al-azhar dan upaya eksploitasi rezim pra revolusi 2011

18
AL-AZHAR DAN UPAYA EKSPLOITASI REZIM PRA- REVOLUSI 2011 Amrulloh [email protected] Universitas Pesantren Tinggi Darul „Ulum Jombang Abstrak: Tulisan ini membicarakan tentang perjalanan al-Azhar sebagai institusi agama Islam yang paling berpengaruh di Republik Arab Mesir secara khusus, dan juga dunia Islam secara umum, dan relasinya dengan masing-masing rezim pra-revolusi Mesir 2011. Relasi antara keduanya, pada awalnya, dapat dinyatakan kompleks. Sebagai sebuah institusi Islam, al-Azhar tidak jarang nampak berseberangan dengan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Akibatnya, masyarakat Mesir yang notabene adalah pemeluk agama Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan juga tidak jarang lebih memperhitungkan al- Azhar dari pada pemerintah yang sedang berkuasa. Namun kompleksitas itu lenyap setelah modernisasi al-Azhar pada 1961 M oleh rezim pemerintahan. Setelah mengkaji lebih mendalam tentang relasi keduanya, diketahui bahwa modernisasi yang digalakkan tersebut dipenuhi dengan berbagai muatan politis, bahkan cenderung eksploitatif. Ini menimbulkan polemik tersendiri, sebab al-Azhar „terlanjur‟ dianggap sebagai sebuah institusi Islam teragung yang tak selayaknya “dieksploitasi.” Kata kunci: al-Azhar, Republik Arab Mesir, institusi agama. Abstract: This article discusses the journey of al-Azhar as an Islamic religious institution that is the very influential in the Arab Republic of Egypt specifically and in the Islamic world in general, and their relationships with each regime before the Egypt revolution in 2011. The relation between the two, at first, can be said as complicated. As an Islamic institution, it is not uncommon for al-Azhar to be against the policy with the ruling government. As a result, Egyptian society which consists of Moslems who uphold Islamic values frequently rely on al-Azhar, rather than on the ruling government. However, this complicated condition vanished after the modernization of al-Azhar in 1961 AD conducted by the regime. After an in-depth review on the relations of both, it is found out that the promoted

Upload: unipdu

Post on 15-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

AL-AZHAR DAN UPAYA EKSPLOITASI REZIM PRA-

REVOLUSI 2011

Amrulloh [email protected]

Universitas Pesantren Tinggi Darul „Ulum Jombang

Abstrak: Tulisan ini membicarakan tentang perjalanan al-Azhar sebagai institusi agama Islam yang paling berpengaruh di Republik Arab Mesir secara khusus, dan juga dunia Islam secara umum, dan relasinya dengan masing-masing rezim pra-revolusi Mesir 2011. Relasi antara keduanya, pada awalnya, dapat dinyatakan kompleks. Sebagai sebuah institusi Islam, al-Azhar tidak jarang nampak berseberangan dengan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Akibatnya, masyarakat Mesir yang notabene adalah pemeluk agama Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan juga tidak jarang lebih memperhitungkan al-Azhar dari pada pemerintah yang sedang berkuasa. Namun kompleksitas itu lenyap setelah modernisasi al-Azhar pada 1961 M oleh rezim pemerintahan. Setelah mengkaji lebih mendalam tentang relasi keduanya, diketahui bahwa modernisasi yang digalakkan tersebut dipenuhi dengan berbagai muatan politis, bahkan cenderung eksploitatif. Ini menimbulkan polemik tersendiri, sebab al-Azhar „terlanjur‟ dianggap sebagai sebuah institusi Islam teragung yang tak selayaknya “dieksploitasi.” Kata kunci: al-Azhar, Republik Arab Mesir, institusi agama.

Abstract: This article discusses the journey of al-Azhar as an Islamic religious institution that is the very influential in the Arab Republic of Egypt specifically and in the Islamic world in general, and their relationships with each regime before the Egypt revolution in 2011. The relation between the two, at first, can be said as complicated. As an Islamic institution, it is not uncommon for al-Azhar to be against the policy with the ruling government. As a result, Egyptian society which consists of Moslems who uphold Islamic values frequently rely on al-Azhar, rather than on the ruling government. However, this complicated condition vanished after the modernization of al-Azhar in 1961 AD conducted by the regime. After an in-depth review on the relations of both, it is found out that the promoted

Amrulloh

370 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

modernization was interfered with political interests, whics even tend to be exploitative. It raises its own polemic as al-Azhar is „already‟ regarded as the greatest Islamic institution which is not suppossed to be “exploited.” Keywords: al-Azhar, Arab Republic of Egypt, religious institutions.

Pendahuluan

Masyarakat Muslim, sejauh ini, secara umum, senantiasa menjadikan agama sebagai suatu hal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka, baik dalam skala mikro maupun skala makro. Ini merupakan kabar gembira jika agama dipahami secara luas dan dinamis, namun bencana jadinya jika ia dipahami secara sempit dan statis. Dampaknya, institusi keagamaan tidak jarang lebih memiliki power untuk menggerakkan masyarakat dibanding lainnya, dalam hal ini adalah pemerintahan suatu negara. Untuk melakukan reformasi terhadap masyarakat, legitimasi agama atau institusinya tidak jarang merupakan kunci utamanya. Setidaknya, inilah yang terjadi di Mesir dengan institusi Islam yang tertua dan paling berpengaruhnya, al-Azhar al-Sharîf.

Al-Azhar al-Sharîf sebagai sebuah institusi agama Islam sejak lebih dari 10 abad mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan masyarakat Mesir secara khusus, bahkan dunia Islam secara umum. Tak ada yang meragukan hal ini. Al-Azhar tetap berdiri kokoh, bahkan bertambah kokoh dan menjulang tinggi, dan memainkan peranannya meskipun Mesir telah mengalami transformasi politik menuju negara republik. Dalam sejarah Republik Arab Mesir—dari Presiden Gamal Abdel Nasser (1918-1970 M, menjabat presiden selama 1965-1970 M) hingga Presiden Hosni Mubarak (menjabat presiden selama 1981-2011 M), masing-masing rezim dikenal sebagai nasionalis dan cenderung diktator. Rezim yang semacam ini tentunya takkan pernah rela jika monopoli otoritasnya diintervensi oleh siapapun dan apapun, termasuk sebuah institusi agama Islam, dalam hal ini adalah al-Azhar.

