abnormal-anxiety disorer
TRANSCRIPT
GANGGUAN KECEMASAN
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal
Dosen Pengampu :
Yoyon Supriyono, S.Psi.,M.Psi
Kelas :
D. Psi 5
Disusun Oleh :
Adinda Lailia
Reza Novyandi Putra 1151203001111059
Ningrum Baha L
Triyas W. Iswati 115120301111033
Sinta Ayu Dewi 115120301111047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013Menjalani kehidupan sehari-hari, sering kali seseorang
akan mengalami suatu hal yang membuat kondisinya tertekan atau
tidak nyaman secara personal ataupun sosial. Dalam kehidupan
sehari-hari individu banyak mengalami peritiwa yang mungkin
menimbulkan kecemasan. Misalnya menghadapi kuis mendadak dan
hal lainnya yang membuat cemas. Sebenarnya kecemasan adalah
reaksi yang dapat dialami siapapun (Fitri Fausiah, 2008). Namun
cemas yang berlebihan akan mengganggu dan menghambat fungsi
seseorang dalam kehidupannya.
Pembahasan kali ini penulis akan menjabarkan mengenai
kecemasan yang merupakan kecemasan yang tidak umum atau yang
disebut sebagai anxiety disorder (gangguan kecemasan). Orang yang
mengalami gangguan kecemasan dilanda ketidakmampuan menghadapi
perasaan cemas yang kronis dan intens. Perasaan tersebut sangan
kuat sehingga orang tersebut tidak mampu menjalankan fungsinya
dalam kehidupan sehari-hari.
Gangguan Kecemasan
Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang
mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi menhyertai
perkembangan perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994). Pada kadar yang rendah,
kecemasan dapat membantu individu untuk tetap berhati-hati
dalam melakukan tindakan mencegah bahaya atau untuk memperkecil
dampak bahaya tyersebut. Kecemasan samapai pada taraf tertentu
dapat mendorong meningkatnya performa. Kecemasan yang seperti
itu disebut facilitating anxiety. Misalnya, cemas mendapat IP buruk,
maka mahasiswa akan meningkatkan intensitas belajarnya untuk
menghindari mendapatkan IP buruk tersebut. Sedangkan, kecemasan
yang justru menurunkan performa seseorang disebut debilitating
anxiety. Misalnya, kecemasan yang dialami mahasiswa saat sedang
melakukan ujian skripsi, membuat mahasiswa tersebut menghalami
blocking dan tidak bisa menjawab pertanyaan ujian.
Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan
takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan
tidak menyenangkan (Davidson & Neale, 2001). Kecemasan
seringkali disertai dengan gejala fisik seperti sakit kepala,
jantung berdebar cepat, dada terasa sesak, sakit perut, dan
lain sebagainya. Gejala kecemasan yang muncul pada setiap orang
tentu berbeda-beda. Kaplan, Sandock, & Grebb (1994) menyebutkan
bahwa, takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi
sebagai tanda akan adanya suatu bahaya. Walaupun takut dan
cemas biasanya digunakan secara bergantian, para psikolog
membedakan pengertian istilah tersebut dalam konteks klinis.
Ketakutan (fear) mengacu pada faktor bawaan,secara biologi hampir
didasarkan pada respon kewaspadaan terhadap situasi yang
membahayakan atau mengancam kehidupan. Sebliknya, kecemasan
(anxiety) lebih berorientasi pada masa depan dan bersifat umum,
mengacu kepada kondisi ketika individu merasakan kekhawatiran,
kegelisahan, ketegangan, dan rasa tidak terkendali mengenai
kemungkinan akan terjadinya sesuatu yang buruk.
Gangguan kecemasan berbeda dengan kecemasan normal dalam
hal intensitas, durasi, serta dampaknya bagi individu (Davidson
& Neale, 2001). Menurut Barlow &Durand (1995) kekhawatiran atau
cemas akan dianggap suatu hal yang patologis apabila tidak lagi
bisa dihentikan atau dikontrol oleh individu tersebut. Sampai
pada DSM III, gangguan cemas digolongkan ke dalam gangguan
neurosis. Yang dimaksud gangguan neurosis menurut DSM III
adalah gangguan mental dimana bentuk gangguan utamanya muncul
dalm simtom atau sekumpulan simtom yang mengganggu individu dan
dianggap sebagai sesuatu yang asing dan dapat diterima (dalam
Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994)
Berbagai gejala yang muncul pada penderita gangguan cemas
seringkali memenuhi criteria diagnostic untuk gangguan mental
lainnya. Komorbiditas (adanya diagnosis tambahan pada seseorang
yang sudah memiliki suatu dignostik tertentu) ini banyak timbul
karena dua hal (Davidson & Neale, 2001) :
1. Simtom-simtom dari berbagai gangguan cemas tidak
sepenuhnya spesifik untuk gangguan ini. Misalnya, jantung
berdebar disertai dengan keringat dingin dan rasa mual
juga terdapat pada criteria diagnostik untuk fobia.
