bab iii
DESCRIPTION
bab8TRANSCRIPT
BAB 3
G E O L O G I
Bab ini menjelaskan hasil penelitian yang disusun berdasarkan data primer
dan sekunder serta bahasan tentang daerah penelitian yang meliputi; geomorfologi,
stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi. Penggabungan dari pembahasan
keempat aspek tersebut diharapkan dapat mengungkapkan kondisi geologi daerah
penelitian dan juga potensi bahan galian.
3.1 Geomorfologi
3.1.1 Morfografi
Analisis Morfografi merupakan salah satu aspek dalam penentuan satuan
geomorfologi. Aspek ini meliputi bentuk lahan, bentuk lembah dan pola pengaliran.
3.1.2 Bentuk Lahan
Berdasarkan Klasifikasi Bentuk Lahan dan Perbedaan Ketinggian
(Van Zuidam, 1985) maka bentuk lahan daerah penelitian dibagi ke dalam tiga
bagian seperti pada tabel 3.1.
45
46
Tabel 3.1 Bentuk Lahan Daerah Penelitian
Simbol Warna Ketinggian (mdpl) Bentuk Lahan
100 - 200 Perbukitan Rendah
200 - 500 Perbukitan
500 - 1.500 Perbukitan Tinggi
3.1.3 Bentuk Lembah
Berdasarkan analisis topografi dan kenampakan di lapangan, bentuk lembah
di daerah penelitian termasuk ke dalam jenis lembah U dan V. Lembah V berada di
sekitar puncak perbukitan atau pegunungan yang proses erosi didominasi dengan
gaya vertikal, seperti di Gunung Bende dan Gunung Kasur, sedangkan lembah U
mulai terlihat di sungai-sungai utama yang proses erosi didominasi dengan gaya
horizontal, seperti Sungai Cipereundeuy di Baratlaut, Cibarengkok di Timurlaut, dan
Cijahung di Timurlaut daerah penelitian.
47
3.1.4 Pola Pengaliran
Pada daerah penelitian sungai utama umumnya mengalir sejajar dengan arah
jurus perlapisan batuan, sedangkan anak sungai mengalir memotong arah jurus
perlapisan batuan. Sungai utama yang merupakan induk sungai yaitu Sungai Citarum
yang mengalir dari Barat Daya ke Barat dan Sungai Cileat yang mengalir dari
Tenggara ke Barat Laut daerah penelitian. Anak sungai bermuara di kedua sungai
besar tersebut.
Gambar 3.1 Morfografi Daerah Penelitian dalam Dua dan Tiga Dimensi, Tanpa
Skala
48
Gambar 3.2 Pola Pengaliran daerah penelitian: (A) Dendritik; (B) Sub Paralel
Analisis pola pengaliran berdasarkan peta topografi terhadap torehan alur-
alur sungai intermiten dan sungai besar di daerah penelitian yang kemudian
dibandingkan dengan pola pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi (Howard,
1967), dalam (Van Zuidam, 1985), menunjukan bahwa pola pengaliran yang
berkembang adalah Dendritik dan Dendrito Paralel.
1. Pola Pengaliran Dendritik
Pola pengaliran ini berkembang di bagian Timur Laut daerah penelitian yang
umumnya memiliki bentuk lahan yang relatif landai dan kurang dikontrol oleh
struktur geologi. Di bagian Timur Laut, anak sungai mengalir ke dua sungai yaitu
49
Sungai Cijahung dan Sungai Cibarengkok, pada bentuk lahan dengan dominasi
Tuf sebagai batuan penyusun.
2. Pola Pengaliran Sub-Pararel
Pola pengaliran ini merupakan pola pengaliran yang berkembang di morfologi
lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuk lahan memanjang.yang
mendominasi hampir seluruh daerah penelitian. Umumnya terbentuk pada relief
yang sedang dan tersusun atas perlapisan batuan sedimen. Pada bagian Tenggara
peta, anak sungai mengalir mengarah langsung ke induk sungai (Sungai Cileat),
menempati bentuk lahan yang utamanya tersusun atas batupasir. Pada bagian
Barat Daya peta, sungai utama mengalir memotong arah pola jurus perlapisan
batuan, menempati bentuk lahan yang utamanya dikontrol oleh proses pelapukan
dan erosi pada litologi yang didominasi batupasir.
3.1.5 Morfometri
Berdasarkan Klasifikasi Kemiringan Lereng (Van Zuidam, 1985),
maka morfometri daerah penelitian terbagi menjadi 4 bagian, yaitu.
50
Tabel 3.2 Pembagian Morfometri Daerah Penelitian
Simbol Warna Kemiringan Lereng
Datar - Hampir Datar
Landai
Agak Curam
Curam
Gambar 3.3 Peta Tematik Morfometri Daerah Penelitian Tanpa Skala
51
3.1.6 Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian
Berdasarkan kondisi topografi dan analisis morfografi, morfometri, serta
morfogenetik, derah penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan geomorfologi (Van
Zuidam, 1985), yaitu:
1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Landai
2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Agak Curam
3. Satuan Geomorfologi Perbukitan Curam
3.1.6.1 Satuan Geomorfologi Perbukitan Landai
Satuan geomorfologi ini menempati bagian utara daerah penelitian,
mencakup sekitar 27% daerah penelitian. Satuan ini dicirikan oleh perbukitan yang
landai dengan elevasi 225 - 275 (Mdpl), pola aliran dendritik, kemiringan lereng 6,9°
- 14,5°, dan proses eksogen berupa pelapukan dan erosi yang banyak mempengaruhi
bentang alamnya. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah tuf.
