abnormal-anxiety disorer

30
GANGGUAN KECEMASAN Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal Dosen Pengampu : Yoyon Supriyono, S.Psi.,M.Psi Kelas : D. Psi 5 Disusun Oleh : Adinda Lailia Reza Novyandi Putra 1151203001111059 Ningrum Baha L Triyas W. Iswati 115120301111033 Sinta Ayu Dewi 115120301111047 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

Upload: independent

Post on 21-Jan-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GANGGUAN KECEMASAN

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal

Dosen Pengampu :

Yoyon Supriyono, S.Psi.,M.Psi

Kelas :

D. Psi 5

Disusun Oleh :

Adinda Lailia

Reza Novyandi Putra 1151203001111059

Ningrum Baha L

Triyas W. Iswati 115120301111033

Sinta Ayu Dewi 115120301111047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013Menjalani kehidupan sehari-hari, sering kali seseorang

akan mengalami suatu hal yang membuat kondisinya tertekan atau

tidak nyaman secara personal ataupun sosial. Dalam kehidupan

sehari-hari individu banyak mengalami peritiwa yang mungkin

menimbulkan kecemasan. Misalnya menghadapi kuis mendadak dan

hal lainnya yang membuat cemas. Sebenarnya kecemasan adalah

reaksi yang dapat dialami siapapun (Fitri Fausiah, 2008). Namun

cemas yang berlebihan akan mengganggu dan menghambat fungsi

seseorang dalam kehidupannya.

Pembahasan kali ini penulis akan menjabarkan mengenai

kecemasan yang merupakan kecemasan yang tidak umum atau yang

disebut sebagai anxiety disorder (gangguan kecemasan). Orang yang

mengalami gangguan kecemasan dilanda ketidakmampuan menghadapi

perasaan cemas yang kronis dan intens. Perasaan tersebut sangan

kuat sehingga orang tersebut tidak mampu menjalankan fungsinya

dalam kehidupan sehari-hari.

Gangguan Kecemasan

Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang

mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi menhyertai

perkembangan perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah

dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup

(Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994). Pada kadar yang rendah,

kecemasan dapat membantu individu untuk tetap berhati-hati

dalam melakukan tindakan mencegah bahaya atau untuk memperkecil

dampak bahaya tyersebut. Kecemasan samapai pada taraf tertentu

dapat mendorong meningkatnya performa. Kecemasan yang seperti

itu disebut facilitating anxiety. Misalnya, cemas mendapat IP buruk,

maka mahasiswa akan meningkatkan intensitas belajarnya untuk

menghindari mendapatkan IP buruk tersebut. Sedangkan, kecemasan

yang justru menurunkan performa seseorang disebut debilitating

anxiety. Misalnya, kecemasan yang dialami mahasiswa saat sedang

melakukan ujian skripsi, membuat mahasiswa tersebut menghalami

blocking dan tidak bisa menjawab pertanyaan ujian.

Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan

takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan

tidak menyenangkan (Davidson & Neale, 2001). Kecemasan

seringkali disertai dengan gejala fisik seperti sakit kepala,

jantung berdebar cepat, dada terasa sesak, sakit perut, dan

lain sebagainya. Gejala kecemasan yang muncul pada setiap orang

tentu berbeda-beda. Kaplan, Sandock, & Grebb (1994) menyebutkan

bahwa, takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi

sebagai tanda akan adanya suatu bahaya. Walaupun takut dan

cemas biasanya digunakan secara bergantian, para psikolog

membedakan pengertian istilah tersebut dalam konteks klinis.

Ketakutan (fear) mengacu pada faktor bawaan,secara biologi hampir

didasarkan pada respon kewaspadaan terhadap situasi yang

membahayakan atau mengancam kehidupan. Sebliknya, kecemasan

(anxiety) lebih berorientasi pada masa depan dan bersifat umum,

mengacu kepada kondisi ketika individu merasakan kekhawatiran,

kegelisahan, ketegangan, dan rasa tidak terkendali mengenai

kemungkinan akan terjadinya sesuatu yang buruk.

