sekalipun. Orang Sierra Leone yang tinggal di luar Sierra Leone
akan membawa pulang anak perempuannya ke Sierra Leone untuk melakukan FGM
ini. Proses pelaksanaan FGM diikuti dengan ritual-ritual tertentu karena hal ini
merupakan suatu bagian dari proses menjadi perempuan (from childhood to
womenhood). Praktik FGM ini pelaksanaannya mencapai 90% perempuan mengikuti
prosedur ini dari semua kelas etnis kecuali etnis Krio yang bertempat tinggal di
wilayah barat dan ibukota Freetown.
Pengaturan dan kekuasaan atas pelaksanaan FGM ini terletak pada sebuah
organisasi adat (secret societies). Perempuan yang melakukan praktik FGM sangat
mempercayai bahwa FGM itu memiliki kekuatan supranatural yaitu dengan
dilaksanakannya FGM maka seorang anak perempuan akan menjadi perempuan
seutuhnya yang dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat. Anak perempuan
yang tidak melakukan ritual FGM ini tidak akan dianggap sebagai bagian dari
masyarakat dan hal ini akan memperoleh dampak negatif baginya yaitu selain tidak
dianggap sebagai bagian dari masyarakat, ia tidak akan boleh melakukan pernikahan
karena perempuan yang belum melakukan FGM dianggap tidak setia dan belum diisi
oleh kekuatan supranatural untuk dapat menjadi seorang perempuan yang diakui
masyarakat Sierra Leone.
89
FGM tidak hanya sebuah proses mutilasi genital perempuan tapi setelah itu
perempuan yang telah dimutilasi tersebut akan diambil sumpah bahwa ia tidak akan
menyatakan segala sesuatu yang terjadi selama proses FGM berikut ritualnya tersebut.
Keanggotaan dari secret societies ini berlaku selamanya dan turun temurun. Secret
societies ini memiliki hubungan antara satu sama lain di wilayah etnis yang berbeda
di seluruh Sierra Leone.
90
BAB V
FEMALE GENITAL MUTILATION SEBAGAI BENTUK KEKUASAAN
NEGARA SIERRA LEONE ATAS TUBUH PEREMPUAN
Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan yang peneliti uraikan dengan
menggunakan pisau analisis yang dipaparkan pada Bab II.
5.1. Praktik Female Genital Mutilation di Sierra Leone dari Sudut Pandang
Feminisme
Melalui feminisme praktik Female Genital Mutilation di Sierra Leone ini
dapat dibaca melalui tiga fase yaitu female, genital ,dan mutilation.
1. Perempuan (Female)
Female disini adalah perempuan Sierra Leone. Makna kata perempuan disini
adalah perempuan sebagai the other. Sebagaimana yang dikatakan oleh Simone de
Beauvoir, the other merupakan makna perempuan menurut masyarakat patriarki,
dimana perempuan disini adalah yang tersubordinat, kelas kedua setelah laki-laki. Hal
ini sehubungan dengan hasil penelitian penulis bahwa perempuan Sierra Leone secara
garis besar sebagaimana yang juga dituliskan pada bab.4 yaitu perempuan Sierra
Leone adalah golongan yang termiskin secara ekonomi, terbelakang dalam bidang
pendidikan, dan terminim jumlahnya pada posisi decision makers di pemerintahan.
Perempuan Sierra Leone ini telah berhasil dikonstruksi sebagaimana sifat-sifat
perempuan yang dituntutkan oleh masyarakat patriarki. Dalam praktik FGM, sifat-
91
sifat ini terlihat jelas. Sifat yang menonjol pada perempuan Sierra Leone ini adalah
pasif, tidak rasional, lemah, dan mengalah. Berdasarkan informasi dari sebuah video
rekaman wawancara Rugiatu Turay, salah seorang aktivis perempuan dari Amazonian
Initiative Movement (AIM) kepada Mariana Van Zeller, seorang perempuan Sierra
Leone mengenai FGM, dapat disimpulkan data berupa:
1. FGM disebut sebagai sebuah upacara adat bernama ‟ripe mangos‟. Ripe
mangos ini mempresentasikan klitoris. Artinya adalah bahwa kematangan
klitoris tersebut sudah sepantasnya untuk dihilangkan. Melalui proses
penghilangan klitoris inilah mereka akan dipertimbangkan untuk menjadi
perempuan yang sesungguhnya.
2. Kebanyakan orang Sierra Leone berfikir bahwa ketika seorang perempuan
tidak di FGM, itu berarti ia pengacau (promiscious). Ketika ia di FGM maka
hal itu akan mengontrol keinginan seksualnya.
3. Alasan melakukan FGM adalah tradisi peninggalan nenek moyang mereka.
Jadi mereka ingin meneruskan tradisi ini.
4. Biasanya mereka mengasosiasikan kegiatan FGM ini dengan kekuatan-
kekuatan gaib/ setan. Jadi ketika seorang perempuan sangat banyak
mengeluarkan darah akibat FGM ini maka ia akan diasumsikan sebagai
penggoda (witch).
92
5. Walaupun perempuan-perempuan Sierra Leone ini merasa takut, tidak suka,
dan trauma melihat praktik FGM ini, namun mereka akan tetap melakukannya
dengan satu alasan bahwa mereka ingin suatu perubahan.103
Hal ini membuktikan bahwa perempuan Sierra Leone ini benar-benar pasif.
Mereka hanya diam ketika bagian dari tubuh mereka berusaha untuk dihilangkan.
Mereka hanya mengikuti tradisi yang telah diwarisi nenek moyang mereka tanpa bisa
berfikir rasional terhadap tindakan FGM ini. Mereka tidak memikirkan sejauh mana
keefektifan dan manfaat yang ditimbulkan dari tindakan ini. Mereka tidak mampu
membedakan seberapa besar manfaat dan seberapa besar pula kerugian yang diderita
ketika mereka melakukan FGM ini.
Faktor inti yang menyebabkan mereka tidak mampu bersikap ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka. Mereka tidak memperoleh kesempatan
yang layak untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan melihat seberapa luas dunia ini.
Sehingga apa-apa yang mereka dapat dari lahir hanyalah berupa doktrin-doktrin yang
mereka yakini dengan sangat kebenarannya. Kebodohan inilah yang membuat mereka
menyerah pada apa yang dinamakan sebuah kealamian (nature). Mereka merasa
bahwa FGM adalah sebuah keharusan yang suatu saat pasti akan dilalui oleh setiap
perempuan. Sehingga apaun yang mereka rasakan tentang FGM ini sudah merupakan
suatu hal yang sudah seharusnya dan tidak dapat dihindari lagi.
103
Perubahan disini maknanya adalah menjadi perempuan yang sesungguhnya, yang diterima sebagai
bagian dari masyarakat Sierra Leone. Bisa diistilahkan dengan from childhood in to womenhood.
93
Bahkan ketika mereka melihat kenyataan bahwa ternyata FGM ini telah
banyak mengakibatkan penderitaan yang buruk bagi saudara-saudara perempuan
mereka dan juga mereka rasakan dengan diri mereka sendiri. Mereka tetap diam.
Mereka tidak berani menentang. Mereka menyerah pada tradisi. Meskipun jauh di
lubuk hati mereka, mereka berteriak hentikan FGM. Mereka tidak berani berpendapat
karena dari awal mereka sudah terdoktrin bahwa mereka hanyalah seorang
perempuan.
2. Genital (Genital)
Seperti kebanyakan masyarakat di negara yang penduduknya mayoritas
muslim, di Sierra leone yang memiliki penduduk 60% muslim104
, pembicaraan
mengenai genital adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Sehingga ketika terjadi
sesuatu hal yang menimpa genital mereka, itu hanyalah sebuah rahasia seorang
perempuan Sierra Leone saja. Menurut tradisi, perempuan yang baru saja melakukan
FGM dilarang untuk menceritakan pengalamannya kepada siapapun termasuk orang
tuanya. Hal itu merupakan salah satu syarat yang ditentukan ketika FGM bisa
dianggap sah, dan perempuan tersebut akan diterima sebagai bagian dari masyarakat.
Genital, dipandang oleh masyarakat Sierra Leone hanya berdasarkan fungsi
biologisnya saja. Mereka tidak menghiraukan bahwa genital dengan bagian
spesifiknya yaitu klitoris juga memiliki fungsi seksual. Sehingga praktik FGM di
Sierra Leone ini ditujukan untuk menjadikan perempuan Sierra Leone tidak memiliki
104
Lihat bab.4
94
keinginan seksual. Jadi yang tersisa hanya fungsi reproduksi dan manfaat untuk
memuaskan laki-laki saja.
3. Mutilasi (Mutilation)
Pemotongan sebagian tubuh perempuan dengan tujuan penghilangan hak dan
fungsi dari organ tersebut adalah tergolong tindakan diskriminasi. Sebagaimana
pengertian diskrimninasi menurut pasal 1 CEDAW:
Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan
atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau apapun
karena statusnya sebagai perempuan .
Dalam praktik FGM di Sierra Leone ini, perempuan dibedakan dengan laki-laki,
dimana klitoris yang ada pada genital perempuan dianggap menyerupai penis yang
ada pada laki-laki, sehingga harus dihilangkan agar ia terbebas dari sifat-sifat
maskulin yang dianut oleh laki-laki sehingga pada akhirnya akan menjadi perempuan
yang seutuhnya. Ini merupakan pembatasan yang dibuat berdasar atas jenis kelamin.