2. Faktor etiolog (penyebab) yang menyebabkan gangguan cemas
dapat diaplikasikan pada lebih dari satu gangguan.
Jenis Gangguan Kecemasan
Bagian ini akan menjelaskan beberapa gangguan cemas,
antara lain, fobia, gangguan panic, generalized anxiety
disorder, obsesif-kompulsif, gangguan stress pasca trauma, dan
gangguan stress akut.
FobiaFobia berasal dari kata Yunani “phobos” yang berarti
objek atau situasi yang ditakuti. Definisi fobia (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 1994) adalah ketakutan irasional yang
menimbulkan upaya menghindar (secara sadar) dari objek,
aktivitas, atau situasi yang ditakuti. Keberadaan dan
antisipasi terhadap hal yang ditakuti ini menimbulkan
stress pada individu, karena dianggap terlalu berlebihan
dan tentu saja reaksi fobia akan mengganggu fungsi
individu di dalam kehidupannya.
Menurut DSM IV, fobia dapat digolongkan dalam dua
jenis, yaitu fobia spesifik dan fobia sosial. Berikut
penjelasannya :
A. Fobia Spesifik
Fobia spesifik berarti ketakutan yang tidak
diinginkan karena kehadiran atau antisipasi terhadap
objek atau situasi yang spesifik (Davidson & Neale,
2001). Fobia spesifik ini digolongkan menjadi lima
hal seperti halnya yang telah dijelaskan dalam DSM
IV, yaitu :
1. Tipe fobia terhadap binatang
2. Tipe fobia terhadap lingkungan alam
3. Tipe fobia terhadap darah, suntikan, atau luka
4. Tipe fobia situasional
5. Tipe fobia lainnya
B. Fobia Sosial
Fobia sosial merupakan ketakutan yang tidak
rasional dan menetap,biasanya berhubungan dengan
kehadiran oran lain; individu menghindari situasi
dimana ia mungkin dikritik, yang membuatnya terasa
terhina atau dipermalukan, dan menunjukkan tanda-
tanda kecemasan atau menampilkan perilaku lain yang
memalukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994; Davidson &
Neale, 2001). Fobia sosial banyak terjadi pada
perempuan dibandingankan dengan laki-laki. Kemunculan
pertama umumnya pada masa remaja, dimana kesadaran
sosial dan interaksi dengan orang lain dianggap lebih
penting dalam kehidupan seseorang (Davidson & Neale,
2001)
Fobia sosial mungkin bersifat spesifik atau
umum, bergantung pada situasi yang ditakuti atau
dihindari. Dalam DSM IV, disebutkan bahwa pada tipe
fobia sosial yang generalized ketakutan terjadi pada
sebagian situasi sosial. Tipe ini agak sulit
dibedakan dengan gangguan kepribadian menghindar
(avoidant personality disorder).
Etiologi
Sudut Pandang Psikoanalisa.
Teori psikoanalisa menekankan pada
ketidaksadaran, sehingga penjelasan tentang fobia pun
berawal dari konsep ini. Freud sebagaimana dikutip
oleh Kaplan, sadock, & Grebb (1994), mengemukakan
hipotesis bahwa fungsi utama dari kecemasan adalah
memberi tanda kepada ego bahwa dorongan terlarang
yang berasal dari ketidaksadaran akan muncul ke
kesadaran. Reaksi fobia adalah defens untuk melawan
kecaman yang ditimbulkan oleh impuls-impuls id yang
direpres (Davison & Neale, 2001). Sebagaimana upaya
untuk menghindari dari konflik yang direpres
tersebut, kecemasan dialihkan dari impuls tersebut
dan dipindahkan pada obyek atau situasi yang memiliki
hubungan simbolik dengannya (yaitu stimulus yang
ditakuti).
