artikel anak jalanan lala

24
MENGUAK REALITA ANAK JALANAN DI KOTA WORLD HERRITAGE (SOLO) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir setiap hari di perempatan-perempatan lampu merah di kota Solo atau dalam bis-bis kota tidak sepi dari rutinitas anak jalanan yang sangat meresahkan masyarakat. Dari pakaian mereka, tampang mereka yang kurus, kucel, dan dekil sering membuat saya tertegun dan prihatin. Mereka terlihat sangat tidak terurus dan tidak diperhatikan oleh orang tua mereka , padahal mereka masih dalam usia anak-anak sekolah. Kisah di atas merupakan realitas sosial yang kerap kita dapati di berbagai jalanan di kota-kota besar di Indonesia. Kenyataan yang membuat kita sering bertanya-tanya: Kenapa semua hal itu terjadi? Kenapa anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar tetapi malah turun di jalan untuk mencari makan? Apakah tidak ada lagi yang peduli? Menyedihkan memang. Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah. Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang). SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya

Upload: independent

Post on 17-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MENGUAK REALITA ANAK JALANAN DI KOTA WORLD HERRITAGE (SOLO)

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahHampir setiap hari di perempatan-perempatan lampu merah di kota Solo atau dalam

bis-bis kota tidak sepi dari rutinitas anak jalanan yang sangat meresahkan masyarakat. Dari pakaian mereka, tampang mereka yang kurus, kucel, dan dekil sering membuat saya tertegun dan prihatin. Mereka terlihat sangat tidak terurus dan tidak diperhatikan oleh orang tua mereka , padahal mereka masih dalam usia anak-anak sekolah.

Kisah di atas merupakan realitas sosial yang kerap kita dapati di berbagai jalanan di kota-kota besar di Indonesia. Kenyataan yang membuat kita sering bertanya-tanya: Kenapa semua hal itu terjadi? Kenapa anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar tetapi malah turun di jalan untuk mencari makan? Apakah tidak ada lagi yang peduli? Menyedihkan memang.

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang).

SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya

perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak. Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak mereka.

Pembinaan dan pemberdayaan pada lingkungan keluarga tempat mereka tinggal

tampaknya belum banyak dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung tidak

efektif.  Sementara itu, keluarga merupakan “pusat pendidikan, pembinaan dan

pemberdayaan pertama” yang memungkinkan anak-anak itu tumbuh dan berkembang dengan

baik, sehat dan cerdas.  Pemberdayaan keluarga dari anak jalanan, terutama dari segi

ekonomi, pendidikan dan agamanya, diasumsikan merupakan basis utama dan model yang

efektif untuk penanganan dan pemberdayaan anak jalanan. Persebaran anak jalanan di

Surakarta juga cukup merata. Selama ini, penanganan anak jalanan melalui panti-panti

asuhan dan rumah singgah dinilai tidak efektif.  Hal ini antara lain terlihat dari “pola asuh”

yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak,

sementara keluarga mereka tidak diberdayakan.

Oleh karena itu untuk menunjang pola asuh yang produktif, maka selain anak-anak

jalanan, keluarga mereka juga harus mempunyai kecakapan hidup yang dapat menunjang

kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Kecakapan hidup ini dapat diperoleh melalui

Pendidikan. Akan tetapi sebagian besar anak-anak jalanan di Surakarta tidak bersekolah.

Oleh karena itu pemerintah harus bisa menjamin pendidikan gratis untuk anak-anak yang

putus sekolah agar setiap anak dapat memperoleh pendidikan yang layak untuk masa depan

mereka. Selain itu dengan mengadakan penyuluhan tentang kecakapan hidup di lingkungan

anak jalanan dan keluarganya adalah cara yang efektif untuk memberikan bekal untuk

mengembangkan potensi dan kekuatan sendiri.

B.     Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut:

1.        Apa saja yang menyebabkan munculnya anak jalanan di kota Solo?

2.        Bagaimana model alternatif penanganan anak jalanan?

C.    Tujuan Penulisan

Kegiatan Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mempelajari faktor-faktor yang melatarbelakangi meningkatnya anak jalanan di kota

Surakarta.

2. Untuk mengetahui peran keluarga dalam mengatasi masalah  anak jalanan.

3. Memberikan masukan kepada semua pihak agar dapat berperan dalam memecahkan

permasalahan anak jalanan di kota Surakarta melalui pemberdayaan keluarga berbasis

kecakapan hidup untuk memberikan bekal dan mengembangkan potensi yang ada.

4. Dapat membantu mengurangi anak - anak jalanan di kota Solo.

D.    Manfaat PenulisanAdapun manfaat dari kegiatan ini adalah :

1.      Memberikan gambaran mengenai masalah-masalah sosial dalam masyarakat terutama

masalah anak jalanan.

2.      Memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Surakarta untuk membuat Peraturan Daerah

terutama mengenai perlindungan terhadap anak.

3.      Mengarahkan kepada orang tua agar lebih memperhatikan anak-anaknya terutama masa

depan mereka sebagi generasi penerus bangsa.

BAB IPEMBAHASAN

A.    Pengertian Anak JalananAnak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di

tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : berusia antara 5

sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya

kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.

Pengertian anak jalanan telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya oleh Utoyo

(dalam Munawir Yusuf dan Gunarhadi, 2003: 7) menyebutkan bahwa anak jalanan adalah

“anak yang waktunya sebagian besar dihabiskan di jalan, mencari uang dan berkeliaran di

jalan dan di tempat-tempat umum lainnya yang usianya 7 sampai 15 tahun”. Pendapat serupa

juga diungkapkan oleh Soedijar (dalam Dwi Hastutik, 2005: 15) bahwa “anak jalanan adalah

anak-anak berusia 7-15 tahun, bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat

membahayakan keselamatan dirinya”. Sedangkan Sugeng Rahayu (dalam Dwi Astutik, 2005:

15) berpendapat lain bahwa “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun

yang berada di jalanan untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis,

gelandangan, bekerja di toko/kios).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

yang dimaksud dengan anak jalanan adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan

sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan. Selain itu

juga ada yang masih bersekolah dan ada yang tidak bersekolah serta ada yang masih

berhubungan dengan keluarga dan ada yang sudah lepas dari keluarga.

B.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anak Jalanan

Banyak faktor yang kemudian diidentifikasikan sebagai penyebab tumbuhnya anak

jalanan. Parsudi Suparlan berpendapat bahwa adanya orang gelandangan di kota bukanlah

semata-mata karena berkembangnya sebuah kota, tetapi justru karena tekanantekanan

ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari

tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di

kota (Parsudi Suparlan, 1984 : 36 ).

Hal senada juga diungkapkan oleh Saparinah Sadli ( 1984 : 126 ) bahwa ada berbagai

factor yang saling berkaitan dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah gelandangan,

antara lain : faktor kemiskinan (structural dan peribadi ), faktor keterbatasan kesempatan

kerja (factor intern dan ekstern), faktor yang berhubungan dengan urbanisasi dan masih

ditambah lagi dengan faktor pribadi seperti tidak biasa disiplin, biasa hidup sesuai dengan

keinginannya sendiri dan berbagai faktor lainnya.

Faktor tersebut yang paling dominan menjadi penyebab munculnya anak jalanan

adalah faktor kondisi social ekonomi di samping karena adanya faktor broken home serta

berbagai faktor lainnya. Hasil penelitian Hening Budiyawati, dkk. (dalam Odi Shalahudin,

2000 : 11 ) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak pergi ke jalanan

berdasarkan alasan dan penuturan mereka adalah karena : 1) Kekerasan dalam keluarga. 2).

