branchless banking mewujudkan keuangan inklusif sebagai alternatif solusi inovatif menanggulangi...
TRANSCRIPT
BRANCHLESS BANKING MEWUJUDKAN KEUANGAN INKLUSIF SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI INOVATIF MENANGGULANGI KEMISKINAN:
REVIEW DAN REKOMENDASI
Yesi Hendriani Supartoyo* (*Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor)
(email: [email protected])
Kasmiati** (**Mahasiswa Program Magister Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor)
(email: [email protected])
ABSTRAK
Kemiskinan merupakan persoalan mendasar yang dihadapi suatu bangsa karena
hampir seluruh aktifitas pembangunan ditujukan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Berbagai strategi
penanggulangan ternyata belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan secara
signifikan, hal ini dapat terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia
periode Maret Tahun 2013 yang menunjukan sebesar 11,37 persen masyarakat
miskin atau sekitar 28,07 juta orang memiliki pengeluaran per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan. Hal ini menuntut solusi penanggulangan yang
komprehensif sehingga mampu mengatasi persoalan kemiskinan hingga
keakarnya. Kapasitas sumber daya manusia yang rendah dan minimnya akses
terhadap modal merupakan kendala utama bagi masyarakat, selain itu sistem
perbankan konvensional yang tersedia selama ini belum mampu menjangkau
seluruh lapisan masyarakat karena terkendala berbagai permasalahan mulai dari
persoalan manajemen, struktur, hingga persoalan-persoalan teknis lainnya yang
tidak memungkinkan perbankan untuk menampung seluruh masyarakat
unbanked. Branchless Banking (BB)merupakan salah satu cara yang efektifuntuk
memformalkanekonomi, menjangkaupendudukunbanked poor, melaksanakan
program keuangan inklusif dan layanan ini dapat dimanfaatkan
untukmeningkatkan kondisiekonomifinansialbagi masyarakat yang terpinggirkan
sehingga akan mampu memberdayakan masyarakat miskin. Pada akhirnya,
mengarah padakemajuanperekonomiansecara keseluruhan.Keuangan inklusif
sangat penting agar akses akan manajemen risiko menjadi tinggi dan mampu
mengakomodasi kepentingan finansialnya. Pemanfaataninovasi teknologi
merupakan hal yang penting untuk mendukung penerapan sistem branchless di
Indonesia demi meningkatkanpertumbuhan ekonomidanmengurangi kemiskinan.
Kata Kunci: Branchless Banking (BB), Kemiskinan, Keuangan Inklusif
PENDAHULUAN
Penanggulangan kemiskinan merupakan sasaran utama agenda
peningkatan kesejahteraan rakyat dengan pendekatan ekonomi yang berbasis
hak.Hal tersebut menegaskan kewajiban Negara menghormati, melindungi dan
memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.Hak dasar tersebut meliputi hak
pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, tanah, air bersih, sumber
daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan hak berpartisipasi.Pendekatan
ekonomi mencakup peningkatan pendapatan dan reduksi beban masyarakat
miskin. Strategi penanggulangan kemiskinan meliputi perluasan kesempatan,
pemberdayaan lembaga masyarakat, peningkatan kapasitas, perlindungan sosial
dan penataan kemitraan global (Brodjonegoro, 2007) dalam Kodim et al (2010)
Melihat masih rendahnya tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap
pinjaman bank, yaitu 19,5 persen dari total populasi Indonesia, perbankan
didorong untuk mewujudkan financial inclusion melalui peningkatan jangkauan
distribusi perbankan hingga ke daerah pelosok dan kegiatan edukasi terhadap
masyarakat tentang keuangan, sehingga tercipta literasi keuangan. Dua peran
perbankan untuk mewujudkan financial inclusion (keuangan inklusif)atau disebut
juga dengan “keuangan untuk semua”.
Keuangan inklusif merupakan suatu kondisi di mana seluruh lapisan
masyarakat memiliki akses terhadap sistem keuangan.Bukan hanya terhadap
perbankan, tapi lembaga keuangan lainnya.Di Indonesia sendiri, hanya 32
persen penduduk Indonesia yang memiliki akses ke perbankan.Untuk
mewujudkan keuangan inklusif maka perlunya mendorong perbankan untuk
mewujudkannya melalui edukasi keuangan terhadap masyarakat dan
meningkatkan jangkauan distribusi perbankan ke daerah pelosok.
Financial inclusion merupakan koreksi terhadap financial exclution yang
dalam penjelasannya adalah sebuah kondisi financial yang hanya
menguntungkan segelintir pihak saja. Definisi lain dari financial Inclusion menurut
World Bank (2008) dan European Commision (2008) adalah sebagai suatu
kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk
hambatan baik dalam bentuk harga ataupun non harga terhadap akses
masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan.
Branchless Banking (BB) sebagai salah satu bentuk inisiatif financial
inclusion sangat membantu untuk memajukan perekonomian suatu negara
melalui peningkatan akses masyarakat terhadap jasa layanan bank sehingga
ultimate goal bank sebagai unit usaha pembiayaan akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. BB merupakan kegiatan jasa layanan sistem
pembayaran dan keuangan terbatas yang dilakukan tidak melalui kantor, namun
dengan menggunakan sarana teknologi dan/atau jasa pihak ketiga terutama
untuk melayani masyarakat unbanked.
