bab ii tinjauan pustaka 2.1 penyakit gangguan ginjal...

21
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama ≥ 3 bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan presentasi berupa kelainan struktur hispatologi ginjal, dan pertanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal, serta LFG < 60 mL/menit/1,73m 2 (Sukandar, 2006). 2.1.2 Epidemiologi Saat ini jumlah penyakit ginjal kronik sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun. Jumlah kejadian penyakit ginjal kronik di dunia tahun 2009 menurut United State Renal Data System (USRDS) terutama di Amerika rata-rata prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena penyakit ginjal kronik, dan terjadi peningkatan pada tahun 2013 di Amerika Serikat menjadi 20 25% setiap tahun. Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2009) menyebutkan bahwa prevalensi di Indonesia sebesar 12,5% atau 18 juta orang dewasa yang terkena penyakit ginjal kronik dan diperkirakan terdapat 70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya. Dilaporkan juga menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi Universitas Sumatera Utara

Upload: vothien

Post on 18-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama ≥ 3

bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa

penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan presentasi berupa kelainan

struktur hispatologi ginjal, dan pertanda kerusakan ginjal meliputi kelainan

komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal, serta LFG < 60

mL/menit/1,73m2 (Sukandar, 2006).

2.1.2 Epidemiologi

Saat ini jumlah penyakit ginjal kronik sudah bertambah banyak dari tahun

ke tahun. Jumlah kejadian penyakit ginjal kronik di dunia tahun 2009 menurut

United State Renal Data System (USRDS) terutama di Amerika rata-rata

prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena penyakit ginjal

kronik, dan terjadi peningkatan pada tahun 2013 di Amerika Serikat menjadi 20 –

25% setiap tahun. Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia

(2009) menyebutkan bahwa prevalensi di Indonesia sebesar 12,5% atau 18 juta

orang dewasa yang terkena penyakit ginjal kronik dan diperkirakan terdapat

70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar

10% setiap tahunnya. Dilaporkan juga menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa

Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi

Universitas Sumatera Utara

10

Kalimantan Timur, NTB, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka

Belitung, Sumatera Selatan, dan Riau (Kemenkes RI, 2013).

Beberapa penelitian telah dilakukan di kota Medan untuk mengetahui

prevalensi penyakit GGK diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh

Romauli (2009), menunjukkan bahwa penderita GGK yang dirawat inap di

RSUD. Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi pada tahun 2007 terdapat 80 orang

(54,1%) dan tahun 2008 terdapat 68 orang (45,9%) (Romauli, 2009). Penelitian

serupa juga telah dilakukan pada pasien GGK rawat inap di RSUP H. Adam

Malik Medan, menunjukkan bahwa pada tahun 2004 – 2007 terus terjadi

peningkatan jumlah pasien GGK, dimana pada tahun 2004 terdapat 116 orang

(12,5%), tahun 2005 terdapat 189 orang (20,2%), tahun 2006 terdapat 275 orang

(29,4%) dan tahun 2007 terdapat 354 orang (37,9%) (Ginting, 2008).

Berdasarkan literatur yang ada, beberapa penelitian mengenai penyesuaian

dosis pasien GGK telah dilakukan dibeberapa Rumah Sakit di Indonesia. Salah

satunya penelitian yang telah dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil tahun 2011

menunjukkan terdapat 7,84% penggunaan obat kategori dosis berlebih yang

diterima pasien gagal ginjal kronik (Trisnawati, 2011). Penelitian terkait juga

telah dilakukan oleh Diantari dan Woro tahun 2005 pada pasien GGK di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta dalam evaluasi penggunaan ACE-I kategori ketepatan

dosis menununjukkan bahwa 95% kasus telah tepat dosis, dan sebesar 67,74%

tidak tepat dosis pada pasien GGK yang mendapat terapi hemodialisis (Diantari

dan Woro, 2005). Namun di kota medan sendiri belum didapatkan secara pasti

data – data terbaru yang menunjukkan seberapa besar persentase pengggunaan

obat pada pasien gangguan ginjal kronik yang memerlukan penyesuaian dosis.

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.3 Etiologi

Penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun

sebaliknya pada hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal.