Sedangkan menurut Arieti (1979) sebagaimana dikutip
oleh Davison & Neale (2001), fobia timbul karena
adanya represi terhadap konflik interpersonal yang
terjadi pada masa kanak-kanak. Pada masa awal
kehidupannya anak percaya bahwa orang tua dan orang
dewasa lainnya akan melindungi dari bahaya. Namun
selanjutnya mereka mulai takut orang-orang dewasa
tersebut tidak dapat diandalkan. Karena anak tidak
dapat hidup dalam ketidakpercayaan atau ketakutan
pada orang lain, mereka mengalihkannya kepada obyek
atau situasi yang lebih impersonal. Fobia ini dapat
muncul jika pada dewasa mereka menghadapi stres.
Sudut Pandang Tingkah Laku
Menurut pandangan teori behavioral, reaksi fobia
adalah reaksi yang dipelajari dan dapat dijelaskan
dengan prinsip-prinsip belajar, antara lain:
1. Avoidance Conditioning. John b watson & Reyner
(dalam Davison & Neale, 2001), mengemukakan
hipotesis bahwa fobia yang dipelajari melalui
kondisioning menghindar, yang prosesnya sebagai
berikut:
a. Menurut teori kondisioning klasik, seseorang
dapat belajar untuk takut pada stimulus netral
(CS) yang dipasangkan sesuatu yang secara
intrinsik menakutkan atau menyakitkan (UCS)
b. Orang tersebut belajar mengurangi ketakutannya
terhadap stimulus terkondisi (CS) dengan
menghindarinya. Selanjutnya, berdasarkan
prinsip operant conditioning, respon semacam
ini dipertahankan dengan adanya konsekuensi
berupa berkurangnya rasa takut.
2. Modelling. Ketakutan dapat dipelajari dengan cara
mengobservasi dan meniru reaksi dari orang lain
(vicarious learning) tidak hanya melalui pengalaman
tidak menyenangkan dengan hal yang ditakuti.
Bahkan fobia juga dapat dipelajari dengan
intruksi verbal atau diskripsi orang lain.
3. Defisit dalam keterampilan sosial. Berdasarkan
teori bhavioural, tingkah laku yang tidak sesuai
atau kurangnya keterampilan sosial merupakan
penyebab kecemasan sosial. Menurut pandangan ini,
individu tidak belajar bagaimana seharusnya
berperilaku agar dapat merasa nyaman dengan orang
lain, atau orang tersebut berulang-ulang
menampilkan perilaku ceroboh, canggung, atau
jangga, dan sering dikritik oleh teman-temannya.
Sudut Pandang Kognitif.
Teori kognitif memfokuskan pada bagaimana proses
berpikir seseorang dapat menjadi penyebab serta
bagaimana pikiran-pikiran tersebut dapat
mempertahankan reaksi fobia. Menurut pandangan ini,
kecemasan berhubungan dengan kecenderungan untuk
lebih memperhatikan stimulus negatif,
menginterpretasikan informasi yang ambigu sebagai
ancaman, dan percaya bahwa peristiwa-peristiwa yang
tidak menyenangkan akan terjadi lagi di masa
mendatang. (Matthew & McLeod dalam Davison & Neale,
2001)
Sebagaimana dikutip oleh (dalam Davison & Neale,
2001), orang yang mengalami kecemasan sosial akan
lebih memperhaikan evaluasi dari oranglain (bates,
1990) dan cenderung menilai diri sendiri secara
negatif bahkan ketika sebenarnya mereka tampil baik
dalam interaksi sosial (Wallace & Alden, 1997)
Sudut Pandang Biologis.
Menurut asumsi Lacey dalam Davison & Neale,
2001) kelabilan individu, dimana sistem otonomnya
lebih muda dibangkitkan oleh berrbagai stimulus,
menjadi faktor penting dalam membangkitkan perilaku
fobia. Karena labilitas otonom antara lain ditentukan
oleh genetik, maka Gabbay (dalam Davison & Neale,
2001) mengemukakan dugaannya bahwa faktor keturunan
juga memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan
fobia.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor genetik
turut berperan dalam terbentuknya fobia. Misal saja
Ost (dalam Davison & Neale, 2001) mengemukakan bahwa
sekitar 64% orang yang mengalami fobia darah ternyata
memiliki keluarga yang memiliki fobia yang sama.
Hasil penelitian Fyer, et. Al. (1995) dan Stein, et.
