bab iii dan bab iv

Upload: dimas-s-putra

Post on 14-Jan-2016

258 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB3

TRANSCRIPT

BAB IIISTRUKTUR REGIDNAL DAN TEKTDNIK SULAWESIStruktur yang terbentuk di Pulau Sulawesi mempunyai berbagai skala (regional dan 10- kal) meliputi penunjaman dan zona tumbu kan, sesar naik, sesar, dan lipatan. Struktur geologi berskala regional yang berkembang di Sulawesi dan kawasan sekitarnya adalah Parit Sulawesi Utara (North Sulawesi Trench), Sistem Sesar Palu-Koro, Sesar Naik Batui, Sesar Naik Poso, Sesar WaIanae, dan peme karan samudra di Selat Makassar.Struktur regional itu umumnya sangat ber hubungan dengan gerakan ke barat dari be berapa kepingan benua. Akibat dorongan ke arah barat dari Kepingan Benua Banggai Sula, terbentuklah sesar geser mengiri, di antaranya Sistern Sesar Palu- Koro yang ber hubungan dengan beberapa sesar di bagian timur Sulawesi termasuk Sesar Matano, Sesar Lawanopo, dan Sesar Kolaka (Gambar 3.0. Oi ujung utara Sesar Palu-Koro terbentuk lah subduksi Parit Sulawesi Utara. Runtunan uraian di bawah ini terutama bersumber dari Darman & Sidi (2000) ditambah sumber lain.

3.1. Struktur Geologi Regional3.1.1. Parit Sulawesi UtaraParit Sulawesi Utara yang memanjang barat timur (Gambar 3.1), merupakan zona Benioff, temp at Kerak Laut Sulawesi mulai menunjam di bawah Lengan Utara Sulawesi pada akhir Paleogen (Fitch, 1970; Katili, 1971; Cardwell & Isack, 1978; Hamilton, 1979; McCaffrey dkk., 1983). Subduksi ini menca pai puncaknya pada Neogen. Namun, hasil analisis seismologi menunjukkan bahwa Parit Sula"wesiUtara ini sudah menyurut aktivitas nya (McCaffrey dkk., 1983; Kertapati dkk., 1992). Simandjuntak (1988; dalam Oarman & Sidi, 2000) menduga bagian timur parit ini menunjukkan gejala aktif kembali ditan dai aktivitas vulkanisme di ujung timur dan daerah sekitar Lengan Utara.

3.1.2. Sistem Sesar Palu-KoroNama Sesar Palu-Koro diusulkan pertama kali oleh Sarasin & Sarasin (1900 yang kernudi an diulangi oleh Rutten (1927). Sistem sesar ini menoreh mulai ujung utara Selat Maka ssar, melalui Kota Palu dan menerus sampai Teluk Bone (Gambar 3.1). Hasil pemetaan geologi yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi menunjukkan sistem sesar ini berhubungan juga dengan Sesar Matano dan Sesar Lawanopo (Simandjuntak dkk., 1993a, b, c, d; Rusmana, dkk., 1993; Sukamto, 1975a; Rusmana dkk., 1993). Gerakan horizontal dan vertikal Sesar Palu Koro telah dianalisis oleh beberapa penulis. Van Bemmelen (1970) dan Katili (1978)

Gambar 3.1. Struktur regional Sulawesi dan daerah sekitarnya. Disederhanakan dari Silver dkk. (1983) dan Rehahult dkk. (1991).

Setuju bahwa bagian utara sesar ini didomi nasi gerakan vertikal, sedangkan bagian se latannya oleh gerakan horizontal mengiri. Kecepatan gerakan horizontal, yang dianali sis oleh beberapa penulis, hasilnya berbeda, misalnya Sudradjat (1981, dalam Darman & Sidi, 2000) 2-3,5 rnrn sampai 14-17 mml tahun; Indriastuti (1990, dalam Darman & Sidi, 2000) 1,23 mmltahun. Sementara itu, kecepatan gerakan vertikal, yang dihitung berdasarkan pengangkatan koral, adalah 4,5 mrn/tahun (Tjia & Zakaria, 1974), dan 3,4 mrn/tahun (Walpersdoft dkk., 1997; dalam Darman & Sidi, 2000). Sistem Sesar Palu Koro walaupun didominasi gerakan horizon tal mengiri, juga secara setempat membentuk tinggian dan rendahan. Bentuk rendahan semacam cekungan dapat dikenali sebagai Danau Matano, Danau Poso, dan Lembah Palu.

3.1.3. Sesar Naik BatuiSesar Naik Batui merupakan hasil tumbukan antara Kepingan Benua Banggai-Sula den gan Lajur Ofiolit Sulawesi Timur (Gambar 3.1 dan 3.2); kepingan benua tersebut naik terhadap lajur oiiolit. Sesar naik ini menoreh ujung Lengan Timur Sulawesi sampai Teluk Tolo dan bertemu dengan perpanjangan Ses ar Matano, yang dinamai Sesar Manui oleh Gerrard dkk. (1988). Sesar Naik Batui dipotong oleh beberapa sesar geser yang hadir belakangan, di antaranya

Gambar 3.2. SesarNaik Batui diLengan Timur Sulawesi (Darman & Sidi, 2000).Sesar Toili, Ampana, dan Wekuli (Siman djuntak, 1986; Rusmana dkk., 1993; Surono dkk., 1993). Berdasarkan rekaman seismik, sesar naik ini mengalami pengaktifan kern bali (McCaffrey dkk., 1983; Kertapati dkk.,1992). Endapan teras terumbu koral Kuarter yang tersebar dari Batui sampai ujung Lengan Timur Sulawesi (Rusmana dkk., 1993; Suro no dkk., 1993) menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga kali periode pengangkatan. Besar kemungkinan pengangkatan terumbu koral itu diakibatkan karen a kegiatan Sesar Naik Batui.

3.1.4. Sesar Naik PosoSesar Naik Poso memanjang utara-selatan, mulai dari Tanjung Peindilisa di Teluk To mini sampai Masamba di pantai utara Teluk Bone (Sukamto, 1975a; Simandjuntak dkk., 1993b; d). Sesar naik ini memisahkan Lajur Malihan Sulawesi Tengah di bagian timur dengan Lajur Vulkanik Sulawesi Barat di barat (Gambar 3.1).Berdasarkan hasil rekaman seismik, Kertapati dkk. (1992) menduga saat ini Sesar Naik Poso dalam keadaan tidak aktif Namun, gempa yang terjadi di bagian barat Teluk Tomini beberapa waktu lalu memungkinkan paling tidak ujung utara sesar tersebut teraktifkan kembali (Darman & Sidi, 2000).

3.1.5. Sesar WaianaeSesar WaIanae, yang berarah hampir utara - selatan, menoreh Lengan Selatan Sulawesi dan menerus memotong Pulau Selayar yang berada di selatannya (Sukamto, 1975a; Suka mto, R. & Supriatna, S., 1982; Sukamto, R., 1982; Gambar 3.1). Bahkan Darman & Sidi (2000) menduga sesar ini menerus ke selatan sampai ke Sesar Naik Flores di utara Pulau Flores. Ke arah utara sesar tersebut mungkin menerus sampai Selat Makasar dan bersatu dengan rantas (suture) Paternoster-Lupar.Sesar Walanae teraktifkan kembali pada Kuarter sehingga mernbentuk depresi Waia nae yang luas. Namun rekaman seismik tidak menunjukkan keaktifan sesar ini (Darman & Sidi, 2000).

3.1.6. Pemekaran Selat MakassarSelat Makassar diduga terbentuk karen a ada nya pemekaran yang berarah hampir utara - selatan di kawasan itu (Katili, 1978; Gambar 3.1). Penelitian profil seismik refraksi yang memotong selat itu, menunjukkan bahwa ti dak ada pemunculan kerak samudra di bawah runtunan sedimen Tersier (Situmorang, 1983). Beberapa penulis (di antaranya Situ morang, 1983; Simandjuntak, 1999) men duga pemekaran Selat Makassar diduga mulai Neogen. Hal ini didasarkan pada kemiripan batuan dasar berumur Kapur dan runtunan sedimen penutupnya yang berumur Eosen - Oligosen (Hamilton, 1974) di Kalimantan bagian selatan - timur dan Lengan Selatan Sulawesi bagian barat.

3.2. Tektonik SulawesiBentuk "K" Pulau Sulawesi mencerminkan kompleksitas tektonik yang dialaminya. Ber dasarkan data geologi dan geohsika, Siman djuntak (1993 dalam Darman & Sidi, 2000) menyatakan Pulau Sulawesi dan sekitarnya mengalami empat kali kegiatan tektonik, yaitu:a. Subduksi tipe Cordileran pada Kapurb. Tektonik divergen pada Mesozoikumc. Tumbukan tipe Tethyan pada Neogen dand. Tumbukan pada Kuarter.

3.2.1. Subduksi tipe Cordileran KapurSubduksi ripe Cordileran dicirikan oleh zona Beniof yang miring ke arah barat di bagian barat Sulawesi. Subduksi ini mengakibat kan proto-laut Banda menunjam di bawah tepi timur Paparan Sunda. Subduksi ini juga ditandai oleh keberadaan batuan malihan berderajat rendah berumur Kapur Akhir di Sulawesi tengah (Gambar 3.1 dan 3.3), batu an campur aduk (melange) berumur Kapur- Paleogen, dan Lajur Gunung Api Sulawesi Barat. Batuan endapan turbidit laut dalam berumur Kapur di Sulawesi barat mungkin merupakan endapan sepanjang palung.

3.2.2. Tektonik divergen MesozoikumTektonik divergen pada Mesozoikum terjadi akibat pemekaran tepi utara Benua Austra lia. Pemekaran itu mengakibatkan beberapa kepingan benua terpisah dari induknya dan kemudian bergerak ke arah utara - utara barat ke posisi sekarang yang tersebar di ka wasan Laut Banda. Garrad dkk. (1988) men duga proses pemisahan ini terjadi sejak Jura. Beberapa penulis (di antaranya Simandjun tak, 1986; 1993; Garrad dkk., 1988; Darman & Sidi, 2000) menduga pergerakan kepingan benua tersebut melalui Sesar Sorong.

3.2.3. Tumbukan Tipe Tethyan NeogenSebagian kepingan benua tersebut berturn bukan dengan kompleks subduksi Kapur dan ofiolit di Sulawesi dan daerah sekitarnya pada Neogen. Di kawasan ini dijumpai antara lain Kepingan Banggai-Sula, Kepingan Sulawesi Tenggara, Paparan Buren dan Tukangbesi. Pada tumbukan tipe Tethyan ini kepingan benua tersebut menyusup di bawah ofiolit dan kompleks subduksi (Darman & Sidi, 2000). Simandjuntak (1986) menemukan batuan campur aduk (melange) sepanjang Sesar Naik Batui, di Lengan Timur Sulawesi (Gambar 3.1 dan 3.2). Akhir tumbukan Neo gen ini mengakibatkan Lajur Ofiolit Sulawesi Timur naik ke atas tepi beberapa kepingan benua tersebut.

3.2.4. Tumbukan KuarterSaat ini kawasan Sulawesi dan daerah seki tarnya menunjukkan adanya tektonik aktif (Gambar 3.1):a. Lajur subduksi di utara Lengan Utara Sulawesi (North Sulawesi Trench), tem pat lempeng Laut Sulawesi menunjam masuk di bawah Lengan Utara Sulawesi. Lajur subduksi ini berhubungan de ngan sesar geser mengiri aktif Palu-Koro, Matano, dan Lawanopo.b. Jalur gunung api aktif mulai ujung utara Lengan Urara sampai ke Sangihe yang diakibatkan subduksi ganda di utara Sulawesi pada Neogen, kemudian di aktifkan kembali pada Kuarter.c. Pergerakan ke barat Kepingan Benua Banggai-Sula menyebabkan Lajur Ofiolit Sulawesi Utara tersesar-naikkan di atas kepingan itu.d. Teras batugamping terumbu yang memanjang dari Batui sampai ujung utara Lengan Utara Sulawesi.

BABIVGEOMORFOLOGI LENGAN TENGGARA SULAWESI

Pulau Sulawesi, yang luasnya sekitar 172.000 km2 (van Bemmelen, 1949), dikelilingi laut yang cukup dalam. Sebagian besar daratan nya dibentuk oleh pegunungan yang keting giannya mencapai 3.440 m (Gunung Lati mojong). Pulau Sulawesi berbentuk huruf "K" dengan empat lengan: Lengan Timur memanjang timur laut - barat daya, Lengan Urara memanjang barat - timur dengan ujung baratnya membelok ke arah utara - selatan, Lengan Tenggara memanjang barat laut - tenggara, dan Lengan Selatan mern bujur utara selatan. Keempat lengan tersebut bertemu di tengah Sulawesi.

Sebagian besar Lengan Utaranya bersambung dengan Lengan Selatan melalui bagian te ngah Sulawesi yang merupakan pegunungan dan dibentuk oleh batuan gunung api. Di ujung timur Lengan Utara terdapat beberapa gunung api aktif, di antaranya Gunung Lo kon, Gunung Soputan, dan Gunung Sempu. Rangkaian gunung api aktif ini menerus sampai ke Sangihe. Lengan Timur rneru pakan rangkaian pegunungan yang dibentuk oleh batuan ofiolit. Pertemuan antara Lengan Timur dan bagian tengah Sulawesi disusun oleh batuan malihan, sementara Lengan Tenggara dibentuk oleh batuan mali han dan batuan ofiolit.Selain itu, Pulau Sulawesi dan daerah seki tamya merupakan pertemuan tiga lempeng yang aktif bertabrakan. Akibat tektonik aktif ini, Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya di potong sesar regional yang masih aktif sampai sekarang. Kenampakan morfologi di kawasan ini merupakan cerminan sistem sesar regional yang memotong pulau ini serta batuan pe nyusunnya. Bagian tengah Sulawesi, Lengan Tenggara, dan Lengan Selatan dipotong oleh sesar regional yang umumnya berarah timur laut - barat daya (Gambar 4.1). Sesar aktif sekarang ini umumnya merupakan sesar geser mengiri.4.1. MorfologiVan Bemmelen (1949) membagi Lengan Tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian: ujung utara, bagian tengah, dan ujung selatan (Gambar 4.2). Ujung utara dari Palopo sam pai Teluk Tolo dibentuk oleh batuan ofiolit. Bagian tengah, yang merupakan bagian pa ling lebar (sampai 162,5 km), didominasi batuan malihan dan batuan sedimen Me sozoikum. Ujung selatan Lengan Tenggqra merupakan bagian yang relatif lebih landai; batuan penyusunnya didominasi batuan sedimen Tersier. Di bawah ini merupakan perian

Gambar 4.1. Gambaran morfologi Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dari citra SRTM.

morfologi dan morfogenesis Lengan Tenggara Sulawesi.

4.1.1. Ujung UtaraUjung utara Lengan Tenggara Sulawesi dicirikan dengan munculnya Kompleks Da nau Malili yang terdiri atas Danau Matano, Danau Towuti, dan tiga danau kecil di seki tamya (Danau Mahalona, Danau Lantoa, dan Danau Masapi; Gambar 4.2). Pernben tukan kelima dan au itu diduga akibat Sistem Sesar Matano, yang diketahui sebagai sesar geser mengiri (Ahmad, 1977). Perbedaan ketinggian kelima danau itu memungkinkan air dari suatu danau mengalir ke danau yang lebih rendah. Danau Matano dihubungkan dengan Danau Mahalona oleh Sungai Petes yang kemudian dialirkan ke Danau Towuti oleh Sungai Tominanga. Demikian juga Da nau Lantoa dihubungkan dengan Danau Towuti oleh sungai kecil. Kemudian Danau Towuti dan Danau Masapi dialirkan ke Teluk Bone oleh Sungai Larona. Kelima danau itu dikelilingi pebukitan dengan ketinggian 500-700 m di atas permukaan laut (dpl). Luas,

Gambar 4.2. Lengan Tenggara Sulawesi dari citra SRTM yang menggambarkan perbedaan morfologi antara ujung utara, bagian tengah, dan ujung selatan.

ketinggian, dan kedalaman kelima danau itu bervariasi (Tabel4.1).Kedalaman maksimum Danau Matano 590 m, padahal dan au ini terletak di ketinggian 382 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian dasar Danau Matano berada di bawah permukaan laut. Ujung utara dipisahkan dengan bagian tengah Lengan Tenggara oleh Pegunungan Tangeroruwaki yang mernan jang hampir barat - timur (Gambar 4.2)Tabel 4.1. Profil Kompleks Danau Malili

DANAUMatanoMahalonaTowutiLantoaMasapi

Luas (krrr')16424,4561,11,62,2

Ketinggian (m dpl)382310283586434

Kedalaman Maksimum (m)5907320334

.

Gambar 4.3. Bagian selatan Lengan Tenggara Sulawesi dari citra IFSAR.4.1.2. Bagian TengahMorfologi bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi pegunungan yang umumnya memanjang hampir sejajar berarah barat laut - tenggara. Pegunungan tersebut di antaranya Pegunungan Mengkoka, Pegu nungan Tangkelamboke, dan Pegunungan Matarombeo (Gambar 4.2 dan 4.3). Morfolo gi bagian tengah ini sangat kasar dengan ke miringan lereng tajam. Puncak tertinggi pada rangkaian Pegunungan Mengkoka adalah Gunung Mengkoka yang berketinggian 2790 m dpl. Pegunungan Tangkelamboke mempunyai puncak Gunung Tangkelam boke (1500 m dpl.). Sedangkan Pegunungan Matarombeo berpuncak di barat laut Desa Wawonlondae dengan ketinggian 1551 m dpl.

4.1.3. Ujung SelatanUjung selatan Lengan Tenggara Sulawesi di dominasi morfologi dataran dan pebukitan (Gambar 4.2 & 4.3). Pada beberapa bagian muncul pegunungan, seperti Pegunungan Rumbia dan Mendoke. Umumnya dataran ini merupakan dataran aluvium yang luas di kanan kiri sungai, sedangkan morfologi pe bukitan terdiri at as pebukitan rendah dan tinggi. Pebukitan rendah jauh lebih luas dibandingkan pebukitan tinggi.

4.2. Satuan MorfologiSetidaknya ada lima satuan morfologi yang clapat dibedakan dari citra IFSAR di bagian rengah dan ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi, yakni satuan pegunungan, pebuki tan tinggi, pebukitan rendah, dataran rendah, dan karst (Gambar 4.3). Di bawah ini meru pakan perian singkat kelima satuan morfologi tersebut.

4.2.1. Satuan PegununganSatuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini (Gambar 4.3), terdiri atas Pegunungan Mengkoka, Pegunun gan Tangkelemboke, Pegunungan Mendoke, dan Pegunungan Rumbia yang terpisah di ujung selatan Lengan Tenggara. Satuan mor fologi ini mempunyai topografi yang kasar dengan kemiringan lereng tinggi. Rangkaian pengunungan dalam satuan ini mempunyai pola yang hampir sejajar berarah barat laut - tenggara. Arah ini sejajar dengan pola struk tur sesar regional di kawasan ini. Pola terse but mengindikasikan bahwa pembentukan morfologi pegunungan itu erat hubungannya dengan sesar regional.Satuan pegunungan terurarna dibentuk oleh batuan malihan dan setempat oleh batuan ofiolit. Ada perbedaan morfologi yang khas di antara kedua batuan penyusun itu. Pe gunungan yang disusun dari batuan oholit mempunyai punggung gunung yang pan jang dan lurus dengan lereng relatif lebih rata, serta kemiringan yang tajam. Sementara itu, pegunungan yang dibentuk batuan mali han, punggung gunungnya terputus pendek pendek dengan lereng yang tidak rata walau pun bersudut tajam.

