keanekaragaman makrozoobenthos sebagai indikator kualitas air muara sungai cagar alam bojonglarang...
TRANSCRIPT
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI INDIKATOR
KUALITAS AIR MUARA SUNGAI CAGAR ALAM BOJONGLARANG
JAYANTI
Laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015
Di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi, Cianjur
10 - 18 Mei 2015
Disusun oleh :
Wulan Ratna Komala
140410120072
PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2015
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN 2015
Nama : Wulan Ratna Komala
NPM : 140410120072
Bidang : Ekologi Perairan
Judul : Keanekaragaman Makrozoobenthos sebagai
Indikator Kualitas Air Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti
Tempat Penelitian : Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa
Karangwangi, Cianjur, Jawa Barat
Waktu Penelitian : 10 - 18 Mei 2015
Telah diperiksa dan disahkan :
Jatinangor, 20 Juni 2015
Dosen Pembimbing Laporan - Pembimbing Lapangan
KKL 2015
Sunardi, M. Si, Ph. D.
NIP. 19690530 199702 1 001
Mengetahui,
Ketua Rombongan KKL 2015
Prof. Dr. Erri Noviar Megantara
NIP. 19571103 198603 1 004
ii
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI INDIKATOR
KUALITAS AIR MUARA SUNGAI CAGAR ALAM BOJONGLARANG
JAYANTI
Oleh: Wulan Ratna Komala
Pembimbing: Sunardi, M. Si, Ph. D.
ABSTRAK
Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti merupakan hilir dari sungai yang
hulunya berada di luar kawasan. Pada saat pasang, air dari sungai dan dari laut
akan bersatu, berkembangnya aktivitas masyarakat di sekitar hulu sungai dapat
berpengaruh terhadap kualitas perairan Muara Sungai dan bisa mengancam
ekosistem perairan laut Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos sebagai indikator kualitas
perairan Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode survey di 3 stasiun penelitian. Sampel
makrozoobenthos diambil dengan menggunakan jala surber kemudian
diidentifikasi di Laboratorium PSMIL, Universitas Padjadjaran. Dari hasil
penelitian didapatkan makrozoobenthos sebanyak 31 spesies dari 3 kelas yaitu
Gastropoda, Bivalvia dan Malacostraca. Pada Stasiun I (Muara Cisela) ditemukan
15 spesies, pada Stasiun II (Muara Cikawung) ditemukan 18 spesies dan pada
Stasiun III (Muara Cigebang) ditemukan 3 spesies. Kualitas air sungai ditentukan
berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Kualitas air Muara
Sungai Cagar Alam Jayanti yaitu, tercemar berat di Stasiun I (Muara Cisela)
dengan nilai H’ sebesar 0,50 dan tidak tercemar di Stasiun II (Muara Cikawung)
dengan nilai H’ sebesar 2,39. Namun nilai indeks keanekaragaman pada Stasiun
III (Muara Cigebang) yakni sebesar 0,95 tidak menunjukkan kualitas perairan
Muara Cigebang karena makrozoobenthos yang ditemukan hidup pada habitat
yang spesifik di tepi muara. Pencemaran pada stasiun pengamatan dapat terjadi
karena beberapa faktor, baik secara alami maupun oleh manusia.
Kata Kunci: Indeks Shannon-Wiener, Makrozoobenthos, Kualitas perairan,
Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Kuliah Kerja Lapangan Bidang Ekologi Perairan yang berjudul “Keanekaragaman
Makrozoobenthos sebagai Indikator Kualitas Air Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti” yang dilaksanakan pada 10 - 18 Mei 2015, bertempat di
Cianjur, Jawa Barat.
Laporan penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
menyelesaikan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjajaran serta untuk
memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobenthos sebagai
indikator kualitas air Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti.
Penulis menyadari bahwa laporan kuliah kerja lapangan ini masih jauh
dari sempurna, mengingat terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki. Harapan
penulis semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi
pembaca serta ikut membantu dalam kemajuan perkembangan bidang Ekologi
Perairan.
Jatinangor, Juni 2015
Penulis
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Penyusunan laporan ini dapat terlaksana dengan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada orangtua, saudara dan keluarga tercinta yang telah memberikan doa,
dukungan dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kuliah
kerja lapangan ini dengan baik.
Penulis juga ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada Sunardi, M. Si, Ph. D. sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan, memperbaiki, memotivasi
dan memberi nasihat dari mulai persiapan KKL, saat penelitian berlangsung
sampai dalam penyusunan laporan ini. Terimakasih kepada Ayahanda Sambas,
Ibunda Entin Kurnia, dan adik tersayang Rizkia Mei Lestari, yang senantiasa
memberikan doa, motivasi dan perhatiannya kepada penulis. Ucapan terimakasih
juga tak lupa penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Budi Nurani, M.S., Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
2. Dr. M. Nurzaman, M.Si., Kepala Departemen Program Studi Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
3. Dr. Teguh Husodo, M.Si., Koordinator Program Studi Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
4. Prof. Dr. Erri Noviar Megantara dan Dr. Ruhyat Partasasmita selaku Ketua
dan Wakil Ketua Rombongan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 2015.
v
5. Bapak, Ibu Dosen pembimbing lapangan KKL 2015 atas perhatian dan
pengarahannya selama di lapangan.
6. Pihak Cagar Alam Bojonglarang, Jayanti yang memberikan izin atas
pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan, fasilitas, sarana, prasarana dan
memberikan bantuannya selama kegiatan berlangsung.
7. Rekan-rekan Ekologi Perairan (Muhammad Nasrulah Akbar, Venny Ulya
Bunga, Aufa Aulia Kanza, Azalea Putri, Rhodiatun Nissa, Sri Ratu Dewi
Pridani, Syafitri Firmanputri, Fitri Rizkia, dan Cynthia Rizka Riani) yang
telah bekerjasama, memberi bantuan, dukungan moril, serta cerita yang
berkesan selama pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan.
8. Kelompok Rumah EKOPER, yang senantiasa memberikan semangat,
dukungan, serta cerita suka dan dukanya setiap malam selama pelaksanaan
Kuliah Kerja Lapangan.
9. Keluarga Mahasiswa Biologi Unpad 2012 (KLOROBLAS), atas
kebersamaan, semua perhatian, dukungan, suka duka dan bantuannya yang
sangat luar biasa dalam Kuliah Kerja Lapangan ini.
10. Rekan-rekan yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu,
memberikan dukungan, motivasi dan doa sehingga terselesaikannya laporan
ini.
Jazakumullah Khairan Katsiran Wa Jazakumullah Ahsanal Jaza. Aamiin
Jatinangor, Juni 2015
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... i
ABSTRAK.................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................. iii
UCAPAN TERIMAKASIH........................................................................ iv
DAFTAR ISI................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR................................................................................... ix
DAFTAR TABEL........................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Penelitian................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah.......................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian.......................................................... 3
1.4 Kegunaan Penelitian......................................................................... 3
1.5 Metodologi Penelitian....................................................................... 4
1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................ 4
BAB II TINJAUAN LOKASI.................................................................... 5
2.1 Keadaan Umum................................................................................ 5
2.2 Letak Geografis dan Luas................................................................ 6
2.3 Topografi.......................................................................................... 7
vii
2.4 Keadaan Tanah dan Air....................................................................
2.5 Ekosistem.........................................................................................
2.6 Iklim.................................................................................................
2.7 Flora..................................................................................................
2.8 Fauna................................................................................................
7
8
8
8
9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 10
3.1 Ekosistem Perairan ..........................................................................
3.2 Ekosistem Muara.............................................................................
10
11
3.3 Makrozoobenthos.............................................................................
3.4 Makrozoobenthos sebagai indikator kualitas lingkungan
perairan.............................................................................................
3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Makrozoobenthos.....................
13
14
16
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN.................................................. 21
4.1 Alat dan Bahan..................................................................................
4.1.1 Alat............................................................................................
4.1.2 Bahan.........................................................................................
21
21
21
4.2 Metode Penelitian.............................................................................
4.3 Prosedur Kerja..................................................................................
21
22
4.3.1 Pengambilan Sampel Makrozoobenthos..................................
4.3.2 Pengambilan Sampel Air Sungai..............................................
4.3.3 Pengukuran Parameter Fisik dan Kimia Perairan.....................
22
24
24
4.4 Analisis Sampel................................................................................. 27
viii
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................... 30
5.1 Hasil................................................................................................... 30
5.1.1 Kondisi Lingkungan.................................................................. 30
5.1.2 Kualitas Perairan Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang
Jayanti...................................................................................... 32
5.1.3 Makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti............................................................... 36
5.2 Pembahasan....................................................................................... 40
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 44
6.1 Kesimpulan...................................................................................... 44
6.2 Saran................................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 46
LAMPIRAN................................................................................................ 49
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Cagar Alam Bojonglarang Jayanti (Sumber : BKSDA,
2012).......................................................................................... 7
Gambar 4.1 Peta Lokasi Pengambilan Sampel .............................................. 22
Gambar 5.1 Komposisi Jenis Makrozoobenthos Perairan Muara Sungai
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti............................................. 38
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Klasifikasi Air Berdasarkan Daya Hantar Listrik (DHL)............... 19
Tabel 4.1 Klasifikasi Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon – Wiener
(H’) (Wilhm, 1975)........................................................................ 28
Tabel 4.2 Klasifikasi Hubungan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
(H’) dan Tingkat Pencemaran Perairan Sastrawijaya (2000)
dalam Sinaga (2009)...................................................................... 28
Tabel 5.1 Kondisi Fisik Lingkungan Sekitar Muara...................................... 30
Tabel 5.2 Parameter Fisik dan Kimia Perairan............................................... 32
Tabel 5.3 Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang ditemukan di Muara
Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti .................................... 36
Tabel 5.4 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, Keseragaman, dan
Dominansi Makrozoobenthos......................................................... 39
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rundown Acara Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 2015.......... 49
Lampiran 2. Lokasi Pengambilan Sampel Makrozoobenthos dan Air
Sampel....................................................................................... 52
Lampiran 3. Pengukuran Parameter Air dan Pengambilan Sampel
Makrozoobenthos...................................................................... 53
Lampiran 4. Jenis dan Jumlah Benthos yang ditemukan di Muara Sungai
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti ............................................ 54
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti merupakan kawasan konservasi yang
mempunyai peranan penting sebagai wilayah perlindungan dan penyangga
kehidupan bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan, berada di sebelah
selatan Kabupaten Cianjur, termasuk kedalam wilayah Desa Cidamar dan Desa
Karangwangi, Kecamatan Cidaun, Provinsi Jawa Barat. (BKSDA, 2012).
Pada kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti terdapat sungai, anak
sungai dan muara sungai. Sungai-sungai yang terdapat di kawasan Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti yaitu Sungai Cisela, Sungai Cikawung, dan Sungai
Cigebang, anak sungainya yaitu Cijaya, Cijarian, Jambesalak, Citapen,
Cipipisan, Cijangkar, dan Cibarengkok. Sedangkan muara yang terdapat di
kawasan yaitu Muara Sungai Cigebang, Muara Sungai Cisela, dan Muara Sungai
Cikawung (BKSDA, 2012).
