agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut
TRANSCRIPT
Marinus Kristiadi Harun
AGROFORESTRYBERBASIS JELUTUNG RAWA
So lus i Sos ia l , Ek onom i , da n L ingk unga nP e n g e l o l a a n L a h a n G a m b u t
AGROFORESTRY BERBASIS JELUTUNG RAWA: Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Pengelolaan Lahan Gambut
Marinus Kristiadi Harun
FORDA PRESS
2014
2
AGROFORESTRY BERBASIS JELUTUNG RAWA: Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut
Penulis:
Marinus Kristiadi Harun Editor:
Pujo Setio Mahrus Ariyadi Tjuk Sasmito Hadi Desain Sampul dan Tata Letak:
FORDA PRESS Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Oktober 2014 x + 254 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-14274-1-7 Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp./Fax.: +62251 7520093 Email: [email protected] Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU
Jl. Ahmad Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan 70721 Telp./Fax.: +62511 4707872
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan HARUN, Marinus Kristiadi
Agroforestry Berbasis Jelutung Rawa : Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut / Marinus Kristiadi Harun. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014
x, 254 hlm. : ill. ; 21 cm. ISBN: 978-602-71770-1-7
1. Jelutung Rawa – Agroforestry – Pengelolaan lahan gambut I. Harun, Marinus Kristiadi II. Judul
iii
KATA PENGANTAR
Kondisi hutan rawa gambut di Indonesia saat ini semakin
memprihatinkan akibat meningkatnya tekanan dan kerusakan
alam. Lahan gambut tersebut dikhawatirkan tidak mampu lagi
memerankan fungsi ekologi secara optimal karena kegiatan yang
mengarah pada perubahan ekosistemnya masih tetap
berlangsung. Contohnya, lahan gambut seluas 3.472.000 ha di
Provinsi Kalimantan Tengah telah terdegradasi mencapai lebih
dari 35%. Lahan gambut yang terdegradasi tersebut pada
perkembangannya menjadi lahan terlantar sehingga sangat
rawan kebakaran pada musim kemarau. Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi dan
menurunnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, lahan
gambut terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) gambut.
Kegiatan RHL di lahan gambut masih sering mengalami
kegagalan karena beberapa permasalahan. Selain kendala yang
terkait sifat lahan gambut (fisika, kimia, dan tata air), adopsi
teknologi RHL dengan kegiatan penanaman (budi daya tanaman)
juga mengalami hambatan. Transfer teknologi kepada petani
lokal seringkali hanya diadopsi sebagian atau bahkan tidak
diadopsi sama sekali oleh mereka. Hal ini disebabkan petani lokal
pada umumnya memiliki sumber daya yang terbatas. Selain itu,
kegagalan tersebut juga disebabkan oleh pendekatan yang
bersifat topdown. Paradigma kegiatan RHL sebelumnya kurang
mengedepankan partisipasi aktif petani lokal. Posisi mereka lebih
banyak sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Pola
pendekatannya pun cenderung bersifat menggurui (teaching)
dibandingkan pola saling belajar bersama (learning).
iv
Partisipasi petani lokal dalam kegiatan RHL gambut dapat
dikembangkan bila mereka telah diberdayakan sehingga dapat
berperan secara aktif. Hal ini memerlukan adanya akses,
informasi tentang teknik, manajemen, kelembagaan kegiatan,
dan pengakuan atas keberadaan pengetahuan lokal. Selain itu,
koordinasi antar para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam
kegiatan tersebut sangat diperlukan. Pelaksanaan kegiatan RHL di
lahan gambut terdegradasi harus bersifat strategis, komprehensif,
operasional sesuai dengan lokasi, melibatkan seluruh
stakeholders secara partisipatif, dan mampu memberdayakan
masyarakat setempat. Hal ini berarti upaya merehabilitasi hutan
dan lahan gambut terdegradasi merupakan bagian integral dari
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pengalaman kegiatan RHL sebelumnya dapat menjadi
bahan pembelajaran. Kegiatan yang hanya menitikberatkan pada
aspek teknis saja–tanpa diikuti dengan pembinaan sumberdaya
masyarakat pelaku kegiatan RHL–terbukti mengalami kegagalan.
Pengalaman pelaksanaan rehabilitasi lahan gambut pada masa
lalu juga menyadarkan kita bahwa masih terdapat kelemahan
pada pola kebersamaan masyarakat pelaku kegiatan RHL secara
berkelompok. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan masyarakat
sangat diperlukan melalui pengembangan kelembagaan ekonomi
masyarakat. Dengan demikian, upaya ini dapat menumbuhkan
rasa saling percaya, saling membutuhkan, dan saling
menguntungkan melalui penerapan teknologi partisipatif dan
sistem kebersamaan berdasarkan manajemen kemitraan.
Berdasarkan hal-hal di atas, upaya RHL gambut dengan
kegiatan penanaman (budi daya tanaman) yang mampu
menjembatani kepentingan produksi dan perlindungan
lingkungan perlu dilakukan. Salah satu pola tanam yang dapat
dikembangkan di lahan gambut tersebut adalah sistem
v
agroforestry. Sistem ini merupakan pola tanam yang dapat
diterapkan di lahan yang rentan secara ekologi (fragile) dengan
mempertimbangkan beberapa hal yang berhubungan dengan
kapasitas pohon untuk tumbuh pada kondisi tanah dan iklim yang
kurang menguntungkan. Salah satu aspek dasar dari peran
agroforestry adalah memelihara kesuburan tanah.
Penulisan buku ini bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai kelayakan pengembangan agroforestry untuk
merehabilitasi hutan dan lahan gambut terdegradasi. Buku ini
memberikan gambaran tentang prospek budi daya tanaman di
lahan gambut dengan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa
untuk memperoleh hasil yang optimal dan berkelanjutan. Budi
daya secara terpadu antara tanaman tahunan, semusim, ternak,
dan ikan juga disajikan dalam buku ini. Uraian perihal lahan rawa
gambut sengaja diulas secara menyeluruh dengan maksud agar
petani memiliki gambaran tentang alternatif pemanfaatan lahan
garapan yang lebih baik. Informasi dalam buku ini merupakan
hasil penyarian berbagai tulisan dan penelitian dari para pakar
dan peneliti; pengalaman beberapa petani di lahan gambut; dan
hasil praktik, pengamatan, serta pengalaman penulis di lapangan.
Kami menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna
dan memerlukan banyak masukan dari pihak-pihak terkait.
Namun demikian, kami berharap semoga buku ini dapat
bermanfaat, terutama bagi para pihak yang bergerak dalam
kegiatan RHL di lahan gambut. Semoga praktik agroforestry di
lahan gambut dapat benar-benar menjadi solusi bagi masalah
sosial, ekonomi, dan lingkungan pengelolaan lahan gambut.
Banjarbaru, Oktober 2014
Penulis
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Ungkapan rasa syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa karena hanya atas Rahmat, Hidayah dan Kasih-Nya
buku ini dapat selesai disusun. Penulis juga menyampaikan
penghargaan dan ucapan terimakasih yang tulus kepada semua
pihak yang telah memberikan kesempatan, motivasi, bantuan,
dan doa, antara lain kepada:
1. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru;
2. Rekan-rekan peneliti dan staf Balai Penelitian Kehutanan
Banjarbaru;
3. Para narasumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan
Tengah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan: Kota
Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau, Pimpinan PT SAS
dan PT Sampit, para pihak yang hadir dalam FGD, Kepala
Desa Mentaren II, Penyuluh Pertanian Kecamatan Jabiren
Raya, dan Kelompok Tani “Sepakat Maju” Kelurahan
Kalampangan;
4. Para petani yang telah mengembangkan jelutung rawa
dengan sistem agroforestry: Bapak Tamanurrudin
(Kelurahan Kalampangan), Bapak Sukardi (Desa Tumbang
Nusa), Bapak Agus Martedjo (Desa Jabiren), dan Bapak
Rapingun (Desa Mentaren II);
5. Orang tua, istri, dan anak-anakKu terkasih.
Akhirnya, semoga buku ini dapat memberikan kontribusi
nyata bagi kelestarian lingkungan dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan petani di lahan gambut.
vii
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN
KEHUTANAN BANJARBARU
Penulisan buku Agroforestry Berbasis Jelutung Rawa:
Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan
Gambut ini didorong oleh keprihatinan mendalam terhadap
semakin rusak ekosistem rawa gambut akibat pemanfaatan yang
tidak tepat. Lahan gambut mengemban fungsi produksi dan
perlindungan lingkungan yang saling berhubungan dan saling
memengaruhi. Apabila fungsi perlindungan lingkungan menurun
maka fungsi produksi dapat terganggu. Peranan lahan gambut
sebagai penyangga lingkungan berhubungan dengan fungsinya
sebagai pengatur tata air (hidrologis), biogeokimia, dan ekologis.
Walaupun telah dilakukan upaya pemulihan lahan gambut
terdegradasi, tingkat keberhasilannya masih belum memuaskan.
Kendala utama keberhasilan penanaman adalah kondisi biofisik
lahan yang tidak mendukung untuk jenis tanaman yang
dikembangkan.
Bertitik tolak dari tantangan yang dihadapi, buku ini
memuat suatu pemikiran bahwa perlu untuk melakukan upaya
pemulihan lahan gambut terdegradasi berbasis jenis lokal dengan
sistem yang ramah lingkungan. Sistem tersebut harus memenuhi
empat persyaratan: secara teknis dapat diterapkan (technically
applicable), secara sosial dapat diterima petani setempat (socially
acceptable), secara ekonomis menguntungkan (economically
feasible), dan ramah terhadap lingkungan (environmentally
friendly). Aspek mendasar yang harus diperhatikan dalam
pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan budi daya tanaman
yaitu menghindari terjadi kering tak balik (irreversible drying) dan
amblesan (subsidence) lahan gambut.
viii
Sistem yang ditawarkan dalam buku ini adalah mengelola
lahan gambut menjadi produktif dan memenuhi persyaratan
melalui agroforestry berbasis jelutung. Agroforestry merupakan
suatu pola tanam yang menggunakan kombinasi komponen
pohon dengan tanaman semusim, dan/atau dengan kegiatan
peternakan/perikanan. Pola tanam ini merupakan salah satu
jawaban bagi usaha produksi yang mempertimbangkan
konservasi sumber daya alam sehingga memungkinkan bagi kita
untuk dapat memanfaatkan lahan gambut yang rentan secara
ekologis. Sementara itu, jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq.
Steenis sinonim Dyera lowii Hook F.) merupakan jenis asli
tumbuhan di lahan gambut. Jenis ini mempunyai daya adaptasi
yang baik dan teruji pada lahan gambut, pertumbuhannya relatif
cepat, dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang
minimal, dan mempunyai hasil ganda: getah dan kayu. Buku ini
memberikan gambaran tentang prospek pengembangan sistem
Agroforestry berbasis jelutung rawa dengan aspek yang dikaji
mencakup empat kelayakan: teknis, ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Selain itu, informasi dalam buku ini merupakan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Balai Penelitian
Kehutanan (BPK) Banjarbaru. Penyusunan dan penerbitan buku
ini dibiayai oleh DIPA BPK Banjarbaru tahun anggaran 2014.
Akhirnya, kami berharap semoga buku ini dapat memberikan
kontribusi nyata bagi kelestarian ekosistem gambut dan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan petani di lahan gambut.
Banjarbaru, Oktober 2014
Kepala Balai,
Ir. Tjuk Sasmito Hadi, M.Sc. NIP 19611026 198903 1 001
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................... iii
UCAPAN TERIMAKASIH ……………………….………………………… vi
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN
BANJARBARU ……………………………………….….…………………… vii
DAFTAR ISI ..................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ......................................................... 1
II. PEMANFAATAN GAMBUT ……………………….……………….. 11
2.1 Pengertian Gambut ……....................................... 11
2.2 Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut .............. 19
2.3 Kondisi Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan
Tengah ……..…………………………………….…............. 22
2.4 Permasalahan Utama Pemanfaatan Gambut
Lestari ............................................................... 26
2.5 Budi daya Tanaman Secara Bijak di Lahan Gambut.. 35
III. PROSPEK AGROFORESTRY DI LAHAN GAMBUT …..…….. 39
3.1 Definisi Agroforestry ………………….……………………. 39
3.2 Ruang Lingkup Agroforestry ………….…………………. 41
3.3 Pola Agroforestry ………………………….………………… 45
3.4 Pola Pengombinasian Komponen ………….………….. 49
3.5 Diagnosis dan Desain Agroforestry ………….……….. 59
3.6 Kendala dan Prospek Pengembangan Agroforestry
di Lahan Gambut ……………………………….……………. 62
IV. JELUTUNG RAWA DI LAHAN GAMBUT ……….…………….. 65
4.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh ……….……………. 65
4.2 Sifat Botanis …………………………….…………………….. 65
4.3 Sifat Pohon …………………….…….………………………… 67
4.4 Pemanfaatan Jelutung ……………………………………… 68
x
4.5 Perlindungan Tanaman ……………..…………………….. 70
4.6 Pertumbuhan Jelutung ……………..……………………… 70
V. KAJIAN TEKNIS DAN PERFORMANSI AGROFORESTRY
JELUTUNG RAWA …………………………………………………… 73
5.1 Pengadaan Bibit …………………………..…………………. 73
5.2 Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem
Agroforestry …………………………………………………… 90
5.3 Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa ………….. 109
VI. KELAYAKAN AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA ………… 123
6.1 Kriteria dan Penilaian Kelayakan Agroforestry
Jelutung Rawa …………………………….…………………. 123
6.2 Strategi dan Solusi Permasalahan Pengembangan
Agroforestry Jelutung Rawa …………….………………. 142
VII. NILAI EKONOMI AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA ….. 163
7.1 Margin Pemasaran Jelutung ……….……………………. 163
7.2 Analisis Finansial …………………….………………………. 172
7.3 Analisis Sensitivitas ………………….…………………….. 177
VIII. PENGARUH LINGKUNGAN AGROFORESTRY JELUTUNG
RAWA ………………………………………….………………………. 179
8.1 Kesuburan Tanah …………………………………………… 179
8.2 Kondisi Iklim Mikro …………………………………………. 199
8.3 Amelioran Alternatif Pengganti Abu ……….…………. 205
IX. KELEMBAGAAN AGROFORESTRY ……………………………… 217
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 233
LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………. 245
1
PENDAHULUAN
Luas lahan gambut di dunia diperkirakan sekitar 426,2 juta
ha atau 2% luas daratan dunia yang tersebar pada 80 negara.
Salah satu negara yang memiliki lahan gambut adalah Indonesia
dengan luas 17,2 juta ha atau sekitar 10% luas daratan
Indonesia. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang
memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia dan peringkat
keempat untuk lahan gambut secara umum setelah Kanada
seluas 170 juta ha, eks Uni Soviet seluas 150 juta ha, dan
Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Euroconsult, 1984).
Luas lahan gambut dan fungsinya yang kompleks
menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki arti yang sangat
penting bagi penyangga (buffer) lingkungan. Peranan lahan
gambut sebagai penyangga lingkungan berhubungan dengan
fungsi tata air (hidrologis), biogeokimia, dan ekologis. Fungsi
gambut secara hidrologis adalah menyimpan air. Gambut yang
masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air antara 500–1.000%
dari bobotnya. Selain sebagai daerah tampungan air, gambut
rawa alami juga berfungsi sebagai penyeimbang sistem tata air
wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan
penyerap dan penyimpan air (aquafer) selama musim hujan,
yaitu pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan
air simpanannya. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya banjir
pada musim hujan besar dan kelangkaan air pada musim
kemarau (Andriesse, 1988; Rydin & Jeglum, 2006). Gambut
dalam setiap meter kubik dapat menyimpan sekitar 850 liter air
sehingga setiap hektar gambut mampu menyimpan air sebesar
88,60 juta liter. Apabila hal ini dikaitkan dengan kebutuhan air
penduduk, yang rata-rata sebesar 85 liter per hari per jiwa, maka
setiap hektar gambut (tebal 1 m) dapat mencukupi kebutuhan air
Bab I
2
untuk 274 jiwa penduduk per tahun. Kemampuan gambut dalam
mengonservasi air dapat berubah jika terjadi pengeringan
terhadap gambut. Pengeringan dapat mengubah sifat gambut
yang menyukai air (hidrofil) menjadi tidak menyukai air (hidrofob)
yang tak terbalikkan. Gambut juga diperlukan sebagai penyangga
antara wilayah marine dan wilayah air tawar. Upaya
mempertahankan keseimbangan antara keduanya dapat
menghindari terjadinya penyusupan (intrusi) air laut ke pesisir
dan mencegah pencemaran di perairan pantai akibat hasil
buangan daratan (Rieley et al., 1996).
Kemampuan gambut dalam mengonservasi air dan
pemendaman (sequestering) karbon berkaitan erat dengan
kepentingan lingkungan, baik secara regional maupun global.
Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut telah diteliti
oleh beberapa peneliti (Sorensen, 1993; Notohadinegoro, 1996;
Schimada et al., 2001 dan Page et al., 2004). Laju rata-rata
pemendaman karbon gambut di Kalimantan sekitar 0,74 ton per
hektar per tahun. Hal ini berarti karbon yang dilepaskan ke
atmosfer setiap tahun dari setiap hektar hutan yang dibuka dan
digunakan untuk perladangan dapat dikompensasi oleh
pemendaman karbon dalam 190 hektar lahan gambut setiap
tahun (Notohadinegoro, 1996). Emisi gas CO2 yang dihasilkan
oleh lahan gambut diperkirakan antara 100–400 mg per m2 per
jam, setara dengan 9–35 ton per hektar per tahun (Ridlo, 1997).
Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat
mencapai 5.000 ton per hektar, di antaranya 1.200 ton per hektar
gambut dunia (Diemont et al., 1992). Lahan gambut juga
menghasilkan emisi gas CH4 (metan) selain emisi gas CO2,
sebagai hasil dari perombakan atas bahan organik secara
anaerob. Peningkatan emisi gas seperti CO2 dan CH4 dalam
jumlah besar akan memengaruhi iklim global yang menimbulkan
3
pemanasan secara global pula, yaitu naiknya suhu permukaan
planet bumi (Noor, 2001).
Sumber daya penting lain yang terdapat di kawasan
gambut adalah keanekaragaman hayati dan sumber plasma
nutfah yang besar dan khas. Hasil penelitian Dahuri (1997) di
hutan primer gambut sekitar Sungai Mentangai, Provinsi
Kalimantan Tengah, menemukan 104 jenis satwa liar yang terdiri
atas 32 jenis mamalia (di antaranya 13 jenis dilindungi), 8 jenis
reptilia (5 jenis dilindungi), dan 60 jenis burung (19 jenis
dilindungi). Lahan gambut juga mempunyai sumber air hitam
(black water stream) yang masih bersifat misteri. Sumber air
hitam tersebut hanya terdapat di dua tempat di dunia: Amerika
Utara dan Provinsi Kalimantan Tengah. Uraian tersebut
menunjukkan bahwa kawasan gambut dapat dijadikan obyek
wisata lingkungan (ecoturism) selain dijadikan obyek wisata flora
dan fauna.
Pemanfaatan fungsi produksi lahan gambut saat ini
mengalami peningkatan seiring dengan semakin bertambah
kebutuhan lahan dan potensi ekonomi yang dimilikinya. Alih guna
lahan hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan juga terjadi di
lahan gambut. Hal ini menimbulkan banyak masalah seperti
penurunan kesuburan gambut, penurunan permukaan gambut
(subsidence), kering tak balik (irreversible drying), kepunahan
flora dan fauna, banjir, kekeringan, dan bahkan perubahan
lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke
waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan rawa
gambut yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian/
perkebunan. Limin (2004) menyatakan bahwa lahan gambut
seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikhawatirkan
tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologi secara optimal
karena kegiatan yang mengarah kepada perubahan ekosistem
4
masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan adanya
kerusakan lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35%.
Lahan gambut tersebut pada perkembangannya menjadi lahan
terlantar yang pada musim kemarau sangat rawan kebakaran.
Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologi
dan penurunan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, lahan
gambut terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan
kegiatan penanaman: rehabilitasi dan penghijauan. Gambar 1
memperlihatkan beberapa kondisi lahan gambut yang
terdegradasi akibat pemanfaatan yang tidak lestari. Kondisi
tersebut perlu segera diperbaiki melalui upaya pemulihan lahan
gambut yang terdegradasi agar dapat berfungsi kembali secara
ekologi dan ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Gambar 1. Kondisi lahan gambut pasca kebakaran (kiri) dan perubahan penutupan lahan gambut dari hutan menjadi lahan yang didominasi oleh pakis (kelakai) setelah kejadian kebakaran yang berulang kali (kanan)
Pemanfaatan lahan gambut harus mengedepankan konsep
berkelanjutan (Sustainable Development). Konsep ini berarti
setiap kegiatan dalam pengelolaan lahan gambut harus
5
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan
secara terintegrasi dan holistik. Berkelanjutan dalam pengelolaan
lahan gambut berarti adanya jaminan bahwa lahan gambut yang
dikelola dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
menimbulkan risiko terhadap kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhannya. Djajadiningrat (2001)
menyatakan bahwa terdapat dua gagasan penting dalam konsep
pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) gagasan kebutuhan
esensial untuk kelangsungan hidup manusia, dan (2) gagasan
keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan
organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang. Memerhatikan
kedua gagasan tersebut, lahan gambut harus dikelola dengan
mengedepankan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan
faktor-faktor pembatas. Penerapan prinsip tersebut diharapkan
dapat menjembatani kepentingan fungsi produksi dan fungsi
perlindungan lingkungan lahan gambut.
Fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam
ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling
memengaruhi. Apabila fungsi perlindungan lingkungan menurun
maka fungsi produksi dapat terganggu (Maltby & Immirzi, 1996).
Dua syarat mendasar yang harus diperhatikan pada kegiatan budi
daya tanaman dalam rangka pengelolaan lahan gambut agar
fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam
keadaan seimbang adalah (1) menghindari terjadinya kering tak
balik (irreversible drying), dan (2) menghindari terjadinya
amblesan (subsidence) lahan gambut. Selain itu, aspek sosial-
ekonomi petani setempat perlu mendapat perhatian. Gambar 2
menjelaskan aspek-aspek yang diperlukan dalam pengelolaan
lahan gambut lestari.
6
Gambar 2. Tiga pilar kelestarian menurut The World Summit 2005
Tingkat keberhasilan pemulihan lahan gambut terdegradasi
masih belum memuaskan, walaupun telah mulai dilakukan
upayanya. Hasil penelitian dan ujicoba penanaman di lahan
gambut pasca kebakaran menunjukkan tingkat keberhasilan
tanaman masih rendah (Limin et al., 2003). Kendala utama
keberhasilan penanaman terutama terjadi pada kondisi biofisik
lahan yang tidak favourable untuk jenis tanaman yang
dikembangkan. Bertitik tolak dari tantangan yang dihadapi dalam
upaya pemulihan lahan gambut terdegradasi tersebut, pada buku
ini diajukan suatu pemikiran bahwa upaya pemulihan lahan
gambut terdegradasi berbasis jenis lokal dengan sistem yang
ramah lingkungan perlu dilakukan. Salah satu sistem pengelolaan
Dapat ditahan (Bearable)
Adil (Equitable)
Lestari (Sustainable)
Dapat hidup terus
(Viable)
Ekonomi Lingkungan
Sosial
7
lahan gambut yang dapat diterapkan untuk merehabilitasi lahan
gambut terdegradasi adalah sistem agroforestry berbasis jenis
lokal (indigenuos tree species). Penerapan sistem ini diharapkan
dapat menjembatani kepentingan fungsi produksi dan fungsi
perlindungan lingkungan lahan gambut.
Faktor lain yang turut menentukan keberhasilan
pengelolaan lahan gambut secara lestari adalah pemilihan jenis
yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Salah satu jenis yang memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung
rawa. Jenis ini mempunyai nama ilmiah Dyera polyphylla Miq.
Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F. yang
merupakan salah satu jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi. Jelutung rawa merupakan jenis pohon endemik lahan
gambut yang hanya terdapat di dua negara di dunia: Indonesia
dan Malaysia. Di Indonesia, jenis pohon ini hanya terdapat di
Pulau Sumatera dan Kalimantan. Jenis ini mempunyai daya
adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, pertumbuhan-
nya relatif cepat, budi daya dapat dilakukan dengan
memanipulasi lahan yang minimal, dan mempunyai hasil ganda:
getah dan kayu. Pertimbangan pemilihan jenis ini juga didasari
pada kemudahan pemasaran produk (getah) dan aspek
silvikulturnya telah diketahui: mulai dari teknik perbanyakan
(generatif dan vegetatif), teknik persemaian, teknik penanaman
hingga teknik pemeliharaan (Daryono, 2000).
Pengembangan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa
untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi memerlukan
pemahaman yang baik tentang faktor pendukung suatu sistem
agar dapat menghasilkan inovasi dalam upaya memulihkan lahan
gambut. Suatu sistem mengandung arti adanya saling interaksi
antara masing-masing faktor yang membentuk sistem tersebut
untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan (Hartrisari, 2007).
8
Faktor utama yang memengaruhi upaya merehabilitasi lahan
gambut terdegradasi dengan pengembangan agroforestry adalah
(1) kebijakan pemerintah, (2) ketersediaan teknologi, (3) faktor
eksternal (pasar), dan (4) partisipasi petani. Keterkaitan antar
faktor tersebut merupakan kerangka berpikir dari buku ini
sebagaimana skema pada Gambar 3.
9
Gambar 3. Kerangka pemikiran pengembangan agroforestry berbasis jelutung rawa untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi
Kondisi Ideal Ekosistem
Lahan Gambut
11
PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
2.1 Pengertian Gambut
Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang
dicirikan adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung
dalam kurun waktu lama. Akumulasi bahan organik terjadi karena
laju dekomposisi lebih lambat dibandingkan dengan laju
penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan
basah. Proses pembentukan gambut hampir selalu terjadi pada
hutan dalam kondisi tergenang dengan produksi bahan organik
dalam jumlah yang banyak (Najiyati et al., 2005). Hardjowigeno
(1996) mendefinisikan gambut sebagai tanah yang terbentuk dari
timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah
lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi
lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
perkembangan biota pengurai. Bahan organik tidak melapuk
sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara.
Oleh karena itu, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa
belakang (backswamp) atau daerah cekungan yang drainasenya
buruk. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik
yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi
dan transportasi. Hal ini berbeda dengan proses pembentukan
tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik.
Gambut tropis, khususnya di Indonesia, mengandung
sangat banyak kayu-kayu dengan tingkat pertumbuhan gambut
setiap tahun relatif tinggi. Salah satu ciri gambut tropis dalam
cekungan di Indonesia adalah bentuk kubah (dome) yang menipis
di pinggiran (edge) dan menebal di pusat cekungan. Ketebalan
Bab II
12
gambut dapat mencapai >15 m (Wahyunto et al., 2005). Menurut
Noor (2001), pembentukan gambut memerlukan waktu yang
sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0–3
mm per tahun. Di Barambai, Delta Pulau Petak, Kalimantan
Selatan, laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm per tahun,
sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 mm per tahun. Di Sarawak,
Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar
0,22–0,48 mm per tahun.
Gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu
vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan selulosa (Brady,
1997). Andriesse (1988) menjelaskan bahwa pembentukan dan
pematangan gambut berjalan melalui tiga proses. Kecepatan
proses tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan),
susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu. Ketiga
proses pematangan gambut diuraikan sebagai berikut.
1. Pematangan fisik. Proses ini terjadi dengan adanya
pelepasan air (dehidrasi) akibat adanya drainase, evaporasi
(penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai
dengan penurunan dan perubahan warna tanah.
2. Pematangan kimia. Proses ini terjadi melalui peruraian bahan
organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Proses
pematangan ini akan melepaskan senyawa asam organik
yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah
menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan
kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan
organik baru yang disebut sebagai humus.
3. Pematangan biologi. Proses ini disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat
terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedia oksigen
yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikro-
organisme.
13
Lahan gambut di Indonesia pada umumnya membentuk
kubah gambut (peat dome). Bagian pinggiran kubah didominasi
tumbuhan kayu yang masih memperoleh pasokan hara dari air
tanah dan sungai sehingga jenisnya banyak dan umumnya
berdiameter besar membentuk hutan rawa campuran (mixed
swamp forests). Menuju ke bagian tengah, jenis-jenis spesies
kayu hutan semakin sedikit. Vegetasi hutan tersebut relatif kurus
yang umumnya berdiameter kecil. Hal ini disebabkan gambut
tebal yang terbentuk umumnya bersifat masam dan miskin hara
sehingga memiliki kesuburan alami yang rendah hingga sangat
rendah. Perubahan dari wilayah pinggiran gambut yang relatif
kaya hara menjadi wilayah gambut ombrogen yang miskin
diperkirakan terjadi pada kedalaman gambut antara 200–300 cm
(Suhardjo & Widjaja, 1976). Gambar 4 menjelaskan proses
pembentukan gambut di Indonesia (Noor, 2001).
Gambar 4. Proses pembentukan gambut di Indonesia (van de Meene dalam Noor, 2001)
14
Penampang skematis wilayah gambut diilustrasikan pada
Gambar 5 (Subagyo, 2002). Gambar tersebut menunjukkan
bahwa mulai dari sungai besar pertama hingga ke sungai besar
berikutnya akan berturut-turut ditemukan tanggul sungai (levee),
dataran rawa belakang sungai (backswamp), cekungan/depresi
yang berisi tanah gambut, kemudian kembali dataran rawa
belakang dan tanggul sungai berikutnya. Bentukan-bentukan
landform yang relatif sama atau mirip proses pembentukan dan
dinamikanya disebut satuan (unit) fisiografi.
Gambar 5. Penampang skematis lahan rawa gambut yang terletak di antara dua sungai besar (Subagyo, 2002)
Lahan gambut menempati cekungan di antara dua sungai
besar. Apabila jarak horizontal kedua sungai besar tersebut cukup
jauh, misalnya beberapa puluh kilometer, lahan gambut biasanya
membentuk pola kubah gambut (peat dome) yang cukup besar.
15
Pada kubah gambut seperti ini, bagian pinggir merupakan
gambut dangkal dan semakin ke bagian tengah ke arah puncak
kubah, permukaan tanah gambut secara berangsur menaik.
Ketinggian puncak kubah gambut bervariasi, bisa mencapai 3–8
m di atas permukaan air sungai. Pada gambut dalam, bagian
tengah kubah gambut bisa mencapai 8–13 m; air tanah
tergenang (stagnant) dan sangat miskin hara. Sekeliling puncak
kubah gambut atau bagian pinggir merupakan gambut melereng,
lebih dangkal, dan lebih banyak tercampur bahan mineral
sehingga tingkat kesuburannya lebih tinggi. Tanah gambut yang
menempati depresi atau cekungan sempit biasanya merupakan
gambut tipis (0,5–1 m) hingga gambut sedang (1–2 m). Gambar
6 menjelaskan kubah gambut (peat dome).
Gambar 6. Lahan gambut dengan puncak kubah di bagian tengah (Mudiyarso & Suryadiputra, 2003)
16
Sifat tanah gambut dapat dikelompokkan menjadi dua:
sifat fisika dan kimia. Sifat fisika dan kimia gambut tidak saja
ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan organik, tetapi juga
oleh tipe vegetasi asal bahan organik. Sifat fisika gambut yang
penting untuk diketahui antara lain tingkat kematangan, berat
jenis, kapasitas menahan air, daya dukung (bearing capacity),
penurunan tanah, daya hantar hidrolik, dan warna. Sifat kimia
gambut yang penting untuk diketahui adalah tingkat kesuburan
dan faktor-faktor yang memengaruhi kesuburan tersebut.
Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposis bahan
organik, gambut dibedakan menjadi tiga (Najiyati et al., 2005)
seperti diuraikan sebagai berikut.
1. Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih
muda) dan lebih dari ¾ bagian volumenya berupa serat
segar (kasar). Cirinya, apabila gambut diperas dengan
telapak tangan dalam keadaaan basah maka kandungan
serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah
pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (>¾).
2. Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan
sedang (setengah matang): sebagian bahan telah
mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa serat.
Apabila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan
basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari dan
kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan
setelah pemerasan adalah kurang dari tiga perempat hingga
seperempat bagian (¼–<¾).
3. Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah
lanjut (matang). Apabila diperas, gambut sangat mudah
melewati sela-sela jari dan serat yang tertinggal dalam
telapak tangan kurang dari seperempat bagian (<¼).
17
Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan
gambut. Semakin matang maka gambut semakin berwarna gelap.
Fibrik berwarna coklat; hemik berwarna coklat tua; saprik
berwarna hitam (Darmawijaya, 1990). Dalam keadaan basah,
warna gambut biasanya semakin gelap. Semakin matang gambut
maka semakin besar berat jenisnya. Wahyunto et al. (2005)
membuat klasifikasi nilai berat jenis atau bobot isi (bulk density)
tanah gambut di Sumatera: gambut saprik nilai bobot isinya
sekitar 0,28 gr/cc, hemik 0,17 gr/cc, dan fibrik 0,10 gr/cc. Akibat
berat jenis yang ringan, gambut kering mudah tererosi/terapung
dan terbawa aliran air. Kandungan air pada gambut saprik, hemik
dan fibrik berturut-turut adalah <450%, 450–850%, dan >850%
dari bobot keringnya atau 90% volumenya (Suhardjo & Dreissen,
1975). Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai
penambat air (reservoir) yang dapat menahan banjir saat musim
hujan dan melepaskan air saat musim kemarau sehingga intrusi
air laut saat kemarau dapat dicegah.
Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air)
secara horizontal (mendatar) yang cepat sehingga memacu
percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase.
Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertikal (ke atas) yang
sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami
kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga
menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air
ke atas hanya sekitar 40–50 cm. Untuk mengatasi perilaku ini,
upaya untuk menjaga ketinggian air tanah pada kedalaman
tertentu perlu dilakukan. Kedalaman muka air tanah yang ideal
untuk tanaman semusim adalah kurang dari 100 cm, sedangkan
untuk tanaman tahunan disarankan untuk mempertahankan
muka air tanah pada kedalaman 150 cm. Pemadatan gambut
sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah.
18
Gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu yang
rendah karena mempunyai ruang pori yang besar sehingga
kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Ruang pori
total untuk bahan fibrik–hemik adalah 86–91% (volume) dan
untuk bahan hemik–saprik adalah 88–92%, atau rata-rata sekitar
90% volume (Suhardjo & Dreissen, 1977).
Friesher dalam Driessen & Soepraptohardjo (1974)
membagi gambut dalam tiga tingkatan kesuburan: eutrofik
(subur), mesotrofik (sedang), dan oligotrofik (tidak subur).
Secara umum, gambut topogen–tergolong sebagai gambut
mesotrofik sampai eutrofik–yang dangkal dan dipengaruhi air
tanah dan sungai umumnya mempunyai potensi kesuburan alami
yang lebih baik daripada gambut ombrogen–sebagian besar
oligotrofik–yang kesuburan hanya dipengaruhi air hujan.
Tingkat kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh
berbagai hal yaitu ketebalan gambut, bahan asal, kualitas air,
kematangan gambut, dan kondisi tanah di bawah gambut. Secara
umum, gambut yang berasal dari tumbuhan berbatang lunak
lebih subur daripada gambut yang berasal dari tumbuhan
berkayu; gambut yang lebih matang lebih subur daripada gambut
yang belum matang; gambut yang mendapat luapan air sungai
atau air payau lebih subur daripada gambut yang hanya
memperoleh luapan atau curahan air hujan; gambut yang
terbentuk di atas lapisan liat/lumpur lebih subur daripada yang
terdapat di atas lapisan pasir; gambut dangkal lebih subur
daripada gambut dalam. Tabel 1 memperlihatkan secara umum
sifat fisika dan kimia tanah gambut yang menjadi faktor
pembatas kesuburan gambut. Berdasarkan sifat-sifat tersebut,
setiap penyelenggaraan kegiatan di lahan gambut, khususnya
pertanian, harus mempertimbangkan kondisi ini secara
mendalam.
19
Tabel 1. Faktor pembatas kesuburan di lahan gambut
Kategori Sifat/Perilaku
Sifat Fisika
kematangan gambut bervariasi
berat jenis rendah
kapasitas menahan air tinggi, tetapi bila
sudah kering sulit menyerap air kembali
daya hantar air vertikal rendah
daya tumpu rendah
mengalami penurunan permukaan tanah
di bawah gambut sering terdapat lapisan
pasir atau pirit
Sifat Kimia
Kesuburan rendah
pH rendah
KTK tinggi
Kejenuhan basa rendah
Ketersediaan unsur hara makro (N, Ca, Mg,
K) rendah
Ketersediaan unsur hara mikro (Cu, Mo, Zn,
Mn, Fe) rendah
Sumber: Najiyati et al. (2005)
2.2 Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut
Luas lahan gambut di wilayah tropika diperkirakan 40 juta
hektar atau 10% dari luas lahan gambut di dunia (Rieley & Page,
2005; Radjagukguk, 2000). Bagian terbesar dari lahan gambut
tropis dijumpai di Indonesia dengan luas tidak kurang dari 17 juta
hektar (Notohadiprawiro, 1996) dan di Malaysia kira-kira 2,7 juta
hektar (Mutalib et al., 1991). Lahan gambut mempunyai potensi
sebagai penghasil berbagai produk seperti kayu, flora (tanaman)
dan fauna (ikan, burung, dan lain-lain). Jenis kayu yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi di hutan rawa gambut antara lain
20
ramin (Gonystylus bancanus Kurtz), belangeran (Shorea
belangeran), jelutung (Dyera lowii Hook. F), nyatoh (Palaquium
cochlearia), bintangur (Calophyllum kuntsleri King), pulai rawa
(Alstonia pnematophora), terantang (Campnospernum auriculata
Hook. F), geronggang (Cratoxylon arborescens Bl.), punak
(Tetramerista glabra), kapurnaga (Calopyllum macrocarpum Hk.
F), dan lain-lain. Daryono (2000) menyatakan bahwa jenis-jenis
pohon rawa gambut yang mempunyai nilai komersial (prospektif)
untuk dikembangkan pada pembangunan Hutan Tanaman
Industri (HTI) ataupun untuk kegiatan rehabilitasi terdapat
sebanyak 27 jenis.
Potensi lain dari lahan gambut yang tidak kalah besar
adalah ikan. Jenis ikan penghuni rawa gambut yang bernilai
ekonomi penting antara lain papuyu (Anabas testudineus), lele
(Clarias spp.), baung (Mystus nemurus), ikan gabus (Channa
spp.), sepat (Trichogaster spp.), dan jelawat (Ceptobarbus
hoeveni). Pada rawa gambut, terdapat tidak kurang dari 100
jenis ikan di perairan tawar Provinsi Kalimantan Tengah dan
sebagian besar termasuk ikan penghuni rawa yang bernilai
ekonomi penting (Kartamihardja, 2002).
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan
perkebunan akhir-akhir ini mendapatkan tantangan berkenaan
dengan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berdampak pada
pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanfaatan lahan
gambut untuk pertanian dan perkebunan juga sering
menimbulkan permasalahan terkait dengan tingkat kesuburannya
yang rendah dan biofisik lahan yang rapuh. Namun, apabila
dikelola dan dibudidayakan dengan baik dan bijak maka lahan
gambut dapat memberikan hasil tanaman yang baik. Bahkan,
hasil tanaman dapat mencapai produktivitas yang tidak kalah
dengan tanah mineral (Noor, 2001; Najiyati et al., 2005).
21
Menurut Najiyati et al. (2005), pemilihan lahan yang sesuai dan
penataan lahan secara tepat merupakan salah satu kunci sukses
bertani di lahan gambut. Kesalahan dalam memilih dan menata
lahan dapat menyebabkan biaya tinggi, pengorbanan waktu, dan
kegagalan bertani. Bahkan, kesalahan tersebut dapat merusak
dan membahayakan lingkungan.
Lahan Gambut perlu dimanfaatkan sesuai fungsinya
dengan memerhatikan keseimbangan antara kawasan budi daya,
kawasan nonbudidaya, dan kawasan preservasi (Widjaya-Adhi,
1995). Kawasan nonbudidaya merupakan kawasan yang tidak
boleh digunakan untuk usaha dan harus dibiarkan sebagaimana
adanya. Kawasan tersebut meliputi kawasan lindung dan
kawasan pengawetan. Kawasan pengawetan (preservasi) adalah
kawasan yang dengan pertimbangan tertentu harus dibiarkan
sebagaimana aslinya dengan status masa kini sebagai kawasan
nonbudidaya. Kawasan ini nantinya dapat saja dikembangkan bila
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mampu
mengatasi berbagai kendala dalam proses budi daya di lahan ini
sehingga pemanfaatannya memberikan nilai tambah bagi
kesejahteraan masyarakat. Kawasan budi daya adalah kawasan
yang dinilai layak untuk usaha di bidang pertanian dan berada di
luar kawasan nonbudidaya dan preservasi. Najiyati et al. (2005)
menyatakan bahwa pemanfaatan lahan gambut di kawasan budi
daya harus disesuaikan dengan tipologinya, yaitu:
(1) lahan potensial, bergambut, aluvial bersulfida dalam, dan
gambut dangkal hingga kedalaman 75 cm dapat ditata
sebagai sawah;
(2) gambut dengan kedalaman 75–150 cm untuk tanaman
hortikultura semusim, padi gogo, palawija, dan tanaman
tahunan;
22
(3) gambut hingga kedalaman 2,5 m hanya untuk perkebunan
seperti kelapa, kelapa sawit, dan karet;
(4) gambut lebih dari 2,5 m sebaiknya digunakan untuk budi
daya tanaman kehutanan seperti sengon, sungkai,
jelutung/pantung, meranti, pulai, dan ramin.
Berdasarkan uraian di atas, lahan gambut mempunyai
potensi yang besar. Pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan
dengan hati-hati dan memerhatikan sifat, karakter, dan ekologi
lahan gambut sehingga dapat mencegah terjadinya degradasi
yang berdampak sangat luas, baik terhadap sumber kehidupan
maupun terhadap fisik lingkungan.
2.3 Kondisi Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah
Lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah diperkirakan
mencakup areal seluas 3.472.000 ha atau sekitar 21,98% dari
total luas wilayah provinsi ini (sekitar 15.798.000 ha). Kondisi
objektif lahan gambut di provinsi ini dapat dikelompokkan
menjadi lima kelompok utama (Limin et al., 2003) sebagai
berikut.
1. Lahan gambut yang belum digarap. Kawasan bergambut
pada kelompok ini pada umumnya masih berhutan atau
merupakan kawasan hutan yang terdiri atas kawasan hutan
produksi, kawasan lindung, dan kawasan konservasi lainnya.
Kondisi lahan gambut kelompok ini masih berhutan sehingga
mudah membedakan ciri-ciri penyusun vegetasi di kawasan
yang umumnya didominasi oleh jenis-jenis meranti rawa,
ramin, jelutung, agathis, nibung, dan rengas. Sebagian besar
kawasan bergambut yang termasuk dalam kelompok ini
dibebani Hak Pengusahaan Hutan (HPH) karena jenis
vegetasi penyusunnya masih potensial untuk dimanfaatkan.
23
Kawasan bergambut kelompok ini terletak pada tiga
kawasan utama, yaitu (1) kawasan hutan yang terletak di
antara areal eks PLG di sebelah Timur (dibatasi oleh Sungai
Sebangau) hingga areal Taman Nasional Tanjung Puting
(TNTP) di sebelah Barat dan dengan batas Utara adalah
Jalan Trans Kalimantan dan di sebelah Selatan berbatasan
dengan Laut Jawa, (2) kawasan hutan yang terletak pada
Blok E di sebelah Utara areal eks PLG, dan (3) kawasan
hutan yang terletak di antara kawasan TNTP hingga ke batas
Provinsi Kalimantan Barat.
2. Lahan gambut areal eks PLG. Total luas areal eks PLG sekitar
1.119.493 ha yang terdiri atas empat blok: Blok A (227.100
ha), Blok B (161.480 ha), Blok C (568.635) ha, dan Blok D
(162.278 ha).
3. Lahan gambut yang termasuk wilayah TNTP dan Taman
Nasional Sebangau (TNS). Kawasan TNTP mempunyai luas
areal 415.040 ha dan secara khusus diperuntukkan sebagai
habitat satwa langka yang dilindungi yaitu orangutan (Pongo
pygmaeus). Sementara itu, TNS mempunyai luas areal
568.700 ha.
