earnings management: suatu telaah pustaka

33
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: http://www.researchgate.net/publication/43330269 EARNINGS MANAGEMENT: SUATU TELAAH PUSTAKA ARTICLE · MAY 2002 Source: OAI CITATIONS 4 READS 652 1 AUTHOR: Tatang Gumanti Universitas Jember 47 PUBLICATIONS 7 CITATIONS SEE PROFILE Available from: Tatang Gumanti Retrieved on: 06 October 2015

Upload: independent

Post on 24-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:http://www.researchgate.net/publication/43330269

EARNINGSMANAGEMENT:SUATUTELAAHPUSTAKA

ARTICLE·MAY2002

Source:OAI

CITATIONS

4

READS

652

1AUTHOR:

TatangGumanti

UniversitasJember

47PUBLICATIONS7CITATIONS

SEEPROFILE

Availablefrom:TatangGumanti

Retrievedon:06October2015

EARNINGS MANAGEMENT DALAM PENAWARAN SAHAM PERDANA DI BURSA EFEK JAKARTA

RINGKASAN Penelitian ini menyelidiki apakah pemilik perusahaan yang akan go public memilih metode-metode akuntansi dengan melakukan income-increasing discretionary accruals pada periode sebelum penawaran perdana. Ada dua alasan utama mengapa issuers memiliki motivasi yang tinggi untuk menaikkan keuntungan yang dilaporkan. Pertama, tidak adanya informasi harga sebelum penawaran telah membuat sulit pihak-pihak yang terlibat dalam proses IPO untuk menetapkan harga secara rasional. Kedua, ketiadaan informasi harga pasar ditambah dengan kenyataan bahwa earnings merupakan salah satu target utama dalam valuasi harga saham di pasar modal semakin memberi peluang kepada issuers untuk mengatur tingkat keuntungan yang dilaporkan. Pengujian dilakukan terhadap 39 perusahaan yang go public tahun 1995 sampai dengan 1997 di Bursa Efek Jakarta. Model yang dikembangkan oleh Friedlan (1994) dipilih untuk keperluan pengujian. Friedlan menggunakan model total accruals sebagai proxy atas discretionary accruals karena dengan melakukan beberapa modifikasi sesuai dengan keterbatasan data dan kharakteristik IPO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa earnings management ditemukan pada periode dua tahun sebelum go public. Hipotesis bahwa nilai median discretionary accruals, perubahan total accruals, operating earnings, dan cash flow from operations lebih besar daripada nol tidak dapat ditolak. Earnings management tidak ditemukan dengan kuat (ada bukti lemah) pada periode setahun sebelum go public. Kata kunci: Earnings management, initial public offerings, accruals, discretionary accruals.

ABSTRACT This paper examines whether issuers of initial public offerings (IPO) select accounting methods by making income-increasing discretionary accruals in the periods prior to the offering. Issuers are well motivated to increase the reported earnings given two potential reasons. First, the absence of market price information prior to the offering has made it difficult for parties involved in the new issue market, i.e., underwriter, issuers, and potential investors, to price the offering rationally. Second, this condition, coupled with the widely accepted argument that earnings performance has been the target of stock valuation for most investors in the capital market, may provide opportunity and motivation for the issuers the affect the firm’s reported earnings. Tests were conducted on 39 IPO firms that went public for the periods 1995-1997 at the Jakarta Stock Exchange. The method used to examine earnings management follows the one developed by Friedlan (1994) as has been tested in the US’ IPOs. Friedlan uses total accruals as proxy for discretionary accruals and modifies the model adjusted to account for the data limitation and specific characteristics of an IPO setting. The results show that accruals management is found in the period of two years prior to the offering. The hypotheses that the median discretionary accruals and median change of total accruals, operating earnings, and cash flow from operations are greater than zero can not be rejected. Interestingly, accruals management does not really exist in the period of one year prior to the offering. In other words, there is a weak evidence for earnings management one year prior to public offer. Key words: Earnings management, initial public offerings, accruals, discretionary accruals.

1. Pendahuluan Penelitian ini menguji apakah pemilik perusahaan (issuers) yang akan go public

di pasar modal Indonesia memilih metode-metode akuntansi tertentu untuk menaikkan

pendapatan (keuntungan yang dilaporkan) pada periode sebelum go public. Dengan kata

lain, penelitian ini menguji apakah issuers memanaje laporan keuangan dengan

menaikkan tingkat pendapatan atau keuntungan yang dilaporkan dengan menerapkan

income-increasing discretionary accruals. Lebih tegasnya, apakah manajemen

keuntungan (earnings management) terjadi pada perusahaan yang untuk pertama kalinya

melakukan penawaran perdana (initial public offerings atau IPO)1 di Bursa Efek Jakarta.

Penelitian terdahulu telah melaporkan keberadaan fenomena earnings

management sebagai suatu wujud dari pencapaian keuntungan bagi perusahaan atau

manajemen di beberapa aspek ekonomi tertentu (certain economic context). Uniknya,

fenomena tersebut tidak selamanya terbukti, walaupun secara teroritis memungkinkan

atau ada peluang bagi manajemen untuk memanaje keuntungan yang dilaporkan. Bukti-

bukti empiris tentang adanya manajemen keuntungan antara lain ditunjukkan oleh Healy

(1985), Ayres (1986), McNichols dan Wilson (1988), DeAngelo (1988), Trombley

(1989), Jones (1991), Cahan (1992), Pourciau (1993), Perry dan Williams (1994),

Friedlan (1994), DeFond dan Jiambalvo (1994), Holthausen, Larcker, dan Sloan (1995),

Gaver, Gaver, dan Austin (1995), Burgstahler dan Dichev (1997), Teoh, Welch, dan

Wong (1998), dan Rangan (1998). Sementara itu, penelitian-penelitian yang tidak

menemukan adanya bukti earnings management atau terbukti tetapi lemah antara lain

1 Istilah initial public offerings dikenal juga dengan sebutan unseasoned equity offerings. Kebalikan dari unseasoned equity offerings adalah seasoned equity offerings yang merupakan peristiwa dimana perusahaan yang sudah go public melakukan penawaran ulang saham, yang juga dikenal dengan sebutan right issue.

2

adalah DeAngelo (1986), Liberty dan Zimmerman (1986), dan Aharony, Lin, dan Loeb

(1993).

Penetapan pada harga penawaran (offering price) berapa saham suatu perusahaan

yang untuk pertama kalinya menawarkan sahamnya ke publik (go public) merupakan hal

yang tidak mudah untuk dilakukan. Ketepatan harga penawaran dalam pasar perdana

akan memiliki konsekuensi langsung terhadap tingkat kesejahteraan pemilik lama

(issuers). Pihak issuers tentu mengharapkan harga jual yang tinggi, karena dengan harga

jual yang tinggi penerimaan dari hasil penawaran (proceeds) akan tinggi pula, yang

berarti tingkat kesejahteraan (wealth) mereka juga akan semakin baik. Di sisi lain, harga

yang tinggi dapat mempengaruhi respon atau minat calon investor untuk membeli atau

memesan saham yang ditawarkan. Bila harga terlalu tinggi dan minat investor rendah,

besar kemungkinan saham yang ditawarkan akan tidak begitu laku (kurang laku).

Akibatnya, penjamin emisi (underwriters) harus menanggung resiko atas saham yang

tidak terjual untuk suatu penjaminan yang full commitment. Dengan demikian jelas bahwa

penetapan harga yang layak merupakan tugas antara issuers dan penjamin emisi.

Salah satu penyebab kesulitan dalam penetapan harga jual di pasar perdana adalah

tidak adanya informasi harga yang relevan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa

sebelum pelaksanaan penawaran perdana saham perusahaan belum diperdagangkan. Baik

calon investor maupun issuers dan penjamin emisi sama-sama menghadapi kesulitan

untuk menilai dan menentukan harga wajar suatu IPO. Di samping itu, keterbatasan

informasi tentang apa dan siapa perusahaan yang akan go public tersebut membuat calon

investor harus melakukan analisis yang menyeluruh sebelum mengambil keputusan untuk

membeli (memesan) saham.