Realitasnya, keduanya, Negara dan al-Azhar, nampak secara “adem ayem” memainkan peranannya masing-masing. Pernyataan terakhir ini—sebagaimana akan terlihat nanti—akan diragukan kebenarannya bagi mereka yang memahami relasi Negara dan al-Azhar yang sesungguhnya.

Al-Azhar dan Upaya Eksploitasi Rezim

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015, Jurnal Pendidikan Islam, TADZKIRAH | 371

Institusionalisasi dan Modernisasi al-Azhar

Nama “al-Azhar” diambil dari kata “al-zahrâ‟” (yang

berkilau/yang bercahaya) yang merupakan julukan Sayyidah Fât }imah

(w. 11 H/632 M), putri Rasulullah dan Istri „Alî b. Abî T {âlib (w. 40

H/661 M). Kepadanya juga nama Dinasti Fât }imiyah dinisbahkan. Sedang kata “al-Sharîf” (yang terhormat/yang mulia) adalah tambahan kata yang biasanya disematkan dalam setiap penyebutan al-Azhar. Al-Azhar al-Sharîf tidak hanya merujuk pada Universitas al-Azhar saja, namun secara luas merujuk pada seluruh institusi yang berada di bawah naungan al-Azhar al-Sharîf: (1) al-Majlis al-A„lâ li-al-Azhar, dipimpin oleh Syekh al-Azhar (pemimpin tertinggi al-Azhar al-Sharîf) dan bertanggung jawab terhadap segala kebijakan institusi; (2) Universitas al-Azhar, sebagai pusat pendidikan tinggi Islam-Sunni; (3)

Majma„ al-Buh }ûth al-Islâmiyyah, sebagai pengontrol urusan keagamaan dengan berbagai penelitian dan fatwanya; (4) Ma„had al-Azhar, semacam pondok pesantren dengan jenjang pendidikan SD, SLTP dan SLTA.

Al-Azhar al-Sharîf dengan berbagai institusi di bawahnya—seperti baru saja disebutkan satu-satu—yang menjulang megah di berbagai wilayah Republik Arab Mesir saat ini pada awalnya hanya

sebuah masjid atau madrasah yang dibangun oleh Dinasti Fât }imiyah (910-1171 M) di Kairo pada 972 M sebagai pusat penyebaran dan pembelajaran paham Syiah.1 Namun, secara “ironi”, al-Azhar selanjutnya menjadi simbol pendidikan Islam Sunni. Ini terjadi, pada

awalnya, setelah runtuhnya Dinasti Fât }imiyah dan lahirnya sebuah dinasti Sunni baru, Ayyûbiyah (1171-1260 M) yang diprakarsai oleh

S {alâh} al-Dîn al-Ayyûbî (w. 1137/8-1193 M). Institusionalisasi al-Azhar sebagai pusat kajian Islam semakin kentara pada era pemerintahan Turki Usmani (1299-1923 M), walaupun masih dengan cara yang sederhana: pembelajaran dilaksanakan setiap sehabis salat lima waktu.2 Pada masa-masa klasik, al-Azhar sebenarnya kurang menarik untuk dibicarakan. Ia secara umum tak lebih dari sekadar masjid atau madrasah sebagai pusat kajian Islam Sunni. Namun, pada masa-masa modern, sepertinya tak berlebihan jika al-Azhar dinyatakan sebagai salah satu kekuatan yang paling berpengaruh di

1 Lihat Dina Shehata Dkk., Mapping Islamic Actors in Egypt (Kairo: Nederlands-Vlaams Institut in Cairo, 2012), 18. 2 Ibid.

Amrulloh

372 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

Mesir, baik dalam aspek politik, sosial maupun, lebih-lebih, agama. Aspek yang terakhir disebutkan ini bahkan berpengaruh sampai ke negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, termasuk Indonesia, Malaysia3 dan Thailand.

Perubahan-perubahan progresif setapak demi setapak dimulai ketika Ismail Pasha (1830-1895 M), berkuasa di Mesir. Pada tahun 1872 M, ia mengeluarkan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk melakukan standarisasi sistem pendidikan dan pembaharuan kurikulum. Pada tahun itu juga status akademik universitas al-Azhar disahkan, dan al-Azhar pun memberi gelar akademik kepada lulusannya.4 Gebrakan Ismail Pasha ini tak dapat diremehkan mengingat sistem pendidikan al-Azhar saat itu terlampau konservatif dan sama sekali tak menampakkan tanda-tanda progresivitas. Evolusi, bahkan reformasi, al-Azhar dengan berbagai aspeknya secara signifikan memang baru dimulai pada abad 19 M dan abad 20 M sebagai puncaknya.

Pada 1911 M, perombakan terjadi di al-Azhar dan berbuntut adanya eksamen dan kurikulum baru. Ini sebenarnya merujuk pada pembaharuan al-Azhar yang hendak dilakukan Muhammad Abduh (1849-1905 M) pada masa hidupnya. Puncak reformasi al-Azhar yang paling signifikan terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdel Nasser yang “menyulap” al-Azhar menjadi sebuah institusi modern yang mewadahi berbagai ilmu pengetahuan, baik keislaman5 maupun nonkeislaman,6 seperti, diantaranya, Fakultas Kesehatan, Fakultas

