disertasi - universitas hasanuddin
TRANSCRIPT
i
DISERTASI
PARADIGMA PERUBAHAN NILAI TENTANG KEDUDUKAN HUKUM PEREMPUAN ATAS
TANAH DATI DALAM PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER
(Change value in paradigm about women statue in dati land in equality gender perspective)
OLEH :
MARGIE ELZA MACILINE TAHAPARY
NOMOR POKOK : PO400307015
PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
ii
PERSERTUJUAN UJIAN PROMOSI
PARADIGMA PERUBAHAN NILAI TENTANG KEDUDUKAN HUKUM PEREMPUAN ATAS
TANAH DATI DALAM PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER
(Change value in paradigm about women statue in dati land in equality gender perspective)
Diajukan Oleh :
Margie Elza Maciline Tahapary
Po400307015
Menyetujui :
Tim Promotor :
Prof Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H. Promotor
Prof. Dr. Ir Abrar Saleng, S.H., M.H. Ko-Promotor
Prof. Dr. A Suriyaman M. Pide, S.H., M.H. Ko-Promotor
Mengetahui :
Plt. Ketua Program Studi S3 Ilmu Hukum
Prof Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas berkat dan penyertaanNya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.
Penulis sadari sungguh bahwa rampungnya Disertasi ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak baik dalam bentuk pemikiran, saran dan pendapat
bahkan materi serta berbagai bentuk bantuan lainnya.
Oleh karenanya, perkenankanlah Penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat:
Prof.Dr.Aminuddin Salle,SH,MH, selaku Promotor yang dalam berbagai
kesibukan sebagai Guru Besar dan Dosen, yang menyumbangkan ilmu
pengetahuan beliau bagi pengembangan Ilmu Hukum di berbagai Universitas
baik di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin maupun Universitas-
universitas lain khususnya di kawasan Indonesia Timur, maupun dalam tugas-
tugas penelitian dan pengabdian beliau, dengan tulus dan senang hati
meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam berbagai bentuk baik
pemikiran-pemikiran maupun bantuan buku-buku yang sangat menunjang
penyelesaian Disertasi ini.
Prof.Dr.Ir.Abrar Saleng,SH,MH, selaku Ko Promotor, yang dalam
berbagai kesibukan beliau selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Selaku Guru Besar dan Dosen , yang
menyumbangkan Ilmu Pengetahuan beliau bagi pengembangan Ilmu Hukum
baik pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin maupun Universitas-
universitas lain baik di kawasan Indonesia Timur maupun lainnya, yang
dengan tulus dan senang hati meluangkan waktu dalam untuk penyelesaian
Disertasi dan terlebih lagi dorongan semangat dan motivasinya guna
penyelesaian Disertasi ini.
iv
Prof.Dr. A. Suryaman Mustari Pide, SH,MH, selaku Ko Promotor, yang
dalam berbagai kesibukan beliau selaku Guru Besar dan Dosen, yang
menyumbangkan Ilmu Pengetahuan beliau bagi pengembangan Ilmu Hukum
baik pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin maupun Universitas-
universitas lain, namun dengan senang hati melakukan pembimbingan bagi
Penulis dan bahkan memberikan bantuan buku-buku bagi Penulis dalam
menunjang penulisan Disertasi ini.
Selain itu, rasa terima kasih yang mendalam juga Penulis haturkan
kepada yang terhormat :
1. Para Tim Penguji masing-masing : Prof. Dr. Achmadi Miru,SH,MH;
sekaligua sebagai Ketua Program Studi S3 Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Hasanuddin, Prof.Dr.Nurhayati Abbas, SH,MH;
Prof.Dr.A.Manuputty,SH,MH; Prof.Dr.Farida Patitinggi,SH,MH; atas
semua petunjuk dan arahan-arahan yang sangat membantu Penulis
dalam penyelesaian Disertasi ini.
2. Penguji Eksternal Prof.Dr.Sudjito,SH,MSi yang telah memberikan
masukan bagi penyelesaian Disertasi ini.
3. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Direktur Program Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin , para Asisten Direktur Program Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin, , Dekan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Prof.Dr.Aswanto,SH,MSi,DFM dan Para Pembantu Dekan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Dr.Syamsul
Bachri.SH,MH , mantan Dekan dan para mantan Pembantu Dekan pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan
kesempatan bagi Penulis untuk menimba ilmu pada Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
4. Rektor Universitas Pattimura Ambon atas segala dorongan dan
bantuannya kepada Penulis dalam penyelesaian studi S3 ini.
v
5. Pembantu Rektor I Universitas Pattimura Ambon atas segala
bantuannya.
6. Pembantu Rektor II Universitas Pattimura Ambon atas segala
dukungannya baik selama perkuliahan sampai penyelesaian studi.
7. Para Pembantu Rektor Universitas Pattimura Ambon atas segala
dorongannya.
8. Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, yang telah
memberikan kesempatan bagi Penulis untuk melanjutkan studi S3 pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
9. Para Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon
atas dorongan dan motivasinya kepada Penulis.
10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak
dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan tambahan
Ilmu Hukum bagi Penuls baik dalam proses perkuliahan maupun dalam
diskusi-diskusi yang dibangun bersama.
11. Bapak Uli dan seluruh staf administrasi yang sangat mendukung
Penulis mulai dari proses perkuliahan sampai pada penyelesaian studi.
12. Rekan-rekan seangkatan dalam perkuliahan pada Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, atas segala bantuan
dan dorongan yang diberikan kepada Penulis baik selama perkuliahan
dan sampai pada penyelesaian Disertasi ini.
13. Seluruh rekan-rekan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura
Ambon atas segala dorongan dan bantuannya kepada Penulis. Secara
khusus kepada Bapak Prof.Dr.R.Z. Titahelu,SH.MS; Prof.Dr.S.
Mailoa.SH.MS (alm); Prof.Dr.M.J. Saptenno,SH.MH.
14. Dr.M.Tjoanda,SH.MH selaku Ketua Bagian Hukum Perdata bahkan
sebagai rekan seangkatan selama proses perkuliahan, yang selalu
memberikan dorongan dan doa dalam mendukung proses penyelesaian
Disertasi ini.
vi
15. Dr.Hendrik Hattu,SH,MH, atas segala dorongan dan bantuannya
kepada Penulis dalam penyelesaian Disertasi ini.
16. Ibu Teng Berlianty,SH,MHum, atas segala dukungan doa dan dorongan
serta motivasi yang diberikan selama perkuliahan sampai pada
penyelesaian studi.
17. Ibu.V.Pieter,SH.MH selaku mantan Ketua Bagian Hukum Perdata, yang
selalu mendorong Penulis baik dalam masa perkuliahan bahkan sampai
perampungan Disertasi ini.
18. Ibu J.K.Matuankotta, SH, MHum atas segala dorongan dan motivasi
yang selalu diberikan baik selama perkuliahan sampai pada
penyelesaian studi.
19. Teman-temanku Ibu Merlien Mattitaputy, SH,MH, Ibu Nancy
Haliwela,SH,MH, Ibu Tres Pesulima,SH,MH.
20. Seluruh rekan-rekan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura
Ambon atas segala dorongan dan bantuannya kepada Penulis, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
21. Para narasumber yang telah memberikan dukungan data bagi penelitian
yang dilakukan Penulis pada Negeri Lima, Larike, Hitulama, Hatu,
Akhirnya Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Papi Boetje yang dengan penuh kasih sayang dan ketulusan
mendukung studi lanjut pada Program S3 ini hingga penyelesaiannya
Disertasi ini dan juga bagi Mami Ted (alm) yang tidak dapat
menyaksikan dan menikmati kebahagiaan ini.
2. Papi Henny dan Mami Atty yang dengan penuh kasih sayang selalu
mendukung pergumulan Penulis mulai dari masa perkuliahan sampai
pada penyelesaian studi ini.
3. Suami tercinta Hanny serta keempat anak terkasih Vianni, Violeta,
Vigardo dan Virisya atas segala dukungan dan doa serta pengertian
vii
yang tak henti-hentinya diberikan kepada Penulis, mulai dari proses
perkuliahan sampai pada penyelesaian Disertasi ini.
4. Tante Na dan Tante Lo yang selalu memberikan dorongan dan
dukungan doa bagi Penulis sampai pada penyelesaian studi.
5. Tante Nona, Om Kace, Bung Yoppy, Zus Co, Zus Ani atas segala
dukungannya secara khusus bagi Bu Yoppy dan Zus Co yang dengan
setia mendorong dan membantu Penulis sampai pada penyelesaian
Disertasi ini.
6. Adik-adik Rico,Corin&Noly, Tety&Nane, Hemon&Din, Egha&Roy,
Hemsy&Rhina, Mercy, atas segala dorongan yang diberikan dalam
penyelesaian studi ini.
7. Kel Pdt.A.J.Soplantila, STh atas segala dukungannya mulai dari masa
perkuliahan sampai pada penyelesaian studi
8. Keluarga Dr.J. Hehamony.SH.MH, atas segala bantuan dan dorongan
luarbiasa yang diberikan selama perkuliahan hingga penyelesaian
studi.
9. Keluarga D.Latumahina, atas segala bantuan baik selama penelitian
bahkan sampai pada proses penyelesaian studi.
10. Keluarga Pdt Oudy Ririmase, STh yang selalu mendukung pergumulan
dalam doa setiap saat.
11. Keluarga Drs.E.Pattiselano,MS atas segala dukungannya selama
menjalani hingga penyelesaian studi.
12. Keluarga dr Karuniawan Purwantono , atas segala dukungannya dalam
mendukung pergumulan penulis.
13. Keluarga R.Tasaney terutama bagi Ellen (alm) yang menongorbankan
waktu, tenaga bahkan eluarga demi mendukung Penulis .
14. Keluarga Drs.R.Munandar atas segala dorongan dan bantuannya
kepada Penulis dalam penyelesaian Disertasi ini.
viii
15. Para Pengurus dan Anggota Unit 1 Sektor Horeb Jemaat GPM
Rumahtiga Ambon , yang selalu mendoakan Penulis pada setiap doa
pergumulan di Unit Pelayanan.
Akhirnya kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu, Penulis haturkan terima kasih dengan doa dan harapan kiranya Tuhan
Yesus Kristus Sumber Berkat dapat membalas semua kebaikan yang telah
diberikan kepada Penulis.
Makassar, Agustus 2013
Margie Elza Maciline Tahapary
ix
ABSTRAK
MARGIE ELZA MACILINE TAHAPARY, Paradigma Perubahan Nilai Tentang
Kedudukan Hukum Perempuan Atas Tanah Dati Di Maluku Tengah (Dalam
Perspektif Kesetaraan Gender) (dibimbing oleh Aminuddin Salle, Abrar
Saelang,Suryaman Mustari Pide)
Penelitian ini bertujuan menganalis dan menemukan paradigma yang
baru tentang adanya perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat di Maluku
Tengah.Nilai yang semula sangat menjunjung dominasi laki-laki dalam
penguasaan Tanah Dati yang kemudian mengalami pergeseran dan
perubahan.
Tipe Penelitian ini adalah Tipe Penelitian Hukum Empiris yang
didalamnya terdapat tipe penelitian Sosiologi tentang Hukum dengan
menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan sejarah dan pendekatan
perbandingan sekaligus menganalisa berdasarkan pendapat berbagai sarjana
dengan menggunakan teori-teori hukum.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan nilai dalam
masyarakat hukum adat di Maluku Tengah, nilai patriarki yang menjunjung
dominasi laki-laki mengalami perubahan walaupun sangat sedikit pergeseran
yang terjadi namun itu sudah menunjukkan bahwa kedudukan hukum
perempuan atas tanah sudah diakui dan telah terjadi kesetaraan gender
dalam penguasaan Tanah Dati pada masyarakat adat di Maluku Tengah.
Kata Kunci : Perubahan Nilai, Kesetaraan Gender
x
ABSTRAK
MARGIE ELZA MACILINE TAHAPARY, Value change on Paradigm in law of
women statue on Dati Land in Mollucas (On Equal Gender Perspektive )
(supervised by Aminuddin Salle, Abrar Saelang and Suryaman Mustari Pide)
The research is to analyze and found the new paradigm about a value
change in indegueos people in Molluca. Before that value in order to
dominate a man statue in indeguoes people in order to have a Dati Land has
value exchange..
The type of the research is empiric research of law such as a sociology
of law using conceptual approach, history approach and comparative
approach and using theories of law.
The result of research give a prove that a value change in indegueous
people in Middle of Molluca, patriarkhie value is dominate in man power in
order to get the Dati Land which is only a little change but it is already prove
that an equality of gender happen in having Dati Land on indegueos people in
Middle of Molluca.
Key Word: Value Change, equality of gender
xi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………… ii
UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………... iii
ABSTRAK…………………………………………………………......
ABSTRACT……………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………
ix
x
xi
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………. 1
A. Latar Belakang ………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah……………………………… 28
C. Tujuan Penelitian………………………………. 29
D. Kegunaan Penelitian…………………………..
E. Orisinalitas Penelitian…………………………..
29
30
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………..
A. Paradigma Perubahan Nilai …………………..
B. Kedudukan Hukum Perempuan Atas Tanah
Dati……………………. ………………………….
C. Kesetaraan Gender ……………………………..
33
33
86
109
BAB III. METODE PENELITIAN………………………………..
A. Tipe Penelitian……………………………………..
135
136
xii
B. Pendekatan Masalah ……………………………..
C. Lokasi Penelitian ………………………………….
D. Jenis dan Sumber Data ………………………….
E. Instrumen Pengumpulan Data …………………
F. Pengolahan dan Analisis Data………………….
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………
A. Gambaran Umum Tentang Tanah Dati Di Maluku
Tengah………………………………………………..
B. Tatanan Nilai Patriarki dalam Masyarakat Hukum
Adat Maluku Tengah ………………………………
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perubahan
Nilai Tentang Kedudukan Hukum Perempuan
atas Tanah Dati Di Maluku Tengah ………………
D. Perubahan Nilai tentang Kedudukan Hukum
Perempuan Atas Tanah Dati Di Maluku Tengah..
BAB V. PENUTUP……………………………………………….
A. Kesimpulan …………………………………………
B. Saran …………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
139
140
141
142
143
144
144
167
189
211
222
222
224
225
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat yang menjalani kehidupan setiap saat akan menjalin
hubungan sosial dengan masyarakat lainnya. Masyarakat sebagai suatu
sistem sosial dalam kehidupannya harus dilihat sebagai suatu
keseluruhan , totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang
berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada dalam suatu
kesatuan.
Masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri atas komponen-
komponen yang menjalankan fungsi dan peran masing-masing demi
keutuhan, kelancaran, keseimbangan dan bahkan kelangsungan
kehidupan bersama. Talcott Parsons membedakan 3 (tiga) unsur pokok
dari tindakan warga masyarakat (J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto,
2011:128) yaitu: sistem kepribadian, sistem sosial dan sistem budaya.
Sistem budaya dianggap sebagai dasar dari struktur normatif sistem
sosial dan bentuk-bentuk kebutuhan serta proses-proses pengambilan
keputusan dalam sistem kepribadian. Bagi Talcott Parsons, dalam sistem
sosial masalah terpenting adalah soal integrasi, sehingga komponen
subsistem sosial yang lain-dalam hal ini sistem kepribadian dan sistem
2
budaya hanya akan dibicarakan dalam kaitannya dengan sumbangannya
terhadap integrasi sistem sosial tersebut.
Menurut Talcott Parsons ada dua hal penting bagi integrasi
sistem sosial yaitu :pertama; Sistem sosial harus mampu mendorong
warga masyarakat agar berperilaku atau bertindak sesuai dengan
harapan dan perannya…; kedua : Sistem sosial harus mampu menjauhi
tuntutan yang “aneh-aneh” dari para anggotanya agar tidak menimbulkan
penyimpangan atau konflik. Kemudian dikemukakan bahwa Talcott
Parsons mempersoalkan tentang tindakan manusia terutama yang
berkaitan dengan orientasi apa yang menjadi latar belakang tindakannya
tersebut. Menurutnya manusia dalam melakukan tindakan karena selalu
mempunyai orientasi artinya tindakan tersebut selalu diarahkan untuk
mencapai tujuan dan bentuk orientasinya adalah orientasi motivasional
dan orientasi nilai. Orientasi motivasional adalah orientasi yang berkaitan
dengan keinginan individu untuk memperbesar kepuasan dan
mengurangi kekecewaannya. Sedang orientasi nilai adalah orientasi yang
berkaitan dengan standar-standar normatif yang mempengaruhi atau
mengendalikan individu dalam mencapai tujuannya tersebut.
Masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri atas struktur
sosial yang ditandai dengan ciri sebagai berikut, yaitu : bahwa secara
vertikal; struktur sosial masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-
perbedaan antarkelas sosial dan polarisasi sosial yang cukup tajam.
3
Perbedaan secara vertikal disebut stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial
muncul akibat ketimpangan distribusi dan kelangkaan barang berharga
yang dibutuhkan masyarakat.misalnya uang, kekuasaan, pendidikan,
ketrampilan dan lain sebagainya. Dan secara horizontal; masyarakat
ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, profesi, ras, adat serta
perbedaan kedaerahan. Perbedaan secara horizontal disebut diferensiasi
sosial Diferensiasi sosial muncul karena pembagian kerja, perbedaan
agama, ras (pengelompokan individu atas dasar ciri fisik), etnis,
(pengelompokkan individu atas dasar persamaan kebudayaan seperti
bahasa, adat, sejarah, sikap dan wilayah) atau perbedaan jenis kelamin.
(Nasikun, 1984:30)
Masyarakat yang hidup dalam suatu lingkungan sosial dalam
segala tindak tanduknya atau perilakunya senantiasa diatur menurut
cara-cara yang telah disepakati bersama. Cara-cara yang telah disepakati
bersama mengatur pola perilaku masyarakat agar dapat tercipta tujuan
hidup bersama. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi
wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi
menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan
yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-
4
kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. (J Dwi
Narwoko & Bagong Suyanto, 2011: 216).
Soerjono Soekanto (dalam Dwi Narwoko & Bagong Suyanto,
2011 :218) menjelaskan fungsi-fungsi pranata sosial dalam masyarakat
adalah sebagai berikut :
- Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana
bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian pranata sosial
telah siap dengan berbagai aturan atau kaidah-kaidah sosial
yang dapat dan harus dipergunakan oleh setiap anggota
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
- Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau
disintegrasi masyarakat. Hal ini mengingat bahwa sumber
pemenuhan kebutuhan hidupnya yang dapat dikatakan tidak
seimbang dengan jumlah manusia yang semakin bertambah baik
kuantitas maupun kualitasnya sehingga memungkinkan
pertentangan yang bersumber pada perebutan atau ketidakadilan
dalam usaha memenuhi kebutuhan akan ancaman kesatuan dari
warga masyarakat. Oleh karena itu, norma-norma sosial yang
terdapat dalam pranata-pranata sosial masyarakat akan
5
berfungsi untuk mengatur pemenuhan kebutuhan hidup dari
setiap warga secara adil atau memadai sehingga dapat terwujud
kesatuan yang tertib.
- Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan
sistem pengendalian sosial (social control). Sanksi-sanksi atas
pelanggaran norma-norma sosial merupakan sarana agar setiap
warga masyarakat tetap konform dengan norma-norma sosial itu
sehingga tertib sosial dapat terwujud.
Karakteristik pranata sosial menurut Gillin dan Gillin (dalam J.Dwi
Narwoko & Bagong Suyanto, 2011 : 219-220) adalah sebagai berikut :
- Pranata sosial terdiri dari seperangkat organisasi daripada
pemikiran-pemikiran dan pola-pola perikelakuan yang terwujud
melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Karakteristik ini
menegaskan kembali bahwa pranata sosial terdiri dari
sekumpulan norma-norma sosial dan peranan sosial dalam
kehidupan bermasyarakat. Norma-norma sosial ini merupakan
unsur abstraknya dari pranata sosial, sedangkan sekumpulan
dari peranan-peranan sosial karena menampakkan diri sebagai
bentuk asosiasi atau lembaga.
6
- Pranata sosial itu relatif mempunyai tingkat kekekalan tertentu.
Artinya, pranata sosial itu pada umumnya mempunyai daya
tahan tertentu yang tidak lekas lenyap dalam kehidupan
bermasyarakat. Panjangnya umur pranata sosial itu pada
dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya karena
pranata sosial itu terdiri dari norma-norma sosial, dimana norma-
norma sosial itu terbentuk melalui proses yang tidak mudah dan
relatif lama. Sementara itu, norma-norma sosial itu pada
umumnya berorientasi pada kebutuhan pokok dari kehidupan
masyarakat, sehingga sewajarnyalah apabila pranata sosial
kemudian dipelihara sebaik-baiknya oleh setiap anggota
masyarakat karena pranata sosial itu mempunyai nilai yang
tinggi. Kekekalan pranata sosial juga dipengaruhi oleh usaha dari
para warga masyarakat untuk semakin mengukuhkan atau
melestarikan bahwa ada kecenderungan manusia untuk
meningkatkan peranannya melalui usaha-usaha untuk
memperoleh serta meningkatkan kedudukan seseorang maka
akan meningkat pula peranan yang dimainkan dalam
kehidupannya.
- Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau
diwujudkan. Tujuan dasarnya adalah merupakan pedoman serta
7
arah yang ingin dicapai. Oleh karena itu, tujuan akan motivasi
ataupun mendorong manusia untuk mengusahakan serta
bertindak agar tujuan itu dapat terwujud. Dengan tujuan inilah
maka merangsang pranata sosial untuk dapat melakukan
fungsinya akan tetapi hal ini bukanlah dimaksudkan bahwa
adanya tujuan akan menjamin berfungsinya pranata sosial. Oleh
karena itu, apabila pranata sosial telah mempunyai tujuan
tertentu yang akan dicapai tetapi pranata itu sendiri tidak dapat
menjalankan fungsinya, maka tujuan tersebut akan mandul atau
steril. Tidaklah mungkin dapat terjadi ada pranata sosialyang
berfungsi tetapi tidak mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tujuan pranata
sosial itu dapat tercapai apabila fungsi-fungsinya dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Di dalam pranata sosial, yang dimaksud
dengan tujuan adalah sesuatu yang harus dicapai oleg golongan
masyarakat tertentu dan golongan masyarakat yang
bersangkutan pasti akan berpegang teguh padanya.
- Pranata sosial merupakan alat-alat perlengkapan yang
dipergunakan untuk mencapai tujuannya. Alat-alat perlengkapan
pranata sosial dimaksudkan agar pranata yang bersangkutan
8
dapat melaksanakan fungsinya guna mencapai tujuanyang
diinginkan.
- Pranata sosial pada umumnya dilakukan dalam bentuk lambang-
lambang.Lambang disamping merupakan spesifikasi dari suatu
pranata sosial, juga tidak jarang dimaksudkan untuk
pencerminan secara simbolis yang menggambarkan tujuan dan
fungsi dari pranata sosial yang bersangkutan.
- Pranata sosial itu mempunyai dokumen baik yang tertulis
maupun tidak. Dokumen ini dimaksudkanmenjadi suatu landasan
atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan
fungsinya.
Pranata sosial yang sering dikenal dengan lembaga sosial,
organisasi sosial maupun lembaga kemasyarakatan selalu berhubungan
dengan tiga hal yaitu :
- Nilai dan norma
- Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum
- Sistem hubungan yakni jaringan peran serta status yang menjadi
wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur
umum yang berlaku.
9
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang
memiliki suku bangsa yang beranekaragam dengan kekayaan budaya
masyarakat. Kehidupan bersama selaku masyarakat perlu diatur dengan
aturan-aturan yang mengikat dan memberikan arahan berperilaku,
dimana hukum yang dipergunakan mengatur kehidupan bersama
masyarakat.
Hukum tidak serta merta terwujud untuk mengatur kehidupan
bersama masyarakat, tetapi melalui proses yang panjang. Hukum
sebagai kaidah atau norma sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang
berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum
itu merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang
pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum hadir sebagai wujud
kehendak masyarakat melalui pandangan dan nilai-nilai yang dipegang
teguh untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat yang bertujuan
mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak. Hukum tidak
dapat dilihat sebagai norma yang absolut tetapi selalu berubah sesuai
dengan perkembangan masyarakat sebagai pencerminan perjuangan
manusia untuk mencapai keadilan bagi masyarakat. Sistem nilai sangat
berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat dan dipakai sebagai
pedoman dalam berperilaku. Sistem nilai merupakan pandangan-
pandangan mengenai apa yang dianggap baik dan buruk, dimana dipakai
untuk memberikan arahan pada kehidupan.
10
Hukum tidak terlepas dari kehidupan masyarakat sebagai
makhluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran sesamanya dalam
kehidupan bersama, sehingga selalu ada keterkaitan hukum dengan
basis sosialnya yaitu :
1. Hukum itu tidak dibuat, melainkan ditemukan. Pertumbuhan
hukum itu pada hakikatnya merupakan proses yang tidak
disadari dan organik. Hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu
institusi yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata suatu
proses dan perilaku masyarakat sendiri. Hanya kitalah yang
melihat hukum itu sebagai suatu institusi yang terpisah dengan
semua atribut dan konsep otonominya. Apa yang sekarang
disebut sebagai hukum adalah putusan arbiter yang dibuat oleh
legislatif.
2. Hukum itu tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang
sederhana pada masyarakat yang primitif sampai pada hukum
yang besar dan kompleks dalam peradaban modern. Kendati
demikian, perundang-undangan dan para ahli hukum hanya
merumuskan hukum secara teknis dan tetap merupakan alat dari
kesadaran masyarakat. (popular consciousness).
3. Hukum itu tidak mempunyai keberlakuan dan penerapan yang
universal. Setiap bangsa memiliki habitat hukumnya, seperti
mereka memiliki bahasa dan adatnya. Volksgeist (jiwa dari
11
rakyat) itu akan tampil sendiri dalam hukum suatu bangsa.
(Friedmann dalam Satjipto Rahardjo : 2010:16)
Hukum tidak dibuat tetapi ditemukan dalam kehidupan
masyarakat, dan juga tidak berlaku secara universal tetapi hukum tumbuh
dan berkembang dari kesadaran masyarakat akan pentingnya suatu nilai
dan norma untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam kehidupan
bersama.
Hukum itu adalah cerminan belaka dari kehidupan masyarakat
dimana hukum itu berada/mirror thesis. (Brian Tamanaha,2006) Hukum
yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan berlaku tidak secara
universal tetapi hanya pada suatu bagian masyarakat hukum adat
tertentu saja. Ada nilai-nilai yang sangat dipegang teguh dan dijunjung
oleh suatu masyarakat hukum adat tetapi pada masyarakat hukum adat
yang lain, nilai-nilai itu tidak dijunjung bahkan bukan merupakan suatu
hal yang berharga di mata masyarakat.
Masyarakat hukum adat tumbuh dan berkembang dalam budaya
yang sudah berakar dalam masyarakat. Kebudayaan yang beraneka
corak juga menimbulkan perbedaan dalam pola perilaku, dan ,cara
pandang dalam menjalankan kehidupan masyarakat hukum adat. Nilai-
nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat yang
satu terkadang berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang
pada masyarakat hukum adat yang lainnya. Nilai-nilai yang merupakan
12
peninggalan nenek moyang sangat dijunjung tinggi oleh komunitas
masyarakat hukum adat sebagai patokan dalam berperilaku dan
bersosialisasi setiap saat.
Masyarakat hukum adat walaupun masih hidup dalam
lingkungan/wilayah yang masih tradisional namun bukan berarti nilai-nilai
yang adapun sifatnya statis dan tidak mengalami perubahan. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada masyarakat merupakan gejala yang normal
dan biasa terjadi di mana perubahan disebabkan berbagai macam faktor
dan dapat terjadi secara cepat ataupun lambat. Masyarakat berkembang
sesuai dengan nilai-nilai tertentu yang menonjol dalam masyarakat di
mana nilai-nilai itu dirasakan ideal untuk dijadikan patokan dalam
bertingkah laku.
Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tercermin dalam perilaku
hukum dan norma hukum dan tertata dalam struktur masyarakat
khususnya masyarakat hukum adat. Nilai mempengaruhi norma dan
norma mempengaruhi perilaku hukum.
Perubahan terjadi bukan semata-mata karena proses
pemaksaan akan tetapi telah ada kemajuan jaman dan penemuan-
penemuan baru dan berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya
perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat. Perubahan nilai dapat
terjadi akibat dari dalam masyarakat itu sendiri maupun berasal dari luar
masyarakat.Perubahan yang terjadi mempengaruhi sistem sosial
13
termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku masyarakat.
Perubahan yang ada pada satu bidang juga mempengaruhi bidang-
bidang lainnya dalam kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan di
dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara bertahap dan melalui
penyesuaian-penyesuaian dan tidak terjadi secara revoluasioner.
Pada dasarnya saat terjadinya perubahan akan ada tiga
kemungkinan: (a) penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem
sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar; (b)
pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional; (c)
serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat.
Keanekaragaman suku dan budaya memperlihatkan adanya
perbedaan susunan pola dan dasar terbentuknya suatu masyarakat
hukum adat. Menurut Soepomo, melihat pola dan dasar susunan
terbentuknya masyarakat hukum secara umum dapat digolongkan dalam
bentuk pertalian keturunan yang sama(genealogis), yang berdasar atas
lingkungan daerah (territorial) dan yang merupakan campuran dari
keduanya (genealogis territorial). Masyarakat Hukum Genealogis adalah
suatu kesatuan masyarakat yang teratur, yang keanggotaannya berasal
dari dan terikat akan kesatuan kesamaan keturunan dari satu leluhur baik
yang berasal dari hubungan darah ataupun karena pertalian perkawinan.
Masyarakat hukum genealogis dibedakan atas masyarakat hukum
patrilinial yang susunan pertalian darahnya mengikuti garis bapak dan
14
masyarakat hukum matrilineal yang susunan pertalian darahnya ditarik
menurut garis keturunan ibu dan masyarakat hukum parental yang
susunan pertalian darahnya ditarik menurut garis keturunan orangtua
secara bersama-sama.
Masyarakat Hukum Teritorial adalah kelompok masyarakat
hukum yang hidup secara teratur,tertib dan aman berdasarkan asas
kesamaan tempat tinggal serta masyarakat hukum genealogis territorial
adalah bentuk penggabungan antara struktur masyarakat hukum
genealogis dan masyarakat hukum territorial.
Provinsi Maluku sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Negara Republik Indonesia juga memiliki masyarakat hukum adat
patrilineal, yang susunan pertalian darahnya mengikuti garis kebapakan.
Masyarakat hukum adat patrilinial khususnya di Maluku Tengah yang
mengikuti garis kebapakan memiliki sistem kekerabatan mengikuti garis
keturunan bapak dimana anak yang dilahirkan dari perkawinan masuk
dalam kerabat bapak. Masing-masing kelompok seketurunan membentuk
clan atau kesatuan kelompok yang “berhukum kebapakan” dengan nama-
nama marganya masing-masing atau lebih dikenal dengan “fam”. Hak-
hak dan kewajiban-kewajiban anak ditentukan oleh bapak dan
kerabatnya. Anak laki-laki mempunyai posisi yang paling berarti dalam
keluarga, kehadirannya sangat diharapkan. Anak perempuan kurang
diuntungkan dan kehadiran merekapun seakan tidak diharapkan. Jika
15
dalam suatu keluarga belum hadir anak laki-laki maka kurang sempurna
kehidupan mereka. Anak laki-laki sebagai penerus keturunan sangat
diharapkan dan jika dalam suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki
maka keluarga itupun dianggap sudah berada diambang kepunahan
karena tidak ada penerus keturunan mereka. Kerabat bapak kemudian
menentukan dan mengatur tentang apa yang dibolehkan dan dilarang
bagi anak diantaranya mengenai perkawinan, pewarisan dan harta
kekayaan dalam keluarga. Hubungan anak dengan kerabat lebih
diutamakan pada kerabat bapak. Peranan perempuan/ibu dan kerabat
ibu tidak begitu berarti.
Masyarakat hukum adat patrilineal di Maluku Tengah masih
kental dengan budaya yang sangat menjunjung laki-laki sebagai
pemimpin. Kaum laki-laki berada pada posisi yang lebih dibandingkan
kaum perempuan. Kaum perempuan hidup berdampingan dengan laki-
laki dan menjalani kehidupan bersama namun tidak dapat dipungkiri
bahwa pengaruh budaya dan adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi
kedudukan laki-laki masih mewarnai kehidupan bersama masyarakat
hukum adat.
Masyarakat hukum adat yang patrilineal menjalankan kehidupan
sehari-hari diwarnai dengan budaya patriarki yang kental. Anak laki-laki
dalam keluarga memiliki porsi yang lebih diutamakan dalam keluarga
dibandingkan dengan anak perempuan. Kedudukan anak dalam
16
keluarga juga turut mempengaruhi setiap proses kehidupan yang
dijalaninya, oleh karena itu dikenal beberapa pembagian kelompok anak
dalam masyarakat hukum adat yang patrilineal yaitu :
- Anak Sah; anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan
yang sah antara seorang laki-laki dari masyarakat yang
patrilineal dengan perempuan. Anak sah sering juga disebut
dengan anak kawin.
- Anak luar nikah; anak ini adalah anak yang lahir diluar
perkawinan. Anak luar nikah jika tidak diakui oleh laki-laki yang
membuahinya maka ia mempunyai hubungan hukum dengan ibu
dan kerabat ibu. Walaupun anak ini adalah anak luar nikah
namun jika ia laki-laki maka kedudukannya lebih kuat
dibandingkan dengan anak dari paman(saudara laki-laki ibu)
yang perempuan. Dia memiliki hak waris yang sama dengan
anak laki-laki yang lahir dari perkawinan yang sah.
- Anak yang diakui; adalah anak luar nikah yang telah diakui oleh
laki-laki yang membuahinya dan pengakuan itu terjadi pada saat
pasangan itu dinikahkan. Namun bisa juga terjadi pengakuan
terjadi setelah pernikahan dilangsungkan.
- Anak harta; adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah
namun si anak memakai “fam” atau marga ibunya. Maksud
dipergunakan marga ibu adalah untuk melangsungkan keturunan
17
dari pihak ibu/ jika dari pihak ibu tidak memiliki keturunan laki-
laki.
- Anak tiri; adalah anak dari suami terdahulu atau isteri terdahulu.
Yang tetap memiliki hubungan kekerabatan dengan ayah
kandung atau ibu kandungnya.
