gangguan belajar

28
GANGGUAN BELAJAR Oleh: Widyarta Mega Paramita 105120300111001 Himamadhi Aditya 105120300111033 Bambang Setyo Utomo 105120301111033 Noerman Rizky Alfarozi 105120302111003 Suci Amalia 105120307111020 Indah Kusuma Wardani 105120307111031 Hilmatul Azizah 105120307111052 Agus Iwan Setiawan 105120307111046 Alva Rieza 105120307111063 Rifke Sayang N. C 105120313111005 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

Upload: ubrawijaya

Post on 20-Feb-2023

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GANGGUAN BELAJAR

Oleh:

Widyarta Mega Paramita 105120300111001

Himamadhi Aditya 105120300111033

Bambang Setyo Utomo 105120301111033

Noerman Rizky Alfarozi 105120302111003

Suci Amalia 105120307111020

Indah Kusuma Wardani 105120307111031

Hilmatul Azizah 105120307111052

Agus Iwan Setiawan 105120307111046

Alva Rieza 105120307111063

Rifke Sayang N. C 105120313111005

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2012

A. Pengertian Gangguan Belajar

Aktivitas belajar bagi setiap individu, tidak

selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang

lancar, kadang-kadang tidak. Kadang-kadang dapat cepat

menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa sangat

sulit. Dalam semangat terkadang semangatnya tinggi, tetapi

terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi. Demikian

keadaan yang sering kita jumpai pada setiap anak didik dalam

kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan aktivitas

belajar.

Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan

individual inilah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku

belajar di kalangan anak didik. “Dalam keadaan di mana anak

didik/siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah

yang disebut dengan kesulitan belajar”. Kesulitan belajar

merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah.

Ketidakmampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud

fisik yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah

kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu

disebabkan karena faktor inteligensi yang rendah (kelainan

mental), akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor

non-inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu

menjamin keberhasilan belajar. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar

yang ditandai hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai hasil

belajar.

Macam-macam kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan

menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut: dilihat dari jenis

kesulitan belajar, ada yang berat ada yang sedang. Dilihat

dari bidang studi yang dipelajari, ada yang sebagian bidang

studi ada yang keseluruhan bidang studi. Dilihat dari sifat

kesulitannya, ada yang sifatnya permanen (menetap) dan ada

yang sifatnya hanya sementara. Dilihat dari segi faktor

penyebabnya, ada yang karena faktor inteligensi dan ada yang

karena faktor bukan inteligensi

B. Faktor Penyebab Gangguan Belajar

Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat

pada literatur dan hasil riset (Harwell, 2001), yaitu :

1. Faktor keturunan/bawaan

2. Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau prematur

3. Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau

nutrisi dan atau ibu yang merokok, menggunakan obat-

obatan (drugs), atau meminum alkohol selama masa

kehamilan.

4. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi,

trauma kepala, atau pernah tenggelam.

5. Infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita.

Anak dengan kesulitan belajar biasanya mempunyai sistem

imun yang lemah.

6. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan

aluminium, arsenik, merkuri/raksa, dan neurotoksin

lainnya.

Riset menunjukkan bahwa apa yang terjadi selama tahun-

tahun awal kelahiran sampai umur 4 tahun adalah masa-masa

kritis yang penting terhadap pembelajaran ke depannya.

Stimulasi pada masa bayi dan kondisi budaya juga mempengaruhi

belajar anak.  Pada masa awal kelahiran samapi usia 3 tahun

misalnya, anak mempelajari bahasa dengan cara mendengar lagu,

berbicara kepadanya, atau membacakannya cerita. Pada beberpa

kondisi, interaksi ini kurang dilakuan, yang bisa saja

berkontribusi terhadap kurangnya kemampuan fonologi anak yang

dapat membuat anak sulit membaca (Harwell, 2001)

Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor

penyebab gangguan belajar sebagai berikut:

1. Faktor Disfungsi Otak

Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred

Strauss di Amerika Serikat pada akhir tahun 1930-an, yang

menjelaskan hubungan kerusakan otak dengan bahasa,

hiperaktivitas dan kerusakan perceptual. Penelitian berlanjut

ke area neuropsychology yang menekankan adanya perbedaan pada

hemisfer otak. Menurut Wittrock dan Gordon, hemisfer kiri otak

berhubungan dengan kemampuan sequential linguistic atau kemampuan

verbal; hemisfer kanan otak berhubungan dengan tugas-tugas

yang berhubungan dengan auditori termasuk melodi, suara yang

tidak berarti, tugas visual-spasial dan aktivitas non verbal.

