dampak negatif dari asean-china free trade agreement

13
Dampak Negatif ASEAN – CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA). Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telahmengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data KamarDagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalamipenurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun kedepan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Darijumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapipersaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010) Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap

Upload: waraney-purukan

Post on 29-Nov-2015

68 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

TRANSCRIPT

Page 1: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

Dampak Negatif ASEAN – CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA).

Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran

sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia

telahmengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data

KamarDagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan

mengalamipenurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5

tahun kedepan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan

US$ 5miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis

IKM(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian

Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5

miliar. Darijumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam

menghadapipersaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010)

Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang

sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen

di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga

tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga25%. Menurut

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih

5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis

Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk

bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen

tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil.

Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor

saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”

Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat

senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap

lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya,produsen jamu lokal terancam gulung

tikar.

Page 2: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.

Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus

diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor

vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang

bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia.

Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk

Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data

menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004

hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia

mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin

berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai

tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang

memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan

ekonominya.

Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar

nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja

semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2juta

orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka

diIndonesia mencapai 8,96 juta orang

Kesimpulan

1)ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa yang

diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari 2010.

2) Kalahnya strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi perekonomian

semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang industri ini dan

dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing.

Page 3: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

3)ACFTA dipandang terlalu agresif untuk melakukan liberalisasi ekonomi Indonesia yang

menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam.

4)ACFTA menimbulkan dampak Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia.Namun hal ini

tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari adanya ACFTA mendominasikan keterpurukan

perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri

• Dampak Terhadap Indutri Dalam Negeri

Hampir semua industri terkena dampak dari perdagangan bebas Asean-China (CAFTA). Industri

kecil, menengah kelabakan, perusahaan besarpun harus memutar otak bagaimana agar mampu

bertahan, antara lain tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, alat-alat

pertanian, alas kaki, fiber sintetis, elektronik (kabel) dan peralatan listrik, industri permesinan,

serta besi dan baja.

Pada realitas ekonominya setelah diterapkan pasar bebas, maka biaya masuk adalah 0,0 persen.

Sebelumnya produk China masuk ke Indonesia hanya lima persen, tapi harga jual produk China

relatif jauh lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Apalagi setelah perdagangan bebas ini

berlangsung, besar kemungkinan harga penjualan barang-barang made in China yang murah

meriah lambat laun akan menggeser produk dalam negeri, hal itu berpotensi mengancam

keberlangsungan perekonomian masyarakat industri dalam negeri.

Industri tekstil dan produk tekstil niscaya kalah bersaing oleh produk impor eks China. Namun,

penyebabnya bukan ketidaksiapan pelaku industri dan bisnis di dalam negeri. "Pemerintah juga

belum siap dalam memberikan fasilitasi dan penerbitan regulasi, sehingga industri tekstil dan

produk tekstil dalam negeri kalah bersaing.

Persoalan infrastruktur yang menyebabkan biaya tinggi dalam kegiatan distribusi bahan baku dan

ekspor, suku bunga kredit perbankan yang melangit, kurs rupiah terhadap dolar AS yang tidak

stabil, dan birokrasi yang tidak efisien, juga menjadi penyebab loyonya daya saing industri

dalam negeri ini.

Kondisi tersebut menyebabkan produksi menjadi mahal, sehingga harga jual produk sama sekali

tidak kompetitif, nilai ekspor produk tekstil terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir, bahkan

mengalami defisit sejak empat tahun belakangan.

Jadi setelah implementasi CAFTA mulai awal tahun ini defisit nilai ekspor proaiiksi tekstilakan

Page 4: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

semakin tinggi. Jika kondisi seperti ini dibiarkan, industri tekstil kita pasti mati

Hal itu juga dirasakan pengrajin Mojokerto, Sejak akhir 2009 para perajin sepatu Mojokerto

sudah merasakan penurunan pemesanan dari grosir langganan. Menginjak tahun 2010, pesanan

pun dilaporkan sepi karena tersaingi oleh produk asal China (Liputan 6 SCTV, 11 Januari 2010).

