blok 26

53
Program Penanggulangan Tuberkulosis Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Devi Karlina Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 e-mail: Pendahuluan Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah di Indonesia. Masih banyak penduduk Indonesia yang menderita Tuberkulosis, bahkan Indonesia masuk dalam peringkat ke-4 dalam jumlah penderita Tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang paru-paru. Batuk yang lama sembuh merupakan salah satu gejala dari Tuberkulosis ini. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang dapat menular. Jumlah penderita yang banyak membuktikan bahwa penularan penyakit ini masih belum bisa dicegah dengan maksimal. Factor pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang kesehatan merupakan salah satu penyebab tingginya penularan itu. Selain itu, keadaan sosioekonomi masyarakat yang rendah ikut mengambil peran serta dalam tingkat penularan ini. 1

Upload: devi-karlina

Post on 03-Sep-2015

222 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Program Penanggulangan Tuberkulosis

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

Devi Karlina

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

e-mail:

Pendahuluan

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah di Indonesia. Masih banyak penduduk Indonesia yang menderita Tuberkulosis, bahkan Indonesia masuk dalam peringkat ke-4 dalam jumlah penderita Tuberkulosis.

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang paru-paru. Batuk yang lama sembuh merupakan salah satu gejala dari Tuberkulosis ini.

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang dapat menular. Jumlah penderita yang banyak membuktikan bahwa penularan penyakit ini masih belum bisa dicegah dengan maksimal. Factor pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang kesehatan merupakan salah satu penyebab tingginya penularan itu. Selain itu, keadaan sosioekonomi masyarakat yang rendah ikut mengambil peran serta dalam tingkat penularan ini.

Makalah ini mempelajari tentang pendekatan epidemiologi terhadap tuberculosis (agent, host, lingkungan), program-program puskesmas untuk menangani tuberculosis, penanganan tuberculosis, pencegahan, serta follow up pada pasien tuberculosis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai cara menangani tuberculosis secara komprehensif.

Definisi Penyakit TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat menahun, disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis, yang sering dihinggapi adalah paru-paru.1

Penyakit tuberculosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Pada tahun 1882, ilmuwan Robert Koch berhasil menemukan kuman tuberculosis, yang merupakan penyebab penyakit ini. Kuman ini berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan Mycobacterium tuberculosis.2

Epidemiologi Tuberkulosis

Menurut hasil SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 1986, penyakit tuberculosis di Indonesia merupakan penyebab kematian ke-3 dan menduduki urutan ke-10 penyakit terbanyak di masyarakat. SKRTtahun 1992 menunjukkan jumlah penderita penyakit tuberculosis semakin meningkat dan menyebabkan kematian terbanyak yaitu pada urutan kedua. Prevalensi pada akhir pelita IV sebesar 2,5o/oo. Pada tahun 1999 di Jawa Tengah, penyakit tuberculosis menduduki urutan ke-6 dari 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit, sedangkan menurut SUKERNAS 2001, TBC menempati urutan ke-3 penyebab kematian (9,4%).2

Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, serta mulai merambah tidak hanya pada golongan social ekonomi rendah saja. Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan persentase penderita TBC terbesar adalah usia 25-34 tahun (23,67%), diikuti 35-44 tahun (20,46%), 15-24 tahun(18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-64 tahun (12,32%), lebih dari 65 tahun (6,68%) dan yang terendah adalah 0-14 tahun (1,31%). Gambaran di seluruh dunia menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas menngkat sesuai dengan bertambahnya umur, dan pada pasien berusia lanjut ditemukan bahwa penderita laki-laki lebih banyak daripada wanita. Laporan dari seluruh provinsi di Idnonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.320 penderita TBC BTA(+) terdapat 43.294 laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan (43,21%).2

Dari seluruh penderita tersebut, angka kesembuhan hanya mencapai 70,03% dari 85% yang ditargetkan.2

Segitiga epidemiologi

Penyakit menular adalah penyakit yang ditularkan melalui berbagai media. Berbeda dengan penyakit tidak menular yang biasanya bersifat menahun dan banyak disebabkan oleh gaya hidup (life style), penyakit menular umumnya bersifat akut (mendadak) dan menyerang semua lapisan masyarakat.2

Penyakit menular merupakan hasil perpaduan berbagai factor yang saling mempengaruhi. Factor tersebut yaitu lingkungan (environment), agen penyebab penyakit (agent), dan pejamu (host). Ketiga factor penting ini disebut segitiga epidemiologi (epidemiologic triangle). Hubungan ketiga factor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai tumbangan, yaitu agen penyebab penyakit pada satu sisi dan pejamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya.2

Bila agen penyebab penyakit dengan pejamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat. Perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit. Penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agen penyebab penyakit menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit. Demikian pula bila agen penyakit menjadi lebih banyak atau lebih ganas, sedangkan factor pejamu tetap, maka bobot agen penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat. Apabila factor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agen penyakit, maka orang akan sakit. Pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai factor berikut (gambar 1):2

Agent

Agen penyebab penyakit terdiri dari bahan kimia, mekanik, stress (psikologik), atau biologis. Penyakit menular biasanya disebabkan oleh agen biologis seperti infeksi bakteri, virus, parasit, atau jamur. Pengetahuan mengenai sifat-sifat agen sangat penting untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit. Sifat-sifat tersebut termasuk ukuran, kemampuan berkembang biak, kematian agen, atau daya tahan terhadap pemanasan atau pendinginan.2

Gambar 1. Segitiga Epidemiologi

Salah satu sifat agen penyakit adalah virulensi. Virulensi adalah kemampuan atau keganasan suatu agen penyebab penyakit untuk menimbulkan kerusakan pada sasaran. Biasanya ynag diukur adalah derajat kerusakan yang ditimbulkan.2

Pengaruh Agent terhadap Tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis panjangnya satu sampai 4 mikron, lebarnya 0,3 sampai 0,6 mikron. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37oC dengan tingkat pH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah dari satu sampai dua (generation time) kuman membutuhkan waktu 14-20 jam. Kuman tuberculosis terdiri dari lemak dan protein. Lemak merupakan komponen lebih dari 30% berat dinding kuman, dan terdiri asam stearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta cord factor, sementara komponen protein utamanya adalah tuberkuloprotein (tuberculin).3

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alcohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberculosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob.2

Bakteri tuberculosis ini mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60oC selama 30 menit, dan dengan alcohol 70-95% selama 15-30 detik. bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam.2

Host (Pejamu)

Hal yang perlu diketahui tentang pejamu meliputi karakteristik, gizi, atau daya tahan, pertahanan tubuh, hiegene pribadi, gejala dan tanda penyakit, dan pengobatan. Karakteristik pejamu dapat dibedakan sebagai berikut.

a. Umur. Umur biasanya berhubungan dengan daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit. Seorang bayi masih memiliki kekebalan pasif dari ibunya. Namun dengan bertambahnya usia kekebalan itu semakin berkurang. Asuhan gizi akan menggantikan fungsi kekebalan dalam menghadapi penyakit. Keikutsertaan bayi dalam program imunisasi dasar sangat berguna pada pencegahan penyakit yang dapat dicegaj dengan imunisasi.

b. Jenis Kelamin. Sebagian besar penyakit menular menyerang semua jenis kelamin. Perbedaan prevalensi antara laki-laki dan wanita biasanya disebabkan oleh gaya hidup.

c. Pekerjaan. Pekerjaan dapat berhubungan dengan penyakit menular yang dialami seseorang. Petani akan mudah terserang penyakit cacing yang penularannya melalui tanah atau daerah persawahan.

d. Keturunan. Factor keturunan atau genetic berhubungan dengan konstitusi tubuh manusia, daya tahan tubuh, kepekaan terhadap zat asing, termasuk agen penyebab penyakit.

e. Ras. Kecenderungan penyakit menular tertentu untuk menyerang ras tertentu masih banyak diperdebatkan.

f. Gaya Hidup. Seorang yang sering keluar malam akan lebih mudah terkena malaria karena lebih sering terkena gigitan nyamuk. Kebiasaan yang kurang higenis juga mempermudah terjadinya infeksi.