Dorongan keluarga. 3). Ingin bebas. 4). Ingin memiliki uang sendiri, dan 5). Pengaruh teman

C.    Permasalahan Anak Jalanan

Secara mental anak-anak jalanan tidak punya harapan hidup masa depan, bagi mereka

bisa bertahan hidup saja sudah cukup. Kehidupan mereka harus berhadapan dengan realita di

jalan yang penuh dengan resiko dan tantangan. Anak jalanan sering dicap sebagai anak nakal,

biang kerusuhan, biang onar dan pernyataan-pernyataan miring lainnya. Perkataan-perkataan

itu tentunya akan membawa dampak psikis bagi anak. Selain masalah pribadi sehari-hari di

jalanan, perkawanan dan pekerjaan, anak jalanan secara langsung menerima pengaruh

lingkungan dari keluarga maupun jalanan tempat ia berada. Adapun resiko yang dihadapi

anak jalanan antara lain :

a.    Korban eksploitasi seks ataupun ekonomi

b.    Penyiksaan fisik

c.    Kecelakaan lalu lintas

d.    Ditangkap polisi

e.    Korban kejahatan dan penggunaan obat

f.      Konflik dengan anak-anak lain

g.    Terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum baik sengaja maupun tidak sengaja

Permasalahan anak jalanan merupakan salah satu kendala Kota Surakarta sebagai kota

budaya. Upaya pemerintah kota Surakarta belum dapat menyelesaikan permasalahan anak

jalanan tersebut dengan baik, terbukti sampai sekarang belum diterbitkan Peraturan Daerah

yang mengatur tentang kesejahteraan anak jalanan. Keluarnya UU No. 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, membawa konsekuensi kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan

seluruh ketentuan tentang hak anak yang terdapat dalam konvensi PBB tanggal 20 November

1989.

Fenomena merebaknya anak jalanan ini merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas. Keberadaan mereka pun tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Anak merupakan generasi penerus bangsa ini, maka dari itu negara juga harus ikut bertanggung jawab melindungi hak asasi anak. Karena mau tidak mau, anak-anak yang hidup sekarang dan  anak jalanan termasuk di dalamnya, 10 sampai 20 tahun yang akan datang adalah subjek dari siklus kepemimpinan. Baik pemimpin dalam keluarga, masyarakat, atau bahkan bangsa ini. Jika masalah tersebut belum juga teratasi, tampaknya sudah jelas potret kelangsungan hidup bangsa ini ke depan.

Maka dari itu, diharapkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah, dalam hal ini adalah Pemkot Solo, semestinya memperhatikan keberadaan anak jalanan. Selain itu diharapkan pula implementasi dari peraturan perundang-undangan yang ada untuk memenuhi, memajukan

dan, melindungi hak-hak anak untuk mendapatkannya. Pemkot mesti segera melakukan tindakan-tindakan.

Di antaranya, yang pertama adalah membentuk lembaga ombudsman daerah bidang kesejahteraan anak, untuk menjadi kekuatan kontrol dalam pemenuhan, penghormatan dan penegakan hak ekonomi sosial budaya. Melakukan penyelidikan atas segala pengaduan tentang pelanggaran yang terjadi, serta melakukan dengar pendapat demi tercapainya pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya bidang pendidikan khususnya untuk anak jalanan di wilayah Kota Solo.

Kedua, membentuk peraturan daerah yang mewajibkan anak jalanan untuk sekolah secara gratis tanpa dipungut biaya. Tanpa itu, maka doktrin equality before the law dalam struktur ketidaksamaan yang meluas adalah kebohongan yang disadari.

Ketiga, menyediakan anggaran yang khusus untuk penanganan anak jalanan, khususnya di bidang pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak jalanan. Untuk anak jalanan yang bukan warga Solo, sebaiknya tetap dilakukan pembinaan, dengan memantau, serta mengoordinasikannya dengan pemerintah daerah lain.Yang terakhir adalah perlu adanya penampungan, khususnya bagi anak jalanan guna mempermudah pengontrolan dan meminimalisasi terjadinya penyebaran anak-anak jalanan, serta pelaksanaannya diawasi oleh Dinas Sosial Kota Surakarta. Ini juga akan mempermudah Pemkot dalam menentukan berapa besaran anggaran yang akan dikeluarkan untuk pembinaan anak jalanan.

Dengan adanya kebijakan-kebijakan ini, diharapkan bahwa citra Kota Solo sebagai Kota Layak Anak ini bisa benar-benar dirasakan oleh para anak jalanan, dan seluruh anak di Kota Solo pada umumnya.D. Konsep Penanganan Anak Jalanan1. Konsep Pemberdayaan Keluarga

Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga memiliki fungsi (a) reproduksi, sosialisasi, edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi.

Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan  gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.2. Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Paradigma  Pembangunan

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “People Centered, participatory, empowering and sustainable” (Chamber, 1995, dalam Ahmad Mahmudi, 2002).3. Konsep Kecakapan Hidup

Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.

Barrie Hopson dan Scally mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui

sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi.

Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praksis dapat membekali peserta didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan. Pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik, emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada. Penentuan isi dan bahan pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan agar peserta didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan dikemudian hari. Isi dan bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran yang terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri.Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu:a) Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), danb) Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS).

Kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Apabila hal ini dapat dicapai, maka ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. (Depdiknas, 2009:4)

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan visi dan misi kota Surakarta sampai saat ini belum semuanya dapat terwujud dengan baik. Pemerintah banyak mengalami berbagai hambatan dalam melaksanakan visi dan misi tersebut. Berdasarkan keterangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan menyatakan masih ada bebeapa hambatan dalam membangun kota Surakarta sebagai kota budaya, diantaranya adalah:1.      Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

2.      Semakin lemahnya sektor pariwisata sebagai aset utama kota Surakarta.3.      Banyaknya konflik yang timbul dalam masyarakat kota Surakarta, yang mengakibatkan

perpecahan dan kerusuhan.4.      Sumber daya manusia yang kurang mampu memanfaatkan sumber daya alam secara

maksimal.Kebudayaan dan kesenian kota Surakarta yang sudah tidak ada generasi penerusnya.

Dipandang dari sudut kebijakan Pemerintahan, Pemerintah Daerah Surakarta sudah mengeluarkan kebijakan dan peraturan mengenai permasalahan yang dihadapi anak-anak jalanan. Peraturan tersebut adalah Perda Nomor 16 Tahun 2003 yang memuat beberapa kebijakan penting dalam bidang pembangunan kota Surakarta. Contoh kebijakan dalam bidang sosial yang menyangkut permasalahan anak jalanan adalah:1.    Peningkatan ketahanan sosial untuk penyelamatan dan pemberdayaan pada penyandang masalah kesejahteraan sosial dan korban bersama.2.    Pengembangan iklim kondusif bagi generasi muda untuk wahana pembelajaran menjadi pemimpin bangsa di masa depan.

