analisis daya saing dan strategi pengembangan agribisnis teh indonesia
TRANSCRIPT
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA
SKRIPSI
VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA
SKRIPSI
VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
RINGKASAN VENTY FITRIANY NURUNISA. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA)
Peranan teh sebagai bahan baku bagi industri, kontributor devisa bagi negara, penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang juga memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar perkebunannya telah menjadikan teh sebagai salah satu komoditas unggulan nasional. Posisi Indonesia dalam perdagangan internasional merupakan salah satu produsen sekaligus eksportir teh terbesar di dunia. Tahun 2008, pangsa pasar ekspor Indonesia mencapai 5,8 persen dari total ekspor dunia. Namun, kondisi tersebut bukan merupakan kondisi optimal agribisnis teh Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia cenderung mengalami penurunan luas area, yang kemudian berdampak kepada volume produksi dan penurunan volume ekspor. Sejak tahun 2000, Indonesia kehilangan sekitar 2,18 persen area perkebunan teh per tahun. Hal tersebut berdampak pada penurunan rata-rata produksi dan ekspor sebesar 0,83 dan 1,7 persen per tahun. Hal ini tidak dapat dibiarkan, mengingat kendala yang dihadapi oleh sebuah subsistem dalam sistem agribisnis teh Indonesia akan berdampak terhadap kinerja subsistem lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah kondisi sistem agribisnis teh di Indonesia, menganalisis dayasaingnya serta merumuskan strategi pengembangan yang tepat untuk meningkatkan dayasaing tersebut. Teh yang diteliti adalah teh curah sebagai produk yang dieskpor Indonesia. Pada analisis strategi, lingkup penelitian yang digunakan adalah subsistem budidaya dan pengolahan teh curah sebagai lingkungan internal, sementara subsistem hulu, pemasaran dan subsistem jasa penunjang ditambah dengan kondisi global termasuk ke dalam lingkungan eksternal. Teh yang diteliti adalah teh hitam dan teh hijau curah yang merupakan produk teh mayoritas yang diekspor oleh Indonesia. Data yang digunakan hampir 70 persen merupakan data sekunder, dan sisanya diperoleh dari wawancara dan observasi lapang (data primer). Alat yang digunakan adalah kerangka sistem agribisnis teh, Sistem Berlian Porter, Matriks SWOT dan Arsitektur Strategik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sistem agribisnis teh Indonesia terbagi menjadi subsistem hulu, budidaya, pengolahan, pemasaran dan subsistem jasa penunjang. Subsistem hulu terdiri dari empat kegiatan utama yaitu usaha pembibitan teh, penyediaan sarana dan jasa transportasi, penyediaan sarana dan mesin pertanian serta usaha penyedia pupuk dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh tanaman teh. Pada subsistem budidaya, usaha perkebunan teh di Indonesia terbagi menjadi usaha perkebunan rakyat (PR), usaha perkebunan besar negara (PBN) dan usaha perkabunan besar swasta (PBS). Luas area perkebunan milik rakyat mencapai 46,25 persen dari total area perkebunan teh di Indonesia, dengan produksi yang dicapai sekitar 38.593 ton pada tahun 2008. Sementara luas area perkebunan besar negara dan swasta mencapai 31,2 persen dan 22,55 persen dari total area perkebunan di Indonesia dengan produksi mencapai 78.354 ton dan 37.024 ton di tahun 2008. Berdasarkan proses pengolahannya, kegiatan usaha
iii
pada subsistem pengolahan teh curah terbagi menjadi dua, yaitu kegiatan pengolahan teh hitam curah dan kegiatan pengolahan teh hijau curah. Selain itu, kegiatan yang terjadi pada subsistem pemasaran teh Indonesia dibagi perdagangan yang melalui sistem lelang (auction) dan sistem direct selling. Sementara kegiatan agribisnis teh Indonesia juga didukung oleh lembaga penyedia jasa dan penunjang seperti lembaga penelitian Pusat Penelitian Teh dan Kina, lembaga keuangan, kelompok tani dan koperasi, lembaga pemasaran seperti Kantor Pemasaran Bersama Nusantara, asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia dan Asosiasi Petani Teh Indonesia serta Dewan Teh Indonesia yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah.
Analisis dayasaing menggunakan Sistem Berlian Porter menunjukan bahwa komponen faktor sumberdaya dan komponen komposisi permintaan domestik, serta komponen faktor sumberdaya dengan komponen industri terkait dan industri telah saling mendukung, sementara komponen lainnya belum saling mendukung. Selain itu, apabila dilihat dari komponen pendukungnya, komponen peranan pemerintah baru memiliki keterkaitan yang mendukung dengan komponen faktor sumberdaya saja, sementara komponen peranan kesempatan telah mampu mendukung semua komponen utama.
Strategi peningkatan dayasaing yang dihasilkan melalui analisis Matriks SWOT lebih mengarah kepada strategi peningkatan kinerja petani teh rakyat, yaitu dengan meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelompok tani dan dukungan dari adanya asosiasi dan Dewan Teh Indonesia. Sementara untuk perkebunan besar negara dan swasta strategi lebih mengarah kepada peningkatan produksi dan diversifikasi produk, khususnya untuk produk teh tujuan ekspor. Permasalahan lain yang menjadi fokus strategi adalah permasalahan yang terkait dengan konsumsi teh, strategi yang digunakan lebih diutamakan kepada peningkatan upaya promosi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai teh dan manfaatnya. Kemudian, strategi yang telah dihasilkan dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategik, sehingga dihasilkan rancangan arsitektur strategik agribisnis teh Indonesia.
iv
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA
VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
v
Judul Skripsi : Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis
Teh Indonesia
Nama : Venty Fitriany Nurunisa
NRP : H34070044
Disetujui, Pembimbing
Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 19640220 198903 1 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
vi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia” adalah karya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Venty Fitriany Nurunisa
H34070044
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Venty Fitriany Nurunisa, dilahirkan di kota Bogor pada
tanggal 31 Januari 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara
dari pasangan Ayahanda Sugandi dan Ibunda Mari Komariah Tentamia.
Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri
Panaragan 1 Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya ke SMP
Negeri 1 Bogor. Pada tahun 2004, penulis berhasil menyelesaikan pendidikannya
di sekolah menengah pertama lalu melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri 1
Bogor. Pada tahun 2007, penulis lulus dan melanjutkan pendidikannya di Institut
Pertanian Bogor.
Penulis berhasil diterima menjadi mahasiswa di Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007.
Selama masa pendidikan di IPB, penulis merupakan pengurus Himpunan
Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis, dan menjabat sebagai sekertaris pada
Divisi Creativity and Career Development Department selama dua kali masa
kepengurusan (2008-2009 dan 2009-2010).
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dayasaing
dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia”.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah kondisi sistem agribisnis teh di
Indonesia, menganalisis dayasaing agribisnis teh Indonesia serta merumuskan
strategi yang tepat dan dapat digunakan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis
teh tersebut.
Namun, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang timbul
karena keterbatasan dan kendala-kendala yang dihadapi selama proses
penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun ke arah penyempurnaan sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2011
Venty Fitriany Nurunisa
ix
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa syukur yang
sedalam-dalamnya kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan kemudahan-
kemudahan kepada penulis dari awal penyusunan hingga akhir penyelesaian
skripsi ini. Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. Bapak Ir. Lukman Mohammad Baga MA. Ec selaku dosen pembimbing
akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
pengarahan, dukungan dan motivasi selama penulis menyelesaikan skripsi ini,
2. Ibu Dr. Ir Ratna Winandi, MS selaku penguji utama dan Ibu Yanti Nuraeni
Muflikh, SP. M.Agribuss selaku dosen penguji perwakilan Komisi Pendidikan
yang telah memberikan saran serta masukan untuk perbaikan skripsi penulis.
3. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Sugandi dan Mari Komariah Tentamia atas
segala doa, kasih sayang, bimbingan dan dukungan yang diberikan kepada
penulis.
4. Adik-adik tersayang, Dian Sidhikah dan Firman Fajrin Ahmad atas segala doa
dan dukungannya.
5. Bapak Dr. Sultoni Arifin (Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia), Ibu
Rosmanindjar (Kepala Sekretariat Dewan Teh Indonesia), Bapak Drs. Dadang
Djuanda dan Ibu Ir. Mudjiwati Sadjad MS, Is (PT. Kantor Pemasaran Bersama
Nusantara), Ibu Henny Yunaeny Suryamin (Perwakilan Kebun Gunung Mas,
PTPN VIII) serta Bapak Dr. Boyke Setiawan Soeratin Sp, MM (Asosiasi Teh
Indonesia) sebagai pembimbing eksternal penulis yang telah memberikan
banyak masukan, saran, informasi dan pengarahan mengenai agribisnis teh di
Indonesia.
6. Teman-teman satu perjuangan di Agribisnis angkatan 44 serta sahabat-sahabat
yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.
7. Serta pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Venty Fitriany Nurunisa
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv
I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 7 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 7
II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 8 2.1 Karakteristik Teh Indonesia .................................................... 8 2.2 Sistem Agribisnis Komoditas di Indonesia ............................. 10 2.2 Dayasaing Komoditas Indonesia ............................................. 12 2.3 Strategi Pengembangan Agribisnis .......................................... 14
III KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................ 15 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 15 3.1.1 Pemahaman Mengenai Agribisnis .................................. 15 3.1.2 Konsep Dayasaing .......................................................... 17 3.1.3 Formulasi Strategi ........................................................... 19 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ 21
IV METODE PENELITIAN ............................................................. 24 4.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian ................................................. 24 4.2 Data dan Instrumentasi ............................................................ 24 4.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................... 24 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................... 25 4.4.1 Analisis Berlian Porter ................................................... 25 4.4.2 Analisis SWOT .............................................................. 32 4.4.3 Arsitektur Strategik ......................................................... 33
V SISTEM AGRIBISNIS TEH INDONESIA ............................... 35 5.1 Perdagangan Teh Dunia ............................................................ 35 5.1.1 Produksi dan Konsumsi Teh Dunia ................................ 35 5.1.2 Ekspor dan Impor Teh Dunia ......................................... 36 5.2 Sistem Agribisnis Teh Indonesia .............................................. 38 5.2.1 Subsistem Hulu ............................................................... 38 5.2.2 Subsistem Usahatani Teh ................................................. 43 5.2.3 Subsistem Pengolahan .................................................... 48 5.2.4 Subsistem Pemasaran ..................................................... 50 5.2.5 Subsistem Jasa dan Penunjang ....................................... 53
xi
VI DAYASAING AGRIBISNIS TEH INDONESIA ...................... 58 6.1 Analisis Komponen Sistem Berlian Porter ............................... 58 6.1.1 Kondisi Faktor Sumberdaya ........................................... 58 6.1.2 Kondisi Permintaan Domestik ........................................ 70 6.1.3 Industri Terkait dan Pendukung ..................................... 76 6.1.4 Persaingan, Struktur dan Strategi .................................... 81 6.1.5 Peran Pemerintah ............................................................ 83 6.1.6 Peran Kesempatan .......................................................... 86 6.2 Keterkaitan Antar Komponen Utama ....................................... 88 6.2.1 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Fakor
Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik ....... 88 6.2.2 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Permintaan
Domestik dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung ....................................................................... 89
6.2.3 Keterkaitan antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi ...... 90
6.2.4 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumberdaya .................. 91
6.2.5 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Pendukung ...... 92
6.2.6 Keterkaitan antara Komponen Struktur, Persaingan dan Strategi dengan Komponen Kondisi Permintaan Domestik .......................................................................... 92
6.3 Keterkaitan Komponen Pendukung ........................................... 95 6.3.1 Peranan Pemerintah terhadap Komponen Utama ............ 95 6.3.2 Peranan Kesempatan terhadap Komponen Utama .......... 96
VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ARSITEKTUR STRATEGIK AGRIBISNIS TEH INDONESIA ........................ 100
7.1 Analisis Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia ...... 100 7.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman .......................................................................... 100 7.1.2 Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ... 102 7.1.3 Perumusan Matriks SWOT Agribisnis Teh Indonesia .... 110 7.2 Rancangan Arsiektur Strategik .................................................. 120
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 125 8.1 Kesimpulan ................................................................................ 125 8.2 Saran .......................................................................................... 127
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 129
LAMPIRAN ............................................................................................ 133
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Neraca Perdagangan Pertanian Tahun 2005-2009 ........................ 1
2. Nilai dan Jumlah Ekspor Teh Indonesia Tahun 2000-2009 .................. 4
3. Jenis Teh Berdasarkan Varietas .................................................... 8
4. Kadar Katekin pada Beberapa Jenis Teh ..................................... 9
5. Negara-Negara Produsen dan Konsumen Teh Dunia Tahun 2008 ............................................................................................. 36
6. Negara-Negara Eksportir dan Importir Teh Dunia (2008) .......... 37
7. Kebun Biji (KB) yang Menghasilkan Turunan Cukup Baik dan Dapat Digunakan sebagai Sumber Penghasil Biji ....................... 39
8. Stek atau Klon Tanaman Teh yang Dikeluarkan PPTK .............. 40
9. Luas Area, Produksi dan Produktivitas Teh Nasional Tahun 1999-2010 .................................................................................... 43
10. Luas Area dan Produksi Teh Berdasarkan Tipe Pengusahaan Tahun 2000-2010 ......................................................................... 44
11. Karakteristik Umum Produsen Teh di Indonesia Berdasarkan Tipe Kepemilikan Usaha ............................................................. 46
12. Analisis Usahatani Kebun Teh dengan Produk Pucuk Basah dan Daun Kering .......................................................................... 48
13. Spesifikasi Teh Berdasarkan Grade ............................................ 49
14. Produk Olahan Utama dan Sampingan Teh ................................ 50
15. Perkembangan Luas Area Perkebunan Teh Berdasarkan
Provinsi Tahun 2004-2008 .......................................................... 60
16. Komposisi Teh yang Beredar di Berdasarkan Mutu Teh dan
Pangsa Pasarnya di Jawa Barat dan Jawa Timur ......................... 71
17. Perkembangan Konsumsi Teh per Kapita Indonesia ................... 72
18. Biaya Iklan yang Dikeluarkan oleh Beberapa Produsen Teh
Periode Januari-Oktober 2006 (dalam 000 Rp) ........................... 73
xiii
19. Beberapa Jenis Merk Teh yang Beredar di Indonesia
Berdasarkan Perusahaan Pengolah .............................................. 81
20. Perusahaan Eksportir Teh yang Tergabung ke dalam Jakarta
Tea Auction .................................................................................. 83
21. Tarif Impor Produk Teh di Beberapa Negara Eksportir Teh ke
Indonesia ...................................................................................... 85
22. Keterkaitan Antar Komponen Utama .......................................... 94
23. Keterkaitan Antar Komponen Pendukung dengan Komponen
Utama ........................................................................................... 97
24. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ........ 101
25. Perkembangan Populasi Penduduk Indonesia ............................. 103
26. Rasio Penambahan Nilai pada Produk Teh ................................. 105
27. Matriks SWOT Agribisnis Teh Nasional .................................... 111
28. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing
Agribisnis Teh Indonesia ............................................................. 121
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perkembangan Produksi di Beberapa Negara Penghasil Teh
Terbesar Dunia Tahun 2000-2008 ................................................ 3
2. Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis .................. 17
3. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 23
4. The Complete System of National Competitive Advantage .......... 31
5. Ruang Lingkup Sistem Agribisnis Teh ....................................... 34
6. Perkembangan Harga Rata-Rata Teh Indonesia, Sri Langka dan
Kenya Tahun 1999-2008 ............................................................. 38
7. Jalur Tataniaga Teh Indonesia (2010) ......................................... 52
8. Lembaga Penelitian Pendukung Agribisnis Teh Indonesia ......... 54
9. Produktivitas Area Tanam Teh per Provinsi Tahun 2008 ........... 64
10. Perkembangan Produktivitas Rata-Rata Area Perkebunan Teh
di Indonesia Tahun 2000-2010 .................................................... 65
11. Volume Impor Teh Negara Timur Tengah dari Indonesia
Tahun 2006-2010 ......................................................................... 76
12. Konsumsi Air Teh Kemasan (200 ml) ......................................... 79
13. Keterkaitaan Antar Komponen Dayasaing dalam Agribisnis
Teh Indonesia .............................................................................. 98
14. Rancangan Arsitektur Strategik Agribisnis Teh Indonesia ......... 124
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Persentase Pangsa Produksi Teh Dunia (2000-2008) .................. 134
2. Persentase Pangsa Ekspor Teh Dunia (2000-2008) ...................... 134
3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Teh Dunia .................... 134
4. Daftar Perusahaan Teh di Indonesia ............................................ 135
5. Berbagai Mutu Teh Curah ........................................................... 138
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang memegang peranan
penting bagi perekonomian nasional. Dibandingkan dengan subsektor lain dalam
sektor pertanian, subsektor perkebunan merupakan kontributor devisa tertinggi.
Tabel 1 menunjukkan neraca perdagangan pertanian selama periode 2005-2009,
dimana subsektor perkebunan mengalami surplus perdagangan dengan
pertumbuhan rata-rata sebesar 21,25 persen per tahun. Selain sebagai kontributor
devisa, Febriyanthi (2008) juga menyebutkan peranan lain dari subsektor
perkebunan yaitu sebagai subsektor penyerap tenaga kerja dan kontributor bagi
produk domestik bruto.
Tabel 1. Neraca Perdagangan Pertanian Tahun 2005-2009
Tahun Kegiatan
2005 2006 2007 2008 2009 (US$ 000)
1 Subsektor Perkebunan Ekspor 10.673.186 13.972.064 19.948.923 27.369.363 21.581.670 Impor 1.532.520 1.675.067 3.379.875 4.535.918 3.949.191 Neraca 9.140.666 12.296.997 16.569.048 22.833.445 17.632.4792 Subsektor Hortikultura Ekspor 227.974 238.063 254.765 432.727 378.627 Impor 367.425 527.415 795.846 909.669 1.063.120 Neraca -139.451 -289.352 -541.081 -476.942 -684.4933 Subsektor Peternakan Ekspor 396.526 388.939 748.531 1.148.170 754.914 Impor 1.121.832 1.190.396 1.696.459 2.352.219 2.132.800 Neraca -725.306 -801.457 -947.928 -1.204.049 -1.337.8864 Subsektor Tanaman Pangan Ekspor 286.744 264.155 289.049 348.914 321.280 Impor 2.115.140 2.568.453 2.729.147 3.526.961 2.737.862 Neraca -1.828.396 -2.304.299 -2.440.098 -3.178.047 -2.416.582
Sektor Pertanian Ekspor 11.584.429 14.863.221 21.241.268 29.299.174 23.036.491Impor 5.136.916 5.961.331. 8.601.327 11.324.767 9.882.973Neraca 6.447.513 8.901.890 12.639.941 17.974.407 13.153.518
Sumber : BPS (2010) dalam Kementrian Pertanian Republik Indonesia (2010)
Pemerintah melalui Kementrian Pertanian periode 2010-2014 menetapkan
beberapa komoditas perkebunan sebagai komoditas unggulan nasional.
Komoditas unggulan nasional ini merupakan komoditas yang menjadi prioritas
1
untuk dikembangkan dalam periode pembangunan pertanian di masa yang akan
datang. Pengembangan komoditas ini dimaksudkan untuk meningkatkan
produktivitas, perolehan devisa atau ekspor, subtitusi produk impor serta untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu komoditas perkebunan yang
termasuk ke dalam komoditas unggulan nasional adalah teh1.
Teh merupakan komoditas yang memiliki peranan penting bagi
perekonomian nasional. Sebanyak 61 persen produk teh Indonesia diekspor untuk
memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (BPS 2010). Sementara sisanya berperan
sebagai bahan baku bagi industri dan konsumsi dalam negeri. Selain itu, usaha
perkebunan teh juga memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah
besar. Santoso (2009) menyebutkan bahwa usaha perkebunan teh mampu
menyerap sekitar 450.000 tenaga kerja dan telah menghidupi sekitar 2,25 juta jiwa
petani teh Indonesia. Rasio penyerapan tenaga kerja usaha perkebunan teh
mencapai 2-3 orang per hektar, lebih tinggi dibandingkan komoditas perkebunan
lain seperti kelapa sawit.
Selain kontribusinya bagi perekonomian nasional, usaha perkebunan teh
juga memberikan dampak positif bagi lingkungan. Keberadaan perkebunan teh
dapat membantu mempertahankan sistem hidrologi, mencegah erosi pada tanaman
teh yang telah produktif, menyerap CO2 dan menghasilkan O2 serta dapat
menjadi alternatif pilihan fasilitas rekreasi (agrowisata). Selain itu, dalam konteks
pengembangan industri, industri teh curah dan industri teh olahan Indonesia
memiliki potensi untuk dikembangkan karena nilai backward dan forward linkage
dari indsutri ini lebih dari satu, sehingga menyebabkan multiplier effects bagi
industri teh nasional2.
1 Komoditas unggulan nasional yang berasal dari subsektor perkebunan terdiri dari kelapa sawit,
kelapa, kakao, kopi, lada, jambu mete, teh, tebu, karet, kapas, tembakau, cengkeh, jarak pagar, nilam dan kemiri sunan (Kementrian Pertanian Republik Indonesia 2010).
2 Menurut Santoso dan Suprihatini (2007b), peningkatan permintaan baik di sektor industri teh curah maupun teh olahan sebesar satu satuan akan meningkatkan output yang relatif besar di semua industri, termasuk industri itu sendiri sebesar 1,5 kali lipat. Dengan memperhitungkan efek konsumsi masyarakat terhadap teh, yaitu ketika terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga yang bekerja di industri teh, maka kenaikan output tersebut dapat mencapai 3 kali lipat. Selain itu, industri teh curah dan teh olahan juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja di semua industri. Efek induksi yang terjadi terhadap industri lain akibat peningkatan pendapatan tenaga kerja di industri teh curah dan teh olahan tersebut sebesar 1,6 kali lipat.
2
Indonesia termasuk ke dalam sepuluh produsen dan eksportir teh terbesar
di dunia. Pada tahun 2000, Indonesia merupakan produsen teh terbesar kelima di
dunia dengan volume produksi teh Indonesia mencapai 5,5 persen. Begitu juga
dengan kegiatan ekspor teh Indonesia, posisi Indonesia saat itu menempati urutan
kelima dengan pangsa ekspor teh mencapai 8 persen dari total volume ekspor teh
dunia. Namun, seiring dengan berkembangnya persaingan diantara produsen dan
eksportir teh dunia, posisi Indonesia semakin tergeser oleh negara-negara pesaing
seperti Vietnam dan Turki. Hingga pada tahun 2008 pangsa produksi dan ekspor
teh Indonesia turun menjadi 3,6 dan 5,8 persen. Salah satu penyebab turunnya
produksi teh nasional adalah maraknya konversi areal perkebunan teh menjadi
areal tanam komoditas lain. Perkembangan produksi teh negara-negara di dunia
ditunjukkan oleh Gambar 1.
Perkembangan Produksi Teh di Beberapa Negara Penghasil Teh Gambar 1. hun 2000-2008
Sumber : ITC (2009)
Terbesar Dunia Ta
3
Sebagai penghasil teh, Indonesia menghadapi persaingan dengan
produsen-produsen lainnya. Pada perdagangan teh internasional, Vietnam, Kenya
dan Sri Langka merupakan tiga pesaing terdekat Indonesia3. Beberapa tahun
terakhir ini Vietnam mampu meningatkan produksi teh mereka, sementara
produksi teh Indonesia terus menurun. Kenya dan Sri Langka merupakan
kompetitor Indonesia dalam hal kesamaan produk teh yang dihasilkan. Produk teh
hitam CTC milik Indonesia memiliki kesamaan dengan produk teh hitam CTC
yang dihasilkan Kenya, sementara produk teh hitam Orthodox Indonesia relatif
serupa dengan teh hitam Orthodox yang diproduksi Sri Langka.
Tabel 2. Nilai dan Jumlah Ekspor-Impor Teh Indonesia Tahun 2000-2009
Tahun Ekspor Impor
Nilai Jumlah (Ton) Nilai Jumlah(Ton) (000 US $) (000 US $)
2000 112.105 105.582 3.091 2.632 2001 112.524 107.144 3.091 2.632 2002 103.427 100.184 3.561 3.526 2003 95.970 88.894 3.807 4.000 2004 116.018 98.572 5.531 3.925 2005 121.777 102.389 7.161 5.479 2006 134.515 95.338 8.703 5.293 2007 125.243 83.658 11.855 10.366 2008 158.958 96.209 11.990 6.625 2009 171.628 92.305 12.537 7.168
Sumber : Dirjenbun (2010)
Tabel 2 menunjukkan perkembangan kegiatan ekspor dan impor teh
Indonesia selama tahun selama tahun 2000 hingga 2009. Pada kegiatan ekspor
teh, nilai ekspor teh Indonesia cenderung mengalami peningkatan, namun
volumenya cenderung menurun, dan penurunan yang terjadi rata-rata mencapai
1,7 persen setiap tahunnya. Penurunan volume ekspor ini dapat menyebabkan
pangsa ekspor teh Indonesia menurun. Sementara itu, di dalam negeri produk-
produk teh impor mulai banyak memasuki pasar domestik. Tabel 2 menunjukkan
3 Hasil wawancara dengan Ir. Mudjiwati Sadjad Msc.-IS, PT. Kantor Pemasaran Bersama
Nusantara [20 Maret 2011]
4
adanya peningkatan kegiatan impor teh di dalam negeri. Hal tersebut ditunjukkan
dengan adanya kecenderungan peningkatan volume dan nilai impor teh ke
Indonesia. Selama periode tersebut, volume impor teh Indonesia mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 18,67 persen per tahun, sementara nilai impor
meningkat sebesar 20 persen per tahunnya.
Penurunan volume ekspor teh akan mempengaruhi pangsa pasar teh
Indonesia di pasar internasional, sementara peningkatan kegiatan impor teh akan
mengurangi perolehan devisa bagi negara. Fungsi teh sebagai salah satu
kontributor devisa akan terganggu, hal ini akan berimbas terus hingga ke pelaku
produksi di lapangan. Dengan mempertimbangkan kondisi persaingan yang
semakin ketat, dimana negara-negara produsen dan eksportir teh saat ini telah
mampu meningkatkan kinerja produknya, maka penting untuk mengetahui
bagaimana dayasaing agribisnis teh Indonesia di pasar internasional kemudian
merumuskan strategi-strategi untuk mengembangkan kegiatan agribisnis teh
Indonesia dalam rangka peningkatan dayasaing tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Kondisi iklim dan topografi alam Indonesia merupakan modal awal bagi
pengembangan agribisnis teh di negara ini. Sumberdaya alam yang kita miliki
merupakan suatu bentuk keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh semua
negara. Agar suatu negara dapat terus bersaing di pasar internasional, maka
memiliki keunggulan komparatif saja tidaklah cukup. Dibutuhkan sebuah
kompetensi yang mampu bersaing baik di dalam negeri maupun di tengah pasar
persaingan global. Mengingat besarnya peranan agribisnis teh Indonesia yang
ditunjukkan dengan adanya multipier effects yang lebih dari satu, maka integrasi
antara setiap subsistem dalam sistem agribisnis teh di Indonesia sangat penting
untuk ditingkatkan.
Saat ini, subsistem budidaya agribisnis teh Indonesia sedang dihadapkan
oleh kondisi penurunan luas area perkebunan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap
volume produksi teh Indonesia. Selama periode 2000-2009 telah terjadi
penurunan luas area perkebunan teh sebesar 2,18 persen setiap tahun. Penurunan
luas areal ini kemudian berdampak pada penurunan produksi teh nasional, dimana
selama tahun 2000 hingga tahun 2010 terjadi penurunan produksi rata-rata sebesar
5
0,83 persen (Dirjenbun 2010). Di sisi lain, penurunan kinerja di subsistem
budidaya tersebut juga mempengaruhi subsistem pemasaran teh Indonesia. Pangsa
pasar teh Indonesia cenderung terus menurun akibat adanya kecenderungan
penurunan volume ekspor teh dari tahun ke tahun.
Berbagai kendala yang dihadapi oleh para produsen teh nasional nyatanya
saling terkait antar subsistem. Untuk itu, dibutuhkan integrasi yang baik dari
setiap subsistem. Integrasi ini perlu didukung oleh kelengkapan serta distribusi
informasi yang dibutuhkan sehingga dapat dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder
teh di Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan
pemetaan potensi maupun kendala yang dihadapi oleh setiap subsistem dan
digambarkan sebagai gambaran umum agribisnis teh Indonesia.
Kendala lain yang dihadapi adalah semakin kompetitifnya persaingan
global. Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab merupakan negara-
negara pengimpor teh dunia, namun mereka mampu memberikan nilai tambah
pada teh dengan mengolahnya menjadi produk hilir dan mengekspornya kembali
dengan harga lebih tinggi4. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Indonesia,
dimana sebagian besar teh yang diekspor Indonesia masih merupakan produk
bahan baku atau produk teh curah. Akibatnya, nilai ekspor teh Indonesia semakin
jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain yang mulai
mengkombinasikan produk ekspor mereka dengan produk teh kemasan. Dengan
semakin kompetitifnya persaingan di pasar global, sesuai dengan program
peningkatan nilai tambah, dayasaing dan ekspor yang tercantum dalam Rencana
Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014, maka penting untuk mengetahui
dayasaing agribisnis teh Indonesia dan rumusan strategi yang mampu
meningkatkan dayasaing tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kondisi sistem agribisnis teh Indonesia?
2. Bagaimana dayasaing agribisnis teh Indonesia?
3. Bagaimana rumusan strategi yang tepat untuk meningkatkan dayasaing
tersebut?
4 Komoditi Teh di Indonesia dalam http://www.csrreview-online.com/lihatartikel.php?id=24
[Diakses pada 5 Oktober 2010]
6
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Menelaah sistem agribisnis teh Indonesia.
2) Menganalisis dayasaing agribisnis teh Indonesia.
3) Merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
terkait, diantaranya :
1) Bagi penulis, diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan
mengenai permasalahan yang telah diuraikan. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan akan meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat sebuah
tulisan ilmiah.
2) Bagi peneliti, diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sumber informasi
untuk suatu penelitian lain yang berkaitan dengan topik ini.
3) Bagi pengambil kebijakan, instansi serta lembaga terkait lainnya diharapkan
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait
dengan dayasaing komoditi di era globalisasi.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji teh curah sebagai komoditas strategis yang
memiliki banyak manfaat dan peluang untuk dikembangkan. Teh curah hijau dan
hitam merupakan produk teh yang diekspor oleh Indonesia (BPS 2011). Lingkup
analisis pada penelitian ini adalah sistem agribisnis teh Indonesia, dimana pada
analisis dayasaing menggunakan Teori Berlian Porter, proses analisis dilakukan
hingga diketahui ada tidaknya keterkaitan antar komponen dalam Sistem Berlian
Porter. Namun, untuk mengetahui sejauh apa keterkaitan tersebut, perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut. Sementara itu, pada analisis strategi pengembangan
agribisnis teh, lingkungan internal yang diamati terdiri subsistem budidaya dan
subsistem pengolahan teh curah. Hal ini dikarenakan kegiatan diantara kedua
subsistem tersebut sulit untuk dipisahkan dan saling mempengaruhi satu sama
lain. Sementara lingkungan eksternal merupakan subsistem lain di luar subsistem
budidaya dan pengolahan teh curah ditambah dengan lingkungan global.
7
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Teh Indonesia
Teh merupakan tanaman berbentuk pohon yang tingginya bisa mencapai
belasan meter. Namun, tanaman teh yang dibudidayakan di perkebunan selalu
dipangkas hingga mencapai ketinggian 90-120 meter untuk memudahkan
pemetikan. Tanaman teh bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun
merupakan tanaman yang berasal dari Cina. Diperkirakan, tanaman ini masuk ke
Indonesia pada tahun 1684, dan mulai dikenal luas sebagai tanaman perkebunan
pada awal abad ke-19 (Nazaruddin & Paimin 1993).
Teh tergolong ke dalam minuman fungsional karena memiliki banyak
khasiat yang baik bagi kesehatan. Manfaat yang dapat diperoleh dari meminum
teh secara teratur diantaranya adalah dapat menurunkan munculnya risiko
penyakit kanker dan radiovaskular, menurunkan berat badan, mencegah
osteoporosis dan merupakan sumber mineral dan vitamin. Sangat dianjurkan
meminum teh secara teratur sebanyak 4-5 kali sehari untuk dapat memperoleh
manfaat dari senyawa yang terkandung dalam teh (Pambudi 2006).
Berdasarkan varietasnya, teh terbagi menjadi varietas Sinensis dan varietas
Assamica. Varietas teh yang umumnya dibudidayakan di Indonesia adalah
varietas Assamica. Sementara varietas Sinensis umumnya dibudidayakan di
negara Cina dan Jepang. Secara umum, perbedaan dari kedua varietas ini dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Teh Berdasarkan Varietas
No. Jenis Teh Sinensis Assamica
1 Tinggi pohon sekitar 3-9 meter Tinggi pohon sekitar 12-20 meter 2 Pertumbuhan lambat Pertumbuhan lebih cepat 3 Jarak antara cabang dengan tanah
sangat dekat Jarak antara cabang dengan tanah agak jauh
4 Daun berukuran kecil, pendek, berujung tumpul, berwarna hijau tua
Daun lebar, panjang, berujung runcing, berwarna hijau mengkilat
5 Hasil produksi sedikit Hasil produksi tinggi. 6 Kualitas baik Kualitas baik 7 Banyak terdapat di Cina dan Jepang Dibudidayakan di Indonesia 8 Kandungan katekin tidak dominan Kandungan katekin tinggi
Sumber : Nazaruddin dan Paimin (1993)
8
Selain perbedaan secara fisik, kedua varietas ini juga memiliki perbedaan
pada kandungan katekinnya. Katekin adalah kandungan pada teh yang bermanfaat
untuk kesehatan dan merupakan antioksidan yang sangat efektif untuk
menetralkan radikal bebas dalam tubuh. Kadar katekin yang terdapat pada teh
Assamica lebih tinggi dibandingkan dengan kadar katekin teh yang berasal dari
varietas Sinensis. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa kualitas teh
Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan kualitas teh dari negara lain,
khususnya Cina dan Jepang5. Kandungan katekin yang terdapat pada beberapa
jenis teh yang diperdagangkan di pasar internasional ditunjukkan oleh Tabel 4.
Tabel 4. Kadar Katekin pada Beberapa Jenis Teh
No. Negara Jenis Teh Kadar Katekin (%) 1. Indonesia Teh Hitam Orthodox
Teh Hitam CTC Teh Hijau Ekspor Teh Wangi
8,24 7,02 11,60 9,28
2. Jepang Teh Sencha 5,06 3. China Teh Oolong
Teh Wangi 6,73 7,47
4. Sri Langka Teh Hitam 7,39 Sumber : Bambang et al (1995) dalam Indarto (2007)
Spillane (1992) diacu dalam Nazaruddin dan Paimin (1993) membagi
perkebunan teh yang diusahakan di Indonesia berdasarkan ketinggian daerah
penanamannya. Berikut ini adalah kelima jenis wilayah penanaman teh tersebut :
1. High grown, berada pada ketinggian lebih dari 1.500 m. Contohnya adalah
perkebunan Sinumbar dan perkebunan Sperata di Jawa Barat.
2. Good medium, berada pada ketinggian antara 1.200-1.500 m. Contohnya
adalah perkebunan Malabar, Gunung Mas, dan Goalpara di Jawa Barat.
3. Medium, berada pada ketinggian 1.000-1.200 m. Contohnya adalah
perkebunan Wonosari di Jawa Timur.
4. Low medium, berada pada ketinggian 800-1.000 m Contohnya adalah
perkebunan Pasir Nangka dan Cikopo Selatan di Jawa Barat.
5 DIN. 2007. Teh Indonesia Lebih Menyehatkan dalam www.kompas.co.id [Diakses pada 18
Oktober 2010]
9
5. Common, berada pada ketinggian di bawah 800 m. Contohnya adalah
perkebunan Gunung Rang.
Kemudian, Suprihatini dan Rosyadi (2003) mengungkapkan bahwa
komposisi produk teh Indonesia pada tahun 2002 yang diperjualbelikan melalui
Kantor Pemasaran Bersama (KPB) sebagian besar (50 persen) adalah jenis
medium grown tea, dan sisanya sebanyak 30 persen dan 20 persen merupakan low
grown tea dan high grown tea.
2.2 Sistem Agribisnis Komoditas di Indonesia
Kajian mengenai sistem agribisnis di Indonesia telah banyak dilakukan.
Khusus mengenai sistem agribisnis teh, Yusdja et al (2003) melakukan penelitian
mengenai analisis dampak sosial ekonomi tehadap adopsi teknologi
pemberantasan hama tanaman pada perkebunan teh rakyat, dimana salah satu
tujuan dari penelitian tersebut adalah menganalisis sistem agribisnis perkebunan
rakyat di daerah penelitian, yaitu Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan
Kabupaten Garut sebagai daerah penelitian didasari oleh besarnya potensi
perkebunan rakyat disana, dengan luas areal mencapai 7.049,4 ha atau sebesar
59,09 persen dari total areal perkebunan teh di Garut. Selain itu, dilihat dari data
pertumbuhan areal tanam perkebunan teh selama periode 1989-2001, perkebunan
teh rakyat di kabupaten ini menunjukkan kinerja yang sangat positif. Hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya peningkatan luas areal perkebunan rakyat sebesar
69,09 persen selama periode 1989-2001. Hal tersebut sangat berbeda dengan
kinerja perkebunan negara dan swasta yang justru mengalami kemunduran.
Dilihat dari aspek produktivitasnya, perkebunan teh rakyat di wilayah ini
memiliki tingkat produktivitas terendah dibandingkan dengan perkebunan negara
dan swasta. Perkebunan rakyat dengan luas areal mencapai 7.049,4 ha hanya
mampu mencapai produktivitas sebesar 0,811 kg teh kering/ha/tahun. Berbeda
dengan perkebunan negara dan swasta yang mampu mencapai tingkat
produktivitas sebesar 1.718 kg/ha/tahun dan 1.272 kg/ha/tahun. Pemilihan desa
contoh dilakukan berdasarkan kontribusi masyarakatnya terhadap budidaya teh.
Desa Pamulihan dan Desa Pangauban merupakan dua desa contoh yang sebagian
masyarakatnya merupakan petani yang sumber pendapatannya berasal dari
budidaya tanaman teh.
10
Kegiatan yang termasuk dalam subsistem hulu teh di desa contoh terdiri
dari informasi mengenai aksesibilitas petani terhadap input-input pertanian.