Pengaruh Host (Pejamu) Terhadap Tuberkulosis

Berbagai keadaan berpengaruh pada cara tubuh kita melawan basil tuberkel, termasuk:

a. Usia dan Jenis Kelamin. Hampir tidak ada perbedaan di antara anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas. Bayi dan anak kecil pada kedua jenis kelamin memiliki daya tahan yang lemah. Sampai berusia dua tahun, infeksi terutama dapat berakibat paling fatal, tuberculosis milier dan meningitis tuberculosis, yang menyebar menurut peredaran darah. Sesudah usia satu tahun sampai sebelum masa pubertas, seorang anak yang terinfeksi dapat berkembang menjadi TB milier atau meningitis, atau salah satu bentuk tuberculosis kronis yang lebih meluas, terutama mengenai kelenjar getah bening, tulang atau penyakit persendian. Di eropa dan Amerika Utara, sewaktu tuberculosis sering ditemukan, insidens tertinggi tuberculosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering mendapat tuberculosis paru sesudah bersalin. Prevalensi tuberculosis paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia pada kedua jenis kelamin. Pada wanita prevalensi secara menyeluruh lebih rendah dan peningkatan seiring dengan usia adalah kurang tajam dibandingkan dengan pria. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun.4

b. Gizi. Terdapat bukti sangat jelas bahwa kelaparan atau gizi buruk mengurangi daya tahan terhadap penyakit ini. Factor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak.4

c. Faktor-faktor Toksis. Merokok tembakau dan minum banyak alcohol merupakan factor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh. Sama halnya dengan obat kortikosteroid dan imunosupresif lain yang digunakan pada pengobatan penyakit-penyakit tertentu.4

d. Kemiskinan. Keadaan ini mengarah pada perumahan yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini mungkin menurunkan daya tahan tubuh, sama dengan memudahkan terjadinya infeksi. Orang-orang yang hidup dengan kondisi ini juga sering bergizi buruk, kompleks kemiskinan seluruhnya ini lebih memudahkan TB berkembang menjadi penyakit.4

Lingkungan

Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan nonfisik. Lingkungan Fisik terdiri dari

a. Keadaan geografis (dataran tinggi/rendah, persawahan, dll)

b. Kelembaban udara

c. Temperatur

d. Lingkungan tempat tinggal. Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan penyakit. Rumah dengan pencahayaan yang kurang memudahkan perkembangan sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang bisa membunuh kuman penyakit. Aliran udara (ventilasi) berkaitan degan penularan penyakit. Rumah dengan ventilasi yang baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman penyakit. Pertukaran udara dapat memecah dan mengurai konsentrasi kuman di udara.2

Lingkungan nonfisik meliputi social (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun-temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan kebijakan local), dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).2

Pengaruh Lingkungan terhadap Tuberkulosis

Makin buruk keadaan sosio-ekonomi masyarakat, sehingga makin jelek nilaigizi dan hygiene lingkungannya, yang akan menyebabkan rendahnya daya tahan tubuh mereka, sehingga memudahkan menjadi sakit, seandainya mendapatkan penularan. Keadaan gizi yang jelek, selain mempersulit penyembuhan juga memudahkan kambuhnya kembali TBC yang sudah reda.5

Selain itu pemukiman yang padat dan rumah yang tidak memenuhi criteria rumah sehat juga dapat meningkatkan penularan penyakit tuberculosis.

Penularan

Dahak manusia adalah sumber yang paling penting. Batuk, berbicara dan meludah memproduksi percikan sangat kecil berisi TB yang melayang-layang di udara. Kuman ini dapat terhirup napas dan menyebabkan penyakit.4

Pasien-pasien dengan dahak positif pada hapusan langsung jauh lebih menular, karena mereka memproduksi lebih banyak TB dibandingkan dengan mereka yang hanya positif pada pembiakan. Makin dekat seseorang berada dengan pasien, makin banyak jumlah TB yang akan dihirupnya.4

Anak-anak dengan tuberculosis paru primer tidak menular, karena mereka tidak membatukkan kuman TB.4

Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas paparan dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan factor genetic dan factor pejamu lainnya. Risiko tertinggi berkembangnya penyakit yaitu pada anak berusia di bawah 3 tahun, risiko rendah pada masa kanak-kanak, dan meningkat lagi pada masa remaja, dewasa muda, dan usia lanjut. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah, pembuluh limfe, atau langsung ke organ terdekatnya.2

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (missal keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah).

Seorang penderita dengan BTA (+) yang derajat positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit ini. Sebaliknya, penderita dengan BTA (-) dianggap tidak menularkan.2

Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas

Sampai saat ini program penanggulangan TB paru belum dapat menjangkau seluruh Puskesmas yang ada. Hal itu dikarenakan belum adanya keseragaman pengobatan dan sistem pencatatan pelaporan di semua unit kesehatan baik pemerintah maupun swasta sehingga diperlukan adanya kerja sama semua pihak yang terkait dalam pemberantasan TBC. Sub direktorat TBC, Direktorat PPML, Ditjen PPMPLP dalam kegiatan penanggulangan TBC mempunyai dua tujuan yaitu:

a. Tujuan jangka panjang

Memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia

b. Tujuan jangka pendek

1) Tercapainya kesembuhan minimal 85% penderita baru BTA + yang ditemukan.

2) Tercapainya cakupan penemuan semua penderita secara bertahap.

3) Tercegahnya resistensi obat TBC di masyarakat.

4) Mengurangi penderitaan manusia akibat penyakit TBC

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut kegiatan yang dilaksanakan dalam penanggulangan TBC meliputi:

a. Kegiatan pokok

1) Komponen diagnosis

Deteksi penderita di poliklinik

Penegakan diagnosis secara laboratorium

2) Komponen pengobatan

Pengobatan yang cukup dan tepat.

Pengawasan menelan obat setiap hari.

b. Kegiatan pendukung

1) Pelatihan staf dan penyegaran.

2) Supervisi pengelola TBC.

3) Pencatatan dan pelaporan untuk penemuan penderita dan penilaian hasil pengobatan.

4) Memeriksa keluarga yang kontak dengan penderita TBC.

5) Melacak penderita lalai berobat 2 hari atau seminggu.

6) Penyuluhan kepada penderita TBC dan masyarakat.

7) Pengadaan kebutuhan program dan pendukungnya.

