d1215020.docx · web viewmerupakan bentuk pengalaman baru dari identitas diri maupun komunitas...
TRANSCRIPT
JURNAL
NEW MEDIA DAN FENOMENA SELEBGRAM
(Studi Resepsi Remaja di Kalangan Followers Instagram @awkarin
Terhadap Fenomena Romantic Relationship dan Hedonisme Pada Konten
Instagram @awkarin)
Oleh:
FADILLAH ANANTO
D1215020
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
NEW MEDIA DAN FENOMENA SELEBGRAM(Studi Resepsi Remaja di Kalangan Followers Instagram @awkarin
Terhadap Fenomena Romantic Relationship dan Hedonisme Pada Konten Instagram @awkarin)
Fadillah AnantoMahfud Anshori
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractIn mid 2016, the emergence of an adolescent selebgram named Karin
Novilda or known as Awkarin. In social media Instagram, Awkarin often uploads photos and romance videos with her boyfriend depicting scenes such as holding hands, hugging, and even kissing. In addition, Awkarin also uploaded photos and videos of his life that led to the behavior of hedonism. At the end of 2016, KPAI and Kominfo warned Awkarin because her way of expression does not conform to social values and norms.
However, after a meeting between Awkarin and KPAI and Kominfo, Awkarin's behavior on Instagram did not change and re-upload content that was considered contrary to the national identity. In fact, the number of Awkarin's followers on Instagram, is growing daily, to date reaching over two million accounts. This study aims to determine the reception of @awkarin’s adolescent followers towards the Phenomenon of Romantic Relationship and Hedonism On @awkarin’s Instagram Content.
Stuart Hall’s udiences reception studies are used to see the reception of adolescent. Decoding is the most important part of reception studies to see the process of the dominant ideology meaning from the audiences and the audiences are considered to be actively creating meaning over what they consume in the media. So put the audience in the position of dominant-hegemonic position, negotiated position, and opposition. The methdology is descriptive qualitative research, through data collection technique indepth interview and document study. Interviews were conducted on six informants from followers of Instagram @awkarin with predetermined criteria (purposive sampling).
Based on in-depth interviews of researchers with six followers Instagram @awkarin resulted the different meaning from the informants and three decodingpositions. Two informants are in dominant-hegemonic position, while three informants are in negotiated position, and one informant is in oppositional position. The position of decoding is influenced by past experiences, perceptions, and thoughts
Keywords: Reception Analysis, Decoding, Audiences, New Media, Social Media, Instagram, Awkarin
1
Pendahuluan
Kehadiran new media atau media baru seperti internet dipercaya memberikan
pengaruh terhadap cara berkomunikasi dan memperoleh informasi. Media baru
atau new media memungkinkan terjadinya konvergensi media, dimana melalui
satu media dapat diperoleh beragam tampilan presentasi yang menarik untuk
disaksikan. Konvergensi media menggabungkan unsur audio, visual, animasi, dan
grafik menjadi satu kesatuan yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan
dalam proses komunikasi. Mc Quail (dalam Suryani, 2013:39) mengungkapkan
bahwa media baru memiliki ciri utama seperti kesalingterhubungan, aksesnya
khalayak individu sebagai penerima atau pengirim pesan; interaktivitasnya,
kegunaannya yang beragam sebagai karakter yang terbuka, dan sifatnya yang ada
“dimana-mana” (delocatedness).
Kini masyarakat telah mengenal banyak jenis konten new media atau media
baru yang dapat diakses secara online seperti situs jejaring sosial atau dikenal
sebagai media sosial. Media sosial sendiri merupakan bagian dari new media yang
terintegrasi dengan internet dan juga paling banyak digunakan serta populer di
masyarakat. Selain itu media sosial sebagai medium di internet juga
memungkinkan para penggunanya merepresentasikan diri, berekspresi,
berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain, dan
membentuk ikatan secara sosial secara virtual (Nasrullah, 2017: 11). Konten
dalam media sosial sendiri merupakan perwakilan dari ekspresi atau kreativitas
para penggunanya, dimana dalam media sosial konten sepenuhnya milik dan
berdasarkan kontribusi pengguna atau pemilik akun (Nasrullah, 2017: 31).
