bab ii tinjauan pustaka 2.1. konstruksi...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konstruksi sosial
Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of
reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Ia
menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana
individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama secara subyektif (Tamburaka, 2012:75).
Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai
dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld,
pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark
Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok
konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang
epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno dalam
Bungin, 2008:13).
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak
sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan
akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah
Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi,
materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah
makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa
8
kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta
(Bertens dalam Bungin, 2008:13). Aristoteles pulalah yang telah
memperkenalkan ucapannya ‘Cogoto, ergo sum’ atau ‘saya berfikir karena
itu saya ada’ (Tom Sorell dalam Bungin, 2008:13). Kata-kata Aristoteles
yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-
gagasan konstruktivisme sampai saat ini.
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan realitas
sosial dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan pengetahuan’.
Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas
yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung
kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian
bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang
spesifik.
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:15) mengatakan terjadi
dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat
menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi (Tamburaka, 2012:77-78).
1. Eksternalisasi
Eksternalisasi adalah proses ketika sebuah produk sosial telah
menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat
dibutuhkan dalam individu, maka produk sosial itu menjadi bagian
penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar.
2. Objektivasi
Obyektivasi merupakan tahapan dimana produk sosial berada
pada proses institusionalisasi atau pelembagaan, sedangkan individu
9
memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang
tersedia, baik dari produsen-produsennya, maupun bagi orang lain
sebagai unsur daridunia bersama.
Kemampuan ekspresi diri manusia mampu mengadakan
obyektivasi (objectivation), artinya ia memanifestasikan diri dalam
produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-
produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia
bersama. Obyektivasi itu merupakan isyarat-isyarat yang sedikit
banyaknya tahan lama dari proses-proses subyektif para produsennya,
sehingga memungkinkan obyektivasi itu dapat dipakai sampai
melampaui situasi tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara
langsung (Peter L. Berger, 1990:47).
Satu kasus yang khusus tetapi sangat penting dari obyektivasi
adalah signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah
tanda (sign) dapat dibedakan dari obyektivasi-obyektivasi lainnya,
karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau
indeks bagi makna-makna subyektif (Peter L. Berger, 1990:48).
3. Internalisasi
Internalisasi proses pemahaman atau penafsiran langsung
dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna,
artinya sebagai manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain,
yang demikian menjadi bermakna subjektif bagi individu itu sendiri.
10
2.2. Konstruksi sosial media massa
Susbtansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari
Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara
alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah
komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini
adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana
media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk
dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak memasukan
media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam
konstruksi sosial atas realitas (Bungin, 2008:193).
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger
dan Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media
massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi,
subyektivasi, dan internalisasi (Bungin, 2008:194). Inilah yang kemudian
dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Substansi dari konstruksi
sosial media massa ini adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas
sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan
sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk
opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis
(Bungin, 2008:194).
11
Dalam memahami proses konstruksi sosial media massa ada empat
tahapan yang diungkapkan dalam Bungin (2008).
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas
redaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di
setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-
beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap
hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan tiga hal
yaitu kedudukan, harta, dan perempuan. Bungin (2008) menyajikan tiga hal
penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial yaitu :
a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui,
saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh
kapitalis. Dalam arti kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media
massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal.
b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan
ini
adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi
kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk menjual
berita demi kepentingan kapitalis.
c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada
kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi
setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah
12
menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap
terdengar. Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa
memosisikan diri pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya
keberpihakan pada kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan
mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau ataupun
tidak harus menghasilkan keuntungan.
2. Tahap sebaran konstruksi
Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media
massa. Konsep konkret strategi sebaran media massa masing-masing
media berbeda, namun prinsip utamanya adalah real time. Media cetak
memiliki konsep real time terdiri dari beberapa konsep hari, minggu atau
bulan, seperti terbitan harian, terbitan mingguan atau terbitan beberapa
mingguan atau bulanan. Walaupun media cetak memiliki konsep real
time yang sifatnya tertunda, namun konsep aktualitas menjadi
pertimbangan utama sehingga pembaca merasa tepat waktu memperoleh
berita tersebut.