Berdasarkan hasil pengamatan, Yusdja et al (2003) menyatakan bahwa petani teh
di desa contoh telah mengenal beberapa varietas seperti TRI 0205, Kiara,
Gambung dan beberapa jenis varietas lainnya. Namun, petani masih mengeluhkan
tingginya harga bibit tanaman teh (Rp 1.500 – Rp 2.000 per pohon) yang tidak
sebanding dengan harga produk yan dihasilkan. Di samping itu, masih terbatasnya
pengadaan bibit teh menyebabkan petani masih menemui kesulitan untuk dapat
mengkases bibit.
Dalam pengadaan tenaga kerja, sebagian besar petani mengandalkan
tenaga kerja keluarga. Namun dalam pelaksanaan pemetikan umumnya petani
menggunakan jasa tenaga buruh terutama bagi petani yang menguasai lahan
kebun yang luas. Sementara dalam penguasaan sarana dan prasarana pertanian,
petani masih tergolong sangat minim dalam menguasai sarana peralatan.
Pada pengelolaan kebun atau budidaya, petani umumnya bergantung pada
harga teh yang terjadi. Rendahnya harga teh serta tingginya biaya produksi akan
memperkecil penerimaan petani tersebut. Hal ini menyebabkan kemampuan
penguasaan terhadap sarana dan prasaran pertanian, pemberian pupuk serta
intensitas pemeliharaan sangat minim dilakukan. Umumnya, petani menerapkan
pola tanam teh secara monokultur, kecuali kondisi tanaman yang masih kecil atau
telah banyak yang tua/mati dan belum dilakukan replanting, umumnya dilakukan
tumpangsari dengan tanaman lain seperti sayuran atau tembakau.
Kegiatan di susbsistem pemasaran dicerminkan dari kegiatan sebagian
besar petani contoh yang melakukan pemasaran teh melalui pedagang pengumpul
desa. Dibandingkan dengan tataniaga perkebunan negara dan swasta, jalur
tataniaga perkebunan rakyat mempunyai rantai yang lebih panjang. Hal tersebut
seringkali tidak menguntungkan bagi petani karena petani tidak mendapat insentif
yang baik atas kerja kerasnya dalam menghasilkan teh. Di samping itu, bentuk
rantai tataniaga yang panjang juga diduga mempengaruhi keputusan petani. Salah
satu akibat dari ketergantungan petani yang tinggi terhadap pedagang adalah
pedagang dapat mengatur keputusan petani khususnya dalam penggunaan
pestisida, dalam hal ini pedagang dapat berperan sebagai penyalur pestisida.
11
Lembaga serta pihak yang bertanggung jawab dalam mendampingi petani teh
rakyat dalam hal ini adalah penyuluh.
Dalam penelitiannya, Yusdja et al (2003) menyimpulkan bahwa petani teh
rakyat di wilayah penelitian masih jauh dalam kemandirian usaha. Selain lahan
yang dikelola relatif sempit, petani juga dihadapkan pada lemahnya permodalan
serta kurangnya kerjasama antar petani teh. Kondisi ini mendorong petani teh
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pedagang pengumpul yang terbukti
tidak memberikan insentif yang menguntungkan pada petani teh rakyat.
2.3 Dayasaing Komoditas Indonesia
Penelitian mengenai dayasaing teh pernah dilakukan sebelumnya.
Tatakomara (2004) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi ekspor komoditas teh di Indonesia, serta dayasaing komoditas teh
di pasar internasional. Pada periode 1992-2002, sebagian besar area perkebunan
teh merupakan perkebunan rakyat, sisanya dimiliki oleh pemerintah dan
pengusaha swasta. Namun, apabila dilihat dari volume produksinya perkebunan
rakyat justru menempati posisi terendah dibandingkan dengan produktivitas
perkebunan negara dan swasta. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penggunaan
teknologi yang mendukung dalam hal produksi.
Dilihat dari perkembangan produksi, dalam kurun waktu 1992-2002,
Indonesia telah mengalami perkembangan produksi sebesar 1,16 persen,
perkembangan produksi ini searah dengan perkembangan luas areal perkebunan
teh sebesar 1,56 persen. Sedangkan dilihat dari perkembangan ekspor tehnya,
Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,72 persen. Namun peningkatan
volume ekspor ini tidak diiringi dengan peningkatan nilai ekspor, yang turun rata-
rata sebesar 1,29 persen setiap tahunnya.
Dari hasil regresi untuk model ekspor teh Indonesia dapat disimpulkan
bahwa variabel-varaibel yang mempengaruhi ekspor teh Indonesia yaitu produksi
teh domestik, volume ekspor teh Indonesia tahun sebelumnya, harga teh dunia,
lag harga teh dunia, nilai tukar rupiah sebelumnya, konsumsi teh domestik, dan
variabel harga domestik. Dari ketujuh variabel tersebut, variabel produksi teh
Indonesia, volume ekspor tahun sebelumnya, dan konsumsi teh domestik
berpengaruh nyata terhadap ekspor tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya tidak
12
berpengaruh nyata. Dilihat dari elastisitasnya, hanya variabel produksi
domestiklah yang memiliki elastisitas lebih dari satu. Artinya ekspor teh
Indonesia cukup peka terhadap perubahan produksi teh domestik.
Tatakomara (2004) menyatakan bahwa teh Indonesia yang dinilai dengan
menggunakan indeks REER telah memiliki keunggulan komparatif, karena
sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia. Namun, diperlukan
usaha yang lebih keras lagi untuk meningkatkan dayasaing teh Indonesia secara
kompetitif, sehingga dayasaing di pasar internasionalnya menjadi lebih kuat.
Penelitian mengenai dayasaing teh di Indonesia juga pernah dilakukan
oleh Febriyanthi (2008). Alat yang digunakan untuk meneliti dayasaing teh adalah
Revealed Comparative Advantage (RCA), sementara teori Berlian Porter
digunakan untuk menganaisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
keunggulan komoditi suatu negara. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa
selama periode 1996-2005, terdapat pertumbuhan produktivitas sebesar 11,3
persen. Namun hal ini berbeda dengan pertumbuhan produksi komoditas teh
Indonesia yang hanya naik sebesar 0,71 persen. Hal ini dikarenakan luas areal
penanaman teh yang mengalami penurunan sebesar 1,12 persen. Febriyanthi
(2008) menyatakan bahwa struktur pasar yang dihadapi teh Indonesia dalam pasar
teh internasional, adalah pasar persaingan oligopoli dan pasar persaingan
monopoli. Posisi Indonesia di masing-masing pasar tersebut adalah market
follower. Akibatnya Indonesia sangat rentan terhadap adanya kekuatan pesaing-
pesaing yang kuat, seperti Sri Langka, Kenya, Cina dan India.
Berdasarkan analisis keunggulan komparatif, Indonesia memiliki
dayasaing yang kuat. Namun dilihat dari keunggulan kompetitif, Indonesia masih
berdayasaing lemah. Secara garis besar hal ini menunjukkan bahwa dayasaing
Indonesia di pasar internasional masih lemah. Analisis keunggulan komparatif
dengan metode RCA menunjukkan bahwa komoditas teh Indonesia yang
berdayasaing kuat adalah teh hijau kode HS 090210 dan teh hitam kode HS
090240 dikarenakan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua produk itu dan
nilai ekspor yang cukup tinggi, serta pangsa pasar yang luas. Komoditi teh hijau
hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001-2003, sementara teh
13
hitam berpotensi berdaya saing kuat karena memiliki keunggulan komparatif pada
tahun 2004 dan 2005.
Analisis keunggulan kompetitif dengan teori Berlian Porter menunjukkan
bahwa komoditas teh Indonesia berdayasaing lemah karena terdapat berbagai
kendala yaitu kualitas teh Indonesia yang belum memenuhi standar internasional,
kualitas sumberdaya manusia yang masih lemah, kurangnya sarana dan prasarana
yang mendukung pembangunan komoditas teh Indonesia, permintaan domestik
yang semakin menurun serta kebijakan pemerintah yang tidak kondusif terhadap
pembangunan komoditi teh nasional. Namun, dalam penelitiannya Febriyanthi
(2008) belum melakukan analisis keterkaitan antar komponen yang menentukan
dayasaing suatu negara (competitive advantage of nations).
2.4 Strategi Pengembangan Agribisnis
Penelitian mengenai strategi pengembangan komoditas juga pernah
dilakukan oleh Puspita (2009). Puspita melakukan penelitian mengenai dayasaing
serta pengembangan agribisnis gandum lokal di Indonesia. Dalam penelitiannya
disebutkan bahwa dalam sistem agribisnis gandum lokal di Indonesia, masing-
masing subsistem agribisnis belum saling mendukung dan terkait satu sama lain.
Hal ini terlihat pada subsistem agribisnis hulu yang belum terbentuk sehingga
sarana produksi berupa benih masih sulit diperoleh. Selain itu, kegiatan usahatani
juga belum mampu mendukung subsistem agribisnis hilir yang telah berkembang.
Dari setiap komponen dayasaing agribisnis gandum lokal, terdapat
keterkaitan antar komponen yang saling mendukung dan tidak saling mendukung.
Keterkaitan yang tidak saling mendukung lebih dominan dalam penelitian ini. Hal
ini menunjukkan bahwa agribisnis gandum lokal yang baru dikembangkan di
Indonesia dayasaingnya masih lemah. Sedangkan strategi yang digunakan untuk
mengembangkan dan mengingkatkan dayasaing agribisnis gandum lokal
diantaranya adalah optimalisasi lahan gandum lokal, membangun industri berbasis
gandum lokal di pedesaan, penguatan kelembagaan, melakukan bimbingan,
pembinaan dan pendampingan bagi petani, membentuk kerjasama antara petani
dengan industri makanan, menciptakan sumber permodalan bagi petani, mengatur
ketersediaan benih, menciptakan varietas gandum baru untuk dataran rendah dan
medium, melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis gandum lokal, pembatasan
14
volume impor, menciptakan produk olahan gandum lokal berkualitas tinggi untuk
pasar tertentu serta meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi gandum lokal.
Puspita (2009) juga merumuskan rancangan arsitektur strategik agribisnis gandum
lokal di Indonesia.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah dalam analisis
dayasaing menggunakan Teori Berlian Porter, dilakukan pula analisis keterkaitan
antar komponen utama dan komponen penunjang. Dengan demikian, akan tampak
hubungan antara komponen yang saling mendukung dan yang belum saling
mendukung. Selain itu, penelitian ini juga dilengkapi dengan analisis strategi
pengembangan agribisnis teh Indonesia yang dilakukan menggunakan alat analisis
matriks SWOT lalu dipetakan ke dalam arsitektur strategik agribisnis teh
Indonesia. Kedua analisis tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tahapan penerapan
strategi untuk mengembangkan dan meningkatkan dayasaing agribisnis teh
Indonesia.
15
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Pemahaman Mengenai Agribisnis
Istilah dan paradigma agribisnis pertama kali diperkenalkan oleh Davis
dan Goldberg (1957). Awalnya, pemahaman ide mengenai agribisnis muncul
untuk menjawab permasalahan yang terjadi di sektor pertanian Amerika Serikat
yang tidak tumbuh sesuai dengan harapan ditambah kesejahteraan petani yang
tidak juga membaik walaupun telah didukung oleh sumberdaya alam yang sesuai
dan besar, teknologi maju, petani yang progresif dan fasilitas infrastruktur publik
serta kebijakan yang kondusif. Davis dan Goldberg (1957) diacu dalam
Simatupang (2010). menyatakan bahwa :
1. Kinerja usahatani secara mikro dan sektor pertanian secara agregat sangat
ditentukan oleh keberadaan dan kinerja dari sektor-sektor terkait di luar
pertanian.
2. Masalah pokok pertanian Amerika Serikat bukanlah di dalam sektor pertanian
atau usahatani melainkan di luar sektor pertanian atau non-usahatani.
3. Permasalahan dan kebijakan untuk mendukung pembangunan pertanian harus
didukung dengan perspektif sistem yaitu saling keterkaitan kinerja usahatani
dengan usaha-usaha maupun jasa atau fasilitas penunjang di luar sektor
pertanian.
Berbagai penelitian lanjutan kemudian menyimpulkan bahwa paradigma
agribisnis yang diperkenalkan David dan Goldberg berlaku umum, termasuk di
negara-negara berkembang. Di Indonesia, pemahaman mengenai agribisnis
seringkali bias dengan pemahaman mengenai pertanian. Berdasarkan ketiga
konsep awal mengenai agribisnis di atas, David dan Goldberg (1957) diacu dalam
Simatupang (2010) mendefinisikan agribisnis sebagai berikut :
“Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture
and all distribution of farm supplies; production activities on the farm; and
the storage, processing and distribution of farm commodities and items
made from them”.
16
Sementara pertanian dalam arti luas merupakan seluruh mata rantai
pemanenan energi surya secara langsung maupun tidak langsung melalui proses
fotosintesis dan proses pendukung lainnya untuk kehidupan manusia yang
mencakup aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan kemasyarakatan serta
mencakup bidang tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan,
perkebunan, dan kehutanan6. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pertanian hanyalah suatu bagian dari sistem agribisnis.
Subsistem Agribisnis Hulu
Industri Perbenihan/ Pembibitan Tanaman, Agrootomotif, Agrokimia
Subsistem Usahatani
Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura, Usaha Perkebunan, Usaha Peternakan
Subsistem Pengolahan
Industri Makanan, Minuman, Pangan, Barang Serat Alam, Biofarma, Agrowisata dan Estetika
Subsistem Pemasaran
Distribusi, Promosi, Informasi Pasar, Struktur Pasar, Kebijakan Perdagangan
Subsistem Jasa dan Penunjang
Perkreditan dan Asuransi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Penyuluhan
Transportasi dan Pergudangan
Gambar 2. Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Sumber : Saragih (2010), Hlm xx
3.1.2 Konsep Dayasaing Simanjuntak (1992) dalam Siregar (2009) mengatakan bahwa dayasaing
dapat diartikan sebagai kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu
produk dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi
di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Pada dasarnya,
pembangunan agribisnis merupakan suatu upaya untuk meningkatkan dayasaing
yang dilakukan melalui transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan
bersaing (competitive advantage).
Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara
atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif dan secara dinamis akan
mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) dalam Siregar (2009)
6 Buku Panduan Institut Pertanian Bogor dalam Saragih (2010)
17
membagi faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif menjadi lima,
yaitu :
1. Perubahan dalam sumberdaya alam
2. Perubahan faktor-faktor biologi
3. Perubahan harga input
4. Perubahan teknologi
5. Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka suatu keunggulan komparatif
merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Kondisi tersebut
mengacu kepada kemampuan pengelolaan yang dilakukan secara dinamis dari
suatu wilayah dengan keterbatasan sumberdaya namun didukung oleh dukungan
tenaga kerja, modal serta proses pengolahan lanjutan.
Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi
perekonomian aktual. Secara operasional, Simatupang (1995) dalam Siregar
(2009) menyebutkan bahwa keunggulan kompetitif adalah kemampuan memasok
barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik
di pasar domestik maupun pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih
rendah dibandingkan yang ditawarkan oleh pesaing, seraya memperoleh laba
paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Kondisi
ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan
komparatif (menghasilkan barang lebih murah dibandingkan dengan pesaing),
tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut
(karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen (Simatupang 1995 dalam
Siregar 2009).
Porter (1998) menyatakan bahwa keunggulan suatu negara tergantung
kepada kemampuan industrinya dalam inovasi dan pengembangan. Adanya
persaingan yang ketat menyebabkan suatu perusahaan akan memperoleh
keunggulan bersaing pada akhirnya. Konsep dayasaing pada tingkat nasional
adalah produktivitas. Produktivitas adalah nilai dari output yang dihasilkan oleh
satu satuan tenaga kerja atau kapital. Produktivitas adalah penentu utama dari
standar hidup suatu negara dalam jangka panjang.
18
Terdapat empat faktor utama yang menentukan dayasaing suatu industri
yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, kondisi industri pendukung
dan industri terkait serta kondisi struktur, persaingan dan strategi perusahaan.
Keempat faktor utama tersebut didukung oleh faktor pemerintah dan faktor
kesempatan dalam meningkatkan dayasaing industri. Faktor-faktor tersebut
menghasilkan suatu lingkungan dimana suatu perusahaan lahir dan belajar
bagaimana bersaing. Faktor-faktor tersebut membentuk suatu sistem yaitu The
Diamond of National Advantage. Setiap poin dalam berlian tersebut
mempengaruhi keberhasilan suatu negara dalam mendapatkan keunggulan
bersaing di pasar internasional (Porter 1990).
3.1.3 Formulasi Strategi
1) Matriks SWOT
Analisis SWOT adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang
bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisis ini menempatkan situasi dan
kondisi sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut
kontribusinya masing-masing. Analisis SWOT melihat bagaimana kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman yang ada pada sebuah perusahaan atau
organisasi. Menurut Rangkuti (2006) analisis SWOT adalah identifikasi berbagai
faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Setelah
diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, barulah dapat ditentukan
strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil
keuntungan dari peluang-peluang yang ada, sekaligus untuk memperkecil atau
bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya untuk menghindari ancaman yang
ada.
Analisis SWOT ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu :
1. Kekuatan atau strengths (S), merupakan suatu kelebihan khusus yang
memberikan keunggulan kompetitif di dalam suatu industri yang berasal dari
perusahaan. Kekuatan perusahaan akan mendukung perkembangan usaha
dengan cara memperlihatkan sumber dana, citra, kepemimpinan pasar,
hubungan dengan konsumen ataupun pemasok serta faktor-faktor lainnya.
19
2. Kelemahan atau weaknesses (W), merupakan keterbatasan dan kekurangan
dalam hal sumberdaya, keahlian dan kemampuan yang secara nyata
menghambat aktivitas keragaan perusahaan. Fasilitas, sumberdaya keuangan,
kemampuan manajerial, keahlian pemasaran dan pandangan orang terhadap
merek dapat menjadi sumber kelemahan.
3. Peluang atau opportunities (O), merupakan situasi yang diinginkan
perusahaan. Segmen pasar, perubahan dalam persaingan, perubahan teknologi,
peraturan dalam persaingan, peraturan baru atau yang ditinjau kembali dapat
menjadi sumber peluang bagi perusahaan.
4. Ancaman atau threats (T), merupakan situasi yang paling tidak disukai dalam
lingkungan perusahaan. Ancaman merupakan penghalang bagi posisi yang
diharapkan oleh perusahaan. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang
lambat, meningkatnya posisi penawaran pembeli dan pemasok, perubahan
teknologi, peraturan baru yang ditinjau kembali dapat menjadi sumber
ancaman bagi perusahaan.
Selain empat komponen dasar ini, analisis SWOT, dalam proses
analisisnya akan berkembang menjadi beberapa subkomponen yang jumlahnya
tergantung pada kondisi organisasi, dimana masing-masing subkomponen adalah
penjabaran dari masing-masing komponen.
2) Arsitektur Strategik
Pendekatan arsitektur strategik merupakan suatu pendekatan yang bersifat
bentangan atau stretch (Hamel & Prahald 1995). Pendekatan ini muncul sebagai
respon dari pendekatan klasik yang dinilai kurang mampu untuk mengakomodasi
perubahan lingkungan yang tergolong cepat, karena ketika menyusun pendekatan
klasik membutuhkan asumsi-asumsi yang sangat ketat (Yoshida 2004).
Selanjutnya Yoshida (2004) menyatakan bahwa arsitektur strategik
diciptakan untuk lebih adaptif dan fleksibel di dalam menghadapi suatu
perubahan, sehingga dengan diaplikasikannya arsitektur strategik ini, organisasi
akan secara leluasa mengembangkan skenario yang diperkirakan akan
memuluskan jalan menuju tercapainya visi dan misi organisasi tersebut. Strategi
dengan skenarionya kemudian dipetakan ke dalam sebuah blue print strategy.
20
Blue print strategy ini sepenuhnya disusun untuk mendukung tercapainya tujuan
organisasi dalam waktu yang telah ditentukan.
Unsur-unsur yang diperlihatkan dalam arsitektur strategik adalah visi dan
misi organisasi, analisis internal dan eksternal organisasi, pemahaman mengenai
tantangan yang dialami dan akan dialami oleh organisasi, serta sasaran yang ingin
dicapai oleh organisasi tersebut. Sehingga pada akhirnya semua unsur tersebut
disatukan ke dalam sebuah peta umum strategik yang kemudian akan
diimplementasikan untuk jangka waktu tertentu.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Usaha perkebunan teh di Indonesia telah berlangsung sejak lama.
Komoditas teh perama kali diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia oleh
bangsa Belanda pada awal abad ke-19. Seiring dengan kontribusi yang diberikan,
komoditas teh menjadi komoditas strategis yang kemudian ditetapkan sebagai
salah satu komoditas unggulan nasional pada tahun 2010. Keberadaan usaha
perkebunan teh di Indonesia merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat yang
tinggal di sekitarnya. Kemampuan usaha perkebunan teh dalam menyerap tenaga
kerja menjadikan perkebunan teh turut berkontribusi dalam mengurangi
pengangguran. Selain itu, peningkatan permintaan baik di sektor industri teh
curah maupun teh olahan sebesar satu satuan akan meningkatkan output di semua
industri, termasuk industri itu sendiri dan menciptakan multiplier effects yang
kemudian akan meningkatkan perekonomian di sektor tersebut (Santoso &
Suprihatini 2007).
Pada perdagangan teh internasional, Indonesia dikenal sebagai produsen
sekaligus eksportir besar. Namun, adanya persaingan yang ketat diantara negara-
negara kompetitor belum mampu diatasi dengan baik oleh industri teh curah di
dalam negeri. Hal tersebut ditunjukkan oleh penurunan posisi Indonesia dari
posisi kelima menjadi produsen teh terbesar ketujuh selama periode 2000 hingga
2008. Penurunan produksi tersebut juga mempengaruhi pangsa pasar teh
Indonesia di pasar internasional.
Penurunan kinerja Indonesia di pasar internasional tersebut harus segera
diatasi karena dapat berakibat buruk pada produsen dan industri teh di dalam
negeri. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan adalah adanya potensi untuk
21
meningkatkan konsumsi teh domestik. Upaya peningkatan konsumsi teh di dalam
negeri akan didukung oleh tingginya populasi penduduk Indonesia dengan tren
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Upaya peningkatan konsumsi
domestik tersebut seiring dengan kebiasaan minum teh yang telah membudaya
bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal tersebut menunjukkan ada kesempatan
bagi industri teh domestik untuk mengalihkan pasar tehnya dari pasar
internasional menuju pasar domestik. Selanjutnya, hal tersebut diharapkan mampu
mengatasi persaingan yang timbul akibat adanya peningkatan kegiatan impor
produk teh asing ke Indonesia.
Gambaran di atas menjadi dasar pemikiran untuk melakukan analisis
kondisi agribisnis teh Indonesia saat ini, kemudian melakukan analisis dayasaing
agribisnis teh Indonesia serta merumuskan strategi pengembangan untuk
meningkatkan dayasaing tersebut. Analisis dayasaing menggunakan Teori Berlian
Porter dilakukan dengan tujuan mengetahui kesiapan agribisnis teh Indonesia
dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Sementara perumusan
strategi dilakukan dengan menggunakan alat analisis Matriks SWOT dengan
tujuan memperoleh strategi yang mampu mengoptimalkan kekuatan dan segala
peluang yang ada sehingga kelemahan dan ancaman yang dihadapi dapat
diminimalisir akibatnya.
22
• Indonesia memiliki kondisi iklim dan topografi yang sesuai untuk pengembangan teh.
• Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir teh terbesar di dunia.
• Multiplier effects yang ditimbulkan oleh agribisnis teh Indonesia besar (lebih dari satu)
• Adanya dukungan dari pemerintah melalui penetapan teh sebagai salah satu komoditas unggulan nasional.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
Analisis SWOT
Analisis Dayasaing Agribisnis Teh
Indonesia
• Luas areal perkebunan teh menurun 2,18 persen
• Produksi teh dalam negeri yang menurun 0,83 persen selama sepuluh tahun terakhid
• Volume ekspor yang semakin menurun sebesar 1,7 persen selama sepuluh tahun terakhir.
• Persaingan di pasar internasional yang semakin ketat.
• Rendahnya konsumsi teh domestik
Enam Komponen Dayasaing Berlian Porter
1. Kondisi Faktor Sumberdaya
2. Kondisi Permintaan 3. Industri Terkait dan
Industri Pendukung 4. Struktur, Persaingan dan
Strategi Perusahaan 5. Peran Pemerintah 6. Peran Kesempatan
Sistem Agribisnis Teh Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia
Arsitektur Strategik
23
IV METODE PENELITIAN
4.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian
Tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian adalah
pelaksanaan penyusunan proposal penelitian. Sebelum tahap penyusunan
proposal, dilakukan kegiatan pra-penelitian (pengumpulan data dan informasi
pendahuluan) selama minggu ketiga hingga minggu keempat bulan Desember
2010. Kemudian, kegiatan penelitian termasuk kegiatan pengumpulan dan
pengolahan data hingga penarikan kesimpulan dilakukan sejak bulan Februari
hingga Maret 2011. Selama proses pengumpulan data dan informasi, penulis juga
sekaligus melakukan kegiatan pengolahan data hingga bulan April 2011.
4.2 Data dan Instrumentasi
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi secara langsung ke beberapa
perkebunan teh di Provinsi Jawa Barat serta melalui wawancara mendalam
terhadap beberapa tokoh teh nasional. Sedangkan data sekunder merupakan data
yang telah terdokumentasi sebelumnya dan diperoleh dari data time series selama
tahun 2000-2011 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Dirjen
Perkebunan, International Tea Committee (ITC) serta laporan tahunan, hasil
penelitian terdahulu, jurnal ilmiah, literatur, buku dan dokumentasi lain yang
dikeluarkan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Pusat
Penelitian Teh dan Kina (PPTK), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI),
serta sumber informasi lainnya seperti majalah, buletin dan internet. Alat yang
digunakan untuk mengumpulkan data berupa alat pencatat, alat perekam, alat
penyimpan data elektronik serta daftar pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua
periode, periode pengumpulan data tahap I, dan pengumpulan data tahap II.
Pengumpulan data tahap I dimulai sejak bulan Desember 2010 bersamaan dengan
proses penyusunan proposal. Pengumpulan data tahap I dilakukan dengan
24
menggunakan literatur, pencarian data statistik, serta browsing internet.
Sedangkan pengumpulan data tahap II dilakukan setelah proposal penelitian
selesai, yaitu pada bulan Februari-Maret 2011. Teknik pengumpulan data yang
digunakan sama seperti pada tahap I, namun pada periode ini pengumpulan data
juga dilakukan dengan wawancara mendalam dengan tokoh teh nasional (elite
interview). Wawancara dilakukan dengan beberapa narasumber yang dinilai
mampu mewakili beberapa komponen penting dalam agribisnis teh Indonesia.
Beberapa narasumber dalam penelitian ini adalah Direktur Eksekutif Dewan Teh
Indonesia, Asisten Manajer Pemasaran Teh, PT KPBN7, professional tea taster
dan quality control PT KPBN, staff PTPN VIII Kebun Gunung Mas, Mandor I
Tanaman Perkebunan Ciliwung (perkebunan swasta yang menjalin kemitraan
dengan perkebunan rakyat), anggota Asosiasi Teh Indonesia, pengamat komoditas
perkebunan.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk
mengetahui gambaran umum agribisnis teh di Indonesia, dayasaing agribisnis teh
di Indonesia, serta untuk menganalisis strategi pengembangan agribisnis teh di
Indonesia. Alat yang digunakan untuk menganalisis dayasaing teh di Indonesia
adalah Teori Berlian Porter, sedangkan untuk mengetahui strategi pengembangan
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh di Indonesia,
digunakan metode SWOT Analysis. Kemudian, untuk menyusun dan memetakan
strategi pengembangan agribisnis teh di Indonesia yang telah diperoleh,
digunakan Arsitektur Strategi.
4.4.1 Analisis Berlian Porter Teori Berlian Porter dapat digunakan untuk mengetahui dayasaing suatu
komoditas berdasarkan kondisi dari komponen-komponen yang saling
mendukung dan menguatkan di suatu negara terkait dengan komoditas tersebut.
Terdapat empat komponen utama dan dua komponen penunjang yang membentuk
7 PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) merupakan lembaga pemasaran teh
yang dibawahi PTPN. Sistem pemasaran yang dilakukan berdasarkan pada sistem lelang. Sejak tahun 2010 lembaga tersebut bertransformasi badan hukum menjadi perseroan terbatas.
25
model seperti berlian. Komponen utama tersebut terdiri dari kondisi faktor
sumberdaya, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta struktur,
persaingan, dan strategi perusahaan. Sedangkan komponen penunjang Berlian
Porter merupakan faktor pemerintah dan faktor kesempatan. Berikut ini adalah
penjelasan dari setiap komponen yang terdapat pada Teori Berlian Porter :
1. Kondisi Faktor Sumberdaya
Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan
faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor
produksi tersebut digolongkan ke dalam lima kelompok yaitu :
a) Sumberdaya Fisik atau Alam
Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing
industri nasional mencakup biaya aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan
(lokasi), ketersediaan air, mineral dan energi serta sumberdaya pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya pertanian laut
lainnya), peternakan, serta sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat
diperbarui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca
dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain.
b) Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional
terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan
keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah),
dan etika kerja (termasuk moral).
c) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar,
pengetahuan teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan
dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber
pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan
pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data,
laporan penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan, dan sumber
pengetahuan dan teknologinya.
26
d) Sumber Modal
Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari
jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembayaran (sumber
modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan
perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter
dan fiskal, serta peraturan moneter dan fiskal.
e) Sumberdaya Infrastruktur
Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri
dari jenis, mutu dan ketersediaan infrastruktur yang mempengaruhi
persaingan. Hal tersebut termasuk ketersediaan sistem transportasi,
komunikasi, pos dan giro, pembayaran transfer dana, air bersih, energi listrik,
dan lain-lain.
2. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing
industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik
merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing
di pasar global. Mutu permintaan (persaingan ketat) di dalam negeri memberikan
tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya sebagai
tanggapan terhadap persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi
permintaan yang mempengaruhi dayasaing nasional, yaitu :
a) Komposisi Permintaan Domestik
Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing
industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi :
i) Struktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing
nasional. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah
memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas
dibandingkan dengan struktur segmen yang sempit.
ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan
kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan
memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk,
product features, dan pelayanan.
27
iii) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri
merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing.
b) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat
persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas,
tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan
kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan
penetrasi lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk
mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat
dilakukan jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya
penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan
teknologi dan peningkatan produktivitas.
c) Internasionalisasi Permintaan Domestik
Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong
dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar
negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering
mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya dayasaing
produk negara yang dikunjungi tersebut.
3. Industri terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan indutri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki
dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri
hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama
dengan harga yang relatif murah, mutu lebih baik, pelayanan yang cepat,
pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama,
sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi.
Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan
bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir
tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.
4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan
Struktur industri dan perusahaan juga menetukan dayasaing yang dimiliki
oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur
28
industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan
perbaikan-perbaikan serta inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri
bersaing. Struktur persaingan yang berada pada suatu industri sangat berpengaruh
terhadap bagaimana perusahaan tersebut dikelola dan dikembangkan dalam
suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Dengan
demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri
yang bersangkutan.
a) Struktur Pasar
Istilah struktur pasar digunakan untuk menunjukkan tipe pasar. Derajat
persaingan struktur pasar (degree of competition of market share) dipakai
untuk menentukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan
lain dari produk yang dijual di pasar. Struktur pasar didefinisikan sebagai
sifat-sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan
perusahaan, jumlah penjual dan keragaan produk (nature of the product)
adalah dimensi-dimensi yang penting dari struktur pasar. Adapun dimensi
lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk
pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan, dan
lain-lain. Beberapa struktur pasar yang ada antara lain pasar persaingan
sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni, dan pasar
oligopsoni. Biasanya struktur pasar yang dihadapi industri seperti monopoli
dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai
pangsa pasar yang ada, dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang
bergerak dalam suatu industri.
b) Persaingan
Tingkat persaingan dalam suatu industri merupakan salah satu faktor
pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus
melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat
merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan
tekanan pada perusahaan lain dalam meningkatkan dayasaingnya.
Perusahaan-perusahaan yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri
nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional
29
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang belum memiliki dayasaing
yang tingkat persaingannya rendah.
c) Strategi Perusahaan
Dalam menjalankan suatu usaha, baik perusahaan berskala besar maupun
perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waktu, pemilik atau manajer
dipastikan memiliki keinginan untuk mengembangkan usahanya dalam
lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi khusus
yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan suatu
strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan memperhatikan semua
faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut.
5. Peran Pemerintah
Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya
peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh pada faktor-faktor penentu
dayasaing global. Dayasaing global akan dipengaruhi secara langsung oleh
perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri tersebut. Peran pemerintah
merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam
industri agar senantiasa melakukan perbaikan dan peningkatan dayasaingnya.
Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku industri terhadap berbagai
sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga
kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi serta
informasi.
Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui
penetapan standar produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum dan
berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi
permintaan domestik baik secara langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal
yang dikeluarkannya, maupun secara langsung melalui perannya sebagi pembeli
barang dan jasa. Kebijakan penetapan bea keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan
lain-lainnya juga menunjukkan terdapat peran tidak langsung dari pemerintah
dalam meningkatkan dayasaing global.
Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan
yang melemahkan faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat
secara langsung menciptakan dayasaing global. Peran pemerintah adalah
30
memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor
penentu dayasaing, sehingga perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri
mampu mendayagunakan faktor-faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien.
6. Peran Kesempatan
Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali
perusahaan dan pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri
nasional. Beberapa kesempatan yang mampu meningkatkan naiknya dayasaing
global industri nasional adalah penemuan baru murni, biaya perusahaan yang
tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata
uang), peningkatan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi
dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai
faktor kesempatan lainnya.
Persaingan, Struktur, Strategi
Perusahaan
Kondisi Faktor
Sumberdaya
Peranan Kesempatan
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Kondisi Permintaan
Domestik
Peranan Pemerintah
Keterangan : Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung
komponen utama
Gambar 4. The Complete System of National Competitive Advantage Sumber : Porter (1990), Hlm. 127
31
Setelah diketahui faktor-faktor dalam Sistem Berlian Porter, maka dapat
ditentukan komponen yang unggul atau lemah dayasaingnya. Selain itu, melalui
Berlian Porter’s System dapat dilihat bagaimana keterkaitan antar komponen,
sehingga akan tampak komponen-komponen yang saling mendukung atau tidak
saling mendukung.
4.4.2 Analisis SWOT
Matriks SWOT merupakan alat pencocokan strategi yang dilakukan
berdasarkan pengembangan empat jenis strategi, yaitu SO Strategy (Strategi
Kekuatan-Peluang), ST Strategy (Strategi Kekuatan-Ancaman), WO Strategy
(Strategi Kelemahan-Peluang), dan WT Strategy (Strategi Kelemahan-Ancaman).
SO Strategy memanfaatkan kekuatan internal dari sistem agribisnis teh untuk
menarik keuntungan dari peluang eksternal. ST Strategy menggunakan kekuatan
untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal. WO Strategy
memperbaiki kelemahan sistem agribisnis teh dengan cara mengambil keuntungan
dari peluang eksternal. WT Strategy merupakan taktik defensive yang diarahkan
untuk mengurangi kelemahan sistem agribisnis teh serta menghindari ancaman
eksternal (David 2009). Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menyusun
Matriks SWOT :
1. Tentukan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan internal kunci agribisnis
teh Indonesia.
2. Tentukan faktor-faktor peluang dan ancaman eksternal agribisnis teh
Indonesia.
3. Tentukan faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
strategis agribisnis teh Indonesia.
4. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan
SO Strategy.
5. Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk
mendapatkan ST Strategy.
6. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk
mendapatkan WO Strategy.
7. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk
mendapatkan WT Strategy.
32
Gambar 5 menunjukkan ruang lingkup yang digunakan dalam
merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia. Lingkungan
internal terdiri dari kegiatan yang berada di subsistem budidaya dan subsistem
pengolahan teh curah. Keduan subsistem ini dinilai memiliki kedekatan yang
relatif dekat karena baik kualitas maupun kuantitas produk teh yang dihasilkan
Indonesia ditentukan oleh keberhasilan pengelolaan teh di kedua subsistem ini.
Sementara itu lingkungan eksternal terdiri dari subsistem hulu, industri teh
olahan, subsistem pemasaran, subsisem jasa penunjang, faktor alam, lingkungan
makro serta kekuatan sosial ekonomi politik di lingkungan global.
4.4.3 Arsitektur Strategik
Strategi yang telah dirumuskan berdasarkan Analisis SWOT, selanjutnya
dipetakan ke dalam suatu arsitektur strategik. Arsitektur strategik bermanfaat bagi
perusahaan (dalam hal ini agribisnis teh Indonesia) untuk merumuskan strateginya
ke dalam kanvas rencana untuk meraih visi dan misi8. Teknik penyusunan
arsitektur strategik tidak memiliki aturan baku. Gambar arsitektur strategik
merupakan suatu penggabungan kreativitas dengan hasil strategi yang diperoleh
dari tahap pengambilan keputusan.
Arsitektur strategik menunjukkan adanya hubungan antara satu strategi
dengan strategi lainnya, dimana implementasi satu strategi sangat mempengaruhi
implementasi strategi lainnya. Pemetaan strategi ke dalam kanvas arsitektur
strategik menjelaskan time-frame implementasi dari masing-masing strategi dalam
periode waktu tertentu.
8 Tim Dosen Mata Kuliah Strategi Kebijakan Bisnis. 2010. Handout Mata Kuliah Strategi
Kebijakan Bisnis. Departemen Agribisnis, FEM, IPB (tidak dipublikasikan).