Temuan Harness, Epstein, dan Gordon mendukung penemuan

sebelumnya bahwa anak-anak dengan kesulitan belajar (learning

difficulty) menampilkan kinerja yang lebih baik daripada

kelompoknya ketika kegiatan yang mereka lakukan berhubungan

dengan otak kanan, dan buruk ketika melakukan kegiatan yang

berhubungan dengan otak kiri. Gaddes mengatakan bahwa 15% dari

anak yang termasuk underachiever, memiliki disfungsi system

syaraf pusat (dalam Kirk & Ghallager, 1986).

2. Faktor Genetik

Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan

bahwa, yang faktor herediter menentukan ketidakmampuan dalam

membaca, menulis dan mengeja diantara orang-orang yang

didiagnosa disleksia. Penelitian lain dilakukan oleh Hermann

(dalam Kirk & Ghallager, 1986) yang meneliti disleksia pada

kembar identik dan kembar tidak identik  yang menemukan bahwa

frekwensi disleksia pada kembar identik lebih banyak daripada

kembar tidak identik sehingga ia menyimpulkan bahwa

ketidakmampuan membaca, mengeja dan menulis adalah sesuatu

yang diturunkan.

3. Faktor Lingkungan dan Malnutrisi

Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang

terjadi di usia awal kehidupan merupakan dua hal yang saling

berkaitan yang dapat menyebabkan munculnya kesulitan belajar

pada anak. Cruickshank dan Hallahan (dalam Kirk & Ghallager,

1986) menemukan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang jelas

antara malnutrisi dan kesulitan belajar, malnutrisi berat pada

usia awal akan mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan

belajar serta berkembang anak.

4. Faktor Biokimia

Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap

kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang

dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager,

1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat

mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian

penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal

yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold

menyebutkan bahwa alergi, perasa dan pewarna buatan

hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan

kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan

bahan makanan buatan kepada anak-anak yang mengalami kesulitan

belajar. Pada sebagian anak, diet ini berhasil namun ada juga

yang tidak cukup berhasil. Beberapa ahli kemudian menyebutkan

bahwa memang ada beberapa anak yang tidak cocok dengan bahan

makanan.

C. Karakteristik Gangguan Belajar

Menurut Valett (dalam Sukadji, 2000) terdapat tujuh

karakteristik yang ditemui pada anak dengan kesulitan belajar.

Kesulitan belajar disini diartikan sebagai hambatan dalam

belajar, bukan kesulitan belajar khusus.

1. Sejarah kegagalan akademik berulang kali

Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini

terjadi berulang-ulang. Tampaknya memantapkan harapan untuk

gagal sehingga melemahkan usaha.

2. Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan

kesulitan belajar

Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang

jelas atau pendengaran yang terganggu berkembang menjadi

kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik

awal.

3. Kelainan motivasional

Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman

sebaya, tidak adanya reinforcement. Semua ini ataupun sendiri-

sendiri cenderung merendahkan mutu tindakan, mengurangi minat

untuk belajar, dan umumnya merendahkan motivasi atau

memindahkan motivasi ke kegiatan lain.

4. Kecemasan yang samar-samar, mirip kecemasan yang mengambang

Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan

akan gagal dalam bidang akademik dapat menular ke bidang-

bidang pengalaman lain. Adanya antisipasi terhadap kegagalan

yang segera datang, yang tidak pasti dalam hal apa,

menimbulkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan semacam

keinginan untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk

melamun atau tidak memperhatikan.

5. Perilaku berubah-ubah, dalam arti tidak konsisten dan tidak

terduga

Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar

cenderung tidak konstan. Tidak jarang perbedaan angkanya

menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena

naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran.

Ketidakstabilan dan perubahan yang tidak dapat diduga ini

lebih merupakan isyarat penting dari rendahnya prestasi itu

sendiri.

6. Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap

Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label

kepada seorang anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap.

Misalnya tanpa data yang lengkap seorang anak digolongkan

keterbelakangan mental tetapi terlihat perilaku akademiknya

tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang keterbelakangan

mental.

7. Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai

Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan

urutan pengalaman belajarnya tidak mendukung proses belajar.

