g cara - universitas udayana

35
Sastra Sastra G CARA CARA G CARA Journal Of Old Javanese Studies Universitas Udayana Universitas Udayana Universitas Udayana Sastra Karya Sastra Jawa Kuna Sebagai Sumber Lakon Pagelaran PKB ke-40 Tahun 2018 I Nyoman Suarka Makakawin: Belajar Memahami Makna Sebait Nìti Úàstra I Wayan Suka Yasa Eksploitasi Penokohan Dasaratha Dalam Kakawin Ramayana Sebagai Pemimpin Ideal Sepanjang Masa I Ketut Jirnaya Sastra Jendrāyuningrat Permintaan Dewi Sokesi dalam Wiracarita Ramayana Melahirkan Tokoh Rahwana dan Saudara-Saudaranya (Sebuah Kajian Kepustakaan) I Wayan Sukersa Pergeseran Pongah menjadi Jengah dalam Khasanah Nusantara Dwi Mahendra Putra, I Made Wijana Arjunawijaya dalam Dua Tradisi: Menelusuri Perbedaan Antara Tradisi Bali dan Merapi-Merbabu Agung Kriswanto 9 772528 493008 ISSN 2528-4932 Journal Of Old Javanese Studies Sastra Gocara Sastra Gocara Universitas Udayana Universitas Udayana Volume II Nomor 1 April 2017 Volume II Nomor 1 April 2017 Volume II Nomor 1 April 2017 Sastra Gocara Universitas Udayana SG Volume II Nomor 1 April 2017 ISSN 2528-4932 Karya Sastra Jawa Kuna Sebagai Sumber Lakon Pagelaran PKB ke-40 Tahun 2018 I Nyoman Suarka Makakawin: Belajar Memahami Makna Sebait Nìti Úàstra I Wayan Suka Yasa

Upload: khangminh22

Post on 28-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SastraSastraG CARACARAG CARAJ o u r n a l O f O l d J a v a n e s e S t u d i e s

Universitas UdayanaUniversitas UdayanaUniversitas Udayana

Sastra

Karya Sastra Jawa Kuna Sebagai Sumber Lakon Pagelaran PKB ke-40 Tahun 2018I Nyoman Suarka

Makakawin:Belajar Memahami Makna Sebait Nìti Úàstra

I Wayan Suka Yasa

Eksploitasi Penokohan Dasaratha Dalam Kakawin Ramayana Sebagai Pemimpin Ideal Sepanjang Masa

I Ketut Jirnaya

Sastra Jendrāyuningrat Permintaan Dewi Sokesi dalam Wiracarita Ramayana Melahirkan Tokoh Rahwana dan Saudara-Saudaranya

(Sebuah Kajian Kepustakaan)I Wayan Sukersa

Pergeseran Pongah menjadi Jengah dalam Khasanah Nusantara

Dwi Mahendra Putra, I Made Wijana

Arjunawijaya dalam Dua Tradisi:Menelusuri Perbedaan Antara Tradisi Bali dan Merapi-Merbabu

Agung Kriswanto

9 772528 493008

ISSN 2528-4932

J o u r n a l O f O l d J a v a n e s e S t u d i e s

Sastr

a G

ocara

Sastr

a G

ocara

Un

iversita

s U

day

an

aU

niv

ersita

s U

day

an

aV

olu

me II N

om

or 1

April 2

017

Volu

me II N

om

or 1

April 2

017

Volu

me II N

om

or 1

April 2

017

Sastr

a G

ocara

Un

iversita

s U

day

an

aSG Volume II Nomor 1

April 2017 ISSN

2528-4932

Karya Sastra Jawa Kuna Sebagai Sumber Lakon Pagelaran PKB ke-40 Tahun 2018I Nyoman Suarka

Makakawin:Belajar Memahami Makna Sebait Nìti ÚàstraI Wayan Suka Yasa

Sastra GocaraJournal of Old Javanese Studies

ISSN 2528-4932Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017

Universitas Udayana

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 iii

SUSUNAN REDAKSIPENANGGUNG JAWAB

Drs. Anak Agung Gede Bawa, M. Hum(Koordinator Program Studi Sastra Jawa Kuno)

REDAKTUR Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M. Hum.

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M. Hum.

PENYUNTING Prof. Dr. I Made Suastika, S. U.

Dr. Drs. I Nyoman Sukartha, M. Hum.Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M. S.

Drs. I Ketut Nuarca, M. S. Drs. I Wayan Sukersa, M. Hum.

MITRA BESTARIProf. Dr. Marsono, S. U. (UGM Yogyakarta)

Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum. (UNSES Semarang) Prof. Dr. Nengah Duija, M. Si. (IHDN Denpasar)

Prof. Dr. Ida Bagus Putra Manuaba, M. Hum. (UNAIR Surabaya) Prof. Dr. Drs. I Wayan Sukayasa, M. Si. (UNHI Denpasar)

Dr. Drs. Undang Darsa, M. Hum. (UNPAD Bandung) Dr. Karsono H. Saputra, M. Hum. (UI Jakarta)

SEKRETARIATDrs. I Made Wijana, M. Hum.

Putu Ari Suprapta, S. S.

DESAIN COVERDrs. Komang Paramartha, M. S.

I Ketut Eriadi Ariana, S.S.

ALAMATProdi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas

UdayanaE-mail: [email protected]

Sampul : Kalender Tika, Koleksi I Gede Anom Ranuara, S.Pd., S.Sn

Sastra GocaraJournal of Old Javanese Studies

ISSN 2528-4932 Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017

i

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 vii

DAFTAR ISI

PengantarDaftar Isi

Karya Sastra Jawa Kuna Sebagai Sumber Lakon Pagelaran PKB ke-40 Tahun 2018I Nyoman Suarka

Makakawin:Belajar Memahami Makna Sebait Nìti ÚàstraI Wayan Suka Yasa

Eksploitasi Penokohan Dasaratha Dalam Kakawin Ramayana Sebagai Pemimpin Ideal Sepanjang MasaI Ketut Jirnaya

Sastra Jendrāyuningrat Permintaan Dewi Sokesi dalam Wiracarita Ramayana Melahirkan Tokoh Rahwana dan Saudara-Saudaranya(Sebuah Kajian Kepustakaan)I Wayan Sukersa

Pergeseran Pongah menjadi Jengah dalam Khasanah NusantaraDwi Mahendra Putra, I Made Wijana

Arjunawijaya dalam Dua Tradisi:Menelusuri Perbedaan Antara Tradisi Bali dan Merapi-Merbabu Agung Kriswanto

iiiii

1 - 15

16 - 37

38 - 49

50 - 80

81 - 95

96 - 115

iii

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201750

Sastra Jendrāyuningrat Permintaan Dewi Sokesi dalam Wiracarita Ramayana

Melahirkan Tokoh Rahwana dan Saudara-Saudaranya

(Sebuah Kajian Kepustakaan)

I Wayan SukersaProgram Studi Sastra Jawa Kuno

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

AbstrakBhagawan Wisrawa telah berusia tua dan mengundurkan diri dari tahta kerajaan di negeri Lokapala. Pemerintahan diserahkan kepada putranya Prabhu Dhanaraja. Di Kerajaan Alengkapura Prabhu Sumali kawan sepermainan Bhagawan Wisrawa memiliki seorang putri cantik yang baru menginjak remaja. Prabhu Dhanaraja sangat gandrung kepadanya dan mengetahui hal itu sang ayah Bhagawan Wisrawa datang ke Alengkapura untuk meminang Dewi Sokesi. Swayembara dilakukan dan Sang Dewi akan mau menikah hanya dengan lelaki yang mampu mewejangkan Sastra Jendrāyuningrat. Bhagawan Wisrawa yang mewakili putranya Dhanaraja dengan mudah memberi wejangan, tapi bagi Dewi Sokesi meminta untuk

mengulangi. Pengetahuan masyarakat dunia tentang jenis kelamin itu

mengantarkan Dewi Sokesi kawin dengan Bhagawan Wisrawa. Perkawinan

itu melahirkan Rahwana, Kumbhakarna, Sarpanaka, dan Gunawan

Wibhisana. Berempat bertapa di Gunung Gokarna dan mendapat anugerah

kesaktian dari Dewata, setelah itu pergi menuju Alengkapura menemui

sang kakek Prabhu Sumali untuk meminta kerajaan Alengkapura.

Kata kunci : sastra jendrāyuningrat, wiracarita, Ramayana, kajian kepustakaan

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 51

PendahuluanEpos besar Ramayana di Nusantara tersusun pertamakali

dalam karya sastra Jawa Kuno berbentuk puisi. Puisi Jawa Kuno itu dalam perkembangannya lebih dikenal dengan istilah kakawin ‘karangan, hasil karya seorang pujangga’. Dalam studi Jawa Kuno lebih dikonkretkan artinya yaitu syair berbahasa Jawa Kuno. Kakawin itu terikat oleh aturan yang ketat berupa panjang pendek suara yang lebih umum disebut dengan guru laghu. Selain terikat aturan guru laghu juga terikat oleh aturan yang namanya wretta matra yaitu jumlah suku kata tiap-tiap baris, dan komposisi letak panjang pendek suara yang kemudian menentukan nama tembang atau metrum (wirama) dari sebuah kakawin. Dengan demikian jika menembangkannya akan mengikuti irama dari jenis tembangnya/ metrum kakawin tersebut.

Kakawin Ramayana yang ada di Indonesia sampai saat ini masih banyak dijumpai naskahnya dalam bentuk lontar dengan menggunakan aksara Bali. Misalnya seperti koleksi Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana beridentitas, Judul lontar: Ramayana (kakawin) No kode: krop 192 no Rt 251. Ukuran lontar Panjang: 53,5 cm. lebar 3.5 cm. Jumlah lontar; 200 lembar. Dimulai dengan kalimat “Hana sira ratu dibya rengen,..”. berakhir dengan kalimat: “kusuma surabhi padhanira manulari wangi suyasa tata suci marum”. Berisi angka tahun Isaka 1882 ditulis oleh I Gusti Agung Putu Gede Dendi. Pengarang: - Keterangan: - Selain berupa naskah lontar, Kakawin Ramayana sudah diterbitkan dalam bentuk buku jilid I dan Jilid II. Terbitan itu juga menggunakan aksara Bali yang disertai terjemahan ke dalam bahasa Bali, tahun 1986.