Muara merupakan tempat pertemuan antara air laut dengan air sungai
dan merupakan bagian hilir dari sungai (Hutabarat, 1985). Perairan sekitar
muara sungai merupakan perairan yang dipengaruhi baik dari darat (melalui
sungai) maupun dari laut (melalui arus pasang surut). Perairan muara sungai
juga dipengaruhi oleh berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Dengan
demikian perairan ini sangat rawan terhadap pencemaran (Hutagalung dan
Endang, 2000).
2
Kualitas perairan muara sungai sangat penting bagi kawasan konservasi
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti ini sehingga perlu dilakukan pengujian kualitas
air muara sungai di kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Kualitas
lingkungan perairan sangat ditentukan oleh kehidupan organisme aquatik di
perairan tersebut. Salah satu organisme aquatik yang dapat menjadi indikator
kualitas perairan yaitu makrozoobenthos. Makrozoobenthos merupakan
organisme yang hidup pada dasar perairan. Makrozoobentos cukup besar
peranannya dalam ekosistem perairan yaitu menguraikan materi organik yang
jatuh kedasar perairan dan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran
perairan, karena keberadaan organisme tertentu dapat berasal dari penyesuaian
terhadap kondisi lingkungan, sebagai akibat dari hubungan timbal balik antara
organisme tersebut dengan sumber pencemaran, baik pencemar organik,
anorganik dan logam berat (Noortiningsih, dkk, 2008).
Sejauh ini keanekaragaman makrozoobentos di muara sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian guna
memberikan informasi awal mengenai keanekaragaman makrozoobenthos di
muara sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan untuk mengetahui kondisi
kualitas air muara sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti berdasarkan
makrozoobenthos dengan sifat fisika-kimia air.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang dapat
diperoleh adalah:
3
1. Apa saja jenis makrozoobenthos yang terdapat di Muara Sungai Cagar
Alam Bojonglarang Jayanti
2. Bagaimana keanekaragaman makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar
Alam Bojonglarang Jayanti
3. Bagaimana kualitas air berdasarkan keanekaragaman makrozoobenthos di
Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dengan sifat fisika-kimia
air.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman
makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Sedangkan
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman
makrozoobenthos sebagai indikator kualitas perairan muara sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai
keanekaragaman makrozoobenthos di muara sungai Cagar Alam Bojonglarang
Jayanti dan untuk memberikan informasi kepada pengelola Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti mengenai kondisi kualitas air Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti.
4
1.5 Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode survey yang
meliputi penentuan lokasi pengamatan, menentukan titik-titik pengambilan
sampel serta pengambilan data sekunder seperti mencatat data fisik maupun kimia
dan keadaan lingkungan di Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti.
Sampel air dan makrozoobenthos diambil di tiga stasiun yaitu di Muara Cisela,
Muara Cigebang, dan Muara Cikawung dengan dilakukan tiga kali pengulangan
di daerah tepi pada setiap stasiun. Pengambilan data fisik dan data kimia
dilakukan dengan mengambil sampel air dan pengamatan kondisi fisik pada
muara sungai. Sampel makrozoobenthos diambil dengan menggunakan jala
surber. Jenis makrozoobenthos yang ditemukan di lapangan diidentifikasi
menggunakan buku acuan identifikasi Dharma B. (1988), Siput dan Kerang
Indonesia (Indonesian Shells); Marwoto, dkk (2011), Keong Air Tawar Pulau
Jawa (Moluska, Gastropoda). Pengukuran kualitas air muara di Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti tersebut dilihat dari keanekaragaman makrozoobenthos
yang ditemukan dengan sifat fisika-kimia airnya.
1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Muara Sungai, Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
yang berada di Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, pada
10-18 Mei 2015.
5
BAB II
TINJAUAN LOKASI
2.1 Keadaan Umum
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti terletak di sebelah selatan Kabupaten
Cianjur, termasuk kedalam wilayah Desa Cidamar dan Desa Karangwangi,
Kecamatan Cidaun, Provinsi Jawa Barat. Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
merupakan kawasan konservasi yang mempunyai peranan penting sebagai
wilayah perlindungan dan penyangga kehidupan bagi masyarakat yang berada di
sekitar kawasan. Cagar Alam Bojonglarang Jayanti mempunyai khas tersendiri,
didalamnya terdapat tumbuhan langka yaitu Rafflesia padma dan Butun
(Baringtonia asiatica) juga keberadaan satwa – satwa langka lainnya (BKSDA,
2012).
Pada awalnya status lahan di wilayah Bojong Larang Jayanti merupakan
tanah negara bebas (GG) berupa hutan alam dengan komposisinya berupa hutan
dataran rendah dan hutan pantai. Berdasarkan keterangan dari beberapa penduduk
Cidaun, sejak tahun 1957 lahan tersebut mulai digarap oleh sebagian warga desa
Cidamar, bahkan dari tahun ke tahun luas areal hutan yang di buka dan digarap
terus bertambah, seiring dengan semakin banyaknya para pengungsi yang datang
dari Desa Cimaragang dan Desa Cibuluh bahkan ada juga pengungsi yang berasal
dari daerah Cisewu Kabupaten Garut (BKSDA, 2012).
Terdorong oleh keprihatinan melihat kondisi lingkungannya yang terus
dirusak, warga masyarakat Cidamar Kecamatan Cidaun Kabupaten Cianjur yang
6
tinggal di Kota Bandung dan tergabung dalam “Ikatan Warga Tjidamar” , pada
tanggal 25 April 1967 mengirim surat kepada Kepala Djawatan Kehutanan
Propinsi Djawa Barat di Bandung yang isinya mengusulkan agar hutan di
kompleks Bodjong Larang / Djayanti seluas ± 2.000 ha. segera diselamatkan
dengan cara dijadikan hutan tutupan (BKSDA, 2012).
Tahun 2010 keluar SK penetapan kawasan, yaitu; Keputusan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia, Nomor. SK.482/MENHUT-II/2010. Tentang
Penetapan Kawasan Hutan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, yang terletak di
wilayah Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat, seluas 732,22 Ha (BKSDA,
2012).
2.2 Letak Geografis dan Luas
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti berada di Cianjur Selatan, Provinsi
Jawa Barat. Secara geografis, Cagar Alam Bojonglarang Jayanti terletak antara :
7º 29' 12 - 7º 30' 11" LS. - 107º 25' 13 107º 25' 12" BT. Dengan
panjang batas alam 2,65 Km, panjang batas buatan 13,63 Km. Secara
administratif berada di dua desa yaitu Desa Cidamar dan Desa Karang wangi
Kecamata Cidaun. Adapun batas-batas wilayah Cagar Alam Bojonglarang
Jayanti:
Sebelah Utara, Timur dan sebagian sebelah Barat berbatasan dengan wilayah
Desa Karang wangi,
Sebelah Barat sebagian berbatasan dengan wilayah Desa Cidamar Kecamatan
Cidaun Kabupaten Cianjur
7
Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Gambar 2.1 Peta Cagar Alam Bojonglarang Jayanti (Sumber : BKSDA, 2012)
2.3 Topografi
Kawasan Cagar Alam Bojong larang Jayanti merupakan hutan pantai
dengan ketinggian antara 0 s/d 250 mpdl (BKSDA, 2012).
2.4 Keadaan Tanah dan Air
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti merupakan hutan pantai yang pada
umumnya hutan pantai selalu kering dan merupakan tadah hujan akan ada air
apabila musim hujan, kecuali sungai Cisela selalu mengalir hingga kelaut sebab
hulu sungai berasal dari luar kawasan hanya muaranya berada di dalam
kawasan, sungai-sungai yang ada di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti yaitu
Sungai Cisela, Sungai Cikawung, dan Sungai Cigebang sedangkan anak sungai
8
yang ada dalam kawasan yaitu Cijaya, Cijarian, Jambesalak, Citapen, Cipipisan,
Cijangkar, dan Cibarengkok (BKSDA, 2012).
2.5 Ekosistem
Kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti merupakan daerah yang
memiliki dua tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan pantai dan hutan dataran
rendah. Kedua ekosistem ini memiliki jenis vegetasi yang mendominasi yaitu
Kiara (Ficus globosa), Laban (Vitex pubescens), Sempur (Dillenia excelsa), Huru
(Litsea indica), dan Ketapang (Terminalia catapa). Fungsi ekosistem hutan pantai
dan hutan dataran rendah ini yaitu dapat memberi keindahan dan memiliki nilai
botani serta sebagai penyangga kehidupan dari ancaman tsunami ataupun lainnya.
Namun saat ini keadaan kawasan Cagar Alam memprihatinkan karena sering
mengalami kebakaran. Hal ini mempengaruhi habitat satwaliar dalam kawasan
Cagar Alam seperti mamalia, aves, dan reptil (HIMAKOVA, 2013).
2.6 Iklim
Iklim kawasan menurut klasifikasi yang dilakukan Schmidt and Ferguson
termasuk klasifikasi tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 1840 mm/tahun dan
suhu udara sekitar kawasan antara 18oC - 31
oC (BKSDA 2007 dalam
HIMAKOVA, 2013).
2.7 Flora
Ekosistem hutan pantai dan hutan dataran rendah memiliki jenis vegetasi
seperti Kiara (Ficus globasa), Laban (Vitex pubescens), Bungur (Lagerstroemia
sp), Bambu duri (Bambusa spinosa), Pandan laut (Pandanus tectorium), Kopo
(Eugenia densifodia) dan makroalga. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat,
9
bunga Rafflesia padma yang tergolong langka, tumbuhan lokal atau khas daerah
seperti Butun (Baringtonia asiatica). Selain itu terdapat pula jenis anggrek, rotan,
dan tumbuhan bawah (HIMAKOVA, 2013).
2.8 Fauna
Populasi fauna dalam kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dulu
sangat banyak namun sekarang sudah mulai berkurang. Satwa yang masih
terdapat dalam kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti menurut Badan
Konservasi Sumberdaya Alam Kabupaten Cianjur untuk jenis mamalia meliputi
Babi hutan (Sus scrofa), Kancil (Tragulus javanicus), Musang luwak
(Paradoxurus hermaphroditus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
Lutung budeng (Trachypithecus auratus), Bajing kelapa (Callosciurus notatus),
Kalong (Pteropus vampyrus), Landak (Hystrix brachyura), Trenggiling (Manis
javanica). Sedangkan untuk jenis aves terdapat Walet linci (Collocalia linchii),
Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Bondol jawa (Lonchura
leucogastroides), Madu sriganti (Nectarinia jugularis), Elang ular bido (Spilornis
cheela) dll (HIMAKOVA, 2013).
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Ekosistem Perairan
Ekosistem perairan mengalir adalah ekosistem perairan tawar yang sifat
perairannya mengalir atau bergerak. Pada ekosistem ini terdapat aliran air atau
arus yang mempengaruhi interaksi antar komponen di dalamnya. Selain itu, juga
terjadi interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi (Odum, 1971).