Al (1998) sebagaimana dimuat dalam dalam Davison &
Neale, 2001
Treatment
Pendekatan Psikoanalisis
Tuajuan terapi psikoanalisa adalah untuk
mengungkapkan konflik-konflik yang dianggap mendasari
munculnya ketakutan yang ekstrem dan reaksi
menghindar yang mengjadi karakteristik gangguan ini.
Beberapa kombinasi teknik dapat digunakan,misalnya
asosiasi bebas dan analisis mimpi. Namun beberapa
analisis ego kontemporer melakukan penanganan
terhadap fobia dengan meminta orang tersebut
meghadapi fobianya. Hal ini penting untuk mengobati
simtom, meskipun tidak dapat menyelesaikan konflik
yang diasumsikan menyebabkan fobia.
Pendekatan Behavioral
Menurut Davidson & Neale (2001), pendekatan ini
menggunakan teknik desentisisasi sitematis sebagai
metode utama. Metode ini adalah metode yang memadukan
dengan relaksasi serta menggunakan hierarki kecemasan
pada fobia yang dialami seseorang. Jadi, seseorang
diminta membayangkan hal yang ditakuti yang makin
lama makin menakutkannya dengan dibantu proses
relaksasi. Teknik lain untuk menangani fobia spesifik
antara lain adalah modeling, flooding,dan successive
approximation. Melalui modeling sesorang menyaksikan orang
lain berinteraksi dengan objek fobia tanpa adala
rasa takut. Teknik flooding, subjek dihadapkan secara
langsung pada objek fobianya dengan intensitas penuh.
Teknik berikutnya adalah teknik successive approximation,
sumber fobia yang sebenarnya ditampilkansedikit demi
sedikit dan individu mendapatkan imbalan setiap kali
berhasil mendekati objek fobianya. Teknik ini
merupakan bentuk dari metode shaping (Davidson &
Neale, 2001)
Untuk seseorang yang mengalami fobia sosial
dapat dilakukan dengan mengajarkan keterampilan
sosial melalui bermain peran dan pengulangan
interaksi sosial di dalam ruangan terapi.
Pendekatan Kognitif
Davidson & Neale (2001) mengemukanan bahwa untuk
menangani fobia spesifik, pandangan kognitif cukup
skeptic. Sebab menurut para ahli, individutelah
menyadari bahwa ketakutan pada fobia merupakan suatu
hal yang berlebihan, dan merekapun dianggap telah
mengetahui bahwa objek fobia sesungguhnya merupakan
suatu hal yangtidak berbahaya.
Sedangkan untuk menangani fobia sosial, sesorang
diminta untuk mempersepsi reaksi orang lain secara
lebih akurat dan mulai mengurangi ketergantungan
terhadap persetujuan orang lain, agar dapat timbul
perasaan berharga dalam dirinya.
Pendekatan Biologis
Penanganan secara biologi untuk fobia adalah
pemberian obat-obatan sedative, transquilizer atau anxiolytics
yang dapat mengurangi kecemasan. Untuk saat ini obat-
obatan yang sering digunakan adalah obat-obatan anti
depresi.
Gangguan PanikOrang dengan gangguan panik mengalami serangan panik,
periode ketakutan dan ketidaknyamanan fisik yang sangat
membuat mereka merasa kewalahan dan ketakutan oleh
sejumlah sensasi tubuh yangmenyebabkan mereka merasa
kehilangan kendali. Sensasi-sensasi ini meliputi napas
yang pendek dan perasaan tercekik, debaran jantung,
gemetar,berkeringat, sakit perut, perasaan tidak nyata,
sensasi mati rasa, merasa kepanasan atau mengigil, menjadi
gila, dan kehilangan kendali.
Kaplan, sadock, & Grebb (1994) mengemukakan bahwa gangguan
panik memiliki karakteistik terjadinya serangan panik yang
spontan dan tidak terduga. Sedangkan pengertian serangan
panik itu sendiri adalah kecemasan atau ketakutan secara
intens yang terjadi dalam waktu relative singkat, dan
disertai dengan simtom somatik seperti keringat dingin.
Untuk mendiagnosis gangguan panik, paling tidak
beberapa serangan panik terlihat ketika tidak terdapat
situasi yang menjadi pertanda atau pemicunya yang disebut
serangan panik tidak terprediksi (unexpected panic attack).
Individujuga dapat mengalami serangan panic ketika ada
stimulus khusus atau tanda dari lingkungan, hal semacam
itu disebut serangan panik situasional (situasionally
bound panic attack). Dan dalam kasus ketika seseorang
mempunyai kecenderungan memiliki serangan panic dalam
suatu situasi, namun tidak setiap saat terjadi disebut
serangan panik yang cenderung dipengaruhi situasi
(situasionally predisposed panic attact).