Hanya karena seorang manusia lahir dengan jenis kelamin perempuan. Oleh karena
itu ia kehilangan penggunaan haknya untuk memperoleh kenikmatan hubungan
seksual akibat kehilangan bagian dari tubuhnya yaitu klitoris.
Selain kehilangan haknya, perempuan Sierra Leone ini juga mengalami
kerugian-kerugian berupa akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakan FGM ini
secara fisik. Sebagaimana yang disebutkan Dr Richard Fanthorpe seorang antropolog
95
yang bekerja pada UNHCR bahwa perempuan Sierra Leone yang di FGM mengalami
resiko medis yang serius, yaitu:105
1. Infeksi akut karena tidak menggunakan obat bius (Acute pain due to lack of
local anaesthesia)
2. Pendarahan pasca pembedahan (Post operative haemorrhage)
3. Infeksi pada saluran urin (Urinary infection)
4. Infeksi pelvic (Pelvic invection)
5. Keracunan pada darah dan tetanus karena penggunaan alat yang tidak steril
(Septicaema and tetanues due to the use of unsterilized equipment)
6. Rasa sakit ketika melakukan intercourse (Painful intercourse due to scarring
and infection)
7. Menghalangi proses kelahiran (Prolonged and obstructed chilbirth due to
unyielding scars)
8. Post-partum haemorrhage due to tearing of scar tissue or the uterine cervix.
9. Dysmenorrhoea deu to the growth to keloid scars that obstruct the vaginal
orifice
Keseluruhan dari akibat yang ditimbulkan akan dapat menimbulkan trauma pada si
korban dan bisa berakhir pada kematian.
105
Ini ditulis dalam sebuah writenet yang berjudul “Sierra Leone: The Influence of the Secret
Societies, with special reference to female genital Mutilaiton”. 2007, diakses melalui
http://www.unhcr.org/cgi-
bin/texis/vtx/refworld/rwmain?docid=46cee3152&page=search, diakses 20 Januari 2008
96
Hal tersebut diatas membuktikan bahwa masyarakat Sierra Leone menganut
sistem seks yang disamakan dengan gender, dimana bukti bahwa FGM adalah sebuah
proses untuk menguatkan gender berdasar atas sistem seks. Seorang Sierra Leone
yang dilahirkan dengan vagina akan dikonstruksikan menjadi perempuan sesuai
dengan masyarakat Sierra Leone yang menganut nilai-nilai seorang perempuan
menurut fungsi biologis tubuhnya dan mengikuti hal tersebut sebagai sebuah peran
yang bersifat alami.
Kaum feminis jelas-jelas menentang FGM di Sierra Leone ini sebagai sebuah
bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai sebuah ideologi pembebasan
perempuan, feminisme akan menganalisis sekaligus memunculkan dan menguak akar
permasalahan dari praktik FGM di Sierra Leone ini. Melalui dua aliran feminisme
yang peneliti gunakan pada bab.2, praktik FGM di Sierra Leone ini akan diulas dan
dikritik secara tajam dalam membongkar bentuk-bentuk kekuasaan atas tubuh
perempuan.
5.1.1 Sistem Seks Sebagai Akar dari Praktik FGM di Sierra Leone
Opresi terhadap perempuan berakar dari sistem seks. Jika ditempatkan pada
praktik FGM di Sierra Leone, ini berawal dari sebuah fakta bahwa perempuan itu
memiliki vagina, sebuah organ yang menandakan bahwa ia adalah perempuan.
Feminis radikal mengklaim bahwa sumber dari opresi terhadap seorang perempuan
termasuk dalam praktik FGM ini adalah sistem seks itu sendiri, dimana pada
perempuan dalam hal ini adalah vagina. Pernyataan sumber dari opresi atas
97
perempuan adalah vagina ini juga diungkapkan oleh seorang feminis Indonesia106
,
Mariana Amirrudin yang saat ini aktif sebagai direktur eksekutif di Jurnal Perempuan.
Ia menyatakan bahwa107
FGM itu berawal dari stereotip terhadap perempuan yang
sebenarnya konstruksi sosial yang dihubungkan ke masalah biologis perempuan,
masalah genital perempuan. Sehingga muncullah mitos-mitos tentang perempuan dan
vaginanya. Mitos bahwa vagina adalah sumber dari kejelekan seorang perempuan,
ketika vagina ini tidak dilakukan tindakan pemotongan dan pembatasan terhadapnya,
maka perempuan yang punya vagina ini akan menjadi perempuan yang tidak baik
dalam masyarakat. Menjadi agresif, nakal, aktif, dan memunculkan sifat-sifat yang
tidak dikehendaki oleh masyarakat patriarki untuk ada dalam diri seorang perempuan.
Sierra Leone ini masyarakatnya sangatlah patriarki. Ketika seluruh dunia ini
memang sudah patriarki dan sangat tidak adil terhadap perempuan, Sierra Leone lebih
memperdalam dan kuat dalam sistem patriarki ini. Sebagian besar masyarakat
internasional yang patriarki saja telah mengakui FGM sebagai praktik berbahaya yang
melanggar hak asasi perempuan dan sudah menghentikan praktik FGM ini, namun
masyarakat Sierra Leone ini masih saja mengaplikasikannya. Itu adalah bukti
mengapa ia disebut patriarki tingkat tinggi disamping banyak ketimpangan-
ketimpangan, ketidakadilan-ketidakadilan, serta kekerasan lainnya yang terjadi di
106
Feminis Indonesia hanyalah sebuah bentuk pernyataan bahwa feminis ini berasal dari Indonesia,
tidak ada perbedaan yang ingin peneliti tonjolkan dalam hal ini, karena sesungguhnya perjuangan
feminis adalah satu tujuan hanya ruang dan waktunya saja yang berbeda. 107
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Mariana Amiruddin, lihat lampiran
98
masyarakat Sierra Leone ini sebagaimana yang telah peneliti sebutkan pada bab
sebelumnya.
Patriarki inilah yang menyebabkan perempuan Sierra Leone berada pada
tingkat opresi pertama dan terdalam. Ketika vagina sebagai organ seks perempuan
yang utama telah dikuasai dengan praktik FGM ini, perempuan Sierra Leone akan
mengalami bentuk-bentuk pengembangan dari tindak penindasan lainnya. Ketika
patriarki telah membagi sistem gender antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-
laki adalah di ruang publik dan perempuan di ranah privat, lalu bukankah vagina itu
adalah ranah privat?.Ranah paling privat dalam diri perempuan dan tubuh perempuan.
Berbicara soal vagina ini, jangankan perempuan Sierra Leone yang masih sangat
bodoh dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah disertai konstruksi tradisi dan
mitos pembodohan yang sangat kuat, masyarakat yang sudah berpendidikan pun
sering menganggap pembicaraan tentang vagina itu adalah sebuah aib dan hal yang
tidak layak untuk dibicarakan dan diungkapkan secara jelas.
Vagina. Tubuh perempuan dengan berbagai bentuk tindak ketidakadilan dan
opresi yang berlapis-lapis tebalnya menyelubunginya. Vagina adalah invisible dalam
masyarakat patriarki dan sekaligus menjadi yang paling penting dan paling tertindas.
Sigmund Freud, seorang psikoanalis mengatakan bahwa vagina adalah bentuk tidak
sempurna dari sebuah penis dimana klitoris yang ada pada vagina adalah penis yang
tidak tumbuh. Dunia ini memang phallocentric, kekuasaan berpusat pada phallus
sebagai lambang maskulinitas dan mengopresi vagina hingga tingkat terdalam.
99
FGM adalah bentuk dari sistem phallocentric ini dan Sierra Leone adalah
korbannya dengan perempuan sebagai fokus utamanya. Perempuan Sierra Leone
merupakan perempuan yang masih dalam tingkat pendidikan yang sangat rendah
dimana mereka hanya mendapat pengetahuan tentang kehidupan dari organisasi
sisterhood yang bernama Secret Societies, biasa disebut Bundu. Menurut Koso
Thomas108
, seorang gynaecologist di Sierra Leone menyatakan bahwa “The real
meaning of the bundu society is where they train young girls to become women: they
teach them how to sing, dance and cook... girls who don‟t go to school learn how to
use herbs and treat illnesses; they are taught to respect others.” Menjadi perempuan
(becomes women) disini adalah bagaimana menjadi perempuan yang sesungguhnya
yang diklaim oleh feminis radikal sebagai perempuan yang ditentukan oleh
masyarakat patriarki. Salah satu cara agar bisa memenuhi syarat menjadi perempuan
ini adalah dengan praktik FGM.
