kekuasaan negara atas tubuh perempuan: studi kasus female genital mutilation di sierra leone

131
1 Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan: Studi Kasus Female Genital Mutilation di Sierra Leone Dewi Idam Sari G1B040078 Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2008.

Upload: uni-bonn

Post on 28-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan:

Studi Kasus Female Genital Mutilation di

Sierra Leone

Dewi Idam Sari

G1B040078 Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran,

Jatinangor, 2008.

2

ABSTRAK

Dewi Idam Sari. Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan: Studi Kasus Female

Genital Mutilation di Sierra Leone. Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2008.

Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman tentang

bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan berkaitan dengan

masih dijalankannya praktik Female Genital Mutilation(FGM) yang merupakan salah

satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Perempuan yaitu penghilangan hak

perempuan atas tubuhnya.

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini berupa teori dan konsep

yang terdapat dalam pendekatan feminisme. Dimana sebagai ideologi pembebasan

perempuan dari segala bentuk diskriminasi yang ada di dunia ini, feminisme mampu

menjawab suara hati perempuan serta mengungkap segala bentuk kekuasaan yang

membentengi perempuan menggapai kebebasan hak asasinya.

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif yang berperspektif feminisme. Sehingga segala sesuatu dalam penelitian ini

tidak terlepas dari nila-nilai feminisme itu sendiri. Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, jasa internet, dan

wawancara.

Hasil penelitian menunjukan bahwa betapa hak asasi perempuan atas tubuhnya

dikuasai oleh kekuasaan yang berlapis-lapis. Sehingga dalam Kasus Female Genital

Mutilation di Sierra Leone ini, perempuan sama sekali tidak punya hak atas tubuhnya

3

karena secara tidak langsung negara sudah berkuasa atas tubuh perempuan. Maka

dalam hal ini negara sama sekali tidak berguna bagi perempuan.

4

ABSTRACT

Dewi Idam Sari. State‟s Authority on Woman‟s Body: Case study Female Genital

Mutilation Practice in Sierra Leone. Departement of International Relations, Faculty

of Social and Political Sience.Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2008.

This Research is making for take the description dan undestanding about how the

state‟s authority of Sierra Leone on Woman‟s Body, which is the practice of Female

Genital Mutilation is still exist over there. It‟s kind of women‟s rights violence, the

shape is women‟s rights violence on her body as her rights.

The framework thinking in this research refer to theory and concept in feminism

perspective. As an ideology for women‟s freedom from all forms of discrimination

against women, feminism appear to answer all of women‟s heart voices, showing up

all of authority that fortify women in reaching their rights.

The research method in this reasearch is qualitative method with feminism

perspective. So, all kind of forms in this research is awalys stay in feminism values.

The data is collected by library research, internet service, and interview

The result shown that how women‟s rights on her body is authorized by multi

authorities that deep and strong. So, in this case of female genital mutilation in Sierra

Leone, women do not have rights on their body anymore, because state has being

authorized on women‟s body. So, in this case state does not usefull anymore for

women

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak Asasi Perempuan (HAP) merupakan suatu jaminan bahwa perempuan tidak

akan mengalami diskriminasi yang berdasar atas jenis kelaminnya sebagai

perempuan.1 Namun pada kenyataannya, di berbagai belahan dunia sering terjadi

pelanggaran terhadap HAP dimana perempuan sering mengalami diskriminasi

diberbagai sektor kehidupan. Faktor utama penyebab masalah ini adalah masih

dianutnya paham patriakal di sebagian besar masyarakat dunia, dimana laki-laki

dianggap sebagai makhluk yang lebih superior dibandingkan perempuan. Dalam

masyarakat yang patriakal, sering sekali perempuan diperlakukan sebagai benda milik

dan hampir tidak memiliki hak atas apapun, baik harta benda, kebebasan menentukan

masa depan, bahkan kontrol atas diri dan tubuhnya.2

Pelanggaran-pelanggaran HAP tidak saja terjadi di ruang publik, dalam ruang

domestik, perempuan juga paling besar terlanggar hak asasinya. Pada konteks ini

maka perempuan dalam banyak kesempatan mengalami korban kekerasan berganda.

Ia tidak saja menjadi korban fisik, tetapi juga psikis, sosial dan budaya dalam

masyarakat patriarki. Salah satu dampak buruk bagi perempuan adalah seringnya

1Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.

2 Debu Batara Lubis,”Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya” dalam

Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan

Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor, 2006, hal. 489

6

terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan baik oleh laki-laki, masyarakat, maupun

negara terhadap perempuan, baik yang berupa kekerasan fisik maupun psikis.

Menghadapi situasi ini, hukum dalam masyarakat cenderung menutup diri dan tidak

mau mengambil tindakan karena masalah ini dianggap sebagai masalah interen yang

tabu untuk dibicarakan atau diselesaikan di muka umum, apalagi yang menyangkut

masalah tubuh dan seksualitas perempuan.

Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan ini diklaim oleh sebagian besar

kaum feminis sebagai penekanan dalam banyak cara tergantung pada kebudayaan,

kelas, dan ras yang berbasis gender.3

Salah satu bentuk ketertindasan dan

diskriminasi terhadap perempuan yang berdasar atas kebudayaan adalah Female

Genital Mutilation (FGM) yang merupakan penghilangan hak perempuan atas

tubuhnya. Berdasarkan fact sheet no.23, Harmfull Traditional Practices Affecting the

Health of Women and Children yang dikeluarkan oleh Office of the High

Commissioner for Human rights, FGM adalah istilah yang dipakai untuk mengacu

pada tindakan pembedahan untuk mengangkat sebagian atau seluruh bagian organ

genital perempuan yang paling sensitif.4

Praktik FGM ini dapat dianggap sebagai hal yang umum di banyak bagian

dunia, karena berdasarkan data yang dihimpun oleh World Health Organization

(WHO) diperkirakan bahwa sekitar 100-132 juta perempuan di seluruh dunia ini telah

3 J. Ann Tickner, Gender in International Relations Feminist Perspectives on Achieving Global

Security, New York, Columbia University Press, 1992, hal. 15 4 fact sheet no.23, Harmfull Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children dalam

Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan

Keadilan. Jakarta, Yayasan Obor, 2006, hal. 491

7

menjadi korban praktik FGM, dan setiap tahunnya sekitar 2 juta perempuan terancam

terkena praktik ini.5 Praktik FGM berlangsung lebih di 100 kelompok etnis yang

berada di 40 lebih negara di Afrika, Timur Tengah, Amerika bagian selatan, Asia dan

Australia.6 Kebanyakan dari praktik FGM di seluruh dunia dilakukan di 28 negara

Afrika diantaranya yang terbesar yaitu Djibouti, Etrirea, Sierra Leone, Somalia, dan

Sudan dimana sekitar 90% perempuannya mengalami praktik ini.7 Berdasarkan data

yang dikeluarkan oleh Departemen Amerika Serikat, diantara kelima negara ini, tiga

negara sudah melakukan pelarangan terhadap praktik FGM, dimana Djibouti telah

mengeluarkan pelarangan pada tahun 1998, Eritrea pada tahun 1995, dan Somalia

pada tahun 1999.

Sierra Leone sebagai salah satu negara yang masih mempertahankan praktik

FGM ini telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of

Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1988, namun tidak satupun

hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah Sierra Leone untuk menentang praktik

FGM ini.8

FGM masih saja terus berlangsung di Sierra Leone sebagai sebuah

kebudayaan yang melanggar HAP. Negara seolah-olah tidak peduli terhadap masalah

pelanggaran HAP Sierra Leone ini.

5 http://www.ipu.org/wmn-e/fgm-what.htm, diakses 7 September 2007

6 Berdasarkan data dari http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting, diakses 28

September 2007 7 World Health Organization. (August 1996). Estimated Prevalence of Female Genital Mutilation in

Africa. Diakses melalui http://haneydaw.myweb.uga.edu/twwh/fgm.html, diakses 28 September 2007 8 http://www.afrod.com/articles/15927, diakses 22 Agustus 2007

8

Berdasarkan keterangan-keterangan diatas, peneliti sangat tertarik untuk

meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh

perempuan dengan masih dijalankannya praktik FGM. Berikut beberapa hal yang

membuat peneliti tertarik untuk meneliti masalah ini :

1. Tubuh perempuan sebagai Hak Asasi Perempuan menjadi tidak berarti

ketika praktik FGM di Sierra Leone terjadi.

2. Bahwa FGM dengan segala dampak negatifnya terhadap perempuan

dan sudah dikecam sebagai praktik yang berbahaya oleh beberapa

lembaga internasional tetapi masih saja dipertahankan di Sierra Leone.

3. Peneliti juga ingin menunjukan urgensi kajian gender dalam analisis

Hubungan Internasional dengan penggambaran bahwa praktik FGM di

Sierra Leone tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan atas gender dan

seksualitas oleh negara yang maskulin.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penulis bermaksud melakukan penelitian

dengan judul:

Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan : Studi Kasus Praktik Female

Genital Mutilation di Sierra Leone

Penelitian ini didukung oleh dua mata kuliah pada Jurusan Hubungan

Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, antara

lain:

1. Teori Hubungan Internasional

9

Mata kuliah ini mengkaji mengenai keberagaman teori internasional di

dalam Studi Hubungan Internasional sebagai salah suatu konstruksi

akademik/disipliner yang berkembang dan emansipatoris. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan salah satu pendekatan yang

dipelajari pada mata kuliah ini yaitu pendekatan feminisme.

2. Gender dan Seksualitas dalam Politik Dunia

Mata kuliah ini mengkaji bahwa betapa semua fenomena yang terjadi

di dunia ini termasuk fenomena hubungan internasional tidak terlepas

dari masalah gender dan seks.

1.2 Permasalahan

1.2.1 Identifikasi Masalah

"I was genitally mutilated at the age of ten. When the operation began, I

put up a big fight. The pain was terrible and unbearable… I was badly cut

and lost blood… I was genitally mutilated with a blunt penknife. After the

operation, no one was allowed to aid me to walk… Sometimes I had to

force myself not to urinate for fear of the terrible pain. I was not given any

anesthetic in the operation to reduce my pain, nor any antibiotics to fight

against infection. Afterwards, I hemorrhaged and became anemic. This

was attributed to witchcraft. I suffered for a long time from acute vaginal

infections." -Hannah Koroma, Sierra Leone9

Melalui gambaran pengalaman salah seorang perempuan Sierra Leone yang

telah melakukan FGM, dapat dilihat bahwa tindakan FGM sangat merugikan dan

9http://www.amnestyusa.org/Violence/Womens_Human_Rights/page.do?id=1108439&n1=3&n2=39&

n3=739, diakses 7 September 2007

10

membuat seorang perempuan menderita. Perempuan benar-benar tidak berdaya untuk

mengontrol tubuhnya sendiri, ia harus menyerah pada tuntutan adat. FGM

dipraktikkan oleh seluruh kelompok masyarakat adat di Sierra Leone kecuali

kelompok Chirstian Krio yang bertempat tinggal di bagian barat.10

Tipe FGM yang

biasanya dipraktikkan di Sierra Leone adalah:11

1. Tipe I (menghilangkan bagian permukaan klitoris)

2. Tipe II (pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau

seluruh bagian dari labia minoria).

Kedua tipe FGM ini sudah dinyatakan pelarangannya oleh berbagai kesepakatn

internasional seperti yang dikeluarkan oleh United Nation, WHO, UNICEF, dan

CEDAW. Dalam CEDAW terdapat 2 artikel yang berkaitan dengan kewajiban negara

atas praktik FGM ini, yaitu pasal 2f dan 5a.

Sierra Leone telah meratifikasi CEDAW pada tahun 1988, ini berarti Sierra

Leone setuju untuk mengambil tindakan terhadap segala bentuk tindakan diskriminasi

dan pelanggaran hak asasi atas perempuan. Namun pada praktik

pengimplementasiannya Sierra Leone masih melakukan praktik FGM ini dengan

berbagai alasan diantaranya praktik FGM ini merupakan bagian dari proses seorang

anak perempuan untuk bisa menjadi perempuan seutuhnya (from childhood to

womanhood). Masyarakat Sierra Leone meyakini bahwa dengan menghilangkan

klitoris maka dasar dari kemaskulinan (disini klitoris dianggap sebagai penis yang

10

Ibid 11

Ibid

11

kecil) akan hilang dari tubuh perempuan sehingga perempuan tersebut bisa menjadi

„perempuan seutuhnya‟12

. Biasanya orang yang melakukan FGM dalam proses

pemotongannya tanpa menggunakan obat bius. Hal tersebut tentu saja sangat

menyiksa perempuan yang melakukan FGM. Sebagaimana kesaksian salah seorang

perempuan Sierra Leone Hannah Koroma, yang melakukan FGM ini, ia menderita

infenksi vagina akut dan kehilangan bagian dari tubuhnya. Tidak hanya konsekuensi

atas dasar kesehatan saja yang bisa dialami oleh perempuan yang melakukan FGM ini

tetapi juga konsekuensi seksual, dimana perempuan yang sudah di mutilasi tidak akan

mampu menikmati hubungan seksual karena perempuan tersebut sudah kehilangan

sensitifitas akibat dari FGM tersebut.13

Kehilangan sensitifitas berarti tidak bisa

merasakan sehingga kehilangan kenikmatan. Segala bentuk tindakan untuk

mengurangi memperoleh kenikmatan serta penggunaan hak-hak asasi perempuan

berarti merupakan tindakan diskriminasi terhadap perempuan. 14

Menurut laporan Division for the Advancement of Women tahun 2004,

penilaian situasi di Sierra Leone dalam hal respektasi terhadap implementasi

CEDAW pada artikel 2f dan 5a dibutuhkan sebuah pengenalan mengenai HAP di

Sierra Leone tanpa harus ditunda dengan alasan pertimbangan pola sosial dan budaya.

Namun, dalam masalah FGM sendiri, masih belum ada tanggapan dari pemerintah

12

Perempuan yang dikonstruksikan feminin sehingga akan tunduk terhadap sistem patriarki 13

http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting, diakses 20 Agustus 2007 14

Mengacu pada pasal 1 CEDAW: Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan,

pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh

atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan

hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya

atau apapun karena statusnya sebagai perempuan .

12

Sierra Leone dan tidak secara terbuka didiskusikan dimana tidak ada keinginan untuk

memasukan masalah FGM ini sebagai salah satu kejahatan atas Hak Asasi Manusia.15

FGM sudah mengakar pada praktik kebudayaan di Sierra Leone. Hal ini

dibuktikan dengan adanya Secret Societies yaitu institusi kebudayaan kuno yang

ditujukan untuk mengatur identitas seksual dan kelakuan sosial. Secret Societies ini

dikenal dengan sebutan Sande di daerah selatan dan Bondo di daerah utara, dan

Freetown untuk sebutan secara umum di Sierra Leone. Secret Societies ini memiliki

hubungan antara suatu kota dan pinggiran kota di Sierra Leone.16

Kekuatan kebudayaan FGM di Sierra Leone ini menjadikan advokasi

mengenai penghapusan FGM ini diterima sebagai sebuah musuh besar oleh berbagai

lapisan masyarakat di negara ini. FGM berlangsung untuk terus menjaga stereotip

perempuan. Praktik tradisional ini mengajarkan bahwa perempuan dan anak

perempuan untuk menjadi subordinat laki-laki dalam berbagai pola termasuk

seksualitas.

Mengacu pada laporan Sierra Leone dalam pengimplementasian CEDAW

tahun 2006, FGM masih belum didiskusikan secara terbuka dan belum ditetapkan

sebuah hukum yang melarang praktik ini. Bagi Sierra Leone isu FGM ini merupakan

isu yang sangat sensitif untuk dibahas karena menyangkut kebudayaan. Negara tidak

memberikan ijin kepada universitas, asosiasi medis, dan organisasi perempuan untuk

15

Laporan Division for the Advancement of Women, CEDAW mission to Sierra Leone, 0ktober 2004 16 http://www.unhcr.org/cgi-

bin/texis/vtx/refworld/rwmain/opendocpdf.pdf?docid=46cee3152, diakses 28 September

2007

13

mengambil data mengenai praktik FGM karena ini masih sangat tertutup dan

dirahasiakan.

Menurut laporan Comittee on the Elimination of Discrimination Against Women

pada sesi ke-38 Maret 2007, Sierra Leone merupakan negara yang tingkat

diskriminasi terhadap perempuannya cukup tinggi dimana lebih dari seperempat dari

sejuta perempuan diperkosa selama perang berlangsung, Human Right Watch

mencatat sebanyak 275.000 perempuan dan anak perempuan di Sierra Leone

mengalami tindak kejahatan seksual.17

Kekerasan seksual merata terjadi di negara

ini, dan perundang-undangan di negara ini sangat lemah dalam mengatur hal tersebut

Selain itu terdapat beberapa pemaksaan-pemaksaan legal terhadap perempuan di

Sierra Leone. Di bawah konstitusi yang berlangsung, perempuan sering tidak

diuntungkan oleh hukum yang mengatur tentang hak milik, perkawinan, dan hak-hak

warisan yang cenderung lebih berpihak pada laki laki seperti masalah perkawinan.

Ketika laki-laki Sierra Leone boleh melakukan perkawinan dengan perempuan di luar

negaranya, tetapi tidak dengan perempuan Sierra Leone, mereka tidak boleh

melakukan perkawinan dengan laki-laki di luar Sierra Leone.

Begitu banyak masalah perempuan yang diabaikan di Sierra Leone termasuk

FGM padahal praktik ini sangat dalam terpancang di kebudayaan Sierra Leone dan

memengaruhi 90% perempuan di negara ini. Perempuan di bawah perhitungan dalam

pembuatan keputusan di dalam pemerintahan Sierra Leone, dan ketika terdapat

perempuan dalam level bawah pemerintahan, hanya ada sedikit menteri dan hanya

17

Laporan Division for the Advancement of Women, CEDAW mission to Sierra Leone, 0ktober 2004

14

ada satu orang duta besar yang perempuan. Hal inilah yang menjadikan stereotip

peran gender sangat terlihat dimana hanya 29% perempuan yang berpendidikan di

Sierra Leone.18

Patriarki di Sierra Leone berjalan sangat kuat dan yang sering menjadi

korban adalah perempuan, namun kejahatan domestik bukanlah sebuah masalah yang

menjadi bahasan masyarakat di Sierra Leone begitu juga dengan FGM. Ini dianggap

sebagai masalah domestik sehingga apapun yang terjadi akibat FGM merupakan

rahasia perempuan Sierra Leone.19

Walaupun berbagai alasan yang dikemukakan

untuk tetap mempertahankan kebudayaan FGM, namun kebudayaan ini telah

dinyatakan berbahaya oleh United Nation dalam Fact Sheet No. 23 tentang Harmful

Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children.

1.2.2 Pembatasan Masalah

Mengingat begitu luasnya permasalahan yang ada, peneliti membatasinya

pada masalah kekuasaan negara atas tubuh perempuan melalui praktik FGM di Sierra

Leone. Sehingga dengan demikian penelitian ini juga dibatasi dengan batasan waktu

dari tahun 2004, dua tahun setelah perang Sierra Leone dinyatakan berakhir sampai

dengan tahun 2007. Hal ini dimaksudkan untuk memberi jarak situasi Sierra Leone

pasca perang dengan usaha rekonstruksi negaranya hingga tersentuhnya masalah Hak

Asasi Perempuan Sierra Leone dalam praktik FGM.

18

http://www.peacewomen.org/un/ecosoc/CEDAW/38th_Session/Sierra%20Leone/PW_ReviewSierra

Leone.html, diakses 7 September 2007 19

http://www.cceia.org/resources/publications/dialogue/2_03/articles/630.html, diakses 7 september

2007

15

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah

yang telah diuraikan di atas, maka dalam hal ini peneliti merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

“Bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan dengan

masih dijalankannya praktik FGM?”

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk:

1. Mendeskripsikan bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas

tubuh perempuan Sierra Leone sehubungan dengan masih adanya

praktik FGM di Sierra Leone.

2. Menganalisis sejauh mana Hak Asasi Perempuan Siera Leone dalam

mengontrol tubuhnya sehubungan dengan kekuasaan negara Sierra

Leone atas tubuh perempuan melalui praktik FGM ini.

3. Memahami bahwa untuk mewujudkan Hak Asasi Perempuan yang

seutuhnya terutama dalam kasus FGM tidak terlepas dari kekuasaan

negara atas tubuh perempuan.

16

1.3.2 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1. Memberikan informasi dan pengetahuan khususnya bagi perempuan

mengenai FGM serta dampak dan akibatnya bagi perempuan, sehingga

pandangan dan pendapat yang keliru mengenai FGM dapat

dihilangkan.

2. Menunjukkan bahwa Hak Asasi Perempuan terutama hak perempuan

atas kontrol tubuhnya saat ini belum murni sebagai hak yang asasi

tetapi masih dalam kuasa pemerintah negara sebagai representasi dari

kesepakatan masyarakat yang patriarki.

3. Agar perempuan sadar akan keberadaan hak asasinya, baik di ranah

privat, domestik, maupun internasional

1.4 Kerangka Pemikiran

1.4.1 Pendekatan

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

feminisme. Maggie Humm20

menjelaskan feminisme sebagai sebuah ideologi

pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah

keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya,

karena ia adalah perempuan. Feminisme sebagai pendekatan mengenai perempuan

akan lebih bisa menggambarkan hal-hal mengenai diri perempuan, segala sesuatu

20

Maggie Humm, Esiklopedia Feminisme, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru, 2002, hal. 177

17

yang dialami oleh perempuan seperti halnya pelaksanaan FGM yang dialami

langsung oleh perempuan-perempuan di Sierra Leone termasuk bagaimana kontrol

negara atas tubuh perempuan Sierra Leone karena seksnya adalah perempuan, bukan

laki-laki.

Feminisme dalam hal ini lebih ditekankan pada feminisme hubungan

internasional gelombang pertama yang mengkritik teori-teori mainstream hubungan

internasional dan mempertanyakan dimana keberadaan perempuan dalam hubungan

internasional. Beberapa kritik feminisme gelombang pertama terhadap hubungan

internasional, secara garis besarnya yaitu:21

1. Hubungan internasional secara implisit terikat pada pengetahuan yang

prinsip-prinsip serta sistemnya merupakan sebuah tempat untuk

manusia yang disebut laki-laki. Hal ini disebabkan karena salah satu

karakteristik dari hubungan internasional yang mainstream

dimunculkan sebagai gender blind (hubungan internasional itu tidak

mempelihatkan adanya perbedaan gender antar aktor-aktornya).

2. Bahwa laki-laki memiliki keterkaitan yang erat dengan hubungan

internasional, sedangkan perempuan hanya ditempatkan sebagai yang

mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh laki-laki.

3. Bahwa laki-laki dalam hubungan internasional digambarkan sebagai

negara, pembuat kebijakan, tentara, teroris, dan karakter-karakter

21

Christine Sylvester. 1994. Feminist Theory and International Relations in a Postmodern Era.

Cambridge University Press. Hal. 4 -5.

18

lainnya yang menggambarkan kekuatan dan kekuasaan laki-laki itu

lebih daripada perempuan.

Selain feminisme hubungan internasional gelombang pertama peneliti juga

menggunakan feminisme radikal yang meyakini bahwa sistem seks dan gender adalah

penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan.22

Sistem seks dan gender ini

menunjukkan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki dan bahwa perbedaan itu

bukan hanya berlaku paralel tetapi lebih bersifat superior sehingga memunculkan

kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Perempuan adalah satu kelas dan laki-laki

adalah kelas yang lain. Kaum feminis radikal melihat problemnya adalah patriarki,

yaitu seluruh kekuasaan laki-laki atas perempuan.23

Intinya adalah feminis radikal menolak konsep kesetaraan gender dengan

standar laki-laki karena mereka melihat bahwa konsep yang diajukan mengacu pada

aturan masyarakat patriarki. Aturan masyarakat patriarki ini meliputi aturan yang ada

dalam institusi negara. Sierra Leone adalah sebuah negara yang bergender, seperti

kebanyakan negara-negara lain di dunia gendernya adalah maskulin. Dalam negara

yang maskulin sistem dan strukturnya akan lebih berpihak pada laki-laki. Masalah

perempuan menjadi the others apalagi ketika perbedaan biologis menjadi alasan yang

menyebabkan perempuan masih belum mendapatkan hak asasinya secara utuh. Hal

ini juga berkaitan dengan kekuasaan negara.

