cdk 121 asma dan masalah an lain

Download Cdk 121 Asma Dan Masalah an Lain

If you can't read please download the document

Upload: revliee

Post on 12-Jun-2015

1.668 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Cermin Dunia KedokteranInternational Standard Serial Number: 0125 913X

1998

121. Asma dan Masalah Pernapasan Lain

Daftar Isi :2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Masalah Asma di Indonesia dan Penanggulangannya Zul Dahlan 10. Manfaat Kortikosteroid pada Asma Bronkial Faisal Yunus 16. Dampak Gas Buang Kendaraan Bermotor terhadap Faal Paru Faisal Yunus 19. Penyakit Membran Hialin laporan kasus Nuchsan Umar Lubis 21. Tinjauan Ulang Masalah Pneumonia Yang Didapat di Rumah Sakit Zul Dahlan 26. Insidensi Tes Serologi Mikoplasma Positif di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung Zul Dahlan, E. Soeria Soemantri 29. Keefektifan Paduan Obat Ganda Bisafik Anti Tuberkulosis Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan Atas Dasar Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 3.penilaian atas dasar kegiatan pemulihan imunitas protektif RA Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo 41. Efektivitas Extra Joss dalam Memperbaiki Kinerja Ketahanan Kerja Nusye E. Ismail, Frans Suharyanto, Sundari 45. Pengalaman Praktek 46. Abstrak 48. RPPIK

Setelah hampir satu tahun penerbitan Cermin Dunia Kedokteran ikut terkena imbas badai krisis yang melanda seluruh aspek kehidupan negara kita tercinta, kami merasa sangat berbahagia dapat mengunjungi kembali para Sejawat sekalian yang selama ini tetap setia memelihara relasi, baik melalui surat, kiriman naskah maupun telepon. Kami berharap bahwa sajian kali ini, kendati lebih ramping dan dengan naskah "lama", masih dapat menyumbangkan sesuatu bagi peningkatan pengetahuan Sejawat sekalian terutama yang bertugas di tempat-tempat yang jauh dari pusat-pusat pendidikan dan informasi. Penerbitan ini juga kami maksudkan untuk sekaligus menghimbau kembali para Sejawat agar tetap sudi berkontribusi dengan cara menyumbangkan naskah agar mutu majalah ini bisa makin ditingkatkan. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang selama ini tetap mendukung sehingga majalah ini bisa diterbitkan kembali. Semoga di tahun-tahun mendatang akan menjadi lebih baik lagi. Selamat menyongsong Tahun Baru 1999 dengan harapan dan semangat baru. Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

Cermin Dunia Kedokteran1998International Standard Serial Number: 0125 913X KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Dodi Sumarna ALAMAT REDAKSIMajalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. 4208171

REDAKSI KEHORMATAN Prof. DR. Kusumanto SetyonegoroGuru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. DR. Sumarmo Poorwo SoedarmoStaf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Prof. Dr. Sudarto PringgoutomoGuru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. DR. B. ChandraGuru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. R. Budhi DarmojoGuru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.OrtLaboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

DR. Arini SetiawatiBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Temprint

DEWAN REDAKSI

Dr. B. Setiawan Ph.D

- Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc.

PETUNJUK UNTUK PENULISCermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 kerja si penulis.

3

English SummaryTHE EFFECTIVENESS OF BIPHASIC COMBINATION ANTITUBERCULOSIS TREATMENT BASED ON THE ANTIMICROBIAL ACTIVITY AND ON THE RECOVERY OF PROTECTIVE IMMUNITY compared to patients with strong positive tuberculin reactions ( 16 mm). The achievement of immunological cure indicates the occurrence of restoration of immune status which means the enhancement of protective immunity. The dual drug biphasic short course regiments of INH and RMP used by the group of patients with fully sensitive bacilli to INH and RMP, by the group of patients with resistant bacilli to INH and/or RMP. Mostly resistant to INH only, as well as by the group of patients that has not undergone pretreatment drug-susceptibility test, was able to bring about horizontal regression in the spectrum of immune status of tuberculosis since at end of the first month treatment period. Besides, immunological cure was also achieved at the same time. On the other hand, during treatment with the dual drug biphasic conventional regimen of INH and SM, immunological cure was achieved already at the end of the 3rd month treatment period only when the mentioned regimen was used by the group of patients that had fully sensitive bacilli to INH and SM. The result of the study reported here using the 9-month short course regimen (HR/8H,R) and the 12-month conventional regimen (HS/11H2S2) revealed that restorative activity of immune status cq enhancement of protective immunity proceeded during the entire treatment period even after six months treatment. Immunological cure following treatment with the conventional regimen HS/11H2S2 was achieved not before the end of the twelfth month treatment period by the group of patients that has not undergone pretreatment drug-susceptibility test. despite the fact that horizontal regression had taken place already at end of the first month treatment perlod.The same treatment regimen used by the same group of patients but that consisted only of treatment failure cases as assessed bacteriologically at end of the sixth month treatment period, was able to bring about horizontal regression of 3 months duration following start of treatment followed by the event of horizontal progression that continued until the end of the treatment period. Immunological cure was however not achieved. Knowledge on the event of bacteriological and of immunological healing following the advent of antituberculosis chemotherapy opens new prospects for doing further investigation on the value of immunotherapy with BCG in shortening the duration of treatment and stabilizing the cure. This has to be contemplated especially in areas where tuberculosisis endemic, and where cost of treatment and compliance failure are problems.Cermin Dunia Kedokt 1998; 121: 33-34 Rah,Sa,Alh

RA Handoyo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid HandoyoThe Indonesian Association of Pulmonologists. Malang. Indonesla The TB Center of Surabaya, Indonesia

A clinical study on the efficacy of anti-tuberculosis regimens in terms of their activity to restore protective immunity was conducted in the TB Centre of Malang, comprising 204 pulmonary tuberculosis patients with positive sputum on smear as well as on culture and that have not received any anti-TB drugs before. At random, sixty-eight patients were allocated to a short course regiumen of HR/5H2R2, 68 patients to a short course regimen of HR/ 8H2R2 and another 68 patients to a conventional regimen of HS/ 11 H252, The activity of restoring protective immunity was assessed on the basis of the capacity to restore group immune status in the spectrum of immune status of tuberculosis from the Koch type to the Listeria type immune status. Immune status in tuberculosis Is determined on the basis of the mean induration of tuberculin reactions among and of the ratio of patients with normal positive tuberculin reactions (10-15mm)

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

ArtikelOPINI

Masalah Asma di Indonesia dan PenanggulangannyaZul Dahlan Subunit Pulmonologi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bandung

PENGANTAR Asma merupakan penyakit saluran nafas yang ditandai oleh penyempitan bronkus akibat adanya hiperreaksi terhadap sesuatu perangsangan langsung/fisik ataupun tidak langsung. Tanpa pengelolaan yang baik penyakit ini akan mengganggu kehidupan penderita sehari-hari dan penyakit akan cenderung mengalami peningkatan dan dapat menimbulkan komplikasi ataupun kematian. Walaupun asma merupakan penyakit yang dikenal luas di masyarakat namun kurang dipahami semestinya hingga timbul anggapan dari sebagian dokter dan masyarakat bahwa asma merupakan penyakit yang sederhana serta mudah diobati, dan bahwa pengelolaannya yang utama adalah obat-obatan asma khususnya bronkodilator. Timbul kebiasaan dari dokter dan pasien untuk mengatasi gejala asma saja khususnya terhadap gejala sesak nafas dan mengi dengan pemakaian obat-obatan dan bukannya mengelola asma secara lengkap. Penderita asrna ringan dan periodik tidak menyadari mengidap penyakit ini dan menduganya sebagai penyakit pernafasan lain atau "batuk biasa'". Gangguan batuk dan sesak dialami bila ada rangsangan seperti angin malam yang dingin, flu atau iritasi bahan polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya sematamata terjadi akibat rangsangan faktor pencetus tersebut. Pemikiran timbul bila nafas telah berbunyi atau mengi dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Padahal pada saat tersebut mungkin telah terdapat gangguan lanjut berupa emfisema alas gangguan faal paru hingga perlu menggunakan obat asma secara kontinyu. Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan pada saat dini dengan berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan asma dan pemakaian,hal bisa seperlunya pada waktu serangan asma saja. Namun pada saat ini hal tersebut masih jauh dari kenyataan. Akhir-akhir ini dilaporkan adanya peningkatan prevalensi morbiditas dan moratitas asma di seluruh dunia terutama di

daerah perkotaan dan industri. Prevalensi yang tinggi ini menunjukkan bahwa pengelolaan asma belumlah berhasil. Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan ini yaitu berbagai kekurangan dalam hal pengetahuan tentang asma, kelaziman melakukan diagnosis yang lengkap atau evaluasi pre terapi, sistimatikadan pelaksanaan pengelolaan, upaya pencegahan dan penyuluhan, serta pendanaan pengelolaan asma. Untuk meningkatkan pengelolaan asma yang baik hal-hal tersebut di atas harus dipahami dan dicarikan pemecahannya. EPIDEMIOLOGI ASMA Definisi asma Terdapat kesulitan dalam mengetahui sebab dan cara mengontrol asma. Pertama-tama timbul akibat perbedaan perspektif mengenai definisi asma serta metode dan data penelitiannya(1,2). Ke dua. diagnosis asma biasanya berdasarkan hasil kuesioner tentang adanya serangan asma dan mengi saja tanpa disertai hasil tes faal paru untuk mengetahui adanya hiperreaksi bronkus (HRB). Ke tiga, untuk penelitian dipakai definisi asma berbedabeda. Woodcock (1994) menyebut asma akut (current asthma) bila telah ada serangan dalam 12 bulan terakhir dan terdapat HRB: asma persisten, bila terus menerus terdapat gejala dan HRB: sedangkan asma episodik bila secara episodik dijumpai gejala asma tanpa adanya HRB pada tes provokasi(1). Ke empat, angka kejadian dari penelitian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan objek penelitian yaitu faktor lokasi (negara, daerah. kota atau desa), populasi pasien (masyarakat atau sekolah/rumah sakit, rawat inap atau rawat jalan) usia (anak, dewasa) cuaca (kering atau lembab), predisposisi (atopi, pekerjaan), pencetus (infeksi, emosi, suhu, debu dingin, kegiatan fisik), dan tingkat berat serangan asma. Morbiditas asma Dilaporkan adanya peningkatan prevalensi asma di seluruh

