prostitusi dan kekuasaan di jantung yogyakarta
TRANSCRIPT
1
PROSTITUSI DAN KEKUASAAN
DI JANTUNG YOGYAKARTA
(Sebuah studi politik mengenai peranan preman sebagai local strongmen dalam
melindungi keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang,
Sosrowijayan Kulon, Yogyakarta)
Skripsi
No. : 2598
Bramastya Gadiansah
05/185056/SP/20902
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2010
2
HALAMAN PERSETUJUAN
PROSTITUSI DAN KEKUASAAN DI JANTUNG YOGYAKARTA
SEBUAH STUDI POLITIK MENGENAI PERANAN PREMAN SEBAGA I
LOCAL STRONGMEN DALAM MELINDUNGI KEBERADAAN
PRAKTEK PROSTITUSI DI KAMPUNG PASAR KEMBANG,
SOSROWIJAYAN KULON, YOGYAKARTA
SKRIPSI
Disusun dalam memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik
Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Disusun oleh:
BRAMASTYA GADIANSAH
NIM: 05/185056/SP/20902
Telah Disetujui oleh:
MIFTAH ADHI IKHSANTO, SIP. MiOP. Dosen Pembimbing
3
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah diuji dan dipertanggungjawabkan di depan Tim Penguji
Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Hari : Senin
Tanggal : 17 Mei 2010
Jam : 10.00 WIB
Tempat : Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tim Penguji
1. Miftah Adhi Ikhsanto, SIP. MiOP.
(Penguji Utama/Dosen Pembimbing)
2. Dra. Ratnawati, SU.
(Penguji Samping I/Bidang Metodologi)
3. Bayu Dardias Kurniadi, MA. MPP.
(Penguji Samping II/Bidang Ilmu Pemerintahan)
4
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
No. Mahasiswa
Angkatan Tahun
Jurusan
Judul Skripsi
: Bramastya Gadiansah
: 05/185056/SP/20902
: 2005
: Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
: Prostitusi dan Kekuasaan di Jantung Yogyakarta
Sebuah studi politik mengenai peranan preman sebagai local
strongmen dalam melindungi keberadaan praktek prostitusi di
kampung Pasar Kembang, Sosrowijayan Kulon, Yogyakarta.
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah itu dan
disebutkan di dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia
menerima sangsi apabila di kemudian hari diketahui tidak benar.
Yogyakarta, 17 Mei 2010
Bramastya Gadiansah
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Kelancaran dalam penelitian dan penyusunan skripsi serta kesuksesan dalam
menempuh ujian pendadaran yang dialami oleh penulis, tidak lepas dari:
٭ Limpahan rahmat, hidayah dan ridho Allah SWT. Puji syukur Alhamdulillah
penulis panjatkan kepada-Nya.
٭ Doa kedua orang tua dan keluarga besar penulis yang tiada henti mengalun di
waktu yang selalu diridhoi Sang Kuasa. Terima kasih telah mengorbankan
segalanya untuk memfasilitasi penulis dalam meraih asa yang sebelumnya
tertunda.
٭ Motivasi yang diberikan oleh seluruh rekan-rekan seperjuangan penulis di
Jurusan Politik dan Pemerintah (meskipun tanpa mereka sadari). Terima kasih
telah membangkitkan semangat juang dan menghilangkan rasa malas penulis
dalam menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini.
٭ Doa dan motivasi yang selalu terucap dari bibir seorang ‘teman’ di hati
penulis. Salam ‘peci’ spesial untukmu dan always together forever !
٭ Lepi mini milik rekan seperjuangan yang dengan ikhlas dipinjamkan untuk
mengerjakan bab-bab krusial dalam skripsi ini. Terima kasih, kawan !
٭ Pengalaman berharga yang didapat melalui sharing dengan kawan di
Kuningan H-29. Matur nuwun, bro !
٭ Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk sekadar berbagi
informasi mengenai fokus penelitian ini. Terima kasih atas bantuannya,
semoga mendapat balasan yang setimpal atas kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis.
6
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang pantas terucap selain puji dan syukur kehadirat Allah
SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini. Pada awalnya, rasa malas selalu mengiringi penulisan skripsi ini.
Namun, pelan tapi pasti dengan di awali niatan lil ‘alamin dan didukung sebuah
jargon “never give up” mampu mengubah periode negatif yang sebelumnya
dialami penulis selama penulisan skripsi.
Skripsi Dengan Judul “Prostitusi dan Kekuasaan di Jantung Yogyakarta”,
sebuah studi politik mengenai peranan preman sebagai local strongmen dalam
melindungi keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang,
Sosrowijayan Kulon, Yogyakarta ini dipilih karena ketertarikan penulis untuk
mengungkap aktor-aktor yang berkuasa di areal Pasar Kembang dan mekanisme
mereka dalam memberikan perlindungan kepada para pelaku prostitusi dan
keberadaan praktek prostitusi yang terdapat dalam kampung Pasar Kembang.
Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan
skripsi ini masih terdapat kekurangan, sehingga masih jauh dari kata “sempurna”.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran dari pembaca sangat membantu dalam
penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini mampu memberikan kontribusi
yang signifikan bagi kita, khususnya dalam menginterpretasikan kehidupan sosial
masyarakat.
Yogyakarta, 17 Mei 2010
Penulis
7
Abstraksi
Penelitian ini mengambil judul ‘Prostitusi dan Kekuasaan di Jantung Yogyakarta’ yang mengambil fokus kajian pada peran preman sebagai local strongmen dalam membangun patronase di kampung prostitusi Pasar Kembang.
Keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang diyakini bukan tanpa sebab. Indikasi awalnya adalah adanya aktor yang memiliki kekuatan untuk melindungi keberadaan praktek ilegal tersebut dari ancaman entitas di luarnya, termasuk kebijakan dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Usut punya usut, aktor tersebut adalah kelompok preman yang dipimpin oleh GJ dengan domisili kampung Badran, Yogyakarta. Kepercayaan para preman kepada GJ disebabkan kapasitas personal yang dimiliki berada satu tingkat di atas preman lainnya. Alasan utama menjadi preman adalah sebagai bentuk resistensi masyarakat kelas ekonomi bawah atas bentuk ketidakadilan sikap dari penguasa (negara).
GJ mampu mengoptimalkan kapasitas yang dimilikinya dengan membangun jejaring preman yang berkonspirasi dengan para oknum aparat keamanan negara, dalam hal ini polisi dan militer. Dengan jaringan yang dimiliki, GJ dan kelompok preman menjelma menjadi orang kuat lokal (local strongmen) yang kemudian ‘menawarkan’ jasa perlindungan terhadap keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang dan para pekerja seks dengan mengaplikasikan konsep patronase.
Patronase yang dijalankan para local strongmen dijalankan secara sempurna dengan kuasa di tangan GJ. Akan tetapi, ketika GJ memutuskan untuk tidak lagi turun secara aktif dalam dunia premanisme, terjadi perlakuan yang terkesan kasar terhadap para pekerja seks. Meskipun demikian, tidak berpengaruh signifikan terhadap keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang. Hal ini terbukti dengan tetap terjaganya praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang hingga sekarang karena masih kuatnya jaringan preman dan oknum aparat keamanan negara dalam mem-back up praktek ilegal tersebut.
8
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan.............................................................................................
Halaman Pengesahan.............................................................................................
Surat Pernyataan....................................................................................................
Ucapan Terima Kasih............................................................................................
Kata Pengantar.......................................................................................................
Abstraksi................................................................................................................
Daftar Isi................................................................................................................
Daftar Tabel...........................................................................................................
Bab I Pendahuluan.................................................................................................
A. Latar Belakang...........................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................
D. Kerangka Teori..........................................................................................
D.1. Kampung...........................................................................................
D.2. Konsep Kuasa dan Relasi Kuasa.......................................................
D.3. Konsep Local Strongmen...................................................................
D.4. Konsep Patron-Client........................................................................
E. Definisi Konseptual...................................................................................
E.1. Kampung............................................................................................
E.2. Kuasa dan Relasi Kuasa.....................................................................
E.3 Local Strongmen.................................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
x
1
1
5
6
6
8
9
13
16
21
21
21
22
9
E.4. Patron-Client.....................................................................................
F. Definisi Operasional..................................................................................
F.1. Kampung............................................................................................
F.2. Kuasa dan Relasi Kuasa.....................................................................
F.3. Local Strongmen dan Patron-Client..................................................
G. Skema Alur Berpikir..................................................................................
H. Metode Penelitian......................................................................................
H.1. Jenis Penelitian..................................................................................
H.2. Teknik Pengumpulan Data................................................................
H.3. Teknik Analisis Data.........................................................................
H.4. Sistematika Penulisan........................................................................
Bab II Prostitusi di Kampung Pasar Kembang dan Relasi Para Penghuninya......
A. Sejarah Kampung Pasar Kembang............................................................
B. Pemetaan Aktor dalam Kampung Prostitusi Pasar Kembang...................
1. Aktor yang Terlibat Langsung Praktek Prostitusi...............................
2. Aktor yang Tidak Terlibat Langsung Praktek Prostitusi.....................
C. Relasi Kuasa Antar Aktor dalam Praktek Prostitusi Pasar Kembang.......
Bab III Preman dan Kekuasaan di Kampung Pasar Kembang..............................
A. Berkuasanya Preman di Kampung Pasar Kembang..................................
B. Preman sebagai Local Strongmen.............................................................
C. Strategi Dominasi Local Strongmen..........................................................
22
23
23
23
23
24
24
24
27
28
29
30
31
33
35
40
45
48
48
51
56
10
Bab IV ‘Permainan’ Para Local Strongmen..........................................................
A. Pola Interaksi antara Preman dengan Pelaku Prostitusi di Kampung
Prostitusi Pasar Kembang..........................................................................
1. Antara Harapan dan Kenyataan...........................................................
2. Patronase yang Bersifat Parasitisme....................................................
B. Konspirasi ‘Terselubung’..........................................................................
Bab V Kesimpulan................................................................................................
Daftar Pustaka.......................................................................................................
61
61
61
63
71
76
80
11
DAFTAR TABEL
Tabel 1 :
Tabel 2 :
Tabel 3 :
Tabel 4 :
Tabel 5 :
Tabel 6 :
Kekuasaan Paksaan dan Konsensual .....................................................
Konsepsi Migdal tentang Kemunculan Local Strongmen .....................
Peran Patron-Client dalam Aplikasi Konsep Patronase .......................
Klasifikasi Pekerja Seks di Kampung Prostitusi Pasar Kembang .........
Pemetaan Aktor-Aktor Pelibat Praktek Prostitusi di Pasar Kembang ..
Pola Interaksi antara Preman, Pekerja Seks dan Mucikari dalam
Konsep Patronase di Kampung Prostitusi Pasar Kembang ...................
11
15
19
36
43
48
69
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Yogyakarta merupakan obyek wisata yang tidak pernah sepi dari
pengunjung. Wisata yang dihadirkan meliputi tempat-tempat bersejarah maupun
potensi alam yang mendukung. Selain itu, disediakan pula wisata di malam hari
yang dapat dijumpai seperti halnya di kota-kota besar lainnya. Adapun wisata
malam yang dapat ditemukan di Yogyakarta adalah keberadaan klab malam,
diskotik, warung kopi ataupun kafe dan tempat praktek prostitusi. Namun, yang
paling menarik untuk ditelisik lebih dalam adalah tempat praktek prostitusi
dimana salah satunya berada di wilayah administratif kampung Sosrowijayan
Kulon atau lebih sering disebut dengan nama ‘Sarkem’1.
Praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang muncul pada saat
selesainya pembangunan stasiun besar kereta api Tugu. Sebenarnya tidak
mengherankan ketika dijumpai suatu pusat transportasi, ditemukan pula adanya
praktek prostitusi. Fakta tersebut banyak dijumpai di seluruh kota di Indonesia.
Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah keunikan yang muncul kaitannya
dengan lokasi praktek prostitusi yang ada di kota Yogyakarta. Keberadaan lokasi
ini tepat di tengah-tengah permukiman penduduk yang sama sekali tidak terkait
1 Kampung Sosrowijayan berada di sebelah selatan Stasiun Besar Kereta Api Tugu. Kampung ini terbagi ke dalam dua wilayah, yaitu Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon yang masing-masing memiliki dua gang. Praktek prostitusi sendiri berada di Sosrowijayan Kulon Gang 3.
13
dengan prostitusi. Lokasi prostitusi yang demikian, menurut Soedjono2
merupakan pola praktek pelacuran bordil, yaitu praktek pelacuran dimana para
pelacur dijumpai di tempat-tempat tertentu, berupa rumah-rumah yang dinamakan
bordil yang mana umumnya di tiap bordil dimiliki oleh orang yang namanya
germo. Keunikan lainnya adalah keberadaan praktek prostitusi Pasar Kembang
yang dikelilingi oleh berbagai instansi pemerintahan, seperti kantor Gubernur
DIY, DPRD Kota Yogyakarta, Koramil, Polsek Gedong Tengen dan Kraton
Ngayogyakarta. Meskipun demikian, praktek prostitusi tersebut tidak pernah
padam dalam beraktivitas3. Hal inilah yang membedakannya dengan lokalisasi
prostitusi lainnya, seperti Dolly di Surabaya, Saritem di Bandung, Sunan Kuning
di Semarang dan pelacuran bordil di Ujung Pandang (sekarang Makassar).
Menurut sejarah dan beberapa sumber yang dipercaya4, kampung
Sosrowijayan Kulon sempat menjadi kawasan terlarang berkenaan dengan praktek
prostitusi melalui sebuah peraturan daerah (Perda) Pemerintah Kota Yogyakarta.
Aturan mengenai larangan prostitusi sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial
Belanda. Ketika praktek prostitusi dinilai semakin menunjukkan gejala
2 Soedjono D., SH. 1977. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat. Bandung: PT. Karya Nusantara. Hal. 71. 3 Praktek prostitusi Pasar Kembang ‘berhenti’ beraktivitas pada dua kondisi, yaitu ketika hendak diadakan operasi razia oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan memasuki bulan Ramadhan. 4 Argumen ini berangkat setelah membaca beberapa bacaan terkait dengan prostitusi yang ada di kota Yogyakarta, yaitu buku ‘Sarkem Reproduksi Sosial Pelacuran’ karya Mudjijono. 2005. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, skripsi Satriyo Widodo. 2007. “Dampak Sosial Ekonomi Penutupan Lokalisasi Sanggrahan”, mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM angkatan 2002 dan artikel yang diunduh dari internet http://reddistrictproject.com/index.php/aneka-tulisan dengan judul “Sejarah Sarkem dan Prostitusi”.
14
peningkatan dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai aturan larangan
yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat, dikeluarkanlah Perda yang bertujuan
untuk mempermudah pengawasan dan penertiban atau pemberantasan hingga
penghapusan para wanita tuna susila di wilayah Yogyakarta. Dalam perda tersebut
ditetapkan pelaksanaan program resosialisasi di tanah milik pemerintah sendiri,
yaitu sebelah selatan Desa Mrican atau sebelah barat Sungai Gadjah Uwong
(sekarang telah menjadi terminal bis Giwangan)5. Program resosialisasi tersebut
dapat dikatakan sebagai langkah terakhir pemerintah dalam memusatkan praktek
prostitusi di satu tempat, yaitu berupa mendirikan lokalisasi yang bernama
Sanggrahan sehingga secara otomatis Pasar Kembang seharusnya telah tertutup
untuk praktek prostitusi. Namun anehnya, ketika Pasar Kembang dinyatakan
terlarang, tetap saja masih berlangsung praktek prostitusi tersebut.
Masih maraknya praktek prostitusi di Pasar Kembang pasca resosialisasi
ke Sanggrahan, diyakini bukan tanpa sebab. Menjadi sebuah pertanyaan besar
yang ditujukan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta pada waktu itu, mengapa hal
demikian dapat terjadi? Apakah Pemerintah Kota Yogyakarta langsung lepas
kontrol dalam hal pengawasan di kawasan Pasar Kembang ketika program
resosialisasi di lokalisasi Sanggrahan berlangsung? Pun demikian pada saat
lokalisasi Sanggrahan ditutup. Praktek prostitusi mayoritas beralih kembali ke
kawasan Pasar Kembang, meski tidak menutup kemungkinan adanya praktek-
5 Mudjijono. 2005. Sarkem Reproduksi Sosial Pelacuran. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 28.
15
praktek prostitusi liar di luarnya. Yang perlu digarisbawahi, apapun kebijakan
Pemerintah Kota Yogyakarta pada waktu itu terkait dengan prostitusi, Pasar
Kembang selalu adem ayem. Dalam artian, praktek prostitusi di Pasar Kembang
seakan tidak pernah ‘padam’ meskipun pemerintah setempat telah mengeluarkan
beberapa peraturan daerah yang sedikit banyak berguna untuk meminimalisir
praktek prostitusi di kawasan tersebut.
Penelitian mengenai prostitusi yang dilakukan sebelumnya lebih
menitikberatkan pada perspektif sosial-ekonomi, yaitu reproduksi sosial prostitusi
(Mudjijono: 2005). Sedangkan penelitian ini merapatkan diri pada kajian politis
terkait relasi antar aktor dalam dunia prostitusi dan pola relasi antara aktor di luar
pemerintah dengan Pemerintah Kota Yogyakarta mengenai keberadaan prostitusi
di kampung Pasar Kembang. Artinya, ada semacam ‘kekuatan’ berupa posisi
tawar (bargaining position) yang dimiliki oleh aktor di luar pemerintah6 untuk
mengadakan proses negosiasi dengan Pemerintah Kota Yogyakarta yang
berimplikasi pada tetap terjaganya praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang.