Namun dalam kebebasan mengekspresikan segala sesuatu di dunia maya,
ternyata hal tersebut dapat berdampak kepada sisi negatif bagi seorang pengguna
maupun para pengguna lainnya. Salah satu contohnya adalah pada media sosial
yang marak digunakan saat ini yaitu Instagram. Sisi negatif dari kehadiran media
sosial Instagram sering kita perhatikan ketika para penggunanya cenderung lebih
gemar mengungkapkan diri, aktivitas, perasaan, sikap atau perilaku dan hal
lainnya secara over atau berlebihan, melalui fitur foto mapun video di dalamnya.
Salah satu contoh fenomena yang ada di media sosial Instagram adalah
munculnya seorang bernama Karin Novilda atau dikenal dengan sebutan
2
Awkarin. Di mata masyarakat Awkarin dipandang nakal dan berbahaya bagi
remaja karena caranya berekspresi di luar batas nilai dan norma sosial.
Kepopulerannya dianggap netizen didapatkan dari cara yang negatif. Dengan
jumlah dua juta akun pengikut (follower) di Instagram sampai saat ini, perilaku
Awkarin dapat dikatakan ingin “meliberalkan” pola pikir masyarakat dengan
caranya berekspresi lewat media sosial, khususnya Instagram. Di Instagram,
Awkarin kerap kali mengunggah foto maupun video keromantisan bersama
kekasihnya yang menggambarkan adegan seperti berpegangan tangan, berpelukan,
dan bahkan berciuman. Selain itu, Awkarin juga mengunggah foto maupun video
kehidupannya yang mengarah kepada perilaku hedonisme. Awkarin juga
mengungkapkan bahwa semua yang ia lakukan di Instagram merupakan cara ia
berekspresi dan bukan sebuah pencitraan.
Bahkan di akhir tahun 2016, KPAI dan Kominfo menegur Awkarin karena
caranya berekspresi tidak sesuai dengan jati diri bangsa dan dikhawatirkan
memberi dampak negatif kepada remaja seusianya, mengingat sebagian besar
pengikut (follower) Instagram Awkarin adalah remaja. Namun setelah mendapat
teguran, perilaku Awkarin di Instagram tidak berubah, dan kerap kali kembali
mengunggah konten-konten tersebut. Bahkan jumlah pengikut (follower) Awkarin
di Instagram terus bertambah, hingga sampai saat ini mencapai lebih dari dua juta
akun.
Kebanyakan remaja akan mengikuti apa yang dianggapnya menyenangkan
tanpa memedulikan baik atau buruknya. Namun itu semua tergantung kepada
bagaimana penerimaan dan pemaknaan masing-masing individu. Mengingat para
remaja mengalami proses berkembangnya kemantangan mental, emosional, dan
fisik seorang manusia. Adapun beberapa ciri remaja, diantaranya: pertumbuhan
fisik, perkembangan seksual, cara berpikir kausalitas, emosi yang meluap-luap,
mulai tertarik kepada lawan jenisnya, menarik perhatian lingkungan, dan terikat
dengan kelompok (Zulkifli, 2005:65).
Maka dari itu timbul sebuah pertanyaan, bagaimana sebenarnya para remaja
pengguna Instagram khususnya pengikut (follower) Instagram @awkarin dalam
menerima fenomena romantic relationship dan hedonisme pada konten Instagram
@awkarin? Karena menariknya jumlah pengikut (follower) Instagram @awkarin
3
jika diperhatikan semakin hari, semakin bertambah. Padahal konten-konten yang
dibagikan Awkarin sebagian besar bertentangan dengan nilai dan norma sosial
serta jati diri bangsa sebagaimana dikatakan oleh KPAI dan Kominfo.
Hal ini pun selaras dengan teori resepsi oleh Stuart Hall yang berkaitan erat
dengan khalayak dan berfokus pada cara khalayak terhadap isi pesan, serta
khalayak memiliki kebebasan dalam mengartikan makna dari isi pesan yang
disampaikan oleh media. Teori reception menjelaskan bahwa, dalam menerima
dan memaknai pesan gambar dan teks pada media massa, khalayak atau audiens
dipengaruhi oleh faktor-faktor kontekstual, seperti identitas khalayak, persepsi
terhadap konten, latar belakang sosial, sejarah, dan isu politik. Dari penjelasan
tersebut jelas bahwa dalam teori resepsi, khalayak tidak dapat dipandang sebagai
seorang yang pasif dalam menerima informasi atau isu-isu. Analisis resepsi
sendiri berfokus pada proses decoding, dimana perhatian individu dalam proses
komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan pemahaman
yang mendalam atas konten media dan bagaimana individu menginterpretasikan
isi media (Hadi, 2009:3).
