analisis daya saing dan strategi pengembangan agribisnis teh indonesia

155
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA SKRIPSI VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Upload: surya

Post on 10-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA

SKRIPSI

VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 

i  

ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA

SKRIPSI

VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

ii

RINGKASAN VENTY FITRIANY NURUNISA. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA)

Peranan teh sebagai bahan baku bagi industri, kontributor devisa bagi negara, penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang juga memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar perkebunannya telah menjadikan teh sebagai salah satu komoditas unggulan nasional. Posisi Indonesia dalam perdagangan internasional merupakan salah satu produsen sekaligus eksportir teh terbesar di dunia. Tahun 2008, pangsa pasar ekspor Indonesia mencapai 5,8 persen dari total ekspor dunia. Namun, kondisi tersebut bukan merupakan kondisi optimal agribisnis teh Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia cenderung mengalami penurunan luas area, yang kemudian berdampak kepada volume produksi dan penurunan volume ekspor. Sejak tahun 2000, Indonesia kehilangan sekitar 2,18 persen area perkebunan teh per tahun. Hal tersebut berdampak pada penurunan rata-rata produksi dan ekspor sebesar 0,83 dan 1,7 persen per tahun. Hal ini tidak dapat dibiarkan, mengingat kendala yang dihadapi oleh sebuah subsistem dalam sistem agribisnis teh Indonesia akan berdampak terhadap kinerja subsistem lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah kondisi sistem agribisnis teh di Indonesia, menganalisis dayasaingnya serta merumuskan strategi pengembangan yang tepat untuk meningkatkan dayasaing tersebut. Teh yang diteliti adalah teh curah sebagai produk yang dieskpor Indonesia. Pada analisis strategi, lingkup penelitian yang digunakan adalah subsistem budidaya dan pengolahan teh curah sebagai lingkungan internal, sementara subsistem hulu, pemasaran dan subsistem jasa penunjang ditambah dengan kondisi global termasuk ke dalam lingkungan eksternal. Teh yang diteliti adalah teh hitam dan teh hijau curah yang merupakan produk teh mayoritas yang diekspor oleh Indonesia. Data yang digunakan hampir 70 persen merupakan data sekunder, dan sisanya diperoleh dari wawancara dan observasi lapang (data primer). Alat yang digunakan adalah kerangka sistem agribisnis teh, Sistem Berlian Porter, Matriks SWOT dan Arsitektur Strategik.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sistem agribisnis teh Indonesia terbagi menjadi subsistem hulu, budidaya, pengolahan, pemasaran dan subsistem jasa penunjang. Subsistem hulu terdiri dari empat kegiatan utama yaitu usaha pembibitan teh, penyediaan sarana dan jasa transportasi, penyediaan sarana dan mesin pertanian serta usaha penyedia pupuk dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh tanaman teh. Pada subsistem budidaya, usaha perkebunan teh di Indonesia terbagi menjadi usaha perkebunan rakyat (PR), usaha perkebunan besar negara (PBN) dan usaha perkabunan besar swasta (PBS). Luas area perkebunan milik rakyat mencapai 46,25 persen dari total area perkebunan teh di Indonesia, dengan produksi yang dicapai sekitar 38.593 ton pada tahun 2008. Sementara luas area perkebunan besar negara dan swasta mencapai 31,2 persen dan 22,55 persen dari total area perkebunan di Indonesia dengan produksi mencapai 78.354 ton dan 37.024 ton di tahun 2008. Berdasarkan proses pengolahannya, kegiatan usaha

iii

pada subsistem pengolahan teh curah terbagi menjadi dua, yaitu kegiatan pengolahan teh hitam curah dan kegiatan pengolahan teh hijau curah. Selain itu, kegiatan yang terjadi pada subsistem pemasaran teh Indonesia dibagi perdagangan yang melalui sistem lelang (auction) dan sistem direct selling. Sementara kegiatan agribisnis teh Indonesia juga didukung oleh lembaga penyedia jasa dan penunjang seperti lembaga penelitian Pusat Penelitian Teh dan Kina, lembaga keuangan, kelompok tani dan koperasi, lembaga pemasaran seperti Kantor Pemasaran Bersama Nusantara, asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia dan Asosiasi Petani Teh Indonesia serta Dewan Teh Indonesia yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah.

Analisis dayasaing menggunakan Sistem Berlian Porter menunjukan bahwa komponen faktor sumberdaya dan komponen komposisi permintaan domestik, serta komponen faktor sumberdaya dengan komponen industri terkait dan industri telah saling mendukung, sementara komponen lainnya belum saling mendukung. Selain itu, apabila dilihat dari komponen pendukungnya, komponen peranan pemerintah baru memiliki keterkaitan yang mendukung dengan komponen faktor sumberdaya saja, sementara komponen peranan kesempatan telah mampu mendukung semua komponen utama.

Strategi peningkatan dayasaing yang dihasilkan melalui analisis Matriks SWOT lebih mengarah kepada strategi peningkatan kinerja petani teh rakyat, yaitu dengan meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelompok tani dan dukungan dari adanya asosiasi dan Dewan Teh Indonesia. Sementara untuk perkebunan besar negara dan swasta strategi lebih mengarah kepada peningkatan produksi dan diversifikasi produk, khususnya untuk produk teh tujuan ekspor. Permasalahan lain yang menjadi fokus strategi adalah permasalahan yang terkait dengan konsumsi teh, strategi yang digunakan lebih diutamakan kepada peningkatan upaya promosi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai teh dan manfaatnya. Kemudian, strategi yang telah dihasilkan dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategik, sehingga dihasilkan rancangan arsitektur strategik agribisnis teh Indonesia.

iv

ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA

VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

v

Judul Skripsi : Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis

Teh Indonesia

Nama : Venty Fitriany Nurunisa

NRP : H34070044

Disetujui, Pembimbing

Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 19640220 198903 1 001

Diketahui Ketua Departemen Agribisnis

Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

Tanggal Lulus :

vi

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis

Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia” adalah karya

sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Venty Fitriany Nurunisa

H34070044

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Venty Fitriany Nurunisa, dilahirkan di kota Bogor pada

tanggal 31 Januari 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara

dari pasangan Ayahanda Sugandi dan Ibunda Mari Komariah Tentamia.

Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri

Panaragan 1 Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya ke SMP

Negeri 1 Bogor. Pada tahun 2004, penulis berhasil menyelesaikan pendidikannya

di sekolah menengah pertama lalu melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri 1

Bogor. Pada tahun 2007, penulis lulus dan melanjutkan pendidikannya di Institut

Pertanian Bogor.

Penulis berhasil diterima menjadi mahasiswa di Departemen Agribisnis,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007.

Selama masa pendidikan di IPB, penulis merupakan pengurus Himpunan

Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis, dan menjabat sebagai sekertaris pada

Divisi Creativity and Career Development Department selama dua kali masa

kepengurusan (2008-2009 dan 2009-2010).

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dayasaing

dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia”.

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah kondisi sistem agribisnis teh di

Indonesia, menganalisis dayasaing agribisnis teh Indonesia serta merumuskan

strategi yang tepat dan dapat digunakan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis

teh tersebut.

Namun, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang timbul

karena keterbatasan dan kendala-kendala yang dihadapi selama proses

penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun ke arah penyempurnaan sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2011

Venty Fitriany Nurunisa

ix

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa syukur yang

sedalam-dalamnya kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan kemudahan-

kemudahan kepada penulis dari awal penyusunan hingga akhir penyelesaian

skripsi ini. Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Bapak Ir. Lukman Mohammad Baga MA. Ec selaku dosen pembimbing

akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan

pengarahan, dukungan dan motivasi selama penulis menyelesaikan skripsi ini,

2. Ibu Dr. Ir Ratna Winandi, MS selaku penguji utama dan Ibu Yanti Nuraeni

Muflikh, SP. M.Agribuss selaku dosen penguji perwakilan Komisi Pendidikan

yang telah memberikan saran serta masukan untuk perbaikan skripsi penulis.

3. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Sugandi dan Mari Komariah Tentamia atas

segala doa, kasih sayang, bimbingan dan dukungan yang diberikan kepada

penulis.

4. Adik-adik tersayang, Dian Sidhikah dan Firman Fajrin Ahmad atas segala doa

dan dukungannya.

5. Bapak Dr. Sultoni Arifin (Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia), Ibu

Rosmanindjar (Kepala Sekretariat Dewan Teh Indonesia), Bapak Drs. Dadang

Djuanda dan Ibu Ir. Mudjiwati Sadjad MS, Is (PT. Kantor Pemasaran Bersama

Nusantara), Ibu Henny Yunaeny Suryamin (Perwakilan Kebun Gunung Mas,

PTPN VIII) serta Bapak Dr. Boyke Setiawan Soeratin Sp, MM (Asosiasi Teh

Indonesia) sebagai pembimbing eksternal penulis yang telah memberikan

banyak masukan, saran, informasi dan pengarahan mengenai agribisnis teh di

Indonesia.

6. Teman-teman satu perjuangan di Agribisnis angkatan 44 serta sahabat-sahabat

yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.

7. Serta pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Venty Fitriany Nurunisa

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv

I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 7 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 7

II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 8 2.1 Karakteristik Teh Indonesia .................................................... 8 2.2 Sistem Agribisnis Komoditas di Indonesia ............................. 10 2.2 Dayasaing Komoditas Indonesia ............................................. 12 2.3 Strategi Pengembangan Agribisnis .......................................... 14

III KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................ 15 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 15 3.1.1 Pemahaman Mengenai Agribisnis .................................. 15 3.1.2 Konsep Dayasaing .......................................................... 17 3.1.3 Formulasi Strategi ........................................................... 19 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ 21

IV METODE PENELITIAN ............................................................. 24 4.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian ................................................. 24 4.2 Data dan Instrumentasi ............................................................ 24 4.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................... 24 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................... 25 4.4.1 Analisis Berlian Porter ................................................... 25 4.4.2 Analisis SWOT .............................................................. 32 4.4.3 Arsitektur Strategik ......................................................... 33

V SISTEM AGRIBISNIS TEH INDONESIA ............................... 35 5.1 Perdagangan Teh Dunia ............................................................ 35 5.1.1 Produksi dan Konsumsi Teh Dunia ................................ 35 5.1.2 Ekspor dan Impor Teh Dunia ......................................... 36 5.2 Sistem Agribisnis Teh Indonesia .............................................. 38 5.2.1 Subsistem Hulu ............................................................... 38 5.2.2 Subsistem Usahatani Teh ................................................. 43 5.2.3 Subsistem Pengolahan .................................................... 48 5.2.4 Subsistem Pemasaran ..................................................... 50 5.2.5 Subsistem Jasa dan Penunjang ....................................... 53

xi

VI DAYASAING AGRIBISNIS TEH INDONESIA ...................... 58 6.1 Analisis Komponen Sistem Berlian Porter ............................... 58 6.1.1 Kondisi Faktor Sumberdaya ........................................... 58 6.1.2 Kondisi Permintaan Domestik ........................................ 70 6.1.3 Industri Terkait dan Pendukung ..................................... 76 6.1.4 Persaingan, Struktur dan Strategi .................................... 81 6.1.5 Peran Pemerintah ............................................................ 83 6.1.6 Peran Kesempatan .......................................................... 86 6.2 Keterkaitan Antar Komponen Utama ....................................... 88 6.2.1 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Fakor

Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik ....... 88 6.2.2 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Permintaan

Domestik dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung ....................................................................... 89

6.2.3 Keterkaitan antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi ...... 90

6.2.4 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumberdaya .................. 91

6.2.5 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Pendukung ...... 92

6.2.6 Keterkaitan antara Komponen Struktur, Persaingan dan Strategi dengan Komponen Kondisi Permintaan Domestik .......................................................................... 92

6.3 Keterkaitan Komponen Pendukung ........................................... 95 6.3.1 Peranan Pemerintah terhadap Komponen Utama ............ 95 6.3.2 Peranan Kesempatan terhadap Komponen Utama .......... 96

VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ARSITEKTUR STRATEGIK AGRIBISNIS TEH INDONESIA ........................ 100

7.1 Analisis Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia ...... 100 7.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan

Ancaman .......................................................................... 100 7.1.2 Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ... 102 7.1.3 Perumusan Matriks SWOT Agribisnis Teh Indonesia .... 110 7.2 Rancangan Arsiektur Strategik .................................................. 120

VIII KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 125 8.1 Kesimpulan ................................................................................ 125 8.2 Saran .......................................................................................... 127

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 129

LAMPIRAN ............................................................................................ 133

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Neraca Perdagangan Pertanian Tahun 2005-2009 ........................ 1

2. Nilai dan Jumlah Ekspor Teh Indonesia Tahun 2000-2009 .................. 4

3. Jenis Teh Berdasarkan Varietas .................................................... 8

4. Kadar Katekin pada Beberapa Jenis Teh ..................................... 9

5. Negara-Negara Produsen dan Konsumen Teh Dunia Tahun 2008 ............................................................................................. 36

6. Negara-Negara Eksportir dan Importir Teh Dunia (2008) .......... 37

7. Kebun Biji (KB) yang Menghasilkan Turunan Cukup Baik dan Dapat Digunakan sebagai Sumber Penghasil Biji ....................... 39

8. Stek atau Klon Tanaman Teh yang Dikeluarkan PPTK .............. 40

9. Luas Area, Produksi dan Produktivitas Teh Nasional Tahun 1999-2010 .................................................................................... 43

10. Luas Area dan Produksi Teh Berdasarkan Tipe Pengusahaan Tahun 2000-2010 ......................................................................... 44

11. Karakteristik Umum Produsen Teh di Indonesia Berdasarkan Tipe Kepemilikan Usaha ............................................................. 46

12. Analisis Usahatani Kebun Teh dengan Produk Pucuk Basah dan Daun Kering .......................................................................... 48

13. Spesifikasi Teh Berdasarkan Grade ............................................ 49

14. Produk Olahan Utama dan Sampingan Teh ................................ 50

15. Perkembangan Luas Area Perkebunan Teh Berdasarkan

Provinsi Tahun 2004-2008 .......................................................... 60

16. Komposisi Teh yang Beredar di Berdasarkan Mutu Teh dan

Pangsa Pasarnya di Jawa Barat dan Jawa Timur ......................... 71

17. Perkembangan Konsumsi Teh per Kapita Indonesia ................... 72

18. Biaya Iklan yang Dikeluarkan oleh Beberapa Produsen Teh

Periode Januari-Oktober 2006 (dalam 000 Rp) ........................... 73

xiii

19. Beberapa Jenis Merk Teh yang Beredar di Indonesia

Berdasarkan Perusahaan Pengolah .............................................. 81

20. Perusahaan Eksportir Teh yang Tergabung ke dalam Jakarta

Tea Auction .................................................................................. 83

21. Tarif Impor Produk Teh di Beberapa Negara Eksportir Teh ke

Indonesia ...................................................................................... 85

22. Keterkaitan Antar Komponen Utama .......................................... 94

23. Keterkaitan Antar Komponen Pendukung dengan Komponen

Utama ........................................................................................... 97

24. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ........ 101

25. Perkembangan Populasi Penduduk Indonesia ............................. 103

26. Rasio Penambahan Nilai pada Produk Teh ................................. 105

27. Matriks SWOT Agribisnis Teh Nasional .................................... 111

28. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing

Agribisnis Teh Indonesia ............................................................. 121

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perkembangan Produksi di Beberapa Negara Penghasil Teh

Terbesar Dunia Tahun 2000-2008 ................................................ 3

2. Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis .................. 17

3. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 23

4. The Complete System of National Competitive Advantage .......... 31

5. Ruang Lingkup Sistem Agribisnis Teh ....................................... 34

6. Perkembangan Harga Rata-Rata Teh Indonesia, Sri Langka dan

Kenya Tahun 1999-2008 ............................................................. 38

7. Jalur Tataniaga Teh Indonesia (2010) ......................................... 52

8. Lembaga Penelitian Pendukung Agribisnis Teh Indonesia ......... 54

9. Produktivitas Area Tanam Teh per Provinsi Tahun 2008 ........... 64

10. Perkembangan Produktivitas Rata-Rata Area Perkebunan Teh

di Indonesia Tahun 2000-2010 .................................................... 65

11. Volume Impor Teh Negara Timur Tengah dari Indonesia

Tahun 2006-2010 ......................................................................... 76

12. Konsumsi Air Teh Kemasan (200 ml) ......................................... 79

13. Keterkaitaan Antar Komponen Dayasaing dalam Agribisnis

Teh Indonesia .............................................................................. 98

14. Rancangan Arsitektur Strategik Agribisnis Teh Indonesia ......... 124

 

 

 

 

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Persentase Pangsa Produksi Teh Dunia (2000-2008) .................. 134

2. Persentase Pangsa Ekspor Teh Dunia (2000-2008) ...................... 134

3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Teh Dunia .................... 134

4. Daftar Perusahaan Teh di Indonesia ............................................ 135

5. Berbagai Mutu Teh Curah ........................................................... 138

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang memegang peranan

penting bagi perekonomian nasional. Dibandingkan dengan subsektor lain dalam

sektor pertanian, subsektor perkebunan merupakan kontributor devisa tertinggi.

Tabel 1 menunjukkan neraca perdagangan pertanian selama periode 2005-2009,

dimana subsektor perkebunan mengalami surplus perdagangan dengan

pertumbuhan rata-rata sebesar 21,25 persen per tahun. Selain sebagai kontributor

devisa, Febriyanthi (2008) juga menyebutkan peranan lain dari subsektor

perkebunan yaitu sebagai subsektor penyerap tenaga kerja dan kontributor bagi

produk domestik bruto.

Tabel 1. Neraca Perdagangan Pertanian Tahun 2005-2009

Tahun Kegiatan

2005 2006 2007 2008 2009 (US$ 000)

1 Subsektor Perkebunan Ekspor 10.673.186 13.972.064 19.948.923 27.369.363 21.581.670 Impor 1.532.520 1.675.067 3.379.875 4.535.918 3.949.191 Neraca 9.140.666 12.296.997 16.569.048 22.833.445 17.632.4792 Subsektor Hortikultura Ekspor 227.974 238.063 254.765 432.727 378.627 Impor 367.425 527.415 795.846 909.669 1.063.120 Neraca -139.451 -289.352 -541.081 -476.942 -684.4933 Subsektor Peternakan Ekspor 396.526 388.939 748.531 1.148.170 754.914 Impor 1.121.832 1.190.396 1.696.459 2.352.219 2.132.800 Neraca -725.306 -801.457 -947.928 -1.204.049 -1.337.8864 Subsektor Tanaman Pangan Ekspor 286.744 264.155 289.049 348.914 321.280 Impor 2.115.140 2.568.453 2.729.147 3.526.961 2.737.862 Neraca -1.828.396 -2.304.299 -2.440.098 -3.178.047 -2.416.582

Sektor Pertanian Ekspor 11.584.429 14.863.221 21.241.268 29.299.174 23.036.491Impor 5.136.916 5.961.331. 8.601.327 11.324.767 9.882.973Neraca 6.447.513 8.901.890 12.639.941 17.974.407 13.153.518

Sumber : BPS (2010) dalam Kementrian Pertanian Republik Indonesia (2010)

Pemerintah melalui Kementrian Pertanian periode 2010-2014 menetapkan

beberapa komoditas perkebunan sebagai komoditas unggulan nasional.

Komoditas unggulan nasional ini merupakan komoditas yang menjadi prioritas

1

untuk dikembangkan dalam periode pembangunan pertanian di masa yang akan

datang. Pengembangan komoditas ini dimaksudkan untuk meningkatkan

produktivitas, perolehan devisa atau ekspor, subtitusi produk impor serta untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu komoditas perkebunan yang

termasuk ke dalam komoditas unggulan nasional adalah teh1.

Teh merupakan komoditas yang memiliki peranan penting bagi

perekonomian nasional. Sebanyak 61 persen produk teh Indonesia diekspor untuk

memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (BPS 2010). Sementara sisanya berperan

sebagai bahan baku bagi industri dan konsumsi dalam negeri. Selain itu, usaha

perkebunan teh juga memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah

besar. Santoso (2009) menyebutkan bahwa usaha perkebunan teh mampu

menyerap sekitar 450.000 tenaga kerja dan telah menghidupi sekitar 2,25 juta jiwa

petani teh Indonesia. Rasio penyerapan tenaga kerja usaha perkebunan teh

mencapai 2-3 orang per hektar, lebih tinggi dibandingkan komoditas perkebunan

lain seperti kelapa sawit.

Selain kontribusinya bagi perekonomian nasional, usaha perkebunan teh

juga memberikan dampak positif bagi lingkungan. Keberadaan perkebunan teh

dapat membantu mempertahankan sistem hidrologi, mencegah erosi pada tanaman

teh yang telah produktif, menyerap CO2 dan menghasilkan O2 serta dapat

menjadi alternatif pilihan fasilitas rekreasi (agrowisata). Selain itu, dalam konteks

pengembangan industri, industri teh curah dan industri teh olahan Indonesia

memiliki potensi untuk dikembangkan karena nilai backward dan forward linkage

dari indsutri ini lebih dari satu, sehingga menyebabkan multiplier effects bagi

industri teh nasional2.

                                                            1 Komoditas unggulan nasional yang berasal dari subsektor perkebunan terdiri dari kelapa sawit,

kelapa, kakao, kopi, lada, jambu mete, teh, tebu, karet, kapas, tembakau, cengkeh, jarak pagar, nilam dan kemiri sunan (Kementrian Pertanian Republik Indonesia 2010).

2 Menurut Santoso dan Suprihatini (2007b), peningkatan permintaan baik di sektor industri teh curah maupun teh olahan sebesar satu satuan akan meningkatkan output yang relatif besar di semua industri, termasuk industri itu sendiri sebesar 1,5 kali lipat. Dengan memperhitungkan efek konsumsi masyarakat terhadap teh, yaitu ketika terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga yang bekerja di industri teh, maka kenaikan output tersebut dapat mencapai 3 kali lipat. Selain itu, industri teh curah dan teh olahan juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja di semua industri. Efek induksi yang terjadi terhadap industri lain akibat peningkatan pendapatan tenaga kerja di industri teh curah dan teh olahan tersebut sebesar 1,6 kali lipat.

2  

Indonesia termasuk ke dalam sepuluh produsen dan eksportir teh terbesar

di dunia. Pada tahun 2000, Indonesia merupakan produsen teh terbesar kelima di

dunia dengan volume produksi teh Indonesia mencapai 5,5 persen. Begitu juga

dengan kegiatan ekspor teh Indonesia, posisi Indonesia saat itu menempati urutan

kelima dengan pangsa ekspor teh mencapai 8 persen dari total volume ekspor teh

dunia. Namun, seiring dengan berkembangnya persaingan diantara produsen dan

eksportir teh dunia, posisi Indonesia semakin tergeser oleh negara-negara pesaing

seperti Vietnam dan Turki. Hingga pada tahun 2008 pangsa produksi dan ekspor

teh Indonesia turun menjadi 3,6 dan 5,8 persen. Salah satu penyebab turunnya

produksi teh nasional adalah maraknya konversi areal perkebunan teh menjadi

areal tanam komoditas lain. Perkembangan produksi teh negara-negara di dunia

ditunjukkan oleh Gambar 1.

 

Perkembangan Produksi Teh di Beberapa Negara Penghasil Teh Gambar 1. hun 2000-2008

Sumber : ITC (2009)

Terbesar Dunia Ta

3  

Sebagai penghasil teh, Indonesia menghadapi persaingan dengan

produsen-produsen lainnya. Pada perdagangan teh internasional, Vietnam, Kenya

dan Sri Langka merupakan tiga pesaing terdekat Indonesia3. Beberapa tahun

terakhir ini Vietnam mampu meningatkan produksi teh mereka, sementara

produksi teh Indonesia terus menurun. Kenya dan Sri Langka merupakan

kompetitor Indonesia dalam hal kesamaan produk teh yang dihasilkan. Produk teh

hitam CTC milik Indonesia memiliki kesamaan dengan produk teh hitam CTC

yang dihasilkan Kenya, sementara produk teh hitam Orthodox Indonesia relatif

serupa dengan teh hitam Orthodox yang diproduksi Sri Langka.

Tabel 2. Nilai dan Jumlah Ekspor-Impor Teh Indonesia Tahun 2000-2009

Tahun Ekspor Impor

Nilai Jumlah (Ton) Nilai Jumlah(Ton) (000 US $) (000 US $)

2000 112.105 105.582 3.091 2.632 2001 112.524 107.144 3.091 2.632 2002 103.427 100.184 3.561 3.526 2003 95.970 88.894 3.807 4.000 2004 116.018 98.572 5.531 3.925 2005 121.777 102.389 7.161 5.479 2006 134.515 95.338 8.703 5.293 2007 125.243 83.658 11.855 10.366 2008 158.958 96.209 11.990 6.625 2009 171.628 92.305 12.537 7.168

Sumber : Dirjenbun (2010)

Tabel 2 menunjukkan perkembangan kegiatan ekspor dan impor teh

Indonesia selama tahun selama tahun 2000 hingga 2009. Pada kegiatan ekspor

teh, nilai ekspor teh Indonesia cenderung mengalami peningkatan, namun

volumenya cenderung menurun, dan penurunan yang terjadi rata-rata mencapai

1,7 persen setiap tahunnya. Penurunan volume ekspor ini dapat menyebabkan

pangsa ekspor teh Indonesia menurun. Sementara itu, di dalam negeri produk-

produk teh impor mulai banyak memasuki pasar domestik. Tabel 2 menunjukkan

                                                            3 Hasil wawancara dengan Ir. Mudjiwati Sadjad Msc.-IS, PT. Kantor Pemasaran Bersama

Nusantara [20 Maret 2011]

4  

adanya peningkatan kegiatan impor teh di dalam negeri. Hal tersebut ditunjukkan

dengan adanya kecenderungan peningkatan volume dan nilai impor teh ke

Indonesia. Selama periode tersebut, volume impor teh Indonesia mengalami

peningkatan rata-rata sebesar 18,67 persen per tahun, sementara nilai impor

meningkat sebesar 20 persen per tahunnya.

Penurunan volume ekspor teh akan mempengaruhi pangsa pasar teh

Indonesia di pasar internasional, sementara peningkatan kegiatan impor teh akan

mengurangi perolehan devisa bagi negara. Fungsi teh sebagai salah satu

kontributor devisa akan terganggu, hal ini akan berimbas terus hingga ke pelaku

produksi di lapangan. Dengan mempertimbangkan kondisi persaingan yang

semakin ketat, dimana negara-negara produsen dan eksportir teh saat ini telah

mampu meningkatkan kinerja produknya, maka penting untuk mengetahui

bagaimana dayasaing agribisnis teh Indonesia di pasar internasional kemudian

merumuskan strategi-strategi untuk mengembangkan kegiatan agribisnis teh

Indonesia dalam rangka peningkatan dayasaing tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi iklim dan topografi alam Indonesia merupakan modal awal bagi

pengembangan agribisnis teh di negara ini. Sumberdaya alam yang kita miliki

merupakan suatu bentuk keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh semua

negara. Agar suatu negara dapat terus bersaing di pasar internasional, maka

memiliki keunggulan komparatif saja tidaklah cukup. Dibutuhkan sebuah

kompetensi yang mampu bersaing baik di dalam negeri maupun di tengah pasar

persaingan global. Mengingat besarnya peranan agribisnis teh Indonesia yang

ditunjukkan dengan adanya multipier effects yang lebih dari satu, maka integrasi

antara setiap subsistem dalam sistem agribisnis teh di Indonesia sangat penting

untuk ditingkatkan.

Saat ini, subsistem budidaya agribisnis teh Indonesia sedang dihadapkan

oleh kondisi penurunan luas area perkebunan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap

volume produksi teh Indonesia. Selama periode 2000-2009 telah terjadi

penurunan luas area perkebunan teh sebesar 2,18 persen setiap tahun. Penurunan

luas areal ini kemudian berdampak pada penurunan produksi teh nasional, dimana

selama tahun 2000 hingga tahun 2010 terjadi penurunan produksi rata-rata sebesar

5  

0,83 persen (Dirjenbun 2010). Di sisi lain, penurunan kinerja di subsistem

budidaya tersebut juga mempengaruhi subsistem pemasaran teh Indonesia. Pangsa

pasar teh Indonesia cenderung terus menurun akibat adanya kecenderungan

penurunan volume ekspor teh dari tahun ke tahun.

Berbagai kendala yang dihadapi oleh para produsen teh nasional nyatanya

saling terkait antar subsistem. Untuk itu, dibutuhkan integrasi yang baik dari

setiap subsistem. Integrasi ini perlu didukung oleh kelengkapan serta distribusi

informasi yang dibutuhkan sehingga dapat dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder

teh di Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan

pemetaan potensi maupun kendala yang dihadapi oleh setiap subsistem dan

digambarkan sebagai gambaran umum agribisnis teh Indonesia.

Kendala lain yang dihadapi adalah semakin kompetitifnya persaingan

global. Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab merupakan negara-

negara pengimpor teh dunia, namun mereka mampu memberikan nilai tambah

pada teh dengan mengolahnya menjadi produk hilir dan mengekspornya kembali

dengan harga lebih tinggi4. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Indonesia,

dimana sebagian besar teh yang diekspor Indonesia masih merupakan produk

bahan baku atau produk teh curah. Akibatnya, nilai ekspor teh Indonesia semakin

jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain yang mulai

mengkombinasikan produk ekspor mereka dengan produk teh kemasan. Dengan

semakin kompetitifnya persaingan di pasar global, sesuai dengan program

peningkatan nilai tambah, dayasaing dan ekspor yang tercantum dalam Rencana

Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014, maka penting untuk mengetahui

dayasaing agribisnis teh Indonesia dan rumusan strategi yang mampu

meningkatkan dayasaing tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kondisi sistem agribisnis teh Indonesia?

2. Bagaimana dayasaing agribisnis teh Indonesia?

3. Bagaimana rumusan strategi yang tepat untuk meningkatkan dayasaing

tersebut?

                                                            4 Komoditi Teh di Indonesia dalam http://www.csrreview-online.com/lihatartikel.php?id=24

[Diakses pada 5 Oktober 2010]

6  

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Menelaah sistem agribisnis teh Indonesia.

2) Menganalisis dayasaing agribisnis teh Indonesia.

3) Merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak

terkait, diantaranya :

1) Bagi penulis, diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan

mengenai permasalahan yang telah diuraikan. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan akan meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat sebuah

tulisan ilmiah.

2) Bagi peneliti, diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sumber informasi

untuk suatu penelitian lain yang berkaitan dengan topik ini.

3) Bagi pengambil kebijakan, instansi serta lembaga terkait lainnya diharapkan

dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait

dengan dayasaing komoditi di era globalisasi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji teh curah sebagai komoditas strategis yang

memiliki banyak manfaat dan peluang untuk dikembangkan. Teh curah hijau dan

hitam merupakan produk teh yang diekspor oleh Indonesia (BPS 2011). Lingkup

analisis pada penelitian ini adalah sistem agribisnis teh Indonesia, dimana pada

analisis dayasaing menggunakan Teori Berlian Porter, proses analisis dilakukan

hingga diketahui ada tidaknya keterkaitan antar komponen dalam Sistem Berlian

Porter. Namun, untuk mengetahui sejauh apa keterkaitan tersebut, perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut. Sementara itu, pada analisis strategi pengembangan

agribisnis teh, lingkungan internal yang diamati terdiri subsistem budidaya dan

subsistem pengolahan teh curah. Hal ini dikarenakan kegiatan diantara kedua

subsistem tersebut sulit untuk dipisahkan dan saling mempengaruhi satu sama

lain. Sementara lingkungan eksternal merupakan subsistem lain di luar subsistem

budidaya dan pengolahan teh curah ditambah dengan lingkungan global.

7  

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Teh Indonesia

Teh merupakan tanaman berbentuk pohon yang tingginya bisa mencapai

belasan meter. Namun, tanaman teh yang dibudidayakan di perkebunan selalu

dipangkas hingga mencapai ketinggian 90-120 meter untuk memudahkan

pemetikan. Tanaman teh bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun

merupakan tanaman yang berasal dari Cina. Diperkirakan, tanaman ini masuk ke

Indonesia pada tahun 1684, dan mulai dikenal luas sebagai tanaman perkebunan

pada awal abad ke-19 (Nazaruddin & Paimin 1993).

Teh tergolong ke dalam minuman fungsional karena memiliki banyak

khasiat yang baik bagi kesehatan. Manfaat yang dapat diperoleh dari meminum

teh secara teratur diantaranya adalah dapat menurunkan munculnya risiko

penyakit kanker dan radiovaskular, menurunkan berat badan, mencegah

osteoporosis dan merupakan sumber mineral dan vitamin. Sangat dianjurkan

meminum teh secara teratur sebanyak 4-5 kali sehari untuk dapat memperoleh

manfaat dari senyawa yang terkandung dalam teh (Pambudi 2006).

Berdasarkan varietasnya, teh terbagi menjadi varietas Sinensis dan varietas

Assamica. Varietas teh yang umumnya dibudidayakan di Indonesia adalah

varietas Assamica. Sementara varietas Sinensis umumnya dibudidayakan di

negara Cina dan Jepang. Secara umum, perbedaan dari kedua varietas ini dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Teh Berdasarkan Varietas

No. Jenis Teh Sinensis Assamica

1 Tinggi pohon sekitar 3-9 meter Tinggi pohon sekitar 12-20 meter 2 Pertumbuhan lambat Pertumbuhan lebih cepat 3 Jarak antara cabang dengan tanah

sangat dekat Jarak antara cabang dengan tanah agak jauh

4 Daun berukuran kecil, pendek, berujung tumpul, berwarna hijau tua

Daun lebar, panjang, berujung runcing, berwarna hijau mengkilat

5 Hasil produksi sedikit Hasil produksi tinggi. 6 Kualitas baik Kualitas baik 7 Banyak terdapat di Cina dan Jepang Dibudidayakan di Indonesia 8 Kandungan katekin tidak dominan Kandungan katekin tinggi

Sumber : Nazaruddin dan Paimin (1993)

8  

Selain perbedaan secara fisik, kedua varietas ini juga memiliki perbedaan

pada kandungan katekinnya. Katekin adalah kandungan pada teh yang bermanfaat

untuk kesehatan dan merupakan antioksidan yang sangat efektif untuk

menetralkan radikal bebas dalam tubuh. Kadar katekin yang terdapat pada teh

Assamica lebih tinggi dibandingkan dengan kadar katekin teh yang berasal dari

varietas Sinensis. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa kualitas teh

Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan kualitas teh dari negara lain,

khususnya Cina dan Jepang5. Kandungan katekin yang terdapat pada beberapa

jenis teh yang diperdagangkan di pasar internasional ditunjukkan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Kadar Katekin pada Beberapa Jenis Teh

No. Negara Jenis Teh Kadar Katekin (%) 1. Indonesia Teh Hitam Orthodox

Teh Hitam CTC Teh Hijau Ekspor Teh Wangi

8,24 7,02 11,60 9,28

2. Jepang Teh Sencha 5,06 3. China Teh Oolong

Teh Wangi 6,73 7,47

4. Sri Langka Teh Hitam 7,39 Sumber : Bambang et al (1995) dalam Indarto (2007)

Spillane (1992) diacu dalam Nazaruddin dan Paimin (1993) membagi

perkebunan teh yang diusahakan di Indonesia berdasarkan ketinggian daerah

penanamannya. Berikut ini adalah kelima jenis wilayah penanaman teh tersebut :

1. High grown, berada pada ketinggian lebih dari 1.500 m. Contohnya adalah

perkebunan Sinumbar dan perkebunan Sperata di Jawa Barat.

2. Good medium, berada pada ketinggian antara 1.200-1.500 m. Contohnya

adalah perkebunan Malabar, Gunung Mas, dan Goalpara di Jawa Barat.

3. Medium, berada pada ketinggian 1.000-1.200 m. Contohnya adalah

perkebunan Wonosari di Jawa Timur.

4. Low medium, berada pada ketinggian 800-1.000 m Contohnya adalah

perkebunan Pasir Nangka dan Cikopo Selatan di Jawa Barat.

                                                            5 DIN. 2007. Teh Indonesia Lebih Menyehatkan dalam www.kompas.co.id [Diakses pada 18

Oktober 2010]

9  

5. Common, berada pada ketinggian di bawah 800 m. Contohnya adalah

perkebunan Gunung Rang.

Kemudian, Suprihatini dan Rosyadi (2003) mengungkapkan bahwa

komposisi produk teh Indonesia pada tahun 2002 yang diperjualbelikan melalui

Kantor Pemasaran Bersama (KPB) sebagian besar (50 persen) adalah jenis

medium grown tea, dan sisanya sebanyak 30 persen dan 20 persen merupakan low

grown tea dan high grown tea.

2.2 Sistem Agribisnis Komoditas di Indonesia

Kajian mengenai sistem agribisnis di Indonesia telah banyak dilakukan.

Khusus mengenai sistem agribisnis teh, Yusdja et al (2003) melakukan penelitian

mengenai analisis dampak sosial ekonomi tehadap adopsi teknologi

pemberantasan hama tanaman pada perkebunan teh rakyat, dimana salah satu

tujuan dari penelitian tersebut adalah menganalisis sistem agribisnis perkebunan

rakyat di daerah penelitian, yaitu Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan

Kabupaten Garut sebagai daerah penelitian didasari oleh besarnya potensi

perkebunan rakyat disana, dengan luas areal mencapai 7.049,4 ha atau sebesar

59,09 persen dari total areal perkebunan teh di Garut. Selain itu, dilihat dari data

pertumbuhan areal tanam perkebunan teh selama periode 1989-2001, perkebunan

teh rakyat di kabupaten ini menunjukkan kinerja yang sangat positif. Hal tersebut

ditunjukkan dengan adanya peningkatan luas areal perkebunan rakyat sebesar

69,09 persen selama periode 1989-2001. Hal tersebut sangat berbeda dengan

kinerja perkebunan negara dan swasta yang justru mengalami kemunduran.

Dilihat dari aspek produktivitasnya, perkebunan teh rakyat di wilayah ini

memiliki tingkat produktivitas terendah dibandingkan dengan perkebunan negara

dan swasta. Perkebunan rakyat dengan luas areal mencapai 7.049,4 ha hanya

mampu mencapai produktivitas sebesar 0,811 kg teh kering/ha/tahun. Berbeda

dengan perkebunan negara dan swasta yang mampu mencapai tingkat

produktivitas sebesar 1.718 kg/ha/tahun dan 1.272 kg/ha/tahun. Pemilihan desa

contoh dilakukan berdasarkan kontribusi masyarakatnya terhadap budidaya teh.

Desa Pamulihan dan Desa Pangauban merupakan dua desa contoh yang sebagian

masyarakatnya merupakan petani yang sumber pendapatannya berasal dari

budidaya tanaman teh.