Pada umumnya sebaran konstruksi sosial media massa
menggunakan model satu arah, dimana media menyodorkan informasi
sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali
mengonsumsi informasi itu. Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial
media massa adalah semua informasi harus sampai pada pembaca
secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang
dipandang penting oleh media menjadi penting pula bagi pembaca.
13
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas
a. Tahap pembentukan konstruksi realitas
Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, dimana pemberitaan
telah sampai pada pembaca yaitu terjadi pembentukan konstruksi di
masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama,
konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media
massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif.
Tahap pertama adalah konstruksi pembenaran sebagai suatu
bentuk
konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung
membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah
realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa sebagai
otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian.
Tahap kedua adalah kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu
sikap generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi
pembaca media massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-
pikirannya dikonstruksi oleh media massa.
Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai
pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media
massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa
dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas
14
apabila apabila ia belum membaca koran.
b. Pembentukan konstruksi citra
Pembentukan konstruksi citra bangunan yang diinginkan oleh
tahap konstruksi. Dimana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh
media massa ini terbentuk dalam dua model : 1) model good news dan 2)
model bad news. Model good news adalah sebuah konstruksi yang
cenderung mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang
baik. Pada model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang
memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya
kebaikan yang ada pada objek itu sendiri. Sementara, pada model bad news
adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau
cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan
lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk,
dan jahat yang ada pada objek pemberitaan itu sendiri.
C. Tahap konfirmasi
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca
memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat
dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu
sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir
dalam proses konstruksi sosial. Ada beberapa alasan yang sering
digunakan dalam konfirmasi ini yaitu a) kehidupan modern menghendaki
pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa,
b) kedekatan dengan media massa adalah life style orang modern, dimana
orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media
15
massa itu sendiri, dan c) media massa walaupun memiliki kemampuan
mengkonstruksi realitas media berdasarkan subyektivitas media, namun
kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang merupakan sumber
pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses.
Gambar 1 : Proses Konstruksi Sosial Media Massa ( Sumber: buku
konstruksi sosial media massa
2.3. Realitas media
Pada prinsipnya, proses konstruksi realitas yakni setiap upaya
“menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda.
Karena sifat dan faktanya, bahwa pekerjaan media massa adalah
menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media masa adalah
mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun
realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau
wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media adalah realitas
yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana
yang bermakna (Hamad, 2004:11).
16
Media sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan
berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam (Sobur,
2012:29-30). Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi
dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi
instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan
ideologi tandingan (Sobur, 2012:30).
Titik penting dalam memahami media menurut paradigma kritis
adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Menurut Stuart Hall
seperti dikutip Eriyanto ( 2001: 37) menjelaskan bahwa makna tidak
tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan.
Bagi Stuart Hall, media pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan
menentukan (to define) realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih.
Yang perlu dipahami produk yang dihasilkan oleh media massa, tidaklah
mengandung kebenaran mutlak. Realitas yang disajikan media massa adalah
hasil rekonstruksi fakta yang ditangkap oleh wartawan dalam bentuk angle
(sudut lain) tentang sisi menarik peristiwa itu (Wazis, 2012:126).
Media bukan hanya memberikan informasi dan hiburan tapi juga
memberikan pengetahuan kepada khalayak sehingga proses berpikir dan
menganalisis sesuatu berkembang pada akhirnya membawa pada suatu
kerangka berpikir sosial bagi terbentuknya sebuah kebijakan publik yang
merupakan implikasi dari proses yang dilakukan elemen-elemen tersebut, ini
merupakan bagian bagaimana media merekonstruksi realitas sosial
dimasyarakat (Tamburaka, 2012:84).