Kira – kira 10% hipertensi yang terdapat pada GGK berhubungan dengan

aktivitas sistem renin – angiotensin – aldosteron (Sukandar, 2006). Dalam kondisi

normal terdapat autoregulasi pada ginjal yang memungkinkan terdapatnya aliran

darah yang tetap pada ginjal sekaligus mempertahankan laju filtrasi glomerolus

(LFG) pada tekanan rerata arteri sebesar 80 – 160 mmHg. Mekanisme ini berjalan

melalui mekanisme reflek miogenik dan tubuloglomerular feedback. Pada kondisi

yang abnormal kemampuan vasodilatasi sebagai akibat autoregulasi ginjal hanya

dapat dilakukan sampai tekanan arteri rerata sebesar 80 mmHg. Di bawah nilai

tersebut laju filtrasi ginjal dan aliran darah ginjal ikut turun. Tekanan arteri rerata

yang tinggi tidak dapat lagi diatur oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan

tekanan intraglomerulus yang dapat mengakibatkan kerusakan glomerulus dan

menurunnya fungsi ginjal (Williams, 2005).

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi derajat penurunan LFG sangat penting untuk panduan terapi

konservatif dan saat dimulai terapi pengganti faal ginjal. Derajat penyakit ginjal

kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation

Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI) (2004) dapat dilihat

pada Tabel 2.1.

Universitas Sumatera Utara

12

Tabel 2.1 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik

Derajat Penjelasan LFG

(ml/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

meningkat

≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Sumber: NKF-K/DOQI (2004)

Adapun untuk mengetahui klasifikasi derajat penurunan faal ginjal

berdasarkan LFG dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG

Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg%)

A Normal Normal

B 50 - 80% Normal Normal – 2,4

C 20 - 50% Normal 2,5 – 4,9

D 10 - 20% Normal 5,0 – 7,9

E 5 - 10% Normal 8,0 – 12,0

F < 5% Normal >12,0

Sumber: International committee for nomenclature and nosology of renal disease

(1975) dalam (Sukandar, 2006).

Berikut adalah hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik pada pasien

gangguan ginjal yaitu:

a. penurunan cadangan faal ginjal (LFG = 40 – 75%)

Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih

dapat dipertahankan normal. Kelompok pasien ini sering ditemukan kebetulan

pada pemeriksaan laboratorium rutin.

b. insufisiensi renal (LFG = 20 – 50%)

Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun

sudah memperlihatkan keluhan – keluhan yang berhubungan dengan retensi

azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hanya ditemukan hipertensi,

Universitas Sumatera Utara

13

anemia dan hiperurikemia. Pasien tahap ini mudah terjun ke sindrom gagal

ginjal akut (GGA) pada seseorang pasien gagal ginjal kronik (GGK), dengan

faktor pencetus yang memperburuk faal ginjal (LFG) sindrom ini sering

berhubungan dengan faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal.

c. gagal ginjal (LFG = 5 – 25%)

Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata: anemia, hipertensi, dehidrasi,

kelainan laboratorium seperti hiperurikemia, kenaikan ureum dan kreatinin

serum, kalium K+ serum biasanya masih normal.

d. sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5%)

Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat

komplek dan melibatkan banyak organ (multi organ) (Sukandar, 2006).

2.2 Farmakokinetik pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Ginjal termasuk organ eliminasi utama disamping hati. Oleh sebab itu

normalitas fungsi ginjal merupakan faktor penentu ekskresi senyawa endogen dan

eksogen (termasuk obat), dan akumulasinya di dalam tubuh. Dalam proses

ekskresi, ginjal melakukan filtrasi, sekresi dan reabsorbsi, yang mana proses ini

dipengaruhi oleh kecepatan dan aliran darah ginjal. Karena berkaitan dengan

sirkulasi sistemik, maka jumlah dan kecepatan ekskresi obat melalui ginjal juga

ditentukan oleh curah jantung, khususnya aliran darah yang menuju dan di ginjal

(renal blood flow) (Hakim, 2013).

Oleh sebab itu setiap kejadiaan yang mengubah aliran darah ginjal akan

mengubah kecepatan dan jumlah obat yang dieksresi oleh ginjal. Disamping itu

dalam proses filtrasi oleh glomeruli, karena yang lolos filtrasi adalah obat yang

tak terikat protein (albumin atau AAG), maka kadar protein darah menentukan

Universitas Sumatera Utara

14

jumlah obat yang terekskresi. Seperti diketahui, karena biosintesis protein terjadi

di hati, maka normalitas fungsi hati secara tidak langsung turut menentukan

kapasitas ekskresi ginjal. Jadi jumlah dan kecepatan ekskresi renal tidak hanya

ditentukan oleh fungsi ginjal, tetapi juga fungsi kardiovaskular dan hati, selain

faktor fisiko-kimiawi obat itu sendiri. Obat – obat yang memiliki rasio ekskresi

renal tinggi (misalnya golongan penisilin dan glukuronat), ekskresinya lebih

tergantung dari perubahan kecepatan aliran darah di ginjal dibandingkan obat

yang memiliki rasio ekskresi renal rendah (misalnya digoksin, furosemid, dan

tetrasiklin). Perubahan aliran darah ginjal sering dapat disamakan dengan

perubahan LFG ketika merancang regimen dosis pada gagal ginjal (Hakim, 2013).