Berdasarkan salinitasnya ekosistem perairan dibedakan menjadi tiga yaitu
ekosistem perairan tawar, ekosistem perairan payau, dan ekosistem perairan laut
(Odum, 1993).
Perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu
badan air tergenang (standing waters atau lentik) dan badan air mengalir (flowing
waters atau lotik). Perairan tergenang meliputi danau, kolam, waduk, rawa dan
sebagainya. Perairan tergenang (lentik), khususnya danau. Biasanya mengalami
stratifikasi secara vertikal akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu
pada kolam air yang terjadi secara vertikal. Sedangkan perairan mengalir (lotik)
contohnya adalah sungai. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif
kencang, dengan kecepatan berkisar antara 0,1 – 1,0 m/detik serta sangat
dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Pada perairan sungai, biasanya
terjadi pencampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi
vertikal kolom air seperti pada perairan lentik. Kecepatan arus, erosi, dan
11
sedimentasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di sungai sehingga kehidupan
flora dan fauna sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut (Effendi, 2003).
Klasifikasi perairan lentik sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan
perbedaan suhu air, sedangkan klasifikasi perairan lotik justru dipengaruhi oleh
kecepatan arus atau pergerakan air, jenis sedimen dasar, erosi, dan sedimentasi
(Effendi, 2003).
3.2 Ekosistem Muara
Muara merupakan tempat pertemuan antara air laut dengan air sungai dan
merupakan bagian hilir dari sungai. Pada dasar perairan muara ini terjadi
pengendapan karena hal ini terjadi pertemuan partikel pasir/lumpur yang dibawa
oleh arus sungai bertemu dengan pasir yang berada di daerah sekitar pantai.
Dengan demikian percampuran pasir tersebut menghasilkan pengendapan lumpur
yang sangat berpengaruh pada perilaku kehidupan organisme muara. Selain itu
salinitas yang terbentuk di muara merupakan campuran antara salinitas air sungai
dengan salinitas laut (Hutabarat, 1985).
Ekosistem Muara biasa juga disebut dengan ekosistem estuari atau
perairan estuari dimana, muara merupakan percampuran air tawar dengan air laut.
Proses-proses alam yang terjadi di perairan muara, mengakibatkan muara sebagai
habitat disejajarkan dengan ekosistem hutan hujan tropik dan ekosistem terumbu
karang yaitu sebagai ekosistem produktif alami. Ekosistem estuari ini cenderung
lebih produktif dibanding dengan ekosistem pembentuknya, yaitu perairan tawar
dan perairan laut (Soeyasa, 2001).
12
Salinitas pada air muara sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Pada keadaan pasang air laut yang masuk ke muara sangat besar sekali sehingga
salinitas air menjadi naik. Sedangkan pada waktu surut air laut yang masuk ke
muara sangat sedikit sehingga indeks salinitas air muara sangat rendah. Selain itu
musim juga berpengaruh terhadap indeks salinitas air muara (Karyadi, 1994).
Perairan sekitar muara sungai merupakan perairan yang dipengaruhi baik
dari darat (melalui sungai) maupun dari laut (melalui arus pasang surut), oleh
karena itu biota yang dapat hidup di perairan ini harus mampu beradaptasi
terhadap fluktuasi yang besar dari faktor lingkungannya seperti salinitas, suhu dan
aliran arus. Perairan muara sungai juga dipengaruhi oleh berbagai aktivitas yang
dilakukan manusia. Dengan demikian perairan ini sangat rawan terhadap
pencemaran. Pencemaran adalah perubahan yang tidak dikehendaki dari
lingkungan yang sebagian besar adalah akibat kegiatan manusia. Pencemaran
terjadi akibat masuknya material ke ekosistem material pencemar yang tak lain
adalah residu dari bahan yang dibuat, digunakan dan dibuang manusia ke
lingkungan, diantaranya adalah logam berat. Pencemaran logam berat yang masuk
ke lingkungan laut kebanyakan terjadi akibat adanya buangan limbah industri
(Hutagalung dan Endang, 2000).
Daerah estuari umumnya memiliki tipe substrat dasar perairan berliat.
Tekstur substrat liat ini membuat sangat sedikit adanya pertukaran air di dasar
dengan air antara, sehingga tidak ada masukan oksigen. Organisme yang hidup di
dasar umumnya beradapasi dengan berbagai cara untuk memperoleh oksigen dari
air yang berada di atas permukaan (Kümar dan Hader, 1999).
13
3.3 Makrozoobenthos
Salah satu biota air yang sebagian besar atau seluruh hidupnya berada di
dasar perairan, hidup secara sesil, merayap atau menggali lubang adalah
makrozoobenthos.
Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal
dalam sedimen dasar perairan. Benthos mencakup organisme nabati yang disebut
fitobenthos dan organisme hewani yang disebut zoobenthos (Odum, 1993).
Dalam siklus hidupnya, beberapa makrozoobenthos hanya hidup sebagai
benthos dalam separuh saja dari fase hidupnya, misalnya pada stadia muda saja
atau sebaliknya. Pada umumnya cacing dan bivalvia hidup sebagai benthos pada
stadia dewasa, sedangkan ikan demersal hidup sebagai benthos pada stadia larva
(Nybakken, 1992).
Berdasarkan ukurannya, Lind (1979) mengklasifikasikan zoobenthos
menjadi dua kelompok besar yaitu mikrozoobenthos dan makrozoobenthos.
Hutabarat dan Evans (1985), juga mengklasifikasikan zoobenthos ke dalam tiga
kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu :
1. Mikrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih kecil dari 0,1 mm yang
digolongkan ke dalam protozoa dan bakteri.
2. Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm.
Digolongkan ke dalam beberapa kelas protozoa berukuran besar dan kelas
krustasea yang sangat kecil serta cacing dan larva invertebrata.
14
3. Makrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih besar dari 1,0 mm.
Digolongkan ke dalam hewan moluska, echinodermata, krustasea dan beberapa
filum annelida.
Berdasarkan tempat hidupnya, zoobenthos dibagi atas dua kelompok, yaitu :
(a) epifauna yaitu organisme bentik yang hidup dan berasosiasi dengan
permukaan substrat dan,
(b) infauna yaitu organisme bentik yang hidup di dalam sedimen (substrat) dengan
cara menggali lubang
Kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan
makrozoobentos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi
makrozoobentos tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya
akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan bentos dan sebagai
organisme dasar, bentos menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka
pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi
hewan bentos (Koesbiono, 1979).
3.4 Makrozoobenthos sebagai indikator kualitas lingkungan perairan
Kualitas air adalah kondisi kalitatif air yang diukur dan atau di uji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan
parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan
mikrobiologis (Masduqi, dkk, 2009).
15
Indikator biologis dapat mencakup berbagai kelompok organisme mikro
(bakteri, jamur, mikroalga, protozoa) ataupun organisme makro (makrofita,
serangga, moluska, cacing, ikan). Beberapa alasan makrozoobenthos sering
digunakan sebagai bioindikator pencemaran di suatu lingkungan perairan sebagai
berikut (Mason, 1981):
a. Prosedur samplingnya relatif sudah berkembang dimana telah tersedia kunci
identifikasi untuk sebagian besar kelompok biota.
b. Hidup menetap (sesil) dan mobilitasnya rendah sehingga dapat digunakan
untuk menduga kualitas suatu perairan dimana komunitas organisme
tersebut berada.
c. Organisme ini mudah ditangkap dan dianalisis.
Beberapa makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator
kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat
dibandingkan pengujian secara fisika dan kimia. Kelebihan penggunaan
makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah karena (Nugroho,
2006) :
1. Mudah ditemukan di habitat perairan.
2. Jumlahnya sangat banyak pada lingkungan yang berbeda jenis bentos
yang hidup berbeda pula.
3. Perpindahan atau mobilitasnya sangat terbatas (immobil), sehingga
mudah diawasi.
4. Ukurannya kecil tetapi mudah dikumpulkan dan diidentifikasi.
16
5. Pengamatan dapat dilakukan lebih cepat dengan peralatan sederhana.
6. Benthos adalah konsumsi sebagian besar ikan, sehingga perubahan pada
komunitas bentos dapat mempengaruhi jaring-jaring makanan di
perairan.
3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Makrozoobenthos
Menurut Nybakken (1992), sifat fisika-kimia perairan sangat penting
dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor
biotik, seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor
abiotik (fisika- kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling
berinteraksi.
Menurut Barus (2004), dengan mempelajari aspek saling ketergantungan
antara organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran
tentang kondisi dan kualitas perairan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi makrozoobenthos, yaitu:
1) Substrat
Substrat lumpur dan pasir merupakan habitat yang paling disukai
makrozoobenthos. Benthos tidak menyenangi dasar perairan berupa batuan, tetapi
jika dasar batuan tersebut memiliki bahan organik yang tinggi, maka habitat
tersebut akan kaya dengan benthos (Nichol, 1981 dalam Sudarja, 1987).
2) Suhu
Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda.
Suhu biasa digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat
berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Suhu sangat
17
memengaruhi segala proses yang terjadi di perairan baik fisika, kimia, dan biologi
badan air. Suhu juga mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme
(Nybakken 1992).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Menurut Effendi (2003), aktivitas mikroorganisme memerlukan
suhu optimum yang berbeda-beda. Setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan
meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2-3 kali lipat.
Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigan terlarut
sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan
oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan metabolisme dan respirasi.
Dengan kata lain, makin tinggi kenaikan suhu air, makin sedikit oksigen yang
terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos berkisar
antara 35oC-40
oC.
3) Arus
Kecepatan arus merupakan faktor penting di perairan mengalir. Terdapat
lima kategori yaitu arus yang sangat cepat (>100 cm/detik), cepat (50-100
cm/detik), sedang (25-50 cm/detik), lambat (10-25 cm/detik) dan sangat lambat
(<10 cm/detik) (Mason, 1981).
4) pH
Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0 - 9,0
hal ini menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos,
dimana sebagian besar organisme dasar perairan seperti polychaeta, moluska dan
18
bivalvia memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda
(Hawkes, 1978).
5) Salinitas
Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh
organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis.
Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosisnya sehingga organisme
harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas
tertentu melalui mekanisme osmoregulasi (Koesoebiono, 1979), yaitu kemampuan
mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal.
Menurut Mudjiman (1981), kisaran salinitas yang dianggap layak bagi
kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena pada perairan yang
bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos seperti siput,
cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.
6) Konduktivitas
Konduktivitas air bergantung pada jumlah ion-ion terlarut pervolumenya
dan mobilitas ion-ion tersebut. Satuannya adalah (µmho/cm, 250C). Konduktivitas
bertambah dengan jumlah yang sama dengan bertambahnya salinitas. Secara
umum, faktor yang lebih dominan dalam perubahan konduktivitas air adalah
temperatur. Untuk mengukur konduktivitas digunakan konduktivitimeter.