Faktanya praktik FGM di Sierra Leone ini sangat erat kaitannya dengan
mitos-mitos menjadi seorang perempuan. Mitos inti dari praktik FGM di Sierra Leone
ini adalah pembuangan klitoris dari vagina perempuan akan menjadikan perempuan
sebagai perempuan seutuhnya (real women). Tujuan pembuangan klitoris ini adalah
untuk mengontrol keinginan seksual dari perempuan Sierra Leone selama masa
puberitasnya sampai pada akhirnya ia mendapatkan seorang suami. Mitos keburukan
klitoris ini berujung pada mitos keperawanan. Perempuan Sierra Leone sebelum
108
Koso Thomas adalah seorang dokter dan aktifis yang menentang praktik FGM, ia telah bekerja
selama 30 tahun dalam mengkampanyekan anti FGM. Dalam IRIN Report
http://www.irinnews.org/pdf/in-depth/FGM-IRIN-In-Depth.pdf, diakses 20 Januari 2008
100
mendapatkan seorang suami harus menjaga keperawanannya sehingga dengan di
FGM, menurut mitosnya perempuan ini ia akan mampu menjaga keperawanannya
karena FGM telah mengontrol keinginan seksualnya. Kaum feminis menyatakan
bahwa keperawanan itu adalah sebuah mitos. Mariana menyatakan bahwa mitos itu
merupakan sesuatu yang diterima begitu saja oleh masyarakat, tanpa adanya riset
bahwa kebenaran itu sebenarnya bisa dicari, bahwa kebenaran itu bisa diuji, bahwa
manusia itu punya ilmu pengetahuan. Djenar Maesa Ayu109
, seorang novelis yang
feminis begitu juga dengan peneliti, sebagai bagian dari feminisme juga menyetujui
bahwa keperawanan itu adalah mitos yang merugikan perempuan. Jika keperawanan
adalah sebuah mitos, maka menjaga keperawanan dengan FGM adalah mitos di atas
mitos. Jika mitos yang merugikan perempuan adalah kekerasan terhadap perempuan
maka mitos di atas mitos adalah kekerasan atas nama kekerasan terhadap perempuan.
Sehingga FGM akan menjadi sebuah multiple violence yang begitu menginjak-injak
hak asasi perempuan.
Sebaliknya perempuan yang tidak di FGM akan terkena dampak mitos
sebagai bitch. Ia akan menjadi liar, karena vaginanya belum dibuang klitorisnya,
sehingga sifat-sifat selain sifat perempuan masih terdapat dalam diri perempuan yang
tidak FGM tersebut. Sifat-sifat tersebut diantaranya sifat agresif, liar, nakal sehingga
mitos memperkuatnya dengan dianggap tidak setia, sehingga tidak akan ada laki-laki
yang mau untuk menjadi suaminya. Hal ini sesungguhnya telah mengungkap
109
Pernyataan keperawanan adalah mitos ini disebutkan oleh Djenar kepada Jurnal Perempuan, ini
ditulis dala sebuah artikel berjudul “Menganggap Seks sebagai Tabu adalah Kejahatan Kemanusiaan”
dalam Jurnal Perempuan edisi 41
101
ketimpangan dan ketidakadilan gender itu sendiri, dimana ketika klitoris pada
perempuan dianggap sebagai little phallus yang akan membawa sifat-sifat buruk pada
diri perempuan, diantaranya: agresif, nakal, aktif dan liar, lalu bagaimana dengan
makhluk yang memiliki „the real phallus‟, bukan „little phallus‟ lagi. Berarti ia juga
memiliki sifat-sifat yang dianggap buruk oleh masyarakat. Kenapa sifat-sifat itu
hanya buruk bagi perempuan? Tidak untuk jenis kelamin yang lain yaitu laki-laki.
Mitos-mitos FGM ini berawal dari seks perempuan Sierra Leone, dengan
vagina sebagai organ seks yang menyebabkan timbulnya mitos-mitos yang
memperkuat stereotip terhadap tubuh dan diri perempuan. Inilah yang disebut sebuah
sistem yang mengatasnamakan persamaan antara sistem seks dan gender. Berawal
dari vagina, hanya karena perempuan punya vagina sehingga tubuhnya dikonstruksi
untuk menampilkan suatu gender tertentu yang sudah dikonstruksi terlebih dahulu
sebelum tubuh itu sendiri ada. Gender yang berlaku di masyarakat Sierra Leone
seolah-olah telah mendahului adanya seks. Dimana ketika perempuan Sierra Leone
yang lahir dengan seks berupa vagina maka vaginanya itu harus dikonstruksi
sedemikian rupa untuk mengikuti gender yang sudah ada. Hal ini juga dinyatakan
oleh Mariana bahwa karena ia adalah perempuan, dan gender menetapkan bahwa ia
tidak boleh nakal, tidak boleh agresif, tidak boleh kelihatan, tidak boleh aktif, harus
pasif, karena yang namanya perempuan dan dia punya vagina, maka dari vaginanya
itulah yang kira-kira harus dibatasi. Pembatasan tersebut adalah dengan FGM.
Feminis radikal melihat hal ini sebagai opresi yang berakar dari sistem seks,
karena perempuan adalah makhluk yang lahir dengan vagina sehingga ia mengalami
102
berbagai opresi hanya karena ia adalah perempuan dengan vagina. Semua berawal
dari vagina serta kelebihan yang dimiliki oleh vagina ini, sehingga muncul
pembatasan-pembatasan terhadap vagina ini. Tidak hanya pembatasan dari segi mitos
yang diperkuat oleh budaya tradisional dan agama, tetapi juga dilegitimasi oleh
budaya modern serta sistem masyarakat modern yang dikuasai oleh hegemonic
masculinity dengan sebuah sistem Phallocentric yang disana tidak ada tempat bagi
vagina. Segalanya mengikuti sistem phallus. Perempuan dan vaginanya hanya
sebagai the others yang mengikuti segala kebijakan laki-laki yang begitu
phallucentric.
5.1.2 Female Genital Mutilation di Sierra Leone: Fenomena Global yang Berseks
dan Bergender
FGM adalah sebuah fenomena global yang lintas budaya, lintas zaman lintas
agama, lintas batas wilayah, dan lintas negara, dengan suatu kesatuan mitos yang
sama yaitu untuk membatasi perempuan sebagai seks kedua setelah laki-laki. Ketika
feminis radikal telah mengungkap akar dari opresi atas nama FGM, maka seks
sebagai akar opresi yang menimbulkan FGM hanyalah sebuah masalah yang
dianggap tabu oleh budaya, moral, agama sehingga menyebabkan kemunculannya
dari segi politis sebagai fenomena yang hanya berhak ditempatkan di ruang domestik,
tidak pada masalah-masalah yang dianggap terpenting dalam sistem masyarakat
modern seperti halnya masalah pertahanan keamanan, perang nuklir, pemilihan
103
presiden, dan masalah-masalah lainnya yang biasa disebut high politics sebagaimana
yang telah dikemukakan oleh kaum realis110
.
Dalam kajian hubungan internasional mainstream111
masalah high politics ini
menempati posisi utama dibanding masalah-masalah low politics seperti halnya
kebudayaan dan hak asasi manusia. Masalah hak asasi manusia yang mencakup
kepentingan seluruh manusia dengan segala jenis kelamin saja masih dianggap
sesuatu hal yang kelas kedua setelah isu-isu high politics sebagai isu kelas utama.
Apalagi hak asasi perempuan sebagai kelas kedua pula dari hak asasi manusia, setelah
kenyataan bahwa perempuan hanya sebagai the other setelah laki-laki sebagai core
utama
Pada dasarnya baik itu high politics maupun low politics, dalam sistem
masyarakat modern hal itu tidak disadari sebagai yang bergender. Sehingga pada
akhirnya feminisme muncul dengan membuat nyata keberadaan gender yang selama
ini invisible dalam sistem masyarakat modern, sistem internasional yang terdiri dari
masalah negara, organisasi internasional, perang, perdamaian, kemanusiaan, semua
itu bergender pada kenyataannya. Gender yang dimunculkan itu mengungkap bahwa
sebagian besar adalah maskulin sebagai penguasa segala sistem. Bahkan ketika
sebuah fenomena yang sangat erat kaitannya dengan femininitas yaitu genital
110
Realisme membedakan high politics dan low politics dimana high politics berupa pertahanan,
militer,isu strategi, dan keselamatan negara, sedangkan low politics adalah isu ekonomi, sosial, dimana
juga bergatung pada high politics. Perbedaan ini terdapat dalam buku Viotti, P.R. & Kauppi, M.V.
1987 International Relations Theory. Realism, Pluralism, Globalism N.Y.: Macmillan & London:
Collier Macmillan 111
Paul Viotti and Mark Kaupi mengidentifikasi tiga pendekatan mainstream dalam studi hubungan
internasional yaitu: realisme, pluralisme, dan globalisme. Dalam Christine Silvester, Feminist Theory
and International Realtions in a Postmodern Era. Cambridge University Press, 1994, Hal. 1
104
perempuan pun masih dikuasai oleh maskulinitas. Genital perempuan pada awalnya
adalah sesuatu yang sangat personal bagi perempuan, hingga ketika masalah genital
ini menyentuh sebuah praktik pelanggaran HAP yaitu FGM ia akan menjadi sesuatu
yang bersifat publik, politik dan berskala internasional.
5.1.2.1 Genital is Personal is Political
Genital adalah persoalan yang jarang begitu terbuka dibicarakan karena ia
dianggap sangat personal. Begitu sangat personalnya sehingga terkadang membuat
orang sangat jijik untuk menyebutnya. Genital perempuan itu vagina. Karena ia
dianggap tabu bahkan menjijikkan, maka peneliti sangat sering menggunakan kata
vagina, hanya karena semua perempuan itu punya vagina, dan akan selalu
bersentuhan dengan vagina, akan selalu dibawa kemanapun, selalu bersama dengan
vagina dan seharusnya perempuan itu tahu segala sesuatu tentang vaginanya dan
bagaimana vagina bisa menjadi akar opresi perempuan termasuk juga dalam kasus
FGM di Sierra Leone dan di berbagai wilayah belahan dunia lainnya.