Dua hal tersebut diatas adalah upaya pemerintah daerah untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan. Tetapi saat ini realita di lapangan belum menunjukkan peningkatan kesejahteraan dan pendidikan yang layak bagi para anak jalanan beserta keluarganya.E. Model Alternatif Penanganan Anak Jalanan

Kajian ini menganggap penting untuk menemukan beberapa alternatif model yang mungkin dapat digunakan untuk menangani permasalahan anak jalanan dan perlu diuji coba, tentunya dengan tidak lupa mengkaji ulang berbagai model yang telah pernah ada dalam permasalahan anak jalanan, seperti rumah singgah misalnya. Mengacu kepada kondisi yang demikian, ternyata upaya yang patut dikembangkan terus. Adapun alternatif model yang mungkin dapat di gunakan adalah sebagai berikut : yang berlandaskan keluarga, yang berlandaskan institusi (lembaga), gabungan antara keduanya.

Berdasarkan pembahasan yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya dapat dikemukakan pembahasan sebagai berikut.

Pertama, dilihat dari profil anak jalanan terdapat beberapa kecenderungan, yaitu (a) sebagian besar anak jalanan melakukan aktifitas berjualan di jalan, (b) tempat tinggal mereka di rumah, (c) memperoleh makanan dengan cara membeli sendiri, (d) lama tinggal di jalan dalam satu hari di atas 12 jam, (e) memperoleh uang dari hasil berjualan dan mengamen, (f) uang yang diperoleh digunakan untuk membantu keluarga, (g) jarang bertemu orang tua, (h) sering mendapat kesulitan di rumah, (i) kurang betah tinggal di rumah, (y) meminta tolong pada saudaranya ketika mengalami kesulitan sebagai pihak yang dianggap paling dekat.

Kedua, dilihat dari profil keluarga anak jalanan, terdapat beberapa kecenderungan, yaitu (a) sebagian besar keluarga anak jalanan orang tuanya menikah, (b) jumlah anaknya 3-4 orang, (c) bersikap mendukung anaknya bekerja di jalan, (d) bersikap mendukung bila anaknya sekolah, (e) pernah mendapat penyuluhan tentang usaha bersama tetapi tidak pernah mengikuti kegiatan tersebut karena berpandangan bahwa kegiatan tersebut tidak membantu perekonomian keluarga, (f) bekerja di sektor non-formal dengan pendapatan tidak tetap, dan (g) menempati rumah dengan status sewa atau tanah Negara.

Ketiga, Peta permasalahan anak jalanan di Jabodetabek dapat dikategorikan menjadi enam, yaitu (1) anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan ekonomi keluarga, (2) rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan, (3) rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak, (4) belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik dari kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan tidak terkoordinasi dengan baik, (5) peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah, dan (6) lembaga-lembaga organisasi sosial belum berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat menangani masalah anak jalanan.

Keempat, Secara umum masyarakat memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang sangat kompleks bahkan ia membentuk sebuah lingkaran yang berujung yang sulit dilihat ujung pangkalnya. Kalangan aparat hukum, polisi misalnya, memandang bahwa payung kebijakan yang dapat digunakan untuk menangani anak jalanan belum ada. Mereka sulit untuk melakukan tindakan hukum berhubung tidak adanya undang-undang khusus mengenai anak jalanan seperti misalnya Perda, Perpu atau yang lainnya sehingga dirasa sulit untuk mengadakan pencegahan agar anak-anak tidak berada di jalan. Selanjutnya tokoh agama berpandangan bahwa munculnya masalah anak jalanan merupakan wujud dari tidak optimalnya pengelolaan zakat baik zakat mal, zakat fitrah, dan lainnya. Mereka mengharapkan agar dana zakat dapat dikelola sebaik mungkin agar disalurkan kepada mustahik dan dapat dimanfaatkan sebaik-sebaiknya oleh mereka. Disamping itu,

kalangan akademisi memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang berkaitan dengan bagaimana hubungan antara pemerintah kota dengan daerah penyangga. Menurut mereka, penanganan masalah anak jalanan harus melibatkan juga aparat pemerintah pada daerah penyangga. Pemda DKI, misalnya, juga harus mengalokasikan dana pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di Tangerang, Bekasi, dan daerah penyangga lainnya. Terakhir, aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memandang bahwa penanganan anak jalanan harus dilakukan dengan melibatkan institusi sekolah, rumah singgah, dan pemberdayaan keluarga dengan memberikan modal usaha keluarga.

Kelima, alternatif model penangannan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system base. Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan menumbuh kembangkan anak jalanan.

Institutional base, adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat.

Multi-system base, adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang ada mulai

dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati

anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.

F.     Pemberdayaan Keluarga Yang Berbasis Kecakapan Hidup Dalam Pemecahan Masalah Anak Jalanan Di Kota Surakarta

Semakin merebaknya anak-anak yang berkeliaran di jalanan di berbagai wilayah Surakarta sudah bukan merupakan hal yang biasa. Mereka biasanya mengamen atau mengemis kepada pengendara mobil atau sepeda motor yang melintas untuk mencari sesuap nasi guna bertahan hidup. Hal ini sangat memprihatinkan karena tidak seharusnya mereka berada di sana. Faktor utama mereka mengamen atau mengemis di jalanan adalah karena faktor keluarga. Mereka merupakan anggota masyarakat marginal yang terpinggirkan baik secara ekonomi, pendidikan, sosial, politik, budaya / peradaban bahkan moral khususnya kaum perempuan dan anak. Di lain pihak bahwa perempuan adalah tiang negara, pendidik dan pencetak generasi bangsa, sedangkan anak adalah generasi penerus bangsa yang mana di tangan merekalah nasib bangsa ini di masa mendatang. Sehingga akan sangat sulit sekali bagi bangsa ini, terutama bagi Kota Surakarta untuk berkembang apabila masih banyak anggota masyarakat yang masih terpinggirkan dalam berbagai bidang kehidupan.

Anak jalanan kita ketahui bersama bahwa mereka sangat sulit sekali untuk dientaskan, bukan karena tidak ada banyak dana yang turun, melainkan memang terlampau kompleksnya permasalahan yang ada di sekitar anak jalanan tersebut. Yang lebih mengerikan lagi adalah ketika banyak anak jalanan yang melalukan tindakan kriminal mulai dari mencopet, menjambret bahkan hingga melakukan pengaiayaan. Miris lagi ketika kenyataan anak jalanan yang ada sekarang ini, khususnya di Surakarta adalah kebanyakan anak di bawah umur 10 tahun.

Cara untuk menyelesaikan permasalahan anak jalanan ini adalah bukan dengan menakut-nakuti dengan ancaman dari SATPOL PP, namun cara yang paling baik adalah dengan melakukan pembinaan. Pembinaan itu dapat dengan berbagai macam cara dan salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan kecakapan hidup (life skill). Harapannya, dengan diberikan pendidikan kecakapan hidup ini mereka akan dengan sadar melakukan usaha-usaha sesuai dengan keringat dan keahlian mereka. Hal tersebut diyakini sebagai usaha yang patut dihargai dan memiliki kehormatan yang lebih tinggi daripada hanya sekedar mengamen atau meminta-minta.

Pendampingan dapat dilakukan oleh seorang Pekerja Sosial dari LSM, Orsos, atau orang kiriman dari dinas sosial setempat dengan dana paling utama adalah disupport oleh pemerintah. Kemudian setelah anak jalanan selesai menjalani masa pelatihan life skill, tidak serta merta dilepas langsung, melainkan masih ada controlling hingga mereka benar-benar bisa menjadi mandiri dan keluar secara permanen dari jalanan.