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

5

dunia secara umum dan khususnya peningkatan frekuensi perawatan pasien di RS atau kunjungan ke emergensi. Penyebab terjadinya hal ini diduga disebabkan peningkatan kontak dan interaksi alergen di rumah (asap, merokok pasif) dan atmosfir (debu kendaraan). Kondisi sosioekonomis yang rendah menyulitkan pemberian terapi yang baikc". Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 810% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%(4). Prevalensi asma di Jepang dilaporkan meningkat 3 kali dibanding tahun 1960 yaitu dari 1,2% menjadi 3,14%, lebih banyak pada usia muda1. Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi, mengi dan HRH menunjukkan kenaikan prevalensi asma akut di daerah lembab (Belmont) dari 4,4%(1982) menjadi 11,9% (1992). Singapura dari 3,9% (1976) menjadi 13,7%(1987), di Manila 14,2% menjadi 22.7% (1987). Data dari daerah perifer yang kering adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar 20,5%, mengi 2%, HRH 4%(1). Serangan asma juga semakin berat, terlihat dari meningkatnya angka kejadian asma rawat inap dan angka kematian. Asma juga merubah kualitas hidup penderita dan menjadi sebab peningkatan absen anak sekolah dan kehilangan jam kerja. Biaya asma sebesar F. 7.000 Milyard di Perancis yaitu 1% dari biaya pemeliharaan kesehatan langsung ataupun tidak langsung. meningkat terus(4). Penelitian di Indonesia tersering menggunakan kuesioner dan jarang dengan pemeriksaan HRB. Hampir semuanya dilakukan di lingkungan khusus misalnya di sekolah atau rumah sakit dan jarang di lingkungan masyarakat(6). Dilaporkan pasien asma dewasa di RS Hasan Sadikin berobat jalan tahun 19851989 sebanyak 12.1% dari jumlah 1.344 pasien dan 1993 sebanyak 14,2% dari 2.137 pasien. Pada perawatan inap 4,3% pada 1984/ 1985 dan 7,5% pada 19861989. Pasien asma anak dan dewasa di Indonesia diperkirakan sekitar 38%, Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar 7,6%. Hasil penelitian asma pada anak sekolah berkisar antara 6,4% dari 4.865 anak (Rosmayudi, Bandung 1993), dan 15,15% dari 1.515 anak (multisenter, Jakarta)(6). Komplikasi asma Mortalitas asma meningkat diseluruh dunia dari 0,8/100.000 (1977), menjadi 1,2 (1990) dan 2,1 (1991)(7). Di Singapura dilaporkan sebesar 1/10.000(2). Laporan yang terkumpul dari Indonesia adalah dari pasien status asmatikus dengan angka kematian di RS Sutomo Surabaya 2,9% dari 68 pasien (1978), RS Hasan Sadikin Bandung 0,73% dari 137 pasien (1984)(6). MASALAH PENGELOLAAN ASMA Terdapat berbagai hal yang menimbulkan masalah dalam pengelolaan asma khususnya di Indonesia : 1) Pengetahuan Yang Kurang Tepat Mengenal Konsep Asma a) Para medisi Pengetahuan patogenesis asma yang benar bahwa peradangan bronkus sebagai faktor dasar asma belum merata, dan belum disadari bahwa mengatasi peradangan bronkus adalah tujuan

utama terapi. Asma potensil untuk menjadi penyakit seumur hidup dan harus diperlakukan sebagai penyakit kronik lain seperti DM, dan hipertensi. Belum ada kerjasama berlanjut antara dokter dan pasien dalam upaya penegakan diagnosis dan terapi asma yang benar yang diikuti upaya kelola mandiri dari pasien. Usaha penyuluhan asma yang lebih baik juga masih kurang, hingga tidaklah disadari bahwa komplikasi kematian akibat asma dapat dihindari. b) Pasien dan masyarakat Masyarakat masih menganggap asma penyakit tidak bisa disembuhkan, bersifat kronik dan cenderung progresif. Juga tidak mengetahui cara ataupun tidak melaksanakan pencegahan dari serangan asma di rumah. Masyarakat umumnya mempunyai pengertian yang salah tentang pemakaian inhaler. Penderita asma memiliki rasa rendah diri dengan asma yang dideritanya. Dan belum terlihat adanya usaha yang baik dalam mengontrol merokok dan menghindari alergen. 2) Cara Penegakan Diagnosis Asma Menjadi anggapan umum bahwa diagnosis asma ditegakkan dengan adanya sesak nafas dan mengi (wheezing). Sesungguhnya kriteria diagnosis yang dianjurkan adalah : a) Anamnesis Keterangan adanya sesak nafas paroksismal yang berulang kali, mengi dan batuk (cenderung timbul pada malam dan dini hari). Gejala hilang pada saat istirahat dan remisi. Adanya faktor predisposisi atau presipitasi. b) Pemeriksaan penunjang Didapatkan obstruksi bronkus reversibel yang diketahui dari hasil terapi, tes bronkodilatasi atau perubahan alami; hipersensitifitas bronkus, diketahui dari peningkatan reaksi kontraksi bronkus terhadap acetylcholine, metacholin, histamin, dan lainlain; adanya predisposisi atopik, peninggian IgE antibodi spesifik terhadap alergen lingkungan; adanya peradangan saluran nafas, peningkatan eosinofil sputum, creola bodies(8). Diagnosis asma perlu dibuat dengan disertai tingkat ringanberatnya asma. 3) Evaluasi Asma Pre Terapi Jarang dikerjakan diagnosis atau evaluasi asma pre terapi lengkap sebagai dasar paket pengelolaan asma yang sistimatik dan individual. Biasanya pasien diobati hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengelolaan asma dalam hal ini ibarat mengobati nyeri dada sebagai suatu penyakit jantung iskemik tanpa melakukan pemeriksaan EKG. Tes faal paru khususnya tes reversibilitas perlu ditekankan sebagai pemeriksaan yang penting untuk diagnosis dan tindak lanjut pengelolaan asma. Penelitian Internasional menunjukkan bahwa di Inggris, New Zealand, dan Australia pemeriksaan pre terapi Arus Puncak Ekspitusi (APE) pada pasien asma dilaksanakan mendekati 100%, dan pengukuran rekaman rutin harian APE oleh pasien sebesar 42,1%. Penelitian asma berdasarkan Iaporan 1.197 dokter Asia termasuk Indonesia (7.1%) yang terdiri dari pulmonologis, internis, ahli anak dan ahli alergi mendapatkan penegakan diagnosis asma yang biaya dilakukan di Asia seperti terlihat pada Tabel 1(8). Tes reversibilitas rata-rata di Asia yang dikerjakan pada 45%

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

Tabel 1.

Pemeriksaan diagnostik pada asma dari 12 negara Asia Anamnesis Auskultasi Tes Tes Eosinofil Tes IgE Tes Tes prov. umum reversibilitas darah alergi kulit spesifik steroid po non alergi 67.4 45 11.8 27.3 24.1 21.8 9.3

Prosentase

91

87.5

pasien, oleh dokter ahli di Indonesia prosentase pelaksanaan pemeriksaan ini jauh lebih rendah walaupun tes alergi kulit dikerjakan pada 18,1%01. Sistim Pengelolaan Asma Pengelolaan asma belum menyeluruh terhadap berbagai aspeknya secara sistimatik dan kontinyu. Terapi belum tuntas dan umumnya baru ditujukan untuk mengatasi gejala asmanya saja. Pengelolaan secara sistimatis seharusnya mencakup: a) Penegakan diagnosis lengkap; tingkat beratnya asma, faktor pencetus dan presipitasi. b) Kerjasama yang kontinyu antara dokter (klinik/RS) dengan pasien dan lingkungannya (di rumah dan tempat kerja). c) Upaya mengatasi bronkospasme/serangan dengan terapi akut dan terapi pencegahan di klinik/RS dan di rumah, pencegahan serangan dengan mengatasi faktor trigger dan inducer. d) Pilihan obat yang tepat berupa suatu sistim . dengan pemilihan steroid sebagai terapi asma utama yang ditujukan untuk mengatasi inflamasi pada semua tingkat asma, kecuali yang paling ringan(9). Pada waktu ini disarankan terapi asma sebagai berikut: jenisnya adalah CBA (corticosteroid, b2 agonis, aminofilin), terpilih dalam bentuk obat inhalasi, dengan dosis yang adekuat secarateratur, bilaperlu kontinyu. e) Tersedia pedoman tertentu bagi pasien untuk pelaksanaan di rumah: membiasakan tindak lanjut dengan pengukuran APE (menggunakan Peak Flow Rate Meter), melaksanakan usaha rehabilitasi atau preventif. f) Upaya pengelolaan asma yang dilakukan secara gigih dan teratur. 5) Pembiayaan dan cara terapi Obat asma inhalasi terutama obat inhalasi kortikosteroid mahal. Obat asma per oral tetap dapat dipakai asal dikontrol dengan baik. 6) Peningkatan limn dan keterampilan dokter serta penyuluhan kepada masyarakat Hal ini telah Sering didengung-dengungkan namun pelaksanaannya belum cukup. Di samping itu perlu dilakukan penyiapan tenaga paramedis ataupun non medis sebagai petugas penyuluhan di klinik/RS. 7) Penelitian asma dan perencanaan pengelolaannya Data studi epideminlogi membantu usaha pencegahan asma dan perencanaan peningkatan pengelolaan asma yang lebih baik. Untuk ini diperlukan tatacara dan koordinasi pendataan asma yang baik, serta perlu dibuat protokol yang seragam agar data dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya secara nasional. Penelitian asma yang baik antara lain dari International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) yang diselenggarakan di 15 negara dan terdiri dari 2 bagian yaitu kuesioner dan tes atopi serta HRB(1). Di Indonesia belum ada data yang lengkap mengenai ber4)

bagai aspek asma misalnya yang berkaitan dengan keadaan morbiditas/mortalitas, atopi, faktor predisposisi dan pencetus, penyulit, dan pengelolaannya. Penelitian umumnya baru dilakukan dalam bentuk kuesioner pada lingkungan terbatas. Hal ini merupakan hambatan untuk melakukan rencana pengelolaan yang lebih terarah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelaslah bahwa perlu dilakukan berbagai hal antara lain, penyebarluasan pengetahuan mengenai asma, pelaksanaan pengelolaan yang sistimatik, serta penelitian yang baik agar dapat terlaksana pengelolaan asma yang benar. Diharapkan kelak akan dapat tercapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik dan peningkatan produktifitas kerja pasien asma. STRATEGI PENGELOLAAN ASMA Berbagai hal tersebut di alas diharapkan dapat diatasi dan dilaksanakan dengan suatu sistim pengelolaan asma praktis yang dilaksanakan bersama-sama oleh pihak medisi dan pasien untuk mendapatkan suatu kontinuitas pengelolaan asma di sarana pela-yanan kesehatan dan di rumah pasien. Dengan cara ini gangguan penyakit dapat diatasi dan seterusnya serangannya dapat dicegah. Perlu dilaksanakan koordinasi dalam peningkatan tata cara serta upaya pengelolaan asma dengan didasarkan pada pendataan asma yang baik. 1) Dasar strategi pengelolaan asma Petunjuk Pengelolaan Asma Internasional misalnya International Consensus Report on Diagnosis and Management of Asthma(9), atau Global Initiative For Asthma(10). Pelaksanaan pedoman pengelolaan asma secara nasional di Indonesia harus mengusahakan : a) pembentukan tim pelaksana asma lokal/nasional. b) adaptasi pedoman asma internasional/nasional pada pemakaian lokal dengan mempertimbangkan: keadaan sosioekonomis, yaitu kemampuan daya beli yang rendah kultur, sikap pasien yang menganggap asma sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan kebiasaan dokter dalam menulis resep; misalnya kecenderungan memberikan sedatif atau anti alergi(2), dan pemberian campuran obal asma yang rasional. c) pelaksanaan petunjuk dalam bentuk protokol dan formulasi yang jelas. d) kerjasama yang mantap dalam penggunaan protokol oleh pusat kesehatan dan pasien agar tercapai kelola diri yang baik. d) evaluasi pelaksanaan pedoman pengelolaan asma(2). Telah dipublikasikan pedoman pengelolaan asma yang baik(9,10). Di Bandung telah dikeluarkan buku Pedoman Pengelolaan Asma Berobat Jalan (1994) yang mencoba mengupayakan