Kadang-kadang kesalahan tidak terdapat pada sistem pendidikan

itu sendiri, tetapi pada ketidakcocokan antara kegiatan kelas

dengan kebutuhan anak. Kadang-kadang pengalaman yang didapat

dalam keluarga juga tidak mendukung kegiatan belajar.

D. TIPE GANGGUAN BELAJAR

1. Gangguan Matematika (Diskalkulia)

Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting,

Jakarta, diskalkulia dikenal juga dengan istilah “math

difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi

secara matematis. Anak yang bersangkutan akan menunjukkan

kesulitan dalam memahami proses-proses berhitung dasar,

seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, atau pembagian,

dan memahami simbol-simbol matematika (+, =, dll). Anak-anak

dengan gangguan matematika biasanya memiliki ciri-ciri sebagai

berikut :

a. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-

harinya, ia sulit menghitung transaksi (belanja),

termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak

tersebut jadi takut memegang uang atau kegiatan apa pun

yang harus melibatkan uang.

b. Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti

menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit

memahami konsep hitungan angka atau urutan.

c. Terkadang mengalami disorientasi, seperti

disorientasi waktu dan arah. Si anak biasanya bingung

saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu

membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.

d. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan

perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi,

mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta

deret ukur.

e. Bisa juga mengalami kesulitan dalam aktivitas

olahraga karena bingung mengikuti aturan main yang

berhubungan sistem skor.

Masalah ini mungkin tampak sejak anak duduk di kelas 1 SD

(6 tahun), tetapi umumnya tidak dikenali hingga anak duduk di

kelas 2 atau 3 SD. Biasanya anak yang memiliki gangguan

matematika memiliki tingkat perkembangan bahasa yang normal,

bahkan seringkali memiliki memori visual yang baik dalam

merekam kata-kata tertulis. Ada beberapa faktor yang

melatarbelakangi gangguan ini, di antaranya:

a. Kelemahan pada proses penglihatan atau visual

Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan

mengalami diskalkulia. Ia juga berpotensi mengalami

gangguan dalam mengeja dan menulis dengan tangan.

b. Bermasalah dalam hal mengurut informasi

Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan

dan mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya

juga akan sulit mengingat sebuah fakta, konsep ataupun

formula untuk menyelesaikan kalkulasi matematis. Jika

problem ini yang menjadi penyebabnya, maka anak

cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan

lainnya, seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta

apa pun yang membutuhkan kemampuan mengingat kembali

hal- hal detail.

c. Fobia matematika

Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran

matematika bisa kehilangan rasa percaya dirinya. Jika

hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami

kesulitan dengan semua hal yang mengandung unsur

hitungan.

Anak yang mengalami gangguan berhitung memiliki tingkat

kemampuan berhitung lebih rendah daripada tingkat yang

seharusnya dicapai berdasarkan umurnya. Diagnosa diskalkulia

harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya

berdasarkan serangkaian tes dan observasi yang valid. Bentuk

terapi atau treatment yang akan diberikan pun harus berdasarkan

evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara

detail dan menyeluruh. Perbedaan derajat hambatan akan

membedakan tingkat treatment dan strategi yang diterapkan.

Selain penanganan yang dilakukan oleh para ahli, orang tua

pun disarankan melakukan beberapa latihan yang dapat

mengurangi gangguan berhitung, yaitu.

a. Cobalah memvisualisasikan konsep matematis yang

sulit dimengerti, dengan menggunakan gambar ataupun

cara lain untuk menjembatani langkah-langkah atau

urutan dari proses keseluruhannya.

b. Menyuarakan konsep matematis yang sulit dimengerti

dan minta si anak mendengarkan secara cermat. Biasanya

anak diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam

memahami konsep secara verbal.

c. Tuangkan konsep matematis ataupun angka-angka secara

tertulis di atas kertas agar anak mudah melihatnya dan

tidak sekadar abstrak. Atau kalau perlu, tuliskan

urutan angka-angka itu untuk membantu anak memahami

konsep setiap angka sesuai dengan urutannya.

d. Tuangkan konsep-konsep matematis dalam praktek serta

aktivitas sederhana sehari-hari. Misalnya, berapa

sepatu yang harus dipakainya jika bepergian, berapa

potong pakaian seragam sekolahnya dalam seminggu,

berapa jumlah kursi makan yang diperlukan jika

disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan

sebagainya.

e. Sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan

secara kreatif, entah dengan cara menyanyikan angka-

angka, atau cara lain yang mempermudah menampilkan

ingatannya tentang angka.

f. Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan

usaha yang dilakukan oleh anak.

g. Lakukan proses asosiasi antara konsep yang sedang

diajarkan dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga

anak mudah memahaminya.

h. Harus ada kerja sama terpadu antara guru dan orang

tua untuk menentukan strategi belajar di kelas,

memonitor perkembangan dan kesulitan anak, serta

melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk

memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru memberi

saran tertentu pada orang tua dalam menentukan tugas di

rumah, buku-buku bacaan, serta latihan yang disarankan.

