bapak dengan riwayat merokok dan menderita ppok
TRANSCRIPT
Bapak dengan Riwayat Merokok dan
menderita PPOK
Devita Natalia
10-2010-217
C-5
Mahasiswi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta Barat
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
PendahuluanPada beberapa kasus gangguan pernapasan dicetuskan dengan
adanya riwayat merokok. Baik perokok pasif maupun perokok aktif,
tetap saja efek ada merokok dalam jangka waktu yang panjang akan
mengganggu kesehatan yang normal. Salah satu contoj pada kasus
yang didapat, bahwa penyakit paru obstruktif kronik mempunyai
riwayat merokok sehingga munculnya gejala-gejala seperti yang ada
di kasus.
AnamnesisPada anamnesis ada beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan
pada pasien baik secara autoanamnesis atau aloanamnesis. Berikut
pertanyaan-pertanyaannya:1
1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
Berapa lama pasien merasa sesak nafas? Kapan pasuen
merasa sesak napas: saat istirahat atau aktivitas?
Apa yang dilakukan pasien sebelum measa sult bernapas?
Berapa jauh pasien dapat berjalan?
Apakah pasien batuk? Jika ya, adakah sputum, berapa
banyak , dan apa warnanya?
Berapa lama pasien mengalami keadaan seburuk ini?
Kira-kira apa pemicunya?
Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat
berbaring? Pernahkah pasien mendapat ventilasi? Pernahkah
pasien dirawat di rumah sakit? (Jika ya, berapa hasil
spirometri dan gas darah awal?)
3. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan kondisi pernapasan terdaulu (misalnya asma, TB,
karsinoma bronkus, brokiestaksis, atau emfisema).
Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan
lain.
Pernahkah ada episode pneumonia?
Tanyakan gejala apnea saat tidur (mengantuk di siang
hari, mendengkur). Adakah kemunduran di musim dingin?
4. Obat-obatan
Tanyakan respon pasien terhadap terapi kortikosteroid,
nebulizer, oksigen di rumah? Apakah pasien menggunakan
oksigen di rumah? Jika ya, selama berapa jam sehari
digunakan?
Dapatkan riwayat merokok pasien (dahulu [bungkus perhari
hari/tahun], sekarang dan pasif).
5. Riwayat keluarga dan sosial
Bagaimana riwayat pekerjaan pasien? (Pnemokoniosis?)
Adakah riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga
(pertimbangkan defisiensi alfal1-antitripsin?
Bagaimana tingkat disabilitas pasien? Bagaimana toleransi
olahraga pasien naik tangga? Dimana kamar tidur/ kamar
mandi pasien dan sebagainya? Siapa berbelanja, mencuci,
memasak dan sebagainya?
Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan
yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah
mulai terdapathiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat
sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara
bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.1
Secara umum pada pemeriksaan fisik penderita PPOK dapat ditemukan
hal-hal sebagai
berikut:
Inspeksi
- Bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong)
- Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang
meniup)
- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu
nafas
- Pelebaran sela iga
Perkusi
- Ditemukan suara hipersonor
Palpasi
- Pada umumnya normal jarang sekali ditemukan pembesaran
organ-organ.
Auskultasi
- Fremitus melemah
- Suara nafas vesikuler melemah dan normal
- Ekspirasi memanjang
- Mengi (biasanya timbul pada ekserbasi)
- Ronki
Pemeriksaan penunjangBeberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakan diagnosis, antara lain :
Tes Fungsi Paru
PPOK ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume
ekspirasi paksa dalam 1 detik < 80% nilai yang diperkirakan,
dan rasio FEV1 : kapasitas vital paksa < 70 %. Laju aliran
ekspirasi puncak menurun. Obstruksi saluran napas hanya
reversible sebagian bila diterapi dengan bronkodilator (atau
obat lain).5
Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal
dan < 200 ml
Pemeriksaan Radiologi (Foto Thorax)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih
normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini
berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru
lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan
pasien. Seperti :- Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan
tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel
keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang
bertambah.- Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya
hiperinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan
mendatar, penciutan pembuluh darah pulmonal, serta
gambaran jantung tampak lebih kecil (jantung
menggantung : Jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance).2
Analisis Gas Darah
Harus dilakukan apanila ada kecurigaan gagal napas dan gagal
napas akut pada gagal napas kronik.
