daftar isi - simdos.unud.ac.id · national symposium tropical skin infection | 124 memory cells...
TRANSCRIPT
v
DAFTAR ISI
Judul ............................................................................................. i
Kata Pengantar ........................................................................... iii
Daftar Isi ...................................................................................... v
Prinsip Penanganan Infeksi di Bidang Dermatologi ................... 1
Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Beban Masalah Kusta di Indonesia dan Beberapa Kebijakan
Baru............................................................................................ 19
Prof. Dr. dr. Indropo Agusni, Sp.KK(K)
Pseudomonas aeruginosa: Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak ... 31
dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK
Manifestasi Dermatologis pada Diabetes Melitus ................... 51
dr. IGAA Dwi Karmila, Sp.KK
Anal Warts (Condylomata Acuminata): Current Issues ........... 65
Prof. Dr. med. Isaak Effendy
vi
Herpes Simpleks Rekuren: Tatalaksana dan Pencegahan ....... 67
dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Update on the Management of Post Herpetic Neuralgia ....... 77
dr. IGAA Elis Indira, Sp.KK
Challenges in the Management of HPV Infection in
Immunocompromised Patients ............................................... 103
Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Cysticercosis: Emerging Parasites Diseases ............................ 117
Dr. dr. I Made Sudarmaja, M.Kes
Immunology of Susceptibility and Resistance in Scabies ....... 123
Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
Arthropod Borne Infection in Dermatology ........................... 139
dr. Pati Aji Achdiat, Sp.KK, M.Kes
Molecular Mechanism of Antibiotic Resistance in Gram-
Positive and Gram-Negative Bacteria Infection .................... 181
Dr. dr. Nyoman Sri Budayanti, Sp.MK(K)
Viral Exanthema Management: Role of Immunomodulator and
Antiviral .................................................................................. 182
dr. Ni Luh Putu Ratih Vibriyanti Karna, Sp.KK
vii
Obat Antijamur Sistemik: Klasifikasi Obat dan Perkembangan
Terbaru Golongan Azol ........................................................... 197
Dr. dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K)
Etik dan Keselamatan Pasien .................................................. 199
Prof. dr. Menaldi Rasmin, Sp.P(K), FCCP
Managemen Perubahan Pigmen Pasca Infeksi pada Kulit ..... 201
Dr. dr. IGAA Praharsini, Sp.KK, FINSDV
Penatalaksanaan Ulkus Kulit yang Berhubungan dengan
Infeksi ...................................................................................... 215
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
Penggunaan Antibiotika yang Rasional untuk Infeksi Kulit ... 225
Dr. dr. I Made Jawi, M.Kes
Abstract Free Paper Presentations
National Symposium Tropical Skin Infection | 123
IMMUNOLOGY OF SUSCEPTIBILITY
AND RESISTANCE IN SCABIES
Made Wardhana, Nyoman Suryawati, Swastika Adiguna
Dept. of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine,
Udayana University/Sanglah General Hospital, Denpasar
ABSTRACT Scabies is a skin disease caused by a mite infestation and sensitization Sarcoptes scabiei hominis variants and their products. This disease has been known since ancient times so it has many names. In morphologic mites are small, oval, convex in back and flat in abdomen. Antigens are substances that stimulate an immune response, especially in generating antibodies. Antigen be proteins or polysaccharides, all body parts and products such as mites secretions, urine, skybala can act as an antigen. Have been identified a protein with a molecular weight of between 30-50 kDalton known Sarcoptes scabiei antigens 1 and 2 (Ssag-1 and Ssag-2) contained in the cuticle and eggs of Sarcoptes. Major Sarcoptes Antigen 1 (MSA-1), protein with a molecular weight of 17 kDalton, and Atypic Sarcoptes Antigen 1 (ASA-1) protein with a molecular weight (MW) 79 kDalton found in the gut and in scybala (feces).
