bab ii referat shr
DESCRIPTION
tertibTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terjadinya gagal ginjal
pada pasien penyakit hati kronik, kadang-kadang berupa hepatitis fulminan
dengan hipertensi portal dan ascites (1).
B. Epidemiologi
Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penyakit sirosis. Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi
ginjal yang normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun
dan 39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Dagher dkk melaporkan insiden
SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan
meningkat hingga 39% pada tahun ke lima (3,4).
C. Patofisiologi dan Patogenesis
Tanda khas SHR adalah terjadinya vasokontriksi ginjal, walauupun
berbagai mekanisme dianggap mungkin berperan dalam timbulnya SHR.
Karakteristik pola hemodinamik pasien SHR antara lain: peningkatan curah
jantung (cardiac output), penurunan resisteni vaskuler sistemik, dan peningkatan
resistensi vaskuler renal. Menurut studi Doppler pada arteri brachial, cerebri
media, dan femoralis menunjukkan bahwa resistensi ekstrarenal meningkat pada
pasien SHR, sementara sirkulasi spalchnic yang bertanggung jawab untuk
3
vasodilatasi arteri dan resistensi vaskuler sistemik total menurun (5). Paofisiologi
sindrom hepatorenal pada irosis sampai sekarang masih belum jelas (2).
Konsep terjadinya SHR pernah diteliti menggunakan Doppler
ultrasonography atau plethysmography pada pasien dengan berbagai derajat
keparahan sirosis, yang hasilnya menunjukkan vasodilatasi pada sirkulasi
splanchnic dan vasokontriksi pada area lain, misalnya pada ginjal dan hati (1).
Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya hubungan dengan sistem
rennin-angiotensin-aldosteron (rennin-angiotensin-aldosterone system / RAAS),
saraf simpatis (SNS), dan fungsi prostaglandin pada ginjal. Aktivitas sistem
RAAS dan SNS meningkat pada pasien sirosis dan ascites, dan efek ini makin
besar pada SHR (6). Tiga teori yang menjelaskan mekanisme tersebut adalah teori
vasodilatasi arteri, Vasokontriksi arteri dan teori reflex hepatorenal (7).
1. Teori vasodilatasi arteri
Teori pertama mengenai retensi air dan natrium pada sirosis merupakan
hipotesis paling rational. Menurut teori ini, pada fase awal saat hipertensi
portal dan sirosis masih terkompensasi, gangguan pengisisan arteri
menyebabkan aktivasi sistem vasokontriktor endogen. Dilatasi Pembuluh
darah splanchnic pada pasien hipertensi portal dan sirosis yang terkompensasi
dapat dimediasi oleh beberapa factor, terutama oleh pelepasan vasodilator
local seperti NO (nitric oxide). Pada fase ini, perfusi renal masih dapat
dipertahankan atau mendekati batas normal karena sistem vasodilator
menghambat sisem vasokontriktor ginjal (1,2,7). Lalu terjadi aktivasi RAAS
dan SNS yang menyebabkan sekresi hormone anti-diuretik, selanjutnya
4
terjadi kekacauan sirkulasi. Hal ini mengakibatkan vasokontriksi bukan hanya
dipembuluh darah renal, tetapi juga di pembuluh darah otak, otot, dan
ekstremitas. Namun, sirkulasi splanchnic tetap resisten terhadap efek ini
karena produksi terus-menerus vasodilator local, yaitu NO, sehingga masih
terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik total. Jika penyakit hati makin
berat dapat mengakibatkan terjadinya level kritis kurangnya pengisian
pembuluh darah. Sistem vasodilator ginjal tidak dapat lagi mengatasi aktivasi
maksimal vasokontriktor eksogen atau vasokontrikror intra-renal,
menyebabkan tidak terkontrolnya vasokontriksi renal (6).
2. Teori Vasokontriksi renal
Pada fase awal dari sirosis hepatis dekompensata, perfusi ginjal masih dapat
dipelihara dalam batas normal, karena adanya peningkatan sintesis dari
factor-faktor vasodilatasi. Akan tetapi, pada fase lanjut, perfusi ginjal tidak
dapat dipelihara lagi karena adanya vaodilatasi sisteik yang luar biasa dan
penurunan volume efektif arterial. Penurunan volume efektif arterial ini dapat
menyebabkan aktivasi progresif dari mediator baroreseptor dan
vasokontriktor disertai dengan penurunan produksi vasodilator renal (7).
3. Teori Reflex hepatorenal
Teori ini berdasarkan percobaan binatang yang memperlihatkan bahwa
peningkatan tekanan itrahepatik menyebabkan peningkatan aktivitas
simpatoadrenal ginjal yang disertai dengan penurunan perfusi ginjal dan laju
filtrasi glomerular (GFR), serta penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Studi
ini mendukung adanya reflex hepatorenal, yang mungkin dapat diaktivasi
5
melalui reseptor adenosine seperti pada binatang. Pemberian adenosisne
receptor antagonist dapat mencegah penigkatan retensi natrium dan air
setelah penurunan aliran darah vena portal (7).
Gambar 1. Patofisiologi Sindrom Hepatorenal
Seperti penjelasan sebelumnya, pada pasien sindrom hepatoenal
ditemukan vasokontriksi ginjal reversible dan hipotensi sistemik. Penyebab utama
dari vasokontriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi kmungkinan
melibatkan banyak factor antara lain perubahan sistem hemodinamik,
meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor dan penurunan
vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal (3). Faktor-faktor vasoaktif
6
yang berperan dalam pengaturan perfusi ke ginjal pada sindrom hepatorenal
tampak pade table 1.
Tabel 1. Faktor-faktor Vasoaktif secaa potensial Berperan dalam Pengaturan
Perfusi ke Ginjal pada Penderita Sindrom Hepatorenal (4,8).
Vasokontriktor- Angiotensin II- Norepineprine- Neuropeptida Y- Endhothelin- Adenosin- Cyteinyl leukotrine- F2-isoprostanes
Vasodilator- Prostaglandin- Nitric Oxide- Nariuretic peptide- Kallikrein-kinin
Faktor Vasokonstriktor
Sistem rennin-angiotensin dan sstem saraf simpatk merpakan mediator utama
yang mempunyai efek vasokontriksi sirkulasi ginjal pada SHR.Aktifitas dari
sistem vasokontriksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan ascitess,
terutama penderita dengan SHRdan berkorelasi terbalik denhan aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus (3,4,9).
Selai itu, penelitian yang dilakukan terhadap pasien dengan SHR
menunjukkan bahwa knsentrasi plasma endhotelin-1 meningkat. Endhotelin-1
merupakan salah satu substansi vasokonstriktor ginjal. Peningkatan level
endhotelin-1 mungkin berkontribusi pada vasokontriksi ginjal. Hipotesis ini
7
juga didukung dengan penelitian sebelumnya yan menunjukkan bahwa
pemberian antagonis reseptor endhotelin menginduksi peningkatan GFR pada
pasien SHR (4,9).
Cysteinyl leukotreine (leukotrein C4 dan D4) merupakan vasokontriktor
ginjal yang poten dan menyebabkan kontraksi dari sel mesangial scara in
vitro. Pneltian sebelumnya menujukkan adanya penigkatan Cysteinyl
leukotreine pada SHR. Tromboxae A2 juga memberikan kontribusi pada
vasokontriksi sirkulasi ginjal dan menyebabkan kontraksi dari sel meangial
pada SHR. Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosine, F2-Isoprostanes
dapat juga sebagai factor yang mempengaruhi patogenesa vasokontriksi ginjal
dalam SHR, tapi mekanismenya masih belum diketahui (3,4).
Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita denga sirosis atau percobaan pada binatang
memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal
memainkan peran yang penting dalam mempertahanankan perfusi ginjal
dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari factor
vasokontriktor. Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah
prostaglandin (PGs) (10).
Bukti yang paling kuat yang menyokong peran PGs ginjal dalam
mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan ascites diperoleh dari
penelitian yang menggunakan obat NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal
pada penderita sirosis hati dngan ascites menyebabkan penuunan yang nyata
dalam aliran darah ginjal dan lau filtrasi glomerulus, yang perubahannya
8
menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas
vasokonstriktor yang nyata. Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin
berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit
oksida. Jika poduki nitrit oksida dan PGs dihambat secara tidak langsung
dalam percobaan sirosis dan ascites, maka akan terjadi penurunan perfusi
ginjal (10).
Sistem Saraf Simpatis
Stiulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan
menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini
telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi
katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati
vasokonstriksi pada aretriol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran
darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di
tubulus (4).
Gambar 2. Patogenesis Sindrom Hepatorenal
D. Etiologi dan Faktor Pencetus
9
SHR berkembang biasanya dari penyakit sirosis hepatis maupun orang
yang mempunyai gangguan pembuluh darah dari portal seperti hipertensi portal.
Selain itu SHR juga dapat berkembang dari penyakit hepatitis fulminan, sirosis
hati fulminan, hepatitis alkoholik, sirosis alkoholik, maupun gagal hati fulminan.
Kadang SHR dapat berkembang oleh kaena pemberian medikasi (iatrogenic)
untuk mengatasi asites, seperti pemberian diuretic besar-besaran, dan pengeluaran
cairan asites dengan parasentesis tanpa mempertimbangkan terapi kehilangan
cairan dengan penggantian cairan intravena (11).
