disertasi - universitas hasanuddin

228
DISERTASI PARADIGMA PERUBAHAN NILAI TENTANG KEDUDUKAN HUKUM PEREMPUAN ATAS TANAH DATI DALAM PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER (Change value in paradigm about women statue in dati land in equality gender perspective) OLEH : MARGIE ELZA MACILINE TAHAPARY NOMOR POKOK : PO400307015 PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Upload: khangminh22

Post on 26-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

DISERTASI

PARADIGMA PERUBAHAN NILAI TENTANG KEDUDUKAN HUKUM PEREMPUAN ATAS

TANAH DATI DALAM PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER

(Change value in paradigm about women statue in dati land in equality gender perspective)

OLEH :

MARGIE ELZA MACILINE TAHAPARY

NOMOR POKOK : PO400307015

PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

ii

PERSERTUJUAN UJIAN PROMOSI

PARADIGMA PERUBAHAN NILAI TENTANG KEDUDUKAN HUKUM PEREMPUAN ATAS

TANAH DATI DALAM PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER

(Change value in paradigm about women statue in dati land in equality gender perspective)

Diajukan Oleh :

Margie Elza Maciline Tahapary

Po400307015

Menyetujui :

Tim Promotor :

Prof Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H. Promotor

Prof. Dr. Ir Abrar Saleng, S.H., M.H. Ko-Promotor

Prof. Dr. A Suriyaman M. Pide, S.H., M.H. Ko-Promotor

Mengetahui :

Plt. Ketua Program Studi S3 Ilmu Hukum

Prof Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa

atas berkat dan penyertaanNya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.

Penulis sadari sungguh bahwa rampungnya Disertasi ini tidak terlepas

dari bantuan berbagai pihak baik dalam bentuk pemikiran, saran dan pendapat

bahkan materi serta berbagai bentuk bantuan lainnya.

Oleh karenanya, perkenankanlah Penulis menyampaikan rasa terima

kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang

terhormat:

Prof.Dr.Aminuddin Salle,SH,MH, selaku Promotor yang dalam berbagai

kesibukan sebagai Guru Besar dan Dosen, yang menyumbangkan ilmu

pengetahuan beliau bagi pengembangan Ilmu Hukum di berbagai Universitas

baik di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin maupun Universitas-

universitas lain khususnya di kawasan Indonesia Timur, maupun dalam tugas-

tugas penelitian dan pengabdian beliau, dengan tulus dan senang hati

meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam berbagai bentuk baik

pemikiran-pemikiran maupun bantuan buku-buku yang sangat menunjang

penyelesaian Disertasi ini.

Prof.Dr.Ir.Abrar Saleng,SH,MH, selaku Ko Promotor, yang dalam

berbagai kesibukan beliau selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, Selaku Guru Besar dan Dosen , yang

menyumbangkan Ilmu Pengetahuan beliau bagi pengembangan Ilmu Hukum

baik pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin maupun Universitas-

universitas lain baik di kawasan Indonesia Timur maupun lainnya, yang

dengan tulus dan senang hati meluangkan waktu dalam untuk penyelesaian

Disertasi dan terlebih lagi dorongan semangat dan motivasinya guna

penyelesaian Disertasi ini.

iv

Prof.Dr. A. Suryaman Mustari Pide, SH,MH, selaku Ko Promotor, yang

dalam berbagai kesibukan beliau selaku Guru Besar dan Dosen, yang

menyumbangkan Ilmu Pengetahuan beliau bagi pengembangan Ilmu Hukum

baik pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin maupun Universitas-

universitas lain, namun dengan senang hati melakukan pembimbingan bagi

Penulis dan bahkan memberikan bantuan buku-buku bagi Penulis dalam

menunjang penulisan Disertasi ini.

Selain itu, rasa terima kasih yang mendalam juga Penulis haturkan

kepada yang terhormat :

1. Para Tim Penguji masing-masing : Prof. Dr. Achmadi Miru,SH,MH;

sekaligua sebagai Ketua Program Studi S3 Pasca Sarjana Ilmu Hukum

Universitas Hasanuddin, Prof.Dr.Nurhayati Abbas, SH,MH;

Prof.Dr.A.Manuputty,SH,MH; Prof.Dr.Farida Patitinggi,SH,MH; atas

semua petunjuk dan arahan-arahan yang sangat membantu Penulis

dalam penyelesaian Disertasi ini.

2. Penguji Eksternal Prof.Dr.Sudjito,SH,MSi yang telah memberikan

masukan bagi penyelesaian Disertasi ini.

3. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Direktur Program Pasca

Sarjana Universitas Hasanuddin , para Asisten Direktur Program Pasca

Sarjana Universitas Hasanuddin, , Dekan Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin Prof.Dr.Aswanto,SH,MSi,DFM dan Para Pembantu Dekan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Dr.Syamsul

Bachri.SH,MH , mantan Dekan dan para mantan Pembantu Dekan pada

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan

kesempatan bagi Penulis untuk menimba ilmu pada Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin.

4. Rektor Universitas Pattimura Ambon atas segala dorongan dan

bantuannya kepada Penulis dalam penyelesaian studi S3 ini.

v

5. Pembantu Rektor I Universitas Pattimura Ambon atas segala

bantuannya.

6. Pembantu Rektor II Universitas Pattimura Ambon atas segala

dukungannya baik selama perkuliahan sampai penyelesaian studi.

7. Para Pembantu Rektor Universitas Pattimura Ambon atas segala

dorongannya.

8. Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, yang telah

memberikan kesempatan bagi Penulis untuk melanjutkan studi S3 pada

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

9. Para Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon

atas dorongan dan motivasinya kepada Penulis.

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak

dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan tambahan

Ilmu Hukum bagi Penuls baik dalam proses perkuliahan maupun dalam

diskusi-diskusi yang dibangun bersama.

11. Bapak Uli dan seluruh staf administrasi yang sangat mendukung

Penulis mulai dari proses perkuliahan sampai pada penyelesaian studi.

12. Rekan-rekan seangkatan dalam perkuliahan pada Program Pasca

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, atas segala bantuan

dan dorongan yang diberikan kepada Penulis baik selama perkuliahan

dan sampai pada penyelesaian Disertasi ini.

13. Seluruh rekan-rekan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura

Ambon atas segala dorongan dan bantuannya kepada Penulis. Secara

khusus kepada Bapak Prof.Dr.R.Z. Titahelu,SH.MS; Prof.Dr.S.

Mailoa.SH.MS (alm); Prof.Dr.M.J. Saptenno,SH.MH.

14. Dr.M.Tjoanda,SH.MH selaku Ketua Bagian Hukum Perdata bahkan

sebagai rekan seangkatan selama proses perkuliahan, yang selalu

memberikan dorongan dan doa dalam mendukung proses penyelesaian

Disertasi ini.

vi

15. Dr.Hendrik Hattu,SH,MH, atas segala dorongan dan bantuannya

kepada Penulis dalam penyelesaian Disertasi ini.

16. Ibu Teng Berlianty,SH,MHum, atas segala dukungan doa dan dorongan

serta motivasi yang diberikan selama perkuliahan sampai pada

penyelesaian studi.

17. Ibu.V.Pieter,SH.MH selaku mantan Ketua Bagian Hukum Perdata, yang

selalu mendorong Penulis baik dalam masa perkuliahan bahkan sampai

perampungan Disertasi ini.

18. Ibu J.K.Matuankotta, SH, MHum atas segala dorongan dan motivasi

yang selalu diberikan baik selama perkuliahan sampai pada

penyelesaian studi.

19. Teman-temanku Ibu Merlien Mattitaputy, SH,MH, Ibu Nancy

Haliwela,SH,MH, Ibu Tres Pesulima,SH,MH.

20. Seluruh rekan-rekan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura

Ambon atas segala dorongan dan bantuannya kepada Penulis, yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

21. Para narasumber yang telah memberikan dukungan data bagi penelitian

yang dilakukan Penulis pada Negeri Lima, Larike, Hitulama, Hatu,

Akhirnya Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Papi Boetje yang dengan penuh kasih sayang dan ketulusan

mendukung studi lanjut pada Program S3 ini hingga penyelesaiannya

Disertasi ini dan juga bagi Mami Ted (alm) yang tidak dapat

menyaksikan dan menikmati kebahagiaan ini.

2. Papi Henny dan Mami Atty yang dengan penuh kasih sayang selalu

mendukung pergumulan Penulis mulai dari masa perkuliahan sampai

pada penyelesaian studi ini.

3. Suami tercinta Hanny serta keempat anak terkasih Vianni, Violeta,

Vigardo dan Virisya atas segala dukungan dan doa serta pengertian

vii

yang tak henti-hentinya diberikan kepada Penulis, mulai dari proses

perkuliahan sampai pada penyelesaian Disertasi ini.

4. Tante Na dan Tante Lo yang selalu memberikan dorongan dan

dukungan doa bagi Penulis sampai pada penyelesaian studi.

5. Tante Nona, Om Kace, Bung Yoppy, Zus Co, Zus Ani atas segala

dukungannya secara khusus bagi Bu Yoppy dan Zus Co yang dengan

setia mendorong dan membantu Penulis sampai pada penyelesaian

Disertasi ini.

6. Adik-adik Rico,Corin&Noly, Tety&Nane, Hemon&Din, Egha&Roy,

Hemsy&Rhina, Mercy, atas segala dorongan yang diberikan dalam

penyelesaian studi ini.

7. Kel Pdt.A.J.Soplantila, STh atas segala dukungannya mulai dari masa

perkuliahan sampai pada penyelesaian studi

8. Keluarga Dr.J. Hehamony.SH.MH, atas segala bantuan dan dorongan

luarbiasa yang diberikan selama perkuliahan hingga penyelesaian

studi.

9. Keluarga D.Latumahina, atas segala bantuan baik selama penelitian

bahkan sampai pada proses penyelesaian studi.

10. Keluarga Pdt Oudy Ririmase, STh yang selalu mendukung pergumulan

dalam doa setiap saat.

11. Keluarga Drs.E.Pattiselano,MS atas segala dukungannya selama

menjalani hingga penyelesaian studi.

12. Keluarga dr Karuniawan Purwantono , atas segala dukungannya dalam

mendukung pergumulan penulis.

13. Keluarga R.Tasaney terutama bagi Ellen (alm) yang menongorbankan

waktu, tenaga bahkan eluarga demi mendukung Penulis .

14. Keluarga Drs.R.Munandar atas segala dorongan dan bantuannya

kepada Penulis dalam penyelesaian Disertasi ini.

viii

15. Para Pengurus dan Anggota Unit 1 Sektor Horeb Jemaat GPM

Rumahtiga Ambon , yang selalu mendoakan Penulis pada setiap doa

pergumulan di Unit Pelayanan.

Akhirnya kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per

satu, Penulis haturkan terima kasih dengan doa dan harapan kiranya Tuhan

Yesus Kristus Sumber Berkat dapat membalas semua kebaikan yang telah

diberikan kepada Penulis.

Makassar, Agustus 2013

Margie Elza Maciline Tahapary

ix

ABSTRAK

MARGIE ELZA MACILINE TAHAPARY, Paradigma Perubahan Nilai Tentang

Kedudukan Hukum Perempuan Atas Tanah Dati Di Maluku Tengah (Dalam

Perspektif Kesetaraan Gender) (dibimbing oleh Aminuddin Salle, Abrar

Saelang,Suryaman Mustari Pide)

Penelitian ini bertujuan menganalis dan menemukan paradigma yang

baru tentang adanya perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat di Maluku

Tengah.Nilai yang semula sangat menjunjung dominasi laki-laki dalam

penguasaan Tanah Dati yang kemudian mengalami pergeseran dan

perubahan.

Tipe Penelitian ini adalah Tipe Penelitian Hukum Empiris yang

didalamnya terdapat tipe penelitian Sosiologi tentang Hukum dengan

menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan sejarah dan pendekatan

perbandingan sekaligus menganalisa berdasarkan pendapat berbagai sarjana

dengan menggunakan teori-teori hukum.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan nilai dalam

masyarakat hukum adat di Maluku Tengah, nilai patriarki yang menjunjung

dominasi laki-laki mengalami perubahan walaupun sangat sedikit pergeseran

yang terjadi namun itu sudah menunjukkan bahwa kedudukan hukum

perempuan atas tanah sudah diakui dan telah terjadi kesetaraan gender

dalam penguasaan Tanah Dati pada masyarakat adat di Maluku Tengah.

Kata Kunci : Perubahan Nilai, Kesetaraan Gender

x

ABSTRAK

MARGIE ELZA MACILINE TAHAPARY, Value change on Paradigm in law of

women statue on Dati Land in Mollucas (On Equal Gender Perspektive )

(supervised by Aminuddin Salle, Abrar Saelang and Suryaman Mustari Pide)

The research is to analyze and found the new paradigm about a value

change in indegueos people in Molluca. Before that value in order to

dominate a man statue in indeguoes people in order to have a Dati Land has

value exchange..

The type of the research is empiric research of law such as a sociology

of law using conceptual approach, history approach and comparative

approach and using theories of law.

The result of research give a prove that a value change in indegueous

people in Middle of Molluca, patriarkhie value is dominate in man power in

order to get the Dati Land which is only a little change but it is already prove

that an equality of gender happen in having Dati Land on indegueos people in

Middle of Molluca.

Key Word: Value Change, equality of gender

xi

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i

LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………… ii

UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………... iii

ABSTRAK…………………………………………………………......

ABSTRACT……………………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………

ix

x

xi

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………. 1

A. Latar Belakang ………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah……………………………… 28

C. Tujuan Penelitian………………………………. 29

D. Kegunaan Penelitian…………………………..

E. Orisinalitas Penelitian…………………………..

29

30

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………..

A. Paradigma Perubahan Nilai …………………..

B. Kedudukan Hukum Perempuan Atas Tanah

Dati……………………. ………………………….

C. Kesetaraan Gender ……………………………..

33

33

86

109

BAB III. METODE PENELITIAN………………………………..

A. Tipe Penelitian……………………………………..

135

136

xii

B. Pendekatan Masalah ……………………………..

C. Lokasi Penelitian ………………………………….

D. Jenis dan Sumber Data ………………………….

E. Instrumen Pengumpulan Data …………………

F. Pengolahan dan Analisis Data………………….

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………

A. Gambaran Umum Tentang Tanah Dati Di Maluku

Tengah………………………………………………..

B. Tatanan Nilai Patriarki dalam Masyarakat Hukum

Adat Maluku Tengah ………………………………

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perubahan

Nilai Tentang Kedudukan Hukum Perempuan

atas Tanah Dati Di Maluku Tengah ………………

D. Perubahan Nilai tentang Kedudukan Hukum

Perempuan Atas Tanah Dati Di Maluku Tengah..

BAB V. PENUTUP……………………………………………….

A. Kesimpulan …………………………………………

B. Saran …………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………

139

140

141

142

143

144

144

167

189

211

222

222

224

225

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat yang menjalani kehidupan setiap saat akan menjalin

hubungan sosial dengan masyarakat lainnya. Masyarakat sebagai suatu

sistem sosial dalam kehidupannya harus dilihat sebagai suatu

keseluruhan , totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang

berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada dalam suatu

kesatuan.

Masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri atas komponen-

komponen yang menjalankan fungsi dan peran masing-masing demi

keutuhan, kelancaran, keseimbangan dan bahkan kelangsungan

kehidupan bersama. Talcott Parsons membedakan 3 (tiga) unsur pokok

dari tindakan warga masyarakat (J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto,

2011:128) yaitu: sistem kepribadian, sistem sosial dan sistem budaya.

Sistem budaya dianggap sebagai dasar dari struktur normatif sistem

sosial dan bentuk-bentuk kebutuhan serta proses-proses pengambilan

keputusan dalam sistem kepribadian. Bagi Talcott Parsons, dalam sistem

sosial masalah terpenting adalah soal integrasi, sehingga komponen

subsistem sosial yang lain-dalam hal ini sistem kepribadian dan sistem

2

budaya hanya akan dibicarakan dalam kaitannya dengan sumbangannya

terhadap integrasi sistem sosial tersebut.

Menurut Talcott Parsons ada dua hal penting bagi integrasi

sistem sosial yaitu :pertama; Sistem sosial harus mampu mendorong

warga masyarakat agar berperilaku atau bertindak sesuai dengan

harapan dan perannya…; kedua : Sistem sosial harus mampu menjauhi

tuntutan yang “aneh-aneh” dari para anggotanya agar tidak menimbulkan

penyimpangan atau konflik. Kemudian dikemukakan bahwa Talcott

Parsons mempersoalkan tentang tindakan manusia terutama yang

berkaitan dengan orientasi apa yang menjadi latar belakang tindakannya

tersebut. Menurutnya manusia dalam melakukan tindakan karena selalu

mempunyai orientasi artinya tindakan tersebut selalu diarahkan untuk

mencapai tujuan dan bentuk orientasinya adalah orientasi motivasional

dan orientasi nilai. Orientasi motivasional adalah orientasi yang berkaitan

dengan keinginan individu untuk memperbesar kepuasan dan

mengurangi kekecewaannya. Sedang orientasi nilai adalah orientasi yang

berkaitan dengan standar-standar normatif yang mempengaruhi atau

mengendalikan individu dalam mencapai tujuannya tersebut.

Masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri atas struktur

sosial yang ditandai dengan ciri sebagai berikut, yaitu : bahwa secara

vertikal; struktur sosial masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-

perbedaan antarkelas sosial dan polarisasi sosial yang cukup tajam.

3

Perbedaan secara vertikal disebut stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial

muncul akibat ketimpangan distribusi dan kelangkaan barang berharga

yang dibutuhkan masyarakat.misalnya uang, kekuasaan, pendidikan,

ketrampilan dan lain sebagainya. Dan secara horizontal; masyarakat

ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan

perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, profesi, ras, adat serta

perbedaan kedaerahan. Perbedaan secara horizontal disebut diferensiasi

sosial Diferensiasi sosial muncul karena pembagian kerja, perbedaan

agama, ras (pengelompokan individu atas dasar ciri fisik), etnis,

(pengelompokkan individu atas dasar persamaan kebudayaan seperti

bahasa, adat, sejarah, sikap dan wilayah) atau perbedaan jenis kelamin.

(Nasikun, 1984:30)

Masyarakat yang hidup dalam suatu lingkungan sosial dalam

segala tindak tanduknya atau perilakunya senantiasa diatur menurut

cara-cara yang telah disepakati bersama. Cara-cara yang telah disepakati

bersama mengatur pola perilaku masyarakat agar dapat tercipta tujuan

hidup bersama. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa yang dimaksud

dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi

wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi

menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan

yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-

4

kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. (J Dwi

Narwoko & Bagong Suyanto, 2011: 216).

Soerjono Soekanto (dalam Dwi Narwoko & Bagong Suyanto,

2011 :218) menjelaskan fungsi-fungsi pranata sosial dalam masyarakat

adalah sebagai berikut :

- Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana

bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi

segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian pranata sosial

telah siap dengan berbagai aturan atau kaidah-kaidah sosial

yang dapat dan harus dipergunakan oleh setiap anggota

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

- Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau

disintegrasi masyarakat. Hal ini mengingat bahwa sumber

pemenuhan kebutuhan hidupnya yang dapat dikatakan tidak

seimbang dengan jumlah manusia yang semakin bertambah baik

kuantitas maupun kualitasnya sehingga memungkinkan

pertentangan yang bersumber pada perebutan atau ketidakadilan

dalam usaha memenuhi kebutuhan akan ancaman kesatuan dari

warga masyarakat. Oleh karena itu, norma-norma sosial yang

terdapat dalam pranata-pranata sosial masyarakat akan

5

berfungsi untuk mengatur pemenuhan kebutuhan hidup dari

setiap warga secara adil atau memadai sehingga dapat terwujud

kesatuan yang tertib.

- Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan

sistem pengendalian sosial (social control). Sanksi-sanksi atas

pelanggaran norma-norma sosial merupakan sarana agar setiap

warga masyarakat tetap konform dengan norma-norma sosial itu

sehingga tertib sosial dapat terwujud.

Karakteristik pranata sosial menurut Gillin dan Gillin (dalam J.Dwi

Narwoko & Bagong Suyanto, 2011 : 219-220) adalah sebagai berikut :

- Pranata sosial terdiri dari seperangkat organisasi daripada

pemikiran-pemikiran dan pola-pola perikelakuan yang terwujud

melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Karakteristik ini

menegaskan kembali bahwa pranata sosial terdiri dari

sekumpulan norma-norma sosial dan peranan sosial dalam

kehidupan bermasyarakat. Norma-norma sosial ini merupakan

unsur abstraknya dari pranata sosial, sedangkan sekumpulan

dari peranan-peranan sosial karena menampakkan diri sebagai

bentuk asosiasi atau lembaga.

6

- Pranata sosial itu relatif mempunyai tingkat kekekalan tertentu.

Artinya, pranata sosial itu pada umumnya mempunyai daya

tahan tertentu yang tidak lekas lenyap dalam kehidupan

bermasyarakat. Panjangnya umur pranata sosial itu pada

dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya karena

pranata sosial itu terdiri dari norma-norma sosial, dimana norma-

norma sosial itu terbentuk melalui proses yang tidak mudah dan

relatif lama. Sementara itu, norma-norma sosial itu pada

umumnya berorientasi pada kebutuhan pokok dari kehidupan

masyarakat, sehingga sewajarnyalah apabila pranata sosial

kemudian dipelihara sebaik-baiknya oleh setiap anggota

masyarakat karena pranata sosial itu mempunyai nilai yang

tinggi. Kekekalan pranata sosial juga dipengaruhi oleh usaha dari

para warga masyarakat untuk semakin mengukuhkan atau

melestarikan bahwa ada kecenderungan manusia untuk

meningkatkan peranannya melalui usaha-usaha untuk

memperoleh serta meningkatkan kedudukan seseorang maka

akan meningkat pula peranan yang dimainkan dalam

kehidupannya.

- Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau

diwujudkan. Tujuan dasarnya adalah merupakan pedoman serta

7

arah yang ingin dicapai. Oleh karena itu, tujuan akan motivasi

ataupun mendorong manusia untuk mengusahakan serta

bertindak agar tujuan itu dapat terwujud. Dengan tujuan inilah

maka merangsang pranata sosial untuk dapat melakukan

fungsinya akan tetapi hal ini bukanlah dimaksudkan bahwa

adanya tujuan akan menjamin berfungsinya pranata sosial. Oleh

karena itu, apabila pranata sosial telah mempunyai tujuan

tertentu yang akan dicapai tetapi pranata itu sendiri tidak dapat

menjalankan fungsinya, maka tujuan tersebut akan mandul atau

steril. Tidaklah mungkin dapat terjadi ada pranata sosialyang

berfungsi tetapi tidak mempunyai tujuan yang ingin dicapai.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tujuan pranata

sosial itu dapat tercapai apabila fungsi-fungsinya dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Di dalam pranata sosial, yang dimaksud

dengan tujuan adalah sesuatu yang harus dicapai oleg golongan

masyarakat tertentu dan golongan masyarakat yang

bersangkutan pasti akan berpegang teguh padanya.

- Pranata sosial merupakan alat-alat perlengkapan yang

dipergunakan untuk mencapai tujuannya. Alat-alat perlengkapan

pranata sosial dimaksudkan agar pranata yang bersangkutan

8

dapat melaksanakan fungsinya guna mencapai tujuanyang

diinginkan.

- Pranata sosial pada umumnya dilakukan dalam bentuk lambang-

lambang.Lambang disamping merupakan spesifikasi dari suatu

pranata sosial, juga tidak jarang dimaksudkan untuk

pencerminan secara simbolis yang menggambarkan tujuan dan

fungsi dari pranata sosial yang bersangkutan.

- Pranata sosial itu mempunyai dokumen baik yang tertulis

maupun tidak. Dokumen ini dimaksudkanmenjadi suatu landasan

atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan

fungsinya.

Pranata sosial yang sering dikenal dengan lembaga sosial,

organisasi sosial maupun lembaga kemasyarakatan selalu berhubungan

dengan tiga hal yaitu :

- Nilai dan norma

- Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum

- Sistem hubungan yakni jaringan peran serta status yang menjadi

wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur

umum yang berlaku.

9

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang

memiliki suku bangsa yang beranekaragam dengan kekayaan budaya

masyarakat. Kehidupan bersama selaku masyarakat perlu diatur dengan

aturan-aturan yang mengikat dan memberikan arahan berperilaku,

dimana hukum yang dipergunakan mengatur kehidupan bersama

masyarakat.

Hukum tidak serta merta terwujud untuk mengatur kehidupan

bersama masyarakat, tetapi melalui proses yang panjang. Hukum

sebagai kaidah atau norma sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang

berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum

itu merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang

pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum hadir sebagai wujud

kehendak masyarakat melalui pandangan dan nilai-nilai yang dipegang

teguh untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat yang bertujuan

mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak. Hukum tidak

dapat dilihat sebagai norma yang absolut tetapi selalu berubah sesuai

dengan perkembangan masyarakat sebagai pencerminan perjuangan

manusia untuk mencapai keadilan bagi masyarakat. Sistem nilai sangat

berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat dan dipakai sebagai

pedoman dalam berperilaku. Sistem nilai merupakan pandangan-

pandangan mengenai apa yang dianggap baik dan buruk, dimana dipakai

untuk memberikan arahan pada kehidupan.

10

Hukum tidak terlepas dari kehidupan masyarakat sebagai

makhluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran sesamanya dalam

kehidupan bersama, sehingga selalu ada keterkaitan hukum dengan

basis sosialnya yaitu :

1. Hukum itu tidak dibuat, melainkan ditemukan. Pertumbuhan

hukum itu pada hakikatnya merupakan proses yang tidak

disadari dan organik. Hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu

institusi yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata suatu

proses dan perilaku masyarakat sendiri. Hanya kitalah yang

melihat hukum itu sebagai suatu institusi yang terpisah dengan

semua atribut dan konsep otonominya. Apa yang sekarang

disebut sebagai hukum adalah putusan arbiter yang dibuat oleh

legislatif.

2. Hukum itu tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang

sederhana pada masyarakat yang primitif sampai pada hukum

yang besar dan kompleks dalam peradaban modern. Kendati

demikian, perundang-undangan dan para ahli hukum hanya

merumuskan hukum secara teknis dan tetap merupakan alat dari

kesadaran masyarakat. (popular consciousness).

3. Hukum itu tidak mempunyai keberlakuan dan penerapan yang

universal. Setiap bangsa memiliki habitat hukumnya, seperti

mereka memiliki bahasa dan adatnya. Volksgeist (jiwa dari

11

rakyat) itu akan tampil sendiri dalam hukum suatu bangsa.

(Friedmann dalam Satjipto Rahardjo : 2010:16)

Hukum tidak dibuat tetapi ditemukan dalam kehidupan

masyarakat, dan juga tidak berlaku secara universal tetapi hukum tumbuh

dan berkembang dari kesadaran masyarakat akan pentingnya suatu nilai

dan norma untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam kehidupan

bersama.

Hukum itu adalah cerminan belaka dari kehidupan masyarakat

dimana hukum itu berada/mirror thesis. (Brian Tamanaha,2006) Hukum

yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan berlaku tidak secara

universal tetapi hanya pada suatu bagian masyarakat hukum adat

tertentu saja. Ada nilai-nilai yang sangat dipegang teguh dan dijunjung

oleh suatu masyarakat hukum adat tetapi pada masyarakat hukum adat

yang lain, nilai-nilai itu tidak dijunjung bahkan bukan merupakan suatu

hal yang berharga di mata masyarakat.

Masyarakat hukum adat tumbuh dan berkembang dalam budaya

yang sudah berakar dalam masyarakat. Kebudayaan yang beraneka

corak juga menimbulkan perbedaan dalam pola perilaku, dan ,cara

pandang dalam menjalankan kehidupan masyarakat hukum adat. Nilai-

nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat yang

satu terkadang berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang

pada masyarakat hukum adat yang lainnya. Nilai-nilai yang merupakan

12

peninggalan nenek moyang sangat dijunjung tinggi oleh komunitas

masyarakat hukum adat sebagai patokan dalam berperilaku dan

bersosialisasi setiap saat.

Masyarakat hukum adat walaupun masih hidup dalam

lingkungan/wilayah yang masih tradisional namun bukan berarti nilai-nilai

yang adapun sifatnya statis dan tidak mengalami perubahan. Perubahan-

perubahan yang terjadi pada masyarakat merupakan gejala yang normal

dan biasa terjadi di mana perubahan disebabkan berbagai macam faktor

dan dapat terjadi secara cepat ataupun lambat. Masyarakat berkembang

sesuai dengan nilai-nilai tertentu yang menonjol dalam masyarakat di

mana nilai-nilai itu dirasakan ideal untuk dijadikan patokan dalam

bertingkah laku.

Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tercermin dalam perilaku

hukum dan norma hukum dan tertata dalam struktur masyarakat

khususnya masyarakat hukum adat. Nilai mempengaruhi norma dan

norma mempengaruhi perilaku hukum.

Perubahan terjadi bukan semata-mata karena proses

pemaksaan akan tetapi telah ada kemajuan jaman dan penemuan-

penemuan baru dan berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya

perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat. Perubahan nilai dapat

terjadi akibat dari dalam masyarakat itu sendiri maupun berasal dari luar

masyarakat.Perubahan yang terjadi mempengaruhi sistem sosial

13

termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku masyarakat.

Perubahan yang ada pada satu bidang juga mempengaruhi bidang-

bidang lainnya dalam kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan di

dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara bertahap dan melalui

penyesuaian-penyesuaian dan tidak terjadi secara revoluasioner.

Pada dasarnya saat terjadinya perubahan akan ada tiga

kemungkinan: (a) penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem

sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar; (b)

pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional; (c)

serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat.

Keanekaragaman suku dan budaya memperlihatkan adanya

perbedaan susunan pola dan dasar terbentuknya suatu masyarakat

hukum adat. Menurut Soepomo, melihat pola dan dasar susunan

terbentuknya masyarakat hukum secara umum dapat digolongkan dalam

bentuk pertalian keturunan yang sama(genealogis), yang berdasar atas

lingkungan daerah (territorial) dan yang merupakan campuran dari

keduanya (genealogis territorial). Masyarakat Hukum Genealogis adalah

suatu kesatuan masyarakat yang teratur, yang keanggotaannya berasal

dari dan terikat akan kesatuan kesamaan keturunan dari satu leluhur baik

yang berasal dari hubungan darah ataupun karena pertalian perkawinan.

Masyarakat hukum genealogis dibedakan atas masyarakat hukum

patrilinial yang susunan pertalian darahnya mengikuti garis bapak dan

14

masyarakat hukum matrilineal yang susunan pertalian darahnya ditarik

menurut garis keturunan ibu dan masyarakat hukum parental yang

susunan pertalian darahnya ditarik menurut garis keturunan orangtua

secara bersama-sama.

Masyarakat Hukum Teritorial adalah kelompok masyarakat

hukum yang hidup secara teratur,tertib dan aman berdasarkan asas

kesamaan tempat tinggal serta masyarakat hukum genealogis territorial

adalah bentuk penggabungan antara struktur masyarakat hukum

genealogis dan masyarakat hukum territorial.

Provinsi Maluku sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

Negara Republik Indonesia juga memiliki masyarakat hukum adat

patrilineal, yang susunan pertalian darahnya mengikuti garis kebapakan.

Masyarakat hukum adat patrilinial khususnya di Maluku Tengah yang

mengikuti garis kebapakan memiliki sistem kekerabatan mengikuti garis

keturunan bapak dimana anak yang dilahirkan dari perkawinan masuk

dalam kerabat bapak. Masing-masing kelompok seketurunan membentuk

clan atau kesatuan kelompok yang “berhukum kebapakan” dengan nama-

nama marganya masing-masing atau lebih dikenal dengan “fam”. Hak-

hak dan kewajiban-kewajiban anak ditentukan oleh bapak dan

kerabatnya. Anak laki-laki mempunyai posisi yang paling berarti dalam

keluarga, kehadirannya sangat diharapkan. Anak perempuan kurang

diuntungkan dan kehadiran merekapun seakan tidak diharapkan. Jika

15

dalam suatu keluarga belum hadir anak laki-laki maka kurang sempurna

kehidupan mereka. Anak laki-laki sebagai penerus keturunan sangat

diharapkan dan jika dalam suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki

maka keluarga itupun dianggap sudah berada diambang kepunahan

karena tidak ada penerus keturunan mereka. Kerabat bapak kemudian

menentukan dan mengatur tentang apa yang dibolehkan dan dilarang

bagi anak diantaranya mengenai perkawinan, pewarisan dan harta

kekayaan dalam keluarga. Hubungan anak dengan kerabat lebih

diutamakan pada kerabat bapak. Peranan perempuan/ibu dan kerabat

ibu tidak begitu berarti.

Masyarakat hukum adat patrilineal di Maluku Tengah masih

kental dengan budaya yang sangat menjunjung laki-laki sebagai

pemimpin. Kaum laki-laki berada pada posisi yang lebih dibandingkan

kaum perempuan. Kaum perempuan hidup berdampingan dengan laki-

laki dan menjalani kehidupan bersama namun tidak dapat dipungkiri

bahwa pengaruh budaya dan adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi

kedudukan laki-laki masih mewarnai kehidupan bersama masyarakat

hukum adat.

Masyarakat hukum adat yang patrilineal menjalankan kehidupan

sehari-hari diwarnai dengan budaya patriarki yang kental. Anak laki-laki

dalam keluarga memiliki porsi yang lebih diutamakan dalam keluarga

dibandingkan dengan anak perempuan. Kedudukan anak dalam

16

keluarga juga turut mempengaruhi setiap proses kehidupan yang

dijalaninya, oleh karena itu dikenal beberapa pembagian kelompok anak

dalam masyarakat hukum adat yang patrilineal yaitu :

- Anak Sah; anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan

yang sah antara seorang laki-laki dari masyarakat yang

patrilineal dengan perempuan. Anak sah sering juga disebut

dengan anak kawin.

- Anak luar nikah; anak ini adalah anak yang lahir diluar

perkawinan. Anak luar nikah jika tidak diakui oleh laki-laki yang

membuahinya maka ia mempunyai hubungan hukum dengan ibu

dan kerabat ibu. Walaupun anak ini adalah anak luar nikah

namun jika ia laki-laki maka kedudukannya lebih kuat

dibandingkan dengan anak dari paman(saudara laki-laki ibu)

yang perempuan. Dia memiliki hak waris yang sama dengan

anak laki-laki yang lahir dari perkawinan yang sah.

- Anak yang diakui; adalah anak luar nikah yang telah diakui oleh

laki-laki yang membuahinya dan pengakuan itu terjadi pada saat

pasangan itu dinikahkan. Namun bisa juga terjadi pengakuan

terjadi setelah pernikahan dilangsungkan.