8) Menjamin keperluan dalam operasional.6

Diagnosis

Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberculosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculose dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukan sputumnya dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.7

Di Indonesia agak sulit menetapkan diagnosis diatas karena fasilitas laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam biakan sputum secara mikroskopik biasa, sudah cukup memastikan diagnosis tuberculosis paru, karena kekerapan Mycobacterium atypic di Indonesia sangat rendah. Sungguh pun begitu hanya 30-70% saja dari seluruh kasus tuberculosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis.7

Penderita TB Paru menular apabila dalam 3 kali pemeriksaan dahak, peling sedikit memberikan 1 kali hasil pemeriksaan BTA +.1

Gejala. Gejala utama pada tersangka TBC adalah:

Batuk berdahak lebih dari tiga minggu

Batuk berdarah

Sesak napas

Nyeri dada2

Gejala lainnya adalah berkeringat malam hari, demam tidak tinggi/meriang, dan penurunan berat badan.2

Laboratorium. Untuk menegakkan diagnosis penyakit tuberculosis dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama.2

Metode pemeriksaan dahak (buka liur) sewaktu pagi, sewaktu (SPS) dengan pemeriksaan mikroskopis membutuhkan 5 ml dahak dan biasanya menggunakan pewarnaan panas dengan metode Ziehl Neelsen (ZN) atau pewarnaan dingin Kinyoun-Gabbet menurut Tan Thiam Hok. Bila dua kali pemeriksaan didapatkan hasil BTA positif maka pasien tersebut dinyatakan positif mengidap tuberculosis paru.2

Perbedaan Diagnosis Tuberkulosis Dewasa dengan Anak-anak

Terdapat perbedaan diagnosis tuberculosis pada orang dewasa dan anak-anak. Gejala tuberculosis pada anak tidak khas dan dapat menyerupai penyakit lain dan cara pemeriksaan dahak dapat menghasilkan false negative, selain itu anak jarang mengeluarkan dahak.

Kemungkinan adanya tuberculosis pada anak jika ditemukan:

a. Berat badan tidak naik atau turun selama lebih dari 4 minggu (adanya grafik kenaikan berat badan akan sangat berguna)

b. Kehilangan gairah

c. Mengi atau batuk yang sesekali dapat menyerupai batuk rejan.

d. Demam atau meriang selama lebih dari satu minggu tanpa penyebab yang jelas

e. Tanda adanya cairan pekak, pada salah satu sisi dada.

f. Pembengkakan kelenjar getah bening yang keras atau lembut, tidak nyeri, terkadang dengan beberapa kelenjar getah bening kecil di dekatnya dan terkadang melekat tak teratur.4

Untuk mendiagnosis tuberculosis pada anak dapat dilakukan beberapa pemeriksaan sebagai berikut:

a. Tes tuberculin. Menyuntikan PPD secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Baca hasilnya sesudah 3-4hari. Jika ada reaksi dapat terlihat eritema dan indurasi. Reaksi positif jika indurasi di kulit berukuran diameter 10 mm atau lebih. Hasil positif adalah lazim sesudah vaksinasi BCG, setidaknya selama beberapa tahun. Akan tetapi, biasanya reaksi lebih lemah, sering berdiameter kurang dari 10 mm.4

b. Foto torak. Komponen paru sering kali tampak sebagai bayangan samar-samar pada foto rontgen, serta hilus dan kelenjar getah bening paratrakeal membesar. Juga dapat ditemukan lesi berbentuk seperti uang logam (coin lesion) yang menandakan komponen paru primer.4

Pengobatan Medikamentosa

Obat TB utama (first line, lini pertama) saat ini adalah rimfapisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). rimfapisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.8

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.8

Sejak tahun 1997 yang lalu WHO telah membuat klasifikasi regimen pengobatan pada berbagai keadaan penyakit tuberculosis, sebagaimana yang tercantum sebagai berikut:

a. Kategori I adalah kasus baru dengan sputum yang positif dan klinis penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, tuberculosis milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral spondilitis dengan gangguan neurologic, penderita dengan dahak negative tapi kelainan paru luas, tuberculosis usus, saluran kemih, dsb.

b. Kategori II adalah kasus relaps atau gagal dengan dahak yang tetap positif.

c. Kategori III adalah kasus dengan sputum yang negative dengan kelainan paru yang tidak luas, dan kasus tuberculosis ekstrapulmoner selain dari yang disebut dalam kategori I

d. Kategori IV adalah kasus tuberculosis kronik.3

Tabel 1. Obat Antituberkuosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya8

Nama Obat

Dosis Harian

(mg/KgBB/hari)

Dosis Maksimal

(mg per hari)

Efek samping

Isoniazid

Rifampisin**

Pirazinamid

Etambutol

Streptomisin

5-15*

10-20

15-30

15-20

15-40

300

600

2000

1250

1000

Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, tromositopenia, peningkatan enzim hai, cairan tubuh berwarna orange kemerahan,

Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Neuritis optic, ketajaman mata berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Ototoksik, nefrotoksik

*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.

**Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui system gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).

Panduan untuk kategori I : Dimulai denga fase intensif 2 HRZS (E). obat diberikan selama 2 bulan. Bila setelah 2 bulan sputum menjadi negative maka dimulai fase lanjutan. Bila sputum masih positif maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu lagi, baru diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat sputum sudah negative atau belum. Pada populasi dimana resistensi primer terhadap INH rendah maka fase intensif dengan 3 macam obat saja yaitu HRZ sudah cukup. Fase lanjutannya adalah 4 HR atau 4 H3 R3.3

Panduan untuk kategori 2: ditentukan fase intensif dalam bentuk 2 HRZES/1 HRZE. Bila setelah fase intensif suptum menjadi negative maka diteruskan dengan fase lanjutan. Fase lanjutan adalah 5 H3 R3 E3 bila dapat dilakukan supervisi dan 5 HRE bila tidak dapat dilakukan supervisi.3

Panduan untuk kategori 3: Fase intensif 2 HRZ atau 2 H3 R3 Z3 dan dilanjutkan dengan fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3.3

Panduan untuk kategori 4: panduan pengbatan dengan prioritas rendah karena kemungkinan keberhasilan rendah. Untuk Negara yang kurang mampu dapat diberikan INH saja seumur hidup. Untuk Negara yang mampu dapat dicoba obat berdasarkan hasil tes resistensinya.3

Penatalaksanaan Non-Medikamentosa

DOTS

Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan obat. Keteraturan dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi.8

Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observe treatment shortcourse adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan sejak tahun 1995.8

Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu:

a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.

b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan secara mikroskopis.

c. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.8

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang bertanggung jawab mengawasi pasien menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap pasien baru yang ditemukan harus selalu didampingi seorang PMO. Syarat untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut: dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, serta harus disegani dan dihormati oleh pasien; tempat tinggalnya dekat pasien; bersedia membantu pasien dengan sukarela; bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan.8

Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, kader, pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas unit kesehatan sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS. Tugas PMO adalah mengawasi pasien agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa sputum ulang (pasien dewasa), serta memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.

Sayangnya ternyata hasil dari strategi DOTS masih kurang dari yang diharapkan. Tahun 1995-1998, cakupan pasien TB dengan strategi DOTS baru mencapai 10%.8

Case Finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu juga dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencarianak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberculin.

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yaitu tuberculin.8

Aktif. Mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan tentang tanda-tanda penyakit dan cara pengobatannya. Kader kesehatan/posyandu, kader dasa wisma dan kader lainnya diharapkan dapat membantu menemukan penderita.1

Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas Puskesmas; terutama dengan adanya Bidan desa diharapkan penemuan penderita secara aktif dapat ditingkatkan.1

Pasif. Penderita yang secara sukarela berkujung ke Puskesmas, RS dan BP4 (Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru). Kriteria tersangka penderita: terlah berumur lebih dari 15 tahun dengan salah satu gejala sebagai berikut: Batuk lebih dari 4 minggu, batuk berdarah, nyeri dada, sesak nafas.1

Pencegahan

Primer (sebelum sakit)

Tujuan: Untuk mempertinggi nilai kesehatan (health promotion), dan untuk memberikan perlindungan khusus terhadap suatu penyakit (specific protection).5

Pencegahan primer untuk kasus TB dapat diberikan dengan cara:

Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit TBC, bahaya-bahayanya, cara penularannya, serta usaha-usaha pencegahannya.5

Beberapa contoh pendidikan kesehatan yang dapat diberi, yaitu:

Sinar matahari langsung membunuh TB dalam waktu 5 menit. Maka, memanfaatkan sinar matahari adalah cara yang paling cocok untuk dilakukan di daerah tropis (tetapi kuman-kuman dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun di tempat gelap: mungkin banyak penularan terjadi di rumah atau gubuk yang gelap).