As the immune response in general, the scabies was also preceded by immune responses natural or non-specific, played role by the skin barrier, lipid and enzimatik. Specific immune response occurs more complex, played by humoral and cellular mechanisms. In the role of humoral immunity are B cells, this response helps elimination of pathogens and helps neutralize toxins and products antigeniknya. Cellular reactions or known by CMI (cell mediated immunity) is an immunologic reaction mediated by a cellular compartment of the immune system. Cellular immunity can activate phagocytes and release of various cytokines in response to antigens without involving antibody. Some clones will become
National Symposium Tropical Skin Infection | 124
memory cells that persisted for preparing secondary immune response if the same pathogen attack. T cell types, namely: 1. T cells helper- control other specific components of the immune response, stimulate B cells to grow and produce antibodies, activate other T cells and activates macrophages; 2. The cytotoxic T cell, perform elimination of infected body cells and pathogens relatively large cells directly; and 3. T cell supresor- control and stop the immune response when the immune response has been resolved. Clinically this response will be the formation of granulomas or infiltration of inflammatory cells around the parasite.
On immunodeficiency state is a state of decline or absence of the normal immune response. This situation can occur primer, which is generally caused by a genetic disorder passed down, and secondarily due to major diseases such as infection, chemotherapy treatment, sitostatika, radiation, drugs immunosuppressive (suppress the immune system) or in the elderly and malnourished.
Many patients experience persistent symptoms until several weeks after treatment. This can occur when: the initial missdiagnosis. There is resistance in the treatment of scabies is; 1. ongoing hypersensitivity to mite antigen, 2. secondary eczema, 3. vulnerability to topical treatment, repeated reinfection or contaminated, 4. Failure treatment because not enough penetration agents into the skin or nail hyperkeratosis, and 5. Failure treatment because of drug resistance in mites.
PENDAHULUAN
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi tungau Sarcoptes scabiei varian hominis beserta
produknya. Penyakit ini telah dikenal sejak jaman purba sehingga
memiliki banyak nama seperti; kudis, gudig, budukan, dan gatal
agogo. Bukti arkeologis pada jaman Mesir purba dan di Timur
Tengah (2500 SM) telah dikenal, demikian juga dalam Garuda
Purnama (pustaka Weda) dengan nama khudis, dalam Bible
disebutkan gejala-gejala penyakit kulit, yang kemudian merujuk
National Symposium Tropical Skin Infection | 125
pada scabies. Filsuf Romawi Aristotle menyatakan ada penyakit
yang disebkan oleh kutu yang keluar dari kulit yang meradang, para
dokter modern merujuk pada Skabies. Dokter yang pertama yang
menguraikan skabies adalah dokter Aboumezzan Abdel Malek ben
Zohar yang lahir di Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di Maroko
pada tahun 1162, beliau menamakan sebagai “soab” sejenis kutu
yang hidup pada kulit dan menimbulkan gatal, bila kulit digaruk
muncul binatang kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang.
Pada tahun 1687 Giovan Cosimo Bonomo menulis surat kepada
Fransisco Redi dan menyatakan bahwa seorang wanita miskin dapat
mengeluarkan “little bladder of water” dari lesi skabies anaknya,
pada tahun 1812 Gales melaporkan telah menemukan Sarcoptes
scabiei dan tungau yang ditemukannya dan dilukiskan oleh Meunir.
Giovan Cosimo Bonomo (1687) membuktikan tungau yang
dimaksud adalah Sarcoptes scabiei. Pada tahun 1820, Raspail
menyatakan bahwa tungau yang ditemukan Gales identik dengan
tungau keju, penemuan Gales baru diakui pada tahun 1839 ketika
Renucci seorang mahasiswa dari Corsica berhasil
mendemonstrasikan cara mendapatkan tungau dari penderita
skabies dengan sebuah jarum.
Epidemiologi Skabies
Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang
bervariasi. Daerah endemik skabies adalah di daerah tropis dan
subtropis seperti Afrika, Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan,
Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia
Tenggara. Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di
seluruh dunia terjangkit skabies. Studi epidemiologi
memperlihatkan bahwa prevalensi skabies cenderung tinggi pada
anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin,
ras, umur, ataupun kondisi sosial ekonomi. Faktor utama yang
National Symposium Tropical Skin Infection | 126
berpengaruh adalah kemiskinan dan tempat tinggal yang padat
penduduk seperti di asrama daan di daerah yang kumuh. Bukti
epidemiologis menunjukkan insidensi dipengaruhi oleh musim,
skabies lebih banyak pada musim dingin dibanding musim panas.