Computed Tomography
Dengan cara menggunakan computer olahan sinar X utuk
menghasilkan gambar tomografi atau potongan dari daerah
tertentu dari tubuh. Computed Tomography ini digunakan untuk
tujuan diagostil dan terapi. Dengan computed tomogramhy ini
kita dapat memastikan adanya bula emfisematosa.
Uji Provokasi Bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian
kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
Mikrobiologi Sputum
Digunakan untuk pemilihan antibiotoka (bila terjadi
eksaserbasi)
DiagnosisDiagnosis kerja
PPOK
Diagnosis kerja yang diambil yaitu penyakit paru obtruktif
kronis (PPOK), merupakan istilah yang bisa saling menggangtikan.
Gangguan progresif lambat kronis ditandai oleh obstruksi saluran
pernapasan yang menetap atau sedikit reversibel, tidak seperti
obstruksi saluran pernapasan reversibel pada asma.
PPOK ditandai oleh adanya peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga
penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan sebutan
PPOM adalah bronkitis kronik, emfisema paru-paru dan asma
bronkial.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya.3
Diagnosis banding
1. PPOK ec. Asma
Gambaran klinis
Asma adalah penyakit peradangan saluran napas penyumbatan
saluran napas yang ditandai oleh adanya gejala interminten,
termasuk mengi, rasa sesak di dada, kesulitan bernapas (dispnea),
dan batuk bersama dengan hiperremponsivitas bronkus. Pajanan oleh
alergen tertentu atau berbagai rangsang nonspesifik memicu kaskade
proses aktivasi sel di saluran napas sehingga terjadi peradangan
akut atau kronik yang diperantarai oleh berbagai sitokin lokal dan
mediator lain. Pembebesan mediator dapat mengubah tonus dan
kepekaan otot polos saluran napas, menyebabkan hipersekresi mukusm
dan menimbulkan kerusakan epitel saluran napas. Proses-proses
patologis ini menyebabkan arsitektur dan fungsi saluran napas
terganggu secara kronik.4
Hal yang mendasar dalam definisi asma adalah kemungkinan
variasi keparahan dan manifestasi penyakit oada dan diantara
individu seiring dengan berlalu waktu. Contohnya, sementara banyak
pasien asma jarang memperlihatkan gejala atau gejalanya ringan,
yang lain dapat mengalami gejala yang menetap atau berkepanjangan
dengan tingkat keparahan yang tinggi. Demikian juga, rangsang
pemicu atau yang menyebabkan kekambuhan dapat cukup berbeda antar
pasien.4
Manifestasi klinis
Manifestasi asma mudah dijelaskan oleh adanya peradangan dan
obstruksi saluran nafas.
Batuk
Batuk terjadi akibat kombinasi penyempitan saluran napas,
hipersekresi mukus dan hiperremponsivitas aferan saraf yang
dijumpai pada peradangan saluran napas. Hal ini juga dapat
disebabkan oleh peradangan non-spesifik setelah infeksi,
terutama oleh virus, pada pasien asma. Akibat penyempitan
kompresif dan tingginya kecepatan aliran udara di salura-
saluran napas sentral, batuk dapat menghasilkan gaya dorong
yang cukup kuat untuk membersihkan mukus yang tertimbun dan
partikel yang tertahan di saluran napas yang sempit.
Mengi (wheezing)
Kontraksi otot polos, bersama engan hipersekresi dan retensi
mukus menyebabkan pengurangan kaliber saluran napas dan
tuberlensi aliran darah yang berkepanjangan, yang menimbulkan
mengi yang dapat didengar langsung atau dengan stetoskop.
Intesitas mengi tidak berkolerasi baik dengan keparahan
penyempitan saluran napas; contohnya, pada obtruksi saluran
napas ektrem, alirab udara dapat sedemikian berkurang sehingga
mengi ungkin sama sekali tidak terdengar.
Dispena dan rasa sedak di dada
Sensasi dispnea dan rasa sesak di dada adalah akibat sejumlah
perubahan fisiologis. Upaya yang lebih kuat oleh otot untuk
mengatasi meningkatkan resistensi saluran napas dideteksi oleh
reseptor regang gelendongg otot, terutama otot antariga dan
dinding dada.hiperinflasi akibat obstruksi saluran napas
menyebabkan toraks terenggang. Compliance paru menurun, dan
kerja pernapasan meningkat , yang juga dideteksi oleh saraf-
saraf sensorik dinding dada dan bermanifestasi sebagai rasa
tertekan di dada dan dispnea. Seiring dengan memburuknya
obstruksi, peningkatan ketidak-sesuaian V/Q menyebabkan
hiposemia. Peningkatan tekanan CO2 arteri dan kemudian,
munculnya hipoksemia arteri (masing-masing atau bersama-sama
sebagai rangsang sinergitik) akan mendorong pernapasan melalui
kemoreseptor perifer dan sentral. Rangsangan ini, dalam
keadaan kelelahan otot pernapasan, menyebabkan dispena
progesif.