Sodium hipoklorit (1%) melarutkan dahak dan membunuh TB dengan cepat, tetapi harus digunakan di wadah gelas, karena bahan tersebut dapat merusak logam. Bahan ini juga memutihkan/memudarkan warna bila terkena bahan berwarna. Tambahkan hipoklorit dua kali volume dahak. (TB dapat bertahan selama beberapa jam dalam fenol 5%).

Panas: TB dimusnahkan dalam waktu 20 menit pada suhu 60oC dan dalam 5 menit pada suhu 70oC.

Tisu harus dibakar selekas mungkin sesudah digunakan.

Menjemur di udara dan di bawah sinar matahari semua bahan-bahan seperti selimut, wol, katun, dsb.

Kesehatan Lingkungan. Tujuannya ialah mengurangi risiko dari dahak pasien infeksius yang belum terdiagnosis. Terdapat keterbatasan mengenai apa yang dapat dicapai di Negara-negara miskin, tetapi yang berikut ini mungkin dapat menolong:4

Sedapat mungkin hindari kerumunan orang banyak yang terlalu padat (sekaligus dapat juga mengurangi penyakit pernapasan lain yang dapat menular, seperti pneumonia pada bayi).

Tingkatkan ventilasi di rumah.

Ajaklah agar setiap orang berpendapat bahwa meludah adalah suatu kebiasaan yang menjijikan yang tidak dapat diterima. Ajarkanlah bahwa meludah menyebarkan penyakit.4

Rumah Sehat. Di Indonesia, terdapat suatu criteria untuk rumah sehat sederhana (RSS), yaitu:

1. Luas tanah antara 60-90 meter persegi.

2. Luas bangunan antara 21-36 meter persegi.

3. Memiliki fasilitas kamar tidur, WC (kamar mandi), dan dapur.

4. Berdinding batu bata dan diplester.

5. Memiliki lantai dari ubin keramik dan langit-langit dari triplek.

6. Memiliki sumur atau air PAM

7. Memiliki fasilitas listrik minimal 450 watt.

8. Memiliki bak sampah dan saluran air kotor.

Selain kriteria-kriteria di atas, terdapat factor-faktor kebutuhan yang perlu diperhatikan dan dipenuhi, seperti kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis, bebas dari bahaya kecelakaan atau kebakaran, dan kebutuhan lingkungan.9

Kebutuhan Fisiologis

1. Suhu ruangan. Suhu ruangan dijaga agar jangan banyak berubah. Suhu sebaiknya tetap berkisar 18-20oC.

2. Penerangan. Rumah harus cukup mendapatkan penerangan baik siang maupun malam hari. Idealnya, penerangan didapat dengan bantuan listrik. Setiap ruang diupayakan mendapat sinar matahari terutama di pagi hari.

3. Ventilasi udara. Pertukaran udara yang cukup menyebabkan hawa ruangan tetap segar 9cukup mengandung oksigen). Dengan demikian, setiap rumah harus memiliki jendela yang memadai. Luas jendela secara keseluruhan kurang lebih 15% dari luas lantai. Susunan ruangan harus sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu dibuka.

4. Jumlah ruangan atau kamar. Ruang atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni atau jumlah orang yang tinggal bersama di dalam satu rumah atau sekitar 5 m2 per orang.9

Kebutuhan Psikologis

1. Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat.

2. Adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di ruamh tersebut.

3. Untuk setiap anggota keluarga, terutama yang mendekati dewasa, harus memiliki ruangan sendiri sehingga privasinya tidak terganggu.

4. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, seperti ruang untuk menerima tamu.9

Bahaya Kecelakaan atau kebakaran. Ditinjau dari factor bahaya kecelakaan ataupun kebakaran, rumah yang sehat dan aman dapat menjauhkan penghuninya dari bahaya tersebut.9

Lngkungan

1. Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun

2. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik.

3. Dapat mencegah terjadinya perkembangbiakkan vector penyakit, seperti nyamuk, lalat, tikus dan sebagainya.

4. Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran (mis., kawasan industry) dengan jarak minimal sekitar 5 km dan memiliki daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) dan bebas banjir.9

Vaksin BCG. BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dihilangkan virulensinya. (basil ini berasal dari suatu strain bovin yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam laboratorium). BCG merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Sesudah vaksinasi BCG. TB kebanyakan dapat memasuki tubuh, tetapi dalam kebanyakan kasus daya pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan atau membunuh kuman-kuman tersebut.4

Percobaan-percobaan terkontrol di beberapa Negara Barat, dengan sebagian besar anak bergizi cukup, menunjukan bahwa BCG dapat memberikan 80% perlindungan terhadap tuberculosis selama 15 tahun sebelum infeksi pertama kali (yakni kepada anak-anak dengan tuberculin negative).4

Dosis normal adalah 0,005 ml untuk neonates dan bayi di bawah 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan orang dewasa.4

Satgas imunisasi IDAI merekomendasikan pemberian BCG pada bayi 2 bulan. Pemberian BCG setelah usia 1 bulan lebih baik. Bayi yang diduga mempunyai kontak erat dengan pasien TB aktif, atau yang akan diimunisasi pada usia 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. BCG sebaiknya diberikan di region lengan kanan-atas pada daerah insersio M. deltoideus kanan. Vaksin BCG tidak perlu diulang sebagai booster, demikian juga bila tidak terbentuk parut. Tidak ada bukti bahwa vaksinasi ulangan BCG memberikan proteksi tambahan.8

Kemoprofilaksis. Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum belum terinfeksi (uji tuberculin negative). Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberculin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk menjadi sakit TB, yaitu anak-anak dengan imunokompromais.8

Gizi. Tuberkulosis dan kurang gizi sering ditemukan secara bersamaan. Infeksi tuberculosis menimbulkan penurunan berat badan dan penyusutan tubuh; kekurangan makan meningkatkan risiko infeksi dan kemudian penyebaran penyakit tuberculosis.4

Anak yang sakit sangat berat dan kurang gizi mungkin menolak untuk makan. Berikan makanan dalam jumlah sedikit tapi sering. Tuba nasogastrik mungkin perlu diasang sampai nafsu makan pulih. Pada awalnya susu (susu sapi, kambung, susu kering atau yang diuapkan) dapat digunakan, dengan menambahkan gula (50g atau 10 sendok teh per liter). Pada kasus berat, diberikan setengah porsi pemberian makanan setiap 2 jam untuk mengurangi risiko diare. Lanjutkan selama kira-kira 3 hari, lalu dapat disambung dengan pemberian susu (makanan cair) berenergi tinggi.4

Anak yang sakit dan kurang gizi mudah dapat mengalami hipotermia (suhu tubuh terlalu rendah). Hipotermia merupakan keadaan yang sangat berbahaya dan lalu dapat menurunkan kekebalan tubuh. Pastikan bahwa anak tersebut dirawat di tempat yang hangat.4