Gangguan kecemasan berbeda dengan kecemasan normal dalam

hal intensitas, durasi, serta dampaknya bagi individu (Davidson

& Neale, 2001). Menurut Barlow &Durand (1995) kekhawatiran atau

cemas akan dianggap suatu hal yang patologis apabila tidak lagi

bisa dihentikan atau dikontrol oleh individu tersebut. Sampai

pada DSM III, gangguan cemas digolongkan ke dalam gangguan

neurosis. Yang dimaksud gangguan neurosis menurut DSM III

adalah gangguan mental dimana bentuk gangguan utamanya muncul

dalm simtom atau sekumpulan simtom yang mengganggu individu dan

dianggap sebagai sesuatu yang asing dan dapat diterima (dalam

Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994)

Berbagai gejala yang muncul pada penderita gangguan cemas

seringkali memenuhi criteria diagnostic untuk gangguan mental

lainnya. Komorbiditas (adanya diagnosis tambahan pada seseorang

yang sudah memiliki suatu dignostik tertentu) ini banyak timbul

karena dua hal (Davidson & Neale, 2001) :

1. Simtom-simtom dari berbagai gangguan cemas tidak

sepenuhnya spesifik untuk gangguan ini. Misalnya, jantung

berdebar disertai dengan keringat dingin dan rasa mual

juga terdapat pada criteria diagnostik untuk fobia.

2. Faktor etiolog (penyebab) yang menyebabkan gangguan cemas

dapat diaplikasikan pada lebih dari satu gangguan.

Jenis Gangguan Kecemasan

Bagian ini akan menjelaskan beberapa gangguan cemas,

antara lain, fobia, gangguan panic, generalized anxiety

disorder, obsesif-kompulsif, gangguan stress pasca trauma, dan

gangguan stress akut.

FobiaFobia berasal dari kata Yunani “phobos” yang berarti

objek atau situasi yang ditakuti. Definisi fobia (Kaplan,

Sadock, & Grebb, 1994) adalah ketakutan irasional yang

menimbulkan upaya menghindar (secara sadar) dari objek,

aktivitas, atau situasi yang ditakuti. Keberadaan dan

antisipasi terhadap hal yang ditakuti ini menimbulkan

stress pada individu, karena dianggap terlalu berlebihan

dan tentu saja reaksi fobia akan mengganggu fungsi

individu di dalam kehidupannya.

Menurut DSM IV, fobia dapat digolongkan dalam dua

jenis, yaitu fobia spesifik dan fobia sosial. Berikut

penjelasannya :

A. Fobia Spesifik

Fobia spesifik berarti ketakutan yang tidak

diinginkan karena kehadiran atau antisipasi terhadap

objek atau situasi yang spesifik (Davidson & Neale,

2001). Fobia spesifik ini digolongkan menjadi lima

hal seperti halnya yang telah dijelaskan dalam DSM

IV, yaitu :

1. Tipe fobia terhadap binatang

2. Tipe fobia terhadap lingkungan alam

3. Tipe fobia terhadap darah, suntikan, atau luka

4. Tipe fobia situasional

5. Tipe fobia lainnya

B. Fobia Sosial

Fobia sosial merupakan ketakutan yang tidak

rasional dan menetap,biasanya berhubungan dengan

kehadiran oran lain; individu menghindari situasi

dimana ia mungkin dikritik, yang membuatnya terasa

terhina atau dipermalukan, dan menunjukkan tanda-

tanda kecemasan atau menampilkan perilaku lain yang

memalukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994; Davidson &

Neale, 2001). Fobia sosial banyak terjadi pada

perempuan dibandingankan dengan laki-laki. Kemunculan

pertama umumnya pada masa remaja, dimana kesadaran

sosial dan interaksi dengan orang lain dianggap lebih

penting dalam kehidupan seseorang (Davidson & Neale,

2001)

Fobia sosial mungkin bersifat spesifik atau

umum, bergantung pada situasi yang ditakuti atau

dihindari. Dalam DSM IV, disebutkan bahwa pada tipe

fobia sosial yang generalized ketakutan terjadi pada

sebagian situasi sosial. Tipe ini agak sulit

dibedakan dengan gangguan kepribadian menghindar

(avoidant personality disorder).

Etiologi

Sudut Pandang Psikoanalisa.

Teori psikoanalisa menekankan pada

ketidaksadaran, sehingga penjelasan tentang fobia pun

berawal dari konsep ini. Freud sebagaimana dikutip

oleh Kaplan, sadock, & Grebb (1994), mengemukakan

hipotesis bahwa fungsi utama dari kecemasan adalah

memberi tanda kepada ego bahwa dorongan terlarang

yang berasal dari ketidaksadaran akan muncul ke

kesadaran. Reaksi fobia adalah defens untuk melawan

kecaman yang ditimbulkan oleh impuls-impuls id yang

direpres (Davison & Neale, 2001). Sebagaimana upaya

untuk menghindari dari konflik yang direpres

tersebut, kecemasan dialihkan dari impuls tersebut

dan dipindahkan pada obyek atau situasi yang memiliki

hubungan simbolik dengannya (yaitu stimulus yang

ditakuti).