Inilah cermin dari kehawatiran masyarakat Tentu saja hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR)

bagi pemerintah karena keputusan yang diambil semula didasarkan pada demi kemajuan

perekonomian bangsa. Permasalahannya, bagaimana kalau dampaknya belakangan justru

berpotensi merugikan perekonomian nasional?. Melihat kondisi pendapatan masyarakat, tentu

merupakan kegembiraan tersendiri dengan adanya produk murah asal China. Masyarakat dengan

mudah bisa membeli barang-barang murah sesuai kemampuan kantong masyarakat ketimbang

produk buatan dalam negeri yang relatif lebih mahal. Yang jelas, hal ini merupakan konsekuensi

alami mengingat kondisi sulit yang dialami warga masyarakat Barang-barang murah akan laku di

pasaran meski mungkin kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi, jika menilik

kondisi laju pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari indeks produksi industri sedang

dan besar pada tiga triwulan pertama tahun 2008, misalnya, hampir semua sektor dalam industri

manufaktur di Indonesia menurun. Hanya empat sektor yang menguat, yakni industri makanan

dan minuman, industri pengolahan tembakau, industri barang dari kulit dan alas kaki, serta

industri furnitur dan pengolahan lainnya (BPS, 2009).

Industri jamu maupun farmasi dalam negeri tidak luput dari serangan kebijakan CAFTA.

Terutama yang skala kecil menengah. Makanya GP Farmasi Indonesia meminta penundaan

CAFTA.

"Saat ini ada 200 industri farmasi. Pemain besarnya ada 20 perusahaan yang menguasai 70-80%

pasar obat. Yang nilainya Rp30 triliun," katanya.

China adalah negara yang mampu memproduksi harga obat yang jauh lebih murah dan dalam

jumlah yang cukup besar. Skala ekonomi produksi mereka besar hingga mampu memproduksi

sebesar 10 juta butir obat Sementara pasar nasional hanya mampu memproduksi sebesar 100.000

butir obat.

Dari hal itu kita dapat membaca bahwa perekonomian nasional, khususnya dalam sektor industri,

masih labil dan memerlukan sikap keseriusan pemerintah untuk memacunya secara lebih serius

lagi Di tengah persaingan pasar bebas industri dunia, tanpa tindakan konkret pemerintah untuk

menanganinya dalam bentuk proteksi, maka lambat laun industri dalam negeri akan bangkrut.

Page 5: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

Mengingat kebijakan CAFTA merupakan bagian dari kebijakan perekonomian nasional, maka

ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah. Salah satunya, peraturan mengenai standar

barang dan perlindungan konsumen harus dijalankan secara benar. Ini penting sebagai bagian

dari kebijakan perlindungan terhadap perindustrian dalam negeri.Tim dari Departemen

Perindustrian, yang merupakan tim mulndisiplin dan terdiri dari pakar dan wakil Kadin (Kamar

Dagang dan Industri Indonesia), harus berupaya maksimal untuk lebih mempertajam arah dan

pri-

oritas industri yang perlu dikembangkan. Ini karena pengembangan industri yang dilakukan

pemerintah belakangan terkesan tidak jelas arah dan gambarannya.Dari catatan statistik, tahun

2008 industri yang berkembang di dalam negeeri sudah menyerap tenaga kerja hingga 70%. Ini

membuktikan bahwa sektor industri mampu memberikan terobosan dalam upaya lebih

memberdayakan masyarakat serta mengatasi masalah kemiskinan.

Akhirnya, perlu disadari bahwa dampak perdagangan bebas, akan berpotensi mematikan industri

dalam negeri. Dampak lebih jauh, Jutaan tenaga kerja sangat mungkin berakibat PHK

(pemutusan hubungan kerja) dan menambah jumlah penganggur akibat industri dalam negeri

banyak yang mengalami kolaps. jika pengangguran semakin tinggi, dampak yang muncul tidak

saja di bidang ekonomi, tetapi juga sosial.

Bagaimanapun, produk dalam negeri saat ini tak akan mampu menyaingi membanjirnya produk

massal buatan China yang murah meriah. Oleh sebab itu, kebijakan CAFTA rasanya memang

perlu dikaji ulang oleh pemerintah supaya dampaknya tidak mengancam keselamatan industri

dalam negeri. Harapan besar tergantung pada pemerintah demi eksistensi produk dalam negeri

pada masa depan. Dalam upaya meningkatkan perekonomian bangsa, kebijakan-kebijakan perlu

diarahkan pada perbaikan ekonomi rakyat Ini penting agar gagasan untuk menciptakan

masyarakat makmur dan sejahtera dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia.

Page 6: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

Berikut ulasan dan jawaban dari Didik Susetyo (DS), semoga memberikan sedikit pencerahan.

 ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) memang merupakan salah satu konsekuensi globalisasi yang harus dihadapi. Sebenarnya, kemanfaatan apa yang ingin diraih dengan adanya perjanjian perdagangan bebas ini?Penerapan ACFTA dapat dilihat segi positif dan negatifnya. Segi positifnya antara lain:pertama, masyarakat dapat menikmati berbagai jenis barang dengan kualitas dan harga yang bersaing. Kedua, masyarakat mempunyai banyak referensi jenis barang. Ketiga, pemerintah dapat meningkatkan kegiatan dan volume perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Keempat, mobilitas barang dan jasa serta manusia lebih bergairah sehingga mendorong peningkatan dan pemeliharaan infrastruktur. Kelima, jasa transportasi dan komunikasi akan berkembang pesat, dan banyak opportunity lainnya. Segi negatifnya antara lain:pertama, produksi dalam negeri mendapat persaingan yang semakin ketat.Kedua, merupakan ancaman bagi pelaku ekonomi dan bisnis domestik yang tidak efisien. Ketiga, ada kecenderungan beralihnya pelaku ekonomi produktif (memproduksi barang) ke usaha perdagangan (tengkulak). Keempat, peningkatan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan efisiensi, dan sebagainya.

 Jika demikian, secara umum, apakah ACFTA menguntungkan atau merugikan bagi Indonesia? Mengapa demikian?Secara umum sebenarnya dapat dikatakan ‘fifty-fifty’. Manfaat dan keuntungan sudah saya beberkan tadi, baik dari segi positif maupun dari segi negatif. Kita bisa belajar dari masyarakat ekonomi Eropa (MEE) dimana mereka telah memiliki kekuatan luar biasa setelah terbentuknya pasar tunggal Eropa, mata uang tunggal, pembebasan tarif, dan keuntungan lainnya. Berarti untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat kawasan Asia, salah satu bisa dimulai dengan ACFTA ini. Namun, sudah barang tentu masih banyak agenda untuk menuju ke kondisi seperti MEE tersebut. Berbagai kendala dalam hal ini akan tercermin dari banyaknya perbedaan antarnegara terutama ideologi, sistem politik, ekonomi, budaya, sosial, pertahanan dan keamanan; bukan berarti kendala ini tidak dapat di ’manage’.

 Bagi Indonesia, sektor industri dan komoditas apa saja yang akan terkena dampak langsung dari penerapan ACFTA?Beberapa sektor industri yang kena dampak, terutama industri-industri muda(infant industries) yang masih membutuhkan perlindungan, industri yang beroperasi tidak efisien, dan beberapa industri substitusi impor yang sangat dibutuhkan untuk proses produksi berikutnya. Menyimak beberapa industri yang akan tergilas tersebut di atas tentu beberapa komoditas yang berpotensi bakal tergilas antara lain beberapa hasil agroindustri setengah jadi , tekstil, semen, elektronika, kimia, obat-obatan, dan lainnya. Sebenarnya masih banyak lagi kekhawatiran komoditi-komoditi Indonesia bakan tergilas oleh produk-produk China dan Negara-negara ASEAN lainnya. Namun penguatan struktur industri Indonesia akan teruji dalam implementasi ACFTA ini. 

Page 7: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

Apakah posisi Indonesia yang masih mengandalkan ekonomi agraris dan eksplorasi sumber daya alam menjadi “kelemahan” dalam bersaing di era perdagangan bebas dibanding China dan negara ASEAN lain yang industrinya sudah lebih maju?Sebetulnya Indonesia memiliki keunggulan di bidang agraris yang dapat dikembangkan menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Hanya saja masalahnya usaha dibidang agraris ini belum diorientasikan pada produk-produk derivasi (turunan) yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Pelaku  usaha di Indonesia masih banyak yang menggarap pada produk dasar  saja, seperti: karet (SIR),minyak  sawit (CPO), kopi (bubuk), dan komoditas lainnya yang belum pada produk turunannya. Produk-produk hasil industri Indonesia akan sulit bersaing dengan produk China dan negara ASEAN lainnya karena kualitas dan ragam produk diferensiasinya sudah menggunakan sentuhan teknologi maju sehingga lebih berkualitas.

Strategi pembangunan apa yang tepat untuk menciptakan sinergi  yang baik antara industri dan pertanian agar nantinya akan meningkatkan pertumbuhan dan daya saing ekonomi?Strategi pembangunan yang tepat adalah kombinasi pembangunan sektor pertanian yang kuat untuk mendukung sektor industri yang berdaya saing tinggi. Berbagai komoditas pertanian dapat dihasilkan dan diolah menjadi produk-produk industri unggulan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dan untuk tujuan ekspor. Berbagai kegiatan pertanian produktif harus menggunakan sentuhan teknologi yang lebih efisien sehingga menghasilkan komoditi yang memiliki produktivitas tinggi dan harga jual yang memadai dan dapat bersaing. Proses produksi sektor pertanian yang masih tradisional harus dilakukan revolusi besar-besaran agar pasca panen sektor agraris lebih efisien dengan produktivitas tinggi. Kepekaan proses produksi sektor industri harus mampu mengkombinasikan kondisi ‘labor intensive’ dan ‘capital intensive’ secara harmoni.

Apa kendala yang sekarang dihadapi untuk menjalankan strategi tersebut?

Beberapa kendala yang dihadapi Indonesia untuk menjalankan strategi kombinasi sektor pertanian dan sektor industri dewasa ini antara lain kuantitas dan kualitas infrastruktur masih memprihatinkan, biaya O-M senantiasa tidak dilaksanakan sesuai waktu dan peruntukannya, tembok birokrasi bagaikan benang kusut, kepastian hukum belum kondusif, ekonomi biaya tinggi menghadang di mana-mana, praktik-praktif ekonomi rente tumbuh subur, potensi korupsi bagaikan gurita raksasa, kedisiplinan, kejujuran, dan ketertiban bagaikan barang mahal, dualisme kebijakan selalu mewarnai konflik dan ‘vested interest’, dan masih banyak lagi sejenisnya. Sudah barang tentu hal-hal ini harus dibenahi dan ditempatkan pada proporsi yang benar sehingga tidak memperparah kondisi dan situasi penerapan strategi untuk percepatan pertumbuhan dan distribusi kegiatan antardaerah, antarwilayah, dan antarregional. 

Page 8: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

Kembali ke masalah penerapan ACFTA. Bagaimana pandangan Bapak dengan pendapat bahwa pemerintah RI dan dunia usaha di Indonesia terlihat tidak siap—bahkan lalai—mengantisipasi penerapan ACFTA?Ya… dikatakan lalai atau tidak siap, bukan merupakan solusi, karena ini sudah melalui tahapan pertemuan dan perundingan yang ketat dan memakan waktu relatif lama. Dalam wacana globalisasi tentu Indonesia harus siap dan selalu mempersiapkan konsekuensi dari persaingan, perdagangan, hubungan bilateral, hubungan multilateral, dan apapun bentuknya, termasuk ‘free trade agreement’.  Ini merupakan konsekuensi logis dari sekian banyak ‘fasilitas-fasilitas’ bahkan ‘previledges’ yang sering diberikan pemerintah ke dunia usaha sehingga pengusaha agak sedikit manja dan hanya mampu jago kandang akibat proteksi. Seharusnya semua elemen bangsa yang berkepentingan dalam ACFTA mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi adanya kesepakatan tersebut. Tidak waktunya lagi kita mencari kambing hitam, tetapi bagaimana secepatnya menemukan solusi sehingga lebih banyak kemanfaatan disbanding dengan kerugiannya.