Terbitan yang diusahakan itu dan banyaknya naskah salinan kakawin Ramayana dalam bentuk lontar memberikan suatu indikasi bahwa kakawin Ramayana sangat disenangi dan populer di masyarakat sehingga disalin berulang-ulang. Disamping kepopulerannya kakawin Ramayana merupakan Kakawin terpanjang di antara kakawin kakawin yang lainnya. Disusun dalam 26 sargah (episode) dan terdiri dari 2700 bait (Zoetmulder, 1983: 289).

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201752

Ada perbedaan sedikit jumlah baitnya setelah dihitung ulang terdapat sejumlah 2785 bait.

Kakawin Ramayana sampai kepada kita dewasa ini tentunya telah melalui perjalanan panjang dan lolos dari segala marabahaya yang menghadang misalnya: terbatasnya keawetan daun lontar yang menjadi bahan tulisnya sering menjadi kendala. Daun lontar bersifat hidroskopis yaitu serat-seratnya mudah menyerap air sehingga akan terjadi kelembaban yang menyebabkan naskah lontar cepat rusak atau lapuk (Sukersa, 2016 : 242). Dalam usianya yang renta kakawin Ramayana digubah pada masa silam di jaman pemerintahan raja Dyah Balitung sekitar tahun 820-832Saka (Poerbatjaraka, 1957: 2). Bahkan pendapat Brandes dengan memastikan tanggal yang tersusun dalam metrumnya menunjukkan tahun yang lebih tua yaitu 778 Çaka (Zoetmulder, 1983: 292). Tetapi ada pula pakar yaitu H Kern yang menyatakan waktu yang lebih kemudian bahwa kakawin Ramayana ditulis sesudah Bharatayuddha dan sebelum Bhomantaka. Dengan demikian berasal dari jaman kerajaan Kadiri di awal paruh abad ke -12 (dalam Zoetmulder, 1983: 293). Perbedaan pendapat tentang tahun penulisan kakawin Ramayana tidak dapat dihindarkan dan tentunya didasari argumen para pakar masing-masing.

Cerita Ramayana walaupun telah berusia sangat tua yang bersumber dari epos besar di India hingga kini masih tetap digemari di masyarakat. Kandungan isinya baik secara keseluruhan maupun sebagian selalu menarik untuk diungkap dijadikan wawasan maupun pedoman dalam kehidupan praktis sehari-hari guna dapat terwujudnya keserasian dan keseimbangan. Kiranya sabda Dewa Brahma kepada pujangga Walmiki ketika akan menulis Adikawya Ramayana tetap bertuah:

Yawat sthasyanti giriyah saritas qa mahitele tawat Ramayanakatha lokequ paraqarisyati. ‘Selama bukit berdiri tegak dan sungai mengalir ria, maka kisah Ramayana tidak hilang-hilangnya’. (Pratikto, 1962).

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 53

Cerita Ramyana yang memiliki alur cerita sangat panjang diketahui ada dalam beberapa versi. Di India disebutkan ada versi Walmiki yaitu Ramayana berbahasa Sanskerta karya Bhagawan Walmiki atau Bhalmiki. Selain itu diketahui pula ada versi Ravanavada (kematian Rahwana) karangan pujangga Bhatti yang kemudian lebih dikenal dengan Ramayana Bhatti-kavya. Versi ini sekitar sepertiganya merupakan sumber penulisan kakawin Ramyana yang ada di Indonesia (Zoetmulder, 1983: 289-300). Selain itu ada versi gubahan Kamban dengan berbahasa Tamil yang mengikuti versi Walmiki dan ada pula Ramayana Tulasi yang disusun oleh Bhakti (Rajagopalachari, 2012: 186). Selain versi-versi yang disebutkan di atas di Malaya juga diketahui ada Hikayat Sri Rama, di Jawa ada Rama Keling dan lakon-lakon wayang yang berkaitan dengan cerita Ramayana. Dari versi-versi yang ditemukan tentu memiliki perbedaan-perbedaan serta kelebihan-kelebihan maupun alur cerita yang tidak sama. Bahkan ada yang pendek hanya beberapa episode saja terutama cerita dalam lakon-lakon pewayangan. Dengan demikian nantinya dapat merupakan cerita yang saling melengkapi sehingga menjadi cerita yang padu, bulat dan utuh.

Berkenaan dengan tulisan ini yang menyajikan Sastra Jendrāyuningrat dan kelahiran tokoh Rahwana dan saudara-saudaranya bertujuan dapat melengkapi cerita Ramayana yang ada dalam bentuk kakawin di Indonesia. Di dalam kakawin Ramayana, tokoh Rahwana sebagai tokoh utama kedua tidak diungkapkan. Kehadirannya diceritakan mulai dari sargah lima dalam posisinya sudah menjadi raja Alengkapura yang menculik Dewi Sita atas asutan adiknya yang bernama Raksasi Sarpanakha. Sedangkan penceritaan kelahiran tokoh utama satu telah diceritakan dalam kakawin Ramayana sejak bagian awal cerita, pada sargah pertama dan terlihat seperti dalam kutipan berikut:

Nda ta tita kāla lungha, mānak tānakbi Sang Dasarathāsih, Sang Ramānak matuha, i sira mahadewi Kosalya (Tim Peneliti, 1986 sargah I bait 32). Berlalulah waktu itu, berputralah istri Sang Dasaratha tercinta, Sang Rama putra tertua/sulung, oleh Dewi Kosalya.

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201754

Kepustakaan Dan TeoriSaya bersyukur dapat menemukan buku-buku yang sangat

bermanfaat untuk dapat sedikit menambah cerita yang terdapat dalam kakawin Ramayana. Mungkin saja beliau Sang Yogiswarta merasa tidak perlu memasukkan bagian “Sastra Jendrayuningrat” kedalam gubahannya sehingga cerita tersebut tidak terdapat dalam kakawin Ramyana.

Ada empat buah buku yang ditemukan berkaitan dengan topik yang diketengahkan pada tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Tim Penyusun (2007) dengan judul “Uttara Kanda Teks Aksara Bali, Latin dan Terjemahan”. Ada pendapat, kitab Uttara Kanda yang disusun pada zaman pemerintahan raja Sri Dharma Wangsa Teguh Ananta Wikrama untuk melengkapi isi cerita kakawin Ramyana. Kitab Uttara Kanda terdiri dari tiga puluh (30) sargah/ episode. Pada episode Raksasa Parwah Astamyah Sargah berisi cerita; Dewi Kekasi putri raja raksasa Sang Sumali mulai tumbuh menjadi gadis remaja. Disuruhlah kawin oleh ayahnya dengan Bhagawan Wisrawa. Dari hasil pernikahannya mempunyai empat anak yang masing-masing bernama Dasa Sirsa (Dasa Griwa), Kumbhakarna, Surpanakha, dan Wibhisana.

2. Pratikto (1962) dengan Judul Ramayana, Jakarta. Wijaya. Buku ini berisi cerita yang berkaitan dengan cerita-cerita Ramayana sebanyak 15 episode cerita, satu di antaranya “Rahwana dan Dasarata” cerita mengisahkan Rahwana seorang raja raksasa di Alengka sangat sakti dibandingkan dengan raja-raja raksasa lainnya. Rahwana memiliki berbagai kesaktian dan dalam pertempuran-pertempuran pantang mundur untuk menyerah. Rahwana adalah putra Bhagawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Saudara-saudara Rahwana bernama Kumbhakarna, Sarpanakha, dan Wibhisana. Semua melakukan tapa di gunung Gokarna dan mendapat anugrah kesaktian dari Dewata.

3.

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 55

4. Dirjosisworo (1977) cerita Ki Hajar Sukowiyono dengan judul “Drama di Lokapala” Bandung. PT Tribisana Karya. Buku ini berisi tiga episode yaitu: Uap Hitam di Gunung Gokarna, Permintaan Yang Membawa Celaka, dan Drama di Lokapala. Episode “Uap hitam di Gokarna” beisi cerita tentang Bhatara Guru dan Rsi Narada yang berada di sorga terusik oleh uap hitam yang membumbung tinggi di Gunung Gokarna dan ternyata uap hitam itu keluar dari ubun-ubun seorang raksasa yang bertapa bersama ketiga saudaranya. Bhatara kemudian member anugerah kepada keempat raksasa itu karena khusuknya dalam melakukan tapa. Raksasa itu juga diberi masing-masing nama sesuai dengan keadaan kelahirannya. Setelah itu Rahwana, Kumbhakarna, Sarpanakha, dan Gunawan Wibhisana mencari kakeknya Raja Sumali di Alengkapura. Episode “Permintaan yang Membawa Celaka” berisi cerita permintaan Dewi Sokesi yang dianggap tidak wajar tetapi tidak boleh diurungkan. Wejangan Sastra Jendrāyuningrat itu menyebabkan Dewi Sokesi harus menyerah kepada Bhagawan Wisrawa yang akhirnya mereka menikah. Bhagawan Wisrawa dan Dewi Sokesi terbunuh oleh raja Dhanaraja putra Bhagawan Wisrawa. Episode Drama di Lokapala mengisahkan raja negeri Lokapala yaitu Prabhu Dhanaraja memberikan kesaktiannya kepada Rahwana yang licik. Dengan demikian Rahwana dapat dengan mudah membunuh Prabhu Dhanaraja.