Sedangkan menurut Arieti (1979) sebagaimana dikutip

oleh Davison & Neale (2001), fobia timbul karena

adanya represi terhadap konflik interpersonal yang

terjadi pada masa kanak-kanak. Pada masa awal

kehidupannya anak percaya bahwa orang tua dan orang

dewasa lainnya akan melindungi dari bahaya. Namun

selanjutnya mereka mulai takut orang-orang dewasa

tersebut tidak dapat diandalkan. Karena anak tidak

dapat hidup dalam ketidakpercayaan atau ketakutan

pada orang lain, mereka mengalihkannya kepada obyek

atau situasi yang lebih impersonal. Fobia ini dapat

muncul jika pada dewasa mereka menghadapi stres.

Sudut Pandang Tingkah Laku

Menurut pandangan teori behavioral, reaksi fobia

adalah reaksi yang dipelajari dan dapat dijelaskan

dengan prinsip-prinsip belajar, antara lain:

1. Avoidance Conditioning. John b watson & Reyner

(dalam Davison & Neale, 2001), mengemukakan

hipotesis bahwa fobia yang dipelajari melalui

kondisioning menghindar, yang prosesnya sebagai

berikut:

a. Menurut teori kondisioning klasik, seseorang

dapat belajar untuk takut pada stimulus netral

(CS) yang dipasangkan sesuatu yang secara

intrinsik menakutkan atau menyakitkan (UCS)

b. Orang tersebut belajar mengurangi ketakutannya

terhadap stimulus terkondisi (CS) dengan

menghindarinya. Selanjutnya, berdasarkan

prinsip operant conditioning, respon semacam

ini dipertahankan dengan adanya konsekuensi

berupa berkurangnya rasa takut.

2. Modelling. Ketakutan dapat dipelajari dengan cara

mengobservasi dan meniru reaksi dari orang lain

(vicarious learning) tidak hanya melalui pengalaman

tidak menyenangkan dengan hal yang ditakuti.

Bahkan fobia juga dapat dipelajari dengan

intruksi verbal atau diskripsi orang lain.

3. Defisit dalam keterampilan sosial. Berdasarkan

teori bhavioural, tingkah laku yang tidak sesuai

atau kurangnya keterampilan sosial merupakan

penyebab kecemasan sosial. Menurut pandangan ini,

individu tidak belajar bagaimana seharusnya

berperilaku agar dapat merasa nyaman dengan orang

lain, atau orang tersebut berulang-ulang

menampilkan perilaku ceroboh, canggung, atau

jangga, dan sering dikritik oleh teman-temannya.

Sudut Pandang Kognitif.

Teori kognitif memfokuskan pada bagaimana proses

berpikir seseorang dapat menjadi penyebab serta

bagaimana pikiran-pikiran tersebut dapat

mempertahankan reaksi fobia. Menurut pandangan ini,

kecemasan berhubungan dengan kecenderungan untuk

lebih memperhatikan stimulus negatif,

menginterpretasikan informasi yang ambigu sebagai

ancaman, dan percaya bahwa peristiwa-peristiwa yang

tidak menyenangkan akan terjadi lagi di masa

mendatang. (Matthew & McLeod dalam Davison & Neale,

2001)

Sebagaimana dikutip oleh (dalam Davison & Neale,

2001), orang yang mengalami kecemasan sosial akan

lebih memperhaikan evaluasi dari oranglain (bates,

1990) dan cenderung menilai diri sendiri secara

negatif bahkan ketika sebenarnya mereka tampil baik

dalam interaksi sosial (Wallace & Alden, 1997)

Sudut Pandang Biologis.

Menurut asumsi Lacey dalam Davison & Neale,

2001) kelabilan individu, dimana sistem otonomnya

lebih muda dibangkitkan oleh berrbagai stimulus,

menjadi faktor penting dalam membangkitkan perilaku

fobia. Karena labilitas otonom antara lain ditentukan

oleh genetik, maka Gabbay (dalam Davison & Neale,

2001) mengemukakan dugaannya bahwa faktor keturunan

juga memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan

fobia.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor genetik

turut berperan dalam terbentuknya fobia. Misal saja

Ost (dalam Davison & Neale, 2001) mengemukakan bahwa

sekitar 64% orang yang mengalami fobia darah ternyata

memiliki keluarga yang memiliki fobia yang sama.

Hasil penelitian Fyer, et. Al. (1995) dan Stein, et.

