kewenangan pemerintahan dalam konteks negara …

14
KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. XIX No. 36, Pebruari-Mei 2013, h. 136-148) Abdul Rokhim 1 Abstrak Dalam konsep negara hukum klasik (rechtsstaat) yang memegang teguh pada asas legalitas, wewenang pemerintah dalam melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan (bestuur handelingen) seperti untuk pelayanan umum dan peningkatan kesejahteraan masyarakat harus senantiasa berdasarkan pada dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan pemerintahan yang bertumpu pada asas legalitas di bidang pemerintahan (wetsmatigheid van bestuur) bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari kemungkinan tindakan penyalahgunaan wewenang pemerintah. Tetapi dalam konsep negara kesejahteraan (welvaar staat; welfare state), wewenang pemerintah yang hanya mengacu pada peraturan perundang-undangan dipandang sudah out of date, tidak memadai dan mempersempit ruang gerak pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, demi kepentingan umum, dalam keadaan tertentu pemerintah dengan menggunakan kekuasaan diskresi (discretionare power; freis ermessen) berwenang menyimpangi peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Kata kunci: Kewenangan; Pemerintahan, Welfare State A. Pendahuluan Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) pada prinsipnya merupakan kemampuan atau kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Pada dasarnya, wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. Kewenangan pemerintahan dalam kaitan ini dikonotasikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dan warga negara. Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. 1 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

Upload: others

Post on 29-Nov-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS

NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)

(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,

ISSN: 0854-7254, Vol. XIX No. 36, Pebruari-Mei 2013, h. 136-148)

Abdul Rokhim1

Abstrak

Dalam konsep negara hukum klasik (rechtsstaat) yang memegang teguh pada asas

legalitas, wewenang pemerintah dalam melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan (bestuur

handelingen) seperti untuk pelayanan umum dan peningkatan kesejahteraan masyarakat harus

senantiasa berdasarkan pada dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan

pemerintahan yang bertumpu pada asas legalitas di bidang pemerintahan (wetsmatigheid van

bestuur) bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari kemungkinan

tindakan penyalahgunaan wewenang pemerintah. Tetapi dalam konsep negara kesejahteraan

(welvaar staat; welfare state), wewenang pemerintah yang hanya mengacu pada peraturan

perundang-undangan dipandang sudah out of date, tidak memadai dan mempersempit ruang

gerak pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan umum dan kesejahteraan

masyarakat. Bahkan, demi kepentingan umum, dalam keadaan tertentu pemerintah dengan

menggunakan kekuasaan diskresi (discretionare power; freis ermessen) berwenang

menyimpangi peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Kata kunci: Kewenangan; Pemerintahan, Welfare State

A. Pendahuluan

Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) pada prinsipnya merupakan kemampuan atau

kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Kewenangan memiliki

kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Pada dasarnya,

wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat

dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan

wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.

Kewenangan pemerintahan dalam kaitan ini dikonotasikan sebagai kemampuan untuk

melaksanakan hukum positif, dan dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara

pemerintah dan warga negara.

Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban pada hakikatnya

merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang

dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya

akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu

atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat

keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.

1 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

Page 2: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

Persoalannya adalah bagaimana konsep dan cara-cara atau sumber-sumber kewenangan

pemerintah itu diperoleh serta bagaimana pembatasannya dalam konteks negara kesejahteraan

(Welfare State) menarik untuk dianalisis.

B. Konsep Kewenangan Pemerintah

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “kewenangan” atau

“wewenang” dapat ditemukan baik dalam konsep hukum publik maupun hukum privat. Secara

umum istilah wewenang dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah bevoegdheid

yang dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia berarti “wewenang atau

kekuasan” (Algra, 1983:74), atau istilah authority yang dalam Black’s Law Dictionary berarti:

“right to exercise powers; to implement and enforce laws” (Black, 1970:133). Oleh karena itu,

menurut Mochtar Kusumaatmadja (tt:4), seseorang yang mempunyai wewenang formal

(formal authority) dengan sendirinya mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan

tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemberian wewenang

itu.

