bab ii tinjauan pustaka a. adiksi game onlineeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3719/4/bab...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Adiksi Game Online
1. Pengertian Adiksi Game Online
Game online merupakan permainan yang tidak hanya dimainkan satu
orang saja, namun dapat diakses oleh banyak pemain dengan menggunakan
komputer atau notebook yang dihubungkan oleh jaringan internet (Adams &
Rollings 2007; Freeman 2008). Adiksi adalah suatu perilaku yang tidak sehat
yang berlangsung secara terus menerus yang sulit diakhiri oleh individu yang
bersangkutan (Yee, 2006). Seotjipto (2007) menyebutkan bahwa adiksi adalah
suatu gangguan yang sifatnya kronis, ditandai dengan perbuatan kompulsif yang
dilakukan seseorang secara berulang-ulang untuk mendapatkan kepuasan pada
aktivitas tertentu. Istilah adiksi juga digunakan untuk menyebut ketergantungan
pada permasalahan sosial seperti judi, ketagihan berbelanja, bahkan internet
khususnya game online.
Lee (2007) mengartikan adiksi game online adalah ketidakmampuan untuk
berhenti melakukan satu aktivitas yaitu bermain game online. Van Rooij (2011)
adiksi game online digambarkan seperti seseorang yang kehilangan kontrol ketika
bermain game dan menimbulkan keadaan yang merugikan. Kemudian
Valkenburg, Peter, dan Lemmens (2009) mendefinisikan adiksi game online
sebagai penggunaan komputer atau permainan video game secara online yang
berlebihan dan kompulsif yang mengakibatkan masalah sosial dan emosional.
Gamer tidak mampu mengendalikan penggunaan yang berlebihan ini.
12
Berdasarkan pemaparan definisi dari beberapa ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa adiksi game online adalah penggunaan komputer atau
permainan video game secara online yang berlebihan, kompulsif, tidak terkontrol,
hingga gamer tidak mampu untuk menghentikan aktivitas bermain dan
menimbulkan keadaan yang merugikan dan permasalahan sosial serta emosional.
2. Aspek-Aspek Adiksi Game Online
Chen dan Chang (2008) dalam Asian Journal of Health and Information
Sciences, menyebutkan bahwa sedikitnya ada empat aspek adiksi game online.
Aspek - aspek tersebut adalah:
a. Kompulsi / dorongan untuk melakukan secara terus menerus (Compulsion)
Kompulsi merupakan suatu dorongan atau tekanan kuat yang
berasal dari dalam diri sendiri untuk melakukan suatu hal secara terus
menerus, dimana dalam hal ini merupakan dorongan dari dalam diri untuk
terus - menerus bermain game online.
b. Penarikan diri (Withdrawal)
Penarikan diri merupakan suatu upaya untuk menarik diri atau
menjauhkan diri dari satu hal. Penarikan diri yang dimaksud adalah
seseorang yang tidak bisa menarik dirinya untuk bermain game online.
Seseorang akan merasakan emosi negatif seperti gelisah ketika mencoba
menarik diri dari bermain game online.
c. Toleransi (Tolerance)
Toleransi dalam hal ini diartikan sebagai penambahan jumlah
waktu dalam bermain game online semakin bertambah dan semakin lama.
13
Gamer merasa belum cukup puas setiap kali mulai bermain game online
dan tanpa sadar menghabiskan banyak waktu dalam bermain.
d. Masalah hubungan interpersonal dan kesehatan (Interpersonal and health -
related problems)
Merupakan persoalan - persoalan yang berkaitan dengan interaksi kita
dengan orang lain dan juga masalah kesehatan. Gamer yang mengalami adiksi
cenderung untuk tidak menghiraukan bagaimana hubungan interpersonal yang
mereka miliki karena mereka hanya terfokus pada game online saja. Begitu pula
dengan masalah kesehatan, para pecandu game online kurang memperhatikan
masalah kesehatan mereka, ditunjukkan dengan waktu tidur yang kurang,
kurangnya perawatan diri dan pola makan yang tidak teratur.