3

Salah satu sumber informasi yang relevan untuk digunakan dalam menilai

perusahaan yang akan go public adalah laporan keuangan yang terdapat di dalam

prospektus. Anggapan ini tidaklah aneh, selain karena memang sebagian besar isi

prospektus adalah laporan keuangan (financial report) juga secara teoritis informasi

keuangan memang merupakan salah satu sumber utama dalam proses penentuan harga

suatu IPO (lihat misalnya, Perez 1986; Bloch 1986; Sutton dan Benedetto 1988; Buck

1990). Bukti-bukti empiris juga mendukung anggapan bahwa informasi keuangan atau

informasi akuntansi (accounting information) digunakan sebagai salah satu sumber untuk

menilai suatu IPO (lihat misalnya, Hughes 1986; Krinsky dan Rotenberg 1989a, 1989b;

Kim, Krinsky, dan Lee 1994; 1995; Klein, 1996; Kim dan Ritter 1999). Kenyataan atas

adanya hubungan antara informasi akuntansi dan harga penawaran suatu IPO

mengarahkan pada suatu anggapan bahwa issuers memiliki insentif atau dorongan untuk

memilih metode-metode akuntansi tertentu yang dapat meningkatkan penerimaan

(proceeds) dari suatu IPO melalui pengaturan tingkat keuntungan yang dilaporkan.

Penelitian manajemen keuntungan sejalan dengan konsep teori akuntansi positif

(positive accounting theory) yang beranggapan bahwa perilaku manajer atau pembuat

laporan kuangan dalam proses pembuatan laporan keuangan dipengaruhi oleh banyak

faktor (Watts dan Zimmerman 1986; 1990). Dengan kata lain, faktor-faktor atau variabel-

variabel ekonomi tertentu dapat menentukan kualitas laporan keuangan suatu perusahaan.

Watts dan Zimmerman (1990) menyimpulkan bahwa tiga faktor yang bisa dikaitkan

dengan perilaku manajer dalam pengaturan tingkat keuntungan, yang dikenal dengan tiga

hipotesa: hipotesa model bonus (bonus scheme hypothesis), hipotesa biaya politis

(political cost hypothesis), dan hipotesa rasio hutang terhadap aktiva (debt to equity

hypothesis atau leverage hypothesis).

4

Penelitian yang sekarang menguji fenomena manajemen keuntungan di Bursa

Efek Jakarta dengan sampel sebanyak 39 IPO yang go public antara tahun 1995 dan 1997.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bukti adanya upaya pemilik perusahaan untuk

menaikkan tingkat keuntungan ditemukan pada periode dua tahun sebelum go public

(antara periode T-1 dan T-2). Pada periode ini perubahan total accruals secara statistik

adalah signifikan dan prosentase perilaku discretionary accruals juga menunjukkan lebih

banyak yang positif. Untuk periode setahun sebelum go public (antara periode T dan T-1)

tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa issuers telah menerapkan income-increasing

discretionary accruals yang diindikasikan oleh lebih banyaknya perusahaan yang

memiliki nilai discretionary accruals negatif (20 berbanding 19). Walaupun demikian,

perubahan total accruals adalah positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa

accruals management tetap ada, hanya tidak seagresif periode sebelumnya.

Tulisan ini diatur sebagai berikut. Bagian kedua berisi literature review dan

pengembangan hippotesis. Bagian ini diikuti oleh penjelasan tentang metode penelitian

yang digunakan. Bagian ke-empat berisi hasil dan pembahasan. Simpulan, keterbatasan,

dan implikasi penelitian mendatang mengakhiri tulisan ini.

2. Literature Riview dan Pengembangan Hipotesis

2.1 Sistem Akuntansi dan Pasar Modal di Indonesia

Perkembangan pasar modal Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti

setelah pemerintah mengeluarkan beberapa deregulasi pasar modal dan perbankan di

tahun 1987 dan 1988. Deregulasi dimaksud berdampak positif terhadap pekembangan

pasar modal. Hanya disayangkan bahwa perkembangan di pasar modal tidak diiringi

dengan perkembangan yang memadai dalam peraturan akuntansi (standar akuntansi). Hal

5

ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa baru pada periode akhir 1994 Ikatan Akuntansi

Indonesia (IAI) mengeluarkan standar akuntansi keuangan (SAK) sebagai pengganti

Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) 1984. Walapun Bapepam, sebagai otoritas pasar

modal, telah menerapkan syarat-syarat yang ketat bagi prusahaan yang akan go public

termasuk juga standar akuntansi, tidak adanya sistem akuntansi yang komprehensif,

paling tidak, akan memberikan banyak peluang bagi perusahaan untuk memilih metode

akuntansi yang menguntungkan. PAI 1984 sendiri memberikan keleluasaan kepada

perusahaan yang wajib membuat laporan keuangan, yaitu bilamana ada permasalahan

akuntansi yang tidak tercantum dalam PAI, untuk menerapkan prinsip akuntansi selama

tidak bertentangan dengan praktek akuntansi yang lazim (Generally Accepted Accounting

Principles) dan selama didasarkan pada pertimbangan yang sehat.

Kelangkaan peraturan akuntansi yang baik sebelum tahun 1995 tentu saja dalam

banyak hal bisa menaikkan atau meningkatkan motivasi dan insentif serta kesempatan

kepada para pembuat laporan keuangan untuk memilih metode akuntansi yang bisa

“mempercantik” laporan keuangan yang ada (fashioning accounting reports). Hal lain

yang bisa mendorong para pembuat laporan keuangan untuk memilih metode akuntansi

yang menguntungkan adalah bahwa audit atau pemeriksaan akuntansi kurang begitu

lazim bagi kebanyakan perusahaan di Indonesia, kecuali bagi perusahaan yang tercatat di

bursa saham atau perusahaan multi-nasional atau perusahaan penjamin emisi dan

perusahaan leasing (Briston 1990).

Sementara itu, di pasar modal ada banyak permintaan dari para investor untuk

adanya peningkatan prosedur dalam penawaran, peraturan atau undang-undang sekuritas,

dan kualitas dari informasi yang tersaji dalam prospektus termasuk di dalamnya tuntutan

peningkatan atas standar akuntansi, penjelasan-penjelasan keuangan (financial

6

disclosures), dan praktek-praktek akuntansi (Sender 1990; Shale 1992). Bahkan salah

seorang pemain bursa dari Hong Kong menyatakan bahwa kualitas sajian informasi

perusahaan yang tercatat di bursa masih kurang memadai (Anonim 1995).

Dari beberapa kondisi di atas, ada satu alasan mendasar yang membuat penulis

tertarik untuk melakukan penelitian tentang kemungkinan adanya manajemen keuntungan

pada perusahaan yang akan go public di bursa saham Indonesia. Alasan tersebut adalah

bahwa keadaaan pasar modal yang sedang berkembang (emerging market) dengan segala

kekurang-siapan peraturan pendukungnya serta sistem akuntansi yang belum

berkembang, sepertinya membuka peluang bagi pembuat laporan keuangan (pemilik

perusahaan) untuk menggunakan tehnik-tehnik akuntansi tertentu untuk menaikkan

tingkat keuntungan perusahaannya.

2.2 Peranan Informasi Akuntansi Dalam Penentuan Harga Saham Perdana

Go public adalah salah satu cara bagi perusahaan yang sedang berkembang untuk

mendapatkan tambahan dana dalam rangka pembiayaan atau pengembangan usaha

perusahaan. Dana yang diperoleh dari go public biasanya selain digunakan untuk

keperluan ekspansi juga untuk pelunasan hutang yang pada gilirannya diharapkan akan

semakin meningkatkan posisi keuangan perusahaan di samping untuk memperkuat

struktur permodalan. Go public juga dimaksudkan untuk memperkuat modal kerja

perusahaan. Agar saham yang ditawarkan dapat diserap pasar (investor), tentunya,

pemilik perusahaan dituntut untuk bisa menunjukkan bahwa perusahaannya merupakan

perusahaan yang prospektif. Prospek tersebut selain ditandai oleh “baiknya” aliran kas

perusahaan juga oleh tingkat pertumbuhan yang dialami. Selain itu, tingkat keuntungan

7

yang diperoleh juga memegang peranan penting dalam keberhasilan penawaran perdana

suatu perusahaan.

Bukti-bukti empiris mendukung anggapan bahwa prestasi keuangan, khususnya

tingkat keuntungan, memegang peranan yang cukup penting dalam penilain prestasi

usaha perusahaan serta sering digunakan sebagai dasar dalam keputusan investasi lebih-

lebih dalam pembelian saham (Watts dan Zimmerman 1990; DeAngelo 1990). Tingkat

keuntungan juga memegang peranan penting dalam banyak hal, misalnya dalam

pemberian bonus (bonus contracts) atau dalam pengajuan pinjaman (lending appraisal).