Vagina dalam sistem masyarakat patriarki akan ditempatkan dalam ruang
privat, sebagai sesuatu yang sifatnya rahasia dan tersembunyi. Patriarki memang
senang untuk selalu membedakan dan mendikotomikan wilayah-wilayah kehidupan
manusia dengan tempat paling rendah untuk perempuan. Hal ini tentu saja akan
sangat tidak disetujui oleh kaum feminis. Klaim bahwa personal is political adalah
faktanya. Vagina memang sebuah ruang paling privat dalam kehidupan perempuan,
begitu juga mungkin penis pada laki-laki. Namun, ketika ruang privat yang telah
105
dikotakkan pada perempuan ini dicampuri oleh kekuasaan patriarki dalam bentuk
FGM, masalah vagina ini tentu saja sudah tidak pure lagi sebagai sesuatu yang
personal, tapi akan menjadi sebuah masalah politik.
Vagina adalah seks perempuan. Kate Millet dalam Sexual Politic112
,
menyatakan bahwa seks itu politik. Mengacu pada kasus FGM di Sierra Leone,
sangat nyata sekali praktik FGM ini dijadikan sebagai sebuah alat politik bagi aktor-
aktor politik disana. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Integrated Regional
Information Networks (IRIN) bahwa FGM di Sierra Leone ini dijadikan sebagai alat
kampanye politik oleh istri presiden Ahmad Tejan Kabbah (presiden terpilih Sierra
Leone sebelum Hanah Koroma 2007), dimana ia mensponsori sebanyak 1.500 praktik
FGM dengan tujuan untuk memenangkan suara kaum perempuan yang telah
disponsori ini untuk memilih Kabbah sebagai presiden mereka113
. Ini membuktikan
juga bahwa political is personal, dimana ketika kekuasaan telah diperoleh maka
jangankan untuk menghilangkan praktik FGM sebagai kejahatan paling sadis
terhadap tubuh perempuan serta penindasan atas hak-hak asasinya akan terus
berlangsung, karena secara tidak langsung pemimpin negara Sierra Leone sendiri
telah mengajarkan FGM sebagai sebuah hal yang biasa, sebuah pembodohan rakyat
dengan mengabaikan bahwa itu adalah pelanggaran hak asasi perempuan yang telah
diklaim oleh beberapa organisasi internasional seperti PBB, WHO, UNICEF dan
112
Rosemarie Putnam Tong.. Feminist Thought , terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung :
Jalasutra, 2004, Hal. 73 113
Berdasarkan laporan IRIN dalam http://www.irinnews.org/pdf/in-depth/FGM-IRIN-In-
Depth.pdf, diakses 20 Januari 2008
106
CEDAW untuk diharuskan penghentian praktiknya demi keutuhan manusia sebagai
makhluk yang memiliki hak asasi. Hak untuk hidup, hak terhadap tubuhnya, hak
dalam memperoleh kesehatan reproduksi dan seksual. Sehingga masalah FGM ini
adalah perhatian seluruh pihak, baik individu, domestik maupun international.
5.1.2.2 Genital is Personal is International
Praktik FGM ini tidak hanya terjadi di Sierra Leone, meskipun ia adalah salah
satu yang paling terparah tingkat pelaksanaannya yaitu mencapai 90% perempuan
yang ada disana. FGM sebagai fenomena pelanggaran HAP telah menyebar sangat
luas mencakup luas dari benua Australia hingga Amerika Selatan. Hal ini megapa
feminis mengklaim bahwa personal is international, di mulai dari masalah genital
dan masalah genital ini nyaris sama terjadi di berbagai negara yaitu dalam bentuk
FGM.
Kesamaan fenomena juga berarti kesamaan pelanggaran hak asasi perempuan.
Meskipun perempuan di berbagai wilayah berbeda secara pengalaman terhadap
praktik FGM, tetapi mereka memiliki kesamaan perasaan, perasaan tersiksa dan sakit
akibat praktik FGM karena mereka sama-sama memiliki vagina dan mereka seolah-
olah tidak punya hak untuk mengontrol tubuh mereka sendiri. Kehilangan hak atas
kontrol tubuh perempuan diklaim oleh feminis sebagai kejahatan terhadap hak asasi
perempuan. Tidak hanya feminis tetapi juga lembaga-lembaga internasional seperti
WHO, PBB, UNICEF, CEDAW, dan beberapa LSM lainnya yang aware terhadap
107
masalah FGM ini. CEDAW sebagai intrumen hak asasi perempuan pertama telah
memasukkan pasal khusus mengenai praktik FGM ini yaitu pada pasal 2f dan 5a:
1. Pasal 2f
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam
segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang
tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakasanaan menghapus diskriminasi
terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha: Membuat peraturan-
peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah
dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan
dan praktek-praktek diskriminatif terhadap perempuan.
2. Pasal 5 a
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan
dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka,
kebiasaan-kebiasaan, dan segala praktek lainnya berdasarkan atas inferioritas
atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotip
bagi laki-laki dan perempuan.
Sierra Leone memang sudah meratifikasi CEDAW ini pada tahun 1988, namun
menurut data terakhir yang peneliti dapatkan dari NAYD Sierra Leone114
, sampai saat
ini belum terdapat satu pun peraturan pelarangan terhadap praktik FGM ini.
114
Lihat lampiran
108
Jangankan untuk dibuat pelarangannya, Menteri Kesejahteraan Sosial,Gender, dan
Perlindungan Anak Sierra Leone, Shirley Yeama Gbujama ketika diinterview oleh
Michael J. Carter tentang pendapatnya mengenai FGM yang merupakan kebudayaan
Bondo menyatakan:115
“It was not so much a question of Bondo culture as it was in
the defense of privacy. That kind of thing was not something we were blabbing
about”. Hal ini membuktikan bahwa FGM di Sierra Leone ini masih dianggap sebuah
masalah yang sangat personal sehingga tidak layak untuk dibicarakan. Terlihat sekali
bagaimana mitos berperan sangat dalam mengakar di kehidupan masyarakat Sierra
Leone sehingga ketika sebuah fenomena FGM sudah menjadi masalah internasional,
masyarakat dan pemerintahan Sierra Leone masih menganggap FGM ini sebagai
sebuah aib untuk dibicarakan. Parahnya lagi mitos ini seakan-akan dilegitimasi secara
sah oleh negara sebagai salah satu implementasi kekuasaannya dan hal itu merupakan
sebuah hal yang sangat salah, buruk, dan kejam untuk sebuah perjuangan hak asasi
perempuan terutama hak perempuan untuk mengontrol tubuhnya.
5.2 Kekuasaan Negara atas Vagina Perempuan Sierra Leone
Negara adalah suatu lembaga politik dan hukum. Sebagai sebuah produk
politik, seringkali ia dilihat sebagai suatu sistem yang natural, terberi dan
terjadi dengan sendirinya. Negara dilihat terlepas dari segala kepentingan,
baik kepentingan rezim pemerintahannya, maupun kepentingan kelompok-
115
Copyright © 2007 IPS-Inter Press Service. All rights reserved.: Q&A: "In Sierra Leone They
Just Cut You, And There's Not Much Problem With That"
109
kelompok yang ada di masyarakat. Negara juga diterima seakan-akan
terlepas dari kepentingan serta tidak mewakili seks tertentu, laki-laki atau
perempuan. Negara adalah gender neutral. Artinya, ia yaitu secara sosial
tidak berjenis kelamin.116
Kaum feminis hubungan internasional gelombang pertama telah mengklaim
kenyataan akan adanya negara ini. Sebagaimana pernyataan Spike Peterson dalam
Gendered State bahwa negara itu bergender dan kenyataannya gender yang dianut
oleh kebanyakan negara adalah maskulin dimana ketika kebiasaan-kebiasaan
patriakal mendahului dan memungkinkan pembentukan negara, itulah yang
merupakan awal negara yang berdasar atas sistem maskulin dan dominasi kelas
diinstusionalisasikan; eksploitasi atas perempuan sebagai sebuah „kelas gender/seks‟
dilatarbelakangi oleh kekuasaan koersif negara dan reproduksi pengaturan gender
dijadikan sebagai akibat dari suatu rekonfigurasi ideologi yang sah.
Negara itu maskulin karena masyarakatnya juga maskulin. Negara yang
maskulin cenderung partriarki dan patriarki ini selalu terjebak dalam tiga bentuk
kekuasaan atas negara yaitu struktur negara, hukum, dan kebudayaan. Hal ini
dijelaskan oleh Kurniasari N. Dewi, educator Komnas HAM117
, sebagai balutan
kekuasaan atas perempuan yang menjadikan perempuan mengalami lapisan yang
bertingkat-tingkat dalam menggapai kebebasan atas hak asasinya.