Walaupun higene personal semakin baik, namun karena penyakit
oleh karena imunodefisiensi semakin meningkat, sehingga
prevalensi skabies masih tetap banyak dijumpai di rumah-rumah
sakit, penjara, panti asuhan, dan panti jompo.
Morfologi dan Siklus Hidup Sarcptes
Penyebab skabies akibat infestasi dan sensitisasi tungau Acarus
scabiei dan Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei
termasuk kedalam filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarima, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes
scabiei varian hominis, karena ada varian lain yang menyerang
hewan disebut Sarcoptes scabiei varian animalis menyerang hewan
seperti; anjing, kucing, lembu, kelinci, ayam, itik, kambing, macan,
beruang dan monyet, dan bisa menularkan ke manusia sehingga
skabies adalah Zoonosis. Sarcoptes scabiei varian animalis ini dapat
menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan
hewan tersebut di atas, misalnya peternak, gembala, dll. Tungau ini
khusus menyerang dan menjalankan siklus hidupnya dalam
epidermis manusia. Gejalanya gatal-gatal pada daerah kulit yang
lembab. Tungau akan membentuk terowongan pada epidermis dan
menimbulkan peradangan.
Secara morfologik tungau ini berukuran kecil, berbentuk oval,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini
translusen, berwarna putih kotor dan tidak bermata. Ukuran betina
berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan
jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk
dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan yang
National Symposium Tropical Skin Infection | 127
berakhir dengan penghisap kecil di bagian ujungnya sebagai alat
untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir
dengan rambut (satae), sedangkan pada yang jantan pasangan kaki
ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat
perekat.
Gambar 1. Tungau skabies jantan dan betina
Tungau ini dapat merayap dengan kecepatan 2,5 cm
sampai 1 inch per menit pada permukaan kulit. Belum ada studi
mengenai waktu kontak minimal untuk dapat terjangkit penyakit
skabies namun dikatakan jika ada riwayat kontak dengan penderita,
maka terjadi peningkatan resiko tertular penyakit skabies. Skabies
dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak
langsung. Penularan melalui kontak langsung (skin-to-skin)
menjelaskan mengapa penyakit ini sering menular ke seluruh
anggota keluarga. Penularan secara tidak langsung dapat melalui
penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur.
Bahkan dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antar
penderita dengan orang sakit, namun skabies bukan manifestasi
utama dari penyakit menular seksual. Penyebab utama timbulnya
gejala pada pasien adaalah Sarcoptes scabiei betina. Tungau betina
yang sudah mengalami kopulasi di permukaan kulit akan memasuki
lapisan keratin untuk membuat terowongan dan meletakkan telur
National Symposium Tropical Skin Infection | 128
di dalamnya. Setelah kopulasi tungau jantan akan mati, kadang-
kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang
digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi, menggali
terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3
milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir
sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang
dibuahi ini dapat hidup sebulan. Telur akan menetas, dalam waktu
3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva
ini dapat tinggal dalam terowongan digalinya (moulting pouches),
tetapi dapat juga ke luar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki.
Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8-15 hari. Tungau skabies ini umumnya
hidup pada suhu yang lembab dan pada suhu kamar (210C dengan
kelembapan relatif 40-80%) tungau masih dapat hidup di luar tubuh
hospes selama 24-36 jam.
Gambar 4. Siklus Hidup Tungau Skabies
National Symposium Tropical Skin Infection | 129
Tungau betina memilih bagian-bagian tubuh yang diserang,
yaitu bagian-bagian yang kulitnya tipis dan lembab, seperti di
lipatan-lipatan kulit pada orang dewasa, sekitar payudara, area
sekitar pusar, dan penis. Pada bayi karena seluruh kulitnya tipis,
pada telapak tangan, kaki, wajah dan kulit kepala juga dapat
diserang. Sarcoptes dapat makanan dari keratin, selama makan
tungau menggali terowongan pada stratum korneum dengan arah
horizontal, dapat juga zig-zag.