5. Samba (2016) dengan judul “Sastra Jendera”. Bandung. Yayasan Dajan Rurung Indonesia. Buku ini mengungkapkan tentang kodrat-kodrat gender yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebagai ‘rwobinedo’ yang saling melengkapi dan membutuhkan. Ada kodrat-kodrat gender yang tidak dapat dialihkan perannya seperti menyusui anak, hamil dan sebagainya dan itu menjadi kebanggaan dan harus disyukuri. Buku ini juga memberikan edukasi seks untuk remaja, mahasiswa, dewasa, guru, dan orang tua dengan harapan tidak

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201756

terjadi penyimpangan-penyimpangan seks seperti pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan seks, serta tidak menciptakan situasi kondusif terjadinya hubungan seks terlarang. Dialog-dialog tentang gender, percintaan, seks yang dikemas dalam buku ini diangkat dan disarikan dari cerita Mahabharata dan Ramayana.Untuk dapat mengemukakan Sastra Jendrāyuningrat dan

kelahiran Tokoh Rahwana dan saudara-saudaranya dalam kajian kepustakaan ini diterapkan teori Hermeneutik. Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa karya sastra atau suatu uraian merupakan keseluruhan yang terbentuk dari bagian-bagian atau anasir-anasirnya yang saling berjalinan (Teuw, 1984: 123). Bagian-bagian dari karya sastra itu mendapat makna yang sebenarnya dalam keseluruhan karya itu. Interpretasi keseluruhannya tidak dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya.

Penerapan teori Lingkaran Hermeneutik ini dalam bentuk kongkretnya adalah membaca secara berulang-ulang keempat pustaka tersebut di atas yang dijadikan bahan kajian. Pembacaan itu meliputi baik secara sebagian-sebagian maupun secara keseluruhannya. Dengan demikian didapatkan integrasi makna total dan optimal sehingga menghasilkan cerita yang runut dan logis. Hasil dari kajian ini terlihat dalam keseluruhan paparan pada bagian-bagian berikutnya.

Sastra JendrāyuningratTersebut Sang Sumali saudara dari Detya Mali, dan

Maliawan bertahta di Negeri Pelebur Gangsa yang kemudian lebih dikenal dengan nama Alengkapura atau Alengkadireja. Prabhu Sumali seorang raja detya yang berbudi pekerti luhur dan sakti sehingga hidupnya bahagia, negerinya aman, dan rakyatnya tentram serba berkecukupan. Oleh Dewata, Sumali dikaruniai empat orang anak. Putra sulung berwujud raksasa bernama Detya Polasia, gagah perkasa dan menjabat sebagai mahapatih yang bertanggung jawab atas keselamatan negeri Pelebur Gangsa. Putra kedua juga beroman

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 57

raksasa bernama Detya Jambu Mangali, yang ketiga bernama Dewi Sokesi, seorang putri cantik jelita dan molek bagaikan bidadari. Dengan demikian Sokesi menjadi limpahan kasih dari orang tua dan saudara-saudaranya dan hidup dalam pemanjaan. Putra bungsu juga laki-laki berwujud raksasa dan bernama Detya Prahasta, pintar dan sakti mandraguna seperti kedua saudara laki-lakinya.

Teman sepermainan Prabu Sumali bernama Bagawan Wisrawa. Dia sebagai raja besar berkuasa di Lokapala dan memerintah raja-raja di sekitar negerinya. Wisrawa sangat dihormati karena termasyur sakti dan baik budi, kaya raya dan belum ada yang sanggup mengalahkan dalam perang tanding. Telah lama Bagawan Wisrawa turun tahta dan baginda menjalani hidup sebagai pandita dengan gelar rsi atau bhagawan. Sehari-hari hanya melakukan semadi, memuji kepada dewata untuk keselamatan anak cucu, rakyat dan negerinya. Kerajaan dan tapuk pemerintahan sepenuhnya diserahkan kepada putranya yang bernama Maha Prabhu Danapati atau disebut juga Danaraja.

Putra Sumali, Dewi Sokesi yang sudah menginjak remaja ingin dicarikan calon suami oleh kakaknya Patih Jambu Mangali. Banyak raja muda berebut sampai bermandikan darah dan bahkan ada pula yang gugur dalam mengikuti swayambara itu. Gagal memperebutkan Dewi Sokesi karena tidak mampu menundukkan sang kakak Patih Jambu Mangli. Atas permintaan prabhu Sumali swayambara itu harus dihentikan. Alengkapura sudah terlalu banyak bermandikan darah. Mereka sadar tidak akan ada seorang raja muda pun yang mampu mengalahkan kekuatan dan kesaktian patih Jambu Mangli. Pada akhirnya sang putri sendiri yang mengajukan syarat, tidak mau menikah dengan laki-laki kalau tidak dengan seorang pria yang sanggup memberikan wejangan kepadanya, pengetahuan Sastra Jendrāyuningrat.

Prabhu Danapati putra Bhagawan Wisrawa sangat gandrung pada Dewi Sokesi. Sang ayah Bhagawan Wisrawa yang tahu akan hal itu berangkat ke Alengkapura melamar Dewi Sokesi idaman raja Danapati. Mahapatih Polasia mengetahuinya dan segera

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201758

menyampaikan kepada raja Sumali. Ketika mendengar bahwa Bhagawan Wisrawa sahabat karibnya akan datang berkunjung dia menjadi sangat gembira. Ketiga putranya diperintahkan untuk mengadakan penyambutan tamu yang dinantikan itu. Sementara dengan rasa senang dan kangen Raja Sumali menunggu Bhagawan Wisrawa di istana. Raja Sumali membayangkan tentunya Bhagawan Wisrawa itu wajahnya telah keriput, rambutnya putih karena usianya lebih tua dari padanya.

Ketika rombongan yang mengiring tamu agung tiba di depan istana, gamelan keraton Pelebur Gangsa telah memperdengarkan suaranya yang gemuruh dengan irama yang mencerminkan hormat dan keramahan. Sambutan tuan rumah yang mengucapkan selamat datang kepada tamunya dan ketika keduanya berhadapan muka alangkah heran dan kagetnya Prabhu Sumali melihat sahabatnya yang wajahnya tidak berubah tetap seperti saat masih jejaka. Masih tetap sebagai anak muda yang ketampanannya memancar bagai bintang kartika. Bibirnya merah sumringah bagaikan delima merekah selalu tersenyum simpul menggiurkan sukma. Seolah-olah hukum alam tak kuasa lagi atas diri Bhagawan Wisrawa.

Kedua sahabat itu kemudian bergandeng tangan masuk keraton Pelebur Gangsa. Permaisuri dengan diiringi oleh para dayang juga menyambut kedatangan sahabat agung kerajaan. Perjamuan dibuka sambil membicarakan hal-hal masa lalu yang mengingatkan masa muda mereka. Setelah lama berbincang-bincang tentang masa silam, Bhagawan Wisrawa kemudian menghaturkan selamat kepada Raja Sumali dan permaisuri serta menyampaikan maksud dan tujuannya. Kedatangannya adalah melamar Dewi Sokesi untuk dirangkapkan jodohnya dengan putranya yaitu Danapati. Raja Sumali menyetujui lamaran itu dan mempermaklumkan putrinya yang bodoh, malas, dan jelek yang tidak sebanding dengan putra Wisrawa yang merupakan raja besar Lokapala. Ada pula yang menjadi kemasgulan bahwa putri Sokesi sudah lama dilamar oleh raja dari Seribu Negeri namun dasar anak kelokan dan kurang pelajaran maka belum ada yang diterima. Setelah swayembara yang dilakukan oleh kakaknya

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 59

Jambu mangali gagal, malahan dia sendiri menyatakan persyaratan yang lain. Dewi Sukesti akan mau menikah hanya dengan laki-laki atau seorang pria yang sanggup memberikan wejangan kepadanya, berupa pengetahuan Sastra Jendrāyuningrat.

Ternyata tidak ada seorang raja muda pun peserta swayembara yang mampu menjelaskan makna rahasia Sastra Jendrāyuningrat. Persyaratan yang diajukan oleh Dewi Sokesi telah diumumkan ke seluruh penjuru jagat dan tidak dapat ditarik kembali. Dewi Sokesi gadis belia itu tetap pada pendiriannya. Maka dari itu Bhagawan Wisrawa harus mengikuti tahapan swayembara itu walaupun untuk mewakili putranya.

Bagi Bhagawan Wisrawa persoalan itu adalah gampang dan dia menjawab sambil tersenyum bahwa dia sendiri yang nanti memberi pelajaran kepada Dewi Sokesi. Sambil meminta untuk menyediakan sebuah kamar bersih dan suci. Tengah malam nanti pelajaran rahasia dari ilmu yang paling mendasar di dunia itu diwejangkan. Dewi Sokesi pun diberitahu agar bersedia pada waktu yang telah ditentukan. Ketika Bapa Bhagawan bertemu dengan Dewi Sokesi maka dipersilakan untuk mengikuti swayembara itu dan menjelaskan makna dari rahasia Sastra Jendrāyuningrat. Rsi Wisrawa tertegun kaget luar biasa karena sangat tidak percaya pertanyaan swayembara seperti itu yang diajukan oleh seorang putri raja, gadis muda belia.

Sang bhagawan menyela, memohon kalau boleh agar pertanyaan yang lain saja diajukan, tidak pertanyaan yang satu tadi. Sang Dewi tetap pada pendiriannya agar Bapa Bhagawan berkenan memberikan penjelasan tentang pengetahuan Sastra Jendrāyuningrat. “Dengar nanada Dewi, hal itu adalah sebuah rahasia, sesuatu yang sangat tidak boleh dan sangat tidak baik bila dibicarakan di depan umum. Tidak elok didengar oleh khalayak banyak”. Dewi Sokesi tidak mundur sedikit pun dari persyaratan swayembara yang diajukan.