Instagram sebagai salah satu media sosial pun ikut menimbulkan isu-isu
penting terkait dengan kebebasan berekspresi. Dalam hal ini Ardianto (dalam
Melati, Prasetya, dan Martriana, 2015:117) berpendapat bahwa, sebagai media
komunikasi kontemporer, media sosial memiliki kekuatan yang sangat
mempengaruhi opini publik, penerimaan, dan pemaknaan masyarakat terkait isu
yang sedang berkembang. Fenomena tersebut dapat membuktikan bahwa media
sosial mampu membentuk opini dan pemaknaan dalam masyarakat terutama
sesama penggunanya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka peneliti
merumuskan masalah, yakni “bagaimana penerimaan (reception) remaja di
kalangan followers Instagram @awkarin terhadap fenomena romantic
relationship dan hedonisme pada konten Instagram @awkarin?
4
Telaah Pustaka
A. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi merupakan dasar bagi semua masyarakat dalam
menyampaikan dan mendapatkan informasi dari suatu hal. Dalam melakukan
komunikasi, setiap individu dapat bertukar pikiran sehingga memunculkan ide
atau solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Membahas definisi
komunikasi, Rogers (dalam Mulyana, 2008:69) berpendapat bahwa,
komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada
suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku
mereka.
Komunikasi juga dibagi berdasarkan level atau tingkat, dimulai dari
komunikasi yang melibatkan jumlah peserta komunikasi paling sedikit dan
melibatkan jumlah peserta komunikasi paling banyak. Salah satu level komu-
nikasi adalah komunikasi interpersonal, atau komunikasi antara orang-orang
yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik verbal maupun non verbal (Mulyana, 2008:78). Adapun
penelitian ini masuk kedalam kajian komunikasi interpersonal sebagai dasar
resepsi atau penerimaan pesan khalak terhadap fenomena konten selebgram
Awkarin di Instagram.
Dalam penelitian ini, akun Instagram @awkarin menyampaikan pesan
atau konten berupa foto maupun video kepada seluruh pengikutnya (follow-
ers). Tidak hanya itu, para pengikut (followers) Awkarin juga sebagian besar
memberikan komentar terhadap konten yang dibagikan oleh Awkarin melaui
fitur “comment” atau menyukai konten tersebut dengan memilih fitur “like”.
Artinya bahwa setiap pesertanya (followers Instagram @awkarin) memu-
ngkinkan menangkap reaksi orang lain (Awkarin atau @awkarin) secara
langsung, baik verbal maupun non verbal.
B. New Media
Pengertian new media atau media baru dikatakan oleh Terry Flew bahwa,
new media ditekankan pada forms atau format isi media yang dikombinasi
dan kesatuan data bai teks, suara, gambar, dan sebagainya dalam format
5
digital. Serta kemudian ditambahkan pada sistem penyebarannya yaitu
melalui jaringan internet (Hastjarjo, 2011:5-6). Adapun karakteristik new
media menurut Martin Lister (dalam (Hastjarjo, 2011:7) adalah sebagai
berikut:
1. Merupakan bentuk pengalaman baru dalam teks, hiburan, kesenangan dan
pola dalam konsumsi media.
2. Merupakan cara baru dalam merepresentasikan dunia seperti halnya inter-
aktif media.
3. Merupakan bentuk hubungan baru antara pengguna dengan konsumen,
dengan teknologi media.
4. Merupakan bentuk pengalaman baru dari identitas diri maupun komunitas
dalam berinteraksi baik dalam waktu, ruang, dan tempat.
5. Merupakan bentuk konsep baru dari hubungan manusia secara biologis
dengan teknologi media.
6. Merupakan pola baru dalam organisasi dan produksi, sebuah integrasi
dalam media seperti budaya, industri, ekonomi, akses informasi, kepemi-
likan, kontrol dan undang-undang.