Di Surakarta program pemberian kecakapan hidup untuk anak jalanan dan keluarganya sudah dilaksanakan oleh LSM Seroja sejak Agustus 2009, anak jalanan bisa mengenyam pendidikan anak usia dini (PAUD) di Sekolah Kita. Ini sebuah sekolah yang didirikan secara khusus untuk memberikan pendidikan gratis kepada anak jalanan di Solo. Sekolah itu berada di gedung sewaan berukuran 3×6 meter di Kampung Petoran, Kelurahan/ Kecamatan Jebres. Lembaga itu adalah muara dari sebuah perjuangan panjang tidak kenal lelah oleh para aktivis Yayasan Seroja.

Biaya operasional ditanggung bersama oleh para relawan di Yayasan Seroja. Awalnya, jumlah peserta didik belum terlalu banyak. Seiring dengan perjalanan waktu, upaya yang dilakukan para relawan Seroja itu berbuah simpati. Termasuk dari pemerintah daerah dan pusat, hingga akhirnya bisa diwujudkan menjadi sebuah sekolah. Menteri Sosial RI Salim Segaf Al-Jufri pun meresmikannya pada akhir 2009. Saat ini, ada 20 anak jalanan yang menimba ilmu di Sekolah Kita. Mereka terbagi dalam tiga kelas, yakni PAUD untuk anak usia taman kanak-kanak, kelas A untuk usia sekolah dasar, dan kelas B bagi anak usia SMP dan SMA.

Karena peserta didik masih tetap harus mencari nafkah sendiri, kegiatan belajar-mengajar hanya dilakukan tiga kali dalam seminggu. Yakni, Senin, Rabu, dan Jumat pukul 08.30 WIB - 12.00 WIB. Pelajaran yang diberikan cukup beragam. Mulai dari membaca, menulis, berhitung, hingga beragam keterampilan. Karena sasarannya agar anak didik bisa mandiri, persentase pendidikan yang diberikan lebih didominasi keterampilan, yakni 80% keterampilan dan 20% akademik. Jika dibandingkan dengan dulu, kondisi saat ini jauh lebih baik. Kegiatan belajar sudah bisa dilakukan di sebuah tempat khusus, tidak lagi di pinggir jalan atau lapangan. Namun, fasilitas masih seadanya karena dukungan dana yang terbatas.

BAB IIIPENUTUP

A.    KesimpulanAnak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di

tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.

Peningkatan jumlah anak jalanan tidak hanya dipengaruhi oleh masalah ekonomi semata, namun juga adanya disfungsi keluarga, lingkungan dan rayuan kebebasan hidup di

jalan juga merupakan faktor pendorong pesatnya populasi anak jalanan. Hal ini merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dunia jalanan adalah dunia yang penuh dengan kekerasan dan eksploitasi. Suasana kehidupan di jalanan yang keras penuh persaingan, ancaman, pemerasan, eksploitasi, dan tindak kekerasan sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa, moral, emosional, dan sosial. Keadaan tersebut akan mengakibatkan anak mengalami depresi dan kehilangan arah tujuan hidup.

B.     SaranPemkot Solo, semestinya memperhatikan keberadaan anak jalanan. Selain itu

diharapkan pula implementasi dari peraturan perundang-undangan yang ada untuk memenuhi, memajukan dan, melindungi hak-hak anak untuk mendapatkannya. Pemkot mesti segera melakukan tindakan-tindakan. Di antaranya, yang pertama adalah membentuk lembaga ombudsman daerah bidang kesejahteraan anak, untuk menjadi kekuatan kontrol dalam pemenuhan, penghormatan dan penegakan hak ekonomi sosial budaya. Kedua, membentuk peraturan daerah yang mewajibkan anak jalanan untuk sekolah secara gratis tanpa dipungut biaya. Ketiga, menyediakan anggaran yang khusus untuk penanganan anak jalanan, khususnya di bidang pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak jalanan. Untuk anak jalanan yang bukan warga Solo, sebaiknya tetap dilakukan pembinaan, dengan memantau, serta mengoordinasikannya dengan pemerintah daerah lain.

Yang terakhir adalah perlu adanya penampungan, khususnya bagi anak jalanan guna mempermudah pengontrolan dan meminimalisasi terjadinya penyebaran anak-anak jalanan, serta pelaksanaannya diawasi oleh Dinas Sosial Kota Surakarta. Ini juga akan mempermudah Pemkot dalam menentukan berapa besaran anggaran yang akan dikeluarkan untuk pembinaan anak jalanan.

DAFTAR PUSTAKA

http:/anakjalanan/kota-layak-untuk-anak-jalanan-31901.htmlhttp:/anakjalanan/viewer.php.htmhttp:/anakjalanan/RIOROSIS.htmhttp://anakjlan.htmlhttp: anakjalanan/masalahanakjalananhttp: factor-apa-yang-menyebabkan-munculnya.html

ANAK JALANAN DAN INDONESIA

Anak jalanan juga merupakan salah satu aset yang sangat berharga untuk menjadi penerus Indonesia di masa yang akan datang. Sebagian besar hidup anak-anak tersebut ada di jalanan yang notabene merupakan kehidupan yang keras, sehingga tidak mengherankan jika mereka memiliki perilaku dan moral yang sedikit berbeda dari anak seusianya. Bagi sebagian besar orang beranggapan bahwa anak jalanan cukup meresahkan pengguna jalan. Tetapi mereka hanyalah anak-anak yang masih belum mengerti apa-apa, yang mereka bisa lakukan adalah bagaimana caranya mencari sesuap nasi di jalanan agar bisa menyambung hidupnya. Mereka juga punya mimpi yang sama seperti anak-anak lainnya, mereka ingin bersekolah dan bercita-cita setinggi mungkin, namun hal itu hanyalah sebuah angan-angan belaka karena mereka harus menghadapi realita yang ada yaitu kemiskinan. Sehingga keinginan tersebut mereka pendam.Melihat kondisi anak jalanan tersebut sungguh sangat memprihatinkan, jika hal itu tetap berlangsung, maka apa jadinya wajah Indonesia yang akan datang. Sekarang bukan lagi waktunya untuk saling menyalahkan dan menuntut semuanya sebab hal itu tidak akan bisa menjadi lebih baik tapi nantinya malah memperburuk keadaan. Ini adalah masalah bersama dan penyelesaiannya pun juga perlu bersama dan perlu banyak kesadaran diri dari setiap individu untuk bisa mengubah kondisi yang seperti itu. Di sinilah peran dan fungsi mahasiswa seharusnya bisa berjalan. Mahasiswa sebagai “Control Social” diharapkan bisa mengontrol lingkungan sekitarnya agar bisa menjadi lebih baik. Sehingga secara tidak langsung mahasiswa juga berperan sebagai “Agent of Change” yang nantinya dapat memberikan perubahan bagi Indonesia. Perubahan tersebut tidaklah harus dikerjakan dari sesuatu yang besar tapi bisa juga dimulai dari sesuatu yang kecil yang berada di sekitar kita. Hal konkrit yang bisa dilakukan adalah membawa sedikit sinar harapan bagi anak jalanan. Mahasiswa bisa melakukan beberapa hal sebagai wujud dari pengabdiannya pada masyarakat, seperti :

1. Memberikan pembinaan berupa bimbingan belajar bagi anak jalanan.2. Memberikan sosialisasi pada orang tua anak jalanan tentang pentingnya pendidikan

bagi masa depannya.3. Mengusahakan agar anak jalanan bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Seperti

pengajuan beasiswa bidik misi bagi mereka.4. Mengajarkan tentang moralitas bagi anak jalanan sehingga nantinya diharapkan

mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki moral tinggi.

