bab v pembahasan - digilib.esaunggul.ac.id file73 bab v pembahasan 5.1 letak wilayah jika menurut...
TRANSCRIPT
73
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Letak Wilayah
Jika menurut tipe daerah persentase penimbangan balita di rumah sakit
dan Puskesmas lebih banyak di lakukan perkotaan dari pada di pedesaan. Namun
sebaliknya persentase penimbangan di polindes dan posyandu lebih banyak di
pedesaan dibandingkan perkotaan serta apabila membandingkan presentase
posyandu di wilayah kompleks dan wilayah perkampungan, maka didapatkan
bahwa angka cangkupann di wilayah perkampungan lebih tinggi dibandingkan
dengan posyandu yang berada di kompleks. Hal ii sesuai dengan teori yang
diungkapkan Maisya (2011) bahwa lokasi posyandu merupakan salah satu saran
pendukung pelaksanaan posyandu.
Berdasarkan data yang didapat dari Kelurah Duri Kepa, dari 14 RW
yang terdapat di wilayah kerja Kelurahan Duri Kepa, terdapat 7,14% RW Kumuh
yaitu RW 02 dimana terdapat 3 posyandu yaitu Posyandu Guji I, II dan Posyandu
Sekar Melati, angka rata-rata D/S selama 3 bulan terakhir secara berurutan yaitu
61,92%; 51,033%; 109,60%.
Berdasarkan tabel distribusi wilayah Posyandu dibagi menjadi 2
wilayah, yaitu posyandu yang terletak di wilayah kompleks sebanyak 55
responden (50%) dan wilayah perkampungan sebanyak 55 responden (50%).
74
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi aktif ibu balita dilakukan Focus Group Discussion
kepada 10 orang ibu balita di wilayah posyandu. Secara keseluruhan, berdasarkan
hasil Focus Group Discussion (FGD), seperti yang diungkapkan oleh Ibu Kr, Ibu
Kw, dan Ibu D bahwa jarak posyandu dari rumah responden dekat karena masih
dapat dijangkau dengan jalan kaki setiap bulannya.
Sedangkan beberapa ibu balita lainnya seperti Ibu St, Ibu Kw, dan Ibu
T menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi partisipasi untuk aktif di
posyandu adalah kebersamaan, kekompakkan dan interaksi yang dirasakan
bersama ibu balita lainnya. Kehadiran sebagian besar dari ibu balita yang
diwawancarai dipengaruhi oleh kehadiran petugas kesehatan yang dianggap lebih
teliti dan fasilitas yang lebih lengkap termasuk ke dalamnya konsumsi beragam
dan bergizi yang tiap bulan diberikan dari posyandu tanpa dipungut biaya
tambahan. Namun faktor yang mempengaruhi partisipasi aktif Ibu Y adalah
kemanfaatan dari posyandu yang dirasakan.
Dari hasil FGD, ditemukan juga faktor eksternal yang diungkapkan
oleh sebagian besar ibu balita dalam partisipasi aktif ke posyandu yaitu adanya
keberagaman goody bag menarik dan pemberian hadiah setiap tahunnya sebagai
bentuk apresiasi kepada ibu balita yang aktif membawa balitanya (kunjungan ≥10
kali per tahun) sehingga meningkatkan semangat dari para ibu balita untuk terus
melakukan penimbangan setiap bulannya.
75
5.2 Umur
Dalam bertindak dan pengambil keputusan, faktor umur menjadi salah
satunya yang mempengaruhinya, semakin bertambah umur secara psikologis
maka kedewasaan seseorang dalam bertindak semakin baik (Hurlock, 1991).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui dari 110 responden ibu balita di wilayah
perkampungan dan kompleks, jumlah responden pada kelompok umur < 30 tahun
terbanyak di wilayah kompleks dengan jumlah 31 orang ibu balita (56,4%) dan
ibu balita dengan usia ≥30 tahun terbanyak pada wilayah posyandu perkampungan
dengan ibu balita sebanyak 34 orang ibu balita (61,8%). Jumlah ibu balita pada
kelompok ibu balita di wilayah kompleks sejalan dengan hasil penelitian Kurnia
(2011) yang menyatakan bahwa sebanyak 57,8% ibu balita berumur <30 tahun
dan hasil serupa juga tertuang dalam hasil penelitian Kartini dan Cahaya (2012)
yang menyatakan bahwa sebanyak 67,7% ibu balita berasal dari kelompok ibu
dewasa muda (15-31 tahun) serta hasil penelitian bahwa usia rata-rata ibu balita
adalah 25,64±4,44 tahun (journals.tums.ac.ir, 2013). Dimana dari pengamatan
yang dilakukan di lapangan ibu balita yang datang pada umumnya bergerombol
dengan teman sebayanya, sehingga tidak hanya datang untuk berpartisipasi namn
juga untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman dengan ibu balita yang sebaya.
76
5.3 Pendidikan
Pada tahun 1985 diketahui terdapat sebanyak 15,7 juta penduduk usia
diatas 10 tahun buta huruf dan 2/3 nya adalah wanita (Fitriani, 2010). Pendidikan
ibu balita merupakan faktor penting yang mempengaruhi pengetahuan dan sikap
ibu terhadap perilaku hidup sehat dan kemampuan menanggulangi masalah yang
dihadapi sehari-hari terutama masalah kesehatan (Depkes RI, 1999).
Data hasil distribusi pendidikan ibu balita di Puskesmas Kelurahan
Duri Kepa tahun 2013 dikelompokkan menjadi 2, yaitu < SMP dan ≥ SMP . Hasil
analisis frekuensi data pendidikan Ibu balita menunjukkan bahwa dari ke dua
wilayah posyandu (wilayah perkampungan dan kompleks) persentase ibu balita
yang banyak adalah berpendidikan ≥SMP dengan jumlah masing-masing sebesar
61,8% pada wilayah kompleks dan 76,4% pada wilayah perkampungan.
Data yang menunjukkan bahwa di wilayah posyandu perkampungan
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi persentase-nya dibandingkan
dengan wilayah posyandu kompleks dikarenakan, sekitar 4/5 dari ibu balita yang
hadir di poayandu kompleks adalah masyarakat yang tinggal di perkampungan
sekitar kompleks, sedangkan penduduk asli di wilayah kompleks lebih banyak
memanfaatkan fasilitas kesehatan lainnya seperti rumah sakit, dan lain-lain.