C. Media Sosial dan Instagram
Nasrullah (2017:11) menjelaskan bahwa, media sosial adalah medium di
internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya mapun
berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain,
bahkan membentuk ikatan sosial secara virtual. Media sosial sendiri meru-
pakan wadah yang dapat digunakan oleh individu untuk melakukan interaksi,
serta sebagai wadah berekpsresi untuk mengembangkan kepribadian. Media
sosial sendiri terdiri dari beberapa tipe. Adapun Kaplan dan Haenlein
(2010:62-64) menjelaskan beberapa jenis dari media sosial, yaitu
Collaboration Project, Micro Blogs, Content Community, Social Networking
Sites, Virtual Game World.
Instagram merupakan sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan
penggunanya mengambil gambar dan video dengan menerapkan filter digital
untuk mengubah tampilan efek foto, dan membagikannya ke berbagai
layanan media sosial, termasuk milik Instagram sendiri. Atmoko (2012:28)
6
dalam bukunya yang berjudul Instagram Handbook menjelaskan bahwa
aplikasi Instagram memiliki lima menu utama yang semuanya terletak
dibagian bawah, yaitu Home Page, Comments, Explore, Profile, dan News
Feed. Selain itu menurut Atmoko (2012:52) ada beberapa bagian yang se-
baiknya diisi agar foto yang diunggah lebih informatif, yaitu Judul, Hashtag,
Lokasi (geotagging).
D. Teori dan Analisis Resepsi
Studi mengenai penerimaan dan pemaknaan konten media ini terkait den-
gan teori dan analisis resepsi. Salah satu standar untuk mengukur khalayak
media adalah dengan menggunakan analisis resepsi, dimana analisis ini mem-
berikan sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik, inter-
net) memahami bagaimana karakter teks dibaca oleh khalayak. Menurut Fiske
(dalam Adi, 2012:26-27) bahwa reception analysis sebagai pendukung dalam
kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak tidak
semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent) yang memi-
liki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai wacana
yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu bisa bersifat terbuka
atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif oleh khalayak
Teori resepsi menempatkan khalayak (penonton/pembaca) dalam konteks
berbagai macam faktor yag turut mempengaruhi bagaimana membaca atau
menonton serta menciptakan makna dari teks. Stuart Hall (dalam Hadi,
2009:3) juga mengungkap bahwa, teori dan analisis resepsi memfokuskan
pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa atau decoding, yaitu
pada proses pemaknaan dan pemahaman mendalam atas teks media dan
bagaimana individu menginterpretasikan isi pesan. Sebagaimana diketahui
pada elemen komunikasi bahwa decoding merupakan proses dimana individu
menerima pesan dari pihak lain. Ketika individu menerima pesan atau dari pi-
hak lain, maka individu tersebut melakukan decoding terhadap pesan itu
berdasarkan persepsi, pemikiran, dan pengalaman masa lalu (Morrisan, 2014:
548).
Menurut Stuart Hall (dalam Morissan, 2014:550-551) terdapat tiga ben-
tuk atau posisi dari proses encoding-decoding terkait dengan makna dan kha-
7
layak dalam mengkonsumsi suatu teks, pertama Dominant Hegemonic Posi-
tion, yaitu media (sender) menyampaikan pesan, khalayak (receiver)
menerimanya. Kode atau ideologi dominan (preferred reading) yang
disampaikan produser atau media (sender) secara kebetulan juga disukai oleh
khalayak (receiver). Kedua Negotiated Position, merupakan posisi dimana
khalayak (receiver) secara umum menerima ideologi dominan, namun
menolak penerapannya dalam kasus-kasus tertentu. Dan ketiga Oppositional
Position, yakni khalayak (receiver) menolak kode atau ideologi dominan dan
menolak makna yang disodorkan oleh produser (sender), dan kemudian
menggantikannya dengan cara berpikir mereka sendiri terhadap topik yang
disampaikan oleh media atau produser (sender).
