bab ii tinjauan pustaka 2.1 penyakit gangguan ginjal...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama ≥ 3
bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan presentasi berupa kelainan
struktur hispatologi ginjal, dan pertanda kerusakan ginjal meliputi kelainan
komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal, serta LFG < 60
mL/menit/1,73m2 (Sukandar, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
Saat ini jumlah penyakit ginjal kronik sudah bertambah banyak dari tahun
ke tahun. Jumlah kejadian penyakit ginjal kronik di dunia tahun 2009 menurut
United State Renal Data System (USRDS) terutama di Amerika rata-rata
prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena penyakit ginjal
kronik, dan terjadi peningkatan pada tahun 2013 di Amerika Serikat menjadi 20 –
25% setiap tahun. Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(2009) menyebutkan bahwa prevalensi di Indonesia sebesar 12,5% atau 18 juta
orang dewasa yang terkena penyakit ginjal kronik dan diperkirakan terdapat
70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar
10% setiap tahunnya. Dilaporkan juga menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa
Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi
Universitas Sumatera Utara
10
Kalimantan Timur, NTB, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka
Belitung, Sumatera Selatan, dan Riau (Kemenkes RI, 2013).
Beberapa penelitian telah dilakukan di kota Medan untuk mengetahui
prevalensi penyakit GGK diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh
Romauli (2009), menunjukkan bahwa penderita GGK yang dirawat inap di
RSUD. Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi pada tahun 2007 terdapat 80 orang
(54,1%) dan tahun 2008 terdapat 68 orang (45,9%) (Romauli, 2009). Penelitian
serupa juga telah dilakukan pada pasien GGK rawat inap di RSUP H. Adam
Malik Medan, menunjukkan bahwa pada tahun 2004 – 2007 terus terjadi
peningkatan jumlah pasien GGK, dimana pada tahun 2004 terdapat 116 orang
(12,5%), tahun 2005 terdapat 189 orang (20,2%), tahun 2006 terdapat 275 orang
(29,4%) dan tahun 2007 terdapat 354 orang (37,9%) (Ginting, 2008).
Berdasarkan literatur yang ada, beberapa penelitian mengenai penyesuaian
dosis pasien GGK telah dilakukan dibeberapa Rumah Sakit di Indonesia. Salah
satunya penelitian yang telah dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil tahun 2011
menunjukkan terdapat 7,84% penggunaan obat kategori dosis berlebih yang
diterima pasien gagal ginjal kronik (Trisnawati, 2011). Penelitian terkait juga
telah dilakukan oleh Diantari dan Woro tahun 2005 pada pasien GGK di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta dalam evaluasi penggunaan ACE-I kategori ketepatan
dosis menununjukkan bahwa 95% kasus telah tepat dosis, dan sebesar 67,74%
tidak tepat dosis pada pasien GGK yang mendapat terapi hemodialisis (Diantari
dan Woro, 2005). Namun di kota medan sendiri belum didapatkan secara pasti
data – data terbaru yang menunjukkan seberapa besar persentase pengggunaan
obat pada pasien gangguan ginjal kronik yang memerlukan penyesuaian dosis.
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.3 Etiologi
Penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun
sebaliknya pada hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal.
Kira – kira 10% hipertensi yang terdapat pada GGK berhubungan dengan
aktivitas sistem renin – angiotensin – aldosteron (Sukandar, 2006). Dalam kondisi
normal terdapat autoregulasi pada ginjal yang memungkinkan terdapatnya aliran
darah yang tetap pada ginjal sekaligus mempertahankan laju filtrasi glomerolus
(LFG) pada tekanan rerata arteri sebesar 80 – 160 mmHg. Mekanisme ini berjalan
melalui mekanisme reflek miogenik dan tubuloglomerular feedback. Pada kondisi
yang abnormal kemampuan vasodilatasi sebagai akibat autoregulasi ginjal hanya
dapat dilakukan sampai tekanan arteri rerata sebesar 80 mmHg. Di bawah nilai
tersebut laju filtrasi ginjal dan aliran darah ginjal ikut turun. Tekanan arteri rerata
yang tinggi tidak dapat lagi diatur oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan
tekanan intraglomerulus yang dapat mengakibatkan kerusakan glomerulus dan
menurunnya fungsi ginjal (Williams, 2005).