Takipnea dan takikardia
Takipnea dan takikadia mungkin terjadi pada penyakit ringan
tetapi hampir selalu dijumpai pada ekserbasi akut.
Pulsus paradokus
Pulsus paradokus adalah penurunan tekanan arteri sistolik
lebih dari 10 mmHg saat inspirasi. Hal ini tampaknya terjadi
akbiat hiperinflasi paru, disertai gangguan pengisian
ventrikel kiri dan peningkatan aliran balik vena ke ventrikel
kanan sewaktu inspirasi kuat pada obstrusi berat. Dengan
meningkatnya volume diastolik-akhir vetrikel kanan sewaktu
inspirasi, septum intraventrikel bergerak ke kiri, yang
mengganggu pengisian dan pengeluaran (output) ventrikel kiri.
Konsekuensi penurunan curah jantuh ini adalah penurunan curah
jantung ini adalah penurunan tekanan sitolik saat inspirasi
atau pulsus paradokus.
Hipoksemia
Bertambahnya obtruksi saluran napas menciptakan area-area
dengan rasio V/Q yang rendag dan hipoksemia. Pirau jarang
terjadi pada asma.
Hiperkapnia dan asidosis respiratorik
Pada asma ringan sampai sedang, ventilasi tetap normal atau
berkurang, dan PCO2 arteri tetap normal atau menurun. Pada
serangan yang berat, obstruksi saluran napas menetap atau
bertambha dan timbul kelelahan otot pernapasan, disertai
hipoventilasi alveolus dan meningkatnya hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Perlu dicatat bahwa hal ini dapat
terjadi meskipun takipnea terus berlangsung, yang tidak
ekuivalen dengan hiperventilasi alveoulus.
Kelainan obstruktif pada uji paru
Pasien dengan asma ringan mungkin memperlihatkan fungsi paru
yang seluruhnya normal di antara eksaserbasi. Sewaktu serangan
asma akut, semua indeks aliran udara ekpirasi berkurang,
termasuk FEV1, FEV1 /FVC (FEV1%), dan laju aliran ekspirasi
puncak. FVC juga sering berkurang akibat penutupan prematur
saluran napas sebelum ekspirasi penuh. Pemberian bronkodilator
meyebakan berkurangnya obstruksi saluran napas. Akibat
obstruksi aliran udara, terjadi pengosongan tak-sempurna unit-
unit paru pada akhir ekspirasi yang menyebabkan hiperinflasi
akut dan kronik; kapasitas paru total (TLC), kapasitas residu
fungsional (FRC), dan volume residu (RV) dapat meningkat.
Kapasitas paru mendifusikan karbon dioksida (DLCO) sering
meningkat akibat peningkatan volume paru (dan darah kapiler
paru).4
2. PPOK ec. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik didefinisikan sebagai riwayat kilinis batuk
produktif selama 3 bulan setahun untuk 2 tahun berturut-turut.
Dispena dan obstruksi saluran napas, sering dengan elemen
reversibilitas, terjadi secara interminten atau terus menurus.
Merokok sejau ini adalah kausa utama meskipun iritan inhalasi lain
mungkin dapat menimbulkan proses yang sama. Proses patologis yang
predominan adalah proses peradangan saluran napas, disertai
penebalan mukosa dan hipersekresi mukus sehingga terjadi obstruksi
difus.4
Pada bronkitis kronik, terdapat sejumlah kelainan patologis
saluran napas, meskipun tidak ada yang benar-benar khas untuk
penyakit ini. Gambaram klinis bronkitis kronik dapat dikaitkan
dengan cedera dan penyempitan kronik saluran napas. Gambaran
patologis utama adalah peradangan saluran napas, terutama saluran
napas yang halus, dan hipertrofi kelenjar mukosa saluran saluran
napas besar, disertai peningkatan sekresi mukus dan obstruksi
slauran napas oleh mukus tersebut. Mukosa slauran bisanya disebuki
oleh sel radang, termasuk leukosit polimorfonukleus dan limfosit.
Peradangan dapat secara substasial mempersempit lumen bronkus.
