Dampak Negatif ASEAN – CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA).
Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran
sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia
telahmengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data
KamarDagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan
mengalamipenurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5
tahun kedepan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan
US$ 5miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis
IKM(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian
Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5
miliar. Darijumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam
menghadapipersaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010)
Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang
sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen
di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga
tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga25%. Menurut
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih
5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis
Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk
bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen
tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil.
Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor
saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”
Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat
senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap
lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya,produsen jamu lokal terancam gulung
tikar.
Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.
Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus
diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor
vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang
bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia.
Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk
Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data
menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004
hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia
mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin
berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai
tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang
memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan
ekonominya.
Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar
nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja
semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2juta
orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka
diIndonesia mencapai 8,96 juta orang
Kesimpulan
1)ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa yang
diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari 2010.
2) Kalahnya strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi perekonomian
semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang industri ini dan
dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing.
3)ACFTA dipandang terlalu agresif untuk melakukan liberalisasi ekonomi Indonesia yang
menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam.
4)ACFTA menimbulkan dampak Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia.Namun hal ini
tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari adanya ACFTA mendominasikan keterpurukan
perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri
• Dampak Terhadap Indutri Dalam Negeri
Hampir semua industri terkena dampak dari perdagangan bebas Asean-China (CAFTA). Industri
kecil, menengah kelabakan, perusahaan besarpun harus memutar otak bagaimana agar mampu
bertahan, antara lain tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, alat-alat
pertanian, alas kaki, fiber sintetis, elektronik (kabel) dan peralatan listrik, industri permesinan,
serta besi dan baja.
Pada realitas ekonominya setelah diterapkan pasar bebas, maka biaya masuk adalah 0,0 persen.
Sebelumnya produk China masuk ke Indonesia hanya lima persen, tapi harga jual produk China
relatif jauh lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Apalagi setelah perdagangan bebas ini
berlangsung, besar kemungkinan harga penjualan barang-barang made in China yang murah
meriah lambat laun akan menggeser produk dalam negeri, hal itu berpotensi mengancam
keberlangsungan perekonomian masyarakat industri dalam negeri.
Industri tekstil dan produk tekstil niscaya kalah bersaing oleh produk impor eks China. Namun,
penyebabnya bukan ketidaksiapan pelaku industri dan bisnis di dalam negeri. "Pemerintah juga
belum siap dalam memberikan fasilitasi dan penerbitan regulasi, sehingga industri tekstil dan
produk tekstil dalam negeri kalah bersaing.
Persoalan infrastruktur yang menyebabkan biaya tinggi dalam kegiatan distribusi bahan baku dan
ekspor, suku bunga kredit perbankan yang melangit, kurs rupiah terhadap dolar AS yang tidak
stabil, dan birokrasi yang tidak efisien, juga menjadi penyebab loyonya daya saing industri
dalam negeri ini.
Kondisi tersebut menyebabkan produksi menjadi mahal, sehingga harga jual produk sama sekali
tidak kompetitif, nilai ekspor produk tekstil terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir, bahkan
mengalami defisit sejak empat tahun belakangan.
Jadi setelah implementasi CAFTA mulai awal tahun ini defisit nilai ekspor proaiiksi tekstilakan
semakin tinggi. Jika kondisi seperti ini dibiarkan, industri tekstil kita pasti mati
Hal itu juga dirasakan pengrajin Mojokerto, Sejak akhir 2009 para perajin sepatu Mojokerto
sudah merasakan penurunan pemesanan dari grosir langganan. Menginjak tahun 2010, pesanan
pun dilaporkan sepi karena tersaingi oleh produk asal China (Liputan 6 SCTV, 11 Januari 2010).
Inilah cermin dari kehawatiran masyarakat Tentu saja hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR)
bagi pemerintah karena keputusan yang diambil semula didasarkan pada demi kemajuan
perekonomian bangsa. Permasalahannya, bagaimana kalau dampaknya belakangan justru
berpotensi merugikan perekonomian nasional?. Melihat kondisi pendapatan masyarakat, tentu
merupakan kegembiraan tersendiri dengan adanya produk murah asal China. Masyarakat dengan
mudah bisa membeli barang-barang murah sesuai kemampuan kantong masyarakat ketimbang
produk buatan dalam negeri yang relatif lebih mahal. Yang jelas, hal ini merupakan konsekuensi
alami mengingat kondisi sulit yang dialami warga masyarakat Barang-barang murah akan laku di
pasaran meski mungkin kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi, jika menilik
kondisi laju pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari indeks produksi industri sedang
dan besar pada tiga triwulan pertama tahun 2008, misalnya, hampir semua sektor dalam industri
manufaktur di Indonesia menurun. Hanya empat sektor yang menguat, yakni industri makanan
dan minuman, industri pengolahan tembakau, industri barang dari kulit dan alas kaki, serta
industri furnitur dan pengolahan lainnya (BPS, 2009).
Industri jamu maupun farmasi dalam negeri tidak luput dari serangan kebijakan CAFTA.
Terutama yang skala kecil menengah. Makanya GP Farmasi Indonesia meminta penundaan
CAFTA.
"Saat ini ada 200 industri farmasi. Pemain besarnya ada 20 perusahaan yang menguasai 70-80%
pasar obat. Yang nilainya Rp30 triliun," katanya.
China adalah negara yang mampu memproduksi harga obat yang jauh lebih murah dan dalam
jumlah yang cukup besar. Skala ekonomi produksi mereka besar hingga mampu memproduksi
sebesar 10 juta butir obat Sementara pasar nasional hanya mampu memproduksi sebesar 100.000
butir obat.
Dari hal itu kita dapat membaca bahwa perekonomian nasional, khususnya dalam sektor industri,
masih labil dan memerlukan sikap keseriusan pemerintah untuk memacunya secara lebih serius
lagi Di tengah persaingan pasar bebas industri dunia, tanpa tindakan konkret pemerintah untuk
menanganinya dalam bentuk proteksi, maka lambat laun industri dalam negeri akan bangkrut.
Mengingat kebijakan CAFTA merupakan bagian dari kebijakan perekonomian nasional, maka
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah. Salah satunya, peraturan mengenai standar
barang dan perlindungan konsumen harus dijalankan secara benar. Ini penting sebagai bagian
dari kebijakan perlindungan terhadap perindustrian dalam negeri.Tim dari Departemen
Perindustrian, yang merupakan tim mulndisiplin dan terdiri dari pakar dan wakil Kadin (Kamar
Dagang dan Industri Indonesia), harus berupaya maksimal untuk lebih mempertajam arah dan
pri-
oritas industri yang perlu dikembangkan. Ini karena pengembangan industri yang dilakukan
pemerintah belakangan terkesan tidak jelas arah dan gambarannya.Dari catatan statistik, tahun
2008 industri yang berkembang di dalam negeeri sudah menyerap tenaga kerja hingga 70%. Ini
membuktikan bahwa sektor industri mampu memberikan terobosan dalam upaya lebih
memberdayakan masyarakat serta mengatasi masalah kemiskinan.
Akhirnya, perlu disadari bahwa dampak perdagangan bebas, akan berpotensi mematikan industri
dalam negeri. Dampak lebih jauh, Jutaan tenaga kerja sangat mungkin berakibat PHK
(pemutusan hubungan kerja) dan menambah jumlah penganggur akibat industri dalam negeri
banyak yang mengalami kolaps. jika pengangguran semakin tinggi, dampak yang muncul tidak
saja di bidang ekonomi, tetapi juga sosial.
Bagaimanapun, produk dalam negeri saat ini tak akan mampu menyaingi membanjirnya produk
massal buatan China yang murah meriah. Oleh sebab itu, kebijakan CAFTA rasanya memang
perlu dikaji ulang oleh pemerintah supaya dampaknya tidak mengancam keselamatan industri
dalam negeri. Harapan besar tergantung pada pemerintah demi eksistensi produk dalam negeri
pada masa depan. Dalam upaya meningkatkan perekonomian bangsa, kebijakan-kebijakan perlu
diarahkan pada perbaikan ekonomi rakyat Ini penting agar gagasan untuk menciptakan
masyarakat makmur dan sejahtera dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Berikut ulasan dan jawaban dari Didik Susetyo (DS), semoga memberikan sedikit pencerahan.
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) memang merupakan salah satu konsekuensi globalisasi yang harus dihadapi. Sebenarnya, kemanfaatan apa yang ingin diraih dengan adanya perjanjian perdagangan bebas ini?Penerapan ACFTA dapat dilihat segi positif dan negatifnya. Segi positifnya antara lain:pertama, masyarakat dapat menikmati berbagai jenis barang dengan kualitas dan harga yang bersaing. Kedua, masyarakat mempunyai banyak referensi jenis barang. Ketiga, pemerintah dapat meningkatkan kegiatan dan volume perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Keempat, mobilitas barang dan jasa serta manusia lebih bergairah sehingga mendorong peningkatan dan pemeliharaan infrastruktur. Kelima, jasa transportasi dan komunikasi akan berkembang pesat, dan banyak opportunity lainnya. Segi negatifnya antara lain:pertama, produksi dalam negeri mendapat persaingan yang semakin ketat.Kedua, merupakan ancaman bagi pelaku ekonomi dan bisnis domestik yang tidak efisien. Ketiga, ada kecenderungan beralihnya pelaku ekonomi produktif (memproduksi barang) ke usaha perdagangan (tengkulak). Keempat, peningkatan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan efisiensi, dan sebagainya.
Jika demikian, secara umum, apakah ACFTA menguntungkan atau merugikan bagi Indonesia? Mengapa demikian?Secara umum sebenarnya dapat dikatakan ‘fifty-fifty’. Manfaat dan keuntungan sudah saya beberkan tadi, baik dari segi positif maupun dari segi negatif. Kita bisa belajar dari masyarakat ekonomi Eropa (MEE) dimana mereka telah memiliki kekuatan luar biasa setelah terbentuknya pasar tunggal Eropa, mata uang tunggal, pembebasan tarif, dan keuntungan lainnya. Berarti untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat kawasan Asia, salah satu bisa dimulai dengan ACFTA ini. Namun, sudah barang tentu masih banyak agenda untuk menuju ke kondisi seperti MEE tersebut. Berbagai kendala dalam hal ini akan tercermin dari banyaknya perbedaan antarnegara terutama ideologi, sistem politik, ekonomi, budaya, sosial, pertahanan dan keamanan; bukan berarti kendala ini tidak dapat di ’manage’.
Bagi Indonesia, sektor industri dan komoditas apa saja yang akan terkena dampak langsung dari penerapan ACFTA?Beberapa sektor industri yang kena dampak, terutama industri-industri muda(infant industries) yang masih membutuhkan perlindungan, industri yang beroperasi tidak efisien, dan beberapa industri substitusi impor yang sangat dibutuhkan untuk proses produksi berikutnya. Menyimak beberapa industri yang akan tergilas tersebut di atas tentu beberapa komoditas yang berpotensi bakal tergilas antara lain beberapa hasil agroindustri setengah jadi , tekstil, semen, elektronika, kimia, obat-obatan, dan lainnya. Sebenarnya masih banyak lagi kekhawatiran komoditi-komoditi Indonesia bakan tergilas oleh produk-produk China dan Negara-negara ASEAN lainnya. Namun penguatan struktur industri Indonesia akan teruji dalam implementasi ACFTA ini.
Apakah posisi Indonesia yang masih mengandalkan ekonomi agraris dan eksplorasi sumber daya alam menjadi “kelemahan” dalam bersaing di era perdagangan bebas dibanding China dan negara ASEAN lain yang industrinya sudah lebih maju?Sebetulnya Indonesia memiliki keunggulan di bidang agraris yang dapat dikembangkan menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Hanya saja masalahnya usaha dibidang agraris ini belum diorientasikan pada produk-produk derivasi (turunan) yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Pelaku usaha di Indonesia masih banyak yang menggarap pada produk dasar saja, seperti: karet (SIR),minyak sawit (CPO), kopi (bubuk), dan komoditas lainnya yang belum pada produk turunannya. Produk-produk hasil industri Indonesia akan sulit bersaing dengan produk China dan negara ASEAN lainnya karena kualitas dan ragam produk diferensiasinya sudah menggunakan sentuhan teknologi maju sehingga lebih berkualitas.
Strategi pembangunan apa yang tepat untuk menciptakan sinergi yang baik antara industri dan pertanian agar nantinya akan meningkatkan pertumbuhan dan daya saing ekonomi?Strategi pembangunan yang tepat adalah kombinasi pembangunan sektor pertanian yang kuat untuk mendukung sektor industri yang berdaya saing tinggi. Berbagai komoditas pertanian dapat dihasilkan dan diolah menjadi produk-produk industri unggulan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dan untuk tujuan ekspor. Berbagai kegiatan pertanian produktif harus menggunakan sentuhan teknologi yang lebih efisien sehingga menghasilkan komoditi yang memiliki produktivitas tinggi dan harga jual yang memadai dan dapat bersaing. Proses produksi sektor pertanian yang masih tradisional harus dilakukan revolusi besar-besaran agar pasca panen sektor agraris lebih efisien dengan produktivitas tinggi. Kepekaan proses produksi sektor industri harus mampu mengkombinasikan kondisi ‘labor intensive’ dan ‘capital intensive’ secara harmoni.
Apa kendala yang sekarang dihadapi untuk menjalankan strategi tersebut?
Beberapa kendala yang dihadapi Indonesia untuk menjalankan strategi kombinasi sektor pertanian dan sektor industri dewasa ini antara lain kuantitas dan kualitas infrastruktur masih memprihatinkan, biaya O-M senantiasa tidak dilaksanakan sesuai waktu dan peruntukannya, tembok birokrasi bagaikan benang kusut, kepastian hukum belum kondusif, ekonomi biaya tinggi menghadang di mana-mana, praktik-praktif ekonomi rente tumbuh subur, potensi korupsi bagaikan gurita raksasa, kedisiplinan, kejujuran, dan ketertiban bagaikan barang mahal, dualisme kebijakan selalu mewarnai konflik dan ‘vested interest’, dan masih banyak lagi sejenisnya. Sudah barang tentu hal-hal ini harus dibenahi dan ditempatkan pada proporsi yang benar sehingga tidak memperparah kondisi dan situasi penerapan strategi untuk percepatan pertumbuhan dan distribusi kegiatan antardaerah, antarwilayah, dan antarregional.
Kembali ke masalah penerapan ACFTA. Bagaimana pandangan Bapak dengan pendapat bahwa pemerintah RI dan dunia usaha di Indonesia terlihat tidak siap—bahkan lalai—mengantisipasi penerapan ACFTA?Ya… dikatakan lalai atau tidak siap, bukan merupakan solusi, karena ini sudah melalui tahapan pertemuan dan perundingan yang ketat dan memakan waktu relatif lama. Dalam wacana globalisasi tentu Indonesia harus siap dan selalu mempersiapkan konsekuensi dari persaingan, perdagangan, hubungan bilateral, hubungan multilateral, dan apapun bentuknya, termasuk ‘free trade agreement’. Ini merupakan konsekuensi logis dari sekian banyak ‘fasilitas-fasilitas’ bahkan ‘previledges’ yang sering diberikan pemerintah ke dunia usaha sehingga pengusaha agak sedikit manja dan hanya mampu jago kandang akibat proteksi. Seharusnya semua elemen bangsa yang berkepentingan dalam ACFTA mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi adanya kesepakatan tersebut. Tidak waktunya lagi kita mencari kambing hitam, tetapi bagaimana secepatnya menemukan solusi sehingga lebih banyak kemanfaatan disbanding dengan kerugiannya.
Apa saja dampak negatif lanjutan (efek domino) yang mungkin timbul akibat kekurangsiapan pemerintah RI dan dunia usaha dalam mengantisiasi penerapan ACFTA?Beberapa dampak negatif ACFTA yang saya sampaikan di awal dapat sangat berpotensi muncul dalam penerapan ACFTA. Hal ini cukup beralasan, karena barang-barang China yang notabene lebih murah dan lebih berkualitas masuk ke Indonesia akan menggilas penggunaan barang-barang yang selama ini dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Setelah barang-barang tersebut memberikan nilai kenikmatan lebih bagi konsumsi masyarakat, maka efek domino yang mungkin timbul adalah masuknya produk-produk turunan berupa jasa-jasa ‘made in’ China sehingga dikhawatirkan semua kegiatan produksi barang dan jasa akan dikuasai oleh China. Apa yang harus diperbuat pemerintah dan dunia usaha? Pemerintah harus senantiasa melakukan dukungan perbaikan infratstruktur yang optimal bagi dunia usaha sehingga dapat berproduksi secara optimal dan efisien. Dunia usaha harus tidak menunggu fasilitas-fasilitas pemerintah yang justru menumbuh-suburkan ekonomi biaya tinggi. Ini sebuah himbauan dan kepedulian anak bangsa. Mari menghadapi ACFTA ini sebagai peluang bahwa kita bisa melakukan kompetisi yang jujur dan beretika bisnis yang bersifat universal.
Langkah apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif lanjutan dari kekurangsiapan kita dalam penerapan ACFTA?
Beberapa langkah yang masih perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negative, antara lain koordinasi semua elemen bangsa yang dikomandoi pemerintah, baik yang membidangi kegiatan ini maupun semua komponen pelaku usaha, agar memperbaiki kinerja dan produktivitas usahanya. Produsen, pedagang, dan tengkulak yang tidak efisienlah yang bakal ketakutan karena akan ditinggal konsumen dan menuju ‘kebangkrutan’. Saya memiliki keyakinan bahwa beberapa produk dan komoditas Indonesia masih diminati oleh masyarakat Indonesia sendiri dan importir luar negeri. Berarti hal ini bisa dijadikan pelajaran untuk tetap memperhatikan produktivitas
barang-barang yang berkualitas, produksinya bisa massal dan/atau bersifat unik, dan barang-barang baik yang bersifat barang konsumsi, maupun barang modal, telah mendapat sentuhan teknologi lebih maju.
Bentuk atau visi kebijakan yang seperti apa yang dapat mengarahkan agar ACFTA ini benar-benar memberi kemanfaatan yang besar bagi peningkatan kemakmuran rakyat?Momentum ACFTA merupakan bentuk ujian dalam kesepakatan persaingan(competition agreement) antar negara kawasan tertentu sehingga kombinasi kebijakan suatu negara dapat melaksanakan strategi S-W, S-T, O-W, O-T dari konsep SWOT (stregthness, weakness, opportunities, threats). Jika Indonesia dapat mengelola setiap alternatif strategi tersebut berarti mampu dilaksanakan untuk masing-masing alternatif diharapkan menjadi konsep strategi yang benar sehingga ACFTA ini dapat memberikan kemakmuran bagi rakyat, tetapi jika strateginya salah maka keniscayaan akan terjadi, bangsa kita hanya sebagai ‘follower’ dan penonton saja.