Faktor penting dalam pemberian obat adalah menentukan dosis obat

terapeutik dicapai dan menghindari terjadinya efek toksik. Penentuan dosis obat

ini sangat tergantung pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Pada gagal

ginjal, farmakokinetik dan farmakodinamik obat akan terganggu sehingga

diperlukan penyesuaian dosis obat yang efektif dan aman bagi tubuh. Bagi pasien

gagal ginjal yang menjalani dialisis, beberapa obat dapat dengan mudah

terdialisis, sehingga dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi untuk mencapai dosis

terapeutik (Nasution, et al,. 2003).

Bertitik tolak dari perubahan yang terjadi pada gagal ginjal, beberapa hal

yang harus diperhatikan adalah:

a. penyesuaian dosis obat agar tidak terjadi akumulasi dan intoksikasi obat

b. pemakaian obat yang bersifat nefrotoksik seperti aminoglikosida, OAINS, zat

kontras dan siklosporin harus dihindari untuk mencegah gangguan fungsi

ginjal yang lebih berat

Universitas Sumatera Utara

15

c. pada pasien yang menjalani dialisis, penyesuaian dosis obat yang mudah

terdialisis harus dilakukan seperti aminoglikosida dan sefalosporin untuk

mencapai efek terapeutik

d. beberapa obat yang dikonver menjadi metabolit aktif dan eliminasinya melaui

ginjal, harus disesuaikan dosisnya (Nasution, et al,. 2003).

2.2.1 Absorbsi dan Bioavailabilitas

Bagian obat yang terpakai dan kecepatan obat memasuki sirkulasi

merupakan hal penting pada pemakaian obat. Pemberian obat secara parenteral

akan segera memasuki pembuluh darah dan masa kerjanya menjadi lebih cepat.

Gagal ginjal akan menurunkan absorbsi dan mengganggu bioavailabilitas obat

yang diberikan secara oral, hal ini terjadi karena waktu pengosongan lambung

yang memanjang, perubahan pH lambung, berkurangnya absorbsi usus dan

gangguan metabolisme di hati. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan berbagai

upaya antara lain mengganti cara pemberian, memberikan obat yang merangsang

motilitas lambung dan menghindari pemberian bersama dengan obat yang

mengganggu absorbsi dan motilitas (Nasution, et al,. 2003).

2.2.2 Volume Distribusi

Volume distribusi (Vd) merupakan rasio antara dosis obat yang diberikan

dan konsentrasi obat dalam plasma. Obat dengan konsentrasi plasma rendah,

seperti digoksin, volume distribusinya hampir sama dengan cairan tubuh total,

sedangkan obat dengan ikatan protein yang kuat mempunyai volume distribusi

lebih rendah. Gangguan fungsi ginjal tidak berpengaruh banyak terhadap volume

distribusi ini. Akan tetapi untuk obat yang sangat kuat berikatan dengan albumin,

oleh karena terjadi gangguan pengikatan albumin, menyebabkan peningkatan

Universitas Sumatera Utara

16

jumlah obat bebas sehingga terjadi perubahan volume distribusi (Nasution, et al,.

2003).

2.2.3 Metabolisme

Ginjal merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh, tetapi efek

gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua kasus saja, yaitu ginjal

bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivitas vitamin D dan kebutuhan insulin

pada pasien diabetes yang mengalami gagal ginjal akut sering menjadi berkurang.

Pada gagal ginjal kronik terjadi juga perubahan kapasitas metabolisme di hati, dan

organ eliminasi selain ginjal. Jadi pada keadaan ini bukan hanya obat – obat yang

sebagian besar tereliminasi oleh ginjal saja yang terpengaruh, namun obat – obat

yang sebagian besar termetabolisme juga mengalami perubahan klirens (Hakim,

2013).