Atas desakan Sang Dewi dan dengan seijin Raja Sumali dan diantarkan oleh dayang-dayang mereka berdua masuk sebuah taman

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201760

indah penuh dengan warna warni bunga-bunga yang serba wangi. Sedangkan para dayang hanya mengantar sampai di pintu taman. Di dalam kamar dalam sebuah gedung di taman yang lengkap dengan api pedupaan berikut sesajennya serta kembang melati dan cempaka putih. Dewi Sukesi duduk bersimpuh di hadapan Bhagawan Wisrawa. Kedua matanya menghadap ke bawah sehingga kelihatan bulu matanya yang panjang dan lentik bergerak-gerak sangat indahnya. Napas Sang Bhagawan menjadi lebih deras dan beliau mampu menekan panca indranya. Karena kerasnya, tubuhnya menjadi bergetar, tetapi dasar seorang pendeta yang telah matang tapanya, akhirnya dapat kembali menumbuhkan semangat sucinya sehingga pikiran yang sehatlah yang menang.

Wejangan rahasia Sastra Jendrāyuningrat dimulainya dengan suara pelan namun terdengar jelas. Sang Dewi sanubarinya terbuka untuk menerima rahasia dari ilmu yang diidamkannya. Sastra Jendrāyuningrat adalah sastra dunia, pengetahuan masyarakat sejagat tentang gender, jenis kelamin yang terlahir di dunia. Dalam alam gender manusia didapati ada laki-laki dan perempuan, di antara gender pria dan wanita ada banci (kedi) atau waria. Itulah kodrat alam gender manusia. Antara laki-laki dan perempuan merupakan ’rwa bineda’ dua yang berbeda yang saling membutuhkan dan melengkapi, bukan dipertentangkan atau bersifat dualistik. Tetapi dalam gender itu ada tugas-tugas kodrati yang tidak bisa diambil alih perannya baik oleh si laki-laki maupun si perempuan. Kodrat alami ’rwa bineda’ itu menyebabkan ada keturunan, ada kepentingan, dan alam bergerak, bumi berputar, dan kehidupan menjadi terus berlanjut dan abadi. Tanpa ada pria maupun wanita atau jantan dan betina dalam alam hewan dan tumbuh-tumbuhan kehidupan ini berakhir dan dunia menjadi pralaya.

Sastra Jendrāyuningrat merupakan pengucapan hidup sendiri. Seumpama diwujudkan, Sastra Jendra berada di depan hidup manusia dan (H)ayuningrat berada di belakang dan melingkupi. Orang menyebut pula sebagai wadah dan isi pengucapan hidup sendiri. Kehidupan dan penghidupan dan semua yang ada dan tiada,

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 61

yang tampak dan tidak tampak terjadi oleh sabda (takdir) hidup. Tiap-tiap yang terjadi terbungkus oleh suatu wujud, sekalipun yang tiada teraba dan tiada yang nampak (Pratikto, 1962:44).

Bagi Dewi Sokesi, wejangan Rsi Wisrawa tidaklah mudah untuk dimengerti, sekalipun teka-teki itu berasal dari dia. Maka dengan suara memelas ia mengharap agar Rsi Wisrawa menjelaskan lebih terang lagi. Demi terkabulnya pinangan putranya, Rsi Wisrawa mengabulkan permintaan Sang Dewi tetapi laku itu menggegerkan para Dewa. Rahasia Sastra Jendra itu adalah kehidupan itu sendiri, kehidupan sepasang suami istri, kebenaran yang tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Kebenaran yang hanya dapat dirasakan, bukan diucapkan belaka. Demikian pula rahasia sastra Jendrāyuningrat tidak dapat seluruhnya dijelaskan oleh siapa pun, tetapi hanya dapat dirasakan dengan melakukan dan merasakan sendiri. Oleh karena itu sekarang bukalah semua pakaian dan gelung rambut kamu. Di sini tidak ada siapa-siapa kecuali kita berdua. Tidak ada orang lain yang melihat kita, jadi kamu tidak perlu malu-malu dan takut. Dewi Sokesi menuruti perintah Sang Resi. “Sekarang lihatlah diri kamu, inilah rahasia pertama dari Sastra Jendrāyuningrat, kecantikan seorang wanita yang dikagumi oleh semua orang terutama bagi laki-laki”.

Mata Sang Rsi menabrak bukit kembar yang berdiri kokoh di hadapannya. Sepasang mata yang berbinar-binar bulat mengalahkan bintang kejora di ufuk timur. Rambutnya yang lebat terurai menutupi bagian pinggul dan lekuk pinggang sang Dewi yang sangat indah. Kulit halus bersih dari sepasang betis dan paha yang mulus. Dewi Sokesi membuka matanya yang indah memandang ke depan dan tampaklah roman wajah Bhagawan Wisrawa yang sangat tampan. Dewi Sokesi merasakan suatu getaran aneh yang menyentuh sanubarinya. Suara Sang Bhagawan yang merdu dalam pendengarannya secara perlahan-lahan berubah menjadi nyanyian rayuan cinta. Sang Resi walaupun telah mumpuni akan makna Sastra Jendrāyuningrat tetap bergetar dan berdebar jantungnya. Panas badannya terasa melonjak-lonjak menjalar ke seluruh tubuhnya dan dia kali ini gagal mengendalikan dirinya. Keduanya tiba-tiba jatuh cinta. Di dalam hati sepasang

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201762

mahluk ini di samping ada cinta di sana juga ada nafsu. Di dalam cinta ada seks. Sementara di dalam seks bisa ada cinta dan tidak sedikit hanya ada nafsu. Banyak yang tidak mampu membedakan seks karena cinta dan seks karena nafsu. Demikianlah terjadi suatu lakon baru yang karmanya akan menjalar memenuhi seluruh dunia. Wejangan rahasia Sastra Jendrāyuningrat sebagai ilmu kepandaian yang hebat tidaklah menjadi penting lagi.

Rahwana dan Saudara-Saudaranya Terlahir ke DuniaPara dayang yang mengiringkan Dewi Sokesi sampai pintu

luar taman seperti terkena sirep. Mereka tidur nyenyak dalam posisi berpelukan hingga fajar menyingsing. Mereka terbangun dan gelagapan serta menjumpai Sang Dewi sedang duduk di pangkuan Sang Bhagawan. Cahaya mukanya redup bagaikan rembulan menjelang pagi. Matanya yang kurang tidur terpejam-pejam bagai pelita tertiup angin, rambutnya agak kusut membuat parasnya yang elok menjadi semakin indah. Kepala dayang yang tertua usianya mengetahui dan mengerti apa yang telah terjadi. Segera ia lari memberi tahu Prabhu Sumali yang kemudian menjadi sangat terkejut dan akhirnya duduk termenung.

Bhagawan Wisrawa segera sadar bahwa ia telah berbuat salah, dan merasa malu dengan diri sendiri. Seorang pendeta melakukan hal yang demikian buruk, mengambil calon istri putranya sendiri. Sekarang apa yang mau dikata lagi, maka dengan terpaksa ia mengajak sang Dewi menghadap Prabhu Sumali, yang saat itu masih duduk terbengong seorang diri. Prabhu Sumali tidak mampu berkata apa pun, karena ibarat nasi telah menjadi bubur terlanjur sudah terjadi, ia pikir semua yang telah terjadi sudah kehendak dewata. Manusia hanya tinggal melaksanakan apa yang telah tertitah, baik buruk tergantung pada karma masing-masing.

Putri Dewi Sokesi merasa beruntung mendapatkan Bhagawan Wisrawa sebagai suaminya. Seorang suami yang tampan, cakap, dan sakti mandraguna memiliki kesaktian yang langka. Tidak demikian halnya dengan Sang Bhagawan yang merasa dirinya telah ternoda,

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 63

Dewa tentu akan mengutuk dan pintu sorga akan tertutup baginya. Hidupnya diliputi sesal dan malu kepada sesamanya. Akan balik ke Lokapala tiada muka lagi untuk bertemu putranya. Untuk tetap tinggal di istana Pelebur Gangsa merasa likat terhadap Prabhu Sumali, maka akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengasingkan diri di tempat yang sunyi. Dengan demikian hatinya dapat tentram sehingga dapat membahagiakan sang istri.

Bhagawan Wisrawa kemudian mengajak sang istri tinggal di hutan di kaki gunung Gokarna. Di sana membuat padepokan untuk sembahyang dan memuja Dewa dengan harapan dosanya mendapat pengampunan dari Hyang Maha Kuasa. Persoalan tidak sedemikian sederhana karena Maha Prabhu Danaraja di negeri Lokapala sangat mengharap kedatangan sang ayah yang tidak ada kabar beritanya. Ia kahawatir kalau- kalau orang tua itu mendapat halangan atau menemukan kejadian yang kurang baik. Maka dengan diiringi tentaranya berangkatlah menyusul ke negeri Pelebur Gangsa. Setibanya di tempat yang dituju alangkah terkejutnya ketika mendengar kabar bahwa Dewi Sokesi telah diambil istri oleh ayahnya.

Prabhu Danaraja menjadi malu dan gusar. Semakin dipikir semakin meluap sakit hatinya. Maka selanjutnya ia segera menuju tempat pedepokan ayahnya. Di sana ia mendapatkan pemandangan yang menambah kegusarannya. Prabhu Danaraja yang juga disebut Prabhu Bisawarna begitu berhadapan dengan orang tuanya segera melontarkan caci maki yang oleh Bhagawan Wisrawa diterima dengan perasaan bersalah dan malu besar. Namun karena dicerca dengan kata-kata keji secara terus menerus akhirnya Sang Bhagawan marah juga. Terjadilah percekcokan yang memuncak sampai terjadi pertempuran yang seru. Prabhu Bisawarna khilaf dan menjadi kalap menghunus kerisnya dan berseru; “ Hai Wisrawa daripada hidup menjadi orang busuk yang memalukan keturunan lebih baik kau mampus di tanganku sendiri”, “Anak keparat” jawab Sang Bhagawan, “Marilah kau coba, jika ingin tahu sampai di mana kesaktian Bhagawan Wisrawa?”.