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi derajat penurunan LFG sangat penting untuk panduan terapi
konservatif dan saat dimulai terapi pengganti faal ginjal. Derajat penyakit ginjal
kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI) (2004) dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
12
Tabel 2.1 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik
Derajat Penjelasan LFG
(ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
meningkat
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Sumber: NKF-K/DOQI (2004)
Adapun untuk mengetahui klasifikasi derajat penurunan faal ginjal
berdasarkan LFG dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG
Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg%)
A Normal Normal
B 50 - 80% Normal Normal – 2,4
C 20 - 50% Normal 2,5 – 4,9
D 10 - 20% Normal 5,0 – 7,9
E 5 - 10% Normal 8,0 – 12,0
F < 5% Normal >12,0
Sumber: International committee for nomenclature and nosology of renal disease
(1975) dalam (Sukandar, 2006).
Berikut adalah hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik pada pasien
gangguan ginjal yaitu:
a. penurunan cadangan faal ginjal (LFG = 40 – 75%)
Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih
dapat dipertahankan normal. Kelompok pasien ini sering ditemukan kebetulan
pada pemeriksaan laboratorium rutin.
b. insufisiensi renal (LFG = 20 – 50%)
Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun
sudah memperlihatkan keluhan – keluhan yang berhubungan dengan retensi
azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hanya ditemukan hipertensi,
Universitas Sumatera Utara
13
anemia dan hiperurikemia. Pasien tahap ini mudah terjun ke sindrom gagal
ginjal akut (GGA) pada seseorang pasien gagal ginjal kronik (GGK), dengan
faktor pencetus yang memperburuk faal ginjal (LFG) sindrom ini sering
berhubungan dengan faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal.
c. gagal ginjal (LFG = 5 – 25%)
Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata: anemia, hipertensi, dehidrasi,
kelainan laboratorium seperti hiperurikemia, kenaikan ureum dan kreatinin
serum, kalium K+ serum biasanya masih normal.
d. sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5%)
Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat
komplek dan melibatkan banyak organ (multi organ) (Sukandar, 2006).
2.2 Farmakokinetik pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Ginjal termasuk organ eliminasi utama disamping hati. Oleh sebab itu
normalitas fungsi ginjal merupakan faktor penentu ekskresi senyawa endogen dan
eksogen (termasuk obat), dan akumulasinya di dalam tubuh. Dalam proses
ekskresi, ginjal melakukan filtrasi, sekresi dan reabsorbsi, yang mana proses ini
dipengaruhi oleh kecepatan dan aliran darah ginjal. Karena berkaitan dengan
sirkulasi sistemik, maka jumlah dan kecepatan ekskresi obat melalui ginjal juga
ditentukan oleh curah jantung, khususnya aliran darah yang menuju dan di ginjal
(renal blood flow) (Hakim, 2013).
Oleh sebab itu setiap kejadiaan yang mengubah aliran darah ginjal akan
mengubah kecepatan dan jumlah obat yang dieksresi oleh ginjal. Disamping itu
dalam proses filtrasi oleh glomeruli, karena yang lolos filtrasi adalah obat yang
tak terikat protein (albumin atau AAG), maka kadar protein darah menentukan
Universitas Sumatera Utara
14
jumlah obat yang terekskresi. Seperti diketahui, karena biosintesis protein terjadi
di hati, maka normalitas fungsi hati secara tidak langsung turut menentukan
kapasitas ekskresi ginjal. Jadi jumlah dan kecepatan ekskresi renal tidak hanya
ditentukan oleh fungsi ginjal, tetapi juga fungsi kardiovaskular dan hati, selain
faktor fisiko-kimiawi obat itu sendiri. Obat – obat yang memiliki rasio ekskresi
renal tinggi (misalnya golongan penisilin dan glukuronat), ekskresinya lebih
tergantung dari perubahan kecepatan aliran darah di ginjal dibandingkan obat
yang memiliki rasio ekskresi renal rendah (misalnya digoksin, furosemid, dan
tetrasiklin). Perubahan aliran darah ginjal sering dapat disamakan dengan
perubahan LFG ketika merancang regimen dosis pada gagal ginjal (Hakim, 2013).