Berdasarkan nilai DHL, jenis air juga dapat dibedakan melalui nilai pengukuran
daya hantar listrik dalam µmho/cm pada suhu 250C menunjukkan klasifikasi air
sebagai berikut:
19
Tabel 3.1 Klasifikasi Air Berdasarkan Daya Hantar Listrik (DHL)
7) Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut adalah banyaknya oksigen terlarut dalam perairan. DO
dalam air berperan penting bagi kelangsungan hidup organisme. Kelarutan
oksigen dalam air akan berkurang seiring dengan kenaikan suhu dan salinitas.
Menurut Michael, (1984), oksigen hilang dari air secara alami oleh adanya
pernapasan biota, pengurangan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang
miskin oksigen dan kenaikan suhu. Tingginya kandungan oksigen terlarut di
sungai dapat disebabkan karena sungai relatif dangkal dan adanya turbulensi
gerakan air (Odum, 1971). Klasifikasi perairan berdasarkan oksigen terlarut
menurut Lee at al., (1978) yaitu <2 tergolong tercemar berat, 2 – 4,4 tergolong
tercemar sedang, 4,5 – 6,4 tergolong tercemar ringan dan >6,5 tergolong tidak
tercemar/tercemar sangat ringan.
8) Biochemical Oxygen Demand (BOD)
BOD merupakan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme
dalam air. Nilai BOD perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton,
keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik. Secara tidak
langsung BOD merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen
20
yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organic menjadi
karbondioksida dan air. Dengan kata lain, BOD menunjukan jumlah oksigen yang
dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD
yang diinkubasi pada suhu sekitar 20o C selama lima hari, dalam keadaan tanpa
cahaya (Effendi, 2003). Klasifikasi perairan berdasarkan oksigen terlarut menurut
Lee at al., (1978) yaitu >15 tergolong tercemar berat, 5,0 - 15 tergolong tercemar
sedang, 3,0 – 5,0 tergolong tercemar ringan dan <3,0 tergolong tidak tercemar.
21
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Alat dan Bahan
4.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat tulis, aluminium
foil, beaker glass, botol sampel, botol winkler, bulb pipet, buret, erlenmeyer,
gelas ukur, jala surber, klem, kotak alat, lempeng secchi, lup, meteran 50
meter, pH meter, pipet tetes, pipet volume 50 mL, plastik ziplok, SCT meter,
spidol permanen, statif, stopwatch, styrofoam, tali rafia, termometer, dan
tongkat berskala.
4.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari air sampel,
alkohol 70%, aquades, formalin 4%, larutan H2SO4 pekat, larutan indikator
amilum 1%, larutan MnCl2, larutan MnSO4 50%, larutan Na-Thiosulfat 0,01 N,
reagen O2, dan sampel air.
4.2 Metode Penelitian
Studi pendahuluan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
survey untuk menentukan titik-titik lokasi pengambilan sampel air dan
makrozoobenthos di muara sungai. Studi pendahuluan ini dilakukan agar
mendapatkan tempat yang representatif, dapat di akses oleh peneliti, dan aman
saat melakukan pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan di tiga
stasiun yaitu di Muara Cisela, Muara Cigebang, dan Muara Cikawung dengan
22
dilakukan tiga kali pengulangan pada tepi setiap muara sungai. Adapun
koordinat lokasi pengambilan sampel makrozoobenthos, yaitu di Muara Cisela
tepatnya di 7o29’33.3”S dan 107
o23’34.5”T, Muara Cikawung 7
o29’36.02”S
dan 107o23’58.39”T, dan Muara Cigebang 7
o29’55.36”S dan 107
o24’11.94”T.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 4.1 tentang lokasi penelitian
Gambar 4.1 Peta Lokasi pengambilan Sampel
4.3. Prosedur Kerja
4.3.1 Pengambilan Sampel Makrozoobenthos
Pengambilan makrozoobenthos dilakukan sebanyak 3 kali ulangan di
bagian tepi setiap stasiunnya. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu surut
23
dengan alasan agar mempermudah dalam pengambilan sampel serta tidak
terkendala arus dan gelombang.
Pengambilan makrozoobentos menggunakan jala surber dengan ukuran
luasan (40 x 25 cm) yang dilengkapi dengan jaring penampung dengan ukuran
mata jaring dilakukan secara berlawanan dengan arah aliran air agar organisme
makrozoobentos dapat tertampung dalam jaring. Jala surber diletakkan di dasar
perairan selama kurang lebih 5 menit untuk menjaring biota yang hanyut ke
dalam jaring dan substrat dalam bingkai jala surber digali untuk menangkap
makrozoobentos yang bersembunyi di balik substrat. Selain itu apabila terdapat
batu pada bingkai jala surber, maka batu tersebut akan disisihkan untuk
kemudian diambil makrozoobentos yang menempel pada bebatuan tersebut.
Setelah itu jala surber diangkat dan makrozoobentos yang terbawa di dalam
jaring surber diletakkan ke saringan benthos untuk kemudian dipindahkan ke
dalam plastik ziplok yang telah diberi label berdasarkan titik stasiun dan
setelah itu diberi beberapa tetes larutan formalin 4% untuk mengawetkan
organisme untuk kemudian diidentifikasi.
Selanjutnya sampel di identifikasi di Laboratorium dengan cara
mengamati bentuk dan struktur tubuh sampel makrozoobentos dengan bantuan
Lup (kaca pembesar) kemudian dicocokkan dengan buku acuan identifikasi
Dharma B. (1988), Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells); Marwoto,
dkk (2011), Keong Air Tawar Pulau Jawa (Moluska, Gastropoda). Setiap
individu yang ditemukan dihitung jumlahnya untuk setiap ulangan.
24
4.3.2 Pengambilan Sampel Air Sungai
Pengambilan sampel air dilakukan untuk mengetahui kualitas air sungai
dilihat dari parameter fisika dan kimia. Pengambilan sampel air dilakukan
sebanyak satu kali ulangan pada setiap stasiun. Sampel air diambil untuk
dilakukan uji salinitas, DO dan BOD.
4.3.3 Pengukuran Parameter Fisik dan Kimia Perairan
Pengukuran parameter fisika seperti intensitas cahaya, temperatur air dan
udara, arus air, pH, dan tipe substrat dilakukan secara langsung dilapangan.
Sedangkan pengukuran salinitas, DO, dan BOD dilakukan di laboratorium.
Parameter yang diukur pada saat di lapangan yaitu:
a. Intensitas Cahaya
Pengukuran transparansi cahaya dilakukan menggunakan alat Secchi disk.
Lempeng Secchi dicelupkan ke dalam badan sungai sampai warna hitam-putih
pada lempeng tidak dapat dibedakan. Jarak anatara lempeng Secchi dengan
permukaan air merupakan nilai transparansi air dalam satuan panjang
(PPSDAL-UNPAD, 2012).
b. Temperatur Udara dan Air
Pengukuran temperatur air mengacu pada SNI 06-6989.23-2005.
Dilakukan dengan cara mencelupkan thermometer air raksa ke dalam
permukaan air sungai selama 2-5 menit sampai thermometer menunjukan nilai
stabil. Pembacaan skala thermometer dilakukan tanpa mengangkat
thermometer dari air terlebih dahulu.
25
c. Pengukuran Arus Air
Pengukuran arus dan debit air diukur dengan melemparkan styrofoam
yang diikat dengan tali rafia sepanjang 2 m ke dalam air pada jarak tertentu,
lalu dicatat menggunakan stopwatch berapa besarnya waktu yang ditempuh
oleh styrofoam tersebut untuk menempuh jarak yang telah ditentukan.
Selanjutnya hitung lebar sungai dari batas air paling pinggir. Lalu ukur
kedalaman sungai tersebut (APHA, 2005).
d. Pengukuran pH
Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan alat pH-meter dengan
cara mencelupkan elektroda pada pH meter ke dalam sampel air hingga layar
display menunjukan angka yang konstan. Pada layar display akan tertera
besarnya nilai pH. Selain pH-meter dapat juga digunakan kertas lakmus dengan
cara dicelupkan selama beberapa detik pada sampel air dan membandingkan
perubahan warna kertas lakmus dengan indikator pH (PPSDAL-UNPAD,
2012).
Sedangkan parameter yang harus dianalisis di laboratorium yaitu:
a. Salinitas
Salinitas perairan diukur dengan menggunakan SCT meter (Salinity,
Conductivity, Thermometer) yang dicelupkan ke dalam sampel air dengan
mencelupkan elemen SCT meter setelah memutar tombolnya ke arah parameter
salinitas tas dari off ke on dan mengatur jarum penunjuk skala salinitas
(APHA, 2005).
26
b. Pengukuran DO (Dissolved Oxygen)
Pengukuran kandungan oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan
metode Titrasi Winkler (Hutagalung, et al, 1997) air laut diambil dengan cara
mencelupkan botol gelap (100 ml) ke dalam permukaan laut (botol diisi penuh
sampai gelembung udara dipastikan keluar semua ). Ditambahkan 1 ml MnOH
diaduk dengan cara membolak-balik botol. Kemudian ditambahkan 1 ml
H2SO4, dengan cara yang sama botol bolak-balik dengan menggunakan gelas
ukur, sampel yang telah berwarna kuning tua sebanyak 100 ml dipindahkan ke
Erlemnyer. Selanjutnya dititrasi larutan Tio-sulfat sampai sampel berwarna
kuning muda. Diteteskan 5-8 tetes larutan Amylum sehingga 7sampel berwana
biru. Sampel kemudian dititrasi kembali dengan larutan Tio-sulfat hingga tidak
berwarna lagi (bening).
c. Pengukuran BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Sampel air sebanyak 75 ml diencerkan menggunakan akuades yang telah
di aerasi sebanyak 300 ml. Sampel air yang sudah diencerkan dimasukan
sampai penuh ke dalam 2 botol Winkler dan ditutup sampai rapat. Botol
pertama untuk diukur kadar DO 0 hari dan botol Winkler kedua disimpan di
inkubator BOD dengan suhu 20oC selama 5 hari untuk mengukur kadar
oksigen terlarutnya (DO 5 hari) (PPSDAL-UNPAD, 2012).
Kandungan oksigen terlarut (DO) diukur menggunakan metode titrasi cara
Winkler. Sampel air diambil menggunakan botol Winkler searah arus air,
27
kemudian ditutup dan diusahakan jangan sampai ada gelembung udara. 1 ml
reagen O2 dan 1 ml MnSO4 ditambahkan, kemudian dikocok dan dibiarkan
mengendap selama 15 menit. Tambahkan 2 ml H2SO4 pekat untuk melarutkan
endapan. Lalu ambil 50 ml dari botol Winkler menggunakan pipet ke dalam
labu Erlenmeyer. Larutan di titrasi menggunakan larutan standar Na-thiosulfat
0,01 N hingga berwarna kuning muda, lalu tambahkan larutan amilum 1%
sebagai indikator. Titrasi dilakukan dengan hati-hati hingga terjadi perubahan
warna dari biru ke jernih. Na-thiosulfat yang digunakan dicatat untuk
dimasukan ke dalam penghitungan (PPSDAL-UNPAD, 2012).