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

7

hal tersebut(11). 2) Sarana Perlu dipenuhi adanya hal-hal sebagai berikut : a) Sistimatika pengelolaan asma yang menyeluruh berdasarkan patogenesis asma yang mutakhir. b) Personil medik yang paham dan trampil mengelola asma. c) Pemahaman dan ketrampilan penderita dalam merawat dirinya sendiri. d) Penyediaan pusat-pusat kegiatan pengelolaan asma Serta peralatan diagnostik dan terapi yang memadai. 3) Cara Penyediaan buku pedoman penegakan dan pengelolaan asma yang berdasarkan kepada patogenesis yang terbaru. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan kalangan medik (dokter dan paramedik), serta non medik dalam mengelola asma berdasarkan ilmu dan metoda terbaru. Meningkatkan pengetahuan. ketrampilan dan kerjasama dari pasien asma. kalangan masyarakat/keluarganya mengenai caracara pengelolaan asma. Menganjurkan, ikut membina dan bila perlu membangun pusat-pusat pelayanan asma (di RS, puskesmas, klinik). perkumpulan masyarakat (misalnya klub asma) dan kegiatan lainnya untuk pencapaian maksud di atas. Mengumpulkan data epidemiologi asma pada pusat-pusat kesehatan yang akan bermanfaat untuk pengelolaan asma selanjutnya di Indonesia. Membuat perencanaan pengelolaan asma lebih lanjut. 4) Bentuk kegiatan Pendidikan : a) Personil medik Ceramah kepada personil medik pada pusat-pusat kesehatan Mengadakan demonstrasi/petunjuk mengenai cara-cara : diagnostik dan evaluasi asma di klinik/rumah. antara lain penggunaan Peak Flow Meter pemberian terapi inhalasi atau bentuk lainnya rehabilitasi medik paru pencegahan terhadap labor pencetus asma tindakan mengatasi serangan asma akut Membantu pendirian klinik asma. b) Penderita atau masyarakat Mengadakan penyuluhan mengenai asma dengan cara : Penyuluhan langsung dan tanya jawab Memberikan materi cetakan atau bentuk lainnya mengenai cara-cara pengelolaan asma yang baik : penggunaan PEFR dan cara pemeriksaan APE cara penggunaan alat terapi yang benar cara latihan paru/rehabilitasi cara-cara menghindari labor pencetus/pemberat asma cara pencatatan/pelaporan evaluasi terapi asma Pendirian pusat-pusat pelayanan kesehatan asma. Untuk tahap permulaan bisa dilakukan oleh 2-4 orang personil, yaitu : dokter. perawat, fisioterapis Mengumpulkan data epidemiologik dan hasil evaluasi.

5) Rencana Kegiatan 1) Rencana Jangka Pendek Melakukan uji coba pelaksanaan pengelolaan asma terpadu pada suatu pusat percontohan pelayanan kesehatan asma Menjajagi kemungkinan kerjasama pelaksanaan dengan : instansi pendidikan kedokteran instansi kesehatan badan-badan pemerintah dan swasta yang berminat. 2) Rencana Jangka Panjang Meluaskan usaha memasyarakatkan cara perawatan asma yang baik agar : dilaksanakan pula oleh pusat-pusat kesehatan lainnya mencakup kegiatan yang lebih luas. Misalnya pendirian perkumpulan kemasyarakatan pasien asma. KEBUTUHAN SARANA 1) Sarana instansional: Klinik khusus pengelolaan asma di Rumah Sakit/pusat pelayanan kesehatan lainnya 2) Sarana Personil dan ketrampilannya: Dokter ahli penyakit dalam/anak/paru. Dokter ahli rehabilitasi medik, Dokter umum, atau dokter ahli lain yang berminat para medik, ahli fisioterapi personal lain yang berkecimpung dalam pengelolaan asma. 3) Sarana peralatan, berupa alat yang portabel ataupun tidak : Evaluasi asma: spimmetri, PF Meter, tes alergi, laboratorium (sel eosinofil, IgE). dan alat radiologi Alat peraga dan informasi terapi asma: obat inhalasi dan alat bantunya set oksigen alat rehabilitasi medik audiovisual, cetakan (brosur, booklet) Sarana informasi dan cetakan (brosur, kuesioner) Transportasi/honor petugas. Demi keberhasilan usaha pengelolaan asma yang baik perlu ditegakkan motto: Kelola dan obatilah asma dan bukan hanya gejalanya. RINGKASAN Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini disebabkan terutama oleh pengertian yang salah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan pengelolaan asma yang tidak lengkap atau sistimatis, serta sangat kurangnya data dan perencanaan lanjutan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilaksanakan strategi pengelolaan asma berdasarkan pedoman pengelolaan yang lengkap dan sistimatik. Kerjasama yang erat di antara para dokter dan petugas medik lainnya dengan penderita asma sangatlah diperlukan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Dengan upaya ini diharapkan akan tercapai penyebarluasan cara pengelolaan asma preventif dan kuratif yang sesuai dengan perkembangan limo dan metoda pengelolaan asma yang mutakhir. Dan akan tercapai pula penurunan angka morbiditas maupun mortalitas yang diakibatkan oleh asma ataupun komplikasinya.

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. Woolcock A. Epidemiology asthma - worldwide trends. Airways in asthma. Effects of treatment. August 1994. Penang Malaysia. Excerpta Medica 1995: 36-38. Tan WC. Asthma in South Asia-What are the issues? Strategy for reducing asthma mortality, by Halgate ST. Proc. 12th Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest. Seoul. Korea. 1992 2 I. Pingleton SK. Advances in Respiratory Critical Care. J Crit Care 1966 1-2. Michel FB. Neukirch F. Housyuel J. Asthma: a world problem of public health. Bull Acad Natl Med 1995 Feb; 199(2): 279-93. discuss. 293-7. (Abs.). Akiyama K. Review ofl epidemiological studies on adult bronchial asthma. National Sagamihara Hospital. Japan. Nippon Kyobu Shikkan Gakkai Zasshi 1994 Dec.; 32 Suppl. 20010. Soena Stxmantri ES. Epidemiologi asma di Indonesia. Buku Makalah Lengkap Penemuan Ilmiah Recent Advances In Respiratory Medicine. Konkemas Peikumpulan Dokter Paru Indonesia. 6-9 Juli 1995. 7. Sly MS. Changing in asthma mortality. Ann Allerg 1994; 73. 259-768. 8. Miyamoyo T, Mikawa H. Asthma management In Asia. The 8th Allergy and Respiratory Diseases Conference. Life Science Medica Co, Ltd. Marc 1994 : 1032, 1454, 124158. 9. Sheffer AL. International consensus Report on Diagnosis and management of Astma. US Departement of Health and Human Services. Clinical and Experimental Allergy, May 1992. Vol. 2. Suppl. I. 10. Lenfant C. Global Initiative for Asthma. Global Strategy For Asthma Management And Prevention. NHLBI/WHO Workshop Report. March 1993. National Institute of Health. Publication No.: 95-1659. Januari 1995. 11. Dahlan Z. Pedoman Pengelolaan Asma Bronkiale Berobat jalan. Balai Informasi Asma Bina Husada, Bandung, 1994. 6.

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

9

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Manfaat Kortikosteroid pada Asma BronkialFaisal Yunus Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia SMF Paru RSUP Persahahatan, Jakarta

PENDAHULUAN Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan sensitifnya trakea dan cabang-cabangnya (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai rangsangan. Rangsangan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran napas yang menyeluruh dengan derajat yang bervariasi dan dapat membaik dengan atau tanpa diobati. Pada kelainan ini berperan berbagai sel inflamasi antara lain sel mast dan eosinofil(1-3). Penyakit asma dapat terjadi pada berbagai usia baik laki-laki maupun perempuan. Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakangan ini obat-obat asma banyak dikembangkan. Di negara maju angka kesakitan dan kematian karena asma juga terlihat meningkat. Inflamasi kronik adalah dasar dari penyakit asma, oleh karena itu obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada saluran napas. Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang bekerja secara topikal maupun secara sistemik. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ASMA BRONKIAL Penyempitan saluran napas yang terjadi pada penyakit asma merupakan suatu hal yang kompleks.Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Berbagai faktur pencetus dapat mengaktivasi sal mast(4). Selain sel mast sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar. eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktitkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi

yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang teijadi(5). Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektur sekunder seperti eosinofil. netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens. tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus(5). Pada Gambar 1 dapat dilihat peranan berbagai sel pada reaksi asma. Reaksi asma ada dua macam yaitu reaksi asma awal (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR). Pada reaksi asma awal, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 1015 menit setelah rangsangan dan menghilang secara spontan. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator-mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus atau melalui refleks vagal. Keadaan ini mudah diatasi dengan beta-2 agonis(4,5). Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 34 jam rangsangan oleh alergen dan bertahan selama 1624 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Fase ini disertai dengan reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga timbul inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, inflamasi netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme bronkus. Pada fase ini peran spasme bronkus kecil, akibatnya reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian beta-2 agonis(4,5). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa(4,5) : Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

Gambar 1.

Peranan sel inflamasi pada reaksi asma(5)

Gambar 2.

Fase obstruksi jalan napas pada asma(4)

eosinofil. Edema mukosa dan eksudasi plasma. Hipersekresi lendir yang kental dari kelenjar submukosa yang mengalami hipertrofi. Pada Gambar 2 dapat dilihat face obstruksi jalan napas pada asma. Pada beberapa keadaan reaksi asma dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui reteks saraf. Rangsang ujung saraf eferen vagal (c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptid inilah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi(6). Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas penyakit asma,

besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik(7-11). MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID PADA ASMA Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori mengemukakan bahwa kortikosteroid dapat membentuk makrokortin dan lipo-modulin yang bekerja menghambat fosfolipase A2 membentuk leukotrien. prostaglandin, tromboksan dan metabolit asam arakidonat lain(4). Pada Gambar 3 dapat dilihat cara kerja makrokortin terhadap

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 11

Klasifikasi berdasarkan etiologi Dari segi mekanisme penyakit dan pengobatan, perlu dibedakan faktor-faktor yang menginduksi inflamasi dan menimbulkan penyempitan saluran napas dan hiperaktivitas (inducers) dengan faktor-faktor yang dapat mencetuskan konstriksi akut pada penderita yang sensitif (inciters). Banyak usaha dilakukan untuk menentukan klasifikasi secara etiologi. Termasuk klasifikasi ini adalah(1,3) : Asma intrinsik (criptogenic) Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan. Asma ekstrinsik Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang berhubungan langsung dengan IgE sel mast dan respons eosinofil lerhadap alergen yang umum. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan beratnya penyakit. Kombinasi berbagai pemeriksaan, gejalagejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit menurut beratnya. Klasifikasi ini lebih penting untuk tujuan penatalaksanaan asma. Pada klasifikasi ini beratnya ditentukan oleh berbagai faktor yaitu(1,3) : I. Gambaran klinik sebelum pengobatan gejala eksaserbasi gejala malam hari pemberian obat inhalasi -2 agonis uji faal paru II. Obat-obat yang digunakan untuk mengontrol penyakit Dari gabungan tersebut maka asma diklasifikasikan dalam (Gambar 4) : 1. Intermitten 2. Persisten ringan 3. Persisten sedang 4. Persisten berat Klasifikasi berdasarkan pola waktu serangan Klasifikasi asma juga bisa dibuat berdasarkan pola waktu terjadi serangan yang dipantau dengan pemeriksaan APE. Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang menyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah(3) : Asma Intermitten Pada jenis ini serangan asma timbul kadang-kadang. Di antara dua serangan APE normal, tidak terdapat atau ada hipereaktivitas bronkus yang ringan. Asma Persisten Terdapat variabilitas APE antara siang dan malam hari, serangan sering terjadi dan terdapat hiperaktivitas bronkus. Pada beberapa penderita asma persisten yang berlangsung lama, faal paru tidak pernah kembali normal meskipun diberikan pengobatan kortikosteroid yang intensif. Brittle Asthma Penderita jenis ini mempunyai saluran napas yang sangat sensitif, variabilitas obstruksi saluran napas dari hari ke hari sangat ekstrim: Penderita ini mempunyai risiko tinggi untuk

Gambar 3.