Mengajarkan keterampilan lain kepada anak jalanan agar nantinya mereka bisa menjadi pribadi yang mandiri.

“Banyaknya anak jalanan yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal di sekolah ini karena pihak sekolah cenderung diskriminasi terhadap mereka. Banyak alasan yang dikemukakan sekolah untuk menolak keberadaan anak jalanan menempuh pendidikan di sekolahnya,” ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) wilayah Malang Tedja K Bawana, Rabu (8/12/2010).Dia mengemukakan, umumnya sekolah formal tidak mau menerima anak-anak jalanan karena dianggap sebagai “biang” masalah. Bahkan, sikap dan perbuatan mereka dinilai sekolah bisa memengaruhi siswa lainnya.Tedja mengaku menolak anggapan tersebut, sebab anak-anak jalanan juga punya potensi untuk berprestasi seperti anak-anak lainnya. Bahkan, kata dia, dirinya juga menjamin jika anak-anak jalanan tersebut tidak seperti yang mereka (pihak sekolah) anggap.“Siswa bermasalah justru banyak dari kalangan yang lebih beruntung, apalagi anak-anak orang kaya yang tidak sedikit terjebak dengan masalah narkoba dan pergaulan bebas,” tegas Tedja.Dia mengakui, Dinas Pendidikan (Diknas) setempat juga telah menyediakan sekolah informal yang bisa menampung anak-anak jalanan. Namun, sekolah informal rata-rata tidak maksimal dalam pengelolaan dan penanganan pendidikannya.

PENDIDIKAN DAN ANAK   JALANAN

Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata pendidikan khususnya di negara kita? Apakah pendidikan di Indonesia telah menyentuh anak-anak jalanan? Terkadang kita memandang bahwa anak jalanan lekat dengan hal-hal yang negatif; pencopetan, premanisme dan lain sebagainya. Tapi sudahkah kita bertanya mengapa mereka menjadi demikian?Penyebabnya tidak lain adalah karena desakan ekonomi yang semakin membuat mereka mau tidak mau harus mencuri dan merampok. Kondisi ekonomi mereka tidak pernah berubah ke arah yang lebih baik, karena mereka sama sekali tidak tersentuh oleh pendidikan. Hampir semua anak jalanan putus sekolah bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan sehari tiga kali  saja sudah sulit. Meskipun ada yang berkata, biaya sekolah sekarang sudah lebih murah karena pemerintah telah memberikan banyak bantuan seperti beasiswa, BOS dan sebagainya. Tetapi permasalahannya adalah biaya yang lebih murah tersebut apakah berlaku lebih murah pula bagi anak-anak jalanan? Sepertinya tidak, pendidkan bagi mereka seperti emas yang dijual semakin mahal dari waktu ke waktu.Akan tetapi sesuai konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. Begitu pula kiranya anak jalanan yang memerlukan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran.Melihat isi dari pasal 31 ayat 1 tersebut sangat bertolak belakang dengan yang dialami anak jalanan. Mereka hampir tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan pengajaran. Ironisnya di tengah pendidikan bagi anak jalanan yang terabaikan, DPR justru berencana mendirikan gedung baru yang megah dengan alasan “kinerja”. Sepertinya akan lebih bijak apabila dana tersebut digunakan untuk mendirikan sekolah untuk anak jalanan, memberikan honor bagi pengajar, dan penyediaan sarana belajar mengajar untuk mereka. Akan tetapi di balik hal

tersebut  kita patut bangga karena  kepedulian masyarakat Indonesia terhadap pendidikan justru semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang mengabdikan diri sebagai pengajar di sanggar yang telah didirikan.Seperti contohnya Andi Suhandi yang beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai “The Young Heroes” oleh sebuah acara televisi ternama. Ia berhasil mendirikan sanggar pendidikan bagi anak jalanan, yang telah menampung banyak anak jalanan dan sebagian dari mereka telah bersekolah di sekolah formal dan berprestasi. Meskipun pada awalnya Andi mengalami kesulitan akan tetapi kesulitan tersebut dapat dilalui berkat kesabaran dan kerja kerasanya. Hasilnya anak-anaknya berhasil membawa pulang Tropi Walikota Juara 1 untuk tulis puisi yang bertema anak jalanan dan Juara 2 lomba baca puisi, serta  berhasil meraih Juara 1 lomba teater pada 2009.Jadi, sebenarnya apabila anak jalanan tersebut dibina dengan baik, mereka memiliki potensi yang tidak kalah dengan anak pada umumnya. Anak jalanan perlu dirangkul untuk mendapatkan haknya memperoleh pendidikan dan tidak selalu dipandang sebelah mata.

HAK PENDIDIKAN UNTUK ANAK   JALANAN

Hidup menjadi anak jalanan bukanlah merupakan harapan dan cita-cita seorang anak. Tidak ada seorang anakpun yang  dilahirkan bercita-cita menjadi anak jalanan. Anak merupakan bagian dari komunitas seluruh manusia di muka bumi. Tanpa terkecuali anak jalanan. Mereka bukan binatang, sampah, atau kotoran yang menjijikkan. Anak jalanan juga manusia yang mempunyai rasa dan hati.  Dikejar-kejar, ditangkap, diboyong ke truk secara paksa, diinterogasi bersama-sama dengan preman, pencuri, perampok, bahkan pembunuh tanpa memikirkan bagaimana cara  hak-hak mereka bisa terpenuhi. Usaha-usaha represif haruslah dihindari dan menjadi cara terakhir dalam menertibkan anak jalanan. Cara tersebut sangat tidak baik bagi perkembangan mental anak. Pencegahan merupakan cara yang terbaik dalam mengatasi  anak jalanan. Apabila faktor-faktor yang menyebabkan mereka turun ke jalanan dapat diminimalisir maka bukan tidak mungkin pula aktifitas anak jalanan dapat berkurang.Mengingat meningkatnya jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun tentulah menuntut kita sebagai manusia ber-ideologi Pancasila untuk menemukan solusinya. Tentu saja solusi yang dimaksud adalah suatu solusi yang manusiawi dan baik bagi mereka bukan saja semata-mata baik bagi kita atau pemerintah.Namun, masalah anak jalanan ini tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah dalam memberantasnya. Sebagai bagian dari realitas sosial, dukungan masyarakat juga sangat dibutuhkan disini. Peranan pranata sosial seperti keluarga, organisasi pemuda dan masyarakat, maupun LSM yang bergerak di bidang sosial sangat dibutuhkan disini. Dengan bersinerginya berbagai komponen ini, maka komunitas mereka bisa diminimalisir sehingga mereka tidak perlu lagi berpikiran untuk melakukan kegiatan ekonomi dijalanan lagi. Anak-anak ini bisa mengenyam pendidikan, memperoleh pengetahuan tentang etika dan moral yang nantinya akan melahirkan generasi yang berkualitas dan beradab.Mahasiswa sebagai generasi muda terdidik dapat menjadi salah satu komponen yang dapat mengupayakan penghapusan fenomena anak jalanan ini. Dengan kemampuan intelektual yang telah terasah, mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu dan keterampilannya untuk memberikan pelatihan dan pendidikan kepada anak jalanan ini. Tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk mengabaikan tugas ini, karena mahasiswa juga memiliki tanggungjawab sosial bagi masyarakatnya sebagaimana yang tercantum dalam salah satu point dalam Tri Dharma dari perguruan tinggi, yaitu bakti kepada masyarakat. Menghapus stigmatisasi anak jalanan sebagai ‘orang buangan’ menjadi sangat penting. Patut

disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan dan memberi ruang pendidikan agar pepatah gantungkanlah cita-citamu setinggi langit dapat berlaku juga bagi mereka.