33
Kekuatan Ekonomi dan Sosial Politik Global/Internasional
Lingkungan Makro
Subsistem Penunjang : ‐ Kebijakan
Pemerintah ‐ Lembaga keuangan ‐ Lembaga penelitian ‐ Kelembagaan sosial ‐ Pemerintah ‐ Asosiasi perdagangan
Subsistem Hulu : ‐ Industri pupuk &
obat-obatan ‐ Usaha
pembibitan ‐ Pemasok mesin
dan peralatan pertanian
Faktor Fisik dan Infrastuktur : ‐ Tanah, air, udara,
matahari, hewan dan vegetasi, iklim
‐ Lingkungan buatan manusia
Lingkungan Mikro
Kegiatan On farm ( petani teh)
Industri Pengolahan Teh
Industri Besar (Negara, Swasta)
Industri Kecil (Rakyat)
Industri Makanan dan Minuman Berbasis Teh
(ready to drink tea,tea bag, dll)
Industri Kosmetika
dan Farmasi
Sektor Jasa (Restoran,
Hotel, Spa, dsb)
Home
industry
Konsumen Rumah Tangga Akhir
Keterangan :
Pihak Internal : Lingkungan Mikro (Kegiatan Budidaya dan Industri Pengolahan Teh Curah)
Pihak Eksternal : Lingkungan Makro dan Lingkungan Global
Gambar 5. Ruang Lingkup Sistem Agribisnis Teh
34
V SISTEM AGRIBISNIS TEH INDONESIA
5.1 Perdagangan Teh Dunia
Teh merupakan minuman terfavorit kedua di dunia setelah air putih9.
Masyarakat dunia gemar minum teh karena cita rasa, aroma serta warna air
seduhannya. Selain sebagai penghilang dahaga, teh merupakan bagian dari budaya
yang tak terpisahkan di sejumlah negara. Di tengah proses modernisasi, beberapa
dari nilai-nilai budaya tersebut masih terasa hingga kini, karena itu bagi negara-
negara tertentu seperti Inggris, Cina maupun Jepang, teh merupakan minuman
istimewa yang lebih dari sekedar minuman.
5.1.1 Produksi dan Konsumsi Teh Dunia
Negara-negara produsen teh dunia didominasi oleh negara-negara di
kawasan Asia, seperti India, Bangladesh, Sri Langka, Cina, Indonesia, Taiwan,
Iran, Jepang, Korea dan beberapa negara lainnya. Bahkan beberapa negara seperti
Cina dan India merupakan produsen teh terbesar di dunia. Cina mampu
menghasilkan sebanyak 1.200.000 ton teh pada tahun 2008, sementara India
mampu menghasilkan 980.818 ton pada tahun yang sama. Cina dan India
berkontribusi sekitar 31,5 persen dan 25 persen dari total produksi teh dunia.
Selain Cina dan India, negara penghasil teh lainnya adalah Kenya, Sri Langka,
Vietnam, Turki, Indonesia, Jepang, Argentina dan Bangladesh. Berbeda dengan
Cina dan India, negara-negara tersebut umumnya hanya memproduksi teh dalam
persentase yang kecil (di bawah 10 persen), akibatnya beberapa negara seperti
Indonesia hanya berperan sebagai market follower.
Selain sebagai produsen, Cina dan India juga merupakan konsumen teh
terbesar di dunia, tingginya volume konsumsi kedua negara tersebut juga
didorong oleh jumlah populasi penduduknya. Dilihat dari porsi produksi dan
konsumsinya, kedua negara ini merupakan negara yang memiliki peran penting
dalam perdagangan teh dunia. Cina dan India berkontribusi dalam separuh
kegiatan perdagangan teh dunia.
9 Sustainable Tea dalam http://www.unileverme.com/sustainability/environment/agriculture/
sustainable_tea/sustainabletea.aspx [Diakses pada 26 April 2011]
35
Pada tahun 2008, produksi teh dunia sebesar 3.804.190 ton lebih besar
dibandingkan dengan konsumsi teh dunia yang hanya mencapai 3.658.000 ton.
Hal tersebut mengindikasikan terjadinya kondisi over supply di pasar teh dunia.
Kecenderungan over supply ini telah terjadi sejak tahun 1999. Kondisi over
supply yang terjadi di pasar teh internasional menyebabkan harga teh di beberapa
negara rendah. Namun demikian, kondisi ini tidak mempengaruhi konsumsi teh di
beberapa negara tertentu seperti Cina, India, Rusia, Jepang, Turki, Inggris dan
Amerika yang tetap tinggi sepanjang tahun.
Tabel 5. Negara-Negara Produsen dan Konsumen Teh Dunia Tahun 2008
No. Negara Produksi (000 Ton) Negara Konsumsi
(000 Ton) 1 Cina 1.200 Cina 872 2 India 981 India 798 3 Kenya 346 Rusia 175 4 Sri Langka 319 Jepang 134 5 Vietnam 166 Turki 134 6 Turki 155 Inggris 130 7 Indonesia 137 Amerika 117 8 Jepang 93 Mesir 104 9 Argentina 72 Pakistan 99 10 Bangladesh 58 CIS* 79 11 Lainnya 277 Lainnya 1.016 12 TOTAL 3.804 TOTAL 3.658
*Commonwealth of Independent States Sumber : ITC (2009)
5.1.2 Ekspor dan Impor Teh Dunia
Jumlah ekspor teh dunia mencapai 43 persen dari total produksi teh dunia.
Sepuluh eksportir teh terbesar di dunia adalah Kenya, Sri Langka Cina, India,
Vietnam, Indonesia, Argentina, Uganda, Malawi dan Tanzania. Kenya merupakan
pemilik pangsa ekspor terbesar dengan volume ekspor mencapai 388.444 ton atau
sekitar 23,4 persen dari total ekspor teh dunia pada tahun 2008. Jumlah ekspor
suatu negara dipengaruhi oleh jumlah konsumsi teh di negara tersebut. Cina dan
India merupakan dua produsen teh terbesar di dunia. Namun, tingginya tingkat
konsumsi teh domestik di kedua negara tersebut ternyata mempengaruhi jumlah
ekspor teh yang dilakukan. Berbeda dengan beberapa produsen seperti Kenya, Sri
Langka, Vietnam dan Indonesia yang tingkat konsumsi domestiknya masih
36
rendah, sehingga mayoritas teh yang dihasilkan diekspor untuk memenuhi
kebutuhan pasar internasional.
Diantara seluruh eksportir teh dunia, Kenya dan Sri Langka merupakan
dua negara pesaing terdekat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan produk yang
diekspor Kenya (teh hitam CTC10) dan Sri Langka (teh hitam orthodox11) juga
merupakan produk yang diekspor oleh Indonesia dan memiliki kemiripan produk
yang cukup dekat. Kesamaan produk yang ditawarkan serta kesamaan tujuan
ekspor12 menyebabkan munculnya perebutan pangsa pasar diantara ketiga negara
tersebut. Namun, karena volume yang ditawarkan Kenya dan Sri Langka lebih
besar, maka Indonesia cenderung tidak memiliki daya tawar tinggi terhadap harga
(market follower).
Tabel 6. Negara-Negara Eksportir dan Importir Teh Dunia (2008)
No. Negara Volume Ekspor (Ton) Negara Volume Impor
(Ton) 1 Kenya 388.444 Rusia 175.0002 Sri Langka 297.469 Inggris 129.7593 Cina 296.935 Amerika 116.7494 India 193.000 Mesir 104.0005 Vietnam 104.000 Pakistan 99.1166 Indonesia 96.210 Dubai 60.0007 Argentina 77.228 Iran 58.0008 Uganda 42.385 Maroko 48.2009 Malawi 40.069 Jepang 43.10710 Tanzania 24.766 Afghanistan 39.00011 Lainnya 77.429 Lainnya 658.96912 TOTAL 1.637.935 TOTAL 1.531.900
Sumber : ITC (2009)
10 CTC atau Curling Tearing Crushing merupakan salah satu proses pengolahan teh dengan cara
fermentasi. Teh yang dihasilkan melalui proses ini memiliki tekstur yang lebih halus dan umumnya digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan teh celup. Saat ini, CTC merupakan teknik pengolahan baru yang mulai banyak diterapkan oleh pabrik-pabrik pengolah teh curah di Indonesia, karena permintaan akan teh celup cenderung meningkat (PPTK 2006).
11 Orthodox juga merupakan salah satu dari proses pengolahan teh secara fermentasi. Sebagian besar teh hitam di Indonesia diolah melalui proses ini, karena itu pula Indonesia dikenal sebagai produsen teh hitam orthodox oleh sebagian konsumennya.. Teh hitam orthodox umumnya memiliki kepekatan yang tinggi dan rasa lebih pahit.
12 Teh CTC hasil Kenya mayoritas diekspor ke beberapa negara seperti Mesir (99.638 ton), Inggris (69.211 ton) dan Pakistan (61.299 ton). Sementara Sri Langka, mengekspor teh hitam orthodoxnya ke beberapa negara seperti Rusia (43.896 ton), Iran (31.027 ton) dan Syria (26.114 ton). Sedangkan Indonesia yang juga memproduksi teh CTC dan Orthodox menjual sebagian besar produknya ke pasar Rusia (15.882 ton), Pakistan (12.365 ton) dan Inggris (9.051 ton).
37
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008Jakarta 105.27 119.53 96.68 101.11 95.49 102.22 103.73 134.04 132.92 150.98Kolombo 114.96 135.06 143.54 148.66 148.32 180.18 184.42 197.29 277.7 305.55Mombasa 178 202 153 149 154 155 147 193 166 218
0
50
100
150
200
250
300
350
US
$ c
/Kg
Keterangan : Jakarta (Jakarta Tea Auction, Indonesia) Mombasa (Mombasa Tea Auction, Kenya) Kolombo (Colombo Tea Auction, Sri Langka)
Gambar 6. Perkembangan Harga Rata-Rata Teh Indonesia, Sri Langka dan Kenya Tahun 1999-2008 Sumber : ITC (2009)
5.2 Sistem Agribisnis Teh Indonesia
5.2.1 Subsistem Hulu
1. Usaha Pembibitan Tanaman Teh
Kegiatan budidaya tanaman teh dimulai dengan penanaman biji teh
ataupun penanaman stek daun teh. Pada perkebunan teh yang berasal dari biji,
umumnya biji diperoleh dari kebun-kebun biji yang dikelola secara khusus.
Kebun-kebun yang secara khusus menyediakan biji teh diantaranya berada di
Gambung dan Pasar Sarongge, Bandung, Jawa Barat. Selain kebun biji tersebut,
terdapat pula kebun-kebun biji milik PT. Perkebunan Nusantara atau swasta.
Penggunaan biji dari PT. Perkebunan Nusantara maupun swasta tersebut dapat
dianjurkan sebagai sumber penghasil biji apabila biji yang dihasilkan memiliki
komposisi klon serupa dengan komposisi yang serupa dengan komposisi pada
Tabel 7.
38
Selain itu, bahan tanaman teh juga dapat berupa klon-klon yang telah
dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) di Gambung, Bandung.
Klon-klon yang telah dilepas diantaranya TRI 2024, TRI 2025, Kiara 8, SA 35,
RB 1 dan RB 3. Hingga saat ini, klon-klon terbaru yang dilepas PPTK antara lain
GMB 1, GMB 2, GMB 3, GMB 4, GMB 5, GMB 6, GMB 7, GMB 8, GMB 9,
GMB 10 dan GMB 11. Setiap klon diciptakan dengan karakteristik yang berbeda-
beda sesuai dengan kebutuhan petani yang tersebar di berbagai kondisi lahan yang
berbeda-beda.
Tabel 7. Kebun Biji (KB) yang Menghasilkan Turunan Cukup Baik dan Dapat Digunakan sebagai Sumber Penghasil Biji
No KB Lokasi Komposisi Klon KB 2 Gambung PS 125, Mal 2, KP 4, Cin 143 KB 5 Pasir Sarongge PG 18, Mal KB 7 Pasir Sarongge Cin 51, Cin 53, Cin 54, Cin 55, Cin 56 KB 8 Pasir Sarongge PS 1, KP 4, PS 324, Mal 2, SA 40 KB 9 Pasir Sarongge PS 125, Cin 143, Kiara 8 KB 11 Pasir Sarongge TRI 2024, TRI 2025, TRI 777, PS 1, Kiara 8Sumber : PPTK (2006)
Tabel 8 menjelaskan tentang karakteristik klon seri GMB 1 hingga GMB
5. Seri GMB 1-5 yang dilepaskan oleh PPTK pada tahun 1988 seharusnya mampu
menghasilkan lebih dari 3.500 kg/ha/tahun teh kering, namun volume produksi
yang terjadi di lapangan ternyata masih berada jauh di bawah 3.500 kg/ha/tahun.
Untuk memperoleh produksi dan kualitas yang tepat dan sesuai harapan, jumlah
klon yang ditanam hendaknya terdiri dari 3-5 klon. Selain itu petani juga perlu
memperhatikan penanaman dan pemeliharaan di lapangan, termasuk pengendalian
hama penyakit, pemberian pupuk, maupun antisipasi perubahan cuaca. Sedangkan
klon GMB 6 hingga GMB 11 merupakan klon yang dilepas oleh PPTK pada
bulan Oktober 1998 dengan potensi produksi dapat mencapai lebih dari 5.000 kg
kering/ha/tahun.
Penggunaan klon teh unggul saat ini telah banyak digunakan di
perkebunan-perkebunan teh. Klon adalah tanaman yang diperoleh dari hasil
pengembangan vegetatif atau aseksual. Mulanya penggunaan klon ini hanya
diterapkan pada perkebunan-perkebunan teh besar, namun kini penggunaannya
telah menyebar luas hampir ke seluruh perkebunan teh di Indonesia. Kegiatan
39
penelitian dan penyebaran klon-klon unggulan dilakukan oleh Pusat Penelitian
Teh dan Kina di bawah PT. Riset Perkebunan Nusantara. Pemerintah melalui
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) juga
memberikan dukungan pengawasan dan penyebaran teknologi bagi tanaman
perkebunan, termasuk teh. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman
Perkebunan ini terbagi menjadi 3 unit kerja yang terletak di tiga wilayah yang
berbeda, yaitu Surabaya, Medan dan Ambon.
Tabel 8. Stek atau Klon Tanaman Teh yang Dikeluarkan PPTK
Jenis Klon/Stek Kisaran Hasil (Kg/Ha/Tahun) Keterangan
GMB 1 1.939 • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Pertumbuhan tunas-tunas setelah
dipangkas cepat • Rentan terhadap hama, namun tahan
terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau
GMB 2 2.151 GMB 3 1.839
GMB 4 2.107 • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Golongan : Sinensis • Pertumbuhan tunas-tunas setelah
dipangkas sedang • Rentan terhadap hama, namun tahan
terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau
GMB 5 2.107 • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Golongan : Sinensis • Pertumbuhan tunas-tunas setelah
dipangkas cepat • Rentan terhadap hama, namun tahan
terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau dan teh hitam
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam BPS (2010)
2. Industri Agrootomotif
Peranan industri agrootomotif terhadap kegiatan agribisnis teh sangatlah
penting. Ketersediaan sarana transportasi sangat mempengaruhi kelancaran
seluruh kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran teh. Lokasi perkebunan
yang tersebar di berbagai penjuru wilayah, dan umumnya berada di daerah
pegunungan, mutlak didukung oleh sarana transportasi seperti mobil pengangkut,
truk, motor, serta jenis kendaraan lainnya. Wilayah perkebunan yang luas dan
40
terbagi menjadi banyak blok membutuhkan akses transportasi yang baik. Selain
itu, pasar teh Indonesia yang sebagian besar merupakan pasar internasional juga
perlu didukung oleh industri perkapalan dan maskapai penerbangan yang dapat
menjamin kelancaran distribusi teh ke luar negeri.
3. Industri Agrokimia
Industri agrokimia memiliki peranan penting dalam kegiatan produksi teh.
Produk yang dihasilkan terutama adalah pupuk dan obat-obatan bagi tanaman teh.
Jenis pupuk kimia yang digunakan dalam kegiatan budidaya teh adalah Urea,
KCl, Za dan TSP. Selain penggunaan pupuk kimia, produsen pucuk juga
menggunakan pupuk daun (hayati) yang bertujuan untuk merangsang
pertumbuhan pucuk. Sedangkan jenis obat-obatan yang umumnya digunakan
adalah insektisida, fungisida, herbisida, alkanisida, dan beberapa jenis obat-obatan
lainnya.
Dalam anggaran biaya kebun, biaya tertinggi umumnya berasal dari biaya
pemenuhan pupuk dan obat-obatan. Persentase anggaran biaya untuk input
berkisar antara 10-40 persen dari total biaya perawatan kebun, bahkan dapat
mencapai 50 persen dari total cost13. Besarnya alokasi anggaran bagi pupuk dan
obat-obatan ini dikarenakan sifat tanaman teh yang sangat sensitif terhadap
perubahan cuaca dan hama penyakit, sehingga memerlukan perawatan dan
pengendalian yang intensif untuk mempertahankan produksi pucuk. Hingga kini,
pemerintah bersama lembaga penelitian tanaman perkebunan tengah
mensosialisasikan penerapan teknologi tepat guna sebagai alternatif penggunaan
pupuk dan obat-obatan kimiawi yang harganya tinggi, yaitu dengan penggunaan
pupuk kompos yang memberdayakan sumberdaya alam di sekitar perkebunan
serta penggunaan pestisida dan insektisida nabati untuk mengurangi biaya
produksi teh.
Pupuk yang beredar di kalangan produsen terbagi menjadi dua, yaitu
pupuk subsidi dan pupuk non-subsidi. Pupuk subsidi umumnya ditujukan bagi
13 - Laporan Kebun PTPN VIII, Kebun Cisaruni periode Desember 2010, - Hasil wawancara Mandor I Tanaman PT. Sumbersari Bumi Pakuan, Perkebunan Ciliwung [30
April 2011], dan - Susila Wayan R, Bambang Dradjat. 2005. Kebijakan Subsidi Pupuk pada Subsektor
PerkebunanDampak dan Pengelolaan. http://www.ipard.com/art_perkebun/090808a_wr.asp [Diakses pada 8 Februari 2011]
41
petani teh rakyat, sedangkan perusahaan swasta dan negara tidak berhak untuk
mendapatkan pupuk bersubsidi. Meskipun demikian, pemberian subsidi pupuk
yang dilakukan oleh pemerintah lebih diutamakan untuk kegiatan usahatani yang
mengembangkan komoditas tanaman pangan, seperti padi, jagung dan kedelai.
Sedangkan pupuk non-subsidi merupakan pupuk yang dijual bebas dan dapat
diakses secara umum. Beberapa perusahaan swasta maupun BUMN yang
bergerak pada industri agrokimia ini diantaranya PT Sinartani, PT Petrokimia, PT
Sriwijaya, PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk Kujang, PT Bio Industri Nusantara (PT
Bionusa), dan beberapa perusahaan besar lainnya.
4. Industri Agromekanik
Industri agromekanik berperan sebagai pemasok alat-alat pertanian yang
digunakan saat berkebun hingga pengolahan. Dalam kegiatan produksi teh di
Indonesia, umumnya penggunaan teknologi mekanik lebih banyak digunakan
pada saat proses pengolahan. Hampir 70 persen penggunaan mesin ataupun
teknologi mekanik dimulai pada saat pucuk dari perkebunan diangkut menuju
pabrik pengolahan hingga diproses menjadi produk teh lanjutan.
Mesin-mesin yang digunakan dalam kegiatan perkebunan teh umumnya
berupa alat pemangkas mekanik, mesin penyemprot hama, mesin blower dan
beberapa peralatan mekanik lainnya. Namun penggunaan alat mekanik dalam
kegiatan perkebunan umumnya masih terbatas, terutama di kalangan petani
rakyat. Petani rakyat lebih memilih melakukan berbagai tahapan berkebun teh
secara manual, karena biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dan umumnya
luas area petani rata-rata hanya 2-3 hektar sehingga mereka lebih memilih
melakukan perawatan secara manual.
Mesin yang digunakan dalam proses pengolahan teh biasanya terdiri dari
mesin pelayuan, alat penggulung (open top roller, baruah continuous tea roller,
barbora conditioner roller), mesin penggiling (press cap roller, rotorvane), mesin
sortasi bubuk basah (rotary ball breaker), mesin pengering (endless chain
pressure, fluid bed dryer) dan alat pengemasan. Umumnya mesin-mesin yang
digunakan dalam pabrik pengolahan teh merupakan mesin impor dari Jepang, atau
mesin yang dirakit di Indonesia. Terkait dengan pengadaan mesin dan bahan baku
42
kemasan, tarif impor mesin dan bahan baku kemasan merupakan salah satu
komponen biaya yang cukup tinggi dalam mempengaruhi biaya produksi.
5.2.2 Subsistem Usahatani Teh
Indonesia merupakan negara dengan wilayah perkebunan teh terluas
kelima di dunia setelah Cina, India, Sri Langka dan Kenya (ITC 2009). Namun,
selama satu dekade terakhir, luas area perkebunan ini justru terus mengalami
penurunan. Sejak tahun 2000 hingga 2009, telah terjadi pengurangan luas area
perkebunan teh sebesar 2,18 persen setiap tahunnya. Hal ini mempengaruhi
volume produksi teh nasional. Pada tahun 2009, volume produksi teh nasional
sebesar 156.901 ton, atau lebih rendah 1,86 persen dari tahun sebelumnya.
Penurunan luas area perkebunan teh dipicu oleh rendahnya pendapatan yang
diterima produsen akibat dari rendahnya harga teh yang diterima. Hal tersebut
menyebabkan gairah produsen untuk membudidayakan teh menurun, sehingga
konversi lahan merupakan salah satu alternatif untuk memperoleh keuntungan.
Tabel 9. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Teh Nasional Tahun 1999-2010
Tahun Luas Areal (Ha) Jumlah Produksi (Ton)
Produktivitas (kg/Ha) TBM TM TTM/TR
2000 23.898 114.491 15.285 153.675 162.587 1.4202001 29.550 109.497 11.825 150.872 166.868 1.5242002 25.839 112.415 12.453 150.707 165.194 1.4702003 13.439 121.339 8.826 143.604 169.821 1.4002004 12.291 115.156 16.518 143.965 167.136 1.4512005 9.105 114.404 17.029 140.538 167.276 1.4622006 8.730 111.055 15.806 135.591 146.847 1.3222007 7.422 110.524 15.787 133.733 150.223 1.3602008 5.425 106.393 15.894 127.712 153.971 1.4472009* 4.941 105.600 16.870 127.411 151.250 1.4322010** 5.517 105.168 16.699 127.384 149.764 1.434* sementara ** estimasi
Sumber : Dirjenbun (2010)
Tabel 9 menunjukkan luas area perkebunan teh Indonesia berdasarkan
kondisi tanaman. Luas area tanaman belum menghasilkan (TBM) merupakan luas
area perkebunan yang belum diambil produksinya dikarenakan tanaman teh masih
muda atau baru saja dilakukan peremajaan. Areal tanaman menghasilkan (TM)
menunjukan luas area perkebunan teh yang berproduksi secara aktif dalam
43
setahun. Sedangkan areal tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak (TTM/TR)
menggambarkan area perkebunan yang rusak ataupun tidak berproduksi karena
sudah sangat tua atau terserang hama penyakit yang sangat parah.
Tabel 9 menjelaskan bahwa luas area TM teh di Indonesia sejak tahun
2003 terus mengalami penurunan. Namun demikian, luas area TM cenderung
terus menurun, persantase terhadap areal perkebunan total tidak selalu menurun.
Pada tahun 2007-2008, luas area perkebunan total mengalami penurunan sebesar
4,5 persen, namun persentase luas area TM periode tersebut meningkat sebesar
0,7 persen. Peningkatan luas area TM saat itu diikuti pula oleh peningkatan
volume produksi nasional dan produktivitas teh nasional.
Berdasarkan tipe kepemilikannya, perkebunan teh di Indonesia terbagi
menjadi tiga tipe, yaitu perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN)
dan perkebunan besar swasta (PBS). Ketiga tipe perkebunan tersebut memiliki ciri
dan karakternya masing-masing. Namun, hingga saat ini belum ada integrasi yang
baik diantara ketiganya. Hingga tahun 2009, perkebunan rakyat merupakan
perkebunan teh dengan luas area terbesar dibandingkan dengan tipe kepemilikan
kebun lainnya. Luas areal perkebunan rakyat pada tahun 2009 mencapai 57.126
hektar atau sebesar 46,25 persen dari total luas perkebunan teh di Indonesia.
Sementara PBN dan PBS hanya memiliki luas perkebunan seluas 38.564 hektar
dan 27.816 hektar atau sekitar 31,2 persen dan 22,55 persen.
Tabel 10. Luas Areal dan Produksi Teh Berdasarkan Tipe Pengusahaan Tahun 2000-2010
Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) PR PBN PBS PR PBN PBS
2000 67.100 44.263 42.313 39.466 84.132 38.989 2001 67.580 44.554 38.738 40.160 86.207 40.500 2002 66.289 44.608 39.810 44.773 80.426 39.995 2003 64.742 41.988 36.874 47.079 82.082 40.660 2004 61.902 44.768 35.878 40.200 89.303 36.448 2005 60.771 44.066 34.284 37.746 89.959 38.386 2006 60.990 46.661 27.939 37.355 81.847 27.657 2007 60.948 42.579 30.207 38.937 80.274 31.012 2008 60.539 38.946 28.227 38.593 78.354 37.024 2009 57.126 38.564 27.816 45.239 75.451 36.211 2010* 56.264 40.158 28.151 34.788 79.040 36.514
*Angka sementara Sumber : BPS (2010)
44
Meskipun PR memiliki persantase luas area terbesar dibandingkan dengan
perkebunan teh lainnya, namun PR belum mampu memberikan hasil produksi
yang memuaskan baik dari sisi volume maupun kualitasnya. Pada tahun 2009,
perkebunan teh rakyat hanya mampu memproduksi teh sebesar 45.239 ton, sangat
jauh dibawah hasil produksi dari perkebunan teh negara yang mencapai 75.451
ton (Tabel 10). Produktivitas PR hanya 791,9 kg/ha jauh dibawah produktivitas
perkebunan negara dan perkebunan swasta yaitu sebesar 1.956,5 kg/ha dan
1.301,8 kg/ha.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, meskipun memiliki luas area
terbesar diantara dua tipe perkebunan lainnya, produktivitas PR justru merupakan
yang terendah. Dalam penelitiannya Rosyadi (1987) dalam Rosyadi et al (2003)
menyatakan bahwa petani teh Indonesia pada umumnya memiliki ciri-ciri yang
berdampak pada bargaining position yang rendah. Beberapa ciri petani teh rakyat
Indonesia antara lain :
a. Luas kepemilikan lahan sempit antara 0,1-3 hektar, tersebar saprodis pada
wilayah-wilayah yang umumnya terpencil.
b. Pengelolaan kebun umumnya polikultur.
c. Pucuk teh yang dihasilkan umumnya perishable (mudah rusak).
d. Umumnya petani tidak memiliki unit pengolahan pucuk, sehingga harga
pucuk ditentukan oleh pihak pembeli (pemilik pabrik pengolah, atau pedagang
pengumpul).
e. Modal yang dimiliki relatif kecil, dan hasil usahatani umumnya bukan satu-
satunya sumber pendapatan.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi petani teh, dibutuhkan
kerjasama dari banyak pihak. Pola seperti program Unit Desa, Perkebunan Inti
Rakyat (PIR), dan Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP)14 merupakan beberapa
14 Pola Unit Desa merupakan program yang menggerakan banyak pihak dalam satu desa seperti
penyuluh yang berperan dalam penyampaian informasi dan memberikan pengarahan kepada petani di kebun, lembaga keuangan seperti BRI Unit Desa yang berperan dalam membantu persoalan permodalan dan koperasi sebagai lembaga penyedia dan penyalur sarana pertanian, dan wadah pengolahan hasil kebun dengan kerjasama bersama perusahaan tertentu.
Pola UPP merupakan program pembinaan dan pengembangan koperasi dan diharapkan dalam jangka panjang keseluruhan fungsi dapat dilaksanakan sendiri. Pihak-pihak yang terlibat dalam program ini diantaranya unit petugas pelaksana proyek yang bekerjasama dengan koperasi.
Pola PIR merupaka pola yang diterapkan dengan menjalin kerjasama dengan perusahaan negeri maupun swasta, dimana fungsi penyuluhan, penularan teknologi, penyaluran kredit,
45
program yang telah dilaksanakan untuk membantu memecahkan permasalahan
petani. Disinilah perkebunan besar milik negara maupun swasta dituntut untuk
lebih peduli terhadap nasib dari perkebunan teh rakyat (Nazaruddin dan Paimin
1993).
Tabel 11. Karakteristik Umum Produsen Teh di Indonesia Berdasarkan Tipe Kepemilikan Usaha
No. Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta
1 Luas area perkebunan mencapai 46,25 persen
Luas areal perkebunan mencapai 31,2 persen
Luas areal perkebunan mencapai 22,55 persen
2 Produksi mencapai 45.239 ton
Produksi mencapai 75.451 ton
Produksi mencapai 36.211 ton
3 Produktivitas mencapai 791,9 kg/ha
Produktivitas mencapai 1.959,5 kg/ha
Produktivitas mencapai 1.301,8 kg/ha
4 Luas lahan umumnya sempit, antara 0,1-3 ha
Luas lahan dapat mencapai ribuan hektar
Luas lahan dapat mencapai ribuan hektar
5 Akses terhadap modal sulit
Akses terhadap modal lebih mudah
Akses terhadap modal lebih mudah
6 Tidak dilengkapi oleh unit pengolahan pucuk
Umumnya telah memiliki unit pengolahan pucuk sendiri
Umumnya telah memiliki unit pengolahan pucuk sendiri
7 Mayoritas teh yang dihasilkan teh hijau
Mayoritas teh yang dihasilkan teh hitam
Menghasilkan teh hitam dan teh hijau
8 Orientasi pasar domestik Orientasi pasar ekspor Orientasi pasar
domestik dan ekspor
Perkebunan besar negara (PBN) atau PT Perkebunan Nusantara,
merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengusahakan berbagai
macam komoditas perkebunan seperti teh, kakao, kopi, kina, kelapa sawit dan
karet. Dari seluruh PTPN yang ada, PTPN yang mengusahakan komoditas teh
adalah PTPN IV, VI, VII, VIII, IX dan XII. Dimana PTPN VIII merupakan
penghasil teh terbesar di Indonesia dengan hasil produksinya mencapai 45 persen
dari total produksi teh nasional, dan tersebar ke dalam 24 perkebunan yang ada di
daerah Jawa Barat dan Banten15. Apabila dibandingkan dengan jenis
pengolahan hasil maupun fungsi pemasaran dilaksanakan oleh perusahaan. Sebagai timbal baliknya, kebun plasma membantu perusahaan dalam meningkatkan produksi (Nazaruddin dan Paimin 1993)
15 PTPN 8. Tea Products Catalogue. 2009
46
kepengusahaan lainnya, PBN telah memiliki kedekatan yang cukup baik antara
seluruh pihak di setiap subsistemnya.
Selain PR dan PBN, perkebunan teh di Indonesia juga diramaikan oleh
perkebunan-perkebunan besar miliki swasta. PBS di Indonesia umumnya lebih
fleksibel dalam menetapkan keputusan. Berbeda dengan PBN yang memiliki
tanggung jawab kepada PTPN pusat, perkebunan swasta sepenuhnya diatur dan
dijalankan berdasarkan peraturan perusahaan. Meskipun demikian, PBS juga tidak
luput dari penurunan luas area. Selama sepuluh tahun, PBS telah mengalami
penurunan luas area terbesar dibandingkan dengan PR ataupun PBN. Tahun 2010,
luas area PBS telah berkurang sebesar 33,5 persen dibandingkan luasnya pada
tahun 2000. Kenyataan ini menunjukan bahwa stakeholder swasta juga tidak luput
dari efek kurang bergairahnya kondisi teh nasional saat ini, sehingga banyak
perusahaan yang memilih untuk mengganti komoditas atau berhenti
mengusahakan teh.
Dilihat dari komponen biaya yang dibutuhkan, Tabel 12 menggambarkan
analisis usahatani perkebunan teh negara yang memiliki pabrik pengolah teh
sendiri. Pendapatan yang diperoleh oleh produsen dipengaruhi oleh tingkat harga.,
Pada kondisi penjualan pucuk basah dengan harga sebesar Rp 1.300, ternyata
perkebunan Cisaruni Garut ini masih mengalami kerugian sebesar Rp
113.458.172,-. R/C ratio yang diperoleh dari penjualan pucuk basah hanya
mencapai 0,85. Namun, apabila dihitung pendapatannya dengan penjualan daun
kering hasil olahan pabrik, R/C Rationya bernilai 1,502. Ini berarti, usaha
perkebunan teh ini layak apabila ia mengolah tehnya sendiri, kemudian
menjualnya keluar.
47
Tabel 12. Analisis Usahatani Kebun Teh dengan Produk Pucuk Basah dan Daun Kering
No Uraian Jumlah
Luas Area Kebun (Ha) 1.014Produksi Pucuk Basah (Kg) 534.912 Produksi Daun Kering (Kg) 118.664
I. Biaya Tanaman (Rp) • Gaji, Tunj dan Biaya Sosial Karyawan Pimpinan 18.087.513
• Biaya Pemeliharaan Tanaman 349.702.760 • Biaya Panen 363.612.994 • Biaya Pengangkutan 46.700.414 • Tunjangan dan Biaya Sosial Karyawan 7.583.351 • Biaya Penyusutan Tanaman 23.156.710
Total Biaya Tanaman/Ha 808.843.772 Asumsi harga Rp 1.300/kg 695.385.600 R/C Ratio 0,85
II Biaya Pengolahan • Biaya pengolahan/Kg 331.242.546
• Biaya Pemeliharaan Pabrik 56.768.625 • Biaya Pengepakan 85.768.625
Total Biaya Pengolahan 473.409.022 Biaya Pengolahan/Kg 3.989
III HPP Daun Kering (a) 1.282.252.794 HPP Daun Kering/Kg 10.805 1V Penjualan Cent – US$ • First Grade @ 201 cent – US$
(67,84% x 118.664 Kg = 80.502 kg)
16.180.902 • Second Grade @ 146 cent – US$
(26,39% x 118.664 kg = 31.315 kg)
4.571.990 • Off Grade @ 69 cent – US$
(5,77% x 118.664 kg = 6.847 kg)
472.443 Total Penjualan (Cent – US$) 21.225.335
Total Penjualan (Rp)* (b) 1.926.623.658 R/C Ratio Daun Kering 1,502 Pendapatan (b) – (a) 644.370.864
Keterangan : 1 US$ = 100 Cent = Rp 9.077,- pada Desember 2010 Sumber : Laporan Kebun Cisaruni Desember 2010, PTPN VIII (2010) (tidak dipublikasikan)
5.2.3 Subsistem Pengolahan
Setelah melalui proses pemetikan, pucuk teh tidak bisa langsung
dikonsumsi. Pucuk teh tersebut harus melalui tahap pengolahan agar dihasilkan
teh dengan kualitas rasa, aroma dan warna seduhan yang menarik, serta tahan
lama. Berdasarkan teknik pengolahannya, teh dibedakan menjadi dua, yaitu teh
48
yang melalui tahap fermentasi (teh hitam) dan teh yang tidak melalui tahap
fermentasi (teh hijau). Teh hitam yang diproduksi di Indonesia terdiri dari teh
Orthodox dan teh CTC. Perbedaan kedua jenis teh tersebut terletak pada proses
pengolahannya. Produk teh orthodox melalui proses yang lebih rumit dan panjang
dibandingkan CTC. Sedangkan produk teh CTC merupakan salah satu bentuk
diversifikasi produk yang dilakukan oleh produsen teh di Indonesia. Permintaan
teh melalui proses CTC semakin meningkat dari waktu ke waktu menyusul
peningkatan minat konsumen terhadap konsumsi tea bag (teh celup). Sedangkan
teh hijau merupakan produk yang belum diproduksi dalam jumlah banyak.
sebagian besar produksi teh hijau ditujukan untuk pasar domestik, tampak pada
komposisi ekspor teh Indonesia yang didominasi oleh produk teh hitam.
Tabel 13. Spesifikasi Teh berdasarkan Grade
No. Grade Spesifikasi 1 First Grade BOP I SP, BOP I, BOP, BOP F, PF, DUST, BT dan BP 2 Second Grade PF II, DUST II, BT II, BP II, DUST III dan FANN II 3 Off Grade BM dan PLUFF
Sumber : PPTK (2006)
Berdasarkan grade mutunya, teh di Indonesia terbagi menjadi tiga kelas,
yaitu first grade (umumnya disalurkan untuk pasar ekspor), second
grade(umumnya disalurkan untuk pasar domestik) dan off grade (umumnya
disalurkan untuk pasar tradisional domestik). Grade adalah pengklasifikasian
daun teh berdasarkan ukuran dan kondisinya. Tabel 13 memberikan informasi
mengenai spesifikasi dari masing-masing grade.
Selain diolah menjadi minuman, tanaman teh juga dapat diolah dan
dimanfaatkan menjadi produk lainnya. Berbagai bagian dari tanaman teh dimulai
dari akar, batang, daun tua, serat, tangkai daun, aroma, biji teh dapat diolah
menjadi produk sampingan teh. Beberapa produk hasil pengolahan utama dan
sampingan tanaman teh tampak pada Tabel 14. Beberapa produk pada Tabel 14
sudah diproduksi di Indonesia, namun beberapa yang lainnya baru sampai tahap
penelitian. Hasil samping tanaman teh Indonesia umumnya belum ditangani
secara profesional. Banyak produk sampingan teh yang diimpor Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan industri di bidang farmasi, kosmetika, perikanan dan lain-
lain (Purwoto, Suprihatini dan Sudaryanto 1998 diacu dalam Suryatmo 2003).
49
Tabel 14. Produk Olahan Utama dan Sampingan Tanaman Teh
No Asal Bahan Produk dan Kegunaan 1 Pucuk daun muda Teh hitam, teh hijau, teh oolong, teh wangi, ekstrak
kafein, ekstrak katekin, ekstrak flavor, ekstrak instant, kue, mie instant (sebagai bahan campuran), permen teh, jamu, sirup teh, pewarna dan bahan campuran kosmetik.
2 Tangkai, serat (Pluff)
Ekstrak kafein, ekstrak instant, subtitusi teh celup.
3 Daun tua Bahan baku pewarna kain, alas jenazah, mulching (serasah) di kebun teh.
4 Akar/batang Kayu bakar, perlengkapan rumah tangga, media jamur kuping dan Ganoderma, arang aktif.
5. Biji teh Minyak biji teh kandungan rendemennya (18-25 persen) sebagai minyak goring non-kolesterol, ampas saponin berguna untuk membasmi hama udang, pakan ternak dengan kandungan protein ± 11 persen.
Sumber : Suryatmo (2003)
Saat ini, industri teh nasional juga mulai diramaikan dengan kehadiran
produk-produk olahan teh yang semakin beragam. Produk-produk teh hilir yang
beredar di Indonesia misalnya ready to drink tea, tea bag (teh celup), instant tea,
teh wangi, teh buih (tablet effervescent), permen teh, kosmetik, serta obat-obatan.