4.4 Analisis Sampel
Dari data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis makrozoobenthos
dengan persamaan sebagai berikut:
1. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (1964)
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener digunakan untuk mengetahui
keanekaragaman makrozoobenthos. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
dihitung menggunakan rumus (Odum,1993):
Keterangan: = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu species ke-i
N = Jumlah total individu
28
Tabel 4.1 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wiener (H’)
(Wilhm, 1975)
Tabel 4.2 Klasifikasi hubungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
(H’) dan tingkat pencemaran perairan Sastrawijaya (2000) dalam Sinaga
(2009)
2. Indeks Keseragaman
Keseragaman (equibilitas) merupakan salah satu komponen utama
keanekaragaman yang menyatakan pembagian individu yang merata di antara
jenis. Indeks keseragaman dihitung untuk mengetahui pola dominansi suatu
jenis atau beberapa kelompok jenis dalam suatu komunitas organisme.
Dimana:
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
H’ = Indeks keanekaragaman maksimum yaitu ln S (dimana S adalah
jumlah spesies dalam komunitas)
Nilai Indeks Shannon Kategori
> 3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu
tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.
1 – 3
Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah
individu tiap spesies sedang dan kestabilan
komunitas sedang.
< 1
Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah
individu tiap spesies rendah dan kestabilan
komunitas rendah.
Indeks Keanekaragaman
Shannon (H’)
Tingkat Pencemaran (kualitas lingkungan
perairan)
> 2,0 Tidak tercemar
1,6 – 2,0 Tercemar ringan
1,0 – 1,6 Tercemar sedang
< 1 Tercemar berat
E = H’
H’ maks
29
Kriteria Keseragaman (Krebs, 1985):
E < 0,4 = keseragaman jenis rendah
0,4 < E < 0,4 = keseragaman jenis sedang
E > 0,6 = keseragaman jenis tinggi
3. Indeks Dominansi
Untuk mengetahui adanya dominansi satu jenis atau beberapa kelompok
jenis dalam suatu komunitas, selain menggunakan indeks keseragaman juga
dilakukan dengan perhitungan indeks dominansi. Indeks dominansi
menyatakan derajat dimana dominansi dipusatkan dalam satu, beberapa, atau
banyak jenis. Dengan arti lain, indeks dominansi dihitung untuk menentukan
spesies tertentu yang mendominansi suatu komunitas ( Odum, 1994).
Dimana:
D = Indeks Dominansi
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah keseluruhan individu
Kriteria (Odum, 1994):
E < 0,4 = dominansi rendah
0,4 < E < 0,4 = dominansi sedang
E > 0,6 = dominansi tinggi
Menurut Odum (1993), nilai dominansi mendekati 0 maka dominansi
rendah atau tidak ada yang mendominansi dan jika nilai dominansi mendekati
1 maka dominansi tinggi atau ada yang mendominansi.
D = ∑ (ni/N)2
30
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Kondisi Lingkungan
Lokasi pengambilan sampel Muara Sungai dilakukan di tiga stasiun, yaitu
Stasiun I (Muara Cisela), Stasiun II (Muara Cikawung) dan Stasiun III (Muara
Cigebang). Berdasarkan pengamatan kondisi fisik di lingkungan sekitar muara,
didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.1 Kondisi Fisik Lingkungan Sekitar Muara
Kondisi
Fisik
Stasiun I (Muara
Cisela)
Stasiun II (Muara
Cikawung)
Stasiun III (Muara
Cigebang)
Cuaca Cerah Cukup cerah Cerah
Vegetasi di
sekitar
muara
vegetasi
Terminalia
catappa,
Baringtonia dan
pandan laut
pohon Terminalia
catappa, dan
pandan laut
pohon Terminalia
catappa, Pandan
Laut, Ipomoea pas-
caprae dan rumput
lari
Warna air Keruh banyak
seresah
Jernih dan terdapat
seresah
Jernih
Kondisi
sekitar
muara
Terdapat
beberapa
penduduk yang
sedang
memancing dan
beberapa perahu
yang
ditambatkan,
dipengaruhi arus
dari laut dan
sungai
Sebagian besar air
di muara ini
ditutupi kanopi
pohon yang
menjulang dari
pinggir muara,
dipengaruhi arus
dari sungai
Muara Cigebang
terpisah dengan
pantai sehingga
airnya tidak
dipengaruhi air laut,
muara dan pantai ini
dipisahkan
bendungan pasir
yang disebut dengan
fenomena gugel, di
pinggir kanan muara
ini terdapat villa
Pengukuran dimulai pukul 10.10 WIB pada saat di Muara Cisela, pukul
08.00 WIB di Muara Cikawung dan 08.30 WIB Di Muara Cigebang. Kondisi
31
cuaca cerah sehingga cocok untuk melakukan pengambilan sampel. Vegetasi
sekitar pinggiran Muara Sungai di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti memiliki
kesamaan jenis terdapat pohon Terminalia catappa dan pandan laut yang
merupakan vegetasi hutan pantai, dan tidak ada vegetasi yang tumbuh di
pinggiran air muara, keadaan ini tidak mendukung insekta untuk tumbuh dan
berkembang di sekitar Muara. Dari segi kondisi fisik terdapat perbedaan dari
ketiga stasiun, Stasiun I (Muara Cisela) airnya selalu bersatu dengan laut,
sedangkan Stasiun II (Muara Cikawung) air bersatu jika laut pasang, dan Stasiun
III (Muara Cigebang) terpisah dengan pantai sehingga airnya tidak pernah
dipengaruhi air laut, muara dan pantai ini dipisahkan bendungan pasir yang
disebut dengan fenomena gugel.
Ketiga muara berasal dari sungai yang hulunya berada di luar kawasan, namun
pemanfaatannya berbeda-beda, yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat adalah
Muara Cisela terlihat saat penelitian, di sekitar muara terdapat beberapa penduduk
yang sedang memancing dan beberapa perahu yang sedang ditambatkan, di Muara
Cikawung tidak ditemukan pemanfaatan apapun oleh warga dan di Muara
Cigebang hanya ditemukan sebuah villa di pinggir muara. Air di muara Cisela
keruh banyak seresah, berasal dari pohon yang hidup di hutan pantai sekitar
Muara, juga di Muara Cikawung, di tepi air banyak seresah namun air tetap jernih.
32
5.1.2 Kualitas Perairan Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
Hasil pengukuran parameter fisik dan kimia di Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti pada tanggal 13 dan 14 Mei 2015 dapat dilihat pada Tabel
5.2
Tabel 5.2 Parameter Fisik dan Kimia Perairan
No Parameter Stasiun I
(Muara Cisela)
Stasiun II
(Muara
Cikawung)
Stasiun III
(Muara
Cigebang)
1 pH 8 8 7
2 DO (mg/L) 4,48 4,47 4,8
3 BOD (mg/L) -8,24 4,23 -2,6
4 Suhu Udara (oC) 24.3 25.67 30
5 Suhu Air (oC) 24.83 27,33 30,67
6 Kecerahan Keruh banyak
sersah
Jernih 1,53 m
7 Kedalaman (m) 0,06 0,1867 1,53
8 Kecepatan Arus
(cm/s)
5,79 13,06 -
9 Tipe Substrat
Batu dan Pasir
Besi
Batu dan Pasir
besi
Pasir, batu
berlumut, dan tanah
liat
10 Salinitas (‰) 5.73 3 5
11 Konduktivitas
(µmho/cm)
9233,3 77666.67 8000
Dari Tabel 5.2 dapat dilihat, derajat keasaman (pH) air pada ketiga muara
berkisar antara 7 - 8. pH air yang paling tinggi terdapat di Muara Cisela dan
Muara Cikawung yakni 8 dan pH air terendah di Muara Cigebang yakni 7. Barus
(2004) menjelaskan, setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda
terhadap pH. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk
makrozoobenthos pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5.
33
Suhu udara rata-rata di stasiun pengamatan Muara Cisela dan Muara
Cikawung memiliki suhu antara 24.3 - 25,67oC dan di Muara Cigebang sebesar
30oC. Sedangkan suhu air di stasiun pengamatan Muara Cisela dan stasiun
pengamatan Muara Cikawung berkisar antara 24.83 - 27,33oC, dan di Muara
Cigebang sebesar 30,67oC, Menurut Lusianingsih (2011) kisaran suhu yang
optimal untuk pertumbuhan benthos antara 20 - 30oC. Suhu air Muara Cigebang
melebihi batas optimal pertumbuhan benthos, hal ini dapat mempengaruhi
keberadaan makrozoobenthos di muara tersebut.
Hasil pengukuran kecerahan perairan di stasiun pengamatan Muara Cisela
airnya sedikit keruh karena banyak seresah dari vegetasi pinggiran muara yang
bercampur dalam air, di stasiun pengamatan Muara Cikawung airnya jernih, dan
di stasiun pengamatan Muara Cigebang memiliki kecerahan sebesar 1,53 m
termasuk jernih. Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang
tersuspensi didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka
kecerahan air akan semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya
semakin rendah, karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang
dibutuhkan untuk proses fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Oleh karena
itu, secara tidak langsung kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna
benthos yang hidup didalamnya. Disamping itu kedalaman suatu perairan akan
membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988).
Hasil pengukuran kedalaman di stasiun pengamatan Muara Cisela sebesar
0,06 m, di stasiun pengamatan Muara Cikawung sebesar 0,1867 m, sedangkan di
stasiun pengamatan Muara Cigebang kedalamannya 1,53 m.
34
Kecepatan arus di stasiun pengamatan Muara Cisela sebesar 5,79 cm/s,
pada Muara Cikawung kecepatan arus air sebesar 13,06 cm/s sedangkan di Muara
Cigebang tidak ada arus, perairan Muara Cigebang cenderung tenang. Kecepatan
arus merupakan faktor penting di perairan mengalir. Terdapat lima kategori yaitu
arus yang sangat cepat (>100 cm/detik), cepat (50-100 cm/detik), sedang (25-50
cm/detik), lambat (10-25 cm/detik) dan sangat lambat (<10 cm/detik) (Mason,
1981). Sehingga dapat dikatakan bahwa kecepatan arus di Muara Cisela termasuk
sangat lambat dan kecepatan arus di Muara Cikawung termasuk lambat. Namun
pada Muara Cisela, kecepatan arus air meningkat seiring dengan waktu pasang
surut. Kecepatan arus yang cepat akan menghanyutkan partikel terlarut,
sedangkan kecepatan arus yang lambat akan menyebabkan partikel yang tidak
terhanyutkan menjadi terendap dan membentuk elemen dasar perairan.
Dengan adanya perbedaan jenis substrat dasar juga menyebabkan
perbedaan jenis makrozoobenthos yang didapatkan pada masing-masing stasiun
penelitian. Kehadiran spesies dalam suatu komunitas zoobenthos didukung oleh
kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan
zoobenthos tersebut, karena tipe substrat ikut menentukan (Welch, 1952). Substrat
di stasiun pengamatan Muara Cisela dan Muara Cikawung memiliki tipe substrat
batu yang kaya akan bahan organik dan pasir besi, Sedangkan pada stasiun
pengamatan Muara Cigebang memiliki tipe substrat pasir, batu berlumut, dan
tanah liat. Hal ini dapat terlihat dari makrozooebtnhos yang ditemukan di Muara
Cigebang dan Muara Cisela ditemukan yaitu dari kelas Gastropoda, Bivalvia dan
Malacostraca sedangkan di Muara Cigebang hanya dari kelas Malacostraca.