Penghambatan makrokortin terhadap fosfolipase A2(4)

fosfolipase A2. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah menghalangi pembentukan mediator oleh sel inflamasi, menghalangi penglepasan mediator dan menghalangi respons yang timbul akibat lepasnya mediator(12) (Tabel l).Tabel 1. Efek kortikosteroid terhadap mediator yang timbul pada serangan asma(12) Mediator PGD2 PAF-"acether" LTD4 Histamin Bradikinin Faktor turunan kamplemen Sumber Siklooksigenase besar produk dari sel mast netrofil Basofil, makrofag, platelet, netrofil Eosinofil Sel mast Sel mast Basofil Kininogen di plasma Kininogen yang dilepaskan oleh basofil Aktivasi sistim komplemen di plasma (menerlukan adanyn netrofil) Tidak ada Menekan pembentukan Menekan pembentukan Menghambat penglepasan Menekan pembentukan Menghambat penglepasan Tidak ada Tidak ada Menghambat penglepasan Menekan pembentukan Menghalangi penggabungan terhadap lekosit Efek

Sebagai anti inflamasi kortikosteroid bekerja melalui beberapa mekanisme(13,14), yaitu : Menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mem pengaruhi leukotrien dan prostaglandin, Mengurangi kebocoran mikrovaskuler, Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi, Menghambat produksi cytokines, Meningkatkan kepekaan reseptor pada otot polos bronkus. KLASIFIKASI ASMA Asma menurut Konsensus Internasional diklasifikasikan berdasarkan etiologi, beratnya penyakit asma dan pola waktu terjadinya obstruksi saluran napas. Klasifikasi ini berguna untuk diagnosis dan penatalaksanaan penyakit serta menentukan prognosis penyakit(1,3).

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

Gambar 4. Klasifikasi Asma berdasarkan berat penyakit Dikutip dari (3)

mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa. PENATALAKSANAAN ASMA Asma pada kebanyakan penderita dapat dikontrol secara

efektif meskipun tidak dapat disembuhkan. Penatalaksanaan yang paling efektif adalah mencegah atau mengurangi inflamasi kronik dan menghilangkan faktor penyebab. Faktor utama yang berperan dalam kesakitan dan kematian pada asma adalah tidak terdiagnosisnya penyakit ini dan pengobatan yang tidak cukup. Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila(13) : Gejala kronik minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala asma malam Eksaserbasi minimal (jarang) Tidak ada kunjungan ke Unit Gawat Darurat Kebutuhan obatagonis -2 minimal (idealnya tidak diperlukan) Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise Variasi harian APE kurang dari 20% Nilai APE normal atau mendekati normal Efek samping obat minimal (tidak ada). Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk(13) : Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma Mencegah eksaserbasi penyakit Meningkatkan fungsi paru mendekati nilai normal dan mempertahankan nilai tersebut Mengusahakan tercapainya tingkat aktivitas normal, termasuk exercise Menghindari efek samping karena obat Mencegah kematian karena asma Penatalaksanaan asma jangka panjang perlu dirancang sedemikian rupa agar penyakit dapat dikontrol dengan pemberian obat-obatan seminimal mungkin. Pengobatan diberikan berdasarkan tahap beratnya penyakit. Secara garis besar obat asma terdiri atas 2 golongan, yaitu obat yang berguna untuk menghilangkan serangan asma, yaitu mengurangi bronkokonstriksi yang terjadi. Obat ini disebut obat pelega napas (reliever) yang umumnya beker sebagai bronkodilator. Termasuk dalam golongan ini adalah(13-17) : Inhalasi agonis -2 aksi singkat Kortikosteroid sistemik Inhalasi anti kolinergik Golongan Xantin Agonis -2 oral Obat ini diberikan pada saat terjadi serangan asma, tergantung dari beratnya serangan obat dapat diberikan dalam bentuk tunggal atau kombinasi. Pemberian dalam bentuk inhalasi lebih dianjurkan. karena pemberian secara inhalasi mempunyai heberapa keuntungan yaitu(3,18) : Dosis rendah Efek samping minimal Bekerja terbatas pada saluran napas Efek terapeutik cepat Dapat memobilisasi sekret di saluran napas Tetapi obat ini juga mempunyai kelemahan yaitu, cara pemberian yang kadang-kadang sulit dan harga obat yang relatif mahal. Golongan obat kedua adalah obat yang dapat mengontrol asma disebut sebagai controller medications. Obat ini diberikan setiap hari untuk jangka waktu yang lama. Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 13

Termasuk dalam golongan ini adalah(13-17) : Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromolin Sodium nedokromil Teofilin lepas lambat Inhalasi agonis -2 aksi lama Agonis -2 aksi lama oral Ketotifen Obat anti alergen lain MANFAAT KORTIKOSTEROID PADA ASMA BRONKIAL Obat pengontrol asma yang paling efektif adalah kortikosteroid. Cara pemberian yang paling baik adalah secara inhalasi. Pemakaian kortikosteroid inhalasi jangka panjang dapat menurunkan kebutuhan terhadap kortikosteroid sistemik. Pada asma kronik berat dibutuhkan dosis inhalasi yang tinggi untuk mengontrol asma. Bila dengan dosis inhalasi yang tinggi belum juga dapat mengontrol asmanya, maka ditambahkan kortikosteroid oral. Pada pemakaian kortikosteroid inhalasi jangka panjang dapat timbal efek samping kandidiasis orofaring, disfonia dan kadang-kadang batu. Efek samping itu dapat dicegah dengan pemakaian spacer atau dengan mencuci mulut sesudah pemakaian alat. Obat kortikosteroid sistemik diberikan bila obat inhalasi masih kurang efektif dalam mengontrol asma. Obat sistemik juga diberikan pada saat terjadi serangan asma yang berat. Pemberian obat selama 57 hari dapat digunakan sebagai terapi maksimal untuk mengontrol gejala asma. Pemberian demikian dilakukan pada permulaan terapi jangka panjang maupun sebagai terapi awal pada asma yang tidak terkontrol atau selama masa perburukan penyakit(13,14). Pemberian obat kortikosteroid jangka panjang mungkin perlu untuk mengontrol asma persisten berat, tetapi pemberian itu terbatas oleh karena risiko terhadap efek samping. Pemberian inhalasi kortikosteroid jangka lama selalu lebih baik daripada pemberian secara oral maupun parenteral(13,14). Bila pemberian oral diberikan untuk jangka lama harus diperhatikan kemungkinan timbul efek samping. Untuk jangka panjang pemberian obat secara oral lebih baik daripada parenteral. Preparat oral golongan steroid yang bersifat short acting seperti prednison, prednisolon dan metil prednisolon lebih baik karena efek mineralokortikoidnya minimal, masa kerja pendek sehingga efek samping lebih sedikit dan efeknya terbatas pada otot. Bila mungkin prednison oral jangka lama diberikan selang sehari pada pagi hari untuk mengurangi efek samping. Tetapi kadang-kadang penderita asma berat memerlukan obat tiap hari bahkan dua kali sehari(13,14). HASIL PENELITIAN PEMBERIAN KORTIKOSTE-ROID PADA PENDERITA ASMA DI RSUP PERSAHABATAN Pemberian budesonid inhalasi pada 15 penderita asma golongan EIA( Exercise Induced Asthma) dengan dosis 2x200 ug

selama 8 minggu dapat mengurangi hipereaktivitas bronkus serta mencegah EIA. Empat minggu setelah penghentian obat efek penurunan derajat hipereaktivitas bronkus masih terlihat, tapi efek proteksi timbulnya ETA sudah menghilang. Tidak ada efek samping pemberian obat(19). Pada penderita asma ringan dan sedang pemberian budesonid inhalasi secara buta ganda tersamar dengan dosis 2 x 200 ug selama 8 minggu menunjukkan peningkatan faal paru dan penurunan derajat hipereaktivitas bronkus secara bermakna. Manfaat obat masih terlihat setelah 2 dan 4 minggu pengobatan dihentikan. Pada penelitian tersebut tidak ditemukan efek samping pada penderita yang menggunakan steroid inhalasi(20). Penelitian lain adalah membandingkan efektivitas inhalasi beklometason dipropionat (BDP) dengan obat ketotifen oral secara acak tersamar ganda. Inhalasi BDP diberikan 2 x 200 ug dan ketotifen diberikan 2 x I mg per oral selama 9 minggu. Penelitian ini mendapatkan hasil sebagai berikut(21) : Beklometason dipropionat dan ketotifen menurunkan derajat hipereaktivitas bronkus secara sangat bermakna, tetapi beklometason memberikan efek yang lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan ketotifen. Manfaat pengobatan masih terlihat 2 minggu dan 4 minggu setelah pengobatan ditentukan. Tidak terdapat efek samping yang berarti selama pemberian obat. Pada penderita asma akut berat ternyata pemberian kortikosteroid intravena yaitu triamsinolon asetonid 40 mg memberikan perbaikan klinis dan faal paru yang lebih baik secara bermakna dibandingkan penderita yang tidak mendapat kortikosteroid. Pada kelompok penderita yang mendapat steroid, perbaikan secara subjektif dan objektif terlihat setelah 4 jam pemberian obat, sedangkan kelompok yang tidak mendapat kortikosteroiud 22,17% tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian bronkodilator saja(22). PENUTUP Asma adalah penyakit dengan dasar inflamasi kronik saluran napas dan hipereaktivitas bronkus. Pengobatan asma selain menghilangkan atau mengurangi obstruksi saluran napas, hendaklah ditujukan pula untuk mengurangi inflamasi kronik yang ada pada penderita asma stabil. Pada penderita yang mendapat serangan akut kortikosteroid berguna untuk mengatasi inflamasi akut yang terjadi. Kortikosteroid adalah obat antiintlamasi yang sangat poten dan bermanfaat menurunkan derajat hipereaktivitas bronkus pada panderita asma. Kortikosteroid inhalasi adalah obat antiintlamasi pilihan untuk mengontrol asma. Pemberian inhalasi mempunyai berbagai manfaat karena efektivitasnya tinggi dan efek sampingnya minimal. Pada suatu serangan asma akut berat pemberian kortikosteroid sedini mungkin akan mempersingkat serangan asma dan memberikan efektivitas pengobatan yang lebih baik.KEPUSTAKAAN 1. National Heart. Lung, Blood Institute. National Institute of Health. Inter-