Hal atau layanan yang bisa dilakukan antara lain dengan

melalui pendekatan dan juga bimbingan konseling.

a. Konseling

Konseling dapat membantu, namun tidak harus pada

tingkatan yang besar. Tidak ada terapi yang telah

dibuktikan dan terbukti efektif. Beberapa bukti yang

bersifat anekdot menganjurkan, bagaimanapun, bahwa

sejumlah kemahiran dalam matematika dapat diperoleh oleh

sistem- sistem alternatif dalam perhitungan matematis.

Bukti yang bersifat anekdot juga menunjukkan, pada

kenyataannya, bahwa individu mungkin sendiri akan

dyscalculic mengejar sistem mereka sendiri seperti keluar

dari kebutuhan atau kepentingan. Keadaan tidak perlu

dilihat sebagai kecacatan atau ketidakmampuan, tidak ada

yang bisa mencegah orang- orang yang menderita

dyscalculia dan berhasil menggantikan dalam bidang

akademis lain seperti sejarah, geografi dan ilmu- ilmu

sosial lainnya, atau dalam bidang seni seperti musik atau

drama.

b. Pendekatan

Seperti halnya problem kesulitan menulis dan

membaca, ada dua pendekatan yang mungkin : kita dapat

menawarkan beberapa bentuk penganganan matematika yang

intensif, atau dengan mengambil jalan pintas.

Pendekatan yang pertama, yaitu penanganan matematika yang

intensif, dapat kita lakukan dengan teknik

“individualisasi yang dibantu tim”. Pendekatan ini

menggunakan pengajaran secara privat dengan teman sebaya

(peer tutoring). Pendekatan ini mendasari tekniknya pada

pemahaman bahwa kecepatan belajar seorang anak berbeda-

beda, sehingga ada anak yang cepat menangkap, dan ada

juga yang lama. Teknik ini mendorong anak yang cepat

menangkap materi pelajaran agar mengajarkannya pada

temannya yang lain yang mengalami problem dyscalculia

tersebut.

Pendekatan yang kedua, yaitu jalan pintas, sebagaimana

Jessica diberikan kalkulator untuk menghitung, maka anak

dengan problem dyscalculia ini juga dapat diberikan

calculator untuk menghitung. Hal ini sederhana karena

anak dengan problem dyscalculia tidka memiliki masalah

dengan kaitan antara angka, akan tetapi lebih kepada

menghitung angka-angka tersebut.

2. Gangguan menulis (Disgrafia)

Gangguan ini mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan

kemampuan menulis. Keterbatasan ini dapat muncul dalam bentuk

kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan

dalam membentuk kalimat dan paragraf. Kelainan neurologis ini

menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara

fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap

ataupun tulisan tangannya buruk. Anak dengan gangguan

disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam

mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya

secara otomatis saat menulis huruf dan angka.

Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama

dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang

berada di tingkat SD. Kesulitan dalam menulis seringkali juga

disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru.

Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada

dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer

pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk

tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan.

Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus

paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi

yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau

belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian

orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan

proses visual motoriknya. Ada beberapa ciri khusus anak dengan

gangguan ini, di antaranya adalah:

a. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam

tulisannya.

b. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil

masih tercampur.

c. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak

proporsional.

d. Anak tampak harus berusaha keras saat

mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau

pemahamannya lewat tulisan.

e. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap.

Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat

bahkan hampir menempel dengan kertas.

f. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis,

atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai

untuk menulis.

g. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur

garis yang tepat dan proporsional.

h. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta

menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

Kesulitan yang parah pada umumnya tampak pada usia 7

tahun (kelas 2 SD), walaupun kasus-kasus yang lebih ringan

mungkin tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau

setelahnya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua

untuk membantu anak dengan gangguan ini. Di antaranya:

1. Pahami keadaan anak

Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping

memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak

disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak

seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya

akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru

maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika

memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat

saja. Atau bisa juga orang tua meminta kebijakan dari

pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan

gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.

