bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jeringau
Menurut Kardinan (2004) dalam Anonim (2008) bahwa jeringau merupakan
tumbuhan dengan tinggi sekitar 75 cm. Tumbuhan ini biasa hidup di tempat yang
lembab, batangnya basah, pendek, membentuk rimpang, dan berwarna putih kotor.
Daunnya tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, panjang 60 cm, lebar sekitar
5 cm, dan warna hijau. Bunga majemuk bentuk bonggol, ujung meruncing, panjang
20-25 cm terletak di ketiak daun dan berwarna putih. Jeringau dapat diperbanyak
dengan cara setek batang, rimpang, atau dengan tunas-tunas yang muncul dari buku-
buku rimpang. Jeringau mempunyai akar berbentuk serabut.
Menurut Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011) bahwa klasifikasi ilmiah
tanaman jeringau dalam adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (Berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas : Arecidae
Ordo : Arales
Family : Acoraceae
Genus : Acorus
Spesies : Acorus calamus L.
Gambar 1. Profil Tanaman Jeringau (Koleksi Pribadi, 2013)
Beberapa nama daerah dari jeringau adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Nama daerah jeringau (Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011))
Daerah Nama
Tanaman Daerah Nama Tanaman
Malaysia
Indonesia
Aceh
Batak
Sunda
Madura
Flores
Makasar
Bugis
Gorontalo
Jerangau
Jeringau
Jeurunger
Jerango
Daringo
Djarango
Kaliraga
Kareango
Areango
Olumongo
Gayo
Nias
Jawa Tengah
Bali
Sasak
Minahasa
Ambon
Buru
Bolaang Mongondow
Jerango
Sarango
Dlingo
Jangu
Jeringo
Kalamunga
Ai Wahu
Bila
Koimbonga
Dalam pertumbuhannya, rimpang jeringau membentuk tunas ke kanan dan ke
kiri. Banyaknya cabang ditentukan oleh kesuburan tanah. Rimpang jeringau dalam
keadaan segar kira-kira sebesar jari kelingking sampai sebesar ibu jari, isinya
berwarna putih tetapi jika kering berubah menjadi berwarna merah muda sampai
kecoklatan (Anonim, 2008).
Gambar 2. Rimpang Jeringau (Koleksi Pribadi, 2013)
Menurut Onasis (2001) dalam Anonim (2008) bahwa bentuk rimpang agak
petak bulat beruas, dengan panjang ruas 1-3 cm, sebelah sisi akar batang memiliki
akar serabut. Kebanyakan dari akar ini tumbuh pada bagian bawah akar batangnya.
Bila umur tanaman lebih dari 2 tahun, akarnya dapat mencapai 60-70 cm. Bau akar
sangat menyengat (keras) seperti bau rempah atau bumbu lainnya. Rimpang jeringau
Jika diletakkan di lidah rasanya tajam, pedas, dan sedikit pahit tetapi tidak panas. Jika
rimpang dimemarkan, akan keluar bau yang lebih keras lagi karena rimpang jeringau
mengandung minyak atsiri.
2.1.2 Kandungan dan Manfaat Tumbuhan Rimpang Jeringau
Menurut Syahrial (2005) dalam Balafif (2011) bahwa komposisi minyak
rimpang jeringau terdiri dari asaron 82%, kolamenol (5%), kolamen 4%, kolameone
1%, metil eugenol 1%, dan eugenol 0,3%. Rimpang dan daun jeringau mengandung
saponin dan flavonoida. Menurut Onasis (2001) dalam Anonim (2008) bahwa
manfaat rimpang jeringau adalah campuran dalam industri makanan dan minuman,
bahan penyedap, pewangi, deterjen, sabun dan krem kecantikan. Menurut
Rimunandar (1988) dalam Anonim (2008) bahwa jeringau adalah tanaman yang
mengandung bahan kimia aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung
maupun minyak yang dikenal sebagai minyak atsiri. Tanaman ini mudah tumbuh dan
dikembangbiakkan serta tidak beracun bagi manusia, karena secara tradisional
banyak digunakan sebagai obat sakit perut.
Jeringau adalah tumbuhan yang rimpangnya dijadikan bahan obat-obatan
(Rahmawati, 2004). Rimpang jeringau mempunyai banyak manfaat antara lain
sebagai obat penenang, obat lambung dan obat limpa disamping itu merupakan bahan
baku kosmetik (Soehardi, 2008). Menurut Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011)
bahwa rimpang jeringu berkhasiat sebagai obat anti muntah, dalam bentuk infus
dalam kelebihan asam lambung, demam, obat limpa, obat batuk dan pilek.
Menurut Agusta (2008) dalam Anonim (2008) bahwa dalam dosis yang
rendah jeringau dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek
sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat, karena senyawa asaron memiliki
struktur kimia mirip senyawa golongan amfetamin dan ekstasi. Namun jika jeringau
digunakan dalam dosis yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat
meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) bahkan potensial sebagai karsinogen jika
antibodi yang ada di dalam tubuh tidak bisa mengeliminasi efek karsinogen jeringau.
2.2 Flavonoid
Menurut Achmad (1986) bahwa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa
fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna
merah, ungu, biru, dan sebagian warna kuning ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
2.2.1 Senyawa Flavonoid
Menurut Achmad (1986) bahwa flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon
yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu
rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6.
A
B
1
2
3
Gambar 3. Struktur Umum Flavonoid (Achmad, 1986)
Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan
atau flavonoid, 1,2-diaril propan atau isoflavonoid, 1,1-diarilpropan atau
neoflavonoid. Kelompok senyawa ini kemudian diberi nama flavonoid berasal dari
kata flavon, karena flavon adalah jenis yang paling besar jumlahnya dan paling
banyak ditemukan. Struktur dasar senyawa dapat dilihat pada gambar 4 berikut
A
B
1
2
3
A
B1
2
3
A
B
1 2
3
Flavonoid Isoflavonoid Neoflavonoid
Gambar 4. Struktur Dasar Flavonoid (Achmad, 1986)
Menurut Supriyati (2006) dan Sutjipto (2006) dalam Marlina (2008) bahwa
flavonoid merupakan senyawa fenol yang dimiliki oleh sebagian besar tumbuhan
hijau dan biasanya terkonsentrasi pada biji, buah, kulit buah, kulit kayu, daun dan
bunga.
Istilah “flavonoid” yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal
dari kata flavon, yakni nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya
dan juga lazim ditemukan. Senyawa-senyawa flavon ini mempunyai kerangka 2-
fenilkroman (Gambar 5), dimana posisi orto dari cincin A dan atom karbon yang
terikat pada cincin B dari 1,3-diarilpropan dihubungkan oleh jembatan oksigen,
sehingga membentuk suatu cincin heterosiklik yang baru (cincin C) (Waji dan
Sugrani, 2009).
O
A
B
5
6
7
81
2
3
4
1
2 3
4
56
Gambar 5. 2-fenilkroman (Flavan) (Waji dan Sugrani, 2009).
Senyawa-senyawa flavonoid terdiri atas beberapa jenis, bergantung pada
tingkat oksidasi dari rantai propan dan sistem 1,3-diarilpropan. Dalam hal ini, flavan
mempunyai tingkat oksidasi yang terendah sehingga senyawa ini dianggap sebagai
senyawa induk dalam tatanama senyawa-senyawa turunan flavon. Sebagian besar
flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada
suatu gula. Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-, di-, atau triglikosida, dimana
satu, dua, atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula. (Waji,
dan Sugrani, 2009).
