blok 8 issue 6 setengah jadi
TRANSCRIPT
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Persarafan dari Gigi geligi dan Struktur Pendukungnya
Ujung saraf sensorik terdapat pada gusi, ligament periodontal dan pulpa.
Serabut sensorik somatic yang keluar pada ujung-ujung saraf ini, membentuk n.
alveolaris inferior, akan berhubungan dengan serabut n. mentalis yang keluar dari
ujung saraf sensoris, terletak pada cutis, membrane mukosa dagu dan labium oris
inferior. N. alveolaris inferior juga mengandug beberapa serabut symphaticus
non-mielinisasi yang kecil dari ganglion servikal superior, didistribusikan ke otot
polos pembuluh darah gigi geligi rahang bawah, gingival, labium oris inferius,
dan bagian depan pipi. Sebagian besar serabut n. symphaticus ini didistribusikan
oleh plexus saraf perivaskuler, mengelilingi pembuluh arteri besar ke region
tersebut. Plexus mengandung serabut postganglionic yang berorigo pada ganglion
servicale superior.
1. Persarafan Gigi geligi Bawah
Persarafan gigi geligi bawah berasal dari n. alveolarisinferior,
cabang divisi posterior truncus mandibularis n. Trigeminus (n. cranialis
V). gingival pada vacies lingualis gigi geligi bawah mendapat persarafan
serabut sensoris dari n. lingualis. Gingival pada vacies bucalis molar dan
premolar bawah mendapat suplai dari n. buccalis, yang merupakan cabang
terminal (sensorik) dari divisi anterior n. mandibularis. Saraf ini berjalan
pada permukaan luar m. buccinator disertai arteri. N. mentalis berfungsi
mempersarafi mukosa labial pada region caninus dan incisivus (Dixon,
1993).
2. Persarafan Gigi geligi Atas
Cabang maksila n. trigeminus akan bercabang lagi menjadi n.
alveolaris superior. N. alveolatis superior akan bercabang lagi menjadi 3,
antara lain:
a. n. alveolaris superior anterior,
N. alveolaris superior anterior mengeluarkan n. infraorbitalis
sedikit di belakang foramaen infraorbital. Saraf akan berjalan
4
dalam kanalis yang menuju sisi lateral kanalis infraorbitalis dan
berjalan di bawah foramen infraorbital pada facies anterior
maksila. Di dekat aperture nasalis, saraf turun kea rah apeks gigi
incisivus. Saraf akan terus berjalan melalui tulang dalam
hubungan yang erat dengan membrane mukosa pembatas di depan
sinus maksilaris dan mengeluarkan percabangan sebagai berikut:
1) Rami posterior berhubungan dengan n. alveolaris superior
posterior dan n. alveolaris superior medius bila ada, dan
mempersarafi gigi caninus serta premolar.
2) Rami incisivus ke gigi incisivus
3) Rami nasales ke membrane mukosa nasalis, menutupi
daerah sinus cavum nasi.
4) Cabanng-cabang ke membrane mukosa sinus maksilaris
(Dixon, 1993).
b. n. alveolaris superior medius,
n. alveolaris superior medius dapat ditemukan pada 50 %
kasus. Saraf ini dapat terletak pada salah satu sisi wajah, tidak ada
pada sisi berlawanan. Saraf ini mengeluarkan n. infraorbitalis di
antara a. alveolaris superior anterior dan fisura orbitalis inferior.
Saraf biasanya berjalan turun pada dindinng lateral sinus jauh ke
dalam processus zygomaticus maxillae dank arena itu akan
terletak tidak jauh dari permukaan tulang. Saraf akan bergabung
dengan plexus saraf yang dibentuk melalui n. alveolaris superior
posterior dan rami posterior n. alveolaris anterior yang
bertumpang tindih. Saraf berfungsi mempersarafi gigi premolar
dan membantu mempersarafi jaringan pendukung gigi caninus dan
molar pertama tetap. Saraf ini mengeluarkan cabang-cabangnya ke
membrane mukosa sinus (Dixon, 1993).
c. n. alveolaris superior posterior.
N. alveolaris superior anterior atau n. alveolaris, merupakan
cabang n. maksilaris ketika a. maksilaris berjalan melewati fossa
pterygopalatina. Saraf ini berjalan turun pada bagian belakang
5
maksila bersama dengan arteri. Beberapa cabang akan tetap
berjalan pada permukaan tulang untuk mempersarafi gingival yang
berhubungan dengan molar tetap dan pipi. Cabang-cabang lainnya
masuk ke satu atau beberapa foramina pada bagian belakang
maksila, berjalan horizontal dalam kanalis tulang di bawah
processus zygomaticus maxillae, kea rag facialis tulang,
membentuk plexus bersama dengan n. alveolaris superior anterior
dan n. alveolaris superior medius, n. alveolaris superior posterior
berfungsi mempersarafi gigi molar dan membrane mukosa sinus
maksilaris (Dixon, 1993).
Plexus yang dibentuk oleh n. alveolaris superior
berhubungan erat dengan apeks gigi geligi atas dan terbentuk
melalui distribusi tiga cabang saraf yang bertumpang tindih.
Incisivus mendapat persarafan dari rami anterior, caninus
mendapat persarafan dari rami anterior dan media bila ada,
premolar mendapatkan persarafan dari rami anterior dan atau rami
media bila ada, molar pertama tetap mendapat suplai dari rami
medius bila ada dan rami posterior, sedangkan rami medius selalu
mempersrafi molar kedua dan ketiga (Dixon, 1993).
2.2 Penyakit Periodontal
2.2.1 Definisi Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal adalah suatu inflamasi kronis pada jaringan
pendukung gigi (periodontium). Penyakit periodontal dapat hanya mengenai
gingiva (gingivitis) atau dapat menyerang struktur yang lebih dalam
(periodontitis). Gambaran klinis yang membedakan antara gingivitis dan
periodontitis adalah ada tidaknya kerusakan jaringan periodontal destruktif
umumnya dihubungkan dengan keberadaan dan atau meningkatnya jumlah
bakteri patogen spesifik seperti Phorphyromonas gingivalis (P.g), prevotella
intermedia (P.i), bacteriodes forsytus (Bi) dan actinobacillus
actinomycetemcomitans (A.a).
6
2.2.2 Klasifikasi Penyakit Periodontal
2.2.2.1 Gingivitis
a. Gingivitis karena plak gigi
Adalah radang gusi atau gingivitis adalah akibat infeksi
bakteri.Gingivitis dapat terjadi pada usia berapapun, tapi paling sering
timbul pada usia remaja.
Perawatan : perawatan untuk gingivitis akut dan kronis terdiri atas
menghilangkan plak gigi diikuti oleh kebersihan mulut sehari-hari
(Wolf dkk., 2005).
b. Gingivitis Hormonal
Adalah suatu peradangan hiperplastik terhadap plak mikrobial
yang umumnya mengenai wanita selama pubertas, kehamilan atau
menopause.
Perawatan : selama kehamilan, pemberian instuksi dan motivasi untuk
menjaga mulut harus dilakukan secara berulang-ulang, penghilangan
plak dan kalkulus dengan skaling (Wolf dkk., 2005).
c. Gingivitis Diabetik
Merupakan kelainan metabolik progresif yang ditandai
hiperglikemia, glukosuria, poliurea, polidipsi, pruritis dan menurunnya
berat badan.
Perawatan : yang umum dilakukan yaitu mengendalikan kadar glukosa
dalam darah dengan diet, obat-obatan hipoglikemik atau insulin (Wolf
dkk., 2005).
d. Herpatik Gingivostomatitis Akut
Adalah suatu infeksi mulut primer yg disebabkan oleh virus herpes
simpleks tipe I dan sering terjadi pada anak-anak dengan gambaran
klinis lesi vesikel ulseratif pada mulut dan gingivitis marginal akut.
Perawatan : terapi bersifat suportif dan pemberian obat kumur
Chlorhexidine glukonate 0,2 %. (Wolf dkk., 2005)
e. Gingivitis Ulseratif Akut yang Nekrosis
7
Yaitu suatu tipe gingivitis akut yg berhubungan dengan spesies-
spesies bakteri tertentu dan stress. ANUG adlh penyakit keradangan
destruktif gingival dengan symptom dan tanda yg spesifik.
Perawatan : pencegahan ANUG dpt dilakukan dg menjaga kebersihan
mulut (sikat gigi,obat kumur,dental floss), makan bergizi, tdk merokok.
(Wolf dkk., 2005)
f. Gingivitis Deskuamatif Akut
Yaitu suatu tipe gingivitis akut yg berhubungan dengan spesies-
spesies bakteri tertentu dan stress. ANUG adlh penyakit keradangan
destruktif gingival dengan symptom dan tanda yg spesifik.
Perawatan : pencegahan ANUG dpt dilakukan dg menjaga kebersihan
mulut (sikat gigi,obat kumur,dental floss), makan bergizi, tdk merokok
(Wolf dkk, 2005).
g. Papillon-Lefevre Syndrome
Merupakan kelainan autosomal resesif yg ditandati dg
hiperkeratosis telapak tangan dan telapak kaki disertai gingivitis dan
periodontitis yg berkembang dg cepat dan parah. Terlihat adanya
gingivitis dan periodontitis yg parah,plak gigi,dan pendarahan spontan.
Perawatan: terapi meliputi ekstraksi gigi yang tidak mungkin
dipertahankan, pembuatan GTSL (Wolf dkk, 2005).
h. Perikoronitis
Merupakan peradangan pd jaringan lunak disekeliling gigi yg akan
erupsi, paling sering terjadi pd molar 3 bawah.
Perawatan: pencabutan gigi yg bersangkutan (Wolf dkk., 2005).
2.2.2.2 Periodontitis
1. Periodontitis juvenile lokalisata (LJP)
a. Penderita biasanya berumur 12-26 tahun, tetapi bisa juga terjadi pada
umur 10-11 tahun.
b. Perempuan lebih sering diserang daripada laki-laki (3:1)
8
c. Gigi yang pertama dirusak molar satu dan insisivus
d. Angka kaies biasanya rendah
e. Netrofil memperlihatkan kelainan khemotoksis dan fagositosis
f. Sangat sedikit dijumpai plak atau kalkulus yang melekat pada gigi,
tetapi pada tempat yang rusak dijumpai kalkulus subgingiva.
g. Gingiva bisa kelihatan normal tetapi dengan probing bisa terjadi
perdarahan dan gigi yang dikenal akan terlihat goyang (Berkovitz
dkk., 2009).
2. Periodontitis juvenile generalisata (GJP)
GJP ini mirip dengan LJP, tetapi GJP terjadi secara menyeluruh
pada gigi permanen dan dijumpai penumpukan plak yang banyak serta
inflamasi gingiva yang nyata. Melibatkan keempat gigi molar satu dan
semua insisivus serta dapat merusak gigi lainnya (C, P, M2).
3. Periodontitis kronis
Periodontitis kronis merupakan suatu diagnosa yang digunakan
untuk menyebut bentuk penyakit periodontal destruktif, namun tidak
sesuai dengan kriteria periodontitis juvenile generalisata, lokalisata
maupun prepubertas
a. Penyakit ini mirip dengan gingivitis kronis, akan tetapi terjadi
kehilangan sebagian tulang dan perlekatan jaringan ikat.
b. Perbandingan penderita antara perempuan dan laki-laki hampir
sama.
c. Angka karies biasanya tinggi
d. Respon host termasuk fungsi netrofil dan limfosit normal
(Berkovitsz dkk., 2009).
4. Periodontitis prepubertas
a. Periodontitis prepubertas ada dua bentuk terlokalisir dan
menyeluruh. Bentuk terlokalisir biasanya dijumpai pada usia 4 tahun
dan mempengaruhi hanya beberapa gigi saja, sedangkan bentuk
9
menyeluruh dimulai saat gigi tetap mulai erupsi dan mempengaruhi
semua gigi desidui.
b. Pasien dibawah umur 12 tahun (4 atau 5 bulan)
c. Perbandingan jenis kelamin hampir sama
d. Angka karies biasanya rendah
e. Plak dan kalkulus yang melekat pada gigi biasanya sedikit
f. Kehilangan tulang dan lesi furkasi (furcation involment) terlihat
secara radiografis
g. Kerusakan jaringan periodontal lebih cepat pada bentuk generalisata
daripada bentuk terlokalisir (Hatta, 2011).
Perawatan
Perawatan periodontitis dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
Fase I : fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara
menghilangkan beberapa faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa
melakukan tindakan bedah periodontal atau melakukan perawatan
restoratif dan prostetik. Berikut ini adalah beberapa prosedur yang
dilakukan pada fase I :
1. Memberi pendidikan pada pasien tentang kontrol plak.
2. Scaling dan root planing
3. Perawatan karies dan lesi endodontik
4. Menghilangkan restorasi gigi yang over kontur dan over hanging
5. Penyesuaian oklusal (occlusal ajustment)
6. Splinting temporer pada gigi yang goyah
7. Perawatan ortodontik
8. Analisis diet dan evaluasinya
9. Reevaluasi status periodontal setelah perawatan tersebut diatas
(Evy, 2006).
Fase II : fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas
anatomikal seperti poket periodontal, kehilangan gigi dan disharmoni
oklusi yang berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit sebelumnya dan
menjadi faktor predisposisi atau rekurensi dari penyakit periodontal.
Berikut ini adalah bebertapa prosedur yang dilakukun pada fase ini:
10
1. Bedah periodontal, untuk mengeliminasi poket dengan cara antara lain:
kuretase gingiva, gingivektomi, prosedur bedah flap periodontal,
rekonturing tulang (bedah tulang) dan prosedur regenerasi periodontal
(bone and tissue graft)
2. Penyesuaian oklusi
3. Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang ideal untuk gigi yang
hilang. (Evy, 2006)
Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah
terjadinya kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini adalah
beberapa prosedur yang dilakukan pada fase ini:
1. Riwayat medis dan riwayat gigi pasien
2. Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat scor
plak, ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas
gigi
3. Melekukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal dan
tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali
4. Scalling dan polishing tiap 6 bulan sekali, tergantung dari evektivitas
kontrol plak pasien dan pada kecenderungan pembentukan kalkulus
5. Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah karies. (Evy,
2006)
Terapi Periodontitis:
Pencegahan penyakit periodontal antara lain dengan cara :
1. Menyikat gigi setiap habis makan dengan pasta gigi yang mengandung
fluoride
2. Membersihkan sela-sela antara gigi dengan dental floss, dental floss ini
gunanya untuk mengangkat sisa makanan yang terdapat di leher gigi dan
di bawah gusi
3. Saat ini sudah banyak di produksi "dental water jet" yang terbukti lebih
efektif menghilangkan perdarahan gusi di bandingkan dental floss
4. Makanan bergizi yang seimbang
5. Mengunjungi dokter gigi secara teratur untuk dilakukan pemeriksaan
rutin dan cleaning. (Evy, 2006)
11
2.2.3 Faktor Penyebab Penyakit Periodontal
Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu faktor lokal (ekstrinsik) dan faktor sistemik (intrinsik). Faktor lokal
merupakan menyebab yang berada pada lingkungan disekitar gigi, sedangkan
faktor sistemik dihubungkan dengan metabolisme dan kesehatan umum
(Lamford,1995).
Faktor Lokal :
1. Plak Bakteri
Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba yang
melekat erat pada permukaan gigi dan gingiva bila seseorang mengabaikan
kebersihan mulut. Berdasarkan letak huniannya, plak dibagi atas supra
gingival yang berada disekitar tepi gingival dan plak sub-gingiva yang
berada pada apikal dari dasar gingival.
Bakteri yang terkandung dalam plak di daerah sulkus gingiva
mempermudah kerusakan jaringan. Hampir semua penyakit periodontal
berhubungan dengan plak bakteri dan telah terbukti bahwa plak bakteri
bersifat toksik. Bakteri dapat menyebabkan penyakit periodontal secara
tidak langsung dengan jalan :
a. Meniadakan mekanisme pertahanan tubuh
b. Mengurangi pertahanan jaringan tubuh
c. Menggerakan proses immuno patologi
Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama
terjadinya gingivitis, akan tetapi masih banyak faktor lain sebagai
penyebabnya yang merupakan multifaktor, meliputi interaksi antara
mikroorganisme pada jaringan periodontal dan kapasitas daya tahan tubuh
(Lamford,1995).
2. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang
mengalami pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara alamiah.
Kalkulus merupakan pendukung penyebab terjadinya gingivitis dan lebih
banyak terjadi pada orang dewasa, kalkulus bukan penyebab utama
terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab timbulnya gingivitis
12
adalah plak bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan
kalkulus, mempengaruhi gingiva secara tidak langsung (Lamford,1995).
3. Impaksi Makanan
Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan) merupakan
keadaan awal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal.
Gigi yang berjejal atau miring merupakan tempat penumpukan sisa
makanan dan juga tempat terbentuknya plak, sedangkan gigi dengan oklusi
yang baik mempunyai daya self cleansing yang tinggi.
Tanda – tanda yang berhubungan dengan terjadinya impaksi
makanan,yaitu :
a. Perasaan tertekan pada daerah proksimal
b. Rasa sakit yang sangat dan tidak menentu
c. Inflamasi gingiva dengan perdarahan dan daerah yang terlibat sering
berbau
d. Resesi gingiva
e. Pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak dari
soketnya, sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan
sensitif terhadap perkusi.
f. Kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar
4. Pernafasan Mulut
Kebiasan bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan buruk.
Hal ini sering dijumpai secara permanen atau sementara. Permanen
misalnya pada anak dengan kelainan saluran pernafasan, bibir maupun
rahang, juga karena kebiasaan membuka mulut terlalu lama. Sementara
misalnya pasien penderita pilek dan pada beberapa anak yang gigi depan
atas protrusi sehingga mengalami kesulitan menutup bibir. Keadaan ini
menyebabkan viskositas (kekentalan) saliva akan bertambah pada
permukaan gingiva maupun permukaan gigi, aliran saliva berkurang,
populasi bakteri bertambah banyak, lidah dan palatum menjadi kering dan
akhirnya memudahkan terjadinya penyakit periodontal.
5. Sifat fisik makanan
13
Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan yang
bersifat lunak seperti bubur atau campuran semiliquid membutuhkan
sedikit pengunyahan, menyebabkan debris lebih mudah melekat disekitar
gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang bakteri serta memudahkan
pembentukan karang gigi.
Makanan yang mempunyai sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi
massa yang sangat lengket bila bercampur dengan ludah. Makanan yang
demikian tidak dikunyah secara biasa tetapi dikulum di dalam mulut
sampai lunak bercampur dengan ludah atau makanan cair, penumpukan
makanan ini akan memudahkan terjadinya penyakit.
Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yang mempunyai sifat
self cleansing dan berserat yaitu makanan yang dapat membersihkan gigi
dan jaringan mulut secara lebih efektif, misalnya sayuran mentah yang
segar, buah-buahan dan ikan yang sifatnya tidak melekat pada permukaan
gigi.
6. Iatrogenik Dentistry
Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena pekerjaan
dokter gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu melakukan perawatan
pada gigi dan jaringan sekitarnya sehingga mengakibatkan kerusakan pada
jaringan sekitar gigi.
7. Trauma dari oklusi
Trauma dari oklusi menyebabkan kerusakan jaringann periodonsium,
tekanan oklusal yang menyebabkan kerusakan jaringan disebut traumatik
oklusi. Trauma dari oklusi dapat disebabkan oleh:
a. Perubahan-perubahan tekanan oklusal. Misal adanya gigi yang
elongasi, pencabutan gigi yang tidak diganti, kebiasaan buruk seperti
bruksim.
b. Berkurangnya kapasitas periodonsium untuk menahan tekanan oklusal
Faktor Sistemik :
1. Demam yang tinggi
Pada anak-anak sering terjadi penyakit periodontal selama menderita
demam yang tinggi, (misal disebabkan pilek, batuk yang parah). Hal
14
ini disebabkan anak yang sakit tidak dapat melakukan pembersihan
mulutnya secara optimal dan makanan yang diberikan biasanya
berbentuk cair. Pada keadaan ini saliva dan debris berkumpul pada
mulut menyebabkan mudahnya terbentuk plak dan terjadi penyakit
periodontal.
2. Defisiensi Vitamin
Di antara banyak vitamin, vitamin C sangat berpengaruh pada jaringan
periodontal, karena fungsinya dalam pembentukan serat jaringan ikat.
Defisiensi vitamin C sendiri sebenarnya tidak menyebabkan penyakit
periodontal, tetapi adanya iritasi local menyebabkan jaringan kurang
dapat mempertahankan kesehatan jaringan tersebut sehingga terjadi
reaksi inflamasi.
3. Drugs atau obat-obatan
Obat-obatan dapat menyebabkan hiperplasia, hal ini sering terjadi pada
anak-anak penderita epilepsi yang mengkonsumsi obat anti kejang,
yaitu phenytoin (dilantin). Dilantin bukan penyebab langsung penyakit
jaringan periodontal, tetapi hyperplasia gingiva mempermudah
terjadinya penyakit.
2.2.4 Mekanisme Kerusakan Tulang Pada Penyakit Periodontal
Faktor yang terlibat dalam kerusakan tulang pada penyakit periodontal adalah
bakteri dan host. Produk bakteri plak menyebabkan differensiasi sel progenitor
tulang menjadi osteoklas dan menstimulasi sel gingival untuk mengeluarkan
mediator yang mempunyai efek yang sama. Pada penyakit dengan perkembangan
yang cepat seperti localized juvenile periodontitis, terdapat mikrokoloni bakteri
atau sel bakteri yang berada diantara serat kolagen dan diatas permukaan tulang
yang dapat memberikan efek langsung.
Beberapa faktor host dikeluarkan oleh sel inflamasi dapat menyebabkan
resorpsi tulang secara in vitro dan dapat berperan dalam penyakit periodontal,
termasuk prostaglandin dan prekursornya, interleukin 1-α dan –β, dan Tumor
Necrosis Factor (TNF)-α yang dihasilkan oleh host.
15
Ketika diinjeksikan secara interdental, prostaglandin E2 menyebabkan
perubahan vaskular yang terlihat pada inflamasi, apabila diinjeksikan diatas
permukaan tulang akan menyebabkan resorpsi tulang tanpa adanya sel inflamasi
dan dengan sedikit multinucleated osteoklas. Obat anti-inflamasi non steroid
(AINS) seperti flurbiprofen atau ibuprofen dapat menghambat produksi
prostaglandin E2, memperlambat kehilangan tulang pada penyakit periodontal.
Efek ini terjadi tanpa perubahan pada inflamasi gingiva dan kambu kembali 6
bulan setelah pengehentian obat.
Kecepatan kerusakan tulang bervariasi tergantung pada tipe penyakit yang
ada. Didasarkan pada kerusakan interproksimal diklasifikasikan menjadi :
1. Rapid progression dan penyakit periodontal, kehilangan tulang 0,1-1 mm
dalam satu tahun.
2. Moderate progressive periodontal disease, kehilangan tulang alveolar
sebesar 0,05-0,5 mm dalam satu tahun.
3. Perkembangan kerusakan minimal atau tidak ada yaitu jika
perkembangan kerusakan 0,05-0,09 mm dalam satu tahun.
1. Pola kerusakan tulang pada penyakit periodontal
Penyakit periodontal dapat merubah gambaran morfologi tulang alveolar
sehingga terjadi penurunan ketinggian tulang.
a. Resorpsi Tulang Alveolar
Resorpsi tulang horizontal merupakan pola kehilangan tulang yang paling
sering ditemukan pada penyakit periodontal. Puncak tulang alveolar mengalami
penurunan, tetapi margin tulang yang tersisa tegak lurus terhadap permukaan gigi.
Septum interdental serta bagian facial dan lingual juga mengalami kerusakan,
tetapi derajat kerusakan disekeliling gigi berbeda-beda.14
b. Defek Vertikal atau Angular
Defek vertikal atau angular terjadi dalam arah oblique, membuat lubang yang
menembus ke dalam tulang di sepanjang akar, dasar defek terletak ke arah apikal
16
di sekitar tulang. Defek angular disertai poket infrabony yang mendasari defek
angular.
Defek angular diklasifikasikan berdasarkan jumlah dinding osseus. Defek
angular dapat memiliki satu, dua atau tiga dinding. Jumlah dinding pada bagian
apical defek lebih besar daripada bagian oklusal yang disebut combined osseus
defect.
Defek vertikal terjadi pada interdental yang dapat terlihat secara jelas pada
gambaran radiografis,walaupun kadang tertutup oleh kepingan tulang yang tebal.
Defek angular juga terdapat pada permukaan facial dan lingual atau palatal, tetapi
defek ini tidak terlihat pada gambaran radiografis. Pembedahan merupakan cara
yang pasti untuk mengetahui adanya bentuk defek tulang vertikal.
Defek vertikal meningkat sesuai dengan usia. Hampir 60% orang dengan
defek angular interdental hanya mempunyai satu defek. Defek vertikal dapat
dideteksi dengan pemeriksaan radiografi yang telah dilaporkan bahwa banyak
terlihat pada permukaan distal dan mesial, akan tetapi defek dengan tiga dinding
lebih sering ditemukan pada permukaan mesial molar atas dan bawah.
Defek vertikal dengan tiga dinding biasa disebut dengan defek infrabony.
Defek ini paling sering terdapat pada bagian mesial dari molar kedua dan ketiga
rahang atas dan bawah. Defek vertikal dengan satu dinding disebut juga
henniseptum.
c. Keterlibatan furkasi
Istilah keterlibatan furkasi menunjukkan adanya invasi penyakit periodontal
ke daerah bifurkasi dan trifurkasi pada gigi dengan akar banyak. Prevalensi
keterlibatan furkasi pada gigi molar masih belum jelas, tetapi terdapat beberapa
laporan yang mingindikasikan bahwa molar pertama rahang bawah paling sering
terkena dan premolar rahang atas yang paling jarang, sedangkan yang lainnya
telah ditemukan prevalensi yang lebih tinggi pada rahang atas. Jumlah keterlibatan
furkasi meningkat sesuai dengan usia.
17
Keterlibatan furkasi dapat terlihat secara klinis atau tertutup oleh dinding
poket. Perluasan keterlibatan dapat diketahui dengan cara mengeksplorasi
menggunakan probe yang tumpul disertai semprotan udara hangat untuk
mempermudah visualisasi.
d. Cacat tulang pada tulang alveolar.
Cacat ini dijumpai pada septum interdental maupun permukaan tulang
sebelah luar (oral atau vestibular).
e. Cacat tulang pada septum interdental.
Adanya cacat tulang ini dapat dilihat secara radiografis, tetapi paling jelas
diketahui dengan mengadakan probing sewaktu diadakan pembukaan flap dalam
prosedur operatif.
2.3 Pulpa
2.3.1 Bagian Pulpa
Gigi umumnya berongga tengah, disebut rongga pulpa yang berisi pulpa
gigi. Bagian bagiannya adalah:
1. Ruang pulpa, yait rongga pulpa yang terdapat pada bagian tengah korona
gigi dan selalu tungal.
2. Tanduk pulpa, yaitu ujung dari ruang pulpa.
3. Saluran pulpa/ saluran akar, yaitu rongga pulpa yang terdapat pada bagian
akar gigi.
4. Foramen apikal, ujung dari saluran pulpa yang terdapat pada apeks, akar
berupa suatu lubang kecil.
5. Supplementary canal, beberapa akar gigi mungkin mempunyai lebih dari
satu foramen. Dalam hal ini, saluran tersebut mempunyai 2 atau lebih
cabang dekat apikalnya yang disebut multiple foramina/ supplementary
canal.
6. Orifice/entrance into the pulp canal. Yaitu pintu masuk ke saluran akar
gigi. Saluran pulpa dihubungkan dengan ruang pulpa. Ada kalanya
18
ditemukan suatu akar mempunyai lebih dari satu salut=ran pulpa, misalnya
akar mesio bukal dari M1 atas dan akar mesial dari M1 bawah mempunyai
2 saluran pulpa yang berakhir pada sebuah foramen apikal.
Pulpa gigi merupakan jaringan lunak dari bagian gigi. Umumnya,
garis luar jaringan pulpa mengikutigaris luar bentuk gigi. Bentuk garis luar
ruang pulpa mengikuti bentuk mahkota gigi dan bentuk gari luar saluran
pulpa mengikuti bentuk akar gigi.
Pulpa gigi dalam rongga pulpa berasal dari jaringan mesenkim dan
memiliki fungsi, diantaranya adalah:
a. Sebagai pembentuk, menginduksi pembentukan enamel dan dentin.
b. Sebagai penahan, membentuk pertahanan berupa respon terhadap
substansi asing.
c. Mengandung zat zat makanan, memberi asupan nutrisi untuk
pembentukan dentin melslui tubulus dentin
d. Mengandung sel sel saraf/ sensori, merasakan sensasi panas dan
mekanis.
Fungsi permulaan pulpa adalah membentuk dentin.
Sistem sensori yang kompleks dari pulpa gigi adalah mengontrol
peredaran darah dan sensasi rasa sakit. Pembentukan dari reparasi atau
iritasi dentin sebagai penahan dari berbagai bentuk iritasi mekanis,
thermis, khemis atau bakteri (Itjiningsih, 1991)
19
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Ukuran Pulpa
1. Umur gigi
Ruang pulpa lambat laun mengecil sesuai dengan umur gigi. Pada waktu
periode perkembangan akar, diameter dari saluran akar terbesar pada bagian
apikal, yang menunjukkan suatu benmtuk seperti corong. Bentuk corong ini
lambat laun mengecil sesuai dengan berlangsungnya perkembangan akar dan
akhirnya pada masa proses perkembangan hampir berakhir bentuk corong
tersebut menyempit sampai sampai apeks akar komplit dengan suatu foramen
apikal yang kecil
2. Aktivitas fungsional
a. Maloklusi
oklusi abnormal dimana tidak benarnya hubungan antar lengkung gigi
pada maxila dan mandibula
b. Oklusi traumatis
c. Thermal shock
d. Abrasi, erosi dan atris
Banyaknya dentin sekunder yang dibentuk sesuai dengan banyaknya
daerah dentin yang terkena hal tersebut.
3. Riwayat Hidup
Pembentukan dentin sekunder terjadi selama penghiudupan berlangsung,
rongga pulpa lama kelamanaan akan menjadi sempit dengan meningkatnya
umur dan lamanya gigi tersebut digunakan untuk mengunyah
4. Penyakit sistemik
Salah satunya adalah diabetes mellitus. Diabetes yang tidak terkontrol
dengan kadarglukosa yang tinggi cenderung meningkatkan kadar kolesterol
dan trigliserida. Bentuk kolesterol LDL pada penderita diabetes lebih padat
dengan u kuran lebih kecil yang disebut Small Density LDL , sehingga mudah
masuk kedalam lapisan pembuluh darah yang lebih dalam. Bentuk kolesterol
LDL ini lebih berbahaya karena lebih bersifat aterogenik (lebih mudah
menempel pada pembuluh darah dan lebih mudah mem bentuk plak).
20
Keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah
sebab kurangnya insulin dapat menghambat kerja lipase yang berperan untuk
menghancurkan lemak dalam darah. Jadi pada penderita diabetes yang kurang
insulin dapat terbentuk plak pada pembuluh darah.
2.3.3 Penyakit Pulpa
A. Hiperemi Pulpa
Hiperemi pulpa bukanlah penyakit, tetapi merupakan suatu tanda bahwa
ketahanan pulpa yang normal telah ditekan sampai kritis. Hiperemi pulpa
ditandai dengan rasa sakit yang tajam dan pendek. Umumnya rasa sakit timbul
karena rangsangan air, makanan atau udara dingin, juga karena makanan yang
manis atau asin. Rasa sakit ini tidak spontan dan tidak berlanjut jika
rangsangan dihilangkan (Taringan R, 2002).
B. Pulpitis
Menurut Henry H. Burchard (2009), pulpitis adalah fenomena
peradangandalam jaringan pulpa. Pulpitis merupakan peradangan pulpa,
kelanjutan dari hiperemi pulpa, yaitu bakteri yang telah menggerogoti jaringan
pulpa. Menurut Ingle, atap pulpa mempunyai persyarafan terbanyak dibanding
bagian lain pada pulpa. Jadi, saat melewati pembuluh saraf yang terbanyak ini,
bakteri akan menimbulkan peradangan awal dari pulpitis akut (Tarigan, 2002).
Peradangan merupakan reaksi jaringan ikat vaskuler yang sangat penting
terhadap cedera. Reaksi pulpa sebagian disebabkan oleh lama dan intensitas
rangsangnya. Rangsang yang ringan dan lama bisa menyebabkan peradangan
kronik, sedangkan rangsang yang berat dan tiba-tiba besar kemungkinan
mengakibatkan pulpitis akut (Walton dan Torabinejad, 2003).
Klasifikasi Pulpitis
Menurut Tarigan (2002), klasifikasi pulpitis adalah sebagai berikut.
a. Berdasarkan sifat eksudat yang keluar dari pulpa, pulpitis terbagi atas :
1. Pulpitis akut serosa. Secara struktur, jaringan pulpa sudah tidak
dikenali lagi, tetapi sel-selnya masih terlihat jelas. Pulpitis akut dibagi
menjadi pulpitis akut serosa parsialis yang hanya mengenai jaringan
21
pulpa di bagian kamar pulpa saja dan pulpitis akut serosa totalis jika
telah mengenai saluran akar.
2. Pulpitis akut fibrinosa. Banyak ditemukan fibrinogen pada pulpa.
3. Pulpitis akut hemoragi. Di jaringan pulpa terdapat banyak eritrosit.
4. Pulpitis akut purulenta. Terlihat infiltrasi sel-sel masif yang berangsur
berubah menjadi peleburan jaringan pulpa. Bergantung pada keadaan
pulpa, dapat terjadi pernanahan dalam pulpa
b. Berdasarkan ada tidaknya gejala, pulpitis terbagi atas:
1. Pulpitis simtomatis : Pulpitis ini merupakan respons peradangan dari
jaringan pulpa terhadap iritasi, dengan proses eksudatif memegang
peranan. Rasa sakit timbul karena adanya peningkatan tekanan intrapulpa.
Rasa sakit ini berkisar antara ringansampai sangat hebat dengan intensitas
tinggi, terus menerus, dan berdenyut.Yang termasuk dalam pulpitis
simtomatis adalah :
Pulpitis akut
Pulpitis akut dengan periodontitis apikalis akut/ kronis
Pulpitis sub akut
Gambaran radiografi memperlihatkan adanya karies yang luas dan
dalam, kadang-kadang terjadi sedikit pelebaran ligamen periodontal.
Pada pulpitis simtomatis yang disertai periodontitis apikalis terjadi
kepekaan terhadap perkusi. Rangsangan panas akan menyebabkan
sakit, sebaliknya rasa sakit berkurang dengan adanya rangsang
dingin. Pada stadium awal, gigi menunjukkan kepekaan yang tinggi
terhadap tes elektrik, selanjutnya kepekaan ini berkurang sejalan
dengan keparahan penyakit.
2. Pulpitis asimtomatis : Merupakan proses peradangan yang terjadi sebagai
mekanisme pertahanan dari jaringan pulpa terhadap iritasi dengan proses
proliferasi berperan di sini.Tidak ada rasa sakit karena adanya
pengurangan dan keseimbangan tekanan intra pulpa. Yang termasuk
pulpitis asimtomatik:
Pulpitis kronik ulseratif
Pulpitis kronik hiperplastik
22
Pulpitis kronis yang bukan disebabkan oleh karies (prosedur
operatif,trauma, gerakan ortodonti)
c. Berdasarkan gambaran histopatologi dan diagnosis klinis, pulpitis terbagi
atas:
1. Pulpitis reversibel yaitu vitalitas jaringan pulpa masih dapat dipertahankan
setelah perawatanortodonti. Yang termasuk pulpitis reversibel adalah :
Peradangan pulpa stadium transisi
Atrofi pulpa
Pulpitis akut
2. Pulpitis ireversibel yaitu keadaan ketika vitalitas jaringan pulpa tidak
dapat dipertahankan, tetapigigi masih dapat dipertahankan di rongga mulut
setelah perawatan endodontidilakukan. Yang termasuk pulpitis ireversibel
adalah :
Pulpitis kronis parsialis tanpa nekrosis
Pulpitis kronis parsialis dengan nekrosis
Pulpitis kronis koronalis dengan nekrosis
Pulpitis kronis radikulairs dengan nekrosis
Pulpitis kronis eksaserbasi akut
C. Degenerasi Pulpa
Degenerasi pulpa jarang ditemukan, biasanya terdapat pada gigi orang
dewasa. Penyebabnya adalah iritasi ringan yang persistensi sewaktu muda.
Degenerasi pulpa tidak selalu berhubungan dengan infeksi atau karies
walaupun kadang-kadang terjadi pada gigi yang telah ditumpat. Keadaan ini
biasanya asimtomatis, gigi tidak mengalami perubahan warna dan pulpa dapat
bereaksi terhadap tes termal maupun elektrik. Namun, jika degenerasi pulpa
total, misalnya akibat trauma atau infeksi, gigi dapat berubah warna dan tidak
memberikan respons terhadap rangsang (Taringan R. 2002).
Macam-macam degenerasi pulpa :
1. Degenerasi hialin
Terjadi penebalan jaringan ikat pulpa karena penempelan karbohidrat
23
2. Degenerasi amiloid
Terlihat gumpalan-gumpalan sel pada pulpa
3. Degenerasi kapur
Terjadinya mineralisasi pada pulpa sehingga dapat terbentuk dentikel.
Mineralisasi ini dapat terjadi pada jaringan saraf, jaringan ikat, terutama
pada saluran akar.
D. Nekrosis Pulpa
Nekrosis pulpa adalah kematian yang merupakan proses lanjutan dari
radang pulpa akut maupun kronis atau terhentinya sirkulasi darah secara tiba-
tiba akibat trauma. Nekrosis pulpa dapat parsial atau total. Ada dua tipe
nekrosis pulpa, yaitu :
1. Tipe koagulasi. Disini terdapat bagian yang larut, mengendap, dan berubah
menjadi bahan yang padat.
2. Tipe liquefaction. Enzim proteolitik mengubah jaringan pulpa menjadi
suatu bahan yang lunak atau cair.
2.4 Macam-macam pemeriksaan untuk Penegakan Diagnosis Penyakit
Endodonsia
Untuk menghindari kesalahan diagnosis harus dilakukan pendekatan yang
sistematik secara bertahap dalam menegakkan diagnosis dan membuat rencana
perawatan, yaitu:
1. Tentukan keluhan utama
Keluhan utama pada umumnya merupakan informasi pertama yang
dapat diperoleh. Keluhan ini berupa gejala atau masalah yang diutarakan
pasien dengan bahasanya sendiri yang berkaitan dengan kondisi yang
membuatnya cepat-cepat datang mencari perawatan.
2. Tentukan informasi penting yang berkaitan dengan riwayat medis dan riwayat
kesehatan gigi pasien
24
Riwayat kesehatan umum yang lengkap bagi pasien baru terdiri atas
data demografis rutin yang mengidentifikasikan karakter pasien, riawayat
medis, riwayat dental, keluhan utama dan sakit yang sekarang diderita
3. Lakukan pemeriksaan subjektif, objektif dan radiografis yang teliti
4. Lakukan analisis data yang diperoleh
5. Formulasikan diagnosis dan rencana perawatan yang tepat (Walton, 2008).
Macam-macam pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
penyakit endodonsia, antara lain:
1. Pemeriksaan Subjektif
a. Penyakit yang sedang diderita
Sebagian besar pasien yang menderita penyakit endodonsia biasanya
tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) atau hanya mengalami gejala
ringan saja. Jika dicurigai ada penyakit pulpa atau periradikuler akibat
temuan lain, ketiadaan gejala yang nyata harus dicatat dan teruskan dengan
pemeriksaan objektif. Meskipun demikian, banyak juga pasien yang
menunjukkan tingkatan nyeri yang jelas dan merasa tertekan. Pasien
demikian memerlukan pemeriksaan subjektif yang sistematis dan hati-hati
disertai pertanyaan tajam dan terarah (Walton, 2008).
b. Aspek nyata dari nyeri
Nyeri adalah suatu entitas yang ompleks. Sering, nyeri pulpa atau
nyeri periapeks terasa berdenyut-denyut sesuai dengan irama denyut
jantung sistolik. Identifikasi sifat nyeri akan membantu membedakan nyeri
dental dari nyeri yang disebabkan oleh jaringan lain. Sejumlah aspek nyeri
merupakan petunjuk kuat bagi adanya penyakit pulpa dan/atau
periradikuler sehingga bisa memberi petunjuk pula bagi perawatannya yang
sesuai. Aspek-aspek ini adalah:
Intensitas nyeri
Spontanitas
Persistensi nyeri (Walton, 2008).
25
2. Pemeriksaan Objektif
Selama tahap ini, jaringan ekstraoral dan intraoral diperiksa dan
dibandingkan secara bilateral untuk memeriksa ada tidaknya penyakit (Walton,
2008).
Pemeriksaan Ekstraoral
Penampilan umum, tonus kulit, asimetri wajah, pembengkakan,
perubahan warna, kemerahan, jaringan parut ekstraoral atau saluran sinus, dan
kepekaan atau membesarnya nodus limfe servikal atau fasial adalah indikator
bagi status fisik pasien. Pemeriksaan ekstraoral yang hati-hati akan membantu
mengidentifikasikan sumber keluhan pasien serta adanya dan luasnya reaksi
inflamasi di rongga mulut (Walton, 2008).
Pemeriksaan Intraoral
Jaringan Lunak
Pemeriksaan jaringan lunak rongga mulut biasanya dilaksanakan secara
visual atau dengan palpasi secara lengkap dan teliti. Hal yang diperiksa
meliputi bibir, mukosa oral, pipi, lidah, palatum dan otot-otot serta semua
keabnormalan yang ditemukan (Walton, 2008).
Gigi Geligi
Pemeriksaan gigi geligi dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan
warna, fraktur, abrasi, erosi, karies, restorasi yang luas atau abnormalitas
lain. Mahkota yang berubah warna sering merupakan tanda adanya penyakit
pulpa atau merupakan akibat perawatan saluran akar yang telah dilakukan
sebelumnya.
a. Tes Klinis
Tes Klinis meliputi tes dengan menggunakan kaca mulut dan sonde
serta tes periodontium selain tes untuk mengetahui keadaan jaringan pulpa
dan periapeks. Sebagian besar tes ini memiliki keterbatasan, ada yang tidak
dapat digunakan untuk setiap gigi, sehingga tesnya impulkan apa-apa. Oleh
26
karena itu, sangatlah beresiko jika penegakan diagnosis dilandaskan hanya
pada satu macam tes saja. Hasil satu tes harus dikonfirmasikan dengan tes
tambahan yang lain. Tes-tes ini sifatnya tidak mutlak dan cenderung boleh
dikatakan memberi hasil kasar (Walton, 2008).
Kaca Mulut dan Sonde
Kaca mulut dan sonde dipakai untuk memeriksa karies yag luas atau
karies sekunder, terbukanya pulpa, fraktur mahkota, restorasi yang rusak
dan kebocoran daerah korona pada gigi yang telah dirawat saluran akarnya.
Pada beberapa keadaan (yakni karies besar di korona), kaca mulut dan sonde
dapat memberikan bantuan yang memadai dalam menegakkan diagnosis
akhir. Tetapi, mengingat perubahan patologis tak dapat ditentukan oleh cara
ini saja, tes klinis lainnya pun masih diperlukan (Walton, 2008).
Gigi Kontrol
Bantuan berharga dalam pengetesan pulpa dan periapeks adalah
penggunaan kontrol (pembanding), yakni gigi-gigi yang sehat yang akan
memberikan respons normal. Gigi kontrol mempunyai tiga fungsi:
1. Pasien belajar apa yang diharapkan dari stimulus
2. Dokter gigi dapat mengobservasi sifat respons pasien sampai tingkat
stimulus tertentu
3. Dokter gigi dapat menentukan bahwa stimulus mampu menimbulkan
respons.
Contohnya, gigi posterior orang dewasa, terutama molar, mungkin
tidak responsif terhadap tes termal. Hal ini menyebabkan tes dingin
merupakan tes yang tidak efektif jika diletakkan pada suatu molar yang
sehat dan pasien tidak merasakan sensasi apa-apa (Walton, 2008).
b. Tes Periapeks
1) Perkusi
27
Perkusi dapat menentukan ada tidaknya penyakit periradikuler.
Respons positif yang jelas menandakan adanya inflamasi periodontium.
Cara melakukan perkusi adalah dengan mengetukkan ujung kaca mulut
yang dipegang paralel atau tegak lurus terhadap mahkota pada permukaan
insisal atau oklusal mahkota. Jika nyeri subjektifnya parah, hindarkan
pengetukan gigi tetapi tekanlah gigi perlahan-lahan dengan ujung jari
telunjuk. Untuk memperoleh perbandingan, lakukan juga tes pada gigi
kontrol. Cara tes lain yang juga baik adalah dengan meminta pasien
menggigit obyek yang keras misalnya gulungan kapas, baik pada gigi yang
dicurigai maupun gigi kontrol. Tes ini dapat dipercaya jika pasien
melaporkan adanya nyeri ketika mengunyah (Walton, 2008).
Gambar 1. Tes Gigitan (Walton, 2008)
2) Palpasi
Seperti halnya perkusi, palpasi menentukan seberapa jauh proses
inflamasi telah meluas ke arah periapeks. Respons positif pada palpasi
menandakan adanya inflamasi periradikuler. Palpasi dilakukan dengan
menekan mukosa di atas apeks dengan cukup kuat. Penekanan dilakukan
dengan ujung jari dan seperti pada tes perkusi, pemeriksaan hendaknya
memakai juga paling sedikit satu gigi pembanding (Walton, 2008).
28
Gambar 2. Palpasi (Walton, 2008)
c. Tes Kevitalan Pulpa
Variasi respons pulpa gigi normal atau patologik sangat banyak.
Mengingat keterbatasan yang dimilikinya, tes-tes ini harus selalu disertai
kontrol yang memadai dan hasilnya diinterpretasikan dengan hati-hati.
Macam-macam tes kevitalan pulpa meliputi:
Stimulasi dentin langsung
Tes dingin
Tes panas
Pengetesan pulpa secara elektrik
Menentukan aliran darah (Walton, 2008).
d. Pemeriksaan Periodontium
Lesi periapeks sering menyerupai lesi periodontium, karena itu kedua hal
ini harus dapat dibedakan :
1. Penyondean
Pemeriksaan dengan sonde periodontium (probing) adalah tes klinis
yang penting yang sering terabaikan dan tidak dipakai semestinya
dalam penegakan diagnosis lesi periapeks. Kerusakan tulang dan
jaringan lunak periodontium diinduksi oleh baik penyakit
periodontium dan lesi periapeks. Sonde periodontium dapat
29
menunjukkan perlekatan jaringan ikat. Gigi dengan pulpa nekrosis
yang menginduksi inflamasi periapeks yang meluas kea rah servikal
memeiliki prognosis yang baik jika saluran akarnya dirawat dengan
baik. Kedalaman yang bias disonde disepanjang permukaan dan
furkasi harus diukur dan dicatat agar dapat digunakan sebagau
pembanding dikemudian hari.
2. Mobilitas
Tes mobilitas sebagian menunjukkan keadaan ligament periodontium
dan prognosis bagi setiap macam perawatan. Mobilitas ditentukan
dengan menempatkan jari telunjuk pada aspek lingual dan
mengaplikasikan tekanan dengan kaca mulut pada permukaan fasial.
Gerakan lebih dari 2-3mm atau depresi menandakan bahwa harapan
keberhasilan perawatan salurannya sangat sedikit jika penyebab utama
mobilitas adalah penyakit periodontium dan bukan patosis
periradikular (Walton, 2008).
e. Pemeriksaan Radiografis
Radiograf bermanfaat dan penting sebagai alat bantu diagnosis dan
perawatan. Sebagian besar perubahan patologis tidak kasat mata, dengan
demikian lesi periradikular tidak menghasilkan perubahan radiografis pada
tahapnya yang masih dini. Untuk memperoleh suatu gambaran interpretasi
3 dimensi sebaiknya diambil gambar suatu struktur yang sama dari
berbagai sudut. Pemeriksaan radiografis memungkinkan evaluasi masalah
yang disebabkan oleh gigi (Walton, 2008).
f. Tes Khusus
Setelah pemeriksaan objektif dan subjektif serta tes klinis
diselesaikan, biasanya penegakan diagnosis dan pembuatan rencana
perawatan yang tepat dapat dilakukan. Tetapi jika terdapat keadaan tertentu
yang mencegah ditegakkannya diagnosis definitif, lakukanlah tes tambahan
30
misalnya pembuangan karies, anestesi selektif dan transiluminasi (Walton,
2008).
1) Pembuangan Karies
Pada beberapa keadaan, yang perlu dilakukan untuk menentukan
diagnosis pulpa yang tepat adalah menentukan kedalaman penetrasi karies.
Keadaan yang sering dijumpai secara klinis adalah adanya karies dalam yang
terlihat secara radiografis, tidak ada riwayat penyakit atau gejalan yang
sidnifikan, dan pulpa yang memberikan respons terhadap tes klinis. Tes
pembuktian yang terakhir adalah pembuangan seluruh karies untuk melihat
keadaan pulpanya (Walton, 2008).
2) Anestesi Selektif
Tes ini berlawanan dengan tes kavitas, yang dilaksanakan pada gigi
tanpa nyeri maupun gigi yang menimbulkan gejala. Tes anestesi selektif
bermanfaat pada gigi yag sedang nyeri terutama jika pasien tidak dapat
menentukan gigi mana yang sakit, bahkan tak dapat pula menentukan lengkung
giginya. Jika yang dicurigai gigi di daerah mandibula, anestesi blok mandibula
akan mengkonfirmasikan paling tidak regio saktnya ketika nyeri tersebut
hilang setelah di anestesi. Pada maksila yang paling efektif adalah anestesi
masing-masing gigi. Anestesi dilakukan dalam arah anterior ke posterior sesuai
dengan distribusi saraf sensorisnya. Karena blok saraf alveolaris inferior akan
menganestesi aemua gigi di dalam kuadran, anestesi selektif tidak bermanfaat
pada mandibula. Anestesi selektif paling bermanfaat untuk mengidentifikasi
lengkung mana yang menjadi sumber nyeri (Walton, 2008).
3) Transiluminasi
Tes ini membantu mengidentifikasi fraktur mahkota longitudinal karena
suatu fraktur tidak akan mentransiluminasikan cahaya. Transiluminasi
menghasilkan bayangan gelap dan terang yang kontras di daerah fraktur
(Walton, 2008).