2. Menyajikan tulisan cetak

Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak

disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya

dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia

untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi

hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa

memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui

kesalahannya.

3. Membangun rasa percaya diri anak

Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan

anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan

karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan

frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat

anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap

usaha yang sedang dilakukannya.

4. Latih anak untuk terus menulis

Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang

sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan

tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang

diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis

pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua,

dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan

menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan

konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk

tulisan konkret

Seperti halnya disleksia, disgrafia juga disebabkan

faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri

depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.

Anak mengalami kesulitan dalam harmonisasi secara otomatis

antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot menulis

huruf dan angka. Kesulitan ini tak berkaitan dengan masalah

kemampuan intelektual.

3. Gangguan Membaca (Disleksia)

Disleksia berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata “dys”

yang berarti kesulitan, dan kata “lexis” yang berarti bahasa.

Jadi disleksia secara harafiah berarti kesulitan dalam

berbahasa. Anak disleksia tidak hanya mengalami kesulitan

dalam membaca, tapi juga dalam hal mengeja, menulis dan

beberapa aspek bahasa yang lain. Kesulitan membaca pada anak

disleksia tidak sebanding dengan tingkat intelegensi ataupun

motivasi yang dimiliki untuk kemampuan membaca dengan lancar

dan akurat, karena anak disleksia biasanya mempunyai lebel

intelegensi yang normal bahkan sebagian di antaranya di atas

normal. Disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan

neurobiologis, yang ditandai dengan kesulitan dalam mengenali

kata dengan tepat / akurat, dalam pengejaan dan dalam

kemampuan mengkode simbol.

Disleksia didefinisikan juga sebagai suatu kondisi

pemprosesan input/informasi yang berbeda (dari anak normal)

yang seringkali ditandai dengan kesulitan dalam membaca, yang

dapat mempengaruhi cara kognisi seperti daya ingat, kecepatan

pemprosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek

koordinasi dan pengendalain gerak. Menurut Jovita Maria

Ferliana (dalam pengantar Living with Dyslexia, 2007),

penderita disleksia sebenarnya mengalami kesulitan membedakan

bunyi fonetik yang menyusun sebuah kata. Mereka bisa menangkap

kata-kata tersebut dengan indera pendengarnya, namun ketika

harus menuliskannya ia mengalami kesulitan untuk menuliskan

apa yang di inginkan ke dalam kalimat-kalimat panjang yang

akurat.

Tahun 1891 Dejerine telah melaporkan bahwa proses membaca

diatur oleh bagian khusus dari sistem saraf manusia yaitu di

bagian belakang otak. Pada tahun 1896, British Medical Journal

melaporkan artikel dari Dr. Pringle Morgan, mengenai seorang

anak lelaki berusia 14 tahun bernama Percy yang pandai dan

mampu menguasai permainan dengan cepat tanpa kekurangan apapun

dibandingkan teman-temannya yang lain namun Percy tidak mampu

mengeja, bahkan mengeja namanya sendiri.

Beberapa teori mengemukakan penyebab disleksia.

Selikowitz (1993) mengemukakan beberapa penyebab utama

disleksia. Selikowitz membagi pada dua keadaan penyebab secara

umum, yakni faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor

genetis, yaitu dari garis keturunan orangtuanya (tidak harus

orangtua langsung, bisa dari kakek-nenek atau buyutnya).

Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat anatomi

antara otak anak disleksia dengan anak normal, yakni di bagian

temporal-parietal-oksipitalnya (otak bagian samping dan bagian

belakang). Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging yang

dilakukan untuk memeriksa otak saat dilakukan aktivitas

membaca ternyata menunjukkan bahwa aktivitas otak individu

disleksia jauh berbeda dengan individu biasa terutama dalam

hal pemprosesan input huruf/kata yang dibaca lalu

diterjemahkan menjadi suatu makna.

Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik

untuk menegakkan diagnosis disleksia. Diagnosis disleksia

ditegakkan secara klinis berdasarkan cerita dari orang tua,

observasi dan tes psikometrik yang dilakukan oleh dokter anak

atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog, profesional

lain seyogyanya juga terlibat dalam observasi dan penilaian

anak disleksia yaitu dokter saraf anak (mendeteksi dan

menyingkirkan adanya gangguan neurologis), audiologis

(mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan pendengaran),

Opthalmologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan

penglihatan), dan tentunya guru sekolah.