2.2.2 Klasifikasi Flavonoid
Menurut Usman (2002) dalam Mandjurungi (2006) dilihat dari tingkat
oksidasinya maka flavonoid dibedakan atas beberapa jenis yang memiliki tingkat
oksidasi rendah, sehingga senyawa ini dianggap senyawa induk dalam tatanama
senyawa turunan flavon. Berbagai jenis senyawa flavonoid utama dapat dilihat pada
gambar 6 dibawah ini:
O
O
O
O
OH
O
O
Flavon Flavonol Flavanon
O
CH
1
2 3
4
56
1
2
34
5
6
7
O
O
O
OH
Auron Dihidrokalkon Flavanonol
O
O
OH
O
OH
OH
Kalkon Katekin Leukoantosianidin
+
O
OH
+
O
O
A
B
Antosianidin Garam flavilium Flavan
Gambar 6. Jenis-jenis Flavonoid (Achmad, 1986)
Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis flavonoid yang paling banyak
ditemukan di alam, sehingga seringkali dinyatakan sebagai flavonoid utama.
Sedangkan, jenis-jenis flavonoid yang tersebar di alam dalam jumlah yang terbatas
ialah kalkon, auron, katekin, flavanon, dan leukoantosianidin.
2.2.3 Identifikasi Flavonoid
Senyawa-senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan tinggi
seperti bunga, daun, buah, kayu, akar, dan kulit kayu. Sebagian besar dari flavonoid
alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu
gula. Jika dihidrolisis dengan asam, maka suatu glikosida terurai kembali atau
komponen-komponennya menghasilkan gula dan alkohol (Mandjurungi, 2006).
Menurut Ahmad (1986) dalam Mandjurungi (2006) bahwa dari segi struktur,
senyawa-senyawa flavonoid turunan flavon dapat dianggap sebagai 2-arilkroman.
Oleh karena itu, sebagaimana kroman dan kumarin, flavonoid dapat dideteksi
berdasarkan warnanya dibawah sinar tampak atau sinar ultraviolet. Selain dengan
identifikasi reaksi warna, yang mana dengan pereaksi AlCl3 1% dalam etanol
menghasilkan warna kuning, pereaksi benedict menghasilkan warna biru, dan
pereaksi Willstatter menghasilkan warna merah.
2.2.4 Kelarutan Flavonoid
Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia
senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa, karena
mempunyai sejumlah hidroksil yang tak tersulih atau suatu gula. Flavonoid
merupakan senyawa polar dan umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti
etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida
(DMF), dan air (Mandjurungi, 2006). Menurut Markham (1988) dalam Mandjurungi
(2006) bahwa aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon, dan
flavonol yang termetoksi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan
kloroform.
2.2.5 Karakterisasi Flavonoid
Menurut Achmad (1986) dalam Mahajani (2012) bahwa senyawa-senyawa
flavonoid terdapat dalam semua bagian tumbuhan tinggi, seperti bunga, daun, ranting,
buah, kayu, kulit kayu, dan akar. Akan tetapi, senyawa flavonoid tertentu seringkali
terkonsentrasi dalam suatu jaringan tertentu, misalnya antosianidin adalah zat warna
dari bunga, buah, dan daun.
Tabel 2. Reaksi warna dari berbagai jenis flavonoid
Golongan
Flavonoid
Reaksi Warna
NaOH H2SO4 Mg-HCl
Kalkon Jingga, Merah Jingga, Merah
Magneta
-
Dihidroksi
Kalkon
Tak berwarna-
Kuning muda
Tak berwarna-Kuning
muda
-
Auron Merah-ungu Merah
Magneta
-
Flavanon
Kuning/jingga
(dingin)
Merah/ungu (panas)
Jingga-merah tua
Merah
magneta,
ungu, biru
Flavon Kuning Kuning-jingga Kuning
Flavonol Kuning-jingga Kuning-jingga Merah-
magneta
Leukontasianin,
Antosianin dan
Proantosianidin
Kuning biru-ungu Merah tua
Kuning-jingga
Merah-merah
muda
Katekin Kuning-merah
Coklat Merah
-
Isoflavon Kuning Kuning Kuning
Isoflavonon Kuning Kuning Kuning
(Harbone (2006) dalam Mahajani (2012))
Karakterisasi kandungan kimia suatu tumbuhan pertama-tama harus diisolasi
dan dimurnikan, kemudian ditentukan terlebih dahulu golongannya barulah
ditentukan jenis senyawa dalam golongan tersebut. Senyawa tersebut harus diperiksa
dengan cermat, yakni harus membentuk bercak tunggal dalam beberapa sistem
KLT/KKt. Selain itu dapat juga ditentukan melalui uji warna, penentuan kelarutan,
bilangan Rf. Meskipun demikian, tidak dapat langsung disimpulkan sebelum
dilakukan identifikasi dengan spektrofotometer UV. Reaksi warna dari berbagai jenis
flavonoid dapat dilihat pada Tabel 2 (Mahajani, 2012).
2.2.6 Manfaat Flavonoid
Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan
dan mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi
sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat
flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin
C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Waji dan Sugrani,
2009).
Menurut Tuminah (2000) dalam Marlina (2008) bahwa selain untuk
antihiperglekimia flavonoid juga merupakan senyawa bioaktif yang berguna sebagai
antioksidan. Flavonoid yang terdapat dalam sayuran, teh, dan minuman dapat
mengurangi radikal bebas. Menurut Jawi (2007) dalam Marlina (2008) bahwa salah
satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai
antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin, yang merupakan salah
satu zat antioksidan yang mampu mencegah berbagai jenis kerusakan akibat oxidative
stress. Menurut Darusman (2001) dalam Marlina (2008) bahwa senyawa flavonoid
juga dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase.
2.3 Antioksidan
Menurut Rohdiana (2001) dan Sunarni (2005) dalam Sunardi (2007) bahwa
tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih,
sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan antioksidan
eksogen. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang belum
diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif
yang sangat dibutuhkan.
2.3.1 Pengertian Antioksidan
Menurut Suhartono (2002) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan adalah
senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal
bebas, sehingga radikal tersebut dapat diredam. Menurut Lindsay (1985) dalam
Suryani (2012) bahwa antioksidan adalah semua bahan yang dapat menghambat
oksidasi tanpa memperhatikan mekanismenya.
Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir
radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap
sel normal, protein dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan
melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat
terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan
oksidative stress. Ada beberapa bentuk antioksidan, diantaranya vitamin, mineral dan
fitokimia. Antioksidan adalah suatu inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi
dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak
reaktif yang relatif lebih stabil (Waji dan Sugrani, 2009). Menurut Dalimartha dan
soedibyo (1999) dalam Sunardi (2007) bahwa berdasarkan sumber perolehannya ada
dua macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik).
2.3.2 Antioksidan Alami
Menurut Sunarni (2005) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan alami
mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen
reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu
menghambat peroksidase lipid pada makanan. Meningkatnya minat untuk
mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun akhir ini. Antioksidan alami
umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya. Menurut Markham
(1988) dalam Daud dkk., (2011) bahwa antioksidan alami yang terkandung dalam
tumbuhan merupakan senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan
flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam polifungsional.
Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol,
flavanon, isoflavon, katekin dan kalkon.
Dari sejumlah penelitian tanaman obat dilaporkan bahwa banyak tanaman
obat yang mengandung antioksidan dalam jumlah besar. Efek antioksidan terutama
disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti flavonoid, asam fenolat. Biasanya
senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang
mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi orto dan para terhadap
gugus –OH dan –OR (Waji dan Sugrani, 2009).
Menurut Suryani (2012) contoh-contoh antioksidan alami:
Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon yang
umumnya tersebar di dunia tumbuhan umumnya meliputi: flavon, flavonol, isoflavon,
kateksin, dan kalkon. Turunan asam sinamat yang meliputi asam kafeat, asam ferulat,
asam klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami ini bersifat
multifungsional dan dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas,
pengkelat logam, peredam terbentuknya singlet oksigen. Tokoferol merupakan
antioksidan alami yang dapat ditemukan disetiap minyak tanaman. Tokoferol
memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam lipida karena rantai
C yang panjang, tokoferol yang terkenal adalah α tokoferol dikenal sebagai sumber
vitamin E.
Menurut Cahyadi (2006) dalam Anonim () bahwa salah satu antioksidan
adalah vitamin C (L-asam askorbat). Menurut Winarsi (2007) dalam Anonim () Asam
askorbat mudah mengalami kerusakan jika terkena cahaya dan suhu tinggi. Asam
askorbat dalam keadaan murni berbentuk Kristal putih dengan berat molekul 176,13
dan rumus molekul C6H8O6. Antioksidan asam askorbat mampu bereaksi dengan
radikal bebas, kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil. Senyawa radikal
terakhir ini akan berubah menjadi askorbat atau dehidroaskorbat. Asam askorbat
dapat bereaksi dengan oksigen teraktivasi seperti anion super oksida dan radikal
hidroksil. Pada konsentrasi rendah asam askorbat dapat bereaksi dengan radikal
hidroksil menjadi askorbil yang sedikit reaktif sementara pada kadar tinggi asam ini
tidak bereaksi.
2.3.3 Antioksidan Sintesis
Antioksidan sintesis adalah senyawa antioksidan yang dapat diperoleh dari
hasil sintesis reaksi kimia dan telah diproduksi untuk tujuan komersil.
Menurut Suryani (2012) contoh-contoh antioksidan sintesis:
Butil Hidroksil Anisol (BHA) memiliki antioksidan yang baik pada lemak
hewan dalam sistem makanan panggang, namun relative tidak efektif pada minyak
tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air. Berbentuk padat putih dan
dijual dalam bentuk tabelt atau serpih, bersifat volatile sehingga berguna untuk
penambahan ke materi pengemas. Butil Hidroksi Toluen memiliki sifat serupa
dengan BHA, akan member efek sinrgis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk
Kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Propel Gallat
mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya
148oC, dapat membentuk kompleks warna dengan ion metal, sehingga kemampuan
antioksidannya rendah. Propel gallat memiliki sifat berbentuk Kristal padat putih,
sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan
BHT. TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak,
khusunya minyak tanaman. TBHQ memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada
penggorengan tetapi rendah pada pembakaran. TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih
sampai cokelat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak
membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan
adanya basa.
2.3.4 Manfaat Antioksidan
Antioksidan merupakan zat penetral radikal bebas dalam tubuh. Antioksidan
ini akan menghentikan reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh bergantung pada
jenis antioksidannya. Antioksidan primer akan bekerja mencegah pembentukan
radikal bebas baru dengan cara mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul
yang kurang mempunyai dampak negatif. Contoh antioksidan primer adalah
superoksida dismustase (SOD), glutation peroksidase (GPx), dan protein pengikat
logam. Kedua adalah antioksidan sekunder yang bekerja dengan cara mengkhelat
logam yang bertindak sebagai pro-oksidan, menangkap radikal dan mencegah
terjadinya reaksi berantai. Contohnya: vitamin E, vitamin C, b-karoten. Terakhir
antioksidan tersier yang bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan
radikal bebas. Contohnya enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan metionin
sulfosida reduktase (Putra, 2008).
Menurut Tahir dkk., (2003) dalam Sunardi (2007) bahwa penggunaan
antioksidan atau antiradikal saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya
pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung, arterioscleroses, kanker, dan gejala penuaan. Masalah-
masalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai
inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah
satu pencetus penyakit-penyakit di atas.
Menurut Tahir dkk., (2003) dalam Sunardi (2007) bahwa fungsi utama
antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi
dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan,
memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas
lemak yang terkandung dalam makanan serta menjaga hilangnya kualitas sensori dan
nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam
kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan.
Menurut Rohdiana (2001) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan dalam
bahan makanan dapat berasal dari kelompok yang terdiri atas satu atau lebih
komponen pangan, substansi yang dibentuk dari reaksi selama pengolahan atau dari
bahan tambahan pangan yang khusus diisolasi dari sumber-sumber alami dan
ditambahkan ke dalam bahan makanan. Adanya antioksidan alami maupun sintetis
dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah kerusakan, perubahan dan degradasi
komponen organik dalam bahan makanan sehingga dapat memperpanjang umur
simpan. Menurut Sofia dkk., (2006) dalam Sunardi (2007) bahwa tubuh manusia
menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi jumlahnya seringkali tidak cukup untuk
menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Sebagai contoh tubuh
manusia dapat menciptakan Glutathione, salah satu antioksidan yang sangat kuat.
Tubuh memerlukan asupan vitamin C sebesar 1000 mg untuk menghasilkan
glutathione ini. Kekurangan antioksidan dalam tubuh membutuhkan asupan
antioksidan dari luar. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi
kunci utama penjagaan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang dihasilkan.
2.4 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom, molekul, atau senyawa yang tidak stabil dan
sangat reaktif karena memilki satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbital
terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan
bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi
ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan
menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta
penyakit degeneratif lainnya. Oleh karena itu tubuh memerlukan suatu substansi
penting yaitu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut. Sehingga
tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Waji dan Sugrani, 2009).
Radikal bebas dapat berasal dari polutan lingkungan, radiasi, zat-zat kimia,
racun, makanan cepat saji, dan makanan yang digoreng pada suhu tinggi (Suryani,
2012). Karena secara kimia, molekulnya tidak berpasangan, radikal bebas cenderung
untuk bereaksi dengan molekul sel tubuh. Kemudian menimbulkan senyawa tidak
normal (radikal bebas baru yang lebih reaktif) dan memulai reaksi berantai yang
dapat merusak sel-sel penting. Beberapa komponen tubuh yang rentan terhadap
serangan radikal bebas antara lain: kerusakan DNA, membran sel, protein, lipid,
peroksida, proses penuaan, dan autoimun manusia. Dalam bidang medis, diketahui
bahwa radikal bebas merupakan akibat berbagai keadaan patologis seperti penyakit
liver, jantung koroner, kanker, diabetes, katarak, penyakit hati, dan berbagai proses
penuaan dini (Putra, 2008).