Foto 3.1 Kenampakan Satuan Geomorfologi Perbukitan Landai
52
3.1.6.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Agak Curam
Satuan geomorfologi ini menempati bagian timurlaut dan selatan daerah
penelitian, mencakup sekitar 35% daerah penelitian. Satuan ini dicirikan oleh
perbukitan agak curam dengan elevasi 365 - 525 (Mdpl), kemiringan lereng 14,6° -
29,4°, dan proses endogen berupa kegiatan tektonik yang berperan dalam aspek
morfogenetiknya. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah batupasir dan
batulempung.
Foto 3.2 Kenampakan Satuan Geomorfologi Perbukitan Agak Curam
3.1.6.3 Satuan Geomorfologi Perbukitan Curam
Satuan geomorfologi ini membentang dari baratdaya sampai timur daerah
penelitian, mencakup sekitar 38% daerah penelitian. Satuan ini dicirikan oleh
perbukitan curam dengan elevasi 525 - 950 (Mdpl), kemiringan lereng 29,5° - 54,5°,
dan proses endogen berupa kegiatan tektonik yang berperan dalam aspek
morfogenetiknya. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah batupasir dan
batugamping.
53
Foto 3.3 Kenampakan Satuan Geomorfologi Pebukitan Curam
3.2 Geologi Daerah Penelitian
3.2.1 Stratigrafi
Berdasarkan pengamatan dari beberapa jenis batuan yang dapat dipetakan
serta memiliki karakteristik deskriptif yang mencolok dan konsisten sehingga dapat
dibedakan dengan karakter litologi lainnya maka satuan batuan pada derah penelitian
dapat dikelompokan menjadi 4 satuan batuan, berdasarkan tata nama yang mengambil
ciri deskriptif tiap litologi penyusun batuan. Urut-urutan keempat satuan batuan
tersebut dari yang paling tua sampai yang paling muda adalah sebagai berikut:
1. Satuan Batupasir Karbonatan (Tobpk)
2. Satuan Batugamping (Tobg)
3. Satuan Batupasir (Tmbp)
4. Satuan Tuf (Qt)
Penyebaran ke-empat satuan batuan tersebut di atas dapat dilihat pada Peta
Geologi (Lembar 4).
54
3.2.1.1 Satuan Batupasir Karbonatan (Tobpk)
3.2.1.1.1 Karakteristik Litologi
Satuan batupasir ini digunakan sebagai nama satuan yang disusun oleh
batupasir, batulempung, dan breksi polimik yang didominasi oleh batupasir. Satuan
ini dicirikan dengan batupasir berwarna lapuk abu-abu kecoklatan, warna segar abu-
abu terang, berbutir sedang-halus, bentuk butir membundar tanggung-membundar,
kemas terbuka, permeabilitas baik, terpilah sedang, karbonatan, kekerasan kompak,
berstruktur sedimen parallel laminasi, load cast, mengandung mineral kuarsa.
Batulempung berwarna lapuk abu-abu kehitaman, warna segar abu-abu keputih-
putihan, permeabilitas sedang, karbonatan, kontak tegas dengan batupasir (Foto 3.4).
Foto 3.4 Foto Singkapan Batupasir Perselingan Batulempung di Sungai Cijahung
3.2.1.1.2 Penyebaran dan Ketebalan
55
Penyebaran satuan batupasir ini terdapat pada sebelah barat hingga timur
daerah penelitian, yaitu Desa Ciptaharja dan Desa Rajamanda Kulon. Singkapan
satuan ini umumnya ditemukan di sepanjang dinding dan dasar aliran Sungai
Cijanung, Cileat Kidul, Citarum, Cisameng.. Satuan batupasir ini menempati luas
area 20% dari seluruh daerah penelitian, dengan pola sebaran jurus perlapisan (strike)
relatif barat-timur dan nilai kemiringan perlapisan (dip) berkisar antara 300 – 850.
Penyebaran satuan ini umumnya menempati satuan geomorfologi perbukitan agak
curam. Berdasarkan hasil rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini
mencapai 200-300 m.
3.2.1.1.3 Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan ini tidak dilakukan analisis fosil di laboratorium, maka
penentuan umur satuan ini lebih didasarkan pada karakteristik litologi, posisi
stratigrafi terhadap satuan batuan lain, dan berdasarkan kesebandingan dengan
peneliti terdahulu. Berdasarkan posisi litostratigrafinya, menunjukkan bahwa Satuan
Batupasir Karbonatan ini secara stratigrafi memiliki kisaran umur yang sama dengan
Batugamping, yaitu berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal. Umur relatif juga
diperoleh berdasarkan kesebandingan dengan peneliti terdahulu Martodjodjo (2003)
menyebutkan bahwa batugamping berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal.
Berdasarkan karakteristik litologi dengan ukuran butir membundar
tanggung-membundar, dapat diinterpretasikan bahwa transportasi butir sudah cukup
jauh dari sumbernya yang kemungkinan berasal dari lingkungan darat sifat
56
karbonatan juga menunjukkan bahwa besar kemungkinan satuan batupasir ini
terendapkan pada daerah yang memungkinan unsur-unsur karbonat (seperti
Foraminifera) masih dapat hidup, yaitu lingkungan laut dangkal. Berdasarkan
karakteristik batuan yang ditemui di lapangan dan didukung oleh kesebandingan dari
peneliti sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah
laut dangkal.