Pada anak-anak dengan keadaan seperti di atas, beri preparat multivitamin setiap harinya. Juga berikan satu dosis 200.000 unit vitamin A dalam minyak secaraoral pada suatu kesempatan untuk mencegah komplikasi pada mata. UNICEF membagikan K-Mix 2 untuk penanganan kurang energy protein (KEP) 100 g K-mix 2 dan 50 g (58 ml) minyak sayur ditambahkan pada 1 liter air secara perlahan-lahan sambil mengaduknya dengan baik.4

Saat nafsu makan anak tersebut pulih, mulailah memperkenalkan makanan setempat yang biasa untuk menggantikan susu energy tinggi.4

Sekunder

Tujuan: mengenal dan mengetahui jenis penyakit pada tingkat awal, serta mengadakan pengobatan yang tepat dan segera. (Early Diagnosis and Prompt Treatment).5

Tersier

Tujuan: pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan sesuatu penyakit (Disability Limitation), rehabilisasi (Rehabilitation).5

Follow Up

Pemeriksaan ulang dahak dilakukan setelah pengobatan awal bulan ke 4 dan selesai pengobatan awal bulan ke-6. Pemeriksaan ulang dahak dilakukan dua kali seminggu.1

Bila hasil pemeriksaan ulang dahak mendapat BTA (-) maka penderita dinyatakan sembuh, tetapi bula pada akhir pengobatan masih BTA (+) maka pengobatan dilanjutkan selama 3 bulan lagi (secara intermiten) daam waktu maksimal 9 bulan.1

I. Penelitian

Usulan penelitian

Bila peneliti telah menetapkann untuk melakukan penelitian, maka sebelum melaksanakannya ia harus membuat rancangan penelitian. Rancangan penelitian tertulis yang bersifat formal dinamakan sebagai usulan penelitian (research proposal, study protocol). Usulan penelitian mungkin dapat diperlukan oleh (calon) peneliti untuk memenuhi persyaratan pendidikan, untuk memperoleh persetujuan penelitian dari institut tempat penelitian akan dilakukan, atau untuk permintaan dana. Namun secara esensial usulan penelitian dumaksudkan sebagai penuntun sebagai sebagai peneliti dalam seluruh rangkaian proses penelitian. Usulan penelitian yang baik akan mempermudah peneliti dalam melaksanakan seluruh proses penelitian.

Sistematika usulan penelitian sangat bervariasi dari lembaga yang satu kelembaga yang lain, meski substansinya sama. Calon peneliti, khususnya yang akan mengajukan permintaan dana penelitian kepada penyandang dana, harus menuliskan usulan dengan format seperti yang dikehendaki oleh lembaga tersebut. Suatu usulan penelitian dengan materi serta sistematika yang baik menurut suatu lembaga, belum tentu di anggap baik oleh lembaga yang lain. Oleh karena itulah tidak jarang suatu usulan untuk mengajukan permintaan dana penelitian tidak disetujui oleh penyandang dana hanya karena format usulan yang di ajukan tidak sesuai dengan format yang dikehendaki oleh lembaga tersebut.

Meskipun setiap usulan penelitian penting, namun nilai usulan penelitian terutama terletak dalam bab pendahuluan khususnya pada latar belakang masalah, karena ia merupakan dasar utama suatu usulan. Pada bagian ini peneliti harus dapat memperlihatkan pemahaman serta pengetahuannya mengenai substansi penelitian yang dirancang, merumuskan alasan mengapa penelitian harus digunakan, dan garis besar bagaimana penelitian akan dilaksanakan. Bagian-bagian selanjutnya pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah tersebut.

Sistematika usulan penelitian

Judul

I. Pendahuluan

Latar belakang

Rumusan masalah

Hipotesis

Tujuan

Manfaat

II. Tinjauan pustaka

Kerangka konsep

III. Metodologi

Desain

Tempat dan waktu

Populasi dan sampel

Kriteria inklusi dan ekslusi

Besar sampel

Cara kerja

Idntifikasi variabel

Rencana manajemen dan analisi data

Definisi operasional

Masalah etika

IV. Daftar pustaka

V. Lampiran10

Pelaksanaan penelitian

1) Pengumpulan data

Salah satu kegiatan penelitian adalah pengumpulan data. Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan teknik tertentu dan menggunakan alat tertentu yang sering disebut instrumen penelitian. Data yang diperoleh dari proses tersebut kemudian dihimpun, ditata, dianalisis untuk menjadi informasi yang dapat menjelaskan suatu fenomena atau keterkaitan antara fenomena.

Klasifikasi Data

Data dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat, sumber, dan juga skala pengukurannya.

a. Berdasarkan sifatnya :

1) data kuantitatif : data yang berupa angka-angka

2) data kualitatif : data yang berupa kata-kata atau pernyataan pernyataan

b. Berdasarkan sumbernya :

1) data primer, adalah data yang diperoleh langsung pihak yang

diperlukan datanya.

2) data sekunder, merupakan data yang tidak diperoleh langsung

dari pihak yang diperlukan datanya.

c. Berdasarkan skala pengukurannya

Data yang merupakan hasil pengukuran variabel memiliki jenis

skala pengukuran sebagaimana yang terdapat pada variabel.

Dengan demikian berdasarkan tinjauan ini, data dapat dibedakan

menjadi :

1) data nominal

2) data ordinal

3) data interval

4) data rasio

Secara garis besar teknik pengumpulan data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu teknik tes dan nontes.

1. Teknik Tes

a. Pengertian teknik tes

Teknik tes adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan serentetan soal atau tugas serta alat lainnya kepada subjek yang diperlukan datanya.

Pengumpulan data dengan menggunakan teknik tes dapat disebut sebagai pengukuran (measurement). Teknik semacam ini banyak digunakan dalam penelitian kuantitatif.

b. Jenis-jenis instrumen untuk teknik tes

Ditinjau berdasarkan sasaran atau objek yang diukur, instrument untukteknik tes dapat dibedakan menjadi sebagai berikut .

1) Tes hasil belajar (achievement test)

2) Tes kepribadian (personality test)

3) Tes bakat (aptitude test)

4) Tes inteligensi (intelligence test)

5) Tes sikap (attitude test)

6) Tes minat (interest test)

2. Teknik Nontes

Pengumpulan data penelitian dapat pula dilakukan dengan teknik non tes,yaitu dengan tidak memberikan soal-soal atau tugas-tugas kepada subjek yang diperlukan datanya. Dalam teknik non tes, data dari subjek penelitian dikumpulkan dengan :

a. wawancara;

b. kuesioner;

c. observasi;

d. pencatatan dokumen.

Instrumen untuk teknik tersebut pada penelitian kuantitatif adalah :pedoman wawancara, kuesioner atau angket, pedoman observasi, tabeltabel,kolom-kolom, ataupun alat rekam elektronik yang dapat dipakai untuk menyimpan data. Sedangkan pada penelitian kualitatif di samping instrument tersebut di atas peneliti juga merupakan instrumen.11

Validitas dan Reliabilitas

Dalam penelitian ini, validitas dan reliabilitas alat ukur banyak mengalami perubahan pada kalimatnya sehingga perlu di uji validitas dan reliabilitas kembali agar instrumen ini valid dan reliabel.

1. Uji validitas

Validitas instrumen dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan dan kecermatan alat ukur untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Setelah instrumen diuji coba kepada responden kemudian dihitung korelasinya untuk mengetahui pertanyaan dalam kuisioner tersebut valid atau tidak menggunakan rumus korelasi Product Momment.