Apa saja dampak negatif lanjutan (efek domino) yang mungkin timbul akibat kekurangsiapan pemerintah RI dan dunia usaha dalam mengantisiasi penerapan ACFTA?Beberapa dampak negatif ACFTA yang saya sampaikan di awal dapat sangat berpotensi muncul dalam penerapan ACFTA. Hal ini cukup beralasan, karena barang-barang China yang notabene lebih murah dan lebih berkualitas masuk ke Indonesia akan menggilas penggunaan barang-barang yang selama ini dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Setelah barang-barang tersebut memberikan nilai kenikmatan lebih bagi konsumsi masyarakat, maka efek domino yang mungkin timbul adalah masuknya produk-produk turunan berupa jasa-jasa ‘made in’ China sehingga dikhawatirkan semua kegiatan produksi barang dan jasa akan dikuasai oleh China. Apa yang harus diperbuat pemerintah dan dunia usaha? Pemerintah harus senantiasa melakukan dukungan perbaikan infratstruktur yang optimal bagi dunia usaha sehingga dapat berproduksi secara optimal dan efisien. Dunia usaha harus tidak menunggu fasilitas-fasilitas pemerintah yang justru menumbuh-suburkan ekonomi biaya tinggi. Ini sebuah himbauan dan kepedulian anak bangsa. Mari menghadapi ACFTA ini sebagai peluang bahwa kita bisa melakukan kompetisi yang jujur dan beretika bisnis yang bersifat universal.

 Langkah apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif lanjutan dari kekurangsiapan kita dalam penerapan ACFTA?

Beberapa langkah yang masih perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negative, antara lain koordinasi semua elemen bangsa yang dikomandoi pemerintah, baik yang membidangi kegiatan ini maupun semua komponen pelaku usaha, agar memperbaiki kinerja dan produktivitas usahanya. Produsen, pedagang, dan tengkulak yang tidak efisienlah yang bakal ketakutan karena akan ditinggal konsumen dan menuju ‘kebangkrutan’. Saya memiliki keyakinan bahwa beberapa produk dan komoditas Indonesia masih diminati oleh masyarakat Indonesia sendiri dan importir luar negeri. Berarti hal ini bisa dijadikan pelajaran untuk tetap memperhatikan produktivitas

Page 9: Dampak Negatif dari ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

barang-barang yang berkualitas, produksinya bisa massal dan/atau bersifat unik, dan barang-barang baik yang bersifat barang konsumsi, maupun barang modal, telah mendapat sentuhan teknologi lebih maju.  

Bentuk atau visi kebijakan yang seperti apa yang dapat mengarahkan agar ACFTA ini benar-benar memberi kemanfaatan yang besar bagi peningkatan kemakmuran rakyat?Momentum ACFTA merupakan bentuk ujian dalam kesepakatan persaingan(competition agreement) antar negara kawasan tertentu sehingga kombinasi kebijakan suatu negara dapat melaksanakan strategi S-W, S-T, O-W, O-T dari konsep SWOT (stregthness, weakness, opportunities, threats). Jika Indonesia dapat mengelola setiap alternatif strategi tersebut berarti mampu dilaksanakan untuk masing-masing alternatif diharapkan menjadi konsep strategi yang benar sehingga ACFTA ini dapat  memberikan kemakmuran bagi rakyat, tetapi jika strateginya salah maka keniscayaan akan terjadi, bangsa kita hanya sebagai ‘follower’ dan penonton saja.