Hasil distribusi pendidikan ibu balita, sejalan dengan data dasar tingkat
pendidikan penduduk wanita di Kelurahan Duri Kepa (10 tahun ke atas) pada
tahun 2012 yang menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 35,6% berpendidikan
77
<SMP dan 64,4% ≥ SMP. Angka ini lebih rendah dibandingkan angka pendidikan
ibu balita di kota Tangerang (Kurnia, 2011), dalam penelitian Kurnia tahun 2011
yang menyatakan bahwa distribusi pendidikan ibu balita ≥SMP sebanyak 83,4%.
Hal tersebut dikarenakan karena lokasi penelitian yang berbeda dan karakteristik
masyarakat yang berbeda.
Beberapa studi empiris menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seorang ibu maka akan mudah pula bagi ibu tersebut untuk
memperoleh informasi mengenai kesehatan, sebaliknya makin rendah tingkat
pendidikan seorang ibu maka akan makin sulit ibu tersebut memperoleh
pengetahuan mengenai kesehatan (Poerdji,2002).
5.4 Status Pekerjaan
Pekerjaan merupakan suatu kegiatan dalam upaya untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari guna mencapi kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan data
distribusi status bekerja ibu balita dikelompokkan menjadi 2, yaitu tidak bekerja
dan bekerja. Dari 110 responden, status pekerjaan ibu balita terbanyak adalah
tidak bekerja dengan presentasi yang besar pada ke dua wilayah posyandu yaitu
pada posyandu perkampungan, status ibu balita tidak bekerja sebanyak 41 orang
ibu balita (74,5%) dan wilayah kompleks sebanyak 39 orang ibu balita (70,9%).
Dari 29,1% ibu balita yang masuk ke dalam kategori bekerja di wilayah
perkampungan dan 25,1% di wilayah kompleks pada umumnya bekerja sebagai
wiraswasta/berdagang dan buruh sedangkan pekerjaan lainnya adalah karyawan.
78
Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian Kurnia (2011)
yang menyatakan angka ibu balita yang bekerja di Kelurahan Sukasari sebanyak
35,6%, yang artinya lebih banyak ibu balita yang berstatus tidak bekerja pada
wilayah tersebut. Hal serupa dikemukakan Suwarsini (2009) bahwa terdapat
sebanyak 74,5% ibu balita berstatus tidak bekerja di Posyandu Desa Pelem
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali.
Hasil penelitian Tuti Pradianto mengenai “Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Ketidakhadiran Ibu Balita dan Penggunaan Posyandu di
Kecamatan Bogor Barat tahun 1989” menyatakan ibu balita yang bekerja akan
lebih jarang membawa anak balitanya ke posyandu dikarenakan kesibukannya dan
tidak tersediannya waktu.
5.5 Pendapatan Keluarga
Pendapatan adalah segala sesuatu yang didapatkan dan dikeluarkan
oleh keluarga ibu balita dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pendapatan keluarga berhubungan dengan tingkat pengetahuan, tingkat
pendidikan, sosial ekoomi dan kemampuan dalam menjangkau pelayanan
kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, pada ke dua wilayah
posyandu diketahui bahwa sebagian besar keluarga ibu balita memiliki
pendapatan yang lebih besar dari angka median pendapatan wilayahnya, dengan
nilai median Rp1.312.500,00 dengan persentasi pada kelompok ibu balita dengan
79
pendapatan keluarga lebih besar dari Median di wilayah perkampungan sebanyak
29 orang (52,7%) dan di wilayah kompleks sebanyak 41 orang (74,5%).
Hasil ini sesuai juga dengan hasil penelitian yang dikemukanan Kartini
dan Ashadhany (2012) yang menyatakan bahwa sebagian besar (62,5%)
pendapatan keluarga ibu balita di posyandu lebih besar dari Rp 939.756,00.
5.6 Jarak Tempuh
Jarak tempuh yaitu jarak atau ukuran jauh dekatnya suatu wilayah
(tempat) menuju tempat lain. Dari beberapa hasil penelitian yang mencari faktor
penentu partisipasi ibu balita datang menimbang anak balitanya ke
posyandu,diketahui bahwa faktor jarak ternyata memberikan kontribusi terhadap
seseorang dalam melakukan suatu tindakan.
Berdasarkan tabel distribusi dari hasil penelitian, dari pengelompokkan
jarak tempuh diketahui bahwa pada ke dua kelompok wilayah (ibu balita di
wilayah posyandu perkampungan dan kompleks) sebagian besar menyatakan
bahwa jarak tempuh rumah ibu balita menuju posyandu dekat (cut off point bila
berjalan <10menit) dengan masing-masing persentase yaitu pada ibu balita
wilayah perkampungan sebanyak 45 orang ibu balita (81,8%) dan pada ibu balita
di wilayah posyandu kompleks sebanyak 41 orang ibu balita (74,5%).
Hal ini sejalan dengan penelitian dilakukan Kartini dan Ashadhany
(2012) bahwa terdapat 80% ibu balita dengan jarak tempuh posyandu sejauh <
80
100m serta penelitian Kurnia (2011)yang menyatakan bahwa sebanyak 58,9% ibu
balita memiliki rumah yang dekat dengan Posyandu (jarak tempuh < 10menit).
Berdasarkan teori yang ada, dinyatakan bahwa semakin dekat jarak
tempuh maka semakin besar peluang untuk merealisasikan suatu tindakan. Data-
data hasil penelitian sejenis tersebut di atas menyimpukan bahwa ibu balita
dengan jarak tempuh yang dekat lebih banyak kemungkinan untuk hadir ke
posyandu dibandingkan dengan ibu balita dengan jarak tempuh posyandu yang
jauh. Sehingga letak posyandu yang strategis dan mudah dicapai oleh ibu balita
sangat penting untuk meningkatkankan angka partisipasi ibu balita sehingga D/S
dapat meningkat.
5.7 Kehadiran Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan merupakan salah satu faktor penggerak tidak
langsung dalam pelaksanaan posyandu, namun menjadi salah satu faktor penting
dalam memotivasi ibu balita agar membawa anak balita-nya secara rutin ke
posyandu setiap bulan.
Berdasarkan tabel distribusi kehadiran petugas kesehatan
dikelompokkan menjadi 2, yaitu responden merasa tidak perlu adanya kehadiran
petugas kesehatan dan merasa perlu dengan kehadiran petugas kesehatan. Dari
data tabel ditribusi, disimpulkan bahwa sebagia besar ibu balita pada ke dua
kelompok wilayah posyandu yang merasa perlu dengan adanya kehadiran petugas
kesehatan dalam setiap kali pelaksanaan posyandu dengan persentase masing-
81
masing wilayah yaitu sebanyak 46 orang ibu balita (83,6%) dari wilayah
posyandu perkampungan dan 47 orang ibu balita (85,5%) dari wilayah posyandu
kompleks merasa penting akan kehadiran petugas kesehatan. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa lebih dari 4/5 ibu balita merasakan pentingnya
kehadiran petugas puskesmas (petugas kesehatan) dalam setiap kegiatan
posyandu.