Faktor penting dalam pemberian obat adalah menentukan dosis obat
terapeutik dicapai dan menghindari terjadinya efek toksik. Penentuan dosis obat
ini sangat tergantung pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Pada gagal
ginjal, farmakokinetik dan farmakodinamik obat akan terganggu sehingga
diperlukan penyesuaian dosis obat yang efektif dan aman bagi tubuh. Bagi pasien
gagal ginjal yang menjalani dialisis, beberapa obat dapat dengan mudah
terdialisis, sehingga dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi untuk mencapai dosis
terapeutik (Nasution, et al,. 2003).
Bertitik tolak dari perubahan yang terjadi pada gagal ginjal, beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah:
a. penyesuaian dosis obat agar tidak terjadi akumulasi dan intoksikasi obat
b. pemakaian obat yang bersifat nefrotoksik seperti aminoglikosida, OAINS, zat
kontras dan siklosporin harus dihindari untuk mencegah gangguan fungsi
ginjal yang lebih berat
Universitas Sumatera Utara
15
c. pada pasien yang menjalani dialisis, penyesuaian dosis obat yang mudah
terdialisis harus dilakukan seperti aminoglikosida dan sefalosporin untuk
mencapai efek terapeutik
d. beberapa obat yang dikonver menjadi metabolit aktif dan eliminasinya melaui
ginjal, harus disesuaikan dosisnya (Nasution, et al,. 2003).
2.2.1 Absorbsi dan Bioavailabilitas
Bagian obat yang terpakai dan kecepatan obat memasuki sirkulasi
merupakan hal penting pada pemakaian obat. Pemberian obat secara parenteral
akan segera memasuki pembuluh darah dan masa kerjanya menjadi lebih cepat.
Gagal ginjal akan menurunkan absorbsi dan mengganggu bioavailabilitas obat
yang diberikan secara oral, hal ini terjadi karena waktu pengosongan lambung
yang memanjang, perubahan pH lambung, berkurangnya absorbsi usus dan
gangguan metabolisme di hati. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan berbagai
upaya antara lain mengganti cara pemberian, memberikan obat yang merangsang
motilitas lambung dan menghindari pemberian bersama dengan obat yang
mengganggu absorbsi dan motilitas (Nasution, et al,. 2003).
2.2.2 Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) merupakan rasio antara dosis obat yang diberikan
dan konsentrasi obat dalam plasma. Obat dengan konsentrasi plasma rendah,
seperti digoksin, volume distribusinya hampir sama dengan cairan tubuh total,
sedangkan obat dengan ikatan protein yang kuat mempunyai volume distribusi
lebih rendah. Gangguan fungsi ginjal tidak berpengaruh banyak terhadap volume
distribusi ini. Akan tetapi untuk obat yang sangat kuat berikatan dengan albumin,
oleh karena terjadi gangguan pengikatan albumin, menyebabkan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
16
jumlah obat bebas sehingga terjadi perubahan volume distribusi (Nasution, et al,.
2003).
2.2.3 Metabolisme
Ginjal merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh, tetapi efek
gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua kasus saja, yaitu ginjal
bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivitas vitamin D dan kebutuhan insulin
pada pasien diabetes yang mengalami gagal ginjal akut sering menjadi berkurang.
Pada gagal ginjal kronik terjadi juga perubahan kapasitas metabolisme di hati, dan
organ eliminasi selain ginjal. Jadi pada keadaan ini bukan hanya obat – obat yang
sebagian besar tereliminasi oleh ginjal saja yang terpengaruh, namun obat – obat
yang sebagian besar termetabolisme juga mengalami perubahan klirens (Hakim,
2013).
2.2.4 Ekskresi Ginjal
Fungsi ekskresi ginjal rata – rata berkurang 6 – 10% tiap sepuluh tahun,
ketika seseorang mulai menginjak usia 40 tahun. Akibatnya, karena terjadi
perlambatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular, maka obat dan
metabolitnya cenderung terakumulasi didalam darah, sehingga dapat memperlama
waktu paruh eliminasi dan durasi efek obat. Dilaporkan bahwa kecepatan aliran
darah ginjal berkurang dari 618 – 689 mL/menit pada usia dewasa menjadi 349 –
485 mL/menit pada usia lanjut (Hakim, 2013).
Ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk berbagai obat dan
metabolitnya. Ekskresinya dapat melalui filtrasi glomeruler, sekresi tubulus atau
reabsorpsi. Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling
terpengaruh oleh gangguan ginjal. LFG atau klirens kreatinin dapat digunakan
Universitas Sumatera Utara
17
sebagai perkiraan jumlah nefron yang berfungsi. Apabila filtrasi glomerular
terganggu oleh penyakit ginjal, maka klirens obat tereliminasi terutama melalui
mekanisme ini menjadi lebih panjang. Gagal ginjal juga akan mengubah
reabsorpsi pasif secara tidak langsung, dengan cara mengubah laju aliran urin dan
pH. Contohnya yaitu digoksin, gentamisin, metotreksat, dan furosemid (Hakim,
2013).
2.3 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal
Kreatinin merupakan metabolit endogen yang sangat berguna untuk menilai
fungsi glomerulus. Zat ini umumnya berasal dari metabolisme otot dalam jumlah
bilangan yang masih kasar. Dari kesemuanya diekskresikan melalui ginjal dengan
proses filtrasi glomerulus bebas dengan sekresi tubulus yang minimal. Dalam
keadaan normal (fungsi ginjal, pengaturan diet, massa otot dan metabolisme
normal) kreatinin diproduksi dalam jumlah yang sama dan dieksresikan melalui
urin setiap hari. Sedangkan sekresi melalui tubulus dan saluran pencernaan hanya
dalam jumlah yang sedikit. Dengan demikian penilaian LFG dengan mengukur
konsentrasi kreatinin plasma atau bersihan kreatinin dapat menjadi over non-
glomerulus meningkat akibat terganggunya fungsi ginjal. Over estimasi ini
menjadi lebih progresif dan berat sehingga akibatnya LFG menurun. Beberapa
jenis obat – obatan dapat mempengaruhi sekresi kreatinin melalui tubulus yang
dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kreatinin dan penurunan bersihan
kreatinin tanpa perubahan LFG (Hakim, 2013).
Untuk mengukur bersihan kreatinin, urin pasien harus dikumpulkan selama
24 jam. Konsentrasi plasma kreatinin (per mmol/L) dan konsentrasi kreatinin urin
(mmol/L) juga harus diperiksa. Juga lamanya pengumpulan urin dan volume urin.
Universitas Sumatera Utara
18
Kemudian dapat dihitung bersihan kreatinin. Nilai normal bersihan kreatinin
berkisar 120 ml/menit yang bervariasi dengan ukuran yang dapat dinilai dari luas
permukaan tubuh (Hakim, 2013).
2.3.1 Pemeriksaan kreatinin serum
Dosis obat perlu diukur berdasarkan fungsi ginjal. Semakin buruk fungsi
ginjal, akan semakin rendah pula dosis yang dibutuhkan, untuk itu pemeriksaan
fungsi ginjal sangat penting. Pemeriksaan yang biasa digunakan sebagai acuan
adalah pemeriksaan LFG atau klirens kreatinin (Ashley dan Currie, 2009).
Pemeriksaan konsentrasi kreatinin serum sangat mudah dan secara klinis sangat
berguna untuk menilai LFG (fungsi ginjal). Kreatinin klirens menggambarkan
kesetimbangan antara produksi kreatinin (hasil metabolisme otot) dengan
pengeluarannya oleh ginjal. Peningkatan kreatinin serum dari 1,0 menjadi 2,0
mg/dl menunjukkan penurunan fungsi ginjal, dengan perhitungan secara kasar ±
50% (Hakim, 2013). Variasi LFG mempunyai hubungan terbalik dengan
konsentrasi plasma kreatinin. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Hubungan LFG dengan kreatinin serum
Sumber: (Kidney International Journal, 2006)
Universitas Sumatera Utara
19
2.3.2 Pemeriksaan perhitungan LFG
LFG dapat dihitung dengan beberapa metode diantaranya yaitu persamaan
Cockcroft-Gault dan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD):
a. Persamaan Cockcroft-Gault
Untuk laki-laki:
Untuk perempuan: x 0,85
[usia dalam tahun, berat badan dalam kg, Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, jika
pasien kelebihan berat badan atau kegemukan, digunakan berat badan ideal].
b. Persamaan MDRD
Untuk laki-laki:
GFR (mL/menit/1,73 m2) = 175 x (Scr)
-1,154 x (usia)
-0,203
Untuk perempuan:
GFR pada pria dikalikan 0,742
[Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, usia dalam tahun. Jika pasien kelebihan
berat badan atau kegemukan, kalikan GFR yang diperoleh dengan BSA/1,73
sehingga ditemukan GFR dalam mL/menit].