Signifikansi penelitian ini dapat mengetahui adanya distribusi kekuasaan
dan peranan local strongmen yang terdapat dalam kampung Pasar Kembang.
Sejalan dengan konsepsi dari Gaetano Mosca7 yang menjelaskan bahwa distribusi
kekuasaan tidak pernah menemukan pembagian yang merata. Artinya, ada salah
6 Pihak di luar pemerintah dalam hal ini selain para pelibat prostitusi adalah aktor-aktor lain yang mendukung tetap berlangsungnya praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang. Karena keberadaan praktek ilegal ini mampu menghidupkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. 7 Konsepsi Gaetano Mosca mengenai pendistribusian kekuasaan yang dikutip oleh Charles F. Andrain dalam Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit; Suatu Bahasan Pengantar. Yogyakarta: Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada. Hal. 31.
16
satu pihak yang menjadi penguasa sedangkan pihak lain menjadi pihak yang
dikuasai. Penelitian ini menemukan adanya hal tersebut dalam kampung Pasar
Kembang (khususnya pihak yang terlibat dengan prostitusi). Adanya ketimpangan
distribusi kekuasaan menyebabkan pihak yang memiliki kuasa lebih (preman),
mampu mengorganisir diri dan membentuk sebuah jaringan yang luas dan kuat
dengan entitas lain. Mengorganisir diri dapat diketahui melalui cara mereka
mendayagunakan dan kemampuan mempertahankan kekuasaan yang dimiliki.
Kemudian mereka yang berkuasa (local strongmen) mampu menjadi perantara
antara massa yang dikuasainya dengan negara. Ketimpangan distribusi kekuasaan
ini dapat ditunjukkan melalui sebuah stratifikasi kekuasaan yang memberikan
gambaran mengenai realita di kampung Pasar Kembang, yaitu antara preman
(pihak yang berkuasa) dengan pihak yang terlibat praktek prostitusi (pihak yang
dikuasai).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pertanyaan utama dalam
penelitian ini adalah “bagaimana peran preman sebagai local strongmen
dalam membangun patronase di kampung Sosrowijayan Kulon, Pasar
Kembang, Yogyakarta?”.
Penelitian ini akan mengelaborasi mekanisme preman sebagai local
strongmen kampung Pasar Kembang sebagai salah satu upaya mempertahankan
eksistensi praktek prostitusi yang ada di dalam kampung Pasar Kembang dan
interaksinya dengan pihak di luar kampung Pasar Kembang.
17
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui beberapa poin penting
terkait dengan rumusan masalah yang telah diungkapkan di atas, yaitu:
1. Pemetaan aktor yang tidak terlibat secara langsung dalam praktek
prostitusi di kampung Pasar Kembang.
2. Peran preman sebagai local strongmen dalam kampung Pasar
Kembang.
3. Pola interaksi local strongmen dengan entitas luar terkait keberadaan
praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang hingga sekarang ini.
D. Kerangka Teori
Keberadaan praktek prostitusi berkaitan erat dengan aspek ekonomi,
dimana sebuah lokalisasi prostitusi memberikan dampak berupa keuntungan
finansial bagi seluruh individu yang berdomisili di areal lokalisasi tersebut. Fakta
ini identik dengan kasus Pasar Kembang8, dimana saling ketergantungan dan
saling menguntungkan secara finansial terbentuk antara penghuni kampung Pasar
Kembang yang berprofesi sebagai pelaku prostitusi dengan para warga yang tidak
terkait dengan praktek prostitusi. Terrence H. Hull mengangkat mengenai
keterkaitan industrialisasi dengan peningkatan aksi prostitusi, dimana pada
akhirnya industrialisasi yang terjadi menghadirkan sebentuk demand terhadap
8 Mudjijono, op.cit. Hal. 95-108.
18
keberadaan prostitusi tersebut9. Secara sederhana, konsep keuntungan dari segi
ekonomi yang ada pada sebuah lokalisasi dapat dianalogikan sebagai suatu objek
wisata, dimana pada sebuah objek wisata, seluruh unsur masyarakat yang menetap
di sekitar areal objek wisata tersebut akan terkena imbas keuntungan ekonomi,
baik mereka sebagai pelaku langsung ataupun tidak.
Di setiap praktek prostitusi, dapat dijumpai para pelaku prostitusi yang
biasanya terdiri dari penyedia jasa dan konsumen. Dalam praktek prostitusi di
kampung Pasar Kembang, setidaknya ada dua pihak yang dapat dikategorikan
berdasarkan keterlibatannya dalam praktek prostitusi, yaitu langsung dan tidak
langsung. Pihak yang dinyatakan secara langsung terlibat dalam praktek prostitusi
adalah penyedia jasa dan konsumen, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Sedangkan yang merupakan pihak yang tidak terlibat secara langsung adalah
penduduk di sekitar praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang.
Antara pihak yang terlibat secara langsung dengan pihak yang tidak
terlibat secara langsung terdapat relasi kerja yang terjalin demi terus
berlangsungnya praktek prostitusi di kampung tersebut. Tidak dapat dipungkiri,
ketika kita menjumpai adanya praktek informal ataupun ilegal seperti ini, ada
pihak yang menyatakan dirinya berkuasa atas pihak lain.
9 Hull, Terrence H., dkk. 1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
19
Uraian lebih lanjut di bawah ini akan menunjukkan teorisasi yang
digunakan untuk mengkerangkai penelitian yang dilakukan di kampung Pasar
Kembang.
D.1. Kampung
Mendefinisikan kampung secara spesifik berdasarkan kriteria-kriteria
tertentu merupakan suatu hal yang debatable. Misalnya, dengan kriteria
kepadatan penduduk yang tinggi, ukuran besarnya dan pekerjaan
penduduknya (Murray, 1994: 24)10. Kriteria semacam itu bukan suatu hal
yang saklek (pasti) karena hasil yang diperoleh nantinya tidak
merepresentasikan definisi kampung. Penelitian Murray di Jakarta
menunjukkan bahwa yang disebut daerah kampung telah menjadi tempat
tinggal sebagian terbesar masyarakat (kota) kelas bawah. Sehingga, istilah
kampung tidak serta merta menjadi ‘milik’nya desa saja. Setidaknya ada dua
perspektif yang dapat digunakan untuk menganalisa sejarah kampung11.
Pertama, memandang sejarah kampung merupakan sejarah kontrol.
Wilayah kampung dibagi ke dalam kesatuan-kesatuan wilayah, seperti RT
(rukun tetangga), RW (rukun warga), ataupun lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan, semacam PKK, Dasawisma dan Karang Taruna. Pembagian
secara administratif ini merupakan hasil adopsi model pemerintah Jepang
sebagai bentuk kontrol negara terhadap warganya (rakyat). Mereka memiliki
10 Dalam artikel yang diunduh dari website http://ypr.or.id/id/warta-kampung/kampung-anak-kampungan-sketsa-sketsa-awal-.html dengan judul “Warta Kampung; Kampung Anak Kampungan (Sketsa-sketsa Awal)” pada 26 Mei 2010. 11 Ibid.
20
kewajiban untuk mengimplementasikan program kebijakan negara. Karena
mereka dibentuk oleh negara sebagai institusi formal terkecil dalam
masyarakat.
Kedua, memandang sejarah kampung merupakan sejarah komunitas.
Menurut Sullivan (Local Government and Community in Java, 1992: 229)12
tentang lingkungan kampung di Yogyakarta, tidak ditemukan adanya negara
yang mengontrol secara ketat terhadap pemerintahan lokal, sesuai dengan
kesatuan administratif yang telah ditetapkan oleh pusat. Hal ini didasarkan
pada proses penamaan kampung di Yogyakarta yang memiliki keunikan
dengan diklasifikasikan menurut profesi yang banyak ditekuni warganya,
golongan kerabat dan pejabat, keahlian abdi dalem hingga nama pasukan
prajurit. Sehingga, keberadaan kampung – dengan kriteria warga yang
menghuni – semacam ini merupakan bentuk komunitas yang telah terorganisir
dengan baik. Meskipun dikatakan sebagai komunitas, bukan berarti di
dalamnya tidak terdapat pembagian kesatuan administratif. Kampung-
kampung di Yogyakarta13 juga dijumpai adanya RT, RW atau lebih dikenal
dengan rukun kampung.
D.2. Konsep Kuasa dan Relasi Kuasa
Kekuasaan dalam dunia politik merupakan suatu instrumen atau alat
untuk memperoleh suatu nilai tertentu. Kekuasan dalam hal ini berkaitan
12 Dalam Patrick Guinness. 2009. Kampung, Islam and State in Urban Java. Australia: NUS Press. Hal. 11 13 Ibid.
21
dengan kemampuan seseorang maupun sekelompok orang untuk
mempengaruhi orang lain tanpa memperhatikan apakah orang lain tersebut
ingin melakukannya. Hal ini senada dengan Ramlan Surbakti (Haryanto,
2005: 5) dalam mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan menggunakan
sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak
lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang
mempengaruhi.
Di lain sisi, terdapat beberapa hal yang memiliki kaitan erat dengan
kekuasaan. Pertama, dimensi kekuasaan14 yang dipetakan menjadi 4 (empat)
dimensi: (1) potensial dan aktual, (2) jabatan dan pribadi, (3) paksaan dan
konsensual, dan (4) positif dan negatif. Dimensi kekuasaan dalam dunia
prostitusi Sarkem termasuk dalam pemetaan ketiga, yaitu paksaan dan
konsensual. Charles F. Andrain (Haryanto, 2005: 10) menjelaskan kekuasaan
yang didasarkan pada aspek paksaan dalam memandang politik selalu
mengandung aktivitas pergulatan, dominasi dan konflik. Biasanya terjadi
ketimpangan dimana ada pihak yang merasa dirugikan dan lainnya merasa
diuntungkan. Sehingga tujuan yang tercapai merupakan tujuan suatu
kelompok kepentingan saja, bukan tujuan bersama dalam suatu komunitas.
Sedangkan kekuasaan konsensual berbanding terbalik dengan kekuasaan
paksaan dan memiliki misi untuk mewujudkan tujuan bersama dari suatu
komunitas. Namun yang perlu digarisbawahi, dimensi kekuasaan dalam
14 Dinyatakan oleh Charles F. Andrain dalam Haryanto. op.cit. Hal. 7.
22
kampung prostitusi di Pasar Kembang adalah sebuah “kolaborasi” antara
kekuasaan paksaan dengan konsensual. Karena dalam kampung tersebut
ditemukan adanya dominasi, konflik dan tergambar dalam sebuah piramida
kekuasaan yang menunjukkan adanya pihak yang berkuasa dan dikuasai.
Sedangkan tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan bersama komunitas,
yaitu tetap berlangsungnya aktivitas prostitusi.
Tabel 1
Kekuasaan Paksaan dan Konsensual15
Tipe Kekuasaan
Paksaan Konsensus
Fisik
Cedera fisik, pemenjaraan,
kematian
Memberi jalan memperoleh
persenjataan
Ekonomi Tidak diberi pekerjaan,
penerapan denda, kehilangan
kontrak
Memberi jalan memperoleh
kekayaan
Normatif Pengucilan, larangan
memangku jabatan
Memberi jalan memperoleh
wewenang dan simbol-simbol
kebenaran moral
Personal Hilangnya dukungan
kelompok, persahabatan dan
popularitas
Pemberian dukungan
kelompok
Ahli Pemberian informasi yang
menguntungkan ataupun
merugikan orang lain
Penyediaan ilmu pengetahuan
dan keterampilan
15Sumber: Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana. Hal. 140.
23
Kedua, implementasi kekuasaan yang difungsikan untuk menunjukkan
kekuasaan yang dimiliki dan menjaga agar kekuasaan tersebut tidak jatuh ke
pihak lain. Dalam bukunya, Miriam Budiardjo16 mengatakan bahwa upaya
untuk menyelenggarakan kekuasaan berbeda-beda. Terdapat dua upaya
(implementasi) kekuasaan, yaitu dengan cara kekerasan (force) dan lunak
melalui cara persuasi (proses meyakinkan). Cara kekerasan digunakan untuk
meminimalisir resistensi dari pihak yang dikuasai karena bila tidak,
dikhawatirkan akan memunculkan sebuah persaingan dalam hal kekuasaan.
Sedangkan cara lunak melalui model persuasi dilakukan untuk menghindari
adanya konflik dengan benturan fisik seperti yang dimungkinkan dalam
penerapan cara kekerasan.
Ketiga, suatu kekuasaan hanya bisa berjalan ketika didalamnya ada
relasi antara pihak yang dikuasai dan pihak yang menguasai. Individu atau
kelompok yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap individu lain disebut
elit. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengatur individu-individu lain dalam
komunitas. Hal ini identik dengan pendapat Mosca17 dalam bukunya yang
berjudul “The Ruling Class”, yang menyatakan bahwa dalam semua
masyarakat, muncul dua kelas manusia, kelas yang berkuasa dan kelas yang
dikuasai. Kelas pertama berjumlah lebih sedikit, melaksanakan semua fungsi
politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keistimewaan-keistimewaan
16 Miriam Budiardjo. 1991. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 13. 17 T.B. Bottomore. 2006. Elite dan Masyarakat. Penerjemah: Abdul Harris dan Sayid Umar. Ed: M Alfan ALfian M. Jakarta: Akbar Tandjung Institute. Hal. 4.
24
yang diberikan oleh kekuasaan. Sedangkan yang kelas kedua, berjumlah lebih
banyak, diperintah dan dikendalikan oleh kelas yang pertama, dengan cara
pada masa sekarang ini kurang lebih legal, diktatorial, dan kejam.
Hubungan (relationship) antara dua atau lebih pihak (individu ataupun
kelompok) yang terjalin bersifat relational. Dalam artian, kekuasaan dalam
implementasinya mengarah pada dua poin penting yang berkaitan dengan
kehidupan berpolitik sehari-hari (daily politic), yaitu hal atau bidang yang
dikuasai (scope of power) dan pihak yang dikuasai (domain of power).
Konsepsi ini terlihat jelas dalam penelitian di kampung Pasar
Kembang yang penulis lakukan dimana ditemukan adanya kelas pertama
sebagai pihak yang berkuasa (sekelompok warga yang memiliki kapasitas
mengatur segala aspek kehidupan di lingkungan prostitusi Pasar Kembang)
dan kelas kedua sebagai pihak yang dikuasai (pelaku prostitusi dan
masyarakat di lingkungan Pasar Kembang).
D.3. Konsep Local Strongmen
Keberadaan local strongmen dalam suatu komunitas merupakan
bentuk “resistensi” mereka terhadap intervensi negara. Terkadang, negara
terlalu sentralistik dalam menerapkan kebijakannya tanpa memperhatikan
keadaan yang sebenarnya dalam suatu masyarakat maupun komunitas.
Sehingga, masyarakat cenderung bersikap apatis terhadap apa yang ditetapkan
oleh negara melalui kebijakannya.
Joel Migdal dalam bukunya yang berjudul Strong Society and Weak
States: State Society Relations and State Capabilities In The Third World
25
(1988) menyatakan bahwa setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai
pemimpin, dimana pemimpin itu relatif otonom dari negara. Selain itu, setiap
masyarakat mempunyai social capacity yang memungkinkan mereka untuk
menerapkan aturan mereka tanpa diintervensi oleh negara. Ketika kapasitas
negara untuk mengontrol melemah (weak state) maka para strongmen
menampakkan kekuasaannya dalam level lokal. Migdal menyebutkan triangle
of accommodation sebagai strategi strongmen untuk bertahan. Pertama, para
local strongmen tumbuh subur di dalam masyarakat ‘mirip jaringan’ yang
digambarkan sebagai ‘sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi
sosial nyaris mandiri’ dengan kontrol sosial yang efektif ‘terpecah-pecah’.
Singkat kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, local strongmen
memperoleh pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin
negara dan para birokrat lokal. Para local strongmen yang terdapat dipelbagai
daerah di Indonesia memiliki kapasitas mempengaruhi perspektif politik
masyarakat setempat, sehingga menyebabkan negara tidak dapat melakukan
intervensi dan menerapkan regulasi di dalam masyarakat yang bersangkutan,
karena lebih mempercayai kapasitas local strongmen.
Kedua, para local strongmen melakukan kontrol sosial dengan
menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ‘strategi bertahan
hidup’ penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, local strongmen bukan
saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara
penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan
tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan.
26
Ketiga, keberhasilan para local strongmen ‘menangkap’ lembaga-
lembaga dan sumber daya negara yang merintangi atau menyetujui upaya
pemimpin negara dalam melaksanakan pelbagai kebijakan. Local strongmen
membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara dalam
menjalankan tujuan berorientasi perubahan sosial, serta memperbesar
ketidakterkendalian dan kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi
industrialisasi dan pertumbuhan amat tergantung pada penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan negara yang saling bertautan efektif. Dengan demikian,
kehadiran strongmen merupakan refleksi dalam kuatnya masyarakat.
Tabel 2
Konsepsi Migdal tentang Kemunculan Local Strongmen18
Cakupan Konsensial Indikator (Keterangan)
Terminologi Local Strongmen
Keadaan Sosio-Kultural Negara-negara yang baru merdeka
Sumber legitimasi
Figuritas dan Mistis
→ memberikan hal-hal yang dibutuhkan
masyarakat seperti:
1. tempat tinggal
2. makanan
3. hubungan sosial
4. perlindungan
Posisi negara Lemah
18 Sumber: Migdal, 1998. Strong Societies and Weak States: State Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Press.