Pada dasarnya secara yuridis konsep wewenang (authority) selalu berkaitan dengan

kekuasaan (power) yang berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya maupun cara

menggunakannya. Kekuasaan yang diperoleh dan dipergunakan berdasarkan hukum yang

demikian ini dalam kepustakaan lazim disebut “legal power” atau “rechtsmacht”. Istilah “power”

dalam hal ini berarti: “an ability on the part of a person to produce a change in a given legal

relation by doing or not doing a given act” (Black, 1970:1169). Oleh karena itu, seperti halnya

istilah “tanggung jawab” dan “kewajiban” sebagaimana tersebut di atas, dalam kepustakaan

maupun undang-undang seringkali istilah “wewenang” dan “kekuasaan” juga seringkali dipakai

secara bergantian untuk menyebut makna yang sama.

Menurut Bagir Manan (2000:1-2), wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.

Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam

kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri

(zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti

kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal, berarti

kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara

keseluruhan.

Selanjutnya, istilah “pemerintah” seringkali juga dipertukarkan dengan istilah

“pemerintahan”. Bahkan, di kalangan para ahli hukum administrasi dan ilmu administrasi kedua

istilah tersebut yang sebenarnya merupakan padanan dari istilah “administration”, “government”,

“administratie”, “bestuur”, dan “regering” masih menjadi perdebatan yang tidak ada habis-

habisnya (Fachruddin, 2004:27).

Istilah “pemerintah” menurut Algra (1983:50) dalam arti sempit berarti “bestuur”, yang

meliputi bagian tugas pemerintahan yang tidak termasuk tugas pembuatan undang-undang

(legislatif) dan tugas peradilan (yudikatif). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kuntjoro

Purbopranoto (1985:40-41), yang mengatakan bahwa pemerintah dalam arti sempit hanyalah

badan pelaksana (executive; bestuur) saja, tidak termasuk badan pembentuk perundang-

undangan (regelgeven), peradilan (rechtspraak) dan kepolisian (politie). Pendapat ini mengacu

pada teori residu dari Van Vollenhoven tentang ruang lingkup kekuasaan pemerintahan dalam

arti luas yang meliputi kekuasaan dalam ajaran Catur Praja, yaitu: (1) regelgeven, (2) bestuur/

executive, (3) rechtspraak, dan (4) politie.

Page 3: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

Istilah “pemerintah” dan “pemerintahan” dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan,

mengingat kriteria “pemerintah” juga bergantung kepada cakupan fungsi “pemerintahan”. Istilah

“pemerintah” berarti organ yang menjalankan pemerintahan, dan “pemerintahan” merupakan

pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah. Dari aspek lain, Philipus M. Hadjon (1997:6)

memberikan pengertian “pemerintah”, dalam dua makna yang berbeda, yaitu sebagai

“organisasi” dan sebagai “fungsi”. Pemaknaan “pemerintah” yang demikian ini sejalan dengan

pengertian “administrasi” menurut Prajudi Atmosudirdjo (1981:11), yaitu dapat dipandang

sebagai aparatur (mechinary) pemerintah, dan sebagai salah satu fungsi dan proses

penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Untuk menghindari terjadinya kesulitan terkait dengan perbedaan sudut pandang pembaca

dalam memahami makna pemerintah “dalam arti sempit” maupun “dalam arti luas”, sebagai

“organ” maupun “fungsi” pemerintahan seperti telah diuraikan di atas, dalam tulisan ini istilah

“pemerintah” digunakan dalam arti sempit yang memiliki makna (hampir) sama dengan maksud

“bestuur” atau “administrasi”, yang dalam hukum administrasi Indonesia digunakan istilah

“pejabat tata usaha negara”. Karena untuk pemerintah dalam arti luas dalam literatur hukum

Indonesia seringkali digunakan istilah “kekuasaan negara” atau yang dalam istilah bahasa

Belanda disebut “overheid”.

Dengan merujuk pada pendapat Henc van Marseveen, wewenang (bevoegdheid) dalam

konsep hukum publik “dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht)”. Jadi, dalam

konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan (Hadjon, 1997:6). Menurut Bagir

Manan (1994:39) “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan “wewenang”. Kekuasaan

menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang berarti hak dan sekaligus

kewajiban (rechten en plichten).

C. Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan Pemerintahan

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh

melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Pengertian atribusi berdasarkan Ketentuan-ketentuan Umum Hukum Administrasi di

Belanda atau Algemene Bepalingen van Administratief Recht (ABAR) sebagaimana telah dikutip

oleh Ridwan HR (2007:196) “Van attributie van bevoegdheid kan worden gesproken wanner de

wet (in materiele zin) een bepaalde bevoegdheid aan een bepaald organ toekent”. (Atribusi

wewenang dikemukakan bila undang-undang (dalam arti materiil) menyerahkan wewenang

tertentu kepada organ tertentu).

Selanjutnya, Indroharto (1993:91) mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian

wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa

legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan

antara: (1) yang berkedudukan sebagai original legislator; (2) yang bertindak sebagai delegated

legislator. Di negara Indonesia, original legislator di tingkat pusat adalah MPR sebagai

pembentuk konstitusi (UUD) dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai pembentuk undang-

undang; dan di tingkat daerah adalah DPRD bersama-sama dengan pemerintah daerah sebagai

pembentuk peraturan daerah. Contoh mengenai delegated legislator, adalah Presiden berdasar

pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah atau peraturan

presiden dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata

usaha tertentu.

Page 4: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

Sedang, delegasi menurut ABAR berarti “pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan

yang telah diberi wewenang kepada organ lainnya yang akan melaksanakan wewenang yang

telah dilimpahkan itu sebagai wewenangnya sendiri”. Dengan demikian, pada delegasi terjadilah

pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah

memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha

negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.

Selanjutnya, mengenai mandat, di dalam Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) diartikan

sebagai “pemberian wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil

keputusan atas namanya”.

Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat, H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt

(1995:129) memberikan definisi sebagai berikut:

1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada

organ pemerintahan (toekenning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een

bestuursorgaan);

2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan

kepada organ pemerintahan lainnya (overdracht van een bevoegdheid van het een

bestuursorgaan aan een ander);

3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh

organ lain atas namanya (een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid namen hem

uitoefenen door een ander).

Berdasarkan uraian di atas berarti atribusi berkenaan dengan pemberian wewenang baru,

sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah

memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain). Jadi, delegasi secara logis selalu

didahului oleh atribusi. Dengan demikian, delegasi bermakna pelimpahan wewenang oleh organ

pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri.

Artinya, dalam penyerahan wewenang melalui delegasi ini, pemberi wewenang telah lepas dari

tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu

menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi, menurut Phlipus M.

Hadjon (1998:9-10):, terdapat syarat-syarat sebagai berikut:

1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan

sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi

hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-

undangan;

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak

diperkenankan adanya delegasi;

4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk

meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;

5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk)

tentang penggunaan wewenang tersebut.

Selanjutnya, dalam hal mandat, pada hakikatnya tidak ada pemberian maupun penyerahan

wewenang. Secara yuridis formal tidak terjadi perubahan wewenang apapun dalam hal mandat,

yang ada hanyalah “hubungan internal” seperti hubungan antara Menteri dengan pegawainya.

Menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil

Page 5: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang (dalam arti hak dan

tanggung jawab) tetap berada pada organ kementerian. Dalam hal ini, pegawai memutuskan

secara faktual, sedang Menteri secara yuridis.

Dalam kajian hukum administrasi, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang

organ pemerintahan adalah hal penting, karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum

(rechtelijke veranwoording) dalam penggunaan wewenang, sejalan dengan salah satu prinsip

dalam negara hukum “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban” (geen bevoegdheid

zonder veran-woordelijkheid atau there is no authority without responsibility). Artinya, di dalam

setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggung-

jawaban dari pejabat yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara

atribusi itu bersifat asli (originair) yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Organ

pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari teks pasal tertentu dalam suatu

peraturan perundang-undangan.

Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau

memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan

wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).

Sedangkan, pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan

wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Sementara tanggung jawab yuridis

tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih kepada penerima delegasi

(delegataris). Sebaliknya, pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk

dan atas nama pemberi mandat (mandans). Dengan demikian, maka tanggung jawab akhir

keputusan yang diambil oleh penerima mandat (mandataris) tetap berada pada mandans. Hal ini

karena pada dasarnya penerima mandat itu bukan pihak lain dari pemberi mandat.