Valkenburg, Peter, dan Lemmens (2009) mengembangkan skala adiksi
game online untuk remaja berdasarkan kriteria perjudian patologis (gambling
pathological) yang ditemukan di DSM . Tujuh kriteria adiksi game online menurut
Lemmens yaitu:
a. Arti penting (Salience)
Bermain game online menjadi aktivitas terpenting dalam kehidupan
seseorang dan mendominasi pikiran, perasaan dan perilaku. Gamer akan selalu
memikirkan tentang game yang sedang dimainkan karena telah menjadi salah satu
hal yang penting baginya, sehingga sebagian besar waktu luangnya akan
digunakan untuk bermain game online.
b. Toleransi (Tolerance)
Toleransi merujuk pada proses ketika seseorang mulai bermain game lebih
sering, sehingga secara bertahap menambah jumlah waktu yang dihabiskan untuk
14
bermain game lebih banyak. Gamer merasa kesulitan untuk menghentikan
aktivitas bermain game online dan bahkan menambah waktu bermainnya.
c. Modifikasi suasana hati (Mood modification)
Sebelumnya kriteria ini berlabel euforia, yaitu suatu perasaan
senang yang berlebihan yang tidak rasional. Penyebabnya adalah karena
pengaruh emosi yang sangat kuat, seperti penenang dan perasaan santai
yang terkait dengan pelarian dari permasalahan dan stres, yang menjadi
pengalaman subjektif seseorang akibat bermain game. Gamer akan
merasakan suatu perubahan mood yang meningkat dan membaik ketika ia
mulai bermain game online.
d. Kambuh (Relapse)
Kambuh adalah kecenderungan pemain untuk berulang kali
kembali ke pola awal dari bermain game. Ketika gamer berusaha untuk
mengurangi waktu bermainnya, pada tahap adiksi, gamer akan selalu
kembali ke pola awal dan gagal dalam usaha untuk mengurangi waktu
maupun intensitas bermainnya.
e. Penarikan diri (Withdrawal)
Penarikan diri muncul karena adanya emosi yang tidak
menyenangkan atau efek fisik yang terjadi saat bermain game tiba-tiba
berkurang atau dihentikan. Penarikan sebagian besar terdiri dari
kemuraman dan iritabilitas, tapi mungkin juga termasuk gejala fisiologis,
seperti gemetar. Oleh karena itu gamer akan semakin kesulitan dalam
menarik dirinya dari kebiasaan bermain game online yang berlebihan.
15
f. Konflik (Conflict)
Semua konflik antar pribadi dihasilkan dari bermain game yang
berlebihan. Konflik terjadi antara gamer dengan orang-orang disekitarnya.
Konflik dapat mencakup argumen dan pengabaian atau juga kebohongan.
Ketika gamer dalam tahap adiksi, mereka akan mengabaikan kehidupan
sosialnya demi fokus pada aktivitas gamingnya. Hal tersebut tentu saja
membuatnya memiliki konflik dengan orang – orang disekitarnya.
g. Masalah (Problem)
Hal ini mencakup berbagai macam permasalahan yang disebabkan
karena bermain game berlebihan, mulai dari masalah dengan lingkungan
sosial, sampai masalah yang timbul dalam diri individu, seperti konflik
intrapsikis dan perselisihan subjektif dari hilangnya kontrol diri. Masalah-
masalah yang dapat dihadapi oleh pecandu game online dapat bersifat fisik
maupun sosial. Secara fisik, gamer yang berlebihan dalam game online
akan mengganggu tidur dan kebutuhan lainnya, sehingga akan
mengganggu kerja tubuh yang membutuhkan istirahat dan pemenuhan
kebutuhan yang cukup. Selain itu juga gamer memiliki permasalahan
dalam kegiatan lainnya misalnya masalah akademik seperti hilangnya
motivasi belajar dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan ahli di atas dapat disimpulkan bahwa aspek –
aspek adiksi game online adalah kompulsi / dorongan untuk melakukan secara
terus menerus (compulsion), penarikan diri (withdrawal), toleransi (tolerance),
masalah hubungan interpersonal dan kesehatan (interpersonal and health - related
problems), arti penting (salience), modifikasi suasana hati (mood modification),
16
kambuh (relapse), penarikan diri (withdrawal), dan konflik (conflict). Peneliti
menggunakan kriteria adiksi game dari Lemmens yang digunakan untuk
mengukur adiksi game online, yaitu arti penting (salience), toleransi (tolerance),
modifikasi suasana hati (mood modification), kambuh (relapse), penarikan diri
(withdrawal), dan konflik (conflict), dan masalah (problem). Alasan peneliti
memilih kriteria adiksi game online dari Lemmens karena, Lemmens
mengembangkan skala adiksi game ini untuk remaja sehingga kriteria yang
digunakan lebih terperinci dan memudahkan peneliti dalam memahami secara
umum gamer yang mengalami adiksi pada usia remaja.