Rumusnya sebagai berikut:

Keterangan:

r = korelasi product momment

n = jumlah responden

x = skor variabel x

y = skor variabel y

xy = skor variabel x dikalikan skor variabel y

= jumlah

Keputusan uji:

Jika r r tabel, berarti item pertanyaan adalah valid

Jika r r tabel, berarti item pertanyaan adalah tidak valid

2. Realibilitas

Reliabilitas suatu instrumen menggambarkan stabilitas dan konsistensi suatu instrumen dalam suatu konteks yang diberikan.Setelah melakukan validitas, maka perlu mengukur reliabilitas data, apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Pada penelitian ini untuk mengetahui reliabilitas dari instrumen, dengan menggunakan rumus alpha-Cronbach.

Reliabilitas pertanyaan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan analisis alpha-Cronbach yang dapat digunakan baik untuk instrumen yang jawabannya berskala maupun yang bersifat dikotomis (hanya mengenal dua jawaban yaitu benar dan salah).

Desain penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang di susun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitiannya. Desain penelitian mempunyai 2 kegunaan.

1. Merupakan sarana bagi peneliti guna memperoleh jawaban atas pertanyaan peniliti

2. Merupakan alat untuk mengontrol atau mengendalikan perbagai variabel yang mempengaruhi pada suatu penelitian.

Pembagian yang sangat sering digunakan orang adalah pembagian desain menjadi penelitian deskriptik, analitik. Pembagian ini seringkali menimbulkan kerancuan oleh karena sering disalah tafsirkan , yaitu disebut sebagai penelitian deskriptif tetapi dalam pelaksanaanya dilakukan analisis data.. arti sebenarnya dalam pembagian kedua jenis penelitian ini adalah sebagai berikut:

Penelitian deskriptif

Penelitian yang bertujuan melakukan deskriptif mengenai fenomena yang ditemukan baik berupa faktor resiko, efek atau hasil. Peneliti tidak mencoba menganalisis bagaimana dan mengapa fenomena tersebut terjadi. Oleh karena itu tidak ada hipotesis.

Penelitian analitik

Peneliti mencoba mencari hubungan antar variabel. Dilakukan analisis sehingga perlu hipotesis.

Data yang dikumpulkan pada penelitian deskriptif sering dipakai untuk atau dilanjutkan dengan penelitian analitik.

Desain penelitian analitik observasional pada umumnya dibagi 3:

1. penelitian cross sectional

2. penelitian kasus kontrol

3. penelitian kohort

Pembagian tersebut berdasarkan pada ada atau tidaknya intervensi ataupun manipulasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek penelitian. Pada studi eksperimental peneliti melakukan manipulasi terhadap satu atau lebih variabel subjek penelitian kemudian mempelajari efek perlakuan tersebut. Sedangkan pada studi observasional ia melakukan pengamatan atau pengukuran terhadap pelbagai variabel subjek penelitian menurut keadaan alamiah tanpa manivulasi atau intervensi.

Untuk memperoleh sampel penelitian yang representatif telah dikembangkan banyak teknik sampling. Desain sampel terdiri dari dua yaitu:

a. Desain Probabilitas (sampel probabilitas), artinya bahwa setiap sampel dipilih berdasarkan prosedur seleksi dan memiliki peluang yang sama untuk dipilih. Jenis desain sampel probabilitas:

Sampel Random Sederhana (Simple Random Sampling)

Sampel Sistematis (Systematic Sampling)

Sampel Stratifikasi (Stratified Sampling)

Sampel Kluster (Cluster Sampling)

Sampel Daerah Multitahap (Multistage Area Sampling)

b. Desain Sampel Nonprobabilitas (Nonprobability Sampling), artinya setiap sampel dipilih oleh peneliti secara arbitrer dan probabilitas masingmasing

Consecutif

Convenience. Peneliti menggunakan sampel yang paling sederhana atau ekonomis.

Judgement. Peneliti berpengalaman dalam memilih sampel untuk memenuhi tujuannya, seperti menyakinkan bahwa semua populasi mempunyai karakteristik tertentu. 3

Uji statistik

Statistik Parametrik

Statistik Parametrik yaitu ilmu statistik yang mempertimbangkan jenis sebaran atau distribusi data, yaitu apakah data menyebar secara normal atau tidak. Dengan kata lain, data yang akan dianalisis menggunakan statistik parametrik harus memenuhi asumsi normalitas. Pada umumnya, jika data tidak menyebar normal, maka data seharusnya dikerjakan dengan metode statistik non-parametrik, atau setidak-tidaknya dilakukan transformasi terlebih dahulu agar data mengikuti sebaran normal, sehingga bisa dikerjakan dengan statistik parametrik.

Contoh metode statistik parametrik :

a. Uji-z (1 atau 2 sampel)

b. Uji-t (1 atau 2 sampel)

c. Korelasi pearson,

d. Anova

Ciri-ciri statistik parametrik :

- Data dengan skala interval dan rasio

- Data menyebar/berdistribusi normal

Keunggulan dan kelemahan statistik parametrik

Keunggulan :

1.Syarat syarat parameter dari suatu populasi yang menjadi sampel biasanya tidak diuji dan dianggap memenuhi syarat, pengukuran terhadap data dilakukan dengan kuat.

2. Observasi bebas satu sama lain dan ditarik dari populasi yang berdistribusi normal serta memiliki varian yang homogen.

Kelemahan :

1. Populasi harus memiliki varian yang sama.

2. Variabel-variabel yang diteliti harus dapat diukur setidaknya dalam skala interval.

3. Dalam analisis varian ditambahkan persyaratan rata-rata dari populasi harus normal dan bervarian sama, dan harus merupakan kombinasi linear dari efek-efek yang ditimbulkan.

Uji ini digunakan untuk mengetahui perbedaan mean (rerata) populasi atau penelitian terdahulu dengan mean data sampel penelitian.

Statistika Non Parametrik

Statistik Non-Parametrik, yaitu statistik bebas sebaran (tidak mensyaratkan bentuk sebaran parameter populasi, baik normal atau tidak). Selain itu, statistik non-parametrik biasanya menggunakan skala pengukuran sosial, yakni nominal dan ordinal yang umumnya tidak berdistribusi normal.

Contoh metode statistik non-parametrik :

a. Uji tanda (sign test)

b. Rank sum test (wilcoxon)

c. Rank correlation test (spearman)

d. Fisher probability exact test.

e. Chi-square test, dll

Ciri-ciri statistik non-parametrik :

- Data tidak berdistribusi normal

- Umumnya data berskala nominal dan ordinal

- Umumnya dilakukan pada penelitian sosial

- Umumnya jumlah sampel kecil.

Keunggulan dan kelemahan statistik non-parametrik :

Keunggulan :

1. Tidak membutuhkan asumsi normalitas.

2. Secara umum metode statistik non-parametrik lebih mudah dikerjakan dan lebih mudah dimengerti jika dibandingkan dengan statistik parametrik karena ststistika non-parametrik tidak membutuhkan perhitungan matematik yang rumit seperti halnya statistik parametrik.

3. Statistik non-parametrik dapat digantikan data numerik (nominal) dengan jenjang (ordinal).

4. Kadang-kadang pada statistik non-parametrik tidak dibutuhkan urutan atau jenjang secara formal karena sering dijumpai hasil pengamatan yang dinyatakan dalam data kualitatif.

5. Pengujian hipotesis pada statistik non-parametrik dilakukan secara langsung pada pengamatan yang nyata.

6. Walaupun pada statistik non-parametrik tidak terikat pada distribusi normal populasi, tetapi dapat digunakan pada populasi berdistribusi normal.