Perlu dicermati bahwa kedua persamaan tersebut kurang akurat memperkirakan
GFR jika:
a. pasien terlalu banyak mengkonsumsi protein, bahan nabati (vegetarian), atau
sedang menggunakan suplemen keratin atau asam amino.
b. berat badan pasien terlalu kurus atau gemuk.
c. pasien menderita gangguan otot, misalnya otot terlalu besar.
Universitas Sumatera Utara
20
d. pasien yang tergantung dialisis atau menderita gagal ginjal akut (Nasution, et
al,. 2003).
Beberapa studi menyarankan penggunaan persamaan Cockcroft-Gault atau
pengukuran GFR secara langsung daripada MDRD, khususnya untuk pendosisan
obat – obat yang kisar terapeutiknya sempit, atau pada pasien yang peka terhadap
perubahan dosis. Perkiraan fungsi ginjal berkaitan erat dengan pendosisan,
khususnya obat-obat kisar terapi sempit yang diekskresi sebagian besar melalui
ginjal, untuk mendeteksi dini gangguan ginjal, dan kondisi patologik lainnya
(Hakim, 2003).
2.4 Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Problems (DRPs) adalah peristiwa atau keadaan yang tidak
diinginkan yang dialami pasien terkait penggunaan atau diduga melibatkan
penggunaan obat dan berpotensi mempengaruhi hasil optimal pengobatan yang
diinginkan pasien. Kesesuaian dosis merupakan salah satu dari delapan kategori
masalah terkait obat (drug related problems) yang diidentifikasi sebagai kejadian
terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien yang ditinjau dari
kategori dosis terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi. Identifikasi DRPs adalah
fokus penilaian dan keputusan terakhir yang dibuat dalam langkah dari proses
perawatan pasien. Oleh karena itu seorang farmasis harus memahami dan
mempelajari agar dapat mencegah terjadinya DRPs tersebut sehingga dapat
mengurangi angka kematian dan kesakitan dan meningkatkan kualitas hidup
pasien (Cipolle, et al,. 1998).
Universitas Sumatera Utara
21
2.5 Penyesuaian Dosis pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Pada gagal ginjal riwayat penyakit ginjal dan penyakit lainnya (seperti
kelaninan hati) yang mempengaruhi metabolisme obat perlu diketahui dengan
jelas. Juga perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat dan kemungkinan alergi obat.
Catatan medis harus diteliti dengan cermat terutama bila ada penambahan obat
baru. Pemeriksaan fisis seperti tinggi badan, berat badan, bentuk tubuh, status
nutrisi dan adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi untuk pengaturan
dosis obat (Nasution, et al,. 2003).
2.5.1 Dosis Loading
Dosis loading dibutuhkan bila secara klinis diinginkan pencapaian dosis
terapeutik yang lebih cepat. Dalam keadaan normal pencapaian dosis terapeutik
memakan waktu 4-5 x waktu paruh obat. Pada gagal ginjal waktu paruh beberapa
jenis obat akan memanjang sehingga dibutuhkan pemberian dosis loading.
Umumnya dosis loading semua pasien hampir sama tanpa memperhatikan fungsi
ginjal. Akan tetapi penyesuaian dosis tetap diperlukan sesuai dengan perhitungan
berdasarkan berat badan, status hidrasi dan adanya sepsis (Nasution, et al,. 2003).
2.5.2 Dosis Pemeliharaan
Bila kadar terapeutik obat sudah diperoleh, konsentrasi ini harus tetap
dipertahankan untuk menghindarkan toksisitas. Obat dengan waktu paruh panjang
dan cakupan terapi luas, interval pemberiannya dapat diperpanjang, atau juga
dapat dilakukan dengan interval tetap, namun dosisnya disesuaikan. Regimen
pengobatan yang telah diberikan harus tetap dipantau pemakaiannya dengan ketat,
karena kadar obat dapat turun sehingga tidak mencapai efek terapeutik.