Sarcoptes scabiei adalah parasit yang hidupnya mutlak
sebagai parasit, jadi untuk kelangsungan hidupnya mutlak
memerlukan hospes, tanpa hospes akan mati. Bersifat
ectoparasites atau ectozooa, adalah parasit yang secara umum
hidup pada permukaan luar tubuh (kulit) hospes atau didalam liang
yang berhubungan bebas dengan dunia luar. Selama dalam
terowongan, sarcoptes mengeluarkan berbagai substansi toksik
seperti; protease, hemolysin, histilysine, antikoagulan dan
produksi toksik dari metabolismenya. Semua produk tersebut
dapat menimbulkan reaksi iritasi dan hipersensitisasi.
RESPON IMUN DAN PATOGENESIS
Sitem imun dalam tubuh yang sangat kompleks untuk melindungi
tubuh dari patogen baik internal maupun eksternal. Pada dasarnya
sistem berfungsi; mengeleminasi patogen, mengenali dan
mendeteksi adanya benda asing atau patogen, melakukan
komunikasi antara kompartemen sistem imun maupun dengan
sistem lainnyan untuk menjaga homeostatis tubuh, untuk
mengenal antigen dari tubuh serndiri (self) dan non-self, dan
berfungsi mengingat (memorize) dari antigen.
Tahap awal dari mekanisme sistem imun adalah mengenali
antigen atau sifat antigenitas dari patogen yang masuk.
Antigen adalah zat yang merangsang respon imun, terutama dalam
National Symposium Tropical Skin Infection | 130
menghasilkan antibodi. Antigen biasanya berupa protein atau
polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul lainnya, termasuk
molekul kecil (hapten) yang bergabung dengan protein-pembawa
atau carrier.
Antigen Sarcoptes scabiei
Banyak spesies sarcoptes yang menyerang manusia yang paling
umum adalah varian homonis. Tungau betina selama dalam
terowongan di epidermis mengeluarkan substansi antigenik; telur,
kutikula dari parasit, dan sekresi pada kulit berupa urin serta
scybala (tinja). Banyak penelitian dari hewan coba maupun manusia
untuk mengidentifikasi jenis antigen pada Sarcoptes sehingga
menimbulkan respon imun, baik humoral dan selular. Dengan
metode PCR telah diidentifikasi protein dengan berat molekul
antara 30–50 kDalton yang dikenal Sarcoptes scabiei antigen 1 dan
2 (Ssag 1 dan Ssag 2) yang terdapat pada kutikula dan telor
sarcoptes. Dengan metode Striffing blot telah dijumpai Major
Sarcoptes Antigen 1 (MSA 1) protein dengan berat molekul 17
kDalton, dan Atypic Sarcoptes Antigen 1 (ASA 1) protein dengan
berat molekul (BM) 79 kDalton yang ditemukan pada usus dan
dalam scybala (tinja). Protein-protein tersebut memiliki sifat
antigenik dan sebagai iritan, sehingga menyebabkan reaksi
hipersesitifitas juga menimbulkan iritasi lokal.
Penelitian lain menyatakan bahwa antigen Sarcoptes
mempunyak kemiripan dengan antigen pada tungau debu rumah,
karena sama-sama dari filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo
Acarina, dan famili Pyroglyphidae. Famili ini terdiri atas 16 genus
dan 46 spesies. Lebih kurang tiga belas spesies pada tungau debu
rumah yang mirip dengan antigen yang dijumpai pada Sarcoptes.
Sarcoptes scabiei melepaskan substansi antigen yang diterima oleh
keratinosit dan sel-sel Langerhans, yang memulai respon alamiah
National Symposium Tropical Skin Infection | 131
(innate) atau respon imun non-spesifik dan respon imun adaptive
atau spesifik. Tidak selamanya respon imun dapat mengeleminasi
patogen, tapi dapat memberikan respon yang merugikan, misalnya;
reksi hipersensitif (reaksi alergi), reaksi otoimunitas dan
sebagainya.
