gangguan belajar
TRANSCRIPT
GANGGUAN BELAJAR
Oleh:
Widyarta Mega Paramita 105120300111001
Himamadhi Aditya 105120300111033
Bambang Setyo Utomo 105120301111033
Noerman Rizky Alfarozi 105120302111003
Suci Amalia 105120307111020
Indah Kusuma Wardani 105120307111031
Hilmatul Azizah 105120307111052
Agus Iwan Setiawan 105120307111046
Alva Rieza 105120307111063
Rifke Sayang N. C 105120313111005
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
A. Pengertian Gangguan Belajar
Aktivitas belajar bagi setiap individu, tidak
selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang
lancar, kadang-kadang tidak. Kadang-kadang dapat cepat
menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa sangat
sulit. Dalam semangat terkadang semangatnya tinggi, tetapi
terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi. Demikian
keadaan yang sering kita jumpai pada setiap anak didik dalam
kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan aktivitas
belajar.
Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan
individual inilah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku
belajar di kalangan anak didik. “Dalam keadaan di mana anak
didik/siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah
yang disebut dengan kesulitan belajar”. Kesulitan belajar
merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah.
Ketidakmampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud
fisik yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah
kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu
disebabkan karena faktor inteligensi yang rendah (kelainan
mental), akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor
non-inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu
menjamin keberhasilan belajar. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar
yang ditandai hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai hasil
belajar.
Macam-macam kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan
menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut: dilihat dari jenis
kesulitan belajar, ada yang berat ada yang sedang. Dilihat
dari bidang studi yang dipelajari, ada yang sebagian bidang
studi ada yang keseluruhan bidang studi. Dilihat dari sifat
kesulitannya, ada yang sifatnya permanen (menetap) dan ada
yang sifatnya hanya sementara. Dilihat dari segi faktor
penyebabnya, ada yang karena faktor inteligensi dan ada yang
karena faktor bukan inteligensi
B. Faktor Penyebab Gangguan Belajar
Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat
pada literatur dan hasil riset (Harwell, 2001), yaitu :
1. Faktor keturunan/bawaan
2. Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau prematur
3. Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau
nutrisi dan atau ibu yang merokok, menggunakan obat-
obatan (drugs), atau meminum alkohol selama masa
kehamilan.
4. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi,
trauma kepala, atau pernah tenggelam.
5. Infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita.
Anak dengan kesulitan belajar biasanya mempunyai sistem
imun yang lemah.
6. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan
aluminium, arsenik, merkuri/raksa, dan neurotoksin
lainnya.
Riset menunjukkan bahwa apa yang terjadi selama tahun-
tahun awal kelahiran sampai umur 4 tahun adalah masa-masa
kritis yang penting terhadap pembelajaran ke depannya.
Stimulasi pada masa bayi dan kondisi budaya juga mempengaruhi
belajar anak. Pada masa awal kelahiran samapi usia 3 tahun
misalnya, anak mempelajari bahasa dengan cara mendengar lagu,
berbicara kepadanya, atau membacakannya cerita. Pada beberpa
kondisi, interaksi ini kurang dilakuan, yang bisa saja
berkontribusi terhadap kurangnya kemampuan fonologi anak yang
dapat membuat anak sulit membaca (Harwell, 2001)
Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor
penyebab gangguan belajar sebagai berikut:
1. Faktor Disfungsi Otak
Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred
Strauss di Amerika Serikat pada akhir tahun 1930-an, yang
menjelaskan hubungan kerusakan otak dengan bahasa,
hiperaktivitas dan kerusakan perceptual. Penelitian berlanjut
ke area neuropsychology yang menekankan adanya perbedaan pada
hemisfer otak. Menurut Wittrock dan Gordon, hemisfer kiri otak
berhubungan dengan kemampuan sequential linguistic atau kemampuan
verbal; hemisfer kanan otak berhubungan dengan tugas-tugas
yang berhubungan dengan auditori termasuk melodi, suara yang
tidak berarti, tugas visual-spasial dan aktivitas non verbal.