Pembahasan terkait dengan perlu tidaknya suatu BB dapat dipahami
sebagai kegiatan layanan transaksi bank dalam upaya mewujudkan inklusi
keuangan yang memiliki kriteria antara lain yaitu tanpa melalui kantor cabang
bank, menggunakan agen yang bekerjasama dengan bank, nasabah bisa
melakukan transaksi sendiri atau menggunakan agen, fitur transaksi yang
sederhana/basic feature, layanan murah/low cost transaction dan yang paling
utama yaitu ditujukan khususnya untuk segmen bawah atau unbanked poor.
Pembukaan kantor bank memerlukan investasi dan biaya operasional
yang mahal. Sebagai gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa
sekitar 1,5 milyar dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor.
Konsentrasi lokasi perbankan lebih banyak didaerah perkotaan atau urban yang
padat.Hal ini dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas
terlihat menguntungkan bagi bank. Kalaupun ada di rural area, dapat dipastikan
merupakan area yang padat aktifitas ekonomi dan berkembang sehingga secara
ekonomis bank melihat feasibility membuka bank didaerah tersebut
menguntungkan. Adapun persepsi masyarakat bawah terhadap layanan bank.
Mereka melihat bank sebagai sesuatu yang tidak untuk mereka (bank is not for
me). Sejatinya mereka justru dalam keseharian bersentuhan secara tidak
langsung dengan layanan keuangan (financial service) yang juga dilakukan bank.
Namun karena persepsi, mereka cenderung melakukannya dengan lembaga
yang bukan bank antara lain koperasi dan perorangan.
Berdasarkan hasil survei neraca rumah tangga BI, hanya 48 persen dari
total rumah tangga di Indonesia yang memiliki tabungan di bank, lembaga
keuangan non bank dan non lembaga keuangan.Potensi segmen bawah yang
cukup besar dan belum tergarap dapat dipahami melalui aktifitas ekonomi
sebagian besar masyarakat yang digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah
seperti usaha-usaha mikro yang masih dilaksanakan melalui mekanisme
tunai.Berdasarkan data kurang lebih sebesar Rp. 300 triliun uang tunai
ditransaksikan lewat segmen ini. Apabila jumlah tersebut masuk ke sistem
perbankan dan disalurkan bank kembali dalam bentuk kredit kepada mereka,
tentunya akanmenjadi stimulus penggerak perekonomian yang sangat besar.
Efisiensi dalam pengeloaan uang tunai oleh Bank Indonesia (BI) pun akan dapat
ditingkatkan dengan adanya penggunaan transaksi melalui BB. Kemajuan
teknologi khusus dalam berkomunikasi melalui adanya tingkat penetrasi yang
tinggi perusahaan telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon
seluler, menyebabkan timbulnya pemikiran bagaimana memanfaatkan kemajuan
cara berkomunikasi ini untuk menembus layanan keuangan ke segmen yang
dimaksud dengan memanfatkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki
perusahaan telco.
Studi-studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah,
swasta, asosiasi, perusahaan keuangan maupun lembaga donor menyimpulkan
beberapa hal terkait perlunya BB yaitu seperti halnya di Negara-negara
berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan perbankan
masyarakat bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan
sangat kurang.Indonesia sendiri berdasarkan survei Bank Dunia tahun 2010
berkisar 49 persen dari populasi belum terlayani. Sedangkan Negara-negara lain
seperti Pakistan 85 persen, Filipina 75 persen, China 60 persen dan India 55
persen. Thailand dan Malaysia justru lebih rendah dari Indonesia.
Hal-hal tersebut diatas, mengkondisikan perlunya BB dan saat ini sedang
berkembang di negara-negara Asia Pasific, Africa dan Amerika Latin.Asia
merupakan emerging market termasuk Indonesia yang baru mulai memasuki era
ini, meskipun aturan terkait penerapannya masih dalam persiapan oleh BI.
Tulisan ini berbentuk review atas berbagai kebijakan BB yang telah
dilakukan di negara lain kemudian dilakukan review yang disesuaikan dengan
kondisi ekonomi, teknologi, kelembagaan dan sosial masyarakat Indonesia untuk
memberikan rekomendasi terkait penerapan BB dalam upaya mewujudkan
keuangan inklusif yang diharapkan mampu menjadi suatu instrumen keuangan
baru untuk mengurangi kemiskinan.
HASIL/PEMBAHASAN
Sumberdaya finansial terbagi menjadi dua masalah mendasar, masalah
ketersediaan modal dan masalah kelembagaan yang mengatur akses
sumberdaya finansial masyarakat desa. Sadjad (2007) dalam Satria (2011),
menekankan peranan penting perbankan dalam menyediakan dana, sedangkan
Sajogyo (2006) dalam Satria (2011) menyebutkan perbankan atau lembaga
keuangan desa lainnya sebagai salah satu kader-kader pembangunan. Namun
aksesibilitas terhadap modal masih menjadi masalah pembangunan masyarakat
desa. Kebijakan perbankan tidak mendukung pengembangan usaha kecil desa
melalui prosedur peminjaman yang tidak mungkin dipenuhi oleh masyarakat
desa. Mekanisme pengembalian yang ditetapkan oleh bank, tidak sesuai dengan
karakteristik pendapatan dan budaya masyarakat desa, misalnya metode
pembayaran cicilan per bulan yang ditetapkan oleh bank tidak sesuai dengan
periode pendapatan petani atau nelayan.