35
Dari hasil pengukuran salinitas dan konduktivitas, perairan Muara
Cikawung termasuk sebagai perairan air tawar karena memiliki salinitas sebesar
3‰, dan konduktivitas sebesar 77666,67 µmho/cm, Muara Cisela dinyatakan
sebagai perairan estuari karena memiliki salinitas sebesar 5,73‰ dan
konduktivitas air sebesar 9233,3 µmho/cm sedangkan Muara Cigebang memiliki
salinitas sebesar 5‰ dan konduktivitas sebesar 8000 µmho/cm yang dinyatakan
sebagai perairan estuari. Menurut Nybakken (1992) berpendapat bahwa suatu
kawasan dengan salinitas tertentu didominasi oleh suatu spesies tertentu terkait
dengan tingkat toleransi spesies tersebut terhadap salinitas yang ada. Oleh karena
itu, makrozoobenthos yang terdapat di Muara Cikawung didominasi oleh
organisme air tawar seperti Littorina sp., Littoraria sp., dan Clithon sp, di Muara
Cisela terdapat hewan laut dan sungai didominasi oleh Crassostrea virginica,
Littorina sp., dan Clithon sp, sedangkan di Muara Cigebang, didominasi oleh jenis
Pagurus sp.
Kandungan oksigen terlarut pada ketiga stasiun berkisar antara 4,47 – 4,8
mg/L. Berdasarkan pengelompokkan perairan dari kandungan oksigen terlarutnya
menurut Lee at al. (1978), ketiga stasiun tersebut termasuk perairan tercemar
ringan. Menurut Effendi (2003), Kadar oksigen terlarut pada perairan alami
biasanya kurang dari 10 mg/liter dan masih layak bagi kehidupan organisme
perairan.
Kebutuhan BOD oleh mikroorganisme yang terdapat di stasiun
pengamatan Muara Cisela sebesar -8,24 mg/L, di stasiun pengamatan Muara
Cikawung memiliki nilai BOD sebesar 4,39 mg/L sedangkan di stasiun
36
pengamatan Muara Cigebang memiliki nilai BOD sebesar -2,6 mg/L. Muara
Cikawung termasuk tercemar ringan, sedangkan Muara Cisela dan Muara
Cigebang nilai BOD tidak dapat dijadikan acuan kualitas perairan Muara karena
bernilai negatif, hal ini dikarenakan penggunaan larutan yang telah kadaluarsa
sehingga larutan rusak dan mempengaruhi nilai BOD.
5.1.3 Makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
Berikut ini merupakan tabel hasil pengamatan makrozoobenthos yang
ditemukan di Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Setelah dilakukan
pengambilan sampel menggunakan jala surber, didapat data jenis
makrozoobenthos yang dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang ditemukan di Muara
Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
No Kelas Familia Spesies Muara Cisela
Muara
Cikawung
Muara
Cigebang Ni
1 2 3 1 2 3 1 2 3
1
Gastropoda
Neritidae
Clithon chlorostoma
1 1 1 - - - - - - 3
2 Trochidae Umbonium costatum
- 1 - - - - - - - 1
3 Littorinidae
Littorina undulate
- 1 - - - - - - - 1
4 Trochidae Trochus radiatus
- 1 - 2 5 1 - - - 9
5 Neritidae
Clithon corona spiral
- 3 - - 1 - - - - 4
6 Neritidae
Clithon faba - 2 1 - - - - - - 3
7 Neritidae
Clithon
squarrosus - 1 - - 1 - - - - 2
8 Neritidae
Clithon corona
black - 2 - - - - - - - 2
9 Neritidae
Septaria taitana - 1 - - - - - - - 1
10 Trochidae Pseudostomatell
a papyraceae - 1 - - - - - - - 1
37
11 Neritidae Clithon bicolor - - 1 - 1 - - - - 2
12 Neritidae Septaria
porcellana - - 1 - 1 - - - - 2
13 Neritidae Clithon sp. - - 1 - - - - - - 1
14 Neritidae Neritina turrita - - - - 1 - - - - 1
15 Neritidae Neritina
violacea - - - - 1 - - - - 1
16 Eulimidae Melanella teinostoma
- - - - 1 - - - - 1
17 Ellobiidae
Melampus
nuxcastaneus - - - - 1 - - - - 1
18 Littorinidae
Littorina ziczac - - - - - 2 - - - 2
19 Thiaridae
Melanoides
punctata
- - - - - 1 - - - 1
20 Neritidae Nerita
atramentosa - - - - - 1 - - - 1
21 Nassariidae
Nassarius reeveanus
- - - - - 1 - - - 1
22 Littorinidae
Littoraria
undulata - - - - - 1 - - - 1
23 Littorinidae
Littorina
angulifera - - - - - 1 - - - 1
24 Littorinidae
Littoraria vespacea
- - - - - 1 - - - 1
25
Malacostraca
Dotilidae Ilyoplax
deschampsi - - - - - - 1 - - 1
26 Paguridae
Pagurus sp. - - - - - - 3 - - 3
27 Gecarcinucidae Parathelphusa
maculata - - - 1 2 - - - - 3
28 Parathelphusidae Parathelphusa
convexa - - - - - - 1 - - 1
29
Bivalvia
Ostreidae Crassostrea
virginica
15
8
66 - - - - - - - 224
30 Arcidae Barbatia
virescens - - - 1 - - - - - 1
31 Carditidae Beguina
semiorbiculata - - 1 - - - - - - 1
Jumlah Individu
1
5
9
80 6 4 1
5 9 5 - - 278
245 28 5 278
Jenis makrozoobenthos yang ditemukan di Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti ada 31 jenis spesies (Tabel 2) dengan total individu
38
sebanyak 278 ekor. Pada Muara Cisela ditemukan makrozoobenthos sebanyak 15
jenis dengan total individu 245 ekor, pada Muara Cikawung ditemukan sebanyak
18 jenis dengan total individu 28 ekor dan pada Muara Cigebang ditemukan
sebanyak 3 jenis dengan total individu 5 ekor.
Dari spesies yang telah teridentifikasi, didapatkan 3 kelas, yaitu Gastropoda
(77,42%), Malacostraca (12,90%), dan Bivalvia (9,68%). Komposisi
makrozoobentos tertinggi yaitu kelas Gastropoda yang merupakan filum
Mollusca, hal ini disebabkan kondisi lingkungan sesuai dengan kehidupannya.
Menurut Hutchinson (1993) dalam Yeanny (2007), Gastropoda merupakan hewan
yang dapat hidup dan berkembang dengan baik pada berbagai jenis substrat yang
memiliki kesediaan makanan dan kehidupannya selalu dipengaruhi oleh kondisi
fisik kimia perairan seperti, suhu, pH maupun oksigen terlarut. Berikut komposisi
makrozoobenthos yang didapat di ketiga stasiun pengamatan dalam diagram
lingkaran sebagai berikut:
9,68%
12,90%
77,42%
Bivalvia
Malacostraca
Gastropoda
Gambar 5.1 Komposisi Jenis Makrozoobentos Perairan Muara Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis data makrozoobenthos,
didapatkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, keseragaman dan dominansi
39
makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, sebagai
berikut:
Tabel 5.4 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, Keseragaman,
Dominansi Makrozoobenthos
Analisis Sampel Muara Cisela Muara
Cikawung
Muara
Cigebang
Keanekaragaman (H’) 0,50 2,39 0,95
Keseragaman (E) 0,09 0,72 0,59
Dominansi (D) 0,83 0,12 0,44
Indeks Keanekaragaman (H’) makrozoobentos yang didapat dari ketiga
stasiun berkisar 0,50 – 2,39 dengan rata-rata 1,28 (Tabel 5.6). Indeks
Keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun pengamatan Muara Cikawung
yakni sebesar 2,39 dan terendah pada stasiun pengamatan Muara Cisela sebesar
0,50.
Berdasarkan penggolongan Sastrawijaya (2000) dalam Sinaga (2009)
mengenai klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan Indeks Diversitas Shannon-
Wiener (H’), Stasiun II dengan Indeks Keanekaragaman 2,39 tergolong perairan
tidak tercemar. Stasiun I (Muara Cisela) dengan Indeks Keanekaragaman 0,5
tergolong perairan tercemar berat dan Stasiun III (Muara Cigebang) dengan
Indeks Keanekaragaman 0,95 tergolong perairan tercemar berat.
Berdasarkan nilai keseragaman, nilai Indeks Keseragaman yang diperoleh
pada masing-masing stasiun berkisar 0,09 - 0,72. Indeks Keseragaman tertinggi
terdapat pada Stasiun II yakni sebesar 0,72 dan Indeks Keseragaman terendah
terdapat pada Stasiun I yakni sebesar 0,09 sedangkan Stasiun III yakni sebesar
0,59 (Tabel 5.6). Berdasarkan penggolongan Krebs (1985), Stasiun I tergolong
rendah, Stasiun III tergolong sedang, dan Stasiun II tergolong tinggi.
40
Nilai Indeks Dominansi makrozoobentos Perairan Muara Sungai Cagar
Alam Bojonglarang Jayanti yang diperoleh pada ketiga stasiun berkisar 0,12 –
0,83. Nilai Indeks Dominansi yang tertinggi terdapat pada Stasiun I yakni sebesar
0,83 dan nilai Indeks Dominansi terendah terdapat pada Stasiun II yakni sebesar
0,12 sedangkan Stasiun III yakni sebesar 0,44 (Tabel 5.6). Berdasarkan
penggolongan Odum (1994), Stasiun I dominansinya tinggi, Stasiun II
dominansinya rendah dan Stasiun III dominansinya sedang.
5.2 Pembahasan
Tempat yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah muara sungai
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti yang merupakan tempat rawan pencemaran
karena termasuk hilir sungai dari hulunya yang berada di luar kawasan Cagar
Alam yaitu daerah pemukiman penduduk. Aktivitas penduduk dapat berpotensi
mencemari perairan muara yang nantinya akan berpengaruh juga terhadap
perairan laut Cagar Alam karena airnya yang akan bersatu pada waktu pasang
sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di Cagar Alam tersebut.
Dalam penelitian ini organisme yang digunakan sebagai indikator kualitas
perairan adalah makrozoobenthos. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman,
keanekaragaman Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti termasuk
keanekaragaman rendah sampai sedang yaitu berkisar antara 0,50 - 2,39.
Keanekaragaman rendah di Muara Cigebang dan Muara Cisela, dan sedang di
Muara Cikawung. Apabila diurut dari tinggi nilainya indeks keanekaragaman,
41
Muara Cikawung termasuk tertinggi, lalu Muara Cigebang, dan terakhir Muara
Cisela.