Hasil ini sejalan pula dengan tingkat kebutuhan yang dirasakan oleh
ibu balita akan pelayanan kesehatan yang dilakukan di posyandu setiap bulannya
dengan persentase sebanyak 63,3% (Kurnia, 2011) dan kesimpulan hasil
penelitian ini sesuai juga dengan hasil peneitian kualitatif yang dilakukan oleh
Ocbrianto bahwa partisipasi tenaga memang dibutuhkan untuk menunjang
partisipasi ibu balita. (2012). Petugas kesehatan yang hadir dalam kegiatan
posyandu setiap bulannya secara tidak langsung menjadi salah satu faktor tidak
langsung yang dapat meningkatkan angka partisipasi, hal ini disebutkan
berdasarkan teori Sumarno tahun 2006.
5.8 Partisipasi
Partisipasi dalam program pemerintah memiliki tujuan untuk
meningkatkan kemandirian yang diutuhkan oleh masyarakat dalam mempercepat
pembangunan (Laksana, 2013). Angka partispasi juga menyatakan seberapa besar
keberhasilan suatu program (Kemenkes, 2011).
82
Isbandi (2007) mengemukakan bahwa partisipasi ibu balita adalah
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah yang ada di
masyarakat, serta berperan aktif dalam memilih dan membantu mengambil
keputusan dalam mencari solusi alternatif untuk menangani. Bentuk perilaku
kesehatan yang dapat dilakukan dalam program gizi adalah partisipasi ibu balita
dalam kegiatan di Posyandu, yang diwujudkan dengan membawa anaknya untuk
ditimbang berat badan ke Posyandu secara teratur setiap bulan mulai balita berusia
1 bulan hingga 5 tahun. Dikatakan partisipasi aktif apabila minimal empat kali
anak balita ditimbang ke Posyandu secara berturut-turut selama enam bulan.
(Depkes RI, 2006). Secara Nasional, target partisipasi aktif posyandu yang ingin
dicapai yaitu 80%.
Berdasarkan data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata ibu
balita di posyandu wilayah perkampungan lebih rendah dengan nilai mean
8,5(±1,80) daripada rata-rata ibu balita di posyandu kompleks sebesar 8,8(±2,01)
dengan angka partispasi minimum pada kelompok kompleks 4 kali dalam satu
tahun dan kelompok perkampungan adalah 5 kali dalam satu tahun dan angka
partisipasi maksimum pada ke dua kelompok adalah 11 dalam 1 tahun.
Ibu balita yang berpartisipasi aktif ke Posyandu di Kelurahan Duri
Kepa sebesar 61,5%, namun angka ini lebih tinggi dari angka partisipasi ibu balita
Kelurahan Duri Kepa yang didapatkan dari profil Kecamatan yaitu 54% namun
demikian angka ini belum mencapai target yang sudah ditetapkan Nasional yaitu
80%. dengan data partisipasi minimum ibu balita sebanyak minimum 5 kali pada
83
wilayah perkampungan dan 4 kali pada wilayah kompleks dan partisipasi
maksimum sebanyak 11 kali serta partisipasi terbanyak yaitu 8 kali dalam 1 tahun
pada posyandu perkampungan dan 11 kali dalam 1 tahun pada posyandu
kompleks.
Sejalan dengan penelitian yang telah ada sebelumnya yang dilakukan
oleh Kartini dan Ashadhany (2012) menyatakan bahwa sebanyak 56,4% ibu balita
yang turut serta berperan aktif dalam kegiatan posyandu dengan cut off point
untuk kategori aktif sebanyak ≥ 8 kali kunjunga pertahun. Hasil serupa
diungkapkan hasil penelitian Kurnia yang menyatakan bahwa hanya sebanyak
46,7% ibu balita aktif serta hasil penelitian Suwarsini (2009) menyatakan bahwa
sebanyak 42 responden (51,22%) menyatakan bahwa keaktifan di posyandu
responden termasuk kategori aktif.
Angka partisipasi yang aktif ke Posyandu di Kelurahan Duri Kepa
lebih tinggi bila di bandingkan dengan penelitian Sambas (2002) di Kelurahan
Bojongherang Kabupaten Cianjur yaitu didapatkan 57,7% ibu balita yang
berpartisipasi aktif ke Posyandu dan Penelitian Soeryoto (2001) di Kecamatan
Jurai Kabupaten Pesisir Selatan mendapatkan proporsi ke Posyandu dengan
cakupan lebih rendah yaitu 48,1% daripada di Kelurahan Sukasari Kota
Tangerang. Namun hasil dari semua penelitian tetap menunjukkan bahwa angka
partisipasi ibu balita masih di bawah target nasional (80%) meskipun lokasi
penelitian berbeda-beda.
84
Khomsan (2007) menganjurkan masyarakat untuk melakukan
kunjungan balita secara rutin ke Posyandu, sebab posyandu merupakan alat bantu
untuk memonitor berat badan balita yang dilakukan melalui penimbangan yang
dilakukan setiap bulannya, sehingga akan diperoleh trend berat badan dari bulan
ke bulan. Apabila terjadi penurunan trend atau berat badan balita di bawah
dibawah garis merah, maka Posyandu diharapkan dapat memberikan nasihat gizi
atau memberikan makanan tambahan (PMT), sehingga trend berat badan yang
menurun dapat dicegah atau apabila tidak dapat diatasi maka dilakukan rujuk
untuk ditindak lanjuti oleh petugas kesehatan di puskesmas setempat.
Beberapa faktor yang memepengaruhi partisipasi ibu balita ke
Posyandu diantaranya adalah umur ibu balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu,
pendapatan keluarga, jarak tempuh dari rumah ke Posyandu dan kebutuhan yang
dirasakan ibu terhadap pelayanan di Posyandu. Berdasarkan kesimpulan Kartini
dan Asdhany (2012) bahwa, semakin tinggi angka partisipasi ibu balita dalam
membawa balitanya ke posyandu maka semakin baik pula status gizi anak
balitanya (BB/U). Teori lain menyatakan kunjungan balita merupakan
kemantapan pengertian dan motivasi orang tua balita untuk menimbangkan
anaknya secara teratur setiap bulan, serta perwujudan partisipasi ibu balita yang
baik agar dapat mencapai pertumbuhan balita yang baik (Rumpiati, 2011).