Schipper (1989) menyatakan bahwa, ditinjau dari perspektif informasi (information

perspective), earnings merupakan salah satu dari banyak sinyal yang mungkin digunakan

sebagai acuan untuk membuat keputusan-keputusan penting, misalnya, dalam rangka

investasi di pasar modal dan pengambil alihan (akuisisi) atau penggabungan usaha

(merger). (Lihat juga DeAngelo 1990). Penggunaan informasi keuangan juga merupakan

standard dalam penilaian IPO di sekolah-sekolah bisnis terkemuka di negara-negara maju.

(Lihat Studi Kasus dalam Varaiya, Bergmark, dan Taylor 1997).

Mengingat arti pentingnya tingkat keuntungan, pemilik perusahaan yang akan go

public pasti mengharapkan agar saham yang ditawarkan dapat diserap oleh pasar, sebab

semakin tinggi harga yang ditawarkan dan mampu diserap oleh pasar semakin tinggi pula

penerimaan (proceeds) mereka. Dengan kata lain, tingginya tingkat keuntungan yang

dicapai merupakan indikasi keberhasilan usaha suatu perusahaan. Jadi, tingkat

keuntungan merupakan salah satu faktor penting bagi calon investor yang

dipertimbangkan untuk memutuskan memesan atau tidak suatu IPO.

8

2.3 Penelitian Terdahulu

Untuk keperluan penelitian ini manajemen keuntungan diartikan sebagai

“disclosure management in the sense of purposeful intervention in the external reporting

process, with intent of obtaining some private gain” (Schipper 1989:92)2. Dari definisi

tersebut jelas bahwa manajemen keuntungan merupakan intervensi langsung manajemen

dalam proses pelaporan keuangan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan atau

manfaat tertentu, baik bagi manajer maupun perusahaan. Beberapa definisi lain tentang

manajemen keuntungan dapat dijumpai, tetapi definisi-definisi tersebut kurang lengkap

atau terlalu luas sebagaimana yang didefinisikan oleh Schipper (1989). (Lihat misalnya,

Merchant dan Rockness 1994; Ayres 1994; Rosenzweig dan Fischer 1994).

Dalam perkembangannya, penelitian tentang manajemen keuntungan telah

mencakup berbagai sektor (lihat ulasan di Schipper 1989; Dechow, Sloan, dan Sweeny

1995, misalnya). Salah satunya adalah kemungkinan munculnya manajemen keuntungan

dalam pasar perdana (initial public offerings atau IPO). Penelitian manajemen

keuntungan di pasar perdana antara lain dilakukan oleh Aharony, Lin, dan Loeb (1993),

Friedlan (1994), Magnan dan Courmier (1997), dan Theo, Welch, dan Wong (1999)

untuk IPO di pasar modal di Amerika Serikat dan Gumanti (1996) untuk IPO di pasar

modal di Indonesia.

Seperti diungkapkan di muka, bukti empiris tentang pengujian manajemen

keuntungan telah banyak diungkapkan. Walaupun demikian, beberapa penelitian tidak

menemukan bukti adanya manajemen keuntungan. Uniknya, beberapa penelitian dengan

topik yang sama justru menemukan hasil yang tidak sama. Dengan kata lain, konflik

2 Istilah lain yang mungkin kita temui dalam mengartikan earnings management adalah pengelolaan laba atau pengelolaan keuntungan atau manajemen keuntungan. Peng-Indonesiaan istilah tersebut mengikuti Salno dan Baridwan (2000:18-19). Untuk keperluan pembahasan dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah manajemen keuntungan.

9

temuan antar penelitian dengan obyek yang sama masih ditemukan. Hal ini menunjukkan

bahwa penelitian lanjutan perlu dilakukan sebagai upaya untuk menguji validitas

eksternal penelitian terdahulu.

Penelitian-penelitian tentang manajemen keuntungan hampir seluruhnya

menggunakan pendekatan accruals, sehingga tidak heran ada sebagian penulis yang

menyebut earnings management dengan mengistilahkannya sebagai accruals

management. Pendekatan yang paling banyak digunakan dalam pengujian manajemen

keuntungan adalah model yang dikembangkan oleh Jones (1991) dan modifikasi model

Jones. Pada prinsipnya pendekatan yang digunakan tidak jauh berbeda. Perbedaan

penggunaannya biasanya tergantung pada konteks dimana penelitian tersebut dilakukan.

Tetapi, secara umum penelitian tentang manajemen keuntungan menggunakan

pengukuran berbasis accruals (accruals-based measures) dalam mendeteksi ada tidaknya

manipulasi.

Salah satu kelebihan dari pendekatan total accruals adalah pendekatan tersebut

berpotensi untuk dapat mengungkap cara-cara untuk menurunkan atau menaikkan

keuntungan, karena cara-cara tersebut kurang mendapat perhatian untuk diketahui oleh

pihak luar (outsiders). DeAngelo (1986:408) menjelaskan bahwa accounting accruals

mencerminkan keputusan manajemen, antara lain, untuk menghapuskan assets (write

down assets), pengakuan atau penundaan pendapatan (recognition or defferal of

revenues), atau menganggap biaya atau modal suatu pengeluaran (capitalize or expense

certain costs). Ayres (1994) menambahkan cara-cara lain untuk mempengaruhi tingkat

keuntungan, yaitu dengan penerapan suatu kebijaksanaan akuntansi yang wajib (adoption

of mandatory accounting changes) baik lebih awal dari tanggal berlakunya atau tepat

10

waktu dan perubahan-perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting

changes).

Penelitian-penelitian yang menemukan bukti adanya manajemen keuntungan

cukup banyak jumlahnya. Manajemen keuntungan ditemukan untuk menghadapi

investigasi pengecualian import (Jones 1991), pada saat proses penggantian pimpinan

(proxy contests) (DeAngelo 1988), untuk mengurangi sangsi kecukupan hutang di

perbankan (Moyer 1990), untuk mengurangi batasan-batasan hutang (Devond dan

Jiambalvo 1994), atau dalam proses penggantian pimpinan puncak (Pourciau 1993).

McNichols dan Wilson (1988) menemukan bukti adanya manajemen keuntungan dalam

perlakuan atas pengakuan piutang ragu-ragu. Di sisi lain, Liberty dan Zimmerman (1986)

tidak menemukan manajemen keuntungan pada saat perusahaan menghadapi konflik dan

bernegosiasi dengan serikat buruh atau pada saat manajemen menghadapi management

buy-out (DeAngelo 1986). Temuan Perry dan William (1995) bertentangan dengan

DeAngelo (1986) dimana mereka menemukan bukti manajemen keuntungan pada

peristiwa management buy-out. Temuan yang dilaporkan Healy (1985), Gaver et al.

(1995), dan Holthausen et al. (1995) untuk pengujian manajemen keuntungan di seputar

pemberian bonus pimpinan puncak (Chief Executive Officers atau CEO) menunjukkan

bukti yang tidak konsisten walaupun secara keseluruhan menemukan adanya bukti

earnings management.

Dalam konteks penawaran perdana, beberapa penelitian telah dilakukan untuk

menguji apakah issuers melakukan manajemen keuntungan pada periode-periode sebelum

go public (Aharony et al. 1993; Friedlan 1994; Magnan dan Courmier 1997; Teoh et al.

1998). Neill, Pourciau, dan Schaever (1995) menemukan bukti yang kuat atas adanya

hubungan antara pemilihan metode akuntansi dan earnings management di IPO. Bila

11

Aharony et al tidak menemukan bukti yang kuat adanya manajemen keuntungan,

Friedlan, Magnan dan Cormier, dan Theo et al. justru menemukan bukti kuat bahwa pada

periode sebelum go public pemilik perusahaan melakukan manajemen keuntungan

dengan meningkatkan tingkat keuntungan yang ada. Ketiga penelitian ini menggunakan

pasar modal Amerika serikat sebagai obyek penelitiannya. Dari keempat penelitian

manajemen keuntungan di pasar perdana yang ada, terdapat perbedaan dalam pengujian

yang digunakan. Friedlan dan Aharony et al menggunakan pendekatan accruals dengan

uji nonparametrik, sementara Magnan dan Cormier dan Theo et al menggunakan uji

regresi berganda sebagaimana dikembangkan oleh Jones (1991).