4. Lahan gambut terlantar. Sebaran dari lahan gambut pada
kelompok ini terletak di sepanjang kanan-kiri jalan negara,
seperti Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan
Palangkaraya–Kuala Kapuas–Banjarmasin, jalan negara yang
menghubungkan Sampit–Ujung Pandaran, Sampit–Kuala
Pembuang, Palangkaraya–Tumbang Talaken–Tumbang
Jutuh, dan Kotawaringin–Sukamara. Lahan gambut di kanan-
kiri jalan negara menjadi terlantar karena pada umumnya
peruntukan kawasan bergambut pada kelompok ini mengacu
kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
Kalimantan Tengah sehingga sudah tidak lagi sebagai
24
kawasan hutan tetap. Lahan ini juga diklaim oleh masyarakat
sebagai milik mereka, namun tidak digarap atau diolah
sebagaimana mestinya. Kelompok ini lebih tepat disebut
sebagai lahan gambut terlantar (lahan gambut tidak
produktif).
5. Lahan gambut yang diolah masyarakat. Lahan gambut pada
kelompok ini umumnya terdiri atas (1) lahan gambut yang
dijadikan sebagai kawasan permukiman melalui program
transmigrasi, dan (2) lahan gambut yang dikelola menjadi
lahan-lahan perkebunan besar swasta (kelapa sawit) dan
lahan gambut yang dikelola masyarakat setempat, baik
sebagai lahan perkebunan maupun pemungutan hasil hutan
ikutan lainnya–kelapa, karet, jelutung dan rotan.
Berdasarkan perspektif pengelolaan lahan gambut
berkelanjutan, kelompok keempat (lahan gambut terlantar)
merupakan lahan gambut yang perlu mendapat prioritas
penanganan. Pengelolaan tersebut harus memerhatikan berbagai
kondisi objektif permasalahannya. Selanjutnya, perkembangan
pengelolaan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah dapat
dibedakan sebagai berikut (Limin et al. 2003).
1. Pengelolaan lahan gambut melalui program pemerintah.
Penetapan lahan gambut tertentu untuk tujuan konservasi
atau perlindungan setempat berupa penetapan kawasan
taman nasional (TN), cagar alam (CA), suaka margasatwa
(SM), cagar budaya, taman wisata alam (TWA), dan hutan
lindung (HL); termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam.
Masing-masing fungsi kawasan tersebut telah diatur dan
ditetapkan dalam RTRWP Kalimantan Tengah dan hasil
paduserasi tahun 1999. Pengelolaan lahan gambut untuk
kepentingan pembangunan wilayah pada umumnya dalam
25
bentuk pembukaan lahan baru sebagai lokasi permukiman
penduduk melalui program transmigrasi (resettlement) dan
pembangunan jaringan/akses jalan yang menghubungkan
daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Tengah.
2. Pengelolaan lahan gambut oleh pihak swasta. Pengelolaan
lahan gambut yang masih berupa hutan dengan status
kawasan hutan dilakukan oleh para pemegang HPH dalam
rangka memanfaatkan tegakan hutan yang bernilai ekonomis
melalui kegiatan eksploitasi dan silvikultur. Pengelolaan
lahan gambut yang sudah tidak berupa hutan dan bukan
kawasan hutan dilakukan oleh perusahaan perkebunan
swasta besar (PSB) yang dikonversi menjadi kebun kelapa
sawit, sekaligus sebagai sentra-sentra produksi crude palm
oil (CPO) di Provinsi Kalimantan Tengah.
3. Pengelolaan lahan gambut oleh lembaga penelitian dan
perguruan tinggi. Mengacu kepada RTRWP Kalimantan
Tengah hasil paduserasi tahun 1999 yang berlaku saat ini,
kawasan hutan bergambut seluas 5.000 ha telah
dialokasikan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) yaitu sebagai Hutan Penelitian. Selain itu, terdapat
Laborarium Gambut di Sungai Sebangau yang dikelola oleh
pihak Universitas Palangkaraya bekerja sama dengan pihak
Nottingham University, United Kingdom (UK).
4. Pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat. Kegiatan
pengelolaan lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat
lebih merupakan pemanfaatan lahan gambut untuk
kepentingan pembangunan kebun rakyat dan pengolahan
lahan gambut sebagai lahan pertanian tanaman pangan.
Pola sebaran pengolahan lahan gambut mengikuti
konsentrasi permukiman penduduk di sepanjang kanan-kiri
jalan negara.
26
2.4 Permasalahan Utama Pemanfaatan Lahan Gambut
Lestari
Pembukaan hutan dan pengatusan lahan gambut dalam
rangka reklamasi lahan gambut untuk pertanian mengakibatkan
berbagi masalah. Kegiatan ini dapat menimbulkan kerusakan
struktur vegetasi hutan dan perubahan watak hidrologi dan tanah
gambut dalam ekosistem lahan gambut. Praktik budi daya
tanaman yang sering dilakukan, seperti pembakaran lapisan atas
tanah gambut dengan maksud mengurangi kemasaman dan
pemakaian pupuk dan bahan pembenah lainnya, dapat
mengganggu keseimbangan berbagai bahan dalam sistem tanah.
Demikian pula halnya dengan kebakaran hutan lahan gambut,
yang sering terjadi selama musim kering dan biasanya lebih
terpusat di dalam kawasan yang telah direklamasi, dapat
menimbulkan kerusakan gambut, baik langsung maupun tidak
langsung. Perubahan yang ditimbulkan oleh kegiatan atau
kejadian di atas terutama terkait dengan berkembangnya
keadaan lingkungan tanah yang lebih bebas udara (aerob).
Keadaan demikian mendorong terjadinya perubahan dalam
sistem tanah yang tertampakkan dalam sifat-sifat tanah gambut.
Proses biogeokimia penting dalam sistem tanah-tanaman-
atmosfer di dalam ekosistem lahan gambut, antara lain dinamika
kemasaman dan dinamika nitrogen (N). Dinamika kemasaman
merupakan proses utama dalam sistem tanah-tanaman-atmosfer
dan menentukan proses biogeokimia lainnya. Dinamika
kemasaman merupakan fungsi keseimbangan antara proses-
proses yang memasamkan (acidifying processes) dan proses-
proses yang menyangga kemasaman (buffering processes).
Proses pemasaman dan penyanggaannya melibatkan banyak ion,
baik ion anorganik maupun ion organik, dalam sistem tanah-
tanaman-atmosfer. Ion-ion tersebut dapat dikelompokkan ke
27
dalam asam atau basa yang menunjukkan fungsinya–apakah
memasamkan atau sebaliknya–terhadap tanah gambut.
Dinamika N di dalam ekosistem lahan gambut melibatkan
proses alih ragam dan alih tempat di dalam sistem tanah-
tanaman-atmosfer. Dinamika N dapat diamati dalam dua bagian:
bagian di dalam ekosistem lahan gambut itu sendiri (bagian
dakhil) dan bagian di luar ekosistem lahan gambut (bagian
luaran). Pada bagian dakhil, N dapat berada di dalam biomassa
mikrobia, di dalam bahan organik, dan pada sistem pertukaran
antara fase padat dan fase larutan tanah. Nitrogen dapat
bergerak dan berubah bentuk di antara ketiga komponen
tersebut melalui proses mineralisasi, imobilisasi, denitrifikasi,
pelarutan, dan pelindian. Intensitas, daya pergerakan, dan
perubahan N tersebut sangat ditentukan oleh keadaan
lingkungan seperti kelengasan, kesarangan (aerasi), dan
kemasaman di dalam tanah gambut.
Pemanfaatan lahan gambut untuk budi daya tanaman
secara lestari perlu memerhatikan faktor-faktor kunci (Noor,
2001): (1) reklamasi dan pengelolaan air, (2) kebakaran dan
degradasi lahan, (3) perubahan iklim dan pemanasan global, (4)
kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, (5) pembalakan liar,
dan (6) perdagangan karbon. Keenam faktor kunci tersebut
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1. Reklamasi dan Pengelolaan Air
Lahan gambut secara alamiah tergenangi air sepanjang
tahun sehingga reklamasi lahan gambut harus dilakukan
agar dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Kegiatan antara
lain pembukaan dan pembersihan lahan, serta pengatusan
(drainase). Najiwati et al. (2005) menyebutkan bahwa
28
pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan untuk hal-hal
berikut:
(1) mencegah banjir di musim hujan dan menghindari
kekeringan di musim kemarau;
(2) mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa
beracun lainnya di dalam tanah;
(3) menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman;
(4) mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah
(subsidence);
(5) mencegah pengeringan dan kebakaran gambut, serta
oksidasi pirit;
(6) memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi
pertumbuhan tanaman dengan cara mengatur tinggi
muka air tanah.
Persoalan utama yang muncul setelah reklamasi adalah
terjadinya amblesan, yaitu menyusutnya tanah dan
menurunnya permukaan tanah (Andreisse, 1988;
Radjagukguk, 2000). Dradjad et al. (1989) melaporkan laju
amblesan 0,36 cm/bulan untuk tanah gambut saprik di
Barambai (Kalimantan Selatan) pada 12–21 bulan setelah
reklamasi, sedangkan untuk tanah gambut saprik di Talio
(Kalimantan Tengah) diketahui laju amblesan 0,78 cm/bulan
dan untuk gambut hemik–saprik 0,9 cm/bulan. Laju
amblesan rata-rata di Malaysia dilaporkan 5 cm/tahun untuk
tanah gambut di Sarawak, dan 2 cm/tahun untuk tanah
gambut di Johor Barat (Wösten & Ritzema, 2001). Laju
amblesan lebih rendah untuk tanah gambut dangkal
daripada untuk tanah gambut tebal (Notohadiprawiro, 1996;
Wösten et al., 1997).
29
Amblesan akibat pengatusan dapat dipilah dalam tiga
komponen: penghilangan (wastage) gambut, pengerutan
lapisan gambut permukaan, dan hilangnya daya apung
(buoyancy) lapisan gambut permukaan (Noor, 2001).
Penghilangan gambut terjadi akibat perombakan bahan
gambut. Dua komponen pengatusan yang terakhir
disebabkan oleh hilangnya air atau berkurangnya air yang
ditahan oleh tanah gambut. Amblesan tanah gambut
sebenarnya terkait dengan perubahan sifat fisika, kimia, dan
biologi tanah gambut (Notohadiprawiro, 1996; Radjagukguk,
2000). Beberapa perubahan sifat fisika tanah gambut yang
terkait dengan reklamasi lahan gambut dan praktik budi
daya untuk pertanian antara lain meningkatnya berat
volume, daya hantar air menyamping (lateral), dan daya
simpan bahang (heat); dan menurunnya porositas total,
daya simpan lengas, daya hantar air cacak (vertical), dan
daya hantar bahang (Notohadiprawiro, 1996; Radjagukguk,
2000).
2. Kebakaran dan Degradasi Lahan
Kebakaran dan pembakaran hutan (lahan) gambut acap kali
menyertai kegiatan reklamasi dan praktik budi daya tanaman
di lahan gambut. Bahaya kebakaran, baik yang terjadi
secara alamiah maupun yang dipicu oleh kecerobohan
manusia, menjadi lebih mengancam di lahan gambut yang
direklamasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran
hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah telah
mengakibatkan amblesan (subsidensi) tanah gambut dan
emisi gas CO2 (Jaya et al., 2002; Page et al., 2000).
Beberapa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan
gambut yang terkait dengan kegiatan manusia seperti
dijelaskan pada Gambar 7.
30
Gambar 7. Faktor penyebab kebakaran lahan gambut dan ancaman yang dapat ditimbulkan (Sumber: Najiati et al., 2005b)
Kebakaran lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak
langsung. Akibat langsung dari kebakaran lahan gambut
antara lain hilangnya lapisan serasah dan lapisan atas
gambut (Jaya et al., 2002); kerusakan atau gangguan
terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan, kesehatan
manusia dan hewan di sekitar kawasan terkena dampak, dan
kegiatan transportasi (Adinugroho et al., 2005). Kasus
kebakaran hutan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun
1997–1998 telah mengakibatkan berkurangnya kerapatan
pohon sekitar 75% (Page et al., 2004), kehilangan lapisan
gambut antara 35–70 cm, dan kehilangan karbon 0,2–0,6 Gt
C yang sebagian besar berasal dari gambut yang terbakar
(>95%) (Jaya et al., 2002; Page et al., 2000). Karbon yang
31
hilang ini berdampak luar biasa terhadap emisi gas CO2 ke
atmosfer. Akibat tidak langsung dari kebakaran lahan
gambut merupakan akibat lanjutan (post-effect) yang
dihasilkan ketika proses pemulihan lahan gambut belum
mencapai keadaan semula, baik secara alamiah maupun
buatan manusia. Akibat ini bisa terjadi selama bertahun-
tahun tergantung kemampuan untuk memulihkan dan
kualitas hutan gambut itu sendiri. Setelah kebakaran, kanopi
hutan menjadi lebih terbuka dan tanah gambut menjadi
lebih tersingkap. Akibatnya, tanah gambut menjadi lebih
bebas udara (aerob) dibandingkan dengan keadaan
alaminya. Oleh karena itu, sifat-sifat tanah gambut akan
berubah setelah kebakaran. Pemulihan hutan gambut yang
terbakar secara alamiah berpotensi mengalami penurunan
kualitas kimia tanah gambut. Dengan demikian, campur
tangan manusia diperlukan dalam penerapan teknologi
penghutanan kembali.
3. Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Persoalan global yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan
adalah emisi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida,
metana, dan (di)nitrogen oksida dari ekosistem lahan
gambut. Persoalan itu telah dikaji oleh banyak peneliti
gambut di dunia (Limin et al., 2004; Melling et al., 2005;
Botch et al., 1995; Mudiyarso & Suryadiputra, 2003; Jaya et
al., 2002; Rydin & Jeglum, 2006; Barber, 1993). Emisi gas
rumah kaca tersebut sebenarnya terkait dengan proses
biogeokimia yang terjadi di dalam ekosistem lahan gambut
seperti dinamika kemasaman, dinamika karbon (C), dan
dinamika nitrogen (N) (Hadi et al., 2001; Hooijer et al.,
2006). Dinamika kemasaman merupakan suatu proses yang
sangat penting dan menentukan bagi proses biogeokimia
32
lainnya. Kemasaman merupakan salah satu peubah utama
(master variable) bagi proses biogeokimia sehingga
menentukan arah dan laju reaksi, serta ragam bahan kimia
yang terlibat dalam proses biogeokimia lainnya; misalnya
dinamika N di dalam suatu ekosistem. Dalam konteks lahan
gambut, emisi GRK dapat ditekan apabila perbaikan sistem
pengelolaan lahan dan air di areal pertanian dan perke-
bunan; termasuk pencegahan kebakaran yang banyak ter-
jadi di kawasan pertanian maupun konservasi seperti hutan
lindung dan cagar alam.
4. Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat
Permasalahan kemiskinan menjadi penting mengingat
kerusakan lingkungan lahan/hutan gambut terkait dengan
keberadaan penduduk di kawasan lahan gambut dan
sekitarnya. Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas
masyarakat di lahan gambut tidak hanya penting dalam
kerangka meningkatkan kesejahteraannya, tetapi juga
terkait dengan pelestarian dan konservasi lahan gambut di
masa depan. Pemberian insentif sebagai kompensasi atas
upaya pelestarian dan konservasi yang dilakukan oleh
masyarakat perlu dilembagakan sehingga rasa keadilan
dapat terpenuhi. Pemberdayaan masyarakat lahan gambut
memiliki dua pertimbangan: (1) karena kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang dialami oleh sebagian besar
masyarakat di lahan gambut (seringkali menjadi penyebab
ketidakpedulian mereka terhadap kualitas lingkungan), dan
(2) upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk
berpartisipasi dalam konservasi lahan (sulit dilakukan apabila
kebutuhan dasar masyarakat masih belum terpenuhi).
Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut harus dapat
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengoptimal-
33
kan pemanfaatan potensi ekonomi dan sumber daya alam
tanpa merusak lingkungan. Keterbatasan daya dukung
ekonomi lahan gambut dari sisi pertanian harus menjadi
tantangan dalam mencari solusi agar masyarakat memiliki
pilihan sumber penghidupan yang layak dan ramah
lingkungan. Dengan demikian, peningkatan kemampuan
ekonomi juga harus disertai dengan peningkatan kesadaran
terhadap kelestarian lingkungan. Tanpa hal itu, peningkatan
kondisi ekonomi justru dapat berbalik menjadi faktor perusak
karena dapat menjadi modal bagi sebagian masyarakat yang
tidak sadar untuk lebih banyak lagi melakukan kerusakan
lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat memerlukan strategi yang tepat
karena kesalahan pendekatan justru dapat berakibat fatal.
Demikian juga kesalahan dalam menangkap permasalahan,
kondisi ini mengakibatkan kesalahan dalam menentukan
cara pemecahannya. Apabila hal ini terjadi, program
pemberdayaan tidak berjalan efektif, mubazir, dan yang
lebih buruk lagi adalah terciptanya masyarakat peminta-
minta alias masyarakat yang hidupnya tergantung dari
uluran tangan. Dalam praktiknya, ketika program pember-
dayaan dijalankan, biasanya terdapat fenomena “seolah-
olah” telah terjadi peningkatan taraf hidup. Lalu sesudah
dihentikan, program menjadi terbengkalai dan kemandirian
masyarakat semakin terpuruk. Apabila ini terjadi, bukan
perbaikan kondisi kehidupan yang terjadi, melainkan
marginalisasi dan pemiskinan yang semakin meluas.
Menurut Kartasasmita (1996), implementasi pemberdayaan
masyarakat dapat dilakukan melalui tiga upaya:
(1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat untuk berkembang;
34
(2) memperkuat potensi daya yang dimiliki oleh masyarakat
dengan menerapkan langkah-langkah nyata seperti
menyediakan lingkungan, prasarana, dan sarana baik
fisik ataupun sosial yang dapat diakses oleh
masyarakat;
(3) melindungi dan membela kepentingan masyarakat
lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang
dan eksploitasi terhadap yang lemah.
Secara operasional, pemberdayaan dapat dilakukan melalui
perbaikan kondisi internal maupun eksternal. Secara internal,
antara lain dilakukan dengan membangun kesadaran,
membangkitkan kepercayaan diri, meningkatkan kemam-
puan mengelola potensi yang ada, dan membangun budaya
mandiri. Sementara itu, perbaikan faktor eksternal dilakukan
melalui pembangunan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi
yang berkeadilan dan demokratis; perbaikan lingkungan; dan
perbaikan akses terhadap layanan permodalan usaha,
layanan sarana produksi, layanan pendidikan, dan layanan
kesehatan.
5. Pembalakan Liar
Hampir semua kerusakan hutan dan lahan gambut
disebabkan oleh aktivitas manusia, baik disengaja maupun
tidak. Pemanfaatan hutan melalui penebangan merupakan
aktivitas yang paling sering dijumpai. Berdasarkan statusnya,
penebangan dapat dikelompokkan menjadi dua: penebangan
legal dan penebangan ilegal. Penebangan legal dilakukan
oleh masyarakat melalui pola hutan kemasyarakatan (HKm),
perusahaan kehutanan (HPH dan HTI), dan perusahaan
perkebunan berdasarkan izin dari instansi yang berwenang.
Sebaliknya, penebangan ilegal biasanya dilakukan oleh
35
penebang liar tanpa dilengkapi izin dari pihak/instansi yang
berwenang. Pembalakan liar di hutan rawa gambut perlu
dicegah mengingat hal tersebut dapat memicu terjadinya
kebakaran hutan dan kepunahan jenis-jenis tertentu
sehingga mengurangi keanekaragaman hayati.
6. Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon merupakan salah satu upaya sukarela
yang mengikat dalam bentuk konvensi antara negara-negara
maju dan negara-negara berkembang untuk menanggulangi
perubahan iklim dan pemanasan global. Kesempatan untuk
ikut dalam perdagangan karbon terbuka luas sehubungan
dengan potensi lahan gambut yang cukup luas. Perdagangan
karbon dapat dilakukan melalui empat skema mekanisme:
(1) perdagangan emisi, (2) mekanisme pembangunan bersih
(Clean Development Mechanism/CDM), (3) penurunan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions
from Deforestation and forest Degradation /REDD), dan (4)
pasar “sukarela”.
2.5 Budi daya Tanaman Secara Bijak di Lahan Gambut
Kegiatan pertanian dan kejadian kebakaran di lahan
gambut dapat menurunkan volume spesifik, kerutan, porositas
total, dan bagian volume pori makro tanah gambut. Sebaliknya,
kegiatan tersebut dapat meningkatkan berat volume dan bagian
volume pori mikro. Perubahan sifat-sifat ini memengaruhi sifat
lengas (hidrofisika) tanah gambut. Bahan gambut di lahan
pertanian terombak lebih cepat dan sebagian besar hasil
rombakannya terlindi sehingga menyisakan bahan gambut yang
lebih matang. Begitu pula di lahan bekas kebakaran, bahan
gambut lebih matang bukan oleh perombakan tetapi lebih
36
disebabkan oleh hilangnya lapisan atas. Bertani di lahan gambut
memang harus dilakukan secara hati-hati karena menghadapi
banyak kendala, antara lain kematangan dan ketebalan gambut
yang bervariasi, permukaan gambut yang menurun, daya tumpu
yang rendah, kesuburan tanah yang rendah, terdapatnya lapisan
pirit dan pasir, pH tanah yang sangat masam, kondisi lahan
gambut yang jenuh air (tergenang) pada musim hujan dan
kekeringan saat kemarau, serta rawan kebakaran.
Kunci keberhasilan pertanian di lahan gambut adalah
bertani secara bijak dengan memerhatikan faktor-faktor
pembatas yang dimilikinya. Menurut Najiyati et al. (2005),
terdapat 10 langkah bijak agar sukses bertani di lahan gambut,
yaitu:
(1) mengenali dan memahami tipe dan perilaku lahan;
(2) memanfaatkan dan menata lahan sesuai dengan tipologinya
dengan tidak merubah lingkungan secara drastis;
(3) menerapkan sistem tata air yang dapat menjamin
kelembaban tanah atau menghindari kekeringan di musim
kemarau dan mencegah banjir di musim hujan;
(4) tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar;
(5) melakukan pola bertani secara terpadu dengan
mengombinasikan tanaman semusim dan tanaman tahunan,
ternak, dan ikan;
(6) memilih jenis dan varietas tanaman yang sesuai dengan
kondisi lahan dan permintaan pasar;
(7) menggunakan bahan amelioran seperti kompos dan pupuk
kandang untuk memperbaiki kualitas lahan;
(8) mengolah tanah secara minimum (minimum tillage) dalam
kondisi tanah yang berair atau lembab;
37
(9) menggunakan pupuk mikro untuk budi daya tanaman
semusim;
(10) melakukan penanaman tanaman tahunan di lahan gambut
tebal yang didahului dengan pemadatan dan penanaman
tanaman semusim untuk meningkatkan daya dukung tanah.
Keberlanjutan dalam konteks pertanian berarti kemampuan
untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis
sumber daya. Pertanian untuk memproduktifkan lahan gambut
dapat dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi lima aspek
berikut (Reijntjes et al., 1999).
1. Mantap secara ekologis. Hal ini berarti kualitas sumber daya
alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem
ditingkatkan secara keseluruhan (manusia, tanaman, hewan,
dan organisme tanah). Kedua hal tersebut akan terpenuhi
jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan, dan
masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi
sendiri).
2. Kegiatan dapat berlanjut secara ekonomis. Hal ini berarti
petani dapat menghasilkan komoditas untuk pemenuhan
kebutuhan sendiri dan mendapatkan penghasilan yang
mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang
dikeluarkan.
3. Adil. Hal ini berarti sumber daya dan kekuasaan didistribusi-
kan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua
anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka terjamin
dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan
teknis, dan peluang pemasaran.
4. Manusiawi. Hal ini berarti semua bentuk kehidupan dihargai:
tanaman, hewan, dan manusia.
38
5. Luwes (fleksibel). Hal ini berarti masyarakat pedesaan
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha
tani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah
penduduk, kebijakan, dan permintaan pasar.
39
PROSPEK AGROFORESTRY
DI LAHAN GAMBUT
3.1 Definisi Agroforestry
Padanan kata untuk agroforestry adalah wanatani. Wana
(Bahasa Jawa) berarti hutan dan tani berarti bertani (kegiatan
bercocok tanam). Wanatani berarti sebuah teknik bercocok tanam
yang menggabungkan tanaman berkayu (pohon hutan) dengan
tanaman pertanian (pangan). Agroforestry bukanlah sesuatu
yang baru. Hal yang baru adalah ilmu agroforestry, sedangkan
budayanya sendiri merupakan hal yang lama, bahkan sangat
lama. Konsepsi agroforestry dirintis oleh suatu tim dari Canadian
International Development Centre (CIDC) yang bertugas untuk
mengidentifikasi prioritas pembangunan di bidang kehutanan di
negara-negara berkembang pada tahun 1970-an. Menurut tim
CIDC, hutan-hutan di negara berkembang tersebut belum
dimanfaatkan secara optimal dan terdapat beberapa kegiatan
yang mengarah kepada perusakan lingkungan. Kecenderungan
perusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh
dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan
lingkungan fisik secara efektif dan sekaligus dapat memenuhi
kebutuhan pangan, papan dan sandang bagi masyarakat sekitar
hutan. Berdasarkan laporan dan usulan dari tim tersebut, suatu
badan bernama International Council for Research in Agroforestry
(ICRAF) didirikan pada tahun 1977 untuk menstimulasi penelitian
bidang agroforestry yang berpusat di Nairobi, Kenya. Direktur
yang pertama, K.F.S. King, mendefinisikan agroforestry sebagai
berikut.
“suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian,
yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengom-
Bab III
40
binasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman
pepohonan), tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan
atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan
cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk
setempat (King & Chandler, 1978)”.
Pada seminar mengenai agroforestry dan perladangan
berpindah di Jakarta tahun 1981, agroforestry didefinisikan
sebagai suatu metode penggunaan lahan secara optimal yang
mengombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi
pendek dan panjang (suatu kombinasi produksi kehutanan dan
produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan asas
kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan
hutan atau di luarnya dengan tujuan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat (Lahjie, 2001).
Agroforestry didasarkan pada dua macam premis dasar
yaitu biologis dan sosial-ekonomi (King, 1979). Secara biologis,
komponen pohon dalam agroforestry mempunyai kemampuan
untuk menjerap nutrisi jauh dari dalam tanah (di luar jangkauan
perakaran tanaman pertanian), memprosesnya dan meman-
faatkan nutrisi tersebut untuk pembangunan tubuhnya dan
kemudian mendaur ulang dalam bentuk serasah. Selanjutnya,
serasah berubah menjadi humus dan masuk kembali ke dalam
tanah. Proses ini membentuk siklus nutrisi yang efisien.
Kontribusi agroforestry dalam bidang sosial-ekonomi lebih
bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan
murni karena komponen usahanya lebih beragam dan kombinasi
hasil produksi yang lebih stabil. Selain itu, agroforestry mampu
memenuhi tiga segmen ekonomi masyarakat: kebutuhan jangka
pendek, menengah dan panjang (Sabarnurdin, 2000).
41
3.2 Ruang Lingkup Agroforestry
Pada dasarnya agroforestry terdiri atas tiga komponen
pokok: kehutanan, pertanian dan peternakan. Masing-masing
komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu
bentuk sistem penggunaan lahan (Gambar 8). Hanya saja,
sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan kepada produksi satu
komoditas khas atau kelompok produk yang serupa. Peng-
gabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa
kemungkinan bentuk kombinasi.
Gambar 8. Ruang lingkup sistem pemanfaatan lahan secara agroforestry (Sumber: Hairiah et al., 2003)
Agroforestry merupakan suatu pola tanam yang bersifat
dinamis sehingga setiap kombinasi unsur-unsur penyusunnya
yang berbeda akan membentuk sistem yang berbeda pula.
Perbedaan sistem tersebut akan menambah khasanah kekayaan
42
sistem agroforestry. Ruang lingkup agroforestry akan semakin
luas sehingga masyarakat memiliki alternatif aplikasi salah satu
sistem sesuai karakteristik kawasan, minat dan tujuan
pemanfaatan lahan.
Tipe sistem agroforestry sangat beragam dan kompleks
dalam sifat dan fungsinya. Oleh karena itu, pengklasifikasian
sistem agroforestry dalam berbagai kategori sangat diperlukan
untuk mengevaluasi, memahami dan memperbaiki sistem-sistem
yang telah ada. Istilah sistem agroforestry berbeda dengan
teknologi agroforestry. Sistem agroforestry mencakup bentuk-
bentuk agroforestry yang banyak dilaksanakan di suatu daerah
atau merupakan suatu pemanfaatan lahan yang sudah umum
dilakukan di suatu daerah. Sementara itu, istilah teknologi
agroforestry digunakan untuk menunjukkan adanya perbaikan
atau inovasi yang biasanya berasal dari hasil penelitian dan
digunakan untuk mengembangkan hasil-hasil yang baik dalam
mengelola sistem agroforestry yang telah ada. Dengan demikian,
sistem agroforestry meliputi bentuk-bentuk asli praktik
agroforestry (indigenous agroforestry), sedangkan teknologi
agroforestry menghasilkan bentuk agroforestry yang telah
diperbaiki (improved agroforestry), misalnya improved fallow,
alley cropping, multi purpose trees on farm lands, dan
sebagainya. Bentuk-bentuk agroforestry dapat dikelompokkan
sebagai berikut (King & Chandler, 1978; Nair, 1985).
1. Agrisilvikultur; yaitu penggunaan lahan secara sadar dan
dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi,
sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
2. Sylvopastural; yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk
menghasilkan kayu dan untuk memelihara ternak.
43
3. Agrosylvopastural; yaitu sistem pengelolaan lahan untuk
memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara
bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.
4. Multipurpose forest trees production system; yaitu sistem
pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak
hanya kayu, tetapi juga daun-daunan dan buah-buahannya
dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia atau
pakan ternak.
5. Sylvofishery; yaitu sistem pengelolaan lahan yang dirancang
untuk menghasilkan kayu dan sekaligus berfungsi sebagai
kolam/tambak ikan.
6. Apiculture; yaitu sistem pengelolaan lahan yang mem-
fungsikan pohon-pohon yang ditanam sebagai sumber pakan
lebah madu. Selain memproduksi kayu, pohon juga
menghasilkan madu yang memiliki nilai jual tinggi dan
berkhasiat obat.
7. Sericulture; yaitu sistem pengelolaan lahan yang ditujukan
untuk penanaman pohon-pohon sumber pakan ulat sutera.
Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam
pengklasifikasian sistem agroforestry (Nair, 1993) adalah:
1) pengaturan komponen-komponennya menurut waktu dan
tempat struktur,
2) kepentingan dan peran komponen fungsi,
3) tujuan produksi atau hasil sistem output,
4) karakter sosial-ekonominya dasar sosial-ekonomi,
5) basis ekologinya dasar ekologi.
Klasifikasi pokok sistem agroforestry sebagaimana terdapat
pada Tabel 2.
45
Berdasarkan uraian sebelumnya, sebagai upaya memudah-
kan kegiatan di lapangan maka secara teknis digunakan istilah-
istilah:
(1) sistem agroforestry; didasarkan pada komposisi biologis
serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri
sosial ekonominya;
(2) subsistem agroforestry; mempunyai tingkat hierarki yang
lebih rendah daripada sistem agroforestry tetapi memiliki
ciri-ciri yang rinci dalam lingkup yang lebih mendalam;
(3) praktik agroforestry; lebih menjurus kepada operasional
pengelolaan lahan yang khas dari agroforestry yang murni
didasarkan pada kepentingan dari petani lokal atau unit
manajemen lain yang di dalamnya terdapat komponen
agroforestry;
(4) teknologi agroforestry; yaitu inovasi atau penyempurnaan
melalui intervensi ilmiah terhadap sistem atau praktik
agroforestry yang sudah ada dengan tujuan memperoleh
keuntungan yang lebih besar.
3.3 Pola Agroforestry
Sistem agroforestry memiliki pola-pola (pattern) tertentu
dalam mengombinasikan komponen penyusunnya ke dalam satu
ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi
yang bersifat negatif antar komponen penyusun. Interaksi negatif
yang terjadi dapat berupa kompetisi dalam memperebutkan
unsur hara, cahaya matahari, air, dan ruang tumbuh. Tajuk
pohon yang terlalu lebat menyebabkan cahaya matahari tidak
sampai ke strata di bawahnya yang menjadi tempat tumbuh
tanaman pertanian. Akar pohon yang memanjang dan menempati
horizon tanah dengan kedalaman kurang dari 50 cm dapat
46
menganggu perakaran tanaman pertanian sehingga terjadi
perebutan unsur hara yang merugikan tanaman pertanian.
Vergara (1982) mengklasifikasikan pola tanam agroforestry ke
dalam beberapa bentuk sebagai berikut.
1. Pohon sebagai pagar (trees along border). Pola ini
merupakan penanaman pohon di bagian pinggir lahan dan
tanaman pertanian di bagian tengah. Pepohonan yang
ditanam mengelilingi lahan berfungsi sebagai pagar ataupun
pembatas lahan. Gambar 9 menjelaskan pola trees along
border.
2. Pola larikan pohon dan tanaman semusim secara berselang-
seling (alternate rows). Pola ini merupakan model penanam-
an agroforestry yang menempatkan pohon dan tanaman
pertanian secara berselang-seling. Pola agroforestry ini
dimungkinkan pada lahan yang relatif datar. Gambar 10
menjelaskan pola alternate rows.
3. Budi daya lorong (alley cropping). Pola penanaman
agroforestry yang menempatkan pohon di pinggir kanan dan
kiri tanaman pertanian. Larikan pohon dibuat membujur ke
arah Timur–Barat. Hal ini dimaksudkan agar tanaman
pertanian mendapatkan cahaya matahari penuh di pagi dan
sore hari. Pola alley cropping sering disebut sebagai bentuk
lorong karena bila dilihat dari ujung lahan menyerupai lorong
gua. Pola ini mirip dengan pola trees along border bila dua
sisi lainnya ditanami pohon. Pola ini seperti ditunjukkan pada
Gambar 11.
4. Sistem blok (blocking system). Pola ini merupakan
penanaman antara tanaman kehutanan dan tanaman
pertanian yang ditanam secara berdampingan sehingga
membentuk dua petak yang berbeda. Pola ini dimaksudkan
agar petani lebih mudah dalam memberi perlakuan pada
47
masing-masing blok karena sifat tanamannya yang seragam.
Gambar 12 menjelaskan pola ini.
5. Pola campuran acak (Random Mixture). Pola ini merupakan
penanaman acak antara tanaman kehutanan dan tanaman
pertanian yang ditanam secara tidak teratur. Pola ini
terbentuk karena tidak adanya perencanaan awal dalam
menata letak tanaman. Petani dengan sekehendak hati
menanam dengan memilih ruang yang masih kosong di
lahannya. Gambar 13 menjelaskan pola ini.
Gambar 9. Profil pohon jelutung rawa (kiri) dan kelapa (kanan) yang ditanam di batas lahan sebagai pohon pagar di lahan gambut (Lokasi: Desa Mantaren, Kabupaten Pulang Pisau dan Desa Pangkalan Rekan, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)
48
Gambar 10. Profil pola alternate rows di lahan gambut (Lokasi: Kelurahan Kalampangan, Provinsi Kalimatan Tengah)
Gambar 11. Profil pola alley cropping dengan teknik surjan dengan komponen penyusun jelutung rawa dan padi di lahan gambut (Lokasi: Desa Mantaren, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimatan Tengah)
49
Gambar 12. Profil block system di lahan gambut: blok 1 ditanami nenas dan blok 2 ditanami karet (Lokasi: Desa Batunindan, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)
Gambar 13. Profil pola random mixture di lahan gambut pada kebun buah-buahan (Lokasi: Desa Batunindan, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)
3.4 Pola Pengombinasian Komponen
Agroforestry merupakan pengombinasian komponen
tanaman berkayu (woody plants)/kehutanan; baik berupa pohon,
perdu, palem-paleman, bambu maupun tanaman berkayu
lainnya; dengan tanaman pertanian (tanaman semusim) dan/atau
50
hewan (peternakan), baik secara tata waktu (temporal
arrangement) maupun secara tata ruang (spatial arrangement).
Menurut von Maydell (1988), kombinasi yang ideal terjadi bila
seluruh komponen agroforestry secara terus menerus berada
pada lahan yang sama. Akan tetapi, secara alami–atau seringkali
atas dasar alasan ekonomi–kombinasi komponen berkaitan erat
dengan dinamika dari keseimbangan perubahan musim sesuai
dengan ritme tahunan dan suksesi tertentu akibat dari gangguan
atau perlakuan manusia secara periodik atau sporadik.
Pengombinasian berbagai komponen dalam sistem
agroforestry menghasilkan berbagai reaksi yang masing-masing
atau bahkan sekaligus dapat dijumpai pada satu unit manajemen.
Reaksi tersebut dinyatakan oleh von Maydell (1987) sebagai
berikut.
1. Persaingan (competition). Pepohonan dan perdu atau
tanaman pertanian dan binatang bersaing satu sama lain
guna memperoleh cahaya, air, hara, ruang hidup, input
kerja, lahan, kapital, dan sebagainya. Persaingan ini tidak
dapat dideteksi secara langsung, namun dapat diduga secara
tidak langsung. Sebagai contoh, tanaman tertentu menjadi
perantara parasit bagi tanaman lain, misalnya pohon sebagai
tempat sarang burung-burung yang dapat mengakibatkan
berkurangnya panen tanaman padi-padian. Tidak jarang,
persaingan justru sengaja diharapkan, misalnya berkurang-
nya gulma rerumputan akibat terlindung tajuk pohon.
2. Melengkapi (complementary). Reaksi saling melengkapi ini
dapat secara waktu, ruang ataupun kuantitatif. Secara
waktu, contohnya ketersediaan dedaunan lebar atau buah-
buahan sebagai pakan ternak yang pada musim tertentu
tidak tersedia rumput, seperti Acacia albida di Afrika. Secara
ruang, contohnya pemanfaatan keseluruhan biotop atau
51
produksi secara lebih, baik melalui dua strata atau lebih
sekaligus. Secara kuantitatif, contohnya produk sejenis yang
diperoleh dari satu lahan secara bersamaan, antara lain
protein nabati dan hewani.
3. Ketergantungan (dependency). Beberapa jamur hanya dapat
tumbuh pada pohon tertentu. Jenis binatang tertentu juga
hanya dapat hidup pada padang pengembalaan. Sebagai
contoh di Afrika, telah diketahui bahwa sistem akan rusak
apabila tidak ada keseimbangan antara jenis binatang
pemakan rerumputan panjang dan pendek. Binatang pema-
kan rumput pendek hanya mau mendekati makanannya bila
rumput tidak terlampau tinggi.
Reaksi akibat kombinasi berbagai komponen dalam
agroforestry dapat terjadi pada sistem monokultur dan campuran.
Pada sistem pertanian monokultur, baik tanaman semusim
maupun tahunan, bila ditanam terlalu dekat akan menurunkan
produksi per unit area. Hal ini disebabkan adanya kompetisi
terhadap kebutuhan cahaya, air, dan hara. Apabila jarak tanam-
nya diperlebar maka besarnya tingkat kompetisi tersebut semakin
berkurang. Dalam praktik di lapangan, petani mengelola
tanamannya dengan melakukan pengaturan pola tanam,
pengaturan jarak tanam, dan sebagainya. Pada sistem campuran
dari berbagai jenis tanaman atau mixed cropping (pohon dengan
tanaman semusim atau hanya jenis-jenis pepohonan saja), setiap
jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya
sendiri. Sebagai contoh, jenis tanaman yang bercabang banyak
akan menaungi tanaman yang lain. Beberapa tanaman yang
jaraknya tidak terlalu dekat akan memperoleh keuntungan;
prosesnya sering disebut dengan ‘facilitation’. Contohnya, pohon
dadap yang tinggi dan lebar, sebaran kanopinya memberikan
52
naungan yang menguntungkan tanaman kopi. Jenis tanaman
yang memiliki perakaran lebih dalam akan lebih memungkinkan
untuk menyerap air dan hara dari lapisan yang lebih dalam
daripada jenis tanaman yang lain. Dalam waktu singkat kondisi
lingkungan di sekitar tanaman akan berubah (ketersediaan hara
semakin berkurang) sehingga akhirnya akan menimbulkan
kompetisi antar tanaman. Proses saling memengaruhi, baik yang
menguntungkan maupun yang merugikan, antar komponen
penyusun sistem campuran ini (termasuk sistem agroforestry)
sering disebut dengan ‘interaksi’. Pemahaman yang mendalam
tentang proses terjadinya interaksi antar tanaman, baik pada
spesies yang sama maupun spesies yang berbeda, dalam sistem
agroforestry sangat dibutuhkan agar dapat menentukan
pengelolaan yang tepat.
Suprayogo et al. (2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga
hal utama yang perlu diperhatikan dalam menyusun komponen
agroforestry yaitu (1) proses terjadinya interaksi, (2) faktor
penyebab terjadinya interaksi, dan (3) jenis-jenis interaksi. Ketiga
hal tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1. Proses terjadinya interaksi: langsung atau tidak langsung.
Pada sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman
yang ditanam berdampingan pada satu lahan yang sama
sering terjadi bila ketersediaaan sumber kehidupan tanaman
berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya
diwujudkan dalam bentuk hambatan pertumbuhan terhadap
tanaman lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hambatan secara langsung contohnya melalui efek
allelophathy (jarang dijumpai di lapangan). Hambatan tidak
langsung dapat berupa berkurangnya intensitas cahaya
karena naungan pohon, atau menipisnya ketersediaan hara
dan air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang
53
berdampingan. Tanaman kadang-kadang memengaruhi
tanaman lain melalui ‘partai ketiga’ yaitu apabila tanaman
tersebut menjadi inang bagi hama atau penyakit tanaman
lainnya. Selain bersifat negatif, interaksi tidak langsung
dapat bersifat positif, misalnya pengaruh pohon dadap
terhadap tanaman kopi; pohon dadap berfungsi sebagai
penambah N sekaligus sebagai penaung.
2. Faktor penyebab terjadinya interaksi. Secara umum,
interaksi yang bersifat negatif dapat terjadi karena (1)
keterbatasan daya dukung lahan yang menentukan jumlah
populasi maksimum dapat tumbuh pada suatu lahan, dan (2)
keterbatasan faktor pertumbuhan pada suatu lahan. Konsep
daya dukung alam merupakan konsep yang penting untuk
diketahui. Konsep ini menggambarkan tentang jumlah
maksimum dari suatu spesies di suatu area, baik sebagai
sistem monokultur maupun campuran. Suatu spesies
mungkin saja dapat tumbuh dalam jumlah yang melimpah
pada suatu lahan. Apabila dua spesies tumbuh bersama
pada lahan tersebut, salah satu spesies dapat lebih
kompetitif daripada yang lain. Hal ini kemungkinan
mengakibatkan spesies kedua akan mengalami kepunahan.
Konsep tersebut juga diterapkan dalam usaha pertanian
yaitu mengharapkan tanaman pokok akan tumbuh lebih
baik.
Salah satu syarat terjadinya kompetisi adalah keterbatasan
faktor pertumbuhan: air, hara, dan cahaya. Pertumbuhan
tanaman mengalami kemunduran jika terjadi penurunan
ketersediaan satu atau lebih faktor. Kekurangan hara di
suatu lahan mungkin saja terjadi karena kesuburan alami
yang memang rendah atau karena besarnya proses
kehilangan hara pada lahan tersebut, misalnya karena
54
penguapan dan pencucian. Kekurangan air dapat terjadi
karena daya menyimpan air yang rendah, distribusi curah
hujan yang tidak merata, atau proses kehilangan air (aliran
permukaan) yang cukup besar. Pengetahuan tentang faktor
pertumbuhan, seperti jumlah yang dibutuhkan tanaman dan
ketersediaannya di suatu lahan, sangat diperlukan untuk
memperoleh pertumbuhan tanaman yang optimal pada
sistem agroforestry.
3. Jenis interaksi pohon-tanah-tanaman. Pada bahasan
sebelumnya telah disebutkan bahwa menanam berbagai
jenis tanaman pada lahan yang sama dalam sistem
agroforestry akan menimbulkan berbagai macam bentuk
interaksi antar tanaman. Pada prinsipnya, terdapat tiga
macam interaksi di dalam sistem agroforestry yaitu (1)
interaksi positif (complementarity=saling menguntungkan):
bila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh
peningkatan produksi tanaman lainnya, (2) interaksi netral:
bila kedua tanaman tidak saling memengaruhi (peningkatan
produksi tanaman semusim tidak memengaruhi produksi
pohon atau sebaliknya), dan (3) interaksi negatif (kompetisi/
persaingan=saling merugikan): bila peningkatan produksi
satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman
lainnya atau penurunan produksi keduanya. Tabel 3
menjelaskan tentang analisis interaksi antara dua jenis
tanaman A dan B.
55
Tabel 3. Analisis interaksi antara dua jenis tanaman A dan B
Sumber: Suprayogo et al. (2003).