Respon Imun Alamiah (Non-spesifik, Innate) pada Sarcoptes
Parasit akan melewati pertahanan tubuh yang pertama dengan
membuat terowongan di epidermis akan mengaktifkan respon
imun nonspesifik, artinya semua bentuk patogen yang masuk tubuh
akan mengeliminasi tanpa memperhatikan jenis dari patogen.
Komponen imun alamiah terdiri dari lapisan keratin yang padat,
lipid dari permukaan kulit, keringat, kelenjar sebum, lisozimdan
sebagainya.
Masuknya tungau ke kulit beserta antigennya akan
mengaktifkan komponen selulernya terdiri dari fagosit, lekosit
polymorpho nuclear (PMN), natural killer cell (NK cell), sel eosinofil,
sel dendritik dan sel mono nuklear. Eosinofil dibentuk di sumsum
tulang dan membutuhkan waktu sekitar 8 hari untuk proses
pematangannya. Setelah matang, eosinofil akan menuju daerah
radang melalui sirkulasi. Eosinofil memiliki sejumlah mediator
penting seperti histamin, eosinofil peroksidase, ribonuklease,
deoksiribonuklease, lipase, plasminogen dan beberapa asam
amino. Eosinofil akan melepaskan beberapa substansi dari
granulnya, seperti; 1. Major basic protein (MBP), merupakan inti
kristaloid dari eosinophil granul. MBP bersifat sitotoksik terhadap
beberapa patogen ekstrasel seperti protozoa, dan bakteri. 2.
Eosinophil Cationic Protein (ECP), merupakan suatu protein granul
dengan aktivitas ribonuklease. ECP bersifat sitotoksik terhadap
bakteri dan tungau tetapi. 3. Eosinophil-Derived Neurotoxin (EDN),
mediator tersebut berperan dalam terjadinya inflamasi lokal.
National Symposium Tropical Skin Infection | 132
Sistem komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang
berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai
faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan
parasit. Protein fase akut terdiri dari C-reactive protein (CRP), lektin,
mediator yang berasal fosfolipid diperlukan untuk produksi
prostaglandin dan leukotrien. Dari mekanisme tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi pada kulit dan keluhan gatal.
3. Respon Imun didapat (Spesifik) pada Sarcoptes
Respon imun didapat (spesifik), acquired immunity) adalah
merupakan sistem pertahanan tubuh lapisan kedua yang spesifik,
jika respon alamiah tidak mampu mengeliminasi patogen. Respon
ini terdiri dari dua sistem berbeda yang saling bekerja sama, yaitu
antibody-mediated immunity (humoral immunity) dan cell-
mediated immunity (CMI)
2. Respon Humoral
Di dalam imunitas humoral yang berperan adalah limfosit B atau sel
B berasal dari stemsel. Fungsi respon ini membantu eleminasi
patogen dan membantu netralisasi toksin dan produk-produk
antigeniknya. Limfosit B menjadi aktif ketika mengikat antigen
spesifik dari parasit. Kemudian menjadi dua jenis sel, yang dikenal
sebagai sel memori dan sel plasma. Salah satu peran penting dari
sel plamsa adalah produksi antibodi, dengan cepat melepaskan
ribuan antibodi yang memasuki peredaran darah, siap untuk
berikatan dengan antigen.
Reaksi humoral adalah reaksi dengan adanya antigen,
tubuh memproduksi imuniglobulin (antibodi). Kita kenal 5 kelas
antibodi yaitu IgG, 1gM, IgA, IgD dan IgE.
Produksi antibodi IgE spesifik dan eosinofil sering diteliti
pada infestasi oleh Sarcoptesatau oleh parasit lainya. Reaksi ini
National Symposium Tropical Skin Infection | 133
berhubungan dengan kecenderungan sarcoptes untuk merangsang
diferensiasi naive CD4+ dari sel T helper pada subset TH2 dari sel
efektor, yang mensekresi IL-4 dan IL-5. IL-4 yang merangsang
produksi IgE, dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi
eosinofil. Eosinofil mungkin lebih efektif dalam membunuh antigen
dibanding leukosit lain karena protein dasar utama granul eosinofil
mungkin lebih beracun bagi cacing dibanding enzim proteolitik dan
intermediet oksigen reaktif yang diproduksi oleh neutrofil dan
makrofag.