ANAK JALANAN, ANAK   BANGSA

Saat ini permasalahan terkait anak semakin banyak dan beragam. Indikasinya adalah semakin banyaknya anak-anak terlantar dan yatim-piatu yang tidak terurus, pemberdayaan anak-anak yang tidak pada tempatnya seperti dipekerjakan dengan waktu kerja yang sangat keterlaluan dan gaji yang tidak masuk akal, dsb. Sedangkan kita semua mengetahui bahwa kehidupan anak-anak seharusnya diisi dengan bermain, belajar, dan bersuka ria. Begitu juga dengan permasalahan anak jalanan di perkotaan merupakan suatu hal yang dianggap wajar oleh masyarakat, padahal hal ini seharusnya merupakan suatu hal yang tidak wajar terjadi. Permasalahan anak jalanan merupakan salah satu dampak dari kurangnya kesadaran dan kepedulian sosial di masyarakat terhadap kondisi anak-anak.Undang-undang dasar mengatur bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara (pasal 34 ayat 1), namun kenyataannya kemampuan pemerintah tidak sebanding dengan meningkatnya permasalahan anak, baik secara kuantitas maupun kualitas. Jumlah anak terlantar (dimana anak jalanan termasuk didalamnya) cenderung semakin meningkat, seiring dengan permasalahan kemiskinan yang belum dapat diatasi. Data PUSDATIN tahun 2006 menunjukkan bahwa anak terlantar di Indonesia mencapai 2.815.383 jiwa. Karena keterbatasan pemerintah itulah, peran aktif dari masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan ini sangat dibutuhkan.Sebagai contoh, di Rumah Belajar (RUBEL) Sahabat Anak Jalanan (SAHAJA) Ciroyom Bandung, para anak jalanan mendapatkan sedikit rasa kepedulian dari berbagai macam relawan yang datang dan pergi. Rasa kepedulian itu bermacam-macam bentuknya, ada yang mengajak mereka menggambar bersama, ada yang mengajarkan baca tulis dan berhitung, ada yang mengajak mereka jalan-jalan dan bahkan ada yang rela menginap barsama mereka untuk menunjukkan kepedulian mereka. Mungkin tidak semua orang sudah memiliki sekaligus merealisasikan rasa kepedulian mereka seperti yang diatas. Untuk mulai menumbuhkan rasa kepedulian dan merealisasikannya membutuhkan niat yang begitu luar biasa pada awalnya. Coba kita pikirkan, waktu kita dalam sehari ada 24 jam, tidak bisakah kita luangkan waktu kita lima menit dalam satu hari untuk menyapa dan menanyakan kabar mereka, atau mungkin setengah jam dalam sehari untuk mengajarkan arti dan makna hidup ini.

MENINGKATKAN KESADARAN ANAK   JALANAN

Menurut hasil penelitian di 12 kota besar yang dilakukan kementerian pemberdayaan perempuan, jumlah anak jalanan tahun 2003 sebanyak 147.000 orang. Dari data tersebut terungkap, sebanyak 60% putus sekolah, 40% masih sekolah. Sedangkan sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan yang berisiko terhadap kekerasan seksual.            Disamping fenomena diatas, rendahnya pengetahuan mereka akan pentingnya pendidikan juga merupakan suatu penyebab kurangnya kesadaran dalam mengikuti dan

melaksanakan pendidikan. Dengan kata lain sebagian masyarakat belum menyadari bahwa pendidikan sebagai “investasi” jangka panjang bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Mereka beranggapan dengan berada di jalanan dan mendapatkan uang adalah sesuatu yang berharga bila dibandingkan harus mengikuti proses belajar pembelajaran di sekolah yang dapat merubah kehidupannya ke arah yang lebih baik pada masa yang  akan datang.         Untuk keluar dari berbagai problematika tersebut, maka diperlukan semacam pendekatan kepada mereka. Salah satu strategi pendekatan yang mungkin dapat dilakukan adalah pemberian bimbingan kelompok kepada anak jalanan tersebut. Bimbingan kelompok berguna untuk membantu anak jalanan menemukan dirinya sendiri, mengarahkan diri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Disamping itu pemberian bimbingan kelompok juga memberikan kesempatan kepada anak jalanan untuk belajar hal-hal penting yang berguna bagi pengarahan dirinya yang berkaitan dengan masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial.            Dengan adanya pemberian bimbingan kelompok kepada anak jalanan diharapkan dapat merubah paradigma anak jalanan untuk kembali melanjutkan pendidikannya agar terciptanya pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

ANAK JALANAN HARUS DIBERI   PENDIDIKAN

Pemerintah dinilai wajib memberi perhatian serius kepada anak jalanan. Sebab, anak jalanan juga bagian dari generasi penerus bangsa.  ”Pendidikan keterampilan kerja kepada anak jalanan menjadi urusan wajib pemerintah. Karenanya, hal ini perlu dibuat komitmen antara pemerintah dengan anak jalanan itu,” kata Gubernur Sumut Rudolf M Pardede saat bertemu 250 lebih anak jalanan di Aula Martabe Kantor Gubernur Sumut di Medan.   Rudolf menegaskan, pendidikan kepada anak jalanan itu bisa memanfaatkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki pemerintah provinsi, maupun kabupaten dan kota. Untuk provinsi, lanjut Rudolf, BLK di Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang dan di Kota Binjai bisa menjadi lokasi melatih keterampilan seperti otomotif, merangkai bunga, salon dan lainnya. Diakuinya, pendidikan kepada anak jalanan itu bisa dikembangkan tidak hanya untuk kepentingan diri pribadi anak jalanan, tetapi juga buat kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. “Pendidikan anak jalanan ini merupakan amanah UUD 1945. Karena hal ini harus dijunjung tinggi dan disyukuri terutama setelah NKRI ini menikmati alam merdeka selama 62 tahun,” tandas Rudolf.Di kesempatan itu, Rudolf mengaku pembinaan anak jalanan bisa secara nyata membantu program pemerintah mengentaskan angka kemiskinan, terutama di perkotaan. Salah satu upaya nyata yang sedang digagas Pemprov Sumut adalah melalui Rancangan Peraturan Daerah Gelandangan dan Pengemis (Ranperda Gepeng). Saat ini, Ranperda tengah dibahas legislatif.Rudolf berharap regulasi ini bisa cepat disahkan, sehingga upaya mengentaskan angka kemiskinan akan semakin sinergis dilakukan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut tahun 2007 menyebutkan, jumlah penduduk miskin di perkotaan hingga Juni 2007 tercatat 47,11 persen dari 1,768 juta jiwa.

