agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut

268
Marinus Kristiadi Harun AGROFORESTRY BERBASIS JELUTUNG RAWA Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut

Upload: independent

Post on 28-Mar-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Marinus Kristiadi Harun

AGROFORESTRYBERBASIS JELUTUNG RAWA

So lus i Sos ia l , Ek onom i , da n L ingk unga nP e n g e l o l a a n L a h a n G a m b u t

AGROFORESTRY BERBASIS JELUTUNG RAWA: Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Pengelolaan Lahan Gambut

Marinus Kristiadi Harun

FORDA PRESS

2014

2

AGROFORESTRY BERBASIS JELUTUNG RAWA: Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut

Penulis:

Marinus Kristiadi Harun Editor:

Pujo Setio Mahrus Ariyadi Tjuk Sasmito Hadi Desain Sampul dan Tata Letak:

FORDA PRESS Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Oktober 2014 x + 254 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-14274-1-7 Diterbitkan oleh:

FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014

Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp./Fax.: +62251 7520093 Email: [email protected] Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU

Jl. Ahmad Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan 70721 Telp./Fax.: +62511 4707872

Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan HARUN, Marinus Kristiadi

Agroforestry Berbasis Jelutung Rawa : Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut / Marinus Kristiadi Harun. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014

x, 254 hlm. : ill. ; 21 cm. ISBN: 978-602-71770-1-7

1. Jelutung Rawa – Agroforestry – Pengelolaan lahan gambut I. Harun, Marinus Kristiadi II. Judul

iii

KATA PENGANTAR

Kondisi hutan rawa gambut di Indonesia saat ini semakin

memprihatinkan akibat meningkatnya tekanan dan kerusakan

alam. Lahan gambut tersebut dikhawatirkan tidak mampu lagi

memerankan fungsi ekologi secara optimal karena kegiatan yang

mengarah pada perubahan ekosistemnya masih tetap

berlangsung. Contohnya, lahan gambut seluas 3.472.000 ha di

Provinsi Kalimantan Tengah telah terdegradasi mencapai lebih

dari 35%. Lahan gambut yang terdegradasi tersebut pada

perkembangannya menjadi lahan terlantar sehingga sangat

rawan kebakaran pada musim kemarau. Kondisi tersebut dapat

mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi dan

menurunnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, lahan

gambut terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan

kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) gambut.

Kegiatan RHL di lahan gambut masih sering mengalami

kegagalan karena beberapa permasalahan. Selain kendala yang

terkait sifat lahan gambut (fisika, kimia, dan tata air), adopsi

teknologi RHL dengan kegiatan penanaman (budi daya tanaman)

juga mengalami hambatan. Transfer teknologi kepada petani

lokal seringkali hanya diadopsi sebagian atau bahkan tidak

diadopsi sama sekali oleh mereka. Hal ini disebabkan petani lokal

pada umumnya memiliki sumber daya yang terbatas. Selain itu,

kegagalan tersebut juga disebabkan oleh pendekatan yang

bersifat topdown. Paradigma kegiatan RHL sebelumnya kurang

mengedepankan partisipasi aktif petani lokal. Posisi mereka lebih

banyak sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Pola

pendekatannya pun cenderung bersifat menggurui (teaching)

dibandingkan pola saling belajar bersama (learning).

iv

Partisipasi petani lokal dalam kegiatan RHL gambut dapat

dikembangkan bila mereka telah diberdayakan sehingga dapat

berperan secara aktif. Hal ini memerlukan adanya akses,

informasi tentang teknik, manajemen, kelembagaan kegiatan,

dan pengakuan atas keberadaan pengetahuan lokal. Selain itu,

koordinasi antar para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam

kegiatan tersebut sangat diperlukan. Pelaksanaan kegiatan RHL di

lahan gambut terdegradasi harus bersifat strategis, komprehensif,

operasional sesuai dengan lokasi, melibatkan seluruh

stakeholders secara partisipatif, dan mampu memberdayakan

masyarakat setempat. Hal ini berarti upaya merehabilitasi hutan

dan lahan gambut terdegradasi merupakan bagian integral dari

upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pengalaman kegiatan RHL sebelumnya dapat menjadi

bahan pembelajaran. Kegiatan yang hanya menitikberatkan pada

aspek teknis saja–tanpa diikuti dengan pembinaan sumberdaya

masyarakat pelaku kegiatan RHL–terbukti mengalami kegagalan.

Pengalaman pelaksanaan rehabilitasi lahan gambut pada masa

lalu juga menyadarkan kita bahwa masih terdapat kelemahan

pada pola kebersamaan masyarakat pelaku kegiatan RHL secara

berkelompok. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan masyarakat

sangat diperlukan melalui pengembangan kelembagaan ekonomi

masyarakat. Dengan demikian, upaya ini dapat menumbuhkan

rasa saling percaya, saling membutuhkan, dan saling

menguntungkan melalui penerapan teknologi partisipatif dan

sistem kebersamaan berdasarkan manajemen kemitraan.

Berdasarkan hal-hal di atas, upaya RHL gambut dengan

kegiatan penanaman (budi daya tanaman) yang mampu

menjembatani kepentingan produksi dan perlindungan

lingkungan perlu dilakukan. Salah satu pola tanam yang dapat

dikembangkan di lahan gambut tersebut adalah sistem

v

agroforestry. Sistem ini merupakan pola tanam yang dapat

diterapkan di lahan yang rentan secara ekologi (fragile) dengan

mempertimbangkan beberapa hal yang berhubungan dengan

kapasitas pohon untuk tumbuh pada kondisi tanah dan iklim yang

kurang menguntungkan. Salah satu aspek dasar dari peran

agroforestry adalah memelihara kesuburan tanah.

Penulisan buku ini bertujuan untuk memberikan informasi

mengenai kelayakan pengembangan agroforestry untuk

merehabilitasi hutan dan lahan gambut terdegradasi. Buku ini

memberikan gambaran tentang prospek budi daya tanaman di

lahan gambut dengan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa

untuk memperoleh hasil yang optimal dan berkelanjutan. Budi

daya secara terpadu antara tanaman tahunan, semusim, ternak,

dan ikan juga disajikan dalam buku ini. Uraian perihal lahan rawa

gambut sengaja diulas secara menyeluruh dengan maksud agar

petani memiliki gambaran tentang alternatif pemanfaatan lahan

garapan yang lebih baik. Informasi dalam buku ini merupakan

hasil penyarian berbagai tulisan dan penelitian dari para pakar

dan peneliti; pengalaman beberapa petani di lahan gambut; dan

hasil praktik, pengamatan, serta pengalaman penulis di lapangan.

Kami menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna

dan memerlukan banyak masukan dari pihak-pihak terkait.

Namun demikian, kami berharap semoga buku ini dapat

bermanfaat, terutama bagi para pihak yang bergerak dalam

kegiatan RHL di lahan gambut. Semoga praktik agroforestry di

lahan gambut dapat benar-benar menjadi solusi bagi masalah

sosial, ekonomi, dan lingkungan pengelolaan lahan gambut.

Banjarbaru, Oktober 2014

Penulis

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Ungkapan rasa syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang

Maha Kuasa karena hanya atas Rahmat, Hidayah dan Kasih-Nya

buku ini dapat selesai disusun. Penulis juga menyampaikan

penghargaan dan ucapan terimakasih yang tulus kepada semua

pihak yang telah memberikan kesempatan, motivasi, bantuan,

dan doa, antara lain kepada:

1. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru;

2. Rekan-rekan peneliti dan staf Balai Penelitian Kehutanan

Banjarbaru;

3. Para narasumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan

Tengah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan: Kota

Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau, Pimpinan PT SAS

dan PT Sampit, para pihak yang hadir dalam FGD, Kepala

Desa Mentaren II, Penyuluh Pertanian Kecamatan Jabiren

Raya, dan Kelompok Tani “Sepakat Maju” Kelurahan

Kalampangan;

4. Para petani yang telah mengembangkan jelutung rawa

dengan sistem agroforestry: Bapak Tamanurrudin

(Kelurahan Kalampangan), Bapak Sukardi (Desa Tumbang

Nusa), Bapak Agus Martedjo (Desa Jabiren), dan Bapak

Rapingun (Desa Mentaren II);

5. Orang tua, istri, dan anak-anakKu terkasih.

Akhirnya, semoga buku ini dapat memberikan kontribusi

nyata bagi kelestarian lingkungan dan sekaligus meningkatkan

kesejahteraan petani di lahan gambut.

vii

SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN

KEHUTANAN BANJARBARU

Penulisan buku Agroforestry Berbasis Jelutung Rawa:

Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan

Gambut ini didorong oleh keprihatinan mendalam terhadap

semakin rusak ekosistem rawa gambut akibat pemanfaatan yang

tidak tepat. Lahan gambut mengemban fungsi produksi dan

perlindungan lingkungan yang saling berhubungan dan saling

memengaruhi. Apabila fungsi perlindungan lingkungan menurun

maka fungsi produksi dapat terganggu. Peranan lahan gambut

sebagai penyangga lingkungan berhubungan dengan fungsinya

sebagai pengatur tata air (hidrologis), biogeokimia, dan ekologis.

Walaupun telah dilakukan upaya pemulihan lahan gambut

terdegradasi, tingkat keberhasilannya masih belum memuaskan.

Kendala utama keberhasilan penanaman adalah kondisi biofisik

lahan yang tidak mendukung untuk jenis tanaman yang

dikembangkan.

Bertitik tolak dari tantangan yang dihadapi, buku ini

memuat suatu pemikiran bahwa perlu untuk melakukan upaya

pemulihan lahan gambut terdegradasi berbasis jenis lokal dengan

sistem yang ramah lingkungan. Sistem tersebut harus memenuhi

empat persyaratan: secara teknis dapat diterapkan (technically

applicable), secara sosial dapat diterima petani setempat (socially

acceptable), secara ekonomis menguntungkan (economically

feasible), dan ramah terhadap lingkungan (environmentally

friendly). Aspek mendasar yang harus diperhatikan dalam

pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan budi daya tanaman

yaitu menghindari terjadi kering tak balik (irreversible drying) dan

amblesan (subsidence) lahan gambut.

viii

Sistem yang ditawarkan dalam buku ini adalah mengelola

lahan gambut menjadi produktif dan memenuhi persyaratan

melalui agroforestry berbasis jelutung. Agroforestry merupakan

suatu pola tanam yang menggunakan kombinasi komponen

pohon dengan tanaman semusim, dan/atau dengan kegiatan

peternakan/perikanan. Pola tanam ini merupakan salah satu

jawaban bagi usaha produksi yang mempertimbangkan

konservasi sumber daya alam sehingga memungkinkan bagi kita

untuk dapat memanfaatkan lahan gambut yang rentan secara

ekologis. Sementara itu, jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq.

Steenis sinonim Dyera lowii Hook F.) merupakan jenis asli

tumbuhan di lahan gambut. Jenis ini mempunyai daya adaptasi

yang baik dan teruji pada lahan gambut, pertumbuhannya relatif

cepat, dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang

minimal, dan mempunyai hasil ganda: getah dan kayu. Buku ini

memberikan gambaran tentang prospek pengembangan sistem

Agroforestry berbasis jelutung rawa dengan aspek yang dikaji

mencakup empat kelayakan: teknis, ekonomi, sosial, dan

lingkungan. Selain itu, informasi dalam buku ini merupakan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Balai Penelitian

Kehutanan (BPK) Banjarbaru. Penyusunan dan penerbitan buku

ini dibiayai oleh DIPA BPK Banjarbaru tahun anggaran 2014.

Akhirnya, kami berharap semoga buku ini dapat memberikan

kontribusi nyata bagi kelestarian ekosistem gambut dan sekaligus

meningkatkan kesejahteraan petani di lahan gambut.

Banjarbaru, Oktober 2014

Kepala Balai,

Ir. Tjuk Sasmito Hadi, M.Sc. NIP 19611026 198903 1 001

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ……………………….………………………… vi

SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN

BANJARBARU ……………………………………….….…………………… vii

DAFTAR ISI ..................................................................... ix

I. PENDAHULUAN ......................................................... 1

II. PEMANFAATAN GAMBUT ……………………….……………….. 11

2.1 Pengertian Gambut ……....................................... 11

2.2 Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut .............. 19

2.3 Kondisi Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan

Tengah ……..…………………………………….…............. 22

2.4 Permasalahan Utama Pemanfaatan Gambut

Lestari ............................................................... 26

2.5 Budi daya Tanaman Secara Bijak di Lahan Gambut.. 35

III. PROSPEK AGROFORESTRY DI LAHAN GAMBUT …..…….. 39

3.1 Definisi Agroforestry ………………….……………………. 39

3.2 Ruang Lingkup Agroforestry ………….…………………. 41

3.3 Pola Agroforestry ………………………….………………… 45

3.4 Pola Pengombinasian Komponen ………….………….. 49

3.5 Diagnosis dan Desain Agroforestry ………….……….. 59

3.6 Kendala dan Prospek Pengembangan Agroforestry

di Lahan Gambut ……………………………….……………. 62

IV. JELUTUNG RAWA DI LAHAN GAMBUT ……….…………….. 65

4.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh ……….……………. 65

4.2 Sifat Botanis …………………………….…………………….. 65

4.3 Sifat Pohon …………………….…….………………………… 67

4.4 Pemanfaatan Jelutung ……………………………………… 68

x

4.5 Perlindungan Tanaman ……………..…………………….. 70

4.6 Pertumbuhan Jelutung ……………..……………………… 70

V. KAJIAN TEKNIS DAN PERFORMANSI AGROFORESTRY

JELUTUNG RAWA …………………………………………………… 73

5.1 Pengadaan Bibit …………………………..…………………. 73

5.2 Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem

Agroforestry …………………………………………………… 90

5.3 Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa ………….. 109

VI. KELAYAKAN AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA ………… 123

6.1 Kriteria dan Penilaian Kelayakan Agroforestry

Jelutung Rawa …………………………….…………………. 123

6.2 Strategi dan Solusi Permasalahan Pengembangan

Agroforestry Jelutung Rawa …………….………………. 142

VII. NILAI EKONOMI AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA ….. 163

7.1 Margin Pemasaran Jelutung ……….……………………. 163

7.2 Analisis Finansial …………………….………………………. 172

7.3 Analisis Sensitivitas ………………….…………………….. 177

VIII. PENGARUH LINGKUNGAN AGROFORESTRY JELUTUNG

RAWA ………………………………………….………………………. 179

8.1 Kesuburan Tanah …………………………………………… 179

8.2 Kondisi Iklim Mikro …………………………………………. 199

8.3 Amelioran Alternatif Pengganti Abu ……….…………. 205

IX. KELEMBAGAAN AGROFORESTRY ……………………………… 217

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 233

LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………. 245

1

PENDAHULUAN

Luas lahan gambut di dunia diperkirakan sekitar 426,2 juta

ha atau 2% luas daratan dunia yang tersebar pada 80 negara.

Salah satu negara yang memiliki lahan gambut adalah Indonesia

dengan luas 17,2 juta ha atau sekitar 10% luas daratan

Indonesia. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang

memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia dan peringkat

keempat untuk lahan gambut secara umum setelah Kanada

seluas 170 juta ha, eks Uni Soviet seluas 150 juta ha, dan

Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Euroconsult, 1984).

Luas lahan gambut dan fungsinya yang kompleks

menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki arti yang sangat

penting bagi penyangga (buffer) lingkungan. Peranan lahan

gambut sebagai penyangga lingkungan berhubungan dengan

fungsi tata air (hidrologis), biogeokimia, dan ekologis. Fungsi

gambut secara hidrologis adalah menyimpan air. Gambut yang

masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air antara 500–1.000%

dari bobotnya. Selain sebagai daerah tampungan air, gambut

rawa alami juga berfungsi sebagai penyeimbang sistem tata air

wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan

penyerap dan penyimpan air (aquafer) selama musim hujan,

yaitu pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan

air simpanannya. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya banjir

pada musim hujan besar dan kelangkaan air pada musim

kemarau (Andriesse, 1988; Rydin & Jeglum, 2006). Gambut

dalam setiap meter kubik dapat menyimpan sekitar 850 liter air

sehingga setiap hektar gambut mampu menyimpan air sebesar

88,60 juta liter. Apabila hal ini dikaitkan dengan kebutuhan air

penduduk, yang rata-rata sebesar 85 liter per hari per jiwa, maka

setiap hektar gambut (tebal 1 m) dapat mencukupi kebutuhan air

Bab I

2

untuk 274 jiwa penduduk per tahun. Kemampuan gambut dalam

mengonservasi air dapat berubah jika terjadi pengeringan

terhadap gambut. Pengeringan dapat mengubah sifat gambut

yang menyukai air (hidrofil) menjadi tidak menyukai air (hidrofob)

yang tak terbalikkan. Gambut juga diperlukan sebagai penyangga

antara wilayah marine dan wilayah air tawar. Upaya

mempertahankan keseimbangan antara keduanya dapat

menghindari terjadinya penyusupan (intrusi) air laut ke pesisir

dan mencegah pencemaran di perairan pantai akibat hasil

buangan daratan (Rieley et al., 1996).

Kemampuan gambut dalam mengonservasi air dan

pemendaman (sequestering) karbon berkaitan erat dengan

kepentingan lingkungan, baik secara regional maupun global.

Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut telah diteliti

oleh beberapa peneliti (Sorensen, 1993; Notohadinegoro, 1996;

Schimada et al., 2001 dan Page et al., 2004). Laju rata-rata

pemendaman karbon gambut di Kalimantan sekitar 0,74 ton per

hektar per tahun. Hal ini berarti karbon yang dilepaskan ke

atmosfer setiap tahun dari setiap hektar hutan yang dibuka dan

digunakan untuk perladangan dapat dikompensasi oleh

pemendaman karbon dalam 190 hektar lahan gambut setiap

tahun (Notohadinegoro, 1996). Emisi gas CO2 yang dihasilkan

oleh lahan gambut diperkirakan antara 100–400 mg per m2 per

jam, setara dengan 9–35 ton per hektar per tahun (Ridlo, 1997).

Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat

mencapai 5.000 ton per hektar, di antaranya 1.200 ton per hektar

gambut dunia (Diemont et al., 1992). Lahan gambut juga

menghasilkan emisi gas CH4 (metan) selain emisi gas CO2,

sebagai hasil dari perombakan atas bahan organik secara

anaerob. Peningkatan emisi gas seperti CO2 dan CH4 dalam

jumlah besar akan memengaruhi iklim global yang menimbulkan

3

pemanasan secara global pula, yaitu naiknya suhu permukaan

planet bumi (Noor, 2001).

Sumber daya penting lain yang terdapat di kawasan

gambut adalah keanekaragaman hayati dan sumber plasma

nutfah yang besar dan khas. Hasil penelitian Dahuri (1997) di

hutan primer gambut sekitar Sungai Mentangai, Provinsi

Kalimantan Tengah, menemukan 104 jenis satwa liar yang terdiri

atas 32 jenis mamalia (di antaranya 13 jenis dilindungi), 8 jenis

reptilia (5 jenis dilindungi), dan 60 jenis burung (19 jenis

dilindungi). Lahan gambut juga mempunyai sumber air hitam

(black water stream) yang masih bersifat misteri. Sumber air

hitam tersebut hanya terdapat di dua tempat di dunia: Amerika

Utara dan Provinsi Kalimantan Tengah. Uraian tersebut

menunjukkan bahwa kawasan gambut dapat dijadikan obyek

wisata lingkungan (ecoturism) selain dijadikan obyek wisata flora

dan fauna.

Pemanfaatan fungsi produksi lahan gambut saat ini

mengalami peningkatan seiring dengan semakin bertambah

kebutuhan lahan dan potensi ekonomi yang dimilikinya. Alih guna

lahan hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan juga terjadi di

lahan gambut. Hal ini menimbulkan banyak masalah seperti

penurunan kesuburan gambut, penurunan permukaan gambut

(subsidence), kering tak balik (irreversible drying), kepunahan

flora dan fauna, banjir, kekeringan, dan bahkan perubahan

lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke

waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan rawa

gambut yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian/

perkebunan. Limin (2004) menyatakan bahwa lahan gambut

seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikhawatirkan

tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologi secara optimal

karena kegiatan yang mengarah kepada perubahan ekosistem

4

masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan adanya

kerusakan lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35%.

Lahan gambut tersebut pada perkembangannya menjadi lahan

terlantar yang pada musim kemarau sangat rawan kebakaran.

Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologi

dan penurunan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, lahan

gambut terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan

kegiatan penanaman: rehabilitasi dan penghijauan. Gambar 1

memperlihatkan beberapa kondisi lahan gambut yang

terdegradasi akibat pemanfaatan yang tidak lestari. Kondisi

tersebut perlu segera diperbaiki melalui upaya pemulihan lahan

gambut yang terdegradasi agar dapat berfungsi kembali secara

ekologi dan ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

Gambar 1. Kondisi lahan gambut pasca kebakaran (kiri) dan perubahan penutupan lahan gambut dari hutan menjadi lahan yang didominasi oleh pakis (kelakai) setelah kejadian kebakaran yang berulang kali (kanan)

Pemanfaatan lahan gambut harus mengedepankan konsep

berkelanjutan (Sustainable Development). Konsep ini berarti

setiap kegiatan dalam pengelolaan lahan gambut harus

5

mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan

secara terintegrasi dan holistik. Berkelanjutan dalam pengelolaan

lahan gambut berarti adanya jaminan bahwa lahan gambut yang

dikelola dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa

menimbulkan risiko terhadap kemampuan generasi yang akan

datang untuk memenuhi kebutuhannya. Djajadiningrat (2001)

menyatakan bahwa terdapat dua gagasan penting dalam konsep

pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) gagasan kebutuhan

esensial untuk kelangsungan hidup manusia, dan (2) gagasan

keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan

organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk

memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang. Memerhatikan

kedua gagasan tersebut, lahan gambut harus dikelola dengan

mengedepankan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan

faktor-faktor pembatas. Penerapan prinsip tersebut diharapkan

dapat menjembatani kepentingan fungsi produksi dan fungsi

perlindungan lingkungan lahan gambut.

Fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam

ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling

memengaruhi. Apabila fungsi perlindungan lingkungan menurun

maka fungsi produksi dapat terganggu (Maltby & Immirzi, 1996).

Dua syarat mendasar yang harus diperhatikan pada kegiatan budi

daya tanaman dalam rangka pengelolaan lahan gambut agar

fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam

keadaan seimbang adalah (1) menghindari terjadinya kering tak

balik (irreversible drying), dan (2) menghindari terjadinya

amblesan (subsidence) lahan gambut. Selain itu, aspek sosial-

ekonomi petani setempat perlu mendapat perhatian. Gambar 2

menjelaskan aspek-aspek yang diperlukan dalam pengelolaan

lahan gambut lestari.

6

Gambar 2. Tiga pilar kelestarian menurut The World Summit 2005

Tingkat keberhasilan pemulihan lahan gambut terdegradasi

masih belum memuaskan, walaupun telah mulai dilakukan

upayanya. Hasil penelitian dan ujicoba penanaman di lahan

gambut pasca kebakaran menunjukkan tingkat keberhasilan

tanaman masih rendah (Limin et al., 2003). Kendala utama

keberhasilan penanaman terutama terjadi pada kondisi biofisik

lahan yang tidak favourable untuk jenis tanaman yang

dikembangkan. Bertitik tolak dari tantangan yang dihadapi dalam

upaya pemulihan lahan gambut terdegradasi tersebut, pada buku

ini diajukan suatu pemikiran bahwa upaya pemulihan lahan

gambut terdegradasi berbasis jenis lokal dengan sistem yang

ramah lingkungan perlu dilakukan. Salah satu sistem pengelolaan

Dapat ditahan (Bearable)

Adil (Equitable)

Lestari (Sustainable)

Dapat hidup terus

(Viable)

Ekonomi Lingkungan

Sosial

7

lahan gambut yang dapat diterapkan untuk merehabilitasi lahan

gambut terdegradasi adalah sistem agroforestry berbasis jenis

lokal (indigenuos tree species). Penerapan sistem ini diharapkan

dapat menjembatani kepentingan fungsi produksi dan fungsi

perlindungan lingkungan lahan gambut.

Faktor lain yang turut menentukan keberhasilan

pengelolaan lahan gambut secara lestari adalah pemilihan jenis

yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Salah satu jenis yang memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung

rawa. Jenis ini mempunyai nama ilmiah Dyera polyphylla Miq.

Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F. yang

merupakan salah satu jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi

tinggi. Jelutung rawa merupakan jenis pohon endemik lahan

gambut yang hanya terdapat di dua negara di dunia: Indonesia

dan Malaysia. Di Indonesia, jenis pohon ini hanya terdapat di

Pulau Sumatera dan Kalimantan. Jenis ini mempunyai daya

adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, pertumbuhan-

nya relatif cepat, budi daya dapat dilakukan dengan

memanipulasi lahan yang minimal, dan mempunyai hasil ganda:

getah dan kayu. Pertimbangan pemilihan jenis ini juga didasari

pada kemudahan pemasaran produk (getah) dan aspek

silvikulturnya telah diketahui: mulai dari teknik perbanyakan

(generatif dan vegetatif), teknik persemaian, teknik penanaman

hingga teknik pemeliharaan (Daryono, 2000).

Pengembangan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa

untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi memerlukan

pemahaman yang baik tentang faktor pendukung suatu sistem

agar dapat menghasilkan inovasi dalam upaya memulihkan lahan

gambut. Suatu sistem mengandung arti adanya saling interaksi

antara masing-masing faktor yang membentuk sistem tersebut

untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan (Hartrisari, 2007).

8

Faktor utama yang memengaruhi upaya merehabilitasi lahan

gambut terdegradasi dengan pengembangan agroforestry adalah

(1) kebijakan pemerintah, (2) ketersediaan teknologi, (3) faktor

eksternal (pasar), dan (4) partisipasi petani. Keterkaitan antar

faktor tersebut merupakan kerangka berpikir dari buku ini

sebagaimana skema pada Gambar 3.

9

Gambar 3. Kerangka pemikiran pengembangan agroforestry berbasis jelutung rawa untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi

Kondisi Ideal Ekosistem

Lahan Gambut

10

11

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT

2.1 Pengertian Gambut

Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang

dicirikan adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung

dalam kurun waktu lama. Akumulasi bahan organik terjadi karena

laju dekomposisi lebih lambat dibandingkan dengan laju

penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan

basah. Proses pembentukan gambut hampir selalu terjadi pada

hutan dalam kondisi tergenang dengan produksi bahan organik

dalam jumlah yang banyak (Najiyati et al., 2005). Hardjowigeno

(1996) mendefinisikan gambut sebagai tanah yang terbentuk dari

timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah

lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses

dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi

lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat

perkembangan biota pengurai. Bahan organik tidak melapuk

sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara.

Oleh karena itu, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa

belakang (backswamp) atau daerah cekungan yang drainasenya

buruk. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik

yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi

dan transportasi. Hal ini berbeda dengan proses pembentukan

tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses

pedogenik.

Gambut tropis, khususnya di Indonesia, mengandung

sangat banyak kayu-kayu dengan tingkat pertumbuhan gambut

setiap tahun relatif tinggi. Salah satu ciri gambut tropis dalam

cekungan di Indonesia adalah bentuk kubah (dome) yang menipis

di pinggiran (edge) dan menebal di pusat cekungan. Ketebalan

Bab II

12

gambut dapat mencapai >15 m (Wahyunto et al., 2005). Menurut

Noor (2001), pembentukan gambut memerlukan waktu yang

sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0–3

mm per tahun. Di Barambai, Delta Pulau Petak, Kalimantan

Selatan, laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm per tahun,

sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 mm per tahun. Di Sarawak,

Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar

0,22–0,48 mm per tahun.

Gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu

vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan selulosa (Brady,

1997). Andriesse (1988) menjelaskan bahwa pembentukan dan

pematangan gambut berjalan melalui tiga proses. Kecepatan

proses tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan),

susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu. Ketiga

proses pematangan gambut diuraikan sebagai berikut.

1. Pematangan fisik. Proses ini terjadi dengan adanya

pelepasan air (dehidrasi) akibat adanya drainase, evaporasi

(penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai

dengan penurunan dan perubahan warna tanah.

2. Pematangan kimia. Proses ini terjadi melalui peruraian bahan

organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Proses

pematangan ini akan melepaskan senyawa asam organik

yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah

menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan

kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan

organik baru yang disebut sebagai humus.

3. Pematangan biologi. Proses ini disebabkan oleh aktivitas

mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat

terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedia oksigen

yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikro-

organisme.

13

Lahan gambut di Indonesia pada umumnya membentuk

kubah gambut (peat dome). Bagian pinggiran kubah didominasi

tumbuhan kayu yang masih memperoleh pasokan hara dari air

tanah dan sungai sehingga jenisnya banyak dan umumnya

berdiameter besar membentuk hutan rawa campuran (mixed

swamp forests). Menuju ke bagian tengah, jenis-jenis spesies

kayu hutan semakin sedikit. Vegetasi hutan tersebut relatif kurus

yang umumnya berdiameter kecil. Hal ini disebabkan gambut

tebal yang terbentuk umumnya bersifat masam dan miskin hara

sehingga memiliki kesuburan alami yang rendah hingga sangat

rendah. Perubahan dari wilayah pinggiran gambut yang relatif

kaya hara menjadi wilayah gambut ombrogen yang miskin

diperkirakan terjadi pada kedalaman gambut antara 200–300 cm

(Suhardjo & Widjaja, 1976). Gambar 4 menjelaskan proses

pembentukan gambut di Indonesia (Noor, 2001).

Gambar 4. Proses pembentukan gambut di Indonesia (van de Meene dalam Noor, 2001)

14

Penampang skematis wilayah gambut diilustrasikan pada

Gambar 5 (Subagyo, 2002). Gambar tersebut menunjukkan

bahwa mulai dari sungai besar pertama hingga ke sungai besar

berikutnya akan berturut-turut ditemukan tanggul sungai (levee),

dataran rawa belakang sungai (backswamp), cekungan/depresi

yang berisi tanah gambut, kemudian kembali dataran rawa

belakang dan tanggul sungai berikutnya. Bentukan-bentukan

landform yang relatif sama atau mirip proses pembentukan dan

dinamikanya disebut satuan (unit) fisiografi.

Gambar 5. Penampang skematis lahan rawa gambut yang terletak di antara dua sungai besar (Subagyo, 2002)

Lahan gambut menempati cekungan di antara dua sungai

besar. Apabila jarak horizontal kedua sungai besar tersebut cukup

jauh, misalnya beberapa puluh kilometer, lahan gambut biasanya

membentuk pola kubah gambut (peat dome) yang cukup besar.

15

Pada kubah gambut seperti ini, bagian pinggir merupakan

gambut dangkal dan semakin ke bagian tengah ke arah puncak

kubah, permukaan tanah gambut secara berangsur menaik.

Ketinggian puncak kubah gambut bervariasi, bisa mencapai 3–8

m di atas permukaan air sungai. Pada gambut dalam, bagian

tengah kubah gambut bisa mencapai 8–13 m; air tanah

tergenang (stagnant) dan sangat miskin hara. Sekeliling puncak

kubah gambut atau bagian pinggir merupakan gambut melereng,

lebih dangkal, dan lebih banyak tercampur bahan mineral

sehingga tingkat kesuburannya lebih tinggi. Tanah gambut yang

menempati depresi atau cekungan sempit biasanya merupakan

gambut tipis (0,5–1 m) hingga gambut sedang (1–2 m). Gambar

6 menjelaskan kubah gambut (peat dome).

Gambar 6. Lahan gambut dengan puncak kubah di bagian tengah (Mudiyarso & Suryadiputra, 2003)

16

Sifat tanah gambut dapat dikelompokkan menjadi dua:

sifat fisika dan kimia. Sifat fisika dan kimia gambut tidak saja

ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan organik, tetapi juga

oleh tipe vegetasi asal bahan organik. Sifat fisika gambut yang

penting untuk diketahui antara lain tingkat kematangan, berat

jenis, kapasitas menahan air, daya dukung (bearing capacity),

penurunan tanah, daya hantar hidrolik, dan warna. Sifat kimia

gambut yang penting untuk diketahui adalah tingkat kesuburan

dan faktor-faktor yang memengaruhi kesuburan tersebut.

Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposis bahan

organik, gambut dibedakan menjadi tiga (Najiyati et al., 2005)

seperti diuraikan sebagai berikut.

1. Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih

muda) dan lebih dari ¾ bagian volumenya berupa serat

segar (kasar). Cirinya, apabila gambut diperas dengan

telapak tangan dalam keadaaan basah maka kandungan

serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah

pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (>¾).

2. Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan

sedang (setengah matang): sebagian bahan telah

mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa serat.

Apabila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan

basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari dan

kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan

setelah pemerasan adalah kurang dari tiga perempat hingga

seperempat bagian (¼–<¾).

3. Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah

lanjut (matang). Apabila diperas, gambut sangat mudah

melewati sela-sela jari dan serat yang tertinggal dalam

telapak tangan kurang dari seperempat bagian (<¼).

17

Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan

gambut. Semakin matang maka gambut semakin berwarna gelap.

Fibrik berwarna coklat; hemik berwarna coklat tua; saprik

berwarna hitam (Darmawijaya, 1990). Dalam keadaan basah,

warna gambut biasanya semakin gelap. Semakin matang gambut

maka semakin besar berat jenisnya. Wahyunto et al. (2005)

membuat klasifikasi nilai berat jenis atau bobot isi (bulk density)

tanah gambut di Sumatera: gambut saprik nilai bobot isinya

sekitar 0,28 gr/cc, hemik 0,17 gr/cc, dan fibrik 0,10 gr/cc. Akibat

berat jenis yang ringan, gambut kering mudah tererosi/terapung

dan terbawa aliran air. Kandungan air pada gambut saprik, hemik

dan fibrik berturut-turut adalah <450%, 450–850%, dan >850%

dari bobot keringnya atau 90% volumenya (Suhardjo & Dreissen,

1975). Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai

penambat air (reservoir) yang dapat menahan banjir saat musim

hujan dan melepaskan air saat musim kemarau sehingga intrusi

air laut saat kemarau dapat dicegah.

Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air)

secara horizontal (mendatar) yang cepat sehingga memacu

percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase.

Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertikal (ke atas) yang

sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami

kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga

menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air

ke atas hanya sekitar 40–50 cm. Untuk mengatasi perilaku ini,

upaya untuk menjaga ketinggian air tanah pada kedalaman

tertentu perlu dilakukan. Kedalaman muka air tanah yang ideal

untuk tanaman semusim adalah kurang dari 100 cm, sedangkan

untuk tanaman tahunan disarankan untuk mempertahankan

muka air tanah pada kedalaman 150 cm. Pemadatan gambut

sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah.

18

Gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu yang

rendah karena mempunyai ruang pori yang besar sehingga

kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Ruang pori

total untuk bahan fibrik–hemik adalah 86–91% (volume) dan

untuk bahan hemik–saprik adalah 88–92%, atau rata-rata sekitar

90% volume (Suhardjo & Dreissen, 1977).

Friesher dalam Driessen & Soepraptohardjo (1974)

membagi gambut dalam tiga tingkatan kesuburan: eutrofik

(subur), mesotrofik (sedang), dan oligotrofik (tidak subur).

Secara umum, gambut topogen–tergolong sebagai gambut

mesotrofik sampai eutrofik–yang dangkal dan dipengaruhi air

tanah dan sungai umumnya mempunyai potensi kesuburan alami

yang lebih baik daripada gambut ombrogen–sebagian besar

oligotrofik–yang kesuburan hanya dipengaruhi air hujan.

Tingkat kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh

berbagai hal yaitu ketebalan gambut, bahan asal, kualitas air,

kematangan gambut, dan kondisi tanah di bawah gambut. Secara

umum, gambut yang berasal dari tumbuhan berbatang lunak

lebih subur daripada gambut yang berasal dari tumbuhan

berkayu; gambut yang lebih matang lebih subur daripada gambut

yang belum matang; gambut yang mendapat luapan air sungai

atau air payau lebih subur daripada gambut yang hanya

memperoleh luapan atau curahan air hujan; gambut yang

terbentuk di atas lapisan liat/lumpur lebih subur daripada yang

terdapat di atas lapisan pasir; gambut dangkal lebih subur

daripada gambut dalam. Tabel 1 memperlihatkan secara umum

sifat fisika dan kimia tanah gambut yang menjadi faktor

pembatas kesuburan gambut. Berdasarkan sifat-sifat tersebut,

setiap penyelenggaraan kegiatan di lahan gambut, khususnya

pertanian, harus mempertimbangkan kondisi ini secara

mendalam.

19

Tabel 1. Faktor pembatas kesuburan di lahan gambut

Kategori Sifat/Perilaku

Sifat Fisika

kematangan gambut bervariasi

berat jenis rendah

kapasitas menahan air tinggi, tetapi bila

sudah kering sulit menyerap air kembali

daya hantar air vertikal rendah

daya tumpu rendah

mengalami penurunan permukaan tanah

di bawah gambut sering terdapat lapisan

pasir atau pirit

Sifat Kimia

Kesuburan rendah

pH rendah

KTK tinggi

Kejenuhan basa rendah

Ketersediaan unsur hara makro (N, Ca, Mg,

K) rendah

Ketersediaan unsur hara mikro (Cu, Mo, Zn,

Mn, Fe) rendah

Sumber: Najiyati et al. (2005)

2.2 Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Luas lahan gambut di wilayah tropika diperkirakan 40 juta

hektar atau 10% dari luas lahan gambut di dunia (Rieley & Page,

2005; Radjagukguk, 2000). Bagian terbesar dari lahan gambut

tropis dijumpai di Indonesia dengan luas tidak kurang dari 17 juta

hektar (Notohadiprawiro, 1996) dan di Malaysia kira-kira 2,7 juta

hektar (Mutalib et al., 1991). Lahan gambut mempunyai potensi

sebagai penghasil berbagai produk seperti kayu, flora (tanaman)

dan fauna (ikan, burung, dan lain-lain). Jenis kayu yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi di hutan rawa gambut antara lain

20

ramin (Gonystylus bancanus Kurtz), belangeran (Shorea

belangeran), jelutung (Dyera lowii Hook. F), nyatoh (Palaquium

cochlearia), bintangur (Calophyllum kuntsleri King), pulai rawa

(Alstonia pnematophora), terantang (Campnospernum auriculata

Hook. F), geronggang (Cratoxylon arborescens Bl.), punak

(Tetramerista glabra), kapurnaga (Calopyllum macrocarpum Hk.

F), dan lain-lain. Daryono (2000) menyatakan bahwa jenis-jenis

pohon rawa gambut yang mempunyai nilai komersial (prospektif)

untuk dikembangkan pada pembangunan Hutan Tanaman

Industri (HTI) ataupun untuk kegiatan rehabilitasi terdapat

sebanyak 27 jenis.

Potensi lain dari lahan gambut yang tidak kalah besar

adalah ikan. Jenis ikan penghuni rawa gambut yang bernilai

ekonomi penting antara lain papuyu (Anabas testudineus), lele

(Clarias spp.), baung (Mystus nemurus), ikan gabus (Channa

spp.), sepat (Trichogaster spp.), dan jelawat (Ceptobarbus

hoeveni). Pada rawa gambut, terdapat tidak kurang dari 100

jenis ikan di perairan tawar Provinsi Kalimantan Tengah dan

sebagian besar termasuk ikan penghuni rawa yang bernilai

ekonomi penting (Kartamihardja, 2002).

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan

perkebunan akhir-akhir ini mendapatkan tantangan berkenaan

dengan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berdampak pada

pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanfaatan lahan

gambut untuk pertanian dan perkebunan juga sering

menimbulkan permasalahan terkait dengan tingkat kesuburannya

yang rendah dan biofisik lahan yang rapuh. Namun, apabila

dikelola dan dibudidayakan dengan baik dan bijak maka lahan

gambut dapat memberikan hasil tanaman yang baik. Bahkan,

hasil tanaman dapat mencapai produktivitas yang tidak kalah

dengan tanah mineral (Noor, 2001; Najiyati et al., 2005).

21

Menurut Najiyati et al. (2005), pemilihan lahan yang sesuai dan

penataan lahan secara tepat merupakan salah satu kunci sukses

bertani di lahan gambut. Kesalahan dalam memilih dan menata

lahan dapat menyebabkan biaya tinggi, pengorbanan waktu, dan

kegagalan bertani. Bahkan, kesalahan tersebut dapat merusak

dan membahayakan lingkungan.

Lahan Gambut perlu dimanfaatkan sesuai fungsinya

dengan memerhatikan keseimbangan antara kawasan budi daya,

kawasan nonbudidaya, dan kawasan preservasi (Widjaya-Adhi,

1995). Kawasan nonbudidaya merupakan kawasan yang tidak

boleh digunakan untuk usaha dan harus dibiarkan sebagaimana

adanya. Kawasan tersebut meliputi kawasan lindung dan

kawasan pengawetan. Kawasan pengawetan (preservasi) adalah

kawasan yang dengan pertimbangan tertentu harus dibiarkan

sebagaimana aslinya dengan status masa kini sebagai kawasan

nonbudidaya. Kawasan ini nantinya dapat saja dikembangkan bila

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mampu

mengatasi berbagai kendala dalam proses budi daya di lahan ini

sehingga pemanfaatannya memberikan nilai tambah bagi

kesejahteraan masyarakat. Kawasan budi daya adalah kawasan

yang dinilai layak untuk usaha di bidang pertanian dan berada di

luar kawasan nonbudidaya dan preservasi. Najiyati et al. (2005)

menyatakan bahwa pemanfaatan lahan gambut di kawasan budi

daya harus disesuaikan dengan tipologinya, yaitu:

(1) lahan potensial, bergambut, aluvial bersulfida dalam, dan

gambut dangkal hingga kedalaman 75 cm dapat ditata

sebagai sawah;

(2) gambut dengan kedalaman 75–150 cm untuk tanaman

hortikultura semusim, padi gogo, palawija, dan tanaman

tahunan;

22

(3) gambut hingga kedalaman 2,5 m hanya untuk perkebunan

seperti kelapa, kelapa sawit, dan karet;

(4) gambut lebih dari 2,5 m sebaiknya digunakan untuk budi

daya tanaman kehutanan seperti sengon, sungkai,

jelutung/pantung, meranti, pulai, dan ramin.

Berdasarkan uraian di atas, lahan gambut mempunyai

potensi yang besar. Pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan

dengan hati-hati dan memerhatikan sifat, karakter, dan ekologi

lahan gambut sehingga dapat mencegah terjadinya degradasi

yang berdampak sangat luas, baik terhadap sumber kehidupan

maupun terhadap fisik lingkungan.

2.3 Kondisi Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah

Lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah diperkirakan

mencakup areal seluas 3.472.000 ha atau sekitar 21,98% dari

total luas wilayah provinsi ini (sekitar 15.798.000 ha). Kondisi

objektif lahan gambut di provinsi ini dapat dikelompokkan

menjadi lima kelompok utama (Limin et al., 2003) sebagai

berikut.

1. Lahan gambut yang belum digarap. Kawasan bergambut

pada kelompok ini pada umumnya masih berhutan atau

merupakan kawasan hutan yang terdiri atas kawasan hutan

produksi, kawasan lindung, dan kawasan konservasi lainnya.

Kondisi lahan gambut kelompok ini masih berhutan sehingga

mudah membedakan ciri-ciri penyusun vegetasi di kawasan

yang umumnya didominasi oleh jenis-jenis meranti rawa,

ramin, jelutung, agathis, nibung, dan rengas. Sebagian besar

kawasan bergambut yang termasuk dalam kelompok ini

dibebani Hak Pengusahaan Hutan (HPH) karena jenis

vegetasi penyusunnya masih potensial untuk dimanfaatkan.

23

Kawasan bergambut kelompok ini terletak pada tiga

kawasan utama, yaitu (1) kawasan hutan yang terletak di

antara areal eks PLG di sebelah Timur (dibatasi oleh Sungai

Sebangau) hingga areal Taman Nasional Tanjung Puting

(TNTP) di sebelah Barat dan dengan batas Utara adalah

Jalan Trans Kalimantan dan di sebelah Selatan berbatasan

dengan Laut Jawa, (2) kawasan hutan yang terletak pada

Blok E di sebelah Utara areal eks PLG, dan (3) kawasan

hutan yang terletak di antara kawasan TNTP hingga ke batas

Provinsi Kalimantan Barat.

2. Lahan gambut areal eks PLG. Total luas areal eks PLG sekitar

1.119.493 ha yang terdiri atas empat blok: Blok A (227.100

ha), Blok B (161.480 ha), Blok C (568.635) ha, dan Blok D

(162.278 ha).

3. Lahan gambut yang termasuk wilayah TNTP dan Taman

Nasional Sebangau (TNS). Kawasan TNTP mempunyai luas

areal 415.040 ha dan secara khusus diperuntukkan sebagai

habitat satwa langka yang dilindungi yaitu orangutan (Pongo

pygmaeus). Sementara itu, TNS mempunyai luas areal

568.700 ha.