27
Alasan terbentuk Struktur masyarakat yang fragmentasi
Peranan
Kebanyakan sebagai musuh pemerintah pusat
karena kepentingannya selalu berseberangan
dengan para local strongmen
Aktor Tuan tanah, orang kaya, pemimpin tradisional
Industrialisasi Menghambat
Hasil keberadaan local
strongmen
1. legitimasi
2. dukungan
3. kebutuhan → ketergantungan
4. hubungan patron-klien
D.4. Konsep Patron-Client
Hubungan elit dengan warga komunitas seringkali berbentuk
hubungan patron-klien (patronase). James C. Scott19 menyebutkan hubungan
antar patron dengan klien merupakan pertukaran hubungan antara kedua peran
– dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan diadik (dua orang) – yang
terutama melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu
dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan
pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan atau
keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien).
Pada gilirannya, klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum
dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron.
19 James C. Scott. 1993. Perlawanan Kaum Tani, penerjemah: Budi Kuswora …(et al), Pengantar: Sayogyo.—Ed.1, Cet.1— Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 7.
28
Menurut Scott20, dalam hubungan patron – klien setidaknya ada empat
ciri penting. Pertama, adanya hubungan timbal balik melalui pertukaran
sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Sumber daya yang
dimiliki patron bisa berupa kekuasaan, kedudukan, perlindungan dan materi.
Sedangkan klien memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan dan
loyalitas. Kedua, adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran. Hal ini
ditunjukkan melalui adanya: (1) ketimpangan pasar yang kuat dalam
penguasaan kekayaan, status dan kekuasaan yang banyak diterima sebagai
sesuatu yang sah, (2) ketiadaan jaminan fisik, status dan kedudukan yang kuat
dan bersifat personal serta (3) ketidakberdayaan kesatuan keluarga sebagai
wahana yang efektif bagi keamanan dan pengembangan diri (Scott, 1977:
132). Ketiga, adanya interaksi yang bersifat tatap muka antara pihak-pihak
yang bersangkutan. Keempat, adanya ketergantungan yang bersifat luas dan
lentur antara patron – klien.
James C. Scott dalam bukunya yang berjudul “Perlawanan Kaum
Tani” (1993: 9-16) mengulas peran yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak
(patron dan klien). Peranan yang dimainkan patron diantaranya: (1)
penghidupan subsistensi dasar. Patron menyediakan lahan pekerjaan pada
klien. (2) jaminan krisis subsistensi. Patron menjamin “dasar” subsistensi bagi
kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian yang akan merusak kehidupan
20 James C. Scott. 1977. ‘Patron Client, Politics and Political Change in South East Asia’ dalam Friends, Followers and Factions a Reader in Political Clientalism, Steffen W. Schmidt, James C. Scott (eds.), Berkeley: University of California Press.
29
klien jika tidak dilakukan oleh patron. (3) perlindungan. Patron melindungi
klien dari bahaya pribadi (bandit, musuh pribadi) maupun bahaya umum
(tentara, pejabat luar, pengadilan, pemungut pajak). (4) makelar dan pengaruh.
Ketika patron melindungi kliennya dari perusakan yang berasal dari luar, ia
juga menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar
bagi kepentingan kliennya. Perlindungan merupakan peran defensifnya dalam
menghadapi dunia luar, sedangkan kemakelaran adalah peran agresifnya. (5)
jasa patron kolektif. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat
melakukan fungsi ekonomi secara kolektif melalui mengelola dan mensubsidi
sumbangan dan keringanan ataupun menjadi tuan rumah bagi pejabat yang
berkunjung.
Peranan yang dimainkan oleh klien, yaitu: (1) ketergantungan dan
legitimasi. Dalam hal ini memunculkan persoalan “apakah hubungan
ketergantungan oleh klien bersifat kolaboratif dan sah atau eksploitatif”. (2)
beberapa komplikasi dan kenyataan. Munculnya dua kualifikasi dalam
menganalisis kondisi yang terjadi dalam masyarakat, yaitu melalui model
yang lebih sederhana terutama melalaikan akibat dari perubahan-perubahan
secara tiba-tiba dalam neraca pertukaran terhadap legitimasi patron; dan
adanya ambang batas fisik dan kultural yang jika dilampaui akan
menyebabkan terputusnya dampak. (3) pelanggaran terhadap pertukaran yang
stabil. Keadaan masyarakat yang stabil membuat hubungan kekuatan antara
patron-klien menghasilkan norma pertukaran yang mendapatkan kekuatan
moral tersendiri. Upaya merumuskan kembali norma-norma terjadi bila ada
30
pelanggaran dari kewajiban tradisional yang secara historis telah dilaksanakan
oleh patron. (4) hak-hak sosial dasar. Dalam kontrak patron-klien terdapat
tujuan dasar dan merupakan landasan bagi legitimasi, yaitu penyediaan
jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. (5) posisi tawar-menawar
yang relatif. Patron unggul apabila mampu mengendalikan barang dan jasa
vital yang tidak bisa diperoleh di tempat lain. Sedangkan klien unggul apabila
didasarkan pada faktor historis yang menyangkut persoalan jaminan tenaga
kerja, upah, kebutuhan pasok tenaga kerja untuk mempertahankan tempat
patron dan kebutuhan akan pengikut pemilihan untuk memenangkan kendali
atas sumber daya lokal.
Secara sederhana, konsep patronase dapat disarikan melalui tabel
berikut ini.
Tabel 3
Peran Patron-Client dalam Aplikasi Konsep Patronase
Cakupan
Peran dan Fungsi Patron Client
Penyediaan
Sumber Daya
• Kekuasaan
• Kedudukan
• Perlindungan
• Tenaga
• Dukungan
• Loyalitas
• Materi
31
Ruang Otoritas
• Penghidupan subsistensi
dasar.
• Jaminan krisis
subsistensi.
• Perlindungan.
• Makelar dan pengaruh.
• Jasa patron kolektif.
• Ketergantungan dan
legitimasi.
• Beberapa komplikasi dan
kenyataan.
• Pelanggaran terhadap
pertukaran yang stabil.
• Hak-hak sosial dasar.
• Posisi tawar-menawar
yang relatif.
Demikian pula Gellner yang mendefinisikan hubungan patron-klien
sebagai sebuah hubungan kekuasaan yang timpang atau tidak setara yang
memiliki dimensi moral. Berikut diagram untuk menjelaskan struktur politik
patron klien21:
Keberadaan elit sebagai perantara antara komunitas dengan entitas lain
lebih sering terjadi karena alasan-alasan ekonomi dan politik. Dalam
kepentingan politik, elit perantara ini sering digunakan entitas lain untuk
kepentingannya misalnya saja berkaitan dengan kampanye-kampanye politik,
21 RPKPS Mata Kuliah Pemerintahan Komunitas. Rancangan Sesi IV dan V. Tema : Relasi community dengan institusi formal seperti negara dan pasar dengan sub judul Kehadiran Brokers.
Patron
Klien Klien
Klien Klien Klien Klien
32
penyelesaian konflik dengan warga komunitas. Dalam segi ekonomi, elit
perantara berperan dalam memfasilitasi entitas lain untuk melakukan
negosiasi-negosiasi dengan warga komunitas berkaitan dengan sumberdaya
ekonomi. Misalnya: memfasilitasi data-data yang digunakan pemerintah untuk
memberian bantuan dan kredit kepada warga komunitas. Dengan menjalankan
peran seperti ini elit perantara memegang kontrol atas sumberdaya dari
pemerintah untuk masyarakatnya.
E. Definisi Konseptual
1. Kampung
Istilah kampung secara sederhana sebenarnya menunjukkan daerah
pedesaan yang masih mempunyai karakter tradisional kuat dengan
homogenitas penduduknya dan mayoritas berorientasi pada agraris. Namun
seiring perkembangan zaman, istilah kampung bergeser tidak semata berlaku
untuk daerah pedesaan saja, melainkan di wilayah kota. Pergeseran ini terjadi
karena arus urbanisasi yang dilakukan penduduk desa ke kota demi
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Keberadaan kampung di kota karena arus urbanisasi menciptakan
sebuah wadah baru yang dapat disebut dengan kampung komunitas. Hal ini
terjadi karena para penghuninya memiliki persamaan dalam orientasi dan
biasanya mereka beraktivitas di sektor informal.
2. Kuasa dan Relasi Kuasa
Suatu hubungan antara orang atau kelompok orang dimana ada salah
satu pihak yang mampu mempengaruhi pihak yang lain karena orang atau
33
kelompok orang ini mendominasi sumber daya yang mampu melahirkan
kekuasaan. Orang atau kelompok orang ini menjadi penghubung antara pihak
luar dengan masyarakat yang mampu dipengaruhinya. Sedangkan masyarakat
yang mampu dipengaruhi akan menunjukkan kepatuhan. Tetapi kepatuhan ini
tidak bersifat mutlak karena setiap individu masyarakat memiliki otonomi
untuk mengambil sikap atas pihak yang memiliki pengaruh.
3. Local Strongmen
Elit sebagai broker merupakan orang atau kelompok orang yang
memiliki pengaruh dalam suatu masyarakat dan menjadi perantara bagi
masyarakat dengan entitas lain. Posisinya sebagai perantara adalah pembela
komunitas ketika berhadapan dengan entitas lain. Dalam pola relasi ini elit
akan selalu memberikan informasi yang menguntungkan warga komunitas.
Local strongmen diasumsikan sebagai pihak representatif dari elit,
yang menunjukkan kekuasaannya di level lokal melalui strategi yang
diterapkan untuk memberikan “resistensi” atas intervensi negara.
4. Patron-Client
Relasi yang terjalin dalam suatu masyarakat yang memiliki
ketimpangan dalam hal distribusi kekuasaan menyebabkan pihak penguasa
menawarkan sebuah win win solution, yaitu konsep patron-client. Konsep ini
merupakan sebuah politik balas jasa sebagai patron, penguasa dituntut untuk
memberikan suatu perlindungan kepada client dari pengaruh maupun
ancaman pihak lain. Sedangkan sebagai client, masyarakat yang dikuasai
(massa) menawarkan sumber daya yang dimiliki.
34
F. Definisi Operasional
Dengan definisi konseptual yang telah dipaparkan di atas, berikut ini
disajikan operasionalisasi penelitian yang akan menjadi alat untuk memudahkan
peneliti memfokuskan penelitian ketika berada di lapangan dan ditujukan untuk
memetakan permasalahan dan membantu analisa permasalahan.
1. Kampung
Kampung di kota dapat diklasifikasikan berdasar pada:
• Nama kampung
• Sektor usaha yang dijalankan
2. Kuasa dan Relasi Kuasa
Kekuasaan yang diperoleh masyarakat kelas pertama dengan
mengidentifikasinya ke dalam beberapa tinjauan:
• Dimensi kekuasaan
• Distribusi kekuasaan
• Implementasi kekuasaan
3. Local Strongmen dan Patron-Client
Sebagai orang kuat di level lokal yang sekaligus berperan sebagai
perantara, untuk melacaknya adalah dengan mengidentifikasi:
• Sumber kekuasaan, kewenangan dan legitimasi
• Pendayagunaan kekuasaan politik
• Strategi yang diterapkan
35
G. Skema Alur Berpikir
H. Metode Penelitian
H.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
studi kasus (case study). Penggunaan penelitian kualitatif ini lebih
dikarenakan mempergunakan data yang dinyatakan secara verbal dan
kualifikasinya bersifat teoritis. Data sebagai bukti dalam menguji kebenaran
atau ketidakbenaran hipotesis tidak diolah melalui perhitungan matematis
dengan berbagai rumus statistika. Pengolahan data dilakukan secara rasional
dengan mempergunakan pola berpikir tertentu menurut hukum logika22.
Secara umum, studi kasus juga memperhatikan tiga kondisi dalam
menggunakan strategi yang cocok untuk diterapkan, yaitu23: (a) tipe
pertanyaan yang diajukan dalam penelitian. Metode studi kasus menggunakan
tipe pertanyaan ‘how’ (bagaimana) dan ‘why’ (mengapa). Penelitian ini
22 Dr. Hadari Nawawi. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 32. 23 Prof. Dr. Robert K. Yin. 2006. Studi Kasus, Desain & Metode. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal 7.
Ketimpangan distribusi kekuasaan
• Patronase • Local Strongmen
Preman
Mucikari
Pekerja Seks
36
menggunakan tipe pertanyaan ‘how’, yaitu bagaimana kontestasi kepentingan
antara aktor di luar pemerintah dengan Pemerintah Kota Yogyakarta terkait
keberadaan prostitusi di kampung Pasar Kembang Yogyakarta? (b) peneliti
tidak dapat melakukan kontrol dan akses atas peristiwa perilaku yang akan
diteliti. Minimnya intensitas kehadiran peneliti di lokasi obyek penelitian
menyebabkan tidak dapat melakukan kontrol yang intensif di dalamnya. (c)
fokus penelitian merupakan peristiwa kontemporer. Hingga sekarang, belum
banyak kajian mengenai kontestasi kepentingan antar aktor yang berimplikasi
pada terbentuknya suatu relasi kuasa diantara aktor yang terlibat dalam
kontestasi tersebut.
Alasan menggunakan metode penelitian studi kasus dikarenakan
metode ini menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata dimana
batas-batas antar keduanya tidak terlihat jelas dan dapat memanfaatkan
multisumber bukti. Keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang
yang menyatu dengan permukiman penduduk merupakan sebuah fenomena
dalam konteks kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pasar Kembang yang
tidak dapat diperdebatkan lagi. Mekanisme pembuktiannya adalah dengan
memanfaatkan multisumber bukti yang menjadi keunikan dari metode studi
kasus, yaitu dokumen, peralatan, wawancara sistemik, dan observasi.
Sedangkan data-data yang diperoleh melalui pemanfaatan multisumber bukti
tersebut tidak dapat dimanipulasi.
Terlepas dari itu semua, studi kasus memiliki kelemahan mendasar
sehingga terkadang dianggap remeh dan kurang begitu diinginkan oleh
37
peneliti lainnya. Kelemahan studi kasus, seperti yang disebutkan dalam
bukunya Robert K. Yin (Studi Kasus, Desain & Metode: 2006) bahwa studi
kasus memiliki kelonggaran sehingga memberikan keleluasaan pada bukti-
bukti samar atau perspektif bias untuk mempengaruhi arah temuan dan
kesimpulannya. Langkah solutif yang peneliti lakukan adalah melakukan
mekanisme cross check dengan pihak yang berkompeten dan memiliki
kapabilitas dalam menyikapi informasi secara obyektif yang peneliti peroleh,
seperti dosen, kelompok diskusi dan aktivis LSM untuk dilibatkan perannya
dalam tahap interpretasi data.
Metode studi kasus memiliki tiga varian berdasarkan aspek
hierarkinya, yaitu studi kasus eksploratoris, studi kasus deskriptif dan
eksplanatoris24. Peneliti menggunakan studi kasus eksplanatoris dengan tujuan
untuk memajukan penjelasan-penjelasan tandingan terhadap rangkaian
peristiwa yang sama dan menunjukkan bagaimana penjelasan semacam itu
tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan pada situasi-situasi yang lain25.
Prostitusi di kampung Pasar Kembang tergolong sebagai kasus tunggal yang
dapat peneliti analisis melalui studi kasus eksplanatoris. Dengan
memfokuskan penelitian pada kontestasi kepentingan antar aktor yang saling
memiliki keterkaitan dengan prostitusi di kampung Pasar Kembang, akan
dapat diketahui bagaimana relasi kuasa yang terjalin antar aktor dengan
24 Ibid. 25 Ibid. Hal 6.
38
kepentingan masing-masing. Setelah diketahui apa yang terjadi sebenarnya,
diharapkan teori ini dapat diterapkan dalam situasi lain.
H.2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian studi kasus, untuk memperoleh validitas dan
reliabilitas hasil yang dicapai sangat ditentukan oleh sifat data ditentukan pula
oleh sumber datanya. Penelitian ini menggunakan dua jenis data yang
diklasifikasikan berdasarkan cara memperolehnya.
1. Data Primer
Dalam penelitian ini, penulis melakukan serangkaian kegiatan,
berupa wawancara dan observasi non-partisipan yang bertujuan untuk
memperoleh informasi asli terkait dengan fokus penelitian.
Model wawancara dilakukan dengan dua cara. Pertama,
wawancara struktural dengan model indepth interview, yaitu
wawancara secara mendalam dengan narasumber dengan
mempersiapkan interview guide yang memuat poin-poin penting
terkait pertanyaan yang hendak diajukan. Dalam hal ini, yang menjadi
narasumber adalah instansi Pemerintah Kota Yogyakarta (Satuan
Polisi Pamong Praja selaku eksekutor kebijakan operasi penyakit
sosial). Kedua, wawancara non-struktural yang dilakukan tanpa
menggunakan interview guide sebagai pengantar wawancara. Hal ini
dimaksudkan agar terjalin hubungan yang baik dengan narasumber.
Pekerja seks dipilih sebagai narasumber yang dapat memberikan
informasi selengkap-lengkapnya – dikarenakan mereka yang
39
mengetahui dan mengalami peristiwa yang terjadi dalam dunia
prostitusi di Pasar Kembang – dan juga sebagai perantara yang
menghubungkan penulis dengan para local strongmen. Sehingga
suasana wawancara informal dapat terjaga tanpa ada kecurigaan dari
narasumber yang dimaksud.