Kelemahan :

1. Statistik non-parametrik terkadang mengabaikan beberapa informasi tertentu.

2. Hasil pengujian hipotesis dengan statistik non-parametrik tidak setajam statistik parametrik.

3. Hasil statistik non-parametrik tidak dapat diekstrapolasikan ke populasi studi seperti pada statistik parametrik. Hal ini dikarenakan statistik non-parametrik mendekati eksperimen dengan sampel kecil dan umumnya membandingkan dua kelompok tertentu. 4

laporan penelitian

Laporan penelitian adalah informasi yang disampaikan secara tertulis atau lisan dengan tujuan untuk mengkomunikasikan kesimpulan hasil atau temuan penelitian dan rekomendasi yang diperlukan. Format laporan penelitian (kepada manajemen, public, atau pihak tertentu) tergantung pada tujuan penyusunan laporan. Laporan penelitian disusun berdasarkan suatu tujuan yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

TUJUAN PENYUSUNAN LAPORAN

Berdasarkan tujuannya, penelitian dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Penelitian dasar (basic research)

Tujuan penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu yang umumnya dilakukan di lingkungan akademik (perguruan tinggi).

1. Penelitian terapan (applied research)

Penelitian terapan adalah penelitian yang bertujuan untuk pemecahan masalah praktis yang dihadapi oleh institusi atau organisasi tertentu yang umumnya dilakukan dilingkungan pemerintah atau bisnis.

Inisiatif dan biaya penelitian berasal dari organisasi yang mempunyai masalah yang memerlukan penelitian untuk memecahkannya. Format penyusunan laporan penelitian dapat berasal dari organisasi sponsor atau lembaga penelitian yang mengerjakan proyek penelitian.12

Studi epidemiologi

Studi analitik

Studi deskriptif

Eksperimental

RCT

Eksperimen kuasi

Cross sectional

Case report

Observasional

Time series

Case series

Kohor

Kasus kontrol

Cross sectional

Studi ekologis

EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF DAN ANALITIK

Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan penyakit pada populasi. Studi epidemiologi dibedakan menjadi dua kategori: (1) epidemiologi deskriptif; dan (2) epidemiologi analitik.

Epidemiologi deskriptif. Epidemiologi deskriptif mendeskripsikan distribusi penyakit pada populasi, berdasarkan karakteristik dasar individu, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, kelas sosial, status perkawinan, tempat tinggal dan sebagainya, serta waktu. Epidemiologi deskriptif juga dapat digunakan untuk mempelajari perjalanan alamiah penyakit. Tujuan epidemiologi deskriptif: (1) Memberikan informasi tentang distribusi penyakit, besarnya beban penyakit (disease burden), dan kecenderungan (trend) penyakit pada populasi, yang berguna dalam perencanaan dan alokasi sumber daya untuk intervensi kesehatan; (2) Memberikan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit; (3) Meru-muskan hipotesis tentang paparan sebagai faktor risiko/ kausa penyakit.

Case series merupakan studi epidemiologi deskriptif tentang serangkaian kasus, yang berguna untuk mendeskripsikan spektrum penyakit, manifestasi klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case series banyak dijumpai dalam literatur kedokteran klinik. Tetapi desain studi ini lemah untuk memberi-kan bukti kausal, sebab pada case series tidak dilakukan perbandingan kasus dengan non-kasus. Case series dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis yang akan diuji dengan desain studi analitik.

Case report (laporan kasus) merupakan studi kasus yang bertujuan mendeskripsikan manifestasi klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case report mendeskripsikan cara klinisi mendiagnosis dan memberi terapi kepada kasus, dan hasil klinis yang diperoleh. Selain tidak terdapat kasus pembanding, hasil klinis yang diperoleh mencerminkan variasi biologis yang lebar dari sebuah kasus, sehingga case report kurang andal (reliabel) untuk memberikan bukti empiris tentang gambaran klinis penyakit.

Studi potong-lintang (cross-sectional study, studi prevalensi, survei) berguna untuk mendeskripsikan penyakit dan paparan pada populasi pada satu titik waktu tertentu. Data yang dihasilkan dari studi potong-lintang adalah data prevalensi. Tetapi studi potong-lintang dapat juga digunakan untuk meneliti hubungan paparan-penyakit, meskipun bukti yang dihasilkan tidak kuat untuk menarik kesimpulan kausal antara paparan dan penyakit, karena tidak dengan desain studi ini tidak dapat dipastikan bahwa paparan mendahului penyakit.

Epidemiologi analitik. Epidemiologi analitik menguji hipotesis dan menaksir (mengestimasi) besarnya hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit. Tujuan epidemiologi analitik: (1) Menentukan faktor risiko/ faktor pencegah/ kausa/ determinan penyakit, (2) Menentukan faktor yang mempengaruhi prognosis kasus; (3) Menentukan efektivitas intervensi untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi.

Dua asumsi melatari epidemiologi analitik. Pertama, keadaan kesehatan dan penyakit pada populasi tidak terjadi secara random melainkan secara sistematis yang dipengaruhi oleh faktor risiko/ kausa/ faktor pencegah/ faktor protektif. Kedua, faktor risiko atau kausa tersebut dapat diubah sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan penyakit pada level individu dan populasi.

Peran peneliti dalam memberikan intervensi

Berdasarkan peran peneliti dalam memberikan intervensi, studi epidemiologi dibedakan menjadi dua kategori: (1) studi observasional; dan (2) studi ekspe-rimental. .

Studi observasional. Dengan studi observasional peneliti tidak sengaja memberikan intervensi, melainkan hanya mengamati (mengukur), mencatat, mengklasifikasi, menghitung, dan menganalisis (membandingkan) perubahan pada variabel-variabel pada kondisi yang alami. Studi observasional mencakup studi kohor, studi kasus kontrol, dan studi potong-lintang.

Agar diperoleh kesimpulan yang benar secara internal (validitas internal) tentang hubungan/ pengaruh variabel, maka peneliti harus mengontrol bias dan kerancuan (confounding). Peneliti harus menghindari bias dalam memilih subjek penelitian (bias seleksi) dan bias dalam mengukur variabel (bias informasi, bias pengukuran).

Kerancuan dapat dicegah pada tahap desain penelitian, yaitu (1) restriksi; (2) pencocokan, atau dikontrol pada tahap analisis data, yaitu (1) analisis berstrata, dan (2) analisis multivariat.

Eksperimen. Dengan studi eksperimental, peneliti meneliti efek intervensi dengan cara memberikan berbagai level intervensi kepada subjek penelitian dan membandingkan efek dari berbagai level intervensi itu. Kelompok subjek yang mendapatkan intervensi disebut kelompok eksperimental (kelompok intervensi). Kelompok subjek yang tidak mendapatkan intervensi atau mendapatkan inter-vensi lain disebut kelompok kontrol. Kelompok kontrol mendapatkan intervensi kosong (plasebo, sham treatment), intervensi lama (standar), atau intervensi dengan level/ dosis yang berbeda.

Dalam eksperimen, peneliti mengontrol kondisi penelitian untuk meningkatkan validitas internal, yaitu agar kesimpulan yang ditarik tentang efek intervensi memang merupakan efek yang sesungguhnya dari intervensi tersebut. Terdapat lima cara mengontrol kondisi penelitian: (1) Memberikan gradasi intervensi yang berbeda; (2) Melakukan randomisasi; (3) Melakukan restriksi; (4) Melakukan pembutaan (blinding); dan (5) Melakukan intention-to-treat analysis.

Pertama, peneliti memberikan berbagai level intervensi kepada subjek penelitian agar dapat mempelajari efek dari pemberian berbagai level intervensi itu. Pendekatan ini merupakan implementasi metodologis inferensi kausal dalam kriteria kausasi Hill yang disebut dose-response relationship (hubungan dosis-respons). Jika perubahan level intervensi/ paparan faktor diikuti oleh perubahan efek intervensi secara proporsional menurut level intervensi, maka temuan itu menguatkan kesimpulan hubungan kausal.