10  

Kegiatan yang termasuk dalam subsistem hulu teh di desa contoh terdiri

dari informasi mengenai aksesibilitas petani terhadap input-input pertanian.

Berdasarkan hasil pengamatan, Yusdja et al (2003) menyatakan bahwa petani teh

di desa contoh telah mengenal beberapa varietas seperti TRI 0205, Kiara,

Gambung dan beberapa jenis varietas lainnya. Namun, petani masih mengeluhkan

tingginya harga bibit tanaman teh (Rp 1.500 – Rp 2.000 per pohon) yang tidak

sebanding dengan harga produk yan dihasilkan. Di samping itu, masih terbatasnya

pengadaan bibit teh menyebabkan petani masih menemui kesulitan untuk dapat

mengkases bibit.

Dalam pengadaan tenaga kerja, sebagian besar petani mengandalkan

tenaga kerja keluarga. Namun dalam pelaksanaan pemetikan umumnya petani

menggunakan jasa tenaga buruh terutama bagi petani yang menguasai lahan

kebun yang luas. Sementara dalam penguasaan sarana dan prasarana pertanian,

petani masih tergolong sangat minim dalam menguasai sarana peralatan.

Pada pengelolaan kebun atau budidaya, petani umumnya bergantung pada

harga teh yang terjadi. Rendahnya harga teh serta tingginya biaya produksi akan

memperkecil penerimaan petani tersebut. Hal ini menyebabkan kemampuan

penguasaan terhadap sarana dan prasaran pertanian, pemberian pupuk serta

intensitas pemeliharaan sangat minim dilakukan. Umumnya, petani menerapkan

pola tanam teh secara monokultur, kecuali kondisi tanaman yang masih kecil atau

telah banyak yang tua/mati dan belum dilakukan replanting, umumnya dilakukan

tumpangsari dengan tanaman lain seperti sayuran atau tembakau.

Kegiatan di susbsistem pemasaran dicerminkan dari kegiatan sebagian

besar petani contoh yang melakukan pemasaran teh melalui pedagang pengumpul

desa. Dibandingkan dengan tataniaga perkebunan negara dan swasta, jalur

tataniaga perkebunan rakyat mempunyai rantai yang lebih panjang. Hal tersebut

seringkali tidak menguntungkan bagi petani karena petani tidak mendapat insentif

yang baik atas kerja kerasnya dalam menghasilkan teh. Di samping itu, bentuk

rantai tataniaga yang panjang juga diduga mempengaruhi keputusan petani. Salah

satu akibat dari ketergantungan petani yang tinggi terhadap pedagang adalah

pedagang dapat mengatur keputusan petani khususnya dalam penggunaan

pestisida, dalam hal ini pedagang dapat berperan sebagai penyalur pestisida.

11  

Lembaga serta pihak yang bertanggung jawab dalam mendampingi petani teh

rakyat dalam hal ini adalah penyuluh.

Dalam penelitiannya, Yusdja et al (2003) menyimpulkan bahwa petani teh

rakyat di wilayah penelitian masih jauh dalam kemandirian usaha. Selain lahan

yang dikelola relatif sempit, petani juga dihadapkan pada lemahnya permodalan

serta kurangnya kerjasama antar petani teh. Kondisi ini mendorong petani teh

memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pedagang pengumpul yang terbukti

tidak memberikan insentif yang menguntungkan pada petani teh rakyat.

2.3 Dayasaing Komoditas Indonesia

Penelitian mengenai dayasaing teh pernah dilakukan sebelumnya.

Tatakomara (2004) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi ekspor komoditas teh di Indonesia, serta dayasaing komoditas teh

di pasar internasional. Pada periode 1992-2002, sebagian besar area perkebunan

teh merupakan perkebunan rakyat, sisanya dimiliki oleh pemerintah dan

pengusaha swasta. Namun, apabila dilihat dari volume produksinya perkebunan

rakyat justru menempati posisi terendah dibandingkan dengan produktivitas

perkebunan negara dan swasta. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penggunaan

teknologi yang mendukung dalam hal produksi.

Dilihat dari perkembangan produksi, dalam kurun waktu 1992-2002,

Indonesia telah mengalami perkembangan produksi sebesar 1,16 persen,

perkembangan produksi ini searah dengan perkembangan luas areal perkebunan

teh sebesar 1,56 persen. Sedangkan dilihat dari perkembangan ekspor tehnya,

Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,72 persen. Namun peningkatan

volume ekspor ini tidak diiringi dengan peningkatan nilai ekspor, yang turun rata-

rata sebesar 1,29 persen setiap tahunnya.

Dari hasil regresi untuk model ekspor teh Indonesia dapat disimpulkan

bahwa variabel-varaibel yang mempengaruhi ekspor teh Indonesia yaitu produksi

teh domestik, volume ekspor teh Indonesia tahun sebelumnya, harga teh dunia,

lag harga teh dunia, nilai tukar rupiah sebelumnya, konsumsi teh domestik, dan

variabel harga domestik. Dari ketujuh variabel tersebut, variabel produksi teh

Indonesia, volume ekspor tahun sebelumnya, dan konsumsi teh domestik

berpengaruh nyata terhadap ekspor tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya tidak

12  

berpengaruh nyata. Dilihat dari elastisitasnya, hanya variabel produksi

domestiklah yang memiliki elastisitas lebih dari satu. Artinya ekspor teh

Indonesia cukup peka terhadap perubahan produksi teh domestik.

Tatakomara (2004) menyatakan bahwa teh Indonesia yang dinilai dengan

menggunakan indeks REER telah memiliki keunggulan komparatif, karena

sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia. Namun, diperlukan

usaha yang lebih keras lagi untuk meningkatkan dayasaing teh Indonesia secara

kompetitif, sehingga dayasaing di pasar internasionalnya menjadi lebih kuat.

Penelitian mengenai dayasaing teh di Indonesia juga pernah dilakukan

oleh Febriyanthi (2008). Alat yang digunakan untuk meneliti dayasaing teh adalah

Revealed Comparative Advantage (RCA), sementara teori Berlian Porter

digunakan untuk menganaisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi

keunggulan komoditi suatu negara. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa

selama periode 1996-2005, terdapat pertumbuhan produktivitas sebesar 11,3

persen. Namun hal ini berbeda dengan pertumbuhan produksi komoditas teh

Indonesia yang hanya naik sebesar 0,71 persen. Hal ini dikarenakan luas areal

penanaman teh yang mengalami penurunan sebesar 1,12 persen. Febriyanthi

(2008) menyatakan bahwa struktur pasar yang dihadapi teh Indonesia dalam pasar

teh internasional, adalah pasar persaingan oligopoli dan pasar persaingan

monopoli. Posisi Indonesia di masing-masing pasar tersebut adalah market

follower. Akibatnya Indonesia sangat rentan terhadap adanya kekuatan pesaing-

pesaing yang kuat, seperti Sri Langka, Kenya, Cina dan India.

Berdasarkan analisis keunggulan komparatif, Indonesia memiliki

dayasaing yang kuat. Namun dilihat dari keunggulan kompetitif, Indonesia masih

berdayasaing lemah. Secara garis besar hal ini menunjukkan bahwa dayasaing

Indonesia di pasar internasional masih lemah. Analisis keunggulan komparatif

dengan metode RCA menunjukkan bahwa komoditas teh Indonesia yang

berdayasaing kuat adalah teh hijau kode HS 090210 dan teh hitam kode HS

090240 dikarenakan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua produk itu dan

nilai ekspor yang cukup tinggi, serta pangsa pasar yang luas. Komoditi teh hijau

hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001-2003, sementara teh

13  

hitam berpotensi berdaya saing kuat karena memiliki keunggulan komparatif pada

tahun 2004 dan 2005.

Analisis keunggulan kompetitif dengan teori Berlian Porter menunjukkan

bahwa komoditas teh Indonesia berdayasaing lemah karena terdapat berbagai

kendala yaitu kualitas teh Indonesia yang belum memenuhi standar internasional,

kualitas sumberdaya manusia yang masih lemah, kurangnya sarana dan prasarana

yang mendukung pembangunan komoditas teh Indonesia, permintaan domestik

yang semakin menurun serta kebijakan pemerintah yang tidak kondusif terhadap

pembangunan komoditi teh nasional. Namun, dalam penelitiannya Febriyanthi

(2008) belum melakukan analisis keterkaitan antar komponen yang menentukan

dayasaing suatu negara (competitive advantage of nations).

2.4 Strategi Pengembangan Agribisnis

Penelitian mengenai strategi pengembangan komoditas juga pernah

dilakukan oleh Puspita (2009). Puspita melakukan penelitian mengenai dayasaing

serta pengembangan agribisnis gandum lokal di Indonesia. Dalam penelitiannya

disebutkan bahwa dalam sistem agribisnis gandum lokal di Indonesia, masing-

masing subsistem agribisnis belum saling mendukung dan terkait satu sama lain.

Hal ini terlihat pada subsistem agribisnis hulu yang belum terbentuk sehingga

sarana produksi berupa benih masih sulit diperoleh. Selain itu, kegiatan usahatani

juga belum mampu mendukung subsistem agribisnis hilir yang telah berkembang.

Dari setiap komponen dayasaing agribisnis gandum lokal, terdapat

keterkaitan antar komponen yang saling mendukung dan tidak saling mendukung.

Keterkaitan yang tidak saling mendukung lebih dominan dalam penelitian ini. Hal

ini menunjukkan bahwa agribisnis gandum lokal yang baru dikembangkan di

Indonesia dayasaingnya masih lemah. Sedangkan strategi yang digunakan untuk

mengembangkan dan mengingkatkan dayasaing agribisnis gandum lokal

diantaranya adalah optimalisasi lahan gandum lokal, membangun industri berbasis

gandum lokal di pedesaan, penguatan kelembagaan, melakukan bimbingan,

pembinaan dan pendampingan bagi petani, membentuk kerjasama antara petani

dengan industri makanan, menciptakan sumber permodalan bagi petani, mengatur

ketersediaan benih, menciptakan varietas gandum baru untuk dataran rendah dan

medium, melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis gandum lokal, pembatasan

14  

volume impor, menciptakan produk olahan gandum lokal berkualitas tinggi untuk

pasar tertentu serta meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi gandum lokal.

Puspita (2009) juga merumuskan rancangan arsitektur strategik agribisnis gandum

lokal di Indonesia.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah dalam analisis

dayasaing menggunakan Teori Berlian Porter, dilakukan pula analisis keterkaitan

antar komponen utama dan komponen penunjang. Dengan demikian, akan tampak

hubungan antara komponen yang saling mendukung dan yang belum saling

mendukung. Selain itu, penelitian ini juga dilengkapi dengan analisis strategi

pengembangan agribisnis teh Indonesia yang dilakukan menggunakan alat analisis

matriks SWOT lalu dipetakan ke dalam arsitektur strategik agribisnis teh

Indonesia. Kedua analisis tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tahapan penerapan

strategi untuk mengembangkan dan meningkatkan dayasaing agribisnis teh

Indonesia.

15  

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Pemahaman Mengenai Agribisnis

Istilah dan paradigma agribisnis pertama kali diperkenalkan oleh Davis

dan Goldberg (1957). Awalnya, pemahaman ide mengenai agribisnis muncul

untuk menjawab permasalahan yang terjadi di sektor pertanian Amerika Serikat

yang tidak tumbuh sesuai dengan harapan ditambah kesejahteraan petani yang

tidak juga membaik walaupun telah didukung oleh sumberdaya alam yang sesuai

dan besar, teknologi maju, petani yang progresif dan fasilitas infrastruktur publik

serta kebijakan yang kondusif. Davis dan Goldberg (1957) diacu dalam

Simatupang (2010). menyatakan bahwa :

1. Kinerja usahatani secara mikro dan sektor pertanian secara agregat sangat

ditentukan oleh keberadaan dan kinerja dari sektor-sektor terkait di luar

pertanian.

2. Masalah pokok pertanian Amerika Serikat bukanlah di dalam sektor pertanian

atau usahatani melainkan di luar sektor pertanian atau non-usahatani.

3. Permasalahan dan kebijakan untuk mendukung pembangunan pertanian harus

didukung dengan perspektif sistem yaitu saling keterkaitan kinerja usahatani

dengan usaha-usaha maupun jasa atau fasilitas penunjang di luar sektor

pertanian.

Berbagai penelitian lanjutan kemudian menyimpulkan bahwa paradigma

agribisnis yang diperkenalkan David dan Goldberg berlaku umum, termasuk di

negara-negara berkembang. Di Indonesia, pemahaman mengenai agribisnis

seringkali bias dengan pemahaman mengenai pertanian. Berdasarkan ketiga

konsep awal mengenai agribisnis di atas, David dan Goldberg (1957) diacu dalam

Simatupang (2010) mendefinisikan agribisnis sebagai berikut :

“Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture

and all distribution of farm supplies; production activities on the farm; and

the storage, processing and distribution of farm commodities and items

made from them”.

16  

Sementara pertanian dalam arti luas merupakan seluruh mata rantai

pemanenan energi surya secara langsung maupun tidak langsung melalui proses

fotosintesis dan proses pendukung lainnya untuk kehidupan manusia yang

mencakup aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan kemasyarakatan serta

mencakup bidang tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan,

perkebunan, dan kehutanan6. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

pertanian hanyalah suatu bagian dari sistem agribisnis.

Subsistem Agribisnis Hulu

Industri Perbenihan/ Pembibitan Tanaman, Agrootomotif, Agrokimia

Subsistem Usahatani

Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura, Usaha Perkebunan, Usaha Peternakan

Subsistem Pengolahan

Industri Makanan, Minuman, Pangan, Barang Serat Alam, Biofarma, Agrowisata dan Estetika

Subsistem Pemasaran

Distribusi, Promosi, Informasi Pasar, Struktur Pasar, Kebijakan Perdagangan

Subsistem Jasa dan Penunjang

Perkreditan dan Asuransi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Penyuluhan

Transportasi dan Pergudangan

Gambar 2. Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Sumber : Saragih (2010), Hlm xx

3.1.2 Konsep Dayasaing Simanjuntak (1992) dalam Siregar (2009) mengatakan bahwa dayasaing

dapat diartikan sebagai kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu

produk dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi

di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Pada dasarnya,

pembangunan agribisnis merupakan suatu upaya untuk meningkatkan dayasaing

yang dilakukan melalui transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan

bersaing (competitive advantage).

Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara

atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif dan secara dinamis akan

mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) dalam Siregar (2009)

                                                            6 Buku Panduan Institut Pertanian Bogor dalam Saragih (2010)

17  

membagi faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif menjadi lima,

yaitu :

1. Perubahan dalam sumberdaya alam

2. Perubahan faktor-faktor biologi

3. Perubahan harga input

4. Perubahan teknologi

5. Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka suatu keunggulan komparatif

merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Kondisi tersebut

mengacu kepada kemampuan pengelolaan yang dilakukan secara dinamis dari

suatu wilayah dengan keterbatasan sumberdaya namun didukung oleh dukungan

tenaga kerja, modal serta proses pengolahan lanjutan.

Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat yang

digunakan untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi

perekonomian aktual. Secara operasional, Simatupang (1995) dalam Siregar

(2009) menyebutkan bahwa keunggulan kompetitif adalah kemampuan memasok

barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik

di pasar domestik maupun pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih

rendah dibandingkan yang ditawarkan oleh pesaing, seraya memperoleh laba

paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Kondisi

ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan

komparatif (menghasilkan barang lebih murah dibandingkan dengan pesaing),

tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut

(karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen (Simatupang 1995 dalam

Siregar 2009).

Porter (1998) menyatakan bahwa keunggulan suatu negara tergantung

kepada kemampuan industrinya dalam inovasi dan pengembangan. Adanya

persaingan yang ketat menyebabkan suatu perusahaan akan memperoleh

keunggulan bersaing pada akhirnya. Konsep dayasaing pada tingkat nasional

adalah produktivitas. Produktivitas adalah nilai dari output yang dihasilkan oleh

satu satuan tenaga kerja atau kapital. Produktivitas adalah penentu utama dari

standar hidup suatu negara dalam jangka panjang.

18  

Terdapat empat faktor utama yang menentukan dayasaing suatu industri

yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, kondisi industri pendukung

dan industri terkait serta kondisi struktur, persaingan dan strategi perusahaan.

Keempat faktor utama tersebut didukung oleh faktor pemerintah dan faktor

kesempatan dalam meningkatkan dayasaing industri. Faktor-faktor tersebut

menghasilkan suatu lingkungan dimana suatu perusahaan lahir dan belajar

bagaimana bersaing. Faktor-faktor tersebut membentuk suatu sistem yaitu The

Diamond of National Advantage. Setiap poin dalam berlian tersebut

mempengaruhi keberhasilan suatu negara dalam mendapatkan keunggulan

bersaing di pasar internasional (Porter 1990).

3.1.3 Formulasi Strategi

1) Matriks SWOT

Analisis SWOT adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang

bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisis ini menempatkan situasi dan

kondisi sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut

kontribusinya masing-masing. Analisis SWOT melihat bagaimana kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman yang ada pada sebuah perusahaan atau

organisasi. Menurut Rangkuti (2006) analisis SWOT adalah identifikasi berbagai

faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini

didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun

secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Setelah

diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, barulah dapat ditentukan

strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil

keuntungan dari peluang-peluang yang ada, sekaligus untuk memperkecil atau

bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya untuk menghindari ancaman yang

ada.

Analisis SWOT ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu :

1. Kekuatan atau strengths (S), merupakan suatu kelebihan khusus yang

memberikan keunggulan kompetitif di dalam suatu industri yang berasal dari

perusahaan. Kekuatan perusahaan akan mendukung perkembangan usaha

dengan cara memperlihatkan sumber dana, citra, kepemimpinan pasar,

hubungan dengan konsumen ataupun pemasok serta faktor-faktor lainnya.

19  

2. Kelemahan atau weaknesses (W), merupakan keterbatasan dan kekurangan

dalam hal sumberdaya, keahlian dan kemampuan yang secara nyata

menghambat aktivitas keragaan perusahaan. Fasilitas, sumberdaya keuangan,

kemampuan manajerial, keahlian pemasaran dan pandangan orang terhadap

merek dapat menjadi sumber kelemahan.

3. Peluang atau opportunities (O), merupakan situasi yang diinginkan

perusahaan. Segmen pasar, perubahan dalam persaingan, perubahan teknologi,

peraturan dalam persaingan, peraturan baru atau yang ditinjau kembali dapat

menjadi sumber peluang bagi perusahaan.

4. Ancaman atau threats (T), merupakan situasi yang paling tidak disukai dalam

lingkungan perusahaan. Ancaman merupakan penghalang bagi posisi yang

diharapkan oleh perusahaan. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang

lambat, meningkatnya posisi penawaran pembeli dan pemasok, perubahan

teknologi, peraturan baru yang ditinjau kembali dapat menjadi sumber

ancaman bagi perusahaan.

Selain empat komponen dasar ini, analisis SWOT, dalam proses

analisisnya akan berkembang menjadi beberapa subkomponen yang jumlahnya

tergantung pada kondisi organisasi, dimana masing-masing subkomponen adalah

penjabaran dari masing-masing komponen.

2) Arsitektur Strategik

Pendekatan arsitektur strategik merupakan suatu pendekatan yang bersifat

bentangan atau stretch (Hamel & Prahald 1995). Pendekatan ini muncul sebagai

respon dari pendekatan klasik yang dinilai kurang mampu untuk mengakomodasi

perubahan lingkungan yang tergolong cepat, karena ketika menyusun pendekatan

klasik membutuhkan asumsi-asumsi yang sangat ketat (Yoshida 2004).

Selanjutnya Yoshida (2004) menyatakan bahwa arsitektur strategik

diciptakan untuk lebih adaptif dan fleksibel di dalam menghadapi suatu

perubahan, sehingga dengan diaplikasikannya arsitektur strategik ini, organisasi

akan secara leluasa mengembangkan skenario yang diperkirakan akan

memuluskan jalan menuju tercapainya visi dan misi organisasi tersebut. Strategi

dengan skenarionya kemudian dipetakan ke dalam sebuah blue print strategy.

20  

Blue print strategy ini sepenuhnya disusun untuk mendukung tercapainya tujuan

organisasi dalam waktu yang telah ditentukan.

Unsur-unsur yang diperlihatkan dalam arsitektur strategik adalah visi dan

misi organisasi, analisis internal dan eksternal organisasi, pemahaman mengenai

tantangan yang dialami dan akan dialami oleh organisasi, serta sasaran yang ingin

dicapai oleh organisasi tersebut. Sehingga pada akhirnya semua unsur tersebut

disatukan ke dalam sebuah peta umum strategik yang kemudian akan

diimplementasikan untuk jangka waktu tertentu.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Usaha perkebunan teh di Indonesia telah berlangsung sejak lama.

Komoditas teh perama kali diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia oleh

bangsa Belanda pada awal abad ke-19. Seiring dengan kontribusi yang diberikan,

komoditas teh menjadi komoditas strategis yang kemudian ditetapkan sebagai

salah satu komoditas unggulan nasional pada tahun 2010. Keberadaan usaha

perkebunan teh di Indonesia merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat yang

tinggal di sekitarnya. Kemampuan usaha perkebunan teh dalam menyerap tenaga

kerja menjadikan perkebunan teh turut berkontribusi dalam mengurangi

pengangguran. Selain itu, peningkatan permintaan baik di sektor industri teh

curah maupun teh olahan sebesar satu satuan akan meningkatkan output di semua

industri, termasuk industri itu sendiri dan menciptakan multiplier effects yang

kemudian akan meningkatkan perekonomian di sektor tersebut (Santoso &

Suprihatini 2007).

Pada perdagangan teh internasional, Indonesia dikenal sebagai produsen

sekaligus eksportir besar. Namun, adanya persaingan yang ketat diantara negara-

negara kompetitor belum mampu diatasi dengan baik oleh industri teh curah di

dalam negeri. Hal tersebut ditunjukkan oleh penurunan posisi Indonesia dari

posisi kelima menjadi produsen teh terbesar ketujuh selama periode 2000 hingga

2008. Penurunan produksi tersebut juga mempengaruhi pangsa pasar teh

Indonesia di pasar internasional.

Penurunan kinerja Indonesia di pasar internasional tersebut harus segera

diatasi karena dapat berakibat buruk pada produsen dan industri teh di dalam

negeri. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan adalah adanya potensi untuk

21  

meningkatkan konsumsi teh domestik. Upaya peningkatan konsumsi teh di dalam

negeri akan didukung oleh tingginya populasi penduduk Indonesia dengan tren

pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Upaya peningkatan konsumsi

domestik tersebut seiring dengan kebiasaan minum teh yang telah membudaya

bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal tersebut menunjukkan ada kesempatan

bagi industri teh domestik untuk mengalihkan pasar tehnya dari pasar

internasional menuju pasar domestik. Selanjutnya, hal tersebut diharapkan mampu

mengatasi persaingan yang timbul akibat adanya peningkatan kegiatan impor

produk teh asing ke Indonesia.

Gambaran di atas menjadi dasar pemikiran untuk melakukan analisis

kondisi agribisnis teh Indonesia saat ini, kemudian melakukan analisis dayasaing

agribisnis teh Indonesia serta merumuskan strategi pengembangan untuk

meningkatkan dayasaing tersebut. Analisis dayasaing menggunakan Teori Berlian

Porter dilakukan dengan tujuan mengetahui kesiapan agribisnis teh Indonesia

dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Sementara perumusan

strategi dilakukan dengan menggunakan alat analisis Matriks SWOT dengan

tujuan memperoleh strategi yang mampu mengoptimalkan kekuatan dan segala

peluang yang ada sehingga kelemahan dan ancaman yang dihadapi dapat

diminimalisir akibatnya.

22  

• Indonesia memiliki kondisi iklim dan topografi yang sesuai untuk pengembangan teh.

• Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir teh terbesar di dunia.

• Multiplier effects yang ditimbulkan oleh agribisnis teh Indonesia besar (lebih dari satu)

• Adanya dukungan dari pemerintah melalui penetapan teh sebagai salah satu komoditas unggulan nasional.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional

Analisis SWOT

Analisis Dayasaing Agribisnis Teh

Indonesia

• Luas areal perkebunan teh menurun 2,18 persen

• Produksi teh dalam negeri yang menurun 0,83 persen selama sepuluh tahun terakhid

• Volume ekspor yang semakin menurun sebesar 1,7 persen selama sepuluh tahun terakhir.

• Persaingan di pasar internasional yang semakin ketat.

• Rendahnya konsumsi teh domestik

Enam Komponen Dayasaing Berlian Porter

1. Kondisi Faktor Sumberdaya

2. Kondisi Permintaan 3. Industri Terkait dan

Industri Pendukung 4. Struktur, Persaingan dan

Strategi Perusahaan 5. Peran Pemerintah 6. Peran Kesempatan

Sistem Agribisnis Teh Indonesia

Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia

Arsitektur Strategik

23  

IV METODE PENELITIAN

4.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian

Tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian adalah

pelaksanaan penyusunan proposal penelitian. Sebelum tahap penyusunan

proposal, dilakukan kegiatan pra-penelitian (pengumpulan data dan informasi

pendahuluan) selama minggu ketiga hingga minggu keempat bulan Desember

2010. Kemudian, kegiatan penelitian termasuk kegiatan pengumpulan dan

pengolahan data hingga penarikan kesimpulan dilakukan sejak bulan Februari

hingga Maret 2011. Selama proses pengumpulan data dan informasi, penulis juga

sekaligus melakukan kegiatan pengolahan data hingga bulan April 2011.

4.2 Data dan Instrumentasi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi secara langsung ke beberapa

perkebunan teh di Provinsi Jawa Barat serta melalui wawancara mendalam

terhadap beberapa tokoh teh nasional. Sedangkan data sekunder merupakan data

yang telah terdokumentasi sebelumnya dan diperoleh dari data time series selama

tahun 2000-2011 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Dirjen

Perkebunan, International Tea Committee (ITC) serta laporan tahunan, hasil

penelitian terdahulu, jurnal ilmiah, literatur, buku dan dokumentasi lain yang

dikeluarkan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Pusat

Penelitian Teh dan Kina (PPTK), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI),

serta sumber informasi lainnya seperti majalah, buletin dan internet. Alat yang

digunakan untuk mengumpulkan data berupa alat pencatat, alat perekam, alat

penyimpan data elektronik serta daftar pertanyaan yang telah disiapkan

sebelumnya.

4.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua

periode, periode pengumpulan data tahap I, dan pengumpulan data tahap II.

Pengumpulan data tahap I dimulai sejak bulan Desember 2010 bersamaan dengan

proses penyusunan proposal. Pengumpulan data tahap I dilakukan dengan

24  

menggunakan literatur, pencarian data statistik, serta browsing internet.

Sedangkan pengumpulan data tahap II dilakukan setelah proposal penelitian

selesai, yaitu pada bulan Februari-Maret 2011. Teknik pengumpulan data yang

digunakan sama seperti pada tahap I, namun pada periode ini pengumpulan data

juga dilakukan dengan wawancara mendalam dengan tokoh teh nasional (elite

interview). Wawancara dilakukan dengan beberapa narasumber yang dinilai

mampu mewakili beberapa komponen penting dalam agribisnis teh Indonesia.

Beberapa narasumber dalam penelitian ini adalah Direktur Eksekutif Dewan Teh

Indonesia, Asisten Manajer Pemasaran Teh, PT KPBN7, professional tea taster

dan quality control PT KPBN, staff PTPN VIII Kebun Gunung Mas, Mandor I

Tanaman Perkebunan Ciliwung (perkebunan swasta yang menjalin kemitraan

dengan perkebunan rakyat), anggota Asosiasi Teh Indonesia, pengamat komoditas

perkebunan.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk

mengetahui gambaran umum agribisnis teh di Indonesia, dayasaing agribisnis teh

di Indonesia, serta untuk menganalisis strategi pengembangan agribisnis teh di

Indonesia. Alat yang digunakan untuk menganalisis dayasaing teh di Indonesia

adalah Teori Berlian Porter, sedangkan untuk mengetahui strategi pengembangan

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh di Indonesia,

digunakan metode SWOT Analysis. Kemudian, untuk menyusun dan memetakan

strategi pengembangan agribisnis teh di Indonesia yang telah diperoleh,

digunakan Arsitektur Strategi.

4.4.1 Analisis Berlian Porter Teori Berlian Porter dapat digunakan untuk mengetahui dayasaing suatu

komoditas berdasarkan kondisi dari komponen-komponen yang saling

mendukung dan menguatkan di suatu negara terkait dengan komoditas tersebut.

Terdapat empat komponen utama dan dua komponen penunjang yang membentuk

                                                            7 PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) merupakan lembaga pemasaran teh

yang dibawahi PTPN. Sistem pemasaran yang dilakukan berdasarkan pada sistem lelang. Sejak tahun 2010 lembaga tersebut bertransformasi badan hukum menjadi perseroan terbatas.

25  

model seperti berlian. Komponen utama tersebut terdiri dari kondisi faktor

sumberdaya, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta struktur,

persaingan, dan strategi perusahaan. Sedangkan komponen penunjang Berlian

Porter merupakan faktor pemerintah dan faktor kesempatan. Berikut ini adalah

penjelasan dari setiap komponen yang terdapat pada Teori Berlian Porter :

1. Kondisi Faktor Sumberdaya

Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan

faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor

produksi tersebut digolongkan ke dalam lima kelompok yaitu :

a) Sumberdaya Fisik atau Alam

Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing

industri nasional mencakup biaya aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan

(lokasi), ketersediaan air, mineral dan energi serta sumberdaya pertanian,

perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya pertanian laut

lainnya), peternakan, serta sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat

diperbarui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca

dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain.

b) Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional

terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan

keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah),

dan etika kerja (termasuk moral).

c) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar,

pengetahuan teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan

dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber

pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan

pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data,

laporan penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan, dan sumber

pengetahuan dan teknologinya.

26  

d) Sumber Modal

Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari

jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembayaran (sumber

modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan

perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter

dan fiskal, serta peraturan moneter dan fiskal.

e) Sumberdaya Infrastruktur

Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri

dari jenis, mutu dan ketersediaan infrastruktur yang mempengaruhi

persaingan. Hal tersebut termasuk ketersediaan sistem transportasi,

komunikasi, pos dan giro, pembayaran transfer dana, air bersih, energi listrik,

dan lain-lain.

2. Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing

industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik

merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing

di pasar global. Mutu permintaan (persaingan ketat) di dalam negeri memberikan

tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya sebagai

tanggapan terhadap persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi

permintaan yang mempengaruhi dayasaing nasional, yaitu :

a) Komposisi Permintaan Domestik

Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing

industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi :

i) Struktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing

nasional. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah

memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas

dibandingkan dengan struktur segmen yang sempit.

ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan

kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan

memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk,

product features, dan pelayanan.

27  

iii) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri

merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing.

b) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan

Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat

persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas,

tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan

kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan

penetrasi lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk

mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat

dilakukan jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya

penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan

teknologi dan peningkatan produktivitas.

c) Internasionalisasi Permintaan Domestik

Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong

dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar

negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering

mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya dayasaing

produk negara yang dikunjungi tersebut.

3. Industri terkait dan Industri Pendukung

Keberadaan indutri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki

dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri

hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama

dengan harga yang relatif murah, mutu lebih baik, pelayanan yang cepat,

pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama,

sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi.

Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan

bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir

tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.

4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan

Struktur industri dan perusahaan juga menetukan dayasaing yang dimiliki

oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur

28  

industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan

perbaikan-perbaikan serta inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri

bersaing. Struktur persaingan yang berada pada suatu industri sangat berpengaruh

terhadap bagaimana perusahaan tersebut dikelola dan dikembangkan dalam

suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Dengan

demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri

yang bersangkutan.

a) Struktur Pasar

Istilah struktur pasar digunakan untuk menunjukkan tipe pasar. Derajat

persaingan struktur pasar (degree of competition of market share) dipakai

untuk menentukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual

mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan

lain dari produk yang dijual di pasar. Struktur pasar didefinisikan sebagai

sifat-sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan

perusahaan, jumlah penjual dan keragaan produk (nature of the product)

adalah dimensi-dimensi yang penting dari struktur pasar. Adapun dimensi

lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk

pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan, dan

lain-lain. Beberapa struktur pasar yang ada antara lain pasar persaingan

sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni, dan pasar

oligopsoni. Biasanya struktur pasar yang dihadapi industri seperti monopoli

dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai

pangsa pasar yang ada, dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang

bergerak dalam suatu industri.

b) Persaingan

Tingkat persaingan dalam suatu industri merupakan salah satu faktor

pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus

melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat

merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan

tekanan pada perusahaan lain dalam meningkatkan dayasaingnya.

Perusahaan-perusahaan yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri

nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional

29  

dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang belum memiliki dayasaing

yang tingkat persaingannya rendah.

c) Strategi Perusahaan

Dalam menjalankan suatu usaha, baik perusahaan berskala besar maupun

perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waktu, pemilik atau manajer

dipastikan memiliki keinginan untuk mengembangkan usahanya dalam

lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi khusus

yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan suatu

strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan memperhatikan semua

faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut.

5. Peran Pemerintah

Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya

peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh pada faktor-faktor penentu

dayasaing global. Dayasaing global akan dipengaruhi secara langsung oleh

perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri tersebut. Peran pemerintah

merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam

industri agar senantiasa melakukan perbaikan dan peningkatan dayasaingnya.

Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku industri terhadap berbagai

sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga

kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi serta

informasi.

Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui

penetapan standar produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum dan

berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi

permintaan domestik baik secara langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal

yang dikeluarkannya, maupun secara langsung melalui perannya sebagi pembeli

barang dan jasa. Kebijakan penetapan bea keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan

lain-lainnya juga menunjukkan terdapat peran tidak langsung dari pemerintah

dalam meningkatkan dayasaing global.

Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan

yang melemahkan faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat

secara langsung menciptakan dayasaing global. Peran pemerintah adalah

30  

memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor

penentu dayasaing, sehingga perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri

mampu mendayagunakan faktor-faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien.

6. Peran Kesempatan

Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali

perusahaan dan pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri

nasional. Beberapa kesempatan yang mampu meningkatkan naiknya dayasaing

global industri nasional adalah penemuan baru murni, biaya perusahaan yang

tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata

uang), peningkatan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi

dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai

faktor kesempatan lainnya.

Persaingan, Struktur, Strategi

Perusahaan

Kondisi Faktor

Sumberdaya

Peranan Kesempatan

Industri Terkait dan Industri Pendukung

Kondisi Permintaan

Domestik

Peranan Pemerintah

Keterangan : Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung

komponen utama

Gambar 4. The Complete System of National Competitive Advantage Sumber : Porter (1990), Hlm. 127

31  

Setelah diketahui faktor-faktor dalam Sistem Berlian Porter, maka dapat

ditentukan komponen yang unggul atau lemah dayasaingnya. Selain itu, melalui

Berlian Porter’s System dapat dilihat bagaimana keterkaitan antar komponen,

sehingga akan tampak komponen-komponen yang saling mendukung atau tidak

saling mendukung.

4.4.2 Analisis SWOT

Matriks SWOT merupakan alat pencocokan strategi yang dilakukan

berdasarkan pengembangan empat jenis strategi, yaitu SO Strategy (Strategi

Kekuatan-Peluang), ST Strategy (Strategi Kekuatan-Ancaman), WO Strategy

(Strategi Kelemahan-Peluang), dan WT Strategy (Strategi Kelemahan-Ancaman).

SO Strategy memanfaatkan kekuatan internal dari sistem agribisnis teh untuk

menarik keuntungan dari peluang eksternal. ST Strategy menggunakan kekuatan

untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal. WO Strategy

memperbaiki kelemahan sistem agribisnis teh dengan cara mengambil keuntungan

dari peluang eksternal. WT Strategy merupakan taktik defensive yang diarahkan

untuk mengurangi kelemahan sistem agribisnis teh serta menghindari ancaman

eksternal (David 2009). Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menyusun

Matriks SWOT :

1. Tentukan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan internal kunci agribisnis

teh Indonesia.

2. Tentukan faktor-faktor peluang dan ancaman eksternal agribisnis teh

Indonesia.

3. Tentukan faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman

strategis agribisnis teh Indonesia.

4. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan

SO Strategy.

5. Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk

mendapatkan ST Strategy.

6. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk

mendapatkan WO Strategy.

7. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk

mendapatkan WT Strategy.

32  

Gambar 5 menunjukkan ruang lingkup yang digunakan dalam

merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia. Lingkungan

internal terdiri dari kegiatan yang berada di subsistem budidaya dan subsistem

pengolahan teh curah. Keduan subsistem ini dinilai memiliki kedekatan yang

relatif dekat karena baik kualitas maupun kuantitas produk teh yang dihasilkan

Indonesia ditentukan oleh keberhasilan pengelolaan teh di kedua subsistem ini.

Sementara itu lingkungan eksternal terdiri dari subsistem hulu, industri teh

olahan, subsistem pemasaran, subsisem jasa penunjang, faktor alam, lingkungan

makro serta kekuatan sosial ekonomi politik di lingkungan global.

4.4.3 Arsitektur Strategik

Strategi yang telah dirumuskan berdasarkan Analisis SWOT, selanjutnya

dipetakan ke dalam suatu arsitektur strategik. Arsitektur strategik bermanfaat bagi

perusahaan (dalam hal ini agribisnis teh Indonesia) untuk merumuskan strateginya

ke dalam kanvas rencana untuk meraih visi dan misi8. Teknik penyusunan

arsitektur strategik tidak memiliki aturan baku. Gambar arsitektur strategik

merupakan suatu penggabungan kreativitas dengan hasil strategi yang diperoleh

dari tahap pengambilan keputusan.

Arsitektur strategik menunjukkan adanya hubungan antara satu strategi

dengan strategi lainnya, dimana implementasi satu strategi sangat mempengaruhi

implementasi strategi lainnya. Pemetaan strategi ke dalam kanvas arsitektur

strategik menjelaskan time-frame implementasi dari masing-masing strategi dalam

periode waktu tertentu.

                                                            8 Tim Dosen Mata Kuliah Strategi Kebijakan Bisnis. 2010. Handout Mata Kuliah Strategi

Kebijakan Bisnis. Departemen Agribisnis, FEM, IPB (tidak dipublikasikan).