2.2.4 Ekskresi Ginjal

Fungsi ekskresi ginjal rata – rata berkurang 6 – 10% tiap sepuluh tahun,

ketika seseorang mulai menginjak usia 40 tahun. Akibatnya, karena terjadi

perlambatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular, maka obat dan

metabolitnya cenderung terakumulasi didalam darah, sehingga dapat memperlama

waktu paruh eliminasi dan durasi efek obat. Dilaporkan bahwa kecepatan aliran

darah ginjal berkurang dari 618 – 689 mL/menit pada usia dewasa menjadi 349 –

485 mL/menit pada usia lanjut (Hakim, 2013).

Ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk berbagai obat dan

metabolitnya. Ekskresinya dapat melalui filtrasi glomeruler, sekresi tubulus atau

reabsorpsi. Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling

terpengaruh oleh gangguan ginjal. LFG atau klirens kreatinin dapat digunakan

Universitas Sumatera Utara

17

sebagai perkiraan jumlah nefron yang berfungsi. Apabila filtrasi glomerular

terganggu oleh penyakit ginjal, maka klirens obat tereliminasi terutama melalui

mekanisme ini menjadi lebih panjang. Gagal ginjal juga akan mengubah

reabsorpsi pasif secara tidak langsung, dengan cara mengubah laju aliran urin dan

pH. Contohnya yaitu digoksin, gentamisin, metotreksat, dan furosemid (Hakim,

2013).

2.3 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal

Kreatinin merupakan metabolit endogen yang sangat berguna untuk menilai

fungsi glomerulus. Zat ini umumnya berasal dari metabolisme otot dalam jumlah

bilangan yang masih kasar. Dari kesemuanya diekskresikan melalui ginjal dengan

proses filtrasi glomerulus bebas dengan sekresi tubulus yang minimal. Dalam

keadaan normal (fungsi ginjal, pengaturan diet, massa otot dan metabolisme

normal) kreatinin diproduksi dalam jumlah yang sama dan dieksresikan melalui

urin setiap hari. Sedangkan sekresi melalui tubulus dan saluran pencernaan hanya

dalam jumlah yang sedikit. Dengan demikian penilaian LFG dengan mengukur

konsentrasi kreatinin plasma atau bersihan kreatinin dapat menjadi over non-

glomerulus meningkat akibat terganggunya fungsi ginjal. Over estimasi ini

menjadi lebih progresif dan berat sehingga akibatnya LFG menurun. Beberapa

jenis obat – obatan dapat mempengaruhi sekresi kreatinin melalui tubulus yang

dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kreatinin dan penurunan bersihan

kreatinin tanpa perubahan LFG (Hakim, 2013).

Untuk mengukur bersihan kreatinin, urin pasien harus dikumpulkan selama

24 jam. Konsentrasi plasma kreatinin (per mmol/L) dan konsentrasi kreatinin urin

(mmol/L) juga harus diperiksa. Juga lamanya pengumpulan urin dan volume urin.

Universitas Sumatera Utara

18

Kemudian dapat dihitung bersihan kreatinin. Nilai normal bersihan kreatinin

berkisar 120 ml/menit yang bervariasi dengan ukuran yang dapat dinilai dari luas

permukaan tubuh (Hakim, 2013).

2.3.1 Pemeriksaan kreatinin serum

Dosis obat perlu diukur berdasarkan fungsi ginjal. Semakin buruk fungsi

ginjal, akan semakin rendah pula dosis yang dibutuhkan, untuk itu pemeriksaan

fungsi ginjal sangat penting. Pemeriksaan yang biasa digunakan sebagai acuan

adalah pemeriksaan LFG atau klirens kreatinin (Ashley dan Currie, 2009).

Pemeriksaan konsentrasi kreatinin serum sangat mudah dan secara klinis sangat

berguna untuk menilai LFG (fungsi ginjal). Kreatinin klirens menggambarkan

kesetimbangan antara produksi kreatinin (hasil metabolisme otot) dengan

pengeluarannya oleh ginjal. Peningkatan kreatinin serum dari 1,0 menjadi 2,0

mg/dl menunjukkan penurunan fungsi ginjal, dengan perhitungan secara kasar ±

50% (Hakim, 2013). Variasi LFG mempunyai hubungan terbalik dengan

konsentrasi plasma kreatinin. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Hubungan LFG dengan kreatinin serum

Sumber: (Kidney International Journal, 2006)