E. Romantic Relationship dan Hedonisme
Dalam menggunakan media sosial banyak penggunannya seakan-akan
menjadikan media tersebut sebagai sarana berekspresi mereka dengan
berbagai fitur-fitur di dalamnya dalam menciptakan sebuah konten. Dengan
kebebasannya, berbagai hal pun dapat dilakukan di media sosial yang
membuat para penggunanya berlomba mengunggah atau mengekspresikan
apapun yang berkaitan dengan kehidupannya di media sosial. Salah satu con-
tohnya adalah pada fenomena Awkarin ini, dimana Awkarin menunjukkan
romantic relationship atau hubungan romantis bersama pasangannya dan juga
kehidupannya yang mengarah kepada perilaku hedonisme dengan mengung-
gah sebuah foto maupun video ke Instagram.
Menurut Devito (2007:109) love relationship atau romantic relationship
adalah ada kesepakatan, perhatian, keintiman, hasrat, dan komitmen. Dalam
hal hubungan romantis atau romantic relationship, Brehm (dalam Karney
dkk, 2007:8) menuturkan bahwa bahwa hubungan intim atau romatis adalah
hubungan dimana individu merasakan hubungan yang terus berlanjut,
bertanggung jawab, emosional, dan erotis dengan pasangan. Adapun berikut-
nya pengertian hedonisme menurut Teuku Jacob (dalam Sudarsih, 2007:1)
sendiri merupakan perilaku yang identik dengan hidup enak, berfoya-foya,
dan lebih berkonitasi kepada materi tanpa mempedulikan lagi akibat-akibat,
termasuk bencana, dan bagaimana masa depan. Dalam kultur masyarakat kita
8
yang masih kental dengan budaya timur, kata dan perilaku hedonisme
berkonotasi kepada hal negatif (Dewojati, 2010:15).
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Menurut
Eriyanto (2014:56) penelitian deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan
secara detail suatu objek atau fenomena sosial yang diamati. Sedangkan metode
penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti
pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis
data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi (Sugiyono, 2012:1). Pada penelitian ini dilakukan
pengumpulan data melalui teknik in-depth interview atau wawancara secara
mendalam dan data kepustakaan dengan cara menelaah dan mengkaji bahan
bacaan yang relevan dengan tema yang diteliti, antara lain dengan menggunakan
buku, jurnal dan website-website terpercaya yang memuat informasi tentang topik
yang sedang diteliti.
Subjek pada penelitian ini disebut informan. Dalam penelitian ini, informan
dipilih dengan meggunakan teknik purposive sampling. Informan yang dipilih
adalah remaja yang benar-benar mengetahui Instagram @awkarin dengan konten-
konten di dalamnya melalui aktivitas mem-follow atau menjadi pengikut
(follower) untuk dijadikan informan, dengan pertimbangan-pertimbangan kriteria
informan yang dipilih yaitu pengguna Instagram berjenis kelamin laki-laki atau
perempuan, berusia 13 – 21 tahun, dan mengikuti atau sebagai pengikut (follower)
dari akun Instagram @awkarin sejak tahun 2016. Pada penelitian ini objek
penelitian adalah konten Instagram @awkarin. Objek tersebut berfokus kepada
konten berupa foto maupun video yang menggambarkan fenomena romantic
relationship dan perilaku hedonisme selebgram Awkarin pada akun Instagramnya.
Pada penelitian ini teknik triangulasi sumber data digunakan untuk
mengkroscek atau membuktikan hasil data dilihat dari data lain yang diperoleh.
Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis interactive model oleh
9
Miles dan Huberman (dalam Pawito, 2007:104) yang terdiri dari tiga komponen,
yakni reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan
serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusion).
Sajian dan Analisis Data
Media sosial Instagram sebagai media baru atau aplikasi secara online yang
menawarkan layanan berbagi foto maupun video dengan disertai filter-filter
digital serta fitur-fitur pendukung di dalamnya, memungkinkan para
penggunannya untuk berinteraksi, merepresentasikan diri, berekspresi, dan bahkan
membentuk ikatan sosial secara visual. Adanya kebaruan dari media tersebut,
sebagaimana dalam penelitian ini, memunculkan sebuah fenomena romantic
relationship dan hedonisme pada konten Instagram @awkarin.
Disini Awkarin mem-posting konten berupa foto maupun video yang
menggambarkan adegan berpegangan tangan, berpelukan, dan berciuman. Selain
itu ia juga mem-posting kehidupannya yang mengarah kepada perilaku hedonisme
seperti berpakaian vulgar, merokok, mentato, clubbing, minum-minuman
beralkohol, berbelanja barang atau sekedar menghabiskan waktu bersama teman-
temannya di tempat eksklusif. Semua itu diungkapkan oleh Awkarin sebagai
caranya berekspresi dan bukanlah sebuah pencitraan.