Gumanti (1996) menguji kemungkinan adanya earnings management pada

perusahan yang baru go public di Bursa Efek Jakarta. Penelitian dilakukan pada 62

perusahaan yang go public antara periode Juli 1991 dan Desember 1994. Gumanti tidak

menemukan bukti yang kuat atas adanya ernings management pada periode sebelum go

public. Bukti adanya earnings management justru ditemukan setahun setelah go public.

Temuan tersebut cukup menarik untuk dicermati. Salah satu kemungkinan penafsiran dari

ditemukannya earnings management pada periode setahun setelah go public adalah

adanya upaya pihak manajemen perusahaan untuk menjaga tingkat pertumbuhan atau

kenaikan keuntungannya selama periode sebelum go pbulic.

Sisi menarik dari beberapa penelitian tentang earnings management di atas adalah

bahwa di pasar modal yang system atau peraturan pendukungnya sangat baik (well

established) ternyata masih memungkinkan untuk terjadinya manajemen keuntungan pada

perusahaan yang akan go public. Penelitian yang sekarang dimaksudkan untuk menguji

validitas dari penelitian di atas dengan meneliti perusahaan yang baru go public di pasar

modal Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada

12

lembaga-lembaga atau pihak-pihak terkait dengan pasar modal di Indonesia juga kepada

calon investor di pasar modal dalam mencermati kualitas laporan keuangan yang

diterbitkan dalam prospektus.

2.4 Hipotesis

Dari uraian dan penjelasan di atas hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini

adalah (dinyatakan dalam bentuk alternatifnya):

Ha Pemilik perusahaan yang akan go public (issuers) memilih metode akuntansi

dengan melakukan income increasing discretionary accruals untuk menaikkan

tingkat keuntungan yang dilaporkan pada periode sebelum go public.

3. Metodologi Penelitian

3.1 Pemilihan Sampel dan Sumber Data

Penentuan smpel dalam penelitian ini didasarkan pada metode purposive

sampling, dimana sampel perusahaan yang terpilih didasarkan pada kriteria-kriteria

tertentu. Kriteria-kriteria dimaksud berturut-turut adalah rentang waktu penelitian,

kelompok industri, dan kecukupan data.

Sampel perusahaan yang diteliti adalah perusahaan yang melakukan penawaran

perdana (go public) antara tahun 1995 dan 1997. Dipilihnya rentang waktu tersebut

didasarkan pada pertimbangan bahwa berlakunya standard akuntansi keuangan (SAK)

adalah per 1 Januari 1995. Di dalam SAK tersebut terdapat pengaturan tentang kewajiban

bagi perusahaan untuk melaporkan aliran kas (cash flow), sebagaimana diatur dalam

Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) no. 2 tentang Laporan Arus Kas.

Adanya PSAK No. 2 tersebut telah menyeragamkan pelaporan aliran kas perusahaan.

Karena salah satu variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah laporan aliran kas, maka

13

adalah penting untuk mendapatkan keseragaman dalam pelaporannya. Alasan inilah yang

mendasari pembatasan rentang waktu penelitian.

Dalam penelitian ini sampel yang dipilih adalah semua perusahaan yang go public

antara tahun 1995 dan 1997. Perusahaan-perusahaan yang tergolong dalam kelompok

industri properti, real estate dan konstruksi (Code 61-69) dan keuangan (Code 81-89)

tidak dimasukkan dalam sampel. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa perusahaan-

perusahaan yang tergolong dalam industri-industri tersebut memiliki struktur keuangan

dan modal pelaporan keuangan, khususnya dalam pelaporan rugi laba dan komponen-

komponen yang dilaporkan dalam laporan aliran arus kas, yang berbeda dengan

perusahaan dalam kelompok industri yang lain. Secara terinci, proses pemilihan sampel

perusahaan yang diteliti ditunjukkan dalam Tabel 1. Daftar selengkapnya sampel

perusahaan yang diteliti ditunjukkan dalam Lampiran 1.

Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 1, dari 66 perusahaan yang go public

antara tahun 1995 dan 1997, terdapat 39 perusahaan yang memenuhi kriteria untuk diuji.

Sampel penelitian terdiri dari 14 perusahaan go public tahun 1995, 12 perusahaan go

public tahun 1996, dan sisanya, 13 perusahaan go public tahun 1997. Tabel 1 juga

menunjukkan proporsi sampel untuk masing-masinf jenis industri.

14

Tabel 1: Gambaran Sampel Penelitian dan Jenis Industri

Keterangan Jumlah Persh.

Tidak Terpiliha

% Tidak Terpilih

Terpilih % Terpilih

Panel A: Penentuan Sampel

Perusahaan go public tahun 1995 21 7 33,33 14 66,67 Perusahaan go public tahun 1996 15 3 20,00 12 80,00 Perusahaan go public tahun 1997 30 17 56,67 13 43,33

Perusahaan go public 1995-1997 66 27 40,90 39 51,10

Panel B : Jenis Industri Jumlah Persh.

% Total Sampel

Pertanian (11-19) 2 0,05 Pertambangan (21-29) 4 0,10 Kimia dan Industri Dasar (31-39) 9 0,23 Industri Lain-lain (41-49) 5 0,13 Industri Barang-barang Konsumsi (51-59) 7 0,18 Infrastruktur dan Transportasi (71-79) 4 0,10 Perdagangan dan Servis (91-99) 8 0,21 Jumlah 39 1,00

Catatan: a Perusahaan tidak terpilih adalah perusahaan yang tergolong dalam industri properti, real estate dan

konstruksi (Code 61-69) dan keuangan (Code 81-89). Pengelompokan industri didsarkan pada pengelompokan menurut JSX Fact Book.

3.2 Pengukuran Total Accruals

Sama halnya dengan Aharony et al. (1993) dan Friedlan (1994), total accruals

dihitung sebagai selisih antara laba operasi (operating income), yang dalam hal ini sama

dengan pendapatan sebelum extraordinary items, dan aliran kas dari aktivitas operasi

(cash flow from operating activities). Sebenarnya, total accruals juga dapat dihitung

dengan pendekatan lain sebagaimana dilakukan oleh Jones (1991) yang dikenal sebagai

model Jones dan modifikasi dari model Jones.

Pengukuran dengan model Jones tidak memungkinkan untuk dilakukan karena

keterbatasan data. Keterbatasan data yang dimaksud adalah laporan keuangan yang

terdapat di dalam prospektus perusahaan yang akan go public di Indonesia rata-rata terdiri

15

dari tiga tahun. Sejauh pengamatan penulis tidak ada sebuah perusahaanpun yang

menyajikan laporan keuangan untuk empat periode atau lebih laporan keuangan di dalam

prospektus IPO di Indonesia. Bahkan pada awal booming pasar modal Indonesia, yaitu

tahun 1989 sampai dengan 1991, sebagian besar perusahaan hanya menyajikan laporan

keuangan untuk dua tahun. Untuk dapat menggunakan model Jones dan juga modifikasi

model Jones diperlukan laporan keuangan yang terdiri, paling tidak, lima tahun. Dengan

alasan ini model Jones dan modifikasinya krang bisa diterapkan dalam konteks IPO.

Pendekatan total accruals yang digunakan dalam penelitian ini sejalan dengan

model awal yang dikembangkan oleh Healy (1985) dan DeAngelo (1986). Aharony et al

(1993) dan Friedlan (1994) memodifikasi model DeAngelo (1986) dengan melakukan

penyesuaian-penyesuaian yang secara spesifik memungkinkan untuk kasus uji total

accruals di IPO. Healy dan DeAngelo berpendapat bahwa total accruals terdiri dari

discretionay dan non-discretionay accruals, dimana total accruals digunakan sebagai

proxy dari discretionary accruals karena discretionary accruals tidak mudah

terobservasi. Pendekatan ini berasumsi bahwa komponen non-discretionary accruals

cenderung stabil sepanjang waktu, sehingga yang layak untuk dipertimbangkan adalah

komponen discretionary accruals. Karena salah satu alasan utama perusahaan go public

adalah pesatnya pertumbuhan, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap pengukuran

discretionary accruals. Penyesuaian dilakukan untuk mengurangi kemungkinan bahwa

pengukuran discretionary accruals sepenuhnya dipengaruhi oleh pertumbuhan.