Davidson & Neale (2001) menjelaskan beberapa simtom yang
dapat muncul pada gangguan panik, antara lain sulit
bernapas, jantung berdebar keras muncul keringat, gemetar,
kekhawatiran yang intens, merasa diteror, dan lain
sebagainya. Bahkan akan mungkin muncul dipersonalisasi
(perasaan subjektif bahwa dirinya tidak nyata, aneh, atau
tidak dikenal) dan derealisasi (perasaan subjektif bahwa
lingkungan menjadi aneh dan tidak nyata) (Kaplan, Sadock &
Grebb, 1994)
Gangguan panik seringkali disertai dengan
agoraphobia, sebuah istulah yang berasal dari bahasa
Yunani “Agora” yang berarti sebuah tempat berbelanja.
Pengertian agoraphobia itu sendiri adalah ketakutan untuk
berada di tengah-tengah tempat umum dan tidak dapat keluar
atau menemukan bantuan pada saat mendapat serangan panic
(Davidson & Neale, 2001). Dengan keadaan ini individu akan
cenderung menghindari situasi dimana akan sulit
mendapatkan bantuan. Makan orang dengan agoraphobia akan
berpergian dengan orang lain pada tempat-tempat yang sesak
dan tertutup dimana dipenuhi oleh keramaian.
Etiologi
Sudut Pandang Biologis
Salah satu teori biologi menyatakan bahwa pada
beberapa kasus, sensasi fisik yang disebabkan
penyakit membuat beberapa orang mengalami gangguan
panic (Asmundson, Larsen, & Stein, 1998). Menurut
Goldstein (1997), gangguan panic ini menurun dalam
keluarga. Sedangkan teori yang lainnya menyatakan
bahwa gangguan panic disebabkan aktivitas yang
berlebihan dari sistem noradrenergic.
Sudut Pandang Psikologis
Prinsip utama dari teori psikologis untuk
menjelaskan agoraphobia adalah hipotesis takut pada
rasa takut (fear to fear), yang mengansumsukan bahwa
agoraphobia bukanlah bukanlah ketakutan untuk berada
di temapt umum, namun ketakutan akan mendapat
serangan panic di tempat umum. Sedangkan dasar dari
terjadinya serangan panic diperkirakan adalah sistem
saraf otonom yang terlalu aktif (Barlow, 1988), yang
disertai kecenderungan psikologis untuk menjadi
sangat terganggu dengan sensasi yang sangat aktif
tersebut.
Konsep kontrol juga turut berperan dalam
menjelaskan serangan panic.individu yang mengalami
serangan panic memiliki ketakutan yang berlebihan
akan kehilangan control dan ini akan terjadi jika
mereka mendapat serangan panic di tempat umum.
Treatment
Pendekatan Biologis
Beberapa obat dapat diberikan kepada penderita
gangguan panic ini, seperti antidepresan dan anxiolytics.
Pada sisi positifnya, obat ini dapat membantu
menhilangkan simtom yang muncul pada penderitanya.
Namun sisi negatifnya, adalah saat pemberian obat
diberhentikan maka simtom akan muncul kembali. Selain
itu penderita juga mungkin mengalami beberapa gejala
yang merupakan efek samping dari obat tersebut.
Pendekatan Psikologis
Penanganan dengan dasar exposure (pengenalan)
banyak digunakan dalam menangani gangguan panic.
Namun ternyata cara ini tidak selalu dapat
menghilangkan gangguan. Barlow (dalam Davidson &
Neale, 2001) mengemukakan terapi yang menggabungkan 3
komponen terapi, yaitu :
1. Pelatihan relaksasi
2. Kombinasi intervensi kognitif-behavioral dari
Beck dan Ellis
3. Pengenalan terhadap tanda-tanda internal yang
memicu panilk
Gangguan Cemas Menyeluruh (GAD)Generalized Anxiety Disorder (GAD) menurut DSM IV (dalam
Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994) adalah ketakutan yang
berlebihan dan bersifat pervasif disertai dengan berbagai
simtom somatik, yang menyebabkan gangguan sosial dalam
kehidupan sosial, atau pekerjaan pada penderita, atau
menimbulkan stress yang nyata padanya. Menurut Davidson &
Neale (2001), individu yang mengalami GAS mengalami
kecemasan terus-menerus, bahkan seringkali tentang hal-hal
kecil.
