cerpen buletin 3

5

Click here to load reader

Upload: yola-newary

Post on 06-Aug-2015

34 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: cerpen buletin 3

Secantik Nama

tuk tak tuk tak tuk tak.Konsentrasiku terganggu dengan bunyi hak sepatu si pemilik yang

dengan santainya berjalan di ruang perpustakaan ini. Kacamataku yang sudah melorot ke hidungku menghalangi pandanganku ketika aku ingin melihat siapa pemilik suara yang lumayan mengganggu itu. Pasti dia tidak mengenakan sepatu sandal datar yang tengah kupakai sekarang. Bukannya aku tahu model sepatu cewek-cewek sekarang, tapi telingaku cukup peka membedakan bunyi hak sepatuku dengan hak sepatunya.

Belum sempat aku menoleh, ada semburan wangi parfum menerpa hidungku. Wanginya terlalu tajam seakan-akan ada sebotol parfum yang tumpah. Untung saja aku bukanlah orang yang termasuk alergi wangi-wangian. Dan mengingat cewek ini menyemprotkan parfum sebanyak-banyaknya ke pakaian, aku sanksi dia tidak bakalan tersinggung kalau aku mendadak bersin.

Tubuhnya tinggi semampai dengan hak sepatunya yang tinggi. Walaupun ia mengenakan sepatu sandal datar seperti aku, aku yakin dia masih lebih tinggi dibanding tinggiku yang hanya 158cm ini. Rambutnya panjang dan lurus, bukan hasil produk pelurus rambut. Kulitnya kuning langsat dan sepertinya dia lebih tua dibanding aku. Mungkin mahasiswi juga tetapi tidak di tingkat yang sama. Kuakui dia bukanlah seorang cewek yang bisa dilupakan dengan sekali pandang. Bahkan cowok-cowok kutu buku di perpustakaan ini menengok dua kali ketika cewek itu melihatnya.

Ya, dia cantik. Setidaknya begitu jawaban dari pandangan orang-orang di sekelilingku.

Tanpa sadar, aku menoleh ke pakaian yang aku kenakan sekarang. Pakaian kami masih dalam jenis yang sama (t-shirt dan jeans) tetapi punyaku tampak lebih kusam. Kulitku juga kuning langsat. Rambutku juga panjang dan lurus, walaupun ikal di ujung-ujungnya. Tetapi mengapa orang-orang tidak menoleh dua kali ketika aku lewat? Apa yang membedakan aku dengan cewek tadi?

Apa karena aku mengenakan kacamata? Tetapi tanpa kacamata, padanganku kabur. Apa karena aku tidak setinggi dia? Aku sudah di akhir pertumbuhanku, kemungkinan untuk tambah tinggi kecil. Apa karena aku tidak memakai parfum “tumpah” seperti cewek itu? Sayangnya, aku tidak seroyal itu menggunakan satu dari sedikitnya barang “cewekku”.

Cewek harum semerbak itu berhenti di depan rak majalah. Dari sudut pandangku yang berada di bilik baca, aku bisa melihat dia mengambil salah satu majalah fashion yang kata teman-temanku merupakan majalah fashion paling bagus. Untung untuk kesukaan yang satu ini, aku tidak perlu repot-repot memikirkan jawabannya. Sampai kapanpun, aku lebih memilih membaca novel dibanding majalah fashion itu.

Dia berbalik dan berjalan di depan bilikku lagi sebelum akhirnya sampai di meja peminjaman. Ternyata dia salah satu anggota perpustakaan daerah juga. Tebakanku sih mungkin dia Cuma meminjam majalah-majalah fashion.

Setelah cewek itu berjalan keluar pintu perpustakaan, aku baru sadar ternyata ringkasan bahan kuliahku sama sekali tidak ada kemajuan sejak 15 menit yang lalu. Dengan tergesa-gesa, aku menyalin buku teks yang aku ambil dari rak. Tidak ada kesempatan untuk meminjamnya karena kartu perpustakaanku sudah penuh dengan buku yang belum aku kembalikan.