Pemeriksaan kadar obat sangat dianjurkan setidaknya setelah pemberian dosis
Universitas Sumatera Utara
22
ketiga sampai kelima. Secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa dosis
loading dengan manfaat cepat, sedangkan dosis pemeliharaan berkaitan degan
toksisitas obat (Hakim, 2013).
2.6 Penyakit Hipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Tujuan dari pengobatan hipertensi pada penyakit GGK adalah untuk
menurunkan tekanan darah, untuk menurunkan resiko terjadinya Cardio Vaskular
Disease pada pasien hipertensi dan memperlambat progresi penyakit ginjal pada
pasien dengan atau tanpa hipertensi (NKF, 2004). Berkembangnya penyakit GGK
dapat diatasi dengan pengobatan hipertensi. Diuretik, β-blocker, ACE-I, dan
antagonis kalsium semuanya efektif pada pasien dengan gagal ginjal dini. ACE-I
dan Calsium Channel blocker (CCB) tidak mengubah metabolisme glukosa atau
lipid, memiliki efek yang diinginkan pada hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki
efek nefroprotektif potensial dengan mengurangi peningkatan resistensi vaskular
ginjal. ACE-I memiliki manfaat tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada
pasien baik dengan penyakit diabetik maupun nondiabetik. Obat ini harus
diberikan dengan hati-hati karena bisa menurunkan aliran darah ginjal dan
memicu gagal ginjal akut, khususnya bila ada stenosis arteri renalis (Suwitra,
2006).
2.6.1 Obat-obat yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK
Sebagian besar obat yang larut air diekskresikan dalam jumlah tertentu
dalam bentuk utuh melalui ginjal. Dosis obat – obat tersebut butuh penyesuaian
yang hati – hati apabila obat tersebut diresepkan pada pasien dengan fungsi ginjal
yang telah menurun. Akumulasi dan toksisitas dapat meningkat dengan cepat
apabila dosis tidak disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi
Universitas Sumatera Utara
23
ginjal. Sebagian besar obat juga memiliki efek samping nefrotik, sehingga dosis
juga harus disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal
(Sukandar, 2006).
Strategi untuk menyesuaikan dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu
dalam terapi obat individu dan membantu meningkatkan keamanan obat. Metode
yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan
mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya
(Munar dan Singh, 2007). Pengetahuan penyesuaian dosis obat untuk pasien
dengan insufisiensi ginjal sangat penting untuk mencegah dan mengurangi
akumulasi obat tersebut dalam tubuh. Angka kejadian efek samping obat pada
pasien GGK ternyata lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang mempunyai
faal ginjal normal (Sukandar, 2006).
Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis
obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau
memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat
efek terapeutik maksimal tanpa efek samping. Berikut beberapa macam obat –
obat yang perlu penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien dengan gangguan
ginjal, yaitu:
a. antibiotik/antifungi: aminoglikosida (gentamisin) carbapenems (meropenem)
b. antikoagulan: low molecular weight heparins (enoxaparin)
c. obat jantung: digoksin dan atenolol
d. diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit maka hindari
penggunaan obat diuretik yang menahan kalium, obat thiazide akan berkurang
efektifitasnya
Universitas Sumatera Utara
24
e. psikotropika/antikejang: lithium dan topiramate
f. obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid dan insulin
g. obat lain: methotrexate dan penicillamine (Ashley dan Currie, 2004).
2.6.2 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Pasien dengan hipertensi kronis akan terjadi perubahan pada arteriol ginjal
temasuk arteriol aferen yang mengakibatkan kehilangan refleks miogeniknya
sehingga tekanan intraglomerular menjadi bervariasi menyesuaikan dengan
tekanan arteri rerata. Gangguan pada autoregulasi ginjal menjelaskan mengapa
pada pasien dengan hipertensi dan penyakit ginjal kronik lebih cenderung terjadi
peningkatan kadar serum kreatinin ketika tekanan darah menurun (Williams,
2005).
Terdapat banyak kelas atau golongan obat antihipertensi yang dapat
digunakan, tetapi beberapa obat yang sering digunakan dan direkomendasikan
sebagai first-line therapy, yaitu ACE-inhibitor, β-blocker, CCB dan diuretik.
Penggunaan obat-obat ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan
obat awal pada pasien harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain: umur,
riwayat perjalanan penyakit, faktor risiko, kerusakan target organ, diabetes,
indikasi dan kontraindikasi. Indikasi spesifik dan target dalam strategi pemilihan
obat antihipertensi tergantung dari profil faktor risiko, penyakit penyerta seperti
diabetes, penyakit ginjal, dan pembesaran atau disfungsi ventrikel kiri (Sutter,
2007).
a. Golongan Diuretik
Salah satu contoh obat yang termasuk dalam golongan diuretik kuat adalah
furosemid. Furosemid biasanya digunakan pada penderita hipertensi dengan
Universitas Sumatera Utara
25
gangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin serum lebih dari 2,3 mg/dl (Lim,
2009). Secara farmakokinetik furosemid memiliki volume distribusi sebesar 0,07-
0,2 L/kg, terikat oleh protein plasma sebesar 91-99% dan 80-90% diekskresikan
dalam bentuk tidak berubah. Selain diuretik kuat juga terdapat diuretik tiazid yang
dapat mengurangi tekanan sebesar 10-15 mmHg. Diantara obat tiazid,
hidroklortiazid merupakan obat yang paling sering digunakan. Secara
farmakokinetik diabsorbsi dengan baik dalam traktus gastrointestinal (GI).
Hidroklortiazid memiliki kekuatan ikat protein yang lebih lemah dibandingkan
dengan furosemid. Waktu paruh tiazid lebih panjang daripada diuretik kuat. Maka
untuk alasan ini tiazid harus diberikan pada pagi hari untuk menghindari nokturia
(Ashley dan Currie, 2009).
Furosemid lebih efektif daripada tiazid, bekerja dengan cepat, dan memiliki
lama kerja yang lebih pendek daripada tiazid kerja pendek, dan diekskresi lebih
cepat (Sukandar, 2006). Jenis obat diuretik lainnya yang sering digunakan adalah
spironolakton. Spironolakton mengalami metabolisme yang cepat dan luas.
Sebagian besar pemberian peroral diubah menjadi metabolit aktif (Raharjo, 2008).
Penggunaan diuretik dapat efektif untuk mencegah hiperkalemi, tetapi
penggunaan diuretik tiazid hanya dapat diberikan pada kadar kreatinin di bawah
1,8 mg/dL. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dapat dilakukan
pemantauan kadar kalium setiap 1-2 minggu pada awal terapi (Williams, 2005).
b. Golongan ACE-Inhibitor
Obat golongan ACE-I yang sering digunakan adalah kaptopril. Setelah
pemberian secara oral kaptopril secara cepat diabsorpsi dan mencapai kadar
puncak dalam 1 jam, adanya makanan dalam saluran gastrointestinal akan
Universitas Sumatera Utara
26
menurunkan absorpsi sebesar 30-40%. Dalam distribusinya sekitar 25-30% terikat
oleh protein, 90% diekskresikan melalui ginjal, dan waktu paruhnya sekitar 3 jam,
serta 40-50%nya dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (Ashley dan Currie,
2009). Oleh karena itu golongan ACE-I seperti kaptopril, benazapril dan ramipril
diperlukan penyesuaian dosis yaitu penurunan dosis berdasarkan nilai LFG dan
diberikan tunggal (lampiran 6).
c. Golongan β – blocker
Golongan β – blocker merupakan salah satu obat yang sering digunakan
untuk mengatasi hipertensi. Dalam distribusinya sekitar 30% terikat oleh protein
dan sebesar 50% dieksresikan tidak berubah dalam urin dengan waktu paruh
selama 9 – 12 jam (Ashley dan Currie, 2009). Beberapa β – blocker tidak
dianjurkan untuk pasien gagal ginjal dengan atau tanpa dialisis (seperti acebutol,
atenolol, nadolol, pindolol dan sotalol). Carvedilol dapat diberikan pada gagal
ginjal dengan dosis harian 6,25 - 12,5 mg b.i.d, tidak tereliminasi dengan prosedur
HD (non – dialyzable drugs). Namun terdapat obat yang memerlukan penyesuaian
dosis seperti bisoprolol, maka penyesuaian dosis dilakukan berdasarkan nilai LFG
pada pasien dengan gangguan ginjal kronik (lampiran 6) (Sukandar, 2006).
d. Golongan Calcium Channel Blockers (CCB)
Golongan Calcium Channel Blockers yang sering digunakan diantaranya
adalah nifedipin dan amlodipin. Nifedipin mudah diabsorbsi pada pemberian per
oral dan sublingual, sebesar 92-98% terikat oleh protein plasma dan sebesar 1%
dieksresikan dalam bentuk metabolit tidak aktif melalui urin serta mempunyai
volume distribusi sebesar 1,4 L/kg. Nifedipin dalam dosis tunggal dieksresikan
Universitas Sumatera Utara
27
sebesar 80% dalam waktu 24 jam. Insufisiensi ginjal tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap farmakokinetik nifedipin (Ashley dan Currie, 2009).
Setelah pemberian dosis terapeutik secara oral, amlodipin diabsorbsi dengan
baik dan kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 6 – 12 jam. Volume
distribusi amlodipin kira-kira 20 L/kg. Waktu paruh eliminasi plasma terminal
adalah 35 – 50 jam dan konsisten pada pemberian dosis sekali sehari. Sebanyak
97,5% amlodipin dalam sirkulasi terikat dengan protein plasma. Amlodipin
sebagian besar dimetabolisme dihati menjadi metabolit inaktif, diekskresikan
melalui urin sebesar 10% dalam bentuk tidak berubah dan 60% sebagai metabolit
(Ashley dan Currie, 2009).
e. Golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Golongan obat antihipertensi Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
dianjurkan untuk pasien dialisis, karena tidak diperlukan penyesuaian dosis,
semua ARB termasuk non – dialyzable drugs. Misalnya: Candesartan, Losartan
dan Valsartan (Sukandar, 2006). Secara farmakokinetik valsartan mempunyai
distribusi sekitar 94-97% terikat oleh protein dan mempunyai volume distribusi
sebesar 17 L/kg serta sebesar 13% dieksresikan dalam bentuk tidak berubah
(Ashley dan Currie, 2009).
Saat terapi obat antihipertensi telah diberikan pada pasien maka harus
dilakukan pemantauan dan di follow up serta dilakukan penyesuaian dosis sesuai
kondisi pasien secara terus menerus sampai tercapai tekanan darah yang
diinginkan. Kunjungan lebih diperlukan pada pasien dengan hipertensi derajat 2
atau dengan penyakit penyerta. Kadar kalium dan kreatinin plasma harus
dimonitor paling tidak 1-2 kali dalam 1 tahun. Setelah tekanan darah dicapai dan
Universitas Sumatera Utara
28
stabil maka follow up biasanya dapat dilakukan dengan interval 3 – 6 bulan sekali,
tetapi adanya penyakit penyerta seperti gagal jantung, diabetes akan
mempengaruhi frekuensi kunjungan berkaitan dengan pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan untuk memonitor perkembangan penyakit (Yogiantoro, 2006).
2.7 Program Pelayanan Kesehatan dalam Periode Pengamatan
2.7.1 Periode JAMKESMAS
JAMKESMAS merupakan program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara
Nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan
kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Sasaran program/peserta
JAMKESMAS adalah masyarakat miskin dan tidak mampu diseluruh Indonesia
sejumlah 76,4 juta jiwa, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan
kesehatan (Depkes, 2009).
Tujuan dalam pelaksanaan JAMKESMAS ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum program JAMKESMAS adalah meningkatkan akses
dan mutu pelayanan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal secara
efektif dan efisien bagi seluruh pasien JAMKESMAS.
b. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus program JAMKESMAS ini adalah:
a. memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada peserta
diseluruh jaringan JAMKESMAS
Universitas Sumatera Utara
29
b. mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang terstandar bagi peserta,
tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biayanya
c. terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan aktual (Depkes,
2009).
2.7.2 Periode BPJS
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa BPJS diselenggarakan oleh empat BPJS,
yaitu PT. JAMSOSTEK, PT. TASPEN, PT. ASABRI, dan PT. ASKES, kedepan
BPJS dilaksanakan oleh dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan (Zaelani, 2012).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) ditetapkan bahwa operasional BPJS Kesehatan dimulai
sejak tanggal 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan sebagai Badan Pelaksana
merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia Berdasarkan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan dari BPJS adalah untuk
mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan kesehatan yang layak bagi
setiap peserta dan/atau anggota keluarganya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar
hidup penduduk Indonesia (Idris, 2014).
Universitas Sumatera Utara