Al (1998) sebagaimana dimuat dalam dalam Davison &

Neale, 2001

Treatment

Pendekatan Psikoanalisis

Tuajuan terapi psikoanalisa adalah untuk

mengungkapkan konflik-konflik yang dianggap mendasari

munculnya ketakutan yang ekstrem dan reaksi

menghindar yang mengjadi karakteristik gangguan ini.

Beberapa kombinasi teknik dapat digunakan,misalnya

asosiasi bebas dan analisis mimpi. Namun beberapa

analisis ego kontemporer melakukan penanganan

terhadap fobia dengan meminta orang tersebut

meghadapi fobianya. Hal ini penting untuk mengobati

simtom, meskipun tidak dapat menyelesaikan konflik

yang diasumsikan menyebabkan fobia.

Pendekatan Behavioral

Menurut Davidson & Neale (2001), pendekatan ini

menggunakan teknik desentisisasi sitematis sebagai

metode utama. Metode ini adalah metode yang memadukan

dengan relaksasi serta menggunakan hierarki kecemasan

pada fobia yang dialami seseorang. Jadi, seseorang

diminta membayangkan hal yang ditakuti yang makin

lama makin menakutkannya dengan dibantu proses

relaksasi. Teknik lain untuk menangani fobia spesifik

antara lain adalah modeling, flooding,dan successive

approximation. Melalui modeling sesorang menyaksikan orang

lain berinteraksi dengan objek fobia tanpa adala

rasa takut. Teknik flooding, subjek dihadapkan secara

langsung pada objek fobianya dengan intensitas penuh.

Teknik berikutnya adalah teknik successive approximation,

sumber fobia yang sebenarnya ditampilkansedikit demi

sedikit dan individu mendapatkan imbalan setiap kali

berhasil mendekati objek fobianya. Teknik ini

merupakan bentuk dari metode shaping (Davidson &

Neale, 2001)

Untuk seseorang yang mengalami fobia sosial

dapat dilakukan dengan mengajarkan keterampilan

sosial melalui bermain peran dan pengulangan

interaksi sosial di dalam ruangan terapi.

Pendekatan Kognitif

Davidson & Neale (2001) mengemukanan bahwa untuk

menangani fobia spesifik, pandangan kognitif cukup

skeptic. Sebab menurut para ahli, individutelah

menyadari bahwa ketakutan pada fobia merupakan suatu

hal yang berlebihan, dan merekapun dianggap telah

mengetahui bahwa objek fobia sesungguhnya merupakan

suatu hal yangtidak berbahaya.

Sedangkan untuk menangani fobia sosial, sesorang

diminta untuk mempersepsi reaksi orang lain secara

lebih akurat dan mulai mengurangi ketergantungan

terhadap persetujuan orang lain, agar dapat timbul

perasaan berharga dalam dirinya.

Pendekatan Biologis

Penanganan secara biologi untuk fobia adalah

pemberian obat-obatan sedative, transquilizer atau anxiolytics

yang dapat mengurangi kecemasan. Untuk saat ini obat-

obatan yang sering digunakan adalah obat-obatan anti

depresi.

Gangguan PanikOrang dengan gangguan panik mengalami serangan panik,

periode ketakutan dan ketidaknyamanan fisik yang sangat

membuat mereka merasa kewalahan dan ketakutan oleh

sejumlah sensasi tubuh yangmenyebabkan mereka merasa

kehilangan kendali. Sensasi-sensasi ini meliputi napas

yang pendek dan perasaan tercekik, debaran jantung,

gemetar,berkeringat, sakit perut, perasaan tidak nyata,

sensasi mati rasa, merasa kepanasan atau mengigil, menjadi

gila, dan kehilangan kendali.

Kaplan, sadock, & Grebb (1994) mengemukakan bahwa gangguan

panik memiliki karakteistik terjadinya serangan panik yang

spontan dan tidak terduga. Sedangkan pengertian serangan

panik itu sendiri adalah kecemasan atau ketakutan secara

intens yang terjadi dalam waktu relative singkat, dan

disertai dengan simtom somatik seperti keringat dingin.

Untuk mendiagnosis gangguan panik, paling tidak

beberapa serangan panik terlihat ketika tidak terdapat

situasi yang menjadi pertanda atau pemicunya yang disebut

serangan panik tidak terprediksi (unexpected panic attack).