Kemajuan teknologi informasi semakin membantu masyarakat karena
memberikan kemudahan dalam menunjang berbagai aktivitas dan telah berhasil
mempengaruhi perilaku masyarakat.Maka, seiring dengan kemajuan teknologi,
industri perbankan dituntut untuk menyeimbangkan dalam memberikan
kemudahan pelayanan kepada nasabahnya. Pasalnya, perilaku konvensional
yang terkesan lama akan ditinggalkan oleh nasabahnya untuk beralih ke bank
lain yang pelayanannya lebih baik. Menyadari ketatnya persaingan industri
perbankan, maka inovasi pelayanan dengan fasilitas kemudahan yang
ditawarkan harus mengadopsi kecanggihan teknologi melalui pemanfaatan atau
penggunaan teknologi untuk transaksi-transaksi keuangan.
Konsep BBdinilai dapat meningkatkan efisiensi perbankan karena bank
tidak perlu lagi mengeluarkan dana investasi yang besar untuk membuka atau
menyewa kantor cabang baru bila melakukan ekspansi layanan ke suatu tempat,
melainkan dapat memanfaatkan infrastruktur milik rekanan yang telah
digandeng.BB merupakan alternatif yanglebih
murahuntukperbankanberbasiscabangkonvensionalyang memungkinkanlembaga
keuangan danpelakukomersial lainnyauntuk menawarkanjasa keuangandi luar
tempatbank tradisional.
Alasan BI mendorong program BB dikarenakan masih banyak segmen
masyarakat yang belum sepenuhnya tersentuh layanan perbankan. Menurut
survei Bank Dunia tahun 2010, terdapat 49 persen masyarakat Indonesia yang
masuk ke kategori unbanked people. Sebelumnya ada 5 bank yang mengikuti uji
cobaBB yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank CIMB-Niaga,
Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), dan Bank Sinar Harapan Bali.Kelima
bank yang mengikuti uji coba ini merupakan penunjukan dari Bank Indonesia
(BI).Pelaksanaan uji coba BB oleh BI dilakukan secara terbatas di 8 provinsi,
yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan, dari Mei hingga November
2013. Sedangkan operator yang terlibat diantaranya Telkom, Indosat, dan
XL.Sekedar diketahui, dalam menggelar uang digital dikenal tiga konsep yakni
Bank Lead, Telco Lead, dan Hybrid.Bank Lead artinya perbankan yang menjadi
pemimpin di model bisnis.Hal sebaliknya jika Telco Lead.Sedangkan Hybrid
adalah campuran dari dua model bisnis itu.
BB merupakan strategi distribusi untuk memberikan jasa keuangan tanpa
mengandalkan keberadaan kantor cabang sebuah bank. Tanpa kantor cabang
dengan mengandalkan pemanfaatan informasi, komunikasi dan teknologi.
Transaksi bisa dilakukan melalui sistem teknologi telekomunikasi.Selain itu,
transaksi juga bisa dilakukan di agen bank yang sudah memenuhi kriteria dan
diakui legalitasnya oleh bank sentral.Gagasan BB merupakan bentuk efisiensi
dari strategi ekspansi perbankan. Gagasan ini diyakini lebih efektif karena dilihat
dari sisi biaya yang harus dikeluarkan terbilang lebih murah dibandingkan ketika
harus membuka kantor cabang baru.
Penerapan konsep bank tanpa kantor merupakan upaya bank sentral
agar masyarakat khususnya lapisan bawah memiliki akses kepada lembaga
keuangan. Program percontohan bank tanpa kantor tersebut diharapkan dapat
menjadi pondasi dalam proses perluasan akses khususnya bagi masyarakat
perdesaan kepada lembaga keuangan formal. Pemberian layanan bank tanpa
kantor tidak dilakukan melalui kantor fisik bank atau perusahaan telekomunikasi,
namun menggunakan sarana teknologi dan jasa pihak ketiga atau agen yang
disebut unit perantara layanan keuangan (UPLK) dan juga melalui tempat
penguangan tunai (TPT).
Uji Coba Aktivitas Jasa Sistem Pembayaran dan Perbankan Terbatas
Melalui Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK)
Aktivitas layanan sistem pembayaran dan perbankan terbatas melalui
agen yang selanjutnya disebut dengan UPLK (di dunia internasional umumnya
dikenal dengan nama Branchless Banking/BB) adalah kegiatan pemberian jasa
layanan sistem pembayaran dan perbankan terbatas yang dilakukan tidak
melalui kantor fisik Bank/Telco, namun dengan menggunakan sarana teknologi
dan jasa pihak ketiga seperti agen, yang selanjutnya disebut Unit Perantara
Layanan Keuangan (UPLK) terutama ditujukan untuk melayani unbanked dan
under banked people.
Latar belakangnya ialah berdasarkan fakta bahwa masih tingginya jumlah
masyarakat Indonesia yang belum tersentuh jasa layanan keuangan seperti
transfer, menabung ataupun kredit.Hal ini terlihat pada hasil survei Bank Dunia
(2010), tercatat hanya sebesar 47 persen dari total masyarakat penabung dan 17
persen dari total masyakarat peminjam. Sementara Global Financial Inclusion
Index 2011 mengungkapkan bahwa hanya sebesar 19,6 persen jumlah orang
dewasa yang memiliki account di bank. Rendahnya masyarakat berbank
dimaksud mengakibatkan per Desember 2012 rasio deposit/GDP hanya sebesar
39,13 persen dan loan/GDP sebesar 32,85 persen, atau terendah di kawasan
regional. Sementara itu, dari sisi layanan sistem pembayaran, jumlah e-money
registered dan unregistered hanya sebesar 0,4 persen dan 8 persen dari jumlah
penduduk.