Jika ditelaah melalui praktik FGM di Sierra Leone akan sangat banyak sekali
ditemui kekuasaan-kekuasaan yang berlapis-lapis menyelubungi perempuan untuk
116
Dewi Novirianti, Negara dan Tubuh Perempuan, dalam Jurnal Perempuan, edisi 15, 2000, hal. 85 117
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan Kurniasari N Dewi, lihat lampiran
110
mencapai hak asasinya. Sebagaimana yang telah diungkap melalui feminis radikal,
bahwa akar dari opresi terhadap perempuan pada FGM adalah berawal dari seks
perempuan yaitu vagina. Kekuasaan atas vagina ini akan sangat tebal dan berlapis-
lapis ketika yang memiliki vagina itu adalah perempuan Sierra Leone. Berikut
peneliti akan uraikan bagaimana perempuan Sierra Leone dengan vaginanya berada
pada tingkat opresi yang paling dalam sehingga harus melalui beberapa tingkat
kekuasaan untuk mendapatkan kembali hak asasinya sebagai perempuan karena
women‟s body is women‟s right:
5.2.1. Ketidakkuasaan Perempuan Sierra Leone atas Vaginanya
Dalam hal ini perempuan Sierra Leone sama sekali tidak punya kekuasaan.
Jangankan kekuasaan, hak untuk mengontrol vaginanya saja mereka tidak punya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mariana, bahwa FGM itu adalah sebuah
tindakan untuk melakukan perubahan pada tubuh perempuan, dan setiap tindakan
untuk melakukan perubahan terhadap tubuh ini seharusnya dengan ijin yang memiliki
tubuh tersebut. Ini merupakan hak dasar setiap individu perempuan. Ketika praktik
FGM berlangsung di Sierra Leone, perempuan Sierra Leone sama sekali tidak
dimintai ijin dan ditanyakan apakah ia bersedia melakukan FGM ini. Ini jelas-jelas
membuktikan bahwa perempuan Sierra Leone ini tidak perempuan tidak punya suara
sama sekali, tidak punya ruang untuk berpendapat sama sekali tentang itu. Bahkan,
jangankan untuk berpendapat, untuk berfikir bahwa FGM itu akan menganiaya
tubuhnya saja perempuan ini tidak tahu. Selain itu, perempuan Sierra Leone ini
111
terbukti sama sekali tidak tahu tentang vaginanya. Ketika praktik FGM telah
membuat luka vaginanya mereka masih menganggap itu sebuah proses untuk
menghilangkan sifat-sifat buruk yang dikeluarkan melalui darah tersebut. Hal ini
diungkapkan oleh seorang perempuan Sierra Leone ketika diwawancarai oleh Rugiatu
Turay, dari AIM.
”They sometimes associate this with is demons. Whenever it happens that a
girl bleeds excessively they will say it‟s because she is a witch.”118
Ini sangat
membuktikan bahwa perempuan Sierra Leone yang di FGM sama sekali tidak punya
hak atas vaginanya. Bahkan ketika vaginanya sangat kesakitan dan mengeluarkan
banyak darah pun, perempuan tidak memiliki kemampuan untuk bersuara. Selain
adanya aturan bahwa perempuan yang telah di FGM tidak boleh menceritakan
pengalamannya kepada siapaun, perempuan ini telah meyakini mitos bahwa ketika ia
mengeluarkan darah yang banyak berarti ia adalah seorang yang liar, nakal, identik
dengan pelacur (witch), dan sebutan witch ini sangat rendah dipandang dalam
masyarakat Sierra Leone. Bagaimana perempuan ini akan bersuara ketika ia sangat
dikuasai oleh ketakuatan pikiran akan status witch. Tidak hanya di masyarakat Sierra
Leone, di masyarakat Amerika Serikat yang sudah modern pun sebutan ini masih
dianggap rendah dan hina, terbukti dengan film-film Hollywood yang sering
menggunakan kata-kata wicth/bitch untuk merendahkan dan menghina orang lain.
Mengapa bitch dianggap rendahan, Simone de Beauvoir menyatakan justru
perempuan yang dianggap bitch ini lebih bisa mengontrol tubuhnya daripada
118
Berdasarkan video wawancara IRIN
112
perempuan kebanyakan yang menyerahkan vaginanya atas nama cinta tanpa
mendapatkan apa-apa, sedangkan bitch ini mendapatkan imbalan atas itu. Jika
diasosiasikan dengan perempuan Sierra Leone yang membiarkan vaginanya untuk di
FGM, bitch akan sangat lebih bisa mengontrol tubuhnya dibanding perempuan yang
di FGM ini. Dari hal ini saja sudah terlihat betapa sangat tidak berkuasanya
perempuan Sierra Leone ini terhadap vaginanya. Karena ia sendiri pun telah dikuasai
oleh pikiran ketakutan akan lingkungannya.
5.1.2. Kekuasaan Budaya atas Perempuan Sierra Leone yang Tidak Berkuasa
atas Vaginanya.
Kebudayaan di Sierra Leone erat kaitannya dengan mitos, terutama FGM.
Mitos-mitos menjadi perempuan dengan FGM telah mengakar sangat dalam di
kebudayaan Sierra Leone dan hal ini menjadi berkuasa dalam memperkuat stereotip
terhadap perempuan Sierra Leone. Seperti yang diutarakan oleh salah seorang
perempuan Sierra Leone yang terekam dalam sebuah video Razor‟s Edge yang
dikeluarkan oleh IRIN: “they avoid me, they abandon me, they abuse me, they look at
me with bad eyes, but I don‟t scare. I don‟t mind because I want a change”. Inilah
sebuah pernyataan yang terkesan sangat tegar dari seorang perempuan Sierra Leone
yang akan melakukan FGM. Ia rela melakukan semua proses penderitaan dan
kesakitan selama pelaksanaan FGM hanya demi sebuah pengakuan akan perubahan
dalam dirinya untuk diakui oleh masyarakat sebagai seorang perempuan. Pernyataan
yang sangat mengharukan sekaligus bodoh. Disebut bodoh karena perempuan Sierra
113
Leone ini hanya memperoleh pengetahuan dari mitos yang diturunkan nenek moyang
mereka, tanpa proses berfikir, mereka tidak melihat fakta bahwa sebenarnya praktik
ini sudah tidak di lakukan lagi di berbagai tempat di dunia. Mereka tidak tau bahwa
sebenarnya tardisi itu bisa diubah. Mereka tidak mengenal bahwa sesungguhnya
mereka itu berhak atas tubuhnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup
layak tentang tubuhnya, tentang fungsi-fungsi tubuhnya. Mereka tidak menyadari
bahwa ternyata ada yang salah dengan apa yang selalu mereka lakukan terus-
menerus, turun-temurun. Mereka cenderung menutup erat segala sesuatu yang mereka
alami selama proses FGM. Mereka diselubungi pikiran akan ketakutan untuk tidak
diterima sebagai perempuan bagian masyarakat, tidak akan mendapatkan suami jika
mereka tidak melakukan FGM ini. Mereka tidak peduli terhadap diri sendiri, tubuh
sendiri. Mereka adalah bagian dari perempuan bodoh yang rela mengorbankan segala
hak asasinya hanya untuk mendapatkan laki-laki.
Stereotip perempuan yang diagung-agungkan masyarakat Sierra Leone ini
adalah bahwa perempuan yang baik yang akan diterima dalam masyarakat adalah
ketika ia pasif, penurut, setia, mampu menjaga keperawanannya sebelum menikah.
Ketakutan terbesar perempuan Sierra Leone ketika ia tidak di FGM adalah berujung
pada tidak dianggap perempuan sehingga tidak bisa menikah karena tidak akan ada
laki-laki Sierra Leone yang mau menikah dengan perempuan yang tidak di FGM.
Kenyataan bahwa kehidupan perempuan di Sierra Leone ini memang akan berakhir
dengan mendapatkan seorang suami, sehingga semua kehidupannya akan berada di
tangan suaminya. Jadi seorang suami akan sangat penting bagi perempuan Sierra
114
Leone, sebelum diantara begitu banyak perempuan Sierra Leone yang sadar apakah
mereka benar-benar interest dengan laki-laki (lesbian).
Keadaan seperti inilah yang merupakan patriarki dimana ketika masyarakat
suatu negara telah menganut patriarki maka negaranya pun akan otomatis patriarki.
Kurniasari N. Dewi kembali menegaskan bahwa patriarki itu juga terjebak dalam tiga
hal pokok yaitu struktur negara, hukum, dan budaya. Budaya dalam kasus FGM di
Sierra Leone ini adalah kekuasaan terkuat yang akan mempengaruhi struktur negara
serta pembentukan hukum yang mengatur kehidupan bernegara.
5.2.2. Kekuasaan Negara Sierra Leone atas Kebudayaan Masyarakat Sierra
Leone yang Berkuasa atas Perempuan Sierra Leone yang Tidak Punya
Kuasa atas Vaginanya.
Pada sistem internasional negara diakui memiliki kedaulatan sehingga dengan
adanya kedaulatan ini negara memiliki kekuasaan dan kekuasaan negara ini
ditentukan oleh bentuk sistem pemerintahannya. Negara Sierra Leone adalah negara
yang memiliki pemerintahan berbentuk republik yang menggunakan sistem
demokrasi. Negara demokrasi cenderung menggunakan sistem ”dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”. Jika diaplikasikan pada negara Sierra Leone sistem
demokrasi ini akan berwujud ”dari rakyat yang patriarki, oleh rakyat yang patriarki,
dan untuk seluruh rakyat”.