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201764

Prabhu Danaraja menyerang ayahnya dengan serangan-serangan dahsyat dan berhasil menembus perut Sang Bhagawan sehingga jatuh dan mati saat itu juga. Tetapi begitu terkena siliran angin, Bhagawan Wisrawa hidup kembali malahan bertambah kekuatannya. Prabhu Danaraja kembali menikam dan Sang Bhagawan pun jatuh namun segera bangun kembali. Demikian berulang-ulang sampai akhirnya Raja Danaraja kecapaian sendiri, dan berlarilah dia. Setelah agak jauh dari tempat itu karena sangat jengkel yang tidak tertahankan duduklah dia di atas tanah sambil menangis. Tidak lama kemudian terdengarlah suara Bhagawan Wisrawa yang mengejar seraya tidak hentinya sesumbar. Tetapi setelah sampai dan menjumpai putranya yang menggelepar di atas tanah dengan air mata bercucuran meleleh di pipi maka luluhlah hati sang ayah. Ia menjadi sabar dan terharu melihatnya.

Sang Bhagawan terkenang kembali ketika sang putra masih kecil jika pulang dari bermain. Keringatnya bercucuran meleleh di pipi dan bahunya. Disekanya sampai bersih dengan penuh rasa kasih sayang. Orang tua memang hidupnya untuk sang anak, karena ia adalah darah dagingnya dan bagian dari tubuh orang tuanya. Apapun yang ia miliki, kerajaan, kekayaan, dan mungkin kesaktian diberikan kepada anaknya.

Pikirannya menerawang menyesali lakunya bahwa calon istri sang putra telah dirampas dan dikangkangi oleh dirinya sendiri. Malahan sekarang ia sedang memburu dengan buasnya dan hendak membunuhnya. Berpikir sampai di situ Sang Bhagawan tubuhnya menjadi lemas, jantung merasa copot, dan secara replek Bhagawan Wisrawa mengulurkan tangannya menyeka air mata anaknya yang mengalir sepanjang pipi seraya berucap: “Aduh putraku Dhanapati sudah diamlah, aku yang bersalah dan aku berjanji kau akan mendapat keberuntunganmu kembali” demikian kata Sang Bhagawan. “Ayah” jawab prabhu Dhanapati “dalam dunia ini bagi saya sudah tidak ada keberuntungan lagi’. “Tidak anakku, kau masih muda, kau memiliki hari depan yang masih panjang dan gilang gemilang. Sekarang pulanglah ke Lokapala, bawalah Dewi Sokesi, sedangkan aku sendiri

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 65

akan pergi ke hutan untuk mohon belas kasihan Maha Dewata”.“Ayah, saya tidak bisa beristrikan ibu tiri sendiri, dan saya

tidak mampu hidup karena dunia akan mencela dan menertawakan saya sebagai anak Bhagawan Wisrawa yang menyimpang dari norma-norma kesusilaan”. “Memang kau benar putraku, maka biarlah aku yang bersalah menanggung akibat perbuatanku sendiri”.

“Nah bangunlah anakku dan kemarilah aku akan memberimu Aji Rawarontek kesaktian yang dapat hidup kembali setelah mati, bila mendapat semilirnya angin sehingga seribu kali mati akan seribu kali bangun lagi. Kesaktian yang berupa Ajian Gelapsewu yang berarti seribu geledek diserahkan juga kepada Danaraja. Tetapi si pemilik ajian ini pantang untuk mendongak melihat ke atas bila cuaca sedang mendung. Akibatnya akan disambar petir. Tetapi Danaraja juga memiliki Aji Rawarontek, maka petir tidak akan dapat membinasakannya.

Prabhu Dhanapati lalu bangkit dan duduk menyembah di hadapan ayahnya untuk menerima wejangan dua kesaktian yang maha hebat itu. Begitulah dari Bhagawan Wisrawa lalu menjadi kosong, tidak memiliki lagi kesaktian seperti semula. Sang Bhagawan kemudian berkata “Putraku sekarang telah tiba saatnya kau menyampaikan maksudmu, mengantar sukmaku menuju kahyangan Bhatara Yamadipati”.

Prabhu Dhanapati mengambil kerisnya yang tergeletak di tanah dan dengan secepat kilat ditancapkan ke dada sang ayah. Maka tamatlah riwayat Bhagawan Wisrawa, sukmanya terbang melayang naik ke alam swahloka. Tubuhnya akan musnah kembali ke unsur pembentuk yaitu Panca Mahabhuta. Tetapi karmanya akan terus terikat kepada yang lain sambung menyambung, dan akan melahirkan babak-babak cerita baru hingga sampai akhir jaman. Melihat jasad ayahnya Prabhu Dhanapati sangat menyesal, ia ingat kembali cinta kasihnya sang ayah. Perasaan itu akhirnya menimbulkan kemarahan terhadap Dewi Sokesi yang dianggap sebagai gara-gara penyebab dari semua peristiwa. Maka dengan keris terhunus dicari ibu tirinya itu. Setelah dijumpai tanpa berkata sepatahpun keris itu ditancapkan

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201766

ke dada Dewi Sokesi sehingga binasa saat itu juga. Sukmanya terbang ke angkasa sambil menjerit dengan rasa penasaran dan berseru ”Hai Dhanapati, ayahmu yang bersalah kepadamu tapi bukan aku yang bertanggung jawab, karena aku bebas memilih laki-laki siapa pun untuk menjadi suamiku. Ingatlah dikemudian hari darahku yang telah kau cecerkan tanpa salah akan menuntut balas kepadamu tidak kurang hebatnya”. Setelah ucapan itu sukmanya melayang semakin jauh sambil menangis menuju khayangan Sanghyang Yama menyusul suaminya yang telah mendahuluinya. Prabhu Dhanapati kembali ke kerajaannya di Lokapala. Di saat peristiwa itu terjadi Dewi Sokesi istri Bhagawan Wisrawa dalam keadaan hamil tua, sedang menunggu saat-saat melahirkan.

Namun Dewi Sokesi dalam teks Uttara Kanda, prosa berbahasa Jawa Kuno yang digubah pada masa pemerintahan Raja Teguh Dharmawangsa pada awal abad XI disebutkan sedikit berbeda yakni Kekasi. Ini terlihat dalam teks Astamyas Sargah (Sargah atau bagian delapan) yaitu Raksasa Parwa. Kutipannya sebagai berikut:

Muwah manak ikang Kekasi jalu-jalu darūna rūpa, ageng awugah apanjang tan hana upamania ring pramāna. Kumbhakarna talingania kadyakāran ing kumbha. Tinelah ta ngarania Kumbhakarna. Muwah manak ikang Sumali putri raksasi tan pahingan kruraning rūpania. Sūrpanakā pwa ngaraning sususul (Tim Penyusun, 2007:14).

’Kekasi lagi beranak laki-laki berwajah seram, besar gemuk panjang tidak ada yang menyamai ukurannya. Talinganya sungguh besar seperti tempayan. Akhirnya diberi nama Kumbhakarna. Raksasi putri Sang Sumali lagi beranak, wajahnya sangat mengerikan. Selalu menyusup diberi nama Surpānaka’...

Ketika keris Prabhu Dhanapati merobek dada Dewi Sokesi benda bulat semacam labu besar menggelinding di atas rumput. Berbareng dengan itu mengalir pula darah segar yang sangat banyak

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 67

hingga menggenang bagaikan rawa. Baunya hamis tersebar kemana-mana hingga ke tempat-tempat yang sangat jauh. Anjing, serigala dibuatnya melolong, suaranya menimbulkan kengerian sehingga yang mendengar bulu romanya menjadi merinding.

Hari semakin gelap dan malam pun tiba. Burung hantu berseliweran dan keadaan semakin menyeramkan, diikuti dengan berdesirnya asap hitam yang bila diperhatikan nampak mahluk-mahluk seperti manusia. Namun dengan keadaan yang aneh seperti orang yang kakinya hanya sebelah, ada yang tangannya buntung, kepalanya menyembul di bagian perut, ada yang seperti kepala yang berguling kian kemari. Dengan diikuti suara rintihan yang tidak jelas maksudnya suasana itu menjadi sangat mengerikan. Kian lama semakin banyaklah benda-benda itu berdatangan untuk menyaksikan lahirnya mahluk yang lebih kuat dari bangsanya.

Darah segar yang bergelimang berlimpah ruah bagaikan rawa terkena sinar setan yang berkedip-kedip kemudian bergerak-gerak. Makin lama makin keras gerakannya dan berkumpul menjadi suatu gumpalan. Mula-mula seperti bola kemudian menyerupai guci, yang bagian atas kemudian menjadi kepala, bagian bawah menjadi badan, lalu keluar kaki dan tangan. Berbarengan muncul mata, hidung, kuping, dan anggota badan yang lain sampai lengkaplah berwujud seorang bayi yang berwarna merah kehitam-hitaman. Ditiup hembusan angin malam yang sangat dingin, tetesan air embun yang mengandung kekuatan maka semakin besarlah bayi itu. Tidak lama antaranya loncat bangun sambil berdiri dan tertawa berkakakan. Diiringi dengan berbagai suara lolongan serigala, kulik-kulik, dan berbagai penghuni rimba yang saling bersahutan bergema dan berpantulan dari lereng-lereng dan lembah yang tersentuh menambah ramainya suasana.

Mahluk hebat yang baru lahir itu berwujud setengah manusia setengah raksasa. Postur tubuhnya gagah perkasa, nampaknya sangat liar, matanya berwarna kuning lebih mengkilat dari mata macan kumbang. Caling kecil dan tajam tumbuh dari pojok mulutnya, geraknya sangat gesit, tangkas dan senatiasa bergerak tidak mau

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201768

diam, tingkahnya sungguh menakutkan. Ia tertawa dan menari berputar mengelilingi tempatnya lahir, disaksikan oleh berjuta-juta demit, lelembut, setan yang sengaja berdatangan dari tempat-tempat angker.

Peristiwa itu terjadi sejak tengah malam hingga fajar menyingsng. Setelah Batara Rawi muncul di sela-sela bukit ufuk timur maka segala iblis, gergasi, burung-burung malam lari menyingkir kembali menuju tempat masing-masing takut akan cahaya terang yang menyilaukan. Maka tinggalah raksasa itu sendirian menari-nari dengan gembiranya.