85
5.9 Hubungan Letak Wilayah dan Partisipasi
Dari hasil statistik 110 orang responden diketahui bahwa nilai rata-rata
Partisipasi Ibu balita yang berasal dari dua wilayah posyandu kompleks sebesar
8,8182 dan wilayah posyandu perkampungan sebesar 8,5273. Dengan
menggunakan uji T-test didapatkan nilai P-value =0,426>α (0,05) sehingga dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita antara wilayah
posyandu perkampungan dan kompleks di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa pada
tahun 2013.
Data partisipasi ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri
Kepa, angka partisipasi di wilayah kompleks lebih tinggi dibandingkan dengan
angka partisipasi di wilayah perkampungan. Sebab salah satu sarana pendukung
ketika dilaksanakannya kegiatan posyandu yaitu tempat atau lokasi Posyandu
yang tetap, kader yang aktif dan waktu pelaksanaan posyandu yang rutin
dilaksanakan (Maisya, 2011).
Hal ini merupakan dampak dari ekonomi keluarga, pada umumnya
penduduk asli wilayah posyandu kompleks berada pada ekonomi menengah ke
atas sehingga mereka akan lebih mempercayai dan akan lebih memilih untuk
mengunjungi tenaga kesehatan (dokter anak), dan rumah sakit dan atau RSIA
(Rumah Sakit Ibu dan Anak) untuk mempercayakan tumbuh kembang balitanya
dibandingkan datang secara rutin ke posyandu. Kesimpulan penelitian ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan di Nova Scotia Amerika menunjukkan
86
bahwa pada kelompok sosio-ekonomi tinggi lebih banyak mengunjungi pelayanan
kesehatan daripada sosio- ekonomi yang lebih rendah.
Ibu balita yang hadir di posyandu kompleks pun sebagian besar
merupakan ibu balita yang berasal dari posyandu perkampungan sekitar,
dikarenakan rendahnya partisipasi akan posyandu yang dilakukan oleh masyarakat
kompleks maka guna meningkatkan pemanfaatan secara optimal maka posyandu
di kompleks terbuka untuk masyarakat perkampungan sekitar. Berdasarkan hasil
wawancara, diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi ibu balita
dalam memilih posyandu pada wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Kepa.
Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut:
Berdasarkan adanya temuan angka partisipasi rata-rata dari posyandu
kompleks lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata partisipasi masyarakat
di posyandu perkampungan, maka dilakukan Forum Group Discussion guna
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi. Hasil dari Forum Group
Discussion pada ibu balita yang mengunjungi posyandu kompleks menjukkan
hasil sebagai berikut :
Dari hasil temuan dilapangan ditemukan bahwa faktor jarak menjadi
salah satu yang dipertimbangkan ibu balita dalam memilih posyandu, seperti yang
diungkapkan oleh Ibu Kr (29), Ibu Kw(29), dan Ibu D (30)) sebagai berikut :
“…jarak posyandu yang lebih dekat dengan rumah yang utama,
karena males jalan jauh…” (Ibu Kr, September 2013)
87
“ya karena deket aja sih aku mah disini, kalau dari segi fasilitas di
posyandu sendiri agak kurang ya, kadang ga ada dokternya …
kalau dari bingkisan kadang-kadang ga memuasin, ya cuman
biskuit sama susu satu” (Ibu Kw, September 2013)
“kalau disini lebih deket…” (Ibu D, September 2013)
Selain itu lingkungan sekitar, seperti faktor ajakan, dan teman menjadi
faktor lain yang ditemukan di lapangan, seperti yang diungkapkan oleh Ibu S (30),
ibu Kw (29) dan Ibu T (30) berikut ini :
“kalau ke sana kan rame-rame jadi kan semangat …”(Ibu St,
September 2013)
“kalau kata orang ya, bela-belain naik angkot. Kita sih seneng aja
sampe rumah jam 10an, panas-panasan tapi ya seneng aja bareng-
bareng yang laen gitu.” (Ibu Kw, September 2013)
“kalau di sana lebih kompak, jadi dari sini rame-rame ke sono
semangat…” (Ibu T, September 2013)
Sebagian besar ibu balita pun menyatakan kehadiran petugas kesehatan
menjadi faktor penting dalam menarik partisipasi ibu balita untuk mengunjungi
posyandu, berikut ini beberapa penuturan dari Ibu Kr,Ibu St, Ibu Yt(31),dan Ibu
R(33):
88
“… adanya dokter jadi bisa nanya kalau anak sakit gimana gitu…”
(ibu Kr, September 2013)
“kalau di posyandu ini kurang teliti aja kayaknya buat nanganin
masalah anak… ga tau kurang paham atau gimana, tiap bulan ya
cuman ditimbang gitu aja udah, kalau di sana kan ada dokternya
jadi bisa nanya-nanya ke dokternya…” (Ibu St, September 2013)
“kalau disitu ada dokternya, gizinya juga jadi tau perkembangan
anak, seumpama kalau kurang makannya bisa ditambahin atau
gimana” (ibu Yt, September 2013)
“meskipun jauh tapi fasilitasnya bagus, itu dari daerah mana aja loh
jangan salah … itu dari mulut ke mulut kalau posyandu itu bagus”
(Ibu R, September 2013)
Temuan jawaban yang berbeda dari ibu balita yang lainnya dituturkan
oleh Ibu M(42) :
“… kalau di sana ada dokternya terus suka ada bantuan… lengkap
lah… dokter anak, dokter gizi, dokter umum” (Ibu M, September
2013)
89
Beberapa ibu balita mengeluhkan fasilitas yang kurang memuaskan
yang didapatkan dari posyandu yang berada di wilayah sendiri, seperti yang
diungkapkan oleh penuturan Ibu Tn (30) berikut ini:
“kalau di posyandu sana makannya selalu buat anak-anak, ada
ayam cincang, jamur, daging sama bakso dicincang dibulet-bulet
gitu terus wortel ga pernah ketinggalan kadang ada cekernya, anak-
anak kan suka kalau disini kan makannya it lagi itu lagi besoknya
itu lagi… saya pikir ya kalau disini ada yang gratis, ngapain harus
ke sana …” (Ibu Tn, September 2013)
“pernah sekali nyoba ke posyandu RW sendiri, cuman pake uang
konsumsi jadi kalau ga ada uang anak ga dapet bingkisan,
sedangkan anak kalu liat temennya dapet kan gitu… disini ga
bayar…. Dua ribu apa berapa gitu…. Katanya buat nambahin uang
konsumsi” (Ibu DA, September 2013)
“…cuma susu satu sama biskuit, yah yang makan mah
emaknya…kalau memang mau begitu mending kasih kacang ijo,
kalau bubur kacang ijo kan anak-anak doyan semua… Kalau di
sana juga ga dipungut biaya…” (Ibu D, September 2013)
Bertolak belakang dengan pernyataan di atas, beberapa ibu balita
memilih posyandu karena mengetahui dan merasakan manfaat datang setiap
bulannya ke posyandu, berikut beberapa penuturan Ibu Y(31) :
90
“biar anak ketauan apa timbangannya naik atau turun…” (Ibu Y, September 2013)
Salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi adanya
partisipasi adalah apresiasi atau penghargaan yang diberikan. Dari hasil temuan
yang ditemkan dalam Forum Group Discussion, hampir seluruh informan
mengemukakan bahwa faktor goody bag dan hadiah sebagai apresiasi pun
menjadi salah satu penentu partisipasi ibu balita untuk hadir ke posyandu, mereka
lebih banyak memilih untuk mengunjungi posyandu dengan rutin (≥10 kali dalam
setahun) dikarenakan adanya faktor hadiah yang diberikan setiap tahunnya bagi
ibu balita dengan tingkat kehadiran ≥10 kali dalam sau tahun, berikut penuturan
dar beberapa ibu balita :
“kalau di sana kan jauh juga tapi itu makannya … terus kalau
setaun rajin kita dapet bingkisan… setiap bulan bulan april, mau
alpa sekali atau dua kali yang penting 10 kali datang tiap bulan
dapet bingkisan kadang tempat makan, payung…” (Ibu Kw,
September 2013)
“… kadang tempat makan, tempat minum, payung, macem-macem.