Universitas Sumatera Utara

19

2.3.2 Pemeriksaan perhitungan LFG

LFG dapat dihitung dengan beberapa metode diantaranya yaitu persamaan

Cockcroft-Gault dan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD):

a. Persamaan Cockcroft-Gault

Untuk laki-laki:

Untuk perempuan: x 0,85

[usia dalam tahun, berat badan dalam kg, Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, jika

pasien kelebihan berat badan atau kegemukan, digunakan berat badan ideal].

b. Persamaan MDRD

Untuk laki-laki:

GFR (mL/menit/1,73 m2) = 175 x (Scr)

-1,154 x (usia)

-0,203

Untuk perempuan:

GFR pada pria dikalikan 0,742

[Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, usia dalam tahun. Jika pasien kelebihan

berat badan atau kegemukan, kalikan GFR yang diperoleh dengan BSA/1,73

sehingga ditemukan GFR dalam mL/menit].

Perlu dicermati bahwa kedua persamaan tersebut kurang akurat memperkirakan

GFR jika:

a. pasien terlalu banyak mengkonsumsi protein, bahan nabati (vegetarian), atau

sedang menggunakan suplemen keratin atau asam amino.

b. berat badan pasien terlalu kurus atau gemuk.

c. pasien menderita gangguan otot, misalnya otot terlalu besar.

Universitas Sumatera Utara

20

d. pasien yang tergantung dialisis atau menderita gagal ginjal akut (Nasution, et

al,. 2003).

Beberapa studi menyarankan penggunaan persamaan Cockcroft-Gault atau

pengukuran GFR secara langsung daripada MDRD, khususnya untuk pendosisan

obat – obat yang kisar terapeutiknya sempit, atau pada pasien yang peka terhadap

perubahan dosis. Perkiraan fungsi ginjal berkaitan erat dengan pendosisan,

khususnya obat-obat kisar terapi sempit yang diekskresi sebagian besar melalui

ginjal, untuk mendeteksi dini gangguan ginjal, dan kondisi patologik lainnya

(Hakim, 2003).

2.4 Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) adalah peristiwa atau keadaan yang tidak

diinginkan yang dialami pasien terkait penggunaan atau diduga melibatkan

penggunaan obat dan berpotensi mempengaruhi hasil optimal pengobatan yang

diinginkan pasien. Kesesuaian dosis merupakan salah satu dari delapan kategori

masalah terkait obat (drug related problems) yang diidentifikasi sebagai kejadian

terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien yang ditinjau dari

kategori dosis terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi. Identifikasi DRPs adalah

fokus penilaian dan keputusan terakhir yang dibuat dalam langkah dari proses

perawatan pasien. Oleh karena itu seorang farmasis harus memahami dan

mempelajari agar dapat mencegah terjadinya DRPs tersebut sehingga dapat

mengurangi angka kematian dan kesakitan dan meningkatkan kualitas hidup

pasien (Cipolle, et al,. 1998).

Universitas Sumatera Utara

21

2.5 Penyesuaian Dosis pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Pada gagal ginjal riwayat penyakit ginjal dan penyakit lainnya (seperti

kelaninan hati) yang mempengaruhi metabolisme obat perlu diketahui dengan

jelas. Juga perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat dan kemungkinan alergi obat.

Catatan medis harus diteliti dengan cermat terutama bila ada penambahan obat

baru. Pemeriksaan fisis seperti tinggi badan, berat badan, bentuk tubuh, status

nutrisi dan adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi untuk pengaturan

dosis obat (Nasution, et al,. 2003).

2.5.1 Dosis Loading

Dosis loading dibutuhkan bila secara klinis diinginkan pencapaian dosis

terapeutik yang lebih cepat. Dalam keadaan normal pencapaian dosis terapeutik

memakan waktu 4-5 x waktu paruh obat. Pada gagal ginjal waktu paruh beberapa

jenis obat akan memanjang sehingga dibutuhkan pemberian dosis loading.

Umumnya dosis loading semua pasien hampir sama tanpa memperhatikan fungsi

ginjal. Akan tetapi penyesuaian dosis tetap diperlukan sesuai dengan perhitungan

berdasarkan berat badan, status hidrasi dan adanya sepsis (Nasution, et al,. 2003).

2.5.2 Dosis Pemeliharaan

Bila kadar terapeutik obat sudah diperoleh, konsentrasi ini harus tetap

dipertahankan untuk menghindarkan toksisitas. Obat dengan waktu paruh panjang

dan cakupan terapi luas, interval pemberiannya dapat diperpanjang, atau juga

dapat dilakukan dengan interval tetap, namun dosisnya disesuaikan. Regimen

pengobatan yang telah diberikan harus tetap dipantau pemakaiannya dengan ketat,

karena kadar obat dapat turun sehingga tidak mencapai efek terapeutik.