Anak disleksia di usia pra sekolah menunjukkan adanya

keterlambatan berbahasa atau mengalami gangguan dalam

mempelajari kata-kata yang bunyinya mirip atau salah dalam

pelafalan kata-kata, dan mengalami kesulitan untuk mengenali

huruf-huruf dalam alphabet, disertai dengan riwayat disleksia

dalam keluarga. Keluhan utama pada anak disleksia di usia

sekolah biasanya berhubungan dengan prestasi sekolah, dan

biasanya orang tua tidak terima jika guru melaporkan bahwa

penyebab kemunduran prestasinya adalah kesulitan membaca.

Kesulitan yang dikeluhkan meliputi :

a. Kesulitan dalam berbicara dan kesulitan dalam

membaca.

b. Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya.

c. Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara

terstruktur misalnya esai

d. Huruf tertukar-tukar, misal b tertukar d, p tertukar

q, m tertukar w, s tertukar z

e. Membaca lambat dan terputus-putus serta tidak tepat.

f. Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (di,

ke, pada).

g. Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (menulis

dibaca sebagai tulis).

h. Tidak dapat membaca ataupun membunyikan

perkataanyang tidak pernah dijumpai.

i. Tertukar-tukar kata (misalnya : dia-ada, sama-masa,

lagu-gula, batu-buta, tanam-taman, dapat padat, mana-

nama).

j. Daya ingat jangka pendek yang buruk.

k. Kesulitan memahami kalimat yang dibaca atau pun yang

didengar.

l. Tulisan tangan yang buruk.

m. Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung.

n. Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya

pendek.

o. Kesulitan dalam mengingat kata-kata.

p. Kesulitan dalam diskriminasi visual.

q. Kesulitan dalam persepsi spatial.

r. Kesulitan mengingat nama-nama.

s. Kesulitan / lambat mengerjakan PR.

t. Kesulitan memahami konsep waktu.

u. Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan.

v. Kebingungan atas konsep alfabet dan symbol.

w. Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari.

Ketidakmampuan di masa anak yang nampak seperti

menghilang atau berkurang di masa dewasa bukanlah kareana

disleksianya telah sembuh namun karena individu tersebut

berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang

diakibatkan oleh disleksianya tersebut. Mengingat demikian

kompleksnya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi

orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti

tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultsi

kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang

tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin

mudah pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak

tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah. Bantuan

yang dapat diberikan kepada penderita disleksia :

a. Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak

disleksia antara orang tua dan guru

b. Anak duduk di barisan paling depan di kelas

c. Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak

diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman

15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman

lain, misalnya halaman 50

d. Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia

saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka

mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan

(guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di

kertas)

e. Anak disleksia yang sudah menunjukkan usaha keras

untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan

yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan

waktu istirahat yang cukup.

f. Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan

cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung

memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir

sama misalnya b dengan d. Murid harus diperlihatkan

terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena

kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja.

Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan

murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir

sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk

bulat: g, c, o, d, a, s, q, bentuk zig zag: k, v, x, z,

bentuk linear: j, t, l, u, y, bentuk hampir serupa: r,

n, m, h.

g. Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang

berbeda ketika belajar matematika dengan anak

disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan

sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu

menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang

berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh

karena itu tidak bijaksana untuk memaksakan cara

penyelesaian yang klasik jika cara terebut sukar

diterima oleh sang anak.

h. Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat

sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka

berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat

perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi

jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk

akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini

akan membawa anak menjadi individu dengan self-esteem

yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini

tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan

menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan

guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat

membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan

mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak

disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak

disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang

tidak disleksia.

Disleksia atau reading disabilities adalah kelainan neurologis

yang menyebabkan kemampuan membaca anak di bawah kemampuan

yang semestinya, jika mempertimbangkan tingkat intelegensi,

usia, dan pendidikannya. Ada beberapa faktor penyebab anak

menderita gangguan disleksia, antara lain.

1. Neurologis

Gangguan ini bukanlah suatu ketidakmampuan fisik,

semisal kesulitan visual. Namun murni karena kelainan

neurologis, yakni bagaimana otak mengolah dan memproses

informasi yang sedang dibaca oleh anak secara tidak

tepat, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan

dengan kemampuan membaca dan menulis. Selain itu, ada

perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-

cellular, yang berhubungan dengan kemampuan melihat benda

bergerak (moving images) yang menyebabkan ukurannya

menjadi lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses

membaca jadi lebih sulit karena otak harus membaca dan

memahami secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata

yang berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata

ketika mata men-scanning kata dan kalimat.