Individujuga dapat mengalami serangan panic ketika ada

stimulus khusus atau tanda dari lingkungan, hal semacam

itu disebut serangan panik situasional (situasionally

bound panic attack). Dan dalam kasus ketika seseorang

mempunyai kecenderungan memiliki serangan panic dalam

suatu situasi, namun tidak setiap saat terjadi disebut

serangan panik yang cenderung dipengaruhi situasi

(situasionally predisposed panic attact).

Davidson & Neale (2001) menjelaskan beberapa simtom yang

dapat muncul pada gangguan panik, antara lain sulit

bernapas, jantung berdebar keras muncul keringat, gemetar,

kekhawatiran yang intens, merasa diteror, dan lain

sebagainya. Bahkan akan mungkin muncul dipersonalisasi

(perasaan subjektif bahwa dirinya tidak nyata, aneh, atau

tidak dikenal) dan derealisasi (perasaan subjektif bahwa

lingkungan menjadi aneh dan tidak nyata) (Kaplan, Sadock &

Grebb, 1994)

Gangguan panik seringkali disertai dengan

agoraphobia, sebuah istulah yang berasal dari bahasa

Yunani “Agora” yang berarti sebuah tempat berbelanja.

Pengertian agoraphobia itu sendiri adalah ketakutan untuk

berada di tengah-tengah tempat umum dan tidak dapat keluar

atau menemukan bantuan pada saat mendapat serangan panic

(Davidson & Neale, 2001). Dengan keadaan ini individu akan

cenderung menghindari situasi dimana akan sulit

mendapatkan bantuan. Makan orang dengan agoraphobia akan

berpergian dengan orang lain pada tempat-tempat yang sesak

dan tertutup dimana dipenuhi oleh keramaian.

Etiologi

Sudut Pandang Biologis

Salah satu teori biologi menyatakan bahwa pada

beberapa kasus, sensasi fisik yang disebabkan

penyakit membuat beberapa orang mengalami gangguan

panic (Asmundson, Larsen, & Stein, 1998). Menurut

Goldstein (1997), gangguan panic ini menurun dalam

keluarga. Sedangkan teori yang lainnya menyatakan

bahwa gangguan panic disebabkan aktivitas yang

berlebihan dari sistem noradrenergic.

Sudut Pandang Psikologis

Prinsip utama dari teori psikologis untuk

menjelaskan agoraphobia adalah hipotesis takut pada

rasa takut (fear to fear), yang mengansumsukan bahwa

agoraphobia bukanlah bukanlah ketakutan untuk berada

di temapt umum, namun ketakutan akan mendapat

serangan panic di tempat umum. Sedangkan dasar dari

terjadinya serangan panic diperkirakan adalah sistem

saraf otonom yang terlalu aktif (Barlow, 1988), yang

disertai kecenderungan psikologis untuk menjadi

sangat terganggu dengan sensasi yang sangat aktif

tersebut.

Konsep kontrol juga turut berperan dalam

menjelaskan serangan panic.individu yang mengalami

serangan panic memiliki ketakutan yang berlebihan

akan kehilangan control dan ini akan terjadi jika

mereka mendapat serangan panic di tempat umum.

Treatment

Pendekatan Biologis

Beberapa obat dapat diberikan kepada penderita

gangguan panic ini, seperti antidepresan dan anxiolytics.

Pada sisi positifnya, obat ini dapat membantu

menhilangkan simtom yang muncul pada penderitanya.

Namun sisi negatifnya, adalah saat pemberian obat

diberhentikan maka simtom akan muncul kembali. Selain

itu penderita juga mungkin mengalami beberapa gejala

yang merupakan efek samping dari obat tersebut.

Pendekatan Psikologis

Penanganan dengan dasar exposure (pengenalan)

banyak digunakan dalam menangani gangguan panic.

Namun ternyata cara ini tidak selalu dapat

menghilangkan gangguan. Barlow (dalam Davidson &

Neale, 2001) mengemukakan terapi yang menggabungkan 3

komponen terapi, yaitu :

1. Pelatihan relaksasi

2. Kombinasi intervensi kognitif-behavioral dari

Beck dan Ellis

3. Pengenalan terhadap tanda-tanda internal yang

memicu panilk

Gangguan Cemas Menyeluruh (GAD)Generalized Anxiety Disorder (GAD) menurut DSM IV (dalam

Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994) adalah ketakutan yang

berlebihan dan bersifat pervasif disertai dengan berbagai

simtom somatik, yang menyebabkan gangguan sosial dalam

kehidupan sosial, atau pekerjaan pada penderita, atau

menimbulkan stress yang nyata padanya. Menurut Davidson &

Neale (2001), individu yang mengalami GAS mengalami

kecemasan terus-menerus, bahkan seringkali tentang hal-hal

kecil.