Artinya Awkarin melakukan encoding dengan mem-posting konten-konten
berupa foto maupun video di Instagram, yang pada akhirnya seluruh pesan atau
konten berupa foto maupun video yang di-posting oleh Awkarin tersebut,
khususnya yang mengarah kepada fenomena romantic relationship dan
hedonisme, kemudian di-decoding oleh para pengikutnya (followers). Hal ini pun
selaras dengan pendapat Stuart Hall (dalam Hadi, 2009:3) bahwa, diantara proses
produksi dan teks yang dijalankan oleh media, ada sebuah tahap penyandian
(encode) yang kemudian dipecahkan melalui penyandian balik (decode) oleh
khalayak ketika menerima teks tersebut. Dalam hal ini juga diketahui bahwa
konten berupa foto maupun video yang mengarah kepada fenomena romantic
relationship dan hedonisme yang di-posting Awkarin di Instagram merupakan
cara ia bereskpresi dan bukanlah sebuah pencitraan bagi dirinya.
10
Penelitian ini mengambil enam orang informan remaja di kalangan followers
Instagram @awkarin dengan krtiteria yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk
menganalisis bagaimana penerimaan (reception) remaja di kalangan followers
Instagram @awkarin terhadap fenomena romantic relationship dan hedonisme
pada konten Instagram @awkarin, pertama peneliti meninjau dari aspek decoding
pesan berdasarkan pengalaman masa lalu, persepsi, dan pemikiran (Morrisan,
2014:548). Kemudian hasil decoding pesan dari keenam informan dikelompokkan
menjadi tiga bentuk atau posisi penerimaan pesan khalayak oleh Stuart Hall, yakni
dominant hegemonic position, negotiated positian, dan oppositional position
(Melati, Prasetya, dan Martriana, 2015:118).
1. Dominant Hegemonic Position
Dalam posisi ini didapatkan dua orang informan, yakni Chynthia Fauziah
Handhini dan Adelia Natalia Palangan. Mereka menilai bahwa fenomena ro-
mantic relationship dan hedonisme pada konten Instagram @awkarin meru-
pakan cara Awkarin berekspresi, artinya penilaian mereka sesuai dengan ide-
ologi dominan sebagaimana diungkapkan oleh Awkarin. Posisi dominan ini
didasarkan pada proses decoding berdasarkan pengalaman masa lalu,
persepsi, dan pemikiran. Terutama sifat dominan mereka diperkuat oleh pen-
galaman masa lalu, dimana mereka mengaku atau memposisikan diri sebagai
penggemar (fans) dari sosok Awkarin.
Pada fenomena konten romantic relationship berupa foto maupun video
di Instagram @awkarin yang menggambarkan adegan berpegangan tangan,
berpelukan, dan berciuman, dinilai Cynthia dan Adelia sebagai hal yang sah-
sah saja dan tidak melanggar hukum, karena pihak Instagram sendiri tidak
melakukan banned terhadap konten-konten tersebut. Artinya konten-konten
hubungan romantis Awkarin dinilai Adelia tidak berdampak negatif. Di ne-
gara demokrasi seperti Indonesia, setiap warganya diberi kebebasan hak un-
tuk berpendapat. Mereka juga memaknai konten-konten tersebut sebagai cara
berekspresi Awkarin untuk menunjukkan atau mengungkapkan dirinya
kepada orang-orang bahwa Awkarin merupakan sosok apa adanya, bahkan
seharusnya orang Indonesia merubah mindset dan stereotip dalam menilai
seseorang.
11
Sedangkan pada fenomena konten berupa foto maupun video gaya hidup
Awkarin yang mengarah kepada perilaku hedonisme di Instagram, dinilai
mereka sebagai hak Awkarin yang sah-sah saja dalam mem-posting apapun
yang diinginkannya. Bahkan mereka memaknai Awkarin sebagai sosok
pekerja keras yang dapat menghasilkan penghasilan sendiri. Dan ketika di In-
stagram Awkarin mem-posting konten-konten yang mengarah kepada peri-
laku hedonisme, seperti merokok, mentato, berpakaian vulgar, clubbing,
minum-minuman beralkohol, dan berbelanja barang atau menghabiskan
waktu bersama teman-temannya di tempat eksklusif, itu merupakan hak yang
layak didapatkan Awkarin untuk bersenang-senang dari hasil kerjanya.
