implementasi managerial pendidikan inklusif

22
IMPLEMENTASI MANAGERIAL PENDIDIKAN INKLUSIF Makalah disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi Disusun Oleh : 1. Annisa Isma N (K8113008) 2. Annisa Tristi Salsa W (K8113009) 3. Dwi Retno Safitri (K8113023) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Upload: unsgtac

Post on 26-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IMPLEMENTASI MANAGERIAL PENDIDIKAN INKLUSIF

Makalah disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pendidikan Inklusi

Disusun Oleh :

1. Annisa Isma N (K8113008)

2. Annisa Tristi Salsa W

(K8113009)

3. Dwi Retno Safitri (K8113023)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2014

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan inklusif memberikan layanan pendidikan

berdasarkan variasi potensi peserta didik dalam satu lembaga

pendidikan. Layanan ini sangat sesuai untuk anakberkebutuahan

khusus (ABK) yang memiliki karakteristik unik dan bersifat

individual. Pelaksanaan pendidikan inklusif saat ini masih

belum selaras dengan sistem persekolahan nasional yang

cenderung menerapkan sistem layanan standar (perlakuan sama

untuk setiap individu dan ketuntasan belajar dengan tolok ukur

Standar Nasional). Terkait dengan kondisi ABK yang memiliki

berbagai keterbatasan dan kebutuhan belajar, maka dalam

implemntasi pendidikan inklusif di sekolah memerlukan

modifikasi kurikulum, strategi pembelajaran, sistem penilain

hasil belajar dan manajemen persekolahan yang sesuai dengan

kebutuhan layanan ABK.

B. Rumusan Masalah

1. Apa konsep pendidikan inklusif ?

2. Apa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan

pendidikan inklusif ?

3. Bagaimana manajemen pendidikan inklusif ?

4. Bagaimana pembelajaran di pendidikan inklusif ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui konsep pendidikan inklusif

3

2. Mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan

pendidikan inklusif

3. Mengetahui manajemen pendidikan inklusif

4. Mengetahui konsep pembelajaran di pendidikan inklusif

4

BAB II

ISI

A. Konsep Pendidikan Inklusif

Kebijkan pendidikan inklusif merupakan “sistem

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta

didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat

istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan

pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”

(Permendiknas, Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan

Inklusif).

Secara konseptual dari sudut manajemen pendidikan

inklusif sebagai salah satu implikasi adanya pergeseran

layanan ABK dari Medical Model menuju Social Disability Model (Rayner,

2007). Kedua pandangan tersebut menunjukkan keterkaitan sebuah

“inti” dari pendidikan inklusif yaitu untuk memberikan hak

pendidikan yang sama untuk semua orang tanpa membedakan

kondisi individu.

Banyak harapan dari implementasi pendidikan inklusif,

namun fakta menunjukkan masih terdapat banyak permasalahan

dalam pelaksanaan pendidikan inklusif (Hasil diskusi dengan

guru dan kepala sekolah penyelenggara inklusif peserta

pelatihan di Yogyakarta, 2009). Beberapa permasalahan tersebut

dapat diidentifikasi antara lain:

1. masih ada kesulitan menyelaraskan antara standar layanan

persekolahan reguler yang selama ini berjalan dan variasi

kebutuhan belajar ABK

5

2. sekolah belum mampu menyediakan program yang tepat, bagi

ABK dengan kondisi kecerdasan di bawah rata-rata

(tunagrahita)

3. belum ada sistem evaluasi hasil belajar (baik formatif

dan sumatif) yang tepat sesuai kebutuhan ABK karena

kurangnya sarana dan sumber belajar aksesabilitas untuk

mengakomodasi kebutuhan mobilitas dan belajar ABK;

4. belum semua guru regular memiliki kompetensi memberikan

layanan ABK dan masih minimnya guru khusus di sekolah

inklusif, meskipun bukan suatu keharusan (indentik)

antara guru khusus dan sekolah inklusif;

5. belum seluruh warga sekolah memiliki kesepahaman tentang

pendidikan inklusif dan layanan ABK;

6. masih adanya anggapan keberadaan ABK akan mempengaruhi

ketuntasan hasil belajar akhir tahun, akibatnya ABK

dipindahkan di SLB menjelang ujian;

7. layanan inklusif masih belum menyatu dalam sistem dan

iklim sekolah, sehingga ada dua label siswa ABK dan

reguler;

8. belum semua pengambil kebijakan termasuk bidang

pendidikan memahami tentang sistem inklusif;

9. secara pengelolaan pelaksanaan pendidikan inklusif kurang

dipersiapkan dengan komprehensif; dan

10. belum optimalnya penyediaan bahan ajar sesuai

kebutuhan ABK.