Temuan Harness, Epstein, dan Gordon mendukung penemuan
sebelumnya bahwa anak-anak dengan kesulitan belajar (learning
difficulty) menampilkan kinerja yang lebih baik daripada
kelompoknya ketika kegiatan yang mereka lakukan berhubungan
dengan otak kanan, dan buruk ketika melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan otak kiri. Gaddes mengatakan bahwa 15% dari
anak yang termasuk underachiever, memiliki disfungsi system
syaraf pusat (dalam Kirk & Ghallager, 1986).
2. Faktor Genetik
Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan
bahwa, yang faktor herediter menentukan ketidakmampuan dalam
membaca, menulis dan mengeja diantara orang-orang yang
didiagnosa disleksia. Penelitian lain dilakukan oleh Hermann
(dalam Kirk & Ghallager, 1986) yang meneliti disleksia pada
kembar identik dan kembar tidak identik yang menemukan bahwa
frekwensi disleksia pada kembar identik lebih banyak daripada
kembar tidak identik sehingga ia menyimpulkan bahwa
ketidakmampuan membaca, mengeja dan menulis adalah sesuatu
yang diturunkan.
3. Faktor Lingkungan dan Malnutrisi
Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang
terjadi di usia awal kehidupan merupakan dua hal yang saling
berkaitan yang dapat menyebabkan munculnya kesulitan belajar
pada anak. Cruickshank dan Hallahan (dalam Kirk & Ghallager,
1986) menemukan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang jelas
antara malnutrisi dan kesulitan belajar, malnutrisi berat pada
usia awal akan mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan
belajar serta berkembang anak.
4. Faktor Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap
kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang
dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager,
1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat
mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian
penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal
yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold
menyebutkan bahwa alergi, perasa dan pewarna buatan
hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan
kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan
bahan makanan buatan kepada anak-anak yang mengalami kesulitan
belajar. Pada sebagian anak, diet ini berhasil namun ada juga
yang tidak cukup berhasil. Beberapa ahli kemudian menyebutkan
bahwa memang ada beberapa anak yang tidak cocok dengan bahan
makanan.
C. Karakteristik Gangguan Belajar
Menurut Valett (dalam Sukadji, 2000) terdapat tujuh
karakteristik yang ditemui pada anak dengan kesulitan belajar.
Kesulitan belajar disini diartikan sebagai hambatan dalam
belajar, bukan kesulitan belajar khusus.
1. Sejarah kegagalan akademik berulang kali
Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini
terjadi berulang-ulang. Tampaknya memantapkan harapan untuk
gagal sehingga melemahkan usaha.
2. Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan
kesulitan belajar
Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang
jelas atau pendengaran yang terganggu berkembang menjadi
kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik
awal.
3. Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman
sebaya, tidak adanya reinforcement. Semua ini ataupun sendiri-
sendiri cenderung merendahkan mutu tindakan, mengurangi minat
untuk belajar, dan umumnya merendahkan motivasi atau
memindahkan motivasi ke kegiatan lain.
4. Kecemasan yang samar-samar, mirip kecemasan yang mengambang
Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan
akan gagal dalam bidang akademik dapat menular ke bidang-
bidang pengalaman lain. Adanya antisipasi terhadap kegagalan
yang segera datang, yang tidak pasti dalam hal apa,
menimbulkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan semacam
keinginan untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk
melamun atau tidak memperhatikan.
5. Perilaku berubah-ubah, dalam arti tidak konsisten dan tidak
terduga
Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar
cenderung tidak konstan. Tidak jarang perbedaan angkanya
menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena
naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran.
Ketidakstabilan dan perubahan yang tidak dapat diduga ini
lebih merupakan isyarat penting dari rendahnya prestasi itu
sendiri.
6. Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label
kepada seorang anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap.
Misalnya tanpa data yang lengkap seorang anak digolongkan
keterbelakangan mental tetapi terlihat perilaku akademiknya
tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang keterbelakangan
mental.
7. Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai
Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan
urutan pengalaman belajarnya tidak mendukung proses belajar.
Kadang-kadang kesalahan tidak terdapat pada sistem pendidikan
itu sendiri, tetapi pada ketidakcocokan antara kegiatan kelas
dengan kebutuhan anak. Kadang-kadang pengalaman yang didapat
dalam keluarga juga tidak mendukung kegiatan belajar.