17
2.4. Media baru
Istilah ‘media baru’ (new media) telah digunakan sejak tahun 1960-an
dan telah mencakup seperangkat teknologi komunikasi terapan yang semakin
berkembang dan beragam (McQuail, 2011:42). Klaim status paling utama
sebagai media baru dan mungkin juga sebagai media massa adalah internet
(McQuail, 2011:44). Industri media terbaru juga merupakan media yang
tumbuh paling pesat, sekitar 73% dari semua konsumen adalah online, dan
jumlah uang yang yang dihabiskan untuk iklan internet meningkat dari $8
miliar tahun 2000 menjadi $23 miliar pada tahun 2008 (Biagi, 2010:13).
Media internet menjadi medium massa baru sekaligus sistem pengiriman yang
terintegrasi bagi media tradisional cetak, audio dan video.
Media baru adalah berbagai perangkat teknologi komunikasi yang
berbagi ciri yang sama yang mana selain baru dimungkinkan dengan
digitalisasi dan ketersediannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai
alat komunikasi (McQuail, 2011:43).
Pemerintah dan hukum tidak mengontrol atau mengatur internet dalam
cara yang hierarkis sebagaimana yang mereka lakukan pada media lama
(Collins, 2008 dalam buku Teori Komunikasi Massa oleh McQuail ,2011:
154).
Menurut Breen (2007) dalam buku Teori Komunikasi Massa oleh
McQuail (2011:154) menjelaskan bahwa ketakutan bahwa internet mungkin
berkembang melampaui fase keterbukaan dan demokrasi, kemudian menjadi
layanan multi tahap dengan akses yang lebih baik kepada mereka yang mampu
18
membayar lebih untuk memproduksi dan menyediakan konten, atau
membayar lebih untuk menerima konten yang lebih bernilai.
2.5. Karakteristik media online
Mike Ward dalam M. Romli (2012), menyebutkan beberapa
karakteristik berita media online sekaligus membedakannya dengan media
konvensional (keunggulan), yaitu :
Immediacy : Kesegeraan atau kecepatan penyampaian informasi. Radio dan tv
memang bisa cepat menyampaikan berita, namun biasanya harus
"menginteprupsi" acara yang sedang berlangsung (breaking news). Berita di
media online tidak demikian. Tiap menit, bahkan dalam hitungan detik,
sebuah berita dapat diposting.
Multiple Pagination : Bisa berupa ratusan page (halaman), terkait satu sama
lain, juga bisa dibuka tersendiri (new tab/new window).
Multimedia : Menyajikan gabungan teks, gambar, audio, video, dan grafis
sekaligus.
Flexibility Delivery Platform : Wartawan bisa menulis berita kapan saja dan
dimana saja, diatas tempat tidur sekalipun.
Archieving : Terarsipkan, dapat dikelompokkan berdasarkan kategori (rubrik)
atau kunci (keyword, tags), juga tersimpan lama yang dapat diakses kapanpun.
Relationship with reader : Kontak atau interaksi dengan pembaca dapat
"langsung" saat itu juga melalui kolom komentar dan lain-lain.
Sedangkan menurut Rey, G. Rosales dalam M. Romli (2012)
Headline : Judul berita yang ketika diklik akan membuka tulisan secara
lengkap dengan halaman tersendiri.
19
Text : Tubuh tulisan dalam satu halaman utuh atau terpisah ke dalam beberapa
tautan (link).
Picture : Gambar yang menyertai atau memperkuat cerita.
Ghraphic : Grafis biasanya berupa logo, gambar, atau ilustrasi yang terkait
dalam berita.
Related Link : Link terkait; tulisan terkait yang menambah informasi dan
penambahan wawasan bagi pembaca, biasanya diakhir tulisan atau
disampingnya.
Audio : Suara, musik, atau rekaman suara yang berdiri sendiri atau
digabungkan dengan slide show atau video. Video-video yang terkait dengan
tulisan.
Slide Shows : Koleksi foto yang lebih mirip galeri gambar yang biasanya
disertai keteranagan foto. Beberapa slide shows juga bisa disertai suara
(sound, voice).