22

Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought , terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung, Jalasutra,

2004, hal. 69 23

Marisa Rueda, dkk. Feminisme Untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal.120

19

1.4.2 Kerangka Konseptual

Dalam Gendered States, V. Spike Peterson menjelaskan bahwa ketika

kebiasaan-kebiasaan patriakal mendahului dan memungkinkan pembentukan negara,

itulah yang merupakan awal negara yang berdasar atas sistem maskulin dan dominasi

kelas diinstusionalisasikan; eksploitasi atas perempuan sebagai sebuah „kelas

gender/seks‟ dilatarbelakangi oleh kekuasaan koersif negara dan reproduksi

pengaturan gender dijadikan sebagai akibat dari suatu rekonfigurasi ideologi yang

sah. Negara yang maskulin tidak hanya berdasarkan atas konstruksi tetapi juga

merupakan manipulasi atas ideologi penggambaran ruang publik dan ruang privat

dalam kehidupan. Negara mengggambarkan dirinya sebagai dunia politik dan

mempromosikan defenisi politik dekat dengan hubungan kekuasaan. 24

Sebagai

sebuah negara Sierra Leone memiliki gender maskulin yang berdasar atas sistem

maskulin dan dominasi kelas yang diinstitusikan. Sistem kelas di Sierra Leone ini

dipegang oleh kaum maskulin sehingga kebijakan-kebijakannya berdasarkan

pemikiran maskulin juga.

Hal ini diklaim oleh kaum feminis dengan pernyataan „personal is political‟,

dimana feminis berpendapat bahwa hubungan antara privat dan sosial pada

kenyataannya termasuk kekuasaan, biasanya ketidaksetaraan kekuasaan (power)

dilatarbelakangi oleh kekuasaan publik. Feminis juga mengklaim bahwa „the political

is personal‟ dimana manusia (laki-laki) yang menguasai kehidupan publik telah

24

V. Spike Peterson, Gendered States, Lynne Rienner Publisher Inc, 1992, hal. 33

20

menggunakan kekuatan kekuasaan mereka untuk mengatur hubungan privat dalam

kontrol politik maskulin.25

Konsep „personal is political‟ ini juga dijelaskan Cynthia Enloe dalam

bukunya Bananas, Beach and Bases dimana untuk menjawab penolakan sistem dunia

terhadap pentingnya pengalaman perempuan, feminis menegaskan bahwa tidak hanya

„personal is political‟, tetapi juga „personal is international‟. Cynthia Enloe

menjelaskan bahwa „the personal is political‟ memberi kesan bahwa politik tidak

dibentuk hanya oleh apa yang terjadi dalam debat legislatif, kedai voting, atau ruang

perang. Ketika laki-laki, yang telah mendominasi publik kehidupan, dan telah

mengatakan kepada perempuan untuk tinggal di dapur, mereka (laki-laki)

menggunakan kekuasaan publik mereka untuk mengonstruk hubungan privat dalam

segala cara yang mengandalkan kontrol politik maskulin.26

Kedua konsep ini sama-sama mengedepankan hal-hal personal yang dalam hal

ini yaitu segala sesuatu yang ada dan terjadi atas perempuan seperti pengalaman

perempuan sebagai titik tolak dalam membahas masalah perempuan. Seperti halnya

masalah perempuan yaitu FGM, adalah masalah yang perlu ditelaah dari sudut

pandang perempuan karena perempuanlah yang lebih mengerti tentang dirinya dan

bagaimana perempuan mengangkat isu-isu personal sebagai suatu hal yang akan

menghasikan konsep politik yang menguntungkan bagi dirinya. Mengacu pada

„personal is international‟, dimana pemerintahan tergantung pada berbagai macam

25

Ibid 26

Cynthia Enloe. Bananas, Beach, and Bases, London, Pandora Press, 1990, hal. 195

21

dugaan hubungan privat yang pada dasarnya untuk mendukung kebijakan luar

negerinya.27

Lingkaran pembuatan keputusan internasional seperti layaknya sebuah

men‟s club, namun politik internasional secara keseluruhan membutuhkan perempuan

untuk berpartisipasi di dalamnya.28

Bentuk partisipasi ini bisa dikaitkan dengan

terbentuknya suatu konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi

terhadap perempuan yaitu CEDAW.

Menurut Simone de Beauvoir29

, seorang feminis Perancis dalam bukunya yang

berjudul The Second Sex, dijelaskan betapa begitu jelasnya diskriminasi terhadap

perempuan dalam streotip yang membedakan perempuan dan laki-laki dan

mempertanyakan “what is a woman?”:

1. Seorang laki-laki tidak pernah memulai untuk meresentasikan dirinya

sebagai seorang individu dari seks yang benar. Ia tak perlu

menekankan bahwa ia adalah seorang laki-laki. Seorang laki-laki

berada di sisi yang benar menjadi seorang laki-laki, dan sebaliknya

menjadi seorang perempuan adalah sisi yang salah.

2. Perempuan memiliki ovarium, sebuah uterus : hal inilah yang

memenjarakan perempuan ke dalam subjektivitas, dan membatasi

suatu hal yang alami dalam diri perempuan.

3. Humanitas adalah laki-laki, dan laki-laki mengartikan perempuan

tidak seperti apa adanya perempuan, tetapi sebagai relativitas laki-laki.

27

Ibid, hal. 196 28

Ibid, hal. 197 29

Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989

22

4. Laki-laki mampu berfikir dengan dirinya sendiri tanpa perempuan,

tetapi sebaliknya perempuan tidak mampu berfikir akan dirinya sendiri

tanpa laki-laki.

5. Perempuan merupakan apa yang laki-laki putuskan dan tetapkan.

Perempuan dinamakan „the sex‟ dengan maksud bahwa perempuan

muncul berguna untuk laki-laki sebagai „sexual being‟. Perempuan

hanyalah seks- absolut seks, tidak lebih.

6. Perempuan diartikan dan dibedakan dengan referensinya terhadap laki-

laki, bukan terhadap perempuan itu sendiri. Perempuan adalah suatu

kebetulan. Dengan demikian laki-laki adalah subjek, laki-laki adalah

absolut, sedangkan perempuan adalah yang lainnya (the Other).

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa perempuan sebagai inferior dan

laki-laki sebagai superior. Hal inilah yang menyebabkan perempuan sering mendapat

tindak kekerasan yang melanggar Hak Asasi Perempuan. Feminis radikal menyatakan

bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental dari opresi terhadap

perempuan. Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, klaim tersebut dapat

diinterpretasikan sebagai berikut:30

1. Bahwa perempuan adalah, secara historis kelompok teropresi yang

pertama.

30

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Though, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung ,

Jalasutra, 2004, Hal. 69

23

2. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang paling menyebar, dan

ada di dalam hampir setiap masyarakat yang diketahui.

3. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti

bahwa opresi ini merupakan bentuk opresi yang paling sulit

dihapuskan, dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan sosial yang

lain, misalnya dengan penghapusan masyarakat kelas.

4. Bahwa opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang

paling buruk bagi korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,

meskipun penderitaan yang ditimbulkan muncul dengan tidak disadari

karena adanya prasangka seksis, baik dari pihak opresor maupun dari

pihak korban.

5. Bahwa opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual

terhadap opresi yang lain.

Ideologi patriakal, menurut Millet, membesar-besarkan perbedaan biologis

antara laki-laki dan perempuan, dan memastikan bahwa laki-laki selalu mempunyai

peran yang maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu mempunyai peran

yang subordinat, atau feminin. Ideologi ini begitu kuat, hingga laki-laki biasanya

mampu mendapatkan persetujuan dari perempuan yang mereka opresi.31

Perbedaan biologis inilah yang merupakan salah satu sumber

ketidakberuntungan perempuan dimana perempuan yang sudah terkonstruksi sebagai

makhluk yang lemah akan mudah teropresi. Dalam kasus FGM, perempuan Sierra

31

Ibid, hal. 73

24

Leone cenderung menerima opresi atas dirinya yaitu praktik FGM sebagai salah satu

ciri yang mereka yakini sebagai bagian dari memperkuat femininitas mereka. Hal ini

berkaitan erat dengan politik dan kekuasaan sebagai alat untuk membentuk opresi

atas perempuan tersebut.

Millet berpendapat bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-

laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. Konsep

ini didukung oleh Foucault yang melihat bahwa relasi antara kuasa dan seksualitas

selalu terjebak dalam lima hal pokok, yaitu:32

1. Kuasa dan seks selalu bersifat negatif, dimana ia berisi pengendalian,

penyangkalan serta pengucilan dan selalu mengatakan tidak untuk

kenikmatan seksual.

2. Seks selalu dipandang sebagai sesuatu yang berposisi biner halal-

haram, dilarang-tidak dilarang, boleh-tidak boleh. Pandangan ini

secara yuridis menempatkan kuasa yang selalu memasung seksualitas.

3. Seks selalu dipandang dengan siklus larangan, dengan dominan kata

“jangan!”; jangan menyentuh; dilarang menikmati; tidak boleh

membicarakannya.

4. Logika sensor/pemotongan yang menegaskan pelarangan seks.

Menolak keberadaannya dengan tidak mendekatinya,

membicarakannya, serta mewacanakannya.

32

Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin, Yogyakarta, INSISTPress, 2007, hal. 52

25

5. Lahirnya beberapa aparatus seragam yang bergerak dalam wadah

hukum, penyensoran, dan peradilan.

Salah satu kontrol seksualitas yang timbul atas kuasa ilmiah adalah kontrol terhadap

tubuh perempuan, di mana secara seksual ia hanya mempunyai peran-peran yang

cenderung bersifat feminin dan domestik seperti melahirkan, menyusui, dan

melahirkan anak.33

Ini disebutkan Hatib Abdul Kadir dalam bukunya Tangan Kuasa

dalam Kelamin.

Simone de Beauvoir dalam bukunya the Second Sex mengatakan bahwa

seksualitas memainkan peran sangat penting dalam kehidupan manusia; bahkan dapat

dikatakan menyebar ke seluruh kehidupan.34

Sehingga masalah seks ini juga menjadi

sasaran kejahatan terhadap perempuan. Kejahatan seksual merupakan salah satu

bentuk pelanggaran hak asasi perempuan, dimana secara umum karakteristik dari

setiap kebudayaan manusia merupakan kualitas ketahanan terhadap ketidaksamaan

gender.35

Kebudayaan erat kaitannya dengan mitos. Beberapa mitos lebih

menguntungkan bagi kasta yang berkuasa daripada mitos tentang perempuan: hal itu

membenarkan semua hak istimewa mereka bahkan mengesahkan

penyalahgunaannya. Kaum laki-laki tidak perlu terganggu dengan rasa sakit dan

beban yang secara kejiwaan banyak dialami nasib perempuan: karena hal-hal

tersebut “disengaja oleh alam”, mereka tetap mempergunakannya sebagai dalih untuk

33

Ibid. Hal. 59 34

Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989, hal 64 35

James W. Presscot, Genital Mutilation of children: Failure of Humanity and Humanism. 2003

26

lebih meningkatkan kesengsaraan perempuan, misalnya menolak untuk menjamin hak

memperoleh kenikmatan seksual.36

Hal ini ditunjukkan dengan masih

dipertahankannya praktik FGM sebagai salah satu bentuk kekuasaan negara Sierra

Leone atas tubuh perempuannya.

1.5 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

1.5.1 Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Metode kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah:

Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Menurut mereka pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut

secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan

individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu

memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.37

Metode kualitatif disini mengacu pada metode penelitian kualitatif yang berperspektif

feminisme, yaitu:38

1. Penelitian feminisme dituntun oleh teori feminisme

Dalam penelitian feminisme biasanya dituntun oleh teori feminisme untuk

menyusun pertanyaan-pertanyaan dan menafsirkan data. Variabel yang

digunakan adalah gender, keperempuanan, dan kekuasaan atau pengalaman

sebagai hubungan yang diselidiki. Dengan menerapkan teori feminisme, para

36

Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989, hal. 380 37

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2000, hal.3 38

Shulamit Reinharz, Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Women Research

Institute.1992

27

peneliti feminis berupaya untuk memperlihatkan jangkauan yang politis ke

wilayah-wilayah yang sejauh ini dianggap sebagai wilayah personal, di

samping wilayah yang selalu dipandang sebagai yang politis. Perspektif

feminisme membuka kemampuan melihat dan menganalisis politik gender dan

konflik gender.

2. Penelitian feminisme mengedepankan advokasi perspektif dan posisi nilai

feminisme.

Nilai-nilai feminisme yang memperjuangkan kebebasan hak-hak asasi

perempuan sangat ditonjolkan dalam hal ini. Nilai-nilai ini tidak terlepas dari

pengalaman personal perempuan dan pengalaman menjadi perempuan.

Feminisme menjunjung tinggi kesetaraan serta keadilan gender dengan tidak

menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki.

Sehingga nilai-nilai feminisme ini sering berbenturan dengan kenyataan yang

diteliti, untuk itu sangat dimunculkan kritik atas segala pelanggaran nilai-nilai

hak asasi perempuan yang belum terbebaskan tersebut karena tidak sesuai

dengan nilai feminisme.

3. Penelitian feminisme sensitif terhadap bagaimana hubungan antar gender dan

kekuasaan yang terserap dalam semua aspek kehidupan.

Dalam hal ini, segala sesuatu yang dimunculkan dalam penelitian ini

diupayakan sensitif dalam membaca ketimpangan-ketimpangan atas

ketertindasan salah satu jenis kelamin atas nama gender. Kekuasaan atas

penindasan gender ini harus mampu dibaca dalam penelitian feminisme secara

28

mendalam karena akan terdapat hubungan antara sebuah kekuasaan atas

ketertindasan perempuan dengan bentuk kekuasaan atas ketertindasan yang

lainnya.

4. Penelitian feminisme bersifat lintas disiplin

Sebagai fenomena postmodern, penelitian feminisme melebur genre dengan

melebur disiplin. Akar terhadap penindasan perempuan tersembunyi dibalik

berbagai disiplin dan sisi-sisi kehidupan. Untuk itu penelitian feminisme

sangat perlu untuk melakukan kajian lintas ilmu. Harus ada lebih banyak

investigasi empiris dan lintas budaya terhadap pengalaman hidup perempuan.

5. Penelitian feminisme bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial

Bagi banyak feminis, penelitian diwajibkan memberi sumbangan pada

perubahan sosial lewat penyadaran atau rekomendasi kebijakan spesifik.

Penelitian feminisme ini biasanya disertai dengan banyak kritikan yang tajam

atas bentuk-bentuk ketidakadilan atas perempuan, sehingga bisa

menginspirasikan solusi atas permasalahan yang ada karena penelitian feminis

merupakan pembongkaran atas suatu fenomena secara dalam.

6. Penelitian feminisme menyertakan peneliti sebagai seorang pribadi.

Keterlibatan peneliti diperlukan dalam analisa serta kritik feminisme. Dalam

hal ini penelitian feminis adalah penelitian yang dilakukan oleh seorang

feminis. Hal ini merupakan syarat ketika pengalaman personal peneliti sebagai

feminis dalam menganalisa serta memperkuat nilai-nilai serta kritik dalam

penelitian feminisme.

29

7. Penelitian feminisme sering menentukan hubungan khusus dengan pembaca

Penelitian feminisme memiliki keinginan untuk menghadapkan langsung

pembaca dan mempertautkan pembaca dan orang-orang yang ditelitinya lewat

dirinya. Sehingga dalam hal ini akan dipaparkan data-data berupa pernyataan

langsung dari objek yang diteliti, baik itu wawancara dengan nara sumber

ataupun penggambaran pengalaman nara sumber. Tujuannya adalah pembaca

dapat merasakan apa yang objek peneliti rasakan, sehingga akan timbul

sebuah penggugahan. Selain itu penelitian feminisme juga berusaha menyapa

pembaca dengan harapan bahwa pembaca akan membebaskan diri sendiri dari

nilai patriarki.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi kasus untuk memberi

ilustrasi suatu ide, menerangkan proses perkembangan melintasi waktu, menunjukkan

batas-batas generalisasi, menjelajahi isu-isu yang tidak terpetakan dengan bermula

pada kasus yang terbatas, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang.

Minat peneliti sebagai feminis pada studi kasus berasal dari keinginan untuk

meluruskan penelitian yang dinodai oleh gynopia39

, misogini40

dan penyusunan teori

yang didominasi laki-laki.

Penerapan studi kasus ini merujuk pada kasus tunggal atau isu tunggal, dalam

hal ini peneliti memfokuskan pada kasus praktik Female Genital Mutilation di negara

Sierra Leone. Berdasarkan tiga tujuan utama studi kasus feminis yaitu:

39

Gynopia adalah ketidakmampuan untuk memandang keberadaan perempuan atau untuk memandang

perempuan dalam cara yang tidak rancu. 40

Misogini adalah kebencian pada perempuan.

30

1. Menguji teori, dimana pada bab. 2 peneliti akan memaparkan teori

feminisme radikal dan seks serta gender dalam hubungan internasional

sehingga membulatkan sebuah konsep mengenai kekuasaan negara atas

tubuh perempuan.

2. Menganalisis perubahan fenomena sepanjang waktu. Dalam hal ini

peneliti menggambarkan fenomena FGM di Sierra Leone sebagai sebuah

fenomena pelanggaran HAP yang tidak tersentuh oleh negara dari waktu-

ke waktu. Ini tergambar dalam latar belakang dan indentifikasi masalah

pada bab.1, lalu dilanjutkan pada bab.3, 4 dan 5.

3. Menganalisis hubungan antar bagian dari fenomena. Maksudnya disini

adalah bagaimana FGM sebagai sebuah fenomena global menyentuh sisi-

sisi lain dari sekedar FGM sebagai sebuah kebudayaan, tetapi juga

mengandung unsur-unsur politis, mitos, kekuasaan atas tubuh perempuan

sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai bentuk dari

pelanggaran atas HAP. Analisis ini digambarkan pada bab.5 sebagai bab

hasil dan pembahasan kasus. Keterhubungan ini pada akhirnya juga akan

kembali memunculkan fenomena baru yang layak untuk kembali diteliti,

sebagaimana digambarkan pada bab akhir dalam penelitian ini.

Studi kasus feminis terdiri dari deskripsi mengenai suatu peristiwa, orang,

atau kelompok, organisasi, atau komunitas tunggal. Untuk melengkapi pendeskripsian

ini, maka peneliti memasukkan data berupa pengalaman perempuan Sierra Leone itu

sendiri sebagai individu, mengumpulkan data dari organisasi yang ada di Sierra

31

Leone ataupun organisasi di luar Sierra Leone namun bekerja untuk Sierra Leone.

Selain itu data dari komunitas tunggal berupa komunitas yang memperjuangkan

HAM dan HAP juga menjadi fokus peneliti dalam mengumpulkan data untuk

melengkapi deskripsi mengenai studi kasus FGM di Sierra Leone beserta analisisnya.

Pada intinya metode kualitatif yang berperspektif feminis yang peneliti

gunakan akan selalu berpijak pada nilai-nilai feminisme dan hal ini akan diperkuat

oleh keterlibatan peneliti sendiri sebagai seorang feminis. Sehingga setiap kata dan

makna yang ada pada tulisan dalam penelitian ini akan selalu dibaca melalui

perspektif feminisme itu sendiri.

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Penulis melakukan pengumpulan data melalui teknik studi kepustakaan

(library research), yang ditujukan untuk memperoleh data-data dan informasi-

informasi sekunder yang diperlukan dan relevan dengan penelitian, yang bersumber

dari buku-buku, majalah, surat kabar, jurnal, serta sumber-sumber informasi lainnya

seperti data-data yang terdokumentasikan melalui situs-situs internet yang

bersangkutan.

Penelitian ini juga direncanakan akan melakukan wawancara dengan beberapa

key informan mengenai masalah ini. Peneliti direncanakan melakukan wawancara

langsung dengan cara bertatap muka dengan informan untuk memperoleh data-data

primer.

32

1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

1.5.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa instansi dan perpustakaan yang dianggap

relevan untuk mengumpulkan data-data penelitian, yaitu:

1. Perpustakaan Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21,

Jatinangor, Sumedang;

2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran.

Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang;

3. Perpustakaan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jl. Taman

Pejambon No.6, Gedung eks BP-7, Jakarta Pusat;

4. Perpustakaan Lembaga Kajian Wanita Universitas Indonesia, Jl. Salemba

Raya 4, Jakarta;

5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jl. Latuhahary No. 4B Menteng Jakarta

Pusat

6. Yayasan Jurnal Perempuan, Jl. Tebet Barat VIII no. 27 Jakarta Selatan.

1.6.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari bulan September 2007 berakhir di bulan

Februari 2008.

33

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan disusun dalam enam bagian yang disesuaikan

dengan kebutuhan penelitian. Sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

1. BAB I: PENDAHULUAN. Bab ini berisikan apa-apa yang melatarbelakangi

peneliti memilih studi kasus FGM di Sierra Leone sebagai fokus kajian dalam

membahas kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Bab ini menyajikan

pendekatan dan kerangka pemikiran, tujuan serta kegunaan penelitian ini yang

berdasar pada perspektif feminisme. Selain itu juga dipaparkan metode

penelitian yaitu kualitatif berperspektif feminis sebagai landasan bahwa

penelitian ini adalah penelitian feminis. Tempat penelitian yang peneliti tuju

juga kebanyakan akan dilakukan di lembaga-lembaga yang bergerak untuk

masalah perempuan.

2. BAB II: KEKUASAAN NEGARA ATAS TUBUH PEREMPUAN:

FEMINISME. Bab ini merupakan kajian pustaka yang berisi konsep-konsep

dan teori-teori yang peneliti gunakan sebagai pisau analisis. Peneliti

menurunkan pendekatan feminisme melalui aliran feminisme radikal dan seks

dan gender dalam hubungan internasional. Sehingga menjadikan sebuah

paduan konsep untuk menganalisis masalah kekuasaan negara atas tubuh

perempuan dalam kasus FGM.

3. BAB III: FEMALE GENITAL MUTILATION. Bab ini akan memaparkan apa

yang menjadi obyek penelitian yaitu FGM. Dalam bab ini dipaparkan

34

gambaran FGM secara umum dan bagaimana FGM ini menyakiti tubuh

perempuan.

4. BAB IV: SIERRA LEONE. Bab ini merupakan kelanjutan dari bab

sebelumnya yang berisikan objek kajian tentang Sierra Leone tempat dimana

FGM itu berlangsung. Disini digambarkan bagaimana keadaan umum negara

ini serta bagaimana kekerasan terhadap perempuan beroperasi di negara ini

khususnya FGM.

5. BAB V: FGM SEBAGAI BENTUK KEKUASAAN NEGARA SIERRA

LEONE ATAS TUBUH PEREMPUAN SIERRA LEONE. Bab ini akan

memaparkan hasil penelitian dan analisis pembahasan,. Melalui pisau analisis

pada bab.2, maka dalam bab ini akan diuraikan bagaimana sesungguhnya

bentuk nyata kekuasaan negara Sierra Leone ini terhadap tubuh

perempuannya. Melalui pendekatan feminisme akan diungkap bahwa FGM

itu adalah sebuah pelanggaran HAP atas nama kekuasaan negara.

6. BAB VI: APA GUNANYA NEGARA BAGI PEREMPUAN?. Pada bab ini

akan berisikan kesimpulan dari pembahasan tentang kekuasaan negara atas

tubuh perempuan melalui studi kaus FGM di Sierra Leone. Kesimpulan dan

saran yang diberikan merupakan bagian dari nilai-nilai dan perjuangan

feminisme yaitu mewujudkan kembali hak perempuan atas tubuhnya tanpa

dikuasai oleh negara dan kekuasaan-kekuasaan lain yang bernaung di

dalamnya.

35

BAB II

KEKUASAAN NEGARA ATAS TUBUH PEREMPUAN : PENDEKATAN

FEMINISME

Bab ini berisi kajian pustaka yaitu teori-teori dan konsep-konsep yang relevan

yang akan peneliti gunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.