Gambar 3.4 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batupasir
BerdasarkanPermodelan Klasifikasi Lingkungan Laut
(Tipsword et al., (1996) dalam Pringgoprawiro (1994))
3.2.1.1.4 Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan rekonstruksi data lapangan, satuan batupasir ini berbatasan
dengan satuan batugamping, satuan batupasir nonkarbonatan, dan satuan tuf.
Hubungan stratigrafi antara satuan batupasir karbonatan dan satuan batugamping
57
adalah menjemari, hubungan stratigrafi antara satuan batupasir karbonatan dengan
satuan batupasir adalah selaras, dan hubungan dengan satuan tuf adalah tidak selaras.
3.2.1.1.5 Kesebandingan Regional
Berdasarkan kesamaan ciri fisik, satuan batupasir ini dapat disebandingkan
dengan Formasi Rajamandala (Sudjatmiko,1972) yang dimuat pada tabel 3.4.
Tabel 3.3 Kesebandingan Satuan Batupasir dengan Formasi Rajamandala
(Sudjatmiko, 1972)
ParameterSatuan batupasir
Formasi Rajamandala
Anggota Batupasir,
batulempung, batulanau
(Sudjatmiko, 1972)
Karakter
Litologi
Berwarna lapuk abu-abu
kecoklatan, warna segar abu-
abu terang, berbutir sedang-
halus, bentuk butir
membundar tanggung-
membundar, kemas terbuka,
permeabilitas baik, terpilah
sedang, karbonatan, kekerasan
Batupasir kuarsaan dan
konglomerat kerakal kuarsa,
lempung abu-abu tua sampai
hitam, lempung napalan, lembar
mika, jalur batubara dan ambar.
58
kompak, berstruktur sedimen
parallel laminasi, load cast,
mengandung mineral kuarsa.
Posisi
Stratigrafi
Menjemari dengan satuan
batugamping, tidak selaras
dengan satuan batupasir
Menjemari dengan anggota
batugamping Formasi
Rajamandala. Tidak selaras
dengan Formasi Citarum
anggota batupasir dan
batulanau.
Umur Oligosen Akhir-Miosen Awal Oligosen Akhir-Miosen Awal
Lingkungan
Pengendapan
Laut Dangkal Laut Dangkal
3.2.1.2 Satuan Batugamping (Tobg)
3.2.1.2.1 Karakteristik Litologi
Satuan batugamping ini disusun oleh batugamping berwarna lapuk abu-abu
gelap, warna segar abu-abu putih, kekerasan keras, feature terumbu, banyak
ditemukan foraminifera besar dan kecil. (Foto 3.4)
59
Foto 3.5 Singkapan Batugamping di Sungai Cisameng
3.2.1.2.2 Penyebaran dan Ketebalan
Penyebaran satuan batugamping ini terdapat pada sebelah timur laut dan
barat daerah penelitian, yaitu Desa Ciptaharja (Gunung Guha) dan Desa Rajamandala
Kulon (Gunung Sanghiang Tikoro). Singkapan satuan ini umumnya ditemukan di
sepanjang dinding dan dasar daerah aliran Sungai Cisaat, Cijanung, dan Cisameng.
Satuan batugamping ini menempati luas area 15 % dari seluruh daerah
penelitian, dengan pola sebaran relatif barat-timur. Penyebaran satuan ini umunya
menempati satuan geomorfologi perbukitan curam. Peneliti mengalami kesulitan
untuk menentukan ketebalan relatif satuan ini karena batugamping berjenis terumbu.
60
3.2.1.2.3 Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan ini tidak dilakukan analisis fosil di laboratorium maka
penentuan umur satuan ini lebih didasarkan pada karakteristik litologi, posisi
stratigrafi terhadap satuan batuan lain, dan berdasarkan kesebandingan dengan
peneliti terdahulu.
Berdasarkan karakteristik litologinya, batugamping ini bersifat masif dan
peneliti menginterpretasikan bahwa satuan ini merupakan batugamping terumbu.
Berdasarkan posisi litostratigrafinya, menunjukkan bahwa Satuan Batugamping ini
secara stratigrafi memiliki kisaran umur yang sama dengan Batupasir Karbonatan
yaitu berumur Oligosen-Miosen Awal. Umur relatif juga diperoleh berdasarkan
kesebandingan dengan peneliti terdahulu Sudjatmiko (1972) yang menyebutkan
bahwa batugamping berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal.
Sedimentasi karbonat dihasilkan dari proses organik biokimia pada
llingkungan laut bersih, hangat dan kedalaman dangkal. Sedimentasi karbonat
berlangsung pada lingkungan laut dangkal karena pada laut dangkal masih terkena
penetrasi cahaya yang bagus untuk pertumbuhan karbonat. Karbonat tumbuh pada
zona shallow neritik , diatas 10 - 20 m dari permukaan laut. Batas terendah penetrasi
cahaya berkisar antara 100 – 150 m yang merupakan batas zona euphotic, zona
dimana fotosintetik organisme terjadi. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik
batuan yang ditemui di lapangan, teori yang didapat, dan didukung oleh
kesebandingan dari peneliti sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa lingkungan
pengendapannya adalah laut dangkal.
61
Gambar 3.5 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batugamping Berdasarkan
Permodelan Klasifikasi Lingkungan Laut (Tipsword et al., (1996),
dalam Pringgoprawiro (1994))
3.2.1.2.4 Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan rekonstruksi pola jurus dan penampang geologi, peneliti
mendapatkan adanya hubungan lateral antara satuan batugamping dan satuan
batupasir karbonatan maka peneliti menyimpulkan bahwa hubungannya adalah
menjemari.