Aliran kas dari aktivitas operasi (cash flow from operating activities) diperoleh

secara langsung dari laporan keuangan perusahaan sebagaimana terdapat di dalam

prospektus. Pengambilan secara langsung dari prospektus memungkinkan dilakukan

karena sesuai dengan PSAK No.2, perusahaan yang akan go public wajib menyajikan

16

laporan arus kas (cash flow statement) dalam laporan keuangannya. Pengambilan secara

langsung juga dilakukan karena alasan keseragaman. Sebelum berlakunya PSAK No. 2,

laporan arus kas yang terdapat di dalam prospektus perusahaan yang akan go public

bervariasi dan cenderung tidak seragam di samping memang banyak yang masih

melaporkan arus dana (fund flow), bukannya cash flow statement.

Secara matematis total accruals untuk periode t atau disebut juga total accounting

accruals sebagaimana diistilahkan oleh Aharony et al (1993) dapat dinyatakan dengan

persamaan berikut.

TACt = NIt - CFOt

dimana TACt adalah total accruals pada periode t, NIt adalah laba bersih operasi

(net operating income) yang juga merupakan income before extraordinary items pada

periode t, dan CFOt adalah aliran kas dari aktivitas operasi (cash flow from operating

activities) pada periode t.

Sebagaimana halnya Aharony et al (1993) dan Friedlan (1994), dalam penelitian

ini dilakukan penyesuaian terhadap perhitungan total accruals. Dalam penelitian ini

untuk keperluan analisis digunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Friedlan.

Walaupun demikian, pendekatan yang digunakan oleh Aharony et al (1993) Dan

DeAngelo (1986) juga dipertimbangkan sebagai pembanding.3 Friedlan (1994:5)

mengasumsikan bahwa terdapat proporsi yang konstan antara total accruals dan

penjualan pada periode yang berurutan. Oleh sebab itu, jumlah total accruals yang

melekat pada diskresi manajemen adalah merupakan perbedaan antara total accruals pada

periode yang diuji yang distandarisasi dengan penjualan pada periode yang diuji dan total

17

accruals pada periode dasar yang distandarisasi dengan penjualan pada periode dasar.

Secara formal perhitungannya adalah sebagai berikut:

DACpt = (TACpt / SALEpt) – (TACpd / SALEpd)

dimana DACpt adalah dicretionary accruals pada periode tes (pt), TACpt adalah

total accruals pada periode tes, SALEpt adalah penjualan pada periode tes, TACpd adalah

total accruals pada periode dasar, dan SALEpd adalah penjualan pada periode dasar.

Untuk ilustrasi yang lebih lengkap, lihat Friedlan (1994:5) dan untuk model lain

pengukuran discretionary accruals lihat Aharony et al (1993:68), atau lihat DeAngelo

(1986:409-410). Indikasi bahwa telah terjadi earnings management ditunjukkan oleh

koefisien DAC yang positif, sebaliknya bila koefisien DAC negatif berarti tidak ada

indikasi bahwa manajemen telah melakukan upaya untuk menaikkan keuntungan melalui

income-increasing discretionary accruals.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Statistik Deskriptif

Tabel 2 menyajikan statistik deskriptif sampel perusahaan yang diteliti.

Sebagaimana dapat dilihat di Tabel 2, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara

nilai maksimum dan minimum data yang disajikan, kecuali untuk data tentang harga

penawaran saham. Perbedaan yang mencolok tersebut disebabkan oleh adanya

perusahaan yang secara keseluruhan lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang

lain. Perusahaan tersebut adalah PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (PT. Telkom).

3 Kesimpulan akhir dalam penelitian ini tidak terpengaruh walaupun model Aharony et al (1993) atau DeAngelo (1986) digunakan. Aharony et al. menggunakan rata-rata total assets sebagai pembagi sementara DeAngelo menggunakan total assets sebagai pembagi total accruals.

18

Apabila PT. Telkom tidak diikutsertakan dalam perhitungan terjadi perubahan yang

cukup berarti terhadap semua komponen yang tersaji di Tabel 2 tersebut, khususnya

untuk komponen rata-rata, standar deviasi, dan nilai maksimum. Misalnya, nilai rata-rata

total assets dan laba operasi dengan memasukkan PT. Telkom berturut-turut adalah 610

milyar dan 100 milyar. Nilainya berubah drastis bila PT. Telkom tidak dimasukkan, yaitu

berturut-turut 317 milyar dan 35 milyar. Walaupun secara statistik deskriptif PT. Telkom

cukup mempengaruhi, pengikutsertaan PT. Telkom dalam analisis accruals tidak

berpengaruh. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam analisis accruals semua

nilai distandarisasi, sehingga efek dari dominasi individual sampel tereliminir.

Dari 39 sampel yang diteliti, ada tiga perusahaan yang menawarkan sahamnya

dengan nilai nominal Rp 1.000,-, sisanya, yaitu 36 perusahaan menawarkan sahamnya

dengan nilai nominal Rp 500,-. Fenomena perubahan nilai nominal per lembar saham

yang ditawarkan yang cenderung merubah nilai nominal dari Rp 1.000,- menjadi Rp 500,-

semakin merebak khususnya di tahun 1995. Sebelum tahun 1995, hampir semua

perusahaan yang melakukan IPO menawarkan saham dengan nilai nominal Rp 1.000,-.

Apabila dibandingkan dengan harga jualnya, maka secara rata-rata harga saham yang

dijual adalah 233% di atas nilai nominalnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat agio

saham yang cukup tinggi yang diperoleh perusahaan yang melakukan penawaran perdana

di pasar modal Indonesia.

19

Tabel 2: Statistik Deskriprif Sampel (n=39)a

Mean Median Std. Deviasi Minimum Maksimum

Total Assetsb 610.326 225.996 1.858.119 17.497 11.746.565

Penjualanb 281.900 123.429 634.765 19.481 4.043.436

Operating Incomeb 67.667 18.960 206.034 1.343 1.303.676

Net Incomeb 39.923 9.675 126.140 1.005 794.550

Cash Flowb 61.613 7.650 250.468 -39.264 1.569.145

Jumlah Saham yang Ditawarkanb

102 50 190 10 1.166

Harga Penawaranc 1685 1350 854 650 3200

Penerimaan Kotorb 192.074 75.000 517.229 13.500 3.266.667

Catatan: a Total assets, penjualan, operating income, dan cash flow from operations adalah untuk periode T, yaitu periode satu tahun sebelum go public. Nilai yang dilaporkan biasanya merupakan nilai dari laporan keuangan yang diaudit dan merupakan laporan keuangan penuh untuk satu tahun.

b Angka dalam jutaan. c Angka normal. Penerimaan kotor dihitung dari hasil perkalian antara jumlah saham yang ditawarkan dan harga penawaran per lembar saham.

Secara skematis analisis terhadap periode waktu dimana pengujian manajemen

accruals ditunjukkan dalam Gambar 1 berikut.

Tahun T-1 Tahun T Akhir tahun Akhir tahun Akhir tahun Akhir tahun T-2 T-1 T T+1 Tanggal IPO

Gambar 1: Skema Analisis Periode Waktu dalam Pengujian Earnings Management di IPO (Sumber: Friedlan, 1994:9, dimodifikasi).

Sebagaimana disebutkan di muka, penelitian ini menggunakan pendekatan total

accruals yang disesuaikan dengan tingkat penjualan. Penyesuaian ini dilakukan karena

20

adanya asumsi bahwa perusahaan yang go public adalah perusahaan yang sedang

mengalami pertumbuhan, baik pertumbuhan penjualan maupun total assetnya. Data yang

disajikan dalam Tabel 3 menkonfirmasi asumsi adanya pertumbuhan yang signifikan pada

periode sebelum go public. Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 3, rata-rata

pertumbuhan penjualan pada periode setahun (T) dan dua tahun (T-1) sebelum go public

berturut-turut adalah 1,6030 dan 2,2327. Selama periode T dan T-1, terdapat 35

perusahaan yang mengalami pertumbuhan penjualan positif, demikian pula halnya untuk

periode T-1 dan T-2 juga terdapat 35 perusahaan yang mengalami pertumbuhan penjualan

positif.

Rata-rata pertumbuhan penjualan menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu besar

antara periode T dan T-1 dan antara periode T-1 dan T-2. Uji t terhadap hipotesis bahwa

rata-rata pertumbuhan penjualan lebih besar daripada satu diterima pada tingkat

keyakinan 99,9%. Uji Wilcoxon terhadap hipotesis bahwa median pertumbuhan

penjualan lebih besar daripada satu diterima pada tingkat keyakinan 99,9%. Hasil yang

sama juga ditemukan untuk uji rata-rata dan median pertumbuhan total assets.