Menilik banyaknya permasalahan implementasi

pendidikan inklusif tersebut menunjukkan masih perlunya

penataan lebih komprehensif.

6

B. Manajemen Pendidikan Inklusif

Secara sederhana manjemen pendidikan adalah merupakan

kegiatan yang mengandung kerjasama, berjalan secara proses,

memilki kerangka sistem untuk mencapai tujuan pendidikan

dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Pendidikan yang

dimaksudkan dalam hal ini adalah pendidikan yang difokuskan

pada penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik yang

berkelainan. Manajemen dalam pendidikan inklusif antara lain :

1. Manajemen Kesiswaan

Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen

pendidikan inklusif yang perlu mendapat perhatian dan

pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan kondisi peserta

didik pada pendidikan inklusif yang lebih majemuk

daripada kondisi peserta didik pada pendidikan reguler.

Tujuan dari manajemen kesiswaan ini tidak lain agar

kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat berjalan

lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang

diinginkan.

2. Manajemen Kurikulum

Pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum standar

nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam

pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan

inklusif disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik

peserta didik.

Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai

satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif

7

adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang

mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik

sesuai dengan bakat, minat dan potensinya.

Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari:

1. Model kurikulum reguler

Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang

mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus

untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti

kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama.

2. Model kurikulum reguler dengan modifikasi

Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu

kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada

strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun

pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu

pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.

Di dalam model ini bisa terdapat siswa

berkebutuhan khusus yang memiliki PPI.

3. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual

(PPI)

Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang

dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan

bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas,

guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua,

dan tenaga ahli lain yang terkait.

8

Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris

Individualized Education Program (IEP) merupakan

karakteristik paling kentara dari pendidikan

inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang

berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya

penyesuaian model pembelajaran yang tanggap

terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP

menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih.

Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan

pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta

didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam

rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta

bagaimana efektivitas program tersebut akan

ditentukan.

3. Manajemen Tenaga Kependidikan

Tenaga kependidikan merupakan salah satu unsur penting

dalam pendidikan inklusif. Tenaga kependidikan dalam

pendidikan inklusif mendapat porsi tanggung jawab yang

jelas berbeda dengan tenaga kependidikan pada

pendidikan noninklusif. Perbedaan yang terdapat pada

individu meniscayakan adanya kompetensi yang berbeda

dari tenaga kependidikan lainnya. Tenaga kependidikan

secara umum memiliki tugas seperti menyelenggarakan

kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan,

mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam

bidang pendidikan.

9

Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu guru kelas,

guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus.

Manajemen tenaga kependidikan antara lain meliputi:

(1)Inventarisasi pegawai, (2)Pengusulan formasi

pegawai, (3)Pengusulan pengangkatan, kenaikan tingkat,

kenaikan berkala, dan mutasi, (4)Mengatur usaha

kesejahteraan, (5)Mengatur pembagian tugas

4. Manajemen Sarana dan Prasarana

Manajemen sarana prasarana sekolah bertugas

merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan,

mengkordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi kebutuhan

dan penggunaan sarana-prasarana agar dapat memberikan

sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar

mengajar.

5. Manajemen Keuangan/Dana

Pendanaan pendidikan inklusif memerlukan manajemen

keuangan atau pendanaan yang baik. Walaupun

penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan pada

sekolah reguler dengan penyesuaian-penyesuaian, namun

tidak serta merta pendanaan penyelenggaraannya dapat

diikutkan begitu saja dengan pendanaan sekolah reguler.

Maka diperlukan manajemen keuangan atau pendanaan yang

mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusif dan mengatasi berbagai permasalahan

terkait dengan pendanaan.

10

Pembiayaan pendidikan inklusif untuk wilayah DKI

Jakarta bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas, Dinas Dikmenti

dan Kanwil Depag dan sumber lain yang sah. Pembiayaan

pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk

lembaga pendidikan swasta dibebankan pada anggaran

yayasan/lembaga pendidikan swasta yang bersangkutan.

Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, perlu

dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk

keperluan: (1)Kegiatan identifikasi input siswa,

(2)Modifikasi kurikulum, (3)Insentif bagi tenaga

kependidikan yang terlibat, (4)Pengadaan sarana-

prasarana, (5)Pemberdayaan peran serta masyarakat,

(6)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi

tanggung jawab pemerintah. Stake holder pendidikan lain

seperti masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam

rangka memajukan pendidikan. Apalagi dalam semangat

otonomi daerah dimana pendidikan juga merupakan salah

satu bidang yang didesentralisasikan, maka keterlibatan

masyarakat merupakan suatu keharusan. Dalam rangka

menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia

berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan

berbagai hal, antara lain dengan memberitahu masyarakat

mengenai program-program sekolah, baik program yang

telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun

yang akan  dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat

gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan.