Akibat peradangan kronik, lapisan normal epitel kolumnar berlapis
semu bersilia sering diganti oleh bercak-bercak metaplasia
skuamosa. Tanpa adanya eiptel bronkus bersilia normalm fungsi
pembersihan oleh mukosilia sangat berkurang atau bahkan lenyap
sama sekali. Hipertrofi dan hiperplasi kelenjar submukosa
merupakan gambaran yang mencolok, dengan kelenjar yang sering
memberntuk lebih dari 50% ketebalan dinding bronkus. Hipersekresi
mukus menyertai hiperplasia kelenjar mukosa, yang semakin
mempersempit lumen. Hipertrofi otot polos bronkus sering dijumpai,
dan hiperremponsivitas dapat dijumpai terhadap rangsang
brokokonstrikstor nonspesifik (termasuk histamin dan metakolin).
Bronkiolus sring disebuki oleh sel radang dan mengalami distorsi,
disertai oleh fibrosis peribronkus. Penyumbatan oleh mukus dan
obstruksi lumen saluran napas halus sering ditemukan. Tanpa adanya
proses lain yang menimpa, misalnya pneumonia, parenkim paru untuk
pertukaran gas, yang teridir atas unit-unit respiratorik terminal,
umumnya tidak mengalami kerusakan. Hasil kombinasi proses-proses
diatas adalah obstruksi saluran napas kronik dan gangguan
pemebersiahan sekresi saluran napas.4
Obstruksi yang tidak seragam di saluran napas pada bronkitis
berpengaruh besar pada ventilasi dan pertuka gas. Obstruksi
dengan waktu ekspirasi memanjang menimbulkan hiperinflasi.
Perubahan hubungan ventilasi-perfusi mengenai daerah-daerah dengan
rasio V/Q yang tinggi dan rendah. Yang terakhir ini terutama
bertanggung jawab menyebabkan hipoksemia istirahat yang lebih
jelas dijumpai pada bronkitis kronik dibandingkan pada emfisema.
Pirau sejati (perfusi tanpa ventilasi) jarang terjadi pada
bronkitis kronik.
Manifestasi klinik
Manifestasi klinis brobkitis kronik terutama terjadi akibat
proses obstruksi dan peradangan saluran napas.4
Batuk produktif
Batuk bersifat produktif dengan sputum kental yang sering
puruen akibat peradangan yang terus menerus dan tingginya
kemungkinan kolonisasi oleh bakteri dan infeksi. Kekentalan
sputum meningkat terutama akibat adanya DNA bebas (berberat
molekul tinggi dan sangat kental) dari sel-sel yang mengalami
lisis. Dengan meingkatnya peradangan dan jejas mukosa,
hemoptisis dapat terjadi tatapi biasanya sedikit. Sputum
biasanya tidak berbau busuk, seperti yang terjadi pada infeksi
anaerob seperti abses. Batuk, yang sangat efektif akibat
penyempitan kaliber sauran napas dan peningkatan volume dan
kekentalan sekresi.
Mengi
Penyempitan persisten saluran napas dan penyumbatas oleh mukus
dapat menyebabkan mengi lokal atau difus. Hal ini dapat
berespons terhadap bronkodilator dan mencerminkan komponen
reversibel dari obstruksi.
Ronki kasar inspirasi dan ekspirasi
Peningkatan produksi mukus disertai gangguan fugsi ekskalator
mukosilia, menyebabkan penumpukan sekresi di saluran napas,
meskipun terjadi peningkatan batuk. Sisa sekresi ini terdengar
jelas di saluran napas besar sewaktu bernapas renang dan
batuk.
Pemeriksaan penunjang
Takikardia sering terjadi terutama pada eksaserbasi bronkitis
atau pada hipoksemia. Jika hipoksemianya signifikan dan
kronik, hipertensi pulmonal dapat timbul; pemeriksaan jantung
pemperlihatkan peningkatan bunyi penutupan katub pulmonal (P2)
atau peningkatan tekanan vena jugularis serta edema perifer
akibat gagal jantung kanan.
Uji fungsi paru
Obstruksi difus saluran napas dibuktikan dengan ujia fungsi
paru berupa penurunan menyeluruh aliran dan volume ekspirasi.