D. TIPE GANGGUAN BELAJAR
1. Gangguan Matematika (Diskalkulia)
Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting,
Jakarta, diskalkulia dikenal juga dengan istilah “math
difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi
secara matematis. Anak yang bersangkutan akan menunjukkan
kesulitan dalam memahami proses-proses berhitung dasar,
seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, atau pembagian,
dan memahami simbol-simbol matematika (+, =, dll). Anak-anak
dengan gangguan matematika biasanya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-
harinya, ia sulit menghitung transaksi (belanja),
termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak
tersebut jadi takut memegang uang atau kegiatan apa pun
yang harus melibatkan uang.
b. Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti
menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit
memahami konsep hitungan angka atau urutan.
c. Terkadang mengalami disorientasi, seperti
disorientasi waktu dan arah. Si anak biasanya bingung
saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu
membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
d. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan
perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi,
mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta
deret ukur.
e. Bisa juga mengalami kesulitan dalam aktivitas
olahraga karena bingung mengikuti aturan main yang
berhubungan sistem skor.
Masalah ini mungkin tampak sejak anak duduk di kelas 1 SD
(6 tahun), tetapi umumnya tidak dikenali hingga anak duduk di
kelas 2 atau 3 SD. Biasanya anak yang memiliki gangguan
matematika memiliki tingkat perkembangan bahasa yang normal,
bahkan seringkali memiliki memori visual yang baik dalam
merekam kata-kata tertulis. Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi gangguan ini, di antaranya:
a. Kelemahan pada proses penglihatan atau visual
Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan
mengalami diskalkulia. Ia juga berpotensi mengalami
gangguan dalam mengeja dan menulis dengan tangan.
b. Bermasalah dalam hal mengurut informasi
Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan
dan mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya
juga akan sulit mengingat sebuah fakta, konsep ataupun
formula untuk menyelesaikan kalkulasi matematis. Jika
problem ini yang menjadi penyebabnya, maka anak
cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan
lainnya, seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta
apa pun yang membutuhkan kemampuan mengingat kembali
hal- hal detail.
c. Fobia matematika
Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran
matematika bisa kehilangan rasa percaya dirinya. Jika
hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami
kesulitan dengan semua hal yang mengandung unsur
hitungan.
Anak yang mengalami gangguan berhitung memiliki tingkat
kemampuan berhitung lebih rendah daripada tingkat yang
seharusnya dicapai berdasarkan umurnya. Diagnosa diskalkulia
harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya
berdasarkan serangkaian tes dan observasi yang valid. Bentuk
terapi atau treatment yang akan diberikan pun harus berdasarkan
evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara
detail dan menyeluruh. Perbedaan derajat hambatan akan
membedakan tingkat treatment dan strategi yang diterapkan.
Selain penanganan yang dilakukan oleh para ahli, orang tua
pun disarankan melakukan beberapa latihan yang dapat
mengurangi gangguan berhitung, yaitu.
a. Cobalah memvisualisasikan konsep matematis yang
sulit dimengerti, dengan menggunakan gambar ataupun
cara lain untuk menjembatani langkah-langkah atau
urutan dari proses keseluruhannya.
b. Menyuarakan konsep matematis yang sulit dimengerti
dan minta si anak mendengarkan secara cermat. Biasanya
anak diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam
memahami konsep secara verbal.
c. Tuangkan konsep matematis ataupun angka-angka secara
tertulis di atas kertas agar anak mudah melihatnya dan
tidak sekadar abstrak. Atau kalau perlu, tuliskan
urutan angka-angka itu untuk membantu anak memahami
konsep setiap angka sesuai dengan urutannya.
d. Tuangkan konsep-konsep matematis dalam praktek serta
aktivitas sederhana sehari-hari. Misalnya, berapa
sepatu yang harus dipakainya jika bepergian, berapa
potong pakaian seragam sekolahnya dalam seminggu,
berapa jumlah kursi makan yang diperlukan jika
disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan
sebagainya.
e. Sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan
secara kreatif, entah dengan cara menyanyikan angka-
angka, atau cara lain yang mempermudah menampilkan
ingatannya tentang angka.
f. Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan
usaha yang dilakukan oleh anak.
g. Lakukan proses asosiasi antara konsep yang sedang
diajarkan dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga
anak mudah memahaminya.
h. Harus ada kerja sama terpadu antara guru dan orang
tua untuk menentukan strategi belajar di kelas,
memonitor perkembangan dan kesulitan anak, serta
melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk
memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru memberi
saran tertentu pada orang tua dalam menentukan tugas di
rumah, buku-buku bacaan, serta latihan yang disarankan.