Terkait dengan hal tersebut di atas, Philipus M. Hadjon (1994:8) membuat perbedaan

antara delegasi dan mandat sebagaimana tampak pada tabel berikut:

Perbedaan Delegasi dan Mandat

Mandat Delegasi

a Prosedur pelimpahan Dalam hubungan rutin

atasan-bawahan: hal

biasa kecuali dilarang

secara tegas

Dari suatu organ pemerintahan

kepada organ lain: dengan

peraturan perundang-undangan

b Tanggungjawab &

tanggunggugat

Tetap pada pemberi

mandate

Tanggung jawab dan tanggung

gugat beralih kepa delegataris

c Kemungkinan si

pemberi mengguna-

kan wewenang itu

lagi

Setiap saat dapat

menggunakan sendiri

wewenang yang

dilimpahkan itu.

Tidak dapat menggunakan

wewenang itu lagi, kecuali

setelah ada pencabutan dengan

berpegang pada asas “contraries

actus”.

Dalam literatur hukum administrasi juga dikenal pembagian wewenang pemerintahan

menurut sifatnya, yaitu yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas. Dalam huibungan ini,

Indroharto (1993:99-100) mengatakan sebagai berikut:

1. Wewenang terikat, terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan

yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak

Page 6: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

menentukan isi dari keputusan yang harus diambil. Apabila peraturan dasar yang menentukan

isi dari keputusan yang harus diambil itu terinci, maka wewenang pemerintahan itu sifatnya

terikat.

2. Wewenang fakultatif, terjadi apabila badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan

tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun

pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana

ditentukan dalam peraturan dasarnya.

3. Wewenang bebas, terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada suatu

badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan

yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan

kepada pejabat tata usana negara yang bersangkutan.

Spelt dan Ten Berge membagi kewenangan bebas dalam dua kategori, yaitu: kebebasan

kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid). Ada kebebasan

kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit), bila peraturan perundang-undangan

memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas

untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.

Adapun kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) ada

apabila sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara

mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah

dipenuhi. Berdasarkan pengertian ini, Philipus M. Hadjon (tt:4-5) menyimpulkan adanya dua

jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi (discretionare power), yaitu: (1) kewenangan

untuk memutus secara mandiri; dan (2) kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar

(vage normen).

Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas, dalam suatu negara hukum

(rechtsstaat) pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti seluas-luasnya atau kebebasan

tanpa batas. Sebab dalam suatu negara hukum, penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang,

termasuk pelaksanaan wewenang tunduk pada batas-batas yuridis. Di samping itu, dalam negara

hukum juga dianut prinsip bahwa setiap penggunaan wewenang pemerintahan harus disertai

dengan pertanggungjawaban hukum. Terlepas dari bagaimana wewenang itu diperoleh, apa isi

dan sifat wewenang, serta bagaimana mempertanggung-jawabkan wewenang tersebut, yang pasti

bahwa wewenang merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan masalah pemerintahan.

Karena berdasarkan pada wewenang inilah pemerintah dapat melakukan berbagai tindakan

hukum publik atau tindakan pemerintahan.

D. Wewenang Pemerintah dalam Konteks Welfare State

Sebagai konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi pemerintah sebagai

alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan pemerintahan dan warga negara memiliki hak

untuk memperoleh jaminan perlindungan atas apa yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena

itu, kekuasaan pemerintah tidak lepas dari prinsip legalitas yang di satu pihak bertujuan untuk

menjamin kepastian hukum dan dasar kewenangan dalam bertindak dan di lain pihak bertujuan

untuk memberikan perlindungan hukum bagi setiap orang dari kemungkinan tindakan sewenang-

wenang yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur),

menurut Indroharto (1993:84) kekuasaan dan wewenang bertindak pemerintah sejak awal sudah

dapat diprediksi. Wewenang pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan

memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahuinya, sehingga masyarakat dapat

menyesuaikannya. Konsekuensi dari asas tersebut berarti setiap tindakan badan/pejabat tata

Page 7: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

usaha negara harus berdasarkan undang-undang formal, sebagai manifestasi adanya pengakuan

dan penghargaan terhadap kedaulatan rakyat.