Tingginya nilai Indeks Keanekaragaman pada Muara Cikawung dapat
dilihat dari nilai Indeks Dominansinya yakni sebesar 0,12 yang berarti tidak ada
jenis yang mendominasi dan Indeks Keseragamannya sebesar 0,72 berarti
keseragamannya tinggi atau sebaran individu antar spesies merata serta
ditemukannya 18 spesies dari 31 total spesies yang ditemukan di perairan Muara
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Hal ini menunjukkan bahwa pada Muara
Cikawung ditemukan jumlah spesies yang tinggi dengan jumlah individu antar
spesies relatif seimbang. Keanekaragaman makrozoobenthos di Muara Cikawung,
dipengaruhi pula oleh kondisi fisik dan kimia perairannya, muara ini memiliki
kondisi yang ideal untuk pertumbuhan makrozoobenthos dari suhu, pH,
kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, intensitas cahaya, salinitas, konduktivitas,
tipe substrat serta DO dan BOD. Apabila dihubungkan dengan tingkat
pencemaran menurut Sastrawijaya (2000) dalam Sinaga (2009), maka Muara
Cikawung tergolong perairan tidak tercemar dengan Nilai Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener sebesar 2,39. Hal ini juga dapat dilihat dari
faktor fisika dan kimia airnya, termasuk perairan alami dan mengandung
kandungan organik yang cukup.
Nilai Indeks Keanekaragaman Muara Cigebang lebih tinggi dibandingkan
dengan Muara Cisela, tetapi jika dilihat dari jenis dan jumlah spesies yang
ditemukan Muara Cigebang lebih sedikit dari Muara Cisela, yaitu 3 jenis dengan
jumlah individu 5 ekor sedangkan Muara Cisela terdapat 15 spesies dengan
42
jumlah individu 245 ekor. Muara Cigebang memiliki penyebaran jumlah individu
tiap spesiesnya yang rendah dan kestabilan komunitasnya rendah terlihat dari nilai
indeks Dominansinya yakni sebesar 0,44, mendekati nilai 0 yang menurut Odum
(1993), nilai dominansi mendekati 0 maka dominansi rendah atau tidak ada yang
mendominansi. Sedangkan di Muara Cisela Nilai Dominansinya sebesar 0,83,
mendekati 1 yang berarti terdapat spesies makrozoobenthos yang mendominasi di
muara tersebut, seperti pada hasil penelitian Crassostrea virginica jumlah
individunya banyak, mendominasi di Muara Cisela. Nilai Indeks Keseragaman
Muara Cigebang yakni sebesar 0,59 yang menunjukkan bahwa individu setiap
jenis menyebar secara merata sedangkan Muara Cisela Nilai Keseragamannya
rendah yakni sebesar 0,09 mendekati 0, hal ini terjadi karena terjadi penyebaran
jenis yang tidak merata. Nilai Indeks Keanekaragaman di Muara Cigebang ini
dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimia perairan terhadap makrozoobenthosnya.
Kondisi fisik dan kimia perairan Muara Cigebang seperti suhu air, kedalaman,
kecerahan, dan tipe substrat kurang ideal untuk pertumbuhan makrozoobenthos,
tetapi pada kondisi tertentu cocok untuk kehidupan makrozoobenthos tertentu,
sehingga pada muara ini jenis yang ditemukan adalah organisme spesifik. Apabila
dilihat dari tingkat pencemarannya, berdasarkan keanekaragaman
makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, menurut
Sastrawijaya (2000) dalam Sinaga (2009) kondisi kualitas air di Muara Cisela dan
Muara Cigebang tergolong perairan tercemar berat dengan Nilai Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener sebesar 0,50 dan 0,95. Kondisi tercemar berat
di Muara Cisela, disebabkan karena pada stasiun ini telah mengalami tekanan.
43
Muara ini berasal dari sungai yang hulunya berada diluar kawasan sekitar
pemukiman penduduk, lalu ditemukan pula perahu yang sedang ditambatkan dan
penduduk yang sedang memancing di sekitar muara sehingga pada akhirnya
mempengaruhi nilai Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos. Sedangkan di
Muara Cigebang tergolong tercemar juga namun tidak sesuai dengan kondisi di
lapangan, hal ini menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis tidak
selalu menunjukkan kualitas perairan tersebut, ini merupakan salah satu
kelemahan indeks keanekaragaman. Hal ini sama halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ida, dkk (2010) bahwa tingginya indeks keanekaan jenis perifiton
tidak selalu menunjukkan bahwa kualitas perairan tersebut baik, ini merupakan
salah satu kelemahan indeks keanekaragaman. Spesies yang ditemukan di Muara
Cigebang ditemukan hanya pada habitat tertentu yaitu pasir yang berada di tepi
muara sehingga tidak dapat menunjukkan kualitas perairan muara. Dilihat dari
kondisi fisiknya, air di Muara Cigebang begitu jernih dan dilihat dari nilai DO,
perairan muara ini termasuk tercemar ringan, menunjukkan bahwa produksi
oksigen yang dilakukan oleh produsen seperti fitoplankton dapat menutupi beban
pencemaran muara terutama yang disebabkan oleh limbah organik.
44
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Jenis makrozoobenthos yang terdapat di Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti yaitu Crassostrea virginic, Clithon chlorostom,
Umbonium costatum, Littorina undulate, Trochus radiatus, Clithon corona
spiral, Clithon faba, Clithon squarrosus, Clithon corona black, Septaria
taitana, Pseudostomatella papyraceae, Beguina semiorbiculata, Clithon
bicolor, Septaria porcellana, Clithon sp., Parathelphusa maculata, Barbatia
virescens, Neritina turrita, Parathelphusa convexa, Neritina violacea,
Melanella teinostoma, Melampus nuxcastaneus, Littorina ziczac, Melanoides
punctata, Nerita atramentosa, Nassarius reeveanus, Littoraria undulata,
Littorina angulifera,Littoraria vespacea, Ilyoplax deschampsi, dan Pagurus sp.
2. Keanekaragaman makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener,
untuk Muara Cisela dan Muara Cigebang diperoleh nilai sebesar 0,5 dan 0,95
yang tergolong rendah, sedangkan Muara Cikawung sebesar 2,39 yang
tergolong sedang.
3. Berdasarkan keanekaragaman makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti, kondisi kualitas air di Muara Cisela tergolong perairan
45
tercemar berat, Muara Cikawung tergolong perairan tidak tercemar sedangkan
Muara Cigebang Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos tidak
menunjukkan kualitas perairan muara tersebut.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang
diberikan yakni sebagai berikut :
a. Perlu dilakukannya penelitian yang lebih spesifik terhadap kandungan organik
substrat dengan tingkat keanekaragaman jenis makrozoobentos di perairan
Muara Sungai Cagar Alam Jayanti.
b. Perlu adanya penelitian yang kontinu dan dalam jangka waktu yang lebih lama
untuk melihat perubahan dari masukkan bahan-bahan organik dan anorganik ke
dalam perairan dan sedimen akibat aktivitas masyarakat serta pengaruh
langsungnya terhadap makrozoobentos di perairan Muara Sungai Cagar Alam
Jayanti.
c. Diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman
makrozoobenthos di Muara Sungai Cagar Alam Jayanti pada musim yang
berbeda sehingga dapat dilihat bagaimana perbandingannya
46
DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard Methods For the
Examination of Water and Wastewater. Amer. Publ. 17th Edition. New
York Health Association.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
USU Press. Medan.
BKSDA. 2012. Profil Kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Balai Besar
Konservasi dan Sumber Daya Alam Jawa Barat
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kansius. Yogyakarta
Hawkes, H. A. 1978. River Zonation and Classification in River Ecology, ed. By.
B. A. Whitten. Blackwell Scientific Publication. Oxford.
HIMAKOVA. 2013. Ekspedisi RAFFLESIA (Ekspedisi Flora, Fauna, dan
Ekowisata Indonesia. Institut Pertanian Bogor
Hutagalung, Horas. P dan Endang Rochyatun. 2000. Kandungan Logam Berat
(Pb, Cd, Cu, Cr, Zn, Ni) dalam Sedimen di Muara Dadap, Teluk Jakarta.
Balitbang Lingkungan Laut, Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta
Hutabarat, Sahala.1985. Identifikasi fitoplankton dan Zooplankton. Universitas
Indonesia. Perss. Jakarta
Karyadi. 1994. Ikan Mas Kolam Air Deras. Swadaya. Jakarta
Krebs C.J. 1985. Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Third
Edition. Philadelphia: Harper and Row Publisher. Pp 171-182
Koesbiono. 1979. Dasar - Dasar Ekologi Umum. Sekolah Pascasarjana Program
Studi Lingkungan. Instiut Pertanian Bogor. Bogor.
Kümar, H. D, dan D. P. Hader. 1999. Global Aquatic and Atmospheric
Environment. Spinger-Verlag Berlin. Germany.377p.
Lee et al. 1978. Benthic Macroinvertebrate and Fish as Biological Indicator of
Water Quality With Reference to Community Diversity Development
Countries. Bangkok. P. 233. Lind, O.T. 1979. Handbook of common
Method in Limnology. The C.V. Mosby Company. St. Louis, Missouri.
199 hlm.
Lusianingsih, N. 2011. Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Bah Bolon
Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
47
Masduqi, E. Soedjono, N. Endah, W.Hadi, (2009), Prediction Of Rural Water
Supply System Sustainability Using A Mathematical Model, Jurnal
Purifikasi, Jurnal Teknologi Dan Manajemen Lingkungan, Volume 10
No.2.
Mason, C. F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman. New York.
Michael, P. 1984. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan
Laboratorium (alih bahasa oleh Yanti R. Koestoer dan Suharti S.).
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Mudjiman, A. 1981. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti, Jakarta.
Noortiningsih, Ikna Suyatna Jalip, dan Sri Handayani. 2008. Keanekaragaman
Makrozoobenthos, Meiofauna dan Foraminifera Di Pantai Pasir Putih
Barat dan Muara Sungai Cikamal Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Vis
Vitalis, Vol. 01 No. 1
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia
Pustaka, Jakarta
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
oleh H. Muhammad Eidman, et al. Fakultas Perikanan IPB. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka
Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Sounders Company. Tokyo.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Diterjemahkan oleh T.
Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Odum, E.P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Samingan T.
FMIPA IPB. Edisi: Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hlm 373-397
Odum, E.P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Alih Bahasa. Cahyono,S. FMIPA IPB.
Gadjah Mada University Press. 625p.
PPSDAL-UNPAD. 2012. Metoda pengujian Air dan Air Limbah. Instruksi Kerja.
Lab. Ekologi PPSDAL-LPPM UNPAD.
Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas
Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. Tesis. USU.
Medan(tidak diterbitkan).
Soeyasa, 2001. Ekologi Perairan. Gramedia, Jakarta.
48
Sudarja, Y., 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dari Hulu
ke Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik, Dermaga. Kab
Bogor. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor
Welch, P. S. 1952. Lymnologi. Mc. Graw - Hill publication. New York.
Wilhm, JF. 1975. Biological Indicator of Pollution. Di dalam Whitton BA, editor.
River Ecology. London: Blackwell Scientific Publications.