Pemeriksaan kadar obat sangat dianjurkan setidaknya setelah pemberian dosis

Universitas Sumatera Utara

22

ketiga sampai kelima. Secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa dosis

loading dengan manfaat cepat, sedangkan dosis pemeliharaan berkaitan degan

toksisitas obat (Hakim, 2013).

2.6 Penyakit Hipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Tujuan dari pengobatan hipertensi pada penyakit GGK adalah untuk

menurunkan tekanan darah, untuk menurunkan resiko terjadinya Cardio Vaskular

Disease pada pasien hipertensi dan memperlambat progresi penyakit ginjal pada

pasien dengan atau tanpa hipertensi (NKF, 2004). Berkembangnya penyakit GGK

dapat diatasi dengan pengobatan hipertensi. Diuretik, β-blocker, ACE-I, dan

antagonis kalsium semuanya efektif pada pasien dengan gagal ginjal dini. ACE-I

dan Calsium Channel blocker (CCB) tidak mengubah metabolisme glukosa atau

lipid, memiliki efek yang diinginkan pada hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki

efek nefroprotektif potensial dengan mengurangi peningkatan resistensi vaskular

ginjal. ACE-I memiliki manfaat tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada

pasien baik dengan penyakit diabetik maupun nondiabetik. Obat ini harus

diberikan dengan hati-hati karena bisa menurunkan aliran darah ginjal dan

memicu gagal ginjal akut, khususnya bila ada stenosis arteri renalis (Suwitra,

2006).

2.6.1 Obat-obat yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK

Sebagian besar obat yang larut air diekskresikan dalam jumlah tertentu

dalam bentuk utuh melalui ginjal. Dosis obat – obat tersebut butuh penyesuaian

yang hati – hati apabila obat tersebut diresepkan pada pasien dengan fungsi ginjal

yang telah menurun. Akumulasi dan toksisitas dapat meningkat dengan cepat

apabila dosis tidak disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi

Universitas Sumatera Utara

23

ginjal. Sebagian besar obat juga memiliki efek samping nefrotik, sehingga dosis

juga harus disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal

(Sukandar, 2006).

Strategi untuk menyesuaikan dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu

dalam terapi obat individu dan membantu meningkatkan keamanan obat. Metode

yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan

mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya

(Munar dan Singh, 2007). Pengetahuan penyesuaian dosis obat untuk pasien

dengan insufisiensi ginjal sangat penting untuk mencegah dan mengurangi

akumulasi obat tersebut dalam tubuh. Angka kejadian efek samping obat pada

pasien GGK ternyata lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang mempunyai

faal ginjal normal (Sukandar, 2006).

Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis

obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau

memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat

efek terapeutik maksimal tanpa efek samping. Berikut beberapa macam obat –

obat yang perlu penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien dengan gangguan

ginjal, yaitu:

a. antibiotik/antifungi: aminoglikosida (gentamisin) carbapenems (meropenem)

b. antikoagulan: low molecular weight heparins (enoxaparin)

c. obat jantung: digoksin dan atenolol

d. diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit maka hindari

penggunaan obat diuretik yang menahan kalium, obat thiazide akan berkurang

efektifitasnya

Universitas Sumatera Utara

24

e. psikotropika/antikejang: lithium dan topiramate

f. obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid dan insulin

g. obat lain: methotrexate dan penicillamine (Ashley dan Currie, 2004).

2.6.2 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Pasien dengan hipertensi kronis akan terjadi perubahan pada arteriol ginjal

temasuk arteriol aferen yang mengakibatkan kehilangan refleks miogeniknya

sehingga tekanan intraglomerular menjadi bervariasi menyesuaikan dengan

tekanan arteri rerata. Gangguan pada autoregulasi ginjal menjelaskan mengapa

pada pasien dengan hipertensi dan penyakit ginjal kronik lebih cenderung terjadi

peningkatan kadar serum kreatinin ketika tekanan darah menurun (Williams,

2005).

Terdapat banyak kelas atau golongan obat antihipertensi yang dapat

digunakan, tetapi beberapa obat yang sering digunakan dan direkomendasikan

sebagai first-line therapy, yaitu ACE-inhibitor, β-blocker, CCB dan diuretik.