Hal atau layanan yang bisa dilakukan antara lain dengan
melalui pendekatan dan juga bimbingan konseling.
a. Konseling
Konseling dapat membantu, namun tidak harus pada
tingkatan yang besar. Tidak ada terapi yang telah
dibuktikan dan terbukti efektif. Beberapa bukti yang
bersifat anekdot menganjurkan, bagaimanapun, bahwa
sejumlah kemahiran dalam matematika dapat diperoleh oleh
sistem- sistem alternatif dalam perhitungan matematis.
Bukti yang bersifat anekdot juga menunjukkan, pada
kenyataannya, bahwa individu mungkin sendiri akan
dyscalculic mengejar sistem mereka sendiri seperti keluar
dari kebutuhan atau kepentingan. Keadaan tidak perlu
dilihat sebagai kecacatan atau ketidakmampuan, tidak ada
yang bisa mencegah orang- orang yang menderita
dyscalculia dan berhasil menggantikan dalam bidang
akademis lain seperti sejarah, geografi dan ilmu- ilmu
sosial lainnya, atau dalam bidang seni seperti musik atau
drama.
b. Pendekatan
Seperti halnya problem kesulitan menulis dan
membaca, ada dua pendekatan yang mungkin : kita dapat
menawarkan beberapa bentuk penganganan matematika yang
intensif, atau dengan mengambil jalan pintas.
Pendekatan yang pertama, yaitu penanganan matematika yang
intensif, dapat kita lakukan dengan teknik
“individualisasi yang dibantu tim”. Pendekatan ini
menggunakan pengajaran secara privat dengan teman sebaya
(peer tutoring). Pendekatan ini mendasari tekniknya pada
pemahaman bahwa kecepatan belajar seorang anak berbeda-
beda, sehingga ada anak yang cepat menangkap, dan ada
juga yang lama. Teknik ini mendorong anak yang cepat
menangkap materi pelajaran agar mengajarkannya pada
temannya yang lain yang mengalami problem dyscalculia
tersebut.
Pendekatan yang kedua, yaitu jalan pintas, sebagaimana
Jessica diberikan kalkulator untuk menghitung, maka anak
dengan problem dyscalculia ini juga dapat diberikan
calculator untuk menghitung. Hal ini sederhana karena
anak dengan problem dyscalculia tidka memiliki masalah
dengan kaitan antara angka, akan tetapi lebih kepada
menghitung angka-angka tersebut.
2. Gangguan menulis (Disgrafia)
Gangguan ini mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan
kemampuan menulis. Keterbatasan ini dapat muncul dalam bentuk
kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan
dalam membentuk kalimat dan paragraf. Kelainan neurologis ini
menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara
fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap
ataupun tulisan tangannya buruk. Anak dengan gangguan
disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam
mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya
secara otomatis saat menulis huruf dan angka.
Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama
dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang
berada di tingkat SD. Kesulitan dalam menulis seringkali juga
disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru.
Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada
dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer
pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk
tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan.
Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus
paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi
yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau
belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian
orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan
proses visual motoriknya. Ada beberapa ciri khusus anak dengan
gangguan ini, di antaranya adalah:
a. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam
tulisannya.
b. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil
masih tercampur.
c. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak
proporsional.
d. Anak tampak harus berusaha keras saat
mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau
pemahamannya lewat tulisan.
e. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap.
Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat
bahkan hampir menempel dengan kertas.
f. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis,
atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai
untuk menulis.
g. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur
garis yang tepat dan proporsional.
h. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta
menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
Kesulitan yang parah pada umumnya tampak pada usia 7
tahun (kelas 2 SD), walaupun kasus-kasus yang lebih ringan
mungkin tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau
setelahnya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua
untuk membantu anak dengan gangguan ini. Di antaranya:
1. Pahami keadaan anak
Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping
memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak
disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak
seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya
akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru
maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika
memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat
saja. Atau bisa juga orang tua meminta kebijakan dari
pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan
gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
2. Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak
disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya
dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia
untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi
hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa
memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui
kesalahannya.