2.1 Feminisme

Meminjam istilah Simone de Beauvoir seorang feminis Prancis dalam the

Second Sex41

, perempuan dalam masyarakat patriarki diidentikkan sebagai the other

dengan laki-laki menempati posisi core-nya. Sebagai the other, perempuan seringkali

mengalami berbagai tindakan diskriminasi dalam berbagai sektor kehidupannya.

Diskriminasi dalam hal ini dapat didefenisikan sebagaimana pasal 1 CEDAW:

Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan

atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai

pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,

penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-

kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau apapun

karena statusnya sebagai perempuan .

Feminisme lahir atas dasar diskriminasi terhadap perempuan ini yang

bertujuan untuk membebaskan perempuan menuntut hak-hak mereka sebagai

manusia yang seutuhnya dengan menentang relasi antara laki-laki sebagai core dan

41

Simone de Beauvoir. The Second Sex. New York: Vintage.1989. Sebuah karya fundamental Simone

de Beavoir mengenai feminisme yang erat kaitannya dengan konsep penubuhan perempuan serta

pembedaan seks dan gender.

36

perempuan sebagai the other dan melawan segenap struktur kekuasaan, hukum, dan

aturan-aturan yang menjadikan kaum perempuan sebagai yang direndahkan,

subordinat, dan dijadikan kelas kedua setelah laki-laki sebagai kelas utama.42

Feminisme ini tidak terlepas dari masalah gender dan seks. Gender

merupakan sejumlah atribut perilaku yang dibentuk secara kultural dan dikenakan

pada diri perempuan dan laki-laki.43

Gender tidak mengacu pada perbedaan biologis

antara perempuan dan laki-laki melainkan hubungan ideologis dan materil antara

kedua kelompok jenis kelamin tersebut44

. Simone de Beauvoir sendiri menetapkan

konsep gender sebagai “One is not born, but rather becomes, a woman”. Seseorang

tidak dilahirkan perempuan, tetapi menjadi perempuan. Ini berarti bahwa bukan

hanya faktor biologis saja yang menjadi patokan seseorang menjadi perempuan tetapi

juga dipengaruhi oleh lingkungan dan peradaban dimana ia berada.

Jika gender adalah istilah yang mengacu pada kultural maka seks mengacu

kepada jenis kelamin. Pembedaan konsep antara seks dan gender ini merupakan hal

yang penting dalam pendekatan feminisme karena sangat berguna dalam menjelaskan

bahwa situasi opresif yang dihadapi perempuan bukanlah suatu takdir dan bukan juga

sesuatu yang alamiah. Perempuan secara biologis berbeda dengan perempuan secara

sosial kultural. Namun masyarakat patriakal membentuk suatu konstruk yang

42

Feminisme untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal. 3 43

Maggie Humm, Esiklopedia Feminisme, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2002,hal. 177 44

Jill Steans, Gender and International Relations: An Introduction (Oxford: Polity Press,1998), hal. 10

37

menyituasikan bahwa perempuan adalah perempuan secara biologis dan karena itu

harus menjadi feminin, yang bermakna perempuan secara kultural.45

Nilai-nilai perempuan secara kultural ditetapkan oleh masyarakat patriakal

sebagai manusia yang memiliki sifat-sifat tertentu yang berbeda dengan sifat-sifat

yang dimiliki laki-laki. Berikut tabel yang menggambarkan sebagian dari sifat-sifat

tersebut:

Tabel.1

Stereotip46

Karakter Perempuan dan Laki-Laki

Laki-laki Perempuan

Agresif Pasif

Rasional Tidak rasional

Kuat dan perkasa Lemah dan lembut

Asertif Mengalah

Sumber: Peneliti

Sifat-sifat yang ditentukan oleh masyarakat patriakal ini merupakan sebuah kondisi

yang menekankan pada bagaimana seharusnya seorang perempuan dan laki-laki

sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat patriakal bukan merupakan sesuatu

yang intrinsik dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin tersebut. Walaupun tidak

45

Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra dan Budaya

Pop,Yogyakarta&Bandung, 2006, hal.51-52 46

Stereotipe adalah sebuah pelabelan yang dikenakan terhadap suatu objek dalam hal ini perempuan

dan laki-laki ,biasanya pelabelan ini berkonotasi negatif sehingga tercipta sebuah kondisi sobordinasi

dimana satu pihak akan lebih rendah dari pihak yang lain

38

mewakili suatu kebenaran, stereotip ini dipercayai validitasnya dan diwariskan secara

turun temurun dalam masyarakat patriarki.

Kaum feminis menolak stereotip yang diciptakan oleh masyarakat patriakal

tersebut. Seseorang yang lahir dengan vagina adalah suatu fakta yang tidak dapat

ditolak, karena itu ia dinamai perempuan, tetapi fakta tersebut tidak berarti bisa

menggambarkan perempuan tersebut secara keseluruhan. Fakta tersebut adalah suatu

bagian dari proses menjadi perempuan, karena bagian dari menjadi tersebut

mencakup ke dalam elemen budaya, sosial, lokasi, ras, etnisitas, dan elemen lain

yang menjadi bagian dari proses menjadi tersebut.47

Sebagaimana dengan tubuh,

sebagai salah satu elemen yang sangat penting dalam proses menjadi perempuan,

tubuh juga bukan merupakan sesuatu yang ajeg tetapi tubuh itu adalah situasi.

Kebanyakan masyarakat dalam budaya patriarki mendefenisikan tubuh bukan

sebagai situasi tetapi sebagai benda. Seperti halnya pandangan Decrates yang

mengatakan bahwa tubuh itu tidak lebih dari tubuh biologis yang ditentukan oleh

fungsi biologis organnya.48

Perempuan dengan rahim yang ada pada tubuhnya

difungsikan untuk mengandung dan melahirkan anak dan kemudian dikonstruksikan

menjadi peran ibu yang merawat anak tersebut sekaligus rumah dan suaminya. Hal

inilah yang diklaim oleh feminis sebagai opresi terhadap sistem seks dan gender.

Bahwa ketika seorang perempuan dilahirkan dengan vagina, kemudian mengalami

47

Ibid, hal 53 48

Shirley Lie, Pembebasan Tubuh Perempuan Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya

Patriakat, Jakarta, grasindo, 2005, hal. 14

39

perkembangan payudara dan rahim, ia seakan-akan diharuskan dan terkungkung

dengan fakta biologisnya tersebut.

Simone de Beauvoir menyatakan bahwa perempuan seharusnya tidak merasa

rendah dengan segala yang ada pada tubuhnya seperti halnya menstruasi, perempuan

harus menolak untuk merasa konyol dengan kehamilannya, bahwa perempuan harus

merasa bangga dengan tubuhnya, dan seksualitas perempuannya Pernyataan ini

kembali didukung oleh Simone de Beauvoir:49

Tidak ada alasan sama sekali untuk terjebak dalam sesuatu yang sudah

merupakan ”takdir”, suatu sistem yang kemudian menjadi kebudayaan

dan harus menekan hal-hal kodrati itu. Perempuan mempunyai hak penuh

untuk menjadi bangga sebagai perempuan, seperti juga laki-laki bangga

menjadi laki-laki. Pada akhirnya laki-laki memang berhak bangga atas

kelaki-lakiannya dengan syarat tentu saja bahwa laki-laki tidak

mengambil hak perempuan untuk juga memiliki kebanggaan yang sama

menjadi perempuan. Setiap orang dapat bahagia dengan tubuhnya. Tetapi

tidak selayaknya kita menempatkan tubuh sebagai pusat dari jagad ini.

Perempuan memiliki keistimewaan dalam tubuhnya yang dapat membuat

perempuan bangga atas diri dan tubuhnya. Dalam buku the Vagina Monologues, Eve

Ensler mengatakan bahwa salah satu bagian perempuan yang fungsinya adalah untuk

merasakan kenikmatan semata yaitu klitoris. Ini disebabkan karena klitoris ini

memiliki banyak kumpulan syaraf. Terdapat sekitar 8000 syaraf dan jumlah ini

melebihi bagian tubuh manapun, termasuk lidah, ujung jari, dan bibir. Jumlah syaraf

yang ada pada klitoris ini melebihi jumlah syaraf yang ada pada penis.50

Inilah salah

49

Diadopsi dari Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro,

Bandung , Jalasutra, 2004, Hal. 281 50

Arians Athena, Seksualitas Lesbian, dalam Jurnal Perempuan edisi. 41

40

satu contoh bahwa tubuh perempuan itu adalah sesuatu yang merupakan kebanggaan

bukan sesuatu yang memalukan atau menjijikkan sebagaimana yang dikonstruksikan

oleh wacana patriarki.

Opresi terhadap perempuan ini tidak hanya bekerja pada tingkat sosial

kultural tetapi juga pada tingkatan tubuh. Perempuan dengan segala elemen tubuh

yang dimilikinya menanggung stereotip sebagai manusia yang lemah dan

memerlukan laki-laki sebagai penjaganya. Persoalan tubuh perempuan ini erat

kaitannya dengan masalah seksualitas yang merupakan salah satu bagian dalam

feminisme dimana pembebasan perempuan bukanlah hanya mengenai hak-hak dan

ketidakadilan terhadap kaum perempuan, namun mengenai bagian paling intim dari

tubuh perempuan. Jika selama ini pandangan dominan mengenai seks selama

berabad-abad didasarkan pada penetrasi dan orgasme laki-laki, kaum feminis

menyuarakan kenikmatan dari klitoris sebagai satu-satunya organ manusia yang

fungsi satu-satunya ialah kenikmatan.51

, sementara ia hanya ada pada tubuh

perempuan, tidak pada laki-laki.

Melihat begitu kompleks dan indahnya elemen-elemen yang ada pada tubuh

perempuan membuat masyarakat patriarki menetapkan batasan-batasan yang

mengungkung tubuh perempuan ini dalam sebuah sangkar yang disebut moral,

agama, budaya, dan berbagai macam bentuk kurungan lainnya yang menjadikan

tubuh perempuan sebagai salah satu akar opresi terhadap diri dan kehidupan

perempuan. Dalam hal ini feminisme sebagai salah satu ideologi pembebasan

51

Feminisme untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal. 134-135

41

perempuan membuat suatu kerangka konseptual dimana ada dua cabang dari

feminisme yang lebih fokus dalam membahas hal ini yaitu feminisme gelombang

kedua yang lebih bertumpu pada aliran feminisme radikal yang mengasumsikan seks

sebagai akar dari opresi terhadap perempuan dan feminisme hubungan internasional

gelombang pertama yang bertumpu pada masalah seks dan gender dalam hubungan

internasional.

2.1.1 Feminisme Radikal

Feminisme radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970-an dimana aliran ini

menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran

ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis

kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan

industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu

fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Menurut Alison Jaggar dan Paula

Rothenberg, klaim tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:52

1. Bahwa perempuan adalah, secara historis kelompok teropresi yang pertama53

.

2. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang paling menyebar, dan ada di

dalam hampir setiap masyarakat yang diketahui.

52

Rosemarie Putnam Tong.. Feminist Thought , terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung :

Jalasutra, 2004, Hal. 69 53

Yang pertama maksudnya adalah bahwa dari semua bentuk opresi terhadap manusia, perempuan

selalu menjadi orang yang utama sebagai korban dari berbagai bentuk tindakan opresi tersebut.

42

3. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti bahwa

opresi ini merupakan bentuk opresi yang paling sulit dihapuskan, dan tidak

dapat dihilangkan dengan perubahan sosial yang lain, misalnya dengan

penghapusan masyarakat kelas.

4. Bahwa opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling

buruk bagi korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, meskipun

penderitaan yang ditimbulkan muncul dengan tidak disadari karena adanya

prasangka seksis, baik dari pihak opresor maupun dari pihak korban.

5. Bahwa opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual terhadap

opresi yang lain.

Opresi terhadap kaum perempuan ini diklaim oleh femimins radikal sebagai

akibat sistem patriarki yaitu: seluruh sistem kekuasaan laki-laki atas perempuan.

Penguasa laki-laki, tatanan militer, industri, politik dan agama yang laki-laki, serikat-

serikat buruh yang laki-laki dan kelompok kiri yang didominasi oleh laki-laki

semuanya merupakan bagian dari patriarki yang memperkuat dan diperkuat oleh

kekuasaan individu laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga mereka.54

Ideologi patriarki, menurut Millet dalam Sexual Politics, membesar-besarkan

perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dan memastikan bahwa laki-laki

selalu mempunyai peran maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu

mempunyai peran yang subordinat, atau feminin dengan menggunakan sistem seks

dan gender sebagai suatu rangkaian pengaturan untuk menransformasi seksualitas

54

Feminisme untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal 120

43

biologis menjadi produk kegiatan manusia. Seperti halnya masyarakat patriarki

menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki (kromosom,

anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku

feminin dan maskulin untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan.

Dalam hal ini, masyarakat patriarki meyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi

budayanya adalah alamiah dan oleh sebab itu normalitas seseorang bergantung pada

kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender yang secara

kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.55

Menurut Simone de

Beauvoir terdapat beberapa hal mengenai streotip yang membedakan perempuan dan

laki-laki dan hal ini mempertanyakan “what is a woman?”:56

1. Seorang laki-laki tidak pernah memulai untuk memprentasikan dirinya

sebagai seorang individu dari seks yang benar. Ia tak perlu menekankan

bahwa ia adalah seorang laki-laki. Seorang laki-laki berada di sisi yang

benar menjadi seorang laki-laki, dan sebaliknya menjadi seorang

perempuan adalah sisi yang salah.

2. Perempuan memiliki ovarium, sebuah uterus : hal inilah yang

memenjarakan perempuan ke dalam subjektivitas, dan membatasi suatu

hal yang alami dalam diri perempuan.

3. Humanitas adalah laki-laki, dan laki-laki mengartikan perempuan tidak

seperti apa adanya perempuan, tetapi sebagai relativitas laki-laki.

55

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro Bandung : Jalasutra,

2004, hal. 72 56

Simone de Beauvoir. The Second Sex. New York: Vintage.1989.

44

4. Laki-laki mampu berfikir dengan dirinya sendiri tanpa perempuan, tetapi

sebaliknya perempuan tidak mampu berfikir akan dirinya sendiri tanpa

laki-laki.

5. Perempuan merupakan apa yang laki-laki putuskan dan tetapkan.

Perempuan dinamakan „the sex‟ dengan maksud bahwa perempuan

muncul berguna untuk laki-laki sebagai „sexual being‟. Perempuan

hanyalah seks- absolut seks, tidak lebih.

6. Perempuan diartikan dan dibedakan dengan referensinya terhadap laki-

laki, bukan terhadap perempuan itu sendiri. Perempuan adalah suatu

kebetulan. Dengan demikian laki-laki adalah subjek, laki-laki adalah

absolut, sedangkan perempuan adalah yang lainnya (the Other).

Feminis Radikal mengklaim bahwa gender itu terpisah dari seks, dan

masyarakat patriarki menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan bahwa

perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan

persetujuan, baik ,dan ramah) dan laki laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin

tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, dan kompetitif). Seks

selama ini mungkin adalah gender, karena itu bagi masyarakat patriarki tubuh

dikonstruksi untuk menampilkan suatu gender tertentu yang sudah dikonstruksi

terlebih dahulu sebelum tubuh itu sendiri ada.57

Karena itu cara bagi perempuan untuk

menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, adalah dengan

57

Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra dan Budaya

Pop,Yogyakarta&Bandung, 2006, hal.52

45

pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan menjadi pasif, seperti

juga laki-laki tidak ditakdirkan menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan

kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling merefleksikan

kepribadian unik mereka masing-masing.58

Perempuan tidak seharusnya menjadi

feminin dengan takaran nilai-nilai feminin yang ditentukan oleh masyarakat patriarki

karena sesungguhnya begitu banyak perempuan mengandung kedua nilai-nilai baik

feminin ataupun maskulin. Sehingga tidak selayaknya seorang perempuan harus

terjebak untuk mengikuti nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat patriarki

tersebut.

2.1.2 Seks dan Gender dalam Hubungan Internasional

Memasuki abad ke-20 dunia dihadapkan pada permasalahan-permasalahan

global yang semakin meningkat hingga kemunculannya tidak dapat dipecahkan oleh

teori-teori hubungan internasional mainstream yang ada. Ketika penelitian

kontemporer terhadap negara mulai berpengaruh terhadap lahan hubungan

internasional, tidak satupun yang memberikan perhatian terhadap gender, para

peneliti negara tidak memunculkan peran bahwa pembagian kerja yang bergender dan

kekuasaan memainkan peran dalam memelihara negara dan fungsinya, mereka juga

tidak menyelidiki implikasi dari fakta bahwa sebagian besar dunia publik negara dan

kekuasaan politik antar negara didominasi oleh laki-laki. Jika kita melihat pada

58

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro Bandung , Jalasutra,

2004. hal. 73

46

pembagian kerja dan power yang bergender, kita akan menyetujui bahwa negara-

negara modern dan sistem kontemporer antar negara tergantung pada pemeliharaan

dan hubungan ketidakadilan gender.59

Hal inilah yang di klaim oleh kaum feminis

dimana mereka mengkritik teori-teori mainstream hubungan internasional sekaligus

mempertanyakan dimana keberadaan perempuan dalam hubungan internasional.

Beberapa kritik feminis terhadap hubungan internasional:60

1. Hubungan internasional secara implisit terikat pada pengetahuan yang prinsip-

prinsip serta sistemnya merupakan sebuah tempat untuk manusia yang disebut

laki-laki. Hal ini disebabkan karena salah satu karakteristik dari hubungan

internasional yang mainstream dimunculkan sebagai gender blind (hubungan

internasional itu tidak mempelihatkan adanya perbedaan gender antar aktor-

aktornya).

2. Bahwa laki-laki memiliki keterkaitan yang erat dengan hubungan

internasional, sedangkan perempuan hanya ditempatkan sebagai yang

mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh laki-laki.

3. Bahwa laki-laki dalam hubungan internasional digambarkan sebagai negara,

pembuat kebijakan, tentara, teroris, dan karakter-karakter lainnya yang

menggambarkan kekuatan dan kekuasaan laki-laki itu lebih daripada

perempuan.

59

J. Ann Tickner, “Foreward” dalam . Peterson, V Spike, Gendered States, Lynne Rienner Publisher

Inc, 1992. 60

Christine Sylvester. 1994. Feminist Theory and International Relations in a Postmodern Era.

Cambridge University Press. Hal. 4 -5.

47

Negara sebagai aktor yang dominan dalam hubungan internasional dan

menjadi aktor penting dalam realisme sudah tidak mampu lagi menjawab segala

permasalahan dalam hubungan internasional karena sebagai yang bergender, negara

memihak salah satu gender yang dominan yaitu maskulin. V. Spike Peterson61

dalam

bukunya yang berjudul Gendered State menjelaskan bahwa ketika kebiasaan-

kebiasaan patriakal mendahului dan memungkinkan pembentukan negara, itulah yang

merupakan awal negara yang berdasar atas sistem maskulin dan dominasi kelas

diinstusionalisasikan; eksploitasi atas perempuan sebagai sebuah „kelas gender/seks‟

dilatarbelakangi oleh kekuasaan koersif negara dan reproduksi pengaturan gender

dijadikan sebagai akibat dari suatu rekonfigurasi ideologi yang sah. Negara yang

maskulin tidak hanya berdasarkan atas konstruksi tetapi juga merupakan manipulasi

atas ideologi penggambaran ruang publik dan ruang privat dalam kehidupan.

Ideologi ini berasal dari ilmu pengetahuan yang berlaku dalam masyarakat

dibuat oleh laki-laki dan pengetahuan ini dikenal sebagai pengetahuan manusia tanpa

mempertimbangkan perempuan. Sehingga teori, konsep, dan metodologi serta

tujuannya diklaim sebagai hasil pemikiran manusia. Dengan demikian implikasi dari

fakta bahwa pengertian publik atas kealamian negara serta tujuan-tujuan dibentuknya

negara otomatis dianalisis berdasar atas pengalaman laki-laki.

61

V. Spike Peterson, “Security and Sovereign State” dalam Peterson, V Spike, Gendered States. Lynne

Rienner Publisher Inc, 1992

48

Negara mengggambarkan dirinya sebagai dunia politik dan mempromosikan

defenisi politik dekat dengan hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan ini

berkaitan dengan tiga macam dikotomis dalam konsep negara:62

1. Pembagian antara publik-privat dan produksi-reproduksi telah

dimunculkan kepermukaan secara berulangkali sebagai sebuah prinsip

yang mengatur pembuatan negara modern. Secara historis, pembagian ini

tidak hanya dipolakan sebagai aktifitas yang saling berlawanan, tetapi juga

menuntut pengangkatan dimana yang satu lebih daripada yang lain.

Sehingga berbagai pola dari pekerjaan perempuan dicemarkan dan secara

harfiah diturunkan nilainya. Contoh jelasnya adalah masalah aktifitas

reproduktif baik biologis maupun sosial dimana secara sistematis memiliki

konsekuensi terhadap kehidupan perempuan dan pilihan-pilihan. Dalam

hal ini kaum feminis mengambil sebuah kesimpulan bahwa pembagian

kerja membutuhkan sebuah transformasi dimana tidak hanya memberikan

hak kepada perempuan untuk melakukan apa yang laki-laki lakukan tetapi

membuat sebuah kesepakatan mengenai reproduktif.

2. Pembagian wilayah publik dan privat ini juga dimunculkan dalam

dikotomi yang kedua yang dikenal dengan reason-affect, mind-body,

freedom-nessecity, abstract-concrete, culture-nature. Filosofi maskulin

mengkonstruksi politik sebagai suatu ketetapan (disembedded) dan bukan

suatu hal yang substansial (dissembodied). Dalam hal ini feminis

62

Ibid, hal.54-55

49

mengklaim bahwa politik itu not disembedded tetapi merupakan situasi

dalam kemungkinan sejarah dan kebudayaan, yang diakui sebagai dimensi

power politik dalam hubungan sosial yang asimetris dan terdiri atas

beragam pola kebudayaan dengan sistem pengetahuan yang komplek yang

berkontradiksi dengan sistem power.

3. Ketiga, pembagian hirarki dari protector-protected yang

mengkonstruksikan bahwa protected dipandang lebih rendah daripada

protector. Ini adalah hasil dari pengdikotomian kedua diatas dimana

setelah konstruksi pendikotomian tesebut berlangsung maka akan timbul

protected dan protector sebagai sebuah inferior dan superior dalam sistem

negara.

Feminis mengklaim bahwa dalam hal ini dekonstruksi diperlukan dengan

menambahkan perempuan serta pengalaman perempuan dalam struktur sistem.

Perempuan tidak lagi menjadi invisible karena pengalaman perempuan yang berbeda

berdasarkan kelas, etnis, kebangsaan, umur, orientasi seksual atau kemampuan fisik

telah dimasukan ke dalam sistem sosial yang hirarki. Kunci untuk proyek

rekonstruksi ini adalah hubungan konsep gender, feminis mengklaim bahwa semua

kehidupan sosial itu bergender. Berikut dua asumsi feminis mengenai hal ini:

1. Bahwa gender adalah konstruksi sosial, menghasilkan identitas subjektif

melalui apa yang kita lihat dan ketahui tentang dunia.

2. Bahwa isi dunia ini dibentuk oleh pengertian gender.

50

Kenyataan-kenyataan tersebut sangat jelas terlihat dalam hubungan

internasional yang mainstream yang menempatkan aktor-aktor dalam hubungan

internasional ( state-non state) sebagai representasi dari gender maskulin.

Sebagaimana dalam kegiatan-kegiatan hubungan internasional seperti di dalam

pengambilan keputusan, negosiasi internasional, bahkan perang, perempuan

seringkali tidak dilibatkan sebagai aktor utama, selalu sebagai pelengkap laki-laki.

Sebagaimana yang disebutkan Cynthia Enloe63

dalam Bananas, Beach and Bases

dimana perempuan dalam perang hanya menempati fungsi sexism, dengan contoh

nyata kasus perempuan jugun ianfu64

pada masa perang dunia ke-2.