Untuk anak jalanan, data Dinas Sosial Sumut tahun 2007 mencatat 5.022 orang dan 4.300  di antaranya sudah diberikan pembinaan. “Paling tidak, setelah anak jalanan ini dibina, mereka tidak lagi memenuhi perempatan jalan,” ujarnya

PENDIDIKAN ANAK JALANAN YANG   TERABAIKAN

Anak jalanan merupakan fenomena besar di Indonesia. Dibutuhkan upaya yang lebih besar dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi dan mengurangi banyaknya anak jalanan di Indonesia. Sebagian besar anak jalanan tidak mendapatkan pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan, menjadi pengamen, dan lain sebagainya. Dan salah satu faktor menjadi anak jalanan adalah kemiskinan. Sebenarnya banyak anak – anak jalanan yang berharap bahwa mereka bisa merasakan duduk di bangku sekolah. Tapi apa daya, dengan kondisi ekonomi yang seperti itu mereka berfikir bahwa mereka tidak sanggup untuk membayar biaya – biaya sekolah. Sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah ini adalah meningkatkan jumlah lembaga dan meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan soSial bagi anak jalanan dan kampanye sosial. Dan rasa peduli dari masyarakat pun sangat dibutuhkan.Karena begitu banyaknya anak jalanan di Indonesia, dan rata-rata di bawah umur. Jadi sangat dibutuhkan sekali adanya penanggulangan dari pihak-pihak yang memang seharusnya turut prihatin dengan keadaan mereka.Berikut ini beberapa langkah alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan anak jalanan adalah :

Meningkatkan jumlah lembaga-lembaga social seperti lembaga pendidikan, dll. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan social bagi anak jalanan. Diadakannya kampanye sosial, karena dengan diadakannya kampanye social ini agar

masyarakat terketuk hatinya dan akan memiliki rasa simpati yang tinggi terhadap anak-anak jalanan yang kurang beruntung.

Rasa peduli dari masyarakat itu sendiri, misalnya kita mengadakan kegiatan social seperti membuat sebuah pengajaran dadakan di tempat-tempat yang memang banyak sekali anak jalanan yang membutuhkan sebuah pengajaran. Karena kepedulian dari masyarakat juga sangat mempengaruhi pendidikan anak-anak jalanan.

MEMFASILITASI PENDIDIKAN BAGI ANAK   JALANAN

Di Indonesia, umumnya di kota-kota besar semua orang pasti bisa menemukan anak-anak jalanan dengan cukup mudah. Mereka umumnya mengemis, mengamen, berjualan, atau hanya sekedar berkumpul bersama teman di sudut-sudut jalan.Bekerja dan mencari uang memang sudah menjadi hal wajib yang harus dilakukan anak-anak jalanan. Sayangnya, hampir seluruh dari anak-anak tersebut sudah melupakan hal penting, yaitu pendidikan. Bagi mereka uang lebih berharga daripada pendidikan.PENDIDIKAN UNTUK ANAK   JALANAN

Anak jalanan, umumnya mereka berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.

Artikel Anak Jalanan on 04.46

LATAR BELAKANG

Anak adalah aset bangsa yang sangat berharga, karena ditangannyalah estafet keberadaan

bangsa di masa datang terletak. Namun sebagai aset berharga, tidak semua anak memperoleh

haknya untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya anak pada umumnya. Hal ini

salah satunya dialami oleh anak jalanan yang karena satu dan lain hal haknya sebagai anak tidak

dapat terpenuhi dengan baik. Baik hak untuk memperoleh pengakuan (recognition) maupun hak

sebagai manusia yang memiliki harga diri dan martabat sebagai manusia (human dignity) merekapun

terabaikan. Mereka hanya dianggap sebagai sampah masyarakat yang mengotori keindahan dan

ketertiban kota. Padahal semua mereka jalani semata-mata karena tidak ada pilihan yang lebih baik

yang dapat mereka jadikan alternatif untuk tidak menjadi anak jalanan atau untuk keluar dari

jalanan.

Sejak awal mula kemunculan, sebetulnya tidak harus permasalahan tersebut menjadi patogen

dengan akibat lebih lanjut, hilangnya generasi penerus yang berkualitas atau lost of generation di

masa datang, serta merusak human capital dan social capital juga menurunkan daya-daya yang ada,

bila ada perhatian dan kepedulian semua pihak untuk secara bersama dengan bekerjasama merasa

terpanggil untuk mengatasi permasalahaan tersebut.

Terkait dengan kondisi tersebut, kami mengajukan alternatif solusi untuk memecahkan

“sebagian” permasalahan anak jalanan dalam kaitannya dengan upaya merubah perilakunya, yang

selama ini dinilai negatif dan menimbulkan “stigma” bagi anak jalanan itu sendiri, sekaligus dengan

upaya merubah perilaku ini diharapkan dapat meningkatkan potensi yang dimilikinya, sebagai social

capital yang dapat membantu anak jalanan untuk suatu saat dapat keluar dari jalanan.

PENGERTIAN ANAK JALANAN

Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai

kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengankeluarganya. Tapi hingga kini

belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan semua pihak..

Ditengah ketiadakan pengertian anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan anak

jalanan berdasarkan hubungan mereka dengan keluarganya. Pada mulanya ada dua kategori anak

jalanan, yaitu Children on the Street dan Childrent of the Street. Namun pada perkembangannya dan

penambahan kategori, yaitu Childrent in the Street atau sering disebut juga Childrent from families

on the Street.

SEBAB TERJADINYA ANAK JALANAN

Berdasarkan penelitian ada beberapa sebab terjadinya anak jalanan antara lain:

1. Melakukan atas dasar keinginan sendiri (66.3%)

2. Ikut-ikutan teman (20.3%)

3. Disuruh orang tua atau saudaranya (13%)

Sedangkn alasan melakukan kegiatan di jalanan antara lain :

1. Karena orang tua tidak mampu (44%)

2. Putus sekolah (14.3%)

3. Karena kurang biaya untuk sekolah (22.3%)

4. Disebabkan terpish dari orang tua (19.7%)

URAIAN TENTANG ANAK JALANAN

Peneliti menduga pengaruh peubah lain salah satunya adalah adanya masalah kemiskinan

yang dialami oleh anak jalanan dan keluarganya. Di sisi lain juga adanya struktur sosial dalam

masyarakat, yang menyebabkan terjadinya differensiasi sosial sebagai dampak adanya stratifikasi

sosial dalam masyarakat.

Stratifikasi sosial diartikan Sorokin sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam

kelas-kelas secara bertingkat. Manifestasi dari gejala stratifikasi

sosial adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Sajogyo

(1985) lebih lanjut menjelaskan dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat ini

adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban dan

tanggung jawab, serta dalam pembagian nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara

para anggota masyarakat. Stratifikasi sosial ini memberikan gambaran mengenai adanya

ketidaksamaan” (inequality) dalam kehidupan masyarakat.

Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat

stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah “grassroots” dengan status osial serta

posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang tidak jelas. Tidak emiliki banyak akses ke sumber

daya serta tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek

Weber membedakan empat sistem tingkatan sosial, di mana

anak jalanan berada pada tingkatan sosial paling bawah, tingkatan sosial tersebut adalah

1) Tingkatan kekayaan yang menimbulkan kelas-kelas kekayaan. Kelas atas adalah orang yang hidup dari

hasil kekayaannya. Kelas bawah adalah orang yang terbatas kekayaannya atau mereka sendiri

mungkin menjadi milik orang lain.

2) Tingkatan menurut kekuatan ekonomi yang menimbulkan kelas-kelas pendapatan : kelas atas

adalah bankir, pemodal ; kelas bawah adalah buruh.

3) Tingkatan yang tercermin menurut kekayaan dan pendidikan.

4) Tingkatan status sosial : kelas atas adalah orang yang memiliki gaya hidup yang paling dapat

diterima, berpendidikan tinggi, dan memegang posisi dengan gengsi sosial yang tinggi pula,

serta anak keturunan orang yang berstatus sosial tinggi.