3.2.1.2.5 Kesebandingan Regional
Berdasarkan ciri-ciri litologi dan umurnya, maka satuan ini dapat
disebandingkan dengan Formasi Rajamandala (Sudjatmiko, 1972) (Tabel 3.3).
62
Tabel 3.4 Kesebandingan Regional Satuan Batugamping (Tobg) dengan Formasi
Rajamandala Menurut Sudjatmiko (1972)
ParameterSatuan Batugamping
(Peneliti)
Formasi Rajamandala
Anggota Batugamping
(Sudjatmiko, 1972)
Karakter
Litologi
Berwarna segar abu-abu putih,
warna lapuk abu-abu gelap,
kekompakan keras, feature
terumbu, banyak ditemukan
foraminifera besar dan kecil,
feature terumbu
Batugamping pejal dan
batugamping berlapis,
kebanyakan berwarna muda
dengan foraminifera besar
berlimpah dengan ketebalan
antara 0-650 m.
Posisi
Stratigrafi Menjemari dengan satuan
batupasir karbonatan dan tida
selaras dengan satuan batupasir
nonkarbonatan
Menjemari dengan anggota
batulempung, napal, batupasir
kuarsa Formasi Rajamandala.
Tidak Selaras dengan Formasi
Citarum anggota batupasir dan
batulanau.
Umur Oligosen Akhir – Miosen Awal Oligosen Akhir – Miosen Awal
Lingkungan
Pengendapa
n
Laut Dangkal Laut Dangkal
63
3.2.1.3 Satuan Batupasir Nonkarbonatan
3.2.1.3.1 Karakteristik Litologi
Berdasarkan pengamatan secara megaskopis, satuan ini tersusun atas
batupasir nonkarbonatan perselingan batulanau, dan breksi polimik (Foto3.6).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara megaskopis di lapangan, batupasir
nonkarbonatan pada satuan ini memiliki karakteristik warna lapuk hitam, warna segar
coklat, berbutir halus, bentuk butir membundar tanggung-membundar, kemas
terbuka, permeabilitas baik, terpilah baik, tidak karbonatan, kekerasan kompak,
struktur sedimen parallel laminasi, graded bedding, convolute. Batulanau pada
satuan ini memiliki karakteristik warna lapuk coklat kehitaman, warna segar coklat
kemerahan, besar butir lanau, kemas terbuka, permabilitas baik, tidak
karbonatan,kekerasan dapat diremas. Breksi polimik pada satuan ini memiliki
karakteristik warna lapuk coklat kehitaman, warna segar coklat kehitaman, tidak
karbonatan. Matriks batupasir, warna segar abu–abu tua, pasir menengah–pasir halus,
menyudut tanggung-membundar tanggung, kemas tertutup, pemilahan buruk, keras,
tidak karbonatan, dengan komponen batuan beku, abu–abu, faneritik, subhedral.
Batupasir, warna lapuk abu–abu kecoklatan, warna segar abu–abu muda, pasir halus–
menengah, membundar tanggung-menyudut tanggung, kemas tertutup, pemilahan
sedang, non-karbonatan, ukuran komponen 5cm-20cm.
64
A.
Convolute pada batupasir PD-44 B. Bouma Sequence pada batupasir PD-44
Foto 3.7 Struktur Sedimen yang Terdapat Pada Satuan Batupasir
3.2.1.3.2 Penyebaran dan Ketebalan
Penyebaran satuan batupasir ini terdapat pada sebelah tengah hingga selatan
daerah penelitian, yaitu Desa Jati. Singkapan satuan ini umumnya ditemukan di
sepanjang dinding dan dasar aliran Sungai Cigetan, Cilangkap, dan Cipanas. Satuan
Foto 3.6 Singkapan Batupasir di Desa Jati
65
batupasir menempati kurang dari 48% dari daerah penelitian. Satuan ini memiliki
arah umum jurus perlapisan (strike) relatif barat-timur, serta kemiringan lapisan (dip)
berkisar antara 450 – 700. Satuan ini memiliki ketebalan relatif 200-300 m.
3.2.1.3.3 Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan ini tidak dilakukan analisis fosil di laboratorium maka
penentuan umur satuan ini lebih didasarkan pada karakteristik litologi, posisi
stratigrafi terhadap satuan batuan lain, dan berdasarkan kesebandingan dengan
peneliti terdahulu.
Setelah melakukan rekonstruksi penampang dan pola jurus, diketahui bahwa
lapisan satuan batupasir nonkarbonatan berada diatas satuan batugamping dan
batupasir sehingga disimpulkan lapisan satuan batupasir nonkarbonatan ini umurnya
lebih muda daripada satuan batugamping dan batupasir. Berdasarkan posisi
litostratigrafinya, menunjukkan bahwa Satuan Batupasir ini secara stratigrafi
memiliki kisaran umur yang sama dengan Batupasir Citarum yaitu berumur Miosen
Awal-tengah. Umur relatif juga diperoleh berdasarkan kesebandingan dengan peneliti
terdahulu Sudjatmiko (1972) menyebutkan bahwa batupasir kuarsa berumur Miosen
Awal-Miosen Tengah.