Interview guide yang digunakan dalam wawancara struktural
dengan aparat Satpol PP Kota Yogyakarta adalah:
• Tugas dan wewenang Satpol PP Kota Yogyakarta.
• Mekanisme operasi razia pekerja seks di Pasar Kembang.
• Relasi Satpol PP Kota Yogyakarta dengan aparat kepolisian
dan militer.
2. Data Sekunder
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik dokumentasi
dari berbagai literatur yang menunjang dan sesuai dengan fokus
penelitian. Literatur yang dijadikan acuan diantaranya berupa tulisan-
tulisan dari karya ilmiah yang mengkaji mengenai prostitusi, buku
yang membahas tentang prostitusi, kumpulan artikel di internet dan
peraturan perundangan terdahulu yang mengatur tentang prostitusi.
H.3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis kualitatif, yaitu data diinterpretasikan sesuai dengan tujuan penelitian.
Dengan demikian dalam menemukan jawaban permasalahan penelitian,
peneliti mencoba dengan wawancara, dokumentasi dan pengamatan langsung
40
ke lapangan terhadap fakta-fakta yang ingin diketahui. Sehingga diperoleh
data yang kemudian dikumpulkan, diklasifikasikan, diinterpretasikan dan
dianalisis serta diambil kesimpulan.
H.4. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini akan diuraikan ke dalam lima bab yang
saling berhubungan. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan metode yang
digunakan dalam penelitian ini.
Bab kedua berisi tentang sejarah kampung Pasar Kembang yang
berkembang menjadi terkenal akan adanya praktek prostitusi di dalamnya dan
pengidentifikasian aktor-aktor yang terlibat praktek prostitusi di kampung
tersebut.
Bab ketiga berisi tentang mekanisme preman dalam memperoleh,
mengimplementasi dan mendayagunakan kekuasaan yang dimiliki terhadap
warga kampung prostitusi Pasar Kembang yang berimplikasi pada peran
preman sebagai local strongmen.
Bab keempat memuat penjelasan mengenai peran yang dijalankan
preman sebagai local strongmen dalam berinteraksi dengan entitas lainnya,
baik di kampung prostitusi Pasar Kembang maupun institusi formal negara..
Bab terakhir akan diisikan dengan adanya kesimpulan dari hasil
penulisan bab-bab sebelumnya.
41
BAB II
PROSTITUSI DI KAMPUNG PASAR KEMBANG
DAN RELASI PARA PENGHUNINYA
Bab ini akan memaparkan tentang sejarah kampung Pasar Kembang yang
terkenal akan adanya praktek prostitusi di dalamnya dan pengidentifikasian aktor-
aktor yang terlibat praktek prostitusi di kampung tersebut. Diawali dengan
melacak sejarah dan perkembangan kampung Pasar Kembang menjadi kampung
prostitusi hingga sekarang ini. Kemudian dilanjutkan pada dinamika kehidupan
masyarakat Pasar Kembang – relasi antara para pelibat prostitusi dengan
masyarakat yang tinggal di lingkungan prostitusi – ditinjau dari aspek sosial,
ekonomi dan politik dimana di dalamnya memuat pemetaan aktor-aktor yang
terlibat dalam arena prostitusi. Terakhir dalam bab ini akan mengupas tentang
relasi yang terjalin dengan melihat hasil pemetaan aktor tersebut.
Pemetaan aktor ditujukan untuk mengetahui peran dari masing-masing
aktor, dimana akan diperoleh hasil yang mengarah pada sebuah strata kekuasaan.
Sehingga terbentuk suatu pola relasi antar aktor dalam praktek prostitusi di
kampung Pasar Kembang. Singkatnya, bab ini berisikan tentang dinamika internal
praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang.
42
A. Sejarah Kampung Pasar Kembang
Kampung-kampung di Yogyakarta memiliki sejarah panjang terkait proses
pemberian namanya26. Pada awalnya, pemberian nama kampung hanya terfokus
pada wilayah kampung yang berada di dalam lingkup Kraton Yogyakarta dengan
didasarkan pada keahlian para abdi dalem kraton. Di antaranya kampung
Mantrigawen (dihuni abdi dalem kepala pegawai), kampung Patehan (dihuni abdi
dalem pembuat teh) dan lain sebagainya. Namun, seiring perkembangan zaman
dan tingginya mobilisasi penduduk ke kota Yogyakarta mengakibatkan
bermunculan kampung-kampung di luar lingkup kraton. Kampung-kampung di
luar lingkup Kraton Yogyakarta diberi nama berdasar pada karakteristik
penduduknya, seperti etnis, profesi yang digeluti hingga menjadi pusat aktivitas
ekonomi. Di antaranya kampung Kranggan (dihuni etnis Cina), kampung Sayidan
(etnis Arab) dan kampung lainnya, termasuk kampung Pasar Kembang.
Pasar Kembang sebenarnya merupakan nama sebuah jalan yang
berlokasikan tepat di selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Tepat di jalan
Pasar Kembang ini, terdapat kampung yang secara administratif bernama
Sosrowijayan. Pertama kalinya, kampung Sosrowijayan dihuni oleh kerabat
kraton yang kemudian menjabat sebagai Sultan Hamengku Buwono VII, yaitu
Tumenggung Sosrowijoyo27.
26 Diunduh dari http://reddistrictproject.com/index.php/aneka-tulisan. loc.cit. 27 Cucu Nuris Arianto. 2007. Pariwisata, Kota dan Sosrowijayan Wetan: 1970-1990-an (Sebuah Sejarah Kampung). Skripsi mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta. Hal. 26.
43
Seiring berjalannya waktu, kampung Sosrowijayan mengalami pembagian
wilayah (pasca kemerdekaan Indonesia) menjadi dua, yaitu Sosrowijayan Wetan
dan Sosrowijayan Kulon28. Keduanya memiliki persamaan dalam hal tata letak
dan karakteristik bangunan serta akses masuk ke dalam kampung Sosrowijayan.
Di dalam kedua kampung tersebut, dijumpai adanya lorong ataupun jalan tikus
(jalan kecil) dan model bangunan tradisional yang menjadikan ciri khas sebuah
perkampungan. Terkait dengan akses, masing-masing kampung memiliki dua
gang, yaitu kampung Sosrowijayan Wetan (gang I dan II) dan kampung
Sosrowijayan Kulon (gang III dan IV).
Menurut sejarah perkembangannya, kampung Sosrowijayan Wetan
terkenal dengan sebutan “kampung turis” karena mayoritas bangunan yang ada di
sana disewakan bagi para wisatawan, baik asing maupun domestik sebagai
penginapan. Hal ini merujuk pada perkembangan yang terjadi di kawasan
Malioboro (daerah tujuan wisatawan). Lain halnya dengan kampung
Sosrowijayan Kulon. Masyarakat sekitar mengenalnya dengan sebutan “Sarkem”
yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang. Perihal sejarah penamaan
kampung Sosrowijayan Kulon menjadi kampung Pasar Kembang ditemukan dua
versi yang debatable29. Pertama, kampung Pasar Kembang dulunya merupakan
tempat orang berjualan bunga (kembang) yang biasanya digunakan untuk ziarah
makam (nyekar). Namun sekarang ini, para penjual bunga ini telah pindah lokasi
28 Ibid. 29 Penulis mengalami kesulitan dalam mencari data yang valid (akurat) terkait dengan sejarah kampung Pasar Kembang sebelum berubah menjadi kampung prostitusi Pasar Kembang sekarang ini.
44
ke kawasan Kotabaru. Kedua, terdapat ‘kembang”30 yang diperdagangkan di
kampung Sosrowijayan Kulon, tepatnya gang III. Meskipun terdapat dua versi
yang debatable, fenomena yang terjadi hingga sekarang ini menunjukkan bahwa
dalam kampung Sosrowijayan Kulon berlangsung adanya praktek prostitusi.
Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan mulai ada praktek
tersebut.
Keberadaan praktek prostitusi dalam kampung Pasar Kembang telah
mengubah citra kampung tersebut menjadi sebuah kampung prostitusi dimana
mayoritas warga yang menempati kampung tersebut berorientasi pada prostitusi,
meskipun tidak semuanya melibatkan diri pada aktivitas ilegal tersebut. Di sisi
lain (sebagai bukti penguatan), tidaklah mengherankan ketika ditanya mengenai
kampung Pasar Kembang Yogyakarta, pikiran kita langsung tertuju pada
stereotipe negatif, yaitu keberadaan praktek prostitusi di dalam kampung tersebut.
B. Pemetaan Aktor dalam Kampung Prostitusi Pasar Kembang
Praktek prostitusi secara sederhana hanya ‘didalangi’ oleh pekerja seks
dan konsumen (tamu) saja. Seperti halnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
selalu berkembang dan tidak pernah berhenti pada satu titik saja, dunia prostitusi
pun juga memberlakukan hal yang sama. Dalam dunia prostitusi dijumpai adanya
aktor tambahan yang mempunyai pengaruh besar terkait dengan tetap eksisnya
praktek prostitusi. Kenyataan ini merupakan fenomena yang terjadi di kampung
30 Istilah ‘kembang’ diberikan kepada para pekerja seks yang melakukan transaksi seks dengan para pria ‘nakal’ di mana aktivitas tersebut berlangsung di dalam kampung Sosrowijayan Kulon.
45
prostitusi Pasar Kembang. Para aktor yang berkecimpung di dunia prostitusi Pasar
Kembang terklasifikasikan ke dalam dua jenis dengan melihat peran mereka
dalam dunia prostitusi, yaitu terlibat langsung dan tidak terlibat langsung praktek
prostitusi.
Keberadaan aktor yang terlibat langsung praktek prostitusi merupakan
fakta yang tidak bisa dipungkiri. Karena tanpa keberadaan mereka, praktek
prostitusi tidak mungkin ada. Mereka yang terlibat secara langsung dalam praktek
prostitusi di Pasar Kembang, yaitu pekerja seks, tamu, mucikari dan jongos
(perantara). Sedangkan aktor yang tidak terlibat langsung merupakan aktor yang
selama ini diyakini memiliki pengaruh kuat dalam kampung prostitusi Pasar
Kembang. Keberadaan mereka menjadi ‘senjata ampuh’ terhadap ancaman atau
bahaya dari luar, di antaranya kebijakan pemerintah maupun entitas luar yang
ingin menguasai atau menghancurkan kampung prostitusi Pasar Kembang. Para
aktor yang tidak terlibat langsung di antaranya preman, pengurus kampung dan
aparat pemerintah penarik “pajak”. Sebenarnya masih ada lagi aktor-aktor lain
yang juga terlibat, namun peran mereka hanya sebatas pemenuhan kebutuhan
hidup (ekonomi) saja. Meskipun demikian, keberadaan mereka merupakan faktor
lain yang ikut membuat praktek prostitusi di Pasar Kembang tetap eksis. Mereka
adalah tukang parkir, pemilik warung makan dan minum, tukang pijit, tukang
potang31 dan abang becak.
31Tukang potang yang dapat dijumpai di Pasar Kembang terdapat tiga macam, yaitu tukang potang uang, tukang potang pakaian dan tukang potang barang-barang perhiasan dari emas. Keseharian
46
1. Aktor yang terlibat langsung praktek prostitusi
a. Pekerja Seks
Pekerja seks merupakan aktor utama selain kompatriotnya, yaitu
konsumen dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis yang diperoleh
melalui mekanisme transaksional. Keberadaan mereka menimbulkan suatu
dilema bagi kehidupan di sekitarnya. Antara sebuah solusi atau masalah
merupakan sebuah hasil dari perdebatan tiada ujung penyelesaian bagi
pihak-pihak yang mempersoalkan keberadaannya.
Menggeluti profesi sebagai pekerja seks sebenarnya bukan
merupakan sebuah pilihan setiap perempuan. Namun ada beberapa hal
yang memiliki hubungan kausalitas dalam menekuni dunia prostitusi, yaitu
(1) faktor ekonomi yang secara langsung berkaitan dengan kelangsungan
hidup mereka, (2) tingkat pendidikan yang rendah, (3) kondisi keluarga
yang hancur (broken home) maupun patah hati (broken heart) ditinggalkan
pujaan hatinya. Salah seorang pekerja seks di Pasar Kembang32
menyatakan beberapa alasan yang membuatnya terjun ke dunia prostitusi,
yaitu faktor ekonomi yang pas-pasan karena krisis ekonomi yang sedang
melanda hingga sekarang ini. Kemudian, kesulitan mencari pekerjaan yang
lebih baik dan tidak memiliki kapasitas diri yang mencukupi untuk
mereka adalah menawarkan ataupun menagih pada siapa saja yang hendak meminjam uang atau barang darinya. 32 Wawancara dengan WN, salah seorang pekerja seks salah satu pekerja seks yang bekerja di kampung prostitusi Pasar Kembang, berlangsung pada tanggal 17 Februari 2010.
47
bersaing dalam mencari lapangan pekerjaan yang layak menjadi hambatan
seorang wanita untuk berkarir di dunia kerja.
“Saiki jamané lagi susah, mas. Ekonomi sulit goro-goro krisis ra rampung-rampung. Golek gawéan sing luwih becik yo angel, ra iso ngopo-ngopo nék kudu bersaing karo liyané. Mulakno kuwi, dadi pekerja seks waé.”
(Sekarang zamannya sedang susah, mas. Ekonomi sulit gara-gara krisis yang tidak terselesaikan. Mencari pekerjaan yang lebih baik juga sulit, tidak bisa berbuat apa-apa kalau harus bersaing dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pilihan jadi pekerja seks adalah jawabannya.)
Pekerja seks yang berada di kampung prostitusi Pasar Kembang
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori dengan melihat
beberapa faktor yang menjadi penentu pembedaan tersebut. Hasil
observasi di lapangan dan proses bincang ringan dengan warga Pasar
Kembang yang menjadi penjual makanan dan minuman di luar Gang III
Sosrowijayan Kulon (kampung prostitusi Pasar Kembang) menyebutkan
bahwa pekerja seks yang terdapat dalam kampung prostitusi Pasar
Kembang terdiri atas perempuan berusia belasan tahun, kepala dua dan
separuh baya yang memiliki model pelayanan berbeda satu sama lain.
Tabel berikut akan menunjukkan klasifikasi yang dimaksud.
48
Tabel 4
Klasifikasi Pekerja Seks di Kampung Prostitusi Pasar Kembang33
Kategorisasi Pekerja Seks
Umur • ABG (anak baru gedhe)
• Stw (setengah tuwo)
Model pelayanan
• Short time
• Long time
• Pijat
Tempat tinggal • Sewa kamar di kampung Pasar Kembang
• Sewa kamar di luar kampung Pasar Kembang
Domisili asal
Mayoritas berasal dari luar Yogyakarta, seperti
Jepara, Semarang, Solo dan kota-kota yang
berbatasan dengan Yogyakarta
Para pekerja seks di kampung prostitusi Pasar Kembang terbagi ke
dalam dua kelompok usia, yaitu belasan tahun (ABG atau anak baru
gedhe) dan kepala tiga ke atas (Stw atau setengah tuwo) dimana mereka
mayoritas berasal dari luar kota Yogyakarta, seperti Jepara, Semarang,
Solo dan kota-kota yang berbatasan dengan Yogyakarta. Mereka bekerja
di kampung prostitusi Pasar Kembang tidak terikat oleh kontrak yang
artinya, apabila menginginkan keluar dari tempat kerjanya, dapat
33 Disarikan berdasar pada observasi dan wawancara dengan orang-orang yang berada di sekitar kampung Pasar Kembang, berlangsung pada pertengahan Januari 2010.
49
dilakukan setiap saat. Pun demikian sebaliknya, karena kampung prostitusi
di Pasar Kembang terbuka bagi para pekerja seks yang ingin ‘mengadu
nasib’ di sana. Sedangkan mengenai tempat tinggal, tidak semua pekerja
seks yang bekerja di sana otomatis tinggal di dalamnya. Karena banyak
yang mengeluh tentang mahalnya biaya sewa kamar untuk tinggal, maka
mereka yang demikian memilih menyewa kamar di luar kampung Pasar
Kembang.
Syarat pekerja seks dapat bekerja di kampung prostitusi Pasar
Kembang adalah dengan membayarkan sejumlah uang bulanan kepada
pengelola kampung dan jasa keamanan (preman). Selebihnya hanyalah
uang sewa kamar atas praktek prostitusinya dengan konsumen ataupun
menyerahkan beberapa persen bayaran yang diterima kepada jongos
(perantara) atas jasanya mengantarkan konsumen pada dirinya.
Model pelayanan yang ditawarkan oleh para pekerja seks pun
beragam, ada yang short time (sekitar satu jam), long time (kisaran tiga
jam hingga seharian) dan pijat. Namun, yang sangat disayangkan adalah
waktu pelayanan yang diberikan kepada konsumen baru terkadang tidak
sesuai. Dengan kata lain, ketika ada konsumen baru yang memesan dengan
model short time, waktu transaksi seks-nya hanya berlangsung kurang dari
20 menit. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya kamar yang
digunakan sudah ada yang mengantri, pekerja seks sudah ‘klimaks’
terlebih dahulu maupun keluhan pekerja seks terhadap perilaku konsumen
baru yang tidak sopan. Sebenarnya, pelbagai alasan yang disampaikan
50
oleh para pekerja seks hanyalah politik mereka dalam mencari uang.
Karena mayoritas pekerja seks yang ada di sana lebih nyaman bertransaksi
seks dengan konsumen yang telah menjadi langganannya.
b. Konsumen (tamu)
Keberadaan konsumen (tamu) merupakan sebuah pola interaksi
dengan pekerja seks sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan biologis. Di
satu sisi (baca: pekerja seks) memerlukannya karena faktor ekonomi,
sedangkan di sisi lain (baca: konsumen) memerlukannya karena faktor
biologis. Tidak terpenuhinya kebutuhan biologis mereka, terutama
masalah seks menjadi faktor utama yang menyebabkan mereka memilih
berkencan dengan para pekerja seks. Selain itu, adanya keinginan untuk
melampiaskan hasrat seksual demi kesenangan batin merupakan alasan
mendatangi kampung prostitusi Pasar Kembang. Biasanya, alasan terakhir
ditujukan pada para lelaki yang belum memiliki pasangan hidup
(menikah).
Para konsumen (tamu) yang belum terbiasa dalam mencari pekerja
seks di Pasar Kembang biasanya memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh
orang-orang yang berada di sekitaran kampung prostitusi Pasar Kembang,
atau biasa disebut dengan jongos.
c. Mucikari
Kemunculan mucikari lebih disebabkan untuk mengorganisir para
pekerja seks dan memberikan fasilitas dalam hal terselenggaranya praktek
prostitusi. Mucikari biasanya menyediakan kamar atau ruangan yang
51
berfungsi sebagai saksi bisu terjadinya interaksi biologis antara pekerja
seks dengan konsumen. Fasilitas yang disediakan oleh mucikari tidaklah
gratis, melainkan memiliki biaya sewa yang besarannya ditentukan oleh
mucikari. Adapun pihak yang diharuskan membayar adalah para pekerja
seks.
Profesi sebagai mucikari tidak sepenuhnya dapat diandalkan dari
segi pendapatan. Oleh karena itu, mayoritas para mucikari ‘turun
langsung’ menawarkan anak buahnya yang masih muda-muda (pekerja
seks) kepada para konsumen. Aktivitas ini merupakan instrumen
penghubung antara pekerja seks dengan konsumen atau biasa disebut
jongos. Mengenai jongos sendiri, di bawah akan dijelaskan secara
komprehensif.
d. Jongos (perantara)
Di kampung prostitusi Pasar Kembang, profesi sebagai perantara
yang menghubungkan pekerja seks dengan konsumen disebut dengan
jongos. Aktor-aktor yang menjadikan jongos sebagai profesi sampingan
selain mucikari adalah tukang parkir, abang becak dan penjual makanan
minuman di dalam maupun di luar Pasar Kembang.
Profesi sebagai jongos lumayan membantu, karena apabila mereka
berhasil mempertemukan konsumen dengan pekerja seks yang cocok, ia
akan mendapatkan bayaran sekitar 30% dari total bayaran yang diterima
pekerja seks dari konsumen tersebut. Terkadang, dari pihak konsumen
52
tidak segan memberikan imbalan kepadanya pula karena pekerja seks yang
diinginkan telah memberikan pelayanan yang memuaskan.
2. Aktor yang tidak terlibat langsung praktek prostitu si
a. Pengurus kampung Pasar Kembang
Pengurus kampung Pasar Kembang bekerja sama dengan para
preman dalam hal mengkoordinasi dan mengawasi segala aktivitas yang
berkaitan dengan prostitusi di kampung Pasar Kembang. Meskipun
demikian, tidak sedikit pula para pengurus kampung yang menyewakan
kamar kosongnya untuk dijadikan tempat transaksi seks antara pekerja
seks dengan konsumennya. Sehingga profesi mucikari dan jongos dapat
dikatakan juga ditekuni oleh para pengelola kampung.
b. Preman
Istilah “preman” sebenarnya bukan sebutan yang disematkan
secara disadari oleh para penjaga keamanan di Pasar Kembang. Karena
oleh para pekerja seks, mereka lebih sering disebut dengan panggilan
plesetan AGASO (ayo gawé anak sing okeh)34. Meskipun demikian, untuk
mempermudah mengenali keberadaan mereka, penulis memilih “preman”
sebagai istilah netral untuk menggambarkan posisi (kedudukan) para
penjaga keamanan dalam kampung prostitusi Pasar Kembang.
Preman mendapat kepercayaan dari pengurus kampung Pasar
Kembang untuk menjaga keamanan di lingkungannya. Sehingga, mereka
34 Dari bahasa Jawa yang terjemahannya “mari membuat anak yang banyak”.
53
memiliki tanggung jawab yang besar dalam kampung prostitusi di Pasar
Kembang. Peran yang dijalankannya selain terkait dengan keamanan, juga
dalam hal mengatur dan menangani segala aktivitas terkait dengan
prostitusi yang ada di kampung prostitusi Pasar Kembang. Balas jasa
keamanan yang diterima oleh para preman dalam bentuk uang yang
besaran dan waktu pembayarannya telah mereka tentukan, yaitu di
pertengahan dan akhir bulan. Kemudian, dalam menjalankan tugas, para
preman dibantu oleh pengurus kampung dan oknum aparat keamanan
pemerintah.
c. Aparat pemerintah penarik ‘pajak’
Merupakan oknum aparat keamanan pemerintah yang
menyalahgunakan kepercayaan atasannya dalam mengimplementasikan
kebijakan pemerintah. Hal demikian terjadi ketika pemerintah daerah
menginstruksikan untuk melakukan operasi (razia) terhadap para pekerja
seks yang terpusat di Pasar Kembang maupun di pelbagai sudut kota, para
oknum lebih memilih melakukan ‘konspirasi’35 dengan preman.
35 Konspirasi yang dilakukan oleh oknum aparat pemerintah dengan preman akan diuraikan lebih lanjut pada bab 4 dalam tulisan ini.
54
Tabel 5
Pemetaan Aktor-Aktor yang Terlibat Praktek Prostitusi di Pasar Kembang
Keterlibatan
Aktor Profesi
Peranan
Hak Kewajiban
Langsung
Pekerja Seks
• Menerima imbalan dari konsumen (tamu)
buah dari transaksi seks.
• Mendapatkan jaminan keamanan.
• Memberikan pelayanan (transaksi
seks) kepada konsumen (tamu).
• Membayarkan sejumlah uang kepada:
1. Mucikari � sewa kamar
2. Jongos � apabila konsumen
menggunakan jasanya
3. Preman � jasa keamanan
Konsumen Mendapatkan pelayanan (transaksi seks) dari
pekerja seks.
Membayarkan sejumlah uang kepada
pekerja seks (transaksi seks) dan
membelikan minum dan rokok.
Mucikari
• Mendapatkan bayaran uang sewa kamar
atas transaksi seks yang dijalankan antara
pekerja seks dengan konsumen (tamu).
• Mendapatkan jaminan keamanan.
Membayarkan sejumlah uang kepada
preman sebagai imbalan jasa keamanan
yang diterima.
55
Jongos (perantara)
Menerima imbalan dari pekerja seks karena
konsumen (tamu) telah menggunakan jasa
perantaranya.
Menawarkan jasa perantara dan
mengantarkan konsumen (tamu) yang
membutuhkan pekerja seks.
Tidak
Langsung
Pengurus Kampung
Sosrowijayan Kulon
(Pasar Kembang)
Menerima sebagian uang dari preman atas
kerja sama dalam hal memberikan jaminan
keamanan pada warga kampung prostitusi
Pasar Kembang.
Bersama preman melindungi kampung
prostitusi dari konflik internal maupun
eksternal yang dialami warga kampung
prostitusi Pasar Kembang.
Preman
Menerima uang bulanan dari pekerja seks
dan mucikari atas jasa keamanan yang
diberikan.
• Memberikan jaminan keamanan dalam
kampung prostitusi Pasar Kembang.
• Menentukan besarnya uang bulanan
yang harus dibayarkan pekerja seks
dan mucikari.
Oknum Aparat
Keamanan
Pemerintah
Menerima imbalan dari preman atas
transaksi uang dengan informasi yang
disepakati.
• Memberikan informasi mengenai
jadwal operasi (razia) kepada preman.
• Mem-back up keberadaan praktek
prostitusi di kampung Pasar Kembang
C. Relasi Kuasa Antar Aktor dalam Kampung Prostitusi Pasar Kembang
Kampung prostitusi di Pasar Kembang yang terdiri dari berbagai aktor,
baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung namun memiliki
peranan yang signifikan di dalamnya mampu menciptakan sebuah relasi
kekuasaan yang menarik. Dalam konteks kekinian, fenomena relasi kuasa yang
muncul dalam sebuah kampung yang bergerak dalam usaha informal sangatlah
jarang ditemui, apalagi usaha yang dijalankan (baca: prostitusi) sangat bertolak
belakang dengan kultur yang dijunjung tinggi oleh kota yang bersangkutan. Sisi
menarik lainnya adalah sikap permisif36 masyarakat kampung Pasar Kembang –
yang tidak terlibat dalam prostitusi – terhadap praktek prostitusi diyakini semakin
memperkuat aura kemunculan relasi kuasa di dalamnya secara tanpa disadari.
Meskipun hanya sebatas kampung, relasi kuasa yang terjadi pada para aktor
mampu menciptakan sebuah “pemerintahan lokal” yang berorientasi pada praktek
prostitusi.
Relasi kuasa yang terbentuk dalam kampung prostitusi Pasar Kembang
direpresentasikan dalam bentuk skema berikut ini:
36 Sikap permisif masyarakat ditunjukkan melalui menyewakan kamar-kamar kosong untuk digunakan sebagai tempat praktek prostitusi. Sedangkan para pemilik kamar, lebih memilih mengontrak rumah di luar kampung prostitusi Pasar Kembang.
Keterangan:
1 = mekanisme transaksi antara uang dengan tubuh
2 = arus informasi dalam mencari pekerja seks
3 = pembayaran uang sewa kamar
4 = pembayaran jasa keamanan
Relasi kuasa yang digambarkan di atas dapat dipetakan menjadi dua, yaitu:
(1) antar pelibat langsung praktek prostitusi, yaitu pekerja seks, mucikari,
konsumen dan jongos (perantara); dan (2) antara pengurus kampung, preman
dengan para pelibat langsung praktek prostitusi. Pada poin pertama, relasi cukup
signifikan ditunjukkan pada posisi mucikari yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pekerja seks. Hal ini terkait dengan sewa kamar – sebagai media transaksi
seks yang dilakukan oleh pekerja seks dengan konsumen – yang besarannya
ditentukan oleh mucikari. Sedangkan pada poin kedua, relasi kuasa sangatlah jelas
terjadi dimana terdapat hubungan (relationship) antara preman dengan mucikari
dan para pekerja seks yang terjalin secara relational mengakibatkan preman
Pekerja Seks
Mucikari
Preman
Jongos
Konsumen (tamu) 1
4
3
2
4
memiliki posisi paling kuat di antara mucikari dan para pekerja seks. Hal ini
ditunjukkan pada aliran uang yang mengarah pada preman (sebagai jasa
keamanan).
Kekuasaan yang diimplementasikan oleh preman di kampung prostitusi
Pasar Kembang mengarah pada dua poin penting yang berkaitan dengan
kehidupan berpolitik sehari-hari (daily politic). Pertama, hal atau bidang yang
dikuasai (scope of power), yaitu optimalisasi sumber daya yang dimiliki dan
kepercayaan yang telah diberikan oleh pengurus kampung Pasar Kembang untuk
mengatur, mengelola dan bertanggung jawab penuh terhadap keberadaan praktek
prostitusi di dalam kampung Pasar Kembang. Kedua, pihak yang dikuasai
(domain of power), yaitu para pekerja seks dan mucikari.
BAB III
PREMAN DAN KEKUASAAN DI KAMPUNG PASAR KEMBANG
Bab ini akan memaparkan tentang upaya preman dalam memperoleh,
mengimplementasikan dan mendayagunakan kekuasaan pada kampung prostitusi
Pasar Kembang. Implikasi dari proses manajemen kekuasaan yang dilakukan oleh
preman adalah menjadikan preman sebagai local strongmen di kampung tersebut.
A. Berkuasanya Preman di kampung Pasar Kembang
Pada bab sebelumnya telah disampaikan bahwa preman merupakan orang
terkuat dalam kampung prostitusi Pasar Kembang karena memiliki kekuasaan
yang lebih dibanding dengan para pekerja seks, mucikari dan beberapa aktor lain
yang terkait dengan prostitusi. Kekuatan yang dimiliki tidak hanya didasarkan
pada kapasitas dari seorang individu saja, melainkan kapasitas kolektif hasil dari
akumulasi kapasitas masing-masing individu. Kapasitas kolektif ini diartikan
sebagai sebuah kekuasaan yang diperoleh dari serangkaian upaya dalam
mewujudkan tujuan bersama dari para preman.
Ramlan Surbakti (Haryanto, 2005: 5) mendefinisikan kekuasaan sebagai
suatu kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk
mempengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan
kehendak pihak yang mempengaruhi. Sumber-sumber pengaruh yang dimaksud
adalah sumber-sumber kekuasaan yang berasal dari kedudukan, kekayaan dan
kepercayaan37.
Sumber kekuasaan preman berasal kedudukan yang diperoleh karena
adanya dukungan dari sebagian besar preman yang ada di Yogyakarta. Sumber
lainnya berasal dari kepercayaan yang diberikan oleh pengurus kampung Pasar
Kembang untuk melindungi keberadaan praktek prostitusi di kampungnya.
Sehingga, para preman bertanggung jawab penuh terhadap segala aktivitas yang
dilakukan dalam kampung Pasar Kembang tersebut.
Kekuasaan yang telah diperoleh para preman melalui kepemilikan sumber-
sumber pengaruh, kemudian diimplementasikan melalui model paksaan ala
Charles F. Andrain38. Implementasi kekuasaan dengan model paksaan memiliki
beberapa karakteristik, mulai dari cara memandang politik, tujuan yang hendak
dicapai hingga pada implikasi dari penerapan model tersebut.
Cara memandang politik selalu berkaitan dengan pergulatan, dominasi dan
konflik. Preman dalam kampung prostitusi Pasar Kembang memiliki perspektif
politik terkait implementasi kekuasaan di dalamnya, yaitu terjadinya dominasi
dari para preman terhadap para pekerja seks dan mucikari di kampung prostitusi
Pasar Kembang. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kapasitas personal
yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam warga kampung prostitusi Pasar
Kembang.
37 Miriam Budiardjo. loc.cit. 38 Charles F. Andrain. loc.cit.
Pada sisi implikasi, implementasi kekuasaan melalui model paksaan
berimplikasi pada kemunculan bentuk kepatuhan yang dilandasi rasa takut karena
adanya sanksi, ancaman fisik, intimidasi maupun teror bagi yang tidak mematuhi
kekuasaan yang ada. Implementasi kekuasaan oleh para preman dalam kampung
prostitusi Pasar Kembang lebih mengarah pada adanya sanksi dan kekerasan
verbal bagi para pelanggar rule of the game yang ditetapkan oleh para preman.
Tujuannya adalah agar para pekerja seks mengakui, tunduk dan patuh terhadap
segala aturan main preman karena ketakutan yang dimilikinya.
Tujuan yang hendak dicapai melalui model paksaan bukanlah merupakan
tujuan bersama tetapi lebih pada mengutamakan kepentingan kelompok. Namun,
ada catatan menarik yang perlu disimak dengan melihat realita yang terjadi di
dalam kampung prostitusi Pasar Kembang, dimana yang menjadi tujuan utamanya
adalah tujuan yang tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan preman saja,
melainkan bagi para pekerja seks, mucikari dan juga secara tidak langsung bagi
masyarakat di sekitar kampung prostitusi Pasar Kembang. Tujuan utama yang
dimaksud adalah tetap eksisnya praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang.
Keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang merupakan
sebuah simpul perekonomian masyarakat Pasar Kembang. Meskipun berlabel
informal dan cenderung ilegal, keberadaan praktek prostitusi ini mampu
memberikan penghidupan bagi masyarakat sekitaran kampung Pasar Kembang
karena kegiatan ini tidak pernah sepi dari aktivitas transaksi, baik antar pelibat
langsung praktek prostitusi ataupun antara pelibat langsung dengan masyarakat
sekitarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat kampung Pasar
Kembang dan sekitarnya sangat membutuhkan keberadaan praktek prostitusi
sebagai sebuah media pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
B. Preman sebagai Local Strongmen
Pada umumnya, dalam sebuah kelompok masyarakat diperlukan adanya
sosok pemimpin di dalamnya untuk menjadi perwakilan ataupun perantara dengan
negara. Sependapat dengan Joel Migdal39 terkait dengan adanya pemimpin dalam
suatu kelompok masyarakat yang berposisi relatif otonom dari negara, atau lebih
dikenal dengan sebutan local strongmen. Hal demikian berlaku pada kelompok
preman yang menguasai kampung prostitusi Pasar Kembang. Dalam kelompok
preman tersebut terdapat pemimpin yang memiliki ‘otoritas’ mengatur dan
mengorganisir anak buahnya untuk mengawasi segala aktivitas yang terjadi di
wilayah kuasanya. Sehingga, menjadi sebuah indikasi bahwa pimpinan preman
tersebut merupakan local strongmen di wilayah yang dikuasainya.
Fenomena kemunculan pimpinan preman sebagai local strongmen di
kampung prostitusi Pasar Kembang dapat dibingkai melalui cakupan konsensual
yang diungkapkan oleh Joel Migdal mengenai fenomena kemunculan local
strongmen. Di antaranya, dengan melihatnya dari aktor yang berposisikan sebagai
local strongmen, alasan terbentuk, sumber legitimasi dan relasi dengan negara
(posisi dan dependensi terhadap negara). Cakupan tersebut bertujuan untuk
39 RPKPS Mata Kuliah Pemerintahan Komunitas. loc.cit.
mengetahui sejauhmana kapasitas local strongmen dalam memainkan peranannya
sebagai pemimpin dalam kelompoknya.