kita ibu-ibu kan juga semangat biarin jauh tapi dapet, buat anak-
anak juga seneng” (Ibu Kr, September 2013)
“kan kalau rajin dapet hadiah kalau rajin, dalam satu tahun …
kadang tempat makan, tempat minum ”( Ibu St, September 2013)
91
“dulu sih emang lebaran dapet susu kotak satu kilo…tapi ya
Alhamdulillah ya sekarang juga masih bagus.” (Ibu Kw, September
2013)
Dari hasil wawancara di atas, sebagian besar ibu balita
mengungkapkan hal yang menarik partisipasi ibu balita pada posyandu yang
terletak di wilayah kompleks adalah adanya bingkisan yang beragam (goody bag),
serta makanan tambahan yang diberikan oleh kader setiap bulannya ,pada
posyandu kompleks goody bag yang diberikan lebih banyak sedangkan pada
posyandu perkampungan ibu balita akan dipungut iuran Rp2.000,00 untuk
mendapatkan makanan tambahan. Faktor pendukung lain seperti kehadiran
petugas kesehatan, diajak tetangga yang memiliki balita juga dan kesadaran untuk
mengetahui berat badan balita pun menjadi faktor yang mempengaruhi partisipasi
ibu balita untuk hadir dan membawa anaknya ditimbang setiap bulan di posyandu.
5.10 Hubungan Umur dan Partisipasi
Umur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang dalam berpartisipasi (Ocbrianto, 2012), bertindak, serta berpengaruh
terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat
diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor pendidikannya
(Kurnia,2011).
Hasil penelitian analisis T-test menunjukkan bahwa dari 110 orang
responden ibu balita yang memiliki umur <30 tahun di posyandu wilayah
92
perkampungan dan kompleks mempunyai rata – rata partisipasi sebanyak
8,6(±1,8) tahun dengan, sedangkan dari 110 orang responden ibu balita yang
memiliki umur ≥30 tahun di posyandu wilayah perkampungan dan kompleks
mempunyai rata – rata partisipasi sebanyak 8,6(±2,0). Dengan nilai P-value 0,999
maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan secara statistik antara umur ibu
balita dengan partisipasi ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri
Kepa tahun 2013.
Hasil penelitian didukung oleh penelitian hasil penelitian Kurnia
(2011) yang mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
umur ibu dengan partisipasi ibu dalam pemanfaatan pelayanan gizi di Posyandu
dengan Pvalue (0,920)) > 0,05dengan nilai OR 95%CI) yaitu 0,874 (0,378-2,024).
Hasil penelitian Mulyati (2010) menunjukkan bahwa terhadap hubungan
bermakna antara sikap, perilaku dan pendidikan responden terhadap kepatuhan
kunjungan ibu balita sedangkan untuk variabel umur tidak terdapat hubungan
yang bermakna dengan rata-rata responden berusia di bawah 28 tahun dengan
angka partisipasi rata-rata 56,1%.
Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Yamin
(2003) yang menyebutkan bahwa perilaku ibu dalam pemanfaatan posyandu
dipengaruhi oleh umur ibu, artinya semakin bertambah usia ibu semakin rutin
pemanfaatan Posyandu serta penelitian Eddy (2000), yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara umur ibu dengan cakupan penimbangan.
93
Serta hasil penelitian Lestari (2009) menyatakan hal yang sama bahwa terdapat
hubungan bermakna untuk umur ibu balita (p= 0,016).
Hasil penelitian ini kemungkinan berbeda disebabkan oleh penggunaan
uji yang berbeda, pada penelitian terkait menggunakan jenis uji chi-square.
Perbedaan pada kedua hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh faktor
lain yang mempengaruhi seperti faktor pengetahuan, sikap, dan jarak posyandu
sebagaimana yang dikatakan dalam teori Notoatmodjo (2003) dan teori yang
dituliskan Jannah (2010) yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang, karena
dengan perilaku yang tidak didasari pengetahuan akan sulit dipertahankan
kelanggengannya. Meskipun dalam Teori Hurlock (1991) menyatakan pada ibu
yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya dan
sebagai ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati
tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kualitas dan
kuantitas pengasuhan anak. Hal ini menjadi salah satu faktor lainnya karena pada
dasarnya ibu denga usia lebih tua akanlebih sulit untuk diberikan pengetahuan
baru, karena mereka akan cenderung lebih bertahan akan pengetahuan yang
mereka miliki, dengan pengetahuan kurang yang dimiliki ibu balita maka
kecenderungan berpengaruh terhadap perilaku ibu blalita untuk tidak
berpartisipasi di posyandu.
94
5.11 Hubungan Pendidikan dan Partisipasi
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, orang tua dapat
menerima segala informasi dari luar dengan baik (Soetjiningsih (1995). Spencer
1859 dalam Kurnia (2011) meyatakan bahwa orang tua yang berpendidikan
rendah akan sulit beradaptasi dengan situasi dan kondisi dari kegiatan yang
dilaksanakan sehingga dapat mempengaruhi dalam kegiatan pelaksanaan
Posyandu.