Keterangan: (0) = tidak ada interaksi yang nyata (+) = menguntungkan bagi tanaman utama
(pertumbuhannya, ketahanan terhadap stress, reproduksi, dan sebagainya)
(-) = merugikan bagi tanaman utama
Kunci keberhasilan dari sistem agroforestry sangat
tergantung dari pengelolaan pohon yang dapat menekan
pengaruh yang merugikan dan memaksimalkan pengaruh yang
menguntungkan (dengan kebutuhan tenaga kerja yang masih
dapat diterima). Interaksi pohon-tanah-tanaman tergantung pada
56
pertumbuhan dan bentuk spesifik dari pohon, baik pada bagian
tajuk maupun akar tanaman. Beberapa cara dapat dilakukan
untuk menekan pengaruh merugikan dari pohon, antara lain
sebagai berikut.
1. Mengatur tajuk pohon. Tinggi tanaman semusim biasanya
lebih rendah daripada pohon. Hal ini menyebabkan pohon
dapat menciptakan naungan sehingga menurunkan jumlah
cahaya yang dapat dipergunakan tanaman semusim untuk
pertumbuhannya. Petani biasanya mengatur jarak tanam,
sekaligus melakukan pemangkasan beberapa cabang pohon
untuk mengurangi pengaruh merugikan pohon terhadap
tanaman semusim tersebut. Naungan dikurangi dengan jalan
pemangkasan cabang pohon selama musim tanam, tetapi
dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan
pertumbuhan gulma (misalnya alang-alang).
2. Mengatur pertumbuhan akar. Pengaturan pertumbuhan akar
dapat dilakukan dengan mengatur pemangkasan.
Pemangkasan tajuk pohon menyebabkan berkurangnya
aktivitas akar. Pertumbuhan kembali tajuk pohon akan diikuti
pula oleh pertumbuhan akar baru. Pemangkasan pertama
bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun.
Dalam melakukan pemangkasan cabang pohon, terdapat
dua hal yang perlu diperhatikan dengan seksama: tinggi
pangkasan dari permukaan tanah dan frekuensi
pemangkasan. Tinggi pemangkasan batang yang terlalu
dekat dengan permukaan tanah akan memicu terbentuknya
akar-akar halus pada tanah lapisan atas sehingga peluang
untuk terjadinya kompetisi terhadap kebutuhan air dan hara
dengan tanaman semusim menjadi lebih besar. Tinggi
pemangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah.
Pemangkasan lebih rendah dari 75 cm akan menyebabkan
57
pertumbuhan akar pohon terpusat pada lapisan tanah atas
sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim.
Hal yang sama juga akan terjadi bila terlalu banyak frekuensi
pemangkasan. Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari tiga
kali dalam setahun. Pemangkasan tajuk yang terlalu sering
akan memicu terbentuknya akar halus pada lapisan atas.
Dangkalnya sistem perakaran pohon sebagai akibat
pengelolaan pohon yang kurang tepat juga akan merugikan
pertumbuhan pohon itu sendiri. Perakaran yang dangkal
mengakibatkan pohon menjadi kurang tahan terhadap
kekeringan pada musim kemarau.
Mengatur pertumbuhan akar juga dapat dilakukan dengan
pemilihan teknik penanaman pohon. Teknik menanam pohon
dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di
lapangan, stek atau dari bibit cabutan; tergantung dari
bahan tanam dan tenaga yang tersedia. Apabila bahan
tanam berupa stek tersedia, menanam stek akan lebih cepat
dan mengurangi populasi gulma. Cara menanam pohon di
lapangan tersebut juga menentukan kedalaman perakaran.
Bibit pohon yang ditanam langsung dari biji biasanya
diperoleh sistem perakaran yang cenderung lebih dalam
daripada yang ditanam berupa stek batang atau melalui
persemaian dalam polybag.
3. Meningkatkan pengaruh positif pohon melalui pemilihan jenis
tanaman naungan. Besarnya pengaruh naungan pohon
dalam agroforestry menyebabkan tidak semua jenis tanaman
dapat ditanam bersama pepohonan. Oleh karena itu,
pemilihan jenis tanaman yang toleran terhadap naungan
dalam agroforestry sangat diperlukan.
Selain pengombinasian komponen penyusun, kegiatan
agroforestry juga penting untuk memerhatikan pengombinasian
58
secara tata waktu. Hal ini dimaksudkan sebagai durasi interaksi
antara komponen kehutanan dengan pertanian dan/atau
peternakan. Kombinasi tersebut tidak selalu tampak di lapangan
sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa suatu
bentuk pemanfaatan lahan tidak dapat dikategorikan sebagai
agroforestry. Jangka waktu dan proses kesinambungan
penggunaan lahan penting untuk diperhatikan dalam agro-
forestry. Pemahaman ini seringkali tidak sesederhana pada budi
daya tunggal (monokultur). Huxley (1999) dan Nair (1993)
mengategorikan kombinasi secara waktu menjadi empat:
(1) co-incident, yaitu kombinasi selama jangka waktu budi daya
jenis/komponen agroforestry;
(2) concomitant, yaitu kombinasi pada awal atau akhir waktu
budi daya suatu jenis/komponen agroforestry;
(3) overlapping, yaitu kombinasi bergantian yang tumpang
tindih antara akhir dan awal dari dua (atau lebih)
jenis/komponen agroforestry;
(4) interpolated, yaitu kombinasi tersisip pada jangka waktu
budi daya jenis/komponen agroforestry.
Ketiga kombinasi terakhir di atas masih memerlukan
penjelasan lagi, apakah bersifat berkala (intermittent) atau terus
menerus (continous). Jika kombinasi komponen agroforestry
secara tata waktu disederhanakan maka secara garis besar
kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu kombinasi
permanen (permanent combination) dan sementara (temporary
combination). Kedua kombinasi tersebut dijelaskan oleh von
Maydell (1988) sebagai berikut.
1. Kombinasi secara permanen (permanent combination).
Kombinasi komponen agroforestry ini dapat terdiri atas
komponen kehutanan dengan paling sedikit satu dari
59
komponen pertanian dan peternakan. Kombinasi permanen
ini dapat dijumpai dalam tiga kemungkinan:
(1) kombinasi komponen kehutanan, pertanian, dan
peternakan berkesinambungan selama lahan digunakan
(co-incident), misalnya berbagai bentuk kebun
pekarangan (home gardens) yang dapat dijumpai di
banyak wilayah nusantara;
(2) pemeliharaan tegakan/pohon secara permanen pada
lahan-lahan pertanian sebagai sarana memperbaiki
lahan, tanaman pelindung atau penahan air, misalnya
penanaman pohon-pohon turi (Sesbania grandifora)
pada pematang sawah di Jawa dan pohon pelindung
pada perkebunan komersial (kopi, kakao);
(3) pemeliharaan/penggembalaan ternak secara tetap
(berjangka waktu tahunan) pada lahan-lahan hutan
bertumbuhan kayu, tanpa melihat pada umur tegakan.
2. Kombinasi secara sementara (temporary combination).
Sebagai contoh, penggembalaan ternak atau kehadiran
hewan di kawasan berhutan/bertumbuhan kayu hanya
dilakukan pada musim-musim tertentu (continous
interpolated). Contoh lainnya adalah kehadiran berbagai
satwa hutan (terutama jenis-jenis burung) di kebun-kebun
hutan dan kebun pekarangan pada saat musim buah
(khususnya bulan-bulan Desember hingga Maret).
3.5 Diagnosis dan Desain Agroforestry
Pengumpulan data untuk menyusun desain agroforestry
yang akan dikembangkan penting untuk dilakukan. Metode
diagnosis & design (metode D&D) dapat digunakan untuk
keperluan tersebut. Metode ini digunakan untuk mengungkap
60
permasalahan penggunaan lahan dan penyusunan rancangan
pemecahannya dalam sistem agroforestry. Tahapan D&D untuk
agroforestry diuraikan sebagai berikut (Raintree, 1990).
1. Tahap prediagnosis. Tahap ini dilakukan dengan kegiatan:
(1) mendefinisikan sistem dan mendeskripsian lokasi (sistem
apa yang menjadi sasaran); (2) menguraikan secara jelas
kombinasi dari sumber daya, teknologi dan tujuan dari
pengelola (land-user); (3) menggambarkan bagaimana
sistem bekerja yang mencakup organisasi, tujuan dan
strategi produksi, serta susunan komponen sistem.
2. Tahap diagnosis. Tahap ini menjelaskan bagaimana kinerja
sistem yang mencakup apa saja masalahnya, hambatan dan
keterbatasan, akar permasalahan dan kemungkinan
intervensi, permasalahan sehubungan dengan tujuan
(rendahnya produksi, permasalahan keberlanjutan).
3. Rancangan dan evaluasi. Tahap ini menjelaskan bagaimana
memperbaiki kinerja sistem yang mencakup apa yang
diperlukan untuk meningkatkan kinerja sistem, dan
spesifikasi pemecahan masalah atau deskripsi kinerja setelah
ada intervensi.
4. Perencanaan. Tahap ini merupakan pengembangan dan
penyebarluasan sistem yang sudah disempurnakan yang
mencakup kebutuhan penelitian, pengembangan, dan
penyuluhan.
5. Penerapan (Implementasi). Tahap ini berupaya untuk
menyesuaikan dengan informasi yang baru.
Metode D&D merupakan sebuah metodologi yang
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan
sistem agroforestry. Metode D&D dapat mengakomodasikan cara
61
pemeriksaan secara menyeluruh terhadap permasalahan dalam
sistem agroforestry dan diikuti dengan penyusunan rancangan
pengembangan inovasi pemecahan dan implementasi yang tepat.
Ciri-ciri D&D yang ditonjolkan oleh pengembangnya adalah (1)
keluwesan (fleksibel), yaitu D&D dapat disesuaikan untuk
beraneka kebutuhan dan pada berbagai kondisi sumber daya
yang dimiliki oleh pengguna (landusers); (2) kecepatan, yaitu
D&D memungkinkan untuk menerapkan pemahaman cepat (rapid
appraisal) pada tahap perencanaan yang diikuti oleh analisis
mendalam (in-depth analysis) pada tahap implementasi; (3)
pengulangan (repetisi), yaitu D&D merupakan proses pembelajar-
an yang tidak berujung (open-ended). Penyempurnaan ran-
cangan bisa dilakukan sejak dari awal hingga tidak lagi diperlukan
adanya revisi.
D&D dapat diterapkan secara netral pada berbagai
tingkatan hierarki sistem penggunaan lahan. Dengan sedikit
modifikasi, pendekatan D&D ini dapat diterapkan pada tingkatan
plot dan rumah tangga petani, tingkatan desa dan sub-DAS, serta
tingkatan kawasan yang lebih luas. Pada tingkatan mikro, D&D
dapat difokuskan pada pendekatan kebutuhan dasar untuk
mengidentifikasi hambatan dan merancang pemecahan masalah.
Kebutuhan dasar petani yang dianggap paling penting seperti
pangan, bahan bakar, pakan ternak, papan (rumah), bahan baku
untuk industri rumah tangga, dan uang tunai. Masalah yang
dihadapi oleh petani dalam rangka memperoleh berbagai
kebutuhan dasar tersebut harus diidentifikasi. Analisis
permasalahan dengan mengajukan pertanyaan “apa yang
menyebabkan masalah dan mengapa timbul masalah itu”
menuntun kepada rumusan masalah. Dari setiap masalah yang
muncul dapat dicari intervensi pemecahannya. Prosedur
pendekatan D&D pada skala meso- dan makro harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi. Hasil terbaik akan diperoleh jika
62
metode ini tidak dipergunakan secara kaku, melainkan harus
kreatif dalam mengembangkan cara diagnosis yang peka dan
menyusun rancangan.
3.6 Kendala dan Prospek Pengembangan Agroforestry di
Lahan Gambut
Keragaman karakteristik gambut yang tinggi pada jarak
yang berdekatan merupakan suatu kendala yang sulit untuk
diatasi. Kondisi ini mengharuskan untuk memetakan areal gambut
sehingga diperoleh gambaran kondisi karakteristik yang
dihubungkan dengan teknik pengelolaan. Karakteristik gambut
perlu dipelajari sedetail mungkin agar keadaan yang mungkin
terjadi di masa yang akan datang dapat diantisipasi dan diprediksi
sehingga dapat memberikan arahan dalam pengelolaannya.
Menurut Subagyo (2000), data karakteristik tanah gambut yang
perlu diinventarisasi adalah (1) sifat fisik tanah gambut, meliputi:
kerapatan lindak (bulk density), bobot jenis dan kandungan air
tanah gambut; (2) sifat kimia tanah gambut, meliputi: kandungan
unsur hara makro, kandungan unsur hara mikro, pH tanah,
kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kejenuhan aluminium,
kedalaman lapisan pirit dan salinitas; (3) tingkat kedalaman dan
kematangan gambut; dan (4) fluktuasi genangan air, kedalaman
air tanah dan kondisi lapisan bawah tanah gambut (mineral di
bawah tanah gambut). Kekurangan informasi mengenai sifat-sifat
karakteristik tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam
memanfaatkan lahan gambut.
Agroforestry sebagai pola tanam dapat diterapkan di lahan
yang rentan secara ekologi (fragile) akibat beberapa hal yang
berhubungan dengan kapasitas pohon untuk tumbuh di bawah
kondisi tanah dan iklim yang kurang menguntungkan. Salah satu
aspek dasar dari peran agroforestry adalah memelihara
63
kesuburan tanah. Hal ini dimungkinkan mengingat peranan
pohon, sebagai salah satu komponen penyusun agroforestry,
dalam memperbaiki kondisi tanah rawa gambut. Peranan pohon
dalam memperbaiki tanah rawa gambut dapat dijelaskan sebagai
berikut (Lahjie, 2001).
1. Proses yang bersifat meningkatkan masukan pada tanah,
yaitu (1) pemeliharaan bahan organik tanah melalui fiksasi
karbon dalam fotosintesis dan transfer selanjutnya melalui
pelapukan, (2) fiksasi N oleh legum dan beberapa nonlegum,
(3) penyerapan nutrisi hasil pelapukan oleh akar pohon, (4)
masukan lewat atmosfir, (5) meningkatkan aerasi tanah
melalui perbaikan sifat fisik tanah, dan (6) penyerapan air
dari kedalaman tanah.
2. Proses yang bersifat mereduksi sesuatu yang hilang dari
tanah, yaitu (1) melindungi dari erosi (mencegah hilangnya
bahan organik dan nutrisi), (2) pengembalian nutrisi dan
siklus (penangkapan dan resiklus nutrisi oleh akar dan
mikoriza), (3) reduksi kecepatan dekomposisi bahan organik
(dengan adanya naungan dan mulsa), (4) reduksi hilangnya
air akibat evaporasi (oleh naungan dan serasah), dan (5)
meningkatkan kapasitas menyimpan air (melalui kondisi fisik
yang lebih baik).
3. Proses yang memengaruhi kondisi fisika tanah, yaitu (1)
pemeliharaan sifat fisik melalui bahan organik dan pengaruh
perakaran, dan (2) modifikasi suhu tanah yang ekstrim
melalui naungan dan serasah.
4. Proses yang memengaruhi kondisi kimia tanah, yaitu (1)
reduksi kemasaman melalui basa yang terkandung dalam
serasah, (2) reduksi kegaraman oleh pohon diikuti dengan
tindakan manajemen lainnya, dan (3) reduksi toksisitas
tanah yang disebabkan oleh polusi.
64
5. Proses yang memengaruhi kondisi biologi tanah, yaitu (1)
memproduksi serasah daun yang bermutu tinggi dan
mengandung suplai nutrisi yang seimbang, kemudian
mentransfernya dengan cara dekomposisi, (2) meningkatkan
aktivitas fauna tanah, (3) meningkatkan mineralisasi
nitrogen melalui pengaruh naungan, (4) meningkatkan
ketersediaan P melalui asosiasi mikoriza, (5) meningkatkan
bintil nitrogen dari nodulasi akar pohon pengikat N dekat
akar pohon yang bukan pengikat N, (6) mentransfer nutrisi
antar sistem perakaran pohon, dan (7) mengeksudasi
substansi perangsang tumbuh oleh rhizosphere.
Berdasarkan uraian di atas, agroforestry berpotensi besar
untuk diterapkan di lahan rawa gambut. Penerapan agroforestry
di lahan rawa gambut membuka jalan baru bagi penggunaan
lahan rawa gambut yang lebih efisien dengan hasil yang lebih
bervariasi dan dengan tetap mempertimbangkan aspek
kelestarian (konservasi).
65
JELUTUNG RAWA DI LAHAN GAMBUT
4.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh
Jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis) merupakan
jenis pohon asli lahan gambut (indigenuos tree species). Sinonim
nama ilmiah jenis ini adalah Alstonia pollyphylla Miq. (1861), D.
lowii Hook F. (1882) dan D. borneensis Bailon (1898). Menurut
Daryono (2000), terdapat dua jenis jelutung di Pulau Sumatra
dan Kalimantan: jelutung rawa dan jelutung darat (D. costulata
Miq. HK). Menurut Foxworthy (1972), jelutung darat tumbuh
pada tanah laterit atau aluvial, baik pada lahan yang relatif datar
maupun berbukit rendah; sedangkan jelutung rawa tumbuh di
tanah organosol, khususnya hutan rawa gambut dengan tipe
curah hujan A dan B pada ketinggian 20–800 m dpl. Nama
perdagangannya adalah kayu jelutung, sedangkan nama
daerahnya: anjarutung, gapuk, jalutung, jelutung, labuai, lebuai,
letung, melabuai, nyalutung, nyulutung, pidoron (Sumatra) dan
jelutung, pantung, pulut (Kalimantan). Status konservasi jenis
pohon ini termasuk sebagai jenis yang dilindungi.
4.2 Sifat Botanis
Jelutung rawa termasuk genus Dyera, famili Apocynaceae.
Menurut Daryono (2000), habitus dan ciri morfologinya dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Profil pohon. Pohon besar, tinggi dan bertajuk tipis. Tinggi
pohon dapat mencapai 60 meter dan diameter 260 cm,
sedangkan tinggi bebas cabang dapat mencapai 30 meter.
2. Profil batang. Bentuk batang silindris dan tidak berbanir.
Kulit batang berwarna abu-abu atau kehitam-hitaman. Kulit
Bab IV
66
luar rata tetapi kasar, mempunyai sisik berbentuk bujur
sangkar, tebal kulit batang 1–2 cm, tidak berbulu, bergetah
putih hingga kuning, halus dan tidak berteras.
3. Profil daun. Daun tunggal tersusun melingkar pada ranting
sebanyak 4–8 helai, berbentuk lonjong atau bulat telur,
ujung daun membulat, panjang 15–20 cm dan lebar 6–8 cm.
Tajuk tipis atau jarang.
4. Profil buah. Buah berupa polong kayu yang kembar
(berpasangan) menyerupai tanduk berbentuk bulat
memanjang yang berangsur-angsur memipih apabila buah
menjadi tua. Panjang polong 12–26 cm (rata-rata 23 cm),
berat kering polong 20,2–31,9 gram (rata-rata 28,02 gram).
Buah yang telah matang (fisik dan fisiologis) akan merekah
setelah dijemur selama 1–3 hari, sedangkan buah yang
belum masak akan pecah setelah dijemur lebih dari 4 hari.
Pohon berbuah hampir setiap tahun.
5. Profil biji. Biji berbentuk oval, pipih, dan berwarna coklat.
Kulit biji berupa selaput tipis yang melebar dan memanjang
membentuk sayap. Biji tersusun dalam dua baris yang
berhimpitan di dalam polong buah. Jumlah biji per polong
12–26 biji (rata-rata 18 biji).
6. Profil bunga. Bunga berukuran kecil, berwarna putih dan
wangi, bertangkai panjang 10–14 cm.
67
Gambar 14. Profil pohon (kiri), buah (tengah), bunga dan daun (kanan) jelutung rawa
4.3 Sifat Pohon
Jelutung termasuk pohon yang membutuhkan naungan
pada waktu muda, tetapi kemudian memerlukan cukup cahaya
untuk pertumbuhan selanjutnya (van Wijk, 1950). Menurut
Aminuddin (1982), semai jelutung memberi respon terbaik pada
penyinaran 30%. Pohon jelutung berbunga hampir setiap bulan,
kecuali bulan Desember dan Januari. Pembuahan terjadi setiap
bulan, kecuali bulan Agustus (Whitmore, 1972). Pendapat yang
berbeda dikemukakan oleh Yap (1980) yang menyatakan bahwa
masa berbunga pohon jelutung berlangsung dari bulan Juli
hingga Desember. Pohon jelutung menggugurkan daun setiap
tahun, tetapi meranggas gundul hanya selama beberapa hari
saja. Waktu menggugurkan daun tidak bisa ditetapkan secara
pasti, ada kalanya pohon menggugurkan daun dua kali dalam
68
setahun. Daun yang baru muncul selama beberapa hari sebelum
mekar berwarna coklat kekuning-kuningan (Gambar 15).
Gambar 15. Profil permudaan tingkat semai (kiri), biji (tengah) dan kuncup daun (kanan) jelutung rawa
4.4 Pemanfaatan Jelutung
Pada mulanya, getah jelutung banyak digunakan untuk
pembuatan barang-barang yang terbuat dari karet, sebelum ada
pembudidayaan jenis karet (Hevea brasiliensis). Namun, jelutung
tidak dapat bersaing lagi setelah karet dapat berkembang dengan
produk yang lebih baik. Pada tahun 1920 diketahui bahwa getah
jelutung dapat digunakan untuk pembuatan permen karet
(Whitmore, 1972). Selanjutnya, perhatian terhadap jelutung
meningkat setelah sumber bahan baku permen karet yaitu pohon
Achras zapota (salah satu jenis pohon tropis dari Amerika
Tengah) yang populasinya semakin langka.
69
Kayu jelutung memiliki kelas keawetan yang termasuk
rendah (lunak dan tidak tahan lama), namun demikian sangat
disukai konsumen karena mudah dikerjakan. Selain itu, permuka-
an kayu jelutung halus dan warnanya putih menarik (Daryono,
2000). Pohon jelutung menghasilkan getah berwarna putih yang
diperoleh dengan cara penyadapan seperti pada Gambar 16.
Getah terdiri atas 20% kaucuk dan 20% damar. Pohon mulai
disadap setelah batang berdiameter paling kecil 20 cm atau telah
berumur ±15 tahun. Penyadapan getah dilakukan dengan
membuat torehan pada kulit batang hingga ke batas kambium
yang membentuk huruf V (metode tulang ikan). Torehan pertama
pada batang dibuat setinggi ±1 meter, lebar torehan 4 cm hampir
mengelilingi batang dengan menyisakan ±15 cm bagian yang
tidak ditoreh. Produktivitas getah per pohon jelutung dapat
mencapai 0,15–1,5 liter (Burkill, 1935).
Gambar 16. Batang jelutung rawa yang ditoreh (kiri) dan produksi getah (tengah dan kanan)
70
4.5 Perlindungan Tanaman
Hama terpenting yang sering menyerang pohon jelutung
adalah Batocera rubus (Coleoptera-Cerambycidae-Lamiinae).
Serangga ini mempunyai kebiasaan meletakkan telur di dalam
celah-celah kulit jelutung yang sehat atau pada batang yang
kulitnya terbuka pada saat penyadapan. Setelah telur menetas,
larva muda terbungkus corion. Beberapa waktu kemudian, corion
terobek dan larva keluar. Larva segera aktif memakan bagian
meristem kayu, kemudian menembus ke dalam kayu teras. Siklus
hidup serangga hama ini tidak lebih dari 6 bulan: stadium pupa
selama 21 hari, kumbang 23 hari, dan larva ±4 bulan.
Kehadirannya pada pohon jelutung dapat terlihat dari
terdapatnya serbuk/bubuk kayu yang jatuh di tanah atau melekat
pada lubang gerekan (Daryono, 2000).
4.6 Pertumbuhan Jelutung
Pohon jelutung pada habitat alami dan keadaan yang
optimal dapat mencapai tinggi 45–60 meter dengan batang bebas
cabang sekitar 35 meter. Diameter batang mencapai 100–260
cm. Anakan jelutung dapat tumbuh paling baik pada intensitas
penyinaran nisbi sekitar 33% hingga diperoleh riap tinggi,
diameter, permukaan daun, dan produksi bahan kering secara
optimum (Aminuddin, 1982). Pertumbuhan jelutung dapat
mencapai tinggi 1,8–2,4 meter pada umur 2 tahun; 2,5–2,9
meter pada umur 3 tahun; dan 5–5,5 meter pada umur 5 tahun
dengan diameter batang 5,2–5,5 cm dan tingkat hidup mencapai
60% dari saat penanaman. Pada umur 15 tahun, tinggi pohon
dapat mencapai lebih dari 10 meter dengan diameter rata-rata 13
cm. Pada umur 39 tahun pada tanah yang kurang subur, pohon
jelutung mempunyai riap diameter 0,93 cm per tahun, tetapi
pada umur 40 tahun diameternya hanya mencapai 30–35 cm.
71
Sebaliknya, diameternya dapat mencapai 60 cm pada tanah yang
relatif lebih baik dan pada umur tersebut (Daryono, 2000).
Menurut Foxworthy (1972) riap diameter pohon jelutung adalah
1,58 cm per tahun. Pohon yang berumur 46 tahun mencapai
diameter sekitar 50 cm dan pada umur 70 tahun mencapai ±70
cm.
73
KAJIAN TEKNIS DAN PERFORMANSI
AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA
Pengembangan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa
untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara teknis
dianalisis berdasarkan dua parameter. Pertama, teknik silvikultur
pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry yang
telah dipraktikkan oleh para praktisi lapangan. Teknik silvikultur
yang dibahas mencakup dua variabel utama: pengadaan bibit
jelutung rawa, dan pola (design) agroforestry berbasis jelutung
rawa yang dapat dikembangkan untuk memulihkan lahan gambut
terdegradasi. Kedua, performansi pertumbuhan jelutung rawa
pada beberapa demplot agroforestry yang telah dikembangkan
oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru bekerjasama
dengan petani mitra penelitian di lahan gambut.
5.1 Pengadaan Bibit
5.1.1 Pengadaan bibit dari biji (generatif)
Pengadaan bibit jelutung yang umum dilakukan oleh para
praktisi lapangan di Kalimantan Tengah adalah dengan meng-
gunakan biji. Cara tersebut telah dilakukan secara luas dengan
hasil yang mencukupi kebutuhan. Hal ini ditandai dengan
maraknya persemaian jelutung yang dikembangkan oleh
masyarakat secara mandiri, seperti yang banyak dijumpai di Desa
Tumbang Nusa, Desa Taruna Jaya dan Desa Jabiren (Kecamatan
Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan
Tengah). Sumber benih untuk pengadaan bibit secara generatif
berasal dari beberapa tegakan benih terindentifikasi yang sudah
memperoleh sertifikat dari Balai Perbenihan Tanamam Hutan
(BPTH) Kalimantan dan berasal dari pohon induk di hutan alam
Bab V
74
yang sengaja dijaga dan dipelihara oleh masyarakat. Kemampuan
produksi benih jelutung rawa dari tegakan benih teridentifikasi
per tahun di Provinsi Kalimantan Tengah tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4. Produksi benih jelutung rawa dari tegakan benih teridentifikasi di Provinsi Kalimantan Tengah
No. Nama Pemilik Sumber Benih Produksi per Tahun (biji)
1. Hardianto 115.200.000
2. KUD Kahimat Desa Pilang 1.440.000
3. PT. Katingan Jaya Perkasa 2.664.000
4. KUD Kahimat Desa
Tumbang Nusa
5.616.000
5. Ir. Soeyatno K. S. 2.000.000
Jumlah Total 126.920.000
Sumber: Data primer yang telah diolah
Berdasarkan data pada Tabel 4 diketahui bahwa kemam-
puan pasokan benih jelutung rawa bersertifikat di Provinsi
Kalimantan Tengah mencapai 126.920.000 biji per tahun. Apabila
dikaitkan dengan kebutuhan bibit jelutung rawa untuk
merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang terdegradasi,
potensi tersebut dapat digambarkan, yaitu:
(1) kemampuan pasokan bibit dengan asumsi viabilitas benih
80%, maka bibit yang dihasilkan sebanyak 101.536.000
batang per tahun;
(2) jumlah bibit siap tanam yang dapat dihasilkan dengan
asumsi persen hidup di persemaian sebesar 80% adalah
sebanyak 81.228.800 batang per tahun;
(3) apabila asumsi kematian bibit selama pengangkutan dari
persemaian ke lokasi penanaman sebesar 20% dan tingkat
75
keberhasilan penanaman di lapangan sebesar 80% dengan
jarak tanam 5 x 4 m, bibit tersebut dapat digunakan untuk
merehabilitasi lahan gambut terdegradasi sebanyak
51.986.432 bibit untuk luas lahan 103.972,86 ha per tahun.
Tabel 5. Data lahan gambut kritis di Provinsi Kalimantan Tengah
No. Status & Fungsi
Kawasan
Sangat
Kritis (ha)
Kritis
(ha)
Agak Kritis
(ha)
1. Hutan Produksi yang dapat dikonversi
183,53 168.312,04 -
2. Hutan Produksi 1.966,49 406.812,99 3.002,002
3. Taman Wisata Tanjung Keluang
3,21 283,24 -
4. Taman Nasional Tanjung Putting
161,60 31.164,02 44.197,240
5. Taman Nasional Sebangau
- 3,91 71.984,780
6. Suaka Margasatwa Lamandau
81,83 1.893,36 -
7. Hutan Konservasi 58,53 232.151,48 11.002,520
8. Budi daya 467,79 50.743,81 38.486,150
Jumlah 2.922,98 891.364,86 168.672,690
Sumber: data sekunder yang telah diolah
Apabila dikaitkan dengan data lahan gambut yang
terdegradasi (agak kritis–sangat kritis) seperti tercantum pada
Tabel 5, jelutung rawa mampu merehabilitasi lahan tersebut
dalam jangka waktu 10 tahun. Sementara itu, kemampuan
pasokan bibit jelutung rawa siap tanam untuk merehabilitasi
lahan gambut terdegradasi tercantum pada Tabel 6.
76
Tabel 6. Kapasitas produksi bibit jelutung rawa per tahun dari lima penangkar persemaian rakyat
No. Nama Pemilik
Persemaian
Tahun
Produksi
Kapasitas
Produksi
(Batang)
Harga eceran
per batang
(Rp)
1.
Uyen Sabri
(Desa Tumbang
Nusa)
2002 4.000 4.500
2. 2003 15.000 2.000
3. 2004 90.000 2.000
4. 2005 300.000 1.500
5. 2006 150.000 1.000
6. 2007 250.000 1.000
7. 2008 50.000 1.000
8. 2009 50.000 1.000
9. 2010 100.000 1.000
10. 2011 100.000 1.000
Jumlah 1.109.000; rata-rata produksi per tahun 110.900 batang
11.
Albinus Awat
(Desa Jabiren)
2005 200.000 1.750
12. 2006 350.000 1.500
13. 2007 330.000 1.300
14. 2008 180.000 1.200
15. 2011 40.000 1.000
Jumlah 1.100.000; rata-rata produksi per tahun 220.000 batang
16.
Agus A. Sidik
(Desa Tumbang
Nusa)
2003 20.000 2.500
17. 2004 40.000 1.500
18. 2005 60.000 1.500
19. 2007 60.000 1.500
20. 2008 100.000 1.000
21. 2009 150.000 1.000
22. 2010 150.000 1.300
Jumlah 580.000; rata-rata produksi per tahun 82.858 batang
77
23.
Nunung
(Desa Tumbang
Nusa)
2006 78.000 1.200
24. 2007 75.000 1.200
25. 2008 150.000 1.300
26. 2009 20.000 2.500
27. 2010 50.000 2.500
28. 2011 600.000 1.200
Jumlah 973.000; rata-rata produksi per tahun 162.167 batang
29.
Yansyah A. Gani
(Desa Tumbang
Nusa)
2004 80.000 1.000
30. 2005 28.000 1.000
31. 2007 100.000 1.000
32. 2008 80.000 1.000
33. 2010 80.000 1.000
Jumlah 368.000; rata-rata produksi per tahun 73.600 batang
Jumlah Total 4.130.000; rata-rata produksi per tahun 129.905 batang
Tabel 6 menunjukkan bahwa Desa Tumbang Nusa dan
Desa Jabiren dikenal sebagai sentra penghasil bibit jelutung rawa.
Bibit yang diproduksi oleh lima orang pengembang persemaian di
kedua desa tersebut telah mencapai 4.130.000 batang dalam
jangka waktu 9 tahun. Rata-rata produksi bibit jelutung rawa
sebanyak 129.905 batang siap tanam per tahun. Kemampuan
kedua desa tersebut dalam memproduksi bibit jelutung rawa
diperkirakan mencapai 1–3 juta bibit per tahun. Kondisi tahun
2005–2006 pernah terjadi permintaan sangat besar terhadap bibit
jelutung untuk proyek penghijauan dan rehabilitasi hutan/lahan
gambut. Kondisi ini menarik sebagian besar penduduk Desa
Tumbang Nusa (75% jumlah KK) untuk membibitkan jelutung
rawa. Harga bibit jelutung yang cukup tinggi (rata-rata
Rp1.500,00 per batang) dan permintaan yang banyak
menyebabkan masyarakat antusias untuk membibitkan jelutung
78
rawa. Kemampuan memproduksi bibit tersebut jika digunakan
untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi–asumsi kematian
bibit selama pengangkutan 20%, tingkat keberhasilan
penanaman 80% dan jarak tanam 5 x 4 m–adalah 83.140 bibit
untuk lahan 166,28 ha per tahun. Hal ini akan lebih besar lagi jika
harga bibit jelutung tinggi dan permintaan banyak.
Berdasarkan data pada kelima pengembang persemaian
jelutung rawa di Desa Tumbang Nusa dan Desa Jabiren, jika
diasumsikan jumlah bibit yang dapat diproduksi oleh pembibitan
jelutung rawa di kedua desa tersebut mencapai 3 juta bibit siap
tanam per tahun maka mampu merehabilitasi lahan gambut yang
terdegradasi dengan jumlah bibit sebanyak 1.920.000 batang
untuk lahan seluas 3.840 ha per tahun. Kemampuan ini dihitung
dengan asumsi yang sama seperti sebelumnya: persen hidup bibit
selama pengangkutan 20%, persen hidup keberhasilan
penanaman 80%, dan jarak tanam 5 x 4 m. Kemampuan ini
masih dapat ditingkatkan mengingat persediaan benih
bersertifikat yang melimpah dan teknologi pembibitan jelutung
rawa sudah dikuasai oleh warga di kedua desa tersebut.
Teknologi pembibitan yang telah dikuasai oleh warga Desa
Tumbang Nusa dan Desa Jabiren mencakup variabel berikut.
1. Pemanenan Polong
Jelutung berbuah setiap tahun dengan musim panen raya
setiap 2 tahun. Pengamatan pada beberapa tegakan benih
jelutung teridentifikasi di Provinsi Kalimantan Tengah
menunjukkan bahwa puncak berbunga terjadi pada bulan
September– Oktober dengan puncak buah masak pada bulan
Februari–Maret. Hal lain dikemukakan oleh Bastoni &
Lukman (2006) bahwa pohon jelutung rawa berbunga pada
bulan November dan telah masak sekitar 5–6 bulan setelah
79
berbunga sehingga pemanenan buah dapat dilakukan pada
bulan April–Mei. Pemanenan dilakukan terhadap polong yang
telah masak dengan ciri-ciri kulit buah berwarna coklat
kehitam-hitaman, bentuk polong pipih, kulit buah mengerut,
dan mulai menampakkan tanda akan merekah. Pengamatan
pada beberapa tegakan benih teridentifikasi yang terdaftar di
BPTH Kalimantan menunjukkan bahwa rata-rata setiap satu
batang pohon induk–diameter batang 40–50 cm–mampu
menghasilkan 3.000 polong dalam satu musim berbuah.
Gambar 17. Profil polong buah jelutung rawa yang masih di pohon (kiri) dan yang sudah matang siap diekstraksi (kanan)
2. Ekstraksi dan Seleksi Biji
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengeluarkan biji dari
polong pada tingkat kematangan yang tepat. Proses
sebagaimana Gambar 18 dilakukan melalui tahapan:
(1) kulit polong dikupas hingga tersisa lapisan keras
(seperti tempurung) yang menyelimuti biji agar
mempercepat retaknya polong pada saat penjemuran;
(2) polong dijemur di bawah sinar matahari di tempat
terbuka hingga polong merekah;
80
(3) polong yang telah merekah diguncang dengan halus
agar biji jelutung keluar dengan sendirinya;
(4) seleksi biji yang dilakukan secara manual dengan cara
memilih dan memisahkan (sortir) biji yang baik (berisi,
segar, dan matang) dari biji yang rusak (biji yang
hampa, muda, cacat atau terkena penyakit).
Biji yang telah diseleksi (benih) siap untuk disimpan atau
langsung disemaikan. Berdasarkan pengalaman para praktisi
persemaian, terdapat 12–26 biji di dalam satu polong buah
jelutung dengan 15–22 biji yang daya kecambahnya baik
(rata-rata 17 biji). Jumlah benih setiap kilogram sekitar
10.000–11.000 benih.
(a) Kulit polong dikupas (b) Polong buah dijemur
(c) biji dikeluarkan dari polong (d) seleksi (sortir) biji
Gambar 18. Tahapan proses ekstraksi dan seleksi biji jelutung rawa
81
3. Penyimpanan Benih
Kegiatan ini diperlukan apabila kondisi masih belum
memungkinkan untuk melakukan kegiatan penyemaian.
Benih jelutung bersifat mudah berkecambah (rekalsitrant)
sehingga mempunyai masa simpan yang pendek.
Penyimpanan pada suhu ruang dapat dilakukan dengan
mengemas benih dalam kantong/kotak kertas tebal,
diletakkan pada ruang yang tidak lembab, bersirkulasi udara
baik, dan tidak terkena sinar matahari secara langsung.
Penyimpanan dalam lemari es (kulkas) dapat dilakukan
dengan mengemas benih dalam kantong plastik tebal dan
ditutup rapat, kemudian diletakkan pada ruang bawah
kulkas. Daya tahan benih pada penyimpanan suhu ruang
sekitar 2 bulan dan di dalam kulkas sekitar 4 bulan.
Penyimpanan selama 35 hari pada ruang bersuhu 26–290C
akan menurunkan viabilitas benih sebesar 50% dan di dalam
kulkas bersuhu 9–110C akan menurunkan viabilitas benih
sebesar 30%. Viabilitas benih tertinggi yang pernah dicapai
adalah 85% (Bastoni & Lukman, 2006).
4. Penyemaian
Proses penyemaian yang dilakukan oleh para praktisi
pembibitan jelutung rawa di Desa Tumbang Nusa adalah
dengan mengecambahkan benih. Benih yang akan
dikecambahkan terlebih dahulu direndam dalam air selama 4
jam hingga benih jenuh air. Perendaman juga berfungsi
untuk menyeleksi benih yang viable dari benih yang telah
mati. Benih yang mati tampak menggembung setelah
direndam. Benih disimpan hingga berkecambah dan setelah
berkecambah ditanam di polybag. Proses perendaman dan
pengecambahan benih jelutung seperti pada Gambar 19.
82
Gambar 19. Perendaman benih jelutung (kiri), benih jelutung rawa yang mulai berkecambah setelah 2 minggu dari perendaman (kanan)
Posisi penanaman benih pada polybag harus tegak (vertikal)
dengan bagian bawah adalah calon akar (dicirikan oleh
bagian lancip dari endosperm benih dan adanya saluran
gelap seperti benang). Tempat perkecambahan benih
dinaungi sarlonet dengan intensitas penyaringan cahaya 50–
75 persen. Pemeliharaan dilakukan dengan cara menyiram 2
kali sehari dan penyemprotan fungisida sesuai kebutuhan.
Pemeliharaan intensif harus dilakukan selama ±8 minggu.
Polybag yang digunakan berukuran 15 x 12 cm atau lebih
besar, tergantung lama waktu bibit di persemaian. Tahapan
ini seperti terlihat pada Gambar 20.
83
Tahap 1. Persiapan polybag yang akan ditanami kecambah jelutung
Tahap 2. Penanaman kecambah jelutung sampai keping benih mulai terangkat
Tahap 3. Kotiledon pecah dan keluar sepasang daun (2 bulan setelah penanaman)
Gambar 20. Tahapan perkecambahan benih jelutung rawa
84
5. Proses Pengerasan Batang Semai (Hardening)
Proses pengerasan dapat segera dilakukan jika semai
jelutung rawa sudah berdaun 6–8 helai. Pemeliharaan semai
di persemaian dilakukan hingga bibit siap tanam dan
berlangsung selama 8–14 bulan. Kriteria bibit siap tanam:
tinggi 25–40 cm, diameter 0,5 cm, jumlah daun 8–12 helai,
batang lurus, perakaran sudah menyatu dengan media
(kompak). Tahap hardening seperti pada Gambar 21.
Gambar 21. Tahap pengerasan batang (hardening) bibit jelutung rawa
5.1.2 Pengadaan bibit secara vegetatif
Jelutung dapat dikembangbiakan melalui bagian vegetatif-
nya dengan cara cangkok dan stek pucuk. Metode stek pucuk
yang telah diujicoba meliputi dua macam, yaitu metode
konvensional dan metode KOFFCO (Komatsu Forda Fog Cooling)
(Rusmana, 2007). Metode konvensional dilakukan dengan
menempatkan stek pucuk jelutung pada sungkup plastik yang
berfungsi untuk mengatur suhu dan kelembaban udara. Stek
pucuk diletakkan di dalam sungkup plastik hingga stek tersebut
tumbuh akarnya, kemudian bibit stek dipelihara di luar sungkup
plastik. Persentase keberhasilan stek pucuk dengan metode
85
konvensional masih sangat rendah, yaitu kurang dari 10%
(Rusmana, 2007). Sementara itu, metode KOFFCO dilakukan
dengan mengatur suhu dan kelembaban udara melalui
penempatan stek boks propagasi berukuran sekitar 40 x 70 cm
dan tinggi 30 cm. Boks propagasi dikenakan pengabutan air
menggunakan nozel yang dipasang sedemikian rupa dalam
rumah kaca (greenhouse) sehingga kondisi temperatur dalam
boks propagasi rendah (<320 C) dan kelembaban udara tinggi
(>90%). Persentase keberhasilan stek pucuk dengan metode
KOFFCO mencapai 25%.
Gambar 22. Penampilan stek jelutung rawa dengan metode persemaian KOFFCO (Sumber: Rusmana et al., 2005)
Tahapan kegiatan pembuatan bibit stek jelutung rawa
menurut Rusmana (2007), sebagai berikut.
1. Media Tumbuh Stek
Media yang dapat digunakan harus bebas dari hama dan
penyakit (patogen). Sebelum berakar, media perlu dijemur
atau disterilisasi terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai
media tumbuh stek agar bebas dari patogen yang
86
mengakibatkan stek busuk. Beberapa jenis media yang
dapat digunakan sebagai media tumbuh stek:
1) campuran serbuk kulit kelapa (cocopeat atau cocodust)
dengan sekam padi (2 : 1),
2) kompos serbuk gergaji (sawdust) dicampur tanah
lapisan atas (2 : 1),
3) campuran gambut dengan sekam padi (70% : 30%);
4) pasir sungai atau pasir kuarsa,
5) arang sekam padi murni atau dicampur dengan bahan
lain.
2. Pemilihan Bahan Stek
Bahan stek pucuk terbaik diambil dari bagian pucuk yang
masih dorman (resting). Pucuk yang masih tumbuh aktif
(flushing) dan tumbuh orthotrop sebaiknya tidak digunakan.
Pohon induk sebagai sumber bahan stek pucuk sebaiknya
berumur 6 bulan hingga 2 tahun (Rusmana, 2007).
Gambar 23. Ujung batang jelutung resting (kiri), flushing (tengah) dan tipe tunas (othotrop dan plagiotrop) (kanan) (Sumber: Rusmana, 2007)
87
3. Pengambilan dan Penyemaian Stek
Secara ringkas, tahapan pengambilan dan penyemaian stek
(Rusmana, 2007):
1) mempersiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan,
meliputi: gunting stek, ember plastik, dan hormon
perangsang akar “Rootone F” atau sejenis;
2) mengisi ember plastik dengan air bersih secukupnya
(½-nya);
3) stek diambil dari pohon induk atau stock plant yang
baik, yaitu bagian pucuk atau bagian tunas orthotrop;
4) panjang stek dibuat sekitar 10–15 cm;
5) daun pada stek dibuang dan disisakan 2–3 helai dan
dipotong ½-nya;
6) stek dimasukkan ke dalam ember plastik berisi air dan
diusahakan bagian pangkalnya terendam air;
7) stek disemai pada polybag atau media yang telah
disediakan sebelumnya di rumah kaca dalam boks
propagasi (metode KOFFCO) atau pada polybag atau
bedengan dalam sungkup plastik (metode
konvensional);
8) stek sebelum disemai terlebih dahulu diberi hormon
perangsang akar (Rootone F atau sejenisnya);
9) membuat lubang semai pada media dengan
menggunakan batang kayu yang bersih agar pada saat
penancapan/penyemaian stek, hormon perangsang akar
dan bagian pangkal stek tidak rusak akibat gesekan
dengan media;
10) stek disemaikan sedalam 1/3 panjang stek, kemudian
media dipadatkan ke arah bagian stek;
88
11) penyiraman stek dengan air secukupnya agar terjadi
kontak yang baik antara stek yang ditanam dengan
media tumbuhnya;
12) menutup boks propagasi atau sungkup plastik dengan
rapat sehingga tidak terjadi sirkulasi udara antara
bagian dalam dan luar boks propagasi (sungkup);
13) stek dipelihara pada kondisi temperatur udara tidak
melebihi 320 C dan kelembaban udara tidak kurang dari
90% dengan cara penyiraman hingga stek berakar
seluruhnya (16 minggu); dan
14) menghindari terjadinya penyiraman terlalu basah dan
bibit kekeringan karena akan mengakibatkan stek mati.