21

Tabel 3: Pertumbuhan dan Test Pertumbuhan Penjualan dan Total Assets (n=40)a

Keterangan Rata-rata Median Std. Dev. Minimum Maksimum

Sales T dan T-1 1,6050* 1,2605* 1,3677 0,9217 5,5071

Sales T-1 dan T-2 1,5053* 1,3804* 0,7569 0,1429 5,0671

Asset T dan T-1 1,4577* 1,2875* 0,3940 0,9883 2,4312

Asset T-1 dan T-2 1,6451* 1,2857* 0,9081 0,9218 5,5507

Catatan: Tanda * menunjukkan bahwa p-value signifikan pada tingkat 0,01. a Pertumbuhan dihitung dengan rumus (variabel t / variabel t-1), dimana variabel yang dimaksud adalah

penjualan (sales) atau total assets. Uji t digunakan untuk menguji apakah rata-rata pertumbuhan periode lebih besar daripada satu. Uji

Wilcoxon digunakan untuk menguji apakah nilai median pertumbuhan lebih besar daripada 1. 4.2 Pengujian Manajemen Keuntungan dan Pembahasan

Sebagaimana disebutkan di muka, penelitian ini menggunakan pendekatan total

accruals untuk menguji hipotesis ada tidaknya manajemen keuntungan pada periode

sebelum go public pada perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana. Tabel 4

menyajikan hasil uji terhadap hipotesis apakah issuers menerapkan income-increasing

discretionary accruals pada periode sebelum go public. Pengujian ada tidaknya

manajemen keuntungan (accruals) ditekankan pada pengamatan terhadap perilaku

discretionary accruals dan total accruals. Pengujian terhadap perilaku discretionary

accruals dilakukan selama dua periode waktu, yaitu setahun sebelum go public (periode

T) dan dua tahun sebelum go public (periode T-1). (Lihat Gambar 1 untuk penggambaran

yang lebih jelas terhadap pembagian periode pengujian).

Panel A Tabel 4 melaporkan hasil pengujian untuk periode T, yaitu periode

setahun sebelum go public. Rata-rata dan median operating earnings pada periode ini

berturut-turut adalah 6,31% dan 4,24% terhadap penjualan, dimana terdapat 34 (87,2%)

perusahaan mengalami kenaikan operating earnings. Median total accruals dan cash flow

22

masing-masing adalah 4,01% dan 2,99% terhadap penjualan. Uji ranking tanda Wilcoxon

yang menguji bahwa median lebih besar dari nol menunjukkan bahwa median total

accruals secara signifikan berbeda dari nol (p < 0,01) dan median cash flow signifikan (p

< 0,05). Terdapat 61,5% perusahaan mengalami kenaikan total accruals dan 64,1%

mengalami kenaikan cash flow from operations. Kenyataan ini menunjukkan bahwa

terdapat earnings management pada periode setahun sebelum go public. Pengujian

terhadap perilaku discretionary accruals, anehnya, menunjukkan bahwa bukti accruals

management kurang terbukti. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa hanya 19 dari 39

perusahaan yang diteliti yang memiliki nilai discretionary accruals positif.

Pada periode dua tahun sebelum go public, yaitu periode T-1 dan T-2, ada bukti

earnings management yang kuat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji Wilcoxon. Uji

Wilcoxon terhadap hipotesis bahwa median perubahan operating earnings, total accruals,

dan cash flow from operations lebih besar daripada nol adalah signifikan berturut-turut

pada tingkat 0,01, 0,01, dan 0,05. Median perubahan operating earnings pada periode T-

2 ke T-1 terhadap penjualan sebesar 4,46% lebih besar dari nol dan secara statistik

signifikan. Pada periode tersebut terdapat 31 perusahaan atau 79,5% yang mengalami

kenaikan operating earnings, 24 perusahaan atau 61,5% yang mengalami kenaikan total

accruals, 26 perusahaan atau 66,7% yang mengalami kenaikan cash flow from

operations.

Pengamatan terhadap perilaku discretionary accruals pada periode dua tahun

sebelum go public mendukung hasil pengujian terhadap perilaku total accruals. Pada

periode ini terdapat 32 perusahaan atau 82,1% yang memiliki nilai discretionary accruals

positif. Uji Wilcoxon terhadap hipotesis bahwa median discretionary accruals lebih besar

dari nol tidak dapat ditolak pada tingkat kepercayaan 99%. Hal ini berarti ada bukti yang

23

kuat bahwa, pada periode dua tahun sebelum go public, issuers di pasar perdana memilih

metode akuntansi dengan menerapkan income-increasing discretionary accruals.

Secara keseluruhan hasil yang dilaporkan dalam Tabel 4 mendukung hipotesis

bahwa issuers perusahaan yang melakukan go public melakukan earnings management

dengan memilih metode akuntansi yang menaikkan tingkat keuntungan. Dengan kata lain

earnings management terbukti pada sampel sebanyak 39 perusahaan yang go public di

pasar modal Indonesia tahun 1995 sampai 1997, walaupun earnings management lebih

terbukti pada periode dua tahun sebelum go public. Kenyataan ini mendukung temuan

Friedlan (1994) dan setidaknya mengkonfirmasi temuan Aharony et al (1993) yang

menemukan bukti yang lemah atas adanya earnings management.

Mengapa earnings management terbukti pada periode dua tahun sebelum go

public tetapi tidak begitu kuat ditemukan pada periode setahun go public adalah menarik

untuk dicermati. Ada dua alasan yang dapat ditawarkan untuk menjawab pertanyaan

tersebut. Pertama, issuers tidak ingin bahwa upaya rekayasa keuntungan yang

dilakukannya terdeteksi oleh pihak luar (investor). Rekayasa keuntungan selama dua

periode berturut-turut adalah riskan untuk dilakukan, karena akan dapat dengan mudah

terdeteksi, baik lewat keanehan yang berupa lonjakan dalam komponen di neraca maupun

di laporan rugi laba. Kedua, rekayasa keuntungan sendiri tidak dapat dilakukan terus

menerus. Hal ini disebabkan oleh sifat dari accruals dimana discretionary accruals yang

dilakukan pada suatu periode akan berakibat pada periode berikutnya. Akibatnya, issuers

tidak dapat melakukannya terus menerus.

Tentu saja masih terbuka jawaban lain atas temuan yang dilaporkan dalam

penelitian ini. Untuk itu, penelitian dan telaah lebih lanjut atas fenomena earnings

management di pasar perdana di pasar modal Indonesia perlu dilakukan.

24

Tabel 4: Hasil Pengujian Discretionary Acruals dan Perubahan Earnings (Operating Earnings), Total Accruals, dan Cash Flow pada Periode Sebelum a

Keterangan Earnings Total Acrruals Cash

Flows Discretionary

Accruals c

Panel A: Pengujian Periode T dan T-1

Rata-rata 0,0631 0,0293 0,0337 -0,0181Median 0,0429 0,0401 0,0299 -0,0082Standard Deviasi 0,0837 0,1367 0,1359 0,1803Persen Positif (%) 87,20 61,50 64,10 48,70Persen Negatif (%) 12,80 38,50 35,90 51,30Wilcoxon Z-value -4,3400 * -5,3308 * -1,9118*** -0,9582 Sign Z-value b 4,4836 * 5,1241 * 1,6013*** -0,7564 t-test Z-value b 2,0611 ** 1,2052 2,2415 ** -0,6092 Panel B: Pengujian Periode T-1 dan T-2

Rata-rata 0,0559 0,0535 0,0024 0,0541Median 0,0446 0,1316 0,0213 0,0313Standard Deviasi 0,0757 0,6859 0,1914 0,2062Persen Positif (%) 79,50 61,50 66,70 82,10Persen Negatif (%) 20,50 38,50 33,30 17,90Wilcoxon Z-value -3,8516 * -5,0657 * -2,0095** 3,4581 *

Sign Z-value b 3,5228 * 4,8038 * 1,2810 3,2541 *

t-test Z-value b 1,6211*** 1,5059*** 0,4958 1,6432***

Catatan: *; **; *** berarti p-value signifikan pada tingkat 0,01; 0,05; dan 0,10 berturut-turut. a Keseluruhan pengujian berdasarkan uji satu sisi (one-tailed), kecuali untuk cash flow uji dua sisi (two-tailed). Uji Wilcoxon dan uji Sign digunakan untuk menguji apakah nilai median variabel berbeda dari nol. Uji t digunakan untuk menguji apakah nilai rata-rata variabel berbeda dari nol.

b Uji Sign dan Uji t digunakan sebagai pembanding saja. Persen positif dihitung bila nilai variabel periode t lebih besar dibandingkan dengan nilai variabel periode t-1. Sebaliknya persen negatif dihitung bila nilai variabel periode t lebih kecil dibandingkan dengan nilai variabel periode t-1.