Hasil analisis pada penelitian ini memperlihatkan dari 110 orang
responden ibu balita terdapat 34 ibu balita dengan kategori pendidikan < SMP
dengan rata-rata partisipasi ibu balita adalah 8,7(±1,9) dan 76 orang responden
ibu balita dengan kategori pendidikan ≥ SMP dengan rata-rata partisipasi ibu
balita adalah 8,6(±1,8). Hasil analisis t-test untuk didapatkan nilai p-value (0,904)
yang apabila dibandingkan dengan nilai α (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan partisipasi ibu balita antara kelompok pendidikan <SMP dan
≥ SMP.
Hasil penelitian didukung oleh hasil penelitian Fitriani (2010)
disimpulkan bahwa ada hubungan yang tidak bermakna antara pendidikan ibu
dengan kunjungan aktif ke posyandu di wilayah kerja poskesdes Segayam
Kecamatan Pemulutan Selatan. Hasil penelitian serupa ditemukan pada penelitian
Masnuchaddin (2010) bahwa pendidikan ibu balita tidak berhubungan dengan
95
ketidakhadiran balita di posyandu. Dan sejalan juga dengan hasil penelitian
Handayani pada tahun 2010 yaitu bahwa faktor pendidikan tidak memiliki
hubungan partisipasi ibu balita di posyandu, namun pengetahuan dan sikap ibu
balita lah faktor yang mempengaruhi partisipasi ibu membawa balita ke posyandu.
Hasil penelitian ini didukung pula oleh hasil penelitian Eddy (2000)
yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat
pendidikan ibu balita dengan partisipasi ke Posyandu. Begitu juga dengan hasil
penelitian Hidayati (2010), yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara
pendidikan ibu dengan partisipasinya ke Posyandu. Serta hasil penelitian Gultom
(2010) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu balita toidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap partisipasi ibu balita di posyandu. Serta didukung oleh
Notoatmodjo (2005), yang menyatakan bahwa apabila penerimaan perilaku baru
atau adopsi perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bersifat lebih langgeng
(long lasting), dan apabila perilaku tidak didasari dengan pengetahuan tidak akan
berlangsung langgeng.
Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian Kurnia (2011) yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan responden
dengan partisipasi ibu balita. Pernyataan serupa dikemukanan oleh hasil penelitian
di Nova Scovia Amerika menunjukkan bahwa penduduk berpendidikan lebih
rendah lebih banyak mengunjungi pelayanan kesehatan sebanyak 49% daripada
yang berpendidikan lebih tinggi (OR 1,49;1,24-1,79) (Mahmud, 2009). Perbedaan
kesimpulan penelitian, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain, seperti
96
pengetahuan yang dimiliki ibu balita, umur ibu balita, jumlah anak dan lokasi
yang berbeda serta cara pengolahan uji statistik yang digunakan.
Hasil penelitian ini, tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
Ibu yang memiliki pendidikan dan pengetahuan tinggi akan memiliki pengertian
yang baik mengenai pentingnya ibu membawa anak balitanya ke Posyandu
sehingga akan mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap upaya peningkatan
perubahan perilaku. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin
banyak pula pengetahuan yang mereka miliki (pendapatan semakin tinggi) hal
tersebut akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan,
informasi, dan nilai-nilai baru yang diperkenalkan.
Namun dari hasil yang didapatkan di lapangan, ibu balita yang
berpendidikan tinggi lebih banyak yang tidak memanfaatkan Posyandu, serta
berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ibu balita yang berpendidikan tinggi
akan cenderung memiliki pekerjaan di luar rumah, akan lebih memilih membawa
anaknya ke ke rumah sakit, rumah sakit ibu dan anak (RSIA) untuk menimbang
dan mengetahui status kesehatan anaknya, namun ibu balita di wilayah kerja
Puskesmas Kelurahan Duri Kepa yang berpendidikan lebih tinggi pada umumnya
bekerja sehingga tidak memiliki waktu yang sesuai dengan waktu diadakannya
posyandu.. Hal ini sejalan juga dengan teori Anderson and Andersen (1972) dan
Aday and Eichorn (1972) yang mengatakan bahwa seseorang yang mendapat
pendidikan formal biasanya lebih banyak mengunjungi ahli kesehatan
97
(Greenly,1980), dalam hal ini ahli kesehatan di perkotaan lebih cenderung untuk
mendatangi rumah sakit daripada Posyandu.
5.12 Hubungan Status Pekerjaan dan Partisipasi
Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, guna
mencapai dengan harapan bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan
membawanya kepada sesuatu keadaan yang lebih memuaskan dari pada keadaan
sebelumnya. Jenis pekerjaan seseorang menentukan tingkat penghasilan dan juga
wakti luang yang dimilikinya dalam berpartisipasi. Pekerjaan memilki hubungan
dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial
ekonomi dan berkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan.
Hasil analisis penelitian memperlihatkan terdapat 80orang ibu balita
status tidak bekerja dengan nilai rata-rata partisipasi ibu balita adalah 9,0(±1,8)
dan 30 orang ibu balita berstatus bekerja dengan rata-rata partisipasi ibu balita
adalah 7,7(±1,7). Hasil analisis t-test menyimpulkan bahwa ada perbedaan
partisipasi ibu balita antara kelompok ibu tidak bekerja dan tidak bekerja dengan
nilai p-value= 0,002.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kartini (2012) yang
menyatakan bahwa sebanyak 83,9% ibu balita yang berartisipasi aktif di
posyandu, masuk dalam kategori tidak bekerja. Penelitian Sambas (2002) yang
menyatakan bahwa ibu balita yang tidak bekerja berpeluang baik untuk
berkunjung ke Posyandu dibandingkan dengan ibu yang bekerja dan hasil
98
penelitian kualitatif di Kota Denpasar yang dilakukan Widiastuti (2006) juga
menyatakan bahwa ibu yang bekerja menyebabkan tidak membawa anaknya ke
Posyandu untuk di timbang dikarenakan faktor kesibukan dan ketidaktersediaan
waktu. Selaras dengan penelitian oleh Tuti Pradianto tantang faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidakhadiran Ibu Balita dan Penggunaan Posyandu di
Kecamatan Bogor Barat (1989) membuktikan bahwa ada faktor pekerjaan (status
pekerjaan) ibu berhubungan signifikan dengan penggunaan Posyandu (Hidayati,
2010). Begitu pula dengan hasil penelitian Suwarsini (2009) yang menyimpulkan
bahwa ada hubungan antara status pekerjaan ibu balita dengan tingkat kehadiran
ke posyandu (p=0,038). Hasil lainnya yang mendukung adalah penelitian Gultom
yang menyatakan variabel pekerjaan (ρ=0,004) merupakan variabel yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap pasrtisipasi ibu balita.