Gangguan ini timbul biasanya timbul pada pertengahan

remaja, meskipun dapat muncul pada usia yang lebih tua

ataupun lebih muda (Barlow, et.al dalam Davidson & Neale,

2001). Barlow dan Durand (1995) menjelaskan bahwa

kebanyakan penelitian menunjukkanbahwa GAD seringkali

diasosiasikan dengan onset yang lebih dan bertahap

dibandingkan dengan gangguan cemas lainnya. Hal ini

dianggap turut berperan dalam pembentukn gangguan ini

adalah stress dalam hidup. GAD agak sulit disembuhkan dan

dalam penelitian 5 tahun Woodman dkk (dalam Davidson &

Neale, 2001) menemukan hanya sekitar 18% penderita GAD

yang dapat sembuh total.

Etiologi

(disarikan dari Davison & Neale, 2011).

Sudut Pandang Psikoanalisa

Menurut pandangan ini, sumber GAD adalah konflik

tidak sadar antara ego dan impuls dari id; dorongan

agresivitas dan seksual berusaha untuk keluar, namun

ego menahannya karena khawatir akan hukuman yang

mungkin diterima dengan memenuhi dorongan id. Karena

sumber cemas yang berada pada ketidaksadaran inilah

penderita GAD acapkali merasa cemas tanpa mengetahui

penyebabnya. Konflik antara id dan ego ini

berlangsung terus menerus, dan penderita tidak mampu

memindahkannya pada obyek tertentu (seperti dalam

fobia) sehingga kecemasan muncul hampar setiap saat.

Sudut Pandang Cognitive Behavioral

Salah satu teori perilaku mengemukakan bahwa

terbentuknya GAD sama dengan fobia; bahwa kecemasan

dipandang sebgai sesuatu yang dipelajari berdasarkan

prinsip kondisioning. Fokus teori lainnya. Fokus

teori lainnya adalah pada kontrol dan

ketidakberdayaan. Beberapa kejadian yang menimbulkan

stress akan menimbulkan stress akan menimbulkan cemas

jika individu tidak memiliki kontrol (baik yang

dpersepsikan maupun yang nyata) terhadapnya.

Penderita GAD menurut Barlow (1988), mempersepsi

peristiwa-peristiwa yang mengancam sebagai sesuatu

yang berada di luar kontrol mereka. Mineka (1992)

menjelaskan bahwa peristiwa yang tidak dapat

diprediksi lebih menimbulkan kecemasan daripada

peristiwa yang dapat diperkekirakan sebelumnya.

Pandangan kognitif yang lain (Borkovec, et.al,

1995, 1998) mengemukakan bahwa kekhawatiran simtom

utama GAD adalah perasaan yang membantu yang membantu

penderita mengatasi emosi negatif. Kekhawatiran ini

sebenarnya tidak terlalu membangkitkan emosi, dan

dengan merasa khawatir penderita GAD dapat

menghindari gambaran-gambaran yang menyakitkan

(misalnya kematian keluarga, penyakit, dll) sehingga

kecemasan akan hal tersebut berkurang.

Sudut Pandang Biologis.

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa GAD

mungkin memiliki komponen genetik, namun hingga kini

belum dapat dibuktikan secara tepat peranan faktor

genetik terhadap munculnya GAD berhubungan dengan

adanya hambatan atau gangguan pada neutransmiter yang

bernama GABA, sehingga kecemasan tidak dapat

dikontrol.

Penanganan (Treatment)

Pendekatan Psikoanalisa

Penanganan GAD menurut pandangan ini adalah

dengan membantu penderita menghadapi konflik mereka

yang sebenarnya. Secara umum caranya sama dengan

penangan fobia.

Pendekatan Cognitive-Behavioral

Beberapa cara dapat dilakukan untuk menangani

penderita GAD. Pertama adalah meminta penderita

menjelaskan kecemasan mereka dalam bentuk respons

terhadap situasi yang lebih teridentifikasi. Kemudian

kecemasan (free floating anxiety) penderita direformulasi

menjadi satu atau beberapa fobia atau kecemasan yang

bertanda, sehingga lebih mudah ditangani. Namun

karena cara ini dianggap cukup sulit, beberpa ahli

menganjurkan penanganan yang lebih umum, misalnya

pemberian pelatihan relaksasi yang lebih itensif.

Jika yang mendasari kecemasan adalah perasaan

tidak berdaya, maka terapi membantu klien memperoleh

keterampilan yang mungkin dibuthkan sehingga mereka

merasa kompoten. Pendekatn lain adalah menampilkan

(dengan meminta pasien untuk membayangkan) apa yang

menjadi sumber kecemasan berlebihan pada penderita.

Atau dengan kata lain pasien diminta membayangkan

alasan atau penjelasan yang tidak terlalu mengganggu

pada peristwa yang sebelumnya menjadi sumber

kecemasan.

Pendekatan Biologis

Melalui pemberian obat-obatan anxiolytics pada

terapi untuk fobia atau gangguan panik. Namun yang

harus diperhatikan, kebanyakan obat tersebut memiliki

efek samping yang tidak menyenangkan, misalnya

mengantuk, hilang ingatan, depresi, ketergantungan

fisik, dll (dalam Davidson & Neale, 2001)

Gangguan Obesif Kompulsif (OCD)Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan cemas,

dimana pikiran seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan

yang menetap dan tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk

melakukan tindakan tertentu berulang-ulang, sehingga

menimbulkan stress dan mengganggu fungsinya dalam

kehidupan sehari-hari (Davidson & Neale, 2001). Dalam

bahasa sederhana dapat dijabarkan bahwa obsesif adalah

gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak

diinginkan dan mengganggu. sedangkan Kompulsif adalah

desakan atau paksaan untuk melakukan sesuatu agar dapat

mengurangi rasa tidak nyaman akibat pikiran-pikiran yang

menggangu (obsesif).

Beberapa kompulsi yang umum menurut Davison & Neale (2001)

antara lain:

a. Mengikuti kebersihan dan keteraturan, terkadang dengan

ritual tertentu yang dapat memakan waktu berjam-jam

b. Menghindari obyek tertentu

c. Menampilkan kegiatan-kegiatan praktis yang repetitif,

aneh, dan bersifat pencegahan, misalnya menghitung

d. Memeriksa, berkali-kali memeriksa untuk memastikan

bahwa perilaku yang sudah ditampilkan benar-benar telah

dikerjakan

e. Menampilkan perilaku tertentu seperti makan dengan

sangat perlahan-lahan

Etiologi dan Penanganan

Sudut Pandang Psikoanalisa

Menurut pandangan psikoanalisa, obsesif-kompulsif

timbul dari daya-daya instinktif seperti seksdan

agresivitas, yang tidak berada dibahawa kontrol

individu karena toilet training yang kasar. Individu

menjadi terfiksasi pada masa anal (Davison & Neale,

2001). Dalam psikoanalisa, terapi yang dilakukan

adalah dengan mengurangi represi dan memungkinkan

pasien untuk mengahdapi hal yang benar-benar

ditakutinya.

Sudut pandang Cognitive-Behavioral

Obsesif kompulsif adalah perilaku yang dipelajari,

diperkuat dengan berkurangnya rasa takut. (Davison &

Neale, 2001). Penanganan yang dapat dilakukan adalah

dengan membantu psien menghapuskan keyakinan bahwa

segala sesuatu harus terjadi menurut apa yang mereka

inginkan, atau bahwa hasil pekerjaan harus selalu

sempurna. Pada pendekatan ini pasien didorong untuk

menguji ketakutan mereka bahwa hal yang buruk akan

terjadi jika mereka tidak menampilkan perilaku

kompulsi.

Sudut pandang Biologis

Menurut Davison & Neale penjelasan yang mungkin

tentang gangguan obsesif kompulsif adalah

keterlibatan nerotransmitter di otak, khususnya

serotonin. Penanganan secara biologis dapat dilakukan

dengan memberikan obat-obatan yang meningkatkan

serotonin.

Penanganan lain yang dapat dilakukan untu terapi

pada pasien dengan OCD adalah dengan Exposure and

Response Prevention atau yang lebih dikenal dengan

flooding. Dimana dalam terapi ini, pasien menghadapkan

dirinya sendiri pada situasi yang menimbulkan

tindakan kompulsif dan kemudian menahan diri agar

tidak menampilkan ritual yang biasa dilakukan.

Gangguan Stress Pascatrauma (PTSD)Gangguan stress pascatrauma didefinikan sebagai

sekelompok simtom yang muncul setelah individu mengalami

atau menyaksikan peristiwa traumatik (peristiwa yang

berada di luar batas pengalaman individu) yang melibatkan

kematian atau ancaman kematian, atau luka yang sangat

parah, atau ancaman terhadap integritas diri maupun maupun

orang lain. peristiwa tersebut haruslah menimbulkan

ketakutan atau kengerian yang intens, atau menimbulka

perasaan tidak berdaya (Davison & Neale, 2001).