3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Adiksi Game Online
Menurut Yee (2002) terdapat dua faktor yang mempengaruhi seseorang
mengalami adiksi game online yaitu faktor atraksi (attraction) dan motivasi
(motivation). Game online memiliki tiga faktor atraksi, mencakup:
1. Prestasi atau hadiah (Achievement or Reward)
Game online dirancang untuk menyediakan berbagai macam hadiah yang
tujuannya untuk menguntungkan gamer dalam mencapai sasaran di dalam game
dan meningkatkan prestasi sehingga meningkatkan status atau kekayaan diantara
gamer lain. Seperti gamer menembak lawan tepat dikepala (headshot), maka ia
akan memperoleh keuntungan berupa kenaikan level yang lebih cepat. Berbagai
macam hadiah dan pencapaian prestasi membuat gamer semakin sering bermain.
Faktor achievement terbagi menjadi tiga subkomponen, yaitu: a) kemajuan
(advancement), b) mekanika (mechanics), dan c) kompetisi (competition).
Kemajuan meliputi keinginan untuk meraih kekuasaan, berkembang dengan cepat
seperti level yang terus meningkat, dan terakumulasi dalam simbol di dunia game
17
seperti meningkatkan kekayaan atau status. Mekanika meliputi memiliki minat
untuk menganalisa peraturan dan sistem yang mendasarinya untuk
mengoptimalkan kinerja karakter game. Kompetisi meliputi keinginan untuk
menantang dan bersaing dengan gamer lain.
2. Relasi (Relationship)
Game online memfasilitasi gamer agar berinteraksi secara online dengan
gamer lain, sehingga mereka saling bercerita tentang pengalaman bermain dan
membantu menyelesaikan tugas dalam game. Keuntungan lainnya adalah adanya
anonimitas dalam dunia game yang membuat sesama gamer dapat saling
membuka diri (self-disclosure) tentang permasalahan yang mereka simpan. Gamer
mengungkapkan permasalahan pribadi atau rahasia yang mereka simpan dari
teman atau keluarga di kehidupan nyata. Sama halnya dengan relasi dunia nyata,
gamer juga membangun kepercayaan dan ikatan antar gamer. Terdapat game
online yang mengharuskan gamer untuk berkelompok agar mencapai sasaran di
dalam game. Hal tersebut membuat gamer ingin mengejar ketinggalan level agar
tetap berada di level yang sama dengan teman - teman online. Semakin banyak
relasi online, semakin mendorong gamer untuk menginvestasikan lebih banyak
waktu untuk bermain.
Faktor Relasi terbagi menjadi tiga subkomponen yaitu: a) bersosialisasi
(socializing), b) hubungan atau relasi (relationship), dan c) kerjasama tim
(teamwork). Bersosialisasi meliputi ketertarikan untuk mengobrol dan membantu
sesama gamer. Relasi sosial meliputi adanya keinginan untuk membentuk
hubungan jangka panjang yang bermakna dengan gamer lain. Kerjasama tim yaitu
gamer mendapatkan kepuasan karena menjadi bagian dari kelompok.
18
3. Hanyut dalam permainan (Immersive)
Game online merupakan teknologi imersif, yaitu teknologi yang
mengaburkan batasan antara dunia nyata dengan dunia virtual atau dunia digital,
sehingga gamer bisa merasakan suasana yang mirip dengan dunia nyata. Gamer
senang dengan alur cerita dari dunia virtual dan senang menjadi orang lain dengan
menciptakan karakter yang sesuai dengan cerita di dalam dunia game. Sifat
imersif ini mendorong pemain untuk melekat pada karakter dalam dunia game.
Faktor immersive terbagi menjadi empat subkomponen, yaitu: a)
penemuan (discovery), bermain peran (role-playing), kustomisasi
(customization), dan pelarian dari kenyataan (escapism). Penemuan meliputi
menemukan dan mengetahui hal – hal yang jarang diketahui oleh gamer lain di
dalam dunia game online. Bermain peran yaitu gamer menciptakan sebuah
persona dengan latar belakang sesuai keinginan gamer dan berinteraksi dengan
gamer lain untuk membuat cerita improvisasi. Kustomisasi yaitu adanya
ketertarikan untuk menyesuaikan penampilan karakter agar seperti diri sendiri dan
menambahkan aksesoris atau atribut fisik lain agar lebih menarik. Pelarian dari
kenyataan ialah gamer bermain game online agar menghindar dari permasalahan
dunia nyata.
Wan & Chiou (2006) mengatakan bahwa salah satu penyebab remaja
bermain game online adalah untuk melarikan diri dari kenyataan. Wan & Chiou
(2006) juga mengatakan bahwa game online memberikan gamer saluran
kompensasi atas kebutuhan yang tidak memuaskan di dalam hidup mereka. Oleh
karena itu remaja yang merasa tidak puas dengan hidupnya menjadikan game
online sebagai sarana untuk melarikan diri dari kenyataan karena game online
19
memberikan penyaluran untuk memuaskan kebutuhan hidup namun hanya di
dalam dunia virtual (Wan & Chiou, 2006).
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hagstorm & Kaldo
(2014) pada 201 gamer jenis Massive Multiplayer Online Role Playing Game
(MMORPG) diperoleh hasil bahwa kepuasan hidup berkorelasi dengan negative
escapism (pelarian dari kenyataan) beserta faktor lain yaitu socializing
(bersosialisasi) dan playing time (durasi bermain) sebesar (r = 0.24; p = <0.01).
Selanjutnya prediktor terbesar pada skala kepuasan hidup, Satisfaction With Life
Scale (SWLS) yaitu faktor socializing sebesar (β = 0,26) diikuti oleh escapism
sebesar (β = −0,25) dan playing time sebesar (β = 0.18)dengan (p = <0.01).
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor game online
yaitu escapism (pelarian dari kenyataan) dan socializing (bersosialisasi) memiliki
korelasi yang signifikan terhadap kepuasan hidup seseorang.
Warmelink, Hartevald, & Mayer (dalam Hagstorm & Kaldo , 2014)
menambahkan bahwa faktor escapism merupakan alasan penting seorang gamer
bermain game online. Faktor escapism juga merupakan prediktor terbesar pada
adiksi internet termasuk game online (Young, 1998). Kemudian pada skala
permasalahan penggunaan internet (problematic internet use PIU) escapism
adalah faktor terkuat dibandingkan faktor lainnya (Caplan, William, Yee (2009).
Yee (2006) juga mengatakan bahwa faktor immersive yaitu escapism menjadi
prediktor terkuat alasan seseorang bermain game online.. Oleh karena itu pada
penelitian ini, faktor escapism yang menjadi faktor yang mempengaruhi remaja
adiksi bermaian game online.
20
Selain faktor atraksi, Yee (2002) mengatakan faktor motivasi juga dapat
mempengaruhi seseorang menjadi adiksi game online. Faktor motivasi adalah
tekanan-tekanan atau masalah - masalah dalam kehidupan nyata yang dapat
menggunakan faktor atraksi sebagai jalan keluarnya. Masalah yang mungkin
dihadapi misalnya masalah self-esteem, self-image, self-control, merasa tidak
berguna, tidak dapat membentuk atau mempertahankan relasi, serta berbagai
tekanan lain dalam kehidupan nyata. Game online membuat semua permasalahan
dalam kehidupan nyata tersebut dapat terselesaikan di dunia virtual, namun
permasalahan itu tetap ada di kehidupan nyata. Hanya saja gamer dapat
membentuk identitas baru sesuai yang diinginkan dan mendapatkan hal yang tidak
bisa didapat di dunia nyata dengan bermain game online.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Yee (2002)
menyebutkan terdapat dua faktor adiksi game online yaitu faktor atraksi
(attraction) dan faktor motivasi (motivation). Faktor atraksi terdiri dari tiga
komponen utama dan sepuluh subkomponen. Faktor achievement terbagi menjadi
tiga subkomponen, yaitu: a) kemajuan (advancement), b) mekanika (mechanics),
dan c) kompetisi (competition). Selanjutnya faktor relasi memiliki tiga
subkomponen, yaitu a) bersosialisasi (socializing), b) hubungan atau relasi
(relationship), dan c) kerjasama tim (teamwork). Kemudian faktor immersive
terbagi menjadi empat subkomponen, yaitu: a) penemuan (discovery), bermain
peran (role-playing), kustomisasi (customization), dan pelarian dari kenyataan
(escapism). Faktor motivasi merupakan tekanan atau permasalahan gamer di
dunia nyata yang menjadikan faktor atraksi sebagai jalan keluarnya.
21
B. Kepuasan Hidup
1. Pengertian Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup merupakan komponen kognitif dalam kesejahteraan
subjektif (subjective well-being). Andrews dan Withey (dalam Diener, Emmons,
Larsen, dan Griffin, 1985) mengidentifikasikan komponen kesejahteraan subjektif
menjadi positive affect dan negative affect (sebagai komponen afektif dari
kesejahteraan subjektif) serta kepuasan hidup (sebagai komponen kognitif).
Komponen afektif mengacu pada evaluasi langsung individu terhadap peristiwa
yang terjadi dalam kehidupannya, meliputi perasaan yang menyenangkan dan
tidak menyenangkan yang dialami individu dalam hidupnya. Sementara
komponen kognitif mengacu pada evaluasi kognitif terhadap hidup individu
secara keseluruhan dan atas area – area penting dari kehidupan individu (Diener,
2000).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hurlock (dalam Rohmah, 2013)
kepuasan hidup merupakan salah satu dimensi dari kesejahteraan subjektif
(subjective well-being). Kepuasan hidup digambarkan sebagai bentuk penilaian
individu secara menyeluruh dalam menilai puas atau tidaknya kehidupan yang
dialaminya. Kepuasan hidup adalah keadaan sejahtera atau kepuasan hati yang
merupakan kondisi yang menyenangkan dan timbul bila kebutuhan dan harapan
tertentu terpenuhi. Lebih lanjut, Diener dkk. (2016) mendefinisikan kepuasan
hidup sebagai penilaian secara kognitif seseorang terhadap kehidupannya secara
menyeluruh atau holistik. Ia merupakan penilaian terhadap kualitas hidup individu
berdasarkan kepada kriteria yang dipilih oleh individu itu sendiri dan bersumber
pada pengalaman serta nilai khas setiap individu.
22
Kemudian pada tahun yang berbeda, Diener dkk. (1985) mengatakan
bahwa individu yang puas akan kehidupannya adalah individu yang menilai
bahwa kehidupannya memang tidak sempurna tetapi segala sesuatunya berjalan
dengan baik, selalu mempunyai keinginan untuk berkembang dan menyukai
tantangan. Kepuasan hidup mengacu pada proses kognitif dan menilai. Individu
mengevaluasi kehidupan mereka dengan menilai seberapa baik hidup mereka
sejauh ini dan hal ini disebut kepuasan hidup. Penilaian tentang seberapa puas
remaja dengan keadaan hidup mereka didasarkan pada perbandingan dengan
standar yang ditetapkan oleh remaja itu sendiri.
Selanjutnya Sousa dan Lyubomirsky (2001) menyatakan bahwa kepuasan
hidup seseorang merujuk kepada penerimaan seseorang terhadap keadaan
kehidupannya serta sejauh manakah seseorang itu dapat memenuhi apa yang
dikehendakinya secara menyeluruh. Antaramian, Huebner, dan Valois, (2008)
mengartikan kepuasan hidup pada remaja mencakup kemampuan remaja dalam
menilai puas atau tidaknya hidup. Kepuasan hidup pada remaja dapat bersifat
universal yang secara umum dirasakan oleh semua remaja. Di sisi lain, kepuasan
hidup juga dapat bersifat individual atau khusus, yang mana kepuasan hidup yang
didapatkan berdasarkan pengalaman atau kejadian yang dialami semasa remaja.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
Kepuasan hidup remaja ialah penilaian atau evaluasi kognitif dan penerimaan
remaja terhadap puas atau tidaknya kehidupan yang dialaminya secara
menyeluruh dilihat dari sejauhmana kualitas hidup remaja berdasarkan kriteria
hidup yang dipilih oleh remaja tersebut sebagai suatu keadaan sejahtera atau
kepuasan hati yang timbul bila kebutuhan dan harapan terpenuhi.
23
2. Dimensi Kepuasan Hidup
Diener dkk. (1985) menjelaskan lima aspek kepuasan hidup yang
terangkum dalam lima aitem pernyataan satisfaction with life scale. Berikut
adalah lima aspek kepuasan hidup menurut Diener dkk. (1985):
1. Keinginan untuk mengubah kehidupan.
2. Kepuasan terhadap hidup saat ini.
3. Kepuasan hidup di masa lalu.
4. Kepuasan terhadap kehidupan di masa depan.
5. Penilaian orang lain terhadap kehidupan seseorang.
Kepuasan global (global life satisfaction) dinilai oleh aitem atau
pernyataan yang sepenuhnya bebas dari konteks (misalnya: “hidup saya berjalan
dengan baik”); dengan demikian individu menilai kepuasan mereka berdasarkan
standar pribadi mereka. Sebaliknya, kepuasan hidup secara umum (general life
satisfaction) ditentukan oleh peringkat beberapa area-area utama hidup (domain
satisfaction) pada kehidupan tertentu, seperti keluarga (misalnya: “saya senang
berada di rumah bersama keluarga saya”) dan teman (misalnya: “teman saya
terbaik”), dan dikonseptualisasikan sebagai jumlah kepuasan di seluruh domain
kehidupan ini. Seperti model umum, model multidimensi mencakup penilaian
beberapa konteks kehidupan (Antaramian, Huebner, & Valois, 2008). Huebner
(2001) membuat pernyataan pada Manual Multidimensional Student’s Life
Satisfaction Scale (MSLSS) berdasarkan lima area – area utama pada hidup
remaja yaitu:
24
1. Kepuasan terhadap keluarga (Family)
Penelitian sebelumnya telah berusaha untuk menilai determinasi kepuasan
hidup yang dirasakan pada remaja. Selain menunjukkan peran faktor individual
(temperamen, perbedaan gaya atrributional), berbagai faktor kontekstual telah
ditunjukkan berkaitan dengan kepuasan hidup remaja. Di seluruh area penting dari
hidup remaja, peringkat siswa tentang kualitas hubungan keluarga mereka terbukti
lebih penting daripada keseluruhan tingkat kehidupan mereka daripada peringkat
sosial, sekolah, dan tingkat komuni (Dew & Huebner, 1994). Meskipun jumlah
waktu yang dihabiskan dengan teman sebaya penting, kualitas hubungan keluarga
tampaknya paling penting bagi kehidupan remaja. Oleh karena itu penting untuk
menentukan ciri khas keluarga mana yang menjadi penentu kesejahteraan optimal
termasuk kepuasan hidup mereka (Antaramian, Huebner, dan Valois, 2008).
Kepuasan hidup remaja dikaitkan dengan berbagai karakteristik keluarga yang
berbeda, termasuk keterlibatan orang tua, hubungan orang tua dan anak yang
positif, dan dukungan sosial orang tua (Ash & Huebner, 2001; Gilman &
Huebner, 2006; Gilman, Huebner, & Laughlin, 2000; Suldo & Huebner 2006).
Suldo & Huebner (2006) menemukan bukti pentingnya dukungan orang
tua untuk kesejahteraan remaja dengan meneliti individu dengan tingkat kepuasan
hidup yang sangat rendah, rata-rata, dan sangat tinggi. Hasil mereka menunjukkan
bahwa tingkat dukungan orang tua berbeda untuk ketiga kelompok remaja, dengan
dukungan lebih besar terkait dengan kepuasan yang lebih tinggi. Selain itu,
dukungan orang tua dianggap penting untuk tingkat kepuasan hidup yang tinggi;
lebih dari 92% remaja dalam kelompok kepuasan tinggi melaporkan di atas
tingkat rata-rata dukungan orang tua. Secara umum, lingkungan keluarga yang
25
negatif dikaitkan dengan penurunan kesejahteraan. Kepuasan hidup lebih rendah
di kalangan remaja yang mengalami konflik dan ketidaksetujuan tinggi dengan
orang tua mereka dan stres terkait keluarga yang tinggi (Ash & Huebner, 2001).
2. Kepuasan terhadap pertemanan (Friends or Peer)
Penilaian kepuasan hidup tampaknya berhubungan dengan hasil
intrapersonal dan interpersonal yang penting. Misalnya, ketidakpuasan terhadap
kehidupan telah dikaitkan dengan berbagai kesulitan sosial-emosional, termasuk
depresi (Lewinsohn dalam Gilman & Huebner, 2000), pengaruh negatif (Huebner
& Dew, 1996), dan interaksi teman sebaya yang negatif (Furr & Funder dalam
Gilman & Huebner, 2000). Gilman dan Huebner (2006) menunjukkan bahwa
kepuasan hidup remaja tinggi karena remaja memiliki hubungan interpersonal dan
intrapersonal yang positif dengan teman sebaya, keluarga, dan orang – orang
disekitarnya. Asher, Hymel, dan Renshaw (1984) menemukan bahwa kesepian
dan ketidakpuasan sosial yang dialami oleh siswa disebabkan oleh status
sosiometrik yang rendah di kelas. Beberapa anak yang diidentifikasi tidak populer
mungkin memiliki teman di kelas lain atau sekolah lain sehingga tetap memilki
kepuasan sosial. Demikian pula, orang tua dan saudara atau tetangga dapat
berfungsi sebagai penyangga emosional ketika anak tidak puas dengan teman
sebaya di sekolah.
3. Kepuasan terhadap pendidikan atau sekolah (School Life)
Huebner (1991) melaporkan bahwa siswa dengan kepuasan hidup yang
tinggi memiliki pengalaman sekolah yang lebih positif, hal tersebut ditunjukkan
dengan frekuensi partisipasi ekstrakurikuler yang lebih besar dan indeks prestasi
kumulatif (IPK) yang lebih tinggi daripada siswa dengan tingkat kepuasan rendah.