4. Lahan gambut terlantar. Sebaran dari lahan gambut pada

kelompok ini terletak di sepanjang kanan-kiri jalan negara,

seperti Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan

Palangkaraya–Kuala Kapuas–Banjarmasin, jalan negara yang

menghubungkan Sampit–Ujung Pandaran, Sampit–Kuala

Pembuang, Palangkaraya–Tumbang Talaken–Tumbang

Jutuh, dan Kotawaringin–Sukamara. Lahan gambut di kanan-

kiri jalan negara menjadi terlantar karena pada umumnya

peruntukan kawasan bergambut pada kelompok ini mengacu

kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)

Kalimantan Tengah sehingga sudah tidak lagi sebagai

24

kawasan hutan tetap. Lahan ini juga diklaim oleh masyarakat

sebagai milik mereka, namun tidak digarap atau diolah

sebagaimana mestinya. Kelompok ini lebih tepat disebut

sebagai lahan gambut terlantar (lahan gambut tidak

produktif).

5. Lahan gambut yang diolah masyarakat. Lahan gambut pada

kelompok ini umumnya terdiri atas (1) lahan gambut yang

dijadikan sebagai kawasan permukiman melalui program

transmigrasi, dan (2) lahan gambut yang dikelola menjadi

lahan-lahan perkebunan besar swasta (kelapa sawit) dan

lahan gambut yang dikelola masyarakat setempat, baik

sebagai lahan perkebunan maupun pemungutan hasil hutan

ikutan lainnya–kelapa, karet, jelutung dan rotan.

Berdasarkan perspektif pengelolaan lahan gambut

berkelanjutan, kelompok keempat (lahan gambut terlantar)

merupakan lahan gambut yang perlu mendapat prioritas

penanganan. Pengelolaan tersebut harus memerhatikan berbagai

kondisi objektif permasalahannya. Selanjutnya, perkembangan

pengelolaan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah dapat

dibedakan sebagai berikut (Limin et al. 2003).

1. Pengelolaan lahan gambut melalui program pemerintah.

Penetapan lahan gambut tertentu untuk tujuan konservasi

atau perlindungan setempat berupa penetapan kawasan

taman nasional (TN), cagar alam (CA), suaka margasatwa

(SM), cagar budaya, taman wisata alam (TWA), dan hutan

lindung (HL); termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam.

Masing-masing fungsi kawasan tersebut telah diatur dan

ditetapkan dalam RTRWP Kalimantan Tengah dan hasil

paduserasi tahun 1999. Pengelolaan lahan gambut untuk

kepentingan pembangunan wilayah pada umumnya dalam

25

bentuk pembukaan lahan baru sebagai lokasi permukiman

penduduk melalui program transmigrasi (resettlement) dan

pembangunan jaringan/akses jalan yang menghubungkan

daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Tengah.

2. Pengelolaan lahan gambut oleh pihak swasta. Pengelolaan

lahan gambut yang masih berupa hutan dengan status

kawasan hutan dilakukan oleh para pemegang HPH dalam

rangka memanfaatkan tegakan hutan yang bernilai ekonomis

melalui kegiatan eksploitasi dan silvikultur. Pengelolaan

lahan gambut yang sudah tidak berupa hutan dan bukan

kawasan hutan dilakukan oleh perusahaan perkebunan

swasta besar (PSB) yang dikonversi menjadi kebun kelapa

sawit, sekaligus sebagai sentra-sentra produksi crude palm

oil (CPO) di Provinsi Kalimantan Tengah.

3. Pengelolaan lahan gambut oleh lembaga penelitian dan

perguruan tinggi. Mengacu kepada RTRWP Kalimantan

Tengah hasil paduserasi tahun 1999 yang berlaku saat ini,

kawasan hutan bergambut seluas 5.000 ha telah

dialokasikan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) yaitu sebagai Hutan Penelitian. Selain itu, terdapat

Laborarium Gambut di Sungai Sebangau yang dikelola oleh

pihak Universitas Palangkaraya bekerja sama dengan pihak

Nottingham University, United Kingdom (UK).

4. Pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat. Kegiatan

pengelolaan lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat

lebih merupakan pemanfaatan lahan gambut untuk

kepentingan pembangunan kebun rakyat dan pengolahan

lahan gambut sebagai lahan pertanian tanaman pangan.

Pola sebaran pengolahan lahan gambut mengikuti

konsentrasi permukiman penduduk di sepanjang kanan-kiri

jalan negara.

26

2.4 Permasalahan Utama Pemanfaatan Lahan Gambut

Lestari

Pembukaan hutan dan pengatusan lahan gambut dalam

rangka reklamasi lahan gambut untuk pertanian mengakibatkan

berbagi masalah. Kegiatan ini dapat menimbulkan kerusakan

struktur vegetasi hutan dan perubahan watak hidrologi dan tanah

gambut dalam ekosistem lahan gambut. Praktik budi daya

tanaman yang sering dilakukan, seperti pembakaran lapisan atas

tanah gambut dengan maksud mengurangi kemasaman dan

pemakaian pupuk dan bahan pembenah lainnya, dapat

mengganggu keseimbangan berbagai bahan dalam sistem tanah.

Demikian pula halnya dengan kebakaran hutan lahan gambut,

yang sering terjadi selama musim kering dan biasanya lebih

terpusat di dalam kawasan yang telah direklamasi, dapat

menimbulkan kerusakan gambut, baik langsung maupun tidak

langsung. Perubahan yang ditimbulkan oleh kegiatan atau

kejadian di atas terutama terkait dengan berkembangnya

keadaan lingkungan tanah yang lebih bebas udara (aerob).

Keadaan demikian mendorong terjadinya perubahan dalam

sistem tanah yang tertampakkan dalam sifat-sifat tanah gambut.

Proses biogeokimia penting dalam sistem tanah-tanaman-

atmosfer di dalam ekosistem lahan gambut, antara lain dinamika

kemasaman dan dinamika nitrogen (N). Dinamika kemasaman

merupakan proses utama dalam sistem tanah-tanaman-atmosfer

dan menentukan proses biogeokimia lainnya. Dinamika

kemasaman merupakan fungsi keseimbangan antara proses-

proses yang memasamkan (acidifying processes) dan proses-

proses yang menyangga kemasaman (buffering processes).

Proses pemasaman dan penyanggaannya melibatkan banyak ion,

baik ion anorganik maupun ion organik, dalam sistem tanah-

tanaman-atmosfer. Ion-ion tersebut dapat dikelompokkan ke

27

dalam asam atau basa yang menunjukkan fungsinya–apakah

memasamkan atau sebaliknya–terhadap tanah gambut.

Dinamika N di dalam ekosistem lahan gambut melibatkan

proses alih ragam dan alih tempat di dalam sistem tanah-

tanaman-atmosfer. Dinamika N dapat diamati dalam dua bagian:

bagian di dalam ekosistem lahan gambut itu sendiri (bagian

dakhil) dan bagian di luar ekosistem lahan gambut (bagian

luaran). Pada bagian dakhil, N dapat berada di dalam biomassa

mikrobia, di dalam bahan organik, dan pada sistem pertukaran

antara fase padat dan fase larutan tanah. Nitrogen dapat

bergerak dan berubah bentuk di antara ketiga komponen

tersebut melalui proses mineralisasi, imobilisasi, denitrifikasi,

pelarutan, dan pelindian. Intensitas, daya pergerakan, dan

perubahan N tersebut sangat ditentukan oleh keadaan

lingkungan seperti kelengasan, kesarangan (aerasi), dan

kemasaman di dalam tanah gambut.

Pemanfaatan lahan gambut untuk budi daya tanaman

secara lestari perlu memerhatikan faktor-faktor kunci (Noor,

2001): (1) reklamasi dan pengelolaan air, (2) kebakaran dan

degradasi lahan, (3) perubahan iklim dan pemanasan global, (4)

kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, (5) pembalakan liar,

dan (6) perdagangan karbon. Keenam faktor kunci tersebut

dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

1. Reklamasi dan Pengelolaan Air

Lahan gambut secara alamiah tergenangi air sepanjang

tahun sehingga reklamasi lahan gambut harus dilakukan

agar dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Kegiatan antara

lain pembukaan dan pembersihan lahan, serta pengatusan

(drainase). Najiwati et al. (2005) menyebutkan bahwa

28

pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan untuk hal-hal

berikut:

(1) mencegah banjir di musim hujan dan menghindari

kekeringan di musim kemarau;

(2) mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa

beracun lainnya di dalam tanah;

(3) menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman;

(4) mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah

(subsidence);

(5) mencegah pengeringan dan kebakaran gambut, serta

oksidasi pirit;

(6) memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi

pertumbuhan tanaman dengan cara mengatur tinggi

muka air tanah.

Persoalan utama yang muncul setelah reklamasi adalah

terjadinya amblesan, yaitu menyusutnya tanah dan

menurunnya permukaan tanah (Andreisse, 1988;

Radjagukguk, 2000). Dradjad et al. (1989) melaporkan laju

amblesan 0,36 cm/bulan untuk tanah gambut saprik di

Barambai (Kalimantan Selatan) pada 12–21 bulan setelah

reklamasi, sedangkan untuk tanah gambut saprik di Talio

(Kalimantan Tengah) diketahui laju amblesan 0,78 cm/bulan

dan untuk gambut hemik–saprik 0,9 cm/bulan. Laju

amblesan rata-rata di Malaysia dilaporkan 5 cm/tahun untuk

tanah gambut di Sarawak, dan 2 cm/tahun untuk tanah

gambut di Johor Barat (Wösten & Ritzema, 2001). Laju

amblesan lebih rendah untuk tanah gambut dangkal

daripada untuk tanah gambut tebal (Notohadiprawiro, 1996;

Wösten et al., 1997).

29

Amblesan akibat pengatusan dapat dipilah dalam tiga

komponen: penghilangan (wastage) gambut, pengerutan

lapisan gambut permukaan, dan hilangnya daya apung

(buoyancy) lapisan gambut permukaan (Noor, 2001).

Penghilangan gambut terjadi akibat perombakan bahan

gambut. Dua komponen pengatusan yang terakhir

disebabkan oleh hilangnya air atau berkurangnya air yang

ditahan oleh tanah gambut. Amblesan tanah gambut

sebenarnya terkait dengan perubahan sifat fisika, kimia, dan

biologi tanah gambut (Notohadiprawiro, 1996; Radjagukguk,

2000). Beberapa perubahan sifat fisika tanah gambut yang

terkait dengan reklamasi lahan gambut dan praktik budi

daya untuk pertanian antara lain meningkatnya berat

volume, daya hantar air menyamping (lateral), dan daya

simpan bahang (heat); dan menurunnya porositas total,

daya simpan lengas, daya hantar air cacak (vertical), dan

daya hantar bahang (Notohadiprawiro, 1996; Radjagukguk,

2000).

2. Kebakaran dan Degradasi Lahan

Kebakaran dan pembakaran hutan (lahan) gambut acap kali

menyertai kegiatan reklamasi dan praktik budi daya tanaman

di lahan gambut. Bahaya kebakaran, baik yang terjadi

secara alamiah maupun yang dipicu oleh kecerobohan

manusia, menjadi lebih mengancam di lahan gambut yang

direklamasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran

hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah telah

mengakibatkan amblesan (subsidensi) tanah gambut dan

emisi gas CO2 (Jaya et al., 2002; Page et al., 2000).

Beberapa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan

gambut yang terkait dengan kegiatan manusia seperti

dijelaskan pada Gambar 7.

30

Gambar 7. Faktor penyebab kebakaran lahan gambut dan ancaman yang dapat ditimbulkan (Sumber: Najiati et al., 2005b)

Kebakaran lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak

langsung. Akibat langsung dari kebakaran lahan gambut

antara lain hilangnya lapisan serasah dan lapisan atas

gambut (Jaya et al., 2002); kerusakan atau gangguan

terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan, kesehatan

manusia dan hewan di sekitar kawasan terkena dampak, dan

kegiatan transportasi (Adinugroho et al., 2005). Kasus

kebakaran hutan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun

1997–1998 telah mengakibatkan berkurangnya kerapatan

pohon sekitar 75% (Page et al., 2004), kehilangan lapisan

gambut antara 35–70 cm, dan kehilangan karbon 0,2–0,6 Gt

C yang sebagian besar berasal dari gambut yang terbakar

(>95%) (Jaya et al., 2002; Page et al., 2000). Karbon yang

31

hilang ini berdampak luar biasa terhadap emisi gas CO2 ke

atmosfer. Akibat tidak langsung dari kebakaran lahan

gambut merupakan akibat lanjutan (post-effect) yang

dihasilkan ketika proses pemulihan lahan gambut belum

mencapai keadaan semula, baik secara alamiah maupun

buatan manusia. Akibat ini bisa terjadi selama bertahun-

tahun tergantung kemampuan untuk memulihkan dan

kualitas hutan gambut itu sendiri. Setelah kebakaran, kanopi

hutan menjadi lebih terbuka dan tanah gambut menjadi

lebih tersingkap. Akibatnya, tanah gambut menjadi lebih

bebas udara (aerob) dibandingkan dengan keadaan

alaminya. Oleh karena itu, sifat-sifat tanah gambut akan

berubah setelah kebakaran. Pemulihan hutan gambut yang

terbakar secara alamiah berpotensi mengalami penurunan

kualitas kimia tanah gambut. Dengan demikian, campur

tangan manusia diperlukan dalam penerapan teknologi

penghutanan kembali.

3. Perubahan Iklim dan Pemanasan Global

Persoalan global yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan

adalah emisi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida,

metana, dan (di)nitrogen oksida dari ekosistem lahan

gambut. Persoalan itu telah dikaji oleh banyak peneliti

gambut di dunia (Limin et al., 2004; Melling et al., 2005;

Botch et al., 1995; Mudiyarso & Suryadiputra, 2003; Jaya et

al., 2002; Rydin & Jeglum, 2006; Barber, 1993). Emisi gas

rumah kaca tersebut sebenarnya terkait dengan proses

biogeokimia yang terjadi di dalam ekosistem lahan gambut

seperti dinamika kemasaman, dinamika karbon (C), dan

dinamika nitrogen (N) (Hadi et al., 2001; Hooijer et al.,

2006). Dinamika kemasaman merupakan suatu proses yang

sangat penting dan menentukan bagi proses biogeokimia

32

lainnya. Kemasaman merupakan salah satu peubah utama

(master variable) bagi proses biogeokimia sehingga

menentukan arah dan laju reaksi, serta ragam bahan kimia

yang terlibat dalam proses biogeokimia lainnya; misalnya

dinamika N di dalam suatu ekosistem. Dalam konteks lahan

gambut, emisi GRK dapat ditekan apabila perbaikan sistem

pengelolaan lahan dan air di areal pertanian dan perke-

bunan; termasuk pencegahan kebakaran yang banyak ter-

jadi di kawasan pertanian maupun konservasi seperti hutan

lindung dan cagar alam.

4. Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat

Permasalahan kemiskinan menjadi penting mengingat

kerusakan lingkungan lahan/hutan gambut terkait dengan

keberadaan penduduk di kawasan lahan gambut dan

sekitarnya. Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas

masyarakat di lahan gambut tidak hanya penting dalam

kerangka meningkatkan kesejahteraannya, tetapi juga

terkait dengan pelestarian dan konservasi lahan gambut di

masa depan. Pemberian insentif sebagai kompensasi atas

upaya pelestarian dan konservasi yang dilakukan oleh

masyarakat perlu dilembagakan sehingga rasa keadilan

dapat terpenuhi. Pemberdayaan masyarakat lahan gambut

memiliki dua pertimbangan: (1) karena kemiskinan dan

ketidakberdayaan yang dialami oleh sebagian besar

masyarakat di lahan gambut (seringkali menjadi penyebab

ketidakpedulian mereka terhadap kualitas lingkungan), dan

(2) upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk

berpartisipasi dalam konservasi lahan (sulit dilakukan apabila

kebutuhan dasar masyarakat masih belum terpenuhi).

Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut harus dapat

meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengoptimal-

33

kan pemanfaatan potensi ekonomi dan sumber daya alam

tanpa merusak lingkungan. Keterbatasan daya dukung

ekonomi lahan gambut dari sisi pertanian harus menjadi

tantangan dalam mencari solusi agar masyarakat memiliki

pilihan sumber penghidupan yang layak dan ramah

lingkungan. Dengan demikian, peningkatan kemampuan

ekonomi juga harus disertai dengan peningkatan kesadaran

terhadap kelestarian lingkungan. Tanpa hal itu, peningkatan

kondisi ekonomi justru dapat berbalik menjadi faktor perusak

karena dapat menjadi modal bagi sebagian masyarakat yang

tidak sadar untuk lebih banyak lagi melakukan kerusakan

lingkungan.

Pemberdayaan masyarakat memerlukan strategi yang tepat

karena kesalahan pendekatan justru dapat berakibat fatal.

Demikian juga kesalahan dalam menangkap permasalahan,

kondisi ini mengakibatkan kesalahan dalam menentukan

cara pemecahannya. Apabila hal ini terjadi, program

pemberdayaan tidak berjalan efektif, mubazir, dan yang

lebih buruk lagi adalah terciptanya masyarakat peminta-

minta alias masyarakat yang hidupnya tergantung dari

uluran tangan. Dalam praktiknya, ketika program pember-

dayaan dijalankan, biasanya terdapat fenomena “seolah-

olah” telah terjadi peningkatan taraf hidup. Lalu sesudah

dihentikan, program menjadi terbengkalai dan kemandirian

masyarakat semakin terpuruk. Apabila ini terjadi, bukan

perbaikan kondisi kehidupan yang terjadi, melainkan

marginalisasi dan pemiskinan yang semakin meluas.

Menurut Kartasasmita (1996), implementasi pemberdayaan

masyarakat dapat dilakukan melalui tiga upaya:

(1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan

potensi masyarakat untuk berkembang;

34

(2) memperkuat potensi daya yang dimiliki oleh masyarakat

dengan menerapkan langkah-langkah nyata seperti

menyediakan lingkungan, prasarana, dan sarana baik

fisik ataupun sosial yang dapat diakses oleh

masyarakat;

(3) melindungi dan membela kepentingan masyarakat

lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang

dan eksploitasi terhadap yang lemah.

Secara operasional, pemberdayaan dapat dilakukan melalui

perbaikan kondisi internal maupun eksternal. Secara internal,

antara lain dilakukan dengan membangun kesadaran,

membangkitkan kepercayaan diri, meningkatkan kemam-

puan mengelola potensi yang ada, dan membangun budaya

mandiri. Sementara itu, perbaikan faktor eksternal dilakukan

melalui pembangunan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi

yang berkeadilan dan demokratis; perbaikan lingkungan; dan

perbaikan akses terhadap layanan permodalan usaha,

layanan sarana produksi, layanan pendidikan, dan layanan

kesehatan.

5. Pembalakan Liar

Hampir semua kerusakan hutan dan lahan gambut

disebabkan oleh aktivitas manusia, baik disengaja maupun

tidak. Pemanfaatan hutan melalui penebangan merupakan

aktivitas yang paling sering dijumpai. Berdasarkan statusnya,

penebangan dapat dikelompokkan menjadi dua: penebangan

legal dan penebangan ilegal. Penebangan legal dilakukan

oleh masyarakat melalui pola hutan kemasyarakatan (HKm),

perusahaan kehutanan (HPH dan HTI), dan perusahaan

perkebunan berdasarkan izin dari instansi yang berwenang.

Sebaliknya, penebangan ilegal biasanya dilakukan oleh

35

penebang liar tanpa dilengkapi izin dari pihak/instansi yang

berwenang. Pembalakan liar di hutan rawa gambut perlu

dicegah mengingat hal tersebut dapat memicu terjadinya

kebakaran hutan dan kepunahan jenis-jenis tertentu

sehingga mengurangi keanekaragaman hayati.

6. Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon merupakan salah satu upaya sukarela

yang mengikat dalam bentuk konvensi antara negara-negara

maju dan negara-negara berkembang untuk menanggulangi

perubahan iklim dan pemanasan global. Kesempatan untuk

ikut dalam perdagangan karbon terbuka luas sehubungan

dengan potensi lahan gambut yang cukup luas. Perdagangan

karbon dapat dilakukan melalui empat skema mekanisme:

(1) perdagangan emisi, (2) mekanisme pembangunan bersih

(Clean Development Mechanism/CDM), (3) penurunan emisi

dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions

from Deforestation and forest Degradation /REDD), dan (4)

pasar “sukarela”.

2.5 Budi daya Tanaman Secara Bijak di Lahan Gambut

Kegiatan pertanian dan kejadian kebakaran di lahan

gambut dapat menurunkan volume spesifik, kerutan, porositas

total, dan bagian volume pori makro tanah gambut. Sebaliknya,

kegiatan tersebut dapat meningkatkan berat volume dan bagian

volume pori mikro. Perubahan sifat-sifat ini memengaruhi sifat

lengas (hidrofisika) tanah gambut. Bahan gambut di lahan

pertanian terombak lebih cepat dan sebagian besar hasil

rombakannya terlindi sehingga menyisakan bahan gambut yang

lebih matang. Begitu pula di lahan bekas kebakaran, bahan

gambut lebih matang bukan oleh perombakan tetapi lebih

36

disebabkan oleh hilangnya lapisan atas. Bertani di lahan gambut

memang harus dilakukan secara hati-hati karena menghadapi

banyak kendala, antara lain kematangan dan ketebalan gambut

yang bervariasi, permukaan gambut yang menurun, daya tumpu

yang rendah, kesuburan tanah yang rendah, terdapatnya lapisan

pirit dan pasir, pH tanah yang sangat masam, kondisi lahan

gambut yang jenuh air (tergenang) pada musim hujan dan

kekeringan saat kemarau, serta rawan kebakaran.

Kunci keberhasilan pertanian di lahan gambut adalah

bertani secara bijak dengan memerhatikan faktor-faktor

pembatas yang dimilikinya. Menurut Najiyati et al. (2005),

terdapat 10 langkah bijak agar sukses bertani di lahan gambut,

yaitu:

(1) mengenali dan memahami tipe dan perilaku lahan;

(2) memanfaatkan dan menata lahan sesuai dengan tipologinya

dengan tidak merubah lingkungan secara drastis;

(3) menerapkan sistem tata air yang dapat menjamin

kelembaban tanah atau menghindari kekeringan di musim

kemarau dan mencegah banjir di musim hujan;

(4) tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar;

(5) melakukan pola bertani secara terpadu dengan

mengombinasikan tanaman semusim dan tanaman tahunan,

ternak, dan ikan;

(6) memilih jenis dan varietas tanaman yang sesuai dengan

kondisi lahan dan permintaan pasar;

(7) menggunakan bahan amelioran seperti kompos dan pupuk

kandang untuk memperbaiki kualitas lahan;

(8) mengolah tanah secara minimum (minimum tillage) dalam

kondisi tanah yang berair atau lembab;

37

(9) menggunakan pupuk mikro untuk budi daya tanaman

semusim;

(10) melakukan penanaman tanaman tahunan di lahan gambut

tebal yang didahului dengan pemadatan dan penanaman

tanaman semusim untuk meningkatkan daya dukung tanah.

Keberlanjutan dalam konteks pertanian berarti kemampuan

untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis

sumber daya. Pertanian untuk memproduktifkan lahan gambut

dapat dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi lima aspek

berikut (Reijntjes et al., 1999).

1. Mantap secara ekologis. Hal ini berarti kualitas sumber daya

alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem

ditingkatkan secara keseluruhan (manusia, tanaman, hewan,

dan organisme tanah). Kedua hal tersebut akan terpenuhi

jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan, dan

masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi

sendiri).

2. Kegiatan dapat berlanjut secara ekonomis. Hal ini berarti

petani dapat menghasilkan komoditas untuk pemenuhan

kebutuhan sendiri dan mendapatkan penghasilan yang

mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang

dikeluarkan.

3. Adil. Hal ini berarti sumber daya dan kekuasaan didistribusi-

kan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua

anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka terjamin

dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan

teknis, dan peluang pemasaran.

4. Manusiawi. Hal ini berarti semua bentuk kehidupan dihargai:

tanaman, hewan, dan manusia.

38

5. Luwes (fleksibel). Hal ini berarti masyarakat pedesaan

mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha

tani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah

penduduk, kebijakan, dan permintaan pasar.

39

PROSPEK AGROFORESTRY

DI LAHAN GAMBUT

3.1 Definisi Agroforestry

Padanan kata untuk agroforestry adalah wanatani. Wana

(Bahasa Jawa) berarti hutan dan tani berarti bertani (kegiatan

bercocok tanam). Wanatani berarti sebuah teknik bercocok tanam

yang menggabungkan tanaman berkayu (pohon hutan) dengan

tanaman pertanian (pangan). Agroforestry bukanlah sesuatu

yang baru. Hal yang baru adalah ilmu agroforestry, sedangkan

budayanya sendiri merupakan hal yang lama, bahkan sangat

lama. Konsepsi agroforestry dirintis oleh suatu tim dari Canadian

International Development Centre (CIDC) yang bertugas untuk

mengidentifikasi prioritas pembangunan di bidang kehutanan di

negara-negara berkembang pada tahun 1970-an. Menurut tim

CIDC, hutan-hutan di negara berkembang tersebut belum

dimanfaatkan secara optimal dan terdapat beberapa kegiatan

yang mengarah kepada perusakan lingkungan. Kecenderungan

perusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh

dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan

lingkungan fisik secara efektif dan sekaligus dapat memenuhi

kebutuhan pangan, papan dan sandang bagi masyarakat sekitar

hutan. Berdasarkan laporan dan usulan dari tim tersebut, suatu

badan bernama International Council for Research in Agroforestry

(ICRAF) didirikan pada tahun 1977 untuk menstimulasi penelitian

bidang agroforestry yang berpusat di Nairobi, Kenya. Direktur

yang pertama, K.F.S. King, mendefinisikan agroforestry sebagai

berikut.

“suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian,

yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengom-

Bab III

40

binasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman

pepohonan), tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan

atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan

cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk

setempat (King & Chandler, 1978)”.

Pada seminar mengenai agroforestry dan perladangan

berpindah di Jakarta tahun 1981, agroforestry didefinisikan

sebagai suatu metode penggunaan lahan secara optimal yang

mengombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi

pendek dan panjang (suatu kombinasi produksi kehutanan dan

produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan asas

kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan

hutan atau di luarnya dengan tujuan untuk mencapai

kesejahteraan rakyat (Lahjie, 2001).

Agroforestry didasarkan pada dua macam premis dasar

yaitu biologis dan sosial-ekonomi (King, 1979). Secara biologis,

komponen pohon dalam agroforestry mempunyai kemampuan

untuk menjerap nutrisi jauh dari dalam tanah (di luar jangkauan

perakaran tanaman pertanian), memprosesnya dan meman-

faatkan nutrisi tersebut untuk pembangunan tubuhnya dan

kemudian mendaur ulang dalam bentuk serasah. Selanjutnya,

serasah berubah menjadi humus dan masuk kembali ke dalam

tanah. Proses ini membentuk siklus nutrisi yang efisien.

Kontribusi agroforestry dalam bidang sosial-ekonomi lebih

bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan

murni karena komponen usahanya lebih beragam dan kombinasi

hasil produksi yang lebih stabil. Selain itu, agroforestry mampu

memenuhi tiga segmen ekonomi masyarakat: kebutuhan jangka

pendek, menengah dan panjang (Sabarnurdin, 2000).

41

3.2 Ruang Lingkup Agroforestry

Pada dasarnya agroforestry terdiri atas tiga komponen

pokok: kehutanan, pertanian dan peternakan. Masing-masing

komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu

bentuk sistem penggunaan lahan (Gambar 8). Hanya saja,

sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan kepada produksi satu

komoditas khas atau kelompok produk yang serupa. Peng-

gabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa

kemungkinan bentuk kombinasi.

Gambar 8. Ruang lingkup sistem pemanfaatan lahan secara agroforestry (Sumber: Hairiah et al., 2003)

Agroforestry merupakan suatu pola tanam yang bersifat

dinamis sehingga setiap kombinasi unsur-unsur penyusunnya

yang berbeda akan membentuk sistem yang berbeda pula.

Perbedaan sistem tersebut akan menambah khasanah kekayaan

42

sistem agroforestry. Ruang lingkup agroforestry akan semakin

luas sehingga masyarakat memiliki alternatif aplikasi salah satu

sistem sesuai karakteristik kawasan, minat dan tujuan

pemanfaatan lahan.

Tipe sistem agroforestry sangat beragam dan kompleks

dalam sifat dan fungsinya. Oleh karena itu, pengklasifikasian

sistem agroforestry dalam berbagai kategori sangat diperlukan

untuk mengevaluasi, memahami dan memperbaiki sistem-sistem

yang telah ada. Istilah sistem agroforestry berbeda dengan

teknologi agroforestry. Sistem agroforestry mencakup bentuk-

bentuk agroforestry yang banyak dilaksanakan di suatu daerah

atau merupakan suatu pemanfaatan lahan yang sudah umum

dilakukan di suatu daerah. Sementara itu, istilah teknologi

agroforestry digunakan untuk menunjukkan adanya perbaikan

atau inovasi yang biasanya berasal dari hasil penelitian dan

digunakan untuk mengembangkan hasil-hasil yang baik dalam

mengelola sistem agroforestry yang telah ada. Dengan demikian,

sistem agroforestry meliputi bentuk-bentuk asli praktik

agroforestry (indigenous agroforestry), sedangkan teknologi

agroforestry menghasilkan bentuk agroforestry yang telah

diperbaiki (improved agroforestry), misalnya improved fallow,

alley cropping, multi purpose trees on farm lands, dan

sebagainya. Bentuk-bentuk agroforestry dapat dikelompokkan

sebagai berikut (King & Chandler, 1978; Nair, 1985).

1. Agrisilvikultur; yaitu penggunaan lahan secara sadar dan

dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi,

sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.

2. Sylvopastural; yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk

menghasilkan kayu dan untuk memelihara ternak.

43

3. Agrosylvopastural; yaitu sistem pengelolaan lahan untuk

memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara

bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.

4. Multipurpose forest trees production system; yaitu sistem

pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak

hanya kayu, tetapi juga daun-daunan dan buah-buahannya

dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia atau

pakan ternak.

5. Sylvofishery; yaitu sistem pengelolaan lahan yang dirancang

untuk menghasilkan kayu dan sekaligus berfungsi sebagai

kolam/tambak ikan.

6. Apiculture; yaitu sistem pengelolaan lahan yang mem-

fungsikan pohon-pohon yang ditanam sebagai sumber pakan

lebah madu. Selain memproduksi kayu, pohon juga

menghasilkan madu yang memiliki nilai jual tinggi dan

berkhasiat obat.

7. Sericulture; yaitu sistem pengelolaan lahan yang ditujukan

untuk penanaman pohon-pohon sumber pakan ulat sutera.

Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam

pengklasifikasian sistem agroforestry (Nair, 1993) adalah:

1) pengaturan komponen-komponennya menurut waktu dan

tempat struktur,

2) kepentingan dan peran komponen fungsi,

3) tujuan produksi atau hasil sistem output,

4) karakter sosial-ekonominya dasar sosial-ekonomi,

5) basis ekologinya dasar ekologi.

Klasifikasi pokok sistem agroforestry sebagaimana terdapat

pada Tabel 2.

44

45

Berdasarkan uraian sebelumnya, sebagai upaya memudah-

kan kegiatan di lapangan maka secara teknis digunakan istilah-

istilah:

(1) sistem agroforestry; didasarkan pada komposisi biologis

serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri

sosial ekonominya;

(2) subsistem agroforestry; mempunyai tingkat hierarki yang

lebih rendah daripada sistem agroforestry tetapi memiliki

ciri-ciri yang rinci dalam lingkup yang lebih mendalam;

(3) praktik agroforestry; lebih menjurus kepada operasional

pengelolaan lahan yang khas dari agroforestry yang murni

didasarkan pada kepentingan dari petani lokal atau unit

manajemen lain yang di dalamnya terdapat komponen

agroforestry;

(4) teknologi agroforestry; yaitu inovasi atau penyempurnaan

melalui intervensi ilmiah terhadap sistem atau praktik

agroforestry yang sudah ada dengan tujuan memperoleh

keuntungan yang lebih besar.

3.3 Pola Agroforestry

Sistem agroforestry memiliki pola-pola (pattern) tertentu

dalam mengombinasikan komponen penyusunnya ke dalam satu

ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi

yang bersifat negatif antar komponen penyusun. Interaksi negatif

yang terjadi dapat berupa kompetisi dalam memperebutkan

unsur hara, cahaya matahari, air, dan ruang tumbuh. Tajuk

pohon yang terlalu lebat menyebabkan cahaya matahari tidak

sampai ke strata di bawahnya yang menjadi tempat tumbuh

tanaman pertanian. Akar pohon yang memanjang dan menempati

horizon tanah dengan kedalaman kurang dari 50 cm dapat

46

menganggu perakaran tanaman pertanian sehingga terjadi

perebutan unsur hara yang merugikan tanaman pertanian.

Vergara (1982) mengklasifikasikan pola tanam agroforestry ke

dalam beberapa bentuk sebagai berikut.

1. Pohon sebagai pagar (trees along border). Pola ini

merupakan penanaman pohon di bagian pinggir lahan dan

tanaman pertanian di bagian tengah. Pepohonan yang

ditanam mengelilingi lahan berfungsi sebagai pagar ataupun

pembatas lahan. Gambar 9 menjelaskan pola trees along

border.

2. Pola larikan pohon dan tanaman semusim secara berselang-

seling (alternate rows). Pola ini merupakan model penanam-

an agroforestry yang menempatkan pohon dan tanaman

pertanian secara berselang-seling. Pola agroforestry ini

dimungkinkan pada lahan yang relatif datar. Gambar 10

menjelaskan pola alternate rows.

3. Budi daya lorong (alley cropping). Pola penanaman

agroforestry yang menempatkan pohon di pinggir kanan dan

kiri tanaman pertanian. Larikan pohon dibuat membujur ke

arah Timur–Barat. Hal ini dimaksudkan agar tanaman

pertanian mendapatkan cahaya matahari penuh di pagi dan

sore hari. Pola alley cropping sering disebut sebagai bentuk

lorong karena bila dilihat dari ujung lahan menyerupai lorong

gua. Pola ini mirip dengan pola trees along border bila dua

sisi lainnya ditanami pohon. Pola ini seperti ditunjukkan pada

Gambar 11.

4. Sistem blok (blocking system). Pola ini merupakan

penanaman antara tanaman kehutanan dan tanaman

pertanian yang ditanam secara berdampingan sehingga

membentuk dua petak yang berbeda. Pola ini dimaksudkan

agar petani lebih mudah dalam memberi perlakuan pada

47

masing-masing blok karena sifat tanamannya yang seragam.

Gambar 12 menjelaskan pola ini.

5. Pola campuran acak (Random Mixture). Pola ini merupakan

penanaman acak antara tanaman kehutanan dan tanaman

pertanian yang ditanam secara tidak teratur. Pola ini

terbentuk karena tidak adanya perencanaan awal dalam

menata letak tanaman. Petani dengan sekehendak hati

menanam dengan memilih ruang yang masih kosong di

lahannya. Gambar 13 menjelaskan pola ini.

Gambar 9. Profil pohon jelutung rawa (kiri) dan kelapa (kanan) yang ditanam di batas lahan sebagai pohon pagar di lahan gambut (Lokasi: Desa Mantaren, Kabupaten Pulang Pisau dan Desa Pangkalan Rekan, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)

48

Gambar 10. Profil pola alternate rows di lahan gambut (Lokasi: Kelurahan Kalampangan, Provinsi Kalimatan Tengah)

Gambar 11. Profil pola alley cropping dengan teknik surjan dengan komponen penyusun jelutung rawa dan padi di lahan gambut (Lokasi: Desa Mantaren, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimatan Tengah)

49

Gambar 12. Profil block system di lahan gambut: blok 1 ditanami nenas dan blok 2 ditanami karet (Lokasi: Desa Batunindan, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)

Gambar 13. Profil pola random mixture di lahan gambut pada kebun buah-buahan (Lokasi: Desa Batunindan, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)

3.4 Pola Pengombinasian Komponen

Agroforestry merupakan pengombinasian komponen

tanaman berkayu (woody plants)/kehutanan; baik berupa pohon,

perdu, palem-paleman, bambu maupun tanaman berkayu

lainnya; dengan tanaman pertanian (tanaman semusim) dan/atau

50

hewan (peternakan), baik secara tata waktu (temporal

arrangement) maupun secara tata ruang (spatial arrangement).

Menurut von Maydell (1988), kombinasi yang ideal terjadi bila

seluruh komponen agroforestry secara terus menerus berada

pada lahan yang sama. Akan tetapi, secara alami–atau seringkali

atas dasar alasan ekonomi–kombinasi komponen berkaitan erat

dengan dinamika dari keseimbangan perubahan musim sesuai

dengan ritme tahunan dan suksesi tertentu akibat dari gangguan

atau perlakuan manusia secara periodik atau sporadik.

Pengombinasian berbagai komponen dalam sistem

agroforestry menghasilkan berbagai reaksi yang masing-masing

atau bahkan sekaligus dapat dijumpai pada satu unit manajemen.

Reaksi tersebut dinyatakan oleh von Maydell (1987) sebagai

berikut.

1. Persaingan (competition). Pepohonan dan perdu atau

tanaman pertanian dan binatang bersaing satu sama lain

guna memperoleh cahaya, air, hara, ruang hidup, input

kerja, lahan, kapital, dan sebagainya. Persaingan ini tidak

dapat dideteksi secara langsung, namun dapat diduga secara

tidak langsung. Sebagai contoh, tanaman tertentu menjadi

perantara parasit bagi tanaman lain, misalnya pohon sebagai

tempat sarang burung-burung yang dapat mengakibatkan

berkurangnya panen tanaman padi-padian. Tidak jarang,

persaingan justru sengaja diharapkan, misalnya berkurang-

nya gulma rerumputan akibat terlindung tajuk pohon.

2. Melengkapi (complementary). Reaksi saling melengkapi ini

dapat secara waktu, ruang ataupun kuantitatif. Secara

waktu, contohnya ketersediaan dedaunan lebar atau buah-

buahan sebagai pakan ternak yang pada musim tertentu

tidak tersedia rumput, seperti Acacia albida di Afrika. Secara

ruang, contohnya pemanfaatan keseluruhan biotop atau

51

produksi secara lebih, baik melalui dua strata atau lebih

sekaligus. Secara kuantitatif, contohnya produk sejenis yang

diperoleh dari satu lahan secara bersamaan, antara lain

protein nabati dan hewani.

3. Ketergantungan (dependency). Beberapa jamur hanya dapat

tumbuh pada pohon tertentu. Jenis binatang tertentu juga

hanya dapat hidup pada padang pengembalaan. Sebagai

contoh di Afrika, telah diketahui bahwa sistem akan rusak

apabila tidak ada keseimbangan antara jenis binatang

pemakan rerumputan panjang dan pendek. Binatang pema-

kan rumput pendek hanya mau mendekati makanannya bila

rumput tidak terlampau tinggi.

Reaksi akibat kombinasi berbagai komponen dalam

agroforestry dapat terjadi pada sistem monokultur dan campuran.

Pada sistem pertanian monokultur, baik tanaman semusim

maupun tahunan, bila ditanam terlalu dekat akan menurunkan

produksi per unit area. Hal ini disebabkan adanya kompetisi

terhadap kebutuhan cahaya, air, dan hara. Apabila jarak tanam-

nya diperlebar maka besarnya tingkat kompetisi tersebut semakin

berkurang. Dalam praktik di lapangan, petani mengelola

tanamannya dengan melakukan pengaturan pola tanam,

pengaturan jarak tanam, dan sebagainya. Pada sistem campuran

dari berbagai jenis tanaman atau mixed cropping (pohon dengan

tanaman semusim atau hanya jenis-jenis pepohonan saja), setiap

jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya

sendiri. Sebagai contoh, jenis tanaman yang bercabang banyak

akan menaungi tanaman yang lain. Beberapa tanaman yang

jaraknya tidak terlalu dekat akan memperoleh keuntungan;

prosesnya sering disebut dengan ‘facilitation’. Contohnya, pohon

dadap yang tinggi dan lebar, sebaran kanopinya memberikan

52

naungan yang menguntungkan tanaman kopi. Jenis tanaman

yang memiliki perakaran lebih dalam akan lebih memungkinkan

untuk menyerap air dan hara dari lapisan yang lebih dalam

daripada jenis tanaman yang lain. Dalam waktu singkat kondisi

lingkungan di sekitar tanaman akan berubah (ketersediaan hara

semakin berkurang) sehingga akhirnya akan menimbulkan

kompetisi antar tanaman. Proses saling memengaruhi, baik yang

menguntungkan maupun yang merugikan, antar komponen

penyusun sistem campuran ini (termasuk sistem agroforestry)

sering disebut dengan ‘interaksi’. Pemahaman yang mendalam

tentang proses terjadinya interaksi antar tanaman, baik pada

spesies yang sama maupun spesies yang berbeda, dalam sistem

agroforestry sangat dibutuhkan agar dapat menentukan

pengelolaan yang tepat.

Suprayogo et al. (2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga

hal utama yang perlu diperhatikan dalam menyusun komponen

agroforestry yaitu (1) proses terjadinya interaksi, (2) faktor

penyebab terjadinya interaksi, dan (3) jenis-jenis interaksi. Ketiga

hal tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

1. Proses terjadinya interaksi: langsung atau tidak langsung.

Pada sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman

yang ditanam berdampingan pada satu lahan yang sama

sering terjadi bila ketersediaaan sumber kehidupan tanaman

berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya

diwujudkan dalam bentuk hambatan pertumbuhan terhadap

tanaman lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hambatan secara langsung contohnya melalui efek

allelophathy (jarang dijumpai di lapangan). Hambatan tidak

langsung dapat berupa berkurangnya intensitas cahaya

karena naungan pohon, atau menipisnya ketersediaan hara

dan air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang

53

berdampingan. Tanaman kadang-kadang memengaruhi

tanaman lain melalui ‘partai ketiga’ yaitu apabila tanaman

tersebut menjadi inang bagi hama atau penyakit tanaman

lainnya. Selain bersifat negatif, interaksi tidak langsung

dapat bersifat positif, misalnya pengaruh pohon dadap

terhadap tanaman kopi; pohon dadap berfungsi sebagai

penambah N sekaligus sebagai penaung.

2. Faktor penyebab terjadinya interaksi. Secara umum,

interaksi yang bersifat negatif dapat terjadi karena (1)

keterbatasan daya dukung lahan yang menentukan jumlah

populasi maksimum dapat tumbuh pada suatu lahan, dan (2)

keterbatasan faktor pertumbuhan pada suatu lahan. Konsep

daya dukung alam merupakan konsep yang penting untuk

diketahui. Konsep ini menggambarkan tentang jumlah

maksimum dari suatu spesies di suatu area, baik sebagai

sistem monokultur maupun campuran. Suatu spesies

mungkin saja dapat tumbuh dalam jumlah yang melimpah

pada suatu lahan. Apabila dua spesies tumbuh bersama

pada lahan tersebut, salah satu spesies dapat lebih

kompetitif daripada yang lain. Hal ini kemungkinan

mengakibatkan spesies kedua akan mengalami kepunahan.

Konsep tersebut juga diterapkan dalam usaha pertanian

yaitu mengharapkan tanaman pokok akan tumbuh lebih

baik.

Salah satu syarat terjadinya kompetisi adalah keterbatasan

faktor pertumbuhan: air, hara, dan cahaya. Pertumbuhan

tanaman mengalami kemunduran jika terjadi penurunan

ketersediaan satu atau lebih faktor. Kekurangan hara di

suatu lahan mungkin saja terjadi karena kesuburan alami

yang memang rendah atau karena besarnya proses

kehilangan hara pada lahan tersebut, misalnya karena

54

penguapan dan pencucian. Kekurangan air dapat terjadi

karena daya menyimpan air yang rendah, distribusi curah

hujan yang tidak merata, atau proses kehilangan air (aliran

permukaan) yang cukup besar. Pengetahuan tentang faktor

pertumbuhan, seperti jumlah yang dibutuhkan tanaman dan

ketersediaannya di suatu lahan, sangat diperlukan untuk

memperoleh pertumbuhan tanaman yang optimal pada

sistem agroforestry.

3. Jenis interaksi pohon-tanah-tanaman. Pada bahasan

sebelumnya telah disebutkan bahwa menanam berbagai

jenis tanaman pada lahan yang sama dalam sistem

agroforestry akan menimbulkan berbagai macam bentuk

interaksi antar tanaman. Pada prinsipnya, terdapat tiga

macam interaksi di dalam sistem agroforestry yaitu (1)

interaksi positif (complementarity=saling menguntungkan):

bila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh

peningkatan produksi tanaman lainnya, (2) interaksi netral:

bila kedua tanaman tidak saling memengaruhi (peningkatan

produksi tanaman semusim tidak memengaruhi produksi

pohon atau sebaliknya), dan (3) interaksi negatif (kompetisi/

persaingan=saling merugikan): bila peningkatan produksi

satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman

lainnya atau penurunan produksi keduanya. Tabel 3

menjelaskan tentang analisis interaksi antara dua jenis

tanaman A dan B.

55

Tabel 3. Analisis interaksi antara dua jenis tanaman A dan B

Sumber: Suprayogo et al. (2003).