BB merupakan upaya perluasan akses dan jangkauan layanan sistem
pembayaran dan perbankan terbatas secara non konvensional yang merupakan
hal baru dalam industri perbankan di Indonesia.Sehingga perlu dicari bentuk
model yang sesuai untuk Indonesia sekaligus melihat hambatan dan risiko yang
dihadapi.Atas dasar hal dimaksud, salah satu jalan yang ditempuh ialah dengan
melalui uji coba (pilot project) untuk aktivitas jasa sistem pembayaran dan
perbankan terbatas melalui unit perantara layanan keuangan.Pihak yang ikut
serta dalam proyek uji coba Aktivitas Jasa Sistem Pembayaran dan Perbankan
Terbatas Melalui UPLK adalah Bank, Telco, UPLK, dan layanan pendukung
lainnya, seperti agent management network.
Sasaran utama pengembangan layanan ini adalah masyarakat unbanked
yang memiliki potensi sebagai pelaku ekonomi di wilayah-wilayah “remote”, yang
sebagian besar belum mendapatkan akses kepada layanan keuangan dan minim
pengalaman dalam bertransaksi keuangan. Sehingga Bank Indonesia (BI)
mempertimbangkan penyediaan akses terhadap layanan ini hanya dapat
dilakukan oleh institusi berbadan hukum Indonesia agar aspek hukum terkait
perikatan hak dan tanggung jawab antara penyelenggara dengan nasabah dapat
mengikuti kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain proses
pengelolaan data rekening tabungan/e-money dan transaksi, penyelesaian
transaksi pembayaran dan transfer dana, serta penyelesaian permasalahan yang
dihadapi oleh nasabah.
Fungsi dari Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK) adalah bertindak
untuk dan atas nama bank penerbit produk keuangan dan/atau telco penerbit e-
money dalam memberikan layanan sistem pembayaran dan perbankan terbatas
kepada nasabah yang dilakukan tidak melalui kantor fisik Bank namun
menggunakan sarana teknologi dan bersifat eksklusif (satu UPLK hanya dapat
melakukan kerja sama paling banyak dengan satu Bank dan/atau satu Telco).
Model Bisnis yang dapat dilakukan adalah Bank Led yaitu bank yang
bertanggung-jawab melaksanakan kegiatan jasa perbankan dari awal sampai
dengan akhir, Telco Led yaitu perusahaan telekomunikasi bertanggung-jawab
terhadap kegiatan transfer dari awal sampai dengan akahir dan Hybrid yaitu
kombinasi keduanya.Produk yang dapat digunakan mencakup produk yang
diterbitkan oleh Bank dan/atau Telco yaitu e-money; dan produk yang diterbitkan
oleh Bank berupa produk tabungan yang bebas biaya administrasi dan diberikan
bunga, produk dan/atau aktivitas e-banking, dan penyaluran kredit mikro.
Sebagai tahap awal, Bank Indonesia telah menetapkan 8 wilayah sebagai
pilot project yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Pemilihan daerah
tersebut didasarkan oleh tingkat kejenuhan perbankan yang diukur dengan
variabel data PDRB, jumlah penduduk, jumlah DPK, dan tingkat potensi
UMK.Saat ini terdapat beberapa bank yang siap untuk terlibat dalam pilot project
tersebut yakni Bank Mandiri, BRI, BTPN, Bank Sinar Harapan Bali, dan Bank
CIMB Niaga.Proyek uji coba ini dilaksanakan antara bulan Mei sampai dengan
bulan November 2013.Bank/Telco/UPLK wajib memenuhi beberapa persyaratan,
yang mencakup aspek terkait: a) kinerja dan aspek keuangan, b) kelembagaan
dan administratif, dan c) kesiapan infrastruktur.
Masyarakat unbanked tetap dapat membuka rekening dengan
menggunakan dokumen lain sebagai pengganti identitas yang dapat memberikan
keyakinan kepada bank tentang profil calon nasabah seperti tercantum dalam
PBI APU PPT.Kewajiban Bank/Telco melakukan face to face dengan calon
nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dapat didelegasikan kepada
UPLK sepanjang petugas UPLK telah mengetahui prinsip dasar dari CDD yang
antara lain diperoleh dari pelatihan APU dan PPT dari Bank.
Apabila Bank dan Telco akan melanjutkan Aktivitas Jasa Sistem
Pembayaran dan Perbankan Terbatas Melalui UPLK setelah masa proyek uji
coba berakhir, Bank dan Telco tetap wajib mengajukan izin kepada Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Pengajuan izin ini dilakukan
selambat-lambatnya 60 hari sebelum proyek uji coba berakhir.
Tidak ada sanksi yang akan dikenakan selama masa uji coba Aktivitas
Jasa Sistem Pembayaran dan Perbankan Tertentu Melalui UPLK. Namun
demikian, Bank Indonesia dapat menghentikan proyek uji coba sebelum batas
waktu pelaksanaan proyek uji coba tersebut berakhir apabila Bank dan Telco
tidak memenuhi hal-hal yang dicantumkan dalam pedoman umum, atau adanya
kondisi tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia dapat meningkatkan
risiko Bank dan Telco serta merugikan masyarakat. Sehubungan dengan
penghentian proyek uji coba ini, Bank dan Telco tetap wajib menyelesaikan
kewajiban kepada nasabah dan pihak yang terkait dalam uji coba tersebut.