- Anak angkat; adalah anak yang diangkat untuk meneruskan
keturunan. Maksud pengangkatan anak ini adalah untuk
mempertahankan kesinambungan nama atau martabat keluarga
biasanya jika tidak ada lagi keturunan laki-laki dalam keluarga.
Untuk itu biasanya yang diangkat hanyalah anak laki-laki dan
dengan persetujuan maka hubungan antara anak dengan
kerabat bapak kandungnya resmi diputuskan dan si anak
mempergunakan marga dari bapak angkatnya.
- Anak piara; adalah anak yang dipelihara dalam sebuah keluarga
dimana seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh orang yang
memeliharanya.Namun dia tidak dapat memiliki hak waris dari
bapak piara. (Ziwar Effendi: 1987; 51-58)
Status dan kedudukan anak turut mempengaruhi kehidupan yang
dijalaninya baik untuk perkawinan, pewarisan dan harta kekayaan yang
kemudian akan diperolehnya dan dijalaninya.
Anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat hukum adat
patrilineal yang sangat menjunjung dominasi laki-laki dalam kehidupan
18
bersama setiap saat tidak lepas dari warna budaya patriarki. Dalam
kehidupan bersama selalu ada interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Masing-masing menjalankan hak dan kewajiban demi kelangsungan
hidup. Hak perempuan sering tidak disetarakan dengan hak laki-laki.
Laki-laki dianggap lebih superior dari perempuan, laki-laki sebagai warga
kelas satu dan perempuan hanya sebagai warga kelas dua yang sering
dikesampingkan dalam kehidupan bersama. Gerakan yang melawan
keadaan ini mengusung isu kesetaraan gender untuk mengangkat hak
perempuan agar disetarakan dengan laki-laki. Inti dari gagasan
kesetaraan gender adalah keadilan sosial .Gerakan yang mengusung isu
kesetaraan gender tidak timbul dengan sendiri tetapi melalui suatu proses
yang panjang.
Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak
dan kedudukan yang sama dalam masyarakat. Hak dan kewajiban tidak
mengenal pembedaan antara laki-laki dan perempuan, semua memiliki
hak dan kewajiban yang sama dan tidak dibedakan kedudukannya di
dalam hukum. Telah terjadi pergeseran nilai dan nilai patriarki yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat hukum adat bergeser untuk
mencapai kesetaraan gender dalam hal dominasi laki-laki berkurang
dalam penguasaan tanah dati. Kedudukan laki-laki yang dominan terjadi
karena perbedaan kodrat.
19
Masyarakat hukum adat hidup berdampingan dengan memiliki
hak-hak atas wilayah persekutuannya. Di Maluku Tengah, hak-hak
masyarakat adat atas wilayah persekutuan adat dikenal dengan sebutan
“petuanan”. Wilayah petuanan adat terdiri dari petuanan darat dan
petuanan laut. Wilayah petuanan laut meliputi wilayah laut sekitar
persekutuan masyarakat hukum adat setempat sedangkan Wilayah
Petuanan darat meliputi:
- Tanah Ewang ; mengenai pengertian tanah daratan harus
dibedakan antara Ewang dan Dusun. Ewang adalah tanah
yang belum diusahakan atau digarap oleh tangan manusia;
diperusah menurut istilah masyarakat adat setempat dan masih
merupakan tanah liar. Sebaliknya dusun adalah tanah-tanah
yang telah digarap atau diperusah oleh manusia.
- Dusun ; adalah tanah-tanah yang telah digarap atau diperusah
oleh manusia. Dusun-dusun dapat dibedakan pula antara Dusun
Dati, Dusun Perusah, Dusun Negeri dan Dusun Pusaka Dusun
Dati adalah dusun yang diberikan oleh negeri kepada suatu
persekutuan dati sebagai kompensasi atas pelaksanaan tugas-
tugas dati yang dijalankan tanpa upah. Dusun perusahan atau
dusun tetanaman adalah dusun yang dibuka atau diperusah
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama oleh anak negeri, di
atas tanah petuanan biasanya tanah yang masih berupa Ewang.
20
Dusun Negeri adalah hutan yang sudah dipelihara dan dijaga
dan masyarakat tidak bebas lagi mengambil hasilnya karena
semua hasilnya adalah untuk kas negeri. Dusun Negeri biasanya
ditanami dengan tanaman-tanaman yang menghasilkan seperti
bamboo, rotan, dammar dan pepohonan yang menghasilkan
buah seperti kelapa, langsat dsb.Dusun Pusaka adalah dusun
yang merupakan milik bersama dari suatu kelompok ahli waris
yang mereka peroleh melalui pewarisan. Dusun Pusaka pada
awalnya bisa diperoleh dengan beberapa cara yaitu : (1) dengan
menggarap atau memperusah sepotong tanah negeri yang masih
merupakan hutan atau ewang dengan ijin Pemerintah Negeri (2)
diperoleh dengan cara pembelian oleh sesorang (3) dapat juga
merupakan pemberian .
- Dusun Dati ; yang dimaksudkan dengan dusun dati disini bukan
hanya tanahnya atau tanaman saja tetapi tanah dengan semua
tanaman yang ada di atas tanah itu bersama-sama. Dusun Dati
adalah dusun yang diberikan kepada seseorang atau suatu
persekutuan atau kerabat atau cabang kerabat sebagai
kompensasi atau imbalan atas prestasi mereka karena telah
melaksanakan tugas atau pekerjaan dati. Pemberian dusun dati
bukan hanya untuk jangka waktu tertentu saja namun untuk
seterusnya sehingga terdapat ikatan atau kaitan yang tetap
21
antara dusun-dusun dati dengan pelaksanaan tugas-tugas dati
yang dibebankan kepada persekutuan dati itu. Adapun dusun
dati yang diberikan haruslah dusun yang telah ada tanaman yang
sudah siap diambil hasilnya untuk menjadi bahan pangan pokok
misalnya sagu dan bukan tanah kosong yang harus digarap atau
diperusah lebih dahulu karena memerlukan waktu yang lama
untuk memperoleh hasil atas tanah dati tersebut. Tanah dati
sebagai tanah milik komunal dalam hal ini milik suatu
persekutuan dati dirasakan sebagai suatu keadilan dan
proporsional. Tanah dati tidak bias dimiliki oleh perempuan yang
sudah kawin keluar karena disinilah ukuran keadilannya bahwa
seseorang tidak bias “makan dua dati”, cukup makan dati dari
suami saja bukan dari keluarga asal. Konstruksi ini mulai
berubah dalam masyarakat di mana revitalisasi yang diusulkan
melalui Kongres Perempuan Maluku I Tahun 2009 adalah
bertujuan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai dalam
masyarakat hukum adat, nilai-nilai ini dikuatkan kembali bukan
dihilangkan tetapi dikuatkan lagi.
Kekuatan berlakunya hak petuanan atas tanah yang menjadi
wilayah petuanan berhadapan dengan tanah-tanah yang telah dikuasai
oleh orang perorangan atau pribadi-pribadi maupun kerabat atau
persekutuan tidaklah tetap.
22
Perubahan mengenai melemah dan menguatnya hubungan hak
petuanan dengan tanah yang menjadi wilayahnya berhadapan dengan
hak-hak perorangan terdapat tiga macam fase atau tingkatan (Ziwar
Effendy,1986: 92,93) yaitu :
Pertama, keadaan dimana kekuasaan hak petuanan kuat
sekali.Rakyat yang menggarapnya hanyalah mempunyai hak usaha
saja.Kalau tanahnya ditinggalkan atau diterlantarkan oleh penggarapnya
ataupun melanggar ketentuan-ketentuan menurut adat maka tanahnya
dapat ditarik kembali oleh petuanan.
Kedua, tanah yang diberikan kepada penduduk inti atau
penduduk asal dari suatu negeri.Hak atas tanahnya dapat diwarisi oleh
keturunan dari pemegang hak.Walaupun disini hak yang bersifat pribadi
sudah mulai memegang peranan, namun petuanan masih mempunyai
hak mengawasi atas tanah yang diberikan itu berkenaan dengan
pemanfaatan dan pemeliharaannya serta pengalihan atau penggantian
dari para pemegang hak. Tanahnya masih tetap milik petuanan dan tidak
boleh dialihkan atau dipindahkan kepada orang lain tanpa persetujuan
petuanan. Di Maluku Tengah khususnya Ambon Lease, pengalihan atau
pemindahan itu harus seijin Pemerintah Negeri. Pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan bisa berakibat hak atas tanah dapat
dicabut kembali.Tanah semacam ini yang terdapat di daerah ini
23
diantaranya tanah dati.Pada tanah dati ini mulai ada perimbangan antara
hak perorangan dengan hak petuanan.
Ketiga, adalah keadaan dimana hak perorangan atau kelompok
sudah sedemikian kuatnya sehingga hak petuanan seakan-akan sudah
hilang kekuasaannya atas tanah itu.Hak mengaturnya sudah terlepas dari
hak petuanan dan sepenuhnya jatuh dibawah kekuasaan dari pemegang
haknya.
Tanah dati dalam perkembangannya sudah bukan merupakan
bagian dari hak petuanan bahkan dapat diwariskan pada keturunan
pemegang hak atas tanah dati. Tanah dati sebagai salah satu bagian
tanah adat yang ada di Maluku Tengah masih diakui eksistensinya
walaupun hukum adat tidak memberikan ruang kepada kaum perempuan
untuk menguasainya.
Hukum adat dalam kenyataan kehidupan masyarakat hukum
adat ternyata sifatnya dinamis dan tidak statis, hukum adat juga
menerima perubahan dalam masyarakat sepanjang itu tidak mengganggu
kehidupan masyarakat adat yang ada. Hukum adat menyesuaikan diri
dengan perkembangan dalam masyarakat. Hukum adat dapat dipakai
untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat
hukum adat. Sejarah telah membuktikan bahwa Hukum adat sejak dahulu
kala selalu mempertentangkan hak penguasaan tanah adat antara hak
laki-laki dengan hak perempuan.
24
Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat
memberi dampak dominasi laki-laki mulai berubah dan perubahan nilai
membawa dampak pada perubahan aturan. Perubahan atau pergeseran
nilai patriarki berimplikasi kedalam kehidupan masyarakat. Baik dalam
hak politik, hak social, hak ekonomi dan lain-lain.
Hukum adat memiliki sifat dan corak tersendiri. Hukum adat tidak
bersifat tertutup namun selalu menerima perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Walaupun hukum adat dikenal sebagai hukum yang hidup
dan berkembang dalam suatu persekutuan masyarakat hukum adat yang
dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam masyarakat
namun melalui proses penyelesaian sengketa yang berkepanjangan dan
melibatkan berbagai pihak, baik dari lembaga adat yang ada dalam
masyarakat maupun masyarakat adat itu sendiri. Hukum adat dapat
dipakai untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat
hukum adat.
Hukum adat sejak dulu selalu mempertentangkan hak
penguasaan tanah adat antara hak laki-laki dengan hak perempuan.
Masyarakat hukum adat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Negara Indonesia memiliki nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi sebagai
warisan nenek moyang. Nilai-nilai patriarki yang menjunjung kedudukan
laki-laki dalam setiap lini kehidupan bersama termasuk didalamnya
25
kedudukan laki-laki yang lebih kuat dalam penguasaan tanah adat
khususnya tanah dati.
Nilai-nilai dalam masyarakat hukum adat inipun tidak statis sifatnya
tetapi juga mengalami perubahan-perubahan yang disebabkan oleh
berbagai macam faktor. Perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat
yang memandang kedudukan laki-laki lebih dibanding perempuan
mengalami pergeseran dan perubahan, ini terjadi bukan hanya
disebabkan pengaruh dari luar masyarakat hukum adat tetapi juga dari
dalam masyarakat hukum adat itu sendiri. Perubahan nilai yang terjadi
dalam masyarakat hukum adat mendapat dukungan yang baik dari
berbagai kalangan diantaranya kaum aktivis perempuan di Maluku yang
juga selalu memperjuangkan kesetaraan gender di Maluku.
Nilai-nilai dalam masyarakat hukum adat bukanlah bersifat absolut,
nilai-nilai yang dipertahankan baik itu nilai kebendaan, nilai keadilan, dan
berbagai nilai yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Perubahan
nilai membawa dampak pada kesetaraan gender dalam kehidupan laki-
laki dan perempuan dan walaupun ada reaksi dari kaum laki-laki tetapi
mulai berdampak pada kehidupan masyarakat khususnya dalam
penguasaan tanah dati oleh perempuan.
Perubahan nilai melahirkan konflik walaupun itu merupakan
lompatan yang dilalui oleh masa transisi. Masa transisi member dampak
pada perubahan yang berkesinambungan. Masa transisi membawa
26
dampak positif dan negatif di mana pengaruh negatif mengeliminir
perubahan dalam masyarakat dan untuk mencegah pengaruh negatif
diperlukan Peraturan Daerah yang dapat menampung aspirasi
masyarakat khususnya masyarakat hukum adat.
Hasil Kongres Perempuan Maluku I yang ingin merevitalisasi
hukum adat dimaksudkan adalah setelah direvitalisasi maka hukum adat
yang sudah dieliminir ini merupakan dampak dari kurangnya hubungan
dengan masyarakat hukum adat lainnya,kurangnya kontak dengan
budaya masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan dihilangkannya hak
atas tanah dati bagi kaum perempuan adalah bahwa kaum perempuan
khususnya yang sudah kawin tidak dapat memperoleh hak atas tanah dati
yang berasal dari bapaknya tetapi hanya dapat mewarisi dari keluarga
suaminya karena dalam hukum dati jelas bahwa seseorang hanya dapat
memiliki satu bagian atas tanah dati, tidak diperbolehkan “makan dua
dati”.
Ketidakadilan dalam peguasaan tanah dati dirasakan oleh kaum
perempuan di mana kedudukannya selalu lemah, semua ini merupakan
hasil konstruksi masyarakat hukum adat setempat di mana nilai-nilai yang
dimiliki adalah hasil konstruksi masyarakat dan bukan dari Tuhan.
Padahal sebenarnya kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah
sama, tidak ada perbedaan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang
lebih tinggi dari perempuan dalam struktur masyarakat hukum adat.
27
Persamaan kedudukan hukum laki-laki dan perempuan juga
ditemui dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang
berperspektif gender karena adanya pengakuan akan persamaan
kedudukan hukum antara laki-laki dan perempuan dalam penguasaan
tanah di Indonesia (Pasal 9 ayat (2) ).
Pergeseran nilai dari kacamata perspektif gender yang sesuai
dengan konstruksi sosial masyarakat jika dilihat dari kondisi masyarakat
Maluku khususnya masyarakat hukum adat di beberapa negeri adat di
Maluku Tengah maka perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat
cukup dinamis dan sesuai dengan perkembangan yang terjadi di
masyarakat di mana pada masyarakat hukum adat tertentu perubahan
nilai sangat terasa pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat hukum
adat tetapi pada masyarakat hukum adat yang lain perubahan tidak
terjadi bahkan sangat tertutup untuk menerima hal-hal baru di luar
masyarakat hukum adat itu sendiri.
Perubahan nilai yang terjadi berpengaruh pada adanya pengakuan
akan hak perempuan dalam penguasaan tanah dati dan jika dilihat dari
perspektif kesetaraan gender maka aspek keadilan disini terpenuhi dan
dirasakan adil bagi kaum perempuan.
Seiring dengan tumbuhnya kesadaran tentang persamaan
kedudukan dan hak asasi manusia, muncul tuntutan dari kaum
perempuan untuk mendapatkan hak dan kedudukan yang setara dengan
28
kaum laki-laki, baik dalam status sosial, otoritas dalam pengambilan
keputusan, akses dalam dunia pekerjaan, pendidikan dan lain bidang
kehidupan. Upaya untuk memperoleh kesetaraan kedudukan dari kaum
perempuan tidaklah sesederhana yang dipikirkan karena secara struktural
dan kultural, hegemoni kaum laki-laki atas kaum perempuan telah
sedemikian mapan.
Setelah melalui proses yang panjang terjadi perubahan
paradigma terhadap pandangan bahwa perempuan hanya sebagai
pelengkap penderita saja. Perubahan ini muncul sebagai akibat
kesadaran kaum perempuan bahwa mereka selalu berada dalam
kungkungan budaya patriarki yang menindas kedudukannya.Kaum
perempuan dianggap sebagai kaum yang rendah kualitas
sumberdayanya sehingga tidak mampu bersaing dengan laki-laki dalam
berbagai aspek kehidupan.Padahal dalam kehidupan nyata peran kaum
perempuan sudah berkembang begitu pesat. Kaum perempuan sudah
banyak berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan, dunia yang semula
dianggap tabu untuk dimasuki oleh kaum perempuan.
Dalam konteks hubungan gender, modernisasi kemudian
tercermin dalam perluasan hak-hak kaum perempuan sebagai manusia
yang merdeka dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kesamaan
hak yang dimiliki kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan
29
termasuk hak politik, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk
memperoleh pekerjaan dan lain sebagainya.
Realitas sosial membuktikan bahwa antara perempuan dan laki-
laki memiliki kebutuhan yang berbeda dalam keseharian kehidupannya.
Perempuan dan laki-laki dengan perbedaan fisik yang ada sejak lahir,
sudah tentu memiliki kebutuhan yang berbeda. Kesetaraan Kedudukan
laki-laki dan perempuan dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan yaitu :
- Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
- Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
- Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 pasal 15 ayat (1)
- Dari aspek sumber hukum, maka selain perundang-undangan, dikenal
pula sumber hukum lain diantaranya kebiasaan, traktat, yurisprudensi
dan doktrin.
- Dalam kenyataannya selain Undang-Undang dalam hal ini Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 memberikan hak dan kesempatan yang
sama terhadap hak atas tanah sebagai hukum positif, namun ternyata
hukum adat di Maluku yang diakui oleh beberapa yurisprudensi
Mahkamah Agung diantaranya Putusan Mahkamah Agung Nomor
697K/Sip/1977 yang memutuskan tidak diperbolehkan seorang anak
perempuan yang sudah kawin keluar memakan tanah dati dari
30
orangtuanya atau ia kehilangan hak atas tanah datinya karena
mengikuti marga suaminya. Hal mana membuktikan bahwa ada
pembatasan hak dan kesempatan bagi perempuan yang sudah kawin
untuk memiliki tanah. Ini disebabkan oleh karena adanya budaya
patriarki yang masih melekat kuat dalam kehidupan masyarakat adat di
Maluku.
- Pembatasan penguasaan tanah oleh perempuan dalam hukum adat
Maluku khususnya pada tanah atau dusun dati memperlihatkan adanya
ketidaksetaraan kedudukan dalam hukum antara kedudukan laki-laki
dan perempuan.
- Pembatasan penguasaan tanah adat oleh perempuan mendapat reaksi
yang keras dari Kaum Perempuan di Maluku melalui Konperensi
Perempuan Maluku Tahun 2009, yang mengusung isu kesetaraan
gender dalam penguasaan tanah adat khususnya tanah dati di Maluku.
Selain itu usulan revitalisasi hukum adatpun dihasilkan dalam
Konperensi ini. Revitalisasi yang diusulkan bukan dalam pengertian
menggantikan norma-norma hukum adat tetapi yang dimaksudkan disini
adalah penguatan terhadap norma-norma hukum adat yang
diberlakukan dalam masyarakat hukum adat, di mana norma-norma
hukum adat berasal dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat hukum adat yaitu nilai patriarki yang mulai mengalami
31
pergeseran nilai yang mengakui kedudukan hukum perempuan atas
tanah dati di Maluku Tengah.
- Perbedaan antara kenyataan dan keharusan yang seharusnya berlaku
dalam masyarakat menyebabkan kesenjangan yang perlu untuk dilihat
dan dianalisa lebih lanjut dan dicari penyelesaian yang dapat
menyelaraskan kehidupan bersama masyarakat hukum adat di Maluku
Tengah.
B. Rumusan Masalah
1. Sejauhmana perubahan nilai terjadi dalam masyarakat hukum
adat tentang kedudukan hukum perempuan atas tanah dati?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan
nilai tentang kedudukan hukum perempuan atas tanah dati oleh
perempuan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan penelitian
yang ingin dicapai ialah :
1. Mengkaji dan menganalisa sejauhmana perubahan nilai terjadi
dalam masyarakat hukum adat tentang kedudukan hukum
perempuan atas tanah dati dalam perspektif kesetaraan gender.
32
2. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
perubahan nilai tentang kedudukan hukum perempuan atas
tanah dati dalam perspektif kesetaraan gender.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi kegunaan untuk :
1. Secara teoritik; berguna untuk pengembangan ilmu hukum
terutama hukum adat terkait dengan paradigma perubahan nilai
tentang kedudukan hukum perempuan atas tanah dati.
2. Secara praktis; sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah
terkait dengan pengaturan hak-hak perempuan dalam
penguasaan tanah adat khususnya tanah dati di Maluku.
E. Orisinalitas Penelitian
Penelitian yang baik sudah tentu harus dijamin orisinalitasnya.
Penelitian ini akan mengkaji tentang kedudukan hukum perempuan
terhadap hak penguasaan tanah adat di Maluku dalam perspektif
kesetaran gender. Memang sebelum penelitian yang penulis lakukan,
sebelumnya sudah ada penelitian yang berkaitan dengan penguasaan
tanah adat di Maluku khususnya Tanah Dati namun penulis akan
mengkaji lebih mendalam dengan kajian kesetaraan gender.
33
Valerine J.L.Kriekhoff melalui Disertasi dengan judul Kedudukan
Tanah Dati sebagai Tanah Adat di Maluku Tengah Suatu Kajian dengan
memanfaatkan Pendekatan Antropologi Hukum. Penelitian ini mendalami
kedudukan tanah dati sebagai bagian dari tanah adat di Maluku Tengah
namun penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan pendekatan
Antropologi Hukum.
Ini tentu berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis. Penulis melakukan pengkajian yang lebih mendalam lagi tentang
Paradigma Perubahan Nilai tentang Kedudukan Hukum Perempuan atas
Tanah Adat dalam perspektif Kesetaraan Gender, yang mengkaji tentang
Hak-hak perempuan atas tanah dati dengan Perspektif Kesetaraan
Gender. Nilai patriarki yang sangat kental ada dalam masyarakat hukum
adat memberi porsi yang lebih bagi kaum laki-laki dalam penguasaan
tanah dati. Kesetaraan gender membawa pengaruh terjadinya perubahan
nilai dalam masyarakat hukum adat. Perubahan nilai terjadi karena
disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam masyarakat hukum adat
sendiri maupun yang datang dari luar masyarakat.
34
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Paradigma Perubahan Nilai
Paradigma dalam bahasa Inggris “paradigm” , dari bahasa
Yunani “paradeigma” dari “para”( disamping, di sebelah) dan “dekynai”
(memperlihatkan, yang berarti; model, contoh,arketipe,ideal).
Menurut Oxford English Dictionary, “paradigm” atau paradigma
adalah contoh atau pola. Akan tetapi di dalam komunitas ilmiah,
paradigma dipahami sebagai sesuatu yang lebih konseptual dan
signifikan, meskipun bukan sesuatu yang tabu untuk diperdebatkan.
“Ordering belief frame work” begitu dikatakan Liek Wilarjo ketika
berbicara tentang paradigma yaitu suatu kerangka keyakinan dan
komitmen para Intelektual. (Otje Salman dan Anthon Susanto, 2007: 67)
Paradigma menurut Scoot (dalam Yesmil Anwar dan Adang
:2008; 42) adalah suatu model atau nilai dan ukuran sebagai pandangan
umum para ilmuwan dalam melukiskan realitas sosial.
Thomas S Kuhn (Mahmud Kusuma, 2009: 10) mengartikan
terminologi paradigma dalam dua konteks, yaitu konteks sosiologi dan
konteks filsafat. Terminologi paradigma dalam konteks sosiologi sebagai
berikut, On one hand (sociology), it stands for the entire constelattion of
35
beliefs, values, techniques, and so on shared by the members of a given
community. Secara singkat Kuhn mengartikan terminologi paradigma
dalam sosiologi adalah yang digunakan oleh anggota komunitas terkait.
Terminologi paradigma menurut Kuhn dalam konteks filsafat
adalah sebagai berikut, On the other (philosophy), it denotes one sort of
element in that constellation, the concrete puzzle solution which,
employedas models or examples, can replace explicit rules as a basis for
the solutions of the remaining puzzles of normal science. Secara singkat
terminologi paradigma dalam konteks filsafat dapat diartikan mengacu
pada salah satu elemen dalam konstelasi, merupakan solusi konkrit bagi
teka-teki yang belum terjawab, dapat digunakan sebagai model atau
contoh, yang dapat menggantikan aturan eksplisit sebagai pijakan bagi
solusi dari teka-teki yang belum terjawab dari ilmu normal.
Ritzer (George Ritzer, 2011: 86) mengemukakan pengertian
paradigma sebagai suatu pandangan fundamental tentang pokok
persoalan dalam suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma membantu
merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang
harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterpretasikan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah
kesatuan konsensus yang terluas dalam suatu cabang ilmu pengetahuan
dan yang membantu membedakan antara satu komunitas ilmuwan (atau
sub-komunitas) dari komunitas ilmuwan lainnya.
36
Paradigma sebagai suatu model atau ukuran yang dapat
dipergunakan sebagai patokan untuk mencoba merumuskan persoalan
atau permasalahan yang harus dijawab. Permasalahan yang akan
dijawab mempergunakan suatu model atau ukuran sehingga jawaban
yang diperoleh adalah jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Paradigma sebagai model atau ukuran membawa pada pola pikir
yang lebih terintegrasi dan jawaban yang diperoleh adalah jawaban yang
lebih memuaskan. Hubungan antara model atau ukuran pola pikir
dengan nilai-nilai yang diyakini dalam masyarakat sangat erat,
paradigma memberi patokan dalam mencari jawaban atas suatu
permasalahan. Paradigma sebagai model atau ukuran dipakai sebagai
patokan untuk dapat memecahkan suatu permasalahan. Pemecahan
masalah dapat diperoleh didasarkan pada cara pandang yang lebih
fleksibel tanpa mengenyampingkan nilai-nilai yang ada dan yang tumbuh
serta berkembang dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sangat erat kaitannya
dengan sosiologi sebagai Ilmu Kemasyarakatan. Sosiologi merupakan
studi mengenai masyarakat dalam suatu sistem sosial. Dalam sistem
sosial tersebut masyarakat selalu mengalami perubahan. Tidak ada
masyarakat yang tidak mengalami perubahan walaupun perubahan
dalam taraf yang paling kecil sekalipun.
37
Perubahan dapat berupa perubahan yang kecil sampai pada
perubahan yang sangat besar yang mampu membawa pengaruh yang
besar bagi aktivitas dan perilaku masyarakat. Perubahan yang mencakup
aspek yang sempit hanya meliputi perubahan perilaku dan pola pikir
sedang perubahan yang besar mencakup perubahan dalam tingkat
struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan
masyarakat di masa yang akan datang (Nanang Martono, 2011: 1).
Pada sekitar abad ke-18, Ibnu Khaldun seorang pemikir Islam
dalam bidang Ilmu Sosial pertama kali memperkenalkan konsep
perubahan sosial. Menurut Ibnu Khaldun masyarakat secara historis
bergerak dari masyarakat nomaden menuju masyarakat (yang tinggal)
menetap (disebut masyarakat kota).
Perubahan sosial mencakup perubahan sistem sosial yang
melihat perbedaan antara sistem tertentu dalam jangka waktu yang
berlainan. Konsep dasar mengenai perubahan sosial menyangkut tiga hal
, yaitu : pertama, studi mengenai perbedaan; kedua, studi harus dilakukan
pada waktu yang berbeda; dan ketiga, pengamatan pada sistem sosial
yang sama. (Sztompka,1994). Artinya bahwa untuk dapat melakukan
studi perubahan sosial, harus dilihat adanya perbedaan atau perubahan
kondisi objek yang menjadi fokus penelitian. Perubahan yang terjadi
hanya diamati pada sistem sosial yang sama.
38
Studi perubahan sosial akan melibatkan dimensi ruang dan
waktu, di mana dimensi ruang menunjukkan pada wilayah terjadinya
perubahan sosial serta kondisi yang melingkupinya sedang dimensi waktu
meliputi konteks masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Konteks masa “lalu” merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam
melakukan studi perubahan sosial di mana diamati perubahan yang
terjadi dengan membandingkan keadaan di masa “lalu” dengan masa
sekarang ini.
Perubahan sosial yang terjadi ada kalanya hanya pada sebagian
kecil ruang lingkup kehidupan tanpa menimbulkan akibat besar terhadap
yang lain namun dapat juga terjadi bahwa perubahan mencakup semua
aspek kehidupan dan menghasilkan perubahan secara menyeluruh dan
menciptakan sistem yang secara mendasar berbeda dengan sistem yang
lama.
Para ahli mendefenisikan perubahan sosial secara berbeda-
beda, diantaranya adalah :
a. Kingsley Davis mendefenisikan perubahan sosial sebagai
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
masyarakat.
b. Mac Iver mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan
yang terjadi dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap
keseimbangan.
39
c. Gillin dan Gillin mengartikan perubahan sosial sebagai suatu
variasi cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena
perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan,
materiil,komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya
difusi ataupun penemuan-penemuan dalam masyarakat.
d. Koenig mendefenisikan perubahan sosial sebagai modifikasi-
modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia.
e. Hawley mendefenisikan perubahan sosial sebagai setiap
perubahan yang tidak terulang dari sistem sosial sebagai satu
kesatuan.
f. Munandar mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan
yang terjadi dalam struktur dan fungsi dari bentuk-bentuk
masyarakat
g. Moore mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan
penting dari struktur sosial, yaitu pola-pola perilaku dan interaksi
sosial yang terjadi di dalam suatu masyarakat.
h. Macionis mendefinisikan perubahan sosial sebagai transformasi
dalam organisasi masyarakat dalam pola pikir dan dalam perilaku
pada waktu tertentu.
i. Ritzer mengemukakan pendapatnya bahwa konsep perubahan
sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok,
organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu.
40
j. Lauer memaknai perubahan sosial sebagai perubahan fenomena
sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat
individu-individu sampai pada tingkat dunia.
k. Harper mengartikan perubahan sosial sebagai pergantian
(perubahan) yang signifikan mengenai struktur sosial dalam
kurun waktu tertentu.
l. Perubahan di dalam struktur sosial terdiri dari beberapa tipe yaitu
: pertama, perubahan dalam personal, yang berhubungan
dengan perubahan-perubahan peran dan individu-individu baru
dalam sejarah kehidupan manusia yang berkaitan dengan
keberadaan struktur. Perubahan tipe ini bersifat gradual
(bertahap) dan tidak terlalu banyak unsur-unsur baru maupun
unsur-unsur yang hilang. Perubahan ini dapat dilihat misalnya
perubahan peran dan fungsi perempuan dalam masyarakat.
Perubahan Kedua yaitu perubahan dalam cara-cara bagian-
bagian struktur sosial berhubungan dan ketiga adalah perubahan
dalam fungsi-fungsi struktur yang berkaitan dengan apa yang
dilakukan masyarakat dan bagaimana masyarakat tersebut
melakukannya. Keempat, perubahan dalam hubungan struktur
yang berbeda, Kelima, kemunculan struktur baru yang
menggantikan struktur sebelumnya,
41
m. Soemarjan mengartikan perubahan sosial sebagai segala
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola
perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
n. Himes dan Moore mengemukakan bahwa perubahan sosial
mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi struktural, kultural dan
interaksional : dimensi struktural mengacu pada perubahan-
perubahan dalam bentuk struktur masyarakat, menyangkut
perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan
dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial.
Perubahan meliputi bertambah atau berkurangnya kadar
peranan, menyangkut aspek perilaku, terjadi pergeseran peranan
dan terjadi perubahan akibat dari struktur. Dimensi kultural
mengacu pada perubahan kebudayaan dalam masyarakat dan
dimensi interaksional mengacu pada adanya perubahan
hubungan sosial dalam masyarakat.
Perubahan sosial yang didalamnya perubahan nilai terjadi dalam
masyarakat adalah hal yang lumrah, dan ini terjadi baik pada masyarakat
tradisional maupun masyarakat yang modern. Perubahan itu ada yang
terjadi secara cepat namun ada juga terjadi melalui proses yang panjang
dan lambat.
42
Nilai adalah ide-ide masyarakat akan sesuatu yang baik, sedang
norma merupakan suatu patokan tingkah laku manusia yang memberikan
pedoman agar supaya manusia memenuhi nilai-nilai masyarakat tersebut.
Nilai diartikan secara berbeda-beda diantaranya:
a. Menurut Lasyo (Elly Setiadi dkk: 2009; 123), Nilai bagi manusia
merupakan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku
atau perbuatannya.
b. Menurut Arthur W.Comb; (Ibid; 123), Nilai adalah kepercayaan-
kepercayaan yang digeneralisir yang berfungsi sebagai garis
pembimbing untuk menyeleksi tujuan serta perilaku yang akan
dipilih untuk dicapai.
c. Menurut Jack R.Fraenkel, (Ibid; 123), Nilai adalah gagasan-
konsep- tentang sesuatu yang dipandang penting oleh seseorang
dalam hidup.
d. Menurut Charles R.Knikker (Ibid; 123) , Nilai adalah sekelompok
sikap yang menggerakkan perbuatan atau keputusan yang
dengan sengaja menolak perbuatan.
e. Menurut Dardji Darmodihardjo(Ibid; 123), Nilai adalah sesuatu
yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani.
f. Menurut Ensiklopedia Britania (Ibid;123), Nilai adalah kualitas
objek yang menyangkut jenis apresiasi atau minat.
43
Nilai (value) biasanya digunakan untuk sesuatu yang abstrak,
yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan
(goodness). Bagi manusia, nilai dijadikan dasar, alasan, atau motivasi
dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Louis
O.Kattsoff (dalam Dardji Darmodihardjo : 2002; 234) membedakan nilai
dalam dua macam, yaitu : (1) nilai intrinsik dan (2) nilai instrumental. Nilai
intrinsik adalah nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai,
sedangkan nilai instrumental adalah nilai dari sesuatu karena dapat
dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuatu.
Radbruch (Notohamidjojo dalam Dardji : 2002; 234)
mengemukakan ada 3 (tiga) nilai yang penting bagi hukum yaitu:
Pertama; Individualwerte, nilai-nilai pribadi yang penting untuk
mewujudkan kepribadian manusia, Kedua; Gemeinschaftswerte, nilai-nilai
masyarakat, nilai yang hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat
manusia,Ketiga ; Werkwerte, nilai-nilai dalam karya manusia
(ilmu,kesenian) dan pada umumnya dalam kebudayaan.