4. Pemeliharaan Bibit
Kegiatan pemeliharaan bibit stek yang dilakukan meliputi:
1) penyiraman 2–3 kali sehari atau sesuai kondisi cuaca,
2) pemupukan NPK dengan dosis sebesar 10–15 gram/m2
yang diberikan dalam bentuk larutan dengan frekuensi
dua kali seminggu,
3) pengendalian gulma yang dilakukan secara manual,
yaitu gulma pengganggu dicabut atau dibersihkan,
4) pemangkasan akar yang dilakukan setiap bulan sekali.
Pemangkasan akar bibit terakhir dilakukan dua minggu
sebelum bibit diseleksi dan dikemas untuk diangkut ke lokasi
penanaman. Pemangkasan akar dilakukan terhadap akar-
akar bibit yang keluar dari polybag agar pertumbuhan akar
tidak menembus ke dalam tanah di luar pot. Pemangkasan
akar dapat dilakukan bersamaan dengan pengendalian
gulma, sekaligus menyeleksi bibit yang mati dalam polybag.
89
Metode pembiakan vegetatif lain yang dapat dilakukan
adalah pencangkokan. Metode ini terutama untuk memenuhi
kebutuhan bibit jelutung rawa dengan tinggi lebih dari 1 m dalam
waktu yang relatif lebih singkat. Percobaan pembiakan secara
vegetatif dengan cara mencangkok 36 cabang jelutung rawa
pada berbagai letak cabang pada pohon (bawah, tengah, dan
ujung) menghasilkan 100% cabang berhasil tumbuh akar setelah
satu bulan pencangkokan. Bibit baru hasil cangkokan dapat
dipisahkan dari induknya setelah berumur tiga bulan (Rusmana,
2007). Hal ini seperti terlihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Cangkok pada cabang jelutung rawa
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jelutung rawa
untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi dengan sistem
agroforestry dapat dikatakan layak untuk dikembangkan ditinjau
90
dari variabel ketersediaan benih, ketersediaan bibit siap tanam,
dan teknologi pembibitan.
5.2 Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem
Agroforestry
Pola agroforestry yang telah dikembangkan oleh petani
lokal di lahan gambut yang mempunyai karakteristik yang spesifik
(khas). Pola yang telah dikembangkan oleh petani tersebut dapat
dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut. Beberapa
aspek penting dalam budi daya jelutung rawa dengan sistem
agroforestry yang bersifat khas di lahan gambut tipis telah
dilakukan di Desa Mentaren II dan Desa Jabiren, sedangkan di
lahan gambut tebal telah dilakukan di Desa Tumbang Nusa dan
Kelurahan Kalampangan. Aspek penting budi daya jelutung rawa
dengan sistem agroforestry di lahan gambut dangkal (ketebalan
gambut 50–100 cm) oleh petani lokal yang perlu diperhatikan
meliputi penyiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah,
pengelolaan air dan pola tanam. Uraian aspek penting tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Penyiapan Lahan
Kegiatan ini dilakukan sebelum penanaman yang meliputi
penebasan gulma dan pengolahan tanah. Peralatan yang
digunakan dalam kegiatan ini adalah tajak, cangkul dan
sundak. Petani lokal dalam penyiapan lahan menggunakan
tajak (parang bertangkai panjang) yang berfungsi ganda,
yaitu selain untuk menebas gulma juga untuk memapas
lapisan permukaan tanah 5–10 cm. Hal ini sekaligus
berfungsi sebagai pengolahan tanah minimum. Penyiapan
lahan dengan olah tanah minimal menggunakan tajak
merupakan usaha petani lokal agar lapisan gambut
91
tidak/sedikit terganggu sehingga lapisan pirit tidak
tersingkap. Proses penyiapan lahan yang dilakukan petani
lokal adalah tebas-bakar-penyimpukan (pembersihan).
Sistem tebas-bakar dilakukan karena cara ini cepat dan
murah, walaupun mempunyai dampak negatif yang dapat
menyebabkan penurunan permukaan gambut (subsidence).
Teknik penyiapan lahan yang dilakukan oleh petani lokal
dapat dibedakan menjadi dua: gundukan (tongkongan) dan
surjan (Gambar 25). Bagi petani bermodal besar, teknik
surjan dibuat sejak awal. Sebaliknya, penggunaan teknik
gundukan (tongkongan) banyak dilakukan petani yang
bermodal kecil dan selanjutnya mengganti dengan teknik
surjan apabila kondisi memungkinkan. Hal ini disebabkan
pembuatan surjan membutuhkan biaya yang cukup besar
yaitu sekitar Rp1.250,00–3.500,00 per meter dengan ukuran
baluran lebar 3–6 m dan tinggi 60–80 cm. Budi daya
tanaman sistem agroforestry di lahan gambut tipis idealnya
memang menggunakan sistem surjan. Hal ini merupakan
salah satu upaya mengatasi pengaruh luapan air pasang dan
mengoptimalkan pemanfaatan lahan sehingga selain padi
dapat ditanam jenis tanaman lainnya yang tidak tahan
genangan.
92
Gambar 25. Penyiapan lahan teknik gundukan (kiri) dan surjan (kanan)
Tahap 1. Pembuatan bagian tabukan (sunken beds) dan
guludan (raised beds)
Tahap 2. Pembuatan parit keliling ukuran 50–100 cm dan tata air mikro
Tahap 3. Penanaman tanaman penyusun sistem agroforestry pada bagian tabukan untuk tanaman tahan genangan dan pada bagian guludan untuk
tanaman tidak tahan genangan.
Gambar 26. Tahapan penyiapan lahan dengan teknik surjan (Muslihat, 2003)
93
Penerapan teknik surjan sangat memungkinkan untuk
pengembangan pola tanam dan penganekaragaman jenis
komoditas. Pada teknik surjan, lahan dibagi menjadi 80%
tabukan (sunken beds) yaitu bagian lahan yang lebih
rendah, dan 20% bagian guludan/tembokan/baluran
(raised beds) yaitu bagian lahan yang lebih tinggi. Bagian
tabukan biasanya ditanami padi atau tanaman tahan
genangan lainnya, sedangkan bagian guludan ditanami
karet, jelutung, palawija, tanaman buah-buahan dan/atau
hijauan makanan ternak (HMT). Tahapan penyiapan lahan
dengan teknik surjan seperti pada Gambar 26 (Muslihat,
2003).
2. Pengelolaan Kesuburan Tanah
Kegiatan ini menyangkut cara-cara peningkatan kesuburan
dan upaya pelestarian produktivitas lahan. Sumber hara
untuk tanaman diperoleh dengan cara mengolah jerami hasil
panen padi dan gulma dengan cara puntal sebar. Teknik ini
merupakan bentuk kearifan lokal petani setempat dalam
memperoleh sumber hara bagi tanaman budi daya. Hal ini
dilakukan dengan cara memuntal (menggulung) jerami dan
gulma hasil dari penyiangan pada salah satu tahapan
kegiatan persiapan lahan dalam bercocok tanam padi sawah.
Pemuntalan dilakukan setelah gulma layu yaitu dengan
mengumpulkan gulma menjadi satu gulungan yang
berbentuk gundukan-gundukan kecil. Proses pembuatan
pupuk organik sistem puntal sebar:
1) pembersihan atau penyiangan gulma menggunakan alat
tajak,
2) gulma yang telah ditebas dibiarkan selama 2–3 hari
supaya layu,
94
3) kegiatan pemuntalan dilakukan terhadap gulma yang
sudah layu,
4) penyebaran secara merata bahan yang telah hancur
(lapuk).
Bentuk kearifan lain yang dilakukan petani lokal dalam
mengelola kesuburan lahan dalam budi daya padi adalah
cara pemindahan bibit sebanyak tiga kali (taradak, lacak dan
ampak). Selain untuk mempertahankan kesuburan tanah,
cara ini juga sebagai upaya mengantisipasi kurangnya
tenaga kerja.
Pemanfaatan jerami padi dan tebasan gulma sebagai bahan
organik berfungsi untuk menyimpan unsur hara yang secara
perlahan akan dilepaskan ke dalam air tanah untuk
dimanfaatkan tanaman (slow release fertilizer). Selain itu,
bahan organik hasil puntal sebar yang berada di dalam dan
di atas permukaan tanah berfungsi untuk melindungi dan
membantu mengatur suhu dan kelembaban tanah. Praktik
puntal sebar ini seringkali digabungkan dengan teknik-teknik
lain dengan fungsi yang saling melengkapi; misalnya
pengolahan tanah, pengumpulan air (sistem tabat) dan
pembuatan baluran (pematang).
Kearifan petani dalam memanfaatkan limbah hasil panen dan
gulma sebagai bahan organik bersifat spesifik untuk tiap-tiap
individu petani. Secara umum, hal tersebut dapat
dikelompokkan menjadi empat: (1) memberikannya lang-
sung ke tanah, baik itu sebagai mulsa pada permukaan
tanah maupun dipendam dalam tanah; (2) membakar bahan
organik (mengakibatkan mineralisasi) dan abu hasil
pembakaran tersebut berfungsi sebagai bahan amelioran
yang cepat dan murah; (3) mengomposkan bahan organik
95
tersebut dengan teknik puntal sebar; dan (4) menjadikannya
sebagai pakan ternak, selanjutnya kotoran ternak dapat
digunakan sebagai pupuk kandang.
3. Pengelolaan Air
Kegiatan ini dilakukan oleh petani lokal yang meliputi
pembuatan saluran keliling dan sistem tabat. Sistem tabat
dilakukan petani lokal untuk mempertahankan muka air
selama musim tanam (lacak) yaitu sekitar bulan Maret–April.
Tabat dibuka pada akhir musim kemarau atau menjelang
musim hujan untuk mengeluarkan unsur pencemar (Al, Fe,
H2S).
4. Pola Tanam
Sistem agroforestry berbasis jenis jelutung rawa yang telah
dilakukan oleh petani lokal dapat dijadikan sebagai dasar
untuk pengembangan lebih lanjut. Pola tanam yang telah
dikembangkan oleh petani lokal tersebut dapat dikelompok-
kan menjadi tiga: (1) agrosilvofishery, (2) mixed cropping,
dan (3) alleycropping. Tabel 7 menjelaskan ketiga pola
tersebut.
96
Tabel 7. Pola agroforestry yang telah berkembang di lahan gambut dangkal
Pola
Agroforestry
Deskripsi Singkat (Susunan
Komponen)
Komponen
Utama
Alley cropping
dengan teknik
gundukan
(tongkongan).
Tanaman padi ditanam pada
lorong yang terbentuk dari baris
tanaman pohon yang ditanam
dengan teknik gundukan
(tongkongan).
Pohon: karet,
jelutung.
Tanaman
semusim: padi
lokal/tahun.
Alley cropping
dengan teknik
surjan.
Lahan dibagi menjadi tabukan
yang ditanami padi lokal (padi
tahun) dan bagian guludan yang
ditanami tanaman keras (karet
dan/atau jelutung).
Pohon: karet,
jelutung.
Tanaman
semusim: padi
lokal (tahun).
Agrosilvofishery
dengan teknik
surjan.
Lahan dibagi menjadi tabukan
yang berfungsi sebagai kolam
ikan peliharaan maupun beje
(kolam perangkap ikan) dan
bagian guludan yang ditanami
tanaman keras (jelutung,
durian, gaharu, karet, dan
mangga kueni) dan tanaman
buah-buahan (salak pondoh).
Pohon: karet,
jelutung,
gaharu, mangga
kueni, dan
durian.
Tanaman buah-
buahan: salak
pondoh. Kolam
ikan dan beje.
Aspek penting budi daya jelutung rawa dengan sistem
agroforestry di lahan gambut tebal (ketebalan gambut 200–300
cm) meliputi penyiapan lahan, penanaman, pengelolaan
kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Uraian kelima
aspek penting tersebut adalah sebagai berikut.
97
1. Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan merupakan aspek paling penting dalam
budi daya tanaman sistem agroforestry di lahan gambut
tebal. Penyiapan lahan dilakukan dengan membagi lahan
dalam petakan-petakan dengan parit sebagai pembatas
antar petakan (teknik petak berparit). Pembuatan parit
berfungsi ganda yaitu sebagai pengelolaan tata air dan
sebagai sekat bakar, terutama untuk api bawah tanah.
Adanya parit dapat mempertahankan muka air tanah (lengas
tanah) antara 60–100 cm dari permukaan tanah sehingga
memberi peluang akar tanaman dapat tumbuh dengan baik
(drainase dan aerasi tanah berlangsung dengan baik).
Ukuran parit yang digunakan untuk luas lahan 1 ha adalah
50–100 cm untuk lebar dan kedalaman parit. Nenas ditanam
di sekeliling parit drainase dengan maksud untuk
memadatkan tanah di sekitar parit agar tidak mudah
longsor, sebagai sekat bakar hijau terutama untuk api
permukaan, dan membantu mencegah masuknya gulma ke
lahan budi daya. Menurut Noor (2001), kendala dalam budi
daya tanaman di lahan gambut adalah rendahnya kerapatan
lindak (bulk density) dan kecilnya daya dukung tanah
sehingga tanaman menjadi mudah rebah dengan semakin
meningkatnya bobot tanaman di atas tanah.
Peningkatan daya dukung tanah memerlukan pemadatan,
khususnya pada mintakat perakaran atau jalur tanaman.
Teknik pemadatan yang dilakukan oleh petani lokal secara
umum dapat dikelompokkan menjadi dua: menggunakan
vegetasi, dan pemadatan yang dilakukan di dalam lubang
tanam. Vegetasi yang biasa digunakan untuk kegiatan
pemadatan tanah adalah nenas dan ubi kayu. Namun
demikian ada beberapa petani yang tidak menggunakan
98
nenas untuk keperluan pemadatan tanah dengan alasan akar
nenas sukar membusuk. Tanaman ubi kayu mempunyai
ketahanan terhadap keasaman yang tinggi dan dapat
berfungsi untuk mempercepat proses pematangan gambut
(Muslihat, 2003). Profil parit drainase yang multi fungsi dan
pemanfaatan tanaman ubi kayu untuk membantu
mempercepat proses pemadatan tanah dan kematangan
gambut seperti pada Gambar 27.
Gambar 27. Profil parit drainase dan tanaman nenas (kiri) serta tanaman ubi kayu untuk mempercepat pematangan gambut dan pemadatan tanah (kanan)
2. Penanaman
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman jelutung
rawa di lahan gambut adalah pembuatan lubang tanam dan
kondisi bibit yang siap tanam. Teknik pembuatan lubang
tanam yang umum dilakukan para praktisi di lapangan
(seperti pada Gambar 28), yaitu:
(1) lokasi lubang tanam dibersihkan dari vegetasi yang
tumbuh di atasnya;
99
(2) mengambil/membuang akar pakis pada titik tanam agar
akar bibit langsung kontak dengan lapisan gambut dan
mencacah gambut agar menjadi kompak (padat)
sehingga tidak ada rongga udara;
(3) membuat lubang tanam seukuran dengan polybag yang
akan ditanam;
(4) melakukan perobekan polybag hanya pada permukaan
bawah tanpa melepaskannya dari bibit, dengan tujuan
agar lengas tanah media bibit tidak pecah pada saat
terjadi fluktuasi karena belum menyatu dengan gambut
di lapangan;
(5) memasukan polybag ke dalam lubang tanam yang
sudah dibuat dengan posisi ujung atas polybag sejajar
dengan permukaan tanah dan bagian bawah polybag
menyentuh lapisan gambut bukan akar pakis;
(6) memadatkan gambut di sekitar polybag yang telah
ditanam agar menyatu dengan tanah di lapangan.
Kondisi bibit jelutung rawa yang siap ditanam di lapangan
adalah yang batangnya sudah mengalami proses pengerasan
(hardening) dan pada bagian tunasnya sedang dalam kondisi
dorman (resting), yang ditandai dengan bagian pucuk masih
berupa pentol bukan kuncup daun muda. Hal ini penting
untuk diperhatikan karena bibit yang masih dalam kondisi
kuncup daun muda akan cenderung mudah layu pada saat
ditanam di lapangan. Keadaan layu tersebut sering berlanjut
sampai kematian bibit di lapangan.
100
Gambar 28. Teknik penanaman bibit jelutung rawa di lahan gambut tebal (Sumber: Santosa, 2008)
Bersihkan permukaan gambut dan vegetasi/gulma (pakis-
pakis, kelakai)
Cacah/cincang pada titik tanam agar gambut menjadi lebih kompak/tidak terdapat
rongga
Buat lubang tanam sesuai dengan ukuran polybag yang akan
ditanam
Robek permukaan bawah polybag,
sehingga akar terlihat
Masukkan bibit pada lubang tanam yang
sudah dibuat
Padatkan gambut di sekitar bibit yang
sudah ditanam
101
Sebelum ditanam di lapangan, bibit harus diaklimatisasikan
dulu agar dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan
penanaman. Tinggi bibit yang akan ditanam harus lebih
tinggi dari genangan (saat genangan tertinggi) sehingga
bibit tidak tenggelam. Proses aklimatisasi bibit seperti
ditunjukkan pada Gambar 29.
Gambar 29. Kondisi bibit siap tanam (gambar kiri yang berdiri tegak) dan proses aklimatisasi bibit jelutung rawa (kanan)
3. Pengelolaan Kesuburan Tanah
Pemberian bahan amelioran merupakan hal yang sangat
penting untuk memperbaiki kondisi lahan. Bahan amelioran
yang umum digunakan oleh petani lokal adalah kapur, tanah
mineral dan abu hasil pembakaran rumput, serta serasah.
Setelah panen tanamam pertanian, petani lokal akan
mengistirahatkan (memberakan) lahannya beberapa waktu
(6 bulan hingga 1 tahun) agar lahan ditumbuhi rumput. Saat
penyiapan lahan berikutnya, rumput dibesik (dipapas
menggunakan cangkul dengan menyertakan gambut yang
menempel pada perakaran rumput), dan selanjutnya dibakar
102
untuk memperoleh abu sebagai bahan amelioran (Gambar
30). Selain menggunakan bahan amelioran, pengelolaan
kesuburan tanah oleh petani lokal juga dilakukan dengan
cara membagi lahan ke dalam petakan-petakan. Hal ini
dimaksudkan agar lahan yang sama tidak berulang kali
ditanami. Penanaman dilakukan pada masing-masing petak
secara bergilir sehingga dapat mengurangi laju penurunan
permukaan gambut (amblesan) pada satu lokasi.
Gambar 30. Proses pembuatan abu amelioran. Lahan diberakan setelah panen (kiri atas). Rumput dibesik, dikumpulkan dan dibakar sampai jadi abu (kanan atas). Pendangiran tanah dan pembuatan bedeng tanam (kiri bawah). Pemberian abu dalam lubang tanam untuk tanaman semusim (kanan bawah)
103
4. Pengelolaan Air
Pengaturan lengas tanah dilakukan dengan membuat parit
drainase yang mengelilingi lahan. Ukuran parit drainase
sebelah luar (keliling) lahan adalah 50–100 cm untuk lebar
dan kedalaman, sedangkan parit dalam berukuran 30–50 cm
untuk lebar dan kedalamannya. Selain parit drainase, petani
juga membuat sumuran berukuran 1 m2 dengan kedalaman
2 m sebagai sumber air untuk keperluan menyiram tanaman
semusim. Bagi petani bermodal besar; selain sumuran,
mereka juga telah membuat sumur bor sebagai sumber air
untuk mengantisipasi musim kemarau. Profil sumuran dan
penyiraman tanaman semusim dengan mesin pompa air
seperti pada Gambar 31.
Gambar 31. Profil sumur dan penyiraman dari sumur pompa sebagai sumber air di musim kemarau
5. Pola Tanam
Sistem agroforestry yang telah dilakukan petani lokal di
lahan gambut tebal seperti terdapat pada Tabel 8.
104
Tabel 8. Pola agroforestry yang telah berkembang di lahan gambut dalam
Pola
Agroforestry
Deskripsi Singkat (Susunan
Komponen)
Komponen
Utama
Mixed cropping
dengan teknik
petak berparit
Lahan budi daya dikelilingi parit
drainase dengan ukuran 50–
100 cm untuk lebar dan
kedalamannya.
Tanaman yang ditanam adalah
rambutan dan jelutung rawa
yang ditanam per jalur secara
selang-seling.
Jarak tanam rambutan dan
jelutung 7 x 7 m.
Nenas ditanam di sekeliling
parit drainase.
Pohon:
jelutung rawa
dan rambutan.
Tanaman
semusim:
nenas.
Alley cropping
dengan teknik
petak berparit
Lahan dibagi kedalam petak-
petak yang dibatasi parit kecil
(saluran “cacing”).
Petak dengan luas lebih sempit
untuk menanam pohon,
sedangkan yang lebih luas
untuk menanam tanaman
pangan.
Pohon:
jelutung rawa.
Tanaman
semusim:
sayur-sayuran
(jagung, sawi,
kacang
panjang, daun
bawang, dll).
Pengembangan jenis jelutung dengan sistem agroforestry
untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi
Kalimantan Tengah diprioritaskan pada lahan gambut yang telah
dikonversi tetapi kurang sesuai untuk tanaman pertanian dan
perkebunan. Pengembangannya berdasarkan sistem agroforestry
yang telah dikembangkan oleh petani lokal, antara lain dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik wanatani (agroforestry),
105
wanamina (silvofishery), wanaternak (silvopasture), maupun
kombinasinya: tanaman semusim-pohon-ternak (agrosilvo-
pasture) atau tanaman semusim-pohon-ikan (agrosilvofishery),
tergantung dari sumber daya dominan yang terdapat di lokasi
pengembangan. Penerapan teknik agroforestry pada pengem-
bangan jenis jelutung rawa dimaksudkan untuk diversifikasi
komoditas, usaha, dan pendapatan sehingga akan dapat
meningkatkan minat petani untuk membudidayakan jelutung
rawa yang berjangka panjang.
Pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry
harus melalui suatu kegiatan diagnostik untuk melihat kebutuhan
masyarakat dan designing untuk memolakan pertanamannya
melalui partisipasi aktif agar bisa dipraktikkan oleh petani
setempat. Berdasarkan sistem agroforestry yang telah
dikembangkan oleh petani lokal maka dapat dibuat pola-pola
pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry di
lahan gambut seperti tercantum pada Tabel 9 dan Tabel 10.
106
Tabel 9. Sistem silvopastoral dan agrisilvopastoral berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut
Pola Agroforestry
Deskripsi singkat (susunan komponen)
Komponen Utama
Kesesuaian Agroekologis
Sistem Silvopastoral
1. Jelutung pada ranch atau padang rumput
Jelutung rawa tersebar tidak teratur atau tersusun dengan sebaran tertentu.
Jelutung rawa dan tanaman HMT
Daerah penggembalaan yang ekstensif.
Sistem Agrosilvopastoral
1. Apikultur dengan pepohonan
Jelutung rawa, galam, karet, rambutan untuk sumber tepungsari bagi lebah madu
Jelutung rawa, galam, karet, rambutan, jagung dan lebah madu
Tergantung kepada kesesuaian dari apikultur.
2. Aquaforestry atau Agrosilvo-fishery
Jelutung rawa ditanam ditepi kolam ikan.
Jelutung rawa dan tanaman yang disukai ikan.
Lahan gambut dengan kualitas air yang sesuai dengan ikan.
107
Tabel 10. Sistem agrosilvikultur berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut
Pola Agroforestry
Deskripsi singkat (susunan komponen)
Komponen Utama
Kesesuaian Agroekologis
1. Pengayaan lahan be-kas perla-dangan
Jelutung rawa dan karet ditanam agar tumbuh pada fallow phase.
Jelutung rawa, karet dan padi tahun
Pada lahan perladangan berpindah.
2. Tumpang-sari
Pencampuran tegakan dengan tanaman pertanian pada awal pertanaman.
Jelutung rawa, karet, pisang dan padi tahun
Pada pola suksesi dari pertanaman padi menjadi perkebunan.
3. Alley cropping
Jelutung sebagai pagar, tanaman pertanian di antaranya; susunan baris.
Jelutung rawa, rambutan, pisang, karet, ketela pohon, tanaman sayuran dan padi tahun
Lahan gam-but dengan tekanan populasi penduduk (produktif tapi rentan).
4. Multilayer tree garden
Multi species, kelompok tanaman dengan tajuk rapat tanpa susunan yang jelas.
Jelutung rawa, karet, durian, pisang, rambutan dan tanaman semusim tahan naungan
Lahan gambut subur, murah tenaga kerja dan tekanan penduduk besar.
5. Tanaman serbaguna pada lahan pertanian
Jelutung rawa tersebar sembarangan atau tanaman batas lahan dan teras.
Jelutung, karet, tanaman buah, HMT dan tanaman pertanian pada umumnya
Pada daerah pertanian subsisten dan ternak.
108
6. Pekarangan (Home garden)
Rapat; kombinasi multi tajuk: jelutung dan tanaman pertanian di sekitar tempat tinggal.
Jelutung, tanaman merambat, dan tanaman pertanian tahan naungan
Lahan gambut dengan populasi penduduk padat.
7. Jelutung untuk konservasi dan reklamasi tanah
Jelutung, karet pada tepi teras, pelindung dll.; dengan atau tanpa baris rumput, tanaman kayu pada reklamasi tanah.
Jelutung rawa, karet dan tanaman pertanian pada umumnya
Pada lahan gambut tebal yang terlanjur dikonversi menjadi lahan pertanian.
8. Plantations crop com-binations.
Penggabungan multitajuk (campuran, rapat); pencampuran tanaman pertanian.
a. Pencampuran tanaman pertanian dengan pola berseling atau susunan teratur yang lain.
b. Pohon peneduh yang tersebar untuk tanaman pertanian.
c. Intercropping dengan tanaman pertanian.
Jelutung rawa, karet, rambutan, dan tanaman semusim tahan naungan
Pada pertanian subsisten dengan lahan yang terbatas.
9. Selterbelts, windbreaks, pagar hidup
Jelutung rawa pada sekeliling lahan pertanian.
Jelutung rawa dan tanaman pertanian setempat
Pada daerah yang berangin.
109
5.3 Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa
Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai
sistem agroforestry yang telah dikembangkan oleh petani lokal
secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut.
5.3.1 Plot penelitian di Kelurahan Kalampangan
Pada plot ini jelutung dibudidayakan dengan pola
alleycropping. Tanaman semusim seperti jagung, sawi, kacang
tanah, kacang panjang, cabe, dan daun bawang ditanam di
antara dua jalur tanaman jelutung. Performansi pertumbuhan
jelutung rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 32.
Gambar 32. Rata-rata tinggi batang dan diameter batang jelutung rawa umur 6 tahun (atas) dan umur 5,25 tahun (bawah) pola alleycropping di Kelurahan Kalampangan
110
Gambar 32 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang
tanaman jelutung rawa umur 6 tahun terendah terdapat pada
Petak A dengan rata-rata tinggi 541,8 cm, sedangkan yang
tertinggi pada Petak B dengan rata-rata tinggi 682,1 cm.
Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 6
tahun terkecil terdapat pada Petak C dengan rata-rata diameter
8,91 cm, sedangkan yang terbesar pada Petak D dengan rata-
rata diameter 11,52 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 6 tahun
pada plot penelitian ini mencapai 102,86 cm per tahun,
sedangkan riap diameternya mencapai 1,73 cm per tahun.
Gambar 32 juga menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi
batang tanaman jelutung rawa umur 5,25 tahun terendah
terdapat pada Petak F dengan rata-rata tinggi 375,6 cm,
sedangkan yang tertinggi pada Petak I dengan rata-rata tinggi
567,8 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa
umur 5,25 tahun terkecil terdapat pada Petak G dengan rata-rata
diameter 7,5 cm, sedangkan yang terbesar pada Petak E dengan
rata-rata diameter 10,16 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,25
tahun pada plot penelitian ini mencapai 86,55 cm per tahun,
sedangkan riap diameternya mencapai 1,66 cm per tahun.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi
sebanyak 672 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak
18,01% adalah sulaman dan 9,67% terserang penggerek batang.
Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang
ditanam di plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%.
Persen hidup tanaman yang sering digunakan sebagai indikator
keberhasilan tanaman yang berlaku pada proyek penghijauan dan
rehabilitasi hutan adalah 80%.
111
5.3.2 Plot penelitian di Desa Tumbang Nusa
Pada plot ini, jelutung dibudidayakan dengan pola mixed
cropping. Tanaman yang ditumpangsarikan dengan jelutung rawa
adalah rambutan dan nenas. Performansi pertumbuhan jelutung
rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 33.
Gambar 33. Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) per jalur dari jelutung rawa umur 5,3 tahun pola mixed cropping di Tumbang Nusa
Gambar 33 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang
tanaman jelutung rawa umur 5,3 tahun terendah terdapat pada
Jalur 4 dengan rata-rata tinggi 547,9 cm, sedangkan yang
tertinggi pada Jalur 3 dengan rata-rata tinggi 666,1 cm.
Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5,3
tahun terkecil terdapat pada Jalur 4 dengan rata-rata diameter
8,69 cm, sedangkan yang terbesar pada Jalur 1 dengan rata-rata
diameter 12,41 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,3 tahun
pada plot penelitian ini mencapai 116,03 cm per tahun,
sedangkan riap diameternya mencapai 1,96 cm per tahun.
112
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi
sebanyak 126 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak
30,16% adalah sulaman dan 4,76% terserang penggerek batang.
Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang
ditanam di plot penelitian ini kurang dari 80%. Kematian jelutung
rawa yang tinggi pada plot ini disebabkan oleh banjir yang
melanda. Banjir tersebut menyebabkan banyak tanaman yang
mati karena lama tenggelam pada tahun-tahun awal penanaman.
5.3.3 Plot penelitian di Desa Jabiren
Pada plot ini, jelutung dibudidayakan dengan pola mixed
cropping. Tanaman yang ditumpangsarikan dengan jelutung rawa
adalah karet Klon PB 260.
Gambar 34. Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) jelutung rawa umur 5,25 tahun per jalur pola mixcropping di Desa Jabiren
Gambar 34 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang
tanaman jelutung rawa umur 5,25 tahun terendah terdapat pada
Jalur 5 dengan rata-rata tinggi 570,9 cm, sedangkan yang
113
tertinggi pada Jalur 1 dengan rata-rata tinggi 804,4 cm.
Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5,25
tahun terkecil terdapat pada Jalur 4 dengan rata-rata diameter
8,74 cm, sedangkan yang terbesar pada Jalur 1 dengan rata-rata
diameter 11,42 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,25 tahun
pada plot penelitian ini mencapai 127,94 cm per tahun,
sedangkan riap diameternya mencapai 1,92 cm per tahun.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi
sebanyak 300 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak
10,92% adalah sulaman dan 16,72% terserang penggerek
batang. Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa
yang ditanam di plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%.
5.3.4 Plot penelitian di Desa Mentaren II
Pada plot ini jelutung dibudidayakan dengan tiga macam
pola: (1) agrosilvofishery dengan komponen penyusun: salak,
durian, gaharu dan kolam ikan; (2) alleycropping dengan
komponen penyusun: jeruk dan padi; (3) mixcropping dengan
komponen penyusun: karet dan padi. Performansi pertumbuhan
jelutung rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 35.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa pertumbuhan tinggi
batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun dengan pola
agrosilvofishery terendah terdapat pada baluran 6 dengan rata-
rata tinggi 695,2 cm, sedangkan yang tertinggi pada Jalur 1
dengan rata-rata tinggi 834 cm. Pertumbuhan diameter batang
tanaman jelutung rawa umur 7 tahun terkecil terdapat pada
Baluran 6 dengan rata-rata diameter 8,94 cm, sedangkan yang
terbesar pada Baluran 1 dengan rata-rata diameter 11,07 cm.
Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun pada pola ini adalah
114
111,13 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 1,49
cm per tahun.
Pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 7
tahun dengan pola alleycropping terendah terdapat pada Baluran
3 dengan rata-rata tinggi 676,1 cm, sedangkan yang tertinggi
pada Baluran 5 dengan rata-rata tinggi 813,3 cm. Pertumbuhan
diameter batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun terkecil
terdapat pada Baluran 2 dengan rata-rata diameter 12,88 cm,
sedangkan yang terbesar pada Baluran 5 dengan rata-rata
diameter 15,16 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun pada
pola ini adalah 102,31 cm per tahun, sedangkan riap diameternya
mencapai 2 cm per tahun.
Pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 7
tahun dengan pola mixed cropping terendah terdapat pada
Baluran 5 dengan rata-rata tinggi 554,90 cm, sedangkan yang
tertinggi pada Baluran 1 dengan rata-rata tinggi 668,30 cm.
Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 7
tahun terkecil terdapat pada Baluran 4 dengan rata-rata diameter
9,47 cm, sedangkan yang terbesar pada Baluran 7 dengan rata-
rata diameter 10,86 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun
pada pola ini adalah 83,08 cm per tahun, sedangkan riap
diameternya mencapai 1,45 cm per tahun.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada ketiga
pola tersebut di atas, dari jumlah populasi jelutung rawa
sebanyak 960 batang yang ditanam, sebanyak 6,63% adalah
sulaman dan 8,692% terserang penggerek batang. Hal ini
menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang ditanam di
plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%.
115
Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan)
pada pola agrosilvofishery
Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan)
pada pola alleycropping
Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan)
pada pola mixcropping
Gambar 35. Performansi pertumbuhan jelutung rawa umur 7 tahun di Desa Mentaren II
116
Gambar 36 menampilkan data persen hidup dan serangan
penggerek batang pada jelutung yang ditanam pada beberapa
tipologi lahan gambut. Sedangkan Gambar 37 menampilkan riap
pertumbuhan tanaman jelutung rawa pada beberapa pola tanam
di lahan gambut.
Gambar 36. Persen sulaman (kiri) dan % serangan penggerek batang (kanan)
Gambar 36 menjelaskan bahwa persentase sulaman
tertinggi terdapat pada jelutung rawa yang ditanam di Desa
Tumbang Nusa sebesar 30,16% dan terendah pada jelutung rawa
yang ditanam di Desa Mentaren II sebesar 6,63%. Persentase
jumlah jelutung rawa yang terserang penggerek batang
terbanyak pada Desa Jabiren sebesar 16,72% dan terendah pada
Desa Tumbang Nusa sebesar 4,76%.
Gambar 37 menampilkan data riap pertumbuhan tinggi
batang dan diameter batang jelutung rawa pada beberapa pola
tanam di lahan gambut. Riap pertumbuhan tinggi batang tertinggi
terdapat pada jelutung rawa yang ditanam dengan pola mixed
cropping di Desa Jabiren dengan riap sebesar 127,94 cm per
117
tahun dan terendah di Desa Mentaren II yang di tanam dengan
pola mixed cropping. Riap pertumbuhan diameter batang
tertinggi terdapat pada jelutung rawa yang ditanam dengan pola
alleycropping di Desa Mentaren II dengan riap sebesar 2,15 cm
per tahun dan terendah di Desa Mentaren II yang ditanam
dengan pola mixed cropping dengan riap sebesar 1,56 cm per
tahun.
Gambar 37. Riap per tahun pertumbuhan tinggi batang (atas) dan riap pertumbuhan diameter batang (bawah).
118
Tabel 11 menyajikan data rata-rata diameter batang, tinggi
batang, riap pertumbuhan diameter batang dan riap tinggi batang
jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan pola
tanam.
Tabel 11. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan sistem agroforestry di Provinsi Kalimantan Tengah
Lokasi, Tipologi Lahan dan Pola Tanam
Umur (tahun)
Performansi Pertumbuhan Jelutung (cm)
Rata-rata Diameter
Riap DB /tahun
Rata-rata Tinggi
Riap Tinggi /tahun
Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam, alleycropping I dengan teknik petak berparit
6,00 10,39 1,73 617,13 102,86
Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam, alleycropping II dengan teknik petak berparit
5,25 8,69 1,66 454,38 86,55
Desa Tumbang Nusa, lahan gambut dalam, mixcropping dengan teknik petak berparit
5,30 10,11 1,96 626,70 116,03
Desa Jabiren, lahan gambut dangkal, mixcropping dengan teknik surjan
5,25 10,11 1,92 671,70 127,94
Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, agrosilvofishery teknik surjan
6,50 11,03 1,60 800,60 120,00
Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, alleycropping teknik surjan
6,50 13,98 2,15 716,18 110,18
Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, mixcropping teknik surjan
6,50 10,15 1,56 581,58 89,47
Rata-rata 5,9 10,64 1,80 638,32 107,58
119
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa riap tinggi
tanaman jelutung rawa yang ditanam dengan sistem agroforestry
pada berbagai tipologi lahan gambut adalah 86,55–127,94 cm per
tahun, sedangkan riap diameternya adalah 1,56–2,15 cm per
tahun. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan jelutung rawa
pada kondisi alaminya di Pulau Sumatra, riap diameter jelutung
rawa sekitar 1,5–2,0 cm/tahun (Bastoni & Riyanto, 1999).
Jelutung rawa yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi
intensif di Pulau Sumatra dapat diperoleh riap diameter 2,0–2,5
cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil pengukuran pertumbuhan
jelutung umur 9 tahun yang dilakukan oleh Balittaman Palembang
pada tahun 2001 memperoleh data riap tinggi sekitar 164–175
cm/tahun dan riap diameter sekitar 2,18–2,38 cm/tahun (Bastoni,
2001). Perbedaan riap pertumbuhan jelutung rawa di Pulau
Sumatra yang lebih tinggi dari pertumbuhan jelutung rawa yang
dibudidayakan dengan sistem agroforestry pada penelitian ini
disebabkan kondisi lahan gambut yang lebih subur. Performansi
pertumbuhan jelutung rawa yang ditanam secara monokultur
seperti tersaji pada Tabel 12.
Tabel 12. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pola tanam monokultur
Parameter
Lokasi
Jabiren I Jabiren II Hampangin Tumbang
Nusa
Umur tanaman (tahun) 8,00 20,00 10,00 6,00
Rata-rata tinggi (cm) 1.360,00 2.150,00 1.070,00 752,90
Rata-rata diameter (cm) 5,60 20,50 12,10 11,82
Riap diameter/tahun (cm)
0,72 1,03 1,21 1,97
Riap tinggi/tahun (cm) 170,00 107,50 107,00 125,48
120
Gambar 38 menampilkan data riap pertumbuhan tanaman
jelutung rawa yang ditanam secara monokultur di Provinsi
Kalimantan Tengah. Berdasarkan data pada Tabel 8 diketahui
bahwa pertumbuhan tanaman jelutung rawa yang ditanam secara
monokultur menghasilkan riap tinggi sekitar 107–170 cm per
tahun, sedangkan riap diameter sekitar 0,72–1,97 cm per tahun.
Gambar 38. Riap tinggi batang (kiri) dan riap diameter batang (kanan) tanaman jelutung rawa yang ditanam secara monokultur
Berdasarkan Gambar 37 dan Gambar 38 diketahui bahwa
riap pertumbuhan jelutung rawa yang ditanam dengan sistem
agroforestry lebih rendah dibandingkan dengan riap pertumbuhan
jelutung rawa yang ditanam dengan sistem monokultur. Hal ini
disebabkan pada kasus jelutung rawa yang ditanam dengan
karet, penanamannya dilakukan dalam waktu yang bersamaan.
Akibatnya, karet–yang tumbuhnya lebih cepat–cenderung
menaungi jelutung rawa. Padahal, jenis ini merupakan jenis yang
memerlukan cahaya matahari penuh mulai pertumbuhan tingkat
121
tiang. Sementara itu pada kasus jelutung yang ditumpangsarikan
dengan tanaman semusim, gangguan berupa pengolahan lahan
dan pembakaran untuk memperoleh abu diduga berpengaruh
terhadap pertumbuhan jelutung rawa.
Hasil penelitian Indrayatie & Suyanto (2009) menunjukkan
bahwa pada aspek topografis, jelutung rawa menyukai bentuk
lahan dataran, yaitu wilayah yang memiliki air tanah dangkal
(baik yang terendam secara permanen maupun musiman),
elevasi dataran rendah (<100 m dpl.); hidup di tempat terbuka
tanpa naungan maupun berasosiasi dengan vegetasi lain. Pada
aspek edafis, jelutung rawa dapat hidup pada tanah mineral
(alluvial) ataupun tanah organik. Kondisi ini dipresentasikan
untuk daerah subsistem alluvio-marine seperti daerah rawa
(swamp), paya pasang surut (marsh), delta, tidal flat; daerah
subsistem alluvial seperti daerah banjir (flood plain), jalur
meander (meander belt); daerah subsistem alluvio-colluvial
seperti daerah cekungan terisolasi (isolated miniplain); daerah
subsistem closed alluvial seperti daerah rawa tanpa pengaruh air
laut (swamp or marsh without marine influence).
Uraian di atas menjelaskan bahwa pengembangan jelutung
dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut
terdegradasi layak untuk dilakukan berdasarkan parameter
kelayakan teknis.
123
KELAYAKAN AGROFORESTRY
JELUTUNG RAWA
6.1 Kriteria dan Penilaian Kelayakan Agroforestry
Jelutung Rawa
Kelayakan pengembangan jelutung rawa dengan sistem
agroforestry sebagai upaya memulihkan lahan gambut
terdegradasi dianalisis menggunakan kriteria Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) Unggulan sesuai Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) Nomor P.21/Menhut-II/2009. Berdasarkan peraturan
tersebut, penentuan tingkat keunggulan mencakup kriteria:
ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan
teknologi. Kelima kriteria tersebut seperti uraian berikut (Dephut,
2009b).
1. Kriteria Ekonomi
Kriteria ekonomi merupakan aspek yang mengukur besaran
ekonomi dari getah jelutung. Hal ini dilakukan dengan
mempertimbangkan tujuh indikator: (1) nilai perdagangan
ekspor, (2) nilai perdagangan lokal, (3) lingkup pemasaran,
(4) potensi pasar internasional, (5) mata rantai pemasaran,
(6) cakupan pengusahaan, dan (7) investasi usaha.
Nilai perdagangan ekspor getah jelutung di Provinsi
Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh dua perusahaan,
yaitu PT Sumber Alam Sejahtera (PT SAS) dan PT Sampit
mencapai lebih dari US$1 juta per tahun. Nilai ekspor getah
jelutung oleh PT SAS mencapai US$700,000.00 per tahun
dan PT Sampit mencapai US$648,000.00 per tahun (nilai
kurs Rp10.000,00). Nilai tersebut termasuk kategori tinggi
(nilai 3) karena nilai ekspor yang mencapai Rp10 milyar per
Bab VI
124
tahun dianggap sudah dapat menggerakkan perekonomian
masyarakat dan kabupaten/kota pengekspor getah jelutung.
Tabel 13 mencantumkan realisasi ekspor getah jelutung di
Provinsi Kalimantan Tengah. Nilai perdagangan lokal getah
jelutung untuk PT SAS mencapai 4 milyar rupiah per tahun,
sedangkan untuk PT Sampit mencapai 9,9 milyar rupiah per
tahun. Gambar 39 mencantumkan produksi getah jelutung
oleh PT SAS per bulan selama tiga tahun (2007–2009).
Gambar 40 mencantumkan rata-rata produksi getah jelutung
per bulan untuk Kabupaten Kotawaringin Barat (Pangkalan
Bun). Gambar 41 mencantumkan produksi getah jelutung
menjadi bahan baku setengah jadi pada tahun 2008 di
Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
Lingkup pemasaran getah jelutung mencakup pasar
internasional, nasional dan lokal. Pasar internasional dengan
negara tujuan ekspor: Singapura, Jepang, dan Prancis.
Potensi pasar internasional menunjukkan tingkat permintaan
komoditas getah jelutung di pasaran internasional. Potensi
pasar internasional getah jelutung termasuk dalam kategori
tinggi yaitu diminta lebih dari tiga negara. Hal ini
menunjukkan pasar getah jelutung belum jenuh dan belum
mampu memenuhi pesanan. Mata rantai pemasaran
menunjukkan tingkat kompleksitas rantai pemasaran
(market chain) dan saluran pemasaran (market channel).