Gangguan ini timbul biasanya timbul pada pertengahan
remaja, meskipun dapat muncul pada usia yang lebih tua
ataupun lebih muda (Barlow, et.al dalam Davidson & Neale,
2001). Barlow dan Durand (1995) menjelaskan bahwa
kebanyakan penelitian menunjukkanbahwa GAD seringkali
diasosiasikan dengan onset yang lebih dan bertahap
dibandingkan dengan gangguan cemas lainnya. Hal ini
dianggap turut berperan dalam pembentukn gangguan ini
adalah stress dalam hidup. GAD agak sulit disembuhkan dan
dalam penelitian 5 tahun Woodman dkk (dalam Davidson &
Neale, 2001) menemukan hanya sekitar 18% penderita GAD
yang dapat sembuh total.
Etiologi
(disarikan dari Davison & Neale, 2011).
Sudut Pandang Psikoanalisa
Menurut pandangan ini, sumber GAD adalah konflik
tidak sadar antara ego dan impuls dari id; dorongan
agresivitas dan seksual berusaha untuk keluar, namun
ego menahannya karena khawatir akan hukuman yang
mungkin diterima dengan memenuhi dorongan id. Karena
sumber cemas yang berada pada ketidaksadaran inilah
penderita GAD acapkali merasa cemas tanpa mengetahui
penyebabnya. Konflik antara id dan ego ini
berlangsung terus menerus, dan penderita tidak mampu
memindahkannya pada obyek tertentu (seperti dalam
fobia) sehingga kecemasan muncul hampar setiap saat.
Sudut Pandang Cognitive Behavioral
Salah satu teori perilaku mengemukakan bahwa
terbentuknya GAD sama dengan fobia; bahwa kecemasan
dipandang sebgai sesuatu yang dipelajari berdasarkan
prinsip kondisioning. Fokus teori lainnya. Fokus
teori lainnya adalah pada kontrol dan
ketidakberdayaan. Beberapa kejadian yang menimbulkan
stress akan menimbulkan stress akan menimbulkan cemas
jika individu tidak memiliki kontrol (baik yang
dpersepsikan maupun yang nyata) terhadapnya.
Penderita GAD menurut Barlow (1988), mempersepsi
peristiwa-peristiwa yang mengancam sebagai sesuatu
yang berada di luar kontrol mereka. Mineka (1992)
menjelaskan bahwa peristiwa yang tidak dapat
diprediksi lebih menimbulkan kecemasan daripada
peristiwa yang dapat diperkekirakan sebelumnya.
Pandangan kognitif yang lain (Borkovec, et.al,
1995, 1998) mengemukakan bahwa kekhawatiran simtom
utama GAD adalah perasaan yang membantu yang membantu
penderita mengatasi emosi negatif. Kekhawatiran ini
sebenarnya tidak terlalu membangkitkan emosi, dan
dengan merasa khawatir penderita GAD dapat
menghindari gambaran-gambaran yang menyakitkan
(misalnya kematian keluarga, penyakit, dll) sehingga
kecemasan akan hal tersebut berkurang.
Sudut Pandang Biologis.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa GAD
mungkin memiliki komponen genetik, namun hingga kini
belum dapat dibuktikan secara tepat peranan faktor
genetik terhadap munculnya GAD berhubungan dengan
adanya hambatan atau gangguan pada neutransmiter yang
bernama GABA, sehingga kecemasan tidak dapat
dikontrol.
Penanganan (Treatment)
Pendekatan Psikoanalisa
Penanganan GAD menurut pandangan ini adalah
dengan membantu penderita menghadapi konflik mereka
yang sebenarnya. Secara umum caranya sama dengan
penangan fobia.
Pendekatan Cognitive-Behavioral
Beberapa cara dapat dilakukan untuk menangani
penderita GAD. Pertama adalah meminta penderita
menjelaskan kecemasan mereka dalam bentuk respons
terhadap situasi yang lebih teridentifikasi. Kemudian
kecemasan (free floating anxiety) penderita direformulasi
menjadi satu atau beberapa fobia atau kecemasan yang
bertanda, sehingga lebih mudah ditangani. Namun
karena cara ini dianggap cukup sulit, beberpa ahli
menganjurkan penanganan yang lebih umum, misalnya
pemberian pelatihan relaksasi yang lebih itensif.