Perkembangan produk teh hilir ini memberikan dampak positif terutama bagi
peningkatan citra teh di masyarakat sekaligus mendekatkan masyarakat Indonesia
terhadap produk-produk olahan teh. Hal tersebut juga didukung oleh bentuk
kemasan dan promosi yang menarik.
5.2.4 Subsistem Pemasaran
Subsistem pemasaran dalam sistem agribisnis dapat diartikan sebagai
kegiatan penyaluran hasil pertanian dari produsen sampai ke konsumen akhir.
Kegiatan pemasaran ini mencakup tiga fungsi sekaligus, yaitu : (a) fungsi
pertukaran (pembelian, penjualan dan penentuan harga), (b) fungsi fisik
(pembersihan, sortasi, grading, pengemasan, standarisasi, penyimpanan,
pengangkutan) dan (c) fungsi fasilitatif (pendanaan, penanggulangan risiko,
informasi pasar, penciptaan permintaan dan penelitian) (Kriesberg & Steele 1992
dalam Rachman et al. 2002). Berdasarkan definisi di atas, maka sebagian besar
50
fungsi pemasaran untuk komoditas teh telah dimulai sejak pucuk teh hasil petikan
diserahkan oleh buruh petik untuk diolah ke pabrik pengolahan.
Berdasarkan hasil observasi lapang dan literatur, umumnya pabrik
pengolah teh curah di Indonesia memperoleh bahan baku pucuknya melalui
setidaknya empat cara, yaitu langsung dari kebun sendiri, membeli sebagian atau
seluruhnya dari pihak luar, diperoleh dari kebun mitra dan diperoleh dari hasil
pertukaran antar kebun dalam perusahaan yang sama. Proses penentuan harga
umumnya ditentukan berdasarkan kontrak yang telah disepakati atau berdasarkan
proses tawar-menawar di kebun.
Fungsi selanjutnya yaitu fungsi pengolahan, merupakan kegiatan produksi
yang berlangsung di pabrik. Bahan baku disalurkan ke pabrik untuk diolah. Ada
dua tipe sistem pabrikasi di Indonesia berdasarkan pengolahnnya, yaitu pabrik teh
hitam (CTC dan Orthodox) dan pabrik teh hijau. Pabrik teh hitam umumnya
dimiliki oleh PTPN, sedangkan pabrik teh hijau umumnya dimiliki oleh pabrik
swasta maupun pabrik yang dikelola oleh rakyat. Hal tersebut dikarenakan mesin-
mesin serta proses yang dijalankan untuk memproses teh hitam sangat rumit
apabila dibandingkan dengan mesin dan proses pengolahan teh hijau. Di pabrik,
pucuk diolah lalu dikemas setelah melalui proses standarisasi tertentu. Bagi
beberapa pabrik milik PTPN, mereka melakukan standarisasi berupa pemberian
seritifikasi pada produk olahan mereka, seperti UTZ certificate dan GMP16.
Fungsi lain pemasaran adalah sebagai wadah yang mempertemukan
penjual dan pembeli. Penyaluran produk dari pabrik akan berbeda tergantung
dengan tipe pengusahaannya. PT PN menyalurkan produk teh mereka untuk di
pasarkan melalui PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN). Kantor
tersebut merupakan tempat memasarkan produk teh kepada tea buyer yang berasal
dari berbagai perusahaan baik perusahaan domestik maupun perusahaan asing.
Proses pemasaran teh di PT KPBN dilakukan melalui proses lelang. Tujuan dari
proses lelang ini adalah untuk menghasilkan harga tertinggi dari penawaran yang
16 UTZ Certificate adalah sebuah program dunia yang membangun standar-standar untuk
sumber dan produksi komoditas pertanian yang bertanggung jawab. Sertifikasi ini memberikan jaminan profesional, kualitas sosial dan lingkungan dalam praktek-praktek produksi seperti merek dan harapan konsumen. Sementara GMP (Good Manufacturing Practices) menjamin produk dari proses produksi yang aman, sesuai prosedur dan ramah lingkungan.
51
ada, serta mempermudah akses pembeli dalam menentukan teh yang mereka
inginkan. Namun, selain melalui lelang (auction), PT KPBN juga melayani
pemesanan teh dalam bentuk private offer meskipun jumlahnya masih lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah yang diperdagangkan melalui lelang. Sedangkan
untuk pabrik milik swasta dan rakyat perdagangan teh umumnya dilakukan secara
langsung, artinya melalui proses jual-beli biasa dan proses lelang di Bandung Tea
Auction (tapi sekarang sudah tidak aktif lagi).
PT KPBN seperti yang akan dijelaskan pada subbab berikutnya
merupakan lembaga pemasaran milik PT PN yang telah berubah menjadi
perseroan terbatas sejak tahun 2010. Selain sebagai fasilitator, fungsi PT KPBN
juga merangkap sebagai pengontrol kualitas dari teh yang dihasilkan PT PN,
pencari informasi pasar, terutama informasi untuk mengembangkan pasar lain di
luar negeri, dan beberapa fungsi pemasaran lainnya. Pembentukan harga yang
terjadi di PT KPBN juga merupakan acuan bagi harga teh nasional. Berdasarkan
uraian di atas, maka aliran perdagangan teh di Indonesia dapat digambarkan
seperti pada Gambar 7.
* Khusus PT Perkebunan Nusantara
Gambar 7. Jalur Tataniaga Teh Indonesia (2010)
Produksi 2009 151. 250 ton
Perkebunan Rakyat 36.350
ton
Perkebunan Besar Negara
78.386 ton
Perkebunan Besar Swasta
34.673 ton
Pabrik Teh Curah (PTPN/ Swasta)
Pengumpul/ Koperasi
Pasar Domestik
PT. KPBN*
Pasar Luar Negeri
Pasar Domestik
Direct Selling
Pasar Luar Negeri
52
5.2.5 Subsistem Jasa dan Penunjang
Kegiatan budidaya tanaman teh telah dikenal sejak lama. Pada masa
penjajahan Belanda, politik tanam paksa (culture stetsel) mengharuskan rakyat
untuk menanam beberapa tanaman perkebunan, salah satunya adalah teh. Saat itu,
Belanda mendirikan sebuah organisasi bernama Algemeene Vereeniging van
Rubbers Planters ter Ooster van Sumatera (AVROS), yang merupakan asosiasi
pengusaha tanaman perkebunan seperti karet, teh, kelapa sawit, gambir dan sisal.
AVROS didirikan dengan tujuan membantu meringankan beban anggotanya
dalam mengatasi masalah-masalah perburuhan, pembibitan serta lahan-lahan yang
diperlukan untuk kemajuan perkebunan17.
Seiring dengan perkembangan agribisnis teh di Indonesia, hingga saat ini,
telah banyak lembaga yang didirikan untuk menunjang dan mendukung kegiatan
agribisnis teh. Kelembagaan tersebut terdiri dari lembaga riset dan
pengembangan, lembaga keuangan, kelompok tani atau koperasi, lembaga
pemasaran, pemerintah serta berbagai asosiasi terkait lainnya.
1. Lembaga Riset dan Pengembangan
Lembaga penelitian bertugas untuk menciptakan berbagai teknologi baru
maupun penyempurnaan teknologi yang sudah ada. Lembaga khusus yang
berperan sebagai lembaga penelitian teh di Indonesia ialah Pusat Penelitian Teh
dan Kina (PPTK) yang terletak di Bandung, Jawa Barat. Lembaga yang berada di
bawah PT. Riset Perkebunan Nusantara ini merupakan lembaga penelitian pusat
bagi komoditas teh di Indonesia. PPTK bertugas mengelola kegiatan inovasi
dalam rangka memajukan bisnis dan industri teh Indonesia. Kegiatan tersebut
diantaranya dilakukan melalui kegiatan penelitian, pengembangan dan jasa
pelayanan kepada para stakeholder (PT Perkebunan Nusantara, perkebunan besar
swasta, perkebunan rakyat, pabrik, serta para pedagang dan eksportir) dan
pemerintah18. Selain PPTK, penelitian terkait teh juga dilakukan oleh lembaga-
lembaga lain yang sifatnya independen (non-pemerintah), seperti perguruan
tinggi.
17 http://royandihts.wordpress.com20100724avros-algemeene-van-vereeniging-rubberplanters-
ter-oostkust-sumatra-organisasi-perkebunan-karet-di-sumatera-timur-1910-1958.com [Diakses pada 31 Maret 2011]
18 www.ritc.or.id [Diakses pada 31 Maret 2011].
53
Lembaga Riset dan Pengembangan Komoditas Teh
Non-Pemerintah Pemerintah melalui Kementrian Pertanian
Badan Litbang Pertanian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Industri
PT Riset Perkebunan Nusantara
Swasta, Perguruan Tinggi
Pusat Penelitian Teh dan Kina
Gambar 8. Lembaga Penelitian Pendukung Agribisnis Teh Indonesia Sumber : Kementrian Pertanian RI dalam www.deptan.go.id [Diakses pada 4
Mei 2010]
2. Lembaga Keuangan Selain lembaga riset dan pengembangan, lembaga lain yang tak kalah
pentingnya dalam pengembangan agribisnis teh di Indonesia adalah lembaga keuangan. Salah satu fungsi utama lembaga keuangan adalah sebagai penyedia kredit bagi usaha atau bisnis teh baik bisnis upstream maupun downstream teh. Lembaga keuangan yang umum dikenal di Indonesia adalah bank dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Namun, peranan perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya hingga saat ini masih dinilai kurang bagi agribisnis Indonesia19. Fasilitas kredit bagi industri yang bergerak di subsistem budidaya masih sulit diperoleh, terutama bagi petani rakyat. Karena itu, dibutuhkan kerjasama antara pengusaha kecil dan pengusaha besar agar proses pengajuan kredit dapat terwujud. Dalam salah satu programnya, pemerintah melalui Dewan Teh Indonesia telah memfasilitasi petani teh dengan dengan menciptakan suatu bentuk kemitraan antara petani teh dengan perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta dalam bentuk
19 Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Bapak Sultoni Arifin [23
Maret 2011]
54
kemitraan, dimana jalinan kemitraan ini pun telah didukung oleh keterlibatan lembaga perbankan.
3. Kelompok Tani atau Koperasi
Kelompok tani atau gabungan kelompok tani merupakan kumpulan orang
yang terdiri dari petani-petani. Petani teh rakyat merupakan sumberdaya manusia
potensial yang belum teroptimalkan potensinya dikarenakan berbagai keterbatasan
akses dan lemahnya bargaining power. Luas area perkebunan teh rakyat yang
mencapai 46,25 persen dari total luas area kebun teh nasional merupakan salah
satu modal untuk meningkatkan produksi tanpa harus meningkatkan luas area.
Karena itu, peranan kelompok tani atau gapoktan sangatlah penting bagi petani di
Indonesia.
Dari beberapa kasus, petani yang tergabung ke dalam kelompok, telah
mampu mengangkat taraf hidupnya melalui perkebunan teh. Kelompok tani
umumnya juga lebih mudah dalam memperoleh binaan baik dari pemerintah
maupun dari pengusaha besar lain, sehingga produksi tehnya dapat ditingkatkan,
bahkan tidak jarang petani rakyat atas nama kelompok tani yang telah melengkapi
produk mereka dengan sertifikasi20.
4. Lembaga Pemasaran
Kegiatan pemasaran teh di Indonesia terbagi menjadi dua jalur, yaitu
kegiatan pemasaran yang melalui PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara atau
jual-beli secara langsung antara penjual dengan pembeli teh. PT Kantor
Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) merupakan lembaga yang khusus
memasarkan produk-produk perkebunan yang dihasilkan oleh PTPN dan PT RPN.
Komoditas yang diperjualbelikan disana salah satunya adalah teh. PT KPBN
sebagai sebuah lembaga pemasaran bagi PTPN menjadi acuan bagi produsen lain
dalam menetapkan standar kualitas produk dan harga teh nasional. Selain sebagai
lembaga pemasaran, PT KPBN juga menjalankan fungsinya dalam quality
control, pencarian informasi pasar, promosi, konsultasi, jasa pergudangan, 20 Azzahra Dina. Indonesia Punya Kebun Teh Rakyat Bersertifikat; Ditargetkan Semua Punya. 31
Maret 2011. www.kabarindo.com/index.php?act=dnews&no=17386 [Diakses pada 12 April 2011].
Solihat Kodar. Meraih Sertifikat, Mendongkrak Citra. 20 Juli 2010. Pikiran Rakyat. http://www.pn8.co.id/pn8/index.php?option=com_content&task=view&id=320&Itemid=2 [Diakses pada 4 Mei 2011].
55
pengapalan, customer service termasuk dalam bantuan penyelesaian klaim. Pada
PT KPBN ini, masing-masing komoditas dikelola oleh direktur pemasaran
komoditas.
5. Asosiasi-Asosiasi
Lembaga lain yang mendukung agribisnis teh di Indonesia diantaranya
adalah asosiasi dari berbagai komunitas teh. Beberapa asosisasi yang telah ada di
Indonesia diantaranya Asosiasi Teh Indonesia (ATI), Asosiasi Petani Teh
Indonesia (APTEHINDO), Koperasi Teh Indonesia, Indonesia Tea Lovers,
Jakarta Tea Buyers Association (JBTA) dan beberapa asosiasi lainnya. Diantara
semuanya, Asosiasi Teh Indonesia merupakan asosiasi teh terbesar di Indonesia,
asosiasi ini terdiri dari pengusaha-pengusaha teh di Indonesia dan beberapa
stakeholder lainnya. ATI juga merupakan asosiasi teh di Indonesia yang diakui
secara internasional. APTEHINDO merupakan asosiasi petani yang berfungsi
mengkoordinasikan kendala-kendala yang dirasakan petani di kebun dengan pihak
pemerintah ataupun pengusaha besar lainnya. Indonesia Tea Lovers merupakan
komunitas pecinta dan peduli teh nasional, komunitas ini juga melakukan kegiatan
promosi teh berupa festival dan bentuk kegiatan lainnya. Sedangkan JBTA
merupakan asosiasi yang mewadahi aspirasi pembeli teh di Jakarta Tea Auction.
Seluruh asosiasi teh di Indonesia merupakan peluang apabila dapat dikelola dan
dimanfaatkan dengan baik sesuai visi-misinya.
6. Pemerintah
Pemerintah membentuk Dewan Teh Indonesia yang dideklarasikan pada
tanggal 19 April 2007 dan dihadiri oleh perwakilan stakeholder teh nasional yang
terdiri dari Asosiasi Petani Teh Indonesia (APTEHINDO), Asosiasi Teh
Indonesia (ATI), Asosiasi Koperasi Teh Indonesia, OPS Teh Wangi, Perusahaan
Negara (BUMD-BUMN), perusahaan swasta, dan pemerintah sebagai regulator
dan fasilitator pembangunan agribisnis teh di Indonesia. Dewan Teh Indonesia
didirikan untuk mengkoordinasikan dan memadukan kepentingan para pelaku
usaha agribisnis teh Indonesia. Bertujuan untuk mempercepat peningkatan
dayasaing teh Indonesia.
56
Salah satu bentuk program yang diperjuangkan oleh Dewan Teh Indonesia
adalah program Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN),
khususnya teh rakyat. Gerakan ini merupakan upaya percepatan peningkatan
kualitas, produktivitas, harga, supply chain dan tingkat pendapatan khususnya di
tingkat petani. Berikut ini adalah poin-poin inti dari program GPATN :
1. Perbaikan Perkebunan Teh rakyat yang terletak di lima provinsi, 21 Kabupaten,
dengan total luas area 57.837 ha yang terbagi menjadi :
a. Peremajaan kebun teh tua dan rusak seluas 14.000 ha;
b. Rehabilitasi kebun teh seluas 20.000 ha; dan
c. Intensifikasi kebun teh seluas 23.837 ha
2. Revitalisasi kelembagaan kelompok tani bagi 103.971 KK (2000 Kelompok
Tani)
3. Penguatan Lembaga Riset Teh
a. Pembangunan 2 unit laboratorium pengujian mutu teh,
b. Pembangunan 15 laboratoriun lapangan, dan
c. Pembangunan 15 stasiun meteorologi di sentra produksi teh rakyat.
4. Penyempurnaan SNI yang mengakomodasi standar-standar yang berlaku di
dunia
5. Pembangunan 15 pabrik teh hijau dan 5 pabrik teh hitam
6. Penguatan lembaga pemasaran (Bandung Tea Auction (BTA) dan Jakarta Tea
Auction (JTA)).
57
VI DAYASAING AGRIBISNIS TEH INDONESIA
Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai kondisi sistem
agribisnis teh Indonesia. Pada bagian ini, penulis akan membahas mengenai
analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia berdasarkan informasi yang telah
dibahas pada bab sebelumnya serta pendalaman pada poin-poin yang termasuk
pada komponen penentu dayasaing Sistem Berlian Porter. Komponen-komponen
tersebut adalah komponen kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan
domestik, dukungan industri terkait dan industri pendukung teh serta kondisi
struktur, strategi dan persaingan yang dihadapi oleh agribisnis teh Indonesia.
Selain itu ditinjau pula sejauh apa peranan pemerintah dan kesempatan-
kesempatan yang ada dalam meningkatkan posisi dayasaing agribisnis teh
Indonesia.
6.1 Analisis Komponen Sistem Berlian Porter
6.1.1 Kondisi Faktor Sumberdaya
1) Sumberdaya Alam atau Fisik
Teh merupakan tanaman yang sangat responsif terhadap perubahan alam.
Kondisi alam yang berubah-ubah akan berpengaruh terhadap kualitas pucuk teh
yang dihasilkan. Karena itu, selalu dibutuhkan sebuah perlakuan khusus untuk
menjaga stabilitas mutu teh. Selain kestabilan kondisi alam, dibutuhkan pula
kemudahan dalam memperoleh input-input pertanian yang mendukung kegiatan
budidaya teh. Seluruh komponen sumberdaya yang dibutuhkan kemudian
dikalkulasikan sehingga dapat dilihat komponen-komponen biaya terkait selama
proses produksi. Komponen lain yang mempengaruhi dayasaing dari segi
sumberdaya alam adalah produktivitas.
a) Syarat, Kondisi dan Luas Lahan
Tanaman teh membutuhkan lingkungan dengan intensitas cahaya 70-80
persen, suhu udara sejuk sampai hangat (12-30°C), kelembaban relatif (RH) 60
persen serta curah hujan sebesar 60mm/bulan (maksimal turun hujan selama 2
bulan, dengan tidak ada bulan yang sama sekali tidak hujan). Elevasi atau
ketinggian tempat tidak menjadi pembatas bagi pertumbuhan tanaman teh,
58
sepanjang iklim dan tanahnya sesuai bagi tanaman teh. Apabila kondisi di atas
dapat terpenuhi, maka tanaman teh akan dapat tumbuh dengan baik.
Kondisi perkebunan teh di Indonesia sangat beragam, letaknya tersebar
pada ketinggian 400-2.200 m di atas permukaan laut dan ditanam pada tanah jenis
andosol, regosol, latosol dan podsolik. Namun, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh PPTK di beberapa perkebunan milik negara (PBN), swasta (PBS)
maupun rakyat (PR), diketahui bahwa kadar bahan organik yang terkandung
dalam tanah perkebunan teh di Indonesia umumnya sangatlah rendah yaitu
sebesar 1-2 persen saja.
Perkebunan teh di Indonesia tersebar pada range ketinggian yang cukup
luas, yaitu 400 – 2.200 m di atas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian
tersebut, wilayah perkebunan teh di Indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Perkebunan daerah rendah (< 800 meter di atas permukaan laut),
b. Perkebunan daerah sedang (800-1200 meter di atas permukaan laut), dan
c. Perkebunan daerah tinggi (> 1200 meter di atas permukaan laut).
Perbedaan ketinggian kebun berpengaruh terhadap hasil petikan pucuk.
Umunya perkebunan teh di Indonesia terletak pada daerah dengan ketinggian
sedang, seperti Perkebunan Cisaruni, Dayeuh Manggung dan Goalpara.
Sedangkan sisanya tersebar pada wilayah dengan ketinggian rendah (seperti
Perkebunan Panglejar, Pasir Nangka dan Tambaksari) dan tinggi (seperti
Perkebunan Pasir Malang, Talun, dan Kertamanah). Besarnya range ketinggian
perkebunan teh di Indonesia, secara tidak langsung menunjukkan potensi untuk
mengembangkan luas area perkebunan teh di masa yang akan datang.
Tabel 15 menunjukan luas area perkebunan teh di beberapa provinsi di
Indonesia. Hingga tahun 2008, lokasi perkebunan teh di Indonesia tersebar ke
dalam 11 provinsi dimana sebagian besar perkebunan teh (80 persen ) terletak di
Pulau Jawa dan Sumatera. Berdasarkan luas area perkebunannya, sekitar 78,2
persen dari total luas area perkebunan nasional terletak di Jawa Barat. Sedangkan
sisanya tersebar di Jawa Tengah (7 persen), Sumatera Utara (4,5 persen),
Sumatera Barat (2,8 persen) serta Jambi (2 persen).
Selama kurun waktu lima tahun (2004-2008), area perkebunan teh
Indonesia rata-rata mengalami penurunan sebesar 2,25 persen. Penurunan luas
59
area terbesar terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 4,5 persen. Adapun faktor yang
menyebabkan penurunan luas area tersebut salah satunya adalah maraknya
konversi perkebunan teh yang dilakukan petani maupun perusahaan besar menjadi
lahan untuk membudidayakan tanaman lain seperti sawit maupun tanaman
sayuran (bagi kebun yang terletak di kawasan dataran tinggi).
Tabel 15. Perkembangan Luas Area Perkebunan Teh Berdasarkan Provinsi Tahun 2004-2008
No. Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008 1 NAD - - 8.574 - -2 Sumatera Utara 9.160 8.779 205 8.897 5.7153 Sumatera Barat 5.240 4.202 2.697 4.817 4.9284 Jambi 2.625 2.625 2.625 2.625 2.6255 Sumatera Selatan 1.571 1.571 1.470 1.470 1.4706 Bangka Belitung 1 - - - -7 Bengkulu 2.834 2.834 1.417 1.118 1.1338 Lampung 81 47 - - -9 Jawa Barat 105.976 103.573 104.314 101.080 99.942
10 Banten - - 24 - -11 Jawa Tengah 11.055 11.068 10.366 9.239 9.19412 D.I.Y 310 300 192 136 8613 Jawa Timur 3.242 3.660 1.819 2.460 2.46514 Kalimantan Timur - - - 2 2515 Sulawesi Tengah 1.760 1.760 1.760 1.760 -16 Sulawesi Selatan 119 128 128 129 129
TOTAL (Ha) 143.965 140.538 135.591 133.733 127.712Pertumbuhan Per Tahun 0,25 -2,38 -3,26 -1,37 -4,50
Sumber : Dirjenbun (2010) (diolah)
b) Aksesibilitas Terhadap Input
Aksesibilitas produsen terhadap input mencerminkan tingkat kemudahan
dalam memperoleh input produksi yang dibutuhkan secara kontinu, tepat waktu,
tepat jumlah serta tepat jenis. Kemudahan yang dimaksud umumnya menyangkut
ketersediaan input di pasar, serta kondisi harga ideal yang dapat dijangkau oleh
produsen, serta distribusi input dari pemasok kepada produsen. Aksesibilitas
produsen teh terhadap input tersebut sangat mempengaruhi kinerja serta capaian
hasil bagi usahatani teh mereka.
i) Bibit
Tanaman teh dapat dikembangkan melalui biji maupun stek. Di Indonesia,
kebutuhan akan biji teh dapat diakses melalui kebun-kebun biji milik Pusat
60
Penelitian Teh dan Kina, seperti Kebun Biji Gambung dan Kebun Biji Pasir
Sarongge di Jawa Barat. Selain kebun biji milik PPTK, terdapat pula kebun-kebun
biji milik PT Perkebunan Nusantara atau swasta yang dapat dijadikan sebagai
sumber penghasil biji, dengan syarat biji yang dihasilkan mengandung komposisi
klon serupa dengan komposisi yang dianjurkan oleh PPTK seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya (Tabel 7). Sementara stek atau bibit teh dapat
diperoleh melalui petani atau produsen bibit.
Untuk memenuhi kebutuhan produsen akan klon teh unggul, Pusat
PenelitianTeh dan Kina (PPTK) di Bandung, Jawa Barat merupakan satu-satunya
lembaga riset sekaligus penyedia klon unggul dengan tingkat produktivitas dan
ketahanan terhadap hama penyakit yang selalu diperbarui setiap waktunya.
Hingga saat ini, penggunaan klon lebih diminati dibandingkan dengan
penggunaan biji, karena tanaman yang dihasilkan dengan klon lebih seragam,
waktu produksi lebih cepat, serta produksi pucuk teh lebih banyak. Klon-klon
unggul yang dilepas oleh PPTK tersebut juga sudah memperoleh dukungan
pengujian dan pengawasan mutu benih tanaman perkebunan oleh Balai Besar
Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP).
ii) Pupuk dan Obat-Obatan
Akses produsen, khususnya petani teh rakyat terhadap pupuk dan obat-
obatan seringkali terhambat oleh ketersediaan dan harga yang diluar kemampuan
daya beli petani. Karena itu, dalam beberapa kasus perkebunan rakyat, petani
seringkali mengabaikan pentingnya penggunaan pupuk ataupun obat-obatan bagi
perkebunan mereka. Kurangnya perhatian petani teh rakyat terhadap penggunaan
pupuk maupun obat-obatan seringkali dikarenakan rendahnya pendapatan yang
mereka peroleh dari usahatani teh, sehingga perawatan kebun (termasuk
penggunaan pupuk dan obat-obatan) sering terabaikan. Petani seringkali lebih
memilih membiarkan kebun mereka tanpa dipupuk atau memberikan pupuk hanya
sebatas batas standar pemberian pupuk bagi tanaman teh yaitu 1-2 kali dalam
setahun. Kebijakan pemerintah mengenai subsidi pupuk sebagai salah satu solusi
bagi permasalahan pupuk yang dihadapi oleh petani di Indonesia sayangnya tidak
mengena pada petani teh rakyat. Subsidi pupuk yang ada lebih diutamakan bagi
petani yang mengusahakan tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai.
61
Di sisi lain, meskipun akses yang dimiliki perkebunan besar negara dan
swasta dapat dikatakan lebih mudah dalam hal memperoleh pupuk dan obat-
obatan, permasalahan tingginya harga pupuk juga menjadi isu utama bagi
perkebunan-perkebunan besar tersebut. Pupuk dan obat-obatan merupakan aspek
penting dalam kegiatan usahatani teh. Karena merupakan salah satu komponen
input penting dalam struktur biaya produksi pada subsektor perkebunan, dengan
pangsa berkisar antara 10-40 persen dari total biaya21.
c) Biaya-Biaya Terkait
Biaya adalah nilai dari semua pengorbanan ekonomis yang diperlukan,
dapat diperkirakan, serta dapat diukur untuk menghasilkan suatu produk
(Nazaruddin & Paimin 1993). Perhitungan biaya untuk usahatani teh memang
lebih rumit, karena sampai tanaman teh dapat menghasilkan, dibutuhkan waktu
beberapa tahun untuk melakukan perawatan bagi tanaman. Berdasarkan tahap
perkembangannya, pembiayaan usahatani teh terbagi menjadi pembiayaan di
masa pembibitan, penanaman (bukaan baru/peremajaan), pemeliharaan, serta
biaya pemetikan. Pada setiap tahapan, biaya dikelompokan menjadi biaya modal
kerja (biaya alat dan bahan), biaya tenaga kerja, serta biaya lain-lain (misalnya
pajak).
Umumnya biaya tanaman yang berasal dari biji lebih besar dibandingkan
dengan biaya tanaman yang berasal dari stek daun. Hal tersebut dikarenakan
waktu yang dibutuhkan untuk pemeliharaan tanaman asal biji lebih lama
dibandingkan dengan tanaman asal stek (tanaman asal biji 5 tahun, tanaman asal
stek daun 3 tahun).
Unsur biaya yang dikeluarkan dalam pemeliharaan kebun teh pun berbeda-
beda tergantung kepada tipe perkebunannya. Umumnya perkebunan besar milik
negara dan swasta akan memiliki komponen biaya yang lebih kompleks
dibandingkan dengan komponen biaya petani teh di perkebunan rakyat.
Perusahaan besar mengeluarkan biaya lebih untuk membayar jasa manajemen
perkebunan, gaji dan tunjangan karyawan, biaya perawatan kebun, pemeliharaan
21 Susila Wayan R, Bambang Dradjat. 2005. Kebijakan Subsidi Pupuk pada Subsektor
Perkebunan Dampak dan Pengelolaan dalam http://www.ipard.com/art_perkebun/ 090808a_wr.asp [Diakses pada tanggal 8 Februari 2011]
62
gedung dan biaya lainya. Sedangkan pada perkebunan rakyat jenis biaya yang
dikeluarkan umumnya hanya sebatas biaya pemeliharaan kebun dan tenaga kerja.
Tingginya biaya operasional yang dirasakan petani berpengaruh nyata
terhadap cara pengelolaan kebun, terutama penggunaan biaya langsung seperti
pupuk dan pestisida. Biaya operasional yang tinggi ditambah dengan rendahnya
harga pucuk ditingkat petani menyebabkan rendahnya pendapatan usahatani
petani teh (Rosyadi & Wahyu 2007). Keluhan terhadap tingginya biaya
operasional juga dirasakan oleh beberapa perkebunan besar negara. Dalam
beberapa tahun terakhir, beberapa kebun milik PT Perkebunan Nusantara
mengalami kerugian dikarenakan biaya operasional yang semakin membengkak.
Tingginya biaya tersebut dirasakan dalam kegiatan pengelolaan kebun (biaya
pupuk dan obat-obatan) maupun kegiatan pengolahan teh curah di pabrik (biaya
sumber energi/BBM).
Penekanan biaya produksi dapat dilakukan dengan mencari alternatif bagi
penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi serta alternatif sumber energi selain
BBM. Pusat Penelitian Teh dan Kina telah mengembangkan berbagai teknologi
yang dapat digunakan oleh produsen untuk menekan biaya produksinya sekaligus
memberikan efek samping yang baik bagi lingkungan. Penjelasan mengenai
teknologi tersebut akan dijelaskan pada sub bab Sumberdaya Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi.
d) Produktivitas Lahan
Produktivitas lahan di tingkat petani atau produsen berarti menujukkan
tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya yang dimiliki dalam menghasilkan
sejumlah produk, dalam hal ini adalah pucuk teh. Produktivitas berkaitan dengan
luas area tanam dan volume produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas perkebunan teh diantaranya populasi tanaman teh
dan teknologi yang diterapkan (Rosyadi & Wahyu 2007). Pemanfaatan teknologi
oleh petani sangat dipengaruhi oleh harga jual pucuk yang nantinya
mempengaruhi pendapatan. Wardiyatmo dan Subarna (1999) diacu dalam
Rosyadi dan Wahyu (2007) menyatakan bahwa rendahnya harga pucuk
menyebabkan pendapatan petani rendah yang pada akhirnya berdampak terhadap
minat petani dalam mengelola kebunnya atau menerapkan paket teknologi yang
63
tepat. Karena itu, secara tidak langsung harga jual pucuk di tingkat petani teh akan
mempengaruhi produktivitas kebun teh petani tersebut.
* Angka sementara ** Estimasi
Gambar 9. Produktivitas Areal Tanam Teh Berdasarkan Provinsi Tahun 2008 Sumber : Teh dalam Angka 2010 (diolah)
Gambar 9 menunjukkan tingkat produktivitas perkebunan teh di Indonesia
berdasarkan provinsi. Jawa Barat sebagai penghasil teh terbesar di Indonesia
dengan jumlah produksi mencapai 113.882 ton (tahun 2008) memiliki tingkat
produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan provinsi Sumatera Utara
dan Daerah Istimewa Yoyakarta (2.355 kg/ha dan 2.244 kg/ha). Rendahnya
produktivitas perkebunan teh di Jawa Barat diduga karena sebagian besar
perkebunan teh di Jawa Barat merupakan perkebunan teh rakyat. Pada umumnya
penggunaan teknologi tepat guna pada perkebunan teh rakyat belum dilakukan
secara optimal22.
Sementara secara umum, tingkat produktivitas lahan teh Nasional pada
tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan adanya
fluktuasi produktivitas rata-rata dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, Indonesia
mencapai tingkat produktivitas rata-rata tertinggi hingga mencapai 1.500 kg/ha
lebih. Sementara pada tahun 2006, produktivitas rata-rata lahan teh di Indonesia
berada di tingkat terendah dengan nilai produktivitas sebesar 1.322 kg/ha. Tingkat
produktivitas tersebut kemudian meningkat selama dua tahun hingga tahun 2008,
dan pada tahun 2009-2010 produktivitas rata-rata lahan teh cenderung stabil.
22 Direktorat Jenderal Perkebunan 2006 dalam Road Map Teh 2006.
64
* Angka sementara ** Estimasi
Gambar 10. Perkembangan Produktivitas Rata-Rata Areal Perkebunan Teh di Indonesia Tahun 2000-2010 Sumber : Teh Indonesia dalam Angka 2010
2) Sumberdaya Manusia
Usaha perkebunan teh merupakan usaha padat karya. Keberadaan
perkebunan teh umumnya menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat di sekitarnya.
Kemampuan usaha ini dalam menyerap tenaga kerja merupakan salah satu alasan
pemerintah menetapkan teh sebagai salah satu Komoditas Unggulan Nasional23.
Usaha perkebunan teh merupakan usaha yang sangat intensif dalam menyerap
tenaga kerja. Rasio penyerapan tenaga kerja di perkebunan teh mencapai 2-3
orang per hektar, sedangkan usaha pada komoditas perkebunan lainnya hanya
mampu menyerap tenaga kerja kurang dari satu orang per hektar24. Dengan
mempertimbangkan jumlah HOK dan luas area perkebunan teh di Indonesia,
maka dapat dibayangkan begitu banyak sumberdaya manusia yang terlibat dalam
usaha perkebunan teh. Kebutuhan akan tenaga kerja ini, didukung oleh jumlah
populasi penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta lebih.
Pengalaman dan pengetahuan penduduk Indonesia yang telah ratusan
tahun mengenal teh, serta jumlah penduduk yang mencapai 200 juta lebih
merupakan modal tenaga kerja bagi kegiatan perkebunan teh Indonesia. Namun
untuk mendukung suatu keunggulan kompetitif, suatu faktor harus sangat
23 Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun 2010-2014 24 Sebagai contoh perkebunan kelapa sawit yang hanya mampu menyerap tenaga sebesar 0,5
orang per hektar (Dikutip dari Santoso dan Suprihatini (2007))
65
terspesialisasi pada kebutuhan tertentu dari suatu industri, salah satunya adalah
ketersediaan sumberdaya manusianya yang dibutuhkan (Cho & Moon 2003).
Selain didukung dengan jumlah tenaga kerja dan dasar pengetahuan tentang teh,
kegiatan agribisnis teh Indonesia juga didukung oleh keberadaan para tenaga ahli
dari hulu hingga hilir yang tersebar di berbagai lembaga penelitian milik
pemerintah maupun swasta. Selain itu, peran penting lainnya berada di tangan
produsen teh, baik petani rakyat, perusahan negara dan perusahaan swasta. Dalam
hal ini, petani rakyat merupakan sumberdaya manusia potensial namun belum
terlatih secara profesional dalam mengelola usahatani tehnya. Potensi PR sangat
besar, mengingat kepemilikan area tanam teh rakyat merupakan 46,25 persen dari
total luas perkebunan teh di Indonesia. Namun produktivitas PR merupakan yang
terendah diantara kedua tipe perkebunan lainnya. Karena itu, perlu banyak
dukungan dari semua pihak untuk menggali potensi petani rakyat yang masih
belum optimal. Pihak-pihak yang secara langsung berinteraksi dengan petani
diantaranya adalah penyuluh lapang, perusahaan mitra, pemerintah serta pihak
lainnya.
Namun, akhir-akhir ini penggunaan sistem padat karya dalam usaha
perkebunan teh di Indonesia mendapat beberapa pandangan dan kajian dari para
peneliti. Tarigan (2003) menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja dalam
jumlah besar pada usaha perkebunan teh sudah kurang relevan lagi untuk
diterapkan. Perubahan kondisi lingkungan membuat perusahaan harus menata
kembali indeks kebutuhan tenaga kerjanya sesuai dengan tantangan ke depan.
Perusahaan dapat melakukan kajian mengenai kemungkinan pengurangan tenaga
kerja sebagai solusi bagi penggunaan tenaga kerja berlebih25.
Sumberdaya manusia pada subsistem hilir agribisnis teh Indonesia juga
didukung oleh sumberdaya manusia ahli yang terlibat dalam proses pengolahan
hingga pemasaran. Dalam proses pabrikasi, subsistem hilir teh disokong oleh
tenaga ahli mesin, quality control, professional tea taster, dan tenaga ahli lainnya.
Di subsistem pemasaran, agribisnis teh Indonesia didukung oleh sumberdaya
manusia yang professional dalam marketing, pencarian info pasar (market
25 Tarigan (2003) menyebutkan bahwa kebijakan pengurangan tenaga kerja dapat dilakukan
dengan cara yang tepat dan dengan memberikan insentif yang layak yang dikenal dengan istilah Golden Shake Hand (GSH)
66
intelligent), trader (agen) dan pembeli internasional yang berpengalaman dan
menuntut produsen untuk terus meningkatkan kualitasnya, serta beberapa tenaga
ahli lainnya.
3) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi sangat menentukan
kemajuan suatu industri. Dalam mendukung kemajuan sumberdaya IPTEK,
komoditas teh di Indonesia didukung oleh keberadaan lembaga riset dan
pengembangan Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK). PPTK yang secara terus-
menerus melakukan riset untuk menemukan teknologi yang tepat dan sesuai bagi
kondisi teh di Indonesia saat ini dan perkembangannya di masa yang akan datang.