Pada aspek ini getah jelutung termasuk dalam kategori
sedang (nilai 2) karena pemasarannya sudah melibatkan
berbagai pihak: masyarakat pengumpul, pengusaha UMKMK,
dan pemerintah; namun belum melibatkan pengusaha besar
(industri).
Cakupan pengusahaan menunjukkan perkembangan industri
dalam upaya meningkatkan nilai tambah (value added).
125
Cakupan pengusahaan getah jelutung mempunyai nilai 2
karena hanya meliputi industri hulu dan tengah (barang
setengah jadi). Investasi usaha menunjukkan bahwa melalui
investasi, komoditas getah jelutung mampu memberikan
kontribusi yang nyata bagi pertumbuhan ekonomi. Pada
indikator investasi usaha, pengusahaan getah jelutung di
Provinsi Kalimantan Tengah termasuk kategori sedikit (nilai
2) karena terdapat kurang dari lima dunia usaha yang
berinvestasi, yaitu hanya ada dua perusahaan (PT SAS dan
PT Sampit).
Tabel 13. Realisasi ekspor getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah
Tahun Volume
(ton)
Nilai (USD) Nilai Rata-
rata/ton
(US$)
Harga
rata-
rata/kg
(US$)*
Negara
Tujuan
Ekspor
2000 96 476,800.00 4,966.70 0.50 Jepang
2001 128 587,840.00 4,592.50 0.50 Jepang
2002 176 792,000.00 4,500.00 0.45 Jepang
2003 192 902,400.00 4,700.00 4.70 Jepang
2004 192 902,400.00 4,700.00 4.70 Jepang
2005 176 827,200.00 4,700.00 4.70 Jepang
2006 176 827,200.00 4,700.00 4.70 Jepang
Jumlah 1.136
Rata-rata 162,29
Keterangan: * Harga di tingkat buyer luar negeri
Sumber: Karyono (2008)
126
Gambar 39. Produksi getah jelutung oleh PT SAS di Kota Palangkaraya
Gambar 40. Produksi getah jelutung di Kabupaten Kotawaringin Barat tahun 2009
127
Gambar 41. Produksi getah jelutung menjadi bahan baku setengah jadi pada tahun 2008 di Kabupaten Kotawaringin Timur
2. Kriteria Biofisik dan Lingkungan
Biofisik dan lingkungan merupakan aspek yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan jenis jelutung.
Indikator yang perlu dipertimbangkan adalah (1) potensi
tanaman, (2) penyebaran, dan (3) status konservasi. Ketiga
indikator tersebut sangat memengaruhi kemudahan
pengembangan lebih lanjut.
Potensi jelutung menunjukkan tingkat kelimpahan
(abundance) jenis di alam yang diukur sebagai persentase
antara jumlah pohon per hektar terhadap kondisi tegakan
normal. Dalam hal ini, tegakan normal diasumsikan 100
pohon per ha untuk pohon pada hutan alam. Jenis jelutung
memiliki potensi tinggi (nilai 3) jika populasinya berjumlah
>60% dari populasi normal, potensi sedang (nilai 2) jika
128
populasi komoditas tersebut berjumlah 40–60% dari
populasi normal dan potensi rendah (nilai 1) jika populasinya
<40% dari populasi normal. Data populasi pohon jelutung di
alam didekati dari jumlah pohon jelutung yang disadap oleh
para regu kerja. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan terhadap beberapa regu kerja penyadap getah
jelutung, pada setiap jalur sadap (panjang 1–2 km) terdapat
pohon jelutung sebanyak 70–100 batang. Rata-rata setiap
regu kerja mempunyai 10 jalur sadap sehingga setiap regu
kerja menyadap sekitar 1.000 batang pohon jelutung.
Berdasarkan jumlah tersebut, potensi jenis jelutung
termasuk dalam kategori rendah (nilai 1) karena populasinya
<40% dari populasi normal atau kurang dari 40 pohon per
ha.
Penyebaran menunjukkan tingkat keberadaan jenis jelutung
dalam suatu wilayah (dalam hal ini wilayah administrasi
Provinsi Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan
gambut). Kategori merata (nilai 3) jika komoditas tersebut
terdapat di 2/3 wilayah tersebut, kategori cukup merata
(nilai 2) jika terdapat di antara 1/3–2/3 wilayah dan kategori
tidak merata (nilai 1) jika terdapat di <1/3 wilayah. Pada
tingkat provinsi dihitung kabupaten yang mempunyai lahan
gambut, kemudian untuk tingkat kabupaten dihitung jumlah
kecamatan yang terdapat tumbuhan alam maupun tanaman
jelutung. Kabupaten/kota di wilayah Provinsi Kalimantan
Tengah yang mempunyai lahan gambut tercantum pada
Tabel 14.
Penyebaran tumbuhan alam jelutung hanya tersisa di
kawasan-kawasan lindung seperti di kawasan Taman
Nasional (TN) Sebangau (Kabupaten Pulang Pisau, Kota
Palangkaraya dan Kabupaten Katingan) dan kawasan Suaka
129
Margasatwa (SM) Lamandau (Kabupaten Kotawaringin
Barat). Pohon jelutung dari daerah tersebut menjadi sumber
pasokan kebutuhan getah jelutung di Provinsi Kalimantan
Tengah dengan produktivitas seperti tercantum pada Tabel
15.
Tabel 14. Persentase lahan gambut dan nongambut di wilayah kerja BPDAS Kahayan
No. Kabupaten/Kota % Gambut % nonGambut
1. Kapuas 27,17 72,83
2. Katingan 24,89 75,11
3. Kotawaringin Barat 29,00 71,00
4. Kotawaringin Timur 21,53 78,47
5. Lamandau 0,12 99,88
6. Palangkaraya 42,38 57,62
7. Pulang Pisau 64,32 35,68
8. Seruyan 18,90 81,10
9. Sukamara 28,91 71,09
Sumber: BPDAS Kahayan (2007)
Tabel 15. Produksi getah jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah
Kabupaten/ Kota
Tahun Produksi (kg)
2003 2004 2005 2006 Rataan
Pangkalan Bun 423.242 493.012 421.770 564.923 475.737
Palangkaraya 428.739 454.214 180.530 67.840 282.831
Sampit 185.933 115.440 30.081 60.993 98.112
Jumlah 1.037.914 1.062.666 632.381 693.756
Sumber: Karyono (2008)
130
Penyebaran jenis jelutung hasil tanaman rehabilitasi dan
penghijauam seperti tercantum pada Tabel 16.
Tabel 16. Rekapitulasi pembuatan tanaman jelutung rawa di wilayah kerja BPDAS Kahayan tahun 2008–2010
No. Kabupaten/Kota
Jumlah
Luasan (ha) Tanaman
(batang)
1. Kapuas 1.100 165.000
2. Pulang Pisau 2.100 300.000
3. Kotawaringin Barat 2.000 -
4. Palangkaraya 1.000 125.000
5. Katingan 2.000 250.000
Jumlah 8.200 840.000
Uraian pada Tabel 14, 15, dan 16 menunjukkan bahwa
penyebaran jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah
termasuk kategori tidak merata (nilai 1) karena terdapat di
<1/3 wilayah.
Indikator status konservasi menunjukkan keleluasaan
pemanfaatan dan perdagangan komoditas getah jelutung
dikaitkan dengan ancaman kepunahan jenis tersebut. Nilai 3
jika tidak terdaftar di CITES yang berarti jenis jelutung lebih
leluasa dimanfaatkan. Jika terdaftar dalam Appendix CITES
maka memiliki nilai lebih rendah karena memiliki batasan
untuk diperdagangkan. Jenis jelutung termasuk dalam
kategori tidak terdaftar di CITES Appendix (Nilai 3).
Indikator budi daya menunjukkan upaya memproduksi
komoditas getah jelutung, selain dari tegakan alam. Semakin
tinggi persentase hasil budi daya maka memiliki nilai lebih
131
tinggi pula. Terdapatnya usaha budi daya dapat
memberikan jaminan keberlangsungan produksi yang
semakin tinggi dan akan mengurangi tekanan tegakan alam.
Kategori bernilai 3 jika persentase produksi hasil budi daya
>70%, bernilai 2 jika persentase produksi antara 40–70%
dan bernilai 1 jika persentase <40%. Hingga saat ini,
produksi getah jelutung hampir seluruhnya berasal dari
tegakan alam karena tanaman jelutung hasil budi daya
masih belum dapat disadap. Oleh karena itu, jelutung rawa
termasuk dalam kategori produksi HHBK <40% hasil budi
daya dan bernilai 1.
Aksesibilitas ke sumber getah jelutung menunjukkan tingkat
kemudahan sumber tersebut untuk dicapai dan dijangkau
oleh moda transportasi. Nilai 3 jika mudah dijangkau moda
transportasi darat dan/atau air sepanjang tahun, nilai 2 jika
dapat dijangkau moda transportasi darat dan/atau air tetapi
tidak sepanjang tahun dan nilai 1 jika sulit dijangkau moda
transportasi sepanjang tahun. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa regu kerja, lokasi penyadapan jelutung
dapat dijangkau dengan moda transportasi air (klotok) dan
jukung (sampan) hanya pada saat musim hujan. Pada saat
musim kemarau, beberapa lokasi dapat dijangkau dengan
berjalan kaki dari sungai besar yang dapat dilalui klotok.
Oleh karena itu, sumber getah jelutung rawa termasuk
dalam kategori dapat dijangkau moda transportasi air tetapi
tidak sepanjang tahun (nilai 2).
3. Kriteria Kelembagaan
Kelembagaan merupakan aspek penting dalam penentuan
tingkat keunggulan getah jelutung karena menyangkut unsur
pelaku dan tata aturan produksi dan perdagangannya. Enam
132
indikator pada kriteria kelembagaan yang dipergunakan
dalam penentuan tingkat keunggulan getah jelutung yaitu:
(1) jumlah kelompok usaha/regu kerja; hal ini menunjukkan
tingkat keterlibatan regu kerja yang meramu getah
jelutung; semakin banyak jumlah regu kerja maka
semakin tinggi peluangnya dalam menggerakkan roda
perekonomian masyarakat;
(2) asosiasi kelompok usaha dan kelompok peramu getah
jelutung; keberadaan asosiasi kelompok usaha dan
kelompok peramu (forum komunikasi) menunjukkan
tingkat ketertarikan kelompok usaha membentuk
asosiasi untuk meningkatkan daya saing;
(3) perangkat peraturan tentang komoditas getah jelutung;
hal ini menunjukkan ketersediaan peraturan dan tingkat
pengaturan komoditas getah jelutung;
(4) peran institusi; hal ini menunjukkan dukungan dari
berbagai institusi, seperti pemerintah (pusat dan
daerah), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan
pengusaha;
(5) standar komoditas jelutung; hal ini menunjukkan ada
tidaknya standarisasi dari produk getah jelutung;
(6) sarana/fasilitas pengembangan getah jelutung; hal ini
menunjukkan ketersediaan fasilitas untuk
pengembangan komoditas getah jelutung, seperti pusat
pelatihan dan trade center.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pelaku
perdagangan getah jelutung di Kalimantan Tengah, Bapak
Ikut Ali/pemilik PT SAS, jumlah pedagang pengumpul yang
telah diberi modal sebanyak 11 orang dengan jumlah regu
kerja sebanyak 300 regu. Regu kerja tersebut tersebar di
beberapa lokasi di Kalimantan Tengah yaitu Sukamara,
133
Pangkalan Bun, Seruyan, Samuda, dan Sebangau. Tiap regu
kerja beranggota 1–3 orang (rata-rata 2 orang). Berdasarkan
informasi tersebut, pengusahaan getah jelutung dapat
dikategorikan banyak karena terdapat >5 kelompok usaha
produsen sehingga kategori jumlah penyadap getah jelutung
bernilai 3.
Keberadaan asosiasi kelompok usaha dan kelompok peramu
(forum komunikasi) getah jelutung di Provinsi Kalimantan
Tengah belum ada. Kelembagaan yang terbentuk masih
terbatas pada regu kerja penyadap, pedagang pengumpul,
dan perusahaan penampung getah jelutung. Oleh karena itu,
keberadaan asosiasi kelompok usaha dalam pengusahaan
getah jelung di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk dalam
kategori rendah (nilai 1).
Saat ini, terdapat perangkat peraturan dari pejabat Bupati/
Walikota berkaitan dengan komoditas getah jelutung (nilai
2). Salah satu peraturan yang secara tidak langsung
mengatur tentang komoditas getah jelutung terkait dengan
retribusi pengumpulan HHBK adalah Peraturan Daerah
(Perda) Kota Palangkaraya Nomor 07 Tahun 2002 tentang
Perubahan atas Perda Kota Palangkaraya Nomor 04 Tahun
2000 tentang Retribusi izin Pengumpulan Hasil Hutan Bukan
Kayu dan Hasil Perkebunan. Perda tersebut menetapkan
retribusi getah jelutung sebesar 3% per ton. Pada tahun
2000, Bupati Kapuas mengeluarkan surat keputusan yang
menetapkan areal konservasi jelutung rawa di Desa Bajuh.
Proses penyadapan dan pengumpulan getah jelutung telah
difasilitasi oleh Pemerintah Kota Palangkaraya berupa
penerbitan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu oleh
Walikota yang diberikan kepada kelompok masyarakat.
Perizinan serupa di Kabupaten Kotawaringin Barat hanya
134
diberikan kepada perusahaan pengumpul. Bagi masyarakat
yang mengumpulkan getah jelutung di dalam kawasan
lindung, seperti SM Sungai Lamandau, izin diberikan oleh
pengelola kawasan (BKSDA di Pangkalan Bun). Sementara
itu, kabupaten lain yang juga memiliki potensi jelutung
belum ada fasilitasi berupa perizinan. Retribusi
pemanfaatannya ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala
Daerah, baik Bupati atau Walikota. Besarnya retribusi Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk Provinsi Kalimantan
Tengah adalah sebesar Rp56.100,00 per ton. Tabel 17
mencantumkan pendapatan daerah Kota Palangkaraya dari
hasil retribusi getah jelutung.
Tabel 17. Pendapatan daerah dari retribusi getah jelutung
Tanggal Volume (ton) Jumlah Pungutan (Rp)
25-04-2010 10 1.200.000,00
09-03-2010 20 2.400.000,00
14-01-2010 25 3.000.000,00
14-7-2009 25 3.000.000,00
15-5-2009 25 3.000.000,00
17-4-2009 25 3.000.000,00
13-3-2009 25 3.000.000,00
14-2-2009 15 1.800.000,00
Peran institusi menunjukkan terdapat dukungan dari
berbagai pihak, seperti Pemerintah Pusat (melalui Unit
Pelaksana Teknis/UPT), pemerintah daerah, dan LSM.
Bentuk dukungan tersebut berupa keterlibatan institusi, baik
langsung maupun tidak langsung, terhadap kegiatan
pengembangan usaha getah jelutung seperti budi daya,
pengolahan, dan pemasaran. Kategori tinggi (nilai 3) apabila
135
seluruh institusi yang ada mendukung pengembangan
komoditas HHBK yang dinilai tersebut, kategori sedang (nilai
2) apabila hanya ada salah satu institusi yang mendukung,
dan kategori rendah apabila tidak ada dukungan dari institusi
(nilai 1). Kementerian Kehutanan melalui UPT di Provinsi
Kalimantan Tengah (BPDAS Kahayan, BTN Sebangau dan
BPK Banjarbaru) telah memberikan perhatian terhadap
pengembangan jelutung rawa di Provinsi Kalimantan
Tengah. BPDAS Kahayan telah menanam jelutung rawa di
Areal Model Budi daya Jelutung pada lahan seluas 10 ha di
Km 55 Jalan Palangkaraya–Sampit (ditanam tahun 2001), di
Habaring Hurung (Kota Palangkaraya) dan di Kecamatan
Pilang (Kabupaten Pulang Pisau). Melalui program GERHAN
tahun anggaran 2004, BPDAS Kahayan telah menanam
sebanyak 736.250 batang jelutung rawa, kemudian
jumlahnya meningkat pada tahun berikutnya yang mencapai
877.160 pohon untuk 11 kabupaten/kota di Provinsi
Kalimantan Tengah. Selama pelaksanaan GERHAN 2005,
BPDAS Kahayan telah menanami lahan kritis yang terdapat
di dalam dan di luar kawasan hutan seluas 40.900 ha (20–
30% kawasan ditanami jenis Jelutung Rawa). Selain
melakukan penanaman, BPDAS Kahayan juga melakukan
pelatihan budi daya jelutung untuk petani, penyuluh, dan
petugas lapangan. Pada tahun 2007, BPDAS Kahayan telah
membangun enam unit areal model tanaman silvikultur
intensif di luar kawasan hutan dengan total luas 350 ha.
Salah satu unit areal model tersebut adalah yang terletak di
Desa Lunuk Ramba seluas ±50 ha. Areal Model Tanaman
Silvikultur Intensif di Desa Lunuk Ramba ditanami dengan
jenis tanaman pokok berupa jelutung (kayu-kayuan), karet,
dan durian (MPTS) dengan komposisi jenis yaitu 60%
jelutung, 30% karet, dan 10% durian (BPDAS Kahayan,
136
2009). Demikian pula halnya dengan TN Sebangau, UPT ini
turut berperan dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis seluas
60.000 ha yang melakukan penanaman seluas 2.850 ha
dengan tanaman jelutung, pulai, dan belangeran.
Sementara itu, BPK Banjarbaru telah menjadikan jelutung
sebagai salah satu jenis yang termasuk dalam Penelitian
Integratif Unggulan (PIU). Pada tanggal 25 Oktober 2009,
LSM World Education Pangkalan Bun telah melakukan
workshop tentang tanaman jelutung dan ekosistemnya.
Workshop tersebut bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya ekosistem
gambut dan mengajak masyarakat untuk lebih mengenal
tanaman jelutung sebagai jenis tanaman asli lahan gambut,
terutama dari aspek budi daya dan nilai ekonominya.
Berdasarkan uraian tersebut, pengembangan jelutung di
Provinsi Kalimantan Tengah dari indikator peran institusi
termasuk dalam kategori tinggi dengan adanya dukungan
dari berbagai institusi (nilai 3).
Standar komoditas menunjukkan ada tidaknya standardisasi
dari produk komoditas HHBK bersangkutan. Terdapatnya
standardisasi, seperti SNI atau standar internasional lainnya
(nilai 3) berarti komoditas tersebut sudah menjadi komoditas
perdagangan di pasar internasional atau memiliki pangsa
pasar yang jelas di dunia internasional. Namun demikian,
standar baku yang mengatur komoditas getah jelutung di
Provinsi Kalimantan Tengah belum ada pada saat ini (nilai
1). Standar mutu getah jelutung yang digunakan hanya
terkait dengan kandungan air dan ditentukan oleh
perusahaan. Semakin banyak kandungan air dalam getah
maka harganya akan semakin murah. Getah siap ekspor oleh
PT SAS mempunyai kandungan air sebesar 14%.
137
Sarana/fasilitas pengembangan komoditas bersangkutan
menunjukkan ketersediaan fasilitas untuk pengembangan
komoditas tersebut, seperti pusat pelatihan, trade centre,
clearing house, sarana laboratorium atau networking (contoh
rotan ASEAN). Saat ini, sarana pengembangan komoditas
getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah masih bertaraf
lokal (nilai 1).
4. Kriteria Sosial
Dipilihnya aspek sosial sebagai salah satu kriteria dalam
penentuan tingkat keunggulan komoditas HHBK merupakan
keberpihakan kepada masyarakat lokal dalam pengusahaan
HHBK. Indikator yang dipilih berupa keterlibatan dan
kepemilikan masyarakat dalam usaha HHBK.
Pelibatan masyarakat menunjukkan tingkat keterlibatan
masyarakat yang diukur dalam persentase jumlah petani
yang terlibat dalam mengusahakan (meramu, menanam,
memperdagangkan) komoditas getah jelutung untuk sumber
penghasilannya. Nilai 3 jika keterlibatan masyarakat tinggi
yaitu persentase yang terlibat >20%. Hal ini berarti
komoditas getah jelutung menjadi sumber penghasilan bagi
masyarakat. Pengusahaan getah jelutung di Provinsi
Kalimantan Tengah melibatkan sebagian masyarakat lokal
(5%< persentase yang terlibat <20%). Hal ini terutama di
Kelurahan Kereng Bangkirai yang lokasinya tidak jauh dari
PT SAS dan TN Sebangau. Desa Kereng Bangkirai
mempunyai empat orang penggumpul dengan rata-rata
pengumpul mempunyai 20 orang penyadap. Jumlah tersebut
akan bertambah jika harga getah jelutung tinggi. Tabel 18
mencantumkan beberapa nama warga desa yang
memperoleh izin lokasi areal penyadapan getah jelutung
(pamantungan) di Kota Palangkaraya (Kalimantan Tengah).
138
Tabel 18. Penerima izin lokasi penyadapan getah jelutung di Kota Palangkaraya
No. Nama, alamat Letak areal hutan, luas Jumlah
per tahun
1. Rusli, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 500 ha
20 ton
2. Saptono, Kereng Bangkirai
Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 600 ha
20 ton
3. Untung, Kereng Bangkirai
Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 500 ha
20 ton
4. Yamani, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 400 ha
20 ton
5. Dedie, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 900 ha
20 ton
6. Darmawan, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 750 ha
20 ton
7. Noraiko, Kereng Bangkirai
Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 1.050 ha
20 ton
8. Kurdi, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 600 ha
20 ton
9. Agau Matsaleh, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 400 ha
20 ton
Kepemilikan usaha menunjukkan tingkat keikutsertaan atau
kolaborasi masyarakat dengan pengusaha dalam
mengusahakan komoditas tersebut. Kategori bernilai 3 jika
komoditas jelutung telah diusahakan oleh masyarakat dan
swasta dalam pola usaha kemitraan sehingga bermanfaat
bagi masyarakat. Pengusahaan getah jelutung di Provinsi
Kalimantan Tengah telah melibatkan kemitraan antara
pengusaha dengan penggumpul dan petani penyadap.
Kemitraan yang dilakukan berupa pinjaman modal dari
139
pengusaha (PT SAS) kepada pengumpul yang selanjutnya
diberikan kepada para penyadap sebagai modal awal untuk
menyadap pohon jelutung di hutan. Modal yang diberikan
kepada satu pengumpul mencapai Rp50 juta. Berdasarkan
hal ini, indikator kepemilikan usaha termasuk dalam kategori
masyarakat lokal bermitra dengan pengusaha (nilai 3).
5. Kriteria Teknologi
Aspek teknologi dipilih sebagai kriteria penentuan unggulan
komoditas HHBK karena memiliki peran dalam
pengembangan HHBK tersebut, baik dalam menjamin
pasokan HHBK sebagai bahan baku maupun dalam
peningkatan nilai tambah HHBK tersebut. Indikator kriteria
teknologi ada dua, yaitu:
(1) Teknologi budi daya; kategori teknologi dikuasai (nilai
3) jika komoditas jelutung siap untuk dibudidayakan
secara luas dalam skala ekonomis untuk memenuhi
permintaan pasar; teknologi budi daya jelutung mulai
dari perbenihan, persemaian dan penanaman di
lapangan telah dikuasai (nilai 3); hal ini seperti hasil-
hasil penelitian silvikultur jelutung yang telah dilakukan
BPK Banjarbaru;
(2) Teknologi pengolahan hasil; hal ini menunjukkan tingkat
penguasaan teknologi pengolahan untuk meningkatkan
nilai tambah (dalam hal ini apakah getah jelutung hanya
untuk bahan baku permen karet atau dapat bermanfaat
pula untuk kegunaan lain yang lebih ekonomis);
kategori teknologi pengolahan telah dikuasai (nilai 3)
jika nilai tambah dapat diperoleh melalui proses
pengolahan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi
dari komoditas jelutung; saat ini, teknologi pengolahan
hasil getah jelutung belum banyak dikuasai (nilai 1).
140
Berdasarkan uraian sebelumnya, Total Nilai Unggulan
(TNU) dari jelutung dapat diperoleh (Tabel 19). Penilaian
tersebut menunjukkan bahwa getah jelutung termasuk dalam
kategori Nilai Unggulan (NU) 2 yaitu sebagai komoditas HHBK
yang memiliki nilai TNU antara 54–77. Berdasarkan ketentuan
penetapan jenis HHBK Unggulan menurut Permenhut Nomor
P.21/Menhut-II/2009, getah jelutung dikategorikan sebagai HHBK
unggulan provinsi, yaitu termasuk dalam kriteria jenis HHBK yang
termasuk NU 2 yang tersebar minimal di dua kabupaten.
Tabel 19. Matrik kriteria dan indikator penilaian getah jelutung sebagai komoditas HHBK Unggulan menurut Permenhut No. P.21/ Menhut-II/2009
Kriteria Indikator Standar Nilai
Ekonomi (Bobot 35%)
1. Nilai perdagangan ekspor
Tinggi (nilai ekspor per tahun ≥US$1 juta)
3
2. Nilai perdagangan lokal
Tinggi (nilai perdagangan per tahun >Rp1 milyar)
3
3. Lingkup pemasaran
Internasional, nasional dan lokal
3
4. Potensi pasar internasional
Tinggi (diminta oleh >3 negara)
3
5. Mata rantai pemasaran
Sedang (melibatkan masyarakat pengumpul, pengusaha UMKMK, dan pemerintah).
2
6. Cakupan pengusahaan
Meliputi industri hulu dan tengah.
2
7. Investasi usaha Sedikit (<5 badan usaha yang sudah berinvestasi dan belum ada pengusaha besar).
2
141
Biofisik dan lingkungan (Bobot 15%)
1. Potensi tanaman
Rendah (persentase jumlah pohon per hektar <40% dari kondisi normal).
1
2. Penyebaran
Kurang merata (terdapat di <1/3 wilayah bersangkutan)
1
3. Status konservasi Tidak terdaftar dalam Appendix CITES
3
4. Budi daya Produksi HHBK <40% hasil budi daya
1
5. Aksesibilitas ke sumber HHBK
Dapat dijangkau moda transportasi darat dan atau air tetapi tidak sepanjang tahun
2
Kelembagaan (Bobot 20%)
1. Jumlah Kelompok usaha produsen/ koperasi
Banyak (terdapat >5 kelompok usaha produsen/koperasi komoditas bersangkutan)
3
2. Asosiasi Kelompok Usaha
Rendah (hanya terdapat Kelompok Tani).
1
3. Aturan tentang komoditas bersangkutan
Terdapat peraturan dari pejabat setingkat Eselon I, Gubernur atau Bupati.
2
4. Peran Institusi
Tinggi (ada dukungan dari berbagai institusi seperti Pemda, UPT, dan LSM)
3
5. Standar komoditas bersangkutan
Belum ada standar baku
1
6. Sarana/fasilitas pengembangan komoditas bersangkutan
Sarana pengembangan bertaraf lokal
1
142
Sosial (Bobot 15%)
1. Pelibatan masyarakat
Melibatkan sebagian masyarakat lokal (5%< persentase yang terlibat < 20%)
2
2. Kepemilikan Usaha
Masyarakat lokal bermitra dengan pengusaha
3
Teknologi (Bobot 15%)
1. Teknologi budi daya
Teknologi telah sepenuhnya dikuasai.
3
2. Teknologi pengolahan hasil
Teknologi pengolahan hasil belum dikuasai.
1
Total Nilai 46
6.2 Strategi dan Solusi Permasalahan Pengembangan
Agroforestry Jelutung Rawa
Strategi pengembangan komoditas getah jelutung sebagai
jenis HHBK Unggulan menurut Permenhut Nomor P.21/Menhut-
II/2009 perlu dilakukan pada masa mendatang dengan
mempertimbangkan indikator pada setiap kriteria yang bernilai
rendah (nilai 1 dan nilai 2). Identifikasi masalah pengembangan
komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan
solusinya terkait aspek kawasan dan pemasaran terdapat pada
Tabel 20; sedangkan yang terkait aspek budi daya, pengolahan,
dan kualitas terdapat pada Tabel 21.
143
Tabel 20. Identifikasi masalah pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya terhadap aspek kawasan dan pemasaran
Masalah Kondisi Existing Prioritas Solusi Penanggung Jawab
Aspek Kawasan
Alih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lain
Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai penghasil terbesar getah jelutung dihadapkan pada konversi lahan menjadi perkebunan sawit.
Proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kabupaten Katingan, Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya menyebabkan kerusakan habitat jelutung alam.
Penunjukkan kawasan konservasi jelutung
Dinas Kehutanan, Bappeda, BPN
Kebijakan pemanfaatan di kawasan lindung
Sampai dengan tahun 2009, pemanfaatan getah jelutung dalam kawasan SM Sungai Lamandau masih diberikan izin, namun mulai tahun 2010 akan terus dikurangi sehingga perlu dicarikan alternatif bagi masyarakat peramu getah jelutung di wilayah tersebut.
Colaborative Management
Dinas Kehutanan, BKSDA
144
Perambahan, kebakaran hutan dan tebangan liar
Faktor yang terus mengancam keberadaan hutan rawa gambut yang menjadi habitat tumbuhan jelutung.
Pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut; penegakan hukum
Dinas Kehutanan, Manggala Agni, Masyarakat Peduli Api
Perizinan pemanfaatan getah jelutung
Belum semua daerah penghasil getah jelutung mengatur hal ini karena hasil getah yang masih dianggap kecil/sedikit.
Perlu Perda yang secara khusus mengatur tentang perizinan pemanfaat getah jelutung
Dinas Kehutanan
Aspek Pemasaran
Perluasan tujuan eksport
Tujuan ekspor masih terbatas ke negara Jepang. Perluasan manfaat getah dan jaminan kelestarian diharapkan dapat memperluas pemasaran.
Alternatif pasar selain Jepang, seperti negara-negara Eropa, Amerika dan Cina
Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan dan Industri
Adanya bahan alternatif
Minyak jagung dapat menjadi subtitusi getah jelutung dengan produk berupa bubble gum.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas serta kelangsungan pasokan bahan baku
Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian
Pemanfaatan yang masih terbatas
Pemanfaatan getah jelutung saat ini dominan hanya sebagai bahan baku permen karet.
Penelitian alternatif pemanfaatan getah jelutung selain sebagai bahan baku permen karet
Badan Litbang Kehutanan, Dinas Perindustrian, Dinas Kehutanan, Perguruan Tinggi
145
Arus informasi budi daya dan pemasaran
Perlu fasilitasi penyediaan dan penyaluran informasi mengenai budi daya dan pengolahan getah jelutung.
Pusat Informasi Pengembangan komoditas getah jelutung
Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian
Bantuan permodalan
Bantuan permodalan yang ada baru pada level pengumpul yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia di Kota Palangkaraya.
Lembaga Keuangan Mikro
Dinas Koperasi, PNPM Mandiri, Perbankan
Tabel 21. Identifikasi masalah pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya terhadap aspek budi daya, pengolahan dan kualitas
Masalah Kondisi Existing Prioritas Solusi Penanggung Jawab
Aspek Budi daya
Umur sadap yang panjang
Diperlukan pemuliaan jenis yang dapat menghasilkan tanaman berkualitas, yaitu menghasilkan getah yang banyak dengan umur sadap yang relatif lebih cepat.
Penelitian Pemuliaan jenis jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan
Aspek Pengolahan dan Kualitas
Selang penyadapan
7–15 hari
Salah satu karakteristik jenis jelutung dalam menghasilkan getah
Penelitian teknik penyadapan getah jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan
146
Pembinaan dan penetapan kualitas
Belum tersosialisasikan dengan baik mengenai penanganan pasca panen dan kualitas getah yang baik.
Standar Mutu getah jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Pustanling, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan
6.2.1 Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor
Partisipasi Petani
Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan
pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan
Tengah terkait faktor partisipasi petani mencakup dua hal: (1)
membangun kelompok tani pengembang komoditas getah
jelutung berkategori kelompok produktif, dan (2) membangun
kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan
Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen
kemitraan.
Kelembagaan petani pembudidaya jelutung yang kuat
memerlukan adanya strategi pemantapan kebersamaan individu
petani dalam berkelompok. Terkait dengan hal tersebut maka
penting untuk memahami karakteristik kelompok. Berdasarkan
karakteristiknya (proses pembentukan dan aktivitas kelompok),
maka kelompok petani dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kategori, yaitu:
1. Kelompok Merpati. Kelompok jenis ini baru mulai terbentuk
dan menunjukkan kegiatannya jika ada bantuan dari luar,
biasanya berupa uang, atau barang yang manfaatnya bisa
dirasakan langsung. Kelompok semacam ini hidup dan
berkembang selagi masih ada bantuan. Tetapi begitu
147
bantuan dan dukungan dari luar tidak ada lagi, maka
kelompok menjadi bubar.
2. Kelompok Pedati. Kelompok ini bagaikan pedati, baru akan
bergerak bila ditarik atau didorong oleh pihak luar. Seringkali
dorongan itu bersifat paksaan.
3. Kelompok Lestari. Kelompok ini bisa tumbuh atas inisiatif,
keinginan dan kesadaran para anggota tanpa menunggu
bantuan, dukungan dan dorongan dari pihak lain. Kehadiran
pihak luar hanya sebagai penunjang atau perangsang.
Kelompok ini sudah mampu mengelola program kelompok
sendiri (CKPP, 2007).
Berdasarkan karakteristik kelompok tersebut, pada
kegiatan pengembangan komoditas getah jelutung harus
diupayakan untuk membangun kelompok berkategori “Kelompok
Lestari”. Upaya mewujudkan hal tersebut memerlukan beberapa
komponen pengembangan, yaitu (1) pengembangan struktur
organisasi sederhana, yang terdiri atas: ketua, sekretaris,
bendahara dan rapat anggota; (2) pengembangan permodalan
dari kas kelompok, misalnya: iuran kelompok, sisa uang kegiatan,
denda anggota yang disepakati dan setoran wajib tertentu yang
disepakati; (3) pengembangan usaha produktif, terdiri atas usaha
ekonomi kelompok, seperti: simpan pinjam, arisan dan kebun
kelompok; (4) pengembangan kebutuhan anggota dan kelompok,
misalnya: pengadaan sembako, bibit, pupuk, alat pertanian dan
alat pemadam kebakaran (CKPP, 2007).
Pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry untuk
memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan
Tengah memerlukan kelembagaan. Idealnya kelembagaan yang
dibangun merupakan bagian integral dari matapencaharian
148
(livelihood) petani. Metode yang dapat diterapkan untuk
membangun kelembagaan pengembangan jelutung dengan
sistem agroforestry adalah Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE)
berdasarkan manajemen kemitraan. Pemberdayaan petani terkait
dengan pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry
melalui SKE berdasarkan manajemen kemitraan bertitik tolak dari
pemikiran bahwa setiap individu petani mempunyai potensi yang
dapat dikembangkan atau diberdayakan (bukan dimulai dengan
melihat tumpukan masalah yang ada padanya). Konsep ini
seperti dijelaskan pada Gambar 42, sedangkan Gambar 43
menjelaskan proses penumbuhan kelembagaan petani dengan
mekanisme proses dari bawah dalam rangka mewujudkan SKE
berdasarkan manajemen kemitraan.
Gambar 42. Proses penumbuhan kerjasama (Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)
149
Gambar 43. Proses penumbuhan kelembagaan pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry (Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)
Hal lain yang juga penting dalam mendukung suksesnya
pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry adalah
adanya kemitraan. Kemitraan yang kuat akan membangun
kebersamaan yang kuat pula. Kemitraan yang dilakukan
mencakup aspek SDM, kelembagaan, budi daya dan keuangan
(berdasarkan akumulasi asset), modal, keterampilan, gagasan,
kebutuhan, dan komitmen petani. Kemitraan dilakukan dengan
strategi kapasitas individu petani dikembangkan dalam kesatuan
ekonomi (kelompok produktif) dan kelompok produktif
menciptakan wadah kebersamaan ekonomi (misalnya Forum
Koordinasi Manajemen Kebun/FKMK), serta seluruh kelompok
produktif bekerjasama dalam wadah Koperasi Primer. Hasil
akhirnya diharapkan terwujud petani yang profesional,
150
kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi, produktivitas
kebun tinggi, sistem keuangan kelompok transparan dan
hubungan kerjasama yang harmonis. Gambar 44 menjelaskan
proses pembangunan kemitraan dalam SKE.
Gambar 44. Proses penumbuhan sistem kebersamaan ekonomi (Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)
151
Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan
manajemen kemitraan merupakan suatu sistem yang
mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh laba
(profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan.
Pendekatan tersebut diperlukan untuk memperkuat rasa
kebersamaan masing-masing pihak. Kebersamaan yang paling
kuat apabila kebersamaan tersebut dapat mengakomodir
kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada
keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing pihak,
maka kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan
yang produktif dan tidak bertahan lama. Pengembangan jelutung
dengan sistem agroforestry yang dilakukan dengan SKE
berdasarkan manajemen kemitraan diharapkan mampu
meningkatkan ekonomi masyarakat dan sekaligus memulihkan
lahan gambut yang terdegradasi.
6.2.2 Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor
Teknologi
Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan
pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan
Tengah terkait faktor teknologi adalah dengan teknologi
penyadapan. Berdasarkan pengalaman para penyadap getah
jelutung di hutan alam, permasalahan yang ditemui di lapangan
adalah kematian beberapa pohon yang disadap akibat serangan
hama penggerek batang. Luka sadapan pada batang jelutung
semakin mempermudah serangga hama untuk meletakkan
telurnya. Serangga hama yang umum menyerang jelutung adalah
Batocera rubus. Serangga ini mempunyai kebiasaan meletakkan
telurnya di celah-celah kulit pada batang yang kulitnya terbuka
saat penyadapan. Larva serangga penggerek akan aktif memakan
152
bagian meristem kayu, kemudian menembus ke dalam kayu teras
(Daryono, 2000).
Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah teknik
penyadapan yang dilakukan oleh para penyadap. Cara
penyadapan getah yang dilakukan oleh para penyadap biasanya
dengan cara menyayat kulit batang pohon dengan sayatan
berbentuk huruf V. Penyadapan yang tidak tepat seringkali
mempercepat kematian pohon. Bastoni & Lukman (2006)
menyatakan bahwa terjadi dampak negatif dari aktivitas
penyadapan jelutung di hutan alam yang disebabkan penerapan
cara sadap (termasuk penggunaan zat perangsang CEPA yang
berlebihan) yang dapat merusak pohon. Oleh sebab itu, teknik
atau cara penyadapan yang memerhatikan kelestarian sumber
dan hasil getah sangat diperlukan. Hasil ujicoba menunjukkan
bahwa penyadapan getah jelutung yang terbaik dilakukan pada
pohon dengan diameter >25 cm, periode sadap 2 hari, dan sudut
bidang sadap 450. Ujicoba ini memberikan hasil getah rata-rata
1,37 ton/ha/tahun. Penurunan riap diameter pohon jelutung
akibat penyadapan rata-rata sebesar 0,34 cm/tahun. Metode lain
yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah
dengan mengaplikasikan teknik “infus” seperti terlihat pada
Gambar 45. Teknik ini sudah pernah diaplikasikan pada beberapa
perkebunan karet. Teknik ini mampu mengurangi lebar luka
goresan pada kulit batang pohon sehingga peluang serangga
hama untuk meletakkan telurnya dapat dikurangi. Penerapan
teknologi ini memerlukan kajian lebih lanjut terkait dengan
kesiapan para penyadap menerima teknologi tersebut dan analisis
kelayakan ekonominya. Pelatihan teknik-teknik penyadapan yang
benar bagi para penyadap perlu dilakukan.
153
Gambar 45. Teknik penyadapan: tradisional (1), teknik infus dengan stimulan gas etilen (2), dan pemberian stimulan berbahan cuka kayu (3 & 4)
6.2.3 Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor
Kebijakan
Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan
pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan
Tengah terkait faktor kebijakan dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi kunci intervensi pengembangannya; mulai dari
kunci pemasaran, kebijakan, kapasitas usaha, sampai dengan
kepemimpinan dan akses finansial. Pengembangan getah
jelutung memerlukan dua hal penting sebagai kunci intervensi
(Departemen Kehutanan [Dephut], 2009a). Pertama, informasi
dan peningkatan kapasitas melalui pengelolaan informasi dan
pembelajaran yang terus-menerus. Kedua, kepemimpinan
sebagai ketokohan untuk melakukan berbagai terobosan dalam
memanfaatkan peluang pasar, memaksimumkan potensi, dan
menemukan strategi yang tepat untuk menanggapi berbagai
situasi yang menghambat. Kepemimpinan ini diperlukan dengan
berbagai kualitas di tingkat kebijakan (kepemerintahan),
1 2 3 4
154
pemerintah daerah, lembaga bisnis di tingkat unit usaha, dan
pada aktor pendamping masyarakat (LSM). Intervensi yang
dilakukan harus mempertimbangkan kondisi existing pengusaha-
an getah jelutung dan karakteristiknya. Terdapatnya keterbatasan
perilaku industri hilir yang masih dikuasai negara pengimpor,
pengaruh peran pengepul (agen) di negara produsen,
standardisasi dan pengembangan belum mantap; mengakibatkan
usaha getah jelutung hanya dapat dilakukan pada produk bahan
mentah dan industri primer saja.
Intervensi kebijakan yang akan dilakukan perlu
memerhatikan lokasi di mana komoditas getah jelutung
dibudidayakan. Berdasarkan lokasi tempat tumbuh pohon
jelutung, komoditas getah jelutung dapat berasal dari kawasan
hutan dan luar kawasan hutan (lahan milik) atau hutan rakyat.
Getah jelutung yang berasal dari pohon yang tumbuh di kawasan
hutan negara dibedakan menjadi dua: (1) getah jelutung yang
berasal dari hutan lindung dan kegiatannya dikenal dengan nama
pemungutan, dan (2) getah jelutung yang berasal dari hutan
produksi, baik hutan alam maupun hutan tanaman, yang dikenal
dengan istilah pemanfaatan. Langkah-langkah yang perlu
dilakukan sehubungan dengan pengelolaan pemanfaatan getah
jelutung dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Inventarisasi dan pemetaan potensi getah jelutung di dalam
dan luar kawasan hutan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui sebaran potensi getah jelutung pada setiap
kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah.
2. Penyusunan/perumusan kebijakan yang mendukung
pengelolaan komoditas getah jelutung sebagai HHBK
Unggulan Provinsi Kalimantan Tengah. Kebijakan ini
diharapkan dapat menjadi dasar bagi pelaku usaha dan
masyarakat yang akan melaksanakan pengembangan
155
komoditas getah jelutung. Langkah ini bersifat lintas sektor,
antara lain (1) alokasi lahan produksi (alam dan tanaman)
untuk pengembangan getah jelutung, (2) insentif bagi
pelaku usaha, dan (3) insentif bagi masyarakat yang akan
mengembangkan komoditas getah jelutung.
Faktor pendukung yang diperlukan bagi pengembangan
komoditas getah jelutung dapat dijelaskan sebagai berikut
(Dephut, 2009b).
1. Pemantapan Kawasan; yang mencakup aspek:
(1) peningkatan kelengkapan, keakuratan dan keterkinian
hasil inventarisasi potensi getah jelutung di dalam
setiap kegiatan inventarisasi hutan;
(2) percepatan proses pengukuhan, penyelesaian konflik
kawasan, proses penyesuaian tata ruang, rekonstruksi
(tinjau ulang), dan realisasi tata batas;
(3) percepatan proses pembentukan unit-unit KPH pada
seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan
produksi) dengan mengarusutamakan kelas pengusaha-
an HHBK;
(4) implementasi dari perencanaan pengembangan HHBK
sebagai bagian dari sistem perencanaan kehutanan
menuju terwujudnya rencana kehutanan yang hierarkis
dan terintegrasi; mulai dari tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota, dan unit pengelolaan; yang meliputi
jangka waktu panjang dan pendek pada seluruh
kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi).
156
2. Mitigasi Perubahan Iklim; yang mencakup aspek:
(1) terselenggara secara optimum peran kawasan hutan
dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan
diterimanya imbalan yang seimbang dari peran
tersebut; pengembangan komoditas getah jelutung
ditempatkan sebagai salah satu elemen pendukung
percepatan pembentukan KPH untuk diposisikan
sebagai register area dalam mekanisme perdagangan
karbon;
(2) identifikasi lokasi yang potensial untuk skema pasar
karbon dan membangun model implementasi skema
perdagangan karbon dengan menitikberatkan pemanen-
an getah sebagai HHBK, serta lebih banyak menunda
pemanenan kayu untuk memperbesar cadangan
karbon;
(3) penyelenggaraan penelitian kemampuan/kapasitas
penyerapan dan penyimpanan karbon (CO2) oleh
tegakan hutan dan pengembangan sistem perhitungan-
nya, ketika tegakan lebih diarahkan untuk produksi
getah (HHBK).