Keterangan: (0) = tidak ada interaksi yang nyata (+) = menguntungkan bagi tanaman utama

(pertumbuhannya, ketahanan terhadap stress, reproduksi, dan sebagainya)

(-) = merugikan bagi tanaman utama

Kunci keberhasilan dari sistem agroforestry sangat

tergantung dari pengelolaan pohon yang dapat menekan

pengaruh yang merugikan dan memaksimalkan pengaruh yang

menguntungkan (dengan kebutuhan tenaga kerja yang masih

dapat diterima). Interaksi pohon-tanah-tanaman tergantung pada

56

pertumbuhan dan bentuk spesifik dari pohon, baik pada bagian

tajuk maupun akar tanaman. Beberapa cara dapat dilakukan

untuk menekan pengaruh merugikan dari pohon, antara lain

sebagai berikut.

1. Mengatur tajuk pohon. Tinggi tanaman semusim biasanya

lebih rendah daripada pohon. Hal ini menyebabkan pohon

dapat menciptakan naungan sehingga menurunkan jumlah

cahaya yang dapat dipergunakan tanaman semusim untuk

pertumbuhannya. Petani biasanya mengatur jarak tanam,

sekaligus melakukan pemangkasan beberapa cabang pohon

untuk mengurangi pengaruh merugikan pohon terhadap

tanaman semusim tersebut. Naungan dikurangi dengan jalan

pemangkasan cabang pohon selama musim tanam, tetapi

dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan

pertumbuhan gulma (misalnya alang-alang).

2. Mengatur pertumbuhan akar. Pengaturan pertumbuhan akar

dapat dilakukan dengan mengatur pemangkasan.

Pemangkasan tajuk pohon menyebabkan berkurangnya

aktivitas akar. Pertumbuhan kembali tajuk pohon akan diikuti

pula oleh pertumbuhan akar baru. Pemangkasan pertama

bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun.

Dalam melakukan pemangkasan cabang pohon, terdapat

dua hal yang perlu diperhatikan dengan seksama: tinggi

pangkasan dari permukaan tanah dan frekuensi

pemangkasan. Tinggi pemangkasan batang yang terlalu

dekat dengan permukaan tanah akan memicu terbentuknya

akar-akar halus pada tanah lapisan atas sehingga peluang

untuk terjadinya kompetisi terhadap kebutuhan air dan hara

dengan tanaman semusim menjadi lebih besar. Tinggi

pemangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah.

Pemangkasan lebih rendah dari 75 cm akan menyebabkan

57

pertumbuhan akar pohon terpusat pada lapisan tanah atas

sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim.

Hal yang sama juga akan terjadi bila terlalu banyak frekuensi

pemangkasan. Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari tiga

kali dalam setahun. Pemangkasan tajuk yang terlalu sering

akan memicu terbentuknya akar halus pada lapisan atas.

Dangkalnya sistem perakaran pohon sebagai akibat

pengelolaan pohon yang kurang tepat juga akan merugikan

pertumbuhan pohon itu sendiri. Perakaran yang dangkal

mengakibatkan pohon menjadi kurang tahan terhadap

kekeringan pada musim kemarau.

Mengatur pertumbuhan akar juga dapat dilakukan dengan

pemilihan teknik penanaman pohon. Teknik menanam pohon

dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di

lapangan, stek atau dari bibit cabutan; tergantung dari

bahan tanam dan tenaga yang tersedia. Apabila bahan

tanam berupa stek tersedia, menanam stek akan lebih cepat

dan mengurangi populasi gulma. Cara menanam pohon di

lapangan tersebut juga menentukan kedalaman perakaran.

Bibit pohon yang ditanam langsung dari biji biasanya

diperoleh sistem perakaran yang cenderung lebih dalam

daripada yang ditanam berupa stek batang atau melalui

persemaian dalam polybag.

3. Meningkatkan pengaruh positif pohon melalui pemilihan jenis

tanaman naungan. Besarnya pengaruh naungan pohon

dalam agroforestry menyebabkan tidak semua jenis tanaman

dapat ditanam bersama pepohonan. Oleh karena itu,

pemilihan jenis tanaman yang toleran terhadap naungan

dalam agroforestry sangat diperlukan.

Selain pengombinasian komponen penyusun, kegiatan

agroforestry juga penting untuk memerhatikan pengombinasian

58

secara tata waktu. Hal ini dimaksudkan sebagai durasi interaksi

antara komponen kehutanan dengan pertanian dan/atau

peternakan. Kombinasi tersebut tidak selalu tampak di lapangan

sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa suatu

bentuk pemanfaatan lahan tidak dapat dikategorikan sebagai

agroforestry. Jangka waktu dan proses kesinambungan

penggunaan lahan penting untuk diperhatikan dalam agro-

forestry. Pemahaman ini seringkali tidak sesederhana pada budi

daya tunggal (monokultur). Huxley (1999) dan Nair (1993)

mengategorikan kombinasi secara waktu menjadi empat:

(1) co-incident, yaitu kombinasi selama jangka waktu budi daya

jenis/komponen agroforestry;

(2) concomitant, yaitu kombinasi pada awal atau akhir waktu

budi daya suatu jenis/komponen agroforestry;

(3) overlapping, yaitu kombinasi bergantian yang tumpang

tindih antara akhir dan awal dari dua (atau lebih)

jenis/komponen agroforestry;

(4) interpolated, yaitu kombinasi tersisip pada jangka waktu

budi daya jenis/komponen agroforestry.

Ketiga kombinasi terakhir di atas masih memerlukan

penjelasan lagi, apakah bersifat berkala (intermittent) atau terus

menerus (continous). Jika kombinasi komponen agroforestry

secara tata waktu disederhanakan maka secara garis besar

kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu kombinasi

permanen (permanent combination) dan sementara (temporary

combination). Kedua kombinasi tersebut dijelaskan oleh von

Maydell (1988) sebagai berikut.

1. Kombinasi secara permanen (permanent combination).

Kombinasi komponen agroforestry ini dapat terdiri atas

komponen kehutanan dengan paling sedikit satu dari

59

komponen pertanian dan peternakan. Kombinasi permanen

ini dapat dijumpai dalam tiga kemungkinan:

(1) kombinasi komponen kehutanan, pertanian, dan

peternakan berkesinambungan selama lahan digunakan

(co-incident), misalnya berbagai bentuk kebun

pekarangan (home gardens) yang dapat dijumpai di

banyak wilayah nusantara;

(2) pemeliharaan tegakan/pohon secara permanen pada

lahan-lahan pertanian sebagai sarana memperbaiki

lahan, tanaman pelindung atau penahan air, misalnya

penanaman pohon-pohon turi (Sesbania grandifora)

pada pematang sawah di Jawa dan pohon pelindung

pada perkebunan komersial (kopi, kakao);

(3) pemeliharaan/penggembalaan ternak secara tetap

(berjangka waktu tahunan) pada lahan-lahan hutan

bertumbuhan kayu, tanpa melihat pada umur tegakan.

2. Kombinasi secara sementara (temporary combination).

Sebagai contoh, penggembalaan ternak atau kehadiran

hewan di kawasan berhutan/bertumbuhan kayu hanya

dilakukan pada musim-musim tertentu (continous

interpolated). Contoh lainnya adalah kehadiran berbagai

satwa hutan (terutama jenis-jenis burung) di kebun-kebun

hutan dan kebun pekarangan pada saat musim buah

(khususnya bulan-bulan Desember hingga Maret).

3.5 Diagnosis dan Desain Agroforestry

Pengumpulan data untuk menyusun desain agroforestry

yang akan dikembangkan penting untuk dilakukan. Metode

diagnosis & design (metode D&D) dapat digunakan untuk

keperluan tersebut. Metode ini digunakan untuk mengungkap

60

permasalahan penggunaan lahan dan penyusunan rancangan

pemecahannya dalam sistem agroforestry. Tahapan D&D untuk

agroforestry diuraikan sebagai berikut (Raintree, 1990).

1. Tahap prediagnosis. Tahap ini dilakukan dengan kegiatan:

(1) mendefinisikan sistem dan mendeskripsian lokasi (sistem

apa yang menjadi sasaran); (2) menguraikan secara jelas

kombinasi dari sumber daya, teknologi dan tujuan dari

pengelola (land-user); (3) menggambarkan bagaimana

sistem bekerja yang mencakup organisasi, tujuan dan

strategi produksi, serta susunan komponen sistem.

2. Tahap diagnosis. Tahap ini menjelaskan bagaimana kinerja

sistem yang mencakup apa saja masalahnya, hambatan dan

keterbatasan, akar permasalahan dan kemungkinan

intervensi, permasalahan sehubungan dengan tujuan

(rendahnya produksi, permasalahan keberlanjutan).

3. Rancangan dan evaluasi. Tahap ini menjelaskan bagaimana

memperbaiki kinerja sistem yang mencakup apa yang

diperlukan untuk meningkatkan kinerja sistem, dan

spesifikasi pemecahan masalah atau deskripsi kinerja setelah

ada intervensi.

4. Perencanaan. Tahap ini merupakan pengembangan dan

penyebarluasan sistem yang sudah disempurnakan yang

mencakup kebutuhan penelitian, pengembangan, dan

penyuluhan.

5. Penerapan (Implementasi). Tahap ini berupaya untuk

menyesuaikan dengan informasi yang baru.

Metode D&D merupakan sebuah metodologi yang

dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan

sistem agroforestry. Metode D&D dapat mengakomodasikan cara

61

pemeriksaan secara menyeluruh terhadap permasalahan dalam

sistem agroforestry dan diikuti dengan penyusunan rancangan

pengembangan inovasi pemecahan dan implementasi yang tepat.

Ciri-ciri D&D yang ditonjolkan oleh pengembangnya adalah (1)

keluwesan (fleksibel), yaitu D&D dapat disesuaikan untuk

beraneka kebutuhan dan pada berbagai kondisi sumber daya

yang dimiliki oleh pengguna (landusers); (2) kecepatan, yaitu

D&D memungkinkan untuk menerapkan pemahaman cepat (rapid

appraisal) pada tahap perencanaan yang diikuti oleh analisis

mendalam (in-depth analysis) pada tahap implementasi; (3)

pengulangan (repetisi), yaitu D&D merupakan proses pembelajar-

an yang tidak berujung (open-ended). Penyempurnaan ran-

cangan bisa dilakukan sejak dari awal hingga tidak lagi diperlukan

adanya revisi.

D&D dapat diterapkan secara netral pada berbagai

tingkatan hierarki sistem penggunaan lahan. Dengan sedikit

modifikasi, pendekatan D&D ini dapat diterapkan pada tingkatan

plot dan rumah tangga petani, tingkatan desa dan sub-DAS, serta

tingkatan kawasan yang lebih luas. Pada tingkatan mikro, D&D

dapat difokuskan pada pendekatan kebutuhan dasar untuk

mengidentifikasi hambatan dan merancang pemecahan masalah.

Kebutuhan dasar petani yang dianggap paling penting seperti

pangan, bahan bakar, pakan ternak, papan (rumah), bahan baku

untuk industri rumah tangga, dan uang tunai. Masalah yang

dihadapi oleh petani dalam rangka memperoleh berbagai

kebutuhan dasar tersebut harus diidentifikasi. Analisis

permasalahan dengan mengajukan pertanyaan “apa yang

menyebabkan masalah dan mengapa timbul masalah itu”

menuntun kepada rumusan masalah. Dari setiap masalah yang

muncul dapat dicari intervensi pemecahannya. Prosedur

pendekatan D&D pada skala meso- dan makro harus disesuaikan

dengan kebutuhan dan kondisi. Hasil terbaik akan diperoleh jika

62

metode ini tidak dipergunakan secara kaku, melainkan harus

kreatif dalam mengembangkan cara diagnosis yang peka dan

menyusun rancangan.

3.6 Kendala dan Prospek Pengembangan Agroforestry di

Lahan Gambut

Keragaman karakteristik gambut yang tinggi pada jarak

yang berdekatan merupakan suatu kendala yang sulit untuk

diatasi. Kondisi ini mengharuskan untuk memetakan areal gambut

sehingga diperoleh gambaran kondisi karakteristik yang

dihubungkan dengan teknik pengelolaan. Karakteristik gambut

perlu dipelajari sedetail mungkin agar keadaan yang mungkin

terjadi di masa yang akan datang dapat diantisipasi dan diprediksi

sehingga dapat memberikan arahan dalam pengelolaannya.

Menurut Subagyo (2000), data karakteristik tanah gambut yang

perlu diinventarisasi adalah (1) sifat fisik tanah gambut, meliputi:

kerapatan lindak (bulk density), bobot jenis dan kandungan air

tanah gambut; (2) sifat kimia tanah gambut, meliputi: kandungan

unsur hara makro, kandungan unsur hara mikro, pH tanah,

kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kejenuhan aluminium,

kedalaman lapisan pirit dan salinitas; (3) tingkat kedalaman dan

kematangan gambut; dan (4) fluktuasi genangan air, kedalaman

air tanah dan kondisi lapisan bawah tanah gambut (mineral di

bawah tanah gambut). Kekurangan informasi mengenai sifat-sifat

karakteristik tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam

memanfaatkan lahan gambut.

Agroforestry sebagai pola tanam dapat diterapkan di lahan

yang rentan secara ekologi (fragile) akibat beberapa hal yang

berhubungan dengan kapasitas pohon untuk tumbuh di bawah

kondisi tanah dan iklim yang kurang menguntungkan. Salah satu

aspek dasar dari peran agroforestry adalah memelihara

63

kesuburan tanah. Hal ini dimungkinkan mengingat peranan

pohon, sebagai salah satu komponen penyusun agroforestry,

dalam memperbaiki kondisi tanah rawa gambut. Peranan pohon

dalam memperbaiki tanah rawa gambut dapat dijelaskan sebagai

berikut (Lahjie, 2001).

1. Proses yang bersifat meningkatkan masukan pada tanah,

yaitu (1) pemeliharaan bahan organik tanah melalui fiksasi

karbon dalam fotosintesis dan transfer selanjutnya melalui

pelapukan, (2) fiksasi N oleh legum dan beberapa nonlegum,

(3) penyerapan nutrisi hasil pelapukan oleh akar pohon, (4)

masukan lewat atmosfir, (5) meningkatkan aerasi tanah

melalui perbaikan sifat fisik tanah, dan (6) penyerapan air

dari kedalaman tanah.

2. Proses yang bersifat mereduksi sesuatu yang hilang dari

tanah, yaitu (1) melindungi dari erosi (mencegah hilangnya

bahan organik dan nutrisi), (2) pengembalian nutrisi dan

siklus (penangkapan dan resiklus nutrisi oleh akar dan

mikoriza), (3) reduksi kecepatan dekomposisi bahan organik

(dengan adanya naungan dan mulsa), (4) reduksi hilangnya

air akibat evaporasi (oleh naungan dan serasah), dan (5)

meningkatkan kapasitas menyimpan air (melalui kondisi fisik

yang lebih baik).

3. Proses yang memengaruhi kondisi fisika tanah, yaitu (1)

pemeliharaan sifat fisik melalui bahan organik dan pengaruh

perakaran, dan (2) modifikasi suhu tanah yang ekstrim

melalui naungan dan serasah.

4. Proses yang memengaruhi kondisi kimia tanah, yaitu (1)

reduksi kemasaman melalui basa yang terkandung dalam

serasah, (2) reduksi kegaraman oleh pohon diikuti dengan

tindakan manajemen lainnya, dan (3) reduksi toksisitas

tanah yang disebabkan oleh polusi.

64

5. Proses yang memengaruhi kondisi biologi tanah, yaitu (1)

memproduksi serasah daun yang bermutu tinggi dan

mengandung suplai nutrisi yang seimbang, kemudian

mentransfernya dengan cara dekomposisi, (2) meningkatkan

aktivitas fauna tanah, (3) meningkatkan mineralisasi

nitrogen melalui pengaruh naungan, (4) meningkatkan

ketersediaan P melalui asosiasi mikoriza, (5) meningkatkan

bintil nitrogen dari nodulasi akar pohon pengikat N dekat

akar pohon yang bukan pengikat N, (6) mentransfer nutrisi

antar sistem perakaran pohon, dan (7) mengeksudasi

substansi perangsang tumbuh oleh rhizosphere.

Berdasarkan uraian di atas, agroforestry berpotensi besar

untuk diterapkan di lahan rawa gambut. Penerapan agroforestry

di lahan rawa gambut membuka jalan baru bagi penggunaan

lahan rawa gambut yang lebih efisien dengan hasil yang lebih

bervariasi dan dengan tetap mempertimbangkan aspek

kelestarian (konservasi).

65

JELUTUNG RAWA DI LAHAN GAMBUT

4.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh

Jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis) merupakan

jenis pohon asli lahan gambut (indigenuos tree species). Sinonim

nama ilmiah jenis ini adalah Alstonia pollyphylla Miq. (1861), D.

lowii Hook F. (1882) dan D. borneensis Bailon (1898). Menurut

Daryono (2000), terdapat dua jenis jelutung di Pulau Sumatra

dan Kalimantan: jelutung rawa dan jelutung darat (D. costulata

Miq. HK). Menurut Foxworthy (1972), jelutung darat tumbuh

pada tanah laterit atau aluvial, baik pada lahan yang relatif datar

maupun berbukit rendah; sedangkan jelutung rawa tumbuh di

tanah organosol, khususnya hutan rawa gambut dengan tipe

curah hujan A dan B pada ketinggian 20–800 m dpl. Nama

perdagangannya adalah kayu jelutung, sedangkan nama

daerahnya: anjarutung, gapuk, jalutung, jelutung, labuai, lebuai,

letung, melabuai, nyalutung, nyulutung, pidoron (Sumatra) dan

jelutung, pantung, pulut (Kalimantan). Status konservasi jenis

pohon ini termasuk sebagai jenis yang dilindungi.

4.2 Sifat Botanis

Jelutung rawa termasuk genus Dyera, famili Apocynaceae.

Menurut Daryono (2000), habitus dan ciri morfologinya dapat

dijelaskan sebagai berikut.

1. Profil pohon. Pohon besar, tinggi dan bertajuk tipis. Tinggi

pohon dapat mencapai 60 meter dan diameter 260 cm,

sedangkan tinggi bebas cabang dapat mencapai 30 meter.

2. Profil batang. Bentuk batang silindris dan tidak berbanir.

Kulit batang berwarna abu-abu atau kehitam-hitaman. Kulit

Bab IV

66

luar rata tetapi kasar, mempunyai sisik berbentuk bujur

sangkar, tebal kulit batang 1–2 cm, tidak berbulu, bergetah

putih hingga kuning, halus dan tidak berteras.

3. Profil daun. Daun tunggal tersusun melingkar pada ranting

sebanyak 4–8 helai, berbentuk lonjong atau bulat telur,

ujung daun membulat, panjang 15–20 cm dan lebar 6–8 cm.

Tajuk tipis atau jarang.

4. Profil buah. Buah berupa polong kayu yang kembar

(berpasangan) menyerupai tanduk berbentuk bulat

memanjang yang berangsur-angsur memipih apabila buah

menjadi tua. Panjang polong 12–26 cm (rata-rata 23 cm),

berat kering polong 20,2–31,9 gram (rata-rata 28,02 gram).

Buah yang telah matang (fisik dan fisiologis) akan merekah

setelah dijemur selama 1–3 hari, sedangkan buah yang

belum masak akan pecah setelah dijemur lebih dari 4 hari.

Pohon berbuah hampir setiap tahun.

5. Profil biji. Biji berbentuk oval, pipih, dan berwarna coklat.

Kulit biji berupa selaput tipis yang melebar dan memanjang

membentuk sayap. Biji tersusun dalam dua baris yang

berhimpitan di dalam polong buah. Jumlah biji per polong

12–26 biji (rata-rata 18 biji).

6. Profil bunga. Bunga berukuran kecil, berwarna putih dan

wangi, bertangkai panjang 10–14 cm.

67

Gambar 14. Profil pohon (kiri), buah (tengah), bunga dan daun (kanan) jelutung rawa

4.3 Sifat Pohon

Jelutung termasuk pohon yang membutuhkan naungan

pada waktu muda, tetapi kemudian memerlukan cukup cahaya

untuk pertumbuhan selanjutnya (van Wijk, 1950). Menurut

Aminuddin (1982), semai jelutung memberi respon terbaik pada

penyinaran 30%. Pohon jelutung berbunga hampir setiap bulan,

kecuali bulan Desember dan Januari. Pembuahan terjadi setiap

bulan, kecuali bulan Agustus (Whitmore, 1972). Pendapat yang

berbeda dikemukakan oleh Yap (1980) yang menyatakan bahwa

masa berbunga pohon jelutung berlangsung dari bulan Juli

hingga Desember. Pohon jelutung menggugurkan daun setiap

tahun, tetapi meranggas gundul hanya selama beberapa hari

saja. Waktu menggugurkan daun tidak bisa ditetapkan secara

pasti, ada kalanya pohon menggugurkan daun dua kali dalam

68

setahun. Daun yang baru muncul selama beberapa hari sebelum

mekar berwarna coklat kekuning-kuningan (Gambar 15).

Gambar 15. Profil permudaan tingkat semai (kiri), biji (tengah) dan kuncup daun (kanan) jelutung rawa

4.4 Pemanfaatan Jelutung

Pada mulanya, getah jelutung banyak digunakan untuk

pembuatan barang-barang yang terbuat dari karet, sebelum ada

pembudidayaan jenis karet (Hevea brasiliensis). Namun, jelutung

tidak dapat bersaing lagi setelah karet dapat berkembang dengan

produk yang lebih baik. Pada tahun 1920 diketahui bahwa getah

jelutung dapat digunakan untuk pembuatan permen karet

(Whitmore, 1972). Selanjutnya, perhatian terhadap jelutung

meningkat setelah sumber bahan baku permen karet yaitu pohon

Achras zapota (salah satu jenis pohon tropis dari Amerika

Tengah) yang populasinya semakin langka.

69

Kayu jelutung memiliki kelas keawetan yang termasuk

rendah (lunak dan tidak tahan lama), namun demikian sangat

disukai konsumen karena mudah dikerjakan. Selain itu, permuka-

an kayu jelutung halus dan warnanya putih menarik (Daryono,

2000). Pohon jelutung menghasilkan getah berwarna putih yang

diperoleh dengan cara penyadapan seperti pada Gambar 16.

Getah terdiri atas 20% kaucuk dan 20% damar. Pohon mulai

disadap setelah batang berdiameter paling kecil 20 cm atau telah

berumur ±15 tahun. Penyadapan getah dilakukan dengan

membuat torehan pada kulit batang hingga ke batas kambium

yang membentuk huruf V (metode tulang ikan). Torehan pertama

pada batang dibuat setinggi ±1 meter, lebar torehan 4 cm hampir

mengelilingi batang dengan menyisakan ±15 cm bagian yang

tidak ditoreh. Produktivitas getah per pohon jelutung dapat

mencapai 0,15–1,5 liter (Burkill, 1935).

Gambar 16. Batang jelutung rawa yang ditoreh (kiri) dan produksi getah (tengah dan kanan)

70

4.5 Perlindungan Tanaman

Hama terpenting yang sering menyerang pohon jelutung

adalah Batocera rubus (Coleoptera-Cerambycidae-Lamiinae).

Serangga ini mempunyai kebiasaan meletakkan telur di dalam

celah-celah kulit jelutung yang sehat atau pada batang yang

kulitnya terbuka pada saat penyadapan. Setelah telur menetas,

larva muda terbungkus corion. Beberapa waktu kemudian, corion

terobek dan larva keluar. Larva segera aktif memakan bagian

meristem kayu, kemudian menembus ke dalam kayu teras. Siklus

hidup serangga hama ini tidak lebih dari 6 bulan: stadium pupa

selama 21 hari, kumbang 23 hari, dan larva ±4 bulan.

Kehadirannya pada pohon jelutung dapat terlihat dari

terdapatnya serbuk/bubuk kayu yang jatuh di tanah atau melekat

pada lubang gerekan (Daryono, 2000).

4.6 Pertumbuhan Jelutung

Pohon jelutung pada habitat alami dan keadaan yang

optimal dapat mencapai tinggi 45–60 meter dengan batang bebas

cabang sekitar 35 meter. Diameter batang mencapai 100–260

cm. Anakan jelutung dapat tumbuh paling baik pada intensitas

penyinaran nisbi sekitar 33% hingga diperoleh riap tinggi,

diameter, permukaan daun, dan produksi bahan kering secara

optimum (Aminuddin, 1982). Pertumbuhan jelutung dapat

mencapai tinggi 1,8–2,4 meter pada umur 2 tahun; 2,5–2,9

meter pada umur 3 tahun; dan 5–5,5 meter pada umur 5 tahun

dengan diameter batang 5,2–5,5 cm dan tingkat hidup mencapai

60% dari saat penanaman. Pada umur 15 tahun, tinggi pohon

dapat mencapai lebih dari 10 meter dengan diameter rata-rata 13

cm. Pada umur 39 tahun pada tanah yang kurang subur, pohon

jelutung mempunyai riap diameter 0,93 cm per tahun, tetapi

pada umur 40 tahun diameternya hanya mencapai 30–35 cm.

71

Sebaliknya, diameternya dapat mencapai 60 cm pada tanah yang

relatif lebih baik dan pada umur tersebut (Daryono, 2000).

Menurut Foxworthy (1972) riap diameter pohon jelutung adalah

1,58 cm per tahun. Pohon yang berumur 46 tahun mencapai

diameter sekitar 50 cm dan pada umur 70 tahun mencapai ±70

cm.

72

73

KAJIAN TEKNIS DAN PERFORMANSI

AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA

Pengembangan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa

untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara teknis

dianalisis berdasarkan dua parameter. Pertama, teknik silvikultur

pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry yang

telah dipraktikkan oleh para praktisi lapangan. Teknik silvikultur

yang dibahas mencakup dua variabel utama: pengadaan bibit

jelutung rawa, dan pola (design) agroforestry berbasis jelutung

rawa yang dapat dikembangkan untuk memulihkan lahan gambut

terdegradasi. Kedua, performansi pertumbuhan jelutung rawa

pada beberapa demplot agroforestry yang telah dikembangkan

oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru bekerjasama

dengan petani mitra penelitian di lahan gambut.

5.1 Pengadaan Bibit

5.1.1 Pengadaan bibit dari biji (generatif)

Pengadaan bibit jelutung yang umum dilakukan oleh para

praktisi lapangan di Kalimantan Tengah adalah dengan meng-

gunakan biji. Cara tersebut telah dilakukan secara luas dengan

hasil yang mencukupi kebutuhan. Hal ini ditandai dengan

maraknya persemaian jelutung yang dikembangkan oleh

masyarakat secara mandiri, seperti yang banyak dijumpai di Desa

Tumbang Nusa, Desa Taruna Jaya dan Desa Jabiren (Kecamatan

Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan

Tengah). Sumber benih untuk pengadaan bibit secara generatif

berasal dari beberapa tegakan benih terindentifikasi yang sudah

memperoleh sertifikat dari Balai Perbenihan Tanamam Hutan

(BPTH) Kalimantan dan berasal dari pohon induk di hutan alam

Bab V

74

yang sengaja dijaga dan dipelihara oleh masyarakat. Kemampuan

produksi benih jelutung rawa dari tegakan benih teridentifikasi

per tahun di Provinsi Kalimantan Tengah tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Produksi benih jelutung rawa dari tegakan benih teridentifikasi di Provinsi Kalimantan Tengah

No. Nama Pemilik Sumber Benih Produksi per Tahun (biji)

1. Hardianto 115.200.000

2. KUD Kahimat Desa Pilang 1.440.000

3. PT. Katingan Jaya Perkasa 2.664.000

4. KUD Kahimat Desa

Tumbang Nusa

5.616.000

5. Ir. Soeyatno K. S. 2.000.000

Jumlah Total 126.920.000

Sumber: Data primer yang telah diolah

Berdasarkan data pada Tabel 4 diketahui bahwa kemam-

puan pasokan benih jelutung rawa bersertifikat di Provinsi

Kalimantan Tengah mencapai 126.920.000 biji per tahun. Apabila

dikaitkan dengan kebutuhan bibit jelutung rawa untuk

merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang terdegradasi,

potensi tersebut dapat digambarkan, yaitu:

(1) kemampuan pasokan bibit dengan asumsi viabilitas benih

80%, maka bibit yang dihasilkan sebanyak 101.536.000

batang per tahun;

(2) jumlah bibit siap tanam yang dapat dihasilkan dengan

asumsi persen hidup di persemaian sebesar 80% adalah

sebanyak 81.228.800 batang per tahun;

(3) apabila asumsi kematian bibit selama pengangkutan dari

persemaian ke lokasi penanaman sebesar 20% dan tingkat

75

keberhasilan penanaman di lapangan sebesar 80% dengan

jarak tanam 5 x 4 m, bibit tersebut dapat digunakan untuk

merehabilitasi lahan gambut terdegradasi sebanyak

51.986.432 bibit untuk luas lahan 103.972,86 ha per tahun.

Tabel 5. Data lahan gambut kritis di Provinsi Kalimantan Tengah

No. Status & Fungsi

Kawasan

Sangat

Kritis (ha)

Kritis

(ha)

Agak Kritis

(ha)

1. Hutan Produksi yang dapat dikonversi

183,53 168.312,04 -

2. Hutan Produksi 1.966,49 406.812,99 3.002,002

3. Taman Wisata Tanjung Keluang

3,21 283,24 -

4. Taman Nasional Tanjung Putting

161,60 31.164,02 44.197,240

5. Taman Nasional Sebangau

- 3,91 71.984,780

6. Suaka Margasatwa Lamandau

81,83 1.893,36 -

7. Hutan Konservasi 58,53 232.151,48 11.002,520

8. Budi daya 467,79 50.743,81 38.486,150

Jumlah 2.922,98 891.364,86 168.672,690

Sumber: data sekunder yang telah diolah

Apabila dikaitkan dengan data lahan gambut yang

terdegradasi (agak kritis–sangat kritis) seperti tercantum pada

Tabel 5, jelutung rawa mampu merehabilitasi lahan tersebut

dalam jangka waktu 10 tahun. Sementara itu, kemampuan

pasokan bibit jelutung rawa siap tanam untuk merehabilitasi

lahan gambut terdegradasi tercantum pada Tabel 6.

76

Tabel 6. Kapasitas produksi bibit jelutung rawa per tahun dari lima penangkar persemaian rakyat

No. Nama Pemilik

Persemaian

Tahun

Produksi

Kapasitas

Produksi

(Batang)

Harga eceran

per batang

(Rp)

1.

Uyen Sabri

(Desa Tumbang

Nusa)

2002 4.000 4.500

2. 2003 15.000 2.000

3. 2004 90.000 2.000

4. 2005 300.000 1.500

5. 2006 150.000 1.000

6. 2007 250.000 1.000

7. 2008 50.000 1.000

8. 2009 50.000 1.000

9. 2010 100.000 1.000

10. 2011 100.000 1.000

Jumlah 1.109.000; rata-rata produksi per tahun 110.900 batang

11.

Albinus Awat

(Desa Jabiren)

2005 200.000 1.750

12. 2006 350.000 1.500

13. 2007 330.000 1.300

14. 2008 180.000 1.200

15. 2011 40.000 1.000

Jumlah 1.100.000; rata-rata produksi per tahun 220.000 batang

16.

Agus A. Sidik

(Desa Tumbang

Nusa)

2003 20.000 2.500

17. 2004 40.000 1.500

18. 2005 60.000 1.500

19. 2007 60.000 1.500

20. 2008 100.000 1.000

21. 2009 150.000 1.000

22. 2010 150.000 1.300

Jumlah 580.000; rata-rata produksi per tahun 82.858 batang

77

23.

Nunung

(Desa Tumbang

Nusa)

2006 78.000 1.200

24. 2007 75.000 1.200

25. 2008 150.000 1.300

26. 2009 20.000 2.500

27. 2010 50.000 2.500

28. 2011 600.000 1.200

Jumlah 973.000; rata-rata produksi per tahun 162.167 batang

29.

Yansyah A. Gani

(Desa Tumbang

Nusa)

2004 80.000 1.000

30. 2005 28.000 1.000

31. 2007 100.000 1.000

32. 2008 80.000 1.000

33. 2010 80.000 1.000

Jumlah 368.000; rata-rata produksi per tahun 73.600 batang

Jumlah Total 4.130.000; rata-rata produksi per tahun 129.905 batang

Tabel 6 menunjukkan bahwa Desa Tumbang Nusa dan

Desa Jabiren dikenal sebagai sentra penghasil bibit jelutung rawa.

Bibit yang diproduksi oleh lima orang pengembang persemaian di

kedua desa tersebut telah mencapai 4.130.000 batang dalam

jangka waktu 9 tahun. Rata-rata produksi bibit jelutung rawa

sebanyak 129.905 batang siap tanam per tahun. Kemampuan

kedua desa tersebut dalam memproduksi bibit jelutung rawa

diperkirakan mencapai 1–3 juta bibit per tahun. Kondisi tahun

2005–2006 pernah terjadi permintaan sangat besar terhadap bibit

jelutung untuk proyek penghijauan dan rehabilitasi hutan/lahan

gambut. Kondisi ini menarik sebagian besar penduduk Desa

Tumbang Nusa (75% jumlah KK) untuk membibitkan jelutung

rawa. Harga bibit jelutung yang cukup tinggi (rata-rata

Rp1.500,00 per batang) dan permintaan yang banyak

menyebabkan masyarakat antusias untuk membibitkan jelutung

78

rawa. Kemampuan memproduksi bibit tersebut jika digunakan

untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi–asumsi kematian

bibit selama pengangkutan 20%, tingkat keberhasilan

penanaman 80% dan jarak tanam 5 x 4 m–adalah 83.140 bibit

untuk lahan 166,28 ha per tahun. Hal ini akan lebih besar lagi jika

harga bibit jelutung tinggi dan permintaan banyak.

Berdasarkan data pada kelima pengembang persemaian

jelutung rawa di Desa Tumbang Nusa dan Desa Jabiren, jika

diasumsikan jumlah bibit yang dapat diproduksi oleh pembibitan

jelutung rawa di kedua desa tersebut mencapai 3 juta bibit siap

tanam per tahun maka mampu merehabilitasi lahan gambut yang

terdegradasi dengan jumlah bibit sebanyak 1.920.000 batang

untuk lahan seluas 3.840 ha per tahun. Kemampuan ini dihitung

dengan asumsi yang sama seperti sebelumnya: persen hidup bibit

selama pengangkutan 20%, persen hidup keberhasilan

penanaman 80%, dan jarak tanam 5 x 4 m. Kemampuan ini

masih dapat ditingkatkan mengingat persediaan benih

bersertifikat yang melimpah dan teknologi pembibitan jelutung

rawa sudah dikuasai oleh warga di kedua desa tersebut.

Teknologi pembibitan yang telah dikuasai oleh warga Desa

Tumbang Nusa dan Desa Jabiren mencakup variabel berikut.

1. Pemanenan Polong

Jelutung berbuah setiap tahun dengan musim panen raya

setiap 2 tahun. Pengamatan pada beberapa tegakan benih

jelutung teridentifikasi di Provinsi Kalimantan Tengah

menunjukkan bahwa puncak berbunga terjadi pada bulan

September– Oktober dengan puncak buah masak pada bulan

Februari–Maret. Hal lain dikemukakan oleh Bastoni &

Lukman (2006) bahwa pohon jelutung rawa berbunga pada

bulan November dan telah masak sekitar 5–6 bulan setelah

79

berbunga sehingga pemanenan buah dapat dilakukan pada

bulan April–Mei. Pemanenan dilakukan terhadap polong yang

telah masak dengan ciri-ciri kulit buah berwarna coklat

kehitam-hitaman, bentuk polong pipih, kulit buah mengerut,

dan mulai menampakkan tanda akan merekah. Pengamatan

pada beberapa tegakan benih teridentifikasi yang terdaftar di

BPTH Kalimantan menunjukkan bahwa rata-rata setiap satu

batang pohon induk–diameter batang 40–50 cm–mampu

menghasilkan 3.000 polong dalam satu musim berbuah.

Gambar 17. Profil polong buah jelutung rawa yang masih di pohon (kiri) dan yang sudah matang siap diekstraksi (kanan)

2. Ekstraksi dan Seleksi Biji

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengeluarkan biji dari

polong pada tingkat kematangan yang tepat. Proses

sebagaimana Gambar 18 dilakukan melalui tahapan:

(1) kulit polong dikupas hingga tersisa lapisan keras

(seperti tempurung) yang menyelimuti biji agar

mempercepat retaknya polong pada saat penjemuran;

(2) polong dijemur di bawah sinar matahari di tempat

terbuka hingga polong merekah;

80

(3) polong yang telah merekah diguncang dengan halus

agar biji jelutung keluar dengan sendirinya;

(4) seleksi biji yang dilakukan secara manual dengan cara

memilih dan memisahkan (sortir) biji yang baik (berisi,

segar, dan matang) dari biji yang rusak (biji yang

hampa, muda, cacat atau terkena penyakit).

Biji yang telah diseleksi (benih) siap untuk disimpan atau

langsung disemaikan. Berdasarkan pengalaman para praktisi

persemaian, terdapat 12–26 biji di dalam satu polong buah

jelutung dengan 15–22 biji yang daya kecambahnya baik

(rata-rata 17 biji). Jumlah benih setiap kilogram sekitar

10.000–11.000 benih.

(a) Kulit polong dikupas (b) Polong buah dijemur

(c) biji dikeluarkan dari polong (d) seleksi (sortir) biji

Gambar 18. Tahapan proses ekstraksi dan seleksi biji jelutung rawa

81

3. Penyimpanan Benih

Kegiatan ini diperlukan apabila kondisi masih belum

memungkinkan untuk melakukan kegiatan penyemaian.

Benih jelutung bersifat mudah berkecambah (rekalsitrant)

sehingga mempunyai masa simpan yang pendek.

Penyimpanan pada suhu ruang dapat dilakukan dengan

mengemas benih dalam kantong/kotak kertas tebal,

diletakkan pada ruang yang tidak lembab, bersirkulasi udara

baik, dan tidak terkena sinar matahari secara langsung.

Penyimpanan dalam lemari es (kulkas) dapat dilakukan

dengan mengemas benih dalam kantong plastik tebal dan

ditutup rapat, kemudian diletakkan pada ruang bawah

kulkas. Daya tahan benih pada penyimpanan suhu ruang

sekitar 2 bulan dan di dalam kulkas sekitar 4 bulan.

Penyimpanan selama 35 hari pada ruang bersuhu 26–290C

akan menurunkan viabilitas benih sebesar 50% dan di dalam

kulkas bersuhu 9–110C akan menurunkan viabilitas benih

sebesar 30%. Viabilitas benih tertinggi yang pernah dicapai

adalah 85% (Bastoni & Lukman, 2006).

4. Penyemaian

Proses penyemaian yang dilakukan oleh para praktisi

pembibitan jelutung rawa di Desa Tumbang Nusa adalah

dengan mengecambahkan benih. Benih yang akan

dikecambahkan terlebih dahulu direndam dalam air selama 4

jam hingga benih jenuh air. Perendaman juga berfungsi

untuk menyeleksi benih yang viable dari benih yang telah

mati. Benih yang mati tampak menggembung setelah

direndam. Benih disimpan hingga berkecambah dan setelah

berkecambah ditanam di polybag. Proses perendaman dan

pengecambahan benih jelutung seperti pada Gambar 19.

82

Gambar 19. Perendaman benih jelutung (kiri), benih jelutung rawa yang mulai berkecambah setelah 2 minggu dari perendaman (kanan)

Posisi penanaman benih pada polybag harus tegak (vertikal)

dengan bagian bawah adalah calon akar (dicirikan oleh

bagian lancip dari endosperm benih dan adanya saluran

gelap seperti benang). Tempat perkecambahan benih

dinaungi sarlonet dengan intensitas penyaringan cahaya 50–

75 persen. Pemeliharaan dilakukan dengan cara menyiram 2

kali sehari dan penyemprotan fungisida sesuai kebutuhan.

Pemeliharaan intensif harus dilakukan selama ±8 minggu.

Polybag yang digunakan berukuran 15 x 12 cm atau lebih

besar, tergantung lama waktu bibit di persemaian. Tahapan

ini seperti terlihat pada Gambar 20.

83

Tahap 1. Persiapan polybag yang akan ditanami kecambah jelutung

Tahap 2. Penanaman kecambah jelutung sampai keping benih mulai terangkat

Tahap 3. Kotiledon pecah dan keluar sepasang daun (2 bulan setelah penanaman)

Gambar 20. Tahapan perkecambahan benih jelutung rawa

84

5. Proses Pengerasan Batang Semai (Hardening)

Proses pengerasan dapat segera dilakukan jika semai

jelutung rawa sudah berdaun 6–8 helai. Pemeliharaan semai

di persemaian dilakukan hingga bibit siap tanam dan

berlangsung selama 8–14 bulan. Kriteria bibit siap tanam:

tinggi 25–40 cm, diameter 0,5 cm, jumlah daun 8–12 helai,

batang lurus, perakaran sudah menyatu dengan media

(kompak). Tahap hardening seperti pada Gambar 21.

Gambar 21. Tahap pengerasan batang (hardening) bibit jelutung rawa

5.1.2 Pengadaan bibit secara vegetatif

Jelutung dapat dikembangbiakan melalui bagian vegetatif-

nya dengan cara cangkok dan stek pucuk. Metode stek pucuk

yang telah diujicoba meliputi dua macam, yaitu metode

konvensional dan metode KOFFCO (Komatsu Forda Fog Cooling)

(Rusmana, 2007). Metode konvensional dilakukan dengan

menempatkan stek pucuk jelutung pada sungkup plastik yang

berfungsi untuk mengatur suhu dan kelembaban udara. Stek

pucuk diletakkan di dalam sungkup plastik hingga stek tersebut

tumbuh akarnya, kemudian bibit stek dipelihara di luar sungkup

plastik. Persentase keberhasilan stek pucuk dengan metode

85

konvensional masih sangat rendah, yaitu kurang dari 10%

(Rusmana, 2007). Sementara itu, metode KOFFCO dilakukan

dengan mengatur suhu dan kelembaban udara melalui

penempatan stek boks propagasi berukuran sekitar 40 x 70 cm

dan tinggi 30 cm. Boks propagasi dikenakan pengabutan air

menggunakan nozel yang dipasang sedemikian rupa dalam

rumah kaca (greenhouse) sehingga kondisi temperatur dalam

boks propagasi rendah (<320 C) dan kelembaban udara tinggi

(>90%). Persentase keberhasilan stek pucuk dengan metode

KOFFCO mencapai 25%.

Gambar 22. Penampilan stek jelutung rawa dengan metode persemaian KOFFCO (Sumber: Rusmana et al., 2005)

Tahapan kegiatan pembuatan bibit stek jelutung rawa

menurut Rusmana (2007), sebagai berikut.

1. Media Tumbuh Stek

Media yang dapat digunakan harus bebas dari hama dan

penyakit (patogen). Sebelum berakar, media perlu dijemur

atau disterilisasi terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai

media tumbuh stek agar bebas dari patogen yang

86

mengakibatkan stek busuk. Beberapa jenis media yang

dapat digunakan sebagai media tumbuh stek:

1) campuran serbuk kulit kelapa (cocopeat atau cocodust)

dengan sekam padi (2 : 1),

2) kompos serbuk gergaji (sawdust) dicampur tanah

lapisan atas (2 : 1),

3) campuran gambut dengan sekam padi (70% : 30%);

4) pasir sungai atau pasir kuarsa,

5) arang sekam padi murni atau dicampur dengan bahan

lain.

2. Pemilihan Bahan Stek

Bahan stek pucuk terbaik diambil dari bagian pucuk yang

masih dorman (resting). Pucuk yang masih tumbuh aktif

(flushing) dan tumbuh orthotrop sebaiknya tidak digunakan.

Pohon induk sebagai sumber bahan stek pucuk sebaiknya

berumur 6 bulan hingga 2 tahun (Rusmana, 2007).

Gambar 23. Ujung batang jelutung resting (kiri), flushing (tengah) dan tipe tunas (othotrop dan plagiotrop) (kanan) (Sumber: Rusmana, 2007)

87

3. Pengambilan dan Penyemaian Stek

Secara ringkas, tahapan pengambilan dan penyemaian stek

(Rusmana, 2007):

1) mempersiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan,

meliputi: gunting stek, ember plastik, dan hormon

perangsang akar “Rootone F” atau sejenis;

2) mengisi ember plastik dengan air bersih secukupnya

(½-nya);

3) stek diambil dari pohon induk atau stock plant yang

baik, yaitu bagian pucuk atau bagian tunas orthotrop;

4) panjang stek dibuat sekitar 10–15 cm;

5) daun pada stek dibuang dan disisakan 2–3 helai dan

dipotong ½-nya;

6) stek dimasukkan ke dalam ember plastik berisi air dan

diusahakan bagian pangkalnya terendam air;

7) stek disemai pada polybag atau media yang telah

disediakan sebelumnya di rumah kaca dalam boks

propagasi (metode KOFFCO) atau pada polybag atau

bedengan dalam sungkup plastik (metode

konvensional);

8) stek sebelum disemai terlebih dahulu diberi hormon

perangsang akar (Rootone F atau sejenisnya);

9) membuat lubang semai pada media dengan

menggunakan batang kayu yang bersih agar pada saat

penancapan/penyemaian stek, hormon perangsang akar

dan bagian pangkal stek tidak rusak akibat gesekan

dengan media;

10) stek disemaikan sedalam 1/3 panjang stek, kemudian

media dipadatkan ke arah bagian stek;

88

11) penyiraman stek dengan air secukupnya agar terjadi

kontak yang baik antara stek yang ditanam dengan

media tumbuhnya;

12) menutup boks propagasi atau sungkup plastik dengan

rapat sehingga tidak terjadi sirkulasi udara antara

bagian dalam dan luar boks propagasi (sungkup);

13) stek dipelihara pada kondisi temperatur udara tidak

melebihi 320 C dan kelembaban udara tidak kurang dari

90% dengan cara penyiraman hingga stek berakar

seluruhnya (16 minggu); dan

14) menghindari terjadinya penyiraman terlalu basah dan

bibit kekeringan karena akan mengakibatkan stek mati.

4. Pemeliharaan Bibit

Kegiatan pemeliharaan bibit stek yang dilakukan meliputi:

1) penyiraman 2–3 kali sehari atau sesuai kondisi cuaca,

2) pemupukan NPK dengan dosis sebesar 10–15 gram/m2

yang diberikan dalam bentuk larutan dengan frekuensi

dua kali seminggu,

3) pengendalian gulma yang dilakukan secara manual,

yaitu gulma pengganggu dicabut atau dibersihkan,

4) pemangkasan akar yang dilakukan setiap bulan sekali.

Pemangkasan akar bibit terakhir dilakukan dua minggu

sebelum bibit diseleksi dan dikemas untuk diangkut ke lokasi

penanaman. Pemangkasan akar dilakukan terhadap akar-

akar bibit yang keluar dari polybag agar pertumbuhan akar

tidak menembus ke dalam tanah di luar pot. Pemangkasan

akar dapat dilakukan bersamaan dengan pengendalian

gulma, sekaligus menyeleksi bibit yang mati dalam polybag.

89

Metode pembiakan vegetatif lain yang dapat dilakukan

adalah pencangkokan. Metode ini terutama untuk memenuhi

kebutuhan bibit jelutung rawa dengan tinggi lebih dari 1 m dalam

waktu yang relatif lebih singkat. Percobaan pembiakan secara

vegetatif dengan cara mencangkok 36 cabang jelutung rawa

pada berbagai letak cabang pada pohon (bawah, tengah, dan

ujung) menghasilkan 100% cabang berhasil tumbuh akar setelah

satu bulan pencangkokan. Bibit baru hasil cangkokan dapat

dipisahkan dari induknya setelah berumur tiga bulan (Rusmana,

2007). Hal ini seperti terlihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Cangkok pada cabang jelutung rawa

Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jelutung rawa

untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi dengan sistem

agroforestry dapat dikatakan layak untuk dikembangkan ditinjau

90

dari variabel ketersediaan benih, ketersediaan bibit siap tanam,

dan teknologi pembibitan.

5.2 Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem

Agroforestry

Pola agroforestry yang telah dikembangkan oleh petani

lokal di lahan gambut yang mempunyai karakteristik yang spesifik

(khas). Pola yang telah dikembangkan oleh petani tersebut dapat

dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut. Beberapa

aspek penting dalam budi daya jelutung rawa dengan sistem

agroforestry yang bersifat khas di lahan gambut tipis telah

dilakukan di Desa Mentaren II dan Desa Jabiren, sedangkan di

lahan gambut tebal telah dilakukan di Desa Tumbang Nusa dan

Kelurahan Kalampangan. Aspek penting budi daya jelutung rawa

dengan sistem agroforestry di lahan gambut dangkal (ketebalan

gambut 50–100 cm) oleh petani lokal yang perlu diperhatikan

meliputi penyiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah,

pengelolaan air dan pola tanam. Uraian aspek penting tersebut

dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Penyiapan Lahan

Kegiatan ini dilakukan sebelum penanaman yang meliputi

penebasan gulma dan pengolahan tanah. Peralatan yang

digunakan dalam kegiatan ini adalah tajak, cangkul dan

sundak. Petani lokal dalam penyiapan lahan menggunakan

tajak (parang bertangkai panjang) yang berfungsi ganda,

yaitu selain untuk menebas gulma juga untuk memapas

lapisan permukaan tanah 5–10 cm. Hal ini sekaligus

berfungsi sebagai pengolahan tanah minimum. Penyiapan

lahan dengan olah tanah minimal menggunakan tajak

merupakan usaha petani lokal agar lapisan gambut

91

tidak/sedikit terganggu sehingga lapisan pirit tidak

tersingkap. Proses penyiapan lahan yang dilakukan petani

lokal adalah tebas-bakar-penyimpukan (pembersihan).

Sistem tebas-bakar dilakukan karena cara ini cepat dan

murah, walaupun mempunyai dampak negatif yang dapat

menyebabkan penurunan permukaan gambut (subsidence).

Teknik penyiapan lahan yang dilakukan oleh petani lokal

dapat dibedakan menjadi dua: gundukan (tongkongan) dan

surjan (Gambar 25). Bagi petani bermodal besar, teknik

surjan dibuat sejak awal. Sebaliknya, penggunaan teknik

gundukan (tongkongan) banyak dilakukan petani yang

bermodal kecil dan selanjutnya mengganti dengan teknik

surjan apabila kondisi memungkinkan. Hal ini disebabkan

pembuatan surjan membutuhkan biaya yang cukup besar

yaitu sekitar Rp1.250,00–3.500,00 per meter dengan ukuran

baluran lebar 3–6 m dan tinggi 60–80 cm. Budi daya

tanaman sistem agroforestry di lahan gambut tipis idealnya

memang menggunakan sistem surjan. Hal ini merupakan

salah satu upaya mengatasi pengaruh luapan air pasang dan

mengoptimalkan pemanfaatan lahan sehingga selain padi

dapat ditanam jenis tanaman lainnya yang tidak tahan

genangan.

92

Gambar 25. Penyiapan lahan teknik gundukan (kiri) dan surjan (kanan)

Tahap 1. Pembuatan bagian tabukan (sunken beds) dan

guludan (raised beds)

Tahap 2. Pembuatan parit keliling ukuran 50–100 cm dan tata air mikro

Tahap 3. Penanaman tanaman penyusun sistem agroforestry pada bagian tabukan untuk tanaman tahan genangan dan pada bagian guludan untuk

tanaman tidak tahan genangan.

Gambar 26. Tahapan penyiapan lahan dengan teknik surjan (Muslihat, 2003)

93

Penerapan teknik surjan sangat memungkinkan untuk

pengembangan pola tanam dan penganekaragaman jenis

komoditas. Pada teknik surjan, lahan dibagi menjadi 80%

tabukan (sunken beds) yaitu bagian lahan yang lebih

rendah, dan 20% bagian guludan/tembokan/baluran

(raised beds) yaitu bagian lahan yang lebih tinggi. Bagian

tabukan biasanya ditanami padi atau tanaman tahan

genangan lainnya, sedangkan bagian guludan ditanami

karet, jelutung, palawija, tanaman buah-buahan dan/atau

hijauan makanan ternak (HMT). Tahapan penyiapan lahan

dengan teknik surjan seperti pada Gambar 26 (Muslihat,

2003).

2. Pengelolaan Kesuburan Tanah

Kegiatan ini menyangkut cara-cara peningkatan kesuburan

dan upaya pelestarian produktivitas lahan. Sumber hara

untuk tanaman diperoleh dengan cara mengolah jerami hasil

panen padi dan gulma dengan cara puntal sebar. Teknik ini

merupakan bentuk kearifan lokal petani setempat dalam

memperoleh sumber hara bagi tanaman budi daya. Hal ini

dilakukan dengan cara memuntal (menggulung) jerami dan

gulma hasil dari penyiangan pada salah satu tahapan

kegiatan persiapan lahan dalam bercocok tanam padi sawah.

Pemuntalan dilakukan setelah gulma layu yaitu dengan

mengumpulkan gulma menjadi satu gulungan yang

berbentuk gundukan-gundukan kecil. Proses pembuatan

pupuk organik sistem puntal sebar:

1) pembersihan atau penyiangan gulma menggunakan alat

tajak,

2) gulma yang telah ditebas dibiarkan selama 2–3 hari

supaya layu,

94

3) kegiatan pemuntalan dilakukan terhadap gulma yang

sudah layu,

4) penyebaran secara merata bahan yang telah hancur

(lapuk).

Bentuk kearifan lain yang dilakukan petani lokal dalam

mengelola kesuburan lahan dalam budi daya padi adalah

cara pemindahan bibit sebanyak tiga kali (taradak, lacak dan

ampak). Selain untuk mempertahankan kesuburan tanah,

cara ini juga sebagai upaya mengantisipasi kurangnya

tenaga kerja.

Pemanfaatan jerami padi dan tebasan gulma sebagai bahan

organik berfungsi untuk menyimpan unsur hara yang secara

perlahan akan dilepaskan ke dalam air tanah untuk

dimanfaatkan tanaman (slow release fertilizer). Selain itu,

bahan organik hasil puntal sebar yang berada di dalam dan

di atas permukaan tanah berfungsi untuk melindungi dan

membantu mengatur suhu dan kelembaban tanah. Praktik

puntal sebar ini seringkali digabungkan dengan teknik-teknik

lain dengan fungsi yang saling melengkapi; misalnya

pengolahan tanah, pengumpulan air (sistem tabat) dan

pembuatan baluran (pematang).

Kearifan petani dalam memanfaatkan limbah hasil panen dan

gulma sebagai bahan organik bersifat spesifik untuk tiap-tiap

individu petani. Secara umum, hal tersebut dapat

dikelompokkan menjadi empat: (1) memberikannya lang-

sung ke tanah, baik itu sebagai mulsa pada permukaan

tanah maupun dipendam dalam tanah; (2) membakar bahan

organik (mengakibatkan mineralisasi) dan abu hasil

pembakaran tersebut berfungsi sebagai bahan amelioran

yang cepat dan murah; (3) mengomposkan bahan organik

95

tersebut dengan teknik puntal sebar; dan (4) menjadikannya

sebagai pakan ternak, selanjutnya kotoran ternak dapat

digunakan sebagai pupuk kandang.

3. Pengelolaan Air

Kegiatan ini dilakukan oleh petani lokal yang meliputi

pembuatan saluran keliling dan sistem tabat. Sistem tabat

dilakukan petani lokal untuk mempertahankan muka air

selama musim tanam (lacak) yaitu sekitar bulan Maret–April.

Tabat dibuka pada akhir musim kemarau atau menjelang

musim hujan untuk mengeluarkan unsur pencemar (Al, Fe,

H2S).

4. Pola Tanam

Sistem agroforestry berbasis jenis jelutung rawa yang telah

dilakukan oleh petani lokal dapat dijadikan sebagai dasar

untuk pengembangan lebih lanjut. Pola tanam yang telah

dikembangkan oleh petani lokal tersebut dapat dikelompok-

kan menjadi tiga: (1) agrosilvofishery, (2) mixed cropping,

dan (3) alleycropping. Tabel 7 menjelaskan ketiga pola

tersebut.

96

Tabel 7. Pola agroforestry yang telah berkembang di lahan gambut dangkal

Pola

Agroforestry

Deskripsi Singkat (Susunan

Komponen)

Komponen

Utama

Alley cropping

dengan teknik

gundukan

(tongkongan).

Tanaman padi ditanam pada

lorong yang terbentuk dari baris

tanaman pohon yang ditanam

dengan teknik gundukan

(tongkongan).

Pohon: karet,

jelutung.

Tanaman

semusim: padi

lokal/tahun.

Alley cropping

dengan teknik

surjan.

Lahan dibagi menjadi tabukan

yang ditanami padi lokal (padi

tahun) dan bagian guludan yang

ditanami tanaman keras (karet

dan/atau jelutung).

Pohon: karet,

jelutung.

Tanaman

semusim: padi

lokal (tahun).

Agrosilvofishery

dengan teknik

surjan.

Lahan dibagi menjadi tabukan

yang berfungsi sebagai kolam

ikan peliharaan maupun beje

(kolam perangkap ikan) dan

bagian guludan yang ditanami

tanaman keras (jelutung,

durian, gaharu, karet, dan

mangga kueni) dan tanaman

buah-buahan (salak pondoh).

Pohon: karet,

jelutung,

gaharu, mangga

kueni, dan

durian.

Tanaman buah-

buahan: salak

pondoh. Kolam

ikan dan beje.

Aspek penting budi daya jelutung rawa dengan sistem

agroforestry di lahan gambut tebal (ketebalan gambut 200–300

cm) meliputi penyiapan lahan, penanaman, pengelolaan

kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Uraian kelima

aspek penting tersebut adalah sebagai berikut.

97

1. Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan merupakan aspek paling penting dalam

budi daya tanaman sistem agroforestry di lahan gambut

tebal. Penyiapan lahan dilakukan dengan membagi lahan

dalam petakan-petakan dengan parit sebagai pembatas

antar petakan (teknik petak berparit). Pembuatan parit

berfungsi ganda yaitu sebagai pengelolaan tata air dan

sebagai sekat bakar, terutama untuk api bawah tanah.

Adanya parit dapat mempertahankan muka air tanah (lengas

tanah) antara 60–100 cm dari permukaan tanah sehingga

memberi peluang akar tanaman dapat tumbuh dengan baik

(drainase dan aerasi tanah berlangsung dengan baik).

Ukuran parit yang digunakan untuk luas lahan 1 ha adalah

50–100 cm untuk lebar dan kedalaman parit. Nenas ditanam

di sekeliling parit drainase dengan maksud untuk

memadatkan tanah di sekitar parit agar tidak mudah

longsor, sebagai sekat bakar hijau terutama untuk api

permukaan, dan membantu mencegah masuknya gulma ke

lahan budi daya. Menurut Noor (2001), kendala dalam budi

daya tanaman di lahan gambut adalah rendahnya kerapatan

lindak (bulk density) dan kecilnya daya dukung tanah

sehingga tanaman menjadi mudah rebah dengan semakin

meningkatnya bobot tanaman di atas tanah.

Peningkatan daya dukung tanah memerlukan pemadatan,

khususnya pada mintakat perakaran atau jalur tanaman.

Teknik pemadatan yang dilakukan oleh petani lokal secara

umum dapat dikelompokkan menjadi dua: menggunakan

vegetasi, dan pemadatan yang dilakukan di dalam lubang

tanam. Vegetasi yang biasa digunakan untuk kegiatan

pemadatan tanah adalah nenas dan ubi kayu. Namun

demikian ada beberapa petani yang tidak menggunakan

98

nenas untuk keperluan pemadatan tanah dengan alasan akar

nenas sukar membusuk. Tanaman ubi kayu mempunyai

ketahanan terhadap keasaman yang tinggi dan dapat

berfungsi untuk mempercepat proses pematangan gambut

(Muslihat, 2003). Profil parit drainase yang multi fungsi dan

pemanfaatan tanaman ubi kayu untuk membantu

mempercepat proses pemadatan tanah dan kematangan

gambut seperti pada Gambar 27.

Gambar 27. Profil parit drainase dan tanaman nenas (kiri) serta tanaman ubi kayu untuk mempercepat pematangan gambut dan pemadatan tanah (kanan)

2. Penanaman

Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman jelutung

rawa di lahan gambut adalah pembuatan lubang tanam dan

kondisi bibit yang siap tanam. Teknik pembuatan lubang

tanam yang umum dilakukan para praktisi di lapangan

(seperti pada Gambar 28), yaitu:

(1) lokasi lubang tanam dibersihkan dari vegetasi yang

tumbuh di atasnya;

99

(2) mengambil/membuang akar pakis pada titik tanam agar

akar bibit langsung kontak dengan lapisan gambut dan

mencacah gambut agar menjadi kompak (padat)

sehingga tidak ada rongga udara;

(3) membuat lubang tanam seukuran dengan polybag yang

akan ditanam;

(4) melakukan perobekan polybag hanya pada permukaan

bawah tanpa melepaskannya dari bibit, dengan tujuan

agar lengas tanah media bibit tidak pecah pada saat

terjadi fluktuasi karena belum menyatu dengan gambut

di lapangan;

(5) memasukan polybag ke dalam lubang tanam yang

sudah dibuat dengan posisi ujung atas polybag sejajar

dengan permukaan tanah dan bagian bawah polybag

menyentuh lapisan gambut bukan akar pakis;

(6) memadatkan gambut di sekitar polybag yang telah

ditanam agar menyatu dengan tanah di lapangan.

Kondisi bibit jelutung rawa yang siap ditanam di lapangan

adalah yang batangnya sudah mengalami proses pengerasan

(hardening) dan pada bagian tunasnya sedang dalam kondisi

dorman (resting), yang ditandai dengan bagian pucuk masih

berupa pentol bukan kuncup daun muda. Hal ini penting

untuk diperhatikan karena bibit yang masih dalam kondisi

kuncup daun muda akan cenderung mudah layu pada saat

ditanam di lapangan. Keadaan layu tersebut sering berlanjut

sampai kematian bibit di lapangan.

100

Gambar 28. Teknik penanaman bibit jelutung rawa di lahan gambut tebal (Sumber: Santosa, 2008)

Bersihkan permukaan gambut dan vegetasi/gulma (pakis-

pakis, kelakai)

Cacah/cincang pada titik tanam agar gambut menjadi lebih kompak/tidak terdapat

rongga

Buat lubang tanam sesuai dengan ukuran polybag yang akan

ditanam

Robek permukaan bawah polybag,

sehingga akar terlihat

Masukkan bibit pada lubang tanam yang

sudah dibuat

Padatkan gambut di sekitar bibit yang

sudah ditanam

101

Sebelum ditanam di lapangan, bibit harus diaklimatisasikan

dulu agar dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan

penanaman. Tinggi bibit yang akan ditanam harus lebih

tinggi dari genangan (saat genangan tertinggi) sehingga

bibit tidak tenggelam. Proses aklimatisasi bibit seperti

ditunjukkan pada Gambar 29.

Gambar 29. Kondisi bibit siap tanam (gambar kiri yang berdiri tegak) dan proses aklimatisasi bibit jelutung rawa (kanan)

3. Pengelolaan Kesuburan Tanah

Pemberian bahan amelioran merupakan hal yang sangat

penting untuk memperbaiki kondisi lahan. Bahan amelioran

yang umum digunakan oleh petani lokal adalah kapur, tanah

mineral dan abu hasil pembakaran rumput, serta serasah.

Setelah panen tanamam pertanian, petani lokal akan

mengistirahatkan (memberakan) lahannya beberapa waktu

(6 bulan hingga 1 tahun) agar lahan ditumbuhi rumput. Saat

penyiapan lahan berikutnya, rumput dibesik (dipapas

menggunakan cangkul dengan menyertakan gambut yang

menempel pada perakaran rumput), dan selanjutnya dibakar

102

untuk memperoleh abu sebagai bahan amelioran (Gambar

30). Selain menggunakan bahan amelioran, pengelolaan

kesuburan tanah oleh petani lokal juga dilakukan dengan

cara membagi lahan ke dalam petakan-petakan. Hal ini

dimaksudkan agar lahan yang sama tidak berulang kali

ditanami. Penanaman dilakukan pada masing-masing petak

secara bergilir sehingga dapat mengurangi laju penurunan

permukaan gambut (amblesan) pada satu lokasi.

Gambar 30. Proses pembuatan abu amelioran. Lahan diberakan setelah panen (kiri atas). Rumput dibesik, dikumpulkan dan dibakar sampai jadi abu (kanan atas). Pendangiran tanah dan pembuatan bedeng tanam (kiri bawah). Pemberian abu dalam lubang tanam untuk tanaman semusim (kanan bawah)

103

4. Pengelolaan Air

Pengaturan lengas tanah dilakukan dengan membuat parit

drainase yang mengelilingi lahan. Ukuran parit drainase

sebelah luar (keliling) lahan adalah 50–100 cm untuk lebar

dan kedalaman, sedangkan parit dalam berukuran 30–50 cm

untuk lebar dan kedalamannya. Selain parit drainase, petani

juga membuat sumuran berukuran 1 m2 dengan kedalaman

2 m sebagai sumber air untuk keperluan menyiram tanaman

semusim. Bagi petani bermodal besar; selain sumuran,

mereka juga telah membuat sumur bor sebagai sumber air

untuk mengantisipasi musim kemarau. Profil sumuran dan

penyiraman tanaman semusim dengan mesin pompa air

seperti pada Gambar 31.

Gambar 31. Profil sumur dan penyiraman dari sumur pompa sebagai sumber air di musim kemarau

5. Pola Tanam

Sistem agroforestry yang telah dilakukan petani lokal di

lahan gambut tebal seperti terdapat pada Tabel 8.

104

Tabel 8. Pola agroforestry yang telah berkembang di lahan gambut dalam

Pola

Agroforestry

Deskripsi Singkat (Susunan

Komponen)

Komponen

Utama

Mixed cropping

dengan teknik

petak berparit

Lahan budi daya dikelilingi parit

drainase dengan ukuran 50–

100 cm untuk lebar dan

kedalamannya.

Tanaman yang ditanam adalah

rambutan dan jelutung rawa

yang ditanam per jalur secara

selang-seling.

Jarak tanam rambutan dan

jelutung 7 x 7 m.

Nenas ditanam di sekeliling

parit drainase.

Pohon:

jelutung rawa

dan rambutan.

Tanaman

semusim:

nenas.

Alley cropping

dengan teknik

petak berparit

Lahan dibagi kedalam petak-

petak yang dibatasi parit kecil

(saluran “cacing”).

Petak dengan luas lebih sempit

untuk menanam pohon,

sedangkan yang lebih luas

untuk menanam tanaman

pangan.

Pohon:

jelutung rawa.

Tanaman

semusim:

sayur-sayuran

(jagung, sawi,

kacang

panjang, daun

bawang, dll).

Pengembangan jenis jelutung dengan sistem agroforestry

untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi

Kalimantan Tengah diprioritaskan pada lahan gambut yang telah

dikonversi tetapi kurang sesuai untuk tanaman pertanian dan

perkebunan. Pengembangannya berdasarkan sistem agroforestry

yang telah dikembangkan oleh petani lokal, antara lain dapat

dilakukan dengan menggunakan teknik wanatani (agroforestry),

105

wanamina (silvofishery), wanaternak (silvopasture), maupun

kombinasinya: tanaman semusim-pohon-ternak (agrosilvo-

pasture) atau tanaman semusim-pohon-ikan (agrosilvofishery),

tergantung dari sumber daya dominan yang terdapat di lokasi

pengembangan. Penerapan teknik agroforestry pada pengem-

bangan jenis jelutung rawa dimaksudkan untuk diversifikasi

komoditas, usaha, dan pendapatan sehingga akan dapat

meningkatkan minat petani untuk membudidayakan jelutung

rawa yang berjangka panjang.

Pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry

harus melalui suatu kegiatan diagnostik untuk melihat kebutuhan

masyarakat dan designing untuk memolakan pertanamannya

melalui partisipasi aktif agar bisa dipraktikkan oleh petani

setempat. Berdasarkan sistem agroforestry yang telah

dikembangkan oleh petani lokal maka dapat dibuat pola-pola

pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry di

lahan gambut seperti tercantum pada Tabel 9 dan Tabel 10.

106

Tabel 9. Sistem silvopastoral dan agrisilvopastoral berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut

Pola Agroforestry

Deskripsi singkat (susunan komponen)

Komponen Utama

Kesesuaian Agroekologis

Sistem Silvopastoral

1. Jelutung pada ranch atau padang rumput

Jelutung rawa tersebar tidak teratur atau tersusun dengan sebaran tertentu.

Jelutung rawa dan tanaman HMT

Daerah penggembalaan yang ekstensif.

Sistem Agrosilvopastoral

1. Apikultur dengan pepohonan

Jelutung rawa, galam, karet, rambutan untuk sumber tepungsari bagi lebah madu

Jelutung rawa, galam, karet, rambutan, jagung dan lebah madu

Tergantung kepada kesesuaian dari apikultur.

2. Aquaforestry atau Agrosilvo-fishery

Jelutung rawa ditanam ditepi kolam ikan.

Jelutung rawa dan tanaman yang disukai ikan.

Lahan gambut dengan kualitas air yang sesuai dengan ikan.

107

Tabel 10. Sistem agrosilvikultur berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut

Pola Agroforestry

Deskripsi singkat (susunan komponen)

Komponen Utama

Kesesuaian Agroekologis

1. Pengayaan lahan be-kas perla-dangan

Jelutung rawa dan karet ditanam agar tumbuh pada fallow phase.

Jelutung rawa, karet dan padi tahun

Pada lahan perladangan berpindah.

2. Tumpang-sari

Pencampuran tegakan dengan tanaman pertanian pada awal pertanaman.

Jelutung rawa, karet, pisang dan padi tahun

Pada pola suksesi dari pertanaman padi menjadi perkebunan.

3. Alley cropping

Jelutung sebagai pagar, tanaman pertanian di antaranya; susunan baris.

Jelutung rawa, rambutan, pisang, karet, ketela pohon, tanaman sayuran dan padi tahun

Lahan gam-but dengan tekanan populasi penduduk (produktif tapi rentan).

4. Multilayer tree garden

Multi species, kelompok tanaman dengan tajuk rapat tanpa susunan yang jelas.

Jelutung rawa, karet, durian, pisang, rambutan dan tanaman semusim tahan naungan

Lahan gambut subur, murah tenaga kerja dan tekanan penduduk besar.

5. Tanaman serbaguna pada lahan pertanian

Jelutung rawa tersebar sembarangan atau tanaman batas lahan dan teras.

Jelutung, karet, tanaman buah, HMT dan tanaman pertanian pada umumnya

Pada daerah pertanian subsisten dan ternak.

108

6. Pekarangan (Home garden)

Rapat; kombinasi multi tajuk: jelutung dan tanaman pertanian di sekitar tempat tinggal.

Jelutung, tanaman merambat, dan tanaman pertanian tahan naungan

Lahan gambut dengan populasi penduduk padat.

7. Jelutung untuk konservasi dan reklamasi tanah

Jelutung, karet pada tepi teras, pelindung dll.; dengan atau tanpa baris rumput, tanaman kayu pada reklamasi tanah.

Jelutung rawa, karet dan tanaman pertanian pada umumnya

Pada lahan gambut tebal yang terlanjur dikonversi menjadi lahan pertanian.

8. Plantations crop com-binations.

Penggabungan multitajuk (campuran, rapat); pencampuran tanaman pertanian.

a. Pencampuran tanaman pertanian dengan pola berseling atau susunan teratur yang lain.

b. Pohon peneduh yang tersebar untuk tanaman pertanian.

c. Intercropping dengan tanaman pertanian.

Jelutung rawa, karet, rambutan, dan tanaman semusim tahan naungan

Pada pertanian subsisten dengan lahan yang terbatas.

9. Selterbelts, windbreaks, pagar hidup

Jelutung rawa pada sekeliling lahan pertanian.

Jelutung rawa dan tanaman pertanian setempat

Pada daerah yang berangin.

109

5.3 Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa

Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai

sistem agroforestry yang telah dikembangkan oleh petani lokal

secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut.

5.3.1 Plot penelitian di Kelurahan Kalampangan

Pada plot ini jelutung dibudidayakan dengan pola

alleycropping. Tanaman semusim seperti jagung, sawi, kacang

tanah, kacang panjang, cabe, dan daun bawang ditanam di

antara dua jalur tanaman jelutung. Performansi pertumbuhan

jelutung rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 32.

Gambar 32. Rata-rata tinggi batang dan diameter batang jelutung rawa umur 6 tahun (atas) dan umur 5,25 tahun (bawah) pola alleycropping di Kelurahan Kalampangan

110

Gambar 32 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang

tanaman jelutung rawa umur 6 tahun terendah terdapat pada

Petak A dengan rata-rata tinggi 541,8 cm, sedangkan yang

tertinggi pada Petak B dengan rata-rata tinggi 682,1 cm.

Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 6

tahun terkecil terdapat pada Petak C dengan rata-rata diameter

8,91 cm, sedangkan yang terbesar pada Petak D dengan rata-

rata diameter 11,52 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 6 tahun

pada plot penelitian ini mencapai 102,86 cm per tahun,

sedangkan riap diameternya mencapai 1,73 cm per tahun.

Gambar 32 juga menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi

batang tanaman jelutung rawa umur 5,25 tahun terendah

terdapat pada Petak F dengan rata-rata tinggi 375,6 cm,

sedangkan yang tertinggi pada Petak I dengan rata-rata tinggi

567,8 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa

umur 5,25 tahun terkecil terdapat pada Petak G dengan rata-rata

diameter 7,5 cm, sedangkan yang terbesar pada Petak E dengan

rata-rata diameter 10,16 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,25

tahun pada plot penelitian ini mencapai 86,55 cm per tahun,

sedangkan riap diameternya mencapai 1,66 cm per tahun.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi

sebanyak 672 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak

18,01% adalah sulaman dan 9,67% terserang penggerek batang.

Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang

ditanam di plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%.

Persen hidup tanaman yang sering digunakan sebagai indikator

keberhasilan tanaman yang berlaku pada proyek penghijauan dan

rehabilitasi hutan adalah 80%.

111

5.3.2 Plot penelitian di Desa Tumbang Nusa

Pada plot ini, jelutung dibudidayakan dengan pola mixed

cropping. Tanaman yang ditumpangsarikan dengan jelutung rawa

adalah rambutan dan nenas. Performansi pertumbuhan jelutung

rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 33.

Gambar 33. Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) per jalur dari jelutung rawa umur 5,3 tahun pola mixed cropping di Tumbang Nusa

Gambar 33 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang

tanaman jelutung rawa umur 5,3 tahun terendah terdapat pada

Jalur 4 dengan rata-rata tinggi 547,9 cm, sedangkan yang

tertinggi pada Jalur 3 dengan rata-rata tinggi 666,1 cm.

Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5,3

tahun terkecil terdapat pada Jalur 4 dengan rata-rata diameter

8,69 cm, sedangkan yang terbesar pada Jalur 1 dengan rata-rata

diameter 12,41 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,3 tahun

pada plot penelitian ini mencapai 116,03 cm per tahun,

sedangkan riap diameternya mencapai 1,96 cm per tahun.

112

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi

sebanyak 126 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak

30,16% adalah sulaman dan 4,76% terserang penggerek batang.

Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang

ditanam di plot penelitian ini kurang dari 80%. Kematian jelutung

rawa yang tinggi pada plot ini disebabkan oleh banjir yang

melanda. Banjir tersebut menyebabkan banyak tanaman yang

mati karena lama tenggelam pada tahun-tahun awal penanaman.

5.3.3 Plot penelitian di Desa Jabiren

Pada plot ini, jelutung dibudidayakan dengan pola mixed

cropping. Tanaman yang ditumpangsarikan dengan jelutung rawa

adalah karet Klon PB 260.

Gambar 34. Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) jelutung rawa umur 5,25 tahun per jalur pola mixcropping di Desa Jabiren

Gambar 34 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang

tanaman jelutung rawa umur 5,25 tahun terendah terdapat pada

Jalur 5 dengan rata-rata tinggi 570,9 cm, sedangkan yang

113

tertinggi pada Jalur 1 dengan rata-rata tinggi 804,4 cm.

Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5,25

tahun terkecil terdapat pada Jalur 4 dengan rata-rata diameter

8,74 cm, sedangkan yang terbesar pada Jalur 1 dengan rata-rata

diameter 11,42 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,25 tahun

pada plot penelitian ini mencapai 127,94 cm per tahun,

sedangkan riap diameternya mencapai 1,92 cm per tahun.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi

sebanyak 300 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak

10,92% adalah sulaman dan 16,72% terserang penggerek

batang. Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa

yang ditanam di plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%.

5.3.4 Plot penelitian di Desa Mentaren II

Pada plot ini jelutung dibudidayakan dengan tiga macam

pola: (1) agrosilvofishery dengan komponen penyusun: salak,

durian, gaharu dan kolam ikan; (2) alleycropping dengan

komponen penyusun: jeruk dan padi; (3) mixcropping dengan

komponen penyusun: karet dan padi. Performansi pertumbuhan

jelutung rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 35.

Pada gambar tersebut terlihat bahwa pertumbuhan tinggi

batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun dengan pola

agrosilvofishery terendah terdapat pada baluran 6 dengan rata-

rata tinggi 695,2 cm, sedangkan yang tertinggi pada Jalur 1

dengan rata-rata tinggi 834 cm. Pertumbuhan diameter batang

tanaman jelutung rawa umur 7 tahun terkecil terdapat pada

Baluran 6 dengan rata-rata diameter 8,94 cm, sedangkan yang

terbesar pada Baluran 1 dengan rata-rata diameter 11,07 cm.

Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun pada pola ini adalah

114

111,13 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 1,49

cm per tahun.

Pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 7

tahun dengan pola alleycropping terendah terdapat pada Baluran

3 dengan rata-rata tinggi 676,1 cm, sedangkan yang tertinggi

pada Baluran 5 dengan rata-rata tinggi 813,3 cm. Pertumbuhan

diameter batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun terkecil

terdapat pada Baluran 2 dengan rata-rata diameter 12,88 cm,

sedangkan yang terbesar pada Baluran 5 dengan rata-rata

diameter 15,16 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun pada

pola ini adalah 102,31 cm per tahun, sedangkan riap diameternya

mencapai 2 cm per tahun.

Pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 7

tahun dengan pola mixed cropping terendah terdapat pada

Baluran 5 dengan rata-rata tinggi 554,90 cm, sedangkan yang

tertinggi pada Baluran 1 dengan rata-rata tinggi 668,30 cm.

Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 7

tahun terkecil terdapat pada Baluran 4 dengan rata-rata diameter

9,47 cm, sedangkan yang terbesar pada Baluran 7 dengan rata-

rata diameter 10,86 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun

pada pola ini adalah 83,08 cm per tahun, sedangkan riap

diameternya mencapai 1,45 cm per tahun.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada ketiga

pola tersebut di atas, dari jumlah populasi jelutung rawa

sebanyak 960 batang yang ditanam, sebanyak 6,63% adalah

sulaman dan 8,692% terserang penggerek batang. Hal ini

menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang ditanam di

plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%.

115

Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan)

pada pola agrosilvofishery

Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan)

pada pola alleycropping

Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan)

pada pola mixcropping

Gambar 35. Performansi pertumbuhan jelutung rawa umur 7 tahun di Desa Mentaren II

116

Gambar 36 menampilkan data persen hidup dan serangan

penggerek batang pada jelutung yang ditanam pada beberapa

tipologi lahan gambut. Sedangkan Gambar 37 menampilkan riap

pertumbuhan tanaman jelutung rawa pada beberapa pola tanam

di lahan gambut.

Gambar 36. Persen sulaman (kiri) dan % serangan penggerek batang (kanan)

Gambar 36 menjelaskan bahwa persentase sulaman

tertinggi terdapat pada jelutung rawa yang ditanam di Desa

Tumbang Nusa sebesar 30,16% dan terendah pada jelutung rawa

yang ditanam di Desa Mentaren II sebesar 6,63%. Persentase

jumlah jelutung rawa yang terserang penggerek batang

terbanyak pada Desa Jabiren sebesar 16,72% dan terendah pada

Desa Tumbang Nusa sebesar 4,76%.

Gambar 37 menampilkan data riap pertumbuhan tinggi

batang dan diameter batang jelutung rawa pada beberapa pola

tanam di lahan gambut. Riap pertumbuhan tinggi batang tertinggi

terdapat pada jelutung rawa yang ditanam dengan pola mixed

cropping di Desa Jabiren dengan riap sebesar 127,94 cm per

117

tahun dan terendah di Desa Mentaren II yang di tanam dengan

pola mixed cropping. Riap pertumbuhan diameter batang

tertinggi terdapat pada jelutung rawa yang ditanam dengan pola

alleycropping di Desa Mentaren II dengan riap sebesar 2,15 cm

per tahun dan terendah di Desa Mentaren II yang ditanam

dengan pola mixed cropping dengan riap sebesar 1,56 cm per

tahun.

Gambar 37. Riap per tahun pertumbuhan tinggi batang (atas) dan riap pertumbuhan diameter batang (bawah).

118

Tabel 11 menyajikan data rata-rata diameter batang, tinggi

batang, riap pertumbuhan diameter batang dan riap tinggi batang

jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan pola

tanam.

Tabel 11. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan sistem agroforestry di Provinsi Kalimantan Tengah

Lokasi, Tipologi Lahan dan Pola Tanam

Umur (tahun)

Performansi Pertumbuhan Jelutung (cm)

Rata-rata Diameter

Riap DB /tahun

Rata-rata Tinggi

Riap Tinggi /tahun

Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam, alleycropping I dengan teknik petak berparit

6,00 10,39 1,73 617,13 102,86

Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam, alleycropping II dengan teknik petak berparit

5,25 8,69 1,66 454,38 86,55

Desa Tumbang Nusa, lahan gambut dalam, mixcropping dengan teknik petak berparit

5,30 10,11 1,96 626,70 116,03

Desa Jabiren, lahan gambut dangkal, mixcropping dengan teknik surjan

5,25 10,11 1,92 671,70 127,94

Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, agrosilvofishery teknik surjan

6,50 11,03 1,60 800,60 120,00

Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, alleycropping teknik surjan

6,50 13,98 2,15 716,18 110,18

Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, mixcropping teknik surjan

6,50 10,15 1,56 581,58 89,47

Rata-rata 5,9 10,64 1,80 638,32 107,58

119

Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa riap tinggi

tanaman jelutung rawa yang ditanam dengan sistem agroforestry

pada berbagai tipologi lahan gambut adalah 86,55–127,94 cm per

tahun, sedangkan riap diameternya adalah 1,56–2,15 cm per

tahun. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan jelutung rawa

pada kondisi alaminya di Pulau Sumatra, riap diameter jelutung

rawa sekitar 1,5–2,0 cm/tahun (Bastoni & Riyanto, 1999).

Jelutung rawa yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi

intensif di Pulau Sumatra dapat diperoleh riap diameter 2,0–2,5

cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil pengukuran pertumbuhan

jelutung umur 9 tahun yang dilakukan oleh Balittaman Palembang

pada tahun 2001 memperoleh data riap tinggi sekitar 164–175

cm/tahun dan riap diameter sekitar 2,18–2,38 cm/tahun (Bastoni,

2001). Perbedaan riap pertumbuhan jelutung rawa di Pulau

Sumatra yang lebih tinggi dari pertumbuhan jelutung rawa yang

dibudidayakan dengan sistem agroforestry pada penelitian ini

disebabkan kondisi lahan gambut yang lebih subur. Performansi

pertumbuhan jelutung rawa yang ditanam secara monokultur

seperti tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pola tanam monokultur

Parameter

Lokasi

Jabiren I Jabiren II Hampangin Tumbang

Nusa

Umur tanaman (tahun) 8,00 20,00 10,00 6,00

Rata-rata tinggi (cm) 1.360,00 2.150,00 1.070,00 752,90

Rata-rata diameter (cm) 5,60 20,50 12,10 11,82

Riap diameter/tahun (cm)

0,72 1,03 1,21 1,97

Riap tinggi/tahun (cm) 170,00 107,50 107,00 125,48

120

Gambar 38 menampilkan data riap pertumbuhan tanaman

jelutung rawa yang ditanam secara monokultur di Provinsi

Kalimantan Tengah. Berdasarkan data pada Tabel 8 diketahui

bahwa pertumbuhan tanaman jelutung rawa yang ditanam secara

monokultur menghasilkan riap tinggi sekitar 107–170 cm per

tahun, sedangkan riap diameter sekitar 0,72–1,97 cm per tahun.

Gambar 38. Riap tinggi batang (kiri) dan riap diameter batang (kanan) tanaman jelutung rawa yang ditanam secara monokultur

Berdasarkan Gambar 37 dan Gambar 38 diketahui bahwa

riap pertumbuhan jelutung rawa yang ditanam dengan sistem

agroforestry lebih rendah dibandingkan dengan riap pertumbuhan

jelutung rawa yang ditanam dengan sistem monokultur. Hal ini

disebabkan pada kasus jelutung rawa yang ditanam dengan

karet, penanamannya dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Akibatnya, karet–yang tumbuhnya lebih cepat–cenderung

menaungi jelutung rawa. Padahal, jenis ini merupakan jenis yang

memerlukan cahaya matahari penuh mulai pertumbuhan tingkat

121

tiang. Sementara itu pada kasus jelutung yang ditumpangsarikan

dengan tanaman semusim, gangguan berupa pengolahan lahan

dan pembakaran untuk memperoleh abu diduga berpengaruh

terhadap pertumbuhan jelutung rawa.

Hasil penelitian Indrayatie & Suyanto (2009) menunjukkan

bahwa pada aspek topografis, jelutung rawa menyukai bentuk

lahan dataran, yaitu wilayah yang memiliki air tanah dangkal

(baik yang terendam secara permanen maupun musiman),

elevasi dataran rendah (<100 m dpl.); hidup di tempat terbuka

tanpa naungan maupun berasosiasi dengan vegetasi lain. Pada

aspek edafis, jelutung rawa dapat hidup pada tanah mineral

(alluvial) ataupun tanah organik. Kondisi ini dipresentasikan

untuk daerah subsistem alluvio-marine seperti daerah rawa

(swamp), paya pasang surut (marsh), delta, tidal flat; daerah

subsistem alluvial seperti daerah banjir (flood plain), jalur

meander (meander belt); daerah subsistem alluvio-colluvial

seperti daerah cekungan terisolasi (isolated miniplain); daerah

subsistem closed alluvial seperti daerah rawa tanpa pengaruh air

laut (swamp or marsh without marine influence).

Uraian di atas menjelaskan bahwa pengembangan jelutung

dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut

terdegradasi layak untuk dilakukan berdasarkan parameter

kelayakan teknis.

122

123

KELAYAKAN AGROFORESTRY

JELUTUNG RAWA

6.1 Kriteria dan Penilaian Kelayakan Agroforestry

Jelutung Rawa

Kelayakan pengembangan jelutung rawa dengan sistem

agroforestry sebagai upaya memulihkan lahan gambut

terdegradasi dianalisis menggunakan kriteria Hasil Hutan Bukan

Kayu (HHBK) Unggulan sesuai Peraturan Menteri Kehutanan

(Permenhut) Nomor P.21/Menhut-II/2009. Berdasarkan peraturan

tersebut, penentuan tingkat keunggulan mencakup kriteria:

ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan

teknologi. Kelima kriteria tersebut seperti uraian berikut (Dephut,

2009b).

1. Kriteria Ekonomi

Kriteria ekonomi merupakan aspek yang mengukur besaran

ekonomi dari getah jelutung. Hal ini dilakukan dengan

mempertimbangkan tujuh indikator: (1) nilai perdagangan

ekspor, (2) nilai perdagangan lokal, (3) lingkup pemasaran,

(4) potensi pasar internasional, (5) mata rantai pemasaran,

(6) cakupan pengusahaan, dan (7) investasi usaha.

Nilai perdagangan ekspor getah jelutung di Provinsi

Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh dua perusahaan,

yaitu PT Sumber Alam Sejahtera (PT SAS) dan PT Sampit

mencapai lebih dari US$1 juta per tahun. Nilai ekspor getah

jelutung oleh PT SAS mencapai US$700,000.00 per tahun

dan PT Sampit mencapai US$648,000.00 per tahun (nilai

kurs Rp10.000,00). Nilai tersebut termasuk kategori tinggi

(nilai 3) karena nilai ekspor yang mencapai Rp10 milyar per

Bab VI

124

tahun dianggap sudah dapat menggerakkan perekonomian

masyarakat dan kabupaten/kota pengekspor getah jelutung.

Tabel 13 mencantumkan realisasi ekspor getah jelutung di

Provinsi Kalimantan Tengah. Nilai perdagangan lokal getah

jelutung untuk PT SAS mencapai 4 milyar rupiah per tahun,

sedangkan untuk PT Sampit mencapai 9,9 milyar rupiah per

tahun. Gambar 39 mencantumkan produksi getah jelutung

oleh PT SAS per bulan selama tiga tahun (2007–2009).

Gambar 40 mencantumkan rata-rata produksi getah jelutung

per bulan untuk Kabupaten Kotawaringin Barat (Pangkalan

Bun). Gambar 41 mencantumkan produksi getah jelutung

menjadi bahan baku setengah jadi pada tahun 2008 di

Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Lingkup pemasaran getah jelutung mencakup pasar

internasional, nasional dan lokal. Pasar internasional dengan

negara tujuan ekspor: Singapura, Jepang, dan Prancis.

Potensi pasar internasional menunjukkan tingkat permintaan

komoditas getah jelutung di pasaran internasional. Potensi

pasar internasional getah jelutung termasuk dalam kategori

tinggi yaitu diminta lebih dari tiga negara. Hal ini

menunjukkan pasar getah jelutung belum jenuh dan belum

mampu memenuhi pesanan. Mata rantai pemasaran

menunjukkan tingkat kompleksitas rantai pemasaran

(market chain) dan saluran pemasaran (market channel).