Contoh radikal bebas adalah superoksida (O2-
), hidroksil (OH-), nitroksida
(NO), hidrogen peroksida (H2O2), asam hipoklorit (HOCl), dan lain-lain. Derajat
kekuatan tiap radikal bebas ini berbeda, dan senyawa paling berbahaya adalah radikal
hidroksil (OH-) karena memiliki reaktivitas paling tinggi. Radikal bebas diatas
terdapat dalam tubuh dengan berbagai cara, tetapi secara umum timbul akibat
berbagai proses biokimia dalam tubuh, berupa hasil samping dari proses oksidasi,
atau pembakaran sel yang berlangsung pada waktu bernafas, metabolisme sel,
olahraga yang berlebihan, peradangan, atau ketika tubuh terpapar polusi lingkungan
seperti asap kendaraan, asap rokok, bahan pencemar dan radiasi matahari (Putra,
2008).
2.5 Metode DPPH
. Menurut Prakash (2001) bahwa salah satu cara untuk menguji aktivitas suatu
senyawa sebagai zat antioksidan adalah mereaksikannya dengan reagen DPPH secara
spektrofotometri. Metode DPPH tidak spesifik untuk komponen antioksidan tertentu,
tetapi untuk semua senyawa antioksidan dalam sampel. pengukuran kapasitas total
antioksidan tertentu, dapat membantu memahami sifat fungsional suatu makanan.
Menurut Prakash (2001) Metode DPPH digunakan secara luas untuk menguji
kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau hidrogen.
Metode DPPH merupakan metode yang dapat mengukur aktivitas antioksidan baik
dalam pelarut polar maupun non polar. Beberapa metode lain terbatas mengukur
komponen yang terlarut dalam pelarut yang digunakan dalam analisis. Metode DPPH
mengukur semua komponen antioksidan baik larut dalam lemak maupun dalam air.
Menurut Miller dkk., (2000) dalam Yulia (2007) bahwa metode DPPH merupakan
salah satu metode uji aktivitas antioksidan yang sederhana dengan menggunakan 1,1-
difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai senyawa pendeteksi. Menurut Simanjuntak
dkk., (2004) dalam Yulia (2007) bahwa DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) adalah
senyawa radikal bebas yang stabil yang dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang
berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi. Menurut Kubo dkk.,
(2002) dalam Yulia (2007) bahwa reaksi antara DPPH dengan senyawa antioksidan
dapat dilihat pada gambar 7.
+ O2N
NO2
NO2
N N A + O2N
NO2
NO2
HN N
AH
radikal bebas yang reaktif radikal bebas baru yang tidak reaktif
(a) (b)
Gambar 7. Struktur DPPH: (a) DPPH bentuk radikal, (b) DPPH bentuk
tereduksi. Sumber : Molyneux, 2003
Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm. Penurunan absorbansi
menunjukkan adanya aktivitas scavenging (aktivitas antioksidan).
Menurut Kardono dan Dewi (1998) dalam Yulia (2007) bahwa metode
aktivitas kemampuan mereduksi digunakan untuk menentukan antioksidan total pada
sampel.
Parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil uji aktivitas
antioksidan dengan peredaman radikal DPPH adalah inhibition concentration (IC50)
dan AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antiokxidant Capacity). Nilai IC50 merupakan
bilangan yang menunjukan konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat aktivitas
radikal sebesar 50% (Molyneux, 2003), sedangkan nilai AEAC digunakan untuk
membandingkan sampel dengan vitamin C (sebagai antioksidan standar) . Nilai
AEAC menyatakan mg asam askorbat yang setara dengan satu gram sampel kering.
2.6 Ekstraksi
Menurut Depkes RI (1986) dalam Reniza (2003) bahwa ekstraksi adalah
proses penyarian konstituen dalam simplisia dengan menggunakan cairan penyari
yang sesuai dan metode yang tepat, sehingga konstituen yang diinginkan dapat tersari
dengan sempurna. Efektifitas ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
ukuran partikel bahan yang disari, tekstur bahan atau jaringan simplisia, faktor fisika
seperti suhu, tekanan, kelarutan, jenis dan polaritas cairan penyari dan teknik
penyarian yang digunakan. Menurut Depkes RI (1986) dalam Reniza (2003) bahwa
dalam proses ekstraksi, memperkecil ukuran partikel dimaksudkan untuk
memperbesar luas permukaan total dari simplisia yang akan disari. Hal ini akan
memperbesar terjadinya kontak antara partikel simplisia dengan cairan penyari, yang
selanjutnya dapat memperbesar efek ekstraksi.
Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa metode ekstraksi
dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi
sederhana terdiri atas: (a) Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam
sampel dengan larutan penyari berdasarkan waktu tertentu dengan atau tanpa
pengadukkan sehingga simplisia menjadi lunak; (b) Perkolasi yaitu metode ekstraksi
yang dilakukan dengan cara mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia di
dalam perkolator sampai senyawa kimia tersari; (c) Reperkolasi yaitu perkolasi
dimana perkolat pertama (hasil perkolasi) digunakan untuk menyari simplisia di
dalam perkolator sampai senyawa kimia tersari; (d) Evakolasi yaitu perkolasi dengan
pengurangan tekanan udara; (e) Diakolasi yaitu perkolasi dengan penambahan
tekanan udara. Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa ekstraksi khusus
yaitu : (a) sokletasi yaitu metode ekstraksi yang dilakukan secara berkesinambungan
untuk menyari simplisia kering dengan menggunakan larutan penyari yang bervariasi;
(b) arus balik yaitu metode ekstraksi yang dilakukan secara berkesinambungan
dimana simplisia dan larutan penyari saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan; (c) ultrasonik yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang
menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran 25-100 kHz.
Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa faktor yang
mempengaruhi berhasilnya proses ekstraksi adalah mutu dari pelarut yang digunakan.
Ada dua pertimbangan utama dalam pemilihan pelarut yang akan digunakan untuk
menyari, yaitu harus memiliki daya larut yang tinggi dan pelarut tersebut tidak
berbahaya atau tidak beracun.
2.6.1 Maserasi
Menurut Hamdani (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa maserasi merupakan
proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau dengan beberapa kali pengocokkan
pada suhu ruangan. Pada dasarnya metode ini dengan cara merendam sampel dengan
sekali-kali dilakukan pengocokkan. Umumnya perendaman dilakukan 24 jam dan
selanjutnya pelarut diganti dengan pelarut baru. Ada juga maserasi kinetik yang
merupakan metode maserasi dengan pengadukan secara sinambung tapi yang ini agak
jarang dipakai.
2.6.2 Prinsip Maserasi
Menurut Hamdani (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa penyarian zat aktif
yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang
sesuai tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan
masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang
konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan
konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses
maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari selama 1 x 24 jam.
Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.
2.7 Kromatografi
Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh Michael Tawest (1906)
seorang ahli botani dari Rusia. Dalam percobaannya dia berhasil memisahkan klorofil
dan pigmen-pigmen warna lain dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan serbuk
kalsium karbonat yang diisikan ke dalam kolom kaca dan petroleum eter sebagai
pelarut. Proses pemisahan ini diawali dengan menempatkan larutan cuplikan pada
permukaan atas kalsium karbonat, kemudian dialirkan pelarut petroleum eter.
Hasilnya berupa pita-pita berwarna yang terlihat sepanjang kolom sebagai hasil
pemisahan komponen-komponen dalam ekstrak tumbuhan. Dari pita-pita berwarna
tersebut muncul istilah kromatografi yang bersal dari kata “chroma” dan “grafhein”.
Dalam bahasa yunani kedua kata tersebut berarti “warna” dan “menulis”. Dalam
perkembangan selanjutnya timbulnya warna bukan lagi prasyarat mutlak untuk
metode pemisahan secara kromatografi (Soebagio dkk., 2003).
2.7.1 Pengertian Kromatografi
Pengertian kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan atas
distribusi diferensial komponen sampel diantara dua fasa. Menurut pengertian ini
kromatografi selalu melibatkan dua fasa, yaitu fasa diam (stationary phase) dan fasa
gerak (gerak phase). Fasa diam bisa berupa padatan atau cairan yang terikat pada
permukaan padatan (kertas atau adsorben), sedangkan fasa gerak bisa berupa cairan
disebut eluen atau pelarut, atau gas pembawa yang inert. Gerakan fasa gerak ini
mengakibatkan terjadinya migrasi diferensial komponen-komponen dalam sampel
(Soebagio dkk., 2003). Komponen yang dipisahkan harus larut dalam fasa gerak dan
harus mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan fasa diam dengan cara
melarut di dalamnya, teradsorpsi atau bereaksi secara kimia (penukar ion). Pemisahan
terjadi berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang menyusun suatu sampel. Hasil
pemisahan dapat digunakan untuk keperluan identifikasi (analisis kualitatif),
penetapan kadar (analisi kuantitatif), dan pemurnian suatu senyawa (pekerjaan
preparatif) (Soebagio dkk., 2003).
Keuntungan pemisahan dengan metode kromatografi dibandingkan dengan
metode pemisahan lainnya ialah: (a) dapat digunakan untuk sampel dan konstituen
yang sangat kecil (semi mikro dan makro); (b) cukup selektif terutama untuk
senyawa-senyawa organik multi komponen; (c) proses pemisahan dapat dilakukan
dalam waktu yang relatif singkat; (d) seringkali murah dan sederhana, karena
umumnya tidak memerlukan alat yang mahal dan rumit (Soebagio dkk., 2003).
Metode pemisahan secara kromatografi terus berkembang dengan peralatan
yang lebih modern, dengan hasil pemisahan yang lebih selektif, akurat dan dapat
digunakan untuk sampel dengan jumlah yang sangat kecil (Soebagio dkk., 2003).
2.7.2 Jenis-Jenis Pemisahan Dengan Metode Kromatografi
Jenis-jenis pemisahan dengan metode kromatografi dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa cara, misalnya berdasarkan jenis fasa yang digunakan, mekanisme
pemisahannya, teknik pengembangan sampelnya. Tabel 3 akan lebih memperjelas
klasifikasi tersebut (Soebagio dkk., 2003).
Tabel 3. Klasifikasi Metode Kromatografi (Soebagio dkk., 2003).
No Fasa Gerak Fasa Diam Mekanisme Teknik Pengembangan
Sampel
1.
2.
3.
4.
Gas
Gas
Cairan
Cairan
Cairan
Padatan
Cairan
Padatan
Adsorpsi
Partisi
Adsorpsi
Partisi
Eksklusi
Penukar Ion
Kolom
Planar
Kolom
Kolom
Kolom
Elusi
Frontal
Pendesakan Elusi
Elusi Bergradien
Berdasarkan mekanisme pemisahannya dikenal 4 macam jenis kromatografi
yaitu: (a) kromatografi adsorpsi; (b) kromatografi partisi; (c) kromatografi penukar
ion; (d) dan kromatografi eksklusi. Pada kromatografi adsorpsi, fasa diam berupa
padatan dan fasa geraknya dapat berupa cairan atau gas. Zat terlarut diadsorpsi oleh
permukaan partikel padat. Contoh jenis kromatografi ini adalah kromatografi lapis
tipis (KLT) (Soebagio dkk., 2003).
Pada kromatografi penukar ion mekanisme pemisahannya terjadi berdasarkan
kesetimbangan pertukaran ion. Fasa diam berupa padatan resin sedangkan fasa
geraknya berupa cairan. Emberlit merupakan contoh resin yang diperdagangkan
untuk proses pembuatan air minum. Resin tersebut berfungsi untuk menghilang ion-
ion yang tidak dikehendaki dalam air minum (Soebagio dkk., 2003). Kromatografi
eksklusi merupakan jenis kromatografi yang teknik pemisahannya bekerja atas dasar
ukuran molekul zat terlarut. Molekul-molekul zat terlarut dengan ukuran lebih besar
dari pori-pori padatan fasa diam akan bertahan. Contoh jenis kromatografi ini adalah
kromatografi filtrasi gel (Soebagio dkk., 2003).
Ditinjau dari pengembangan sampel dikenal kromatografi elusi, kromatografi
analisi frontal; kromatografi pergeseran dan kromatografi dengan analisis gradient.
Pengembangan ialah memperlakukan cuplikan sampel dengan fasa gerak agar
komponen-komponen yang dikehendaki terpisah dari komponen-komponen lainnya
(Soebagio dkk., 2003). Dalam kromatografi elusi proses pemisahan terjadi karena
molekul-molekul komponen cuplikan didorong melalui kolom oleh penambahan
pelarut segar sebagai fasa gerak yang disebut eluen. Pemisahan terjadi karena
perbedaan migrasi (diferential migration) zat-zat terlarut dalam fasa gerak.
Pengembangan dengan teknik elusi paling banyak digunakan dalam kromatografi
karena mudah dilakukan (Soebagio dkk., 2003).
Pada kromatografi analisis frontal larutan cuplikan dalam fasa gerak dialirkan
terus menerus terhadap zat perngadsorpsi (fasa diam) dalam suatu kolom. Tiap
komponen mempunyai harga koefisien distribusi yang berbeda dan kolom
mempunyai kapasitas yang berbeda dalam menahan komponen yang ada. Komponen
tertahan paling lemah akan keluar lebih dahulu daripada komponen lainnya (Soebagio
dkk., 2003). Pada teknik pergeseran atau teknik pemindahan (pendesakan) digunakan
fasa gerak aktif. Fasa gerak aktif ini akan mendesak molekul-molekul komponen
yang terikat kurang kuat pada adsorben. Molekul-molekul komponen yang tertahan
kuat oleh fasa diam akan mendesak atau memindahkan keluar molekul-molekul
komponen yang tertahan kurang kuat oleh fasa diam (Soebagio dkk., 2003).
Dalam jenis kromatografi dengan teknik elusi gradient digunakan fasa gerak
(eluen) yang bervariasi. Variasi fasa gerak ini dapat berupa tingkatan pH dan susunan
atau komposisi fasa gerak. Dengan kata lain pada teknik ini digunakan lebih dari zat
pengelusi, dari tingkatan yang paling jelek sampai yang terbagus (Soebagio dkk.,
2003).
2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT atau TLC = Thin Layer Chromatography)
Kromatografi jenis ini mirip dengan kromatografi kertas. Bedanya kertas
digantikan lembaran kaca atau plastik yang dilapisi dengan lapisan tipis adsorben
seperti alumina, silika gel, selulosa atau materi lainnya. Kromatografi lapis tipis lebih
bersifat reprodusibel (bersifat boleh ulang) daripada kromatografi kertas (Soebagio
dkk., 2003).
2.8.1 Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Fasa diam KLT terbuat dari serbuk halus dengan ukuran 5 sampai 50 µm.
Serbuk halus ini dapat berupa suatu adsorben, suatu penukar ion, suatu pengayak
molekul atau dapat merupakan penyangga yang dilapisi suatu cairan. Untuk membuat
lapisan tipis perlu dibuat bubur (slurry) berair dari serbuk halus tadi. Zat pengikat
seperti gips, barium sulfat, polivinil alkohol atau kanji perlu ditambahkan untuk
membantu pelekatan lapisan tipis tadi pada papan penyangga (kaca, plastik atau
aluminium) secara merat, sehingga diperoleh tebal lapisan 0,1-0,3 mm. lapisan tipis
adsorben ini diaktifkan dengan cara pengeringan di dalam oven pada suhu 110oC
selama beberapa jam (Soebagio dkk., 2003).
Bahan adsorben sebagai fasa diam dapat digunakan silika gel, alumina, dan
serbuk selulosa. Parikel silika gel mengandung gugus hidroksil dipermukaannya yang
akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekul polar.
2.8.2 Fasa Mobil KLT
Perimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (eluen) umumnya sama
denga pemilihan eluen untuk kromatografi kolom. Dalam kromatografi adsorbsi
pengelusi eluen naik sejalan dengan polaritasnya (misal dari heksana aseton
alkohol air). Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran
pelarut dengan susunan tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai
kemurnian yang tinggi. Terdapatnya sejumlah kecil air atau zat pengotor lainnya
dapat menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan (Soebagio dkk., 2003).
2.8.3 Pengembangan Kromatogram
Teknik pengembangan dalam KLT sama dengan kromatografi kertas. Proses
pengembangan umumnya lebih cepat, memerlukan waktu 10 menit hingga 1 jam
lebih. Pengembangan 5 menit dapat dilakukan secara sempurna dengan menggunakan
kaca obyek miroskopik sebagai papan KLT. Pemisahan pendahuluan dengan cara ini
enak digunakan untuk menentukan kondisi optimum pengembangan. Cara ini untuk
mengurangi terjadinya ekoran dengan hasil pemisahan yang lebih tajam.
Penggunaannya terutama untuk ukuran sampel dengan rentangan 10-100 µg. Noda
atau bercak sampel akan mempunyai diameter 2-5 mm, jika digunakan larutan sampel
1-10 µL dengan kadar 1% (Soebagio dkk., 2003).
2.8.4 Deteksi Noda
Deteksi noda KLT terkadang lebih mudah dibandingkan dengan kromatografi
kertas karena dapat digunakan teknik-teknik umum yang lebih banyak. Noda tidak
berwarna atau tidak berpendar jika dikenai sinar ultraviolet dapat ditampakkan
dengan cara mendedahkan papan pengembang pada uap iod. Uap iod akan
berinteraksi dengan komponen-komponen sampel baik secara kimia atau berdasarkan
kelarutan membentuk warna-warna tertentu (Soebagio dkk., 2003). Pada saat ini
tersedia di pasaran berbagai lapisan tipis yang sudah terpasang pada papan penyangga
sehingga siap pakai. Untuk memudahkan pendeteksian noda tersedia lapisan adsorben
KLT yang dimasuki zat warna pendar fluor. Jika diperlakukan dengan sinar
ultraviolet akan nampak noda-noda gelap, dimana sampel noda mengalami
perpendaran pada papan penyangga terfluorisensi (Soebagio dkk., 2003). Menurut
Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa hasil KLT dapat dikatakan baik bila
noda yang terbentuk berada pada nilai selang Rf 0,3-0,9. Nilai Rf adalah
perbandingan jarak tempuh senyawa dengan jarak tempuh pelarut.
Suatu teknik pendeteksian yang biasa dilakukan untuk senyawa-senyawa
organik adalah dengan penyemprotan larutan H2SO4. Langkah ini kemudian diikuti
dengan pemanasan untuk mengarangkan dan mengembangkan noda-noda hitam.
Untuk keperluan analisa kuantitatif noda dapat dikerok, kemudian diekstrak dengan
pelarut polar tertentu. Kadar analit yang diinginkan diperiksa secara instrumental dari
larutan hasil ekstraksi (Soebagio dkk., 2003). Tehnik kromatografi lapis tipis
dikembangkan oleh Stahl (1985) dengan menghamparkan penyerap pada lempeng
gelas, sehingga terbentuk lapis tipis. KLT adalah suatu metode pemisahan, dimana
lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), yang
ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau bahan yang cocok
(Reniza, 2003).
Menurut gritter (1991) dala Reniza (2003) KLT digunakan untuk pemisahan
analitik preparatif. KLT analitik dipakai pada tahap permulaan pemisahan suatu
cuplikan, sedangkan KLT preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi tertentu
dari suatu campuran. Menurut Winarno dkk. (1980) dalam Reniza (2003) bahwa KLT
memiliki penerapan keuntungan yaitu pemisahan dapat dilakukan dengan cepat, zat-
zat yang bersifat asam atau basa kuat dapat digunakan, analisis dapat dilakukan lebih
sensitif dengan alat sederhana sehingga penggunaannya mudah.
2.8.5 Menotolkan Cuplikan
Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012) bahwa cuplikan yang akan
dikromatografi harus dilarutkan di dalam pelarut yang agak nonpolar untuk ditotolkan
pada lapisan. Pada umumnya, dipakai larutan 0,1-1%. Pelarut yang digunakan pada
umumnya mempunyai titik didih antara 50-100 oC. Pelarut demikian mudah ditangani
dan mudah menguap dari lapisan. Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012)
bahwa penotolan dilakukan dengan memakai kapiler halus yang dibuat dari pipa kaca
yang menyerupai peniti. Cuplikan berupa larutan, harus ditotolkan sekitar 8-10 mm
dari salah satu ujung plat KLT terlapisi sempurna. Beberapa kali penotolan dapat
dilakukan pada tempat yang sama asal saja lapisan kering dulu sebelum penotolan
berikutnya, dan sebanyak tiga kali bercak cuplikan dapat ditotolkan pada satu plat.
Hanya satu cuplikan yang dikromatografi, dianjurkan untuk menotolkannya dengan
tiga konsentrasi yang berbeda. Bercak yang berasal dari cuplikan dengan konsentrasi
terendah akan tampak tajam dan pembentukan ekor kurang. Bercak yang berasal dari
cuplikan yang konsentrasinya lebih besar akan memberikan informasi mengenai
cemaran sesepora di dalam cuplikan.
Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012) bahwa pelarut yang dipakai
untuk penotolan harus betul-betul dihilangkan dari lapisan sebelum kromatografi, jika
perlu dengan penyemprot udara panas atau pengering rambut listrik. Pelarut yang
digunakan atau sering dikombinasikan dalam kromatografi lapis tipis adalah n-
heksana, petroleum eter, karbon tetraklorida, eter, kloroform, etil asetat, asam asetat
glacial, aseton, etanol, metanol, dan air.
2.8.6 Perhitungan Rf
Menurut Wiryawan (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa data yang diperoleh
dari analisis dengan KLT adalah nilai Rf, nilai Rf berguna untuk identifikasi suatu
senyawa. Nilai Rf suatu senyawa dalam sampel dibandingkan dengan nilai Rf dari
senyawa murni. Nilai Rf didefinisikan sebagai perbandingan jarak tempuh oleh
senyawa pada permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut
sebagai fasa gerak.
Rf = jarak tempuh senyawa
jarak tempuh pelarut
2.8.7 Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal
ditemukan. Ditinjau dari mekanismenya kromatografi kolom merupakan
kromatografi serapan atau adsorpsi. Kromatografi kolom digolongkan ke dalam
kromatografi cair-padat (KCP) kolom terbuka (Soebagio dkk., 2003). Peralatan utama
kromatografi sederhana terdiri dari kolom dan labu erlenmeyer penampung eluen.
Kolom umumnya terbuat dari pipa kaca dengan ukuran bervariasi tergantung kepada
keperluannya. Umumnya ukuran panjang kolom minimal 10 kali diameter pipa kaca
yang digunakan. Kolom dilengkapi dengan kran untuk mengatur aliran pelarut. Diatas
kran dipasang wol kaca (glass wool) untuk menahan fasa diam (Soebagio dkk.,
2003).
Fasa diam berupa adsorben yang tidak boleh larut dalam fasa gerak, ukuran
partikel fasa diam harus seragam. Zat pengotor yang terdapat pada fasa diam dapat
menyebabkan adsorpsi tidak reversibel. Sebagai fasa diam dapat digunakan alumina,
silika gel, arang, bauksit, magnesium karbonat, kalsium karbonat, pati, selulosa, gula,
dan tanah diatom. Pengisian fasa diam ke dalam kolom dapat dilakukan dengan cara
kering dan cara basah. Dalam cara basah, fasa diam diubah dulu menjadi bubur
(slurry), dengan pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak, kemudian baru
diisikan ke dalam kolom (Soebagio dkk., 2003). Fasa gerak pada kromatografi kolom
dapat berupa pelarut tunggal atau campuran beberapa pelarut dengan komposisi
tertentu. Pelarut dapat merupakan pelarut polar dan pelarut non polar. Umumnya
senyawa non polar dengan berat molekul kecil lebih cepat meninggalkan fasa diam
(Soebagio dkk, 2003).
Dalam pelaksanaan pemisahan dengan teknik kromatografi kolom, pertama-
tama sampel yang akan dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Sampel ini
kemudian diletakkan di bagian atas kolom yang sudah berisi fasa diam (adsorben).
Fasa gerak kemudian dialirkan pelan-pelan dan dibiarkan mengalir melalui kolom
tersebut. Pada saat fasa gerak mengalir sepanjang kolom, fasa gerak akan membawa
campuran komponen ke bawah. Kesetimbangan dinamis antara komponen yang
teradsorbsi pada fasa diam dengan komponen yang terlarut dalam fasa gerak akan
terjadi selama fasa gerak mengalir ke bawah. Tetapan kesetimbangannya disebut
koefisien distribusi. Karena setiap komponen dalam campuran mempunyai koefisien
distribusi yang berbeda, maka kecepatan migrasinya juga berbeda. Perbedaan
kecepatan migrasi inilah yang menyebabkan terjadi pemisahan komponen-komponen
dalam campuran. Komponen-komponen yang terpisah nampak sebagai pita-pita
dalam fasa diam yang selanjutnya masing-masing pita dapat didorong keluar kolom
dengan penambahan fasa gerak, ditampung, dipisahkan, diidentifikasi (Soebagio
dkk., 2003). Pemisahan dengan metode kromatografi kolom merupakan metode
pemisahan yang baik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari 1
gram) dalam perkembangan selanjutnya, terutama untuk sampel yang sangat kecil
metode kromatografi kolom yang semula merupakan kromatografi cair,
dikembangkan untuk kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
Pengembangan ini dilakukan antara lain dengan digunakannya: (a) adsorben yang
lebih kecil dan lebih halus; (b) tekanan dari suatu pompa untuk mendorong pelarut;
(c) detektor untuk mendeteksi baik secara kualitatif maupun kuantitatif senyawa-
senyawa terelusi; (d) dan cara-cara pengemasan baru adsorben dalam kolom
(Soebagio dkk., 2003).
Menurut Gritter (1991) dalam Reniza (2003) bahwa tujuan kromatografi
kolom adalah memisahkan komponen cuplikan menjadi pita atau fraksi yang lebih
sederhana, ketika cuplikan itu bergerak melalui media. Ukuran kolom yang
digunakan sangat beragam, tetapi biasanya panjang kolom yang digunakan sekurang-
kurangnya sepuluh kali garis tengah kolom. Perbandingan panjang terhadap lebar
ditentukan oleh mudah sukarnya pemisahan, sedangkan ukuran kolom dan penyerap
yang digunakan ditentukan oleh bobot campuran yang akan dipisahkan. Menurut
Scenk (1978) dalam Reniza (2003) bahwa pada kromatografi kolom, fase diam akan
berinteraksi dengan sampel dan tiap komponen akan diadsorbsi oleh pelarut oleh
adsorben pada tingkat tertentu. Adsorben yang digunakan adalah alumina, silika gel,
pati dan sebagainya. Kromatografi ini dilakukan pada tekanan sekitar satu atmosfer
dengan diameter dalam kolom 1-5 cm. Teknik pemisahan dilakukan dengan
memasukkan sampel secara hati-hati ke dalam kolom dan elusi terjadi secara lambat
mulai dari 30 menit sampai beberapa jam.
Menurut Scenk (1978) dalam Reniza (2003) bahwa kecepatan bergeraknya zat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (a) Daya serap zat penyerap yaitu
besarnya suatu zat tertahan oleh penyerap didalam kolom. Suatu senyawa yang
diserap lemah akan bergerak lebih cepat daripada yang diserap kuat; (b) Sifat pelarut;
(c) Suhu dan sistem kromatografi. Pemisahan sebaiknya dilakukan pada suhu tetap
untuk mencegah terjadinya perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan
penguapan. Menurut Adnan (1997) dalam Reniza (2003) bahwa pelarut mempunyai
peranan penting dalam menentukan baik buruknya pemisahan. Pelarut yang mampu
menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu melakukan pemisahan yang
sempurna. Sebaliknya elusi yang tidak terlalu lambat akan menyebabkan waktu
retensi yang terlalu lama. Menurut Gritter (1991) bahwa ada tiga pendekatan yang
dilakukan untuk memperoleh pelarut yang cocok untuk kromtografi kolom, yaitu
melalui penelusuran pustaka, mencoba menerapkan data kromatografi lapis tipis,
pada pemisahan dengan kolom dan pemakaian elusi yang umum mulai dari pelarut
yang nonpolar sampai pelarut yang lebih polar.