3 Untuk mendalami pengaruh al-Azhar di Malaysia, lihat Wan Kamal Mujani, Idris Abdullah dan Ibrahim Abu Bakar, “The Role of the al-Azhar University in the Dissemination of Islamic Religious Knowledge in Malaysia”, Advances in Natural and Applied Sciences, vol. 8, no.6 (2012). 4 Lihat Shehata Dkk, Mapping Islamic Actors in Egypt, 18; Ahmed Hattab, “Al-Azhar: The Mosque with the Double Minarets” dalam Marhaba: Yearbook of Finnish-Arabic Society, ed. Marjatta Hattab dan Kadriye Bedredtin (Meritullintori: Finnish-Arabic Society, 2007), 25. 5 Sebelum perombakan 1961 M, Universitas al-Azhar hanya memiliki tiga fakultas agama Islam: Fakultas Teologi (Ushuluddin), Fakultas Syariah dan Fakultas Bahasa Arab. 6 Berdasarkan penghitungan Ahmed Hattab, sekarang Universitas al-Azhar memiliki 55 fakultas yang sebagian besarnya adalah nonkeislaman. Namun penghitungan ini masih membedakan fakultas-fakultas yang sama di berbagai kota di Mesir, dan antara al-Azhar Putra dan al-Azhar Putri. Lihat Hattab, “al-Azhar: The Mosque with the Double Minarets”, 27; untuk mengetahui lis fakultas al-Azhar

Al-Azhar dan Upaya Eksploitasi Rezim

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015, Jurnal Pendidikan Islam, TADZKIRAH | 373

Pertanian, Fakultas Perdagangan dan lain sebagainya. Reformasi ini dimulai, tepatnya pada tahun 1961 M. Pada tahun itu juga didirikan “al-Azhar li-al-Banât (al-Azhar Putri)”, dan status al-Azhar diresmikan sebagai institusi negeri yang termasuk dalam anggaran belanja negara.7 Reformasi yang dilakukan rezim Gamal Abdel Nasser ini, meskipun progresif dan mendesak, sebenarnya dipenuhi dengan muatan-muatan politik rezim. Pemerintah “tidak rela” jika al-Azhar berdiri secara independent tanpa kontrol pemerintah sebagaimana pada masa-masa sebelum 1961 M. Sikap pemerintah ini, tak lain, mengingat besarnya pengaruh al-Azhar dan para ulamanya dalam bidang sosial dan, apalagi, keagamaan. Suatu hari, ini tentunya, jika dibiarkan, dapat menghalangi visi dan misi pemerintah untuk mengambil kontrol penuh terhadap rakyat Mesir.

Politisasi al-Azhar

Perombakan al-Azhar pada tahun 1961 M oleh rezim Presiden Nasser bukan hanya dimaksudkan untuk mengontrol pendidikannya dengan menambahkan fakultas-fakultas sekuler saja. Lebih dari itu—dan sebenarnya ini yang terpenting, perombakan itu dimaksudkan untuk mengambil alih kontrol institusi yang paling berpengaruh di Mesir tersebut secara keseluruhan, baik dalam kebijakan-kebijakan publiknya maupun finansialnya. Jika ini berhasil—dan memang telah berhasil, maka pemerintah Mesir juga telah berhasil menjadi „atasan‟ al-Azhar dan para sarjananya. Sebelumnya, afiliasi pemerintah dan al-Azhar terlampau kompeks dan tidak jelas, sehingga ini dapat menghambat otoritas pemerintah dalam mengontrol rakyatnya. Otonomi dan otoritas al-Azhar, dengan demikian, perlu ditekan dengan cara persuasif yang tanpa mereduksi kehormatannya.

Peran kunci internal al-Azhar tidak lain adalah Syekh al-Azhar—gelar resmi bahasa Arabnya adalah al-Imâm al-Akbar (Imam Teragung, dalam bahasa inggris: Grand Imam) atau Syaykh al-Azhar (Pemimpin al-Azhar), seorang pemimpin yang membawahi seluruh komponen al-Azhar, sekaligus dianggap sebagai tokoh agama yang sangat berpengaruh (lihat tabel 1). Maka, pemerintah merasa berkepentingan untuk melakukan intervensi dalam pemilihan dan pengangkatan

Putra dan Putri, lihat juga http://www.azhar.edu.eg/pages/fac_boys.htm dan http://www.azhar.edu.eg/pages/fac_girls.htm. 7 Lihat Shehata Dkk, Mapping Islamic Actors in Egypt, 18.

Amrulloh

374 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

Syekh al-Azhar. Sebelum tahun 1961 M, tepatnya akhir abad 19 M, pemerintah berulang kali mngeluarkan kebijakan untuk mengintervensi al-Azhar. Namun, walaupun tidak dalam porsi maksimal, pemerintah tetap memberikan otonomi kepada para sarjana senior al-Azhar (al-Shuyûkh) untuk memusyawarahkan dan memilih nama yang dianggap pantas menduduki “jabatan” sebagai Syekh al-Azhar. Nama tersebut selanjutnya akan diajukan kepada pemerintah untuk disetujui. Pemerintah berhak tidak menyetujui nama yang diajukan, bahkan berhak memberhentikan nama yang sedang menjabat sebagai Syekh al-Azhar. Jika disetujui, maka penguasa Mesir secara resmi akan melantik Syekh al-Azhar yang baru. Intervensi pemerintah juga menjalar kepada permasalahan finansial. Al-Azhar sebenarnya mempunyai dana wakaf pribadi, namun secara operasional tetap di bawah supervisi pemerintah.8 Penekanan otonomi dan otoritas al-Azhar ini, walaupun telah terjadi sedemikian rupa pada abad 19 M, namun intervensi yang sesungguhnya sebenarnya datang dari rezim Presiden Nasser pada tahun 1961 M dan para penerusnya.

Tabel 1: Daftar Nama Syekh al-Azhar dan Masa Jabatannya

No. Nama Syekh al-Azhar Masa Jabatan

1 Muh}ammad al-Kharâshî 1679-1690

2 Ibrâhîm al-Barmawî 1690-1694

3 Muh}ammad al-Nashartî 1694-1708

4 „Abd al-Bâqî al-Qalînî 1708-?

5 Muh}ammad Shanân ?-1721

6 Ibrâhîm al-Fayyûmî 1721-1725

7 „Abd Allâh al-Shubrâwî 1725-1758

8 Muh}ammad al-H{ifnawî 1758-1767

9 „Abd al-Ra‟ûf al-Sajinî 1767-1768

10 Ah}mad al-Damanhurî 1768-1778

8 Lihat Nathan J. Brown, Post-Revolutionary al-Azhar (Massachusetts: Carnegie Endowment for International Peace, 2011), 6-7.