Pada aspek ini getah jelutung termasuk dalam kategori

sedang (nilai 2) karena pemasarannya sudah melibatkan

berbagai pihak: masyarakat pengumpul, pengusaha UMKMK,

dan pemerintah; namun belum melibatkan pengusaha besar

(industri).

Cakupan pengusahaan menunjukkan perkembangan industri

dalam upaya meningkatkan nilai tambah (value added).

125

Cakupan pengusahaan getah jelutung mempunyai nilai 2

karena hanya meliputi industri hulu dan tengah (barang

setengah jadi). Investasi usaha menunjukkan bahwa melalui

investasi, komoditas getah jelutung mampu memberikan

kontribusi yang nyata bagi pertumbuhan ekonomi. Pada

indikator investasi usaha, pengusahaan getah jelutung di

Provinsi Kalimantan Tengah termasuk kategori sedikit (nilai

2) karena terdapat kurang dari lima dunia usaha yang

berinvestasi, yaitu hanya ada dua perusahaan (PT SAS dan

PT Sampit).

Tabel 13. Realisasi ekspor getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah

Tahun Volume

(ton)

Nilai (USD) Nilai Rata-

rata/ton

(US$)

Harga

rata-

rata/kg

(US$)*

Negara

Tujuan

Ekspor

2000 96 476,800.00 4,966.70 0.50 Jepang

2001 128 587,840.00 4,592.50 0.50 Jepang

2002 176 792,000.00 4,500.00 0.45 Jepang

2003 192 902,400.00 4,700.00 4.70 Jepang

2004 192 902,400.00 4,700.00 4.70 Jepang

2005 176 827,200.00 4,700.00 4.70 Jepang

2006 176 827,200.00 4,700.00 4.70 Jepang

Jumlah 1.136

Rata-rata 162,29

Keterangan: * Harga di tingkat buyer luar negeri

Sumber: Karyono (2008)

126

Gambar 39. Produksi getah jelutung oleh PT SAS di Kota Palangkaraya

Gambar 40. Produksi getah jelutung di Kabupaten Kotawaringin Barat tahun 2009

127

Gambar 41. Produksi getah jelutung menjadi bahan baku setengah jadi pada tahun 2008 di Kabupaten Kotawaringin Timur

2. Kriteria Biofisik dan Lingkungan

Biofisik dan lingkungan merupakan aspek yang perlu

dipertimbangkan dalam pengembangan jenis jelutung.

Indikator yang perlu dipertimbangkan adalah (1) potensi

tanaman, (2) penyebaran, dan (3) status konservasi. Ketiga

indikator tersebut sangat memengaruhi kemudahan

pengembangan lebih lanjut.

Potensi jelutung menunjukkan tingkat kelimpahan

(abundance) jenis di alam yang diukur sebagai persentase

antara jumlah pohon per hektar terhadap kondisi tegakan

normal. Dalam hal ini, tegakan normal diasumsikan 100

pohon per ha untuk pohon pada hutan alam. Jenis jelutung

memiliki potensi tinggi (nilai 3) jika populasinya berjumlah

>60% dari populasi normal, potensi sedang (nilai 2) jika

128

populasi komoditas tersebut berjumlah 40–60% dari

populasi normal dan potensi rendah (nilai 1) jika populasinya

<40% dari populasi normal. Data populasi pohon jelutung di

alam didekati dari jumlah pohon jelutung yang disadap oleh

para regu kerja. Berdasarkan hasil wawancara yang

dilakukan terhadap beberapa regu kerja penyadap getah

jelutung, pada setiap jalur sadap (panjang 1–2 km) terdapat

pohon jelutung sebanyak 70–100 batang. Rata-rata setiap

regu kerja mempunyai 10 jalur sadap sehingga setiap regu

kerja menyadap sekitar 1.000 batang pohon jelutung.

Berdasarkan jumlah tersebut, potensi jenis jelutung

termasuk dalam kategori rendah (nilai 1) karena populasinya

<40% dari populasi normal atau kurang dari 40 pohon per

ha.

Penyebaran menunjukkan tingkat keberadaan jenis jelutung

dalam suatu wilayah (dalam hal ini wilayah administrasi

Provinsi Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan

gambut). Kategori merata (nilai 3) jika komoditas tersebut

terdapat di 2/3 wilayah tersebut, kategori cukup merata

(nilai 2) jika terdapat di antara 1/3–2/3 wilayah dan kategori

tidak merata (nilai 1) jika terdapat di <1/3 wilayah. Pada

tingkat provinsi dihitung kabupaten yang mempunyai lahan

gambut, kemudian untuk tingkat kabupaten dihitung jumlah

kecamatan yang terdapat tumbuhan alam maupun tanaman

jelutung. Kabupaten/kota di wilayah Provinsi Kalimantan

Tengah yang mempunyai lahan gambut tercantum pada

Tabel 14.

Penyebaran tumbuhan alam jelutung hanya tersisa di

kawasan-kawasan lindung seperti di kawasan Taman

Nasional (TN) Sebangau (Kabupaten Pulang Pisau, Kota

Palangkaraya dan Kabupaten Katingan) dan kawasan Suaka

129

Margasatwa (SM) Lamandau (Kabupaten Kotawaringin

Barat). Pohon jelutung dari daerah tersebut menjadi sumber

pasokan kebutuhan getah jelutung di Provinsi Kalimantan

Tengah dengan produktivitas seperti tercantum pada Tabel

15.

Tabel 14. Persentase lahan gambut dan nongambut di wilayah kerja BPDAS Kahayan

No. Kabupaten/Kota % Gambut % nonGambut

1. Kapuas 27,17 72,83

2. Katingan 24,89 75,11

3. Kotawaringin Barat 29,00 71,00

4. Kotawaringin Timur 21,53 78,47

5. Lamandau 0,12 99,88

6. Palangkaraya 42,38 57,62

7. Pulang Pisau 64,32 35,68

8. Seruyan 18,90 81,10

9. Sukamara 28,91 71,09

Sumber: BPDAS Kahayan (2007)

Tabel 15. Produksi getah jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah

Kabupaten/ Kota

Tahun Produksi (kg)

2003 2004 2005 2006 Rataan

Pangkalan Bun 423.242 493.012 421.770 564.923 475.737

Palangkaraya 428.739 454.214 180.530 67.840 282.831

Sampit 185.933 115.440 30.081 60.993 98.112

Jumlah 1.037.914 1.062.666 632.381 693.756

Sumber: Karyono (2008)

130

Penyebaran jenis jelutung hasil tanaman rehabilitasi dan

penghijauam seperti tercantum pada Tabel 16.

Tabel 16. Rekapitulasi pembuatan tanaman jelutung rawa di wilayah kerja BPDAS Kahayan tahun 2008–2010

No. Kabupaten/Kota

Jumlah

Luasan (ha) Tanaman

(batang)

1. Kapuas 1.100 165.000

2. Pulang Pisau 2.100 300.000

3. Kotawaringin Barat 2.000 -

4. Palangkaraya 1.000 125.000

5. Katingan 2.000 250.000

Jumlah 8.200 840.000

Uraian pada Tabel 14, 15, dan 16 menunjukkan bahwa

penyebaran jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah

termasuk kategori tidak merata (nilai 1) karena terdapat di

<1/3 wilayah.

Indikator status konservasi menunjukkan keleluasaan

pemanfaatan dan perdagangan komoditas getah jelutung

dikaitkan dengan ancaman kepunahan jenis tersebut. Nilai 3

jika tidak terdaftar di CITES yang berarti jenis jelutung lebih

leluasa dimanfaatkan. Jika terdaftar dalam Appendix CITES

maka memiliki nilai lebih rendah karena memiliki batasan

untuk diperdagangkan. Jenis jelutung termasuk dalam

kategori tidak terdaftar di CITES Appendix (Nilai 3).

Indikator budi daya menunjukkan upaya memproduksi

komoditas getah jelutung, selain dari tegakan alam. Semakin

tinggi persentase hasil budi daya maka memiliki nilai lebih

131

tinggi pula. Terdapatnya usaha budi daya dapat

memberikan jaminan keberlangsungan produksi yang

semakin tinggi dan akan mengurangi tekanan tegakan alam.

Kategori bernilai 3 jika persentase produksi hasil budi daya

>70%, bernilai 2 jika persentase produksi antara 40–70%

dan bernilai 1 jika persentase <40%. Hingga saat ini,

produksi getah jelutung hampir seluruhnya berasal dari

tegakan alam karena tanaman jelutung hasil budi daya

masih belum dapat disadap. Oleh karena itu, jelutung rawa

termasuk dalam kategori produksi HHBK <40% hasil budi

daya dan bernilai 1.

Aksesibilitas ke sumber getah jelutung menunjukkan tingkat

kemudahan sumber tersebut untuk dicapai dan dijangkau

oleh moda transportasi. Nilai 3 jika mudah dijangkau moda

transportasi darat dan/atau air sepanjang tahun, nilai 2 jika

dapat dijangkau moda transportasi darat dan/atau air tetapi

tidak sepanjang tahun dan nilai 1 jika sulit dijangkau moda

transportasi sepanjang tahun. Berdasarkan hasil wawancara

dengan beberapa regu kerja, lokasi penyadapan jelutung

dapat dijangkau dengan moda transportasi air (klotok) dan

jukung (sampan) hanya pada saat musim hujan. Pada saat

musim kemarau, beberapa lokasi dapat dijangkau dengan

berjalan kaki dari sungai besar yang dapat dilalui klotok.

Oleh karena itu, sumber getah jelutung rawa termasuk

dalam kategori dapat dijangkau moda transportasi air tetapi

tidak sepanjang tahun (nilai 2).

3. Kriteria Kelembagaan

Kelembagaan merupakan aspek penting dalam penentuan

tingkat keunggulan getah jelutung karena menyangkut unsur

pelaku dan tata aturan produksi dan perdagangannya. Enam

132

indikator pada kriteria kelembagaan yang dipergunakan

dalam penentuan tingkat keunggulan getah jelutung yaitu:

(1) jumlah kelompok usaha/regu kerja; hal ini menunjukkan

tingkat keterlibatan regu kerja yang meramu getah

jelutung; semakin banyak jumlah regu kerja maka

semakin tinggi peluangnya dalam menggerakkan roda

perekonomian masyarakat;

(2) asosiasi kelompok usaha dan kelompok peramu getah

jelutung; keberadaan asosiasi kelompok usaha dan

kelompok peramu (forum komunikasi) menunjukkan

tingkat ketertarikan kelompok usaha membentuk

asosiasi untuk meningkatkan daya saing;

(3) perangkat peraturan tentang komoditas getah jelutung;

hal ini menunjukkan ketersediaan peraturan dan tingkat

pengaturan komoditas getah jelutung;

(4) peran institusi; hal ini menunjukkan dukungan dari

berbagai institusi, seperti pemerintah (pusat dan

daerah), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan

pengusaha;

(5) standar komoditas jelutung; hal ini menunjukkan ada

tidaknya standarisasi dari produk getah jelutung;

(6) sarana/fasilitas pengembangan getah jelutung; hal ini

menunjukkan ketersediaan fasilitas untuk

pengembangan komoditas getah jelutung, seperti pusat

pelatihan dan trade center.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pelaku

perdagangan getah jelutung di Kalimantan Tengah, Bapak

Ikut Ali/pemilik PT SAS, jumlah pedagang pengumpul yang

telah diberi modal sebanyak 11 orang dengan jumlah regu

kerja sebanyak 300 regu. Regu kerja tersebut tersebar di

beberapa lokasi di Kalimantan Tengah yaitu Sukamara,

133

Pangkalan Bun, Seruyan, Samuda, dan Sebangau. Tiap regu

kerja beranggota 1–3 orang (rata-rata 2 orang). Berdasarkan

informasi tersebut, pengusahaan getah jelutung dapat

dikategorikan banyak karena terdapat >5 kelompok usaha

produsen sehingga kategori jumlah penyadap getah jelutung

bernilai 3.

Keberadaan asosiasi kelompok usaha dan kelompok peramu

(forum komunikasi) getah jelutung di Provinsi Kalimantan

Tengah belum ada. Kelembagaan yang terbentuk masih

terbatas pada regu kerja penyadap, pedagang pengumpul,

dan perusahaan penampung getah jelutung. Oleh karena itu,

keberadaan asosiasi kelompok usaha dalam pengusahaan

getah jelung di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk dalam

kategori rendah (nilai 1).

Saat ini, terdapat perangkat peraturan dari pejabat Bupati/

Walikota berkaitan dengan komoditas getah jelutung (nilai

2). Salah satu peraturan yang secara tidak langsung

mengatur tentang komoditas getah jelutung terkait dengan

retribusi pengumpulan HHBK adalah Peraturan Daerah

(Perda) Kota Palangkaraya Nomor 07 Tahun 2002 tentang

Perubahan atas Perda Kota Palangkaraya Nomor 04 Tahun

2000 tentang Retribusi izin Pengumpulan Hasil Hutan Bukan

Kayu dan Hasil Perkebunan. Perda tersebut menetapkan

retribusi getah jelutung sebesar 3% per ton. Pada tahun

2000, Bupati Kapuas mengeluarkan surat keputusan yang

menetapkan areal konservasi jelutung rawa di Desa Bajuh.

Proses penyadapan dan pengumpulan getah jelutung telah

difasilitasi oleh Pemerintah Kota Palangkaraya berupa

penerbitan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu oleh

Walikota yang diberikan kepada kelompok masyarakat.

Perizinan serupa di Kabupaten Kotawaringin Barat hanya

134

diberikan kepada perusahaan pengumpul. Bagi masyarakat

yang mengumpulkan getah jelutung di dalam kawasan

lindung, seperti SM Sungai Lamandau, izin diberikan oleh

pengelola kawasan (BKSDA di Pangkalan Bun). Sementara

itu, kabupaten lain yang juga memiliki potensi jelutung

belum ada fasilitasi berupa perizinan. Retribusi

pemanfaatannya ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala

Daerah, baik Bupati atau Walikota. Besarnya retribusi Provisi

Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk Provinsi Kalimantan

Tengah adalah sebesar Rp56.100,00 per ton. Tabel 17

mencantumkan pendapatan daerah Kota Palangkaraya dari

hasil retribusi getah jelutung.

Tabel 17. Pendapatan daerah dari retribusi getah jelutung

Tanggal Volume (ton) Jumlah Pungutan (Rp)

25-04-2010 10 1.200.000,00

09-03-2010 20 2.400.000,00

14-01-2010 25 3.000.000,00

14-7-2009 25 3.000.000,00

15-5-2009 25 3.000.000,00

17-4-2009 25 3.000.000,00

13-3-2009 25 3.000.000,00

14-2-2009 15 1.800.000,00

Peran institusi menunjukkan terdapat dukungan dari

berbagai pihak, seperti Pemerintah Pusat (melalui Unit

Pelaksana Teknis/UPT), pemerintah daerah, dan LSM.

Bentuk dukungan tersebut berupa keterlibatan institusi, baik

langsung maupun tidak langsung, terhadap kegiatan

pengembangan usaha getah jelutung seperti budi daya,

pengolahan, dan pemasaran. Kategori tinggi (nilai 3) apabila

135

seluruh institusi yang ada mendukung pengembangan

komoditas HHBK yang dinilai tersebut, kategori sedang (nilai

2) apabila hanya ada salah satu institusi yang mendukung,

dan kategori rendah apabila tidak ada dukungan dari institusi

(nilai 1). Kementerian Kehutanan melalui UPT di Provinsi

Kalimantan Tengah (BPDAS Kahayan, BTN Sebangau dan

BPK Banjarbaru) telah memberikan perhatian terhadap

pengembangan jelutung rawa di Provinsi Kalimantan

Tengah. BPDAS Kahayan telah menanam jelutung rawa di

Areal Model Budi daya Jelutung pada lahan seluas 10 ha di

Km 55 Jalan Palangkaraya–Sampit (ditanam tahun 2001), di

Habaring Hurung (Kota Palangkaraya) dan di Kecamatan

Pilang (Kabupaten Pulang Pisau). Melalui program GERHAN

tahun anggaran 2004, BPDAS Kahayan telah menanam

sebanyak 736.250 batang jelutung rawa, kemudian

jumlahnya meningkat pada tahun berikutnya yang mencapai

877.160 pohon untuk 11 kabupaten/kota di Provinsi

Kalimantan Tengah. Selama pelaksanaan GERHAN 2005,

BPDAS Kahayan telah menanami lahan kritis yang terdapat

di dalam dan di luar kawasan hutan seluas 40.900 ha (20–

30% kawasan ditanami jenis Jelutung Rawa). Selain

melakukan penanaman, BPDAS Kahayan juga melakukan

pelatihan budi daya jelutung untuk petani, penyuluh, dan

petugas lapangan. Pada tahun 2007, BPDAS Kahayan telah

membangun enam unit areal model tanaman silvikultur

intensif di luar kawasan hutan dengan total luas 350 ha.

Salah satu unit areal model tersebut adalah yang terletak di

Desa Lunuk Ramba seluas ±50 ha. Areal Model Tanaman

Silvikultur Intensif di Desa Lunuk Ramba ditanami dengan

jenis tanaman pokok berupa jelutung (kayu-kayuan), karet,

dan durian (MPTS) dengan komposisi jenis yaitu 60%

jelutung, 30% karet, dan 10% durian (BPDAS Kahayan,

136

2009). Demikian pula halnya dengan TN Sebangau, UPT ini

turut berperan dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis seluas

60.000 ha yang melakukan penanaman seluas 2.850 ha

dengan tanaman jelutung, pulai, dan belangeran.

Sementara itu, BPK Banjarbaru telah menjadikan jelutung

sebagai salah satu jenis yang termasuk dalam Penelitian

Integratif Unggulan (PIU). Pada tanggal 25 Oktober 2009,

LSM World Education Pangkalan Bun telah melakukan

workshop tentang tanaman jelutung dan ekosistemnya.

Workshop tersebut bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran masyarakat tentang pentingnya ekosistem

gambut dan mengajak masyarakat untuk lebih mengenal

tanaman jelutung sebagai jenis tanaman asli lahan gambut,

terutama dari aspek budi daya dan nilai ekonominya.

Berdasarkan uraian tersebut, pengembangan jelutung di

Provinsi Kalimantan Tengah dari indikator peran institusi

termasuk dalam kategori tinggi dengan adanya dukungan

dari berbagai institusi (nilai 3).

Standar komoditas menunjukkan ada tidaknya standardisasi

dari produk komoditas HHBK bersangkutan. Terdapatnya

standardisasi, seperti SNI atau standar internasional lainnya

(nilai 3) berarti komoditas tersebut sudah menjadi komoditas

perdagangan di pasar internasional atau memiliki pangsa

pasar yang jelas di dunia internasional. Namun demikian,

standar baku yang mengatur komoditas getah jelutung di

Provinsi Kalimantan Tengah belum ada pada saat ini (nilai

1). Standar mutu getah jelutung yang digunakan hanya

terkait dengan kandungan air dan ditentukan oleh

perusahaan. Semakin banyak kandungan air dalam getah

maka harganya akan semakin murah. Getah siap ekspor oleh

PT SAS mempunyai kandungan air sebesar 14%.

137

Sarana/fasilitas pengembangan komoditas bersangkutan

menunjukkan ketersediaan fasilitas untuk pengembangan

komoditas tersebut, seperti pusat pelatihan, trade centre,

clearing house, sarana laboratorium atau networking (contoh

rotan ASEAN). Saat ini, sarana pengembangan komoditas

getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah masih bertaraf

lokal (nilai 1).

4. Kriteria Sosial

Dipilihnya aspek sosial sebagai salah satu kriteria dalam

penentuan tingkat keunggulan komoditas HHBK merupakan

keberpihakan kepada masyarakat lokal dalam pengusahaan

HHBK. Indikator yang dipilih berupa keterlibatan dan

kepemilikan masyarakat dalam usaha HHBK.

Pelibatan masyarakat menunjukkan tingkat keterlibatan

masyarakat yang diukur dalam persentase jumlah petani

yang terlibat dalam mengusahakan (meramu, menanam,

memperdagangkan) komoditas getah jelutung untuk sumber

penghasilannya. Nilai 3 jika keterlibatan masyarakat tinggi

yaitu persentase yang terlibat >20%. Hal ini berarti

komoditas getah jelutung menjadi sumber penghasilan bagi

masyarakat. Pengusahaan getah jelutung di Provinsi

Kalimantan Tengah melibatkan sebagian masyarakat lokal

(5%< persentase yang terlibat <20%). Hal ini terutama di

Kelurahan Kereng Bangkirai yang lokasinya tidak jauh dari

PT SAS dan TN Sebangau. Desa Kereng Bangkirai

mempunyai empat orang penggumpul dengan rata-rata

pengumpul mempunyai 20 orang penyadap. Jumlah tersebut

akan bertambah jika harga getah jelutung tinggi. Tabel 18

mencantumkan beberapa nama warga desa yang

memperoleh izin lokasi areal penyadapan getah jelutung

(pamantungan) di Kota Palangkaraya (Kalimantan Tengah).

138

Tabel 18. Penerima izin lokasi penyadapan getah jelutung di Kota Palangkaraya

No. Nama, alamat Letak areal hutan, luas Jumlah

per tahun

1. Rusli, Kereng Bangkirai

Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 500 ha

20 ton

2. Saptono, Kereng Bangkirai

Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 600 ha

20 ton

3. Untung, Kereng Bangkirai

Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 500 ha

20 ton

4. Yamani, Kereng Bangkirai

Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 400 ha

20 ton

5. Dedie, Kereng Bangkirai

Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 900 ha

20 ton

6. Darmawan, Kereng Bangkirai

Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 750 ha

20 ton

7. Noraiko, Kereng Bangkirai

Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 1.050 ha

20 ton

8. Kurdi, Kereng Bangkirai

Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 600 ha

20 ton

9. Agau Matsaleh, Kereng Bangkirai

Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 400 ha

20 ton

Kepemilikan usaha menunjukkan tingkat keikutsertaan atau

kolaborasi masyarakat dengan pengusaha dalam

mengusahakan komoditas tersebut. Kategori bernilai 3 jika

komoditas jelutung telah diusahakan oleh masyarakat dan

swasta dalam pola usaha kemitraan sehingga bermanfaat

bagi masyarakat. Pengusahaan getah jelutung di Provinsi

Kalimantan Tengah telah melibatkan kemitraan antara

pengusaha dengan penggumpul dan petani penyadap.

Kemitraan yang dilakukan berupa pinjaman modal dari

139

pengusaha (PT SAS) kepada pengumpul yang selanjutnya

diberikan kepada para penyadap sebagai modal awal untuk

menyadap pohon jelutung di hutan. Modal yang diberikan

kepada satu pengumpul mencapai Rp50 juta. Berdasarkan

hal ini, indikator kepemilikan usaha termasuk dalam kategori

masyarakat lokal bermitra dengan pengusaha (nilai 3).

5. Kriteria Teknologi

Aspek teknologi dipilih sebagai kriteria penentuan unggulan

komoditas HHBK karena memiliki peran dalam

pengembangan HHBK tersebut, baik dalam menjamin

pasokan HHBK sebagai bahan baku maupun dalam

peningkatan nilai tambah HHBK tersebut. Indikator kriteria

teknologi ada dua, yaitu:

(1) Teknologi budi daya; kategori teknologi dikuasai (nilai

3) jika komoditas jelutung siap untuk dibudidayakan

secara luas dalam skala ekonomis untuk memenuhi

permintaan pasar; teknologi budi daya jelutung mulai

dari perbenihan, persemaian dan penanaman di

lapangan telah dikuasai (nilai 3); hal ini seperti hasil-

hasil penelitian silvikultur jelutung yang telah dilakukan

BPK Banjarbaru;

(2) Teknologi pengolahan hasil; hal ini menunjukkan tingkat

penguasaan teknologi pengolahan untuk meningkatkan

nilai tambah (dalam hal ini apakah getah jelutung hanya

untuk bahan baku permen karet atau dapat bermanfaat

pula untuk kegunaan lain yang lebih ekonomis);

kategori teknologi pengolahan telah dikuasai (nilai 3)

jika nilai tambah dapat diperoleh melalui proses

pengolahan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi

dari komoditas jelutung; saat ini, teknologi pengolahan

hasil getah jelutung belum banyak dikuasai (nilai 1).

140

Berdasarkan uraian sebelumnya, Total Nilai Unggulan

(TNU) dari jelutung dapat diperoleh (Tabel 19). Penilaian

tersebut menunjukkan bahwa getah jelutung termasuk dalam

kategori Nilai Unggulan (NU) 2 yaitu sebagai komoditas HHBK

yang memiliki nilai TNU antara 54–77. Berdasarkan ketentuan

penetapan jenis HHBK Unggulan menurut Permenhut Nomor

P.21/Menhut-II/2009, getah jelutung dikategorikan sebagai HHBK

unggulan provinsi, yaitu termasuk dalam kriteria jenis HHBK yang

termasuk NU 2 yang tersebar minimal di dua kabupaten.

Tabel 19. Matrik kriteria dan indikator penilaian getah jelutung sebagai komoditas HHBK Unggulan menurut Permenhut No. P.21/ Menhut-II/2009

Kriteria Indikator Standar Nilai

Ekonomi (Bobot 35%)

1. Nilai perdagangan ekspor

Tinggi (nilai ekspor per tahun ≥US$1 juta)

3

2. Nilai perdagangan lokal

Tinggi (nilai perdagangan per tahun >Rp1 milyar)

3

3. Lingkup pemasaran

Internasional, nasional dan lokal

3

4. Potensi pasar internasional

Tinggi (diminta oleh >3 negara)

3

5. Mata rantai pemasaran

Sedang (melibatkan masyarakat pengumpul, pengusaha UMKMK, dan pemerintah).

2

6. Cakupan pengusahaan

Meliputi industri hulu dan tengah.

2

7. Investasi usaha Sedikit (<5 badan usaha yang sudah berinvestasi dan belum ada pengusaha besar).

2

141

Biofisik dan lingkungan (Bobot 15%)

1. Potensi tanaman

Rendah (persentase jumlah pohon per hektar <40% dari kondisi normal).

1

2. Penyebaran

Kurang merata (terdapat di <1/3 wilayah bersangkutan)

1

3. Status konservasi Tidak terdaftar dalam Appendix CITES

3

4. Budi daya Produksi HHBK <40% hasil budi daya

1

5. Aksesibilitas ke sumber HHBK

Dapat dijangkau moda transportasi darat dan atau air tetapi tidak sepanjang tahun

2

Kelembagaan (Bobot 20%)

1. Jumlah Kelompok usaha produsen/ koperasi

Banyak (terdapat >5 kelompok usaha produsen/koperasi komoditas bersangkutan)

3

2. Asosiasi Kelompok Usaha

Rendah (hanya terdapat Kelompok Tani).

1

3. Aturan tentang komoditas bersangkutan

Terdapat peraturan dari pejabat setingkat Eselon I, Gubernur atau Bupati.

2

4. Peran Institusi

Tinggi (ada dukungan dari berbagai institusi seperti Pemda, UPT, dan LSM)

3

5. Standar komoditas bersangkutan

Belum ada standar baku

1

6. Sarana/fasilitas pengembangan komoditas bersangkutan

Sarana pengembangan bertaraf lokal

1

142

Sosial (Bobot 15%)

1. Pelibatan masyarakat

Melibatkan sebagian masyarakat lokal (5%< persentase yang terlibat < 20%)

2

2. Kepemilikan Usaha

Masyarakat lokal bermitra dengan pengusaha

3

Teknologi (Bobot 15%)

1. Teknologi budi daya

Teknologi telah sepenuhnya dikuasai.

3

2. Teknologi pengolahan hasil

Teknologi pengolahan hasil belum dikuasai.

1

Total Nilai 46

6.2 Strategi dan Solusi Permasalahan Pengembangan

Agroforestry Jelutung Rawa

Strategi pengembangan komoditas getah jelutung sebagai

jenis HHBK Unggulan menurut Permenhut Nomor P.21/Menhut-

II/2009 perlu dilakukan pada masa mendatang dengan

mempertimbangkan indikator pada setiap kriteria yang bernilai

rendah (nilai 1 dan nilai 2). Identifikasi masalah pengembangan

komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan

solusinya terkait aspek kawasan dan pemasaran terdapat pada

Tabel 20; sedangkan yang terkait aspek budi daya, pengolahan,

dan kualitas terdapat pada Tabel 21.

143

Tabel 20. Identifikasi masalah pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya terhadap aspek kawasan dan pemasaran

Masalah Kondisi Existing Prioritas Solusi Penanggung Jawab

Aspek Kawasan

Alih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lain

Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai penghasil terbesar getah jelutung dihadapkan pada konversi lahan menjadi perkebunan sawit.

Proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kabupaten Katingan, Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya menyebabkan kerusakan habitat jelutung alam.

Penunjukkan kawasan konservasi jelutung

Dinas Kehutanan, Bappeda, BPN

Kebijakan pemanfaatan di kawasan lindung

Sampai dengan tahun 2009, pemanfaatan getah jelutung dalam kawasan SM Sungai Lamandau masih diberikan izin, namun mulai tahun 2010 akan terus dikurangi sehingga perlu dicarikan alternatif bagi masyarakat peramu getah jelutung di wilayah tersebut.

Colaborative Management

Dinas Kehutanan, BKSDA

144

Perambahan, kebakaran hutan dan tebangan liar

Faktor yang terus mengancam keberadaan hutan rawa gambut yang menjadi habitat tumbuhan jelutung.

Pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut; penegakan hukum

Dinas Kehutanan, Manggala Agni, Masyarakat Peduli Api

Perizinan pemanfaatan getah jelutung

Belum semua daerah penghasil getah jelutung mengatur hal ini karena hasil getah yang masih dianggap kecil/sedikit.

Perlu Perda yang secara khusus mengatur tentang perizinan pemanfaat getah jelutung

Dinas Kehutanan

Aspek Pemasaran

Perluasan tujuan eksport

Tujuan ekspor masih terbatas ke negara Jepang. Perluasan manfaat getah dan jaminan kelestarian diharapkan dapat memperluas pemasaran.

Alternatif pasar selain Jepang, seperti negara-negara Eropa, Amerika dan Cina

Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan dan Industri

Adanya bahan alternatif

Minyak jagung dapat menjadi subtitusi getah jelutung dengan produk berupa bubble gum.

Meningkatkan kualitas dan kuantitas serta kelangsungan pasokan bahan baku

Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian

Pemanfaatan yang masih terbatas

Pemanfaatan getah jelutung saat ini dominan hanya sebagai bahan baku permen karet.

Penelitian alternatif pemanfaatan getah jelutung selain sebagai bahan baku permen karet

Badan Litbang Kehutanan, Dinas Perindustrian, Dinas Kehutanan, Perguruan Tinggi

145

Arus informasi budi daya dan pemasaran

Perlu fasilitasi penyediaan dan penyaluran informasi mengenai budi daya dan pengolahan getah jelutung.

Pusat Informasi Pengembangan komoditas getah jelutung

Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian

Bantuan permodalan

Bantuan permodalan yang ada baru pada level pengumpul yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia di Kota Palangkaraya.

Lembaga Keuangan Mikro

Dinas Koperasi, PNPM Mandiri, Perbankan

Tabel 21. Identifikasi masalah pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya terhadap aspek budi daya, pengolahan dan kualitas

Masalah Kondisi Existing Prioritas Solusi Penanggung Jawab

Aspek Budi daya

Umur sadap yang panjang

Diperlukan pemuliaan jenis yang dapat menghasilkan tanaman berkualitas, yaitu menghasilkan getah yang banyak dengan umur sadap yang relatif lebih cepat.

Penelitian Pemuliaan jenis jelutung

Badan Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan

Aspek Pengolahan dan Kualitas

Selang penyadapan

7–15 hari

Salah satu karakteristik jenis jelutung dalam menghasilkan getah

Penelitian teknik penyadapan getah jelutung

Badan Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan

146

Pembinaan dan penetapan kualitas

Belum tersosialisasikan dengan baik mengenai penanganan pasca panen dan kualitas getah yang baik.

Standar Mutu getah jelutung

Badan Litbang Kehutanan, Pustanling, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan

6.2.1 Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor

Partisipasi Petani

Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan

pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan

Tengah terkait faktor partisipasi petani mencakup dua hal: (1)

membangun kelompok tani pengembang komoditas getah

jelutung berkategori kelompok produktif, dan (2) membangun

kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan

Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen

kemitraan.

Kelembagaan petani pembudidaya jelutung yang kuat

memerlukan adanya strategi pemantapan kebersamaan individu

petani dalam berkelompok. Terkait dengan hal tersebut maka

penting untuk memahami karakteristik kelompok. Berdasarkan

karakteristiknya (proses pembentukan dan aktivitas kelompok),

maka kelompok petani dapat diklasifikasikan ke dalam tiga

kategori, yaitu:

1. Kelompok Merpati. Kelompok jenis ini baru mulai terbentuk

dan menunjukkan kegiatannya jika ada bantuan dari luar,

biasanya berupa uang, atau barang yang manfaatnya bisa

dirasakan langsung. Kelompok semacam ini hidup dan

berkembang selagi masih ada bantuan. Tetapi begitu

147

bantuan dan dukungan dari luar tidak ada lagi, maka

kelompok menjadi bubar.

2. Kelompok Pedati. Kelompok ini bagaikan pedati, baru akan

bergerak bila ditarik atau didorong oleh pihak luar. Seringkali

dorongan itu bersifat paksaan.

3. Kelompok Lestari. Kelompok ini bisa tumbuh atas inisiatif,

keinginan dan kesadaran para anggota tanpa menunggu

bantuan, dukungan dan dorongan dari pihak lain. Kehadiran

pihak luar hanya sebagai penunjang atau perangsang.

Kelompok ini sudah mampu mengelola program kelompok

sendiri (CKPP, 2007).

Berdasarkan karakteristik kelompok tersebut, pada

kegiatan pengembangan komoditas getah jelutung harus

diupayakan untuk membangun kelompok berkategori “Kelompok

Lestari”. Upaya mewujudkan hal tersebut memerlukan beberapa

komponen pengembangan, yaitu (1) pengembangan struktur

organisasi sederhana, yang terdiri atas: ketua, sekretaris,

bendahara dan rapat anggota; (2) pengembangan permodalan

dari kas kelompok, misalnya: iuran kelompok, sisa uang kegiatan,

denda anggota yang disepakati dan setoran wajib tertentu yang

disepakati; (3) pengembangan usaha produktif, terdiri atas usaha

ekonomi kelompok, seperti: simpan pinjam, arisan dan kebun

kelompok; (4) pengembangan kebutuhan anggota dan kelompok,

misalnya: pengadaan sembako, bibit, pupuk, alat pertanian dan

alat pemadam kebakaran (CKPP, 2007).

Pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry untuk

memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan

Tengah memerlukan kelembagaan. Idealnya kelembagaan yang

dibangun merupakan bagian integral dari matapencaharian

148

(livelihood) petani. Metode yang dapat diterapkan untuk

membangun kelembagaan pengembangan jelutung dengan

sistem agroforestry adalah Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE)

berdasarkan manajemen kemitraan. Pemberdayaan petani terkait

dengan pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry

melalui SKE berdasarkan manajemen kemitraan bertitik tolak dari

pemikiran bahwa setiap individu petani mempunyai potensi yang

dapat dikembangkan atau diberdayakan (bukan dimulai dengan

melihat tumpukan masalah yang ada padanya). Konsep ini

seperti dijelaskan pada Gambar 42, sedangkan Gambar 43

menjelaskan proses penumbuhan kelembagaan petani dengan

mekanisme proses dari bawah dalam rangka mewujudkan SKE

berdasarkan manajemen kemitraan.

Gambar 42. Proses penumbuhan kerjasama (Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)

149

Gambar 43. Proses penumbuhan kelembagaan pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry (Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)

Hal lain yang juga penting dalam mendukung suksesnya

pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry adalah

adanya kemitraan. Kemitraan yang kuat akan membangun

kebersamaan yang kuat pula. Kemitraan yang dilakukan

mencakup aspek SDM, kelembagaan, budi daya dan keuangan

(berdasarkan akumulasi asset), modal, keterampilan, gagasan,

kebutuhan, dan komitmen petani. Kemitraan dilakukan dengan

strategi kapasitas individu petani dikembangkan dalam kesatuan

ekonomi (kelompok produktif) dan kelompok produktif

menciptakan wadah kebersamaan ekonomi (misalnya Forum

Koordinasi Manajemen Kebun/FKMK), serta seluruh kelompok

produktif bekerjasama dalam wadah Koperasi Primer. Hasil

akhirnya diharapkan terwujud petani yang profesional,

150

kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi, produktivitas

kebun tinggi, sistem keuangan kelompok transparan dan

hubungan kerjasama yang harmonis. Gambar 44 menjelaskan

proses pembangunan kemitraan dalam SKE.

Gambar 44. Proses penumbuhan sistem kebersamaan ekonomi (Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)

151

Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan

manajemen kemitraan merupakan suatu sistem yang

mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh laba

(profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan.

Pendekatan tersebut diperlukan untuk memperkuat rasa

kebersamaan masing-masing pihak. Kebersamaan yang paling

kuat apabila kebersamaan tersebut dapat mengakomodir

kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada

keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing pihak,

maka kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan

yang produktif dan tidak bertahan lama. Pengembangan jelutung

dengan sistem agroforestry yang dilakukan dengan SKE

berdasarkan manajemen kemitraan diharapkan mampu

meningkatkan ekonomi masyarakat dan sekaligus memulihkan

lahan gambut yang terdegradasi.

6.2.2 Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor

Teknologi

Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan

pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan

Tengah terkait faktor teknologi adalah dengan teknologi

penyadapan. Berdasarkan pengalaman para penyadap getah

jelutung di hutan alam, permasalahan yang ditemui di lapangan

adalah kematian beberapa pohon yang disadap akibat serangan

hama penggerek batang. Luka sadapan pada batang jelutung

semakin mempermudah serangga hama untuk meletakkan

telurnya. Serangga hama yang umum menyerang jelutung adalah

Batocera rubus. Serangga ini mempunyai kebiasaan meletakkan

telurnya di celah-celah kulit pada batang yang kulitnya terbuka

saat penyadapan. Larva serangga penggerek akan aktif memakan

152

bagian meristem kayu, kemudian menembus ke dalam kayu teras

(Daryono, 2000).

Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah teknik

penyadapan yang dilakukan oleh para penyadap. Cara

penyadapan getah yang dilakukan oleh para penyadap biasanya

dengan cara menyayat kulit batang pohon dengan sayatan

berbentuk huruf V. Penyadapan yang tidak tepat seringkali

mempercepat kematian pohon. Bastoni & Lukman (2006)

menyatakan bahwa terjadi dampak negatif dari aktivitas

penyadapan jelutung di hutan alam yang disebabkan penerapan

cara sadap (termasuk penggunaan zat perangsang CEPA yang

berlebihan) yang dapat merusak pohon. Oleh sebab itu, teknik

atau cara penyadapan yang memerhatikan kelestarian sumber

dan hasil getah sangat diperlukan. Hasil ujicoba menunjukkan

bahwa penyadapan getah jelutung yang terbaik dilakukan pada

pohon dengan diameter >25 cm, periode sadap 2 hari, dan sudut

bidang sadap 450. Ujicoba ini memberikan hasil getah rata-rata

1,37 ton/ha/tahun. Penurunan riap diameter pohon jelutung

akibat penyadapan rata-rata sebesar 0,34 cm/tahun. Metode lain

yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah

dengan mengaplikasikan teknik “infus” seperti terlihat pada

Gambar 45. Teknik ini sudah pernah diaplikasikan pada beberapa

perkebunan karet. Teknik ini mampu mengurangi lebar luka

goresan pada kulit batang pohon sehingga peluang serangga

hama untuk meletakkan telurnya dapat dikurangi. Penerapan

teknologi ini memerlukan kajian lebih lanjut terkait dengan

kesiapan para penyadap menerima teknologi tersebut dan analisis

kelayakan ekonominya. Pelatihan teknik-teknik penyadapan yang

benar bagi para penyadap perlu dilakukan.

153

Gambar 45. Teknik penyadapan: tradisional (1), teknik infus dengan stimulan gas etilen (2), dan pemberian stimulan berbahan cuka kayu (3 & 4)

6.2.3 Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor

Kebijakan

Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan

pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan

Tengah terkait faktor kebijakan dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi kunci intervensi pengembangannya; mulai dari

kunci pemasaran, kebijakan, kapasitas usaha, sampai dengan

kepemimpinan dan akses finansial. Pengembangan getah

jelutung memerlukan dua hal penting sebagai kunci intervensi

(Departemen Kehutanan [Dephut], 2009a). Pertama, informasi

dan peningkatan kapasitas melalui pengelolaan informasi dan

pembelajaran yang terus-menerus. Kedua, kepemimpinan

sebagai ketokohan untuk melakukan berbagai terobosan dalam

memanfaatkan peluang pasar, memaksimumkan potensi, dan

menemukan strategi yang tepat untuk menanggapi berbagai

situasi yang menghambat. Kepemimpinan ini diperlukan dengan

berbagai kualitas di tingkat kebijakan (kepemerintahan),

1 2 3 4

154

pemerintah daerah, lembaga bisnis di tingkat unit usaha, dan

pada aktor pendamping masyarakat (LSM). Intervensi yang

dilakukan harus mempertimbangkan kondisi existing pengusaha-

an getah jelutung dan karakteristiknya. Terdapatnya keterbatasan

perilaku industri hilir yang masih dikuasai negara pengimpor,

pengaruh peran pengepul (agen) di negara produsen,

standardisasi dan pengembangan belum mantap; mengakibatkan

usaha getah jelutung hanya dapat dilakukan pada produk bahan

mentah dan industri primer saja.

Intervensi kebijakan yang akan dilakukan perlu

memerhatikan lokasi di mana komoditas getah jelutung

dibudidayakan. Berdasarkan lokasi tempat tumbuh pohon

jelutung, komoditas getah jelutung dapat berasal dari kawasan

hutan dan luar kawasan hutan (lahan milik) atau hutan rakyat.

Getah jelutung yang berasal dari pohon yang tumbuh di kawasan

hutan negara dibedakan menjadi dua: (1) getah jelutung yang

berasal dari hutan lindung dan kegiatannya dikenal dengan nama

pemungutan, dan (2) getah jelutung yang berasal dari hutan

produksi, baik hutan alam maupun hutan tanaman, yang dikenal

dengan istilah pemanfaatan. Langkah-langkah yang perlu

dilakukan sehubungan dengan pengelolaan pemanfaatan getah

jelutung dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Inventarisasi dan pemetaan potensi getah jelutung di dalam

dan luar kawasan hutan. Hal ini dimaksudkan untuk

mengetahui sebaran potensi getah jelutung pada setiap

kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah.

2. Penyusunan/perumusan kebijakan yang mendukung

pengelolaan komoditas getah jelutung sebagai HHBK

Unggulan Provinsi Kalimantan Tengah. Kebijakan ini

diharapkan dapat menjadi dasar bagi pelaku usaha dan

masyarakat yang akan melaksanakan pengembangan

155

komoditas getah jelutung. Langkah ini bersifat lintas sektor,

antara lain (1) alokasi lahan produksi (alam dan tanaman)

untuk pengembangan getah jelutung, (2) insentif bagi

pelaku usaha, dan (3) insentif bagi masyarakat yang akan

mengembangkan komoditas getah jelutung.

Faktor pendukung yang diperlukan bagi pengembangan

komoditas getah jelutung dapat dijelaskan sebagai berikut

(Dephut, 2009b).

1. Pemantapan Kawasan; yang mencakup aspek:

(1) peningkatan kelengkapan, keakuratan dan keterkinian

hasil inventarisasi potensi getah jelutung di dalam

setiap kegiatan inventarisasi hutan;

(2) percepatan proses pengukuhan, penyelesaian konflik

kawasan, proses penyesuaian tata ruang, rekonstruksi

(tinjau ulang), dan realisasi tata batas;

(3) percepatan proses pembentukan unit-unit KPH pada

seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan

produksi) dengan mengarusutamakan kelas pengusaha-

an HHBK;

(4) implementasi dari perencanaan pengembangan HHBK

sebagai bagian dari sistem perencanaan kehutanan

menuju terwujudnya rencana kehutanan yang hierarkis

dan terintegrasi; mulai dari tingkat nasional, provinsi,

kabupaten/kota, dan unit pengelolaan; yang meliputi

jangka waktu panjang dan pendek pada seluruh

kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi).

156

2. Mitigasi Perubahan Iklim; yang mencakup aspek:

(1) terselenggara secara optimum peran kawasan hutan

dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan

diterimanya imbalan yang seimbang dari peran

tersebut; pengembangan komoditas getah jelutung

ditempatkan sebagai salah satu elemen pendukung

percepatan pembentukan KPH untuk diposisikan

sebagai register area dalam mekanisme perdagangan

karbon;

(2) identifikasi lokasi yang potensial untuk skema pasar

karbon dan membangun model implementasi skema

perdagangan karbon dengan menitikberatkan pemanen-

an getah sebagai HHBK, serta lebih banyak menunda

pemanenan kayu untuk memperbesar cadangan

karbon;

(3) penyelenggaraan penelitian kemampuan/kapasitas

penyerapan dan penyimpanan karbon (CO2) oleh

tegakan hutan dan pengembangan sistem perhitungan-

nya, ketika tegakan lebih diarahkan untuk produksi

getah (HHBK).