Pertama, pimpinan preman yang menguasai kampung prostitusi Pasar
Kembang dipercayakan kepada GJ, warga kampung Badran, Yogyakarta. GJ
dipercaya sebagai pimpinan preman karena memiliki kapasitas yang lebih
dibanding dengan preman lainnya, yaitu dalam hal kualitas personal dan keahlian
(informasional)40. Kualitas personal seringkali dikaitkan dengan karakteristik
berupa pesona (kharisma) yang melekat dalam diri. Meskipun GJ berasal dari
kelas ekonomi bawah yang secara sosial-ekonomi tidak memiliki kepastian
kondisi mengenai kehidupan keluarganya, GJ memiliki idealisme yang kuat demi
terangkatnya kehidupan masyarakat kelas ekonomi bawah, terutama bagi keluarga
dan masyarakat sekitarnya yang merasakan ketidakadilan. Karena adanya
dorongan sosial-ekonomi tersebut, GJ memilih jalan hidupnya sebagai preman.
Perjalanan karir GJ sebagai preman mencapai ‘titik puncak’nya pada saat
mendekam di penjara selama tiga tahun karena sebelumnya menjadi buron setelah
membunuh seorang perwira tinggi. Kurun waktu di dalam penjara itu mampu
dimanfaatkan dengan baik oleh GJ untuk menjalin relasi dengan preman lainnya.
Sebagai info tambahan, di dalam penjara terdapat sebuah aturan tidak tertulis yang
berlaku bagi para tahanan, yaitu status tersangka pembunuh lebih dihormati
40 Charles F. Andrain (Haryanto, 2005: 46) menguraikan tipe sumber daya menjadi 5 (lima), yaitu fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian (informasional).
dibanding dengan pencuri maupun pemerkosa.41 Selepas dari penjara, GJ
menjalankan suatu bisnis ‘hitam’ (ilegal) di sektor keamanan (di antaranya
melindungi para PKL Malioboro, prostitusi Pasar Kembang dan perjudian di
Pasar Terban) dengan jaringan para preman yang mayoritas dikenalnya selama
dalam penjara dan juga dengan aparat keamanan negara atas ulah kejahatannya
waktu itu (Ulil Amri, 2005: 47-49). Khusus relasinya dengan aparat keamanan
negara, GJ direkrut menjadi kaki tangan militer (agen rahasia berbaju sipil).42
Di sisi keahlian (informasional), GJ memiliki latar belakang pendidikan
yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Dengan mengenyam bangku
perkuliahan di Universitas Janabadra Yogyakarta, mengambil Program Ekstensi
Fakultas Hukum.43 Keahlian yang dimiliki GJ yaitu sebagai arsitek dan
pemborong masjid dimana dana yang diperoleh dari bisnis ‘hitam’nya, sebagian
digunakan untuk pemberdayaan rakyat kecil dan pembangunan masjid (salah
satunya masjid di kampung Badran).44 Selain itu, GJ memiliki keahlian yang
cukup langka dimiliki oleh preman sekalibernya. Setiap bulannya, GJ
memberikan kajian keislaman berupa siraman rohani kepada masyarakat Badran
dan pekerja seks. Khusus bagi pekerja seks, tindakan ini bertujuan untuk membina
mereka agar tetap berpegang teguh pada kepercayaan agamanya dan yang
41 Ulil Amri. 2005. Preman-Preman Yogyakarta; Studi Antropologis terhadap Fenomena Premanisme Kontemporer. Skripsi mahasiswa Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta. Hal. 46. 42 Ibid. Hal. 47. 43 Wawancara dengan MW, salah seorang preman yang mengenal secara dekat GJ sedari kecil. Berlangsung pada tanggal 11 Februari 2010 pukul 18.00. 44 Ulil Amri. op.cit. hal. 49.
terpenting adalah agar tetap percaya diri bahwa melacur bukan pekerjaan hina –
selama hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan hidup (Ulil Amri, op.cit:
50).
Kedua, local strongmen muncul sebagai bentuk resistensi mereka terhadap
keberadaan penguasa (negara) dan representasi kelas ekonomi lemah atas nama
‘penindasan’ (Ulil Amri, op.cit: 101). Para local strongmen merasa bahwa selama
ini mereka dan masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah mendapat
perlakuan yang tidak adil dari pemerintah, terutama segala hal yang seharusnya
menjadi haknya sebagai warga negara.
Ketiga, local strongmen memperoleh legitimasi dari pengurus kampung
prostitusi Pasar Kembang, para pekerja seks dan mucikari melalui pelbagai
sumber yang di antaranya berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat kampung Pasar Kembang, yaitu tempat tinggal, hubungan sosial dan
‘perlindungan’.
Keempat, peranan yang sebenarnya dimainkan oleh preman sebagai local
strongmen ketika berhadapan dengan negara (Pemerintah Kota Yogyakarta)
adalah sebagai ‘oposisi’ karena perbedaan kepentingan yang melatarbelakangi hal
tersebut. Para local strongmen menginginkan tetap terjaganya praktek prostitusi di
kampung Pasar Kembang sampai kapanpun karena dari ‘lahan’ ini mereka dapat
melangsungkan hidup. Berseberangan dengan para local strongmen, kepentingan
Pemerintah Kota Yogyakarta tentunya menginginkan praktek prostitusi di
kampung tersebut dihilangkan dan diganti dengan aktivitas masyarakat yang
bernilai positif, berupa pengembangan di sektor kesenian tradisional, hotel dan
restoran pada kawasan Pasar Kembang.
Kelima, local strongmen mempunyai social capacity yang memungkinkan
mereka untuk menerapkan aturan tanpa diintervensi oleh Pemerintah Kota
Yogyakarta. Kapasitas sosial dalam hal ini diartikan sebagai sebuah idealisme
para local strongmen yang dimanifestasikan dalam bentuk tindakan berupa
menentang dan menyimpang dengan maksud pembalikan tatanan nilai seperti
menghindari konflik, menghargai orang lain dan menjaga harmoni sosial.
Idealisme ini secara eksplisit menggoyang tatanan moral masyarakat, namun
secara implisit terdapat sebuah nilai yang melatarbelakanginya, yaitu terwujudnya
martabat dan kehormatan sosial mereka sebagai representasi dari kalangan
masyarakat ekonomi menengah ke bawah.45
Keenam, ketika kapasitas Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengontrol
melemah (weak state) maka para local strongmen menampakkan kekuasaannya
dalam level lokal. Pemerintah Kota Yogyakarta dikatakan memiliki kontrol yang
lemah terhadap keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang dilihat
dari adanya oknum-oknum aparat keamanan pemerintah yang berkeliaran bebas di
daerah yang memiliki aktivitas transaksi seks tanpa melakukan tindakan apapun
sebagai bentuk tanggung jawab mereka kepada Pemerintah Kota Yogyakarta.
45 Ibid. Hal. 84.
C. Strategi Dominasi Local Strongmen
Kekuasaan yang telah diperoleh para local strongmen yang digunakan
untuk melindungi keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang
sejauh ini cukuplah mencengangkan. Bagaimana tidak, ketika praktek prostitusi di
daerah-daerah luar kota Yogyakarta banyak yang diberantas oleh kekuatan negara
karena ketidakberdayaan para local strongmen setempat dalam mempertahankan
‘lahan’ kekuasaannya, Pasar Kembang di kota Yogyakarta masih saja tetap adem
ayem. Praktek prostitusi masih tetap berjalan karena kapabilitas para local
strongmen dalam mengatur dan mengelola keberadaan praktek prostitusi di
kampung Pasar Kembang berjalan sesuai dengan strategi yang diterapkan. Strategi
ini oleh para local strongmen merupakan senjata ampuh dalam mempertahankan
’lahan’ kekuasaannya.
Strategi pertama yang diterapkan oleh para local strongmen adalah
memaksimalkan kekuatan dan potensi yang ada dalam diri dan lingkungan tempat
mereka berada. Para local strongmen mampu mempengaruhi perspektif politik
para pekerja seks dan masyarakat yang tidak terlibat praktek prostitusi di
kampung Pasar Kembang. Sehingga menyebabkan negara tidak dapat melakukan
intervensi dan menerapkan regulasi di dalam kampung prostitusi Pasar Kembang,
karena lebih mempercayai kapasitas local strongmen.
Realita menunjukkan ketika sederet peraturan-peraturan daerah yang
ditetapkan oleh Walikota Yogyakarta mengenai segala sesuatu yang berkaitan erat
dengan prostitusi – baik pelaku, sarana praktek prostitusi maupun lokasi praktek
prostitusi – tidak ditaati oleh para pekerja seks dan mucikari yang terdapat di
kampung prostitusi Pasar Kembang. Peraturan-peraturan tersebut tidak mampu
‘menyusup’ dan ‘menghancurkan’ dunia prostitusi di kampung Pasar Kembang.
Jarang sekali ditemukan para pekerja seks yang bekerja di kampung prostitusi
Pasar Kembang tertangkap operasi razia karena pelanggaran perda. Hal ini dapat
menunjukkan keberhasilan para local strongmen dalam menerapkan strategi
mempertahankan ‘lahan’ kekuasaan. Mereka mampu memberikan pengaruh yang
kuat pada para pekerja seks dan mucikari bahwa peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta tidak memberikan jalan keluar yang
solutif, tapi malah menyengsarakan kehidupan para pelibat prostitusi di kemudian
hari.
Pemerintah melalui Perda-nya hanya memberikan ganjaran hukuman
kurungan dan denda, tanpa ada upaya solutif bagi para pelaku prostitusi yang
tertangkap ketika ada operasi razia. Upaya terbaik dari Pemerintah Kota
Yogyakarta hanyalah ketika menjalankan proyek resosialisasi bagi para wanita
tuna susila yang berlokasikan di Sanggrahan. Namun sayangnya, proyek
resosialisasi tersebut hanya berjalan singkat karena lokasinya sekarang dibangun
sebuah terminal bis kota Yogyakarta. Dapat dibayangkan betapa malangnya nasib
para wanita tuna susila yang terjaring dalam proyek resosialisasi pada saat
lokalisasi di Sanggrahan ditutup. Kehidupan mereka menjadi tidak terkontrol dan
lepas dari perhatian Pemerintah Kota Yogyakarta. Apabila realita ini
dibandingkan dengan para pelaku prostitusi yang berada dalam kampung
prostitusi Pasar Kembang, sungguh ironis! Hingga sekarang ini, para pekerja seks
yang bekerja di kampung prostitusi Pasar Kembang mampu mencukupi kebutuhan
hidup mereka sehari-hari 46.
“Nyambut gawé nang Sarkem kuwi kepénak, mas daripada nglonthé nang pinggir dalan. Olehé dhuwit akeh, metuné yo akeh, tapi rapopo. Sing penting iso nguripi awaké dhéwé, aman ra keno razia polisi. Mbiyen sakdurungé nang Sarkem, olehku éntuk dhuwit ra sepiro dibanding nang Sarkem, mas. Saiki nang kéné waé aku, ra arep pindah meneh.”
(Bekerja di Sarkem itu enak, mas daripada melacur di pinggir jalan. Dapat uangnya banyak, pengeluaran juga banyak, tapi tidak masalah. Yang penting bisa mencukupi kebutuhan sendiri, aman dan tidak tertangkap razia polisi. Dulu sebelum bekerja di Sarkem, pendapatan saya kurang dari yang saya peroleh di Sarkem sekarang ini, mas. Sekarang saya di sini saja, tidak ingin pindah lagi.)
Strategi kedua, local strongmen melakukan kontrol sosial dengan
menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ‘strategi bertahan
hidup’ kepada para pekerja seks di kampung prostitusi Pasar Kembang. Dengan
kondisi seperti itu, local strongmen memiliki legitimasi dan memperoleh banyak
dukungan dari mereka. ‘Strategi bertahan hidup’ ini merujuk pada tetap
mengandalkan prostitusi sebagai aktivitas ekonomi utama di Pasar Kembang
sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama bagi para pekerja
seks. Meskipun praktek prostitusi memiliki label negatif di mata masyarakat
umum, hal ini tidak berlaku bagi para local strongmen, para pekerja seks di
kampung prostitusi Pasar Kembang dan masyarakat sekitarnya. Keberadaan
praktek prostitusi di jantung kota Yogyakarta mampu menghidupkan
perekonomian masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga
46 Ibid.
mayoritas di antara mereka memiliki ketergantungan pada aktivitas transaksi seks
ini.
Kontrol sosial yang dilakukan oleh para local strongmen dalam ‘strategi
bertahan hidup’ ini merupakan upaya yang mereka lakukan untuk mengatur
kehidupan sosial para pekerja seks dengan tujuan untuk meningkatkan kepedulian
terhadap sesama. Hal ini ditunjukkan ketika ada salah seorang pekerja seks sedang
tertimpa musibah, para local strongmen memastikan seluruh pekerja seks untuk
menyisihkan sebagian pendapatannya sebagai iuran sukarela untuk membantu
meringankan beban pekerja seks yang sedang tertimpa musibah tersebut.
Meskipun berlabelkan ‘iuran sukarela’, tetapi besaran iuran telah ditetapkan
sebelumnya oleh para local strongmen dan seluruh pekerja seks wajib membayar
ketika mereka sedang bekerja di Pasar Kembang. Sebenarnya tidak hanya terkait
dengan adanya salah seorang pekerja seks yang terkena musibah saja local
strongmen melakukan kontrol sosial. Ketika ada warga masyarakat umum yang
tinggal di dalam kampung prostitusi Pasar Kembang sedang mengadakan hajatan,
acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dan juga pembangunan kampung (kerja
bakti) seluruh pekerja seks turut dilibatkan dengan tujuan bersosialisasi dengan
penduduk asli Pasar Kembang yang tidak terlibat dengan praktek prostitusi47.
Strategi ketiga, para local strongmen mampu memanfaatkan ‘lahan’
kekuasaannya dengan optimal. Setting awal Gang 3 Sosrowijayan Kulon adalah
rumah penduduk dengan menyediakan banyak kamar kosong untuk disewakan
47 Mudjijono. op.cit. Hal. 78.
kepada para wisatawan yang berkunjung ke kota Yogyakarta. Sehingga izin usaha
yang diajukan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta adalah izin losmen
(penginapan) dan juga warung mamin (makan dan minum). Namun, setting awal
tersebut diubah dengan cerdik menjadi kampung prostitusi Pasar Kembang.
Strategi keempat, menjalankan pola patronase terkait keberadaan praktek
prostitusi di kampung Pasar Kembang dari serangan pihak luar. Preman dalam
pola patronase menjalankan peran sebagai patron (pihak yang melindungi),
sedangkan warga komunitas seperti pekerja seks dan mucikari berperan sebagai
klien (pihak yang dilindungi). James C. Scott48 menyebutkan hubungan antara
patron dengan klien merupakan pertukaran hubungan antara kedua peran dimana
seorang individu atau sekelompok kecil individu dengan status sosial-ekonomi
yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk
menyediakan perlindungan dan atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang
dengan status lebih rendah (klien). Pada gilirannya, klien membalasnya dengan
menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron.
Secara sederhana, pola patronase sebagaimana yang diuraikan James C. Scott
menimbulkan hubungan yang lebih bersifat saling menguntungkan (simbiosis
mutualisme).
Implikasi penerapan strategi tersebut membuat para local strongmen
mampu menciptakan bargaining position (posisi tawar) yang kuat bagi
48 James C. Scott. 1993. op.cit. Hal. 7.
keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang karena mampu
membentuk semacam ‘pemerintahan lokal’ yang independen.
BAB IV
‘PERMAINAN’ PARA LOCAL STRONGMEN
Bab ini akan menceritakan tentang peran preman sebagai local strongmen
dalam membangun patronase di kampung prostitusi Pasar Kembang. Hal ini
merupakan bentuk relasi mereka dengan para pekerja seks dan mucikari dalam
kampung prostitusi Pasar Kembang (interaksi internal) serta dengan oknum aparat
keamanan pemerintah (interaksi eksternal). Realita ini menjadi simpul utama
terkait tetap eksisnya praktek prostitusi di Pasar Kembang.
A. Pola Interaksi antara Preman dengan Pelaku Prostitusi di Kampung
Prostitusi Pasar Kembang
1. Antara Harapan dan Kenyataan
Kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki preman dalam kampung
prostitusi Pasar Kembang inilah yang diharapkan mampu menjadi senjata
utama melindungi para pekerja seks dan keberadaan praktek prostitusi di
kampung Pasar Kembang dari ancaman maupun bahaya yang berasal dari
pihak-pihak luar. Seiring berjalannya waktu, pola patronase dalam kampung
prostitusi Pasar Kembang berubah haluan. Pola hubungan dengan sebelumnya
bersifat menguntungkan berubah menjadi merugikan (simbiosis parasitisme).
Indikasi awal adalah ketika GJ – tokoh sentral yang sangat dihormati oleh
kalangan preman dan warga kampung prostitusi di Pasar Kembang dan
sekitarnya – sudah tidak lagi aktif turun langsung ke dalam kampung
prostitusi Pasar Kembang. Sekarang ini, pimpinan preman yang turun
langsung ke lapangan dipercayakan kepada salah satu orang kepercayaan GJ
yang berdomisili di kampung Sosrowijayan Kulon, Pasar Kembang49.