2. Negotiated Position
Dalam posisi ini didapatkan tiga orang informan, yakni Ali Achmad
Zainuri, Intan Hendrawati, dan Ahmad Naufal. Dari hasil decoding
berdasarkan pengalaman masa lalu, persepsi, dan pemikiran, ditemukan
bahwa terdapat beberapa hal dari sosok Awkarin dengan konten Instagram-
nya berupa foto maupun video yang di disukai, diterima, dan dimaknai secara
positif oleh ketiga informan tersebut. Namun di sisi lain, terdapat pula negosi-
asi atau pertimbangan yang mereka anggap bertentangan dengan apa yang
mereka pahami.
Pada fenomena konten romantic relationship foto maupun video yang
menggambarkan adegan berpegangan tangan, berpelukan dan berciuman,
serta kehidupan yang mengarah kepada perilaku hedonisme di Instagram
@awkarin, mereka menilai sebagai hal yang tidak melanggar hukum dan hak
Awkarin dalam bebas mengekspresikan dirinya di media sosial Instagram,
juga memaknai Awkarin sebagai sosok yang mandiri dan layak ditiru dalam
menghasilkan penghasilan sendiri. Namun di sisi lain, mereka masih mem-
pertimbangkan nilai-nilai budaya, karena konten-konten keromantisan
Awkarin dinilai mereka kurang sopan dan terlalu vulgar jika diterapkan di bu-
daya Indonesia. Selain itu itu mereka menyarankan Awkarin agar lebih sadar
akan dampak yang ditimbulkan, karena konten-konten tersebut dikhawatirkan
berdampak negatif.
3. Oppositional Position
12
Dalam hal ini salah satu informan bernama Putri secara utuh memandang
negatif dan menolak ideologi dominan fenomena romantic relationship dan
hedonisme pada konten Instagram @awkarin sebagai sebuah cara berek-
spresi. Sifat oposisi ini diperkuat oleh pengalaman masa lalu Putri yang men-
gaku dan memposisikan dirinya sebagai yang tidak suka dengan sosok
Awkarin atau lebih dikenal dengan istilah “hater”, yang mengikuti Instagram
@awkarin.
Pada fenomena konten romantic relationship foto maupun video yang
menggambarkan adegan berpegangan tangan, berpelukan dan berciuman di
Instagram @awkarin, dinilai Putri sebagai suatu hal yang tidak mendidik dan
tidak sesuai dengan nilai-nilai agama islam, yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat di Indonesia. Bahkan Putri berpendapat adegan romantis Awkarin
yang berlebihan di Instagram melanggar hukum atau kaidah-kaidah keisla-
man dan berdampak negatif bagi para pengguna Instagram lainnya.
Sedangkan pada fenomena konten berupa foto maupun video gaya hidup
Awkarin yang mengarah kepada perilaku hedonisme di Instagram, dinilai Pu-
tri sebagai pencitraan atau cara Awkarin mencari sensasi agar akun Instagram
@awkarin mendapat banyak follower. Putri juga menambahkan bahwa cara
berekspresi Awkarin dari hasil kerjanya dinilai sebagai sikap meny-
ombongkan diri atau “pamer”.
Seperti sudah tergambar sebelumnya pada bagian reception theory,
bahwa melalui pendasaran studinya pada encoding/decoding milik Stuart Hall
(dalam Hadi, 2009:2) teori resepsi ini melalui banyak studi yang
dilakukannya menempatkan khalayak (penonton/pembaca) dalam konteks
berbagai macam faktor yag turut mempengaruhi bagaimana membaca atau
menonton serta menciptakan makna dari teks. Maka semua ini cenderung
mengindikasikan individu khalayak media begitu aktif dalam mengkonsumsi
isi media.