Fungsi antibodi pada sistem imun terhadap sarcoptes
adalah netralisasi dan eliminasi tungau dan produk-produknya.
Antibodi memblok toksin patogen dengan mencegah pengikatan
toksin oleh host. Patogen dilapisi antibodi (opsonized) mengalami
fagositosis dengan mengikat bagian Fc dari antibodi untuk reseptor
Fc fagosit. Ikatan kompleks antibodi-antigen pada reseptor fagosit
Fc juga memberikan sinyal yang merangsang aktivitas mikrobisida
dari fagosit.
Antibodi dihasilkan oleh sel limfosit B yang tersensitisasi
menjadi sel Plasma dan teraktivasi bila mengenali antigen yang
terdapat pada permukaan sel pathogen, dengan bantuan sel
limfosit T. Jenis limfosit B, yaitu:
a. Sel B plasma mensekresikan antibodi ke sistem sirkulasi tubuh
setiap antibodi sifatnya spesifik terhadap satu antigen patogenik.
Sel plasma memproduksi antibodi dengan sangat cepat, yaitu
sekitar 2000 per detik untuk tiap sel. Sel plasma yang aktif dapat
hidup selama 4-5 hari.
b. Sel B memori ; bertugas mengingat suatu antigen yang spesifik
dan akan merespon dengan sangat cepat bila terjadi infeksi kedua.
Sel ini hidup untuk waktu yang lama dalam darah.
Meskipun demikian, sel-sel B yang telah mengingat
patogen yang menginfeksi masih tetap hidup untuk beberapa
National Symposium Tropical Skin Infection | 134
tahun, jika patogen yang sama menginfeksi, sel B tersebut akan
membelah menghasilkan sel B aktif dalam jumlah besar.
2. Respon Imunitas Seluler
Reaksi seluler atau dikenal dengan CMI (cell mediated immunity)
adalah reaksi imunologis yang dimediasi oleh kompartemen seluler
sistem imun. Reaksi tersebut berlangsung lambat yang memerlukan
waktu paling tidak 24 jam (maka sering disebut delayed
hypersensitivity). Imunitas seluler dapat mengaktivasi fagosit dan
melepaskan berbagai sitokin sebagai respon terhadap antigen
tanpa melibatkan antibodi. Saat patogen masuk ke tubuh, setiap
antigen yang ada di permukaan patogen akan menstimulasi limfosit
T untuk membelah membentuk klon. Beberapa klon akan menjadi
sel-sel memori yang tetap bertahan untuk mempersiapkan respon
imun sekunder jika patogen yang sama menyerang. Klon lainnya
akan berkembang jadi salah satu dari 3 jenis sel T, yaitu: a. sel T
helper- mengontrol komponen respon imun spesifik lainnya,
menstimulasi sel B untuk berkembang dan memproduksi antibodi,
mengaktivasi sel T lainnya, dan mengaktivasi makrofag; b. sel T
cytotoxic - melakukan eleminasi sel tubuh yang terinfeksi dan sel
patogen yang relatif besar secara langsung; dan c. sel T supresor,
mengendalikan respon imun bila respon imun sudah teratasi.
Secara klinis respon ini akan terbentuknya granuloma atau infiltrasi
sel radang disekitar parasit.
Antigen-antigen pada sarcoptes akan diikat oleh sel
dendritik kemudian didegradasi melalui proses yang kompleks dan
kemudian dipresentasikan ke permukaan sel dalam bentuk epitope.