33  

Kekuatan Ekonomi dan Sosial Politik Global/Internasional

Lingkungan Makro

Subsistem Penunjang : ‐ Kebijakan

Pemerintah ‐ Lembaga keuangan ‐ Lembaga penelitian ‐ Kelembagaan sosial ‐ Pemerintah ‐ Asosiasi perdagangan

Subsistem Hulu : ‐ Industri pupuk &

obat-obatan ‐ Usaha

pembibitan ‐ Pemasok mesin

dan peralatan pertanian

Faktor Fisik dan Infrastuktur : ‐ Tanah, air, udara,

matahari, hewan dan vegetasi, iklim

‐ Lingkungan buatan manusia

Lingkungan Mikro

Kegiatan On farm ( petani teh)

Industri Pengolahan Teh

Industri Besar (Negara, Swasta)

Industri Kecil (Rakyat)

Industri Makanan dan Minuman Berbasis Teh

(ready to drink tea,tea bag, dll)

Industri Kosmetika

dan Farmasi

Sektor Jasa (Restoran,

Hotel, Spa, dsb)

Home

industry

Konsumen Rumah Tangga Akhir

Keterangan :

Pihak Internal : Lingkungan Mikro (Kegiatan Budidaya dan Industri Pengolahan Teh Curah)

Pihak Eksternal : Lingkungan Makro dan Lingkungan Global

Gambar 5. Ruang Lingkup Sistem Agribisnis Teh

34  

V SISTEM AGRIBISNIS TEH INDONESIA

5.1 Perdagangan Teh Dunia

Teh merupakan minuman terfavorit kedua di dunia setelah air putih9.

Masyarakat dunia gemar minum teh karena cita rasa, aroma serta warna air

seduhannya. Selain sebagai penghilang dahaga, teh merupakan bagian dari budaya

yang tak terpisahkan di sejumlah negara. Di tengah proses modernisasi, beberapa

dari nilai-nilai budaya tersebut masih terasa hingga kini, karena itu bagi negara-

negara tertentu seperti Inggris, Cina maupun Jepang, teh merupakan minuman

istimewa yang lebih dari sekedar minuman.

5.1.1 Produksi dan Konsumsi Teh Dunia

Negara-negara produsen teh dunia didominasi oleh negara-negara di

kawasan Asia, seperti India, Bangladesh, Sri Langka, Cina, Indonesia, Taiwan,

Iran, Jepang, Korea dan beberapa negara lainnya. Bahkan beberapa negara seperti

Cina dan India merupakan produsen teh terbesar di dunia. Cina mampu

menghasilkan sebanyak 1.200.000 ton teh pada tahun 2008, sementara India

mampu menghasilkan 980.818 ton pada tahun yang sama. Cina dan India

berkontribusi sekitar 31,5 persen dan 25 persen dari total produksi teh dunia.

Selain Cina dan India, negara penghasil teh lainnya adalah Kenya, Sri Langka,

Vietnam, Turki, Indonesia, Jepang, Argentina dan Bangladesh. Berbeda dengan

Cina dan India, negara-negara tersebut umumnya hanya memproduksi teh dalam

persentase yang kecil (di bawah 10 persen), akibatnya beberapa negara seperti

Indonesia hanya berperan sebagai market follower.

Selain sebagai produsen, Cina dan India juga merupakan konsumen teh

terbesar di dunia, tingginya volume konsumsi kedua negara tersebut juga

didorong oleh jumlah populasi penduduknya. Dilihat dari porsi produksi dan

konsumsinya, kedua negara ini merupakan negara yang memiliki peran penting

dalam perdagangan teh dunia. Cina dan India berkontribusi dalam separuh

kegiatan perdagangan teh dunia.

                                                            9 Sustainable Tea dalam http://www.unileverme.com/sustainability/environment/agriculture/

sustainable_tea/sustainabletea.aspx [Diakses pada 26 April 2011]

35  

Pada tahun 2008, produksi teh dunia sebesar 3.804.190 ton lebih besar

dibandingkan dengan konsumsi teh dunia yang hanya mencapai 3.658.000 ton.

Hal tersebut mengindikasikan terjadinya kondisi over supply di pasar teh dunia.

Kecenderungan over supply ini telah terjadi sejak tahun 1999. Kondisi over

supply yang terjadi di pasar teh internasional menyebabkan harga teh di beberapa

negara rendah. Namun demikian, kondisi ini tidak mempengaruhi konsumsi teh di

beberapa negara tertentu seperti Cina, India, Rusia, Jepang, Turki, Inggris dan

Amerika yang tetap tinggi sepanjang tahun.

Tabel 5. Negara-Negara Produsen dan Konsumen Teh Dunia Tahun 2008

No. Negara Produksi (000 Ton) Negara Konsumsi

(000 Ton) 1 Cina 1.200 Cina 872 2 India 981 India 798 3 Kenya 346 Rusia 175 4 Sri Langka 319 Jepang 134 5 Vietnam 166 Turki 134 6 Turki 155 Inggris 130 7 Indonesia 137 Amerika 117 8 Jepang 93 Mesir 104 9 Argentina 72 Pakistan 99 10 Bangladesh 58 CIS* 79 11 Lainnya 277 Lainnya 1.016 12 TOTAL 3.804 TOTAL 3.658

*Commonwealth of Independent States Sumber : ITC (2009)

5.1.2 Ekspor dan Impor Teh Dunia

Jumlah ekspor teh dunia mencapai 43 persen dari total produksi teh dunia.

Sepuluh eksportir teh terbesar di dunia adalah Kenya, Sri Langka Cina, India,

Vietnam, Indonesia, Argentina, Uganda, Malawi dan Tanzania. Kenya merupakan

pemilik pangsa ekspor terbesar dengan volume ekspor mencapai 388.444 ton atau

sekitar 23,4 persen dari total ekspor teh dunia pada tahun 2008. Jumlah ekspor

suatu negara dipengaruhi oleh jumlah konsumsi teh di negara tersebut. Cina dan

India merupakan dua produsen teh terbesar di dunia. Namun, tingginya tingkat

konsumsi teh domestik di kedua negara tersebut ternyata mempengaruhi jumlah

ekspor teh yang dilakukan. Berbeda dengan beberapa produsen seperti Kenya, Sri

Langka, Vietnam dan Indonesia yang tingkat konsumsi domestiknya masih

36  

rendah, sehingga mayoritas teh yang dihasilkan diekspor untuk memenuhi

kebutuhan pasar internasional.

Diantara seluruh eksportir teh dunia, Kenya dan Sri Langka merupakan

dua negara pesaing terdekat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan produk yang

diekspor Kenya (teh hitam CTC10) dan Sri Langka (teh hitam orthodox11) juga

merupakan produk yang diekspor oleh Indonesia dan memiliki kemiripan produk

yang cukup dekat. Kesamaan produk yang ditawarkan serta kesamaan tujuan

ekspor12 menyebabkan munculnya perebutan pangsa pasar diantara ketiga negara

tersebut. Namun, karena volume yang ditawarkan Kenya dan Sri Langka lebih

besar, maka Indonesia cenderung tidak memiliki daya tawar tinggi terhadap harga

(market follower).

Tabel 6. Negara-Negara Eksportir dan Importir Teh Dunia (2008)

No. Negara Volume Ekspor (Ton) Negara Volume Impor

(Ton) 1 Kenya 388.444 Rusia 175.0002 Sri Langka 297.469 Inggris 129.7593 Cina 296.935 Amerika 116.7494 India 193.000 Mesir 104.0005 Vietnam 104.000 Pakistan 99.1166 Indonesia 96.210 Dubai 60.0007 Argentina 77.228 Iran 58.0008 Uganda 42.385 Maroko 48.2009 Malawi 40.069 Jepang 43.10710 Tanzania 24.766 Afghanistan 39.00011 Lainnya 77.429 Lainnya 658.96912 TOTAL 1.637.935 TOTAL 1.531.900

Sumber : ITC (2009)

                                                            10 CTC atau Curling Tearing Crushing merupakan salah satu proses pengolahan teh dengan cara

fermentasi. Teh yang dihasilkan melalui proses ini memiliki tekstur yang lebih halus dan umumnya digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan teh celup. Saat ini, CTC merupakan teknik pengolahan baru yang mulai banyak diterapkan oleh pabrik-pabrik pengolah teh curah di Indonesia, karena permintaan akan teh celup cenderung meningkat (PPTK 2006).

11 Orthodox juga merupakan salah satu dari proses pengolahan teh secara fermentasi. Sebagian besar teh hitam di Indonesia diolah melalui proses ini, karena itu pula Indonesia dikenal sebagai produsen teh hitam orthodox oleh sebagian konsumennya.. Teh hitam orthodox umumnya memiliki kepekatan yang tinggi dan rasa lebih pahit.

12 Teh CTC hasil Kenya mayoritas diekspor ke beberapa negara seperti Mesir (99.638 ton), Inggris (69.211 ton) dan Pakistan (61.299 ton). Sementara Sri Langka, mengekspor teh hitam orthodoxnya ke beberapa negara seperti Rusia (43.896 ton), Iran (31.027 ton) dan Syria (26.114 ton). Sedangkan Indonesia yang juga memproduksi teh CTC dan Orthodox menjual sebagian besar produknya ke pasar Rusia (15.882 ton), Pakistan (12.365 ton) dan Inggris (9.051 ton).

37  

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008Jakarta 105.27 119.53 96.68 101.11 95.49 102.22 103.73 134.04 132.92 150.98Kolombo 114.96 135.06 143.54 148.66 148.32 180.18 184.42 197.29 277.7 305.55Mombasa 178 202 153 149 154 155 147 193 166 218

0

50

100

150

200

250

300

350

US

$ c

/Kg

Keterangan : Jakarta (Jakarta Tea Auction, Indonesia) Mombasa (Mombasa Tea Auction, Kenya) Kolombo (Colombo Tea Auction, Sri Langka)

Gambar 6. Perkembangan Harga Rata-Rata Teh Indonesia, Sri Langka dan Kenya Tahun 1999-2008 Sumber : ITC (2009)

5.2 Sistem Agribisnis Teh Indonesia

5.2.1 Subsistem Hulu

1. Usaha Pembibitan Tanaman Teh

Kegiatan budidaya tanaman teh dimulai dengan penanaman biji teh

ataupun penanaman stek daun teh. Pada perkebunan teh yang berasal dari biji,

umumnya biji diperoleh dari kebun-kebun biji yang dikelola secara khusus.

Kebun-kebun yang secara khusus menyediakan biji teh diantaranya berada di

Gambung dan Pasar Sarongge, Bandung, Jawa Barat. Selain kebun biji tersebut,

terdapat pula kebun-kebun biji milik PT. Perkebunan Nusantara atau swasta.

Penggunaan biji dari PT. Perkebunan Nusantara maupun swasta tersebut dapat

dianjurkan sebagai sumber penghasil biji apabila biji yang dihasilkan memiliki

komposisi klon serupa dengan komposisi yang serupa dengan komposisi pada

Tabel 7.

38  

Selain itu, bahan tanaman teh juga dapat berupa klon-klon yang telah

dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) di Gambung, Bandung.

Klon-klon yang telah dilepas diantaranya TRI 2024, TRI 2025, Kiara 8, SA 35,

RB 1 dan RB 3. Hingga saat ini, klon-klon terbaru yang dilepas PPTK antara lain

GMB 1, GMB 2, GMB 3, GMB 4, GMB 5, GMB 6, GMB 7, GMB 8, GMB 9,

GMB 10 dan GMB 11. Setiap klon diciptakan dengan karakteristik yang berbeda-

beda sesuai dengan kebutuhan petani yang tersebar di berbagai kondisi lahan yang

berbeda-beda.

Tabel 7. Kebun Biji (KB) yang Menghasilkan Turunan Cukup Baik dan Dapat Digunakan sebagai Sumber Penghasil Biji

No KB Lokasi Komposisi Klon KB 2 Gambung PS 125, Mal 2, KP 4, Cin 143 KB 5 Pasir Sarongge PG 18, Mal KB 7 Pasir Sarongge Cin 51, Cin 53, Cin 54, Cin 55, Cin 56 KB 8 Pasir Sarongge PS 1, KP 4, PS 324, Mal 2, SA 40 KB 9 Pasir Sarongge PS 125, Cin 143, Kiara 8 KB 11 Pasir Sarongge TRI 2024, TRI 2025, TRI 777, PS 1, Kiara 8Sumber : PPTK (2006)

Tabel 8 menjelaskan tentang karakteristik klon seri GMB 1 hingga GMB

5. Seri GMB 1-5 yang dilepaskan oleh PPTK pada tahun 1988 seharusnya mampu

menghasilkan lebih dari 3.500 kg/ha/tahun teh kering, namun volume produksi

yang terjadi di lapangan ternyata masih berada jauh di bawah 3.500 kg/ha/tahun.

Untuk memperoleh produksi dan kualitas yang tepat dan sesuai harapan, jumlah

klon yang ditanam hendaknya terdiri dari 3-5 klon. Selain itu petani juga perlu

memperhatikan penanaman dan pemeliharaan di lapangan, termasuk pengendalian

hama penyakit, pemberian pupuk, maupun antisipasi perubahan cuaca. Sedangkan

klon GMB 6 hingga GMB 11 merupakan klon yang dilepas oleh PPTK pada

bulan Oktober 1998 dengan potensi produksi dapat mencapai lebih dari 5.000 kg

kering/ha/tahun.

Penggunaan klon teh unggul saat ini telah banyak digunakan di

perkebunan-perkebunan teh. Klon adalah tanaman yang diperoleh dari hasil

pengembangan vegetatif atau aseksual. Mulanya penggunaan klon ini hanya

diterapkan pada perkebunan-perkebunan teh besar, namun kini penggunaannya

telah menyebar luas hampir ke seluruh perkebunan teh di Indonesia. Kegiatan

39  

penelitian dan penyebaran klon-klon unggulan dilakukan oleh Pusat Penelitian

Teh dan Kina di bawah PT. Riset Perkebunan Nusantara. Pemerintah melalui

Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) juga

memberikan dukungan pengawasan dan penyebaran teknologi bagi tanaman

perkebunan, termasuk teh. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman

Perkebunan ini terbagi menjadi 3 unit kerja yang terletak di tiga wilayah yang

berbeda, yaitu Surabaya, Medan dan Ambon.

Tabel 8. Stek atau Klon Tanaman Teh yang Dikeluarkan PPTK

Jenis Klon/Stek Kisaran Hasil (Kg/Ha/Tahun) Keterangan

GMB 1 1.939 • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Pertumbuhan tunas-tunas setelah

dipangkas cepat • Rentan terhadap hama, namun tahan

terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau

GMB 2 2.151 GMB 3 1.839

GMB 4 2.107 • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Golongan : Sinensis • Pertumbuhan tunas-tunas setelah

dipangkas sedang • Rentan terhadap hama, namun tahan

terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau

GMB 5 2.107 • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Golongan : Sinensis • Pertumbuhan tunas-tunas setelah

dipangkas cepat • Rentan terhadap hama, namun tahan

terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau dan teh hitam

Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam BPS (2010)

2. Industri Agrootomotif

Peranan industri agrootomotif terhadap kegiatan agribisnis teh sangatlah

penting. Ketersediaan sarana transportasi sangat mempengaruhi kelancaran

seluruh kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran teh. Lokasi perkebunan

yang tersebar di berbagai penjuru wilayah, dan umumnya berada di daerah

pegunungan, mutlak didukung oleh sarana transportasi seperti mobil pengangkut,

truk, motor, serta jenis kendaraan lainnya. Wilayah perkebunan yang luas dan

40  

terbagi menjadi banyak blok membutuhkan akses transportasi yang baik. Selain

itu, pasar teh Indonesia yang sebagian besar merupakan pasar internasional juga

perlu didukung oleh industri perkapalan dan maskapai penerbangan yang dapat

menjamin kelancaran distribusi teh ke luar negeri.

3. Industri Agrokimia

Industri agrokimia memiliki peranan penting dalam kegiatan produksi teh.

Produk yang dihasilkan terutama adalah pupuk dan obat-obatan bagi tanaman teh.

Jenis pupuk kimia yang digunakan dalam kegiatan budidaya teh adalah Urea,

KCl, Za dan TSP. Selain penggunaan pupuk kimia, produsen pucuk juga

menggunakan pupuk daun (hayati) yang bertujuan untuk merangsang

pertumbuhan pucuk. Sedangkan jenis obat-obatan yang umumnya digunakan

adalah insektisida, fungisida, herbisida, alkanisida, dan beberapa jenis obat-obatan

lainnya.

Dalam anggaran biaya kebun, biaya tertinggi umumnya berasal dari biaya

pemenuhan pupuk dan obat-obatan. Persentase anggaran biaya untuk input

berkisar antara 10-40 persen dari total biaya perawatan kebun, bahkan dapat

mencapai 50 persen dari total cost13. Besarnya alokasi anggaran bagi pupuk dan

obat-obatan ini dikarenakan sifat tanaman teh yang sangat sensitif terhadap

perubahan cuaca dan hama penyakit, sehingga memerlukan perawatan dan

pengendalian yang intensif untuk mempertahankan produksi pucuk. Hingga kini,

pemerintah bersama lembaga penelitian tanaman perkebunan tengah

mensosialisasikan penerapan teknologi tepat guna sebagai alternatif penggunaan

pupuk dan obat-obatan kimiawi yang harganya tinggi, yaitu dengan penggunaan

pupuk kompos yang memberdayakan sumberdaya alam di sekitar perkebunan

serta penggunaan pestisida dan insektisida nabati untuk mengurangi biaya

produksi teh.

Pupuk yang beredar di kalangan produsen terbagi menjadi dua, yaitu

pupuk subsidi dan pupuk non-subsidi. Pupuk subsidi umumnya ditujukan bagi

                                                            13 - Laporan Kebun PTPN VIII, Kebun Cisaruni periode Desember 2010, - Hasil wawancara Mandor I Tanaman PT. Sumbersari Bumi Pakuan, Perkebunan Ciliwung [30

April 2011], dan - Susila Wayan R, Bambang Dradjat. 2005. Kebijakan Subsidi Pupuk pada Subsektor

PerkebunanDampak dan Pengelolaan. http://www.ipard.com/art_perkebun/090808a_wr.asp [Diakses pada 8 Februari 2011]

41  

petani teh rakyat, sedangkan perusahaan swasta dan negara tidak berhak untuk

mendapatkan pupuk bersubsidi. Meskipun demikian, pemberian subsidi pupuk

yang dilakukan oleh pemerintah lebih diutamakan untuk kegiatan usahatani yang

mengembangkan komoditas tanaman pangan, seperti padi, jagung dan kedelai.

Sedangkan pupuk non-subsidi merupakan pupuk yang dijual bebas dan dapat

diakses secara umum. Beberapa perusahaan swasta maupun BUMN yang

bergerak pada industri agrokimia ini diantaranya PT Sinartani, PT Petrokimia, PT

Sriwijaya, PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk Kujang, PT Bio Industri Nusantara (PT

Bionusa), dan beberapa perusahaan besar lainnya.

4. Industri Agromekanik

Industri agromekanik berperan sebagai pemasok alat-alat pertanian yang

digunakan saat berkebun hingga pengolahan. Dalam kegiatan produksi teh di

Indonesia, umumnya penggunaan teknologi mekanik lebih banyak digunakan

pada saat proses pengolahan. Hampir 70 persen penggunaan mesin ataupun

teknologi mekanik dimulai pada saat pucuk dari perkebunan diangkut menuju

pabrik pengolahan hingga diproses menjadi produk teh lanjutan.

Mesin-mesin yang digunakan dalam kegiatan perkebunan teh umumnya

berupa alat pemangkas mekanik, mesin penyemprot hama, mesin blower dan

beberapa peralatan mekanik lainnya. Namun penggunaan alat mekanik dalam

kegiatan perkebunan umumnya masih terbatas, terutama di kalangan petani

rakyat. Petani rakyat lebih memilih melakukan berbagai tahapan berkebun teh

secara manual, karena biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dan umumnya

luas area petani rata-rata hanya 2-3 hektar sehingga mereka lebih memilih

melakukan perawatan secara manual.

Mesin yang digunakan dalam proses pengolahan teh biasanya terdiri dari

mesin pelayuan, alat penggulung (open top roller, baruah continuous tea roller,

barbora conditioner roller), mesin penggiling (press cap roller, rotorvane), mesin

sortasi bubuk basah (rotary ball breaker), mesin pengering (endless chain

pressure, fluid bed dryer) dan alat pengemasan. Umumnya mesin-mesin yang

digunakan dalam pabrik pengolahan teh merupakan mesin impor dari Jepang, atau

mesin yang dirakit di Indonesia. Terkait dengan pengadaan mesin dan bahan baku

42  

kemasan, tarif impor mesin dan bahan baku kemasan merupakan salah satu

komponen biaya yang cukup tinggi dalam mempengaruhi biaya produksi.

5.2.2 Subsistem Usahatani Teh

Indonesia merupakan negara dengan wilayah perkebunan teh terluas

kelima di dunia setelah Cina, India, Sri Langka dan Kenya (ITC 2009). Namun,

selama satu dekade terakhir, luas area perkebunan ini justru terus mengalami

penurunan. Sejak tahun 2000 hingga 2009, telah terjadi pengurangan luas area

perkebunan teh sebesar 2,18 persen setiap tahunnya. Hal ini mempengaruhi

volume produksi teh nasional. Pada tahun 2009, volume produksi teh nasional

sebesar 156.901 ton, atau lebih rendah 1,86 persen dari tahun sebelumnya.

Penurunan luas area perkebunan teh dipicu oleh rendahnya pendapatan yang

diterima produsen akibat dari rendahnya harga teh yang diterima. Hal tersebut

menyebabkan gairah produsen untuk membudidayakan teh menurun, sehingga

konversi lahan merupakan salah satu alternatif untuk memperoleh keuntungan.

Tabel 9. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Teh Nasional Tahun 1999-2010

Tahun Luas Areal (Ha) Jumlah Produksi (Ton)

Produktivitas (kg/Ha) TBM TM TTM/TR

2000 23.898 114.491 15.285 153.675 162.587 1.4202001 29.550 109.497 11.825 150.872 166.868 1.5242002 25.839 112.415 12.453 150.707 165.194 1.4702003 13.439 121.339 8.826 143.604 169.821 1.4002004 12.291 115.156 16.518 143.965 167.136 1.4512005 9.105 114.404 17.029 140.538 167.276 1.4622006 8.730 111.055 15.806 135.591 146.847 1.3222007 7.422 110.524 15.787 133.733 150.223 1.3602008 5.425 106.393 15.894 127.712 153.971 1.4472009* 4.941 105.600 16.870 127.411 151.250 1.4322010** 5.517 105.168 16.699 127.384 149.764 1.434* sementara ** estimasi

Sumber : Dirjenbun (2010)

Tabel 9 menunjukkan luas area perkebunan teh Indonesia berdasarkan

kondisi tanaman. Luas area tanaman belum menghasilkan (TBM) merupakan luas

area perkebunan yang belum diambil produksinya dikarenakan tanaman teh masih

muda atau baru saja dilakukan peremajaan. Areal tanaman menghasilkan (TM)

menunjukan luas area perkebunan teh yang berproduksi secara aktif dalam

43  

setahun. Sedangkan areal tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak (TTM/TR)

menggambarkan area perkebunan yang rusak ataupun tidak berproduksi karena

sudah sangat tua atau terserang hama penyakit yang sangat parah.

Tabel 9 menjelaskan bahwa luas area TM teh di Indonesia sejak tahun

2003 terus mengalami penurunan. Namun demikian, luas area TM cenderung

terus menurun, persantase terhadap areal perkebunan total tidak selalu menurun.

Pada tahun 2007-2008, luas area perkebunan total mengalami penurunan sebesar

4,5 persen, namun persentase luas area TM periode tersebut meningkat sebesar

0,7 persen. Peningkatan luas area TM saat itu diikuti pula oleh peningkatan

volume produksi nasional dan produktivitas teh nasional.

Berdasarkan tipe kepemilikannya, perkebunan teh di Indonesia terbagi

menjadi tiga tipe, yaitu perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN)

dan perkebunan besar swasta (PBS). Ketiga tipe perkebunan tersebut memiliki ciri

dan karakternya masing-masing. Namun, hingga saat ini belum ada integrasi yang

baik diantara ketiganya. Hingga tahun 2009, perkebunan rakyat merupakan

perkebunan teh dengan luas area terbesar dibandingkan dengan tipe kepemilikan

kebun lainnya. Luas areal perkebunan rakyat pada tahun 2009 mencapai 57.126

hektar atau sebesar 46,25 persen dari total luas perkebunan teh di Indonesia.

Sementara PBN dan PBS hanya memiliki luas perkebunan seluas 38.564 hektar

dan 27.816 hektar atau sekitar 31,2 persen dan 22,55 persen.

Tabel 10. Luas Areal dan Produksi Teh Berdasarkan Tipe Pengusahaan Tahun 2000-2010

Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) PR PBN PBS PR PBN PBS

2000 67.100 44.263 42.313 39.466 84.132 38.989 2001 67.580 44.554 38.738 40.160 86.207 40.500 2002 66.289 44.608 39.810 44.773 80.426 39.995 2003 64.742 41.988 36.874 47.079 82.082 40.660 2004 61.902 44.768 35.878 40.200 89.303 36.448 2005 60.771 44.066 34.284 37.746 89.959 38.386 2006 60.990 46.661 27.939 37.355 81.847 27.657 2007 60.948 42.579 30.207 38.937 80.274 31.012 2008 60.539 38.946 28.227 38.593 78.354 37.024 2009 57.126 38.564 27.816 45.239 75.451 36.211 2010* 56.264 40.158 28.151 34.788 79.040 36.514

*Angka sementara Sumber : BPS (2010)

44  

Meskipun PR memiliki persantase luas area terbesar dibandingkan dengan

perkebunan teh lainnya, namun PR belum mampu memberikan hasil produksi

yang memuaskan baik dari sisi volume maupun kualitasnya. Pada tahun 2009,

perkebunan teh rakyat hanya mampu memproduksi teh sebesar 45.239 ton, sangat

jauh dibawah hasil produksi dari perkebunan teh negara yang mencapai 75.451

ton (Tabel 10). Produktivitas PR hanya 791,9 kg/ha jauh dibawah produktivitas

perkebunan negara dan perkebunan swasta yaitu sebesar 1.956,5 kg/ha dan

1.301,8 kg/ha.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, meskipun memiliki luas area

terbesar diantara dua tipe perkebunan lainnya, produktivitas PR justru merupakan

yang terendah. Dalam penelitiannya Rosyadi (1987) dalam Rosyadi et al (2003)

menyatakan bahwa petani teh Indonesia pada umumnya memiliki ciri-ciri yang

berdampak pada bargaining position yang rendah. Beberapa ciri petani teh rakyat

Indonesia antara lain :

a. Luas kepemilikan lahan sempit antara 0,1-3 hektar, tersebar saprodis pada

wilayah-wilayah yang umumnya terpencil.

b. Pengelolaan kebun umumnya polikultur.

c. Pucuk teh yang dihasilkan umumnya perishable (mudah rusak).

d. Umumnya petani tidak memiliki unit pengolahan pucuk, sehingga harga

pucuk ditentukan oleh pihak pembeli (pemilik pabrik pengolah, atau pedagang

pengumpul).

e. Modal yang dimiliki relatif kecil, dan hasil usahatani umumnya bukan satu-

satunya sumber pendapatan.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi petani teh, dibutuhkan

kerjasama dari banyak pihak. Pola seperti program Unit Desa, Perkebunan Inti

Rakyat (PIR), dan Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP)14 merupakan beberapa

                                                            14 Pola Unit Desa merupakan program yang menggerakan banyak pihak dalam satu desa seperti

penyuluh yang berperan dalam penyampaian informasi dan memberikan pengarahan kepada petani di kebun, lembaga keuangan seperti BRI Unit Desa yang berperan dalam membantu persoalan permodalan dan koperasi sebagai lembaga penyedia dan penyalur sarana pertanian, dan wadah pengolahan hasil kebun dengan kerjasama bersama perusahaan tertentu.

Pola UPP merupakan program pembinaan dan pengembangan koperasi dan diharapkan dalam jangka panjang keseluruhan fungsi dapat dilaksanakan sendiri. Pihak-pihak yang terlibat dalam program ini diantaranya unit petugas pelaksana proyek yang bekerjasama dengan koperasi.

Pola PIR merupaka pola yang diterapkan dengan menjalin kerjasama dengan perusahaan negeri maupun swasta, dimana fungsi penyuluhan, penularan teknologi, penyaluran kredit,

45  

program yang telah dilaksanakan untuk membantu memecahkan permasalahan

petani. Disinilah perkebunan besar milik negara maupun swasta dituntut untuk

lebih peduli terhadap nasib dari perkebunan teh rakyat (Nazaruddin dan Paimin

1993).

Tabel 11. Karakteristik Umum Produsen Teh di Indonesia Berdasarkan Tipe Kepemilikan Usaha

No. Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara

Perkebunan Besar Swasta

1 Luas area perkebunan mencapai 46,25 persen

Luas areal perkebunan mencapai 31,2 persen

Luas areal perkebunan mencapai 22,55 persen

2 Produksi mencapai 45.239 ton

Produksi mencapai 75.451 ton

Produksi mencapai 36.211 ton

3 Produktivitas mencapai 791,9 kg/ha

Produktivitas mencapai 1.959,5 kg/ha

Produktivitas mencapai 1.301,8 kg/ha

4 Luas lahan umumnya sempit, antara 0,1-3 ha

Luas lahan dapat mencapai ribuan hektar

Luas lahan dapat mencapai ribuan hektar

5 Akses terhadap modal sulit

Akses terhadap modal lebih mudah

Akses terhadap modal lebih mudah

6 Tidak dilengkapi oleh unit pengolahan pucuk

Umumnya telah memiliki unit pengolahan pucuk sendiri

Umumnya telah memiliki unit pengolahan pucuk sendiri

7 Mayoritas teh yang dihasilkan teh hijau

Mayoritas teh yang dihasilkan teh hitam

Menghasilkan teh hitam dan teh hijau

8 Orientasi pasar domestik Orientasi pasar ekspor Orientasi pasar

domestik dan ekspor

Perkebunan besar negara (PBN) atau PT Perkebunan Nusantara,

merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengusahakan berbagai

macam komoditas perkebunan seperti teh, kakao, kopi, kina, kelapa sawit dan

karet. Dari seluruh PTPN yang ada, PTPN yang mengusahakan komoditas teh

adalah PTPN IV, VI, VII, VIII, IX dan XII. Dimana PTPN VIII merupakan

penghasil teh terbesar di Indonesia dengan hasil produksinya mencapai 45 persen

dari total produksi teh nasional, dan tersebar ke dalam 24 perkebunan yang ada di

daerah Jawa Barat dan Banten15. Apabila dibandingkan dengan jenis

                                                                                                                                                                   pengolahan hasil maupun fungsi pemasaran dilaksanakan oleh perusahaan. Sebagai timbal baliknya, kebun plasma membantu perusahaan dalam meningkatkan produksi (Nazaruddin dan Paimin 1993)

15 PTPN 8. Tea Products Catalogue. 2009

46  

kepengusahaan lainnya, PBN telah memiliki kedekatan yang cukup baik antara

seluruh pihak di setiap subsistemnya.

Selain PR dan PBN, perkebunan teh di Indonesia juga diramaikan oleh

perkebunan-perkebunan besar miliki swasta. PBS di Indonesia umumnya lebih

fleksibel dalam menetapkan keputusan. Berbeda dengan PBN yang memiliki

tanggung jawab kepada PTPN pusat, perkebunan swasta sepenuhnya diatur dan

dijalankan berdasarkan peraturan perusahaan. Meskipun demikian, PBS juga tidak

luput dari penurunan luas area. Selama sepuluh tahun, PBS telah mengalami

penurunan luas area terbesar dibandingkan dengan PR ataupun PBN. Tahun 2010,

luas area PBS telah berkurang sebesar 33,5 persen dibandingkan luasnya pada

tahun 2000. Kenyataan ini menunjukan bahwa stakeholder swasta juga tidak luput

dari efek kurang bergairahnya kondisi teh nasional saat ini, sehingga banyak

perusahaan yang memilih untuk mengganti komoditas atau berhenti

mengusahakan teh.

Dilihat dari komponen biaya yang dibutuhkan, Tabel 12 menggambarkan

analisis usahatani perkebunan teh negara yang memiliki pabrik pengolah teh

sendiri. Pendapatan yang diperoleh oleh produsen dipengaruhi oleh tingkat harga.,

Pada kondisi penjualan pucuk basah dengan harga sebesar Rp 1.300, ternyata

perkebunan Cisaruni Garut ini masih mengalami kerugian sebesar Rp

113.458.172,-. R/C ratio yang diperoleh dari penjualan pucuk basah hanya

mencapai 0,85. Namun, apabila dihitung pendapatannya dengan penjualan daun

kering hasil olahan pabrik, R/C Rationya bernilai 1,502. Ini berarti, usaha

perkebunan teh ini layak apabila ia mengolah tehnya sendiri, kemudian

menjualnya keluar.

47  

Tabel 12. Analisis Usahatani Kebun Teh dengan Produk Pucuk Basah dan Daun Kering

No Uraian Jumlah

Luas Area Kebun (Ha) 1.014Produksi Pucuk Basah (Kg) 534.912 Produksi Daun Kering (Kg) 118.664

I. Biaya Tanaman (Rp) • Gaji, Tunj dan Biaya Sosial Karyawan Pimpinan 18.087.513

• Biaya Pemeliharaan Tanaman 349.702.760 • Biaya Panen 363.612.994 • Biaya Pengangkutan 46.700.414 • Tunjangan dan Biaya Sosial Karyawan 7.583.351 • Biaya Penyusutan Tanaman 23.156.710

Total Biaya Tanaman/Ha 808.843.772 Asumsi harga Rp 1.300/kg 695.385.600 R/C Ratio 0,85

II Biaya Pengolahan • Biaya pengolahan/Kg 331.242.546

• Biaya Pemeliharaan Pabrik 56.768.625 • Biaya Pengepakan 85.768.625

Total Biaya Pengolahan 473.409.022 Biaya Pengolahan/Kg 3.989

III HPP Daun Kering (a) 1.282.252.794 HPP Daun Kering/Kg 10.805 1V Penjualan Cent – US$ • First Grade @ 201 cent – US$

(67,84% x 118.664 Kg = 80.502 kg)

16.180.902 • Second Grade @ 146 cent – US$

(26,39% x 118.664 kg = 31.315 kg)

4.571.990 • Off Grade @ 69 cent – US$

(5,77% x 118.664 kg = 6.847 kg)

472.443 Total Penjualan (Cent – US$) 21.225.335

Total Penjualan (Rp)* (b) 1.926.623.658 R/C Ratio Daun Kering 1,502 Pendapatan (b) – (a) 644.370.864

Keterangan : 1 US$ = 100 Cent = Rp 9.077,- pada Desember 2010 Sumber : Laporan Kebun Cisaruni Desember 2010, PTPN VIII (2010) (tidak dipublikasikan)

5.2.3 Subsistem Pengolahan

Setelah melalui proses pemetikan, pucuk teh tidak bisa langsung

dikonsumsi. Pucuk teh tersebut harus melalui tahap pengolahan agar dihasilkan

teh dengan kualitas rasa, aroma dan warna seduhan yang menarik, serta tahan

lama. Berdasarkan teknik pengolahannya, teh dibedakan menjadi dua, yaitu teh

48  

yang melalui tahap fermentasi (teh hitam) dan teh yang tidak melalui tahap

fermentasi (teh hijau). Teh hitam yang diproduksi di Indonesia terdiri dari teh

Orthodox dan teh CTC. Perbedaan kedua jenis teh tersebut terletak pada proses

pengolahannya. Produk teh orthodox melalui proses yang lebih rumit dan panjang

dibandingkan CTC. Sedangkan produk teh CTC merupakan salah satu bentuk

diversifikasi produk yang dilakukan oleh produsen teh di Indonesia. Permintaan

teh melalui proses CTC semakin meningkat dari waktu ke waktu menyusul

peningkatan minat konsumen terhadap konsumsi tea bag (teh celup). Sedangkan

teh hijau merupakan produk yang belum diproduksi dalam jumlah banyak.

sebagian besar produksi teh hijau ditujukan untuk pasar domestik, tampak pada

komposisi ekspor teh Indonesia yang didominasi oleh produk teh hitam.

Tabel 13. Spesifikasi Teh berdasarkan Grade

No. Grade Spesifikasi 1 First Grade BOP I SP, BOP I, BOP, BOP F, PF, DUST, BT dan BP 2 Second Grade PF II, DUST II, BT II, BP II, DUST III dan FANN II 3 Off Grade BM dan PLUFF

Sumber : PPTK (2006)

Berdasarkan grade mutunya, teh di Indonesia terbagi menjadi tiga kelas,

yaitu first grade (umumnya disalurkan untuk pasar ekspor), second

grade(umumnya disalurkan untuk pasar domestik) dan off grade (umumnya

disalurkan untuk pasar tradisional domestik). Grade adalah pengklasifikasian

daun teh berdasarkan ukuran dan kondisinya. Tabel 13 memberikan informasi

mengenai spesifikasi dari masing-masing grade.

Selain diolah menjadi minuman, tanaman teh juga dapat diolah dan

dimanfaatkan menjadi produk lainnya. Berbagai bagian dari tanaman teh dimulai

dari akar, batang, daun tua, serat, tangkai daun, aroma, biji teh dapat diolah

menjadi produk sampingan teh. Beberapa produk hasil pengolahan utama dan

sampingan tanaman teh tampak pada Tabel 14. Beberapa produk pada Tabel 14

sudah diproduksi di Indonesia, namun beberapa yang lainnya baru sampai tahap

penelitian. Hasil samping tanaman teh Indonesia umumnya belum ditangani

secara profesional. Banyak produk sampingan teh yang diimpor Indonesia untuk

memenuhi kebutuhan industri di bidang farmasi, kosmetika, perikanan dan lain-

lain (Purwoto, Suprihatini dan Sudaryanto 1998 diacu dalam Suryatmo 2003).

49  

Tabel 14. Produk Olahan Utama dan Sampingan Tanaman Teh

No Asal Bahan Produk dan Kegunaan 1 Pucuk daun muda Teh hitam, teh hijau, teh oolong, teh wangi, ekstrak

kafein, ekstrak katekin, ekstrak flavor, ekstrak instant, kue, mie instant (sebagai bahan campuran), permen teh, jamu, sirup teh, pewarna dan bahan campuran kosmetik.

2 Tangkai, serat (Pluff)

Ekstrak kafein, ekstrak instant, subtitusi teh celup.

3 Daun tua Bahan baku pewarna kain, alas jenazah, mulching (serasah) di kebun teh.

4 Akar/batang Kayu bakar, perlengkapan rumah tangga, media jamur kuping dan Ganoderma, arang aktif.

5. Biji teh Minyak biji teh kandungan rendemennya (18-25 persen) sebagai minyak goring non-kolesterol, ampas saponin berguna untuk membasmi hama udang, pakan ternak dengan kandungan protein ± 11 persen.

Sumber : Suryatmo (2003)

Saat ini, industri teh nasional juga mulai diramaikan dengan kehadiran

produk-produk olahan teh yang semakin beragam. Produk-produk teh hilir yang

beredar di Indonesia misalnya ready to drink tea, tea bag (teh celup), instant tea,

teh wangi, teh buih (tablet effervescent), permen teh, kosmetik, serta obat-obatan.

Perkembangan produk teh hilir ini memberikan dampak positif terutama bagi

peningkatan citra teh di masyarakat sekaligus mendekatkan masyarakat Indonesia

terhadap produk-produk olahan teh. Hal tersebut juga didukung oleh bentuk

kemasan dan promosi yang menarik.

5.2.4 Subsistem Pemasaran

Subsistem pemasaran dalam sistem agribisnis dapat diartikan sebagai

kegiatan penyaluran hasil pertanian dari produsen sampai ke konsumen akhir.

Kegiatan pemasaran ini mencakup tiga fungsi sekaligus, yaitu : (a) fungsi

pertukaran (pembelian, penjualan dan penentuan harga), (b) fungsi fisik

(pembersihan, sortasi, grading, pengemasan, standarisasi, penyimpanan,

pengangkutan) dan (c) fungsi fasilitatif (pendanaan, penanggulangan risiko,

informasi pasar, penciptaan permintaan dan penelitian) (Kriesberg & Steele 1992

dalam Rachman et al. 2002). Berdasarkan definisi di atas, maka sebagian besar

50  

fungsi pemasaran untuk komoditas teh telah dimulai sejak pucuk teh hasil petikan

diserahkan oleh buruh petik untuk diolah ke pabrik pengolahan.

Berdasarkan hasil observasi lapang dan literatur, umumnya pabrik

pengolah teh curah di Indonesia memperoleh bahan baku pucuknya melalui

setidaknya empat cara, yaitu langsung dari kebun sendiri, membeli sebagian atau

seluruhnya dari pihak luar, diperoleh dari kebun mitra dan diperoleh dari hasil

pertukaran antar kebun dalam perusahaan yang sama. Proses penentuan harga

umumnya ditentukan berdasarkan kontrak yang telah disepakati atau berdasarkan

proses tawar-menawar di kebun.

Fungsi selanjutnya yaitu fungsi pengolahan, merupakan kegiatan produksi

yang berlangsung di pabrik. Bahan baku disalurkan ke pabrik untuk diolah. Ada

dua tipe sistem pabrikasi di Indonesia berdasarkan pengolahnnya, yaitu pabrik teh

hitam (CTC dan Orthodox) dan pabrik teh hijau. Pabrik teh hitam umumnya

dimiliki oleh PTPN, sedangkan pabrik teh hijau umumnya dimiliki oleh pabrik

swasta maupun pabrik yang dikelola oleh rakyat. Hal tersebut dikarenakan mesin-

mesin serta proses yang dijalankan untuk memproses teh hitam sangat rumit

apabila dibandingkan dengan mesin dan proses pengolahan teh hijau. Di pabrik,

pucuk diolah lalu dikemas setelah melalui proses standarisasi tertentu. Bagi

beberapa pabrik milik PTPN, mereka melakukan standarisasi berupa pemberian

seritifikasi pada produk olahan mereka, seperti UTZ certificate dan GMP16.

Fungsi lain pemasaran adalah sebagai wadah yang mempertemukan

penjual dan pembeli. Penyaluran produk dari pabrik akan berbeda tergantung

dengan tipe pengusahaannya. PT PN menyalurkan produk teh mereka untuk di

pasarkan melalui PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN). Kantor

tersebut merupakan tempat memasarkan produk teh kepada tea buyer yang berasal

dari berbagai perusahaan baik perusahaan domestik maupun perusahaan asing.

Proses pemasaran teh di PT KPBN dilakukan melalui proses lelang. Tujuan dari

proses lelang ini adalah untuk menghasilkan harga tertinggi dari penawaran yang

                                                            16 UTZ Certificate adalah sebuah program dunia yang membangun standar-standar untuk

sumber dan produksi komoditas pertanian yang bertanggung jawab. Sertifikasi ini memberikan jaminan profesional, kualitas sosial dan lingkungan dalam praktek-praktek produksi seperti merek dan harapan konsumen. Sementara GMP (Good Manufacturing Practices) menjamin produk dari proses produksi yang aman, sesuai prosedur dan ramah lingkungan.

51  

ada, serta mempermudah akses pembeli dalam menentukan teh yang mereka

inginkan. Namun, selain melalui lelang (auction), PT KPBN juga melayani

pemesanan teh dalam bentuk private offer meskipun jumlahnya masih lebih kecil

dibandingkan dengan jumlah yang diperdagangkan melalui lelang. Sedangkan

untuk pabrik milik swasta dan rakyat perdagangan teh umumnya dilakukan secara

langsung, artinya melalui proses jual-beli biasa dan proses lelang di Bandung Tea

Auction (tapi sekarang sudah tidak aktif lagi).

PT KPBN seperti yang akan dijelaskan pada subbab berikutnya

merupakan lembaga pemasaran milik PT PN yang telah berubah menjadi

perseroan terbatas sejak tahun 2010. Selain sebagai fasilitator, fungsi PT KPBN

juga merangkap sebagai pengontrol kualitas dari teh yang dihasilkan PT PN,

pencari informasi pasar, terutama informasi untuk mengembangkan pasar lain di

luar negeri, dan beberapa fungsi pemasaran lainnya. Pembentukan harga yang

terjadi di PT KPBN juga merupakan acuan bagi harga teh nasional. Berdasarkan

uraian di atas, maka aliran perdagangan teh di Indonesia dapat digambarkan

seperti pada Gambar 7.

* Khusus PT Perkebunan Nusantara

Gambar 7. Jalur Tataniaga Teh Indonesia (2010)

Produksi 2009 151. 250 ton

Perkebunan Rakyat 36.350

ton

Perkebunan Besar Negara

78.386 ton

Perkebunan Besar Swasta

34.673 ton

Pabrik Teh Curah (PTPN/ Swasta)

Pengumpul/ Koperasi

Pasar Domestik

PT. KPBN*

Pasar Luar Negeri

Pasar Domestik

Direct Selling

Pasar Luar Negeri

52  

5.2.5 Subsistem Jasa dan Penunjang

Kegiatan budidaya tanaman teh telah dikenal sejak lama. Pada masa

penjajahan Belanda, politik tanam paksa (culture stetsel) mengharuskan rakyat

untuk menanam beberapa tanaman perkebunan, salah satunya adalah teh. Saat itu,

Belanda mendirikan sebuah organisasi bernama Algemeene Vereeniging van

Rubbers Planters ter Ooster van Sumatera (AVROS), yang merupakan asosiasi

pengusaha tanaman perkebunan seperti karet, teh, kelapa sawit, gambir dan sisal.

AVROS didirikan dengan tujuan membantu meringankan beban anggotanya

dalam mengatasi masalah-masalah perburuhan, pembibitan serta lahan-lahan yang

diperlukan untuk kemajuan perkebunan17.

Seiring dengan perkembangan agribisnis teh di Indonesia, hingga saat ini,

telah banyak lembaga yang didirikan untuk menunjang dan mendukung kegiatan

agribisnis teh. Kelembagaan tersebut terdiri dari lembaga riset dan

pengembangan, lembaga keuangan, kelompok tani atau koperasi, lembaga

pemasaran, pemerintah serta berbagai asosiasi terkait lainnya.

1. Lembaga Riset dan Pengembangan

Lembaga penelitian bertugas untuk menciptakan berbagai teknologi baru

maupun penyempurnaan teknologi yang sudah ada. Lembaga khusus yang

berperan sebagai lembaga penelitian teh di Indonesia ialah Pusat Penelitian Teh

dan Kina (PPTK) yang terletak di Bandung, Jawa Barat. Lembaga yang berada di

bawah PT. Riset Perkebunan Nusantara ini merupakan lembaga penelitian pusat

bagi komoditas teh di Indonesia. PPTK bertugas mengelola kegiatan inovasi

dalam rangka memajukan bisnis dan industri teh Indonesia. Kegiatan tersebut

diantaranya dilakukan melalui kegiatan penelitian, pengembangan dan jasa

pelayanan kepada para stakeholder (PT Perkebunan Nusantara, perkebunan besar

swasta, perkebunan rakyat, pabrik, serta para pedagang dan eksportir) dan

pemerintah18. Selain PPTK, penelitian terkait teh juga dilakukan oleh lembaga-

lembaga lain yang sifatnya independen (non-pemerintah), seperti perguruan

tinggi.

                                                            17 http://royandihts.wordpress.com20100724avros-algemeene-van-vereeniging-rubberplanters-

ter-oostkust-sumatra-organisasi-perkebunan-karet-di-sumatera-timur-1910-1958.com [Diakses pada 31 Maret 2011]

18 www.ritc.or.id [Diakses pada 31 Maret 2011].

53  

Lembaga Riset dan Pengembangan Komoditas Teh

Non-Pemerintah Pemerintah melalui Kementrian Pertanian

Badan Litbang Pertanian

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman

Industri

PT Riset Perkebunan Nusantara

Swasta, Perguruan Tinggi

Pusat Penelitian Teh dan Kina

Gambar 8. Lembaga Penelitian Pendukung Agribisnis Teh Indonesia Sumber : Kementrian Pertanian RI dalam www.deptan.go.id [Diakses pada 4

Mei 2010]

2. Lembaga Keuangan Selain lembaga riset dan pengembangan, lembaga lain yang tak kalah

pentingnya dalam pengembangan agribisnis teh di Indonesia adalah lembaga keuangan. Salah satu fungsi utama lembaga keuangan adalah sebagai penyedia kredit bagi usaha atau bisnis teh baik bisnis upstream maupun downstream teh. Lembaga keuangan yang umum dikenal di Indonesia adalah bank dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Namun, peranan perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya hingga saat ini masih dinilai kurang bagi agribisnis Indonesia19. Fasilitas kredit bagi industri yang bergerak di subsistem budidaya masih sulit diperoleh, terutama bagi petani rakyat. Karena itu, dibutuhkan kerjasama antara pengusaha kecil dan pengusaha besar agar proses pengajuan kredit dapat terwujud. Dalam salah satu programnya, pemerintah melalui Dewan Teh Indonesia telah memfasilitasi petani teh dengan dengan menciptakan suatu bentuk kemitraan antara petani teh dengan perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta dalam bentuk

                                                            19 Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Bapak Sultoni Arifin [23

Maret 2011]

54  

kemitraan, dimana jalinan kemitraan ini pun telah didukung oleh keterlibatan lembaga perbankan.

3. Kelompok Tani atau Koperasi

Kelompok tani atau gabungan kelompok tani merupakan kumpulan orang

yang terdiri dari petani-petani. Petani teh rakyat merupakan sumberdaya manusia

potensial yang belum teroptimalkan potensinya dikarenakan berbagai keterbatasan

akses dan lemahnya bargaining power. Luas area perkebunan teh rakyat yang

mencapai 46,25 persen dari total luas area kebun teh nasional merupakan salah

satu modal untuk meningkatkan produksi tanpa harus meningkatkan luas area.

Karena itu, peranan kelompok tani atau gapoktan sangatlah penting bagi petani di

Indonesia.

Dari beberapa kasus, petani yang tergabung ke dalam kelompok, telah

mampu mengangkat taraf hidupnya melalui perkebunan teh. Kelompok tani

umumnya juga lebih mudah dalam memperoleh binaan baik dari pemerintah

maupun dari pengusaha besar lain, sehingga produksi tehnya dapat ditingkatkan,

bahkan tidak jarang petani rakyat atas nama kelompok tani yang telah melengkapi

produk mereka dengan sertifikasi20.

4. Lembaga Pemasaran

Kegiatan pemasaran teh di Indonesia terbagi menjadi dua jalur, yaitu

kegiatan pemasaran yang melalui PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara atau

jual-beli secara langsung antara penjual dengan pembeli teh. PT Kantor

Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) merupakan lembaga yang khusus

memasarkan produk-produk perkebunan yang dihasilkan oleh PTPN dan PT RPN.

Komoditas yang diperjualbelikan disana salah satunya adalah teh. PT KPBN

sebagai sebuah lembaga pemasaran bagi PTPN menjadi acuan bagi produsen lain

dalam menetapkan standar kualitas produk dan harga teh nasional. Selain sebagai

lembaga pemasaran, PT KPBN juga menjalankan fungsinya dalam quality

control, pencarian informasi pasar, promosi, konsultasi, jasa pergudangan,                                                             20 Azzahra Dina. Indonesia Punya Kebun Teh Rakyat Bersertifikat; Ditargetkan Semua Punya. 31

Maret 2011. www.kabarindo.com/index.php?act=dnews&no=17386 [Diakses pada 12 April 2011].

Solihat Kodar. Meraih Sertifikat, Mendongkrak Citra. 20 Juli 2010. Pikiran Rakyat. http://www.pn8.co.id/pn8/index.php?option=com_content&task=view&id=320&Itemid=2 [Diakses pada 4 Mei 2011].

55  

pengapalan, customer service termasuk dalam bantuan penyelesaian klaim. Pada

PT KPBN ini, masing-masing komoditas dikelola oleh direktur pemasaran

komoditas.

5. Asosiasi-Asosiasi

Lembaga lain yang mendukung agribisnis teh di Indonesia diantaranya

adalah asosiasi dari berbagai komunitas teh. Beberapa asosisasi yang telah ada di

Indonesia diantaranya Asosiasi Teh Indonesia (ATI), Asosiasi Petani Teh

Indonesia (APTEHINDO), Koperasi Teh Indonesia, Indonesia Tea Lovers,

Jakarta Tea Buyers Association (JBTA) dan beberapa asosiasi lainnya. Diantara

semuanya, Asosiasi Teh Indonesia merupakan asosiasi teh terbesar di Indonesia,

asosiasi ini terdiri dari pengusaha-pengusaha teh di Indonesia dan beberapa

stakeholder lainnya. ATI juga merupakan asosiasi teh di Indonesia yang diakui

secara internasional. APTEHINDO merupakan asosiasi petani yang berfungsi

mengkoordinasikan kendala-kendala yang dirasakan petani di kebun dengan pihak

pemerintah ataupun pengusaha besar lainnya. Indonesia Tea Lovers merupakan

komunitas pecinta dan peduli teh nasional, komunitas ini juga melakukan kegiatan

promosi teh berupa festival dan bentuk kegiatan lainnya. Sedangkan JBTA

merupakan asosiasi yang mewadahi aspirasi pembeli teh di Jakarta Tea Auction.

Seluruh asosiasi teh di Indonesia merupakan peluang apabila dapat dikelola dan

dimanfaatkan dengan baik sesuai visi-misinya.

6. Pemerintah

Pemerintah membentuk Dewan Teh Indonesia yang dideklarasikan pada

tanggal 19 April 2007 dan dihadiri oleh perwakilan stakeholder teh nasional yang

terdiri dari Asosiasi Petani Teh Indonesia (APTEHINDO), Asosiasi Teh

Indonesia (ATI), Asosiasi Koperasi Teh Indonesia, OPS Teh Wangi, Perusahaan

Negara (BUMD-BUMN), perusahaan swasta, dan pemerintah sebagai regulator

dan fasilitator pembangunan agribisnis teh di Indonesia. Dewan Teh Indonesia

didirikan untuk mengkoordinasikan dan memadukan kepentingan para pelaku

usaha agribisnis teh Indonesia. Bertujuan untuk mempercepat peningkatan

dayasaing teh Indonesia.

56  

Salah satu bentuk program yang diperjuangkan oleh Dewan Teh Indonesia

adalah program Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN),

khususnya teh rakyat. Gerakan ini merupakan upaya percepatan peningkatan

kualitas, produktivitas, harga, supply chain dan tingkat pendapatan khususnya di

tingkat petani. Berikut ini adalah poin-poin inti dari program GPATN :

1. Perbaikan Perkebunan Teh rakyat yang terletak di lima provinsi, 21 Kabupaten,

dengan total luas area 57.837 ha yang terbagi menjadi :

a. Peremajaan kebun teh tua dan rusak seluas 14.000 ha;

b. Rehabilitasi kebun teh seluas 20.000 ha; dan

c. Intensifikasi kebun teh seluas 23.837 ha

2. Revitalisasi kelembagaan kelompok tani bagi 103.971 KK (2000 Kelompok

Tani)

3. Penguatan Lembaga Riset Teh

a. Pembangunan 2 unit laboratorium pengujian mutu teh,

b. Pembangunan 15 laboratoriun lapangan, dan

c. Pembangunan 15 stasiun meteorologi di sentra produksi teh rakyat.

4. Penyempurnaan SNI yang mengakomodasi standar-standar yang berlaku di

dunia

5. Pembangunan 15 pabrik teh hijau dan 5 pabrik teh hitam

6. Penguatan lembaga pemasaran (Bandung Tea Auction (BTA) dan Jakarta Tea

Auction (JTA)).

57  

VI DAYASAING AGRIBISNIS TEH INDONESIA

Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai kondisi sistem

agribisnis teh Indonesia. Pada bagian ini, penulis akan membahas mengenai

analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia berdasarkan informasi yang telah

dibahas pada bab sebelumnya serta pendalaman pada poin-poin yang termasuk

pada komponen penentu dayasaing Sistem Berlian Porter. Komponen-komponen

tersebut adalah komponen kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan

domestik, dukungan industri terkait dan industri pendukung teh serta kondisi

struktur, strategi dan persaingan yang dihadapi oleh agribisnis teh Indonesia.

Selain itu ditinjau pula sejauh apa peranan pemerintah dan kesempatan-

kesempatan yang ada dalam meningkatkan posisi dayasaing agribisnis teh

Indonesia.

6.1 Analisis Komponen Sistem Berlian Porter

6.1.1 Kondisi Faktor Sumberdaya

1) Sumberdaya Alam atau Fisik

Teh merupakan tanaman yang sangat responsif terhadap perubahan alam.

Kondisi alam yang berubah-ubah akan berpengaruh terhadap kualitas pucuk teh

yang dihasilkan. Karena itu, selalu dibutuhkan sebuah perlakuan khusus untuk

menjaga stabilitas mutu teh. Selain kestabilan kondisi alam, dibutuhkan pula

kemudahan dalam memperoleh input-input pertanian yang mendukung kegiatan

budidaya teh. Seluruh komponen sumberdaya yang dibutuhkan kemudian

dikalkulasikan sehingga dapat dilihat komponen-komponen biaya terkait selama

proses produksi. Komponen lain yang mempengaruhi dayasaing dari segi

sumberdaya alam adalah produktivitas.

a) Syarat, Kondisi dan Luas Lahan

Tanaman teh membutuhkan lingkungan dengan intensitas cahaya 70-80

persen, suhu udara sejuk sampai hangat (12-30°C), kelembaban relatif (RH) 60

persen serta curah hujan sebesar 60mm/bulan (maksimal turun hujan selama 2

bulan, dengan tidak ada bulan yang sama sekali tidak hujan). Elevasi atau

ketinggian tempat tidak menjadi pembatas bagi pertumbuhan tanaman teh,

58  

sepanjang iklim dan tanahnya sesuai bagi tanaman teh. Apabila kondisi di atas

dapat terpenuhi, maka tanaman teh akan dapat tumbuh dengan baik.

Kondisi perkebunan teh di Indonesia sangat beragam, letaknya tersebar

pada ketinggian 400-2.200 m di atas permukaan laut dan ditanam pada tanah jenis

andosol, regosol, latosol dan podsolik. Namun, berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh PPTK di beberapa perkebunan milik negara (PBN), swasta (PBS)

maupun rakyat (PR), diketahui bahwa kadar bahan organik yang terkandung

dalam tanah perkebunan teh di Indonesia umumnya sangatlah rendah yaitu

sebesar 1-2 persen saja.

Perkebunan teh di Indonesia tersebar pada range ketinggian yang cukup

luas, yaitu 400 – 2.200 m di atas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian

tersebut, wilayah perkebunan teh di Indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu :

a. Perkebunan daerah rendah (< 800 meter di atas permukaan laut),

b. Perkebunan daerah sedang (800-1200 meter di atas permukaan laut), dan

c. Perkebunan daerah tinggi (> 1200 meter di atas permukaan laut).

Perbedaan ketinggian kebun berpengaruh terhadap hasil petikan pucuk.

Umunya perkebunan teh di Indonesia terletak pada daerah dengan ketinggian

sedang, seperti Perkebunan Cisaruni, Dayeuh Manggung dan Goalpara.

Sedangkan sisanya tersebar pada wilayah dengan ketinggian rendah (seperti

Perkebunan Panglejar, Pasir Nangka dan Tambaksari) dan tinggi (seperti

Perkebunan Pasir Malang, Talun, dan Kertamanah). Besarnya range ketinggian

perkebunan teh di Indonesia, secara tidak langsung menunjukkan potensi untuk

mengembangkan luas area perkebunan teh di masa yang akan datang.

Tabel 15 menunjukan luas area perkebunan teh di beberapa provinsi di

Indonesia. Hingga tahun 2008, lokasi perkebunan teh di Indonesia tersebar ke

dalam 11 provinsi dimana sebagian besar perkebunan teh (80 persen ) terletak di

Pulau Jawa dan Sumatera. Berdasarkan luas area perkebunannya, sekitar 78,2

persen dari total luas area perkebunan nasional terletak di Jawa Barat. Sedangkan

sisanya tersebar di Jawa Tengah (7 persen), Sumatera Utara (4,5 persen),

Sumatera Barat (2,8 persen) serta Jambi (2 persen).

Selama kurun waktu lima tahun (2004-2008), area perkebunan teh

Indonesia rata-rata mengalami penurunan sebesar 2,25 persen. Penurunan luas

59  

area terbesar terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 4,5 persen. Adapun faktor yang

menyebabkan penurunan luas area tersebut salah satunya adalah maraknya

konversi perkebunan teh yang dilakukan petani maupun perusahaan besar menjadi

lahan untuk membudidayakan tanaman lain seperti sawit maupun tanaman

sayuran (bagi kebun yang terletak di kawasan dataran tinggi).

Tabel 15. Perkembangan Luas Area Perkebunan Teh Berdasarkan Provinsi Tahun 2004-2008

No. Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008 1 NAD - - 8.574 - -2 Sumatera Utara 9.160 8.779 205 8.897 5.7153 Sumatera Barat 5.240 4.202 2.697 4.817 4.9284 Jambi 2.625 2.625 2.625 2.625 2.6255 Sumatera Selatan 1.571 1.571 1.470 1.470 1.4706 Bangka Belitung 1 - - - -7 Bengkulu 2.834 2.834 1.417 1.118 1.1338 Lampung 81 47 - - -9 Jawa Barat 105.976 103.573 104.314 101.080 99.942

10 Banten - - 24 - -11 Jawa Tengah 11.055 11.068 10.366 9.239 9.19412 D.I.Y 310 300 192 136 8613 Jawa Timur 3.242 3.660 1.819 2.460 2.46514 Kalimantan Timur - - - 2 2515 Sulawesi Tengah 1.760 1.760 1.760 1.760 -16 Sulawesi Selatan 119 128 128 129 129

TOTAL (Ha) 143.965 140.538 135.591 133.733 127.712Pertumbuhan Per Tahun 0,25 -2,38 -3,26 -1,37 -4,50

Sumber : Dirjenbun (2010) (diolah)

b) Aksesibilitas Terhadap Input

Aksesibilitas produsen terhadap input mencerminkan tingkat kemudahan

dalam memperoleh input produksi yang dibutuhkan secara kontinu, tepat waktu,

tepat jumlah serta tepat jenis. Kemudahan yang dimaksud umumnya menyangkut

ketersediaan input di pasar, serta kondisi harga ideal yang dapat dijangkau oleh

produsen, serta distribusi input dari pemasok kepada produsen. Aksesibilitas

produsen teh terhadap input tersebut sangat mempengaruhi kinerja serta capaian

hasil bagi usahatani teh mereka.

i) Bibit

Tanaman teh dapat dikembangkan melalui biji maupun stek. Di Indonesia,

kebutuhan akan biji teh dapat diakses melalui kebun-kebun biji milik Pusat

60  

Penelitian Teh dan Kina, seperti Kebun Biji Gambung dan Kebun Biji Pasir

Sarongge di Jawa Barat. Selain kebun biji milik PPTK, terdapat pula kebun-kebun

biji milik PT Perkebunan Nusantara atau swasta yang dapat dijadikan sebagai

sumber penghasil biji, dengan syarat biji yang dihasilkan mengandung komposisi

klon serupa dengan komposisi yang dianjurkan oleh PPTK seperti yang telah

dijelaskan pada bab sebelumnya (Tabel 7). Sementara stek atau bibit teh dapat

diperoleh melalui petani atau produsen bibit.

Untuk memenuhi kebutuhan produsen akan klon teh unggul, Pusat

PenelitianTeh dan Kina (PPTK) di Bandung, Jawa Barat merupakan satu-satunya

lembaga riset sekaligus penyedia klon unggul dengan tingkat produktivitas dan

ketahanan terhadap hama penyakit yang selalu diperbarui setiap waktunya.

Hingga saat ini, penggunaan klon lebih diminati dibandingkan dengan

penggunaan biji, karena tanaman yang dihasilkan dengan klon lebih seragam,

waktu produksi lebih cepat, serta produksi pucuk teh lebih banyak. Klon-klon

unggul yang dilepas oleh PPTK tersebut juga sudah memperoleh dukungan

pengujian dan pengawasan mutu benih tanaman perkebunan oleh Balai Besar

Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP).

ii) Pupuk dan Obat-Obatan

Akses produsen, khususnya petani teh rakyat terhadap pupuk dan obat-

obatan seringkali terhambat oleh ketersediaan dan harga yang diluar kemampuan

daya beli petani. Karena itu, dalam beberapa kasus perkebunan rakyat, petani

seringkali mengabaikan pentingnya penggunaan pupuk ataupun obat-obatan bagi

perkebunan mereka. Kurangnya perhatian petani teh rakyat terhadap penggunaan

pupuk maupun obat-obatan seringkali dikarenakan rendahnya pendapatan yang

mereka peroleh dari usahatani teh, sehingga perawatan kebun (termasuk

penggunaan pupuk dan obat-obatan) sering terabaikan. Petani seringkali lebih

memilih membiarkan kebun mereka tanpa dipupuk atau memberikan pupuk hanya

sebatas batas standar pemberian pupuk bagi tanaman teh yaitu 1-2 kali dalam

setahun. Kebijakan pemerintah mengenai subsidi pupuk sebagai salah satu solusi

bagi permasalahan pupuk yang dihadapi oleh petani di Indonesia sayangnya tidak

mengena pada petani teh rakyat. Subsidi pupuk yang ada lebih diutamakan bagi

petani yang mengusahakan tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai.

61  

Di sisi lain, meskipun akses yang dimiliki perkebunan besar negara dan

swasta dapat dikatakan lebih mudah dalam hal memperoleh pupuk dan obat-

obatan, permasalahan tingginya harga pupuk juga menjadi isu utama bagi

perkebunan-perkebunan besar tersebut. Pupuk dan obat-obatan merupakan aspek

penting dalam kegiatan usahatani teh. Karena merupakan salah satu komponen

input penting dalam struktur biaya produksi pada subsektor perkebunan, dengan

pangsa berkisar antara 10-40 persen dari total biaya21.

c) Biaya-Biaya Terkait

Biaya adalah nilai dari semua pengorbanan ekonomis yang diperlukan,

dapat diperkirakan, serta dapat diukur untuk menghasilkan suatu produk

(Nazaruddin & Paimin 1993). Perhitungan biaya untuk usahatani teh memang

lebih rumit, karena sampai tanaman teh dapat menghasilkan, dibutuhkan waktu

beberapa tahun untuk melakukan perawatan bagi tanaman. Berdasarkan tahap

perkembangannya, pembiayaan usahatani teh terbagi menjadi pembiayaan di

masa pembibitan, penanaman (bukaan baru/peremajaan), pemeliharaan, serta

biaya pemetikan. Pada setiap tahapan, biaya dikelompokan menjadi biaya modal

kerja (biaya alat dan bahan), biaya tenaga kerja, serta biaya lain-lain (misalnya

pajak).

Umumnya biaya tanaman yang berasal dari biji lebih besar dibandingkan

dengan biaya tanaman yang berasal dari stek daun. Hal tersebut dikarenakan

waktu yang dibutuhkan untuk pemeliharaan tanaman asal biji lebih lama

dibandingkan dengan tanaman asal stek (tanaman asal biji 5 tahun, tanaman asal

stek daun 3 tahun).

Unsur biaya yang dikeluarkan dalam pemeliharaan kebun teh pun berbeda-

beda tergantung kepada tipe perkebunannya. Umumnya perkebunan besar milik

negara dan swasta akan memiliki komponen biaya yang lebih kompleks

dibandingkan dengan komponen biaya petani teh di perkebunan rakyat.

Perusahaan besar mengeluarkan biaya lebih untuk membayar jasa manajemen

perkebunan, gaji dan tunjangan karyawan, biaya perawatan kebun, pemeliharaan

                                                            21 Susila Wayan R, Bambang Dradjat. 2005. Kebijakan Subsidi Pupuk pada Subsektor

Perkebunan Dampak dan Pengelolaan dalam http://www.ipard.com/art_perkebun/ 090808a_wr.asp [Diakses pada tanggal 8 Februari 2011]

62  

gedung dan biaya lainya. Sedangkan pada perkebunan rakyat jenis biaya yang

dikeluarkan umumnya hanya sebatas biaya pemeliharaan kebun dan tenaga kerja.

Tingginya biaya operasional yang dirasakan petani berpengaruh nyata

terhadap cara pengelolaan kebun, terutama penggunaan biaya langsung seperti

pupuk dan pestisida. Biaya operasional yang tinggi ditambah dengan rendahnya

harga pucuk ditingkat petani menyebabkan rendahnya pendapatan usahatani

petani teh (Rosyadi & Wahyu 2007). Keluhan terhadap tingginya biaya

operasional juga dirasakan oleh beberapa perkebunan besar negara. Dalam

beberapa tahun terakhir, beberapa kebun milik PT Perkebunan Nusantara

mengalami kerugian dikarenakan biaya operasional yang semakin membengkak.

Tingginya biaya tersebut dirasakan dalam kegiatan pengelolaan kebun (biaya

pupuk dan obat-obatan) maupun kegiatan pengolahan teh curah di pabrik (biaya

sumber energi/BBM).

Penekanan biaya produksi dapat dilakukan dengan mencari alternatif bagi

penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi serta alternatif sumber energi selain

BBM. Pusat Penelitian Teh dan Kina telah mengembangkan berbagai teknologi

yang dapat digunakan oleh produsen untuk menekan biaya produksinya sekaligus

memberikan efek samping yang baik bagi lingkungan. Penjelasan mengenai

teknologi tersebut akan dijelaskan pada sub bab Sumberdaya Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi.

d) Produktivitas Lahan

Produktivitas lahan di tingkat petani atau produsen berarti menujukkan

tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya yang dimiliki dalam menghasilkan

sejumlah produk, dalam hal ini adalah pucuk teh. Produktivitas berkaitan dengan

luas area tanam dan volume produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi produktivitas perkebunan teh diantaranya populasi tanaman teh

dan teknologi yang diterapkan (Rosyadi & Wahyu 2007). Pemanfaatan teknologi

oleh petani sangat dipengaruhi oleh harga jual pucuk yang nantinya

mempengaruhi pendapatan. Wardiyatmo dan Subarna (1999) diacu dalam

Rosyadi dan Wahyu (2007) menyatakan bahwa rendahnya harga pucuk

menyebabkan pendapatan petani rendah yang pada akhirnya berdampak terhadap

minat petani dalam mengelola kebunnya atau menerapkan paket teknologi yang

63  

tepat. Karena itu, secara tidak langsung harga jual pucuk di tingkat petani teh akan

mempengaruhi produktivitas kebun teh petani tersebut.

* Angka sementara ** Estimasi

Gambar 9. Produktivitas Areal Tanam Teh Berdasarkan Provinsi Tahun 2008 Sumber : Teh dalam Angka 2010 (diolah)

Gambar 9 menunjukkan tingkat produktivitas perkebunan teh di Indonesia

berdasarkan provinsi. Jawa Barat sebagai penghasil teh terbesar di Indonesia

dengan jumlah produksi mencapai 113.882 ton (tahun 2008) memiliki tingkat

produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan provinsi Sumatera Utara

dan Daerah Istimewa Yoyakarta (2.355 kg/ha dan 2.244 kg/ha). Rendahnya

produktivitas perkebunan teh di Jawa Barat diduga karena sebagian besar

perkebunan teh di Jawa Barat merupakan perkebunan teh rakyat. Pada umumnya

penggunaan teknologi tepat guna pada perkebunan teh rakyat belum dilakukan

secara optimal22.

Sementara secara umum, tingkat produktivitas lahan teh Nasional pada

tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan adanya

fluktuasi produktivitas rata-rata dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, Indonesia

mencapai tingkat produktivitas rata-rata tertinggi hingga mencapai 1.500 kg/ha

lebih. Sementara pada tahun 2006, produktivitas rata-rata lahan teh di Indonesia

berada di tingkat terendah dengan nilai produktivitas sebesar 1.322 kg/ha. Tingkat

produktivitas tersebut kemudian meningkat selama dua tahun hingga tahun 2008,

dan pada tahun 2009-2010 produktivitas rata-rata lahan teh cenderung stabil.

                                                            22 Direktorat Jenderal Perkebunan 2006 dalam Road Map Teh 2006.

64  

* Angka sementara ** Estimasi

Gambar 10. Perkembangan Produktivitas Rata-Rata Areal Perkebunan Teh di Indonesia Tahun 2000-2010 Sumber : Teh Indonesia dalam Angka 2010

2) Sumberdaya Manusia

Usaha perkebunan teh merupakan usaha padat karya. Keberadaan

perkebunan teh umumnya menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat di sekitarnya.

Kemampuan usaha ini dalam menyerap tenaga kerja merupakan salah satu alasan

pemerintah menetapkan teh sebagai salah satu Komoditas Unggulan Nasional23.

Usaha perkebunan teh merupakan usaha yang sangat intensif dalam menyerap

tenaga kerja. Rasio penyerapan tenaga kerja di perkebunan teh mencapai 2-3

orang per hektar, sedangkan usaha pada komoditas perkebunan lainnya hanya

mampu menyerap tenaga kerja kurang dari satu orang per hektar24. Dengan

mempertimbangkan jumlah HOK dan luas area perkebunan teh di Indonesia,

maka dapat dibayangkan begitu banyak sumberdaya manusia yang terlibat dalam

usaha perkebunan teh. Kebutuhan akan tenaga kerja ini, didukung oleh jumlah

populasi penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta lebih.

Pengalaman dan pengetahuan penduduk Indonesia yang telah ratusan

tahun mengenal teh, serta jumlah penduduk yang mencapai 200 juta lebih

merupakan modal tenaga kerja bagi kegiatan perkebunan teh Indonesia. Namun

untuk mendukung suatu keunggulan kompetitif, suatu faktor harus sangat

                                                            23 Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun 2010-2014 24 Sebagai contoh perkebunan kelapa sawit yang hanya mampu menyerap tenaga sebesar 0,5

orang per hektar (Dikutip dari Santoso dan Suprihatini (2007))

65  

terspesialisasi pada kebutuhan tertentu dari suatu industri, salah satunya adalah

ketersediaan sumberdaya manusianya yang dibutuhkan (Cho & Moon 2003).

Selain didukung dengan jumlah tenaga kerja dan dasar pengetahuan tentang teh,

kegiatan agribisnis teh Indonesia juga didukung oleh keberadaan para tenaga ahli

dari hulu hingga hilir yang tersebar di berbagai lembaga penelitian milik

pemerintah maupun swasta. Selain itu, peran penting lainnya berada di tangan

produsen teh, baik petani rakyat, perusahan negara dan perusahaan swasta. Dalam

hal ini, petani rakyat merupakan sumberdaya manusia potensial namun belum

terlatih secara profesional dalam mengelola usahatani tehnya. Potensi PR sangat

besar, mengingat kepemilikan area tanam teh rakyat merupakan 46,25 persen dari

total luas perkebunan teh di Indonesia. Namun produktivitas PR merupakan yang

terendah diantara kedua tipe perkebunan lainnya. Karena itu, perlu banyak

dukungan dari semua pihak untuk menggali potensi petani rakyat yang masih

belum optimal. Pihak-pihak yang secara langsung berinteraksi dengan petani

diantaranya adalah penyuluh lapang, perusahaan mitra, pemerintah serta pihak

lainnya.

Namun, akhir-akhir ini penggunaan sistem padat karya dalam usaha

perkebunan teh di Indonesia mendapat beberapa pandangan dan kajian dari para

peneliti. Tarigan (2003) menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja dalam

jumlah besar pada usaha perkebunan teh sudah kurang relevan lagi untuk

diterapkan. Perubahan kondisi lingkungan membuat perusahaan harus menata

kembali indeks kebutuhan tenaga kerjanya sesuai dengan tantangan ke depan.

Perusahaan dapat melakukan kajian mengenai kemungkinan pengurangan tenaga

kerja sebagai solusi bagi penggunaan tenaga kerja berlebih25.

Sumberdaya manusia pada subsistem hilir agribisnis teh Indonesia juga

didukung oleh sumberdaya manusia ahli yang terlibat dalam proses pengolahan

hingga pemasaran. Dalam proses pabrikasi, subsistem hilir teh disokong oleh

tenaga ahli mesin, quality control, professional tea taster, dan tenaga ahli lainnya.

Di subsistem pemasaran, agribisnis teh Indonesia didukung oleh sumberdaya

manusia yang professional dalam marketing, pencarian info pasar (market

                                                            25 Tarigan (2003) menyebutkan bahwa kebijakan pengurangan tenaga kerja dapat dilakukan

dengan cara yang tepat dan dengan memberikan insentif yang layak yang dikenal dengan istilah Golden Shake Hand (GSH)

66  

intelligent), trader (agen) dan pembeli internasional yang berpengalaman dan

menuntut produsen untuk terus meningkatkan kualitasnya, serta beberapa tenaga

ahli lainnya.

3) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi sangat menentukan

kemajuan suatu industri. Dalam mendukung kemajuan sumberdaya IPTEK,

komoditas teh di Indonesia didukung oleh keberadaan lembaga riset dan

pengembangan Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK). PPTK yang secara terus-

menerus melakukan riset untuk menemukan teknologi yang tepat dan sesuai bagi

kondisi teh di Indonesia saat ini dan perkembangannya di masa yang akan datang.