Berdasarkan deskripsi megaskopis yang didapat, bentuk butir pada satuan
batupasir adalah membundar tanggung-membundar. Penulis menyimpulkan bahwa
transportasi butiran sudah cukup jauh dari sumbernya (lingkungan darat) dan
kemungkinan lingkungan pengendapan berada di laut. Berdasarkan sifat karbonatan,
66
peneliti menyimpulkan bahwa lingkungan pengendapan satuan batupasir
nonkarbonatan berada di daerah laut dalam karena pada daerah laut dalam sangat
kecil kemungkinkan untuk unsur-unsur karbonat berkembang (foraminifera).
Berdasarkan jenis struktur sedimen yang didapat di lapangan, indikator yang
menyatakan bahwa lingkungan pengendapan wilayah tersebut adalah laut dalam dari
adanya struktur sedimen sole marks (flute cast) dan gradded bedding (Ta), yang
menurut Bouma Sequence (1962 ) berada paling bawah dalam suatu mekanisme laut
dalam yang dipengaruhi oleh turbidite current (arus turbidit), disusul dengan parallel
laminasi (Tb) yang didapatkan pada internal bedding yang menurut Bouma
Sequence(1962) berada pada lapisan kedua. Kemudian dilanjutkan dengan adanya
struktur sedimen convolute bedding (Tc) yang menurut Bouma Sequence (1962)
berada pada lapisan ketiga. Ketiga struktur sedimen diatas (Ta,Tb,Tc) menjadikan
wilayah ini produk submarine fan yang dipengaruhi oleh mekanisme arus turbidit.
Berdasarkan karakteristik batuan yang ditemui di lapangan dan didukung
oleh kesebandingan dari peneliti sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa lingkungan
pengendapannya adalah laut dalam.
67
Gambar 3.6 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batupasir Berdasarkan
Permodelan Klasifikasi Lingkungan Laut
(Tipsword et al., (1996) dalam Pringgoprawiro (1994))
3.2.1.3.4 Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan rekonstruksi data lapangan, peneliti menyimpulkan bahwa
hubungan stratigrafi satuan batupasir dengan satuan batupasir karbonatan terdapat
hubungan keselarasan (Sudjatmiko, 1972)
3.2.1.3.5 Kesebandingan Regional
Berdasarkan ciri-ciri dari batuan tersebut maka satuan batupasir ini dapat
disebandingkan dengan formasi Citarum, (Sudjatmiko,1972)
68
Tabel 3.5 Kesebandingan Satuan BatupasirNonkarbonatan dengan Formasi Citarum
(Sudjatmiko, 1972)
Kesebandingan Satuan BatupasirFormasi Citarum
(Sudjatmiko,1972)
Litologi Batupasir ini memiliki karateristik
warna segar abu-abu dan memiliki
warna lapuk abu-abu kehitaman,
besar butir dari pasir sangat halus-
halus, terpilah baik, menyudut
tanggung, kemas tertutup, keras,
tidak karbonatan, struktur sedimen
parallel laminasi, graded bedding,
convolute.
Batupasir berlapis
sempurna berselingan
dengan batulanau,
batulempung, greywacke
dan breksi. Menunjukkan
sifat khas turbidit . struktur
sedimen seperti perlapisan
bersusun “concolate
lamination”, “current
ripple lamination”, tapak-
tapak cacing dan lain-lain.
Terlihat berlimpah-limpah.
Hubungan
Stratigrafi
Tidak selaras dengan satuan
batupasir dibawahnya.
Tidak selaras dengan
Formasi Rajamandala.
Umur Miosen Awal-Tengah Miosen Awal-Tengah
69
Lingkungan
Pengendapan
Laut Dalam Laut Dalam
3.2.1.4 Satuan Tuf
3.2.1.4.1 Karakteristik Litologi
Berdasarkan pengamatan secara megaskopis yang dilakukan di lapangan
maka satuan ini memiliki karakteristik warna segar merah kecoklatan, warna lapuk
abu-abu kemerahan , ukuran butir halus-sedang, kekerasan dapat diremas, struktur
masiv,kemas tertutup, serta terdapat fragmen gelas.
70
Foto 3.8 Singkapan Tuf di Sungai Cibarengkok
3.2.1.4.2 Penyebaran dan Ketebalan
Penyebaran satuan Tuf ini terdapat di sebelah utara daerah penelitian, yaitu
Desa Ciptaharja. Satuan Tuf ini menempati kurang lebih 17% dari seluruh daerah
penelitian. Penyebaran satuan ini umumnya menempati satuan geomorfologi
perbukitan landai. Pada satuan ini, peneliti mengalami kesulitan untuk membuat
perkiraan ketebalan karena satuan Tuf bersifat endapan jatuhan (gravitasi) yang
bersifat menutup satuan batupasir karbonatan dibawahnya sehingga tidak memiliki
nilai strike/dip.
3.2.1.4.3 Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan ini tidak ditemukan keberadaan fosil, baik formainifera
plangtonik maupun bentonik, maka penentuan umur satuan ini lebih didasarkan pada
posisi stratigrafinya terhadap satuan batuan lain dan berdasarkan kesebandingan
dengan peneliti terdahulu. Berdasarkan posisi litostratigrafinya, menunjukkan bahwa
Satuan tuf ini secara stratigrafi memiliki umur yang sama dengan formasi gunungapi
kuarter yaitu berumur kuarter. Umur relatif juga diperoleh berdasarkan
kesebandingan dengan peneliti terdahulu Sudjatmiko (1972) menyebutkan bahwa tuf
memiliki umur Kuarter. Dari karakteristik satuan ini, tidak ditemukan sifat
karbonatan dan fosil cangkang di dalam tuf sehingga ditafsirkan bahwa lingkungan
pengendapan terjadi pada lingkungan darat.