Branchless Banking, Keuangan Inklusif dan Pengurangan Kemiskinan
Relatif masih banyaknya masyarakat Indonesia yang belum bisa
mengakses pelayanan jasa keuangan, menjadi perhatian Bank Indonesia (BI)
dan Pemerintah.BB sebagai salah satu bagian dari upaya mewujudkan keuangan
inklusif yang merupakan upaya untuk mendorong sistem keuangan agar dapat
diakses seluruh lapisan masyarakat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas sekaligus mengatasi kemiskinan.Keuangan Inklusif merupakan
suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan
terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan
dengan didukung oleh berbagai infrastruktur yang ada.Dari sisi ekonomi makro,
program ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang makin
inklusif dan berkelanjutan, serta dapat memberikan manfaat kesejahteraan bagi
rakyat banyak.
Urgensi memperluas layanan keuangan kepada masyarakat didasari oleh
hasil SurveyNeraca Rumah Tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada 2010
yang menyebutkan bahwa62 persen rumah tangga tidak memiliki tabungan sama
sekali. Fakta ini sejalan dengan hasil studiWorld Bank tahun 2010 yang
menyatakan bahwa hanya separuh dari penduduk Indonesia yangmemiliki akses
ke sistem keuangan formal. Artinya ada lebih dari setengah penduduk yang tidak
punya akses ke lembaga keuangan formal sehingga membatasi kemampuan
masyarakat untukterhubung dengan kegiatan produktif lainnya.
Salah satu persoalan mendasar yang dimiliki oleh masyarakat kelas
menengah kebawah terutama di daerah perdesaan dan pedalaman ialah
lemahnya akses terhadap lembaga keuangan finansial sehingga banyak yang
terjerat utang kepada rentenir. Karena untuk memenuhi perolehan modal atau
bahkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari melakukan peminjaman
kepada renteinir mudah dilakukan namun dalam jangka panjang akan menjerat
dan melemahkan kondisi keuangan peminjam karena bunga yang diberikan oleh
pelaku rentener terlalu tinggi. BB merupakan media untuk mewujudkan keuangan
inklusif (financial inclusion) yang berusaha mendekatkan pelayanan keuangan
kepada masyarakat menengah kebawah terutama daerah perdesaan sehingga
lebih mudah mengakses sumber modal (financial).
Kendala yang dihadapi dalam memperluas inklusi keuangan secara
umum dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yakni kendala yang dihadapi
masyarakat dan kendala yang dihadapi oleh lembaga keuangan.Dalam hal
menabung, kendala yang dihadapi masyarakat yakni tingkat pemahaman
terhadap pengelolaan keuangan yang masih kurang dan biaya pembukaan
rekening serta biaya administrasi yang bagi sebagian masyarakat dinilai cukup
memberatkan.Sementara dalam hal meminjam hambatan yang dihadapi
masyarakat diantaranya adalah pemenuhan persyaratan aspek legal formal
usaha yang dimiliki, kurangnya informasi tentang produk perbankan, atau produk
yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Adapun kendala di tingkat lembaga
keuangan diantaranya adalah keterbatasan cakupan wilayah dan memperluas
jaringan kantor, kurangnya informasi mengenai nasabah potensial, dan
terbatasnya informasi mengenai keuangan konsumen. Disisi lain untuk
menambah jaringan kantor di daerah terpencil, bank dihadapkan pada persoalan
biaya pendirian yang relatif mahal. BBdiharapkan dapat menjembatani kendala
tersebut untuk mendekatkan layanan perbankan kepada masyarakat khususnya
yang jauh dari kantor bank.
Dalam upaya mewujudkan keuangan inklusif Bank Indonesia telah
menetapkan enam pilar strategi yang meliputi edukasi keuangan, fasilitas
keuangan publik, pemetaan informasi keuangan, kebijakan, fasilitasi intermediasi
dan saluran distribusi serta perlindungan konsumen. Dalam implementasi 6 pilar
tersebut, peran perbankan yang menguasai sekitar 80 persen dari industri
keuangan di Indonesia sangat diharapkan khususnya dalam membangun
layanan keuangan yang bisa dinikmati oleh lebih banyak masyarakat.
