bab iv hasil dan pembahasan 4.1 ekstraksi dan...
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi yang sering digunakan dalam
mengekstrak jaringan tumbuhan. Pada dasarnya metode ini dengan cara merendam
sampel menggunakan pelarut organik seperti metanol, etanol dengan sekali-sekali
dilakukan pengocokkan dalam suhu ruang. Umumnya perendaman dilakukan 24 jam
dan selanjutnya pelarut diganti dengan pelarut baru. Proses maserasi sangat
menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena mudah dilakukan.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel rimpang
jeringau. Sebelum maserasi dilakukan, rimpang jeringau dibersihkan dari kotoran-
kotoran seperti lumpur dan dirajang kecil-kecil. Sampel dibersihkan agar tidak
mengandung banyak senyawa -senyaw a atau kotoran pengganggu. Proses perajangan
sampel jeringau dilakukan untuk memperluas permukaan sentuh sampel, karena luas
permukaan mempengaruhi proses maserasi. Semakin kecil ukuran partikel sampel
maka luas permukaan semakin besar. Rajangan sampel rimpang jeringau diangin -
anginkan sampai kering tanpa sinar matahari. Hal ini dilakukan karena sinar matahari
dapat merusak senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam sampel. Proses
pengeringan berguna untuk mengurangi kadar air dalam sampel, karena air dapat
mempengaruhi proses penarikan zat aktif dalam sampel. Rajangan sampel rimpang
jeringau diperkecil ukuran partikelnya sehingga menjadi serbuk. Sampel rimpang
jeringau sebanyak 500 gram dimaserasi menggunakan pelarut metanol dalam suhu
kamar terlindung dari cahaya. Pelarut metanol digunakan dalam maserasi karena
bersifat universal yang dapat mengikat semua komponen kimia yang terdapat dalam
tumbuhan bahan alam baik yang bersifat non polar, semi polar, dan polar. Metanol
adala cairan penyari yang masuk k e dalam sel melewati dinding sel serbuk rimpang
jeringau. Selama proses perendaman sampel, akan terjadi proses pemecahan dinding
dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel. Sehingga
metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik
dan senyawa akan terekstraksi sempurna (Lenny, 2006). Sehingga senyawa zat aktif
dapat terekstrak keluar bersama cairan penyari. Maserasi dilakukan selama 3 × 24
jam, dimana setiap 24 jam ekstrak metanol disaring dan dimaserasi kembali dengan
pelarut metanol yang baru. Ekstrak metanol rimpang jeringau yang diperoleh,
diuapkan dengan menggunakan penguap putar vakum (rotary vacuum evaporator)
pada suhu 30-40 oC sampai terbentuk ekstrak kental metanol. Tujuan dari evaporasi
yaitu untuk menguapkan pelarut yaitu metanol, sehingga yang tersisa hanya senyawa
aktif atau ekstrak kental metanol. Ekstrak kental metanol yang dihasilkan dari
maserasi yaitu 38,11 gram berwarna merah kehitaman.
Ekstrak kental metanol sebanyak 10 gram disuspensi menggunakan air dan
metanol dengan perbandingan 2:1, dimana volume air 100 mL dan volume metanol
50 mL. Hasil suspensi ini dipartisi menggunakan corong pisah dengan pelarut n-
heksan yang bersifat non polar dengan volume 100 mL. Sehingga terbentuk dua
lapisan, lapisan atas merupakan fraksi n-heksan yang berwarna kuning dan lapisan
bawah merupakan fraksi air yang berwarna kecoklatan. Hal ini terjadi karena massa
jenis n-heksan 0.4 g/mL yang lebih kecil dari massa jenis air yaitu 1 g/mL.
Pemisahan tersebut memberikan hasil yang tidak maksimal karena masih terdapat
sedikit fraksi n-heksan yang tercampur pada fraksi air. Untuk mengoptimalkan
pemisahan, maka dilakukan ekstraksi kembali dengan menggunakan partisi. Partisi
dilakukan sebanyak 4 kali, setiap partisi ditambahkan n-heksan sebanyak 100 mL.
Hal ini dilakukan agar zat yang bersifat non polar benar-benar terdistribusi ke pelarut
non polar (n-heksan). Partisi ini menghasilkan fraksi n-heksan dan fraksi air. Fraksi
n-heksan dievaporasi menggunakan evaporator pada suhu 30-40 oC, suhu rendah
digunakan untuk menjaga agar senyawa aktif tidak mengalami kerusakan. fraksi n-
heksan menghasilkan ekstrak kental sebanyak 3,49 g. Fraksi air yang tersisa dipartisi
kembali dengan pelarut etilasetat yang bersifat semi polar dengan perbandingan 1:2,
dimana volume air 150 mL dan etilasetat 300 mL. Sehingga terbentuk dua lapisan,
lapisan atas merupakan fraksi etil asetat dan lapisan bawah merupakan fraksi air.