71
Gambar 3.7
Interpretasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batupasir Berdasarkan Permodelan
(Tipsword et al., (1996) dalam Pringgoprawiro (1994)
3.2.1.4.4 Hubungan Stratigrafi
Satuan tuf ini merupakan hasil endapan dari aktifitas vulkanik dari gunung
Gede. Berdasarkan rekonstruksi data lapangan, satuan tuf ini berbatasan dengan
72
satuan batupasir karbonatan. Hubungan stratigrafi antara satuan tuf dan satuan
batupasir karbonatan adalah tidak selaras.
3.2.1.4.5 Kesebandingan Regional
Berdasarkan ciri-ciri dari batuan tersebut maka satuan tuf ini dapat
disebandingkan dengan hasil gunungapikuarter, (Sudjatmiko, 1972)
Tabel 3.6 Kesebandingan Satuan Tuf dengan Hasil Endapan Gunung Api Kuarter
(Sudjatmiko, 1972)
Kesebandingan Satuan tufGn. Api Kuarter
(Sdujatmiko, 1972)
Litologi Kenampakan megaskopis
ini memiliki ciri-ciri fisik
warna segar merah
kecoklatan, warna lapuk
abu-abu kemerahan ,
ukuran butir halus-sedang,
kekerasan dapat diremas,
struktur masiv,kemas
tertutup, serta terdapat
fragmen gelas.
Breksi dan deposit lahar
dari G. Gede dengan
ketebalan (0-100m).
Batupasir tufan,
batulempung, breksi dan
konglomerat. Pembentuk
pedataran di daerah
Cianjur.
73
Umur Kuarter Kuarter
Lingkungan Pengendapan Darat Darat
3.2.2 Struktur Geologi
Analisa keterdapatan struktur geologi pada daerah penelitian dilakukan
berdasarkan data pengamatan di lapangan, melalui pengukuran kekar, arah pola jurus
perlapisan batuan, dan pengukuran pada cermin sesar. Selain itu, interpretasi struktur
geologi juga didukung oleh pola-pola kelurusan yang terlihat pada citra DEM (Digital
Elevation Model), dengan acuan perbedaan ketinggian kontur dan kelurusan
punggungan. Struktur yang berkembang di daerah ini meliputi lipatan, kekar dan
sesar di mana pembentukannya banyak dipengaruhi oleh tektonik kompresi yang
relatif berarah Utara-Selatan. Gaya dominan yang membentuk struktur ini dihasilkan
oleh subduksi antara lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah lempeng
Eurasia (Hamilton, 1979).
74
Gambar 3.8 Kenampakan Citra DEM SRTM
(Digital Elevation Modelling Shuttle Radar Topography Mision)
Data yang digunakan dalam interpretasi struktur geologi terbagi menjadi
dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari
pengamatan langsung di lapangan dan analisis hasil data tersebut meliputi data kekar,
data cermin sesar, anomali strike/dip, offset litologi, dan zona hancuran,
data sekunder merupakan data yang didapat dari pengamatan secara tidak langsung
atau berdasarkan hasil peneliti sebelumnya, meliputi analisis punggungan (Gambar
3.8, pembelokan aliran sungai dan analisis topografi).
Pengolahan kedua data tersebut menghasilkan dua lipatan utama, tiga sesar
oblique dan satu sesar naik di daerah penelitian.
3.2.2.1 Kekar
Struktur kekar yang ditemukan pada daerah penelitian umumnya berkembang
pada batupasir. Terdapat 2 jenis kekar yang berkembang, yaitu:
3.2.2.1.1 Kekar Tarik
Kenampakannya kekar ini di lapangan berupa rekahan-rekahan dengan pola
yang cenderung tidak teratur. Pada beberapa bagian, bidang-bidang rekahan dari
kekar ini terisi oleh mineral kalsit.
75
Foto 3.9 Kekar Tarik Pada Batupasir
3.2.2.1.2 Kekar Gerus
Kenampakannya di lapangan berupa rekahan-rekahan dengan pola yang
cenderung teratur. Kekar ini diinterpretasikan terbentuk berasosiasi dengan struktur-
struktur geologi yang berukuran lebih besar antara lain struktur sesar yang
berkembang di lapangan, sehingga kehadiran kekar ini dapat menjadi indikasi
kehadiran struktur sesar tersebut.
76
Foto 3.10 Kekar Gerus Pada Batupasir
3.2.2.2 Lipatan
Berdasarkan hasil rekonstruksi peta pola jurus maka di daerah penelitian
terdapat dua struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin yang terletak berdekatan
,yaitu di daerah Bukit Pasir Ipis. Untuk mengamati adanya struktur perlipatan di
lapangan yaitu dengan melihat perubahan berangsur pada kemiringan (dip) lapisan
batuan, perulangan urutan variasi litologi, pembalikan dengan menentukan top dan
bottom nya yang tidak sesuai dengan arah kemiringan lapisan.
3.2.2.2.1 Sinklin Pasir Ipis
Daerah penelitian mempunyai salah satu struktur lipatan, yaitu Sinklin Pasir
Ipis yang terdapat pada bagian barat laut daerah penelitian dengan data dari
singkapan batupasir di Desa Rajamandala. Rekonstruksi lipatan pada daerah ini
umumnya berdasarkan perbedaan arah perlapisan batuan yang berhadapan, yaitu pada
Stasiun Pd 48, Pd 65 dan sekitarnya, serta analisis punggungan pada Citra DEM
SRTM (Gambar 3.9). Lipatan sinklin ini termasuk dalam jenis moderately plunging
moderately inclined fold berdasarkan klasifikasi lipatan menurut Fleuty, 1964.