Mendadak kakinya tersandung benda bulat, maka ia menunduk dan memungut benda yang menyerupai buah labu itu. Sambil menari benda tadi dilempar-lemparkan ke udara berkali-kali hingga jatuh dan menimpa sebuah batu. Meletuslah benda itu dengan suara keras dan dari dalamnya muncul seorang bayi yang tubuhnya besar, montok, dan berwarna kekuningan. Berkelonjatan di atas rumput dan menanggis dengan kerasnya bagaikan bukit runtuh.

Dengan segala keajaiban bayi yang tampan itu segera berkembang dan menjadi bayi raksasa yang besarnya bagaikan anak gajah, telinganya sangat lebar, dan berbadan tambun. Sesekali menangis tengkurap di atas rumput basah oleh sisa-sisa embun yang belum meresap ke tanah.

Sang bayi pertama yang lahir masih terus menari-nari kian kemari. Tubuhnya bergerak-gerak meliuk-liuk maka air yang berlumuran di seluruh tubuhnya tertekan dan turun ke bawah mengental. Lama-lama menjadi mengeras yang akhirnya menjelma menjadi seorang bayi perempuan montok yang tubuhnya berjasmani manusia wajar tapi parasnya berwujud daitya. Berkuku panjang tajam dan mengkilat, giginya seperti gergaji yang diapit sepasang taring runcing, kaki tangannya sangat kuat, serabutan bergerak kian kemari. Tangisnya keras dan nyaring bagaikan terompet kalasangka, cabikan kukunya membuat tali pusarnya putus, maka tubuhnya terlempar menimpa batu cadas. Dari ari-ari itu maka menjelmalah bayi yang keempat yang berupa ksatria rupawan tidak bercela. Keningnya berkilatan menyembunyikan cahaya rahasia, dahinya

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 69

lebar, bibirnya merah, sorot matanya awas seperti layaknya orang yang arif bijaksana.

Demikian keempatnya bayi itu terlahir ke dunia, dengan segala keajaiban terkena sinarnya Sang Arka maka semuanya cepat bertambah besar. Belum mencapai sehari semuanya telah mencapai dewasa. Melihat saudara-saudaranya itu, raksasa pertama yang terlahir dari genangan darah semalam tampak sangat gembira. Dengan sikap kasih sayang yang ditampilkan dengan caranya sendiri ia peluk kemudian saling banting ketiga adiknya yang tidak menderita suatau apapun karena mereka sama-sama terdiri dari badan baja dan sangat kuat.

Berempat mereka bergandengan tangan di dalam rimba yang lebat dan angker penuh tantangan. Makin lama makin masuk ke dalam dan sampailah di pinggang gunung Gokarna. Di dalam Uttara Kanda, Nawamyas Sargah (sargah sembilan) bagian Rawanopati tempat yang mereka tuju juga bernama gunung Gokarna, terlihat seperti kutipan berikut;

Sing saktya ta pamangankên samādhi ira. Ya ta matangyan lampah ikang Dasagriwa met patapan. Hana ta wukir ring Gokarna ngarania Ya ta tinandasnia lawan wong sanaknia (Tim Penyusun, 2007: 15). ’Agar nanti memiliki kesaktian (kekuatan yang hebat) semua melakukan tapa. Itulah sebabnya Dasagriwa (sepuluh leher/ Rahwana) mencari tempat bertapa. Adalah sebuah gunung di Gokarna (Gunung Gokarna) namanya. Itulah ditujunya bersama saudaranya’.

Mereka kemudian bersama-sama naik ke atas gunung untuk bertapa. Masing-masing memilih tempat yang disukainya. Semuanya menuju dan mohon kepada Dewa agar diberi anugrah dan dikabulkan segala niat tujuannya.

Raksasa yang lahir pertama putra Dewi Sokesi mendaki dengan sekuatnya menyingkirkan segala rintangan dan menuju puncak Gunung Gokarna. Tempat itulah dipilihnya untuk mendapatkan anugrah dewata. Raksasa itu roman mukanya setengah

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201770

manusia separo raksasa bertubuh tinggi besar bagaikan pohon kapuk hutan. Ia bertapa dengan sikap yang sangat aneh selama dua belas tahun (Pratikto, 1962:46). Berdiri bertumpu dengan satu kaki, tangannya bercekek pinggang, matanya melotot memandang ke depan, biji matanya tingggal terlihat putihnya saja bagaikan mata mayat yang mati gantung diri. Badannya telah berubah tidak lagi seperti badan orang yang hidup melainkan telah kering seperti mumi. Cendawan dan lumut yang melekat di sekujur tubuhnya menambah keangkerannya. Uap hitam keluar dari ubun-ubunnya meliuk-liuk bagaikan selendang, memanasi alam lingkungan sekitarnya dan tercium sampai ke kahyangan Dewa Jagatkarana.

Dewa Siwa yang bersemayam di khayangan menjadi terusik. Beliau diiringkan oleh patih khayangan Rsi Narada berkenan untuk turun ke Gunung Gokarna. Dijumpailah raksasa yang perkasa itu kemudian dengan suara nyaring ditegurnya ”Hai raksasa yang sedang bertapa. Bangunlah, tunggu kapan lagi kalau tidak sekarang”. Uap hitan yang keluar dari ubun-ubun raksasa yang besar itu yang telah membuat alam menjadi gerah kelihatan bergoyang-goyang. Perlahan-lahan kemudian mengecil akhirnya musnah masuk kembali ke dalam tubuhnya. Kemudian tampaklah roman muka raksasa itu, matanya bergerak-gerak sinarnya memancar tajam dan mengerikan. Lembu Nandini tunggangan Dewa sampai mundur beberapa depa dan kakinya bergerak-gerak mengisyaratkan rasa takut.

Untuk mengusir hawa siluman dari sekitar tempat itu, Rsi Narada tertawa terbahak-bahak sampai busananya melorot. Kumandangnya membentur memantul ke segala arah sehingga hawa dan suasana di tempat itu menjadi bersih kembali. Dengan anggota badan yang kaku karena bertahun-tahun tidak digerakkan, raksasa itu menyembah hormat. Kemudian tertawa dengan suara bagaikan kuda meringkik sambil berseru ”Dewa sudah datang, janjinya akan terpenuhi, akan kesampaianlah maksud dan tujuanku”. Setelah berkata demikian kemudian tertawa pula sampai pohon-pohon disekitarnya bergoyang-goyang.

”Hai raksasa, siapakah yang berdiri di hadapanmu?” tanya

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 71

Rsi Narada. Dia dengan cepat menjawab ”Bhatara Siwa, jika ada dewa bermata tiga dan bertangan empat siapa lagi kalau bukan Siwa si pelebur jagat raya”. Bhatara Guru kemudian bersabda ”Hai raksasa kau bertapa dengan cara yang hebat dan aneh, hingga menyebabkan uap hitam yang memanaskan lingkungan sampai ke sorga, apakah tujuanmu?”. ”Oh Bhatara Siwa yang maha sakti, saya ingin berkuasa di jagat ini, saya hendak berbuat apa yang saya mau supaya tidak ada yang bisa merintangi, saya ingin menjadi yang paling sakti di dalam segala jaman”. ”Raksasa permintaanmu tidak pantas, maka tidak bisa diluluskan” jawab Bhatara Siwa. ”Kalau Bhatara Guru tidak bisa menganugerahan permohonan saya, lebih baik turun saja dari tahta kedudukan. Apa gunanya saya bertapa, jikalau akhirnya Dewa mengurungkan pemberiannya”. Bhatara Guru diam sejurus kemudian menjawab ”Baiklah segala permintaanmu akan dikabulkan”. Sang raksasa tertawa kegirangan kemudian berkata lagi ”masih ada permintaan lain, saya minta supaya usia saya dapat panjang, sepanjang tujuh kali umur pohon siwalan, tujuh kali umur burung perkutut, tujuh kali umur burung gagak, sepanjang umur jagat raya”.

”Kalau begitu kau ingin tidak bisa mati, permintaan itu sudah keterlaluan loba, tentu tidak bisa diluluskan semuanya. Sudah menjadi rta atau hukum alam bahwa segala yang ada di dunia ini semua bisa rusak dan musnah yang namanya dari ada, berada dan tiada, yang berupa ’Tri Samaya’. Engkau ada dari lahir dengan jasmani manusia raksasa tentunya terikat dengan hukum alam. Sedangkan yang dapat hidup terus hanyalah Dewa Dewi saja, engkau bukanlah Dewa. Oleh karena itu kamu harus mewaspadai kekuatan Wisnu sperti nasib saudara-saudara kakekmu dahulu”.

Raksasa itu tertawa lagi seraya berkata kembali ”Bhatara Siwa tidak boleh menjilat ludah yang sudah dibuang tadi. Pukulun sudah menjanjikan saya kesaktian yang tidak bisa dikalahkan oleh dewa, maka saya adalah di atasnya dewa, di atas Bhatara Guru sendiri, kalau Dewa boleh hidup selamanya kenapa saya tidak?”. Bhatara Jagat Natha tidak bisa menjawab, maka dengan menghela nafas terpaksa mengangguk seraya bersabda ”Baiklah permintaanmu

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201772

itu dikabulkan”. Berbareng dengan itu terdengar suara gemuruh di empat penjuru, bahwa alam telah menyaksikan anugerah Bhatara Siwa.