3. Pemanfaatan Hutan; yang mencakup aspek:
(1) penyempurnaan pedoman dan percepatan tata hutan
(konservasi, lindung, dan produksi) sebagai dasar
arahan bentuk pemanfaatan hutan dalam sistem KPH,
yang meliputi kayu dan bukan kayu, serta penyusunan
rencana pengelolaan hutan pada setiap unit KPH;
(2) peningkatan kegiatan inventarisasi sumber daya hutan
sehingga dapat diperoleh data/informasi potensi hutan
sebagai dasar pemanfaatan kayu dan HHBK yang
lestari;
157
(3) intensifikasi pemanfaatan lahan hutan, peningkatan
produktivitas melalui perbaikan teknik silvikultur yang
disesuaikan dengan tipologi hutan setempat, joint
production (dalam satu tapak hutan dapat dimanfaatkan
dengan berbagai tujuan, misalnya hasil hutan kayu,
HHBK, dan sekaligus jasa lingkungan hutan);
(4) pemanfaatan hutan yang memproduksi HHBK
diselenggarakan oleh usaha skala kecil untuk
menciptakan dunia usaha kehutanan yang tahan
(lentur) menghadapi perubahan lingkungan strategis
dan dinamis;
(5) peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam
pemanfaatan hutan, antara lain melalui peningkatan
kapasitas dan akses masyarakat terhadap sumber daya
hutan (termasuk di dalamnya HHBK) dengan
memanfaatkan secara maksimal instrumen pember-
dayaan (pola kemitraan, Hutan Desa, dan Hutan
Kemasyarakatan/HKm), serta pelibatan dalam usaha
kehutanan skala kecil (misalnya melalui Hutan Tanaman
Rakyat/HTR).
4. Rehabilitasi; yang mencakup aspek:
(1) peningkatan pengembangan jenis jelutung sebagai
bahan pertimbangan dalam percepatan pembangunan
hutan tanaman (HTI dan HTR), pembangunan hutan
rakyat, GERHAN, dan gerakan menanam lainnya
sehingga dapat terjamin adanya laju rehabilitasi yang
lebih besar daripada laju degradasi;
(2) percepatan rehabilitasi pada DAS prioritas dengan
memaksimumkan kelas pengusahaan HHBK untuk
meningkatkan daya dukung ruang hidup;
158
(3) kegiatan rehabilitasi dipersiapkan kemungkinannya
untuk memasuki skema voluntary carbon market,
pemanfaatan air, dan wisata alam yang dapat
memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
5. Perlindungan dan Pengamanan Hutan; yang mencakup
aspek:
(1) penguatan peraturan perundangan dan kelembagaan
untuk meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan
pemberantasan gangguan terhadap hutan dan kawasan
hutan melalui berbagai insentif yang melekat pada
pengembangan komoditas getah jelutung (HHBK);
(2) Penyadaran dan penguatan kelembagaan masyarakat
untuk ikut berperan dalam kegiatan perlindungan dan
pengamanan hutan melalui berbagai insentif peman-
faatan komoditas getah jelutung (HHBK);
(3) Penegakan hukum (law enforcement) yang adil dan
transparan.
6. Konservasi Alam; yang mencakup aspek:
(1) pemanfaatan getah jelutung tidak dapat dilepaskan dari
upaya peningkatan konservasi keanekaragaman hayati
melalui konservasi ekosistem insitu dan konservasi
exsitu;
(2) penguatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem,
jenis dan genetik melalui kolaborasi pengelolaan,
profesionalisme sumber daya manusia, penerapan good
forest governance, serta pengembangan sistem insentif
konservasi yang kondusif;
(3) Perluasan pelaku dan jumlah jenis pemanfaatan HHBK
di kawasan konservasi.
159
7. Penelitian dan Pengembangan (Litbang); yang mencakup
aspek:
(1) pemanfaatan hasil litbang dan teknologi dalam
pemanfaatan getah jelutung (HHBK) untuk meningkat-
kan efisiensi dan nilai tambah pemanfaatan hutan;
(2) penguatan kegiatan penelitian yang lebih integratif
dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan
berorientasi kepada kebutuhan pengguna (user-
oriented) sehingga menghasilkan produk olahan getah
jelutung dan teknologi pengembangannya yang inovatif,
bernilai tambah tinggi, berorientasi pasar, ramah
lingkungan, dan berdaya saing tinggi.
8. Kelembagaan; yang mencakup aspek:
(1) kelembagaan pengurusan HHBK dibangun kembali
dengan sumber daya manusia (SDM) yang berorientasi
pada kompetensi program dan kerja dengan dukungan
organisasi dan tata hubungan kerja, sumber dana, dan
SDM yang berkualitas dalam jumlah dan penyebaran
yang memadai;
(2) penguatan SDM melalui pengembangan Sistem Pendi-
dikan dan Pelatihan Kehutanan berbasis kompetensi
usaha HHBK; pengembangan standardisasi kompetensi,
peningkatan jumlah dan distribusi SDM profesional
kehutanan; serta pembinaan SDM kehutanan untuk
pengembangan HHBK;
(3) peningkatan penyuluhan kehutanan yang dilakukan
secara terintegrasi (pusat dan daerah), didukung
dengan bimbingan teknis dan pendampingan masya-
rakat dalam kegiatan pengelolaan hutan, bisnis dan
pemasaran HHBK; penyesuaian program penguatan
160
kelembagaan penyuluhan kehutanan dilakukan guna
melayani kebutuhan pengembangan HHBK, termasuk
perluasan sasaran penyuluhan kehutanan;
(4) pengawasan yang menjamin terselenggaranya
pengurusan hutan sesuai dengan mandat undang-
undang, sebagai umpan balik yang menjadi bahan
penyempurnaan kebijakan pengurusan hutan dari waktu
ke waktu; termasuk pula, optimalisasi peran pengawas-
an kinerja pembangunan kehutanan oleh unsur
masyarakat;
(5) pengembangan kebijakan/regulasi tentang HHBK yang
dapat memfasilitasi terselenggaranya kebijakan dan
lebih bersifat insentif daripada disinsentif, serta
penerapan pemerintahan yang baik (good governance).
9. Pengembangan Insentif; yang mencakup:
(1) pembangunan pilot project pengembangan komoditas
getah jelutung dengan pola BOT (Built, Operate,
Transfer); dalam hal ini, pemerintah membangun unit
pengembangan komoditas getah jelutung secara
langsung, mulai dari produksi bahan baku hingga unit-
unit industri pengolahannya; kegiatan dilakukan pula
dengan menyiapkan SDM dan sarana prasarana,
kemudian secara bertahap diserahkan ke Kelompok
Tani untuk dikelola lebih lanjut;
(2) penyiapan sarana prasarana produksi untuk diberikan
kepada kelompok-kelompok yang akan membentuk unit
pengembang komoditas getah jelutung; sarana produksi
dapat berupa bibit jelutung unggul (hasil pemuliaan),
mesin pemroses, pupuk, dan lain-lain;
161
(3) penguatan kelembagaan, antara lain melalui penyiapan
pedoman, pelatihan teknis dan manajerial, studi
banding, pertemuan, seminar, diskusi, dan pemasaran;
(4) penyelenggaraan promosi program-program yang
berkaitan dengan pengembangan komoditas getah
jelutung, antara lain melalui aktivitas penyuluhan,
penyebarluasan informasi, dan penguatan jejaring
kerja.
10. Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Pengembangan jelutung memerlukan adanya permodalan
yang dapat dibiayai oleh perbankan. Namun, hal ini
terkendala oleh sifat pengusahaan getah jelutung yang
belum bankable (belum memenuhi persyaratan bank)
sehingga tidak dapat mengakses kredit/pembiayaan dari
bank. Kendala tersebut dapat dicarikan solusinya melalui
KUR yang merupakan implementasi dari Inpres Nomor 6
Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan
Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKMK.
Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan kredit atau
pembiayaan yang diberikan oleh bank pemberi kredit/
pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan
Koperasi (UMKMK); baik individu maupun kelompok
koperasi; yang mempunyai usaha produktif yang layak
namun belum bankable. Agunan yang diperlukan harus
lebih ringan dibandingkan kredit komersial karena jika
UMKMK gagal mengembalikan pinjaman, maka 70% dari sisa
kredit/pembiayaan dapat dijamin oleh perusahaan penjamin.
Imbal jasa penjaminan menjadi beban pemerintah (khusus
untuk sektor Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Kehutanan,
Industri Kecil, serta TKI; dijamin pemerintah sebesar 80%).
162
Penyaluran KUR, khususnya KUR Mikro, dilaksanakan oleh
bank yang memiliki banyak cabang hingga ke tingkat
kecamatan/desa dan lembaga linkage sehingga mudah
dijangkau oleh UMKMK. Mekanisme penyaluran KUR melalui
tiga cara: (1) langsung dari bank pelaksana ke UMKMK, (2)
dari bank pelaksana tidak langsung ke UMKMK tetapi melalui
lembaga linkage dengan pola executing, dan (3) dari bank
pelaksana tidak langsung ke UMKMK tetapi melalui lembaga
linkage dengan pola channeling.
Hasil analisis kondisi existing komoditas getah jelutung
menurut Permenhut Nomor P.21/Menhut-II/2009 dan uraian di
atas menjelaskan bahwa pengembangan jelutung dengan sistem
agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara
sosial layak dilakukan.
163
NILAI EKONOMI AGROFORESTRY
JELUTUNG RAWA
7.1 Margin Pemasaran Jelutung
Indonesia merupakan negara penghasil utama getah
jelutung. Hampir seluruh produksi getah jelutung Indonesia
diekspor dalam bentuk bongkah ke Jepang, Singapura dan
Hongkong. Beberapa daerah penghasil dan pengekspor getah
jelutung adalah Pangkalan Bun, Palangkaraya, dan Sampit
(Provinsi Kalimantan Tengah). Selama empat tahun (2003–2006),
daerah terbesar penghasil getah jelutung di Kalimantan Tengah
adalah Kabupaten Pangkalan Bun (Gambar 46).
Gambar 46. Produksi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah (Sumber: Karyono, 2008)
Bab VII
164
Berdasarkan data PT Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah
mampu mengekspor getah jelutung ke Jepang rata-rata 162,29
ton per tahun dan nilai harga per ton sekitar US$4,500.00–
4,966.70 (Karyono, 2008). Ekspor getah jelutung dari Provinsi
Kalimantan Tengah terdapat pada Tabel 22, sedangkan
perkembangan ekspor getah jelutung dari Provinsi Kalimantan
Tengah tahun 1993–2001 terdapat pada Tabel 23.
Tabel 22. Ekspor getah jelutung Provinsi Kalimantan Tengah ke Jepang
Tahun Volume (ton)
Nilai (US$) Nilai rata-rata per ton (US$)
Harga rata-rata per kg (US$)*
2000 96 476,800.00 4,966.70 0.50
2001 128 587,840.00 4,592.50 0.50
2002 176 792,000.00 4,500.00 0.45
2003 192 902,400.00 4,700.00 4.70
2004 192 902,400.00 4,700.00 4.70
2005 176 827,200.00 4,700.00 4.70
2006 176 827,200.00 4,700.00 4.70
Jumlah 1.136 5,315,840.00 32,859.20 20.25
Rata-rata 162,29 759,405.71 4,694.17 2.89
Sumber: Karyono (2008)
Keterangan: * Harga di tingkat pembeli
Produksi getah jelutung diperkirakan 0,1–0,6 kg per batang
setiap kali sadap dan selama satu tahun rata-rata penyadapan
dilakukan 40 kali. Apabila diasumsikan harga getah Rp4.500,00
per kg dan jumlah pohon per ha dengan jarak tanam 5 x 4 m
adalah 500 batang, nilai ekonomi getah jelutung setiap tahun
165
berkisar antara Rp9.000.000,00–54.000.000,00. Sementara itu,
riap diameter pohon jelutung adalah 1,58 cm per tahun dan pada
umur 25 tahun sudah dapat dipanen untuk keperluan bahan baku
pensil slate dengan diameter mencapai 35 cm. Apabila rata-rata
pohon bebas cabang mencapai 15 cm maka volume tiap pohon
rata-rata 2,94 m3. Apabila kerapatan 500 pohon/ha maka volume
rata-rata per ha 1.470 m3. Dengan asumsi harga kayu jelutung
di tingkat masyarakat Rp200.000,00 per m3 maka diperoleh nilai
ekonomi kayu Rp294.000.000,00.
Tabel 23. Perkembangan ekspor getah jelutung dari Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1993–2001
Tahun Produksi (ton) Nilai ekspor
(US$)
Nilai ekspor per
kg (US$)
1993 495.034 1,651,864.5 3.337
1994 193.512 634,214.0 3.277
1995 178.348 678,228.0 3.803
1996 531.290 2,179,460.5 4.102
1997 560.000 4,492,000.0 8.021
1998 531.950 4,094,809.0 7.698
1999 578.721 4,817,360.0 8.324
2000 625.492 5,539,912.0 8.857
2001 96.000 432,000.0 4.500
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalimantan Tengah (2002) dalam Monika (2002)
166
Tabel 24. Produksi kayu bulat jelutung di Indonesia 2001–2005
Tahun Jumlah Produksi (m3)
2001 58.546,53
2002 100.250,81
2003 122.441,10
2004 26.431,52
2005 50.960,21
Jumlah 358.600,17
Rata-rata 71.720,03
Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia (2005) dalam Karyono (2008)
Tabel 25. Potensi awal dan penyebaran jenis kayu jelutung di Indonesia tahun 1987
Provinsi Luas Areal Berhutan
(1.000 ha)
Volume rata-rata per ha
(m3)
Potensi awal jelutung
(m3)
Aceh 396,5 2,49 988.000
Sumatra Utara 362,5 1,21 440.000
Sumatra Barat 449,0 1,87 842.000
Riau 2.380,8 2,42 5.759.000
Jambi 2.601,5 3,79 9.871.000
Sumatra Selatan 549,2 12,03 6.608.000
Bengkulu 224,5 1,93 434.000
Lampung 47,2 7,24 342.000
Kalimantan Barat 2.294,1 4,41 10.108.000
Kalimantan Tengah 6.179,2 1,30 8.039.000
Kalimantan Timur 5.368,0 1,47 7.909.000
Jumlah 20.852,5 40,16
Rata-rata 1.895,68 3,65
Sumber: Karyono (2008)
167
Pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah
dilakukan oleh dua perusahaan yakni PT Sampit yang
berkedudukan di Kota Sampit dengan Kantor Cabang di Kota
Palangkaraya dan PT Sumber Alam Sejahtera (SAS) yang
berkedudukan di Kota Palangkaraya. PT Sumber Alam Sejahtera
mampu mengumpulkan getah jelutung per bulannya rata-rata
±100.000 kg (100 ton) dari beberapa petani penyadap getah
jelutung alam, yang kemudian diekspor ke Singapura.
Kemampuan pasokan tersebut masih jauh dari permintaan
importir yang mencapai 500 ton per bulan sehingga peluang
pemasaran masih terbuka lebar. Hal ini tentu saja tidak akan
dapat dipenuhi jika produksi getah jelutung masih mengandalkan
pohon alam. Oleh karena itu upaya membangun hutan tanaman
jelutung perlu dilakukan. Pengembangan jelutung rawa di
Provinsi Kalimantan Tengah dimulai sejak tahun 2004 dalam
bentuk kegiatan DAK-DR dan GERHAN dengan luas 136 ha dan
jumlah bibit 55.000 batang.
Pemasaran getah jelutung oleh PT SAS seluruhnya (100%)
untuk keperluan ekspor ke Singapura. Perbedaan harga dalam
negeri dengan harga ekspor sangat mencolok. Pasaran dalam
negeri (harga beli oleh PT SAS) hanya mencapai Rp4.500,00–
6.000,00 per kg atau setara dengan nilai mata uang dolar
Singapura sekitar SIN$0.56–0.75, sedangkan harga ekspor
mencapai Rp16.810,50 atau setara SIN$2.10 per kg (kurs
SIN1.00 = Rp8.005,00). Bahkan menurut data Badan Penanaman
Modal Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (2005), harga getah
jelutung per kg di pasar internasional mencapai US$10.00 atau
setara dengan Rp100.000,00 (dengan kurs US$1.00 =
Rp10.000,00). Pada masa mendatang, tata niaga jelutung
diharapkan dapat lebih baik sehingga harga di tingkat petani
dapat meningkat.
168
Sebagai komoditas perdagangan, getah jelutung
dipasarkan melalui saluran pemasaran. Pada kasus di Kota
Palangkaraya dan sekitarnya, terdapat dua saluran pemasaran
getah jelutung: (1) dari penyadap langsung ke PT SAS, dan (2)
dari penyadap ke pengumpul tingkat desa, kemudian ke PT SAS.
Kedua saluran pemasaran terkait dengan karakter dari penyadap
dan kondisi lokasi tegakan jelutung yang disadap di area hutan
alam (tegakan alami). Para penyadap harus menggunakan sarana
transportasi sungai (kelotok dan jukung) untuk sampai di lokasi.
Jarak terdekat area penyadapan jelutung ditempuh dalam waktu
1,5 jam, sedangkan jarak terjauh area penyadapan jelutung
ditempuh dalam waktu 8 jam (6 jam dengan klotok, dilanjutkan 2
jam dengan jukung). Lokasi tegakan jelutung yang seperti ini
membuat penyadap tidak dapat pergi-pulang setiap hari,
melainkan mereka harus tinggal beberapa hari di hutan (10–13
hari).
Penyadapan getah jelutung sebagai suatu usaha ekonomi
memerlukan modal untuk setiap kali kegiatan penyadapan.
Modal untuk penyadapan getah dialokasikan untuk biaya
transportasi, kebutuhan makan, kebutuhan bahan (cuka,
pencampur getah), dan peralatan habis pakai (plastik untuk
menampung getah yang keluar dari pohon). Modal akan jauh
lebih besar dikeluarkan apabila penyadapan getah jelutung
dilakukan pada tegakan yang baru atau tegakan yang belum
dibuka. Modal tambahan yang harus disediakan adalah untuk
keperluan pembuatan pondok dari kayu, pengadaan jukung,
pengadaan peralatan pisau, gergaji, kapak, peralatan masak, dan
tikar.
Salah satu karakteristik penyadap yang membuat dirinya
menjual getah pada pengumpul atau menjual langsung pada
pengusaha di pabrik adalah kemampuan ekonominya. Penyadap
169
yang mempunyai modal yang cukup akan menyadap getah
jelutung di area yang dikuasainya dan hasil sadapannya dijual
langsung ke pengusaha. Sebaliknya, penyadap yang tidak
mempunyai modal akan meminjam dari pengumpul dan secara
berkelompok menyadap getah jelutung di area kerja milik
pengumpul atau milik dirinya sendiri, kemudian hasil sadapannya
harus dijual kepada pengumpul. Penyadap yang meminjam uang
dari pengumpul sebagai modal untuk menyadap getah jelutung
harus menjual hasil sadapannya kepada pengumpul pemberi
modal.
Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran getah
jelutung di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas petani
penyadap getah jelutung dari pohon di hutan (peramu getah
jelutung), pengepul tingkat desa, dan perusahaan (PT SAS dan
PT Sampit). Jalur distribusi pemasaran getah jelutung di Provinsi
Kalimantan Tengah seperti Gambar 47.
Gambar 47. Jalur distribusi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah
170
Gambar 47 menjelaskan bahwa jalur distribusi pemasaran
getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat dua
saluran utama. Pertama, peramu getah jelutung langsung
menjualnya ke perusahaan (PT SAS dan PT Sampit) tanpa melalui
pengepul tingkat desa. Peramu yang termasuk dalam pola ini
mendapat modal dari luar perusahaan untuk meramu getah
jelutung (kebutuhan pokok/sembako selama di hutan, bahan
bakar/BBM, dan lain-lain). Kedua, regu peramu yang modalnya
berasal dari PT SAS. Pada pola ini, PT SAS menunjuk dan
memberi modal kepada salah satu peramu getah jelutung di desa
sebagai pedagang perantara (pengepul tingkat desa). Pedagang
pengepul tersebut lalu menyalurkan modal kepada beberapa regu
(satu regu terdiri atas dua orang) untuk mengumpulkan getah
jelutung dari hutan, dengan syarat getah hasil sadapan harus
dijual kepadanya. Modal yang dipinjam dari PT SAS untuk setiap
regu kerja peramu getah jelutung sebesar Rp3.000.000,00.
Modal ini digunakan untuk membeli sembako, bahan bakar, dan
keperluan lainnya selama dua bulan di dalam hutan yang
jaraknya sekitar 20 km (diselingi 2–3 kali pergi-pulang sesuai
kondisi perbekalan).
Keuntungan setiap regu dari penjualan getah jelutung hasil
sadapan tergantung kualitasnya (kadar air dalam getah jelutung).
Getah yang berkualitas sedang memiliki kadar air sedang (ciri
fisik getah dapat ditekan dengan jari dan menimbulkan bekas),
sedangkan getah berkualitas baik memiliki kadar air rendah (ciri
fisik getah tidak dapat ditekan dengan jari dan tidak
menimbulkan bekas tekanan jari). Pada umumnya, getah jelutung
yang diperoleh setiap regu penyadap selama dua bulan sebanyak
dua ton dan harga jual per kilogram sekitar Rp4.000,00–4.500,00
(tergantung kualitas). Keuntungan dari nilai penjualan setelah
dikurangi pinjaman modal untuk getah jelutung yang berkualitas
sedang sebesar Rp5.000.000,00 dan getah berkualitas baik
171
sebesar Rp6.000.000,00. Dengan demikian, penghasilan setiap
penyadap getah jelutung dari hutan tersebut adalah sekitar
Rp1.250.000,00–1.500.000,00 per orang per bulan.
Besarnya margin atau keuntungan pemasaran dapat
dijadikan sebagai indikator efisiensi pemasaran getah jelutung di
Provinsi Kalimantan Tengah. Margin pemasaran merupakan
perbedaan harga di tingkat konsumen terakhir (dalam hal ini PT
SAS dan PT Sampit) dengan harga di tingkat penyadap. Nilai
margin pemasaran untuk setiap pelaku usaha getah jelutung
disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26. Margin pemasaran getah jelutung setiap pelaku usaha pada harga terendah dan tertinggi di Provinsi Kalimantan Tengah
Pelaku Usaha
Harga (Rp/kg)
Total Biaya (Rp/ton)
Total Pendapatan
(Rp/ton)
Keuntungan Bersih
(Rp/Ton)
Harga terendah:
Penyadap 3.500,00 1.500.000,00 3.500.000,00 2.000.000,00
Pengumpul 5.000,00 750.000,00 1.500.000,00 750.000,00
Pengusaha 15.000,00 1.000.000,00 10.000.000,00 9.000.000,00
Margin pemasaran bagi pengusaha dari tingkat penyadap Rp11.500,00
(76,67%) dan dari tingkat pengumpul Rp10.500,00 (70%)
Harga tertinggi:
Penyadap 4.000,00 1.500.000,00 4.000.000,00 2.500.000,00
Pengumpul 6.000,00 750.000,00 2.000.000,00 1.250.000,00
Pengusaha 25.000,00 1.000.000,00 19.000.000,00 18.000.000,00
Margin pemasaran bagi pengusaha dari tingkat penyadap Rp20.500,00
(82%) dan dari tingkat pengumpul Rp19.000,00 (76%)
172
Data pada Tabel 26 menunjukkan bahwa margin
pemasaran sangat mencolok antara pengusaha dengan penyadap
maupun pengusaha dengan pengumpul. Perbedaan harga antara
penyadap dan pengusaha pada harga terendah sebesar 76,67%
dan pada harga tertinggi sebesar 82%. Perbedaaan harga antara
pengumpul dan pengusaha pada harga terendah sebesar 70%
dan pada harga tertinggi sebesar 76%. Basri (2001) menyatakan
bahwa pemasaran dikatakan efisien jika margin pemasaran
<50%. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui
bahwa margin pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan
Tengah belum efisien. Keuntungan bersih dari usaha getah
jelutung mulai dari yang terbesar berturut-turut berada di tangan
pengusaha, penyadap, dan pengumpul. Perbedaan keuntungan
bersih antara pengusaha dengan penyadap dan pengumpul juga
sangat mencolok. Sementara itu, keuntungan bersih antara
penyadap dan pengumpul relatif tidak jauh berbeda. Keuntungan
untuk pengumpul sebenarnya tidak terlalu besar karena salah
satu asumsi yang digunakan dalam perhitungan tidak memasuk-
kan biaya tenaga yang dikeluarkan penyadap.
7.2 Analisis Finansial
Tanaman jelutung yang dianalisis kelayakan finansialnya
dalam tulisan ini difokuskan pada tegakan monokultur jelutung
dan agroforestry pola mixed cropping dengan komponen
tanaman jelutung, karet, dan padi (ditanam pada tahun pertama
hingga ketiga). Pola agroforesty tersebut banyak dikembangkan
oleh petani. Minat petani menanam karet sangat tinggi, namun
karena karet bukan merupakan tanaman asli rawa maka
terkadang mengalami tumbang (roboh) akibat daya topang
perakaran yang tidak cukup kuat. Hal tersebut disiasati oleh
petani dengan cara mencampur karet dengan jelutung
173
menggunakan pola selang-seling dalam satu jalur tanam. Akar
jelutung yang mampu menembus ke bawah diharapkan mampu
membantu menopang akar tanaman karet sehingga tanaman
karet tidak mudah roboh.
Aspek produksi yang diidentifikasi pada tulisan ini adalah
pembangunan hutan tanaman jelutung mulai dari tahap
penyiapan lahan hingga pemanenan kayu. Pada setiap tahapan
tersebut diperlukan bahan dan peralatan yang berbeda-beda.
Sementara itu, aspek pasar yang ditelusuri adalah pasar getah
jelutung dan pasar kayu jelutung. Tahapan umum pembangunan
hutan tanaman jelutung di lahan gambut dan tahap pemanenan-
nya adalah sebagai berikut.
1. Penyiapan lahan. Kegiatan ini dilakukan agar lahan gambut
siap untuk ditanami. Persiapan lahan dimulai dengan
kegiatan penebasan semak belukar, selanjutnya lahan
dibersihkan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida.
Alat dan bahan yang digunakan adalah mesin pemotong
rumput, parang, alat semprotan, dan herbisida.
2. Pembuatan parit. Parit dibuat di sekeliling petak tanaman
yang berfungsi untuk pengaturan tata air dan sebagai sekat
bakar. Parit luar dibuat sepanjang 400 m (4 x 100 m)
dengan ukuran lebar dan kedalaman masing-masing 100 cm,
sedangkan parit dalam dibuat memotong bagian tengah
lahan secara vertikal dan horizontal dengan total panjang
200 m dengan ukuran lebar 40 cm dan kedalaman 50 cm.
Alat yang digunakan adalah linggis, sundak dan cangkul.
3. Pembuatan baluran. Baluran dibuat mengikuti arah Timur–
Barat dengan lebar 2 m dan tinggi 15 cm di atas pasang
tertinggi (sekitar 40–50 cm). Baluran dibuat pada lahan
agroforestry, sedangkan pada lahan monokultur jelutung
tidak memerlukan baluran.
174
4. Pengajiran. Kegiatan ini dilakukan setelah lahan bersih
sehingga memudahkan pelaksanaan penanaman dan jarak
tanam menjadi lebih teratur. Jarak tanam yang digunakan
adalah 5 x 4 m (jarak antar jalur tanam 5 m dan jarak antar
tanaman dalam jalur 4 m) sehingga dalam lahan seluas satu
hektar terdapat 500 batang pohon yang terdiri atas 250
pohon karet dan 250 pohon jelutung rawa untuk pola
agroforestry, sedangkan untuk pola monokultur terdapat 500
batang jelutung rawa.
5. Penanaman. Kegiatan ini dilakukan pada awal musim hujan
(sekitar bulan Oktober–November), yaitu pada saat
genangan air rawa belum mencapai puncak. Bibit jelutung
yang ditanam harus sudah mengalami proses pengkayuan
(hardening) yang cukup dengan tinggi minimal 20 cm dan
jumlah daun minimal enam helai. Pada lahan agroforestry
campuran, populasi jelutung dan karet adalah sebesar 50%
dengan pola selang-seling dalam satu jalur.
6. Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan
meliputi pemupukan, pengendalian gulma dan pencegahan
kebakaran. Pemupukan untuk karet dan jelutung, baik pada
pola monokultur maupun agroforestry, dilakukan dari umur 1
tahun hingga akhir daur. Pemeliharaan intensif terhadap
gulma dilakukan hingga tanaman berumur 5 tahun. Asumsi
yang digunakan bahwa pada umur 5 tahun, kondisi tajuk
jelutung sudah cukup lebar sehingga dapat menekan
pertumbuhan gulma. Pemeliharaan parit sebagai saluran
drainase dan sekat bakar dilakukan setiap tahun selama
daur.
7. Pemanenan hasil. Getah jelutung diasumsikan dapat dipanen
pada umur 10 tahun dengan asumsi diameter batang 18–20
cm. Getah karet dapat dipanen pada umur 7 tahun. Kayu
175
jelutung dipanen pada umur 30 tahun dengan asumsi rata-
rata diameter mencapai 35 cm, dengan tinggi bebas cabang
12 m sehingga nilai volume satu pohon adalah 0,64 m3.
Analisis finansial dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari
usaha budi daya tanaman jelutung rawa selama masa
produksinya. Rincian biaya dan manfaat usaha budi daya jelutung
rawa selama masa produksi terdapat pada Lampiran 1 dan
Lampiran 2. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis
kelayakan finansial usaha budi daya jelutung rawa, antara lain:
(1) lahan yang diperuntukkan bagi usaha budi daya jelutung
rawa adalah lahan gambut terlantar milik petani sendiri
sehingga di dalam analisis tidak memperhitungkan sewa
lahan; biaya lahan yang diperhitungkan hanya nilai pajak
(PBB) yang harus dikeluarkan oleh pemilik setiap tahunnya;
(2) waktu sadap jelutung rawa menggunakan interval waktu 7
hari sehingga setiap pohon disadap sebanyak empat kali
dalam sebulan atau 48 kali dalam satu tahun;
(3) masa perhitungan analisis merupakan masa produksi (daur)
tanaman jelutung selama 30 tahun;
(4) satu HOK adalah satu hari orang kerja dengan upah
Rp60.000,00 per hari;
(5) suku bunga yang digunakan 12%;
(6) potensi getah jelutung dalam satu tahun sesuai pola musim
berbunga; produksi getah setiap pohon jelutung pada umur
10 tahun mencapai 75 gram pada saat musim berbunga
(selama 3 bulan) dan 150 gram di luar musim berbunga
(selama 9 bulan); produksi getah ini mengalami peningkatan
sebesar 80% setiap 2 tahun;
176
(7) potensi getah karet dapat dipanen saat pohon berumur 7
tahun;
(8) potensi kayu jelutung pada akhir daur diperkirakan memiliki
diameter yang mencapai 40 cm dengan tinggi bebas cabang
12 m dan volume kayu sebesar 0,84 m3;
(9) harga getah jelutung Rp6.000,00 per kg dan harga getah
karet Rp10.000,00 per kg;
(10) harga kayu pohon jelutung berdiri sebesar Rp450.000,00 per
m3.
Hasil perhitungan analisis biaya manfaat usaha budi daya
jelutung rawa pola monokultur dan pola agroforestry diperoleh
nilai NPV, BCR, dan IRR seperti pada Tabel 27.
Tabel 27. Analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa seluas 1 ha dengan nilai NPV, BCR dan IRR pada suku bunga 12%
Pola Tanam NPV (Rp) BCR IRR
Monokultur jelutung 29.933.289,52 7,88 20%
Mixed cropping jelutung-karet 69.799.338,00 8,68 29%
Berdasarkan hasil analisis finansial tersebut maka diketahui
bahwa usaha budi daya jelutung rawa layak untuk dikembang-
kan, baik secara monokultur maupun mixed cropping. Pola mixed
cropping jelutung-karet lebih banyak memberikan keuntungan
dibandingkan dengan pola monokultur jelutung. Pada Tabel 27
terlihat bahwa tanaman jelutung pola monokultur memberikan
keuntungan sebesar Rp29.933.289,52 dalam luasan 1 ha. Nilai ini
berbeda dengan hasil penelitian sejenis yang dilakukan oleh
Karyono (2008) yang memperoleh nilai pendapatan usaha
jelutung mencapai Rp134.481.000,00 per ha. Hal ini disebabkan
177
adanya perbedaan asumsi yang digunakan. Pada penelitian
tersebut digunakan asumsi volume kayu per ha mencapai 588 m3
dan asumsi getah jelutung umur 8–12 tahun mencapai 3
kg/bulan/pohon, umur 13–30 tahun mencapai 5 kg/bulan/pohon.
Analisis finansial oleh Budiningsih & Ardhana (2011)
menghasilkan nilai pendapatan usaha budi daya jelutung rawa
pola monokultur sebesar Rp21.055.063,00 dan pola mixed
cropping jelutung rawa-karet sebesar Rp59.693.845,00 per ha.
7.3 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan suku
bunga, jumlah produksi kayu dan harga kayu turun 50%.
Rekapitulasi analisis terhadap analisis finansial usaha budi daya
jelutung rawa seperti pada Tabel 28.
Tabel 28. Rekapitulasi analisis sensitivitas kelayakan usaha budi daya jelutung rawa
Pola tanam Harga getah karet
turun 50%
Harga kayu
turun 50%
Suku bunga
20%
Mixed cropping jelutung rawa-karet
NPV (Rp) 35.965.115,00 68.717.893,00 18.041.160,00
IRR 23% 29% 29%
BCR 6,04 8,28 8,68
Monokultur jelutung rawa
NPV (Rp) 29.433.289,52 27.747.869,96 664.828,11
IRR 20% 20% 20%
BCR 7,88 6,97 7,88
178
Berdasarkan analisis sensitivitas tersebut diketahui bahwa
usaha budi daya tanaman jelutung rawa baik pada pola
campuran dengan karet maupun monokultur cukup kuat terhadap
perubahan harga getah karet (turun 50%) ataupun perubahan
harga kayu jelutung rawa (turun 50%). Pada tingkat suku bunga
20% usaha budi daya jelutung rawa, baik pola campuran
jelutung-karet maupun pola monokultur jelutung, masih layak
untuk diusahakan.
Hasil analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa dan
uraian di atas menunjukkan bahwa pengembangan jelutung
dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut
terdegradasi secara ekonomi layak dilakukan.
179
PENGARUH LINGKUNGAN AGROFORESTRY
JELUTUNG RAWA
Pengaruh lingkungan pengembangan jelutung rawa
dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut
terdegradasi dianalisis berdasarkan tiga parameter: (1) kesuburan
tanah, (2) kondisi iklim mikro, dan (3) teknologi amelioran ramah
lingkungan.
8.1 Kesuburan Tanah
Unsur kesuburan tanah yang dianalisis adalah (1) sifat
kimia gambut yang terdiri atas pH H2O, N-total, C-organik, K
dapat ditukar (K-dd), Na-dd, Ca-dd, Mg-dd, Kapasitas Tukar
Kation (KTK), Al-dd, H-dd, Kejenuhan Basa (KB), Kejenuhan Al,
Kejenuhan H, P-total, K-total, P-tersedia, Fe, dan SO4; (2) sifat
fisik gambut yaitu tingkat kematangan gambut; (3) sifat biologi
gambut yaitu kelimpahan makro fauna tanah.
8.1.1 Sifat Kimia Gambut
Tabel 29 menyajikan data hasil analisis laboratorium sifat
kimia gambut yang digunakan untuk budi daya jelutung rawa
dengan sistem agroforestry pada lahan gambut terhadap
pertanian monokultur dari jenis tanaman hortikultura, dan
terhadap lahan gambut terlantar (padang pakis). Data tersebut
menunjukkan bahwa parameter pH, Al-dd, H-dd, Kejenuhan Al,
dan Kejenuhan H lahan gambut yang ditanami dengan jelutung
rawa pola agroforestry lebih tinggi dibandingkan dengan lahan
gambut yang ditanami dengan tanaman semusim monokultur.
Sebaliknya; parameter N-total, C-organik, K-dd, Ca-dd, Na-dd,
Bab VIII
180
Mg-dd, KTK, KB, P-total, K-total, P Bray 1, dan SO4 lahan gambut
yang ditanami dengan jelutung rawa pola agroforestry lebih
rendah dibandingkan dengan lahan gambut yang ditanami
dengan tanaman semusim monokultur. Parameter C-organik, Na-
dd, Mg-dd, KTK, H-dd, Kejenuhan H, K-total, dan SO4 lahan
gambut yang ditanami dengan jelutung rawa pola agroforestry
lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut terlantar.
Sebaliknya; parameter pH, N-total, K-dd, Ca-dd, KB, P-total, dan
P Bray-1 lahan gambut yang ditanami dengan jelutung rawa pola
agroforestry lebih rendah dibandingkan dengan lahan gambut
terlantar.
Kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi (90–200
me/100 gr) pada semua tipologi lahan gambut pada penelitian ini
dengan Kejenuhan Basa (KB) yang sangat rendah dapat
menyebabkan ketersedian hara; terutama K, Ca, dan Mg menjadi
sangat rendah. Selain itu, Kejenuhan Basa (KB) yang sangat
rendah pada semua tipologi lahan gambut harus ditingkatkan
mencapai 25–30% agar basa-basa tertukar dapat dimanfaatkan
tanaman (Hardjowigeno, 1996). C/N gambut yang tinggi (>30)
menyebabkan hara nitrogen kurang tersedia untuk tanaman,
sekalipun hasil analisis N total menunjukkan angka yang tinggi.
Unsur P dalam tanah gambut terdapat dalam bentuk P-organik
dan kurang tersedia bagi tanaman. Pemupukan P dengan pupuk
yang cepat tersedia akan menyebabkan ion phosphat mudah
tercuci dan mengurangi ketersediaan hara P bagi tanaman.
Penambahan besi dapat mengurangi pencucian P (Soewono,
1997). Pencucian P dapat diperkecil dengan menambahkan tanah
mineral kaya besi dan Al (Salampak, 1999).
181
Tabel 29. Data hasil analisis laboratorium sifat kimia gambut
Parameter
Lokasi
Kalampangan Tumbang Nusa
Agro-forestry
Pertanian Monokultur
Agro-forestry
Lahan Terlantar
pH 3,94 3,93 3,67 4,00
N-total (%) 0,40 0,45 0,37 0,43
C-organik (%) 48,58 51,78 55,12 54,76
Nisbah C/N 121,45 115,07 148,97 127,35
K-dd (me/100g) 0,076 0,15 0,09 0,12
Na-dd (me/100g) 0,014 0,06 0,04 0,03
Ca-dd (me/100g) 2,34 4,13 1,28 2,47
Mg-dd (me/100g) 1,76 2,58 0,90 0,88
KTK (me/100g) 147,50 361,17 137,50 90,83
Al-dd (me/100g) 2,40 2,30 0 0
H-dd (me/100g) 5,27 3,03 2,83 2,00
KB (%) 2,86 3,76 1,80 4,24
Kejenuhan Al (%) 20,80 19,73 0 0
Kejenuhan H (%) 48,94 26,66 55,29 37,18
P-total (mg/100 gr P2O5)
4,21 24,50 7,82 12,71
K-total (mg/100 gr P2O5)
4,32 18,33 6,94 5,51
P Bray-1 (ppm) 12,55 12,59 19,36 29,82
SO4 (ppm) 102,12 119,20 112,66 101,69
Tabel 30 menjelaskan tentang kriteria penilai sifat kimia
tanah (untuk tanah mineral). Kriteria tersebut digunakan sebagai
pembanding, karena kriteria penilai sifat kimia tanah khusus
untuk gambut belum ada.
182
Tabel 30. Kriteria penilaian sifat kimia tanah
Sifat
Tanah
Sangat
Rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi
C (%) <1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 >5,00
N (%) <0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 >0,75
C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25
P205 HCl (mg/100 g) <10 10-20 21-40 41-60 >60
P205 Bray-1 (ppm) <10 10-15 16-25 26-35 >35
P205 Olsen (ppm) <10 10-25 26-45 46-60 >60
K2O HCl 25% (mg/100 g)
<10 10-20 21-40 41-60 >60
KTK (me/100 g) <5 5-16 17-24 25-40 >40
Susunan Kation:
K (me/100 g) <0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 >1,0
Na (me/100 g) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1,0
Mg (me/100 g) <0,4 0,4-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 >8,0
Ca (me/100 g) <2 2-5 6-10 11-20 >20
Kejenuhan:
Basa (%) <20 20-35 36-50 51-70 >70
Alumunium (%) <10 10-20 21-30 31-60 >60
Kriteria Sangat
Masam Masam
Agak
Masam Netral
Agak
Alkalis Alkalis
pH
H2O <4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5
Sumber: Hardjowigeno (1996)
Kriteria penilai sifat kimia tanah pada Tabel 30
menunjukkan bahwa ketiga tipologi penutupan lahan gambut
mempunyai pH yang termasuk kategori sangat masam (<4,5).
Kandungan N termasuk kategori sedang (0,21–0,5). Kandungan
C-organik termasuk kategori sangat tinggi (>5%). Nisbah C/N
termasuk kategori sangat tinggi (>25%). Kandungan P (metode
183
P2O5 HCl) untuk lahan gambut yang ditanami jelutung rawa
dengan sistem agroforestry termasuk kategori sangat rendah
(<10 mg/100 g), untuk lahan gambut yang ditanami tanaman
pertanian monokultur termasuk kategori sedang (21–40 mg/100
g), sedangkan lahan gambut terlantar termasuk kategori rendah
(10–20 mg/100 g). Kandungan P (metode P2O5 Bray-1) untuk
lahan gambut di Kelurahan Kalampangan (agroforestry jelutung
dan pertanian monokultur) termasuk kategori rendah (10–15
ppm), untuk lahan gambut di Desa Tumbang Nusa yang ditanami
jelutung rawa sistem agroforestry termasuk kategori sedang (16–
25 ppm), sedangkan lahan gambut terlantar termasuk kategori
tinggi (26–35 ppm).
Kandungan K untuk tipologi penutupan lahan gambut
agroforestry jelutung dan lahan terlantar mempunyai kategori
sangat rendah (<10 mg/100g), untuk lahan pertanian monokultur
termasuk kategori rendah (10–20 mg/100g). Kapasitas
pertukaran kation (KTK) untuk ketiga tipologi penutupan lahan
gambut mempunyai kategori sangat tinggi (>40 me/100 g).
Kandungan K-dd untuk lahan agroforestry jelutung termasuk
kategori sangat rendah (<0,1 me/100g), untuk lahan pertanian
monokultur termasuk kategori rendah (0,1–0,2 me/100g).
Kandungan Na-dd untuk ketiga tipologi penutupan gambut
termasuk kategori sangat rendah (<0,1 me/100g). Kandungan
Ca-dd untuk agroforestry jelutung dan pertanian monokultur di
Kelurahan Kalampangan serta lahan terlantar di Desa Tumbang
Nusa termasuk kategori rendah (2–5 me/100g), sedangkan lahan
agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa termasuk kategori
sangat rendah (<2,0 me/100g). Kandungan Mg-dd untuk lahan
agroforestry jelutung dan pertanian monokultur di kelurahan
Kalampangan termasuk kategori sangat tinggi (>1,0 me/100g),
untuk lahan agroforestry jelutung dan lahan gambut terlantar di
Desa Tumbang Nusa termasuk kategori rendah (0,4–1,0
184
me/100g). Kejenuhan Basa (KB) untuk ketiga tipologi penutupan
lahan termasuk kategori sangat rendah (<20%). Kejenuhan Al
untuk lahan agroforestry termasuk kategori sedang (21–30%),
sedangkan lahan pertanian monokultur termasuk kategori rendah
(10–20%).
8.1.2 Sifat Fisika Gambut
Menurut Hardjowigeno (1996), sifat-sifat fisika tanah
gambut yang penting adalah tingkat dekomposisi tanah gambut,
kerapatan lindak, kering tak balik dan subsiden. Noor (2001)
menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan
kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu
mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut. Berdasarkan
tingkat pelapukan (dekomposisi), tanah gambut dibedakan
menjadi (1) gambut kasar (fibrik), yaitu gambut yang memiliki
lebih dari 2/3 bahan organik kasar; (2) gambut sedang (hemik),
memiliki 1/3–2/3 bahan organik kasar; (3) gambut halus (saprik),
jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar
mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi,
namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia
bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang
besar jika tanah direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan
unsur hara yang lebih tinggi memiliki kerapatan lindak yang lebih
besar daripada gambut kasar (Hardjowigeno, 1996).
Kadar lengas gambut (peat moisture) ditentukan oleh
kematangan gambut. Pada gambut alami, kadar lengas gambut
sangat tinggi mencapai 500–1.000% bobot, sedangkan yang
telah mengalami dekomposisi sekitar 200–600% bobot. Kadar
lengas gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik.
Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari gambut
sapris dan hemik, namun kemampuan fibrik memegang air lebih
185
lemah dari gambut hemik dan saprik (Noor, 2001). Tingginya
kemampuan gambut menyerap air menyebabkan tingginya
volume pori-pori gambut sehingga mengakibatkan rendahnya
kerapatan lindak dan daya dukung gambut (Mutalib et al., 1991).
Penetapan tingkat kematangan gambut dilakukan dengan
prosedur (BB Litbang SDLP, 2008):
1) mengambil segenggam gambut segar dan memasukkannya
ke dalam syringe bervolume 10 ml atau 25 ml,
2) menekan pompa syringe dan mencatat volume sewaktu
gambut tidak bisa lagi dimampatkan sebagai volume 1,
3) memindahkan gambut dari dalam syringe ke dalam ayakan
dengan ukuran lubang 150 µm atau 0, 0059 inci,
4) menggunakan botol semprot atau semprotan air atau aliran
kran air untuk membilas gambut yang halus,
5) memindahkan serat kasar ke dalam syringe sesudah serat
halus lolos dari ayakan, lalu memampatkannya dan mencatat
volume serat kasat sebagai volume 2,
6) menghitung kadar serat dengan rumus:
Kadar Serat = .
7) tingkat kematangan gambut (seperti terlihat pada Gambar
48) ditentukan berdasarkan berdasarkan kriteria: (1) gambut
saprik (matang) yaitu gambut yang sudah melapuk dan
kadar seratnya <15%, (2) gambut hemik (setengah matang)
yaitu gambut setengah lapuk dan kadar seratnya 15–75%,
(3) gambut fibrik (mentah) yaitu gambut yang belum
melapuk dan kadar seratnya >75%.
186
Gambar 48. Prosedur penentuan tingkat kematangan gambut
Hasil analisis tingkat kematangan gambut untuk lahan
agroforestry jelutung, lahan pertanian monokultur, dan lahan
terlantar dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil analisis menunjuk-
kan bahwa pada gambut lahan agroforestry jelutung di Desa
Tumbang Nusa (kode AFTN) mempunyai tingkat dekomposisi
saprik–hemik, hemik, saprik dan hemik–fibrik. Gambut lahan
terlantar di Desa Tumbang Nusa (kode LTTN) mempunyai tingkat
dekomposisi hemik–fibrik, hemik dan fibrik. Hal ini menandakan
bahwa lahan gambut yang ditanami jelutung dengan sistem
agroforestry mempunyai tingkat kematangan yang lebih lanjut
dibandingkan lahan gambut terlantar. Gambut lahan agroforestry
jelutung di Kelurahan Kalampangan (kode AFKL) mempunyai
tingkat dekomposisi saprik–hemik, hemik–fibrik dan saprik.
Gambut lahan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan
(kode PMKL) mempunyai tingkat dekomposisi saprik–hemik,
hemik–fibrik dan hemik. Hal tersebut di atas menandakan bahwa
lahan gambut yang ditanami jelutung dengan sistem agroforestry
187
mempunyai tingkat kematangan yang lebih lanjut dibandingkan
lahan pertanian monokultur.
8.1.3 Sifat Biologi Gambut
Hasil pengamatan makrofauna tanah pada lokasi Kelurahan
Kalampangan yang membandingkan dua kondisi penutupan lahan
yaitu lahan agroforestry jelutung dan lahan pertanian monokultur
seperti terlihat pada Gambar 49 dan 50. Hasil pengamatan
makrofauna tanah pada lokasi Desa Tumbang Nusa yang
membandingkan dua kondisi penutupan lahan yaitu lahan
agroforestry jelutung dan lahan terlantar seperti terlihat pada
Gambar 51 dan Gambar 52.
Hasil identifikasi pada Gambar 49 menjelaskan bahwa
makrofauna yang terdapat di lahan gambut Kelurahan
Kalampangan yang ditanami jelutung rawa dengan sistem
agroforestry berjumlah 507 ekor yang terbagi kedalam 8 ordo (+
1 tak teridentifikasi). Makrofauna yang terdapat di lahan gambut
Kelurahan Kalampangan yang penutupan lahannya berupa
pertanian monokultur berjumlah 466 ekor yang terbagi ke dalam
9 ordo. Data pada Gambar 49 dan 50 menunjukkan bahwa
makrofauna tanah yang menghuni lahan gambut di Kelurahan
Kalampangan yang penutupannya berupa agroforestry jelutung
lebih beragam apabila dibandingkan dengan lahan gambut yang
penutupannya berupa pertanian monokultur. Perbandingan
keberadaan makrofauna yang terdapat di lahan agroforestry
jelutung dengan lahan pertanian monokultur adalah orthoptera =
4 : 3, chilopoda = 1 : 1, arachnida = 3 : 2, hymenoptera = 4 : 5,
diptera = 2 : 1, coleoptera = 11 : 5, scorpionida = 1 : 0,
hemiptera = 1 : 1, thysanoptera = 0 : 1, lepidoptera = 0 : 1,
dan tak teridentifikasi = 3 : 0.
188
Gambar 49. Hasil identifikasi makrofauna tanah per ordo pada lahan agroforestry jelutung dengan lahan pertanian monokultur di Kalampangan
189
Gambar 50. Jumlah famili masing-masing ordo makrofauna tanah pada lahan agroforestry jelutung dan lahan pertanian monokultur di Kalampangan
Hasil identifikasi seperti tersaji pada Gambar 51
menjelaskan bahwa makrofauna yang terdapat di lahan gambut
Desa Tumbang Nusa yang ditanami jelutung rawa dengan sistem
agroforestry berjumlah 198 ekor yang terbagi ke dalam 8 ordo.
Makrofauna yang terdapat di lahan gambut Desa Tumbang Nusa
yang penutupan lahannya berupa lahan terlantar (padang pakis)
berjumlah 69 ekor yang terbagi ke dalam 6 ordo. Data pada
Gambar 51 dan 52 menunjukkan bahwa makrofauna tanah yang
menghuni lahan gambut di Desa Tumbang Nusa yang
penutupannya berupa agroforestry jelutung lebih beragam bila
dibandingkan dengan lahan gambut yang penutupannya berupa
padang pakis (lahan terlantar). Perbandingan keberadaan
makrofauna yang terdapat di lahan agroforestry jelutung dengan
lahan terlantar adalah orthoptera = 3 : 2, chilopoda = 1 : 0,
190
arachnida = 2 : 1, hymenoptera = 2 : 4, diptera = 2 : 2,
coleoptera = 6 : 1, hemiptera = 3 : 1, diptera = 2 : 2, dan anura
= 1 : 0.
Gambar 51. Hasil identifikasi makrofauna tanah per ordo pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa
Gambar 52. Jumlah famili pada masing-masing ordo makrofauna tanah pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa
191
Hasil penghitungan indeks kesamaan komunitas Morisita
menunjukkan bahwa makrofauna tanah yang terdapat di lahan
agroforestry jelutung mempunyai kesamaaan atau identik dengan
makrofauna tanah yang terdapat di lahan pertanian monokultur
pada lahan gambut di Kelurahan kalampangan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai indeks 0,95. Hasil yang sama juga
berlaku pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di
Desa Tumbang Nusa. Kedua penutupan lahan gambut tersebut
mempunyai jenis makrofauna yang identik dengan nilai indeks
0,83.
Berdasarkan penghitungan indeks keragaman Shannon
diperoleh hasil:
(1) lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di
Kelurahan Kalampangan mempunyai tingkat keragaman
makrofauna tanah sedang dengan nilai indeks 1,8;
(2) lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di
Kelurahan Kalampangan mempunyai tingkat keragaman
makrofauna tanah rendah dengan nilai indeks 1,2;
(3) lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung dan lahan
terlantar di Desa Tumbang Nusa mempunyai tingkat
keragaman makrofauna tanah sedang dengan nilai indeks
1,62 dan 1,698.
Indeks Nilai penting (INP) dan kelimpahan (n/m2)
makrofauna tanah di permukaan tanah dan di dalam tanah pada
lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung dan lahan
gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan
Kalampangan, serta lahan gambut berpenutupan agroforestry
jelutung dan lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa
disajikan pada Tabel 31.
192
Tabel 31. Indeks Nilai Penting (INP) dan kelimpahan makrofauna tanah
Makrofauna Kelompok Tipologi
Indeks Nilai penting (INP) (%)
Kelimpahan (n/m2)
Orthoptera p-AfKL 61,54 1.654,33
p-PMKL 80,90 1.984,21
p-AfTN 67,00 705,26
p-LTTN 52,17 189,47
d-AfKL 141,82 124,80
d-PMKL 100,00 51,20
d-AfTN 5,26 3,20
d-LTTN 117,24 54,40
Chilopoda p-AfKL 2,37 63,63
p-PMKL 1,93 47,37
p-AfTN 1,00 10,53
d-AfKL 14,55 12,80
d-PMKL 37,50 19,20
d-AfTN 5,26 3,20
d-LTTN 41,38 19,20
Arachnida p-AfKL 8,68 233,30
p-PMKL 8,37 205,26
p-AfTN 12,00 126,32
p-LTTN 28,99 105,26
Hymenoptera p-AfKL 18,15 487,81
p-PMKL 4,94 121,05
p-AfTN 9,00 94,74
p-LTTN 13,04 47,37
d-AfKL 10,91 9,60
Diptera p-AfKL 3,75 100,74
p-PMKL 0,43 10,53
p-AfTN 2,00 21,05
p-LTTN 2,90 10,53
d-PMKL 6,25 3,20
193
Coleoptera p-AfKL 4,54 121,95
p-PMKL 2,79 68,42
p-AfTN 6,00 63,16
p-LTTN 1,45 5,26
d-AfKL 29,09 25,60
d-PMKL 56,25 28,80
d-AfTN 184,21 112,00
d-LTTN 41,38 19,20
Scorpionida p-AfKL 0,20 5,30
Hemiptera p-AfKL 0,20 5,30
p-PMKL 0,21 5,26
p-AfTN 2,50 26,32
p-LTTN 1,45 5,26
d-AfKL 3,64 3,20
Thysanoptera p-PMKL 0,21 5,26
Lepidoptera p-PMKL 0,21 5,26
Anura p-AfTN 0,50 5,26
Nematoda d-AfTN 5,26 3,20
tak teridentifikasi p-AfKL 0,59 15,91
Keterangan:
p-AfKL = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Kelurahan Kalampangan
p-PMKL = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan
p-AfTN = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa
p-LTTN = di permukaan tanah pada lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa
d-AFKL = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Kelurahan Kalampangan
d-PMKL = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan
d-AfTN = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa
d-LTTN = di dalam tanah pada lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa
194
Makrofauna tanah merupakan salah satu kelompok
organisme yang penting dalam ekosistem tanah. Klasifikasi
makrofauna tanah menurut kebiasaan makan dan penyebarannya
dalam profil tanah seperti uraian berikut (Suin, 1997).
1. Jenis epigeik; yaitu fauna tanah yang hidup dan makan di
permukaan tanah. Invertebrata ini berperan dalam
pelumatan (comminution) serasah menjadi ukuran yang
lebih kecil dan pelepasan hara (mineralisasi); tetapi tidak
aktif dalam redistribusi bahan organik ke dalam profil tanah.
Termasuk dalam kelompok fauna ini antara lain semut
(Hymenoptera), kumbang (Coleoptera), kelabang
(Chilopoda), kaki seribu (Diplopoda), dan belalang
(Acrididae).
2. Jenis anesik; yaitu fauna tanah yang memindahkan serasah
dari permukaan tanah dan dibawa masuk ke dalam profil
tanah, melalui aktivitas makannya. Contoh jenis ini adalah
Oligochaeta dan Isoptera yang memindahkan serasah ke
dalam sarangnya.
3. Jenis endogenik; yaitu fauna tanah yang hidup di dalam
tanah dan memakan bahan organik seperti akar yang mati.
Ada dua kelompok utama dalam kategori ini yaitu
Oligochaeta dan Isoptera. Jenis ini merupakan pemakan
humus yang dapat naik turun dalam tanah.
Salah satu peran yang sangat penting dari makrofauna
tanah adalah sebagai soil engineers. Fauna yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain rayap, semut, dan cacing (Jouquet et al.,
2006). Peranan mereka sangat penting karena berpengaruh
terhadap daya dukung tanah dan ketersediaan sumber daya bagi
organisme lain, termasuk mikroorganisme dan tumbuhan.
Ecosystem engineers adalah organisme yang secara langsung
195
atau tidak langsung mengatur ketersediaan sumber daya untuk
spesies lain melalui perubahan sifat fisik material biotik dan
abiotik (Jouquet et al., 2006).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe penutupan
lahan gambut yang berbeda mempunyai kelimpahan makrofauna
tanah yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan keberadaan dan
kepadatan populasi suatu jenis makrofauna tanah di suatu daerah
sangat tergantung pada faktor lingkungan yaitu lingkungan biotik
dan lingkungan abiotik. Menurut Suin (1997), faktor fisika-kimia
tanah merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam
mempelajari ekologi makrofauna tanah. Pengukuran pH tanah
juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai
makrofauna tanah.
Aktivitas makrofauna tanah akan sangat membantu proses
dekomposisi dalam tanah. Keberadaan makrofauna tanah di
dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan
sumber makanan, seperti bahan organik dan biomassa hidup.
Rahmawaty (2004) menjelaskan bahwa proses dekomposisi oleh
makrofauna tanah dimulai dengan cara makrofauna meremah
substansi habitat yang telah mati, kemudian materi ini akan
melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses.
Butiran-butiran feses tersebut selanjutnya dimakan oleh
mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran seperti cacing
tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses
pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme
terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara
tersebut, feses juga dapat juga dikonsumsi lebih dahulu oleh
mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam
saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna
apabila hasil ekskresi fauna ini dihancurkan dan diuraikan lebih
lanjut oleh mikroorganisme, terutama bakteri, hingga proses
196
mineralisasi. Mikroorganisme yang telah mati melalui proses
tersebut akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan
digunakan kembali oleh tumbuh-tumbuhan.
Perbedaan kelimpahan makrofauna tanah dalam penelitian
ini disebabkan oleh faktor-faktor (Rahmawaty, 2004):
1) struktur tanah yang akan berpengaruh pada gerakan dan
penetrasi,
2) kelembaban tanah dan kandungan hara yang akan
berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup,
3) suhu tanah yang akan mempengaruhi peletakan telur,
4) cahaya dan tata udara yang akan mempengaruhi
kegiatannya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Decaens et al. (1998)
yang menyebutkan ada dua faktor utama yang memengaruhi
komunitas makrofauna tanah: (1) struktur vegetasi yang
mengakibatkan beragamnya habitat mikro dan kondisi lingkungan
tempat hidupnya, dan (2) kualitas biomassa serasah di atas
tanah. Vohland & Schroth (1999) menambahkan bahwa jumlah
individu makrofauna pada sistem agroforestry sangat dipengaruhi
oleh jenis tanaman.
Makrofauna tanah dapat digunakan sebagai alat mengukur
kualitas tanah secara integratif dengan mengasumsikan perannya
yang penting dalam mengatur proses-proses yang sangat vital
bagi kelangsungan pembentukan tanah dan melindungi tanah
dari kerusakan (Bruyn, 1999). Kehadiran, ketidakhadiran, atau
kelimpahan suatu organisme dapat mengindikasikan sesuatu
(Elliot, 1997). Keragaman serasah yang jatuh juga dapat
mempengaruhi struktur komunitas makrofauna tanah (Laossi et
al., 2008). Ekosistem tanah dengan biodiversitas yang rendah
dianggap kurang ulet, lebih rapuh terhadap gangguan, dan pada
197
akhirnya tidak dapat berfungsi sebagaimana ekosistem tanah
dengan biodiversitas yang tinggi (Bruyn, 1999). Pada tanah yang
rusak, kompleksitas dan biomasa faunanya juga menurun (Lavelle
et al., 1994). Setiap perubahan yang terjadi pada kemampuan
tanah berpengaruh terhadap makrofauna tanah (Lavelle et al.,
2006). Contohnya; biomasa cacing tanah dapat dijadikan
indikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan
horison organik, kelembaban tanah, dan kualitas humus;
sedangkan rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah
dan dekomposisi bahan organik (Maftu’ah et al., 2005). Bruyn
(1999) menyatakan bahwa keragaman semut selalu rendah pada
lahan pertanian dibandingkan dengan vegetasi alami. Salah satu
pendekatan dalam mengelola kesuburan tanah agar menyerupai
ekosistem alami adalah membangun komposisi tegakan sehingga
hampir menyerupai komunitas hutan, caranya dengan
mencampur tanaman tahunan dengan tanaman semusim (Brown
et al., 1994).
Sistem agroforestry berbasis jenis jelutung rawa
memberikan tawaran yang cukup menjanjikan bagi pemulihan
fungsi hutan yang hilang setelah dialihfungsikan. Pencampuran
komposisi jenis tanaman berumur pendek dengan pohon jelutung
rawa dalam satu bidang lahan dapat menjaga dan
mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan,
melalui terpeliharanya sifat fisik dan kesuburan tanah;
meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran;
mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam
lapisan perakaran (Widianto et al., 2003). Selain itu, komposisi
juga meningkatkan kekayaan jenis fauna tanah, memacu proses
dekomposisi dan siklus hara (Zimmer, 2002). Berdirinya tegakan
pohon jelutung rawa dapat menekan laju evaporasi dan
mengurangi intensitas sinar matahari sehingga akan membentuk
iklim mikro yang kondusif bagi kehidupan mikroorganisme dan
198
tanaman, terutama pada musim kering. Sementara itu, penetrasi
akar tanaman ke dalam profil tanah dapat menciptakan lapisan
subsoil yang berbentuk granula dan menciptakan pori yang tidak
mudah tersumbat sehingga memacu perkembangan mikro-
morfologi tanah (Utomo, 1990). Keberadaan pohon jelutung
dalam sistem agroforestry juga memberikan masukan bahan
organik melalui pangkasan dan biomassa yang gugur berupa
daun, cabang, dan ranting.
Perbedaan penggunaan lahan (Lavelle, 1994), nisbah C/N
pada berbagai tipe serasah (Sileshi et al., 2008), serta praktik
pengelolaan lahan dan penggunaannya akan memengaruhi
kelimpahan dan komposisi makrofauna tanah (Baker, 1998).
Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan, dan penanaman
secara monokultur pada sistem pertanian dapat menyebabkan
terjadinya penurunan biodiversitas makrofauna tanah (Maftu’ah
et al., 2005). Pengolahan tanah pada pertanian monokultur
tersebut juga meningkatkan oksidasi bahan organik melalui
pemecahan agregat dan dapat memperluas permukaan bahan
organik sehingga mudah dihancurkan mikroba (Brown et al.
1994). Pengaruh pengolahan tanah terhadap organisme berbeda
sesuai kedalamannya, yaitu dampak negatifnya akan lebih rendah
pada lapisan yang lebih dalam dan aktivitas biota tanah lebih
tinggi pada tanah yang tidak diolah (Miura et al., 2008). Musim,
tempat dan kedalaman tanah (Harsoyo, 2002), sistem
penggunaan lahan (Prijono 1999), suhu dan kelembaban tanah
(Konstantin et al., 2008), jenis vegetasi dan tumbuhan bawah
(Aquino et al., 2008), serta habitat mikro (Miranda et al., 2009)
berpengaruh terhadap kelimpahan jenis makrofauna tanah.
Mengingat perannya yang sangat penting dalam memelihara
keseimbangan siklus hara di dalam tanah, maka penurunan
populasi makrofauna tanah dikhawatirkan akan membawa
dampak menurunnya kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.
199
8.2 Kondisi Iklim Mikro
Penanaman jelutung secara tumpangsari dengan tanaman
semusim pada satu tempat dan waktu yang bersamaan
merupakan pola dasar sistem agroforestry. Pada sistem
agroforestry, terjadi interaksi yaitu adanya proses yang saling
memengaruhi dari komponen-komponen penyusun agroforestry
seperti ditunjukkan pada Gambar 53. Interaksi tersebut bisa
positif (komplimentasi) atau negatif (kompetisi). Beberapa
pengaruh pohon jelutung yang merugikan bila ditanam secara
tumpangsari dengan tanaman semusim, antara lain:
1) kompetisi cahaya, yaitu pohon jelutung tumbuh lebih tinggi
daripada tanaman semusim sehingga kanopinya akan
menaungi tanaman semusim,
2) kompetisi air dan hara, yaitu pepohonan dan tanaman
semusim yang berkembang di lapisan yang sama akan saling
berebut air dan hara sehingga mengurangi jumlah yang
dapat diserap tanaman semusim,
3) inang penyakit, yaitu pohon jelutung dapat menjadi inang
hama dan penyakit untuk tanaman semusim.
Pengaruh positif penanaman pohon jelutung yang
ditumpangsarikan dengan tanaman semusim, antara lain:
1) sumber bahan organik, yaitu daun pohon jelutung yang
gugur dan hasil pangkasan yang dikembalikan ke dalam
tanah dapat menjadi rabuk sehingga tanah menjadi remah,
jatuhan bagian-bagian tanaman yang telah mati dan kering
memiliki peranan sangat penting bagi keharaan tanah
gambut di kawasan hutan gambut; pada ekosistem alamiah,
kandungan hara dalam bagian-bagian tanaman yang jatuh
diyakini sebanding dengan jumlah hara yang diserap oleh
200
tanaman yang tumbuh di atas permukaan tanah (Zimmer,
2002),
2) menekan gulma, yaitu naungan pohon dapat menekan
pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah
sehingga mengurangi risiko kebakaran pada musim
kemarau,
3) mengurangi kehilangan hara, yaitu akar pohon jelutung yang
dalam dapat memperbaiki daur ulang hara melalui beberapa
cara:
(1) akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan
berkompetisi dengan tanaman pangan sehingga
mengurangi pencucian hara ke lapisan yang lebih dalam
(namun, pada batas tertentu kompetisi ini akan
merugikan tanaman pangan);
(2) akar pohon berperan sebagai "jaring penyelamat hara"
yaitu menyerap hara yang tidak terserap oleh tanaman
pangan pada lapisan bawah selama musim
pertumbuhan;
(3) akar pohon berperan sebagai "pemompa hara" yaitu
menyerap hara pada lapisan bawah;
(4) akar pohon berperan memperbaiki struktur tanah dan
porositas tanah;
(5) menjaga kestabilan iklim mikro, mengurangi kecepatan
angin, meningkatkan kelembaban tanah, dan
memberikan naungan parsial;
(6) mengurangi bahaya amblesan (subsiden) melalui
pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan
organik tanah dan struktur tanah.
201
Keterangan:
a = naungan; b = kompetisi terhadap air dan hara; c = daun gugur (serasah) dari pohon berguna untuk menambah C, N, P dan hara lainnya; d = pohon berperakaran dalam berperanan penting sebagai jaring penyelamat hara yang tercuci ke lapisan bawah
Gambar 53. Interaksi jelutung dengan tanaman semusim pada sistem agroforestry (alleycropping)
Hubungan antara lahan gambut dengan sistem
agroforestry berbasis jenis jelutung adalah lahan gambut sebagai
sumber daya dengan gatra (aspect) bentangan (space) dan
habitat, sedangkan sistem agroforestry berbasis jelutung sebagai
sistem masukan (input system) yang dipadukan dengan lahan
induk sebagai sistem induk (parent system) membentuk suatu
sistem produksi (production system) (Notohadiprawiro, 2006).
Lahan gambut mempunyai nilai pakai dan menyediakan
kesempatan untuk dipakai yang tercakup dalam pengertian
kemampuan (capability). Sistem agroforestry berbasis jenis
jelutung memiliki daya pakai dan bertindak sebagai pelaku
(agent) yang menjelmakan kemampuan aktual (produktivitas)
dari kemampuan hakiki (intrinsic) lahan. Perbedaan antara
kemampuan hakiki dan kemampuan aktual merupakan ukuran
202
kemampuan potensial. Hal ini tergantung pada kemempanan
(effectiveness) pelaku sehingga perbedaan ini dapat kecil atau
besar. Kerja pelaku yang semakin mempan berarti lahan terpakai
semakin sempurna dan keluaran (out-put) sistem produksi
semakin mendekati keluaran potensial atau maksimum.
Pencapaian keluaran potensial pada lazimnya dibatasi oleh
pertimbangan ketersediaan teknologi, kejituan (efficiency)
ekonomi, kelayakan sosial-budaya, dan/atau keterizinan dampak
lingkungan. Sasarannya adalah keluaran yang optimum.
Pengoptimuman keluaran ini masih ditentukan pula oleh
kemempanan dakhil (internal effectiveness) sistem agroforestry
berbasis jelutung. Hal ini berarti kemempanan total saling tindak
(interaction) antar anasir sistem agroforestry berbasis jelutung,
dan kemempanan pemaduan agroforestry sebagai sistem
masukan dengan lahan sebagai sistem induk (Notohadiprawiro,
2006).
Hasil pengukuran iklim mikro terhadap tiga kondisi
penutupan lahan: agroforestry jelutung, pertanian monokultur,
dan lahan gambut terlantar menunjukkan bahwa lahan gambut
berpenutupan agroforestry jelutung mempunyai iklim mikro yang
lebih baik. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Gambar 54. Iklim
mikro adalah kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat
terbatas. Komponen iklim ini penting artinya bagi kehidupan
tanaman dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian (Syakir,
1994). Keberadaan tajuk jelutung menyebabkan adanya naungan
yang akan memengaruhi intensitas radiasi sehingga, selain
berpengaruh langsung terhadap tanaman semusim, juga
berpengaruh tidak langsung melalui perubahan iklim mikro di
sekitar tanaman semusim. Menurut Stigter (1984) naungan
berfungsi mencegah terjadinya dispersi tanah, pemindahan uap
air dan CO2 di sekitar tajuk tanaman. Naungan oleh tajuk
203
tanaman jelutung memengaruhi intensitas radiasi matahari, suhu
udara, suhu tanah, kelembaban relatif udara, dan kelembaban
tanah. Semakin tinggi tingkat naungan maka kelembaban tanah
dan kelembaban relatif udara semakin besar; sedangkan suhu
udara, suhu tanah, dan intensitas radiasi semakin menurun.
Semakin tinggi tingkat naungan maka kelembaban relatif udara
dan kelembaban tanah semakin tinggi, sedangkan fluktuasi
kelembaban semakin kecil. Kelembaban tanah dan kelembaban
nisbi udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan
menghambat pertumbuhan tanaman. Intensitas radiasi matahari,
suhu udara, suhu tanah, kelembaban nisbi udara, dan
kelembaban tanah; semuanya memengaruhi fotosintesis dan
respirasi tanaman (Kramer dan Kozlowski, 1960).
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang
sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah.
Oleh karena itu, suhu tanah akan menentukan tingkat
dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih
rendah dari suhu udara; suhu tanah sangat tergantung dari suhu
udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu
hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga
tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah, dan keadaan
tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1970), besarnya
perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah
berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh
pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi–
sebelum sampai pada permukaan tanah–tergantung pada
vegetasi yang ada di atas permukaannya.
204
Suhu udara maksimum pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
Kelembaban udara maksimum pada penutupan lahan agroforestry dan
nonagroforestry
Suhu tanah pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
Intensitas sinar matahari pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
Gambar 54. Iklim mikro pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
205
8.3 Amelioran Alternatif Pengganti Abu
Ameliorasi lahan gambut merupakan salah satu cara yang
efektif untuk memperbaiki tingkat kesuburan. Bahan amelioran
yang sering digunakan dalam budi daya tanaman di lokasi
penelitian adalah abu hasil pembakaran gambut dan tumbuhan
gulma (metode besik-bakar). Persoalan utama yang muncul
sebagai akibat praktik besik-bakar adalah terjadinya amblesan,
yaitu menyusutnya gambut dan menurunnya permukaan lahan.
Tabel 32 menyajikan data ketebalan gambut yang terbawa pada
praktik besik-bakar.
Tabel 32. Ketebalan gambut yang terbawa pada proses pembesikan lahan
No. Nama Ulangan Tebal Besik (cm) Rata-
rata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Sauji 1,7 3,8 2,2 1,4 1,5 2,1 2,8 1,8 0,3 0,8 1,84
2. Paijan 0,9 0,6 1,7 1,6 0,8 2,4 0,4 1,0 1,3 1,5 1,22
3. Slamet 0,9 2,6 1,2 0,9 2,1 1,1 1,0 4,0 0,9 1,0 1,57
4. Sukino 1,2 2,9 2,7 5,2 0,5 1,1 1,0 3,7 0,9 1,7 2,09
5. Tiyo 0,8 0,5 0,9 0,5 1,1 0,6 1,1 1,5 1,6 1,4 1,00
6. Tukijo 6,9 10,8 5,8 7,8 10,9 7,3 7,6 11,6 8,5 7,3 8,45
Catatan: Ukuran besik untuk nomor 1–5 seukuran mata cangkul (15 x 20 cm). Pada nomor 6 biasa dilakukan pada pertanaman jagung dengan cara mencabut batang jagung sisa panen dengan ukuran diameter 11,5– 18,5 cm
Tabel 32 menunjukkan ketebalan gambut yang terbawa
pada kegiatan besik berkisar antara 1–8,45 cm dengan ukuran
besik seukuran mata cangkul (15 x 20 cm) dan ukuran diameter
11,5–18,5 cm. Gambar 55 memperlihatkan berat gulma/serasah,
206
berat gambut, dan berat abu yang dihasilkan. Berdasarkan data
tersebut, berat gambut yang terbawa pada proses besik-bakar
adalah 159,15 ton/ha pada kondisi lahan basah dan 214,8 ton/ha
pada saat kondisi lahan gambut kering. Pada kondisi lahan
gambut kering, ketebalan gambut yang terbawa saat mencangkul
akan lebih besar dibandingkan pada saat lahan basah. Praktik
besik-bakar untuk memperoleh abu sebagai bahan amelioran
harus segera dihentikan dan diganti dengan sumber amelioran
alternatif, yaitu pengomposan bahan organik setempat.
Gambar 55. Rata-rata berat serasah/gulma, gambut, dan abu yang dihasilkan pada kondisi lahan gambut basah dan kering dari lima ulangan
Hasil analisis laboratorium terhadap kandungan hara
kompos berbahan baku bahan organik setempat menunjukkan
bahwa kompos hasil penelitian dapat digunakan untuk
menggantikan abu hasil pembakaran gambut sebagai bahan
amelioran. Kompos hasil penelitian mampu meningkatkan pH dan
207
memiliki kandungan unsur hara yang mencukupi. Hal ini sangat
diperlukan mengingat lahan ganbut memiliki kandungan
beberapa unsur hara makro dan mikro yang rendah (Najiyati et
al., 2005). Pengunaan kompos sebagai bahan amelioran akan
memberikan hasil yang optimal apabila ditambah dengan bahan
amelioran lain seperti kotoran ayam sebagai sumber unsur P dan
K (Buckman & Brady, 1969), zeolit sebagai pengikat N
(Suryapratama, 2004), batuan fosfat alam (rock phosfat) sebagai
sumber unsur P (Moersidi, 1999), dan kapur dolomit sebagai
sumber unsur Ca dan Mg (Winarso, 2005).
Kompos hasil penelitian yang berasal dari jenis bahan
organik yang berbeda menunjukkan kualitas yang berbeda pula.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis bahan organik yang akan
dikomposkan berpengaruh terhadap proses pengomposan dan
kualitas kompos yang dihasilkan. Tabel 33 menunjukkan bahwa
kompos berbahan baku bahan organik setempat mempunyai
kandungan hara yang tidak kalah dengan abu dan telah
memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk
kompos. Salah satu indikator kompos yang baik adalah
mempunyai pH mendekati netral. Nilai pH kompos hasil penelitian
berkisar antara 6,34–6,47; sedangkan abu hasil besik-bakar 6,42.
Kandungan unsur N kompos hasil penelitian berkisar antara 0,9–
1,23%; sedangkan abu hasil besik-bakar 0,85%. Kandungan P
kompos hasil penelitian berkisar antara 0,5–0,55%; sedangkan
abu hasil besik-bakar 0,14%. Kandungan unsur K kompos hasil
penelitian berkisar antara 0,3–0,43%; sedangkan abu hasil besik-
bakar 0,34%. Samekto (2006) menyatakan bahwa kompos yang
baik mengandung unsur hara makro N >1,5%, P2O5 (Phosfat)
>1%, dan K2O (Kalium) >1,5%. Rendahnya kandungan unsur N
pada kompos hasil penelitian diduga disebabkan oleh bahan baku
kompos yang berasal dari hijauan dedaunan yang menyebabkan
pertumbuhan mikroba sangat cepat sehingga sebagian dari
208
nitrogen akan berubah menjadi gas amoniak. Hal ini
menyebabkan Nitrogen yang diperlukan akan hilang. Mengatasi
hal ini, Samekto (2006) menyarankan kompos dari gulma yang
banyak mengandung bahan hijauan agar dicampur dengan
bahan-bahan yang mengandung C, seperti limbah serutan kayu.
Pencampuran bahan baku yang mengandung C dan N sebesar 30
: 1 (berdasarkan berat) mampu membuat kandungan unsur-
unsur penyusun proses pembuatan kompos seimbang.
Tabel 33. Kandungan unsur hara pada abu, tiga macam kompos, dan nilai SNI
No. Kandungan Unsur
Amelioran Lokal
Kompos Hasil Penelitian SNI 19-
7030-2004 BKK BKT BKM
1. pH H2O 6,42 6,41 6,34 6,47 6,8–7,49
2. Karbon (C) (%) 42,64 39,48 42,13 36,65 9,8–32
3. Nitrogen (N) (%) 0,85 0,90 1,23 1,09 0,4 (min)
4. C/N 50,36 76,97 36,41 33,89 10–20
5. Phospor (P2O5) 0,14 0,50 0,55 0,55 0,1 (min)
6. Kalium (K2O) (%) 0,34 0,30 0,36 0,43 0,2 (min)
7. Kalsium (Ca) (%) 6,25 3,48 3,30 4,50 25,5 (maks)
8. Magnesium (Mg) (%) 2,75 1,88 1,59 2,22 0,6 (maks)
9. Besi (Fe) (%) 0,77 0,26 1,39 0,10 2 (maks)
10. Sulfur (S) (%) 0,49 0,33 0,35 0,18 Na
Nisbah C/N kompos hasil penelitian berkisar antara 36,41–
76,97; sedangkan abu hasil besik-bakar 50,36. Tingginya nisbah
C/N pada kompos hasil penelitian diduga karena bahan organik
yang digunakan sebagai bahan kompos merupakan tumbuhan
gulma pertanian yang mempunyai kandungan hijauan dengan
209
unsur tinggi, tetapi kemudian menguap menjadi amoniak pada
saat proses pengomposan. Banyaknya N yang hilang menyebab-
kan unsur N dalam kompos rendah sehingga nisbah C/N kompos
menjadi tinggi. Kandungan unsur K, P, Mg, Fe, dan S kompos
hasil penelitian menunjukkan telah memenuhi SNI sehingga
memenuhi syarat untuk kecukupan unsur hara. Hasil analisis
terhadap parameter lingkungan yaitu kesuburan tanah, iklim
mikro, dan teknologi amelioran ramah lingkungan menunjukkan
bahwa pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry
untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara lingkungan
layak dilakukan.
Gambar 56. Tahapan pembuatan bak tanam dari batako (kiri-atas); profil bak tanam untuk tanaman semusim (sayuran) (kanan-atas); penanaman kacang panjang pada bak tanam (kiri-bawah); dan bedengan pada lahan gambut (kanan-bawah) untuk penanaman tanaman semusim
210
Selain pengomposan, upaya lain yang telah dilakukan
untuk mengurangi terjadinya penurunan permukaan gambut
akibat budi daya tanaman semusim adalah dengan membuat bak
tanam berisi tanah mineral sebagai media bercocok tanam
tanaman semusim. Tahapan dalam pembuatan bak tanam pada
penelitian ini ditampilkan pada Gambar 56. Bahan yang
digunakan sebagai dinding bak tanam adalah batako. Tanah
subur (tanah mineral) yang didatangkan dari daerah Tangkiling
dimasukkan ke dalam bak tanam dari batako yang telah selesai
dibuat. Ketebalan lapisan tanah subur yang dihasilkan sekitar 10–
15 cm. Pada saat digunakan sebagai media tanam, ke dalam bak
tanam juga ditambahkan pupuk kandang (pupuk organik) dan
pupuk kompos yang ditabur pada lubang tanam tanaman
semusim.
Gambar 57. Profil tanaman jagung yang mulai berbuah (muncul tongkol) pada bedengan gambut (kiri) dan bak tanam berisi tanah mineral (kanan)
211
Profil tanaman jagung yang ditanam pada bak tanam dan
bedengan gambut menunjukkan bahwa tanaman jagung yang
ditanaman di bak tanam mempunyai performansi pertumbuhan
yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman jagung yang
langsung ditanam di bedengan gambut. Hal ini ditunjukkan
dengan bentuk batang tanaman jagung yang lebih kokoh dengan
persentase tanaman yang roboh saat bertongkol 0%, sedangkan
jagung yang ditanam langsung di tanam di bedengan lahan
gambut mempunyai persentase roboh 5% (Gambar 57 dan
Gambar 58). Selain itu, ukuran tongkol jagung yang ditanam di
bak tanam lebih besar (dari segi ukuran dan bobot) dibandingkan
jagung yang ditanam di bedengan gambut.
Gambar 58. Jagung yang telah bertongkol yang ditanam di bedengan gambut tumbuh miring dan roboh saat hujan-angin (kiri), sedangkan yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral tetap tegak berdiri (kanan)
212
Gambar 59. Penyakit bulai yang menyerang daun jagung yang ditanam di bedengan gambut (kiri). Jagung yang ditanam di bak tanam tidak mengalami serangan penyakit bulai (kanan)
Gambar 60. Profil tanaman kacang tanah yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral (atas) dan di bedengan gambut (bawah)
213
Gambar 59 menunjukkan bahwa jagung yang ditanam di
bedengan gambut banyak yang mengalami penyakit bulai pada
daunnya, yaitu ditandai dengan warna kuning di helaian daun;
sedangkan jagung yang ditanam di bak tanam tidak mengalami
penyakit bulai pada daunnya. Berdasarkan pengalaman petani,
apabila daun jagung mengalami penyakit bulai maka
produktivitasnya akan rendah (tongkol jagung tidak berkembang
sempurna).
Gambar 60 menampilkan profil tanaman kacang panjang
yang ditanam di bedengan gambut dan bak tanam berisi tanah
mineral. Berdasarkan penampilan pertumbuhannya, tanaman
kacang panjang yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral
lebih subur bila dibandingkan dengan kacang tanah yang ditanam
di bedengan gambut. Hal ini ditunjukkan dengan warna daun
yang lebih hijau mengkilap dan hasil panen yang lebih baik.
Berdasarkan Gambar 57 sampai dengan Gambar 60 dan
Tabel 34, kesimpulan dapat diketahui bahwa tanaman pertanian
yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral mempunyai
pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
tanaman pertanian yang ditanam di bedengan gambut.
Berdasarkan hal tersebut, pengembangan teknik budi daya
tanaman pertanian di lahan gambut dengan bak tanam berisi
tanah mineral secara teknik layak untuk dilakukan dan terbukti
lebih baik dibandingkan cara tradisional (penanaman dilakukan
langsung di bedengan gambut).
214
Tabel 34. Perbandingan jumlah batang jagung yang hidup dan jumlah tongkol pada bak tanam berisi tanah mineral dan bedengan gambut
Ulang-an
∑ Awal di-
tanam
Bak Tanam Berisi Tanah Mineral ∑ Awal
di-tanam
Bedengan Gambut
Jumlah Batang Jagung
Jumlah yang Mati
Jumlah Tongkol Jagung
Jumlah Batang Jagung
Jumlah yang Mati
Jumlah Tongkol Jagung
1 30 24 6 20 60 44 16 29
2 50 45 5 44 60 41 19 33
3 50 43 7 40 60 51 9 51
4 50 45 5 40 60 60 0 52
5 60 54 6 45 60 52 8 45
6 60 59 1 54 60 52 8 46
7 50 49 1 54 60 47 13 44
8 50 50 0 48 60 43 17 41
9 60 56 4 41 60 51 9 46
10 50 48 2 46 60 48 12 37
11 60 55 5 49 60 47 13 39
12 60 53 7 48 60 52 8 47
13 60 52 8 46 60 42 18 34
14 60 52 8 41 60 50 10 50
15 50 50 0 45 60 57 3 55
16 60 56 4 55 60 52 8 33
∑ Total 810 791 76 716 960 789 171 682
Analisis kelayakan ekonomi penerapan bak tanam berisi
tanah mineral untuk menggantikan teknik tradisional dan
penanaman dilakukan langsung di bedengan gambut dapat
dijelaskan dengan perhitungan sederhana sebagai berikut.
215
1. Perhitungan biaya pembuatan bedengan gambut. Biaya
pelaksanaan besik-bakar dan pembuatan bedengan gambut
per gang (lorong di antara dua jalur tanaman jelutung yang
terdiri atas empat bedengan), yaitu:
(1) upah tebas-bakar Rp100.000,00;
(2) upah mencangkul membuat bedengan Rp100.000,00;
(3) upah melubangi dan menabur abu di lubang tanam
Rp50.000,00.
Total biaya sebesar Rp250.000,00. Biaya pembuatan
bedengan per satu gang tersebut akan selalu dikeluarkan
petani pada setiap musim tanam.
2. Perhitungan biaya pembuatan bak tanam berisi tanah subur.
Pada penelitian ini telah dibuat bak tanam dari batako
sebanyak 16 bak dengan ukuran masing-masing bak tanam
lebar 125 cm dan panjang 1.150 cm. Pada setiap gang/
lorong antara dua jalur tanaman jelutung terdapat empat
buah bak tanam. Komponen biaya yang dikeluarkan dalam
pembuatan bak tanam berisi tanah subur per gang/lorong
adalah:
(1) harga tanah mineral subur Rp400.000,00;
(2) harga batako Rp496.000,00;
(3) upah pemasangan batako membentuk bak tanam
Rp1.000.000,00;
(4) upah mengisi bak tanam dengan tanah mineral dengan
ketebalan 10–15 cm per bak tanam Rp100.000,00;
(5) upah melubangi dan menabur kompos di lubang tanam:
Rp 50.000,00.
Total biaya sebesar Rp2.046.000,00. Biaya pembuatan bak
tanam per satu gang tersebut hanya dikeluarkan satu kali
216
untuk beberapa kali penanaman tanaman semusim (sejauh
tanah mineral dalam bak tidak tererosi/hilang dari dalam bak
tanam). Apabila digunakan asumsi bahwa umur pakai bak
tanam adalah sebanyak 100 kali penanaman tanaman
semusim, biaya yang dikeluarkan untuk 100 kali penanaman
tanaman semusim untuk teknik tradisional–penanaman
dilakukan di bedengan gambut–sebesar Rp25.000.000,00
(100 x Rp250.000,00). Berdasarkan perhitungan tersebut,
penerapan bak tanam berisi tanah mineral untuk budi daya
tanaman semusim di lahan gambut dalam jangka panjang
lebih ekonomis dibandingkan dengan cara tradisional
(penanaman dilakukan langsung di bedengan gambut).
Selain lebih ekonomis, penanaman tanaman semusim di bak
tanam berisi tanah mineral juga lebih ramah lingkungan
karena dapat mengurangi terjadinya penurunan permukaan
lahan gambut (subsidence). Berdasarkan uraian tersebut,
penerapan teknik budi daya tanaman semusim di bak tanam
berisi tanah mineral di lahan gambut secara ekonomi layak
dilakukan dengan tingkat efisiensi sebesar 1 : 12
dibandingkan dengan teknik tradisional.
217
KELEMBAGAAN AGROFORESTRY
Strategi yang dilakukan untuk pengembangan sistem
agroforestry berbasis jelutung rawa untuk memproduktifkan
lahan gambut mencakup dua hal, yaitu (1) membangun
kelompok tani pengembang sistem agroforestry berkategori
kelompok produktif, dan (2) membangun kelembagaan
pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem
Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan.
Pendekatan yang dilakukan untuk pengembangan sistem
agroforestry berbasis jelutung rawa di lahan gambut berprinsip
pada dua aspek: (1) pemberdayaan melalui pembangunan
kapasitas, dan (2) mendukung perencanaan dan peningkatan
matapencaharian (livelihood). Penyusunan konsepsi pelibatan
petani lokal dalam pengembangan sistem agroforestry di lahan
gambut dilakukan dengan konsep pendekatan pemberdayaan
petani lokal. Hal ini dilakukan melalui pembangunan kapasitas
petani lokal yang mendukung perencanaan dan peningkatan
matapencaharian. Proses konsep tersebut dijelaskan pada
Gambar 61.