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

national Consensus Report on Diagnosis and Dea nenl of Asthma, Definition. diagnosis and classification. Eur Respir J, 1992; 5: 6057. 2. American Thoracic Society. Medical Section of the American Lung Association. Standard for the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir Dis, 1987; 136: 22543. 3 National Institute of Health. National Heart Lung and Blood Institute. Diagnosis and Classification. In: Global Initiative for asthma 1995:4561. 4. Kay AB. Basic mechanism in allergic asthma. In: Clack TJH, Mygind N. Selmoa O. (Eds). Conicosteroids Treatment in Allergic Airway Disease. Proceeding of a Symposium. Munksgaard Copenhagen 1982: 216. 5 So SY. Basic mechanism in allergic asthma. In. Ellul-Micallel. Lam WK, Toogood 1H. (Edo). Advances in the use of inhaled conicosteroids. Excerpta Medica Amsterdam 1987: 30. 6 Barnes PJ. Neuropeptide and asthma. Am Rev Respir Dis (suppl) 1991; 143: S28-S32. 7. Juniper EF, Frith PA. Hargreave FE. Airway responsiveness to histamine and methacholin relationship to minimum treatment to consul symptoms of asthma. Thorax 1981: 36. 5759. 8. Faisal Yunus. Asrul Rasyid, Hadiano Mangunnegoro, EI Manuhutu. Perbandingan uji inhalasi histamin dan uji provokasi beban kerja pada penderita "exercise-induced asthma". MM 19911; 40. 57710. 9. Cockroft DW. Measumment of airway responsiveness to inhaled histamine or methacholine. method of continuous aerosol generation and tidal breathing inhalatinn.In: Airway responsiveness-measurement and interpretation. ed. Hargreave FE. Woolsack Ah Antra. Ontario. 1985. 22-8. 10. Woolcrek M. Test of airway responsiveness in epidemiology. In: Airway respon siveness-measurement and interpretation. ed. Hargreave FE. Woolcock AJ. Asp In Ontario. 1985 13640.

11 Faisal Y. Hadiano M, Husaeri F. Pemeriksaan hypereaktivitas bronkus dangan alat Astograph-laporan pendahuluan. Paru 1987 ; 7: 812. 12. Ellin-Micallef R. Mode of action of Gluccoorticosteroids and their effects on asthmatic airways. Im Ellul-Micallef, Lam WK, Togood M. (Edit. Advances in the use of inhaled corticoteroids. Exccrpta Medica Amsterdam 1987 : 3659. 13. National Instiotme of Health, National Heart Lung and Blood Institute. A six-part asthma management program. In. Global Initiative for Asthma 1995 : 699117. 14. Chung KF. Clark TIH. Conicosteroids. In: Asthma 3rd ed. eds. Clark. Goffrey and Lee. London, Chapman & Hall Medical 1992 ; 41648. 15. Pauwels R. Non-steroidal prophylactic agents. In: Asthma 3rd. editor. ads. Clark, Caffrey and Lee. Lmdon. Chapman & Hall Medical 1992 44961l 16. Weinberger M. Methylxanthines. In. Asthma. 3rd ed.. cd. Clark.Garrey and Lee. London, Chapman & Hall Medical 1992; 390415. 17. Hall IP, Tattersfield AE. Beta-agonists. In. Asthma 3rd ed. eds. Clark. IX. Caffrey and Lee. London, Chapman & Hall Medical 1992 341 65. 18. Faisal Yunus. Prinsip dasar dan peranan terapi inhalasi. Medika 1992: (1) 18: 2531. 19. Hadiarto M, Faisal Y, Achmad H, Johannes R, Sulamet, EJ Manuhutu. Usaha menurunkan hipereaktivilas bronkus pada penderila "exerciseinduced asthma". Medika 1990:9: 72942. 20. Hadiarto M, Tamsil S, Faisal Y. Wiwien H. Upaya menurunkan hipereaktivitas bronkus pada penderita asma. Perbandingan efek budesonid dan ketotifen. Paru 1992:(12)1:108. 21. Mukhtar I, Faisal Y, Hadiarto M, Efek beklometason dipropionat dan ketotifen terhadap hipereaktivitas bronkus pada penderita asma Paru 1995. (15) 4:14655. 22. Nancy Hutabarat T. Penman kortikosteroid pada asma akut berat Tesis Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta 1989.

He who accuses another of improper conduct ought to look to himself (Plautus)

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 15

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dampak Gas Buang Kendaraan Bermotor terhadap FaaI ParuFaisal Yunus Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru Rumah Sakit Umum Persahabatan. Jakarta

PENDAHULUAN Perkembangan dalam bidang industri dan teknologi mempunyai dampak positif dan negatif terhadap masyarakat. Taraf kehidupan meningkat karena tersedianya barang-barang yang membantu terlaksananya pekerjaan dengan lebih baik dan cepat. Transportasi juga berkembang pesat sehingga memudahkan mobilitas penduduk. Dampak negatif yang terjadi timbul akibat polusi asap pabrik dan gas buang kendaraan bermotor. Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara meningkatkan kejadian asma bronkial dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dalam masyarakat(1,2). Di Indonesia kendaraan bermotor meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Selain mobil-mobil baru, mobil tua yang mengeluarkan gas buang yang banyak dan pekat banyak bergerak di jalan. Gas buang dari kendaraan tersebut menimbulkan polusi udara. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri hanya 20-30% saja(3). BAHAN GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR Gas buang kendaraan bermotor terdiri dari berbagai gas seperti karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), nitrogen dioksida (NO2), ozon (O3), sulfur dioksida (SO2) dan partikulat seperti hidrokarbon, plumbum dioksida dan senyawa organik lain. Zat yang paling banyak pengaruhnya terhadap saluran pernapasan dan paru adalah sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan ozon. Ketiga zat tadi dapat menurunkan faal paru(4-6). Saluran napas dan paru berguna untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan penge-

luaran karbon dioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenisasi(7). Gangguan ventilasi terdiri atas gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV). Sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEPI ), rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEPI/KVP), arus puncak ekspirasi (APE) dan flow volume curve(7,8). Alat spirometer dapat dipakai untuk mengukur berbagai parameter ventilasi paru. Adanya gangguan restriksi, obstruksi maupun bentuk campuran dapat ditentukan dari hasil pemeriksaan spirometri(7,8).

EFEK GAS BUANG TERHADAP PARU Sulfur Dioksids (SO2) Sulfur dioksida terbentuk dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan industri yang memakai bahan baku sulfur. Nilai ambang batas SO2 adalah sebesar 0.1 ppm/24 jam. Zat ini merupakan salah satu komponen dalam pembentukan hujan asam(9,10). Kadar SO2 dalam gas buang tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan; sulfur dioksida yang berasal dari solar lima kali lebih banyak dibandingkan dengan SO2 yang terjadi

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

pada pemakaian bahan bakar bensin. SO2 lebih larut di dalam air dibandingkan dengan nitrogen dioksida. Sebagian SO2 akan tertahan di saluran napas aTas, karena bereaksi dengan air yang terdapat di lapisan mukosa. Pada penderita asma, paparan SO2 sebesar 0,4 ppm selama waktu kurang dari 1 jam dapat menimbulkan bronkospasme. Pada orang normal paparan SO2 yang kurang dari 5 ppm tidak mempengaruhi faal paru. Lavase bronkus dari orang normal yang dipapari dengan SO2 0,4 ppm selama 20 menit menunjukkan reaksi inflamasi dan ditemukan peningkatan konsentrasi antibodi(4,11). Nitrogen Dioksida (NO2) Nitrogen dioksida terbentuk dari pembakaran minyak yang tidak sempurna pada temperatur yang tinggi. Nilai ambang batas NO2 adalah sebesar 0,05 ppm/jam. Dampak paparan NO2 lebih bersifat kronik. Pada orang normal paparan NO2 1,5 ppm selama 2 jam tidak menunjukkan penurunan faal paru yang bermakna. Tetapi paparan melebihi 1,52 ppm menyebabkan peningkatan tahanan ekspirasi dan inspirasi(11-14). Paparan NO2 sebesar 0,1 ppm selama waktu 1 jam meningkatkan hipereaktivitas bronkus yang diukur dengan inhalasi metakolin sderta meningkatkan obstruksi saluran napas(6,12,14,15). Kejadian infeksi saluran napas meningkat pada orang yang terpapar dengan nitrogen dioksida. Hal itu disebabkan oleh karena terjadi kerusakan silia, gangguan sekresi mukus dan fungsi makrofag alveolar serta gangguan imunitas humoral(11,13,5). Pada penderita PPOK paparan NO2 sebesar 0,3 ppm menimbulkan obstruksi saluran napas, sedangkan pada orang normal tidak menimbulkan gangguan yang berarti(16). Ozon (O3) Ozon terbentuk terutama akibat reaksi fotokimia antara nitrogen oksida dan bahan organik. Pada gas buang kendaraan bermotor terdapat zat organik dan nitrogen oksida. Nilai ambang batas ozon adalah 0.08 ppm/jam. Ozon mempunyai efek toksik berupa gangguan biokimia dan perubahan morfologi saluran napas(17). Paparan terhadap ozon akan meningkatkan hipereaktivitas bronkus baik pada penderita asma maupun orang sehat. Pemaparan ozon dengan kadar 0.13 ppm selama 12 jam pada orang sehat menyebabkan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP I), diikuti dengan gejala batuk, sesak napas dan bising mengi. Paparan terhadap ozon dapat menimbulkan kerusakan jaringan paru berupa hiperplasi sel epitel alveolar serta gangguan pada bronkus terminalis(11,17,18). Setelah paparan terhadap ozon dengan kadar 0,4 ppm selama 2 jam, cairan lavase bronkus menunjukkan peningkatan jumlah lekosit polimorfonuklear serta makrofag alveolar(17). Partikulat Partikulat adalah zat dengan diameter kurang dari 10 u, dapat berupa uap, cairan, asap maupun padat. Efek partikulat terhadap saluran napas tergantung dari besar partikelnya. Partikel dengan diameter lebih besar dari 10 u sebagian besar mengendap di saluran napas bagian atas, diameter antara 310 u mengendap di percabangan bronkus dan bronkiolus, diameter