Yeanny, Mayang Sari. 2007. Keanekaragaman Makrozoobentos di Muara Sungai
Belawan. Jurnal Biologi Sumatera. hlm. 37-41.
49
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rundown Acara Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 2015
Hari Ke 1 (10 Mei 2015)
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 06.00 – 06.30 (30’) Kumpul Peserta KKL 2015
2. 06.30 - 07.00 (30’) Sarapan Pagi
3. 07.00 – 07.30 (30’) Persiapan dan Mobilisasi Barang
4. 07.30 – 08.00 (30’) Pembukaan KKL 2015 dan Pelepasan KKL 2015
5. 08.00-16.00 (480’) Perjalanan Menuju Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
6. 16.00 Tiba di Cagar Alam Bojonglaramg Jayanti
7 16.00 – 18.00 (120’) Mobilisasi Barang KKL 2015
8. 18.00 – 20.00 (120’) Istirahat, Solat, dan Makan
9 20.00 - 21.30 (90’) Kumpul Peserta KKL 2015 dan Persiapan Untuk Hari ke-2
10 21.30 Istirahat
Hari ke 2 (11 Mei 2015)
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 06.00 – 06.30 (30’) Kumpul Peserta KKL 2015
2. 06.30 - 07.00 (30’) Sarapan Pagi
3. 07.00 – 07.30 (30’) Persiapan dan Mobilisasi Barang
4. 07.30 – 08.00 (30’) Pembukaan KKL 2015 dan Pelepasan KKL 2015
5. 08.00-16.00 (480’) Perjalanan Menuju Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
6. 16.00 Tiba di Cagar Alam Bojonglaramg Jayanti
7 16.00 – 18.00 (120’) Mobilisasi Barang KKL 2015
8. 18.00 – 20.00 (120’) Istirahat, Solat, dan Makan
9 20.00 - 21.30 (90’) Kumpul Peserta KKL 2015 dan Persiapan Untuk Hari ke-2
10 21.30 Istirahat
Hari ke 3 (12 Mei 2015)
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-05.30 (30’) Persiapan Penelitian dan Sarapan Pagi
4. 05.30-18.00 (750’) Penelitian dan Pengamatan di Lapangan
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
50
Hari ke 4 (13 Mei 2015)
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-05.30 (30’) Persiapan Penelitian dan Sarapan Pagi
4. 05.30-18.00 (750’) Penelitian dan Pengamatan di Lapangan
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
Hari ke 5 (14 Mei 2015)
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-05.30 (30’) Persiapan Penelitian dan Sarapan Pagi
4. 05.30-18.00 (750’) Penelitian dan Pengamatan di Lapangan
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
Hari ke 6 (15 Mei 2015)
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-05.30 (30’) Persiapan Penelitian dan Sarapan Pagi
4. 05.30-18.00 (750’) Penelitian dan Pengamatan di Lapangan
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
Hari ke 7 (16 Mei 2015)
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-05.00 (60’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
2. 05.00-05.30 (30’) Persiapan Kepulangan Peserta KKL 2015
3. 05.30-07.00 (90’) Penyelesaian Penelitian dan Pengambilan Sampel KKL
2015
4. 07.00-08.00 (60’) Sarapan Pagi
5. 08.00 – 12.00
(240’)
Penyelesaian Penelitian dan Pengambilan Sampel KKL
2015
51
6. 12.00-13.00 (60’) Sholat Dzuhur dan Makan Siang
7. 13.00-15.00 (120’) Packing Akhir Peserta
8. 15.00-18.00 (180’) Acara Penutupan KKL 2015
9. 18.00-20.00 (120’) Solat dan Makna Malam
10. 20.00-22.00 (120’) Acara Penutupan KKL 2015
11. 22.00 Istirahat
Hari ke 8 (17 Mei 2015)
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-05.00 (60’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
2. 05.00-07.00 (60’) Persiapan Kepulangan Peserta KKL 2015 dan Mobilisasi
Barang
3. 07.00-08.00 (60’) Sarapan Pagi
4. 08.00-09.00 (60’) Penutupan KKL 2015 Bersama Kepala Desa dan BKSDA
5. 09.00-17.00 (480’) Perjalanan Pulang menuju Jatinangor
6. 17.00 Tiba di Kampus Unpad Jainangor
52
Lampiran 2. Lokasi Pengambilan Sampel Makrozoobenthos dan Air Sampel
Muara Cikawung
Muara Cisela Muara Cigebang
53
Lampiran 3. Pengukuran Parameter Air dan Pengambilan Sampel
Makrozoobenthos
Pengukuran Parameter Air dan Pengambilan Sampel Makrozoobenthos
Penyimpanan Sampel Makrozoobenthos untuk diidentifikasi
54
Lampiran 4. Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang ditemukan di Muara
Sungai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang ditemukan di Muara Cisela
Titik 1
No Foto Spesies Klasifikasi Spesies Jumlah
individu yang ditemukan
1.
Phylum: Mollusca Class: Bivalvia Order: Ostreoida Family: Ostreidae Genus: Crassostrea Species: Crassostrea virginica (Gmelin, 1791
Crassostrea virginica
158
2.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon chlorostoma (Broderip, 1832)
Clithon chlorostoma
1
Titik 2
1.
Phylum:Mollusca Class: Gastropoda Family: Trochidae Genus: Umbonium Spesies: Umbonium costatum (Kiener, 1839)
Umbonium costatum
1 (mati)
2. Phylum: Mollusca Class: Bivalvia Order: Ostreoida Family: Ostreidae Genus: Crassostrea Species: Crassostrea virginica (Gmelin, 1791
Crassostrea virginica
66
3.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Littorinidae Genus: Littorina Spesies: Littorina undulata (Gray, 1839)
Littorina undulata
1
55
4.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Trochidae Genus: Trochus Species: Trochus radiatus (Gmelin, 1791)
Trochus radiatus 1 (mati)
5.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon chlorostoma (Broderip, 1832)
Clithon chlorostoma
1
6.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon corona (Linnaeus, 1758)
Clithon corona spiral
3
7.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon faba (Sowerby, 1836)
Clithon faba 2
8.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon squarrosus (Recluz, 1843)
Clithon squarrosus
1
9.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon corona (Linnaeus, 1758)
Clithon corona black
2
10.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Septaria Spesies: Septaria
taitana (Mousson, 1869)
Septaria taitana 1
56
11.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Trochidae Genus: Pseudostomatella Species: Pseudostomatella papyracea (Gmelin, 1791)
Pseudostomatella papyraceae
1
Titik 3
1.
Phylum: Mollusca Class: Bivalvia Ordo: Carditoida Family: Carditidae Genus: Beguina Spesies: Beguina semiorbiculata (Linnaeus, 1758)
Beguina semiorbiculata
1 (mati)
2.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon bicolor (Récluz, 1843)
Clithon bicolor 1
3.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon chlorostoma (Broderip, 1832)
Clithon chlorostoma
1
4.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon faba (Sowerby, 1836)
Clithon faba 1
5.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Septaria Spesies: Septaria
porcellana (Linnaeus, 1758)
Septaria porcellana
1
57
6.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon (Montfort, 1810)
Clithon sp. 1
Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang ditemukan di Muara Cikawung
Titik 1
No Foto Spesies Klasifikasi Spesies Jumlah
individu yang ditemukan
1. Phylum: Arthropoda Class: Malacostraca Ordo: Decapoda Family: Gecarcinucidae Genus: Parathelphusa Spesies: Parathelphusa maculata (de Man, 1879)
Parathelphusa maculate
1 (mati)
2. Kingdom: Animalia Phylum: Mollusca Class: Bivalvia Order: Arcoida Family: Arcidae Genus: Barbatia Spesies: Barbatia virescens (Reeve, 1844)
Barbatia virescens 1 (mati)
3.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Trochidae Genus: Trochus Species: Trochus radiatus (Gmelin, 1791)
Trochus radiatus 2 (mati)
Titik 2
1.
Phylum:Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Neritina Spesies: Neritina turrita (Gmelin, 1791)
Neritina turrita 1
58
2.
Phylum : Arthropoda Classis : Malacostraca Ordo : Decapoda Familia : Parathelphusidae Genus : Parathelphusa Spesies : Parathelphusa maculata (de Man, 1879)
Parathelphusa maculata
2 (mati)
3.
Phylum:Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Neritina Spesies: Neritina violacea (Gmelin, 1791)
Neritina violacea 1
4.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Septaria Spesies: Septaria
porcellana (Linnaeus,
1758)
Septaria porcellana
1
5.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon corona (Linnaeus, 1758)
Clithon corona spiral
1
6.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon bicolor (Récluz, 1843)
Clithon bicolor 1
7.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Clithon Spesies: Clithon squarrosus (Recluz, 1843)
Clithon squarrosus
1
8. Phylum:Mollusca Class: Gastropoda Family: Eulimidae Genus: Melanella Spesies: Melanella teinostoma (A. Adams, 1853)
Melanella teinostoma
1 (mati)
59
9.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Ellobiidae Genus: Melampus Species: Melampus nuxcastaneus (Mühlfeld, 1818)
Melampus nuxcastaneus
1
10.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Trochidae Genus: Trochus Species: Trochus radiatus (Gmelin, 1791)
Trochus radiatus 5 (mati)
Titik 3
1.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Littorinidae Genus: Littorina Species: Littorina ziczac (Gmelin, 1791)
Littorina ziczac 2
2.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Thiaridae Genus: Melanoides Species: Melanoides punctate
Melanoides punctate
1 (mati)
3.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Neritidae Genus: Nerita Species: Nerita atramentosa (Reeve, 1855)
Nerita atramentosa
1
4.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Nassariidae Genus: Nassarius Species: Nassarius reeveanus (Dunker, 1847)
Nassarius reeveanus
1
5.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Littorinidae Genus: Littoraria Spesies: Littoraria undulata (Gray, 1839)
Littoraria undulate
1
60
6.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Littorinidae Genus: Littorina Species: Littorina angulifera (Lamarck, 1822)
Littorina angulifera
1
7.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Littorinidae Genus: Littoraria Spesies: Littoraria vespacea (Reid, 1986)
Littoraria vespacea
1
8.
Phylum: Mollusca Class: Gastropoda Family: Trochidae Genus: Trochus Species: Trochus radiatus (Gmelin, 1791)
Trochus radiatus 1 (mati)
Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang ditemukan di Muara Cigebang
Titik 1
No Foto Spesies Klasifikasi Spesies Jumlah
individu yang ditemukan
1.
Phylum : Arthropoda Classis : Malacostraca Ordo : Decapoda Familia : Dotilidae Genus : Ilyoplax Spesies : Ilyoplax deschampsi (Rathbun, 1913)
Ilyoplax deschampsi
1
2. Phylum : Arthropoda Classis : Malacostraca Ordo : Decapoda Familia : Parathelphusidae Genus : Parathelphusa Spesies: Parathelphusa convexa(de Man, 1879)
Parathelphusa convexa
1 (mati)
3.
Phylum: Arthropoda Class: Malacostraca Order: Decapoda Family: Paguridae Genus: Pagurus (Fabricius, 1775)
Pagurus sp. 3