Sebagai representasi dari kritik feminisme hubungan internasional gelombang

pertama ini, Cynthia Enloe memunculkan bahwa sesungguhnya perempuan juga ada

sebagai bagian dari hubungan internasional melalui dua konsepnya yaitu pesonal is

political dan personal is international

2.1.2.1 Personal is Political

Personal is political menekankan pada penolakan atas pendikotomian wilayah

publik dan privat dimana hal-hal yang bersifat personal dibatasi oleh politik sehingga

hubungan antara privat dan sosial pada kenyataannya termasuk kekuasaan. Biasanya

63

Cynthia Enloe. Bananas, Beach, and Bases. London: Pandora Press. 1990 64

Perempuan yang dijadikan budak seks selama perang

51

ketidaksetaraan kekuasaan (power) ini dilatarbelakangi oleh kekuasaan publik yang

bersifat politik. Politik disini tidak hanya diartikan dalam atau antar negara saja tetapi

politik juga berarti hubungan pribadi laki-laki atas perempuan sebagai kelas sosial,

politik juga berarti pertarungan perempuan atas kedaulatan tubuhnya. 65

Ini

menjelaskan bagaimana pada wacana hak asasi perempuan, konsep personal is

political sangat membantu untuk menempatkan kekerasan domestik sebagai sebuah

isu internasional yang mencakup pelanggaran hak asasi manusia yang dipandang

sebagai sebuah masalah yang bersifat publik bahkan mengglobal.

Feminis juga mengklaim bahwa „the political is personal‟ dimana manusia

(laki-laki) yang menguasai kehidupan publik telah menggunakan kekuatan kekuasaan

mereka untuk mengatur hubungan privat dalam kontrol politik maskulin. 66

Dalam hal

ini kekuasaan yang telah lebih dahulu diperoleh laki-laki menjadikan mereka

memanfaatkan ini sebagai suatu politik penguasaan terhadap ranah privat yang telah

dikonstruksi sebagai tempat perempuan ada.

2.1.2.2. Personal is International

Personal is international adalah kelanjutan dari konsep personal is political.

Cynthia Enloe dalam bukunya Bananas, Beach and Bases menjelaskan bahwa untuk

65

R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Pergulatan Feminisme dan HAM, Bandung: Institut

Perempuan,2007, hal. 50 66

Cynthia Enloe. Bananas, Beach, and Bases. London: Pandora Press. 1990, Hal. 195

52

menjawab penolakan sistem dunia terhadap pentingnya pengalaman perempuan,

feminis menegaskan bahwa tidak hanya „personal is political‟, tetapi juga „personal

is international‟. Cynthia Enloe menjelaskan bahwa „the personal is political‟

memberi kesan bahwa politik tidak dibentuk hanya oleh apa yang terjadi dalam debat

legislatif, kedai voting, atau ruang perang. Ketika laki-laki, yang telah mendominasi

publik kehidupan, dan telah mengatakan kepada perempuan untuk tinggal di dapur,

mereka (laki-laki) menggunakan kekuasaan publik mereka untuk mengonstruk

hubungan privat dalam segala cara yang mengandalkan kontrol politik maskulin.67

Personal is international mengimplikasikan bahwa pemerintah bergantung

pada bentuk yang pasti dari dugaan hubungan privat dalam konteks untuk

membentuk kebijakan luar negeri mereka. Pemerintah membutuhkan lebih dari

sekedar kerahasiaan dan intelegensi, mereka butuh istri yang akan

mempertimbangkan keputusan diplomatis mereka. Oleh sebab itu maka dalam sebuah

politik pemikiran perempuan sebagai bagian dari sistem dibutuhkan karena sistem

dunia ini terdiri dai manusia yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Konsep „personal is internasional‟ ini lebih menekankan bahwa

pemerintahan tergantung pada berbagai macam dugaan hubungan privat yang pada

dasarnya untuk mendukung kebijakan luar negerinya.68

Lingkaran pembuatan

keputusan internasional seperti layaknya sebuah men‟s club, namun politik

67

Ibid 68

Ibid, hal. 196

53

internasional secara keseluruhan membutuhkan perempuan untuk berpartisipasi di

dalamnya.69

2.2 Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan

Melalui kedua kacamata feminisme radikal dan feminisme hubungan

internasional gelombang pertama terdapat hubungan antara akar dari opresi terhadap

perempuan yang dimunculkan oleh kedua feminisme ini. Sistem seks yang

dimunculkan oleh feminisme radikal dan sistem negara yang dimunculkan oleh

feminisme hubungan internasional gelombang pertama. Kedua sistem ini dilingkari

oleh sistem gender yang didominasi oleh gender maskulin sebagai representasi dari

masyarakat patriarki.

Feminis radikal melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan berlangsung

akibat sistem gender yang merugikan perempuan. Sistem gender tersebut dikenal

dengan patriarki yang tidak hanya telah mengakibatkan perempuan menjadi objek

yang pasif, inferior dan dirugikan, namun juga menjadikan perempuan sendiri belajar

untuk menjadi lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan perempuan tersebut baik

yang dipelajari secara sadar ataupun tidak, secara sukarela ataupun tidak, telah

membuat perempuan menjadi korban kekerasan. Diakui atau tidak mayoritas negara-

negara di dunia masih menjalankan politik patriarki. Politik patriarki tersebut

69

Ibid, hal. 197

54

merupakan turunan dari karakteristik negara yang patriarki, negara mengedepankan

kepentingan laki-laki dan yang pada dasarnya bekerja pada nilai-nilai patriarki.70

Kontribusi patriarki ini digunakan oleh negara dan dieksploitasi oleh negara

untuk melanggengkan kekuasaannya. Dalam hal ini kekuasaan negara meliputi

segenap aspek kehidupan perempuan dari hal-hal yang personal meliputi konsep

seksualitas sebagai bagian paling privat dari diri perempuan yang menjadi bagian dari

kekuasaan negara.

Seksualitas, sebagaimana istilah gender pada dasarnya dimaksudkan untuk

menekankan sebuah ide yang berurusan dengan fenomena budaya, bukan dengan hal-

hal yang sifatnya alamiah.71

Oleh karena itu wacana seksualitas selalu terkungkung

dalam wacana kekuasaan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Foucault, bahwa relasi

antara kuasa dan seksualitas selalu terjebak dalam lima hal pokok, yaitu:72

1. Kuasa dan seks selalu bersifat negatif, dimana ia berisi pengendalian,

penyangkalan serta pengucilan dan selalu mengatakan tidak untuk kenikmatan

seksual.

2. Seks selalu dipandang sebagai sesuatu yang berposisi biner halal-haram,

dilarang-tidak dilarang, boleh-tidak boleh. Pandangan ini secara yuridis

menempatkan kuasa yang selalu memasung seksualitas.

70

Luh Ayu Saraswati A, Kekerasan Negara, Perempuan, dan Refleksi Negara Patriarki, dalam Jurnal

Perempuan. Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan, 2000, hal.40 71

Nur Iman Subono, Kekuasaan Negara, Seksualitas dan Perubahan Kebijakan di Amerika Latin,

dalam Jurnal Perempuan edisi. 41, 2005, hal. 92 72

Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin. Yogyakarta: INSISTPress., 2007 Hal. 52

55

3. Seks selalu dipandang dengan siklus larangan, dengan dominan kata

“jangan!”; jangan menyentuh; dilarang menikmati; tidak boleh

membicarakannya.

4. Logika sensor/pemotongan yang menegaskan pelarangan seks. Menolak

keberadaannya dengan tidak mendekatinya, membicarakannya, serta

mewacanakannya.

5. Lahirnya beberapa aparatus seragam yang bergerak dalam wadah hukum,

penyensoran, dan peradilan.

Foucault melihat bahwa kelima hal ini dalam melihat seksual secara paradoks,

menindas dan tidak inovatif. Sebaliknya kuasa berada pada titik yang menang, secara

hirarkis selalu di atas karena dialah yang berhak mengatur, membolehkan serta

melarang.

Kekuasaan negara atas seksualitas diawali oleh kekuasaan negara atas tubuh.

Secara biologis tubuh perempuan berbeda dengan tubuh laki-laki sehingga melalui

tubuhnya secara umum perempuan dapat dibedakan dengan laki-laki. Perempuan

memiliki wajah yang lebih halus, dada berpayudara, pinggul yang menonjol,serta

memiliki vagina dan rahim sehingga organ-organ reproduksinya juga berbeda dengan

laki-laki.

Kaum feminis mengklaim bahwa setiap perempuan berhak atas tubuhnya.

Negara sebagai sebuah sistem membatasi segala detail tubuh perempuan ini dari

ujung rambut sampai dengan mata kaki atas nama moralitas. Secara definitif

moralitas merupakan seperangkat nilai, peraturan dan tindakan yang diajukan

56

terhadap individu dengan dipersyaratkan oleh beberapa agen atau penentu standar

moralitas seperti keluarga, institusi pendidikan, agama, dan sejenisnya. Moralitas

menjadi sebuah pengontrol dalam masyarakat.73

Tubuh perempuan sebagai salah satu elemen yang mengandung unsur hak

asasi dalam pengontrolannya tidak mendapatkan tempat dalam moralitas maupun

negara. Moralitas dengan sub-tubuh agama dan budaya telah mengungkung tubuh

perempuan ke dalam penjara-penjara nista dengan iming-iming surga atau negara,

baik atau buruk, mahal atau murahan, dan berbagai pendikotomian lainnya. Hal ini

mungkin tidaklah menjadi suatu masalah ketika keadilan gender benar-benar

terwujud. Ketika tubuh perempuan dibatasi, ditutup-tutupi, dimarginalisasi oleh

balutan moralitas, sebaliknya tubuh laki-laki mengalami kebebasan untuk

dipertontonkan dalam rangka perwujudan maskulinitas yang superior.

Tubuh perempuan dalam budaya patriarki yang dianut oleh hampir seluruh

negara di dunia cenderung mengalami ketertindasan. Ketika agama mengharuskannya

ditutupi dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki kecuali mata dan telapak tangan

di wilayah dengan iklim tropis sampai dengan iklim sepanas padang pasir, begitu

pula dengan bagian-bagian tubuh perempuan lainnya dipandang oleh moralitas

sebagai sesuatu yang tersubordinat.

Dalam hal ini negara cenderung mengamini moralitas tersebut. Dimana

negara tidak memiliki aturan dan seperangkat hukum yang mengatur mengenai hak

tentang tubuh perempuan. Negara bahkan membuat aturan yang cenderung

73

Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin. Yogyakarta: INSISTPress., 2007, Hal. 36

57

memenjarakan kembali tubuh perempuan setelah berulang kali dipenjarakan oleh

moralitas sebagai representasi dari agama dan budaya. Jangankan wajah yang lembut,

payudara yang indah, ataupun pinggul yang seksi dari seorang perempuan, organ

reproduksi perempuan sebagai sebuah elemen penting dalam tubuh perempuan

maupun sebagai elemen terpenting dalam kelangsungan kehidupan manusia pun telah

menjadi sasaran kekuasaan negara.

Keluarga berencana dan aborsi adalah bentuk dari penjara kekuasaan negara

tersebut. Ayu Utami74

mengatakan bahwa kebanyakan perempuan menerima bahwa

ia harus meminum pil, menanamkan spiral di badannya untuk mengontrol tubuhnya

hanya karena laki-laki yang tidak mau memakai kondom, padahal sejauh digunakan

dengan benar kondom adalah penjegah kehamilan yang aman untuk tubuh

perempuan.75

Dalam hal ini pemerintah sebagai badan pengontrol jumlah penduduk

lebih memilih mempromosikan keluarga bencana dengan sistem pengontrolan tubuh

perempuan daripada promosi kondom.

Kekuasaan negara ini berujung pada tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Berikut jenis-jenis kekerasan politik yang dilakukan negara terhadap perempuan:76

1. Sterilisasi (pemandulan) paksa

2. Kehamilan paksa

3. Aborsi

74

Ayu Utami adalah seorang penulis Indonesia sekaligus seorang aktifis feminis 75

Ayu Utami, Seks, Sketsa, dan Cerita. Jakarta, Gagas Media, 2003, hal.51 76

Toeti Heraty Noerhadi, Kekerasan Negara terhadap Perempuan, dalam Jurnal Perempuan. Negara

dan Kekerasan terhadap Perempuan, 2000, hal.31

58

4. Kontrasepsi

5. Kekerasan dalam situasi perang

6. Kekerasan terhadap perempuan yang dibiarkan oleh negara

Dari segala bentuk kekerasan tersebut diatas, yang paling menderita adalah

tubuh perempuan. Biasanya yang menjadi korban paling menderita adalah tubuh

perempuan yang tersembunyi dibalik pakaiannya.77

Perempuan ditutupi tubuhnya

dengan berbagai versi, namun biasanya yang tertutup dari semua versi tersebutlah

yang rentan dan seringkali mengalami tindak kekerasan seperti halnya punggung,

payudara, perut, dan vagina sebagai organ paling tertutupi dari kebanyakan organ

tubuh perempuan lainnya. Salah satu kekerasan terhadap vagina perempuan ini adalah

praktik Female Genital Mutilation sebagai sebuah bentuk kekerasan terhadap

perempuan yang dibiarkan oleh negara.

2.3 Negara dalam Relasi Kekuasaan: Diskursus Female Genital Mutilation

Vagina dalam wacana masyarakat patriarki erat kaitannya dengan masalah

keperawanan. Arti penting yang diberikan oleh keperawanan dan selaput dara yang

utuh dalam masyarakat patriarki merupakan alasan mengapa penyunatan perempuan

masih dijalankan secara luas karena dibalik penyunatan itu terdapat kepercayaan

bahwa dengan membuang bagian-bagian tertentu organ kelamin seorang perempuan,

hasrat seksualnya bisa dikurangi. Ini mengharuskan seorang perempuan dalam usia

77

Berdasarkan yang diutarakan dalam Lokakarya Kepekaan Gender diselenggarakan oleh Jaringan

Mitra Perempuan, Bandung, Januari 2008.

59

puberitasnya untuk menjaga keperawanannya dan juga kehormatannya dengan sangat

hati-hati.78

Perempuan yang menjaga keperawanannya adalah sebuah bentuk peran

gender yang dituntutkan oleh masyarakat patriarki terhadap perempuan untuk

mengontrol tubuh seksualnya.

Bentukan gender ini didukung oleh berkembangnya mitos-mitos tentang

perempuan dan tubuhnya. Simone de Beauvoir menekankan bahwa mitos yang

diciptakan laki-laki adalah untuk mencari sosok perempuan yang ideal bagi laki-laki

yaitu perempuan yang akan menjadikannya lengkap. Perempuan yang ideal disini

maksudnya adalah perempuan yang percaya bahwa tugas mereka adalah untuk

mengorbankan diri agar menyelamatkan laki-laki. Selain mengidealkan perempuan

yang rela mengorbankan diri, mitos laki-laki tentang perempuan mengkhianati

ambivalensi fundamental sifat-sifat alami perempuan. Tubuh perempuan tersebut

dihiasi dan disembunyikan dari laki-laki sehingga menjadikan perempuan tidak

mampu mengendalikan hak atas tubuhnya. Pada akhirnya yang menjadikan mitos

tentang perempuan ini menjadi sangat mengerikan adalah karena banyak perempuan

menginternalisasi mitos tersebut sebagai refleksi akurat dari makna menjadi

perempuan. 79

Mitos-mitos ini secara tidak langsung telah membentuk identitas perempuan.

Dalam budaya patriarki, kelemahan relatif tubuh perempuan dijadikan kelemahan

78

Nawal El Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001,

Hal.62 79

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Though, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung ,

Jalasutra, 2004, hal.267

60

absolut dan menandai seluruh identitas dirinya sebagai kelamin kedua.80

Sehingga

budaya partiarki memberikan pelabelan identitas perempuan berdasarkan tubuh

biologisnya. Karena memiliki rahim, budaya patriarki menetapkan bahwa kewajiban

utama perempuan adalah menjadi ibu, menstruasi diberi nilai sebagai kekuatan alam

yang negatif dan tak bisa dikuasai, perempuan dilatih untuk memikat laki-laki melalui

tubuhnya karena sikapnya yang menyenangkan dan memikat laki-laki adalah bagian

dari sekian kewajiban yang harus dilakukan perempuan untuk mendapatkan suami

sebagai pelindung. Namun dibalik semua itu tugas perempuan adalah mengakhiri

hasrat yang ditimbulkan tubuhnya81

Tubuh perempuan terdiri dari beberapa bagian yang fungsinya tidak hanya

sebagai fungsi gender tetapi perempuan juga memiliki tubuh dengan fungsi seksual.

Bagian-bagian tersebut diantaranya adalah payudara yang juga bisa mengalami

kenikmatan jika dirangsang menjadi fungsi kenikmatan seksual, selain bisa juga

untuk menyusui anak. Vagina dan bagiannya bisa mengalami kenikmatan dengan

jilatan lidah atau belaian tangan/penis pada klitoris bisa membawa perempuan kepada

multiple orgasme.82

Mungkin sebenarnya kelebihan dari klitoris yang dimiliki kaum

perempuan ini sudah disadari sejak lama. Sehingga tidak heran timbul praktik female

genital mutilation pada masyarakat di beberapa negara.83

Hal ini bertujuan untuk

melanggengkan kekuasaan atas seks dengan tujuan ganda melanggengkan juga peran

80

Shirley Lie, Pembebasan Tubuh Perempuan Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya

Patriakat, Jakarta, Grasindo, 2005, hal. 33 81

Ibid, hal. 34 82

Arians Athena, Seksualitas Lesbian, dalam Jurnal Perempuan edisi. 41 83

Ibid.

61

gender yang ditentukan masyarakat partriarki terhadap perempuan. Negara dalam hal

ini mengabaikan praktik ini sebagai salah satu upaya mempertahankan kekuasaannya

atas masyarakat patriarki yang merupakan bagian paling dominan dari masyarakat

negara.

62

BAB III

FEMALE GENITAL MUTILATION

Pada bab ini akan diuraikan objek kajian dalam penelitian. Dalam hal ini

peneliti membagi objek kajian ke dalam dua bab yang berbeda dengan tujuan

memudahkan pengklasifikasian objek.

3.1 Apa itu Female Genital Mutilation

Terdapat beberapa definisi mengenai Female Genital Mutilation (FGM):

1. Berdasarkan WHO information fact sheet No.241 June 2000, FGM

merupakan semua prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh

bagian dari organ genital perempuan atau tindakan melukai lainnya terhadap

organ genital perempuan baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan

lainnya yang tidak berkaitan dengan penyembuhan

2. Berdasarkan fact sheet no.23, Harmful Traditional Practices Affecting the

Health of Women and Children yang dikeluarkan oleh Office of the High

Commissioner for Human Rights, FGM adalah istilah yang dipakai mengacu

pada tindakan pembedahan untuk mengangkat sebagian atau seluruh bagian

organ genital perempuan yang paling sensitif.

3. Berdasarkan Stedman‟s medical Dictionary, 26th

Edition, 1995 mutilasi

didefenisikan sebagai perusakan atau tindakan melukai dengan mengangkat

63

atau merusakkan bagian-bagian yang nyata terlihat atau bagian penting dari

tubuh

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa FGM adalah segala

prosedur atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan dan melukai sebagian

atau seluruh organ genital dari perempuan.

3.2 Asal Mula Female Genital Mutilation84

Menurut pendapat beberapa ahli, pada awalnya FGM berasal dari Mesir.

Tujuan dilakukannya FGM ini adalah sebagai perayaan saat seorang perempuan

mencapai kedewasaan. Praktik ini merupakan akulturasi budaya antara penduduk

Romawi yang waktu itu banyak tinggal di Mesir. Dahulunya masyarakat Romawi

mempraktikkan FGM ini pada perempuan kalangan budak untuk meningkatkan daya

jual mereka di pasar. Masyarakat Mesir kemudian mengadopsi kebudayaan ini

dengan tujuan membuat perempuan-perempuan Mesir lebih diminati sekaligus untuk

menjaga keperawanan. Selanjutnya FGM berkembang menjadi tradisi religi dan

mulai dipraktikkan oleh kelompok agama dan seiring dengan berjalannya waktu,

tradisi ini menjadi populer dan agama bukanlah satu-satunya alasan FGM dilakukan.

3.3. Tipe-Tipe Female Genital Mutilation

84

Debu Batar Lubis, ”Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya”, dalam

Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan

Obor, 2006

64

Ada empat macam tipe FGM menurut fact sheet no.23, Harmful Traditional

Practices Affecting the Health of Women and Children:

1. Tipe I : Sirkumsisi (Circumcision)

Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa diikuti pengangkatan

sebagian atau seluruh bagian dari klitoris. Ketika prosedur ini dilakukan

terhadap bayi perempuan atau anak kecil perempuan, bisa jadi bagian atau

keseluruhan dari klitoris dan sekeliling jaringan (tissues) akan terbuang.

2. Tipe II : Eksisi (Excission)

Pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh

bagian dari labia minora.

3. Tipe III : Infabulasi (Infibulation)

Merupakan excission yang diikuti dengan pengangkatan labia mayora serta

menempelkan kedua sisi vagina dengan jalan menjahit atau menyatukan

secara alami jaringan yang terluka dengan mempergunakan media berupa

duri, sutera, atau benang dari usus kucing. Pada infabulation akan

ditinggalkan lubang yang sangat kecil (kurang lebih sebesar kepala korek api)

yang dipergunakan untuk sekresi dan keluarnya cairan menstruasi.

4. Tipe IV : Introsisi (Introcission)

Jenis FGM yang dipraktikkan oleh suku Pitta-Pitta Aborigin di Australia,

dimana pada saat seorang perempuan mencapai usia puber, maka seluruh suku

akan dikumpulkan dan seorang yang dituakan dalam masyarakat akan

bertindak sebagai pemimpin prosedur FGM. Lubang vagina perempuan

65

tersebut akan diperlebar dengan jalan merobek dengan menggunakan tiga jari

tangan yang diikat dengan tali dan sisi lain dari perineum yang akan dipotong

dengan menggunakan pisau batu. Ritual ini biasanya akan diikuti dengan

aktivitas seksual secara paksa dengan beberapa lelaki muda. Selain di

Australia, introcission juga dipraktikkan di Meksiko Timur, Brazil, Peru, dan

suku Conibos. Serta sebagian dari suku Pano Indian di bagian tenggara. Pada

suku-suku tersebut operasi dilaksanakan oleh seorang perempuan yang

dituakan dengan menggunakan pisau bambu, perempuan ini akan memotong

jaringan sekitar selaput dara serta mengangkat bagian labia pada saat yang

bersamaan membuka klitoris, tumbuhan obat akan dipergunakan untuk

menyembuhkan diikuti dengan memasukkan objek berbentuk penis yang

terbuat dari tanah liat.

GAMBAR.1

TIPE-TIPE FGM

Normal female genital anatomy.

67

Sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting#World_Health_Organization_ca

tegorization

3.4. Prosedur dan Usia Dilakukannya Female Genital Mutilation

Tidak ada prosedur standar dalam melakukan FGM, karena prosedur yang

dipraktikkan oleh masyarakat dunia sangatlah bervariasi tergantung pada daerah,

kebiasaan masyarakat serta adat-istiadat dimana perempuan tersebut tinggal. Sebagai

contoh prosedur introcission yang dipraktekkan oleh suku Pitta-Patta Aborigin di

Australia sangatlah berbeda dengan prosedur introcission yang dipraktekkan di

Meksiko.

Menurut Amnesti Internasional terdapat prosedur secara umum mengenai

proses dilakukannya FGM yaitu:85

1. Seorang perempuan yang akan melakukan FGM akan disuruh duduk

di dalam air dingin untuk mematikan rasa di daerah yang akan

dipotong serta mengurangi kemungkinan pendarahan. Pada umumnya

perempuan tersebut tidak akan diberikan penghilang rasa sakit,

perempuan tersebut akan dibuat tidak bergarak dengan cara dipegangi

oleh perempuan-perempuan yang lebih tua, kaki perempuan tersebut

akan dibuka dengan lebar sehingga bagian vagina akan terekspos.

85

http://www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen/fgm , diakses 17 September 2007

68

2. Mutilasi akan dilakukan dengan mempergunakan alat pemotong

seperti pecahan kaca, besi tipis, gunting, silet atau benda-benda tajam

lainnya. Bila tipe FGM yang dilakukan adalah infabulasi maka duri

atau jahitan yang akan dipergunakan untuk menahan serta merapatkan

kedua sisi dari labia mayora dan labia minora yang telah dipotong

dengan terlebih dahulu menyelipkan bambu atau kayu untuk

menciptakan lubang pada daerah yang dirapatkan.