Santoso dan Suprihatini (2007b) menyebutkan beberapa teknologi yang
telah dihasilkan oleh PPTK untuk meningkatkan peranan komoditas teh
Indonesia. Berikut ini adalah beberapa jenis teknologi tersebut :
a) Teknologi percepatan peremajaan kebun-kebun tua
Kondisi perkebunan teh di Indonesia sebagian besar merupakan
perkebunan teh tua dengan tanaman asal seedling yang sudah tidak ekonomis
lagi untuk dipertahankan (65 persen). Perkebunan tersebut umumnya memiliki
tingkat produktivitas rendah dengan kualitas mutu yang tidak stabil. Untuk itu,
perlu segera dilakukan peremajaan terhadap kebun-kebun tua tersebut. PPTK
mengeluarkan klon-klon unggul dimana beberapa diantaranya mampu
mencapai tingkat produksi hingga 5.000 kg/ha/tahun. Penjelasan mengenai
klon-klon unggulan yang telah dihasilkan oleh PPTK telah dapat dilihat
kembali pada bab sebelumnya.
b) Teknologi untuk menekan biaya produksi teh
Upaya untuk menekan biaya produksi dapat dilakukan dengan mengganti
atau mencari alternatif bagi komponen-komponen biaya tertentu, khususnya
yang menyebabkan biaya produksi membengkak. Pertama, upaya penekanan
biaya produksi dapat dilakukan dengan mengganti sumber energi dari BBM
menjadi sumber energi lain yang lebih ekonomis. PPTK telah memiliki data
base dan kelayakan finansial dari jenis-jenis kayu Nitrogen Fixing Tree dan
Fast Growing Speciest sebagai sumber kayu bakar untuk memenuhi
kebutuhan sumber energi termal pada proses pengolahan teh. Kedua, untuk
67
menekan biaya obat-obatan dan hama penyakit dapat digunakan pembasmi
hama alami yang telah diteliti kelayakannya. Selain itu, PPTK juga
menciptakan teknologi mekanisasi untuk menekan biaya pemetikan dan
pemangkasan, serta teknologi pembenam pupuk yang mampu meningkatkan
efektivitas pupuk hingga 40 persen.
c) Teknologi untuk percepatan implementasi sustainable tea.
Teknologi peningkatan keanekaragaman hayati, peningkatan kesuburan
tanah khususnya peningkatan kadar organik tanah serta teknologi peningkatan
nilai produk untuk meningkatkan nilai tambah yang merupakan teknologi
tepat guna untuk mempercepat implementasi sustainable tea saat ini
seluruhnya telah tersedia di PPTK.
d) Teknologi untuk percepatan implementasi sistem mutu teh
Peryaratan mutu keamanan pangan khususnya HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Points) telah berlaku sejak 1 Januari 2006 di pasar Eropa dan
sekaligus telah menurunkan pangsa pasar Indonesia di Eropa dari 33,4 persen
dan 29,4 persen. Namun, implementasi sistem mutu teh seperti HACCP di
Indonesia umumnya membutuhkan kemampuan finansial yang tinggi dari
produsennya. Karena itu, PPTK bekerjasama dengan Ditjen P2HP
(Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian) Kementrian Pertanian RI dan
lembaga sertifikasi menyediakan program bantuan untuk pelatihan, konsultasi,
teknologi untuk mengurangi biaya, sertifikasi dan jasa analisis laboratorium
untuk mempercepat implementasi HACCP.
e) Teknologi untuk peningkatan nilai tambah teh
PPTK juga telah menyediakan berbagai produk turunan teh yang secara
ekonomis memiliki nilai lebih tinggi dan memiliki harga yang lebih stabil.
Saat ini, teknologi proses pembuatan produk hilir teh seperti white tea, oolong
tea, instant tea, teh tablet effervescent, teh hijau, teh hijau berkatekin tinggi,
ekstrak membrane (skala laboratorium), produk kosmetik berbasis teh dan
produk fitofarmaka berbasis teh telah tersedia di PPTK.
Selain bersumber dari lembaga penelitian seperti PPTK, ketersediaan
sumber-sumber pengetahuan dan teknologi juga ditunjang oleh lembaga lain
seperti perguruan tinggi, lembaga riset swasta, lembaga teh internasional
68
(International Tea Committee), literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan
penelitian, asosiasi-asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia serta sumber
pengetahuan dan teknologi lainnya.
4) Sumber Modal
Dibandingkan dengan subsektor lain dalam sektor pertanian, subsektor
perkebunan cukup mampu menarik investor ataupun pihak bank untuk
menanamkan modal maupun membiayai subsektor ini dikarenakan prospek pasar
yang menjanjikan. Bagi perkebunan besar negara maupun swasta, modal yang
diperoleh melalui lembaga keuangan seperti perbankan akan lebih mudah diakses
apabila dibandingkan dengan perkebunan rakyat, karena umumnya petani tidak
memiliki jaminan seperti yang diminta oleh pihak bank.
Terkait dengan permasalahan modal di tingkat petani teh, secara khusus
pemerintah belum menyediakan subsidi berupa bantuan modal untuk petani teh
rakyat. Program subsidi bunga/kredit bagi tanaman perkebunan hanya tersedia
bagi komoditas kelapa sawit, karet dan kakao melalui kredit KPEN-RP. Karena
itu, diperlukan pengadaan skim kredit khusus dengan subsidi bunga untuk
peremajaan kebun-kebun teh tua, dan pengembangan agroindustri serta
perdagangan teh khususnya pengadaan skim sangatlah strategis untuk
meningkatkan gairah para stakeholder teh dalam berusaha (Santoso dan
Suprihatini 2007b).
Saat ini, terdapat program kredit umum yang menyediakan skim kredit
dengan fasilitas penjaminan. KUR atau Kredit Usaha Rakyat, merupakan fasilitas
pemerintah yang diberikan kepada debitur Usaha Mikro Kecil, Menengah dan
Koperasi (UMKM-K) termasuk sektor pertanian. Program KUR ini dapat
ditujukan untuk semua komoditas termasuk teh, dengan besar bunga yang dibayar
petani/debitur maksimal sebesar 14-22 persen, dan jangka waktu kredit maksimal
3 sampai 5 tahun (Kementrian Pertanian RI 2010). Selain dengan melakukan
pengajuan kredit, keterbatasan modal yang telah menjadi ciri-ciri umum dari
petani teh rakyat di Indonesia dapat diatasi salah satunya dengan melakukan
kerjasama dalam bentuk kemitraan dengan pihak perkebunan negara maupun
swasta. Pola kemitraan akan membentuk suatu simbiosis mutualisme antara petani
dengan perkebunan besar, salah satunya mengurangi risiko petani akibat
69
keterbatasan modal. Bentuk-bentuk kemitraan yang tejadi di Indonesia beberapa
telah dijelaskan pada sub bab subsistem usahatani teh pada bab sebelumnya.
5) Sumberdaya Infrastruktur
Secara umum, kondisi infrastruktur berupa jalan, jembatan, airport, pasar,
tanah perkebunan, pabrik-pabrik pengolahan, dan sebagainya berbeda-beda di
setiap lokasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh dukungan dari pemerintah daerah
setempat dalam peningkatan infrastruktur wilayahnya. Terkait dengan
pengembangan usaha agribisnis komoditas teh, Santoso dan Suprihatini (2007a)
menyatakan bahwa untuk mendukung kegiatan agribisnis teh di Indonesia,
pemerintah perlu melakukan beberapa instrumen kebijakan. Salah satunya adalah
dengan melakukan peningkatan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan,
airport, ketersediaan listrik, air, jaringan komunikasi dan jaringan kereta api.
Lebih lanjut Santoso dan Suprhatini (2007b) mengatakan bahwa
peningkatan infrastruktur yang menunjang kegiatan agribisnis teh ini perlu
didukung dengan upaya penguatan lembaga penelitian teh khususnya pada aspek
pendanaan dan fasilitas penelitian. Hal tersebut menjadi penting mengingat
teknologi sangat berperan dalam meningkatkan dayasaing komoditas teh
Indonesia. Sementara kondisi perkebunan teh di Indonesia sendiri saat ini terdiri
dari perkebunan tua dengan kadar organik dalam tanah yang rendah, sehingga
perlu segera dilakukan peremajaan. Sedangkan di subsistem pengolahan, tidak
sedikit pabrik pengolah yang masih menggunakan mesin-mesin tua yang sudah
perlu di upgrade karena penggunaannya sudah tidak efisien lagi26.
6.1.2 Kondisi Permintaan Domestik
1) Komposisi Permintaan Domestik
Komoditas teh di Indonesia sebagian besar (70 persen) ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pasar luar negeri, lalu sisanya ditujukan untuk pasar
domestik. Jenis teh yang di pasarkan di dalam negeri terdiri dari teh hitam curah,
teh hijau curah, teh hitam kemasan, teh hijau kemasan, instant tea, tea bag, teh
wangi, dan beberapa jenis produk teh lainnya. Berdasarkan mutunya, teh yang
26 Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Bapak Sultoni Arifin [23
Maret 2011]
70
ditujukan untuk pasar domestik umumnya masih merupakan teh dengan mutu
yang rendah atau second grade (PF II, DUST II, BT II, BP II, DUST III dan
FANN II) dan off grade (BM dan PLUFF), sedangkan teh dengan mutu terbaik
lebih ditujukan bagi pasar ekspor (BOP I SP, BOP I, BOP, BOP F, PF, DUST, BT
dan BP).
Dalam penelitiannya di Pulau Jawa, Surjadi (2003) mencatat komposisi
teh domestik berdasarkan tingkatan mutunya seperti yang diperlihatkan pada
Tabel 16. Tabel 16 memberi gambaran jenis produk teh yang beredar di
Tasikmalaya, Jawa Barat (perwakilan pasar di daerah produsen teh) dan daerah
Surabaya, Jawa Timur (perwakilan pasar di daerah produsen). Produk teh yang
beredar di lokasi perwakilan terdiri dari 14 merk, dimana sebelas merk merupakan
produk kemasan curah, dan tiga lainnya merupakan produk kemasan teh celup
(Surjadi 2003).
Tabel 16. Komposisi Teh yang Beredar Berdasarkan Mutu Teh dan Pangsa Pasarnya di Jawa Barat dan Jawa Timur.
No Kategori Mutu Pangsa Pasar (%) Jumlah Merk (Buah) 1 Sangat Tinggi 0 0 2 Tinggi 7 2 3 Sedang 65 7 4 Rendah 18 4 5 Sangat Rendah 10 1 Sumber : Surjadi (2003)
Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen keluarga
mengkonsumsi produk-produk teh yang tergolong kategori mutu sedang (65
persen), disusul oleh konsumsi produk teh dengan mutu rendah (18 persen) dan
produk teh dengan mutu sangat rendah sebesar 10 persen. Tabel 16 juga
menunjukkan bahwa pada konsumen contoh, terdapat kecenderungan peningkatan
pangsa pasar dimulai dari teh dengan mutu sangat rendah hingga mutu sedang.
Setelah itu, dari mutu sedang menuju mutu sangat tinggi justru terjadi penurunan
pangsa pasar (Surjadi 2003).
71
2) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Teh telah masuk ke Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Meskipun
budaya minum teh di Indonesia tidak seperti budaya minum teh di Cina, Jepang
ataupun Inggris, namun teh telah menjadi salah satu minuman pilihan bagi
masyarakat Indonesia. Adam (2006) mengungkapkan bahwa kedudukan teh
sebagai bahan minuman telah menjadi salah satu pilihan utama keluarga baik di
rumah, di luar rumah, maupun sebagai hidangan bagi tamu yang berkunjung. Di
beberapa provinsi di Indonesia, menyajikan teh untuk tamu maupun sebagai
teman hidangan makanan ringan merupakan hal yang biasa. Salah satunya tampak
pada pola masyarakat Jawa Barat yang terbiasa menyajikan teh secara cuma-cuma
di rumah makan sunda ataupun warung-warung tenda kaki lima.
Namun, sejarah kedekatan bangsa Indonesia dengan teh selama 325 tahun,
ternyata tidak serta-merta menjadikan tingkat konsumsi teh per kapita per tahun
dalam negeri tinggi. Konsumsi teh masyarakat Indonesia tergolong masih rendah
apabila dibandingkan dengan konsumsi per kapita negara-negara produsen teh
lainnya. Bahkan sejak tahun 2001 hingga 2008 terjadi kecenderungan penurunan
konsumsi teh per kapita di Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 17.
Tabel 17. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Indonesia (dalam Interval Tiga Tahun)
Tahun Konsumsi Teh Total (000 Ton)
Konsumsi Teh per Kapita (Gram/Kapita/3 Tahun)
2001-2003 67.000 320 2002-2004 63.670 300 2003-2005 65.650 300 2004-2006 56.980 260 2005-2007 59.650 270 2006-2008 54.330 240
Sumber :ITC (2009)
Apabila dibandingkan dengan negara-negara produsen lainnya, konsumsi
teh Indonesia sangatlah rendah. Konsumsi teh rata-rata masyarakat Indonesia
selama tiga tahun hanya sekitar 240 gram/kapita. Cina, sebagai negara penghasil
teh terbesar di dunia pada tahun 2008 (total produksi 1.200.000 ton, total share
31,5 persen) tingkat konsumsi teh penduduknya mencapai 610 gram/kapita.
Kemudian India, negara terbesar kedua penghasil teh di dunia (total produksi
72
981.000 ton, total share 25,8 persen) tingkat konsumsi teh penduduknya
mencapai 690 gram/kapita. Sedangkan Sri Langka, Kenya dan Vietnam, negara-
negara kompetitor terdekat Indonesia, tingkat konsumsi teh masing-masing negara
tersebut adalah 1.390 gram/kapita, 460 gram/kapita dan 451,5 gram/kapita.
Indonesia bahkan sangat jauh berada di bawah tingkat konsumsi rata-rata
penduduk Inggris (2.110 gram/kapita), Irlandia (2.170 gram/kapita) dan Kuwait
(2.210 gram/kapita), negara-negara konsumen teh terbesar dunia.
Tabel 18. Biaya Iklan yang Dikeluarkan oleh Beberapa Produsen Teh Periode Januari - Oktober 2006 ( dalam 000 Rp )
No Merek Televisi Koran Majalah Total Biaya1 Teh celup Sosro 28.162.550 0 5.435.465 33.598.015 2 Teh celup Sariwangi 24.122.400 1.639.710 429.340 26.191.450 3 Teh celup Walini 394.320 179.200 0 573.520 4 Teh celup Sedap Wangi 5 Teh Sisri spesial – Instant tea 4.255.800 0 0 4.255.800 6 Teh Sariwangi- instant tea 2.619.000 0 0 2.619.000 7 Teh 919 (non Theasinensis) 0 953.880 0 953.880 8 Murbei Tea 0 552.838 9.000 561.838 9 Cap Botol- Teh seduh 329.000 0 0 329.000 10 Herbalax – Tea ( non Thea
sinensis ) 0 21.500 244.400 265.900
11 Teh Sariwangi Hijau- Teh celup
0 0 208.625 208.625
12 Teh Aenkabe 0 149.400 0 149.400 13 Glucoscare-Tea 0 77.830 0 77.830 14 Teh Rosella- Teh celup 0 600 50.000 50.600 15 2 Tang teh hijau- Teh celup 0 20.370 0 20.370 16 Cap Bandulan- Tea 0 19.440 0 19.440 17 Teh Chapo 0 11.250 0 11.250 18 Tokin Tea 0 10.880 0 10.880 19 Ou –Tea 0 6.550 0 6.550 20 Kajoe Aro- Tea 0 5.280 0 5.280 21 Kalimosodo Jamur Dipo –
Tea 0 4.600 0 4.600
22 Hijau daun –Tea 0 1900 0 1.900 23 Sepeda Balap –Tea 0 1.700 0 1.700 24 Agaric –Tea 0 0 1.250 1.250 25 Teh Yacon 0 200 0 200 TOTAL 66.130.470 3.757.568 6.458.080 96.346.118
Sumber : Nielsen Adquest Millenium (2006) dalam Doerjat (2007)
Rendahnya tingkat konsumsi teh di Indonesia diduga disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, kurangnya upaya promosi dan penyampaian informasi
73
yang dilakukan oleh pihak produsen teh dan pemerintah kepada masyarakat.
Upaya produsen teh dalam melakukan promosi dapat dilihat dari biaya iklan yang
dikeluarkan perusahaan tersebut. Umumnya, produsen teh swasta lebih berani
mengeluarkan biaya tinggi dalam mempromosikan produk mereka (Tabel 18). Hal
tersebut mengakibatkan pengetahuan konsumen terhadap produk yang mereka
tawarkan lebih besar dibandingkan dengan produk-produk yang ditawarkan
perusahaan pengolah teh milik negara (PTPN). Padahal, saat ini persepsi
konsumen terhadap teh telah meningkat menjadi pemahaman bahwa teh baik bagi
kesehatan dan kecantikan, bukan lagi hanya sekedar pelepas dahaga (Adam 2006).
Penyebab lain yang mempengaruhi rendahnya konsumsi teh dalam negeri
adalah gencarnya promosi yang dilakukan oleh produsen dari minuman lain yang
sejenis (kopi, susu, dll)27. Hal tersebut berimbas pada rendahnya pengeluaran
rumah tangga yang dialokasikan untuk teh. Dalam penelitiannya terhadap
konsumen rumah tangga di Jawa Barat, Adam (2006) menjelaskan bahwa jumlah
konsumsi teh oleh konsumen rumah tangga sehari rata-rata 3 – 4 kali dan
menghabiskan teh dalam sebulan rata-rata 50-200 gram dengan jumlah anggota
keluarga rata-rata lima sampai enam orang, serta rata-rata pengeluaran per bulan
untuk teh sebesar Rp 5.000 – Rp 10.000. Sementara pengeluran rumah tangga
untuk minuman non teh besarnya di atas Rp 40.000. Hal tersebut menunjukkan
bahwa konsumen rumah tangga dianggap lebih mengenal dan lebih suka
mengalokasikan pengeluarannya untuk mengkonsumsi minuman lain
dibandingkan untuk mengkonsumsi teh.
Menghadapi persaingan dalam industri global yang semakin terbuka,
ditambah lagi kondisi pertehan dunia yang saat ini mengalami over supply,
pemerintah Indonesia bersama seluruh pengusaha dan stakeholder yang terlibat
perlu mempertimbangkan untuk mulai memperhatikan potensi konsumsi domestik
yang belum tergali. Selanjutnya diperlukan upaya-upaya nyata dan tepat sasaran
untuk meningkatkan jumlah konsumsi tersebut. Dukungan dari pemerintah akan
mendorong produsen teh dalam negeri untuk semakin berinovasi, sehingga kelak
akan tercipta atmosfer persaingan domestik yang dinamis dan berdayasaing.
27 Hasil wawancara dengan Bapak Boyke S. Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa
Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011].
74
3) Internasionalisasi
Seperti yang telah diketahui, sebagian besar teh yang diproduksi Indonesia
diekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Kontribusi Indoensia
sebagai eksportir teh telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun
1835, Indonesia mengekspor teh untuk pertama kali. Indonesia mengirimkan
sebanyak 200 peti teh untuk diikutsertakan pada pelelangan teh di Amsterdam.
Hingga saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang turut berkontribusi
dalam perdagangan teh internasional. Sejarah Indonesia yang cukup panjang
dalam perdagangan teh dunia menunjukkan bahwa bangsa kita memiliki
komitmen yang cukup serius sebagai salah satu produsen yang menjaga kualitas
produknya, dalam hal ini adalah teh. Hal tersebut juga menunjukkan adanya
kepercayaan dan apresiasi yang diberikan oleh konsumen teh internasional
terhadap produk teh Indonesia hingga saat ini.
Konsumen luar negeri baik secara langsung maupun tidak langsung telah
melakukan promosi dan pengenalan produk teh Indonesia kepada masyarakat
internasional. Teh Indonesia umumnya dicari dan digunakan sebagai bahan baku
dari teh campuran (blending tea) yang mereka produksi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ada nilai-nilai khas dan budaya Indonesia yang telah
menyatu ke dalam produk mereka dan disukai. Adanya kecocokan nilai dari teh
Indonesia tersebut juga tercermin dalam loyalitas atau disepakatinya kesepakatan
dagang yang terus-menerus antara produsen teh di Indonesia dengan konsumen
luar negeri.
Cina, sebuah negara besar yang menguasai hampir 80 persen pasar teh
hijau dunia mengembangkan image teh hijaunya sebagai minuman kesehatan dan
kecantikan. Rasa khas yang dimunculkan teh hijau adalah rasa yang ringan namun
lebih pahit karena didominasi oleh rasa daun teh segar yang diolah tanpa melalui
proses fermentasi. Image ini kemudian ditularkan dan tersebar ke negara-negara
lain yang pada akhirnya memproduksi teh hijau, termasuk Indonesia. Namun,
kondisi yang dialami Indonesia berbeda dengan China. Produk teh Indonesia yang
didominasi teh hitam, oleh sebagian negara telah dikenal sebagai teh hitam yang
memiliki rasa kuat dengan tingkat kepekatan warna yang tinggi. Teh hitam ini
75
adalah teh hitam leaf dengan grade BOP yang umumnya disukai oleh negara-
negara di bagian Timur Tengah.
Gambar 11. Volume Impor Teh Negara Timur Tengah dari Indonesia Tahun 2006-2010 Sumber : BPS (2011)
Selain itu, penyampaian nilai-nilai lokal kepada masyarakat internasional
juga terjadi melalui pemasangan iklan atau berbagai bentuk informasi yang
disampaikan melalui media internasional. Pesan-pesan yang disampaikan berisi
keterangan mengenai produk-produk teh yang dihasilkan baik jenis, kualitas,
pilihan grade, serta image yang ingin diperoleh produsen. Selain itu, partisipasi
Indonesia dalam berbagai organisasi teh internasional seperti Ethical Tea
Partnership (ETP)28 juga menunjukkan eksistensi negara kita sebagai produsen
teh yang peduli terhadap kualitas serta keberlangsungan masyarakat teh dunia.
6.1.3 Industri Terkait dan Pendukung
Dayasaing agribisnis teh Indonesia akan terwujud apabila industri yang
berada di sekitarnya merupakan industri yang memiliki kompetensi tinggi
28 Ethical Tea Partnership (ETP) adalah sebuah organisasi teh internasional yang bersifat non-
profit dan didirikan untuk mengawasi serta meningkatkan kinerja dalam rantai tataniaga teh internasional Anggotanya terdiri dari negara-negara pemilik merk teh terbaik di dunia, salah satunya Indonesia. Tujuan didirikannya ETP adalah untuk meningkatkan taraf hidup pekerja teh serta untuk meningkatkan dan mempertahankan kepercayaan dari pembeli, konsumen, dan seluruh stakeholder teh terkait. ETP merupakan suatu bentuk komitmen dari anggotanya kepada dunia internasional dalam mewujudkan suatu industri teh di dunia yang berkelanjutan dan bertanggungjawab.
76
sehingga dapat mengangkat dayasaing industri inti. Selain itu, dayasaing akan
terjadi apabila tercipta interaksi dan kerjasama yang saling mendukung antara
industri inti dengan industri terkait dan pendukungnya.
Industri terkait merupakan industri terdekat yang secara langsung
berhubungan dengan industri inti. Industri-industri yang secara langsung berkaitan
dengan usaha perkebunan teh dan usaha pabrik teh curah adalah industri-industri
hulu yang berperan sebagai pemasok input dan bahan baku, industri teh lanjutan
serta industri jasa dan tata niaga. Sementara industri pendukung terdiri dari
lembaga-lembaga yang secara tidak langsung menyokong kelangsungan kegiatan
usaha industri inti. Dalam kasus ini industri pendukung perkebunan dan pabrik
pengolah teh curah terdiri dari lembaga-lembaga keuangan, lembaga penelitian,
lembaga sosial, asosiasi-asosiasi, lembaga pemerintahan dan lembaga lainnya.
1) Industri Terkait
a) Industri Pemasok
Pemasok bibit di Indonesia diusahakan oleh pihak PTPN maupun swasta.
Selain itu, tidak sedikit pula produsen yang kemudian mengembangkan usahanya
pada usaha pembibitan teh. Sedangkan lembaga yang melakukan riset terhadap
klon unggulan adalah Pusat Penelitian Teh dan Kina. PPTK merupakan bagian
dari PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN) yang merupakan transformasi dari
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sumberdaya alam, PPTK merupakan satu-satunya lembaga resmi milik
pemerintah yang melakukan penelitian dan mengembangkan klon-klon teh unggul
untuk meningkatkan perfoma kebun teh di Indonesia. PPTK bekerjasama dengan
lembaga sertifikasi tanaman perkebunan negara dalam melakukan riset dan
upgrade terhadap klon-klon yang memiliki tingkat produktivitas tinggi dan tahan
terhadap hama dan penyakit, seperti klon seri GMB 1-11.
Selain pemasok bibit, peranan industri agrokimia sebagai pemasok pupuk
dan obat-obatan juga sangat penting, mengingat pupuk dan obat-obatan
merupakan komponen utama dalam perawatan kebun teh. Beberapa perusahaan
dalam bentuk BUMN seperti PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani dan perusahaan
kerjasama gabungan antara beberapa PTPN seperti PT Bio Industri Nusantara (PT
Bionusa) merupakan perusahaan-perusahaan yang berkontribusi dalam memasok
77
input pupuk dan obat-obatan. Meskipun industri agrokimia di Indonesia didukung
oleh perusahaan-perusahaan berskala nasional, namun terkadang masih sering
terjadi kelangkaan pupuk di tingkat produsen.
Industri lain yang terkait dengan usaha perkebunan dan pengolahan teh
curah di Indonesia adalah industri pemasok mesin dan alat-alat pertanian. Selain
itu, ada pula industri jasa transportasi. Semua industri penyedia input dan bahan
baku di atas sangat mempengaruhi keberlangsungan usaha perkebunan teh dan
pengolahan teh curah di Indonesia. Untuk penjelasan mengenai industri-industri
pemasok ini, dapat dilihat kembali pada uraian mengenai subsistem hulu teh
Indonesia pada bab sebelumnya.
b) Industri Teh Olahan
Industri teh olahan terdiri dari pabrik-pabrik atau perusahaan pengolah
yang mengolah teh curah menjadi produk teh turunan lainnya. Industri yang
bergerak di sektor ini memanfaatkan teh curah sebagai bahan baku utama dalam
pembuatan produknya. Industri yang termasuk ke dalam sektor ini diantaranya
adalah industri makanan dan minuman berbasis teh, industri kosmetika dan obat-
obatan, industri jasa yang menggunakan teh sebagai salah satu bagian dari
pelayanannya serta industri lainnya yang berbentuk home industry.
Saat ini, teh tidak hanya dikonsumsi sebagai minuman saja, namun
pengembangan produknya sudah mulai dilakukan ke dalam bentuk lainnya.
Contoh industri teh lanjutan yang saat ini cukup diminati masyarakat dan
mendukung industri teh inti adalah industri minuman teh kemasan. Umumnya
masyarakat mengenal produk-produk ready to drink tea dan teh celup (tea bag).
Kedua jenis produk teh ini mulai dikenal dan diminati oleh masyarakat Indonesia.
Hal tersebut tampak pada peningkatan konsumsi masyarakat terhadap produk teh
kemasan (salah satunya air teh kemasan 200ml) dari waktu ke waktu.
78
0.3650.574
0.886 0.8861.095 1.251
1.46
2.0862.346
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Lite
r/Kap
ita/T
ahun
1996 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Air Teh Kemasan (200 ml)
Gambar 12. Konsumsi Air Teh Kemasan (200 ml) (Liter/Kapita/Tahun) Sumber : Pusdatin (2009)
Perkembangan industri tersebut tentunya merupakan suatu peluang bagi
industri teh inti sebagai penyedia bahan baku utama. Dengan berkembangnya
industri ini, secara tidak langsung akan turut mengangkat citra teh Indonesia
sekaligus mendekatkan teh dengan masyarakat. Selain olahan teh curah, industri
yang mengolah bagian-bagian teh lainnya seperti serat, batang dan biji tanaman
teh juga merupakan peluang bagi tanaman teh karena industri tersebut mampu
mengubah dan memberikan nilai tambah pada bahan-bahan tersebut. Umumnya,
serat, batang dan biji teh digunakan sebagai bahan baku industri maupun bahan
pendukung pembuatan kosmetik dan obat-obatan.
c) Industri Jasa Tataniaga
Sektor jasa tataniaga atau jasa pemasaran merupakan bagian penting yang
tak terpisahkan dari kegiatan agribisnis teh Indonesia. Industri jasa tataniaga
merupakan industri yang memberikan pelayanan distribusi, bahkan penambahan
nilai terhadap produk teh curah. Di Indonesia, pihak-pihak yang ikut ambil bagian
di sektor ini adalah para pemasar mulai dari tingkat petani, hingga agen bagi
eksportir luar negeri. Di tingkat petani, petani teh Indonesia umumnya mengenal
pedagang pengumpul, yaitu pihak yang mengambil keuntungan dengan
mendistribusikan atau memasarkan teh dari perkebunan rakyat ke pabrik pengolah
teh hijau kecil. Kemudian, dikenal pula pedagang pengumpul yang
mengumpulkan teh hijau hasil olahan beberapa pabrik teh hijau skala kecil untuk
dipasarkan ke pabrik teh wangi. Selanjutnya teh yang berasal dari pabrik teh
wangi tersebut disalurkan ke agen-agen atau pedagang grosir hingga akhirnya
79
sampai kepada konsumen akhir. Sedangkan perkebunan besar negara dan swasta
umumnya langsung memasarkan teh mereka ke pabrik pengolah besar untuk
kemudian dipasarkan baik melalui lelang maupun direct selling. Untuk
perkebunan besar swasta, umumnya teh yang dihasilkan adalah green tea. Teh
hijau yang dihasilkan kemudian dipasarkan melalui Bandung Tea Auction
(sekarang sudah tidak begitu aktif) atau dijual secara langsung untuk diekspor
maupun untuk konsumsi dalam negeri. Sementara perkebunan besar negara
sebagian besar teh yang dihasilkannya dipasarkan untuk kebutuhan ekspor,
sehingga mayoritas tehnya pun dipasarkan melalui proses lelang di Jakarta Tea
Auction, dan sisanya dipasarkan secara langsung melalui agen-agen atau pedagang
di dalam negeri.
2) Industri Pendukung
Kemajuan industri inti tidak terlepas dari lembaga-lembaga pendukung
yang senantiasa mendukung dan memajukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh industri inti. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya adalah lembaga
keuangan, lembaga penelitian, lembaga sosial, asosiasi-asosiasi, lembaga
pemerintahan dan lembaga lainnya. Lembaga keuangan dalam hal ini adalah
perbankan merupakan lembaga yang mendukung industri inti dalam hal
pembiayaan atau penyediaan kredit modal kerja. Meskipun akses perbankan
masih sulit diraih oleh petani bahkan pengusaha-pengusaha di sektor pertanian,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan perusahaan-perusahaan besar
teh di Indonesia (seperti PT KBP Chakra, Unilever Indonesia, PT Perkebunan
Nusantara dan sebagainya) saat ini tidak lepas dari adanya dukungan pembiayaan
dari bank.
Sementara lembaga penelitian khususnya Pusat Penelitian Teh dan Kina
telah memberikan dukungan berupa teknologi informasi yang berguna untuk
kemajuan agribisnis teh Indonesia di segala aspek. Begitu pula lembaga-lembaga
penelitian lainnya baik perguruan tinggi maupu swasta telah cukup berkontribusi
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sektor agribisnis teh di
Indonesia. Lembaga lainnya seperti kelompok tani (lembaga sosial), asosiasi dan
pemerintahan juga merupakan lembaga-lembaga pendukung yang tentu akan
mempengaruhi perkembangan industri inti teh di Indonesia.
80
6.1.4 Persaingan, Struktur dan Strategi
1) Persaingan
Di dalam negeri, terdapat persaingan antara minuman teh dengan
minuman subtitusi sejenis seperti kopi, susu, dan beberapa minuman lainnya. Teh
merupakan minuman pilihan, dimana konsumsi masyarakat domestik terhadap teh
masih sangat rendah. Sementara sebagian konsumen keluarga lebih memilih
mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk mengkonsumsi minuman non-
teh dibandingkan untuk mengkonsumsi teh (Adam 2006). Jika dibandingkan
dengan konsumsi minuman lainnya, teh dalam kemasan menguasai pangsa sekitar
30 persen, sedangkan air mineral, minuman berkarbonasi dan minuman lainnya
(seperti jus) menguasai pangsa pasar sekitar 40 persen, 20 persen and 10 persen
(Kustanti dan Widyanti 2007).
Persaingan juga terjadi diantara produk teh domestik dengan produk teh
impor. Meskipun jumlah volume impor teh masih lebih sedikit dibandingkan
produksi nasional, namun ada kecenderungan peningkatan volume impor teh
setiap tahunnya. Teh yang diimpor merupakan teh yang digunakan sebagian
produsen teh Nasional sebagai bahan campuran teh mereka. Selain itu, beberapa
produk teh impor juga merupakan produk teh yang telah diberi nilai tambah serta
dikemas dengan baik. Perkembangan volume impor teh tersebut perlu mulai
diwaspadai oleh seluruh stakeholder teh nasional jangan sampai peningkatan
volume impor merugikan produsen teh domestik.
Tabel 19. Beberapa Jenis Merk Teh yang Beredar di Indonesia Berdasarkan Perusahaan Pengolah
No Produsen Teh Merk 1 Produk PTPN Walini, Goalpara, Gunung Mas, Malabar, Sedap
2
Kerjasama PTPN dan Swasta
Esparata, Java Tea, Tea Bags, Tea Relasi, Lipton Quality, London Clasic, London Royal, London Gold, Halaban, Natures Choice (teh hijau), Mega Indah, Selecta Premium Java Tea dan Makassar Tea
3
Produk Swasta **)
Korma, Sedap, Indo, Sari Wangi (original, jasmine, jahe dan kayu manis), Ice tea (lemon, apel dan mangga), 2 Tang, Tjatoet, Kepala Jenggot, Tjibuni Java, Nutri Tea, Sosro, Cap Botol, Max Tea, Teh Upet, Cap Bendera, Teh 2 Burung, dan Teh 919
*) Survei pasar tahun 2004
Sumber : PTPN VIII Jawa Barat tahun 2003 dalam Doerjat (2007)
81
Di dalam industri minuman teh itu sendiri terjadi persaingan antara
minuman teh yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolah swasta dengan
perusahaan pengolah milik negara. PTPN sebagai perusahaan teh negara saat ini
mulai melakukan diversifikasi ke arah produk olahan. Selain mengolah dengan
penggunaan merk sendiri, PTPN juga melakukan kerjasama dengan pihak swasta
dengan memproduksi teh untuk mereka. Produk-produk teh hasil PTPN dan
perusahaan swasta ditunjukan oleh Tabel 19.
Selain menghadapi persaingan di dalam pasar domestik, produk teh
Indonesia juga dihadapkan pada persaingan dengan produk teh di pasar
internasional. Produk teh hitam Orthodox dan CTC yang dihasilkan Indonesia
bersaing dengan produk teh hitam lain yang diproduksi oleh Kenya, India, Sri
Langka serta produsen lainnya. Apabila Indonesia tidak dapat memperkuat
posisinya di pasar internasional, maka pangsa pasar teh Indonesia akan terancam
semakin berkurang.
2) Struktur Pasar
Produk teh Indonesia dipasarkan ke pasar domestik dan pasar mancanegra.
Sehingga proses pemasarannya terbagi menjadi jalur tataniaga dalam negeri dan
jalur tataniaga ekspor. Menurut Febriyanthi (2008) pada kegiatan pemasaran teh
Indonesia secara umum struktur pasar yang dihadapi adalah pasar oligopoli29,
karena cukup banyak perusahaan yang bersaing dalam perdagangan teh curah di
Indonesia. Khusus untuk jalur tataniaga teh yang melalui proses lelang, struktur
pasar yang dihadapi adalah oligopoly buyers market30 (Tarigan 2003).
Struktur pasar oligopoly buyers market ditunjukkan oleh dominasi
beberapa buyer seperti L.E. Schuuman (Thee) BV, PT Sariwangi A.E.A, PT Van
Rees dan PT Lipton Limited (Unilever Indonesia) pada Jakarta Tea Auction yang
menyebabkan PTPN sebagai produsen tidak memiliki daya tawar tinggi terhadap
harga jual. Perusahaan-perusahaan yang tergabung ke dalam Jakarta Tea Auction
kemudian membentuk sebuah asosiasi pembeli teh dengan nama Jakarta Tea
Buyers Association (JTBA).
29 Pasar oligopoli merupakan struktur pasar yang dihadapkan kepada pembeli dan penjual yang
banyak atau lebih dari satu. 30 Pasar oligopoly buyers market adalah struktur pasar yang dihadapkan pada pembeli dan penjual
yang banyak atau lebih dari satu, dimana daya tawar pembeli lebih tinggi dibandingkan dengan daya tawar penjualnya.
82
Tabel. 20. Perusahaan-Perusahaan yang Tergabung ke dalam Jakarta Tea Auction
No. Nama Perusahaan Spesifikasi Kebutuhan 1. PT. Pucuk Mas Tiga Daun Black Tea 2. CV.Padakersa Black Tea 3. PT. Van Rees Indonesia Black Tea 4. PT. KBP Chakra Green Tea, Black Tea 5. PT. Pacific Agritama Comoditi Green Tea, Black Tea 6. PT. Lipton Limited Black Tea 7. L.E. Schuurman (Thee) BV. Black Tea 8. PT. Sariwangi A.E.A Black Tea 9. PT. Jakarta Tea Traders Black Tea 10. CV. Sinar Maluku Black Tea 11. Suruchi Enterprise Black Tea 12. Indoham Black Tea 13. PT. Rajawali Black Tea 14. Indonesian Nature Tea Co. Black Tea 15. PT. Putindo Inti Selaras Black Tea 16. PT. Multi Kemindo Majutama Green Tea, Black Tea 17. CV. Suryakencana Black Tea 18. PT. Pentaglobal Intracom Black Tea 19. PT. Tea Expertindo Green Tea, Black Tea 20. PT. Trijasa Prima Sejati Black Tea 21. S. St. Clair Teas Indonesia Black Tea 22. Yoosuf Akbani Black Tea
Sumber : PT. Kantor Pemasaran Bersama Nusantara dalam BPS (2011)
6.1.5 Peran Pemerintah
Pemerintah merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan
kualitas dayasaing suatu bangsa. Pemerintah memiliki kewenangan membuat
regulasi, mengatur, memfasilitasi, melindungi bahkan membatasi aktivitas dari
warga negaranya, termasuk seluruh warga dan stakeholder yang terlibat dalam
kegiatan agirbisnis teh di Indonesia. Peranan pemerintah tercermin melalui
kebijakan, regulasi, maupun dukungan terhadap upaya-upaya pengembangan
agribisnis teh. Hingga saat ini, terdapat beberapa kebijakan, regulasi maupun
sikap pemerintah yang mempengaruhi kelangsungan kegiatan agribisnis teh di
Indonesia. Berikut ini adalah beberapa bentuk kebijakan maupun sikap yang
dinilai paling berpengaruh terhadap agribisnis teh nasional :
1. Penetapan komoditas teh sebagai komoditas unggulan nasional (Kementrian
Pertanian RI 2010)
83
Penetapan tanaman teh sebagai salah satu komoditas unggulan
nasional merupakan suatu bentuk dukungan pemerintah terhadap komoditas
teh yang dirasakan sangat strategis dan memberikan multiplier effects bagi
pengembangan agribisnis teh nasional. Dengan diberikannya bentuk
dukungan seperti ini, maka diharapkan dapat mempercepat pengembangan
agribisnis teh nasional kedepannya. Penetapan teh sebagai komoditas
unggulan nasional ini diarahkan kepada upaya-upaya peningkatan produksi
yang nantinya dapat meningkatkan penerimaan devisa/ekspor, memenuhi
kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, serta sebagai produk substitusi
impor (Kementrian Pertanian RI 2010).