Faktor ketidakberadaan GJ secara tidak langsung mempengaruhi
kinerja preman. Preman yang berperan sebagai patron hanya menuntut hak-
haknya tanpa melaksanakan kewajiban sebagaimana halnya yang termaktub
dalam konsep patronase James C. Scott. Perlakuan kasar melalui perkataan
yang tidak mengenakkan hati seringkali dikeluarkan para preman dalam
komunitas prostitusi Pasar Kembang terkait dengan keterlambatan ataupun
belum mampu membayar sejumlah uang sebagai kewajiban pokok yang harus
dipenuhi oleh warga kampung. Hal demikian sangatlah merugikan para
pekerja seks yang telah melakukan pengorbanan dengan mengeluarkan
sumber daya materinya sebagai balas jasa, namun tidak mendapatkan imbal
balik yang sepadan.
Beberapa pekerja seks merasa kecewa dengan keberadaan para preman
yang sekarang berkuasa dalam kampung prostitusi Pasar Kembang50.
Mayoritas menyayangkan perilaku preman yang tidak memanusiakan
(menghargai) para pekerja seks yang bekerja sekuat tenaga demi memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka ketika dalam menarik iuran, ada pekerja seks
yang belum dapat membayar dengan lunas.
49 Pimpinan preman dalam kampung prostitusi Pasar Kembang dipercayakan pada NN, sedangkan GJ hanya melakukan monitoring. 50 Wawancara dengan SR dan YN, pekerja seks yang bekerja di kampung prostitusi Pasar Kembang, berlangsung pada tanggal 17 Februari 2010.
“Nang kéné, sing jenengé iuran sukarela ki dadiné iuran wajib mas. Mbok arep iuran kematian warga opo ono warga sing keno musibah, kabeh pekerja seks sing ono ditariki dhuwit. Nek konangan ndelik opo lungo, do dienteni opo mengko diparani meneh karo premané. Dadiné gak enek sing gak bayar, mas. Padahal kuwi kan kuduné iuran sukarela to mas, sing mbayaré sak ikhlasé? Tapi malah ditariki podo gedhéné nggo saben warga. Pokoké, podho aé karo iuran wajib wulanan, mas. Pernah enek sing babar blas gak duwe duwit, dadi gak iso bayar, tapi malah diseneni trus dipisuhi. Pokoké, préman nang kene saiki malah ngrugekké warga. Bedho karo préman mbiyen, pas jamané GJ isih sering teko ning Sarkem.”
(Di sini, yang namanya iuran sukarela jadinya iuran wajib, mas. Entah itu iuran kematian warga atau ada warga yang terkena musibah, semua pekerja seks yang sedang mangkal dimintai uang. Kalau ketahuan sembunyi atau pergi, preman menunggunya atau nanti didatangi lagi. Jadi, tidak ada yang tidak bayar, mas. Padahal itu seharusnya iuran sukarela yang dibayarkan seikhlasnya, tapi penarikan besarnya iuran sama bagi semua warga. Pokoknya sama dengan iuran bulanan, mas. Pernah ada pekerja seks yang tidak punya uang sama sekali, jadi tidak bisa bayar. Namun, preman tidak peduli sehingga ujung-ujungnya kena damprat dan cacian (kata kasar). Pokoknya, preman yang sekarang di sini malah merugikan warga. Beda dengan preman eranya GJ yang masih sering datang ke Pasar Kembang.)
Gambaran mengenai keberadaan preman dalam kampung prostitusi
Pasar Kembang merupakan kenyataan pahit yang harus diterima oleh warga
komunitas, khususnya pada pekerja seks. Harapan mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari melalui penawaran jasa biologis kepada
konsumen yang tidak tentu besarnya terbentur oleh besarnya pengeluaran
yang habis hanya untuk diberikan kepada preman, belum lagi perlakuan tidak
sopan yang diterima ketika mereka mencoba menghindar dari preman.
2. Patronase yang Bersifat Parasitisme
Pola patronase yang terjadi dalam kampung prostitusi Pasar Kembang
pada dasarnya merupakan pertukaran sumber daya yang dimiliki oleh masing-
masing pihak, yaitu antara preman melalui penawaran jasa keamanan dengan
para pekerja seks dan mucikari yang membayarkan sejumlah uang sebagai
imbalan atas jasa keamanan. Dalam pola patronase disebutkan pula bahwa
masing-masing pihak memiliki peranan yang memungkinkan mendukung
kelangsungan pola tersebut. Dengan kata lain, peranan yang dimainkan
masing-masing pihak merupakan faktor utama yang menentukan berlakunya
pola patronase dalam suatu masyarakat ataupun negara.
Para aktor yang terlibat dalam pola patronase di kampung prostitusi
Pasar Kembang seharusnya menerapkan peran-peran sebagaimana yang
dimaksudkan oleh James C. Scott dimana dalam pola tersebut memiliki
hubungan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Pun demikian,
ketika patron tidak mampu memberikan keuntungan pada kliennya, secara
otomatis klien dapat menuntut balik serta meminta tanggung jawab dari
patron. Sehingga klien tidak termasuk dalam golongan pihak yang
termarginalkan, karena klien memiliki hak untuk melakukan upaya resistensi
kepada patron sebagai upaya menuntut hak yang semestinya diperoleh
(diberikan oleh patron).
Realita yang terdapat dalam kampung prostitusi Pasar Kembang
sangatlah jauh dari harapan para pekerja seks dan mucikari. Preman yang
diharapkan mampu menjadi pelindung para pekerja seks dan keberadaan
praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang, dirasa gagal memenuhi
kewajibannya sebagai patron dalam pola patronase. Preman, menurut para
pekerja seks dan mucikari hanya menuntut segala hal yang menjadi hak-
haknya tanpa memperhatikan peran sebagai patron. Ketidakmampuan atau
ketidakberdayaan para pekerja seks dan mucikari dalam melakukan upaya
resistensi diyakini sebagai faktor pendukung gagalnya konsep patronase dalam
kampung prostitusi Pasar Kembang.
Berkuasanya preman merupakan suatu hal tidak dapat dipungkiri lagi,
meskipun ada segelintir pekerja seks yang mencoba melakukan upaya
resistensi, namun ujung-ujungnya hanya membawa celaka bagi dirinya
sendiri. Hal demikian terjadi karena preman dalam melawan upaya resistensi
dari para pekerja seks tidak menggunakan kekerasan fisik berupa pemukulan
atau penganiayaan, melainkan memilih kekerasan verbal dengan mengumpat
maupun mengumpat para pekerja seks yang terlibat upaya tersebut.51
“Preman nang kéné sak penakké dhéwé mas. Nek dieyeli malah ngelokké sak karepé dhéwé. Ngko, ujung-ujungé malah nglarani ati wong wédok sing nyobo nglawan preman. Dadi wong wédok kéné luwih milih ngalah daripada dilarani léwat omongan preman sing waton.”
(Preman di sini seenaknya sendiri, mas. Kalau dilawan malah mengumpat tanpa dipikir terlebih dahulu. Alhasil, malah menyakiti hati perempuan yang mencoba untuk melawan. Oleh karena itu, kami lebih memilih untuk mengalah saja daripada disakiti melalui omongan yang asal keluar dari preman.)
Sumber daya yang dimiliki oleh preman, yaitu kekuasaan dan
kedudukan disalahgunakan demi tercapainya kepentingan kelompok preman
dalam kampung prostitusi Pasar Kembang. Dengan menggunakan penerapan
model paksaan, preman dengan seenaknya menuntut haknya sebagai penguasa
51 Wawancara dengan WN. loc.cit.
dalam kampung. Adapun yang menjadi hak preman adalah jatah uang
bulanan, minuman keras secara gratis, transaksi seks dengan pekerja seks
secara gratis (seharusnya bayar namun ada potongan harga) dan iuran lain-lain
yang lebih bersifat insidental namun dibebankan secara wajib kepada para
pekerja seks dan mucikari.
Peranan yang dimainkan preman hanya sebatas memberikan lahan
pekerjaan kepada para pekerja seks dan mucikari yang menginginkan bekerja
di Pasar Kembang. Namun, tidak ada jaminan bagi kelangsungan hidup para
pekerja seks dan mucikari di saat mereka terlilit hutang karena besarnya
pengeluaran daripada pendapatan yang diperoleh. Preman tidak
mempedulikan kondisi para pekerja seks dan mucikari yang demikian,
sehingga mau tidak mau para pekerja seks ketika kesulitan keuangan memilih
mencari tukang potang untuk membantu melangsungkan kehidupan52.
“Thethek nang Sarkem ki bebas mas. Sing penting saben ditariki iuran kudu bayar. Padahal iuran sing ditariki ra mesti iuran bulanan nggo keamanan, tapi iuran nggo wong kéné sing lagi keno musibah. Ngono kuwi kan jenengé iuran sukarela sing gak wajib. Karo préman kene, kabeh pekerja seks sing lagi thethek wajib bayar iuran sukarela, gak perduli arep gak duwe dhuwit sekalipun. Ujung-ujungé sing repot pekerja seks é mas, kudu golek utangan nang wong liyo, biasané nang tukang potang sing gampang persyaratané tapi mbalékké dhuwité sing rada angel. Soalé bungané 50%nan.”
(Bekerja di Pasar Kembang itu bebas, mas. Yang penting setiap dimintai iuran harus bayar. Padahal iuran yang ditarik tidak selalu iuran bulanan untuk keamanan, tapi iuran untuk warga yang sedang terkena musibah. Seperti itu kan namanya iuran sukarela yang tidak
52 Ibid.
wajib. Oleh preman di sini, semua pekerja seks yang sedang bekerja, wajib membayar iuran sukarela, tidak peduli meskipun tidak punya uang sekalipun. Ujung-ujungnya, yang repot adalah pekerja seksnya sendiri, mas. Kita harus cari pinjaman ke orang lain, biasanya ke tukang potang yang mudah persyaratannya, tapi berat mengembalikannya karena bunga pinjaman 50%-an.)
Dalam hal perlindungan, preman tidak sepenuhnya melindungi para
pekerja seks dan mucikari. Mereka seolah lepas tanggung jawab ketika hak
berupa uang jasa keamanan telah diterima. Hal semacam ini yang sangat
disesalkan oleh para pekerja seks dan mucikari karena apabila terjadi konflik
dalam kampung, preman tidak mau turun tangan (terlibat). Penyelesaian
konflik harus diselesaikan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik53.
“Préman kene mung nampa dhuwit thok mas. Gak pernah ngrampungké masalah-masalah sing terjadi nang kene. Mbiyen pas enek udhur antar pekerja seks masalah konsumen, préman mung meneng gak melu ngrampungké. Selain kuwi, pas enek wong mendhem nang njero Sarkem gelut, préman yo gak ndang ngrampungké. Sakjané préman nang Sarkem ki mung nunut pénak aé, gak tau melu ngrasakké rekasané.”
(Preman di sini hanya menerima uang saja, mas. Tidak pernah menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di sini. Dulu waktu ada konflik antar pekerja seks mengenai konsumen, preman hanya diam saja, tidak ikut menyelesaikan. Selain itu, waktu ada orang mabuk di dalam Pasar Kembang yang berkelahi, preman juga tidak langsung menyelesaikan. Sebenarnya preman di Pasar Kembang hanya ingin merasakan enaknya saja, tidak pernah mau merasakan susahnya.)
Bagi para pekerja seks dan mucikari, keberadaan preman dalam
kampung sekarang ini tidak lebihnya semacam “parasit”. Artinya, preman
hanya numpang hidup dari keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar
53 Ibid.
Kembang tanpa mengeluarkan sedikit keringatpun. Dengan kata lain, segala
bentuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari preman disandarkan pada uang
tarikan bulanan dan iuran insidental yang dibebankan kepada pekerja seks dan
mucikari.
Para pekerja seks berasumsi bahwa keberadaan preman dalam
kampung prostitusi Pasar Kembang hanya menyusahkan para pekerja seks
dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup54.
“Piyé gak nyusahké mas nek gawéané ben dina ki mung njaluki dhuwit, mendhem karo njaluk jatah nuroni pekerja seks. Kéné sing ngrasakké rekoso, kono sing ngrasakké pénaké. Préman nang kéné gak enek sing duwé gawéan tetep, mas. Isoné mung ngathung nang pekerja seks thok, nunut urip nang Sarkem istilahé.”
(Bagaimana tidak menyusahkan mas, kalau pekerjaannya setiap hari hanya minta uang, mabuk dan minta jatah meniduri pekerja seks. Kita yang merasakan susahnya, mereka yang merasakan enaknya. Preman di sini tidak ada yang punya pekerjaan tetap mas. Bisanya hanya minta kepada para pekerja seks saja, numpang hiduplah di Pasar Kembang istilahnya.)
Secara sederhana, konsep patronase yang berlangsung dalam kampung
prostitusi Pasar Kembang sekarang ini dapat disarikan melalui tabel berikut:
54 Ibid.
Tabel 6
Pola Interaksi antara Preman, Pekerja Seks dan Mucikari dalam Konsep Patronase di Kampung Prostitusi Pasar Kembang55
Cakupan Peran
dan Fungsi Preman (Patron) Pekerja Seks dan Mucikari (Client)
Penyediaan
Sumber Daya
• Kekuasaan
Lebih didasarkan pada kekuatan fisik untuk
memperoleh sumber daya yang diinginkan.
• Kedudukan
Melalui kekuatan yang dimiliki dan diakui
keberadaannya oleh kelompok preman lainnya.
• Dukungan
Keberadaan preman hanya diakui sebagai
formalitas saja, tidak lebih karena keberadaan
preman bersifat “parasit”.
• Loyalitas
Loyal bekerja di kampung prostitusi Pasar
Kembang, bukan pada preman. Karena di kampung
ini tingkat pendapatan pekerja seks lebih besar
dibanding dengan daerah prostitusi lainnya di
Yogyakarta.
55 Terjadi pada saat GJ tidak lagi aktif melibatkan diri secara langsung dalam melindungi dan mengawasi segala aktivitas dalam kampung prostitusi Pasar Kembang.
• Materi
Meskipun memiliki tingkat pengeluaran yang
tinggi, para pekerja seks selalu mampu membayar
administrasi yang dibebankan preman kepadanya,
baik yang bersifat bulanan maupun insidental.
Ruang Otoritas
• Menyediakan penghidupan subsistensi dasar,
yaitu keberadaan praktek prostitusi di kampung
Pasar Kembang sebagai lahan pekerjaan pekerja
seks dan mucikari.
• Tidak memberikan jaminan krisis subsistensi
kepada pekerja seks maupun mucikari ketika
kesulitan dalam hal keuangan.
• Tidak memberikan perlindungan kepada pekerja
seks dan mucikari.
• Ketergantungan dan legitimasi yang terkesan
dipaksakan.
• Mengalami pelanggaran terhadap pertukaran yang
stabil. Preman lebih sering menuntut hak-haknya
daripada memenuhi apa yang menjadi
kewajibannya. Hal ini berbanding terbalik dengan
apa yang telah dilakukan oleh pekerja seks.
• Tidak terpenuhinya hak-hak sosial dasar, seperti
perlindungan dan keamanan.
• Memiliki posisi tawar-menawar yang rendah.
Apabila terjadi konflik dengan preman, pekerja
seks lebih memilih untuk nurut atau ngalah
daripada mendapat hinaan (caci maki) dari preman.
Relasi yang terjalin dengan konsep patronase dalam kampung prostitusi
Pasar Kembang merupakan manifestasi kekuasaan yang berlaku di ranah
masyarakat yang berbasis pada ekonomi informal. Praktek prostitusi menjadi
simpul utama berjalannya aktivitas ekonomi informal di kawasan Pasar Kembang.
Sedangkan preman mampu menjelma menjadi kekuatan tak tertandingi dalam
kampung prostitusi Pasar Kembang, sehingga memiliki kekuasaan yang dapat
diimplementasikan secara otoriter kepada para pekerja seks di kampung prostitusi
Pasar Kembang. Konsep patronase secara ideal tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya, karena preman berkuasa secara otoriter dan ketidakberdayaan para
pekerja seks untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan yang dimiliki
preman.
B. Konspirasi ‘Terselubung’
Kehidupan malam yang terjadi dalam kampung prostitusi Pasar Kembang
merupakan sebuah relasi yang terjalin antara warga sekitar kampung prostitusi,
preman, konsumen (tamu) dan beberapa oknum aparat keamanan Pemerintah Kota
Yogyakarta. Adapun relasi yang terjalin dalam komunitas tersebut berupa relasi kerja
dan relasi kuasa. Preman sebagai aktor sentral dalam kampung prostitusi Pasar
Kembang memiliki peranan dalam mengatur kehidupan dalam kampung tersebut. Di
sini, para preman mengimplementasikan kekuasaannya terhadap para pekerja seks
dan mucikari, serta melakukan relasi kerja dengan oknum aparat keamanan
pemerintah setempat.
Relasi kerja yang dilakukan preman dengan oknum aparat keamanan
pemerintah setempat dapat dilihat dari cara preman bersosialisasi dengan preman-
preman lainnya. Tidak semua kumpulan orang yang nongkrong di dalam kampung
prostitusi Pasar Kembang murni preman. Sebagian di antaranya adalah oknum aparat
yang datang tanpa berseragam resmi dari institusinya dengan maksud dan tujuan
tertentu, sebagian lagi merupakan preman dari luar serta konsumen yang sering
datang (pelanggan) . Keberadaan para oknum aparat dalam kampung prostitusi Pasar
Kembang yang menyatu dengan para preman merupakan habitus (kebiasaan) sehari-
hari di waktu malam.