3. Selanjutnya perempuan tersebut akan diikat kakinya dan dibiarkan

tergantung selama kurang lebih 40 hari, untuk menyembuhkan luka

penggunaan bubuk antiseptik dimungkinkan, tetapi biasanya

dipergunakan salep yang mengandung campuran tumbuh-tumbuhan

obat, susu, telur, abu atau kotoran yang dipercaya memiliki khasiat

untuk menyembuhkan.

Bagi perempuan yang diinfabulasi tidak akan memiliki besar lubang vagina

yang normal, lubang vagina ini menjadi sangat kecil kira-kira hanya sebesar kepala

korek api dan tidak mungkin melakukan aktifitas seksual. Hal ini dimungkinkan

karena tujuan utama dari dilakukannya infabulasi adalah menjaga keperawanan

perempuan yang belum menikah. Bila perempuan yang diinfabulasi hendak

melakukan aktivitas seksual, maka ia harus dibuka kembali (defibulasi), dan nantinya

dibuka lebih lebar lagi untuk kepentingan persalinan. Pada banyak kebudayaan,

defibulasi ini akan dilakukan oleh seorang suami setelah mengetahui bahwa

pengantinnya masih perawan. Proses defabulasi ini dilakukan dengan

69

mempergunakan alat-alat tajam ataupun kuku dari sang suami sendiri. Defulasi oleh

bidan hanya dilakukan bila sang suami mengijinkan. Proses ini dilakukan berulang-

ulang sehingga perempuan juga akan merasakan kesakitan dan penderitaan yang

berulan-ulang apalagi nantinya akan sangat berisiko terkena penyakit.

Mengenai tempat, pelaksanaan FGM ini biasanya dilakukan di rumah pribadi,

tetangga, kerabat pusat kesehatan, atau bila FGM dianggap sebagai proses inisiasi

maka akan dipilih sungai atau pohon tertentu.86

Prosedur FGM ini sangatlah

menyakitkan, baik pada saat prosedur dilaksanakan maupun pada masa setelah

prosedur selesai. Tetapi anehnya sebagian besar pelaku FGM adalah perempuan

sendiri dan hanya sedikit kebudayaan yang memungkinkan prosedur ini dilakukan

pria.

Seperti halnya prosedur usia dilakukannya FGM juga bervariasi namun pada

umumnya FGM biasa dipraktekkan pada perempuan yang berumur 4 sampai 10

tahun, walaupun di beberapa komunitas tertentu FGM ini dipraktekkan pada masa

bayi atau ditunda sampai seorang perempuan akan menikah. Pada beberapa tempat

terutama di pedesaan, orang yang melakukan pemutilasian ini yaitu dukun mutilasi

atau bidan akan mendapat upah walaupun proses pelaksanaannya tanpa obat bius.

Dalam proses FGM biasanya digunakan beberapa alat seperti pisau, pecahan gelas,

pisau cukur, atau gunting. Namun, di negara-negara yang sudah berkembang FGM

dilakukan secara higienis dengan menggunakan obat bius.

86

http://www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen/fgm , diakses 17 September 2007

70

3.5. Alasan-Alasan dipraktikkannya Female Genital Mutilation

Ada beberapa alasan dilakukannya FGM yang dikelompokkan ke dalam

empat alasan utama, yaitu:87

1. Identitas budaya

Budaya dan tradisi merupakan alasan utama dilakukannya FGM, karena

FGM menentukan siapa sajakah yang dapat dianggap sebagai bagian dari

masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi seorang perempuan

untuk memasuki tahap kedewasaan. Dalam masyarakat yang mempraktikan

hal ini, FGM dianggap sebagai hal yang biasa dan seorang perempuan tidak

akan dianggap dewasa sebelum melakukan FGM.

2. Identitas gender

FGM dianggap penting bagi seorang gadis bila ingin menjadi

perempuan seutuhnya, praktik ini memberikan suatu perbedaan jenis kelamin

dikaitkan dengan peran mereka di masa depan dalam kehidupan perkawinan.

Pengangkatan bagian klitoris dianggap sebagai penghilangan organ di tubuh

perempuan sehingga feminitas perempuan akan utuh dan sempurna, karena

trauma yang didapatkan setelah proses ini berlangsung akan memengaruhi

perempuan. FGM juga dianggap sebagai pemberian pelajaran kepada

perempuan mengenai perannya dalam masyarakat.

3. Mengontrol seksualitas perempuan serta fungsi reproduksinya

87

http://www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen/fgm , diakses 17 September 2007

71

FGM dipercaya dapat mengurangi hasrat seksual perempuan akan seks,

sehingga dapat mengurangi terjadinya praktik seks di luar nikah. Kesetiaan

seorang perempuan yang tidak dimutilasi terhadap pasangannya akan sangat

diragukan oleh masyarakat. Dalam masyarakat yang mempraktikkan FGM,

seorang perempuan yang tidak dimutilasi tidak akan mungkin mendapatkan

jodoh.

4. Alasan kebersihan, kesehatan, dan keindahan

Alasan ini merupakan alasan pembenaran yang dipakai oleh banyak

masyarakat di dunia untuk melakukan FGM. Mutilasi yang sering dikaitkan

dengan tindakan penyucian atau pembersihan dalam masyarakat yang

mempraktikan FGM. Seorang perempuan yang tidak dimutilasi dianggap

tidak bersih dan tidak akan diperkenankan menyentuh makanan atau air.

FGM sering sekali dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan

perempuan serta anak yang dilahirkannya, dikatakan bahwa perempuan yang

melakukan FGM akan lebih subur serta mudah melahirkan. Pendapat ini lebih

merupakan mitos yang dipercaya masyarakat saja dan tidak memiliki bukti

medis. Dari penjelasan mengenai prosedur serta dampak FGM dapat dilihat

bahwa FGM ini dapat membahayakan jiwa, kesehatan, dan kesuburan seorang

perempuan.

3.6 Dampak Praktik Female Genital Mutilation

Dampak dilakukannya FGM adalah sebagai berikut:

72

1. Konsekuensi Medis

Perempuan yang menjalankan prosedur FGM sangat berisiko besar

mengalami berbagai masalah serius baik fisik maupun psikis. Masalah

kesehatan yang dapat ditimbulkan berkaitan dengan tingkat higienitas alat

yang dipakai dalam prosedur, keahlian orang-orang yang melaksanakan

prosedur tersebut, serta tahapan-tahapan prosedur FGM itu sendiri.

Dampak fisik yang ditimbulakn oleh FGM terbagi menjadi dampak

jangka pendek.dan jangka panjang Dampak jangka pendek dari FGM

meliputi pembengkakan pada jaringan sekitar vagina yang akan

menghalagi proses pembuangan cairan, infeksi yang disebabkan

pemakainan alat yang tidak steril, serta kontaminasi luka karena air seni,

pendarahan parah dan shock, pembuluh darah dari klitoris dapat

mengalami pendarahan, terjadinya infeksi, tercemarnya darah oleh racun

dari alat yang tidak steril, dan kerusakan pada jaringan di sekitar klitoris

serta labia yang setelah beberapa waktu akan menyebabkan tersumbatnya

urine yang berimplikasi pada infeksi serius.

Dampak jangka panjang yang ditimbulkan FGM yaitu infeksi saluran

kencing. Hal ini disebabkan karena terdapatnya penyakit yang timbul

karena adanya bakteri serta sisa-sisa sel darah putih dan juga karena

infeksi yang berulang-ulang pada saluran reproduksi. Lubang vagina yang

menjadi sempit akan menyebabkan terganggunya saluran menstruasi

sehingga perempuan akan merasa sangat kesakitan karena penumpukan

73

residu pada vagina. Dampak lain yang ditimbulkan adalah infeksi pelvic

yang menyebabkan tersumbatnya tuba fallopi yang nantinya akan

berakibat pada kemandulan.88

Pada tipe infabulasi dampak jangka panjang yang ditimbulkan akan

menjadi lebih serius yaitu infeksi pada saluran kencing dan ureter,

kerusakan pada ginjal, infeksi saluran reproduksi yang disebabkan

terganggunya siklus menstruasi, infeksi parah pada pelvic sehingga

menyumbat tuba fallopi, perluasan jaringan yang terluka, keloid, sakit

yang diderita pada saat berhubungan (making love), dan kesulitan pada

saat melahirkan akibat hilangnya elastisitas serta saluran pelicin pada

vagina.89

Perempuan yang diinfabulasi akan membutuhkan 15 menit untuk

kencing dan periode menstruasi mencapai 10 hari, kadang-kadang karena

sempitnya lubang ini darah menstruasi akan berkumpul di perut.

Sehubungan dengan penularan penyakit berbahaya, FGM juga merupakan

sarana yang berbahaya dan riskan bagi penularan virus HIV dan hepatitis,

diakibatkan pemakaian alat yang tidak steril.90

2. Konsekuensi Seksual

Secara seksual FGM berdampak pada rusaknya ransangan seksual

pada perempuan. Hal ini disebabkan karena klitoris yang sudah

88

Debu Batar Lubis.”Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya”, dalam

Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan

Obor, hal. 496 89

http://www.transaricaforum.or/reports/viewpoint041300_fgm.html, diakses 17 September 2007 90

http://www.ag.gov.au/flca/female%20Mutilation.htm#head-5, diakses 17 september 2007

74

dihilangkan akibat praktik FGM. Klitoris merupakan organ seksual utama

pada perempuan yang memiliki banyak sekali syaraf yang sangat peka

terhadap sentuhan, sedangkan bagian lain dari vagina hanya memiliki

respon yang minim terhadap sentuhan.91

Dengan dihilangkannya klitoris

pada FGM, maka secara otomatis ransangan seksual pada perempuan akan

menurun secara drastis sehingga akan butuh waktu yang sangat lama bagi

perempuan dalam berhubungan seks untuk mencapai orgasme bahkan

tidak mampu sama sekali dalam mencapai orgasme.

Hal ini tidak hanya berdampak pada perempuan saja. Secara tidak

langsung laki-laki juga terkena dampaknya. Sebagai contoh di Mesir

dimana terjadi peningkatan laki-laki yang menggunakan narkotika akibat

dari hanya sedikit sekali laki-laki sehat yang dapat membuat seorang

perempuan yang dimutilasi mencapai orgasme.92

Berikut dua contoh kasus yang menunjukkan dampak FGM ini dari

segi seksualitas:

1. Pengakuan dari seorang laki-laki Sudan tentang pengalaman

seksualnya pada malam pertama perkawinannya.

”the first experience were very painful for her. For a long

time we could not enjoy sex together, because it was a

uniteral thing. It was I who had the orgasm. She only had

fear and pain. I had had some experience, and knew

either I would ruin the whole relationship, or with

genteless and patience I would eventually solve the

91

Ibid 92

ibid

75

problem. I love her very much, and for a long time, for

several months, we both tried very hard to make it work.

It was a nightmare. Of course I wanted sex. Everytime I

approach her sexually, she bled. The wound I had caused

was never able to heal. I felt horribly guilty. The whole

thing was so abnormal. The thought that I was hurting

someone I loved so dearly trouble me greatly. I felt like

an animal. This is an experience that I would rather not

remember.”93

2. Pengalaman Amina, seorang perempuan berusia 25 tahun dari

Somali.

”I was infabulated when i was nine years old. I have had

four operations to open up the infibulation for sexual

relations with my husband since I got married four years

ago but all this has been unsuccessful. Each time my

husband comes near me the place close up. He cannot

enter me. I have been through a lot of pain even to the

pointthat I wanted to commit suicide.my husband

unfortunately emotionally abuses me. He says I am a

useless woman. It hurt me so much. I cannot speak to my

family or to any member of the community. This will

bring shame on my family. I need to see I psychologist,

there will be gossip in the community and I will be

dismissed as a mad person.94

Dari kedua konsekuensi yang ditimbulkan oleh FGM, maka akan

menimbulkan dampak yang ketiga yaitu konsekuensi psikologis yang akan diderita

oleh perempuan yang melakukan FGM.

3. Konsekuensi Psikologis

93

Efua Dorkenoo, Cutting the Rose Female Genital Mutilation: the practice and its Prevention,

Minoiry Right Group, United Kingdom, 1994. hal.23 94

Ibid, hal 24

76

Selain dampak fisik, FGM juga menimbulkan dampak psikis terhadap

perempuan yang melakukan FGM. Dampak psikisnya yaitu perasaan

cemas, takut, malu, serta perasaan dikhianati yang dapat menimbulkan

dampak negatif jangka panjang pada kondisi psikis perempuan.

Berdasarkan penelitian beberapa ahli, shock dan trauma yang diderita

dapat menyebabkan terbentuknya sifat pendiam dan penurut pada

perempuan. Sifat-sifat ini dianggap baik bagi masyarakat yang

mempraktikkan FGM95

. Walaupun disaat perayaan perempuan yang

melakukan FGM akan mendapat hadiah akan menghilangkan sedikit

trauma, namun dampak psikologis yang paling penting adalah perasaan

merasa diterima sebagai bagian dari anggota masyarakat serta perasaan

telah memenuhi persyaratan untuk menikah.

Berikut pernyataan Dr. Nahid Toubia, seorang gynaecology yang telah

melakukan penelitian terhadap hal ini terhadap pasiennya di sebuah klinik

di Sudan:

“Thousand of women present themselves with vague

complaints all metaphorically linked to their pelvises,

which really means their genital since they are socially too

shy to speak of their genitals. They complain of symptoms

of anxiety and depression, loss of sleep, backache and

many other complaints uttered in sad monotonous voices.

When I probe them a little, the flood of their pain and

anxiety over their genitals, their sexual lives, their fertility

and all the other physical and psychological complications

of their circumcision is unbearable. These women are

holding back a silent sream so strong, if uttered, it would

95

http//www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen, diakses 17 September 2007

77

shake the earth. Instead it is held back depleting their

energy and darining their confidence in their abilities.

Meanwhile the medical establishment treats them as

malingerers and a burden on the healtg system and its

resources.96

96

Ibid, hal 26

78

BAB IV

SIERRA LEONE

Bab ini merupakan kelanjutan objek kajian yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya. Dalam bab ini diuraikan mengenai gambaran umun negara Sierra Leone

serta keadaan perempuannya

4.1 Geografi

Sierra Leone terletak di wilayah pesisir Afrika Barat. Berbatasan langsung

dengan Guinea di bagian utara, Liberia di bagian selatan, dan Samudera Atlantik di

bagian barat. Bentuk negara Sierra Leone adalah republik dengan ibukotanya

Freetown. Dengan luas area yang mencapai 71,740 km2, menurut perkiraan pada

tahun 2007 Sierra Leone berpenduduk sekitar 6,144,562 jiwa, dengan pertumbuhan

2.3%, angka kelahiran 45.5/1000, kematian bayi 158.3/1000, tingkat harapan hidup

40.6, serta kepadatan penduduk mencapai 222/m2.97

Berikut profil negaranya:

1. Full name: Republic of Sierra Leone

2. Capital: Freetown

3. Presiden: Ernest Koroma, from election 2007

4. Area: 71,740 sq km (27,699 sq miles)

97

http://id.wikipedia.org/wiki/Sierra_Leone, diakses 12 September 2007

79

5. Major languages: English, Krio (Creole language derived from English) and

a range of African languages

6. Major religions: Islam 60%, Christianity 10%, african traditional religi 30%

7. Life expectancy: 39 years (men), 42 years (women) (UN)

8. Monetary unit: Leone

9. Main exports: Diamonds, rutile, cocoa, coffee, fish

10. GNI per capita: US $220 (World Bank, 2006)

GAMBAR. 2

PETA SIERRA LEONE

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sierra_Leone

80

4.2 Ekonomi

Sierra Leone merupakan salah satu negara yang termiskin di dunia dengan

jumlah populasi pengangguran yang besar. Perang sipil baru saja berakhir tahun 2002

sehingga pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat. Kemiskinan di Sierra Leone

menyebar luas dimana lebih dari setengah populasi Sierra Leone tergolong

masyarakat yang miskin. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok dalam

hal suplai makanan dan kebutuhan nutrisi dikarenakan penghasilan mereka rata-rata

hanya bisa mencapai 1$ per hari. Kemiskinan di Sierra Leone ini dapat dikategorikan

menjadi:

1. The poorest (popolipo), yaitu orang-orang yang sama sekali tidak

mampu memenuhi kebutuhan akan makanan, tempat tinggal, dan

pakaian.

2. The poorer (po-pas-po), Orang-orang yang terkadang punya

kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

3. The poor (po), yaitu orang-orang yang sudah mulai mampu memenuhi

kebutuhannya sehari-hari walaupun masih belum mampu memenuhi

dari segi nutrisi.

81

4. The better off, yaitu orang-orang yang sudah mampu memenuhi

kebutuhan hidupnya beserta keluarganya.98

Tingkat kemiskinan perempuan dan laki-laki sangat berbeda di Sierra Leone

dimana perempuan hidup jauh lebih miskin dibanding laki-laki. Penyebab banyaknya

perempuan yang hidup dibawah garis kemiskinan karena perempuan tidak mendapat

kesempatan yang sama dengan laki-laki sehingga berpengaruh pada kesempatan

ekonomi mereka.

4.3 Sosial Budaya

4.3.1 Status dan Peran Gender Perempuan ( Women’s Gender Role and

Statuses)99

Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam bekerja. Laki-laki

melakukan pekerjaan yang dianggap hebat secara fisik seperti halnya membajak

sawah, sedangkan peran perempuan sebagai penanam benih, mengumpulkan kayu,

memasak, mencuci, dan anak kecil terutama yang perempuan memiliki kewajiban

untuk membantu perempuan dewasa.

98

http://www.irinnews.org/country.aspx?CountryCode=SL&RegionCode=WA, diakses 12 September

2007 99

http://www.everyculture.com/Sa-Th/Sierra-Leone.html, diakses 12 September 2007

82

Status perempuan di Sierra Leone dinilai sebagai suatu yang paradoks.

Perempuan memiliki status yang rendah dimana secara teknis perempuan selalu hidup

berada di bawah kekuasaan laki-laki yang menjadi suami mereka. Selain itu

perempuan Sierra Leone juga memiliki hak yang rendah dalam memperoleh

pendidikan formal sehingga banyak diantara mereka yang buta huruf. Disisi lain

perempuan Sierra Leone memiliki organisasi tersendiri dalam mengontrol kehidupan

mereka sebagai perempuan. Organisasi ini disebut Bondo/Sande yang berfungsi

dalam mengontrol kehidupan perempuan Sierra Leone bagaimana perempuan Sierra

Leone dapat menjadi perempuan yang sesungguhnya agar bisa diterima sebagai

bagian dari masyarakat dengan statusnya sebagai perempuan.

Perempuan Sierra Leone tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki

dalam memperoleh akses dalam bidang pendidikan, kesempatan ekonomi, fasilitas

kesehatan dan kebebasan sosial. Perempuan yang tinggal di daerah pedesaan hanya

bekerja sebagai petani yang menanam sayur-sayuran dan sangat kecil kemungkinan

bagi mereka untuk memperoleh pendidikan formal.

83

4.3.2 Perkawinan, Keluarga, dan Hubungan Kekeluargaan (Marriage, Family,

and Kinship)100

Bagi masyarakat Sierra Leone perkawinan adalah sebuah tanda dari

kedewasaan seseorang dan membawa pertimbangan prestige terhadap kedua belah

pihak yaitu pengantin laki-laki dan perempuan. Prestige disini berhubungan dengan

sebuah keluarga dengan semakin memiliki banyak anggota keluarga maka prestige

yang diperoleh akan semakin tinggi. Hal ini menjadikan kebanyakan laki-laki Sierra

Leone melakukan poligami.

Masyarakat Sierra Leone menyukai memiliki banyak anak. Anak perempuan

merupakan aset untuk memperoleh kekayaan yang lebih dikarenakan ketika anak

perempuan mereka menikah, maka mereka akan mendapatkan harta lebih dari pihak

laki-laki yang mengawini anak perempuan tersebut. Namun dari segi warisan anak

laki-laki lah yang memiliki hak untuk mewarisi harta kekayaan dari orang tuanya

karena sistem yang digunakan adalah sistem patrilineal.

100

ibid

84

4.4. Kekerasan terhadap Perempuan101

GAMBAR. 3

PEREMPUAN SIERRA LEONE KORBAN KEKERASAN

Sumber: Integrated Regional Information Networks (IRIN)

101

http://www.bellaonline.com/articles/art24082.asp, diakses 10 Januari 2008

85

Diperkirakan 94% rumah tangga di Sierra Leone di survei oleh sebuah

lembaga Hak Asasi Manusia di Sierra Leone Physicians for Human Rights (PHR).

bahwa satu orang dari anggota rumah tangga tersebut mengalami kekerasan dan

tindak pelanggaran hak asasi manusia selama sepuluh tahun terakhir ini. Kekerasan

ini meliputi, abduction, pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan, dan bentuk lainnya

dari kekerasan seksual, pemaksaan kerja, penembakan yang mengakibatkan luka,

luka yang serius, dan amputasi. Ketakutan akan pembalasan dan keinginan untuk

berdamai disebutkan oleh kebanyakan perempuan Sierra Leone sebagai sebuah alasan

untuk tidak menekan dan melaporkan tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi

manusia ini.

Melalui 80 % perempuan yang telah di survei, lebih dari setengahnya

menyatakan bahwa suami mereka memiliki hak untuk memukul dan merupakan

kewajiban mereka sebagai istri untuk melakukan dan melayani hasrat seksual dari

suami mereka walaupun mereka tidak menginginkannya. Sepertiga dari mereka juga

mengaku telah diperkosa oleh gang rape. Kekerasan seksual dan pemerkosaan

terhadap perempuan Sierra Leone ini sangat tinggi, pada tahun 2007 diperkirakan

215.000-257.000 perempuan mengalaminya. Dari jumlah ini diperkirakan kasus

kekerasan seksual meliputi rape (89%), being forced to undress/stripped of clothing (37%),

gang rape (33%), abduction (33%), molestation (14%), sexual slavery (15%), forced

marriage (9%), and insertion of foreign objects into the genital opening or anus (4%).

86

Kenyataannya 23% dari perempuan yang mengalami kekerasan seksual ini dilaporkan

menjadi hamil

Isata, seorang perempuan Sierra Leone (15 tahun) yang mengalami tindak

kekerasan seksual ini mengakui bahwa:

"... I don't have any children. I was a virgin before. They ruined me. I was

at home when they came and kidnapped me ... They demanded money. My

family has no money ... they said to my parents, come and see how we use

your children. They undressed five of us, laid us down, used us in front of

my family and took us away with them. They wouldn't release us, they kept

us with them in the bush ... When I escaped, I couldn't walk - the pain. I

was bleeding from my vagina."

Lembaga-lembaga HAM di Sierra Leone seperti PHR telah memberikan

peringatan kepada pemerintah Sierra Leone untuk secara aktif dalam memberikan

solusi terhadap permasalahan perempuan Sierra Leone ini seperri pemberian

pendidikan yang layak bagi para perempuan Sierra Leone yang masih sangat bodoh

dan memberikan kesempatan kepada organisasi-organisasi internasional seperti

United Nation untuk bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan HAM ini.

87

4.5. FGM di Sierra Leone102

GAMBAR. 4

RITUAL FGM DI SIERRA LEONE

Sumber: IRIN

102

Efua Dorkenoo. Cutting the Rose Female Genital Mutilation: the practice and its

Prevention.Minoiry Right Group. United Kingdom. 1994. hal. 109-110

88

Tipe FGM yang dipraktekkan di Sierra Leone adalah FGM tipe I dan tipe II.

Praktik ini dilakukan pada seluruh perempuan Sierra Leone dari semua kelas

termasuk kelas elit sekalipun. Orang Sierra Leone yang tinggal di luar Sierra Leone

akan membawa pulang anak perempuannya ke Sierra Leone untuk melakukan FGM

ini. Proses pelaksanaan FGM diikuti dengan ritual-ritual tertentu karena hal ini

merupakan suatu bagian dari proses menjadi perempuan (from childhood to

womenhood). Praktik FGM ini pelaksanaannya mencapai 90% perempuan mengikuti

prosedur ini dari semua kelas etnis kecuali etnis Krio yang bertempat tinggal di

wilayah barat dan ibukota Freetown.