2. Penetapan harga dasar bagi pembelian pucuk yang diperoleh dari petani
rakyat (Peraturan Kementrian Kehutanan No. 629/1998)
Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga harga teh di tingkat petani
dari ketidakadilan yang mungkin dilakukan oleh pihak pabrik pengolah.
Peraturan ini menyatakan bahwa harga pucuk dari petani ditetapkan setelah
adanya kesepakatan antara petani atau organisasi petani dengan perusahaan
pengolah. Namun dalam pelaksanaannya, peraturan ini hampir tidak
berjalan dengan baik, karena umumnya penetapan harga masih belum
melalui proses kesepakatan kedua belah pihak (Kustanti & Widiyanti 2007).
3. Penetapan tarif impor untuk produk teh produk curah maupun olahan
sebesar 5 persen.
Saat ini, penetapan tarif impor teh di Indonesia dinilai terlalu kecil,
yaitu sebesar 5 persen untuk semua jenis teh baik teh curah maupun teh
kemasan. Perkembangan volume dan nilai impor Indonesia dapat dilihat
kembali pada Tabel 2. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka akan
mengancam agribisnis teh nasional.
Rendahnya penetapan tarif impor ini juga akan mempengaruhi
kelangsungan industri teh lanjutan dalam negeri, mengingat pemerintah juga
menetapkan PPN sebesar 10 persen bagi produk teh kemasan. Hal ini
menyebabkan biaya yang dikeluarkan produsen teh kemasan dalam negeri
lebih besar dibandingkan dengan biaya impor produk teh kemasan yang
hanya dikenai pajak sebesar 5 persen.
84
Tabel 21. Tarif Impor Produk Teh di Beberapa Negara Eksportir Teh ke Indonesia
No Negara Tarif Impor
Teh Curah 090220, 090240
Produk Teh Kemasan 090210, 090230
1 Sri Langka 25 persen 25 persen 2 India 114 persen 114 persen; 30 persen
(instant tea) 3 China 15 persen (MFN);
100 persen di luar MFN 15 persen (MFN); 100 persen di luar MFN
4 Kenya 25 persen 25 persen 5 Malawi 50 persen (teh hitam);
10 persen (teh hijau) 50 persen (teh hitam); 10 persen (teh hijau)
6 Jepang 3 persen (teh hitam); 17 persen (teh hijau)
12 persen (teh hitam kemasan); 10 persen (instant tea)
7 Taiwan 17,6 persen 25 persen (teh oolong) 8 Turki 145 persen 145 persen Sumber : International Trade Center (2006) dalam Santoso dan Suprihatini (2007a)
4. Penghapusan PPN untuk produk teh curah pada tahun 2007.
Pengenaan PPN bagi seluruh produk teh sebesar 10 persen sangat
mempengaruhi kondisi perkebunan teh di Indonesia. Banyak perkebunan
bahkan perkebunan besar negara yang menderita rugi akibat produk teh
curahnya dikenai PPN sebesar 10 persen31. Karena itu, penghapusan PPN
bagi produk teh curah sangat mempengaruhi kelangsungan perkebunan teh
di Indonesia.
5. Kebijakan lainnya
Penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk teh kemasan
sebesar 10 persen, pengaturan pajak dalam kegiatan investasi dalam
agribisnis teh Indonesia, pengenaan tarif impor bagi alat, mesin, bahan baku
kemasan yang digunakan dalam proses pengolahan teh serta beberapa
bentuk kebijakan lainnya (Suprihatini & Rosyadi 2003).
31 Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Sultoni Arifin [23 Maret
2011]
85
Sejauh ini, belum ada kebijakan yang secara khusus ditujukan kepada
komoditas teh. Hal ini perlu dipertimbangkan kembali mengingat peranan teh
dalam pembangunan nasional sebagai tanaman yang strategis. Sehingga dalam
pengembangannya diperlukan dukungan khusus dan kontinu dari pemerintah
kepada komoditas ini.
6.1.6 Peran Kesempatan
Faktor kesempatan merupakan suatu faktor yang berada di luar jangkauan
stakeholder teh nasional. Namun keberadaan faktor ini dapat menjadi suatu
momen yang bisa mengangkat posisi dayasaing teh Indonesia. Salah satu bentuk
kesempatan yang dapat dimanfaatkan adalah adanya kekeringan yang melanda
India, Sri Langka dan Kenya, negara-negara produsen teh terbesar dunia.
Kekeringan dan faktor cuaca buruk yang melanda ketiga negara tersebut beberapa
tahun terakhir ini akan mempengaruhi produksi dan kualitas teh yang mereka
hasilkan32. Hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan bagi
komoditas teh Indonesia, mengingat Kenya dan Sri Langka merupakan pesaing
Indonesia dalam hal kesamaan produk. Indonesia dan Kenya sama-sama
memproduksi teh hitam CTC, dan Sri Langka merupakan pesaing Indonesia yang
sama-sama menghasilkan teh hitam Orthodox33.
Kondisi tersebut semakin didukung oleh mutu dan standar teh Indonesia
yang juga kian membaik. Perbaikan standar mutu di sini tidak hanya mengacu
pada standar lingkungan, melainkan juga pengelolaan kebun dan sosial tenaga
kerja. kebun-kebun serta pabrik pengolahan teh di Indonesia semakin banyak
yang dilengkapi dengan sertifikasi internasional yang merupakan tren baru untuk
dapat bertahan dan bersaing di pasar global.
Pada kondisi jangka panjang, kesempatan yang dapat dipertimbangkan
adalah meningkatnya kepedulian masyarakat dunia terhadap kesehatan. Hal
tersebut sedikit demi sedikit akan mengubah pola hidup masyarakat, termasuk
dalam memilih makanan dan minuman untuk dikonsumsi. Teh merupakan
minuman fungsional dengan berbagai khasiat yang baik bagi tubuh manusia
32 Insyaf Malik, Ketua Asosiasi Teh Indonesia dalam Kontan, 1 Maret 2010 yang dikutip dari
Sustainable Tea Newsletter, edisi Maret 2010, Halaman 1. 33 Hasil wawancara dengan Ir. Mudjiwati Sadjad, MSc-IS, PT Kantor Pemasaran Bersama
Nusantara [20 Maret 2011]
86
karena kandungan katekin yang berada di dalamnya. Maraknya isu kesehatan
tersebut merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik bagi teh sebagai
minuman fungsional. Hal tersebut tentunya harus didukung oleh seluruh
stakeholder teh di Indonesia termasuk pemerintah agar dapat melihat dan
memanfaatkan kesempatan ini.
Kepedulian masyarakat dunia terhadap produk yang multifungsi dan
mengarah kepada kesehatan, secara tidak langsung berarti akan mendorong
peningkatan konsumsi teh di dalam maupun di luar negeri. Hal ini juga akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat teh, karena adanya
dorongan untuk mengkonsumsi minuman fungsional yang tidak hanya sekedar
mampu menghilangkan dahaga.
Hal tersebut juga akan meningkatkan citra teh Indonesia di mata
konsumen dunia, karena kandungan katekin yang ada di dalam varietas Assamica
(varietas yang ditanam di Indonesia) lebih besar dibandingkan dengan kandungan
katekin pada teh varietas Sinensis (contohnya teh yang berasal dari Jepang dan
China). Kesempatan ini selain akan membuka peluang di pasar luar negeri, juga
berpotensi untuk meningkatkan jumlah konsumsi dalam negeri. Untuk lebih
lengkapnya, kandungan katekin yang ada pada teh Indonesia dapat dilihat kembali
pada Tabel 4.
Menurut Subarna et al (2000) dalam Surjadi (2003) jumlah konsumsi
konsumen yang mengetahui manfaat teh untuk kesehatan lebih tinggi
dibandingkan dengan konsumen yang belum mengetahuinya. Dalam hal ini,
peubah yang telah diketahui mempunyai hubungan positif dengan jumlah
konsumsi teh dalam keluarga ialah informasi manfaat teh untuk kesehatan. Selain
itu, dalam penelitiannya Surjadi (2003) juga mengemukakan bahwa frekuensi
seduhan teh diduga lebih banyak pada kelompok keluarga yang sudah mengenal
teh dibanding dengan keluarga yang belum mengenal informasi mengenai teh.
Karena itu, merebaknya isu kesehatan ini juga akan menjadi kesempatan yang
baik untuk meningkatkan konsumsi teh di dalam negeri asalkan didukung dengan
upaya-upaya penyebaran informasi mengenai manfaat teh lebih gencar lagi.
Dengan meningkatnya penyebaran informasi mengenai manfaat teh, maka
87
diharapkan akan lebih mendorong tingkat konsumsi teh dalam negeri, bahkan
menggeser posisi minuman subtitusi lain.
Selain berpengaruh terhadap konsumsi, isu tersebut juga akan semakin
memicu produsen untuk meningkatkan mutu produk mereka. Pembeli akan
semakin menuntut kualitas produk mulai dari pengelolaan kebun, manajemen,
serta tanggung jawab tehadap lingkungan dan kelangsungan perkebunan teh yang
berkelanjutan (sustainable tea). Hal tersebut akan mendorong produsen tanah air
untuk melengkapi produk tehnya dengan atribut sertifikasi yang menujukan
kepedulian mereka kepada pekerja, lingkungan juga keberlangsungan kegiatan teh
yang berkelanjutan. Beberapa jenis sertifikasi internasional yang telah umum
dikantongi produsen teh dalam negeri diantaranya GMP (Good Manufacturing
Practices), GAP (Good Agricultural Practices), HACCP, UTZ Certificate,
Rainforest Alliance, Sertifikat Lestari, dan beberapa sertifikasi lainnya.
6.2 Keterkaitan Antar Komponen Utama
Berdasarkan analisis dayasaing pada setiap komponen, maka dapat
diketahui bagaimana keterkaitan antar komponen dalam sistem agribisnis teh
Indonesia. Berikut ini adalah analisis keterkaitan antar komponen utama dalam
agribisnis teh Indonesia :
6.2.1 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Fakor Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik
Kondisi faktor sumberdaya dan kondisi permintaan domestik telah
memiliki keterkaitan yang saling mendukung. Permintaan konsumen domestik
terhadap produk teh masih dapat dipenuhi oleh produsen-produsen dalam
negeri34. Dengan kondisi faktor sumberdaya yang dimiliki Indonesia,
memungkinkan pihak produsen untuk menghasilkan produk teh, bahkan untuk
mengekspornya (data ekspor impor teh Indonesia ada pada Tabel 2). Meskipun
Indonesia juga melakukan impor teh dari negara lain, namun agribisnis teh
Indonesia telah unggul secara komparatif (Tatakomara 2004). Volume impor teh
Indonesia hanya sebesar 9.000 ton atau sekitar 6,5 persen dari total produksi teh
34 Produksi teh dalam negeri pada tahun 2008 mencapai 137.499 ton. Sementara konsumsi teh
dalam negeri hanya sebesar 42.000 ton atau sebesar 30,5 persen (ITC 2009)
88
nasional (ITC 2009). Selain itu, kebutuhan teh impor hanya digunakan sebagai
bahan baku untuk pembuatan blending tea oleh para produsen teh lokal35.
Selain itu, rendahnya konsumsi domestik justru medorong sumberdaya
manusia dalam industri teh (peneliti dan pengusaha) untuk menciptakan teknologi
dan berinovasi untuk meningkatkan minat konsumen dan jumlah konsumsi dalam
negeri. Teknologi tersebut diantaranya adalah teknologi peningkatan nilai tambah
yang diharapkan mampu meningkatkan pilihan produk teh di mata konsumen.
Teknologi peningkatan nilai tambah ini juga merupakan strategi yang digunakan
untuk meningkatkan komposisi produk kemasan yang diekspor, sehingga mampu
meningkatkan nilai ekspor produk teh (Santoso & Suprihatini 2007b).
6.2.2 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung
Komponen kondisi permintaan domestik dengan komponen industri terkait
dan pendukung memiliki keterkaitan yang belum saling mendukung. Seperti yang
telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya, diketahui bahwa permintaan teh
Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2008, konsumsi teh Indonesia
hanya sebesar 42.000 ton, sangat jauh apabila dibandingkan dengan konsumsi teh
negara produsen lainnya. Cina, produsen teh terbesar di dunia tingkat konsumsi
teh domestiknya mencapai 872.000 ton. Negara produsen teh lainnya seperti
India, Jepang dan Bangladesh konsumsi teh domestiknya mencapai 798.000 ton,
134.000 ton dan 47.000 ton.
Selain rendahnya volume konsumsi teh dalam negeri, perdagangan teh di
Indonesia juga belum didukung oleh kesediaan industri dalam menyediakan teh
dengan kualitas terbaik. Teh yang beredar di dalam negeri didominasi oleh teh
dengan mutu kedua dan ketiga (mutu pertama ditujukan untuk pasar ekspor).
Dalam penelitiannya, Surjadi (2003) menemukan bahwa produk teh bermutu
tinggi yang beredar di pasaran hanya terdiri dari dua merk, dari total yang beredar
sebelas merk. Kedua produk tersebut tidak diiklankan dengan media elektronik
(televisi) dan informasi yang disampaikan kepada konsumen terbatas hanya pada
media publikasi kalender, dengan tanpa menekankan informasi mutu tinggi pada
rasa air seduhannya. Sebaliknya, produk teh mutu rendah diiklankan melalui 35 Suprihatini dan Rosyadi (2003) ditambah dengan hasil wawancara dengan Bapak Boyke S.
Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011]
89
media elektronik. Dengan demikian rendahnya konsumsi teh dalam negeri,
khususnya teh bermutu tinggi (Tabel 16), disebabkan oleh tidak tersedianya
informasi, atau produk tidak tersedia di pasaran, dan atau disebabkan oleh kedua
faktor tersebut (Surjadi 2003)36.
Hal tersebut menunjukkan bahwa industri dalam negeri, khususnya
produsen, packers dan lembaga pemasar teh di dalam negeri belum menyediakan
informasi maupun memastikan ketersediaan produk bermutu tinggi di pasaran.
Perusahaan-perusahaan teh di dalam negeri belum secara optimal melakukan
upaya promosi dan sosialisasi mengenai produk teh yang berkualitas yang
ditunjukkan pada rendahnya biaya iklan yang dikeluarkan mayoritas perusahaan
untuk mempromosikan produk teh mereka (Tabel 18). Kurangnya pengetahuan
konsumen ini juga menyebabkan rendahnya penghargaan konsumen terhadap
produk-produk teh yang dihasilkan produsen di dalam negeri. Karena itu,
meskipun produk teh yang beredar di dalam negeri didominasi oleh teh
berkualitas rendah, namun belum ada tuntutan dari konsumen yang menekan
industri teh dalam negeri untuk meningkatkan kualitas produknya.
Kondisi ini berbeda dengan perdagangan teh Indonesia di pasar
internasional, dimana konsumen internasional sangat menuntut produk dengan
kualitas dan standarisasi tertentu. Hal tersebut ditunjukan oleh ketatnya
persyaratan yang diajukan konsumen luar negeri untuk setiap produk teh yang
masuk. Salah satu bentuk persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah negara
produsen umumnya dipenuhi dengan sertifikasi internasional.
6.2.3 Keterkaitan antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi
Komponen industri terkait dan pendukung dengan komponen persaingan,
struktur dan strategi secara umum belum menghasilkan suatu keterkaitan yang
saling mendukung. Keterkaitan yang belum mendukung ini tampak pada kondisi
persaingan yang dihadapi di pasar domestik. Dalam persaingannya di pasar
domestik, produk teh Indonesia dihadapkan oleh persaingan dengan industri
36 Penelitian Surjadi (2003) ini dilakukan dengan menggunakan produk teh dari berbagai merk
yang dikonsumsi konsumen contoh, dimana konsumen contoh yang terlibat merupakan konsumen keluarga yang diwakili oleh ibu rumah tangga yang dianggap sebagai pengambil keputusan. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Tasikmalaya sebagai perwakilan pasar di daerah produsen, dan Surabaya sebagai perwakilan pasar di daerah non-produsen.
90
minuman subtitusi lainnya. Dibandingkan dengan mengkonsumsi teh, konsumen
rumah tangga lebih memilih mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk
memenuhi kebutuhannya terhadap minuman non-teh seperti air mineral, kopi dan
susu (Adam 2006). Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh kurangnya promosi
yang dilakukan produsen teh apabila dibandingkan dengan kegiatan promosi
minuman subtitusi lainnya37.
Selain itu, pengusaha-pengusaha teh Indonesia masih belum berada pada
suatu kondisi persaingan yang kompetitif. PTPN sebagai market leader umumnya
masih mengandalkan Pasar Lelang Jakarta (Jakarta Tea Auction) di samping
pemasaran langsung kepada pembeli. Dengan struktur pasar oligopoly buyers
market yang dihadapi PTPN di Pasar Lelang Jakarta, maka posisi PTPN
cenderung lemah dan berdaya tawar rendah (Tarigan 2003). Struktut pasar
oligopoly buyers market cukup membatasi pergerakan harga akibat rendahnya
tingkat persaingan di pasar lelang yang didominasi oleh beberapa perusahaan
besar tertentu38. Sementara harga yang terbentuk dijadikan acuan bagi harga teh
nasional. Selain itu, tindakan-tindakan atau strategi perusahaan dinilai kurang
responsif terhadap perubahan iklim persaingan. Penurunan kondisi teh nasional
sejak sepuluh tahun lebih ini belum mampu diantisipasi dengan baik oleh para
stakeholder.
6.2.4 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumberdaya
Kondisi persaingan, struktur dan strategi belum memiliki keterkaitan yang
saling mendukung dengan kondisi faktor sumberdaya. Hal ini dikarenakan belum
meratanya penyebaran sumberdaya (alam, manusia, IPTEK, modal dan
infrastruktur) di tingkat produsen, khususnya petani rakyat. Produktivitas yang
37 Hasil wawancara dengan Bapak Boyke S. Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa
Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011] 38 Pada proses lelang Jakarta Tea Auction yang diselenggarakan oleh PT. Kantor Pemasaran
Bersama Nusantara (PT. KPBN), peserta lelang hanya terdiri dari perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota, dan produsen teh hanya berasal dari PBN saja. Hal ini tentunya membatasi pembentukan harga akibat adanya kontrol dari beberapa perusahaan besar yang menjadi anggota. Pada tahun 2010, perubahan badan hukum KPBN menjadi sebuah perseroan terbatas, diharapkan merupakan menjadi sinyal yang baik bagi pertumbuhan harga teh nasional. Dengan berbadan hukum perseroan terbatas, diharapkan produsen teh yang turut serta dalam lelang bisa berasal dari pihak swasta, maupun koperasi yang mewakili rakyat. Begitu pula dengan jumlah buyer diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi banyak pembeli sehingga akan terbentuk suatu pasar yang kompetitif serta perbaikan harga
91
rendah dibandingkan dengan tipe pengusahaan kebun PBN dan PBS,
menunjukkan adanya kelemahan di tingkat petani dalam hal faktor sumberdaya.
Produktivitas perkebunan rakyat di Indonesia hanya mencapai 791,9 kh/ha.
Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara
maupun swasta yang mencapai 1956,5 kg/ha dan 1301,8 kg/ha. Kondisi ini yang
menyebabkan persaingan dalam negeri yang belum kompetitif, dikarenakan
adanya ketidakseimbangan alokasi sumberdaya antar tipe pengusahaan.
6.2.5 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Pendukung Komponen faktor sumberdaya dengan komponen industri terkait dan
pendukung memiliki hubungan keterkaitan yang saling mendukung. Sejauh ini
faktor-faktor sumberdaya yang dibutuhkan oleh industri teh telah mampu
dipenuhi oleh keberadaan faktor sumberdaya dalam negeri. Kondisi tanah, cuaca
dan iklim di Indonesia sangat menunjang usahatani teh dan kelangsungan usaha
pembibitan teh (industri terkait). Selain itu, perkembangan industri yang
menuntut adanya dukungan kemajuan teknologi juga didukung oleh
berkembangnya sumberdaya IPTEK sebagai lembaga research yang menyokong
kebutuhan industri akan teknologi. Kemajuan IPTEK yang mendukung
pengembangan agribisnis teh Indonesia ini didukung oleh Pusat Penelitian Teh
dan Kina yang telah berpengalaman dan telah berada di Indonesia. Selain
keberadaan PPTK, kondisi IPTEK juga didukung oleh lembaga-lembaga
pendukung lain seperti Asosiasi Teh Indonesia dan Dewan Teh Indonesia yang
secara terus-menerus melakukan riset dan upaya-upaya yang memajukan
agribisnis teh Indonesia.
6.2.6 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Komponen Kondisi Permintaan Domestik Kedua komponen ini dinilai belum saling mendukung. Hal ini dikarenakan
strategi yang dilakukan perusahaan nyatanya belum mampu meningkatkan
volume konsumsi domestik. Selain itu, pengetahuan masyarakat yang rendah atas
spesifikasi kualitas teh yang baik menyebabkan konsumen tidak melakukan
tuntutan perbaikan mutu terhadap perusahaan. Akibatnya tingkat persaingan di
pasar domestik sangatlah rendah apabila dibandingkan dengan pasar dunia.
92
93
Komposisi teh yang beredar di pasar domestik didominasi oleh teh kualitas
sedang hingga rendah (Surjadi 2003). Hal tersebut menyebabkan teh belum dapat
bersaing dengan produk-produk subtitusi lain, akibatnya konsumen rumah tangga
cenderung lebih memilih untuk mengkonsumsi minuman non-teh. Selain itu,
kondisi yang tidak saling mendukung juga ditunjukkan oleh rendahnya konsumsi
dalam negeri, padahal banyak perusahaan yang bergerak di sektor ini. Hal ini
menunjukkan perusahaan belum melakukan strategi yang tepat dalam
mempromosikan dan menyebarkan produk mereka kepada masyarakat.
Tabel 22. Keterkaitan Antar Komponen Utama No Komponen I Komponen II Keterkaitan Uraian
1 Faktor Sumberdaya
Kondisi Permintaan Domestik
Saling Mendukung
• Kondisi faktor sumberdaya teh Indonesia masih memungkinkan produsen untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen domestik, bahkan kelebihan produksi dalam negeri tersebut memungkinkan Indonesia sebagai salah satu eksportir teh terbesar di dunia.
2 Kondisi
Permintaan Domestik
Industri Terkait dan
Industri Pendukung
Belum Saling Mendukung
• Konsumsi teh domestik yang rendah, ditambah dengan pasifnya konsumen domestik belum mampu mendorong dan memotivasi industri-industri terkait teh untuk mendistribusikan produk dengan kualitas baik. Kualitas teh yang beredar di pasar domestik masih didominasi oleh teh bermutu rendah. Penghargaan masyarakat terhadap teh kualitas baik masih rendah.
• Produsen dalam negeri masih belum melakukan upaya promosi dan penyebaran informasi mengenai manfaat teh secara optimal, sehingga pengetahuan konsumen terhadap manfaat teh masih rendah, yang berimbas pada rendahnya konsumsi domestik.
3
Industri Terkait dan
Industri Pendukung
Persaingan, Struktur dan
Strategi
Belum Saling Mendukung
• Struktur pasar yang terbentuk masih didominasi oleh pihak PBN. Kontribusi produsen swasta dan rakyat masih harus ditingkatkan agar persaingan antar industri dalam negeri semakin kompetitif.
• Strategi atau tindakan para produsen teh di Indonesia masih belum cukup gesit dalam merespon perubahan lingkungan persaingan. Indonesia masih merupakan follower pasar dan strategi yang dilakukan masih belum mampu meningkatkan daya tawar Indonesia di pasar dunia.
4 Persaingan, Struktur dan
Strategi
Kondisi Faktor Sumberdaya
Belum Saling Mendukung
• Kondisi persaingan dalam negeri yang belum cukup kompetitif disebabkan oleh belum meratanya penyebaran sumberdaya manusia professional, dan sumberdaya IPTEK terutama pada perkebunan rakyat.
5 Kondisi Faktor
Sumberdaya
Industri Terkait dan
Industri Pendukung
Saling Mendukung
• Sejauh ini, kondisi faktor sumberdaya telah mampu menyokong industri terkait dan pendukung teh nasional. Salah satunya dalam pemenuhan bahan baku untuk pengolahan teh. Namun dibutuhkan komitmen dari seluruh stakeholder agar industri teh dalam negeri dapat terus bersaing.
• Perkembangan industri menuntut faktor-faktor sumberdaya khususnya lembaga peneitian dan sumberdaya manusia agar dapat terus meningkatkan kualitas mereka.
6 Persaingan, Struktur dan
Strategi
Kondisi Permintaan Domestik
Belum Saling Mnedukung
• Rendahnya volume konsumsi domestik dan minimnya tuntutan konsumen akan produk yang berkualitas, menyebabkan tingkat persaingan industri dalam menciptakan produk-produk berkualitas masih rendah.
• Strategi yang diterapkan perusahaan belum mampu meningkatkan konsumsi teh domestik.
94
6.3 Keterkaitan Komponen Pendukung
Berikut ini adalah analisis mengenai keterkaitan komponen pendukung
dayasaing dengan komponen utama dayasaing agribisnis teh Indonesia :
6.3.1 Peranan Pemerintah terhadap Komponen Utama Peranan pemerintah terhadap perkembangan agribisnis teh Indonesia
tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan serta sikap yang
ditunjukan. Beberapa dari kebijakan tersebut dinilai telah mendukung komponen-
komponen utama. Namun, beberapa yang lainnya dinilai belum tepat dan belum
mendukung komponen dayasaing agribisnis teh Indonesia. Dalam kebijakan
terkait dengan komoditas teh di Indonesia, penetapan teh sebagai salah satu
komoditas unggulan nasional dinilai telah mendukung upaya peningkatan kualitas
sumberdaya teh di Indonesia, baik dengan upaya peningkatan perluasan area
tanam, peningkatan produksi, peningkatan volume ekspor, serta beberapa aspek
lainnya.
Di samping itu, beberapa kebijakan pemerintah yang belum mendukung
dayasaing agribisnis teh Indonesia adalah penetapan PPN sebesar 10 persen untuk
produk teh kemasan, sementara produk teh kemasan yang masuk ke Indonesia
hanya dikenakan tarif impor sebesar 5 persen. Hal ini dirasakan merugikan
produsen, karena dapat mengurangi laba yang cukup besar juga membuat produk
lokal kalah saing dengan produk impor. Hal ini juga terkait dengan kebijakan
penetapan tarif impor produk teh curah yang sama dengan produk teh kemasan
sebesar 5 persen yang dirasakan kurang mendukung karena penetapan tarif impor
yang rendah telah mengakibatkan peningkatan volume impor dari tahun ke tahun.
Meskipun volume teh impor masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi
teh nasional untuk konsumsi teh dalam negeri, namun hal tersebut patut
diwaspadai agar kelak tidak merugikan produsen teh domestik, khususnya petani
yang sebagian besar produksinya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar
domestik. Karena itu, kebijakan pemerintah saat ini dinilai belum mendukung
komponen industri terkait dan industri pendukung, serta komponen strategi,
struktur dan persaingan karena belum berpihak kepada produsen lokal. Selain itu,
hingga saat ini belum ada kebijakan atau program khusus yang dilakukan
95
96
pemerintah untuk mengatasi permasalahan konsumsi teh domestik, karena itu,
peranan pemerintah juga dinilai belum mendukung komponen ini.
6.3.2 Peranan Kesempatan terhadap Komponen Utama Adanya kesempatan meningkatnya harga teh karena penurunan produksi
dari pesaing utama dinilai akan meningkatkan kinerja sumberdaya manusia
khususnya petani dan pengusaha demi memanfaatkan kondisi harga. Selain itu,
akan timbul persaingan antara produsen di dalam negeri guna memperoleh
kesempatan menjual produk di saat harga teh membaik. Hal tersebut menunjukan
bahwa kesempatan ini memberikan dukungan kepada kondisi faktor sumberdaya
dan struktur, persaingan dan strategi. Selain itu, maraknya tuntutan konsumen
global akan produk yang berbasis kesehatan juga akan mempengaruhi pola pikir
konsumen dalam negeri. Sehingga kepedulian akan kesehatan tersebut akan
tertular kepada konsumen domestik dan berimbas kepada peningkatan konsumsi
dalam negeri. Dengan semakin maraknya isu kesehatan tersebut, maka konsumen
akan mulai menuntut industri domestik untuk menyediakan produk-produk yang
multifungsi dan baik bagi kesehatan. Karena itu, faktor kesempatan ini juga
mendukung perkembangan industri terkait dan industri pendukung agribisnis
nasional.
Tabel 23. Keterkaitan Antara Komponen Pendukung dengan Komponen Utama
No Komponen Pendukung
Komponen Utama Keterkaitan Uraian
1 Peranan Pemerintah
• Kondisi Faktor Sumberdaya
• Kondisi Permintaan Domestik
• Industri Terkait dan Pendukung
• Persaingan, Struktur dan Strategi
• Mendukung
• Belum Mendukung
• Belum Mendukung
• Belum
Mendukung
• Penetapan teh sebagai komoditas unggulan nasional akan mendukung peningkatan produksi, luas area, peningkatan nilai tambah dan volume ekspor teh nasional.
• Hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang dikeluarkan khusus untuk mengatasi rendahnya konsumsi teh domestik, berbeda halnya dengan komoditas karet ataupun sawit.
• Kebijakan PPN untuk produk teh kemasan dinilai kurang tepat, karena sangat mempengaruhi biaya produksi perusahaan dan laba yang diperoleh perusahaan, selain itu belum ada insentif dari pemerintah untuk usaha pengembangan teh kemasan.
• Penyamarataan tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan sebesar 5% bagi produk teh yang masuk ke Indonesia.
2 Peranan Kesempatan
• Kondisi Faktor Sumberdaya
• Kondisi Permintaan Domestik • Industri Terkait dan Pendukung
• Persaingan, Struktur dan Strategi
• Mendukung • Mendukung
• Mendukung
• Mendukung
• Penurunan produksi negara pesaing akibat kekeringan akan memicu peningkatan harga teh, hal ini akan meningkatkan kinerja petani dan stakeholder pada industri domestik agar dapat memperoleh kesempatan peningkatan harga.
• Maraknnya isu mengenai peningkatan kesadaran konsumen global akan kesehatan secara tidak langsung juga akan memperngaruhi pengetahuan konsumen domestik. Hal ini akan berdampak pada peningkatan konsumsi nasional, juga diharapkan meningkatkan permintaan pasar ekspor.
• Maraknya tuntutan masyarakat global akan kesehatan akan menjadikan masyarakat domestik semakin menuntut industri terkait dan pendukung teh Indonesia untuk dapat menyediakan produk-produk berbasis kesehatan sesuai dengan tren yang beredar saat ini.
• Kekeringan yang melanda Sri Langka, India dan Kenya akan menimbulkan persaingan antar stakeholder sebagai bentuk upaya tidak ingin ketinggalan kesempatan tingginya harga.
97
98
Keterangan : Garis menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung
Garis menunjukkan keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung
Peranan Kesempatan
Kondisi Permintaan
Domestik
Gambar 13. Keterkaitaan Antar Komponen Dayasaing dalam Sistem Agribisnis Teh Indonesia
Persaingan, Struktur, Strategi Perusahaan
g
Industri Terkait dan
Industri Pendukun
a
Kondisi Faktor
Sumberday
Peranan Pemerintah
Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan
bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama belum berdayasaing, karena
hanya dua dari enam pasang komponen yang saling mendukung. Sementara pada
komponen peranan pemerintah, kebijakan dan sikap yang diberikan pemerintah
terhadap agribisnis teh Indonesia dinilai baru mampu mendukung komponen
faktor sumberdaya saja. Berbeda dengan komponen pemerintah, komponen
kesempatan ternyata telah memberikan dukungan terhadap seluruh komponen
dalam agribisnis teh Indonesia. Hal tersebut menunjukan adanya peranan
kesempatan tersebut akan mampu meningkatkan posisi dayasaing agribisnis teh
Indonesia apabila seluruh stakeholder mengupayakan diri untuk dapat mengambil
manfaat sebesar-besarnya dari kesempatan-kesempatan tersebut.
99
VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ARSITEKTUR
STRATEGIK AGRIBISNIS TEH INDONESIA
7.1 Analisis Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia
Setelah melakukan analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia, maka
langkah selanjutnya adalah merumuskan strategi untuk meningkatkan dayasaing
tersebut. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi
informasi menjadi dua kelompok, yaitu informasi yang termasuk ke dalam
lingkup internal, dan informasi yang termasuk ke dalam lingkup eksternal.
Selanjutnya, dilakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan yang berasal dari
lingkup internal kemudian identifikasi peluang dan ancaman yang berasal dari
lingkup eksternal. Sumber informasi yang digunakan berasal pembahasan
mengenai sistem agribisnis teh nasional pada Bab V serta analisis dayasaing
agribisnis teh Indonesia pada Bab VI. Kemudian, dilakukan proses pencocokan
dengan menggunakan Matriks SWOT sehingga diperoleh strategi pengembangan
yang sesuai dengan kondisi agribisnis teh Indonesia saat ini.
7.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Tahap pertama yang dilakukan dalam perumusan strategi adalah melakukan
identifikasi strengths, weaknesses, opportunities dan threaths (SWOT). Faktor
strengths dan weaknesses diperoleh dari informasi yang berasal dari lingkup
internal. Dimana lingkup internal merupakan kegiatan dan pihak-pihak yang
terlibat dalam aktivitas usahatani dan pengolahan teh curah. Sementara faktor
opportunities dan threats diperoleh dari kegiatan dan pihak-pihak yang berada di
luar kegiatan budidaya dan pengolahan teh curah, termasuk lingkungan global
(lingkup eksternal). Untuk lebih jelasnya mengenai ruang lingkup internal dan
eksternal, dapat dilihat kembali Gambar 5. Identifikasi mengenai strengths,
weaknesses, opportunities dan threaths tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.
100
Tabel 24. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman
Komponen Identifikasi SWOT Faktor SWOT
Agribisnis Teh Indonesia
Subsistem Hulu • Peluang • Adanya klon unggulan dengan tingkat produktivitas tinggi dan tahan terhadap hama penyakit
Subsistem Budidaya
• Kekuatan • Kekuatan
• Kelemahan
• Teh Indonesia unggul secara komparatif • Kandungan katekin pada varietas teh Assamica lebih tinggi
dari kandungan katekin varietas Sinensis • Rendahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga
Subsistem Pengolahan • Kelemahan
• Kekuatan
• Mayoritas produk teh yang dihasilkan oleh PBN masih berupa teh curah
• Teh hitam jenis BOP disukai di Timur Tengah Subsistem Pemasaran • Ancaman • Indonesia sebagai market follower di pasar internasional Subsistem Jasa Penunjang • Peluang • Adanya asosisasi-asosiasi (ATI , APETEHINDO) dan DTI
Komponen Dayasaing Agribisnis Teh IndonesiaA. Faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya Alam/Fisik
• Ancaman
• Kondisi cuaca yang semakin tidak menentu
• Syarat, Kondisi, Luas Lahan
• Kelemahan
• Maraknya konversi area kebun teh oleh produsen
• Aksesibilitas Terhadap Bibit
• Peluang • Adanya kemudahan memperoleh bibit teh melalui PPTK
• Aksesibilitas Terhadap Pupuk
• Ancaman • Sering terjadi kelangkaan pupuk di kalangan produsen
• Biaya-Biaya Terkait
• Kelemahan
• Tingginya biaya produksi di subsistem budidaya dan pengolahan teh curah
• Produktivitas Lahan • Kelemahan • Rendahnya produktivitas perkebunan rakyat 2. Sumberdaya Manusia
• Kelemahan
• Kekuatan
• Rendahnya kemampuan petani dalam mengaplikasikan teknologi
• Tenaga kerja banyak tersedia 3. Sumberdaya IPTEK • Peluang • Adanya kontribusi penelitian dari lembaga riset PPTK 4. Sumberdaya Modal • Kelemahan • Petani masih sulit mengakses sumber modal 5. Sumberdaya Infrastruktur • Kelemahan • Sebagian besar infrastruktur seperti jalan, kebun dan pabrik
pengolahan teh curah sudah tidak memadai B. Permintaan Domestik • Komposisi Permintaan
• Kelemahan
• Rendahnya kualitas teh yang beredar di dalam negeri
• Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
• Ancaman • Peluang
• Rendahnya konsumsi teh dalam negeri. • Adanya potensi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam
negeri • Internasionlaisasi • Ancaman • Pergolakan politik yang terjadi di Timur Tengah C. Industri Terkait dan Pendukung • Industri terkait
• Peluang
• Kekuatan
• Adanya industri olahan berbasis teh yang telah berkembang
di Indonesia • Banyak bagian dari tanaman teh yang dapat dimanfaatkan
• Industri Pendukung • Peluang • Kelemahan
• Transformasi KPB menjadi PT KPBN • Industri teh curah Indonesia belum mendukung konsumsi teh
domestik D. Struktur, Persaingan
dan Strategi • Struktur Pasar
• Ancaman
• Struktur pasar Oligopoly Buyers Market di PT KPBN • Persaingan
• Ancaman
• Persaingan dengan minuman subtitusi, produk teh impor dan
eksportir lain di pasar internasional • Strategi • Peluang • Strategi diversifikasi produk dan pengembangan pasar yang
mulai dilakukan oleh produsen di dalam negeri E. Peranan Pemerintah • Peluang
• Ancaman • Teh merupakan salah satu komoditas unggulan nasional • Rendahnya tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan
F. Peranan Kesempatan • Peluang • Kekeringan yang melanda India, Sri Langka dan Kenya • Semakin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan
kesehatan
101
7.1.2 Analisis Faktor Strategis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman
1) Analisis Faktor Strategis Internal : Kekuatan
a) Teh Indonesia Unggul secara Komparatif
Tatakomara (2004) menyatakan bahwa teh Indonesia yang dinilai dengan
menggunakan indeks REER telah memiliki keunggulan komparatif, karena
sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia. Selanjutnya Febrianthi
(2008) dengan menggunakan alat analisis Revealed Comparative Advantage
(RCA) menyatakan bahwa Indonesia memiliki dayasaing yang kuat. Analisis
keunggulan komparatif dengan metode RCA menunjukkan bahwa komoditas teh
Indonesia yang berdayasaing kuat adalah teh hijau kode HS 090210 dan teh hitam
kode HS 090240 dikarenakan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua produk
itu dan nilai ekspor yang cukup tinggi, serta pangsa pasar yang luas. Meskipun
demikian, diperlukan usaha yang lebih keras lagi untuk meningkatkan dayasaing
teh Indonesia secara kompetitif, sehingga dayasaing di pasar internasionalnya
menjadi lebih kuat.
b) Kandungan Katekin Teh Assamica Lebih Tinggi Dibandingkan dengan Teh Sinensis
Katekin adalah kandungan pada teh yang bermanfaat untuk kesehatan dan
merupakan antioksidan yang sangat efektif untuk menetralkan radikal bebas
dalam tubuh. Kadar katekin yang terdapat pada teh Assamica (teh yang
dibudidayakan di Indonesia) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar katekin teh
yang berasal dari varietas Sinensis (seperti teh yang dibudidayakan di Cina, Sri
Langka dan Jepang). Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa kualitas
teh Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan kualitas teh dari negara lain,
khususnya Cina, Sri Langka dan Jepang39. Kekuatan kandungan katekin teh
Indonesia umumnya tampak pada kandungan teh hitam Orthodox Indonesia yang
lebih tinggi (8,24 persen) dibandingkan kandungan katekin teh hitam Sri Langka
(7,39 persen). Begitu juga dengan kandungan teh wangi yang berasal dari
Indonesia memiliki kandungan katekin sebesar 9,28 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan kandungan teh wangi Cina yang mencapai 7,47 persen dari
39 DIN. 2007. Teh Indonesia Lebih Menyehatkan dalam www.kompas.co.id [Diakses pada 18
Oktober 2010]
102
total kandungan senyawa yang terdapat di dalam teh (Bambang et al 1995 dalam
Indarto 2007).
c) Tenaga Kerja Banyak Tersedia Tingginya populasi penduduk Indonesia serta adanya kecenderungan
peningkatan jumlah penduduk Indonesia merupakan kekuatan karena dapat
menjamin ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri teh nasional.
Kebutuhan yang tinggi akan tenaga kerja membuat subsistem perkebunan teh
sangat responsif terhadap ketersediaan tenaga kerja. Tenaga kerja dalam jumlah
banyak terutama dibutuhkan dalam subsistem budidaya teh. Karakteristik tanaman
teh yang membutuhkan perawatan yang intensif tentu menuntut perusahaan untuk
dapat terus menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan.
Tabel 25. Perkembangan Populasi Penduduk Indonesia
No Tahun Populasi Penduduk (000 Jiwa)
1 1998 204.390 2 1999 207.440 3 2000 208.000 4 2001 208.640 5 2002 211.440 6 2003 214.250 7 2004 217.080 8 2005 219.900 9 2006 222.050
10 2007 224.900 Sumber : ITC (2009)
d) Banyak Bagian dari Tanaman Teh yang Dapat Dimanfaatkan Berbagai bagian dari tanaman teh mulai dari akar, batang, daun tua, serat,
tangkai daun, aroma, biji teh dapat diolah menjadi produk sampingan teh.
Beberapa produk hasil pengolahan teh selain minuman adalah sebagai bahan
makanan, bahan pewarna kain, kayu bakar, bahan baku industri furniture, minyak
biji teh, serta beberapa jenis produk lainnya. Beberapa produk sudah diproduksi di
Indonesia, namun beberapa yang lainnya baru sampai tahap penelitian. Hasil
samping tanaman teh Indonesia umumnya belum ditangani secara profesional.
Banyak produk sampingan teh yang diimpor Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan industri di bidang farmasi, kosmetika, perikanan dan lain-lain
103
(Purwoto, Suprihatini dan Sudaryanto 1998 dalam Suryatmo 2003). Banyaknya
bagian-bagian pada tanaman teh yang dapat dimanfaatkan merupakan kekuatan
bagi agribisnis teh Indonesia khususnya industri hilir teh.
2) Analisis Faktor Strategis Internal : Kelemahan
a) Rendahnya Posisi Tawar Petani Dalam Menentukan Harga Teh Posisi tawar (bargaining power) petani seringkali masih merugikan petani
sebagai produsen pucuk. Posisi daya tawar yang rendah menyebabkan petani tidak
memiliki kekuatan untuk menentukan harga. Pertukaran pucuk di tingkat petani
seringkali didominasi oleh pembeli yang biasanya berasal dari perusahaan
pengolah atau pedagang pengumpul. Lemahnya posisi tawar petani umumnya
disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan
terbatasnya modal yang dimiliki. Kendala mendasar bagi mayoritas petani teh
dan petani Indonesia pada umumnya adalah ketidakberdayaan dalam melakukan
negosiasi harga hasil produksinya. Karena itu, posisi tawar petani yang masih
rendah merupakan kelemahan yang dapat menghambat kelangsungan usahatani
teh yang dilakukan petani.
b) Mayoritas Produk Teh yang Dihasilkan PBN Masih Berupa Teh Curah Perkebunan Besar Negara (PBN) merupakan produsen teh dengan pangsa
ekspor terbesar yakni sebesar hampir 70 persen. Kegiatan ekspor ini dilakukan
melalui proses lelang yang diselenggarakan PT KPBN, dimana harga teh yang
terbentuk di PT KPBN dijadikan harga acuan nasional bagi produsen teh di dalam
negeri. Berdasarkan keterangan dari pihak manajemen pemasaran teh PT KPBN,
mayoritas teh yang diperdagangkan melalui PT KPBN merupakan produk teh
curah. Kondisi tersebut menyebabkan penerimaan yang berasal dari teh untuk
Indonesia masih rendah, karena komposisi ekspor produk teh kita masih
didominasi oleh teh curah. Apabila Indonesia khususnya PBN belum mampu
mengkombinasikan produk teh yang diekspornya dengan teh kemasan, maka
posisi Indonesia akan semakin tersingkir oleh negara lain yang telah melakukan
olahan lebih lanjut terhadap produk-produknya. Beberapa negara seperti Jepang,
Inggris, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab merupakan negara-negara
pengimpor teh dunia, namun mereka mampu memberikan nilai tambah pada teh
104
dengan mengolahnya menjadi produk hilir dan mengekspornya kembali dengan
harga yang lebih tinggi. Pengolahan lanjutan yang dilakukan terhadap produk teh
curah akan memberikan nilai tambah bagi produk teh itu sendiri, dan berdampak
terhadap penerimaan yang diperoleh Indonesia. Selain itu, variasi komposisi
tersebut akan mencegah timbulnya kejenuhan di pasar ekspor Indonesia.
Tabel 26. Rasio Penambahan Nilai pada Produk Teh
Jenis Industri Rasio Penambahan Nilai Teh Hijau Kemasan 0,448 Teh Hitam Kemasan 0,443
Ekstrak Teh 0,603 Flavored Tea 0,859
Sumber : BPS dalam Kustanti V.R dan Widyanti T (2007)
c) Maraknya Konversi Area Kebun Teh oleh Produsen Adanya tren penurunan luas area tanam teh dilatarbelakangi oleh
maraknya konversi yang dilakukan petani teh merupakan kelemahan bagi
perkebunan teh di Indonesia. Konversi ini juga salah satunya didasari oleh harga
teh yang rendah di kalangan petani sehingga produsen khususnya petani lebih
memilih mengkonversi lahan perkebunan tehnya menjadi lahan untuk
mengembangkan komoditas lain seperti sayuran. Sementara untuk PBN dan PBS
konversi ini juga marak dilakukan mengingat adanya tren peningkatan harga
sawit, sehingga sebagian produsen lebih memilih untuk mengusahakan komoditas
sawit dibandingkan dengan teh. Penurunan luas areal ini mempengaruhi volume
produksi nasional. Penurunan produksi teh nasional ini juga mempengaruhi
volume ekspor dan nilai ekspor teh yang diperoleh.
d) Petani Masih Sulit Mengakses Sumber Modal Salah satu ciri petani teh rakyat di Indonesia adalah terbatasnya modal
yang dimiliki. Akibatnya, petani teh seringkali kesulitan untuk mengembangkan
usaha maupun melakukan pengelolaan kebun secara intensif. Salah satu solusi
yang ditawarkan oleh pemerintah dan lembaga keuangan adalah adanya program
pinjaman modal. Namun, program ini dinilai masih kurang tepat karena pada
kenyataanya petani teh masih kesulitan dalam mengakses pinjaman yang berasal
dari lembaga keuangan yang ada. Hal ini disebabkan oleh sulitnya persyaratan
105
pengajuan kredit yang harus dipenuhi petani secara individu. Petani teh umumnya
tidak memiliki jaminan sehingga mereka kesulitan memperoleh bantuan pinjaman
kredit yang mereka butuhkan. Karena itu, kemampuan petani teh yang rendah
dalam mengakses sumber modal ini merupakan kelemahan yang harus dicarikan
solusinya.
e) Rendahnya Kualitas Teh yang Beredar di Dalam Negeri Teh yang beredar di dalam negeri terdiri dari teh berkualitas sedang
sampai rendah. Sementara teh dengan mutu pertama lebih diutamakan untuk pasar
ekspor. Komposisi produk yang didominasi oleh kualitas rendah justru tidak akan
mengedukasi masyarakat kita. Masyarakat tidak diberikan pilihan akan produk-
produk teh berkualitas produksi dalam negeri, sehingga memungkinkan terjadinya
permintaan produk berkualitas ke luar negeri. Hal tersebut tentunya akan semakin
meningkatkan volume impor teh Indonesia.
3) Analisis Faktor Strategis Eksternal : Peluang
a) Adanya Asosisasi-Asosiasi (ATI dan APTEHINDO) serta Dewan Teh Indonesia yang Mewadahi Para Stakeholder
Asosiasi Teh Indonesia (ATI) dan Asosiasi Petani Teh Indonesia
(APTEHINDO) merupakan suatu bentuk asosiasi yang memberikan peluang bagi
kemajuan agribisnis teh Indonesia. Keberadaan asoiasi-asosiasi ini mampu
mendorong dan meningkatkan kualitas masing-masing komunitas anggotanya.
ATI ataupun APTEHINDO merupakan perpanjangan tangan dari pengusaha dan
petani teh Indonesia. Sementara Dewan Teh Indonesia berperan sebagai
fasilitator, koordinator dan pihak yang mengawasi jalannya kegiatan bisnis di
industru teh di Indonesia. Keberadaan asosiasi dan lembaga ini dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan sumberdaya manusia dan
penyebaran informasi teknologi secara cepat dan merata akan semakin terbuka.
b) Adanya Kontribusi Penelitian dari Lembaga Riset PPTK Lembaga riset Pusat Penelitian Teh dan Kina merupakan salah satu
lembaga yang menjadi pendukung kegiatan agribisnis teh Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan selama ini PPTK telah berhasil menciptakan berbagai macam jenis
teknologi yang terbukti bermanfaat bagi industri teh Indonesia. Selain itu, PPTK
106
juga melakukan pengkajian terhadap kondisi pasar, prospek dan tantangan yang
akan dihadapi agribisnis teh Indonesia serta kajian mengenai kesesuaian kebijakan
yang telah dilakukan pemerintah terkait dengan teh. Pengembangan lembaga riset
merupakan peluang yang dapat memajukan agribisnis teh Indonesia.
c) Adanya Potensi untuk Meningkatkan Konsumsi Teh Dalam Negeri
Meskipun saat ini konsumsi teh Indonesia masih tergolong rendah, namun
Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam negeri.
Potensi tersebut berasal dari jumlah populasi penduduk Indonesia yang tinggi dan
memiliki kecenderungan meningkat setiap tahun. Populasi penduduk yang tinggi
menggambarkan potensi pasar yang dapat diperoleh. Selain itu, teh telah menjadi
salah satu minuman pilihan bagi masyarakat Indonesia. Adam (2006)
mengungkapkan bahwa kedudukan teh sebagai bahan minuman telah menjadi
salah satu pilihan utama keluarga baik di rumah, di luar rumah, maupun sebagai
hidangan bagi tamu yang berkunjung. Di beberapa provinsi di Indonesia,
menyajikan teh untuk tamu maupun sebagai teman hidangan makanan ringan
merupakan hal yang biasa. Salah satunya tampak pada pola masyarakat Jawa
Barat yang terbiasa menyajikan teh secara cuma-cuma di rumah makan sunda
ataupun warung-warung tenda kaki lima. Hal tersebut mengindikasikan adanya
peluang peningkatan konsumsi teh dalam negeri.
d) Adanya Industri Olahan Berbasis Teh yang Telah Berkembang Kondisi agroindustri minuman teh kemasan dan produk turunan teh
lainnya merupakan peluang yang baik bagi industri perkebunan teh Indonesia.
Selama ini, nilai tambah yang dihasilkan dari industri hilir teh Indonesia pada
tahun 2005 saja mancapai 1,2 triliun dan menyerap sekitar 51.500 tenaga kerja.
Karena itu, pengembangan agroindustri teh kearah produk-produk turunan teh
lainnya akan membuka kesempatan bagi komoditas teh nasional. Industri
minuman teh kemasan di Indonesia merupakan sektor yang sedang berkembang.
Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya produk-produk diversivikasi teh
dalam bentuk kemasan kotak, botol, celup, dan sebagainya, dimana berbagai
produk tersebut dilengkapi oleh variasi rasa dan kemasan yang menarik. Selain
itu, perusahaan-perusahaan pada sektor ini umumnya telah melakukan upaya
107
promosi yang lebih baik dibandingkan pada perusahaan teh curah. Karena itu,
dengan adanya industri olahan berbasis teh yang semakin berkembang, maka
secara tidak langsung akan mendorong pengembangan supplier bahan bakunya
(industri teh curah).
e) Semakin Tingginya Kesadaran Masyarakat akan Kesehatan Maraknya isu kesehatan di lingkungan pasar global merupakan peluang
bagi industri teh nasional. Kandungan katekin yang tinggi, kebun-kebun yang
mulai dilengkapi dengan serifikasi internasional akan semakin memperkuat
kualitas teh yang ditawarkan Indonesia. Di sisi lain, tuntutan konsumen dunia
akan isu kesehatan juga akan menular kepada konsumen domestik, sehingga akan
ada peluang peningkatan konsumsi teh sebagai minuman multifungsi di pasar
domestik.
4) Analisis Faktor Strategis Eksternal : Ancaman
a) Kondisi Cuaca yang Semakin Tidak Menentu dan Sulit Diprediksi Tanaman teh yang sangat responsif terhadap alam terutama perubahan
kondisi cuaca menyebabkan produsen harus melakukan perlakuan khusus agar
tidak mempengaruhi baik volume maupun kualitas produksi. Dengan kondisi
perubahan cuaca yang ekstrim dan tidak menentu, tentu akan mempengaruhi
kelangsungan usaha perkebunan teh. Salah satu contoh adalah perubahan alam
yang terjadi di India dan Kenya berupa kekeringan yang pada akhirnya
mempengaruhi produksi teh basah dari kedua negara tersebut. Saat ini, kondisi
cuaca di Indonesia juga tengah mengalami ketidakpastian yang tinggi. Curah
hujan yang tinggi di saat musim kemarau dan sebaliknya mulai mempengaruhi
produktivitas produsen.
c) Kelangkaan Pupuk yang Sering Terjadi di Kalangam Produsen Pupuk merupakan komponen penting dalam kegiatan usahatani teh.
Pemupukan perkebunan teh idealnya dapat dilakukan tiga kali dalam satu tahun.
Kelangkaan pupuk di kalangan produsen akan mempengaruhi kualitas tanah dan
pucuk, serta akan mengurangi ketahanan tanaman terhadap hama penyakit.
Karena itu apabila ketersediaan pupuk di kalangan produsen masih sulit diakses
108
akibat adanya kelangkaan, maka hal tersebut merupakan ancaman bagi
pengembangan agribisnis teh Indonesia.
d) Persaingan dengan Minuman Subtitusi Lain, Produk Teh Impor dan Eksportir lain di Pasar Internasional
Bentuk persaingan dengan produsen minuman subtitusi lain merupakan
sebuah ancaman bagi industri teh di dalam negeri. Teh masih merupakan produk
sekunder di Indonesia, sehingga prioritas konsumen terhadap konsumsi teh masih
dapat dengan mudah tersubtitusi dengan minuman sejenis lainnya. Ditambah lagi,
promosi yang dilakukan produsen minuman seperti kopi dan susu semakin
memperketat persaingan antara produk subtitusi.
Sementara itu, persaingan dengan produk teh impor akan menjadi suatu
bentuk ancaman bagi produk teh domestik. Peningkatan volume dan nilai impor
dari tahun ke tahun menunjukkan permintaan akan produk teh impor yang
semakin meningkat dari konsumen domestik. Hal tersebut akan semakin
diperburuk apabila peredaran produk teh di dalam negeri masih didominasi oleh
produk bermutu rendah dan mahal. Karena produk impor hanya harus membayar
tarif impor sebesar 5 persen, sementara produsen teh kemasan lokal dikenai pajak
pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen.
Pada persaingan di pasar internasional, persaingan dengan eksportir lain
jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan agribisnis teh nasional, khususnya
bagi eksportir dan produsen teh dalam negeri. Dengan semakin ketatnya
persaingan diantara eksportir luar negeri akan semakin menekan Indonesia apabila
tidak diiringi dengan dayasaing yang kuat. Persaingan ini juga akan
mempengaruhi pangsa pasar teh Indonesia yang kemudian berujung kepada
perolehan devisa negara dari teh.
e) Rendahnya Tarif Impor bagi Teh Curah dan Teh Kemasan
Penetapan tarif impor sebesar 5 persen bagi produk teh curah maupun teh
kemasan merupakan ancaman bagi produsen teh dalam negeri. Salah satu
penyebabnya adalah kualitas teh impor lebih baik dibandingkan dengan teh yang
beredar di dalam negeri. Selain itu, beban pajak dari produk teh impor relatif lebih
murah apabila dilihat dari persentase jumlah pajak yang harus dibayarkan.
109
110
Produsen teh kemasan dalam negeri diharuskan membayar PPN sebesar 10
persen, sementara produk teh kemasan impor hanya dikenakan tarif impor sebesar
5 persen. Rendahnya tarif impor tersebut mengakibatkan adanya peningkatan
jumlah teh yang diimpor setiap tahunnya.
7.1.3 Perumusan Matriks SWOT Agribisnis Teh Indonesia
Tahap selanjutnya adalah merumuskan strategi berdasarkan faktor-faktor
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah dianalisis sebelumya. Dalam
merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia alat yang digunakan
adalah Matriks SWOT. Rumusan strategi yang dihasilkan merupakan kombinasi
antara beberapa faktor SWOT. Dengan menggunakan Matriks SWOT strategi yang
dihasilkan terdiri dari strategi SO (penggunaan kekuatan dari agribisnis teh nasional
untuk memanfaatkan peluang yang ada), strategi WO (memanfaatkan peluang untuk
meminimalkan kelemahan dari agribisnis teh Indonesia), strategi ST (penggunaan
kekuatan agribisnis teh nasional untuk mengatasi ancaman) dan strategi WT
(meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman dari lingkungan eksternal).
Tabel 27. Matriks SWOT Agribisnis Teh Nasional
Kekuatan (Strengths-S) 1. Teh Indonesia unggul
secara komparatif 2. Kandungan katekin teh
Assamica lebih tinggi dibandingkan dengan teh Sinensis
3. Tenaga kerja banyak tersedia
4. Banyak bagian dari tanaman teh yang dapat dimanfaatkan
Kelemahan (Weaknesses-W) 1. Rendahnya posisi
tawar petani dalam menentukan harga
2. Sebagian besar PBN masih mengekspor teh dalam bentuk teh curah
3. Maraknya konversi lahan yang dilakukan oleh produsen
4. Petani masih sulit mengakses sumber modal
5. Rendahnya kualitas teh yang beredar di dalam negeri
Peluang (Opportunitties-O) 1. Adanya asosisasi-
asosiasi (ATI, APTEHINDO) dan DTI
2. Adanya kontribusi penelitian dari lembaga riset PPTK
3. Adanya potensi peningkatan konsumsi teh dalam negeri
4. Adanya industri olahan berbasis teh yang telah berkembang
5. Semakin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan kesehatan
SO Strategy 1. Meningkatkan kegiatan
promosi produk teh Indonesia (S2, S3, O1, O3,O5)
2. Meningkatkan produksi dan diversifikasi produk teh (S1, S3, S4, O2, O4, O5)
3. Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan (S1, S3, O2, O4, O5)
WO Strategy 1. Meningkatkan peranan
ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat (W1, W3, W4, O1, O2)
2. Pembentukan dan penguatan kelompok tani (WI, W3, W4, O1)
3. Meningkatkan komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan alokasi teh curah 1st grade di pasar DN (W2, W5, O3, O4, O5)
Ancaman (Threats-T) 1. Kondisi cuaca yang
semakin tidak menentu 2. Kelangkaan pupuk di
kalangan produsen 3. Persaingan antara
minuman subtitusi, produk impor, eksportir internasional
4. Rendahnya tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan
ST Strategy 1. Merancang pendirian
kluster industri teh di Jawa Barat (S1, S3, S4, T2, T3, T4)
WT Strategy 1. Pembatasan kuota dan
nilai impor teh curah dan olahan (W5, T3, T4)
2. Melakukan perencanaan pola tanam, serta kompak mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar (WI, W3, W4, T1, T2)
111
1) Strategi SO Strategi SO merupakan strategi yang dirumuskan dengan
mempertimbangkan kekuatan yang dimiliki agribisnis teh nasional untuk
memanfaatkan peluang-peluang yang ada seoptimal mungkin. Dengan
menggunakan faktor-faktor kekuatan dan peluang yang telah diperoleh dari
analisis faktor strategis sebelumnya, maka rumusan strategi SO yang dapat
diterapkan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh Indonesia adalah
meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia, meningkatkan produksi
dan diversifikasi produk teh Indonesia serta mempercepat pelaksanaan indutri teh
berkelanjutan.
a. Meningkatkan Kegiatan Promosi Produk Teh Indonesia
Strategi ini dirumuskan dengan mempertimbangkan banyaknya tenaga
kerja manusia di Indonesia yang dapat digunakan untuk melakukan upaya-upaya
promosi seperti penyebaran informasi mengenai teh dan pengenalan teh sebagai
minuman fungsional. Adanya asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia (ATI) dapat
dimanfaatkan sebagai sarana publikasi dan jembatan informasi antara pengusaha
teh dengan konsumen. Selain itu, adanya potensi peningkatan konsumsi
masyarakat terhadap teh juga dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan dari
strategi ini. Surjadi (2003) yang menyatakan bahwa masyarakat akan semakin
meningkatkan konsumsinya terhadap teh seiring dengan bertambahnya
pengetahuan mereka terhadap manfaat teh itu sendiri. Karena itu, strategi
peningkatan kegiatan promosi menjadi sangat penting bagi upaya peningkatan
konsumsi teh domestik. Berdasarkan sasarannya, tujuan dari strategi promosi ini
terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Promosi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam negeri, serta
2. Promosi untuk meningkatkan brand awareness dan brand image produk
teh Indonesia di pasar internasional.
Kegiatan promosi di dalam negeri dapat dilakukan dengan menyebarkan
informasi mengenai teh dan penekanan mengenai tingginya kandungan katekin
teh Indonesia, serta manfaatnya bagi kesehatan. Dengan demikian, diharapkan
pengetahuan konsumen domestik akan bertambah dan berimbas pada peningkatan
minat mereka terhadap teh. Sementara untuk strategi promosi di pasar
112
internasional dilakukan dengan melakukan kegiatan promosi yang diarahkan
untuk meningkatkan brand awareness dan citra produk teh Indonesia di mata
konsumen internasional. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan
keberadaan Dewan Teh Indonesia sebagai perwakilan lembaga teh Indonesia di
pasar dunia. Strategi ini juga dapat dilakukan untuk memanfaatkan adanya
peluang peningkatan kesadaran konsumen global terhadap kesehatan. Kegiatan
promosi mengenai kandungan katekin teh Indonesia juga diharapkan dapat
meningkatkan konsumsi masyarakat dunia terhadap teh Indonesia.
b. Meningkatkan Produksi dan Diversifikasi Produk Teh Strategi peningkatan produksi teh dapat dilakukan dengan menggunakan
potensi sumberdaya yang dimiliki Indonesia yang telah unggul secara komparatif,
termasuk unggulnya sumberdaya manusia Indonesia dalam hal jumlah.
Peningkatan produksi ini dilakukan dengan tujuan mengangkat kembali posisi
Indonesia sebagai produsen teh besar di pasar internasional. Adanya lembaga
penelitian dan pengembangan Pusat Penelitian Teh dan Kina yang telah
menghasilkan klon-klon dengan produktivitas tinggi dan memiliki ketahanan yang
baik terhadap hama dan penyakit dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dari
strategi ini.
Di samping itu, dengan menggunakan bagian-bagian dari tanaman teh, dan
memanfaatkan adanya perkembangan industri besar yang mengolah produk-
produk berbahan dasar teh peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan
melakukan diversifikasi produk teh. Peningkatan produksi dan diversifikasi
produk juga dapat dilakukan untuk memanfaatkan adanya peluang yang muncul
akibat adanya peningkatan kesadaran masyarakat dunia terhadap kesehatan.
Karena itu dengan melakukan peningkatan produksi dan diverisfikasi produk
diharapkan Indonesia dapat menjadi produsen yang menawarkan berbagai produk
kesehatan berbahan dasar teh.
c. Mempercepat Pelaksanaan Industri Teh Berkelanjutan Pelaksanaan sustainable tea atau industri teh berkelanjutan sudah berjalan
di beberapa negara penghasil teh dunia seperti India, Kenya dan Sri Langka.
Sustainable tea adalah pelaksanaan serangkaian kegiatan dimulai dari kegiatan
113
budidaya, pengolahan, pengemasan, quality control, hingga pendistribusian
barang sampai ke konsumen yang dilakukan dengan benar, jujur dan bertanggung
jawab. Artinya seluruh proses dilaksanakan dengan prosedur yang benar dan
bertanggung jawab terhadap manusia, mahluk hidup maupun lingkungan di
sekitarnya. Di Indonesia, pelaksanaan sustainable tea mulai marak dilakukan oleh
perkebunan atau pabrik teh curah yang berorientasi ekspor. Hal tersebut
dikarenakan perusahaan-perusahaan besar teh dunia mulai menetapkan
standarisasi tinggi bagi produk sekaligus perkebunan pemasok bahan baku teh
mereka. Indonesia sebagai salah satu pemasok bahan baku (teh curah) juga
dituntut untuk dapat memenuhi standar produk yang mereka tetapkan, salah
satunya terkait dengan melengkapi perkebunan atau pabrik mereka dengan
sertifikasi yang telah diakui secara internasional.
Strategi percepatan pelaksanaan industri teh berkelanjutan menunjukkan
respon yang cepat terhadap adanya perubahan tuntutan konsumen, khususnya
konsumen internasional. Strategi ini disusun dengan mempertimbangkan bahwa
hingga saat ini agribisnis teh Indonesia telah memiliki keunggulan komparatif,
sehingga pelaksanaan sustainable tea akan lebih mudah apabila dibandingkan
dengan negara lain yang belum unggul secara komparatif. Hal tersebut juga
didukung dengan banyaknya jumlah tenaga kerja yang siap untuk dipekerjakan.
Percepatan pelaksanaan sustainable tea artinya melakukan sertifikasi
kebun dan pabrik sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin sehingga
peluang adanya peningkatan konsumsi teh dunia dan maraknya tuntutan terhadap
produk berkualitas, sehat dan bertanggung jawab terhadap lingkungan dapat
terjawab. Adanya Pusat Penelitian Teh dan Kina dapat dimanfaatkan sebagai
sumber informasi dan inovasi teknologi yang dapat membantu mempercepat
pelaksanaan sustainable tea di Indonesia. Teknologi peningkatan keanekaragaman
hayati, peningkatan kesuburan tanah khususnya peningkatan kadar organik tanah
serta teknologi peningkatan nilai produk untuk meningkatkan nilai tambah yang
merupakan teknologi tepat guna untuk mempercepat implementasi sustainable tea
saat ini seluruhnya telah tersedia di PPTK. Selain itu, adanya industri teh olahan
yang mulai berkembang di Indonesia akan semakin mempermudah pelaksanaan
percepatan sustainable tea ini.
114
2) Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang digunakan untuk menghindari ancaman
yang datang dari luar lingkungan internal dengan memanfaatkan kekuatan yang
dimiliki. Ancaman yang dinilai paling mempengaruhi kondisi agribisnis teh
Indonesia adalah ancaman cuaca, kelangkaan pupuk, persaingan dengan produk
subtitusi, impor maupun produk teh dari negara lain serta rendahnya tarif impor
yang menyebabkan volume teh impor semakin meningkat setiap tahunnya.
Strategi yang dapat dilakukan adalah merancang pendirian kluster industri teh di
Jawa Barat.
a. Merancang Pendirian Kluster Industri Teh di Jawa Barat Strategi pendirian kluster industri teh di Jawa Barat didasari oleh potensi
Jawa Barat sebagai sentra produksi teh di Indonesia. Hal tersebut juga didukung
oleh sebagian besar perkebunan dan perusahaan terkait yang terletak di Jawa
Barat dan sekitarnya. Unggulnya teh Indonesia, termasuk tersedianya jumlah
tenaga kerja merupakan modal utama dalam pendirian kluster industri. Selain
pengembangan usaha berbahan dasar daun teh di dalam kluster, dapat juga
dikembangkan industri sampingan yang memanfaatkan bagian-bagian lain dari
tanaman teh, seperti usaha furniture, pewarna pakaian dan jenis usaha lainnya.
Dengan pendirian kluster, adanya ancaman kelangkaan pupuk diharapkan dapat
diminimalisir, karena kluster pada hakekatnya akan membentuk dan
mengkoordinasikan berbagai elemen mulai dari penyedia input, produsen pucuk,
pabrik-pabrik serta lembaga pendukung teh lainnya.
Selain itu, pada perkembangannya pembentukan kluster diharapkan
mampu menciptakan efisiensi dari rantai tataniaga teh, khususnya di Jawa Barat
sebagai pusat kegiatan industri teh di Indonesia. Seiring dengan kuatnya kluster
industri teh tersebut, maka diharapkan akan tercipta industri dengan produk-
produk teh unggulan yang siap bersaing dengan produk-produk lain, baik
persaingan dengan produk subtitusi, produk impor yang muncul akibat rendahnya
tarif impor, maupun produk-produk teh lain yang diperdagangkan oleh pesaing-
pesaing Indonesia di pasar internasional. Pembangunan kluster industri teh akan
menciptakan integrasi yang kuat antara semua subsistem, mulai dari subsistem
hulu hingga jasa dan penunjang.
115
3) Strategi WO
Strategi WO merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi
efek yang muncul dari kelemahan-kelemahan pada agribisnis teh Indonesia
dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi WO yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh Indonesia diantaranya
adalah meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO dan DTI, melakukan
pembentukan dan penguatan kelompok tani serta melakukan peningkatan alokasi
teh mutu pertama di pasar domestik.
a. Meningkatkan Peranan ATI, APTEHINDO dan DTI Petani sebagai pemilik areal perkebunan teh terbesar di Indonesia justru
memiliki tingkat produktivitas terendah diantara kedua tipe kepemilikan kebun
lainnya. Rendahnya produktivitas petani tersebut diantaranya disebabkan oleh
rendahnya posisi tawar petani teh Indonesia, maraknya konversi lahan yang
dilakukan oleh produsen serta sulitnya petani dalam mengakses sumber modal.
Ketiga kelemahan tersebut muncul karena kurangnya peranan pihak luar sebagai
pendamping, Pembina dan fasilitator (pihak yang menjembatani para stakeholder)
bagi produsen, khususnya petani. Adanya Asosiasi Teh Indonesia dan Asosiasi
Petani Teh Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan peran
tersebut. ATI dan APTEHINDO diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan
teknologi serta menjadi koordinator dari seluruh elemen produsen teh. Sehingga
dengan adanya koordinasi yang baik akan memperbaiki posisi tawar petani dan
mengurangi tren konversi lahan karena pengetahuan produsen mengenai usahatani
teh telah bertambah.
Sementara adanya Dewan Teh Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai
fasilitator dan negosiator antara produsen dengan lembaga-lembaga pendukung
lainnya, seperti pemerintah, pihak swasta dan lembaga keuangan. Dengan
demikian salah satu efek yang diharapkan adalah terbukanya akses bagi produsen
teh khususnya petani menuju sumber modal. Selain itu, adanya DTI juga dapat
dimanfaatkan sebagai pengawas bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh stakeholder, sehingga diharapkan akan mengurangi adanya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan merugikan produsen.
116
b. Pembentukan dan Penguatan Kelompok Tani
Permasalahan rendahnya posisi tawar petani dan sulitnya mengakses
sumber modal juga disebabkan oleh lemahnya petani jika hanya memanfaatkan
kekuatan individu mereka. Sempitnya luas areal yang dimiliki masing-masing
individu petani menyebabkan jumlah produksi yang dihasilkan petani rendah.
Selain itu, tidak jarang pucuk yang dihasilkan pun tidak seragam atau berkualitas
rendah. Hal tersebut mengakibatkan munculnya penekanan harga dari pihak
pedagang karena petani tidak dapat memenuhi jumlah maupun kualitas yang
diminta. Selain itu, sulitnya petani mengakses sumber modal salah satunya
disebabkan oleh ketidakmampuan petani dalam memenuhi persyaratan yang
diminta oleh pihak lembaga keuangan. Karena itu, dengan memanfaatkan adanya
asosiasi seperti ATI dan APTEHINDO, strategi pembentukan dan penguatan
kelompok tani diharapkan dapat menyelesaikan atau setidaknya mengurangi efek
dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki petani.
Pembentukan kelompok tani baru dan penguatan kelompok tani yang
sudah ada dapat menjadi wadah bagi petani untuk dapat berkumpul dan
menghimpun kekuatan sehingga diharapkan posisi tawar petani akan meningkat.
Ke depannya diharapkan kelompok tani dapat mandiri dan mengarah kepada
pembentukan koperasi tani sebagai bentuk perusahaan milik petani.
c. Meningkatkan Komposisi Produk Teh Olahan untuk Ekspor dan Meningkatkan Alokasi Teh Curah 1st Grade di Pasar Domestik
PT Perkebunan Nusantara merupakan market leader bagi industri teh di
Indonesia. PT Perkebunan Nusantara juga berperan sebagai tombak ekspor teh
Indonesia. Hampir 70 persen dari total ekspor teh Indonesia berasal dari PT
Perkebunan Nusantara. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT KPBN,
diketahui bahwa sebagian besar produk yang diekspor oleh Indonesia merupakan
teh hitam dan masih berbentuk teh curah. Hal ini menyebabkan penerimaan
Indonesia yang berasal dari ekspor teh lebih rendah dibandingkan dengan negara-
negara lain yang telah mulai mengkomibnasikan produk ekspor mereka dengan
produk teh olahan.
Suprihatini dan Rosyadi (2003) menyatakan bahwa Indonesia khususnya
perusahaan eksportir, perlu mulai melakukan perubahan komposisi produk teh
117
yang diekspor ke pasar internasional. Hal ini selain untuk meningkatkan
penerimaan perusahaan, juga dapat dilakukan untuk mengantisipasi adanya
kecenderungan kejenuhan pasar terhadap produk teh hitam curah yang beredar di
pasar internasional. Suprihatini dan Rosyadi (2003) menyebutkan bahwa diantara
seluruh produk yang diperdagangkan di pasar internasional, produk teh hitam
curah merupakan produk dengan dayasaing terendah, sementara teh hijau curah,
teh hitam olahan dan teh hijau olahan memiliki dayasaing yang lebih baik.
Peningkatan komposisi produk ekspor lebih dianjurkan kearah peningkatan
produk teh hitam olahan, mengingat mayoritas produk teh yang diekspor
Indonesia adalah teh hitam curah. Selain itu, kandungan katekin yang terdapat
pada teh hitam Indonesia tidak kalah dengan kandungan katekin dari teh hijau
yang berasal dari Cina. Hal tersebut dapat digunakan untuk memanfaatkan adanya
peluang dari tren peningkatan kesadaran masyarakat global terhadap kesehatan.
Sementara di pasar domestik, teh yang beredar masih didominasi oleh teh
bermutu rendah. Strategi peningkatan alokasi teh curah first grade ke pasar
domestik dapat dilakukan dengan mempertimbangkan adanya potensi konsumsi
teh di dalam negeri. Surjadi (2003) mengatakan bahwa konsumen rumah tangga di
Jawa Barat memiliki kecenderungan meningkatkan konsumsi teh mereka setelah
pengetahuan mereka tentang teh dan khasiatnya bertambah pula. Dengan
meningkatkan alokasi teh curah mutu pertama ke pasar domestik diharapkan dapat
mendidik konsumen teh Indonesia sehingga penghargaan terhadap produk teh
berkualitas akan meningkat. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan adanya
industri teh olahan yang berkembang, termasuk PT Perkebunan Nusantara sebagai
market leader.
4) Strategi WT Strategi WT adalah strategi yang sifatnya defensif, dimana strategi yang
dilakukan harus mampu meminimalisir kerugian akibat dari kelemahan yang
dimiliki sekaligus bagaimana menghindari ancaman-ancaman yang mungkin
datang. Strategi WO yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dayasaing
agribisnis teh nasional adalah pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan
olahan serta melakukan perencanaan pola tanam, dan mengatur juga menjaga
kualitas dan kuantitas stok di pasar.