2. Keturunan

Menurut penelitian, 80% penderita disleksia mempunyai

anggota keluarga dengan kesulitan belajar (learning

disabilities) dan 60% di antaranya kidal (left-handedness).

3. Gangguan pendengaran sejak dini

Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tak

terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit

menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan

huruf atau kata yang dilihatnya.

4. Kombinasi

Kombinasi dari berbagai faktor di atas menjadikan

kondisi anak dengan gangguan disleksia kian serius atau

parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinu.

E. Perspektif Teoritis

Intervensi merupakan usaha campur tangan untuk membantu

individu dalam memecahkan masalahnya dalam hal menangani anak

yang mengalami gangguan belajar, maka intervensi yang dapat

dilakukan adalah (Lyon dan Moats dalam Nevid, 2002)

1. Model Psikoedukasi. Pendekatan pada kekuatan-kekuatan dan

preferensi-preferensi anak-anak dari pada usaha untuk

mengoreksi faktor yang diduga mendasarinya. Dengan cara

mengubah sistem pengajaran sesuai dengan karakteristik

belajar anak Misalnya, seorang anak yang menyimpan

informasi auditori lebih baik dibandingkan visual akan

diajar secara verbal, misalnya dengan menggunakan alat

perekam dan bukan materi-materi visual. 

2. Model Behavioral. Model behavioral mengasumsikan bahwa

belajar akademik dibangun diatas keterampilan dasar dan

perilaku anak atau “perilaku yang memampukan (enabling

behaviors)”. Untuk dapat membaca secara efektif, seseorang

harus belajar mengenali huruf-huruf, menghubungkan suara

dengan huruf, kemudian mengombinasikan huruf-huruf dan

suara-suara dengan kata-kata, dan seterusnya. Dengan

menggunaka program instruksi dan penguatan perilaku yang

disusun secara individual akan memebantu anak untuk

memperoleh keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan

dalam melaksanakan tugas-tugas akademik.

3. Model Medis. Model ini mengasumsikan bahwa gangguan belajar

merupakan simtom-simtom dari defisiensi dalam pengolahan

kognitif yang memiliki dasar biologis. Penanganan harus

diarahkan pada patologi yang mendasarinya dan bukan pada

ketidak mampuan belajar. Model ini menekankan adanya

pelatihan dengan stimulus.Bila anak memiliki kerusakan

visual yang menyebabkannya kesulitan mengikuti sebaris

teks, penanganan seharusnya ditunjukkan untuk mengatasi

defisit visual, mungkin dengan cara latihan mengikuti

stimulus visual. 

4. Model Neuropsikologi. Pendekatan ini berasal dari model

psikoedukasi dan medis. Diasumsikan bahwa gangguan

belajar merefleksikan defisit dalam pengolahan informasi

yang memiliki dasar biologis (model medis). Dalam hal

ini menangani anak gangguan belajar harus menyesuaikan

program pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak.

5. Model Linguistik. Pendekatan linguistik berfokus pada

defisiensi dasar dalam bahasa anak, seperti kegagalan

dalam mengenali bagaimana suara-suara dan kata-kata

saling dikaitkan untuk menciptakan arti, yang akan

menimbulkan masalah dalam membaca, mengeja dan menemukan

kata-kata untuk mengekspresikan diri mereka. Mengajarkan

keterampilan bahasa secara bertahap, membantu menangkap

struktur dan penggunaan kata.

6. Model Kognitif. Model ini berfokus pada bagaimana anak-anak

mengatur pemikiran-pemikiran mereka ketika mereka

belajar materi-materi akademik. Dalam perspektif ini

anak-anak dibantu untuk belajar dengan (1) mengenali

sifat dari tugas belajar, (2) menerapkan strategi-

strategi pemecahan masalah yang efektif untu

menyelesaikan tugas-tugas, dan (3) memonitor

perkembangan anak, terutama kesuksesan dalam penerapan

strategi-strategi mereka, serta melakukan evaluasi.

Daftar Pustaka

Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly.

(2002). Psikologi abnormal jilid dua edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

http://ml.scribd.com/doc/54972637/5-gangguan-kesulitan-belajar