11

6. Manajemen Lingkungan (Hubungan Sekolah dan Masyarakat)

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu

mengelola dengan baik hubungan sekolah dengan

masyarakat agar dapat tercipta dan terbina hubungan

yang baik dalam rangka upaya memajukan pendidikan di

daerah.

7. Manajemen Layanan Khusus

Dalam pendidikan inklusif terdapat komponen manajemen

layanan khusus. Manajemen layanan khusus ini mencakup

manajemen kesiswaan, kurikulum, tenaga kependidikan,

sarana-prasarana, pendanaan dan lingkungan. Kepala

sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memahami

ke-PLB-an, untuk melaksanakan manajemen layanan khusus

ini.

C. Penyesuaian Kurikulum

Dalam arti yang luas kurikulum merupakan rencana

pembelajaran secara menyeluruh yang mencakup program12

pengajaran, materi pelajaran, metode dan evaluasi yang

merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan pendidikan.

Meskipun demikian, kurikulum sering dianggap hanya sebagai

dokumen yang berisi sekumpulan bahan pengajaran dan tujuan

pengajaran. Sehingga berbicara kurikulum identik dengan

berbicara tentang bahan pengajaran. Dalam sistem pendidikan di

Indonesia, kurikulum disusun secara nasional dan berlaku untuk

semua sekolah sesuai dengan tingkat dan jenis pendidikan.

Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai salah satu satuan pendidikan

memiliki kurikulum khusus yang berbeda dengan kurikulum untuk

sekolah pada umumnya. Kurikulum semacam ini tidak mendukung

atau bahkan dapat menghambat pelaksanaan pendidikan inklusif

yang sebenarnya. Karena dalam pendidikan inklusif satu sekolah

untuk semua anak dan sekaligus satu kurikulum untuk semua

anak. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pendidikan inklusif

diperlukan penyesuaian-penyesuaian tertentu terhadap kurikulum

yang telah ada.

Penyesuaian kurikulum dalam rangka implementasi

pendidikan inklusif di Indonesia pertama-tama yang harus

diperhatikan adalah mengubah orientasi kurikulum dari subject

center oriented ke child center oriented. Child center

oriented lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan siswa dari

pada materi yang harus dikuasai oleh siswa.

Di samping itu, pendidikan inklusif menuntut juga

penyesuaian kurikulum dalam hal waktu penguasaan terhadap

sejumlah bahan pengajaran. Artinya kecepatan siswa untuk

menguasai suatu materi pengajaran tidak harus sama dan

disesuaikan dengan kemampuan siswa masing-masing secara

13

individu. Dengan penyesuaian semacam ini dimungkinkan siswa

ada yang lebih cepat dibandingkan kawannya untuk menyelesaikan

materi tertentu dan sebaliknya ada anak yang lebih lambat

dalam menguasai bahan pengajaran. Dalam pendidikan inklusif

penambahan materi pembelajaran seperti materi pengajaran non-

akademik atau keterampilan khusus seperti bahasa isyarat bagi

tunarungu, tulisan braille dan keterampilan orientasi dan

mobilitas (OM) bagi tunanetra, keterampilan merawat diri bagi

anak tunagrahita dan lain-lain perlu mendapat perhatian.

D. Pembelajaran

Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi

antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi

perubahan perilaku ke arah yang labih baik. Dalam interaksi

tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik

faktor internal yang datang dari dalam individu, maupun faktor

eksternal yang datang dari luar lingkungan. Dalam

pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah

mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan

perilaku bagi peserta didik. Mengingat pembelajaran dalam

pendidikan inklusif atau seting inklusif harus berhadapan

dengan peserta didik dengan keadaan dan kemampuan yang sangat

beragam, maka pengajaran dengan pendekatan individu dianggap

yang paling tepat. Dalam pengajaran dengan pendekatan individu

diperlukan tiga langkah kegiatan utama yaitu, asesmen

( assesment), intervensi (intervention), dan evaluasi

(evaluation).