Al-Azhar dan Upaya Eksploitasi Rezim

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015, Jurnal Pendidikan Islam, TADZKIRAH | 375

11 Ah}mad al-„Arusî 1778-1793

12 „Abd Allâh al-Sharqâwî 1793-1812

13 Muh}ammad al-Shanawânî 1812-1818

14 Muh}ammad al-„Arusî 1818-1829

15 Ah}mad al-Damhujî 1829-1830

16 H{asan al-„At}t}âr 1830-1834

17 H{asan al-Quwaysinî 1834-1838

18 Ah}mad al-S{â‟im al-S {aftî 1838-1847

19 Ibrâhîm al-Bajûrî 1847-1860

20 Must}afâ al-„Arusî 1864-1870

21 Muh}ammad al-Mahdî 1870-1882

22 Shams al-Dîn Muh}ammad al-Imbabî 1882-1895

23 H{assunah al-Nawawî 1895-1900

24 „Abd al-Rah}mân al-Qut}b al-Nawawî 1900-1900

25 Sâlim al-Bishrî 1900-1904

26 „Alî al-Biblawî 1904-1905

27 „Abd al-Rah}mân al-Sharbînî 1905-1909

28 H{assunah al-Nawawî 1909-1909

29 Sâlim al-Bishrî 1909-1917

30 Muh}ammad al-Jizawî 1917-1927

31 Muh}ammad al-Maraghî 1927-1929

32 Muh}ammad al-Z{awâhirî 1929-1935

33 Mus}t}afâ al-Maraghî 1935-1945

34 Mus}t}afâ „Abd al-Rizq 1945-1947

35 Muh}ammad Ma‟mûn al-Shinnawî 1948-1950

36 „Abd al-Majîd Sâlim 1950-1951

Amrulloh

376 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

37 Ibrâhîm Hamrush 1951-1952

38 „Abd al-Majîd Sâlim 1952-1952

39 Muh}ammad al-Khâdî H{usayn 1952-1954

40 „Abd al-Rah}mân Tâj 1954-1958

41 Mah }mûd Shaltût 1958-1963

42 Hassan Mamoun 1963-1969

43 Muh}ammad al-Fahhâm 1969-1973

44 „Abd al-H{alîm Mah}mûd 1973-1978

45 Muh}ammad „Abd al-Rah }mân Bisâr 1979-1982

46 Jâd al-H {aqq 1982-1996

47 Muh}ammad Sayyid al-T{ant }âwî 1996-2010

48 Muh}ammad Ah }mad al-T{ayyib 2010-sekarang

Setelah tahun 1961 M, sikap sungkan-sungkan untuk “mengangkangi” al-Azhar sebagaimana ditunjukkan oleh para penguasa Mesir sebelumnya tidak nampak pada para pemegang pemerintahan dari Presiden Nasser hingga Presiden Hosni Mubarak. Pemilihan Syekh al-Azhar tak lagi dikuasakan kepada Shuyûkh, melainkan kepada dewan pejabat senior al-Azhar, termasuk para dekan fakultas sekuler yang baru saja ditambahkan. Bahkan, beberapa pejabat pemerintah juga ikut serta dalam dewan tersebut. Selanjutnya Syekh al-Azhar terpilih akan dilantik secara resmi oleh presiden Republik Arab Mesir.

Pemerintah juga mereduksi posisi al-Azhar dengan merombak dua aspek penting. Pertama, dana wakaf tidak dikuasakan kepada al-Azhar, melainkan kepada Departemen Agama. Ini tentu secara finansial mempengaruhi sepak terjang al-Azhar yang tidak lagi dapat membelanjakan dana wakafnyanya dalam setiap aktivitas tanpa supervisi ketat dari pemerintah. Reduksi independensi finansial al-Azhar ini sebenarnya sudah terjadi pada masa-masa sebelumnya, namun baru pada rezim Presiden Nasser diimplementasikan secara signifikan dan tanpa „sungkan-sungkan‟. Kedua, jabatan Syekh al-Azhar disetarakan dengan jabatan perdana menteri, bukan dengan

Al-Azhar dan Upaya Eksploitasi Rezim

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015, Jurnal Pendidikan Islam, TADZKIRAH | 377

jabatan presiden. “Ini”—Nathan J. Brown berkomentar—“bisa dianggap oleh mereka yang menyadari reputasi al-Azhar sebagai penghinaan terhadap keagungannya.”9 Sebab jika demikian realitasnya, maka kebijakan-kebijakan politis dan publik al-Azhar tak akan jauh dari interes pemerintahan yang sedang berkuasa dari waktu ke waktu. Inilah sebab mengapa al-Ikhwân al-Muslimûn—sebagaimana dinyatakan Malika Zeghal,10 sejak kelahirannya pada 1928 M, walaupun secara personal mempunyai afiliasi terhadap ulama al-Azhar, senantiasa melancarkan kritikan tentang kelemahan politis dan intelektual mereka. Studi politik Mesir juga senantiasa menganggap al-Azhar sebagai “antek” pemerintah yang tak kuasa untuk memainkan peranan politik dan religinya. Muhammad Qasim Zaman berkomentar:

“Al-Azhar dijadikan sebagai legitimasi nasionalisme dan sosialisme Arab di bawah pemerintahan Nasser (1952-1970 M). Kemudian, di bawah pemerintahan Sadat ([menjabat presiden selama] 1970-1981 M), al-Azhar digunakan sebagai delegitimasi sosialisme dan Nasserisme. Selanjutnya, di bawah kepresidenan Sadat dan, kemudian, di bawah Mubarak (1981-[2011]), energi al-Azhar dimobilisasi sebagai konter terhadap Islam radikal.”11

Kebijakan rezim Presiden Nasser tahun 1961 M yang merombak sistem al-Azhar yang lama, walaupun tetap terbilang preogresif terutama dalam bidang pendidikan, semakin menegaskan—sebagaimana dinyatakan Brown—“upaya paling ambisius pemerintah Mesir pasca-1952 M untuk memosisikan al-Azhar di bawah kontrol mereka.”12 Afiliasi al-Azhar dan pemerintah kini tak lagi kompleks

9 Lihat Ibid., 7. 10 Malika Zeghal, “Religion and Politics in Egypt: The Ulema of al-Azhar, Radical Islam and the State (1952-1994 M)”, International Journal of Middle East Studies, vol. 31 (1999), 372-373. 11 Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodian of Change (New Jersey: Princeton University Press, 2002), 146. Apa yang dinyatakan Zaman ini senada dengan apa yang dinyatakan Tamir Moustafa, “Conflict and Cooperation between the State and Religious Institutions in Contemporary Egypt”, International Journal of Middle East Studies, vol. 32 (2000), 3. 12 Brown, Post-Revolutionary al-Azhar, 7. Bandingkan dengan Zeghal, “Religion and Politics in Egypt”, 371-372. Zeghal berargumen bahwa konsekuensi penting dan tak terduga dari nasionalisasi dan modernisasi al-Azhar adalah munculnya perilaku politik baru di antara ulama.