26
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kepuasan hidup yang tinggi dikaitkan
dengan pengalaman akademik positif dan juga menunjukkan hubungan konseptual
yang penting antara kepuasan hidup dan faktor konteks sekolah. Epstein dan
Mcpartland (1976) menambahkan bahwa reaksi siswa terhadap sekolah adalah
indikator kepuasan kehidupan sekolah. Reaksi positif terhadap sekolah dapat
meningkatkan kemungkinan siswa akan tinggal di sekolah, mengembangkan
komitmen untuk belajar teratur, hubungan siswa-guru yang positif, dan
menganggap sekolah merupakan institusi yang menguntungkan serta
menyenangkan.
4. Kepuasan terhadap lingkungan (Living Environment)
Salah satu prediktor kepuasan hidup adalah lingkungan tempat tinggal.
Remaja yang tinggal di rumah yang kurang terpelihara mengekspresikan
ketidakpuasan terkait tipe hunian akomodasi sewaan, seperti rumah susun atau
kontrakan yang kurang layak huni menyebabkan remaja merasa kurang bahagia
dengan keluarga mereka. Terutama anak-anak dengan keluarga berpenghasilan
rendah (seperti keluarga imigran dan keluarga orang tua tunggal) yang tinggal di
perumahan kelas rendah di daerah dengan masalah sosial tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel lingkungan memberikan kontribusi penting terhadap
gambaran kepuasan hidup remaja (Homel & Burns, 1989).
5. Kepuasan terhadap diri sendiri (Self)
Kepuasan terhadap diri sendiri terkait dengan segala hal yang berfokus
pada diri seperti harga diri (self-esteem) dan evaluasi diri (self-evaluation).
Stewart dan King (1994) menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara
harga diri dan kepuasan hidup seseorang. Selanjutnya Diener, E. dan Diener, M.
27
(1995) menemukan bahwa harga diri adalah prediktor yang kuat terhadap
kepuasan hidup di beberapa negara. Selain itu evaluasi diri yang positif dan
orientasi lokus pengendalian diri internal (internal locus of control) telah
ditemukan sebagai prediktor kepuasan hidup yang paling signifikan diantara
remaja (Huebner, 1991). Gilman dan Huebner (2006) juga mengatakan bahwa
kontrol diri (self-control) yang baik merupakan karakteristik remaja dengan
kepuasan hidup tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepuasan
hidup dapat diukur dengan melihat sejauh mana seseorang puas terhadap keadaan
diri secara menyeluruh.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi
kepuasan hidup remaja yaitu kepuasan terhadap keluarga (family), kepuasan
terhadap pertemanan (friends), kepuasan terhadap pendidikan/sekolah (school),
kepuasan terhadap lingkungan (living environment), dan kepuasan terhadap diri
sendiri (self). Alasan peneliti memilih dimensi kepuasan hidup dari Huebner
karena secara spesifik menggambarkan kepuasan hidup remaja.
C. Hubungan Antara Kepuasan Hidup Dengan Adiksi Game Online Pada
Remaja
Setiap individu khususnya remaja, membutuhkan kepuasan hidup agar
dapat menjalani hidup dengan baik. Jika remaja tidak dapat memenuhi kepuasan
hidup mereka, akibatnya mereka memiliki permasalahan psikologis. Proctor,
Linley, dan Maltby (2010) mengatakan bahwa remaja dengan kepuasan hidup
yang rendah berkorelasi dengan masalah psikopatologi seperti depresi, stress
sosial dan gangguan psikologis lainnya. Sedangkan remaja yang memiliki
kepuasan hidup yang positif lebih sedikit untuk memiliki pengalaman stress.
28
Remaja dengan kepuasan hidup yang tinggi juga mendapat dukungan sosial dari
orang tua dan teman sebaya sehingga terhindar dari perilaku menyimpang (Suldo
& Huebner 2004).
Selain itu kepuasan hidup merupakan indikator untuk menentukan bahagia
atau tidaknya seseorang (Proctor, 2009). Individu dengan kesejahteraan subjektif
yang positif dilaporkan memiliki kepuasan hidup yang tinggi dari berbagai aspek
seperti kesehatan fisik, hubungan sosial, kondisi ekonomi, dan lain sebagainya.