Pengaturan dan kekuasaan atas pelaksanaan FGM ini terletak pada sebuah

organisasi adat (secret societies). Perempuan yang melakukan praktik FGM sangat

mempercayai bahwa FGM itu memiliki kekuatan supranatural yaitu dengan

dilaksanakannya FGM maka seorang anak perempuan akan menjadi perempuan

seutuhnya yang dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat. Anak perempuan

yang tidak melakukan ritual FGM ini tidak akan dianggap sebagai bagian dari

masyarakat dan hal ini akan memperoleh dampak negatif baginya yaitu selain tidak

dianggap sebagai bagian dari masyarakat, ia tidak akan boleh melakukan pernikahan

karena perempuan yang belum melakukan FGM dianggap tidak setia dan belum diisi

oleh kekuatan supranatural untuk dapat menjadi seorang perempuan yang diakui

masyarakat Sierra Leone.

89

FGM tidak hanya sebuah proses mutilasi genital perempuan tapi setelah itu

perempuan yang telah dimutilasi tersebut akan diambil sumpah bahwa ia tidak akan

menyatakan segala sesuatu yang terjadi selama proses FGM berikut ritualnya tersebut.

Keanggotaan dari secret societies ini berlaku selamanya dan turun temurun. Secret

societies ini memiliki hubungan antara satu sama lain di wilayah etnis yang berbeda

di seluruh Sierra Leone.

90

BAB V

FEMALE GENITAL MUTILATION SEBAGAI BENTUK KEKUASAAN

NEGARA SIERRA LEONE ATAS TUBUH PEREMPUAN

Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan yang peneliti uraikan dengan

menggunakan pisau analisis yang dipaparkan pada Bab II.

5.1. Praktik Female Genital Mutilation di Sierra Leone dari Sudut Pandang

Feminisme

Melalui feminisme praktik Female Genital Mutilation di Sierra Leone ini

dapat dibaca melalui tiga fase yaitu female, genital ,dan mutilation.

1. Perempuan (Female)

Female disini adalah perempuan Sierra Leone. Makna kata perempuan disini

adalah perempuan sebagai the other. Sebagaimana yang dikatakan oleh Simone de

Beauvoir, the other merupakan makna perempuan menurut masyarakat patriarki,

dimana perempuan disini adalah yang tersubordinat, kelas kedua setelah laki-laki. Hal

ini sehubungan dengan hasil penelitian penulis bahwa perempuan Sierra Leone secara

garis besar sebagaimana yang juga dituliskan pada bab.4 yaitu perempuan Sierra

Leone adalah golongan yang termiskin secara ekonomi, terbelakang dalam bidang

pendidikan, dan terminim jumlahnya pada posisi decision makers di pemerintahan.

Perempuan Sierra Leone ini telah berhasil dikonstruksi sebagaimana sifat-sifat

perempuan yang dituntutkan oleh masyarakat patriarki. Dalam praktik FGM, sifat-

91

sifat ini terlihat jelas. Sifat yang menonjol pada perempuan Sierra Leone ini adalah

pasif, tidak rasional, lemah, dan mengalah. Berdasarkan informasi dari sebuah video

rekaman wawancara Rugiatu Turay, salah seorang aktivis perempuan dari Amazonian

Initiative Movement (AIM) kepada Mariana Van Zeller, seorang perempuan Sierra

Leone mengenai FGM, dapat disimpulkan data berupa:

1. FGM disebut sebagai sebuah upacara adat bernama ‟ripe mangos‟. Ripe

mangos ini mempresentasikan klitoris. Artinya adalah bahwa kematangan

klitoris tersebut sudah sepantasnya untuk dihilangkan. Melalui proses

penghilangan klitoris inilah mereka akan dipertimbangkan untuk menjadi

perempuan yang sesungguhnya.

2. Kebanyakan orang Sierra Leone berfikir bahwa ketika seorang perempuan

tidak di FGM, itu berarti ia pengacau (promiscious). Ketika ia di FGM maka

hal itu akan mengontrol keinginan seksualnya.

3. Alasan melakukan FGM adalah tradisi peninggalan nenek moyang mereka.

Jadi mereka ingin meneruskan tradisi ini.

4. Biasanya mereka mengasosiasikan kegiatan FGM ini dengan kekuatan-

kekuatan gaib/ setan. Jadi ketika seorang perempuan sangat banyak

mengeluarkan darah akibat FGM ini maka ia akan diasumsikan sebagai

penggoda (witch).

92

5. Walaupun perempuan-perempuan Sierra Leone ini merasa takut, tidak suka,

dan trauma melihat praktik FGM ini, namun mereka akan tetap melakukannya

dengan satu alasan bahwa mereka ingin suatu perubahan.103

Hal ini membuktikan bahwa perempuan Sierra Leone ini benar-benar pasif.

Mereka hanya diam ketika bagian dari tubuh mereka berusaha untuk dihilangkan.

Mereka hanya mengikuti tradisi yang telah diwarisi nenek moyang mereka tanpa bisa

berfikir rasional terhadap tindakan FGM ini. Mereka tidak memikirkan sejauh mana

keefektifan dan manfaat yang ditimbulkan dari tindakan ini. Mereka tidak mampu

membedakan seberapa besar manfaat dan seberapa besar pula kerugian yang diderita

ketika mereka melakukan FGM ini.

Faktor inti yang menyebabkan mereka tidak mampu bersikap ini sangat

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka. Mereka tidak memperoleh kesempatan

yang layak untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan melihat seberapa luas dunia ini.

Sehingga apa-apa yang mereka dapat dari lahir hanyalah berupa doktrin-doktrin yang

mereka yakini dengan sangat kebenarannya. Kebodohan inilah yang membuat mereka

menyerah pada apa yang dinamakan sebuah kealamian (nature). Mereka merasa

bahwa FGM adalah sebuah keharusan yang suatu saat pasti akan dilalui oleh setiap

perempuan. Sehingga apaun yang mereka rasakan tentang FGM ini sudah merupakan

suatu hal yang sudah seharusnya dan tidak dapat dihindari lagi.

103

Perubahan disini maknanya adalah menjadi perempuan yang sesungguhnya, yang diterima sebagai

bagian dari masyarakat Sierra Leone. Bisa diistilahkan dengan from childhood in to womenhood.

93

Bahkan ketika mereka melihat kenyataan bahwa ternyata FGM ini telah

banyak mengakibatkan penderitaan yang buruk bagi saudara-saudara perempuan

mereka dan juga mereka rasakan dengan diri mereka sendiri. Mereka tetap diam.

Mereka tidak berani menentang. Mereka menyerah pada tradisi. Meskipun jauh di

lubuk hati mereka, mereka berteriak hentikan FGM. Mereka tidak berani berpendapat

karena dari awal mereka sudah terdoktrin bahwa mereka hanyalah seorang

perempuan.

2. Genital (Genital)

Seperti kebanyakan masyarakat di negara yang penduduknya mayoritas

muslim, di Sierra leone yang memiliki penduduk 60% muslim104

, pembicaraan

mengenai genital adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Sehingga ketika terjadi

sesuatu hal yang menimpa genital mereka, itu hanyalah sebuah rahasia seorang

perempuan Sierra Leone saja. Menurut tradisi, perempuan yang baru saja melakukan

FGM dilarang untuk menceritakan pengalamannya kepada siapapun termasuk orang

tuanya. Hal itu merupakan salah satu syarat yang ditentukan ketika FGM bisa

dianggap sah, dan perempuan tersebut akan diterima sebagai bagian dari masyarakat.

Genital, dipandang oleh masyarakat Sierra Leone hanya berdasarkan fungsi

biologisnya saja. Mereka tidak menghiraukan bahwa genital dengan bagian

spesifiknya yaitu klitoris juga memiliki fungsi seksual. Sehingga praktik FGM di

Sierra Leone ini ditujukan untuk menjadikan perempuan Sierra Leone tidak memiliki

104

Lihat bab.4

94

keinginan seksual. Jadi yang tersisa hanya fungsi reproduksi dan manfaat untuk

memuaskan laki-laki saja.

3. Mutilasi (Mutilation)

Pemotongan sebagian tubuh perempuan dengan tujuan penghilangan hak dan

fungsi dari organ tersebut adalah tergolong tindakan diskriminasi. Sebagaimana

pengertian diskrimninasi menurut pasal 1 CEDAW:

Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan

atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai

pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,

penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-

kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau apapun

karena statusnya sebagai perempuan .

Dalam praktik FGM di Sierra Leone ini, perempuan dibedakan dengan laki-laki,

dimana klitoris yang ada pada genital perempuan dianggap menyerupai penis yang

ada pada laki-laki, sehingga harus dihilangkan agar ia terbebas dari sifat-sifat

maskulin yang dianut oleh laki-laki sehingga pada akhirnya akan menjadi perempuan

yang seutuhnya. Ini merupakan pembatasan yang dibuat berdasar atas jenis kelamin.

Hanya karena seorang manusia lahir dengan jenis kelamin perempuan. Oleh karena

itu ia kehilangan penggunaan haknya untuk memperoleh kenikmatan hubungan

seksual akibat kehilangan bagian dari tubuhnya yaitu klitoris.

Selain kehilangan haknya, perempuan Sierra Leone ini juga mengalami

kerugian-kerugian berupa akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakan FGM ini

secara fisik. Sebagaimana yang disebutkan Dr Richard Fanthorpe seorang antropolog

95

yang bekerja pada UNHCR bahwa perempuan Sierra Leone yang di FGM mengalami

resiko medis yang serius, yaitu:105

1. Infeksi akut karena tidak menggunakan obat bius (Acute pain due to lack of

local anaesthesia)

2. Pendarahan pasca pembedahan (Post operative haemorrhage)

3. Infeksi pada saluran urin (Urinary infection)

4. Infeksi pelvic (Pelvic invection)

5. Keracunan pada darah dan tetanus karena penggunaan alat yang tidak steril

(Septicaema and tetanues due to the use of unsterilized equipment)

6. Rasa sakit ketika melakukan intercourse (Painful intercourse due to scarring

and infection)

7. Menghalangi proses kelahiran (Prolonged and obstructed chilbirth due to

unyielding scars)

8. Post-partum haemorrhage due to tearing of scar tissue or the uterine cervix.

9. Dysmenorrhoea deu to the growth to keloid scars that obstruct the vaginal

orifice

Keseluruhan dari akibat yang ditimbulkan akan dapat menimbulkan trauma pada si

korban dan bisa berakhir pada kematian.

105

Ini ditulis dalam sebuah writenet yang berjudul “Sierra Leone: The Influence of the Secret

Societies, with special reference to female genital Mutilaiton”. 2007, diakses melalui

http://www.unhcr.org/cgi-

bin/texis/vtx/refworld/rwmain?docid=46cee3152&page=search, diakses 20 Januari 2008

96

Hal tersebut diatas membuktikan bahwa masyarakat Sierra Leone menganut

sistem seks yang disamakan dengan gender, dimana bukti bahwa FGM adalah sebuah

proses untuk menguatkan gender berdasar atas sistem seks. Seorang Sierra Leone

yang dilahirkan dengan vagina akan dikonstruksikan menjadi perempuan sesuai

dengan masyarakat Sierra Leone yang menganut nilai-nilai seorang perempuan

menurut fungsi biologis tubuhnya dan mengikuti hal tersebut sebagai sebuah peran

yang bersifat alami.

Kaum feminis jelas-jelas menentang FGM di Sierra Leone ini sebagai sebuah

bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai sebuah ideologi pembebasan

perempuan, feminisme akan menganalisis sekaligus memunculkan dan menguak akar

permasalahan dari praktik FGM di Sierra Leone ini. Melalui dua aliran feminisme

yang peneliti gunakan pada bab.2, praktik FGM di Sierra Leone ini akan diulas dan

dikritik secara tajam dalam membongkar bentuk-bentuk kekuasaan atas tubuh

perempuan.

5.1.1 Sistem Seks Sebagai Akar dari Praktik FGM di Sierra Leone

Opresi terhadap perempuan berakar dari sistem seks. Jika ditempatkan pada

praktik FGM di Sierra Leone, ini berawal dari sebuah fakta bahwa perempuan itu

memiliki vagina, sebuah organ yang menandakan bahwa ia adalah perempuan.

Feminis radikal mengklaim bahwa sumber dari opresi terhadap seorang perempuan

termasuk dalam praktik FGM ini adalah sistem seks itu sendiri, dimana pada

perempuan dalam hal ini adalah vagina. Pernyataan sumber dari opresi atas

97

perempuan adalah vagina ini juga diungkapkan oleh seorang feminis Indonesia106

,

Mariana Amirrudin yang saat ini aktif sebagai direktur eksekutif di Jurnal Perempuan.

Ia menyatakan bahwa107

FGM itu berawal dari stereotip terhadap perempuan yang

sebenarnya konstruksi sosial yang dihubungkan ke masalah biologis perempuan,

masalah genital perempuan. Sehingga muncullah mitos-mitos tentang perempuan dan

vaginanya. Mitos bahwa vagina adalah sumber dari kejelekan seorang perempuan,

ketika vagina ini tidak dilakukan tindakan pemotongan dan pembatasan terhadapnya,

maka perempuan yang punya vagina ini akan menjadi perempuan yang tidak baik

dalam masyarakat. Menjadi agresif, nakal, aktif, dan memunculkan sifat-sifat yang

tidak dikehendaki oleh masyarakat patriarki untuk ada dalam diri seorang perempuan.

Sierra Leone ini masyarakatnya sangatlah patriarki. Ketika seluruh dunia ini

memang sudah patriarki dan sangat tidak adil terhadap perempuan, Sierra Leone lebih

memperdalam dan kuat dalam sistem patriarki ini. Sebagian besar masyarakat

internasional yang patriarki saja telah mengakui FGM sebagai praktik berbahaya yang

melanggar hak asasi perempuan dan sudah menghentikan praktik FGM ini, namun

masyarakat Sierra Leone ini masih saja mengaplikasikannya. Itu adalah bukti

mengapa ia disebut patriarki tingkat tinggi disamping banyak ketimpangan-

ketimpangan, ketidakadilan-ketidakadilan, serta kekerasan lainnya yang terjadi di

106

Feminis Indonesia hanyalah sebuah bentuk pernyataan bahwa feminis ini berasal dari Indonesia,

tidak ada perbedaan yang ingin peneliti tonjolkan dalam hal ini, karena sesungguhnya perjuangan

feminis adalah satu tujuan hanya ruang dan waktunya saja yang berbeda. 107

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Mariana Amiruddin, lihat lampiran

98

masyarakat Sierra Leone ini sebagaimana yang telah peneliti sebutkan pada bab

sebelumnya.

Patriarki inilah yang menyebabkan perempuan Sierra Leone berada pada

tingkat opresi pertama dan terdalam. Ketika vagina sebagai organ seks perempuan

yang utama telah dikuasai dengan praktik FGM ini, perempuan Sierra Leone akan

mengalami bentuk-bentuk pengembangan dari tindak penindasan lainnya. Ketika

patriarki telah membagi sistem gender antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-

laki adalah di ruang publik dan perempuan di ranah privat, lalu bukankah vagina itu

adalah ranah privat?.Ranah paling privat dalam diri perempuan dan tubuh perempuan.

Berbicara soal vagina ini, jangankan perempuan Sierra Leone yang masih sangat

bodoh dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah disertai konstruksi tradisi dan

mitos pembodohan yang sangat kuat, masyarakat yang sudah berpendidikan pun

sering menganggap pembicaraan tentang vagina itu adalah sebuah aib dan hal yang

tidak layak untuk dibicarakan dan diungkapkan secara jelas.

Vagina. Tubuh perempuan dengan berbagai bentuk tindak ketidakadilan dan

opresi yang berlapis-lapis tebalnya menyelubunginya. Vagina adalah invisible dalam

masyarakat patriarki dan sekaligus menjadi yang paling penting dan paling tertindas.

Sigmund Freud, seorang psikoanalis mengatakan bahwa vagina adalah bentuk tidak

sempurna dari sebuah penis dimana klitoris yang ada pada vagina adalah penis yang

tidak tumbuh. Dunia ini memang phallocentric, kekuasaan berpusat pada phallus

sebagai lambang maskulinitas dan mengopresi vagina hingga tingkat terdalam.

99

FGM adalah bentuk dari sistem phallocentric ini dan Sierra Leone adalah

korbannya dengan perempuan sebagai fokus utamanya. Perempuan Sierra Leone

merupakan perempuan yang masih dalam tingkat pendidikan yang sangat rendah

dimana mereka hanya mendapat pengetahuan tentang kehidupan dari organisasi

sisterhood yang bernama Secret Societies, biasa disebut Bundu. Menurut Koso

Thomas108

, seorang gynaecologist di Sierra Leone menyatakan bahwa “The real

meaning of the bundu society is where they train young girls to become women: they

teach them how to sing, dance and cook... girls who don‟t go to school learn how to

use herbs and treat illnesses; they are taught to respect others.” Menjadi perempuan

(becomes women) disini adalah bagaimana menjadi perempuan yang sesungguhnya

yang diklaim oleh feminis radikal sebagai perempuan yang ditentukan oleh

masyarakat patriarki. Salah satu cara agar bisa memenuhi syarat menjadi perempuan

ini adalah dengan praktik FGM.

Faktanya praktik FGM di Sierra Leone ini sangat erat kaitannya dengan

mitos-mitos menjadi seorang perempuan. Mitos inti dari praktik FGM di Sierra Leone

ini adalah pembuangan klitoris dari vagina perempuan akan menjadikan perempuan

sebagai perempuan seutuhnya (real women). Tujuan pembuangan klitoris ini adalah

untuk mengontrol keinginan seksual dari perempuan Sierra Leone selama masa

puberitasnya sampai pada akhirnya ia mendapatkan seorang suami. Mitos keburukan

klitoris ini berujung pada mitos keperawanan. Perempuan Sierra Leone sebelum

108

Koso Thomas adalah seorang dokter dan aktifis yang menentang praktik FGM, ia telah bekerja

selama 30 tahun dalam mengkampanyekan anti FGM. Dalam IRIN Report

http://www.irinnews.org/pdf/in-depth/FGM-IRIN-In-Depth.pdf, diakses 20 Januari 2008

100

mendapatkan seorang suami harus menjaga keperawanannya sehingga dengan di

FGM, menurut mitosnya perempuan ini ia akan mampu menjaga keperawanannya

karena FGM telah mengontrol keinginan seksualnya. Kaum feminis menyatakan

bahwa keperawanan itu adalah sebuah mitos. Mariana menyatakan bahwa mitos itu

merupakan sesuatu yang diterima begitu saja oleh masyarakat, tanpa adanya riset

bahwa kebenaran itu sebenarnya bisa dicari, bahwa kebenaran itu bisa diuji, bahwa

manusia itu punya ilmu pengetahuan. Djenar Maesa Ayu109

, seorang novelis yang

feminis begitu juga dengan peneliti, sebagai bagian dari feminisme juga menyetujui

bahwa keperawanan itu adalah mitos yang merugikan perempuan. Jika keperawanan

adalah sebuah mitos, maka menjaga keperawanan dengan FGM adalah mitos di atas

mitos. Jika mitos yang merugikan perempuan adalah kekerasan terhadap perempuan

maka mitos di atas mitos adalah kekerasan atas nama kekerasan terhadap perempuan.

Sehingga FGM akan menjadi sebuah multiple violence yang begitu menginjak-injak

hak asasi perempuan.

Sebaliknya perempuan yang tidak di FGM akan terkena dampak mitos

sebagai bitch. Ia akan menjadi liar, karena vaginanya belum dibuang klitorisnya,

sehingga sifat-sifat selain sifat perempuan masih terdapat dalam diri perempuan yang

tidak FGM tersebut. Sifat-sifat tersebut diantaranya sifat agresif, liar, nakal sehingga

mitos memperkuatnya dengan dianggap tidak setia, sehingga tidak akan ada laki-laki

yang mau untuk menjadi suaminya. Hal ini sesungguhnya telah mengungkap

109

Pernyataan keperawanan adalah mitos ini disebutkan oleh Djenar kepada Jurnal Perempuan, ini

ditulis dala sebuah artikel berjudul “Menganggap Seks sebagai Tabu adalah Kejahatan Kemanusiaan”

dalam Jurnal Perempuan edisi 41

101

ketimpangan dan ketidakadilan gender itu sendiri, dimana ketika klitoris pada

perempuan dianggap sebagai little phallus yang akan membawa sifat-sifat buruk pada

diri perempuan, diantaranya: agresif, nakal, aktif dan liar, lalu bagaimana dengan

makhluk yang memiliki „the real phallus‟, bukan „little phallus‟ lagi. Berarti ia juga

memiliki sifat-sifat yang dianggap buruk oleh masyarakat. Kenapa sifat-sifat itu

hanya buruk bagi perempuan? Tidak untuk jenis kelamin yang lain yaitu laki-laki.

Mitos-mitos FGM ini berawal dari seks perempuan Sierra Leone, dengan

vagina sebagai organ seks yang menyebabkan timbulnya mitos-mitos yang

memperkuat stereotip terhadap tubuh dan diri perempuan. Inilah yang disebut sebuah

sistem yang mengatasnamakan persamaan antara sistem seks dan gender. Berawal

dari vagina, hanya karena perempuan punya vagina sehingga tubuhnya dikonstruksi

untuk menampilkan suatu gender tertentu yang sudah dikonstruksi terlebih dahulu

sebelum tubuh itu sendiri ada. Gender yang berlaku di masyarakat Sierra Leone

seolah-olah telah mendahului adanya seks. Dimana ketika perempuan Sierra Leone

yang lahir dengan seks berupa vagina maka vaginanya itu harus dikonstruksi

sedemikian rupa untuk mengikuti gender yang sudah ada. Hal ini juga dinyatakan

oleh Mariana bahwa karena ia adalah perempuan, dan gender menetapkan bahwa ia

tidak boleh nakal, tidak boleh agresif, tidak boleh kelihatan, tidak boleh aktif, harus

pasif, karena yang namanya perempuan dan dia punya vagina, maka dari vaginanya

itulah yang kira-kira harus dibatasi. Pembatasan tersebut adalah dengan FGM.

Feminis radikal melihat hal ini sebagai opresi yang berakar dari sistem seks,

karena perempuan adalah makhluk yang lahir dengan vagina sehingga ia mengalami

102

berbagai opresi hanya karena ia adalah perempuan dengan vagina. Semua berawal

dari vagina serta kelebihan yang dimiliki oleh vagina ini, sehingga muncul

pembatasan-pembatasan terhadap vagina ini. Tidak hanya pembatasan dari segi mitos

yang diperkuat oleh budaya tradisional dan agama, tetapi juga dilegitimasi oleh

budaya modern serta sistem masyarakat modern yang dikuasai oleh hegemonic

masculinity dengan sebuah sistem Phallocentric yang disana tidak ada tempat bagi

vagina. Segalanya mengikuti sistem phallus. Perempuan dan vaginanya hanya

sebagai the others yang mengikuti segala kebijakan laki-laki yang begitu

phallucentric.

5.1.2 Female Genital Mutilation di Sierra Leone: Fenomena Global yang Berseks

dan Bergender

FGM adalah sebuah fenomena global yang lintas budaya, lintas zaman lintas

agama, lintas batas wilayah, dan lintas negara, dengan suatu kesatuan mitos yang

sama yaitu untuk membatasi perempuan sebagai seks kedua setelah laki-laki. Ketika

feminis radikal telah mengungkap akar dari opresi atas nama FGM, maka seks

sebagai akar opresi yang menimbulkan FGM hanyalah sebuah masalah yang

dianggap tabu oleh budaya, moral, agama sehingga menyebabkan kemunculannya

dari segi politis sebagai fenomena yang hanya berhak ditempatkan di ruang domestik,

tidak pada masalah-masalah yang dianggap terpenting dalam sistem masyarakat

modern seperti halnya masalah pertahanan keamanan, perang nuklir, pemilihan

103

presiden, dan masalah-masalah lainnya yang biasa disebut high politics sebagaimana

yang telah dikemukakan oleh kaum realis110

.