- Anak harta; adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah

namun si anak memakai “fam” atau marga ibunya. Maksud

dipergunakan marga ibu adalah untuk melangsungkan keturunan

17

dari pihak ibu/ jika dari pihak ibu tidak memiliki keturunan laki-

laki.

- Anak tiri; adalah anak dari suami terdahulu atau isteri terdahulu.

Yang tetap memiliki hubungan kekerabatan dengan ayah

kandung atau ibu kandungnya.

- Anak angkat; adalah anak yang diangkat untuk meneruskan

keturunan. Maksud pengangkatan anak ini adalah untuk

mempertahankan kesinambungan nama atau martabat keluarga

biasanya jika tidak ada lagi keturunan laki-laki dalam keluarga.

Untuk itu biasanya yang diangkat hanyalah anak laki-laki dan

dengan persetujuan maka hubungan antara anak dengan

kerabat bapak kandungnya resmi diputuskan dan si anak

mempergunakan marga dari bapak angkatnya.

- Anak piara; adalah anak yang dipelihara dalam sebuah keluarga

dimana seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh orang yang

memeliharanya.Namun dia tidak dapat memiliki hak waris dari

bapak piara. (Ziwar Effendi: 1987; 51-58)

Status dan kedudukan anak turut mempengaruhi kehidupan yang

dijalaninya baik untuk perkawinan, pewarisan dan harta kekayaan yang

kemudian akan diperolehnya dan dijalaninya.

Anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat hukum adat

patrilineal yang sangat menjunjung dominasi laki-laki dalam kehidupan

18

bersama setiap saat tidak lepas dari warna budaya patriarki. Dalam

kehidupan bersama selalu ada interaksi antara laki-laki dan perempuan.

Masing-masing menjalankan hak dan kewajiban demi kelangsungan

hidup. Hak perempuan sering tidak disetarakan dengan hak laki-laki.

Laki-laki dianggap lebih superior dari perempuan, laki-laki sebagai warga

kelas satu dan perempuan hanya sebagai warga kelas dua yang sering

dikesampingkan dalam kehidupan bersama. Gerakan yang melawan

keadaan ini mengusung isu kesetaraan gender untuk mengangkat hak

perempuan agar disetarakan dengan laki-laki. Inti dari gagasan

kesetaraan gender adalah keadilan sosial .Gerakan yang mengusung isu

kesetaraan gender tidak timbul dengan sendiri tetapi melalui suatu proses

yang panjang.

Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak

dan kedudukan yang sama dalam masyarakat. Hak dan kewajiban tidak

mengenal pembedaan antara laki-laki dan perempuan, semua memiliki

hak dan kewajiban yang sama dan tidak dibedakan kedudukannya di

dalam hukum. Telah terjadi pergeseran nilai dan nilai patriarki yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat hukum adat bergeser untuk

mencapai kesetaraan gender dalam hal dominasi laki-laki berkurang

dalam penguasaan tanah dati. Kedudukan laki-laki yang dominan terjadi

karena perbedaan kodrat.

19

Masyarakat hukum adat hidup berdampingan dengan memiliki

hak-hak atas wilayah persekutuannya. Di Maluku Tengah, hak-hak

masyarakat adat atas wilayah persekutuan adat dikenal dengan sebutan

“petuanan”. Wilayah petuanan adat terdiri dari petuanan darat dan

petuanan laut. Wilayah petuanan laut meliputi wilayah laut sekitar

persekutuan masyarakat hukum adat setempat sedangkan Wilayah

Petuanan darat meliputi:

- Tanah Ewang ; mengenai pengertian tanah daratan harus

dibedakan antara Ewang dan Dusun. Ewang adalah tanah

yang belum diusahakan atau digarap oleh tangan manusia;

diperusah menurut istilah masyarakat adat setempat dan masih

merupakan tanah liar. Sebaliknya dusun adalah tanah-tanah

yang telah digarap atau diperusah oleh manusia.

- Dusun ; adalah tanah-tanah yang telah digarap atau diperusah

oleh manusia. Dusun-dusun dapat dibedakan pula antara Dusun

Dati, Dusun Perusah, Dusun Negeri dan Dusun Pusaka Dusun

Dati adalah dusun yang diberikan oleh negeri kepada suatu

persekutuan dati sebagai kompensasi atas pelaksanaan tugas-

tugas dati yang dijalankan tanpa upah. Dusun perusahan atau

dusun tetanaman adalah dusun yang dibuka atau diperusah

sendiri-sendiri atau secara bersama-sama oleh anak negeri, di

atas tanah petuanan biasanya tanah yang masih berupa Ewang.

20

Dusun Negeri adalah hutan yang sudah dipelihara dan dijaga

dan masyarakat tidak bebas lagi mengambil hasilnya karena

semua hasilnya adalah untuk kas negeri. Dusun Negeri biasanya

ditanami dengan tanaman-tanaman yang menghasilkan seperti

bamboo, rotan, dammar dan pepohonan yang menghasilkan

buah seperti kelapa, langsat dsb.Dusun Pusaka adalah dusun

yang merupakan milik bersama dari suatu kelompok ahli waris

yang mereka peroleh melalui pewarisan. Dusun Pusaka pada

awalnya bisa diperoleh dengan beberapa cara yaitu : (1) dengan

menggarap atau memperusah sepotong tanah negeri yang masih

merupakan hutan atau ewang dengan ijin Pemerintah Negeri (2)

diperoleh dengan cara pembelian oleh sesorang (3) dapat juga

merupakan pemberian .

- Dusun Dati ; yang dimaksudkan dengan dusun dati disini bukan

hanya tanahnya atau tanaman saja tetapi tanah dengan semua

tanaman yang ada di atas tanah itu bersama-sama. Dusun Dati

adalah dusun yang diberikan kepada seseorang atau suatu

persekutuan atau kerabat atau cabang kerabat sebagai

kompensasi atau imbalan atas prestasi mereka karena telah

melaksanakan tugas atau pekerjaan dati. Pemberian dusun dati

bukan hanya untuk jangka waktu tertentu saja namun untuk

seterusnya sehingga terdapat ikatan atau kaitan yang tetap

21

antara dusun-dusun dati dengan pelaksanaan tugas-tugas dati

yang dibebankan kepada persekutuan dati itu. Adapun dusun

dati yang diberikan haruslah dusun yang telah ada tanaman yang

sudah siap diambil hasilnya untuk menjadi bahan pangan pokok

misalnya sagu dan bukan tanah kosong yang harus digarap atau

diperusah lebih dahulu karena memerlukan waktu yang lama

untuk memperoleh hasil atas tanah dati tersebut. Tanah dati

sebagai tanah milik komunal dalam hal ini milik suatu

persekutuan dati dirasakan sebagai suatu keadilan dan

proporsional. Tanah dati tidak bias dimiliki oleh perempuan yang

sudah kawin keluar karena disinilah ukuran keadilannya bahwa

seseorang tidak bias “makan dua dati”, cukup makan dati dari

suami saja bukan dari keluarga asal. Konstruksi ini mulai

berubah dalam masyarakat di mana revitalisasi yang diusulkan

melalui Kongres Perempuan Maluku I Tahun 2009 adalah

bertujuan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai dalam

masyarakat hukum adat, nilai-nilai ini dikuatkan kembali bukan

dihilangkan tetapi dikuatkan lagi.

Kekuatan berlakunya hak petuanan atas tanah yang menjadi

wilayah petuanan berhadapan dengan tanah-tanah yang telah dikuasai

oleh orang perorangan atau pribadi-pribadi maupun kerabat atau

persekutuan tidaklah tetap.

22

Perubahan mengenai melemah dan menguatnya hubungan hak

petuanan dengan tanah yang menjadi wilayahnya berhadapan dengan

hak-hak perorangan terdapat tiga macam fase atau tingkatan (Ziwar

Effendy,1986: 92,93) yaitu :

Pertama, keadaan dimana kekuasaan hak petuanan kuat

sekali.Rakyat yang menggarapnya hanyalah mempunyai hak usaha

saja.Kalau tanahnya ditinggalkan atau diterlantarkan oleh penggarapnya

ataupun melanggar ketentuan-ketentuan menurut adat maka tanahnya

dapat ditarik kembali oleh petuanan.

Kedua, tanah yang diberikan kepada penduduk inti atau

penduduk asal dari suatu negeri.Hak atas tanahnya dapat diwarisi oleh

keturunan dari pemegang hak.Walaupun disini hak yang bersifat pribadi

sudah mulai memegang peranan, namun petuanan masih mempunyai

hak mengawasi atas tanah yang diberikan itu berkenaan dengan

pemanfaatan dan pemeliharaannya serta pengalihan atau penggantian

dari para pemegang hak. Tanahnya masih tetap milik petuanan dan tidak

boleh dialihkan atau dipindahkan kepada orang lain tanpa persetujuan

petuanan. Di Maluku Tengah khususnya Ambon Lease, pengalihan atau

pemindahan itu harus seijin Pemerintah Negeri. Pelanggaran terhadap

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan bisa berakibat hak atas tanah dapat

dicabut kembali.Tanah semacam ini yang terdapat di daerah ini

23

diantaranya tanah dati.Pada tanah dati ini mulai ada perimbangan antara

hak perorangan dengan hak petuanan.

Ketiga, adalah keadaan dimana hak perorangan atau kelompok

sudah sedemikian kuatnya sehingga hak petuanan seakan-akan sudah

hilang kekuasaannya atas tanah itu.Hak mengaturnya sudah terlepas dari

hak petuanan dan sepenuhnya jatuh dibawah kekuasaan dari pemegang

haknya.

Tanah dati dalam perkembangannya sudah bukan merupakan

bagian dari hak petuanan bahkan dapat diwariskan pada keturunan

pemegang hak atas tanah dati. Tanah dati sebagai salah satu bagian

tanah adat yang ada di Maluku Tengah masih diakui eksistensinya

walaupun hukum adat tidak memberikan ruang kepada kaum perempuan

untuk menguasainya.

Hukum adat dalam kenyataan kehidupan masyarakat hukum

adat ternyata sifatnya dinamis dan tidak statis, hukum adat juga

menerima perubahan dalam masyarakat sepanjang itu tidak mengganggu

kehidupan masyarakat adat yang ada. Hukum adat menyesuaikan diri

dengan perkembangan dalam masyarakat. Hukum adat dapat dipakai

untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat

hukum adat. Sejarah telah membuktikan bahwa Hukum adat sejak dahulu

kala selalu mempertentangkan hak penguasaan tanah adat antara hak

laki-laki dengan hak perempuan.

24

Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat

memberi dampak dominasi laki-laki mulai berubah dan perubahan nilai

membawa dampak pada perubahan aturan. Perubahan atau pergeseran

nilai patriarki berimplikasi kedalam kehidupan masyarakat. Baik dalam

hak politik, hak social, hak ekonomi dan lain-lain.

Hukum adat memiliki sifat dan corak tersendiri. Hukum adat tidak

bersifat tertutup namun selalu menerima perubahan yang terjadi dalam

masyarakat. Walaupun hukum adat dikenal sebagai hukum yang hidup

dan berkembang dalam suatu persekutuan masyarakat hukum adat yang

dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam masyarakat

namun melalui proses penyelesaian sengketa yang berkepanjangan dan

melibatkan berbagai pihak, baik dari lembaga adat yang ada dalam

masyarakat maupun masyarakat adat itu sendiri. Hukum adat dapat

dipakai untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat

hukum adat.

Hukum adat sejak dulu selalu mempertentangkan hak

penguasaan tanah adat antara hak laki-laki dengan hak perempuan.

Masyarakat hukum adat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

Negara Indonesia memiliki nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi sebagai

warisan nenek moyang. Nilai-nilai patriarki yang menjunjung kedudukan

laki-laki dalam setiap lini kehidupan bersama termasuk didalamnya

25

kedudukan laki-laki yang lebih kuat dalam penguasaan tanah adat

khususnya tanah dati.

Nilai-nilai dalam masyarakat hukum adat inipun tidak statis sifatnya

tetapi juga mengalami perubahan-perubahan yang disebabkan oleh

berbagai macam faktor. Perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat

yang memandang kedudukan laki-laki lebih dibanding perempuan

mengalami pergeseran dan perubahan, ini terjadi bukan hanya

disebabkan pengaruh dari luar masyarakat hukum adat tetapi juga dari

dalam masyarakat hukum adat itu sendiri. Perubahan nilai yang terjadi

dalam masyarakat hukum adat mendapat dukungan yang baik dari

berbagai kalangan diantaranya kaum aktivis perempuan di Maluku yang

juga selalu memperjuangkan kesetaraan gender di Maluku.

Nilai-nilai dalam masyarakat hukum adat bukanlah bersifat absolut,

nilai-nilai yang dipertahankan baik itu nilai kebendaan, nilai keadilan, dan

berbagai nilai yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Perubahan

nilai membawa dampak pada kesetaraan gender dalam kehidupan laki-

laki dan perempuan dan walaupun ada reaksi dari kaum laki-laki tetapi

mulai berdampak pada kehidupan masyarakat khususnya dalam

penguasaan tanah dati oleh perempuan.

Perubahan nilai melahirkan konflik walaupun itu merupakan

lompatan yang dilalui oleh masa transisi. Masa transisi member dampak

pada perubahan yang berkesinambungan. Masa transisi membawa

26

dampak positif dan negatif di mana pengaruh negatif mengeliminir

perubahan dalam masyarakat dan untuk mencegah pengaruh negatif

diperlukan Peraturan Daerah yang dapat menampung aspirasi

masyarakat khususnya masyarakat hukum adat.

Hasil Kongres Perempuan Maluku I yang ingin merevitalisasi

hukum adat dimaksudkan adalah setelah direvitalisasi maka hukum adat

yang sudah dieliminir ini merupakan dampak dari kurangnya hubungan

dengan masyarakat hukum adat lainnya,kurangnya kontak dengan

budaya masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan dihilangkannya hak

atas tanah dati bagi kaum perempuan adalah bahwa kaum perempuan

khususnya yang sudah kawin tidak dapat memperoleh hak atas tanah dati

yang berasal dari bapaknya tetapi hanya dapat mewarisi dari keluarga

suaminya karena dalam hukum dati jelas bahwa seseorang hanya dapat

memiliki satu bagian atas tanah dati, tidak diperbolehkan “makan dua

dati”.

Ketidakadilan dalam peguasaan tanah dati dirasakan oleh kaum

perempuan di mana kedudukannya selalu lemah, semua ini merupakan

hasil konstruksi masyarakat hukum adat setempat di mana nilai-nilai yang

dimiliki adalah hasil konstruksi masyarakat dan bukan dari Tuhan.

Padahal sebenarnya kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah

sama, tidak ada perbedaan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang

lebih tinggi dari perempuan dalam struktur masyarakat hukum adat.

27

Persamaan kedudukan hukum laki-laki dan perempuan juga

ditemui dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang

berperspektif gender karena adanya pengakuan akan persamaan

kedudukan hukum antara laki-laki dan perempuan dalam penguasaan

tanah di Indonesia (Pasal 9 ayat (2) ).

Pergeseran nilai dari kacamata perspektif gender yang sesuai

dengan konstruksi sosial masyarakat jika dilihat dari kondisi masyarakat

Maluku khususnya masyarakat hukum adat di beberapa negeri adat di

Maluku Tengah maka perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat

cukup dinamis dan sesuai dengan perkembangan yang terjadi di

masyarakat di mana pada masyarakat hukum adat tertentu perubahan

nilai sangat terasa pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat hukum

adat tetapi pada masyarakat hukum adat yang lain perubahan tidak

terjadi bahkan sangat tertutup untuk menerima hal-hal baru di luar

masyarakat hukum adat itu sendiri.

Perubahan nilai yang terjadi berpengaruh pada adanya pengakuan

akan hak perempuan dalam penguasaan tanah dati dan jika dilihat dari

perspektif kesetaraan gender maka aspek keadilan disini terpenuhi dan

dirasakan adil bagi kaum perempuan.

Seiring dengan tumbuhnya kesadaran tentang persamaan

kedudukan dan hak asasi manusia, muncul tuntutan dari kaum

perempuan untuk mendapatkan hak dan kedudukan yang setara dengan

28

kaum laki-laki, baik dalam status sosial, otoritas dalam pengambilan

keputusan, akses dalam dunia pekerjaan, pendidikan dan lain bidang

kehidupan. Upaya untuk memperoleh kesetaraan kedudukan dari kaum

perempuan tidaklah sesederhana yang dipikirkan karena secara struktural

dan kultural, hegemoni kaum laki-laki atas kaum perempuan telah

sedemikian mapan.

Setelah melalui proses yang panjang terjadi perubahan

paradigma terhadap pandangan bahwa perempuan hanya sebagai

pelengkap penderita saja. Perubahan ini muncul sebagai akibat

kesadaran kaum perempuan bahwa mereka selalu berada dalam

kungkungan budaya patriarki yang menindas kedudukannya.Kaum

perempuan dianggap sebagai kaum yang rendah kualitas

sumberdayanya sehingga tidak mampu bersaing dengan laki-laki dalam

berbagai aspek kehidupan.Padahal dalam kehidupan nyata peran kaum

perempuan sudah berkembang begitu pesat. Kaum perempuan sudah

banyak berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan, dunia yang semula

dianggap tabu untuk dimasuki oleh kaum perempuan.

Dalam konteks hubungan gender, modernisasi kemudian

tercermin dalam perluasan hak-hak kaum perempuan sebagai manusia

yang merdeka dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kesamaan

hak yang dimiliki kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan

29

termasuk hak politik, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk

memperoleh pekerjaan dan lain sebagainya.

Realitas sosial membuktikan bahwa antara perempuan dan laki-

laki memiliki kebutuhan yang berbeda dalam keseharian kehidupannya.

Perempuan dan laki-laki dengan perbedaan fisik yang ada sejak lahir,

sudah tentu memiliki kebutuhan yang berbeda. Kesetaraan Kedudukan

laki-laki dan perempuan dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan yaitu :

- Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

- Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

- Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 pasal 15 ayat (1)

- Dari aspek sumber hukum, maka selain perundang-undangan, dikenal

pula sumber hukum lain diantaranya kebiasaan, traktat, yurisprudensi

dan doktrin.

- Dalam kenyataannya selain Undang-Undang dalam hal ini Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 memberikan hak dan kesempatan yang

sama terhadap hak atas tanah sebagai hukum positif, namun ternyata

hukum adat di Maluku yang diakui oleh beberapa yurisprudensi

Mahkamah Agung diantaranya Putusan Mahkamah Agung Nomor

697K/Sip/1977 yang memutuskan tidak diperbolehkan seorang anak

perempuan yang sudah kawin keluar memakan tanah dati dari

30

orangtuanya atau ia kehilangan hak atas tanah datinya karena

mengikuti marga suaminya. Hal mana membuktikan bahwa ada

pembatasan hak dan kesempatan bagi perempuan yang sudah kawin

untuk memiliki tanah. Ini disebabkan oleh karena adanya budaya

patriarki yang masih melekat kuat dalam kehidupan masyarakat adat di

Maluku.

- Pembatasan penguasaan tanah oleh perempuan dalam hukum adat

Maluku khususnya pada tanah atau dusun dati memperlihatkan adanya

ketidaksetaraan kedudukan dalam hukum antara kedudukan laki-laki

dan perempuan.

- Pembatasan penguasaan tanah adat oleh perempuan mendapat reaksi

yang keras dari Kaum Perempuan di Maluku melalui Konperensi

Perempuan Maluku Tahun 2009, yang mengusung isu kesetaraan

gender dalam penguasaan tanah adat khususnya tanah dati di Maluku.

Selain itu usulan revitalisasi hukum adatpun dihasilkan dalam

Konperensi ini. Revitalisasi yang diusulkan bukan dalam pengertian

menggantikan norma-norma hukum adat tetapi yang dimaksudkan disini

adalah penguatan terhadap norma-norma hukum adat yang

diberlakukan dalam masyarakat hukum adat, di mana norma-norma

hukum adat berasal dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat hukum adat yaitu nilai patriarki yang mulai mengalami

31

pergeseran nilai yang mengakui kedudukan hukum perempuan atas

tanah dati di Maluku Tengah.

- Perbedaan antara kenyataan dan keharusan yang seharusnya berlaku

dalam masyarakat menyebabkan kesenjangan yang perlu untuk dilihat

dan dianalisa lebih lanjut dan dicari penyelesaian yang dapat

menyelaraskan kehidupan bersama masyarakat hukum adat di Maluku

Tengah.

B. Rumusan Masalah

1. Sejauhmana perubahan nilai terjadi dalam masyarakat hukum

adat tentang kedudukan hukum perempuan atas tanah dati?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan

nilai tentang kedudukan hukum perempuan atas tanah dati oleh

perempuan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan penelitian

yang ingin dicapai ialah :

1. Mengkaji dan menganalisa sejauhmana perubahan nilai terjadi

dalam masyarakat hukum adat tentang kedudukan hukum

perempuan atas tanah dati dalam perspektif kesetaraan gender.

32

2. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

perubahan nilai tentang kedudukan hukum perempuan atas

tanah dati dalam perspektif kesetaraan gender.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi kegunaan untuk :

1. Secara teoritik; berguna untuk pengembangan ilmu hukum

terutama hukum adat terkait dengan paradigma perubahan nilai

tentang kedudukan hukum perempuan atas tanah dati.

2. Secara praktis; sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah

terkait dengan pengaturan hak-hak perempuan dalam

penguasaan tanah adat khususnya tanah dati di Maluku.

E. Orisinalitas Penelitian

Penelitian yang baik sudah tentu harus dijamin orisinalitasnya.

Penelitian ini akan mengkaji tentang kedudukan hukum perempuan

terhadap hak penguasaan tanah adat di Maluku dalam perspektif

kesetaran gender. Memang sebelum penelitian yang penulis lakukan,

sebelumnya sudah ada penelitian yang berkaitan dengan penguasaan

tanah adat di Maluku khususnya Tanah Dati namun penulis akan

mengkaji lebih mendalam dengan kajian kesetaraan gender.

33

Valerine J.L.Kriekhoff melalui Disertasi dengan judul Kedudukan

Tanah Dati sebagai Tanah Adat di Maluku Tengah Suatu Kajian dengan

memanfaatkan Pendekatan Antropologi Hukum. Penelitian ini mendalami

kedudukan tanah dati sebagai bagian dari tanah adat di Maluku Tengah

namun penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan pendekatan

Antropologi Hukum.

Ini tentu berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis. Penulis melakukan pengkajian yang lebih mendalam lagi tentang

Paradigma Perubahan Nilai tentang Kedudukan Hukum Perempuan atas

Tanah Adat dalam perspektif Kesetaraan Gender, yang mengkaji tentang

Hak-hak perempuan atas tanah dati dengan Perspektif Kesetaraan

Gender. Nilai patriarki yang sangat kental ada dalam masyarakat hukum

adat memberi porsi yang lebih bagi kaum laki-laki dalam penguasaan

tanah dati. Kesetaraan gender membawa pengaruh terjadinya perubahan

nilai dalam masyarakat hukum adat. Perubahan nilai terjadi karena

disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam masyarakat hukum adat

sendiri maupun yang datang dari luar masyarakat.

34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Paradigma Perubahan Nilai

Paradigma dalam bahasa Inggris “paradigm” , dari bahasa

Yunani “paradeigma” dari “para”( disamping, di sebelah) dan “dekynai”

(memperlihatkan, yang berarti; model, contoh,arketipe,ideal).

Menurut Oxford English Dictionary, “paradigm” atau paradigma

adalah contoh atau pola. Akan tetapi di dalam komunitas ilmiah,

paradigma dipahami sebagai sesuatu yang lebih konseptual dan

signifikan, meskipun bukan sesuatu yang tabu untuk diperdebatkan.

“Ordering belief frame work” begitu dikatakan Liek Wilarjo ketika

berbicara tentang paradigma yaitu suatu kerangka keyakinan dan

komitmen para Intelektual. (Otje Salman dan Anthon Susanto, 2007: 67)

Paradigma menurut Scoot (dalam Yesmil Anwar dan Adang

:2008; 42) adalah suatu model atau nilai dan ukuran sebagai pandangan

umum para ilmuwan dalam melukiskan realitas sosial.

Thomas S Kuhn (Mahmud Kusuma, 2009: 10) mengartikan

terminologi paradigma dalam dua konteks, yaitu konteks sosiologi dan

konteks filsafat. Terminologi paradigma dalam konteks sosiologi sebagai

berikut, On one hand (sociology), it stands for the entire constelattion of

35

beliefs, values, techniques, and so on shared by the members of a given

community. Secara singkat Kuhn mengartikan terminologi paradigma

dalam sosiologi adalah yang digunakan oleh anggota komunitas terkait.

Terminologi paradigma menurut Kuhn dalam konteks filsafat

adalah sebagai berikut, On the other (philosophy), it denotes one sort of

element in that constellation, the concrete puzzle solution which,

employedas models or examples, can replace explicit rules as a basis for

the solutions of the remaining puzzles of normal science. Secara singkat

terminologi paradigma dalam konteks filsafat dapat diartikan mengacu

pada salah satu elemen dalam konstelasi, merupakan solusi konkrit bagi

teka-teki yang belum terjawab, dapat digunakan sebagai model atau

contoh, yang dapat menggantikan aturan eksplisit sebagai pijakan bagi

solusi dari teka-teki yang belum terjawab dari ilmu normal.

Ritzer (George Ritzer, 2011: 86) mengemukakan pengertian

paradigma sebagai suatu pandangan fundamental tentang pokok

persoalan dalam suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma membantu

merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang

harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam

menginterpretasikan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah

kesatuan konsensus yang terluas dalam suatu cabang ilmu pengetahuan

dan yang membantu membedakan antara satu komunitas ilmuwan (atau

sub-komunitas) dari komunitas ilmuwan lainnya.

36

Paradigma sebagai suatu model atau ukuran yang dapat

dipergunakan sebagai patokan untuk mencoba merumuskan persoalan

atau permasalahan yang harus dijawab. Permasalahan yang akan

dijawab mempergunakan suatu model atau ukuran sehingga jawaban

yang diperoleh adalah jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.

Paradigma sebagai model atau ukuran membawa pada pola pikir

yang lebih terintegrasi dan jawaban yang diperoleh adalah jawaban yang

lebih memuaskan. Hubungan antara model atau ukuran pola pikir

dengan nilai-nilai yang diyakini dalam masyarakat sangat erat,

paradigma memberi patokan dalam mencari jawaban atas suatu

permasalahan. Paradigma sebagai model atau ukuran dipakai sebagai

patokan untuk dapat memecahkan suatu permasalahan. Pemecahan

masalah dapat diperoleh didasarkan pada cara pandang yang lebih

fleksibel tanpa mengenyampingkan nilai-nilai yang ada dan yang tumbuh

serta berkembang dalam masyarakat.

Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sangat erat kaitannya

dengan sosiologi sebagai Ilmu Kemasyarakatan. Sosiologi merupakan

studi mengenai masyarakat dalam suatu sistem sosial. Dalam sistem

sosial tersebut masyarakat selalu mengalami perubahan. Tidak ada

masyarakat yang tidak mengalami perubahan walaupun perubahan

dalam taraf yang paling kecil sekalipun.

37

Perubahan dapat berupa perubahan yang kecil sampai pada

perubahan yang sangat besar yang mampu membawa pengaruh yang

besar bagi aktivitas dan perilaku masyarakat. Perubahan yang mencakup

aspek yang sempit hanya meliputi perubahan perilaku dan pola pikir

sedang perubahan yang besar mencakup perubahan dalam tingkat

struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan

masyarakat di masa yang akan datang (Nanang Martono, 2011: 1).

Pada sekitar abad ke-18, Ibnu Khaldun seorang pemikir Islam

dalam bidang Ilmu Sosial pertama kali memperkenalkan konsep

perubahan sosial. Menurut Ibnu Khaldun masyarakat secara historis

bergerak dari masyarakat nomaden menuju masyarakat (yang tinggal)

menetap (disebut masyarakat kota).

Perubahan sosial mencakup perubahan sistem sosial yang

melihat perbedaan antara sistem tertentu dalam jangka waktu yang

berlainan. Konsep dasar mengenai perubahan sosial menyangkut tiga hal

, yaitu : pertama, studi mengenai perbedaan; kedua, studi harus dilakukan

pada waktu yang berbeda; dan ketiga, pengamatan pada sistem sosial

yang sama. (Sztompka,1994). Artinya bahwa untuk dapat melakukan

studi perubahan sosial, harus dilihat adanya perbedaan atau perubahan

kondisi objek yang menjadi fokus penelitian. Perubahan yang terjadi

hanya diamati pada sistem sosial yang sama.

38

Studi perubahan sosial akan melibatkan dimensi ruang dan

waktu, di mana dimensi ruang menunjukkan pada wilayah terjadinya

perubahan sosial serta kondisi yang melingkupinya sedang dimensi waktu

meliputi konteks masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Konteks masa “lalu” merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam

melakukan studi perubahan sosial di mana diamati perubahan yang

terjadi dengan membandingkan keadaan di masa “lalu” dengan masa

sekarang ini.

Perubahan sosial yang terjadi ada kalanya hanya pada sebagian

kecil ruang lingkup kehidupan tanpa menimbulkan akibat besar terhadap

yang lain namun dapat juga terjadi bahwa perubahan mencakup semua

aspek kehidupan dan menghasilkan perubahan secara menyeluruh dan

menciptakan sistem yang secara mendasar berbeda dengan sistem yang

lama.

Para ahli mendefenisikan perubahan sosial secara berbeda-

beda, diantaranya adalah :

a. Kingsley Davis mendefenisikan perubahan sosial sebagai

perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi

masyarakat.

b. Mac Iver mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan

yang terjadi dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap

keseimbangan.

39

c. Gillin dan Gillin mengartikan perubahan sosial sebagai suatu

variasi cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena

perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan,

materiil,komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya

difusi ataupun penemuan-penemuan dalam masyarakat.

d. Koenig mendefenisikan perubahan sosial sebagai modifikasi-

modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia.

e. Hawley mendefenisikan perubahan sosial sebagai setiap

perubahan yang tidak terulang dari sistem sosial sebagai satu

kesatuan.

f. Munandar mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan

yang terjadi dalam struktur dan fungsi dari bentuk-bentuk

masyarakat

g. Moore mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan

penting dari struktur sosial, yaitu pola-pola perilaku dan interaksi

sosial yang terjadi di dalam suatu masyarakat.

h. Macionis mendefinisikan perubahan sosial sebagai transformasi

dalam organisasi masyarakat dalam pola pikir dan dalam perilaku

pada waktu tertentu.

i. Ritzer mengemukakan pendapatnya bahwa konsep perubahan

sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok,

organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu.

40

j. Lauer memaknai perubahan sosial sebagai perubahan fenomena

sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat

individu-individu sampai pada tingkat dunia.

k. Harper mengartikan perubahan sosial sebagai pergantian

(perubahan) yang signifikan mengenai struktur sosial dalam

kurun waktu tertentu.

l. Perubahan di dalam struktur sosial terdiri dari beberapa tipe yaitu

: pertama, perubahan dalam personal, yang berhubungan

dengan perubahan-perubahan peran dan individu-individu baru

dalam sejarah kehidupan manusia yang berkaitan dengan

keberadaan struktur. Perubahan tipe ini bersifat gradual

(bertahap) dan tidak terlalu banyak unsur-unsur baru maupun

unsur-unsur yang hilang. Perubahan ini dapat dilihat misalnya

perubahan peran dan fungsi perempuan dalam masyarakat.

Perubahan Kedua yaitu perubahan dalam cara-cara bagian-

bagian struktur sosial berhubungan dan ketiga adalah perubahan

dalam fungsi-fungsi struktur yang berkaitan dengan apa yang

dilakukan masyarakat dan bagaimana masyarakat tersebut

melakukannya. Keempat, perubahan dalam hubungan struktur

yang berbeda, Kelima, kemunculan struktur baru yang

menggantikan struktur sebelumnya,

41

m. Soemarjan mengartikan perubahan sosial sebagai segala

perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan

di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem

sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola

perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

n. Himes dan Moore mengemukakan bahwa perubahan sosial

mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi struktural, kultural dan

interaksional : dimensi struktural mengacu pada perubahan-

perubahan dalam bentuk struktur masyarakat, menyangkut

perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan

dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial.

Perubahan meliputi bertambah atau berkurangnya kadar

peranan, menyangkut aspek perilaku, terjadi pergeseran peranan

dan terjadi perubahan akibat dari struktur. Dimensi kultural

mengacu pada perubahan kebudayaan dalam masyarakat dan

dimensi interaksional mengacu pada adanya perubahan

hubungan sosial dalam masyarakat.

Perubahan sosial yang didalamnya perubahan nilai terjadi dalam

masyarakat adalah hal yang lumrah, dan ini terjadi baik pada masyarakat

tradisional maupun masyarakat yang modern. Perubahan itu ada yang

terjadi secara cepat namun ada juga terjadi melalui proses yang panjang

dan lambat.

42

Nilai adalah ide-ide masyarakat akan sesuatu yang baik, sedang

norma merupakan suatu patokan tingkah laku manusia yang memberikan

pedoman agar supaya manusia memenuhi nilai-nilai masyarakat tersebut.

Nilai diartikan secara berbeda-beda diantaranya:

a. Menurut Lasyo (Elly Setiadi dkk: 2009; 123), Nilai bagi manusia

merupakan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku

atau perbuatannya.

b. Menurut Arthur W.Comb; (Ibid; 123), Nilai adalah kepercayaan-

kepercayaan yang digeneralisir yang berfungsi sebagai garis

pembimbing untuk menyeleksi tujuan serta perilaku yang akan

dipilih untuk dicapai.

c. Menurut Jack R.Fraenkel, (Ibid; 123), Nilai adalah gagasan-

konsep- tentang sesuatu yang dipandang penting oleh seseorang

dalam hidup.

d. Menurut Charles R.Knikker (Ibid; 123) , Nilai adalah sekelompok

sikap yang menggerakkan perbuatan atau keputusan yang

dengan sengaja menolak perbuatan.

e. Menurut Dardji Darmodihardjo(Ibid; 123), Nilai adalah sesuatu

yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani.

f. Menurut Ensiklopedia Britania (Ibid;123), Nilai adalah kualitas

objek yang menyangkut jenis apresiasi atau minat.

43

Nilai (value) biasanya digunakan untuk sesuatu yang abstrak,

yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan

(goodness). Bagi manusia, nilai dijadikan dasar, alasan, atau motivasi

dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Louis

O.Kattsoff (dalam Dardji Darmodihardjo : 2002; 234) membedakan nilai

dalam dua macam, yaitu : (1) nilai intrinsik dan (2) nilai instrumental. Nilai

intrinsik adalah nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai,

sedangkan nilai instrumental adalah nilai dari sesuatu karena dapat

dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuatu.

Radbruch (Notohamidjojo dalam Dardji : 2002; 234)

mengemukakan ada 3 (tiga) nilai yang penting bagi hukum yaitu:

Pertama; Individualwerte, nilai-nilai pribadi yang penting untuk

mewujudkan kepribadian manusia, Kedua; Gemeinschaftswerte, nilai-nilai

masyarakat, nilai yang hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat

manusia,Ketiga ; Werkwerte, nilai-nilai dalam karya manusia

(ilmu,kesenian) dan pada umumnya dalam kebudayaan.

Walter G.Everet menggolongkan nilai lebih rinci lagi menjadi

delapan macam yaitu : Nilai ekonomis (harga dalam jual beli);Nilai

kejasmanian (kesehatan);Nilai hiburan;Nilai sosial;Nilai watak;Nilai

estetis;Nilai intelektual;Nilai keagamaan. Menurut Max Scheller (dalam

Elly Setiadi: 2009; 118) Nilai memiliki hierarkhi terdiri dari : Nilai

kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakkan atau tidak mengenakkan, yang

44

berkaitan dengan indra manusia yang menyebabkan manusia senang

atau menderita; Nilai kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan;

Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung pada keadaaan jasmani

maupun lingkungan; Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci

dan tidak suci.

Sedang Notonegoro (2009: 118,119) membagi hierarkhi nilai

pada tiga yaitu : Pertama;Nilai material, yaitu segala sesuatu yang

berguna bagi unsur jasmani manusia, ;Kedua;Nilai vital, yaitu segala

sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan

aktivitas, Ketiga;Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi

rohani manusia.

Nilai kerohanian biasa dibedakan pada empat macam yaitu :

- Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta)

manusia.

- Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur

perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.

- Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur

kehendak (will, wollen, karsa) manusia.

- Nilai religious, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan

mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau

keyakinan manusia. Begitu bervariasinya pengertian nilai yang

dikemukakan dan sulit untuk mencari kesimpulan yang

45

komprehensif namun ada hal yang dapat disepakati bahwa nilai

itu penting dan berhubungan dengan masyarakat yang mengatur

atau dapat dijadikan patokan dalam berperilaku.

Nilai yang sudah tertanam dalam pola perilaku masyarakat

bahkan yang merupakan warisan nenek moyang tidaklah berarti tidak

berubah, namun nilai yang menjadi patokan dalam berperilakupun dapat

mengalami perubahan. Perubahan Nilai termasuk dalam perubahan

sosial terjadi dalam masyarakat menyangkut semua transformasi yang

mempengaruhi struktur sosial dan perilaku suatu masyarakat. Karena

masyarakat itu suatu sistem dalam interaksi, maka transformasi struktur

dalam bagian sistem menimbulkan ketegangan dan pertentangan dan

membutuhkan proses penyesuaian dalam sektor-sektor yang lain.

Dalam transformasi itu, terjadi proses dimana telah ada usaha

untuk melepaskan diri dari kebiasaan kultural sehingga terjadi modifikasi

dalam adat, kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Pitirim Sorokin

(dalam Soerjono Soekanto : 1980 : 107,108) mengemukakan teori

tentang perkembangan hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang

disesuaikan dengan tahapan-tahapan tertentu yang dilalui oleh setiap

masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai dengan nilai-nilai tertentu

yang sedang menonjol di dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-

nilai tersebut adalah yang ideational (yaitu kebenaran absolute

sebagaimana diwahyukan Tuhan Yang Maha Kuasa), sensate (yaitu nilai-

46

nilai yang didasarkan pada pengalaman) dan yang idealistic (yang

merupakan kategori campuran). Hukum dan gejala-gejala sosial budaya

lainnya terbentuk sesuai dengan bentuk nilai-nilai yang sedang berlaku di

dalam masyarakat.

Dahlan Thaib (dalam Elly Setiadi : 2009; 142) menyatakan

bahwa hukum itu sungguh-sungguh merupakan hukum apabila benar-

benar dikehendaki diterima kita sebagai anggota masyarakat; apabila kita

juga betul-betul berpikir demikian seperti yang dirumuskan dalam undang-

undang dan terutama juga betul-betul telah menjadi realitas hidup dalam

kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dengan demikian hukum

sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku pada

suatu masyarakat.

Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan

pencerminan dari nilai. Nilai ------- norma --------- hukum. Nilai yang

dipedomani dan dipergunakan sebagai landasan dalam berperilaku setiap

saat oleh masyarakat hukum adat kemudian berkembang menjadi norma-

norma dalam hukum adat yang dipegang teguh dan kemudian

berkembang menjadi aturan-aturan dalam hukum adat masyarakat

hukum adat yang ditaati sebagai patokan dalam kehidupan mereka setiap

saat.

Paradigma ------ Nilai ------ Perubahan Nilai

47

Paradigma dipergunakan sebagai patokan dalam memberikan

arahan bagi masyarakat hukum adat untuk menjawab permasalahan

dalam kaitannya dengan nilai yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat hukum adat di mana nilai yang semula sangat dijunjung tinggi

kemudian mengalami perubahan nilai yang juga membawa dampak bagi

kehidupan masyarakat hukum adat secara utuh.

Perubahan nilai memiliki kaitan yang erat dengan perubahan

sosial dalam suatu masyarakat. Interaksi perubahan sosial dengan

perubahan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Paradigma sebagai model atau cara pandang tidak memandang

persoalan hukum terpisah dari perubahan sosial namun dilihat sebagai

dua sisi keping mata uang . Adapun paradigma yang berkembang

memberi format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan

perubahan hukum adalah : (Saifullah : 2007; 31) :

1. Hukum melayani kebutuhan masyarakat agar supaya hukum itu tidak

akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan

masyarakat : Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma pertama ini

adalah :

a) Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam

kondisi ketergantungan

b) Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial

c) Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru

48

d) Hukum sebagai fungsi pengabdian

e) Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti di tempatnya

adalah di belakang peristiwa bukan mendahuluinya.

Paradigma yang pertama di sebut sebagai Paradigma Hukum

Penyesuaian Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini

adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan

diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Lajunya perubahan sosial membawa dampak pada perubahan

hukum. Paradigma pertama ini dalam interaksi perubahan sosial

terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini

membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila

masyarakat membutuhkan pengaturannya. Jadi sifatnya

menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa atau

konflik maka kemudian baru dipikirkan kebutuhan dalam

pengaturan nya secara formal dalam peraturan perundang-

undangan.

2. Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau

setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang

berlangsung dalam masyarakat. Ciri-ciri yang terdapat dalam

paradigm kedua ini adalah :

a) Law as a tool of social engineering

b) Law as a tool of direct social change

49

c) Berorientasi ke masa depan (forward looking)

d) Ius Constituendum

e) Hukum berperan aktif

f) Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan

dan mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan

tersebut.

Paradigma kedua ini disebut sebagai Paradigma Hukum

Antisipasi Masa Depan. Persoalan hukum yang akan datang

dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara

matang peraturan perundang-undangan yang telah diratifikasi

misalnya peraturan perundang-undangan di bidang Hukum

Internasional.

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja(200 9; 142) menyatakan “

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup

(the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau

merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat

tersebut”.

Jawahir Thontowi dalam bukunya “Hukum, Kekerasan&Kearifan

Lokal (Penyelesaian Sengketa di Sulawesi Selatan)”, mengatakan :

Sebagian berpendapat bahwa tidak ada hukum dalam masyarakat tanpa

Negara. Tapi argument ini tidak lagi popular.

50

Pospisil (1954), Bohanann(1969) dan von Benda-Beckman(1984)

percaya bahwa hukum ada dalam masyarakat tanpa Negara dan berlaku

dalam tingkat yang berbeda-beda. (Sabian Usman : 2010; 18,19)

Leopold Pospisil dalam Hasan (2007) memaparkan hukum berfungsi

sebagai pengendalian masyarakat sebagai berikut :

tidak ada hukum kalau tidak ada masyarakat. Sebaliknya tidak ada masyarakat tanpa adanya hukum. Hukum ada di dalam masyarakat yang paling bersahaja sekalipun. Karena hukum dirasakan dapat menata kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat bersepakat membuat perangkat norma, kebiasaan atau nilai, bahkan aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau yang mendasari perilaku dan tindakan mereka.

Pendapat yang dikemukakan Sorokin tentang perkembangan

hukum tidak terlalu memuaskan namun perlu dicatat bahwa setiap sistem

hukum tidak akan menutup diri terhadap perubahan-perubahan yang

terjadi dalam masyarakat.

Dalam gagasan Thomas Kuhn tidak ditemukan makna teknis apa

yang disebut paradigma itu. Namun sesuai dengan pandangan atau teori

yang dikembangkannya, paradigma selalu berkaitan dengan revolusi

keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak

terorganisasi yang mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi

tersusun dan terarah pada suatu paradigma tunggal telah dianut oleh

suatu masyarakat ilmiah. Suatu paradigma terdiri dari asumsi-asumsi

51

teoritis yang umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik untuk

penerapannya yang diterima oleh para anggota suatu masyarakat ilmiah.

Para ilmuwan akan menjelaskan dan mengembangkan

paradigma dalam usaha untuk mempertanggungjawabkan dan

menjabarkan perilaku beberapa aspek yang relevan dengan dunia nyata.

Dalam hal yang demikian para ilmuwan tidak terelakkan dari kesulitan

dan bila terbebas dari kesulitan maka berkembanglah keadaan krisis

dimana krisis teratasi bila lahir paradigma baru sepenuhnya dan menarik

makin banyak kepercayaan para ilmuwan sampai paradigma orisinal

yang telah menimbulkan problema itu dilepaskan.

Nilai-nilai yang sudah tertanam dalam masyarakat khususnya

masyarakat hukum adat yang menjunjung warisan nilai-nilai dari nenek

moyang sangat menjunjung laki-laki sebagai warga masyarakat kelas

satu. Pada mulanya kata “Patriarki” memiliki pengertian sempit yang

secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, di mana kepala

keluarga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak

atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang menjadi

tanggungannya berikut budak laki-laki dan perempuannya.(Julia Mosse:

1992; 64). Patriarki kini digunakan untuk melihat dominasi laki-laki atas

perempuan yang berlanjut pada dominasi laki-laki dalam semua

lingkungan kemasyarakatan lainnya.

52

Warisan patriarki yang sudah turun temurun bahkan masuk

hampir dalam semua lini kehidupan masyarakat hukum adat

menimbulkan ketidakadilan karena telah terjadi perbedaan perlakuan

berdasarkan jenis kelamin. Pandangan patriarki pada masyarakat yang

terorganisir sepanjang garis patrilinial dimana ada ketidaksetaraan

(unequal) hubungan antara laki-laki dan perempuan. Patriarki masuk

dalam semua aspek kehidupan masyarakat dan sistem sosial.

Nilai patriarki yang sudah mengakar dalam kehidupan

masyarakat bukan berarti merupakan harga mati yang berimplikasi

pada kehidupan masyarakat hukum adat dalam pengertian bahwa nilai

patriarki dapat mengalami pergeseran dalam penerapan di masyarakat

hukum adat, pergeseran ini berimplikasi pada perubahan pola pikir dan

sikap masyarakat terhadap nilai patriarki itu sendiri. Nilai patriarki yang

semula sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat hukum adat

mulai mengalami pergeseran sehingga pola pikir masyarakatpun

berubah dari tidak adanya pengakuan akan hak perempuan atas tanah

dati kemudian berubah dengan adanya pengakuan akan hak

perempuan atas tanah dati.

Perempuan seperti warga kelas dua dalam masyarakat yang

hanya menerima nasib sebagai pelengkap penderita dalam setiap hari

hidupnya. Patriarki menurut Bhasin (1996:1) berarti kekuasaan bapak

atau patriarch. Istilah ini secara umum dipergunakan untuk menyebut

53

kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai

perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan

tetap dikuasai melalui berbagai macam cara. Patriarki membentuk laki-

laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan

yang dijadikan sebagai subordinatnya.

Patriarki menurut Bhasin (1996:3) merupakan sebuah sistem

dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan,

dalam mana perempuan dikuasai. Dalam patriarki melekat ideologi yang

menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa

perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah

bagian dari milik laki-laki. Dengan demikian, terciptalah konstruksi sosial

yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan dan laki-laki berkuasa

penuh mengendalikan hal tersebut. (Bhasin:1996:4)

Selanjutnya Bhasin (1996: 5-10) menguraikan bidang-bidang

kehidupan perempuan yang normalnya berada di bawah kontrol patriarki

atas 5 (lima) bagian yaitu :

1. Daya produktif atau tenaga kerja perempuan. Laki-laki

mengontrol produktivitas perempuan di dalam dan di luar

rumahtangga, dalam kerja bayaran. Di dalam rumahtangga,

perempuan memberikan semua pelayanan kepada suami dan

anak-anak, di luar rumah laki-laki mengontrol kerja perempuan

melalui berbagai cara di mana salah satunya dengan memilih

54

jenis pekerjaan yang oleh laki-laki dianggap cocok untuk

perempuan.

2. Laki-laki mengontrol daya reproduksi perempuan. Dalam banyak

masyarakat, perempuan tidak memiliki kebebasan dalam

menentukan jumlah anak yang dinginkan dan waktu untuk

melahirkan anak. Hal itu berada di tangan laki-laki sebagai

pengambil keputusan.

3. Kontrol laki-laki juga berlaku atas seksual perempuan,

perempuan diharuskan memberikan pelayanan seksual kepada

laki-laki sesuai keinginan dan kebutuhan laki-laki.

4. Gerak perempuan dikontrol untuk mengendalikan seksualitas,

produksi dan reproduksi mereka. Perempuan dilarang

meninggalkan ruangan rumahtangga, pemisahan ketat antara

privat dan publik, pembatasan interaksi antara kedua jenis

kelamin, dsb.

5. Laki-laki juga mengontrol harta milik dan sumber daya ekonomi

lain dengan jalan sistem pewarisan dari laki-laki ke laki-laki.

Meskipun perempuan dalam ha ini memperoleh bagian,

jumlahnya tidak sama atau lebih kecil dibandingkan yang

diperoleh laki-laki.

Rendall Collins mengemukakan bahwa ketidakadilan

berdasarkan jenis kelamin bervariasi sesuai dengan “tipe-tipe

55

masyarakat”, dan hal ini terlihat pada masyarakat hukum adat yang

sangat menjunjung laki-laki dengan dominasinya dalam kehidupan

bersama. Ketidakadilan yang disebabkan jenis kelamin yang berbeda

bervariasi sesuai dengan tipe-tipe masyarakatnya. Pada masyarakat

tertentu perbedaan jenis kelamin tidak memberikan implikasi dalam

kehidupan setiap hari namun ada masyarakat yang melihat perbedaan

jenis kelamin sebagai salah satu sebab perbedaan kedudukan dan

kewajiban dalam kehidupan setiap hari.

Kesetaraan gender bukan menuntut persamaan hak antara laki-

laki dan perempuan tetapi kesetaraan dalam pengertian bahwa kaum

perempuan dalam menuntut haknya tidak melupakan kodratnya sebagai

perempuan yang merupakan ibu yang memiliki tanggungjawab atas

keluarga dalam hal ini suami dan anak-anak. Tidak selamanya

kesetaraan mencerminkan keadilan, kesetaraan bukanlah jaminan atas

adanya keadilan tetapi keadilan yang dimaksud adalah adil sesuai kodrat

masing-masing.

Feminisme menurut Goefe (Sugihastuti,2000: 37) ialah teori

tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik,

ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan

hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme muncul sebagai

upaya perlawanan atas berbagai upaya kontrol laki-laki atas perempuan

tetapi feminisme berbeda dengan emansipasi,

56

Sofia dan Sugihastuti (2003:24) menjelaskan bahwa emansipasi

lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan

tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak

adil, sedangkan feminism memandang perempuan memiliki aktivitas dan

inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut

dalam berbagai gerakan. Gerakan yang diperjuangkan adalah dalam

upaya untuk menghadirkan perubahan baik dalam pola pikir bahkan

sedapat mungkin menghadirkan perubahan yang berarti dalam tatanan

kehidupan masyarakat.

Untuk memahami hukum dalam kehidupan masyarakat, ada

beberapa pendapat yang mengemuka yaitu :

- Menurut Radcliffe-Brown, hukum adalah suatu sistem

pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan

masyarakat yang berada dalam suatu bangunan Negara, karena

hanya dalam suatu organisasi sosial seperti Negara terdapat

pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dll.

Sebagai pranata Negara yang mutlak harus ada untuk menjaga

keteraturan sosial dalam masyarakat. Karena itu, dalam

masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi

secara politis sebagai suatu Negara tidak mempunyai hukum.

Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam

masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang

57

ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan.

(automatic-spontaneous submissionto tradition)

- Di sisi lain, Malinowski berpendapat bahwa hukum tidak semata-

mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu

Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (legal

order)terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam

kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi

ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, seperti dikatakan

Radcliffe-Brown, tetapi karena adanya prinsip timbal – balik

(principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of

publicity). (I Nyoman Nurjaya:12,13)

Dalam kehidupan bersama sebagai bagian yang tidak

terpisahkan maka keserasian atau harmoni dalam masyarakat

merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Keserasian masyarakat

disini adalah suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan

yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi. (Selo Sumardjan

dalam Soerjono Soekanto: 2010: 288)

Keserasian dalam masyarakat akan memberikan ketenteraman

secara psikologis karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma

dan nilai-nilai. Setiap terjadi gangguan terhadap keadaan keserasian,

masyarakat dapat menolaknya atau mengubah susunan lembaga-

lembaga kemasyarakatannya dengan maksud menerima unsur yang

58

baru.Apabila masyarakat tidak dapat menolaknya karena unsur baru

tersebut tidak menimbulkan kegoncangan, pengaruhnya tetap ada tetapi

sifatnya dangkal dan hanya terbatas pada bentuk luarnya. Norma-norma

dan nilai-nilai tidak akan terpengaruh olehnya dan dapat berfungsi secara

wajar.

Adakalanya unsur-unsur baru dan yang lama bertentangan

secara bersamaan mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang

kemudian berpengaruh pula pada masyarakat. Masyarakat hukum adat

hidup dalam suatu sistem sosial dimana masyarakatnyapun selalu

mengalami perubahan. Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami

perubahan walaupun dalam taraf yang paling kecil sekalipun. Perubahan

tersebut dapat berupa perubahan yang kecil sampai pada taraf

perubahan yang sangat besar, yang mampu memberikan pengaruh yang

sangat besar bagi aktivitas atau perilaku manusia.

Perubahan dapat mencakup aspek yang sempit maupun yang

luas, aspek yang sempit dapat meliputi aspek perilaku dan pola pikir

individu sedang aspek yang luas dapat berupa perubahan dalam tingkat

struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan

masyarakat di masa yang akan datang. Konsep Perubahan sosial mulai

diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun seorang pemikir Islam dalam bidang

Ilmu Sosial di abad ke-18. Menurut Ibnu Khaldun Perubahan Sosial

adalah masyarakat secara historis bergerak dari masyarakat nomaden

59

menuju masyarakat (yang tinggal) menetap (disebut masyarakat kota)

(Soerjono Soekanto : 2010: 2)

Kingsley Davis mendefenisikan perubahan sosial sebagai

perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

Menurut Mac Iver, perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi

dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan,

menurut Gillin dan Gillin, perubahan dilihat sebagai suatu variasi cara-

cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan-perubahan kondisi

geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun

karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan dalam masyarakat,

dan menurut Selo Soemardjan perubahan sosial meliputi perubahan-

perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu

masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya

nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam

masyarakat.

Menurut Macionis, perubahan sosial merupakan transformasi

dalam organisasi masyarakat dalam pola berpikir dan pola perilaku pada

waktu tertentu. (Selo Soemardjan; 2010: 4-5). Bentuk-bentuk perubahan

dapat dibedakan menjadi :

1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat

Perubahan-perubahan memerlukan waktu yang lama dan

rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling mengikuti

60

dinamakan evolusi. Pada evolusi, perubahan terjadi dengan

sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan

tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk

menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-

keadaan, kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan

pertumbuhan masyarakat. Evolusi dapat digolongkan dalam

beberapa kategori sebagai berikut (Soerjono Soekanto: 2010 :

269-271)

a. Unilinear theories of evolution; teori ini pada pokoknya

berpendapat bahwa manusia dan masyarakat (termasuk

kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai

dengan tahap-tahap tertentu, bermula dari bentuk yang

sederhana. Pitirim A.Sorokin mengemukakan teori

dinamika sosial dan kebudayaan yang menyatakan bahwa

masyarakat berkembang melalui tahap-tahap yang

masing-masing didasarkan pada suatu sistem kebenaran.

Dalam tahap pertama dasarnya kepercayaan, tahap

kedua dasarnya adalah indra manusia dan tahap terakhir

dasarnya adalah kebenaran

b. Universal theory of evolution; teori ini menyatakan bahwa

perkembangan masyarakat tidaklah perlu melalui tahap-

tahap tertentu yang tetap. Teori ini mengemukakan bahwa

61

kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi

tertentu. Prinsip teori ini diuraikan oleh Herbert Spencer

yang antara lain mengatakan bahwa masyarakat

merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen

ke kelompok yang heterogen, baik sifat maupun

susunannya.

c. Multilined theories of evolution; teori ini lebih menekankan

pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap

perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat,

misalnya mengadakan penelitian perihal pengaruh

perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke

pertanian, terhadap sistem kekeluargaan dalam

masyarakat yang bersangkutan dan seterusnya.

Dewasa ini agak sulit untuk menentukan apakah suatu

masyarakat berkembang melalui tahap-tahap tertentu.

Sebaliknya juga sulit untuk menentukan kearah mana

masyarakat akan berkembang, apakah pasti menuju ke

bentuk kehidupan sosial yang lebih sempurna atau

bahkan sebaliknya.

Revolusi merupakan perubahan-perubahan sosial dan

kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut

dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.

62

Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang

cepat, perubahan tersebut mengenai dasar-dasar dan sendi-

sendi pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi,

perubahan-perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih

dahulu atau tanpa rencana. Ukuran kecepatan suatu perubahan

yang dinamakan revolusi sebenarnya relative karena revolusi

dapat memakan waktu yang lama.

Revolusi dapat terjadi jika dipenuhi syarat-syarat tertentu seperti

sebagai berikut:

- Harus ada keinginan umum untuk mengadakan suatu

perubahan. Di dalam masyarakat, harus ada perasaan

tidak puas terhadap keadaan dan suatu keinginan untuk

mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan

tersebut.

- Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang

dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.

- Adanya pemimpin yang dapat menampung keinginan-

keinginan masyarakat untuk kemudian merumuskan

serta menegaskan rasa tidak puas tadi menjadi program

dan arah gerakan

- Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu

tujuan pada masyarakat. Artinya tujuan tersebut

63

terutama bersifat konkrit dan dapat dilihat oleh

masyarakat. Di samping itu, diperlukan juga suatu tujuan

yang abstrak misalnya perumusan suatu ideologi

tertentu.

- Harus ada “momentum” yaitu saat dimana segala

keadaan dam faktor sudah tepat dan baik untuk memulai

suatu gerakan. Apabila “momentum” keliru, revolusi

dapat gagal.

Revolusi merupakan wujud perubahan sosial yang paling

spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses

historis; dan pembentukan ulang masyarakat dari dalam.

Menurut Sztompka, revolusi mempunyai perbedaan dengan

bentuk perubahan sosial yang lain. Perbedaan tersebut adalah

revolusi menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas;

menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat: ekonomi,

politik, budaya organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, dan

kepribadian manusia; dalam semua bidang tersebut,

perubahannya radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan

dan fungsi sosial; perubahan yang terjadi sangat cepat; revolusi

membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual

pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa,

antusiasme, kegemparan, kegirangan, optimism dan harapan;

64

perasaan hebat dan perkasa; keriangan aktivisme dan

menanggapi kembali makna hidup; melambungkan aspirasi dan

pandangan utopia ke masa depan. (Selo Soemardjan; 2010; 13-

14)

Defenisi Revolusi dapat dibedakan atas 3 (tiga) kelompok yaitu

: Kelompok Pertama, mencakup defenisi yang menekankan

aspek fundamental dan tingkat transformasi masyarakat.

Defenisi ini memfokuskan pada lingkup dan kedalaman dari

suatu perubahan. Dalam hal ini, revolusi bertindak sebagai

antonim reformasi. Oleh karena itu, menurut Sztompka revolusi

didefenisikan sebagai perubahan yang radikal, yang mencakup

perubahan bidang politik, sosial, ekonomi, dan struktur

masyarakat. Perubahan ini juga menyangkut aspek teknologi,

moral, ilmu pengetahuan, mode pakaian dan sebagainya.

Kelompok Kedua, mencakup defenisi yang menekankan pada

kekerasan dan perjuangan serta kecepatan perubahan. Disini

revolusi merupakan antonim evolusi. Beberapa defenisi yang

tercakup dalam kelompok ini antara lain menurut Johnson,

revolusi dimaknai sebagai upaya-upaya untuk merealisasikan

perubahan dalam konstitusi masyarakat dengan kekuatan;

menurut Gurr, revolusi merupakan perubahan yang fundamental

(dalam aspek) sosio-politik melalui kekerasan; menurut Brinton,

65

revolusi merupakan pergantian yang drastis dan tiba-tiba dari

satu kelompok oleh kelompok laindalam pelaksanaan

pemerintahan.

Kelompok Ketiga, mendefinisikan revolusi sebagai kombinasi

kedua aspek revolusi sebelumnya sehingga menjadi sebuah

formula baru. Revolusi menurut Huntington adalah perubahan

yang cepat, fundamental dan kekerasan domestik dalam nilai-

nilai dan tradisi masyarakat, institusi politik, struktur sosial,

kepemimpinandan aktivitas serta kebijakan pemerintah; menurut

Skockpol, revolusimerupakan transformasi kehidupan

masyarakat secara cepat dan mendasar dan struktur kelas yang

dilakukan oleh kelas bawah; menurut Giddens, revolusi

didefenisikan sebagai perampasan kekuasaan Negara melalui

kekerasan oleh para pemimpin, gerakan massa, ketika

kekerasan kemudian digunakan untuk memulai proses reformasi

sosial (Sztompka dalam Selo Soemardjan; 2010; 14-15).

2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar; Perubahan Kecil

merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur

struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau

berarti bagi masyarakat. Misalnya perubahan mode pakaian bagi

masyarakat secara keseluruhan karena tidak mengakibatkan

perubahan-perubahan bagi lembaga-lembaga kemasyarakatan.

66

Sebaliknya, agraris misalnya merupakan perubahan yang akan

membawa pengaruh besar pada masyarakat. Pelbagai lembaga

kemasyarakatan akan ikut terpengaruh misalnya hubungan kerja,

sistem milik tanah, hubungan kekeluargaan, stratifikasi

masyarakat. Kepadatan penduduk di pulau Jawa misalnya telah

melahirkan berbagai perubahan dengan pengaruh besar. Areal

tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit,

pengangguran bertambah dsb.

Perubahan yang kecil dan perubahan yang besar ; perubahan

yang kecil pada dasarnya merupakan perubahan yang terjadi

pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh

langsung yang berarti bagi masyarakat. Sebaliknya perubahan

yang besar merupakan perubahan yang membawa pengaruh

yang cukup besar bagi masyarakat.

3. Perubahan yang Dikehendaki atau Perubahan yang

Direncanakan dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki dan tidak

Direncanakan; Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau

yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang

terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan

pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya

akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Apabila

perubahan yang tidak dikehendaki tersebut berlangsung

67

bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki,

perubahan tersebut mungkin mempunyai pengaruh yang

demikian besarnya terhadap perubahan-perubahan yang

dikehendaki. Dengan demikian keadaan tersebut tidak mungkin

diubah tanpa mendapat halangan-halangan masyarakat itu

sendiri. Atau dengan kata lain, perubahan yang dikehendaki

diterima oleh masyarakat dengan cara mengadakan perubahan-

perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada

atau dengan cara membentuk yang baru. Sering kali terjadi

perubahan yang dikehendaki bekerja sama dengan perubahan

yang tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut saling

mempengaruhi.

Konsep perubahan yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki

tidak mencakup paham apakah perubahan-perubahan tadi

diharapkan atau tidak diharapkan oleh masyarakat. Mungkin

suatu perubahan yang tidak dikehendaki sangat diharapkan dan

diterima oleh masyarakat. Pada umumnya sulit untuk

mengadakan ramalan tentang terjadinya perubahan-perubahan

yang tidak dikehendaki. Karena proses tersebut biasanya tidak

hanya merupakan akibat dari satu gejala sosial saja tetapi dari

pelbagai gejala sosial sekaligus.

68

Perubahan yang direncanakan merupakan perubahan yang

direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak

mengadakan perubahan, yang dinamakan agent of change ,

yang merupakan seseorang atau kelompok masyarakat yang

mendapat kepercayaan sebagai pemimpin pada satu atau lebih

lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan yang

direncanakan selalu berada dibawah kendali agent of change

tersebut. Perubahan sosial yang tidak dikehendaki merupakan

perubahan yang terjadi tanpa direncanakan , berlangsung di luar

jangkauan atau pengawasan masyarakat serta dapat

menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak

dikehendaki.

Hak perempuan yang semula tidak disejajarkan dengan hak laki-

laki dalam penguasaan tanah dati perlu diadakan pembaharuan atau

perubahan hukum.Terjadinya perubahan hukum melalui dua bentuk yakni

masyarakat berubah terlebih dahulu baru hukum mengesahkan

perubahan itu (perubahan yang terjadi bersifat pasif) dan hukum adalah

alat untuk mengubah masyarakat kearah yang lebih baik.Dalam bentuk

ini, perubahan hukum itu harus dikehendaki (tended change) dan harus

direncanakan (planed change) sedemikian rupa sesuai yang diharapkan.

Perubahan model ini sifatnya aktif artinya pihak yang berwenang aktif

69

merencanakan dan mengarahkan agar konsep pembaruan hukum itu

dapat berjalan secara efektif.

Menurut Achmad Ali (Abdul Manan : 2005) sebenarnya tidak

perlu mempersoalkan tentang bagaimana hukum menyesuaikan diri

dengan perubahan masyarakat, dan bagaimana hukum menjadi

penggerak kearah perubahan masyarakat. Juga tidak perlu ngotot mana

yang lebih dahulu, apakah hukum yang lebih dahulu baru diikuti oleh

faktor lain, ataukah faktor lain dulu baru hukum ikut-ikutan menggerakkan

perubahan itu. Yang penting, bagaimanapun kenyataannya hukum dapat

ikut serta (sebagai pertama atau kedua atau ke berapa pun tidak menjadi

soal) dalam menggerakkan perubahan. Kenyataannya, di manapun

dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam

mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik.

Sesuai dengan fungsi hukum bahwa : pertama; sebagai standart

of conduct yakni sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati

oleh setiap orang dalam bertindak dalam melakukan hubungan satu

dengan yang lain, kedua : sebagai as a tool of social engeneering yakni

sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat kea rah yang lebih

baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup masyarakat, ketiga:

sebagai as a tool of social control yakni sebaga ialat untuk mengontrol

tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan

perbuatan yang melawan norma hukum, agama dan susila,

70

keempat:sebagai as afacility on the human interaction yaknihukum

berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban,tetapi

jugamenciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar

proses interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk

menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat (Abdul Manan:3)

Agar fungsi hukum seperti telah dikemukakan dapat berjalan

dengan baik sesuai yang diharapkan maka hukum tidak boleh statis tetapi

harus dinamis dan harus sesuai atau sejalan dengan perkembangan

zaman dan dinamika masyarakat. Ahmad Musthafa al Maraghi

mengemukakan bahwa sesungguhnya hukum-hukum itu dibuat dan

diundangkan untuk kepentingan manusia, sedangkan kepentingan

manusia itu tidak sama, berbeda satu dengan yang lain yang disebabkan

karena ada perbedaan kondisi dan situasi dan waktu dan tempat. Oleh

karena itu, apabila suatu hokum yang dibuat pada waktu di mana hukum

itu dirasakan suatu kebutuhan, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi,

maka suatu hal yang sangat bijaksana hukum itu diubah dan disesuaikan

dengan kondisi zaman. (Abdul Manan:3,4)

Agar hukum efektif berlaku di tengah-tengah kehidupan

masyarakat maka perubahan hukum harus mementingkan tiga ketentuan

yakni pertama: perubahan hukum itu tidak dilakukan secara parsial

melainkan perubahan itu harus menyerahkan terutama kepada doktrin,

norma-norma yang tidak sesuai dengan kondisi zaman,kedua perubahan

71

itu harus juga mencakup dalam cara penerapan hukum hendaklah

ditinggalkan demikian dalam cara-cara penafsiran hukum yang tidak

melihat perkembangan zaman; ketiga harus juga diadakan pada kaidah

(aturan) yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia. (Abdul

Manan: 4,5)

Ada dua pandangan dalam rangka perubahan hukum yang

berlaku dalam kehidupan masyarakat yaitu :

1. Pandangan tradisional; dalam rangka perubahan hukum maka

masyarakat perlu berubah dahulu baru hukum datang untuk

mengaturnya. Biasanya teknologi masuk dalam kehidupan

masyarakat itu kemudian disusul dengan timbulnya kegiatan

ekonomi dan setelah kedua kegiatan itu berjalan, baru hukum

masuk untuk mengesahkan kondisi yang telah ada.

La Piere (Abdul Manan : 2005) mengatakan bahwa faktor yang

menggerakkan perubahan itu sebenarnya bukan hukum,

melainkan faktor lain seperti bertambahnya penduduk,

perubahan nilai dan ideologi serta teknologi canggih. Ini terlihat

bahwa jika suatu saat memang menjadi perubahan dalam

masyarakat sesuai yang dikehendaki, maka hukum tetap bukan

faktor penyebabnya, hukum hanya dilihat sebagai akibat

perubahan saja. Jika muncul hukum-hukum baru, sebenarnya

yang demikian itu hanya akibat dari keadaan masyarakat yang

72

memang telah berubah sebelumnya, sehingga hukum hanya

sekedar mengukuhkan apa yang sebenarnya memang telah

berubah. Sebelum hukum muncul sebagai alat untuk

menciptakan perubahan, sebetulnya telah lebih dahulu bekerja

kekuatan-kekuatan perubahan lain seperti penemuan teknologi

baru, kontak serta konflik dengan budaya lain, gerakan-gerakan

sosial, fungsi-fungsi perubahan fisik, biologi serta kependudukan.

Setelah kekuatan-kekuatan lain berjalan hingga tingkat

perubahan tertentu barulah hukum dipanggil untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul akibat dari

perubahan itu.

Teori-teori yang ada hubungannya dengan perubahan hukum

yaitu :

a. Teori Utilitarisme yang dikemukakan oleh Jeremy

Bentham yang mengatakan bahwa manusia akan

bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-

besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik

buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada

apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan

ataukah tidak. Lebih lanjut Jeremy Bentham berpendapat

bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat

melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan

73

keadilan bagi semua individu. Teori hukum ini bertujuan

untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai

dengan daya guna (efektif). Lebih lanjut Jeremy Bentham

mengatakan bahwa hukum dan moral merupakan dua hal

yang tidak bisa dipisahkan. Hukum mesti bermuatan moral

dan moral mesti bermuatan hukum, mengingat moral itu

merupakan salah satu sendi utama kehidupan manusia

yang berakar pada kehendaknya. Hukum yang efisien dan

efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya

yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada

jumlah warga terbanyak. Benang merah atau keterkaitan

antara teori Jeremy Bentham dengan kesetaraan gender

yang dimaksudkan disini adalah bahwa perjuangan untuk

memperoleh kesetaraan kedudukan hukum antara laki-laki

dan perempuan tujuannya adalah untuk memperoleh

kebahagiaan dari kaum perempuan itu sendiri sehingga

kebahagiaan yang merupakan tujuan hidup dapat dicapai

dengan adanya perjuangan kaum perempuan untuk

memperoleh kesetaraan gender dengan kaum laki-laki.

b. Teori Sociological Jurisprudence; yang dikemukakan oleh

Eugen Ehrlich. Teori ini mengatakan bahwa terdapat

perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan

74

hukum yang hidup dalam masyarakat di pihak lain. Hukum

positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila

berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat. Perkembangan hukum saat ini tidak hanya

terletak pada undang-undang, tidak pula pada Ilmu Hukum

ataupun juga pada Putusan Hakim tetapi pada masyarakat

itu sendiri. Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat

keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan

pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan

kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup

dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan tersebut

dinamakan “living law and just law” yang merupakan “inner

order” daripada masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang

hidup didalamnya. Jika ingin diadakan perubahan hukum,

maka hal yang patut harus diperhatikan di dalam membuat

suatu undang-undang agar undang-undang yang dibuat

itu dapat berlaku secara efektif di dalam kehidupan

masyarakat adalah memperhatikan hukum yang hidup

(living law) dalam masyarakat tersebut. Kesadaran hukum

masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat tentang hukum, yang meliputi mengetahui

75

pemahaman, penghayatan, kepatuhan atau ketaatan

kepada hukum. Dengan demikian kesadaran hukum itu

sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang

terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada

atau tentang hukum yang diharapkan ada. Disini

penekanannya adalah nilai-nilai masyarakat, fungsi apa

yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam

masyarakat. Jadi nilai-nilai itu merupakan konsepsi

mengenai hal yang dianggap baik dan yang dianggap

buruk. Dengan perkataan lain, hukum adalah konsepsi

abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara

keterkaitan dengan ketenteraman yang dikehendaki

dengan melihat kepada indikator-indikator tertentu.

Indikator-indikator ini dapat dijadikan ukuran atau patokan

dalam penyusunan atau pembentukan hukum baru yang

hendak dilakukannya. Nilai-nilai yang menjadi patokan

dalam berperilaku dalam masyarakat akan lebih efektif bila

sesuai dengan nilai yang tumbuh dan berkembang di

masyarakat, demikian halnya dengan nilai patriarki dalam

masyarakat hukum adat di Maluku Tengah yang mulai

mengalami pergeseran ternyata timbul dari perubahan

76

pola pikir dan tingkat pendidikan masyarakat serta

perkembangan masyarakat itu sendiri.

c. Teori Pragmatic Legal Realism; yang dikemukakan oleh

Roscoe Pound dengan mengatakan bahwa hukum dilihat

dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk

mengubah masyarakat (law as a tool of social

engineering). Hukum berperan didepan untuk memimpin

perubahan dalam kehidupan masyarakat dengan cara

memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan

perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan

bagi seluruh masyarakat. Hukum berada di depan untuk

mendorong pembaruan dari tradisional ke modern. Hukum

yang dipergunakan sebagai sarana pembaruan ini dapat

berupa undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi

keduanya, namun yang menonjol di Indonesia adalah tata

perundangan. Sehingga supaya pembaruan dapat

berjalan dengan baik maka undang-undang yang dibentuk

sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran

Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik adalah

hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebab jika tidak

maka akibatnya secara efektif akan mendapat tantangan.

77

d. Teori Hukum Pembangunan; dikemukakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja, yang mengatakan bahwa hukum yang

dibuat harus sesuai dan harus memperhatikan kesadaran

hukum masyarakat. Hukum tidak boleh menghambat

modernisasi. Hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana

pembaruan masyarakat hendaknya harus ada legalisasi

dari kekuasaan Negara. Hal ini berhubungan dengan

adagium “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan

dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman” supaya

ada kepastian hukum maka hukum harus dibuat secara

tertulis sesuai ketentuan yang berlaku dan ditetapkan

oleh Negara. Menurut Mochtar, bila kita mengartikan

secara luas maka hukum itu tidak saja merupakan

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur

kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi

pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses

(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu

dalam kenyataan. Hukum sebagai kaidah sosial tidak

lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat,

bahwa dapat dikaitkan hukum itu merupakan pencerminan

daripada nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat itu.

Jadi fungsi hukum adalah sarana pembaruan masyarakat

78

sebagaimana konsep ilmu hukum yang bersumber pada

teori “law as a tool of social engineering” dalam jangkauan

dan ruang lingkup yang lebih luas. Di satu pihak

pembaruan hukum berarti suatu penetapan prioritas

tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan

mempergunakan hukum sebagai sarana. Oleh karena

hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses

dalam masyarakat, maka pembaruan hukum tidak

mungkin lepas secara mutlak dari masyarakat.

Sehubungan dengan itu maka perubahan yang

direncanakan hendaknya dilakukan secara menyeluruh

dengan inisiatif orang-orang yang menjadi panutan dalam

masyarakat. Dengan demikian maka perubahan hukum

akan menjalin bidang-bidang kehidupan yang lain dan

sebagai sarana untuk perubahan masyarakat yang telah

ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah

terjadi di masa lalu.

e. Teori Perubahan Sosial sebagaimana dikemukakan oleh

Soleman.B.Taneko yang mengatakan bahwa bekerjanya

hukum dalam masyarakat akan menimbulkan situasi

tertentu. Apabila hukum itu berlaku efektif maka akan

menimbulkan perubahan dan perubahan itu dapat

79

dikategorikan sebagai perubahan sosial. Suatu perubahan

sosial tidak lain dari penyimpangan kolektif dari pola yang

telah mapan. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa

dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai

faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang

berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dan yang

berasal dari luar masyarakat. Akan tetapi yang lebih

penting adalah identifikasi terhadap faktor-faktor tersebut

mungkin mendorong terjadinya perubahan atau bahkan

menghalanginya. Beberapa faktor yang mungkin

mendorong terjadinya perubahan adalah kontak dengan

kebudayaan atau masyarakat lain, sistem pendidikan yang

maju, toleransi terhadap perbuatan menyimpang yang

positif, sistem stratifikasi yang terbuka, penduduk yang

heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-

bidang kehidupan tertentu dan orientasi berpikir ke masa

depan. Selanjutnya Soerjono Soekanto mengemukakan

bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat

mengenai sistem nilai-nilai, norma-norma sosial, pola-pola

perilaku, organisasi kemasyarakatan, susunan lembaga-

lembaga sosial, dan sebagainya. Oleh karena luasnya

bidang di mana mungkin terjadi perubahan apa yang

80

hendak dilaksanakan. Untuk melaksanakan hal itu perlu

ditanyakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah

segala perubahan pada lembaga sosial di dalam

masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,

termasuk didalamnya nilai-nilai yang sudah berakar dalam

masyarakat dan juga pola-pola perilaku diantara

kelompok-kelompok masyarakat.

f. Tetapi menurut Sinzheimen sebagaimana yang dikutip

oleh Soetjipto Rahardjo masih perlu dipertanyakan lebih

lanjut apakah hal-hal baru itu memang mampu

menggerakkan lapisan masyarakat untuk melakukan

perubahan pada hukumnya. Perubahan pada hukum baru

akan terjadi apabila dua unsurnya telah bertemu pada

satu titik singgung. Kedua unsur itu adalah (1) keadaan

baru yang akan timbul, (2) kesadaran akan perlunya

perubahan pada masyarakat yang bersangkutan itu

sendiri. Menurut Sinzheimer bahwa syarat terjadinya

perubahan pada hukum, baru ada manakala timbul hal

yang baru dalam kehidupan masyarakat dan hal yang

baru itu dapat melahirkan emosi-emosi pada pihak-pihak

yang terkena. Biasanya pihak yang terkena efek dari

hukum baru itu mengadakan langkah-langkah

81

menghadapi keadaan itu, untuk menuju kepada kehidupan

baru yang sesuai dengan kehendak mereka. Soleman

B.Taneko mengemukakan bahwa berlakunya hukum baru

akan menimbulkan banyak perubahan. Jika perubahan itu

terjadi maka akan ada faktor-faktor yang mengalami

perubahan. Ada kemungkinan seluruhnya akan berubah,

namun yang jelas perubahan itu akan menimbulkan

keadaan tertentu, misalnya terjadi disorganisasi dan

reorganisasi. Disorganisasi merupakan suatu keadaan di

mana tidak aka nada keserasian antara unsur-unsur yang

ada dan ini dapat terjadi karena nilai-nilai atau norma-

norma yang lama sudah mulai pudar. Reorganisasi

merupakan suatu proses pembentukan nilai-nilai atau

norma-norma baru yang mengatur hubungan diantara

mereka. Nilai-nilai atau norma-norma itu mungkin saja

gabungan antara yang baru dan yang lama, sebab

disorganisasi dan reorganisasi biasanya terjadi secara

bersamaan dan serentak. Ke dua proses itu terjadi secara

tumpang tindih dalam waktu dan meliputi generasi-

generasi yang terlibat dalam perubahan tersebut.

Oleh karena nilai-nilai atau norma-norma yang baru dan

yang lama ada secara bersamaan, tidak mengherankan

82

nilai-nilai dan pola tingkah laku yang lama masih

diterapkan pada lembaga-lembaga yang baru. Jika pola

tingkah laku dan nilai-nilai dan pola tingkah laku lama

dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, jika ada

kecocokan diantara keduanya, nilai-nilai atau norma-

norma yang lama dan baru biasanya dapat dipertahankan,

karena keduanya merupakan bagian dari lembaga-

lembaga lainnya yang masih memainkan peranan

dominan dalam kehidupan masyarakat. Jika keduanya

ada kecocokan, maka pola tingkah laku lama dan yang

baru akan bersatu dalam lembaga yang baru dan ditata

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan struktur

kehidupan masyarakat yang baru.

g. Teori Sosiologi Fungsional; yang dikemukakan oleh

Thomas.T.O.Dea bahwa agama memberikan dasar-dasar

ketenteraman hidup dan identitas yang lebih kuat kepada

manusia dalam kehidupannya yang kadang-kadang

bersifat goyah dan penuh dengan perubahan-perubahan

yang cepat. Di samping itu agama juga dapat memberikan

dasar yang sakral bagi nilai dan norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat, agama juga dapat memelihara

keserasian antara kepentingan individu dengan

83

kepentingan kelompok serta mempertahankan ketertiban

kelompok. Agama juga dapat dijadikan dasar untuk

memberikan penilaian terhadap norma-norma.

Sehubungan dengan hal ini, maka dalam penyusunan tata

hukum di Indonesia, nilai-nilai agama yang tumbuh dalam

masyarakat perlu diperhatikan. Di samping itu nilai-nilai

budaya Indonesia yang dalam banyak hal masih perlu

digali dan dikembangkan. Adalah hal yang manusiawi

apabila anggota organisasi menunjukkan kecenderungan

untuk menolak setiap perbuatan yang akan diperkenankan

ke dalam organisasi. Pada umumnya manusia lebih

senang berada pada situasi yang telah dikenalnya dan

mapan. Dengan perkataan lain pimpinan organisasi perlu

menyadari bahwa memperkenalkan perubahan disertai

oleh berbagai masalah. Pada umumnya ada lima masalah

pokok yang harus diatasi dalam memperkenalkan

perubahan yang rasa takut, penolakan terhadap

perubahan, cara yang tidak didasarkan kepada landasan

yang kuat, takut gagal dan pihak-pihak yang terlibat tidak

mendapatkan informasi yang tepat, relevan dan mutahir

tentang bentuk, jenis dan sifat daripada perubahan yang

akan terjadi dan yang akan dilaksanakan.

84

Fungsi hukum sebagai pengintegrasian kepentingan

disebut Mochtar Kusumaatmadja sebagai “as a tool of social

control”(dalam Yusriyadi;134,135) yang berarti hukum sebagai

alat menciptakan ketertiban masyarakat. Dengan kata lain,

hukum bersifat memelihara dan mempertahankan apa yang telah

menjadi sesuatu yang tetap dan diterima dalam masyarakat .

2. Dalam perkembangannya, hukum juga berfungsi “as a tool of

social engineering” dapat diberlakukan untuk Negara yang

sedang berkembang yang menjadikan hukum untuk mengubah

alam pemikiran masyarakat tradisional ke pemikiran modern.

Dalam perkembangannya, pandangan ini mengalami

perubahan.Kenyataan menunjukkan bahwa hukum tidak mungkin

dilepaskan dari gejala-gejala sosial seperti politik, ekonomi, dan

sebagainya. Pandangan ini melahirkan pemahaman bahwa

hukum juga adalah sarana untuk mengadakan perubahan.

Untuk memahami fungsi hukum sebagai social engineering

Satjipto Rahardjo menyebutnya sebagai fungsi yang digunakan

sebagai instrumen mencapai tujuan-tujuan tertentu. Instrumen

hukum harus memenuhi persyaratan utama yakni :

- Perekaman yang baik terhadap kenyataan yang ada

- Analisis yang lengkap terhadap prioritas nilai berikut

jenjang nilai-nilai itu,

85

- Pengujian atau verifikasi pengandaian atau dugaan

kebutuhan perubahan yang diinginkan,

- Pengukuran terhadap efek hukum yang diberlakukan.

(Satjipto dalam Yusriyadi; 137). Dalam hal ini, hukum

dapat digolongkan sebagai faktor penggerak yang bersifat

pemula untuk memberikan dorongan pertama secara

sistematis. Penggunaan hukum untuk melakukan

perubahan-perubahan dalam masyarakat, berkaitan erat

dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial dan

ekonomi. Apabila orang berpendapat bahwa proses-

proses sosial ekonomi itu hendaknya dibiarkan berjalan

menurut hukum kemasyarakatan sendiri, maka hukum

tidak akan digunakan sebagai instrument untuk melakukan

perubahan-perubahan masyarakat. Sebaliknya, apabila

hukum difungsikan sebagai sarana untuk mengadakan

pembaharuan, maka peranan hukum menjadi penting,

dalam rangka untuk membangun masyarakat (Satjipto

Rahardjo: 172, Mochtar Kusumuatmadja,tanpa tahun:13).

Thomas Kuhn (Satjipto Rahardjo, 2009: 69-74) melihat

perubahan disebut “normal science”, kemudian lahir “abnormal science”,

untuk kembali menjadi “normal science”. Yang dimaksud oleh Kuhn

dengan ilmu pengetahuan normal adalah penelitian yang secara kokoh

86

didasarkan pada capaian-capaian ilmiah di masa lalu. Capaian tersebut

diterima oleh komunitas ilmu sebagai pengumpan bagi dilakukannya

praktik ilmu lebih lanjut. Dikatakan oleh Kuhn, “Today such achievements

are recounted by science textbooks Mile- textbooks expound the body of

accepted theory …..”.

Hasil-hasil yang diterima oleh komunitas ilmu secara implisit

mendefenisikan persoalan dan metode yang sah untuk dipersoalkan dan

digunakan dalam ilmu. Maka terbentuklah satu kesepakatan mengenai

apa yang bisa dipersoalkan dan metode yang digunakan. Hal tersebut

menghindari terjadinya persaingan dalam cara (modes) menjalankan

kegiatan ilmiah. Pada waktu yang sama, ia juga bersifat terbuka (open

ended) untuk praktisi ilmu. Hal ini yang dinamakan Kuhn sebagai

“Paradigma” yang berkaitan dengan “ilmu pengetahuan normal”.

Perjalanan ilmu pengetahuan selanjutnya, muncul perubahan

dan terjadi suatu transformasi paradigma. Perubahan dari satu paradigma

ke yang lain merupakan revolusi dalam ilmu pengetahuan. Hal tersebut

merupakan pola perkembangan yang normal dari suatu disiplin ilmu yang

dewasa.

Sejak diterimanya suatu paradigma, maka ilmu pengetahuan

mulai memasuki apa yang disebut Kuhn sebagai ilmu pengetahuan

normal. Dalam kurun waktu era suatu paradigma atau tahap penelitian

normal maka sedikit sekali usaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru,

87

yang konseptual serta fenomenal. Padahal sebenarnya ilmuwan berada

pada ranah suatu paradigma yang menuju pada suatu paradigma yang

baru di mana dengan panduan paradigma yang ada, ilmuwan akan

meneliti fenomena jauh lebih baik dalam ketepatan(precision) maupun

keluasannya (scope). Menurut Kuhn, tanpa komitmen untuk melakukan

aktivitas tersebut seorang ilmuan tidak bisa disebut sebagai ilmuan.

Namun dalam perjalanannya, ditemukan anomali yang tidak bisa

dijelaskan dengan paradigma yang ada dan anomali-anomali itu justru

memicu timbulnya temuan-temuan (discoveries), dalam ilmu

pengetahuan. Kesadaran akan adanya anomali merupakan dasar

pengakuan diperlukannya perubahan teori. Krisis tersebut membuat

terjadinya pergeseran terhadap paradigma yang ada terhadap persoalan-

persoalan yang diajukan serat metode yang disediakan oleh ilmu

pengetahuan normal.

Anomali yang terjadi memicu timbulnya paradigma baru dan ada

transformasi menuju krisis dan munculnya ilmu pengetahuan yang

luarbiasa. Selanjutnya Kuhn mengemukakan adanya revolusi ilmu

pengetahuan yang terjadi apabila paradigm berubah yang menyebabkan

perubahan teori-teori, metode dan standar. Terjadilah pergeseran yang

signifikan dalam tolok ukur untuk menentukan keabsahan persoalan-

persoalan dan penyelesaian-penyelesaian yang diusulkan. Ilmu

pengetahuan berubah menjadi “abnormal” karena terjadi suatu revolusi

88

yang akhirnya menghasilkan suatu “extraordinary science”. Ilmu yang

tidak normal atau “extraordinary science” mengisyaratkan datangnya

suatu teori baru yang lebih handal tetapi semua itu harus melalui proses

yang panjang sehingga dengan kehadiran ilmu yang tidak biasa/normal

akhirnya kembali pada keadaan sebelumnya yaitu keadaan ilmu

pengetahuan biasa (ordinary).

Keadaan ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Ilmu pengetahuan biasa/normal ----- ilmu pengetahuan tidak normal ------

ilmu pengetahuan biasa/normal. Hukum mempunyai paradigma sebagai

perspektif dasar. Hukum dilihat sebagai institusi yang mengekspresikan

nilai. Hukum sebagai perwujudan nilai kehadirannya mengandung arti

untuk melindungi nilai-nilai yang ada dan dijunjung tinggi dalam

masyarakat.

Dalam kenyataannya terjadi bahwa juga terdapat pertentangan

dengan nilai sebagai paradigma hukum, paradigma nilai selalu ingin

mengontrol hukum dari nilai yang dijunjungnya dan dijadikan sebagai

kaidah tolak ukur.

B. Kedudukan Hukum Perempuan atas Tanah Dati

Dalam Hukum Positif

Hukum positif diartikan sebagai hukum yang berlaku dan mengatur

kehidupan masyarakat saat ini.

89

Pengakuan terhadap persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan

ada dalam beberapa peraturan seperti :

1. Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

2. Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

3. Pasal 28 H ayat (2) Undang-undang dasar 1945

4. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

5. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984

6. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984

7. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984

8. Walaupun kedudukan dalam hukum positif di Negara

Indonesia tidak membedakan kedudukan hukum antara

laki-laki dan perempuan namun kenyataan kehidupan

masyarakat hukum adat kedudukan antara laki-laki dan

perempuan dibedakan, pada komunitas masyarakat

hukum adat tertentu kedudukan perempuan lebih lemah

dibanding dengan kedudukan laki-laki. Pada masyarakat

hukum adat di Maluku Tengah, kedudukan antara laki-laki

dan perempuan dibedakan dan ini berbeda dengan

masyarakat Bugis Makassar, malele malompa yang tidak

memberikan perbedaan perlakuan bahkan ada yang dapat

menjadi Raja. Laki-laki dan perempuan mendapat

90

perlakuan dan kedudukan yang sama dalam berbagai hal

mulai dari hak waris, sampai pada hak untuk menjadi raja.

9. Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki

kekayaan budaya, sumber daya alam yang tersebar dari

Sabang sampai Merauke dengan keragaman masyarakat

hukum adat dengan budayanya masing-masing.

Kekayaan sumber daya alam memberi arti yang penting

bagi masyarakat hukum adatnya, dimana kedudukan

tanah dalam hukum adat sangat penting karena “sifat”

dan”faktor” dari tanah itu sendiri. Jika dilihat dari sifatnya

maka tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan

yang tetap keadaannya bahkan tidak jarang memberi

keuntungan yang lebih baik dari keadaannya selain itu

tanah merupakan tempat di mana masyarakat hukum adat

tinggal dan meneruskan kehidupannya bahkan sampai

akhir kehidupannya sehingga kedudukan tanah dalam

masyarakat hukum adat sangatlah penting.

Dalam kaitan hubungan antara tanah dengan masyarakat hukum

adat maka ada hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang

dapat dihaki yaitu :

a. Hak persekutuan atas tanah; yang dimaksud hak

persekutuan atas tanah adalah hak

91

persekutuan(masyarakat) dalam hukum adat terhadap

tanah tersebut; misalnya hak untuk menguasai,

memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-

tumbuhan yang hidup di atasnya. Hak masyarakat hukum

atas tanah disebut juga “hak ulayat” atau “hak petuanan”

yang menurut C vanVollenhoven dikenal dengan istilah

“beschikking”. Persekutuan dan anggotanya berhak untuk

memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala yang

ada di atas tanah, didalam dan yang tumbuh serta hidup di

atas tanah itu.

b. Hak perorangan atas tanah; dengan berlakunya hak

ulayat,maka setiap anggota persekutuan berhak

mengadakan hubungan hukum dengan tanah serta semua

isi di atas tanah tersebut. Hubungan tertentudapat berupa

hak-hak atas tanah dan jika perseorangan yang

mengadakan hubungan hukum maka kemudian timbul hak

perseorangan atas tanah. Hak-hak perseorangan yang

dapat diberikan berupa hak milik atas tanah, hak

menikmati atas tanah, hak memungut hasil karena jabatan,

hak pakai dsb.

Sedang dalam masyarakat hukum adat, keseimbangan

kehidupan selalu dijaga keharmonisannya. Kehidupan yang

92

seimbang dipercaya dapat menjaga keutuhan dan

keberlangsungan kehidupan masyarakat hukum adat seutuhnya.

Kehidupan masyarakat hukum adat sangat menjunjung nilai-nilai

yang secara turun temurun telah diwariskan oleh para nenek

moyang mereka. Demikian halnya dengan masyarakat hukum

adat yang patrilinial juga sangat menjunjung dominasi kaum laki-

laki dalam setiap lini kehidupan. Nilai-nilai yang ada dan

berkembang serta dijadikan sebagai pedoman dalam berperilaku

mengagungkan keddudukan kaum laki-laki dalam masyarakat

hukum adat. Kaum laki-laki diberikan porsi tersendiri bahkan

dominasi mereka terkadang meminggirkan hak-hak kaum

perempuan dalam lingkungan masyarakat hukum adat.

Dalam hukum adat khususnya hukum tanah adat di Maluku, yang

merupakan kelompok masyarakat hukum adat yang sangat

kental dengan budaya patriarki maka hak kaum perempuan

terkadang terpinggirkan.

Kaum laki-laki lebih diberikan hak baik hak pengelolaan maupun

hak penguasaan tanah adat. Kaum perempuan hanya diberikan

hak untuk mengolah dan mengambil hasil saja bahkan itupun

terkadang dibatasi. Kedudukan perempuan dalam tatanan

masyarakat hukum adat khususnya di Maluku Tengah berada

pada posisi yang lemah, mereka seakan-akan merupakan warga

93

kelas dua dalam kelompok masyarakat hukum adat dan hal ini

sudah berlangsung lama dan sudah merupakan tatanan nilai

yang dipegang teguh untuk mengatur kehidupan bersama

masyarakat hukum adat.

Kedudukan hukum perempuan yang lemah dalam masyarakat

hukum adat di Maluku Tengah melingkupi kehidupan setiap hari.

Termasuk di dalamnya kedudukan yang lemah atas tanah dati sebagai

salah satu jenis tanah adat yang dimiliki masyarakat hukum adat di

Maluku Tengah.

Dalam masyarakat hukum adat, keseimbangan kehidupan selalu

dijaga keharmonisannya. Kehidupan yang seimbang dipercaya dapat

menjaga keutuhan dan keberlangsungan kehidupan masyarakat hukum

adat seutuhnya. Kehidupan masyarakat hukum adat sangat menjunjung

nilai-nilai yang secara turun temurun telah diwariskan oleh para nenek

moyang mereka. Demikian halnya dengan masyarakat hukum adat yang

patrilinial juga sangat menjunjung dominasi kaum laki-laki dalam setiap

lini kehidupan. Nilai-nilai yang ada dan berkembang serta dijadikan

sebagai pedoman dalam berperilaku mengagungkan kedudukan kaum

laki-laki dalam masyarakat hukum adat. Kaum laki-laki diberikan porsi

tersendiri bahkan dominasi mereka terkadang meminggirkan hak-hak

kaum perempuan dalam lingkungan masyarakat hukum adat.

94

Dalam hukum adat khususnya hukum tanah adat di Maluku, yang

merupakan kelompok masyarakat hukum adat yang sangat kental dengan

budaya patriarki maka hak kaum perempuan terkadang terpinggirkan.

Kaum laki-laki lebih diberikan hak baik hak pengelolaan maupun hak

penguasaan tanah adat. Kaum perempuan hanya diberikan hak untuk

mengolah dan mengambil hasil saja bahkan itupun terkadang dibatasi.

Kedudukan perempuan dalam tatanan masyarakat hukum adat

khususnya di Maluku Tengah berada pada posisi yang lemah, mereka

seakan-akan merupakan warga kelas dua dalam kelompok masyarakat

hukum adat dan hal ini sudah berlangsung lama dan sudah merupakan

tatanan nilai yang dipegang teguh untuk mengatur kehidupan bersama

masyarakat hukum adat.

Hak Petuanan masyarakat adat di Pulau Ambon dikenal dengan

Hak Petuanan Darat dan Hak Petuanan Laut. Hak Petuanan Darat adalah

hak masyarakat adat atas wilayah daratan yang dimiliki oleh mereka dan

Hak Petuanan Laut adalah hak masyarakat adat atas wilayah laut yang

dimilikinya. Hak ini termasuk di dalamnya hak untuk mengambil hasil,

mengolah, dan menjaga kelestarian sumber daya alam.

Masyarakat adat di Maluku khususnya Pulau Ambon, memiliki

wilayah petuanan darat yang terdiri atas :

- Tanah Ewang ; mengenai pengertian tanah daratan harus

dibedakan antara Tanah Ewang dan Dusun. Ewang adalah tanah

95

yang belum diusahakan atau digarap oleh tangan manusia;

diperusah menurut istilah masyarakat adat setempat dan masih

merupakan tanah liar.

- Aong ; pada mulanya adalah hutan belukar yang dibuka atau

diperusah oleh seorang anak negeri dengan ijin negeri untuk

membabat hutan itu dan kemudian menanaminya. Biasanya

yang ditanam adalah tanam-tanaman umur pendek seperti

jagung, kasbi, sayur-mayur, ubi-ubian dan tanaman musiman.

- Dusun ; adalah tanah-tanah yang telah digarap atau diperusah

oleh manusia. Dusun-dusun dapat dibedakan pula antara Dusun

Dati dan Dusun Perusahan. Dusun perusahan atau dusun

tetanaman adalah dusun yang dibuka atau diperusah sendiri-

sendiri atau bersama-sama oleh anak negeri, di atas tanah

petuanan biasanya tanah yang masih berupa Ewang. Dusun Dati

adalah dusun yang diberikan oleh negeri kepada suatu

persekutuan dati sebagai kompensasi atas pelaksanaan tugas-

tugas dati yang dijalankan tanpa upah. Dusun Dati ; yang

dimaksudkan dengan dusun dati disini bukan hanya tanahnya

atau tanaman saja tetapi tanah dengan semua tanaman yang

ada di atas tanah itu bersama-sama. Dusun Dati adalah dusun

yang diberikan kepada seseorang atau suatu persekutuan atau

kerabat atau cabang kerabat sebagai kompensasi atau imbalan

96

atas prestasi mereka karena telah melaksanakan tugas atau

pekerjaan dati. Pemberian dusun dati bukan hanya untuk jangka

waktu tertentu saja namun untuk seterusnya terdapat ikatan atau

kaitan yang tetap antara dusun-dusun dati dengan pelaksanaan

tugas-tugas dati yang dibebankan kepada persekutuan dati itu.

Adapun dusun dati yang diberikan haruslah dusun yang telah

ada tanaman yang sudah siap diambil hasilnya untuk menjadi

bahan pangan pokok misalnya sagu dan bukan tanah kosong

yang harus digarap atau diperusah lebih dahulu karena

memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh hasil atas

tanah dati tersebut.

Dusun dati merupakan dusun yang diberikan kepada seseorang

atau suatu persekutuan atau kerabat atau cabang kerabat sebagai

kompensasi atau imbalan atas prestasi mereka karena telah melakukan

tugas atau pekerjaan dati.Pemberian dusun dati bukan hanya untuk

waktu tertentu saja tetapi untuk seterusnya selama persekutuan dati

masih berdiri dan menjalankan tugas-tugas dati. Menurut Valentijn (Ziwar

Effendi, 1987 : 115), dati adalah hofdienst untuk mana pada bulan-bulan

dilaksanakannya pelayaran hongi setiap “rumahtangga” diwajibkan

menyerahkan seorang laki-laki untuk selama kurang lebih satu bulan

kepada maskapai VOC untuk melakukan tugas pelayaran hongi tanpa

mendapat upah atau atas biaya sendiri.

97

Menurut Holleman (Ziwar Effendi, 1987 : 116), Dati adalah

kerabat-kerabat yang menjalankan tugas untuk hongi atau kuarto. Lebih

lanjut beliau mengatakan bahwa dati adalah kesatuan wajib

kerja.Kekuatan atau jumlah anggota suatu dati diperkirakan rata-rata 20

orang di negeri-negeri Islam dan 7 atau 8 orang di negeri-negeri Kristen.

Dari beberapa pengertian dati dapat disimpulkan tiga pengertian

yang menonjol tentang Dati yaitu :

- tugas atau kewajiban.

- kesatuan wajib kerja

- badati atau gotong royong.

Dalam perkembangan selanjutnya, Dati mendapat pengertian

tambahan yaitu sebagai cabang kerabat. Pengertian ini bisa saja terjadi

karena yang menjadi dati pada mulanya bukan suatu rumatau atau

persekutuan tetapi suatu rumahtangga dimana rumahtangga adalah

bagian dari rumatau. (Ziwar Effendi, 1987 : 117) Oleh karena dati yang

baru pada mulanya hanyalah cabang dari sebuah kerabat maka hal ini

lalu menimbulkan tafsiran bahwa dati itu sebagai cabang dari suatu

kerabat atau yang bisa terdapat lebih dari sebuah dati yang berdiri

sendiri-sendiri terlepas satu sama lainnya. Jadi dati di Pulau Ambon

adalah cabang-cabang kerabat yang berdiri sendiri dengan masing-

masing Kepala Dati yang geneologis.

98

Secara etimologis belum didapatkan kesatuan pendapat diantara

para penulis tentang asal kata Dati. Ada yang mengartikannya sebagai

pajak. Dalam bahasa Latin terdapat kata datio yang berarti

pemberian.Datio in solutum berarti memberikan sebagai pembayaran.

Istilah datio dipergunakan Gerard Riedel yang berarti petak-

petak tanah yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang kuat bekerja

atau kepala-kepala rumahtangga dengan syarat harus ikut hongi.(Ziwar

Effendi, 1987 : 118). Melalui sistem Dati, suatu kerabat atau cabang

kerabat atau suatu persekutuan dapat menikmati tanah-tanah atau

dusun-dusun yang ada di bawah kekuasaan hak petuanan suatu negeri.

Jadi hak menikmati dusun-dusun dati tidak diberikan kepada orang

perorangan atau pribadi tetapi kepada kelompok orang yang bernaung di

bawah suatu kerabat atau cabang kerabat atau suatu persekutuan.

Tanah dati diberikan kepada kelompok orang yang bernaung

dibawah satu kerabat untuk dikelola sehingga dapat dinikmati hasilnya.

Hukum dati mengatur tentang timbul dan hilangnya hak-hak dati,

pengurusannya, peralihan hak-haknya dan pewarisannya. Suatu kerabat

seperti rumatau atau cabangnya untuk dapat memperoleh sebidang

dusun dati maka rumatau atau cabang kerabat harus terlebih dahulu

menjadi dusun dati. Terdaftarnya suatu kerabat menjadi dati pada

mulanya bukan atas permintaan kerabat yang bersangkutan tetapi

ditentukan oleh penguasa dengan sedikit paksaan. Karena sangat sulit

99

dan berat untuk menjalankan tugas dati yang mengikuti pelayaran Hongi

lebih dari satu bulan dengan segala macam resiko pelayaran.

Untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga yang ditinggalkan

maka kepada mereka diberikan dusun-dusun yang biasanya sudah ada

tanaman sagunya yang dapat diambil hasilnya oleh keluarga yang

ditinggalkan. Dusun-dusun ini yang disebut Dusun Dati. Jadi pemberian

dusun dati adalah sebagai bentuk kompensasi atas pelaksanaan tugas-

tugas dati yang tanpa upah. Dusun dati dapat ditemui dibeberapa daerah

di Maluku Tengah. Dati sebagai suatu persekutuan hukum juga

mempunyai personalianya masing-masing adalah :

- Kepala Dati

- Tulung Dati

- Anak Dati (Ziwar Effendi; 1987: 127-131)

Pimpinan Dati dikenal sebagai Kepala Dati. Kepala Dati adalah

suatu jabatan yang sifatnya fungsional, berarti Kepala dati bukan pemilik

secara pribadi dari dusun-dusun dati yang terdaftar atas nama dirinya

sebagai Kepala Dati tetapi dia juga seorang anggota dari sebuah dati.

Jabatan Kepala Dati sudah ada semenjak sebelum diadakannya

pendaftaran dusun-dusun dati atau Register Dati. Kepala Dati mengatur

pembagian giliran menjalankan tugas-tugas dati secara merata dan adil

diantara anggota-anggotanya agar pemanfaatan dusun-dusun dati serta

hasil-hasilnya diatur sebaik mungkin sehingga setiap anggota

100

memperoleh bagian yang layak dan seimbang. Kedudukan dan fungsi

Kepala Dati ini bahkan sudah menjadi ketentuan hukum yang dikukuhkan

oleh Mahkamah Agung RI dengan keputusan tanggal 15 Oktober 1975

No:318 KSip/1972 dimana dalam pertimbangan hukumnya disebutkan

bahwa seorang Kepala Dati tidak memerlukan Surat Kuasa dari anak-

anak datinya. Kepala Dati menyebut dirinya sebagai orang yang bertindak

untuk diri sendiri dan menurut adat mewakili ahli-ahli waris lain dari dati

yang diwakilinya tanpa menyebutkan nama-nama anak datinya.

Wewenang Kepala Dati untuk urusan-urusan perkara di Pengadilan

merupakan hak tunggal dari Kepala Dati di mana anak dati tidak berhak

untuk mengajukan gugatan secara pribadi ke Pengadilan tentang Dusun

Dati. Walaupun Kepala Dati dapat bertindak atas nama Datinya namun

semuanya harus mendapat persetujuan dari anak-anak datinya, setiap

kebijakan yang diambil harus mendapat persetujuan anak dati sehingga

sebagai imbalan Kepala Dati menerima jumlah yang lebih dari hasil-hasil

dusun dati.

Tulung Dati adalah anggota dati yang bukan keturunan langsung

menurut garis kebapakan dari dati yang bersangkutan. Walaupun jika

diteliti benar mungkin masih ada hubungan kekerabatan atau hubungan

darah. Pengangkatan tulung dati tidak hanya oleh Kepala Dati tetapi atas

persetujuan Saniri Negeri setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan

dari anak-anak dati dan tulung dati. Tulung dati setelah diterima maka

101

putus hubungan hukumnya dengan kerabat asalnya. Tulung dati harus

melepas fam/marga yang lama dan diganti dengan menyandang

fam/marga kerabat yang mengangkatnya. Demikian juga dengan hak-hak

datinya pada dati terdahulu hapus dan diganti dengan hak di dalam dati

yang dimasukinya. Karena Hukum Dati bahwa seorang hanya boleh

makan dati dari satu dati saja. Hak dan kewajiban tulung dati sama

dengan hak anak-anak dati.

Anak Dati dimaksud hanya anak laki-laki dari satu dati saja, anak

perempuan tidak diperkenankan menjadi anak dati sebab tugas-tugas dati

tidak layak bagi anak perempuan karena kodratnya misalnya harus ikut

pelayaran hongi dan pekerjaan-pekerjaan lain yang membutuhkan

kekuatan fisik. Bahkan tidak semua anak laki-laki dapat menjadi anak

dati tetapi hanya yang memiliki kekuatan fisik yang memadai saja yang

dapat menjadi anak dati.

Kedudukan perempuan dalam dusun dati, pada prinsipnya

seorang perempuan tidak diperkenankan menjadi anak dati atau tulung

dati. Dalam putusan Landraad No.107/1919 dikatakan bahwa tidak

diperkenankan perempuan yang sudah kawin atau yang tidak kawin

sebagai tulung dati. Alasannya bukan hanya karena sekedar melarang

atau menutupi hak seorang perempuan, juga tidak karena susunan

kekerabatan yang patrilineal dimana hak-hak orang perempuan kurang

dibandingkan dengan hak laki-laki. Tetapi karena berat dan sukarnya

102

tugas dati yang mengikuti pelayaran Hongi dalam waktu yang lama dan

tantangan yang berat.

Menurut prinsip hukum dati, seorang baru dapat memiliki dusun–

dusun dati jika sudah terlebih dahulu melakukan tugas-tugas dati. Bagi

mereka yang tidak melakukan tugas dati, tidak mempunyai hak makan

dati sebagai seorang anak dati karena hak makan dati adalah suatu

bentuk kompensasi atas prestasi melaksanakan tugas dati.

Akan tetapi walaupun seorang perempuan tidak bisa menjadi

anak atau tulung dati dengan hak-hak dati sendiri namun mereka berhak

turut makan selama mereka belum kawin. Menurut anggapan, selama

belum kawin perempuan berada dalam perlindungan kerabatnya dalam

persekutuan dati. Hak perempuan atas dusun dati dapat dibedakan

sebagai berikut :

Hak dati anak perempuan yang belum kawin.

Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa anak perempuan

tidak bisa menjadi anak dati atau tulung dati yang berdiri sendiri

dengan hak makan dati seperti halnya laki-laki. Ketentuan ini

didasarkan pertimbangan bahwa menurut kodratnya perempuan

tidak layak memikul tugas-tugas dati. Namun selama belum

kawin, seorang perempuan boleh menikmati dusun dati dan

hasil-hasilnya bersama anak-anak dati atau tulung-tulung dati.

Karena selama belum kawin, ia ada dalam perlindungan

103

kerabatnya jadi bagian yang diterima oleh anak-anak perempuan

bukanlah bagian sebagai seorang anak atau tulung dati tetapi

bagian dari orang yang harus dilindungi. Pemberian ini lebih

bersifat manusiawi daripada haknya berdasarkan hukum.

Hak dati perempuan yang sudah kawin.

Anak perempuan dari sebuah persekutuan dati bila kawin maka

hilang haknya untuk makan dati dari dati asalnya. Landraad

Saparua dengan keputusan No.10/1918 mengatakan bahwa

anak perempuan yang kawin kehilangan hak dati atas dati

bapaknya karena dengan perkawinan dia beralih makan dati

suaminya. Ada tiga sebab dihentikannya hak makan dati dari

perempuan yang sudah kawin yaitu :

Dengan kawinnya anak perempuan maka sesuai dengan bentuk

perkawinannya yang kawin dengan meminang atau kawin jujur

dan berdasarkan susunan kekerabatan yang berhukum

kebapakan maka anak perempuan dikeluarkan dari susunan

kekerabatan asalnya dan beralih atau pindah menjadi anggota

kekerabatan suaminya. Hal ini mengakibatkan hilangnya hak-

haknya atas dusun dati milik orangtuanya dan beralih pada

dusun dati dari kerabat suaminya.

- Jika Anak perempuan yang sudah kawin masih

diperkenankan makan dati dari dati asalnya maka dia

104

“makan dua dati” yaitu dari dati asalnya dan dati suaminya

sementara dalam hukum dati hal ini tidak diperkenankan

terjadi karena seseorang hanya boleh makan dari satu dati

saja.

- Jika anak perempuan yang sudah kawin masih

diperkenankan makan dati dari dati asalnya dan kemudian

dia meninggal dunia maka hak atas dusun dati tentu

beralih kepada ahli warisnya sehingga akan

mengakibatkan orang dari luar kekerabatan bisa

menikmati hak atas dusun datinya. Hal ini yang

menyebabkan tidak dapat diberikan hak atas dusun dati

bagi seorang perempuan yang sudah kawin. Putusan

Landraat Saparua nomor 10/1918.

Hak anak perempuan atas dusun pusaka dati .

Dusun pusaka dati adalah milik pribadi dari yang

memperusahnya dan dapat diwarisi oleh keturunannya baik laki-

laki maupun perempuan. Anak perempuan yang sudah kawin

tetap boleh menikmati dan mewarisi hasil tanam-tanaman

pusaka dati bapaknya. Dalam putusan Landraad No.107/1919

juga menentukan hal ini. Terhadap dusun pusaka dati dari

mendiang suami, seorang janda yang tanpa anak tetap berhak

menikmati dusun pusaka dati suaminya selama hidupnya atau

105

selama dia belum kawin lagi. Jika dia meninggal dunia atau

kawin lagi maka dusun pusaka datinya jatuh kembali kepada

persekutuan kerabat suaminya.

Antara tanah dati dengan dusun dati dapat dibedakan sebagai

berikut bahwa tanah dati adalah bagian yang lebih kecil dari sebuah

dusun dati yang dimiliki suatu clan/marga dalam wilayah persekutuan

masyarakat hukum adat di Maluku Tengah.

Pemerintah Belanda yang kembali menguasai perdagangan

secara tunggal di Indonesia pada akhir tahun 1817, mulai mempelajari

sistem Register Dati peninggalan Inggris sebagai hal yang sangat baik

dan meneruskan sistem ini serta memanfaatkannya untuk kepentingan

politik mereka. Batas-batas tanah dusun Dati sangat diperhatikan

melaluisistem Register Dati agar hasil-hasil bumi yang dijual hanya

kepada Belanda saja dan tidak kepada pedagang partikelir dan jika hal ini

terjadi maka bagi mereka akan dikenai hukuman yang sangat berat.

(Uneputty, 256)

Sejarah perkembangan Dati Stelsel dengan segala

permasalahannya mulai kehilangan pamornya ketika dalam persaingan

harga tanaman cengkih merosot dan dimana tanaman-tanaman cengkih

dengan paksa dihentikan hingga pada tahun 1864 dihapuskan.

Wajib kerja tanaman cengkih sudah tidak diperhatikan lagi

demikian juga halnya dengan pengawasan dan penimbunan hasil cengkih

106

tidak diperhatikan lagi dan tugas-tugas pelayaran Hongi juga tidak

diperhatikan. Kejadian-kejadian ini membuat Gubernur Jenderal G.A. van

der Capelle pada tanggal 10 April 1824 dalam Putusannya menetapkan

bahwa “Hongi dihapuskan” sehingga tugas dari dati untuk mengadakan

pelayaran Hongipun dihentikan.

Seiring perkembangannya, tanah-tanah Dusun Dati sudah tidak

memperoleh perhatian lagi dan Dusun Dati sudah mulai lemah. Dengan

dihapuskannya tugas untuk melakukan Pelayaran Hongi maka

masyarakat mulai mengalami kebingungan dengan status tanah Dati

yang dikuasai dengan hak pakai. Kebingungan ini berlangsung selama

tiga tahun lamanya dan untuk memperoleh kepastian hukum atas status

Tanah Dati maka pada tanggal 1 Juni 1923, Residen Amboina melalui

Ketua Komisinya Mr Holemann mengeluarkan Keputusan yang

menyatakan bahwa : “Hukum Dati dicabut”.

Pencabutan itu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan

pokok sebagai berikut :

- Pemerintah dan rakyat sudah tidak berkepentingan lagi untuk

meneruskan hukum dati itu.

- Karena itu dusun-dusun dati ini selanjutnya dianggap sebagai

warisan dan atau dusun pusaka kepada anak cucu dari petugas

dati.

107

- Dusun dati karena sudah diwariskan, maka dapat dibagi-bagikan

dan dapat dipindahtangankan.

- Anak-anak perempuan dari tugas dati yang kawin keluar yang

tadinya tidak menerima hak atas dusun dati bapaknya, sebagai

petugas dati, kini mendapat hak warisan dari dusun dati

tersebut.

Keputusan yang dikeluarkan ini memberikan kejelasan akan

status tanah dati sehingga dapat disimpulkan bahwa :

- Dusun Dati tidak lagi dipandang sebagai kompensasi upah kerja.

- Dusun dati bukan lagi dengan hak pakai tetapi menjadi hak milik

penuh kepada mereka asal dati dan keturunannya.

- Register Dati dipandang sebagai catatan administrasinya saja

yang sewaktu-waktu dapat memperoleh keterangan untuk

pembuktian.

- Karena Dusun dati pada mula usahanya sudah terlepas dari

petuanan negeri atau hutan ewang secara nyata, kini 1 Juni 1923

menjadi milik asal para dati atau keturunannya maka haruslah

dianggap sebagai tanah atau dusun yang dibuka mereka.

Mereka yang secara individual menduduki tanah atau dusun asal

dati ini menjadi kuat, karena sekaligus dikonversi menjadi Hak

Milik.

108

- Register Dati yang tadinya punya kekuatan pembuktian hak

pakai atas tanah atau dusun dati ini, maka dengan adanya

Keputusan Residen Amboina 1 Juni 1923 telah mengubah Hak

Pakai itu menjadi Hak Milik para asal dati dan keturunannya.

Register Dati ini langsung berfungsi sebagai sertifikat bagi

mereka. (Uneputty: 261-262)

C. Kesetaraan Gender

Isu gender merupakan isu yang belum lama ini diangkat untuk

melihat adanya ketidaksetaraan kedudukan antara laki-laki dan

perempuan. Gender sering disalahartikan dengan seks. Kata Gender

dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris yaitu

“Gender” Jika dilihat dalam Kamus Bahasa Inggris, tidak secara jelas

dibedakan pengertian antara Gender dan Sex. Seringkali gender

dipersamakan artinya dengan sex( jenis kelamin laki-laki dan

perempuan).

Menurut Sjamsiah Achmad ((Smita Notosusanto dan Kristi

Poerwandari: 1997: 174) gender mengacu kepada pengertian bahwa

dilahirkan sebagai laki-laki dan perempuan, yang keberadaannya

berbeda-beda dalam waktu, tempat dan kultur, bangsa maupun

peradaban. Keadaan ini berubah dari masa ke masa, sedang jenis

109

kelamin mengandung sifat-sifat seseorang yang menetap, tidak berubah-

ubah.

Untuk memahami konsep gender maka harus dapat dibedakan

antara kata gender dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks (jenis

kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang

ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu,

misalnya pada laki-laki memiliki fungsi alat kelamin yang berbeda dengan

perempuan yang memiliki organ reproduksi dan itu secara permanen

tidak berubah dan sudah merupakan ketentuan Tuhan atau yang sering

dinyatakan sebagai kodrat.

Oakkley (1972 (dalam Riant Nugroho : 2008: 3) menyatakan

bahwa gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat

Tuhan. Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex)

adalah kodrat Tuhan maka secara permanen berbeda dengan pengertian

gender. Gender merupakan behavior differences (perbedaan perilaku)

antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial , yakni

perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan ciptaan manusia

(bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.

Sementara itu Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2001)

mengartikan gender sebagai peran-peran sosial yang dikonstruksikan

oleh masyarakat serta tanggungjawab dan kesempatan laki-laki dan

110

perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial

tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (laki-laki dan perempuan).

Gender bukanlah kodrat maupun ketentuan Tuhan, oleh karena

itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya

laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai

yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.

Dengan kata lain gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-

laki dalam peran, fungsi, hak , perilaku yang dibentuk ketentuan sosial

dan budaya setempat. Jadi gender disini adalah bukan ketentuan Tuhan

tetapi manusia dalam hal ini masyarakat yang dibentuk oleh ketentuan

sosial dan budaya masyarakat itu sendiri.

Menurut Fakih (1997:147-151), perbedaan gender yang

berdasarkan anggapan dan penilaian oleh konstrukti sosial pada akhirnya

menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai kodrat

kultural, dan dalam proses yang panjang dapat mengakibatkan adanya

ketidakadilan bagi kaum perempuan. Pengertian seks atau jenis kelamin

merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan

secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks atau jenis

kelamin secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan

biologis atau sering dikatakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Berbeda

dengan gender yang merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum

laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat

111

bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran

keagamaan maupun Negara. Konsep gender menyangkut semua hal

yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bias

berubah baik dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lainnya,

maupun dari suatu kelas ke kelas lainnya.

Perbedaan antara gender dan seks adalah jika gender adalah

perbedaan yang diakibatkan konstruksi masyarakat terhadap kodrat

cultural sedangkan gender adalah perbedaan jenis kelamin, gender

bukan merupakan anugerah Tuhan sedangkan seks sebagai perbedaan

jenis kelamin yang merupakan anugerah Tuhan.

Engels (dalam Fakih, 1997) menjelaskan perbedaan gender

antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat

panjang, melalui\ proses sosalisasi, penguatan dan konstruksi sosial,

kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan Negara. Istilah gender

memiliki beberapa pengertian seperti dikemukakan oleh Heddy Shri

Ahimsha Putra (2000) seperti dikutip Mufidah (2004:4) sebagai berikut :

- Gender sebagai Suatu Istilah Asing dengan makna tertentu;

gender berasal dari istilah asing gender yang sering dimaknai

secara tidak benar dan seringkali gender disamakan dengan

perbedaan jenis kelamin.

- Gender sebagai suatu Fenomena Sosial Budaya; perbedaan

jenis kelamin adalah hal yang alami dan kodrati dengan ciri-ciri

112

yang jelas dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu, diskriminasi

gender tanpa mengindahkan perbedaan jenis kelamin yang ada,

sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan. Sebagai

fenomena sosial budaya,gender bersifat relatif dan kontekstual.

Gender pada masyarakat Bali tentu berbeda dengan gender

pada masyarakat Minang. Hal ini sebagai akibat dari konstruksi

sosial budaya yang membedakan peran berdasarkan jenis

kelamin.

- Gender sebagai Suatu Kesadaran Sosial; konsep gender disini

dimaknai sebagai suatu kesadaran sosial. Perbedaan seksual

dalam masyarakat merupakan suatu konstruksi sosial. Berawal

dari sinilah kemudian masyarakat menyadari bahwa pembedaan

tersebut merupakan produk sejarah dan interaksi warga dengan

komunitasnya. Hal inilah yang melahirkan kesadaran bahwa ada

banyak hal yang perlu dirubah agar hidup ini menjadi lebih baik,

harmonis, dan berkeadilan. Masyarakat sadar akan adanya jenis

kelamin tertentu yang lebih unggul sehingga terjadi dominasi

jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lain, dan di sini gender

menjadi persoalan sosial budaya.

- Gender sebagai Suatu Persoalan Kebudayaan; pembedaan laki-

laki dan perempuan sebenarnya bukan menjadi masalah bagi

sebagian besar masyarakat. Pembedaan tersebut menjadi

113

masalah ketika melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan

karena jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan yang lebih

tinggi dari jenis kelamin yang lain. Oleh karena itu, untuk

menghapus ketidakadilan gender tidak mungkin dilakukan tanpa

melihat akar permasalahannya yaitu pembedaan atas dasar jenis

kelamin.

Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender

merupakan salah satu pendorong lahirnya gerakan feminisme.

Ketidakdilan terhadap perempuan menurut Fakih (1997 : 149) terbagi

dalam 6 (enam) bagian yaitu :

1. Perbedaan dan pembagian gender termanifestasikan dalam

bentuk subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki,

terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan

pengendalian kekuasaan.

2. Perbedaan dan pembagian gender melahirkan proses

marginalisasi perempuan secara ekonomis dalam kultur,

birokrasi maupun program-program pembangunan.

3. Perbedaan dan pembagian gender membentuk steriotip terhadap

kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap

mereka.

4. Perbedaan dan pembagian gender membuat kaum perempuan

bekerja lebih keras dalam hal pengurusan lingkup domestik,

114

terlebih lagi jika kaum perempuan turut bekerja di luar rumah

yang menyebabkan adanya beban ganda(mengurus

rumahtangga dan bekerja).

5. Perbedaan gender juga mengakibatkan tombulnya kekerasan

dan penyiksaan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun

mental.

6. Perbedaan dan pembagian gender berikut menifestasinya

mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat dan

penerimaan nasib perempuan yang ada.

Sofia dan Sugihastuti (2003:26) mengemukakan bahwa

munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi

sosial gender yang ada mendorong citra perempuan masih belum dapat

memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem dan tradisi dalam

masyarakat kemuadian melahirkan kritik feminis yang termanifestasikan

dalam berbagai wujud baik melalui sikap, penulisan artikel dsb.

Istilah Kesetaraan gender adalah istilah yang sering

diperdengarkan oleh para kaum aktivis sosial, aktivis perempuan dan

semua orang yang bersimpati atas kondisi yang ada dalam masyarakat..

Istilah kesetaraan gender dalam tatanan paktis hampir selalu diartikan

sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami perempuan. Istilah

kesetaraan sering dikaitkan dengan adanya perbedaan perlakuan,

115

diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan yang mendapat simpati

dari masyarakat luas.

Kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan hak dan kewajiban

, namun juga diartikan sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun

perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai

manusia , agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan

politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan

keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil-hasil

pembangunan. (Riant Nugroho: 2008; 28,29) Dalam perkembangannya,

ada perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk

menyetarakan kedudukannya dengan kaum laki-laki. Menurut Afan

Gaffar (2001:7) di Amerika ada 2 gerakan wanita : Pertama, gerakan

gender, lebih menekankan kepada kesetaraan tanpa meninggalkan nilai-

nilai dasar kaum wanita. Nilai-nilai dasar kaum wanita yang dimaksudkan

disini adalah bahwa perempuan sudah digariskan sebagai ibu dan isteri

yang tidak boleh melupakan kodratnya. Kedua, gerakan kaum feminis

yang, menuntut persamaan hak mutlak terhadap kaum laki-laki dalam

segala dimensi kehidupan. Gerakan feminis ini lebih ekstrim lagi yang

menuntut persamaan hak mutlak tanpa memperhitungkan perbedaan

yang dimiliki antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya dalam dunia

kerja, jika menuntut persamaan hak maka juga harus ada persamaan

kewajiban padahal ada hal-hal yang membedakan antara laki-laki yaitu

116

pada saat melahirkan perempuan membutuhkan cuti untuk memulihkan

kondisinya dan ini yang membedakannya dengan laki-laki.

Kesetaraan gender tidak selamanya mencerminkan keadilan,

keadilan bukan hanya terwujud jika ada persamaan hak dan kewajiban

yang setara tetapi kesetaraan kedudukan dalam hukum dilihat sebagai

suatu persamaan kedudukan yang tidak melupakan kodrat dalam hal ini

permepuan tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan yang

mempunyai tanggungjawab atas keluarga baik suami maupun anak-anak.

Gerakan pembelaan hak kaum perempuan ini membawa imbas

pada perjuangan gerakan perempuan di Indonesia. Perlawanan yang

dilakukan kaum perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan atau

persamaan hak dengan laki-laki dimulai dengan gerakan feminis.

Feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawanan atas berbagai

upaya control laki-laki di atas. Asumsi bahwa perempuan telah ditindas

dan dieksploitasi menghadirkan anggapan bahwa feminism merupakan

satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.

(Fakih, 1997 : 99)

Dalam dua dasawarsa terakhir terjadi suatu proses perubahan

paradigma melalui gerakan feminisme. Tinjauan feminisme

mengungkapkan bahwa hukum ternyata mengandung keberpihakan

kepada laki-laki. Hukum-hukum ataupun nilai-nilai yang ada pada

masyarakat yang patriarki memang berorientasi kepada pelestarian nilai-

117

nilai patriarki. Menurut Reich Adriane (1977), gerakan Feminis yang

memperjuangkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan telah

melahirkan konsep-konsep tentang ketidakseimbangan hubungan antara

laki-laki dan perempuan yang disebut sistim patriarkhat-dimana

perempuan tersubordinasi-yang telah hidup di dunia lebih dari 3.000

tahun berdasarkan pada sistem filsafat, sosial, dan politik. Lak-laki-

dengan kekuatan, tekanan langsung atau melalui ritual, tradisi, hukum

dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan dan pembagian kerja-

menentukan peran apa saja boleh dan tidak boleh dilakukan oleh

perempuan dan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.

Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti

(2003:24) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada

partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak

serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme

memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk

memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.

Menurut Kasiyan (Fransisca,2005:11), feminisme sebagai gerakan

perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang

disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persolan-

persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender.

Woodan (1982) menyatakan bahwa ketidakadilan yang

disebabkan ketidakseimbangan dinamis hubungan antara laki-laki dan

118

perempuan merupakan ketidakadilan sosial artinya ketidakadilan yang

disebabkan oleh struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat yang

terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan

ideologi. Karena berkaitan dengan struktur-struktur kekuasaan di

masyarakat, feminisme tidak dapat dipisahkan dengan politik dan hukum.

Hukum yang senyatanya hidup di masyarakat yaitu hukum masyarakat

yang merupakan norma-norma dari kekuatan pemaksa seperti agama,

adat istiadat atau lebih dikenal dengan non state law atau people law atau

customary law. Pendeknya bukan hukum yang berasal dari negara dan

sangat dipengaruhi oleh ideologi gender yang berlaku di masyarakat.

Bohannan (1937) mengatakan bahwa ada perkaitan antara

hukum dan kebiasaan masyarakat. Dalam beberapa kasus terjadi protes

terhadap hukum yang tidak adil dengan mengadakan berbagai tindakan

dan aksi menolak dan mengabaikan atau menggunakan celah-celah

hukum dan norma-norma masyarakat untuk memilih hukum yang

berkeadilan gender. Pendobrakan terhadap ketidaksetaraan kedudukan

perempuan dan laki-laki dikenal dengan gerakan feminisme. Feminisme

menurut Goefe (Sugiharti, 2000: 37) ialah teori tentang persamaan antara

laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau

kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan

perempuan. Bhasin (1996:1) menjelaskan bahwa patriarkhi berarti

kekuasaan bapak atau patriarch. Istilah ini secara umum digunakan untuk

119

menyebtukan kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki

menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistim yang membuat

perempuan tetap dikuasai melalui berbagai macam cara.

Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam

kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai

subordinatnya. Ketidaksetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki oleh

kaum feminis liberal dilihat sebagai akibat dari pola pemikiran yang

patriarkat, yang tidak melihat kapasitas dan kapabilitas perempuan dalam

kehidupan bersama dalam masyarakat. Mereka menyatakan bahwa hak-

hak untuk semua manusia , di bawah hukum alam, berdasarkan

kapasitas manusia sebagai agen moral dan nalar; menegaskan bahwa

hukum-hukum yang mengabaikan hak perempuan untuk mendapatkan

kebahagiaan adalah “ bertentangan dengan hukum alam dan ……..tidak

sah”, dan menyerukan perubahan dalam hukum dan adat agar dapat

mengijinkan perempuan mendapatkan tempat yang semestinya dalam

masyarakat.(G.Ritzer dan D.Goodman ; 2007; 421).

Kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat bahwa keluarga

adalah sebuah konstruksi sosial yang defenisi dan bentuknya merupakan

produk historis dan kulturan dimana laki-laki dan perempuan tidak dilihat

sebagai satu kesatuan/mitra dalam membangun keluarga tetapi lebih

mengedepankan kepentingan laki-laki dan perempuan hanya

menjalankan kewajiban yang dilihat sebagai kodrat selaku pendamping

120

dalam rumahtangga/keluarga. Keluarga merupakan lembaga yang turut

melestarikan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, dan

mengakibatkan perempuan terbatas aksesnya terhadap berbagai sumber

daya.

Masyarakat adat Maluku adalah masyarakat adat patrilinial

melalui kekuasaan kebapakan masih mengakui pengaruh garis keturunan

kebapakan dalam penguasaan tanah adat. .Masyarakat adat Maluku

adalah masyarakat adat patrilineal melalui kekuasaan kebapakan masih

mengakui pengaruh garis keturunan kebapakan dalam penguasaan tanah

adat. Namun perempuan Maluku yang sudah mengenal kemajuan dan

perkembangan jaman sadar penuh akan hak nya terhadap penguasaan

tanah adat khususnya tanah dati.

Melalui Konperensi Perempuan Maluku 2009, sudah diusung isu

Kesetaraan gender dalam penguasaan tanah dati, bahwa perempuan

memiliki hak yang sama dengan laki-laki terhadap penguasaan tanah-

tanah adat yang ada di Maluku khususnya tanah dati. Perubahan nilai

terjadi untuk mengatasi masalah kedudukan perempuan terhadap hak

penguasaan tanah adat di Maluku khususnya terhadap Tanah Dati agar

perempuanpun dapat memiliki hak atas Tanah Dati. Dalam Konperensi ini

dihasilkan suatu kesepakatan agar hukum adat direvitalisasi, maksud

revitalisasi ini bukanlah berarti hukum adat diganti dengan hukum positif

atau system hukum lain dalam mengatur masyarakat tetapi adanya

121

penguatan yang diberikan pada nilai-nilai yang menjadi landasan dan

patokan masyarakat hukum adat dalam berperilaku.

Pertentangan kepentingan dalam pengaturan perolehan hak atas

tanah dati menimbulkan konflik antara kaum perempuan dengan kaum

laki-laki dimana perempuan merasakan ketidakdilan dalam memperoleh

hak dan kedudukan atas tanah dati sebagai salah satu tanah adat yang

dapat dimiliki namun karena nilai patriarki yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat sehingga hak dan kedudukan kaum perempuan

terpinggirkan.

Grand Theory: Teori Utilitarisme dari Jeremy Bentham dan Teori

Sociological Jurisprudence dari Eugen Ehrlich

Teori Utilitarisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang

mengatakan bahwa manusia akan bertindak untuk mendapatkan

kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.

Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada

apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan ataukah tidak.

Lebih lanjut Jeremy Bentham berpendapat bahwa pembentuk

undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang

dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Teori hukum ini

bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai

dengan daya guna (efektif). Lebih lanjut Jeremy Bentham

mengatakan bahwa hukum dan moral merupakan dua hal yang tidak

122

bisa dipisahkan. Hukum mesti bermuatan moral dan moral mesti

bermuatan hukum, mengingat moral itu merupakan salah satu sendi

utama kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya. Hukum

yang efisisen dan efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan

misinya yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada

jumlah warga terbanyak.

Teori Eugen Ehrlich;

Eugene Ehrlich dalam karya utamanya Beitrage Zur teorie der

Rechtsquellen (1902) , Grundlegung der Sociologi des Recht (1919)

(Saifullah,2007:46) :

1. Dianggap sebagai pembentuk atau pelopor Ilmu Hukum Sosiologi

(Sociological Jurisprudence).

2. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan lebih memahami

hukum dalam konteks sosial.

3. Meneliti latar belakang aturan formal yang dianggap sebagai hukum.

4. Aturan tersebut merupakan norma sosial actual yang mengatur semua

aspek kemasyarakatan disebut sebagai hukum yang hidup (living law)

yaitu hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai lawan

hukum yang diterapkan Negara.

5. Hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat.

6. Membedakan hukum positif dengan hukum yang hidup atau suatu

perbedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial.

123

7. Hukum positif akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup

dalam masyarakat, atau apa yang disebut antropologi sebagai

kebudayaan (culture pattern).

8. Pusat perkembangan hukum bukan pada badan legislatif, keputusan

yudikatif ataupun ilmu hukum tetapi justru terletak pada masyarakat itu

sendiri.

9. Hukum tunduk pada kekuatan sosial, hukum tidak mungkin efektif oleh

karena keterlibatan dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan

sosial pada hukum, bukan penerapannya secara resmi oleh Negara .

10. Tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan

pada aturan atau norma sosial yang tercantum dalam sistem hukum.

11. Sebagian kecil segi kehidupan yang diadili oleh pejabat-pejabat resmi

(PN) yang berfungsi menyelesaikan perkara (perselisihan).

12. Mereka yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai

hubungan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang

bersangkutan.

13. Diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-

keputusannya jika terjadi sengketa di atas tata tertib masyarakat yang

damai dan spontan. Peraturan-peraturan uuntukmengambil keputusan-

keputusan menyimpulkan adanya sengketa antara kelompok atau

individu yang ada pembatasan kepentingan-kepentingan dan

kompetensinya. Agar peraturan ini secara jelas dapat terbebas dari tata

124

tertib masyarakat yang damai dan spontan maka haruslah terjadi

perbedaan antara individu dan kelompok dan haruslah timbul berbagai

kelompok yang sama nilainya.

14. Bahwa apa yang dinamakan ilmu hukum yang diselenggarakan oleh

para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif

dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis.

15. Menurut Ehrlich ada suatu hukum yang menguasai masyarakat sebagai

suatu tata tertib . Dan hukum ini, yang digunakan sebagai dasar untuk

segala peraturan hukum dan karena jauh lebih efektif daripada

peraturan manapun juga, hukum ini merupakan tata tertib hukum

langsung dari masyarakat. Jadi menurut Ehrlich perkembangan suatu

hukum tidak harus dicari dalam UU, jurisprudensi ataupun dalam

doktrin tetapi bisa dicari dalam masyarakat itu sendiri.

Teori Beslissingenleer dari Ter Haar yang dikenal dengan Teori

Keputusan yang menyatakan bahwa hukum adat mencakup seluruh

peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan

para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta

di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi

dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut.

Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi

juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Ter Haar juga

menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga

125

masyarakat . Teori keputusan yang dikemukakan Ter Haar ini

menegaskan bahwa dalam suatu masyarakat hukum adat suatu

keputusan bisa saja bukan berasal dari para pejabat hukum tetapi dapat

juga berasal dari warga masyarakat hukum adat itu sendiri. Demikian

halnya dengan nilai patriarki yang sudah mengakar dalam kehidupan

masyarakat hukum adat dan mengalami perubahan di mana perubahan

nilai membawa dampak pada perubahan yang terjadi dalam struktur

masyarakat hukum adat di mana pada masa yang lampau sebelum

tahun 1980-an, kedudukan perempuan terstruktur dalam masyarakat

hukum adat sebagai warga kelas dua dan mengalami perubahan nilai

sehingga memberikan warna baru dalam kehidupan bersama

masyarakat hukum adat .

Middle Theory : Teori Konflik

Teori konflik bersumber pada tulisan-tulisan Karl Marx yang

mempertahankan bahwa perubahan sosial terjadi melalui suatu proses

dialektik. . Teori-teori konflik kontemporer memperluas fokus teori dengan

memasukkan komponen-komponen multidimensional untuk

menggambarkan pertentangan dan ketidaksamaan di dalam struktur

masyarakat. Karya Max Weber dipusatkan pada kekuasaan, status dan

kekayaan untuk menggambarkan ketidaksamaan-ketidaksamaan dalam

masyarakat untuk menunjukkan keadaan tersebut. (Ollenburger, 2002:

17,18)

126

Rendall Collins mengemukakan bahwa ketidakadilan

berdasarkan jenis kelamin bervariasi sesuai dengan tipe-tipe masyarakat,

tetapi ada tiga fakta sosial yang konstan, yang menentukan wanita

sebagai harta seksual kepunyaan laki-laki. Semua manusia memiliki (1)

dorongan kuat untuk kepuasan seksual, dan (2) daya tahan untuk

menghadapi kekerasan. Fakta ketiga ialah biasanya laki-laki lebih besar

danlebih kuat daripada wanita “… karenanya laki-laki menjadi agressor

seksual, dan wanita umumnya mengambil sikap defensif” (Collin,

1975:231). Lebih jauh Collins menyatakan bahwa ketidakadilan

berdasarkan jenis kelamin dan kekerasan bervariasi menurut dua struktur

sosial; paksaan oleh organisasi-organisasi politik terhadap masyarakat

(keluarga,hukum, dan sebagainya) dan keadaan pasar, serta sumber

penghasilan laki-laki dan wanita.

Konflik dalam masyarakat menurut teori konflik timbul bisa saja

karena ketidakadilan yang didasarkan perbedaan status, kekayaan tetapi

juga jenis kelamin. Perlakuan tidak adil juga bisa disebabkan karena

perbedaan jenis kelamin, laki-laki dibedakan dengan perempuan.

Perbedaan yang didasarkan pada jenis kelamin ini dapat menimbulkan

konflik dalam masyarakat, yang mengakibatkan termarginalnya hak-hak

kaum perempuan dalam pemilikan hak atas tanah. Perempuan merasa

memiliki hak yang sama dengan laki-laki pada awalnya karena pengaruh

budaya patrilinial pasrah menerima kenyataan bahwa sebagai warga

127

kelas dua perempuan tidak berhak atas tanah yang dapat dihakinya.

Namun dengan pengaruh perkembangan jaman, perempuan sekarang

sudah lebih maju pemikirannya. Perempuan tidak lagi menjadi warga

kelas dua tetapi perempuan menuntut hak yang sama dengan laki-laki

dalam memiliki hak atas tanah.

Teori Konflik Analitik oleh Janet Chafetz(1984, 1988, 1990, 1996,

1999) ; Pendekatan Chafetz adalah lintas kultural dan lintas historis dan

mencoba merumuskan teori jender dalam seluruh pola-pola

kemasyarakatan khususnya. Secara lebih khusus, ia memusatkan

perhatian pada masalah ketimpangan jender yang disebutnya sebagai

stratifikasi jenis kelamin (seks). Bertolak dari stratifikasi jenis kelamin ini,

Chafetz berpegang pada praktik teori konflik analitik. Ia menemukan

bentuk perulangan konflik sosial dan menganalisisnya dari sudut nilai

kondisi struktural yang menghasilkan intensitas konflik yang meningkat

atau menurun. Chafetz kemudian meneliti struktur dan kondisi sosial

yang mempengaruhi intensitas stratifikasi jenis kelamin atau kerugian

wanita di seluruh masyarakat dan kultur. Pemusatan perhatian diarahkan

pada cara mencapai kesetaraan jender, mencoba mengetahui persoalan

struktur kunci yng dapat diubah sehingga memperbaiki kondisi wanita.

Dengan pandangan proaktifnya untuk mencapai kesetaraan laki-laki dan

perempuan, Chafetz bergerak keluar netralitas nilai yang telah menjadi

simbol teori konflik analitik dari Weber.

128

Applied Theory : Teori Perubahan Paradigma dari Thomas Kuhn

Teori Perubahan dari Thomas Kuhn

Thomas Kuhn (Satjipto Rahardjo, 2009: 69-74) melihat

perubahan disebut “normal science”, kemudian lahir “abnormal science”,

untuk kembali menjadi “normal science”. Yang dimaksud oleh Kuhn

dengan ilmu pengetahuan normal adalah penelitian yang secara kokoh

didasarkan pada capaian-capaian ilmiah di masa lalu. Capaian tersebut

diterima oleh komunitas ilmu sebagai pengumpan bagi dilakukannya

praktik ilmu lebih lanjut. Dikatakan oleh Kuhn, “Today such achievements

are recounted by science textbooks Mile- textbooks expound the body of

accepted theory …..”. Hasil-hasil yang diterima oleh komunitas ilmu

secara implicit mendefenisikan persoalan dan metode yang sah untuk

dipersoalkan dan digunakan dalam ilmu. Maka terbentuklah satu

kesepakatan mengenai apa yang bias dipersoalkan dan metode yang

digunakan. Hal tersebut menghindari terjadinya persaingan dalam cara

(modes) menjalankan kegiatan ilmiah. Pada waktu yang sama, ia juga

bersifat terbuka (open ended) untuk praktisi ilmu. Hal ini yang dinamakan

Kuhn sebagai “Paradigma” yang berkaitan dengan “ilmu pengetahuan

normal”.

Perjalanan ilmu pengetahuan selanjutnya, muncul perubahan

dan terjadi suatu transformasi paradigma. Perubahan dari satu paradigm

129

ke yang lain merupakan revolusi dalam ilmu pengetahuan. Hal tersebut

merupakan pola perkembangan yang normal dari suatu disiplin ilmu yang

dewasa.

Sejak diterimanya suatu paradigma, maka ilmu pengetahuan

mulai memasuki apa yang disebut Kuhn sebagai ilmu pengetahuan

normal. Dalam kurun waktu era suatu paradigma atau tahap penelitian

normal maka sedikit sekali usaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru,

yang konseptual serta fenomenal. Padahal sebenarnya ilmuwan berada

pada ranah suatu paradigma yang menuju pada suatu paradigma yang

baru di mana dengan panduan paradigma yang ada, ilmuwan akan

meneliti fenomena lebih jauh baik dalam ketepatan(precision) maupun

keluasannya (scope). Menurut Kuhn, tanpa komitmen untuk melakukan

aktivitas tersebut seorang ilmuan tidak bias disebut sebagai ilmuan.

Namun dalam perjalanannya, ditemukan anomaly yang tidak bias

dijelaskan dengan paradigma yang ada dan anomali-anomali itu justru

memicu timbulnya temuan-temuan (discoveries), dalam ilmu

pengetahuan. Kesadaran akan adanya anomali merupakan dasar

pengakuan diperlukannya perubahan teori. Krisis tersebut membuat

terjadinya pergeseran terhadap paradigma yang ada terhadap persoalan-

persoalan yang diajukan serat metode yang disediakan oleh ilmu

pengetahuan normal.

130

Anomali yang terjadi memicu timbulnya paradigma baru dan ada

transformasi menuju krisis dan munculnya ilmu pengetahuan yang luar

biasa. Selanjutnya Kuhn mengemukakan adanya revolusi ilmu

pengetahuan yang terjadi apabila paradigm berubah yang menyebabkan

perubahan teori-teori, metode dan standar. Terjadilah pergeseran yang

signifikan dalam tolok ukur untuk menentukan keabsahan persoalan-

persoalan dan penyelesaian-penyelesaian yang diusulkan. Ilmu

pengetahuan berubah menjadi “abnormal” karena terjadi suatu revolusi

yang akhirnya menghasilkan suatu “extraordinary science”. Ilmu yang

tidak normal atau “extraordinary science” mengisyaratkan datangnya

suatu teori baru yang lebih handal tetapi semua itu harus melalui proses

yang panjang sehingga dengan kehadiran ilmu yang tidak biasa/normal

akhirnya kembali pada keadaan sebelumnya yaitu keadaan ilmu

pengetahuan biasa (ordinary).

Keadaan ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Ilmu pengetahuan biasa/normal ----- ilmu pengetahuan tidak normal ------

ilmu pengetahuan biasa/normal.

Secara kronologis perkembangan ilmu menurut Thomas Kuhn(Saifullah,

2007:84) dapat diurut dalam alur penahapan sebagai berikut :

Tahap I. Kondisi pengetahuan yang normal. Dalam kondisi seperti ini

terdapat banyak persoalan tetapi relatif kecil dengan mengacu pada

131

paradigm yang berlaku. Hasil akhirnya masih kondisi normal, hal yang

biasa saja.

Tahap II. Tahap kedua ini muncul kesulitan-kesulitan yang semakin besar

dan tidak dapat dijelaskan dan diselesaikan dengan paradigma yang baru.

Tahap III. Selanjutnya timbul kondisi krisis. Tidak ada paradigm satupun

yang dapat dijadikan pijakan. Kondisi penuh ketidakpastian.

Tahap IV. Kondisi akan tenang bila terdapat paradigma yang mampu

melihat jauh ke depan. Terdapat ide-ide yang canggih.

Tahap V. Ide-ide dikembangkan dan mampu menjawab persoalan-

persoalan yang tidak dapat diselesaikan serta timbul paradigma baru.

Tahapan paradigma dapat tergambar dalam diagram sebagai berikut :

Normal ------- Kesulitan --------- Krisis---------- Paradigma Baru---------------

Normal Kembali.

Suatu keadaan dikatakan normal jika tidak terdapat kesulitan dalam

kehidupan setiap hari. Keadaan normal ini kemudian menimbulkan

masalah jika mulai ditemukan kesulitan-kesulitan hidup. Kesulitan hidup ini

kemudian menimbulkan krisis dalam masyarakat. Krisis yang terjadi dalam

masyarakat dianalisis dengan paradigma baru sehingga keadaan berakhir

menjadi normal kembali.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka dapat dijelaskan sebagai

berikut :

132

Nilai patriarki yang menjunjung dominasi laki-laki dalam kehidupan

masyarakat adat di Maluku Tengah dianggap sebagai suatu keadaan

yang normal.

Nilai patriarki yang menguntungkan posisi atau kedudukan laki-laki

dalam masyarakat hukum adat mulai dikritisi oleh kaum perempuan dan

pemerhati kesetaraan gender sehingga mulai menghadapi perlawanan

sehingga ada kesulitan dalam perkembangannya.

Kesulitan ini kemudian menimbulkan krisis, dalam hal ini krisis nilai

dalam masyarakat hukum adat. Nilai patriarki yang semula sangat

dijunjung oleh masyarakat hukum adat mulai mengalami perubahan

nilai.

Perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat ditelaah dengan

paradigma baru yang melihat bahwa kedudukan laki-laki dan

perempuan adalah sama dan tidak ada perbedaannya.

Perubahan nilai yang member pengakuan terhadap kedudukan hukum

perempuan dalam hal penguasaan tanah dati diterima sebagai suatu hal

yang normal dalam komunitas masyarakat hukum adat di Maluku

Tengah.

Pergeseran nilai yang terjadi pada masyarakat hukum adat mulai

dirasakan pada tahun 1980-an dimana dampak dari perkembangan

masyarakat secara global turut mempengaruhi nilai yang berlaku dalam

masyarakat hukum adat khususnya nilai patriarki.

133

Ada 4 tema yang menandai Teori Ketimpangan Gender yaitu:

1. Lelaki dan wanita diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara

berbeda, tetapi juga timpang. Secara spesifik, wanita memperoleh

sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang untuk

mengaktualisasikan diri yang lebih sedikit daripada yang diperoleh

laki-laki, yang membagi-bagi posisi sosial mereka berdasarkan

kelas, ras, pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan atau

berdasarkan faktor sosial lainnya.

2. Ketimpangan ini berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari

perbedaan biologis atau kepribadian penting antara lelaki dan

wanita.

3. Meski manusia individual agak berbeda ciri dan tampangnya satu

sama lain , namun tak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang

membedakan lelaki dan wanita. Dengan mengatakan ada

ketimpangan gender berarti menyatakan bahwa secara situasional

wanita kurang berkuasa ketimbang lelaki untuk memenuhi

kebutuhan mereka bersama lelaki dalam rangka pengaktualisasian

diri.

4. Semua teori ketimpangan gender menganggap baik itu lelaki

maupun wanita akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang

makin mengarah ke persamaan derajat (egalitarian) dengan mudah

134

dan secara alamiah. Dengan kata lain, mereka membenarkan

adanya peluang untuk mengubah situasi.

Hukum yang baik adalah hukum yang dapat memberikan

manfaat/kegunaan bagi masyarakat, yang mampu memberikan

ketenteraman bagi masyarakat dan hukum yang efektif adalah hukum

yang selaras dengan nilai-nilai yang diyakini dan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat (living law) . Hukum yang berisikan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat lebih ditaati dan diikuti karenamerupakan pencerminan

dari masyarakat yang ada.

Kerangka pemikiran dalam penulisan ini tergambar dalam bagan

sebagai berikut:

135

Kerangka pemikiran ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan merupakan

dambaan setiap warga masyarakat, termasuk didalamnya kaum

perempuan masyarakat hukum adat di Maluku Tengah.

2. Kesetaraan yang diharapkan mencakup berbagai lini kehidupan

selaku warga masyarakat hukum adat.

3. Hukum Nasional Negara Republik Indonesia juga mengakui

adanya kesetaraan dalam kehidupan bersama masyarakat dan

tidak dibedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.

4. Hukum Nasional menjamin adanya persamaan hak dan

kedudukan dalam hukum nasional antara laki-laki dan

perempuan.

5. Namun dalam kenyataannya, pada masyarakat hukum adat yang

sistem kekerabatannya adalah patrilinial, hak dan kedudukan

dalam hukum antara laki-laki dan perempuan dibedakan.

6. Laki-laki memiliki hak dan kedudukan hukum yang lebih kuat

dibanding perempuan.

7. Sistem kekerabatan yang patrilinial turut mempengaruhi pola pikir

masyarakat hukum adat yang masih menjunjung kedudukan laki-

laki yang dominan dalam masyarakat hukum adat.

136

8. Sistem kekerabatan yang kental dengan nilai-nilai patriarki

ternyata mulai mengalami perubahan.

9. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat

disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya perkembangan

pola pikir masyarakat, sejarah, dan juga tingkat pendidikan dari

anggota persekutuan masyarakat hukum adat.

10. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat

menyebabkan perempuan dapat menguasai tanah dati yang

semula hanya merupakan bagian dari penguasaan kaum laki-

laki.

137

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe Penelitian ini adalah tipe penelitian yuridis sosiologis.

Penelitian Yuridis sosiologis atau sering disebut penelitian hukum

yang sosiologis berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan

perundangan), tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam

aturan perundangan namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi

yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.

Sementara penelitian sosiologi tentang hukum mengkonstruksikan hukum

bukan sebagai suatu sistem norma dalam bentuk peraturan perundang-

undangan yang selama ini dipahami, tetapi hukum dikonstruksikan

sebagai sesuatu perilaku masyarakat yang ajeg, dan terlembagakan serta

mendapatkan legitimasi secara sosial. (I b I d: 47,48)

Penelitian yang penulis lakukan melakukan observasi secara

langsung turun pada masyarakat hukum adat di beberapa negeri adat di

Maluku Tengah. Penulis mengobservasi secara langsung terjadinya

perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat di Maluku

Tengah tentang kedudukan hukum perempuan atas tanah dati.

138

B. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini, Penulis mengkaji perubahan nilai tentang

kedudukan hukum perempuan atas tanah dati dengan perspektif

kesetaraan gender dengan menggunakan pendekatan masalah berupa

pendekatan konseptual (conceptual approach) , pendekatan sejarah

(history approach) dan pendekatan perbandingan (comparative

approach).

Pendekatan konseptual (conceptual approach), sebagai dasar

atau acuan untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan

tanah adat khususnya tanah dati maupun konsep-konsep perubahan nilai

maupun gender dan kesetaraan gender dalam kaitannya dengan tanah

dati di Maluku Tengah.

Pendekatan sejarah (history approach), dipergunakan untuk

melihat lebih mendalam lagi tentang sejarah keberadaan tanah dati

sebagai salah satu tanah adat warisan nenek moyang yang diwariskan

bagi masyarakat hukum adat khususnya masyarakat hukum adat di

Maluku Tengah.

Pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan

perbandingan dipergunakan untuk membandingkan data-data yang

diperoleh dari kelima lokasi penelitian yaitu Negeri Hatu, Negeri Lima,

Larike, Tenga-Tenga dan Hitulama dalam kaitannya dengan kedudukan

139

hukum perempuan atas tanah dati di Maluku Tengah dalam perspektif

kesetaraan gender.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di beberapa desa di Kabupaten Maluku

Tengah dan Kota Ambon yaitu di Negeri Hatu, Larike, Negeri Lima,Hitu

Lama,Tengah-Tengah, dan berlangsung selama 3 bulan. Pemilihan

lokasi penelitian di beberapa desa ini didasarkan atas alasan-alasan

sebagai berikut :

a. Pada Negeri Hatu dan Hitu Lama dalam sejarahnya pernah

terjadi permasalahan yang terkait dengan penguasaan tanah

dati.

b. Demikian juga di Larike dan Negeri Lima memiliki kesamaan

karakteristik dalam kehidupan sehari-hari.

c. Tanah dati di beberapa desa bahkan sudah terdaftar dalam

Register Dati .

Selain alasan-alasan yang dikemukan di atas maka menurut

HeruNugroho dalam Husen Alting (2010:6) bahwa tanah bagi masyarakat

memiliki makna multidimensional :

- Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi

yang dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat;

140

- Ke dua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang

dalam pengambilan keputusan masyarakat; dan

- Ke tiga , sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi

rendahnya status sosial pemiliknya;

- Ke empat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan

warisan dan masalah-masalah transendental.

D. Jenis Dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah data yang

diperoleh langsung pada negeri-negeri adat yang diteliti melalui

wawancara maupun kuisioner dan juga berupa bahan-bahan hukum

meliputi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

penguasaan tanah adat serta sumber data sekunder yang diperoleh

melalui studi kepustakaan, dokumen, artikel, serta literatur yang relevan

dengan penelitian ini.

Wawancara yang dilakukan terhadap responden dari masing-

masing negeri adat yaitu :

1. Raja dari negeri Hatu, Negeri Lima, Larike, Tenga-tenga dan

Hitulama.

2. Saniri Negeri dari masing-masing negeri adat 3 orang.

141

3. Masyarakat adat dari masing-masing negeri 16 orang, yang terdiri

dari para tetua adat, kelompok usia menengah antara usia 30-45

tahun dan kelompok usia muda antara usia 20-30 tahun.

E. Instrumen Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data Primer

a. Metode Kepustakaan, dilakukan dalam mengumpulkan bahan

hukum yang berkaitan dengan penguasaan tanah adat.

b. Wawancara dilakukan terhadap Raja, Saniri Negeri masing-

masing 3 orang dan dari kelompok masyarakat adat 16 orang.

2. Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder berupa bahan hukum dalam

bentuk buku-buku, hasil-hasil penelitian, tulisan ilmiah yang terkait

dan menunjang penelitian ini.

F. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah Analisis data primer. Data

primer diperoleh baik melalui penelitian kepustakaan maupun penelitian

lapangan dan untuk memudahkan menganalisanya maka ditempuh

langkah-langkah sebagai berikut :

142

1. Memilih materi yang berhubungan dengan masyarakat adat

beserta penguasaan tanah adat khususnya hak kaum

perempuan.

2. Merangkum bahan-bahan yang perlu dianalisa berkaitan dengan

masyarakat kadat serta hak-hak yang melekat padanya.

3. Merangkum data-data yang diperoleh melalui observasi dan

wawancara kemudian digunakan metode analisa kualitatif.

4. Data yang dirangkum kemudian dituangkan dalam penulisan.

143

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tentang Tanah Dati Di Maluku Tengah

Provinsi Maluku terdiri atas beberapa kabupaten dan kota di

mana Maluku Tengah termasuk salah satu kabupaten. Tanah dati

merupakan salah satu dari jenis tanah adat yang berada di kabupaten

Maluku Tengah. Sebagai salah satu bagian dari wilayah Provinsi Maluku,

Maluku Tengah memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumber daya

alam yang dimiliki oleh masyarakat hukum adatnya. Tanah dati

termasuk salah satu dari bagian kekayaan sumber daya alam yang

dimiliki masyarakat hukum adat di Maluku Tengah. Masyarakat hukum

adat di Maluku Tengah memiliki wilayah petuanan tempat berdiam diri,

beraktivitas dan melakukan segala kegiatan kehidupan sehari-hari.

Wilayah persekutuan masyarakat hukum adat terdiri atas wilayah

petuanan darat dan wilayah petuanan laut. Pada wilayah petuanan darat

masyarakat hukum adat di Maluku Tengah dapat di temukan tanah adat

masing-masing:

1. Tanah dati; tanah dati adalah tanah yang didapatkan sebagai

kompensasi melakukan pelayaran Hongi

2. Dusun dati; dusun dati merupakan dusun yang diberikan kepada

seseorang atau suatu persekutuan atau kerabat atau cabang

144

kerabat sebagai kompensasi atau imbalan atas prestasi mereka

karena telah melakukan tugas atau pekerjaan dati.Pemberian

dusun dati bukan hanya untuk waktu tertentu saja tetapi untuk

seterusnya selama persekutuan dati masih berdiri dan

menjalankan tugas-tugas dati.

3. Tanah ewang ; mengenai pengertian tanah daratan harus

dibedakan antara tanah ewang dan dusun. ewang adalah tanah

yang belum diusahakan atau digarap oleh tangan manusia;

diperusah menurut istilah masyarakat adat setempat dan masih

merupakan tanah liar.

4. Aong ; pada mulanya adalah hutan belukar yang dibuka atau

diperusah oleh seorang anak negeri dengan ijin negeri untuk

membabat hutan itu dan kemudian menanaminya. Biasanya

yang ditanam adalah tanam-tanaman umur pendek seperti

jagung, kasbi, sayur-mayur, ubi-ubian dan tanaman musiman.

5. Dusun perusahan atau dusun tetanaman adalah dusun yang

dibuka atau diperusah sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh

anak negeri, di atas tanah petuanan biasanya tanah yang masih

berupa ewang.

6. Dusun negeri; tanah atau dusun milik persekutuan masyarakat

hukum adat yang dapat ditanami dan hasilnya dimasukan ke kas

negeri.

145

Walaupun terdapat beberapa jenis tanah adat tetapi tidak ada

keseragaman jenis tanah adat pada masing-masing negeri adat. Pada

satu negeri adat dapat ditemukan tanah adat yang beraneka ragam tetapi

bisa juga pada negeri adat yang lain hanya ada dua atau tiga jenis tanah

adat saja.

Tabel 1. Tanah-tanah adat di Maluku Tengah.

NEGERI TANAH/DUSUN

DATI DUSUN NEGERI

EWANG AONG DUSUN

PERUSAH

HATU NEGERI LIMA LARIKE TENGA-TENGA HITU LAMA

Sumber : Data Primer, dan diolah

Pada negeri-negeri adat di Maluku Tengah dapat ditemukan

tanah-tanah adat sebagai berikut :

1. Pada negeri Hatu terdapat tanah dan dusun dati, dusun negeri,

ewang, aong dan dusun perusah.

2. Pada Negeri Lima terdapat tanah atau dusun dati, dusun negeri,

ewang, aong, dusun perusah.

3. Pada Negeri Larike terdapat Tanah atau Dusun Dati, Dusun

Negeri, Ewang, Aong dan Dusun Perusah.

4. Pada negeri Tenga-tenga terdapat dusun negeri, ewang,aAong,

dusun perusah.

146

5. Pada negeri Hitulama terdapat dusun negeri, ewang, aong,

dusun perusah. Pada negeri Hitulama tanah dati dikenal dengan

penyebutan yang berbeda yaitu tanah negeri.

Tanah-tanah adat yang berada dalam wilayah persekutuan

masyarakat hukum adat dan termasuk didalamnya adalah tanah dati

jumlahnya tidak pasti dalam setiap negeri adat. Ada pada satu negeri

adat jumlahnya banyak namun di negeri adat lainnya jumlahnya lebiih

sedikit bahkan tidak ada sama sekali.

Pada negeri-negeri adat di MalukuTengah tidak semua negeri

memiliki tanah atau dusun dati dan dapat dilihat sebagai berikut:

1. Pada negeri Hatu, memiliki tanah/dusun dati namun jumlah tidak

diketahui dengan pasti. Biasanya nama dati sesuai dengan nama

marga yang memilikinya.

2. Pada Negeri Lima; memiliki tanah/dusun dati namun jumlah tidak

diketahui dengan pasti.Biasanya nama dati disesuaikan dengan

nama marga yang memilikinya.

3. Pada negeri Larike; memiliki tanah/dusun dati namun jumlahnya

tidak diketahui dengan pasti. Biasanya nama dati sesuai dengan

nama marga yang memilikinya.

4. Pada negeri Tenga-Tenga; tidak memiliki tanah dati.

5. Pada negeri Hitulama, walaupun tidak memiliki tanah dati tapi

pengaturan tanah negeri memiliki kemiripan dengan tanah dati.

147

Tanah dati hanya berada di kabupaten Maluku Tengah yang memiliki

wilayah petuanan pada negeri-negeri adat. Pada awalnya tanah dati

adalah tanah atau wilayah petuanan yang dimiliki secara komunal

sebagai balas jasa keikutsertaan kaum laki-laki dalam pelayaran hongi di

jaman penjajahan Belanda. Keikutsertaan laki-laki dalam pelayaran Hongi

dengan meninggalkan perempuan dalam hal ini isteri dan anak-anak

sehingga oleh pemerintah negeri diberikan bidang tanah untuk diolah dan

diambil hasilnya guna menghidupi keluarga-keluarga yang ditinggalkan

selama pelayaran hongi. Tanah dati awalnya hanya dihaki dengan hak

pakai karena hak petuanan masyarakat adat diberikan kepada

persekutuan dati untuk mengolah dan mengambil hasil guna menghidupi

keluarga yang ditinggalkan.

Tanah dati yang berada dalam wilayah persekutuan masyarakat

adat dapat dimiliki oleh persekutuan-persekutuan dati yang ada. Jumlah

persekutuan dati dalam suatu negeri bervariasi disebabkan karena jumlah

masyarakatpun berbeda-beda. Ada dalam suatu persekutuan masyarakat

hukum adat yang memiliki jumlah dati yang banyak tetapi ada juga yang

jumlahnya sedikit. Namun perbedaan jumlah dati dalam suatu

persekutuan tidak ditentukan hanya oleh jumlah penduduk yang ada

didalamnya.

Di dalam persekutuan dati dikenal ada beberapa jenis dati yaitu :

148

1. Tanah dati; tanah yang diatasnya ditanami dengan tanam-

tanaman berumur panjang yang dipergunakan untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarga yang ditinggalkan untuk tugas

pelayaran hongi dan kemudian dihaki dengan hak pakai. Yang

semula adalah hak komunal dan kemudian menjadi hak

perorangan yang dalam perkembangannya dapat dimiliki dan

dihaki hak milik.

2. Dusun dati; yang dimaksudkan disini bukanlah tanahnya atau

tanamannya saja tetapi tanah dengan semua tanaman yang ada

di atas tanah dati yang dimiliki secara bersama-sama.

3. Dusun pusaka dati; dusun perusahan yang diusahakan atau

diperusah secara pribadi oleh seorang anggota dati baik laki-laki

maupun perempuan di atas dusun atau tanah dati milik bersama

dari seluruh anak-anak dati dan tulung-tulung dati dari

persekutuan dati yang bersangkutan. (Ziwar Effendi,

2006:141,144).

Dati sebagai suatu persekutuan juga memiliki personalia yang

terdiri dari :

a. Kepala dati; kepala dati memiliki tugas yang berat karena

bertanggung jawab atas persekutuan dati yang dipimpinnya,

bahkan sampai dapat melakukan pembelaan di depan sidang

pengadilan atas nama persekutuan datinya. Kepala dati dalam

149

menjalankan tugasnya tidak berdiri sendiri namun perlu saran

dari tulung dati dan anak dati untuk memutuskan sesuatu hal.

b. Tulung dati; tulung dati sebenarnya bukan warga asli

persekutuan dati tapi dapat diangkat untuk menjalankan

tugasnya membantu penyelenggaraan tugas-tugas dati.

c. Anak dati ; anak dati adalah warga asli persekutuan dati dan

dapat mewarisi tanah dati yang ada dalam wilayah persekutuan.

Personalia dati bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap

keberadaan tanah-tanah dati dalam suatu persekutuan dati. Tanah-tanah

dati ditanami dengan tanam-tanaman umur panjang yang berguna untuk

memenuhi kebutuhan hidup anggota-anggota persekutuan dati.

Tumbuhnya tanaman-tanaman di atas tanah atau dusun dati biasa

melalui tiga cara yaitu : Pertama, tanam-tanaman tersebut sudah ada di

atas tanah/dusun dati tumbuh secara alamiah dan merupakan tanam-

tanaman dati pertama yang diterima oleh datinya pada waktu penyerahan

dusun sebagai kompensasi atas pelaksanaan tugas-tugas dati;

Kedua,Dengan sengaja ditanam bersama-sama anggota dati untuk

kepentingan seluruh anggotanya atau persekutuan dati tersebut; Ketiga,

Tanam-tanaman yang merupakan hasil perusahan atau tanam-tanaman

perusahan pribadi dari seorang anggota dati di atas tanah dati.Tanam-

tanaman tersebut merupakan milik pribadi dari orang yang menanamnya

dan dapat diwariskan secara pribadi pada keturunannya. Jika pemilik

150

tanaman tidak memiliki keturunan laki-laki maka tanam-tanaman tersebut

jatuh menjadi milik persekutuan dati. (Ziwar Effendi,1986: 143)

Perempuan dalam segala keterbatasannya dan dikaitkan dengan

beratnya tugas sebagai kepala dati maupun tulung dati dan anak dati

maka dianggap tidak pantas dan tidak bisa menjadi kepala dati maupun

tulung dati dan anak dati.

Terhadap tanah dati yang ada dalam persekutuan dati dapat

dihaki dengan hak-hak sebagai berikut :

a. Hak menikmati dusun dati; hak menikmati dusun dati biasanya

dikenal dengan istilah “makan dati” sama-sama berhak

menikmati dusun-dusun dati. Dusun-dusun dati hanya boleh

“dihaki” dan dinikmati atau dimakan oleh anggota-anggota

persekutuan dati bersama keluarganya.

Terhadap tanah dati yang ada dalam persekutuan dati dapat

dinikmati oleh :

1. Pada negeri Hatu, hanya anggota persekutuan dati yang

berhak menikmati hasil dari tanah.dusun dati.

2. Pada Negeri Lima, hanya anggota persekutuan dati yang

berhak menikmati hasil dari tanah dati namun orang dari

luar persekutuan juga dapat menikmati dengan ijin dari

anggota persekutuan dati.

151

3. Pada negeri Larike, hanya anggota persekutuan dati saja

yang berhak menikmati hasil dari tanah/dusun dati.

4. Pada negeri Tenga-Tenga tidak memiliki hak atas tanah

dati.

5. Pada negeri Hitulama, walaupun tidak memiliki

tanah/dusun dati namun pengaturan terhadap tanah

negeri memiliki kesamaan dengan tanah dati.

b. Hak dati anak perempuan yang belum kawin; walaupun anak

perempuan tidak bisa menjadi anak dati atau tulung dati namun

selama mereka belum kawin maka mereka boleh turut menikmati

dusun dati dan hasil-hasilnya.

Hak dati anak perempuan yang belum kawin dapat dijelaskan

sebagai berikut :

1. Pada negeri Hatu, anak perempuan yang belum kawin

boleh menikmati tanah/dusun dati.

2. Pada Negeri Lima, anak perempuan yang belum kawin

boleh menikmati tanah/dusun dati.

3. Pada negeri Larike, anak perempuan yang belum kawin

boleh menikmati tanah/dusun dati.

4. Pada negeri Tenga-Tenga, karena tidak memiliki

tanah/dusun dati maka tidak dikenal pengaturan seperti

ini.

152

5. Pada negeri Hitulama, karena tidak memiliki tanah/dusun

dati maka tidak mengenal pengaturan seperti ini.

Hubungan perempuan dengan tanah dati dapat dibedakan sebagai

berikut :

I. Pada masa lampau; perempuan sudah mempunyai keterkaitan

dengan tanah sejak jaman penjajahan Belanda di mana kaum

perempuan ditinggal oleh kaum laki-laki untuk melakukan

pelayaran hongi sebagai bentuk kewajiban yang diberikan oleh

Belanda sebagai penjajah.

Hubungan perempuan dengan tanah dapat terbagi dalam :

Sistem kekerabatan; sistem kekerabatan di Maluku

Tengah adalah patrilineal yang bersistem kebapakan

sehingga perempuan tidak memiliki hak yang sama

dengan laki-laki. Sistem patrilineal yang menjunjung

kedudukan laki-laki memberikan porsi utama bagi kaum

laki-laki sedang kaum perempuan hanya dapat menikmati

hak atas tanah dengan hak pakai saja.

Hukum adat; Hukum adat yang berlaku pada masing-

masing wilayah masyarakat hukum adat tentu berbeda

antara satu daerah/negeri dengan lainnya. Hukum adat

pada beberapa wilayah mengakui hak kaum perempuan

153

tetapi ada juga yang tidak mengakui hak dan kedudukan

kaum perempuan.

Hukum Negara; hukum Negara tidak memberikan

perbedaan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan,

laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kedudukan yang

sama dalam hukum Negara.

Universal (gender); Secara universal/pemikiran yang

berperspektif gender maka hak dan kedudukan antara

laki-laki dengan perempuan tidak dibedakan. Perempuan

memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki.

II. Pada masa sekarang; pada masa sekarang ini persamaan hak

dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dapat ditelusuri

dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu:

Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan

bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya

di dalam bidang hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

ada kecualinya. Tidak dibedakan antara laki-laki dan

perempuan, semuanya memiliki kedudukan yang sama

dalam bidang hukum dan pemerintahan. Hak Bangsa lahir

sebagai karunia Tuhan dan bukan hak diberikan Negara

154

kepada warganegara. Hak bangsa adalah hak kodrati

yang dimiliki manusia sejak dilahirkan.

Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hukum

tidak pernah membedakan kedudukan perempuan dan

laki-laki, semuanya sama kedudukan dihadapan hukum.

Kedudukan dan kesempatan yang sama antara laki-laki

dan perempuan juga ada dalam hal memperoleh hak dan

kesempatan yang sama untuk memiliki hak atas tanah.

Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

mengatakan bahwa “Setiap warga negara Indonesia baik

laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang

sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta

untuk mendapat manfaat dari hasilnya baik bagi diri

sendiri maupun keluarganya”. Ketentuan Pasal 9 ayat (2)

UU No.5 Tahun 1960 lebih mempertegas keseteraan

kedudukan antara laki-laki dan perempuan bahwa

perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki

untuk memperoleh hak atas tanah. Undang-Undang

155

Pokok Agraria dengan dasar Hukum Adat sangat

menjunjung tinggi Hukum Adat namun juga bersumberkan

Hukum Agama dengan mengakomodasikan sistem,

hukum yang lain. Jadi UUPA juga mengakomodasi

pluralisme hukum.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984 sebagai bentuk Pengesahan Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Wanita, menyatakan pada Pasal 2 Lampiran Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dinyatakan

bahwa : “Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi

terhadap wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat

untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan

tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi

terhadap wanita, dan untuk tujuan ini melaksanakan :

a. Mencantumkan asas persamaan antara pria dan

wanita dalam undang-undang dasar nasional mereka

atau perundang-undangan yang tepat lainnya, jika

belum termasuk didalamnya, dan untuk menjamin

realisasi praktis dari azas ini, melalui hukum dan cara-

cara lain yang tepat;

156

b. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat

dan langkah tindak lainnya, termasuk sanksi-sanksinya

di mana perlu, melarang segala bentuk diskriminasi

terhadap wanita ;

c. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak

wanita atas dasar yang sama dengan kaum pria dan

untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang

kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya,

perlindungan yang efektif terhadap wanita dari setiap

tindakan diskriminasi ;

d. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek

diskriminasi terhadap wanita, dan untuk menjamin

bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-

lembaga negara akan bertindak sesuai dengan

kewajiban tersebut

e. Melakukan langkah tindak yang tepat untuk

menghapus perlakuan diskriminasi terhadap wanita

oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan ;

f. Melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk

pembuatan undang-undang, untuk mengubah atau

menghapus undang-undang, peraturan-peraturan,

157

kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik yang

diskriminatif terhadap wanita .

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984

sebagai bentuk Pengesahan Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Wanita, menyatakan pada Pasal 15 bahwa : “Negara-

negara Peserta wajib memberikan kepada wanita

persamaan hak dengan pria di muka hukum .” Indonesia

sebagai negara yang turut meratifikasi Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Wanita wajib memberikan legitimasi terhadap persamaan

hak antara laki-laki dan perempuan dalam hukum.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

c. Hak dati anak perempuan yang sudah kawin; anak perempuan

yang sudah kawin hilang hak makan dati dari dati asalnya dan

beralih makan dati suaminya. Berhentinya hak makan dati anak

perempuan yang sudah kawin didasarkan pada pemikiran

sebagai berikut : Pertama, Dengan kawinnya anak perempuan itu

maka anak perempuan yang berasal dari susunan kekerabatan

yang patrilinial dikeluarkan dari kerabat asalnya dan beralih atau

158

berpindah menjadi anggota kerabat suaminya sehingga ia hilang

hak-hak atas dusun dati orangtuanya untuk kemudian beralih

masuk dalam dati suaminya; Kedua, Jika anak perempuan yang

sudah kawin masih diperkenankan makan dati dari dati asalnya

maka akan berakibat dia “makan dua diperkenankan dalam

ketentuan-ketentuan hukum dati yang menentukan bahwa

seorang hanya diperbolehkan makan satu dati saja; Ketiga,

Kalau anak perempuan yang sudah kawin masih diperkenankan

makan dati asalnya dan jika kemudian dia meninggal dunia,

dusun dati yang dinikmatinya akan diwariskan kepada

keturunannya sehingga akan berakibat berpindahnya dusun dati

dari dati asalnya jatuh kepada kerabat suaminya dan itu

merupakan orang dari luar persekutuan dati dan hal ini

bertentangan dengan ketentuan hukum dati bahwa dusun-

dusun/tanah-tanah dati tidak dapat dialihkan kepada orang dari

luar persekutuan dati.

Tabel 2.

Hak dati Anak Perempuan yang Sudah Kawin

NEGERI HAK DATI ANAK PEREMPUAN

YANG SUDAH KAWIN TIDAK ADA TANAH/DUSUN

DATI

HATU LEPAS NEGERI LIMA LEPAS LARIKE LEPAS TENGA-TENGA TIDAK ADA DATI HITU LAMA TIDAK ADA DATI

Sumber : Data Primer, dan diolah

159

Hak anak perempuan yang sudah kawin dalam masyarakat

hukum adat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pada negeri Hatu, hak anak perempuan yang sudah kawin

lepas dari dati asal bapaknya,dia masuk dalam

persekutuan dati suami dan “makan dati” suaminya.

2. Pada Negeri Lima, hak anak perempuan yang sudah

kawin lepas dari dati asal bapaknya dan masuk dalam

persekutuan dati suaminya dan “makan dati” suaminya.

3. Pada negeri Larike, hak anak perempuan yang sudah

kawin lepas dari dati asal bapaknya dan masuk dalam

persekutuan dati suaminya dan “makan dati” suami.

4. Pada negeri Tenga-Tenga tidak dikenal tanah/dusun dati

karenanya tidak dikenal pengaturan seperti ini.

5. Pada negeri Hitulama, tidak dikenal tanah/dusun dati

karenanya tidak dikenal pengaturan seperti ini.

d. Hak anak perempuan atas dusun pusaka dati; Bagi anak

perempuan yang telah kawin tetap boleh turut menikmati dan

mewariskan hasil tanam-tanaman pusaka dati bapaknya dan ini

berbeda dengan ketentuan pada hak atas dusun dati yang tidak

boleh dikuasai oleh anak perempuan yang sudah kawin.

160

Hak dati anak perempuan atas dusun pusaka dati dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Pada negeri Hatu, anak perempuan yang sudah kawin

boleh menikmati dusun pusaka dati.

2. Pada Negeri Lima, anak perempuan yang sudah kawin

boleh memiliki hak untuk menikmati hasil dari tanah/dusun

pusaka dati.

3. Pada negeri Larike, anak perempuan yang sudah kawin

boleh memiliki hak untuk menikmati hasil dari tanah/dusun

pusaka dati.

4. Pada negeri Tenga-Tenga karena tidak memiliki tanah dati

maka tidak dikenal pengaturan ini.

5. Pada negeri Hitulama juga karena tidak memiliki

tanah/dusun dati maka tidak mengenal pengaturan seperti

ini.

e. Hak dati perempuan yang kawan hidup bersama; seorang

perempuan kawan hidup bersama tidak berhak menuntut atau

mewarisi tanam-tanaman yang telah ditanam bersama kawan

hidup bersamanya di atas dusun dati laki-laki tersebut.

161

Hak dati dari perempuan yang hidup bersama dapat dijelaskan

sebagai berikut :

1. Pada negeri Hatu, perempuan yang hidup bersama tidak

memiliki hak atas dati kawan hidup bersamanya.

2. Pada Negeri Lima, tidak ditemukan pasangan yang hidup

bersama sehingga tidak dikenal pengaturan seperti ini.

3. Pada negeri Larike, tidak ditemukan pasangan yang hidup

bersama sehingga tidak dikenal pengaturan seperti ini.

4. Pada negeri Tenga-Tenga, tidak mengenal tanah/dusun

dati.

5. Demikian juga halnya dengan negeri Hitulama yang tidak

mengenal tanah/dusun dati.

f. Hak dati anak luar nikah; hak dati anak luar nikah yang tidak

diakui oleh bapaknya maka dia masuk makan dati dari dati asal

ibunya namun jika dia diakui oleh bapaknya dan kemudian

masuk memakai marga/fam bapaknya maka dia berhak makan

dati bapaknya.

Tabel 3. Hak dati Anak Luar Nikah

Sumber : Data Primer, dan diolah

NEGERI HAK DATI ANAKLUAR NIKAH

HATU HANYA DARI DATI IBU NEGERI LIMA HANYA DARI DATI IBU LARIKE HANYA DARI DATI IBU TENGA-TENGA HITU LAMA

162

Hak dati anak luar nikah dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pada negeri Hatu, hak anak luar nikah sepanjang tidak

diakui oleh bapaknya maka hanya memperoleh hak dati

dari dati ibunya.

2. Pada Negeri Lima, hak anak luar nikah sepanjang tidak

diakui oleh bapaknya maka hanya memperoleh hak dari

dati ibunya.

3. Pada negeri Larike, anak luar nikah sepanjang tidak diakui

oleh bapaknya maka hanya memperoleh hak dati dari

ibunya.

4. Pada negeri Tenga-Tenga, yang tidak mengenal

tanah/dusun dati maka tidak ditemukan pengaturan seperti

ini.

5. Pada negeri Hitulama yang juga tidak ditemukan

tanah/dusun dati maka pengaturan seperti inipun tidak

ditemukan.

Tanah dati dengan hak-hak yang melekat di atasnya tidak

bersifat kekal namun dapat juga hilang atau bisanya dikenal dengan “dati

lenyap” disebabkan oleh :

Tidak lagi mempunyai keturunan laki-laki atau anggota-anggota

dati laki-laki yang dapat meneruskan tugas-tugas dati.

163

Jika seorang yang semula terdaftar sebagai anak dati atau

tulungdati namun kemudian meninggalkan negerinya dan tidak

bertempat tinggal disitu lagi/pergi merantau dalam waktu yang

cukup lama dan tidak menjalin hubungan atau hubungannya

putus sama sekali.

Pada negeri-negeri adat baik Hatu, Negeri Lima maupun Larike

ditemukan adanya dati-dati lenyap yang disebabkan tidak

dimilikinya keturunan laki-laki dalam persekutuan dati suatu

masyarakat hukum adat.

B. Tatanan Nilai Patriarki dalam Masyarakat Hukum Adat Maluku

Tengah

Maluku Tengah sebagai bagian dari Provinsi Maluku terdiri dari

wilayah laut maupun darat. Wilayah persekutuan masyarakat hukum adat

dikenal dengan istilah “petuanan”. Petuanan masyarakat hukum adat

terdiri atas : (1) Petuanan Laut dan (2) Petuanan Darat.

Wilayah petuanan laut milik suatu persekutuan masyarakat

hukum adat dibatasi oleh batas-batas alam yang terkadang menimbulkan

masalah antar negeri dalam wilayah Provinsi Maluku. Wilayah petuanan

darat masyarakat hukum adat di Maluku Tengah dibatasi dengan batas

alam seperti hutan, pohon-pohon tertentu, sungai dan lain sebagainya.

Selain batas-batas alam yang sudah disepakati maka penetapan batas-

164

batas dapat ditunjukkan oleh Kepala Dati dengan tanah-tanah yang

berbatasan dan dibuatkan tanda-tanda batasnya dengan menanami

pohon atau menanam patok dari beton. Tanah dati termasuk didalam

salah satu jenis tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat di

Maluku Tengah.

Masyarakat hukum adat dalam menjalankan kehidupan bersama

mereka sangat menjunjung nilai-nilai warisan nenek moyang yang

dipercaya sungguh sebagai hal yang diagungkan dan harus dipegang

teguh dan bila dilanggar akan membawa malapetaka bukan hanya bagi

anggota persekutuan yang melanggarnya tetapi bagi masyarakat hukum

adat secara menyeluruh.

Nilai-nilai yang mengayomi kehidupan bersama masyarakat

hukum adat Maluku Tengah dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Hak atas tanah dati hanya berlaku pada satu dati saja, seorang

tidak diperbolehkan memperoleh hak lebih seorang yang pindah

makan dati ke dati lain maka hak makan dati pada dati asalnya

demi hukum hapus karena seseorang hanya boleh makan satu

dati saja.

165

Tabel 4. Hak Makan Satu Dati

Sumber : Data Primer, dan diolah

Dalam hukum dati atau dati stelsel dikenal pengaturan bahwa

seseorang hanya boleh makan dari satu dati saja yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Pada negeri Hatu, seseorang hanya boleh makan dari

satu dati saja dan tidak diperkenankan makan dari dua

dati.

Pada Negeri Limapun demikian hanya dapat makan dari

satu dati saja.

Pada negeri Larike, seseorang hanya dapat makan dari

satu dati saja.

Pada negeri Tenga-Tenga yang tidak mengenal

tanah/dusun dati maka tidak ditemui pengaturan seperti

demikian.

Pada negeri Hitulama walaupun tidak dikenal tanah dati

namun pengaturan tentang tanah negeri mempunyai

kemiripan dengan pengaturan seperti demikian.

NEGERI HAK MAKAN SATU DATI

HATU YA NEGERI LIMA YA LARIKE YA TENGA-TENGA - HITU LAMA -

166

2. Nilai patriarki yang hanya memberikan hak untuk mengusai tanah

dati bagi kaum laki-laki saja.

Tabel 5. Nilai Patriarki dalam penguasaan tanah dati

Sumber : Data Primer, dan diolah

Nilai patriarki yang ada dalam masyarakat hukum adat dapat

dijelaskan sebagai berikut :

Pada masyarakat adat negeri Hatu, nilai patriarki yang

menjunjung dominasi laki-laki dalam penguasaan tanah

dati mulai berubah dengan diakuinya hak perempuan atas

tanah dati.

Pada masyarakat adat Negeri Lima, nilai patriarki yang

menjunjung dominasi laki-laki dalam penguasaan tanah

dati masih kental dan sangat dipegang teguh.

Pada masyarakat adat Larike, nilai patriarkipun masih

melekat dan mendominasi kehidupan bersama

masyarakatnya di mana hak laki-laki dalam penguasaan

tanah dati sangat dijunjung dan dipegang teguh sebagai

nilai warisan nenek moyang yang sacral.

NEGERI NILAI PATRIARKI

HATU NEGERI LIMA LARIKE TENGA-TENGA HITU LAMA

BERUBAH TIDAK TIDAK - -

167

Pada masyarakat adat negeri Tenga-Tenga yang tidak

mengenal tanah/dusun dati maka tidak ditemukan hal

seperti ini.

Pada masyarakat adat negeri Hitulama pun tidak

mengenal tanah/dusun dati sehingga pengaturan yang

demikianpun tidak ditemukan.

3. Kaum perempuan hanya boleh menikmati hasil tanaman dalam

lingkungan persekutuan dati tanpa ada hak untuk menguasai

bahkan memilikinya.

Hak menikmati tanah dati oleh Perempuan dapat dijelaskan

sebagai berikut

Pada negeri Hatu, perempuan boleh menikmati tanah dati

serta hasil-hasil yang ada diatas tanah tersebut.

Pada Negeri Lima, perempuan boleh menikmati tanah dati

serta hasil-hasil yang ada diatas tanah tersebut.

Pada negeri Larike, perempuan boleh menikmati tanah

dati serta hasil-hasil yang ada diatas tanah tersebut.

Pada negeri Tenga-Tenga tidak ditemukan hal ini

Pada negeri Hitulama juga tidak ditemukan hal ini.

4. Hak makan dati anak perempuan yang sudah kawin menjadi

hapus dengan keluarnya dia dari persekutuan dati bapaknya dan

masuk dalam persekutuan dati suami.

168

Tabel 6.

Hak makan dati oleh perempuan yang sudah kawin

Sumber : Data Primer, dan diolah

Hak makan dati perempuan yang sudah kawin dapat dijelaskan

sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, hak makan dati perempuan yang sudah

kawin hapus karena dia masuk dalam dati suami .

Pada Negeri Lima, perempuan yang sudah kawin haknya

hapus karena dia masuk dalam persekutuan dati suami.

Pada negeri Larike, perempuan yang sudah kawin haknya

hapus karena dia masuk dalam dati suaminya.

Pada negeri Tenga-Tenga, tidak mengenal pengaturan ini.

Pada negeri Hitulama , tidak mengenal pengaturan ini.

5. Hak menikmati dusun pusaka dati bagi janda masih berlaku

sepanjang dia belum menikah lagi.

Hak menikmati dusun pusaka dati bagi janda dapat dijelaskan

sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, hak menikmati janda atas dusun tetap

ada sepanjang dia belum kawin lagi.

NEGERI HAK MAKAN DATI PEREMPUAN

YANG SUDAH KAWIN

HATU HAPUS NEGERI LIMA HAPUS LARIKE HAPUS TENGA-TENGA - HITU LAMA -

169

Pada Negeri Lima, hak menikmati janda atas dusun

pusaka dati ada sepanjang dia belum kawin lagi.

Pada negeri Larike, hak menikmati janda atas dusun

pusaka dati ada sepanjang dia belum kawin lagi.

Pada negeri Tenga-Tenga tidak ditemukan hal seperti ini.

Pada negeri Hitulama tidak ditemukan pengaturan seperti

ini.

6. Hak dati atas anak luar nikah dapat diberlakukan jika ada

pengakuan dari bapak kandung terhadap anak itu.

Tabel 7. Hak dati anak luar nikah yang sudah mendapat pengakuan dari bapak

Sumber : Data Primer, dan diolah

Hak dati anak luar nikah yang sudah diakui bapak dapat

dijelaskan sebagai berikut :

Hak anak luar nikah yang sudah diakui dapat mewarisi

dati bapak pada negeri Hatu.

Pada Negeri Lima, hak anak luar nikah yang sudah diakui

bapaknya dapat mewarisi dati bapaknya.

Pada negeri Larike, hak anak luar nikah yang sudah diakui

bapaknya dapat mewarisi dati bapaknya.

NEGERI HAK ANAK LUAR NIKAH YANG

SUDAH MENDAPAT PENGAKUAN

HATU DAPAT MEWARISI NEGERI LIMA DAPAT MEWARISI LARIKE DAPAT MEWARISI TENGA-TENGA - HITULAMA -

170

Pada negeri Tenga-Tenga, tidak ditemukan pengaturan

seperti demikian.

Pada negeri Hitulama tidak ditemukan pengaturan seperti

demikian.

7. Hak makan dati dari perempuan hidup bersama dan tidak terikat

perkawinan adalah bahwa dia tidak berhak menuntut dan

menikmati tanam-tanaman yang berada dalam tanah dati

tersebut.

Tabel 8.

Hak makan dati perempuan yang hidup bersama

NEGERI HAK MAKAN DATI PEREMPUAN

YANG HIDUP BERSAMA

HATU TIDAK ADA NEGERI LIMA - LARIKE - TENGA-TENGA - HITU LAMA -

Sumber : Data Primer, dan diolah

Hak makan dati perempuan yang hidup bersama pada beberapa

negeri adat dapat dijelaskan sebagai berikut :

Hak makan dati perempuan yang hidup bersama pada

negeri Hatu atas dati laki-laki pasangannya tidak ada

Tidak ditemukan pasangan yang hidup bersama pasangan

hidup bersama di Negeri Lima.

Tidak ditemukan pasangan yang hidup bersama di negeri

Larike.

171

Pada negeri Tenga-Tenga tidak ditemukan pasangan

hidup bersama serta pengaturan seperti demikian.

Pada negeri Hitulama tidak ditemukan pasangan hidup

bersama serta pengaturan seperti demikian.

8. Hak atas tanah dati dari anak perempuan yang sudah kawin

namun suaminya meninggal atau karena bercerai maka haknya

tidak dapat dipulihkan, dia tetap tidak dapat memiliki hak dari dati

asalnya, tetapi karena pertimbangan kemanusiaan maka dia

hanya diberika hak menikmati saja namun itupun harus melalui

persetujuan dari anak-anak dan tulung dati lainnya.

Tabel 9 Hak makan dati perempuan yang suaminya meninggal

NEGERI HAK MAKAN DATI PEREMPUAN YANG

SUAMINYA MENINGGAL

HATU ADA NEGERI LIMA ADA LARIKE ADA TENGA-TENGA - HITU LAMA -

Sumber : Data Primer, dan diolah

Bagi perempuan yang telah ditinggal suaminya karena meninggal

maka pengaturan atas hak makan datinya sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, perempuan yang ditinggalkan suami

karena meninggal karena faktor kemanusiaan masih

diberikan hak untuk menikmati/makan dati dari dati suami

yang sudah meninggal tersebut sepanjang dia belum kawin

lagi.

172

Pada Negeri Lima, perempuan yang ditinggalkan suami

meninggal juga dapat menikmati/makan dati suaminya

dengan pertimbangan kemanusiaan.

Pada negeri Larike, perempuan yang ditinggalkan suami

meninggal dapat menikmati/makan dati suami dengan

pertimbangan kemanusiaan.

Pada negeri Tenga-Tenga,tidak dikenal pengaturan seperti

ini.

Pada negeri Hitulama juga tidak dikenal pengaturan seperti

ini.

Pada tanggal 1 Juni 1923, Residen Amboina mengeluarkan

keputusan mencabut hukum dati yang menguatkan kedudukan anak

perempuan atas tanah dati; perempuan yang semula hanya dapat

menikmati dan mengambil hasil dari tanam-tanaman namun dengan

adanya keputusan itu tanah dati dapat diwariskan kepada ahli waris tanpa

memandang laki-laki atau perempuan. Perkembangan hukum dati yang

telah dicabut telah merubah status tanah dati yang semula hanya berupa

tanah milik persekutuan (komunal) dan dihaki dengan hak pakai

berubahmenjadi tanah miik perorangan yang dapat diwariskan dengan

hak milik.

Perkembangan yang membawa dampak positif bagi kedudukan

perempuan dalam penguasaan tanah dati tidak serta merta mengubah

173

pola pikir bahkan tatanan dan struktur masyarakat hukum adat. Pada

masyarakat hukum adat yang masih memegang teguh nilai-nilai patriarki

yang diyakini merupakan warisan nenek moyang yang harus dijunjung,

perubahan ini tidak diterima bahkan dianggap melanggar tatanan

kehidupan masyarakat hukum adat yang sudah mengakar sejak jaman

dahulu. Nilai patriarki yang sudah mulai mengalami perubahan dalam

masyarakat hukum adat adalah perubahan yang tidak dalam bentuk yang

luar biasa atau revolusioner tetapi perubahan yang terjadi adalah bahwa

kaum perempuan sudah dapat memiliki hak yang lebih dibanding pada

masa-masa yang lampau. Perkembangan pola pikir dan terjadinya

perubahan nilai baru mulai terasa pada masa tahun 1980-an di mana

kaum perempuan sudah mulai mengecap pendidikan pada tingkat yang

lebih tinggi sehingga membawa pengaruh terhadap perubahan pola pikir

bahkan perubahan nilai mulai dirasakan oleh masyarakat hukum adat.

Perkembangan nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat

dapat tergambar pada diagram sebagai berikut :

Nilai patriarki yang dominan (Pada masa lampau) ---------

Perubahan Nilai (Pada masa sekarang) -------- Kedudukan Hukum

Perempuan yang lebih (Pada masa yang akan datang).

Nilai patriarki yang sangat dominan pada masyarakat hukum

adat di Maluku Tengah pada masa yang lampau ternyata mulai

mengalami perubahan nilai yaitu dengan diberikan kedudukan yang lebih

174

kepada perempuan dalam penguasaan hak atas tanah dati di masa

sekarang ini dan diharapkan bahwa pada masa yang akan datang

perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam setiap

lini kehidupan masyarakat hukum adat tanpa memandang perbedaan

kelamin sebagai faktor yang dapat dijadikan sebagai pemisah atau

legitimasi kekuatan. Nilai patriarki yang mengalami perubahan membawa

pengaruh positif bagi kedudukan hukum perempuan jika di masa yang

lampau perempuan tidak memiliki hak untuk menguasai tanah dati namun

dengan adanya perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum

adat di Maluku Tengah maka perempuan dapat memiliki hak atas tanah

dati walaupun hanya dapat ditemui pada salah satu negeri yang diteliti

yaitu Negeri Hatu. Namun perubahan nilai dalam hal ini adalah nilai

patriarki yang sudah mulai berubah menjadi tidak dominan seperti semula

diharapkan pada masa yang akan datang perempuan akan memiliki hak

yang sama dengan laki-laki dalam penguasaan tanah dati pada

masyarakat hukum adat di Maluku Tengah.

Masyarakat hukum adat di wilayah Maluku Tengah tidak

menetap pada satu pulau atau daratan yang sama tetapi terpisah antara

pulau Seram, Pulau Haruku, Pulau Ambon. Daerah penelitian yang

dijajaki oleh Penulis masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah (

Hatu, Larike, Negeri Lima, Hitulama).

175

Tatanan nilai-nilai yang menjunjung tinggi dominasi kaum laki-laki

juga berlaku pada masyarakat hukum adat di Maluku Tengah. Nilai-nilai

yang berlaku dan mengatur kehidupan bersama merekapun sangat

menjunjung tinggi nilai patriarki yang adalah warisan nenek moyang dan

sangat dipegang teguh oleh masyarakat. Nilai patriarki yang menjunjung

dominasi laki-laki dalam setiap sektor kehidupan diyakini sungguh

sebagai nilai peninggalan nenek moyang yang harus dijaga, dan dijamin

keutuhan dan kelestariannya. Peninggalan warisan nilai dijadikan patokan

dalam mengatur perilaku kehidupan bersama masyarakat hukum adat.

Laki-laki dan perempuan dalam masyarakat hukum adat yang

patrilinial berdasarkan faktor fisiknya sudah terbagi dalam ranahnya

masing-masing, laki-laki bertanggungjawab dalam ranah publik sedang

perempuan memiliki tanggungjawab dalam ranah privat. Tanggungjawab

dan tugas yang dipikul oleh baik laki-laki maupun perempuan sudah jelas

batasannya sehingga perempuan dianggap sebagai warga kelas dua

yang tidak memiliki kemampuan atau kapabilitas dalam ranah publik.

Pembagian kelas berdasarkan perbedaan jenis kelamin sudah

mengakar dalam masyarakat hukum adat yang menjunjung tradisi dan

adat yang adalah warisan nenek moyang. Tradisi akan nilai yang

menjunjung dominasi laki-laki mengakar dan teraktualisasikan dalam

kehidupan bersama setiap saat. Laki-laki tampil sebagai garda terdepan

sedang perempuan sebagai warga kelas dua yang hanya mengisi hari-

176

hari hidupnya sebagai “pengasuh anak dan penjaga rumah”. Dominasi

laki-laki terhadap kaum perempuan sangatlah terasa dan hal ini dapat

terlihat pada tanggungjawab yang dipikul kaum laki-laki antara lain

sebagai :

Pencari nafkah

Pelindung rumahtangga

Penerus keturunan

Pemersatu keluarga

Tugas dan tanggungjawab yang lebih berat diberikan kepada kaum

laki-laki dengan pertimbangan kemampuan fisik laki-laki lebih dibanding

perempuan padahal untuk menyelesaikan setiap persoalan kehidupan

bukan hanya kemampuan secara fisik yang dibutuhkan tetapi lebih

daripada itu kemampuan mental dan intelektual juga sangat berperan

penting.

Pada masyarakat hukum adat di Maluku Tengah secara

khusus pada daerah/negeri yang menajdi objek penellitian ditemukan

bahwa tugas laki-laki dalam keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pada negeri Hatu, laki-laki memiliki tugas yang berat baik

sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga setiap hari tetapi juga sebagai Pelindung yang

memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan

sebagai penerus keturunan maka beban yang dipukl sangat

177

berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus

keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang

dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil

sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik

dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan

keluarga besar/kerabat.

2. Pada Negeri Lima, laki-laki memiliki tugas yang berat baik

sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga setiap hari tetapi juga sebagai pelindung yang

memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan

sebagai penerus keturunan maka beban yang dipikul sangat

berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus

keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang

dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil

sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik

dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan

keluarga besar/kerabat.

3. Pada negeri Larike, laki-laki memiliki tugas yang berat baik

sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga setiap hari tetapi juga sebagai pelindung yang

memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan

sebagai penerus keturunan maka beban yang dipikul sangat

178

berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus

keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang

dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil

sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik

dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan

keluarga besar/kerabat.

4. Pada negeri Tenga-Tenga, laki-laki memiliki tugas yang berat

baik sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga setiap hari tetapi juga sebagai pelindung yang

memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan

sebagai penerus keturunan maka beban yang dipikul sangat

berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus

keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang

dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil

sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik

dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan

keluarga besar/kerabat.

5. Pada negeri Hitulama, laki-laki memiliki tugas yang berat baik

sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga setiap hari tetapi juga sebagai pelindung yang

memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan

sebagai penerus keturunan maka beban yang dipikul sangat

179

berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus

keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang

dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil

sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik

dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan

keluarga besar/kerabat.

Dalam kenyataannya tugas yang berat yang dipikul oleh kaum

laki-laki sebagai kepala rumahtangga tidak sepenuhnya dapat dijalankan

dalam kehidupan setiap saat dengan baik.

Perkembangan teknologi dan informasi serta tingkat pendidikan

yang lebih membaik membawa dampak pada pola pikir masyarakat

hukum adat khususnya kaum perempuan, jika pada masa-masa yang

lampau perempuan seolah-olah menerima kenyataan kehidupan bahwa

dia hanya sebagai warga kelas dua yang hanya mendiami ranah privat

dalam kehidupannya setiap saat namun dengan perkembangan yang ada

sudah mulai timbul kesadaran akan keberadaannya selaku perempuan

yang memiliki hak dan tanggungjawab yang tidak kalah penting dan

beratnya dibanding dengan kaum laki-laki.

Nilai-nilai patriarki yang berkembang dan dipertahankan

masyarakat hukum adatpun lebih memusatkan perhatian pada

kemampuan laki-laki secara fisik dalam menyelesaikan persoalan

kehidupan misalnya laki-laki dianggap lebih mampu untuk mencari nafkah

180

ke hutan ataupun laut dibandingkan kaum perempuan yang dianggap

memiliki keterbatasan fisik yang mempengaruhi kapabilitasnya dalam

usaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari.

Tabel 10.

Kesadaran kaum perempuan akan hak-haknya

NEGERI

KESADARAN KAUM PEREMPUAN AKAN HAKNYA

HATU MULAI ADA NEGERI LIMA BELUM LARIKE BELUM TENGA-TENGA - HITU LAMA -

Sumber : Data Primer, dan diolah

Timbulnya kesadaran kaum perempuan akan hak-haknya dapat

terlihat pada penjelasan sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, kaum perempuan mulai menyadari hak-

haknya yang sebenarnya tidak berbeda dengan kaum laki-laki.

Pada Negeri Lima, kaum perempuan sepertinya masih

menerima kenyataan hidup bahwa dia hanyalah sebagai

pendamping dalam rumahtangga.

Pada negeri Larike, kaum perempuannya juga masih menerima

kenyataan bahwa haknya lebih dikesamping dibanding kaum

laki-laki.

181

Pada negeri Tenga-Tenga, kaum perempuannya juga masih

tradisional yang menerima kenyataan bahwa kedudukannya lebih

lemah dibanding kaum laki-laki.

Pada negeri Hitulama, kaum perempuannya juga lebih

menyadari kedudukannya lebih lemah dalam kehidupan

bersama.

Timbulnya kesadaran kaum perempuan akan hak dan kewajiban

yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki menimbulkan perubahan dalam

pola pikir dan pandangan dalam menghadapi kehidupan setiap saat.

Jika di masa yang lampau, perempuan seakan-akan hanya

menerima nasib sebagai warga kelas dua yang termarginalkan tetap di

saat sekarang ini, mulai ada kesadaran yang membawa perubahan dalam

pola pikir dan pandangan kaum perempuan dalam memandang hidup dan

kenyataan hidupnya.

Kesadaran kaum perempuan akan hak-haknya membawa

perubahan dalam memandang nilai-nilai kehidupan termasuk didalamnya

nilai patriarki yang menjunjung dominasi kaum laki-laki dalam setiap

aspek kehidupan. Di masa yang lalu, nilai patriarki sangat dijunjung dan

ditaati oleh kaum perempuan namun di masa sekarang ini mulai ada

sedikit pemberontakan yang dilakukan untuk memperjuangkan

persamaan hak dan kewajiban dalam menjalankan kejidupan setiap saat.

182

Pelanggaran terhadap nilai-nilai yang ada dalam kehidupan

dipercaya sungguh akan mendatangkan malapetaka bukan hanya bagi

orang yang melakukan pelanggaran tetapi juga persekutuan masyarakat

tempatnya hidup. Tatanan nilai yang sudah mengakar dalam kehidupan

masyarakat hukum adat tidak selamanya bersifat statis namun dalam

kenyataannya dapat mengalami perubahan nilai yang disebabkan baik

dari dalam masyarakat hukum adat itu sendiri maupun yang berasal dari

luar masyarakat.

Perubahan nilai yang terjadi melalui proses yang sangat panjang

dan memerlukan penyesuaian terhadap perubahan itu sendiri. Proses

perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat yang sangat kaku tentu

lebih sulit dibandingkan pada masyarakat hukum adat yang lebih terbuka

untuk menerima perubahan terhadap nilai-nilai warisan nenek moyang

yang dianggap sangat sakral dan tidak dapat dilanggar.

Perjuangan yang dilakukan kaum perempuan Maluku khususnya

yang dilakukan oleh perempuan-perempuan tangguh yang tergabung

dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memeperjuangkan

hak-hak kaum perempuan mulai terlihat sejak beberapa tahun belakang

ini. Pada tahun 2009 melalui Konperensi Perempuan Maluku dibicarakan

tentang Hak-hak Kaum Perempuan yang termarginalkan dalam

komunitas masyarakat hukum adat khususnya tentang penguasaan tanah

dati oleh perempuan di Maluku.

183

Pemisahan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang

terbagi dalam kelas-kelas sosial tentu akan membawa pemberontakan

dan didasarkan oleh rasa ketidakpuasan yang dimiliki. Sofia dan

Sugihastuti (2003:26) mengemukakan bahwa munculnya ide-ide feminis

berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada

mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita

persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan

ketimpangan struktur, sistem dan tradisi dalam masyarakat kemuadian

melahirkan kritik feminis yang termanifestasikan dalam berbagai wujud

baik melalui sikap, penulisan artikel dsb.

Kenyataan biologis yang membedakan antara laki-laki dan

perempuan melahirkan dua teori besar yaitu teori Nature dan teori

Nurture . Teori Nature adalah teori yang menganggap bahwa perbedaan

peran antara laki-laki dan perempuan bersifat kodrati ( nature) . Anatomi

biologis antara laki-laki dan perempuan yang berbeda menjadi faktor

utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin itu. Laki-laki

memiliki peran utama dalam masyarakat karena dianggap lebih kuat ,

lebih potensial dan lebih produktif daripada perempuan. Perbedaan ini

menimbulkan pemisahan fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan

perempuan, laki-laki memiliki peran dalam sektor publik sedang

perempuan memiliki peran dalam sektor domestik.. Sedang teori Nurture

beranggapan perbedaan relasi gender antara laki-laki dan perempuan

184

tidaklah ditentukan oleh faktor biologis melainkan oleh konstruksi

masyarakat. Dengan perkataan lain, bahwa menurut paham Nurture,

peran sosial yang selama ini dianggap baku dan dipahami sebagai doktrin

keagamaan, sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan dan tidak juga

sebagai produk determinisme biologis melainkan produk konstruksi

sosial. Oleh karena itu, nilai-nilai bias gender yang banyak terjadi dalam

masyarakat yang dianggap disebabkan oleh faktor biologis,

sesungguhnya tidak lain adalah konstruksi budaya.

Penguatan yang diberikan oleh teori Nurture disini dimaksudkan

bahwa perbedaan relasi gender bukanlah suatu kehendak Tuhan tetapi

merupakan hasil konstruksi pemikiran masyarakat dalam hal ini

masyarakat hukum adat yang memiliki pola pikir bahwa perempuan

mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki dalam masyarakat

hukum adat, perempuan memiliki keterbatasan yang mengakibatkan

kedudukan lebih lemah dalam masyarakat hukum adat.