3. Pemanfaatan Hutan; yang mencakup aspek:

(1) penyempurnaan pedoman dan percepatan tata hutan

(konservasi, lindung, dan produksi) sebagai dasar

arahan bentuk pemanfaatan hutan dalam sistem KPH,

yang meliputi kayu dan bukan kayu, serta penyusunan

rencana pengelolaan hutan pada setiap unit KPH;

(2) peningkatan kegiatan inventarisasi sumber daya hutan

sehingga dapat diperoleh data/informasi potensi hutan

sebagai dasar pemanfaatan kayu dan HHBK yang

lestari;

157

(3) intensifikasi pemanfaatan lahan hutan, peningkatan

produktivitas melalui perbaikan teknik silvikultur yang

disesuaikan dengan tipologi hutan setempat, joint

production (dalam satu tapak hutan dapat dimanfaatkan

dengan berbagai tujuan, misalnya hasil hutan kayu,

HHBK, dan sekaligus jasa lingkungan hutan);

(4) pemanfaatan hutan yang memproduksi HHBK

diselenggarakan oleh usaha skala kecil untuk

menciptakan dunia usaha kehutanan yang tahan

(lentur) menghadapi perubahan lingkungan strategis

dan dinamis;

(5) peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam

pemanfaatan hutan, antara lain melalui peningkatan

kapasitas dan akses masyarakat terhadap sumber daya

hutan (termasuk di dalamnya HHBK) dengan

memanfaatkan secara maksimal instrumen pember-

dayaan (pola kemitraan, Hutan Desa, dan Hutan

Kemasyarakatan/HKm), serta pelibatan dalam usaha

kehutanan skala kecil (misalnya melalui Hutan Tanaman

Rakyat/HTR).

4. Rehabilitasi; yang mencakup aspek:

(1) peningkatan pengembangan jenis jelutung sebagai

bahan pertimbangan dalam percepatan pembangunan

hutan tanaman (HTI dan HTR), pembangunan hutan

rakyat, GERHAN, dan gerakan menanam lainnya

sehingga dapat terjamin adanya laju rehabilitasi yang

lebih besar daripada laju degradasi;

(2) percepatan rehabilitasi pada DAS prioritas dengan

memaksimumkan kelas pengusahaan HHBK untuk

meningkatkan daya dukung ruang hidup;

158

(3) kegiatan rehabilitasi dipersiapkan kemungkinannya

untuk memasuki skema voluntary carbon market,

pemanfaatan air, dan wisata alam yang dapat

memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.

5. Perlindungan dan Pengamanan Hutan; yang mencakup

aspek:

(1) penguatan peraturan perundangan dan kelembagaan

untuk meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan

pemberantasan gangguan terhadap hutan dan kawasan

hutan melalui berbagai insentif yang melekat pada

pengembangan komoditas getah jelutung (HHBK);

(2) Penyadaran dan penguatan kelembagaan masyarakat

untuk ikut berperan dalam kegiatan perlindungan dan

pengamanan hutan melalui berbagai insentif peman-

faatan komoditas getah jelutung (HHBK);

(3) Penegakan hukum (law enforcement) yang adil dan

transparan.

6. Konservasi Alam; yang mencakup aspek:

(1) pemanfaatan getah jelutung tidak dapat dilepaskan dari

upaya peningkatan konservasi keanekaragaman hayati

melalui konservasi ekosistem insitu dan konservasi

exsitu;

(2) penguatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem,

jenis dan genetik melalui kolaborasi pengelolaan,

profesionalisme sumber daya manusia, penerapan good

forest governance, serta pengembangan sistem insentif

konservasi yang kondusif;

(3) Perluasan pelaku dan jumlah jenis pemanfaatan HHBK

di kawasan konservasi.

159

7. Penelitian dan Pengembangan (Litbang); yang mencakup

aspek:

(1) pemanfaatan hasil litbang dan teknologi dalam

pemanfaatan getah jelutung (HHBK) untuk meningkat-

kan efisiensi dan nilai tambah pemanfaatan hutan;

(2) penguatan kegiatan penelitian yang lebih integratif

dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan

berorientasi kepada kebutuhan pengguna (user-

oriented) sehingga menghasilkan produk olahan getah

jelutung dan teknologi pengembangannya yang inovatif,

bernilai tambah tinggi, berorientasi pasar, ramah

lingkungan, dan berdaya saing tinggi.

8. Kelembagaan; yang mencakup aspek:

(1) kelembagaan pengurusan HHBK dibangun kembali

dengan sumber daya manusia (SDM) yang berorientasi

pada kompetensi program dan kerja dengan dukungan

organisasi dan tata hubungan kerja, sumber dana, dan

SDM yang berkualitas dalam jumlah dan penyebaran

yang memadai;

(2) penguatan SDM melalui pengembangan Sistem Pendi-

dikan dan Pelatihan Kehutanan berbasis kompetensi

usaha HHBK; pengembangan standardisasi kompetensi,

peningkatan jumlah dan distribusi SDM profesional

kehutanan; serta pembinaan SDM kehutanan untuk

pengembangan HHBK;

(3) peningkatan penyuluhan kehutanan yang dilakukan

secara terintegrasi (pusat dan daerah), didukung

dengan bimbingan teknis dan pendampingan masya-

rakat dalam kegiatan pengelolaan hutan, bisnis dan

pemasaran HHBK; penyesuaian program penguatan

160

kelembagaan penyuluhan kehutanan dilakukan guna

melayani kebutuhan pengembangan HHBK, termasuk

perluasan sasaran penyuluhan kehutanan;

(4) pengawasan yang menjamin terselenggaranya

pengurusan hutan sesuai dengan mandat undang-

undang, sebagai umpan balik yang menjadi bahan

penyempurnaan kebijakan pengurusan hutan dari waktu

ke waktu; termasuk pula, optimalisasi peran pengawas-

an kinerja pembangunan kehutanan oleh unsur

masyarakat;

(5) pengembangan kebijakan/regulasi tentang HHBK yang

dapat memfasilitasi terselenggaranya kebijakan dan

lebih bersifat insentif daripada disinsentif, serta

penerapan pemerintahan yang baik (good governance).

9. Pengembangan Insentif; yang mencakup:

(1) pembangunan pilot project pengembangan komoditas

getah jelutung dengan pola BOT (Built, Operate,

Transfer); dalam hal ini, pemerintah membangun unit

pengembangan komoditas getah jelutung secara

langsung, mulai dari produksi bahan baku hingga unit-

unit industri pengolahannya; kegiatan dilakukan pula

dengan menyiapkan SDM dan sarana prasarana,

kemudian secara bertahap diserahkan ke Kelompok

Tani untuk dikelola lebih lanjut;

(2) penyiapan sarana prasarana produksi untuk diberikan

kepada kelompok-kelompok yang akan membentuk unit

pengembang komoditas getah jelutung; sarana produksi

dapat berupa bibit jelutung unggul (hasil pemuliaan),

mesin pemroses, pupuk, dan lain-lain;

161

(3) penguatan kelembagaan, antara lain melalui penyiapan

pedoman, pelatihan teknis dan manajerial, studi

banding, pertemuan, seminar, diskusi, dan pemasaran;

(4) penyelenggaraan promosi program-program yang

berkaitan dengan pengembangan komoditas getah

jelutung, antara lain melalui aktivitas penyuluhan,

penyebarluasan informasi, dan penguatan jejaring

kerja.

10. Kredit Usaha Rakyat (KUR)

Pengembangan jelutung memerlukan adanya permodalan

yang dapat dibiayai oleh perbankan. Namun, hal ini

terkendala oleh sifat pengusahaan getah jelutung yang

belum bankable (belum memenuhi persyaratan bank)

sehingga tidak dapat mengakses kredit/pembiayaan dari

bank. Kendala tersebut dapat dicarikan solusinya melalui

KUR yang merupakan implementasi dari Inpres Nomor 6

Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan

Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKMK.

Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan kredit atau

pembiayaan yang diberikan oleh bank pemberi kredit/

pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan

Koperasi (UMKMK); baik individu maupun kelompok

koperasi; yang mempunyai usaha produktif yang layak

namun belum bankable. Agunan yang diperlukan harus

lebih ringan dibandingkan kredit komersial karena jika

UMKMK gagal mengembalikan pinjaman, maka 70% dari sisa

kredit/pembiayaan dapat dijamin oleh perusahaan penjamin.

Imbal jasa penjaminan menjadi beban pemerintah (khusus

untuk sektor Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Kehutanan,

Industri Kecil, serta TKI; dijamin pemerintah sebesar 80%).

162

Penyaluran KUR, khususnya KUR Mikro, dilaksanakan oleh

bank yang memiliki banyak cabang hingga ke tingkat

kecamatan/desa dan lembaga linkage sehingga mudah

dijangkau oleh UMKMK. Mekanisme penyaluran KUR melalui

tiga cara: (1) langsung dari bank pelaksana ke UMKMK, (2)

dari bank pelaksana tidak langsung ke UMKMK tetapi melalui

lembaga linkage dengan pola executing, dan (3) dari bank

pelaksana tidak langsung ke UMKMK tetapi melalui lembaga

linkage dengan pola channeling.

Hasil analisis kondisi existing komoditas getah jelutung

menurut Permenhut Nomor P.21/Menhut-II/2009 dan uraian di

atas menjelaskan bahwa pengembangan jelutung dengan sistem

agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara

sosial layak dilakukan.

163

NILAI EKONOMI AGROFORESTRY

JELUTUNG RAWA

7.1 Margin Pemasaran Jelutung

Indonesia merupakan negara penghasil utama getah

jelutung. Hampir seluruh produksi getah jelutung Indonesia

diekspor dalam bentuk bongkah ke Jepang, Singapura dan

Hongkong. Beberapa daerah penghasil dan pengekspor getah

jelutung adalah Pangkalan Bun, Palangkaraya, dan Sampit

(Provinsi Kalimantan Tengah). Selama empat tahun (2003–2006),

daerah terbesar penghasil getah jelutung di Kalimantan Tengah

adalah Kabupaten Pangkalan Bun (Gambar 46).

Gambar 46. Produksi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah (Sumber: Karyono, 2008)

Bab VII

164

Berdasarkan data PT Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah

mampu mengekspor getah jelutung ke Jepang rata-rata 162,29

ton per tahun dan nilai harga per ton sekitar US$4,500.00–

4,966.70 (Karyono, 2008). Ekspor getah jelutung dari Provinsi

Kalimantan Tengah terdapat pada Tabel 22, sedangkan

perkembangan ekspor getah jelutung dari Provinsi Kalimantan

Tengah tahun 1993–2001 terdapat pada Tabel 23.

Tabel 22. Ekspor getah jelutung Provinsi Kalimantan Tengah ke Jepang

Tahun Volume (ton)

Nilai (US$) Nilai rata-rata per ton (US$)

Harga rata-rata per kg (US$)*

2000 96 476,800.00 4,966.70 0.50

2001 128 587,840.00 4,592.50 0.50

2002 176 792,000.00 4,500.00 0.45

2003 192 902,400.00 4,700.00 4.70

2004 192 902,400.00 4,700.00 4.70

2005 176 827,200.00 4,700.00 4.70

2006 176 827,200.00 4,700.00 4.70

Jumlah 1.136 5,315,840.00 32,859.20 20.25

Rata-rata 162,29 759,405.71 4,694.17 2.89

Sumber: Karyono (2008)

Keterangan: * Harga di tingkat pembeli

Produksi getah jelutung diperkirakan 0,1–0,6 kg per batang

setiap kali sadap dan selama satu tahun rata-rata penyadapan

dilakukan 40 kali. Apabila diasumsikan harga getah Rp4.500,00

per kg dan jumlah pohon per ha dengan jarak tanam 5 x 4 m

adalah 500 batang, nilai ekonomi getah jelutung setiap tahun

165

berkisar antara Rp9.000.000,00–54.000.000,00. Sementara itu,

riap diameter pohon jelutung adalah 1,58 cm per tahun dan pada

umur 25 tahun sudah dapat dipanen untuk keperluan bahan baku

pensil slate dengan diameter mencapai 35 cm. Apabila rata-rata

pohon bebas cabang mencapai 15 cm maka volume tiap pohon

rata-rata 2,94 m3. Apabila kerapatan 500 pohon/ha maka volume

rata-rata per ha 1.470 m3. Dengan asumsi harga kayu jelutung

di tingkat masyarakat Rp200.000,00 per m3 maka diperoleh nilai

ekonomi kayu Rp294.000.000,00.

Tabel 23. Perkembangan ekspor getah jelutung dari Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1993–2001

Tahun Produksi (ton) Nilai ekspor

(US$)

Nilai ekspor per

kg (US$)

1993 495.034 1,651,864.5 3.337

1994 193.512 634,214.0 3.277

1995 178.348 678,228.0 3.803

1996 531.290 2,179,460.5 4.102

1997 560.000 4,492,000.0 8.021

1998 531.950 4,094,809.0 7.698

1999 578.721 4,817,360.0 8.324

2000 625.492 5,539,912.0 8.857

2001 96.000 432,000.0 4.500

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalimantan Tengah (2002) dalam Monika (2002)

166

Tabel 24. Produksi kayu bulat jelutung di Indonesia 2001–2005

Tahun Jumlah Produksi (m3)

2001 58.546,53

2002 100.250,81

2003 122.441,10

2004 26.431,52

2005 50.960,21

Jumlah 358.600,17

Rata-rata 71.720,03

Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia (2005) dalam Karyono (2008)

Tabel 25. Potensi awal dan penyebaran jenis kayu jelutung di Indonesia tahun 1987

Provinsi Luas Areal Berhutan

(1.000 ha)

Volume rata-rata per ha

(m3)

Potensi awal jelutung

(m3)

Aceh 396,5 2,49 988.000

Sumatra Utara 362,5 1,21 440.000

Sumatra Barat 449,0 1,87 842.000

Riau 2.380,8 2,42 5.759.000

Jambi 2.601,5 3,79 9.871.000

Sumatra Selatan 549,2 12,03 6.608.000

Bengkulu 224,5 1,93 434.000

Lampung 47,2 7,24 342.000

Kalimantan Barat 2.294,1 4,41 10.108.000

Kalimantan Tengah 6.179,2 1,30 8.039.000

Kalimantan Timur 5.368,0 1,47 7.909.000

Jumlah 20.852,5 40,16

Rata-rata 1.895,68 3,65

Sumber: Karyono (2008)

167

Pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah

dilakukan oleh dua perusahaan yakni PT Sampit yang

berkedudukan di Kota Sampit dengan Kantor Cabang di Kota

Palangkaraya dan PT Sumber Alam Sejahtera (SAS) yang

berkedudukan di Kota Palangkaraya. PT Sumber Alam Sejahtera

mampu mengumpulkan getah jelutung per bulannya rata-rata

±100.000 kg (100 ton) dari beberapa petani penyadap getah

jelutung alam, yang kemudian diekspor ke Singapura.

Kemampuan pasokan tersebut masih jauh dari permintaan

importir yang mencapai 500 ton per bulan sehingga peluang

pemasaran masih terbuka lebar. Hal ini tentu saja tidak akan

dapat dipenuhi jika produksi getah jelutung masih mengandalkan

pohon alam. Oleh karena itu upaya membangun hutan tanaman

jelutung perlu dilakukan. Pengembangan jelutung rawa di

Provinsi Kalimantan Tengah dimulai sejak tahun 2004 dalam

bentuk kegiatan DAK-DR dan GERHAN dengan luas 136 ha dan

jumlah bibit 55.000 batang.

Pemasaran getah jelutung oleh PT SAS seluruhnya (100%)

untuk keperluan ekspor ke Singapura. Perbedaan harga dalam

negeri dengan harga ekspor sangat mencolok. Pasaran dalam

negeri (harga beli oleh PT SAS) hanya mencapai Rp4.500,00–

6.000,00 per kg atau setara dengan nilai mata uang dolar

Singapura sekitar SIN$0.56–0.75, sedangkan harga ekspor

mencapai Rp16.810,50 atau setara SIN$2.10 per kg (kurs

SIN1.00 = Rp8.005,00). Bahkan menurut data Badan Penanaman

Modal Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (2005), harga getah

jelutung per kg di pasar internasional mencapai US$10.00 atau

setara dengan Rp100.000,00 (dengan kurs US$1.00 =

Rp10.000,00). Pada masa mendatang, tata niaga jelutung

diharapkan dapat lebih baik sehingga harga di tingkat petani

dapat meningkat.

168

Sebagai komoditas perdagangan, getah jelutung

dipasarkan melalui saluran pemasaran. Pada kasus di Kota

Palangkaraya dan sekitarnya, terdapat dua saluran pemasaran

getah jelutung: (1) dari penyadap langsung ke PT SAS, dan (2)

dari penyadap ke pengumpul tingkat desa, kemudian ke PT SAS.

Kedua saluran pemasaran terkait dengan karakter dari penyadap

dan kondisi lokasi tegakan jelutung yang disadap di area hutan

alam (tegakan alami). Para penyadap harus menggunakan sarana

transportasi sungai (kelotok dan jukung) untuk sampai di lokasi.

Jarak terdekat area penyadapan jelutung ditempuh dalam waktu

1,5 jam, sedangkan jarak terjauh area penyadapan jelutung

ditempuh dalam waktu 8 jam (6 jam dengan klotok, dilanjutkan 2

jam dengan jukung). Lokasi tegakan jelutung yang seperti ini

membuat penyadap tidak dapat pergi-pulang setiap hari,

melainkan mereka harus tinggal beberapa hari di hutan (10–13

hari).

Penyadapan getah jelutung sebagai suatu usaha ekonomi

memerlukan modal untuk setiap kali kegiatan penyadapan.

Modal untuk penyadapan getah dialokasikan untuk biaya

transportasi, kebutuhan makan, kebutuhan bahan (cuka,

pencampur getah), dan peralatan habis pakai (plastik untuk

menampung getah yang keluar dari pohon). Modal akan jauh

lebih besar dikeluarkan apabila penyadapan getah jelutung

dilakukan pada tegakan yang baru atau tegakan yang belum

dibuka. Modal tambahan yang harus disediakan adalah untuk

keperluan pembuatan pondok dari kayu, pengadaan jukung,

pengadaan peralatan pisau, gergaji, kapak, peralatan masak, dan

tikar.

Salah satu karakteristik penyadap yang membuat dirinya

menjual getah pada pengumpul atau menjual langsung pada

pengusaha di pabrik adalah kemampuan ekonominya. Penyadap

169

yang mempunyai modal yang cukup akan menyadap getah

jelutung di area yang dikuasainya dan hasil sadapannya dijual

langsung ke pengusaha. Sebaliknya, penyadap yang tidak

mempunyai modal akan meminjam dari pengumpul dan secara

berkelompok menyadap getah jelutung di area kerja milik

pengumpul atau milik dirinya sendiri, kemudian hasil sadapannya

harus dijual kepada pengumpul. Penyadap yang meminjam uang

dari pengumpul sebagai modal untuk menyadap getah jelutung

harus menjual hasil sadapannya kepada pengumpul pemberi

modal.

Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran getah

jelutung di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas petani

penyadap getah jelutung dari pohon di hutan (peramu getah

jelutung), pengepul tingkat desa, dan perusahaan (PT SAS dan

PT Sampit). Jalur distribusi pemasaran getah jelutung di Provinsi

Kalimantan Tengah seperti Gambar 47.

Gambar 47. Jalur distribusi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah

170

Gambar 47 menjelaskan bahwa jalur distribusi pemasaran

getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat dua

saluran utama. Pertama, peramu getah jelutung langsung

menjualnya ke perusahaan (PT SAS dan PT Sampit) tanpa melalui

pengepul tingkat desa. Peramu yang termasuk dalam pola ini

mendapat modal dari luar perusahaan untuk meramu getah

jelutung (kebutuhan pokok/sembako selama di hutan, bahan

bakar/BBM, dan lain-lain). Kedua, regu peramu yang modalnya

berasal dari PT SAS. Pada pola ini, PT SAS menunjuk dan

memberi modal kepada salah satu peramu getah jelutung di desa

sebagai pedagang perantara (pengepul tingkat desa). Pedagang

pengepul tersebut lalu menyalurkan modal kepada beberapa regu

(satu regu terdiri atas dua orang) untuk mengumpulkan getah

jelutung dari hutan, dengan syarat getah hasil sadapan harus

dijual kepadanya. Modal yang dipinjam dari PT SAS untuk setiap

regu kerja peramu getah jelutung sebesar Rp3.000.000,00.

Modal ini digunakan untuk membeli sembako, bahan bakar, dan

keperluan lainnya selama dua bulan di dalam hutan yang

jaraknya sekitar 20 km (diselingi 2–3 kali pergi-pulang sesuai

kondisi perbekalan).

Keuntungan setiap regu dari penjualan getah jelutung hasil

sadapan tergantung kualitasnya (kadar air dalam getah jelutung).

Getah yang berkualitas sedang memiliki kadar air sedang (ciri

fisik getah dapat ditekan dengan jari dan menimbulkan bekas),

sedangkan getah berkualitas baik memiliki kadar air rendah (ciri

fisik getah tidak dapat ditekan dengan jari dan tidak

menimbulkan bekas tekanan jari). Pada umumnya, getah jelutung

yang diperoleh setiap regu penyadap selama dua bulan sebanyak

dua ton dan harga jual per kilogram sekitar Rp4.000,00–4.500,00

(tergantung kualitas). Keuntungan dari nilai penjualan setelah

dikurangi pinjaman modal untuk getah jelutung yang berkualitas

sedang sebesar Rp5.000.000,00 dan getah berkualitas baik

171

sebesar Rp6.000.000,00. Dengan demikian, penghasilan setiap

penyadap getah jelutung dari hutan tersebut adalah sekitar

Rp1.250.000,00–1.500.000,00 per orang per bulan.

Besarnya margin atau keuntungan pemasaran dapat

dijadikan sebagai indikator efisiensi pemasaran getah jelutung di

Provinsi Kalimantan Tengah. Margin pemasaran merupakan

perbedaan harga di tingkat konsumen terakhir (dalam hal ini PT

SAS dan PT Sampit) dengan harga di tingkat penyadap. Nilai

margin pemasaran untuk setiap pelaku usaha getah jelutung

disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26. Margin pemasaran getah jelutung setiap pelaku usaha pada harga terendah dan tertinggi di Provinsi Kalimantan Tengah

Pelaku Usaha

Harga (Rp/kg)

Total Biaya (Rp/ton)

Total Pendapatan

(Rp/ton)

Keuntungan Bersih

(Rp/Ton)

Harga terendah:

Penyadap 3.500,00 1.500.000,00 3.500.000,00 2.000.000,00

Pengumpul 5.000,00 750.000,00 1.500.000,00 750.000,00

Pengusaha 15.000,00 1.000.000,00 10.000.000,00 9.000.000,00

Margin pemasaran bagi pengusaha dari tingkat penyadap Rp11.500,00

(76,67%) dan dari tingkat pengumpul Rp10.500,00 (70%)

Harga tertinggi:

Penyadap 4.000,00 1.500.000,00 4.000.000,00 2.500.000,00

Pengumpul 6.000,00 750.000,00 2.000.000,00 1.250.000,00

Pengusaha 25.000,00 1.000.000,00 19.000.000,00 18.000.000,00

Margin pemasaran bagi pengusaha dari tingkat penyadap Rp20.500,00

(82%) dan dari tingkat pengumpul Rp19.000,00 (76%)

172

Data pada Tabel 26 menunjukkan bahwa margin

pemasaran sangat mencolok antara pengusaha dengan penyadap

maupun pengusaha dengan pengumpul. Perbedaan harga antara

penyadap dan pengusaha pada harga terendah sebesar 76,67%

dan pada harga tertinggi sebesar 82%. Perbedaaan harga antara

pengumpul dan pengusaha pada harga terendah sebesar 70%

dan pada harga tertinggi sebesar 76%. Basri (2001) menyatakan

bahwa pemasaran dikatakan efisien jika margin pemasaran

<50%. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui

bahwa margin pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan

Tengah belum efisien. Keuntungan bersih dari usaha getah

jelutung mulai dari yang terbesar berturut-turut berada di tangan

pengusaha, penyadap, dan pengumpul. Perbedaan keuntungan

bersih antara pengusaha dengan penyadap dan pengumpul juga

sangat mencolok. Sementara itu, keuntungan bersih antara

penyadap dan pengumpul relatif tidak jauh berbeda. Keuntungan

untuk pengumpul sebenarnya tidak terlalu besar karena salah

satu asumsi yang digunakan dalam perhitungan tidak memasuk-

kan biaya tenaga yang dikeluarkan penyadap.

7.2 Analisis Finansial

Tanaman jelutung yang dianalisis kelayakan finansialnya

dalam tulisan ini difokuskan pada tegakan monokultur jelutung

dan agroforestry pola mixed cropping dengan komponen

tanaman jelutung, karet, dan padi (ditanam pada tahun pertama

hingga ketiga). Pola agroforesty tersebut banyak dikembangkan

oleh petani. Minat petani menanam karet sangat tinggi, namun

karena karet bukan merupakan tanaman asli rawa maka

terkadang mengalami tumbang (roboh) akibat daya topang

perakaran yang tidak cukup kuat. Hal tersebut disiasati oleh

petani dengan cara mencampur karet dengan jelutung

173

menggunakan pola selang-seling dalam satu jalur tanam. Akar

jelutung yang mampu menembus ke bawah diharapkan mampu

membantu menopang akar tanaman karet sehingga tanaman

karet tidak mudah roboh.

Aspek produksi yang diidentifikasi pada tulisan ini adalah

pembangunan hutan tanaman jelutung mulai dari tahap

penyiapan lahan hingga pemanenan kayu. Pada setiap tahapan

tersebut diperlukan bahan dan peralatan yang berbeda-beda.

Sementara itu, aspek pasar yang ditelusuri adalah pasar getah

jelutung dan pasar kayu jelutung. Tahapan umum pembangunan

hutan tanaman jelutung di lahan gambut dan tahap pemanenan-

nya adalah sebagai berikut.

1. Penyiapan lahan. Kegiatan ini dilakukan agar lahan gambut

siap untuk ditanami. Persiapan lahan dimulai dengan

kegiatan penebasan semak belukar, selanjutnya lahan

dibersihkan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida.

Alat dan bahan yang digunakan adalah mesin pemotong

rumput, parang, alat semprotan, dan herbisida.

2. Pembuatan parit. Parit dibuat di sekeliling petak tanaman

yang berfungsi untuk pengaturan tata air dan sebagai sekat

bakar. Parit luar dibuat sepanjang 400 m (4 x 100 m)

dengan ukuran lebar dan kedalaman masing-masing 100 cm,

sedangkan parit dalam dibuat memotong bagian tengah

lahan secara vertikal dan horizontal dengan total panjang

200 m dengan ukuran lebar 40 cm dan kedalaman 50 cm.

Alat yang digunakan adalah linggis, sundak dan cangkul.

3. Pembuatan baluran. Baluran dibuat mengikuti arah Timur–

Barat dengan lebar 2 m dan tinggi 15 cm di atas pasang

tertinggi (sekitar 40–50 cm). Baluran dibuat pada lahan

agroforestry, sedangkan pada lahan monokultur jelutung

tidak memerlukan baluran.

174

4. Pengajiran. Kegiatan ini dilakukan setelah lahan bersih

sehingga memudahkan pelaksanaan penanaman dan jarak

tanam menjadi lebih teratur. Jarak tanam yang digunakan

adalah 5 x 4 m (jarak antar jalur tanam 5 m dan jarak antar

tanaman dalam jalur 4 m) sehingga dalam lahan seluas satu

hektar terdapat 500 batang pohon yang terdiri atas 250

pohon karet dan 250 pohon jelutung rawa untuk pola

agroforestry, sedangkan untuk pola monokultur terdapat 500

batang jelutung rawa.

5. Penanaman. Kegiatan ini dilakukan pada awal musim hujan

(sekitar bulan Oktober–November), yaitu pada saat

genangan air rawa belum mencapai puncak. Bibit jelutung

yang ditanam harus sudah mengalami proses pengkayuan

(hardening) yang cukup dengan tinggi minimal 20 cm dan

jumlah daun minimal enam helai. Pada lahan agroforestry

campuran, populasi jelutung dan karet adalah sebesar 50%

dengan pola selang-seling dalam satu jalur.

6. Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan

meliputi pemupukan, pengendalian gulma dan pencegahan

kebakaran. Pemupukan untuk karet dan jelutung, baik pada

pola monokultur maupun agroforestry, dilakukan dari umur 1

tahun hingga akhir daur. Pemeliharaan intensif terhadap

gulma dilakukan hingga tanaman berumur 5 tahun. Asumsi

yang digunakan bahwa pada umur 5 tahun, kondisi tajuk

jelutung sudah cukup lebar sehingga dapat menekan

pertumbuhan gulma. Pemeliharaan parit sebagai saluran

drainase dan sekat bakar dilakukan setiap tahun selama

daur.

7. Pemanenan hasil. Getah jelutung diasumsikan dapat dipanen

pada umur 10 tahun dengan asumsi diameter batang 18–20

cm. Getah karet dapat dipanen pada umur 7 tahun. Kayu

175

jelutung dipanen pada umur 30 tahun dengan asumsi rata-

rata diameter mencapai 35 cm, dengan tinggi bebas cabang

12 m sehingga nilai volume satu pohon adalah 0,64 m3.

Analisis finansial dilakukan dengan melakukan analisis

terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari

usaha budi daya tanaman jelutung rawa selama masa

produksinya. Rincian biaya dan manfaat usaha budi daya jelutung

rawa selama masa produksi terdapat pada Lampiran 1 dan

Lampiran 2. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis

kelayakan finansial usaha budi daya jelutung rawa, antara lain:

(1) lahan yang diperuntukkan bagi usaha budi daya jelutung

rawa adalah lahan gambut terlantar milik petani sendiri

sehingga di dalam analisis tidak memperhitungkan sewa

lahan; biaya lahan yang diperhitungkan hanya nilai pajak

(PBB) yang harus dikeluarkan oleh pemilik setiap tahunnya;

(2) waktu sadap jelutung rawa menggunakan interval waktu 7

hari sehingga setiap pohon disadap sebanyak empat kali

dalam sebulan atau 48 kali dalam satu tahun;

(3) masa perhitungan analisis merupakan masa produksi (daur)

tanaman jelutung selama 30 tahun;

(4) satu HOK adalah satu hari orang kerja dengan upah

Rp60.000,00 per hari;

(5) suku bunga yang digunakan 12%;

(6) potensi getah jelutung dalam satu tahun sesuai pola musim

berbunga; produksi getah setiap pohon jelutung pada umur

10 tahun mencapai 75 gram pada saat musim berbunga

(selama 3 bulan) dan 150 gram di luar musim berbunga

(selama 9 bulan); produksi getah ini mengalami peningkatan

sebesar 80% setiap 2 tahun;

176

(7) potensi getah karet dapat dipanen saat pohon berumur 7

tahun;

(8) potensi kayu jelutung pada akhir daur diperkirakan memiliki

diameter yang mencapai 40 cm dengan tinggi bebas cabang

12 m dan volume kayu sebesar 0,84 m3;

(9) harga getah jelutung Rp6.000,00 per kg dan harga getah

karet Rp10.000,00 per kg;

(10) harga kayu pohon jelutung berdiri sebesar Rp450.000,00 per

m3.

Hasil perhitungan analisis biaya manfaat usaha budi daya

jelutung rawa pola monokultur dan pola agroforestry diperoleh

nilai NPV, BCR, dan IRR seperti pada Tabel 27.

Tabel 27. Analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa seluas 1 ha dengan nilai NPV, BCR dan IRR pada suku bunga 12%

Pola Tanam NPV (Rp) BCR IRR

Monokultur jelutung 29.933.289,52 7,88 20%

Mixed cropping jelutung-karet 69.799.338,00 8,68 29%

Berdasarkan hasil analisis finansial tersebut maka diketahui

bahwa usaha budi daya jelutung rawa layak untuk dikembang-

kan, baik secara monokultur maupun mixed cropping. Pola mixed

cropping jelutung-karet lebih banyak memberikan keuntungan

dibandingkan dengan pola monokultur jelutung. Pada Tabel 27

terlihat bahwa tanaman jelutung pola monokultur memberikan

keuntungan sebesar Rp29.933.289,52 dalam luasan 1 ha. Nilai ini

berbeda dengan hasil penelitian sejenis yang dilakukan oleh

Karyono (2008) yang memperoleh nilai pendapatan usaha

jelutung mencapai Rp134.481.000,00 per ha. Hal ini disebabkan

177

adanya perbedaan asumsi yang digunakan. Pada penelitian

tersebut digunakan asumsi volume kayu per ha mencapai 588 m3

dan asumsi getah jelutung umur 8–12 tahun mencapai 3

kg/bulan/pohon, umur 13–30 tahun mencapai 5 kg/bulan/pohon.

Analisis finansial oleh Budiningsih & Ardhana (2011)

menghasilkan nilai pendapatan usaha budi daya jelutung rawa

pola monokultur sebesar Rp21.055.063,00 dan pola mixed

cropping jelutung rawa-karet sebesar Rp59.693.845,00 per ha.

7.3 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan suku

bunga, jumlah produksi kayu dan harga kayu turun 50%.

Rekapitulasi analisis terhadap analisis finansial usaha budi daya

jelutung rawa seperti pada Tabel 28.

Tabel 28. Rekapitulasi analisis sensitivitas kelayakan usaha budi daya jelutung rawa

Pola tanam Harga getah karet

turun 50%

Harga kayu

turun 50%

Suku bunga

20%

Mixed cropping jelutung rawa-karet

NPV (Rp) 35.965.115,00 68.717.893,00 18.041.160,00

IRR 23% 29% 29%

BCR 6,04 8,28 8,68

Monokultur jelutung rawa

NPV (Rp) 29.433.289,52 27.747.869,96 664.828,11

IRR 20% 20% 20%

BCR 7,88 6,97 7,88

178

Berdasarkan analisis sensitivitas tersebut diketahui bahwa

usaha budi daya tanaman jelutung rawa baik pada pola

campuran dengan karet maupun monokultur cukup kuat terhadap

perubahan harga getah karet (turun 50%) ataupun perubahan

harga kayu jelutung rawa (turun 50%). Pada tingkat suku bunga

20% usaha budi daya jelutung rawa, baik pola campuran

jelutung-karet maupun pola monokultur jelutung, masih layak

untuk diusahakan.

Hasil analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa dan

uraian di atas menunjukkan bahwa pengembangan jelutung

dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut

terdegradasi secara ekonomi layak dilakukan.

179

PENGARUH LINGKUNGAN AGROFORESTRY

JELUTUNG RAWA

Pengaruh lingkungan pengembangan jelutung rawa

dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut

terdegradasi dianalisis berdasarkan tiga parameter: (1) kesuburan

tanah, (2) kondisi iklim mikro, dan (3) teknologi amelioran ramah

lingkungan.

8.1 Kesuburan Tanah

Unsur kesuburan tanah yang dianalisis adalah (1) sifat

kimia gambut yang terdiri atas pH H2O, N-total, C-organik, K

dapat ditukar (K-dd), Na-dd, Ca-dd, Mg-dd, Kapasitas Tukar

Kation (KTK), Al-dd, H-dd, Kejenuhan Basa (KB), Kejenuhan Al,

Kejenuhan H, P-total, K-total, P-tersedia, Fe, dan SO4; (2) sifat

fisik gambut yaitu tingkat kematangan gambut; (3) sifat biologi

gambut yaitu kelimpahan makro fauna tanah.

8.1.1 Sifat Kimia Gambut

Tabel 29 menyajikan data hasil analisis laboratorium sifat

kimia gambut yang digunakan untuk budi daya jelutung rawa

dengan sistem agroforestry pada lahan gambut terhadap

pertanian monokultur dari jenis tanaman hortikultura, dan

terhadap lahan gambut terlantar (padang pakis). Data tersebut

menunjukkan bahwa parameter pH, Al-dd, H-dd, Kejenuhan Al,

dan Kejenuhan H lahan gambut yang ditanami dengan jelutung

rawa pola agroforestry lebih tinggi dibandingkan dengan lahan

gambut yang ditanami dengan tanaman semusim monokultur.

Sebaliknya; parameter N-total, C-organik, K-dd, Ca-dd, Na-dd,

Bab VIII

180

Mg-dd, KTK, KB, P-total, K-total, P Bray 1, dan SO4 lahan gambut

yang ditanami dengan jelutung rawa pola agroforestry lebih

rendah dibandingkan dengan lahan gambut yang ditanami

dengan tanaman semusim monokultur. Parameter C-organik, Na-

dd, Mg-dd, KTK, H-dd, Kejenuhan H, K-total, dan SO4 lahan

gambut yang ditanami dengan jelutung rawa pola agroforestry

lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut terlantar.

Sebaliknya; parameter pH, N-total, K-dd, Ca-dd, KB, P-total, dan

P Bray-1 lahan gambut yang ditanami dengan jelutung rawa pola

agroforestry lebih rendah dibandingkan dengan lahan gambut

terlantar.

Kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi (90–200

me/100 gr) pada semua tipologi lahan gambut pada penelitian ini

dengan Kejenuhan Basa (KB) yang sangat rendah dapat

menyebabkan ketersedian hara; terutama K, Ca, dan Mg menjadi

sangat rendah. Selain itu, Kejenuhan Basa (KB) yang sangat

rendah pada semua tipologi lahan gambut harus ditingkatkan

mencapai 25–30% agar basa-basa tertukar dapat dimanfaatkan

tanaman (Hardjowigeno, 1996). C/N gambut yang tinggi (>30)

menyebabkan hara nitrogen kurang tersedia untuk tanaman,

sekalipun hasil analisis N total menunjukkan angka yang tinggi.

Unsur P dalam tanah gambut terdapat dalam bentuk P-organik

dan kurang tersedia bagi tanaman. Pemupukan P dengan pupuk

yang cepat tersedia akan menyebabkan ion phosphat mudah

tercuci dan mengurangi ketersediaan hara P bagi tanaman.

Penambahan besi dapat mengurangi pencucian P (Soewono,

1997). Pencucian P dapat diperkecil dengan menambahkan tanah

mineral kaya besi dan Al (Salampak, 1999).

181

Tabel 29. Data hasil analisis laboratorium sifat kimia gambut

Parameter

Lokasi

Kalampangan Tumbang Nusa

Agro-forestry

Pertanian Monokultur

Agro-forestry

Lahan Terlantar

pH 3,94 3,93 3,67 4,00

N-total (%) 0,40 0,45 0,37 0,43

C-organik (%) 48,58 51,78 55,12 54,76

Nisbah C/N 121,45 115,07 148,97 127,35

K-dd (me/100g) 0,076 0,15 0,09 0,12

Na-dd (me/100g) 0,014 0,06 0,04 0,03

Ca-dd (me/100g) 2,34 4,13 1,28 2,47

Mg-dd (me/100g) 1,76 2,58 0,90 0,88

KTK (me/100g) 147,50 361,17 137,50 90,83

Al-dd (me/100g) 2,40 2,30 0 0

H-dd (me/100g) 5,27 3,03 2,83 2,00

KB (%) 2,86 3,76 1,80 4,24

Kejenuhan Al (%) 20,80 19,73 0 0

Kejenuhan H (%) 48,94 26,66 55,29 37,18

P-total (mg/100 gr P2O5)

4,21 24,50 7,82 12,71

K-total (mg/100 gr P2O5)

4,32 18,33 6,94 5,51

P Bray-1 (ppm) 12,55 12,59 19,36 29,82

SO4 (ppm) 102,12 119,20 112,66 101,69

Tabel 30 menjelaskan tentang kriteria penilai sifat kimia

tanah (untuk tanah mineral). Kriteria tersebut digunakan sebagai

pembanding, karena kriteria penilai sifat kimia tanah khusus

untuk gambut belum ada.

182

Tabel 30. Kriteria penilaian sifat kimia tanah

Sifat

Tanah

Sangat

Rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat

Tinggi

C (%) <1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 >5,00

N (%) <0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 >0,75

C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25

P205 HCl (mg/100 g) <10 10-20 21-40 41-60 >60

P205 Bray-1 (ppm) <10 10-15 16-25 26-35 >35

P205 Olsen (ppm) <10 10-25 26-45 46-60 >60

K2O HCl 25% (mg/100 g)

<10 10-20 21-40 41-60 >60

KTK (me/100 g) <5 5-16 17-24 25-40 >40

Susunan Kation:

K (me/100 g) <0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 >1,0

Na (me/100 g) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1,0

Mg (me/100 g) <0,4 0,4-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 >8,0

Ca (me/100 g) <2 2-5 6-10 11-20 >20

Kejenuhan:

Basa (%) <20 20-35 36-50 51-70 >70

Alumunium (%) <10 10-20 21-30 31-60 >60

Kriteria Sangat

Masam Masam

Agak

Masam Netral

Agak

Alkalis Alkalis

pH

H2O <4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5

Sumber: Hardjowigeno (1996)

Kriteria penilai sifat kimia tanah pada Tabel 30

menunjukkan bahwa ketiga tipologi penutupan lahan gambut

mempunyai pH yang termasuk kategori sangat masam (<4,5).

Kandungan N termasuk kategori sedang (0,21–0,5). Kandungan

C-organik termasuk kategori sangat tinggi (>5%). Nisbah C/N

termasuk kategori sangat tinggi (>25%). Kandungan P (metode

183

P2O5 HCl) untuk lahan gambut yang ditanami jelutung rawa

dengan sistem agroforestry termasuk kategori sangat rendah

(<10 mg/100 g), untuk lahan gambut yang ditanami tanaman

pertanian monokultur termasuk kategori sedang (21–40 mg/100

g), sedangkan lahan gambut terlantar termasuk kategori rendah

(10–20 mg/100 g). Kandungan P (metode P2O5 Bray-1) untuk

lahan gambut di Kelurahan Kalampangan (agroforestry jelutung

dan pertanian monokultur) termasuk kategori rendah (10–15

ppm), untuk lahan gambut di Desa Tumbang Nusa yang ditanami

jelutung rawa sistem agroforestry termasuk kategori sedang (16–

25 ppm), sedangkan lahan gambut terlantar termasuk kategori

tinggi (26–35 ppm).

Kandungan K untuk tipologi penutupan lahan gambut

agroforestry jelutung dan lahan terlantar mempunyai kategori

sangat rendah (<10 mg/100g), untuk lahan pertanian monokultur

termasuk kategori rendah (10–20 mg/100g). Kapasitas

pertukaran kation (KTK) untuk ketiga tipologi penutupan lahan

gambut mempunyai kategori sangat tinggi (>40 me/100 g).

Kandungan K-dd untuk lahan agroforestry jelutung termasuk

kategori sangat rendah (<0,1 me/100g), untuk lahan pertanian

monokultur termasuk kategori rendah (0,1–0,2 me/100g).

Kandungan Na-dd untuk ketiga tipologi penutupan gambut

termasuk kategori sangat rendah (<0,1 me/100g). Kandungan

Ca-dd untuk agroforestry jelutung dan pertanian monokultur di

Kelurahan Kalampangan serta lahan terlantar di Desa Tumbang

Nusa termasuk kategori rendah (2–5 me/100g), sedangkan lahan

agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa termasuk kategori

sangat rendah (<2,0 me/100g). Kandungan Mg-dd untuk lahan

agroforestry jelutung dan pertanian monokultur di kelurahan

Kalampangan termasuk kategori sangat tinggi (>1,0 me/100g),

untuk lahan agroforestry jelutung dan lahan gambut terlantar di

Desa Tumbang Nusa termasuk kategori rendah (0,4–1,0

184

me/100g). Kejenuhan Basa (KB) untuk ketiga tipologi penutupan

lahan termasuk kategori sangat rendah (<20%). Kejenuhan Al

untuk lahan agroforestry termasuk kategori sedang (21–30%),

sedangkan lahan pertanian monokultur termasuk kategori rendah

(10–20%).

8.1.2 Sifat Fisika Gambut

Menurut Hardjowigeno (1996), sifat-sifat fisika tanah

gambut yang penting adalah tingkat dekomposisi tanah gambut,

kerapatan lindak, kering tak balik dan subsiden. Noor (2001)

menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan

kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu

mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut. Berdasarkan

tingkat pelapukan (dekomposisi), tanah gambut dibedakan

menjadi (1) gambut kasar (fibrik), yaitu gambut yang memiliki

lebih dari 2/3 bahan organik kasar; (2) gambut sedang (hemik),

memiliki 1/3–2/3 bahan organik kasar; (3) gambut halus (saprik),

jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar

mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi,

namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia

bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang

besar jika tanah direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan

unsur hara yang lebih tinggi memiliki kerapatan lindak yang lebih

besar daripada gambut kasar (Hardjowigeno, 1996).

Kadar lengas gambut (peat moisture) ditentukan oleh

kematangan gambut. Pada gambut alami, kadar lengas gambut

sangat tinggi mencapai 500–1.000% bobot, sedangkan yang

telah mengalami dekomposisi sekitar 200–600% bobot. Kadar

lengas gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik.

Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari gambut

sapris dan hemik, namun kemampuan fibrik memegang air lebih

185

lemah dari gambut hemik dan saprik (Noor, 2001). Tingginya

kemampuan gambut menyerap air menyebabkan tingginya

volume pori-pori gambut sehingga mengakibatkan rendahnya

kerapatan lindak dan daya dukung gambut (Mutalib et al., 1991).

Penetapan tingkat kematangan gambut dilakukan dengan

prosedur (BB Litbang SDLP, 2008):

1) mengambil segenggam gambut segar dan memasukkannya

ke dalam syringe bervolume 10 ml atau 25 ml,

2) menekan pompa syringe dan mencatat volume sewaktu

gambut tidak bisa lagi dimampatkan sebagai volume 1,

3) memindahkan gambut dari dalam syringe ke dalam ayakan

dengan ukuran lubang 150 µm atau 0, 0059 inci,

4) menggunakan botol semprot atau semprotan air atau aliran

kran air untuk membilas gambut yang halus,

5) memindahkan serat kasar ke dalam syringe sesudah serat

halus lolos dari ayakan, lalu memampatkannya dan mencatat

volume serat kasat sebagai volume 2,

6) menghitung kadar serat dengan rumus:

Kadar Serat = .

7) tingkat kematangan gambut (seperti terlihat pada Gambar

48) ditentukan berdasarkan berdasarkan kriteria: (1) gambut

saprik (matang) yaitu gambut yang sudah melapuk dan

kadar seratnya <15%, (2) gambut hemik (setengah matang)

yaitu gambut setengah lapuk dan kadar seratnya 15–75%,

(3) gambut fibrik (mentah) yaitu gambut yang belum

melapuk dan kadar seratnya >75%.

186

Gambar 48. Prosedur penentuan tingkat kematangan gambut

Hasil analisis tingkat kematangan gambut untuk lahan

agroforestry jelutung, lahan pertanian monokultur, dan lahan

terlantar dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil analisis menunjuk-

kan bahwa pada gambut lahan agroforestry jelutung di Desa

Tumbang Nusa (kode AFTN) mempunyai tingkat dekomposisi

saprik–hemik, hemik, saprik dan hemik–fibrik. Gambut lahan

terlantar di Desa Tumbang Nusa (kode LTTN) mempunyai tingkat

dekomposisi hemik–fibrik, hemik dan fibrik. Hal ini menandakan

bahwa lahan gambut yang ditanami jelutung dengan sistem

agroforestry mempunyai tingkat kematangan yang lebih lanjut

dibandingkan lahan gambut terlantar. Gambut lahan agroforestry

jelutung di Kelurahan Kalampangan (kode AFKL) mempunyai

tingkat dekomposisi saprik–hemik, hemik–fibrik dan saprik.

Gambut lahan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan

(kode PMKL) mempunyai tingkat dekomposisi saprik–hemik,

hemik–fibrik dan hemik. Hal tersebut di atas menandakan bahwa

lahan gambut yang ditanami jelutung dengan sistem agroforestry

187

mempunyai tingkat kematangan yang lebih lanjut dibandingkan

lahan pertanian monokultur.

8.1.3 Sifat Biologi Gambut

Hasil pengamatan makrofauna tanah pada lokasi Kelurahan

Kalampangan yang membandingkan dua kondisi penutupan lahan

yaitu lahan agroforestry jelutung dan lahan pertanian monokultur

seperti terlihat pada Gambar 49 dan 50. Hasil pengamatan

makrofauna tanah pada lokasi Desa Tumbang Nusa yang

membandingkan dua kondisi penutupan lahan yaitu lahan

agroforestry jelutung dan lahan terlantar seperti terlihat pada

Gambar 51 dan Gambar 52.

Hasil identifikasi pada Gambar 49 menjelaskan bahwa

makrofauna yang terdapat di lahan gambut Kelurahan

Kalampangan yang ditanami jelutung rawa dengan sistem

agroforestry berjumlah 507 ekor yang terbagi kedalam 8 ordo (+

1 tak teridentifikasi). Makrofauna yang terdapat di lahan gambut

Kelurahan Kalampangan yang penutupan lahannya berupa

pertanian monokultur berjumlah 466 ekor yang terbagi ke dalam

9 ordo. Data pada Gambar 49 dan 50 menunjukkan bahwa

makrofauna tanah yang menghuni lahan gambut di Kelurahan

Kalampangan yang penutupannya berupa agroforestry jelutung

lebih beragam apabila dibandingkan dengan lahan gambut yang

penutupannya berupa pertanian monokultur. Perbandingan

keberadaan makrofauna yang terdapat di lahan agroforestry

jelutung dengan lahan pertanian monokultur adalah orthoptera =

4 : 3, chilopoda = 1 : 1, arachnida = 3 : 2, hymenoptera = 4 : 5,

diptera = 2 : 1, coleoptera = 11 : 5, scorpionida = 1 : 0,

hemiptera = 1 : 1, thysanoptera = 0 : 1, lepidoptera = 0 : 1,

dan tak teridentifikasi = 3 : 0.

188

Gambar 49. Hasil identifikasi makrofauna tanah per ordo pada lahan agroforestry jelutung dengan lahan pertanian monokultur di Kalampangan

189

Gambar 50. Jumlah famili masing-masing ordo makrofauna tanah pada lahan agroforestry jelutung dan lahan pertanian monokultur di Kalampangan

Hasil identifikasi seperti tersaji pada Gambar 51

menjelaskan bahwa makrofauna yang terdapat di lahan gambut

Desa Tumbang Nusa yang ditanami jelutung rawa dengan sistem

agroforestry berjumlah 198 ekor yang terbagi ke dalam 8 ordo.

Makrofauna yang terdapat di lahan gambut Desa Tumbang Nusa

yang penutupan lahannya berupa lahan terlantar (padang pakis)

berjumlah 69 ekor yang terbagi ke dalam 6 ordo. Data pada

Gambar 51 dan 52 menunjukkan bahwa makrofauna tanah yang

menghuni lahan gambut di Desa Tumbang Nusa yang

penutupannya berupa agroforestry jelutung lebih beragam bila

dibandingkan dengan lahan gambut yang penutupannya berupa

padang pakis (lahan terlantar). Perbandingan keberadaan

makrofauna yang terdapat di lahan agroforestry jelutung dengan

lahan terlantar adalah orthoptera = 3 : 2, chilopoda = 1 : 0,

190

arachnida = 2 : 1, hymenoptera = 2 : 4, diptera = 2 : 2,

coleoptera = 6 : 1, hemiptera = 3 : 1, diptera = 2 : 2, dan anura

= 1 : 0.

Gambar 51. Hasil identifikasi makrofauna tanah per ordo pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa

Gambar 52. Jumlah famili pada masing-masing ordo makrofauna tanah pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa

191

Hasil penghitungan indeks kesamaan komunitas Morisita

menunjukkan bahwa makrofauna tanah yang terdapat di lahan

agroforestry jelutung mempunyai kesamaaan atau identik dengan

makrofauna tanah yang terdapat di lahan pertanian monokultur

pada lahan gambut di Kelurahan kalampangan. Hal ini

ditunjukkan dengan nilai indeks 0,95. Hasil yang sama juga

berlaku pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di

Desa Tumbang Nusa. Kedua penutupan lahan gambut tersebut

mempunyai jenis makrofauna yang identik dengan nilai indeks

0,83.

Berdasarkan penghitungan indeks keragaman Shannon

diperoleh hasil:

(1) lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di

Kelurahan Kalampangan mempunyai tingkat keragaman

makrofauna tanah sedang dengan nilai indeks 1,8;

(2) lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di

Kelurahan Kalampangan mempunyai tingkat keragaman

makrofauna tanah rendah dengan nilai indeks 1,2;

(3) lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung dan lahan

terlantar di Desa Tumbang Nusa mempunyai tingkat

keragaman makrofauna tanah sedang dengan nilai indeks

1,62 dan 1,698.

Indeks Nilai penting (INP) dan kelimpahan (n/m2)

makrofauna tanah di permukaan tanah dan di dalam tanah pada

lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung dan lahan

gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan

Kalampangan, serta lahan gambut berpenutupan agroforestry

jelutung dan lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa

disajikan pada Tabel 31.

192

Tabel 31. Indeks Nilai Penting (INP) dan kelimpahan makrofauna tanah

Makrofauna Kelompok Tipologi

Indeks Nilai penting (INP) (%)

Kelimpahan (n/m2)

Orthoptera p-AfKL 61,54 1.654,33

p-PMKL 80,90 1.984,21

p-AfTN 67,00 705,26

p-LTTN 52,17 189,47

d-AfKL 141,82 124,80

d-PMKL 100,00 51,20

d-AfTN 5,26 3,20

d-LTTN 117,24 54,40

Chilopoda p-AfKL 2,37 63,63

p-PMKL 1,93 47,37

p-AfTN 1,00 10,53

d-AfKL 14,55 12,80

d-PMKL 37,50 19,20

d-AfTN 5,26 3,20

d-LTTN 41,38 19,20

Arachnida p-AfKL 8,68 233,30

p-PMKL 8,37 205,26

p-AfTN 12,00 126,32

p-LTTN 28,99 105,26

Hymenoptera p-AfKL 18,15 487,81

p-PMKL 4,94 121,05

p-AfTN 9,00 94,74

p-LTTN 13,04 47,37

d-AfKL 10,91 9,60

Diptera p-AfKL 3,75 100,74

p-PMKL 0,43 10,53

p-AfTN 2,00 21,05

p-LTTN 2,90 10,53

d-PMKL 6,25 3,20

193

Coleoptera p-AfKL 4,54 121,95

p-PMKL 2,79 68,42

p-AfTN 6,00 63,16

p-LTTN 1,45 5,26

d-AfKL 29,09 25,60

d-PMKL 56,25 28,80

d-AfTN 184,21 112,00

d-LTTN 41,38 19,20

Scorpionida p-AfKL 0,20 5,30

Hemiptera p-AfKL 0,20 5,30

p-PMKL 0,21 5,26

p-AfTN 2,50 26,32

p-LTTN 1,45 5,26

d-AfKL 3,64 3,20

Thysanoptera p-PMKL 0,21 5,26

Lepidoptera p-PMKL 0,21 5,26

Anura p-AfTN 0,50 5,26

Nematoda d-AfTN 5,26 3,20

tak teridentifikasi p-AfKL 0,59 15,91

Keterangan:

p-AfKL = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Kelurahan Kalampangan

p-PMKL = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan

p-AfTN = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa

p-LTTN = di permukaan tanah pada lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa

d-AFKL = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Kelurahan Kalampangan

d-PMKL = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan

d-AfTN = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa

d-LTTN = di dalam tanah pada lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa

194

Makrofauna tanah merupakan salah satu kelompok

organisme yang penting dalam ekosistem tanah. Klasifikasi

makrofauna tanah menurut kebiasaan makan dan penyebarannya

dalam profil tanah seperti uraian berikut (Suin, 1997).

1. Jenis epigeik; yaitu fauna tanah yang hidup dan makan di

permukaan tanah. Invertebrata ini berperan dalam

pelumatan (comminution) serasah menjadi ukuran yang

lebih kecil dan pelepasan hara (mineralisasi); tetapi tidak

aktif dalam redistribusi bahan organik ke dalam profil tanah.

Termasuk dalam kelompok fauna ini antara lain semut

(Hymenoptera), kumbang (Coleoptera), kelabang

(Chilopoda), kaki seribu (Diplopoda), dan belalang

(Acrididae).

2. Jenis anesik; yaitu fauna tanah yang memindahkan serasah

dari permukaan tanah dan dibawa masuk ke dalam profil

tanah, melalui aktivitas makannya. Contoh jenis ini adalah

Oligochaeta dan Isoptera yang memindahkan serasah ke

dalam sarangnya.

3. Jenis endogenik; yaitu fauna tanah yang hidup di dalam

tanah dan memakan bahan organik seperti akar yang mati.

Ada dua kelompok utama dalam kategori ini yaitu

Oligochaeta dan Isoptera. Jenis ini merupakan pemakan

humus yang dapat naik turun dalam tanah.

Salah satu peran yang sangat penting dari makrofauna

tanah adalah sebagai soil engineers. Fauna yang termasuk dalam

kelompok ini antara lain rayap, semut, dan cacing (Jouquet et al.,

2006). Peranan mereka sangat penting karena berpengaruh

terhadap daya dukung tanah dan ketersediaan sumber daya bagi

organisme lain, termasuk mikroorganisme dan tumbuhan.

Ecosystem engineers adalah organisme yang secara langsung

195

atau tidak langsung mengatur ketersediaan sumber daya untuk

spesies lain melalui perubahan sifat fisik material biotik dan

abiotik (Jouquet et al., 2006).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe penutupan

lahan gambut yang berbeda mempunyai kelimpahan makrofauna

tanah yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan keberadaan dan

kepadatan populasi suatu jenis makrofauna tanah di suatu daerah

sangat tergantung pada faktor lingkungan yaitu lingkungan biotik

dan lingkungan abiotik. Menurut Suin (1997), faktor fisika-kimia

tanah merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam

mempelajari ekologi makrofauna tanah. Pengukuran pH tanah

juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai

makrofauna tanah.

Aktivitas makrofauna tanah akan sangat membantu proses

dekomposisi dalam tanah. Keberadaan makrofauna tanah di

dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan

sumber makanan, seperti bahan organik dan biomassa hidup.

Rahmawaty (2004) menjelaskan bahwa proses dekomposisi oleh

makrofauna tanah dimulai dengan cara makrofauna meremah

substansi habitat yang telah mati, kemudian materi ini akan

melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses.

Butiran-butiran feses tersebut selanjutnya dimakan oleh

mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran seperti cacing

tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses

pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme

terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara

tersebut, feses juga dapat juga dikonsumsi lebih dahulu oleh

mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam

saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna

apabila hasil ekskresi fauna ini dihancurkan dan diuraikan lebih

lanjut oleh mikroorganisme, terutama bakteri, hingga proses

196

mineralisasi. Mikroorganisme yang telah mati melalui proses

tersebut akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan

digunakan kembali oleh tumbuh-tumbuhan.

Perbedaan kelimpahan makrofauna tanah dalam penelitian

ini disebabkan oleh faktor-faktor (Rahmawaty, 2004):

1) struktur tanah yang akan berpengaruh pada gerakan dan

penetrasi,

2) kelembaban tanah dan kandungan hara yang akan

berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup,

3) suhu tanah yang akan mempengaruhi peletakan telur,

4) cahaya dan tata udara yang akan mempengaruhi

kegiatannya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Decaens et al. (1998)

yang menyebutkan ada dua faktor utama yang memengaruhi

komunitas makrofauna tanah: (1) struktur vegetasi yang

mengakibatkan beragamnya habitat mikro dan kondisi lingkungan

tempat hidupnya, dan (2) kualitas biomassa serasah di atas

tanah. Vohland & Schroth (1999) menambahkan bahwa jumlah

individu makrofauna pada sistem agroforestry sangat dipengaruhi

oleh jenis tanaman.

Makrofauna tanah dapat digunakan sebagai alat mengukur

kualitas tanah secara integratif dengan mengasumsikan perannya

yang penting dalam mengatur proses-proses yang sangat vital

bagi kelangsungan pembentukan tanah dan melindungi tanah

dari kerusakan (Bruyn, 1999). Kehadiran, ketidakhadiran, atau

kelimpahan suatu organisme dapat mengindikasikan sesuatu

(Elliot, 1997). Keragaman serasah yang jatuh juga dapat

mempengaruhi struktur komunitas makrofauna tanah (Laossi et

al., 2008). Ekosistem tanah dengan biodiversitas yang rendah

dianggap kurang ulet, lebih rapuh terhadap gangguan, dan pada

197

akhirnya tidak dapat berfungsi sebagaimana ekosistem tanah

dengan biodiversitas yang tinggi (Bruyn, 1999). Pada tanah yang

rusak, kompleksitas dan biomasa faunanya juga menurun (Lavelle

et al., 1994). Setiap perubahan yang terjadi pada kemampuan

tanah berpengaruh terhadap makrofauna tanah (Lavelle et al.,

2006). Contohnya; biomasa cacing tanah dapat dijadikan

indikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan

horison organik, kelembaban tanah, dan kualitas humus;

sedangkan rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah

dan dekomposisi bahan organik (Maftu’ah et al., 2005). Bruyn

(1999) menyatakan bahwa keragaman semut selalu rendah pada

lahan pertanian dibandingkan dengan vegetasi alami. Salah satu

pendekatan dalam mengelola kesuburan tanah agar menyerupai

ekosistem alami adalah membangun komposisi tegakan sehingga

hampir menyerupai komunitas hutan, caranya dengan

mencampur tanaman tahunan dengan tanaman semusim (Brown

et al., 1994).

Sistem agroforestry berbasis jenis jelutung rawa

memberikan tawaran yang cukup menjanjikan bagi pemulihan

fungsi hutan yang hilang setelah dialihfungsikan. Pencampuran

komposisi jenis tanaman berumur pendek dengan pohon jelutung

rawa dalam satu bidang lahan dapat menjaga dan

mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan,

melalui terpeliharanya sifat fisik dan kesuburan tanah;

meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran;

mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam

lapisan perakaran (Widianto et al., 2003). Selain itu, komposisi

juga meningkatkan kekayaan jenis fauna tanah, memacu proses

dekomposisi dan siklus hara (Zimmer, 2002). Berdirinya tegakan

pohon jelutung rawa dapat menekan laju evaporasi dan

mengurangi intensitas sinar matahari sehingga akan membentuk

iklim mikro yang kondusif bagi kehidupan mikroorganisme dan

198

tanaman, terutama pada musim kering. Sementara itu, penetrasi

akar tanaman ke dalam profil tanah dapat menciptakan lapisan

subsoil yang berbentuk granula dan menciptakan pori yang tidak

mudah tersumbat sehingga memacu perkembangan mikro-

morfologi tanah (Utomo, 1990). Keberadaan pohon jelutung

dalam sistem agroforestry juga memberikan masukan bahan

organik melalui pangkasan dan biomassa yang gugur berupa

daun, cabang, dan ranting.

Perbedaan penggunaan lahan (Lavelle, 1994), nisbah C/N

pada berbagai tipe serasah (Sileshi et al., 2008), serta praktik

pengelolaan lahan dan penggunaannya akan memengaruhi

kelimpahan dan komposisi makrofauna tanah (Baker, 1998).

Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan, dan penanaman

secara monokultur pada sistem pertanian dapat menyebabkan

terjadinya penurunan biodiversitas makrofauna tanah (Maftu’ah

et al., 2005). Pengolahan tanah pada pertanian monokultur

tersebut juga meningkatkan oksidasi bahan organik melalui

pemecahan agregat dan dapat memperluas permukaan bahan

organik sehingga mudah dihancurkan mikroba (Brown et al.

1994). Pengaruh pengolahan tanah terhadap organisme berbeda

sesuai kedalamannya, yaitu dampak negatifnya akan lebih rendah

pada lapisan yang lebih dalam dan aktivitas biota tanah lebih

tinggi pada tanah yang tidak diolah (Miura et al., 2008). Musim,

tempat dan kedalaman tanah (Harsoyo, 2002), sistem

penggunaan lahan (Prijono 1999), suhu dan kelembaban tanah

(Konstantin et al., 2008), jenis vegetasi dan tumbuhan bawah

(Aquino et al., 2008), serta habitat mikro (Miranda et al., 2009)

berpengaruh terhadap kelimpahan jenis makrofauna tanah.

Mengingat perannya yang sangat penting dalam memelihara

keseimbangan siklus hara di dalam tanah, maka penurunan

populasi makrofauna tanah dikhawatirkan akan membawa

dampak menurunnya kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.

199

8.2 Kondisi Iklim Mikro

Penanaman jelutung secara tumpangsari dengan tanaman

semusim pada satu tempat dan waktu yang bersamaan

merupakan pola dasar sistem agroforestry. Pada sistem

agroforestry, terjadi interaksi yaitu adanya proses yang saling

memengaruhi dari komponen-komponen penyusun agroforestry

seperti ditunjukkan pada Gambar 53. Interaksi tersebut bisa

positif (komplimentasi) atau negatif (kompetisi). Beberapa

pengaruh pohon jelutung yang merugikan bila ditanam secara

tumpangsari dengan tanaman semusim, antara lain:

1) kompetisi cahaya, yaitu pohon jelutung tumbuh lebih tinggi

daripada tanaman semusim sehingga kanopinya akan

menaungi tanaman semusim,

2) kompetisi air dan hara, yaitu pepohonan dan tanaman

semusim yang berkembang di lapisan yang sama akan saling

berebut air dan hara sehingga mengurangi jumlah yang

dapat diserap tanaman semusim,

3) inang penyakit, yaitu pohon jelutung dapat menjadi inang

hama dan penyakit untuk tanaman semusim.

Pengaruh positif penanaman pohon jelutung yang

ditumpangsarikan dengan tanaman semusim, antara lain:

1) sumber bahan organik, yaitu daun pohon jelutung yang

gugur dan hasil pangkasan yang dikembalikan ke dalam

tanah dapat menjadi rabuk sehingga tanah menjadi remah,

jatuhan bagian-bagian tanaman yang telah mati dan kering

memiliki peranan sangat penting bagi keharaan tanah

gambut di kawasan hutan gambut; pada ekosistem alamiah,

kandungan hara dalam bagian-bagian tanaman yang jatuh

diyakini sebanding dengan jumlah hara yang diserap oleh

200

tanaman yang tumbuh di atas permukaan tanah (Zimmer,

2002),

2) menekan gulma, yaitu naungan pohon dapat menekan

pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah

sehingga mengurangi risiko kebakaran pada musim

kemarau,

3) mengurangi kehilangan hara, yaitu akar pohon jelutung yang

dalam dapat memperbaiki daur ulang hara melalui beberapa

cara:

(1) akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan

berkompetisi dengan tanaman pangan sehingga

mengurangi pencucian hara ke lapisan yang lebih dalam

(namun, pada batas tertentu kompetisi ini akan

merugikan tanaman pangan);

(2) akar pohon berperan sebagai "jaring penyelamat hara"

yaitu menyerap hara yang tidak terserap oleh tanaman

pangan pada lapisan bawah selama musim

pertumbuhan;

(3) akar pohon berperan sebagai "pemompa hara" yaitu

menyerap hara pada lapisan bawah;

(4) akar pohon berperan memperbaiki struktur tanah dan

porositas tanah;

(5) menjaga kestabilan iklim mikro, mengurangi kecepatan

angin, meningkatkan kelembaban tanah, dan

memberikan naungan parsial;

(6) mengurangi bahaya amblesan (subsiden) melalui

pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan

organik tanah dan struktur tanah.

201

Keterangan:

a = naungan; b = kompetisi terhadap air dan hara; c = daun gugur (serasah) dari pohon berguna untuk menambah C, N, P dan hara lainnya; d = pohon berperakaran dalam berperanan penting sebagai jaring penyelamat hara yang tercuci ke lapisan bawah

Gambar 53. Interaksi jelutung dengan tanaman semusim pada sistem agroforestry (alleycropping)

Hubungan antara lahan gambut dengan sistem

agroforestry berbasis jenis jelutung adalah lahan gambut sebagai

sumber daya dengan gatra (aspect) bentangan (space) dan

habitat, sedangkan sistem agroforestry berbasis jelutung sebagai

sistem masukan (input system) yang dipadukan dengan lahan

induk sebagai sistem induk (parent system) membentuk suatu

sistem produksi (production system) (Notohadiprawiro, 2006).

Lahan gambut mempunyai nilai pakai dan menyediakan

kesempatan untuk dipakai yang tercakup dalam pengertian

kemampuan (capability). Sistem agroforestry berbasis jenis

jelutung memiliki daya pakai dan bertindak sebagai pelaku

(agent) yang menjelmakan kemampuan aktual (produktivitas)

dari kemampuan hakiki (intrinsic) lahan. Perbedaan antara

kemampuan hakiki dan kemampuan aktual merupakan ukuran

202

kemampuan potensial. Hal ini tergantung pada kemempanan

(effectiveness) pelaku sehingga perbedaan ini dapat kecil atau

besar. Kerja pelaku yang semakin mempan berarti lahan terpakai

semakin sempurna dan keluaran (out-put) sistem produksi

semakin mendekati keluaran potensial atau maksimum.

Pencapaian keluaran potensial pada lazimnya dibatasi oleh

pertimbangan ketersediaan teknologi, kejituan (efficiency)

ekonomi, kelayakan sosial-budaya, dan/atau keterizinan dampak

lingkungan. Sasarannya adalah keluaran yang optimum.

Pengoptimuman keluaran ini masih ditentukan pula oleh

kemempanan dakhil (internal effectiveness) sistem agroforestry

berbasis jelutung. Hal ini berarti kemempanan total saling tindak

(interaction) antar anasir sistem agroforestry berbasis jelutung,

dan kemempanan pemaduan agroforestry sebagai sistem

masukan dengan lahan sebagai sistem induk (Notohadiprawiro,

2006).

Hasil pengukuran iklim mikro terhadap tiga kondisi

penutupan lahan: agroforestry jelutung, pertanian monokultur,

dan lahan gambut terlantar menunjukkan bahwa lahan gambut

berpenutupan agroforestry jelutung mempunyai iklim mikro yang

lebih baik. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Gambar 54. Iklim

mikro adalah kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat

terbatas. Komponen iklim ini penting artinya bagi kehidupan

tanaman dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian (Syakir,

1994). Keberadaan tajuk jelutung menyebabkan adanya naungan

yang akan memengaruhi intensitas radiasi sehingga, selain

berpengaruh langsung terhadap tanaman semusim, juga

berpengaruh tidak langsung melalui perubahan iklim mikro di

sekitar tanaman semusim. Menurut Stigter (1984) naungan

berfungsi mencegah terjadinya dispersi tanah, pemindahan uap

air dan CO2 di sekitar tajuk tanaman. Naungan oleh tajuk

203

tanaman jelutung memengaruhi intensitas radiasi matahari, suhu

udara, suhu tanah, kelembaban relatif udara, dan kelembaban

tanah. Semakin tinggi tingkat naungan maka kelembaban tanah

dan kelembaban relatif udara semakin besar; sedangkan suhu

udara, suhu tanah, dan intensitas radiasi semakin menurun.

Semakin tinggi tingkat naungan maka kelembaban relatif udara

dan kelembaban tanah semakin tinggi, sedangkan fluktuasi

kelembaban semakin kecil. Kelembaban tanah dan kelembaban

nisbi udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan

menghambat pertumbuhan tanaman. Intensitas radiasi matahari,

suhu udara, suhu tanah, kelembaban nisbi udara, dan

kelembaban tanah; semuanya memengaruhi fotosintesis dan

respirasi tanaman (Kramer dan Kozlowski, 1960).

Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang

sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah.

Oleh karena itu, suhu tanah akan menentukan tingkat

dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih

rendah dari suhu udara; suhu tanah sangat tergantung dari suhu

udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu

hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga

tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah, dan keadaan

tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1970), besarnya

perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah

berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh

pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi–

sebelum sampai pada permukaan tanah–tergantung pada

vegetasi yang ada di atas permukaannya.

204

Suhu udara maksimum pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry

Kelembaban udara maksimum pada penutupan lahan agroforestry dan

nonagroforestry

Suhu tanah pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry

Intensitas sinar matahari pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry

Gambar 54. Iklim mikro pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry

205

8.3 Amelioran Alternatif Pengganti Abu

Ameliorasi lahan gambut merupakan salah satu cara yang

efektif untuk memperbaiki tingkat kesuburan. Bahan amelioran

yang sering digunakan dalam budi daya tanaman di lokasi

penelitian adalah abu hasil pembakaran gambut dan tumbuhan

gulma (metode besik-bakar). Persoalan utama yang muncul

sebagai akibat praktik besik-bakar adalah terjadinya amblesan,

yaitu menyusutnya gambut dan menurunnya permukaan lahan.

Tabel 32 menyajikan data ketebalan gambut yang terbawa pada

praktik besik-bakar.

Tabel 32. Ketebalan gambut yang terbawa pada proses pembesikan lahan

No. Nama Ulangan Tebal Besik (cm) Rata-

rata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. Sauji 1,7 3,8 2,2 1,4 1,5 2,1 2,8 1,8 0,3 0,8 1,84

2. Paijan 0,9 0,6 1,7 1,6 0,8 2,4 0,4 1,0 1,3 1,5 1,22

3. Slamet 0,9 2,6 1,2 0,9 2,1 1,1 1,0 4,0 0,9 1,0 1,57

4. Sukino 1,2 2,9 2,7 5,2 0,5 1,1 1,0 3,7 0,9 1,7 2,09

5. Tiyo 0,8 0,5 0,9 0,5 1,1 0,6 1,1 1,5 1,6 1,4 1,00

6. Tukijo 6,9 10,8 5,8 7,8 10,9 7,3 7,6 11,6 8,5 7,3 8,45

Catatan: Ukuran besik untuk nomor 1–5 seukuran mata cangkul (15 x 20 cm). Pada nomor 6 biasa dilakukan pada pertanaman jagung dengan cara mencabut batang jagung sisa panen dengan ukuran diameter 11,5– 18,5 cm

Tabel 32 menunjukkan ketebalan gambut yang terbawa

pada kegiatan besik berkisar antara 1–8,45 cm dengan ukuran

besik seukuran mata cangkul (15 x 20 cm) dan ukuran diameter

11,5–18,5 cm. Gambar 55 memperlihatkan berat gulma/serasah,

206

berat gambut, dan berat abu yang dihasilkan. Berdasarkan data

tersebut, berat gambut yang terbawa pada proses besik-bakar

adalah 159,15 ton/ha pada kondisi lahan basah dan 214,8 ton/ha

pada saat kondisi lahan gambut kering. Pada kondisi lahan

gambut kering, ketebalan gambut yang terbawa saat mencangkul

akan lebih besar dibandingkan pada saat lahan basah. Praktik

besik-bakar untuk memperoleh abu sebagai bahan amelioran

harus segera dihentikan dan diganti dengan sumber amelioran

alternatif, yaitu pengomposan bahan organik setempat.

Gambar 55. Rata-rata berat serasah/gulma, gambut, dan abu yang dihasilkan pada kondisi lahan gambut basah dan kering dari lima ulangan

Hasil analisis laboratorium terhadap kandungan hara

kompos berbahan baku bahan organik setempat menunjukkan

bahwa kompos hasil penelitian dapat digunakan untuk

menggantikan abu hasil pembakaran gambut sebagai bahan

amelioran. Kompos hasil penelitian mampu meningkatkan pH dan

207

memiliki kandungan unsur hara yang mencukupi. Hal ini sangat

diperlukan mengingat lahan ganbut memiliki kandungan

beberapa unsur hara makro dan mikro yang rendah (Najiyati et

al., 2005). Pengunaan kompos sebagai bahan amelioran akan

memberikan hasil yang optimal apabila ditambah dengan bahan

amelioran lain seperti kotoran ayam sebagai sumber unsur P dan

K (Buckman & Brady, 1969), zeolit sebagai pengikat N

(Suryapratama, 2004), batuan fosfat alam (rock phosfat) sebagai

sumber unsur P (Moersidi, 1999), dan kapur dolomit sebagai

sumber unsur Ca dan Mg (Winarso, 2005).

Kompos hasil penelitian yang berasal dari jenis bahan

organik yang berbeda menunjukkan kualitas yang berbeda pula.

Hal ini menunjukkan bahwa jenis bahan organik yang akan

dikomposkan berpengaruh terhadap proses pengomposan dan

kualitas kompos yang dihasilkan. Tabel 33 menunjukkan bahwa

kompos berbahan baku bahan organik setempat mempunyai

kandungan hara yang tidak kalah dengan abu dan telah

memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk

kompos. Salah satu indikator kompos yang baik adalah

mempunyai pH mendekati netral. Nilai pH kompos hasil penelitian

berkisar antara 6,34–6,47; sedangkan abu hasil besik-bakar 6,42.

Kandungan unsur N kompos hasil penelitian berkisar antara 0,9–

1,23%; sedangkan abu hasil besik-bakar 0,85%. Kandungan P

kompos hasil penelitian berkisar antara 0,5–0,55%; sedangkan

abu hasil besik-bakar 0,14%. Kandungan unsur K kompos hasil

penelitian berkisar antara 0,3–0,43%; sedangkan abu hasil besik-

bakar 0,34%. Samekto (2006) menyatakan bahwa kompos yang

baik mengandung unsur hara makro N >1,5%, P2O5 (Phosfat)

>1%, dan K2O (Kalium) >1,5%. Rendahnya kandungan unsur N

pada kompos hasil penelitian diduga disebabkan oleh bahan baku

kompos yang berasal dari hijauan dedaunan yang menyebabkan

pertumbuhan mikroba sangat cepat sehingga sebagian dari

208

nitrogen akan berubah menjadi gas amoniak. Hal ini

menyebabkan Nitrogen yang diperlukan akan hilang. Mengatasi

hal ini, Samekto (2006) menyarankan kompos dari gulma yang

banyak mengandung bahan hijauan agar dicampur dengan

bahan-bahan yang mengandung C, seperti limbah serutan kayu.

Pencampuran bahan baku yang mengandung C dan N sebesar 30

: 1 (berdasarkan berat) mampu membuat kandungan unsur-

unsur penyusun proses pembuatan kompos seimbang.

Tabel 33. Kandungan unsur hara pada abu, tiga macam kompos, dan nilai SNI

No. Kandungan Unsur

Amelioran Lokal

Kompos Hasil Penelitian SNI 19-

7030-2004 BKK BKT BKM

1. pH H2O 6,42 6,41 6,34 6,47 6,8–7,49

2. Karbon (C) (%) 42,64 39,48 42,13 36,65 9,8–32

3. Nitrogen (N) (%) 0,85 0,90 1,23 1,09 0,4 (min)

4. C/N 50,36 76,97 36,41 33,89 10–20

5. Phospor (P2O5) 0,14 0,50 0,55 0,55 0,1 (min)

6. Kalium (K2O) (%) 0,34 0,30 0,36 0,43 0,2 (min)

7. Kalsium (Ca) (%) 6,25 3,48 3,30 4,50 25,5 (maks)

8. Magnesium (Mg) (%) 2,75 1,88 1,59 2,22 0,6 (maks)

9. Besi (Fe) (%) 0,77 0,26 1,39 0,10 2 (maks)

10. Sulfur (S) (%) 0,49 0,33 0,35 0,18 Na

Nisbah C/N kompos hasil penelitian berkisar antara 36,41–

76,97; sedangkan abu hasil besik-bakar 50,36. Tingginya nisbah

C/N pada kompos hasil penelitian diduga karena bahan organik

yang digunakan sebagai bahan kompos merupakan tumbuhan

gulma pertanian yang mempunyai kandungan hijauan dengan

209

unsur tinggi, tetapi kemudian menguap menjadi amoniak pada

saat proses pengomposan. Banyaknya N yang hilang menyebab-

kan unsur N dalam kompos rendah sehingga nisbah C/N kompos

menjadi tinggi. Kandungan unsur K, P, Mg, Fe, dan S kompos

hasil penelitian menunjukkan telah memenuhi SNI sehingga

memenuhi syarat untuk kecukupan unsur hara. Hasil analisis

terhadap parameter lingkungan yaitu kesuburan tanah, iklim

mikro, dan teknologi amelioran ramah lingkungan menunjukkan

bahwa pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry

untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara lingkungan

layak dilakukan.

Gambar 56. Tahapan pembuatan bak tanam dari batako (kiri-atas); profil bak tanam untuk tanaman semusim (sayuran) (kanan-atas); penanaman kacang panjang pada bak tanam (kiri-bawah); dan bedengan pada lahan gambut (kanan-bawah) untuk penanaman tanaman semusim

210

Selain pengomposan, upaya lain yang telah dilakukan

untuk mengurangi terjadinya penurunan permukaan gambut

akibat budi daya tanaman semusim adalah dengan membuat bak

tanam berisi tanah mineral sebagai media bercocok tanam

tanaman semusim. Tahapan dalam pembuatan bak tanam pada

penelitian ini ditampilkan pada Gambar 56. Bahan yang

digunakan sebagai dinding bak tanam adalah batako. Tanah

subur (tanah mineral) yang didatangkan dari daerah Tangkiling

dimasukkan ke dalam bak tanam dari batako yang telah selesai

dibuat. Ketebalan lapisan tanah subur yang dihasilkan sekitar 10–

15 cm. Pada saat digunakan sebagai media tanam, ke dalam bak

tanam juga ditambahkan pupuk kandang (pupuk organik) dan

pupuk kompos yang ditabur pada lubang tanam tanaman

semusim.

Gambar 57. Profil tanaman jagung yang mulai berbuah (muncul tongkol) pada bedengan gambut (kiri) dan bak tanam berisi tanah mineral (kanan)

211

Profil tanaman jagung yang ditanam pada bak tanam dan

bedengan gambut menunjukkan bahwa tanaman jagung yang

ditanaman di bak tanam mempunyai performansi pertumbuhan

yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman jagung yang

langsung ditanam di bedengan gambut. Hal ini ditunjukkan

dengan bentuk batang tanaman jagung yang lebih kokoh dengan

persentase tanaman yang roboh saat bertongkol 0%, sedangkan

jagung yang ditanam langsung di tanam di bedengan lahan

gambut mempunyai persentase roboh 5% (Gambar 57 dan

Gambar 58). Selain itu, ukuran tongkol jagung yang ditanam di

bak tanam lebih besar (dari segi ukuran dan bobot) dibandingkan

jagung yang ditanam di bedengan gambut.

Gambar 58. Jagung yang telah bertongkol yang ditanam di bedengan gambut tumbuh miring dan roboh saat hujan-angin (kiri), sedangkan yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral tetap tegak berdiri (kanan)

212

Gambar 59. Penyakit bulai yang menyerang daun jagung yang ditanam di bedengan gambut (kiri). Jagung yang ditanam di bak tanam tidak mengalami serangan penyakit bulai (kanan)

Gambar 60. Profil tanaman kacang tanah yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral (atas) dan di bedengan gambut (bawah)

213

Gambar 59 menunjukkan bahwa jagung yang ditanam di

bedengan gambut banyak yang mengalami penyakit bulai pada

daunnya, yaitu ditandai dengan warna kuning di helaian daun;

sedangkan jagung yang ditanam di bak tanam tidak mengalami

penyakit bulai pada daunnya. Berdasarkan pengalaman petani,

apabila daun jagung mengalami penyakit bulai maka

produktivitasnya akan rendah (tongkol jagung tidak berkembang

sempurna).

Gambar 60 menampilkan profil tanaman kacang panjang

yang ditanam di bedengan gambut dan bak tanam berisi tanah

mineral. Berdasarkan penampilan pertumbuhannya, tanaman

kacang panjang yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral

lebih subur bila dibandingkan dengan kacang tanah yang ditanam

di bedengan gambut. Hal ini ditunjukkan dengan warna daun

yang lebih hijau mengkilap dan hasil panen yang lebih baik.

Berdasarkan Gambar 57 sampai dengan Gambar 60 dan

Tabel 34, kesimpulan dapat diketahui bahwa tanaman pertanian

yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral mempunyai

pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan

tanaman pertanian yang ditanam di bedengan gambut.

Berdasarkan hal tersebut, pengembangan teknik budi daya

tanaman pertanian di lahan gambut dengan bak tanam berisi

tanah mineral secara teknik layak untuk dilakukan dan terbukti

lebih baik dibandingkan cara tradisional (penanaman dilakukan

langsung di bedengan gambut).

214

Tabel 34. Perbandingan jumlah batang jagung yang hidup dan jumlah tongkol pada bak tanam berisi tanah mineral dan bedengan gambut

Ulang-an

∑ Awal di-

tanam

Bak Tanam Berisi Tanah Mineral ∑ Awal

di-tanam

Bedengan Gambut

Jumlah Batang Jagung

Jumlah yang Mati

Jumlah Tongkol Jagung

Jumlah Batang Jagung

Jumlah yang Mati

Jumlah Tongkol Jagung

1 30 24 6 20 60 44 16 29

2 50 45 5 44 60 41 19 33

3 50 43 7 40 60 51 9 51

4 50 45 5 40 60 60 0 52

5 60 54 6 45 60 52 8 45

6 60 59 1 54 60 52 8 46

7 50 49 1 54 60 47 13 44

8 50 50 0 48 60 43 17 41

9 60 56 4 41 60 51 9 46

10 50 48 2 46 60 48 12 37

11 60 55 5 49 60 47 13 39

12 60 53 7 48 60 52 8 47

13 60 52 8 46 60 42 18 34

14 60 52 8 41 60 50 10 50

15 50 50 0 45 60 57 3 55

16 60 56 4 55 60 52 8 33

∑ Total 810 791 76 716 960 789 171 682

Analisis kelayakan ekonomi penerapan bak tanam berisi

tanah mineral untuk menggantikan teknik tradisional dan

penanaman dilakukan langsung di bedengan gambut dapat

dijelaskan dengan perhitungan sederhana sebagai berikut.

215

1. Perhitungan biaya pembuatan bedengan gambut. Biaya

pelaksanaan besik-bakar dan pembuatan bedengan gambut

per gang (lorong di antara dua jalur tanaman jelutung yang

terdiri atas empat bedengan), yaitu:

(1) upah tebas-bakar Rp100.000,00;

(2) upah mencangkul membuat bedengan Rp100.000,00;

(3) upah melubangi dan menabur abu di lubang tanam

Rp50.000,00.

Total biaya sebesar Rp250.000,00. Biaya pembuatan

bedengan per satu gang tersebut akan selalu dikeluarkan

petani pada setiap musim tanam.

2. Perhitungan biaya pembuatan bak tanam berisi tanah subur.

Pada penelitian ini telah dibuat bak tanam dari batako

sebanyak 16 bak dengan ukuran masing-masing bak tanam

lebar 125 cm dan panjang 1.150 cm. Pada setiap gang/

lorong antara dua jalur tanaman jelutung terdapat empat

buah bak tanam. Komponen biaya yang dikeluarkan dalam

pembuatan bak tanam berisi tanah subur per gang/lorong

adalah:

(1) harga tanah mineral subur Rp400.000,00;

(2) harga batako Rp496.000,00;

(3) upah pemasangan batako membentuk bak tanam

Rp1.000.000,00;

(4) upah mengisi bak tanam dengan tanah mineral dengan

ketebalan 10–15 cm per bak tanam Rp100.000,00;

(5) upah melubangi dan menabur kompos di lubang tanam:

Rp 50.000,00.

Total biaya sebesar Rp2.046.000,00. Biaya pembuatan bak

tanam per satu gang tersebut hanya dikeluarkan satu kali

216

untuk beberapa kali penanaman tanaman semusim (sejauh

tanah mineral dalam bak tidak tererosi/hilang dari dalam bak

tanam). Apabila digunakan asumsi bahwa umur pakai bak

tanam adalah sebanyak 100 kali penanaman tanaman

semusim, biaya yang dikeluarkan untuk 100 kali penanaman

tanaman semusim untuk teknik tradisional–penanaman

dilakukan di bedengan gambut–sebesar Rp25.000.000,00

(100 x Rp250.000,00). Berdasarkan perhitungan tersebut,

penerapan bak tanam berisi tanah mineral untuk budi daya

tanaman semusim di lahan gambut dalam jangka panjang

lebih ekonomis dibandingkan dengan cara tradisional

(penanaman dilakukan langsung di bedengan gambut).

Selain lebih ekonomis, penanaman tanaman semusim di bak

tanam berisi tanah mineral juga lebih ramah lingkungan

karena dapat mengurangi terjadinya penurunan permukaan

lahan gambut (subsidence). Berdasarkan uraian tersebut,

penerapan teknik budi daya tanaman semusim di bak tanam

berisi tanah mineral di lahan gambut secara ekonomi layak

dilakukan dengan tingkat efisiensi sebesar 1 : 12

dibandingkan dengan teknik tradisional.

217

KELEMBAGAAN AGROFORESTRY

Strategi yang dilakukan untuk pengembangan sistem

agroforestry berbasis jelutung rawa untuk memproduktifkan

lahan gambut mencakup dua hal, yaitu (1) membangun

kelompok tani pengembang sistem agroforestry berkategori

kelompok produktif, dan (2) membangun kelembagaan

pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem

Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan.

Pendekatan yang dilakukan untuk pengembangan sistem

agroforestry berbasis jelutung rawa di lahan gambut berprinsip

pada dua aspek: (1) pemberdayaan melalui pembangunan

kapasitas, dan (2) mendukung perencanaan dan peningkatan

matapencaharian (livelihood). Penyusunan konsepsi pelibatan

petani lokal dalam pengembangan sistem agroforestry di lahan

gambut dilakukan dengan konsep pendekatan pemberdayaan

petani lokal. Hal ini dilakukan melalui pembangunan kapasitas

petani lokal yang mendukung perencanaan dan peningkatan

matapencaharian. Proses konsep tersebut dijelaskan pada

Gambar 61.

Bab IX

218

Gambar 61. Proses perencanaan pengembangan agroforestry di lahan gambut

Uraian berikut menjelaskan proses perencanaan pengem-

bangan agroforestry di lahan gambut.