Animation : Animasi atau gambar bergerak yang diproduksi untuk menambah
dampak cerita.
Interractive Features : Grafis yang di desain untuk interaksi dengan pengguna
(user), misalnya termasuk peta lokasi (map, google map).
Interactive Games : Biasanya di desain seperti mini-video games yang bisa
dimainkan oleh user (play the news).
2.6. Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk
1. Pengertian Analisa Wacana
Istilah wacana sekarang ini dipakai sebagai terjemahan
dari perkataan bahasa Inggris discourse, kata discourse inipun
berasal dari bahasa Latin discursus, dis : dari. Dalam arah yang
berbeda dan currere: lari, sehingga berarti lari kian kemari.
20
Pemakaian isitilah wacana memiliki perbedaan makna, ini
dikarenakan perbedaan disipilin ilmu yang memakainya. Bahkan
kamus, kalu dianggap merujuk pada referensi yang objektif, juga
memiliki definisi yang berbeda pula. Dalam salah satu kamus bahasa
Inggris terkemuka disebutkan bahwa wacana adalah : komunikasi
buah pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan,
konvensasi atau percakapan.
Alex Sobur (2012) berupaya merangkum pengertian
wacana dari berbagai pendapat, ia memandang wacana sebagai
“rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan
suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam
suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun
non segmental bahasa.”
Dari sekian banyak model analisis wacana yang
diperkenalkan dan dikembangkan oleh para ahli, model yang paling
banyak digunakan adalah model Teun A. Van Dijk. Dimensi tersebut
adalah dimensi teks, kognisi sosial, (analisis) konteks. Kerangka
analisis wacana melalui berbagai karyanya, Van Dijk, membuat
kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan. Ia melihat
suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang
masing-masing bagian saling mendukung.
2. Kerangka Analisa Wacana
a. Struktur Teks
Van Dijk sendiri mempunyai elemen-elemen yang
mendukung untuk menganalisa suatu teks dalam artikel pemberitan,
21
berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana van Dijk tersebut.
Tabel 1.1
Elemen wacana Van Dijk
(Sumber: Eriyanto, 2001: 228-229)
No Struktur Wacana Hal yang diamati Elemen
1 Struktur Makro Tematik
(Tema / topik yang
dikedepankan dalam
suatu berita)
Topik
2 Superstruktur Skematik
(Bagaimana pendapat
disusun dan dirangkai)
Skema
3 Struktur Mikro Semantik
(Makna yang ingin
ditekankan dalam teks
berita)
Latar, Detil,
Maksud, Pra-
anggapan,
Nominalisasi
4 Struktur Mikro Sintaksis
(Bagaimana kalimat
meliputi bentuk dan
susunan yang dipilih)
Pengingkaran,
Bentuk kalimat,
Koherensi, Kata
ganti
5 Struktur Mikro Stilistik
(Bagaimana pilihan kata
yang dipakai dalam teks
berita)
Leksikon
6 Struktur Mikro Retoris
(Bagaimana dan
dengan cara apa
penekanan dilakukan)
Grafis, Metafora,
Ekspresi
22
Tematik
Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu
teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang
utama dari suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin
diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik
menunjukan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi
suatu berita. Oleh karenanya, ia sering disebut sebagai tema atau topik.
Topik menggambarkan gagsan apa yang dikedepankan atau gagasan
inti dari wartawan ketika melihat atau memandang suatu peristiwa.
Skematik
Menurut Van Dijk, arti penting dari skematik adalah strategi
wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan
menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Skematik menunjukan
tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang disembunyikan
sebgai bagian dari strategi penting. Upaya penyembunyian itu dilakukan
dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kuarng menonjol.
Meskipun mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang
umumnya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Kedua, story
yakni isi berita secara keseluruhan.
23
Latar
Latar merupakan bagian dari berita yang dapat memepengaruhi
semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan biasanya menulis
latar belakang peristiwanya. Latar belakang tersebut menentukan ke arah
mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar dipakai di bagian awal
sebelum opini wartawan yang sebenarnya muncul dengan maksud
mempengaruhi dan memberi kesan bahwa opininya itu memiliki alasan yang
kuat.