Kemudian lebih banyak emosi positif, perilaku positif, dan kehidupan sosial yang
baik (Lyubomirsky, 2005). Oleh karena itu, pentingnya meningkatkan kepuasan
hidup pada remaja. Salah satunya agar tidak melakukan perilaku yang
menyimpang seperti kompulsif atau berlebihan bermain game online.
Game online dikatakan dapat memenuhi kepuasan hidup yang belum
terpenuhi pada dunia nyata (Wan & Chiou, 2006., Hagstorm & Kaldo, 2014.,
Valkenburg, Peter, & Lemmens, 2009). Game online merupakan sarana pelarian
diri dari emosi negatif seperti stress, depresi, dan rasa cemas, serta berbagai
permasalahan lain yang sedang berlangsung di dunia nyata (Young, 2000). Gamer
yang sedang menghadapi permasalahan pada kemampuan sosial dan kepercayaan
diri yang rendah, cenderung mengalami adiksi pada internet termasuk game
online. Gamer menganggap game online sebagai bentuk kompensasi yang baik
atas kurangnya kepuasan sosial pada dunia nyata yang diwujudkan dalam dunia
virtual (Armstrong, Philips & Sailing, 2000).
Kemudian Szalvatiz (1999) menambahkan bahwa gamer dengan hubungan
interpersonal yang rendah, memungkinkan game online menjadi sarana untuk
belajar cara menyelesainkan permasalahan melalui tantangan-tantangan yang
29
diberikan game online dan mendapat pemenuhan kepuasan atas kebutuhan
memperoleh prestasi. Selain itu game online dapat memenuhi kebutuhan
aktualisasi diri dengan tersedianya berbagai macam karakter sehingga gamer
dapat bermain menjadi peran yang diinginkan. Sesuai dengan penelitian Chen &
Chang (2008) yang mengatakan bahwa desain karakter merupakan salah satu
alasan gamer menjadi adiksi.
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa
game online memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup gamer
sehingga gamer merasa puas. Hal tersebut terjadi karena adanya faktor motivasi
yang mempengaruhi seorang gamer menjadi adiksi. Yee (2002) menjelaskan,
faktor motivasi adalah tekanan-tekanan atau masalah - masalah dalam kehidupan
nyata yang dapat menggunakan game online sebagai jalan keluarnya.
Permasalahan kurangnya kemampuan sosial, kepercayaan diri rendah, aktualisasi
diri, dan permasalahan lainnya yang ada pada kehidupan nyata dapat terselesaikan
di dunia virtual, namun permasalahan itu akan tetap ada di kehidupan nyata.
Kemudian penggunaan media elektronik seperti game online merupakan
pengallihan untuk regulasi emosi negatif dan mengurangi tingkat stresss (Grusser
& Rosemeier 2004., Reinecke 2009). Loton, dkk., (2015) mengatakan bahwa
gamer yang mengalami adiksi, menjadikan game online sebagai strategi koping
(coping strategies) atas permasalahan yang ada di dunia nyata (real-life events).
Yee (2002) mengatakan bahwa game online merupakan teknologi imersif,
yaitu teknologi yang mengaburkan batasan antara dunia nyata dengan dunia
virtual atau dunia digital, sehingga gamer bisa merasakan suasana yang mirip
dengan dunia nyata. Young (2000) fantasi pada dunia virtual, game online
30
merupakan penguat yang menimbulkan perilaku kompulsif yang menimbulkan
adiksi. Jika gamer terbawa arus dengan dunia game online, hal terburuk yang
dapat terjadi ialah gamer mengalami kebingungan antara realita dan ilusi dunia
virtual (Matsuhita & Matsuhita, 1997). Gamer yang adiksi menganggap game
online sebagai pelarian (escapism) sementara atas permasalahan yang dihadapi.
Akan tetapi, ketika gamer kembali pada dunia nyata, mereka menyadari bahwa
permasalahan tersebut tetaplah ada dan belum terselesaikan (Young, 1998). Oleh
karena itu, remaja yang memiliki kesulitan untuk memenuhi kepuasan hidup
merasa lebih mudah memperoleh kepuasan hidup pada dunia virtual game online.
Sehingga gamer yang merasa kepuasan hidupnya rendah cenderung melarikan diri
(escapism) pada game online yang dapat
memberikan kepuasan sementara.
D. HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara
kepuasan hidup dengan adiksi bermain game online pada remaja. Semakin tinggi
kepuasan hidup remaja maka semakin rendah adiksi game online. Sebaliknya,
semakin rendah kepuasan hidup remaja maka semakin tinggi adiksi game online
31