Amrulloh

378 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

seperti sebelumnya, melainkan telah menjadi jelas: al-Azhar berada di bawah kontrol pemerintah.

Satu lagi “ulah” pemerintah Mesir yang dianggap mereduksi—bahkan “menghina”—al-Azhar adalah pendirian Dâr al-Iftâ‟ yang didirikan pada akhir abad 19 M, tepatnya pada tahun 1895 M.

Berbeda dengan Majma„ al-Buh}ûth al-Islâmiyyah al-Azhar yang salah satu fungsinya juga mengeluarkan fatwa, sebagai institusi resmi negara, Dâr al-Iftâ‟, tentunya, sering terlihat selaras dan sejalan dengan interes rezim yang sedang berkuasa dari awal didirikannya. Mufti Dâr al-Iftâ‟ juga merupakan sarjana-sarjana yang pro-rezim. Ini tak lain merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mereduksi peran al-Azhar di Mesir. Dengan agak berlebihan dan hendak menegaskan “pelecehan” rezim terhadap reputasi al-Azhar, Brown berkomentar: “al-Azhar was not only brought to heel, it also saw its toes stepped on”13 (al-Azhar tak hanya diposisikan di tumit, lebih dari itu ia juga menyaksikan jari-jarinya menginjaknya).

Namun Jacob Skovgaard-Petersen, penulis buku Defining Islam for Egyptian State, lebih memilih bersikan menjauh dari kecurigaan-kecurigaan itu. Menurutnya, walaupun para mufti Dâr al-Iftâ‟ merepresentasikan interes negara, mereka lebih menganggap diri mereka sebagai defender iman yang mendapat serangan gencar dari sekularisme, dari pada sebagai fungsionaris pemerintah. Sebenarnya, mereka malah melakukan Islamisasi sosial, ekonomi, politik dan moral. Mereka juga berkontribusi dalam menjadikan Islam sebagai ajaran yang simpel, rasional dan mudah diaplikasikan. Ini merepresentasikan “visi Islam yang secara luas berpengaruh di abad ke-20.14

Sampai di sini, yang perlu digarisbawahi adalah realitas bahwa

Syekh al-Azhar yang menjabat saat ini, Syekh Ah }mad al-T{ayyib

(dilantik pada tahun 2010 M), dan pendahulunya, Syekh Muh }ammad

Sayyid al-T{ant }awî (1928-2010 M, menjabat Syekh al-Azhar dari 1996

hingga wafat), adalah mantan mufti Dâr al-Iftâ‟. Syekh Muh }ammad

Sayyid al-T{ant }awî adalah mufti keenam belas yang menjabat dari

tahun 1986 hingga 1996 M, sedang Syekh Ah }mad al-T{ayyib adalah mufti kedelapan belas yang menjabat dari tahun 2002 hingga 2003 M

13 Brown, Post-Revolutionary al-Azhar, 7. 14 Lihat Amr GE Sabet, “Defining Islam for Egyptian State: Book Review”, dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 13, no. 3 (t.bl, t.th), 162.

Al-Azhar dan Upaya Eksploitasi Rezim

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015, Jurnal Pendidikan Islam, TADZKIRAH | 379

(lihat tabel 2). Nama yang terakhir disebutkan ini termasuk kontroversial dan menyebabkan polemik, sebab ia adalah satu-satunya dari deretan Syekh al-Azhar yang mendapatkan gelar akademis tertingginya, Ph.D, dari Barat, Sorbone University, Paris, Prancis. Lebih dari itu, ia juga mempunyai posisi penting dalam Partai Nasional Demokrat yang dikepalai oleh Gamal Mubarak, putra Presiden Hosni Mubarak. Reduksi peran penting al-Azhar oleh rezim Presiden Nasser dapat dinyatakan sebagai bibit reduksi otonomi dan otoritas al-Azhar oleh rezim Presiden Hosni Mubarak.

Tabel 2: Daftar Nama Grand Mufti Dâr al-Iftâ‟

No. Nama Grand Mufti Masa Jabatan

1 H{assûnah al-Nawawî 1895-1899

2 Muh}ammad „Abduh 1899-1905

3 Bakrî al-S {adafî 1905-1914

4 Muh}ammad Bakhit al-Mut}î‟î 1914-1920

5 Muh}ammad Ismâ„îl al-Bardisî 1920-1920

6 „Abd al-Rah}mân Qurrâ„ah 1921-1928

7 „Abd al-Majîd Salîm 1928-1945

8 H{asanayn Muh }ammad Makhlûf 1946-1950

9 „Allâm Nassâr 1950-1952

10 H{asanayn Muh }ammad Makhlûf 1952-1954

11 Hassan Mamoun 1955-1960

12 Ah}mad Muh }ammad „Abd al-„Âl Haridî 1960-1970

13 Muh}ammad Khât }ir Muh}ammad al-Shaykh

1970-1978

14 Jâd al-H {aqq 1978-1982

15 „Abd al-Lat}îf „Abd al-Ghanî H {amzah 1982-1985

16 Muh}ammad Sayyid al-T{ant }âwî 1986-1996

17 Nas}r Farîd Wâs }il 1996-2002

Amrulloh

380 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

18 Muh}ammad Ah }mad al-T{ayyib 2002-2003

19 „Alî Jumu„ah 2003-2013

20 Shawkî Ibrâhîm „Abd al-Karîm „Allâm 2013-sekarang

Pasca revolusi Mesir 2011 M dan diturunkannya Presiden Hosni Mubarak dari jabatan kepresidenannya pada 11 Februari 2011 M, banyak kalangan—terutama yang disebut Brown dengan kalangan “tradisional militan”—mendesak pemerintah Mesir untuk mengembalikan independensi al-Azhar. Terutama dengan memberikan otonomi kepada al-Shuyûkh untuk memilih Syekh al-Azhar tanpa intervensi dari pemerintah, memberikan otonomi kepada al-Azhar dalam urusan administrasi dan finansial, memosisikan Dâr al-Iftâ‟ di bawah al-Azhar, dan memisahkan al-Azhar dari kabinet.