Indroharto mempersoalkan apakah asas legalitas dalam pengertian wetmatigheid van

bestuur harus dilaksanakan secara mutlak? Mengingat berkembangnya konsepsi negara hukum

modern yang merupakan perpaduan antara konsep negara hukum (klasik) dan negara

kesejahteraan (welfare state). Pemerintah di suatu negara yang menganut paham welfare state

dituntut memainkan peranan yang lebih luas dan aktif, karena ruang lingkup kesejahteraan rakyat

semakin meluas dan mencakup bermacam-macam segi kehidupan. Lemaire, menyebut tugas

pemerintah yang demikian itu sebagai bestuurszorg yang dikenal juga dengan istilah public

service atau penyelenggaraan kesejahteraan umum yang dilakukan oleh pemerintah (Utrecht,

1960:23). Pembuat undang-undang tidak mungkin mengatur segala macam hak, kewajiban dan

kepentingan secara lengkap dalam undang-undang. Atas dasar tuntutan keadaan yang demikian

itu, asas legalitas yang dulunya hanya dipahami sebagai wetmatigheid van bestuur (pemerintahan

berdasarkan undang-undang) kemudian dipahami sebagai rechtmatigheid van bestuur

(pemerintahan menurut hukum).

Ruang lingkup wewenang pemerintah dipengaruhi oleh karakteristik tugas yang

dibebankan kepadanya. Tugas pemerintah adalah mengikuti tugas negara, yaitu

menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai organisasi kekuasaan. Adapun tugas

pemerintah, menurut Mac Iver (Lukman, 1997:205) dalam dapat digolongkan menjadi tiga,

yaitu: (1) cultural function, (2) general welfare function, (3) economic control function. Di

Indonesia tugas pemerintah harus sesuai dengan tujuan dibentuknya pemerintah Indonesia

menurut Pembukaan UUD 1945 adalah “ . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa dan . . . .”

Berdasarkan uraian tersebut di atas, berarti negara Indonesia menganut paham negara

kesejahteraan (Welfare State) yang tidak jauh berbeda negara-negara lain yang menganut paham

yang sama. Dalam rangka menjalankan tugas sesuai tujuan negara tersebut, pemerintah yang

merupakan salah satu penyelenggara negara harus diberikan kewenangan yang tepat dan jelas

maksud dan tujuannya. Sifat wewenang pemerintahan yang jelas maksud dan tujuannya itu

terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak

tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan

(regulasi) dan dapat pula konkrit dalam bentuk keputusan pemberian izin atau suatu rencana.

Adapun sumber wewenang pemerintah, dalam hukum administrasi dikenal tiga sumber

kewenangan pemerintah, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Atribusi adalah kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan oleh undang-undang. H.D.

van Wijk memberikan pengertian “atributie” sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh

pembuat undang-undang kepada organ pemerintah. Sedang, Indroharto (1993:91) mengatakan

bahwa “atributie” adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan

perundang-undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator.

Adanya pengaruh perubahan pandangan dari wetmatigheid van bestuur menjadi rechtsmatigheid

van bestuur mempengaruhi juga konsep atribusi. Sumber wewenang pemerintah tidak lagi

semata-mata dari undang-undang sebagai produk originaire wetgevers, melainkan dari

perundang-undangan sebagai produk gedelegeerde wetgevers yang dipegang pemerintah.

Delegasi, menurut van Wijk (1995:78) adalah: “overdracht van een bevoegdheid van het

een bestuursorgaan aan een ander” (penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau

pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat pemerintah yang lain). Setelah wewenang

Page 8: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

diserahkan, pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi. Delegasi hanya dapat

dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai wewenang melalui

atribusi lebih dahulu. Karena itu, delegasi oleh Indroharto diartikan sebagai pelimpahan suatu

wewenang yang sudah ada oleh badan atau pejabat pemerintah yang telah memperoleh

wewenang pemerintah secara atribusi kepada badan atau pejabat pemerintah lain. Menurut van

Wijk, wewenang yang didapat dari delegasi dapat disubdelegasikan lagi kepada subdelegataris.

Ketentuan delegasi mutatis mutandis berlaku juga untuk subdelegasi.