Fraksi etil asetat berada pada lapisan atas karena memiliki massa jenis 0.66 g/mL
yang lebih kecil massanya dari fraksi air yaitu 1 g/mL. Partisi dilakukan sebanyak 3
kali, setiap partisi ditambahkan etilasetat sebanyak 300 mL. Hal ini dilakukan agar
senyawa aktif yang bersifat semi polar terdistribusi kepelarut semi polar. Sehingga
menghasilkan fraksi etilasetat dan fraksi air. Hasil partisi dari masing-masing fraksi
dievaporasi pada suhu 30-40 oC sehingga diperoleh ekstrak kental fraksi etilasetat
sebanyak 0,85 gram dan ekstrak kental fraksi air sebanyak 3,12 gram. Hasil randemen
dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Hasil Rendemen Fraksi n-Heksan, Etil asetat, dan Air Ekstrak Metanol
Rimpang Jeringau
Berat ekstrak
metanol (g) Fraksi
Berat Wadah Fraksi
kental (g)
Rendemen
(%) Kosong (g) + fraksi (g)
10 g
n-Heksan 10,41 g 13,90 g 3,49 g 34,9 %
Etil asetat 9,8 g 10,65 g 0,85 g 8,5 %
Air 9,5 g 11,62 g 3,12 g 31,2 %
Hasil rendemen berdasarkan urutan tingkatannya berturut-turut yaitu fraksi n-
heksan, air, dan etilsetat. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung pada
ekstrak kental metanol lebih besar senyawa non polar yaitu dengan rendemen 34,9 %,
karena dalam rimpang jeringau kandungan minyak atsiri sangat besar. Rendemen
fraksi air juga cukup banyak yaitu 31,2 %, karena pada rimpang jeringau selain
mengandung minyak atsiri juga mengandung senyawa -senyawa polar seperti
flavonoid dan lain-lain. Untuk fraksi etil asetat menghasilkan rendemen yang sangat
sedikit yaitu 8,5 %, kemungkinan besar senyawa semi polar yang terkandung dalam
rimpang jeringau sangat sedikit.
4.2 Uji Fitokimia
Ekstrak kental metanol, n-heksan, etilasetat dan air dilakukan uji fitokimia
membe rikan hasil uji positif mengandung flavonoid, terpenoid. Steroid dan saponin
hanya pada ekstrak kental metanol. Ini dibuktikan dengan adanya perubahan warna
untuk uji flavonoid, terpenoid terjadi perubahan warna merah bata, dan steroid
terbentuk warna hijau kebiruan. Pada uji alkaloid tidak terbentuk endapan, dan pada
uji saponin tidak terbentuk busa/buih pada fraksi selain ekstrak kental metanol.
Tabel 7. Hasil Uji Fitokimia Berbagai Fraksi
Fraksi Uji
Fitokimia Pereaksi
Perubahan dengan pereaksi Hasil
Uji
Ekstrak
Metanol
Flavonoid
Alkaloid
Steroid
Saponin
Terpenoid
Mg -HCl
H2SO4
NaOH
Mayer
Wagner
Hager
Liebarman
Bauchar
Aquades
panas
Liebarman
Bauchar
Orange tua-Orange muda
Orange tua-merah
Orange tua-Coklat kehitaman
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Hijau kebiruan
Terbentuk busa
Terbentuk warna merah bata
+
+
+
-
-
-
+
+
+
n-
heksan
Flavonoid
Alkaloid
Steroid
Saponin
Terpenoid
Mg -HCl
H2SO4
NaOH
Mayer
Wagner
Hager
Lieberman
Bauchar
Aquades
panas
Lieberman
Kuning muda -Kuning tua
Kuning muda -Merah
Kuning muda -Coklat kehitaman
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk hijau kebiruan
Tidak ada busa
Terbentuk warna merah bata
+
+
+
-
-
-
-
-
+
Tabel 8. Hasil Uji Fitokimia dari Berbagai Fraksi
Fraksi Uji
fitokimia Pereaksi
Perubahan dengan pereaksi Hasil
Uji
Etil
asetat
Flavonoid
Alkaloid
Steroid
Saponin
Terpenoid
Mg -HCl
H2SO4
NaOH
Mayer
Wagner
Hager
Lieberman
Bauchar
Aquadest
panas
Liebarman
Bauchar
Orange kecoklatan-Merah
Orange kecoklatan-Orange
Orange kecoklatan-Coklat
kehitaman
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk tendapan
Tidak terbentuk hijau kebiruan
Terbentuk busa
Terbentuk warna merah bata
+
+
+
-
-
-
-
-
+
Air
Flavonoid
Alkaloid
Steroid
Saponin
Terpenoid
Mg -HCl
H2SO4
NaOH
Mayer
Wagner
Hager
Liebarman
Bauchar
Aquades panas
Liebarman
Bauchar
Merah bata-Orange muda
Merah bata-Kuning muda
Merah bata-Kuning kecoklatan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk hijau kebiruan
Tidak terbentuk busa
Terbentuk warna merah bata
+
+
+
-
-
-
-
+
+
Berdasarkan hasil ini ekstrak metanol, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat, dan
fraksi air mengandung senyawa -senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid,
terpenoid, saponin, steroid dan alkaloid.
1. Uji Flavonoid
Ekstrak metanol, fraksi air, fraksi n-heksan, dan fraksi etil asetat memberikan
hasil positif mengandung flavonoid, yang dibuktikan oleh perubahan warna pada
flavonoid dengan pereaksi Mg -HCl, NaOH, dan H 2SO4. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Muthuraman dan Singh (2012) pada ekstrak metanol mengandung
flavonoid dengan level yang tinggi (+++). Perubahan warna terjadi karena pada
ekstrak metanol terjadi reaksi antara flavonoid dengan pereaksi. Salah satu contoh
senyawa flavonoid yang bereaksi dengan HCl akan terbentuk garam flavilium yang
ditandai dengan perubahan warna merah bata. Setiap perubahan warna yang terjadi
berdasarkan jenis senyawa flavonoid yang bereaksi dengan pereaksi.
HCl
O
OH
OH
OH
OH
O
Cl-
G aram F lavilium (M erah Tua)
CH3CH2OH
H2
O
O
OH
F lavano l
M g
O
OH
OH
Gamb ar 8 . Struktur reaksi flavonoid dengan pereaksi HCl
N aOH
O
O
KrisinAseto feno n (Kuning )
OH
HO HO OH
CO2H
OH
A
B
AB
C
O
H3C+
Gambar 9. Reaksi flavonoid dengan pereaksi NaOH
2. Uji Alkaloid
Berdasarkan hasil uji fitokimia pada tabel 7 dan 8 ekstrak metanol, fraksi n-
heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi air memberikan hasil negatif pada senyawa
alkaloid. Hal ini terjadi kemungkinan dalam sampel tidak mengandung senyawa
alkaloid yang dibuktikan dengan tidak terbentuknya endapan pada sampel. Hal ini
diperkuat oleh penelitian Muthuraman dan Singh (2012) bahwa kandungan alkaloid
memberikan level yang cukup (++). Dengan perbedaan lokasi tumbuh tanaman dapat
mempengaruhi kandungan senyawa aktif dalam tanaman itu sendiri. Berikut Gambar
10 struktur reaksi antara alkaloid dengan pereaksi apabila terbentuk endapan.