1. Pengkajian Desa Partisipatif (PRA)

Tujuan utama dari PRA dalam pengembangan agroforestry

di lahan gambut adalah untuk menyusun rencana program

tersebut di tingkat desa yang memenuhi persyaratan: dapat

diterima petani lokal, secara ekonomi menguntungkan, dan

berdampak positif bagi lingkungan. Metode ini dilakukan

dengan memobilisasi sumber daya petani dan alam

setempat, serta lembaga lokal untuk mempercepat

peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan

pendapatan masyarakat, serta melestarikan sumber daya

219

alam setempat (Syahyuti, 2006). Pendekatan partisipatif

dalam kegiatan ini akan memberikan keuntungan, antara

lain petani peserta program akan lebih energik, lebih komit,

dan lebih bertanggung jawab. Agar terjadi pemberdayaan

petani lokal dalam kegiatan tersebut maka perlu adanya

dukungan bagi petani lokal untuk mengemukakan

pendapatnya, berbagi pengetahuan dan pengalaman,

mengkaji dan menyusun rencana, menciptakan kondisi yang

kondusif, dan berfokus pada proses dengan tidak

meninggalkan isi proses. Esensi pendekatan partisipatif

adalah seperti puisi karya pujangga klasik Cina, Lao Tzu,

berikut.

Datanglah ke desa, tinggallah bersama petani lokal,

Pahami mereka, pahami kebutuhan dan aspirasi mereka,

Ikutlah senang dan sedih bersama mereka,

Tunjukkan cara-cara berorganisasi kepada mereka,

Mulailah dengan apa yang mereka ketahui,

Membangunlah dengan apa yang mereka miliki,

Tingkatkan keterampilan mereka,

Bekerja sambil belajar,

Bimbinglah dengan peragaan dan contoh.

2. Kelompok Kerja Desa (KKD)

Kelompok Kerja Desa (KKD) merupakan lembaga yang terdiri

atas kelompok peminat program, tenaga ahli lokal, LSM

pendamping, dan perangkat pemerintahan desa. Lembaga

ini berfungsi untuk memfasilitasi, melatih, mendampingi, dan

mengasistensi individu petani peminat program (kepala

rumah tangga peminat program).

220

3. Perencanaan Rumah Tangga

Ujung tombak keberhasilan pengembangan agroforestry

untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di lahan gambut

adalah individu petani (kepala rumah tangga peminat

program). Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan tersebut

perlu memerhatikan aspirasi individu petani, utamanya

dalam preferensi jenis pohon yang akan ditanam dan pola

tanam yang akan digunakan. Perencanaan pengembangan

agroforestry untuk memproduktifkan lahan gambut tingkat

rumah tangga merupakan mekanisme pelaksanaan RHL

yang bottom-up.

4. Konsolidasi

Konsolidasi merupakan tahapan setelah masing-masing

individu petani (kepala rumah tangga peminat program)

menyelesaikan usulannya, dan usulan tersebut telah dibahas

oleh KKD. Selanjutnya, KKD akan mengajukan hasil

pembahasan kepada pemerintah. Implementasi pengem-

bangan agroforestry untuk RHL partisipatif di lahan gambut

dilakukan dengan metode seperti pada Gambar 59.

221

Gambar 62. Aksi pengembangan agroforestry di lahan gambut

Uraian berikut menjelaskan proses aksi pengembangan

agroforestry di lahan gambut.

1. Kelompok Peminat Program

Lokasi lahan tempat pengembangan agroforestry lahan

gambut di tingkat desa ditentukan bukan berdasarkan pola

hamparan, tetapi berdasarkan pada petani peminat program.

Petani yang berminat mendaftarkan dirinya sebagai petani

peserta program yang selanjutnya bergabung dalam

kelompok peminat program.

2. Tenaga Ahli Lokal

Bagi petani di desa, faktor tokoh panutan mempunyai

pengaruh besar pada cara pandang dan cara tindak mereka.

2. Tenaga Ahli

Lokal

4. Implementasi

Aksi Pengembangan agroforestry di lahan gambut

1. Kelompok Peminat Program

3. Kontrak

222

Secara umum, petani di desa mencirikan masyarakat yang

paternalistik, yaitu faktor karakter tokoh desa akan banyak

memengaruhi dinamika kehidupan mereka (Adi, 2003). Lebih

lanjut, Ismawan (2000) menjelaskan bahwa ciri paternalistik

petani lokal di pedesaan dapat dipandang sebagai potensi

kelembagaan petani di pedesaan untuk dijadikan energi bagi

kemajuan perekonomian (dalam hal ini keberhasilan

pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan gambut).

3. Kontrak

Kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan musyawarah

yang dituangkan dalam surat kesepakatan bermaterai. Hal

ini dimaksudkan agar kesepakatan tersebut mengikat semua

pihak yang terlibat dalam penyusunan kesepakatan tersebut.

4. Implementasi

Langkah selanjutnya adalah implementasi semua hal yang

telah disepakati dalam kontrak kerja. Pada aspek

implementasi, faktor keberlanjutan merupakan hal yang

pokok dan dapat tercipta jika kondisi berikut terpenuhi:

(1) pelatihan bagi petani peminat program untuk

memfasilitasi dan melatih petani yang lainnya;

(2) dukungan keuangan dan teknis untuk membangun

kapasitas;

(3) mempercepat dan mendukung terbentuknya institusi

lokal yang kuat;

(4) pelaksanaan program berprinsip petani lokal yang

memutuskan, memilih, dan mengelola;

(5) jaringan kerja antar desa-desa (antar KKD);

(6) desentralisasi budget dan sumber daya.

223

Inti dari pembentukan partisipasi petani lokal pada

pengembangan agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan gambut

adalah bagaimana para pihak pemangku kepentingan

(stakeholders) mampu membangun komunikasi yang sehat

dengan mengedepankan nilai-nilai persamaan hak, kesetaraan,

bertanggung jawab, saling menghormati, dan menghargai. Selain

itu, lokasi pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan

gambut seharusnya ditentukan berdasarkan kepada petani

peminat bukan hamparan lahan dengan alasan (1) individu petani

peminat program (kelompok pehobi) masing-masing telah

mempunyai kesadaran (awareness), (2) adanya ketertarikan

(interest), (3) adanya keinginan yang kuat (desire), dan (4)

kemampuan untuk bertindak (action) dalam mensukseskan

kegiatan RHL. Keempat sikap positif tersebut sangat penting

dalam pelaksanaan RHL partisipatif.

Kesadaran (awareness) petani muncul didasari oleh

beberapa hal, yaitu (1) kesadaran petani untuk menghindari

terjadinya kerusakan lingkungan seperti erosi, banjir, dan

bencana ekologis lainnya; (2) kesadaran petani bahwa menanam

pohon dapat menjadi tabungan di hari tua dan anak cucu; (3)

kesadaran petani bahwa hutan yang cenderung semakin

berkurang luasannya dan semakin jauh dari permukiman

menyebabkan mereka akan kesulitan memperoleh kayu, baik

untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual; (4) kesadaran

petani bahwa penanaman pohon mempunyai peranan menjaga

kesuburan lahan gambut. Sistem perladangan berpindah

merupakan bukti nyata peranan pohon dalam mengembalikan

kesuburan tanah.

Ketertarikan (interest) petani untuk berpartisipasi selain

ditentukan oleh faktor internal juga faktor eksternal, utamanya

pola insentif yang ditawarkan. Karakteristik petani yang marginal

224

(subsisten), tawaran hasil yang besar merupakan salah satu

faktor pemacu yang sangat memotivasi petani lokal

mengembangan agroforestry di lahan gambut.

Keinginan yang kuat (desire) untuk memproduktifkan lahan

gambutnya selanjutnya akan mendorong petani melakukan aksi

(action) untuk mengembangkan agroforestry sesuai dengan

minat dan kebutuhannya. Pemberdayaan petani yang dilakukan

harus mencakup lima aspek pengembangan: sumber daya

manusia (SDM), organisasi, budi daya (teknis usaha), keuangan/

ekonomi, dan kemitraan. Pola pembinaan dan pengembangan

tersebut diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan taraf

hidup petani, serta mampu mendorong perekonomian petani

lokal kearah yang lebih maju.

Kesejahteraan petani lokal dapat terwujud jika empat

faktor berikut terpenuhi:

(1) produktivitas kebun yang setinggi-tingginya;

(2) kualitas produksi yang sebaik-baiknya;

(3) adanya diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal;

(4) adanya mitra usaha yang menangani aspek pengolahan,

pemasaran, dan keuangan.

Keempat faktor tersebut dapat terwujud, bila persyaratan

berikut terpenuhi: (1) sumber daya petani yang profesional; (2)

kebersamaan, kekompakan, dan keharmonisan seluruh petani

(warga desa); (3) kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi

melayani kebutuhan petani yang didukung oleh sistem keuangan

yang transparan. Inti dari kegiatan pemberdayaan petani adalah

mengakumulasikan potensi yang dimiliki individu petani

(pendekatan dari bawah) untuk digunakan secara maksimal

mewujudkan kesejahteraan mereka.

225

Dalam konteks pelibatan petani lokal dalam pengembangan

agroforestry untuk RHL di lahan gambut, desain program

seharusnya tidak hanya sekedar mengatur aspek teknis. Desain

program kegiatan juga harus dapat menjamin kelestarian

pemanfaatan sumber daya hutan secara ekologis dan sosial-

ekonomi, yaitu hutan tetap lestari dan petani lokal sejahtera.

Oleh karena itu, penetapan tujuan kegiatan dilakukan untuk

mendesain program dengan tujuan dan kegiatan yang menjamin

tingkat kelestarian yang tinggi dari penggunaan sumber daya

lahan gambut dan petani lokal dengan penekanan pada

keterlibatan dan peran serta petani lokal secara aktif.

Keterlibatan dan peran serta petani lokal dalam kegiatan RHL

akan sangat tergantung dari sejauh mana petani lokal merasa

dan menerima tanggung jawab terhadap pengelolaan sumber

daya, yaitu seperti dalam bentuk kesempatan untuk mengontrol

dan mengawasi sumber daya, dimilikinya bentuk tugas dan

kewajiban yang jelas, adanya hak yang jelas, pengetahuan dan

kemampuan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut,

dan diperolehnya imbalan yang memadai untuk melakukan

kontrol tersebut.

Uraian berikut menjelaskan tentang hubungan antara hak,

kompetensi (kemampuan), manfaat, dan kelembagaan (organi-

sasi) petani lokal yang kuat sebagai prasyarat penting untuk

menjamin peran serta dan tumbuhnya tanggung jawab dalam

pengembangan agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan

gambut.

1. Kepentingan/Manfaat Ekonomi

Masyarakat akan terlibat dalam kegiatan RHL hanya apabila

mereka melihat secara jelas manfaatnya, baik intangible

maupun tangible; berupa hasil fisik, jasa, ataupun dalam

bentuk penerimaan. Mereka akan membuat perkiraan biaya-

226

manfaat (untung rugi), baik untuk kepentingan jangka

pendek maupun jangka panjang, dalam konteks tujuan

ekologis ataupun sosial-ekonomi. Oleh karena itu,

pembangunan dan pengembangan hutan rakyat harus

mempertimbangkan kepentingan ganda (multiple interest)

yang dapat dinikmati petani lokal. Apabila kepentingan

ekonomi pembangunan hutan rakyat tidak cukup memadai–

seperti yang diperkirakan–maka dapat menyebabkan mereka

kurang termotivasi mengorbankan waktu, tenaga, ataupun

dana untuk melakukan kegiatan tersebut. Penerimaan

finansial dari pola agroforestry yang dikembangkan erat

sekali hubungannya dengan rasa memiliki terhadap

keberadaan jenis tanaman yang ditanamnya.

2. Kompetensi/Kapasitas

Masyarakat akan termotivasi untuk terlibat dalam

pengembangan agroforestry dalam rangka RHL di lahan

gambut hanya apabila memiliki kompetensi (pengetahuan

atau teknologi) untuk mengerjakan kegiatan tersebut.

Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa kemampuan

analisis untuk melihat situasi dan kondisi aktual (saat ini)

dan potensi di masa depan, ataupun kemampuan untuk

melakukan pilihan terbaik dari beragam aktivitas beserta

dampaknya. Hal ini berkaitan dengan pengorganisasian dan

pengelolaan aktivitas tersebut. Kompetensi untuk melakukan

pengelolaan tanaman RHL seharusnya didasarkan pada

pengetahuan setempat dan dapat diadaptasikan ke kondisi

lingkungan yang berubah sebagai tujuan atau sasaran yang

diinginkan. Kompetensi ini dapat dilakukan melalui pelatihan

atau bentuk pendidikan lainnya.

227

3. Wewenang dan Hak

Apabila dipandang tidak ada jaminan berupa kewenangan

dan hak yang dapat mereka peroleh dari aktivitas yang

dilakukan, dapat dipastikan, mereka akan ragu. Bahkan,

mereka akan meninggalkan aktivitas tersebut dan beralih ke

aktivitas lain yang lebih memberikan jaminan hasilnya. Pada

beberapa kasus, sistem kewenangan dan hak tradisional

terkadang sedang dalam proses disintegrasi yang secara

perlahan tergantikan oleh ketentuan formal dan hanya

memberikan sedikit keleluasaan bagi berkembangnya

kewenangan dan hak setempat. Kewenangan dan hak

terhadap hasil, akses, dan hak kepemilikan individu ataupun

kolektif sebaiknya dibuat secara eksplisit dalam kerangka

ketentuan formal, misalnya dalam bentuk peraturan

pemerintah atau perundangan lainnya.

4. Organisasi Lokal yang Kuat

Organisasi lokal yang kuat sebaiknya juga diikuti pada

tingkat individu. Untuk meningkatkan pengakuan bahwa

individu-individu petani pengembang agroforestry memiliki

kapasitas, kepentingan individu-individu tersebut sebaiknya

didukung oleh organisasi lokal yang kuat. Pengelolaan

agroforestry yang dikembangkan akan mendapat dukungan,

peran serta, dan tanggung jawab petani di tingkat lokal

apabila pada tingkat tersebut dipenuhi empat prakondisi:

adanya jaminan hak, dimilikinya pengetahuan/ kompetensi,

ada jaminan manfaat, dan adanya kelembagan lokal yang

kuat.

Sementara itu di tingkat nasional, instrumen kebijakan harus

berjalan secara efektif yang terdiri atas peraturan yang

menjamin adanya hak, training/pelatihan dan penelitian

228

yang terus-menerus, dan ditetapkannya insentif. Apabila

dicermati dalam proses pengembangan agroforestry, petani

lokal–sebagai pelaku utama–memiliki tanggung jawab yang

besar yaitu melestarikan fungsi hutan. Namun pada saat

yang sama, mereka juga dituntut untuk mampu

meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Padahal,

tingkat kelestarian fungsi hutan dan tingkat kesejahteraan

masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik masing-masing. Sebagai

pelaku atau pengelolaan tanaman RHL, petani lokal harus

mengenal ciri-ciri fungsi hutan yang lestari tersebut,

bagaimana kriteria dan indikatornya. Begitu halnya, kriteria

dan indikator petani lokal yang sejahtera perlu dikenali dan

diusahakan oleh para pihak (stakeholders) yang terlibat

dalam kegiatan RHL partisipatif.

Upaya mewujudkan kesejahteraan petani lokal tersebut

memerlukan adanya kemitraan. Kata kemitraan berasal dari

kata mitra yang berarti teman. Kata “teman” ini mengajak

kita mempersepsikan hubungan antar personal yang

berkelanjutan dan selalu menghasilkan hal yang baik/positif,

sedangkan lawan dari kata teman adalah musuh yang dapat

diartikan hubungan antar makhluk yang terputus dan

menghasilkan efek yang negatif. Dasar pemikiran yang perlu

kita pahami sebenarnya adalah perlunya landasan keikhlasan

antara kedua pihak untuk menjalin hubungan kemitraan

tersebut. Apabila tidak ada keikhlasan atau kerelaan, maka

hubungan kemitraan tersebut diragukan kekuatan dan

ketahanannya. Hubungan kemitraan yang dilandasi dengan

keikhlasan, akan menjadi hubungan kemitraan yang kuat.

Kerelaan atau keikhlasan dalam menjalin hubungan

kemitraan akan memotivasi kita untuk memahami, mengerti,

dan mencoba mengadaptasi diri sendiri dengan orang lain

(teman) sehingga kita cenderung selalu membuat suasana

229

yang ramah, baik, dan kondusif. Kerjasama tersebut tercipta

karena pihak mitra melihat bahwa dengan adanya

kebersamaan dalam masyarakat, peluang-peluang usaha

akan muncul dengan nilai efisiensi tinggi. Sebagai contoh,

apabila produksi dipasarkan secara kolektif maka kontinuitas

produksi akan tercapai dan pemasaran akan menguntung-

kan. Sementara itu, berbekal kebersamaan pola pikir

(motivasi memperbaiki hidup), kualitas produksi akan

meningkat dengan adanya kebersamaan motivasi untuk

mempertinggi nilai tawar (bargaining position). Namun

demikian, perlu disadari bahwa pada hubungan kemitraan

yang kuat sekalipun dapat saja terjadi risiko hubungan

kemitraan yang lambat laun akan hilang.

Degradasi hubungan kemitraan dapat disebabkan karena

adanya eliminasi sikap saling percaya yang semakin lama

semakin diragukan oleh masing-masing pihak yang bermitra.

Apalagi dalam kemitraan usaha, setiap pihak sering

meragukan komitmen pihak yang lain dalam bermitra. Untuk

menghindari hal tersebut, sistem yang menjamin bahwa

setiap pihak tetap mendapatkan keuntungan materiil

maupun moril secara adil sangat diperlukan. Sistem tersebut

disebut dengan Sistem kebersamaan ekonomi (SKE). Sistem

kebersamaan ekonomi (SKE) adalah suatu sistem yang

mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh

laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan

kebersamaan. Pendekatan ini diperlukan untuk memperkuat

rasa kebersamaan masing-masing pihak karena nilai

kebersamaan dianggap kuat bila dapat mengakomodir

kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada

keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing

pihak, kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersama-

an yang produktif dan tidak bertahan lama.

230

Pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan gambut

pada masa mendatang kiranya perlu dirancang pola insentif yang

memenuhi syarat: (1) menarik minat petani untuk berpartisipasi

secara aktif, dan (2) mampu meningkatkan kesejahteraan petani

melalui pemberdayaan potensi yang dimiliki masing-masing

individu petani dan kelompoknya. Insentif kegiatan RHL selama

ini (termasuk insentif GN-RHL/GERHAN) lebih banyak didasari

oleh keinginan petani lokal untuk mendapatkan “upah”. Hal ini

berakibat partisipasi petani lokal lebih dilandasi kepentingan

memperoleh keuntungan materi yang bersifat sesaat sehingga

kondisi tanaman menjadi kurang terawat, terutama setelah

kegiatan tidak lagi dibiayai oleh proyek (pemerintah). Dengan

demikian, kondisi tersebut berakibat pada rendahnya

keberhasilan tanaman RHL.

Berdasarkan hal tersebut, beberapa upaya perlu dilakukan

untuk menarik minat petani berpartisipasi dalam kegiatan RHL,

sebagai berikut.

1. Lahan lokasi pengembangan agroforestry di lahan milik tidak

harus berupa satu hamparan, tetapi tergantung pada

kepemilikan lahan oleh petani peminat program.

2. Iinsentif kegiatan pengembangan agroforestry dapat berupa

peminjaman uang untuk modal kerja usaha produktif seperti

perbengkelan, peternakan (ayam, itik, kambing, sapi, dll.),

warung makan, penjahit pakaian, dan usaha produktif

lainnya. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama

oleh pemerintah dan petani peserta program dalam bentuk

surat kesepakatan (MoU) bermeterai.

3. Insentif kegiatan RHL dapat berupa pemberian beras (food

for work) untuk petani peserta program yang jumlahnya

ditentukan setiap bulan. Jumlah beras yang diterima per

bulan dan jangka waktu pemberian beras tersebut

231

ditentukan berdasarkan luasan lahan dan jumlah batang

pohon per ha yang ditanam oleh petani. Kesepakatan ini

disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani

peserta program dalam bentuk surat kesepakatan (MoU)

bermeterai.

4. Insentif berupa upah langsung sebaiknya dilakukan dengan

mekanisme “beli tanaman tumbuh”. Pada pola ini,

mekanisme pemberian upah dilakukan secara periodik

(misalnya setiap 3 bulan atau 6 bulan sesuai pertumbuhan

tanaman). Besarnya upah yang diterima petani peserta

ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah tanaman yang

ditanam yang hidup atau tumbuh. Luas lahan yang ditanami

atau jumlah pohon per ha yang ditanam merupakan hasil

kesepakatan atau musyawarah dengan petani peminat

program. Kesepakatan ini pun harus dibuat bersama-sama

oleh pemerintah dan petani peserta program dalam bentuk

surat kesepakatan (MoU) bermeterai.

Selain itu, mengingat kondisi ekologi adalah lahan gambut,

praktik pertanian seharusnya mengacu pada bentuk-bentuk

pertanian berikut.

1. Praktik pertanian yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan

sumber daya lokal yang ada, yaitu dengan mengombinasikan

berbagai macam komponen sistem usaha tani (tanaman,

hewan, tanah, air, iklim, dan manusia) sehingga saling

melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.

2. Praktik pertanian dengan cara pemanfaatan input luar hanya

diperlukan bila untuk tujuan melengkapi unsur-unsur yang

kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya

biologi, fisik, dan manusia; pemanfaatan input luar

232

memberikan perhatian utama pada upaya memaksimalkan

daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan.

3. Praktik pertanian tidak bertujuan untuk memaksimalkan

produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai

tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka

panjang.

Teknologi yang diaplikasikan dalam pengembangan

agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan gambut harus

memerhatikan kondisi petani dengan berprinsip:

(1) pemahaman akan kebutuhan dan aspirasi petani lokal;

(2) fasilitasi/pendampingan tentang cara-cara berorganisasi

kepada petani lokal;

(3) paket teknologi yang akan dikembangkan harus dimulai dari

apa yang mereka ketahui;

(4) kegiatan dibangun atas dasar apa yang mereka miliki

(potensi SDA dan SDM setempat);

(5) asistensi peningkatan kapasitas dan keterampilan mereka;

(6) bekerja sambil belajar;

(7) membimbing dengan peragaan dan contoh.

233

DAFTAR PUSTAKA

Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 354 hlm.

Adinugroho, W.C., I.N.N. Suryadiputra, B.H. Saharja dan I. Siboro, 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Wetland Int.-Indo. Prog. & GEC. Bogor, Indonesia. 162 hlm.

Aminudin. 1982. Light requirement of Dyera costulata seedlings. Malayan Forester 45 (2): 203–208.

Andriesse. J.P. 1988. Nature and management of tropical peat soils. FAO Soils Bull. 59. 165 hlm.

Aquino, A.M., R.F. Silva, F.M. Mercante, M.E.F. Correria, M.F. Guimardes and P. Lavelle. 2008. Invertebrate soil macrofauna under different ground cover plants in the no-till system in the Cerrado. European Journal of Soil Biology 44: 191–197. www.sciencedirect.com.

Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. 2005. Budi daya Jelutung. Laporan Profil Penyusunan Bidang Usaha Unggulan Sub Sektor Perkebunan. 27 hlm.

Baker, G.H. 1998. Recognizing and responding to the influences of agriculture and other landuse practices on soil fauna in Australia. App. Soil Eco. 9: 303–310. www.sciencedirect.com.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian [BB Litbang SDLP]. 2008. Laporan Tahunan 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

234

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan [BPDAS]. 2007. Laporan Kegiatan Pembangunan Area Model Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gambut. Palangkaraya. 35 hlm.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan [BPDAS]. 2009. Laporan Kegiatan Pembangunan Area Model Silvikultur Intensif (SILIN). Palangkaraya. 40 hlm.

Barber, K.E. 1993. Peatlands as scientific archives of past biodiversity. Biodiversity and Conservation, 2: 89–474.

Basri, H.M. 2001. Analisis margin pemasaran industri gula aren produksi pengrajin gula aren di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Jurnal Kalimantan Scientiae 58 Th. XIX: 55–71.

Bastoni. 2001. Pertumbuhan hasil dan kualitas tapak hutan tanaman di Sumatera bagian Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan.

Bastoni dan A.H. Lukman. 2006. Prospek pengembangan hutan tanaman jelutung (Dyera lowii) pada lahan rawa Sumatera. Di dalam S. Hidayat, H. Daryono, H. Suhaendi, M. Turjaman dan H. Mardiah [Editor]. Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Jambi, 22 Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. pp 19–30.

Bastoni dan H.D. Riyanto. 1999. Teknik Silvikultur untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan Basah Bekas Tebangan di Sumatera Selatan dan Jambi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan.

Botch, M.S., K.I. Kobak, T.S. Vinson and T.P. Kolchugina. (1995). Carbon pools and accumulation in peatlands of the former Soviet Union. Global Biogeochemical Cycles, 9: 37–46.

Brady, M.A. 1997. Organic matter dynamic of coastal peat deposit in Sumatera, Indonesia. Phd thesis. The University of British dalam Mudiyarso dkk, 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan

235

cadangan Karbon pada lahan gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.

Brown, S., J.M. Anderson, P.L. Woomer, M.J. Swift and E. Barrios. 1994. Soil biological processes in tropical ecosystems. In P.L. Woomer and M.J. Swift [Editor] The Biological Management of Tropical Soil Fertility. John Wiley & Sons. pp 15–46.

Bruyn, L.A.L. 1999. Ants as bioindicators of soil function in rural environments. Agriculture, Ecosystem and Environment 74: 425–441. www.sciencedirect.com.

Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1969. The Nature And Properties Of Soils. The Mac Millan Company, New York.

Budiningsih, K. dan A. Ardhana. 2011. Laporan Hasil Penelitian T.A. 2010. RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Analisis ekonomi dan kelayakan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Banjarbaru. Januari 2011. 44 hlm.

Burkill. 1935. A Dictionary of Economic Products of Malaysia. pp 889–897.

Central Kalimantan Peat Project [CKPP]. 2007. Mengelola Bencana Kebakaran Hutan Lahan dan Pekarangan. Palangkaraya. 120 hlm.

Dahuri, R. 1997. Dampak lingkungan proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektar dan arahan pengelolaannya. Jurnal Alami 2 (1): 7–12.

Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah, dasar teori bagi peneliti tanah dan pelaksana pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 441 halaman.

Daryono, H. 2000. Teknik Membangun Hutan Tanaman Industri Jenis Jelutung (Dyera spp.). Informasi Teknis Galam No. 3/98. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Kalimantan Selatan.

236

Decaens, T., T. Dutoit, D. Alard and P. Lavelle. 1998. Factor influencing soil macrofaunal communities in post-pastoral successions of western France. App. Soil Eco. 9: 361–367. www.sciencedirect.com.

Departemen Kehutanan [Dephut]. 2009a. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan [Dephut]. 2009b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria Dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Diemont, W.H., H.D. Rijksen and M.J. Silvius. 1992. Development and conservation of lowland peat areas in Indonesia: how and where. In B.Y. Aminnudin [Editor]. Tropical Peat: Proceeding of The International Symposium on Tropic Peatland. 6–10 Mei 1991. Kuching, Sarawak, Malaysia. pp 169–179.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2003. Pemberdayaan Petani Melalui Sistem Kebersamaan Ekonomi Berdasarkan Manajemen Kemitraan. Jakarta.

Djajadiningrat, S.T. 2001. Untuk Generasi Masa Depan: Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi. Departemen Teknik Industri. Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Bandung. 375 hlm.

Dradjat, M., S. Soeprapto, M. Shodiq, Hidayat and N. Mulyono. 1989. Subsidence of peat soils in the tidal swamplands of Barambai, South Kalimantan. p 168–181. In ILRI. Symp. Lowland Development in Indonesia, Jakarta, 24–31 August 1986, Wageningen, The Netherlands.

Driessen, P.M. and Soepraptohardjo. 1974. Organic Soils. In Soils for agricultural expansion in Indonesia. ATA 106 Bulletin 1. Soil Research Institute. Bogor.

Elliot, E.T. 1997. Rationale for developing bioindicators of soil health. in C. Pankhrust, B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta

237

[Editor]. Biological Indicators of Soil Health. CAB International, New York, USA. pp 49–78.

Euroconsult. 1984. Nationwide study of coastal and near coastal swamp-land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Vol. I and II, Arnhem.

Foxworthy. 1972. Commercial timber trees of Malay. The Malayan Forester 3: 109–112.

Hadi, A., M. Haridi, K. Inubushi, E. Purnomo, F. Razie and H. Tsuruta. 2001. Effects of land-use change on tropical peat soil on the microbial population and emission of greenhouse gases. Microbes and Environments 16: 79–86.

Hairiah, K., M. Agung dan S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestry. ICRAF World Agroforestry Center.

Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian suatu peluang dan tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. 22 Juni 1996.

Harsoyo, E. 2002. Keragaman dan dinamika makrofauna tanah pada berbagai pola penggunaan lahan di Pekalongan Jawa Tengah. Tesis Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan.

Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Seameo Biotrop. Bogor.

Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943.

Huxley, P.A. 1999. Tropical Agroforestry. Blackwell Science Ltd. London.

Indrayatie, E.R. dan Suyanto. 2009. Penyusunan Database Digital Karakteristik Habitat Jelutung (Dyera polyphylla Miq. V. Steenis) di Lahan Basah Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan. Manajemen Hutan. Universitas Lambung Mangkurat. Tidak dipublikasikan.

238

Ismawan, B. 2000. Pemberdayaan Orang Miskin: Refleksi Seorang Pegiat LSM. Puspa Swara. Jakarta.

Jaya, N.S. 2002. Perubahan tutupan lahan di kawasan lahan gambut sejuta hektar selama 5 tahun (1995–2000). Prosiding Lokakarya Kajian Status dan Sebaran Gambut di Indonesia, Bogor 25 Oktober 2002. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Jouquet, P., J. Dauber, Lagerlof, P. Lavelle and M. Lepage. 2006. Soil invertebrate as ecosystem engineers: Intended and accidental effect on soil and feedback loops. Appl. Soil Ecol. 32: 153–164. www.sciencedirect.com.

Kartamihardja, E.S. 2002. Pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah: mega proyek pemusnahan sumberdaya perikanan. Makalah falsafah sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor. pp. 25.

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.

Karyono, O.K. 2008. Peluang Usaha Budi daya Jelutung (Dyera costulata) pada Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Majalah Kehutanan Indonesia (MKI) Edisi II/2008. Jakarta.

King, K.F.S. 1979. Concept of Agroforestry. In M.T. Chandler and D. Spurgeon [Editor]. Proceeding of an International Conference in Agroforestry. ICRAF. Nairobi, Kenya. pp. 1–14.

King, K.F.S. and M.T. Chandler. 1978. The watershed lands. The Program of Work on The International Council for Research in Agroforestry (ICRAF). Roma.

Konstantin, B. G., T. Pearson and A. D. Pokazhevskii. 2008. Effect of soil temperature and moisture on the feeding activity of soil animals as determined by the baitlamina test. Appl. Soil Ecol. 39: 84–90. www.sciencedirect.com.

Kramer, P. J. and T. T. Kozlowski. 1960. Physiology of trees. Mc Grow Hill Company. New York. 642 hlm.

239

Lahjie, A.M. 2001. Teknik Agroforestry. Penerbit UPN “Veteran Jakarta” (Grafika-UPNVJ). Jakarta.

Laossi, K. R., S. Barot, D. Carvalho, T. Desjardins, P. Lavelle, M. Martins, D. Mitja, A.C. Rendeiro, G. Rousseau, M. Sarrazin, E. Velasquez and M. Grimaldi. 2008. Effects of plant diversity on plant biomass production and soil macrofauna in Amazonia pastures. Pedobiologia 51: 397–407. www.sciencedirect.com.

Lavelle, P. 1994. Soil fauna and sustainable land use in the humid tropics. In D.I. Greenland and I. Szabolcs [Editor]. Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.

Lavelle, P., T. Decaens, M. Aubert, S. Barot, M. Blouin, F. Beureau, P. Margerie, P. Mora and J. P. Rossi. 2006. Soil invertebrates and ecosystem services. European Journal of Soil Biology 42: S3–S15. www.sciencedirect.com.

Limin, S.H. 2004. Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi pemulihannya. Di dalam A.P. Tampubolon, T.S. Hadi, W. Wardani dan Norliani [Editor]. Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Ilmiah. Palangkaraya, 12 Mei 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. pp. 1–14.

Limin, S.H., A. Jaya, A. Dohong dan Y. Jagau. 2003. Pokok-pokok pikiran tentang penanganan kawasan eks-PLG Kalimantan Tengah. CIMTROP Universitas Negeri Palangkaraya. Palangkaraya.

Limin, S.H., A. Jaya, F. Siegert, J.O. Rieley, S.E. Page and H.D.V. Boehm. 2004. Tropical peat fire an fire in 2002 in Central Kalimantan, Its characteristics and the amount or carbon released. In: J. Paipanen (Eds). Proc. Of the 12th Int. Peat congress. Wise Use of peatlands. Vol. 1. Tampere, Finland, 6-11 June 2004. Pp. 679–686.

240

Maftu’ah, E., M. Alwi dan M. Willis. 2005. Kelimpahan dan Diversitas makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah gambut. Jurnal Bioscientiae 2(1): 15–25.

Maltby, E. and C.P. Immirzi. 1996. The sustainable utilization of tropical peatlands. In E. Maltby [Editor]. Proceeding of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands. IUCN. Pp. 1–16.

Melling, L.R. Hatano and K.J. Goh. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystem in tropical peatland of Serawak, Malaysia. Tellus 57B: 1–11. Uk.

Miranda, E.D., F.S. Pinero and A.G. Megias. 2009. Different microhabitats affect soil macroinvertebrate assemblages in a mediterranean arid ecosystem. Appl. Soil Ecol. 41: 329–335. www.elsevier.com.

Miura, F., T. Nakamoto, S. Kaneda, S. Okano, M. Nakajima and T. Murakami. 2008. Dynamic of soil biota at different depths under two contrasting tillage practices. Soil Biology & Biochemikry 40: 406–414. www.elsevier.com.

Moersidi, S. 1999. Phosfat alam sebagai bahan baku dan pupuk Phosfat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 82 hlm.

Monika. 2002. Kelayakan Investasi Proyek Perkebunan Jelutung di Kota Palangkaraya. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hlm.

Mudiyarso, D. dan I.N.N. Suryadiputra. 2003. Paket Informasi Praktis. Proyek Climate Change Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Muslihat, L. 2003. Teknik Penyiapan Lahan untuk Budi daya Pertanian di lahan Gambut dengan Sistem Surjan. Wetlands Internasional-Indonesia Programme. Bogor.

241

Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization, distribution and utilization of Peat in Malaysia. In B.Y. Aminuddin [Editor]. Tropical Peat: Proceeding of The International Symp. on Tropic Peatland. Kuching, Sarawak, Malaysia. 6–10 May 1991. pp 7–16.

Nair, P.K.R. 1985. Classification of agroforestry systems. Agroforestry Systems 3: 97–128.

Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers in Cooperation with International Centre for Research In Agroforestry, ICRAF. Netherlands.

Najiyati, S., A. Asmana dan I.N.N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Notohadinegoro, T. 1996. Perspektif pengembangan lahan basah: maslahat dan mudarat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peringatan Setengah Abad Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 25–26 September 1996. Yogyakarta.

Notohadiprawiro, T. 2006. Pemapanan agroforestry selaku bentuk pemanfaatan lahan menurut kriteria pengawetan tanah dan air. Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. 12 halaman.

Page, S.E., R.A.J. Wüst, D. Weiss, J.O. Rieley, W. Shotyk and S.H. Limin. 2004. A record of late pleistocene and holocene carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): implications for past, present and future carbon dynamics. Journal of Quaternary Science 19: 625–635.

Prijono, A. 1999. Populasi dan keragaman makrofauna tanah pada berbagai sistem penggunaan tanah di Jambi. Thesis

242

Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (tidak dipublikasikan).

Radjagukguk, B. 2000. Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 2 No. 1, Februari 2000. Halaman 1–16. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Rahmawaty. 2004. Studi keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan hutan wisata alam Sibolangit (Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara). www.library.usu.ac.id.

Raintree, J.B. 1990. Theory and practice of agroforestry diagnosis and design. In K.G. Macdiken and N.T. Vergara [Editors]. Agroforestry: Classification and Management. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Reijntjes, C., B. Haverkort dan A.W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Y. Sucoko [Penerjemah]. E. van de Fliert dan B. Hidayat [Editor]. Terjemahan dari: Farming for The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Ridlo, R. 1977. Emisis CO2 pada pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan. Jurnal Alami 2 (1): 57–58.

Rieley, J.O., A.A. Shah and M.A. Brady. 1996. The extern and nature of tropical peat swamps. In E. Maltby [Editor]. Proceeding of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands. IUCN. Pp. 17–54.

Rieley, J.O. and S.E. Page. 2005. Wise use of tropical peatlands: Focus on Southeast Asia. Nottingham, UK. 168 p.

Rusmana, E. 2007. Teknik Produksi Bibit Jenis-Jenis Pohon Rawa Gambut Secara Generatif Dan Vegetatif. Bahan Ajar disampaikan pada Alih Teknologi Pembangunan Hutan Rakyat Sistem Agroforestry. Banjarbaru. 15 hlm.

243

Rusmana, E., P.B. Santoso dan B. Hermawan. 2005. Teknik Pembuatan Bibit Stek dengan Metode KOFFCO. Balai Penelitian Kehuatanan Banjarbaru. Banjarbaru. 15 hlm.

Rydin, H. and J.K. Jeglum. 2006. The Biology of Peatlands. Oxford University Press. New York.

Sabarnurdin. 2000. Agroforestry untuk Agribisnis. Buletin Kehutanan (Forestry Bulletin) Nomor 42 Tahun 2000. Fakultas Kehutahan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Salampak. 1999. Peningkatan produksi tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Doktor Program Pasca Sarjana IPB. Tidak dipublikasikan.

Samekto, R. 2006. Pupuk Kompos. Penerbit PT Citra Aji Parama. Yogyakarta. 44 hlm.

Santosa, P.B. 2008. Teknik Penanaman di Lahan Rawa Gambut. Bahan Ajar disampaikan pada Alih Teknologi Pembangunan Hutan Tanaman. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru. 18 hlm.

Schimada, S., H. Takahashi, A. Haraguchi and M. Kaneko. 2001. The carbon content characteristics of tropical peats in Central Kalimantan, Indonesia: Estimating their spatial variability in density. Journal Biogeochemikry 53: 249–267.

Sileshi, G., P.L. Mangofoya, R. Chintu and F.K. Akinnifesi. 2008. Mixed-species legume fallows affect faunal abundance and richness and N cycling compared to single species in maize-fallow rotations. Soil Biology & Biochemikry 40: 3066–3075. www.elsevier.com

Soewono, S. 1997. Fertility management for sustainable agriculture on tropical ombrogenous peat. In J.O. Rieley and S.E. Page [Editor]. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands. Held in Palangkaraya, Central Kalimantan, Indonesia, 4–8 September 1995.

244

Sorensen, K.W. 1993. Indonesian peat swamp forests and their role as a carbon sink. Journal Chemosphere 27 (6): 1065–1082.

Stigter, C.J. 1984. Shading a traditional method of micro climate manipulations. Neth. J. April. 32: 81–86.

Subagyo, H. 2000. Inventarisasi karakteristik tanah gambut sebagai penunjang pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL). Di dalam H. Daryono, Y.J. Sidik, Y. Mile, E. Subagyo, T.S. Hadi, A. Akbar dan K. Budiningsih [Editor]. Upaya Rehabilitasi Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Menuju Pengembalian Fungsi dan Pemanfaatan Hutan yang Lestari. Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarmasin, 9 Maret 2000. pp. 126–137.

Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Suhardjo, H. and P.M. Driessen. 1975. Reclamation and use of Indonesian lowland peats and their effects on soil conditions. p419-424. Proc. Third Asean Soil Conf., Kuala Lumpur, Malaysia.

Suhardjo, H. and P.M. Driessen. 1977. Reclamation and use of Indonesian Lowlaand peats and their effects on soil conditions. Pp 419–424. Proc. Third Asean Soil Conf., Kuala Lumpur, Malaysia.

Suhardjo, H. and I.P.G Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat from Riau. Pp 74–92. In Soil Research Institute Peat and Podzolic Soils and their potential for agriculture in Indonesia. Proc. ATA 106 Midterm, Bull. 3, Seminar, Tugu 13–14 October 1976.

Suin, M. N. 1997. Ekologi hewan tanah. Bumi Aksara-ITB. Jakarta.

Suprayogo, D.K. Hairiyah, N. Wijayanto, Sunaryo dan M. van Noordwijk. 2003. Peran agroforestry pada skala plot: analisis

245

komponen keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Bahan Ajar Agroforestry 4. ICRAF. Bogor.

Suryapratama, W. 2004. Peranan zeolit dalam bidang peternakan. 8P. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Pertemuan Nasional Luar Biasa Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (FOKUSHIMITI), pada tanggal 10 Mei 2004. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Penjelasan tentang: Konsep, Istilah, Teori, dan Indikator serta Variabel. PT. Bina Rena Pariwara (BRP). Jakarta. 262 hlm.

Syakir, M. 1994. Pengaruh naungan, unsur hara P dan Mg terhadap iklim mikro, indeks pertumbuhan dan laju pertumbuhan tanaman lada. Buletin Littro Volume IX Nomor 2 Tahun 1994. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. pp 106–114.

Utomo, M. 1990. Budi daya Pertanian Tanpa Olah Tanah. Teknologi untuk Pertanian Berkelanjutan. Direktorat Produksi Padi dan Palawija. Departemen Pertanian. Jakarta.

van Wijk, C.I. 1950. Enkele Antekeningen over de verjonging van djelutung (Dyera lowii Hook L f) tectona XXXX: 167–173.

Vergara, N.T. 1982. New Direction in Agroforestry; The Potential of Tropical legume trees, Improving Agroforestry in the asia-Pasific Tropics. Prepared by a Working Group on Agroforestry Environment and Policy Institute East-West Center. Honolulu. Hawai.

Vohland, K. and G. Schroth. 1999. Distribution patterns of the litter macrofauna in agroforestry and monoculture plantation in central Amazonia as affected by plant species and management. Appl. Soil Ecol. 13: 57–68. www.sciencedirect.com.

von Maydell, H.J. 1987. International Research in Agroforestry (Editorial). Agroforestry System Journal 5 (1987), 3: 193–195.

246

von Maydell, H.J. 1988. Agroforestry (Lecture Notes). GTZ-Fahutan Unmul. Samarinda.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan Subagyo, 2005. Sebaran gambut dan kandungan karbon di Sumatra dan Kalimantan 2004. Wetland Int.- Indo. Prog. & WHC. Bogor, Indonesia. 254 hlm.

Wallwork. 1970. Nematodes Diversity in Dutch Soils From Rio to a Biological Indicator for Soil Quality. Nematology Monographs and Perspectives. 2: 469–482.

Whitmore, T.C. 1972. Tree flora of Malay a manual for forester. Longman, London. Vol. II. Pp 13–15.

Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito dan M. A. Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestry. Bahan Ajar Agroforestry 3. ICRAF. Bogor. Indonesia.

Widjaya-Adhi, I.P.G. 1995. Potensi, peluang, dan kendala perluasan areal pertanian di lahan rawa. Makalah Seminar Pengembangan Lahan Pertanian di Kawasan Timur Indonesia, Puspiptek Serpong.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakara.

Wösten, J.H.M. and H.P. Ritzema. 2001. Challenges in Land and Water Management for Peatland Development in Sarawak. In Rieley, J.O. dan S.E. Page (2001) (eds.). Peatland for People: Natural resource functions and sustainable management. BPPT. Jakarta.

Wösten, J.H.M., A.B. Ismail and A.L.M. van Wijk. 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78: 25–36.

Yap, S.K. 1980. Jelutong phenology. Fruit and Seed Biology. Malaysian Forester 43 (3): 309–315.

Zimmer, M. 2002. Is decomposition of woodland leaf litter influenced by its species richness? Short communication. Soil Biology & Biochemistry 34: 277–284.

247

La

mp

ira

n 1

.

Analis

is f

inansi

al usa

ha b

udi daya jelu

tung r

aw

a p

ola

mix

ed c

roppin

g d

engan k

are

t

248

Lanju

tan L

am

pira

n 1

.

249

Lanju

tan L

am

pir

an

1.

250

La

mp

iran

2.

Analisis fin

ansia

l usa

ha b

udi d

aya je

lutu

ng ra

wa p

ola

monokultu

r

251

Lanju

tan L

am

pir

an

2.

252

Lanju

tan L

am

pira

n 2

.

253

Lampiran 3. Tingkat kematangan gambut pada masing-masing plot penelitian

254

Lanjutan Lampiran 3.

Keterangan: AFTN = agroforestry jelutung di Ds. Tumbang Nusa; AFKL = agroforestry jelutung di Kel. Kalampangan PMKL= pertanian monokultur di Kel. Kalampangan; LTTN = lahan terlantar di Ds. Tumbang Nusa

Diterbitkan oleh:

FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014

Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp./Fax.: +62251 7520093 Email: [email protected] Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU

Jl. Ahmad Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan 70721 Telp./Fax.: +62511 4707872