Bab IX
218
Gambar 61. Proses perencanaan pengembangan agroforestry di lahan gambut
Uraian berikut menjelaskan proses perencanaan pengem-
bangan agroforestry di lahan gambut.
1. Pengkajian Desa Partisipatif (PRA)
Tujuan utama dari PRA dalam pengembangan agroforestry
di lahan gambut adalah untuk menyusun rencana program
tersebut di tingkat desa yang memenuhi persyaratan: dapat
diterima petani lokal, secara ekonomi menguntungkan, dan
berdampak positif bagi lingkungan. Metode ini dilakukan
dengan memobilisasi sumber daya petani dan alam
setempat, serta lembaga lokal untuk mempercepat
peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan
pendapatan masyarakat, serta melestarikan sumber daya
219
alam setempat (Syahyuti, 2006). Pendekatan partisipatif
dalam kegiatan ini akan memberikan keuntungan, antara
lain petani peserta program akan lebih energik, lebih komit,
dan lebih bertanggung jawab. Agar terjadi pemberdayaan
petani lokal dalam kegiatan tersebut maka perlu adanya
dukungan bagi petani lokal untuk mengemukakan
pendapatnya, berbagi pengetahuan dan pengalaman,
mengkaji dan menyusun rencana, menciptakan kondisi yang
kondusif, dan berfokus pada proses dengan tidak
meninggalkan isi proses. Esensi pendekatan partisipatif
adalah seperti puisi karya pujangga klasik Cina, Lao Tzu,
berikut.
Datanglah ke desa, tinggallah bersama petani lokal,
Pahami mereka, pahami kebutuhan dan aspirasi mereka,
Ikutlah senang dan sedih bersama mereka,
Tunjukkan cara-cara berorganisasi kepada mereka,
Mulailah dengan apa yang mereka ketahui,
Membangunlah dengan apa yang mereka miliki,
Tingkatkan keterampilan mereka,
Bekerja sambil belajar,
Bimbinglah dengan peragaan dan contoh.
2. Kelompok Kerja Desa (KKD)
Kelompok Kerja Desa (KKD) merupakan lembaga yang terdiri
atas kelompok peminat program, tenaga ahli lokal, LSM
pendamping, dan perangkat pemerintahan desa. Lembaga
ini berfungsi untuk memfasilitasi, melatih, mendampingi, dan
mengasistensi individu petani peminat program (kepala
rumah tangga peminat program).
220
3. Perencanaan Rumah Tangga
Ujung tombak keberhasilan pengembangan agroforestry
untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di lahan gambut
adalah individu petani (kepala rumah tangga peminat
program). Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan tersebut
perlu memerhatikan aspirasi individu petani, utamanya
dalam preferensi jenis pohon yang akan ditanam dan pola
tanam yang akan digunakan. Perencanaan pengembangan
agroforestry untuk memproduktifkan lahan gambut tingkat
rumah tangga merupakan mekanisme pelaksanaan RHL
yang bottom-up.
4. Konsolidasi
Konsolidasi merupakan tahapan setelah masing-masing
individu petani (kepala rumah tangga peminat program)
menyelesaikan usulannya, dan usulan tersebut telah dibahas
oleh KKD. Selanjutnya, KKD akan mengajukan hasil
pembahasan kepada pemerintah. Implementasi pengem-
bangan agroforestry untuk RHL partisipatif di lahan gambut
dilakukan dengan metode seperti pada Gambar 59.
221
Gambar 62. Aksi pengembangan agroforestry di lahan gambut
Uraian berikut menjelaskan proses aksi pengembangan
agroforestry di lahan gambut.
1. Kelompok Peminat Program
Lokasi lahan tempat pengembangan agroforestry lahan
gambut di tingkat desa ditentukan bukan berdasarkan pola
hamparan, tetapi berdasarkan pada petani peminat program.
Petani yang berminat mendaftarkan dirinya sebagai petani
peserta program yang selanjutnya bergabung dalam
kelompok peminat program.
2. Tenaga Ahli Lokal
Bagi petani di desa, faktor tokoh panutan mempunyai
pengaruh besar pada cara pandang dan cara tindak mereka.
2. Tenaga Ahli
Lokal
4. Implementasi
Aksi Pengembangan agroforestry di lahan gambut
1. Kelompok Peminat Program
3. Kontrak
222
Secara umum, petani di desa mencirikan masyarakat yang
paternalistik, yaitu faktor karakter tokoh desa akan banyak
memengaruhi dinamika kehidupan mereka (Adi, 2003). Lebih
lanjut, Ismawan (2000) menjelaskan bahwa ciri paternalistik
petani lokal di pedesaan dapat dipandang sebagai potensi
kelembagaan petani di pedesaan untuk dijadikan energi bagi
kemajuan perekonomian (dalam hal ini keberhasilan
pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan gambut).
3. Kontrak
Kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan musyawarah
yang dituangkan dalam surat kesepakatan bermaterai. Hal
ini dimaksudkan agar kesepakatan tersebut mengikat semua
pihak yang terlibat dalam penyusunan kesepakatan tersebut.
4. Implementasi
Langkah selanjutnya adalah implementasi semua hal yang
telah disepakati dalam kontrak kerja. Pada aspek
implementasi, faktor keberlanjutan merupakan hal yang
pokok dan dapat tercipta jika kondisi berikut terpenuhi:
(1) pelatihan bagi petani peminat program untuk
memfasilitasi dan melatih petani yang lainnya;
(2) dukungan keuangan dan teknis untuk membangun
kapasitas;
(3) mempercepat dan mendukung terbentuknya institusi
lokal yang kuat;
(4) pelaksanaan program berprinsip petani lokal yang
memutuskan, memilih, dan mengelola;
(5) jaringan kerja antar desa-desa (antar KKD);
(6) desentralisasi budget dan sumber daya.
223
Inti dari pembentukan partisipasi petani lokal pada
pengembangan agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan gambut
adalah bagaimana para pihak pemangku kepentingan
(stakeholders) mampu membangun komunikasi yang sehat
dengan mengedepankan nilai-nilai persamaan hak, kesetaraan,
bertanggung jawab, saling menghormati, dan menghargai. Selain
itu, lokasi pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan
gambut seharusnya ditentukan berdasarkan kepada petani
peminat bukan hamparan lahan dengan alasan (1) individu petani
peminat program (kelompok pehobi) masing-masing telah
mempunyai kesadaran (awareness), (2) adanya ketertarikan
(interest), (3) adanya keinginan yang kuat (desire), dan (4)
kemampuan untuk bertindak (action) dalam mensukseskan
kegiatan RHL. Keempat sikap positif tersebut sangat penting
dalam pelaksanaan RHL partisipatif.
Kesadaran (awareness) petani muncul didasari oleh
beberapa hal, yaitu (1) kesadaran petani untuk menghindari
terjadinya kerusakan lingkungan seperti erosi, banjir, dan
bencana ekologis lainnya; (2) kesadaran petani bahwa menanam
pohon dapat menjadi tabungan di hari tua dan anak cucu; (3)
kesadaran petani bahwa hutan yang cenderung semakin
berkurang luasannya dan semakin jauh dari permukiman
menyebabkan mereka akan kesulitan memperoleh kayu, baik
untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual; (4) kesadaran
petani bahwa penanaman pohon mempunyai peranan menjaga
kesuburan lahan gambut. Sistem perladangan berpindah
merupakan bukti nyata peranan pohon dalam mengembalikan
kesuburan tanah.
Ketertarikan (interest) petani untuk berpartisipasi selain
ditentukan oleh faktor internal juga faktor eksternal, utamanya
pola insentif yang ditawarkan. Karakteristik petani yang marginal
224
(subsisten), tawaran hasil yang besar merupakan salah satu
faktor pemacu yang sangat memotivasi petani lokal
mengembangan agroforestry di lahan gambut.
Keinginan yang kuat (desire) untuk memproduktifkan lahan
gambutnya selanjutnya akan mendorong petani melakukan aksi
(action) untuk mengembangkan agroforestry sesuai dengan
minat dan kebutuhannya. Pemberdayaan petani yang dilakukan
harus mencakup lima aspek pengembangan: sumber daya
manusia (SDM), organisasi, budi daya (teknis usaha), keuangan/
ekonomi, dan kemitraan. Pola pembinaan dan pengembangan
tersebut diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan taraf
hidup petani, serta mampu mendorong perekonomian petani
lokal kearah yang lebih maju.
Kesejahteraan petani lokal dapat terwujud jika empat
faktor berikut terpenuhi:
(1) produktivitas kebun yang setinggi-tingginya;
(2) kualitas produksi yang sebaik-baiknya;
(3) adanya diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal;
(4) adanya mitra usaha yang menangani aspek pengolahan,
pemasaran, dan keuangan.
Keempat faktor tersebut dapat terwujud, bila persyaratan
berikut terpenuhi: (1) sumber daya petani yang profesional; (2)
kebersamaan, kekompakan, dan keharmonisan seluruh petani
(warga desa); (3) kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi
melayani kebutuhan petani yang didukung oleh sistem keuangan
yang transparan. Inti dari kegiatan pemberdayaan petani adalah
mengakumulasikan potensi yang dimiliki individu petani
(pendekatan dari bawah) untuk digunakan secara maksimal
mewujudkan kesejahteraan mereka.
225
Dalam konteks pelibatan petani lokal dalam pengembangan
agroforestry untuk RHL di lahan gambut, desain program
seharusnya tidak hanya sekedar mengatur aspek teknis. Desain
program kegiatan juga harus dapat menjamin kelestarian
pemanfaatan sumber daya hutan secara ekologis dan sosial-
ekonomi, yaitu hutan tetap lestari dan petani lokal sejahtera.
Oleh karena itu, penetapan tujuan kegiatan dilakukan untuk
mendesain program dengan tujuan dan kegiatan yang menjamin
tingkat kelestarian yang tinggi dari penggunaan sumber daya
lahan gambut dan petani lokal dengan penekanan pada
keterlibatan dan peran serta petani lokal secara aktif.
Keterlibatan dan peran serta petani lokal dalam kegiatan RHL
akan sangat tergantung dari sejauh mana petani lokal merasa
dan menerima tanggung jawab terhadap pengelolaan sumber
daya, yaitu seperti dalam bentuk kesempatan untuk mengontrol
dan mengawasi sumber daya, dimilikinya bentuk tugas dan
kewajiban yang jelas, adanya hak yang jelas, pengetahuan dan
kemampuan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut,
dan diperolehnya imbalan yang memadai untuk melakukan
kontrol tersebut.
Uraian berikut menjelaskan tentang hubungan antara hak,
kompetensi (kemampuan), manfaat, dan kelembagaan (organi-
sasi) petani lokal yang kuat sebagai prasyarat penting untuk
menjamin peran serta dan tumbuhnya tanggung jawab dalam
pengembangan agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan
gambut.
1. Kepentingan/Manfaat Ekonomi
Masyarakat akan terlibat dalam kegiatan RHL hanya apabila
mereka melihat secara jelas manfaatnya, baik intangible
maupun tangible; berupa hasil fisik, jasa, ataupun dalam
bentuk penerimaan. Mereka akan membuat perkiraan biaya-
226
manfaat (untung rugi), baik untuk kepentingan jangka
pendek maupun jangka panjang, dalam konteks tujuan
ekologis ataupun sosial-ekonomi. Oleh karena itu,
pembangunan dan pengembangan hutan rakyat harus
mempertimbangkan kepentingan ganda (multiple interest)
yang dapat dinikmati petani lokal. Apabila kepentingan
ekonomi pembangunan hutan rakyat tidak cukup memadai–
seperti yang diperkirakan–maka dapat menyebabkan mereka
kurang termotivasi mengorbankan waktu, tenaga, ataupun
dana untuk melakukan kegiatan tersebut. Penerimaan
finansial dari pola agroforestry yang dikembangkan erat
sekali hubungannya dengan rasa memiliki terhadap
keberadaan jenis tanaman yang ditanamnya.
2. Kompetensi/Kapasitas
Masyarakat akan termotivasi untuk terlibat dalam
pengembangan agroforestry dalam rangka RHL di lahan
gambut hanya apabila memiliki kompetensi (pengetahuan
atau teknologi) untuk mengerjakan kegiatan tersebut.
Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa kemampuan
analisis untuk melihat situasi dan kondisi aktual (saat ini)
dan potensi di masa depan, ataupun kemampuan untuk
melakukan pilihan terbaik dari beragam aktivitas beserta
dampaknya. Hal ini berkaitan dengan pengorganisasian dan
pengelolaan aktivitas tersebut. Kompetensi untuk melakukan
pengelolaan tanaman RHL seharusnya didasarkan pada
pengetahuan setempat dan dapat diadaptasikan ke kondisi
lingkungan yang berubah sebagai tujuan atau sasaran yang
diinginkan. Kompetensi ini dapat dilakukan melalui pelatihan
atau bentuk pendidikan lainnya.
227
3. Wewenang dan Hak
Apabila dipandang tidak ada jaminan berupa kewenangan
dan hak yang dapat mereka peroleh dari aktivitas yang
dilakukan, dapat dipastikan, mereka akan ragu. Bahkan,
mereka akan meninggalkan aktivitas tersebut dan beralih ke
aktivitas lain yang lebih memberikan jaminan hasilnya. Pada
beberapa kasus, sistem kewenangan dan hak tradisional
terkadang sedang dalam proses disintegrasi yang secara
perlahan tergantikan oleh ketentuan formal dan hanya
memberikan sedikit keleluasaan bagi berkembangnya
kewenangan dan hak setempat. Kewenangan dan hak
terhadap hasil, akses, dan hak kepemilikan individu ataupun
kolektif sebaiknya dibuat secara eksplisit dalam kerangka
ketentuan formal, misalnya dalam bentuk peraturan
pemerintah atau perundangan lainnya.
4. Organisasi Lokal yang Kuat
Organisasi lokal yang kuat sebaiknya juga diikuti pada
tingkat individu. Untuk meningkatkan pengakuan bahwa
individu-individu petani pengembang agroforestry memiliki
kapasitas, kepentingan individu-individu tersebut sebaiknya
didukung oleh organisasi lokal yang kuat. Pengelolaan
agroforestry yang dikembangkan akan mendapat dukungan,
peran serta, dan tanggung jawab petani di tingkat lokal
apabila pada tingkat tersebut dipenuhi empat prakondisi:
adanya jaminan hak, dimilikinya pengetahuan/ kompetensi,
ada jaminan manfaat, dan adanya kelembagan lokal yang
kuat.
Sementara itu di tingkat nasional, instrumen kebijakan harus
berjalan secara efektif yang terdiri atas peraturan yang
menjamin adanya hak, training/pelatihan dan penelitian
228
yang terus-menerus, dan ditetapkannya insentif. Apabila
dicermati dalam proses pengembangan agroforestry, petani
lokal–sebagai pelaku utama–memiliki tanggung jawab yang
besar yaitu melestarikan fungsi hutan. Namun pada saat
yang sama, mereka juga dituntut untuk mampu
meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Padahal,
tingkat kelestarian fungsi hutan dan tingkat kesejahteraan
masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik masing-masing. Sebagai
pelaku atau pengelolaan tanaman RHL, petani lokal harus
mengenal ciri-ciri fungsi hutan yang lestari tersebut,
bagaimana kriteria dan indikatornya. Begitu halnya, kriteria
dan indikator petani lokal yang sejahtera perlu dikenali dan
diusahakan oleh para pihak (stakeholders) yang terlibat
dalam kegiatan RHL partisipatif.
Upaya mewujudkan kesejahteraan petani lokal tersebut
memerlukan adanya kemitraan. Kata kemitraan berasal dari
kata mitra yang berarti teman. Kata “teman” ini mengajak
kita mempersepsikan hubungan antar personal yang
berkelanjutan dan selalu menghasilkan hal yang baik/positif,
sedangkan lawan dari kata teman adalah musuh yang dapat
diartikan hubungan antar makhluk yang terputus dan
menghasilkan efek yang negatif. Dasar pemikiran yang perlu
kita pahami sebenarnya adalah perlunya landasan keikhlasan
antara kedua pihak untuk menjalin hubungan kemitraan
tersebut. Apabila tidak ada keikhlasan atau kerelaan, maka
hubungan kemitraan tersebut diragukan kekuatan dan
ketahanannya. Hubungan kemitraan yang dilandasi dengan
keikhlasan, akan menjadi hubungan kemitraan yang kuat.
Kerelaan atau keikhlasan dalam menjalin hubungan
kemitraan akan memotivasi kita untuk memahami, mengerti,
dan mencoba mengadaptasi diri sendiri dengan orang lain
(teman) sehingga kita cenderung selalu membuat suasana
229
yang ramah, baik, dan kondusif. Kerjasama tersebut tercipta
karena pihak mitra melihat bahwa dengan adanya
kebersamaan dalam masyarakat, peluang-peluang usaha
akan muncul dengan nilai efisiensi tinggi. Sebagai contoh,
apabila produksi dipasarkan secara kolektif maka kontinuitas
produksi akan tercapai dan pemasaran akan menguntung-
kan. Sementara itu, berbekal kebersamaan pola pikir
(motivasi memperbaiki hidup), kualitas produksi akan
meningkat dengan adanya kebersamaan motivasi untuk
mempertinggi nilai tawar (bargaining position). Namun
demikian, perlu disadari bahwa pada hubungan kemitraan
yang kuat sekalipun dapat saja terjadi risiko hubungan
kemitraan yang lambat laun akan hilang.
Degradasi hubungan kemitraan dapat disebabkan karena
adanya eliminasi sikap saling percaya yang semakin lama
semakin diragukan oleh masing-masing pihak yang bermitra.
Apalagi dalam kemitraan usaha, setiap pihak sering
meragukan komitmen pihak yang lain dalam bermitra. Untuk
menghindari hal tersebut, sistem yang menjamin bahwa
setiap pihak tetap mendapatkan keuntungan materiil
maupun moril secara adil sangat diperlukan. Sistem tersebut
disebut dengan Sistem kebersamaan ekonomi (SKE). Sistem
kebersamaan ekonomi (SKE) adalah suatu sistem yang
mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh
laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan
kebersamaan. Pendekatan ini diperlukan untuk memperkuat
rasa kebersamaan masing-masing pihak karena nilai
kebersamaan dianggap kuat bila dapat mengakomodir
kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada
keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing
pihak, kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersama-
an yang produktif dan tidak bertahan lama.
230
Pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan gambut
pada masa mendatang kiranya perlu dirancang pola insentif yang
memenuhi syarat: (1) menarik minat petani untuk berpartisipasi
secara aktif, dan (2) mampu meningkatkan kesejahteraan petani
melalui pemberdayaan potensi yang dimiliki masing-masing
individu petani dan kelompoknya. Insentif kegiatan RHL selama
ini (termasuk insentif GN-RHL/GERHAN) lebih banyak didasari
oleh keinginan petani lokal untuk mendapatkan “upah”. Hal ini
berakibat partisipasi petani lokal lebih dilandasi kepentingan
memperoleh keuntungan materi yang bersifat sesaat sehingga
kondisi tanaman menjadi kurang terawat, terutama setelah
kegiatan tidak lagi dibiayai oleh proyek (pemerintah). Dengan
demikian, kondisi tersebut berakibat pada rendahnya
keberhasilan tanaman RHL.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa upaya perlu dilakukan
untuk menarik minat petani berpartisipasi dalam kegiatan RHL,
sebagai berikut.
1. Lahan lokasi pengembangan agroforestry di lahan milik tidak
harus berupa satu hamparan, tetapi tergantung pada
kepemilikan lahan oleh petani peminat program.
2. Iinsentif kegiatan pengembangan agroforestry dapat berupa
peminjaman uang untuk modal kerja usaha produktif seperti
perbengkelan, peternakan (ayam, itik, kambing, sapi, dll.),
warung makan, penjahit pakaian, dan usaha produktif
lainnya. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama
oleh pemerintah dan petani peserta program dalam bentuk
surat kesepakatan (MoU) bermeterai.
3. Insentif kegiatan RHL dapat berupa pemberian beras (food
for work) untuk petani peserta program yang jumlahnya
ditentukan setiap bulan. Jumlah beras yang diterima per
bulan dan jangka waktu pemberian beras tersebut
231
ditentukan berdasarkan luasan lahan dan jumlah batang
pohon per ha yang ditanam oleh petani. Kesepakatan ini
disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani
peserta program dalam bentuk surat kesepakatan (MoU)
bermeterai.
4. Insentif berupa upah langsung sebaiknya dilakukan dengan
mekanisme “beli tanaman tumbuh”. Pada pola ini,
mekanisme pemberian upah dilakukan secara periodik
(misalnya setiap 3 bulan atau 6 bulan sesuai pertumbuhan
tanaman). Besarnya upah yang diterima petani peserta
ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah tanaman yang
ditanam yang hidup atau tumbuh. Luas lahan yang ditanami
atau jumlah pohon per ha yang ditanam merupakan hasil
kesepakatan atau musyawarah dengan petani peminat
program. Kesepakatan ini pun harus dibuat bersama-sama
oleh pemerintah dan petani peserta program dalam bentuk
surat kesepakatan (MoU) bermeterai.
Selain itu, mengingat kondisi ekologi adalah lahan gambut,
praktik pertanian seharusnya mengacu pada bentuk-bentuk
pertanian berikut.
1. Praktik pertanian yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya lokal yang ada, yaitu dengan mengombinasikan
berbagai macam komponen sistem usaha tani (tanaman,
hewan, tanah, air, iklim, dan manusia) sehingga saling
melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
2. Praktik pertanian dengan cara pemanfaatan input luar hanya
diperlukan bila untuk tujuan melengkapi unsur-unsur yang
kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya
biologi, fisik, dan manusia; pemanfaatan input luar
232
memberikan perhatian utama pada upaya memaksimalkan
daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan.
3. Praktik pertanian tidak bertujuan untuk memaksimalkan
produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai
tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka
panjang.
Teknologi yang diaplikasikan dalam pengembangan
agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan gambut harus
memerhatikan kondisi petani dengan berprinsip:
(1) pemahaman akan kebutuhan dan aspirasi petani lokal;
(2) fasilitasi/pendampingan tentang cara-cara berorganisasi
kepada petani lokal;
(3) paket teknologi yang akan dikembangkan harus dimulai dari
apa yang mereka ketahui;
(4) kegiatan dibangun atas dasar apa yang mereka miliki
(potensi SDA dan SDM setempat);
(5) asistensi peningkatan kapasitas dan keterampilan mereka;
(6) bekerja sambil belajar;
(7) membimbing dengan peragaan dan contoh.
233
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 354 hlm.
Adinugroho, W.C., I.N.N. Suryadiputra, B.H. Saharja dan I. Siboro, 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Wetland Int.-Indo. Prog. & GEC. Bogor, Indonesia. 162 hlm.
Aminudin. 1982. Light requirement of Dyera costulata seedlings. Malayan Forester 45 (2): 203–208.
Andriesse. J.P. 1988. Nature and management of tropical peat soils. FAO Soils Bull. 59. 165 hlm.
Aquino, A.M., R.F. Silva, F.M. Mercante, M.E.F. Correria, M.F. Guimardes and P. Lavelle. 2008. Invertebrate soil macrofauna under different ground cover plants in the no-till system in the Cerrado. European Journal of Soil Biology 44: 191–197. www.sciencedirect.com.
Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. 2005. Budi daya Jelutung. Laporan Profil Penyusunan Bidang Usaha Unggulan Sub Sektor Perkebunan. 27 hlm.
Baker, G.H. 1998. Recognizing and responding to the influences of agriculture and other landuse practices on soil fauna in Australia. App. Soil Eco. 9: 303–310. www.sciencedirect.com.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian [BB Litbang SDLP]. 2008. Laporan Tahunan 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
234
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan [BPDAS]. 2007. Laporan Kegiatan Pembangunan Area Model Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gambut. Palangkaraya. 35 hlm.
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan [BPDAS]. 2009. Laporan Kegiatan Pembangunan Area Model Silvikultur Intensif (SILIN). Palangkaraya. 40 hlm.
Barber, K.E. 1993. Peatlands as scientific archives of past biodiversity. Biodiversity and Conservation, 2: 89–474.
Basri, H.M. 2001. Analisis margin pemasaran industri gula aren produksi pengrajin gula aren di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Jurnal Kalimantan Scientiae 58 Th. XIX: 55–71.
Bastoni. 2001. Pertumbuhan hasil dan kualitas tapak hutan tanaman di Sumatera bagian Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan.
Bastoni dan A.H. Lukman. 2006. Prospek pengembangan hutan tanaman jelutung (Dyera lowii) pada lahan rawa Sumatera. Di dalam S. Hidayat, H. Daryono, H. Suhaendi, M. Turjaman dan H. Mardiah [Editor]. Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Jambi, 22 Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. pp 19–30.
Bastoni dan H.D. Riyanto. 1999. Teknik Silvikultur untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan Basah Bekas Tebangan di Sumatera Selatan dan Jambi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan.
Botch, M.S., K.I. Kobak, T.S. Vinson and T.P. Kolchugina. (1995). Carbon pools and accumulation in peatlands of the former Soviet Union. Global Biogeochemical Cycles, 9: 37–46.
Brady, M.A. 1997. Organic matter dynamic of coastal peat deposit in Sumatera, Indonesia. Phd thesis. The University of British dalam Mudiyarso dkk, 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan
235
cadangan Karbon pada lahan gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.
Brown, S., J.M. Anderson, P.L. Woomer, M.J. Swift and E. Barrios. 1994. Soil biological processes in tropical ecosystems. In P.L. Woomer and M.J. Swift [Editor] The Biological Management of Tropical Soil Fertility. John Wiley & Sons. pp 15–46.
Bruyn, L.A.L. 1999. Ants as bioindicators of soil function in rural environments. Agriculture, Ecosystem and Environment 74: 425–441. www.sciencedirect.com.
Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1969. The Nature And Properties Of Soils. The Mac Millan Company, New York.
Budiningsih, K. dan A. Ardhana. 2011. Laporan Hasil Penelitian T.A. 2010. RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Analisis ekonomi dan kelayakan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Banjarbaru. Januari 2011. 44 hlm.
Burkill. 1935. A Dictionary of Economic Products of Malaysia. pp 889–897.
Central Kalimantan Peat Project [CKPP]. 2007. Mengelola Bencana Kebakaran Hutan Lahan dan Pekarangan. Palangkaraya. 120 hlm.
Dahuri, R. 1997. Dampak lingkungan proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektar dan arahan pengelolaannya. Jurnal Alami 2 (1): 7–12.
Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah, dasar teori bagi peneliti tanah dan pelaksana pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 441 halaman.
Daryono, H. 2000. Teknik Membangun Hutan Tanaman Industri Jenis Jelutung (Dyera spp.). Informasi Teknis Galam No. 3/98. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Kalimantan Selatan.
236
Decaens, T., T. Dutoit, D. Alard and P. Lavelle. 1998. Factor influencing soil macrofaunal communities in post-pastoral successions of western France. App. Soil Eco. 9: 361–367. www.sciencedirect.com.
Departemen Kehutanan [Dephut]. 2009a. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan [Dephut]. 2009b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria Dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Diemont, W.H., H.D. Rijksen and M.J. Silvius. 1992. Development and conservation of lowland peat areas in Indonesia: how and where. In B.Y. Aminnudin [Editor]. Tropical Peat: Proceeding of The International Symposium on Tropic Peatland. 6–10 Mei 1991. Kuching, Sarawak, Malaysia. pp 169–179.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2003. Pemberdayaan Petani Melalui Sistem Kebersamaan Ekonomi Berdasarkan Manajemen Kemitraan. Jakarta.
Djajadiningrat, S.T. 2001. Untuk Generasi Masa Depan: Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi. Departemen Teknik Industri. Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Bandung. 375 hlm.
Dradjat, M., S. Soeprapto, M. Shodiq, Hidayat and N. Mulyono. 1989. Subsidence of peat soils in the tidal swamplands of Barambai, South Kalimantan. p 168–181. In ILRI. Symp. Lowland Development in Indonesia, Jakarta, 24–31 August 1986, Wageningen, The Netherlands.
Driessen, P.M. and Soepraptohardjo. 1974. Organic Soils. In Soils for agricultural expansion in Indonesia. ATA 106 Bulletin 1. Soil Research Institute. Bogor.
Elliot, E.T. 1997. Rationale for developing bioindicators of soil health. in C. Pankhrust, B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta
237
[Editor]. Biological Indicators of Soil Health. CAB International, New York, USA. pp 49–78.
Euroconsult. 1984. Nationwide study of coastal and near coastal swamp-land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Vol. I and II, Arnhem.
Foxworthy. 1972. Commercial timber trees of Malay. The Malayan Forester 3: 109–112.
Hadi, A., M. Haridi, K. Inubushi, E. Purnomo, F. Razie and H. Tsuruta. 2001. Effects of land-use change on tropical peat soil on the microbial population and emission of greenhouse gases. Microbes and Environments 16: 79–86.
Hairiah, K., M. Agung dan S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestry. ICRAF World Agroforestry Center.
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian suatu peluang dan tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. 22 Juni 1996.
Harsoyo, E. 2002. Keragaman dan dinamika makrofauna tanah pada berbagai pola penggunaan lahan di Pekalongan Jawa Tengah. Tesis Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan.
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Seameo Biotrop. Bogor.
Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943.
Huxley, P.A. 1999. Tropical Agroforestry. Blackwell Science Ltd. London.
Indrayatie, E.R. dan Suyanto. 2009. Penyusunan Database Digital Karakteristik Habitat Jelutung (Dyera polyphylla Miq. V. Steenis) di Lahan Basah Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan. Manajemen Hutan. Universitas Lambung Mangkurat. Tidak dipublikasikan.
238
Ismawan, B. 2000. Pemberdayaan Orang Miskin: Refleksi Seorang Pegiat LSM. Puspa Swara. Jakarta.
Jaya, N.S. 2002. Perubahan tutupan lahan di kawasan lahan gambut sejuta hektar selama 5 tahun (1995–2000). Prosiding Lokakarya Kajian Status dan Sebaran Gambut di Indonesia, Bogor 25 Oktober 2002. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Jouquet, P., J. Dauber, Lagerlof, P. Lavelle and M. Lepage. 2006. Soil invertebrate as ecosystem engineers: Intended and accidental effect on soil and feedback loops. Appl. Soil Ecol. 32: 153–164. www.sciencedirect.com.
Kartamihardja, E.S. 2002. Pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah: mega proyek pemusnahan sumberdaya perikanan. Makalah falsafah sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor. pp. 25.
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.
Karyono, O.K. 2008. Peluang Usaha Budi daya Jelutung (Dyera costulata) pada Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Majalah Kehutanan Indonesia (MKI) Edisi II/2008. Jakarta.
King, K.F.S. 1979. Concept of Agroforestry. In M.T. Chandler and D. Spurgeon [Editor]. Proceeding of an International Conference in Agroforestry. ICRAF. Nairobi, Kenya. pp. 1–14.
King, K.F.S. and M.T. Chandler. 1978. The watershed lands. The Program of Work on The International Council for Research in Agroforestry (ICRAF). Roma.
Konstantin, B. G., T. Pearson and A. D. Pokazhevskii. 2008. Effect of soil temperature and moisture on the feeding activity of soil animals as determined by the baitlamina test. Appl. Soil Ecol. 39: 84–90. www.sciencedirect.com.
Kramer, P. J. and T. T. Kozlowski. 1960. Physiology of trees. Mc Grow Hill Company. New York. 642 hlm.
239
Lahjie, A.M. 2001. Teknik Agroforestry. Penerbit UPN “Veteran Jakarta” (Grafika-UPNVJ). Jakarta.
Laossi, K. R., S. Barot, D. Carvalho, T. Desjardins, P. Lavelle, M. Martins, D. Mitja, A.C. Rendeiro, G. Rousseau, M. Sarrazin, E. Velasquez and M. Grimaldi. 2008. Effects of plant diversity on plant biomass production and soil macrofauna in Amazonia pastures. Pedobiologia 51: 397–407. www.sciencedirect.com.
Lavelle, P. 1994. Soil fauna and sustainable land use in the humid tropics. In D.I. Greenland and I. Szabolcs [Editor]. Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.
Lavelle, P., T. Decaens, M. Aubert, S. Barot, M. Blouin, F. Beureau, P. Margerie, P. Mora and J. P. Rossi. 2006. Soil invertebrates and ecosystem services. European Journal of Soil Biology 42: S3–S15. www.sciencedirect.com.
Limin, S.H. 2004. Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi pemulihannya. Di dalam A.P. Tampubolon, T.S. Hadi, W. Wardani dan Norliani [Editor]. Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Ilmiah. Palangkaraya, 12 Mei 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. pp. 1–14.
Limin, S.H., A. Jaya, A. Dohong dan Y. Jagau. 2003. Pokok-pokok pikiran tentang penanganan kawasan eks-PLG Kalimantan Tengah. CIMTROP Universitas Negeri Palangkaraya. Palangkaraya.
Limin, S.H., A. Jaya, F. Siegert, J.O. Rieley, S.E. Page and H.D.V. Boehm. 2004. Tropical peat fire an fire in 2002 in Central Kalimantan, Its characteristics and the amount or carbon released. In: J. Paipanen (Eds). Proc. Of the 12th Int. Peat congress. Wise Use of peatlands. Vol. 1. Tampere, Finland, 6-11 June 2004. Pp. 679–686.
240
Maftu’ah, E., M. Alwi dan M. Willis. 2005. Kelimpahan dan Diversitas makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah gambut. Jurnal Bioscientiae 2(1): 15–25.
Maltby, E. and C.P. Immirzi. 1996. The sustainable utilization of tropical peatlands. In E. Maltby [Editor]. Proceeding of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands. IUCN. Pp. 1–16.
Melling, L.R. Hatano and K.J. Goh. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystem in tropical peatland of Serawak, Malaysia. Tellus 57B: 1–11. Uk.
Miranda, E.D., F.S. Pinero and A.G. Megias. 2009. Different microhabitats affect soil macroinvertebrate assemblages in a mediterranean arid ecosystem. Appl. Soil Ecol. 41: 329–335. www.elsevier.com.
Miura, F., T. Nakamoto, S. Kaneda, S. Okano, M. Nakajima and T. Murakami. 2008. Dynamic of soil biota at different depths under two contrasting tillage practices. Soil Biology & Biochemikry 40: 406–414. www.elsevier.com.
Moersidi, S. 1999. Phosfat alam sebagai bahan baku dan pupuk Phosfat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 82 hlm.
Monika. 2002. Kelayakan Investasi Proyek Perkebunan Jelutung di Kota Palangkaraya. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hlm.
Mudiyarso, D. dan I.N.N. Suryadiputra. 2003. Paket Informasi Praktis. Proyek Climate Change Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Muslihat, L. 2003. Teknik Penyiapan Lahan untuk Budi daya Pertanian di lahan Gambut dengan Sistem Surjan. Wetlands Internasional-Indonesia Programme. Bogor.
241
Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization, distribution and utilization of Peat in Malaysia. In B.Y. Aminuddin [Editor]. Tropical Peat: Proceeding of The International Symp. on Tropic Peatland. Kuching, Sarawak, Malaysia. 6–10 May 1991. pp 7–16.
Nair, P.K.R. 1985. Classification of agroforestry systems. Agroforestry Systems 3: 97–128.
Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers in Cooperation with International Centre for Research In Agroforestry, ICRAF. Netherlands.
Najiyati, S., A. Asmana dan I.N.N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Notohadinegoro, T. 1996. Perspektif pengembangan lahan basah: maslahat dan mudarat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peringatan Setengah Abad Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 25–26 September 1996. Yogyakarta.
Notohadiprawiro, T. 2006. Pemapanan agroforestry selaku bentuk pemanfaatan lahan menurut kriteria pengawetan tanah dan air. Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. 12 halaman.
Page, S.E., R.A.J. Wüst, D. Weiss, J.O. Rieley, W. Shotyk and S.H. Limin. 2004. A record of late pleistocene and holocene carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): implications for past, present and future carbon dynamics. Journal of Quaternary Science 19: 625–635.
Prijono, A. 1999. Populasi dan keragaman makrofauna tanah pada berbagai sistem penggunaan tanah di Jambi. Thesis
242
Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Radjagukguk, B. 2000. Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 2 No. 1, Februari 2000. Halaman 1–16. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rahmawaty. 2004. Studi keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan hutan wisata alam Sibolangit (Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara). www.library.usu.ac.id.
Raintree, J.B. 1990. Theory and practice of agroforestry diagnosis and design. In K.G. Macdiken and N.T. Vergara [Editors]. Agroforestry: Classification and Management. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Reijntjes, C., B. Haverkort dan A.W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Y. Sucoko [Penerjemah]. E. van de Fliert dan B. Hidayat [Editor]. Terjemahan dari: Farming for The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Ridlo, R. 1977. Emisis CO2 pada pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan. Jurnal Alami 2 (1): 57–58.
Rieley, J.O., A.A. Shah and M.A. Brady. 1996. The extern and nature of tropical peat swamps. In E. Maltby [Editor]. Proceeding of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands. IUCN. Pp. 17–54.
Rieley, J.O. and S.E. Page. 2005. Wise use of tropical peatlands: Focus on Southeast Asia. Nottingham, UK. 168 p.
Rusmana, E. 2007. Teknik Produksi Bibit Jenis-Jenis Pohon Rawa Gambut Secara Generatif Dan Vegetatif. Bahan Ajar disampaikan pada Alih Teknologi Pembangunan Hutan Rakyat Sistem Agroforestry. Banjarbaru. 15 hlm.
243
Rusmana, E., P.B. Santoso dan B. Hermawan. 2005. Teknik Pembuatan Bibit Stek dengan Metode KOFFCO. Balai Penelitian Kehuatanan Banjarbaru. Banjarbaru. 15 hlm.
Rydin, H. and J.K. Jeglum. 2006. The Biology of Peatlands. Oxford University Press. New York.
Sabarnurdin. 2000. Agroforestry untuk Agribisnis. Buletin Kehutanan (Forestry Bulletin) Nomor 42 Tahun 2000. Fakultas Kehutahan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Salampak. 1999. Peningkatan produksi tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Doktor Program Pasca Sarjana IPB. Tidak dipublikasikan.
Samekto, R. 2006. Pupuk Kompos. Penerbit PT Citra Aji Parama. Yogyakarta. 44 hlm.
Santosa, P.B. 2008. Teknik Penanaman di Lahan Rawa Gambut. Bahan Ajar disampaikan pada Alih Teknologi Pembangunan Hutan Tanaman. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru. 18 hlm.
Schimada, S., H. Takahashi, A. Haraguchi and M. Kaneko. 2001. The carbon content characteristics of tropical peats in Central Kalimantan, Indonesia: Estimating their spatial variability in density. Journal Biogeochemikry 53: 249–267.
Sileshi, G., P.L. Mangofoya, R. Chintu and F.K. Akinnifesi. 2008. Mixed-species legume fallows affect faunal abundance and richness and N cycling compared to single species in maize-fallow rotations. Soil Biology & Biochemikry 40: 3066–3075. www.elsevier.com
Soewono, S. 1997. Fertility management for sustainable agriculture on tropical ombrogenous peat. In J.O. Rieley and S.E. Page [Editor]. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands. Held in Palangkaraya, Central Kalimantan, Indonesia, 4–8 September 1995.
244
Sorensen, K.W. 1993. Indonesian peat swamp forests and their role as a carbon sink. Journal Chemosphere 27 (6): 1065–1082.
Stigter, C.J. 1984. Shading a traditional method of micro climate manipulations. Neth. J. April. 32: 81–86.
Subagyo, H. 2000. Inventarisasi karakteristik tanah gambut sebagai penunjang pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL). Di dalam H. Daryono, Y.J. Sidik, Y. Mile, E. Subagyo, T.S. Hadi, A. Akbar dan K. Budiningsih [Editor]. Upaya Rehabilitasi Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Menuju Pengembalian Fungsi dan Pemanfaatan Hutan yang Lestari. Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarmasin, 9 Maret 2000. pp. 126–137.
Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Suhardjo, H. and P.M. Driessen. 1975. Reclamation and use of Indonesian lowland peats and their effects on soil conditions. p419-424. Proc. Third Asean Soil Conf., Kuala Lumpur, Malaysia.
Suhardjo, H. and P.M. Driessen. 1977. Reclamation and use of Indonesian Lowlaand peats and their effects on soil conditions. Pp 419–424. Proc. Third Asean Soil Conf., Kuala Lumpur, Malaysia.
Suhardjo, H. and I.P.G Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat from Riau. Pp 74–92. In Soil Research Institute Peat and Podzolic Soils and their potential for agriculture in Indonesia. Proc. ATA 106 Midterm, Bull. 3, Seminar, Tugu 13–14 October 1976.
Suin, M. N. 1997. Ekologi hewan tanah. Bumi Aksara-ITB. Jakarta.
Suprayogo, D.K. Hairiyah, N. Wijayanto, Sunaryo dan M. van Noordwijk. 2003. Peran agroforestry pada skala plot: analisis
245
komponen keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Bahan Ajar Agroforestry 4. ICRAF. Bogor.
Suryapratama, W. 2004. Peranan zeolit dalam bidang peternakan. 8P. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Pertemuan Nasional Luar Biasa Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (FOKUSHIMITI), pada tanggal 10 Mei 2004. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Penjelasan tentang: Konsep, Istilah, Teori, dan Indikator serta Variabel. PT. Bina Rena Pariwara (BRP). Jakarta. 262 hlm.
Syakir, M. 1994. Pengaruh naungan, unsur hara P dan Mg terhadap iklim mikro, indeks pertumbuhan dan laju pertumbuhan tanaman lada. Buletin Littro Volume IX Nomor 2 Tahun 1994. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. pp 106–114.
Utomo, M. 1990. Budi daya Pertanian Tanpa Olah Tanah. Teknologi untuk Pertanian Berkelanjutan. Direktorat Produksi Padi dan Palawija. Departemen Pertanian. Jakarta.
van Wijk, C.I. 1950. Enkele Antekeningen over de verjonging van djelutung (Dyera lowii Hook L f) tectona XXXX: 167–173.
Vergara, N.T. 1982. New Direction in Agroforestry; The Potential of Tropical legume trees, Improving Agroforestry in the asia-Pasific Tropics. Prepared by a Working Group on Agroforestry Environment and Policy Institute East-West Center. Honolulu. Hawai.
Vohland, K. and G. Schroth. 1999. Distribution patterns of the litter macrofauna in agroforestry and monoculture plantation in central Amazonia as affected by plant species and management. Appl. Soil Ecol. 13: 57–68. www.sciencedirect.com.
von Maydell, H.J. 1987. International Research in Agroforestry (Editorial). Agroforestry System Journal 5 (1987), 3: 193–195.
246
von Maydell, H.J. 1988. Agroforestry (Lecture Notes). GTZ-Fahutan Unmul. Samarinda.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan Subagyo, 2005. Sebaran gambut dan kandungan karbon di Sumatra dan Kalimantan 2004. Wetland Int.- Indo. Prog. & WHC. Bogor, Indonesia. 254 hlm.
Wallwork. 1970. Nematodes Diversity in Dutch Soils From Rio to a Biological Indicator for Soil Quality. Nematology Monographs and Perspectives. 2: 469–482.
Whitmore, T.C. 1972. Tree flora of Malay a manual for forester. Longman, London. Vol. II. Pp 13–15.
Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito dan M. A. Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestry. Bahan Ajar Agroforestry 3. ICRAF. Bogor. Indonesia.
Widjaya-Adhi, I.P.G. 1995. Potensi, peluang, dan kendala perluasan areal pertanian di lahan rawa. Makalah Seminar Pengembangan Lahan Pertanian di Kawasan Timur Indonesia, Puspiptek Serpong.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakara.
Wösten, J.H.M. and H.P. Ritzema. 2001. Challenges in Land and Water Management for Peatland Development in Sarawak. In Rieley, J.O. dan S.E. Page (2001) (eds.). Peatland for People: Natural resource functions and sustainable management. BPPT. Jakarta.
Wösten, J.H.M., A.B. Ismail and A.L.M. van Wijk. 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78: 25–36.
Yap, S.K. 1980. Jelutong phenology. Fruit and Seed Biology. Malaysian Forester 43 (3): 309–315.
Zimmer, M. 2002. Is decomposition of woodland leaf litter influenced by its species richness? Short communication. Soil Biology & Biochemistry 34: 277–284.
247
La
mp
ira
n 1
.
Analis
is f
inansi
al usa
ha b
udi daya jelu
tung r
aw
a p
ola
mix
ed c
roppin
g d
engan k
are
t
254
Lanjutan Lampiran 3.
Keterangan: AFTN = agroforestry jelutung di Ds. Tumbang Nusa; AFKL = agroforestry jelutung di Kel. Kalampangan PMKL= pertanian monokultur di Kel. Kalampangan; LTTN = lahan terlantar di Ds. Tumbang Nusa
Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp./Fax.: +62251 7520093 Email: [email protected] Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU
Jl. Ahmad Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan 70721 Telp./Fax.: +62511 4707872