Page 2: cerpen buletin 3

Setengah jam kemudian, aku keluar dari perpustakaan. Ternyata hari sudah hampir menjelang sore. Aku tidak mau mengambil resiko diinterogasi ayah bunda mengapa aku pulang telat kalau tidak cepat-cepat mencegat angkot. Rumahku terbilang jauh dari perpustakaan ini.

Angkotnya lumayan penuh. Aku mendapat duduk di dekat pintu dan berdesak-desakan dengan anak SD yang duduk di sebelahku. Kuedarkan pandanganku seisi angkot. Ada wanita dan pria paruh baya, mahasiswi, siswa SMA, dan pria kantoran. Kuperhatikan pandangan pria berkemeja tidak lepas dari mahasiswi yang duduk di seberangnya. Mahasiswi itu memang cantik dan lebih cantik dibanding cewek yang kulihat di perpustakaan. Tetapi mahasiswi ini agak terlalu berlebihan dandanannya. Dia menggunakan riasan walaupun pemulas bibirnya tidak terlalu merah. Kalau iya, dandanan penyanyi dangdut bakalan kalah heboh.

Benarkan pandangan orang-orang selalu tertuju ke cewek-cewek cantik? Betapa beruntungnya.

Aku mengalihkan pandangan ke luar. Lebih baik memandangi ramainya lalu lintas daripada melihat sesuatu yang hanya menimbulkan rasa iri. Rasa iriku ini bukannya tanpa alasan. orang-orang selalu ramah terhadap orang cantik yang belum dikenalnya, seperti orang-orang di toko khususnya bila karyawannya adalah lelaki muda. Guru ataupun dosen lebih menyenangi mahasiswi yang cantik karena enak dipandang. Jadi aku tidak menyalahkan keinginan orang yang melakukan operasi plastik untuk menciptakan wajah yang cantik dan mulus untuk dirinya. Yah mengapa? Karena orang-orang lebih suka dengan yang cantik.

Angkot berhenti di depan gang rumahku. Aku turun dan membayar ongkos pada supirnya. Belum selesai aku menarik tanganku dari kaca mobil, supir angkot sudah menjalankan angkotnya. Huh, kalau saja aku cantik, supir angkot itu pasti bakalan nunggu aku sampai rumah dulu baru angkotnya jalan.

Ada anak kecil yang sedang nangis ketika aku melewati gang. Ia berdiri di dekat sebuah pohon mangga yang terkenal berbuah lebat di komplek perumahanku. Aku belum pernah melihat atau mengenal anak yang sedang menangis ini sebelumnya, padahal aku lumayan mengenal seluruh tetanggaku.

Tidak ada seorangpun yang menghampiri anak itu. Memang hanya sedikit orang lalu lalang sekarang. Ada seorang cewek cantik berjalan ke arahku. Aku yakin dia melihat anak yang menangis tetapi menoleh saja pun ia tak mau.

Aku menghampiri adik berseragam SD itu. “Kenapa, dik?” tanyaku.Kepalanya mendongak melihatku. Matanya mengerjap basah karena air

mata. Awalnya ia menatap bingung kemudian wajahnya sedih lagi. “Topiku….” Ia menunjuk ke atas. Aku mendongak ke arah yang ditunjuknya dan mendapati sebentuk topi yang tersangkut di antara dahan pohon mangga. Sepertinya itu topi yang terbilang cukup berarti untuknya.

“Mau kakak bantu ambilkan?” tanyaku. Adik itu tak menjawab, ia hanya mengangguk.

Tinggiku tak seberapa jika dibandingkan dengan ketinggian dahan itu. Tak mungkin aku bisa berjinjit mengambilnya. Mungkin di sekitar sini ada tongkat atau dahan yang patah. Aku menoleh ke sekitar tetapi tidak terlihat benda yang aku harapkan. Saat itu padanganku menangkap sosok wanita yang kukenal.

“Bu Yani!” teriakku.Bu Yani yang sedang menyapu halaman rumah menoleh dan tersenyum

ke arahku. Aku berlari kecil ke arah pekarangan rumahnya.