“Nang kéné ora mung préman thok mas, enek polisi karo militer barang, tapi wong-wongané ra nganggo seragam. Njaluk geger po wani teko dhewean nganggo seragam? Dheweké nek mréné ki yo mung dolan, ndelok-ndelok ono sing anyar pora. Nek ra ngono yo
melu ngombé bareng préman kéné.”56
(Di sini tidak cuma preman saja mas. Ada juga polisi dan militer, tapi tidak berseragam. Minta ribut apa berani datang ke Sarkem sendirian dengan berseragam? Mereka kalau ke sini kadang cuma main, lihat-lihat ada pekerja seks yang baru atau tidak. Kalau tidak bertanya seperti itu, mereka juga ikut minum bersama dengan preman di sini).
Agenda harian dari acara nongkrong preman dengan oknum aparat lebih
sering diisi dengan aktivitas bersenang-senang, membicarakan hal apa saja, merokok
dan minum minuman beralkohol57. Khusus untuk aktivitas ngombé, apabila
56 Wawancara dengan IR, preman yang seringkali nongkrong di Pasar Kembang, berlangsung pada tanggal 14 Februari 2010. 57 Aktivitas minum minuman beralkohol biasa disebut dengan istilah ngombé.
dikonsumsi dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan hilang akal sadar yang
kemudian berujung pada pertikaian (cekcok). Biasanya diawali dari saling pandang
yang tidak mengenakkan, mengumpat atau tidak sengaja memukul rekannya terlebih
dahulu. Keadaan onar ini seringkali diselesaikan melalui mekanisme kekerasan fisik,
yaitu perkelahian. Implikasi yang ditimbulkan dari perkelahian ini adalah
memunculkan perasaan tidak enak (kurang nyaman) dalam aktivitas nongkrong di
lain waktu. Sehingga, mereka yang terlibat perkelahian merasa sungkan untuk
kembali ikut nongkrong di dalam kampung prostitusi Pasar Kembang58.
“Nongkrong nang njero Sarkem ki identik karo ngombé, mas. Nek sampeyan gelem, teko melu ngumpul waé, rasah pekéwuh. Tapi ojo nganti kaget nek kadang-kadang ono sing senengé gawé ribut pas posisi wis mendhem. Ono-ono waé polahé, sing parah ki yo ngejakki gelut. Tau aku karo kancaku bedho kampung dolan bareng nang njero trus melu ngombé bareng préman liyané. Pas kancaku bedho kampung mau posisiné wis teler, e lha kok malah ngejak gelut kancaku sing asli Sarkem. Padahal sakdurungé ra ono masalah opo-opo. Aku malah dadi ra kepénak dhewe to, mas? Ujung-ujungé saiki aku dadi pekéwuh karo kanca-kanca Sarkem nek arep dolan mrono goro-goro kejadian kaé.”
(Nongkrong di dalam Pasar Kembang itu identik dengan minum, mas. Kalau anda mau, datang langsung kumpul saja, jangan sungkan. Tapi jangan sampai terkejut kalau terkadang ada yang sukanya membuat onar saat keadaannya sudah mabuk. Ada-ada saja tingkahnya, yang parah itu mengajak berkelahi. Saya pernah mengajak teman kumpul beda kampung untuk nongkrong dan minum bersama preman lainnya di dalam Pasar Kembang. Sewaktu teman saya beda kampung tadi dalam keadaan mabuk berat, dia malah mengajak berkelahi teman saya yang tinggal di Pasar Kembang. Padahal sebelumnya tidak terjadi
58 Wawancara dengan AG, preman Badran yang dulu seringkali nongkrong di Pasar Kembang, berlangsung pada tanggal 17 Februari 2010.
masalah di antara mereka. Saya jadi tidak enak hati kan, mas? Ujung-ujungnya sekarang saya sungkan dengan teman-teman Pasar Kembang jika hendak nongkrong, gara-gara kejadian tempo hari).
Aktivitas nongkrong dan ngombé dalam kampung prostitusi Pasar Kembang
menjadi media pertemuan antara para preman dengan oknum aparat keamanan
pemerintah Kota Yogyakarta. Pertemuan ini memiliki pelbagai maksud dan tujuan
dari kedua belah pihak. Di sisi preman, pertemuan dengan oknum aparat menjadi
senjata ampuh dalam meminta perlindungan terhadap regulasi pemerintah dan
intervensi yang berasal dari pihak luar yang tidak menginginkan keberadaan praktek
prostitusi di kampung Pasar Kembang. Sedangkan bagi para oknum aparat, seperti
mendapat ‘lahan’ baru terkait dengan pemasukan kantong pribadinya. Terjadi
transaksi jasa dan materi antar kedua belah pihak dari efek pertemuan rutin yang
terjalin oleh keduanya. Para oknum aparat memberikan informasi terkait operasi razia
(implementasi regulasi daerah) dan membantu para preman dalam melindungi
keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang dari gangguan pihak luar
(semacam kelompok kepentingan ataupun preman luar). Namun, para oknum tersebut
bekerja atas nama individu, tidak atas nama institusi (korps). Sehingga sulit untuk
dilacak dari institusi (korps) mana mereka berasal59.
“Para oknum yang ikut ngumpul bareng dengan preman Sarkem itu kebanyakan berasal dari luar, kalo yang berasal dari instansi pemerintah terdekat, seperti Koramil maupun Polsek Gedong Tengen
59 Wawancara dengan TJS, salah seorang petugas Pol PP yang bertugas melakukan monitoring di dalam komunitas prostitusi Pasar Kembang di setiap malam hari, berlangsung pada 11 April 2010.
jarang sekali, dik. Mereka yang datang, ngga’ menggunakan seragam, hanya berpakaian biasa. Mereka datang ke Sarkem bukan atas nama institusi melainkan personal. Jadi uang yang nanti masuk itu ya ke kantong mereka sendiri.”
Situasi yang terjadi selama ini dalam kampung prostitusi Pasar Kembang
terkait pertemuan kedua belah pihak – melalui media nongkrong dan ngombé – dapat
direpresentasikan sebagai sebuah konspirasi ‘terselubung’ yang berlangsung secara
aman, rapi dan tanpa diketahui secara pasti oleh pihak manapun. Mayoritas orang
awam yang keluar-masuk kampung prostitusi di Pasar Kembang tidak dapat
membedakan mana preman yang sebenarnya, oknum ataupun intel dari kepolisian
yang menyamar. Hal ini dikarenakan mereka memiliki karakteristik yang hampir
sama, yaitu bertampang garang, berpakaian biasa dan tidak bertingkah yang
mencurigakan. Analisis karakteristik ini diketahui berdasarkan hasil observasi
langsung dan bincang-bincang ringan dengan penjual makanan dan minuman di luar
kampung Pasar Kembang60.
“Wong-wong sing podho ngumpul-ngumpul kaé ki ora mung preman thok. Enek polisi, tentara karo intel sing nyamar, mbuh kuwi dadi tamu opo mung dolan ngumpul bareng preman. Nek ra sethithi, ra mungkin iso mbedhakké sing ndi waé wong-wongané. Soalé model-modelané sangar kabeh.”
(Orang-orang yang sedang berkumpul di sana tidak hanya preman saja. Ada polisi, militer dan intel yang datang menyamar, entah itu menjadi konsumen atau hanya datang nongkrong dengan para preman. Kalau
60 Wawancara dengan Pak Sri, penjual angkringan di depan Gang Sosrowijayan 3 Pasar Kembang, berlangsung pada 11 Februari 2010.
tidak teliti, tidak mungkin dapat membedakan berasal dari mana saja mereka. Karena mereka berpenampilan garang).
BAB V
KESIMPULAN
Keberadaan praktek prostitusi di kampung Sosrowijayan Kulon Gang III atau
lebih akrab dengan kampung Pasar Kembang telah memberikan warna tersendiri
dalam dinamika kehidupan masyarakat kota Yogyakarta, khususnya warga di
kawasan Pasar Kembang dan sekitarnya. Didukung oleh lokasinya yang berada di
jantung kota Yogyakarta, praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang menjadi
model usaha ekonomi informal ilegal, tetapi memberikan implikasi positif berupa
peningkatan pendapatan di sektor pariwisata kota Yogyakarta dan menghidupkan
perekonomian di kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan sebuah fenomena menarik
dilihat dari perspektif politik. Pertama, praktek prostitusi ini berlangsung di tengah-
tengah perkampungan warga, dikelilingi oleh kantor-kantor pemerintahan, pusat
transportasi, pusat perekonomian dan perdagangan serta kraton Ngayogyakarta.
Keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang menjadikan citra
kampung ini negatif di mata masyarakat pada umumnya. Labelling kampung
prostitusi pada kampung Pasar Kembang pun melekat hingga sekarang ini.
Kedua, meskipun aktivitas yang terjadi di Pasar Kembang berorientasi pada
materi (ekonomi), namun di dalamnya sarat dengan muatan politis yang
mengindikasikan bahwa dalam kampung prostitusi Pasar Kembang tersebut terjalin
sebuah relasi kuasa, yaitu (1) kuasa mucikari terhadap para pekerja seks; (2) kuasa
preman terhadap mucikari dan para pekerja seks.
Keberadaan preman di kampung prostitusi Pasar Kembang serta interaksi
yang dijalinnya dengan institusi formal negara ditunjukkan melalui dua konsepsi
(teorisasi), yaitu konsep local strongmen dan patronase (patron-klien). Kedua
konsepsi ini merupakan kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian di
kampung prostitusi Pasar Kembang untuk mengetahui sejauhmana posisi dan peran
para preman dalam melindungi keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar
Kembang terhadap entitas di luar mereka. Indikator yang digunakan untuk
mengetahui sejauhmana kedua konsepsi ini sesuai dengan realita dalam Pasar
Kembang dapat diketahui melalui fenomena-fenomena yang terjadi dari kemunculan
praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang hingga sekarang ini.
Ketimpangan dalam pendistribusian kekuasaan yang terjadi pada masyarakat
kampung Pasar Kembang, penyalahgunaan wewenang dan kemampuan
mengoptimalisasi sumber daya yang ada menyebabkan preman menjadi berkuasa di
kawasan tersebut. Dengan asumsi sebagai orang kuat lokal (local strongmen), preman
memperoleh ‘legitimasi’ dan kepercayaan dari pengelola kampung Pasar Kembang
dan pelaku prostitusi (para pekerja seks dan mucikari) untuk menjaga
keberlangsungan praktek prostitusi yang ada di dalam kampung tersebut.
Preman sebagai local strongmen memiliki kapasitas membangun jaringan
yang luas dan kuat dengan menjalankan konsep patronase. Jaringan yang dimiliki
oleh para local strongmen tidak hanya sebatas dengan preman saja, melainkan dengan
institusi formal negara (dalam hal ini aparat keamanan negara, yaitu kepolisian dan
militer). Konsep patronase digunakan untuk menunjukkan peranan mereka sebagai
patron (pelindung) keberadaan praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang dan
para pekerja seks (klien) terhadap ancaman maupun gangguan dari entitas luar,
termasuk kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta.
Peran sebagai patron dalam konsep patronase dijalankan dengan baik oleh
para preman pada saat GJ – pimpinan preman – masih aktif turun langsung ke dalam
kampung prostitusi Pasar Kembang. Upaya yang dilakukan GJ pada saat itu adalah
memberikan perlakuan manusiawi kepada para pekerja seks dan masyarakat di sekitar
kampung prostitusi Pasar Kembang. Karena pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan status sosial masyarakat kelas ekonomi bawah dan men-setting
mainset para pekerja seks bahwa aktivitas yang mereka lakukan tidak salah, dengan
catatan demi pemenuhan kebutuhan hidup. Hal inilah yang menjadikan GJ memiliki
image sebagai preman intelek yang baik karena posisinya yang kuat dalam
masyarakat dengan memiliki dua modal, yaitu modal simbolik ( sebagai preman
untuk mengejar martabat dan kehormatan sosial) dan modal kultural (pengetahuan
dan pendidikan).
Adapun strategi resistensi yang diterapkan oleh GJ sebagai local strongmen
pada saat aktif turun langsung berupa menjalin komunikasi eksternal dengan pihak-
pihak terkait (polisi, militer, legislatif, agama dan budaya) dan internal (agama dan
ekonomi). Komunikasi eksternal dilakukan untuk membentuk karakter GJ dan
membangun jaringan yang luas dan kuat. Sedangkan komunikasi internal ditujukan
untuk memberikan pembinaan, pembimbingan dan mengayomi masyarakat kelas
ekonomi bawah dan juga para pekerja seks.
Keadaan berubah tatkala GJ memutuskan untuk tidak turun lagi secara
langsung ke dalam kampung prostitusi Pasar Kembang (hanya berperan monitoring).
Perubahan yang dimaksudkan di antaranya adalah bentuk perlakuan terhadap para
pekerja seks yang terkesan tidak menghargai mereka sebagai seorang wanita,
pemungutan iuran secara paksa kepada para pekerja seks, ketidakmampuan dalam
menyelesaikan suatu konflik yang terjadi dalam kampung prostitusi Pasar Kembang
dan segala tindakan yang berujung pada terpenuhinya kebutuhan para preman tapi
menyusahkan hidup para pekerja seks.
Akhir dari penelitian ini menyimpulkan bahwa peran preman sebagai local
strongmen dalam membangun patronase di kampung prostitusi Pasar Kembang
dimanifestasikan dalam bentuk kapasitas membangun jaringan antar preman dan
oknum aparat keamanan negara (polisi dan militer) untuk melindungi keberadaan
praktek prostitusi di kampung Pasar Kembang. Meskipun pola patronase sedikit
‘ternoda’ oleh perubahan perilaku para preman terhadap para pekerja seks, fenomena
ini tidak berimplikasi signifikan terhadap keberlangsungan praktek prostitusi di
kampung Pasar Kembang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Andrain, Charles F.. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Bottomore, T.B.. 2006. Elite dan Masyarakat. Penerjemah: Abdul Harris dan Sayid
Umar. Ed: M. Alfan ALfian M. Jakarta: Akbar Tandjung Institute.
Guinness, Patrick. 2009. Kampung, Islam and State in Urban Java. Australia: NUS
Press.
Hadari, Nawawi. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit; Suatu Bahasan Pengantar. Yogyakarta: Program
Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah
Mada.
Hull, Terrence H., dkk. 1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan
Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Migdal, Joel. 1998. Strong Societies and Weak States: State Society Relations and
State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University
Press.
Miriam Budiardjo. 1991. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Mudjijono. 2005. Sarkem; Reproduksi Sosial Pelacuran. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Scott, James C.. 1977. Patron Client, Politics and Political Change in South East
Asia dalam Friends, Followers and Factions a Reader in Political
Clientalism. Steffen W. Schmidt, James C. Scott (eds.). Berkeley:
University of California Press.
Scott, James C.. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Penerjemah: Budi Kuswora …(et al),
Pengantar: Sayogyo.—Ed.1, Cet.1— Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soedjono D., SH. 1977. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam
Masyarakat. Bandung: PT. Karya Nusantara.
Yin, Robert K.. 2006. Studi Kasus, Desain & Metode. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Materi Kuliah:
RPKPS Mata Kuliah Pemerintahan Komunitas. Rancangan Sesi IV dan V. Tema :
Relasi community dengan institusi formal seperti negara dan pasar
dengan sub judul Kehadiran Brokers.
Karya Ilmiah:
Cucu, Nuris Arianto. 2007. Pariwisata, Kota dan Sosrowijayan Wetan: 1970-1990-
an (Sebuah Sejarah Kampung). Yogyakarta: Skripsi Mahasiswa Jurusan
Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Satriyo, Widodo. 2007. Dampak Sosial Ekonomi Penutupan Lokalisasi Sanggrahan.
Yogyakarta: Skripsi Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
Ulil, Amri. 2005. Preman-Preman Yogyakarta; Studi Antropologis terhadap
Fenomena Premanisme Kontemporer. Yogyakarta: Skripsi Mahasiswa
Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Website:
http://reddistrictproject.com/index.php/aneka-tulisan dengan judul “Sejarah Sarkem
dan Prostitusi”.
http://ypr.or.id/id/warta-kampung/kampung-anak-kampungan-sketsa-sketsa-awal-
.html dengan judul “Warta Kampung; Kampung Anak Kampungan
(Sketsa-sketsa Awal)”
Wawancara:
MW, salah seorang preman yang mengenal secara dekat GJ sedari kecil. Berlangsung
pada tanggal 11 Februari 2010.
Pak Sri, penjual angkringan di depan Gang Sosrowijayan 3 Pasar Kembang,
berlangsung pada 11 Februari 2010.
IR, preman yang seringkali nongkrong di Pasar Kembang, berlangsung pada tanggal
14 Februari 2010.
AG, preman Badran yang dulu seringkali nongkrong di Pasar Kembang, berlangsung
pada tanggal 17 Februari 2010.
WN, salah satu pekerja seks yang bekerja di kampung prostitusi Pasar Kembang,
berlangsung pada tanggal 17 Februari 2010.
YN, salah satu pekerja seks yang bekerja di kampung prostitusi Pasar Kembang,
berlangsung pada tanggal 17 Februari 2010.
SR, salah satu pekerja seks yang bekerja di kampung prostitusi Pasar Kembang,
berlangsung pada tanggal 17 Februari 2010.
TJS, salah seorang petugas Pol PP yang bertugas melakukan monitoring di dalam
komunitas prostitusi Pasar Kembang di setiap malam hari, berlangsung
pada 11 April 2010.