Latar digunakan untuk menyediakan dasar hendak kemana
teks dibawa. Ini merupakan cerminan ideologis, dimana wartawan
menyajikan latar belakang dapat juga tidak, tergantung pada
kepentingan mereka.
Detil
Element ini berkaitan dengan kontrol informasi yang dilakukan
seseorang. Komunikator akan mengekspos informasi yang berguna bagi
dirinya, dan akan meredam informasi yang merugikannya. Ini merupakan
strategi di mana wartawan mengemukakan sikap secara implisit. Hal ini
akan menggambarkan pengembangan wacana yang dilakukan oleh media.
Hal ini layak untuk dipertimbangkan sehingga efek yang muncul pada
khalayak sudah dapat diprediksi.
24
Maksud
Element ini relatif identik dengan elemen detil, dimana
elemen ini ditinjau dari informasi yang menuntungkan komunikator
atau tidak, apabila menguntungkan akan diinformasikan panjang
lebar namun apabila tidak menguntungkan akan diredam informasi
itu. Element ini menonjolkan praktek berbahasa tertentu untuk
menyampaikan maksudnya.
Koherensi
Koherensi adalah jalinan antar kata, atau kalimat dalam
teks. Dua kalimat yang berbeda secara faktual dapat digabungkan
sehingga kelihatan berhubungan. Koherensi ini berciri khas
menggunakan kata penghubung (konjungsi). Kata penghubung inilah
yang akan membentuk suatu koherensi yang diinginkan oleh wartawan.
Koherensi Kondisional
Koherensi kondisional ditandai dengan penggunaan anak kalimat
yang berfungsi untuk menjelaskan induk kalimat sehingga ada atau
tidak adanya anak kalimat itu tidak akan mengurangi arti kalimat.
Anak kalimat itu menjadi cermin kepentingan komunikator
karena ia dapat memberi keterangan yang baik / aburuk terhadap
suatu pernyataan. Penggunaan konjungsi juga lazim ditemui dalam
bentuk ini.
25
Koherensi Pembeda
Kalau koherensi kondisional berhubungan dengan
pertanyaan bagaimana dua persitiwa dihubungkan / dijelaskan,
maka koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan
bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua buah
peristiwa dapat seolah dibuat seolah-olah saling bertentangan dan
bersebrangan (contrast) dengan menggunakan keherensi ini.
Pengingkaran
Pengingkaran adalah suatu bentuk praktek wacana
yang menggambarkan bagaimana wartawan menolak suatu gagasan
meskipun pada mulanya terkesan menyetujui gagasan tersebut.
Pengingkaran ini biasanya ditandai dengan pengunaan kata tetapi,
namun , akan tetapi, walaupun demikian, dan sejenisnya.
Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat adalah pengertian sederhana dari prinsip kalimat
yang berpolakan subjek-objek-predikat, bentuk kalimat ini bukan
hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan
makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang
berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya,
sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari
pernyataannya. Dengan permainan pertukaran ini struktur kalimat
bisa dibuat menjadi aktif maupun pasif.
26
Kata Ganti
Kata ganti adalah sebuah elemen yang digunakan untuk
memanipulasi bahasa dengan menciptakan sebuah gambaran
komunitas yang imajinatif. Dengan teknik ini komunikator
menunjukan posisinya di dalam suatu wacana. Seperti menggunakan
kata Kita, Mereka, Kami, dan Dia.
Praanggapan
Pernyataan pra-anggapan (presupposition) merupakan
pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Pra-
anggapan ini merupakan sebuah fakta yang belum terbukti
kebenarannya terutama bila dikaitkan dengan wacana yang sedang
dikembangkan.