Hasil ini selaras dengan teori Khosan (2007) yang menyatakan bahwa
seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan waktu yang cukup padat akan
mempengaruhi ketidakhadiran dalam pelaksanaan Posyandu. Orang tua tidak
mempunyai waktu luang, sehingga semakin tinggi aktivitas pekerjaan orang tua
semakin sulit datang ke Posyandu. Sehingga mereka akan lebih memilih untuk
menggunakan jasa pelayanan kesehatan lainnya selain posyandu, seperti dokter
anak, rumah sakit, dan lain-lain. Namun fakta di lapangan beberapa ibu balita
yang memiliki partisipasi yang baik meskipun bekerja, mereka menempuh jalan
lain agar anak balitanya tetap dapat ditimbang setiap bulannya, yaitu dengan
meminta bantuan orang lain untuk membawa anak balitanya setiap bulan untuk
penimbangan di posyandu.
99
Sejalan pula dengan hasil wawancara FGD yang dilakukan, semua ibu
balita berstatus tidak bekerja dan memiliki waktu uang untuk membewa balitanya
ke posyandu dan tidak terbatas dengan waktu seperti yang dituturkan oleh ibu Kw,
Ibu Kr, Ibu T yang menyatakan bahwa mereka rela mengunjungi posyandu
dengan jarak yang jauh setiap bulannya meskipun tiba di rumah hingga siang hari
5.13 Hubungan Pendapatan dan Partisipasi
Pendapatan dan pengeluaran keluarga merupakan salah satu tolak ukur
untuk mengetahui tingkat ekonomi suatu keluarga dalam memenuhi kebutuhan
sehari-harinya (Zuhri, 2010). Selaras dengan pendapat dari seorang ahli bahwa
yang dimaksud dengan penghasilan adalah gaji, hasil pertanian, pekerjaan dari
anggota keluarga.
Hasil analisis di atas memperlihatkan terdapat 55 ibu balita memiliki
pendapatan keluarga <Median dengan rata-rata partisipasi 8,8(±1,9) dan 55 ibu
balita memiliki pendapatan keluarga ≥Median dengan rata-rata 8,5(±1,8). Hasil
analisis t-Test untuk didapatkan nilai p-value=0, 370 yang apabila dibandingkan
dengan nilai α (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada partisipasi ibu
balita antara kelompok ibu balita dengan pendapatan keluarga di bawah Median
dan di atas sama di posyandu wilayah kerja Puskesmas Duri Kepa tahun 2013.
Hasil ini berentangan dengan penelitian Ascobat Gani yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan kebutuhan
pelayanan kesehatan (Hidayati, 2010). Dan teori Perangkap Kemiskinan (Poverty
100
Trap) dalam Jurnal JMPK oleh Suryawati (2005) yang menyatakan bahwa
pendapatan yang rendah dan partisipasi yang rendah merupakan salah satu dari
bagian siklus kemiskinan yang tiada ujung.
Hal yang menyebabkan pembedaan hasil penelitian ini dikarenakan
jumlah sampel, cara pengambilan sampel, uji statistic dan lokasi penelitian yang
berbeda. Selain itu terbatas pada kejujuran ibu balita saat memberikan informasi
mengenai jumlah pendapatan dan pengeluaran rata-rata keluarga ibu balita dalam
satu bulan. Kecenderungan yang terjadi di masyarakat miskin adalah kurang
memperhatikan kesehatan mereka, yang berdampak pada rendahnya tingkat
pemahaman akan pentingnya kesehatan, penyebab lainnya yaitu ketidakmampuan
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan karena biaya yang tidak terjangkau.
Pada umumnya ibu balita dengan pendapatan yang rendah akan
mencari sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, namun akibat dari
adanya kesibukan ibu balita dalam bekerja (Kurnia, 2011) maka waktu
pelaksanaan posyandu tidak sesuai dengan ketersediaan waktu ibu tersebut (Razif,
dkk, 2012), seharusnya posyandu dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
masyarakat dengan penghasilan yang rendah untuk mendapat pelayanan kesehatan
yang optimal.
Untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemanfaatan
posyandu pada ibu balita dengan pendapatan yang rendah, sebaiknya dilakukan
pendekatan dan memberikan pengetahuan pentingnya pemanfaatan posyandu
101
secara berkala sehingga dapat membangun motivasi ibu balita dan berujung pada
terbentuknya perilaku yang kemudian akan menjadi kebiasaan.
5.14 Hubungan Jarak Tempuh dan Partisipasi
Jarak tempuh merupakan ukuran jauh dekatnya dari rumah atau tempat
tinggal seseorang ke Posyandu dimana adanya kegiatan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat di wilayahnya yang juga dapat diperhitungkan dengan menggunakan
waktu tempuh. Hasil analisis di atas memperlihatkan terdapat 86 ibu balita
memiliki jarak tempuh yang dekat dari rumah (<10menit) dengan rata-rata
partisipasi 9,2(±1,6) dan 24 ibu balita memiliki jarak tempuh rumah jauh
(≥10menit) dengan rata-rata 6,5( ±1,0). Hasil analisis t-Test untuk didapatkan nilai
p-value=0,000 yang apabila dibandingkan dengan nilai α (0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat ada perbedaan partisipasi ibu balita antara kelompok
ibu balita dengan jarak tempuh posyandu dekat dan jauh.
Hasil analisis di atas memperlihatkan terdapat 86 ibu balita memiliki
jarak tempuh yang dekat dari rumah (<10menit) dengan rata-rata partisipasi
9,2(±1,6) dan 24 ibu balita memiliki jarak tempuh rumah jauh (≥10menit) dengan
rata-rata 6,5(±1,0). Hasil analisis t-Test untuk didapatkan nilai p-value=0,000
yang apabila dibandingkan dengan nilai α (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat ada perbedaan partisipasi ibu balita antara kelompok ibu balita dengan
jarak tempuh posyandu dekat dan jauh.