Dalam kajian hubungan internasional mainstream111

masalah high politics ini

menempati posisi utama dibanding masalah-masalah low politics seperti halnya

kebudayaan dan hak asasi manusia. Masalah hak asasi manusia yang mencakup

kepentingan seluruh manusia dengan segala jenis kelamin saja masih dianggap

sesuatu hal yang kelas kedua setelah isu-isu high politics sebagai isu kelas utama.

Apalagi hak asasi perempuan sebagai kelas kedua pula dari hak asasi manusia, setelah

kenyataan bahwa perempuan hanya sebagai the other setelah laki-laki sebagai core

utama

Pada dasarnya baik itu high politics maupun low politics, dalam sistem

masyarakat modern hal itu tidak disadari sebagai yang bergender. Sehingga pada

akhirnya feminisme muncul dengan membuat nyata keberadaan gender yang selama

ini invisible dalam sistem masyarakat modern, sistem internasional yang terdiri dari

masalah negara, organisasi internasional, perang, perdamaian, kemanusiaan, semua

itu bergender pada kenyataannya. Gender yang dimunculkan itu mengungkap bahwa

sebagian besar adalah maskulin sebagai penguasa segala sistem. Bahkan ketika

sebuah fenomena yang sangat erat kaitannya dengan femininitas yaitu genital

110

Realisme membedakan high politics dan low politics dimana high politics berupa pertahanan,

militer,isu strategi, dan keselamatan negara, sedangkan low politics adalah isu ekonomi, sosial, dimana

juga bergatung pada high politics. Perbedaan ini terdapat dalam buku Viotti, P.R. & Kauppi, M.V.

1987 International Relations Theory. Realism, Pluralism, Globalism N.Y.: Macmillan & London:

Collier Macmillan 111

Paul Viotti and Mark Kaupi mengidentifikasi tiga pendekatan mainstream dalam studi hubungan

internasional yaitu: realisme, pluralisme, dan globalisme. Dalam Christine Silvester, Feminist Theory

and International Realtions in a Postmodern Era. Cambridge University Press, 1994, Hal. 1

104

perempuan pun masih dikuasai oleh maskulinitas. Genital perempuan pada awalnya

adalah sesuatu yang sangat personal bagi perempuan, hingga ketika masalah genital

ini menyentuh sebuah praktik pelanggaran HAP yaitu FGM ia akan menjadi sesuatu

yang bersifat publik, politik dan berskala internasional.

5.1.2.1 Genital is Personal is Political

Genital adalah persoalan yang jarang begitu terbuka dibicarakan karena ia

dianggap sangat personal. Begitu sangat personalnya sehingga terkadang membuat

orang sangat jijik untuk menyebutnya. Genital perempuan itu vagina. Karena ia

dianggap tabu bahkan menjijikkan, maka peneliti sangat sering menggunakan kata

vagina, hanya karena semua perempuan itu punya vagina, dan akan selalu

bersentuhan dengan vagina, akan selalu dibawa kemanapun, selalu bersama dengan

vagina dan seharusnya perempuan itu tahu segala sesuatu tentang vaginanya dan

bagaimana vagina bisa menjadi akar opresi perempuan termasuk juga dalam kasus

FGM di Sierra Leone dan di berbagai wilayah belahan dunia lainnya.

Vagina dalam sistem masyarakat patriarki akan ditempatkan dalam ruang

privat, sebagai sesuatu yang sifatnya rahasia dan tersembunyi. Patriarki memang

senang untuk selalu membedakan dan mendikotomikan wilayah-wilayah kehidupan

manusia dengan tempat paling rendah untuk perempuan. Hal ini tentu saja akan

sangat tidak disetujui oleh kaum feminis. Klaim bahwa personal is political adalah

faktanya. Vagina memang sebuah ruang paling privat dalam kehidupan perempuan,

begitu juga mungkin penis pada laki-laki. Namun, ketika ruang privat yang telah

105

dikotakkan pada perempuan ini dicampuri oleh kekuasaan patriarki dalam bentuk

FGM, masalah vagina ini tentu saja sudah tidak pure lagi sebagai sesuatu yang

personal, tapi akan menjadi sebuah masalah politik.

Vagina adalah seks perempuan. Kate Millet dalam Sexual Politic112

,

menyatakan bahwa seks itu politik. Mengacu pada kasus FGM di Sierra Leone,

sangat nyata sekali praktik FGM ini dijadikan sebagai sebuah alat politik bagi aktor-

aktor politik disana. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Integrated Regional

Information Networks (IRIN) bahwa FGM di Sierra Leone ini dijadikan sebagai alat

kampanye politik oleh istri presiden Ahmad Tejan Kabbah (presiden terpilih Sierra

Leone sebelum Hanah Koroma 2007), dimana ia mensponsori sebanyak 1.500 praktik

FGM dengan tujuan untuk memenangkan suara kaum perempuan yang telah

disponsori ini untuk memilih Kabbah sebagai presiden mereka113

. Ini membuktikan

juga bahwa political is personal, dimana ketika kekuasaan telah diperoleh maka

jangankan untuk menghilangkan praktik FGM sebagai kejahatan paling sadis

terhadap tubuh perempuan serta penindasan atas hak-hak asasinya akan terus

berlangsung, karena secara tidak langsung pemimpin negara Sierra Leone sendiri

telah mengajarkan FGM sebagai sebuah hal yang biasa, sebuah pembodohan rakyat

dengan mengabaikan bahwa itu adalah pelanggaran hak asasi perempuan yang telah

diklaim oleh beberapa organisasi internasional seperti PBB, WHO, UNICEF dan

112

Rosemarie Putnam Tong.. Feminist Thought , terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung :

Jalasutra, 2004, Hal. 73 113

Berdasarkan laporan IRIN dalam http://www.irinnews.org/pdf/in-depth/FGM-IRIN-In-

Depth.pdf, diakses 20 Januari 2008

106

CEDAW untuk diharuskan penghentian praktiknya demi keutuhan manusia sebagai

makhluk yang memiliki hak asasi. Hak untuk hidup, hak terhadap tubuhnya, hak

dalam memperoleh kesehatan reproduksi dan seksual. Sehingga masalah FGM ini

adalah perhatian seluruh pihak, baik individu, domestik maupun international.

5.1.2.2 Genital is Personal is International

Praktik FGM ini tidak hanya terjadi di Sierra Leone, meskipun ia adalah salah

satu yang paling terparah tingkat pelaksanaannya yaitu mencapai 90% perempuan

yang ada disana. FGM sebagai fenomena pelanggaran HAP telah menyebar sangat

luas mencakup luas dari benua Australia hingga Amerika Selatan. Hal ini megapa

feminis mengklaim bahwa personal is international, di mulai dari masalah genital

dan masalah genital ini nyaris sama terjadi di berbagai negara yaitu dalam bentuk

FGM.

Kesamaan fenomena juga berarti kesamaan pelanggaran hak asasi perempuan.

Meskipun perempuan di berbagai wilayah berbeda secara pengalaman terhadap

praktik FGM, tetapi mereka memiliki kesamaan perasaan, perasaan tersiksa dan sakit

akibat praktik FGM karena mereka sama-sama memiliki vagina dan mereka seolah-

olah tidak punya hak untuk mengontrol tubuh mereka sendiri. Kehilangan hak atas

kontrol tubuh perempuan diklaim oleh feminis sebagai kejahatan terhadap hak asasi

perempuan. Tidak hanya feminis tetapi juga lembaga-lembaga internasional seperti

WHO, PBB, UNICEF, CEDAW, dan beberapa LSM lainnya yang aware terhadap

107

masalah FGM ini. CEDAW sebagai intrumen hak asasi perempuan pertama telah

memasukkan pasal khusus mengenai praktik FGM ini yaitu pada pasal 2f dan 5a:

1. Pasal 2f

Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam

segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang

tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakasanaan menghapus diskriminasi

terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha: Membuat peraturan-

peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah

dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan

dan praktek-praktek diskriminatif terhadap perempuan.

2. Pasal 5 a

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk

mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan

dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka,

kebiasaan-kebiasaan, dan segala praktek lainnya berdasarkan atas inferioritas

atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotip

bagi laki-laki dan perempuan.

Sierra Leone memang sudah meratifikasi CEDAW ini pada tahun 1988, namun

menurut data terakhir yang peneliti dapatkan dari NAYD Sierra Leone114

, sampai saat

ini belum terdapat satu pun peraturan pelarangan terhadap praktik FGM ini.

114

Lihat lampiran

108

Jangankan untuk dibuat pelarangannya, Menteri Kesejahteraan Sosial,Gender, dan

Perlindungan Anak Sierra Leone, Shirley Yeama Gbujama ketika diinterview oleh

Michael J. Carter tentang pendapatnya mengenai FGM yang merupakan kebudayaan

Bondo menyatakan:115

“It was not so much a question of Bondo culture as it was in

the defense of privacy. That kind of thing was not something we were blabbing

about”. Hal ini membuktikan bahwa FGM di Sierra Leone ini masih dianggap sebuah

masalah yang sangat personal sehingga tidak layak untuk dibicarakan. Terlihat sekali

bagaimana mitos berperan sangat dalam mengakar di kehidupan masyarakat Sierra

Leone sehingga ketika sebuah fenomena FGM sudah menjadi masalah internasional,

masyarakat dan pemerintahan Sierra Leone masih menganggap FGM ini sebagai

sebuah aib untuk dibicarakan. Parahnya lagi mitos ini seakan-akan dilegitimasi secara

sah oleh negara sebagai salah satu implementasi kekuasaannya dan hal itu merupakan

sebuah hal yang sangat salah, buruk, dan kejam untuk sebuah perjuangan hak asasi

perempuan terutama hak perempuan untuk mengontrol tubuhnya.

5.2 Kekuasaan Negara atas Vagina Perempuan Sierra Leone

Negara adalah suatu lembaga politik dan hukum. Sebagai sebuah produk

politik, seringkali ia dilihat sebagai suatu sistem yang natural, terberi dan

terjadi dengan sendirinya. Negara dilihat terlepas dari segala kepentingan,

baik kepentingan rezim pemerintahannya, maupun kepentingan kelompok-

115

Copyright © 2007 IPS-Inter Press Service. All rights reserved.: Q&A: "In Sierra Leone They

Just Cut You, And There's Not Much Problem With That"

109

kelompok yang ada di masyarakat. Negara juga diterima seakan-akan

terlepas dari kepentingan serta tidak mewakili seks tertentu, laki-laki atau

perempuan. Negara adalah gender neutral. Artinya, ia yaitu secara sosial

tidak berjenis kelamin.116

Kaum feminis hubungan internasional gelombang pertama telah mengklaim

kenyataan akan adanya negara ini. Sebagaimana pernyataan Spike Peterson dalam

Gendered State bahwa negara itu bergender dan kenyataannya gender yang dianut

oleh kebanyakan negara adalah maskulin dimana ketika kebiasaan-kebiasaan

patriakal mendahului dan memungkinkan pembentukan negara, itulah yang

merupakan awal negara yang berdasar atas sistem maskulin dan dominasi kelas

diinstusionalisasikan; eksploitasi atas perempuan sebagai sebuah „kelas gender/seks‟

dilatarbelakangi oleh kekuasaan koersif negara dan reproduksi pengaturan gender

dijadikan sebagai akibat dari suatu rekonfigurasi ideologi yang sah.

Negara itu maskulin karena masyarakatnya juga maskulin. Negara yang

maskulin cenderung partriarki dan patriarki ini selalu terjebak dalam tiga bentuk

kekuasaan atas negara yaitu struktur negara, hukum, dan kebudayaan. Hal ini

dijelaskan oleh Kurniasari N. Dewi, educator Komnas HAM117

, sebagai balutan

kekuasaan atas perempuan yang menjadikan perempuan mengalami lapisan yang

bertingkat-tingkat dalam menggapai kebebasan atas hak asasinya.

Jika ditelaah melalui praktik FGM di Sierra Leone akan sangat banyak sekali

ditemui kekuasaan-kekuasaan yang berlapis-lapis menyelubungi perempuan untuk

116

Dewi Novirianti, Negara dan Tubuh Perempuan, dalam Jurnal Perempuan, edisi 15, 2000, hal. 85 117

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan Kurniasari N Dewi, lihat lampiran

110

mencapai hak asasinya. Sebagaimana yang telah diungkap melalui feminis radikal,

bahwa akar dari opresi terhadap perempuan pada FGM adalah berawal dari seks

perempuan yaitu vagina. Kekuasaan atas vagina ini akan sangat tebal dan berlapis-

lapis ketika yang memiliki vagina itu adalah perempuan Sierra Leone. Berikut

peneliti akan uraikan bagaimana perempuan Sierra Leone dengan vaginanya berada

pada tingkat opresi yang paling dalam sehingga harus melalui beberapa tingkat

kekuasaan untuk mendapatkan kembali hak asasinya sebagai perempuan karena

women‟s body is women‟s right:

5.2.1. Ketidakkuasaan Perempuan Sierra Leone atas Vaginanya

Dalam hal ini perempuan Sierra Leone sama sekali tidak punya kekuasaan.

Jangankan kekuasaan, hak untuk mengontrol vaginanya saja mereka tidak punya.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mariana, bahwa FGM itu adalah sebuah

tindakan untuk melakukan perubahan pada tubuh perempuan, dan setiap tindakan

untuk melakukan perubahan terhadap tubuh ini seharusnya dengan ijin yang memiliki

tubuh tersebut. Ini merupakan hak dasar setiap individu perempuan. Ketika praktik

FGM berlangsung di Sierra Leone, perempuan Sierra Leone sama sekali tidak

dimintai ijin dan ditanyakan apakah ia bersedia melakukan FGM ini. Ini jelas-jelas

membuktikan bahwa perempuan Sierra Leone ini tidak perempuan tidak punya suara

sama sekali, tidak punya ruang untuk berpendapat sama sekali tentang itu. Bahkan,

jangankan untuk berpendapat, untuk berfikir bahwa FGM itu akan menganiaya

tubuhnya saja perempuan ini tidak tahu. Selain itu, perempuan Sierra Leone ini

111

terbukti sama sekali tidak tahu tentang vaginanya. Ketika praktik FGM telah

membuat luka vaginanya mereka masih menganggap itu sebuah proses untuk

menghilangkan sifat-sifat buruk yang dikeluarkan melalui darah tersebut. Hal ini

diungkapkan oleh seorang perempuan Sierra Leone ketika diwawancarai oleh Rugiatu

Turay, dari AIM.

”They sometimes associate this with is demons. Whenever it happens that a

girl bleeds excessively they will say it‟s because she is a witch.”118

Ini sangat

membuktikan bahwa perempuan Sierra Leone yang di FGM sama sekali tidak punya

hak atas vaginanya. Bahkan ketika vaginanya sangat kesakitan dan mengeluarkan

banyak darah pun, perempuan tidak memiliki kemampuan untuk bersuara. Selain

adanya aturan bahwa perempuan yang telah di FGM tidak boleh menceritakan

pengalamannya kepada siapaun, perempuan ini telah meyakini mitos bahwa ketika ia

mengeluarkan darah yang banyak berarti ia adalah seorang yang liar, nakal, identik

dengan pelacur (witch), dan sebutan witch ini sangat rendah dipandang dalam

masyarakat Sierra Leone. Bagaimana perempuan ini akan bersuara ketika ia sangat

dikuasai oleh ketakuatan pikiran akan status witch. Tidak hanya di masyarakat Sierra

Leone, di masyarakat Amerika Serikat yang sudah modern pun sebutan ini masih

dianggap rendah dan hina, terbukti dengan film-film Hollywood yang sering

menggunakan kata-kata wicth/bitch untuk merendahkan dan menghina orang lain.

Mengapa bitch dianggap rendahan, Simone de Beauvoir menyatakan justru

perempuan yang dianggap bitch ini lebih bisa mengontrol tubuhnya daripada

118

Berdasarkan video wawancara IRIN

112

perempuan kebanyakan yang menyerahkan vaginanya atas nama cinta tanpa

mendapatkan apa-apa, sedangkan bitch ini mendapatkan imbalan atas itu. Jika

diasosiasikan dengan perempuan Sierra Leone yang membiarkan vaginanya untuk di

FGM, bitch akan sangat lebih bisa mengontrol tubuhnya dibanding perempuan yang

di FGM ini. Dari hal ini saja sudah terlihat betapa sangat tidak berkuasanya

perempuan Sierra Leone ini terhadap vaginanya. Karena ia sendiri pun telah dikuasai

oleh pikiran ketakutan akan lingkungannya.

5.1.2. Kekuasaan Budaya atas Perempuan Sierra Leone yang Tidak Berkuasa

atas Vaginanya.

Kebudayaan di Sierra Leone erat kaitannya dengan mitos, terutama FGM.

Mitos-mitos menjadi perempuan dengan FGM telah mengakar sangat dalam di

kebudayaan Sierra Leone dan hal ini menjadi berkuasa dalam memperkuat stereotip

terhadap perempuan Sierra Leone. Seperti yang diutarakan oleh salah seorang

perempuan Sierra Leone yang terekam dalam sebuah video Razor‟s Edge yang

dikeluarkan oleh IRIN: “they avoid me, they abandon me, they abuse me, they look at

me with bad eyes, but I don‟t scare. I don‟t mind because I want a change”. Inilah

sebuah pernyataan yang terkesan sangat tegar dari seorang perempuan Sierra Leone

yang akan melakukan FGM. Ia rela melakukan semua proses penderitaan dan

kesakitan selama pelaksanaan FGM hanya demi sebuah pengakuan akan perubahan

dalam dirinya untuk diakui oleh masyarakat sebagai seorang perempuan. Pernyataan

yang sangat mengharukan sekaligus bodoh. Disebut bodoh karena perempuan Sierra

113

Leone ini hanya memperoleh pengetahuan dari mitos yang diturunkan nenek moyang

mereka, tanpa proses berfikir, mereka tidak melihat fakta bahwa sebenarnya praktik

ini sudah tidak di lakukan lagi di berbagai tempat di dunia. Mereka tidak tau bahwa

sebenarnya tardisi itu bisa diubah. Mereka tidak mengenal bahwa sesungguhnya

mereka itu berhak atas tubuhnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup

layak tentang tubuhnya, tentang fungsi-fungsi tubuhnya. Mereka tidak menyadari

bahwa ternyata ada yang salah dengan apa yang selalu mereka lakukan terus-

menerus, turun-temurun. Mereka cenderung menutup erat segala sesuatu yang mereka

alami selama proses FGM. Mereka diselubungi pikiran akan ketakutan untuk tidak

diterima sebagai perempuan bagian masyarakat, tidak akan mendapatkan suami jika

mereka tidak melakukan FGM ini. Mereka tidak peduli terhadap diri sendiri, tubuh

sendiri. Mereka adalah bagian dari perempuan bodoh yang rela mengorbankan segala

hak asasinya hanya untuk mendapatkan laki-laki.

Stereotip perempuan yang diagung-agungkan masyarakat Sierra Leone ini

adalah bahwa perempuan yang baik yang akan diterima dalam masyarakat adalah

ketika ia pasif, penurut, setia, mampu menjaga keperawanannya sebelum menikah.

Ketakutan terbesar perempuan Sierra Leone ketika ia tidak di FGM adalah berujung

pada tidak dianggap perempuan sehingga tidak bisa menikah karena tidak akan ada

laki-laki Sierra Leone yang mau menikah dengan perempuan yang tidak di FGM.

Kenyataan bahwa kehidupan perempuan di Sierra Leone ini memang akan berakhir

dengan mendapatkan seorang suami, sehingga semua kehidupannya akan berada di

tangan suaminya. Jadi seorang suami akan sangat penting bagi perempuan Sierra

114

Leone, sebelum diantara begitu banyak perempuan Sierra Leone yang sadar apakah

mereka benar-benar interest dengan laki-laki (lesbian).

Keadaan seperti inilah yang merupakan patriarki dimana ketika masyarakat

suatu negara telah menganut patriarki maka negaranya pun akan otomatis patriarki.

Kurniasari N. Dewi kembali menegaskan bahwa patriarki itu juga terjebak dalam tiga

hal pokok yaitu struktur negara, hukum, dan budaya. Budaya dalam kasus FGM di

Sierra Leone ini adalah kekuasaan terkuat yang akan mempengaruhi struktur negara

serta pembentukan hukum yang mengatur kehidupan bernegara.

5.2.2. Kekuasaan Negara Sierra Leone atas Kebudayaan Masyarakat Sierra

Leone yang Berkuasa atas Perempuan Sierra Leone yang Tidak Punya

Kuasa atas Vaginanya.

Pada sistem internasional negara diakui memiliki kedaulatan sehingga dengan

adanya kedaulatan ini negara memiliki kekuasaan dan kekuasaan negara ini

ditentukan oleh bentuk sistem pemerintahannya. Negara Sierra Leone adalah negara

yang memiliki pemerintahan berbentuk republik yang menggunakan sistem

demokrasi. Negara demokrasi cenderung menggunakan sistem ”dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat”. Jika diaplikasikan pada negara Sierra Leone sistem

demokrasi ini akan berwujud ”dari rakyat yang patriarki, oleh rakyat yang patriarki,

dan untuk seluruh rakyat”.

115

Sierra Leone ini adalah negara yang konservatif.119

Negara yang konservatif

adalah perwujudan dari masyarakat yang konservatif juga. Sistem demokrasi adalah

alatnya. Mariana menyatakan bahwa negara itu tidak pernah terlepas dari masalah

politik. Kenyataannya negara akan selalu mengutamakan kepentingan masing-masing

untuk mencapai kekuasaannya. Hal ini sangatlah maskulin dimana ciri dari

maskulinitas itu adalah pengutamaan dalam mencapai kekuasaan.

Maskulinitas negara Sierra Leone ini terlihat dari fakta-fakta yang

berhubungan dengan masalah FGM yang hingga saat ini masih belum menjadi

sebuah isu yang diperhatikan oleh pemeritah sebagai salah satu bentuk kekerasan

terhadap perempuan. Melalui laporan dari IRIN diketahui bahwa FGM dijadikan

sebagai alat politik oleh presiden Sierra Leone, Ahmad Tejan Kabbah yang melalui

istrinya Patricia Kabbah melakukan support terhadap praktik FGM ini terhadap 1500

perempuan dibiayai untuk melakukan tradisi FGM secara gratis dengan tujuan

memenangkan suara pada saat pemilu hingga pada akhirnya ia terpilih menjadi

presiden Sierra Leone. Secara tidak langsung tindakan yang dilakukan oleh presiden

Sierra Leone ini menunjukkan dengan nyata dukungannya terhadap tradisi FGM ini

sebagai bagian dari kebudayaan Sierra Leone. Terpilihnya ia sebagai presiden

memperkuat kekuasaannya untuk terus membiarkan praktik FGM ini sebagai bagian

dari tradisi rakyatnya.

119

Dr. Richard Fanthorpe. Writenet berjudul “Sierra Leone: The Influence of the Secret Societies, with

special reference to female genital Mutilaiton”. 2007

116

Hal ini sangat politis, dimana seorang pemimpin negara akan melakukan

apapun dengan kekuasaan yang dimilikinya untuk tetap mendapatkan dukungan dari

rakyatnya. Logikanya adalah bahwa pemerintah Sierra Leone yang berkuasa tidak

berani ambil resiko untuk melakukan pelarangan terhadap praktik FGM karena

pemerintah menyadari bahwa rakyatnya menerima mitos FGM ini, dan ketika dunia

internasional salah satunya melalui PBB telah menyatakan himbauan pelarangan atas

praktik FGM ini, pemerintah Sierra Leone tidak menghiraukannya karena ketika hal

itu diaplikasikan melalui peraturan pelarangan terhadap FGM, rakyat Sierra Leone

yang sangat mengagung-agungkan mitos FGM ini akan kehilangan kepercayaan atas

pemerintah Sierra Leone ini dan hal ini merupakan ancaman bagi orang-orang yang

duduk di pemerintahan. Di samping itu, ini akan menjadi sebuah dilema ketika

seorang presiden Sierra Leone memenangkan pemilu dengan menggunakan FGM

sebagai alat kampanyenya, akan sangat riskan bagi pemerintah untuk menciptakan

suatu undang-undang pelarangan terhadap praktik FGM ini.