Salah satu program yang ditempuh oleh Bank Indonesia pada pilar
pengembangan saluran distribusi adalah BByangmerupakan kegiatan pemberian
jasa layanan sistem pembayaran dan keuangan terbatas yang dilakukan tidak
melalui kantor fisik bank, namun dengan menggunakan sarana teknologi
dan/atau jasa pihak ketiga terutama untuk melayani masyarakat yang belum
terlayani jasa keuangan/unbanked. Layanan keuangan yang diberikan melalui
BBini merupakan layanan sistem pembayaran dan perbankan terbatas yang
ditujukan untuk memenuhi kepentingan ekonomi masyarakat unbanked dan
underbanked, seperti pengiriman uang, menyimpan kelebihan pendapatan, dan
memperoleh tambahan dana untuk pembiayaan usaha produktif. Secara umum
karakteristik masyarakat yang menjadi target dalam kerangka BByakni memiliki
pendapatan relatif kecil, pemahaman terhadap sistem keuangan yang kurang,
dan tidak/kurang memiliki pengalaman dalam menggunakan jasa/produk
perbankan.Dalam cakupan yang lebih luas selain sebagai sarana untuk
melakukan transaksi, BBakan dikaitkan dengan penyediaan informasi para
pelaku usaha di daerah yang belum tersentuh layanan perbankan, untuk
memperoleh informasi lain yang terkait dengan kegiatan usahanya (Prasetyo,
2010)
Di dunia internasional, khususnya di emerging market, praktek BB
bukanlah hal baru. Dari berbagai studi literatur tercatat lebih dari 100 (seratus)
negara, seperti Malaysia, India, Filipina, Kenya, Pakistan, dan Mexico, yang
mengimplementasikan BB. Sementara itu, dalam konteks Indonesia,
BBmerupakan hal baru bagi industri perbankan di Indonesia.Oleh karena itu,
implementasi BBperlu dilakukan secara hati-hati mengingat implementasi
perluasan layanan perbankan melalui UPLK dan teknologi dapat meningkatkan
risiko, khususnya risiko operasional, risiko hukum dan risiko reputasi bagi bank
dan perusahaan telekomunikasi.Melalui uji coba/pilot project BBdiharapkan dapat
diperoleh model bisnis yang sesuai dan hambatan serta risiko yang dihadapi oleh
para pihak yang terlibat.Adapun keseluruhan implementasinya dilakukan secara
bertahap mulai dari penerbitan pedoman (guiding principles), uji coba, evaluasi
menyeluruh, dan implementasi secara penuh melalui penerbitan ketentuan BB.
Persoalan budaya atau kebiasaan merupakan salah satu penyebab
tingginya unbanked di Indonesia, seperti pada masyarakat nelayan misalnya
karena mereka menganggap bahwa setiap hari akan memperoleh pendapatan
dari hasil melaut maka menabung tidak menjadi sebagai kebiasaan atau bagian
dari kehidupan mereka sehingga jika terkena bencana sakit dan lain-lain untuk
menutupi kekurangan biaya terkadang mereka harus menggadaikan barang-
barang tertentu atau kembali terlibat dengan rentenir karena tidak memiliki dana
cadangan untuk berjaga-jaga. Oleh sebab itu penggunaan BB juga sebagai
upaya pemberian pendidikan pelatihan kepada masyarakat untuk mampu
mengelola keuangannya secara lebih baik dengan melakukan tabungan di
lembaga formal.
BB juga merupakan solusi mengatasi persoalan waktu karena selama ini
untuk membuat kantor cabang membutuhkan waku yang lama juga prosedur izin
yang rumit. Namun dengan layanan BB persoalan ruang dan waktu dalam
pemberian layanan finansial bukan lagi sebuah persoalan, sehingga kita dapat
meningkatkan jumlah masyarakat yang semakin peduliakan pentingnya manfaat
perbankan.
Sebagian besar penduduk Indonesia, khususnya kelompok miskin dan
rentan, tidak memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan. Survei rumah
tangga nasional tentang akses akan layanan jasa keuangan di Indonesia oleh
Bank Dunia pada tahun 2010 mengindikasikan bahwa hanya sekitar separuh
penduduk Indonesia yang memiliki akses ke sistem keuangan formal. Hal ini
dikarenakan terbatasnya ketersediaan dan aksesibilitas layanan jasa
keuangan.Dalam hal ini, aksesibilitas merupakan hal yang sangat penting.
Minimnya akses akan layanan jasa keuangan membatasi kemampuan individu
untuk memitigasi risiko dan fluktuasi penghasilan serta berinvestasi di bidang
kesehatan, pendidikan, dan kegiatan produktif lainnya.
Dengan demikian, menyusun, membentuk, dan mengembangkan sistem
keuangan inklusif merupakan kontribusi nyata dalam penghapusan penyebab
ketimpangan, yang secara langsung telah memengaruhi proses dan mekanisme
yang menghambat kelompok marjinal untuk memanfaatkan kemampuan dan
menggunakan hak mereka secara bebas. Akan tetapi, tentu saja strategi
keuangan inklusif tidak bisa berjalan sendiri.Berbagai literatur ekonomi
menunjukkan bahwa salah satu penyebab kemiskinan dan kerentanan ialah
minimnya akses pada berbagai bentuk modal seperti fisik, alam, manusia, sosial
serta finansial. Karena itu, memandang isu keuangan inklusif secara terisolasi
tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Selain itu, terdapat hubungan erat
antara eksklusi keuangan dan eksklusi sosial yang menunjukkan kontribusi
penting peningkatan akses terhadap layanan jasa keuangan dalam proses
pemutusan rantai kemiskinan, yang akan berujung pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu.
Keuangan inklusif membuat penduduk, khususnya kelompok miskin,
terhubung dengan peluang ekonomi.Minimnya akses pada layanan jasa
keuangan membatasi kemampuan seseorang untuk meningkatkan taraf
hidupnya.Ada hubungan yang kuat antara peranan sektor perbankan,
pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.Sektor keuangan yang
semakin berkembang mestinya membuat biaya transaksi semakin murah dan
membaiknya transparansi sehingga dapat mengatasi hambatan kredit bagi
kelompok masyarakat kurang mampu akibat keterbatasan agunan dan rekam
jejak pinjaman.