102
Hal ini selaras juga seperti yang dikemukakan Kartini (2012) yang
menyatakan bahwa ibu balita yang berpartisipasi aktif sebanyak 80,6% memiliki
rumah yang dekat dengan letak posyandu. Begitu pula dengan hasil penelitian
Sambas (2002) bahwa responden yang jarak tempuhnya dekat dari rumah ke
Posyandu (<10 menit) berpeluang baik untuk berkunjung ke Posyandu
dibandingkan yang jarak tempuhnya jauh (≥ 10 menit).
Hasil didukung pula oleh teori yang menyatakan bahwa salah satu
faktor yang berpengaruh dalam aktif atau tidaknya keluarga untuk datang
menimbangkan balitanya yaitu faktor geografi, dimana letak dan kondisi geografis
wilayah tersebut (Octaviani dkk, 2008). Hasil penelitian sebelumnya yang
dikemukakan oleh Hayya, (2000) bahwa kondisi geografis diantaranya jarak ke
tempat pelayanan kesehatan sangat berpengaruh terhadap keaktifan membawa
balitanya ke posyandu. Sejalan juga dengan teori Effendy (1997) yang dikutip
dalam Kurnia (2011), bahwa letak Posyandu sebaiknya berada di wilayah yang
mudah untuk dikunjungi masyarakat (strategis) dan tidak membutuhkan biaya
tambahan atau dapat ditempuh dengan berjalan kaki untuk mengunjungi
pelayanan kesehatan. Hal ini bermaksud agar jarak Posyandu tidak terlalu jauh
sehingga tidak menyulitkan masyarakat untuk menimbang anaknya setiap
bulannya. Selaras dengan teori yang ada, faktor jarak menjadi salah satu yang
memberikan kontribusi terhadap seseorang dalam melakukan suatu tindakan
(Sambas,2002).
103
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengakuan dari beberapa informan
saat pelaksanaaan FGD (2013) beberapa dari ibu balita yang merasa letak
rumahnya jauh dari posyandu memanfaatkan transportasi motor untuk
mengunjungi posyandu setiap bulannya sedangkan yang lainnya berjalan kaki
bersama dengan ibu balita yang lain setiap bulannya.
Kesimpulan dari FGD yang dilakukan pada 10 orang ibu balita,
beberapa ibu balita menjadikan jarak yang dekat sebagai salah satu faktor yang
menentukan pemilihan posyandu meskipun beberapa ibu balita yang merasa
rumahnya cukup jauh tidak menjadikan jarak sebagai alasan untuk berpartisipasi
aktif di posyandu (September 2013). Hasil sejenis dikemukakan oleh penelitian
kualitataif Ocbrianto (2012) bahwa beberapa ibu balita merasa rumahnya dekat
sehingga memiliki peluang esar untuk mengunjungi posyandu, dan yang merasa
rumhnya jauh tetap mengunjungi posyandu memiliki alasan lain seperti
memahami manfaat yang dirasakan dengan datang mengunjungi posyandu.
5.15 Hubungan Petugas Kesehatan dan Partisipasi
Pada setiap posyandu yang berjalan lancar dan teratur selalu ada tokoh
motor penggerak posyandu secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan
petugas puskesmas dan bidan desa merupakan motivasi yang penting bagi kader
serta masyarakat dalam berperan aktif pada kegiatan posyandu. (Sumarno, 2006)
Berdasarkan Hasil analisis di atas memperlihatkan terdapat 17 ibu
balita merasa tidak perlu dengan adanya kehadiran petugas kesehatan dan 93 ibu
104
balita merasa perlu dengan kehadiran petugas kesehatan . Hasil analisis t-Test
didapatkan nilai p-value=0,114 yang apabila dibandingkan dengan nilai α (0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan partisipasi ibu balita antara
kelompok ibu balita yang merasa tidak perlu dengan rata-rata partisipasi 8,0(±2,2)
dengan kehadiran petugas kesehatan dan ibu balita yang merasa perlu dengan
rata-rata partisipasi 8,7(±1,8) dengan kehadiran petugas kesehatan
Kesimpulan penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
Widiastuti (2006), bahwa pelayanan dari petugas kesehatan menjadi salah satu
daya tarik bagi ibu balita untuk membawa anaknya berkunjung ke posyandu.
Hasil serupa pula denganasil penelitian Yuliana (2011) yang menyatakan bahwa
ada hubungan antara peran Petugas Kesehatan dengan Partisipasi masyarakat
(D/S) (p 0,000< α 0,05) di Kabupaten Pandeglang.
Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan sebagian besar ibu balita yang
diwawancarai mengemukakan ketertarikan akan posyandu didasari oleh adanya
petugas kesehatan yang terampil, berbedanya hasil dengan data statistic
disebabkan pengambilan sampel yang faktor yang menyebabkan hasil uji statistic
berbeda dengan hasil penelitian lain dapat disebabkan karena cara pengambilan
sampel, uji statistik, jumlah sampel serta karakteristik wilayah dan sampel yang
juga berbeda, pada penelitian pembanding menggunakan uji chi-square.
Sedangkan perbedaan dengan hasil FGD adalah jenis penelitian, FGD merupakan
salah satu cara pengumpulan data secara kualitatif dengan jumlah sampel yang
sedikit (8-12 orang).
105
Menurut hasil FGD, dapat disimpulkan bahwa kehadiran petugas
kesehatan merupakan salah satu faktor yang menarik perhatian ibu balita untuk
hadir dalam pelayanan posyandu sehingga partisipasi terhadap meningkat dan
program pemerintah untuk meningkatkan cangkupan hingga 80% dapat tercapai,
petugas kesehatan dapat memanfaatkan hal ini untuk menarik minat ibu balita
dengan tidak hanya memberikan pelayanan dasar, namun juga penyuluhan sebagai
upaya peningkatan pengetahuan ibu balita juga, demo membuat makanan yang
bergizi padat dan ekonomis bagi balita sehingga dapat diterapkan oleh ibu dalam
kehidupan sehari-hari dengan tujuan memberikan arahan cara pengolahan
makanan yang baik bagi balita sehingga dapat diterapkan di rumah tangga serta
menjadikan kegiatan posyandu lebih menyenangkan sehingga ibu balita lebih
tertarik untuk berpartisipasi aktif dan edukasi dalam pembinaan keluarga siaga.
5.16 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan pada penelitian ini antara lain penelitian ini hanya sebatas
melihat ada tidaknya perbedaan antar variabel dependen dengan independen
karena kedua variabel diteliti pada saat bersamaan dengan menggunakan desain
studi cross sectional. Keterbatasan penelitian lainnya yang juga dirasakan dalam
menanyakan pendapatan dan pengeluaran rata-rata dalam sebulan keluarga ibu
balita, beberapa ibu balita kurang terbuka dalam memberikan informasi.