FEV1, FVC, dan rasio FEV1/FVC (FEV1%) semua menurun. Kurva
aliran-volume ekpirasi memperlihatkan penurunan subtasial
aliran udara. Sebagian pasien dapat berespon terhadap
bronkodilator. Pengukuran volume-volume paru memperlihatkan
peningkatan RV dn FRC dan mencerminkan udara yang
terperangkap dalam paru akibat obstruksi disfus saluran napas
dan penutupan dini saluran napas pada volume-volume paru yang
besar. DLCO tetap normal, yang memcerminkan pemeliharaan
jaringan kapiler alveolus.
Gas darah arteri
Ketidaksesuaian ventilasi perfusi terjadi pada bronkitis
kronik. A-a PO2 meningkat dan hipoksemia sering dijumpai
terutama karena banyaknya daeradah dengan rasio V/Q yang
rendah (pirau fisiologis); hipoksemia saat istirahat cenderung
lebih berat ketimbang pada emfisema. Dengan meningkatkan
obstruksi, terjadi peningkatan PCO2 (hiperkapnia) dan asidosis
respiratorik disertai alkalosi metabolik kompensatorik.
Polisitemia
Hipoksemia kronik menyebabkan peningkatan hematokrit yang
diperantarai oleh eritropoietin. Pada hipoksia, yang lebih
berat dan berkempanjangan, hematokrit, hematokrit dapat
meningkat melebihi 50%.
3. PPOK ec. Emfisema
Proses patologis utama pada emfisema dianggap sebagai proses
perusakan berkelanjutan yang terjadi akibat ketidak-seimbangan
jelas oksidan dan aktivitas proteolitik lokal (terutama
elastolitik) akibat defisiensi inhibitor protease. Berbagai
oksidan, baik yang endogen (superoksida anion) maupun eksogen
(mis, asap rokok), dapat menghambat fungsi protektif normal
inhibitor protease sehingga terjadi destrksi jaringan yang
progresif.4
Berbeda dari bronkitis kronik, emfisema adalah penyakit yang
buka terutama mengenai saluran napas tetapi parenkim paru di
sekitarnya. Konsekuensi fisioligisnya adalah hasil dari kerusakan
unit-unit respiratorik terminal dan hilangnya jaringan kapiler
alveolus serta, yang sangat penting, struktur-struktur penunjang
paru, termasuk jaringan ikat elastis. Hilangnya jaringan ikat
elastis dan mengalami peningkatan compliance. Tanpa recoil elastis
yang normal, saluran napas yang tidak mengandung tulang rawan
tidak lagi mendapat tompangan. Saluran napas mengalami kolaps
prematur saat ekspirasi, disertai gejala obstruktif dan temuan
fisioligis yang khas.4
Gambaran patologis emfisema adalah gambaran kerusakan
progesif unit-unit respiratorik terminal atau parenkim paru
disebelah distal dari bronkiolus terminal. Peradangan saluran
napas, jika terjadi, akan minimal, meskipun dapat terlihat
hiperplasi kelenjar mukosa di saluran napas penghubung yang besar.
Interstisium unit-unit respiratorik mengandung beberapa sel
radang, tetapi temyan utama adalah hilangnya dindig alveolus dan
membesarnya ruang-ruang udara. Kapiler alveolus juga lenyap, yang
dapat menyebabkan penurunan kapasitas difusi dan hipoksemia
progresif, terutama saat berolahraga.
Kerusakan alveolus tidak merata di semau kasus emfisema.
Berbagai varian anatomis telah dilaporkan berdasarkan pola
kerusakan unit respiratorik terminal (atau asinus). Pada emfisema
sentriasinar, kerusakan berpusat di tengah unit respiratorik
terminal, dengan bronkiolus respiratorius dan ductus alveolaris
yang relatif tidak terkena. Pola ini paling sering berkaitan
dengan kebiasaan merokok. Emfisema panasinar adalah kerusakan
unti-unti respiratorik terminal secara umum disertai pelebaran
ruang udara difus. Pola ini biasanya, meskipun tidak khas,
dijumpai pada defisiensi inhibitor alfa1-protease. Penting
diperhatikan bahwa perbedaan antara kedua pola ini umumnya
bersifat patologis; tidak terdapat perbedaan bermakna dalam
gambaran klinis. Pola emfisema lain yang penting secara klinis
adalah emfisema bulosa. Bula adalah konfluensi luas ruang-ruang
udara yang terjadi akibat kerusakan lokal yang lebih besar atau
pereganggan progresif unit-unit paru. Bula enting karena efek
kompresif yang dapat ditimbulkannya pada jaringan paru sekitar
adalah terbentuknya ruang mati fisioligis yang besar.