Selanjutnya, wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat

dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat yang memperoleh wewenang

itu tidak sanggup melakukan sendiri. Melalui mandat, suatu organ pemerintah mengizinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berbeda dengan delegasi, pada

mandat, mandans (pemberi mandat) tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya

apabila ia menginginkan, dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang

diinginkannya. Mandans tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris.

Indroharto (1993:92) menambahkan bahwa pada mandat tidak terjadi perubahan wewenang

yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan

melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggung jawab mandans.

Atribusi, delegasi dan mandat merupakan sumber wewenang yang sangat penting bagi

suatu negara hukum demokratis, sebab sesuai dengan salah satu asas negara hukum demokratis

adalah setiap tindakan pemerintah harus dilakukan berdasarkan wewenang yang dimiliknya, baik

wewenang yang diperoleh secara atributif maupun berdasarkan delegasi atau mandat.

Persoalannya adalah apakah izin yang diberikan oleh pemerintah kepada perseorangan atau

badan usaha swasta dapat dianalogikan sebagai delegasi wewenang atau mandat pemerintah

kepada perseorangan atau badan usaha swasta yang diberi izin? Untuk itu perlu dipahami dulu

tentang konsep perizinan dalam perspektif hukum administrasi.

Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dalam hubungan ini, R.J.H.M. Huisman (tt:7) berpendapat bahwa:

“Een bestuursorgaan kan zich geen bevoedgheid toeigenen. Slechts de wet kan

bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet allen attribueren aan een

bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteurs,

inspecteur van het milieu, enz.) of zelfs speciale colleges (bijvoorbeld de kiesraad, de

pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtpersonen”.

Maksudnya, organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri

wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-

undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan,

tetapi juga terhadap para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan lain-

lain), atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk

perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap badan hukum privat.

Wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan

sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan prinsip pemerintahan berdasarkan undang-undang

(het beginsel van wetmatigheid van bestuur) yang bertumpu pada asas legalitas (legaliteit

beginsel) sebagai pilar utama negara hukum. Berdasarkan prinsip ini, sumber wewenang bagi

pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.

Page 9: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

E. Kesimpulan

Negara Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (Welfare State). Dalam rangka

menjalankan tugas sesuai tujuan negara tersebut, pemerintah yang merupakan salah satu

penyelenggara negara harus diberikan kewenangan yang tepat dan jelas maksud dan tujuannya.

Sifat wewenang pemerintahan yang jelas maksud dan tujuannya itu terikat pada waktu tertentu

dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Sedangkan isinya

dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan (regulasi) dan dapat pula

konkrit dalam bentuk keputusan pemberian izin atau suatu rencana. Adapun sumber wewenang

pemerintah dalam hukum administrasi, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

DAFTAR PUSTAKA

Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta,

Bandung, 1983

Bagir Manan, “Wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah”,

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Bandung, 13 Mei 2000

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Ohio Publishing Co, Cincinnati, 1990

Huisman, R.J.H.M., Algemeen Bestuursrecht: Een Inleiding, Kobra, Amsterdam, t.t.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1993.

Irfan Fachruddin. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah.

Bandung: PT Alumni, 2004.

Kuntjoro Purbopranoto. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi Negara. Bandung: PT Alumni, 1985.

Marcus Lukman. Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan

Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah Serta Dampaknya terhadap Pembangunan

Materi Hukum Tertulis Nasional. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,

Bandung, 1997.

Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

PT Binacipta, Jakarta, t.t.

Page 10: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …

Philipus M. Hadjon, “Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan

yang Bersih”, Makalah Disampaikan pada Orasi Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994

--------, “Tentang Wewenang”, Makalah disampaikan pada Penataran Hukum Administrasi di

Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,1998

--------, “Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatigheid van Bestuur)”, Makalah tidak

Dipublikasikan, FH Unair, Surabaya, t.t.

Philipus M. Hadjon et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 1997.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Spelt, N.M. dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Penyunting Philipus M.

Hadjon. Utrecht, t.p., 1991.

Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, CV Pustaka Tinta Mas,

Surabaya, 1960.

van Wijk, H.D. dan Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, ‘s-

Gravenhage, 1995.

Page 11: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …
Page 12: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …
Page 13: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …
Page 14: KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA …