bab ii tinjauan teoritis 2.1 konsep kesejahteraan
TRANSCRIPT
30
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Kesejahteraan
Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan
hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan
dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial
(UU Nomor 11 Tahun 2009 Pasal 1 dan 2). Kesejahteraan merupakan suatu hal
yang bersifat subjektif, sehingga setiap keluarga atau individu di dalamnya yang
memiliki pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai
yang berbeda tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan
(BKKBN 1992, dalam Nuryani 2007).
Kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (2007) adalah suatu kondisi
dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat
dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup. Status kesejahteraan dapat diukur
berdasarkan proporsi pengeluaran rumah tangga (Bappenas, 2000). Rumah tangga
dapat dikategorikan sejahtera apabila proporsi pengeluaran untuk kebutuhan
pokok sebanding atau lebih rendah dari proporsi pengeluaran untuk kebutuhan
bukan pokok. Sebaliknya rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk
kebutuhan pokok lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan
31
bukan pokok, dapat dikategorikan sebagai rumah tangga dengan status
kesejahteraan yang masih rendah.
Kesejahteraan adalah sebuah tata kehidupan dan penghidupan sosial,
material, maupun spiritual yang diikuti dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan
ketentraman diri, rumah tangga serta masyarakat lahir dan batin yang
memungkinkan setiap warga negara dapat melakukan usaha pemenuhan
kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, rumah
tangga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi (Rambe, 2004).
Arthur Dunham dalam Sukoco (1991) mendefinisikan kesejahteraan social
sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan
keluarga dan anak, kesehatan,penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar
kehidupan, dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan social
memberi perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok,
komunitas-komunitas, dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas;
pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan
pencegahan.
Pendapat lain tentang kesejahteraan sosial diungkapkan pula oleh
Friedlander (dalam Sukoco, 1991) bahwa kesejahteraan sosial merupakan suatu
sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga,
yang bermaksud untuk membantu individu-individu dan kelompok agar mencapai
standar kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan perorangan
32
dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan segenap kemampuan
dan meningkatkan kesejahteraan petani selaras dengan kebutuhan-kebutuhan
keluarga maupun masyarakat.
Albert dan Hahnel (2005) membagi teori kesejahteraan menjadi tiga
bagian yakni: (1) Classical utilitarian, dimana pendekatan ini menekankan bahwa
kesenangan atau kepuasan seseorang dapat diukur. Prinsip bagi individu adalah
meningkatkan sebanyak mungkin tingkat kesejahteraannya. Sedangkan bagi
masyarakat, peningkatan kesejahteraan kelompoknya merupakan prinsip yang
dipegang dalam kehidupannya; (2) Neoclassical welfare theory, dimana fungsi
kesejahteraan merupakan fungsi dari semua kepuasan individu; (3) New
contraction approach yang mengangkat adanya kebebasan maksimum dalam
hidup individu atau seseorang. Penekanan dalam pendekatan ini adalah individu
akan memaksimalkan kebebasannya untuk mengejar barang dan jasa tanpa ada
campur tangan dari pihak tertentu.
Todaro (2012) menyebutkan bahwa indikator kesejahteraan daerah diukur
melalui tingkat kemiskinan, angka buta huruf, angka melek huruf, perusakan alam
dan lingkungan, polusi air dan tingkat produk domestik bruto. Kesejahteraan suatu
wilayaha ditentukan dari ketersediaan sumber daya manusia, fisik, dan sumber
daya lainnya. Sumberdaya tersebut berinteraksi dalam proses pembangunan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat. Selanjutnya Todaro menyebutkan kesejahteraan masyarakat
menengah ke bawah dapat ditandai oleh terentaskannya kemiskinan, tingkat
kesehatan yang baik, perolehan tingkat pendidikan yang tinggi, dan peningkatan
33
produktivitas masyarakat. Kajian yang dilakukan oleh Deaton (2003) menunjukan
bahwa distribusi pendapatan merupakan kewenangan dimiliki oleh pemerintah
dan sangat berdampak pada tingkat kesejahteraan. Distribusi pendapatan yang
tidak seimbang akan menciptakan ketimpangan, sehingga mengakibatkan
sebagian masyarakat tidak dapat menjangkau kebutuhan dasar. Deaton juga
menyebutkan bahwa kesejahteraan masyarakat diukur dengan tingkat pendapatan,
pemenuhan kebutuhan dasar akan makanan dan kesehatan.
2.1.1 Pengurangan Kemiskinan dan Pembangunan Perdesaan
Kemiskinan secara dominan merupakan fenomena perdesaan. Secara
keseluruhan ada sekitar 1,2 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan (biaya
hidup kurang dari1 USD per hari), dan tiga perempatnya hidup didaerah
perdesaan . saat ini, Bappenas telah berkomitmen dalam program pengurangan
kemiskinan, kelaparan, dan masalah kemanusiaan lainnya sebagai bagian dari The
Millenium Development Goals (MDGs). Sejak tahun 1990 hingga 2015
ditargetkan akan ada pengurangan proporsi jumlah orang yang hidup dengan
biaya hidup kurang dari USD 1 per hari. Ini berarti bahwa jumlah orang dengan
penghasilan menengah kebawah akan turun dari 28 persen hingga 14 persen, dan
proporsi penduduk yang kelaparan diharapkan juga menurun pada tahun 2015
(Christen dan Pearce, 2005).
Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) merupakan program
pembangunan PBB dalam rangka mengurangi 1,2 miliar penduduk miskin dunia
hingga tahun 2015 menjadi setengahnya. Namun, yang menjadi pertanyaan,
berhasilkah program ini dijalankan, apa saja kendalanya? Salah satu caranya
34
adalah melalui pertumbuhan ekonomi. Untuk mengurangi kemiskinan, semua
Negara wajib meraih pertumbuhan minimal 7 persen agar tercipta kesempatan
kerja sebesar 1 persen. China pada khususnya dan Negara-negara kawasan Asia
pada umumnya tergolong paling sukses menurunkan kemiskinan berkat
pertumbuhan ekonomi. Asalkan mereka tidak terjebak pada konflik yang semakin
memperburuk kemiskinan dan tentunya didukung oleh kondisi politik yang stabil.
Pengurangan kemiskinan tidak hanya dilakukan melalui pertumbuhan
ekonomi, menurut UNDP bahwa pertumbuhan ekonomi hanya menghasilkan
peningkatan kemakmuran warga kaya dan tak menetes kebawah. Peraih nobel
perdamaian tahun 2006 Muhammad Yunus mengatakan, pengurangan kemiskinan
harus dengan program yang menyentuh langsung mereka yang terjerat
kemiskinan. Alternatif lain untuk mengurangi kemiskinan adalah pengurangan
beban pembayaran utang luar negeri Negara berkembang oleh Negara maju.
Selain itu, juga dapat dilakukan dengan pembukaan pasar Negara maju terhadap
produk pertanian negara berkembang (Hadinoto dan Retnadi, 2007).
Kemiskinan dan kelaparan di perdesaan telah menurun secara drastis pada
tahun 1975 dan tahun 1990. Bantuan terhadap Negara-negara berkembang juga
turun dari 0,35 persen pada tahun 1982-1983 menjadi 0,24 persen pada tahun
2002-2003 dari pendapatan nasional bruto di Negara-negara OECD. Menurut
IFAD bantuan untuk sektor pertanian pada periode 1980-1990 hanya sekitar
35 persen, meskipun secara ekonomi partisipasi aktif penduduk di sektor pertanian
di Negara-negara berkembang lebih dari 50 persen untuk wilayah Asia dan Afrika
(Christen dan Pearce, 2005).
35
Tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan produktivitas dan
produksi pertanian, maupun memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa. Pada
repelita I tahun 1969, prioritas utamanya adalah melakukan definisi ulang dari
kebijakan pertanian. Penekanan pertama pada usaha meraih pemenuhan sendiri
(self suffiency) dalam produksi beras. Melalui peningkatan produksi pangan
diharapkan akan menaikkan pendapatan masyarakat desa dan memperbaiki
standar kehidupan petani desa (Budi Winarno, 2003). Hal yang perlu diperhatikan
dalam membangun perdesaan adalah bagaimana pengembangan kawasan
perdesaan bisa seimbang dengan kawasan perkotaan. Untuk mewujudka
keseimbangan kawasan antara desa dan kota tersebut, perlu diperhatikan empat
pilar dalam pengembangan kawasan perdesaan yang berkelanjutan. Empat pilar
tersebut antara lain: (1) Peningkatan kualitas SDM perdesaan (community
empowerment), (2) Peningkatan kualitas sarana prasarana perdesaan
(infrastructure improvement), (3) Peningkatan kualitas kehidupan sosial dan
ekonomi (economic livelihood improvement), dan (4) peningkatan kualitas
lingkungan dan warisan budaya lokal (conservation and cultural preservation).
Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan suatu proses
modernisasi masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia kearah kehidupan dan
penghidupan yang lebih baik di masa mendatang. Secara umum dapat
dikemukakan tiga unsur utama yang perlu diperhatikan bagi keberhasilan
pembangunan perdesaan yaitu: (1) keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan
pembangunan, (2) munculnya gagasan baru dalam masyarakat mengenai
36
kehidupan di masa datang, dan (3) adanya teknologi tepat guna dan padat karya
(Fadillah, 2003).
2.1.2 Paradigma Pembangunan Perdesaan
Menurut Ellis dan Biggs (2001), paradigma pertumbuhan pertanian
berdasarkan efisiensi usahatani kecil mendominasi pemikiran pembangunan
perdesaan selama setengah abad yang lalu. Hal tersebut misalnya ditandai oleh
publikasi dari Schultz (1964) yang berjudul Transforming Traditional Agriculture
yang menjelaskan bahwa alokasi sumberdaya secara rasional oleh petani kecil
rasional merupakan proposisi utama. Ide yang menganggap bahwa pertanian
subsistens di negara sedang berkembang dapat mendorong pembangunan yang
didukung oleh sektor pertanian ini merupakan sebuah perubahan yang signifikan
dari pemikiran tahun 1950-an yang terkandung dalam teori pembangunan dua
sektornya Lewis (1954) serta Ranis dam Fei (1964).
Teori ini mengatakan bahwa sektor subsisten memiliki prospek yang dapat
diabaikan dalam meningkatkan produktivitas atau pertumbuhan, dan oleh karena
itu hanya berperan secara pasif dalam proses pembangunan, memasok sumber
kepada sektor ekonomi modern sampai sektor modern tersebut berkembang.
Sektor modern ini digambarkan sebagai pertanian skala besar yang modern
(perkebunan besar) selain sektor industry manufaktur. Teori tersebut didasarkan
pada proposisi adanya skala ekonomis di pertanian, karena usahatani besar dapat
menggunakan sumberdaya dan teknologi modern secara lebih efisien ketimbang
usahatani kecil. Proposisi ini juga dianut sebagai strategi pembangunan pertanian
37
di Uni Soviet dan banyak negara sedang berkembang pada tahun 1960-an dan
1970-an.
Oleh karena itu, pergeseran pertama dari paradigma pembangunan
perdesaan terjadi pada awal dan pertengahan 1960-an, ketika usahatani kecil
dianggap sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Namun demikian,
perubahan yang signifikan pada tataran intelektual tersebut ternyata tidak secara
langsung berpengaruh terhadap gagasan-gagasan di lapangan. Usahatani besar
yang menggunakan teknologi mekanisasi masih dianggap lebih efisien ketimbang
usahatani kecil. Bahkan beberapa ide masih berkembang hingga saat ini.
Seperti telah disinggung di muka, paradigma usahatani kecil (small-farm-
first) ini diawali dengan proposisi bahwa pertanian memiliki peran kunci dalam
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan melalui penyediaan tenaga kerja,
modal, pangan, devisa, dan pasar bagi barang konsumen yang dihasilkan sektor
industry yang baru muncul. Jadi usahatani kecil harus merupakan fokus utama
bagi strategi pembangunan yang berbasiskan pertanian. Namun sayangnya
paradigma small-farm-firs ini ternyata juga tidak mampu memecahkan masalah
kemiskinan di perdesaan sehingga pada tahun 1980-an dan 1990-an terjadi
pergeseran paradigm yang kedua dari pendekatan yang lebih menekankan pada
„hasil‟ menuju pendekatan yang lebih menekankan pada „proses‟. Dari pendekatan
yang bersifat top-down atau “cetak biru” – yang ditandai oleh teknologi eksternal
dan kebijakan-kebijakan tingkat nasional – ke pendekatan yang bersifat bottom-
up, lebih memperhatikan kepentingan akar rumput (grass-roots). Hal ini
menggambarkan pembangunan perdesaan sebagai proses keperansertaan
38
(participatory) yang memberdayakan masyarakat perdesaan untuk menentukan
prioritas mereka sendiri untuk perubahan.
2.1.3 Isu Penting Pembangunan Perdesaan
Beberapa isu penting berkenaan dengan pembangunan perdesaan adalah
(Arsyad dkk., 2011), yaitu sebagai berikut.
Pembangunan perdesaan merupakan bagian dari pembangunan social
ekonomi secara keseluruhan. Akses masyarakat terhadap sumber daya
dipengaruhi oleh system ekonomi, sosial, dan politik yang ada. Oleh karena itu,
kita tidak dapat menjelaskan permasalahan perdesaan secara parsial hanya dengan
menggunakan kerangka situasi perdesaan saja. Sebagai contoh, penyebab
kemiskinan perdesaan pada mulanya sering kali disebabkan oleh masalah di luar
perdesaan, yakni karena tidak terintegrasinya daerah perdesaan dengan sistem
ekonomi, sosial, dan politik secara keseluruhan dalam suatu negara.
Pembangunan merupakan suatu sistem perubahan social yang saling
berkaitan satu sama lain. Pembangunan merupakan suatu proses yang dihasilkan
dari pemaduan berbagai elemen: tujuan yang didasarkan pada system nilai yang
ada, sumber daya (alam maupun manusia), teknologi yang tersedia, dan berbagai
bentuk organisasi sosial dan politik. Oleh karena itu, jika salah satu elemen
berubah maka keseluruhan system akan berubah pula.
Pertanian memiliki fungsi yang sangat penting di dalam proses
pembangunan. Di dalam proses pembangunan di mana setiap elemennya saling
berhubungan satu sama lain, pertanian memiliki beberapa fungsi yang sangat
penting: pertama, yang paling mendasar adalah sebagai penghasil pangan dan
39
bahan baku bagi sektor pertanian itu sendiri, bagi penduduk non pertanian, dan
bagi pengembangan industry; kedua, sektor pertanian merupakan penyerap tenaga
kerja yang besar; ketiga, perkembangan sektor pertanian yang baik akan
menciptakan permintaan akan produk-produk non-pertanian yang merupakan
prasyarat bagi ekspansi sektor sekunder dan tersier; dan yang terakhir, sektor
pertanian dapat menjadi penghasil devisa dari hasil ekspor produk-produk
pertanian komersial. Pembangunan pertanian merupakan salah satu aspek dari
pembangunan perdesaan. Fungsi sektor pertanian dalam proses pembangunan
seperti disinggung di atas menindikasikan bahwa pembangunan pertanian tidak
dapat berkembang baik jika tidak dilakukan secara simultan dengan sektor-
sektor lain. Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah
pembangunan perdesaan. Menurut Haeruman sebagaimana dikutip oleh Tim
Direktorat Permukiman dan Perumahan, ada dua sisi pandang untuk menelaah
perdesaan, yaitu sebagai berikut.
Pembangunan perdesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang
bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan masyarakat desa itu sendiri.
Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga perubahan yang
diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Sisi yang lain
memandang bahwa pembangunan perdesaan sebagai suatu interaksi antar potensi
yang dimiliki oleh masyarakat desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat
pembangunan perdesaan.
Adapun sasaran pokok pembangunan perdesaan adalah terciptanya kondisi
ekonomi rakyat di perdesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara mandiri dan
40
berkelanjutan. Sasaran pembangunan perdesaan tersebut diupayakan secara
bertahap dengan langkah: pertama, peningkatan kualitas tenaga kerja di
perdesaan; kedua, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa; ketiga,
penguatan lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat desa; keempat,
pengembangan kemampuan sosial ekonomi masyarakat desa; kelima,
pengembangan sarana dan prasarana perdesaan; dan keenam, pemantapan
keterpaduan pembangunan desa berwawasan lingkungan.
2.1.4 Kendala-Kendala Pembangunan Perdesaan
Selain masalah-masalah tersebut di atas, daerah perdesaan pada umumnya
memiliki ketidakberuntungan komparatif (comparative disadvantages) yang
cukup serius dalam konteks perkembangan persaingan pasar global. Oleh karena
itu, salah satu tujuan pembangunan perdesaan adalah menghilangkan atau
mengurangi ketidakberuntungan komparatif tersebut untuk menjamin persaingan
yang adil dan terciptanya kohesi sosial dan ekonomi antara daerah yang berbeda.
Ketidakberuntungan komparatif tersebut biasanya muncul karena ketertinggalan
pembangunan berbagai infrastruktur yang mengakibatkan keterbatasan
masyarakat perdesaan dalam berkomunikasi, produk, uang, dan informasi. Ini
merupakan ketidakberuntungan dalam hal akses (access-type disadvantage).
Ketidakberuntungan dalam hal akses biasanya tampak nyata dan
dikuantifikasikan. Ketidakberuntungan ini membatasi akses daerah pinggiran,
misalnya akses fisik, ekonomi, dan politis (atau kebijakan). Contoh yang paling
jelas adalah akses fisik yang buruk karena jeleknya infrastruktur fisik (jaringan
41
transportasi, telekomunikasi, amenities, dan sebagainya) yang menjadi kendala
sangat kuat bagi pergerakan manusia, barang dan informasi.
Jaringan jalan yang buruk akan menghambat kegiatan commuting
masyarakat perdesaan ke sentra-sentra ekonomi dan industri di sekitarnya,
membatasi pemasaran produksi yang dihasilkan, atau bisa juga menghambat
kedatangan para wisatawan jika di daerah tersebut memiliki objek wisata yang
menarik. Lebih dari itu, keterbatasan ketersediaan jaringan jalan yang memadai
juga akan mengurangi daya tarik investasi, baik yang berasal dari local maupun
yang dari luar. Keterbatasan infrastruktur lunak (soft-infrastructure) seperti jasa-
jasa bisnis dan keuangan, institusi pendidikan, atau jasa pelayanan kesehatan
meskipun agak kurang kelihatan (less visible) tetapi memiliki dampak yang sama.
Keterbatasan infrastruktur lunak tersebut akan membatas pergerakan uang
(investasi) dan dunia usaha untuk masuk dan keluar. Ini merupakan kendala akses
ekonomi.
Keterbatasan kemampuan (ability) dan sumber daya (resource-type
disadvantages) untuk menghasilkan barang dan jasa yang bisa dijual di pasar yang
lebih luas. Ketidakberuntungan dalam hal akses ke sumberdaya (resoures-type
access) dari daerah perdesaan merupakan akibat dari ketergantungan daerah
perdesaan terhadap pusat-pusat perekonomian, struktur ekonomi, dan lokasi
geografis yang kurang menguntungkan, dan keterbatasan akses daerah perdesaan
terhadap barang, informasi, dan sumberdaya pokok. Kendala tersebut membatasi
kemampuan daerah perdesaan untuk menghasilkan barang dan jasa yang bisa
dijual di pasar yang luas (regional, nasional, atau global). Keterbatasan-
42
keterbatasan ini dapat dikelompokan menjadi keterbatasan sumber daya keuangan,
manusia (human) dan kelembagaan (institusional).
Kelemahan atau kekurangan institusi publik atau kemasyarakatan yang ada
seperti: administrasi publik, organisasi-organisasi masyarakat, agen-agen
pembangunan (Lembaga Swadaya Masyarakat), masyarakat madani (civil
societies), dan organisasi sosial politik. Kelebihan institusi publik tersebut akan
membatasi akses kebijakan (policy access) atau kemampuan organisai-organisasi
pusat untuk mencapai daerah perdesaan dalam upaya untuk menetapkan aturan
atau menyalurkan sumber daya-sumber daya pembangunan. Tanpa adanya sistem
administrasi lokal yang baik, pemerintah akan sulit mempertahankan jasa
pelayanan pokok atau mendistribusikan bantuan-bantuan pemerintah. Tanpa
adanya masyarakat madani yang baik juga akan menyulitkan kita untuk
mengetahui apa yang sesungguhnya yang diinginkan masyarakat perdesaan bagi
masa depan mereka. Dampak dari seluruh masalah di atas adalah keterbatasan
akses yang menyebabkan aliran modal, barang-barang, masyarakat, informasi, dan
kebijakan ke dalam dan ke luar daerah perdesaan menjadi terbatas. Pada akhirnya
kendala-kendala tersebut akan menyebabkan daerah perdesaan tetap tertinggal
karena terkucil dari arus utama perekonomian, kehidupan politik, dan budaya.
Jenis lain dari ketidakberuntungan adalah bersumber dari kelemahan
sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia daerah perdesaan ditandai oleh
tingkat pendidikan yang relatif rendah, keterampilan yang rendah, dan belakangan
ini jumlah penduduk berusia lanjut yang semakin meningkat. Sementara itu,
penduduk desa yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik banyak yang
43
bermigrasi ke daerah lainnya, terutama ke perkotaan/industri sehingga
memperburuk kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang tinggal di wilayah
perdesaan. Salah satu akibat dari lemahnya sumberdaya manusia perdesaan ini
adalah rendahnya budaya kewirausahaan (entrepreneurship) dan rendahnya
jumlah sumberdaya yang dimiliki masyarakat perdesaan sehingga pada gilirannya
mengakibatkan kapasitas inovasi dan pembelajaran masyarakat juga rendah.
Akibat lebih parah dari kelemahan sumberdaya manusia di atas adalah hilang atau
musnahnya sumberdaya-sumberdaya kelembagaan (institutional resources) atau
institusi-institusi lokal. Di daerah perdesaan dimana sumberdaya manusianya
sangat buruk, budaya saling percaya (mutual trust) dan keinginan untuk bekerja
sama pun bisa hilang sehingga pada akhirnya semakin menyulitkan dalam
memulai dan melaksanakan pembangunan jenis apapun.
Keterbatasan institusi publik dan madani (civic) – yang juga merupakan
ketidakberuntungan akses – akan menghambat daerah tertinggal untuk menyadari
dan mengekspresikan kebutuhan mereka secara efisien dan untuk menarik bantuan
dan sumberdaya keuangan. Ketidakberuntungan dalam hal sumberdaya ini akan
membuat daerah perdesaan tidak mampu bertahan dan bersaing dalam persaingan
global, meskipun mereka memiliki akses yang memadai ke pasar.
2.2 Konsep Usahatani
Walaupun batasan “petani kecil” menjadi pembicaraan dalam banyak
pertemuan, namum pengertiannya masih tetap kabur (Valdes et al., 1979;
Wharton, 1969). Walaupun demikian, batasan yang tepat tidak diperlukan untuk
mengakui kenyataan keadaan buruk petani kecil atau peranannya yang penting
44
dalam membangun dunia. Mereka merupakan golongan terbesar dalam kelompok
petani di dunia, dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1. Berusahatani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat.
2. Mempunyai sumberdaya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup yang
rendah.
3. Bergantung seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten.
4. Kurang memperolehnya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan
lainnya.
Di Indoneisa, batasan petani kecil telah disepakati pada seminar petani
kecil di Jakarta pada tahun 1979 (BPLPP, 1979 dalam Soekartawi, dkk. 2011).
Pada pertemuan tersebut ditetapkan bahwa yang dinamakan petani kecil, adalah
sebagai berikut.
1. Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg beras
perkapita per tahun.
2. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan
sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa. Bila petani tersebut juga
mempunyai lahan tegal, maka luasnya 0,5 hektar di Jawa dan 1,0 hektar di
luar Jawa.
3. Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas.
4. Petani yang memilki pengetahuan terbatas dan kurang dinamik.
Jumlah petani kecil di dunia tidak diketahui secara pasti. Wharton (1969)
menduga bahwa kira-kira setengah dari penduduk dunia bergantung kepada
pertanian subsiten dan kira-kira 40 persen dari tanah pertanian digarap oleh oleh
45
petani kecil. Selanjutnya Wharton menduga bahwa 60 persen dari semua petani
adalah petani kecil yang menghasilkan kira-kira 40 persen dari seluruh produksi
pertanian. Mc Namara (1973) mengatakan bahwa 20 persen dari lahan tanaman di
dunia berbentuk usahatani yang luasnya kurang dari 5 hektar. Usahatani kecil
yang jumlahnya 130 juta ini menyediakan kehidupan langsung kepada ribuan juta
penduduk. Selanjutnya Mc Namara menduga bahwa jumlah penduduk Negara
berkembang mencapai 2 milyar orang. Sepertiga sampai setengahnya diduga
kekurangan pangan dan gizi, 40 persen belum dapat membaca dan menulis, dan
70 persen (1,4 milyar) tinggal di desa. Pada tahun 2000 penduduk Negara-negara
berkembang ditaksir sejumlah 2,7 milyar yang merupaka setengah dari penduduk
seluruhnya. Sebagian besar dari mereka akan tinggal pada usahatani kecil.
Walaupun dugaan-dugaan ini kasar, namun angka tersebut cukup menunjukkan
pentingnya peranan kecil dalam pembangunan dunia.
Keadaan petani kecil di kawasan Asia dan Timur Jauh dilukiskan oleh
Umali (1978), sebagai berikut. “Pengalaman kita dalam memajukan pembangunan
selama dua dasawarsa terakhir mengecewakan. Walaupun Produk Domestik Bruto
negara-negara berkembang di kawasan ini tumbuh cepat. Namun kemiskinan
masih tetap ada di daerah perdesaan. Kenyataanya meluas, dari 750 juta penduduk
miskin di negara-negara berkembang, kira-kira 75 persen ada di Asia. Sebagian
besar dari golongan miskin ini 85 persen menurut taksiran Bank Dunia hidup di
daerah perdesaan. Mereka terdiri dari petani kecil/nelayan, buruh tani, dan
peladang. Penduduk ini menderita karena penyakit dan kekurangan gizi. Bebarapa
di antara mereka tidak mempunyai rumah untuk melindungi kepalanya, tidak
46
mempunyai baju untuk menutupi tubuhnya, dan tidak berdaya untuk berproduksi
atau membeli makanan yang dibutuhkan guna mempertahankan hidup dan
keluarganya. Kebanyakan petani kecil adalah penggarap tanah orang lain dengan
status menyewa atau bagi hasil. Kehidupan mereka dan cita-citanya ditentukan
oleh pemilik tanah. Hak dasar mereka sebagai manusia untuk mengambil
keputusan dan untuk memperoleh bagian yang sama dari keuntungan yang
diperoleh dari bekerja keras sering tidak diakui. Kebijaksanaan yang mempunyai
tujuan utama memperoleh pertumbuhan tidak memperbaiki perbedaan-perbedaan
tajam yang terjadi di negara berkembang. Pertumbuhan dengan keadilan sosial
tidak akan berhasil apabila tidak memperhatikan dan melindungi kepentingan
golongan miskin di perdesaan dan golongan petani kecil yang merupakan bagian
terbesar dari golongan miskin tersebut.”
Usahatani (Farm) adalah kegiatan ekonomi, karena ilmu ekonomi
berperan dalam membantu mengembangkannya. Ilmu ekonomi ialah ilmu yang
mempelajari alokasi sumber yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan dan
kehenndak manusia yang tidak terbatas. Menurut Rivai (1980), usahatani adalah
sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di
lapangan pertanian. Organisasi ini sendiri dan sengaja di usahakan oleh atau
sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis maupun
tertorial sebagai pengelolaannya. Operasi usahatani meliputi hal-hal berkaitan
dengan pengambilan keputusan tentang apa, kapan, di mana, dan beberapa besar
usahatani itu di jalankan. Masalah apa yang timbul menjadi pertimbangan dalam
percakapan keputusan usaha operasi, usahatani mencakup hal-hal tentang
47
pengalaman dan kegiatan merencanakan ushatani. Usahatani semata-mata menuju
kepada keuntungan terus menerus, bersifat komersial.
Menurut Rivai (1980:8), potret usahatani ialah sebagai berikut: a) Adanya
lahan, tanah usahatani, yang di atasnya tumbuh tanaman ada tanah yang disebut
kolam, tambak, sawah, ada tegalan, ada tanaman setahun; b) Adanya bangunan
yang berupa rumah petani, gedung, dan kandang, lantai jemur, dan lain-lain; c)
Adanya alat-alat pertanian seperti cangkul, parang, garpu, linggis, spayer, traktor,
pompa air, dan lain-lain; d) Adanya pencurahan kerja untuk mengelolah tanah,
tanaman, memelihara dan lain-lain; e) Adanya kegiatan petani yang menerapkan
uashatani, dan menikmati hasil uashataninya.
Tri Tunggal Usahatani adalah suatu konsep yang di dalamnya terdapat tiga
fondasi atau modal dasar dari kegiatan usahatani. Tiga modal dasar tersebut
adalah petani, lahan dan tanaman atau tenak. Dari pengertian tersebut, petani
memiliki suatu kedudukan yang memegang alih dalam menggerakkan kegiatan
usahatani. Kemudian lahan diperlukan sebagai tempat untuk menjalankan
usahatani. Sedangkan tanaman, merupakan komoditas yang dibudidayakan dalam
kegiatan usahatani. Berikut penjelasan mengenai masing-masing modal dasar
yang terdapat di dalam Tri Tunggal Usahatani menurut Witrianto (2011).
1) Petani, Bahwa yang disebut petani adalah orang yang menggantungkan
hidupnya pada lahan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Secara
garis besar terdapat tiga jenis petani, yaitu petani pemilik lahan, petani
pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan, dan buruh tani.
48
2) Tanah merupakan sumber daya alam fisik yang mempunyai peranan penting
dalam segala kehidupan manusia karena diperlukan manusia untuk pertanian.
Tanah memiliki kriteria-kriteria dalam peranannya sebagai media tanam
untuk menunjang tumbuh dan berkembangnya tanaman. Kriteria-kriteria
tersebut meliputi kesesuaian tanah untuk ditanami jenis tertentu, kemampuan
tanah untuk berproduksi, dan kemampuan tanah untuk diolah secara berlanjut
tempat tinggal dan hidup, kemudian untuk melakukan kegiatan pertanian.
3) Tanaman atau ternak adalah semua subyek usahatani dan hewan yang di
budidayakan pada suatu ruang atau media yang sesuai untuk usaha itu.
Umumnya petani di Indonesia selain bercocok tanam di lahan ataupun ladang,
mereka juga memiliki ternak atau ikan yang dipelihara dalam menunjang
kegiatan usahataninya.
2.2.1 Kesejahteraan dan Revitalisasi Sektor Pertanian
Tidak banyak atau bahkan sangat jarang jumlah generasi muda yang
bercita-cita ingin menjadi petani. Sebagian besar mereka bercita-cita ingin
menjadi orang-orang yang sukses, terutama secara ekonomi. Paradigma bahwa
menjadi petani tidak akan membawa kepada kesejahteraan dan kekayaan
membuat sektor pertanian tidak berkembang, kehidupan petani selalu identik
dengan kemiskinan, pendidikan rendah dan ketinggalan jaman. Kalaupun jadi
petani, kemana hasil produksi atau komoditas pertanian akan dipasarkan? Kendala
bagaimana memasarkan hasil produksi pertanian ini menjadikan kehidupan para
petani tidak beranjak dari kemiskinan dan jauh dari hidup sejahtera ditambah lagi
ketidakberdayaan komoditas mereka dalam bersaing secara global di pasar
49
internasional, tentunya makin menambah deretan permasalahan yang terkait
dengan peningkatan kesejahteraan para petani.
Permasalahan yang terkait dengan sektor pertanian cukup banyak, seperti
sempitnya lahan pertanian, infrastruktur pertanian yang kurang baik, tidak
diberdayakannya para petani, gangguan hama dan penyakit pada tanaman,
anomaly cuaca, manajemen usaha yang masih tradisional dan bersifat
kekeluargaan atau individual, kurangnya informasi terhadap pasar dan iptek, dan
yang paling banyak adalah permasalahan sulitnya akses pembiayaan usaha
agrobisnis kepada perbankan. Setiap masalah harus ada penyelesaiannya. Untuk
mengatasinya perlu adanya kerja keras dan kreativitas dari pemangku kebijakan
dan dibantu oleh stakeholder di sektor pertanian.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pata petani, pemerintah telah
berupaya dengan berbagai cara agar kehidupan para petani jauh darikemiskinan.
Sebagai upaya merivitalisasi pembangunan sektor pertanian ini, pemerintah
melalui Kementrian Pertanian telah menetapkan strategi revitalisasi pembangunan
pertanian melalui lima landasan yang mutlak diperhatikan dalam merumuskan
program dan kebijakan pembangunan pertanian. Program dan kebijakan tersebut
antara lain: pertama, perbaikan infrastruktur pertanian. Kedua, penguatan
kelembagaan petani. Ketiga, revitalisasi penyuluhan pertanian. Keempat, fasilitasi
pembiayaan pertanian. Kelima, pengembangan pasar dan pemasaran hasil
pertanian (Dedi Junaedi dan Muarif, 2008).
Investasi infrastruktur dapat mengentaskan kemiskinan melalui beragam
cara, seperti skema kredit mikro yang berhasil menggenerasi pendapatan skala
50
kecil baik pada sektor usaha pertanian maupun usaha bukan pertanian.
Keterbatasan infrastruktur di desa-desa umumnya meliputi keterbatasan sarana
transportasi, energi, telekomunikasi, dan jasa-jasa infrastruktur terkait yang
menyebabkan pasar-pasar lokal sulit berkembang dengan baik. Hal ini
dikarenakan integrasi special dan temporal, transmisi harga sangat rendah, dan
daya saing internasional sangat lemah, sehingga berakibat pada melonjaknya
harga yang tidak teratur dan dapat berubah setiap waktu (Ja‟far, 2007).
Perbaikan infrastruktur pertanian meliputi upaya-upaya perbaikan saluran
irigasi, sistem pengairan dan pengolahan lahan yang efektif, pembukaan lahan
baru, perbaikan jalan usahatani, penyediaan sarana produksi pertanian yang
cukup, pengembangan riset dan inovasi pertanian, serta upaya rintisan membuat
kebijakan untuk mendukung reforma agraria dan penciptaan lahan pertanian
abadi. Penanganan masalah ini tentunya memerlukan kerjasama dan koordinasi
yang baik dengan kementerian lain dan pemerintah daerah. Penguatan
kelembagaan petani dapat dilakukan melalui pembentukan dan pemberdayaan
kelompok tani-kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan)
untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position). Melalui poktan dan
gapoktan, petani dibina dengan informasi dan fasilitas untuk meningkatkan
produktivitas, perbaikan mutu dan penanganan pascapanen, serta dukungan
manajemen usahatani yang lebih modern. Untuk merevitalisasi penyuluhan
pertanian dapat dilakukan dengan penambahan penyuluh, perbaikan kelembagaan
penyuluh dan program serta metode penyuluhan. Program ketiga ini mutlak
diperlukan agar eksistensi penyuluh tidak terpinggirkan, khususnya di era otonomi
51
daerahsaat ini. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani perlu dilakukan
kemudahan melalui fasilitasi pembiayaan.
Akses pendanaan yang adil dan saling menguntungkan diperlukan dalam
rangka memperkuat kelembagaan pertanian. Fasilitas tersebut dapat berupa Skim
Peminjaman Kredit (SP3), Bantuan Langsung Masyarakat untuk Keringanan
Investasi Pertanian (BLM-KIP), dan kebijakan subsidi bunga untuk dana
revitalisasi perkebunan dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E).
langkah terakhir yang dilakukan untuk merevitalisasi pembangunan sektor
pertanian adalah pengembangan pasar dan pemasaran hasil pertanian. Program ini
meliputi upaya-upaya peningkatan mutu dan nilai tambah melalui pengenalan
teknologi pasca panen dan pengembangan industri olahan hasil pertanian, upaya
mediasi dan promosi pemasaran dengan membuka akses dan fasilitas pemasaran.
Melalui poktan dan gapoktan, petani dibina hingga memiliki akses terhadap
informasi pasar dan penguasaan manajemen usahatani. Pembinaan juga diberikan
dengan paparan informasi tentang analisa supply-demand, perkiraan harga,
preferensi konsumen, dan berbagai kebijakan pemasaran lainnya (Junaedi dan
Muarif, 2008).
Revitalisasi pertanian merupakan kesadaran untuk menempatkan
(kembali) arti penting (re-vital-isasi) pertanian, perikanan dan kehutanan secara
proporsional dan kontekstual. Secara proporsional, pertanian memiliki arti penting
dalam posisinya bersama dengan bidang dan sektor lain dilihat dari perannya bagi
kesejahteraan dan berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Arti penting secara
52
proporsional tersebut tidak dimaksudkan untuk menjadikan bidang dan sektor lain
menjadi lebih tidak penting, tetapi justru menekankan keterkaitan, saling
ketergantungan, dan sinergi. Selain secara proporsional, arti penting pertanian
juga dilihat secara kontekstualsesuai perkembangan masyarakat. Pertanian tidak
dipentingkan melulu karena pertimbangan masa lalu, tetapi terutama karena
pemahaman atas kondisi saat ini dan antisipasi masa depan dalam masyarakat
yang mengglobal, semakin modern, dan menghadapi persaingan yang semakin
ketat (Kompas, 2006).
Revitalisasi pertanian dalam arti luas dilakukan untuk mendukung
pencapaian sasaran penciptaan lapangan kerja, terutama di perdesaan, dan
mengentaskan masyarakat miskin, serta mendukung pertumbuhan ekonomi.
Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk mendapatkan
kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual. Dalam
arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan
meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan dengan tanpa mengabaikan
sektor lainnya. Revitalisasi pertanian ditempuh dengan empat langkah pokok yaitu
peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga pendukungnya,
pengamanan ketahanan pangan, peningkatan produktivitas, produksi dan daya
saing produkpertanian dan perikanan serta pemanfaatan hutan untuk diverfsifikasi
usaha dan mendukung produksi pangan.
53
2.2.2 Pola Pertanian
Evolusi sistem pertanian disuatu negara berkembang dari waktu ke waktu
membedakan berbagai pola pertanian, sebagai berikut.
1. Pertanian Subsisten
Dalam pola pertanian subsisten klasik, sebagian besar output diproduksi
untuk konsumsi keluarga (meski sebagian kecil dapat dijual atau diperdagangkan
dipasar-pasar lokal), dan berbagai makanan pokok (staple food), (umumnya
mencakup gandum, barley, sorghum, padi, kentang atau jagung) menjadi sumber
nutrisi utama. Tingkat output dan produktivitasnya rendah karena hanya
menggunakan metode produksi serta peralatan tradisional yang serba sederhana.
Investasi modal minim sedangkan faktor-faktor produksi utamanya adalah lahan
dan tenaga kerja. Hukum hasil yang semakin menurun (law of dimishing return)
berlaku disini ketika lebih banyak tenaga kerja yang diterapkan untuk menggarap
sebidang lahan yang semakin menyusut (berpindah).
Keterbatasan curah hujan, appropriasi lahan miliknya, serta kehadiran para
rentenir yang mengancam untuk menagih hutang adalah sumber-sumber
kekhawatiran petani. Tenaga kerja yang mengalami kondisi setengah menganggur
hampir disepanjang tahun, namun pada musim sibuk para petani biasanya hanya
menanami lahannya terbatas yang dapat ditangani keluarganya tanpa harus
melibatkan pekerja bayaran, walaupun petani ini sekali-kali mempekerjakan satu
atau dua buruh tani yang tidak memiliki lahan sama sekali. Sebagian besar
pendapatan tunai yang diperoleh para petani berasal dari upah pekerjaan non
pertanian (Todaro dan Smith, 2011).
54
2. Pertanian Bagi Hasil
Fenomena penghindaran resiko diantara para petani kecil ditengah-tengah
ketimpangan kepemilikan lahan yang tinggi juga membantu menjelaskan
keberadaan praktek pertanian bagi hasil/penyakapan (sharecropping). Meskipun
jenis hubungan antara petani penggarap dan pemilik lahan sangat bervariasi
(contohnya, petani dapat menyewa atau bertindak sebagai pekerja yang diberi
upah), praktik ini tersebar luas. Pertanian bagi hasil terjadi jika seseorang petani
kecil menggarap sebidang lahan milik tuan tanah dengan imbalan mendapatkan
sebagian output pangannya, misalnya separuh padi yang ditanamnya. Bagian tuan
tanah juga bervariasi mulai dari kurang dari sepertiga hingga lebih dari duapertiga
output bergantung pada ketersediaan tenaga kerja lokal dan input-input lainnya
(misalnya, bibit, pupuk, dan/atau peralatan pertanian yang disediakan oleh tuan
tanah). Stuktur insentif yang buruk dari pertanian bagi hasil mengarahkan praktik
ini pada in efisiensi (Todaro dan Smith, 2011).
3. Pertanian Campuran dan Terdiversifikasi
Pola pertanian terdiversifikasi (diversified farming) atau pertanian
campuran (mixed farming) merupakan tahap perantara yang harus dilalui dalam
proses transisi dari pola produksi subsisten menjdi produksi yang terspesialisai.
Pada tahap ini, tanaman pangan pokok tidak mendominasi output pertanian, dan
jenis-jenis tanaman komersial baru seperti buah-buahan, sayur-sayuran, kopi, teh
dan pyrethrum sudah ditanam dan disertai pula peternakan sederhana. Kegiatan-
kegiatan baru ini dapat mengisi kekosongan dalam waktu kerja petani pada masa-
masa ketika pengangguran terselubung terjadi.
55
Keberhasilan atau kegagalan dari usaha-usaha transformasi pertanian
tradisional ini tidak hanya ditentukan oleh kemampuan dan keterampilan para
petani dalam meningkatkan produktivitasnya saja tetapi, yang lebih penting lagi,
semua itu bergantung pada kondisi-kondisi social, komersial, dan kelembagaan
tempat petani berada. Secara khusus, apabila petani dapat memiliki akses yang
layak dan andal terhadap kredit, pupuk, air, bibit unggul, informasi tentang
tanaman, dan fasilitas pemasaran; apabila ia mendapatkan harga pasar yang adil
bagi outputnya; dan apabila ia merasa terjamin bahwa ia dan keluarganya akan
menjadi penerima manfaat utama dari setiap program perbaikan pertanian, maka
tidak ada lagi alas an untuk mengasumsikan bahwa petani tradisional tidak akan
merespons berbagai insentif ekonomi dan peluang baru untuk memperbaiki
standar hidupnya (Todaro dan Smith, 2011).
4. Pertanian Komersial Modern
Pertanian terspesialisasi merevresentasikan tahapan final yang termaju dari
pemikiran individu dalam perekonomian pasar campuran. Metode ini adalah jenis
pertanian yang jamak ditemukan di negara-negara maju. Pertanian ini telah
berkembang dalam merespons terhadap dan bergerak secara paraleldengan
pembangunan sektor lain dalam perekonomian negara. Kenaikan taraf hidup
secara umum, kemajuan biologis dan teknis, dan ekspansi pasar nasional dan
internasional telah menjadi pendorong utama bagi kemunculan dan
pertumbuhannya.
Dalam pola pertanian terspesialisasi (specialized farming), pengadaan
bahan pangan untuk keperluan keluarga dan semua surplus yang dapat dijual
56
(marketable surplus) tidak lagi menjadi tujuan pokok. Alih-alih, criteria
keberhasilannya adalah keuntungan komersial dan hasil maksimum per hekatar
lahan yang didapatkan dari sumber daya alamiah dan sintetis (irigasi, pupuk,
pestisida, bibit hibrida, dan lain-lain) menjadi obyek dari kegiatan pertanian.
Singkatnya, produksi ditujukan untuk keperluan pasar. Konsep ekonomi seperti
biaya tetap dan variabel, tabungan, investasi, dan tingkat pengembalian (rate of
terurn), kombinasi faktor produksi secara optimal, perkiraan produksi maksimum,
harga pasar, dan dukungan harga memiliki arti penting, baik secara kuantitatif dan
kualitatif. Penekanan dalam utilisasi sumber daya dilakukan pada pembentukan
modal, kemajuan teknologi dan penelitian serta perkembangan ilmiah dalam
merangsang tingkat produktifitas output yang lebih tinggi. Ciri umum dari semua
pertanian terspesialisasi oleh karena itu antara lain penekanannya pada budidaya
satu jenis tanaman tertentu, padat modal dan teknik produksi yang menghemat
tenaga kerja, serta mengandalkan skala ekonomi untuk mengurangi biaya unit dan
memaksimalkan laba (Todaro dan Smith, 2011).
2.2.3 Peranan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi
Sumbangan atau jasa sektor pertanian pada pembangunan ekonomi
terletak dalam hal (i) menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada
penduduk yang kian meningkat, (ii) meningkatkan permintaan akan produk
industri dan dengan demikian mendorong keharusannya diperluasnya sector
sekunder dan terserier, (iii) menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk
impor barang-barang modal bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian
57
terus-menerus, (iv) meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi pemerintah,
dan (v) memperbaiki kesejahteraan rakyat perdesaan (Jhingan, 1990).
Di negara terbelakang, produksi pangan mendominasi sektor pertanian.
Jika output membesar akibat meningkatnya produktivitas, maka pendapatan para
petani akan meningkat. Kenaikan pendapatan perkapita akan meningkatkan
permintaan pangan. Dalam suatu situasi dimana kenaikan produksi komoditi
pertanian tertinggal di belakang pertumbuhan permintaannya, maka akan timbul
kenaikan harga bahan makanan. Untuk menutup kelangkaan dalam negeri dan
mencegah membumbungnya harga, bahan pangan dapat saja diimpor dari luar
negeri tetapi impor demikian mungkin akan mengorbankan barang-barang modal
yang diperlukan untuk pembangunan. Negara mungkin juga menerapkan
pengawasan harga atau mewajibkan pengumpulan pangan. Kesemua ini
menekankan perlunya menaikan produksi pangan dan surplus pertanian untuk
pembentukan modal di negara terbelakang.
Kenaikan daya beli daerah perdesaan, sebagai akibat kenaikan surplus
pertanian merupakan perangsang kuat terhadap perkembangan industri. Pasar bagi
barang manufaktur sangat kecil di negara terbelakang dimana para petani, pekerja
di ladang dan keluarganya yang merupakan dua per tiga atau empar per lima dari
keseluruhan penduduk begitu sangat miskin untuk dapat membeli barang-barang
pabrik apa pun sebagai tambahan terhadap sedikit barang yang telah dibeli.
Rendahnya daya beli ini menandakan rendahnya produktivitas sektor pertanian.
Dengan demikian yang menjadi masalah pokok adalah rendahnya hasil investasi
58
sebagai akibat sempitnya pasar. Meningkatnya daya beli daerah perdesaan sebagai
hasil perluasan output dan produktivitas pertanian akan cenderung menaikkan
permintaan barang manufaktur dan memperluas ukuran pasar. Ini akan
menyebabkan perluasan sektor industry. Selanjutnya, permintaan akan input
seperti pupuk, peralatan yang lebih baik, traktor, dan fasilitas irigasi di sektor
pertanian akan mendorong perluasan sektor industri lebih jauh lagi. Di samping
itu sarana angkutan dan perhubungan akan berkembang luas pada waktu surplus
pertanian yang mengangkut hasil pertanian dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan dan barang manufaktur diangkut ke daerah perdesaan.
2.3 Konsep Modal Sosial
Butterworth dan Heinemann (2000) menyebutkan bahwa modal sosial
sebagai kekayaan (manfaat) yang ada karena hubungan sosial seseorang. Dalam
hubungan sosial ini, ada tiga dimensi utama yang mempengaruhi perkembangan
manfaat yang saling menguntungkan: struktur hubungan, dinamika antar individu
yang ada dalam struktur, dan konteks umum dan bahasa yang digunakan oleh
individu dalam struktur. Lebih lanjutnya mereka menjelaskan ada dua studi utama
yang fokus terhadap struktur aspek relasi. Studi utama pertama berhubungan
dengan koneksi yang dimiliki oleh individu dengan yang lain. Laundefur dan
Lauman menghubungkan hal ini sebagai perspektif egosentris terhadap jaringan
kerja sosial, dimana suatu modal sosial individu di golongkan olehnya hubungan
langsung dengan yang lain dan melalui orang lain dan relasi yang dia bisa jangkau
melalui mereka yang dia ikat secara langsung. Studi kedua berhubungan dengan
59
pendekatan sosiosentris untuk memahami struktur jaringan kerja. Pendekatan ini
berdasarkan tulisan para pemikir seperti Ronal Burt (2000) di Universitas
Chicago, dimana dia percaya bahwa modal sosial berdasarkan posisi keluarga
seseorang dalam suatu hubungan kerja daripada hubungan langsung seseorang
dengan orang lain dalam jaringan kerja.
Masih menurut Butterworth dan Heinemann bahwa perkembangan modal
sosial tidak hanya terbatas pada adanya hubungan dalam suatu jaringan kerja, juga
interaksi positif yang terjadi antara seseorang dalam jaringan kerja yang berperan
dalam formasi modal sosial. Dalam hal ini, beberapa isu seperti kepercayaan dan
hubungan timbal balik menjadi poin penting bagi formasi modal sosial. Robert
Putnam, seorang ilmuan politik terkemuka yang sering menulis tentang modal
sosial, menghubungkan fenomena ini sebagai “norma-norma timbal balik yang
umum”. Hal yang sama, Jane Fountain, yang telah mempelajari peranan modal
sosial sebagai sesuatu yang memungkinkan bagi inovasi dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi, menyatakan, “satu kunci modal sosial terletak pada kepercayaan :
A percaya pada C karena B percaya pada C dan A percaya pada B”. oleh karena
itu, jaringan kerja keluarga yang besar bisa saja menunjukkan sesuatu yang
berlaku umum tanpa adanya hubungan individu diantara mereka. Francis
Fukuyama, yang telah menulis secara ekstensif tentang subjek kepercayaan,
menyarankan bahwa “modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari
kelaziman kepercayaan pada masyarakat atau pada bagian-bagian tertentu dari
mereka. Hal ini bisa diwujudkan dalam kelompok sosial yang terkecil dan
60
kelompok sosial yang paling dasar, pada keluarga, bangsa, dan pada semua
kelompok-kelompok yang lain.
Bourdieu (1985), sebagai peletak pondasi konsep modal sosial
mendifinisikan modal sosial sebagai „agregat sumber daya actual ataupun
potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet (durable) sehingga
menginstitu-sionalisasikan hubungan persahabatan (acquaintance) yang saling
menguntungkan‟. Menurut Bourdieu (1985) Modal sosial terletak pada hubungan,
dan hubungan diciptakan melalui pertukaran. Istilah jaringan dan relasi yang
diciptakan melalui keduanya merupakan fondasi modal sosial. Apa yang kita
amati merupakan sesuatu yang komplek dan proses dialektika dimana modal
sosial diciptakan dan didukung melalui pertukaran dimana modal sosial
memfasilitasi pertukaran (Butterworth dan Heinemann, 2000).
Melalui pemaknaan tersebut, Bourdieu berkeyakinan bahwa jaringan
sosial (social network) tidaklah alami (natural given), melainkan dikonstruksi
melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan-
hungan kelompok (group relations), yang bisa dipakai sebagai sumber terpercaya
untuk meraih keuntungan (benefits). Selanjutnya definisi tersebut juga
mengandaikan bahwa modal sosial memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial
itu sendiri yang mengizinkan individu untuk mengklaim akses terhadap sumber
daya yang dipunyai oleh asosiasi mereka; (b) jumlah dan kualitas dari sumber
daya tersebut. Dengan deskripsi tersebut, melalui modal sosial, aktor dapat meraih
akses langsung terhadap sumber daya ekonomi (pinjaman yang bersubsidi, saran-
saran investasi, pasar yang terlindungi); mereka bisa meningkatkan modal budaya
61
(cultural capital) lewat kontak dengan ahli-ahli atau individu yang beradab (yang
melekat dalam modal budaya); atau alternatifnya mereka dapat berafiliasi dengan
institusi yang membahas nilai-nilai terpercaya/valued credentials (pelembagaan
modal budaya) (Portes, 1998 dalam Yustika, 2013).
Menurut Coleman tahun 1990 (dalam Butterworth dan Heinemann, 2000)
menjelaskan bahwa modal sosial merupakan akumulasi sejarah dalam bentuk
struktur sosial produktif yang digunakan oleh pelaku dalam mencari kepentingan.
Dalam kerangka kerja rasional Coleman, struktur sosial sendiri muncul melalui
interaksi yang dilakukan oleh seseorang dalam mendapatkan kepentingan mereka
sendiri. Beberapa struktur sosial bisa jadi berbeda secara relatif, seperti organisasi,
bentuk yang lebih banyak tersebar, seperti penyebaran keluarga, dan komunitas.
Struktur sosial terdiri dari hubungan. Hubungan ini bisa jadi komponen formal
organisasi, seperti hubungan teman sekelas, departemen, teman kerja, atau
hubungan struktur sosial bisa jadi didefinisikan oleh kriteria yang lain, seperti
hubungan tetangga, pecinta, konspirator, dan antar teman .
Selain itu Coleman (1988) dalam Yustika, 2013) mendefiniskan modal
sosial bukanlan entitas tunggal (single entity), tetapi entitas majemuk yang
mengandung dua elemen: (i) modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur
sosial; dan (ii) modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor)-
baik individu maupun perusahaan-di dalam struktur tersebut (within the
structure). Dari perspektif ini, sama halnya dengan modal lainnya (modal
ekonomi atau economic/financial capital dan modal manusia atau human capital),
62
modal sosial juga bersifat produktif, yakni membuat pencapaian tujuan tertentu
yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis.
Lebih lanjut Coleman (1988) menyebutkan setidaknya terdapat tiga bentuk
dari modal sosial. Pertama, struktur kewajiban (obligations), ekspektasi
(expectations), dan kepercayaan (trustworthiness). Dalam konteks ini, bentuk
modal sosial tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan
sosial dan perluasan actual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held).
Dari perspektif ini individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan saling
kepercayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi
sebaliknya. Kedua, jaringan informasi (information channels). Informasi
sangatlah penting sebagai basis tindakan. Tetapi harus disadari bahwa informasi
itu mahal, tidak gratis. Pada level yang paling minimum, dimana ini perlu
mendapat perhatian, informasi selalu terbatas. Tentu saja individu yang memiliki
jaringan lebih luas akan lebih mudah (dengan murah) untuk memperoleh
informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi; demikian pula
sebaliknya. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norms and effective sanctions).
Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk memeroleh
prestasi (achievement) tentu saja bisa digolongkan sebagai bentuk modal sosial
yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif
dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda, mempunyai
potensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu sebaik-
baiknya (having a good time).
63
Baker (1990) mendefinisikan modal sosial sebagai sumber daya yang
diraih oleh pelakunya melalui struktur sosial yang spesifik dan kemudian
digunakan untuk memburu kepentingannya; modal sosial tersebut diciptakan
lewat perubahan-perubahan dalam hubungan antarpelakunya. Demikian pula
dengan Uphoff (2000) yang menyatakan bahwa modal sosial dapat ditentukan
sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya,
kelembagaan dan asset yang tidak terlihat (intangible) yang memengaruhi
perilaku kerja sama. Sementara itu, Putnam mendefinisikan modal sosial seabgai
gambaran organisasi sosial, seperti jaringan, norma dan kepercayaan sosial, yang
memfasilitasi koordinasi dan kerja sama yang saling menguntunkan. Seluruh
definisi tersebut berujung dalam satu hal saja, bahwa modal sosial baru terasa bila
telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial. Putnam
menggambarkan modal sosial sebagai “bentuk organisasi sosial seperti jaringan
kerja, norma, kepercayaan sosial yang memfasilitasi kordinasi dan kerjasama
untuk manfaat bersama. Menurutnya, modal sosial melibatkan norma-norma
timbal balik dan jaringan kerja civic engagement yang mendorong kepercayaan
sosial dan kerja sama (Butterworth dan Heinemann, 2000).
Melalui serangkaian pengertian tersebut, akhirnya terdapat sebuah
aporisme terkenal yang menyatakan bahwa modal sosial „bukanlah masalah apa
yang anda ketahui, tetapi siapa yang anda kenal‟. Dengan dasar tersebut, modal
sosial bisa merujuk kepada norma atau jaringan yang memungkinkan orang untuk
melakukan tindakan kolektif. Implikasinya, makna tersebut lebih memfokuskan
kepada sumber (soruces) daripada konsekuensi atas modal sosial, sementara
64
pentingnya deskripsi tentang modal sosial – seperti kepercayaan dan hubungan
timbal balik – dikembangkan dalam sebuah proses yang terus menerus. Di luar itu
definisi ini juga mengizinkan adanya penyatuan (incorporation) dimensi-dimensi
yang berbeda dari modal sosial dan mengakui bahwa komunitas bisa memiliki
akses yang lebih luas atau kecil. Terakhir, meskipun definisi ini melihat
komunitas sebagai unit analisis utama (ketimbang individu, rumah tangga, atau
Negara), namun tetap mengakui bahwa individu dan rumah tangga (sebagai
anggota dari komunitas) merupakan pelaku dari modal sosial dan komunitas
sendiri dibentuk sebagai bagian dari relasinya dengan Negara. Realitas ini
menguatkan proposisi bahwa jaringan dan norma merupakan unsur penting dalam
formulasi modal sosial sehingga eksistensinya sangat dibutuhkan (Yustika, 2013).
Sementara itu Lin (2001) menjelaskan bahwa teori modal sosial fokus
pada sumberdaya-sumberdaya yang melekat pada jaringan kerja sosial seseorang
dan bagaimana mengakses dan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang
bermanfaat yang dilakukan oleh tindakan seseorang. Sumberdaya-sumberdaya
didefinisikan sebagai barang-barang yang bernilai dalam masyarakat, sesuatu
yang ditentukan, Sesuatu yang dimiliki dengan tujuan untuk menjaga dan
mengembangkan kepentingan pribadi seseorang dengan tujuan untuk bertahan
hidup. Modal dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe: (1) personal atau modal
manusia dan (2) modal sosial. Modal manusia terdiri dari sumberdaya yang
dimiliki oleh seseorang yang dapat menggunakan dan menentukan diri mereka
dengan kebebasan yang seluas-luasnya dan tanpa adanya perhatian terhadap
kompensasi. Modal sosial terdiri dari sumberdaya yang melekat pada jaringan
65
kerja seseorang atau asosiasi. Modal sosial bukanlah milik seseorang tetapi
sumberdaya yang dapat diakses melalui ikatan langsung dan tidak langsung.
Menurut Birdsall (dalam Kartasasmita, 1997), modal sosial merupakan
sumber kekuatan yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Di dalam masyarakat sendiri tersimpan sejumlah potensi dan kekuatan, yang bila
didayagunakan secara baik akan memberikan kontribusi positif terhadap
pembangunan. Modal sosial itu sendiri menurut Cohen dan Prusak (dalam Ancok,
2007) adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia; rasa percaya,
saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam
sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama.
Sedangkan menurut Fukuyama (1995), modal sosial adalah serangkaian
nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para
anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama
di antara mereka. Pendapat Fukuyama ini sejalan dengan pendapat Coleman
bahwa Modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja sama
dengan mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi.
Modal sosial menunjuk pada ciri-ciri pada organisasi sosial yang berbentuk
jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya berisi norma-norma yang
memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya
bisa dirasakan bersama anggota organisasi (Putnam, dalam Rajab, 2005).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan modal
sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal, seperti rasa
saling percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan perilaku, yang dimiliki
66
bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama di antara mereka dan akhirnya mencapai tujuan bersama.
2.3.1 Modal Sosial Dalam Menciptakan Modal Manusia
Ada dua aliran intelektual dalam deskripsi dan penjelasan tindakan sosial.
Pertama, karakter kerja yang dipandang oleh paling banyak sosiolog, mencari
aktor/pelaku sesuatu yang disosialisasikan dan tindakan yang dilakukan oleh
norma sosial, aturan, dan kewajiban. Prinsip kebaikan dari aliran intelektual ini
terletak pada kemampuannya untuk menggambarkan tindakan dalam konteks
sosial dan untuk menjelaskan cara tindakan yang ditunjukkan, terdesak, dan yang
dialihkan oleh konteks sosial. Aliran intelektual yang lain, karakteristik kerja para
ekonom, mencari pelaku/aktor untuk mendapatkan tujuan secara independen
seperti tindakan independen, dan keseluruhan minat diri. Prinsip baik ini terdapat
pada prinsip tindakan yaitu memaksimalkan kegunaan Butterworth dan
Heinemann (2000).
Modal sosial didefinisikan melalui fungsinya. Hal ini bukan satu kesatuan
tapi suatu keragaman dari kesatuan yang berbeda, dengan dua unsur biasa: mereka
terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan mereka memfasilitasi tindakan
tertentu para aktor/pelaku, apakah orang atau aktor korporasi dalam struktur.
Seperti bentuk modal-modal lain, modal sosial memang produktif, membuat
prestasi yang mungkin pada akhir tertentu yang keberadaannya tidak akan
mungkin. Seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak sama sekali
sepadan tetapi bisa saja lebih khusus terhadap aktivitas-aktivitas tertentu. Bentuk
modal sosial yang berharga dalam memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu bisa
67
jadi tidak berguna atau bahkan berbahaya bagi yang lain. Modal fisik diciptakan
dengan mengubah material untuk membentuk perlengakpan-perlengkapan yang
memfasilitasi produksi, modal manusia diciptakan dengan mengubah perorangan
yang memiliki skill dan kemampuan yang membuat mereka mampu untuk
bertindak dengan cara-cara baru.
Nilai konsep modal sosial terletak pada fakta bahwa mengidentifikasikan
aspek-aspek tertentu struktur sosial melalui fungsi mereka, seperti konsep “kursi”
mengidentifikasikan objek fisik tertentu melui fungsinya, walaupun perbedaan
dalam bentuk, rupa, dan konstruksi. Fungsi diidentifikasikan melalui konsep
“modal sosial” adalah nilai dari aspek-aspek struktur sosial kepada pelaku/aktor
seperti sumberdaya yang mereke bisa gunakan untuk mendapatkan minat mereka.
2.3.2 Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Dalam konteks ilmu ekonomi, seperti halnya modal ekonomi dan manusia,
pembahasan modal sosial sudah barang tentu direlasikan dengan pencapaian
(pembangunan) ekonomi. Jadi, meskipun kelahiran konsep modal sosial dipicu
dari ranah bidang sosiologi, begitu sampai dalam kupasan bidang ekonomi
dianggap sebagai bagian dari bentuk modal yang diharapkan memiliki donasi
terhadap pertumbuhan ekonomi. Upaya untuk memberikan terobosan pembahasan
ini sudah berlangsung lama, khususnya semenjak isu modal sosial mulai
diperhatikan secara intensif pada awal dekade 1990-an. Jika dibagi dalam level
studi, riset-riset yang mencoba menghubungkan antara modal sosial dan
pembangunan ekonomi biasanya mengambil dua karakteristik berikut: (i)
penelitian hulu yang mencoba mencari landasan teoritis yang merelasikan modal
68
sosial dengan pembangunan ekonom; dan (ii) penelitian hilir yang berusaha
melacak implikasi modal sosial terhadap pembangunan ekonomi. Kedua level
studi tersebut masing-masing sudah menyumbangkan khasanah pemikiran yang
matang, sehingga saat ini telah tersedia beberapa argumentasi teoritis maupun
empiris untuk menjelaskan hubungan antara modal sosial dan pembangunan
ekonomi.
Sebelum mengupas masalah hubungan antara modal sosial dan
pembangunan ekonomi, terlebih dahulu akan dipaparkan perbedaan antara
pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial, seperti yang dijelaskan oleh Lin
(2001). Dalam perspektif rasionalitas transaksional, yang secara tipikal digunakan
untuk melakukan analisis pertukaran ekonomi, tujuan utamanya adalah
memperoleh modal ekonomi (sumber daya melalui transaksi) dan kepentingan
dalam aspek transaksional pertukaran yang dimediasi oleh harga dan uang.
Kegunaan dari pertukaran adalah untuk mengoptimalisasi keuntungan
transaksional, sedangkan pilihan rasional didasarkan kepada analisis hubungan-
hubungan alternatif yang memproduksi beragam keuntungan dan biaya
transaksional. Dengan basis ini, aturan-aturan pertukaran berperan dalam dua hal:
(1) Jika hubungan dengan agen tertentu menghasilkan keuntungan, maka
keputusannya adalah melanjutkan hubungan transaksi berikutnya; dan (2) Bila
hubungan tersebut gagal menghasilkan laba relatif, maka ada dua pilihan yang
dapat diambil: (a) menemukan hubungan alternatif yang bisa memproduksi
keuntungan; atau (b) merawat hubungan tersebut, tetapi dengan berupaya
mengurangi biaya transaksional. Keputusan di antara dua pilihan itu didasarkan
69
kepada bobot relatif yang mungkin diambil dari keuntungan memeroleh
keuntungan atau mengurangi biaya transaksi. Dengan begitu, analisis kritis dalam
pertukaran ekonomi memfokuskan kepada transaksi simetris dalam episodis atau
transaksi berulang.
Rasionalitas, sebaliknya, diimplikasikan dalam pertukaran sosial,
memfokuskan kepada aspek relasional dari pertukaran, biasanya diperantarai oleh
pengakuan/recognition (atau ekspektasi bahwa pelaku lainnya akan melakukan
hal itu). Motivasi dari rasionalitas relasional adalah untuk memeroleh seputasi
lewat pengakuan dalam jaringan atau kelompok, sedangkan kegunaan pertukaran
adalah untuk mengoptimasi keuntungan relasional (menjaga hubungan sosial)
serta juga analisis biaya dan keuntungan. Dengan basis ini, juga terdapat dua
aturan partisipasi pertukaran, (1) Jika transaksi spesifik mempromosikan sebuah
hubungan yang kuat dan perluasan pengakuan, maka transaksi akan dilanjutkan;
(2) Bila transaksi itu gagal mempromosikan hubungan yang kuat, maka dua
pilihan bisa dipertimbangkan: (a) menemukan alternatif transaksi yang akan
memberikan keuntungan (misalnya meningkatkan sensitivitas dalam transaksi
untuk mengiming-imingi dan memperkuat pengakuan); atau (b) merawat transaksi
tersebut dengan jalan mengurangi ongkos relasional. Seterusnya, seperti halnya
rasionalitas transaksional, keputusan tergantung dari proses untuk menemukan
transaksi alternative dan biaya relasional relative (Lin, 2001).
Deskripsi di atas membawa kepada suatu ruang, bahwa modal sosial dalam
kegiatan transaksi bisa menjadi basis sumber daya ekonomi (economic resources).
Dalam pengertian yang paling luas, modal sosial bisa menjadi alternatif yang
70
paling mungkin mengalokasikan kegiatan ekonomi secara efisien bila pasar
(market) tidak sanggup mengerjakannya. Pandangan ini tentu saja mengabaikan
isi dari aliran ekonomi klasik, yang mengandaikan bahwa pasar merupakan
instrumen yang paling efisien dalam menggerakan kegiatan ekonomi. Namun,
fakta di lapangan menunjukan pasar selalu tidak sanggup untuk mengatasi
persoalan eksternalitas, barang publik, hak kepemilikan, dan (bahkan) monopoli,
seperti yang dipostulatkan oleh aliran neo klasik. Pada aspek inilah modal sosial
dapat mendonasikan alternatif penyelesaiannya secara lebih efisien. Dalam kasus
barang publik, misalnya, pemindahan produksi dan pengelolaan barang dan jasa
(publik) kepada individu akan meningkatkan tanggung jawab (responsibility) dan
keeratan komunitas (sense of community) sehingga efisiensi atas produksi barang
publik tersebut dapat dicapai, seperti keberhasilannya untuk meminimalisasi
penunggang bebas/free-rider. Proposisi inilah yang membuat Putnam (1995)
sampai pada kesimpulan bahwa modal sosial merupakan sarana individu yang
akan mengerjakan kerjasama secara sukarela untuk mengurusi barang
publik/bersama (common goods) (Champlin, 1999).
Putnam (1995) menjelaskan bahwa hubungan antara modal sosial dan
pembangunan ekonomi tersebut juga bisa dilacak dari sisi lain. Kegiatan ekonomi
selalu berupa kerja sama (baik dalam pengertian kompetisi maupun saling bantu)
antarpelakunya, apapun motif yang ada dibaliknya (profit, status, harga diri,
preferensi, dan lain-lain). Sedangkan kerjasama itu membutuhkan kepercayaan
(trust), yang dalam ekonomi modern dapat digantikan dengan mekanisme formal
untuk mencegah kecurangan/penipuan, seperti sistem kontrak. Tapi, formalitas itu
71
sendiri tidak akan pernah menggantikan kepercayaan karena system kontrak
hanyalah instrument pendukung (bukan utama). Sampa di sini, pandangan paling
agung dari modal sosial menyatakan bahwa kerjasama tergantung dari
kepercayaan. Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi (hig trust
societies) akan sanggup melakukan kerja sama sampai level organisasi yang
sangat besar, semacam korporasi transnasional. Sebaliknya, masyarakat yang
tingkat kepercayaannya rendah (low trust societies) kerja sama dapat digalang
hanya sampai pada level terbatas, misalnya perusahaan yang berbasis keluarga
(family based-firms). Jadi dalam hal ini, harus dipahami bahwa modal sosial
sebagai sumber daya bermakna bahwa komunitas bukanlah suatu produk atau
hasil (outcome) pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan „prakondisi‟ bagi
terciptanya pertumbuhan ekonomi (Champlin, 1999).
2.3.3 Keterkaitan Modal Sosial dan Kegiatan Pertanian
Menyadari akan lemahnya posisi para petani tersebut, maka diperlukan
pengembangan studi modal sosial sebagai kerangka model yang dapat ditawarkan
penelitian ini untuk mengkaji potensi organisasi petani untuk digerakkan dengan
kekuatan mereka dari dalam, yaitu kualitas network, social trust dan norma social
kemasyaratan sebagaimana digagas oleh Putnam (1978). Dimensi pertama dari
social capital adalah koneksi antar individu (Putnam, 2000), yang mencermiman
kemampuan orang-orang dalam sebuah organisasi kemasyarakatan dalam
membangun komunikasi dan network (Coleman, 1990).
Pola komunikasi dapat mencakup structural embedded yaitu komunikasi
dalam berbagai tingkatan struktur sosial. Dimensi komunikasi memiliki dua
72
bentuk, dinyataan bentuk formal dan bentuk informal, keduanya merupakan
partisipasi pada sebuah system kemasyarajatan (Schaik, 2002). Komunikasi
informal terbentuk melalui bangun komunikasi antar teman, saudara dan tetangga.
Sedangkan partisipasi formal adalah komunkasi orang dengan lembaga organisasi
sosial, dan bentuk organisasi lainnya. Dimensi kedua dari organisasi sosial adalah
social trust yang menjadi komponen pendukung dari dimensi pertama network,
yaitu pengemnbangan kualitas network yang sangat tergantung kepada sosial
trust, serta kualitas nilai-nilai dari norma kemasyarakatan (Putnam, 1993).
Kebijakan yang diambil di Indonesia selalu berganti dan kalanya terjadi
juga tumpang tindih. Sering terlihat dalam kenyataan bergantinya tujuan
pembangunan dan prioritas utama yang akan dilaksanakan maka kebijakan yang
diambil juga berganti. Tidak dapat dipungkiri permasalahan pangan di perdesaan
sebenarnya adalah masalah yang sudah lama mengapung, ini dapat dilihat
permasalahan lokal yaitu bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat
perdesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga di desanya sesuai
dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki seperti halnya yang
ditemukan oleh Wilensky (1999) sebagaimana dikutip oleh Primadona (2012).
Selama ini dalam mengkaji dan membuat kebijakan untuk tercapainya
pembangunan selalu hanya diukur dari potensi sumber daya, potensi finansial dan
kurang mengamati bagaimana keadaan modal sosial dalam lingkungan di
perdesaan. Justru yang selalu diunggulkan adalah masalah potensi daerah seperti
struktur tanah, infrastruktur dan modal lainnya, padahal telah banyak penelitian
yang dilakukan seperti Putnam di Irlandia menyatakan bahwa jika modal
73
sosialnya tinggi maka akan berdampak terhadap kehidupan ekonomi
masyarakatnya (Primadona, 2012).
Berdasarkan hal tersebut di atas, pembangunan perdesaan sejak sekarang
harus dilakukan dengan pendekatan baru. Penguatan modal sosial dalam
pembangunan perdesaan dapat dinilai sebagai pembaruan pendekatan yang sangat
penting. Jika pembangunan perdesaan tidak disertai dengan penguatan lembaga
dan organisasi maka apapun program atau proyek pembangunan perdesaan yang
dijalankan pemerintah di perdesaan, akan sulit mencapai hasil yang diharapkan.
Dewasa ini modal sosial menjadi salah satu faktor penentu pembangunan di suatu
Negara (termasuk di wilayah perdesaan) di samping modal finansial dan modal
manusia. Modal sosial sangat penting bagi masyarakat karena dapat memberi
kemudahan dalam mengakses informasi, mengembangkan solidaritas,
memungkinkan pencapaian tujuan bersama, dan membentuk perilaku
kebersamaan dan berorganisasi.
Modal sosial yang terbentuk di masyarakat dapat memiliki bentuk yang
beraneka ragam, baik itu berupa organisasi maupun nilai-nilai yang berkembang
dimasyarakat. Wujud nyata dari modal sosial yang terjadi di masyarakat tidak
dapat dilepaskan dari sistem budaya yang di masyarakat itu sendiri. Hermawati
dan Handari (dalam Ambara, dkk., 2011) mengungkapkan bentuk-bentuk modal
sosial yang berkembang di masyarakat sebagai: hubungan sosial, adat dan nilai
budaya lokal, toleransi, kesediaan untuk mendengar, kejujuran, kearifan lokal dan
pengetahuan lokal, jaringan social dan kepemimpinan sosial, kepercayaan,
kebersamaan dan kesetiaan, tanggung jawab sosial, partisipasi masyarakat, dan
74
kemandirian. Pembentukan modal sosial yang memadai diyakini akan membawa
perubahan ke arah yang lebih baik (termasuk dari segi ekonomi) dalam setiap
individu yang akhirnya akan berdampak pada pembangunan perekonomian desa
yang nantinya akan berdampak kepada kesejahteraan petani serta akan turut
mendongkrak perekonomian nasional.
Dewasa ini modal sosial menjadi salah satu faktor penentu pembangunan
di suatu Negara di samping modal finansial dan modal manusia. Modal sosial
sangat penting bagi masyarakat karena dapat memberi kemudahan dalam
mengakses informasi, mengembangkan solidaritas, memungkinkan pencapaian
tujuan bersama, dan membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi. Modal
sosial dapat digunakan pada berbagai kegiatan termasuk di sektor pertanian.
Kegiatan di sektor pertanian merupakan kegiatan perekonomian yang sangat
intensif memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam. Kegiatan pertanian pada
dasarnya tidak dapat terlepas dari pengelolaan lahan dimana kepemilikan lahan
pertanian pada umumnya di Indonesia bersifat individu.
Kegiatan pertanian merupakan kegiatan proses produksi yang cukup
panjang dan untuk menghasilkan produknya dipasarkan dalam kuantitas yang
besar. Proses produksi pertanian antara lain terdiri dari penggarapan tanah,
penanaman benih, pengairan, pemupukan, pemberantasan hama, dan panen.
Rangkaian kegiatan produksi pertanian ini tidak mungkin dapat dikerjakan oleh
pemilik lahan saja namun membutuhkan sumber daya manusia yang tidak sedikit.
Kegiatan produksi pertanian setidaknya membutuhkan waktu tiga bulan sejak
tahap penanaman bibit hingga panen dan kerjasama antara para pelaku kegiatan
75
pertanian ini mampu menjaga produktivitas sektor pertanian agar mampu
memproduksi kuantitas yang besar dengan kualitas yang baik pula. Kerjasama di
antara para pelaku pertanian ini tentu saja dapat terjadi dengan dilandasi modal
sosial dimana kerjasama itu sendiri menjadi pokok perwujudannya.
Modal sosial merupakan hal penting yang sangat berpengaruh pada
kegiatan pertanian sejak kegiatan tersebut dimulai sampai pada tingkat
produktivitas penjualan produk pertanian pasca produksi. Kolektivitas dalam
perdagangan hasil-hasil pertanian sangat penting sebagai faktor yang turut
mempengaruhi harga pasar. Selain itu, perdagangan tidak dapat terlepas dari
ketersediaan jaringan dimana modal sosial menjadi faktor penting yang dapat
membuka jejaring antar pelaku pertanian dengan pihak-pihal lain yang
berkepentingan terhadap kegiatan dan produk pertanian sendiri, antara lain
lembaga sektor swasta dan lembaga pemerintahan. Praktek perdagangan produk
pertanian seringkali tidak sepenuhnya menguntungkan pihak produsen sehingga
peranan modal sosial diantara para pelaku pertanian menjadi sangat penting untuk
membantu mendorong posisi tawar pelaku pertanian menjadi lebih baik.
Selain dalam kegiatan produksi dan perdagangan produk pertanian, modal
sosial juga merupakan faktor penting yang perlu dimiliki para pelaku pertanian
untuk melakukan inovasi. Penggunaan teknologi dan pembuatan inovasi dalam
seluruh rangkaian kegiatan yang pertanian akan lebih efektif apabila dilakukan
dalam bentuk kelompok dan dilakukan secara kolektif. Pemanfaatan teknologi dan
inovasi seringkali disalurkan oleh lembaga atau pihak yang mensyaratkan
penerimanya berada dalam satu kelompok dimana kelompok yang ideal adalah
76
kelompok yang dibentuk atas dasar kesamaan tujuan dan ikatan kekeluargaan.
Tanpa ikatan modal sosial, kelompok diantara sesama pelaku pertanian dan
pelaksanaan kegiatan ini akan sulit dilakukan dimana kerjasama dan kepercayaan
diantara para pelaku pertanian menjadi hal yang paling utama.
Kapasitas manusia dalam menjalankan kegiatan pertanian, selain berasal
dari pengetahuan dan ketrampilan individu petani dalam mengolah lahan
pertanian dan mengolah serta memasarkan hasil pertanian, juga tidak kalah
penting kapasitas kolektif petani dalam seluruh kegiatan pertanian. Kapasitas
kolektif petani ini dimungkinkan ada apabila komunitas petani mempunyai modal
sosial yang cukup besar. Modal sosial merupakan kemampuan yang muncul dari
kelaziman kepercayaan dalam suatu masyarakat atau dalam bagian tertentu dari
masyarakat. Masyarakat yang saling percaya akan lebih baik dalam inovasi
organisasi karena kepercayaan yang tinggi memungkinkan munculnya rentang
hubungan sosial yang lebar (Fukuyama, 1995).
Perluasan modal sosial yang positif, terutama dalam komunitas dengan
sumberdaya ekonomi dan politik yang terbatas, secara konsekuen akan
menghasilkan peningkatan kinerja ekonomi dan politik dan peningkatan kualitas
kehidupan (Carpenter et al., 2004). Seperti dalam kegiatan perekonomian secara
umum, pengikisan modal sosial akan menurunkan kapasitas kolektif petani, yang
selanjutnya akan semakin menurunkan kinerja kegiatan pertanian. Dalam kegiatan
pertanian, khususnya tanaman padi yang sangat membutuhkan kebersamaan dan
kerjasama, kebutuhan modal sosial ini sangat besar. Tanpa adanya modal sosial,
77
maka kegiatan pra produksi, produksi, dan pasca produksi tidak akan berjalan
optimal (Sawitri dan Ishma, 2014)
2.4 Faktor Sosial Ekonomi
Santrock (2007), status sosial ekonomi sebagai pengelompokan orang-
orang berdasarkan kesamaan karakteristik pekerjaan, pendidikan ekonomi. Status
sosial ekonomi menunjukan ketidak setaraan terentu. Secara umum anggota
masyarakat memiliki (1) pekerjaan yang bervarias prestisenya, dan beberapa
individu memiliki akses yang lebih besar terhadap pekerjaan berstatus lebih tinggi
dibanding orang lain; (2) tingkat pendidikan yang berbeda, ada beberapa
individual memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan yang lebih baik
dibanding orang lain; (3) sumber daya ekonomi yang berbeda; (4) tingkat
kekuasaan untuk mempengaruhi institusi masyarakat. Perbeedaan dalam
kemampuan mengontrol sumber daya dan berpartisipasi dalam ganjaran
masyarakat menghasilkan kesempatan yang tidak setara.
Sosial ekonomi menurut Abdulsyani (1994) adalah kedudukan atau posisi
sesorang dalam kelompok manusia yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi,
pendapatan, tingkat pendidikan, jenis rumah tinggal, dan jabatan dalam organisasi,
sedangkan menurut Soekanto (2001) sosial ekonomi adalah posisi seseorang
dalam masyarakat berkaitan dengan orang lain dalam arti lingkungan peragulan,
prestasinya, dan hak-hak serta kewajibannya dalam hubunganya dengan sumber
daya. Ada beberapa faktor yang dapat menentukan tinggi rendahnya sosial
ekonomi di masyarakat, di antaranya tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat
pendapatan, kondisi lingkungan tempat tingal, pemilikan kekayaan, dan partisipasi
78
dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya. Tingkat pendidikan sangat
berpengaruh terhadap kerja dan tentunya juga pendapatan yang diperoleh
sehingga akan berpengaruh terhadap status sosial ekonomi seseorang.
Menurut Sumardi dalam Yerikho (2007), mengemukakan bahwa
pendapatan yang diterima oleh penduduk akan dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan yang dimilikinya. Dengan pendidikan yang tinggi mereka akan dapat
memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik disertai pendapatan yang lebih besar. Sedangkan bagi penduduk yang
berpendidikan rendah akan mendapat pekerjaan dengan pendapatan yang kecil.
Pemilikan kekayaan atau fasilitas adalah kekayaan dalam bentuk barang-
barang dimana masih bermanfaat dalam menunjang kehidupan ekonominya.
Fasilitas atau kekayaan itu, antara lain (1) Barang-barang berharga. Menurut
Abdulsyani (1994), bahwa pemilikan kekayaan yang bernilai ekonomis dalam
berbagai bentuk dan ukuran seperti perhiasan, televisi, kulkas dan lain-lain dapat
menunjukkan adanya pelapisan dalam masyarakat; (2) Jenis-jenis kendaraan
pribadi. Kendaraan pribadi dapat digunakan sebagai alat ukur tinggi rendahnya
tingkat sosial ekonomi orang tua. Misalnya: orang yang mempunyai mobil akan
merasa lebih tinggi tingkat taraf ekonominya dari pada orang yang mempunyai
sepeda motor.
Sementara itu, pekerjaan juga menentukan status sosial ekonomi karena
dari bekerja segala kebutuhan akan dapat terpenuhi. Pekerjaaan tidak hanya
mempunyai nilai ekonomi namun usaha manusia untuk mendapatkan kepuasan
dan mendapatkan imbalan atau upah, berupa barang dan jasa akan terpenuhi
79
kebutuhan hidupnya. Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi kemampuan
ekonominya, untuk itu bekerja merupakan suatu keharusan bagi setiap individu
sebab dalam bekerja mengandung dua segi, kepuasan jasmani dan terpenuhinya
kebutuhan hidup. Di sektor pertanian jumlah anggota keluarga dan luas lahan
termasuk indikator sosial ekonomi petani. Widyawati dan Pujiyono (2013)
menjelaskan bahwa tanggungan keluarga merupakan salah satu alasan utama bagi
para petani untuk bekerja memperoleh penghasilan. Semakin banyak mempunyai
anak dan tanggungan, maka waktu yang disediakan seseiorang untuk bekerja
semakin efektif. Selain itu mereka juga luas lahan merupakan ukuran tingkat
kesejahteraan rumah tangga. Semakin luas lahan pertanian yang digarap petani,
maka akan semakin tinggi curahan waktu kerja petani. Hal ini dikarenakan petani
akan cenderung menambah waktu kerjanya apabila luas lahan yang digarap
semakin luas.
Karakteristik sosial ekonomi terdiri dari; pendidikan, pendapatan, jam
kerja efektif, pengalaman kerja/lama bekerja, pengetahuan, modal kerja dan
pekerjaan faktor pendidikan, pendapatan, jam kerja efektif (Sriyono, 2004).
Dalam usahatani salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu faktor sosial
ekonomi petani antara lain adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman
usahatani, luas lahan, dan jumlah tanggungan keluarga terhadap kinerja petani.
Umur. Bagi petani yang lebih tua bisa jadi mempunyai kemampuan
berusahatani yang konservatif dan lebih mudah lelah. Sedangkan petani muda
mungkin lebih miskin dalam pengalaman dan keterampilan tetapi biasanya
sifatnya lebih progresif terhadap inovasi baru dan relatif lebih kuat. Dalam
80
hubungan dengan perilaku petani terhadap resiko, maka faktor sikap yang lebih
progresi terhadap inovasi baru inilah yang lebih cenderung membentuk nilai
perilaku petani usia muda untuk lebih berani menanggung resiko (Soekartawi,
2002).
Tingkat Pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan petani dan
keterbatasan teknologi modern merupakan dua faktor penyebab utama yang
menyebabkan kemiskinan di sektor pertanian di Indonesia. Keterbatasan dua
faktor produksi tersebut yang sifatnya komplementer satu sama lain
mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas yang pada akhirnya membuat
rendahnya tingkat pendapatan riil petani sesuai mekanisme pasar yang sempurna
(Tambunan, 2003). Model pendidikan yang digambarkan dalam pendidikan petani
bukanlah pendidikan formal yang acap kali mengasingkan petani dari realitas.
Pendidikan petani tidak hanya berorientasi kepada peningkatan produksi petanian
semata, tetapi juga menyangkut kehidupan sosial masyarakat petani. Masyarakat
petani yang terbelakang lewat pendidikan petani diharapkan dapat lebih aktif,
lebih optimis pada masa depan, lebih efektif dan pada akhirnya membawa pada
keadaan yang lebih produktif (Soetpomo, 1997).
Pengalaman Berusahatani. Belajar dengan mengamati pengalaman petani
lain sangat penting, karena merupakan cara yang lebih baik untuk mengambil
keputusan dari pada dengan cara mengolah sendiri informasi yang ada. Misalnya
seorang petani dapat mengamati dengan seksama dari petani lain yang lebih
mencoba sebuah inovasi baru dan ini menjadi proses belajar secara sadar.
Mempelajari pola perilaku baru, bisa juga tanpa disadari (Soekartawi, 2002). Luas
81
Lahan Luas lahan yang selalu digunakan dalam skala usaha pertanian tradisional
karena komunitas yang ditanam oleh petani tradisional selalu seragam yakni
jagung dan tanaman keras yang sejenisnya. Dengan demikian pedoman luas lahan
juga secara otomatis mengaju pada nilai modal, aset dan tenaga kerja (Soekartawi,
2002).
Jumlah Tanggungan Keluarga. Ada hubungan yang nyata yang dapat
dilihat melalui keengganan petani terhadap resiko dengan jumlah anggota
keluarga. Keadaan demikian sangat beralasan, karena tuntutan kebutuhan uang
tunai rumah tangga yang besar, sehingga petani harus berhati-hati alam bertindak
khususnya berkaitan dengan cara-cara baru yang riskan terhadap risiko.
Kegagalan petani dalam berusahatani akan sangat berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besar seharusnya
memberikan dorongan yang kuat untuk berusahatani secara intensif dengan
menerapkan teknologi baru sehingga akan mendapatkan pendapatan (Soekartawi,
2002).
2.5 Faktor Sosial Demografi
Salah satu dari faktor demografi yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi daerah yaitu pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk di dalam
pembangunan ekonomi suatu daerah merupakan permasalahan mendasar, karena
pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat mengakibatkan tidak
tercapainya tujuan pembangunan ekonomi yaitu kesejahteraan rakyat. Di kalangan
para pakar pembangunan, terdapat konsensus bahwa laju pertumbuhan penduduk
yang tinggi tidak hanya berdampak buruk terhadap supply bahan pangan, tetapi
82
juga semakin membuat kendala bagi pengembangan tabungan, cadangan devisa,
dan sumber daya manusia (Maier dalam Kuncoro, 1997). Menurut Malthus dalam
Agus (1999), pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan kebutuhan
konsumsi lebih banyak daripada kebutuhan untuk berinvestasi sehingga sumber
daya yang ada hanya dialokasikan lebih banyak ke pertumbuhan tenaga kerja yang
tinggi daripada untuk meningkatkan kapital kepada setiap tenaga kerja sehingga
akan menyebabkan penyerapan tenaga kerja yang lambat di sektor-sektor modern
dan meningkatkan pengangguran.
Faktor sosial demografi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pembangunan baik di daerah maupun nasional. Penekanan pada faktor demografi
di dalam kerangka pembangunan karena pertama, penduduk merupakan pusat dari
seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan sehingga posisi
penduduk di dalam pembangunan dapat sebagai subyek pembangunan yaitu
sebagai input dalam faktor produksi berupa penyediaan tenaga kerja yang akan
digunakan di dalam proses produksi dan sebagai obyek pembangunan yaitu
sebagai konsumen yang menggunakan berbagai sumber daya ekonomi. Kedua,
keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika
pembangunan yang dilakukan pemerintah. Oleh karena itu kebijakan dan program
kependudukan, tidak semata-mata hanya sebagai upaya untuk mengetahui pola
dan arah demografi tetapi juga untuk mencapai kesejahteraan masyarakat baik
bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang (Tjiptoherijanto, 2000).
Sementara itu, karakteristik sosial demografi adalah ciri yang
menggambarkan perbedaan masyarakat berdasarkan usia, jenis kelamin,
83
pekerjaan, pendidikan, agama, suku bangsa, pendapatan, jenis keluarga, status
pernikahan, lokasi geografi, dan kelas sosial (Kotler dan Armstrong, 2001).
Widyawati dan Pujiyono (2013) menjelaskan bahwa usia atau umur mempunyai
hubungan terhadap responsibilitas seseorang akan penawaran tenaga kerjanya.
Semakin meningkat umur seseorang semakin besar penawaran tenaga kerjanya.
Selama masih dalam usia produktif, semakin tinggi umur seseorang, semakin
besar tanggung jawabnya yang ditanggung, meskipun pada titik tertentu
penawaran akan menurun seiring dengan usia yang makin bertambah pula.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar probabilitas petani untuk
bekerja. Semakin tinggi pendidikan, akan menjadikan waktu yang dimiliki
menjadi mahal, dan keinginan untuk bekerja semakin tinggi. Sebaliknya, semakin
rendah tingkat pendidikan, akses pekerjaan pun sangat terbatas. Terbatasnya akses
pendidikan ini menyebabkan perempuan bekerja pada kegiatan pertanian.
Karakteristik demografi menurut Laksana (2003) terdiri dari: umur, jenis
kelamin, status perkawinan, jumlah anggota keluarga, jumlah beban tanggungan
keluarga. Umur seseorang dapat diketahui bila tanggal, bulan dan tahun kelahiran
diketahui. Perhitungan umur menggunakan pembulatan ke bawah atau umur
menurut ulang tahun terakhir. Umur dinyatakan dalam kalender masehi. Misal
seseorang lahir pada tanggal 30 Mei 1985 maka pada bulan Mei tahun 2007 orang
tersebut berumur 22 tahun pada bulan Januari tahun 2008 masih berumur 22 tahun
setelah menginjak bulan Mei 2008 baru berumur 23 tahun. Jenis kelamin sama
artinya dengan seks diartikan sebagai perbedaan organ biologis antara laki-laki
dan perempuan, terutama pada bagian-bagian reproduksi serta kodrat Tuhan
84
sehingga tidak dapat ditukar atau diubah (Rahmadewi, 2000 dalam
http://hqweb01.bkkbn.go.id).