118
a. Pembatasan Kuota dan Nilai Impor Teh Curah dan Teh Olahan Selama tahun 2000 hingga 2009, volume dan nilai impor teh yang masuk
ke Indonesia cenderung terus meningkat. Sejak tahun 2000, peningkatan volume
impor teh ke Indonesia meningkat dengan peningkatan rata-rata sebesar 18,67
persen setiap tahunnya. Sementara nilai impor teh meningkat sebesar 20 persen
setiap tahunnya. Meskipun sebagian produk teh impor merupakan bahan baku
bagi industri blending tea di pasar lokal, namun peningkatan volume dan nilai
impor yang cukup besar tidak dapat terus dibiarkan. Hal tersebut akan mengurangi
penerimaan devisa bagi negara bahkan dapat menimbulkan ketergantungan impor
di masa yang akan datang. Strategi pembatasan kuota dan nilai impor dapat
dilakukan untuk melindungi produsen teh dalam negeri, sekaligus menjaga
stabilisasi persaingan antara produk teh domestik dengan produk teh impor yang
masuk. Selain itu, dengan pembatasan nilai impor teh, maka akan mengurangi
penggunaan devisa negara untuk membeli teh impor.
b. Melakukan Perencanaan Produksi, serta Kompak Mengatur, Mengendalikan dan Menjaga Kualitas dan Kuantitas Stok di Pasar
Strategi perencanaan produksi dapat dilakukan untuk menghindari risiko
akibat adanya ketidakpastian cuaca dan kelangkaan pupuk yang seringkali terjadi
di kalangan produsen. Dengan melakukan perencanaan yang tepat, petani dapat
menghindari penurunan jumlah dan kualitas produksi yang disebabkan oleh cuaca.
Selain itu, dengan mengatur dan menjaga kualitas dan kuantitas stok yang ada di
pasar secara kompak, petani dapat mengendalikan jumlah pasokan sehingga akan
terhindar dari risiko anjloknya harga pucuk. Petani juga akan memegang kendali
dalam peredaran produk di pasar, karena didukung dengan perencanaan produksi
yang matang. Hal tersebut juga dapat membantu menstabilkan harga. Di samping
itu, dengan mengatur pelaksanaan produksi dan pemasaran, maka biaya yang
dikeluarkan dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Hal tersebut memungkinkan
petani untuk terus melakukan usaha meskipun kemampuan mengakses sumber
modal tambahan sangat sulit. Pengaturan, pengendalian dan upaya menjaga
kualitas dan kuantitas stok di pasar juga diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan petani sehingga akan mengurangi upaya konversi yang dilakukan oleh
petani.
119
120
7.2 Rancangan Arsiektur Strategik
1) Sasaran Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia
Mengacu pada tujuan penetapan teh sebagai komoditas unggulan nasional
dan Road Map Teh Indonesia tahun 2006, maka sasaran pembangunan agribisnis
teh Indonesia adalah :
1. Peningkatan luas area, produksi, produktivitas, konsumsi domestik dan
volume ekspor teh,
2. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani,
3. Peningkatan mutu dan pengembangan produk teh, dan
4. Peningkatan upaya promosi secara intensif.
2) Tantangan Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia Berdasarkan sasaran-sasaran yang ingin dicapai, agribisnis teh Indonesia
pun tidak lepas dari beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti :
1. Penurunan luas area perkebunan serta banyaknya kebun-kebun tua yang
sudah tidak produktif lagi,
2. Rendahnya pengetahuan konsumen dalam negeri akan manfaat teh yang
menyebabkan konsumsi teh domestik masih rendah,
3. Meningkatnya kesadaran masyarakat global terhadap kesehatan,
pelestarian lingkungan, keselamatan kerja, dsb yang menjadi hambatan
non-tarif bagi Indonesia, serta
4. Perubahan lingkungan persaingan yang begitu cepat dan agresif.
3) Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Teh Indonesia
Perwujudan dari strategi yang telah diperoleh melalui analisis SWOT
kemudian diturunkan ke dalam program. Program-program tersebut disusun
berdasarkan pertimbangan sasaran dan tantangan yang dihadapi oleh agribisnis
teh Indonesia. Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 28. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Teh Indonesia
No Strategi Program Penanggung Jawab
Sasaran Utama
1 Pembentukan dan penguatan kelompok tani
• Penyuluhan mengenai manfaat berkelompok,
• Merangsang pembentukan kelompok tani baru dan penguatan kelompok tani yang sudah ada
• Pembinaan, pendampingan, pelatihan skill manajement
• Pemerintah daerah • Penyuluh
pertanian • Asosiasi • DTI
• Petani teh rakyat • Lahirnya
koperasi tani
2 Melakukan perencanaan produksi, serta mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar
• Penyuluhan dan pembinaan rutin mengenai perencanaan produksi dan informasi pasar
• Pemerintah daerah • Penyuluh
pertanian • Kelompok
tani
Petani teh rakyat
3 Meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat
• Secara aktif dan rutin melakukan pemantauan dan survey lapang,
• Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terkait
• Asosiasi • DTI
• Lembaga keuangan, • Pemerintah • Produsen • Petani
4 Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan
• Sertifikasi kebun dan pabrik • Pemberian insentif bagi
perusahaan yang telah meningkatkan kualitasnya
• 80 persen kebun dan pabrik tersertifikasi
• Pemerintah • Kementan • PPTK • Produsen teh
Produsen pada PBN, PBS, PR
5 Merancang pendirian kluster industri teh di Jawa Barat
• Penyusunan rencana sekaligus koordinasi seluruh pihak
• Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem
• Realisasi kluster
• Pemerintah daerah Jabar • Industri teh
Jabar
• Industri teh Jabar • Investor
6 Meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia
• Meningkatkan kegiatan promosi untuk memperluas pasar di dalam negeri
• Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di LN
• Asosiasi • DTI • Industri teh
Konsumen teh di dalam dan luar negeri
7 Meningkatkan produksi, dan diversifikasi produk
• Peningkatan luas area tanam, replanting, rehabilitasi, intensifikasi
• Meningkatkan ragam produk teh
• Dinas Pertanian • PPTK • Industri
• Konsumen • Produsen
teh
8 Meningkatkan komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan alokasi teh curah 1st grade di pasar DN
• Melakukan kajian mengenai komposisi ragam produk teh yang diekspor
• Meningkatkan porsi teh mutu pertama yang beredar di pasar domestik
• Industri pengolahan teh • Lembaga
pemasaran
Konsumen dalam dan luar negeri
9 Pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan olahan
• Melakukan kajian mengenai batas dan dampak kebijakan kuota dan nilai impor
• Implementasi pembatasan kuota dan nilai impor teh ke Indonesia
Pemerintah Eksportir teh ke Indonesia
121
4) Tahap Penyusunan Arsitektur Strategik
Dalam menyusun rancangan arsitektur strategik bagi agribisnis teh
Indonesia, penulis menggabungkan antara strategi, program dan rancang desain
arsitektur yang bertujuan memberi gambaran kepada pembaca akan urutan
program, prioritas serta tahapan strategi. Tidak ada pertimbangan baku dalam
merancang sebuah arsitektur strategik, namun penyusunan prioritas strategi
dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti waktu, sasaran
yang ingin dicapai, serta tantangan yang harus dihadapi.
Rancangan arsitektur strategik agribisnis teh Indonesia merupakan
rancangan program kegiatan yang dibuat untuk membantu memberi gambaran
mengenai tahapan-tahapan yang dapat ditempuh demi mewujudkan sasaran di
masa depan. Sumbu X dan Y merupakan sumbu yang menggambarkan dimensi
waktu yang diperlukan untuk suatu strategi dan program tertentu. Sumbu X
merupakan periode waktu yang digunakan dalam periode tahun, sedangkan sumbu
Y waktu yang menggambarkan urutan program kegiatan. Program yang akan
dicetak ke dalam arsitektur strategik tersebut terbagi menjadi program bertahap
dan program rutin. Berikut ini adalah pembagian program bertahap dan program
rutin :
1) Program Bertahap
a. Periode I
i. Merangsang pembentukan kelompok tani baru dan menguatkan
kelompok tani yang sudah ada
ii. Penyusunan rencana sekaligus koordinasi seluruh pihak terkait dengan
pendirian kluster
iii. Melakukan kajian mengenai batas dan dampak dari penetapan
kebijakan pembatasan kuota dan nilai teh impor
b. Periode II
i. DTI mulai menjalin kerjasama dengan pihak pemerintahan dan
lembaga keuangan
ii. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap I (30 persen)
iii. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap I
122
123
iv. Melakukan kajian mengenai komposisi ragam produk teh yang akan
diekspor
v. Implementasi pembatasan kuota dan nilai teh ke Indonesia
c. Periode III
i. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap II (60 persen)
ii. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap II
iii. Meningkatkan ragam produk teh (diversifikasi produk)
d. Periode IV
i. Meningkatkan porsi teh mutu pertama yang beredar di pasar domestik
ii. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap II (80 persen)
e. Periode V
i. Pemberian insentif bagi perusahaan yang telah memiliki sertifikasi
ii. Realisasi kluster industri teh di Jawa Barat
2) Program Rutin :
a. Penyuluhan mengenai manfaat bertani secara kelompok,
b. Pembinaan, pendampingan dan pelatihan skill management,
c. Penyuluhan dan pembinaan rutin mengenai perencanaan produksi dan
informasi pasar
d. Asosiasi dan DTI secara aktif dan rutin melakukan pemantauan dan
survey lapang
e. Meningkatkan kegiatan promosi untuk memperluas pasar di dalam negeri
f. Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di
pasar internasional
g. Peningkatan luas area tanam, replanting, rehabilitasi, intensifikasi
Gambar 14. Rancangan Arsitektur Strategik Agribisnis Teh Indonesia
PROGRAM RUTIN 1a. Penyuluhan mengenai manfaat bertani secara kelompok, 1c. Pembinaan, pendampingan dan pelatihan skill management, 2a. Penyuluhan dan pembinaan rutin mengenai perencanaan produksi dan informasi pasar 3a. Asosiasi dan DTI secara aktif dan rutin melakukan pemantauan dan survey lapang 6a. Meningkatkan kegiatan promosi untuk memperluas pasar di dalam negeri 6b. Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di pasar
internasional 7a. Peningkatan luas area tanam, replanting, rehabilitasi, intensifikasi
SASARAN 1. Peningkatan luas area,
produksi, produktivitas, konsumsi domestik, dan volume ekspor teh,
2. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani,
3. Peningkatan mutu dan pengembangan produk teh,
4. Peningkatan upaya promosi secara intensif.
TANTANGAN 1. Penurunan luas area
perkebunan serta banyaknya kebun-kebun tua yang sudah tidak produktif lagi,
2. Rendahnya pengetahuan konsumen dalam negeri akan manfaat teh yang menyebabkan konsumsi teh domestik masih rendah,
3. Meningkatnya kesadaran masyarakat global terhadap kesehatan, pelestarian lingkungan, keselamatan kerja, dsb yang menjadi hambatan non-tarif bagi Indonesia, serta
4. Perubahan lingkungan persaingan yang begitu cepat dan agresif.
STRATEGI 1. Pembentukan dan
penguatan kelompok tani 2. Melakukan perencanaan
produksi; serta mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar
3. Meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat
4. Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan
5. Merancang pendirian kluster industri teh di Jawa Barat
6. Meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia
7. Meningkatkan produksi, dan diversifikasi produk
8. Meningkatkan komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan alokasi teh curah 1st grade di pasar DN
9. Pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan olahan
9a. Kajian mengenai batas dan dampak kebijakan
tarif impor
5a. Perencanaan dan koordinasi dalam rangka pembangunan
kluster industri teh Jabar
5b. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap I
4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap I
(30 persen)5b. Penataan wilayah
dan integrasi antar subsistem tahap II 1b. Merangsang
pembentukan kelompok tani baru
dan penguatan kelompok tani lama
3b. DTI melakukan kerjasama dengan
pemerintah &lembaga keuangan
4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap III
(80 persen)
4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap II
(60 persen)
8b. Meningkatkan porsi teh mutu
pertama di pasar DN
5c. Realisasi pendirian kluster
industri teh di Jawa Barat
PERIODE I PERIODE II PERIODE III PERIODE IV PERIODE V
7b. Peningkatan ragam produk teh
(diversifikasi produk)
8a. Kajian mengenai ragam teh yang
diekspor
9b. Implementasi kebijakan impor baru
4b. Pemberian insentif bagi
perusahaan yang telah tersertifikasi
124
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat
diperoleh, adalah :
1) Sistem agribisnis teh Indonesia terbagi menjadi :
a. Subsistem Hulu
Subsistem ini terdiri dari empat kegiatan utama, yaitu usaha
pembibitan teh, usaha penyedia sarana dan jasa transportasi, usaha
penyedia pupuk dan obat-obatan serta usaha penyedia alat dan mesin
pertanian. Kegiatan pembibitan teh didukung oleh adanya Pusat Penelitian
Teh dan Kina yang menghasilkan klon unggul. Sarana dan jasa
transportasi menjadi aspek yang sangat penting mengingat distribusi teh
dilakukan dari perkebunan yang umumnya terletak di daerah pegunungan
hingga ke berbagai negara di seluruh dunia. Pupuk dan obat-obatan
merupakan komponen terpenting dalam kegiatan budidaya teh, biaya
untuk pupuk dapat mencapai 10-40 persen dari total biaya produksi.
Namun hingga saat ini masih sering terjadi kelangkaan pupuk di kalangan
produsen. Sementara pengadaan mesin-mesin pengolah umumnya masih
tergantung pada mesin impor.
b. Subsistem Budidaya
Berdasarkan tipe kepemilikannya, perkebunan teh di Indonesia terdiri
dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan
Perkabunan Besar Swasta (PBS). Luas area PR mencapai 46,25 persen,
dengan produksi sekitar 38.593 ton. Sementara luas area PBN dan PBS
mencapai 31,2 persen dan 22,55 persen dengan produksi mencapai 78.354
ton dan 37.024 ton. Produktivitas PR mencapai 791,9 kg/ha, PBN sebesar
1.956,5 kg/ha dan PBS mencapai 1.301,8 kg/ha.
c. Subsistem Pengolahan Teh Curah
Pabrik teh curah di Indonesia terbagi menjadi pabrik teh hitam curah
dan pabrik teh hijau curah. Sebagian besar teh yang diekspor Indonesia
125
merupakan teh hitam (87,47 persen), dan sisanya adalah teh hijau (12,5
persen)
d. Subsistem Pemasaran
Jalur pemasaran teh terbagi menjadi jalur perdagangan langsung dan
jalur perdagangan lelang. Jalur tataniaga perdagangan langsung masih
merupakan jalur yang panjang dan tidak efektif, khususnya bagi petani teh.
Hingga saat ini, masih banyak petani yang memperoleh harga rendah akibat
adanya penekanan harga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul.
Sementara jalur perdagangan melalui proses lelang (Jakarta Tea Auction)
lebih ditujukan untuk perdagangan teh ke pasar internasional. Harga yang
terbentuk pada JTA digunakan sebagai patokan harga teh nasional. Struktur
pasar oligopoly buyers market yang dihadapi pada kegiatan lelang di JTA
dinilai masih belum dapat menciptakan proses pembentukan harga yang
efektif, karena masih adanya dominasi dari beberapa perusahaan besar
tertentu.
e. Subsistem Jasa Penunjang
Kegiatan agribisnis teh di Indonesia tidak terlepas dari kontribusi Pusat
Penelitian Teh dan Kina sebagai lembaga riset. Sejauh ini, PPTK telah
mampu menghasilkan berbagai hasil penelitian yang telah digunakan untuk
pengembangan industri teh di Indonesia. Berbeda dengan PPTK,
keberadaan lembaga keuangan khususnya perbankan di Indonesia dinilai
belum sepenuhnya mendukung kegiatan agribisnis teh, khususnya dalam
memberi dukungan pembiayaan pada produsen terutama petani. Selain
kedua lembaga tersebut, terdapat pula kelompok tani, koperasi, lembaga
pemasaran seperti PT KPBN, asosiasi-asosiasi dan Dewan Teh Indonesia
yang juga tergolong ke dalam susbsistem jasa dan penunjang.
2) Berdasarkan analisis dayasaing menggunakan Sistem Berlian Porter dapat
disimpulkan bahwa keterkaitan yang saling mendukung antar komponen
utama telah terlihat pada komponen faktor sumberdaya dengan komponen
komposisi permintaan domestik dan komponen faktor sumberdaya dengan
komponen industri terkait dan industri pendukung. Sementara antara
komponen utama lainnya, belum terlihat keterkaitan yang saling mendukung.
126
Selain itu, apabila dilihat dari keterkaitan antara komponen pendukung dengan
komponen utama, komponen peran pemerintah ternyata baru memiliki
keterkaitan yang mendukung dengan komponen faktor sumberdaya saja,
sementara dengan komponen lainnya pemerintah dinilai belum memiliki
keterkaitan yang saling mendukung. Berbeda dengan komponen pemerintah,
komponen peranan kesempatan dengan adanya kesempatan berupa penurunan
produksi yang dilanda Kenya, Sri Langka dan India akibat kekeringan, juga
semakin merebaknya isu kesehatan di kalangan masyarakat global ternyata
telah mampu mendukung semua komponen utama dalam Sistem Berlian
Porter.
3) Strategi peningkatan dayasaing yang dihasilkan melalui analisis Matriks
SWOT lebih mengarah kepada strategi peningkatan kinerja petani teh rakyat,
yaitu dengan meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelompok
tani dan dukungan dari adanya asosiasi dan Dewan Teh Indonesia. Sementara
untuk perkebunan besar negara dan swasta strategi lebih mengarah kepada
peningkatan produksi dan diversifikasi produk, khususnya untuk produk teh
tujuan ekspor. Permasalahan lain yang menjadi fokus strategi adalah
permasalahan yang terkait dengan konsumsi teh, strategi yang digunakan lebih
diutamakan kepada peningkatan upaya promosi yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai teh dan manfaatnya.
8.2 Saran
Adapun saran yang diajukan penulis untuk penelitian selanjutnya adalah
sebagai berikut :
1) Dalam melakukan analisis gambaran sistem agribisnis teh Indonesia, penulis
belum mampu melakukan analisis secara rinci di setiap subsistem, karena itu
diharapkan dalam penelitian selanjutnya dilakukan penelitian secara khusus
untuk masing-masing subsistem sehingga dapat diketahui potensi serta
kendala yang mendasar namun belum muncul ke permukaan.
2) Berdasarkan analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia, penelitian ini belum
mampu melihat sejauh mana keterkaitan antar komponen serta sejauh mana
bentuk dukungan yang diberikan oleh komponen-komponen yang telah saling
127
3) Untuk mendukung rumusan strategi pembangunan kluster industri teh di Jawa
Barat, maka dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai kesiapan dan strategi
pembangunan dalam bentuk rancangan kluster industri teh di Jawa Barat
sebagai sentra produksi teh di Indonesia.
128
DAFTAR PUSTAKA
Adam RP. 2006. Pengaruh Faktor Internal Konsumen dan Kinerja Bauran Pemasaran terhadap Pengambilan Keputusan Pembelian Komoditas Teh oleh Konsumsi Rumah Tangga di Jawa Barat [Disertasi]. Bandung : Program Doktor bidang Ilmu Pertanian, Universitas Padjajaran.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Perkebunan : Tree Crop Estate Statistics 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Perkebunan 2011. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.
Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. 2003. Evolusi Teori Dayasaing. Jakarta : Penerbit Salemba Empat.
David Fred R. 2009. Manajemen Strategis Konsep. Sunardi D, penerjemah; Wuriarti P, editor. Jakarta : Salemba Empat. Terjemahan dari : Strategic Management 12th Edition.
[Dirjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Teh Indonesia dalam Angka 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.
Doerjat Iman S. 2007. Pengaruh Kinerja Atribut Produk, Tingkat Harga Pada Pelanggan Akhir, Ketersediaan Produk, dan Kinerja Promosi terhadap Nilai Pelanggan serta Implikasinya pada Kepuasan Pelanggan Produk Teh Hitam Celup [Disertasi]. Bandung : Program Doktor bidang Ilmu Manajemen Bisnis, Universitas Padjajaran.
Febriyanthi SA. 2008. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi Teh Indonesia Di Pasar Internasional [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Halik A. 2009. Sambutan Ketua Umum Dewan Teh Indonesia. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm v-ix.
Hamel G, Prahald CK. 1995. Kompetisi Masa Depan. Maulana A, penerjemah; Saputra L, proof reader. Jakarta : Binarupa Aksara. Terjemahan dari : Competing for The Future.
Indarto P. 2007. Teh Minuman Bangsa-Bangsa di Dunia. Jakarta : Pawon.
Irianto G. 2009. Sambutan dan Keynote Speech Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm i-iv.
129
[ITC] International Tea Committee. 2009. Annual Bulletin of Statistics. International Tea Committee.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014. Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
Kustanti VR, Widyanti T. 2007. Research on Supply Chain in The Tea Sector in Indonesia. The Business Watch Indonesia.
Nazaruddin, Paimin FB. 1993.Pembudidayaan dan Pengolahan Teh. Cetakan I. Jakarta : Penebar Swadaya.
Pambudi J. 2006. Potensi Teh sebagai Sumber Zat Gizi dan Perannya dalam Kesehatan. Bogor : Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.
Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York : The Free Press.
Porter ME. 1998. On Competition (The Harvard Business Review Book Series). United States of America : Harvard College.
[PPTK] Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2006. Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Teh. Bandung : Pusat Penelitian Teh dan Kina.
[PPTK] Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2007. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Edisi Kedua. Bandung : Pusat Penelitian Teh dan Kina.
[Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2009. Konsumsi Pangan. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian.
Puspita AAD. 2009. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal Di Indonesia [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Rachman et al. 2002. Studi Pengembangan Sistem Agribisnis Perkebunan Rakyat dalam Perspektif Globalisasi Ekonomi. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Cetakan Kedua Belas. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Rosyadi et al. 2003. Penerapan Coporate Farming dalam Sistem Agribisnis Perkebunan Teh Rakyat Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Hlm : 106
Rosyadi AI, Wahyu DS. 2007. Identifikasi Masalah Usaha Tani Teh Rakyat di Kecamatan Cikalong Wetan dalam Warta Pusat Penelitian Teh dan Kina. 18 (1-3). 2007 : 63-71. Hlm 68
130
Santoso J. 2009. Sambutan Direktur Pusat Penelitian Teh dan Kina. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm x-xiv.
Santoso J, Suprihatini R. 2007a. Usulan Kebijakan Harmonisasi Tarif Impor Teh Indonesia. Di Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh dan Kina Akhir Tahun 2007 : Dukungan Teknologi untuk Menyelamatkan Industri Teh dan Kina Nasional. Bandung : PPTK. Hlm 1-15.
Santoso J, Suprihatini R. 2007b. Kebijakan yang Perlu Diperjuangkan untuk Revitalisasi Agribisnis Teh Nasional. Di Dalam Warta Pusat Penelitian Teh dan Kina 18(1-3) 2007. Bandung : PPTK. Hlm 1-18.
Saragih B. 2010. Suara Agribisnis : Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta : PT Permata Wacana Lestari.
Simatupang P. 2010. Introduksi dan Praksis Paradigma Agribisnis di Indonesia : Kontribusi Profesor Bungaran Saragih. Di dalam Krisnamurthi Bayu, Pambudy Rachmat, Dabukke Frans BM, editor. Refleksi Agribisnis. Bogor : IPB Press. Hlm 23-43.
Siregar PK. 2009. Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu Terhadap Daya Saing Komoditas Susu Sapi Lokal (Studi Kasus : Peternak Anggota TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Suprihatini R, Rosyadi AI. 2003. Evaluasi Terhadap Kebijakan Produksi dan Perdagangan Teh dalam Rangka Meningkatkan Dayasaing Teh Nasional. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 1-22.
Surjadi D. Pengaruh Mutu-Dalam Terhadap Konsumsi Teh : Suatu Analisis Konsumsi Teh Di Pasar Domestik. 2003. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung: PPTK. Hlm 296-303.
Suryatmo FA. 2003 Pengembangan Produk Hilir Teh di Indonesia. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 87-95.
Tarigan B. 2003. Upaya Mengatasi Krisis Industri Teh Indonesia. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 304-306.
Tarmidi LT. 2007. Riset Pasar Teh : Dubai, Pakistan, Kazakhstan dan Uzbekistan. Jakarta : Kantor Pemasaran Bersama PT. Perkebunan Nusantara.
Tatakomara E. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Teh Indonesia, Serta Daya Saing Komoditi Teh Di Pasar Internasional [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
131
132
Widayat W, Abbas T, Rayati DJ. 2003. Usaha Perbaikan Lingkungan untuk Menjamin Produksi Tinggi dan Berkelanjutan. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 59-69.
Yusdja Y, Sajuti R, Supriyati, Winarso B. 2003. Analisis Dampak Sosial Ekonomi terhadap Adopsi Teknologi PHT Perkebunan Teh Rakyat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Yoshida DT. 2006. Arsitektur Strategik : Sebuah Solusi Meraih Kemenangan dalam Dunia yang Senantiasa Berubah. Jakarta : Elex Media Komputindo.
134
Lampiran 1. Persentase Pangsa Produksi Teh Dunia (2000-2008)
No Negara Pangsa Produksi (persen) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
1 India 28,8 27,9 27,2 27,4 27,0 27,3 27,4 25,2 25,82 Bangladesh 1,8 1,9 1,7 1,8 1,7 1,8 1,5 1,5 1,53 Sri Langka 10,4 9,7 10,1 9,5 9,3 9,2 8,7 8,1 8,44 Indonesia 5,5 5,5 5,3 5,3 5,0 4,5 4,1 3,7 3,65 Cina 23,6 22,9 24,2 24,0 25,2 27,0 28,7 30,4 31,66 Iran 1,5 1,9 1,6 1,8 1,2 0,7 0,6 0,4 0,57 Jepang 3,0 3,0 2,7 2,9 3,0 2,9 2,8 2,5 2,48 Turki 4,4 4,7 4,6 4,8 5,1 3,9 4,0 4,7 4,19 Vietnam 2,4 2,6 2,9 2,9 2,8 3,8 4,0 4,0 4,410 Kenya 8,0 9,6 9,3 9,2 9,8 9,3 8,7 9,8 9,111 Malawi 1,4 1,2 1,3 1,3 1,5 1,1 1,3 1,3 1.112 Uganda 1,0 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,0 1,2 1.113 Lainnya 8,2 8,0 8,0 8,0 7,3 7,4 7,2 7,2 6,4Sumber : ITC (2009)
Lampiran 2. Persentase Pangsa Ekspor Teh Dunia (2000-2008)
No Negara Pangsa Produksi (persen) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
1 India 15,4 12,8 13,8 12,2 12,4 12,4 13,6 11,1 11,82 Bangladesh 1,4 0,9 0,9 0,9 0,9 0,6 0,3 0,7 0,53 Sri Langka 21,1 20,5 19,9 20,8 18,6 19,0 19,9 18,7 18,24 Indonesia 8,0 7,1 7,0 6,3 6,3 6,5 6,0 5,3 5,85 Cina 17,2 17,8 17,5 18,6 17,9 18,2 18,1 18,4 18,16 Vietnam 4,2 4,2 5,3 4,3 6,3 5,6 6,6 7,1 6,37 Kenya 16,4 19,3 18,9 19,3 21,4 22,2 19,8 21,8 23,48 Malawi 2,9 2,7 2,7 3,0 3,0 2,7 2,7 3,0 2,49 Uganda 1,7 1,6 1,6 1,5 1,5 1,4 1,5 1,9 1,510 Tanzania 2,0 2,2 2,2 2,4 1,9 2,1 2,1 2,8 2,611 Argentina 3,8 4,0 4,0 4,2 4,2 4,2 4,5 4,8 4,712 Lainnya 5,9 6,9 6,2 6,5 5,6 5,1 4,9 4,4 4,7Sumber : ITC (2009)
Lampiran 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Teh Dunia Tahun Produksi (000 Ton) Konsumsi (000 Ton) 1998 3.026 2.973 1999 2.948 2.925 2000 2.929 2.880 2001 3.058 2.992 2002 3.086 3.021 2003 3.217 3.173 2004 3.335 3.203 2005 3.458 3.361 2006 3.580 3.488 2007 3.751 3.618 2008 3.804 3.658
Sumber : ITC (2009)
135
Lampiran 4. Daftar Perusahaan Teh di Indonesia
No Nama Perusahaan Alamat 1 CV Agrogarden Jln. Sultan Agung Tirtayasa No. 21 Cirebon 2 CV Anugerah Jln. Suniaraja No. 2 D Bandung, 40111 3 PT Arteri Megah Jln. Tirtasari 81 RT 09/01 Cipayung, Depok Timur4 PT Chakra Jln. Bojong Buah Raya No. 6A Kawasan Industri
Cilamjoeni, Bandung 5 PT Cipta Monang Utama Jln. Cideng Timur No. 86, Jakarta 10160 6 Lipton Tea Supply Unilever
Tbk (Consultative Tea Group) Buying Department 2nd Floor Haery I Building, Jln. Kemang Selatan Raya No.151 Jakarta 10151
7 PT Danitama Niagaprima Jln. Sultan Hasanudin 47-48 Jakarta 12160 8 Daun Burung Jln. Jenderal A. Yani No. 142/144 Tegal 9 PT Duta Serpack Inti Kawasan Industri Palm Manis, Desa Gandasari,
Jati Uwung, Tangerang 10 PT Fajar Nusa Rifindo Jln. Cipinang Cempedak II/2 Polonia, Jakarta 11 PT Gunung Rosa Djaja Desa Karyamukti, Campaka, Cianjur 12 PT Gunung Sari Hijau 63 Desa Susukan Tr II/6, Cigudeg, Bogor 13 PT Hefima Niagatama Jln. Raya Alternatif Cibubur Blok G No. 15,
Cimanggis, Cibinong 14 PT Ide Mesin Teh Indonesia Jln. Dr. Wahidin No.31 Tegal 52111 15 L.Elink Schuurman (Thee) BV
(Representative Office) Wisma Adiwirakerta Lantai III, Jln. Wijaya I No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta
16 PT Incomex Agratama Jln. Jati Padang No. 15 Pasar Minggu, Jakarta 17 INDOHAM
(Representative Office) Hotel Kartika Chandra, Office Tower Lt.7, Jln. Gatot Subroto, Jakarta 12930
18 PT Indo Tirta Jaya Abadi Jln. Majapahit No. 769 (Km 11), Semarang 19 Indonesia Nature Tea
Company Jln. Soetomo No. 480, Medan 20231
20 PT Intermas Pasific Mutiara Kebon Jeruk Plaza Blok B No. 3-3 dan C 3-4 Jln. Perjuangan Kedoya, Jakarta 11530
21 PT Jangkar Jati Jln. Ancor Barat VII No. 12 Blok A/50, Jakarta 22 UD Jasa Prima Jln. Citaliktik Bojongsayang No. 23, Pananjung,
Bandung 40377 23 PT J.A Wattie Wisma BSG Lt.8 Jln. Abdul Muis No. 40 Jakarta 24 JFR Scheibler & Co Jln. Raya Jatipadang No. 15, Ragunan Jakarta 25 PT Karti Wana Raya Jln. Kebun Besar No. 27, Jakarta 12420 26 KOPTHINDO Jln. Soekarno Hatta No. 35, Bandung 40233 27 PT Kantor Pemasaran
Bersama Nusantara Jln. Taman Cut Mutiah No. 11, Jakarta
28 PD Kurnia Jln. Cipelang Leutik II/3, Sukabumi 43114 29 PT Lautan Mutiara Sewu Jln. Cideng Barat No. 37 A/B, Jakarta 11440 30 PT Mohtex Jln. KH. Wahid Hasyim No. 45 Jakarta 10350 31 PT Martina Berto Kawasan Industri Pulogadung Jln. Pulo Kambing
II No. 1 Jakarta 13930 32 PT Maskapai Perkebunan
Mulia Gedung Tedja Buana Lt. 3 Jln. Menteng Raya No. 29, Jakarta 10340
33 PT Megah Salaras Jln. Arteri Pondok Indah 28 E, Kebayoran Lama, Jakarta, 10350
34 PT MP. Indorub Sumber Wadung
Jln. Puri Mutiara VI No. 18E, Cipete Selatan, Jakarta 12410
136
No Nama Perusahaan Alamat 35 PD Mekar Wangi Jln. Sumber Hegar V No. 12-8, Bandung 40222 36 PT Multi Fitindo Jln. Pintu Air V No. 53B Pasarbaru, Jakarta 12710 37 PT Multikemindo Perkasa Golden Vile Blok CF Jln. Kali Sekretaris (Daan
Mogot II) No. 58, Jakarta 11510 38 PT Mustika Ratu Tbk Mutika Ratu Centre 12th Floor, Jln. Gatot Subroto
Kav. 74-75, Jakarta Selatan 39 CV Nanjung Jln. Satria K No. 70 Cibolerang, Bandung 40224 40 PT Nanteatraco Jln. Tulodong Bawah VIII No. 33, Kebayoran
Baru, Jakarta 12190 41 PT Nitoh Malindo Jln. Saweringanding No. 12 Makasar 90113 42 PT Nirmala Agung Gedung JITC Lt. 9-10, Jln. Mangga Dua Raya,
Jakarta 43 PT Nyalindung Jln. Raya Purwakarta No. 625 Desa Nyalindung
Cipatat, Bandung 44 PT Otsuka Jaya Indah Jln. Cilosari No. 25 Cikini, Jakarta Pusat 45 Pabrik Teh Teteco Jln Srayu No. 7 Tegal 46 Pabrik Teh Tong Tji Jln. Jenderal A. Yani No. 210, Tegal 47 CV Padakersa Jln. Tomang Raya No. 47 G, Jakarta 11440 48 PT Pagilaran Jln. Faridan M. No. 11 Yogyakarta 55224 49 PT Pecconina Baru Jln. Bekasi Timur IV No. 3A Jatinegara, Jakarta 50 Penyortir Teh “Djunaedi” Jln. Bintang Mas No. 17 Cibinong, Bogor 51 PT Perkebunan Nusantara VIII Jln. Sindang Sirna No. 4 Bandung 40153 52 PT Perkebunan Nusantara XII Jln. Rajawali No. 44 Surabaya 60175 53 PT Perkebunan Nusantara IX Jln. Mugas Dalam (Atas), Semarang 50011 54 PT Perkebunan Nusantara IV Jln. Letjen Suprapto No. 2 Medan 20152 55 PT Perkebunan Nusantara VI Jln. Zainir Havis No. 1 Koto Baru, Jambi 36128 56 PT Perkebunan Nusantara VII Jln. Prof. Dr. Suparno, SH No. 231, Jakarta 12870 57 PT Perkebunan Teh Jambi Jln. T. Jogonegoro No. 39 Wonosobo 58 CV Prima Jasa Jln. Merdeka No. 48, Bogor 59 PT Perkebunan Cihaur I-V Kebon Jeruk Plaza Blok E-11, Jln. Perjuangan
Kedoya, Jakarta 11530 60 PT Perkebunan Hasfarm Napu Jln. Hasanudin No. 6 Blok M3 Jakarta 12160 61 Perusahaan Teh Ciwangi Jln. Pasirkaliki No. 135 Bandung 62 Perusahaan Teh Cangkir Jln. Jenderal A. Yani No. 10 Pekalongan 63 PT PP London Sumatera Jln. A. Yani No. 2 Medan 64 PT Pucuk Mas Tiga Daun Jln. Taman Aries Blok H-4 No. 11, Jakarta 11620 65 CV Putra Sejati Jln. Holis No. 266 Bandung 66 Pusat Penelitian Teh dan Kina Jln. Ir. H. Juanda No. 107 Gambung, Bandung 67 Pukoveri Jabar
(Unit Niaga dan Jasa) Jln. Aceh No. 4 Bandung
68 PT Putindo Inti Selaras Jln. Bisma Raya Blok A No. 548 Jakarta 69 PT Rambate Ratahayu Jln. Citarum No. 19 Surabaya 60241 70 PT Roboco Jayatama Jln. KH Hasyim Ashari, Jakarta 10150 71 PT Sarana Mandiri Mukti Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 3 No.
314b, Jln. Jenderal Gatot Subroto Senayan, Jakarta 72 PT Sari Bumi Kawi Jln. Jenderal A. Yani No. 15 Wlingi, Blitar 73 PT Sari Bumi Pakuan Jln. Pulo Ayang Raya Blok OR-1 Kawasan
Industri Pulogadung , Jakarta 74 PT Sariwangi A.E.A Jln. Mercedes Benz No. 228, Cicadas, Gunung
Putri, Bogor
137
No Nama Perusahaan Alamat 75 PT Sari Rasa Jln. Tiang Bendera III No. 8, Jakarta Pusat 76 PT Sasanamitra Wijaya Jln. Cempaka Putih Timur IV No. 10, Jakarta 77 Seko Fajar Plantation Jln. Gatot Subroto Kav 22, Jakarta 12930 78 PT Setia Hati Nugraha Jln. Lautze No. 17 K, Jakarta Pusat 10210 79 Setyawan Jln. Kebonjati No. 230, Bandung 80 PD Sidodadi Jln. Dr. Cipto No. 65 Pekalongan Timur 81 PT Sinar Inesco Jln. Batununggal Permai V No. 1, Bandung 82 PT Sinar Maluku Jln. Lamandau IV No. 21 Kebayoran Baru, Jakarta 83 PT Sinar Sosro Indonesia Jln. Raya Bekasi Km 28 Cakung, Jakarta 13960 84 PT Spadenta Nusantara Jln. Pulo Asem Timur II No. 16 Rawamangun,
Jakarta Timur 85 CV Sumber Hidup Jln. Pasar Baru No. 84 Banjarmasin, Kalimantan 86 PT Sumber Rejeki Jln. Kolonel Sugiono No. 39, Tegal 87 PT Tatar Anyar Indonesia Cilandak Commercial Estate, Building 202EN
Cilandak, Jakarta 12075 88 PT Teha Jln. Arjuna No. 29 Bandung 89 Pabrik Teh Giju Jln. Pekalongan No. 44 Cirebon 90 Teh Gunung Subur Jaten Km 9, Karanganyar, Surakarta 91 PT Teh Nusamba Indah Jln. Menteng Raya No. 73, Jakarta 10330 92 Teh Pecco Jln. Kalibaru Selatan No. 3, Cirebon 93 PT Teh Wangi 999 Jln. RA Kartini No. 61-63, Pekalongan 94 PT Trijasa Primaselaras Jln. Gajahmada No. 194, Jakarta 11120 95 PT Tunggal Naga Jln. Raya Selatan No. 130 Adiwerna, Tegal 96 Van Rees BV
(Representative Office) Deli Maatschppij, Cilandak Commercial Estate Building III, Jln. KKD Cilandak, Jakarta 12560
97 Yoosuf Akbani Jln. Cempaka Putih Tengah No. 27B/D-4, Jakarta Sumber : Indonesian Tea Catalogue
138
Lampiran 5. Berbagai Jenis Mutu Teh Curah
Broken Orange Peko (BOP) Broken Tea (BT)
DUST Broken Orange Peko Fanning (BOP F)
Broken Peko (BP) Peko Fanning (PF)
Broken Orange Peko 1 (BOP 1) Broken Peko 1 (BP 1)