0,13 u akan sampai ke alveolus. Purtikel dengan diameter kurang dari 0,1 u akan keluar masuk ke dalam paru tanpa diendapkan, disebut sebagai partikel atau debu respirable(19). Pada umumnya efek partikulat hampir sama dengan efek yang disebabkan oleh sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, karena zat ini dalam saluran napas bereaksi dengan uap air membentuk partikel H2SO4 dan HNO3. Partikulat bersama polutan lain seperti ozon dan sulfurdioksida akan menimbulkan penurunan faal paru, sedangkan partikulat saja tidak menimbulkan gangguan faal paru pada orang normal. Gangguan faal paru yang terjadi adalah penurunan VEP I dan rasio VEP 2/KVP, yaitu gangguan obstruksi saluran napas(20,21). Karbon Monoksida (CO) Karbon monoksida adalah hasil pembakaran tidak sempurna bahan-bahan mengandung karbon. Gas ini terbentuk pada setiap pembakaran dan penyebab kematian penting pada kebakaran gedung-gedung dan ledakan di tambang-tambang. Karbon monoksida berikatan kuat dengan Hb sehingga mengurangi kemampuan hemoglobin untuk mengikat oksigen. Ikatan CO dengan Hb 200 kali lebih kuat daripada ikatan Hb dengan O2. Peningkatan karboksi hemoglobin dalam darah menyebabkan terjadi pergeseran kurve disosiasi oksigen ke kiri. Hipoksia jaringan dapat menyebabkan kerusakan setiap organ yang telah mengalami gangguan vaskuler. Kematian atau cacat permanen terjadi oleh karena infark miokard atau infark otak(22). MEKANISME OBSTRUKSI SALURAN NAPAS AKIBAT GAS BUANG Sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan partikulat yang masuk ke dalam saluran napas akan bereaksi dengan air yang terdapat di saluran napas atas dan bawah membentuk H2SO4 dan HNO3. SO2 lebih mudah larut sehingga efeknya terjadi pada saluran napas bagian alas, zat NO2 lebih sukar larut dalam air, sehingga efek yang ditimbulkannya terutama terjadi di saluran napas bagian bawah. Asam sulfat dan asam nitrat yang terjadi merupakan iritan yang sangat kuat. Zat ini menyebabkan gangguan imunitas humoral, fungsi sekresi makus, peningkatan sel polimorfonuklear dan kerusakan silia(11,13,5). Iritasi akibat gas buang dapat bersifat akut dan kronik. Kelainan yang terjadi akibat efek iritasi zat dalam gas buang ditentukan oleh faktor-faktor berikut : a) struktur kimia b) konsentrasi dalam udara c) lamanya kontak d) daya larut dalam air Zat yang mudah larut dalam air umumnya mempunyai efek iritasi pada saluran napas bagian atas sedangkan yang mempunyai daya larut rendah atau tidak larut akan mengiritasi saluran napas bagian bawah. Efek iritasi yang akut terjadi karena rangsangan pada reseptor dan menimbulkan rasa sakit sehingga terjadi refleks penghambatan pernapasan yaitu penyempitan bronkus dan refleks batuk. Pada paru dapat terjadi edema paru karena perubahan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru, menyebabkan eksresi cairan transudat yang kemudian memudahkan timbulnya infeksi (dikutip

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 17

dari 23). Iritasi kronik akan menimbulkan berbagai perubahan dalam saluran napas yaitu(24) : 1) Di bronkus besar terjadi kelumpuhan silia hiperplasi kelenjar mukosa, hipersekeksesi dan penurunan daya tahan terhadap infeksi. 2) Di bronkus terminalis terjadi kehilangan daya pertahanan paru, mempengaruhi kerja surfaktan, metaplasia sel goblet, peradangan dan obliterasi sel sehingga akhirnya terjadi obstruksi saluran napas. 3) Di alveolus terjadi peningkaan jumlah sel dan makrofag yang menyebabkan penglepasan enzim pruteolitik yang menimbulkan kerusakan alveoli. Sel polimorfonuklear dan makrofag akan mengeluarkan oksidan yang kuat dan dapat menyebabkan kerusakan sel mukosa saluran napas dan alveolus. Kerusakan mukosa menyebabkan terjadinya edema dan hipereksresi mukus. Saluran napas yaitu bronkus dan bronkiolus akan menyempit sehingga terjadi hambatan udara ekspirasi dan inspirasi. Penyempitan saluran napas menyebabkan VEP I menurun sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan arterial oksigen, peningkatan tekanan karbon dioksida arteri dan penurunan pH(18). Batuk yang terjadi pada penghirupan gas buang kendaraan bermotor terjadi karena paparan zat pada saluran napas mengiritasi salah satu ujung saraf sensoris nervus vagus di laring. Irakea, bronkus besar atau serat aferen cabang faring nervus glossopharingeal. Keadaan ini menimbulkan refleks batuk(25). PENUTUP Gas buang kendaraan bermotor mengandung bermacammacam gas dan partikulat. Zat terpenting yang dapat mempengaruhi faal paru adalah sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan ozon. Penurunan faal paru terjadi oleh karena sifat iritasi dan merupakan oksidan yang kuat. Tergantung dari sifat kelarutan zat dalam air, makin mudah zat itu larut maka kerusakan terjadi pada saluran napas bagian atas. Zat yang sukar atau tidak larut akan merusak saluran napas bagian bawah. Efek kerusakan terhadap saluran napas paru dapat bersifat akut dan kronik. Besar dan luasnya kerusakan tergantung pada jenis zat, konsentrasi zat, lama paparan dan ada atau tidaknya kelainan saluran napas atau paru sebelumnya.

3 4.

5. 6.

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

20. 21. 22. 23. 24. 25.

KEPUSTAKAAN 1 2. Faisal Yunus. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Menahun, Maj Farmakologi dan Terapi Indon. 1959.60(3):5762. Hadiarto Mangunnegoro, Faisal Yunus. Diagnosis Penyakit Paru Kerja.

Dalam. Pulmonologi Klinik ed.Faisa1 Yunus dkk. Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta 1992: 20520. Budiraharjo H. Pencemaran Udara di DKI Jakarta.Paru 1991: 11(3): 812. Keith W. Morgan C. Seaton D. Pulmonary physiology and its application to the determination of respiratory impermanent and disability in industrial lung disease. In: Occupational Lung Diseases. eds Morgan C. Seaton A Philadelphia WB Saunders Co. 1984: 1876 Viegi C. Predillettu R. Paoletti P et a1. Respiratory effect of occupational exposure pulmonary function and airway reactivity in normal human. Am Rev Respir Dis 1991; 149: 5227. Kulle TJ. Effect of nitrogen dioxide on pulmonary function in normal healthy human and subjects with asthma and chronic bronchitis. In: Air Pollution by Nitrogen Oxide. Amsterdam. Elsevier Scientific Publ Co. 1982: 47790 Faisal Yunus. Peranan Pemeriksaan Faal Paru pada Penyakit Paru Obstruktif. Dalam: Pulmonulogi Klinik. ed. Faisal Yunus dkk. Bagian Pulmonologi FKUI Jakarta. 1992: 16775. Carilli PA. Denson IJ. The Flow volume loop in normal subject and diffuse lung disease. Chest 1974:66: 4727. Tjandra Yoga Aditama. Polusi Udara dan Kesehatan Paru. Paru 1991. 11(3): 37. Bouer ME. Utell MJ. Hyde RW. Effects of air pollution on Corp. ln. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed Cherniack Ns. WB Saunders Co 1991: 25970. Balmes JR. Emerging issues in ambient airquality and respiratory health. Problem in Respiratory Care 1990; 3: 16387. Kao LC. Ho JHC. Ho CY et al. Personal exposure to nitrogen oxide and its a association with respiratory illness in Hong Kong, Am Rev Raspir Dis 1990.141(5). 1926. Van Easch GJ, Munzed DB. Health effect associated with nitrogen oxides. In. Air pollution by nitrogen oxide. Elsevier Scient Publ Co. Amsterdam. 182:7993. Franton MW. Morrow PE, Cox C et al. Effect of nitrogen dioxide exposing on pulmotory function and airway rativity in normal human. Am Rev Respir Dis 1991; 143(3):5227. Lenci G. Wacker G. Schube U, Muller KM. Bronchiolitis obliterans following nitrogen dioxide (NO2) inhalation. Clinical RoentgenologicHistologic Study. Pneumoingie 1991; 44:326 Morrow PE, Utell MJ. Bauer MA et al. Pulmonary performance of elderly normal subject and with chronic obstructive pulmonary disease exposed to 0.3 ppm nitrogen diuoxide Am Rev Respir Dis 1992; 145(2): 291300. Keefe MJ, Bennett WD, Dewitt P et al. The effect of ozone exposure on dispersion of aerosol polutes in healthy human. subject. Am Rev Respir Dis 1991; 144(1); 2130 Zwick H, Popp W, Wagner C et al. Effect ofozoneon the respiratory health. Allergic sensitisation, and cellular immune system in children. Am Rev Respir Dis 1991;144(5):10759. Keith W, Morgan C. The Deposition and clearance of dust from the lungs: theirrolein the etiologyofoccupational lungdisease, In:Occupational lung diseases, eds. Morgan C, Seaton A. Philadelphia: W B Saunders Co. 1984: 7796. Ulfvarson U, Alexanderson R. Reduction in adverse effect on pulmonary function afterexposure to filtered diesel exhaust. Am J Int Med 1991: 17(3): 3417. Tepper B. Constock GW, Levine M. Longitudinal study of pulmonary function in fire fighters. Am J Int Med 1991; 20(3); 30716. Season A, Morgan WK. Toxic gases and fumes. In Occupational Lung Diseases. Eds. Morgan WK, Seaton A. Philadelphia, W.N Saundersd Co, 1984: 60942. Gatot Chandrasasmita. Inhalasi gas beracun dan penyakit paru kerja. Dalam: Pulmonologi Klinik, ed. Faisal Yunus dkk. Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta 1992: 2014. Bates DV. Air pollution and the human lung. Am Rev Respir Dis 1972; 105:113. Faisal Yunus. Penatalaksanaan Batuk. Medika 1991; 17(9): 73641.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

LAPORAN KASUS

Penyakit Membran HialinH. Nuchsan Umar Lubis DSA Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Langsa. Aceh Timur

ABSTRAK Penyakit membran hialin merupakan salah satu penyebab gangguan pernapasan pada bayi baru lahir yang sering terjadi pada kehamilan kurang bulan. Perbaikan surfaktan paru yang belum sempurna dapat memperbaiki keadaan sindrom gangguan pernapasan idiopatik (SGPI). Risiko penyakit membran hialin akan meninggi pada ibu menderita DM. kehamilan < 37 minggu. lahir dengan bedah Caesar, perdarahan antepartum, asfiksi, serta riwayat sehelumnya dengan penyakit membran hialin. Peinberian deksametason intravena pada ibu dengan bayi kurang bulan bermanfaat mencegah PMH. PENDAHULUAN Penyakit membran hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab gangguan pernapasan pada bayi baru lahir. PMH atau sindrom gangguan pernapasan idiopatik (SUPT) merupakan salah satu penyebab utama kematian bayi selama periode baru lahir(1). Penyakit ini terjadi pada bayi kurang bulan karena pematangan parunya yang belum sempurna; pada PMH tingkat pematangan paru lebih berperan terhadap timbulnya penyakit bila dibandingkan dengan masalah kurang bulan(2); sehingga dengan pengelolaan yang baik bayi dengan PMH dapat diselamatkan sehingga angka kematian dapat ditekan(3-4). Keberhasilan ini dapat dicapai dengan memperbaiki keadaan surfaktan paru yang belum sempurna dengan ventilasi mekanik, pemberian surfaktan dari luar tubuh, asuhan antenatal yang baik serta pemberian steroid pada ibu kehamilan kurang bulan dengan janin yang mengalami stres pernapasan(3-7). Penyakit membran hialin biasanya muncul dalam beberapa menu setelah bayi lahir yang ditandai dengan pernapasan cepat; frekuensl lebih dari 60x/menit, pernapasan cuping hidung, retraksi interkostal, supra sternal, dan epigastrium(2,8,9). Faktor yang mempermudah terjadinya PMH adalah persalinan kurang bulan, asfiksia intrauterin, tindakan seksio caesaria, diabetes melitus,. dan ibu dengan riwayat persalinan kurang bulan sebelumnya, kelahiran yang dipercepat setelah perdarahan

antepartum, serta riwayat sebelumnya dengan penyakit membran hialin(10). Berdasarkan Foto toraks, stadium penyakit membran hialin adalah sebagai berikut(8,11) : a) Stadium dini (I); Bercak milier paru dengan diameter 0,6 mm dikenal sebagai pola retikulo granular. b) Stadium II; Pola retikulo granular disertai bayangan bronkogram udara sampai lapangan perifer paru kanan dan kiri,