Nilai rata-rata dan median yang dilaporkan merupakan nilai masing-masing variabel yang diukur dengan rumus berikut: (variabelt – variabelt-1) / penjualant, dimana variabel yang dimaksud berturut-turut adalah earnings, total accruals, dan cash flow.

Total accruals merupakan selisih antara earnings (operating income) dan cash flow from operations. c Discretionary accruals diukur dengan rumus sebagai berikut:

DACpt = (TACpt / SALEpt) – (TACpd / SALEpd)

25

5. Simpulan, Keterbatasan, dan Implikasi Untuk Penelitian Mendatang

5.1 Simpulan

Penelitian ini menguji keputusan-keputusan akuntansi yang dilakukan oleh

pemilik perusahaan (issuers) yang akan go public sebelum sahamnya diperdagangkan di

bursa atau menguji apakah earnings management terjadi pada penawaran saham perdana

di pasar modal Indonesia. Karena tingkat kesejahteraan issuers tergantung sepenuhnya

dari besar kecilnya penerimaan atas penawaran dan karena penerimaan ditentukan oleh

harga penawaran, issuers memiliki insentif atau dorongan untuk menawarkan sahamnya

setinggi mungkin. Keterbatasan informasi tentang perusahaan yang akan go public

menyebabkan tidak ada dasar yang relevan tentang bagaimana harga penawaran

ditetapkan. Oleh sebab itu, issuers dan penjamin emisi harus menetapkan harga

penawaran dengan informasi non-harga (non-price information). Sementara itu, literatur

yang berkaitan dengan IPO menyarankan bahwa salah satu sumber informasi yang

relevan sebagai dasar penetapan harga atau penilaian suatu IPO adalah informasi

keuangan yang terdapat di dalam prospektus. Karena issuers dan pihak-pihak yang

terlibat dalam IPO bertanggung jawab terhadap kebenaran isi informasi di prospektus,

yang sebagian besar adalah informasi akuntansi, adalah relevan bila calon investor

memanfaatkan informasi tersebut.

Hasil pengujian terhadap 39 perusahaan IPO yang go public antara tahun 1995

dan 1997 dengan menggunakan pendekatan total accruals menunjukkan ada bukti yang

kuat atas terjadinya manajemen keuntungan, khususnya pada periode dua tahun sebelum

go public. Hal ini berarti issuers telah memilih metode-metode akuntansi yang menaikkan

keuntungan yang dilaporkan dengan menerapkan income-increasing discretionary

accruals.

26

Bukti lain menunjukkan bahwa earnings management tidak terbukti secara kuat

pada periode satu tahun sebelum go public. Pada periode ini, walaupun perubahan total

accruals adalah positif dan signifikan, discretionary accruals justru lebih banyak yang

negatif, yaitu 20 perusahaan dari keseluruhan sampel perusahaan. Hal ini

mengindikasikan bahwa earnings management pada periode ini tidak begitu kuat terbukti

atau dengan kata lain bukti earnings management masih lemah.

Secara keseluruhan, bukti yang ditemukan dalam penelitian ini sejalan dengan

temuan Friedlan (1994) atas adanya earnings management keuntungan pada perusahaan

yang akan go public. Lemahnya bukti earnings management pada periode setahun

sebelum go public bisa jadi karena issuers tidak ingin accruals management yang

dilakukannya terdeteksi. Adalah cukup riskan bila dalam dua periode issuers melakukan

accruals management.

5.2 Keterbatasan

Ada beberapa keterbatasan yang teridentifikasi dalam penelitian ini. Pertama,

sedikitnya sampel perusahaan yang diteliti dalam penelitian ini dengan tahun pengamatan

hanya tiga tahun menyebabkan hasil yang dilaporkan kurang dapat digeneralisasi.

Artinya, apa yang ditemukan dalam penelitian ini mungkin berbeda dengan penelitian

sejenis dengan sampel yang berbeda. Sedikitnya jumlah sampel yang diteliti dalam

penelitian ini menyebabkan ketidakmampuan penulis untuk memisah sampel yang ada

baik berdasarkan ukuran maupun jenis industri untuk secara lebih detail mengamati

perilaku dan perbedaan earnings management antara perusahaan besar dan kecil dan

antara satu jenis industri dan jenis industri yang lain.

27

Kedua, pendekatan yang digunakan dalam pengujian ada tidaknya earnings

management dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada perilaku total accruals.

Beberapa penelitian terbaru tentang earnings management dalam IPO telah mengadopsi

model Jones dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi data perilaku

data IPO.

5.3 Implikasi Untuk Penelitian Mendatang

Mengacu pada beberapa keterbatsan yang ada, beberapa implikasi untuk

penelitian mendatang kiranya dapat penulis sarankan. Pertama, penelitian mendatang

sebaiknya menggunakan sampel yang lebih banyak dengan harapan agar temuannya bisa

lebih kuat (robust findings). Penggunaan sampel yang lebih banyak juga memungkinkan

untuk memisah sampel berdasarkan ukurannya (total assets) untuk menguji apakah ada

perbedaan antara motif atau kecenderungan earnings management perusahaan yang

tergolong kecil dan perusahaan besar. Friedlan (1994) dan Aharony et al (1993)

menegaskan bahwa earnings management lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang

relatif berskala lebih kecil

Perlu juga kiranya melakukan penelitian dengan memisah jenis industri untuk

mengetahui ada tidaknya perbedaan perilaku earnings management masing-masing

industri. Penelitian seperti ini akan dapat mendeteksi perusahaan dalam industri mana

yang cenderung melakukan earnings management. Selain itu, perlu kiranya dilakukan

penelitian tambahan dengan mengevaluasi kinerja operasi perusahaan yang baru go

public sebagaimana dilakukan oleh Jain dan Kini (1994), sehingga dapat diketahui

hubungan antara earnings management sebelum go public dan kinerja operasi.

28

Terakhir, perlu kiranya penelitian mendatang untuk membandingkan perilaku

accruals management pada periode-periode sebelum dan sesudah go public untuk

mengetahui sejauh mana perilaku dan motivasi pemilik perusahaan (issuers) dalam

kaitannya dengan kewenangan (discretion) mereka untuk mengatur tingkat keuntungan

yang dilaporkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aharony, J.; C.J. Lin. dan M.P. Loeb. 1993. Initial public offering, accounting choices, and earnings management. Contemporary Accounting Research, 10 (1): 61-81.

Anonim. 1995, January. A disciplinarian for Asia’s unruly markets. Institutional Investor, pp. 137-138

Ayres, F.L. 1994, March. Perception of earnings quality: What managers need to know. Management Accounting, hal. 27-29.

Ayres, F.F. 1986. Characteristics of firms electing early adoption of SFAS 52. Journal of Accounting and economics, 8: 143-158.

Bloch, E. 1986. Inside investment banking. Homewood Illionis: Dow Jones-Irwin. Briston, R.J. 1990. “Accounting in developing countries: Indonesia and the Solomon

Islands as case studies for regional cooperation. Research in Third World Accounting, 1, 195-216.

Buck, G.C. 1990. Pricing initial public offerings. Dalam Khun, R. (ed.), Capital Raising and Financial Structure, Richard D Irwin.

Burgstahler, D. dan I. Dichev. 1997. Earnings management to avoid earnings decreases and losses. Journal of Accounting andl Economics, 24: 99-126.

Cahan, S.F. 1992. The effects of antitrust investigations on discretionary accruals: A refined test of political-cost hypothesis. The Accounting Review, 67 (1): 77-95.

DeAngelo, L.E. 1986. Accounting number as valuation substitutes: A study of management buyouts of public stockholders. The Accounting Review, 59: 400-420.

________. 1988. Managerial competition, information costs, and corporate governance: The use of accounting performance measures in proxy contests. Journal of Accounting and Economics, 12: 3-36.