”Pukulun Bhatara mohon juga saya diberitahu siapa saya” kata raksasa itu. ”Baiklah kau adalah cucu Raja Sumali dari Alengkapura. Kau anak pertama (sumber ada juga menyebutkan anak yang nomor dua (Dirjosisworo, 1977: 19) Bhagawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi yang terbunuh di hutan ini. Kau terbentuk dari ceceran darah ibumu yang menggenang di rimba raya bercampur dengan para buta atau gergasi yang berkeliaran (asliweran tibaning andharu) Dalam teks Uttara Kanda, 2007: 14. Oleh karena itu kau diberi nama ’Rahwana’. Sepuluh sukma penasaran para iblis, setan dan demit yang penuh kejahatan ikut mencampurinya. Itulah yang mempengaruhi jikalau engkau sedang marah dan kalap kepalamu akan menjadi sepuluh dan tanganmu menjadi dua puluh, maka namamu juga Dasa Muka. Di dalam Kanda Raksasa Parwah, Sargah VIII Uttara Kanda disebut dengan Dasa Sirsa atau Dasa Griwa (2007:14), yang berarti berkepala sepuluh atau berleher sepuluh (Mardiwarsito, 1978: 56-57). Raksasa itu sangat senang setelah mendapat nama Rahwana atau Dasa Muka dan sambil berjingkrak-jingkrak turun mencari saudara-saudaranya. Dewa Jagatkarana dan Rsi Narada segera berubah menjadi sinar gemilang dan menghilang dari pandangan.

Raksasa yang lahir kedua yang merupakan penjelmaan dari ari-ari raksasa pertama memilih tempat bertapa di lereng sebelah barat gunung Gokarna. Di sana ada sebuah tebing dan terdapat gua yang besar. Raksasa yang sebesar bukit itu terlentang rebah dengan kaki dan tangannya terpentang seenaknya. Mata tertutup dan mulut terbuka sehingga nampak giginya berderet bagaikan gergaji diapit taring tajam yang runcing. Napasnya mendengkur teratur keluar masuk dengan sesekali diselingi deheman menimbulkan angin kencang yang membuat segala tetumbuhan di sekitar bergoyang-goyang dan daun-daun di sekeliling tersapu bersih.

Sungguh luar biasa wujud raksasa itu, sehingga binatang

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 73

buas besar maupun kecil tidak berani mendekat ke tempat itu. Setan, gergasi dan sejenisnya semua mengungsi menjauhinya. Namun demikian dalam jangkauan pandang dari gua tempat raksasa itu terjadi suatu keanehan. Berhektar-hektar tanah menjadi merasa tentram, kabut yang berhembus berwarna putih jernih menebarkan udara segar. Bunga-bunga hutan mekar dengan indah dan kupu-kupu beterbangan silih berganti mencicipi tepung sari dan madu.

Dewa Pitāmaha bersama Dewi Saraswati yang sejak tadi memandangi raksasa besar itu terheran-heran. Sang raksasa tidak terjaga dari tidurnya sekalipun telah berulang dipanggil dengan suara lembut maupun suara lantang. Namun tetap mendengkur tidur pulas. Dewi Saraswati bersabda ”Kakanda walaupun dihantam geledek raksasa ini tidak akan bangun, maka cobalah cabut bulu jempol kakinya yang namanya bulu cumbu mungkin dia bangun dari mimpinya”. Betul saja ketika bulu cumbu itu dicabut, sang raksasa menjadi kaget loncat sambil mengerang suaranya bagaikan bukit roboh. Saking kagetnya Dewa yang berkenan mendatangi sampai mundur beberapa langkah. Namun begitu melihat Dewa Catur Muka, raksasa itu segera menghampiri dan menghaturkan sembah berulang-ulang, dan dari mulutnya mengucapkan ”Jaya, Jaya, Jaya” seperti para pendeta mengucapkan puji-pujian.

Terlihatlah kemudian dengan jelas roman muka raksasa itu yang cukup cakap walaupun bertaring. Maklum raksasa itu putra Dewi Sokesi yang cantik. Wajahnya tampak dihiasi daun telinga yang sangat lebar. Dengan gaya seperti seekor gajah yang sedang merayap ia menghaturkan sembahnya kepada Dewa Dewi yang sedang berada di hadapannya. ”Hai raksasa tampan, siapakah sekarang yang berada di hadapanmu?”. jawab raksasa itu ”Pukulun Dewa, yang saya hadapi bercahaya cemerlang maka tiada lain adalah Dewa Brahma sebagai pencipta segalanya dan Dewi Saraswati beliau sebagai Dewi Tutur Kata dan segala ilmu pengetahuan”.

Dewa Brahma kemudian melanjutkan pertanyaannya ” Raksasa kenapa engkau tidur pulas samapi tidak hirau dengan keadaan di sekitarmu?”. ”Paduka Dewa, hamba sesungguhnya melakukan

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201774

tapa, hanya saja dengan berlaku tidur”. Dewa Brahma melanjutkan ”Apa untungnya orang tidur?”. Raksasa besar itu dengan cerdas menjawab ”Orang tidur itu tidak menguntungkan dunia, tetapi juga tidak merugikan siapa pun. Tidur membebaskan orang dari berbuat jahat, sombong, dan perbuatan-perbuatan lain yang cemar dan cela, ataupun hal-hal yang menyeret ke jurusan yang salah”.

”Engkau raksasa yang baik, tidak seperti raksasa-raksasa kebanyakan. Pikiran yang baik itu akan menjadi pelindung sepanjang hidupmu. Kini aku akan menyabdakan juga engkau kuberi nama Kumba Karna. Daun telingamu lebar bagaikan kumba ’tempayan’ yang juga menandakan hidupmu banyak rejeki. Engkau adalah putra Bhagawan Wisrawa yang nomor dua dari empat bersaudara. Kakekmu bernama Raja Sumali dari negeri Alengkapura”. Kumbakarna pun berseru dengan suara bergetar bergemuruh bagaikan runtuhnya tebing hutan Nandhāna ”Pukulun jagat Dewa Bhatara terimalah sembah sujud Kumba Karna, yang selamanya akan mengabdi kepada Dewa yang bersifat murah hati dan adil”.

Dewa Brahma melanjutkan sabdanya ”Hai Kumbakarna engkau telah melakukan tapa yang khusuk supaya sama dengan saudaramu anugerah apa yang kau kehedaki?”. ”Hamba tidak banyak meminta dan nampaknya dalam tapa tidak boleh memohon yang banyak. Hamba hanya memohon agar segala yang hamba kehendaki dapat tercapai dan selalu senang (sukasadā)”. Nampaknya permohonan yang sederhana tapi sangat luas sejauh jalannya pikiran yang tidak terbatas menembus ruang dan waktu. Oleh karena itu Bhatara Brahma menguji kembali permohonan Kumba Karna ”kenapa kau tidak memohon kesaktian yang tiada tandingan?”. ”Paduka Bhatara saya tidak ingin menjadi sakti karena saya tidak punya musuh”. ”Apakah kau meminta kekayaan yang berlimpah tiada yang menyamai?”. ”Hamba tidak ingin kaya raya karena hamba tidak memiliki kesombongan”. ”Kalau begitu apakah kau meminta kekuasaan yang besar tanpa batas?”. ”Saya tidak ingin kekuasaan karena saya tidak pernah rendah”. Sementara itu Bhatara menjadi gundah gulana atas permohonan Kumba Karna yang keinginannya

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 75

supaya semua tujuannya tercapai, maka Dewi Saraswati segera diberi isyarat untuk bercokol di mulut Kumbhakarna. Dengan demikian ucapan permohonannya akan menjadi terpeleset. Segera Dewi Saraswati menghilang dari pandangan, dan Dewa Brahma mengulangi pertanyaannya kepada Kumba Karna. Maka dengan demikian permintaannya tidak lagi Sukasadā ’selalu senang’ melainkan Suptasadā ’selalu tidur’. Berikut yang mencerminkan anugerah Bhatara Prājapati (pencipta alam) kepada Kumbhakarna terlihat dalam kutipan berikut Suksma ta Bhatari Saraswati ri wuwus nira nujaran, ri saksana, mojar ta Bhatara Pitāmahā rikang Kumbhakarna, ling nira: ”Puyutku Kumbhakarna, paminta nugraha kita laki. Ucapaken sakahyun ta, mora pwan padha kita mwang wwang sanak ta. Mangkana wuwus Bhatara Prājapati. Amoga tikang Kumbhakarna malaku sira kāla supta, aturwa sewu tahun lawasnia penglilir (Tim Penyusun, 2007: 17).

Dengan demikian, ”Hai Kumbhakarna kau tidak ada keinginan permintaan lagi maka kau sudah akan mendapatkan anugerah dalam kehidupan, kau akan menjadi kekasih Dewa. Jikalau kau nanti mati akan mendapat sorga. Sekarang aku sabdakan juga, di kemudian hari kau akan menjadi lambang keadilan yang mewakili Bhatara Darma di dunia. Segala permintaanmu oleh Bhatara Langit dan Ibu Pertiwi akan dikabulkan saat itu juga. Nah anakku tinggallah dalam bahagia”.

Bhatara Brahma dan Dewi Saraswati berkelebat, sedangkan Kumbhakarna menunggu hingga kedua Dewa Dewi itu tidak nampak lagi dalam pandangan. Lalu ia meloso lagi ke dalam gua menikmati anugerah Dewata.

Anak Bhagawan Wisrawa yang nomor tiga, lahir dari air yang berlumuran di tubuh bayi pertama. Air itu turun mengental menjadilah seorag raksasi. Raksasi ini memilih tempat bertapa di lamping sebelah selatan gunung Gokarna. Terlihat raksasa wanita itu berdiri tegak bagaikan pohon randu yang tinggal separo. Matanya terbuka lebar namun kaku bagaikan orang yang sudah mati, mulutnya terkatup namun tidak bisa rapat diganjal sepasang taring

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201776

kecil di kiri kanan mulutnya. Rambutnya terurai serabutan melewati pundaknya dan ujungnya menutupi payudaranya yang besar montok mencerminkan kegadisannya.