Peran perbankan menjadi tidak maksimal dalam mendorong
perekonomian, jika masih ada masyarakat yang sulit mengakses jasa perbankan
ini.Dengan demikian, akses perbankan mestinya terbuka untuk seluruh
masyarakat dan tidak boleh dihambat secara administrasi sekalipun.Sebuah
sistem keuangan yang efisien dan inklusif akan memberdayakan individu,
memfasilitasi pertukaran barang dan jasa, mengintegrasikan masyarakat dengan
perekonomian, serta memberi perlindungan terhadap guncangan ekonomi.
Keuangan inklusif, melalui akses ke layanan jasa keuangan seperti tabungan dan
kredit akan sangat membantu kelompok marjinal dan berpendapatan rendah
untuk meningkatkan pendapatannya, mengakumulasi kekayaan, mengelola
risiko, dan melakukan upaya untuk keluar dari garis batas kemiskinan.
Konsep Mekanisme Kerja Branchless Banking: Review dan Rekomendasi
BB bertujuan untuk memenuhi kepentingan ekonomi masyarakat
unbanked dan underbanked seperti pengiriman uang, menyimpan kelebihan
pendapatan dan memperoleh tambahan dana untuk pembiayaan usaha
produktif. Penyaluran modal produktif dapat dilakukan dengan membangun
kerjasama (kemitraan) antara perbankan dengan koperasi kredit. Perbankan
dapat bekerja sama dengan berbagai koperasi yang telah lebih dulu ada di
perdesaan untuk mewujudkan keuangan inklusif. Selain itu pihak BB juga dapat
menyalurkan modal produktif melalui UPLK lansung dengan menentukan kriteria-
kriteria khusus mengenai penyaluran modal namun mekanisme dan syarat yang
jauh berbeda dengan sistem pemberian kredit konvensional yaitu dengan syarat
yang ringan dapat diberikan dengan memilih pelaksana teknis UPLK yang
berasal dari tokoh masyarakat sehingga dia lebih mudah mensosialisasikan
program sekaligus mengenali calon penerima modal produktif dengan baik. Hal
ini sebagai langkah mengurangi persoalan moral hazard dalam pemberian
modal.Tokoh adat dan tokoh masyarakat dikenal luas oleh masyarakat sehingga
kepercayaan lebih mudah dibangun. Integritas tokoh masyarakat juga sudah
diakui oleh masyarakat dan juga mereka dikenal dan mengenal masyarakat
dengan baik maka prinsip know your customer (KYC) dapat digunakan, sehingga
membantu dalam prosesmanjaemen risiko.
Kemajuan bidang komunikasi akan sangat membantu penerapan BB di
Indonesia.Hal utama yang harus diatur sebelum BB diterapkan ialah aturan dan
mekanisme kerjasama antara industri perbankan dengan industri
telekomunikasi.Setelah masyarakat pengguna layanan BB, outputnya berupa
kemudahan akses finansial dan memperoleh modal produktif. Berdampak pada
pengelolaan keuangan sehingga tercapai tujuan meningkatkan kesejahteraan
dan pengentasan kemiskinan.
Kekuatan Kelemahan
BI harus merumuskan peraturan atau Undang-undang (UU) dalam kaitannya penegakan hukum apabila agen menyalahi aturan atau penyelewengan dalam menjalankan BB Penerapan program BB merupakan suatu kemudahan bagi daerah-daerah dalam transaksi perbankannya. Program ini akan mempermudah masyarakat daerah dalam mengakses layanan transaksi perbankan. Penerapan BB dengan Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK) atau agen. UPLK tersebut menjadi outlet dalam penyetoran dan penarikan dana nasabah di daerah-daerah sehingga akan mempermudah layanan transaksi masyarakat daerah yang selama ini mengalami kesulitan dalam bertransaksi
Kondisi pendidikan masyarakat yang masih rendah dimana perbandingan tingkat pendidikan berbeda jauh dengan negara-negara lain yang maju, karena yang pendidikan SD ke bawah ada sekitar 50 persen dari jumlah penduduk usia produktif Budaya yang berbeda-beda dimana karakteristik masyarakat di perdesaan cenderung suka berkumpul atau bergotong royong. Jadi, transaksi perbankan yang melalui ponsel, tidak akan begitu cocok untuk mereka. Belum memadainya infrastruktur di semua tempat. Di daerah luar Jawa belum semuanya punya akses bagus terhadap telekomunikasi. Dimana masih ada daerah-daerah yang tidak ada sinyal. Dari sisi perbankannya sendiri pelaksanaan BB ini belum tentu akan dapat langsung meningkatkan efisiensi secara signifikan Resiko yang akan terjadi khususnya hubungan antar bank dan agennya, dimana resiko hukum dan kepatuhan dikarenakan dalam pelayanan nasabah bukanlah berasal dari kantor cabang bank, melainkan melalui agen.