Kesimpulan
Meskipun seluruh informan merupakan remaja di kalangan followers
Instagram @awkarin, ternyata mereka didapati memiliki penerimaan (reception)
yang berbeda terhadap fenomena romantic relationship dan hedonisme pada
13
konten Instagram @awkarin. Perbedaan penerimaan (reception) tersebut didasari
atas decoding para informan berdasarkan pengalaman masa lalu, persepsi, dan
pemikiran. Selain itu, adanya perbedaan latar belakang seperti usia, pendidikan,
jenis kelamin, domisili tempat tinggal atau sosial kultural nampaknya juga
mempengaruhi perbedaan penerimaan dan pemaknaan para informan. Hal ini
selaras dengan pendapat Nasrullah (2017:87) bahwa, penciptaan makna tidak
terlepas dari karakteristik khalayak yang bersifat heterogen, yakni berasal dan
terdiri dari lapisan atau kategori sosial yang tersebar di beberapa wilayah sasaran.
Sesuai dengan pengelompokan resepsi khalayak menurut teori Stuart Hall,
maka pernyataan informan melalui decoding berdasarkan pengalaman masa lalu,
persepsi, dan pemikiran terhadap fenomena romantic relationship dan hedonisme
pada konten Instagram @awkarin, diklasifikasikan kedalam tiga bentuk atau
posisi penerimaan yaitu dominant hegemonic position, negotiated position, dan
oppositional position. Informan pada posisi dominant-hegemonic menerima
secara utuh dan positif fenomena konten romantic relationship dan hedonisme
pada konten Instagram @awkarin sebagai cara berekspresi Awkarin. Pada
negotiated position informan mempertimbangkan nilai kebudayaan dan dampak
negatif dari fenomena konten-konten kontroversial Awkarin. Sedangkan pada
opposition position informan cenderung tidak menerima fenomena tersebut
sebagai cara Awkarin berekspresi. Informan menilai konten-konten tersebut
melanggar nilai keagamaan, khususnya kaidah-kaidah keislaman, dimana
sebagian masyarakat Indonesia menganut agama islam.
Daftar PustakaAdi, Tri Nugroho. (2012). Mengkaji Khalayak Media Dengan Metode Penelitian
Resepsi. Jurnal Ilmiah Acta diurnA. Vol. 8, No 1, pp 26-30. Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Jendral Soedirman.
Atmoko, Bambang Dwi. 2012. Instagram Handbook. Jakarta: Media Kita. Devito, Joseph. A. (2007). The Interpersonal Communication. 11th Edition.
Boston: Pearson.Dewojati, Cahyaningrum. (2010). Wacana Hedonisme Dalam Sastra Populer
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eriyanto. (2014). Analisis Isi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hadi, Ido Prijana. Januari (2009). Jurnal Penelitian Khalayak Dalam Persfektif
Reception Analisis. Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol. 3, No. 1, pp 1-7. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra.
14
Hastjarjo, Sri. (2011). New Media Teori dan Aplikasi. Surakarta: Lindu Pustaka.Kaplan, Andreas M., Michael Haenlein. (2010). User Of The Word, Unite! The
challenges and Opportunities of Social Media. Business Horizons. Vol. 53, issue 1, pp 59-68. Kelley School of Business Indiana University.
Karney, Benjamin R., Beckett, Megan K., Collins, Rebecca L., Shaw, Rebecca. (2007). Adolescent Romantic Relationships as Precursors of Healthy Adult Marriages : A Review of Theory, Research, and Programs (e-book). Santa Monica: RAND Corporation.
Melati, Citra, Prasetya, Arif Prima, dan Martriana PS. (2015). Analisis Resepsi Komunikasi Politik di Instagram @ridwankamil. Proceeding Comicos “Imagining e-Indonesia: Local Wisdom in the Midst of Media Technology and Communication Policy”, 26-27 November 2015, pp 115-130. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Morrisan. (2014). Teori Komunikasi Dari Invidu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdajarya.
Nasrullah, Rulli. (2017). Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Cetakan ke-3. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. Sudarsih, Sri. (2007). Konsep Hedonisme Epikuros dan Situasi Indonesia Masa
Kini. Jurnal Humanika. Vol 14, No 1, pp 1-10. Semarang: Fakultas Ilmu Budaya UNDIP.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suryani, Any. (2013). Analisis Resepsi Penonton Atas Popularitas Instan Video Youtube Keong Racun Sinta dan Jojo. THE MESSENGGER. Volume 5, No. 1, pp 39-45. Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Semarang.
Zulkifli. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: : Remaja Rosdakarya.
15