Pereaksi Mayer
+
4KI Hg Cl4 K2Hg I4 2KCl
Kalium alkalo ida endapan
N
+ +
NK+
K2Hg I4 K+ [ Hg I4]+
Kalium tetraio do m erkurat (II)
Gambar 10. Reaksi alkaloid dengan Pereaksi Mayer
Pereaksi Wagner
KI
+ I-I3
-
Co kelat
+
Kalium alkalo ida endapan
N NK+
++ I2 I3-
I2
Gambar 11. Reaksi Alkaloid dengan Pereaksi Wagner
3. Uji Steroid, Saponin, dan Terpenoid
Pada uji steroid dan terpenoid yang memberikan hasil positif hanya pada ekstrak
metanol yang ditandai dengan terbentuknya warna hijau kebiruan dan warna merah
bata pada penambahan pereaksi dietil eter, asam asetat glacial dan penambahan 1
tetes H2SO4. Pada fraksi air, fraksi n-heksan dan fraksi atil asetat memberikan hasil
negatif mengandung steroid. Hal ini didukung oleh penelitian Muthuraman dan Singh
(2012) bahwa pada ekstrak metanol jeringau mengandung senyawa steroid yang
sangat sedikit (+). Sedangkan pada terpenoid semua fraksi serta ekstrak metanol
rimpang jeringau memebrikan hasil positif terpenoid. Senyawa triterpenoid/steroid
akan mengalami dehidrasi dengan penambahan asam kuat dan membentuk garam
yang memberikan sejumlah reaksi warna (Mukhlish, 2010). Adapun reaksi perkiraan
uji terpenoid/steroid pada gambar 12 berikut ini.
CH3COOH)2O
HO H3COC
-CH3COOH
H3COC
-H2O
H2SO4 pekat
H3COC
SO2H
asam 3-aseto -5-ko lestero l sulfo nat (Hijau)
Ko lestero l
Gambar 12. Reaksi Steroid dan Terpenoid dengan Pereaksi
4. Uji Saponin
Pada uji saponin menurut Rusdi (1990) timbulnya busa pada uji Forth
menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam
air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya. Berikut struktur reaksi
saponin dengan air. untuk uji saponin yang memberikan hasil positif hanya pada
ekstrak metanol dan ketiga fraksi memberikan hasil negatif. Hal ini didukung oleh
penelitian Muthuraman dan Singh (2012) bahwa kandungan senyawa flavonoid
berada pada level yang setara dengan flavonoid (+++). Namun untuk ketiga fraksi
yang diuji kemungkinan dipengaruhi oleh proses partisi yang tidak sempurna.
1-Arabino p irio sil-3asetil o leno lat
CO
O
OH
OH
CH2OH O
OH
Ag liko n
O
OH
OH
CH2OH
OHCO2H
H2O
G luko sa
+
Gambar 13 . Reaksi saponin dalam air
4.3 Pemisahan dan Pemurnian
Ekstrak kental metanol dari hasil uji fitokimia, dianalisis dengan
menggunakan kromatografi lapis tipis yang bertujuan untuk melihat ada berapa
senyawa yang terkandung di dalam sampel melalui bercak noda. Bercak noda yang
didapatkan dari kromatografi lapis tipis memberikan bercak noda tailing dengan
perbandingan eluen yang divariasikan. Hal ini terjadi karena sampel masih
mengandung banyak senyawa yang sangat sulit untuk dianalisis menggunakan KLT.
Sehingga segera dilakukan pemisahan dengan menggunakan kromatografi kolom
agar terjadi pemisahan yang sesuai dan dapat dianalisis menggunakan KLT.
Pada pemisahan kromatografi kolom, Pengisian fasa diam ke dalam kolom
dilakukan dengan cara basah. Fasa diam (silika gel) diubah menjadi bubur silika
(slurry) dengan pelarut yang digunakan dalam fasa gerak (n-heksan). Pelarut n-
heksan dimasukan kedalam kolom dengan batas tertentu dan slurry dialirkan melalui
dinding kolom secara perlahan menggunakan pipet tetes dengan kran terbuka. Hal ini
dilakukan agar silika dapat mengisi tempat dan padat secara teratur, tidak mengalami
pematahan dan berongga dalam kolom. Jika letak silika dalam kolom berongga dan
mengalami pematahan maka pemisahan tidak akan terjadi dengan sempurna. Pelarut
n-heksan dialirkankan secara terus menerus minimal 2 jam dan maksimalnya semakin
lama maka semakin padat silikanya.
Ekstrak kental metanol sebanyak 10 g dilarutkan dengan metanol dan
kemudian dicampurkan dengan fase diam silika gel GF 60 sampai benar-benar kering.
Sampel dimasukkan secara perlahan ke dalam kolom yang berisi fase diam (silika
gel), selanjutnya fasa gerak n-heksan dialirkan secara perlahan ke dalam kolom
dengan keadaan kran terbuka sampai terbentuk pita. Jika fasa gerak yang menetes
sudah tidak berwarna, maka divariasikan perbandingan eluen yang sesuai.
Variasi eluen yang digunakan berturut-turut yaitu fasa gerak n-
heksan:etilasetat (9,5:0,5), (9:1), (8,5:1,5), (8:2), (7,5:2,5), (7:3), (6,5:3,5), (6:4),
(5,5:4,5), (5:5), (4,5:5,5), (4:6), (3,5:6,5), (3:7), (2,5:7,5), (2:8), (1,5:8,5), (1:9),
(0,5:9,5), perbandingan ini digunakan juga pada variasi eluen selanjutnya
etilasetat:metanol sampai terjadi pemisahan dan Eluet ditampung pada botol vial.
Hasil pemisahan kromatografi kolom diperoleh fraksi sebanyak 135 fraksi.
Keseluruhan hasil fraksi dianalisis dengan KLT, dan bercak nodanya dilihat dengan
menggunakan lampu UV. Pola noda dari 135 fraksi ini dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Profil KLT hasil pemisahan kromatografi kolom pertama Menggunakan
adsorben silika gel GF 254, fase gerak etil asetat:metanol (8,5:1,5)
Semua fraksi hasil pemisahan dianalisis dengan kromatografi lapis tipis untuk
melihat pola noda. Fraksi dengan pola noda yang sama dan harga Rf-nya yang sama
digabung. Dari 135 fraksi diperoleh 5 fraksi, terdiri dari fraksi A1 yaitu gabungan
fraksi 30-40, fraksi A2 yaitu gabungan fraksi 50 -75, fraksi A3 yaitu gabungan fraksi
79 -84, fraksi A 4 yaitu gabungan fraksi 87 -98 dan fraksi A 5 yaitu gabungan fraksi 100-
105 dengan berat masing-masing fraksi secara berturut-turut yaitu 1,23 g, 1,68 g, 0,35
gr, 1,96 g, dan 1,31 g. Fraksi ini dianalisis menggunakan KLT untuk melihat pola
noda dari 5 kelompok fraksi ini. Dari 5 fraksi yang diperoleh, fraksi A4 yang
dipisahkan lagi dengan menggunakan kromatografi kolom untuk mendapatkan isolat
murni. Fraksi ini diambil karena memberikan hasil kromatografi lapis tipis yang
memberikan bercak noda ganda (2 noda) dan masih memiliki berat yang banyak dari
5 fraksi. Hasil KLT 5 Fraksi dapat dilihat pada Gambar 15 dibawah ini.
Gambar 15. Profil KLT hasil pemisahan kromatografi kolom dari penggabungan
fraksi menggunakan adsorben silika gel GF 254, fase gerak etil
asetat:metanol (8,5:1,5)
Hasil kromatografi kolom dari A4 diperoleh 59 fraksi, kemudian fraksi ini
dikromatog rafi lapis tipis dengan menghitung harga Rf. Fraksi yang memberikan
bercak noda tunggal yaitu fraksi 32-40. Namun fraksi 38 -40 yang diambil karena
memiliki nilai Rf yang lebih kecil dibandingkan dengan R f fraksi 32-37. Berat
masing -masing adalah 0,46, 0,15 g, dan 1,21 g. Pola noda dari fraksi ini dapat dilihat
pada Gambar 16.
Gambar 16. Profil KLT hasil pemisahan kromatografi kolom kedua menggunakan
adsorben silika gel GF254, fase gerak etil asetat:metanol (7:3)
4.4 Uji Kemurnian
Isolat yang diduga murni yaitu isolat pada fraksi 38-40. Sebelum diuji
kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer UV -VIS dan IR, fraksi ini
diuji kemurniannya secara kromatografi lapis tipis dua dimensi dengan menggunakan
eluen bergradien yang cocok dengan beberapa perbandingan, yaitu etilasetat:metanol
(7:3), kloroform:metanol (6:4). Pelarut yang digunakan hanya pelarut semi polar dan
polar, karena diduga senyawa yang terkandung di dalamnya adalah senyawa sangat
polar. Ketika diuji menggunakan eluen n-heksan:etilasetat dengan berbagai macam
variasi perbandingan, noda yang ditotolkan tidak terelusi sama sekali. Hal ini terjadi
kemungkinan senyawa aktif yang terkandung di dalam sampel adalah senyawa polar.
Hasil KLT dua dimensi untuk membuktikan isolat ini merupakan isolat murni. Hasil
KLT dua dimensi dapat di lihat pada Gambar 17.
R1
R2
Gambar 17. Profil KLT dua dimensi hasil pemisahan kromatografi kolom dari
penggabungan fraksi menggunakan adsorben silika gel GF 254
Keterangan:
(R1) : Etil asetat:metanol (7:3)
(R2) : Kloroform:metanol (6:4)
Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa hasil KLT dapat
dikatakan baik apabila noda yang terbentuk berada pada nilai selang Rf = 0,3 -0,9.
Dari hasil KLT yang dilakukan telah dihitung nilai Rf isolat ditunjukkan pada Tabel
11 berikut ini.
Tabel 9. Nilai Rf Isolat Pada Dua Variasi Eluen
Fasa Gerak (Eluen) Nilai Rf dari Bercak
Etil Asetat:Metanol (7:3)
Kloroform:Metanol (6:4)
0,6
0,875
Pada R1 dengan jarak tempuh senyawa 3 cm dan jarak tempuh pelarut 5 cm
menghasilkan nilai Rf yaitu 0.6. Selanjutnya harga Rf dari R2 dengan jarak tempuh
senyawa 3.5 cm dan jarak tempuh pelarut 4 cm menghasilkan nilai Rf yaitu 0.875.
Sehingga hasil KLT ini dikatakan baik karena nilai Rf dari R1 dan R2 berada pada
selang Rf = 0.3 -0.9.
4.5 Uji Fitokimia Isolat Murni
Isolat murni ini diuji flavonoid untuk mengetahui apakah senyawa yang
terkandung di dalamnya hanya flavonoid atau masih terdapat senyawa lain.
Tabel 10. Hasil Uji Fitokimia Isolat Murni
No Uji
Fitokimia
Pereaksi
Fitokimia Perubahan dengan Pereaksi Hasil uji
1.
2.
3.
4.
5.
Flavonoid
Alkaloid
Steroid
Saponin
Terpenoid
Mg -HCl
NaOH
H2SO4
Uji Mayer
Uji Wagner
Uji Hager
Liebarman
Bauchar
Aquadest
Panas
Liebarman
Bauchar
Merah bata-Orange tua
Merah bata-Orange muda
Merah bata-Coklat kehitaman
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk warna hijau
kebiruan
Tidak terbentuk buih/busa
Tidak terbentuk warna merah
bata
(+) F lavonoid
(+) Flavonoid
(+) Flavonoid
(-) Alkaloid
(-) Alkaloid
(-) Alkaloid
(-) Steroid
(-) Saponin
(-) Terpenoid
4.6 Karakterisasi Isolat Murni
Karakterisasi isolat murni dilihat dari gugus fungsi melalui nilai panjang
gelombang dan absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer IR dan UV -
Vis.
4.6.1 Spektrofotometer Inframerah (IR)
Spektrum inframerah senyawa isolat ditunjukkan dalam Gambar 18 dan data
interpretasi spektrum inframerah (gelombang, bentuk pita, intensitas, dan penempatan
gugus terkait) pada Tabel 11.
Gambar 18. Spektrum inframerah dari isolat murni
Pada spektroskopi infra merah bahwa serapan dikatakan kuat apabila memiliki
punc ak yang tinggi transmitan rendah (0-35%), serapan dikatakan sedang apabila
puncaknya tinggi dan memiliki transmitan sedang (75-35%), serapan dikatakan lemah
apabila puncaknya pendek dan memilki transmitan tinggi (90-75%) (Justik, 2010).
Berdasarkan nilai serapan spektrum inframerah, memperlihatkan bahwa senyawa
yang diperoleh menunjukkan serapan melebar dan lemah pada daerah bilangan
gelombang 3321,74 cm-1
yang diduga adalah serapan uluran dari gugus O-H. Serapan
O-H dikatakan lemah karena berada pada transmitan 92% hal ini didukung serapan
lemah apabila berada pada transmitan 90-75% (Justik, 2010). Hal ini diperkuat oleh
adanya serapan tajam dan lemah tekukan O-H aromatik pada panjang gelombang
1115.53 cm-1
. Karena pada serapan ini memiliki transmitan diatas 97%. Serapan
uluran C-H alifatik yang tajam dan lemah muncul pada daerah bilangan gelombang
2944,00 cm-1
dan 2831,84 cm-1
. Hal ini diperkuat oleh tekuk C-H aromatik pada
serapan 654,83 cm-1
dan serapan C-H aromatik keluar bidang pada panjang
gelombang 62 9,77 cm-1
. Serapan tajam dan lemah pada cincin aromatik C꞊C muncul
pada daerah bilangan gelombang 1449,64 cm-1
. Serapan tajam dan kuat uluran C-O
muncul pada daerah bilangan gelombang 1025,62 cm-1
.
Tabel 11. Interpretasi Spektrum Inframerah (Bilangan Gelombang, Bentuk Pita,
Intensitas dan Penempatan Gugus Fungsi) dari Isolat
N
o
Bilangan Gelombang(cm-1)
Bentuk
Pita Intensitas
Kemungkinan
Gugus Fungsi Isolat Sukadana,
(2010)
Pustaka (
Creswell,et
all,
Silverstein)
Akbar,
(2010)
Arisandy
(2010)
1. 3321.74 3000-3500 3200-3400 3350-
3200 3500-3000 Melebar Lemah Uluran O -H
2. 2944.00
2831 .8 4 2800 -2950 2700 -3000 - 3000-2700
Tajam Lemah Uluran C -H
alifatik Tajam Lemah
3. 1449.64 1400-1650 1500-1475 - 1650-1450 Tajam Lemah Uluran C=C
aromatik
5. 1115.53 1000-1300 1330-1260
-
- Tajam Lemah Tekuk OH
6. 1025.62 990-1100 1000-1260 1260-
1000 1230-1000 Tajam Kuat C-O alkohol
7 . 654.8 3
629.77 650-1000 650-1000 - 900-650 Tajam Lemah
C-H aromatik
kel. bidang
Gugus fungsi yang ditentukan dari hasil panjang gelombang IR dalam sampel
merupakan gugus -gugus fungsi yang terdapat pada senyawa flavonoid. Sehingga
dapat diduga isolat murni tersebut merupakan senyawa flavonoid.
4.6.2 Spektrofotometer UV-Vis
Isolat murni dikarakterisasi dengan UV -Vis, karena UV -Vis merupakan alat
untuk menguji senyawa yang berwarna dan sebagian besar merupakan senyawa
organik. Isolat murni yang didapatkan merupakan senyawa yang berwarna dan
merupakan senyawa organik. Karena isolat diharapkan merupakan senyawa flavonoid
maka panjang gelombangnya berada pada bilangan gelombang kurang dari 600 nm.
Sehingga sangat mudah dikarakterisasi menggunakan UV-Vis. Hasil dari data
spektrum UV -Vis isolat murni dapat dilihat pada hasil spektrofotometer UV-Vis
ditunjukkan pada Gambar 19 dan Tabel 13 berikut.
I II
Panjang gelombang (nm)
Gambar 19. Data pektrum UV-Vis isolat murni
Tabel 13. Data Panjang Gelombang dan Absorbansi dari Isolat Murni dalam Pelarut
metanol.
Pita Panjang Gelombang Absobansi
I
II
282, 00
220,00
0,952
1,852
Spektrum serapan UV-Vis senyawa isolat murni dalam pelarut metanol
memberikan dua pita serapan yaitu pita I merupakan bahu pada panjang gelombang
282.00 nm dan pita II merupakan serapan maksimum pada panjang gelombang
220,00 nm. Serapan pada panjang gelombang 282,00 diduga adanya transisi elektron-
elektron yang tidak berikatan ke orbital anti ikatan (nπ*) oleh suatu gugus C=O.
serapan ini terjadi pada panjang gelombang yang panjang dan intensitasnya rendah
(Sastrohamidjojo, 2001). Sedangkan serapan pada panjang gelombang yang lemah
220,00 nm diduga adanya transisi elektron nσ* yang disebabkan oleh suatu
ausokhrom yang tidak terkonjugasi yang mengabsorpsi cahaya pada panjang
gelombang sekitar 200 nm yang memiliki gugus –OH (Creswell, dkk., 2005).
Ausokhrom adalah gugus jenuh yang bila terikat pada kromofor mengubah panjang
gelombang dan intensitas serapan maksimum (Idrus, 2012). Berdasarkan hasil
karakterisasi spektrofotometer IR dan UV-Vis dapat diduga isolat tersebut merupakan
senyawa flavonoid.
5.1 Uji Aktivitas Antioksidan
Sampel yang diuji aktivitas antioksidan yaitu ekstrak kental metanol dan
fraksi hasil partisi yang dilakukan pada tindakan awal. Fraksi tersebut yaitu fraksi n-
heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi air. Uji aktivitas antioksidan pada keempat
sampel ini untuk melihat senyawa yang bersifat sebagai antioksidan berdasarkan
kepolarannya.
5.1.1 Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Metode DPPH
Flavonoid dan derivat polifenol merupakan senyawa yang berfungsi s ebagai
antioksidan, karena senyawa tersebut adalah senyawa fenol yaitu senyawa dengan
suatu gugus –OH yang terikat pada karbon cincin aromatik. Produk radikal bebas
senyawa -senyawa ini terstabilkan secara resonansi oleh karena itu tak reaktif
dibandingkan dengan kebanyakan radikal bebas lain, sehingga dapat berfungsi
sebagai antioksidan yang efektif (Fessenden dan Fessenden 1994).
Sampel yang digunakan untuk uji aktivitas antioksidan adalah rimpang
jeringau. Sebelum diuji aktivitas antioksidan sampel rimpang jeringau dimaserasi
yang menghasilkan ekstrak kental metanol. Ekstrak kental metanol rimpang jeringau
dipartisi sehingga menghasilkan fraksi ekstrak kental n-heksan, etil asetat, dan air.
Ekstrak kental metanol, fraksi n-heksan, etil asetat dan air diuji fitokimia. Dari hasil
uji fitokimia yang terdapat pada tabel 7,8,9,10 diatas terlihat bahwa keempat sampel
tersebut mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder terutama flavonoid.
Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH. Metode
DPPH adalah salah satu uji kuantitatif untuk mengetahui seberapa besar aktivitas
ekstrak kental fraksi air, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat, dan ekstrak metanol
sebagai antioksidan. Metode ini adalah metode kolometri (didasarkan pada
perubahan warna) y ang cepat dan efektif untuk menentukan aktivitas antioksidan.
Menurut Prakash (2001) bahwa radikal DPPH yang memiliki elektron tidak
berpasangan memberikan warna ungu dan menghasilkan absorbansi maksimum pada
panjang gelombang 517 nm. Pengukuran antiradikal bebas dengan metode DPPH
sebagai senyawa radikal bebas stabil yang ditetapkan secara spektrofotometri,
merupakan senyawa aktivitas antiradikal. Metode antioksidan dengan DPPH dipilih
karena metode ini adalah metode sederhana untuk evaluasi aktivitas dari senyawa
bahan alam. antioksidan Radikal DPPH adalah suatu senyawa organik yang
mengandung nitrogen tidak stabil dengan absorbansi kuat pada maksimum 517 nm
dan warna ungu gelap. Absorbansi maksimum 517 ini didapatkan dari serapan DPPH
yang memiliki warna ungu yang merupakan warna komplementer pada daerah
serapan 500-560 nm (Molineux, 2003). Setelah bereaksi dengan senyawa antiradikal
maka DPPH akan tereduksi dan warnanya akan menjadi kuning. Perubahan warna
tersebut disebabkan karena berkurangnya ikatan rangkap terkonjugasi pada DPPH,
karena adanya penangkapan oleh zat antiradikal yang menyebabkan tidak adanya
kesempatan elektron tersebut untuk beresonansi dimana perubahan ini dapat diukur
dan dicatat dengan spektrofotometer. Warna akan berubah menjadi kuning saat
elektron berpasangan. Pengurangan intensitas warna yang terjadi berhubungan
dengan jumlah elektron DPPH yang menangkap atom hidrogen. Pengurangan
intensitas warna mengindikasikan peningkatan kemampuan antioksidan untuk
menangkap radikal bebas.
N N
H O2N
NO2
NO2
Gambar 20 . Struktur DPPH reduksi (1,1-difenil-2-fikrihidrazin)
Untuk mengetahui tingkat peredaman warna sebagai akibat adanya
antioksidan yang mampu mengurangi intensitas warna ungu dari DPPH, maka
pengukuran reaksi warna dilakukan pada konsentrasi ekstrak yang berbeda-beda.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak akan semakin besar peredamannya yang ditandai
dengan terbentuknya warna kuning. Dikarenakan pada konsentrasi tinggi senyawa
yang terkandung semakin banyak dan menyebab kan semakin besar pula aktivitas
antioksidannya (Anang dkk., 2008).
Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan membuat larutan standar, dimana
larutan standar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu vitamin C (asam askorbat).
Karena vitamin C mudah meng alami oksidasi oleh radikal bebas karena mempunyai
ikatan rangkap dan dengan adanya dua gugus –OH yang terikat pada ikatan rangkap
tersebut. Radikal bebas akan mengambil atom hidrogen dan menyebabkan muatan
negatif pada atom oksigen yang selanjutnya akan didelokalisasi melalui resonansi.
Sehingga menghasilkan radikal bebas yang stabil dan tidak membahayakan.
merupakan senyawa antioksidan sintetis yang memiliki aktivitas antioksidan yang
sangat tinggi. Struktur vitamin C dapat dilihat pada Gambar 21 berikut.
O
HO
O
OHOH
OH
Gambar 21 . Struktur L-asam askorbat
Vitamin C (asam askorbat) sebanyak 56,2 mg dilarutkan dalam 25 ml
metanol menghasilkan 2248 mikrogram/ml (ppm). Larutan standar ini dibuat dalam
beberapa konsentrasi yaitu 25 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 400 ppm.
Variasi konsentrasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh konsentrasi terhadap
absorbansi. Jika absorbansi berubah pada setiap perubahan konsentrasi, maka ini
menandakan bahwa aktivitas antioksidan baik untuk di uji dengan DPPH. Diinkubasi
pada suhu 37oC selama 30 menit. Tujuan dari inkubasi ini agar reaksi terjadi dengan
sempurna. Vitamin C merupakan antioksidan sintetik, memiliki kemampuan
meredam radikal bebas (DPPH) membentuk senyawa yang stabil. Larutan standar
dari masing-masing konsentrasi diukur absorbansinya menggunakan UV -Vis dengan
panjang gelombang 517 nm. Hasil pengukuran absorbansi standar berturut-turut yaitu
0,7931, 0,7654, 0,7051, 0,5534, dan 0,2311. Pengujian larutan blanko (DPPH)
dilakukan dengan mencampur kan 0,5 ml DPPH dengan metanol sebanyak 4,5 ml,
yang kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan UV -VIS pada panjang
gelombang 517 nm. Penambahan metanol bertujuan untuk pengenceran larutan. Jika
larutan pekat maka dan juga sangat encer maka akan mempengaruhi pembacaan
absorbansi pada UV -Vis. Hasil absorbansi blanko yaitu 0,8175. Pengukuran
absorbansi larutan standard dan blanko yaitu untuk mendapatkan persamaan regresi
liniear yang dapat digunakan untuk menghitung aktivitas antioksidan dari sampel.
Tabel 14. Pengukuran Absorbansi Standard (Asam Askorbat) dan Blanko (DPPH)
Konsentrasi
mg/mL
Konsentrasi
yang sebenarnya
(m g/ml) = x
Absorbansi
Blanko
Absorbansi
Standar
Abs B - Abs Std
Y
25
50
100
200
400
28, 1
56,2
112,4
224,8
449,6
0,8175
0,8175
0,8175
0,8175
0,8175
0,7931
0,7654
0,7051
0,5534
0,2311
0,0244
0,0521
0,1124
0,2641
0,5864
Dari hasil pengukuran absorbansi ini didapatkan persamaan regresi liniear
yaitu y = 0,0013x - 0,0267. Grafik persamaan liniear dapat dilihat pada Gambar 22
berikut.
Gambar 22. Grafik Persamaan Regresi Liniear
Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan menghitung absorbansi
sampel pada konsentrasi 25 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 400 ppm dan
absorbansi blanko. Kemudian dihitung menggunakan persamaan regresi liniear pada
y = 0.0013x - 0.0267 R² = 0.9975
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0 100 200 300 400 500
Nilai Y
Konsentrasi (ppm)
Gambar 22 di atas. Persamaan regresi liniear ini didapatkan dari nilai absorbansi
blanko (DPPH) dan nilai absorbansi standar (asam askorbat). Kedua nilai absorbansi
ini dihitung selisihnya yaitu absorbansi blanko-absorbansi standard dan dijadikan
sebagai nilai y. Dari persamaan regresi liniear yang didapatkan maka nilai x sebagai
aktivitas antioksidan. Hasil aktivitas antioksidan yang menggunakan persamaaan
regresi liniear dapat dilihat pada tabel 15 berikut.
Tabel 15. Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kental Fraksi Air, n-Heksan,
Etil Asetat dan Metanol disetarakan dengan aktivitas antioksidan asam
askorbat.
Kode
Aktv
Antioksidan
(AEACm g)
Aktv Antioksidan
(AEACm g/g
sampel = ppm)
Rerata
Fraksi Air 30,3077
30,7692
3,7463155
3,7939865 3,77015
Fraksi n-
heksana
103,8462
101,5385
11,5512963
11,6043956 11,57785
Fraksi etil asetat 246,9231
251,1538
31,1378407
30,8922320
31,01504
Ekstrak metanol 272, 3077
266,6154
28, 5138945
28, 2731055 28,39350
Nilai aktivitas antioksidan pada tabel ini hanya untuk melihat perbandingan
nilai aktivitas antioksidan antara vitamin C dengan sampel. dimana pada fraksi air,
3,77015 mg vitamin C (Asam askorbat) setara dengan 1 g sampel. Fraksi n-heksan,
11,57785 mg vita min C (Asam askorbat) setara dengan 1 g sampel. Fraksi etil asetat,
31,01504 mg vitamin C (Asam askorbat) setara dengan 1 g sampel. Pada ekstrak
metanol, 28,39350 mg vitamin C (Asam askorbat) setara dengan 1 g sampel.
Berdasarkan hasil ini dapat dihitung standar deviasi yang bertujuan untuk mengetahui
kisaran nilai aktivitas antioksidan jika dilakukan banyak pengulangan.
Tabel 16. Nilai Standar Deviasi Dan Rata-rata Standar Deviasi
Fraksi Standar
Deviasi Rata-rata ± SD
Fraksi Air 0,033708517 3,770151 ± 0,033709
Fraksi n-heksan 0,03754687 11,57785 ± 0,037547
Fraksi Etil Asetat 0,173671593 31,01504 ± 0,173672
Ekstrak metanol 0,170263541 28, 3935 ± 0,170264
Nilai rata-rata standar deviasi fraksi air memberikan informasi bahwa jika
dilakukan banyak pengulangan untuk uji aktivitas antioksidan, kurang lebihnya akan
berkisar pada 0,033709 sampai 3,70515, fraksi n-heksan 0,03747 sampai 11,57785,
fraksi etil asetat 0,173672 sampai 31,01504 dan ekstrak metanol 0,170264 sampai
28,3935.