Emfisema bermanifestasi sebagai penyakit non-peradangan berupa
dispnea, obstruksi progresif saluran napas yang irreversibel, dan
gangguan pertukan gas, terutama saat berolahraga.
Bunyi napas
Intensitas bunyi napas pada emfisema biasanya berkurang
intensitasnya, yang mencerminkan berkurangnya aliran udara
memanjangnya waktu ekpirasi dan hiperinflasi paru yang berat.
Mengi jika ada tidak terlalu jelas. Bunyi napas, termasuk
ronki basah dan kering, jarang terdengar tanpa adanya proses
lain seperti infeksi.
Pemeriksaan jantung
Mungkirn takikardia seperti pada bronkitis kronkik, khsusnya
pada eksaserbasi atau hipoksemia. Hipertensi pulmonal adalah
konsekuensi umum dari obliterasi vaskular paru dan hipoksemia
yang menyertainya. Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan
penutupan katup pulmonal yang mencolok (peningkatan P2,
komponen pulmonal bunyi jantung kedua) atau peningkatan
tekanan vena jugularis serta edema perifer akibat gagal
jantung paru.
Uji fungsi paru
Kerusakan parenkim paru dan hilangnya recoil elastis merupakan
kausa mendasar kelainan yang dutemukan pada uji fungsi paru.
Hilangnya daya recoil elastis di jaringan paru menunjang
saluran napas menyebabkan peningkatan kompresi dinamis saluran
napas menyebabkan peningkatan kompresi dinamis saluran napas
menyebabkan peningkatan kompresi dinamis saluran napas
terutama saat ekspirasi paksa; semua laju aliran berkurang.
Dengan kolapsnya saluran napas secara prematur FEV1, FVC, dan
rasio FEVV1/FEC (FEV%) semuanya menurun. Seperti pada
bronkitis kronik dan asma, kurba aliran-volume ekspirasi
memperlihatkan penurunan substasial aliran. Memanjangnya waktu
ekspirasi, penutupan dini saluran napas dan terperangkapnya
udara menyebabkan peningkatan RV dan FRC. TLC meningkat,
meskipun sebagian peningkatan kapasitas ini berasa; dari gas
yang terperangkap di unit-unit paru terosilasi atau sulit
diakses, termasuk bula. DLCO umumnya menurun seiring dengan
bertambahnya luas emfisema, yang mencermikan kerusakan
progresif alveolus dan jaringan kapilernya.
Gas darah arteri
Emfisema adalah penyakit dengan dekstruksi dinding alveolus.
Berkurangnya kapiler alveolus menciptakan daerah-daerah dengan
ventilasi yang relatif tinggi terhadap perfusinya. Biasanya
pasien dengan emfisema akan beradaptasi dengan rasio V/Q yang
tinggi dengan meningkatkan ventilasi minornya. Mereka dapat
mempertahankan kadar PO2 dan PCO2 yang mendekati normal,
meskipun penyakitnya sudah lanjut. Pemeriksaan gas darah
arteri hampir selalu memperlihatkan peningkatan A-a PO2. Pada
tingkat keparahan penyakit yang lebih besar dan dengan semakin
berkurangnya perfusis kapiler, DLCO menurun, yang menyebabkan
desaturasi hemoglobin arteri yang semula hanya timbul saat
berolahraga tetapi akhirnya juga pada saat istirahat.
Hiperkapnia, asidosis respiratorik, dan alkalosis metabolik
kompensatorik sering dijumpai pada penyakit berat.
Polisitemia
Seperti pada bronkitis kroni, hiposemia kronil sering
berkaitan dengan peningkatan hematokrit.
4. Gagal jantung kongesti
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis
berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik
secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering
digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.
Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini
meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di
system vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif.
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan
oksigen dan nutrisi.
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif
meliputi gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang
menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal.
Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah
kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan
curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup
adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung
pada tiga faktor: yaitu preload, konteraktilitas, afterload.
• Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut otot jantung.
• Konteraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi
yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan
panjang serabut jantung dan kadar kalsium
• Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang
harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan
yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini
terganggu, maka curah jantung berkurang
EpidemiologiPPOK merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang
menyebabkan 26.000 kematian/tahun di Inggris. Prevalensinya adalah
> 600.000. Angka ini lebih tinggi di negara majum daerah
perkotaan, kelomok masyarakat menengah ke bawah dan pada manula.4
Etiologi
Faktor lingkungan: merokok merupakan penyebab utama disertai
risiko tambahan akibat polutan udara di tempat kerja atau di
dalam kota. Sebagian pasien memiliki asma kronis yang tidak
terdiagnosis dan tidak diobati. Genetik: definiensi alfa1-antitripsin merupakan predisposisi
untuk berkembangnya PPOK dini.3
Patogenesis PPOKMerokok menyebabkan hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan
meningkatkan produksi mukus, menyebabkan batuk produktif. Pada
bronkitis kronis ('batuk produktif'>3 bulan/tahun selama >2 tahun)
perubahan awal terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu,
terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara
distal (emfisema), yang menyebabkan hilangnya elastic recoil,
hiperinflasi, terperangkapnya udara dan peningkatan usaha untuk
bernapas, sehingga terjadi sesak napas. Dengan perkembangan
penyakit kada CO2 meningkat dan dorongan respirasi bergese dari
CO2 ke hipoksemia. Jika oksigen tambahan menghilangkan hipoksemia,
dorongan pernapasan juga mungkin akan hilang, sehingga memicu
terjadinya gagal napas.3
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini
terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi.
Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan
pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan
obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas.
Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi
adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk obstruksi digunakan
parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio
volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital
paksa.
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran
napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme
penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan
yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat
hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka
ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru
secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak
terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas
pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok
menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease,
sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama
eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.
Patofisiologi PPOK eksaserbasi akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut
pada PPOK adalah kejadian akut dalam perjalanan alami penyakit
dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk,
dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke
hari.
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi
trakeobronkial (biasanya karena virus), atau sekunder berupa
pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks
spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-
obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit
metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk,
lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta
pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).
Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan
pasien sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Terdapat
faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap.
Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang
rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan
enam menit yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko
lainnya adalah adanya gangguan pertukaran gas dan perburukan
hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan tekanan
arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.
Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Iglesia dkk.
(2002) mendapatkan faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari
3 hari, yaitu rawat inap pada saat akhir minggu, adanya ko
pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi.
Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi
sputum meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna
sputum. Menurut Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat
dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila
memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila
hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan)
apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >
20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.
Manifestasi klinisAda gejala batuk dan nafas pendek yang bersifat progresif
lambat dalam beberapa tahun pada perokok atau mantan perokok cukup
untuk menegakkan diagnosis. Beratnya penyakit ditentukan berdarkan
derajat obstruksi saluran pernafasan (volume ekspirasi paksa 1
detik (FEV1) Penyakit ringan: FEV1 60-80% dari perkiraan usia atau jenis
kelamin-batuk, dispena minimal, pemeriksaan fisis normal. Penyakit sedang : FEV1 40-50% --batuk, sedak nafas saat
aktivitas yang tidak terlalu berat, mengi, hiperinflasi, dan
penurunan udara yang masuk. Penyakit berat: FEV1 <40% batuk, sesak napas saat aktivitas
ringan; tanda-tanda PPOK sedang dan kemungkinan gagas napas
serta kor pulmonal.2
Penatalaksanaan Berhenti merokok harus menjadi prioritas Bronkodilator (beta-agonis tau antikolinergik) bermanfaat
pada 20-40% kasus. Ada kasus berat bisa iberikan dosis tinggi
menggunakan nebulizer. Pada penyakit sedang+, pemberian
korstikosteroid oral percobaan selama 2 minggu harus
dipertimbangkanuntuk menentukan reversibilitas obstruksi
saluran pernafasan (dari rangkaian pemeriksaan aliran puncak
atau spirometri). Pemeberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam
memperpanjang usia pasian dengan gagal napas kronis (yaitu
pasien dengan PaO2 sebesar 7,3 kPa dan FEV1 sebesar 1,5 L). Pada ekserbasi akut, mungkin pengobatan harus ditingkatkan.
Antibiotik tidak terbukti meningkatkan kesembuhan, walaupun
antibiotik jangka pendek mengurangi lamanya keluhan sputum
purulen dan gangguan pernapasan. Steroid oral meningkatkan
pemulihan eserbasi akut. Steroid inhalasi jangka panjang
bermanfaat pada pasien dengan reversibilitas yang signifikan. Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan
manfaat simptomatik yang signifikan pada pasien dengan
penyakit sedang-berat. Reseksi bula yang besar memungkinkan reinflasi area paru di
sekelilingnya. Operasi penurunan volume paru juga memberikan
perbaikan dengan meningkatkan elastic recoid sehingga
mempertahankan patensi jalan napas. Pemilihan pasien yang
akan menjalani tindakan ini penting—saat ini belum ada
kriteria tertentu. Transplantasi paru sangat jarang
dilakukan.3
Tidak ada terapi spesifik yang memulihkan PPOK tetapi
pengobatan dapat memperlambat progresi penyakit, mengurangi gejala
kronik, dan mencegah eksaserbasi akut. Berhenti merokok sangat
penting dilakukan.