Page 3: cerpen buletin 3

“Baru pulang kuliah, Nak Cantika?” sapa Bu Yani ramah.Aku mengangguk. “Ke perpustakaan dulu, Bu.” Kemudian aku melihat ke

arah sapu lidi yang tengah dipegang oleh Bu Yani. “Sibuk ya, Bu? Boleh tidak saya pinjam sapunya sebentar saja?” tanyaku penuh harap.

Bu Yani memberiku tatapan bingung. “Boleh. Tetapi untuk apa? Kamu tidak bermaksud membersihkan jalanan di depan kan?” tanya Bu Yani dengan senyum geli.

Terkadang Bu Yani memang mempunyai selera humor yang lumayan. “Mungkin kalau jalanannya sudah diaspal, Bu.” Jawabku terkekeh. “Saya

mau mengambil topi yang tersangkut di pohon mangga, Bu.” Jelasku.Bu Yani meminjamkan sapunya kepadaku. Aku berbalik dan kembali ke

tempat adik kecil dan topi tersangkutnya.Dia masih berdiri di sana, harap-harap cemas kemana aku pergi tadi. Aku

memberikan senyum menenangkan dan mulai mengarahkan sapu ke dahan. Perlu berkali-kali melompat sebelum topi itu akhirnya jatuh. Rambutku sudah dipenuhi daun-daun gugur dan patahan-patahan ranting kecil.

“Terima kasih kakak cantik.” Ucap adik kecil itu sebelum dia berlari pergi dengan topi yang terpasang rapi di kepalanya.

Aku tertegun. Berusaha memutar kembali kata-katanya. Apakah barusan dia menyebutku cantik?

Setelah aku mengembalikan sapu kepada Bu Yani, ada suara yang memanggilku tiba-tiba.

Cewek cantik yang kulihat di perpustakaan sedang berjalan ke arahku. Apakah dia yang barusan memanggilku? Darimana dia tahu namaku? Apa dia menyadari kalau aku memandangnya diam-diam penuh rasa iri ketika di perpustakaan tadi?

“Hey, Cantika. Ingat aku? Aku Senny.” Ucapnya ceria. Sepertinya ia senang bertemu denganku.

Aku mengulang-ulang namanya di otakku. Senny? Hmm, sepertinya aku lumayan mengenal nama yang disebutkannya.

Senny! Senny yang itu! Senny yang waktu SD masi suka ngompol. Senny yang waktu SD kelihatan dekil, berkulit gelap dan kecil. Tetapi senny yang berdiri di hadapanku ini tampak berkebalikan 180 derajat dengan Senny yang kuingat.

“Jangan kaget gitu. Aku memang kelihatan berbeda kan? Kapan terkahir kali kita ketemu? SD ya? Aku memang udah banyak berubah. Yah, kamu tahulah, ada beberapa jalan yang bisa membuat aku menjadi secantik ini.” Dia tersenyum misterius.

Aku masih belum pulih dengan kekagetanku ketika dia menatap jijik ke arah rambutku. “Ada apa dengan rambutmu? Memangnya kamu habis berguling di atas tanah?”

Aku menyentuh rambutku yang masih kotor karena daun dan ranting. “Bukan, ini karena aku bantu mengambilkan topi di atas pohon.”

“Ih kamu. Nolongin orang pakai batasannya juga dong. Jangan malah kamunya sampai rugi. Jadi kotor tuh.”

Tiba-tiba aku teringat kata-kata adik kecil tadi. Dia menyebutku cantik. Ya, aku tahu apa maksudnya dia memanggilku cantik walaupun aku tidak secantik fisik Senny yang melalui beberapa jalan untuk mendapatkannya. Orang cantik tidak akan mau tubuhnya kotor walaupun itu untuk menolong orang. Aku, yang tidak cantik fisik, tidak terlalu memusingkan hal itu. Ya, adik kecil itu menyebutku cantik karena ia merasakannya. Merasakan ketulusan pertolonganku. Merasakan cantikku dengan cara yang lain.

Page 4: cerpen buletin 3

Ya, aku juga cantik. Aku tidak kalah cantiknya dengan cewek-cewek cantik lainnya. Karena itulah namaku Cantika.

"The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched. They must be felt with the heart" (HELLEN KELLER)