Walter G.Everet menggolongkan nilai lebih rinci lagi menjadi
delapan macam yaitu : Nilai ekonomis (harga dalam jual beli);Nilai
kejasmanian (kesehatan);Nilai hiburan;Nilai sosial;Nilai watak;Nilai
estetis;Nilai intelektual;Nilai keagamaan. Menurut Max Scheller (dalam
Elly Setiadi: 2009; 118) Nilai memiliki hierarkhi terdiri dari : Nilai
kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakkan atau tidak mengenakkan, yang
44
berkaitan dengan indra manusia yang menyebabkan manusia senang
atau menderita; Nilai kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan;
Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung pada keadaaan jasmani
maupun lingkungan; Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci
dan tidak suci.
Sedang Notonegoro (2009: 118,119) membagi hierarkhi nilai
pada tiga yaitu : Pertama;Nilai material, yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi unsur jasmani manusia, ;Kedua;Nilai vital, yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan
aktivitas, Ketiga;Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
rohani manusia.
Nilai kerohanian biasa dibedakan pada empat macam yaitu :
- Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta)
manusia.
- Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur
perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.
- Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur
kehendak (will, wollen, karsa) manusia.
- Nilai religious, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan
mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau
keyakinan manusia. Begitu bervariasinya pengertian nilai yang
dikemukakan dan sulit untuk mencari kesimpulan yang
45
komprehensif namun ada hal yang dapat disepakati bahwa nilai
itu penting dan berhubungan dengan masyarakat yang mengatur
atau dapat dijadikan patokan dalam berperilaku.
Nilai yang sudah tertanam dalam pola perilaku masyarakat
bahkan yang merupakan warisan nenek moyang tidaklah berarti tidak
berubah, namun nilai yang menjadi patokan dalam berperilakupun dapat
mengalami perubahan. Perubahan Nilai termasuk dalam perubahan
sosial terjadi dalam masyarakat menyangkut semua transformasi yang
mempengaruhi struktur sosial dan perilaku suatu masyarakat. Karena
masyarakat itu suatu sistem dalam interaksi, maka transformasi struktur
dalam bagian sistem menimbulkan ketegangan dan pertentangan dan
membutuhkan proses penyesuaian dalam sektor-sektor yang lain.
Dalam transformasi itu, terjadi proses dimana telah ada usaha
untuk melepaskan diri dari kebiasaan kultural sehingga terjadi modifikasi
dalam adat, kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Pitirim Sorokin
(dalam Soerjono Soekanto : 1980 : 107,108) mengemukakan teori
tentang perkembangan hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang
disesuaikan dengan tahapan-tahapan tertentu yang dilalui oleh setiap
masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai dengan nilai-nilai tertentu
yang sedang menonjol di dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-
nilai tersebut adalah yang ideational (yaitu kebenaran absolute
sebagaimana diwahyukan Tuhan Yang Maha Kuasa), sensate (yaitu nilai-
46
nilai yang didasarkan pada pengalaman) dan yang idealistic (yang
merupakan kategori campuran). Hukum dan gejala-gejala sosial budaya
lainnya terbentuk sesuai dengan bentuk nilai-nilai yang sedang berlaku di
dalam masyarakat.
Dahlan Thaib (dalam Elly Setiadi : 2009; 142) menyatakan
bahwa hukum itu sungguh-sungguh merupakan hukum apabila benar-
benar dikehendaki diterima kita sebagai anggota masyarakat; apabila kita
juga betul-betul berpikir demikian seperti yang dirumuskan dalam undang-
undang dan terutama juga betul-betul telah menjadi realitas hidup dalam
kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dengan demikian hukum
sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku pada
suatu masyarakat.
Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dari nilai. Nilai ------- norma --------- hukum. Nilai yang
dipedomani dan dipergunakan sebagai landasan dalam berperilaku setiap
saat oleh masyarakat hukum adat kemudian berkembang menjadi norma-
norma dalam hukum adat yang dipegang teguh dan kemudian
berkembang menjadi aturan-aturan dalam hukum adat masyarakat
hukum adat yang ditaati sebagai patokan dalam kehidupan mereka setiap
saat.
Paradigma ------ Nilai ------ Perubahan Nilai
47
Paradigma dipergunakan sebagai patokan dalam memberikan
arahan bagi masyarakat hukum adat untuk menjawab permasalahan
dalam kaitannya dengan nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat hukum adat di mana nilai yang semula sangat dijunjung tinggi
kemudian mengalami perubahan nilai yang juga membawa dampak bagi
kehidupan masyarakat hukum adat secara utuh.
Perubahan nilai memiliki kaitan yang erat dengan perubahan
sosial dalam suatu masyarakat. Interaksi perubahan sosial dengan
perubahan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Paradigma sebagai model atau cara pandang tidak memandang
persoalan hukum terpisah dari perubahan sosial namun dilihat sebagai
dua sisi keping mata uang . Adapun paradigma yang berkembang
memberi format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan
perubahan hukum adalah : (Saifullah : 2007; 31) :
1. Hukum melayani kebutuhan masyarakat agar supaya hukum itu tidak
akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan
masyarakat : Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma pertama ini
adalah :
a) Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam
kondisi ketergantungan
b) Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial
c) Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru
48
d) Hukum sebagai fungsi pengabdian
e) Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti di tempatnya
adalah di belakang peristiwa bukan mendahuluinya.
Paradigma yang pertama di sebut sebagai Paradigma Hukum
Penyesuaian Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini
adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan
diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Lajunya perubahan sosial membawa dampak pada perubahan
hukum. Paradigma pertama ini dalam interaksi perubahan sosial
terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini
membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila
masyarakat membutuhkan pengaturannya. Jadi sifatnya
menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa atau
konflik maka kemudian baru dipikirkan kebutuhan dalam
pengaturan nya secara formal dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau
setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang
berlangsung dalam masyarakat. Ciri-ciri yang terdapat dalam
paradigm kedua ini adalah :
a) Law as a tool of social engineering
b) Law as a tool of direct social change
49
c) Berorientasi ke masa depan (forward looking)
d) Ius Constituendum
e) Hukum berperan aktif
f) Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan
dan mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan
tersebut.
Paradigma kedua ini disebut sebagai Paradigma Hukum
Antisipasi Masa Depan. Persoalan hukum yang akan datang
dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara
matang peraturan perundang-undangan yang telah diratifikasi
misalnya peraturan perundang-undangan di bidang Hukum
Internasional.
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja(200 9; 142) menyatakan “
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
(the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
tersebut”.
Jawahir Thontowi dalam bukunya “Hukum, Kekerasan&Kearifan
Lokal (Penyelesaian Sengketa di Sulawesi Selatan)”, mengatakan :
Sebagian berpendapat bahwa tidak ada hukum dalam masyarakat tanpa
Negara. Tapi argument ini tidak lagi popular.
50
Pospisil (1954), Bohanann(1969) dan von Benda-Beckman(1984)
percaya bahwa hukum ada dalam masyarakat tanpa Negara dan berlaku
dalam tingkat yang berbeda-beda. (Sabian Usman : 2010; 18,19)
Leopold Pospisil dalam Hasan (2007) memaparkan hukum berfungsi
sebagai pengendalian masyarakat sebagai berikut :
tidak ada hukum kalau tidak ada masyarakat. Sebaliknya tidak ada masyarakat tanpa adanya hukum. Hukum ada di dalam masyarakat yang paling bersahaja sekalipun. Karena hukum dirasakan dapat menata kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat bersepakat membuat perangkat norma, kebiasaan atau nilai, bahkan aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau yang mendasari perilaku dan tindakan mereka.
Pendapat yang dikemukakan Sorokin tentang perkembangan
hukum tidak terlalu memuaskan namun perlu dicatat bahwa setiap sistem
hukum tidak akan menutup diri terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat.
Dalam gagasan Thomas Kuhn tidak ditemukan makna teknis apa
yang disebut paradigma itu. Namun sesuai dengan pandangan atau teori
yang dikembangkannya, paradigma selalu berkaitan dengan revolusi
keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak
terorganisasi yang mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi
tersusun dan terarah pada suatu paradigma tunggal telah dianut oleh
suatu masyarakat ilmiah. Suatu paradigma terdiri dari asumsi-asumsi
51
teoritis yang umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik untuk
penerapannya yang diterima oleh para anggota suatu masyarakat ilmiah.
Para ilmuwan akan menjelaskan dan mengembangkan
paradigma dalam usaha untuk mempertanggungjawabkan dan
menjabarkan perilaku beberapa aspek yang relevan dengan dunia nyata.
Dalam hal yang demikian para ilmuwan tidak terelakkan dari kesulitan
dan bila terbebas dari kesulitan maka berkembanglah keadaan krisis
dimana krisis teratasi bila lahir paradigma baru sepenuhnya dan menarik
makin banyak kepercayaan para ilmuwan sampai paradigma orisinal
yang telah menimbulkan problema itu dilepaskan.
Nilai-nilai yang sudah tertanam dalam masyarakat khususnya
masyarakat hukum adat yang menjunjung warisan nilai-nilai dari nenek
moyang sangat menjunjung laki-laki sebagai warga masyarakat kelas
satu. Pada mulanya kata “Patriarki” memiliki pengertian sempit yang
secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, di mana kepala
keluarga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak
atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang menjadi
tanggungannya berikut budak laki-laki dan perempuannya.(Julia Mosse:
1992; 64). Patriarki kini digunakan untuk melihat dominasi laki-laki atas
perempuan yang berlanjut pada dominasi laki-laki dalam semua
lingkungan kemasyarakatan lainnya.
52
Warisan patriarki yang sudah turun temurun bahkan masuk
hampir dalam semua lini kehidupan masyarakat hukum adat
menimbulkan ketidakadilan karena telah terjadi perbedaan perlakuan
berdasarkan jenis kelamin. Pandangan patriarki pada masyarakat yang
terorganisir sepanjang garis patrilinial dimana ada ketidaksetaraan
(unequal) hubungan antara laki-laki dan perempuan. Patriarki masuk
dalam semua aspek kehidupan masyarakat dan sistem sosial.
Nilai patriarki yang sudah mengakar dalam kehidupan
masyarakat bukan berarti merupakan harga mati yang berimplikasi
pada kehidupan masyarakat hukum adat dalam pengertian bahwa nilai
patriarki dapat mengalami pergeseran dalam penerapan di masyarakat
hukum adat, pergeseran ini berimplikasi pada perubahan pola pikir dan
sikap masyarakat terhadap nilai patriarki itu sendiri. Nilai patriarki yang
semula sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat hukum adat
mulai mengalami pergeseran sehingga pola pikir masyarakatpun
berubah dari tidak adanya pengakuan akan hak perempuan atas tanah
dati kemudian berubah dengan adanya pengakuan akan hak
perempuan atas tanah dati.
Perempuan seperti warga kelas dua dalam masyarakat yang
hanya menerima nasib sebagai pelengkap penderita dalam setiap hari
hidupnya. Patriarki menurut Bhasin (1996:1) berarti kekuasaan bapak
atau patriarch. Istilah ini secara umum dipergunakan untuk menyebut
53
kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai
perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan
tetap dikuasai melalui berbagai macam cara. Patriarki membentuk laki-
laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan
yang dijadikan sebagai subordinatnya.
Patriarki menurut Bhasin (1996:3) merupakan sebuah sistem
dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan,
dalam mana perempuan dikuasai. Dalam patriarki melekat ideologi yang
menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa
perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah
bagian dari milik laki-laki. Dengan demikian, terciptalah konstruksi sosial
yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan dan laki-laki berkuasa
penuh mengendalikan hal tersebut. (Bhasin:1996:4)
Selanjutnya Bhasin (1996: 5-10) menguraikan bidang-bidang
kehidupan perempuan yang normalnya berada di bawah kontrol patriarki
atas 5 (lima) bagian yaitu :
1. Daya produktif atau tenaga kerja perempuan. Laki-laki
mengontrol produktivitas perempuan di dalam dan di luar
rumahtangga, dalam kerja bayaran. Di dalam rumahtangga,
perempuan memberikan semua pelayanan kepada suami dan
anak-anak, di luar rumah laki-laki mengontrol kerja perempuan
melalui berbagai cara di mana salah satunya dengan memilih
54
jenis pekerjaan yang oleh laki-laki dianggap cocok untuk
perempuan.
2. Laki-laki mengontrol daya reproduksi perempuan. Dalam banyak
masyarakat, perempuan tidak memiliki kebebasan dalam
menentukan jumlah anak yang dinginkan dan waktu untuk
melahirkan anak. Hal itu berada di tangan laki-laki sebagai
pengambil keputusan.
3. Kontrol laki-laki juga berlaku atas seksual perempuan,
perempuan diharuskan memberikan pelayanan seksual kepada
laki-laki sesuai keinginan dan kebutuhan laki-laki.
4. Gerak perempuan dikontrol untuk mengendalikan seksualitas,
produksi dan reproduksi mereka. Perempuan dilarang
meninggalkan ruangan rumahtangga, pemisahan ketat antara
privat dan publik, pembatasan interaksi antara kedua jenis
kelamin, dsb.
5. Laki-laki juga mengontrol harta milik dan sumber daya ekonomi
lain dengan jalan sistem pewarisan dari laki-laki ke laki-laki.
Meskipun perempuan dalam ha ini memperoleh bagian,
jumlahnya tidak sama atau lebih kecil dibandingkan yang
diperoleh laki-laki.
Rendall Collins mengemukakan bahwa ketidakadilan
berdasarkan jenis kelamin bervariasi sesuai dengan “tipe-tipe
55
masyarakat”, dan hal ini terlihat pada masyarakat hukum adat yang
sangat menjunjung laki-laki dengan dominasinya dalam kehidupan
bersama. Ketidakadilan yang disebabkan jenis kelamin yang berbeda
bervariasi sesuai dengan tipe-tipe masyarakatnya. Pada masyarakat
tertentu perbedaan jenis kelamin tidak memberikan implikasi dalam
kehidupan setiap hari namun ada masyarakat yang melihat perbedaan
jenis kelamin sebagai salah satu sebab perbedaan kedudukan dan
kewajiban dalam kehidupan setiap hari.
Kesetaraan gender bukan menuntut persamaan hak antara laki-
laki dan perempuan tetapi kesetaraan dalam pengertian bahwa kaum
perempuan dalam menuntut haknya tidak melupakan kodratnya sebagai
perempuan yang merupakan ibu yang memiliki tanggungjawab atas
keluarga dalam hal ini suami dan anak-anak. Tidak selamanya
kesetaraan mencerminkan keadilan, kesetaraan bukanlah jaminan atas
adanya keadilan tetapi keadilan yang dimaksud adalah adil sesuai kodrat
masing-masing.
Feminisme menurut Goefe (Sugihastuti,2000: 37) ialah teori
tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik,
ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan
hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme muncul sebagai
upaya perlawanan atas berbagai upaya kontrol laki-laki atas perempuan
tetapi feminisme berbeda dengan emansipasi,
56
Sofia dan Sugihastuti (2003:24) menjelaskan bahwa emansipasi
lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan
tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak
adil, sedangkan feminism memandang perempuan memiliki aktivitas dan
inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut
dalam berbagai gerakan. Gerakan yang diperjuangkan adalah dalam
upaya untuk menghadirkan perubahan baik dalam pola pikir bahkan
sedapat mungkin menghadirkan perubahan yang berarti dalam tatanan
kehidupan masyarakat.
Untuk memahami hukum dalam kehidupan masyarakat, ada
beberapa pendapat yang mengemuka yaitu :
- Menurut Radcliffe-Brown, hukum adalah suatu sistem
pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan
masyarakat yang berada dalam suatu bangunan Negara, karena
hanya dalam suatu organisasi sosial seperti Negara terdapat
pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dll.
Sebagai pranata Negara yang mutlak harus ada untuk menjaga
keteraturan sosial dalam masyarakat. Karena itu, dalam
masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi
secara politis sebagai suatu Negara tidak mempunyai hukum.
Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam
masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang
57
ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan.
(automatic-spontaneous submissionto tradition)
- Di sisi lain, Malinowski berpendapat bahwa hukum tidak semata-
mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu
Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (legal
order)terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam
kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi
ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, seperti dikatakan
Radcliffe-Brown, tetapi karena adanya prinsip timbal – balik
(principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of
publicity). (I Nyoman Nurjaya:12,13)
Dalam kehidupan bersama sebagai bagian yang tidak
terpisahkan maka keserasian atau harmoni dalam masyarakat
merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Keserasian masyarakat
disini adalah suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan
yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi. (Selo Sumardjan
dalam Soerjono Soekanto: 2010: 288)
Keserasian dalam masyarakat akan memberikan ketenteraman
secara psikologis karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma
dan nilai-nilai. Setiap terjadi gangguan terhadap keadaan keserasian,
masyarakat dapat menolaknya atau mengubah susunan lembaga-
lembaga kemasyarakatannya dengan maksud menerima unsur yang
58
baru.Apabila masyarakat tidak dapat menolaknya karena unsur baru
tersebut tidak menimbulkan kegoncangan, pengaruhnya tetap ada tetapi
sifatnya dangkal dan hanya terbatas pada bentuk luarnya. Norma-norma
dan nilai-nilai tidak akan terpengaruh olehnya dan dapat berfungsi secara
wajar.
Adakalanya unsur-unsur baru dan yang lama bertentangan
secara bersamaan mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang
kemudian berpengaruh pula pada masyarakat. Masyarakat hukum adat
hidup dalam suatu sistem sosial dimana masyarakatnyapun selalu
mengalami perubahan. Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami
perubahan walaupun dalam taraf yang paling kecil sekalipun. Perubahan
tersebut dapat berupa perubahan yang kecil sampai pada taraf
perubahan yang sangat besar, yang mampu memberikan pengaruh yang
sangat besar bagi aktivitas atau perilaku manusia.
Perubahan dapat mencakup aspek yang sempit maupun yang
luas, aspek yang sempit dapat meliputi aspek perilaku dan pola pikir
individu sedang aspek yang luas dapat berupa perubahan dalam tingkat
struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan
masyarakat di masa yang akan datang. Konsep Perubahan sosial mulai
diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun seorang pemikir Islam dalam bidang
Ilmu Sosial di abad ke-18. Menurut Ibnu Khaldun Perubahan Sosial
adalah masyarakat secara historis bergerak dari masyarakat nomaden
59
menuju masyarakat (yang tinggal) menetap (disebut masyarakat kota)
(Soerjono Soekanto : 2010: 2)
Kingsley Davis mendefenisikan perubahan sosial sebagai
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Menurut Mac Iver, perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi
dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan,
menurut Gillin dan Gillin, perubahan dilihat sebagai suatu variasi cara-
cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan-perubahan kondisi
geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun
karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan dalam masyarakat,
dan menurut Selo Soemardjan perubahan sosial meliputi perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya
nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
Menurut Macionis, perubahan sosial merupakan transformasi
dalam organisasi masyarakat dalam pola berpikir dan pola perilaku pada
waktu tertentu. (Selo Soemardjan; 2010: 4-5). Bentuk-bentuk perubahan
dapat dibedakan menjadi :
1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan-perubahan memerlukan waktu yang lama dan
rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling mengikuti
60
dinamakan evolusi. Pada evolusi, perubahan terjadi dengan
sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan
tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-
keadaan, kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat. Evolusi dapat digolongkan dalam
beberapa kategori sebagai berikut (Soerjono Soekanto: 2010 :
269-271)
a. Unilinear theories of evolution; teori ini pada pokoknya
berpendapat bahwa manusia dan masyarakat (termasuk
kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai
dengan tahap-tahap tertentu, bermula dari bentuk yang
sederhana. Pitirim A.Sorokin mengemukakan teori
dinamika sosial dan kebudayaan yang menyatakan bahwa
masyarakat berkembang melalui tahap-tahap yang
masing-masing didasarkan pada suatu sistem kebenaran.
Dalam tahap pertama dasarnya kepercayaan, tahap
kedua dasarnya adalah indra manusia dan tahap terakhir
dasarnya adalah kebenaran
b. Universal theory of evolution; teori ini menyatakan bahwa
perkembangan masyarakat tidaklah perlu melalui tahap-
tahap tertentu yang tetap. Teori ini mengemukakan bahwa
61
kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi
tertentu. Prinsip teori ini diuraikan oleh Herbert Spencer
yang antara lain mengatakan bahwa masyarakat
merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen
ke kelompok yang heterogen, baik sifat maupun
susunannya.
c. Multilined theories of evolution; teori ini lebih menekankan
pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap
perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat,
misalnya mengadakan penelitian perihal pengaruh
perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke
pertanian, terhadap sistem kekeluargaan dalam
masyarakat yang bersangkutan dan seterusnya.
Dewasa ini agak sulit untuk menentukan apakah suatu
masyarakat berkembang melalui tahap-tahap tertentu.
Sebaliknya juga sulit untuk menentukan kearah mana
masyarakat akan berkembang, apakah pasti menuju ke
bentuk kehidupan sosial yang lebih sempurna atau
bahkan sebaliknya.
Revolusi merupakan perubahan-perubahan sosial dan
kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut
dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.
62
Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang
cepat, perubahan tersebut mengenai dasar-dasar dan sendi-
sendi pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi,
perubahan-perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih
dahulu atau tanpa rencana. Ukuran kecepatan suatu perubahan
yang dinamakan revolusi sebenarnya relative karena revolusi
dapat memakan waktu yang lama.
Revolusi dapat terjadi jika dipenuhi syarat-syarat tertentu seperti
sebagai berikut:
- Harus ada keinginan umum untuk mengadakan suatu
perubahan. Di dalam masyarakat, harus ada perasaan
tidak puas terhadap keadaan dan suatu keinginan untuk
mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan
tersebut.
- Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang
dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.
- Adanya pemimpin yang dapat menampung keinginan-
keinginan masyarakat untuk kemudian merumuskan
serta menegaskan rasa tidak puas tadi menjadi program
dan arah gerakan
- Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu
tujuan pada masyarakat. Artinya tujuan tersebut
63
terutama bersifat konkrit dan dapat dilihat oleh
masyarakat. Di samping itu, diperlukan juga suatu tujuan
yang abstrak misalnya perumusan suatu ideologi
tertentu.
- Harus ada “momentum” yaitu saat dimana segala
keadaan dam faktor sudah tepat dan baik untuk memulai
suatu gerakan. Apabila “momentum” keliru, revolusi
dapat gagal.
Revolusi merupakan wujud perubahan sosial yang paling
spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses
historis; dan pembentukan ulang masyarakat dari dalam.
Menurut Sztompka, revolusi mempunyai perbedaan dengan
bentuk perubahan sosial yang lain. Perbedaan tersebut adalah
revolusi menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas;
menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat: ekonomi,
politik, budaya organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, dan
kepribadian manusia; dalam semua bidang tersebut,
perubahannya radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan
dan fungsi sosial; perubahan yang terjadi sangat cepat; revolusi
membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual
pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa,
antusiasme, kegemparan, kegirangan, optimism dan harapan;
64
perasaan hebat dan perkasa; keriangan aktivisme dan
menanggapi kembali makna hidup; melambungkan aspirasi dan
pandangan utopia ke masa depan. (Selo Soemardjan; 2010; 13-
14)
Defenisi Revolusi dapat dibedakan atas 3 (tiga) kelompok yaitu
: Kelompok Pertama, mencakup defenisi yang menekankan
aspek fundamental dan tingkat transformasi masyarakat.
Defenisi ini memfokuskan pada lingkup dan kedalaman dari
suatu perubahan. Dalam hal ini, revolusi bertindak sebagai
antonim reformasi. Oleh karena itu, menurut Sztompka revolusi
didefenisikan sebagai perubahan yang radikal, yang mencakup
perubahan bidang politik, sosial, ekonomi, dan struktur
masyarakat. Perubahan ini juga menyangkut aspek teknologi,
moral, ilmu pengetahuan, mode pakaian dan sebagainya.
Kelompok Kedua, mencakup defenisi yang menekankan pada
kekerasan dan perjuangan serta kecepatan perubahan. Disini
revolusi merupakan antonim evolusi. Beberapa defenisi yang
tercakup dalam kelompok ini antara lain menurut Johnson,
revolusi dimaknai sebagai upaya-upaya untuk merealisasikan
perubahan dalam konstitusi masyarakat dengan kekuatan;
menurut Gurr, revolusi merupakan perubahan yang fundamental
(dalam aspek) sosio-politik melalui kekerasan; menurut Brinton,
65
revolusi merupakan pergantian yang drastis dan tiba-tiba dari
satu kelompok oleh kelompok laindalam pelaksanaan
pemerintahan.
Kelompok Ketiga, mendefinisikan revolusi sebagai kombinasi
kedua aspek revolusi sebelumnya sehingga menjadi sebuah
formula baru. Revolusi menurut Huntington adalah perubahan
yang cepat, fundamental dan kekerasan domestik dalam nilai-
nilai dan tradisi masyarakat, institusi politik, struktur sosial,
kepemimpinandan aktivitas serta kebijakan pemerintah; menurut
Skockpol, revolusimerupakan transformasi kehidupan
masyarakat secara cepat dan mendasar dan struktur kelas yang
dilakukan oleh kelas bawah; menurut Giddens, revolusi
didefenisikan sebagai perampasan kekuasaan Negara melalui
kekerasan oleh para pemimpin, gerakan massa, ketika
kekerasan kemudian digunakan untuk memulai proses reformasi
sosial (Sztompka dalam Selo Soemardjan; 2010; 14-15).
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar; Perubahan Kecil
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur
struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau
berarti bagi masyarakat. Misalnya perubahan mode pakaian bagi
masyarakat secara keseluruhan karena tidak mengakibatkan
perubahan-perubahan bagi lembaga-lembaga kemasyarakatan.
66
Sebaliknya, agraris misalnya merupakan perubahan yang akan
membawa pengaruh besar pada masyarakat. Pelbagai lembaga
kemasyarakatan akan ikut terpengaruh misalnya hubungan kerja,
sistem milik tanah, hubungan kekeluargaan, stratifikasi
masyarakat. Kepadatan penduduk di pulau Jawa misalnya telah
melahirkan berbagai perubahan dengan pengaruh besar. Areal
tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit,
pengangguran bertambah dsb.
Perubahan yang kecil dan perubahan yang besar ; perubahan
yang kecil pada dasarnya merupakan perubahan yang terjadi
pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh
langsung yang berarti bagi masyarakat. Sebaliknya perubahan
yang besar merupakan perubahan yang membawa pengaruh
yang cukup besar bagi masyarakat.
3. Perubahan yang Dikehendaki atau Perubahan yang
Direncanakan dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki dan tidak
Direncanakan; Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau
yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang
terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan
pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya
akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Apabila
perubahan yang tidak dikehendaki tersebut berlangsung
67
bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki,
perubahan tersebut mungkin mempunyai pengaruh yang
demikian besarnya terhadap perubahan-perubahan yang
dikehendaki. Dengan demikian keadaan tersebut tidak mungkin
diubah tanpa mendapat halangan-halangan masyarakat itu
sendiri. Atau dengan kata lain, perubahan yang dikehendaki
diterima oleh masyarakat dengan cara mengadakan perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada
atau dengan cara membentuk yang baru. Sering kali terjadi
perubahan yang dikehendaki bekerja sama dengan perubahan
yang tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut saling
mempengaruhi.
Konsep perubahan yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki
tidak mencakup paham apakah perubahan-perubahan tadi
diharapkan atau tidak diharapkan oleh masyarakat. Mungkin
suatu perubahan yang tidak dikehendaki sangat diharapkan dan
diterima oleh masyarakat. Pada umumnya sulit untuk
mengadakan ramalan tentang terjadinya perubahan-perubahan
yang tidak dikehendaki. Karena proses tersebut biasanya tidak
hanya merupakan akibat dari satu gejala sosial saja tetapi dari
pelbagai gejala sosial sekaligus.
68
Perubahan yang direncanakan merupakan perubahan yang
direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak
mengadakan perubahan, yang dinamakan agent of change ,
yang merupakan seseorang atau kelompok masyarakat yang
mendapat kepercayaan sebagai pemimpin pada satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan yang
direncanakan selalu berada dibawah kendali agent of change
tersebut. Perubahan sosial yang tidak dikehendaki merupakan
perubahan yang terjadi tanpa direncanakan , berlangsung di luar
jangkauan atau pengawasan masyarakat serta dapat
menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak
dikehendaki.
Hak perempuan yang semula tidak disejajarkan dengan hak laki-
laki dalam penguasaan tanah dati perlu diadakan pembaharuan atau
perubahan hukum.Terjadinya perubahan hukum melalui dua bentuk yakni
masyarakat berubah terlebih dahulu baru hukum mengesahkan
perubahan itu (perubahan yang terjadi bersifat pasif) dan hukum adalah
alat untuk mengubah masyarakat kearah yang lebih baik.Dalam bentuk
ini, perubahan hukum itu harus dikehendaki (tended change) dan harus
direncanakan (planed change) sedemikian rupa sesuai yang diharapkan.
Perubahan model ini sifatnya aktif artinya pihak yang berwenang aktif
69
merencanakan dan mengarahkan agar konsep pembaruan hukum itu
dapat berjalan secara efektif.
Menurut Achmad Ali (Abdul Manan : 2005) sebenarnya tidak
perlu mempersoalkan tentang bagaimana hukum menyesuaikan diri
dengan perubahan masyarakat, dan bagaimana hukum menjadi
penggerak kearah perubahan masyarakat. Juga tidak perlu ngotot mana
yang lebih dahulu, apakah hukum yang lebih dahulu baru diikuti oleh
faktor lain, ataukah faktor lain dulu baru hukum ikut-ikutan menggerakkan
perubahan itu. Yang penting, bagaimanapun kenyataannya hukum dapat
ikut serta (sebagai pertama atau kedua atau ke berapa pun tidak menjadi
soal) dalam menggerakkan perubahan. Kenyataannya, di manapun
dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam
mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik.
Sesuai dengan fungsi hukum bahwa : pertama; sebagai standart
of conduct yakni sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati
oleh setiap orang dalam bertindak dalam melakukan hubungan satu
dengan yang lain, kedua : sebagai as a tool of social engeneering yakni
sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat kea rah yang lebih
baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup masyarakat, ketiga:
sebagai as a tool of social control yakni sebaga ialat untuk mengontrol
tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan
perbuatan yang melawan norma hukum, agama dan susila,
70
keempat:sebagai as afacility on the human interaction yaknihukum
berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban,tetapi
jugamenciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar
proses interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk
menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat (Abdul Manan:3)
Agar fungsi hukum seperti telah dikemukakan dapat berjalan
dengan baik sesuai yang diharapkan maka hukum tidak boleh statis tetapi
harus dinamis dan harus sesuai atau sejalan dengan perkembangan
zaman dan dinamika masyarakat. Ahmad Musthafa al Maraghi
mengemukakan bahwa sesungguhnya hukum-hukum itu dibuat dan
diundangkan untuk kepentingan manusia, sedangkan kepentingan
manusia itu tidak sama, berbeda satu dengan yang lain yang disebabkan
karena ada perbedaan kondisi dan situasi dan waktu dan tempat. Oleh
karena itu, apabila suatu hokum yang dibuat pada waktu di mana hukum
itu dirasakan suatu kebutuhan, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi,
maka suatu hal yang sangat bijaksana hukum itu diubah dan disesuaikan
dengan kondisi zaman. (Abdul Manan:3,4)
Agar hukum efektif berlaku di tengah-tengah kehidupan
masyarakat maka perubahan hukum harus mementingkan tiga ketentuan
yakni pertama: perubahan hukum itu tidak dilakukan secara parsial
melainkan perubahan itu harus menyerahkan terutama kepada doktrin,
norma-norma yang tidak sesuai dengan kondisi zaman,kedua perubahan
71
itu harus juga mencakup dalam cara penerapan hukum hendaklah
ditinggalkan demikian dalam cara-cara penafsiran hukum yang tidak
melihat perkembangan zaman; ketiga harus juga diadakan pada kaidah
(aturan) yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia. (Abdul
Manan: 4,5)
Ada dua pandangan dalam rangka perubahan hukum yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat yaitu :
1. Pandangan tradisional; dalam rangka perubahan hukum maka
masyarakat perlu berubah dahulu baru hukum datang untuk
mengaturnya. Biasanya teknologi masuk dalam kehidupan
masyarakat itu kemudian disusul dengan timbulnya kegiatan
ekonomi dan setelah kedua kegiatan itu berjalan, baru hukum
masuk untuk mengesahkan kondisi yang telah ada.
La Piere (Abdul Manan : 2005) mengatakan bahwa faktor yang
menggerakkan perubahan itu sebenarnya bukan hukum,
melainkan faktor lain seperti bertambahnya penduduk,
perubahan nilai dan ideologi serta teknologi canggih. Ini terlihat
bahwa jika suatu saat memang menjadi perubahan dalam
masyarakat sesuai yang dikehendaki, maka hukum tetap bukan
faktor penyebabnya, hukum hanya dilihat sebagai akibat
perubahan saja. Jika muncul hukum-hukum baru, sebenarnya
yang demikian itu hanya akibat dari keadaan masyarakat yang
72
memang telah berubah sebelumnya, sehingga hukum hanya
sekedar mengukuhkan apa yang sebenarnya memang telah
berubah. Sebelum hukum muncul sebagai alat untuk
menciptakan perubahan, sebetulnya telah lebih dahulu bekerja
kekuatan-kekuatan perubahan lain seperti penemuan teknologi
baru, kontak serta konflik dengan budaya lain, gerakan-gerakan
sosial, fungsi-fungsi perubahan fisik, biologi serta kependudukan.
Setelah kekuatan-kekuatan lain berjalan hingga tingkat
perubahan tertentu barulah hukum dipanggil untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul akibat dari
perubahan itu.
Teori-teori yang ada hubungannya dengan perubahan hukum
yaitu :
a. Teori Utilitarisme yang dikemukakan oleh Jeremy
Bentham yang mengatakan bahwa manusia akan
bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-
besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik
buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada
apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan
ataukah tidak. Lebih lanjut Jeremy Bentham berpendapat
bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat
melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan
73
keadilan bagi semua individu. Teori hukum ini bertujuan
untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai
dengan daya guna (efektif). Lebih lanjut Jeremy Bentham
mengatakan bahwa hukum dan moral merupakan dua hal
yang tidak bisa dipisahkan. Hukum mesti bermuatan moral
dan moral mesti bermuatan hukum, mengingat moral itu
merupakan salah satu sendi utama kehidupan manusia
yang berakar pada kehendaknya. Hukum yang efisien dan
efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya
yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada
jumlah warga terbanyak. Benang merah atau keterkaitan
antara teori Jeremy Bentham dengan kesetaraan gender
yang dimaksudkan disini adalah bahwa perjuangan untuk
memperoleh kesetaraan kedudukan hukum antara laki-laki
dan perempuan tujuannya adalah untuk memperoleh
kebahagiaan dari kaum perempuan itu sendiri sehingga
kebahagiaan yang merupakan tujuan hidup dapat dicapai
dengan adanya perjuangan kaum perempuan untuk
memperoleh kesetaraan gender dengan kaum laki-laki.
b. Teori Sociological Jurisprudence; yang dikemukakan oleh
Eugen Ehrlich. Teori ini mengatakan bahwa terdapat
perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan
74
hukum yang hidup dalam masyarakat di pihak lain. Hukum
positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila
berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Perkembangan hukum saat ini tidak hanya
terletak pada undang-undang, tidak pula pada Ilmu Hukum
ataupun juga pada Putusan Hakim tetapi pada masyarakat
itu sendiri. Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat
keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan
pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan
kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup
dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan tersebut
dinamakan “living law and just law” yang merupakan “inner
order” daripada masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang
hidup didalamnya. Jika ingin diadakan perubahan hukum,
maka hal yang patut harus diperhatikan di dalam membuat
suatu undang-undang agar undang-undang yang dibuat
itu dapat berlaku secara efektif di dalam kehidupan
masyarakat adalah memperhatikan hukum yang hidup
(living law) dalam masyarakat tersebut. Kesadaran hukum
masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat tentang hukum, yang meliputi mengetahui
75
pemahaman, penghayatan, kepatuhan atau ketaatan
kepada hukum. Dengan demikian kesadaran hukum itu
sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada
atau tentang hukum yang diharapkan ada. Disini
penekanannya adalah nilai-nilai masyarakat, fungsi apa
yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam
masyarakat. Jadi nilai-nilai itu merupakan konsepsi
mengenai hal yang dianggap baik dan yang dianggap
buruk. Dengan perkataan lain, hukum adalah konsepsi
abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara
keterkaitan dengan ketenteraman yang dikehendaki
dengan melihat kepada indikator-indikator tertentu.
Indikator-indikator ini dapat dijadikan ukuran atau patokan
dalam penyusunan atau pembentukan hukum baru yang
hendak dilakukannya. Nilai-nilai yang menjadi patokan
dalam berperilaku dalam masyarakat akan lebih efektif bila
sesuai dengan nilai yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat, demikian halnya dengan nilai patriarki dalam
masyarakat hukum adat di Maluku Tengah yang mulai
mengalami pergeseran ternyata timbul dari perubahan
76
pola pikir dan tingkat pendidikan masyarakat serta
perkembangan masyarakat itu sendiri.
c. Teori Pragmatic Legal Realism; yang dikemukakan oleh
Roscoe Pound dengan mengatakan bahwa hukum dilihat
dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk
mengubah masyarakat (law as a tool of social
engineering). Hukum berperan didepan untuk memimpin
perubahan dalam kehidupan masyarakat dengan cara
memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan
perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan
bagi seluruh masyarakat. Hukum berada di depan untuk
mendorong pembaruan dari tradisional ke modern. Hukum
yang dipergunakan sebagai sarana pembaruan ini dapat
berupa undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi
keduanya, namun yang menonjol di Indonesia adalah tata
perundangan. Sehingga supaya pembaruan dapat
berjalan dengan baik maka undang-undang yang dibentuk
sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran
Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik adalah
hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebab jika tidak
maka akibatnya secara efektif akan mendapat tantangan.
77
d. Teori Hukum Pembangunan; dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, yang mengatakan bahwa hukum yang
dibuat harus sesuai dan harus memperhatikan kesadaran
hukum masyarakat. Hukum tidak boleh menghambat
modernisasi. Hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana
pembaruan masyarakat hendaknya harus ada legalisasi
dari kekuasaan Negara. Hal ini berhubungan dengan
adagium “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan
dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman” supaya
ada kepastian hukum maka hukum harus dibuat secara
tertulis sesuai ketentuan yang berlaku dan ditetapkan
oleh Negara. Menurut Mochtar, bila kita mengartikan
secara luas maka hukum itu tidak saja merupakan
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi
pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses
(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu
dalam kenyataan. Hukum sebagai kaidah sosial tidak
lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat,
bahwa dapat dikaitkan hukum itu merupakan pencerminan
daripada nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat itu.
Jadi fungsi hukum adalah sarana pembaruan masyarakat
78
sebagaimana konsep ilmu hukum yang bersumber pada
teori “law as a tool of social engineering” dalam jangkauan
dan ruang lingkup yang lebih luas. Di satu pihak
pembaruan hukum berarti suatu penetapan prioritas
tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan
mempergunakan hukum sebagai sarana. Oleh karena
hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses
dalam masyarakat, maka pembaruan hukum tidak
mungkin lepas secara mutlak dari masyarakat.
Sehubungan dengan itu maka perubahan yang
direncanakan hendaknya dilakukan secara menyeluruh
dengan inisiatif orang-orang yang menjadi panutan dalam
masyarakat. Dengan demikian maka perubahan hukum
akan menjalin bidang-bidang kehidupan yang lain dan
sebagai sarana untuk perubahan masyarakat yang telah
ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah
terjadi di masa lalu.
e. Teori Perubahan Sosial sebagaimana dikemukakan oleh
Soleman.B.Taneko yang mengatakan bahwa bekerjanya
hukum dalam masyarakat akan menimbulkan situasi
tertentu. Apabila hukum itu berlaku efektif maka akan
menimbulkan perubahan dan perubahan itu dapat
79
dikategorikan sebagai perubahan sosial. Suatu perubahan
sosial tidak lain dari penyimpangan kolektif dari pola yang
telah mapan. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa
dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai
faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang
berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dan yang
berasal dari luar masyarakat. Akan tetapi yang lebih
penting adalah identifikasi terhadap faktor-faktor tersebut
mungkin mendorong terjadinya perubahan atau bahkan
menghalanginya. Beberapa faktor yang mungkin
mendorong terjadinya perubahan adalah kontak dengan
kebudayaan atau masyarakat lain, sistem pendidikan yang
maju, toleransi terhadap perbuatan menyimpang yang
positif, sistem stratifikasi yang terbuka, penduduk yang
heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-
bidang kehidupan tertentu dan orientasi berpikir ke masa
depan. Selanjutnya Soerjono Soekanto mengemukakan
bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat
mengenai sistem nilai-nilai, norma-norma sosial, pola-pola
perilaku, organisasi kemasyarakatan, susunan lembaga-
lembaga sosial, dan sebagainya. Oleh karena luasnya
bidang di mana mungkin terjadi perubahan apa yang
80
hendak dilaksanakan. Untuk melaksanakan hal itu perlu
ditanyakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah
segala perubahan pada lembaga sosial di dalam
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk didalamnya nilai-nilai yang sudah berakar dalam
masyarakat dan juga pola-pola perilaku diantara
kelompok-kelompok masyarakat.
f. Tetapi menurut Sinzheimen sebagaimana yang dikutip
oleh Soetjipto Rahardjo masih perlu dipertanyakan lebih
lanjut apakah hal-hal baru itu memang mampu
menggerakkan lapisan masyarakat untuk melakukan
perubahan pada hukumnya. Perubahan pada hukum baru
akan terjadi apabila dua unsurnya telah bertemu pada
satu titik singgung. Kedua unsur itu adalah (1) keadaan
baru yang akan timbul, (2) kesadaran akan perlunya
perubahan pada masyarakat yang bersangkutan itu
sendiri. Menurut Sinzheimer bahwa syarat terjadinya
perubahan pada hukum, baru ada manakala timbul hal
yang baru dalam kehidupan masyarakat dan hal yang
baru itu dapat melahirkan emosi-emosi pada pihak-pihak
yang terkena. Biasanya pihak yang terkena efek dari
hukum baru itu mengadakan langkah-langkah
81
menghadapi keadaan itu, untuk menuju kepada kehidupan
baru yang sesuai dengan kehendak mereka. Soleman
B.Taneko mengemukakan bahwa berlakunya hukum baru
akan menimbulkan banyak perubahan. Jika perubahan itu
terjadi maka akan ada faktor-faktor yang mengalami
perubahan. Ada kemungkinan seluruhnya akan berubah,
namun yang jelas perubahan itu akan menimbulkan
keadaan tertentu, misalnya terjadi disorganisasi dan
reorganisasi. Disorganisasi merupakan suatu keadaan di
mana tidak aka nada keserasian antara unsur-unsur yang
ada dan ini dapat terjadi karena nilai-nilai atau norma-
norma yang lama sudah mulai pudar. Reorganisasi
merupakan suatu proses pembentukan nilai-nilai atau
norma-norma baru yang mengatur hubungan diantara
mereka. Nilai-nilai atau norma-norma itu mungkin saja
gabungan antara yang baru dan yang lama, sebab
disorganisasi dan reorganisasi biasanya terjadi secara
bersamaan dan serentak. Ke dua proses itu terjadi secara
tumpang tindih dalam waktu dan meliputi generasi-
generasi yang terlibat dalam perubahan tersebut.
Oleh karena nilai-nilai atau norma-norma yang baru dan
yang lama ada secara bersamaan, tidak mengherankan
82
nilai-nilai dan pola tingkah laku yang lama masih
diterapkan pada lembaga-lembaga yang baru. Jika pola
tingkah laku dan nilai-nilai dan pola tingkah laku lama
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, jika ada
kecocokan diantara keduanya, nilai-nilai atau norma-
norma yang lama dan baru biasanya dapat dipertahankan,
karena keduanya merupakan bagian dari lembaga-
lembaga lainnya yang masih memainkan peranan
dominan dalam kehidupan masyarakat. Jika keduanya
ada kecocokan, maka pola tingkah laku lama dan yang
baru akan bersatu dalam lembaga yang baru dan ditata
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan struktur
kehidupan masyarakat yang baru.
g. Teori Sosiologi Fungsional; yang dikemukakan oleh
Thomas.T.O.Dea bahwa agama memberikan dasar-dasar
ketenteraman hidup dan identitas yang lebih kuat kepada
manusia dalam kehidupannya yang kadang-kadang
bersifat goyah dan penuh dengan perubahan-perubahan
yang cepat. Di samping itu agama juga dapat memberikan
dasar yang sakral bagi nilai dan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat, agama juga dapat memelihara
keserasian antara kepentingan individu dengan
83
kepentingan kelompok serta mempertahankan ketertiban
kelompok. Agama juga dapat dijadikan dasar untuk
memberikan penilaian terhadap norma-norma.
Sehubungan dengan hal ini, maka dalam penyusunan tata
hukum di Indonesia, nilai-nilai agama yang tumbuh dalam
masyarakat perlu diperhatikan. Di samping itu nilai-nilai
budaya Indonesia yang dalam banyak hal masih perlu
digali dan dikembangkan. Adalah hal yang manusiawi
apabila anggota organisasi menunjukkan kecenderungan
untuk menolak setiap perbuatan yang akan diperkenankan
ke dalam organisasi. Pada umumnya manusia lebih
senang berada pada situasi yang telah dikenalnya dan
mapan. Dengan perkataan lain pimpinan organisasi perlu
menyadari bahwa memperkenalkan perubahan disertai
oleh berbagai masalah. Pada umumnya ada lima masalah
pokok yang harus diatasi dalam memperkenalkan
perubahan yang rasa takut, penolakan terhadap
perubahan, cara yang tidak didasarkan kepada landasan
yang kuat, takut gagal dan pihak-pihak yang terlibat tidak
mendapatkan informasi yang tepat, relevan dan mutahir
tentang bentuk, jenis dan sifat daripada perubahan yang
akan terjadi dan yang akan dilaksanakan.
84
Fungsi hukum sebagai pengintegrasian kepentingan
disebut Mochtar Kusumaatmadja sebagai “as a tool of social
control”(dalam Yusriyadi;134,135) yang berarti hukum sebagai
alat menciptakan ketertiban masyarakat. Dengan kata lain,
hukum bersifat memelihara dan mempertahankan apa yang telah
menjadi sesuatu yang tetap dan diterima dalam masyarakat .
2. Dalam perkembangannya, hukum juga berfungsi “as a tool of
social engineering” dapat diberlakukan untuk Negara yang
sedang berkembang yang menjadikan hukum untuk mengubah
alam pemikiran masyarakat tradisional ke pemikiran modern.
Dalam perkembangannya, pandangan ini mengalami
perubahan.Kenyataan menunjukkan bahwa hukum tidak mungkin
dilepaskan dari gejala-gejala sosial seperti politik, ekonomi, dan
sebagainya. Pandangan ini melahirkan pemahaman bahwa
hukum juga adalah sarana untuk mengadakan perubahan.
Untuk memahami fungsi hukum sebagai social engineering
Satjipto Rahardjo menyebutnya sebagai fungsi yang digunakan
sebagai instrumen mencapai tujuan-tujuan tertentu. Instrumen
hukum harus memenuhi persyaratan utama yakni :
- Perekaman yang baik terhadap kenyataan yang ada
- Analisis yang lengkap terhadap prioritas nilai berikut
jenjang nilai-nilai itu,
85
- Pengujian atau verifikasi pengandaian atau dugaan
kebutuhan perubahan yang diinginkan,
- Pengukuran terhadap efek hukum yang diberlakukan.
(Satjipto dalam Yusriyadi; 137). Dalam hal ini, hukum
dapat digolongkan sebagai faktor penggerak yang bersifat
pemula untuk memberikan dorongan pertama secara
sistematis. Penggunaan hukum untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam masyarakat, berkaitan erat
dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial dan
ekonomi. Apabila orang berpendapat bahwa proses-
proses sosial ekonomi itu hendaknya dibiarkan berjalan
menurut hukum kemasyarakatan sendiri, maka hukum
tidak akan digunakan sebagai instrument untuk melakukan
perubahan-perubahan masyarakat. Sebaliknya, apabila
hukum difungsikan sebagai sarana untuk mengadakan
pembaharuan, maka peranan hukum menjadi penting,
dalam rangka untuk membangun masyarakat (Satjipto
Rahardjo: 172, Mochtar Kusumuatmadja,tanpa tahun:13).
Thomas Kuhn (Satjipto Rahardjo, 2009: 69-74) melihat
perubahan disebut “normal science”, kemudian lahir “abnormal science”,
untuk kembali menjadi “normal science”. Yang dimaksud oleh Kuhn
dengan ilmu pengetahuan normal adalah penelitian yang secara kokoh
86
didasarkan pada capaian-capaian ilmiah di masa lalu. Capaian tersebut
diterima oleh komunitas ilmu sebagai pengumpan bagi dilakukannya
praktik ilmu lebih lanjut. Dikatakan oleh Kuhn, “Today such achievements
are recounted by science textbooks Mile- textbooks expound the body of
accepted theory …..”.
Hasil-hasil yang diterima oleh komunitas ilmu secara implisit
mendefenisikan persoalan dan metode yang sah untuk dipersoalkan dan
digunakan dalam ilmu. Maka terbentuklah satu kesepakatan mengenai
apa yang bisa dipersoalkan dan metode yang digunakan. Hal tersebut
menghindari terjadinya persaingan dalam cara (modes) menjalankan
kegiatan ilmiah. Pada waktu yang sama, ia juga bersifat terbuka (open
ended) untuk praktisi ilmu. Hal ini yang dinamakan Kuhn sebagai
“Paradigma” yang berkaitan dengan “ilmu pengetahuan normal”.
Perjalanan ilmu pengetahuan selanjutnya, muncul perubahan
dan terjadi suatu transformasi paradigma. Perubahan dari satu paradigma
ke yang lain merupakan revolusi dalam ilmu pengetahuan. Hal tersebut
merupakan pola perkembangan yang normal dari suatu disiplin ilmu yang
dewasa.
Sejak diterimanya suatu paradigma, maka ilmu pengetahuan
mulai memasuki apa yang disebut Kuhn sebagai ilmu pengetahuan
normal. Dalam kurun waktu era suatu paradigma atau tahap penelitian
normal maka sedikit sekali usaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru,
87
yang konseptual serta fenomenal. Padahal sebenarnya ilmuwan berada
pada ranah suatu paradigma yang menuju pada suatu paradigma yang
baru di mana dengan panduan paradigma yang ada, ilmuwan akan
meneliti fenomena jauh lebih baik dalam ketepatan(precision) maupun
keluasannya (scope). Menurut Kuhn, tanpa komitmen untuk melakukan
aktivitas tersebut seorang ilmuan tidak bisa disebut sebagai ilmuan.
Namun dalam perjalanannya, ditemukan anomali yang tidak bisa
dijelaskan dengan paradigma yang ada dan anomali-anomali itu justru
memicu timbulnya temuan-temuan (discoveries), dalam ilmu
pengetahuan. Kesadaran akan adanya anomali merupakan dasar
pengakuan diperlukannya perubahan teori. Krisis tersebut membuat
terjadinya pergeseran terhadap paradigma yang ada terhadap persoalan-
persoalan yang diajukan serat metode yang disediakan oleh ilmu
pengetahuan normal.
Anomali yang terjadi memicu timbulnya paradigma baru dan ada
transformasi menuju krisis dan munculnya ilmu pengetahuan yang
luarbiasa. Selanjutnya Kuhn mengemukakan adanya revolusi ilmu
pengetahuan yang terjadi apabila paradigm berubah yang menyebabkan
perubahan teori-teori, metode dan standar. Terjadilah pergeseran yang
signifikan dalam tolok ukur untuk menentukan keabsahan persoalan-
persoalan dan penyelesaian-penyelesaian yang diusulkan. Ilmu
pengetahuan berubah menjadi “abnormal” karena terjadi suatu revolusi
88
yang akhirnya menghasilkan suatu “extraordinary science”. Ilmu yang
tidak normal atau “extraordinary science” mengisyaratkan datangnya
suatu teori baru yang lebih handal tetapi semua itu harus melalui proses
yang panjang sehingga dengan kehadiran ilmu yang tidak biasa/normal
akhirnya kembali pada keadaan sebelumnya yaitu keadaan ilmu
pengetahuan biasa (ordinary).
Keadaan ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Ilmu pengetahuan biasa/normal ----- ilmu pengetahuan tidak normal ------
ilmu pengetahuan biasa/normal. Hukum mempunyai paradigma sebagai
perspektif dasar. Hukum dilihat sebagai institusi yang mengekspresikan
nilai. Hukum sebagai perwujudan nilai kehadirannya mengandung arti
untuk melindungi nilai-nilai yang ada dan dijunjung tinggi dalam
masyarakat.
Dalam kenyataannya terjadi bahwa juga terdapat pertentangan
dengan nilai sebagai paradigma hukum, paradigma nilai selalu ingin
mengontrol hukum dari nilai yang dijunjungnya dan dijadikan sebagai
kaidah tolak ukur.
B. Kedudukan Hukum Perempuan atas Tanah Dati
Dalam Hukum Positif
Hukum positif diartikan sebagai hukum yang berlaku dan mengatur
kehidupan masyarakat saat ini.
89
Pengakuan terhadap persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan
ada dalam beberapa peraturan seperti :
1. Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
2. Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
3. Pasal 28 H ayat (2) Undang-undang dasar 1945
4. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
5. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
6. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
7. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
8. Walaupun kedudukan dalam hukum positif di Negara
Indonesia tidak membedakan kedudukan hukum antara
laki-laki dan perempuan namun kenyataan kehidupan
masyarakat hukum adat kedudukan antara laki-laki dan
perempuan dibedakan, pada komunitas masyarakat
hukum adat tertentu kedudukan perempuan lebih lemah
dibanding dengan kedudukan laki-laki. Pada masyarakat
hukum adat di Maluku Tengah, kedudukan antara laki-laki
dan perempuan dibedakan dan ini berbeda dengan
masyarakat Bugis Makassar, malele malompa yang tidak
memberikan perbedaan perlakuan bahkan ada yang dapat
menjadi Raja. Laki-laki dan perempuan mendapat
90
perlakuan dan kedudukan yang sama dalam berbagai hal
mulai dari hak waris, sampai pada hak untuk menjadi raja.
9. Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki
kekayaan budaya, sumber daya alam yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke dengan keragaman masyarakat
hukum adat dengan budayanya masing-masing.
Kekayaan sumber daya alam memberi arti yang penting
bagi masyarakat hukum adatnya, dimana kedudukan
tanah dalam hukum adat sangat penting karena “sifat”
dan”faktor” dari tanah itu sendiri. Jika dilihat dari sifatnya
maka tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan
yang tetap keadaannya bahkan tidak jarang memberi
keuntungan yang lebih baik dari keadaannya selain itu
tanah merupakan tempat di mana masyarakat hukum adat
tinggal dan meneruskan kehidupannya bahkan sampai
akhir kehidupannya sehingga kedudukan tanah dalam
masyarakat hukum adat sangatlah penting.
Dalam kaitan hubungan antara tanah dengan masyarakat hukum
adat maka ada hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang
dapat dihaki yaitu :
a. Hak persekutuan atas tanah; yang dimaksud hak
persekutuan atas tanah adalah hak
91
persekutuan(masyarakat) dalam hukum adat terhadap
tanah tersebut; misalnya hak untuk menguasai,
memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-
tumbuhan yang hidup di atasnya. Hak masyarakat hukum
atas tanah disebut juga “hak ulayat” atau “hak petuanan”
yang menurut C vanVollenhoven dikenal dengan istilah
“beschikking”. Persekutuan dan anggotanya berhak untuk
memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala yang
ada di atas tanah, didalam dan yang tumbuh serta hidup di
atas tanah itu.
b. Hak perorangan atas tanah; dengan berlakunya hak
ulayat,maka setiap anggota persekutuan berhak
mengadakan hubungan hukum dengan tanah serta semua
isi di atas tanah tersebut. Hubungan tertentudapat berupa
hak-hak atas tanah dan jika perseorangan yang
mengadakan hubungan hukum maka kemudian timbul hak
perseorangan atas tanah. Hak-hak perseorangan yang
dapat diberikan berupa hak milik atas tanah, hak
menikmati atas tanah, hak memungut hasil karena jabatan,
hak pakai dsb.
Sedang dalam masyarakat hukum adat, keseimbangan
kehidupan selalu dijaga keharmonisannya. Kehidupan yang
92
seimbang dipercaya dapat menjaga keutuhan dan
keberlangsungan kehidupan masyarakat hukum adat seutuhnya.
Kehidupan masyarakat hukum adat sangat menjunjung nilai-nilai
yang secara turun temurun telah diwariskan oleh para nenek
moyang mereka. Demikian halnya dengan masyarakat hukum
adat yang patrilinial juga sangat menjunjung dominasi kaum laki-
laki dalam setiap lini kehidupan. Nilai-nilai yang ada dan
berkembang serta dijadikan sebagai pedoman dalam berperilaku
mengagungkan keddudukan kaum laki-laki dalam masyarakat
hukum adat. Kaum laki-laki diberikan porsi tersendiri bahkan
dominasi mereka terkadang meminggirkan hak-hak kaum
perempuan dalam lingkungan masyarakat hukum adat.
Dalam hukum adat khususnya hukum tanah adat di Maluku, yang
merupakan kelompok masyarakat hukum adat yang sangat
kental dengan budaya patriarki maka hak kaum perempuan
terkadang terpinggirkan.
Kaum laki-laki lebih diberikan hak baik hak pengelolaan maupun
hak penguasaan tanah adat. Kaum perempuan hanya diberikan
hak untuk mengolah dan mengambil hasil saja bahkan itupun
terkadang dibatasi. Kedudukan perempuan dalam tatanan
masyarakat hukum adat khususnya di Maluku Tengah berada
pada posisi yang lemah, mereka seakan-akan merupakan warga
93
kelas dua dalam kelompok masyarakat hukum adat dan hal ini
sudah berlangsung lama dan sudah merupakan tatanan nilai
yang dipegang teguh untuk mengatur kehidupan bersama
masyarakat hukum adat.
Kedudukan hukum perempuan yang lemah dalam masyarakat
hukum adat di Maluku Tengah melingkupi kehidupan setiap hari.
Termasuk di dalamnya kedudukan yang lemah atas tanah dati sebagai
salah satu jenis tanah adat yang dimiliki masyarakat hukum adat di
Maluku Tengah.
Dalam masyarakat hukum adat, keseimbangan kehidupan selalu
dijaga keharmonisannya. Kehidupan yang seimbang dipercaya dapat
menjaga keutuhan dan keberlangsungan kehidupan masyarakat hukum
adat seutuhnya. Kehidupan masyarakat hukum adat sangat menjunjung
nilai-nilai yang secara turun temurun telah diwariskan oleh para nenek
moyang mereka. Demikian halnya dengan masyarakat hukum adat yang
patrilinial juga sangat menjunjung dominasi kaum laki-laki dalam setiap
lini kehidupan. Nilai-nilai yang ada dan berkembang serta dijadikan
sebagai pedoman dalam berperilaku mengagungkan kedudukan kaum
laki-laki dalam masyarakat hukum adat. Kaum laki-laki diberikan porsi
tersendiri bahkan dominasi mereka terkadang meminggirkan hak-hak
kaum perempuan dalam lingkungan masyarakat hukum adat.
94
Dalam hukum adat khususnya hukum tanah adat di Maluku, yang
merupakan kelompok masyarakat hukum adat yang sangat kental dengan
budaya patriarki maka hak kaum perempuan terkadang terpinggirkan.
Kaum laki-laki lebih diberikan hak baik hak pengelolaan maupun hak
penguasaan tanah adat. Kaum perempuan hanya diberikan hak untuk
mengolah dan mengambil hasil saja bahkan itupun terkadang dibatasi.
Kedudukan perempuan dalam tatanan masyarakat hukum adat
khususnya di Maluku Tengah berada pada posisi yang lemah, mereka
seakan-akan merupakan warga kelas dua dalam kelompok masyarakat
hukum adat dan hal ini sudah berlangsung lama dan sudah merupakan
tatanan nilai yang dipegang teguh untuk mengatur kehidupan bersama
masyarakat hukum adat.
Hak Petuanan masyarakat adat di Pulau Ambon dikenal dengan
Hak Petuanan Darat dan Hak Petuanan Laut. Hak Petuanan Darat adalah
hak masyarakat adat atas wilayah daratan yang dimiliki oleh mereka dan
Hak Petuanan Laut adalah hak masyarakat adat atas wilayah laut yang
dimilikinya. Hak ini termasuk di dalamnya hak untuk mengambil hasil,
mengolah, dan menjaga kelestarian sumber daya alam.
Masyarakat adat di Maluku khususnya Pulau Ambon, memiliki
wilayah petuanan darat yang terdiri atas :
- Tanah Ewang ; mengenai pengertian tanah daratan harus
dibedakan antara Tanah Ewang dan Dusun. Ewang adalah tanah
95
yang belum diusahakan atau digarap oleh tangan manusia;
diperusah menurut istilah masyarakat adat setempat dan masih
merupakan tanah liar.
- Aong ; pada mulanya adalah hutan belukar yang dibuka atau
diperusah oleh seorang anak negeri dengan ijin negeri untuk
membabat hutan itu dan kemudian menanaminya. Biasanya
yang ditanam adalah tanam-tanaman umur pendek seperti
jagung, kasbi, sayur-mayur, ubi-ubian dan tanaman musiman.
- Dusun ; adalah tanah-tanah yang telah digarap atau diperusah
oleh manusia. Dusun-dusun dapat dibedakan pula antara Dusun
Dati dan Dusun Perusahan. Dusun perusahan atau dusun
tetanaman adalah dusun yang dibuka atau diperusah sendiri-
sendiri atau bersama-sama oleh anak negeri, di atas tanah
petuanan biasanya tanah yang masih berupa Ewang. Dusun Dati
adalah dusun yang diberikan oleh negeri kepada suatu
persekutuan dati sebagai kompensasi atas pelaksanaan tugas-
tugas dati yang dijalankan tanpa upah. Dusun Dati ; yang
dimaksudkan dengan dusun dati disini bukan hanya tanahnya
atau tanaman saja tetapi tanah dengan semua tanaman yang
ada di atas tanah itu bersama-sama. Dusun Dati adalah dusun
yang diberikan kepada seseorang atau suatu persekutuan atau
kerabat atau cabang kerabat sebagai kompensasi atau imbalan
96
atas prestasi mereka karena telah melaksanakan tugas atau
pekerjaan dati. Pemberian dusun dati bukan hanya untuk jangka
waktu tertentu saja namun untuk seterusnya terdapat ikatan atau
kaitan yang tetap antara dusun-dusun dati dengan pelaksanaan
tugas-tugas dati yang dibebankan kepada persekutuan dati itu.
Adapun dusun dati yang diberikan haruslah dusun yang telah
ada tanaman yang sudah siap diambil hasilnya untuk menjadi
bahan pangan pokok misalnya sagu dan bukan tanah kosong
yang harus digarap atau diperusah lebih dahulu karena
memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh hasil atas
tanah dati tersebut.
Dusun dati merupakan dusun yang diberikan kepada seseorang
atau suatu persekutuan atau kerabat atau cabang kerabat sebagai
kompensasi atau imbalan atas prestasi mereka karena telah melakukan
tugas atau pekerjaan dati.Pemberian dusun dati bukan hanya untuk
waktu tertentu saja tetapi untuk seterusnya selama persekutuan dati
masih berdiri dan menjalankan tugas-tugas dati. Menurut Valentijn (Ziwar
Effendi, 1987 : 115), dati adalah hofdienst untuk mana pada bulan-bulan
dilaksanakannya pelayaran hongi setiap “rumahtangga” diwajibkan
menyerahkan seorang laki-laki untuk selama kurang lebih satu bulan
kepada maskapai VOC untuk melakukan tugas pelayaran hongi tanpa
mendapat upah atau atas biaya sendiri.
97
Menurut Holleman (Ziwar Effendi, 1987 : 116), Dati adalah
kerabat-kerabat yang menjalankan tugas untuk hongi atau kuarto. Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa dati adalah kesatuan wajib
kerja.Kekuatan atau jumlah anggota suatu dati diperkirakan rata-rata 20
orang di negeri-negeri Islam dan 7 atau 8 orang di negeri-negeri Kristen.
Dari beberapa pengertian dati dapat disimpulkan tiga pengertian
yang menonjol tentang Dati yaitu :
- tugas atau kewajiban.
- kesatuan wajib kerja
- badati atau gotong royong.
Dalam perkembangan selanjutnya, Dati mendapat pengertian
tambahan yaitu sebagai cabang kerabat. Pengertian ini bisa saja terjadi
karena yang menjadi dati pada mulanya bukan suatu rumatau atau
persekutuan tetapi suatu rumahtangga dimana rumahtangga adalah
bagian dari rumatau. (Ziwar Effendi, 1987 : 117) Oleh karena dati yang
baru pada mulanya hanyalah cabang dari sebuah kerabat maka hal ini
lalu menimbulkan tafsiran bahwa dati itu sebagai cabang dari suatu
kerabat atau yang bisa terdapat lebih dari sebuah dati yang berdiri
sendiri-sendiri terlepas satu sama lainnya. Jadi dati di Pulau Ambon
adalah cabang-cabang kerabat yang berdiri sendiri dengan masing-
masing Kepala Dati yang geneologis.
98
Secara etimologis belum didapatkan kesatuan pendapat diantara
para penulis tentang asal kata Dati. Ada yang mengartikannya sebagai
pajak. Dalam bahasa Latin terdapat kata datio yang berarti
pemberian.Datio in solutum berarti memberikan sebagai pembayaran.
Istilah datio dipergunakan Gerard Riedel yang berarti petak-
petak tanah yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang kuat bekerja
atau kepala-kepala rumahtangga dengan syarat harus ikut hongi.(Ziwar
Effendi, 1987 : 118). Melalui sistem Dati, suatu kerabat atau cabang
kerabat atau suatu persekutuan dapat menikmati tanah-tanah atau
dusun-dusun yang ada di bawah kekuasaan hak petuanan suatu negeri.
Jadi hak menikmati dusun-dusun dati tidak diberikan kepada orang
perorangan atau pribadi tetapi kepada kelompok orang yang bernaung di
bawah suatu kerabat atau cabang kerabat atau suatu persekutuan.
Tanah dati diberikan kepada kelompok orang yang bernaung
dibawah satu kerabat untuk dikelola sehingga dapat dinikmati hasilnya.
Hukum dati mengatur tentang timbul dan hilangnya hak-hak dati,
pengurusannya, peralihan hak-haknya dan pewarisannya. Suatu kerabat
seperti rumatau atau cabangnya untuk dapat memperoleh sebidang
dusun dati maka rumatau atau cabang kerabat harus terlebih dahulu
menjadi dusun dati. Terdaftarnya suatu kerabat menjadi dati pada
mulanya bukan atas permintaan kerabat yang bersangkutan tetapi
ditentukan oleh penguasa dengan sedikit paksaan. Karena sangat sulit
99
dan berat untuk menjalankan tugas dati yang mengikuti pelayaran Hongi
lebih dari satu bulan dengan segala macam resiko pelayaran.
Untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga yang ditinggalkan
maka kepada mereka diberikan dusun-dusun yang biasanya sudah ada
tanaman sagunya yang dapat diambil hasilnya oleh keluarga yang
ditinggalkan. Dusun-dusun ini yang disebut Dusun Dati. Jadi pemberian
dusun dati adalah sebagai bentuk kompensasi atas pelaksanaan tugas-
tugas dati yang tanpa upah. Dusun dati dapat ditemui dibeberapa daerah
di Maluku Tengah. Dati sebagai suatu persekutuan hukum juga
mempunyai personalianya masing-masing adalah :
- Kepala Dati
- Tulung Dati
- Anak Dati (Ziwar Effendi; 1987: 127-131)
Pimpinan Dati dikenal sebagai Kepala Dati. Kepala Dati adalah
suatu jabatan yang sifatnya fungsional, berarti Kepala dati bukan pemilik
secara pribadi dari dusun-dusun dati yang terdaftar atas nama dirinya
sebagai Kepala Dati tetapi dia juga seorang anggota dari sebuah dati.
Jabatan Kepala Dati sudah ada semenjak sebelum diadakannya
pendaftaran dusun-dusun dati atau Register Dati. Kepala Dati mengatur
pembagian giliran menjalankan tugas-tugas dati secara merata dan adil
diantara anggota-anggotanya agar pemanfaatan dusun-dusun dati serta
hasil-hasilnya diatur sebaik mungkin sehingga setiap anggota
100
memperoleh bagian yang layak dan seimbang. Kedudukan dan fungsi
Kepala Dati ini bahkan sudah menjadi ketentuan hukum yang dikukuhkan
oleh Mahkamah Agung RI dengan keputusan tanggal 15 Oktober 1975
No:318 KSip/1972 dimana dalam pertimbangan hukumnya disebutkan
bahwa seorang Kepala Dati tidak memerlukan Surat Kuasa dari anak-
anak datinya. Kepala Dati menyebut dirinya sebagai orang yang bertindak
untuk diri sendiri dan menurut adat mewakili ahli-ahli waris lain dari dati
yang diwakilinya tanpa menyebutkan nama-nama anak datinya.
Wewenang Kepala Dati untuk urusan-urusan perkara di Pengadilan
merupakan hak tunggal dari Kepala Dati di mana anak dati tidak berhak
untuk mengajukan gugatan secara pribadi ke Pengadilan tentang Dusun
Dati. Walaupun Kepala Dati dapat bertindak atas nama Datinya namun
semuanya harus mendapat persetujuan dari anak-anak datinya, setiap
kebijakan yang diambil harus mendapat persetujuan anak dati sehingga
sebagai imbalan Kepala Dati menerima jumlah yang lebih dari hasil-hasil
dusun dati.
Tulung Dati adalah anggota dati yang bukan keturunan langsung
menurut garis kebapakan dari dati yang bersangkutan. Walaupun jika
diteliti benar mungkin masih ada hubungan kekerabatan atau hubungan
darah. Pengangkatan tulung dati tidak hanya oleh Kepala Dati tetapi atas
persetujuan Saniri Negeri setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan
dari anak-anak dati dan tulung dati. Tulung dati setelah diterima maka
101
putus hubungan hukumnya dengan kerabat asalnya. Tulung dati harus
melepas fam/marga yang lama dan diganti dengan menyandang
fam/marga kerabat yang mengangkatnya. Demikian juga dengan hak-hak
datinya pada dati terdahulu hapus dan diganti dengan hak di dalam dati
yang dimasukinya. Karena Hukum Dati bahwa seorang hanya boleh
makan dati dari satu dati saja. Hak dan kewajiban tulung dati sama
dengan hak anak-anak dati.
Anak Dati dimaksud hanya anak laki-laki dari satu dati saja, anak
perempuan tidak diperkenankan menjadi anak dati sebab tugas-tugas dati
tidak layak bagi anak perempuan karena kodratnya misalnya harus ikut
pelayaran hongi dan pekerjaan-pekerjaan lain yang membutuhkan
kekuatan fisik. Bahkan tidak semua anak laki-laki dapat menjadi anak
dati tetapi hanya yang memiliki kekuatan fisik yang memadai saja yang
dapat menjadi anak dati.
Kedudukan perempuan dalam dusun dati, pada prinsipnya
seorang perempuan tidak diperkenankan menjadi anak dati atau tulung
dati. Dalam putusan Landraad No.107/1919 dikatakan bahwa tidak
diperkenankan perempuan yang sudah kawin atau yang tidak kawin
sebagai tulung dati. Alasannya bukan hanya karena sekedar melarang
atau menutupi hak seorang perempuan, juga tidak karena susunan
kekerabatan yang patrilineal dimana hak-hak orang perempuan kurang
dibandingkan dengan hak laki-laki. Tetapi karena berat dan sukarnya
102
tugas dati yang mengikuti pelayaran Hongi dalam waktu yang lama dan
tantangan yang berat.
Menurut prinsip hukum dati, seorang baru dapat memiliki dusun–
dusun dati jika sudah terlebih dahulu melakukan tugas-tugas dati. Bagi
mereka yang tidak melakukan tugas dati, tidak mempunyai hak makan
dati sebagai seorang anak dati karena hak makan dati adalah suatu
bentuk kompensasi atas prestasi melaksanakan tugas dati.
Akan tetapi walaupun seorang perempuan tidak bisa menjadi
anak atau tulung dati dengan hak-hak dati sendiri namun mereka berhak
turut makan selama mereka belum kawin. Menurut anggapan, selama
belum kawin perempuan berada dalam perlindungan kerabatnya dalam
persekutuan dati. Hak perempuan atas dusun dati dapat dibedakan
sebagai berikut :
Hak dati anak perempuan yang belum kawin.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa anak perempuan
tidak bisa menjadi anak dati atau tulung dati yang berdiri sendiri
dengan hak makan dati seperti halnya laki-laki. Ketentuan ini
didasarkan pertimbangan bahwa menurut kodratnya perempuan
tidak layak memikul tugas-tugas dati. Namun selama belum
kawin, seorang perempuan boleh menikmati dusun dati dan
hasil-hasilnya bersama anak-anak dati atau tulung-tulung dati.
Karena selama belum kawin, ia ada dalam perlindungan
103
kerabatnya jadi bagian yang diterima oleh anak-anak perempuan
bukanlah bagian sebagai seorang anak atau tulung dati tetapi
bagian dari orang yang harus dilindungi. Pemberian ini lebih
bersifat manusiawi daripada haknya berdasarkan hukum.
Hak dati perempuan yang sudah kawin.
Anak perempuan dari sebuah persekutuan dati bila kawin maka
hilang haknya untuk makan dati dari dati asalnya. Landraad
Saparua dengan keputusan No.10/1918 mengatakan bahwa
anak perempuan yang kawin kehilangan hak dati atas dati
bapaknya karena dengan perkawinan dia beralih makan dati
suaminya. Ada tiga sebab dihentikannya hak makan dati dari
perempuan yang sudah kawin yaitu :
Dengan kawinnya anak perempuan maka sesuai dengan bentuk
perkawinannya yang kawin dengan meminang atau kawin jujur
dan berdasarkan susunan kekerabatan yang berhukum
kebapakan maka anak perempuan dikeluarkan dari susunan
kekerabatan asalnya dan beralih atau pindah menjadi anggota
kekerabatan suaminya. Hal ini mengakibatkan hilangnya hak-
haknya atas dusun dati milik orangtuanya dan beralih pada
dusun dati dari kerabat suaminya.
- Jika Anak perempuan yang sudah kawin masih
diperkenankan makan dati dari dati asalnya maka dia
104
“makan dua dati” yaitu dari dati asalnya dan dati suaminya
sementara dalam hukum dati hal ini tidak diperkenankan
terjadi karena seseorang hanya boleh makan dari satu dati
saja.
- Jika anak perempuan yang sudah kawin masih
diperkenankan makan dati dari dati asalnya dan kemudian
dia meninggal dunia maka hak atas dusun dati tentu
beralih kepada ahli warisnya sehingga akan
mengakibatkan orang dari luar kekerabatan bisa
menikmati hak atas dusun datinya. Hal ini yang
menyebabkan tidak dapat diberikan hak atas dusun dati
bagi seorang perempuan yang sudah kawin. Putusan
Landraat Saparua nomor 10/1918.
Hak anak perempuan atas dusun pusaka dati .
Dusun pusaka dati adalah milik pribadi dari yang
memperusahnya dan dapat diwarisi oleh keturunannya baik laki-
laki maupun perempuan. Anak perempuan yang sudah kawin
tetap boleh menikmati dan mewarisi hasil tanam-tanaman
pusaka dati bapaknya. Dalam putusan Landraad No.107/1919
juga menentukan hal ini. Terhadap dusun pusaka dati dari
mendiang suami, seorang janda yang tanpa anak tetap berhak
menikmati dusun pusaka dati suaminya selama hidupnya atau
105
selama dia belum kawin lagi. Jika dia meninggal dunia atau
kawin lagi maka dusun pusaka datinya jatuh kembali kepada
persekutuan kerabat suaminya.
Antara tanah dati dengan dusun dati dapat dibedakan sebagai
berikut bahwa tanah dati adalah bagian yang lebih kecil dari sebuah
dusun dati yang dimiliki suatu clan/marga dalam wilayah persekutuan
masyarakat hukum adat di Maluku Tengah.
Pemerintah Belanda yang kembali menguasai perdagangan
secara tunggal di Indonesia pada akhir tahun 1817, mulai mempelajari
sistem Register Dati peninggalan Inggris sebagai hal yang sangat baik
dan meneruskan sistem ini serta memanfaatkannya untuk kepentingan
politik mereka. Batas-batas tanah dusun Dati sangat diperhatikan
melaluisistem Register Dati agar hasil-hasil bumi yang dijual hanya
kepada Belanda saja dan tidak kepada pedagang partikelir dan jika hal ini
terjadi maka bagi mereka akan dikenai hukuman yang sangat berat.
(Uneputty, 256)
Sejarah perkembangan Dati Stelsel dengan segala
permasalahannya mulai kehilangan pamornya ketika dalam persaingan
harga tanaman cengkih merosot dan dimana tanaman-tanaman cengkih
dengan paksa dihentikan hingga pada tahun 1864 dihapuskan.
Wajib kerja tanaman cengkih sudah tidak diperhatikan lagi
demikian juga halnya dengan pengawasan dan penimbunan hasil cengkih
106
tidak diperhatikan lagi dan tugas-tugas pelayaran Hongi juga tidak
diperhatikan. Kejadian-kejadian ini membuat Gubernur Jenderal G.A. van
der Capelle pada tanggal 10 April 1824 dalam Putusannya menetapkan
bahwa “Hongi dihapuskan” sehingga tugas dari dati untuk mengadakan
pelayaran Hongipun dihentikan.
Seiring perkembangannya, tanah-tanah Dusun Dati sudah tidak
memperoleh perhatian lagi dan Dusun Dati sudah mulai lemah. Dengan
dihapuskannya tugas untuk melakukan Pelayaran Hongi maka
masyarakat mulai mengalami kebingungan dengan status tanah Dati
yang dikuasai dengan hak pakai. Kebingungan ini berlangsung selama
tiga tahun lamanya dan untuk memperoleh kepastian hukum atas status
Tanah Dati maka pada tanggal 1 Juni 1923, Residen Amboina melalui
Ketua Komisinya Mr Holemann mengeluarkan Keputusan yang
menyatakan bahwa : “Hukum Dati dicabut”.
Pencabutan itu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan
pokok sebagai berikut :
- Pemerintah dan rakyat sudah tidak berkepentingan lagi untuk
meneruskan hukum dati itu.
- Karena itu dusun-dusun dati ini selanjutnya dianggap sebagai
warisan dan atau dusun pusaka kepada anak cucu dari petugas
dati.
107
- Dusun dati karena sudah diwariskan, maka dapat dibagi-bagikan
dan dapat dipindahtangankan.
- Anak-anak perempuan dari tugas dati yang kawin keluar yang
tadinya tidak menerima hak atas dusun dati bapaknya, sebagai
petugas dati, kini mendapat hak warisan dari dusun dati
tersebut.
Keputusan yang dikeluarkan ini memberikan kejelasan akan
status tanah dati sehingga dapat disimpulkan bahwa :
- Dusun Dati tidak lagi dipandang sebagai kompensasi upah kerja.
- Dusun dati bukan lagi dengan hak pakai tetapi menjadi hak milik
penuh kepada mereka asal dati dan keturunannya.
- Register Dati dipandang sebagai catatan administrasinya saja
yang sewaktu-waktu dapat memperoleh keterangan untuk
pembuktian.
- Karena Dusun dati pada mula usahanya sudah terlepas dari
petuanan negeri atau hutan ewang secara nyata, kini 1 Juni 1923
menjadi milik asal para dati atau keturunannya maka haruslah
dianggap sebagai tanah atau dusun yang dibuka mereka.
Mereka yang secara individual menduduki tanah atau dusun asal
dati ini menjadi kuat, karena sekaligus dikonversi menjadi Hak
Milik.
108
- Register Dati yang tadinya punya kekuatan pembuktian hak
pakai atas tanah atau dusun dati ini, maka dengan adanya
Keputusan Residen Amboina 1 Juni 1923 telah mengubah Hak
Pakai itu menjadi Hak Milik para asal dati dan keturunannya.
Register Dati ini langsung berfungsi sebagai sertifikat bagi
mereka. (Uneputty: 261-262)
C. Kesetaraan Gender
Isu gender merupakan isu yang belum lama ini diangkat untuk
melihat adanya ketidaksetaraan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan. Gender sering disalahartikan dengan seks. Kata Gender
dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris yaitu
“Gender” Jika dilihat dalam Kamus Bahasa Inggris, tidak secara jelas
dibedakan pengertian antara Gender dan Sex. Seringkali gender
dipersamakan artinya dengan sex( jenis kelamin laki-laki dan
perempuan).
Menurut Sjamsiah Achmad ((Smita Notosusanto dan Kristi
Poerwandari: 1997: 174) gender mengacu kepada pengertian bahwa
dilahirkan sebagai laki-laki dan perempuan, yang keberadaannya
berbeda-beda dalam waktu, tempat dan kultur, bangsa maupun
peradaban. Keadaan ini berubah dari masa ke masa, sedang jenis
109
kelamin mengandung sifat-sifat seseorang yang menetap, tidak berubah-
ubah.
Untuk memahami konsep gender maka harus dapat dibedakan
antara kata gender dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks (jenis
kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu,
misalnya pada laki-laki memiliki fungsi alat kelamin yang berbeda dengan
perempuan yang memiliki organ reproduksi dan itu secara permanen
tidak berubah dan sudah merupakan ketentuan Tuhan atau yang sering
dinyatakan sebagai kodrat.
Oakkley (1972 (dalam Riant Nugroho : 2008: 3) menyatakan
bahwa gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat
Tuhan. Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex)
adalah kodrat Tuhan maka secara permanen berbeda dengan pengertian
gender. Gender merupakan behavior differences (perbedaan perilaku)
antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial , yakni
perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan ciptaan manusia
(bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.
Sementara itu Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2001)
mengartikan gender sebagai peran-peran sosial yang dikonstruksikan
oleh masyarakat serta tanggungjawab dan kesempatan laki-laki dan
110
perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial
tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (laki-laki dan perempuan).
Gender bukanlah kodrat maupun ketentuan Tuhan, oleh karena
itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai
yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.
Dengan kata lain gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-
laki dalam peran, fungsi, hak , perilaku yang dibentuk ketentuan sosial
dan budaya setempat. Jadi gender disini adalah bukan ketentuan Tuhan
tetapi manusia dalam hal ini masyarakat yang dibentuk oleh ketentuan
sosial dan budaya masyarakat itu sendiri.
Menurut Fakih (1997:147-151), perbedaan gender yang
berdasarkan anggapan dan penilaian oleh konstrukti sosial pada akhirnya
menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai kodrat
kultural, dan dalam proses yang panjang dapat mengakibatkan adanya
ketidakadilan bagi kaum perempuan. Pengertian seks atau jenis kelamin
merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks atau jenis
kelamin secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan
biologis atau sering dikatakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Berbeda
dengan gender yang merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat
111
bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran
keagamaan maupun Negara. Konsep gender menyangkut semua hal
yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bias
berubah baik dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lainnya,
maupun dari suatu kelas ke kelas lainnya.
Perbedaan antara gender dan seks adalah jika gender adalah
perbedaan yang diakibatkan konstruksi masyarakat terhadap kodrat
cultural sedangkan gender adalah perbedaan jenis kelamin, gender
bukan merupakan anugerah Tuhan sedangkan seks sebagai perbedaan
jenis kelamin yang merupakan anugerah Tuhan.
Engels (dalam Fakih, 1997) menjelaskan perbedaan gender
antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat
panjang, melalui\ proses sosalisasi, penguatan dan konstruksi sosial,
kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan Negara. Istilah gender
memiliki beberapa pengertian seperti dikemukakan oleh Heddy Shri
Ahimsha Putra (2000) seperti dikutip Mufidah (2004:4) sebagai berikut :
- Gender sebagai Suatu Istilah Asing dengan makna tertentu;
gender berasal dari istilah asing gender yang sering dimaknai
secara tidak benar dan seringkali gender disamakan dengan
perbedaan jenis kelamin.
- Gender sebagai suatu Fenomena Sosial Budaya; perbedaan
jenis kelamin adalah hal yang alami dan kodrati dengan ciri-ciri
112
yang jelas dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu, diskriminasi
gender tanpa mengindahkan perbedaan jenis kelamin yang ada,
sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan. Sebagai
fenomena sosial budaya,gender bersifat relatif dan kontekstual.
Gender pada masyarakat Bali tentu berbeda dengan gender
pada masyarakat Minang. Hal ini sebagai akibat dari konstruksi
sosial budaya yang membedakan peran berdasarkan jenis
kelamin.
- Gender sebagai Suatu Kesadaran Sosial; konsep gender disini
dimaknai sebagai suatu kesadaran sosial. Perbedaan seksual
dalam masyarakat merupakan suatu konstruksi sosial. Berawal
dari sinilah kemudian masyarakat menyadari bahwa pembedaan
tersebut merupakan produk sejarah dan interaksi warga dengan
komunitasnya. Hal inilah yang melahirkan kesadaran bahwa ada
banyak hal yang perlu dirubah agar hidup ini menjadi lebih baik,
harmonis, dan berkeadilan. Masyarakat sadar akan adanya jenis
kelamin tertentu yang lebih unggul sehingga terjadi dominasi
jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lain, dan di sini gender
menjadi persoalan sosial budaya.
- Gender sebagai Suatu Persoalan Kebudayaan; pembedaan laki-
laki dan perempuan sebenarnya bukan menjadi masalah bagi
sebagian besar masyarakat. Pembedaan tersebut menjadi
113
masalah ketika melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan
karena jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari jenis kelamin yang lain. Oleh karena itu, untuk
menghapus ketidakadilan gender tidak mungkin dilakukan tanpa
melihat akar permasalahannya yaitu pembedaan atas dasar jenis
kelamin.
Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender
merupakan salah satu pendorong lahirnya gerakan feminisme.
Ketidakdilan terhadap perempuan menurut Fakih (1997 : 149) terbagi
dalam 6 (enam) bagian yaitu :
1. Perbedaan dan pembagian gender termanifestasikan dalam
bentuk subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki,
terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan
pengendalian kekuasaan.
2. Perbedaan dan pembagian gender melahirkan proses
marginalisasi perempuan secara ekonomis dalam kultur,
birokrasi maupun program-program pembangunan.
3. Perbedaan dan pembagian gender membentuk steriotip terhadap
kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap
mereka.
4. Perbedaan dan pembagian gender membuat kaum perempuan
bekerja lebih keras dalam hal pengurusan lingkup domestik,
114
terlebih lagi jika kaum perempuan turut bekerja di luar rumah
yang menyebabkan adanya beban ganda(mengurus
rumahtangga dan bekerja).
5. Perbedaan gender juga mengakibatkan tombulnya kekerasan
dan penyiksaan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun
mental.
6. Perbedaan dan pembagian gender berikut menifestasinya
mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat dan
penerimaan nasib perempuan yang ada.
Sofia dan Sugihastuti (2003:26) mengemukakan bahwa
munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi
sosial gender yang ada mendorong citra perempuan masih belum dapat
memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem dan tradisi dalam
masyarakat kemuadian melahirkan kritik feminis yang termanifestasikan
dalam berbagai wujud baik melalui sikap, penulisan artikel dsb.
Istilah Kesetaraan gender adalah istilah yang sering
diperdengarkan oleh para kaum aktivis sosial, aktivis perempuan dan
semua orang yang bersimpati atas kondisi yang ada dalam masyarakat..
Istilah kesetaraan gender dalam tatanan paktis hampir selalu diartikan
sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami perempuan. Istilah
kesetaraan sering dikaitkan dengan adanya perbedaan perlakuan,
115
diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan yang mendapat simpati
dari masyarakat luas.
Kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan hak dan kewajiban
, namun juga diartikan sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun
perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai
manusia , agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan
keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil-hasil
pembangunan. (Riant Nugroho: 2008; 28,29) Dalam perkembangannya,
ada perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk
menyetarakan kedudukannya dengan kaum laki-laki. Menurut Afan
Gaffar (2001:7) di Amerika ada 2 gerakan wanita : Pertama, gerakan
gender, lebih menekankan kepada kesetaraan tanpa meninggalkan nilai-
nilai dasar kaum wanita. Nilai-nilai dasar kaum wanita yang dimaksudkan
disini adalah bahwa perempuan sudah digariskan sebagai ibu dan isteri
yang tidak boleh melupakan kodratnya. Kedua, gerakan kaum feminis
yang, menuntut persamaan hak mutlak terhadap kaum laki-laki dalam
segala dimensi kehidupan. Gerakan feminis ini lebih ekstrim lagi yang
menuntut persamaan hak mutlak tanpa memperhitungkan perbedaan
yang dimiliki antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya dalam dunia
kerja, jika menuntut persamaan hak maka juga harus ada persamaan
kewajiban padahal ada hal-hal yang membedakan antara laki-laki yaitu
116
pada saat melahirkan perempuan membutuhkan cuti untuk memulihkan
kondisinya dan ini yang membedakannya dengan laki-laki.
Kesetaraan gender tidak selamanya mencerminkan keadilan,
keadilan bukan hanya terwujud jika ada persamaan hak dan kewajiban
yang setara tetapi kesetaraan kedudukan dalam hukum dilihat sebagai
suatu persamaan kedudukan yang tidak melupakan kodrat dalam hal ini
permepuan tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan yang
mempunyai tanggungjawab atas keluarga baik suami maupun anak-anak.
Gerakan pembelaan hak kaum perempuan ini membawa imbas
pada perjuangan gerakan perempuan di Indonesia. Perlawanan yang
dilakukan kaum perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan atau
persamaan hak dengan laki-laki dimulai dengan gerakan feminis.
Feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawanan atas berbagai
upaya control laki-laki di atas. Asumsi bahwa perempuan telah ditindas
dan dieksploitasi menghadirkan anggapan bahwa feminism merupakan
satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.
(Fakih, 1997 : 99)
Dalam dua dasawarsa terakhir terjadi suatu proses perubahan
paradigma melalui gerakan feminisme. Tinjauan feminisme
mengungkapkan bahwa hukum ternyata mengandung keberpihakan
kepada laki-laki. Hukum-hukum ataupun nilai-nilai yang ada pada
masyarakat yang patriarki memang berorientasi kepada pelestarian nilai-
117
nilai patriarki. Menurut Reich Adriane (1977), gerakan Feminis yang
memperjuangkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan telah
melahirkan konsep-konsep tentang ketidakseimbangan hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang disebut sistim patriarkhat-dimana
perempuan tersubordinasi-yang telah hidup di dunia lebih dari 3.000
tahun berdasarkan pada sistem filsafat, sosial, dan politik. Lak-laki-
dengan kekuatan, tekanan langsung atau melalui ritual, tradisi, hukum
dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan dan pembagian kerja-
menentukan peran apa saja boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
perempuan dan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.
Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti
(2003:24) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada
partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak
serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme
memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk
memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.
Menurut Kasiyan (Fransisca,2005:11), feminisme sebagai gerakan
perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang
disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persolan-
persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender.
Woodan (1982) menyatakan bahwa ketidakadilan yang
disebabkan ketidakseimbangan dinamis hubungan antara laki-laki dan
118
perempuan merupakan ketidakadilan sosial artinya ketidakadilan yang
disebabkan oleh struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat yang
terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan
ideologi. Karena berkaitan dengan struktur-struktur kekuasaan di
masyarakat, feminisme tidak dapat dipisahkan dengan politik dan hukum.
Hukum yang senyatanya hidup di masyarakat yaitu hukum masyarakat
yang merupakan norma-norma dari kekuatan pemaksa seperti agama,
adat istiadat atau lebih dikenal dengan non state law atau people law atau
customary law. Pendeknya bukan hukum yang berasal dari negara dan
sangat dipengaruhi oleh ideologi gender yang berlaku di masyarakat.
Bohannan (1937) mengatakan bahwa ada perkaitan antara
hukum dan kebiasaan masyarakat. Dalam beberapa kasus terjadi protes
terhadap hukum yang tidak adil dengan mengadakan berbagai tindakan
dan aksi menolak dan mengabaikan atau menggunakan celah-celah
hukum dan norma-norma masyarakat untuk memilih hukum yang
berkeadilan gender. Pendobrakan terhadap ketidaksetaraan kedudukan
perempuan dan laki-laki dikenal dengan gerakan feminisme. Feminisme
menurut Goefe (Sugiharti, 2000: 37) ialah teori tentang persamaan antara
laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan
perempuan. Bhasin (1996:1) menjelaskan bahwa patriarkhi berarti
kekuasaan bapak atau patriarch. Istilah ini secara umum digunakan untuk
119
menyebtukan kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki
menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistim yang membuat
perempuan tetap dikuasai melalui berbagai macam cara.
Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam
kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai
subordinatnya. Ketidaksetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki oleh
kaum feminis liberal dilihat sebagai akibat dari pola pemikiran yang
patriarkat, yang tidak melihat kapasitas dan kapabilitas perempuan dalam
kehidupan bersama dalam masyarakat. Mereka menyatakan bahwa hak-
hak untuk semua manusia , di bawah hukum alam, berdasarkan
kapasitas manusia sebagai agen moral dan nalar; menegaskan bahwa
hukum-hukum yang mengabaikan hak perempuan untuk mendapatkan
kebahagiaan adalah “ bertentangan dengan hukum alam dan ……..tidak
sah”, dan menyerukan perubahan dalam hukum dan adat agar dapat
mengijinkan perempuan mendapatkan tempat yang semestinya dalam
masyarakat.(G.Ritzer dan D.Goodman ; 2007; 421).
Kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat bahwa keluarga
adalah sebuah konstruksi sosial yang defenisi dan bentuknya merupakan
produk historis dan kulturan dimana laki-laki dan perempuan tidak dilihat
sebagai satu kesatuan/mitra dalam membangun keluarga tetapi lebih
mengedepankan kepentingan laki-laki dan perempuan hanya
menjalankan kewajiban yang dilihat sebagai kodrat selaku pendamping
120
dalam rumahtangga/keluarga. Keluarga merupakan lembaga yang turut
melestarikan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, dan
mengakibatkan perempuan terbatas aksesnya terhadap berbagai sumber
daya.
Masyarakat adat Maluku adalah masyarakat adat patrilinial
melalui kekuasaan kebapakan masih mengakui pengaruh garis keturunan
kebapakan dalam penguasaan tanah adat. .Masyarakat adat Maluku
adalah masyarakat adat patrilineal melalui kekuasaan kebapakan masih
mengakui pengaruh garis keturunan kebapakan dalam penguasaan tanah
adat. Namun perempuan Maluku yang sudah mengenal kemajuan dan
perkembangan jaman sadar penuh akan hak nya terhadap penguasaan
tanah adat khususnya tanah dati.
Melalui Konperensi Perempuan Maluku 2009, sudah diusung isu
Kesetaraan gender dalam penguasaan tanah dati, bahwa perempuan
memiliki hak yang sama dengan laki-laki terhadap penguasaan tanah-
tanah adat yang ada di Maluku khususnya tanah dati. Perubahan nilai
terjadi untuk mengatasi masalah kedudukan perempuan terhadap hak
penguasaan tanah adat di Maluku khususnya terhadap Tanah Dati agar
perempuanpun dapat memiliki hak atas Tanah Dati. Dalam Konperensi ini
dihasilkan suatu kesepakatan agar hukum adat direvitalisasi, maksud
revitalisasi ini bukanlah berarti hukum adat diganti dengan hukum positif
atau system hukum lain dalam mengatur masyarakat tetapi adanya
121
penguatan yang diberikan pada nilai-nilai yang menjadi landasan dan
patokan masyarakat hukum adat dalam berperilaku.
Pertentangan kepentingan dalam pengaturan perolehan hak atas
tanah dati menimbulkan konflik antara kaum perempuan dengan kaum
laki-laki dimana perempuan merasakan ketidakdilan dalam memperoleh
hak dan kedudukan atas tanah dati sebagai salah satu tanah adat yang
dapat dimiliki namun karena nilai patriarki yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat sehingga hak dan kedudukan kaum perempuan
terpinggirkan.
Grand Theory: Teori Utilitarisme dari Jeremy Bentham dan Teori
Sociological Jurisprudence dari Eugen Ehrlich
Teori Utilitarisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang
mengatakan bahwa manusia akan bertindak untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada
apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan ataukah tidak.
Lebih lanjut Jeremy Bentham berpendapat bahwa pembentuk
undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang
dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Teori hukum ini
bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai
dengan daya guna (efektif). Lebih lanjut Jeremy Bentham
mengatakan bahwa hukum dan moral merupakan dua hal yang tidak
122
bisa dipisahkan. Hukum mesti bermuatan moral dan moral mesti
bermuatan hukum, mengingat moral itu merupakan salah satu sendi
utama kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya. Hukum
yang efisisen dan efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan
misinya yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada
jumlah warga terbanyak.
Teori Eugen Ehrlich;
Eugene Ehrlich dalam karya utamanya Beitrage Zur teorie der
Rechtsquellen (1902) , Grundlegung der Sociologi des Recht (1919)
(Saifullah,2007:46) :
1. Dianggap sebagai pembentuk atau pelopor Ilmu Hukum Sosiologi
(Sociological Jurisprudence).
2. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan lebih memahami
hukum dalam konteks sosial.
3. Meneliti latar belakang aturan formal yang dianggap sebagai hukum.
4. Aturan tersebut merupakan norma sosial actual yang mengatur semua
aspek kemasyarakatan disebut sebagai hukum yang hidup (living law)
yaitu hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai lawan
hukum yang diterapkan Negara.
5. Hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat.
6. Membedakan hukum positif dengan hukum yang hidup atau suatu
perbedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial.
123
7. Hukum positif akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat, atau apa yang disebut antropologi sebagai
kebudayaan (culture pattern).
8. Pusat perkembangan hukum bukan pada badan legislatif, keputusan
yudikatif ataupun ilmu hukum tetapi justru terletak pada masyarakat itu
sendiri.
9. Hukum tunduk pada kekuatan sosial, hukum tidak mungkin efektif oleh
karena keterlibatan dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan
sosial pada hukum, bukan penerapannya secara resmi oleh Negara .
10. Tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan
pada aturan atau norma sosial yang tercantum dalam sistem hukum.
11. Sebagian kecil segi kehidupan yang diadili oleh pejabat-pejabat resmi
(PN) yang berfungsi menyelesaikan perkara (perselisihan).
12. Mereka yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai
hubungan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang
bersangkutan.
13. Diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-
keputusannya jika terjadi sengketa di atas tata tertib masyarakat yang
damai dan spontan. Peraturan-peraturan uuntukmengambil keputusan-
keputusan menyimpulkan adanya sengketa antara kelompok atau
individu yang ada pembatasan kepentingan-kepentingan dan
kompetensinya. Agar peraturan ini secara jelas dapat terbebas dari tata
124
tertib masyarakat yang damai dan spontan maka haruslah terjadi
perbedaan antara individu dan kelompok dan haruslah timbul berbagai
kelompok yang sama nilainya.
14. Bahwa apa yang dinamakan ilmu hukum yang diselenggarakan oleh
para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis.
15. Menurut Ehrlich ada suatu hukum yang menguasai masyarakat sebagai
suatu tata tertib . Dan hukum ini, yang digunakan sebagai dasar untuk
segala peraturan hukum dan karena jauh lebih efektif daripada
peraturan manapun juga, hukum ini merupakan tata tertib hukum
langsung dari masyarakat. Jadi menurut Ehrlich perkembangan suatu
hukum tidak harus dicari dalam UU, jurisprudensi ataupun dalam
doktrin tetapi bisa dicari dalam masyarakat itu sendiri.
Teori Beslissingenleer dari Ter Haar yang dikenal dengan Teori
Keputusan yang menyatakan bahwa hukum adat mencakup seluruh
peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan
para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta
di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi
dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut.
Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi
juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Ter Haar juga
menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga
125
masyarakat . Teori keputusan yang dikemukakan Ter Haar ini
menegaskan bahwa dalam suatu masyarakat hukum adat suatu
keputusan bisa saja bukan berasal dari para pejabat hukum tetapi dapat
juga berasal dari warga masyarakat hukum adat itu sendiri. Demikian
halnya dengan nilai patriarki yang sudah mengakar dalam kehidupan
masyarakat hukum adat dan mengalami perubahan di mana perubahan
nilai membawa dampak pada perubahan yang terjadi dalam struktur
masyarakat hukum adat di mana pada masa yang lampau sebelum
tahun 1980-an, kedudukan perempuan terstruktur dalam masyarakat
hukum adat sebagai warga kelas dua dan mengalami perubahan nilai
sehingga memberikan warna baru dalam kehidupan bersama
masyarakat hukum adat .
Middle Theory : Teori Konflik
Teori konflik bersumber pada tulisan-tulisan Karl Marx yang
mempertahankan bahwa perubahan sosial terjadi melalui suatu proses
dialektik. . Teori-teori konflik kontemporer memperluas fokus teori dengan
memasukkan komponen-komponen multidimensional untuk
menggambarkan pertentangan dan ketidaksamaan di dalam struktur
masyarakat. Karya Max Weber dipusatkan pada kekuasaan, status dan
kekayaan untuk menggambarkan ketidaksamaan-ketidaksamaan dalam
masyarakat untuk menunjukkan keadaan tersebut. (Ollenburger, 2002:
17,18)
126
Rendall Collins mengemukakan bahwa ketidakadilan
berdasarkan jenis kelamin bervariasi sesuai dengan tipe-tipe masyarakat,
tetapi ada tiga fakta sosial yang konstan, yang menentukan wanita
sebagai harta seksual kepunyaan laki-laki. Semua manusia memiliki (1)
dorongan kuat untuk kepuasan seksual, dan (2) daya tahan untuk
menghadapi kekerasan. Fakta ketiga ialah biasanya laki-laki lebih besar
danlebih kuat daripada wanita “… karenanya laki-laki menjadi agressor
seksual, dan wanita umumnya mengambil sikap defensif” (Collin,
1975:231). Lebih jauh Collins menyatakan bahwa ketidakadilan
berdasarkan jenis kelamin dan kekerasan bervariasi menurut dua struktur
sosial; paksaan oleh organisasi-organisasi politik terhadap masyarakat
(keluarga,hukum, dan sebagainya) dan keadaan pasar, serta sumber
penghasilan laki-laki dan wanita.
Konflik dalam masyarakat menurut teori konflik timbul bisa saja
karena ketidakadilan yang didasarkan perbedaan status, kekayaan tetapi
juga jenis kelamin. Perlakuan tidak adil juga bisa disebabkan karena
perbedaan jenis kelamin, laki-laki dibedakan dengan perempuan.
Perbedaan yang didasarkan pada jenis kelamin ini dapat menimbulkan
konflik dalam masyarakat, yang mengakibatkan termarginalnya hak-hak
kaum perempuan dalam pemilikan hak atas tanah. Perempuan merasa
memiliki hak yang sama dengan laki-laki pada awalnya karena pengaruh
budaya patrilinial pasrah menerima kenyataan bahwa sebagai warga
127
kelas dua perempuan tidak berhak atas tanah yang dapat dihakinya.
Namun dengan pengaruh perkembangan jaman, perempuan sekarang
sudah lebih maju pemikirannya. Perempuan tidak lagi menjadi warga
kelas dua tetapi perempuan menuntut hak yang sama dengan laki-laki
dalam memiliki hak atas tanah.
Teori Konflik Analitik oleh Janet Chafetz(1984, 1988, 1990, 1996,
1999) ; Pendekatan Chafetz adalah lintas kultural dan lintas historis dan
mencoba merumuskan teori jender dalam seluruh pola-pola
kemasyarakatan khususnya. Secara lebih khusus, ia memusatkan
perhatian pada masalah ketimpangan jender yang disebutnya sebagai
stratifikasi jenis kelamin (seks). Bertolak dari stratifikasi jenis kelamin ini,
Chafetz berpegang pada praktik teori konflik analitik. Ia menemukan
bentuk perulangan konflik sosial dan menganalisisnya dari sudut nilai
kondisi struktural yang menghasilkan intensitas konflik yang meningkat
atau menurun. Chafetz kemudian meneliti struktur dan kondisi sosial
yang mempengaruhi intensitas stratifikasi jenis kelamin atau kerugian
wanita di seluruh masyarakat dan kultur. Pemusatan perhatian diarahkan
pada cara mencapai kesetaraan jender, mencoba mengetahui persoalan
struktur kunci yng dapat diubah sehingga memperbaiki kondisi wanita.
Dengan pandangan proaktifnya untuk mencapai kesetaraan laki-laki dan
perempuan, Chafetz bergerak keluar netralitas nilai yang telah menjadi
simbol teori konflik analitik dari Weber.
128
Applied Theory : Teori Perubahan Paradigma dari Thomas Kuhn
Teori Perubahan dari Thomas Kuhn
Thomas Kuhn (Satjipto Rahardjo, 2009: 69-74) melihat
perubahan disebut “normal science”, kemudian lahir “abnormal science”,
untuk kembali menjadi “normal science”. Yang dimaksud oleh Kuhn
dengan ilmu pengetahuan normal adalah penelitian yang secara kokoh
didasarkan pada capaian-capaian ilmiah di masa lalu. Capaian tersebut
diterima oleh komunitas ilmu sebagai pengumpan bagi dilakukannya
praktik ilmu lebih lanjut. Dikatakan oleh Kuhn, “Today such achievements
are recounted by science textbooks Mile- textbooks expound the body of
accepted theory …..”. Hasil-hasil yang diterima oleh komunitas ilmu
secara implicit mendefenisikan persoalan dan metode yang sah untuk
dipersoalkan dan digunakan dalam ilmu. Maka terbentuklah satu
kesepakatan mengenai apa yang bias dipersoalkan dan metode yang
digunakan. Hal tersebut menghindari terjadinya persaingan dalam cara
(modes) menjalankan kegiatan ilmiah. Pada waktu yang sama, ia juga
bersifat terbuka (open ended) untuk praktisi ilmu. Hal ini yang dinamakan
Kuhn sebagai “Paradigma” yang berkaitan dengan “ilmu pengetahuan
normal”.
Perjalanan ilmu pengetahuan selanjutnya, muncul perubahan
dan terjadi suatu transformasi paradigma. Perubahan dari satu paradigm
129
ke yang lain merupakan revolusi dalam ilmu pengetahuan. Hal tersebut
merupakan pola perkembangan yang normal dari suatu disiplin ilmu yang
dewasa.
Sejak diterimanya suatu paradigma, maka ilmu pengetahuan
mulai memasuki apa yang disebut Kuhn sebagai ilmu pengetahuan
normal. Dalam kurun waktu era suatu paradigma atau tahap penelitian
normal maka sedikit sekali usaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru,
yang konseptual serta fenomenal. Padahal sebenarnya ilmuwan berada
pada ranah suatu paradigma yang menuju pada suatu paradigma yang
baru di mana dengan panduan paradigma yang ada, ilmuwan akan
meneliti fenomena lebih jauh baik dalam ketepatan(precision) maupun
keluasannya (scope). Menurut Kuhn, tanpa komitmen untuk melakukan
aktivitas tersebut seorang ilmuan tidak bias disebut sebagai ilmuan.
Namun dalam perjalanannya, ditemukan anomaly yang tidak bias
dijelaskan dengan paradigma yang ada dan anomali-anomali itu justru
memicu timbulnya temuan-temuan (discoveries), dalam ilmu
pengetahuan. Kesadaran akan adanya anomali merupakan dasar
pengakuan diperlukannya perubahan teori. Krisis tersebut membuat
terjadinya pergeseran terhadap paradigma yang ada terhadap persoalan-
persoalan yang diajukan serat metode yang disediakan oleh ilmu
pengetahuan normal.
130
Anomali yang terjadi memicu timbulnya paradigma baru dan ada
transformasi menuju krisis dan munculnya ilmu pengetahuan yang luar
biasa. Selanjutnya Kuhn mengemukakan adanya revolusi ilmu
pengetahuan yang terjadi apabila paradigm berubah yang menyebabkan
perubahan teori-teori, metode dan standar. Terjadilah pergeseran yang
signifikan dalam tolok ukur untuk menentukan keabsahan persoalan-
persoalan dan penyelesaian-penyelesaian yang diusulkan. Ilmu
pengetahuan berubah menjadi “abnormal” karena terjadi suatu revolusi
yang akhirnya menghasilkan suatu “extraordinary science”. Ilmu yang
tidak normal atau “extraordinary science” mengisyaratkan datangnya
suatu teori baru yang lebih handal tetapi semua itu harus melalui proses
yang panjang sehingga dengan kehadiran ilmu yang tidak biasa/normal
akhirnya kembali pada keadaan sebelumnya yaitu keadaan ilmu
pengetahuan biasa (ordinary).
Keadaan ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Ilmu pengetahuan biasa/normal ----- ilmu pengetahuan tidak normal ------
ilmu pengetahuan biasa/normal.
Secara kronologis perkembangan ilmu menurut Thomas Kuhn(Saifullah,
2007:84) dapat diurut dalam alur penahapan sebagai berikut :
Tahap I. Kondisi pengetahuan yang normal. Dalam kondisi seperti ini
terdapat banyak persoalan tetapi relatif kecil dengan mengacu pada
131
paradigm yang berlaku. Hasil akhirnya masih kondisi normal, hal yang
biasa saja.
Tahap II. Tahap kedua ini muncul kesulitan-kesulitan yang semakin besar
dan tidak dapat dijelaskan dan diselesaikan dengan paradigma yang baru.
Tahap III. Selanjutnya timbul kondisi krisis. Tidak ada paradigm satupun
yang dapat dijadikan pijakan. Kondisi penuh ketidakpastian.
Tahap IV. Kondisi akan tenang bila terdapat paradigma yang mampu
melihat jauh ke depan. Terdapat ide-ide yang canggih.
Tahap V. Ide-ide dikembangkan dan mampu menjawab persoalan-
persoalan yang tidak dapat diselesaikan serta timbul paradigma baru.
Tahapan paradigma dapat tergambar dalam diagram sebagai berikut :
Normal ------- Kesulitan --------- Krisis---------- Paradigma Baru---------------
Normal Kembali.
Suatu keadaan dikatakan normal jika tidak terdapat kesulitan dalam
kehidupan setiap hari. Keadaan normal ini kemudian menimbulkan
masalah jika mulai ditemukan kesulitan-kesulitan hidup. Kesulitan hidup ini
kemudian menimbulkan krisis dalam masyarakat. Krisis yang terjadi dalam
masyarakat dianalisis dengan paradigma baru sehingga keadaan berakhir
menjadi normal kembali.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka dapat dijelaskan sebagai
berikut :
132
Nilai patriarki yang menjunjung dominasi laki-laki dalam kehidupan
masyarakat adat di Maluku Tengah dianggap sebagai suatu keadaan
yang normal.
Nilai patriarki yang menguntungkan posisi atau kedudukan laki-laki
dalam masyarakat hukum adat mulai dikritisi oleh kaum perempuan dan
pemerhati kesetaraan gender sehingga mulai menghadapi perlawanan
sehingga ada kesulitan dalam perkembangannya.
Kesulitan ini kemudian menimbulkan krisis, dalam hal ini krisis nilai
dalam masyarakat hukum adat. Nilai patriarki yang semula sangat
dijunjung oleh masyarakat hukum adat mulai mengalami perubahan
nilai.
Perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat ditelaah dengan
paradigma baru yang melihat bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan adalah sama dan tidak ada perbedaannya.
Perubahan nilai yang member pengakuan terhadap kedudukan hukum
perempuan dalam hal penguasaan tanah dati diterima sebagai suatu hal
yang normal dalam komunitas masyarakat hukum adat di Maluku
Tengah.
Pergeseran nilai yang terjadi pada masyarakat hukum adat mulai
dirasakan pada tahun 1980-an dimana dampak dari perkembangan
masyarakat secara global turut mempengaruhi nilai yang berlaku dalam
masyarakat hukum adat khususnya nilai patriarki.
133
Ada 4 tema yang menandai Teori Ketimpangan Gender yaitu:
1. Lelaki dan wanita diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara
berbeda, tetapi juga timpang. Secara spesifik, wanita memperoleh
sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang untuk
mengaktualisasikan diri yang lebih sedikit daripada yang diperoleh
laki-laki, yang membagi-bagi posisi sosial mereka berdasarkan
kelas, ras, pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan atau
berdasarkan faktor sosial lainnya.
2. Ketimpangan ini berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari
perbedaan biologis atau kepribadian penting antara lelaki dan
wanita.
3. Meski manusia individual agak berbeda ciri dan tampangnya satu
sama lain , namun tak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang
membedakan lelaki dan wanita. Dengan mengatakan ada
ketimpangan gender berarti menyatakan bahwa secara situasional
wanita kurang berkuasa ketimbang lelaki untuk memenuhi
kebutuhan mereka bersama lelaki dalam rangka pengaktualisasian
diri.
4. Semua teori ketimpangan gender menganggap baik itu lelaki
maupun wanita akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang
makin mengarah ke persamaan derajat (egalitarian) dengan mudah
134
dan secara alamiah. Dengan kata lain, mereka membenarkan
adanya peluang untuk mengubah situasi.
Hukum yang baik adalah hukum yang dapat memberikan
manfaat/kegunaan bagi masyarakat, yang mampu memberikan
ketenteraman bagi masyarakat dan hukum yang efektif adalah hukum
yang selaras dengan nilai-nilai yang diyakini dan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat (living law) . Hukum yang berisikan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat lebih ditaati dan diikuti karenamerupakan pencerminan
dari masyarakat yang ada.
Kerangka pemikiran dalam penulisan ini tergambar dalam bagan
sebagai berikut:
135
Kerangka pemikiran ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan merupakan
dambaan setiap warga masyarakat, termasuk didalamnya kaum
perempuan masyarakat hukum adat di Maluku Tengah.
2. Kesetaraan yang diharapkan mencakup berbagai lini kehidupan
selaku warga masyarakat hukum adat.
3. Hukum Nasional Negara Republik Indonesia juga mengakui
adanya kesetaraan dalam kehidupan bersama masyarakat dan
tidak dibedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
4. Hukum Nasional menjamin adanya persamaan hak dan
kedudukan dalam hukum nasional antara laki-laki dan
perempuan.
5. Namun dalam kenyataannya, pada masyarakat hukum adat yang
sistem kekerabatannya adalah patrilinial, hak dan kedudukan
dalam hukum antara laki-laki dan perempuan dibedakan.
6. Laki-laki memiliki hak dan kedudukan hukum yang lebih kuat
dibanding perempuan.
7. Sistem kekerabatan yang patrilinial turut mempengaruhi pola pikir
masyarakat hukum adat yang masih menjunjung kedudukan laki-
laki yang dominan dalam masyarakat hukum adat.
136
8. Sistem kekerabatan yang kental dengan nilai-nilai patriarki
ternyata mulai mengalami perubahan.
9. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat
disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya perkembangan
pola pikir masyarakat, sejarah, dan juga tingkat pendidikan dari
anggota persekutuan masyarakat hukum adat.
10. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat
menyebabkan perempuan dapat menguasai tanah dati yang
semula hanya merupakan bagian dari penguasaan kaum laki-
laki.
137
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe Penelitian ini adalah tipe penelitian yuridis sosiologis.
Penelitian Yuridis sosiologis atau sering disebut penelitian hukum
yang sosiologis berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan
perundangan), tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam
aturan perundangan namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi
yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.
Sementara penelitian sosiologi tentang hukum mengkonstruksikan hukum
bukan sebagai suatu sistem norma dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang selama ini dipahami, tetapi hukum dikonstruksikan
sebagai sesuatu perilaku masyarakat yang ajeg, dan terlembagakan serta
mendapatkan legitimasi secara sosial. (I b I d: 47,48)
Penelitian yang penulis lakukan melakukan observasi secara
langsung turun pada masyarakat hukum adat di beberapa negeri adat di
Maluku Tengah. Penulis mengobservasi secara langsung terjadinya
perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat di Maluku
Tengah tentang kedudukan hukum perempuan atas tanah dati.
138
B. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini, Penulis mengkaji perubahan nilai tentang
kedudukan hukum perempuan atas tanah dati dengan perspektif
kesetaraan gender dengan menggunakan pendekatan masalah berupa
pendekatan konseptual (conceptual approach) , pendekatan sejarah
(history approach) dan pendekatan perbandingan (comparative
approach).
Pendekatan konseptual (conceptual approach), sebagai dasar
atau acuan untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan
tanah adat khususnya tanah dati maupun konsep-konsep perubahan nilai
maupun gender dan kesetaraan gender dalam kaitannya dengan tanah
dati di Maluku Tengah.
Pendekatan sejarah (history approach), dipergunakan untuk
melihat lebih mendalam lagi tentang sejarah keberadaan tanah dati
sebagai salah satu tanah adat warisan nenek moyang yang diwariskan
bagi masyarakat hukum adat khususnya masyarakat hukum adat di
Maluku Tengah.
Pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan
perbandingan dipergunakan untuk membandingkan data-data yang
diperoleh dari kelima lokasi penelitian yaitu Negeri Hatu, Negeri Lima,
Larike, Tenga-Tenga dan Hitulama dalam kaitannya dengan kedudukan
139
hukum perempuan atas tanah dati di Maluku Tengah dalam perspektif
kesetaraan gender.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di beberapa desa di Kabupaten Maluku
Tengah dan Kota Ambon yaitu di Negeri Hatu, Larike, Negeri Lima,Hitu
Lama,Tengah-Tengah, dan berlangsung selama 3 bulan. Pemilihan
lokasi penelitian di beberapa desa ini didasarkan atas alasan-alasan
sebagai berikut :
a. Pada Negeri Hatu dan Hitu Lama dalam sejarahnya pernah
terjadi permasalahan yang terkait dengan penguasaan tanah
dati.
b. Demikian juga di Larike dan Negeri Lima memiliki kesamaan
karakteristik dalam kehidupan sehari-hari.
c. Tanah dati di beberapa desa bahkan sudah terdaftar dalam
Register Dati .
Selain alasan-alasan yang dikemukan di atas maka menurut
HeruNugroho dalam Husen Alting (2010:6) bahwa tanah bagi masyarakat
memiliki makna multidimensional :
- Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi
yang dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat;
140
- Ke dua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang
dalam pengambilan keputusan masyarakat; dan
- Ke tiga , sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi
rendahnya status sosial pemiliknya;
- Ke empat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan
warisan dan masalah-masalah transendental.
D. Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah data yang
diperoleh langsung pada negeri-negeri adat yang diteliti melalui
wawancara maupun kuisioner dan juga berupa bahan-bahan hukum
meliputi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
penguasaan tanah adat serta sumber data sekunder yang diperoleh
melalui studi kepustakaan, dokumen, artikel, serta literatur yang relevan
dengan penelitian ini.
Wawancara yang dilakukan terhadap responden dari masing-
masing negeri adat yaitu :
1. Raja dari negeri Hatu, Negeri Lima, Larike, Tenga-tenga dan
Hitulama.
2. Saniri Negeri dari masing-masing negeri adat 3 orang.
141
3. Masyarakat adat dari masing-masing negeri 16 orang, yang terdiri
dari para tetua adat, kelompok usia menengah antara usia 30-45
tahun dan kelompok usia muda antara usia 20-30 tahun.
E. Instrumen Pengumpulan Data
1. Pengumpulan Data Primer
a. Metode Kepustakaan, dilakukan dalam mengumpulkan bahan
hukum yang berkaitan dengan penguasaan tanah adat.
b. Wawancara dilakukan terhadap Raja, Saniri Negeri masing-
masing 3 orang dan dari kelompok masyarakat adat 16 orang.
2. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder berupa bahan hukum dalam
bentuk buku-buku, hasil-hasil penelitian, tulisan ilmiah yang terkait
dan menunjang penelitian ini.
F. Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah Analisis data primer. Data
primer diperoleh baik melalui penelitian kepustakaan maupun penelitian
lapangan dan untuk memudahkan menganalisanya maka ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut :
142
1. Memilih materi yang berhubungan dengan masyarakat adat
beserta penguasaan tanah adat khususnya hak kaum
perempuan.
2. Merangkum bahan-bahan yang perlu dianalisa berkaitan dengan
masyarakat kadat serta hak-hak yang melekat padanya.
3. Merangkum data-data yang diperoleh melalui observasi dan
wawancara kemudian digunakan metode analisa kualitatif.
4. Data yang dirangkum kemudian dituangkan dalam penulisan.
143
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tentang Tanah Dati Di Maluku Tengah
Provinsi Maluku terdiri atas beberapa kabupaten dan kota di
mana Maluku Tengah termasuk salah satu kabupaten. Tanah dati
merupakan salah satu dari jenis tanah adat yang berada di kabupaten
Maluku Tengah. Sebagai salah satu bagian dari wilayah Provinsi Maluku,
Maluku Tengah memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumber daya
alam yang dimiliki oleh masyarakat hukum adatnya. Tanah dati
termasuk salah satu dari bagian kekayaan sumber daya alam yang
dimiliki masyarakat hukum adat di Maluku Tengah. Masyarakat hukum
adat di Maluku Tengah memiliki wilayah petuanan tempat berdiam diri,
beraktivitas dan melakukan segala kegiatan kehidupan sehari-hari.
Wilayah persekutuan masyarakat hukum adat terdiri atas wilayah
petuanan darat dan wilayah petuanan laut. Pada wilayah petuanan darat
masyarakat hukum adat di Maluku Tengah dapat di temukan tanah adat
masing-masing:
1. Tanah dati; tanah dati adalah tanah yang didapatkan sebagai
kompensasi melakukan pelayaran Hongi
2. Dusun dati; dusun dati merupakan dusun yang diberikan kepada
seseorang atau suatu persekutuan atau kerabat atau cabang
144
kerabat sebagai kompensasi atau imbalan atas prestasi mereka
karena telah melakukan tugas atau pekerjaan dati.Pemberian
dusun dati bukan hanya untuk waktu tertentu saja tetapi untuk
seterusnya selama persekutuan dati masih berdiri dan
menjalankan tugas-tugas dati.
3. Tanah ewang ; mengenai pengertian tanah daratan harus
dibedakan antara tanah ewang dan dusun. ewang adalah tanah
yang belum diusahakan atau digarap oleh tangan manusia;
diperusah menurut istilah masyarakat adat setempat dan masih
merupakan tanah liar.
4. Aong ; pada mulanya adalah hutan belukar yang dibuka atau
diperusah oleh seorang anak negeri dengan ijin negeri untuk
membabat hutan itu dan kemudian menanaminya. Biasanya
yang ditanam adalah tanam-tanaman umur pendek seperti
jagung, kasbi, sayur-mayur, ubi-ubian dan tanaman musiman.
5. Dusun perusahan atau dusun tetanaman adalah dusun yang
dibuka atau diperusah sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh
anak negeri, di atas tanah petuanan biasanya tanah yang masih
berupa ewang.
6. Dusun negeri; tanah atau dusun milik persekutuan masyarakat
hukum adat yang dapat ditanami dan hasilnya dimasukan ke kas
negeri.
145
Walaupun terdapat beberapa jenis tanah adat tetapi tidak ada
keseragaman jenis tanah adat pada masing-masing negeri adat. Pada
satu negeri adat dapat ditemukan tanah adat yang beraneka ragam tetapi
bisa juga pada negeri adat yang lain hanya ada dua atau tiga jenis tanah
adat saja.
Tabel 1. Tanah-tanah adat di Maluku Tengah.
NEGERI TANAH/DUSUN
DATI DUSUN NEGERI
EWANG AONG DUSUN
PERUSAH
HATU NEGERI LIMA LARIKE TENGA-TENGA HITU LAMA
Sumber : Data Primer, dan diolah
Pada negeri-negeri adat di Maluku Tengah dapat ditemukan
tanah-tanah adat sebagai berikut :
1. Pada negeri Hatu terdapat tanah dan dusun dati, dusun negeri,
ewang, aong dan dusun perusah.
2. Pada Negeri Lima terdapat tanah atau dusun dati, dusun negeri,
ewang, aong, dusun perusah.
3. Pada Negeri Larike terdapat Tanah atau Dusun Dati, Dusun
Negeri, Ewang, Aong dan Dusun Perusah.
4. Pada negeri Tenga-tenga terdapat dusun negeri, ewang,aAong,
dusun perusah.
146
5. Pada negeri Hitulama terdapat dusun negeri, ewang, aong,
dusun perusah. Pada negeri Hitulama tanah dati dikenal dengan
penyebutan yang berbeda yaitu tanah negeri.
Tanah-tanah adat yang berada dalam wilayah persekutuan
masyarakat hukum adat dan termasuk didalamnya adalah tanah dati
jumlahnya tidak pasti dalam setiap negeri adat. Ada pada satu negeri
adat jumlahnya banyak namun di negeri adat lainnya jumlahnya lebiih
sedikit bahkan tidak ada sama sekali.
Pada negeri-negeri adat di MalukuTengah tidak semua negeri
memiliki tanah atau dusun dati dan dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pada negeri Hatu, memiliki tanah/dusun dati namun jumlah tidak
diketahui dengan pasti. Biasanya nama dati sesuai dengan nama
marga yang memilikinya.
2. Pada Negeri Lima; memiliki tanah/dusun dati namun jumlah tidak
diketahui dengan pasti.Biasanya nama dati disesuaikan dengan
nama marga yang memilikinya.
3. Pada negeri Larike; memiliki tanah/dusun dati namun jumlahnya
tidak diketahui dengan pasti. Biasanya nama dati sesuai dengan
nama marga yang memilikinya.
4. Pada negeri Tenga-Tenga; tidak memiliki tanah dati.
5. Pada negeri Hitulama, walaupun tidak memiliki tanah dati tapi
pengaturan tanah negeri memiliki kemiripan dengan tanah dati.
147
Tanah dati hanya berada di kabupaten Maluku Tengah yang memiliki
wilayah petuanan pada negeri-negeri adat. Pada awalnya tanah dati
adalah tanah atau wilayah petuanan yang dimiliki secara komunal
sebagai balas jasa keikutsertaan kaum laki-laki dalam pelayaran hongi di
jaman penjajahan Belanda. Keikutsertaan laki-laki dalam pelayaran Hongi
dengan meninggalkan perempuan dalam hal ini isteri dan anak-anak
sehingga oleh pemerintah negeri diberikan bidang tanah untuk diolah dan
diambil hasilnya guna menghidupi keluarga-keluarga yang ditinggalkan
selama pelayaran hongi. Tanah dati awalnya hanya dihaki dengan hak
pakai karena hak petuanan masyarakat adat diberikan kepada
persekutuan dati untuk mengolah dan mengambil hasil guna menghidupi
keluarga yang ditinggalkan.
Tanah dati yang berada dalam wilayah persekutuan masyarakat
adat dapat dimiliki oleh persekutuan-persekutuan dati yang ada. Jumlah
persekutuan dati dalam suatu negeri bervariasi disebabkan karena jumlah
masyarakatpun berbeda-beda. Ada dalam suatu persekutuan masyarakat
hukum adat yang memiliki jumlah dati yang banyak tetapi ada juga yang
jumlahnya sedikit. Namun perbedaan jumlah dati dalam suatu
persekutuan tidak ditentukan hanya oleh jumlah penduduk yang ada
didalamnya.
Di dalam persekutuan dati dikenal ada beberapa jenis dati yaitu :
148
1. Tanah dati; tanah yang diatasnya ditanami dengan tanam-
tanaman berumur panjang yang dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga yang ditinggalkan untuk tugas
pelayaran hongi dan kemudian dihaki dengan hak pakai. Yang
semula adalah hak komunal dan kemudian menjadi hak
perorangan yang dalam perkembangannya dapat dimiliki dan
dihaki hak milik.
2. Dusun dati; yang dimaksudkan disini bukanlah tanahnya atau
tanamannya saja tetapi tanah dengan semua tanaman yang ada
di atas tanah dati yang dimiliki secara bersama-sama.
3. Dusun pusaka dati; dusun perusahan yang diusahakan atau
diperusah secara pribadi oleh seorang anggota dati baik laki-laki
maupun perempuan di atas dusun atau tanah dati milik bersama
dari seluruh anak-anak dati dan tulung-tulung dati dari
persekutuan dati yang bersangkutan. (Ziwar Effendi,
2006:141,144).
Dati sebagai suatu persekutuan juga memiliki personalia yang
terdiri dari :
a. Kepala dati; kepala dati memiliki tugas yang berat karena
bertanggung jawab atas persekutuan dati yang dipimpinnya,
bahkan sampai dapat melakukan pembelaan di depan sidang
pengadilan atas nama persekutuan datinya. Kepala dati dalam
149
menjalankan tugasnya tidak berdiri sendiri namun perlu saran
dari tulung dati dan anak dati untuk memutuskan sesuatu hal.
b. Tulung dati; tulung dati sebenarnya bukan warga asli
persekutuan dati tapi dapat diangkat untuk menjalankan
tugasnya membantu penyelenggaraan tugas-tugas dati.
c. Anak dati ; anak dati adalah warga asli persekutuan dati dan
dapat mewarisi tanah dati yang ada dalam wilayah persekutuan.
Personalia dati bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap
keberadaan tanah-tanah dati dalam suatu persekutuan dati. Tanah-tanah
dati ditanami dengan tanam-tanaman umur panjang yang berguna untuk
memenuhi kebutuhan hidup anggota-anggota persekutuan dati.
Tumbuhnya tanaman-tanaman di atas tanah atau dusun dati biasa
melalui tiga cara yaitu : Pertama, tanam-tanaman tersebut sudah ada di
atas tanah/dusun dati tumbuh secara alamiah dan merupakan tanam-
tanaman dati pertama yang diterima oleh datinya pada waktu penyerahan
dusun sebagai kompensasi atas pelaksanaan tugas-tugas dati;
Kedua,Dengan sengaja ditanam bersama-sama anggota dati untuk
kepentingan seluruh anggotanya atau persekutuan dati tersebut; Ketiga,
Tanam-tanaman yang merupakan hasil perusahan atau tanam-tanaman
perusahan pribadi dari seorang anggota dati di atas tanah dati.Tanam-
tanaman tersebut merupakan milik pribadi dari orang yang menanamnya
dan dapat diwariskan secara pribadi pada keturunannya. Jika pemilik
150
tanaman tidak memiliki keturunan laki-laki maka tanam-tanaman tersebut
jatuh menjadi milik persekutuan dati. (Ziwar Effendi,1986: 143)
Perempuan dalam segala keterbatasannya dan dikaitkan dengan
beratnya tugas sebagai kepala dati maupun tulung dati dan anak dati
maka dianggap tidak pantas dan tidak bisa menjadi kepala dati maupun
tulung dati dan anak dati.
Terhadap tanah dati yang ada dalam persekutuan dati dapat
dihaki dengan hak-hak sebagai berikut :
a. Hak menikmati dusun dati; hak menikmati dusun dati biasanya
dikenal dengan istilah “makan dati” sama-sama berhak
menikmati dusun-dusun dati. Dusun-dusun dati hanya boleh
“dihaki” dan dinikmati atau dimakan oleh anggota-anggota
persekutuan dati bersama keluarganya.
Terhadap tanah dati yang ada dalam persekutuan dati dapat
dinikmati oleh :
1. Pada negeri Hatu, hanya anggota persekutuan dati yang
berhak menikmati hasil dari tanah.dusun dati.
2. Pada Negeri Lima, hanya anggota persekutuan dati yang
berhak menikmati hasil dari tanah dati namun orang dari
luar persekutuan juga dapat menikmati dengan ijin dari
anggota persekutuan dati.
151
3. Pada negeri Larike, hanya anggota persekutuan dati saja
yang berhak menikmati hasil dari tanah/dusun dati.
4. Pada negeri Tenga-Tenga tidak memiliki hak atas tanah
dati.
5. Pada negeri Hitulama, walaupun tidak memiliki
tanah/dusun dati namun pengaturan terhadap tanah
negeri memiliki kesamaan dengan tanah dati.
b. Hak dati anak perempuan yang belum kawin; walaupun anak
perempuan tidak bisa menjadi anak dati atau tulung dati namun
selama mereka belum kawin maka mereka boleh turut menikmati
dusun dati dan hasil-hasilnya.
Hak dati anak perempuan yang belum kawin dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Pada negeri Hatu, anak perempuan yang belum kawin
boleh menikmati tanah/dusun dati.
2. Pada Negeri Lima, anak perempuan yang belum kawin
boleh menikmati tanah/dusun dati.
3. Pada negeri Larike, anak perempuan yang belum kawin
boleh menikmati tanah/dusun dati.
4. Pada negeri Tenga-Tenga, karena tidak memiliki
tanah/dusun dati maka tidak dikenal pengaturan seperti
ini.
152
5. Pada negeri Hitulama, karena tidak memiliki tanah/dusun
dati maka tidak mengenal pengaturan seperti ini.
Hubungan perempuan dengan tanah dati dapat dibedakan sebagai
berikut :
I. Pada masa lampau; perempuan sudah mempunyai keterkaitan
dengan tanah sejak jaman penjajahan Belanda di mana kaum
perempuan ditinggal oleh kaum laki-laki untuk melakukan
pelayaran hongi sebagai bentuk kewajiban yang diberikan oleh
Belanda sebagai penjajah.
Hubungan perempuan dengan tanah dapat terbagi dalam :
Sistem kekerabatan; sistem kekerabatan di Maluku
Tengah adalah patrilineal yang bersistem kebapakan
sehingga perempuan tidak memiliki hak yang sama
dengan laki-laki. Sistem patrilineal yang menjunjung
kedudukan laki-laki memberikan porsi utama bagi kaum
laki-laki sedang kaum perempuan hanya dapat menikmati
hak atas tanah dengan hak pakai saja.
Hukum adat; Hukum adat yang berlaku pada masing-
masing wilayah masyarakat hukum adat tentu berbeda
antara satu daerah/negeri dengan lainnya. Hukum adat
pada beberapa wilayah mengakui hak kaum perempuan
153
tetapi ada juga yang tidak mengakui hak dan kedudukan
kaum perempuan.
Hukum Negara; hukum Negara tidak memberikan
perbedaan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan,
laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kedudukan yang
sama dalam hukum Negara.
Universal (gender); Secara universal/pemikiran yang
berperspektif gender maka hak dan kedudukan antara
laki-laki dengan perempuan tidak dibedakan. Perempuan
memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki.
II. Pada masa sekarang; pada masa sekarang ini persamaan hak
dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dapat ditelusuri
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu:
Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam bidang hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Tidak dibedakan antara laki-laki dan
perempuan, semuanya memiliki kedudukan yang sama
dalam bidang hukum dan pemerintahan. Hak Bangsa lahir
sebagai karunia Tuhan dan bukan hak diberikan Negara
154
kepada warganegara. Hak bangsa adalah hak kodrati
yang dimiliki manusia sejak dilahirkan.
Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hukum
tidak pernah membedakan kedudukan perempuan dan
laki-laki, semuanya sama kedudukan dihadapan hukum.
Kedudukan dan kesempatan yang sama antara laki-laki
dan perempuan juga ada dalam hal memperoleh hak dan
kesempatan yang sama untuk memiliki hak atas tanah.
Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
mengatakan bahwa “Setiap warga negara Indonesia baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dari hasilnya baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya”. Ketentuan Pasal 9 ayat (2)
UU No.5 Tahun 1960 lebih mempertegas keseteraan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan bahwa
perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki
untuk memperoleh hak atas tanah. Undang-Undang
155
Pokok Agraria dengan dasar Hukum Adat sangat
menjunjung tinggi Hukum Adat namun juga bersumberkan
Hukum Agama dengan mengakomodasikan sistem,
hukum yang lain. Jadi UUPA juga mengakomodasi
pluralisme hukum.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 sebagai bentuk Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita, menyatakan pada Pasal 2 Lampiran Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dinyatakan
bahwa : “Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi
terhadap wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat
untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan
tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi
terhadap wanita, dan untuk tujuan ini melaksanakan :
a. Mencantumkan asas persamaan antara pria dan
wanita dalam undang-undang dasar nasional mereka
atau perundang-undangan yang tepat lainnya, jika
belum termasuk didalamnya, dan untuk menjamin
realisasi praktis dari azas ini, melalui hukum dan cara-
cara lain yang tepat;
156
b. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat
dan langkah tindak lainnya, termasuk sanksi-sanksinya
di mana perlu, melarang segala bentuk diskriminasi
terhadap wanita ;
c. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak
wanita atas dasar yang sama dengan kaum pria dan
untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang
kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya,
perlindungan yang efektif terhadap wanita dari setiap
tindakan diskriminasi ;
d. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek
diskriminasi terhadap wanita, dan untuk menjamin
bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-
lembaga negara akan bertindak sesuai dengan
kewajiban tersebut
e. Melakukan langkah tindak yang tepat untuk
menghapus perlakuan diskriminasi terhadap wanita
oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan ;
f. Melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang, untuk mengubah atau
menghapus undang-undang, peraturan-peraturan,
157
kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik yang
diskriminatif terhadap wanita .
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
sebagai bentuk Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita, menyatakan pada Pasal 15 bahwa : “Negara-
negara Peserta wajib memberikan kepada wanita
persamaan hak dengan pria di muka hukum .” Indonesia
sebagai negara yang turut meratifikasi Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita wajib memberikan legitimasi terhadap persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan dalam hukum.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
c. Hak dati anak perempuan yang sudah kawin; anak perempuan
yang sudah kawin hilang hak makan dati dari dati asalnya dan
beralih makan dati suaminya. Berhentinya hak makan dati anak
perempuan yang sudah kawin didasarkan pada pemikiran
sebagai berikut : Pertama, Dengan kawinnya anak perempuan itu
maka anak perempuan yang berasal dari susunan kekerabatan
yang patrilinial dikeluarkan dari kerabat asalnya dan beralih atau
158
berpindah menjadi anggota kerabat suaminya sehingga ia hilang
hak-hak atas dusun dati orangtuanya untuk kemudian beralih
masuk dalam dati suaminya; Kedua, Jika anak perempuan yang
sudah kawin masih diperkenankan makan dati dari dati asalnya
maka akan berakibat dia “makan dua diperkenankan dalam
ketentuan-ketentuan hukum dati yang menentukan bahwa
seorang hanya diperbolehkan makan satu dati saja; Ketiga,
Kalau anak perempuan yang sudah kawin masih diperkenankan
makan dati asalnya dan jika kemudian dia meninggal dunia,
dusun dati yang dinikmatinya akan diwariskan kepada
keturunannya sehingga akan berakibat berpindahnya dusun dati
dari dati asalnya jatuh kepada kerabat suaminya dan itu
merupakan orang dari luar persekutuan dati dan hal ini
bertentangan dengan ketentuan hukum dati bahwa dusun-
dusun/tanah-tanah dati tidak dapat dialihkan kepada orang dari
luar persekutuan dati.
Tabel 2.
Hak dati Anak Perempuan yang Sudah Kawin
NEGERI HAK DATI ANAK PEREMPUAN
YANG SUDAH KAWIN TIDAK ADA TANAH/DUSUN
DATI
HATU LEPAS NEGERI LIMA LEPAS LARIKE LEPAS TENGA-TENGA TIDAK ADA DATI HITU LAMA TIDAK ADA DATI
Sumber : Data Primer, dan diolah
159
Hak anak perempuan yang sudah kawin dalam masyarakat
hukum adat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pada negeri Hatu, hak anak perempuan yang sudah kawin
lepas dari dati asal bapaknya,dia masuk dalam
persekutuan dati suami dan “makan dati” suaminya.
2. Pada Negeri Lima, hak anak perempuan yang sudah
kawin lepas dari dati asal bapaknya dan masuk dalam
persekutuan dati suaminya dan “makan dati” suaminya.
3. Pada negeri Larike, hak anak perempuan yang sudah
kawin lepas dari dati asal bapaknya dan masuk dalam
persekutuan dati suaminya dan “makan dati” suami.
4. Pada negeri Tenga-Tenga tidak dikenal tanah/dusun dati
karenanya tidak dikenal pengaturan seperti ini.
5. Pada negeri Hitulama, tidak dikenal tanah/dusun dati
karenanya tidak dikenal pengaturan seperti ini.
d. Hak anak perempuan atas dusun pusaka dati; Bagi anak
perempuan yang telah kawin tetap boleh turut menikmati dan
mewariskan hasil tanam-tanaman pusaka dati bapaknya dan ini
berbeda dengan ketentuan pada hak atas dusun dati yang tidak
boleh dikuasai oleh anak perempuan yang sudah kawin.
160
Hak dati anak perempuan atas dusun pusaka dati dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pada negeri Hatu, anak perempuan yang sudah kawin
boleh menikmati dusun pusaka dati.
2. Pada Negeri Lima, anak perempuan yang sudah kawin
boleh memiliki hak untuk menikmati hasil dari tanah/dusun
pusaka dati.
3. Pada negeri Larike, anak perempuan yang sudah kawin
boleh memiliki hak untuk menikmati hasil dari tanah/dusun
pusaka dati.
4. Pada negeri Tenga-Tenga karena tidak memiliki tanah dati
maka tidak dikenal pengaturan ini.
5. Pada negeri Hitulama juga karena tidak memiliki
tanah/dusun dati maka tidak mengenal pengaturan seperti
ini.
e. Hak dati perempuan yang kawan hidup bersama; seorang
perempuan kawan hidup bersama tidak berhak menuntut atau
mewarisi tanam-tanaman yang telah ditanam bersama kawan
hidup bersamanya di atas dusun dati laki-laki tersebut.
161
Hak dati dari perempuan yang hidup bersama dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Pada negeri Hatu, perempuan yang hidup bersama tidak
memiliki hak atas dati kawan hidup bersamanya.
2. Pada Negeri Lima, tidak ditemukan pasangan yang hidup
bersama sehingga tidak dikenal pengaturan seperti ini.
3. Pada negeri Larike, tidak ditemukan pasangan yang hidup
bersama sehingga tidak dikenal pengaturan seperti ini.
4. Pada negeri Tenga-Tenga, tidak mengenal tanah/dusun
dati.
5. Demikian juga halnya dengan negeri Hitulama yang tidak
mengenal tanah/dusun dati.
f. Hak dati anak luar nikah; hak dati anak luar nikah yang tidak
diakui oleh bapaknya maka dia masuk makan dati dari dati asal
ibunya namun jika dia diakui oleh bapaknya dan kemudian
masuk memakai marga/fam bapaknya maka dia berhak makan
dati bapaknya.
Tabel 3. Hak dati Anak Luar Nikah
Sumber : Data Primer, dan diolah
NEGERI HAK DATI ANAKLUAR NIKAH
HATU HANYA DARI DATI IBU NEGERI LIMA HANYA DARI DATI IBU LARIKE HANYA DARI DATI IBU TENGA-TENGA HITU LAMA
162
Hak dati anak luar nikah dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pada negeri Hatu, hak anak luar nikah sepanjang tidak
diakui oleh bapaknya maka hanya memperoleh hak dati
dari dati ibunya.
2. Pada Negeri Lima, hak anak luar nikah sepanjang tidak
diakui oleh bapaknya maka hanya memperoleh hak dari
dati ibunya.
3. Pada negeri Larike, anak luar nikah sepanjang tidak diakui
oleh bapaknya maka hanya memperoleh hak dati dari
ibunya.
4. Pada negeri Tenga-Tenga, yang tidak mengenal
tanah/dusun dati maka tidak ditemukan pengaturan seperti
ini.
5. Pada negeri Hitulama yang juga tidak ditemukan
tanah/dusun dati maka pengaturan seperti inipun tidak
ditemukan.
Tanah dati dengan hak-hak yang melekat di atasnya tidak
bersifat kekal namun dapat juga hilang atau bisanya dikenal dengan “dati
lenyap” disebabkan oleh :
Tidak lagi mempunyai keturunan laki-laki atau anggota-anggota
dati laki-laki yang dapat meneruskan tugas-tugas dati.
163
Jika seorang yang semula terdaftar sebagai anak dati atau
tulungdati namun kemudian meninggalkan negerinya dan tidak
bertempat tinggal disitu lagi/pergi merantau dalam waktu yang
cukup lama dan tidak menjalin hubungan atau hubungannya
putus sama sekali.
Pada negeri-negeri adat baik Hatu, Negeri Lima maupun Larike
ditemukan adanya dati-dati lenyap yang disebabkan tidak
dimilikinya keturunan laki-laki dalam persekutuan dati suatu
masyarakat hukum adat.
B. Tatanan Nilai Patriarki dalam Masyarakat Hukum Adat Maluku
Tengah
Maluku Tengah sebagai bagian dari Provinsi Maluku terdiri dari
wilayah laut maupun darat. Wilayah persekutuan masyarakat hukum adat
dikenal dengan istilah “petuanan”. Petuanan masyarakat hukum adat
terdiri atas : (1) Petuanan Laut dan (2) Petuanan Darat.
Wilayah petuanan laut milik suatu persekutuan masyarakat
hukum adat dibatasi oleh batas-batas alam yang terkadang menimbulkan
masalah antar negeri dalam wilayah Provinsi Maluku. Wilayah petuanan
darat masyarakat hukum adat di Maluku Tengah dibatasi dengan batas
alam seperti hutan, pohon-pohon tertentu, sungai dan lain sebagainya.
Selain batas-batas alam yang sudah disepakati maka penetapan batas-
164
batas dapat ditunjukkan oleh Kepala Dati dengan tanah-tanah yang
berbatasan dan dibuatkan tanda-tanda batasnya dengan menanami
pohon atau menanam patok dari beton. Tanah dati termasuk didalam
salah satu jenis tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat di
Maluku Tengah.
Masyarakat hukum adat dalam menjalankan kehidupan bersama
mereka sangat menjunjung nilai-nilai warisan nenek moyang yang
dipercaya sungguh sebagai hal yang diagungkan dan harus dipegang
teguh dan bila dilanggar akan membawa malapetaka bukan hanya bagi
anggota persekutuan yang melanggarnya tetapi bagi masyarakat hukum
adat secara menyeluruh.
Nilai-nilai yang mengayomi kehidupan bersama masyarakat
hukum adat Maluku Tengah dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Hak atas tanah dati hanya berlaku pada satu dati saja, seorang
tidak diperbolehkan memperoleh hak lebih seorang yang pindah
makan dati ke dati lain maka hak makan dati pada dati asalnya
demi hukum hapus karena seseorang hanya boleh makan satu
dati saja.
165
Tabel 4. Hak Makan Satu Dati
Sumber : Data Primer, dan diolah
Dalam hukum dati atau dati stelsel dikenal pengaturan bahwa
seseorang hanya boleh makan dari satu dati saja yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pada negeri Hatu, seseorang hanya boleh makan dari
satu dati saja dan tidak diperkenankan makan dari dua
dati.
Pada Negeri Limapun demikian hanya dapat makan dari
satu dati saja.
Pada negeri Larike, seseorang hanya dapat makan dari
satu dati saja.
Pada negeri Tenga-Tenga yang tidak mengenal
tanah/dusun dati maka tidak ditemui pengaturan seperti
demikian.
Pada negeri Hitulama walaupun tidak dikenal tanah dati
namun pengaturan tentang tanah negeri mempunyai
kemiripan dengan pengaturan seperti demikian.
NEGERI HAK MAKAN SATU DATI
HATU YA NEGERI LIMA YA LARIKE YA TENGA-TENGA - HITU LAMA -
166
2. Nilai patriarki yang hanya memberikan hak untuk mengusai tanah
dati bagi kaum laki-laki saja.
Tabel 5. Nilai Patriarki dalam penguasaan tanah dati
Sumber : Data Primer, dan diolah
Nilai patriarki yang ada dalam masyarakat hukum adat dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Pada masyarakat adat negeri Hatu, nilai patriarki yang
menjunjung dominasi laki-laki dalam penguasaan tanah
dati mulai berubah dengan diakuinya hak perempuan atas
tanah dati.
Pada masyarakat adat Negeri Lima, nilai patriarki yang
menjunjung dominasi laki-laki dalam penguasaan tanah
dati masih kental dan sangat dipegang teguh.
Pada masyarakat adat Larike, nilai patriarkipun masih
melekat dan mendominasi kehidupan bersama
masyarakatnya di mana hak laki-laki dalam penguasaan
tanah dati sangat dijunjung dan dipegang teguh sebagai
nilai warisan nenek moyang yang sacral.
NEGERI NILAI PATRIARKI
HATU NEGERI LIMA LARIKE TENGA-TENGA HITU LAMA
BERUBAH TIDAK TIDAK - -
167
Pada masyarakat adat negeri Tenga-Tenga yang tidak
mengenal tanah/dusun dati maka tidak ditemukan hal
seperti ini.
Pada masyarakat adat negeri Hitulama pun tidak
mengenal tanah/dusun dati sehingga pengaturan yang
demikianpun tidak ditemukan.
3. Kaum perempuan hanya boleh menikmati hasil tanaman dalam
lingkungan persekutuan dati tanpa ada hak untuk menguasai
bahkan memilikinya.
Hak menikmati tanah dati oleh Perempuan dapat dijelaskan
sebagai berikut
Pada negeri Hatu, perempuan boleh menikmati tanah dati
serta hasil-hasil yang ada diatas tanah tersebut.
Pada Negeri Lima, perempuan boleh menikmati tanah dati
serta hasil-hasil yang ada diatas tanah tersebut.
Pada negeri Larike, perempuan boleh menikmati tanah
dati serta hasil-hasil yang ada diatas tanah tersebut.
Pada negeri Tenga-Tenga tidak ditemukan hal ini
Pada negeri Hitulama juga tidak ditemukan hal ini.
4. Hak makan dati anak perempuan yang sudah kawin menjadi
hapus dengan keluarnya dia dari persekutuan dati bapaknya dan
masuk dalam persekutuan dati suami.
168
Tabel 6.
Hak makan dati oleh perempuan yang sudah kawin
Sumber : Data Primer, dan diolah
Hak makan dati perempuan yang sudah kawin dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, hak makan dati perempuan yang sudah
kawin hapus karena dia masuk dalam dati suami .
Pada Negeri Lima, perempuan yang sudah kawin haknya
hapus karena dia masuk dalam persekutuan dati suami.
Pada negeri Larike, perempuan yang sudah kawin haknya
hapus karena dia masuk dalam dati suaminya.
Pada negeri Tenga-Tenga, tidak mengenal pengaturan ini.
Pada negeri Hitulama , tidak mengenal pengaturan ini.
5. Hak menikmati dusun pusaka dati bagi janda masih berlaku
sepanjang dia belum menikah lagi.
Hak menikmati dusun pusaka dati bagi janda dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, hak menikmati janda atas dusun tetap
ada sepanjang dia belum kawin lagi.
NEGERI HAK MAKAN DATI PEREMPUAN
YANG SUDAH KAWIN
HATU HAPUS NEGERI LIMA HAPUS LARIKE HAPUS TENGA-TENGA - HITU LAMA -
169
Pada Negeri Lima, hak menikmati janda atas dusun
pusaka dati ada sepanjang dia belum kawin lagi.
Pada negeri Larike, hak menikmati janda atas dusun
pusaka dati ada sepanjang dia belum kawin lagi.
Pada negeri Tenga-Tenga tidak ditemukan hal seperti ini.
Pada negeri Hitulama tidak ditemukan pengaturan seperti
ini.
6. Hak dati atas anak luar nikah dapat diberlakukan jika ada
pengakuan dari bapak kandung terhadap anak itu.
Tabel 7. Hak dati anak luar nikah yang sudah mendapat pengakuan dari bapak
Sumber : Data Primer, dan diolah
Hak dati anak luar nikah yang sudah diakui bapak dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Hak anak luar nikah yang sudah diakui dapat mewarisi
dati bapak pada negeri Hatu.
Pada Negeri Lima, hak anak luar nikah yang sudah diakui
bapaknya dapat mewarisi dati bapaknya.
Pada negeri Larike, hak anak luar nikah yang sudah diakui
bapaknya dapat mewarisi dati bapaknya.
NEGERI HAK ANAK LUAR NIKAH YANG
SUDAH MENDAPAT PENGAKUAN
HATU DAPAT MEWARISI NEGERI LIMA DAPAT MEWARISI LARIKE DAPAT MEWARISI TENGA-TENGA - HITULAMA -
170
Pada negeri Tenga-Tenga, tidak ditemukan pengaturan
seperti demikian.
Pada negeri Hitulama tidak ditemukan pengaturan seperti
demikian.
7. Hak makan dati dari perempuan hidup bersama dan tidak terikat
perkawinan adalah bahwa dia tidak berhak menuntut dan
menikmati tanam-tanaman yang berada dalam tanah dati
tersebut.
Tabel 8.
Hak makan dati perempuan yang hidup bersama
NEGERI HAK MAKAN DATI PEREMPUAN
YANG HIDUP BERSAMA
HATU TIDAK ADA NEGERI LIMA - LARIKE - TENGA-TENGA - HITU LAMA -
Sumber : Data Primer, dan diolah
Hak makan dati perempuan yang hidup bersama pada beberapa
negeri adat dapat dijelaskan sebagai berikut :
Hak makan dati perempuan yang hidup bersama pada
negeri Hatu atas dati laki-laki pasangannya tidak ada
Tidak ditemukan pasangan yang hidup bersama pasangan
hidup bersama di Negeri Lima.
Tidak ditemukan pasangan yang hidup bersama di negeri
Larike.
171
Pada negeri Tenga-Tenga tidak ditemukan pasangan
hidup bersama serta pengaturan seperti demikian.
Pada negeri Hitulama tidak ditemukan pasangan hidup
bersama serta pengaturan seperti demikian.
8. Hak atas tanah dati dari anak perempuan yang sudah kawin
namun suaminya meninggal atau karena bercerai maka haknya
tidak dapat dipulihkan, dia tetap tidak dapat memiliki hak dari dati
asalnya, tetapi karena pertimbangan kemanusiaan maka dia
hanya diberika hak menikmati saja namun itupun harus melalui
persetujuan dari anak-anak dan tulung dati lainnya.
Tabel 9 Hak makan dati perempuan yang suaminya meninggal
NEGERI HAK MAKAN DATI PEREMPUAN YANG
SUAMINYA MENINGGAL
HATU ADA NEGERI LIMA ADA LARIKE ADA TENGA-TENGA - HITU LAMA -
Sumber : Data Primer, dan diolah
Bagi perempuan yang telah ditinggal suaminya karena meninggal
maka pengaturan atas hak makan datinya sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, perempuan yang ditinggalkan suami
karena meninggal karena faktor kemanusiaan masih
diberikan hak untuk menikmati/makan dati dari dati suami
yang sudah meninggal tersebut sepanjang dia belum kawin
lagi.
172
Pada Negeri Lima, perempuan yang ditinggalkan suami
meninggal juga dapat menikmati/makan dati suaminya
dengan pertimbangan kemanusiaan.
Pada negeri Larike, perempuan yang ditinggalkan suami
meninggal dapat menikmati/makan dati suami dengan
pertimbangan kemanusiaan.
Pada negeri Tenga-Tenga,tidak dikenal pengaturan seperti
ini.
Pada negeri Hitulama juga tidak dikenal pengaturan seperti
ini.
Pada tanggal 1 Juni 1923, Residen Amboina mengeluarkan
keputusan mencabut hukum dati yang menguatkan kedudukan anak
perempuan atas tanah dati; perempuan yang semula hanya dapat
menikmati dan mengambil hasil dari tanam-tanaman namun dengan
adanya keputusan itu tanah dati dapat diwariskan kepada ahli waris tanpa
memandang laki-laki atau perempuan. Perkembangan hukum dati yang
telah dicabut telah merubah status tanah dati yang semula hanya berupa
tanah milik persekutuan (komunal) dan dihaki dengan hak pakai
berubahmenjadi tanah miik perorangan yang dapat diwariskan dengan
hak milik.
Perkembangan yang membawa dampak positif bagi kedudukan
perempuan dalam penguasaan tanah dati tidak serta merta mengubah
173
pola pikir bahkan tatanan dan struktur masyarakat hukum adat. Pada
masyarakat hukum adat yang masih memegang teguh nilai-nilai patriarki
yang diyakini merupakan warisan nenek moyang yang harus dijunjung,
perubahan ini tidak diterima bahkan dianggap melanggar tatanan
kehidupan masyarakat hukum adat yang sudah mengakar sejak jaman
dahulu. Nilai patriarki yang sudah mulai mengalami perubahan dalam
masyarakat hukum adat adalah perubahan yang tidak dalam bentuk yang
luar biasa atau revolusioner tetapi perubahan yang terjadi adalah bahwa
kaum perempuan sudah dapat memiliki hak yang lebih dibanding pada
masa-masa yang lampau. Perkembangan pola pikir dan terjadinya
perubahan nilai baru mulai terasa pada masa tahun 1980-an di mana
kaum perempuan sudah mulai mengecap pendidikan pada tingkat yang
lebih tinggi sehingga membawa pengaruh terhadap perubahan pola pikir
bahkan perubahan nilai mulai dirasakan oleh masyarakat hukum adat.
Perkembangan nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat
dapat tergambar pada diagram sebagai berikut :
Nilai patriarki yang dominan (Pada masa lampau) ---------
Perubahan Nilai (Pada masa sekarang) -------- Kedudukan Hukum
Perempuan yang lebih (Pada masa yang akan datang).
Nilai patriarki yang sangat dominan pada masyarakat hukum
adat di Maluku Tengah pada masa yang lampau ternyata mulai
mengalami perubahan nilai yaitu dengan diberikan kedudukan yang lebih
174
kepada perempuan dalam penguasaan hak atas tanah dati di masa
sekarang ini dan diharapkan bahwa pada masa yang akan datang
perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam setiap
lini kehidupan masyarakat hukum adat tanpa memandang perbedaan
kelamin sebagai faktor yang dapat dijadikan sebagai pemisah atau
legitimasi kekuatan. Nilai patriarki yang mengalami perubahan membawa
pengaruh positif bagi kedudukan hukum perempuan jika di masa yang
lampau perempuan tidak memiliki hak untuk menguasai tanah dati namun
dengan adanya perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum
adat di Maluku Tengah maka perempuan dapat memiliki hak atas tanah
dati walaupun hanya dapat ditemui pada salah satu negeri yang diteliti
yaitu Negeri Hatu. Namun perubahan nilai dalam hal ini adalah nilai
patriarki yang sudah mulai berubah menjadi tidak dominan seperti semula
diharapkan pada masa yang akan datang perempuan akan memiliki hak
yang sama dengan laki-laki dalam penguasaan tanah dati pada
masyarakat hukum adat di Maluku Tengah.
Masyarakat hukum adat di wilayah Maluku Tengah tidak
menetap pada satu pulau atau daratan yang sama tetapi terpisah antara
pulau Seram, Pulau Haruku, Pulau Ambon. Daerah penelitian yang
dijajaki oleh Penulis masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah (
Hatu, Larike, Negeri Lima, Hitulama).
175
Tatanan nilai-nilai yang menjunjung tinggi dominasi kaum laki-laki
juga berlaku pada masyarakat hukum adat di Maluku Tengah. Nilai-nilai
yang berlaku dan mengatur kehidupan bersama merekapun sangat
menjunjung tinggi nilai patriarki yang adalah warisan nenek moyang dan
sangat dipegang teguh oleh masyarakat. Nilai patriarki yang menjunjung
dominasi laki-laki dalam setiap sektor kehidupan diyakini sungguh
sebagai nilai peninggalan nenek moyang yang harus dijaga, dan dijamin
keutuhan dan kelestariannya. Peninggalan warisan nilai dijadikan patokan
dalam mengatur perilaku kehidupan bersama masyarakat hukum adat.
Laki-laki dan perempuan dalam masyarakat hukum adat yang
patrilinial berdasarkan faktor fisiknya sudah terbagi dalam ranahnya
masing-masing, laki-laki bertanggungjawab dalam ranah publik sedang
perempuan memiliki tanggungjawab dalam ranah privat. Tanggungjawab
dan tugas yang dipikul oleh baik laki-laki maupun perempuan sudah jelas
batasannya sehingga perempuan dianggap sebagai warga kelas dua
yang tidak memiliki kemampuan atau kapabilitas dalam ranah publik.
Pembagian kelas berdasarkan perbedaan jenis kelamin sudah
mengakar dalam masyarakat hukum adat yang menjunjung tradisi dan
adat yang adalah warisan nenek moyang. Tradisi akan nilai yang
menjunjung dominasi laki-laki mengakar dan teraktualisasikan dalam
kehidupan bersama setiap saat. Laki-laki tampil sebagai garda terdepan
sedang perempuan sebagai warga kelas dua yang hanya mengisi hari-
176
hari hidupnya sebagai “pengasuh anak dan penjaga rumah”. Dominasi
laki-laki terhadap kaum perempuan sangatlah terasa dan hal ini dapat
terlihat pada tanggungjawab yang dipikul kaum laki-laki antara lain
sebagai :
Pencari nafkah
Pelindung rumahtangga
Penerus keturunan
Pemersatu keluarga
Tugas dan tanggungjawab yang lebih berat diberikan kepada kaum
laki-laki dengan pertimbangan kemampuan fisik laki-laki lebih dibanding
perempuan padahal untuk menyelesaikan setiap persoalan kehidupan
bukan hanya kemampuan secara fisik yang dibutuhkan tetapi lebih
daripada itu kemampuan mental dan intelektual juga sangat berperan
penting.
Pada masyarakat hukum adat di Maluku Tengah secara
khusus pada daerah/negeri yang menajdi objek penellitian ditemukan
bahwa tugas laki-laki dalam keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pada negeri Hatu, laki-laki memiliki tugas yang berat baik
sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga setiap hari tetapi juga sebagai Pelindung yang
memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan
sebagai penerus keturunan maka beban yang dipukl sangat
177
berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus
keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang
dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil
sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik
dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan
keluarga besar/kerabat.
2. Pada Negeri Lima, laki-laki memiliki tugas yang berat baik
sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga setiap hari tetapi juga sebagai pelindung yang
memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan
sebagai penerus keturunan maka beban yang dipikul sangat
berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus
keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang
dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil
sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik
dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan
keluarga besar/kerabat.
3. Pada negeri Larike, laki-laki memiliki tugas yang berat baik
sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga setiap hari tetapi juga sebagai pelindung yang
memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan
sebagai penerus keturunan maka beban yang dipikul sangat
178
berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus
keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang
dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil
sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik
dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan
keluarga besar/kerabat.
4. Pada negeri Tenga-Tenga, laki-laki memiliki tugas yang berat
baik sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga setiap hari tetapi juga sebagai pelindung yang
memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan
sebagai penerus keturunan maka beban yang dipikul sangat
berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus
keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang
dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil
sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik
dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan
keluarga besar/kerabat.
5. Pada negeri Hitulama, laki-laki memiliki tugas yang berat baik
sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga setiap hari tetapi juga sebagai pelindung yang
memberikan rasa aman kepada keluarga yang diayominya dan
sebagai penerus keturunan maka beban yang dipikul sangat
179
berat karena jika tidak ada anak laki-laki sebagai penerus
keturunan yang dimilikinya maka marga/fam tersebut akan hilang
dan yang terakhir sebagai pemersatu keluarga yang tampil
sebagai orang yang dapat menyelesaikan setiap persoalan baik
dalam lingkungan keluarga sendiri mapun dalam lingkungan
keluarga besar/kerabat.
Dalam kenyataannya tugas yang berat yang dipikul oleh kaum
laki-laki sebagai kepala rumahtangga tidak sepenuhnya dapat dijalankan
dalam kehidupan setiap saat dengan baik.
Perkembangan teknologi dan informasi serta tingkat pendidikan
yang lebih membaik membawa dampak pada pola pikir masyarakat
hukum adat khususnya kaum perempuan, jika pada masa-masa yang
lampau perempuan seolah-olah menerima kenyataan kehidupan bahwa
dia hanya sebagai warga kelas dua yang hanya mendiami ranah privat
dalam kehidupannya setiap saat namun dengan perkembangan yang ada
sudah mulai timbul kesadaran akan keberadaannya selaku perempuan
yang memiliki hak dan tanggungjawab yang tidak kalah penting dan
beratnya dibanding dengan kaum laki-laki.
Nilai-nilai patriarki yang berkembang dan dipertahankan
masyarakat hukum adatpun lebih memusatkan perhatian pada
kemampuan laki-laki secara fisik dalam menyelesaikan persoalan
kehidupan misalnya laki-laki dianggap lebih mampu untuk mencari nafkah
180
ke hutan ataupun laut dibandingkan kaum perempuan yang dianggap
memiliki keterbatasan fisik yang mempengaruhi kapabilitasnya dalam
usaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari.
Tabel 10.
Kesadaran kaum perempuan akan hak-haknya
NEGERI
KESADARAN KAUM PEREMPUAN AKAN HAKNYA
HATU MULAI ADA NEGERI LIMA BELUM LARIKE BELUM TENGA-TENGA - HITU LAMA -
Sumber : Data Primer, dan diolah
Timbulnya kesadaran kaum perempuan akan hak-haknya dapat
terlihat pada penjelasan sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, kaum perempuan mulai menyadari hak-
haknya yang sebenarnya tidak berbeda dengan kaum laki-laki.
Pada Negeri Lima, kaum perempuan sepertinya masih
menerima kenyataan hidup bahwa dia hanyalah sebagai
pendamping dalam rumahtangga.
Pada negeri Larike, kaum perempuannya juga masih menerima
kenyataan bahwa haknya lebih dikesamping dibanding kaum
laki-laki.
181
Pada negeri Tenga-Tenga, kaum perempuannya juga masih
tradisional yang menerima kenyataan bahwa kedudukannya lebih
lemah dibanding kaum laki-laki.
Pada negeri Hitulama, kaum perempuannya juga lebih
menyadari kedudukannya lebih lemah dalam kehidupan
bersama.
Timbulnya kesadaran kaum perempuan akan hak dan kewajiban
yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki menimbulkan perubahan dalam
pola pikir dan pandangan dalam menghadapi kehidupan setiap saat.
Jika di masa yang lampau, perempuan seakan-akan hanya
menerima nasib sebagai warga kelas dua yang termarginalkan tetap di
saat sekarang ini, mulai ada kesadaran yang membawa perubahan dalam
pola pikir dan pandangan kaum perempuan dalam memandang hidup dan
kenyataan hidupnya.
Kesadaran kaum perempuan akan hak-haknya membawa
perubahan dalam memandang nilai-nilai kehidupan termasuk didalamnya
nilai patriarki yang menjunjung dominasi kaum laki-laki dalam setiap
aspek kehidupan. Di masa yang lalu, nilai patriarki sangat dijunjung dan
ditaati oleh kaum perempuan namun di masa sekarang ini mulai ada
sedikit pemberontakan yang dilakukan untuk memperjuangkan
persamaan hak dan kewajiban dalam menjalankan kejidupan setiap saat.
182
Pelanggaran terhadap nilai-nilai yang ada dalam kehidupan
dipercaya sungguh akan mendatangkan malapetaka bukan hanya bagi
orang yang melakukan pelanggaran tetapi juga persekutuan masyarakat
tempatnya hidup. Tatanan nilai yang sudah mengakar dalam kehidupan
masyarakat hukum adat tidak selamanya bersifat statis namun dalam
kenyataannya dapat mengalami perubahan nilai yang disebabkan baik
dari dalam masyarakat hukum adat itu sendiri maupun yang berasal dari
luar masyarakat.
Perubahan nilai yang terjadi melalui proses yang sangat panjang
dan memerlukan penyesuaian terhadap perubahan itu sendiri. Proses
perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat yang sangat kaku tentu
lebih sulit dibandingkan pada masyarakat hukum adat yang lebih terbuka
untuk menerima perubahan terhadap nilai-nilai warisan nenek moyang
yang dianggap sangat sakral dan tidak dapat dilanggar.
Perjuangan yang dilakukan kaum perempuan Maluku khususnya
yang dilakukan oleh perempuan-perempuan tangguh yang tergabung
dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memeperjuangkan
hak-hak kaum perempuan mulai terlihat sejak beberapa tahun belakang
ini. Pada tahun 2009 melalui Konperensi Perempuan Maluku dibicarakan
tentang Hak-hak Kaum Perempuan yang termarginalkan dalam
komunitas masyarakat hukum adat khususnya tentang penguasaan tanah
dati oleh perempuan di Maluku.
183
Pemisahan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang
terbagi dalam kelas-kelas sosial tentu akan membawa pemberontakan
dan didasarkan oleh rasa ketidakpuasan yang dimiliki. Sofia dan
Sugihastuti (2003:26) mengemukakan bahwa munculnya ide-ide feminis
berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada
mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan
ketimpangan struktur, sistem dan tradisi dalam masyarakat kemuadian
melahirkan kritik feminis yang termanifestasikan dalam berbagai wujud
baik melalui sikap, penulisan artikel dsb.
Kenyataan biologis yang membedakan antara laki-laki dan
perempuan melahirkan dua teori besar yaitu teori Nature dan teori
Nurture . Teori Nature adalah teori yang menganggap bahwa perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan bersifat kodrati ( nature) . Anatomi
biologis antara laki-laki dan perempuan yang berbeda menjadi faktor
utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin itu. Laki-laki
memiliki peran utama dalam masyarakat karena dianggap lebih kuat ,
lebih potensial dan lebih produktif daripada perempuan. Perbedaan ini
menimbulkan pemisahan fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan
perempuan, laki-laki memiliki peran dalam sektor publik sedang
perempuan memiliki peran dalam sektor domestik.. Sedang teori Nurture
beranggapan perbedaan relasi gender antara laki-laki dan perempuan
184
tidaklah ditentukan oleh faktor biologis melainkan oleh konstruksi
masyarakat. Dengan perkataan lain, bahwa menurut paham Nurture,
peran sosial yang selama ini dianggap baku dan dipahami sebagai doktrin
keagamaan, sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan dan tidak juga
sebagai produk determinisme biologis melainkan produk konstruksi
sosial. Oleh karena itu, nilai-nilai bias gender yang banyak terjadi dalam
masyarakat yang dianggap disebabkan oleh faktor biologis,
sesungguhnya tidak lain adalah konstruksi budaya.
Penguatan yang diberikan oleh teori Nurture disini dimaksudkan
bahwa perbedaan relasi gender bukanlah suatu kehendak Tuhan tetapi
merupakan hasil konstruksi pemikiran masyarakat dalam hal ini
masyarakat hukum adat yang memiliki pola pikir bahwa perempuan
mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki dalam masyarakat
hukum adat, perempuan memiliki keterbatasan yang mengakibatkan
kedudukan lebih lemah dalam masyarakat hukum adat.
Aliran fungsionalisme struktural adalah aliran arus utama IMain
stream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Robert Merton dan
Talcott Parsons. Teori ini tidak secara langsung menyinggung tentang
perempuan. Akan tetapi penganut aliran ini berpendapat bahwa
masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari atas bagian dan saling
berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik, sampai keluarga) dan
masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan
185
(equilibirium) dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi
kaum perempuan (Fakih:1977; 80)
Teori feminis radikal menjelaskan bahwa ada 2 (dua) sistem
kelas sosial yaitu :
1. Sistem kelas ekonomi yang didasarkan pada hubungan produksi
2. Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi;
di mana sistem yang kedua inilah yang menyebabkan
penindasan terhadap kaum perempuan (Bhasin, 1996:36)
Karena itu konsep patriarki merujuk pada sistem kelas yang
kedua yaitu kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki atas
kapasitas reproduksi perempuan. Lebih lanjut lagi penganut teori ini
berpendapat bahwa patriarki adalah sumber ideologi penindasan yang
merupakan sistem hirarki seksual di mana laki-laki memiliki kekuasaan
superior dan privilege.
Pemikiran yang membagi perempuan dan laki-laki dalam kelas
sosial yang berbeda membawa dampak ketidakpuasan yang dimiliki
kaum perempuan bahwa hak dan kewajibannya berbeda dengan laki-laki
padahal dalam hukum Negara antar laki-laki dan perempuan tidak
dibedakan kedudukannya dalam hukum maupun kehidupan setiap saat.
186
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai tentang
Kedudukan Hukum Perempuan atas Tanah Dati di Maluku Tengah
Nilai-nilai yang menjunjung dominasi kaum laki-laki dalam setiap
lini kehidupan mulai mengalami perubahan. Perubahan nilai yang terjadi
dalam Masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal
dari dalam masyarakat itu sendiri maupun yang berasal dari luar
masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan nilai yang berasal
dari dalam masyarakat sendiri( Nanang Martono, 2011: 16-17) terdiri
atas :
1. Sikap masyarakat yang sangat tradisional; sikap tradisional
masyarakat yang sangat menjunjung dan mengagung-agungkan
kepercayaan yang sudah diajarkan nenek moyangnya yang
dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan tidak dapat diubah
lagi Pandangan inilah yang dapat menghambat sebuah
masyarakat untuk melakukan perubahan karena apabila mereka
mencoba untuk mengubah nilai-nilai yang sudah diajarkan dan
diwariskan secara turun temurun dipercaya dapat mendatangkan
malapetaka bagi mereka.
187
Tabel 11. Faktor Sikap Masyarakat yang Tradisional
NEGERI
FAKTOR SIKAP MASYARAKAT YANG TRADISIONAL
HATU MULAI BERUBAH NEGERI LIMA TIDAK BERUBAH LARIKE TIDAK BERUBAH TENGA-TENGA TIDAK BERUBAH HITU LAMA TIDAK BERUBAH
Sumber : Data Primer, dan diolah
Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, sikap masyarakatnya sudah lebih terbuka
untuk menerima perubahan sedang pada empat negeri adat
lainnya, faktor inilah yang sangat berpengaruh sehingga kurang
atau tidak terjadi perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat
khususnya perubahan nilai tentang kedudukan hukum
perempuan dalam penguasaan tanah dati.
2. Sikap masyarakat yang sangat tradisional; sikap tradisional masyarakat
yang sangat menjunjung dan mengagung-agungkan kepercayaan yang
sudah diajarkan nenek moyangnya yang dianggap sebagai kebenaran
yang mutlak dan tidak dapat diubah lagi Pandangan inilah yang dapat
menghambat sebuah masyarakat untuk melakukan perubahan karena
apabila mereka mencoba untuk mengubah nilai-nilai yang sudah
diajarkan dan diwariskan secara turun temurun dipercaya dapat
mendatangkan malapetaka bagi mereka.
188
Tabel 12. Faktor Sikap Masyarakat yang sangat tradisional
Sumber : Data Primer, dan diolah
Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, sikap masyarakat yang tradisional kurang
dirasakan lagi karena sudah lebih terbuka menerima perubahan
nilai sedang pada empat negeri lokasi penelitian lain, faktor
inilah yang sangat berpengaruh sehingga kurang atau tidak
terjadi perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat khususnya
perubahan nilai tentang kedudukan hukum perempuan dalam
penguasaan tanah/dusun dati.
Faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat hukum adat yaitu :
1. Bertambah dan berkurangnya penduduk. Pertambahan jumlah
penduduk akan menyebabkan perubahan jumlah dan persebaran
wilayah pemukiman. Wilayah pemukiman yang semula terpusat
pada satu wilayah kekerabatan akan berubah atau terpancar karena
faktor pekerjaan. Berkurangnya penduduk juga akan menyebabkan
perubahan sosial budaya.
NEGERI
FAKTOR SIKAP MASYARAKAT YANG SANGAT TRADISIONAL
HATU KURANG NEGERI LIMA YA LARIKE YA TENGA-TENGA YA HITU LAMA YA
189
Tabel 13. Faktor Bertambah atau berkurangnya Penduduk
NEGERI
PENGARUH FAKTOR BERTAMBAH ATAU BERKURANGNYA PENDUDUK
HATU TERASA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK
Sumber : Data Primer, dan diolah
Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pada negeri Hatu mulai dirasakan pengaruh
bertambahnya penduduk dalam masyarakat hukum adat
misalnya melalui perkawinan. Perkawinan menyebabkan
terjadinya pertambahan penduduk bahkan dengan
kehadiran pendatang yang membawa nilai-nilai baru
dalam masyarakat menyebabkan mulai terjadi perubahan
pola pikir dan terjadi perubahan nilai dalam masyarakat
hukum adat.
Pada Negeri Lima, kurang dirasakan pengaruh faktor ini
karena masyarakat adat yang ada sepertinya kurang bisa
menerima perubahan yang masuk dan terjadi terhadap
masyarakat hukum adat.
Pada negeri Larike, kurang dirasakan pengaruh faktor ini
karena masyarakat yang lebih tradisional sehingga
190
masuknya perubahan nilai dalam masyarakat kurang
diterima.
Pada negeri Tenga-Tenga, masyarakat hukum adat yang
ada hidup secara berkelompok dalam satu marga yang
sama sehingga sulit untuk menerima kedatangan orang
dari luar persekutuansehingga kurang dirasakan adanya
perubahan nilai dalam masyarakat.
Pada negeri Hitulama, kurang dirasakan pengaruh faktor
ini karena sikap masyarakat yang masih tradisional yang
kurang bisa menerima nilai-nilai baru dalam masyarakat.
2. Kontak dengan budaya lain. Bertemunya budaya yang berbeda
menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun
berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli
maupun budaya asing dan bahkan perpaduan keduanya. Hal ini
dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu saja memperkaya
kebudayaan yang ada.
Tabel 14 Faktor Kontak dengan Budaya Lain
NEGERI
FAKTOR KONTAK DENGAN BUDAYA LAIN
TERASA
HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK
Sumber : Data Primer, dan diolah
191
Faktor kontak dengan budaya lain dalam beberapa masyarakat
hukum adat Maluku Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pada masyarakat adat Hatu, kontak dengan budaya lain
dirasakan pengaruhnya terhadap perubahan nilai-nilai
tradisional dalam masyarakat.
Pada masyarakat Negeri Lima yang masih bersifat
tradisional maka kontak dengan budaya lain tidak
membawa pengaruh terhadap nilai-nilai yang dianut pada
masyarakat.
Pada masyarakat adat Larike yang juga masih bersifat
tradisional maka kontak dengan budaya lain tidak
membawa pengaruh terhadap perubahan nilai dalam
masyarakat.
Pada masyarakat adat Tenga-Tenga yang masih
menjunjung nilai-nilai tradisi warisan nenek moyang maka
kontak dengan budaya lain tidak memberi pengaruh
terhadap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Pada masyarakat adat Hitulama yang juga masih sangat
menjunjung nilai-nilai warisan nenek moyang maka kontak
dengan budaya lain tidak membawa dampak terhadap
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
192
3. Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan merupakan salah satu
faktor yang dapat mengukur tingkat kemajuan suatu masyarakat.
Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir
ilmiah, rasional dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan bagi
manusia untuk menilai apakah kebudayaannya, masyarakatnya mampu
untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman dan memerlukan
sebuah perubahan atau tidak.
Tabel15.
Faktor Sistem Pendidikan yang Maju
NEGERI
FAKTOR SISTEM PENDIDIKAN YANG MAJU
TERASA
HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK
Sumber : Data Primer, dan diolah
Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pada masyarakat negeri Hatu, faktor pendidikan dengan
sistem pendidikan yang maju sangat terasa pengaruhnya
sehingga mulai terjadi perubahan nilai yang mengakui hak
dan kedudukan perempuan dalam penguasaan
tanah/dusun dati.
Pada masyarakat Negeri Lima walaaupun sudah
mengecap pendidikan yang memiliki sistem yang sudah
193
maju namun mereka masih menjunjung nilai-nilai warisan
nenk moyang.
Pada masyarakat Larike juga walaupun telah ada anggota
persekutuan yang sudah mengecap pendidikan yang maju
namun nilai-nilai dalam masyarakat hukum adat masih
dipegang teguh.
Pada masyarakat Tenga-Tenga walaupun juga sudah
mengecap pendidikan maju namun mereka masih sangat
kental dengan nilai-nilai budaya warisan nenek moyang.
Pada masyarakat adat Hitulama juga walaupun sudah
mengecap pendidikan tinggi namun mereka sangat
memegang teguh nilai-nilai budaya warisan nenek
moyang mereka.
4. Penduduk yang heterogen. Masyarakat yang heterogen dengan latar
belakang budaya, ras dan ideologi yang berbeda akan mempermudah
terjadinya pertentangan yang dapat menyebabkan kegoncangan sosial.
Keadaan yang demikian mendorong terjadinya perubahan-perubahan
baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan.
194
Tabel 16. Faktor Penduduk yang Heterogen
NEGERI
FAKTOR PENDUDUK YANG HETEROGEN
TERASA PENGARUHNYA
HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK
Sumber : Data Primer, dan diolah
5. Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Adanya interaksi
antara dua kebudayaan yang berbeda menghasilkan perubahan.
Tabel 17.
Faktor Pengaruh Kebudayaan masyarakat lain
NEGERI
FAKTOR PENGARUH KEBUDAYAAN MASYARAKAT LAIN
TERASA
HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK
Sumber : Data Primer, dan diolah
Adapun penjelasan yang dapat diberikan terhadap tabel di atas
adalah sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, mulai dirasakan pengaruh kontak
dengan kebudayaan lain dalam hal ini melalui perkawinan
masuknya orang dari luar persekutuan dengan
kebudayaannya sehingga turut mempengaruhi terjadinya
perubahan nilai dalam masyarakat.
Pada Negeri Lima, kurang dirasakan adanya pengaruh
kebudayaan masyarakat lain karena masyarakat hukum
195
adat di sana masih memegang teguh nilai-nilai warisan
nenek moyang yang sakral dan jika dilanggar maka
dipercaya sungguh akan membawa malapetaka.
Pada negeri Larikepun demikian,masyarakatnya masih
berpola pikir tradisional sehingga nilai-nilai peninggalan
nenek moyang sangat dijunjung dan dipegang teguh
sehingga walaupun terjadi hubungan atau kontak dengan
masyarakat dari luar persekutuan namun tidak memberi
dampak terhadap nilai-nilai hidup yang dijadikan patokan
dalam masyarakat hukum adat di sana.
Pada negeri Tenga-Tenga, masyarakatnyapun masih
sangat tradisional bahkan dengan hidup berkelompok
dalam satu marga menyulitkan kontak dengan masyarakat
lain sehingga membawa dampak tidak terjadinya
perubahan nilai dalam masyarakat.
Pada negeri Hitulama, masyarakat disanapun masih
tradisional sehingga nilai-nilai warisan nenek moyang
sangat dijunjung tinggi dan tidak terjadi perubahan nilai
dalam masyarakat karena walaupun terjadi kontak dengan
kebudayaan lain atau masyarakat di luar persekutuan,
nilai-nilai yang ada sangat dijaga dan dilestarikan.
196
6. Kontak dengan budaya lain. Bertemunya budaya yang berbeda
menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun
berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli
maupun budaya asing dan bahkan perpaduan keduanya. Hal ini
dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu saja memperkaya
kebudayaan yang ada.
Tabel 18. Faktor Kontak dengan Budaya Lain
NEGERI
FAKTOR KONTAK DENGAN BUDAYA LAIN
TERASA
HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK
Sumber : Data Primer, dan diolah
Faktor kontak dengan budaya lain dalam beberapa masyarakat
hukum adat Maluku Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pada masyarakat adat Hatu, kontak dengan budaya lain
mulai dirasakan pengaruhnya terhadap perubahan nilai-
nilai tradisional dalam masyarakat.
Pada masyarakat Negeri Lima yang masih bersifat
tradisional maka kontak dengan budaya lain tidak
membawa pengaruh terhadap nilai-nilai yang dianut pada
masyarakat.
197
Pada masyarakat adat Larike yang juga masih bersifat
tradisional maka kontak dengan budaya lain tidak
membawa pengaruh terhadap perubahan nilai dalam
masyarakat.
Pada masyarakat adat Tenga-Tenga yang masih
menjunjung nilai-nilai tradisi warisan nenek moyang maka
kontak dengan budaya lain tidak memberi pengaruh
terhadap nilai-nilai yang adadalam masyarakat.
Pada masyarakat adat Hitulama yang juga masih sangat
menjunjung nilai-nilai warisan nenek moyang maka kontak
dengan budaya lain tidak membawa dampak terhadap
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
7. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain; apabila sebuah
masyarakat tidak melakukan kontak sosial (interaksi) dengan
masyarakat lain,maka tidak akan terjadi tukar informasi dan tidak
mungkin terjadi proses asimilasi, akulturasi yang mampu mengubah
masyarakat tersebut.
Tabel 19. Faktor Kurang mengadakan Kontak Sosial dengan Masyarakat Lain
NEGERI FAKTOR KURANG MENGADAKAN KONTAK SOSIAL
DENGAN MASYARAKAT LAIN
TERASA
HATU TIDAK NEGERI LIMA YA LARIKE YA TENGA-TENGA YA HITU LAMA YA
Sumber : Data Primer, dan diolah
198
Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, faktor kurang mengadakan kontak
sosial dengan masyarakat lain kurang terasa karena
selalu terjalin kontak bahkan sampai terjadi perkawinan
dengan masyarakat adat yang berasal dari luar lingkungan
mereka dan hal ini turut mempengaruhi pola pikir bahkan
telah terjadi perubahan nilai dalam masyarakat hukum
adat di Hatu.
Pada Negeri Lima, terasa dampak faktor ini karena kurang
terjalin kontak dengan masyarakat dari luar lingkungan
mereka sehingga tidak terjadi perubahan nilai dalam
masyarakat ini.
Pada negeri Larike, juga kurang terjalin kontak dengan
masyarakat dariluar lingkungan mereka sehingga tidak
terjadi perubahan nilai dalam masyarakat.
Pada negeri Tenga-Tenga yang sangat menjunjung nilai
kekeluargaan terutama sesama marga bahkan mereka
tinggal dalam jarak yang berdekatan dan membentuk
komunitas yang tersendiri maka tidak terjadi perubahan
nilai dalam masyarakat.
199
Pada negeri Hitulama, juga kurang terasa perubahan nilai
dalam masyarakat hukum adatnya karena kurang terjalin
kontak dengan masyarakat dari luar persekutuan mereka.
D. Perubahan Nilai Tentang Kedudukan Hukum Perempuan Atas Tanah
Dati Di Maluku Tengah
Nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum
adat tidak selamanya bersifat statis tetapi juga mengalami perubahan.
Perubahan nilai yang ada dalam masyarakat hukum adat tidak serta
muncul tetapi melalui proses panjang, yang terjadi dalam masyarakat.
Proses perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat berjalan lambat
karena disebabkan berbagai faktor, baik yang ada dalam masyarakat
hukum adat itu sendiri maupun yang berasal dari luar masyarakat
hukum adat.
Namun selain faktor-faktor yang telah penulis kemukakan di atas
maka dari hasil penelitian yang dilakukan ada beberapa faktor yang juga
turut mempengaruhi terjadinya proses perubahan nilai dalam suatu
masyarakat hukum adat yaitu :
200
Faktor Rentang Kendali
Tabel 20. Faktor Rentang Kendali
NEGERI
FAKTOR RENTANG KENDALI
TERASA PENGARUHNYA
HATU YA NEGERI LIMA TIDAK LARIKE TIDAK TENGA-TENGA TIDAK HITU LAMA TIDAK
Sumber : Data Primer, dan diolah
Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
Pada negeri Hatu, faktor rentang kendali yang lebih dekat
dengan pusat perkotaan ternyata sangat mempengaruhi
pola pikir dan tindak masyarakat hukum adat di sana
karena sudah mulai terjadi perubahan nilai yang berlaku
pada masyarakat hukum adat di sana.
Pada negeri-negeri adat lainnya Negeri Lima, Larike,
Tenga-tenga dan Hitulama yang memiliki rentang kendali
yang tidak lebih jauh ternyata pengaruh faktor masih
berpegang teguh pada budaya masyarakat hukum adat
berpengaruh pada pola pikir masyarakat termasuk
didalamnya adalah tidak terjadinya perubahan nilai .
Alur berpikir penulis untuk menjawab permasalahan yang
dikemukakan adalah :
201
1. Dalam masyarakat hukum adat Maluku Tengah yang sistem
kekerabatannya adalah patrilinial sangat menjunjung nilai-nilai
patriarki di mana terdapat dominasi kaum laki-laki dalam
penguasaan tanah dati.
2. Dominasi oleh kaum laki-laki ini kemudian menimbulkan konflik
dalam perkembangannya ada perjuangan yang dilakukan oleh
kaum perempuan untuk memperoleh kesetaraan kedudukan
dalam setiap lini kehidupan, bukan hanya dalam lingkup
domestik (rumah tangga) tetapi juga di luar rumah.
3. Perjuangan yang dilakukan kaum perempuan dibarengi dengan
tingkat pendidikan, pola pikir yang mulai berubah dan berbagai
faktor lainnya menyebabkan terjadinya perubahan nilai dalam
masyarakat hukum adat.
4. Perubahan nilai yang mulai mengakui hak dan kedudukan
perempuan dalam hukum khususnya dalam penguasaan tanah
dati di Maluku Tengah akan dilihat dalam perspektif kesetaraan
gender.
5. Kesetaraan gender akhirnya mengakibatkan timbulnya
perubahan nilai dalam masyarakat hukum adat yang mengakui
kedudukan hukum perempuan dalam penguasaan tanah dati.
Alur pikir ini tergambar dalam diagram sebagai berikut :
202
Dominasi Laki-laki --------- Perbedaan Kedudukan--------Konflik----------
Gerakan Perubahan-------------------Kesetaraan Gender.
Dominasi kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan sangat
terasa pada masyarakat hukum adat di Maluku Tengah dengan budaya
dan nilai-niali patriarki yang sudah berakar pada masyarakat hukum
adat. Nilai-nilai yang sudah mengakar dan diyakini sungguh oleh
masyarakat hukum adat sebagai suatu hal yang sakral yang diwariskan
oleh nenek moyang mereka sangat dijunjung bahkan dipercaya bahwa
bila nilai-nilai itu dilanggar maka akan terjadi malapetaka bagi yang
melanggarnya.
Nilai-nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat membedakan
kedudukan laki-laki dan perempuan dan berdampak dalam semua
aspek kehidupan bersama mereka. Terdapat perbedaan kedudukan
antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bersama masyarakat
hukum adat.
Pembedaan kedudukan di mana laki-laki berada pada ranah
terdepan sedang perempuan hanya sebatas ranah domestik saja
membawa dampak adanya rasa ketidakpuasan dalam diri kaum
perempuan. Rasa ketidakpuasaan ini mulai menimbulkan gerakan
perempuan untuk melakukan perubahan nilai dalam masyarakat dan
perubahan yang terjadi adalah mulai dirasakan adanya pengakuan
203
terhadap kedudukan hukum perempuan dalam penguasaan
tanah/dusun dati di Maluku Tengah.
Pembedaan masyarakat berdasarkan jenis kelamin di mana laki-laki
dianggap sebagai warga kelas satu dan perempuan hanyalah termasuk
warga kelas dua berdampak pada kehidupan bersama masyarakat hukum
adat misalnya :
Jika terjadi masalah dengan orang lain maka laki-laki tampil
sebagai penyelamat yang dapat melindungi keluarga dari
gangguan orang lain.
Laki-laki tampil sebagai pencari nafkah sedang perempuan
hanya mmenjadi warga kelas dua yang menunggui
rumahtangganya.
Dalam hal pewarisan maka laki-laki memiliki hak yang lebih
bahkan dapat dikatakan bahwa perempuan tidak memiliki hak
sama sekali.
Perbedaan yang membawa rasa ketidakadilan bagi perempuan
sehingga mulai terjadi konflik walaupun tidak dalam bentuk yang
besar-besaran.
Konflik yang terjadi membawa pertentangan yang akhirnya
berdampak pada terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat
hukum adat.
204
Perubahan nilai yang menjadikan kedudukan hukum perempuan
dalam penguasaan tanah dati lebih mendapat tempat lagi.
Perubahan nilai yang terjadi akan dilihat dalam perspektif
kesetaraan gender.
Kesetaraan gender yang diusung memperjuangkan kedudukan
perempuan yang semula berada dalam wilayah domestik saja
tetapi akhirnya memperoleh tempat yang sudah selayaknya
diperoleh sebagai warga masyarakat hukum adat dan warga
Negara yang memiliki kesamaan kedudukan dan hak di dalam
hukum.
Perubahan nilai terjadi melalui proses yang panjang. Menurut
Lasyo (Elly Setiadi dkk: 2009; 123), Nilai bagi manusia merupakan
landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya.
Nilai yang dijadikan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku
atau perbuatannya adalah nilai yang diyakini dapat memberi arahan bagi
kehidupan masyarakat khususnya masyarakat hukum adat.
Nilai patriarki yang mendorong masyarakat untuk melihat
dominasi kedudukan laki-laki terhadap perempuan di mana semua
perbedaan didasarkan pada perbedaan jenis kelamin tetapi juga dapat
dikatakan bahwa sepertinya telah terjadi perbedaan kelas sosial dalam
masyarakat hukum adat di mana laki-laki termasuk sebagai warga kelas
205
satu sedang perempuan hanyalah warga kelas dua yang merupakan
pelengkap penderita saja.
Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
khususnya atas hak atas tanah dati di Maluku Tengah tetapi juga dapat
dikatakan bahwa sepertinya telah terjadi perbedaan kelas sosial dalam
masyarakat hukum adat di mana laki-laki termasuk sebagai warga kelas
satu sedang perempuan hanyalah warga kelas dua yang merupakan
pelengkap penderita saja.
Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
khususnya atas hak atas tanah dati di Maluku Tengah bertitik tolak dari
nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat.
Perbedaan itu dilihat sebagai suatu keadaan yang wajar dan sudah
semestinya dialami oleh perempuan. Keadaan ini berlangsung sejak
jaman nenek moyang namun dalam kenyataannya walapun nilai-nilai
patriarki adalah nilai-nilai warisan yang dianggap sakral namun dalam
perkembangannya nilai patriarki inipun bisa mengalami perubahan.
Keadilan tidak memiliki ukuran yang pasti bagi tiap manusia,
terkadang rasa adil menurut seseorang berbeda dengan yang lainnya,
rasa adil yang dapat memuaskan hasrat semua manusia sangat sulit
untuk dicapai karena ukuran keadilan yang berbeda-beda menurut ukuran
masing-masing orang.
206
Dalam kehidupan bersama manusia selalu didambakan adanya
keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan namun
tidak selamanya hal ini dapat terpenuhi . Hak dan kewajiban yang
dibedakan dalam struktur masyarakat terlebih pada struktur masyarakat
hukum adat yang memiliki sistem kekerabatan patrilineal maka terdapat
perbedaan hak dan kewajiban yang juga membawa implikasi dalam
kedudukan laki-laki dan perempuan yang berbeda dalam hukum.
Perbedaan kedudukan yang sudah terstruktur dalam masyarakat
hukum adat yang bersistem kekerabatan patrilineal membawa dampak
pada perbedaan perlakuan yang diterima kaum perempuan dalam
kehidupan sehari-hari. Laki-laki dianggap sebagai warga kelas satu yang
memiliki hak yang lebih dibanding perempuan. Perempuan hanya
sebagai warga kelas dua yang pasrah menerima perlakuan yang berbeda
dari masyarakat hukum adat yang sangat memegang teguh nilai patriarki
yang sudah mengakar dalam kehidupan mereka.
Perbedaan perlakuan yang sudah terstruktur dalam kehidupan
masyarakat hukum adat membawa dampak bukan hanya dalam
perbedaan perlakuan dalam kehidupan sehari-hari tetapi bisa berdampak
sampai pada pewarisan hak-hak atas tanah yang dimiliki.
Perbedaan perlakuan yang terstruktur akibat pengaruh nilai
patriarki dalam masyarakat hukum adat sudah mulai mengalami
perubahan, di mana perubahan nilai yang terjadi adalah berkurangnya
207
dominasi laki-laki dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Kedudukan
laki-laki dalam struktur masyarakat hukum adat yang dominan mulai
mengalami perubahan walaupun perubahan yang terjadi masih belum
terlalu terasa dalam stuktur masyarakat hukum adat.
Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat hukum adat
seperti telah dikemukakan bahwa disebabkan oleh berbagai faktor baik
dari dalam masyarakat hukum adat sendiri maupun dari luar masyarakat
hukum adat namun ada beberapa faktor dominan yang menyebabkan
terjadinya perubahan nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat yaitu :
1. Sikap masyarakat yang lebih terbuka; sikap masyarakat hukum
adat yang lebih terbuka ternyata berpengaruh terhadap terjadinya
perubahan nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat.
2. Pendidikan yang lebih maju; faktor tingkat pendidikan yang lebih
maju membawa perubahan pola pikir dalam masyarakat hukum
adat khususnya kaum perempuan yang sudah lebih menyadari
bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan
kedudukannya dalam hukum.
3. Agama; faktor agama turut mempengaruhi sikap dan pola pikir
masyarakat. Masyarakat yang beragama Islam berdasarkan ajaran
agamanya sangat menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam
agamanya yaitu bahwa dalam hal-hal tertentu kedudukan antara
laki-laki dan perempuan perlu dibedakan khususnya dalam
208
masalah pewarisan di mana sudah ditentukan bagian laki-laki dan
perempuan. Perbedaan porsi dalam pewarisan walaupun
memberikan porsi yang lebih besar bagi laki-laki namun
sebenarnya kalau dilihat lebih lanjut bahwa porsi yang lebih
dibarengi dengan kewajiban untuk memberikan nafkah bagi
keluarga dan hal itu tidak terjadi bagi perempuan sehingga
sebenarnya porsi yang diterima lebih besar dari laki-laki karena
tidak dibarengi dengan tanggung jawab memberikan nafkah bagi
keluarganya. Dalam Islam pembedaan antara laki-laki dan
perempuan terjadi pada persaksian dan pewarisan.
Perubahan nilai patriarki dalam masyarakat hukum adat membawa
paradigm baru dalam kehidupan masyarakat hukum adat secara
keseluruhan di mana pada masa sebelum tahun 1980-an, kedudukan
laki-laki dan perempuan sudah dibedakan namun dengan adanya
perkembangan yang ada dalam masyarakat maka ada paradigm baru
dalam kehidupan masyarakat hukum adat.
209
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Telah terjadi perubahan nilai tentang kedudukan hukum perempuan
atas tanah dati dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Maluku
Tengah, nilai patriarki yang semula menjunjung kedudukan laki-laki
dalam struktur masyarakat serta mengalami perubahan dengan
adanya pengakuan tentang kedudukan hukum perempuan atas
tanah dati. Pengakuan terhadap kedudukan perempuan atas tanah
dati melalui pemberian hak atas tanah dati yang bukan sekedar hak
pakai saja tetapi hak untuk memilikinya. Perubahan nilai patriarki
dalam masyarakat hukum adat walaupun hanya pada negeri Hatu
tetapi telah menunjukkan terjadinya perubahan nilai yang mendasar
dalam masyarakat hukum adat. Perubahan nilai yang terjadi mulai
dirasakan sejak tahun 1980-an dimana nilai patriarki dalam
masyarakat hukum adat mulai mengalami perubahan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan nilai tentang
kedudukan hukum perempuan atas tanah dati dalam masyarakat
hukum adat di Maluku Tengah adalah :
a. Berasal dari internal masyarakat yang berasal dari
masyarakat hukum adat sendiri
210
b. Berasal dari eksternal masyarakat yang berasal dari luar
masyarakat hukum adat
Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
Sikap masyarakat yang sangat tradisional
Prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing atau
sikap yang tertutup
c. Berasal dari luar masyarakat hukum adat yaitu :
Bertambah dan berkurangnya penduduk/ hubungan
perkawinan
Kontak dengan budaya lain.
Sistem pendidikan formal yang maju.
Faktor rentang kendali
Faktor-faktor yang dominan yang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan nilai adalah :
Sikap terbuka masyarakat
Pendidikan yang lebih maju
B. SARAN
1. Perubahan nilai patriarki yang terjadi dalam masyarakat hukum
adat telah memperlihatkan adanya kesetaraan gender namun
perlu mendapat pengakuan yang lebih dari berbagai pihak baik
Pemerintah, maupun dari masyarakat itu sendiri.
211
2. Perubahan nilai memberikan nuansa baru dalam kehidupan
masyarakat hukum adat yang sudah mengakui dan memberikan
rekomendasi bagi masyarakat luas bahwa telah tercapai
kesetaraan gender dalam masyarakat hukum adat di Maluku
Tengah.
212
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2006, Aspek Aspek Pengubah Hukum, Kencana Perdana Media Group, Jakarta..
Achie Sudiarti Luhulima, 2007, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Yayasan Obor Indonesia.
Agnes Widanti, 2005, Hukum Berkeadilan Jender, Kompas, Jakarta.
Alvin S.Johnson, 2004, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Andre Blowers dan Grahame Thompson, 1983, Ketidakmerataan, Konflik
dan Perubahan, Universitas Indonesia, Jakarta. Anto Soemarman, 2003, Hukum Adat Perspektif Sekarang Dan Mendatang,
Adi Cita, Yogyakarta. Anthon Susanto, 2007, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum
Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung. Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta.
Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung.
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta. Bushar Muhammad, 2000, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta. Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia,
2005, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Darji Darmodihardjo dan Sidharta, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2011, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Prenada Media Group, Jakarta.
Elly Setiadi dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, 2007, Kencana Prenada, Jakarta.
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, 2006, Penerbit Kompas, Jakarta.
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, 2011, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
213
George Ritzer-Douglas J.Goodman, Teori Sosiologo Modern, 2007, Kencana, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1993, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Citra Aditya Bakti, Bandung,.
---------------------------, 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,.
---------------------------, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
I Nengah Lestawi, 1999, Hukum Adat, Paramita, Surabaya. Irwan Abdullah, 2006, Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ivan Illich, 2007, Matinya Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Jane Ollenburger dan Helen Moore, 2002, Sosiologi Wanita, Rineka Cipta,
Bandung. Julia Cleves Mosse, 2007, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. Mahatma Gandhi, 2002, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi
Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, antonyLib, Yogyakarta.
Mansour Fakih, 2007, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Masinambouw, 2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta.
Muhajir Darwin dan Tukiran, 2001, Menggugat Budaya Patriarkhi, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana, Jakarta.
Munir Fuady, 2007, Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, Citra Aditya Bakti,Bandung,.
Moh. Koesnoe, 1992, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Nanang Martono, 2011, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial, Radjawali Press, Jakarta.
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori HUkum Feminis Terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung.
214
Nursyahbani Katjasungkana dkk, Potret Perempuan Tinjauan Politik, Ekonomi, Hukum di Zaman Orde Baru, PSW UMY dan Pustaka
Otje Salman Soemadiningrat, 2003, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung,.
Otje Salman S. dan Anthon F.Susanto, 2007, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung,.
---------------------------, 2008, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung,.
Panggabean.H, 2011, Pemberdayaan Hak MAHUDAT Masyarakat Hukum Adat Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, Permata Aksara, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
---------------------------, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Pip Jones, 2009, Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Yayasan Obor Indonesia, ,
Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, 2004., Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Obor, Jakarta,
R.Z.Titahelu, 2005, “Hukum Adat Maluku Dalam Konteks Pluralisme Hukum Implikasi Terhadap Manajemen Sumber Daya Alam Maluku”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum , Universitas Pattimura, Ambon.
Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Elsam, Jakarta.
Rato Dominikus, 2009, Dunia Hukum Orang Osing, Laksbang Mediatama, Yogyakarta.
Riant Nugroho, 2008, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya Di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan, Radjawali Pers, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publising, Yogyakarta.
---------------------------, 2010, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Genta Publishing, Yogyakarta.
---------------------------, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta.
Simanjuntak B, 1992, Perubahan dan Perencanaan Sosial, Tarsito, Bandung.
215
Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk, 2002, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Soejono dan Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta
Soerjono Soekanto, 2001, Hukum Adat Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta.
---------------------------, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Radja Grafindo Persada, Jakarta.
---------------------------, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta,.
---------------------------, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RadjaGrafindo, Jakarta,.
---------------------------, dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada,Jakarta.
Soepomo, R., 2003, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Solly Lubis, 2002, Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan,.
Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007, Gender dan Inferioritas Perempuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007, Gender dan Inferioritas Perempuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sulistyowati Irianto, 2005, Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
---------------------------, 2008, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Yayasan Obor,Jakarta.
Supartono, 2009, Ilmu Budaya Dasar, Ghalia Indonesia, Bogor. Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Radja Grafindo
Persada, Jakarta. Ter Haar, 1999, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta. Thomas Kuhn, 2008, The Structure of Scientific Revolutions Peran
Paradigma dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung,.
Trisakti Handayani dan Sugiarti, 2006, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Universitas Muhammadiyah, Malang.
Uneputty.D, Hukum Adat Negeri Oma dan Perkembangannya. Victor Situmorang, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara,
Jakarta.
216
Ziwar Effendi, 1987, Hukum Adat Ambon-Lease, Pradnya Paramita, Jakarta.
Lain-Lain: Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, Pembangunan Berperspektif Gender Melalui Perspektif Gender dalam Hak, Sumberdaya dan Aspirasi, Dian Rakyat, Jakarta, 2005. M.Dahlan.Y.Al-Barry dan L.Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah, Target Press, Surabaya, 2003. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.