3. Membangun rasa percaya diri anak
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan
anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan
karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan
frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat
anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap
usaha yang sedang dilakukannya.
4. Latih anak untuk terus menulis
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang
sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan
tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang
diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis
pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua,
dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan
menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan
konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk
tulisan konkret
Seperti halnya disleksia, disgrafia juga disebabkan
faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri
depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Anak mengalami kesulitan dalam harmonisasi secara otomatis
antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot menulis
huruf dan angka. Kesulitan ini tak berkaitan dengan masalah
kemampuan intelektual.
3. Gangguan Membaca (Disleksia)
Disleksia berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata “dys”
yang berarti kesulitan, dan kata “lexis” yang berarti bahasa.
Jadi disleksia secara harafiah berarti kesulitan dalam
berbahasa. Anak disleksia tidak hanya mengalami kesulitan
dalam membaca, tapi juga dalam hal mengeja, menulis dan
beberapa aspek bahasa yang lain. Kesulitan membaca pada anak
disleksia tidak sebanding dengan tingkat intelegensi ataupun
motivasi yang dimiliki untuk kemampuan membaca dengan lancar
dan akurat, karena anak disleksia biasanya mempunyai lebel
intelegensi yang normal bahkan sebagian di antaranya di atas
normal. Disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan
neurobiologis, yang ditandai dengan kesulitan dalam mengenali
kata dengan tepat / akurat, dalam pengejaan dan dalam
kemampuan mengkode simbol.
Disleksia didefinisikan juga sebagai suatu kondisi
pemprosesan input/informasi yang berbeda (dari anak normal)
yang seringkali ditandai dengan kesulitan dalam membaca, yang
dapat mempengaruhi cara kognisi seperti daya ingat, kecepatan
pemprosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek
koordinasi dan pengendalain gerak. Menurut Jovita Maria
Ferliana (dalam pengantar Living with Dyslexia, 2007),
penderita disleksia sebenarnya mengalami kesulitan membedakan
bunyi fonetik yang menyusun sebuah kata. Mereka bisa menangkap
kata-kata tersebut dengan indera pendengarnya, namun ketika
harus menuliskannya ia mengalami kesulitan untuk menuliskan
apa yang di inginkan ke dalam kalimat-kalimat panjang yang
akurat.
Tahun 1891 Dejerine telah melaporkan bahwa proses membaca
diatur oleh bagian khusus dari sistem saraf manusia yaitu di
bagian belakang otak. Pada tahun 1896, British Medical Journal
melaporkan artikel dari Dr. Pringle Morgan, mengenai seorang
anak lelaki berusia 14 tahun bernama Percy yang pandai dan
mampu menguasai permainan dengan cepat tanpa kekurangan apapun
dibandingkan teman-temannya yang lain namun Percy tidak mampu
mengeja, bahkan mengeja namanya sendiri.
Beberapa teori mengemukakan penyebab disleksia.
Selikowitz (1993) mengemukakan beberapa penyebab utama
disleksia. Selikowitz membagi pada dua keadaan penyebab secara
umum, yakni faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor
genetis, yaitu dari garis keturunan orangtuanya (tidak harus
orangtua langsung, bisa dari kakek-nenek atau buyutnya).
Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat anatomi
antara otak anak disleksia dengan anak normal, yakni di bagian
temporal-parietal-oksipitalnya (otak bagian samping dan bagian
belakang). Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging yang
dilakukan untuk memeriksa otak saat dilakukan aktivitas
membaca ternyata menunjukkan bahwa aktivitas otak individu
disleksia jauh berbeda dengan individu biasa terutama dalam
hal pemprosesan input huruf/kata yang dibaca lalu
diterjemahkan menjadi suatu makna.
Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik
untuk menegakkan diagnosis disleksia. Diagnosis disleksia
ditegakkan secara klinis berdasarkan cerita dari orang tua,
observasi dan tes psikometrik yang dilakukan oleh dokter anak
atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog, profesional
lain seyogyanya juga terlibat dalam observasi dan penilaian
anak disleksia yaitu dokter saraf anak (mendeteksi dan
menyingkirkan adanya gangguan neurologis), audiologis
(mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan pendengaran),
Opthalmologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan
penglihatan), dan tentunya guru sekolah.