Santoso dan Suprihatini (2007b) menyebutkan beberapa teknologi yang

telah dihasilkan oleh PPTK untuk meningkatkan peranan komoditas teh

Indonesia. Berikut ini adalah beberapa jenis teknologi tersebut :

a) Teknologi percepatan peremajaan kebun-kebun tua

Kondisi perkebunan teh di Indonesia sebagian besar merupakan

perkebunan teh tua dengan tanaman asal seedling yang sudah tidak ekonomis

lagi untuk dipertahankan (65 persen). Perkebunan tersebut umumnya memiliki

tingkat produktivitas rendah dengan kualitas mutu yang tidak stabil. Untuk itu,

perlu segera dilakukan peremajaan terhadap kebun-kebun tua tersebut. PPTK

mengeluarkan klon-klon unggul dimana beberapa diantaranya mampu

mencapai tingkat produksi hingga 5.000 kg/ha/tahun. Penjelasan mengenai

klon-klon unggulan yang telah dihasilkan oleh PPTK telah dapat dilihat

kembali pada bab sebelumnya.

b) Teknologi untuk menekan biaya produksi teh

Upaya untuk menekan biaya produksi dapat dilakukan dengan mengganti

atau mencari alternatif bagi komponen-komponen biaya tertentu, khususnya

yang menyebabkan biaya produksi membengkak. Pertama, upaya penekanan

biaya produksi dapat dilakukan dengan mengganti sumber energi dari BBM

menjadi sumber energi lain yang lebih ekonomis. PPTK telah memiliki data

base dan kelayakan finansial dari jenis-jenis kayu Nitrogen Fixing Tree dan

Fast Growing Speciest sebagai sumber kayu bakar untuk memenuhi

kebutuhan sumber energi termal pada proses pengolahan teh. Kedua, untuk

67  

menekan biaya obat-obatan dan hama penyakit dapat digunakan pembasmi

hama alami yang telah diteliti kelayakannya. Selain itu, PPTK juga

menciptakan teknologi mekanisasi untuk menekan biaya pemetikan dan

pemangkasan, serta teknologi pembenam pupuk yang mampu meningkatkan

efektivitas pupuk hingga 40 persen.

c) Teknologi untuk percepatan implementasi sustainable tea.

Teknologi peningkatan keanekaragaman hayati, peningkatan kesuburan

tanah khususnya peningkatan kadar organik tanah serta teknologi peningkatan

nilai produk untuk meningkatkan nilai tambah yang merupakan teknologi

tepat guna untuk mempercepat implementasi sustainable tea saat ini

seluruhnya telah tersedia di PPTK.

d) Teknologi untuk percepatan implementasi sistem mutu teh

Peryaratan mutu keamanan pangan khususnya HACCP (Hazard Analysis

Critical Control Points) telah berlaku sejak 1 Januari 2006 di pasar Eropa dan

sekaligus telah menurunkan pangsa pasar Indonesia di Eropa dari 33,4 persen

dan 29,4 persen. Namun, implementasi sistem mutu teh seperti HACCP di

Indonesia umumnya membutuhkan kemampuan finansial yang tinggi dari

produsennya. Karena itu, PPTK bekerjasama dengan Ditjen P2HP

(Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian) Kementrian Pertanian RI dan

lembaga sertifikasi menyediakan program bantuan untuk pelatihan, konsultasi,

teknologi untuk mengurangi biaya, sertifikasi dan jasa analisis laboratorium

untuk mempercepat implementasi HACCP.

e) Teknologi untuk peningkatan nilai tambah teh

PPTK juga telah menyediakan berbagai produk turunan teh yang secara

ekonomis memiliki nilai lebih tinggi dan memiliki harga yang lebih stabil.

Saat ini, teknologi proses pembuatan produk hilir teh seperti white tea, oolong

tea, instant tea, teh tablet effervescent, teh hijau, teh hijau berkatekin tinggi,

ekstrak membrane (skala laboratorium), produk kosmetik berbasis teh dan

produk fitofarmaka berbasis teh telah tersedia di PPTK.

Selain bersumber dari lembaga penelitian seperti PPTK, ketersediaan

sumber-sumber pengetahuan dan teknologi juga ditunjang oleh lembaga lain

seperti perguruan tinggi, lembaga riset swasta, lembaga teh internasional

68  

(International Tea Committee), literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan

penelitian, asosiasi-asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia serta sumber

pengetahuan dan teknologi lainnya.

4) Sumber Modal

Dibandingkan dengan subsektor lain dalam sektor pertanian, subsektor

perkebunan cukup mampu menarik investor ataupun pihak bank untuk

menanamkan modal maupun membiayai subsektor ini dikarenakan prospek pasar

yang menjanjikan. Bagi perkebunan besar negara maupun swasta, modal yang

diperoleh melalui lembaga keuangan seperti perbankan akan lebih mudah diakses

apabila dibandingkan dengan perkebunan rakyat, karena umumnya petani tidak

memiliki jaminan seperti yang diminta oleh pihak bank.

Terkait dengan permasalahan modal di tingkat petani teh, secara khusus

pemerintah belum menyediakan subsidi berupa bantuan modal untuk petani teh

rakyat. Program subsidi bunga/kredit bagi tanaman perkebunan hanya tersedia

bagi komoditas kelapa sawit, karet dan kakao melalui kredit KPEN-RP. Karena

itu, diperlukan pengadaan skim kredit khusus dengan subsidi bunga untuk

peremajaan kebun-kebun teh tua, dan pengembangan agroindustri serta

perdagangan teh khususnya pengadaan skim sangatlah strategis untuk

meningkatkan gairah para stakeholder teh dalam berusaha (Santoso dan

Suprihatini 2007b).

Saat ini, terdapat program kredit umum yang menyediakan skim kredit

dengan fasilitas penjaminan. KUR atau Kredit Usaha Rakyat, merupakan fasilitas

pemerintah yang diberikan kepada debitur Usaha Mikro Kecil, Menengah dan

Koperasi (UMKM-K) termasuk sektor pertanian. Program KUR ini dapat

ditujukan untuk semua komoditas termasuk teh, dengan besar bunga yang dibayar

petani/debitur maksimal sebesar 14-22 persen, dan jangka waktu kredit maksimal

3 sampai 5 tahun (Kementrian Pertanian RI 2010). Selain dengan melakukan

pengajuan kredit, keterbatasan modal yang telah menjadi ciri-ciri umum dari

petani teh rakyat di Indonesia dapat diatasi salah satunya dengan melakukan

kerjasama dalam bentuk kemitraan dengan pihak perkebunan negara maupun

swasta. Pola kemitraan akan membentuk suatu simbiosis mutualisme antara petani

dengan perkebunan besar, salah satunya mengurangi risiko petani akibat

69  

keterbatasan modal. Bentuk-bentuk kemitraan yang tejadi di Indonesia beberapa

telah dijelaskan pada sub bab subsistem usahatani teh pada bab sebelumnya.

5) Sumberdaya Infrastruktur

Secara umum, kondisi infrastruktur berupa jalan, jembatan, airport, pasar,

tanah perkebunan, pabrik-pabrik pengolahan, dan sebagainya berbeda-beda di

setiap lokasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh dukungan dari pemerintah daerah

setempat dalam peningkatan infrastruktur wilayahnya. Terkait dengan

pengembangan usaha agribisnis komoditas teh, Santoso dan Suprihatini (2007a)

menyatakan bahwa untuk mendukung kegiatan agribisnis teh di Indonesia,

pemerintah perlu melakukan beberapa instrumen kebijakan. Salah satunya adalah

dengan melakukan peningkatan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan,

airport, ketersediaan listrik, air, jaringan komunikasi dan jaringan kereta api.

Lebih lanjut Santoso dan Suprhatini (2007b) mengatakan bahwa

peningkatan infrastruktur yang menunjang kegiatan agribisnis teh ini perlu

didukung dengan upaya penguatan lembaga penelitian teh khususnya pada aspek

pendanaan dan fasilitas penelitian. Hal tersebut menjadi penting mengingat

teknologi sangat berperan dalam meningkatkan dayasaing komoditas teh

Indonesia. Sementara kondisi perkebunan teh di Indonesia sendiri saat ini terdiri

dari perkebunan tua dengan kadar organik dalam tanah yang rendah, sehingga

perlu segera dilakukan peremajaan. Sedangkan di subsistem pengolahan, tidak

sedikit pabrik pengolah yang masih menggunakan mesin-mesin tua yang sudah

perlu di upgrade karena penggunaannya sudah tidak efisien lagi26.

6.1.2 Kondisi Permintaan Domestik

1) Komposisi Permintaan Domestik

Komoditas teh di Indonesia sebagian besar (70 persen) ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan pasar luar negeri, lalu sisanya ditujukan untuk pasar

domestik. Jenis teh yang di pasarkan di dalam negeri terdiri dari teh hitam curah,

teh hijau curah, teh hitam kemasan, teh hijau kemasan, instant tea, tea bag, teh

wangi, dan beberapa jenis produk teh lainnya. Berdasarkan mutunya, teh yang

                                                            26 Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Bapak Sultoni Arifin [23

Maret 2011]

70  

ditujukan untuk pasar domestik umumnya masih merupakan teh dengan mutu

yang rendah atau second grade (PF II, DUST II, BT II, BP II, DUST III dan

FANN II) dan off grade (BM dan PLUFF), sedangkan teh dengan mutu terbaik

lebih ditujukan bagi pasar ekspor (BOP I SP, BOP I, BOP, BOP F, PF, DUST, BT

dan BP).

Dalam penelitiannya di Pulau Jawa, Surjadi (2003) mencatat komposisi

teh domestik berdasarkan tingkatan mutunya seperti yang diperlihatkan pada

Tabel 16. Tabel 16 memberi gambaran jenis produk teh yang beredar di

Tasikmalaya, Jawa Barat (perwakilan pasar di daerah produsen teh) dan daerah

Surabaya, Jawa Timur (perwakilan pasar di daerah produsen). Produk teh yang

beredar di lokasi perwakilan terdiri dari 14 merk, dimana sebelas merk merupakan

produk kemasan curah, dan tiga lainnya merupakan produk kemasan teh celup

(Surjadi 2003).

Tabel 16. Komposisi Teh yang Beredar Berdasarkan Mutu Teh dan Pangsa Pasarnya di Jawa Barat dan Jawa Timur.

No Kategori Mutu Pangsa Pasar (%) Jumlah Merk (Buah) 1 Sangat Tinggi 0 0 2 Tinggi 7 2 3 Sedang 65 7 4 Rendah 18 4 5 Sangat Rendah 10 1 Sumber : Surjadi (2003)

Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen keluarga

mengkonsumsi produk-produk teh yang tergolong kategori mutu sedang (65

persen), disusul oleh konsumsi produk teh dengan mutu rendah (18 persen) dan

produk teh dengan mutu sangat rendah sebesar 10 persen. Tabel 16 juga

menunjukkan bahwa pada konsumen contoh, terdapat kecenderungan peningkatan

pangsa pasar dimulai dari teh dengan mutu sangat rendah hingga mutu sedang.

Setelah itu, dari mutu sedang menuju mutu sangat tinggi justru terjadi penurunan

pangsa pasar (Surjadi 2003).

71  

2) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan

Teh telah masuk ke Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Meskipun

budaya minum teh di Indonesia tidak seperti budaya minum teh di Cina, Jepang

ataupun Inggris, namun teh telah menjadi salah satu minuman pilihan bagi

masyarakat Indonesia. Adam (2006) mengungkapkan bahwa kedudukan teh

sebagai bahan minuman telah menjadi salah satu pilihan utama keluarga baik di

rumah, di luar rumah, maupun sebagai hidangan bagi tamu yang berkunjung. Di

beberapa provinsi di Indonesia, menyajikan teh untuk tamu maupun sebagai

teman hidangan makanan ringan merupakan hal yang biasa. Salah satunya tampak

pada pola masyarakat Jawa Barat yang terbiasa menyajikan teh secara cuma-cuma

di rumah makan sunda ataupun warung-warung tenda kaki lima.

Namun, sejarah kedekatan bangsa Indonesia dengan teh selama 325 tahun,

ternyata tidak serta-merta menjadikan tingkat konsumsi teh per kapita per tahun

dalam negeri tinggi. Konsumsi teh masyarakat Indonesia tergolong masih rendah

apabila dibandingkan dengan konsumsi per kapita negara-negara produsen teh

lainnya. Bahkan sejak tahun 2001 hingga 2008 terjadi kecenderungan penurunan

konsumsi teh per kapita di Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 17.

Tabel 17. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Indonesia (dalam Interval Tiga Tahun)

Tahun Konsumsi Teh Total (000 Ton)

Konsumsi Teh per Kapita (Gram/Kapita/3 Tahun)

2001-2003 67.000 320 2002-2004 63.670 300 2003-2005 65.650 300 2004-2006 56.980 260 2005-2007 59.650 270 2006-2008 54.330 240

Sumber :ITC (2009)

Apabila dibandingkan dengan negara-negara produsen lainnya, konsumsi

teh Indonesia sangatlah rendah. Konsumsi teh rata-rata masyarakat Indonesia

selama tiga tahun hanya sekitar 240 gram/kapita. Cina, sebagai negara penghasil

teh terbesar di dunia pada tahun 2008 (total produksi 1.200.000 ton, total share

31,5 persen) tingkat konsumsi teh penduduknya mencapai 610 gram/kapita.

Kemudian India, negara terbesar kedua penghasil teh di dunia (total produksi

72  

981.000 ton, total share 25,8 persen) tingkat konsumsi teh penduduknya

mencapai 690 gram/kapita. Sedangkan Sri Langka, Kenya dan Vietnam, negara-

negara kompetitor terdekat Indonesia, tingkat konsumsi teh masing-masing negara

tersebut adalah 1.390 gram/kapita, 460 gram/kapita dan 451,5 gram/kapita.

Indonesia bahkan sangat jauh berada di bawah tingkat konsumsi rata-rata

penduduk Inggris (2.110 gram/kapita), Irlandia (2.170 gram/kapita) dan Kuwait

(2.210 gram/kapita), negara-negara konsumen teh terbesar dunia.

Tabel 18. Biaya Iklan yang Dikeluarkan oleh Beberapa Produsen Teh Periode Januari - Oktober 2006 ( dalam 000 Rp )

No Merek Televisi Koran Majalah Total Biaya1 Teh celup Sosro 28.162.550 0 5.435.465 33.598.015 2 Teh celup Sariwangi 24.122.400 1.639.710 429.340 26.191.450 3 Teh celup Walini 394.320 179.200 0 573.520 4 Teh celup Sedap Wangi 5 Teh Sisri spesial – Instant tea 4.255.800 0 0 4.255.800 6 Teh Sariwangi- instant tea 2.619.000 0 0 2.619.000 7 Teh 919 (non Theasinensis) 0 953.880 0 953.880 8 Murbei Tea 0 552.838 9.000 561.838 9 Cap Botol- Teh seduh 329.000 0 0 329.000 10 Herbalax – Tea ( non Thea

sinensis ) 0 21.500 244.400 265.900

11 Teh Sariwangi Hijau- Teh celup

0 0 208.625 208.625

12 Teh Aenkabe 0 149.400 0 149.400 13 Glucoscare-Tea 0 77.830 0 77.830 14 Teh Rosella- Teh celup 0 600 50.000 50.600 15 2 Tang teh hijau- Teh celup 0 20.370 0 20.370 16 Cap Bandulan- Tea 0 19.440 0 19.440 17 Teh Chapo 0 11.250 0 11.250 18 Tokin Tea 0 10.880 0 10.880 19 Ou –Tea 0 6.550 0 6.550 20 Kajoe Aro- Tea 0 5.280 0 5.280 21 Kalimosodo Jamur Dipo –

Tea 0 4.600 0 4.600

22 Hijau daun –Tea 0 1900 0 1.900 23 Sepeda Balap –Tea 0 1.700 0 1.700 24 Agaric –Tea 0 0 1.250 1.250 25 Teh Yacon 0 200 0 200 TOTAL 66.130.470 3.757.568 6.458.080 96.346.118

Sumber : Nielsen Adquest Millenium (2006) dalam Doerjat (2007)

Rendahnya tingkat konsumsi teh di Indonesia diduga disebabkan oleh

beberapa faktor. Pertama, kurangnya upaya promosi dan penyampaian informasi

73  

yang dilakukan oleh pihak produsen teh dan pemerintah kepada masyarakat.

Upaya produsen teh dalam melakukan promosi dapat dilihat dari biaya iklan yang

dikeluarkan perusahaan tersebut. Umumnya, produsen teh swasta lebih berani

mengeluarkan biaya tinggi dalam mempromosikan produk mereka (Tabel 18). Hal

tersebut mengakibatkan pengetahuan konsumen terhadap produk yang mereka

tawarkan lebih besar dibandingkan dengan produk-produk yang ditawarkan

perusahaan pengolah teh milik negara (PTPN). Padahal, saat ini persepsi

konsumen terhadap teh telah meningkat menjadi pemahaman bahwa teh baik bagi

kesehatan dan kecantikan, bukan lagi hanya sekedar pelepas dahaga (Adam 2006).

Penyebab lain yang mempengaruhi rendahnya konsumsi teh dalam negeri

adalah gencarnya promosi yang dilakukan oleh produsen dari minuman lain yang

sejenis (kopi, susu, dll)27. Hal tersebut berimbas pada rendahnya pengeluaran

rumah tangga yang dialokasikan untuk teh. Dalam penelitiannya terhadap

konsumen rumah tangga di Jawa Barat, Adam (2006) menjelaskan bahwa jumlah

konsumsi teh oleh konsumen rumah tangga sehari rata-rata 3 – 4 kali dan

menghabiskan teh dalam sebulan rata-rata 50-200 gram dengan jumlah anggota

keluarga rata-rata lima sampai enam orang, serta rata-rata pengeluaran per bulan

untuk teh sebesar Rp 5.000 – Rp 10.000. Sementara pengeluran rumah tangga

untuk minuman non teh besarnya di atas Rp 40.000. Hal tersebut menunjukkan

bahwa konsumen rumah tangga dianggap lebih mengenal dan lebih suka

mengalokasikan pengeluarannya untuk mengkonsumsi minuman lain

dibandingkan untuk mengkonsumsi teh.

Menghadapi persaingan dalam industri global yang semakin terbuka,

ditambah lagi kondisi pertehan dunia yang saat ini mengalami over supply,

pemerintah Indonesia bersama seluruh pengusaha dan stakeholder yang terlibat

perlu mempertimbangkan untuk mulai memperhatikan potensi konsumsi domestik

yang belum tergali. Selanjutnya diperlukan upaya-upaya nyata dan tepat sasaran

untuk meningkatkan jumlah konsumsi tersebut. Dukungan dari pemerintah akan

mendorong produsen teh dalam negeri untuk semakin berinovasi, sehingga kelak

akan tercipta atmosfer persaingan domestik yang dinamis dan berdayasaing.

                                                            27 Hasil wawancara dengan Bapak Boyke S. Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa

Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011].

74  

3) Internasionalisasi

Seperti yang telah diketahui, sebagian besar teh yang diproduksi Indonesia

diekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Kontribusi Indoensia

sebagai eksportir teh telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun

1835, Indonesia mengekspor teh untuk pertama kali. Indonesia mengirimkan

sebanyak 200 peti teh untuk diikutsertakan pada pelelangan teh di Amsterdam.

Hingga saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang turut berkontribusi

dalam perdagangan teh internasional. Sejarah Indonesia yang cukup panjang

dalam perdagangan teh dunia menunjukkan bahwa bangsa kita memiliki

komitmen yang cukup serius sebagai salah satu produsen yang menjaga kualitas

produknya, dalam hal ini adalah teh. Hal tersebut juga menunjukkan adanya

kepercayaan dan apresiasi yang diberikan oleh konsumen teh internasional

terhadap produk teh Indonesia hingga saat ini.

Konsumen luar negeri baik secara langsung maupun tidak langsung telah

melakukan promosi dan pengenalan produk teh Indonesia kepada masyarakat

internasional. Teh Indonesia umumnya dicari dan digunakan sebagai bahan baku

dari teh campuran (blending tea) yang mereka produksi. Hal tersebut

menunjukkan bahwa ada nilai-nilai khas dan budaya Indonesia yang telah

menyatu ke dalam produk mereka dan disukai. Adanya kecocokan nilai dari teh

Indonesia tersebut juga tercermin dalam loyalitas atau disepakatinya kesepakatan

dagang yang terus-menerus antara produsen teh di Indonesia dengan konsumen

luar negeri.

Cina, sebuah negara besar yang menguasai hampir 80 persen pasar teh

hijau dunia mengembangkan image teh hijaunya sebagai minuman kesehatan dan

kecantikan. Rasa khas yang dimunculkan teh hijau adalah rasa yang ringan namun

lebih pahit karena didominasi oleh rasa daun teh segar yang diolah tanpa melalui

proses fermentasi. Image ini kemudian ditularkan dan tersebar ke negara-negara

lain yang pada akhirnya memproduksi teh hijau, termasuk Indonesia. Namun,

kondisi yang dialami Indonesia berbeda dengan China. Produk teh Indonesia yang

didominasi teh hitam, oleh sebagian negara telah dikenal sebagai teh hitam yang

memiliki rasa kuat dengan tingkat kepekatan warna yang tinggi. Teh hitam ini

75  

adalah teh hitam leaf dengan grade BOP yang umumnya disukai oleh negara-

negara di bagian Timur Tengah.

Gambar 11. Volume Impor Teh Negara Timur Tengah dari Indonesia Tahun 2006-2010 Sumber : BPS (2011)

Selain itu, penyampaian nilai-nilai lokal kepada masyarakat internasional

juga terjadi melalui pemasangan iklan atau berbagai bentuk informasi yang

disampaikan melalui media internasional. Pesan-pesan yang disampaikan berisi

keterangan mengenai produk-produk teh yang dihasilkan baik jenis, kualitas,

pilihan grade, serta image yang ingin diperoleh produsen. Selain itu, partisipasi

Indonesia dalam berbagai organisasi teh internasional seperti Ethical Tea

Partnership (ETP)28 juga menunjukkan eksistensi negara kita sebagai produsen

teh yang peduli terhadap kualitas serta keberlangsungan masyarakat teh dunia.

6.1.3 Industri Terkait dan Pendukung

Dayasaing agribisnis teh Indonesia akan terwujud apabila industri yang

berada di sekitarnya merupakan industri yang memiliki kompetensi tinggi

                                                            28 Ethical Tea Partnership (ETP) adalah sebuah organisasi teh internasional yang bersifat non-

profit dan didirikan untuk mengawasi serta meningkatkan kinerja dalam rantai tataniaga teh internasional Anggotanya terdiri dari negara-negara pemilik merk teh terbaik di dunia, salah satunya Indonesia. Tujuan didirikannya ETP adalah untuk meningkatkan taraf hidup pekerja teh serta untuk meningkatkan dan mempertahankan kepercayaan dari pembeli, konsumen, dan seluruh stakeholder teh terkait. ETP merupakan suatu bentuk komitmen dari anggotanya kepada dunia internasional dalam mewujudkan suatu industri teh di dunia yang berkelanjutan dan bertanggungjawab.

76  

sehingga dapat mengangkat dayasaing industri inti. Selain itu, dayasaing akan

terjadi apabila tercipta interaksi dan kerjasama yang saling mendukung antara

industri inti dengan industri terkait dan pendukungnya.

Industri terkait merupakan industri terdekat yang secara langsung

berhubungan dengan industri inti. Industri-industri yang secara langsung berkaitan

dengan usaha perkebunan teh dan usaha pabrik teh curah adalah industri-industri

hulu yang berperan sebagai pemasok input dan bahan baku, industri teh lanjutan

serta industri jasa dan tata niaga. Sementara industri pendukung terdiri dari

lembaga-lembaga yang secara tidak langsung menyokong kelangsungan kegiatan

usaha industri inti. Dalam kasus ini industri pendukung perkebunan dan pabrik

pengolah teh curah terdiri dari lembaga-lembaga keuangan, lembaga penelitian,

lembaga sosial, asosiasi-asosiasi, lembaga pemerintahan dan lembaga lainnya.

1) Industri Terkait

a) Industri Pemasok

Pemasok bibit di Indonesia diusahakan oleh pihak PTPN maupun swasta.

Selain itu, tidak sedikit pula produsen yang kemudian mengembangkan usahanya

pada usaha pembibitan teh. Sedangkan lembaga yang melakukan riset terhadap

klon unggulan adalah Pusat Penelitian Teh dan Kina. PPTK merupakan bagian

dari PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN) yang merupakan transformasi dari

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian

sumberdaya alam, PPTK merupakan satu-satunya lembaga resmi milik

pemerintah yang melakukan penelitian dan mengembangkan klon-klon teh unggul

untuk meningkatkan perfoma kebun teh di Indonesia. PPTK bekerjasama dengan

lembaga sertifikasi tanaman perkebunan negara dalam melakukan riset dan

upgrade terhadap klon-klon yang memiliki tingkat produktivitas tinggi dan tahan

terhadap hama dan penyakit, seperti klon seri GMB 1-11.

Selain pemasok bibit, peranan industri agrokimia sebagai pemasok pupuk

dan obat-obatan juga sangat penting, mengingat pupuk dan obat-obatan

merupakan komponen utama dalam perawatan kebun teh. Beberapa perusahaan

dalam bentuk BUMN seperti PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani dan perusahaan

kerjasama gabungan antara beberapa PTPN seperti PT Bio Industri Nusantara (PT

Bionusa) merupakan perusahaan-perusahaan yang berkontribusi dalam memasok

77  

input pupuk dan obat-obatan. Meskipun industri agrokimia di Indonesia didukung

oleh perusahaan-perusahaan berskala nasional, namun terkadang masih sering

terjadi kelangkaan pupuk di tingkat produsen.

Industri lain yang terkait dengan usaha perkebunan dan pengolahan teh

curah di Indonesia adalah industri pemasok mesin dan alat-alat pertanian. Selain

itu, ada pula industri jasa transportasi. Semua industri penyedia input dan bahan

baku di atas sangat mempengaruhi keberlangsungan usaha perkebunan teh dan

pengolahan teh curah di Indonesia. Untuk penjelasan mengenai industri-industri

pemasok ini, dapat dilihat kembali pada uraian mengenai subsistem hulu teh

Indonesia pada bab sebelumnya.

b) Industri Teh Olahan

Industri teh olahan terdiri dari pabrik-pabrik atau perusahaan pengolah

yang mengolah teh curah menjadi produk teh turunan lainnya. Industri yang

bergerak di sektor ini memanfaatkan teh curah sebagai bahan baku utama dalam

pembuatan produknya. Industri yang termasuk ke dalam sektor ini diantaranya

adalah industri makanan dan minuman berbasis teh, industri kosmetika dan obat-

obatan, industri jasa yang menggunakan teh sebagai salah satu bagian dari

pelayanannya serta industri lainnya yang berbentuk home industry.

Saat ini, teh tidak hanya dikonsumsi sebagai minuman saja, namun

pengembangan produknya sudah mulai dilakukan ke dalam bentuk lainnya.

Contoh industri teh lanjutan yang saat ini cukup diminati masyarakat dan

mendukung industri teh inti adalah industri minuman teh kemasan. Umumnya

masyarakat mengenal produk-produk ready to drink tea dan teh celup (tea bag).

Kedua jenis produk teh ini mulai dikenal dan diminati oleh masyarakat Indonesia.

Hal tersebut tampak pada peningkatan konsumsi masyarakat terhadap produk teh

kemasan (salah satunya air teh kemasan 200ml) dari waktu ke waktu.

78  

0.3650.574

0.886 0.8861.095 1.251

1.46

2.0862.346

0

0.5

1

1.5

2

2.5

Lite

r/Kap

ita/T

ahun

1996 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Air Teh Kemasan (200 ml)

Gambar 12. Konsumsi Air Teh Kemasan (200 ml) (Liter/Kapita/Tahun) Sumber : Pusdatin (2009)

Perkembangan industri tersebut tentunya merupakan suatu peluang bagi

industri teh inti sebagai penyedia bahan baku utama. Dengan berkembangnya

industri ini, secara tidak langsung akan turut mengangkat citra teh Indonesia

sekaligus mendekatkan teh dengan masyarakat. Selain olahan teh curah, industri

yang mengolah bagian-bagian teh lainnya seperti serat, batang dan biji tanaman

teh juga merupakan peluang bagi tanaman teh karena industri tersebut mampu

mengubah dan memberikan nilai tambah pada bahan-bahan tersebut. Umumnya,

serat, batang dan biji teh digunakan sebagai bahan baku industri maupun bahan

pendukung pembuatan kosmetik dan obat-obatan.

c) Industri Jasa Tataniaga

Sektor jasa tataniaga atau jasa pemasaran merupakan bagian penting yang

tak terpisahkan dari kegiatan agribisnis teh Indonesia. Industri jasa tataniaga

merupakan industri yang memberikan pelayanan distribusi, bahkan penambahan

nilai terhadap produk teh curah. Di Indonesia, pihak-pihak yang ikut ambil bagian

di sektor ini adalah para pemasar mulai dari tingkat petani, hingga agen bagi

eksportir luar negeri. Di tingkat petani, petani teh Indonesia umumnya mengenal

pedagang pengumpul, yaitu pihak yang mengambil keuntungan dengan

mendistribusikan atau memasarkan teh dari perkebunan rakyat ke pabrik pengolah

teh hijau kecil. Kemudian, dikenal pula pedagang pengumpul yang

mengumpulkan teh hijau hasil olahan beberapa pabrik teh hijau skala kecil untuk

dipasarkan ke pabrik teh wangi. Selanjutnya teh yang berasal dari pabrik teh

wangi tersebut disalurkan ke agen-agen atau pedagang grosir hingga akhirnya

79  

sampai kepada konsumen akhir. Sedangkan perkebunan besar negara dan swasta

umumnya langsung memasarkan teh mereka ke pabrik pengolah besar untuk

kemudian dipasarkan baik melalui lelang maupun direct selling. Untuk

perkebunan besar swasta, umumnya teh yang dihasilkan adalah green tea. Teh

hijau yang dihasilkan kemudian dipasarkan melalui Bandung Tea Auction

(sekarang sudah tidak begitu aktif) atau dijual secara langsung untuk diekspor

maupun untuk konsumsi dalam negeri. Sementara perkebunan besar negara

sebagian besar teh yang dihasilkannya dipasarkan untuk kebutuhan ekspor,

sehingga mayoritas tehnya pun dipasarkan melalui proses lelang di Jakarta Tea

Auction, dan sisanya dipasarkan secara langsung melalui agen-agen atau pedagang

di dalam negeri.

2) Industri Pendukung

Kemajuan industri inti tidak terlepas dari lembaga-lembaga pendukung

yang senantiasa mendukung dan memajukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan

oleh industri inti. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya adalah lembaga

keuangan, lembaga penelitian, lembaga sosial, asosiasi-asosiasi, lembaga

pemerintahan dan lembaga lainnya. Lembaga keuangan dalam hal ini adalah

perbankan merupakan lembaga yang mendukung industri inti dalam hal

pembiayaan atau penyediaan kredit modal kerja. Meskipun akses perbankan

masih sulit diraih oleh petani bahkan pengusaha-pengusaha di sektor pertanian,

namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan perusahaan-perusahaan besar

teh di Indonesia (seperti PT KBP Chakra, Unilever Indonesia, PT Perkebunan

Nusantara dan sebagainya) saat ini tidak lepas dari adanya dukungan pembiayaan

dari bank.

Sementara lembaga penelitian khususnya Pusat Penelitian Teh dan Kina

telah memberikan dukungan berupa teknologi informasi yang berguna untuk

kemajuan agribisnis teh Indonesia di segala aspek. Begitu pula lembaga-lembaga

penelitian lainnya baik perguruan tinggi maupu swasta telah cukup berkontribusi

dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sektor agribisnis teh di

Indonesia. Lembaga lainnya seperti kelompok tani (lembaga sosial), asosiasi dan

pemerintahan juga merupakan lembaga-lembaga pendukung yang tentu akan

mempengaruhi perkembangan industri inti teh di Indonesia.

80  

6.1.4 Persaingan, Struktur dan Strategi

1) Persaingan

Di dalam negeri, terdapat persaingan antara minuman teh dengan

minuman subtitusi sejenis seperti kopi, susu, dan beberapa minuman lainnya. Teh

merupakan minuman pilihan, dimana konsumsi masyarakat domestik terhadap teh

masih sangat rendah. Sementara sebagian konsumen keluarga lebih memilih

mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk mengkonsumsi minuman non-

teh dibandingkan untuk mengkonsumsi teh (Adam 2006). Jika dibandingkan

dengan konsumsi minuman lainnya, teh dalam kemasan menguasai pangsa sekitar

30 persen, sedangkan air mineral, minuman berkarbonasi dan minuman lainnya

(seperti jus) menguasai pangsa pasar sekitar 40 persen, 20 persen and 10 persen

(Kustanti dan Widyanti 2007).

Persaingan juga terjadi diantara produk teh domestik dengan produk teh

impor. Meskipun jumlah volume impor teh masih lebih sedikit dibandingkan

produksi nasional, namun ada kecenderungan peningkatan volume impor teh

setiap tahunnya. Teh yang diimpor merupakan teh yang digunakan sebagian

produsen teh Nasional sebagai bahan campuran teh mereka. Selain itu, beberapa

produk teh impor juga merupakan produk teh yang telah diberi nilai tambah serta

dikemas dengan baik. Perkembangan volume impor teh tersebut perlu mulai

diwaspadai oleh seluruh stakeholder teh nasional jangan sampai peningkatan

volume impor merugikan produsen teh domestik.

Tabel 19. Beberapa Jenis Merk Teh yang Beredar di Indonesia Berdasarkan Perusahaan Pengolah

No Produsen Teh Merk 1 Produk PTPN Walini, Goalpara, Gunung Mas, Malabar, Sedap

2

Kerjasama PTPN dan Swasta

Esparata, Java Tea, Tea Bags, Tea Relasi, Lipton Quality, London Clasic, London Royal, London Gold, Halaban, Natures Choice (teh hijau), Mega Indah, Selecta Premium Java Tea dan Makassar Tea

3

Produk Swasta **)

Korma, Sedap, Indo, Sari Wangi (original, jasmine, jahe dan kayu manis), Ice tea (lemon, apel dan mangga), 2 Tang, Tjatoet, Kepala Jenggot, Tjibuni Java, Nutri Tea, Sosro, Cap Botol, Max Tea, Teh Upet, Cap Bendera, Teh 2 Burung, dan Teh 919

*) Survei pasar tahun 2004

Sumber : PTPN VIII Jawa Barat tahun 2003 dalam Doerjat (2007)

81  

Di dalam industri minuman teh itu sendiri terjadi persaingan antara

minuman teh yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolah swasta dengan

perusahaan pengolah milik negara. PTPN sebagai perusahaan teh negara saat ini

mulai melakukan diversifikasi ke arah produk olahan. Selain mengolah dengan

penggunaan merk sendiri, PTPN juga melakukan kerjasama dengan pihak swasta

dengan memproduksi teh untuk mereka. Produk-produk teh hasil PTPN dan

perusahaan swasta ditunjukan oleh Tabel 19.

Selain menghadapi persaingan di dalam pasar domestik, produk teh

Indonesia juga dihadapkan pada persaingan dengan produk teh di pasar

internasional. Produk teh hitam Orthodox dan CTC yang dihasilkan Indonesia

bersaing dengan produk teh hitam lain yang diproduksi oleh Kenya, India, Sri

Langka serta produsen lainnya. Apabila Indonesia tidak dapat memperkuat

posisinya di pasar internasional, maka pangsa pasar teh Indonesia akan terancam

semakin berkurang.

2) Struktur Pasar

Produk teh Indonesia dipasarkan ke pasar domestik dan pasar mancanegra.

Sehingga proses pemasarannya terbagi menjadi jalur tataniaga dalam negeri dan

jalur tataniaga ekspor. Menurut Febriyanthi (2008) pada kegiatan pemasaran teh

Indonesia secara umum struktur pasar yang dihadapi adalah pasar oligopoli29,

karena cukup banyak perusahaan yang bersaing dalam perdagangan teh curah di

Indonesia. Khusus untuk jalur tataniaga teh yang melalui proses lelang, struktur

pasar yang dihadapi adalah oligopoly buyers market30 (Tarigan 2003).

Struktur pasar oligopoly buyers market ditunjukkan oleh dominasi

beberapa buyer seperti L.E. Schuuman (Thee) BV, PT Sariwangi A.E.A, PT Van

Rees dan PT Lipton Limited (Unilever Indonesia) pada Jakarta Tea Auction yang

menyebabkan PTPN sebagai produsen tidak memiliki daya tawar tinggi terhadap

harga jual. Perusahaan-perusahaan yang tergabung ke dalam Jakarta Tea Auction

kemudian membentuk sebuah asosiasi pembeli teh dengan nama Jakarta Tea

Buyers Association (JTBA).

                                                            29 Pasar oligopoli merupakan struktur pasar yang dihadapkan kepada pembeli dan penjual yang

banyak atau lebih dari satu. 30 Pasar oligopoly buyers market adalah struktur pasar yang dihadapkan pada pembeli dan penjual

yang banyak atau lebih dari satu, dimana daya tawar pembeli lebih tinggi dibandingkan dengan daya tawar penjualnya.

82  

Tabel. 20. Perusahaan-Perusahaan yang Tergabung ke dalam Jakarta Tea Auction

No. Nama Perusahaan Spesifikasi Kebutuhan 1. PT. Pucuk Mas Tiga Daun Black Tea 2. CV.Padakersa Black Tea 3. PT. Van Rees Indonesia Black Tea 4. PT. KBP Chakra Green Tea, Black Tea 5. PT. Pacific Agritama Comoditi Green Tea, Black Tea 6. PT. Lipton Limited Black Tea 7. L.E. Schuurman (Thee) BV. Black Tea 8. PT. Sariwangi A.E.A Black Tea 9. PT. Jakarta Tea Traders Black Tea 10. CV. Sinar Maluku Black Tea 11. Suruchi Enterprise Black Tea 12. Indoham Black Tea 13. PT. Rajawali Black Tea 14. Indonesian Nature Tea Co. Black Tea 15. PT. Putindo Inti Selaras Black Tea 16. PT. Multi Kemindo Majutama Green Tea, Black Tea 17. CV. Suryakencana Black Tea 18. PT. Pentaglobal Intracom Black Tea 19. PT. Tea Expertindo Green Tea, Black Tea 20. PT. Trijasa Prima Sejati Black Tea 21. S. St. Clair Teas Indonesia Black Tea 22. Yoosuf Akbani Black Tea

Sumber : PT. Kantor Pemasaran Bersama Nusantara dalam BPS (2011)

6.1.5 Peran Pemerintah

Pemerintah merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan

kualitas dayasaing suatu bangsa. Pemerintah memiliki kewenangan membuat

regulasi, mengatur, memfasilitasi, melindungi bahkan membatasi aktivitas dari

warga negaranya, termasuk seluruh warga dan stakeholder yang terlibat dalam

kegiatan agirbisnis teh di Indonesia. Peranan pemerintah tercermin melalui

kebijakan, regulasi, maupun dukungan terhadap upaya-upaya pengembangan

agribisnis teh. Hingga saat ini, terdapat beberapa kebijakan, regulasi maupun

sikap pemerintah yang mempengaruhi kelangsungan kegiatan agribisnis teh di

Indonesia. Berikut ini adalah beberapa bentuk kebijakan maupun sikap yang

dinilai paling berpengaruh terhadap agribisnis teh nasional :

1. Penetapan komoditas teh sebagai komoditas unggulan nasional (Kementrian

Pertanian RI 2010)

83  

Penetapan tanaman teh sebagai salah satu komoditas unggulan

nasional merupakan suatu bentuk dukungan pemerintah terhadap komoditas

teh yang dirasakan sangat strategis dan memberikan multiplier effects bagi

pengembangan agribisnis teh nasional. Dengan diberikannya bentuk

dukungan seperti ini, maka diharapkan dapat mempercepat pengembangan

agribisnis teh nasional kedepannya. Penetapan teh sebagai komoditas

unggulan nasional ini diarahkan kepada upaya-upaya peningkatan produksi

yang nantinya dapat meningkatkan penerimaan devisa/ekspor, memenuhi

kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, serta sebagai produk substitusi

impor (Kementrian Pertanian RI 2010).

