budaya organisasi

57
DISUSUN OLEH MANIK CINDERANO TIPOLOGI BUDAYA INTI SARI Budaya yang terkait dengan penelitian bisnis akan memerlukan kerangka kerja yang jelas untuk aplikasi dan analisis dari fenomena kompleks ini. Penelitian bisnis telah sangat mengandalkan dan mengaplikasikan dimensi Hofstede terhadap permasalahan kultural. Paper ini akan mengkaji dan membahas alternatif lain (Trompenaars Triandis dan Fiske ) untuk klasifikasi Hofstede. Selain itu, paper ini akan mengidentifikasi kriteria yang jelas untuk mengukur klasifikasi ini dan mengevaluasi setiap klasifikasi sesuai dengan kriteria ini. Kriteria yang telah diidentifikasi yaitu: simplisitas atau kesederhanaan, kemampuan untuk mentransendenkan level analisis, kemampuan untuk “meminjamkan dirinya” kepada metode penelitian yang berbeda-beda, menambah kekayaan dalam identifikasi tema, dan memungkinkan pemahaman yang lebih beragam atas perubahan kultural. Selain menawarkan alternatif yang layak untuk klasifikasi Hofstede, paper ini menyarankan kepada para peneliti budaya untuk mengadopsi suatu kerangka kerja yang didasarkan kepada tujuan penelitian mereka,

Upload: manik-cinderano

Post on 13-Jun-2015

4.541 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

DISUSUN OLEH MANIK CINDERANO

TIPOLOGI BUDAYA

INTI SARI

Budaya yang terkait dengan penelitian bisnis akan memerlukan kerangka kerja yang

jelas untuk aplikasi dan analisis dari fenomena kompleks ini. Penelitian bisnis telah

sangat mengandalkan dan mengaplikasikan dimensi Hofstede terhadap permasalahan

kultural. Paper ini akan mengkaji dan membahas alternatif lain (Trompenaars

Triandis dan Fiske ) untuk klasifikasi Hofstede. Selain itu, paper ini akan

mengidentifikasi kriteria yang jelas untuk mengukur klasifikasi ini dan

mengevaluasi setiap klasifikasi sesuai dengan kriteria ini. Kriteria yang telah

diidentifikasi yaitu: simplisitas atau kesederhanaan, kemampuan untuk

mentransendenkan level analisis, kemampuan untuk “meminjamkan dirinya”

kepada metode penelitian yang berbeda-beda, menambah kekayaan dalam

identifikasi tema, dan memungkinkan pemahaman yang lebih beragam atas

perubahan kultural.

Selain menawarkan alternatif yang layak untuk klasifikasi Hofstede, paper ini

menyarankan kepada para peneliti budaya untuk mengadopsi suatu kerangka kerja

yang didasarkan kepada tujuan penelitian mereka, kriteria ke depan untuk membentuk

dan mengarahkan penelitian budaya, dan menyediakan kepada para peneliti suatu

kerangka kerja untuk mengembangkan tipologi yang lebih jelas.

Pengantar

Konsiderasi utama untuk studi ini adalah hampir sepenuhnya didasarkan kepada

literatur bisnis tentang klasifikasi Hofstede atas budaya nasional dan klasifikasi dari

peneliti lain dalam area ini. Dimensi nilai Hofstede telah semakin banyak

mendapatkan kritikan karena kemampuannya yang terbatas dalam memperluas nilai

dominan sekarang dalam suatu negara untuk merepresentasikan nilai budaya dari

sebuah negara (Hunt 1983), ketepatan yang tidak memadai dari definisi lintas

kategori (Chow dkk 1999), dan lingkup yang terbatas dalam metodologi dan

pengukuran (Yeh 1988).

Berdasarkan kepada besarnya kritik atas kerangka-kerja Hofstede, maka semakin

dipandang penting bagi para peneliti untuk mengkaji klasifikasi yang lainnya.

Literatur bisnis juga kekurangan sintesis yang bermakna (meaningful) atas klasifikasi

budaya. Bagaimanapun, budaya akan tetap menjadi area penelitian yang menarik.

Vista baru dalam penelitian budaya mencakup: budaya dengan strategi kepemilikan

dan usaha patungan atau joint venture (Kogut and Singh 1988), gaya kognitif

(Abramson dkk 1993), budaya dengan manajemen informasi global (Myer and Tan

2002). Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji klasifikasi

alternatif dari budaya, mengidentifikasi kriteria untuk evaluasi klasifikasi, dan

menganalisis kerangka-kerja ini sepanjang kriteria yang diidentifikasi. Bagian

berikutnya akan mempertentangkan pandangan budaya berbasis nilai yang lebih

mapan dengan pandangan ontologis.

Konsep dan manifestasi budaya

Satu definisi awal dari budaya adalah keseluruhan kompleks yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, seni dan moral hukum adat istiadat dan kapabilitas

lainnya dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat

(Tylor 1871). Para pakar lainnya telah mengidentifikasi 164 definisi dari budaya

(Kroeber 1952) yang secara umum akan memandang budaya sebagai suatu properti

dari kebanyakan warga negara atau modal personalitas (Inkeles 1969). Budaya akan

dapat dipelajari, didapatkan, dan diwariskan. Budaya akan merefleksikan pola

pemikiran, perasaan, dan perilaku (Harris 1987) dan aksi dan reaksi (Kluckhohn

1951) dan ide, nilai, dan sistem makna simbolis lainnya (Kroeber dkk 1958).

Tema yang mendasari adalah bahwa budaya adalah abstraksi dari perilaku kongkrit

tetapi bukan perilaku itu sendiri. Budaya akan ditransmisikan terutama oleh simbol

yang menyusun prestasi distinktif dari kelompok manusia, termasuk yang

terkandung dalam artefak. Transmisi ini telah dipandang sebagai suatu pemrograman

kolektif dari pikiran yang akan membedakan anggota dari satu kelompok manusia

dengan kelompok yang lainnya (Hofstede 1980). Hofstede mengakui bahwa ini

bukanlah definisi yang lengkap dari budaya. Tetapi ia secara sederhana telah

mencakup apa yang dapat diukur. Hofstede menekankan nilai sebagai tonggak

budaya, yang mana penekanan ini konsisten dengan peneliti lainnya.

Nilai akan diprogram sejak usia dini dan akan menentukan definisi subyektif dari

rasionalitas. Nilai akan dimanifestasikan pada level individu dan kolektif (Parson

1951) dan akan dianggap sebagai keadaan akhir atau tujuan akhir dan bukannya

sebagai sarana (Bem 1970). Perbedaan sarana (nilai instrumental) dan tujuan (nilai

akhir atau nilai terminal) ini juga telah diakui oleh para ahli filsafat (Lovejoy 1950)

dan para pakar antropologi (Kluckhohn 1951) serta para pakar psikologi (English

and English 1958). Nilai akan dapat dianggap sebagai nilai yang diterima secara

tidak sadar atau kepercayaan pada level nol dan nilai yang diperoleh secara

langsung sebagai kepercayaan yang datang pertama kali.

Hofstede (1980) mengikuti definisi nilai intensitas dan modalitas dari Kluckhohn

(1951) dan mendefinisikannya secara cukup sederhana sebagai tendensi umum untuk

menyukai atau memilih keadaan tertentu di atas keadaan yang lainnya. Hofstede

mengklaim bahwa nilai akan mempunyai arah dan intensitas atau dengan kata lain

nilai akan mempunyai tanda dan ukuran. Nilai haruslah dibedakan antara nilai yang

diharapkan dengan yang tidak diharapkan: apa yang manusia benar-benar harapkan

dan apa yang mereka anggap pantas diharapkan. Mempersamakan keinginan dengan

harapan adalah positifistic fallacy, tetapi Hofstede memilih untuk mengadopsi suatu

pandangan pragmatis untuk membantu pengukuran nilai.

Nilai yang didasarkan kepada literatur ini (atau nilai laten ini) telah dihadapkan

kepada banyak kritik dari sudut pandang kognitif dan ontologis. Debat ini secara

kritis akan dievaluasi sebagai berikut

Budaya: pandangan berbasis nilai vs pandangan berbasis ontologis

Pandangan ontologis didasarkan kepada pendapat (ide) kognitivisme budaya yang

menyatakan bahwa budaya akan dapat dipahami secara lebih baik dalam istilah

kognitif daripada dengan seperangkat nilai latennya. Dengan mengkaji kognisi

maka kerangka-kerja imperatif akan menjelaskan mengapa orang berasosiasi dan

berbagi ide dan fenomena dalam cara tertentu sehingga hal itu akan dapat

menjelaskan budaya. Ide kognitivisme cultural ini (dan sehingga disebut ide

ontologis) akan mengembangkan konsep seperti representasi kesamaan kognitif

dalam pikiran individu individu, sehingga akan membentuk budaya (Romney dkk

1996); pola konsisten dari persepsi, penginterpretasian dan perelasian informasi

yang akan mempengaruhi perilaku individualis dan kelompok (Abramson 1996),

ontologis intuitif spesifik domain yang akan membentuk jalur dari akuisisi dan

kognisi yang membingkai representasi kultural (Boyer 1996); organisasi kognitif

pada individu adalah lokus utama dari budaya (Talmy 1996). Bahasa spasial dan

kognisi akan bervariasi lintas budaya (Levinson 1996).

Pandangan ontologis ditarik dari proses kognitif dari perolehan informasi dan

pengambilan keputusan sebagai basis unit (unit dasar) dari analisis budaya (Talmy

1995). Dengan menggunakan skema ini maka para peneliti akan dapat menemukan

mekanisme dimana budaya akan terbentuk dan mengalami bias. Hakikat dimana

budaya akan bervariasi secara ontologis dalam kaitannya dengan kategorisasi,

differensiasi, dan abstraksi akan memungkinkan analisis dari persepsi manajer dan

hubungan dan interpretasi informasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu

dan kelompok (Abramson 1996). Oleh sebab itu, para pakar ontologis mengklaim

telah meletakkan landasan kerja melalui interaksi dari struktur kognitif bersama

(DeMaggio 1997).

Tetapi, suatu eksaminasi yang lebih mendalam telah menunjukkan bahwa pandangan

ontologis menghadapi tiga tantangan besar. Yang pertama, literatur ontologis

menegaskan bahwa kerangka-kerja interpretif yang berakar secara kultural akan

menjelaskan asosiasi dan diskriminasi seseorang lebih baik dari pada daya tarik

konvensional pada nilai budaya laten. Hal ini mengimplikasikan bahwa pandangan

dunia berbasis emik akan selalu lebih unggul daripada pandangan etis. Ini adalah

posisi yang ekstrim, karena pandangan emik akan memerlukan validitas eksternal

untuk memungkinkan suatu teori dapat digeneralisir, sehingga akan menjamin

pandangan etis tetap berada di bawah pandangan emik.

Yang implisit dengan perspektif ontologism adalah bahwa emik, dan etik akan

dipandang sebagai dikotomik dan pandangan emik dan etik (pada saat digunakan

bersama-sama) akan bersifat saling melengkapi dan akan meningkatkan validitas.

Oleh sebab itu, pandangan ontologis memerlukan pengembangan debat etik dan

emik secara lebih jelas dan perlu mengadopsi posisi berdasarkan pengetahuan dan

landasan ilmiah.

Kedua, para pakar ontologis mengasumsikan bahwa bergerak dari level kolektif

(pandangan laten atas nilai) ke level individual (pandangan kognitif) akan

memfokuskan konsep budaya agar menjadi stabil dan visibel. Asumsi ini adalah

cacat, karena kognisi dan preferensi dan kesadaran individu akan dapat berubah dan

akan bergantung kepada sejumlah kondisi internal dan eksternal. Oleh sebab itu,

kognisi individual akan sama latennya dengan konsep nilai kolektif. Bergerak dari

kolektif ke individualis tidaklah suatu hal yang nista (Campbell 1977).

Ketiga, kerangka-kerja kognitif pada saat diaplikasikan kepada analisis empiris akan

menyediakan pandangan atas diri dan waktu mirip dengan yang telah disediakan oleh

literatur nilai laten. Kemiripan ini akan dijelaskan dalam dua cara. Pada awalnya,

pembingkaian kognisi individual kemungkinan akan disandarkan kepada nilai nilai

kolektif, misalnya seperti apa suatu fenomena akan dipersepsikan oleh kelompok

referen dan teman sebaya. Hal ini berarti bahwa kognisi individu akan dapat dibentuk

oleh kekuatan (Redding 1980) yang berada di luar individu, yaitu nilai laten dari

budaya. Ada banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa budaya akan

mempengaruhi konsepsi diri seseorang (Erez dkk 1993). Oleh sebab itu, kognisi

individu dan persepsinya akan diarahkan, dikendalikan, dan dibentuk oleh nilai laten

dari budaya.

Yang lebih penting lagi, perubahan pada kognisi individu (media, pendidikan, dan

interaksi dengan budaya dan kelompok referen lainnya) barangkali akan mendorong

perubahan dalam nilai laten. Oleh sebab itu, nilai laten dan kognisi individu adalah

sangat berkaitan. Oleh sebab itu, suatu pendapat yang mengabaikan nilai laten adalah

salah arah (menyesatkan) dan sehingga paper ini akan mengkaji secara lebih utuh

literatur berbasis nilai.

Klasifikasi budaya

Meskipun klasifikasi dari Hofstede adalah klasifikasi yang paling terkenal, tetapi

paper ini telah memilih tiga klasifikasi yang lainnya yang akan menyediakan

wawasan kepada budaya dan akan memapar alternative bagi klasifikasi Hofstede.

Para penulis ini adalah Trompenaars Triandis dan Fiske , yaitu pakar dalam bidang

psikologi, psikologi lintas budaya dan sosiologi, yang tulisan-tulisannya sering

muncul di media massa. Klasifikasi budaya ini dikembangkan dan diukur sepanjang

lima criteria evaluasi. Kriteria ini akan membentuk benchmark untuk evaluasi

kecukupan dan kememadaian dari setiap skema klasifikasi.

Kelima criteria ini adalah:

Simplisitas: klasifikasi haruslah bersifat simple dan sederhana. Klasifikasi cultural

haruslah dapat mensintesis konstruk yang kompleks dan kaya ke dalam sejumlah

kecil konsep sederhana yang mudah dipahami. Simplisitas pada bentuk dan substansi

tidak boleh mengkompromikan analisis dan kekayaan skema. Substansi akan

dicirikan oleh kemampuan dari skema klasifikasi untuk menjadi eksklusif.

Bentuknya harus elegan dan keeratan dengan klasifikasi haruslah dipertahankan.

Oleh sebab itu, semakin besar kesetimbangan antara simplisitas dan kekayaan isi

maka akan semakin besar pula tingkat kecanggihan dari klasifikasi itu.

Kemampuan untuk mentransedensikan level analisis: Klasifikasi cultural akan

sering dibatasi oleh level atau unit analisis dimana dia diaplikasikan. Budaya akan

dikaji pada level sub kelompok, kelompok, organisasi, bangsa atau negara. Jelas

sekali, pemilihan level analisis yang tepat adalah hal yang sangat penting (Rousseau

1985). Beberapa klasifikasi telah memungkinkan aplikasi dari skema tertentu

kepada level tertentu atau unit analisis tertentu sehingga akan membatasi

kemanfaatannya. Pembatasan/kendala analitik ini akan dapat menghambat para

peneliti dalam memahami skema dan mengaplikasikannya ke dalam subyek yang

lainnya dan dalam memperluas klasifikasi itu sendiri. Suatu skema yang lebih

canggih akan memungkinkan banyak level analisis.

Aplikabilitas terhadap berbagai metode penelitian; Suatu klasifikasi yang

bermanfaat adalah klasifikasi yang fleksibel dan memungkinkan para peneliti untuk

mengadopsi dan mengaplikasikan berbagai metode penelitian (misalnya metode

penelitian eksperimental, studi kasus, studi lapang dkk) dalam menginvestigasi

permasalahan (Newman dkk 1998).

Mengulang studi menggunakan metode yang berbeda akan menegaskan bahwa

temuan itu akan dijelaskan oleh teori yang mendasari dan bukannya dijelaskan oleh

kesamaan metode. Jika suatu skema klasifikasi memungkinkan pluralitas metode,

maka suatu investigasi akan dapat memberikan hasil yang akurat dan dapat

digeneralisir dan dipertanggungjawabkan validitasnya. Oleh sebab itu, suatu

kerangka-kerja yang siap pakai akan menyerahkan dirinya untuk adopsi dan aplikasi

berbagai metode penelitian.

Identifikasi tema dominant: Budaya akan mempunyai tema tertentu yang adalah

lebih dominan daripada tema yang lainnya. Klasifikasi kultural yang lebih

bermanfaat haruslah cukup memadai untuk memungkinkan para peneliti dalam

mengidentifikasi tema dominan dalam suatu budaya di atas aplikasi dari

klasifikasinya. Sebagai analogi, suatu tapestry yang indah, yang kaya warna, dan

berdesain bagus akan dapat dikaji dalam dua cara mendasar. Yang pertama,

mendekomposisikan makna dari tema dominan tapestry. Kedua, mengkaji tema

yang lebih rumit dan periperal. Semakin kaya suatu kerangka-kerja dalam

memungkinkan tema dominan dan periperal untuk diidentifikasi secara tegas, maka

akan semakin canggihlah klasifikasinya.

Fleksibilitas dalam memahami perubahan cultural: Budaya akan berubah atas

waktu dan dimensi spesifik dalam taksonomi juga akan dapat bervariasi.

Kemampuan dari suatu taksonomi untuk menganalisis perubahan adalah kuat karena

ini akan memungkinkan para peneliti untuk menjelaskan, mendeskripsikan, dan

memprediksi perubahan dalam sikap, nilai, dan norma. Oleh sebab itu, semakin

fleksibel klasifikasi dalam menjelaskan perubahan, maka akan semakin canggihlah

ia.

Kriteria ini tidak diurutkan oleh kepentingan atau ukuran yang lainnya. Setiap

kriteria itu sendiri adalah tidak memadai, sehingga harus dilengkapi dengan yang

lainnya. Kriteria itu sendiri mungkin tidak mutlak, tetapi akan disajikan sebagai

benchmark untuk evaluasi empat klasifikasi budaya. Klasifikasi Hofstede

Trompenaars Triandis dan Fiske akan kami sajikan pada tulisan berikutnya. Bagian

ini akan distruktur untuk membahas konsep penting dari tipologi yang akan diikuti

oleh evaluasi tipologi berdasarkan lima kriteria evaluasi yang telah kita bahas di

depan. Kesimpulan akan menyediakan perbandingan tipologi-tipologi ini dan arahan

untuk penelitian ke depan.

Dimensi nilai Hofstede

Dimensi individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan penghindaran

ketidakpastian Hofstede adalah proses psikologis yang sangat sugestif (Bond 1987).

Dengan menempatkan budaya pada peta empat factor maka kerja seminal akan

memungkinkan pakar psikologi lintas budaya untuk menyeleksi (memilih) budaya

sebagai basis perbandingan. Operasionalisasi budaya ini adalah sangat penting jika

penelitian empiris hendak membangun struktur teoritis untuk menjelaskan

perbedaan lintas budaya dalam perilaku (Hales 1979). Hofstede telah

memperkenalkan empat dimensi pada tahun 1980 dan lima dimensi pada tahun 1988.

Individualisme dan kolektivisme

Individualisme akan mewakili preferensi kerangka kerja social yang lebih longgar

dalam masyarakat dimana individualisme akan cenderung mengutamakan

kepentingan dirinya sendiri dan keluarga terdekat mereka. Sedangkan kolektivisme

akan cenderung lebih disukai oleh masyarakat dimana individu individu dapat

mengharapkan tetangga, klan, dan anggota lain dari masyarakat turut menjaga mereka

sebagai suatu bentuk solidaritas. Persoalan utamanya adalah derajad interdependensi

yang dipertahankan oleh individu dalam masyarakat.

Jarak Kekuasaan besar vs kecil

Jarak Kekuasaan adalah luasan dimana anggota masyarakat akan menerima distribusi

kekuasaan yang tidak setara. Hal ini akan mempengaruhi perilaku dari anggota yang

lebih kuat dan anggota yang kurang kuat. Orang-orang pada masyarakat dengan jarak

kekuasaan besar akan menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai

tempatnya sendiri yang akan mengarah kepada ketidaksetaraan kekuasaan yang tidak

perlu lagi dijustifikasi.

Persoalan mendasar yang dicoba diatasi oleh dimensi ini adalah bagaimana suatu

masyarakat akan mengelola ketidaksetaraan diantara individu individu dan hal ini

akan mempunyai konsekuensi dalam pembangunan insititusi dan organisasi.

Penghindaran ketidakpastian lemah vs kuat:

Penghindaran ketidakpastian adalah derajad dimana anggota masyarakat akan merasa

tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Masyarakat dengan

Penghindaran Ketidakpastian kuat akan mempertahankan kode kepercayaan dan

perilaku secara ketat yang menjanjikan kepastian dan melindungi kenyamanan.

Masyarakat semacam ini akan tidak toleran terhadap ide dan individu yang

menyimpang. Masyarakat dengan penghindaran ketidakpastian lemah akan

mempertahankan suasana yang lebih rileks. Dalam masyarakat semacam itu

Penyimpangan akan cenderung lebih mudah ditolerir. Secara mendasar, dimensi ini

akan mengupas bagaimana suatu masyarakat akan memandang linearitas waktu dan

mengontrol masa depan atau membiarkannya terjadi. Penghindaran Ketidakpastian

akan mempunyai konsekuensi bagi cara-cara dimana individu akan membangun

institusi dan organisasi.

Maskulinitas vs femininitas

Maskulinitas akan merujuk kepada preferensi dalam masyarakat terhadap prestasi,

ketegasan, kepahlawanan, kejantanan, dan keberhasilan material. Sebaliknya,

femininitas akan merujuk kepada preferensi masyarakat akan hubungan

persaudaraan, kesederhanaan, perhatian kepada pihak yang lemah, dan kualitas

kehidupan. Masalah mendasar yang coba dipecahkan oleh dimensi ini adalah cara

dimana suatu masyarakat akan mengalokasikan peran sosial kepada jender.

Orientasi jangka pendek vs panjang

Orientasi jangka pendek akan merujuk kepada preferensi masyarakat yang memupuk

nilai-nilai luhur yang diorientasikan terhadap kesabaran dan ketekunan. Sedangkan

Orientasi jangka jangka panjang akan merujuk kepada suatu masyarakat yang lebih

memilih stabilitas dan kemajuan personal dan penghargaan terhadap tradisi dan

kemapanan.

Evaluasi dimensi Hofstede

Pada evaluasi, klasifikasi Hofstede telah mencatatkan skor tinggi pada simplisitas.

Hal ini terjadi karena dimensi Hofstede adalah konsep yang relatif jelas, mudah, dan

kaya makna terkait dengan bentuk. Tetapi, terkait dengan substansi, klasifikasi itu

tidaklah eksklusif atas dasar dua alasan. Alasan Yang pertama, penghindaran

ketidakpastian akan menghadapi kritik karena tidak dapat menangkap secara valid

nilai oriental, sehingga tidak akan dapat bersifat ekshaustik. Alasan Kedua,

pemasukan orientasi jangka panjang telah memperlihatkan kurangnya eksklusivitas.

Terlebih lagi, Hofstede tidak dapat mengesampingkan kemungkinan penemuan

dimensi baru. Oleh sebab itu, terkait dengan simplisitas, peringkat klasifikasi

Hofstede adalah moderat dalam substansi dan tinggi dalam bentuk.

Terkait dengan level analisis, Hofstede berpendapat bahwa klasifikasinya hanya akan

dapat diaplikasikan pada level nasional. Meskipun argumen yang pas masih tidak

jelas, tetapi Hofstede menegaskan bahwa mengaplikasikan dimensinya kepada level

lain adalah tidak benar dan akan salah secara ekologis. Hal ini akan sangat

membatasi penggunaan skemanya dan sehingga akan mendapatkan peringkat rendah

untuk kriteria level analisis.

Dalam mengaplikasikan kriteria metode penelitian yang berbeda, aplikasi suatu

metode lain yang tidak dispesifikasikan oleh Hofstede akan dianggap tidak tepat.

Meskipun data Hofstede telah digunakan secara luas, tetapi tampaknya hanya ada

sedikit aplikasi dimensi ini pada metode penelitian lainnya (misalnya pada penelitian

lapang dan penelitian eksperimental). Oleh sebab itu, klasifikasi Hofstede akan

mendapatkan peringkat rendah untuk kriteria metode penelitian.

Dalam kaitannya dengan kemampuan untuk mengidentifikasi tema dominan, maka

dimensi itu akan dapat digunakan untuk mengidentifikasi tema dominan dalam

budaya tertentu dan dan untuk mengidentifikasi tema dominan lintas budaya. Oleh

sebab itu, klasifikasi Hofstede akan mendapatkan peringkat menengah pada kriteria

identifikasi tema dominan.

Dalam kaitannya dengan pemahaman perubahan budaya, kerangka kerja Hofstede

tidak secara eksplisit memberikan ruang untuk studi sistematis atas perubahan

budaya. Tetapi, aplikasi yang diresepkan dari instrumen dan metodenya akan

memungkinkan kita untuk menyorot budaya pada berbagai titik waktu. Sorotan ini

adalah tidak indikatif dari proses perubahan, tetapi hanyalah besaran dan arah dari

perubahan. Oleh sebab itu, model Hofstede hanya sedikit bermanfaat dalam

memahami dan menjelaskan perubahan budaya.

Terlepas dari semakin tumbuhnya kritik atas karya dari Hofstede, empat alasan telah

diidentifikasi untuk adopsi luas dari klasifikasi nya.

1. Alasan yang Pertama, studi Hofstede adalah studi pertama yang

mengintegrasikan konstruk yang sebelumnya terpisah-pisah dan dia adalah

orang yang pertama menyajikan kerangka kerja koheren untuk

mengklasifikasi kan budaya yang berbeda.

2. Alasan kedua untuk pemakaian secara luas klasifikasi budaya Hofstede

adalah karena kesederhanaan dari dimensinya. Dimensinya adalah jelas dan

tegas dan mempunyai daya tarik intuitif bagi peneliti akademik dan pembaca

bisnis lintas disiplin ilmu.

3. Alasan yang ketiga yang terkait dengan luasnya penggunaan klasifikasi

budaya Hofstede adalah karena klasifikasi nya menawarkan instrumen untuk

mengukur nilai.

4. Alasan yang Keempat adalah; bahwa Hofstede mampu menawarkan suatu

perangkat data ekstensif untuk analisis empiris yang akan mempunyai daya

tarik besar bagi para peneliti.

Sindrom budaya Triandis

Menurut Triandis (1994), budaya adalah seperangkat elemen obyektif dan subyektif

buatan manusia yang pada masa lalu telah meningkatkan probabilitas dari

keberlangsungan hidup manusia dan telah memberikan kepuasan dari partisipan

dalam niche ekologis sehingga menjadi sesuatu yang dimiliki secara bersama oleh

pihak-pihak yang dapat berkomunikasi satu sama lain karena mereka mempunyai

kesamaan bahasa dan tinggal atau hidup pada tempat dan waktu yang sama.

Meskipun definisi budaya adalah sangat luas, tetapi Triandis membedakan elemen

obyektif dari budaya dengan elemen subyektifnya. Aspek obyektif dari budaya akan

mencakup alat alat, jalan raya, radio, televisi dan lain-lain, sedangkan aspek

subyektifnya antara lain kategorisasi, asosiasi, norma, peran dan nilai yang akan

membentuk beberapa elemen dasar yang akan mempengaruhi perilaku sosial.

Elemen subyektif dari setiap budaya akan diorganisir ke dalam pola unik dari

kepercayaan, sikap nilai dan norma. Triandis telah mengidentifikasi empat sindrom

budaya yang akan berlaku (yang akan dapat diaplikasikan) kepada semua budaya

yaitu kompleksitas budaya, keketatan budaya individualisme dan kolektivisme

Kompleksitas budaya

Dalam budaya yang kompleks, manusia akan membuat sejumlah besar perbedaan di

antara obyek dan peristiwa dalam lingkungan mereka. Ekologi dan sejarah

masyarakat akan menentukan kompleksitasnya serta akan menentukan jumlah

pekerjaan dalam masyarakat itu. Masyarakat dalam Budaya non huruf akan jarang

mempunyai jenis pekerjaan lebih dari 29 macam (Triandis 1994). Masyarakat yang

mempunyai pekerjaan berburu dan meramu (berburu dan mengumpulkan bahan

makanan) akan cenderung sederhana. Masyarakat agraris akan cenderung lebih

kompleks lagi dan masyarakat industri akan cenderung sangat kompleks.

Pertentangan antara budaya yang sederhana dan kompleks adalah faktor yang paling

penting dari variasi budaya dalam perilaku sosial. Tetapi Triandis tidak menawarkan

metode yang obyektif dalam pengukuran dan pemeringkatan kompleksitas budaya.

Lomax (1972) telah menyusun beberapa indeks dan mendapatkan urutan

pemeringkatan yang terpercaya dari kompleksitas budaya

Budaya ketat dan longgar

Dalam budaya ketat, orang diharapkan akan berperilaku sesuai dengan norma yang

tegas. Sesuatu penyimpangan akan layak dihukum dengan sanksi. Budaya ketat akan

memperlihatkan karakteristik karakteristik seperti: control perusahaan atas property,

kepemilikan perusahaan atas pangan dan produksi, kekuasaan, pemimpin agama

yang kuat, pajak tinggi dll. Hubungan ini menunjukkan bahwa keketatan akan

berkorelasi dengan kolektivisme (Pelto 1968). Pada budaya ketat, jika seseorang

melakukan apa yang dilakukan oleh setiap orang, maka ia akan dilindungi dari kritik.

Keketatan akan lebih mungkin terjadi ketika normanya jelas dan hal ini memerlukan

budaya yang relative homogen.

Budaya longgar akan mempunyai norma yang tidak tegas atau menolerir

penyimpangan dari norma. Heterogenitas budaya yang sangat dipengaruhi budaya

lain dan ruangan fisik antar manusia akan dapat mengarah kepada kelonggaran.

Budaya longgar seringkali dijumpai pada interseksi budaya budaya utama yang

sangat berbeda satu sama lain. Lingkungan perkotaan biasanya akan lebih longgar

budayanya daripada lingkungan pedesaan. Kelonggaran ini disebabkan oleh norma

yang saling bertolak belakang atau disebabkan oleh norma-norma yang sangat tidak

fungsional. Terlebih, jika pekerjaan mengijinkan aksi soliter (misalnya berburu atau

menulis) maka norma akan menjadi longgar dan kurang tegas.

Individualisme dan kolektivisme

Dalam Individualisme individu akan terlepas secara emosional dari kelompok

mereka. Individualisme akan menekankan kepada kemandirian, kesenangan, dan

pencapaian kebahagiaan diri sendiri. Dalam Individualisme individu tidak akan

mengganti perilaku mereka secara dramatis pada saat anggota kelompok luar

menjadi anggota kelompok dalam seperti yang terjadi pada kolektivisme. Perilaku

dari individualis akan cenderung menjadi lebih ramah, tetapi tidak merapat kepada

orang-orang yang berada di luar lingkungan keluarga. Triandis lebih lanjut mengakui

adanya korelasi antara kompleksitas budaya dengan individualisme; yaitu semakin

kompleks suatu budaya maka akan semakin individualislah jadinya karena pada

budaya yang kompleks seseorang akan mempunyai pilihan untuk menjadi anggota

dari berbagai kelompok.

Ada dua jenis kolektivisme yaitu horizontal dan vertical, yang akan berkorelasi

pada jelajah 3-4 (Triandis 1994). Pada kolektivisme, budaya itu sendiri akan

didefinisikan dalam kaitannya dengan keanggotaan dalam kelompok, suatu prioritas

diantara kolektivisme vertikal. Kolektivisme akan sering (tetapi tidak selalu)

diorganisasikan secara hirarkis dan akan cenderung peduli dengan hasil dari aksi

mereka terhadap anggota dari kelompok dan akan cenderung berbagi sumber daya

dengan anggota dalam kelompok dan akan merasakan saling ketergantungan dengan

anggota lain dalam kelompok dan akan merasa terlibat dalam kehidupan anggota

kelompok.

Mereka juga akan mempunyai perasaan yang kuat mengenai integritas kelompok.

Jika individu berada dalam kelompok, maka perilakunya akan sangat asosiatif dan

akan merefleksikan pengorbanan diri. Jika individu berada di luar kelompok, maka

perilakunya akan diasosiatif.

Triandis telah mengidentifikasi individualisme dan kolektivisme sebagai konstruk

yang berbeda tetapi saling terkait. Sebagai contoh, budaya Kung telah

memperlihatkan banyak elemen individualisme dan kolektivisme (Lee 1976).

Pandangan ini bertentangan dengan pandangan lain, khususnya pandangan Hofstede

dimana individualisme kolektivisme adalah suatu kontinum yang mengimplikasikan

bahwa budaya kolektivisme mungkin tidak akan mempunyai individualisme.

Evaluasi sindrom budaya Triandis

Setelah melakukan evaluasi atas lima kriteria maka sindrom Triandis akan

mencatatkan skor moderat pada simplisitas. Dalam membahas substansi, sindrom ini

akan tidak cukup memadai, sebab konsep waktu tidak dipertimbangkan secara

memadai. Karena di sana ada sedikit overlap antara sindrom satu dengan sindrom

lain maka sindrom itu menempati peringkat tinggi pada eksklusivitas…….

Dalam kaitannya dengan aplikasinya kepada berbagai metode penelitian, definisi

sindrom Triandis meskipun secara konseptual terlihat bagus ternyata hanya

memberikan sedikit panduan terhadap pengukuran. Karena sindrom Triandis tidak

mempunyai ukuran formal atau metode yang dispesifikasikan, maka bentuknya yang

sekarang tidak akan memungkinkan aplikasinya kepada metode penelitian kuantitatif.

Sindrom Triandis adalah kaya makna dan mempunyai potensi untuk dikembangkan

lebih lanjut untuk dapat semakin memenui persyaratan.

Atas dasar alasan ini, maka sindrom Triandis akan mencatatkan skor rendah pada

aplikabilitas metode penelitian.

Dalam mengidentifikasi tema dominan, sindrom ini adalah cukup bermanfaat.

Tetapi ia akan tidak tepat dalam mengidentifikasi tema dominan karena kekurangan

peringkat ordinal. Oleh sebab itu, mengidentifikasi tema dominan dari sindrom yang

kaya tetapi tersebar (difus) akan menjadi sangat problematis. Membandingkan tema

dengan menggunakan sindrom Triandis akan menjadi sangat sulit. Oleh sebab itu,

sindrom Triandis akan mendapatkan skor rendah pada kemampuannya dalam

menjelaskan perubahan budaya.

Secara ringkas, Triandis menyajikan suatu interpretasi yang unik dan menarik dari

tipologi budaya melalui sindromnya. Sindrom ini adalah kaya dengan makna dan

akan memperkaya wawasan sebelumnya dan seringkali ditarik dari pengetahuan

mendalam atas sejarah budaya. Sindrom ini adalah embrionik dan jika

dikembangkan lebih lanjut dapat menjadi lahan yang subur untuk wawasan ke arah

budaya.

Dimensi budaya dari Trompenaars

Trompenaars (1993) memandang budaya sebagai suatu cara dimana sekelompok

orang akan memecahkan permasalahan. Hal ini didasarkan secara langsung kepada

definisi dari Schein (1985) atas budaya organisasi. Dari solusi terhadap tiga tipe

permasalahan (hubungan dengan yang lain, waktu, dan lingkungan), Trompenaars

(1993) mengidentifikasi 7 dimensi mendasar dari budaya. Definisi Trompenaars atas

budaya adalah generik lintas budaya organisasi dan kebangsaan sehingga disana

seringkali ada kerancuan. Lima dari dimensinya adalah identik dengan sistem sosial

dari Parson (1951); yaitu afektivitas vs netralitas afektif, orientasi diri vs orientasi

kolektif dan universalisme vs partikularisme, Askripsi vs prestasi dan spesivitas vs

difusitas

Universalisme vs partikularisme

Budaya Universalisme akan berpihak kepada perilaku berbasis aturan yang

diimplikasikan secara ketat, yang merefleksikan suatu ketidak percayaan umum

dalam humanitas, sedangkan budaya partikularis akan cenderung lebih difokuskan

kepada hakikat luar biasa dari keadaan yang ada sekarang. Zurcher dkk telah

mendukung klasifikasi ini. Dimensinya mempertentangkan besaran dimana seorang

responden akan bersedia untuk menginterpretasikan aturan yang dibentuk secara

sosial dalam selera salah satu pihak sampai luasan yang akan melampui dimensi

individualisme yang telah dijelaskan di depan. Dimensi ini akan menemukan

aplikasinya dalam berbagai aspek bisnis internasional yang mencakup: peran dari

kepala bagian, evaluasi kerja, dan penghargaan.

Individualisme vs kolektivisme

Trompenaars mengakui bahwa dimensi ini akan merepresentasikan pertentangan

antara kepentingan individu dan kelompok. Mengikuti logika Parson, Trompenaars

telah mendeskripsikan individualisme sebagai orientasi utama terhadap diri sendiri

dan kolektivisme sebagai orientasi utama terhadap tujuan bersama. Dalam

manajemen internasional, negosiasi, pengambilan keputusan dan motivasi akan

dipengaruhi oleh preferensi individualisme dan kolektivisme. Trompenaars seperti

halnya Hofstede memandang individualisme dan kolektivisme berada pada suatu

kontinum, yang akan mengimplikasikan bahwa orang yang beraliran kolektivis akan

sedikit individualis. Kesimpulan ini ditentang oleh Triandis (1994).

Netral vs afektif

Dimensi ini akan mencakup jelajah perasaan yang diekspresikan. Akal sehat dan

emosi keduanya akan memainkan peranan penting dalam hubungan antar manusia.

Yang mana dari keduanya yang akan dominan, hal itu akan tergantung kepada apakah

anggota itu adalah afektif (menonjolkan perasaan atau emosi) ataukah netral (tidak

menonjolkan perasaan). Anggota dari budaya netral akan menjaga perasaan dan

ekspresi secara hati-hati karena sikap ekspresif dan demonstratif akan dapat

mencitrakan tidak dominannya akal sehat. Sedangkan orang dalam budaya afektif

akan cenderung lebih demonstratif.

Trompenaars telah menambahkan humor dan komunikasi (baik lisan maupun tulisan)

sebagai satu konteks untuk memahami dimensi Parson dari budaya afektif dan

netral. Humor adalah bersifat subyektif dan bergantung kepada individu yang akan

menentukan apa saja yang dianggap lucu dan menyenangkan sehingga afektif akan

lebih dekat kepada sikap arbitrer.

Difus vs spesifik

Budaya DIFUS (konteks rendah) dan spesifik (konteks tinggi) akan menggali cara-

cara dimana individu akan terlibat dalam area spesifik dari komunikasi (berbagi

pengetahuan dalam level tinggi akan diperlukan). Dalam budaya spesifik, hubungan

tugas akan dipisahkan dari urusan lain. Dalam budaya spesifik, seorang atasan dan

bawahan akan mempunyai dasar komunikasi tacit untuk setting kerja yang akan

berbeda dari setting sosial yang akan mengindikasikan adaptabilitas dan fleksibilitas.

Pada budaya difus, CEO tidak hanya akan menjalankan perusahaan, tetapi juga akan

membagi nilai perusahaan kepada semua setting sosial dan kerja organisasional.

Prestasi vs askripsi

Anggota dari beberapa masyarakat akan mendapatkan status lebih tinggi daripada

yang lainnya, yang mengindikasikan bahwa perhatian khusus harus difokuskan

kepada orang ini dan aktivitasnya. Meskipun beberapa masyarakat memberikan

status kepada orang berdasarkan kepada prestasi mereka, tetapi pemberian status

berdasarkan keturunan atau hal-hal yang lain masih saja dilakukan. Tetapi, pada

beberapa masyarakat yang lain, anggotanya akan mendapatkan status sesuai dengan

usia, kelas sosial, jenis kelamin dan pendidikan.

Sikap terhadap waktu

Persepsi waktu akan dapat berkisar dari sekuential (rangkaian linier dari perjalanan

waktu) sampai dengan sinkronik (masa lalu, sekarang dan masa mendatang saling

berkaitan). Orientasi waktu dari masa lalu, sekarang dan masa depan adalah dimensi

penting dari budaya yang akan memungkinkan anggota dari budaya tertentu

mengkoordinasikan aktivitas (Durkheim 1960). Konstruk ini mempunyai implikasi

untuk individu dan kelompok, karena waktu pertemuan yang telah disepakati

barangkali akan dapat ditepati.

Waktu yang dialokasikan untuk menyelesaikan suatu tugas akan dapat menjadi

sangat penting perannya. Oleh sebab itu, tergantung kepada sikap individual terhadap

waktu, manajer akan dapat merencanakan laporan harian, mingguan, atau bulanan..

Sikap terhadap lingkungan

Trompenaars telah mengidentifikasi sikap terhadap lingkungan sebagai variabel

budaya utama. Masyarakat akan mempunyai dua orientasi utama terhadap alam atau

lingkungan; yaitu yang pertama: mereka percaya bahwa mereka dapat dan harus

mengontrol alam sekitar dengan memaksakan kemauan mereka kepada

alam/lingkungan atau yang kedua: mereka percaya bahwa manusia adalah bagian

dari lingkungan dan harus mengikuti hukum, arah, dan kekuatannya. Jenis budaya

yang pertama akan cenderung mengidentifikasikan diri dengan mekanisme; yaitu

organisasi akan dikonsepsikan sebagai mesin yang akan mematuhi apa yang

diinginkan oleh sang operator dan hal ini dapat dideskripsikan sebagi inner directed

atau dikendalikan dari dalam.

Yang terakhir (kedua) ----yaitu outer directed atau budaya yang dikendalikan dari luar

----- akan cenderung memandang organisasi sebagai produk dari alam sehingga

manusia harus senantiasa bersahabat dengan alam dan memelihara kelestariannya.

Ide ini didasarkan kepada lokus kontrol (locus of control) dari Rotter (1969) dan

dalam beberapa hal tampaknya akan overlap dengan dimensi penghindaran

ketidakpastian dari Hofstede.

Evaluasi dimensi budaya Trompenaars

Suatu pengukuran atas dimensi budaya Trompenaars memperlihatkan bahwa dimensi

ini mencatatkan skor rendah pada simplisitas. Secara intuitif, tujuh dimensi budaya

Trompenaars haruslah mudah untuk diaplikasikan. Tetapi dalam kenyataannya,

ketujuh dimensi ini adalah konstruk yang kompleks. Sebagai contoh, sikap terhadap

lingkungan tampaknya simpel (sederhana), tetapi ternyata tema yang mendasarinya

adalah sulit untuk dipahami dan diaplikasikan.

Dimensi budaya Trompenaars mencatatkan skor tinggi pada ekshaustivitas tetapi

rendah pada eksklusivitas. Dua konsep adalah mirip; yaitu sikap terhadap lingkungan

dan individualisme. Sikap terhadap lingkungan akan ditarik dari lokus kontrol

dimana faktor internal (apa yang ada dalam diri seseorang) akan mempunyai kontrol

terhadap apa yang ada dalam diri seseorang, suatu konsep yang mirip dengan

individualisme.

Dalam mengukur aplikasinya kepada berbagai unit analisis, dimensi Trompenaars

barangkali dapat diaplikasikan secara bebas kepada berbagai level analisis. Stabilitas

dalam aplikasi karakteristik psikologis ini kepada level abstraksi yang lebih tinggi

(dari level individu sampai ke level nasional) masih belum teruji dan akan memapar

tantangan untuk penelitian ke depan. Oleh sebab itu klasifikasi ini mencatatkan skor

moderat (menengah) dalam menstransendensikan level analisis.

Dalam hal relevansinya dengan metode penelitian yang berbeda-beda, konstruk ini

kekurangan kejelasan dan ketepatan (clarity and precision) sehingga akan membatasi

upaya pengukurannya. Dimensi dan aplikasinya tampaknya telah diarahkan kepada

para pembaca bisnis yang merasa puas dengan bukti anekdotal. Aplikasi ke dalam

metode penelitian yang berbeda akan bersifat subyektif dan akan tidak persis dan

nilainya akan dapat diperdebatkan. Oleh sebab itu, dimensi ini adalah cukup terbatas

untuk digunakan dalam berbagai metode penelitian. Oleh sebab itu dimensi ini

mencatatkan skor rendah

Dimensi Trompenaars adalah cukup terbatas dalam kemampuannya untuk

mengidentifikasi tema dominan, karena dimensi itu diarahkan kepada psikologi

individu. Oleh sebab itu, dalam kriteria ini (yaitu kriteria kemampuan untuk

mengidentifikasi tema dominan), dimensi Trompenaars mencatatkan skor rendah.

Dalam menjelaskan perubahan kultural, konsep ini kekurangan akurasi ukuran dalam

dan lintas dimensi. Secara khusus, dimensi yang hanya mendasarkan sepenuhnya

kepada ukuran subyektif (misalnya sikap terhadap waktu dan lingkungan) akan

sedikit bermanfaat dalam menjelaskan perubahan. Oleh sebab itu, peringkat rendah

akan diberikan kepada kemampuan dimensi Trompenaars dalam menjelaskan

perubahan budaya..

Bentuk realitas sosial dari Fiske

Fiske telah menyajikan sekumpulan bukti bukti induktif pada berbagai subyek dari

lima budaya yang didukung oleh kerja penelitian bidang etnografik dan sembilan

belas studi eksperimental menggunakan tujuh metode yang berbeda. Dia

mengusulkan teori bentuk elementer dari perilaku sosial yang menyatakan bahwa

orang–orang dalam semua budaya akan mempergunakan empat moda mental

elementer atau model relasional yaitu communal sharing atau CS authority ranking

atau AR equality matching atau EM dan market pricing atau MP.

Model psikologis ini adalah mirip dengan model empat skala klasik dari Steven

(1958). Model psikologis dari Fiske mempunyai property aksiomatik formal yaitu

property CS yang akan berkorespondensi dengan struktur dari relasi ekivalensi

sedangkan AR akan didefinisikan sebagai penataan linear sedangkan EM akan

mempunyai struktur dari kelompok Abelian yang tertata dan MP akan

terformalisasi secara aksiomatik dalam bidang Archimedean.

Communal sharing atau CS

Hubungan CS akan didasarkan kepada konsepsi kelompok orang yang terikat sebagai

ekivalen dan tidak terdiferensiasi. Anggota dari kelompok akan memperlakukan

anggota yang lain secara sama dan akan memfokuskan kepada kesamaan dan akan

mengabaikan identitas individu yang tegas. Dalam konteks CS, orang-orang akan

memperlakukan obyek material sebagai hal yang mereka miliki bersama.

Kepemilikan bersama ini adalah hal yang umum dalam banyak masyarakat

Pengambilan keputusan dalam CS akan didasarkan kepada kesepakatan atau

consensus. Ide untuk kelompok akan dikontribusikan dari satu posisi uniformitas

yang akan menyatukan atribut individual dari anggota kelompok. CS akan

membentuk bagaimana manusia akan berperilaku dalam kelompok dan juga akan

menjadi basis untuk menyusun kelompok sosial. CS akan dapat mengasumsikan

bentuk motif, nilai, norma standar moral, dan ideology. Deksripsi Fiske atas CS

adalah sangat mirip dengan konstruk kolektivisme dari Hofstede dan Triandis

Pemeringkatan otoritas atau AR

Hubungan AR akan didasarkan kepada suatu model asimetri antar manusia yang

tersusun secara linear oleh dimensi sosial hirarkial. Hubungan AR akan diurutkan

sedemikian rupa sehingga seseorang akan diperingkat di atas atau di bawah orang

yang lainnya. Dalam konformitas dengan urutan ini, orang yang berada pada

peringkat atas akan mempunyai prestise, privilege, dan prerogative yang tidak

dimiliki oleh orang yang berada pada peringkat bawah.

Tetapi, sebaliknya, orang yang berada di peringkat bawah akan layak mendapatkan

perlindungan dari orang yang berada di peringkat atas. Oleh sebab itu, hubungan

semacam ini bukanlah peringkat linier, tetapi inklusi hirarkis. Orang yang berada

pada peringkat atas akan dibebaskan (mempunyai kewenangan) untuk mengambil

keputusan, tetapi mereka itu akan dibebani dengan tanggungjawab atas keputusan

yang diambilnya.

Konsep diri untuk individu dalam struktur kelompok AR akan berasal dari

pengetahuannya atas tempatnya dalam hirarki. Dalam budaya dimana AR dianggap

penting, diri seseorang dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan apa jenis otoritas

yang dimiliki oleh seseorang dan kepada siapa dia harus patuh atau berbakti atau

siapa yang menjadi atasannya. Lebih persisnya, pemeringkatan otoritas adalah

refleksif transitif dan antisimetrik. AR akan menghormati relasi identitas, dimana dua

orang yang berbeda tidak dapat saling melompati peringkat yang lainnya.

Jika P mempunyai peringkat di bawah O pada sistem relasional yang sama maka O

akan mempunyai peringkat di atas P dan P dan O adalah orang yang berbeda, karena

mereka dibedakan oleh peringkat. Teori Model relasional menyatakan bahwa pada

saat manusia berpikir dalam kaitannya dengan struktur yang tersusun secara linier

maka mereka itu akan memperlakukan peringkat yang lebih atas sebagai superior.

Konsep AR dari Fiske adalah mirip dengan konsep jarak kekuasaan Hofstede yang

merepresentasikan penghargaan terhadap otoritas, suatu pendapat yang didukung

oleh Triandis.

Equality matching atau EM

Hubungan EM akan didasarkan kepada model kesetimbangan dan korespondensi

satu satu atau suatu jenis resiprositas. Orang dalam hubungan EM akan

mempertahankan kesetimbangan itu dan akan terkait dengan luasan

ketidasetimbangan dari hubungan. Ketidaksetimbangan dalam hubungan EM akan

sering dikoreksi oleh aksi penyeimbangan ulang hubungan yang ada dengan

membandingkan dan mempertentangkan obyek dalam korespondensi satu satu.

Ide pokok yang mendasari aksi ini adalah bahwa semua manusia yang terlibat dalam

hubungan EM akan diwajibkan untuk mengoreksi ketidaksetimbangan atau

ketidaksetaraan dalam distribusi. Kesetaraan egaliter ini telah mendapatkan tempat

secara universal dan dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia dengan label yang

berbeda beda. RCA adalah contoh jelas dari transaksi EM.

Banyak pakar telah mendeskripsikan EM beroperasi sebagai mekanisme pengaruh

sosial (Cialdini 1988). Prinsip pentingnya adalah bahwa pada saat manusia yang

berada (terkait) dalam model EM menerima suatu keuntungan maka dia wajib

mengembalikan keuntungan itu dalam bentuk yang lainnya. EM itu sendiri adalah

cetak biru untuk relasi manusia. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa EM akan

melibatkan suatu konsepsi individu yang berbeda tetapi setara yang hubungannya

didasarkan kepada pengukuran perbedaan signifikansi sosial antar manusia.

Penetapan harga pasar

Penetapan harga pasar atau MP adalah konsep yang diterima luas dalam masyarakat

barat dan ia merupakan hal yang mendasar bagi konsepsi cultural dari hubungan dan

hakikat manusia. Tetapi, pakar yang lainnya menyatakan bahwa semua perilaku

sosial manusia adalah didasarkan kepada perhitungan yang kurang lebih rasional atas

rasio biaya = korbanan dalam pertukaran atau transaksi (Blau 1964). Tetapi para

pakar yang lainnya telah memperlihatkan bahwa ada perbedaan penting di antara

ketiga transaksi.

Blau (1964) telah menganggap strictly economical exchange sebagai ekspresi dari

individu yang asosial dan egois. Sahlin (1965) telah menempatkan MP pada suatu

kontinum yang mendekati kutub dari resiprositas negative tetapi keduanya mengakui

bahwa Mp sebagai jenis interaksi yang berbeda. Polanyi (1947) telah

mengklarifikasi bahwa seperti halnya ketiga model yang lainnya, model pertukaran

pasar adalah tidak alamiah dan terkait secara inheren dengan transaksi dan produksi

material, dimana keempatnya merupakan proses sosial yang dikonstruksi secara

cultural.. Polanyi juga mengakui titik krusial dari MP (seperti halnya model yang

lainnya) adalah suatu mode relasi dengan orang lain.

Polanyi dkk memfokuskan kepada cara bagaimana MP akan memediasi hubungan

dengan membentuk dan memberikan makna terhadap proses pertukaran. Tetapi Fiske

(1992) menyatakan bahwa MP adalah tidak terbatas untuk mengorganisasikan

transfer obyek atau manfaat.

Konstruk Hofstede atas jarak kekuasaan dan individu akan terkait erat dengan AR.

Communal sharing atau CS (seperti yang telah kami paparkan di depan) tampaknya

akan terkait erat dengan kolektivisme, tetapi teori Fiske dekat kepada konstruk

penghindaran ketidakpastian dari Hofstede dan konsep maskulinitas dari Triandis.

Terlebih lagi, dengan adanya fakta bahwa Hofstede telah menemukan bahwa

individualisme dan jarak kekuasaan akan mempunyai korelasi sebesar 0,7, sehingga

di sana ada keraguan apakah hubungan yang diperkirakan ada antara konstruk Fiske

dan Hofstede akan membawa signifikansi.

Evaluasi bentuk realitas sosial dari Fiske

Bentuk realitas sosial dari Fiske mencatatkan skor rendah pada simplisitas. Dalam

berupaya menyeimbangkan antara keselarasan presentasi dan kekayaan isi dari

bentuk Fiske, maka kita perlu melakukan kajian lebih lanjut atas bentuk ini sebelum

kita dapat memahaminya. Terkait dengan substansi, Fiske telah menyediakan

kerangka kerja yang eksklusif untuk studi budaya. Terkait dengan bentuk, bentuk

realitas sosial dari Fiske adalah kaya dengan makna dan penuh dengan ide dan

berakar mendalam pada teori dan merepresentasikan konstruk global dari hubungan

sosial dari manusia. Fiske telah mempergunakan hubungan sebagai basis

pemahaman nilai (basis untuk memahami nilai) yang akan memungkinkan aplikasi

yang mudah dan universal.

Klasifikasi dari Fiske adalah independen terhadap unit analisis. Bentuk Fiske atau

Fiske Form akan dapat diaplikasikan secara sukses terhadap spektrum situasi sosial

(termasuk hubungan satu satu antara dua manusia, individu yang membentuk

keluarga, dan perbandingan multi bangsa). Kemampuan dari konstruk ini dalam

menstransendensikan level analisis adalah karena konstruk inti dari hubungan atau

relationship tetap stabil terlepas dari kompleksitas unitnya. Oleh sebab itu Fiske telah

memberikan peringkat tinggi kepada kriteria ini.

Dalam kaitannya dengan aplikabilitas metode penelitian, konsep Fiske telah

dikembangkan menggunakan pendekatan emik dan etik, sehingga akan

memberdayakan para peneliti di masa mendatang dengan berbagai pilihan metode.

Meskipun Fiske mendukung bentuk dengan properti aksiomatik, tetapi dia tidak

menunjukkan instrumen untuk pengukuran. Berdasarkan kepada landasan

aksiomatiknya, maka akan ada potensi besar untuk mengembangkan suatu instrumen

yang valid dan terpercaya untuk pengukuran yang valid. Berdasarkan alasan inilah

maka kerangka kerja Fiske akan kami berikan skor moderat dalam kaitannya dengan

aplikabilitas dari metode yang berbeda.

Terkait dengan kriteria pengidentifikasian tema dominan, Fiske telah menyediakan

kepada para peneliti dengan pilihan yang lebih beragam dari investigasi bentuk

sosial. Para peneliti barangkali akan memilih untuk mengkaji salah satu dari empat

bentuk, memilih kombinasi dari keempatnya, dan menginvestigasi bentuk dominan

dari keempatnya, dan mengidentifikasi dan menganalisis bentuk yang kurang

dominan. Oleh sebab itu, bentuk Fiske akan sangat bermanfaat dalam kaitannya

dengan kemampuannya untuk identifikasi tema dominan sehingga dalam kriteria ini

(yaitu kriteria identifikasi tema dominan) ia akan mendapatkan peringkat tinggi.

Dalam kaitannya dengan kemanfaatan untuk mengkaji perubahan budaya, kerangka

kerja Fiske adalah sangat bermanfaat. Menurut model Fiske, relasi dengan

masyarakat sejalan dengan waktu akan bergerak dari CS ke MP (Fiske 1992).

Tetapi, prediksi ini akan konsisten secara internal jika dioperasikan dalam domain

Fiske dan akan membuka peluang penelitian yang sangat menarik bagi para peneliti

di masa mendatang.

Manfaat utama dari kerangka kerja Fiske adalah bahwa kerangka kerja ini telah

memungkinkan dilakukannya studi pergeseran budaya dan akan memungkinkan

dilakukannya studi lintas tema, unit, dan metode. Karena perubahan budaya tetap

menjadi paradoks, maka kerangka kerja Fiske akan memungkinkan terungkapnya

rahasia yang selama ini masih menjadi misteri dan akan membantu memahami

bagaimana dan mengapa sebuah perubahan budaya terjadi atau berlangsung. Oleh

sebab itu, bentuk Fiske akan mendapatkan peringkat moderat dalam kemampuannya

dalam menjelaskan dan memprediksi perubahan budaya.

KESIMPULAN DAN PENELITIAN KE DEPAN.

Paper ini dipertajam dengan membandingkan dan mempertentangkan pandangan

ontologis dari nilai budaya dengan nilai berbasis laten tradisional. Lima kriteria untuk

evaluasi tipologi kultural telah disajikan dan didiskusikan. Ia akan diikuti oleh

pengidentifikasian dan penganalisisan tipologi kultural yang dinyatakan oleh

Hofstede Trompenaars Triandis dkk. Semua ini pada gilirannya akan dianalisis

berdasarkan setiap kriteria evaluasi.

Dalam mengkaji literatur tentang tipologi cultural, paper ini mempertentangkan

pendekatan ontologis dengan pendekatan berbasis nilai laten yang lebih mapan.

Meskipun perspektif ontologis telah semakin mendapatkan perhatian, tetapi

kerangka-kerja ini memerlukan kemajuan yang memadai pada tiga permasalahan

sebelum ia mendapatkan kredibilitas yang memadai dalam arus utama literatur. (1)

posisi akal pada debat emik etis literatur ontologis mengadopsi sudut pandang emik

dan sepenuhnya melepaskan diri dari sudut pandang etik. Sekurangnya, justifikasi

teoritis yang memadai akan diperlukan sebelum posisi ini diangkat (11) stabilitas

dari ontologi individualis dan (111) kebaruan yang tidak mencukupi. Kerangka-

kerja kognitif, sebagaimana yang didefinisikan oleh para pakar ontologism, akan

menyediakan pandangan yang serupa dengan pandangan nilai laten atas budaya.

Ini adalah kelemahan yang tidak sepele (kecil) dan akan memerlukan perbaikan yang

signifikan. Dengan menetapkan nilai berbasis laten sebagai kerangka-kerja untuk

analisis, maka paper ini akan mengkaji empat kerangka-kerja dominan dari budaya,

yaitu dimensi Hofstede, sindrom Trompenaars, dimensi Triandis, dan bentuk Fiske

Untuk melaksanakan suatu evaluasi yang menyeluruh, maka kerangka-kerja ini akan

kami analisis. Evaluasi sepanjang lima kriteria akan kami laksanakan yaitu

simplisitas atau kesederhanaan, level analisis, metode penelitian, tema dominant,

dan perubahan budaya (perubahan kultural).

Suatu keunggulan kerangka-kerja dari setiap kriteria akan menjadi bermanfaat untuk

praktik dan penelitian. Dengan menetapkan kriteria evaluasi, paper ini akan

mengukur setiap kerangka-kerja terhadap kriteria ini dan mengatur peringkat

komparatif yang akan kami sajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel pada halaman 14 naskah asli.

Kriteria Hofstede Triandis Trompenaars Fiske 1. Simplisitas H M L L2. Menstransendensikan level analisis L M M H3. Aplikasi metode penelitian berbeda L L L M4. Mengidentifikasi tema dominan M L L H5. Memahami perubahan budaya M L L M

Keterangan:H: tinggiM: moderat atau menengahL: rendah

Meskipun pada bagian sebelumnya setiap kerangka-kerja telah dievaluasi terhadap

kriteria itu sendiri, tetapi kerangka-kerja ini sekarang akan dipertentangkan dengan

setiap kriteria yang lain. Kolom pertama akan mengidentifikasi kriteria dan kolom

selanjutnya akan menampilkan pemeringkatan (tinggi, menengah, rendah) untuk

masing-masing tipologi budaya

Baris kedua, yaitu simplisitas, akan menangkap parsimony dalam substansi dan

bentuk. Terkait dengan simplisitas, Hofstede telah mengesampingkan kerangka-

kerja yang lainnya seperti yang dibuktikan oleh adopsi yang luas atas nilai

dimensinya. Bentuk Fiske adalah kaya dalam makna dan memerlukan level tertentu

pemahaman konseptual sampai dengan aplikasinya. Sedangkan tujuh dimensi dari

Triandis telah kehilangan parsimony yang diperlukan

Baris ketiga mentransendensikan level analisis dan mengukur kemampuan dari

kerangka-kerja untuk diaplikasikan secara bermakna lintas kelompok. Pada kriteria

ini, kerangka-kerja Fiske mendapatkan derajad tinggi dari aplikasinya di atas

kerangka-kerja yang lainnya. Ini disebabkan terutama karena bentuk Fiske (Fiske

form) adalah generic, kaya dengan makna, transitif, dan jelas. Meskipun dimensi

dari Triandis telah ditempatkan pada peringkat menengah, tetapi aplikasi dari

dimensi ini lintas unit akan cenderung memapar suatu tantangan signifikan terhadap

para peneliti. Sindrom Trompenaars barangkali hanya akan digunakan untuk

melaksanakan suatu analisis deskriptif. Aplikasi dari dimensi Hofstede hanya akan

terbatas untuk membandingkan perbedaan makna antar nilai rerata menggunakan

modul nilai survei

Baris kelima akan mengukur kerangka-kerja atas kemampuannya dalam

mengidentifikasi tema dominan dalam suatu budaya. Di sini, bentuk Fiske akan

mengungguli Hofstede karena klasifikasinya telah memungkinkan untuk identifikasi

bentuk dominan tertentu dalam budaya. Sedangkan dimensi Hofstede tidak.

Meskipun dimensi Hofstede adalah cukup jelas dan langsung untuk diidentifikasi

dan diaplikasikan dalam ikatan dari domainnya, tetapi bentuk Fiske akan

memungkinkan identifikasi tema dominan dalam suatu budaya dan akan diperingkat

tinggi.

Ini adalah inovasi penting dalam analisis budaya dan akan membuka peluang baru

yang sangat menarik untuk dilakukan penelitian lanjutan. Sindrom Triandis akan

memungkinkan dilakukannya beberapa identifikasi tema, tetapi tidak dalam derajad

yang sama dengan Hofstede dan Fiske. Sebaliknya, dimensi Trompenaars hanya

akan menawarkan sedikit nilai sepanjang kriteria ini dan akan diperingkat rendah.

Baris keenam dan kriteria terakhir akan mengukur kerangka-kerja atas kemampuan

mereka dalam membantu memahami perubahan kultural. Berdasarkan fenomena

kompleks budaya, menjelaskan perubahan budaya (perubahan kultural) akan

menguji lingkup dan besaran dari klasifikasi kultural.

Meskipun gerakan universal ke arah penetapan harga pasar barangkali akan sulit

diterima secara intuitif, tetapi kerangka-kerjanya adalah konsisten secara internal

dan akan diperingkat sebagai paling bermanfaat dalam menjelaskan dan memprediksi

perubahan kultural diantara kerangka-kerja kerangka-kerja yang dikaji. Juga, secara

umum (karena alasan konsistensi internal dan penawaran data survey), dimensi

Hofstede akan diperingkat kemudian. Secara khusus Hofstede telah menyediakan

korelasi demografik dan sosial yang sangat jelas dan validasi silang dengan berbagai

studi.

Sebagai contoh, Hofstede telah menemukan korelasi yang sangat kuat antara

kekayaan negara dengan individualisme yang mengimplikasikan kausalitas.

Meskipun Trompenaars menawarkan sejumlah data, tetapi validitas dan kejelasan

dari data itu tidak sepenuhnya memuaskan. Analisis Triandis tetap deskriptif dan

bukannya preskriptif dalam sembarang makna saintifik

Dalam mengkaji tabel secara vertikal, kami menemukan bahwa keseluruhan bentuk

Fiske menawarkan suatu kerangka-kerja yang lebih bagus untuk analisis budaya

setelah diukur dengan kriteria yang ada. Meskipun Fiske muncul sebagai suatu

kerangka-kerja yang unggul pada tiga dari lima criteria, tetapi penelitian aplikasinya

haruslah mengadopsi kerangka-kerja yang didasarkan kepada tujuan penelitiannya

yang hampir menyerupai pilihan atas metode penelitian.

Secara spesifik, jika seorang peneliti berharap untuk mengkaji budaya dari suatu

kelompok dengan rujukan (referensi) tertentu terhadap perkembangan historis dan

interpretasinya, maka sindrom Triandis tampaknya akan dapat menyediakan suatu

perspektif yang lebih mendalam. Serupa dengan itu, suatu studi yang dimaksudkan

untuk mengidentifikasi suatu tema dominan akan cenderung menemukan kerangka-

kerja Fiske sebagai basis yang memadai. Tabel ini juga menyediakan ruang untuk

perbaikan bentuk Fiske, khususnya setelah ia dikaitkan dengan simplisitas dan

aplikasinya terahdap metode penelitian yang berbeda-beda (khususnya penelitian

empiris). Bentuk Fiske tentunya akan diuntungkan dari operasionalisasinya dengan

penggunaan instrumen yang didesain baik.

Setelah mengkaji dan mengeksplorasi klasifikasi kultural yang memapar alternatif

untuk kerangka-kerja Hofstede, paper ini akan mengevaluasi setiap klasifikasi

sesuai dengan kriteria. Setelah itu, arahan untuk penelitian ke depan dan kontribusi

dari paper ini akan kami bahas

Paper ini memberikan empat kontribusi terhadap literatur.

1. Yang pertama, paper ini menawarkan suatu alternatif yang layak bagi

dimensi Hofstede. Meskipun literatur bisnis sejauh ini telah gagal

menyediakan dan mengaplikasikan apapun alternatif dari dimensi Hofstede,

tetapi studi yang mengaplikasikan pendekatan budaya terhadap permasalahan

penelitian akan cenderung mengadopsi kerangka-kerja Hofstede (secara

tipikal dengan mengaplikasikan satu dimensi atau lebih) dan paling bagus

akan diakhiri dengan kritik marjinal dari dimensi Hofstede. Kami tidak

mengetahui studi lain yang berusaha untuk mengkaji klasifikasi kultural

alternatif dan membawanya bersama-sama ke penelitian bisnis.

2. Kedua, paper ini menarget kepentingan dari identifikasi tujuan penelitian

secara jelas. Kajian kami telah mengarah kepada saran yang sederhana tetapi

bermanfaat dalam metode penelitian budaya, yaitu mengadopsi suatu

klasifikasi yang didasarkan kepada tujuan penelitian anda. Jika, sebagai

contoh, tujuan penelitian yang akan dilaksanakan adalah melaksanakan studi

historis atau longitudinal, maka penggunaan sindrom Triandis sepertinya

akan menghasilkan analisis yang bermakna. Jika tujuan penelitian adalah

untuk mengidentifikasi dan menganalisis tema budaya dominant, maka suatu

aplikasi dari bentuk Fiske (Fiske Form) akan cenderung menghasilkan

wawasan yang lebih bermakna daripada yang lainnya. Dan jika para peneliti

berharap untuk menggunakan instrumen atau data kolateral, maka korelasi

dengan data Hofstede pantas dipertimbangkan. Tampaknya hal yang akan

sering diabaikan oleh para peneliti dalam bidang bisnis adalah

mengaplikasikan kerangka-kerja Hofstede terhadap setiap permasalahan

budaya.

3. ketiga, kriteria evaluasi kami identifikasi untuk menyediakan suatu basis

untuk penelitian ke depan. Secara spesifik, hal ini akan digunakaan untuk

memformulasikan, membentuk, dan mengarahkan penelitian budaya.

Sebagai contoh, kriteria untuk menjelaskan perubahan kultural dengan

menggunakan bentuk Fiske akan dapat membentuk atau mengarahkan

penelitian dalam cara sebagai berikut: industri perawatan kesehatan di

Inggris, Austria, dan Selandia baru telah semakin dihadapkan kepada

pengawasan sosial. Meskipun dipandang secara tradisional sebagai suatu

bentuk communal sharing atau CS, tetapi industri perawatan kesehatan telah

bergerak ke arah penetapan harga pasar sebagai bentuk yang dominant,

terlebih bagi industri yang berada di Selandia Baru. Bentuk Fiske tidak

hanya akan menyediakan suatu deskripsi penjelasan (eksplanasi) yang sangat

bagus atas gerakan ini, tetapi lebih dari itu ia juga akan memprediksinya.

Sungguh, Fiske telah menyatakan bahwa dalam industri perawatan

kesehatan, di sana ada suatu gerakan dari bentuk lain hubungan sosial ke

arah penetapan harga pasar. Meskipun tidak menarik secara intuitif (bahwa

perawatan kesehatan harus didasarkan kepada beberapa mekanisme pasar,

misalnya penetapan harga), tetapi kriteria perubahan budaya ini pada saat

dipandang menggunakan lensa Fiske akan menyediakan beberapa area

penelitian yang menantang. Dalam cara yang sama, lima kriteria dapat pula

digunakan untuk patokan (benchmark) dan untuk mengukur kekuatan dari

penelitian terkait budaya. Ini juga konsisten dengan dan mendukung secara

langsung karakteristik umum dari penelitian ilmiah. Suatu konsiderasi dari

kriteria ini sampai dengan pengembangan suatu kerangka-kerja kultural

akan cenderung menghasilkan kerangka-kerja yang lebih kuat dan

bermanfaat.

4. Kontribusi keempat dan terakhir dari paper ini adalah menyediakan kepada

para peneliti suatu alat taksonomi kultural (dalam bentuk lima kriteria) untuk

mensintesis atau mengevaluasi secara kritis dimensi-dimensi yang ada untuk

mengembangkan suatu taksonomi yang lebih bermakna dan berguna. Para

peneliti yang mengembangkan taksonomi baru juga akan cenderung

diuntungkan dari mengarahkan penelitian mereka kepada kriteria ini.

Terlebih lagi, kriteria ini dapat pula digunakan untuk mengevaluasi

klasifikasi yang telah ada dan klasifikasi yang bakal ada.

Dalam kaitannya dengan arah yang mungkin untuk penelitian ke depan, maka

sejumlah jalan dapat diikuti untuk membentuk basis dari pertanyaan penelitian.

1. Pertama, masing-masing dari lima kriteria akan menyediakan kepada para

peneliti suatu lahan subur untuk penelitian terkait pertanyaan yang menarik.

2. Area luas kedua untuk penelitian ke depan adalah investigasi ke dalam

kerangka-kerja lain yang barangkali akan sangat bermanfaat dalam satu atau

lebih kriteria yang diidentifikasi.

3. Ketiga, para peneliti dapat mengembangkan suatu kuesioner untuk mengukur

secara empiris dimensi Fiske dan Triandis.

4. Area keempat bagi para peneliti adalah mengaplikasikan berbagai tipologi

terhadap permasalahan dengan menggunakan metode penelitian yang

berbeda. Hasil dari studi ini akan mengindikasikan apa kombinasi dari

metode dan tipologi yang akan memberikan hasil yang akurat.

5. Kelima, kerangka-kerja Fiske telah memunculkan pertanyaan terkait apakah

penetapan harga pasar merupakan bentuk dari realitas sosial atau haruskah ia

menjadi keadaan akhir dari kontinuum yang berurutan?. Ini akan menjadi

pertanyaan yang sangat menarik untuk diteliti dan akan dapat mengarah

kepada suatu perbaikan. Ia juga dapat menyediakan sudut pandang baru bagi

bentuk Fiske (Fiske form) dan penelitian budaya secara umum.

6. Keenam dan yang terakhir, ada kesempatan untuk perspektif kritis bagi

Para strukturalis radikal untuk menantang, menata ulang, mengarahkan ulang,

atau mengaplikasikan kerangka-kerja ini dan memperkenalkan level tinggi

dari perbaikan kontinyu kerangka-kerja yang ada.

Dalam kata yang singkat, selama orang-orang dari berbagai negara dan kebangsaan

bekerja bersama-sama, maka permasalahan budaya (permasalahan kultural) akan

terus muncul. Mengabaikan relevansi kultural (dalam bisnis, di tempat kerja, dan

dalam penelitian) tidak hanya akan dapat mengurangi luasan dari permasalahan ini

dimasa mendatang, tetapi kemungkinan juga akan dapat menghilangkannya. Suatu

Studi atas fenomena kompleks dari budaya akan terus memerlukan pengembangan

dan penggunaan hipotesis kerangka-kerja kultural.

Oleh sebab itu, tipologi kultural seperti yang telah kita bahas di sini hanyalah

permulaan dalam memberikan perhatian terhadap aspek budaya.

Catatan:

1. Satu contoh dari dominasi Hofstede akan ditemukan dalam daftar SSCI

2. Para pendukung argumen ini antara lain: Calori (1994) Abramson (1996) dll.

3. Pandangan laten vs pandangan ontologis adalah suatu topik yang layak

mendapatkan investigasi mendalam, tetapi suatu pembahasan yang panjang

lebar berada diluar ruang lingkup dari paper ini.

4. Empat hasil tambahan juga telah dicapai. Yang pertama, banyak klasifikasi

yang telah dipaparkan dalam literatur adalah bukan klasifikasi sistematis dari

budaya dan ia juga tidak dapat ditempatkan pada teori tertentu dan tidak pula

dapat divalidasi oleh analisis statistik.

5. Ekslusif akan bermakna bagaimana suatu subskala akan didefinisikan secara

terpisah.

6. Hofstede dkk telah memperingatkan akan kemungkinan adanya kesalahan

ekologis dari menarik kesimpulan antar level analisis. Paper ini menyatakan

bahwa suatu skema klasifikasi yang memungkinkan analisis multi level dapat

digunakan pada eksaminasi budaya dan ekologis.

7. Definisi Trompenaars atas budaya adalah definisi generik lintas organisasi

dan kebangsaan (nasionalitas) yang berbeda, sehingga akan dimungkinkan

terjadi kerancuan diantara keduanya

8. Kluckohn juga telah mengidentifikasi dimensi ini sebagai hal yang penting

9. AR akan berlawanan dengan kekuasaan koersif dimana manusia akan

mendominasi manusia lainnya terutama dengan kekuasaan atau dengan

ancaman.

10. Meskipun Malinowski (1921) adalah orang yang pertama yang menyerukan

perhatian terhadap hal ini, tetapi ini diberi label resiprositas (Polanyi dkk

1947).

11. RCA adalah hal yang sangat umum terjadi di Asia dan Afrika dan akan

melibatkan anggota untuk memberikan sumbangan secara adil (sama) dan

secara teratur. Dalam budaya kita ARC sering dikenal dengan sebutan arisan

atau iuran kelompok.

12. Meskipun Fsike tidak membahas jender secara eksplisit, tetapi suatu

pencermatan dan invetigasi yang lebih mendalam telah memperlihatkan

bahwa konsep diferensiasi jender akan terkandung di dalamnya.

13. Sebagai contoh, unit akan mempunyai kekuatan yang bervariasi dari CS, AR,

EM dan MP dan salah satu dari bentuk ini akan dominan dalam unit yang kita

kaji. Ini akan menyediakan peluang kepada para peneliti untuk mengkaji

bentuk yang dominan atau bentuk yang kurang dominan dalam unit analisis.

14. Parson juga telah membuat klaim yang sama atas gerakan ke arah

universalisme dan prestasi dari partikularisme dan askripsi.

15. Fiske telah memperkirakan (memprediksi) hasil sementara untuk perubahan

budaya dan hasil yang diprediksi ini akan didasarkan kepada argumen yang

konsisten secara internal (dan akan diperingkat tinggi).

16. Seperti yang telah diidentifikasikan oleh Sekaran (1992), analisis ini adalah

teruji, handal, obyektif, dan dapat digeneralisir.. .

.