Melalui proses ini antigen akan dipresentasikan ke Sel T. Kermudian
terjadi aktivasi makrofag oleh sitokin TH1, peran dominasi reaksi TH1
atau TH2 menentukan ketahanan atau kerentanan terhadap
terhadap patogen. Ketahanan terhadap infestasi Sarcoptes
National Symposium Tropical Skin Infection | 135
diperankan oleh sel TH1 CD4+, yang memproduksi IFN-y yang akan
mengaktifkan makrofag untuk fagositosis. Sebaliknya, aktivasi sel
TH2 oleh parasit dan antigennya menyebabkan peningkatan
kelangsungan hidup parasit dan dan perluasan lesi karena
terjadinya supresi makrofag terhadap sitokin TH2, terutama IL-4.
IFN-γ mengaktifkan makrofag dan meningkatkan
perkembangan tungan dalam epidermis, Interferon juga memiliki
efek immunomodulator, interferon dapat memodulasi sistem imun
tubuh, baik sistem kekebalan alamiah maupun yang didapat dengan
cara; a. meningkatkan fagositosis makrofag dan daya sitotoksik sel
NK (Natural Killer). b. meningkatkan ekspresi Human Leukocyte
Antigen (HLA) pada permukaan sel yang terinfeksi parasit, dalam
hal ini epidermis dan dermis. HLA tersebut bersama antigen dari
tungau pada permukaan sel akan dikenali oleh
limfosit T sitotoksik yang akan menyebabkan lisis sel bersama
antigennya. Mekanisme ini juga berperan dalam lymphokine
cascade dan produksi Interleukin-1, Interleukin-2 yang menginduksi
produksi Prostaglandin (PGE2) menimbulkan demam dan
mengaktivasi sel Mast untuk melepaskan histamin dan mediator
radang lainnya, sehingga klinis menimbulkan rasa gatal.
Skabies pada Pasien Imunodefisiensi
Imunodefisiensi adalah keadaan terjadi penurunan atau ketiadaan
respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang
disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara
sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, misalnya
menderita penyakit imunokompromais (HIV/AIDS), pengobatan
kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan
(menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan
malnutrisi. Namun menegaskan in vivo dapat modulasi imun
Sarcoptes dan dapat terjadi pengalihan kelas antibodi yang
National Symposium Tropical Skin Infection | 136
terdeteksi dalam plasma. Pada keadaan imunodefisiensi, klinis
skabies sangan berat sering disebut crusted scabies atau Norvegian
scabies, umumnya pada pasien dengan imunokompromise
misalnya dengan HIH/AIDS, pasien dengan malnurisi.
Pada subyek dengan (Crusted scabies) dibandingkan
dengan mereka dengan scabies biasa), kecenderungan ke arah
peningkatan kadar IL-5 dan IL-13, dan disertai dengan level yang
lebih rendah dari IFN-g, temuan ini mirip dengan yang terlihat
dengan respon terhadap debu rumah. Aktivitas proteolitik dari
protease sistein diyakini memainkan peran penting dalam
kemampuannya untuk merespon Th2. Dalam suatu laporan,
rekombinan serin protease tidak dinyatakan sebagai enzim
protease yang aktif, sebagai alergen utama. Th2 sitokin IL-4 dan IL-
13 berperan penting dalam pengalihan kelas sel B ke fenotipe IgE-
mensekresi dan dalam generasi Th2-jenis respon imun. Sitokin IL-5
meningkatkan pematangan eosinofil, dan eosinofil diketahui sangat
tinggi pada Skabies berat. Rasio IFN-g/IL-4 menunjukkan
kecenderungan respon Th2 dan respon Th1 skabies biasa
meningkat secara signifikan dari IL-4. Dalam penelitian, temuan in
vivo meningkat secara signifikan kadar IgE spefifik terhadap
Sarcoptes meningkat secara signifikan dan IgG dalam plasma dari
subyek dengan skabies berat peningkatan eosinofilia dan
peningkatan produksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13.