2. Penetapan harga dasar bagi pembelian pucuk yang diperoleh dari petani

rakyat (Peraturan Kementrian Kehutanan No. 629/1998)

Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga harga teh di tingkat petani

dari ketidakadilan yang mungkin dilakukan oleh pihak pabrik pengolah.

Peraturan ini menyatakan bahwa harga pucuk dari petani ditetapkan setelah

adanya kesepakatan antara petani atau organisasi petani dengan perusahaan

pengolah. Namun dalam pelaksanaannya, peraturan ini hampir tidak

berjalan dengan baik, karena umumnya penetapan harga masih belum

melalui proses kesepakatan kedua belah pihak (Kustanti & Widiyanti 2007).

3. Penetapan tarif impor untuk produk teh produk curah maupun olahan

sebesar 5 persen.

Saat ini, penetapan tarif impor teh di Indonesia dinilai terlalu kecil,

yaitu sebesar 5 persen untuk semua jenis teh baik teh curah maupun teh

kemasan. Perkembangan volume dan nilai impor Indonesia dapat dilihat

kembali pada Tabel 2. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka akan

mengancam agribisnis teh nasional.

Rendahnya penetapan tarif impor ini juga akan mempengaruhi

kelangsungan industri teh lanjutan dalam negeri, mengingat pemerintah juga

menetapkan PPN sebesar 10 persen bagi produk teh kemasan. Hal ini

menyebabkan biaya yang dikeluarkan produsen teh kemasan dalam negeri

lebih besar dibandingkan dengan biaya impor produk teh kemasan yang

hanya dikenai pajak sebesar 5 persen.

84  

Tabel 21. Tarif Impor Produk Teh di Beberapa Negara Eksportir Teh ke Indonesia

No Negara Tarif Impor

Teh Curah 090220, 090240

Produk Teh Kemasan 090210, 090230

1 Sri Langka 25 persen 25 persen 2 India 114 persen 114 persen; 30 persen

(instant tea) 3 China 15 persen (MFN);

100 persen di luar MFN 15 persen (MFN); 100 persen di luar MFN

4 Kenya 25 persen 25 persen 5 Malawi 50 persen (teh hitam);

10 persen (teh hijau) 50 persen (teh hitam); 10 persen (teh hijau)

6 Jepang 3 persen (teh hitam); 17 persen (teh hijau)

12 persen (teh hitam kemasan); 10 persen (instant tea)

7 Taiwan 17,6 persen 25 persen (teh oolong) 8 Turki 145 persen 145 persen Sumber : International Trade Center (2006) dalam Santoso dan Suprihatini (2007a)

4. Penghapusan PPN untuk produk teh curah pada tahun 2007.

Pengenaan PPN bagi seluruh produk teh sebesar 10 persen sangat

mempengaruhi kondisi perkebunan teh di Indonesia. Banyak perkebunan

bahkan perkebunan besar negara yang menderita rugi akibat produk teh

curahnya dikenai PPN sebesar 10 persen31. Karena itu, penghapusan PPN

bagi produk teh curah sangat mempengaruhi kelangsungan perkebunan teh

di Indonesia.

5. Kebijakan lainnya

Penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk teh kemasan

sebesar 10 persen, pengaturan pajak dalam kegiatan investasi dalam

agribisnis teh Indonesia, pengenaan tarif impor bagi alat, mesin, bahan baku

kemasan yang digunakan dalam proses pengolahan teh serta beberapa

bentuk kebijakan lainnya (Suprihatini & Rosyadi 2003).

                                                            31 Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Sultoni Arifin [23 Maret

2011]

85  

Sejauh ini, belum ada kebijakan yang secara khusus ditujukan kepada

komoditas teh. Hal ini perlu dipertimbangkan kembali mengingat peranan teh

dalam pembangunan nasional sebagai tanaman yang strategis. Sehingga dalam

pengembangannya diperlukan dukungan khusus dan kontinu dari pemerintah

kepada komoditas ini.

6.1.6 Peran Kesempatan

Faktor kesempatan merupakan suatu faktor yang berada di luar jangkauan

stakeholder teh nasional. Namun keberadaan faktor ini dapat menjadi suatu

momen yang bisa mengangkat posisi dayasaing teh Indonesia. Salah satu bentuk

kesempatan yang dapat dimanfaatkan adalah adanya kekeringan yang melanda

India, Sri Langka dan Kenya, negara-negara produsen teh terbesar dunia.

Kekeringan dan faktor cuaca buruk yang melanda ketiga negara tersebut beberapa

tahun terakhir ini akan mempengaruhi produksi dan kualitas teh yang mereka

hasilkan32. Hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan bagi

komoditas teh Indonesia, mengingat Kenya dan Sri Langka merupakan pesaing

Indonesia dalam hal kesamaan produk. Indonesia dan Kenya sama-sama

memproduksi teh hitam CTC, dan Sri Langka merupakan pesaing Indonesia yang

sama-sama menghasilkan teh hitam Orthodox33.

Kondisi tersebut semakin didukung oleh mutu dan standar teh Indonesia

yang juga kian membaik. Perbaikan standar mutu di sini tidak hanya mengacu

pada standar lingkungan, melainkan juga pengelolaan kebun dan sosial tenaga

kerja. kebun-kebun serta pabrik pengolahan teh di Indonesia semakin banyak

yang dilengkapi dengan sertifikasi internasional yang merupakan tren baru untuk

dapat bertahan dan bersaing di pasar global.

Pada kondisi jangka panjang, kesempatan yang dapat dipertimbangkan

adalah meningkatnya kepedulian masyarakat dunia terhadap kesehatan. Hal

tersebut sedikit demi sedikit akan mengubah pola hidup masyarakat, termasuk

dalam memilih makanan dan minuman untuk dikonsumsi. Teh merupakan

minuman fungsional dengan berbagai khasiat yang baik bagi tubuh manusia

                                                            32 Insyaf Malik, Ketua Asosiasi Teh Indonesia dalam Kontan, 1 Maret 2010 yang dikutip dari

Sustainable Tea Newsletter, edisi Maret 2010, Halaman 1. 33 Hasil wawancara dengan Ir. Mudjiwati Sadjad, MSc-IS, PT Kantor Pemasaran Bersama

Nusantara [20 Maret 2011]

86  

karena kandungan katekin yang berada di dalamnya. Maraknya isu kesehatan

tersebut merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik bagi teh sebagai

minuman fungsional. Hal tersebut tentunya harus didukung oleh seluruh

stakeholder teh di Indonesia termasuk pemerintah agar dapat melihat dan

memanfaatkan kesempatan ini.

Kepedulian masyarakat dunia terhadap produk yang multifungsi dan

mengarah kepada kesehatan, secara tidak langsung berarti akan mendorong

peningkatan konsumsi teh di dalam maupun di luar negeri. Hal ini juga akan

meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat teh, karena adanya

dorongan untuk mengkonsumsi minuman fungsional yang tidak hanya sekedar

mampu menghilangkan dahaga.

Hal tersebut juga akan meningkatkan citra teh Indonesia di mata

konsumen dunia, karena kandungan katekin yang ada di dalam varietas Assamica

(varietas yang ditanam di Indonesia) lebih besar dibandingkan dengan kandungan

katekin pada teh varietas Sinensis (contohnya teh yang berasal dari Jepang dan

China). Kesempatan ini selain akan membuka peluang di pasar luar negeri, juga

berpotensi untuk meningkatkan jumlah konsumsi dalam negeri. Untuk lebih

lengkapnya, kandungan katekin yang ada pada teh Indonesia dapat dilihat kembali

pada Tabel 4.

Menurut Subarna et al (2000) dalam Surjadi (2003) jumlah konsumsi

konsumen yang mengetahui manfaat teh untuk kesehatan lebih tinggi

dibandingkan dengan konsumen yang belum mengetahuinya. Dalam hal ini,

peubah yang telah diketahui mempunyai hubungan positif dengan jumlah

konsumsi teh dalam keluarga ialah informasi manfaat teh untuk kesehatan. Selain

itu, dalam penelitiannya Surjadi (2003) juga mengemukakan bahwa frekuensi

seduhan teh diduga lebih banyak pada kelompok keluarga yang sudah mengenal

teh dibanding dengan keluarga yang belum mengenal informasi mengenai teh.

Karena itu, merebaknya isu kesehatan ini juga akan menjadi kesempatan yang

baik untuk meningkatkan konsumsi teh di dalam negeri asalkan didukung dengan

upaya-upaya penyebaran informasi mengenai manfaat teh lebih gencar lagi.

Dengan meningkatnya penyebaran informasi mengenai manfaat teh, maka

87  

diharapkan akan lebih mendorong tingkat konsumsi teh dalam negeri, bahkan

menggeser posisi minuman subtitusi lain.

Selain berpengaruh terhadap konsumsi, isu tersebut juga akan semakin

memicu produsen untuk meningkatkan mutu produk mereka. Pembeli akan

semakin menuntut kualitas produk mulai dari pengelolaan kebun, manajemen,

serta tanggung jawab tehadap lingkungan dan kelangsungan perkebunan teh yang

berkelanjutan (sustainable tea). Hal tersebut akan mendorong produsen tanah air

untuk melengkapi produk tehnya dengan atribut sertifikasi yang menujukan

kepedulian mereka kepada pekerja, lingkungan juga keberlangsungan kegiatan teh

yang berkelanjutan. Beberapa jenis sertifikasi internasional yang telah umum

dikantongi produsen teh dalam negeri diantaranya GMP (Good Manufacturing

Practices), GAP (Good Agricultural Practices), HACCP, UTZ Certificate,

Rainforest Alliance, Sertifikat Lestari, dan beberapa sertifikasi lainnya.

6.2 Keterkaitan Antar Komponen Utama

Berdasarkan analisis dayasaing pada setiap komponen, maka dapat

diketahui bagaimana keterkaitan antar komponen dalam sistem agribisnis teh

Indonesia. Berikut ini adalah analisis keterkaitan antar komponen utama dalam

agribisnis teh Indonesia :

6.2.1 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Fakor Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik

Kondisi faktor sumberdaya dan kondisi permintaan domestik telah

memiliki keterkaitan yang saling mendukung. Permintaan konsumen domestik

terhadap produk teh masih dapat dipenuhi oleh produsen-produsen dalam

negeri34. Dengan kondisi faktor sumberdaya yang dimiliki Indonesia,

memungkinkan pihak produsen untuk menghasilkan produk teh, bahkan untuk

mengekspornya (data ekspor impor teh Indonesia ada pada Tabel 2). Meskipun

Indonesia juga melakukan impor teh dari negara lain, namun agribisnis teh

Indonesia telah unggul secara komparatif (Tatakomara 2004). Volume impor teh

Indonesia hanya sebesar 9.000 ton atau sekitar 6,5 persen dari total produksi teh

                                                            34 Produksi teh dalam negeri pada tahun 2008 mencapai 137.499 ton. Sementara konsumsi teh

dalam negeri hanya sebesar 42.000 ton atau sebesar 30,5 persen (ITC 2009)

88  

nasional (ITC 2009). Selain itu, kebutuhan teh impor hanya digunakan sebagai

bahan baku untuk pembuatan blending tea oleh para produsen teh lokal35.

Selain itu, rendahnya konsumsi domestik justru medorong sumberdaya

manusia dalam industri teh (peneliti dan pengusaha) untuk menciptakan teknologi

dan berinovasi untuk meningkatkan minat konsumen dan jumlah konsumsi dalam

negeri. Teknologi tersebut diantaranya adalah teknologi peningkatan nilai tambah

yang diharapkan mampu meningkatkan pilihan produk teh di mata konsumen.

Teknologi peningkatan nilai tambah ini juga merupakan strategi yang digunakan

untuk meningkatkan komposisi produk kemasan yang diekspor, sehingga mampu

meningkatkan nilai ekspor produk teh (Santoso & Suprihatini 2007b).

6.2.2 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung

Komponen kondisi permintaan domestik dengan komponen industri terkait

dan pendukung memiliki keterkaitan yang belum saling mendukung. Seperti yang

telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya, diketahui bahwa permintaan teh

Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2008, konsumsi teh Indonesia

hanya sebesar 42.000 ton, sangat jauh apabila dibandingkan dengan konsumsi teh

negara produsen lainnya. Cina, produsen teh terbesar di dunia tingkat konsumsi

teh domestiknya mencapai 872.000 ton. Negara produsen teh lainnya seperti

India, Jepang dan Bangladesh konsumsi teh domestiknya mencapai 798.000 ton,

134.000 ton dan 47.000 ton.

Selain rendahnya volume konsumsi teh dalam negeri, perdagangan teh di

Indonesia juga belum didukung oleh kesediaan industri dalam menyediakan teh

dengan kualitas terbaik. Teh yang beredar di dalam negeri didominasi oleh teh

dengan mutu kedua dan ketiga (mutu pertama ditujukan untuk pasar ekspor).

Dalam penelitiannya, Surjadi (2003) menemukan bahwa produk teh bermutu

tinggi yang beredar di pasaran hanya terdiri dari dua merk, dari total yang beredar

sebelas merk. Kedua produk tersebut tidak diiklankan dengan media elektronik

(televisi) dan informasi yang disampaikan kepada konsumen terbatas hanya pada

media publikasi kalender, dengan tanpa menekankan informasi mutu tinggi pada

rasa air seduhannya. Sebaliknya, produk teh mutu rendah diiklankan melalui                                                             35 Suprihatini dan Rosyadi (2003) ditambah dengan hasil wawancara dengan Bapak Boyke S.

Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011]

89  

media elektronik. Dengan demikian rendahnya konsumsi teh dalam negeri,

khususnya teh bermutu tinggi (Tabel 16), disebabkan oleh tidak tersedianya

informasi, atau produk tidak tersedia di pasaran, dan atau disebabkan oleh kedua

faktor tersebut (Surjadi 2003)36.

Hal tersebut menunjukkan bahwa industri dalam negeri, khususnya

produsen, packers dan lembaga pemasar teh di dalam negeri belum menyediakan

informasi maupun memastikan ketersediaan produk bermutu tinggi di pasaran.

Perusahaan-perusahaan teh di dalam negeri belum secara optimal melakukan

upaya promosi dan sosialisasi mengenai produk teh yang berkualitas yang

ditunjukkan pada rendahnya biaya iklan yang dikeluarkan mayoritas perusahaan

untuk mempromosikan produk teh mereka (Tabel 18). Kurangnya pengetahuan

konsumen ini juga menyebabkan rendahnya penghargaan konsumen terhadap

produk-produk teh yang dihasilkan produsen di dalam negeri. Karena itu,

meskipun produk teh yang beredar di dalam negeri didominasi oleh teh

berkualitas rendah, namun belum ada tuntutan dari konsumen yang menekan

industri teh dalam negeri untuk meningkatkan kualitas produknya.

Kondisi ini berbeda dengan perdagangan teh Indonesia di pasar

internasional, dimana konsumen internasional sangat menuntut produk dengan

kualitas dan standarisasi tertentu. Hal tersebut ditunjukan oleh ketatnya

persyaratan yang diajukan konsumen luar negeri untuk setiap produk teh yang

masuk. Salah satu bentuk persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah negara

produsen umumnya dipenuhi dengan sertifikasi internasional.

6.2.3 Keterkaitan antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi

Komponen industri terkait dan pendukung dengan komponen persaingan,

struktur dan strategi secara umum belum menghasilkan suatu keterkaitan yang

saling mendukung. Keterkaitan yang belum mendukung ini tampak pada kondisi

persaingan yang dihadapi di pasar domestik. Dalam persaingannya di pasar

domestik, produk teh Indonesia dihadapkan oleh persaingan dengan industri

                                                            36 Penelitian Surjadi (2003) ini dilakukan dengan menggunakan produk teh dari berbagai merk

yang dikonsumsi konsumen contoh, dimana konsumen contoh yang terlibat merupakan konsumen keluarga yang diwakili oleh ibu rumah tangga yang dianggap sebagai pengambil keputusan. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Tasikmalaya sebagai perwakilan pasar di daerah produsen, dan Surabaya sebagai perwakilan pasar di daerah non-produsen.

90  

minuman subtitusi lainnya. Dibandingkan dengan mengkonsumsi teh, konsumen

rumah tangga lebih memilih mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk

memenuhi kebutuhannya terhadap minuman non-teh seperti air mineral, kopi dan

susu (Adam 2006). Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh kurangnya promosi

yang dilakukan produsen teh apabila dibandingkan dengan kegiatan promosi

minuman subtitusi lainnya37.

Selain itu, pengusaha-pengusaha teh Indonesia masih belum berada pada

suatu kondisi persaingan yang kompetitif. PTPN sebagai market leader umumnya

masih mengandalkan Pasar Lelang Jakarta (Jakarta Tea Auction) di samping

pemasaran langsung kepada pembeli. Dengan struktur pasar oligopoly buyers

market yang dihadapi PTPN di Pasar Lelang Jakarta, maka posisi PTPN

cenderung lemah dan berdaya tawar rendah (Tarigan 2003). Struktut pasar

oligopoly buyers market cukup membatasi pergerakan harga akibat rendahnya

tingkat persaingan di pasar lelang yang didominasi oleh beberapa perusahaan

besar tertentu38. Sementara harga yang terbentuk dijadikan acuan bagi harga teh

nasional. Selain itu, tindakan-tindakan atau strategi perusahaan dinilai kurang

responsif terhadap perubahan iklim persaingan. Penurunan kondisi teh nasional

sejak sepuluh tahun lebih ini belum mampu diantisipasi dengan baik oleh para

stakeholder.

6.2.4 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumberdaya

Kondisi persaingan, struktur dan strategi belum memiliki keterkaitan yang

saling mendukung dengan kondisi faktor sumberdaya. Hal ini dikarenakan belum

meratanya penyebaran sumberdaya (alam, manusia, IPTEK, modal dan

infrastruktur) di tingkat produsen, khususnya petani rakyat. Produktivitas yang

                                                            37 Hasil wawancara dengan Bapak Boyke S. Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa

Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011] 38 Pada proses lelang Jakarta Tea Auction yang diselenggarakan oleh PT. Kantor Pemasaran

Bersama Nusantara (PT. KPBN), peserta lelang hanya terdiri dari perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota, dan produsen teh hanya berasal dari PBN saja. Hal ini tentunya membatasi pembentukan harga akibat adanya kontrol dari beberapa perusahaan besar yang menjadi anggota. Pada tahun 2010, perubahan badan hukum KPBN menjadi sebuah perseroan terbatas, diharapkan merupakan menjadi sinyal yang baik bagi pertumbuhan harga teh nasional. Dengan berbadan hukum perseroan terbatas, diharapkan produsen teh yang turut serta dalam lelang bisa berasal dari pihak swasta, maupun koperasi yang mewakili rakyat. Begitu pula dengan jumlah buyer diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi banyak pembeli sehingga akan terbentuk suatu pasar yang kompetitif serta perbaikan harga

91  

rendah dibandingkan dengan tipe pengusahaan kebun PBN dan PBS,

menunjukkan adanya kelemahan di tingkat petani dalam hal faktor sumberdaya.

Produktivitas perkebunan rakyat di Indonesia hanya mencapai 791,9 kh/ha.

Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara

maupun swasta yang mencapai 1956,5 kg/ha dan 1301,8 kg/ha. Kondisi ini yang

menyebabkan persaingan dalam negeri yang belum kompetitif, dikarenakan

adanya ketidakseimbangan alokasi sumberdaya antar tipe pengusahaan.

6.2.5 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Pendukung Komponen faktor sumberdaya dengan komponen industri terkait dan

pendukung memiliki hubungan keterkaitan yang saling mendukung. Sejauh ini

faktor-faktor sumberdaya yang dibutuhkan oleh industri teh telah mampu

dipenuhi oleh keberadaan faktor sumberdaya dalam negeri. Kondisi tanah, cuaca

dan iklim di Indonesia sangat menunjang usahatani teh dan kelangsungan usaha

pembibitan teh (industri terkait). Selain itu, perkembangan industri yang

menuntut adanya dukungan kemajuan teknologi juga didukung oleh

berkembangnya sumberdaya IPTEK sebagai lembaga research yang menyokong

kebutuhan industri akan teknologi. Kemajuan IPTEK yang mendukung

pengembangan agribisnis teh Indonesia ini didukung oleh Pusat Penelitian Teh

dan Kina yang telah berpengalaman dan telah berada di Indonesia. Selain

keberadaan PPTK, kondisi IPTEK juga didukung oleh lembaga-lembaga

pendukung lain seperti Asosiasi Teh Indonesia dan Dewan Teh Indonesia yang

secara terus-menerus melakukan riset dan upaya-upaya yang memajukan

agribisnis teh Indonesia.

6.2.6 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Komponen Kondisi Permintaan Domestik Kedua komponen ini dinilai belum saling mendukung. Hal ini dikarenakan

strategi yang dilakukan perusahaan nyatanya belum mampu meningkatkan

volume konsumsi domestik. Selain itu, pengetahuan masyarakat yang rendah atas

spesifikasi kualitas teh yang baik menyebabkan konsumen tidak melakukan

tuntutan perbaikan mutu terhadap perusahaan. Akibatnya tingkat persaingan di

pasar domestik sangatlah rendah apabila dibandingkan dengan pasar dunia.

92  

93  

Komposisi teh yang beredar di pasar domestik didominasi oleh teh kualitas

sedang hingga rendah (Surjadi 2003). Hal tersebut menyebabkan teh belum dapat

bersaing dengan produk-produk subtitusi lain, akibatnya konsumen rumah tangga

cenderung lebih memilih untuk mengkonsumsi minuman non-teh. Selain itu,

kondisi yang tidak saling mendukung juga ditunjukkan oleh rendahnya konsumsi

dalam negeri, padahal banyak perusahaan yang bergerak di sektor ini. Hal ini

menunjukkan perusahaan belum melakukan strategi yang tepat dalam

mempromosikan dan menyebarkan produk mereka kepada masyarakat.

Tabel 22. Keterkaitan Antar Komponen Utama No Komponen I Komponen II Keterkaitan Uraian

1 Faktor Sumberdaya

Kondisi Permintaan Domestik

Saling Mendukung

• Kondisi faktor sumberdaya teh Indonesia masih memungkinkan produsen untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen domestik, bahkan kelebihan produksi dalam negeri tersebut memungkinkan Indonesia sebagai salah satu eksportir teh terbesar di dunia.

2 Kondisi

Permintaan Domestik

Industri Terkait dan

Industri Pendukung

Belum Saling Mendukung

• Konsumsi teh domestik yang rendah, ditambah dengan pasifnya konsumen domestik belum mampu mendorong dan memotivasi industri-industri terkait teh untuk mendistribusikan produk dengan kualitas baik. Kualitas teh yang beredar di pasar domestik masih didominasi oleh teh bermutu rendah. Penghargaan masyarakat terhadap teh kualitas baik masih rendah.

• Produsen dalam negeri masih belum melakukan upaya promosi dan penyebaran informasi mengenai manfaat teh secara optimal, sehingga pengetahuan konsumen terhadap manfaat teh masih rendah, yang berimbas pada rendahnya konsumsi domestik.

3

Industri Terkait dan

Industri Pendukung

Persaingan, Struktur dan

Strategi

Belum Saling Mendukung

• Struktur pasar yang terbentuk masih didominasi oleh pihak PBN. Kontribusi produsen swasta dan rakyat masih harus ditingkatkan agar persaingan antar industri dalam negeri semakin kompetitif.

• Strategi atau tindakan para produsen teh di Indonesia masih belum cukup gesit dalam merespon perubahan lingkungan persaingan. Indonesia masih merupakan follower pasar dan strategi yang dilakukan masih belum mampu meningkatkan daya tawar Indonesia di pasar dunia.

4 Persaingan, Struktur dan

Strategi

Kondisi Faktor Sumberdaya

Belum Saling Mendukung

• Kondisi persaingan dalam negeri yang belum cukup kompetitif disebabkan oleh belum meratanya penyebaran sumberdaya manusia professional, dan sumberdaya IPTEK terutama pada perkebunan rakyat.

5 Kondisi Faktor

Sumberdaya

Industri Terkait dan

Industri Pendukung

Saling Mendukung

• Sejauh ini, kondisi faktor sumberdaya telah mampu menyokong industri terkait dan pendukung teh nasional. Salah satunya dalam pemenuhan bahan baku untuk pengolahan teh. Namun dibutuhkan komitmen dari seluruh stakeholder agar industri teh dalam negeri dapat terus bersaing.

• Perkembangan industri menuntut faktor-faktor sumberdaya khususnya lembaga peneitian dan sumberdaya manusia agar dapat terus meningkatkan kualitas mereka.

6 Persaingan, Struktur dan

Strategi

Kondisi Permintaan Domestik

Belum Saling Mnedukung

• Rendahnya volume konsumsi domestik dan minimnya tuntutan konsumen akan produk yang berkualitas, menyebabkan tingkat persaingan industri dalam menciptakan produk-produk berkualitas masih rendah.

• Strategi yang diterapkan perusahaan belum mampu meningkatkan konsumsi teh domestik.

94

6.3 Keterkaitan Komponen Pendukung

Berikut ini adalah analisis mengenai keterkaitan komponen pendukung

dayasaing dengan komponen utama dayasaing agribisnis teh Indonesia :

6.3.1 Peranan Pemerintah terhadap Komponen Utama Peranan pemerintah terhadap perkembangan agribisnis teh Indonesia

tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan serta sikap yang

ditunjukan. Beberapa dari kebijakan tersebut dinilai telah mendukung komponen-

komponen utama. Namun, beberapa yang lainnya dinilai belum tepat dan belum

mendukung komponen dayasaing agribisnis teh Indonesia. Dalam kebijakan

terkait dengan komoditas teh di Indonesia, penetapan teh sebagai salah satu

komoditas unggulan nasional dinilai telah mendukung upaya peningkatan kualitas

sumberdaya teh di Indonesia, baik dengan upaya peningkatan perluasan area

tanam, peningkatan produksi, peningkatan volume ekspor, serta beberapa aspek

lainnya.

Di samping itu, beberapa kebijakan pemerintah yang belum mendukung

dayasaing agribisnis teh Indonesia adalah penetapan PPN sebesar 10 persen untuk

produk teh kemasan, sementara produk teh kemasan yang masuk ke Indonesia

hanya dikenakan tarif impor sebesar 5 persen. Hal ini dirasakan merugikan

produsen, karena dapat mengurangi laba yang cukup besar juga membuat produk

lokal kalah saing dengan produk impor. Hal ini juga terkait dengan kebijakan

penetapan tarif impor produk teh curah yang sama dengan produk teh kemasan

sebesar 5 persen yang dirasakan kurang mendukung karena penetapan tarif impor

yang rendah telah mengakibatkan peningkatan volume impor dari tahun ke tahun.

Meskipun volume teh impor masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi

teh nasional untuk konsumsi teh dalam negeri, namun hal tersebut patut

diwaspadai agar kelak tidak merugikan produsen teh domestik, khususnya petani

yang sebagian besar produksinya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar

domestik. Karena itu, kebijakan pemerintah saat ini dinilai belum mendukung

komponen industri terkait dan industri pendukung, serta komponen strategi,

struktur dan persaingan karena belum berpihak kepada produsen lokal. Selain itu,

hingga saat ini belum ada kebijakan atau program khusus yang dilakukan

95

96  

pemerintah untuk mengatasi permasalahan konsumsi teh domestik, karena itu,

peranan pemerintah juga dinilai belum mendukung komponen ini.

6.3.2 Peranan Kesempatan terhadap Komponen Utama Adanya kesempatan meningkatnya harga teh karena penurunan produksi

dari pesaing utama dinilai akan meningkatkan kinerja sumberdaya manusia

khususnya petani dan pengusaha demi memanfaatkan kondisi harga. Selain itu,

akan timbul persaingan antara produsen di dalam negeri guna memperoleh

kesempatan menjual produk di saat harga teh membaik. Hal tersebut menunjukan

bahwa kesempatan ini memberikan dukungan kepada kondisi faktor sumberdaya

dan struktur, persaingan dan strategi. Selain itu, maraknya tuntutan konsumen

global akan produk yang berbasis kesehatan juga akan mempengaruhi pola pikir

konsumen dalam negeri. Sehingga kepedulian akan kesehatan tersebut akan

tertular kepada konsumen domestik dan berimbas kepada peningkatan konsumsi

dalam negeri. Dengan semakin maraknya isu kesehatan tersebut, maka konsumen

akan mulai menuntut industri domestik untuk menyediakan produk-produk yang

multifungsi dan baik bagi kesehatan. Karena itu, faktor kesempatan ini juga

mendukung perkembangan industri terkait dan industri pendukung agribisnis

nasional.

Tabel 23. Keterkaitan Antara Komponen Pendukung dengan Komponen Utama

No Komponen Pendukung

Komponen Utama Keterkaitan Uraian

1 Peranan Pemerintah

• Kondisi Faktor Sumberdaya

• Kondisi Permintaan Domestik

• Industri Terkait dan Pendukung

• Persaingan, Struktur dan Strategi

• Mendukung

• Belum Mendukung

• Belum Mendukung

• Belum

Mendukung

• Penetapan teh sebagai komoditas unggulan nasional akan mendukung peningkatan produksi, luas area, peningkatan nilai tambah dan volume ekspor teh nasional.

• Hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang dikeluarkan khusus untuk mengatasi rendahnya konsumsi teh domestik, berbeda halnya dengan komoditas karet ataupun sawit.

• Kebijakan PPN untuk produk teh kemasan dinilai kurang tepat, karena sangat mempengaruhi biaya produksi perusahaan dan laba yang diperoleh perusahaan, selain itu belum ada insentif dari pemerintah untuk usaha pengembangan teh kemasan.

• Penyamarataan tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan sebesar 5% bagi produk teh yang masuk ke Indonesia.

2 Peranan Kesempatan

• Kondisi Faktor Sumberdaya

• Kondisi Permintaan Domestik • Industri Terkait dan Pendukung

• Persaingan, Struktur dan Strategi

• Mendukung • Mendukung

• Mendukung

• Mendukung

• Penurunan produksi negara pesaing akibat kekeringan akan memicu peningkatan harga teh, hal ini akan meningkatkan kinerja petani dan stakeholder pada industri domestik agar dapat memperoleh kesempatan peningkatan harga.

• Maraknnya isu mengenai peningkatan kesadaran konsumen global akan kesehatan secara tidak langsung juga akan memperngaruhi pengetahuan konsumen domestik. Hal ini akan berdampak pada peningkatan konsumsi nasional, juga diharapkan meningkatkan permintaan pasar ekspor.

• Maraknya tuntutan masyarakat global akan kesehatan akan menjadikan masyarakat domestik semakin menuntut industri terkait dan pendukung teh Indonesia untuk dapat menyediakan produk-produk berbasis kesehatan sesuai dengan tren yang beredar saat ini.

• Kekeringan yang melanda Sri Langka, India dan Kenya akan menimbulkan persaingan antar stakeholder sebagai bentuk upaya tidak ingin ketinggalan kesempatan tingginya harga.

97

98  

Keterangan : Garis menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung

Garis menunjukkan keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung

Peranan Kesempatan

Kondisi Permintaan

Domestik

Gambar 13. Keterkaitaan Antar Komponen Dayasaing dalam Sistem Agribisnis Teh Indonesia

Persaingan, Struktur, Strategi Perusahaan

g

Industri Terkait dan

Industri Pendukun

a

Kondisi Faktor

Sumberday

Peranan Pemerintah

Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan

bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama belum berdayasaing, karena

hanya dua dari enam pasang komponen yang saling mendukung. Sementara pada

komponen peranan pemerintah, kebijakan dan sikap yang diberikan pemerintah

terhadap agribisnis teh Indonesia dinilai baru mampu mendukung komponen

faktor sumberdaya saja. Berbeda dengan komponen pemerintah, komponen

kesempatan ternyata telah memberikan dukungan terhadap seluruh komponen

dalam agribisnis teh Indonesia. Hal tersebut menunjukan adanya peranan

kesempatan tersebut akan mampu meningkatkan posisi dayasaing agribisnis teh

Indonesia apabila seluruh stakeholder mengupayakan diri untuk dapat mengambil

manfaat sebesar-besarnya dari kesempatan-kesempatan tersebut.

99

VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ARSITEKTUR

STRATEGIK AGRIBISNIS TEH INDONESIA

7.1 Analisis Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia

Setelah melakukan analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia, maka

langkah selanjutnya adalah merumuskan strategi untuk meningkatkan dayasaing

tersebut. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi

informasi menjadi dua kelompok, yaitu informasi yang termasuk ke dalam

lingkup internal, dan informasi yang termasuk ke dalam lingkup eksternal.

Selanjutnya, dilakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan yang berasal dari

lingkup internal kemudian identifikasi peluang dan ancaman yang berasal dari

lingkup eksternal. Sumber informasi yang digunakan berasal pembahasan

mengenai sistem agribisnis teh nasional pada Bab V serta analisis dayasaing

agribisnis teh Indonesia pada Bab VI. Kemudian, dilakukan proses pencocokan

dengan menggunakan Matriks SWOT sehingga diperoleh strategi pengembangan

yang sesuai dengan kondisi agribisnis teh Indonesia saat ini.

7.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Tahap pertama yang dilakukan dalam perumusan strategi adalah melakukan

identifikasi strengths, weaknesses, opportunities dan threaths (SWOT). Faktor

strengths dan weaknesses diperoleh dari informasi yang berasal dari lingkup

internal. Dimana lingkup internal merupakan kegiatan dan pihak-pihak yang

terlibat dalam aktivitas usahatani dan pengolahan teh curah. Sementara faktor

opportunities dan threats diperoleh dari kegiatan dan pihak-pihak yang berada di

luar kegiatan budidaya dan pengolahan teh curah, termasuk lingkungan global

(lingkup eksternal). Untuk lebih jelasnya mengenai ruang lingkup internal dan

eksternal, dapat dilihat kembali Gambar 5. Identifikasi mengenai strengths,

weaknesses, opportunities dan threaths tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.

100  

Tabel 24. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman

Komponen Identifikasi SWOT Faktor SWOT

Agribisnis Teh Indonesia

Subsistem Hulu • Peluang • Adanya klon unggulan dengan tingkat produktivitas tinggi dan tahan terhadap hama penyakit

Subsistem Budidaya

• Kekuatan • Kekuatan

• Kelemahan

• Teh Indonesia unggul secara komparatif • Kandungan katekin pada varietas teh Assamica lebih tinggi

dari kandungan katekin varietas Sinensis • Rendahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga

Subsistem Pengolahan • Kelemahan

• Kekuatan

• Mayoritas produk teh yang dihasilkan oleh PBN masih berupa teh curah

• Teh hitam jenis BOP disukai di Timur Tengah Subsistem Pemasaran • Ancaman • Indonesia sebagai market follower di pasar internasional Subsistem Jasa Penunjang • Peluang • Adanya asosisasi-asosiasi (ATI , APETEHINDO) dan DTI

Komponen Dayasaing Agribisnis Teh IndonesiaA. Faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya Alam/Fisik

• Ancaman

• Kondisi cuaca yang semakin tidak menentu

• Syarat, Kondisi, Luas Lahan

• Kelemahan

• Maraknya konversi area kebun teh oleh produsen

• Aksesibilitas Terhadap Bibit

• Peluang • Adanya kemudahan memperoleh bibit teh melalui PPTK

• Aksesibilitas Terhadap Pupuk

• Ancaman • Sering terjadi kelangkaan pupuk di kalangan produsen

• Biaya-Biaya Terkait

• Kelemahan

• Tingginya biaya produksi di subsistem budidaya dan pengolahan teh curah

• Produktivitas Lahan • Kelemahan • Rendahnya produktivitas perkebunan rakyat 2. Sumberdaya Manusia

• Kelemahan

• Kekuatan

• Rendahnya kemampuan petani dalam mengaplikasikan teknologi

• Tenaga kerja banyak tersedia 3. Sumberdaya IPTEK • Peluang • Adanya kontribusi penelitian dari lembaga riset PPTK 4. Sumberdaya Modal • Kelemahan • Petani masih sulit mengakses sumber modal 5. Sumberdaya Infrastruktur • Kelemahan • Sebagian besar infrastruktur seperti jalan, kebun dan pabrik

pengolahan teh curah sudah tidak memadai B. Permintaan Domestik • Komposisi Permintaan

• Kelemahan

• Rendahnya kualitas teh yang beredar di dalam negeri

• Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan

• Ancaman • Peluang

• Rendahnya konsumsi teh dalam negeri. • Adanya potensi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam

negeri • Internasionlaisasi • Ancaman • Pergolakan politik yang terjadi di Timur Tengah C. Industri Terkait dan Pendukung • Industri terkait

• Peluang

• Kekuatan

• Adanya industri olahan berbasis teh yang telah berkembang

di Indonesia • Banyak bagian dari tanaman teh yang dapat dimanfaatkan

• Industri Pendukung • Peluang • Kelemahan

• Transformasi KPB menjadi PT KPBN • Industri teh curah Indonesia belum mendukung konsumsi teh

domestik D. Struktur, Persaingan

dan Strategi • Struktur Pasar

• Ancaman

• Struktur pasar Oligopoly Buyers Market di PT KPBN • Persaingan

• Ancaman

• Persaingan dengan minuman subtitusi, produk teh impor dan

eksportir lain di pasar internasional • Strategi • Peluang • Strategi diversifikasi produk dan pengembangan pasar yang

mulai dilakukan oleh produsen di dalam negeri E. Peranan Pemerintah • Peluang

• Ancaman • Teh merupakan salah satu komoditas unggulan nasional • Rendahnya tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan

F. Peranan Kesempatan • Peluang • Kekeringan yang melanda India, Sri Langka dan Kenya • Semakin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan

kesehatan

101  

7.1.2 Analisis Faktor Strategis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman

1) Analisis Faktor Strategis Internal : Kekuatan

a) Teh Indonesia Unggul secara Komparatif

Tatakomara (2004) menyatakan bahwa teh Indonesia yang dinilai dengan

menggunakan indeks REER telah memiliki keunggulan komparatif, karena

sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia. Selanjutnya Febrianthi

(2008) dengan menggunakan alat analisis Revealed Comparative Advantage

(RCA) menyatakan bahwa Indonesia memiliki dayasaing yang kuat. Analisis

keunggulan komparatif dengan metode RCA menunjukkan bahwa komoditas teh

Indonesia yang berdayasaing kuat adalah teh hijau kode HS 090210 dan teh hitam

kode HS 090240 dikarenakan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua produk

itu dan nilai ekspor yang cukup tinggi, serta pangsa pasar yang luas. Meskipun

demikian, diperlukan usaha yang lebih keras lagi untuk meningkatkan dayasaing

teh Indonesia secara kompetitif, sehingga dayasaing di pasar internasionalnya

menjadi lebih kuat.

b) Kandungan Katekin Teh Assamica Lebih Tinggi Dibandingkan dengan Teh Sinensis

Katekin adalah kandungan pada teh yang bermanfaat untuk kesehatan dan

merupakan antioksidan yang sangat efektif untuk menetralkan radikal bebas

dalam tubuh. Kadar katekin yang terdapat pada teh Assamica (teh yang

dibudidayakan di Indonesia) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar katekin teh

yang berasal dari varietas Sinensis (seperti teh yang dibudidayakan di Cina, Sri

Langka dan Jepang). Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa kualitas

teh Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan kualitas teh dari negara lain,

khususnya Cina, Sri Langka dan Jepang39. Kekuatan kandungan katekin teh

Indonesia umumnya tampak pada kandungan teh hitam Orthodox Indonesia yang

lebih tinggi (8,24 persen) dibandingkan kandungan katekin teh hitam Sri Langka

(7,39 persen). Begitu juga dengan kandungan teh wangi yang berasal dari

Indonesia memiliki kandungan katekin sebesar 9,28 persen lebih tinggi

dibandingkan dengan kandungan teh wangi Cina yang mencapai 7,47 persen dari

                                                            39 DIN. 2007. Teh Indonesia Lebih Menyehatkan dalam www.kompas.co.id [Diakses pada 18

Oktober 2010]

102  

total kandungan senyawa yang terdapat di dalam teh (Bambang et al 1995 dalam

Indarto 2007).

c) Tenaga Kerja Banyak Tersedia Tingginya populasi penduduk Indonesia serta adanya kecenderungan

peningkatan jumlah penduduk Indonesia merupakan kekuatan karena dapat

menjamin ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri teh nasional.