Desakan itu terutama diprakarsai oleh Gamal Qutb, mantan

kepala Majma„ al-Buh}ûth al-Islâmiyyah al-Azhar. Menurut Qutb, sudah selayaknya al-Azhar mempunyai independensi dan suara dominan dalam interpretasi ajaran-ajaran Islam. Ia dan para koleganya juga berargumen bahwa sebenarnya problem pengekangan independensi al-Azhar tidak dimulai sejak rezim Presiden Nasser, melainkan sejak pendudukan Britania Raya di Mesir. Sebab al-Azhar dianggap sebagai kekuatan yang berpotensi untuk menjelma sebagai oposisi yang dengan peran dan pengaruhnya terhadap Muslim Mesir dapat „membahayakan‟ pemerintah yang sedang berkuasa.15 Di Mesir, al-Azhar memang dapat menjangkau semua kalangan, baik kalangan perkotaan maupun, lebih-lebih, kalangan pedesaan, baik kalangan atas maupun, lebih-lebih, kalangan bawah.

Sebenarnya, institusi keagamaan di manapun, terutama yang dianggap berpengaruh, selalu mendapatkan intervensi pemerintahan rezim yang sedang berkuasa. Di Mesir, secara umum, takkan ada yang berargumentasi tentang pemisahan agama dan negara; perdebatannya bukan itu, melainkan porsi dan bagaimana keduanya berinteraksi. Dalam hipotesisnya, Khalil al-Anani, ketika hendak menganalisis peran agama dalam revolusi Mesir 2011 M, menyatakan bahwa “usaha apapun untuk melakukan marginalisasi dan penghapusan agama dari ranah publik akan mengakibatkan pengaruh negatif pada

15 Lihat Ibid., 13-14.

Al-Azhar dan Upaya Eksploitasi Rezim

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015, Jurnal Pendidikan Islam, TADZKIRAH | 381

proses demokratisasi di Mesir.”16 Jika pergolakan antara negara dan organisasi al-Ikhwan al-Muslimun dianalisis secara mendalam, baik sebelum, selama maupun—lebih-lebih—setelah revolusi 2011, maksud dari hipotesis Khalil al-Anani di atas akan sangat mudah dipahami.

Independensi mutlak al-Azhar, sebagai sebuah institusi Islam yang paling berpengaruh di Mesir, pada gilirannya akan banyak bertabrakan dengan negara. Sedang “penginjakan jari-jari kaki terhadap al-Azhar”—sebagaimana dinyatakan Brown di atas—oleh pemerintah negara pada gilirannya juga akan menimbulkan polemik dan kecurigaan. Dengan demikian, dialog antara al-Azhar sebagai institusi Islam yang independen dan negara merupakan pilihan terakhir yang selayaknya dilakukan.

Eksploitasi Pengaruh Sosio-Religi al-Azhar

Agama memiliki peranan besar dalam kehidupan masyarakat di Mesir. Secara tak resmi—karena agama mayoritas adalah Islam, azan yang dikumandangkan lima kali sehari dijadikan sebagai penentu berbagai kegiatan. Realitas yang menunjukkan bahwa masyarakat Mesir senantiasa menjadikan agama sebagai penuntun mereka dalam keadaan apapun. Dengan demikian, tidak mengherankan jika berbagai upaya sekularisasi mendapatkan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat—lebih-lebih dari kalangan ulama dan gerakan Islam radikal. Mayoritas dari penduduk Mesir adalah Muslim Sunni, selebihnya merupakan penganut aga-ma Kristen Koptik. Di Kairo dan kota-kota penting di Mesir, masjid dan gereja, tak jarang, berdiri berdampingan dengan kokohnya.

Di negeri para nabi itu, terdapat sebuah institusi yang universitasnya, sampai saat ini, tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan untuk mencetak sarjana-sarjana Muslim yang siap mewarnai pola pikir masyarakatnya di berbagai lapisannya, Universitas al-Azhar. Walaupun telah mengalami modernisasi—atau lebih tepatnya politisasi, fakultas-fakultas ke-Islamannya tetap bertahan dengan pola dan metode tradisionalnya. Seakan-akan “modernisasi” yang digalakkan oleh rezim Presiden Nasser tak menyentuh pondasi dan

16 Lebih lanjut, lihat Khalil Anani, The Role Of Religion on the Public Domain in Egypt after the January 25 Revolution (Doha: Arab Center for Research and Policy Studies, 2012), 1.

Amrulloh

382 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

akar al-Azhar yang sesungguhnya ini. Jika direnungkan, ini sama sekali tidak mengejutkan. Sebab tujuan utamanya adalah memang—sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, mereduksi pengaruh al-Azhar dalam masyarakat Mesir. Menganalisis pengaruh al-Azhar yang coba direduksi oleh pemerintah Mesir, dengan demikian, menjadi penting.

Setelah Imperium Turki Usmani menaklukkan Mesir pada abad ke-16 M, para penguasanya menjadikan al-Azhar, secara resmi, sebagai pusat kajian Islam. Para ulama atau sarjana al-Azhar memainkan peran penting dalam kancah sosio-politik saat itu. Mereka menjadi semacam dewan perwakilan rakyat yang menjembatani antara interes khalayak ramai dan pemerintah rezim; mereka juga menjadi supervisor dana wakaf. Tak jarang pula mereka menjadi pusat pengaduan rakyat yang sedang tertindas.