________. 1990. Equity valuation and corporate control. Accounting Review, 65, (1), 93-112.

Dechow, P.M.; R.G. Sloan.; dan A.P. Sweeney. 1995. Detecting earnings management. The Accounting Review, 70 (2), 193-225.

DeFond, M.L. dan Jiambalvo, J. 1994. Debt covenant violation and manipulation of accruals. Journal of Accounting and Economics, 17: 145-176.

Friedlan, M.L. 1994. Accounting choices of issuers of initial public offerings. Contemporary Accounting Research, 11 (1): 1-31.

Gaver, J, J.; K.M. Gaver.; dan J.R. Austin. 1995. Additional evidence on bonus plan and income management. Journal of Accounting and Economics, 19: 3-28.

29

Gujarathi, M.R. dan R.E. Hoskin. 1992. Evidence of earnings management by the early adopters of SFAS 96. Accounting Horizon, December: 18-31.

Gumanti, T.A. 1996. Earnings Management and Accounting Choices in Initial Public Offerings: Evidence from Indonesia. Thesis Master, Edith Cowan University, Perth, Australia, tidak dipublikasikan.

Healy, P.M. 1985. The effect of bonus schemes on accounting decisions. Journal of Accounting and Economics, 10: 85-107.

Holthausen, R.W.; K.M. Larke. dan R.G. Sloan. 1995. Annual bonus scheemes and the manipulation of earnings. Journal of Accounting and Economics, 12: 29-74.

Jain, B.A. dan Kini, O. 1994. The post-issue operating performance of IPO firms. Journal of Finance, 49 (5), 1699-1726.

Jones, J, J. 1991. Earnings management during import relief investigations. Journal of Accounting Research, 29 (2): 193-228.

Kim, M. dan J.R. Ritter. 1999. Valuing IPOs. Journal of Financial Economics, 53, 409-437.

Kim, B.J.; I. Krinsky; dan J. Lee. 1994. The valuation of initial public offerings and accounting disclosure in prospectuses: New evidence from Korea. The International Journal of Accounting, 29, 24-61.

____________________. 1995. The role of financial variables in the pricing of Korean initial public offerings Pacific-Basin Finance Journal, 3, 449-464.

Krinsky, I. dan W. Rotenberg, 1989a. The valuation of initial public offerings. Contemporary Accounting Research, 5 (2), 501-515.

____________________. 1989b. Signalling and the valuation of unseasoned new issued revisited. Journal of Financial and Quantitative Analysis, 24 (2), 257-266.

Liberty, S.E. dan J.L. Zimmerman 1986. Labor union contract negotiations and accounting choices. The Accounting Review, 61 (4), 692-712.

Magnan, M. dan D. Cormier. 1997. The impact of forward-looking financial data in IPOs on the quality of financial reporting. Journal of Financial Statement Analysis, Spring, 6-17.

McNichols, M. dan G.P. Wilson. 1988. Evidence of earnings management from the provision for bad debts. Journal of Accounting Research, 26 (Supplement): 1-31.

Merchant, K.A. 1994. The ethics of managing earnings: An empirical investigation. Journal of Accounting and Public Policy, 13: 79-94.

Moyer, S. 1990. Capital adequacy ratio regulations and accounting choices in commercial banks. Journal of Accounting and Economics, 13: 123-154.

Neill, J.D.; S.G. Pourciau; dan T.F. Schaefer. 1995. Accounting method choice and IPO valuation. Accounting Horizons, 9 (3), 68-80.

Perry, S, E. dan T.H. Williams. 1994. Earnings management preceding management buyout offers. Journal of Accounting and Economics, 18: 157-159.

Pourciau, A. 1993. Earnings management and nonroutine executives changes. Journal of Accounting Economics, 16 (3): 317-336.

Rangan, S. 1998. Earnings management and the performance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics, 50: 101-122.

Rosenzweig, K. dan M. Fischer. 1994, March. Is managing earnings ethically acceptable?. Management Accounting, pp. 31-34.

30

Salno, H.M. dan Z. Baridwan. 2000. Analisis perataan penghasilan (income smoothing): Faktor-faktor yang mempengaruhi dan kaitannya dengan kinerja saham perusahaan public di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 3 (1): 17-34.

Schipper, K. 1989. Commentary on earnings management”. Accounting Horizons, 3 (4), 91-102.

Sender, H. 1990, June. Jakarta: Everyone invited. Far Eastern Economic Review, p. 82. Shale, T. 1992, September. Indonesia: Which way forward. Euromoney, pp.86-92. Teoh, S.H.; I. Welch; dan T.J.Wong. 1998. Earnings management and the

underperformance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics, 50: 63-99.

Trombley, M.A. 1989. Accounting method choice in the software industry: Characteristics of firms electing early adoption of SFAS No. 87. Accounting Review, 64 (3): 529-538.

Varaiya, N.; B. Bergmark, dan R. Taylor. 1997. F&C international: A case of an IPO valuation. Journal of Financial Education, 23, 114-123.

Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. New York, Prentice Hall.

____________________. 1990. Positive accounting theory: A ten year perspective. The Accounting Review, 60 (1): 131-156.

31

Lampiran 1: Daftar nama Perusahaan

No Nama Perusahaan Tanggal Go Public

Jumlah Saham (000)

Nilai Nominal

Harga Penawaran

Gross Proceeds(000)

1 Bukaka Teknik 09-Jan-95 40000 500 3200 1280000002 Citra Marga Nusapala 10-Jan-95 122000 500 2600 3172000003 Telagamas Pertiwi 26-Jan-95 10000 1000 1350 135000004 Hexindo Adiperkasa 13-Feb-95 10000 1000 2800 280000005 Budi Acid Jaya 08-Mei-95 30000 500 3000 900000006 Tunas Ridean 16-Mei-95 28000 1000 2700 756000007 Cahaya Kalbar 09-Juli-95 34000 500 1100 374000008 Bimantara Citra 17-Juli-95 200000 500 1250 2500000009 Mustika Ratu 27-Juli-95 27000 500 2600 70200000

10 Surya Hidup Satwa 08-Ags-95 20660 500 1125 2324250011 Perdana Bangun Perk. 22-Ags-95 23000 500 950 2185000012 Tambang Timah 19-Okt-95 50330 500 2900 14595700013 Miwon Indonesia 31-Okt-95 25000 500 1950 4875000014 Komatsu Indonesia 31-Okt-95 32000 500 2100 6720000015 Asahimas Flat Glass 06-Nov-95 86000 500 2450 21070000016 Telkom 20-Nov-95 1166667 500 2800 326666760017 Citatah Ind. Marmer 03-Juli-96 44000 500 2375 10450000018 Ramayana Lestari S. 24-Juli-96 80000 500 3200 25600000019 Fiskaragung Perkasa 25-Juli-96 100000 500 1325 13250000020 Surya Dumai Industri 27-Juli-96 78708 500 1000 7870800021 Kedawung Setia Ind. 29-Juli-96 50000 500 800 4000000022 Selamat Sempurna 09-Sep-96 34400 500 1700 5848000023 Pelangi Indah Canindo 23-Sep-96 27500 500 650 1787500024 Daya Guna Samudra 24-Okt-96 100000 500 1950 19500000025 Siantar Top 16-Des-96 27000 500 2200 5940000026 Sierad Produce 27-Det-96 250000 500 900 22500000027 Alumindo Light Metal 02-Jan-97 92400 500 1300 12012000028 Alter Abadi 09-Jan-97 88919 500 900 8002710029 Mitra Rajasa 30-Jan-97 30000 500 1175 3525000030 Daya Sakti Unggul 25-Mar-97 50000 500 950 4750000031 Inti Keramik Alamasri 04-Juni-97 100000 500 750 7500000032 Asia Inti Selera 11-Juni-97 45000 500 950 4275000033 Lautan Luas 21-Juli-97 50000 500 2950 14750000034 Panasia Filament 22-Juli-97 50000 500 650 3250000035 Jakarta Kyoei Steel 06-Ags-97 50000 500 650 3250000036 Sunson Textile Manf. 20-Ags-97 80000 500 850 6800000037 Aneka Tambang 27-Nov-97 430769 500 1400 60307660038 Astra Agro Lestari 09-Des-97 125800 500 1550 19499000039 Humpuss Intermoda 15-Des-97 74000 500 675 49950000

32