Anak disleksia di usia pra sekolah menunjukkan adanya
keterlambatan berbahasa atau mengalami gangguan dalam
mempelajari kata-kata yang bunyinya mirip atau salah dalam
pelafalan kata-kata, dan mengalami kesulitan untuk mengenali
huruf-huruf dalam alphabet, disertai dengan riwayat disleksia
dalam keluarga. Keluhan utama pada anak disleksia di usia
sekolah biasanya berhubungan dengan prestasi sekolah, dan
biasanya orang tua tidak terima jika guru melaporkan bahwa
penyebab kemunduran prestasinya adalah kesulitan membaca.
Kesulitan yang dikeluhkan meliputi :
a. Kesulitan dalam berbicara dan kesulitan dalam
membaca.
b. Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya.
c. Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara
terstruktur misalnya esai
d. Huruf tertukar-tukar, misal b tertukar d, p tertukar
q, m tertukar w, s tertukar z
e. Membaca lambat dan terputus-putus serta tidak tepat.
f. Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (di,
ke, pada).
g. Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (menulis
dibaca sebagai tulis).
h. Tidak dapat membaca ataupun membunyikan
perkataanyang tidak pernah dijumpai.
i. Tertukar-tukar kata (misalnya : dia-ada, sama-masa,
lagu-gula, batu-buta, tanam-taman, dapat padat, mana-
nama).
j. Daya ingat jangka pendek yang buruk.
k. Kesulitan memahami kalimat yang dibaca atau pun yang
didengar.
l. Tulisan tangan yang buruk.
m. Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung.
n. Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya
pendek.
o. Kesulitan dalam mengingat kata-kata.
p. Kesulitan dalam diskriminasi visual.
q. Kesulitan dalam persepsi spatial.
r. Kesulitan mengingat nama-nama.
s. Kesulitan / lambat mengerjakan PR.
t. Kesulitan memahami konsep waktu.
u. Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan.
v. Kebingungan atas konsep alfabet dan symbol.
w. Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari.
Ketidakmampuan di masa anak yang nampak seperti
menghilang atau berkurang di masa dewasa bukanlah kareana
disleksianya telah sembuh namun karena individu tersebut
berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang
diakibatkan oleh disleksianya tersebut. Mengingat demikian
kompleksnya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi
orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti
tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultsi
kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang
tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin
mudah pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak
tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah. Bantuan
yang dapat diberikan kepada penderita disleksia :
a. Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak
disleksia antara orang tua dan guru
b. Anak duduk di barisan paling depan di kelas
c. Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak
diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman
15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman
lain, misalnya halaman 50
d. Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia
saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka
mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan
(guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di
kertas)
e. Anak disleksia yang sudah menunjukkan usaha keras
untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan
yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan
waktu istirahat yang cukup.
f. Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan
cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung
memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir
sama misalnya b dengan d. Murid harus diperlihatkan
terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena
kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja.
Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan
murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir
sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk
bulat: g, c, o, d, a, s, q, bentuk zig zag: k, v, x, z,
bentuk linear: j, t, l, u, y, bentuk hampir serupa: r,
n, m, h.
g. Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang
berbeda ketika belajar matematika dengan anak
disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan
sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu
menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang
berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh
karena itu tidak bijaksana untuk memaksakan cara
penyelesaian yang klasik jika cara terebut sukar
diterima oleh sang anak.
h. Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat
sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka
berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat
perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi
jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk
akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini
akan membawa anak menjadi individu dengan self-esteem
yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini
tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan
menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan
guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat
membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan
mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak
disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak
disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang
tidak disleksia.
Disleksia atau reading disabilities adalah kelainan neurologis
yang menyebabkan kemampuan membaca anak di bawah kemampuan
yang semestinya, jika mempertimbangkan tingkat intelegensi,
usia, dan pendidikannya. Ada beberapa faktor penyebab anak
menderita gangguan disleksia, antara lain.
1. Neurologis
Gangguan ini bukanlah suatu ketidakmampuan fisik,
semisal kesulitan visual. Namun murni karena kelainan
neurologis, yakni bagaimana otak mengolah dan memproses
informasi yang sedang dibaca oleh anak secara tidak
tepat, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan
dengan kemampuan membaca dan menulis. Selain itu, ada
perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-
cellular, yang berhubungan dengan kemampuan melihat benda
bergerak (moving images) yang menyebabkan ukurannya
menjadi lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses
membaca jadi lebih sulit karena otak harus membaca dan
memahami secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata
yang berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata
ketika mata men-scanning kata dan kalimat.
2. Keturunan
Menurut penelitian, 80% penderita disleksia mempunyai
anggota keluarga dengan kesulitan belajar (learning
disabilities) dan 60% di antaranya kidal (left-handedness).
3. Gangguan pendengaran sejak dini
Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tak
terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit
menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan
huruf atau kata yang dilihatnya.
4. Kombinasi
Kombinasi dari berbagai faktor di atas menjadikan
kondisi anak dengan gangguan disleksia kian serius atau
parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinu.
E. Perspektif Teoritis
Intervensi merupakan usaha campur tangan untuk membantu
individu dalam memecahkan masalahnya dalam hal menangani anak
yang mengalami gangguan belajar, maka intervensi yang dapat
dilakukan adalah (Lyon dan Moats dalam Nevid, 2002)
1. Model Psikoedukasi. Pendekatan pada kekuatan-kekuatan dan
preferensi-preferensi anak-anak dari pada usaha untuk
mengoreksi faktor yang diduga mendasarinya. Dengan cara
mengubah sistem pengajaran sesuai dengan karakteristik
belajar anak Misalnya, seorang anak yang menyimpan
informasi auditori lebih baik dibandingkan visual akan
diajar secara verbal, misalnya dengan menggunakan alat
perekam dan bukan materi-materi visual.
2. Model Behavioral. Model behavioral mengasumsikan bahwa
belajar akademik dibangun diatas keterampilan dasar dan
perilaku anak atau “perilaku yang memampukan (enabling
behaviors)”. Untuk dapat membaca secara efektif, seseorang
harus belajar mengenali huruf-huruf, menghubungkan suara
dengan huruf, kemudian mengombinasikan huruf-huruf dan
suara-suara dengan kata-kata, dan seterusnya. Dengan
menggunaka program instruksi dan penguatan perilaku yang
disusun secara individual akan memebantu anak untuk
memperoleh keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan
dalam melaksanakan tugas-tugas akademik.
3. Model Medis. Model ini mengasumsikan bahwa gangguan belajar
merupakan simtom-simtom dari defisiensi dalam pengolahan
kognitif yang memiliki dasar biologis. Penanganan harus
diarahkan pada patologi yang mendasarinya dan bukan pada
ketidak mampuan belajar. Model ini menekankan adanya
pelatihan dengan stimulus.Bila anak memiliki kerusakan
visual yang menyebabkannya kesulitan mengikuti sebaris
teks, penanganan seharusnya ditunjukkan untuk mengatasi
defisit visual, mungkin dengan cara latihan mengikuti
stimulus visual.
4. Model Neuropsikologi. Pendekatan ini berasal dari model
psikoedukasi dan medis. Diasumsikan bahwa gangguan
belajar merefleksikan defisit dalam pengolahan informasi
yang memiliki dasar biologis (model medis). Dalam hal
ini menangani anak gangguan belajar harus menyesuaikan
program pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak.
5. Model Linguistik. Pendekatan linguistik berfokus pada
defisiensi dasar dalam bahasa anak, seperti kegagalan
dalam mengenali bagaimana suara-suara dan kata-kata
saling dikaitkan untuk menciptakan arti, yang akan
menimbulkan masalah dalam membaca, mengeja dan menemukan
kata-kata untuk mengekspresikan diri mereka. Mengajarkan
keterampilan bahasa secara bertahap, membantu menangkap
struktur dan penggunaan kata.
6. Model Kognitif. Model ini berfokus pada bagaimana anak-anak
mengatur pemikiran-pemikiran mereka ketika mereka
belajar materi-materi akademik. Dalam perspektif ini
anak-anak dibantu untuk belajar dengan (1) mengenali
sifat dari tugas belajar, (2) menerapkan strategi-
strategi pemecahan masalah yang efektif untu
menyelesaikan tugas-tugas, dan (3) memonitor
perkembangan anak, terutama kesuksesan dalam penerapan
strategi-strategi mereka, serta melakukan evaluasi.