Agonis-ß (salbutamol) dan antikolinergik dapat memperbaiki
gejala dan fungsi paru, kemungkinanan memiliki efek aditif bila
digabung. Teofilin memiliki efek yang dapat diabaikan pada
spirometri, juga dapat memperbaiki kinerja aktivitas dan gas
darah. Pasien-pasien yang mengeluarkan banyak sputum dapat membaik
dengan pemberian mukolitik. Kortikosteroid oral (untuk mengurangi
inflamasi) memperbaiki fungsi pada kurang dari 25% pasien PPOK,
tetapi efek samping membatasi penggunaannya. Kortikosterois
inhalasi dapat dipertimbangkan pada penyakit yang berat (FEV1 <1L).
Rehabilitasi paru memperkuat otot respirasi dan memperbaiki
kualitas hidup serta toleransi olahraga sehingga mengurangi rawat
inap di rumah sakit; tidak mempunyai efek pada fungsi paru. Terapi
O2 memperpanjang hidup pasien yang mempunyai hipoxemia siang hari
saat istirahat dengan memperlambat progresi cor pulmonal. O2 harus
digunakan sebanyak mungkin, karena manfaat bertambah sering
penggunaannya. Pasien dengan desaturasi olahraga atau
nokturnaldapat diberi O2 suplemental saat malam hari atau selama
berolahraga. Pada defisiensi α1-antitripsin, terapi penggantian
dapat meningkatkan kadar antiprotease plasma dan paru. Namun,
manfaat pada fungsi paru dan harapan hidup masih kontroversial.
Reduksi volume paru atau transplantasi secara bedah dapat
diindikasikan pada PPOK lanjut, tetapi efikasi jangka panjang
belum dipastikan.5
Obat-obat tambahan lainnya:
Mukolitik: secara keseluruhan pemberian mukolitik pada pasien
dengan sputum kental hanya memberi sedikit keuntungan,
terutama pada keadaan akut eksaserbasi, sehingga jatang
dipakai secara rutin.
Antioksidan: hanya bermanfaat pada keadaan akut eksaserbasi
dan tidak dipakai pada penggunaan secara rutin.
Imunoregulator: terdapat penelitian yang menyatakan bahwa
obat-obat ini dapat menurunkan beratnya akut eksaserbasi.
Penggunaan secara rutin belum dianjurkan,
Antitusif dan narkotik: penggunaan secara rutin merupakan
kontraindikasi.
KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas
kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi
berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh
hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,
serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume
sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada
pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain
itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor
pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan
dapat disertai gagal jantung kanan.3
PreventifPencegahan eksaserbasi akut PPOK meliputi vaksinasi influenza
dan pneumokokal. Pasien dengan kombinasi gejala yang terdiri dari
peningkatan dispnea, peningkatan sputum, atau sputum purulen dapat
disembuhkan dengan antibiotik yang ditargetkan melawan patogen
respirasi lazim (Haemophilus influenzae, Maoraxella catarrhalis, Streptococcus
pneumoniae). Pemberian singkat kortikosteroid oral memperbaiki
fungsi paru dan mempercepat pemulihan pasien dengan eksaserbasi
akut.6
Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti
merokok, penurunan fungsi paru akan lebih cepat dari pada bila
pasien berhenti merokok. Terapi oksigen jangka panjang merupakan
satu-satunya yang terbukti mempebaiki angka harapan hidup.3
Daftar pustaka1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Jakarta: Penerbit Erlangga;2007.h.1-17,173.
2. Davey P. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga. 2003.
h.181-5.
3. Davey & Anderson S. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC; 1995.h.689-96.
4. Mcphee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit pengantar menuju
kedokteran klinis. Jakarta: EGC;2011.h.252-61.
5. Price SA, Wilson LM. Pathophysiology. 6th ed. 2nd vol. Jakarta:
EGC.h.783-9.
6. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. The respiratory system
at a glance. 2th ed. Jakarta: Erlangga; 2008.h.59