Menurut P.B. Horton dan C.L. Hunt dalam Sriyono (2004), perkawinan
adalah suatu pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih
membentuk keluarga. Perkawinan tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan
dan membesarkan anak, tetapi juga seperangkat kewajiban dan hak istimewa yang
mempengaruhi banyak orang (masyarakat) sesungguhnya dari perkawinan adalah
penerimaan status baru dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru serta
pengakuan status baru oleh orang lain.
Sejalan dengan pandangan tersebut, maka seseorang yang belum/tidak
kawin tentu akan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan orang yang
kawin. Seseorang yang telah kawin tentu ada sederet kewajiban yang harus
dipenuhi. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut maka seseorang harus
bekerja, agar memperoleh pendapatan. Status perkawinan juga diartikan sebagai
perubahan status seseorang dari bujangan atau janda/duda menjadi berstatus
kawin. Stataus perkawinan penduduk dapat dibedakan menjadi status belum
pernah menikah, menikah, pisah atau cerai, janda atau duda
(http:id.wikipedia.org).
Menurut P.B. Horton dan C.L. Hunt dalam Sriyono (2004) jumlah anggota
keluarga yang dimaksud adalah banyaknya orang yang menjadi anggota dalam
sebuah keluarga (rumah tangga). Suatu keluarga merupakan: suatu kelompok
yang mempunyai nenek moyang yang sama, suatu kelompok yang disatukan
kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan, pasangan perkawinan
85
atau tanpa anak. Menurut Henry Tanjung dalam Sriyono (2004), keluarga
memiliki fungsi sexualitas, reproduksi sosial, afeksi dan fungsi perlindungan
ekonomi keluarga.
Bekele (2008), mengatakan ukuran keluarga secara positif mempengaruhi
pilihan strategi livelihod, sedangkan umur kepala rumah tangga, jenis kelamin
kepala rumah tangga, dan rasio ketergantungan mempunyai hubungan negatif
dalam menentukan pilihan pertanian dan non pertanian sebagai strategi livelihood.
Aspek demografi yang dapat digunakan untuk melihat profil petani adalah usia,
jenis kelamin, pendidikan, dan pengalaman bertani.
Kajian empiris A.N Siriwardana dan L.N.A.C. Jayawardena (2014) yang
menguji kontribusi faktor sosial demografi terhadap kinerja usahatani padi dengan
fokus pada inovasi dan adopsi praktek baru, perngalaman bertani, berbagi
pengetahuan dan perilaku kelompok dikalangan petani. Menunjukan perilaku
berbagi pengetahuan dalam pertanian berkorelasi kuat dengan karir petani.Berbagi
pengetahuan berkorelasi dengan pengalaman bertani. Inovasi dan adopsi praktek
baru adalah faktor utama yang berkontribusi dalam produktivitas pertanian padi.
2.6 Pertumbuhan Ekonomi
Teori pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai penjelasan
mengenai faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output perkapita dalam
jangka panjang, dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut
sehingga terjadi proses pertumbuhan (Boediono, 1999). Sehingga persentase
pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah
86
penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu
akan terus berlanjut.
Suatu wilayah dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi
peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil di wilayah tersebut
(Arsyad, 2004). Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi bernilai negatif berarti
kegiatan perekonomian menunjukkan penurunan, sebaliknya jika tingkat
pertumbuhan ekonomi tersebut bernilai positif berarti kegiatan perekonomian
mengalami peningkatan.
Beberapa pakar ekonomi membedakan pengertian antara pembangunan
ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi. Para pakar ekonomi yang membedakan
kedua pengertian tersebut mengartikan istilah pembangunan ekonomi sebagai
peningkatan pendapatan perkapita masyarakat yaitu tingkat pertumbuhan Produk
Domestik Bruto/Produk Nasional Bruto pada suatu tahun tertentu dibagi dengan
tingkat pertumbuhan penduduk, atau Perkembangan Produk Domestik
Bruto/Produk Nasional Bruto yang terjadi dalam suatu negara dibarengi oleh
perombakan dan modernisasi struktur ekonominya (transformasi struktural).
Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk
Domestik Bruto/Produk Nasional Bruto tanpa memandang apakah kenaikan itu
lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah
perluasan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 2004). Menurut Kuznets
dalam Jhingan (2002) pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kemampuan
suatu negara (daerah) untuk menyediakan barang-barang ekonomi bagi
penduduknya, yang terwujud dengan adanya kenaikan output nasional secara terus
87
menerus yang disertai dengan kemajuan teknologi serta adanya penyesuaian
kelembagaan, sikap dan ideologi yang dibutuhkannya.
Menurut Sumitro (1994), pertumbuhan ekonomi bersangkut paut dengan
proses pembangunan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya
hasil produksi dan hasil pendapatan. Perbedaan pertumbuhan ekonomi akan
membawa masing-masing daerah membentuk suatu pola pertumbuhan dimana
dapat digolongkan dalam klasifikasi tertentu untuk mengetahui potensi relatif
perekonomian suatu daerah yang dapat dilihat dengan menggunakan analisis
Klassen Typology.
Ada empat faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu
masyarakat (negara), yaitu sebagai berikut (Arsyad, 2004).
1) Akumulasi modal, termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah
(lahan), peralatan fisik (mesin-mesin), dan sumberdaya manusia (human
resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada bagian dari pendapatan
pada masa sekarang yang ditabung dan kemudian diinvestasikan untuk dapat
memperbesar output pada masa akan datang. Pabrik-pabrik, mesin-mesin,
peralatan-peralatan, dan barang-barang baru akan meningkatkan stok modal
(capital stock) fisik suatu negara (yaitu jumlah nilai riil bersih dari semua
barang-barang modal produktif secara fisik) sehingga pada gilirannya akan
memungkinkan negara tersebut untuk mencapai tingkat output yang lebih
besar. Investasi jenis ini sering diklasifikasikan sebagai investasi di sektor
produktif (Direct Productive Activities). Investasi-investasi lainnya dikenal
dengan sebutan infrastruktur sosial dan ekonomi (Social Overhead Capital)
88
yaitu jalan raya, listrik, air, sanitasi, dan komunikasi akan mempermudah dan
mengintegrasikan kegiatan-kegiatan ekonomi. Selain itu, ada juga jenis
investasi tidak langsung. Pembangunan fasilitas-fasilitas irigasi akan dapat
memperbaiki kualitas lahan pertanian melalui peningkatan produktifitas per
hektar.
2) Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan
jumlah angkatan kerja (labor force) secara tradisional dianggap sebagai faktor
yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut berarti:
(1) semakin banyak jumlah angkatan kerja berarti semakin banyak pasokan
tenaga kerja, dan (2) semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan
potensi pasar domestik.
3) Kemajuan teknologi menurut para ekonom, kemajuan teknologi merupakan
faktor yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam bentuknya
yang paling sederhana, kemajuan teknologi disebabkan oleh adanya cara-cara
baru atau mungkin cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaan tradisional, seperti cara menanam padi, membuat
pakaian, atau membangun rumah. Ada tiga macam klasifikasi mengenai
kemajuan teknologi, yaitu: (a) kemajuan teknologi yang bersifat netral, (b)
kemajuan teknologi yang bersifat menghemat tenaga kerja (labor saving), dan
(c) kemajuan teknologi bersifat menghemat modal (capital saving). Suatu
kemajuan teknologi dikatakan mempunyai sifat yang netral jika output yang
dicapai lebih tinggi dari kuantitas dan kombinasi input yang sama. Kemajuan
teknologi dikatakan mempunyai sifat yang netral jika output total mengalami
89
kenaikan sebesar dua kali pada saat semua input produktifnya dikalikan dua.
Di sisi lain, kemajuan teknologi dapat pula bersifat menghemat tenaga kerja
(dimana output yang lebih tinggi dapat dicapai dengan jumlah tenaga kerja
yang sama) atau menghemat modal (di mana output yang lebih tinggi dapat
dicapai dengan input modal yang sama). Penggunaan komputer, traktor, dan
mesin-mesin lainnya dapat diklasifikasikan sebagai penggunaan teknologi
yang dapat menghemat tenaga kerja. Sedangkan kemajuan teknologi yang
bersifat menghemat modal sangat jarang terjadi, karena hampir semua
penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi yang dilakukan oleh Negara-
Negara Maju pada dasarnya bertujua untuk menghemat tenaga kerja, bukan
untuk menghemat modal.
4) Sumberdaya Institusi (Sistem Kelembagaan).
Menurut Rodrik et al. (2000, dalam Arsyad, 2004), ada empat fungsi institusi
dalam kaitannya dengan mendukung kinerja perekonomian, yaitu (a)
Menciptakan pasar (market creating): institusi yang melindungi hak
kepemilikan dan memastikan pelaksanaan kontrak; (b) Mengatur pasar
(market regulating): institusi yang bertugas mengatasi kegagalan pasar yakni
institusi yang mengatur masalah eksternalits, skala ekonomi (economies of
scale), dan ketidaksempurnaan informasi untuk menurunkan biaya transaksi
(misalnya: lembaga-lembaga yang mengatur telekomunikasi, transportasi, dan
jasa keuangan): (c) Menjaga stabilitas (market stabilizing): institusi yang
menjaga agar tingkat inflasi rendah, meminimumkan ketidakstabilan
makroekonomi, dan mengendalikan krisis keuangan (misalnya: bank sentral,
90
sistem devisa, otoritas moneter dan fiskal); dan (4) Melegitimasi pasar
(market legitimizing): institusi yang memberikan perlindungan sosial dan
asuransi, termasuk mengatur redistribusi dan mengelola konflik (misalnya:
sistem pensiun, asuransi untuk pengangguran, dan dana-dana sosial lainnya).
Kuznets (dalam Todaro, 2000) juga mengemukakan enam karakteristik
atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yaitu, tingkat pertambahan output perkapita
dan pertambahan penduduk yang tinggi, tingkat kenaikan total produktivitas
faktor yang tinggi, khususnya produktivitas tenaga kerja. Kemudian tingkat
transformasi struktural ekonomi yang tinggi dan tingkat transformasi sosial dan
ideologi yang tinggi juga merupakan ciri proses pertumbuhan ekonomi. Selain itu,
adanya kecenderungan daerah yang mulai atau sudah maju perekonomiannya
untuk berusaha menambah bagian-bagian daerah lainnya sebagai daerah
pemasaran dan sumber bahan baku.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas mengandung arti bahwa
pertumbuhan ekonomi merupakan suatu peningkatan terus-menerus dalam produk
perkapita. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu perekonomian akan
mengalami pertumbuhan atau perkembangan apabila tingkat kegiatan ekonomi
lebih tinggi dari masa sebelumnya.
2.7 Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator yang penting dalam
menganalisis pembangunan ekonomi yang dilaksanakan. Pertumbuhan harus
berjalan secara berdampingan dan terencana dalam upaya terciptanya pemerataan
kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian, maka
91
suatu daerah yang kurang produktif akan menjadi lebih produktif dan berkembang
yang pada akhirnya dapat mempercepat proses pertumbuhan daerah itu sendiri.
Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa ada tiga faktor atau
komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi. Pertama, akumulasi modal yang
melliputi semua bentuk dan jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah,
peralatan fisik dan sumberdaya manusia. Kedua, pertumbuhan penduduk yang
beberapa tahun selanjutnya dengan sendirinya membawa pertumbuhan angkatan
kerja dan ketiga adalah kemajuan teknologi.
Menurut Tarigan (2007), pertumbuhan ekonomi wilayah adalah
pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu adanya
kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan
pendapatan menggambarkan pertambahan balas jasa bagi faktor-faktor industri
yang beroperasi di wilayah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi)
dimana pendapatan tersebut diukur dalam nilai riil (dinyatakan dalam harga
konstan). Hal ini juga dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut.
Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang
tercipta di wilayah tersebut, juga oleh besaran transfer-payment, yaitu bagian
pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar
wilayah.
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat memerlukan peran pemerintah, dalam
hal ini pemerintah harus turun tangan untuk menyediakan jasa yang melayani
kepentingan orang banyak ketika swasta tidak berminat menanganinya apalagi
tidak diberi hak khusus. Misalnya pembangkit tenaga listrik, telepon dan air
92
minum. Atau jika dikelolah oleh swasta maka haruslah diawasi oleh pemerintah.
Hal ini yang harus dijalankan oleh pemerintah adalah mengatur stok pangan agar
tercipta harga yang stabil. Sesuai dengan tata ruang yang berlaku maka lokasi dari
berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan harus memilih diantara lokasi yang di
tentukan. Dalam perencanaan pertumbuhan daerah, hal yang perlu dilakukan oleh
pemerintah daerah adalah memberi kebebasan kepada setiap orang atau badan
hukum untuk berusaha (pada lokasi yang diperkenankan). Pemerintah Daerah juga
tidak mengeluarkan peraturan yang menghambat pergerakan orang dan barang,
tidak membuat tarif pajak yang terlalu tinggi dari daerah lain sehingga perusahaan
enggan berusaha di daerah tersebut, serta menjaga keamanan dan ketertiban
daerah sehingga pengusaha atau investor dapat beroperasi dengan efisisen serta
tidak membuat prosedur yang rumit. Maka investor dari dalam maupun luar
tertarik menanamkan modalnya di daerah tersebut (Robinson Tarigan 2005).