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 19

batas diafragma kabur. c) Stadium III; Kedua lapangan paru tampak radio opak dengan bronkogram udara sampai lapangan perifer paru. Batas jantung dan diafragma tidak tampak lagi. d) Stadium IV (akhir); Bercak menjadi satu dan merata disebut paru putih. KASUS Bayi Ny R. laki-laki bangsa Indonesia lahir di RSU Langsa/ Aceh Timur pada tanggal 11 Juni 1996, umur 56 jam, terlihat tanda-tanda sindrom gangguan pernapasan. Bayi dirawat di Bagian Perinatologi Rumah Sakit Umum Langsa. Riwayat Persalinan Lahir dengan pembedahan, alas indikasi plasenta previa, gawat janin dan letak lintang. Nilai APGAR I menit dan 5 menit 1-3. Berat badan lahir 2450 gram, panjang badan saat lahir 43 cm. Riwayat keluarga dan kehamilan Penderita merupakan anak ke 3,Ibu berumur 34 tahun, pendidikan sarjana. Ayah berumur 37 tahun, pendidikan sarjana, pekerjaannya pegawai negeri. Hari pertama haid terakhir tanggal 10-1-1995. Pemeriksaan antenatal 6 kali, hanya minum vitamin selama haid, penyakit selama hamil tidak ada. Pemeriksaan fisik Seorang bayi laki-laki, berat badan 2450 gram, panjang badan 43 cm, merintih, sesak nafas, sianosis dan apnu. Setelah dilakukan resusitasi kardiopulmonal pernapasan menjadi 65 x/ menit. Refleks lemah. Kepala tidak ada kelainan, dada simetris dan terdapat retraksi di daerah suprasternal, interkostal dan epigastrium. Jantung dalam batas normal. Pada auskultasi paru suara pernapasan kurang terdengar. Perut lemas. Hati dan limpa tidak teraba. Anggota gerak bawah biru. Foto toraks disimpulkan terdapat penyakit membran hialin stadium III. Diagnosis kerja Neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan, asfiksia berat, penyakit membran hialin stadium III. Penatalaksanaan Penderita dirawat dalam inkubator, diberi IVFD KAEN I B dengan tetesan 6-12 tetes mikro/menit, oksigen intranasal 1-2 liter/m.Vitamin K1 mg,ampisilin 100 mg/6jam/iv.deksametason 1.5 mg/6 jam/iv. Pada hari kedua perawatan didapatkan sesak napas bertambah. Untuk mencegah kelelahan, oksigen intranasal dinaikkan menjadi intermiten 5 1/menit, pembersihan jalan napas serta dilakukan pernapasan ambu bag. Pemeriksaan analisis gas darah tidak dilakukan karena alatnya tidak ada. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan Hb 19,1 g/dl, gula darah 79 mg% trombosit 32.400/ mm3. Bayi melemah, kedua kaki kebiru-biruan dan agak mengeras. Kesan pada waktu itu terjadi sepsis. Fungsi lumbal tidak dilakukan karena keadaan umum tidak baik. Pada hari ketiga perawatan keadaan umum penderita bertambah buruk, kesadaran menurun sampai sopor. Pada waktu

itu diputuskan untuk meneruskan terapi. Pada pukul 14.00WIB penderita mengalami bradikardi dan dilakukan resusitasi kardiopulmonal. Usaha ini tidak berhasil dan pada pukul 14.15 WIB bayi tersebut meninggal ANALISIS KASUS Pada kelompok kehamilan risiko tinggi, seperti pada kasus ini kesejahteraan janin mungkin terancam apabila dibiarkan berlangsung aterm. Di lain pihak, tindakan terminasi pada kehamilan kurang bulan sering dihadapkan kepada risiko PMH, oleh karena itu penentuan saat yang optimal dalam melakukan tindakan terminasi kehamilan akan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas neonatal akibat PMH. Pemeriksaan maturitas janin prenatal, khususnya maturitas paru sangat penting artinya dalam upaya mengurangi kejadian PMH seperti uji busa, (uji kocok, uji Clements)(10). Diagnosis penyakit membran hialin ditegakkan berdasarkan riwayat kehamilan kurang bulan, nilai APGAR I menit 1 dan 5 menit 1-3, pemeriksaan fisik serta into toraks. Hal yang memperberat penyakit ini ialah adanya asfiksi intrauterin yaitu perdarahan antepartum dan letak lintang(10). Sianosis pada neonatus dapat disebabkan oleh banyak hal. Bila dengan pemberian oksigen 100% sianosis hilang berarti penyebabnya adalah kelainan paru, sedangkan jika menetap mungkin sekali kelainan jantung menjadi penyebab(12).KEPUSTAKAAN 1. Levin DL. Hyaline Membrane Disease. Dalam. A Practical Guide to Pediatric Intensive Care, 2nd ed. St. Louis, Toronto: Princeton. 1984 22232. 2. Stahlman MT Hyaline membrane disease. Dalam: Avery. Neonatology, 2nd ed. Philadelphia, Toronto: Lippincott 1981: 37688. 3. StarkAR, Hyaline membrane disease. Dalam: Cloherty 1P, Stale AR. reds) Manual of Neonatal Cart. Boston: Little Brawn. 1985: 16773. 4. French NP Identification and management of RDS in the neonate. Disampaikan pada Kongres Nasional Perinasia II. Surabaya 2729 Mare, 1986. 5. Fujiwaa T, Child S,WatanabeY.Maeta H. Morita T, Abe T. Artificial surfactant therapy in hyaline membrane disease. Lancet 1980; 12: 549. 6. Hallman M. Nerrh T. larvenpoa AL, Boynton B, Mannahao F, Gluck L. Moore T. Edwads D. Exogenous human syndrome : A. Randomized prospective clinical trial. I Pediatr 1985; 106 96369. 7. Menit TA, Hallman M.Holcomb, Strayer D, Bloom B, Revak S. Cochrane CG. Human Surfactant treatment of severe respiratory distress syndrome : pulmonary effluent indicators of lung infartionon. J Pediatr 1986; 108: 74148. 8. Behrmon R):, Kliegman RM. Hyaline Membrane Disease, Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics 13th ed. Philadelphia: WB Saunders 1987 : 39498. 9. Karim YA. Penanggulangan idiopatik respiratory distress syndrome, Dalam: Hassan R, Tjokroncgom A. (ed.) Pengobaan intensif - anak. Jakarta: FKUI, 1982: 8288. 10. Karsono B. Pencegahan Penyakit Membrane Hialin. SindromGawat Nafas pada Neonate. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Takata 89 Juli 1991: 1924. 11. Tamaela LA. Aspek Radiologis Sindrom Gawat Nafas Bayi Baru Lahir. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Jakarta 89 Juli 1991 : 2530. 12. Sukman IF. Sastroasmoro S. Penyakit dan pemeriksaan Fisis Kardio Vaskuler pada Neonatus. Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit jantung Bawaan Pada Neonates. Pendidikan Kedokleran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XXXIII FKUI, Jakarta 1991 : 489.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Tinjauan Ulang Masalah Pneumonia yang Didapat di Rumah SakitZul Dahlan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung

PENDAHULUAN Infeksi nosokomial merupakan keadaan yang dapat dialami pasien yang dirawat di rumah sakit; keadaan ini merupakan masalah RS di seluruh dunia. Di USA sebanyak 5,7% pasien yang dirawat secara akut mengalami infeksi nosokomial.Jumlah ini lebih besar daripada jumlah pasien yang dirawat untuk kanker atau kecelakaan, dan 4 kali lebih banyak dari pasien infark miokard akut(1). Kekerapan infeksi nosokomial saluran nafas bawah menempati urutan ke 2 setelah infeksi saluran kemih, yaitu sebanyak 1318% atau 610 episode per 1.000 perawatan di RS(2). Penderita pneumonia nosokomial (PNO) sebagian besar adalah penderita sakit berat di RS yang kemudian mengalami infeksi. Penderita ini disertai dengan gangguan daya tahan tubuh, telah mendapat antibiotika sebelumnya hingga biasanya infeksi yang terjadi disebabkan jenis kuman resisten. Terapi utama adalah pemberian segera antimikroba terhadap kuman penyebabnya. Angka kematian PNO berkaitan dengan kondisi pasien, jenis kuman dan terapi yang diberikan. INSIDEN PNO di ICU lebih sering daripada di ruangan umum yaitu 42%: 13%, sebagian besar (47%) terjadi pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik. Kelompok pasien ini merupakan bagian terbesar dari pasien yang meningal di ICU akibat PNO(3). Laporan lain menyebutkan terjadinya PN pada 2224% pasien ICU yang menggunakan ventilator mekanik dalam waktu 7,9 hari setelah pemakaian ventilator, dan kemudian menimbulkan kematian pada 3342% pasien di antaranya(3). DEFINISI Infeksi Saluran Pernafasan Nosokomial atau PNO adalah infeksi pada pasien rawat inap yang pada saat masuk RS belum

terinfeksi atau belum menjalani masa inkubasi penyakit. PNO biasanya terjadi setelah dirawat lebih dari 72 jam. Penyakit ini terutama terjadi pada pasien sakit berat yang tidak mampu menceritakan penyakitnya secara benar dan pada penderita yang penyakit primernya mungkin menutupi atau menyerupai gambaran pneumonia bakteril(4). PNO ini dapat terjadi di ruang perawatan umum atau di ICU. Kriteria PNO diuraikan pada bagian diagnosis adalah seperti terlihat pada Tabel 5. PATOGENESIS Pada pasien rawat inap penyebab infeksi dapat sampai ke saluran pernafasan bawah melalui 3 cara(1) : 1) Aspirasi cairan gaster atau orofaring yang mengandung koloni kuman patogen. 2) Penyebaran kuman secara hematogen ke paru misal pada pneumonia candidiasis. 3) Penyebaran melalui udara oleh aerosol atau droplet yang mengandung mikroba. Ad 1 .Merupakan cara yang paling sering terjadi akibat penurunan refleks batuk dan muntah yang berhubungan dengan berbagai keadaan, terutama akibat narkosa umum, sedatif. intoksikasi dan penggunaan alat bantu nafas atau tube sonde. Ventilator mekanik merupakana tempat tumbuh dan jalan masuk terpenting kuman. Proses PNO tergantung pada jumlah dan virulensi kuman yang mencapai saluran nafas bawah dan kemampuan daya tahan tubuh untuk mengatasinya. Faktor risiko dapat dilihat pada Tabel 1. Urutan kejadian terjadinya PNO adalah seperti terlihat pada Tabel 2. Kolonisasi orofaring biasanya terjadi oleh kuman Gram (), dan dipacu oleh penggunaan antibiotika (AB) spektrum lebar sebelumnya, peningkatan pH lambung, penularan kuman dari pasien lain akibat tindakan petugas kesehatan(1).