Peneliti menduga, di samping struktur sosial peubah lain yang turutberpengaruh terhadap perilaku

anak jalanan adalah adanya perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahaan sosial merupakan

perubahan pada segi struktur sosial dan hubungan sosial. Perubahan sosial diartikan sebagai suatu

proses yang berlangsung dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Diartikan pula sebagai segala

yang berlaku dalam suatu jangka waktu, pada peranan institusi atau hal lainnya yang meliputi

struktur sosial, termasuk kemunculan dan kemusnahannya.

Perubahan sosial juga berarti perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi

atau komunitas. Penjelasan di atas memperlihatkan perubahan sosial adalah suatu kondisi yang

bisa terjadi di semua lini, sebagai akibat adanya pergeseran/perubahan dalam masyarakat, dengan

norma, sistem nilai (value system), kebiasaan (adat istiadat), pola interaksi, pola komunikasi, struktur

dan hal-hal lain yang ada di dalamnya, yang turut berubah seiring dengan perubahan yang terjadi.

Peubah lain yang juga berpengaruh adalah tidak adanya perhargaan sosial (social rewards)

atau tidak adanya pengakuan sosial (social recognition) yang mengakui eksistensi, harkat dan

martabat anak jalanan sebagai manusia, baik dari pihak keluarga maupun lingkungan, karena

walaupun mereka sering dinilai negatif tetap ada sisi-sisi positif. Hal ini terkait dengan pernyataan

Skinner yang secara tegas menunjuk penghargaan sosial (social rewards) sebagai factor yang dapat

mempengaruhi dan membentuk perilaku. Termasuk perilaku anak jalanan salah satunya diduga

dibentuk oleh perlakuan yang ditunjukkan dalam bentuk penghargaan dan pengakuan keluarga serta

lingkungan yang diterima oleh anak jalanan.

Pada prinsipnya kehadiran anak jalanan dengan ciri-ciri serta perilakunya terkait dan tidak

terlepas dari sistem yang ada di sekitarnya, serta berhubungan saling pengaruh mempengaruhi, baik

dengan lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Masing-masing sub sistem menjalani

dan mengalami perubahan-perubahan serta menanggapi perubahan yang ada di dalam sistem atau

di luar sistem, dalam derajat yang minimal. Sekaligus masing-masing melakukan upaya penyesuaian

dari ketegangan, disfungsi serta penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

Anak jalanan dan lingkungan di sekitarnya senantiasa berada di dalam proses perubahan yang

tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat

di dalam setiap masyarakat. Manakala hal-hal dalam keluarga anak jalanan mengalami perubahan,

maka akan terjadi perubahan pula dalam diri anak jalanan serta dalam lingkungannya. Begitupun

sebaliknya, manakala anak jalanan mengalami perubahan maka keluarga akan berubah

demikian pula lingkungan. Dalam hal ini manakala terjadi perubahan dalam keluarga, misalnya ayah

terkena Pemutusan Hubungan Kerja, ibu terpaksa keluar rumah untuk membantu menopang

ekonomi keluarga. Manakala hasil yang diperoleh ibu tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarga

dan ayah belum memperoleh pekerjaan pengganti, maka anak menjadi aset untuk dapat menopang

ekonomi keluarga dengan turun ke jalanan.

Manakala anak sudah terlalu sering berada di jalanan dan nilai jalanan sudah terinternalisasi

dalam diri anak jalanan, maka hubungan anak dengan orang tua menjadi kurang/tidak intensif.

Semakin terinternalisasinya nilai jalanan dalam diri anak jalanan, lingkungan di sekitar anak jalanan

relatif semakin menganggap kehadiran anak jalanan sebagai troublemaker dan memberi “stigma”

atas keberadaannya di jalanan. Saat mengalami perubahan terkandung pula konflik-konflik di

dalamnya, yang disumbang oleh sub-sub sistem sebagai unsur yang ada dalam masyarakat. Setiap

sub sistem (anak jalanan, keluarga, lingkungan) menyumbang bagi terjadinya disintegrasi dan

perubahan sosial. Di sisi lain masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau

Istiadat. Selain hal-hal yang dikemukakan oleh Linton, Wallace (1996) mengemukakan bahwa

pengalaman yang diterima pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh susunan atau tata lingkungan di

mana ia dibesarkan, sedangkan susunan tata lingkungan dipengaruhi oleh masyarakat.

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa ada saling pengaruh mempengaruhi antara individu

terhadap keluarga dan lingkungan, lingkungan terhadap keluarga dan individu, keluarga terhadap

individu dan lingkungan. Antara masa lalu dan masa kini, serta masa kini dan masa yang akan

datang, serta apa yang dilakukan/diberikan dengan apa yang pernah diterima seseorang. Demikian

pula kemampuan orang tua dalam menjalankan fungsinya dengan baik sehingga keseimbangan

(equilibrium) dapat dicapai dan terhindar dari terjadinya difungsional yang dapat mengakibatkan

broken home dan kondisi homeless dipengaruhi oleh pengalaman orang tua di masa lalu.

Anak jalanan dengan berbagai aktivitasnya di jalanan merupakan produk dari tidak jelasnya

penerapan sanksi hukum bagi mereka yang dinilai melanggar ketertiban, keamanan dan

kenyamanan. Hal ini disebabkan belum adanya undang-undang atau peraturan pemerintah yang

memberikan sanksi hukum yang jelas bagi mereka yang mengganggu ketertiban, keamanan dan

kenyamanan di jalanan atau di fasilitas umum lainnya. Akibatnya situasi dan kondisi anak untuk

turun ke jalan menjadi salah satu solusi serta kebiasaan, yang semakin melembaga bagi anak yang

terdesak dan merasa tidak nyaman berada dalam lingkungan keluarganya, karena berdomisili di

daerah slum yang padat/penuh sesak dengan situasi dan kondisi yang berada di bawah standar.

Hasil penelitian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan membuktikan

teori fungsional struktural terjadi pula dalam hidup dan kehidupan anak jalanan. Anak jalanan

sebagai sub sistem yang langsung maupun tidak, dipengaruhi dan mempengaruhi sub sistem lain

yang ada dalam sistem sosialnya. Sistem ini secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk

equilibrium yang bersifat dinamis, yang antar bagian sistem terjadi hubungan pengaruh

mempengaruhi yang bersifat bolak-balik satu sama lain.

DAMPAK ANAK JALANAN

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek.

Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa krisis moneter adalah penyebab dari banyaknya anak

jalanan di kota besar. Walau namun perekonomian di Indonesia telah berangsur pulih, kenyataan

tersebut tidak mengurangi jumlah anak jalanan. Selain minimnya peluang kerja namunterdapat alas

an yang membuat fenomena tersebut terjadi adalah uang pemberian dari masyarakat.Sdar atau

tidak manusia sudah tejebak oleh rasa Kasihan serta Ketakutan akan tindak kejahatan di jalan raya.

Kasihan adalah ang selalu menjadi senjata utama bagi para anak jalanan untuk memperoleh

uang. Secara tidak langsung pemberian uang tersebut menginvestasikan kemalasan, kebodohan,

tingkat kriminalitas, masa depan suram bagi anak jalanan yang diberi uang.Dengan adanya upaya

konversi terhadap uang yang diberikan, diharapkan dapat meningkatkan minat dari anak jalanan

untuk keluar dari jalanan kedalam kehidupan normal, tentusaja dengan bimbingan dari pemerintah

kota dan LSM sebelumnya.