1. Asesmen

14

Asesmen adalah suatu penilaian yang komprehensif dan

melibatkan anggota tim untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan

anak. Hasil keputusan asesmen dapat digunakan untuk menentukan

layanan pendidikan yang dibutuhkan anak dan sebagai dasar

untuk menyusun suatu rancangan pembelajaran. Rancangan

pembelajaran yang dimaksud adalah rancangan pembelajaran yang

didesain untuk anak-anak secara individual yang disebut

rancangan pendidikan individual atau IEP (Individualized

Educational Program). IEP adalah suatu dokumen tertulis yang

memadukan individualisasi metode asesmen dengan

individualisasi metode pengajaran. IEP merupakan suatu alat

pengelolaan yang dirancang untuk menjamin seorang anak yang

memerlukan pendidikan khusus dan pendidikan khusus dirancang

untuk anak itu dengan kebutuhan pembelajaran khusus yang tepat

Pengertian asesmen dapat disarikan dari definisi susunan

Loughlin dan Lewis sebagai proses mempertanyakan tindak ajar

siswa guna ketepatan penempatan dan pengajaran siswa tersebut

(systematic process of asking educationally relevant questions abaout a student’s

learning behavior for the purposes of placement and instruction). Istilah lain

yang hampir mirip dengan asesment ialah evaluasi dan penilaian,

tetapi istilah asesmen lebih banyak menekankan pada penilaian

sebelum mengajar, sedangkan evaluasi mencakup kedua-duanya.

Asesmen juga dapat disamakan dengan analisis, tetapi asesmen

labih mengarah kepada analisis yang mempersiapkan tindakan.

Seperti halnya evaluasi , asesmen juga seringkali perlu

diulang. Asesmen ulangan bisa sama dengan asesmen yang sudah

dilakukan dan bisa juga berbeda. Dalam banyak hal, asesmen

juga bergantung pada intervensi. Hubungan antara keduanya

15

demikian erat sehingga kadang-kadang sukar membicarakan

asesmen tanpa menggambarkan terlebih dahulu intervensi yang

akan digunakan. Dalam asesmen dapat menggunakan tes psikologi

dan tes pendidikan yang sudah dibakukan maupun tes buatan

guru.

2. Intervensi

Intervensi ada yang dikerjakan untuk membangun tingkah

laku yang dikehendaki dan adapula untuk meniadakan tingkah

laku yang tidak dikehendaki. Membangun tingkah laku yang

dikehendaki dapat dilakukan dengan cara menceritakan tingkah

laku tersebut dan menganjurkan agar siswa melakukannya. Di

samping itu dapat memberikan contoh bagaimana melakukannya.

Jika kedua cara tersebut tidak dapat dilakukan, kita

menggunakan cara intervensi.Intervensi diberikan dalam waktu

yang relatif lebih singkat tetapi harus berturut-turut sampai

anak mengalami perubahan. Intervensi di sini dimaksudkan

sebagai kegiatan inti dari pelaksanaan proses pembelajaran,

yakni bagaimana tujuan-tujuan belajar direalisasikan melalui

kegiatan intervensi. Proses pembelajaran perlu dilakukan

dengan tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja

menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptan

lingkungan yang konduksif. Proses pembelajaran dikatakan

efektif apabila seluruh peserta didik terlibat secara aktif,

baik mental, fisik maupun sosialnya. Pembelajaran dapat

dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi

proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas

apabila seluruhnya atau setidaktidaknya sebagian besar (75%)

peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental,

16

maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping menunjukkan

kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar,

dan rasa percaya diri pada diri sendiri. Sedangkan dari segi

hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi

perubahan perilaku yang positip pada diri peserta didik

seluruhnya atau setidaktidaknya sebagian besar (75%). Lebih

lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas

apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan

bermutu tinggi. Kegiatan pembelajaran dalam arti intervensi

meliputi mengembangkan atau membangun kemampuan, sikap, dan

kebiasaan yang dikehendaki dan meniadakan yang tidak

dikehendaki.

a. Membangun kemampuan yang dikehendaki

Jika tingkah laku yang dikehendaki berupa kemampuan

misalnya pengerjaan matematika ,berbahasa, kegiatan fisika

dan sebagainya, intervensi yang kita pilih ialah hasil

asesmen yang dilakukan melalui analisis tugas. Adapun

caranya adalah anak tersebut dilatih atau diajar mulai pada

hal-hal yang dirasa sukar .Kemudian sebagai pengajaran

lanjutan mengkaitkan antara hal yang telah dilatihkan dengan

kegiatan lain. Rangkaian tersebut dilatih secara berulang-

ulang sampai anak menguasai secara keseluruhan . Prinsip ini

adalah pengajaran yang didasarkan pada asesmen dengan

analisis tugas .

b. Membangun sikap dan kebiasaan yang dikehendaki

Anak yang dapat melakukan sesuatu belum tentu terbiasa

melakukannya pada saat diperlukan. Dalam hal anak belum

17

terbiasa melakukannya, kita perlu menanamkan kebiasaan yang

baik supaya menjadi miliknya.

c. Meniadakan yang tidak dikehendaki

Perilaku anak yang tidak baik atau yang tidak

dikehendaki dapat muncul karena beberapa sebab misalnya

ingin mendapat perhatian, karena ada keinginan, untuk

menyatakan sesuatu dan lain-lain.