115
Sierra Leone ini adalah negara yang konservatif.119
Negara yang konservatif
adalah perwujudan dari masyarakat yang konservatif juga. Sistem demokrasi adalah
alatnya. Mariana menyatakan bahwa negara itu tidak pernah terlepas dari masalah
politik. Kenyataannya negara akan selalu mengutamakan kepentingan masing-masing
untuk mencapai kekuasaannya. Hal ini sangatlah maskulin dimana ciri dari
maskulinitas itu adalah pengutamaan dalam mencapai kekuasaan.
Maskulinitas negara Sierra Leone ini terlihat dari fakta-fakta yang
berhubungan dengan masalah FGM yang hingga saat ini masih belum menjadi
sebuah isu yang diperhatikan oleh pemeritah sebagai salah satu bentuk kekerasan
terhadap perempuan. Melalui laporan dari IRIN diketahui bahwa FGM dijadikan
sebagai alat politik oleh presiden Sierra Leone, Ahmad Tejan Kabbah yang melalui
istrinya Patricia Kabbah melakukan support terhadap praktik FGM ini terhadap 1500
perempuan dibiayai untuk melakukan tradisi FGM secara gratis dengan tujuan
memenangkan suara pada saat pemilu hingga pada akhirnya ia terpilih menjadi
presiden Sierra Leone. Secara tidak langsung tindakan yang dilakukan oleh presiden
Sierra Leone ini menunjukkan dengan nyata dukungannya terhadap tradisi FGM ini
sebagai bagian dari kebudayaan Sierra Leone. Terpilihnya ia sebagai presiden
memperkuat kekuasaannya untuk terus membiarkan praktik FGM ini sebagai bagian
dari tradisi rakyatnya.
119
Dr. Richard Fanthorpe. Writenet berjudul “Sierra Leone: The Influence of the Secret Societies, with
special reference to female genital Mutilaiton”. 2007
116
Hal ini sangat politis, dimana seorang pemimpin negara akan melakukan
apapun dengan kekuasaan yang dimilikinya untuk tetap mendapatkan dukungan dari
rakyatnya. Logikanya adalah bahwa pemerintah Sierra Leone yang berkuasa tidak
berani ambil resiko untuk melakukan pelarangan terhadap praktik FGM karena
pemerintah menyadari bahwa rakyatnya menerima mitos FGM ini, dan ketika dunia
internasional salah satunya melalui PBB telah menyatakan himbauan pelarangan atas
praktik FGM ini, pemerintah Sierra Leone tidak menghiraukannya karena ketika hal
itu diaplikasikan melalui peraturan pelarangan terhadap FGM, rakyat Sierra Leone
yang sangat mengagung-agungkan mitos FGM ini akan kehilangan kepercayaan atas
pemerintah Sierra Leone ini dan hal ini merupakan ancaman bagi orang-orang yang
duduk di pemerintahan. Di samping itu, ini akan menjadi sebuah dilema ketika
seorang presiden Sierra Leone memenangkan pemilu dengan menggunakan FGM
sebagai alat kampanyenya, akan sangat riskan bagi pemerintah untuk menciptakan
suatu undang-undang pelarangan terhadap praktik FGM ini.
Tekanan dari dunia internasional hanya mampu dijawab oleh pemerintah
Sierra Leone dengan pernyataan bodoh seorang menteri Kesejahteraan Sosial, Gender
dan Perlindungan Anak, Shirley Yeama Gbujama: ”We will do something if the
women themselves ask for it”120
. Sementara ia tahu bahwa sebagian besar perempuan
Sierra Leone tidak berpendidikan, masih konservatif, masih sangat tradisional dan
sangat mengagungkan mitos. Bagaimana mereka bisa berfikir, jangankan untuk
berfikir mengenai hak asasinya, vagina sebagai hal yang paling dekat dengan mereka
120
IRIN Web special. Razor‟s Edge: The Controversy of female Genital Mutilation. 2005
117
saja mereka tidak tahu-menahu fungsi-fungsinya dan bahwa vagina itu adalah
sepenuhnya hak mereka untuk di FGM atau tidak. Selama ini mereka hanya
mengikuti tradisi nenek moyang mereka yang sarat dengan mitos-mitos yang
merugikan diri mereka sebagai perempuan.
Kerugian-kerugian yang diderita perempuan Sierra Leone ini tidak hanya dari
segi fisik berupa kerusakan organ seksual beserta fungsi seksualnya tetapi hal ini
menjadi sebuah bentuk opresi yang terus membelah diri dan menghasilkan opresi-
opresi baru bagi perempuan. Feminis radikal telah menunjukkan bahwa berawal dari
vagina kemudian perempuan ini jadi banyak masalah, banyak mendapat perlakuan
tidak adil bahkan tindak kekerasan hanya karena perempuan punya vagina.
Kenyataan ini secara jelas teraplikasi dalam budaya politik masyarakat Sierra Leone
dimana terdapat perbedaan antara perempuan yang telah melakukan FGM dan yang
tidak melakukan FGM. Sebagaimana laporan IRIN:121
“Women who have not
undergone the ordeal are still considered children-not proper adults-who are
unworhty of marriage or any position of leadership in society.” Peryataan lain yang
menjelaskan diskriminasi terhadap perempuan yang tidak melakukan FGM juga
dituliskan oleh NAYD: “they are generally bared from taking up leadership position
in Sierra Leone society”.122
Tindakan pendiskriminasian ini menjadikan arti FGM begitu penting bagi
perempuan Sierra Leone hingga begitu sulit untuk dihapuskan. Negara sebagai
121
http://www.irinnews.org/pdf/in-depth/FGM-IRIN-In-Depth.pdf, diakses pada 20
Januari 2008 122
Berdasarkan laporan NAYD Sierra Leone, lihat Lampiran
118
pelindung akan hak-hak asasi masyarakatnya telah menyalahgunakan kekuasaannya
untuk mengabaikan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari
masyarakatnya. Sehingga perempuan Sierra Leone harus menghadapi kekuasaan yang
berlapis-lapis untuk bisa bersuara akan hak asasinya. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Kurniasari N. Dewi bahwa perempuan itu dihadapkan pada tingkatan benteng
kekuasaan, dimulai dari laki-laki sebagai penguasa rumah tangga, kepala adat, dan
berakhir di pemerintah yang semua itu adalah maskulin. Jika dilihat kembali bahwa
tubuh perempuan yang paling tertindas dan terkuasai akibat praktik FGM ini adalah
vagina. Sehingga akan sangat sulit sekali bagi perempuan untuk memperjuangkan
vaginanya menembus kekuasaan yang berlapis-lapis ini hanya untuk mewujudkan apa
yang telah menjadi hak asasi perempuan atas tubuhnya.
Dimulai dari tidak adanya kekuasaan perempuan atas vaginanya telah
menjadikan sebuah bentuk kekuasaan negara atas vagina perempuan. Itulah inti dari
praktik FGM di Sierra Leone ini. Pemerintah Sierra Leone dalam hal ini benar-benar
berkuasa atas tubuh perempuan dibuktikan dengan tindakan telah melanggar
komitmen akan aturan mengenai hak asasi perempuan sebagai manusia yang sama-
sama memiliki hak asasi dengan manusia yang berjenis kelamin laki-laki.
Pengratifikasian CEDAW pada tahun 1988 dengan tidak adanya implementasi aturan
pelarangan atas tindakan pendiskriminasian dan kekerasan terhadap perempuan
melalui pengabaian masalah FGM adalah bukti nyata dari kekuasaan negara Sierra
Leone atas tubuh perempuan. Berikut dua deretan ketidakadilan serta kekerasan yang
119
dilakukan negara Sierra Leone terhadap perempuannya dengan mengabaikan praktik
FGM ini:
1) Kekerasan negara terhadap anak
FGM di Sierra Leone ini dipraktikkan dengan objek anak perempuan.
Kekerasan terhadap anak perempuan yang dipaksa untuk melakukan FGM oleh
tradisi kebudayaan adalah kesalahan negara. Kelalaian negara dalam memberikan
perlindungan terhadap anak sebagai generasi muda penerus bangsa
2) Ketidakadilan negara terhadap penjaminan akan perolehan hak perempuan atas
kesehatan seksual dan reproduksinya.
Kerusakan vagina perempuan Sierra Leone atas praktik FGM ini adalah
sebuah bentuk tindak penghilangan hak asasi perempuan Sierra Leone untuk
mendapatkan hak atas kesehatan seksualnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan
bahwa vagina perempuan tidak hanya berfungsi sebagai alat reproduksi saja,
tetapi memiliki bagian-bagian yang memiliki fungsi kenikmatan seksual yaitu
klitoris. Ketika FGM telah merusak klitoris dari vagina perempuan ini maka
fungsinya akan tidak sempurna lagi. Sehingga perempuan kehilangan hak atas
fungsi kesehatan dan fungsi seksual dari vagina ini.
Negara seharusnya punya tanggung jawab untuk menjamin teraplikasinya
hak-hak perempuan ini. Kekuasaan yang dimiliki oleh negara seharusnya digunakan
untuk menjamin keberadaan hak asasi perempuan bukan sebaliknya untuk menguasai
tubuh perempuan yang jelas-jelas adalah bagian dari hak asasi perempuan. Ini adalah
sebuah bukti dari negara yang maskulin dimana fokus utamanya adalah kekuasaan itu
120
sendir Ketika negara yang maskulin telah berkuasa atas tubuh perempuan, otomatis
akan memperkuat diskursus-diskursus yang maskulin juga mengenai praktik FGM
ini.
5.3 FGM Sebagai Diskursus Maskulin
Maskulinitas menjadi bagian dari masyarakat yang memperkuat mitos
keideala seorang perempuan, bagaimana menjadi perempuan yang diinginkan oleh
masyarakat patriarki dimana yang berlaku adalah gender seolah-olah telah
mendahului seks. Sehingga vagina sebagai seks perempuan menjadi harus mengikuti
aturan gender yang telah ditetapkan sebagai sosok perempuan ideal. Mitos ini
merupakan hasil konstruksi yang akan diperkuat kembali oleh diskursus-diskursus
yang berkembang di masyarakat kebanyakan. Berikut dua contoh diskursus yang
dimunculkan dari sisi-sisi yang merupakan pondasi kokoh dari sebuah bangunan
bernama patriarki yang terformalisasi dalam bentuk negara:
5.3.1. Pondasi Satu: Budaya
Kebudayaan dalam pengertian umumnya adalah hasil cipta, rasa, dan
karsa manusia. Melalui pengertian ini sudah dapat dikatakan bahwa budaya
itu adalah ciptaan manusia. Hal ini diperkuat oleh seorang antropolog
121
bernama Budi Rajab yang menegaskan bahwa123
budaya itu adalah konstruksi.
Konstruksi yang terus dikonstruksi dan diperkuat oleh manusia. FGM itu
adalah bagian dari kebudayaan dimana ia merupakan bagian dari life cycle.
Setiap masyarakat memiliki life cycle. Pada masyarakat budaya proses life
cycle ini biasanya diberi tanda-tanda tersendiri. Tanda-tanda tersebut
diciptakan oleh masyarakat kebudayaan. Pada masyarakat yang tradisional
tanda ini sering dikaitkan dengan mitos. FGM adalah salah satu tanda
tersebut. Tanda yang menunjukkan keperempuanan seseorang anak.
Proses life cycle ini sangat erat kaitannya dengan patriarki, dimana
dominasi maskulin menjadi sebuah penentu dari tanda yang berlaku dalam
masyarakat. Menurut Budi Rajab patriarki itu sangat ditunjukkan dalam
budaya. Ini bertujuan untuk menaklukan perempuan, salah satunya dengan
FGM ini. Mitos melalui menciptakan bahwa perempuan ideal adalah
perempuan yang di FGM. Masyarakat yang mengagung-agungkan budaya
termasuk perempuan sebagai bagian dari masyarakat itu juga akan meyakini
FGM sebagai sebuah life cycle kehidupan yang akan membawa perubahan
dalam dirinya. Meskipun tanpa tanda dengan FGM ini perempuan akan
mengalami lifecycle juga, tapi dalam hal ini pengakuan akan hal tersebutlah
yang menjadi terpenting. Pengakuan dari masyarakat yang berbudaya akan
sah adanya ketika telah melalui tanpa yang sudah ditentukan oleh budaya
123
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Budi Rajab
122
sebagai representasi dari kekuasaan maskulin yang terus dikonstruksi dan
diperkuat oleh laki-laki sebagai yang berkuasa dalam budaya patriarki.
Kaum feminis tidak hanya terdiri dari kaum perempuan, tetapi juga
laki-laki sebagai salah satu agen pembebasan atas diskriminasi perempuan ini.
Ketika budaya telah berkuasa atas tubuh perempuan dengan FGM ini, dan
kekuasaan identik dengan power, hukum rimba akan kembali berkuasa
dimana yang kuatlah yang menjadi pemenang. Apalah arti perempuan dalam
budaya patriarki yang dikuasai oleh dominan maskulin dan perempuan yang
masih dalam kesadaran palsu menyetujui kekuasaan maskulinitas ini, ketika
sebagian besar masyarakat budaya masih menganggap perempuan sebagai the
second sex, meskipun ada laki-laki yang sudah bangkit dari kesadaran
palsunya untuk menempatkan perempuan sebagai seks yang setara dengan
seks laki-laki.
5.3.2. Pondasi Dua: Agama
Berbicara mengenai agama, identik sebagai sesuatu yang sakral, suci
karena berhubungan dengan pencipta manusia itu sendiri karena kan selalu
dikaitkan dengan Tuhan. Setelah melakukan penelitian terhadap dua agama
yang ada di Sierra Leone yaitu Islam dan Kristen, peneliti menemukan bahwa
Islam adalah agama yang memiliki aturan mengenai FGM ini. FGM dalam
agama islam disebut dengan istilah khitan atau sunat.
123
Sumber hukum agama islam itu ada dua yaitu al Quran dan Hadist.
FGM ini hanya terdapat dalam hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al
Quran. Berikut hadistnya: 124
1) Pendapat Imam Abu Hanifah mengenai berkhitan (sunat),
yakni hukumnya sunat, berpedoman sebuah hadits yang
bermaksud: “Berkhitan itu sunat bagi lelaki dan penghormatan
bagi perempuan.”
2) Hadits Abu Dawud, “bahwa Nabi Muhammad pernah berkata
kepada seorang perempuan juru khitan anak perempuan,
„sedikit sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik
wajahnya dan kehormatan bagi suaminya‟”
Dalam ajaran islam ada hal-hal yang tidak boleh dipertanyakan lagi
kebenarannya dan ada yang masih boleh diperdebatkan, salah satu yang masih
boleh diperdebatkan ini adalah FGM. Seorang pemimpin islam di Afrika
Sheikh Musa Mohammed Omer, a yang merupakan anggota the Executive
Committee of the Supreme Council for Islamic Affairs di Ethiopia, salah satu
negara Afrika yang juga melakukan praktik FGM, menyatakan sebuah
pendapatnya selaku tokoh agama Islam mengenai FGM ini. Berikut
pernyataannya:
124
Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Azis Dahlan et al., Jakarta, 1997, Vol 3
124
This tradition, whether it is female or male circumcision, was done
starting from prophet Muhammad and wehave practiced it for the
last 1,000 years. He ... did not prohibit it, but gives the advice to
moderate the surgery.So we, as Muslims, believe that the prophet‟s
advice was to moderate it - therefore, there is no problem withit in
the religion. This conference, and the medical research associated
with it, does not show that the Sunnahcircumcision - cutting only the
outer part of the clitoris - has caused any medical complications. I
believe that Islam condones the Sunnah circumcision; it is
acceptable. What‟s forbidden in Islam is the pharaonic circumcision
but, in actuality, we see people execute the pharaonic method - this
is bloodshed. And Islam rejects shedding the blood of a woman or
any creature, so we have to avoid it - it is up to us to protect the life
of a woman. If female circumcision is done according to the rulings
of the Islamic Shari‟ah, I do not order people to avoid it. I do oppose
non-Islamic [pharaonic] circumcision. It should not be done
anymore.125
Berikut fakta baru yang dikeluarkan WHO mengenai dampak dari
FGM ini dari segi kesehatan:126
Studi terbaru yang dipublikasikan oleh WHO telah menunjukkan bahwa
wanita yang pernah mengalami mutilasi alat vital secara signifikan
cenderung mengalami kesulitan saat melahirkan dan bayi mereka pada
umumnya meninggal sebagai akibat dari praktek kekerasan tersebut.
Komplikasi yang serius selama melahirkan termasuk kebutuhan untuk
mendapatkan bedah caesar, perdarahan parah yang membahayakan
setelah persalianan, dan perawatan di Rumah Sakit setelah persalinan.
Studi tersebut menunjukkan bahwa derajat komplikasi meningkat
berdasarkan besar dan keparahan FGM (Female Genital Mutilation.).
Data-data kesehatan dari WHO ini memberikan pilihan bagi umat Islam
yang masih mempertanyakan sunat perempuan sebagai aturan dari Tuhan yang
wajib dilakukan atau perlu dipertanyakan kembali. Seorang feminis Islam yang
125
Berdasarkan hasil wawancara IRIN, Februari 2005 http://www.irinnews.org/pdf/in-
depth/FGM-IRIN-In-Depth.pdf, diakses 20 Januari 2008 126
Informasi ini diperoleh dari website Departemen Kesehatan Republik Indonesia
125
pernah mengalami langsung sunat perempuan ini, Nawal El Sadawi127
menulis
tentang kaitan agama dengan FGM ini. Berikut pernyataannya:
Agama, jika melihat ajaran-ajarannya yang asli, tetap berpihak
kepada tujuan-tujuan kebenaran, persamaan, keadilan, cinta dan
kehidupan sehat yang bermanfaat bagi semua orang baik laki-laki
atau perempuan. Bukankah agama sejati bila tujuannya adalah
membawa penyakit, memotong anggota tubuh anak-anak perempuan
dan membuang sebagian penting dari organ seksualnya Jika agama
berasal dari Tuhan, bagaimana mungkin ia menyuruh manusia
memotong sebuah organ yang Ia ciptakan, padahal organ itu
bukanlah penyakit atau cacat? Tuhan tidaklah menciptakan klitoris
sebagai organ seksual yang sensitif, yang fungsi satu-satunya agar
mendapatkan kenikmatan semacam itu, juga normal dan sah bagi
perempuan dan karenanya menjadi sebuah bagian yang integral
dalam kesehatan mental. Kesehatan fisik dan mental perempuan
tidak lengkap bila mereka tidak merasakan kenikmatan cinta.