Nilai standar deviasi yang dihasilkan dilakukan uji anava satu jalur. Uji ini
untuk melihat perbedaan aktivitas antioksidan dari keempat fraksi. Hasil perhitungan
uji anava adalah ada perbedaan yang signifikan antara ekstrak kental fraksi air, fraksi
n-heksan, fraksi etil asetat dan ekstrak metanol.
Berdasarkan perhitungan uji anava menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pada bahan uji, dilihat dari besarnya signifikasi pada uji anava (0,000) yang lebih
kecil dari nilai α 5%. Untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan dilakukan
uji pasca anava dengan metode duncana dengan hasil pada tabel 18 dibawah ini.
Tabel 17. Hasil Uji Anava Metode Duncana
Fraksi N *Subset for alpha = 0.05
Fraksi Air
Fraksi n-Heksan
Ekstrak Metanol
Fraksi Etil Asetat
Sig
2
2
2
2
3,7702d
11,5778c
28,3935b
31,0150a
1,000
Keterangan:*angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya
beda nyata pada taraf α 0.05
Berdasarkan hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan fraksi air, n-
heksan, etilasetat dan ekstrak metanol memberikan perbedaan yang nyata. Uji
statistik secara anava satu jalur menunjukan bahwa keempat perlakuan dalam
penelitian ini ada perbedaan yang bermakna atau beda signifikan. Pengujian ini
terlihat ada perbedaan signifikan antara fraksi air, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat,
dan ekstrak metanol dengan nilai signifikan >0.05. Sehingga dapat disimpulkan
ketiga larutan uji tersebut ada perbedaan yang bermakna.
5.1.2 Hasil Uji Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan IC50 merupakan parameter yang digunakan untuk
mengukur potensi antioksidan dalam kerjanya. Aktivitas antioksidan menunjukkan
kemampuan suatu antioksidan dalam menghambat radikal bebas (dalam bentuk %),
sedangkan IC50 menunjukkan konsentrasi suatu antioksidan dalam menghambat
sebesar 50% dari radikal bebas.
Tabel 18. Peredaman Radikal Bebas dan Hasil Metode IC50
Sampel Konsentrasi
(ppm)
Aktivitas
penangkap
radikal
(%)
Persamaan regresi
liniear IC50 (ppm)
Fraksi air
Fraksi n-
heksan
Fraksi etil
asetat
Ekstrak
metanol
25
50
100
200
400
25
50
100
200
400
25
50
100
200
400
25
50
100
200
400
0,86
1,63
4,33
10,02
21,03
7,73
13,25
27,07
47,14
68,82
13,98
22,39
36,67
50,78
73,49
12,87
21,06
36,01
49,69
72,92
y=0.054x - 0.896
R² = 0.999
y= 0.162x + 7.64
R² = 0.962
y=0.151x+ 15.95
R² = 0.957
y=0.153x+14.78
R² = 0.957
942,52
261,48
225,50
230,20
Dari keempat sampel ini tingkat keefektifan sebagai antioksidan berturut-turut
yaitu fraksi etil asetat dengan IC50 sebesar 225.50 ppm, ekstrak metanol dengan IC50
sebesar 230,20 ppm, fraksi n-Heksan dengan IC50 sebesar 261,48 dan fraksi air
dengan IC50 sebesar 942,52 ppm. Semakin kecil IC50 maka sampel tersebut semakin
efektif, sebaliknya semakin besar nilai IC50 maka sampel tersebut semakin tidak
efektif. Dari keempat sampel ini yang paling efektif sebagai antioksidan yaitu fraksi
etil asetat karena memiliki nilai IC50 yang paling kecil dari keempat sampel. dapat
dilihat histogram IC50 pada gambar 23 berikut.
Gambar 23. Histogram Nilai IC 50
Tingkat kekuatan aktivitas antioksidan dapat ditentukan berdasarkan nilai
IC50. Tingkatan aktivitas antioksidan dari keempat sampel dapat dilihat pada Tabel 19
berikut.
Tabel 19. Tingkat kekuatan antioksidan metode DPPH (Jun’er, AL, 2003)
Intensitas Nilai IC 50
Sangat aktif
Aktif
Sedang
Lemah
Tidak Aktif
< 50 ppm
50-100 ppm
101-250 ppm
250-500 ppm
>500 ppm
942.52
261.48 225.5 230.2
0100200300400500600700800900
1000
Fraksi Air Fraksi n-Heksan Fraksi Etil Asetat Ekstrak Metanol
Nil
ai
IC 5
0 p
pm
Fraksi
Berdasarkan ini dapat dilihat bahwa pada fraksi air aktivitas antioksidannya
termasuk pada intensitas tidak aktif, karena nilai IC50 lebih besar dari 500 ppm yaitu
942,52 ppm. Fraksi n-Heksan aktivitas antioksidannya termasuk pada intensitas
lemah, karena nilai IC50 diantara 250-500 ppm yaitu 261,48 ppm. Untuk fraksi etil
asetat dan metanol aktivitas antioksidannya termasuk pada intensitas sedang, karena
nilai IC50 diantara 101-250 ppm yaitu 225,50 ppm dan 230,20 ppm. Sehingga dapat
dianalisa bahwa yang berperan sebagai antioksidan adalah senyawa semi polar yang
terkandung dalam fraksi etil asetat dan ekstrak metanol. Karena ekstrak metanol
termasuk sampel yang memiliki aktivitas antiksidan sedang maka ekstrak ini dapat
dijadikan sebagai antioksidan.