Penggunaan obat-obat ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan

obat awal pada pasien harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain: umur,

riwayat perjalanan penyakit, faktor risiko, kerusakan target organ, diabetes,

indikasi dan kontraindikasi. Indikasi spesifik dan target dalam strategi pemilihan

obat antihipertensi tergantung dari profil faktor risiko, penyakit penyerta seperti

diabetes, penyakit ginjal, dan pembesaran atau disfungsi ventrikel kiri (Sutter,

2007).

a. Golongan Diuretik

Salah satu contoh obat yang termasuk dalam golongan diuretik kuat adalah

furosemid. Furosemid biasanya digunakan pada penderita hipertensi dengan

Universitas Sumatera Utara

25

gangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin serum lebih dari 2,3 mg/dl (Lim,

2009). Secara farmakokinetik furosemid memiliki volume distribusi sebesar 0,07-

0,2 L/kg, terikat oleh protein plasma sebesar 91-99% dan 80-90% diekskresikan

dalam bentuk tidak berubah. Selain diuretik kuat juga terdapat diuretik tiazid yang

dapat mengurangi tekanan sebesar 10-15 mmHg. Diantara obat tiazid,

hidroklortiazid merupakan obat yang paling sering digunakan. Secara

farmakokinetik diabsorbsi dengan baik dalam traktus gastrointestinal (GI).

Hidroklortiazid memiliki kekuatan ikat protein yang lebih lemah dibandingkan

dengan furosemid. Waktu paruh tiazid lebih panjang daripada diuretik kuat. Maka

untuk alasan ini tiazid harus diberikan pada pagi hari untuk menghindari nokturia

(Ashley dan Currie, 2009).

Furosemid lebih efektif daripada tiazid, bekerja dengan cepat, dan memiliki

lama kerja yang lebih pendek daripada tiazid kerja pendek, dan diekskresi lebih

cepat (Sukandar, 2006). Jenis obat diuretik lainnya yang sering digunakan adalah

spironolakton. Spironolakton mengalami metabolisme yang cepat dan luas.

Sebagian besar pemberian peroral diubah menjadi metabolit aktif (Raharjo, 2008).

Penggunaan diuretik dapat efektif untuk mencegah hiperkalemi, tetapi

penggunaan diuretik tiazid hanya dapat diberikan pada kadar kreatinin di bawah

1,8 mg/dL. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dapat dilakukan

pemantauan kadar kalium setiap 1-2 minggu pada awal terapi (Williams, 2005).

b. Golongan ACE-Inhibitor

Obat golongan ACE-I yang sering digunakan adalah kaptopril. Setelah

pemberian secara oral kaptopril secara cepat diabsorpsi dan mencapai kadar

puncak dalam 1 jam, adanya makanan dalam saluran gastrointestinal akan

Universitas Sumatera Utara

26

menurunkan absorpsi sebesar 30-40%. Dalam distribusinya sekitar 25-30% terikat

oleh protein, 90% diekskresikan melalui ginjal, dan waktu paruhnya sekitar 3 jam,

serta 40-50%nya dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (Ashley dan Currie,

2009). Oleh karena itu golongan ACE-I seperti kaptopril, benazapril dan ramipril

diperlukan penyesuaian dosis yaitu penurunan dosis berdasarkan nilai LFG dan

diberikan tunggal (lampiran 6).

c. Golongan β – blocker

Golongan β – blocker merupakan salah satu obat yang sering digunakan

untuk mengatasi hipertensi. Dalam distribusinya sekitar 30% terikat oleh protein

dan sebesar 50% dieksresikan tidak berubah dalam urin dengan waktu paruh

selama 9 – 12 jam (Ashley dan Currie, 2009). Beberapa β – blocker tidak

dianjurkan untuk pasien gagal ginjal dengan atau tanpa dialisis (seperti acebutol,

atenolol, nadolol, pindolol dan sotalol). Carvedilol dapat diberikan pada gagal

ginjal dengan dosis harian 6,25 - 12,5 mg b.i.d, tidak tereliminasi dengan prosedur

HD (non – dialyzable drugs). Namun terdapat obat yang memerlukan penyesuaian

dosis seperti bisoprolol, maka penyesuaian dosis dilakukan berdasarkan nilai LFG

pada pasien dengan gangguan ginjal kronik (lampiran 6) (Sukandar, 2006).

d. Golongan Calcium Channel Blockers (CCB)

Golongan Calcium Channel Blockers yang sering digunakan diantaranya

adalah nifedipin dan amlodipin. Nifedipin mudah diabsorbsi pada pemberian per

oral dan sublingual, sebesar 92-98% terikat oleh protein plasma dan sebesar 1%

dieksresikan dalam bentuk metabolit tidak aktif melalui urin serta mempunyai

volume distribusi sebesar 1,4 L/kg. Nifedipin dalam dosis tunggal dieksresikan

Universitas Sumatera Utara

27

sebesar 80% dalam waktu 24 jam. Insufisiensi ginjal tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap farmakokinetik nifedipin (Ashley dan Currie, 2009).