Jika yang mendasari kecemasan adalah perasaan
tidak berdaya, maka terapi membantu klien memperoleh
keterampilan yang mungkin dibuthkan sehingga mereka
merasa kompoten. Pendekatn lain adalah menampilkan
(dengan meminta pasien untuk membayangkan) apa yang
menjadi sumber kecemasan berlebihan pada penderita.
Atau dengan kata lain pasien diminta membayangkan
alasan atau penjelasan yang tidak terlalu mengganggu
pada peristwa yang sebelumnya menjadi sumber
kecemasan.
Pendekatan Biologis
Melalui pemberian obat-obatan anxiolytics pada
terapi untuk fobia atau gangguan panik. Namun yang
harus diperhatikan, kebanyakan obat tersebut memiliki
efek samping yang tidak menyenangkan, misalnya
mengantuk, hilang ingatan, depresi, ketergantungan
fisik, dll (dalam Davidson & Neale, 2001)
Gangguan Obesif Kompulsif (OCD)Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan cemas,
dimana pikiran seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan
yang menetap dan tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk
melakukan tindakan tertentu berulang-ulang, sehingga
menimbulkan stress dan mengganggu fungsinya dalam
kehidupan sehari-hari (Davidson & Neale, 2001). Dalam
bahasa sederhana dapat dijabarkan bahwa obsesif adalah
gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak
diinginkan dan mengganggu. sedangkan Kompulsif adalah
desakan atau paksaan untuk melakukan sesuatu agar dapat
mengurangi rasa tidak nyaman akibat pikiran-pikiran yang
menggangu (obsesif).
Beberapa kompulsi yang umum menurut Davison & Neale (2001)
antara lain:
a. Mengikuti kebersihan dan keteraturan, terkadang dengan
ritual tertentu yang dapat memakan waktu berjam-jam
b. Menghindari obyek tertentu
c. Menampilkan kegiatan-kegiatan praktis yang repetitif,
aneh, dan bersifat pencegahan, misalnya menghitung
d. Memeriksa, berkali-kali memeriksa untuk memastikan
bahwa perilaku yang sudah ditampilkan benar-benar telah
dikerjakan
e. Menampilkan perilaku tertentu seperti makan dengan
sangat perlahan-lahan
Etiologi dan Penanganan
Sudut Pandang Psikoanalisa
Menurut pandangan psikoanalisa, obsesif-kompulsif
timbul dari daya-daya instinktif seperti seksdan
agresivitas, yang tidak berada dibahawa kontrol
individu karena toilet training yang kasar. Individu
menjadi terfiksasi pada masa anal (Davison & Neale,
2001). Dalam psikoanalisa, terapi yang dilakukan
adalah dengan mengurangi represi dan memungkinkan
pasien untuk mengahdapi hal yang benar-benar
ditakutinya.
Sudut pandang Cognitive-Behavioral
Obsesif kompulsif adalah perilaku yang dipelajari,
diperkuat dengan berkurangnya rasa takut. (Davison &
Neale, 2001). Penanganan yang dapat dilakukan adalah
dengan membantu psien menghapuskan keyakinan bahwa
segala sesuatu harus terjadi menurut apa yang mereka
inginkan, atau bahwa hasil pekerjaan harus selalu
sempurna. Pada pendekatan ini pasien didorong untuk
menguji ketakutan mereka bahwa hal yang buruk akan
terjadi jika mereka tidak menampilkan perilaku
kompulsi.
Sudut pandang Biologis
Menurut Davison & Neale penjelasan yang mungkin
tentang gangguan obsesif kompulsif adalah
keterlibatan nerotransmitter di otak, khususnya
serotonin. Penanganan secara biologis dapat dilakukan
dengan memberikan obat-obatan yang meningkatkan
serotonin.
Penanganan lain yang dapat dilakukan untu terapi
pada pasien dengan OCD adalah dengan Exposure and
Response Prevention atau yang lebih dikenal dengan
flooding. Dimana dalam terapi ini, pasien menghadapkan
dirinya sendiri pada situasi yang menimbulkan
tindakan kompulsif dan kemudian menahan diri agar
tidak menampilkan ritual yang biasa dilakukan.
Gangguan Stress Pascatrauma (PTSD)Gangguan stress pascatrauma didefinikan sebagai
sekelompok simtom yang muncul setelah individu mengalami
atau menyaksikan peristiwa traumatik (peristiwa yang
berada di luar batas pengalaman individu) yang melibatkan
kematian atau ancaman kematian, atau luka yang sangat
parah, atau ancaman terhadap integritas diri maupun maupun
orang lain. peristiwa tersebut haruslah menimbulkan
ketakutan atau kengerian yang intens, atau menimbulka
perasaan tidak berdaya (Davison & Neale, 2001).