3. EvaluasiKegiatan evaluasi atau penilaian pada sekolah pada

umumnya dilakukan dalam ulangan harian, ulangan umum, dan

ujian akhir. Evaluasi tersebut biasanya dilakukan secara

serentak dan soalnya seragam untuk semua siswa. Hal ini

dilakukan karena didasari asumsi bahwa siswa dalam satu kelas

memiliki kemampuan yang sama atau hampir sama dengan demikian

perbedaan individu nyaris tidak mendapat perhatian. Ditinjau

dari sistem evaluasinya didasarkan pada acuan norma, sehingga

nilai rata-rata dan rangking menjadi konsekuensi logis sistem

ini. Seringkali pengumuman rangking dalam kelas secara terbuka

memiliki menimbulkan dampak psikologis yang negatif. Secara

teoretis yang berada rangking kecil sebagai motivator, namun

kenyataannya terjadi sebaliknya yakni mereka merasa minder

atau rendah diri. Dalam pendidikan inklusif yang melayani

pendidikan pada peserta didik dimana perbedaan individu berada

dalam rentang yang cukup besar, penilaian dengan sistem acuan

kelompok kurang sesuai. Oleh karena itu sistem penilaian

dengan acuan patokan dimana patokan untuk masing-masing siswa

berbeda akan lebih cocok. Di samping sistem penilaian acuan

patokan atau acuan kelompok, persoalan penilaian yang bersifat

18

kuantitatif maupun kualitatif keduanya perlu mendapat

perhatian.

19

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan inklusif sebagai suatu sistem layanan ABK

menyatu dalam layanan pendidikan formal. Konsep ini

menunjukkan hanya ada satu sistem pembelajaran dalam sekolah

inklusif, tetapi mampu mengakomudasi perbedaan kebutuhan

belajar setiap individu. Dalam Sistem persekolahan Nasional

yang selama ini masih cenderung menerapakan layanan

pembelajaran dengan “model ketuntasan hasil belajar bersama”

melalui bentuk belajar klasikal berdampak kurang memberikan

kefleksibelan penerapan pendidikan inklusif, terutama bagi ABK

dengan kondisi kemampuan mental rendah. Di sisi lain dalam

penyelengaaraan pendidikan inklusif memerlukan layanan

pembelajaran sebanyak variasi kondisi ABK. Variasi layanan

tersebut perlu diikuti dengan dukungan sumber daya sarana

belajar dan sumber daya pendidik serta warga sekolah yang

mampu memberikan layanan ABK. Dengan demikian langkah

persiapan sebagai aspek sangat penting untuk penyelenggaran

pendidikan inklusif. Persiapan komprehensif mencakup kesiapan

program layanan akademik dan non-akademik, sarana dan pendidik

serta iklim persekolaha, kesepahaman warga sekolah, termasuk

juga sistem seleksi siswa baru yang dapat megakomodasi ABK

dalam sistem layanan sekolah, Pada tahap pemula implementasi

pendidikan inklusif dapat membatasi input siswa ABK sesuai

kesiapan sekolah. Artinya sekolah tidak harus menerima semua

tipe ABK tetapi dibatasi ABK dengan karakteristik tertentu,

20

agar dapat memberikan layanan optimal (misal hanya mereima ABK

dengan tipe ganggan pengelihatan dan kecersan rata-rata).

Aspek penting lainnya yang perlu disiapkan adalah sistem

evaluasi hasil belajar, terutama sekolah inklusif yang

memiliki ABK dengan gangguan perkembangan mental. Dalam

pendidikan inklusif selayaknya diterapkan sistem evaluasi

regular, evaluasi modifikasi (dari segi instrumen) dan evalusi

individual. Implementasi pendidikan inklusif memerlukan

perubahan manajemen sistem persekolahan dan komitmen bagi

pelaku pendidikan pada tingkat pengambil kebijakan dan

praksis.

21

DAFTAR PUSTAKA

Sunant, Juang. ____.Manajemen Pendidikan Inklusi. Jurnal Tidak

diterbitkan. Bandung : UPI

Purwandari.2009. Pendidikan Inklusif : Masalah Ketenagaan dan Peran Serta

Perguruan Tinggi dalam Penyelenggaraan Sekolah Inklusif. Makalah Tidak

diterbitkan. Yogyakarta : UNY

22