Resistensi Pengobatan pada Skabies
Seperti kebanyakan penyakit menular, kecendrungan resistensi
obat dapat terjadi. Meskipun belum banyak resistensi dilaporkan
untuk sebagian akarisida, fakta bahwa laporan kegagalan
pengobatan tidak meningkat dalam frekuensi menunjukkan bahwa
masalah ini belum menjadi masalah besar pada pada scabies,
dibandingkan dengan pedukus kapitis. Dalam dekade terakhir, telah
National Symposium Tropical Skin Infection | 137
ada beberapa laporan kegagalan pengobatan dengan permetrin
dan ivermectin. Hal ini terjadi pada populasi tungau yang luas dan
tidak terjadi penetrasi obat pada kulit yang hiperkeratosis dengan
akarisida topikal, mungkin dengan sistemik dapat dipertimbangkan.
Banyak pasien mengalami gejala persisten sampai
beberapa minggu setelah pengobatan. Hal ini mungkin disebabkan
oleh respon imun yang sedang berlangsung terhadap antigen
tungau. Namun, jika gejalanya menetap lebih lama lagi, sejumlah
penjelasan yang mungkin harus dipertimbangkan. Ini termasuk:
diagnosis awal yang salah, aplikasi yang salah dari skabisida topikal,
penetrasi obat kurang dari agen ke dalam kulit hiperkeratosis,
reaksi kontak yang tidak diobati atau terkontaminasi, misdiagnosis
dermatiotis sekunder sebagai kegagalan pengobatan, dermatitis
kontak yang disebabkan oleh terapi topikal, atau akhirnya infeksi
yang resistan terhadap obat. Penyebab gejala persisten setelah
pengobatan pada skabies adalah; 1. hipersensitivitas yang sedang
berlangsung untuk kutu antigen, 2. eksim sekunder, 3. Kepekaan
terhadap acaricide topikal, 4. Reinfeksi dari kontak yang tidak
diobati atau terkontaminasi, 5.Kegagalan pengobatan karena
aplikasi yang tidak benar dari acaricide, 6. Kegagalan pengobatan
karena penetrasi tidak cukup agen ke dalam kulit hiperkeratosis
atau kuku, dan 7. Kegagalan pengobatan karena resistensi obat di
tungau.
Daftar Pustaka
1. Allen JR. Host Resistance to Ectoparasites. Rev. Sci. Tech Off. Int. Epioz; 1994; 13[4]:1287-1303.
2. Lalli PN, et al. Skewed Th1/Th2 Immune Response to Sarcoptes. Jour of Parasitology, 2004; 90[4]: 711-714
3. Benjamin M. Wisniewski A Brief History of Scabies. Reprinted from www.antimicrobe.org
National Symposium Tropical Skin Infection | 138
4. Lee F. Skerratt. CELLULAR RESPONSE IN THE DERMIS OF COMMON WOMBATS(VOMBATUS URSINUS) INFECTED WITH SARCOPTES SCABIEI. VAR. WOMBATI Journal of Wildlife Diseases, 39(1), 2003, pp. 193–202
5. Hempel PS. Immune defence, parasite evasion strategies and their relevance for ‘macroscopic phenomena’ such as virulence. Phil. Trans. R. Soc. B (2009) 364, 85–98
6. Abbas AK, Litchman AH. Celular and Molecular Immunology. Properties and Overview of Immune Response. Edisi Ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. 1:3–17
7. L. RambozziImmunoblot analysis of IgG antibody response to Sarcoptes scabiei in swine. Veterinary Immunology and Immunopathology 115 (2007) 179–183
8. Nunuk Dyah Retno Lastuti. Pendekatan Biomolekuler dan Imunologin untuk Diagnosis Scabies. Pidato Pengukuhan Guru Besar Unair. 2011
9. Frank S.A. Immunology and Evolution of Infectious Disease. Vertebrae Immunity. 2002. 2:15–16
10. Abbas AK, Litchman AH. Celular and Molecular Immunology. Effector Mechanism of Humoral Immunity. Edisi Ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. 15:321–325
11. Shelley F. Walton. et al. Increased Allergic Immune Response to Sarcoptes scabiei Antigens in Crusted versus Ordinary Scabies. CLINICAL AND VACCINE IMMUNOLOGY, Sept. 2010, p. 1428–1438
12. Behm C.A, Ovington K.S. The Role of Eosinophils in Parasitic Helminth Infection: Insight from Genetically Modified Mice. Parasitology Today. 2000. Vol:16