Kedua, peneliti menerapkan prosedur randomisasi dalam mengaloka-sikan (menempatkan) subjek penelitian ke dalam kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Dengan prosedur random maka hanya faktor peluang (chance) yang menentukan subjek penelitian akan terpilih ke dalam kelompok eksperimental atau kelompok kontrol, bukan kemauan subjektif peneliti. Rando-misasi menyebarkan faktor-faktor perancu yang diketahui maupun tidak diketahui oleh peneliti secara ekuivalen ke dalam kelompok-kelompok studi. Dengan demikian randomisasi mengeliminasi atau mengurangi pengaruh faktor perancu. Kondisi itu merupakan karakteristik randomized controlled trial (RCT). Karena distribusi faktor perancu telah dibuat sebanding antara kelompok eksperimental dan kelompok kontrol pada posisi awal (baseline) sebelum dilakukan intervensi, maka peneliti tidak perlu mengukur variabel hasil sebelum intervensi, melainkan cukup mengukur variabel hasil setelah intervensi.

Jika subjek penelitian dialokasikan ke dalam kelompok eksperimen atau kelompok kontrol tidak dengan prosedur randomisasi, maka desain studi ekspe-rimental ini disebut eksperimen kuasi (eksperimen non-randomisasi). Pada eksperimen kuasi, distribusi fakktor perancu pada awal studi (sebelum intervensi) tidak sebanding. Karena itu agar mendapatkan hasil analisis efek intervensi yang benar, peneliti harus mengukur variabel hasil sebelum dan sesudah intervensi, lalu memperhitungkan posisi awal variabel hasil tersebut pada analisis data ketika membandingkan efek intervensi antara kelompok intervensi dan kontrol setelah intervensi.

Ketiga, sebagai alternatif randomisasi, pengaruh faktor perancu dapat dikendalikan dengan restriksi. Dengan restriksi peneliti menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi dalam memilih subjek penelitian, sehingga semua subjek penelitian pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki level atau kategori faktor perancu yang sama. Karena level atau kategori faktor perancu sama antara kelompok eksperimental dan kelompok kontrol, maka sampai pada tingkat tertentu restriksi dapat mengontrol pengaruh faktor perancu. Meskipun demikian, satu hal perlu dicamkan. Peneliti harus paham bahwa metode restriksi untuk mengendalikan faktor perancu sesungguhnya bersifat dilematis dan kontraproduktif. Mengapa? Karena restriksi memangkas sampel potensial. Kandidat subjek penelitian tidak jadi diteliti karena termasuk dalam kriteria eksklusi. Alasan lainnya yang lebih serius, restriksi membuat sampel yang diteliti menjadi spesifik, sehingga mempersempit kemampuan generalisasi (generalizability) kesimpulan penelitian. Dengan kata lain, restriksi mencederai validitas eksternal (external validity). Makin banyak restriksi, makin terbatas kemampuan generalisasi temuan penelitian. Di sisi lain, restriksi yang tidak cukup sempit akan meninggalkan kerancuan sisa (residual confounding) (Kleinbaum et al., 1982; Hennekens dan Buring, 1987; Rothman, 2002).

Keempat, peneliti studi eksperimental perlu menerapkan pembutaan (blinding). Dengan pembutaan, subjek penelitian, pengamat, dan penganalisis data dibuat tidak mengetahui status intervensi subjek yang diteliti, atau status intervensi yang diberikan kepada subjek penelitian (apakah intervensi yang sesungguhnya atau plasebo/ obat standar). Pembutaan bertujuan untuk mencegah bias informasi (bias pengukuran, information/measurement bias). Jika subjek penelitian mengetahui bahwa dia mendapatkan intervensi yang sesungguhnya atau hanya plasebo, maka sadar atau tidak, respons subjek penelitian dapat dipengaruhi oleh pengetahuan tersebut. Demikian pula jika pengamat mengetahui hipotesis penelitian dan status intervensi subjek penelitian, maka ada kemungkinan proses pengukuran variabel, wawancara, pencatatan, dan pemasukan data, akan terpengaruh oleh hipotesis penelitian, disebut interviewer bias (bias pewawancara) (Hennekens dan Buring, 1987). Demikian juga jika penganalisis data mengetahui hipotesis penelitian, maka ada kemungkinan proses pemasukan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan hasil analisis akan dipengaruhi oleh hipotesis penelitian.

Kelima, untuk mempertahankan efek randomisasi dalam mengontrol kerancuan, data dari RCT hendaknya dianalisis dengan intention-to-treat analysis (ITT). Dengan ITT, semua subjek hasil randomisasi, baik yang mematuhi protokol penelitian maupun tidak (misalnya, ketidakpatuhan minum obat), baik yang menyelesaikan intervensi maupun drop out, dilakukan analisis. Jadi hasil ITT mencerminkan hasil randomisasi dan menunjukkan efektivitas (effectiveness) intervensi ketika diterapkan pada populasi yang sesungguhnya. Pada realitas sehari-hari, karena suatu alasan tidak semua pasien minum obat dengan teratur dan tidak semua menyelesaikan waktu pengobatan sesuai dengan yang diinginkan. Jika analisis data pada keadaan seperti itu tetap menunjukkan efektivitas terapi, maka bisa disimpulkan bahwa terapi tersebut benar-benar efektif ketika digunakan pada populasi pasien yang sesungguhnya.

Dalam epidemiologi dikenal eksperimen alamiah (natural experiment). Dengan eksperimen alamiah peneliti hanya mengamati efek intervensi yang telah diberikan oleh pihak lain, bukan oleh peneliti sendiri. Penyelidikan wabah kolera yang dilakukan John Snow di London merupakan contoh natural experiment. Karena peran peneliti bersifat observasional, maka natural experiment hakikat-nya identik dengan studi kohor prospektif.12

Kesimpulan

Penyebab kenapa kejadian Multi drug resisten semakin meningkat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien TB paru dalam berobat. Faktor yang mempengaruhi adalah usia pasien, tingkat pendidikan, social ekonomi, pekerjan, jarak rumah dengan puskesma, efek samping obat, lamanya minum obat, dan faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu untuk mengetahui lebih pastinya faktor penyebabnya dilakukan penelitian.

Daftar pustaka

1. Pedoman pelaksanaan kerja di puskesmas. Magelang: Podorejo Offset; 2000: 120-3.

2. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan & pemberantasannya. Jakarta: Erlangga; 2008: 3-19.

3. Aditama TY. Tuberkulosis: diagnosis, terapi dan masalahnya. Edisi ke-5. Jakarta: IDI; 2005: 13-88.

4. Crofton J, Horne N, Miller F. Tuberkulosis klinik. Edisi ke-2. Jakarta: Widya Medika; 2002.

5. Entjang I. Ilmu kesehatan masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti; 1997: 26-51.

6. Notoatmodjo. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. Jakarta: Rineka Cipta; 2011: 326-7

7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S. Buku ajar penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2010: 2237.

8. Rahajoe N, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberculosis anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2007: 47-107.

9. Chandra B. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: EGC; 2007: 163-5.

10. Sastroamoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-4. Jakarta : Sagung seto; 2011 :31-33.

11. Sastroamoro S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta;KTD1995

12. Murti B. Desain studi. Institute of Health Economic and Policy Studies (IHEPS),

13. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret. Di unduh pada tanggal 5 juli 2015.

34