Aliran fungsionalisme struktural adalah aliran arus utama IMain

stream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Robert Merton dan

Talcott Parsons. Teori ini tidak secara langsung menyinggung tentang

perempuan. Akan tetapi penganut aliran ini berpendapat bahwa

masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari atas bagian dan saling

berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik, sampai keluarga) dan

masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan

185

(equilibirium) dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi

kaum perempuan (Fakih:1977; 80)

Teori feminis radikal menjelaskan bahwa ada 2 (dua) sistem

kelas sosial yaitu :

1. Sistem kelas ekonomi yang didasarkan pada hubungan produksi

2. Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi;

di mana sistem yang kedua inilah yang menyebabkan

penindasan terhadap kaum perempuan (Bhasin, 1996:36)

Karena itu konsep patriarki merujuk pada sistem kelas yang

kedua yaitu kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki atas

kapasitas reproduksi perempuan. Lebih lanjut lagi penganut teori ini

berpendapat bahwa patriarki adalah sumber ideologi penindasan yang

merupakan sistem hirarki seksual di mana laki-laki memiliki kekuasaan

superior dan privilege.

Pemikiran yang membagi perempuan dan laki-laki dalam kelas

sosial yang berbeda membawa dampak ketidakpuasan yang dimiliki

kaum perempuan bahwa hak dan kewajibannya berbeda dengan laki-laki

padahal dalam hukum Negara antar laki-laki dan perempuan tidak

dibedakan kedudukannya dalam hukum maupun kehidupan setiap saat.

186

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai tentang

Kedudukan Hukum Perempuan atas Tanah Dati di Maluku Tengah

Nilai-nilai yang menjunjung dominasi kaum laki-laki dalam setiap

lini kehidupan mulai mengalami perubahan. Perubahan nilai yang terjadi

dalam Masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal

dari dalam masyarakat itu sendiri maupun yang berasal dari luar

masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan nilai yang berasal

dari dalam masyarakat sendiri( Nanang Martono, 2011: 16-17) terdiri

atas :

1. Sikap masyarakat yang sangat tradisional; sikap tradisional

masyarakat yang sangat menjunjung dan mengagung-agungkan

kepercayaan yang sudah diajarkan nenek moyangnya yang

dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan tidak dapat diubah

lagi Pandangan inilah yang dapat menghambat sebuah

masyarakat untuk melakukan perubahan karena apabila mereka

mencoba untuk mengubah nilai-nilai yang sudah diajarkan dan

diwariskan secara turun temurun dipercaya dapat mendatangkan

malapetaka bagi mereka.

187

Tabel 11. Faktor Sikap Masyarakat yang Tradisional

NEGERI

FAKTOR SIKAP MASYARAKAT YANG TRADISIONAL

HATU MULAI BERUBAH NEGERI LIMA TIDAK BERUBAH LARIKE TIDAK BERUBAH TENGA-TENGA TIDAK BERUBAH HITU LAMA TIDAK BERUBAH

Sumber : Data Primer, dan diolah

Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, sikap masyarakatnya sudah lebih terbuka

untuk menerima perubahan sedang pada empat negeri adat

lainnya, faktor inilah yang sangat berpengaruh sehingga kurang

atau tidak terjadi perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat

khususnya perubahan nilai tentang kedudukan hukum

perempuan dalam penguasaan tanah dati.

2. Sikap masyarakat yang sangat tradisional; sikap tradisional masyarakat

yang sangat menjunjung dan mengagung-agungkan kepercayaan yang

sudah diajarkan nenek moyangnya yang dianggap sebagai kebenaran

yang mutlak dan tidak dapat diubah lagi Pandangan inilah yang dapat

menghambat sebuah masyarakat untuk melakukan perubahan karena

apabila mereka mencoba untuk mengubah nilai-nilai yang sudah

diajarkan dan diwariskan secara turun temurun dipercaya dapat

mendatangkan malapetaka bagi mereka.

188

Tabel 12. Faktor Sikap Masyarakat yang sangat tradisional

Sumber : Data Primer, dan diolah

Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, sikap masyarakat yang tradisional kurang

dirasakan lagi karena sudah lebih terbuka menerima perubahan

nilai sedang pada empat negeri lokasi penelitian lain, faktor

inilah yang sangat berpengaruh sehingga kurang atau tidak

terjadi perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat khususnya

perubahan nilai tentang kedudukan hukum perempuan dalam

penguasaan tanah/dusun dati.

Faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat hukum adat yaitu :

1. Bertambah dan berkurangnya penduduk. Pertambahan jumlah

penduduk akan menyebabkan perubahan jumlah dan persebaran

wilayah pemukiman. Wilayah pemukiman yang semula terpusat

pada satu wilayah kekerabatan akan berubah atau terpancar karena

faktor pekerjaan. Berkurangnya penduduk juga akan menyebabkan

perubahan sosial budaya.

NEGERI

FAKTOR SIKAP MASYARAKAT YANG SANGAT TRADISIONAL

HATU KURANG NEGERI LIMA YA LARIKE YA TENGA-TENGA YA HITU LAMA YA

189

Tabel 13. Faktor Bertambah atau berkurangnya Penduduk

NEGERI

PENGARUH FAKTOR BERTAMBAH ATAU BERKURANGNYA PENDUDUK

HATU TERASA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK

Sumber : Data Primer, dan diolah

Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pada negeri Hatu mulai dirasakan pengaruh

bertambahnya penduduk dalam masyarakat hukum adat

misalnya melalui perkawinan. Perkawinan menyebabkan

terjadinya pertambahan penduduk bahkan dengan

kehadiran pendatang yang membawa nilai-nilai baru

dalam masyarakat menyebabkan mulai terjadi perubahan

pola pikir dan terjadi perubahan nilai dalam masyarakat

hukum adat.

Pada Negeri Lima, kurang dirasakan pengaruh faktor ini

karena masyarakat adat yang ada sepertinya kurang bisa

menerima perubahan yang masuk dan terjadi terhadap

masyarakat hukum adat.

Pada negeri Larike, kurang dirasakan pengaruh faktor ini

karena masyarakat yang lebih tradisional sehingga

190

masuknya perubahan nilai dalam masyarakat kurang

diterima.

Pada negeri Tenga-Tenga, masyarakat hukum adat yang

ada hidup secara berkelompok dalam satu marga yang

sama sehingga sulit untuk menerima kedatangan orang

dari luar persekutuansehingga kurang dirasakan adanya

perubahan nilai dalam masyarakat.

Pada negeri Hitulama, kurang dirasakan pengaruh faktor

ini karena sikap masyarakat yang masih tradisional yang

kurang bisa menerima nilai-nilai baru dalam masyarakat.

2. Kontak dengan budaya lain. Bertemunya budaya yang berbeda

menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun

berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli

maupun budaya asing dan bahkan perpaduan keduanya. Hal ini

dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu saja memperkaya

kebudayaan yang ada.

Tabel 14 Faktor Kontak dengan Budaya Lain

NEGERI

FAKTOR KONTAK DENGAN BUDAYA LAIN

TERASA

HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK

Sumber : Data Primer, dan diolah

191

Faktor kontak dengan budaya lain dalam beberapa masyarakat

hukum adat Maluku Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pada masyarakat adat Hatu, kontak dengan budaya lain

dirasakan pengaruhnya terhadap perubahan nilai-nilai

tradisional dalam masyarakat.

Pada masyarakat Negeri Lima yang masih bersifat

tradisional maka kontak dengan budaya lain tidak

membawa pengaruh terhadap nilai-nilai yang dianut pada

masyarakat.

Pada masyarakat adat Larike yang juga masih bersifat

tradisional maka kontak dengan budaya lain tidak

membawa pengaruh terhadap perubahan nilai dalam

masyarakat.

Pada masyarakat adat Tenga-Tenga yang masih

menjunjung nilai-nilai tradisi warisan nenek moyang maka

kontak dengan budaya lain tidak memberi pengaruh

terhadap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Pada masyarakat adat Hitulama yang juga masih sangat

menjunjung nilai-nilai warisan nenek moyang maka kontak

dengan budaya lain tidak membawa dampak terhadap

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

192

3. Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan merupakan salah satu

faktor yang dapat mengukur tingkat kemajuan suatu masyarakat.

Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir

ilmiah, rasional dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan bagi

manusia untuk menilai apakah kebudayaannya, masyarakatnya mampu

untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman dan memerlukan

sebuah perubahan atau tidak.

Tabel15.

Faktor Sistem Pendidikan yang Maju

NEGERI

FAKTOR SISTEM PENDIDIKAN YANG MAJU

TERASA

HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK

Sumber : Data Primer, dan diolah

Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pada masyarakat negeri Hatu, faktor pendidikan dengan

sistem pendidikan yang maju sangat terasa pengaruhnya

sehingga mulai terjadi perubahan nilai yang mengakui hak

dan kedudukan perempuan dalam penguasaan

tanah/dusun dati.

Pada masyarakat Negeri Lima walaaupun sudah

mengecap pendidikan yang memiliki sistem yang sudah

193

maju namun mereka masih menjunjung nilai-nilai warisan

nenk moyang.

Pada masyarakat Larike juga walaupun telah ada anggota

persekutuan yang sudah mengecap pendidikan yang maju

namun nilai-nilai dalam masyarakat hukum adat masih

dipegang teguh.

Pada masyarakat Tenga-Tenga walaupun juga sudah

mengecap pendidikan maju namun mereka masih sangat

kental dengan nilai-nilai budaya warisan nenek moyang.

Pada masyarakat adat Hitulama juga walaupun sudah

mengecap pendidikan tinggi namun mereka sangat

memegang teguh nilai-nilai budaya warisan nenek

moyang mereka.

4. Penduduk yang heterogen. Masyarakat yang heterogen dengan latar

belakang budaya, ras dan ideologi yang berbeda akan mempermudah

terjadinya pertentangan yang dapat menyebabkan kegoncangan sosial.

Keadaan yang demikian mendorong terjadinya perubahan-perubahan

baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan.

194

Tabel 16. Faktor Penduduk yang Heterogen

NEGERI

FAKTOR PENDUDUK YANG HETEROGEN

TERASA PENGARUHNYA

HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK

Sumber : Data Primer, dan diolah

5. Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Adanya interaksi

antara dua kebudayaan yang berbeda menghasilkan perubahan.

Tabel 17.

Faktor Pengaruh Kebudayaan masyarakat lain

NEGERI

FAKTOR PENGARUH KEBUDAYAAN MASYARAKAT LAIN

TERASA

HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK

Sumber : Data Primer, dan diolah

Adapun penjelasan yang dapat diberikan terhadap tabel di atas

adalah sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, mulai dirasakan pengaruh kontak

dengan kebudayaan lain dalam hal ini melalui perkawinan

masuknya orang dari luar persekutuan dengan

kebudayaannya sehingga turut mempengaruhi terjadinya

perubahan nilai dalam masyarakat.

Pada Negeri Lima, kurang dirasakan adanya pengaruh

kebudayaan masyarakat lain karena masyarakat hukum

195

adat di sana masih memegang teguh nilai-nilai warisan

nenek moyang yang sakral dan jika dilanggar maka

dipercaya sungguh akan membawa malapetaka.

Pada negeri Larikepun demikian,masyarakatnya masih

berpola pikir tradisional sehingga nilai-nilai peninggalan

nenek moyang sangat dijunjung dan dipegang teguh

sehingga walaupun terjadi hubungan atau kontak dengan

masyarakat dari luar persekutuan namun tidak memberi

dampak terhadap nilai-nilai hidup yang dijadikan patokan

dalam masyarakat hukum adat di sana.

Pada negeri Tenga-Tenga, masyarakatnyapun masih

sangat tradisional bahkan dengan hidup berkelompok

dalam satu marga menyulitkan kontak dengan masyarakat

lain sehingga membawa dampak tidak terjadinya

perubahan nilai dalam masyarakat.

Pada negeri Hitulama, masyarakat disanapun masih

tradisional sehingga nilai-nilai warisan nenek moyang

sangat dijunjung tinggi dan tidak terjadi perubahan nilai

dalam masyarakat karena walaupun terjadi kontak dengan

kebudayaan lain atau masyarakat di luar persekutuan,

nilai-nilai yang ada sangat dijaga dan dilestarikan.

196

6. Kontak dengan budaya lain. Bertemunya budaya yang berbeda

menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun

berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli

maupun budaya asing dan bahkan perpaduan keduanya. Hal ini

dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu saja memperkaya

kebudayaan yang ada.

Tabel 18. Faktor Kontak dengan Budaya Lain

NEGERI

FAKTOR KONTAK DENGAN BUDAYA LAIN

TERASA

HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK

Sumber : Data Primer, dan diolah

Faktor kontak dengan budaya lain dalam beberapa masyarakat

hukum adat Maluku Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pada masyarakat adat Hatu, kontak dengan budaya lain

mulai dirasakan pengaruhnya terhadap perubahan nilai-

nilai tradisional dalam masyarakat.

Pada masyarakat Negeri Lima yang masih bersifat

tradisional maka kontak dengan budaya lain tidak

membawa pengaruh terhadap nilai-nilai yang dianut pada

masyarakat.

197

Pada masyarakat adat Larike yang juga masih bersifat

tradisional maka kontak dengan budaya lain tidak

membawa pengaruh terhadap perubahan nilai dalam

masyarakat.

Pada masyarakat adat Tenga-Tenga yang masih

menjunjung nilai-nilai tradisi warisan nenek moyang maka

kontak dengan budaya lain tidak memberi pengaruh

terhadap nilai-nilai yang adadalam masyarakat.

Pada masyarakat adat Hitulama yang juga masih sangat

menjunjung nilai-nilai warisan nenek moyang maka kontak

dengan budaya lain tidak membawa dampak terhadap

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

7. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain; apabila sebuah

masyarakat tidak melakukan kontak sosial (interaksi) dengan

masyarakat lain,maka tidak akan terjadi tukar informasi dan tidak

mungkin terjadi proses asimilasi, akulturasi yang mampu mengubah

masyarakat tersebut.

Tabel 19. Faktor Kurang mengadakan Kontak Sosial dengan Masyarakat Lain

NEGERI FAKTOR KURANG MENGADAKAN KONTAK SOSIAL

DENGAN MASYARAKAT LAIN

TERASA

HATU TIDAK NEGERI LIMA YA LARIKE YA TENGA-TENGA YA HITU LAMA YA

Sumber : Data Primer, dan diolah

198

Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, faktor kurang mengadakan kontak

sosial dengan masyarakat lain kurang terasa karena

selalu terjalin kontak bahkan sampai terjadi perkawinan

dengan masyarakat adat yang berasal dari luar lingkungan

mereka dan hal ini turut mempengaruhi pola pikir bahkan

telah terjadi perubahan nilai dalam masyarakat hukum

adat di Hatu.

Pada Negeri Lima, terasa dampak faktor ini karena kurang

terjalin kontak dengan masyarakat dari luar lingkungan

mereka sehingga tidak terjadi perubahan nilai dalam

masyarakat ini.

Pada negeri Larike, juga kurang terjalin kontak dengan

masyarakat dariluar lingkungan mereka sehingga tidak

terjadi perubahan nilai dalam masyarakat.

Pada negeri Tenga-Tenga yang sangat menjunjung nilai

kekeluargaan terutama sesama marga bahkan mereka

tinggal dalam jarak yang berdekatan dan membentuk

komunitas yang tersendiri maka tidak terjadi perubahan

nilai dalam masyarakat.

199

Pada negeri Hitulama, juga kurang terasa perubahan nilai

dalam masyarakat hukum adatnya karena kurang terjalin

kontak dengan masyarakat dari luar persekutuan mereka.

D. Perubahan Nilai Tentang Kedudukan Hukum Perempuan Atas Tanah

Dati Di Maluku Tengah

Nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum

adat tidak selamanya bersifat statis tetapi juga mengalami perubahan.

Perubahan nilai yang ada dalam masyarakat hukum adat tidak serta

muncul tetapi melalui proses panjang, yang terjadi dalam masyarakat.

Proses perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat berjalan lambat

karena disebabkan berbagai faktor, baik yang ada dalam masyarakat

hukum adat itu sendiri maupun yang berasal dari luar masyarakat

hukum adat.

Namun selain faktor-faktor yang telah penulis kemukakan di atas

maka dari hasil penelitian yang dilakukan ada beberapa faktor yang juga

turut mempengaruhi terjadinya proses perubahan nilai dalam suatu

masyarakat hukum adat yaitu :

200

Faktor Rentang Kendali

Tabel 20. Faktor Rentang Kendali

NEGERI

FAKTOR RENTANG KENDALI

TERASA PENGARUHNYA

HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK

Sumber : Data Primer, dan diolah

Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

Pada negeri Hatu, faktor rentang kendali yang lebih dekat

dengan pusat perkotaan ternyata sangat mempengaruhi

pola pikir dan tindak masyarakat hukum adat di sana

karena sudah mulai terjadi perubahan nilai yang berlaku

pada masyarakat hukum adat di sana.

Pada negeri-negeri adat lainnya Negeri Lima, Larike,

Tenga-tenga dan Hitulama yang memiliki rentang kendali

yang tidak lebih jauh ternyata pengaruh faktor masih

berpegang teguh pada budaya masyarakat hukum adat

berpengaruh pada pola pikir masyarakat termasuk

didalamnya adalah tidak terjadinya perubahan nilai .

Alur berpikir penulis untuk menjawab permasalahan yang

dikemukakan adalah :

201

1. Dalam masyarakat hukum adat Maluku Tengah yang sistem

kekerabatannya adalah patrilinial sangat menjunjung nilai-nilai

patriarki di mana terdapat dominasi kaum laki-laki dalam

penguasaan tanah dati.

2. Dominasi oleh kaum laki-laki ini kemudian menimbulkan konflik

dalam perkembangannya ada perjuangan yang dilakukan oleh

kaum perempuan untuk memperoleh kesetaraan kedudukan

dalam setiap lini kehidupan, bukan hanya dalam lingkup

domestik (rumah tangga) tetapi juga di luar rumah.

3. Perjuangan yang dilakukan kaum perempuan dibarengi dengan

tingkat pendidikan, pola pikir yang mulai berubah dan berbagai

faktor lainnya menyebabkan terjadinya perubahan nilai dalam

masyarakat hukum adat.

4. Perubahan nilai yang mulai mengakui hak dan kedudukan

perempuan dalam hukum khususnya dalam penguasaan tanah

dati di Maluku Tengah akan dilihat dalam perspektif kesetaraan

gender.

5. Kesetaraan gender akhirnya mengakibatkan timbulnya

perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat yang mengakui

kedudukan hukum perempuan dalam penguasaan tanah dati.

Alur pikir ini tergambar dalam diagram sebagai berikut :

202

Dominasi Laki-laki --------- Perbedaan Kedudukan--------Konflik----------

Gerakan Perubahan-------------------Kesetaraan Gender.

Dominasi kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan sangat

terasa pada masyarakat hukum adat di Maluku Tengah dengan budaya

dan nilai-niali patriarki yang sudah berakar pada masyarakat hukum

adat. Nilai-nilai yang sudah mengakar dan diyakini sungguh oleh

masyarakat hukum adat sebagai suatu hal yang sakral yang diwariskan

oleh nenek moyang mereka sangat dijunjung bahkan dipercaya bahwa

bila nilai-nilai itu dilanggar maka akan terjadi malapetaka bagi yang

melanggarnya.

Nilai-nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat membedakan

kedudukan laki-laki dan perempuan dan berdampak dalam semua

aspek kehidupan bersama mereka. Terdapat perbedaan kedudukan

antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bersama masyarakat

hukum adat.

Pembedaan kedudukan di mana laki-laki berada pada ranah

terdepan sedang perempuan hanya sebatas ranah domestik saja

membawa dampak adanya rasa ketidakpuasan dalam diri kaum

perempuan. Rasa ketidakpuasaan ini mulai menimbulkan gerakan

perempuan untuk melakukan perubahan nilai dalam masyarakat dan

perubahan yang terjadi adalah mulai dirasakan adanya pengakuan

203

terhadap kedudukan hukum perempuan dalam penguasaan

tanah/dusun dati di Maluku Tengah.

Pembedaan masyarakat berdasarkan jenis kelamin di mana laki-laki

dianggap sebagai warga kelas satu dan perempuan hanyalah termasuk

warga kelas dua berdampak pada kehidupan bersama masyarakat hukum

adat misalnya :

Jika terjadi masalah dengan orang lain maka laki-laki tampil

sebagai penyelamat yang dapat melindungi keluarga dari

gangguan orang lain.

Laki-laki tampil sebagai pencari nafkah sedang perempuan

hanya mmenjadi warga kelas dua yang menunggui

rumahtangganya.

Dalam hal pewarisan maka laki-laki memiliki hak yang lebih

bahkan dapat dikatakan bahwa perempuan tidak memiliki hak

sama sekali.

Perbedaan yang membawa rasa ketidakadilan bagi perempuan

sehingga mulai terjadi konflik walaupun tidak dalam bentuk yang

besar-besaran.

Konflik yang terjadi membawa pertentangan yang akhirnya

berdampak pada terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat

hukum adat.

204

Perubahan nilai yang menjadikan kedudukan hukum perempuan

dalam penguasaan tanah dati lebih mendapat tempat lagi.

Perubahan nilai yang terjadi akan dilihat dalam perspektif

kesetaraan gender.

Kesetaraan gender yang diusung memperjuangkan kedudukan

perempuan yang semula berada dalam wilayah domestik saja

tetapi akhirnya memperoleh tempat yang sudah selayaknya

diperoleh sebagai warga masyarakat hukum adat dan warga

Negara yang memiliki kesamaan kedudukan dan hak di dalam

hukum.

Perubahan nilai terjadi melalui proses yang panjang. Menurut

Lasyo (Elly Setiadi dkk: 2009; 123), Nilai bagi manusia merupakan

landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya.

Nilai yang dijadikan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku

atau perbuatannya adalah nilai yang diyakini dapat memberi arahan bagi

kehidupan masyarakat khususnya masyarakat hukum adat.

Nilai patriarki yang mendorong masyarakat untuk melihat

dominasi kedudukan laki-laki terhadap perempuan di mana semua

perbedaan didasarkan pada perbedaan jenis kelamin tetapi juga dapat

dikatakan bahwa sepertinya telah terjadi perbedaan kelas sosial dalam

masyarakat hukum adat di mana laki-laki termasuk sebagai warga kelas

205

satu sedang perempuan hanyalah warga kelas dua yang merupakan

pelengkap penderita saja.

Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan

khususnya atas hak atas tanah dati di Maluku Tengah tetapi juga dapat

dikatakan bahwa sepertinya telah terjadi perbedaan kelas sosial dalam

masyarakat hukum adat di mana laki-laki termasuk sebagai warga kelas

satu sedang perempuan hanyalah warga kelas dua yang merupakan

pelengkap penderita saja.

Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan

khususnya atas hak atas tanah dati di Maluku Tengah bertitik tolak dari

nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat.

Perbedaan itu dilihat sebagai suatu keadaan yang wajar dan sudah

semestinya dialami oleh perempuan. Keadaan ini berlangsung sejak

jaman nenek moyang namun dalam kenyataannya walapun nilai-nilai

patriarki adalah nilai-nilai warisan yang dianggap sakral namun dalam

perkembangannya nilai patriarki inipun bisa mengalami perubahan.

Keadilan tidak memiliki ukuran yang pasti bagi tiap manusia,

terkadang rasa adil menurut seseorang berbeda dengan yang lainnya,

rasa adil yang dapat memuaskan hasrat semua manusia sangat sulit

untuk dicapai karena ukuran keadilan yang berbeda-beda menurut ukuran

masing-masing orang.

206

Dalam kehidupan bersama manusia selalu didambakan adanya

keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan namun

tidak selamanya hal ini dapat terpenuhi . Hak dan kewajiban yang

dibedakan dalam struktur masyarakat terlebih pada struktur masyarakat

hukum adat yang memiliki sistem kekerabatan patrilineal maka terdapat

perbedaan hak dan kewajiban yang juga membawa implikasi dalam

kedudukan laki-laki dan perempuan yang berbeda dalam hukum.

Perbedaan kedudukan yang sudah terstruktur dalam masyarakat

hukum adat yang bersistem kekerabatan patrilineal membawa dampak

pada perbedaan perlakuan yang diterima kaum perempuan dalam

kehidupan sehari-hari. Laki-laki dianggap sebagai warga kelas satu yang

memiliki hak yang lebih dibanding perempuan. Perempuan hanya

sebagai warga kelas dua yang pasrah menerima perlakuan yang berbeda

dari masyarakat hukum adat yang sangat memegang teguh nilai patriarki

yang sudah mengakar dalam kehidupan mereka.

Perbedaan perlakuan yang sudah terstruktur dalam kehidupan

masyarakat hukum adat membawa dampak bukan hanya dalam

perbedaan perlakuan dalam kehidupan sehari-hari tetapi bisa berdampak

sampai pada pewarisan hak-hak atas tanah yang dimiliki.

Perbedaan perlakuan yang terstruktur akibat pengaruh nilai

patriarki dalam masyarakat hukum adat sudah mulai mengalami

perubahan, di mana perubahan nilai yang terjadi adalah berkurangnya

207

dominasi laki-laki dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Kedudukan

laki-laki dalam struktur masyarakat hukum adat yang dominan mulai

mengalami perubahan walaupun perubahan yang terjadi masih belum

terlalu terasa dalam stuktur masyarakat hukum adat.

Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat

seperti telah dikemukakan bahwa disebabkan oleh berbagai faktor baik

dari dalam masyarakat hukum adat sendiri maupun dari luar masyarakat

hukum adat namun ada beberapa faktor dominan yang menyebabkan

terjadinya perubahan nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat yaitu :

1. Sikap masyarakat yang lebih terbuka; sikap masyarakat hukum

adat yang lebih terbuka ternyata berpengaruh terhadap terjadinya

perubahan nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat.

2. Pendidikan yang lebih maju; faktor tingkat pendidikan yang lebih

maju membawa perubahan pola pikir dalam masyarakat hukum

adat khususnya kaum perempuan yang sudah lebih menyadari

bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan

kedudukannya dalam hukum.

3. Agama; faktor agama turut mempengaruhi sikap dan pola pikir

masyarakat. Masyarakat yang beragama Islam berdasarkan ajaran

agamanya sangat menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam

agamanya yaitu bahwa dalam hal-hal tertentu kedudukan antara

laki-laki dan perempuan perlu dibedakan khususnya dalam

208

masalah pewarisan di mana sudah ditentukan bagian laki-laki dan

perempuan. Perbedaan porsi dalam pewarisan walaupun

memberikan porsi yang lebih besar bagi laki-laki namun

sebenarnya kalau dilihat lebih lanjut bahwa porsi yang lebih

dibarengi dengan kewajiban untuk memberikan nafkah bagi

keluarga dan hal itu tidak terjadi bagi perempuan sehingga

sebenarnya porsi yang diterima lebih besar dari laki-laki karena

tidak dibarengi dengan tanggung jawab memberikan nafkah bagi

keluarganya. Dalam Islam pembedaan antara laki-laki dan

perempuan terjadi pada persaksian dan pewarisan.

Perubahan nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat membawa

paradigm baru dalam kehidupan masyarakat hukum adat secara

keseluruhan di mana pada masa sebelum tahun 1980-an, kedudukan

laki-laki dan perempuan sudah dibedakan namun dengan adanya

perkembangan yang ada dalam masyarakat maka ada paradigm baru

dalam kehidupan masyarakat hukum adat.

209

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Telah terjadi perubahan nilai tentang kedudukan hukum perempuan

atas tanah dati dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Maluku

Tengah, nilai patriarki yang semula menjunjung kedudukan laki-laki

dalam struktur masyarakat serta mengalami perubahan dengan

adanya pengakuan tentang kedudukan hukum perempuan atas

tanah dati. Pengakuan terhadap kedudukan perempuan atas tanah

dati melalui pemberian hak atas tanah dati yang bukan sekedar hak

pakai saja tetapi hak untuk memilikinya. Perubahan nilai patriarki

dalam masyarakat hukum adat walaupun hanya pada negeri Hatu

tetapi telah menunjukkan terjadinya perubahan nilai yang mendasar

dalam masyarakat hukum adat. Perubahan nilai yang terjadi mulai

dirasakan sejak tahun 1980-an dimana nilai patriarki dalam

masyarakat hukum adat mulai mengalami perubahan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan nilai tentang

kedudukan hukum perempuan atas tanah dati dalam masyarakat

hukum adat di Maluku Tengah adalah :

a. Berasal dari internal masyarakat yang berasal dari

masyarakat hukum adat sendiri

210

b. Berasal dari eksternal masyarakat yang berasal dari luar

masyarakat hukum adat

Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain

Sikap masyarakat yang sangat tradisional

Prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing atau

sikap yang tertutup

c. Berasal dari luar masyarakat hukum adat yaitu :

Bertambah dan berkurangnya penduduk/ hubungan

perkawinan

Kontak dengan budaya lain.

Sistem pendidikan formal yang maju.

Faktor rentang kendali

Faktor-faktor yang dominan yang dapat menyebabkan terjadinya

perubahan nilai adalah :

Sikap terbuka masyarakat

Pendidikan yang lebih maju

B. SARAN

1. Perubahan nilai patriarki yang terjadi dalam masyarakat hukum

adat telah memperlihatkan adanya kesetaraan gender namun

perlu mendapat pengakuan yang lebih dari berbagai pihak baik

Pemerintah, maupun dari masyarakat itu sendiri.

211

2. Perubahan nilai memberikan nuansa baru dalam kehidupan

masyarakat hukum adat yang sudah mengakui dan memberikan

rekomendasi bagi masyarakat luas bahwa telah tercapai

kesetaraan gender dalam masyarakat hukum adat di Maluku

Tengah.

212

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, 2006, Aspek Aspek Pengubah Hukum, Kencana Perdana Media Group, Jakarta..

Achie Sudiarti Luhulima, 2007, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Yayasan Obor Indonesia.

Agnes Widanti, 2005, Hukum Berkeadilan Jender, Kompas, Jakarta.

Alvin S.Johnson, 2004, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Andre Blowers dan Grahame Thompson, 1983, Ketidakmerataan, Konflik

dan Perubahan, Universitas Indonesia, Jakarta. Anto Soemarman, 2003, Hukum Adat Perspektif Sekarang Dan Mendatang,

Adi Cita, Yogyakarta. Anthon Susanto, 2007, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum

Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung. Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan

Pemerintah di Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta.

Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung.

Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta. Bushar Muhammad, 2000, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,

Jakarta. Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia,

2005, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Darji Darmodihardjo dan Sidharta, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2011, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Prenada Media Group, Jakarta.

Elly Setiadi dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, 2007, Kencana Prenada, Jakarta.

Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, 2006, Penerbit Kompas, Jakarta.

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, 2011, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

213

George Ritzer-Douglas J.Goodman, Teori Sosiologo Modern, 2007, Kencana, Jakarta.

Hilman Hadikusuma, 1993, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Citra Aditya Bakti, Bandung,.

---------------------------, 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,.

---------------------------, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

I Nengah Lestawi, 1999, Hukum Adat, Paramita, Surabaya. Irwan Abdullah, 2006, Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ivan Illich, 2007, Matinya Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Jane Ollenburger dan Helen Moore, 2002, Sosiologi Wanita, Rineka Cipta,

Bandung. Julia Cleves Mosse, 2007, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta. Mahatma Gandhi, 2002, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi

Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, antonyLib, Yogyakarta.

Mansour Fakih, 2007, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Masinambouw, 2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta.

Muhajir Darwin dan Tukiran, 2001, Menggugat Budaya Patriarkhi, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana, Jakarta.

Munir Fuady, 2007, Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, Citra Aditya Bakti,Bandung,.

Moh. Koesnoe, 1992, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Nanang Martono, 2011, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial, Radjawali Press, Jakarta.

Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori HUkum Feminis Terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung.

214

Nursyahbani Katjasungkana dkk, Potret Perempuan Tinjauan Politik, Ekonomi, Hukum di Zaman Orde Baru, PSW UMY dan Pustaka

Otje Salman Soemadiningrat, 2003, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung,.

Otje Salman S. dan Anthon F.Susanto, 2007, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung,.

---------------------------, 2008, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung,.

Panggabean.H, 2011, Pemberdayaan Hak MAHUDAT Masyarakat Hukum Adat Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, Permata Aksara, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

---------------------------, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Pip Jones, 2009, Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Yayasan Obor Indonesia, ,

Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, 2004., Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Obor, Jakarta,

R.Z.Titahelu, 2005, “Hukum Adat Maluku Dalam Konteks Pluralisme Hukum Implikasi Terhadap Manajemen Sumber Daya Alam Maluku”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum , Universitas Pattimura, Ambon.

Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Elsam, Jakarta.

Rato Dominikus, 2009, Dunia Hukum Orang Osing, Laksbang Mediatama, Yogyakarta.

Riant Nugroho, 2008, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya Di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan, Radjawali Pers, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publising, Yogyakarta.

---------------------------, 2010, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Genta Publishing, Yogyakarta.

---------------------------, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta.

Simanjuntak B, 1992, Perubahan dan Perencanaan Sosial, Tarsito, Bandung.

215

Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk, 2002, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Soejono dan Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta

Soerjono Soekanto, 2001, Hukum Adat Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta.

---------------------------, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Radja Grafindo Persada, Jakarta.

---------------------------, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta,.

---------------------------, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RadjaGrafindo, Jakarta,.

---------------------------, dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada,Jakarta.

Soepomo, R., 2003, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Solly Lubis, 2002, Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan,.

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007, Gender dan Inferioritas Perempuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007, Gender dan Inferioritas Perempuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sulistyowati Irianto, 2005, Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

---------------------------, 2008, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Yayasan Obor,Jakarta.

Supartono, 2009, Ilmu Budaya Dasar, Ghalia Indonesia, Bogor. Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Radja Grafindo

Persada, Jakarta. Ter Haar, 1999, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,

Jakarta. Thomas Kuhn, 2008, The Structure of Scientific Revolutions Peran

Paradigma dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung,.

Trisakti Handayani dan Sugiarti, 2006, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Universitas Muhammadiyah, Malang.

Uneputty.D, Hukum Adat Negeri Oma dan Perkembangannya. Victor Situmorang, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara,

Jakarta.

216

Ziwar Effendi, 1987, Hukum Adat Ambon-Lease, Pradnya Paramita, Jakarta.

Lain-Lain: Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, Pembangunan Berperspektif Gender Melalui Perspektif Gender dalam Hak, Sumberdaya dan Aspirasi, Dian Rakyat, Jakarta, 2005. M.Dahlan.Y.Al-Barry dan L.Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah, Target Press, Surabaya, 2003. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.