Ketika Napoleon Bonaparte (1769-1821 M) menduduki Mesir pada tahun 1798 M, misalnya, para ulama dan sarjana al-Azhar yang berada di garda depan guna menggemakan penolakan dan perlawanan terhadap kaum imperialis Prancis. Tentu ini dengan mengecualikan oknum-oknum ulama yang “dieksploitasi” guna memberikan legitimasi kaum Imperialis.17 Sebab Bonaparte, alih-alih menyingkirkan para ulama, ia malah merangkul mereka.18 Sebuah langkah politis cerdas yang dilakukannya di sebuah negara yang masih memegang nilai-nilai agama dengan kuat.

Al-Azhar mempunyai komisi fatwa yang dipusatkan di Majma‟

al-Buh}ûth al-Islâmiyyah, dan juga merupakan kantor Syekh al-Azhar. Komisi fatwa bertugas menganalisis berbagai isu dan problem yang dihadapi masyarakat secara luas, kemudian mereka mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan isu dan problem tersebut. Tentunya fatwa tersebut dilandaskan pada syariat Islam, lebih tepatnya al-Quran dan al-Sunnah—tentunya berdasarkan interpretasi mereka. “Dan jika komisi fatwa benar-benar melakukan itu,” Brown berkomentar, “mereka berbicara atas nama institusi,”19 maksudnya al-Azhar. Belum lagi, berbagai isu dan problem pribadi yang 17 Lihat Shadaab H. Rahemtulla, “Reconceptualizing the Contemporary Ulama: al-Azhar, Lay Islam and the Egyptian State in the Late Twentieth Century”, (Thesis—Simon Fraser University, Burnaby, 2005), 13. 18 Berkenaan dengan ini, lihat Jeffrey Charles Burke, “The Role of Ulama during the French Rule of Egypt 1798-1801”, (Thesis—McGill University, Montreal, 1992), 41-46. 19 Brown, “Post-Revolutionary al-Azhar”, 5.

Al-Azhar dan Upaya Eksploitasi Rezim

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015, Jurnal Pendidikan Islam, TADZKIRAH | 383

dipertanyakan oleh berbagai individu. Walaupun Mesir memiliki komisi fatwa lain yang berstatus negeri, Dâr al-Iftâ‟, khalayak ramai pada umumnya lebih mengakui kredibilitas al-Azhar—walau sebenarnya para mufti Dâr al-Iftâ‟ juga sarjana al-Azhar.

Syekh al-Azhar, walaupun Islam sebenarnya tak mengakui otoritas individual dalam interpretasi ajarannya, kadang dianggap sebagai pemimpin tertinggi agama di Mesir, bahkan dunia Islam. Dari 500 Muslim yang paling berpengaruh di dunia, John Esposito dan

Ibrahim Kalim, misalnya, memosisikan Syekh Muh }ammad Sayyid al-

T{ant}awî, Syekh al-Azhar yang menjabat dari 1996 M hingga wafatnya, 2010 M, di uruutan ke-8.20 Urutan teratas hingga ketujuh merupakan pemimpin negara dan pemimpin Syiah. Jadi, dalam Islam Sunni, al-

T{ant}awî adalah “pemimpin agama” yang teratas. Maka dari itu, walaupun al-Azhar telah mengalami modernisasi,

politisasi dan eksploitasi, visi dan misi internal al-Azhar tetap dipegang teguh oleh orang-orang al-Azhar. Mereka tetap berkeyakinan bahwa al-Azhar merupakan suara nurani masyarakat, dan selayaknya memainkan peran paternalistis yang membimbing Mesir sekaligus interes rakyatnya. Para sarjananya, dengan berbagai pengecualian tertentu, dengan bangga merasa bahwa mereka adalah bagian dari institusi Islam yang tertua dan paling dihormati. Pada gilirannya, anggapan bahwa mereka adalah para eksper yang paling otoritatif dalam melakukan interpretasi ajaran Islam, tak dapat atau sulit dihindarkan.21 Terutama di daerah-daerah yang setting sosio-intelektualnya masih tergolong sederhana. Al-Azhar—sebagaimana dijelaskan di muka, memang menguasai pendidikan, lebih-lebih pendidikan Islam, bukan hanya di Kairo dan kota-kota besar dan penting di Mesir, tetapi juga di berbagai kawasan yang terkadang jauh dari keramaian kota.

Jika demikian realitasnya, maka tidak mengherankan apabila pada akhir abad ke-19 M dan puncaknya abad ke-20 M al-Azhar harus dinasionalisasi, dimodernisasi, dipolitisasi bahkan dieksploitasi oleh pemerintahan rezim. Peran dan pengaruh al-Azhar sebelum dan sesudah modernisasi 1961 M—walau telah juga mengalami berbagai

modernisasi sebelumnya—memang berbeda. Muh}ammad al-Ghazâlî (1917-1996 M), misalnya, menyoal penurunan kompetensi ulama al-

20 Lihat John Esposito dan Ibrahim Kalim (ed), The 500 Most Influential in the World-2009 (Yordania: The Royal Islamic Strategic Studies Center, 2009), 36-37. 21 Lihat ibid., 5-6.

Amrulloh

384 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

Azhar sekarang dibanding masa lalu. Menurutnya, dahulu ulama al-Azhar merupakan pihak yang paling berkompeten dalam menanggulangi kefanatikan bermazhab. Sebab mereka memang mempelajari tafsir, hadis, fikih dan lain sebagainya secara luas dan komprehensif. Namun, sayangnya, lanjut al-Ghazâlî, tidak demikian halnya pada masa-masa kini.22

Al-Azhar di masa-masa independensinya seakan memegang erat tampuk otoritas ajaran Islam di Mesir, bahkan sampai kancah internasional. Namun tak demikian keadaannya setelah modernisasi Presiden Nasser terhadap al-Azhar. Terutama pada tahun-tahun 1970 M dan 1980 M-an, sebagaimana analisis Zeghal, gerakan-gerakan Islam yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap peran al-Azhar mulai bermunculan dan, ironisnya, menjauhkan diri dari al-Azhar. Monopoli al-Azhar terhadap interpretasi ajaran Islam kini dipertanyakan, bahkan oleh orang-orang al-Azhar sendiri, terutama mereka yang menyadari pentingnya pluralisme pemikiran agama.23 Gerakan-gerakan Islam yang banyak melontarkan kritik tajam terhadap kelemahan al-Azhar, seperti al-Ikhwân al-Muslimûn yang tak lain merupakan “adik kandung” al-Azhar sendiri, sebenarnya menghendaki kembalinya kekuatan institusi pendidikan Islam tertua itu, baik secara sosio-religi maupun politis.