Berdasarkan hasil proyeksi stereografi (Gambar 3.10), didapatkan unsur-
unsur lipatan sebagai berikut :
1. Limb rata-rata bagian utara N 1100 E/700
2. Limb rata-rata bagian selatan N 2400 E/500
77
3. Trend / Plunge 2740 / 340
Gambar 3.10 Proyeksi Stereografi Sinklin Pasir Ipis
3.2.2.2.2 Antiklin Pasir Ipis
Pada daerah penelitian bagian barat daya terdapat juga antiklin yang terletak
berdekatan dengan sinklin di daerah Bukit Pasir Ipis. Rekonstruksi lipatan pada
daerah ini umumnya berdasarkan hasil penarikan arah jurus dan kemiringan
perlapisan batuan yang menunjukkan arah kemiringan batuan (dip) yang menjauhi
titik pusat atau saling berlawanan yaitu pada Stasiun Pd 48 dan Pd 65 dan sekitarnya.
Lipatan antiklin ini termasuk dalam jenis gently plunging moderately inclined fold
berdasarkan klasifikasi lipatan menurut Fleuty, 1964.
Berdasarkan hasil proyeksi stereografi (Gambar 3.11), didapatkan unsur-
unsur lipatan sebagai berikut :
1. Limb rata-rata bagian utara N 1500 E/300
2. Limb rata-rata bagian selatan N 900 E/550
78
3. Trend / Plunge 2420 / 290
Gambar 3.11 Proyeksi Stereografi Antiklin Pasir Ipis
3.2.2.3 Sesar
Berdasarkan analisis topografi, Citra DEM SRTM (Gambar 3.8), pola aliran
sungai dan data-data lapangan yang mengindikasikan sesar maka terdapat empat buah
sesar pada daerah penelitian, yaitu Sesar Naik Cileat, Sesar Sinistral Normal
Cisameng, Sesar Naik Sinistral Cileat, dan Sinistral Normal Cileat Kidul. Letak
keempat sesar ini berdekatan dan hampir sejajar pada garis horizontal yang terletak
pada daerah sungai Cileat (zona hancuran) pada bagian utara peta yaitu pada daerah
Desa Ciptaharja.
3.2.2.3.1 Sesar Sinistral Normal Cisameng
Rekonstruksi sesar sinistral normal ini berdasarkan pola lineament yang
relatif berarah barat laut – tenggara. Jika dilihat dari peta kelurusan sungai, terdapat
79
pembelokan arah sungai yang sangat jelas yang mengindikasikan adanya zona lemah
yang diakibatkan oleh Sesar Sinistral Normal Cisameng sehingga tegasan dominan
kemungkinan berarah Utara-Selatan. Sesar ini terdapat pada lapisan batupasir
perselingan lempung pada stasiun Pd 27. Sesar utama ini termasuk ke dalam Normal
Left Slip Fault (Rickard, 1972) karena mempunyai bidang sesar dengan bidang sesar
N 500 E/800, dengan pitch 420 SW.
Foto 3.11 Bidang Sesar di Anak Sungai Cileat pada Stasiun Pd 27
80
Gambar 3.13 Stereonet Data Kekar Pada Sesar Sinistral Normal
Gambar 3.14 Diagram
Rosette Pada Sesar Sinistral Normal
Berdasarkan data stereografi diatas, tekanan paling besar memiliki arah
relatif Utara-Selatan sehingga menghasilkan arah pecahan timur laut – barat daya
menghasilkan sesar sinistral dan dibantu oleh sigma 2 sebagai tekanan kedua yg
paling besar sehingga mengerakkan foot wall relatif keatas terhadap hanging wall
dan menghasilkan sesar sinistral normal.
3.2.2.3.2 Sesar Naik Sinistral Cileat
81
Sesar naik sinistral Cileat berada di utara daerah penelitian. Sesar ini berarah
relatif Barat - Timur yang memanjang dari Sungai Cileat sampai Desa Saguling.
Keberadaan sesar ini di dekat stasiun Pd 22 dan sejajar dengan sesar sinistral normal
Cisameng yang tegak lurus terhadap kelurusan Sungai Cileat. Indikasi atau bukti
lapangan keterdapatan sesar ini adalah adanya bidang sesar dan pitch pada batupasir
sisipan breksi polimik pada pinggir sungai Cileat dengan arah penyebaran batuan
berkisar antara N 1100 E / 120. Sesar utama ini termasuk ke dalam Left Reverse Slip
Fault (Rickard, 1972) karena mempunyai bidang sesar N 550 E/800, dengan pitch
600SW.
Foto 3.12 Bidang Sesar di Anak Sungai Cileat Pada Stasiun Pd 22
82
Gambar 3.15 Stereonet Data Kekar Pada Sesar Naik Sinistral
Gambar 3.16 Diagram
Rosette Pada Sesar Naik Sinistral
Berdasarkan hasil stereograf di atas dapat dilihat arah tegasan yang paling
besar berarah relatif Tenggara – Barat Laut dan Utara-Selatan sehingga menghasilkan
sesar naik sinistral.
3.2.2.3.3 Sesar Sinistral Normal Cileat Kidul
Sesar Normal Sinistral Cileat kidul berada di utara daerah penelitian. Sesar
ini berarah relatif Barat Daya – Timur Laut yang memanjang dari Sungai Cileat
sampai Desa Saguling. Sesar normal sinistral ini berada di dekat stasiun Pd 18.