Leksikon
Elemen ini digunakan untuk menandakan cara seseorang
melakukan seleksi kata, Di antara beberapa kata itu seseorang dapat
memilih di antara kata yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata
yang dipakai tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi pilihan
itu merefleksikan ideologinya terhadap sebuah realita.
Grafis
Elemen ini merupakan upaya penonjolan akan sesuatu hal
yang dianggap penting dalam suatu teks. Misalnya ditandai dengan
penggunaan huruf tebal, huruf miring, garis bawah, font yang lebih
besar dari normal, caption, raster, grafik, gambar, angka, tabel, foto,
27
gambar dan sejenisnya, untuk memberikan efek kognitif, dimana
ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan
menunjukan apakah suatu informasi itu dianggap penting dan
menarik sehingga perhatian harus difokuskan padanya.
Metafora
Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya
menyampaikan pesan lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan,
metafora yang dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu dari suatu
berita. Akan tetapi, pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi
petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu
dipakai oleh wartawan secara strategis sebagai landasan berfikir,
alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik.
Biasanya menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-
hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan
mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci, semuanya
dipakai untuk memperkuat pesan utama.
b. Kognisi Sosial
Dalam kerangka analisis wacana Teun A. Van Dijk, perhatian bukan
hanya pada teks, tetapi juga pada proses produksi teks tersebut. Yaitu perlu
adanya penelitian mengenai kognisi sosial : kesadaran mental penulis
yang membentuk teks tersebut. Pendekatan ini berdasarkan pada asumsi,
bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh
pemakai bahasa dalam hal ini penulis sebagai representasi darinya.
28
c. Konteks Sosial
Dalam pandangan ini, van Dijk menyatakan bahwa wacana
yang terdapat dalam sebuah teks adalah bagian dari wacana
yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga untuk meneliti teks
tersebut, perlu mengetahui bagaimana wacana tersebut diproduksi
dalam masyarakat.
2.7. Tajuk rencana
Tajuk rencana (biasanya disingkat “tajuk” saja) dikenal sebagai “induk
karangan” sebuah media massa. Penulis buku Editorial Writing, Lyle Spencer,
seperti dikutip Dja’far H. Assegaf (1985) dalam M. Romli (2006),
mendefinisikan tajuk rencana sebagai berikut :
“Pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau
dari segi penulisan, dan bertujuan untuk mempengaruhi pendapat, atau
memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sedemikian
rupa, sehingga bagi kebanyakan pembaca suratkabar akan menyimak
pentingnya arti berita yang dijadikan tajuk tadi.”
M. Romli (2006) mengatakan dalam bukunya, bahwa tajuk rencana
merupakan “jati diri” atau identitas sebuah media massa. Melalui tajuklah
redaksi media tersebut menunjukkan sikap atau visinya tentang sebuah
masalah aktual yang terjadi dimasyarakat. Tajuk rencana yang berupa artikel
pendek dan mirip dengan tulisan kolom ini, biasanya ditulis oleh pemimpin
redaksi atau redaktur senior yang mampu menyuarakan pendapat korannya
mengenai suatu masalah aktual.
29
Sikap, opini, atau pemikiran yang disuarakan lewat tajuk adalah visi
dan penilaian orang, kelompok atau organisasi yang mengelola atau berada
belakang media tersebut. Sebuah media yang diterbitkan dan dikelola oleh
organisasi A, misalnya, tentu tajuk menyuarakan pendapat atau aspirasi
organisasi A tadi (M. Romli, 2006:92).
Adapun fungsi tajuk meliputi empat hal menurut M. Romli (2006):
1. Menjelaskan berita, tentunya dengan interpretasi dan sudut pandang subjektif
media/penulisnya
2. Mengisi latar belakang, yakni memberikan kaitan suatu berita dengan realitas
sosial lainnya atau informasi tambahan
3. Meramalkan masa depan, yakni memprediksi apa yang akan dapat terjadi pada
masa mendatang dengan atau akibat terjadinya suatu peristiwa
4. Meneruskan suatu penilaian moral, yakni memberikan penilaian dan
menyatakan sikap atau suatu peristiwa