4.2.2. Satuan Pebukitan TinggiSatuan morfologi pebukitan tinggi menern pari bagian selatan Lengan Tenggara, reruta rna di selatan Kendari (Gambar 4.3). Satuan ini terdiri at as bukit-bukit yang mencapai ketinggian 500 m dpl dengan morfologi kasar. Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan sedimen klastika Mesozoikum dan Tersier.

4.2.3. Satuan Pebukitan RendahSatuan morfologi pebukitan rendah melam par luas di utara Kendari dan ujung selatan Lengan Tenggara (Gambar 4.3). Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah dengan morfologi yang bergelombang. Batuan pe nyusun satuan ini terutama batuan sedimen klastika Mesozoikum dan Tersier.

4.2.4. Satuan DataranSatuan morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan Lengan Tenggara (Gambar 4.3). Tepi selatan Dataran Wawoto bi dan Dataran Sampara berbatasan langsung dengan satuan morfologi pegunungan. Pe nyebaran satuan dataran rendah ini tampak sangat dipengaruhi sesar geser mengiri (Sesar Kolaka dan Sistem Sesar Konaweha). Kedua sistem sesar ini diduga masih aktif, yang ditunjukkan dengan adanya torehan pada endapan aluvial dalam kedua dataran terse but (Surono dkk., 1997), sehingga sangat mungkin kedua dataran itu terus mengalami penurunan. Penurunan ini tentu berdampak buruk pada dataran tersebut, di antaranya pemukiman dan pertanian di kedua dataran itu akan diterjang banjir yang semakin parah setiap tahunnya.Dataran Langkowala yang melampar luas di ujung selatan Lengan Tenggara, merupakan dataran rendah. Batuan penyusunnya terdiri atas batupasir kuarsa dan konglomerat kuarsa Formasi Langkowala. Di dataran ini mengalir sungai-sungai yang pada musim hujan berair melimpah sedang pada musim kemarau ke ring. Hal ini mungkin disebabkan batupasir dan konglomerat sebagai dasar sungai masih lepas, sehingga air dengan mudah merembes masuk ke dalam tanah. Sungai tersebut di antaranya Sungai Langkowala dan Tinang gea. Batas selatan antara Dataran Langkow ala dan Pegunungan Rumbia (Gambar 4.3) merupakan tebing terjal yang dibentuk sesar berarah hampir barat - timur. Pada dataran Langowala, terutama di dekat batas tersebut, ditemukan endapan emas sekunder. Surono (2009) menduga emas tersebut berasal dari batuan malihan di Pegunungan Rumbia dan sekitarnya.

4.2.5. Satuan KarstSatuan morfologi karst melampar di beberapa temp at secara terpisah. Satuan ini dicirikan pebukitan kecil dengan sungai di bawah per mukaan tanah. Sebagian besar batuan penyu sun satuan morfologi ini didominasi batu gamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping Mesozoikum. Batugamping ini merupakan bagian Formasi Tampakura, For masi Laonti, Formasi Tamborasi, dan bagian atas Formasi Meluhu. Sebagian batugamping penyusun satuan morfologi ini sudah terubah menjadi marmer. Perubahan ini erat hubung annya dengan pensesar-naikkan ofiolit ke atas kepingan benua. Di sekitar Kendari, batu gamping terubah tersebut ditambang untuk bahan bangunan.