Kebutuhan yang tinggi akan tenaga kerja membuat subsistem perkebunan teh

sangat responsif terhadap ketersediaan tenaga kerja. Tenaga kerja dalam jumlah

banyak terutama dibutuhkan dalam subsistem budidaya teh. Karakteristik tanaman

teh yang membutuhkan perawatan yang intensif tentu menuntut perusahaan untuk

dapat terus menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan.

Tabel 25. Perkembangan Populasi Penduduk Indonesia

No Tahun Populasi Penduduk (000 Jiwa)

1 1998 204.390 2 1999 207.440 3 2000 208.000 4 2001 208.640 5 2002 211.440 6 2003 214.250 7 2004 217.080 8 2005 219.900 9 2006 222.050

10 2007 224.900 Sumber : ITC (2009)

d) Banyak Bagian dari Tanaman Teh yang Dapat Dimanfaatkan Berbagai bagian dari tanaman teh mulai dari akar, batang, daun tua, serat,

tangkai daun, aroma, biji teh dapat diolah menjadi produk sampingan teh.

Beberapa produk hasil pengolahan teh selain minuman adalah sebagai bahan

makanan, bahan pewarna kain, kayu bakar, bahan baku industri furniture, minyak

biji teh, serta beberapa jenis produk lainnya. Beberapa produk sudah diproduksi di

Indonesia, namun beberapa yang lainnya baru sampai tahap penelitian. Hasil

samping tanaman teh Indonesia umumnya belum ditangani secara profesional.

Banyak produk sampingan teh yang diimpor Indonesia untuk memenuhi

kebutuhan industri di bidang farmasi, kosmetika, perikanan dan lain-lain

103  

(Purwoto, Suprihatini dan Sudaryanto 1998 dalam Suryatmo 2003). Banyaknya

bagian-bagian pada tanaman teh yang dapat dimanfaatkan merupakan kekuatan

bagi agribisnis teh Indonesia khususnya industri hilir teh.

2) Analisis Faktor Strategis Internal : Kelemahan

a) Rendahnya Posisi Tawar Petani Dalam Menentukan Harga Teh Posisi tawar (bargaining power) petani seringkali masih merugikan petani

sebagai produsen pucuk. Posisi daya tawar yang rendah menyebabkan petani tidak

memiliki kekuatan untuk menentukan harga. Pertukaran pucuk di tingkat petani

seringkali didominasi oleh pembeli yang biasanya berasal dari perusahaan

pengolah atau pedagang pengumpul. Lemahnya posisi tawar petani umumnya

disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan

terbatasnya modal yang dimiliki. Kendala mendasar bagi mayoritas petani teh

dan petani Indonesia pada umumnya adalah ketidakberdayaan dalam melakukan

negosiasi harga hasil produksinya. Karena itu, posisi tawar petani yang masih

rendah merupakan kelemahan yang dapat menghambat kelangsungan usahatani

teh yang dilakukan petani.

b) Mayoritas Produk Teh yang Dihasilkan PBN Masih Berupa Teh Curah Perkebunan Besar Negara (PBN) merupakan produsen teh dengan pangsa

ekspor terbesar yakni sebesar hampir 70 persen. Kegiatan ekspor ini dilakukan

melalui proses lelang yang diselenggarakan PT KPBN, dimana harga teh yang

terbentuk di PT KPBN dijadikan harga acuan nasional bagi produsen teh di dalam

negeri. Berdasarkan keterangan dari pihak manajemen pemasaran teh PT KPBN,

mayoritas teh yang diperdagangkan melalui PT KPBN merupakan produk teh

curah. Kondisi tersebut menyebabkan penerimaan yang berasal dari teh untuk

Indonesia masih rendah, karena komposisi ekspor produk teh kita masih

didominasi oleh teh curah. Apabila Indonesia khususnya PBN belum mampu

mengkombinasikan produk teh yang diekspornya dengan teh kemasan, maka

posisi Indonesia akan semakin tersingkir oleh negara lain yang telah melakukan

olahan lebih lanjut terhadap produk-produknya. Beberapa negara seperti Jepang,

Inggris, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab merupakan negara-negara

pengimpor teh dunia, namun mereka mampu memberikan nilai tambah pada teh

104  

dengan mengolahnya menjadi produk hilir dan mengekspornya kembali dengan

harga yang lebih tinggi. Pengolahan lanjutan yang dilakukan terhadap produk teh

curah akan memberikan nilai tambah bagi produk teh itu sendiri, dan berdampak

terhadap penerimaan yang diperoleh Indonesia. Selain itu, variasi komposisi

tersebut akan mencegah timbulnya kejenuhan di pasar ekspor Indonesia.

Tabel 26. Rasio Penambahan Nilai pada Produk Teh

Jenis Industri Rasio Penambahan Nilai Teh Hijau Kemasan 0,448 Teh Hitam Kemasan 0,443

Ekstrak Teh 0,603 Flavored Tea 0,859

Sumber : BPS dalam Kustanti V.R dan Widyanti T (2007)

c) Maraknya Konversi Area Kebun Teh oleh Produsen Adanya tren penurunan luas area tanam teh dilatarbelakangi oleh

maraknya konversi yang dilakukan petani teh merupakan kelemahan bagi

perkebunan teh di Indonesia. Konversi ini juga salah satunya didasari oleh harga

teh yang rendah di kalangan petani sehingga produsen khususnya petani lebih

memilih mengkonversi lahan perkebunan tehnya menjadi lahan untuk

mengembangkan komoditas lain seperti sayuran. Sementara untuk PBN dan PBS

konversi ini juga marak dilakukan mengingat adanya tren peningkatan harga

sawit, sehingga sebagian produsen lebih memilih untuk mengusahakan komoditas

sawit dibandingkan dengan teh. Penurunan luas areal ini mempengaruhi volume

produksi nasional. Penurunan produksi teh nasional ini juga mempengaruhi

volume ekspor dan nilai ekspor teh yang diperoleh.

d) Petani Masih Sulit Mengakses Sumber Modal Salah satu ciri petani teh rakyat di Indonesia adalah terbatasnya modal

yang dimiliki. Akibatnya, petani teh seringkali kesulitan untuk mengembangkan

usaha maupun melakukan pengelolaan kebun secara intensif. Salah satu solusi

yang ditawarkan oleh pemerintah dan lembaga keuangan adalah adanya program

pinjaman modal. Namun, program ini dinilai masih kurang tepat karena pada

kenyataanya petani teh masih kesulitan dalam mengakses pinjaman yang berasal

dari lembaga keuangan yang ada. Hal ini disebabkan oleh sulitnya persyaratan

105  

pengajuan kredit yang harus dipenuhi petani secara individu. Petani teh umumnya

tidak memiliki jaminan sehingga mereka kesulitan memperoleh bantuan pinjaman

kredit yang mereka butuhkan. Karena itu, kemampuan petani teh yang rendah

dalam mengakses sumber modal ini merupakan kelemahan yang harus dicarikan

solusinya.

e) Rendahnya Kualitas Teh yang Beredar di Dalam Negeri Teh yang beredar di dalam negeri terdiri dari teh berkualitas sedang

sampai rendah. Sementara teh dengan mutu pertama lebih diutamakan untuk pasar

ekspor. Komposisi produk yang didominasi oleh kualitas rendah justru tidak akan

mengedukasi masyarakat kita. Masyarakat tidak diberikan pilihan akan produk-

produk teh berkualitas produksi dalam negeri, sehingga memungkinkan terjadinya

permintaan produk berkualitas ke luar negeri. Hal tersebut tentunya akan semakin

meningkatkan volume impor teh Indonesia.

3) Analisis Faktor Strategis Eksternal : Peluang

a) Adanya Asosisasi-Asosiasi (ATI dan APTEHINDO) serta Dewan Teh Indonesia yang Mewadahi Para Stakeholder

Asosiasi Teh Indonesia (ATI) dan Asosiasi Petani Teh Indonesia

(APTEHINDO) merupakan suatu bentuk asosiasi yang memberikan peluang bagi

kemajuan agribisnis teh Indonesia. Keberadaan asoiasi-asosiasi ini mampu

mendorong dan meningkatkan kualitas masing-masing komunitas anggotanya.

ATI ataupun APTEHINDO merupakan perpanjangan tangan dari pengusaha dan

petani teh Indonesia. Sementara Dewan Teh Indonesia berperan sebagai

fasilitator, koordinator dan pihak yang mengawasi jalannya kegiatan bisnis di

industru teh di Indonesia. Keberadaan asosiasi dan lembaga ini dapat

dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan sumberdaya manusia dan

penyebaran informasi teknologi secara cepat dan merata akan semakin terbuka.

b) Adanya Kontribusi Penelitian dari Lembaga Riset PPTK Lembaga riset Pusat Penelitian Teh dan Kina merupakan salah satu

lembaga yang menjadi pendukung kegiatan agribisnis teh Indonesia. Hal tersebut

dikarenakan selama ini PPTK telah berhasil menciptakan berbagai macam jenis

teknologi yang terbukti bermanfaat bagi industri teh Indonesia. Selain itu, PPTK

106  

juga melakukan pengkajian terhadap kondisi pasar, prospek dan tantangan yang

akan dihadapi agribisnis teh Indonesia serta kajian mengenai kesesuaian kebijakan

yang telah dilakukan pemerintah terkait dengan teh. Pengembangan lembaga riset

merupakan peluang yang dapat memajukan agribisnis teh Indonesia.

c) Adanya Potensi untuk Meningkatkan Konsumsi Teh Dalam Negeri

Meskipun saat ini konsumsi teh Indonesia masih tergolong rendah, namun

Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam negeri.

Potensi tersebut berasal dari jumlah populasi penduduk Indonesia yang tinggi dan

memiliki kecenderungan meningkat setiap tahun. Populasi penduduk yang tinggi

menggambarkan potensi pasar yang dapat diperoleh. Selain itu, teh telah menjadi

salah satu minuman pilihan bagi masyarakat Indonesia. Adam (2006)

mengungkapkan bahwa kedudukan teh sebagai bahan minuman telah menjadi

salah satu pilihan utama keluarga baik di rumah, di luar rumah, maupun sebagai

hidangan bagi tamu yang berkunjung. Di beberapa provinsi di Indonesia,

menyajikan teh untuk tamu maupun sebagai teman hidangan makanan ringan

merupakan hal yang biasa. Salah satunya tampak pada pola masyarakat Jawa

Barat yang terbiasa menyajikan teh secara cuma-cuma di rumah makan sunda

ataupun warung-warung tenda kaki lima. Hal tersebut mengindikasikan adanya

peluang peningkatan konsumsi teh dalam negeri.

d) Adanya Industri Olahan Berbasis Teh yang Telah Berkembang Kondisi agroindustri minuman teh kemasan dan produk turunan teh

lainnya merupakan peluang yang baik bagi industri perkebunan teh Indonesia.

Selama ini, nilai tambah yang dihasilkan dari industri hilir teh Indonesia pada

tahun 2005 saja mancapai 1,2 triliun dan menyerap sekitar 51.500 tenaga kerja.

Karena itu, pengembangan agroindustri teh kearah produk-produk turunan teh

lainnya akan membuka kesempatan bagi komoditas teh nasional. Industri

minuman teh kemasan di Indonesia merupakan sektor yang sedang berkembang.

Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya produk-produk diversivikasi teh

dalam bentuk kemasan kotak, botol, celup, dan sebagainya, dimana berbagai

produk tersebut dilengkapi oleh variasi rasa dan kemasan yang menarik. Selain

itu, perusahaan-perusahaan pada sektor ini umumnya telah melakukan upaya

107  

promosi yang lebih baik dibandingkan pada perusahaan teh curah. Karena itu,

dengan adanya industri olahan berbasis teh yang semakin berkembang, maka

secara tidak langsung akan mendorong pengembangan supplier bahan bakunya

(industri teh curah).

e) Semakin Tingginya Kesadaran Masyarakat akan Kesehatan Maraknya isu kesehatan di lingkungan pasar global merupakan peluang

bagi industri teh nasional. Kandungan katekin yang tinggi, kebun-kebun yang

mulai dilengkapi dengan serifikasi internasional akan semakin memperkuat

kualitas teh yang ditawarkan Indonesia. Di sisi lain, tuntutan konsumen dunia

akan isu kesehatan juga akan menular kepada konsumen domestik, sehingga akan

ada peluang peningkatan konsumsi teh sebagai minuman multifungsi di pasar

domestik.

4) Analisis Faktor Strategis Eksternal : Ancaman

a) Kondisi Cuaca yang Semakin Tidak Menentu dan Sulit Diprediksi Tanaman teh yang sangat responsif terhadap alam terutama perubahan

kondisi cuaca menyebabkan produsen harus melakukan perlakuan khusus agar

tidak mempengaruhi baik volume maupun kualitas produksi. Dengan kondisi

perubahan cuaca yang ekstrim dan tidak menentu, tentu akan mempengaruhi

kelangsungan usaha perkebunan teh. Salah satu contoh adalah perubahan alam

yang terjadi di India dan Kenya berupa kekeringan yang pada akhirnya

mempengaruhi produksi teh basah dari kedua negara tersebut. Saat ini, kondisi

cuaca di Indonesia juga tengah mengalami ketidakpastian yang tinggi. Curah

hujan yang tinggi di saat musim kemarau dan sebaliknya mulai mempengaruhi

produktivitas produsen.

c) Kelangkaan Pupuk yang Sering Terjadi di Kalangam Produsen Pupuk merupakan komponen penting dalam kegiatan usahatani teh.

Pemupukan perkebunan teh idealnya dapat dilakukan tiga kali dalam satu tahun.

Kelangkaan pupuk di kalangan produsen akan mempengaruhi kualitas tanah dan

pucuk, serta akan mengurangi ketahanan tanaman terhadap hama penyakit.

Karena itu apabila ketersediaan pupuk di kalangan produsen masih sulit diakses

108  

akibat adanya kelangkaan, maka hal tersebut merupakan ancaman bagi

pengembangan agribisnis teh Indonesia.

d) Persaingan dengan Minuman Subtitusi Lain, Produk Teh Impor dan Eksportir lain di Pasar Internasional

Bentuk persaingan dengan produsen minuman subtitusi lain merupakan

sebuah ancaman bagi industri teh di dalam negeri. Teh masih merupakan produk

sekunder di Indonesia, sehingga prioritas konsumen terhadap konsumsi teh masih

dapat dengan mudah tersubtitusi dengan minuman sejenis lainnya. Ditambah lagi,

promosi yang dilakukan produsen minuman seperti kopi dan susu semakin

memperketat persaingan antara produk subtitusi.

Sementara itu, persaingan dengan produk teh impor akan menjadi suatu

bentuk ancaman bagi produk teh domestik. Peningkatan volume dan nilai impor

dari tahun ke tahun menunjukkan permintaan akan produk teh impor yang

semakin meningkat dari konsumen domestik. Hal tersebut akan semakin

diperburuk apabila peredaran produk teh di dalam negeri masih didominasi oleh

produk bermutu rendah dan mahal. Karena produk impor hanya harus membayar

tarif impor sebesar 5 persen, sementara produsen teh kemasan lokal dikenai pajak

pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen.

Pada persaingan di pasar internasional, persaingan dengan eksportir lain

jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan agribisnis teh nasional, khususnya

bagi eksportir dan produsen teh dalam negeri. Dengan semakin ketatnya

persaingan diantara eksportir luar negeri akan semakin menekan Indonesia apabila

tidak diiringi dengan dayasaing yang kuat. Persaingan ini juga akan

mempengaruhi pangsa pasar teh Indonesia yang kemudian berujung kepada

perolehan devisa negara dari teh.

e) Rendahnya Tarif Impor bagi Teh Curah dan Teh Kemasan

Penetapan tarif impor sebesar 5 persen bagi produk teh curah maupun teh

kemasan merupakan ancaman bagi produsen teh dalam negeri. Salah satu

penyebabnya adalah kualitas teh impor lebih baik dibandingkan dengan teh yang

beredar di dalam negeri. Selain itu, beban pajak dari produk teh impor relatif lebih

murah apabila dilihat dari persentase jumlah pajak yang harus dibayarkan.

109  

110  

Produsen teh kemasan dalam negeri diharuskan membayar PPN sebesar 10

persen, sementara produk teh kemasan impor hanya dikenakan tarif impor sebesar

5 persen. Rendahnya tarif impor tersebut mengakibatkan adanya peningkatan

jumlah teh yang diimpor setiap tahunnya.

7.1.3 Perumusan Matriks SWOT Agribisnis Teh Indonesia

Tahap selanjutnya adalah merumuskan strategi berdasarkan faktor-faktor

kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah dianalisis sebelumya. Dalam

merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia alat yang digunakan

adalah Matriks SWOT. Rumusan strategi yang dihasilkan merupakan kombinasi

antara beberapa faktor SWOT. Dengan menggunakan Matriks SWOT strategi yang

dihasilkan terdiri dari strategi SO (penggunaan kekuatan dari agribisnis teh nasional

untuk memanfaatkan peluang yang ada), strategi WO (memanfaatkan peluang untuk

meminimalkan kelemahan dari agribisnis teh Indonesia), strategi ST (penggunaan

kekuatan agribisnis teh nasional untuk mengatasi ancaman) dan strategi WT

(meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman dari lingkungan eksternal).

Tabel 27. Matriks SWOT Agribisnis Teh Nasional

Kekuatan (Strengths-S) 1. Teh Indonesia unggul

secara komparatif 2. Kandungan katekin teh

Assamica lebih tinggi dibandingkan dengan teh Sinensis

3. Tenaga kerja banyak tersedia

4. Banyak bagian dari tanaman teh yang dapat dimanfaatkan

Kelemahan (Weaknesses-W) 1. Rendahnya posisi

tawar petani dalam menentukan harga

2. Sebagian besar PBN masih mengekspor teh dalam bentuk teh curah

3. Maraknya konversi lahan yang dilakukan oleh produsen

4. Petani masih sulit mengakses sumber modal

5. Rendahnya kualitas teh yang beredar di dalam negeri

Peluang (Opportunitties-O) 1. Adanya asosisasi-

asosiasi (ATI, APTEHINDO) dan DTI

2. Adanya kontribusi penelitian dari lembaga riset PPTK

3. Adanya potensi peningkatan konsumsi teh dalam negeri

4. Adanya industri olahan berbasis teh yang telah berkembang

5. Semakin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan kesehatan 

SO Strategy 1. Meningkatkan kegiatan

promosi produk teh Indonesia (S2, S3, O1, O3,O5)

2. Meningkatkan produksi dan diversifikasi produk teh (S1, S3, S4, O2, O4, O5)

3. Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan (S1, S3, O2, O4, O5)

WO Strategy 1. Meningkatkan peranan

ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat (W1, W3, W4, O1, O2)

2. Pembentukan dan penguatan kelompok tani (WI, W3, W4, O1)

3. Meningkatkan komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan alokasi teh curah 1st grade di pasar DN (W2, W5, O3, O4, O5)

Ancaman (Threats-T) 1. Kondisi cuaca yang

semakin tidak menentu 2. Kelangkaan pupuk di

kalangan produsen 3. Persaingan antara

minuman subtitusi, produk impor, eksportir internasional

4. Rendahnya tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan

ST Strategy 1. Merancang pendirian

kluster industri teh di Jawa Barat (S1, S3, S4, T2, T3, T4)

WT Strategy 1. Pembatasan kuota dan

nilai impor teh curah dan olahan (W5, T3, T4)

2. Melakukan perencanaan pola tanam, serta kompak mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar (WI, W3, W4, T1, T2)

111

1) Strategi SO Strategi SO merupakan strategi yang dirumuskan dengan

mempertimbangkan kekuatan yang dimiliki agribisnis teh nasional untuk

memanfaatkan peluang-peluang yang ada seoptimal mungkin. Dengan

menggunakan faktor-faktor kekuatan dan peluang yang telah diperoleh dari

analisis faktor strategis sebelumnya, maka rumusan strategi SO yang dapat

diterapkan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh Indonesia adalah

meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia, meningkatkan produksi

dan diversifikasi produk teh Indonesia serta mempercepat pelaksanaan indutri teh

berkelanjutan.

a. Meningkatkan Kegiatan Promosi Produk Teh Indonesia

Strategi ini dirumuskan dengan mempertimbangkan banyaknya tenaga

kerja manusia di Indonesia yang dapat digunakan untuk melakukan upaya-upaya

promosi seperti penyebaran informasi mengenai teh dan pengenalan teh sebagai

minuman fungsional. Adanya asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia (ATI) dapat

dimanfaatkan sebagai sarana publikasi dan jembatan informasi antara pengusaha

teh dengan konsumen. Selain itu, adanya potensi peningkatan konsumsi

masyarakat terhadap teh juga dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan dari

strategi ini. Surjadi (2003) yang menyatakan bahwa masyarakat akan semakin

meningkatkan konsumsinya terhadap teh seiring dengan bertambahnya

pengetahuan mereka terhadap manfaat teh itu sendiri. Karena itu, strategi

peningkatan kegiatan promosi menjadi sangat penting bagi upaya peningkatan

konsumsi teh domestik. Berdasarkan sasarannya, tujuan dari strategi promosi ini

terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Promosi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam negeri, serta

2. Promosi untuk meningkatkan brand awareness dan brand image produk

teh Indonesia di pasar internasional.

Kegiatan promosi di dalam negeri dapat dilakukan dengan menyebarkan

informasi mengenai teh dan penekanan mengenai tingginya kandungan katekin

teh Indonesia, serta manfaatnya bagi kesehatan. Dengan demikian, diharapkan

pengetahuan konsumen domestik akan bertambah dan berimbas pada peningkatan

minat mereka terhadap teh. Sementara untuk strategi promosi di pasar

112

internasional dilakukan dengan melakukan kegiatan promosi yang diarahkan

untuk meningkatkan brand awareness dan citra produk teh Indonesia di mata

konsumen internasional. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan

keberadaan Dewan Teh Indonesia sebagai perwakilan lembaga teh Indonesia di

pasar dunia. Strategi ini juga dapat dilakukan untuk memanfaatkan adanya

peluang peningkatan kesadaran konsumen global terhadap kesehatan. Kegiatan

promosi mengenai kandungan katekin teh Indonesia juga diharapkan dapat

meningkatkan konsumsi masyarakat dunia terhadap teh Indonesia.

b. Meningkatkan Produksi dan Diversifikasi Produk Teh Strategi peningkatan produksi teh dapat dilakukan dengan menggunakan

potensi sumberdaya yang dimiliki Indonesia yang telah unggul secara komparatif,

termasuk unggulnya sumberdaya manusia Indonesia dalam hal jumlah.

Peningkatan produksi ini dilakukan dengan tujuan mengangkat kembali posisi

Indonesia sebagai produsen teh besar di pasar internasional. Adanya lembaga

penelitian dan pengembangan Pusat Penelitian Teh dan Kina yang telah

menghasilkan klon-klon dengan produktivitas tinggi dan memiliki ketahanan yang

baik terhadap hama dan penyakit dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dari

strategi ini.

Di samping itu, dengan menggunakan bagian-bagian dari tanaman teh, dan

memanfaatkan adanya perkembangan industri besar yang mengolah produk-

produk berbahan dasar teh peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan

melakukan diversifikasi produk teh. Peningkatan produksi dan diversifikasi

produk juga dapat dilakukan untuk memanfaatkan adanya peluang yang muncul

akibat adanya peningkatan kesadaran masyarakat dunia terhadap kesehatan.

Karena itu dengan melakukan peningkatan produksi dan diverisfikasi produk

diharapkan Indonesia dapat menjadi produsen yang menawarkan berbagai produk

kesehatan berbahan dasar teh.

c. Mempercepat Pelaksanaan Industri Teh Berkelanjutan Pelaksanaan sustainable tea atau industri teh berkelanjutan sudah berjalan

di beberapa negara penghasil teh dunia seperti India, Kenya dan Sri Langka.

Sustainable tea adalah pelaksanaan serangkaian kegiatan dimulai dari kegiatan

113

budidaya, pengolahan, pengemasan, quality control, hingga pendistribusian

barang sampai ke konsumen yang dilakukan dengan benar, jujur dan bertanggung

jawab. Artinya seluruh proses dilaksanakan dengan prosedur yang benar dan

bertanggung jawab terhadap manusia, mahluk hidup maupun lingkungan di

sekitarnya. Di Indonesia, pelaksanaan sustainable tea mulai marak dilakukan oleh

perkebunan atau pabrik teh curah yang berorientasi ekspor. Hal tersebut

dikarenakan perusahaan-perusahaan besar teh dunia mulai menetapkan

standarisasi tinggi bagi produk sekaligus perkebunan pemasok bahan baku teh

mereka. Indonesia sebagai salah satu pemasok bahan baku (teh curah) juga

dituntut untuk dapat memenuhi standar produk yang mereka tetapkan, salah

satunya terkait dengan melengkapi perkebunan atau pabrik mereka dengan

sertifikasi yang telah diakui secara internasional.

Strategi percepatan pelaksanaan industri teh berkelanjutan menunjukkan

respon yang cepat terhadap adanya perubahan tuntutan konsumen, khususnya

konsumen internasional. Strategi ini disusun dengan mempertimbangkan bahwa

hingga saat ini agribisnis teh Indonesia telah memiliki keunggulan komparatif,

sehingga pelaksanaan sustainable tea akan lebih mudah apabila dibandingkan

dengan negara lain yang belum unggul secara komparatif. Hal tersebut juga

didukung dengan banyaknya jumlah tenaga kerja yang siap untuk dipekerjakan.

Percepatan pelaksanaan sustainable tea artinya melakukan sertifikasi

kebun dan pabrik sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin sehingga

peluang adanya peningkatan konsumsi teh dunia dan maraknya tuntutan terhadap

produk berkualitas, sehat dan bertanggung jawab terhadap lingkungan dapat

terjawab. Adanya Pusat Penelitian Teh dan Kina dapat dimanfaatkan sebagai

sumber informasi dan inovasi teknologi yang dapat membantu mempercepat

pelaksanaan sustainable tea di Indonesia. Teknologi peningkatan keanekaragaman

hayati, peningkatan kesuburan tanah khususnya peningkatan kadar organik tanah

serta teknologi peningkatan nilai produk untuk meningkatkan nilai tambah yang

merupakan teknologi tepat guna untuk mempercepat implementasi sustainable tea

saat ini seluruhnya telah tersedia di PPTK. Selain itu, adanya industri teh olahan

yang mulai berkembang di Indonesia akan semakin mempermudah pelaksanaan

percepatan sustainable tea ini.

114

2) Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang digunakan untuk menghindari ancaman

yang datang dari luar lingkungan internal dengan memanfaatkan kekuatan yang

dimiliki. Ancaman yang dinilai paling mempengaruhi kondisi agribisnis teh

Indonesia adalah ancaman cuaca, kelangkaan pupuk, persaingan dengan produk

subtitusi, impor maupun produk teh dari negara lain serta rendahnya tarif impor

yang menyebabkan volume teh impor semakin meningkat setiap tahunnya.

Strategi yang dapat dilakukan adalah merancang pendirian kluster industri teh di

Jawa Barat.

a. Merancang Pendirian Kluster Industri Teh di Jawa Barat Strategi pendirian kluster industri teh di Jawa Barat didasari oleh potensi

Jawa Barat sebagai sentra produksi teh di Indonesia. Hal tersebut juga didukung

oleh sebagian besar perkebunan dan perusahaan terkait yang terletak di Jawa

Barat dan sekitarnya. Unggulnya teh Indonesia, termasuk tersedianya jumlah

tenaga kerja merupakan modal utama dalam pendirian kluster industri. Selain

pengembangan usaha berbahan dasar daun teh di dalam kluster, dapat juga

dikembangkan industri sampingan yang memanfaatkan bagian-bagian lain dari

tanaman teh, seperti usaha furniture, pewarna pakaian dan jenis usaha lainnya.

Dengan pendirian kluster, adanya ancaman kelangkaan pupuk diharapkan dapat

diminimalisir, karena kluster pada hakekatnya akan membentuk dan

mengkoordinasikan berbagai elemen mulai dari penyedia input, produsen pucuk,

pabrik-pabrik serta lembaga pendukung teh lainnya.

Selain itu, pada perkembangannya pembentukan kluster diharapkan

mampu menciptakan efisiensi dari rantai tataniaga teh, khususnya di Jawa Barat

sebagai pusat kegiatan industri teh di Indonesia. Seiring dengan kuatnya kluster

industri teh tersebut, maka diharapkan akan tercipta industri dengan produk-

produk teh unggulan yang siap bersaing dengan produk-produk lain, baik

persaingan dengan produk subtitusi, produk impor yang muncul akibat rendahnya

tarif impor, maupun produk-produk teh lain yang diperdagangkan oleh pesaing-

pesaing Indonesia di pasar internasional. Pembangunan kluster industri teh akan

menciptakan integrasi yang kuat antara semua subsistem, mulai dari subsistem

hulu hingga jasa dan penunjang.

115

3) Strategi WO

Strategi WO merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi

efek yang muncul dari kelemahan-kelemahan pada agribisnis teh Indonesia

dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi WO yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh Indonesia diantaranya

adalah meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO dan DTI, melakukan

pembentukan dan penguatan kelompok tani serta melakukan peningkatan alokasi

teh mutu pertama di pasar domestik.

a. Meningkatkan Peranan ATI, APTEHINDO dan DTI Petani sebagai pemilik areal perkebunan teh terbesar di Indonesia justru

memiliki tingkat produktivitas terendah diantara kedua tipe kepemilikan kebun

lainnya. Rendahnya produktivitas petani tersebut diantaranya disebabkan oleh

rendahnya posisi tawar petani teh Indonesia, maraknya konversi lahan yang

dilakukan oleh produsen serta sulitnya petani dalam mengakses sumber modal.

Ketiga kelemahan tersebut muncul karena kurangnya peranan pihak luar sebagai

pendamping, Pembina dan fasilitator (pihak yang menjembatani para stakeholder)

bagi produsen, khususnya petani. Adanya Asosiasi Teh Indonesia dan Asosiasi

Petani Teh Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan peran

tersebut. ATI dan APTEHINDO diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan

teknologi serta menjadi koordinator dari seluruh elemen produsen teh. Sehingga

dengan adanya koordinasi yang baik akan memperbaiki posisi tawar petani dan

mengurangi tren konversi lahan karena pengetahuan produsen mengenai usahatani

teh telah bertambah.

Sementara adanya Dewan Teh Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai

fasilitator dan negosiator antara produsen dengan lembaga-lembaga pendukung

lainnya, seperti pemerintah, pihak swasta dan lembaga keuangan. Dengan

demikian salah satu efek yang diharapkan adalah terbukanya akses bagi produsen

teh khususnya petani menuju sumber modal. Selain itu, adanya DTI juga dapat

dimanfaatkan sebagai pengawas bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh

seluruh stakeholder, sehingga diharapkan akan mengurangi adanya

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan merugikan produsen.

116

b. Pembentukan dan Penguatan Kelompok Tani

Permasalahan rendahnya posisi tawar petani dan sulitnya mengakses

sumber modal juga disebabkan oleh lemahnya petani jika hanya memanfaatkan

kekuatan individu mereka. Sempitnya luas areal yang dimiliki masing-masing

individu petani menyebabkan jumlah produksi yang dihasilkan petani rendah.

Selain itu, tidak jarang pucuk yang dihasilkan pun tidak seragam atau berkualitas

rendah. Hal tersebut mengakibatkan munculnya penekanan harga dari pihak

pedagang karena petani tidak dapat memenuhi jumlah maupun kualitas yang

diminta. Selain itu, sulitnya petani mengakses sumber modal salah satunya

disebabkan oleh ketidakmampuan petani dalam memenuhi persyaratan yang

diminta oleh pihak lembaga keuangan. Karena itu, dengan memanfaatkan adanya

asosiasi seperti ATI dan APTEHINDO, strategi pembentukan dan penguatan

kelompok tani diharapkan dapat menyelesaikan atau setidaknya mengurangi efek

dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki petani.

Pembentukan kelompok tani baru dan penguatan kelompok tani yang

sudah ada dapat menjadi wadah bagi petani untuk dapat berkumpul dan

menghimpun kekuatan sehingga diharapkan posisi tawar petani akan meningkat.

Ke depannya diharapkan kelompok tani dapat mandiri dan mengarah kepada

pembentukan koperasi tani sebagai bentuk perusahaan milik petani.

c. Meningkatkan Komposisi Produk Teh Olahan untuk Ekspor dan Meningkatkan Alokasi Teh Curah 1st Grade di Pasar Domestik

PT Perkebunan Nusantara merupakan market leader bagi industri teh di

Indonesia. PT Perkebunan Nusantara juga berperan sebagai tombak ekspor teh

Indonesia. Hampir 70 persen dari total ekspor teh Indonesia berasal dari PT

Perkebunan Nusantara. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT KPBN,

diketahui bahwa sebagian besar produk yang diekspor oleh Indonesia merupakan

teh hitam dan masih berbentuk teh curah. Hal ini menyebabkan penerimaan

Indonesia yang berasal dari ekspor teh lebih rendah dibandingkan dengan negara-

negara lain yang telah mulai mengkomibnasikan produk ekspor mereka dengan

produk teh olahan.

Suprihatini dan Rosyadi (2003) menyatakan bahwa Indonesia khususnya

perusahaan eksportir, perlu mulai melakukan perubahan komposisi produk teh

117

yang diekspor ke pasar internasional. Hal ini selain untuk meningkatkan

penerimaan perusahaan, juga dapat dilakukan untuk mengantisipasi adanya

kecenderungan kejenuhan pasar terhadap produk teh hitam curah yang beredar di

pasar internasional. Suprihatini dan Rosyadi (2003) menyebutkan bahwa diantara

seluruh produk yang diperdagangkan di pasar internasional, produk teh hitam

curah merupakan produk dengan dayasaing terendah, sementara teh hijau curah,

teh hitam olahan dan teh hijau olahan memiliki dayasaing yang lebih baik.

Peningkatan komposisi produk ekspor lebih dianjurkan kearah peningkatan

produk teh hitam olahan, mengingat mayoritas produk teh yang diekspor

Indonesia adalah teh hitam curah. Selain itu, kandungan katekin yang terdapat

pada teh hitam Indonesia tidak kalah dengan kandungan katekin dari teh hijau

yang berasal dari Cina. Hal tersebut dapat digunakan untuk memanfaatkan adanya

peluang dari tren peningkatan kesadaran masyarakat global terhadap kesehatan.

Sementara di pasar domestik, teh yang beredar masih didominasi oleh teh

bermutu rendah. Strategi peningkatan alokasi teh curah first grade ke pasar

domestik dapat dilakukan dengan mempertimbangkan adanya potensi konsumsi

teh di dalam negeri. Surjadi (2003) mengatakan bahwa konsumen rumah tangga di

Jawa Barat memiliki kecenderungan meningkatkan konsumsi teh mereka setelah

pengetahuan mereka tentang teh dan khasiatnya bertambah pula. Dengan

meningkatkan alokasi teh curah mutu pertama ke pasar domestik diharapkan dapat

mendidik konsumen teh Indonesia sehingga penghargaan terhadap produk teh

berkualitas akan meningkat. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan adanya

industri teh olahan yang berkembang, termasuk PT Perkebunan Nusantara sebagai

market leader.

4) Strategi WT Strategi WT adalah strategi yang sifatnya defensif, dimana strategi yang

dilakukan harus mampu meminimalisir kerugian akibat dari kelemahan yang

dimiliki sekaligus bagaimana menghindari ancaman-ancaman yang mungkin

datang. Strategi WO yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dayasaing

agribisnis teh nasional adalah pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan

olahan serta melakukan perencanaan pola tanam, dan mengatur juga menjaga

kualitas dan kuantitas stok di pasar.

118

a. Pembatasan Kuota dan Nilai Impor Teh Curah dan Teh Olahan Selama tahun 2000 hingga 2009, volume dan nilai impor teh yang masuk

ke Indonesia cenderung terus meningkat. Sejak tahun 2000, peningkatan volume

impor teh ke Indonesia meningkat dengan peningkatan rata-rata sebesar 18,67

persen setiap tahunnya. Sementara nilai impor teh meningkat sebesar 20 persen

setiap tahunnya. Meskipun sebagian produk teh impor merupakan bahan baku

bagi industri blending tea di pasar lokal, namun peningkatan volume dan nilai

impor yang cukup besar tidak dapat terus dibiarkan. Hal tersebut akan mengurangi

penerimaan devisa bagi negara bahkan dapat menimbulkan ketergantungan impor

di masa yang akan datang. Strategi pembatasan kuota dan nilai impor dapat

dilakukan untuk melindungi produsen teh dalam negeri, sekaligus menjaga

stabilisasi persaingan antara produk teh domestik dengan produk teh impor yang

masuk. Selain itu, dengan pembatasan nilai impor teh, maka akan mengurangi

penggunaan devisa negara untuk membeli teh impor.

b. Melakukan Perencanaan Produksi, serta Kompak Mengatur, Mengendalikan dan Menjaga Kualitas dan Kuantitas Stok di Pasar

Strategi perencanaan produksi dapat dilakukan untuk menghindari risiko

akibat adanya ketidakpastian cuaca dan kelangkaan pupuk yang seringkali terjadi

di kalangan produsen. Dengan melakukan perencanaan yang tepat, petani dapat

menghindari penurunan jumlah dan kualitas produksi yang disebabkan oleh cuaca.

Selain itu, dengan mengatur dan menjaga kualitas dan kuantitas stok yang ada di

pasar secara kompak, petani dapat mengendalikan jumlah pasokan sehingga akan

terhindar dari risiko anjloknya harga pucuk. Petani juga akan memegang kendali

dalam peredaran produk di pasar, karena didukung dengan perencanaan produksi

yang matang. Hal tersebut juga dapat membantu menstabilkan harga. Di samping

itu, dengan mengatur pelaksanaan produksi dan pemasaran, maka biaya yang

dikeluarkan dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Hal tersebut memungkinkan

petani untuk terus melakukan usaha meskipun kemampuan mengakses sumber

modal tambahan sangat sulit. Pengaturan, pengendalian dan upaya menjaga

kualitas dan kuantitas stok di pasar juga diharapkan dapat meningkatkan

pendapatan petani sehingga akan mengurangi upaya konversi yang dilakukan oleh

petani.

119

120

7.2 Rancangan Arsiektur Strategik

1) Sasaran Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia

Mengacu pada tujuan penetapan teh sebagai komoditas unggulan nasional

dan Road Map Teh Indonesia tahun 2006, maka sasaran pembangunan agribisnis

teh Indonesia adalah :

1. Peningkatan luas area, produksi, produktivitas, konsumsi domestik dan

volume ekspor teh,

2. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani,

3. Peningkatan mutu dan pengembangan produk teh, dan

4. Peningkatan upaya promosi secara intensif.

2) Tantangan Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia Berdasarkan sasaran-sasaran yang ingin dicapai, agribisnis teh Indonesia

pun tidak lepas dari beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti :

1. Penurunan luas area perkebunan serta banyaknya kebun-kebun tua yang

sudah tidak produktif lagi,

2. Rendahnya pengetahuan konsumen dalam negeri akan manfaat teh yang

menyebabkan konsumsi teh domestik masih rendah,

3. Meningkatnya kesadaran masyarakat global terhadap kesehatan,

pelestarian lingkungan, keselamatan kerja, dsb yang menjadi hambatan

non-tarif bagi Indonesia, serta

4. Perubahan lingkungan persaingan yang begitu cepat dan agresif.

3) Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Teh Indonesia

Perwujudan dari strategi yang telah diperoleh melalui analisis SWOT

kemudian diturunkan ke dalam program. Program-program tersebut disusun

berdasarkan pertimbangan sasaran dan tantangan yang dihadapi oleh agribisnis

teh Indonesia. Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 27.

Tabel 28. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Teh Indonesia

No Strategi Program Penanggung Jawab

Sasaran Utama

1 Pembentukan dan penguatan kelompok tani

• Penyuluhan mengenai manfaat berkelompok,

• Merangsang pembentukan kelompok tani baru dan penguatan kelompok tani yang sudah ada

• Pembinaan, pendampingan, pelatihan skill manajement

• Pemerintah daerah • Penyuluh

pertanian • Asosiasi • DTI

• Petani teh rakyat • Lahirnya

koperasi tani

2 Melakukan perencanaan produksi, serta mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar

• Penyuluhan dan pembinaan rutin mengenai perencanaan produksi dan informasi pasar

• Pemerintah daerah • Penyuluh

pertanian • Kelompok

tani

Petani teh rakyat

3 Meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat

• Secara aktif dan rutin melakukan pemantauan dan survey lapang,

• Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terkait

• Asosiasi • DTI

• Lembaga keuangan, • Pemerintah • Produsen • Petani

4 Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan

• Sertifikasi kebun dan pabrik • Pemberian insentif bagi

perusahaan yang telah meningkatkan kualitasnya

• 80 persen kebun dan pabrik tersertifikasi

• Pemerintah • Kementan • PPTK • Produsen teh

Produsen pada PBN, PBS, PR

5 Merancang pendirian kluster industri teh di Jawa Barat

• Penyusunan rencana sekaligus koordinasi seluruh pihak

• Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem

• Realisasi kluster

• Pemerintah daerah Jabar • Industri teh

Jabar

• Industri teh Jabar • Investor

6 Meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia

• Meningkatkan kegiatan promosi untuk memperluas pasar di dalam negeri

• Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di LN

• Asosiasi • DTI • Industri teh

Konsumen teh di dalam dan luar negeri

7 Meningkatkan produksi, dan diversifikasi produk

• Peningkatan luas area tanam, replanting, rehabilitasi, intensifikasi

• Meningkatkan ragam produk teh

• Dinas Pertanian • PPTK • Industri

• Konsumen • Produsen

teh

8 Meningkatkan komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan alokasi teh curah 1st grade di pasar DN

• Melakukan kajian mengenai komposisi ragam produk teh yang diekspor

• Meningkatkan porsi teh mutu pertama yang beredar di pasar domestik

• Industri pengolahan teh • Lembaga

pemasaran

Konsumen dalam dan luar negeri

9 Pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan olahan

• Melakukan kajian mengenai batas dan dampak kebijakan kuota dan nilai impor

• Implementasi pembatasan kuota dan nilai impor teh ke Indonesia

Pemerintah Eksportir teh ke Indonesia

121

4) Tahap Penyusunan Arsitektur Strategik

Dalam menyusun rancangan arsitektur strategik bagi agribisnis teh

Indonesia, penulis menggabungkan antara strategi, program dan rancang desain

arsitektur yang bertujuan memberi gambaran kepada pembaca akan urutan

program, prioritas serta tahapan strategi. Tidak ada pertimbangan baku dalam

merancang sebuah arsitektur strategik, namun penyusunan prioritas strategi

dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti waktu, sasaran

yang ingin dicapai, serta tantangan yang harus dihadapi.

Rancangan arsitektur strategik agribisnis teh Indonesia merupakan

rancangan program kegiatan yang dibuat untuk membantu memberi gambaran

mengenai tahapan-tahapan yang dapat ditempuh demi mewujudkan sasaran di

masa depan. Sumbu X dan Y merupakan sumbu yang menggambarkan dimensi

waktu yang diperlukan untuk suatu strategi dan program tertentu. Sumbu X

merupakan periode waktu yang digunakan dalam periode tahun, sedangkan sumbu

Y waktu yang menggambarkan urutan program kegiatan. Program yang akan

dicetak ke dalam arsitektur strategik tersebut terbagi menjadi program bertahap

dan program rutin. Berikut ini adalah pembagian program bertahap dan program

rutin :

1) Program Bertahap

a. Periode I

i. Merangsang pembentukan kelompok tani baru dan menguatkan

kelompok tani yang sudah ada

ii. Penyusunan rencana sekaligus koordinasi seluruh pihak terkait dengan

pendirian kluster

iii. Melakukan kajian mengenai batas dan dampak dari penetapan

kebijakan pembatasan kuota dan nilai teh impor

b. Periode II

i. DTI mulai menjalin kerjasama dengan pihak pemerintahan dan

lembaga keuangan

ii. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap I (30 persen)

iii. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap I

122

123

iv. Melakukan kajian mengenai komposisi ragam produk teh yang akan

diekspor

v. Implementasi pembatasan kuota dan nilai teh ke Indonesia

c. Periode III

i. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap II (60 persen)

ii. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap II

iii. Meningkatkan ragam produk teh (diversifikasi produk)

d. Periode IV

i. Meningkatkan porsi teh mutu pertama yang beredar di pasar domestik

ii. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap II (80 persen)

e. Periode V

i. Pemberian insentif bagi perusahaan yang telah memiliki sertifikasi

ii. Realisasi kluster industri teh di Jawa Barat

2) Program Rutin :

a. Penyuluhan mengenai manfaat bertani secara kelompok,

b. Pembinaan, pendampingan dan pelatihan skill management,

c. Penyuluhan dan pembinaan rutin mengenai perencanaan produksi dan

informasi pasar

d. Asosiasi dan DTI secara aktif dan rutin melakukan pemantauan dan

survey lapang

e. Meningkatkan kegiatan promosi untuk memperluas pasar di dalam negeri

f. Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di

pasar internasional

g. Peningkatan luas area tanam, replanting, rehabilitasi, intensifikasi

Gambar 14. Rancangan Arsitektur Strategik Agribisnis Teh Indonesia

PROGRAM RUTIN 1a. Penyuluhan mengenai manfaat bertani secara kelompok, 1c. Pembinaan, pendampingan dan pelatihan skill management, 2a. Penyuluhan dan pembinaan rutin mengenai perencanaan produksi dan informasi pasar 3a. Asosiasi dan DTI secara aktif dan rutin melakukan pemantauan dan survey lapang 6a. Meningkatkan kegiatan promosi untuk memperluas pasar di dalam negeri 6b. Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di pasar

internasional 7a. Peningkatan luas area tanam, replanting, rehabilitasi, intensifikasi

SASARAN 1. Peningkatan luas area,

produksi, produktivitas, konsumsi domestik, dan volume ekspor teh,

2. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani,

3. Peningkatan mutu dan pengembangan produk teh,

4. Peningkatan upaya promosi secara intensif.

TANTANGAN 1. Penurunan luas area

perkebunan serta banyaknya kebun-kebun tua yang sudah tidak produktif lagi,

2. Rendahnya pengetahuan konsumen dalam negeri akan manfaat teh yang menyebabkan konsumsi teh domestik masih rendah,

3. Meningkatnya kesadaran masyarakat global terhadap kesehatan, pelestarian lingkungan, keselamatan kerja, dsb yang menjadi hambatan non-tarif bagi Indonesia, serta

4. Perubahan lingkungan persaingan yang begitu cepat dan agresif.

STRATEGI 1. Pembentukan dan

penguatan kelompok tani 2. Melakukan perencanaan

produksi; serta mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar

3. Meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat

4. Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan

5. Merancang pendirian kluster industri teh di Jawa Barat

6. Meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia

7. Meningkatkan produksi, dan diversifikasi produk

8. Meningkatkan komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan alokasi teh curah 1st grade di pasar DN

9. Pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan olahan

9a. Kajian mengenai batas dan dampak kebijakan

tarif impor

5a. Perencanaan dan koordinasi dalam rangka pembangunan

kluster industri teh Jabar 

5b. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap I

4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap I

(30 persen)5b. Penataan wilayah

dan integrasi antar subsistem tahap II 1b. Merangsang

pembentukan kelompok tani baru

dan penguatan kelompok tani lama 

3b. DTI melakukan kerjasama dengan

pemerintah &lembaga keuangan 

4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap III

(80 persen)

4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap II

(60 persen)

8b. Meningkatkan porsi teh mutu

pertama di pasar DN

5c. Realisasi pendirian kluster

industri teh di Jawa Barat

PERIODE I PERIODE II PERIODE III PERIODE IV PERIODE V

7b. Peningkatan ragam produk teh

(diversifikasi produk) 

8a. Kajian mengenai ragam teh yang

diekspor 

9b. Implementasi kebijakan impor baru 

4b. Pemberian insentif bagi

perusahaan yang telah tersertifikasi

124

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat

diperoleh, adalah :

1) Sistem agribisnis teh Indonesia terbagi menjadi :

a. Subsistem Hulu

Subsistem ini terdiri dari empat kegiatan utama, yaitu usaha

pembibitan teh, usaha penyedia sarana dan jasa transportasi, usaha

penyedia pupuk dan obat-obatan serta usaha penyedia alat dan mesin

pertanian. Kegiatan pembibitan teh didukung oleh adanya Pusat Penelitian

Teh dan Kina yang menghasilkan klon unggul. Sarana dan jasa

transportasi menjadi aspek yang sangat penting mengingat distribusi teh

dilakukan dari perkebunan yang umumnya terletak di daerah pegunungan

hingga ke berbagai negara di seluruh dunia. Pupuk dan obat-obatan

merupakan komponen terpenting dalam kegiatan budidaya teh, biaya

untuk pupuk dapat mencapai 10-40 persen dari total biaya produksi.

Namun hingga saat ini masih sering terjadi kelangkaan pupuk di kalangan

produsen. Sementara pengadaan mesin-mesin pengolah umumnya masih

tergantung pada mesin impor.

b. Subsistem Budidaya

Berdasarkan tipe kepemilikannya, perkebunan teh di Indonesia terdiri

dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan

Perkabunan Besar Swasta (PBS). Luas area PR mencapai 46,25 persen,

dengan produksi sekitar 38.593 ton. Sementara luas area PBN dan PBS

mencapai 31,2 persen dan 22,55 persen dengan produksi mencapai 78.354

ton dan 37.024 ton. Produktivitas PR mencapai 791,9 kg/ha, PBN sebesar

1.956,5 kg/ha dan PBS mencapai 1.301,8 kg/ha.

c. Subsistem Pengolahan Teh Curah

Pabrik teh curah di Indonesia terbagi menjadi pabrik teh hitam curah

dan pabrik teh hijau curah. Sebagian besar teh yang diekspor Indonesia

125

merupakan teh hitam (87,47 persen), dan sisanya adalah teh hijau (12,5

persen)

d. Subsistem Pemasaran

Jalur pemasaran teh terbagi menjadi jalur perdagangan langsung dan

jalur perdagangan lelang. Jalur tataniaga perdagangan langsung masih

merupakan jalur yang panjang dan tidak efektif, khususnya bagi petani teh.

Hingga saat ini, masih banyak petani yang memperoleh harga rendah akibat

adanya penekanan harga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul.

Sementara jalur perdagangan melalui proses lelang (Jakarta Tea Auction)

lebih ditujukan untuk perdagangan teh ke pasar internasional. Harga yang

terbentuk pada JTA digunakan sebagai patokan harga teh nasional. Struktur

pasar oligopoly buyers market yang dihadapi pada kegiatan lelang di JTA

dinilai masih belum dapat menciptakan proses pembentukan harga yang

efektif, karena masih adanya dominasi dari beberapa perusahaan besar

tertentu.

e. Subsistem Jasa Penunjang

Kegiatan agribisnis teh di Indonesia tidak terlepas dari kontribusi Pusat

Penelitian Teh dan Kina sebagai lembaga riset. Sejauh ini, PPTK telah

mampu menghasilkan berbagai hasil penelitian yang telah digunakan untuk

pengembangan industri teh di Indonesia. Berbeda dengan PPTK,

keberadaan lembaga keuangan khususnya perbankan di Indonesia dinilai

belum sepenuhnya mendukung kegiatan agribisnis teh, khususnya dalam

memberi dukungan pembiayaan pada produsen terutama petani. Selain

kedua lembaga tersebut, terdapat pula kelompok tani, koperasi, lembaga

pemasaran seperti PT KPBN, asosiasi-asosiasi dan Dewan Teh Indonesia

yang juga tergolong ke dalam susbsistem jasa dan penunjang.

2) Berdasarkan analisis dayasaing menggunakan Sistem Berlian Porter dapat

disimpulkan bahwa keterkaitan yang saling mendukung antar komponen

utama telah terlihat pada komponen faktor sumberdaya dengan komponen

komposisi permintaan domestik dan komponen faktor sumberdaya dengan

komponen industri terkait dan industri pendukung. Sementara antara

komponen utama lainnya, belum terlihat keterkaitan yang saling mendukung.

126  

Selain itu, apabila dilihat dari keterkaitan antara komponen pendukung dengan

komponen utama, komponen peran pemerintah ternyata baru memiliki

keterkaitan yang mendukung dengan komponen faktor sumberdaya saja,

sementara dengan komponen lainnya pemerintah dinilai belum memiliki

keterkaitan yang saling mendukung. Berbeda dengan komponen pemerintah,

komponen peranan kesempatan dengan adanya kesempatan berupa penurunan

produksi yang dilanda Kenya, Sri Langka dan India akibat kekeringan, juga

semakin merebaknya isu kesehatan di kalangan masyarakat global ternyata

telah mampu mendukung semua komponen utama dalam Sistem Berlian

Porter.

3) Strategi peningkatan dayasaing yang dihasilkan melalui analisis Matriks

SWOT lebih mengarah kepada strategi peningkatan kinerja petani teh rakyat,

yaitu dengan meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelompok

tani dan dukungan dari adanya asosiasi dan Dewan Teh Indonesia. Sementara

untuk perkebunan besar negara dan swasta strategi lebih mengarah kepada

peningkatan produksi dan diversifikasi produk, khususnya untuk produk teh

tujuan ekspor. Permasalahan lain yang menjadi fokus strategi adalah

permasalahan yang terkait dengan konsumsi teh, strategi yang digunakan lebih

diutamakan kepada peningkatan upaya promosi yang bertujuan untuk

meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai teh dan manfaatnya.

8.2 Saran

Adapun saran yang diajukan penulis untuk penelitian selanjutnya adalah

sebagai berikut :

1) Dalam melakukan analisis gambaran sistem agribisnis teh Indonesia, penulis

belum mampu melakukan analisis secara rinci di setiap subsistem, karena itu

diharapkan dalam penelitian selanjutnya dilakukan penelitian secara khusus

untuk masing-masing subsistem sehingga dapat diketahui potensi serta

kendala yang mendasar namun belum muncul ke permukaan.

2) Berdasarkan analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia, penelitian ini belum

mampu melihat sejauh mana keterkaitan antar komponen serta sejauh mana

bentuk dukungan yang diberikan oleh komponen-komponen yang telah saling

127  

3) Untuk mendukung rumusan strategi pembangunan kluster industri teh di Jawa

Barat, maka dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai kesiapan dan strategi

pembangunan dalam bentuk rancangan kluster industri teh di Jawa Barat

sebagai sentra produksi teh di Indonesia.

128  

DAFTAR PUSTAKA

Adam RP. 2006. Pengaruh Faktor Internal Konsumen dan Kinerja Bauran Pemasaran terhadap Pengambilan Keputusan Pembelian Komoditas Teh oleh Konsumsi Rumah Tangga di Jawa Barat [Disertasi]. Bandung : Program Doktor bidang Ilmu Pertanian, Universitas Padjajaran.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Perkebunan : Tree Crop Estate Statistics 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Perkebunan 2011. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.

Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. 2003. Evolusi Teori Dayasaing. Jakarta : Penerbit Salemba Empat.

David Fred R. 2009. Manajemen Strategis Konsep. Sunardi D, penerjemah; Wuriarti P, editor. Jakarta : Salemba Empat. Terjemahan dari : Strategic Management 12th Edition.

[Dirjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Teh Indonesia dalam Angka 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.

Doerjat Iman S. 2007. Pengaruh Kinerja Atribut Produk, Tingkat Harga Pada Pelanggan Akhir, Ketersediaan Produk, dan Kinerja Promosi terhadap Nilai Pelanggan serta Implikasinya pada Kepuasan Pelanggan Produk Teh Hitam Celup [Disertasi]. Bandung : Program Doktor bidang Ilmu Manajemen Bisnis, Universitas Padjajaran.

Febriyanthi SA. 2008. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi Teh Indonesia Di Pasar Internasional [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Halik A. 2009. Sambutan Ketua Umum Dewan Teh Indonesia. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm v-ix.

Hamel G, Prahald CK. 1995. Kompetisi Masa Depan. Maulana A, penerjemah; Saputra L, proof reader. Jakarta : Binarupa Aksara. Terjemahan dari : Competing for The Future.

Indarto P. 2007. Teh Minuman Bangsa-Bangsa di Dunia. Jakarta : Pawon.

Irianto G. 2009. Sambutan dan Keynote Speech Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm i-iv.

129  

[ITC] International Tea Committee. 2009. Annual Bulletin of Statistics. International Tea Committee.

Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014. Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Kustanti VR, Widyanti T. 2007. Research on Supply Chain in The Tea Sector in Indonesia. The Business Watch Indonesia.

Nazaruddin, Paimin FB. 1993.Pembudidayaan dan Pengolahan Teh. Cetakan I. Jakarta : Penebar Swadaya.

Pambudi J. 2006. Potensi Teh sebagai Sumber Zat Gizi dan Perannya dalam Kesehatan. Bogor : Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.

Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York : The Free Press.

Porter ME. 1998. On Competition (The Harvard Business Review Book Series). United States of America : Harvard College.

[PPTK] Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2006. Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Teh. Bandung : Pusat Penelitian Teh dan Kina.

[PPTK] Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2007. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Edisi Kedua. Bandung : Pusat Penelitian Teh dan Kina.

[Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2009. Konsumsi Pangan. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian.

Puspita AAD. 2009. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal Di Indonesia [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Rachman et al. 2002. Studi Pengembangan Sistem Agribisnis Perkebunan Rakyat dalam Perspektif Globalisasi Ekonomi. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Cetakan Kedua Belas. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Rosyadi et al. 2003. Penerapan Coporate Farming dalam Sistem Agribisnis Perkebunan Teh Rakyat Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Hlm : 106

Rosyadi AI, Wahyu DS. 2007. Identifikasi Masalah Usaha Tani Teh Rakyat di Kecamatan Cikalong Wetan dalam Warta Pusat Penelitian Teh dan Kina. 18 (1-3). 2007 : 63-71. Hlm 68

130  

Santoso J. 2009. Sambutan Direktur Pusat Penelitian Teh dan Kina. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm x-xiv.

Santoso J, Suprihatini R. 2007a. Usulan Kebijakan Harmonisasi Tarif Impor Teh Indonesia. Di Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh dan Kina Akhir Tahun 2007 : Dukungan Teknologi untuk Menyelamatkan Industri Teh dan Kina Nasional. Bandung : PPTK. Hlm 1-15.

Santoso J, Suprihatini R. 2007b. Kebijakan yang Perlu Diperjuangkan untuk Revitalisasi Agribisnis Teh Nasional. Di Dalam Warta Pusat Penelitian Teh dan Kina 18(1-3) 2007. Bandung : PPTK. Hlm 1-18.

Saragih B. 2010. Suara Agribisnis : Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta : PT Permata Wacana Lestari.

Simatupang P. 2010. Introduksi dan Praksis Paradigma Agribisnis di Indonesia : Kontribusi Profesor Bungaran Saragih. Di dalam Krisnamurthi Bayu, Pambudy Rachmat, Dabukke Frans BM, editor. Refleksi Agribisnis. Bogor : IPB Press. Hlm 23-43.

Siregar PK. 2009. Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu Terhadap Daya Saing Komoditas Susu Sapi Lokal (Studi Kasus : Peternak Anggota TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Suprihatini R, Rosyadi AI. 2003. Evaluasi Terhadap Kebijakan Produksi dan Perdagangan Teh dalam Rangka Meningkatkan Dayasaing Teh Nasional. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 1-22.

Surjadi D. Pengaruh Mutu-Dalam Terhadap Konsumsi Teh : Suatu Analisis Konsumsi Teh Di Pasar Domestik. 2003. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung: PPTK. Hlm 296-303.

Suryatmo FA. 2003 Pengembangan Produk Hilir Teh di Indonesia. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 87-95.

Tarigan B. 2003. Upaya Mengatasi Krisis Industri Teh Indonesia. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 304-306.

Tarmidi LT. 2007. Riset Pasar Teh : Dubai, Pakistan, Kazakhstan dan Uzbekistan. Jakarta : Kantor Pemasaran Bersama PT. Perkebunan Nusantara.

Tatakomara E. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Teh Indonesia, Serta Daya Saing Komoditi Teh Di Pasar Internasional [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

131  

132  

Widayat W, Abbas T, Rayati DJ. 2003. Usaha Perbaikan Lingkungan untuk Menjamin Produksi Tinggi dan Berkelanjutan. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 59-69.

Yusdja Y, Sajuti R, Supriyati, Winarso B. 2003. Analisis Dampak Sosial Ekonomi terhadap Adopsi Teknologi PHT Perkebunan Teh Rakyat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Yoshida DT. 2006. Arsitektur Strategik : Sebuah Solusi Meraih Kemenangan dalam Dunia yang Senantiasa Berubah. Jakarta : Elex Media Komputindo.

LAMPIRAN

134

Lampiran 1. Persentase Pangsa Produksi Teh Dunia (2000-2008)

No Negara Pangsa Produksi (persen) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 India 28,8 27,9 27,2 27,4 27,0 27,3 27,4 25,2 25,82 Bangladesh 1,8 1,9 1,7 1,8 1,7 1,8 1,5 1,5 1,53 Sri Langka 10,4 9,7 10,1 9,5 9,3 9,2 8,7 8,1 8,44 Indonesia 5,5 5,5 5,3 5,3 5,0 4,5 4,1 3,7 3,65 Cina 23,6 22,9 24,2 24,0 25,2 27,0 28,7 30,4 31,66 Iran 1,5 1,9 1,6 1,8 1,2 0,7 0,6 0,4 0,57 Jepang 3,0 3,0 2,7 2,9 3,0 2,9 2,8 2,5 2,48 Turki 4,4 4,7 4,6 4,8 5,1 3,9 4,0 4,7 4,19 Vietnam 2,4 2,6 2,9 2,9 2,8 3,8 4,0 4,0 4,410 Kenya 8,0 9,6 9,3 9,2 9,8 9,3 8,7 9,8 9,111 Malawi 1,4 1,2 1,3 1,3 1,5 1,1 1,3 1,3 1.112 Uganda 1,0 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,0 1,2 1.113 Lainnya 8,2 8,0 8,0 8,0 7,3 7,4 7,2 7,2 6,4Sumber : ITC (2009)

Lampiran 2. Persentase Pangsa Ekspor Teh Dunia (2000-2008)

No Negara Pangsa Produksi (persen) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 India 15,4 12,8 13,8 12,2 12,4 12,4 13,6 11,1 11,82 Bangladesh 1,4 0,9 0,9 0,9 0,9 0,6 0,3 0,7 0,53 Sri Langka 21,1 20,5 19,9 20,8 18,6 19,0 19,9 18,7 18,24 Indonesia 8,0 7,1 7,0 6,3 6,3 6,5 6,0 5,3 5,85 Cina 17,2 17,8 17,5 18,6 17,9 18,2 18,1 18,4 18,16 Vietnam 4,2 4,2 5,3 4,3 6,3 5,6 6,6 7,1 6,37 Kenya 16,4 19,3 18,9 19,3 21,4 22,2 19,8 21,8 23,48 Malawi 2,9 2,7 2,7 3,0 3,0 2,7 2,7 3,0 2,49 Uganda 1,7 1,6 1,6 1,5 1,5 1,4 1,5 1,9 1,510 Tanzania 2,0 2,2 2,2 2,4 1,9 2,1 2,1 2,8 2,611 Argentina 3,8 4,0 4,0 4,2 4,2 4,2 4,5 4,8 4,712 Lainnya 5,9 6,9 6,2 6,5 5,6 5,1 4,9 4,4 4,7Sumber : ITC (2009)

Lampiran 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Teh Dunia Tahun Produksi (000 Ton) Konsumsi (000 Ton) 1998 3.026 2.973 1999 2.948 2.925 2000 2.929 2.880 2001 3.058 2.992 2002 3.086 3.021 2003 3.217 3.173 2004 3.335 3.203 2005 3.458 3.361 2006 3.580 3.488 2007 3.751 3.618 2008 3.804 3.658

Sumber : ITC (2009)

135

Lampiran 4. Daftar Perusahaan Teh di Indonesia

No Nama Perusahaan Alamat 1 CV Agrogarden Jln. Sultan Agung Tirtayasa No. 21 Cirebon 2 CV Anugerah Jln. Suniaraja No. 2 D Bandung, 40111 3 PT Arteri Megah Jln. Tirtasari 81 RT 09/01 Cipayung, Depok Timur4 PT Chakra Jln. Bojong Buah Raya No. 6A Kawasan Industri

Cilamjoeni, Bandung 5 PT Cipta Monang Utama Jln. Cideng Timur No. 86, Jakarta 10160 6 Lipton Tea Supply Unilever

Tbk (Consultative Tea Group) Buying Department 2nd Floor Haery I Building, Jln. Kemang Selatan Raya No.151 Jakarta 10151

7 PT Danitama Niagaprima Jln. Sultan Hasanudin 47-48 Jakarta 12160 8 Daun Burung Jln. Jenderal A. Yani No. 142/144 Tegal 9 PT Duta Serpack Inti Kawasan Industri Palm Manis, Desa Gandasari,

Jati Uwung, Tangerang 10 PT Fajar Nusa Rifindo Jln. Cipinang Cempedak II/2 Polonia, Jakarta 11 PT Gunung Rosa Djaja Desa Karyamukti, Campaka, Cianjur 12 PT Gunung Sari Hijau 63 Desa Susukan Tr II/6, Cigudeg, Bogor 13 PT Hefima Niagatama Jln. Raya Alternatif Cibubur Blok G No. 15,

Cimanggis, Cibinong 14 PT Ide Mesin Teh Indonesia Jln. Dr. Wahidin No.31 Tegal 52111 15 L.Elink Schuurman (Thee) BV

(Representative Office) Wisma Adiwirakerta Lantai III, Jln. Wijaya I No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta

16 PT Incomex Agratama Jln. Jati Padang No. 15 Pasar Minggu, Jakarta 17 INDOHAM

(Representative Office) Hotel Kartika Chandra, Office Tower Lt.7, Jln. Gatot Subroto, Jakarta 12930

18 PT Indo Tirta Jaya Abadi Jln. Majapahit No. 769 (Km 11), Semarang 19 Indonesia Nature Tea

Company Jln. Soetomo No. 480, Medan 20231

20 PT Intermas Pasific Mutiara Kebon Jeruk Plaza Blok B No. 3-3 dan C 3-4 Jln. Perjuangan Kedoya, Jakarta 11530

21 PT Jangkar Jati Jln. Ancor Barat VII No. 12 Blok A/50, Jakarta 22 UD Jasa Prima Jln. Citaliktik Bojongsayang No. 23, Pananjung,

Bandung 40377 23 PT J.A Wattie Wisma BSG Lt.8 Jln. Abdul Muis No. 40 Jakarta 24 JFR Scheibler & Co Jln. Raya Jatipadang No. 15, Ragunan Jakarta 25 PT Karti Wana Raya Jln. Kebun Besar No. 27, Jakarta 12420 26 KOPTHINDO Jln. Soekarno Hatta No. 35, Bandung 40233 27 PT Kantor Pemasaran

Bersama Nusantara Jln. Taman Cut Mutiah No. 11, Jakarta

28 PD Kurnia Jln. Cipelang Leutik II/3, Sukabumi 43114 29 PT Lautan Mutiara Sewu Jln. Cideng Barat No. 37 A/B, Jakarta 11440 30 PT Mohtex Jln. KH. Wahid Hasyim No. 45 Jakarta 10350 31 PT Martina Berto Kawasan Industri Pulogadung Jln. Pulo Kambing

II No. 1 Jakarta 13930 32 PT Maskapai Perkebunan

Mulia Gedung Tedja Buana Lt. 3 Jln. Menteng Raya No. 29, Jakarta 10340

33 PT Megah Salaras Jln. Arteri Pondok Indah 28 E, Kebayoran Lama, Jakarta, 10350

34 PT MP. Indorub Sumber Wadung

Jln. Puri Mutiara VI No. 18E, Cipete Selatan, Jakarta 12410

136

No Nama Perusahaan Alamat 35 PD Mekar Wangi Jln. Sumber Hegar V No. 12-8, Bandung 40222 36 PT Multi Fitindo Jln. Pintu Air V No. 53B Pasarbaru, Jakarta 12710 37 PT Multikemindo Perkasa Golden Vile Blok CF Jln. Kali Sekretaris (Daan

Mogot II) No. 58, Jakarta 11510 38 PT Mustika Ratu Tbk Mutika Ratu Centre 12th Floor, Jln. Gatot Subroto

Kav. 74-75, Jakarta Selatan 39 CV Nanjung Jln. Satria K No. 70 Cibolerang, Bandung 40224 40 PT Nanteatraco Jln. Tulodong Bawah VIII No. 33, Kebayoran

Baru, Jakarta 12190 41 PT Nitoh Malindo Jln. Saweringanding No. 12 Makasar 90113 42 PT Nirmala Agung Gedung JITC Lt. 9-10, Jln. Mangga Dua Raya,

Jakarta 43 PT Nyalindung Jln. Raya Purwakarta No. 625 Desa Nyalindung

Cipatat, Bandung 44 PT Otsuka Jaya Indah Jln. Cilosari No. 25 Cikini, Jakarta Pusat 45 Pabrik Teh Teteco Jln Srayu No. 7 Tegal 46 Pabrik Teh Tong Tji Jln. Jenderal A. Yani No. 210, Tegal 47 CV Padakersa Jln. Tomang Raya No. 47 G, Jakarta 11440 48 PT Pagilaran Jln. Faridan M. No. 11 Yogyakarta 55224 49 PT Pecconina Baru Jln. Bekasi Timur IV No. 3A Jatinegara, Jakarta 50 Penyortir Teh “Djunaedi” Jln. Bintang Mas No. 17 Cibinong, Bogor 51 PT Perkebunan Nusantara VIII Jln. Sindang Sirna No. 4 Bandung 40153 52 PT Perkebunan Nusantara XII Jln. Rajawali No. 44 Surabaya 60175 53 PT Perkebunan Nusantara IX Jln. Mugas Dalam (Atas), Semarang 50011 54 PT Perkebunan Nusantara IV Jln. Letjen Suprapto No. 2 Medan 20152 55 PT Perkebunan Nusantara VI Jln. Zainir Havis No. 1 Koto Baru, Jambi 36128 56 PT Perkebunan Nusantara VII Jln. Prof. Dr. Suparno, SH No. 231, Jakarta 12870 57 PT Perkebunan Teh Jambi Jln. T. Jogonegoro No. 39 Wonosobo 58 CV Prima Jasa Jln. Merdeka No. 48, Bogor 59 PT Perkebunan Cihaur I-V Kebon Jeruk Plaza Blok E-11, Jln. Perjuangan

Kedoya, Jakarta 11530 60 PT Perkebunan Hasfarm Napu Jln. Hasanudin No. 6 Blok M3 Jakarta 12160 61 Perusahaan Teh Ciwangi Jln. Pasirkaliki No. 135 Bandung 62 Perusahaan Teh Cangkir Jln. Jenderal A. Yani No. 10 Pekalongan 63 PT PP London Sumatera Jln. A. Yani No. 2 Medan 64 PT Pucuk Mas Tiga Daun Jln. Taman Aries Blok H-4 No. 11, Jakarta 11620 65 CV Putra Sejati Jln. Holis No. 266 Bandung 66 Pusat Penelitian Teh dan Kina Jln. Ir. H. Juanda No. 107 Gambung, Bandung 67 Pukoveri Jabar

(Unit Niaga dan Jasa) Jln. Aceh No. 4 Bandung

68 PT Putindo Inti Selaras Jln. Bisma Raya Blok A No. 548 Jakarta 69 PT Rambate Ratahayu Jln. Citarum No. 19 Surabaya 60241 70 PT Roboco Jayatama Jln. KH Hasyim Ashari, Jakarta 10150 71 PT Sarana Mandiri Mukti Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 3 No.

314b, Jln. Jenderal Gatot Subroto Senayan, Jakarta 72 PT Sari Bumi Kawi Jln. Jenderal A. Yani No. 15 Wlingi, Blitar 73 PT Sari Bumi Pakuan Jln. Pulo Ayang Raya Blok OR-1 Kawasan

Industri Pulogadung , Jakarta 74 PT Sariwangi A.E.A Jln. Mercedes Benz No. 228, Cicadas, Gunung

Putri, Bogor

137

No Nama Perusahaan Alamat 75 PT Sari Rasa Jln. Tiang Bendera III No. 8, Jakarta Pusat 76 PT Sasanamitra Wijaya Jln. Cempaka Putih Timur IV No. 10, Jakarta 77 Seko Fajar Plantation Jln. Gatot Subroto Kav 22, Jakarta 12930 78 PT Setia Hati Nugraha Jln. Lautze No. 17 K, Jakarta Pusat 10210 79 Setyawan Jln. Kebonjati No. 230, Bandung 80 PD Sidodadi Jln. Dr. Cipto No. 65 Pekalongan Timur 81 PT Sinar Inesco Jln. Batununggal Permai V No. 1, Bandung 82 PT Sinar Maluku Jln. Lamandau IV No. 21 Kebayoran Baru, Jakarta 83 PT Sinar Sosro Indonesia Jln. Raya Bekasi Km 28 Cakung, Jakarta 13960 84 PT Spadenta Nusantara Jln. Pulo Asem Timur II No. 16 Rawamangun,

Jakarta Timur 85 CV Sumber Hidup Jln. Pasar Baru No. 84 Banjarmasin, Kalimantan 86 PT Sumber Rejeki Jln. Kolonel Sugiono No. 39, Tegal 87 PT Tatar Anyar Indonesia Cilandak Commercial Estate, Building 202EN

Cilandak, Jakarta 12075 88 PT Teha Jln. Arjuna No. 29 Bandung 89 Pabrik Teh Giju Jln. Pekalongan No. 44 Cirebon 90 Teh Gunung Subur Jaten Km 9, Karanganyar, Surakarta 91 PT Teh Nusamba Indah Jln. Menteng Raya No. 73, Jakarta 10330 92 Teh Pecco Jln. Kalibaru Selatan No. 3, Cirebon 93 PT Teh Wangi 999 Jln. RA Kartini No. 61-63, Pekalongan 94 PT Trijasa Primaselaras Jln. Gajahmada No. 194, Jakarta 11120 95 PT Tunggal Naga Jln. Raya Selatan No. 130 Adiwerna, Tegal 96 Van Rees BV

(Representative Office) Deli Maatschppij, Cilandak Commercial Estate Building III, Jln. KKD Cilandak, Jakarta 12560

97 Yoosuf Akbani Jln. Cempaka Putih Tengah No. 27B/D-4, Jakarta Sumber : Indonesian Tea Catalogue

138

Lampiran 5. Berbagai Jenis Mutu Teh Curah

Broken Orange Peko (BOP) Broken Tea (BT)

DUST Broken Orange Peko Fanning (BOP F)

Broken Peko (BP) Peko Fanning (PF)

Broken Orange Peko 1 (BOP 1) Broken Peko 1 (BP 1)

Peko Fanning 1 (PF 1) Fanning (FANN)

139

Peko Fanning 2 (PF 2) Peko Dust (PD)

DUST 2 Tea Sample yang dibagikan kepada peserta lelang 2 minggu sebelum Auction

Sumber : PT Kharism

a Pemasaran Bersama Nusantara (2011)