83
Indikasi atau bukti lapangan keterdapatannya adalah adanya bidang sesar dan pitch
pada batupasir sisipan batulempung pada pinggir sungai Cileat dengan arah
penyebaran batuan berkisar antara N 45 E/30⁰ ⁰. Sesar utama ini termasuk ke dalam
Normal Left Slip Fault (Rickard, 1972) karena mempunyai bidang sesar N 450 E/500,
dengan pitch 390SW.
Foto 3.13 Bidang Sesar di Anak Sungai Cileat Pada Stasiun Pd 18
84
Gambar 3.17 Stereonet Data Kekar Pada Sesar Sinistral Normal
Gambar 3.18 Diagram Rosette Pada Sesar Sinistral Normal
85
Berdasarkan hasil stereograf di atas dapat dilihat arah tegasan yang paling
besar berarah relatif Utara – Selatan dan sehingga menghasilkan sesar sinistral
normal.
3.2.2.3.4 Sesar Naik Cileat
Berdasarkan rekonstruksi topografi dan data slicken side dilapangan terdapat
satu sesar naik yang berada di utara daerah penelitian. Sesar ini berarah relatif Barat-
Timur. sesar ini memotong lapisan batupasir Desa Rajamandala dan Tuf pada daerah
Desa Ciptaharja. Bukti lapangan keterdapatan sesar ini terdapat pada stasiun Pd 22
yang menunjukan bidang perlapisan yang tidak sesuai atau offset yang menunjukkan
pergerakan relatif hangingwall naik terhadap footwall. Sesar utama ini termasuk ke
dalam Thrust Fault (Rickard, 1972) karena mempunyai bidang sesar N 750 E/400,
dengan pitch 820E.
Foto 3.14 Slicken Side dengan Pitch 820
86
Gambar 3.19 Stereonet Data Kekar Pada Sesar Naik Cileat
Gambar 3.20 Diagram Rosette Pada Sesar Naik Cileat
87
3.2.3 Sejarah Geologi
Geologi sejarah daerah penelitian dimulai dari Oligosen hingga Pliosen-
Plistosen. Pada kala Oligosen Akhir, diawali dengan pembentukan terumbu pada laut
dangkal dimana kondisi air laut relatif stabil dengan penetrasi cahaya matahari yang
baik dan keadaan air laut yang masih jernih. Pada kala ini terendapkan satuan
batupasir karbonatan yang menjemari dengan satuan batugamping. Selanjutnya pada
kala Miosen Awal terjadi kenaikan kolom air akibat, terjadi peningkatan aktifitas
tektonik di Jawa Barat. Aktifitas tektonik ini menyebabkan penekukan pada cekungan
pengendapan, daerah penelitian yang sebelumnya berada pada lingkungan laut
dangkal berubah menjadi lingkungan laut dalam. Hal ini terlihat dari kemunculan
endapan laut dalam yang mengendapkan material pasir, lempung, serta lanau sebagai
satuan batupasir nonkarbonatan waktu Miosen awal – Miosen tengah. Paket endapan
Bouma Sequence yang terlihat di lapangan, yaitu Ta (Graded Bedding), Tb (Paralel
laminasi), dan Tc (Convolute) merupakan indikasi satuan ini terendapkan pada
lingkungan laut dalam dengan arus turbid. Selanjutnya pada kala Pliosen-Plistosen
berlangsung proses tektonik yang bersifat kompresional berarah relatif utara-selatan,
yang mengakibatkan terjadi perlipatan dan pensesaran. Pada daerah penelitian, lipatan
yang terbentuk pada kala ini adalah sinklin pasir ipis dan antiklin pasir ipis. Proses
tektonik ini menghasilkan sesar naik cileat yang mengangkat satuan batugamping dan
satuan batupasir karbonatan. Diduga karena proses tektonik yang terus berlangsung
menyebabkan terbentuknya sesar mendatar yang memotong sesar naik sebelumnya.
Pada daerah penelitian, sesar mendatar yang terbentuk adalah sesar sinistral normal
88
cisameng, sesar naik sinistral cileat, dan sesar sinistral normal cileat kidul. Umur
sesar mendatar lebih muda dari sesar naik. Aktifitas tektonik ini juga menyebabkan
proses pengangkatan ke lingkungan darat. Pada kala plistosen, terjadi proses
pelapukan dan erosi pada batuan-batuan yang berumur tersier sehingga membentuk
roman permukaan yg hampir sama dengan sekarang. Proses pengangkatan mengubah
lingkungan busur gunungapi yang sebelumnya berada di lingkungan laut menjadi
lingkungan darat. Hal ini terlihat dari kemunculan batuan-batuan vulkanik berupa
satuan tuf yang terbentuk pada lingkungan darat.
3.2.4 Sumber Daya dan Kebahayaan Geologi
Pada daerah penelitian terdapat potensi bahan galian yang dapat ditemui
sebagai salah satu potensi alam, dan juga sebagai penguat ekonomi untuk masyarakat
setempat. Bahan galian yang dimaksud mengambil potensi dari satuan batugamping,
yang digunakan sebagai bahan untuk industri keramik, sebagai material untuk
pondasi bangunan dan digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai material pengeras
jalan.
89
Foto 3.15 Batugamping Sebagai Potensi Bahan Galian
Selain batugamping pada lokasi penelitian, penduduk sekitar juga
menggunakan Tuf sebagai bahan galian yang digunakan untuk membuat bahan
bangunan.
Foto 3.16 Tuf Sebagai Potensi Bahan Galian