Menurut DSM IV (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994) simtom

utama PTSD dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:

a.Mengalami kembali peristiwa traumatik secara

persisten melalui beberapa cara. Antara lain

mengingat kembali peristiwa secara berulang dan

menggangu (pada anak mungkin muncul dalam permainan

reptitif), mimpi buruk yang berulang-ulang,

berperilaku atau merasa bahwa peristiwa tersebut

sedang terjadi dan bukan sesuatu yang telah berlalu,

dll.

b.Upaya menghindar yang menetap terhadap hal-hal yang

mengingatkan pada peristiwa traumatik dan penumpulan

respons terhadap stimulus tersebut.

c.Meningkatnya aktivitas secara persisten, antara lain

tidak dapat tidur atau sulit tidur nyenyak, mudah

tersinggung atau meledak (marah), sulit konsentrasi,

berjaga-jaga (hypervigilance), respons terkejut yang

berlebihan.

Untuk dapat disebut sebagai gangguan stress

pascatrauma, simtom-simtom diatas harus muncul setidaknya

selama satu bulan setelah terjadinya peristiwa traumatik.

Sedangkan apabila munculnya kurang dari 1 bulan, ganggun

di diagnosa sebagai gangguan stress akut (Acute Stress

Disorder).

Penanganan yang dapat dilakukan pada pasien dengan PTSD

adalah dengan:

Memberi pendidikan atau pengetahuan tentang PTSD pada

orang yang mengalami trauma, terutama simtom-simtom

apa yang mungkin muncul.

Dengan melakukan pendekatan terapi kelompok, dimana

masing-masing nggota kelompok dapat saling berbagi

dan saling mendukung.

Terapi tingkah laku yang berdasarkan exposure juga

mungkin dilakukan, yaitu dengan mengkonfrontasi

pasien dengan cara tertentu yang sebenarnya ingin

dihindari pasien.

EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)

Memberikan obat psikoaktif, termasuk antidepresan dan

transquilizer.

KESIMPULAN

Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan

takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan

tidak menyenangkan. Kecemasan seringkali disertai dengan gejala

fisik seperti sakit kepala, jantung berdebar cepat, dada terasa

sesak, sakit perut, dan lain sebagainya. Kecemasan Gangguan

kecemasan berbeda dengan kecemasan normal dalam hal intensitas,

durasi, serta dampaknya bagi individu.

Fobia adalah ketakutan irasional yang menimbulkan upaya

menghindar (secara sadar) dari objek, aktivitas, atau situasi

yang ditakuti. Keberadaan dan antisipasi terhadap hal yang

ditakuti ini menimbulkan stress pada individu, karena dianggap

terlalu berlebihan dan tentu saja reaksi fobia akan mengganggu

fungsi individu di dalam kehidupannya

Gangguan panik gangguan panik memiliki karakteistik

terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak terduga.

Sedangkan pengertian serangan panik itu sendiri adalah

kecemasan atau ketakutan secara intens yang terjadi dalam waktu

relative singkat, dan disertai dengan simtom somatik seperti

keringat dingin. Biasanya gangguan panic juga meliputi

agoraphobia.

Gangguan kecemasan menyeluruh (GAD) adalah ketakutan yang

berlebihan dan bersifat pervasif disertai dengan berbagai

simtom somatik, yang menyebabkan gangguan sosial dalam

kehidupan sosial, atau pekerjaan pada penderita, atau

menimbulkan stress yang nyata padanya bahkan untuk hal-hal yang

kecil atau sepele.

Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan cemas, dimana

pikiran seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang menetap

dan tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk melakukan tindakan

tertentu berulang-ulang, sehingga menimbulkan stress dan

mengganggu fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.

Gangguan stress pascatrauma didefinikan sebagai sekelompok

simtom yang muncul setelah individu mengalami atau menyaksikan

peristiwa traumatik (peristiwa yang berada di luar batas

pengalaman individu) yang melibatkan kematian atau ancaman

kematian, atau luka yang sangat parah, atau ancaman terhadap

integritas diri maupun maupun orang lain.

Tiap-tiap gangguan kecemasan tersebut memiliki penyebab

dan cara mengatasinya sesuai dengan simtom-simtom pada masing-

masing gangguan.

DAFTAR PUSTAKA

Fausiah, Fitria dan Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Klinis

Dewasa. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Halgin, Richard P., Susan Krauss Whitbourne. 2010. Psikologi

Abnornal: Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologis. Jakarta:

Salemba Humanika