Menurut DSM IV (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994) simtom
utama PTSD dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
a.Mengalami kembali peristiwa traumatik secara
persisten melalui beberapa cara. Antara lain
mengingat kembali peristiwa secara berulang dan
menggangu (pada anak mungkin muncul dalam permainan
reptitif), mimpi buruk yang berulang-ulang,
berperilaku atau merasa bahwa peristiwa tersebut
sedang terjadi dan bukan sesuatu yang telah berlalu,
dll.
b.Upaya menghindar yang menetap terhadap hal-hal yang
mengingatkan pada peristiwa traumatik dan penumpulan
respons terhadap stimulus tersebut.
c.Meningkatnya aktivitas secara persisten, antara lain
tidak dapat tidur atau sulit tidur nyenyak, mudah
tersinggung atau meledak (marah), sulit konsentrasi,
berjaga-jaga (hypervigilance), respons terkejut yang
berlebihan.
Untuk dapat disebut sebagai gangguan stress
pascatrauma, simtom-simtom diatas harus muncul setidaknya
selama satu bulan setelah terjadinya peristiwa traumatik.
Sedangkan apabila munculnya kurang dari 1 bulan, ganggun
di diagnosa sebagai gangguan stress akut (Acute Stress
Disorder).
Penanganan yang dapat dilakukan pada pasien dengan PTSD
adalah dengan:
Memberi pendidikan atau pengetahuan tentang PTSD pada
orang yang mengalami trauma, terutama simtom-simtom
apa yang mungkin muncul.
Dengan melakukan pendekatan terapi kelompok, dimana
masing-masing nggota kelompok dapat saling berbagi
dan saling mendukung.
Terapi tingkah laku yang berdasarkan exposure juga
mungkin dilakukan, yaitu dengan mengkonfrontasi
pasien dengan cara tertentu yang sebenarnya ingin
dihindari pasien.
EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
Memberikan obat psikoaktif, termasuk antidepresan dan
transquilizer.
KESIMPULAN
Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan
takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan
tidak menyenangkan. Kecemasan seringkali disertai dengan gejala
fisik seperti sakit kepala, jantung berdebar cepat, dada terasa
sesak, sakit perut, dan lain sebagainya. Kecemasan Gangguan
kecemasan berbeda dengan kecemasan normal dalam hal intensitas,
durasi, serta dampaknya bagi individu.
Fobia adalah ketakutan irasional yang menimbulkan upaya
menghindar (secara sadar) dari objek, aktivitas, atau situasi
yang ditakuti. Keberadaan dan antisipasi terhadap hal yang
ditakuti ini menimbulkan stress pada individu, karena dianggap
terlalu berlebihan dan tentu saja reaksi fobia akan mengganggu
fungsi individu di dalam kehidupannya
Gangguan panik gangguan panik memiliki karakteistik
terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak terduga.
Sedangkan pengertian serangan panik itu sendiri adalah
kecemasan atau ketakutan secara intens yang terjadi dalam waktu
relative singkat, dan disertai dengan simtom somatik seperti
keringat dingin. Biasanya gangguan panic juga meliputi
agoraphobia.
Gangguan kecemasan menyeluruh (GAD) adalah ketakutan yang
berlebihan dan bersifat pervasif disertai dengan berbagai
simtom somatik, yang menyebabkan gangguan sosial dalam
kehidupan sosial, atau pekerjaan pada penderita, atau
menimbulkan stress yang nyata padanya bahkan untuk hal-hal yang
kecil atau sepele.
Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan cemas, dimana
pikiran seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang menetap
dan tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk melakukan tindakan
tertentu berulang-ulang, sehingga menimbulkan stress dan
mengganggu fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.
Gangguan stress pascatrauma didefinikan sebagai sekelompok
simtom yang muncul setelah individu mengalami atau menyaksikan
peristiwa traumatik (peristiwa yang berada di luar batas
pengalaman individu) yang melibatkan kematian atau ancaman
kematian, atau luka yang sangat parah, atau ancaman terhadap
integritas diri maupun maupun orang lain.
Tiap-tiap gangguan kecemasan tersebut memiliki penyebab
dan cara mengatasinya sesuai dengan simtom-simtom pada masing-
masing gangguan.