Agama adalah sakral bagi masyarakat beragama, sehingga terkadang
kesakralannya ini menjadi alat yang sangat kuat untuk melegalkan sebuah
praktik kekerasan terhadap perempuan, seperti dalam kasus FGM ini. Karena
terkadang hal-hal yang telah dituliskan Tuhan melalui agama secara benar
bisa menjadi sebuah kesalahinterpretasian dari manusia sebagai makhluk
Tuhan yang tidak sempurna.
Melalui dua diskursus yang sangat kuat posisinya dalam masyarakat secara
keseluruhan yang patriarki akan sangat menimbulkan sebuah makna ketika kedua
diskursus ini dikaji secara mendalam oleh pihak-pihak yang berkompeten dalam
127
Nawal El Sadawi. Perempuan dalam Budaya Patriarki. Terj Zulhilmiyasri. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. 2001. hal. 81
126
bidang masing-masing. Kenyataan yang ada di masyarakat adalah begitu banyaknya
pihak yang tidak memahami secara dalam tentang budaya dan agama ini, sehingga
adalah sebuah celah yang sangat lebar untuk mengatasnamakan kedua hal ini untuk
memperoleh kekuasaan atas perempuan, tubuhnya, serta hak-hak asasinya dan hal itu
menurut kaum feminis adalah sangat maskulin.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN :
APA GUNANYA NEGARA BAGI PEREMPUAN?
127
Bab ini adalah bab akhir dari tulisan peneliti yang berisi kesimpulan dan saran
atas apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya.
6.1 Kesimpulan
Bukanlah suatu hal yang berlebihan feminis memunculkan gender yang
selama ini invisible dalam Hubungan Internasional. Bukanlah suatu hal yang
berlebihan kaum feminis mengatakan bahwa negara itu adalah maskulin. Bukanlah
suatu hal yang berlebihan pula ketika feminis berpendapat bahwa tubuh perempuan
sebagai akar atas opresi terhadap perempuan itu. Praktik Female Genital Mutilation
yang terjadi di banyak negara di dunia128
terutama di Sierra Leone telah
membuktikannya secara jelas. Hubungan internasional yang selama ini dipandang
tidak bergender ternyata pada kenyataannya dipenuhi oleh segala sesuatu yang
bergender. Negara adalah salah satunya. Negara yang selama ini dipandang sebagai
sesuatu bentuk sistem yang netral ternyata berpihak pada salah satu gender yaitu
maskulin dengan representasi dari masyarakat yang maskulin juga.
Hal ini membuktikan bahwa pendekatan feminisme yang peneliti gunakan
sangat relevan dan mampu membuktikan serta membongkar kekuasaan-kekuasaan
atas tubuh perempuan sampai pada akarnya yaitu seks perempuan. Praktik FGM
tesebut telah membuktikan bahwa negara Sierra Leone telah menguasai tubuh
perempuannya. Negara yang maskulin sangat tidak konsisten dengan kebijakannya.
128
Lihat daftar Praktik FGM di negara-negara di dunia yang tertera pada lampiran
128
Negara telah membatasi tubuh perempuan dengan kekuasaannya dibuktikan dengan
tidak dihiraukannya praktik FGM sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak asasi
rakyatnya yang berjenis kelamin perempuan. Disisi lain negara ini melalui
pemerintah yang berkuasa telah memanfaatkan tubuh perempuan ini sebagai ajang
untuk kepentingan meraih dan memperkuat kekuasaannya. Kampanye dengan
support terhadap FGM adalah contoh nyata di Sierra Leone yang memanfaatkan
vagina perempuan sebagai alat kepentingan politik.
Negara sejauh ini hanya memanfaatkan perempuan sebagai objek untuk
meraih dan memperkuat kekuasaannya tanpa peduli bahwa perempuan itu adalah
manusia yang memiliki hak asasi. Saat perempuan secara sadar maupun tidak sadar
telah mendedikasikan tubuhnya untuk kepentingan negara, ternyata negara tidak
melakukan suatu hal yang berarti untuk menjamin dan melindungi Hak Asasi
Perempuan. Ketika negara menandatangani sebuah kesepakan tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, tidak diimplementasikan secara
layak. Seharusnya tanpa kesepakatan itupun negara telah memiliki tanggungjawab
terhadap rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kasus FGM di Sierra
Leone ini negara benar-benar tidak berguna bagi perempuan. Sehingga pada
akhirnya, penelitian ini kembali memunculkan pertanyaan baru. Jika negara hanya
mampu merepresentasikan kepentingan rakyatnya yang laki-laki, lalu apa gunanya
negara bagi perempuan?
6.1 Saran
129
Melaui pendekatan feminisme yang peneliti gunakan yaitu lebih kepada
feminisme radikal dan kritik feminis terhadap hubungan internasional, tulisan peneliti
ini telah mampu menguak salah satu akar dari opresi terhadap perempuan dalam
praktik FGM ini. Mengingat begitu banyak dan berlapis-lapisnya opresi yang
menimpa diri, tubuh, dan hak- hak asasi perempuan, peneliti menyarankan untuk
penelitian selanjutnya mengenai FGM ini meggunakan aliran-aliran feminisme lain
seperti feminisme psikoanalisis, feminisme liberal, posfeminis dan aliran-aliran
feminisme lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menguak lebih dalam apa-apa saja
yang telah menyebabkan perempuan itu sebagai yang tersubordinat dan
terdiskriminasi hak-hak asasinya sebagai manusia.
Selain itu saran dalam hal ini peneliti tujukan kepada perempuan, laki-laki,
dan negara:
1. Perempuan
Tidak mudah memang hidup di dunia yang patriarki ini. Untuk itu
sebagai perempuan yang menjadi korban stereotip jenis kelamin kedua
setelah laki-laki, harusnya lebih menyadari bahwa kita ini memiliki
apa yang disebut Hak Asasi Perempuan. Kenalilah diri anda, tubuh
anda, serta apa-apa yang menjadi hak asasi seorang perempuan.
Sesungguhnya banyak sekali ketidakadilan yang telah terjadi terhadap
perempuan. Mungkin FGM hanyalah salah satu contoh dari begitu
banyak bentuk pelanggaran hak asasi perempuan itu. Jadi berjuanglah,
keadilan itu memang sebuah hal yang sulit, tapi setidaknya
130
berjuanglah untuk mempertahankan apa yang telah menjadi hak asasi
anda sebagai individu perempuan.
2. Laki-laki
Feminisme bukanlah musuh laki-laki sebagaimana wacana patriarki.
Jika pelarangan atas FGM adalah salah satu gerakan feminisme dalam
rangka pembebasan tubuh perempuan sebagai bagian dari HAP.
Sehingga tanpa FGM perempuan akan lebih bisa memberikan pleasure
dalam segala bentuk hubungannya dengan laki-laki. Ini hanya salah
satu contoh. Jadi saat feminisme telah berhasil mengembalikan hak
asasi perempuan seutuhnya, perempuan akan lebih memberikan
pleasure untuk laki-laki dengan hak asasi yang dimilikinya. So, Let‟s
together for equal!
Melihat kenyataan bahwa isi dunia ini kebayakan dipenuhi oleh manusia yang
disebut perempuan dan laki-laki, maka kedua jenis kelamin ini sebaiknya
bekerjasama untuk keadilan terhadap kemanusiaan. Karena dengan kesadaran dan
keintelektualan kedua jenis kelamin inilah yang akan mampu merekonstruksi sistem
dunia seperti halnya sistem budaya, agama, dan keluarga agar menciptakan sebuah
situasi kehidupan yang berkesetaraan. Sehingga berbagai bentuk ketidakadilan dan
pendiskriminasian terhadap salah satu pihak yang dalam kasus FGM ini adalah
perempuan dapat terhapuskan.
3. Negara
131
Negara adalah representasi dari masyarakatnya. Saat
masyarakat tidak mampu untuk menciptakan sebuah situasi keadilan
dan kesetaraan, negara dengan kekuasaan yang dimiliki atas
masyarakatnya seharusnya mampu memberikan yang terbaik bagi
rakyatnya baik itu laki-laki ataupun perempuan. Untuk itu negara
harus memiliki konsistensi dalam menjamin hak asasi masyarakatnya,
terutama perempuan sebagai korban paling utama ketertindasan.
Sebagai institusi formal dalam sistem internasional negara
harus mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bernuansa
keadilan atas rakyatnya. Kebijakan-kebijakan ini meliputi dalam
bentuk hukum dan undang-undang serta pengimplementasian yang
benar-benar adil pelaksanaannya. Dalam hal ini negara seharusnya
lebih mengutamakan kepentingan kemanusiaan, karena tanpa manusia
negara itu tidak akan ada. Namun saat negara tak mampu mewujudkan
semua itu maka akan lebih baik tanpa negara. Karena apa gunanya
negara jika hanya akan merugikan perempuan.