2.9 Spektrofotometer UV-Vis
Menurut Seran (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrofotometer UV-
Vis merupakan gabungan antara spektrofotometer UV dan Visibel. Pada
spektrofotometer UV-Vis menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda yakni
sumber cahaya UV dan sumber cahaya visibel. Spektrofotometer UV-Vis merupakan
spektrofotometer berkas ganda sedangkan pada spektrofotometer Vis ataupun UV
termasuk spektrofotometer berkas tunggal. Pada spektrofotometer berkas ganda
blanko dan sampel dimasukkan atau disinari secara bersamaan, sedangkan
spektrofotometer berkas tunggal blanko dimasukkan atau disinari secara terpisah. Zat
yang dapat dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis yaitu zat dalam bentuk larutan
dan zat yang tidak berwarna maupun berwarna. Jenis spektroskopi UV-Vis terutama
berguna untuk analis kuantitatif langsung misalnya kromofor, nitrat, nitrit, dan
kromat sedangkan secara tak langsung misalnya ion logam transisi.
Pada spektrofotometri digunakan alat yang disebut spektrofotometer. Adapun
prinsipnya menggunakan radiasi elektromagnetik (REM) yakni sinar yang digunakan
pada sinar ultraviolet dan sinar visibel dapat dianggap sebagai energi yang merambat
dalam bentuk gelombang. Adapun yang diukur pada spektrofotometri adalah nilai
absorban (A) yakni adanya absorpsi pada panjang gelombang maksimum yang
kemudian dihitung konsentrasinya. Metode ini disebut metode basah karena sampel
yang digunakan adalah larutan dimana harus diketahui batas konsentrasi terkecil
sampel yang diukur (Nurfaisyah, 2011).
Menurut Creswell dkk., (2005) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrum
ultraviolet senyawa biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya memiliki panjang
gelombang tertentu (cahaya monokrom ekawarna) melalui larutan encer senyawa
tersebut dalam pelarut yang tidak menyerap misalnya air, etanol, dan heksana.
Menurut Creswell dkk., (2005) bahwa spektrofotometri ultraviolet berguna pada
penentuan struktur molekul organik pada analisis kuantitatif. Untuk sistem
spektrofotmetri UV-Vis paling banyak tersedia dan paling populer digunakan.
Menurut Riyadi (2009) dalam Mahajani (2012) bahwa kemudahan metode ini adalah
dapat digunakan baik untuk sampel berwarna juga sampel tak berwarna.
Menurut Harbone (1987) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrum serapan
kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang sangat encer dengan
pembanding blanko pelarut serta menggunakan spektrofotometri yang merekam
otomatis. Senyawa tak berwarna diukur pada jangka 200 sampai 400 nanometer (nm),
senyawa berwarna pada jangka 200 sampai 700 nm. Panjang gelombang serapan
maksimum dan minimum pada spektrum serapan yang diperoleh direkam (dalam
nm), demikian juga dengan kekuatan absorbansi (keterserapan) (atau kerapatan optik)
pada maksimum dan minimum yang khas. Pengukuran spektrum yang demikian itu
penting pada identifikasi kandungan kimia, yaitu untuk memantau eluat dari
kromatografi sewaktu pemurnian untuk mendeteksi golongan senyawa tertentu,
misalnya poliasitilena, pada waktu penyaringan ekstrak kasar tumbuhan. Menurut
Sjahid (2008) dalam Mahajani (2012) mengemukakan bahwa spektrofotometer UV-
Vis dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan
menentukan pola oksigenasi. Di samping itu, kedudukan gugus hidroksil dan fenol
bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi diagnostik
ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi.
Dengan demikian, secara tidak langsung cara ini berguna untuk menentukan
kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksi fenol
(Markham, 1988).
Tabel 4. Rentangan Serapan Spektrum UV-Vis Flavonoid
Pita II (nm) Pita I (nm) Jenis flavonoid
250-280
250-280
250-280
245-275
275-295
230-270
(rendah)
230-270
(rendah)
270-280
310-350
330-360
350-385
310-330 bahu
kira-kira 320 puncak
300-330 bahu
340-390
Kekuatan 380-430 rendah
Kekuatan 465-560 rendah
Flavon
Flavonol (3-OH tersubstitusi)
Flavonol (3-OH bebas)
Isoflavon
Isoflavon (5-deoksi-5,7-
dioksigenasi)
flavanon dan dihidro flavonol
Khalkon
Auron
Antosianidin dan antosianin
Markham (1988) dalam Mahajani (2012)
2.9.1 Spektrofotometer IR
Menurut Riyadi (2009) dalam Mahajani (2012) bahwa daerah inframerah dan
spektrum elektronegatif meliputi panjang gelombang kurang lebih antara 0,70-300
µm (12.000-10-1
), akan tetapi untuk penggunaan pengukuran serapan terbatas pada
daerah antara 4.000-670 cm-1
(2,5-15µm). Pada spektro inframerah meskipun bisa
digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada suatu senyawa, terutama
senyawa organik. Setiap serapan pada panjang gelombang tertentu menggambarkan
adanya suatu gugus fungsi spesifik. Menurut Harbone (1987) dalam mahajani (2012)
daerah pada spektrum inframerah di atas 1200 cm-1
menunjukkan spektrum atau
puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus fungsi dalam molekul
yang ditelaah. Daerah dibawah 1200 cm-1
menunjukkan pita yang disebabkan oleh
getaran seluruh molekul, dan karena kerumitannya dikenal sebagai daerah „sidik jari‟.
Tabel 5. Serapan Khas Beberapa Gugus Fungsi
Gugus Jenis Senyawa Daerah Serapan (cm-1
)
C-H Alkana 2850-2960, 1350-1470
C-H Alkena 3020-3080, 675-870
C-H Aromatic 3000-3100, 675-870
C-H Alkuna 3300
C=C Alkena 1640-1680
C=C Aromatic (cincin) 1500-1600
C-O Alkohol, eter, asam karboksilat, ester 1080-1300
C=C Aldehida, keton, asam karboksilat,
ester
1690-1760
O-H Alkohol, fenol (monomer) 3610-3640
O-H Alkohol, fenol (ikatan H) 2000-3600
O-H Asam Karboksilat 3000-3600
N-H Amina 3310-3500
C-N Amina 1180-1360
-NO2 Nitro 1515-1560, 1345-1385
Harbone (1987) dalam Mahajani (2012)
Spektroskopi inframerah membantu dalam mengidentifikasi macam ikatan
yang terdapat dalam suatu senyawa. Dengan mengetahui ikatan kovalen yang ada dan
mana yang tidak maka dapat kita perkirakan gugus fungsional yang ada atau tidak ada
dalam suatu struktur. Misalnya, bila suatu senyawa mempunyai ikatan O-H, maka
senyawa dapat berupa asam karboksilat (RCO2H), alkohol (ROH), atau suatu fenol
(ArOH). Spektrum inframerah adalah grafik dari presentase transmitan dengan
kenaikan panjang gelombang atau penurunan frekuensi (Fessenden & Fessenden,
1997).
Ada persyaratan agar molekul dapat menyerap inframerah. Persyaratan
tersebut adalah bahwa vibrasi dan rotasi molekul harus disertai perubahan netto
momen dipolnya (net change in dipole moment). Bila kondisi ini terpenuhi, maka
medan listrik bolak balik dari sinar akan dapat berinteraksi dengan molekul yang
dapat menyebabkan perubahan dalam gerakan vibrasi dan rotasinya.