Dari kejauhan cahaya Bhatara Guru telah menembus kalbunya sehingga raksasi itu tersadar. Segera dia jongkok menghaturkan sembah khidmat seperti layaknya gadis yang tahu malu dan mengenal sopan santun. Melihat sifatnya demikian Bhatara Guru dan Rsi Narada menjadi merasa senang. Rsi Narada segera berseru ”Raksasi yang cantik dan molek, lihatlah siapa yang berada di hadapanmu sekarang”. Segera raksasi itu mencakupkan tangannya dan berkata”Pukulun Bhatara di hadapan saya yang berkenan mendatangi hamba adalah Bhatara Siwa, Bhatara yang kuasa melebur jagat raya. Beliau disertai patih tertinggi di Swargaloka yaitu Rsi Narada. Beliau Bhatara Siwa juga sebagai pusat tirta amerta ’air suci kehidupan abadi’ yang berasal dari racun yang terminum namun setelah dikerongkongan beliau racun itu berubah menjadi air suci kehidupan. Leher beliau menjadi terbakar sehingga berwarna biru kehitam hitaman. Dengan demikian beliau juga bergelar Sanghyang Nilakanta’.

Bhatara Jagatkarana kemudian tersenyum dan bersabda ”Hai raksasi, engkau adalah putri ketiga (dalam buku Drama di Lokapala disebutkan raksasi itu anak keempat Bhagawan Wisrawa, Dirjosisworo, 1977: 11) dari Dewi Sukesi dan Bhagawan Wisrawa yang sakti mandraguna. Anugerah sebagai pahala dari tapa ayahmu juga diwariskan, demikian pula dari kematangan tapamu sendiri akan menjadi bagian hidupmu. Nah sekarang apa yang kau minta?”. raksasi itu menghaturkan sembah seraya memohon supaya kedua tangannya sanggup menggenggam bumi dan lautan beserta isinya. Termasuk juga gunung-gunung, hutan-hutan, desa-desa, dan rakyatnya. Rsi Narada dan Bhatara Siwa tertawa sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri kemudian bersabda ”Permintaanmu tidak berdasarkan tujuan yang baik, tetapi karena engkau sudah meminta dan menjalaninya dengan melakukan tapa yang khusuk Dewa tidak menolaknya”.

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 77

”Mulai saat ini sepasang tanganmu akan mampu menggenggam dunia beserta segala isinya. Pusat kekuatan dan kehebatan terletak di kelima jari-jarimu. Di kala jari jarimu masih berkuku bernama ’Pancakanaka’, kau akan sanggup melakuka segala niatmu. Tetapi hai nini ingatlah, jikalau kekuatan itu digunakan untuk hal-hal yang tidak benar, oleh suatu kekuatan lain jari-jari itu akan terputus-putus dan engkau binasa. Sekarang jari-jarimu telah mengandung bisa, maka siapapun terkena guratan maka ia akan mati saat itu juga. Karena itu kuberi nama untukmu Sarpanaka yang berarti kukumu ular beracun atau kuku yang mengandung bisa ular’.

Setelah sabda itu raksasi Sarpanaka segera mengangguk-angguk sebagai syarat menerima anugerah Bhatara. Sejurus kemudian Dewa Siwa dan Rsi Narada hilang dari pandangan.

Putra Bhagawan Wisrawa yang paling muda yang terlahir dari benda bulat yang keluar dari rongga perut Dewi Sukesi memilih tempat bertapa di lamping sebelah timur Gunung Gokarna. Bhatara yang diiringkan oleh Rsi Narada juga berkenan mendatangi. Maka tampaklah oleh beliau seorang anak muda yang berparas manusia, cakap tampan, berkulit kuning langsat. Rambutnya ikal terurai ke belakang menutupi lehernya sampai sebatas pundak sehingga menambah kekekarannya. Manusia itu sedang duduk bersila, kedua telapak kakinya menengadah ke atas. Sepasang tangannya dicakupkan membentuk posisi menyembah dengan jarinya berada di bawah dagu. Matanya merunduk sedikit terpejam dengan pandangan tertuju ke ujung hidung.

Walaupun dalam keadaan pikiran terkonsentrasi sehingga tidak akan sadar walaupun geledek meledak di atas kepalanya, namun perasaannya tersentuh oleh getaran suci kedatangan Dewa penghuni kahyangan itu. Ia tersadar lalu bersimpuh di tanah sambil sebentar-sebentar menyembabah menyambut kedatangan Hyang Agung. Sikapnya sopan menarik hati membangkitkan rasa kasih dan cinta yang bersambut. ”Pukulun Bhatara terimalah sembah hamba, seorang yang pasrah jiwa raga mengaharap datangnya belas kasihan dari Dewa junjungan”. Bhatara Guru tersenyum senang mendengar

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201778

ucapan yang halus dan manis itu, lalu beliau bersabda ”Apa yang kau harapkan dariku sehingga kau bertapa?”. orang muda itu menyembah seraya menjawabnya ”Hamba melakukan tapa memohon supaya dunia ini tentram, gunung, hutan selalu hijau tidak menjadi gundul, sumber air senantiasa mengalir dengan jernih, sawah ladang tetap subur dan manusia tidak kurang makan dan pakaian, jauh dari segala bahaya dan penyakit”. ”Oh Jaya, Jaya, Jaya” demikian seru Dewa Siwa ”dan akan terkabul apa yang kau minta”.

”Anak muda di keningmu terlihat cahaya kemilau, kau lahir dari lelatu api suci yang dikumpulkan ayahmu Bhagawa Wisrawa selama bertapa. Maka dari itu kau menjadi seorang yang berbudi rahayu dan arif bijaksana, maka sekarang kuberi nama untukmu Gunawan Wibhisana”.

Raden Gunawan Wibhisana segera menyembah kembali sambil sungkem sehingga dahinya meyentuh tanah. Wibhisana kemudian mendapat anugerah sebuah buku yang bernama ”Ogan Gambar Lupihan” sebuah buku yang lembarannya kosong, tetapi di saat ada keperluan dan buku dibuka maka akan terdapat tulisan yang mampu menjawab persoalan rumit yang dihadapi. Tulisan yang muncul itu akan dapat pula menunjukkan jalan ke arah yang benar. ”Terimalah buku jimat wasiat ini dan kamu akan menjadi seorang yang paling pandai di jamannya”. Di suatu saat nanti engkau akan menjadi pahlawan kebajikan yang mengabdi kepada dewa Wisnu dalam menegakkan dharma dan keadilan. Engkau akan membantu pekerjaan untuk menciptakan keselamatan dan ketentraman dunia.

Dewa Siwa dan Rsi Narada segera gaib hilang dari pandangan Gunawan Wibhisana. Sementara Wibhisana terus sungkem sambil menjunjung angerah itu dan bersyukur serta mengucap terima kasih.

Keempat bersaudara anak Dewi Sukesi segera menyeruak dari sela-sela lebatnya rimba raya. Mereka loncat berguling menuruni tebing dan bersama-sama menuju Alengkapura untuk menemui kakeknya Raja Sumali.

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 2017 79

PenutupVersi-versi cerita yang berkaitan dengan cerita Ramayana

cukup banyak “tersermbunyi” dalam buku-buku yang sudah hampir lapuk. Cerita-cerita yang cukup berbobot itu dapat membentuk budi pekerti luhur sehingga perlu dibangkitkan dan ditulis kembali. Hal ini sejalan dengan usaha pembentukan karakter bangsa yang bermoral dan beretika..

Sastra Jendrāyuningrat merupakan pengetahuan fundamental tentang kodrat jenis kelamin manusia yang harus disyukuri dan diterima secara takdir karena tidak pernah dimintakan persetujuan sebelumnya. Gender dalam manusia berjalan selaras tidak dipertentangkan, dan sebagai Rwabineda yang saling melengkapi dan membutuhkan. Ini adalah sastra (pengetahuan) milik masyarakat jagat dunia (rāt). Dalam gender ini ada “tugas-tugas” yang tidak bisa diambil alih perannya sebagai kodrat alami yang melekat erat dalam kaumnya. Juga harus disyukuri karena merupakan rahmat Tuhan yang tak ternilai.

Di dalam gender ada kebutuhan biologis berupa seks. Apakah itu didasari cinta atau nafsu belaka. Jelasnya janganlah seperti Sastra Jendrāyuningrat permintaan Dewi Sokesi yang tidak bisa diganti dengan syarat swayembara yang lain seperti saran Bhagawan Wisrawa. Dewi Sokesi sebagai gadis belia yang baru menginjak remaja kokoh dengan pendiriannya. Sastra Jendrāyuningrat dengan mewejangkan belaka tidak bisa dipahami oleh Dewi Sokesi dan dia meminta supaya teka-teki itu diulangi lagi. Permintaan itu adalah permintaan dini yang belum saatnya dan di sana ada kehidupan sepasang suami istri. Kemudian seiring dengan perjalanan waktu, Dewi Sokesi melahirkan empat anak-anaknya yaitu Rahwana, Kumbhakarna, Sarpanakha, dan Gunawan Wibhisana yang masing-masing dominan dengan sifat-sifat egois yang tinggi. Berbeda dengan sifat tokoh utama satu yaitu Sri Rama yang penuh dengan sifat-sifat kebajikan. Semoga bermanfaat.

Sastra Gocara, Volume II, Nomor 1, Edisi April 201780

Daftar Pustaka

Dirjosisworo, Soejono. 1977. Drama di Lokapala. Bandung: PT Tribisana Karya.Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuna (Kawi – Indonesia). Ende – Flores: Nusa IndahPratikto, Herman. 1962. Ramayana. Jakarta: Widjaya.Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Soewadji, Sjafei. 1957. Kepustakaan Jawa. Jakarta: Jambatan.Samba, I Gede. 2015. Sastra Gendera, Mengenalkan Kodrat Gender

Kepada Remaja, Dewasa, Guru, dan Orang Tua. Bandung: yayasan dajan Rurung Indonesia.

Sukersa, I Wayan. 2016. “Cara Pembuatan Blangko Lontardan Kiat-Kiat Merawat Naskah Lontar” dalam Prabhājňana, Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Teuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Bunia Pustaka Jaya.

Tim Penyusun. 1988. Ramayana Kakawin Miwah teges Ipun. I dan II (Aksara Bali). Denpasar: Dinas Pendidikan lan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Tim Penyusun. 2007. Uttara Kanda Teks Akasara Bali, Latin, dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.