Tentang politik Muslim kontemporer, Dale F. Eickelman, sebagaimana dituturkan kembali oleh Zeghal, berkomentar, “ulama tak lagi mempunyai, jika mereka pernah mempuyai, monopoli otoritas suci. Melainkan, para syekh sufi, para insinyur, para profesor pendidikan, para dokter, para tentara dan para pemimpin militer dan lain sebagainya berlomba untuk melakukan interpretasi terhadap Islam.”24 Dengan nada terheran-heran, setelah memaparkan sepak

terjang gemilang masa lalu, Yûsuf al-Qarad}âwî bertanya-tanya: “Tetapi, kenapa al-Azhar semakin menjauh dari kebangkitan Mesir modern, padahal dahulu ia menjadi pelopor kebangkitan?”25 Namun,

22 Lihat Muh }ammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa-Ahl al-

H{adîth, cetakan keenam (Kairo: Dâr al-Shurûq, t.th), 15. 23 Zeghal, “Religion and Politics in Egypt”, 372. 24 Ibid. Lihat juga Malika Zeghal, “The „Recentering‟ of Religious Knowledge and Discourse: The Case of al-Azhar of Twentieth-Century Egypt”, dalam Schooling Islam, ed. Robert W. Hefner dan Muhammad Qasim Zaman (Princeton: Princeton University Press, 2007), 124-125. 25 Yûsuf al-Qaradâwî, Risâlât al-Azhar bayna al-Ams wa-al-Yawm wa-al-Ghad, cetakan kedua (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), 45.

Al-Azhar dan Upaya Eksploitasi Rezim

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015, Jurnal Pendidikan Islam, TADZKIRAH | 385

bagaimanapun juga, sampai sekarang ini, al-Azhar tetap memainkan peranan dan pengaruhnya terhadap mereka yang sama sekali tidak atau kurang memiliki akses modernisasi pemikiran.

Catatan Akhir

Relasi antara al-Azhar dan rezim Republik Arab Mesir kini tak lagi kabur dan kompleks: al-Azhar tidak sejajar dengan rezim, apalagi mengunggulinya; al-Azhar di bawah kontrol rezim. Dalam politik, tentunya ini merupakan langkah cerdas dan brilian yang memang seharusnya dilakukan masing-masing rezim guna melegitimasi segala kebijakannya. Dengan demikian takkan ada kebijakan oposisi. Namun bagi kalangan tertentu, semisal mayoritas simpatisan al-Ikhwân al-Muslimûn yang mayoritasnya sebenarnya juga para sarjana al-Azhar, menganggapnya sebagai “penghinaan” terhadap keagungan al-Azhar. Terakhir, rezim yang dikenal paling diktator di Mesir, rezim Presiden Mubarak, telah tumbang; entah apa yang akan terjadi kemudian antara negara dan al-Azhar al-Sharîf.[]

Daftar Rujukan

Anani, Khalil. The Role Of Religion on the Public Domain in Egypt after the January 25 Revolution. Doha: Arab Center for Research and Policy Studies, 2012.

Brown, Nathan J. Post-Revolutionary al-Azhar. Massachusetts: Carnegie Endowment for International Peace, 2011.

Burke, Jeffrey Charles. “The Role of Ulama during the French Rule of Egypt 1798-1801”. Thesis—McGill University, Montreal, 1992.

Ghazâlî (al), Muh }ammad. Al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh

wa-Ahl al-H{adîth, cetakan keenam. Kairo: Dâr al-Shurûq, t.th. Hattab, Ahmed, “Al-Azhar: The Mosque with the Double Minarets”

dalam Marhaba: Yearbook of Finnish-Arabic Society, ed. Marjatta Hattab dan Kadriye Bedredtin. Meritullintori: Finnish-Arabic Society, 2007.

Moustafa, Tamir. “Conflict and Cooperation between the State and Religious Institutions in Contemporary Egypt”, International Journal of Middle East Studies, vol. 32. 2000.

Mujani, Wan Kamal, Abdullah, Idris dan Abu Bakar, Ibrahim. “The Role of the al-Azhar University in the Dissemination of Islamic

Amrulloh

386 | TADZKIRAH, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015

Religious Knowledge in Malaysia”, Advances in Natural and Applied Sciences, vol. 8, no.6. 2012.

Qarad }âwî (al), Yûsuf. Risâlat al-Azhar bayna al-Ams wa-al-Yawm wa-al-Ghad, cetakan kedua (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), 45.

Rahemtulla, Shadaab H. “Reconceptualizing the Contemporary Ulama: al-Azhar, Lay Islam and the Egyptian State in the Late Twentieth Century”. Thesis—Simon Fraser University, Burnaby, 2005.

Sabet, Amr GE. “Defining Islam for Egyptian State: Book Review”, dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 13, no. 3. t.bl, t.th.

Shehata, Dina, Dkk., Mapping Islamic Actors in Egypt. Kairo: Nederlands-Vlaams Institut in Cairo, 2012.

Zeghal, Malika. “Religion and Politics in Egypt: The Ulema of al-Azhar, Radical Islam and the State (1952-1994 M)”, International Journal of Middle East Studies, vol. 31. 1999.

_____, “The „Recentering‟ of Religious Knowledge and Discourse: The Case of al-Azhar of Twentieth-Century Egypt”, dalam Schooling Islam, ed. Robert W. Hefner dan Muhammad Qasim Zaman (Princeton: Princeton University Press, 2007), 124-125.

Zaman, Muhammad Qasim. The Ulama in Contemporary Islam: Custodian of Change. New Jersey: Princeton University Press, 2002.

http://www.azhar.edu.eg.