Setelah pemberian dosis terapeutik secara oral, amlodipin diabsorbsi dengan

baik dan kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 6 – 12 jam. Volume

distribusi amlodipin kira-kira 20 L/kg. Waktu paruh eliminasi plasma terminal

adalah 35 – 50 jam dan konsisten pada pemberian dosis sekali sehari. Sebanyak

97,5% amlodipin dalam sirkulasi terikat dengan protein plasma. Amlodipin

sebagian besar dimetabolisme dihati menjadi metabolit inaktif, diekskresikan

melalui urin sebesar 10% dalam bentuk tidak berubah dan 60% sebagai metabolit

(Ashley dan Currie, 2009).

e. Golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Golongan obat antihipertensi Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

dianjurkan untuk pasien dialisis, karena tidak diperlukan penyesuaian dosis,

semua ARB termasuk non – dialyzable drugs. Misalnya: Candesartan, Losartan

dan Valsartan (Sukandar, 2006). Secara farmakokinetik valsartan mempunyai

distribusi sekitar 94-97% terikat oleh protein dan mempunyai volume distribusi

sebesar 17 L/kg serta sebesar 13% dieksresikan dalam bentuk tidak berubah

(Ashley dan Currie, 2009).

Saat terapi obat antihipertensi telah diberikan pada pasien maka harus

dilakukan pemantauan dan di follow up serta dilakukan penyesuaian dosis sesuai

kondisi pasien secara terus menerus sampai tercapai tekanan darah yang

diinginkan. Kunjungan lebih diperlukan pada pasien dengan hipertensi derajat 2

atau dengan penyakit penyerta. Kadar kalium dan kreatinin plasma harus

dimonitor paling tidak 1-2 kali dalam 1 tahun. Setelah tekanan darah dicapai dan

Universitas Sumatera Utara

28

stabil maka follow up biasanya dapat dilakukan dengan interval 3 – 6 bulan sekali,

tetapi adanya penyakit penyerta seperti gagal jantung, diabetes akan

mempengaruhi frekuensi kunjungan berkaitan dengan pemeriksaan laboratorium

yang dilakukan untuk memonitor perkembangan penyakit (Yogiantoro, 2006).

2.7 Program Pelayanan Kesehatan dalam Periode Pengamatan

2.7.1 Periode JAMKESMAS

JAMKESMAS merupakan program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan

bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara

Nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan

kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Sasaran program/peserta

JAMKESMAS adalah masyarakat miskin dan tidak mampu diseluruh Indonesia

sejumlah 76,4 juta jiwa, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan

kesehatan (Depkes, 2009).

Tujuan dalam pelaksanaan JAMKESMAS ini dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum program JAMKESMAS adalah meningkatkan akses

dan mutu pelayanan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal secara

efektif dan efisien bagi seluruh pasien JAMKESMAS.

b. Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus program JAMKESMAS ini adalah:

a. memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada peserta

diseluruh jaringan JAMKESMAS

Universitas Sumatera Utara

29

b. mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang terstandar bagi peserta,

tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biayanya

c. terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan aktual (Depkes,

2009).

2.7.2 Periode BPJS

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa BPJS diselenggarakan oleh empat BPJS,

yaitu PT. JAMSOSTEK, PT. TASPEN, PT. ASABRI, dan PT. ASKES, kedepan

BPJS dilaksanakan oleh dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS

Ketenagakerjaan (Zaelani, 2012).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS) ditetapkan bahwa operasional BPJS Kesehatan dimulai

sejak tanggal 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan sebagai Badan Pelaksana

merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program

jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia Berdasarkan Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan dari BPJS adalah untuk

mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan kesehatan yang layak bagi

setiap peserta dan/atau anggota keluarganya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar

hidup penduduk Indonesia (Idris, 2014).

Universitas Sumatera Utara