Tabel 1.

Faktor risiko pneumonia nosokomial PN Umum (CDC)(1) PN di ICU(3) Ventilasi mekanik Perawatan ICu yang lama Intubasi yang lama Malnutrisi pada pasien sakit berat Peyakit paru kronik Antasid dan H2 Blocker Usia lanjut Obesitas Gangguan refleks respirasi Perokok Pelembab udara Enteral feeding

Tabel 3.

Mikroba penyebab pneomonia nosokomial Brennan(1) Jenis (1994) 17 % 16 % 11 % 7% 6% 4% 3% 2% 2% 1% 35 % 5% 5%

Toews GB(4) (1987) 13,1% 13,0% 9,5% 13,4% 8,0% 5,1%. 5,8% 1,7% 0,8% 24,3% 0,3% 4,0%

Usia >70 tahun Penyakit paru kronik Penurunan kesadaran Posisi pasien Aspirasi dalam jumlah banyak Trauma torak Monitoring tekanan intrakranial Penggunaan penghambat histamin tipe II Gangguan aliran ventilator yang sering Musim dingin Peralatan: Nebuliser langsung Nasogastric feeding Endotracheal tube Tabel 2.

Bakteri : Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus Enterobacter spp. Klebsiella pneumonia Escherichia coli Serratia marcescens Proteus mirabilis Enterococcus Staphylococcus Coag.() Streptococcus grup B Lain-lain : - Anaerob - Virus - Candida spp. Tabel 4.

Urutan kejadian pneumonia nosokomial(1) Urutan kuman penyebab tersering pada pneumonia bakteril(6)Str pn Str spp Sta aur Esch coli Kl pn Pse aur Ent aer Ent coc Unae rob

Kolonisasi orofaring oleh kuman batang Gram () Peningkatan pH lambung Kolonisasi gaster oleh kuman Gr () Penurunan defensif tubuh seluler dan mekanik Refluks dan aspirasi cairan gaster/orofaring

Diagnosa 1. PDDM Tipikal Campuran 2. PDRS Ruangan ICU

4 2 1

2 2

3 3 3 4

1 3 4 3

1 4 4 3

1 2 2

1 2

1 2

1 1 2

ETIOLOGI Bakteri adalah penyebab yang tersering dari PNO. Jenis kuman penyebab ditentukan oleh berbagai faktor antara lain berdasarkan imunitas pasien, tempat dan cara pasien terinfeksi. Kuman penyebab PNO sering berbeda jenisnya antara di ruangan biasa dengan ruangan perawatan intensif (ICU): infeksi melalui slang infus sering berupa Staphylococcus aureus sedangkan melalui ventilator Ps. aeruginosa dan Enterobacter. PNO bakteril dapat dibagi atas PNI onset awal dalam waktu kurang dari 3 hari yang sering pula didapat di luar RS, biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia (510%). M. catarrhalis (< 5%) dan H. influenza. PNO onset lanjut bila lebih dari 3 hari, Sering disebabkan oleh kuman Gr() aerob (60%) berupa K. Pneumonia. Entcrobacter spp, Serratia spp. P. aeruginosa: atau S. aureus ( 2025%). Kelompok kedua ini biasanya merupakan kuman yang resisten terhadap antibiotika. Kuman anaerob dapat ditemukan pada kedua kelompok (35%)(2). Akhir-akhir ini sejumlah kuman baru/oportunis telah menimbulkan infeksi pada pasien dengan kekebalan tubuh yang rendah, misal- nya Legionella. Chlamydia ,Trachomatis. TB. M atypical, berbagai jenis jamur (C albicans, Aspergillus fumigatus) dan vi-rus(4). Penyebab PNO pada RS besar adalah seperti terlihat pada Tabel 3. Penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin menunjukkan bahwa semakin banyak dijumpai pasien ISNBA/pneumonia rawat inap yang mengidap penyakit kronik atau gangguan kesehatan lainnya hingga disertai perubahan pola kuman. Dengan demikian pneumonia bentuk tipikal yang biasa disebabkan oleh Str pneumonia lebih jarang dijumpai, sebaliknya lebih sering dijumpai bentuk yang tidak tipikal/campuran(5). Pada umumnya kuman penyebab pneumonia yang didapat di masyarakat (PDDM) ataupun yang didapat di RS (PDRS/PNO) adalah imperil dilaporkan pada Tabel 4.

NB : Besarnya angka menunjukkan tingginya frekuensi kejadian

DIAGNOSIS Diagnosis umumnya ditegakkan secara klinis dengan konfirmasi oleh hasil kultur cairan pleura. punksi paru atau kultur darah. Namun hasil baru tersedia dalam setelah 2 hari. Diagnosis dengan demikian dapat dibuat menurut kriteria diagnosis PNO dan CDC(5). Gambaran Klinik Dapat berupa gambaran pneumonia bakteril akut yang ditandai oleh demam tinggi, batuk produktif, dahak purulen yang produktif, dan sesak nafas. Tetapi pada pasien rawat inap tidak selalu hal ini dapat dikaitkan secara langsung karena berbagai keadaan penyakit yang gejalanya mirip pneumonia. Berbagai keadaan yang mengaburkan diagnosis PNO adalah proses yang berhubungan dengan toksik dan alergi obat atau inspirasi O2. atelektasis,emboli dan intark paru, ARDS gagal jantung kongestif, dan trakheobronkitis. Pneumonia aspirasi bahan kimia bisa mirip dengan pneumonia bakteril. Kriteria Diagnosis Terdapat berbagai kriteria diagnosis PNO antara lain yang diajukan oleh Center forDisease Control and Prevention/CDC) (Tabel 5). Acuan ini mengandalkan diagnosis kepada hasil kultur, gambaran radiologi dan gambaran klinik yang melihat kepada perubahan sputum dan auskultasi. Diagnosis Empirik Pelaksanaan terapi empirik didasarkan kepada diagnosis yang terarah yang sesuai dengan patogenesis ISNBA dan algoritma penatalaksanaan PNO. Diagnosis ini mencakup ben-

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

Tabel 5.

Kriteria diagnosis pneumonia nosokomial dari CDC(1)

Harus memenuhi satu dari 4 kriteria : 1. Ronkhi atau Dullness pada perkusi torak. Ditambah salah satu : a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya b. Isolasi kuman dari darah c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat aspirasi transtrakheal, biopsi atau sapuan bronkhus 2. Gambaran radialogik berupa infiltrat baru atau yang progresif, konsolidasi, kavitasi, atau efusi pleura. Dan salah satu dari a, b, atau c di atas. d. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi e. Titer antibodi tunggal yang diagnostik (IgM), atau peningkatan 4 kali titer IgG dari kuman f. Bukti histopatologik dari pneumonia 3. Pasien 12 tahun dengan 2 dari gejala-gejala berikut: apnea, tachypnea, bradycardia, wheezing, rhonki atau batuk. Dan disertai salah satu dari : g. Peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria no 2 di atas 4. Pasien12 tahun yang menunjukkan infiltrat baru atau progresif, kavitasi. konsolidasi atau efusi pleura pada foto torak. Ditambah salah satu dari kriteria No.3 di atas. Sumber : Garner et. al. Am J Infect Control 1988: (16(3) : 128140.

tuk manifestasi ISNBA, tingkat berat sakit (ringan, sedang atau berat), dan kemungkinan kuman penyebab. Berdasarkan hal ini kemudian dilaksanakan terapi(5). TERAPI Terapi terdiri dari pemberian antibiotika. terapi suportif, dan pengelolaan penyakit dasar yang ada. Dalam penggunaan AB secara rasional diterapkan pola berfikir "PANCA TEPAT" yaitu Diagnosis Tepat, pilihan AB yang Tepat, dan Dosis yang Tepat, dalam Jangka waktu yang Tepat, dan Pengertian patogenesis penderita secara Tepat(7). Namun karena kuman penyebab umumnya belum diketahui, maka terapi biasanya diberikan secara empirik tanpa menunggu kepastian kuman penyebabnya. Untuk melaksanakan pengobatan empirik ini perlu dipahami epidemiologi dan patogenesis dengan baik agar dapat menegakkan diagnosis empirik yang disertai dengan kuman penyebab PN hingga akan mengarahkan kepada terapi yang akurat. Diagnosis empirik berdasarkan kepada anamnesis, beratnya penyakit dasar, saat terinfeksi di RS, data epidemiologi dan tes kepekaan dan hasil apus Gram. Terapi empirik yang diberikan harus cukup luas spektrumnya untuk mencakup kuman yang dicurigai, baik berupa AB tunggal ataupun kombinasi 2 jenis AB antipseudomonas, dan harus waspada terhadap problem superinfeksi dan timbulnya resistensi kuman(2). Akhir-akhir ini telah diupayakan terapi preventif dengan imunoterapi terhadap PNO. Terapi supportif dan tindakan lain yang mungkin perlu dilakukan pada PN tidak akan diuraikan lebih lanjut. 1) Pemberian Antibiotika Pemilihan AB pada terapi empirik selalu harus dibuat sesuai dengan pola kepekaan kuman di RS setempat. Mengingat semakin banyaknya kejadian resistensi kuman dan masalah biaya pengobatan yang semakin tinggi, maka obat yang dipakai pada PN perlu segera disesuaikan dan pengeluaran biaya obat sedapatnya dikurangi setelah ada hasil kultur dan kepekaan kuman(1). Bila perlu ditetapkan pengalihan atau penyesuaian terapi. Bila

kuman sensitif terhadap berbagai AB, maka dipilih AB dengan aktifitas spektrum yang lebih sempit dan kurang mahal. Pemakaian antibiotika dapat berupa : a) AB pemakaian tunggal. Dipakai yang paling ampuh terhadap kuman dan cocok untuk pasien. b) AB kombinasi. Misalnya B laktam antipseudomonas dengan aminoglikosida perlu diberikan bila PN diduga disebabkan oleh kuman yang resisten terutama Ps. aeruginosa dan Enterobacter(1). Co-trimoxazole mempunyai aktifitas yang baik terhadap kebanyakan Enterobacter spp., dengan risiko kecil untuk terjadinya resistensi selama terapi. Pada saat ini aztreonam dan fluoroquinolone dicadangkan untuk pasien yang alergi atau sudah tidak mempan dengan B laktam. Pada umumnya spektrum semua AB tidak mencakup semua kuman penting yang biaya menjadi penyebab PNO, kecuali cefpirom dan carbapenem. Cefpirom merupakan sefalosporin generasi ke-4 yang spektrumnya mencakup sebagian besar kuman penyebab infeksi nosokomial di ruangan umum/ICU termasuk Staphylococcus aureus dan Staphylococcus coagulase (). Seperti halnya sefalosporin lain