Tekanan dari dunia internasional hanya mampu dijawab oleh pemerintah

Sierra Leone dengan pernyataan bodoh seorang menteri Kesejahteraan Sosial, Gender

dan Perlindungan Anak, Shirley Yeama Gbujama: ”We will do something if the

women themselves ask for it”120

. Sementara ia tahu bahwa sebagian besar perempuan

Sierra Leone tidak berpendidikan, masih konservatif, masih sangat tradisional dan

sangat mengagungkan mitos. Bagaimana mereka bisa berfikir, jangankan untuk

berfikir mengenai hak asasinya, vagina sebagai hal yang paling dekat dengan mereka

120

IRIN Web special. Razor‟s Edge: The Controversy of female Genital Mutilation. 2005

117

saja mereka tidak tahu-menahu fungsi-fungsinya dan bahwa vagina itu adalah

sepenuhnya hak mereka untuk di FGM atau tidak. Selama ini mereka hanya

mengikuti tradisi nenek moyang mereka yang sarat dengan mitos-mitos yang

merugikan diri mereka sebagai perempuan.

Kerugian-kerugian yang diderita perempuan Sierra Leone ini tidak hanya dari

segi fisik berupa kerusakan organ seksual beserta fungsi seksualnya tetapi hal ini

menjadi sebuah bentuk opresi yang terus membelah diri dan menghasilkan opresi-

opresi baru bagi perempuan. Feminis radikal telah menunjukkan bahwa berawal dari

vagina kemudian perempuan ini jadi banyak masalah, banyak mendapat perlakuan

tidak adil bahkan tindak kekerasan hanya karena perempuan punya vagina.

Kenyataan ini secara jelas teraplikasi dalam budaya politik masyarakat Sierra Leone

dimana terdapat perbedaan antara perempuan yang telah melakukan FGM dan yang

tidak melakukan FGM. Sebagaimana laporan IRIN:121

“Women who have not

undergone the ordeal are still considered children-not proper adults-who are

unworhty of marriage or any position of leadership in society.” Peryataan lain yang

menjelaskan diskriminasi terhadap perempuan yang tidak melakukan FGM juga

dituliskan oleh NAYD: “they are generally bared from taking up leadership position

in Sierra Leone society”.122

Tindakan pendiskriminasian ini menjadikan arti FGM begitu penting bagi

perempuan Sierra Leone hingga begitu sulit untuk dihapuskan. Negara sebagai

121

http://www.irinnews.org/pdf/in-depth/FGM-IRIN-In-Depth.pdf, diakses pada 20

Januari 2008 122

Berdasarkan laporan NAYD Sierra Leone, lihat Lampiran

118

pelindung akan hak-hak asasi masyarakatnya telah menyalahgunakan kekuasaannya

untuk mengabaikan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari

masyarakatnya. Sehingga perempuan Sierra Leone harus menghadapi kekuasaan yang

berlapis-lapis untuk bisa bersuara akan hak asasinya. Sebagaimana yang diungkapkan

oleh Kurniasari N. Dewi bahwa perempuan itu dihadapkan pada tingkatan benteng

kekuasaan, dimulai dari laki-laki sebagai penguasa rumah tangga, kepala adat, dan

berakhir di pemerintah yang semua itu adalah maskulin. Jika dilihat kembali bahwa

tubuh perempuan yang paling tertindas dan terkuasai akibat praktik FGM ini adalah

vagina. Sehingga akan sangat sulit sekali bagi perempuan untuk memperjuangkan

vaginanya menembus kekuasaan yang berlapis-lapis ini hanya untuk mewujudkan apa

yang telah menjadi hak asasi perempuan atas tubuhnya.

Dimulai dari tidak adanya kekuasaan perempuan atas vaginanya telah

menjadikan sebuah bentuk kekuasaan negara atas vagina perempuan. Itulah inti dari

praktik FGM di Sierra Leone ini. Pemerintah Sierra Leone dalam hal ini benar-benar

berkuasa atas tubuh perempuan dibuktikan dengan tindakan telah melanggar

komitmen akan aturan mengenai hak asasi perempuan sebagai manusia yang sama-

sama memiliki hak asasi dengan manusia yang berjenis kelamin laki-laki.

Pengratifikasian CEDAW pada tahun 1988 dengan tidak adanya implementasi aturan

pelarangan atas tindakan pendiskriminasian dan kekerasan terhadap perempuan

melalui pengabaian masalah FGM adalah bukti nyata dari kekuasaan negara Sierra

Leone atas tubuh perempuan. Berikut dua deretan ketidakadilan serta kekerasan yang

119

dilakukan negara Sierra Leone terhadap perempuannya dengan mengabaikan praktik

FGM ini:

1) Kekerasan negara terhadap anak

FGM di Sierra Leone ini dipraktikkan dengan objek anak perempuan.

Kekerasan terhadap anak perempuan yang dipaksa untuk melakukan FGM oleh

tradisi kebudayaan adalah kesalahan negara. Kelalaian negara dalam memberikan

perlindungan terhadap anak sebagai generasi muda penerus bangsa

2) Ketidakadilan negara terhadap penjaminan akan perolehan hak perempuan atas

kesehatan seksual dan reproduksinya.

Kerusakan vagina perempuan Sierra Leone atas praktik FGM ini adalah

sebuah bentuk tindak penghilangan hak asasi perempuan Sierra Leone untuk

mendapatkan hak atas kesehatan seksualnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan

bahwa vagina perempuan tidak hanya berfungsi sebagai alat reproduksi saja,

tetapi memiliki bagian-bagian yang memiliki fungsi kenikmatan seksual yaitu

klitoris. Ketika FGM telah merusak klitoris dari vagina perempuan ini maka

fungsinya akan tidak sempurna lagi. Sehingga perempuan kehilangan hak atas

fungsi kesehatan dan fungsi seksual dari vagina ini.

Negara seharusnya punya tanggung jawab untuk menjamin teraplikasinya

hak-hak perempuan ini. Kekuasaan yang dimiliki oleh negara seharusnya digunakan

untuk menjamin keberadaan hak asasi perempuan bukan sebaliknya untuk menguasai

tubuh perempuan yang jelas-jelas adalah bagian dari hak asasi perempuan. Ini adalah

sebuah bukti dari negara yang maskulin dimana fokus utamanya adalah kekuasaan itu

120

sendir Ketika negara yang maskulin telah berkuasa atas tubuh perempuan, otomatis

akan memperkuat diskursus-diskursus yang maskulin juga mengenai praktik FGM

ini.

5.3 FGM Sebagai Diskursus Maskulin

Maskulinitas menjadi bagian dari masyarakat yang memperkuat mitos

keideala seorang perempuan, bagaimana menjadi perempuan yang diinginkan oleh

masyarakat patriarki dimana yang berlaku adalah gender seolah-olah telah

mendahului seks. Sehingga vagina sebagai seks perempuan menjadi harus mengikuti

aturan gender yang telah ditetapkan sebagai sosok perempuan ideal. Mitos ini

merupakan hasil konstruksi yang akan diperkuat kembali oleh diskursus-diskursus

yang berkembang di masyarakat kebanyakan. Berikut dua contoh diskursus yang

dimunculkan dari sisi-sisi yang merupakan pondasi kokoh dari sebuah bangunan

bernama patriarki yang terformalisasi dalam bentuk negara:

5.3.1. Pondasi Satu: Budaya

Kebudayaan dalam pengertian umumnya adalah hasil cipta, rasa, dan

karsa manusia. Melalui pengertian ini sudah dapat dikatakan bahwa budaya

itu adalah ciptaan manusia. Hal ini diperkuat oleh seorang antropolog

121

bernama Budi Rajab yang menegaskan bahwa123

budaya itu adalah konstruksi.

Konstruksi yang terus dikonstruksi dan diperkuat oleh manusia. FGM itu

adalah bagian dari kebudayaan dimana ia merupakan bagian dari life cycle.

Setiap masyarakat memiliki life cycle. Pada masyarakat budaya proses life

cycle ini biasanya diberi tanda-tanda tersendiri. Tanda-tanda tersebut

diciptakan oleh masyarakat kebudayaan. Pada masyarakat yang tradisional

tanda ini sering dikaitkan dengan mitos. FGM adalah salah satu tanda

tersebut. Tanda yang menunjukkan keperempuanan seseorang anak.

Proses life cycle ini sangat erat kaitannya dengan patriarki, dimana

dominasi maskulin menjadi sebuah penentu dari tanda yang berlaku dalam

masyarakat. Menurut Budi Rajab patriarki itu sangat ditunjukkan dalam

budaya. Ini bertujuan untuk menaklukan perempuan, salah satunya dengan

FGM ini. Mitos melalui menciptakan bahwa perempuan ideal adalah

perempuan yang di FGM. Masyarakat yang mengagung-agungkan budaya

termasuk perempuan sebagai bagian dari masyarakat itu juga akan meyakini

FGM sebagai sebuah life cycle kehidupan yang akan membawa perubahan

dalam dirinya. Meskipun tanpa tanda dengan FGM ini perempuan akan

mengalami lifecycle juga, tapi dalam hal ini pengakuan akan hal tersebutlah

yang menjadi terpenting. Pengakuan dari masyarakat yang berbudaya akan

sah adanya ketika telah melalui tanpa yang sudah ditentukan oleh budaya

123

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Budi Rajab

122

sebagai representasi dari kekuasaan maskulin yang terus dikonstruksi dan

diperkuat oleh laki-laki sebagai yang berkuasa dalam budaya patriarki.

Kaum feminis tidak hanya terdiri dari kaum perempuan, tetapi juga

laki-laki sebagai salah satu agen pembebasan atas diskriminasi perempuan ini.

Ketika budaya telah berkuasa atas tubuh perempuan dengan FGM ini, dan

kekuasaan identik dengan power, hukum rimba akan kembali berkuasa

dimana yang kuatlah yang menjadi pemenang. Apalah arti perempuan dalam

budaya patriarki yang dikuasai oleh dominan maskulin dan perempuan yang

masih dalam kesadaran palsu menyetujui kekuasaan maskulinitas ini, ketika

sebagian besar masyarakat budaya masih menganggap perempuan sebagai the

second sex, meskipun ada laki-laki yang sudah bangkit dari kesadaran

palsunya untuk menempatkan perempuan sebagai seks yang setara dengan

seks laki-laki.

5.3.2. Pondasi Dua: Agama

Berbicara mengenai agama, identik sebagai sesuatu yang sakral, suci

karena berhubungan dengan pencipta manusia itu sendiri karena kan selalu

dikaitkan dengan Tuhan. Setelah melakukan penelitian terhadap dua agama

yang ada di Sierra Leone yaitu Islam dan Kristen, peneliti menemukan bahwa

Islam adalah agama yang memiliki aturan mengenai FGM ini. FGM dalam

agama islam disebut dengan istilah khitan atau sunat.

123

Sumber hukum agama islam itu ada dua yaitu al Quran dan Hadist.

FGM ini hanya terdapat dalam hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al

Quran. Berikut hadistnya: 124

1) Pendapat Imam Abu Hanifah mengenai berkhitan (sunat),

yakni hukumnya sunat, berpedoman sebuah hadits yang

bermaksud: “Berkhitan itu sunat bagi lelaki dan penghormatan

bagi perempuan.”

2) Hadits Abu Dawud, “bahwa Nabi Muhammad pernah berkata

kepada seorang perempuan juru khitan anak perempuan,

„sedikit sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik

wajahnya dan kehormatan bagi suaminya‟”

Dalam ajaran islam ada hal-hal yang tidak boleh dipertanyakan lagi

kebenarannya dan ada yang masih boleh diperdebatkan, salah satu yang masih

boleh diperdebatkan ini adalah FGM. Seorang pemimpin islam di Afrika

Sheikh Musa Mohammed Omer, a yang merupakan anggota the Executive

Committee of the Supreme Council for Islamic Affairs di Ethiopia, salah satu

negara Afrika yang juga melakukan praktik FGM, menyatakan sebuah

pendapatnya selaku tokoh agama Islam mengenai FGM ini. Berikut

pernyataannya:

124

Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Azis Dahlan et al., Jakarta, 1997, Vol 3

124

This tradition, whether it is female or male circumcision, was done

starting from prophet Muhammad and wehave practiced it for the

last 1,000 years. He ... did not prohibit it, but gives the advice to

moderate the surgery.So we, as Muslims, believe that the prophet‟s

advice was to moderate it - therefore, there is no problem withit in

the religion. This conference, and the medical research associated

with it, does not show that the Sunnahcircumcision - cutting only the

outer part of the clitoris - has caused any medical complications. I

believe that Islam condones the Sunnah circumcision; it is

acceptable. What‟s forbidden in Islam is the pharaonic circumcision

but, in actuality, we see people execute the pharaonic method - this

is bloodshed. And Islam rejects shedding the blood of a woman or

any creature, so we have to avoid it - it is up to us to protect the life

of a woman. If female circumcision is done according to the rulings

of the Islamic Shari‟ah, I do not order people to avoid it. I do oppose

non-Islamic [pharaonic] circumcision. It should not be done

anymore.125

Berikut fakta baru yang dikeluarkan WHO mengenai dampak dari

FGM ini dari segi kesehatan:126

Studi terbaru yang dipublikasikan oleh WHO telah menunjukkan bahwa

wanita yang pernah mengalami mutilasi alat vital secara signifikan

cenderung mengalami kesulitan saat melahirkan dan bayi mereka pada

umumnya meninggal sebagai akibat dari praktek kekerasan tersebut.

Komplikasi yang serius selama melahirkan termasuk kebutuhan untuk

mendapatkan bedah caesar, perdarahan parah yang membahayakan

setelah persalianan, dan perawatan di Rumah Sakit setelah persalinan.

Studi tersebut menunjukkan bahwa derajat komplikasi meningkat

berdasarkan besar dan keparahan FGM (Female Genital Mutilation.).

Data-data kesehatan dari WHO ini memberikan pilihan bagi umat Islam

yang masih mempertanyakan sunat perempuan sebagai aturan dari Tuhan yang

wajib dilakukan atau perlu dipertanyakan kembali. Seorang feminis Islam yang

125

Berdasarkan hasil wawancara IRIN, Februari 2005 http://www.irinnews.org/pdf/in-

depth/FGM-IRIN-In-Depth.pdf, diakses 20 Januari 2008 126

Informasi ini diperoleh dari website Departemen Kesehatan Republik Indonesia

125

pernah mengalami langsung sunat perempuan ini, Nawal El Sadawi127

menulis

tentang kaitan agama dengan FGM ini. Berikut pernyataannya:

Agama, jika melihat ajaran-ajarannya yang asli, tetap berpihak

kepada tujuan-tujuan kebenaran, persamaan, keadilan, cinta dan

kehidupan sehat yang bermanfaat bagi semua orang baik laki-laki

atau perempuan. Bukankah agama sejati bila tujuannya adalah

membawa penyakit, memotong anggota tubuh anak-anak perempuan

dan membuang sebagian penting dari organ seksualnya Jika agama

berasal dari Tuhan, bagaimana mungkin ia menyuruh manusia

memotong sebuah organ yang Ia ciptakan, padahal organ itu

bukanlah penyakit atau cacat? Tuhan tidaklah menciptakan klitoris

sebagai organ seksual yang sensitif, yang fungsi satu-satunya agar

mendapatkan kenikmatan semacam itu, juga normal dan sah bagi

perempuan dan karenanya menjadi sebuah bagian yang integral

dalam kesehatan mental. Kesehatan fisik dan mental perempuan

tidak lengkap bila mereka tidak merasakan kenikmatan cinta.

Agama adalah sakral bagi masyarakat beragama, sehingga terkadang

kesakralannya ini menjadi alat yang sangat kuat untuk melegalkan sebuah

praktik kekerasan terhadap perempuan, seperti dalam kasus FGM ini. Karena

terkadang hal-hal yang telah dituliskan Tuhan melalui agama secara benar

bisa menjadi sebuah kesalahinterpretasian dari manusia sebagai makhluk

Tuhan yang tidak sempurna.

Melalui dua diskursus yang sangat kuat posisinya dalam masyarakat secara

keseluruhan yang patriarki akan sangat menimbulkan sebuah makna ketika kedua

diskursus ini dikaji secara mendalam oleh pihak-pihak yang berkompeten dalam

127

Nawal El Sadawi. Perempuan dalam Budaya Patriarki. Terj Zulhilmiyasri. Yogyakarta. Pustaka

Pelajar. 2001. hal. 81

126

bidang masing-masing. Kenyataan yang ada di masyarakat adalah begitu banyaknya

pihak yang tidak memahami secara dalam tentang budaya dan agama ini, sehingga

adalah sebuah celah yang sangat lebar untuk mengatasnamakan kedua hal ini untuk

memperoleh kekuasaan atas perempuan, tubuhnya, serta hak-hak asasinya dan hal itu

menurut kaum feminis adalah sangat maskulin.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN :

APA GUNANYA NEGARA BAGI PEREMPUAN?

127

Bab ini adalah bab akhir dari tulisan peneliti yang berisi kesimpulan dan saran

atas apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya.

6.1 Kesimpulan

Bukanlah suatu hal yang berlebihan feminis memunculkan gender yang

selama ini invisible dalam Hubungan Internasional. Bukanlah suatu hal yang

berlebihan kaum feminis mengatakan bahwa negara itu adalah maskulin. Bukanlah

suatu hal yang berlebihan pula ketika feminis berpendapat bahwa tubuh perempuan

sebagai akar atas opresi terhadap perempuan itu. Praktik Female Genital Mutilation

yang terjadi di banyak negara di dunia128

terutama di Sierra Leone telah

membuktikannya secara jelas. Hubungan internasional yang selama ini dipandang

tidak bergender ternyata pada kenyataannya dipenuhi oleh segala sesuatu yang

bergender. Negara adalah salah satunya. Negara yang selama ini dipandang sebagai

sesuatu bentuk sistem yang netral ternyata berpihak pada salah satu gender yaitu

maskulin dengan representasi dari masyarakat yang maskulin juga.

Hal ini membuktikan bahwa pendekatan feminisme yang peneliti gunakan

sangat relevan dan mampu membuktikan serta membongkar kekuasaan-kekuasaan

atas tubuh perempuan sampai pada akarnya yaitu seks perempuan. Praktik FGM

tesebut telah membuktikan bahwa negara Sierra Leone telah menguasai tubuh

perempuannya. Negara yang maskulin sangat tidak konsisten dengan kebijakannya.

128

Lihat daftar Praktik FGM di negara-negara di dunia yang tertera pada lampiran

128

Negara telah membatasi tubuh perempuan dengan kekuasaannya dibuktikan dengan

tidak dihiraukannya praktik FGM sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak asasi

rakyatnya yang berjenis kelamin perempuan. Disisi lain negara ini melalui

pemerintah yang berkuasa telah memanfaatkan tubuh perempuan ini sebagai ajang

untuk kepentingan meraih dan memperkuat kekuasaannya. Kampanye dengan

support terhadap FGM adalah contoh nyata di Sierra Leone yang memanfaatkan

vagina perempuan sebagai alat kepentingan politik.

Negara sejauh ini hanya memanfaatkan perempuan sebagai objek untuk

meraih dan memperkuat kekuasaannya tanpa peduli bahwa perempuan itu adalah

manusia yang memiliki hak asasi. Saat perempuan secara sadar maupun tidak sadar

telah mendedikasikan tubuhnya untuk kepentingan negara, ternyata negara tidak

melakukan suatu hal yang berarti untuk menjamin dan melindungi Hak Asasi

Perempuan. Ketika negara menandatangani sebuah kesepakan tentang penghapusan

segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, tidak diimplementasikan secara

layak. Seharusnya tanpa kesepakatan itupun negara telah memiliki tanggungjawab

terhadap rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kasus FGM di Sierra

Leone ini negara benar-benar tidak berguna bagi perempuan. Sehingga pada

akhirnya, penelitian ini kembali memunculkan pertanyaan baru. Jika negara hanya

mampu merepresentasikan kepentingan rakyatnya yang laki-laki, lalu apa gunanya

negara bagi perempuan?

6.1 Saran

129

Melaui pendekatan feminisme yang peneliti gunakan yaitu lebih kepada

feminisme radikal dan kritik feminis terhadap hubungan internasional, tulisan peneliti

ini telah mampu menguak salah satu akar dari opresi terhadap perempuan dalam

praktik FGM ini. Mengingat begitu banyak dan berlapis-lapisnya opresi yang

menimpa diri, tubuh, dan hak- hak asasi perempuan, peneliti menyarankan untuk

penelitian selanjutnya mengenai FGM ini meggunakan aliran-aliran feminisme lain

seperti feminisme psikoanalisis, feminisme liberal, posfeminis dan aliran-aliran

feminisme lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menguak lebih dalam apa-apa saja

yang telah menyebabkan perempuan itu sebagai yang tersubordinat dan

terdiskriminasi hak-hak asasinya sebagai manusia.

Selain itu saran dalam hal ini peneliti tujukan kepada perempuan, laki-laki,

dan negara:

1. Perempuan

Tidak mudah memang hidup di dunia yang patriarki ini. Untuk itu

sebagai perempuan yang menjadi korban stereotip jenis kelamin kedua

setelah laki-laki, harusnya lebih menyadari bahwa kita ini memiliki

apa yang disebut Hak Asasi Perempuan. Kenalilah diri anda, tubuh

anda, serta apa-apa yang menjadi hak asasi seorang perempuan.

Sesungguhnya banyak sekali ketidakadilan yang telah terjadi terhadap

perempuan. Mungkin FGM hanyalah salah satu contoh dari begitu

banyak bentuk pelanggaran hak asasi perempuan itu. Jadi berjuanglah,

keadilan itu memang sebuah hal yang sulit, tapi setidaknya

130

berjuanglah untuk mempertahankan apa yang telah menjadi hak asasi

anda sebagai individu perempuan.

2. Laki-laki

Feminisme bukanlah musuh laki-laki sebagaimana wacana patriarki.

Jika pelarangan atas FGM adalah salah satu gerakan feminisme dalam

rangka pembebasan tubuh perempuan sebagai bagian dari HAP.

Sehingga tanpa FGM perempuan akan lebih bisa memberikan pleasure

dalam segala bentuk hubungannya dengan laki-laki. Ini hanya salah

satu contoh. Jadi saat feminisme telah berhasil mengembalikan hak

asasi perempuan seutuhnya, perempuan akan lebih memberikan

pleasure untuk laki-laki dengan hak asasi yang dimilikinya. So, Let‟s

together for equal!

Melihat kenyataan bahwa isi dunia ini kebayakan dipenuhi oleh manusia yang

disebut perempuan dan laki-laki, maka kedua jenis kelamin ini sebaiknya

bekerjasama untuk keadilan terhadap kemanusiaan. Karena dengan kesadaran dan

keintelektualan kedua jenis kelamin inilah yang akan mampu merekonstruksi sistem

dunia seperti halnya sistem budaya, agama, dan keluarga agar menciptakan sebuah

situasi kehidupan yang berkesetaraan. Sehingga berbagai bentuk ketidakadilan dan

pendiskriminasian terhadap salah satu pihak yang dalam kasus FGM ini adalah

perempuan dapat terhapuskan.

3. Negara

131

Negara adalah representasi dari masyarakatnya. Saat

masyarakat tidak mampu untuk menciptakan sebuah situasi keadilan

dan kesetaraan, negara dengan kekuasaan yang dimiliki atas

masyarakatnya seharusnya mampu memberikan yang terbaik bagi

rakyatnya baik itu laki-laki ataupun perempuan. Untuk itu negara

harus memiliki konsistensi dalam menjamin hak asasi masyarakatnya,

terutama perempuan sebagai korban paling utama ketertindasan.

Sebagai institusi formal dalam sistem internasional negara

harus mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bernuansa

keadilan atas rakyatnya. Kebijakan-kebijakan ini meliputi dalam

bentuk hukum dan undang-undang serta pengimplementasian yang

benar-benar adil pelaksanaannya. Dalam hal ini negara seharusnya

lebih mengutamakan kepentingan kemanusiaan, karena tanpa manusia

negara itu tidak akan ada. Namun saat negara tak mampu mewujudkan

semua itu maka akan lebih baik tanpa negara. Karena apa gunanya

negara jika hanya akan merugikan perempuan.