Koordinasi
Pengawasan
Kerjasama
Pengawasan penyedia produk
Teknologi (ponsel)
Layanan langsung/ponsel
Masyarakat Pengguna
Layanan BB
Agent
(UPLK)
Koperasi
Warung kelontong
Lembaga keungan mikro
Operator seluler / agent
banking
Personal (Tokoh Masyarakat)
eks.profesional perbankan )
Perbankan Penyedia
layanan BB
Perusahaan
Telekomunikasi
Otoritas Jasa Keuangan Bank Indonesia
Layanan keungan :
Tabungan
Transaksi keuangan
Penyaluran kredit
Kesejahteraan Masy.
dan Pengentasan
kemiskinan
Gambar.Different modes of Branchless Banking (Moorthi et al)
Gambar.Graphical representation of the final recommendation (Moorthi et al)
Gambar.Positioning of various Branchless Modes in Rural-Urban Continuum (Moorthi et al)
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, BBmerupakan cara yang efektifuntuk
memformalkanekonomi, menjangkaupendudukunbanked poor, dan layanan ini
dapat dimanfaatkan untukmeningkatkan
kondisiekonomifinansialstratamasyarakat yang terpinggirkan. Pada akhirnya,
mengarah padakemajuanperekonomiansecara keseluruhan.Setelah
berhasil,inisiatif inidiharapkan akan diikutioleh banyak negaraberkembang
lainnyauntuk meningkatkanpertumbuhan ekonomidanmengurangi kemiskinan.
Rekomendasi yang dapat diberikan yaitu harus ada ketentuan mengenai
agen perbankan, harus berpengalaman dan harus memliki sistem jaringan yang
berhubungan secara nasional. Mengingat kondisi demografi Indonesia yang
sangat berbeda-beda sehingga access to finance masyarakat terutama di daerah
pedalaman sangat diperlukan.Selain itu perlunya mekanisme dan regulasi yang
jelas mengenai persyaratan pembentukan atau penunjukan UPLK, terkait
manajemen resiko, serta perlindungan konsumen baik nasabah di tingkat
perbankan, pengguna jasa telekomunikasi serta UPLK.
Untuk membangun sistem keuangan inklusif, diperlukan upaya dari
semua pihak terkait, khususnya pembuat kebijakan dan regulator.Berdasarkan
catatan sejarah, kegiatan promosi keuangan inklusif cenderung berada di luar
fungsi utama bank sentral dan regulator industri jasa keuangan.Akan tetapi, saat
ini promosi keuangan inklusif telah berkembang menjadi perhatian utama.Peran
penting keuangan inklusif dalam isu pengentasan kemiskinan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas keuangan membutuhkan kepemimpinan dan kepemilikan
yang jelas dari para pemangku kebijakan.
Kondisi lingkungan kebijakan merupakan faktor penting dalam
menentukan ruang lingkup dan kecepatan penyelesaian masalah kesenjangan
akses akan layanan jasa keuangan di setiap pelosok wilayah dari suatu negara.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi pemerintah untuk menunjuk institusi
tertentu yang akan berperan secara eksplisit sebagai pemimpin yang
mengoordinasikan setiap inisiatif yang relevan dalam upaya pencapaian misi
nasional perluasan inklusi keuangan. Saat ini, Indonesia memiliki kesempatan
unik untuk terlibat dalam proses ini, dengan catatan bahwa pendekatan
institusional harus memperoleh dukungan dan terkoordinasikan dengan baik,
baik di pemerintah pusat maupun daerah.
Pengembangan model yang lebih tepat untuk Indonesia dikaitkan dengan
aspek sosiologi dan kearifan budaya setempat.Tidak kalah pentingnya ialah
upaya mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya bank disertai informasi
mengenai perlindungan nasabah, agar masyarakat meyakini bank sebagai
tempat yang aman untuk menyimpan uangnya.Niscaya perkembangan sektor
perbankan Indonesia semakin bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat.
BI ingin menggunakan jalur keuangan untuk mengurangi kemiskinan,
menjaga stabilitas sistem keuangan, sekaligus mendorong pemerataan baik
kegiatan maupun hasil pembangunan.Ada 3 strategi, yakni edukasi, aturan yang
lebih mendukung, dan proteksi terhadap nasabah.Menekankan financial
education, customer protection, sambil mencari modus terbaik untuk melebarkan
sayap jasa keuangan ke segenap penduduk.Ada beberapa kelompok sasaran,
mulai dari yang sangat miskin, near poor, sampai non-poor. Terkait financial
education, yang pasti, harus dibuat grand design supaya pengertian masyarakat
tentang jasa keuangan dan perbankan, termasuk perencanaan, pengelolaan, risk
awareness keuangan, meningkat. Terkait customer protection, paling penting,
bagaimana menerjemahkan level proteksi pada konsumen menjadi aturan
konkret dan benar-benar bisa dimengerti. Tidak hanya terkait jasa, tapi
perlindungan.Intinya, BI ingin menggunakan BB untuk memperluas akses dunia
keuangan.Perlunya mendorong agar akses ke dunia keuangan dan perbankan
diperluas dengan cara-cara inovatif, cepat, murah, dan menjangkau semua
pihak, terutama masyarakat kecil.Perlu terobosan agar akses jasa keuangan bisa
cepat dilakukan, misalnya berbasis teknologi informasi, menggunakan mobile
bank dan mobile phone.
DAFTAR PUSTAKA
Kodim, Nasrindan Does Sampurno.2010. Membangun Masyarakat Perdesaan
yang Sehat Produktif.Perdesaan dalam Rangka Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat Pemikiran Guru Besar Perguruan Tinggi Badan
Hukum Milik Negara.Bogor: IPB Press
Moorthiet al. 2012.BB by Corporation Bank – A Branding
Perspective.http://tejas.iimb.ac.in/articles/10.phpdiaksestanggal 26 Juli
2013
Prasetyo, Dedy. 2010. BB, Satu Pilar Mencapai Keuangan Inklusif.
Satria, Arif et al. 2011. Menuju Desa 2030. Crestpent Press: Bogor