Faktor penctus juga mempengaruhi timbulnya SHR, dan faktor pencetus ini dapat
lebih dari satu pada seorang pasien. Faktor pencetus yang teridentifikasi
diantaranya adalah (1,12):
- Infeksi bakteri
- Paracentesis volume besar tanpa infuse albumin
- Perdarahan saluran cerna
- Acute hepatitis alkoholik
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara
gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara
perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium da air, yang
menimbulkan asites, edema dan dilutional hyponatremia,yang ditandai oleh
ekskresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air
(oliguri-anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan
10
arteri yang rendah, peningkatan cardiac output,dan penurunan total tahanan
pembuluh darah sistemik (3,4). Pada pasien sirosis hepatis, 80% kasus SHR
disertai asites, 75% disertai ensefalopati hepatic, dan 40% disertai ikterus (13).
Tabel 2. Gangguan Hemodinamik yang sering ditemukan pada SHR (3)
Cardiac output meninggi
Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic Shunt
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tahanan pembuluh otak meninggi
Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe, yaitu:
1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Merupakan manfestasi yang sangat progresif, dimana terjadi peningkatan
serum kreatinin dua kali lipat. Tipe 1 ditandai oleh peningkatan yang cepat
dan progresif dari BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu
nilai kreatinin > 2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin kliren dalam 24 jam
sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu.
Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah
urin, retensi natrium dan hiponatremi (4,13).
11
Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat
dengan tanda gagal ginjal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau
koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan
hepatitis akoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik.
Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada factor
pencetus yang diketahui, kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi
hubungan sebab akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau
intervensi terapi, seperti infeksi bakteri, perdarahan gastrointestinal,
parasintesis. Peritonitis bakteri spontan (SBP) adalah penyebab umum dari
penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis
dengan SBP timbul Sindroma Hepatorenal tipe 1 (4,13).
2. Sindroma Hepatorenal Tpe II
Merupakan bentuk kronis SHR. Tipe II SHR ditandai dengan
penurunan yang sedang dan stabil dari GFR (BUN dibawah 50 mg/dl dan
kreatinin serum < 2 mg/dl). Tidak seperti SHR tipe I, SHR tipe II biasanya
terjadi pada penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada
penderita dengan ascites resist diurtik. Diduga harapan hidup penderita
dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I (4,13).
F. Diagnosis
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Diagnostik SHR selalu
dibuat setelah ekslusi gangguan-gannguan lainyang dapat menybabkan gagal
ginjal pada pasin sirosis. Kriteria diagnostik yang digunakan adalah berdasarkan
International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome (3,4).
12
Tabel 3. Kriteria diagnostic Sindroma Hepatorenal berdasakan International
Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome.
Kriteria Mayor
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi
portal.
2. GFR rendah, kreatinin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40
ml/mnt.
3. Tidak ada syok, infeksi baktri sedang berangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
liter dan diuretic (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati aau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria Tambahan
1. Volume urin < 500 ml/hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Omolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50/lpb
5. Natrium serum < 130 meg/liter
13
*Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa SHR,
sedangkan criteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosa SHR.
SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi peyakit hati bersamaan dengan
penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan diagnosis
SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan Pseudohepatorenal Syndrome.
Pseudohepatorenal Syndrome adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi
ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak ada hubungan satu sama
lain. Beberapa penyebab Pseudohepatorenal Syndrome adalah (13):
Penyakit congenital, misalnya penyakit polikista ginjal dan hati.
Penyakit metabolic, misalnya diabetes, amyloidosis, penyakit Wilson.
Penyakit sistemik, misalnya SLE, arthritis rheumatoid, sarkoidosis.
Penyakit infeksi, misalnya leptospirosis, malaria, hepatitis.
Gangguan sirkulasi, misalnya syok, insufisisensi jantung.
Intoksikasi, misalnya endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar.
Medikamentosa, misalnya metoksifluran, halotan, sulfonamidd,
parasetamol, tetrasiklin, iproniazid.
Tumor, misalnya hipernefroma.
Eksperimenta, misalnya defisiensi kolin.
G. Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR, oleh karena itu
pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian yang utama. Dengan
14
mengetahui beberapa faktor pencetus timbulnya SHR pada penderita sirosis
dengan ascites, maka gagal ginjal dapat dicegah pada penderita (3,13,14).
1. Penatalaksanaan Umum
SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasin sirosis hpatis. Oleh karena itu, pasien sirosis hepatis sangat sensitif
dengan perubahan keseimbangan cairan dan elktrolit, maka hindari
pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang
berlebihan (13).
Terapi supportif berupa diet tinggi kalori dan rendah protein.
Koreksi keseimbangan asam basa.
Hindari penggunaan OAINS.
Peritonitis bacterial spontan pada SHR harus segera diobat sedini dan
seadekuat mungkin.
Pencegahan ensefalopatik hepatik juga harus dilakukan dalam rangka
mencegah SHR.
Hemodialisa belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun
tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping yang cukup berat,
misalnya hipotensi, koagulopati, sepsis, dan perdarahan saluran cerna.
2. Pengobatan Medikamentosa
Vasodilator
15
Karena penyebab langsung SHR adalah vasokonstriksi sirkulasi
ginjal, perubahan hemodinamik ginjal dapat diubah dengan menggunakan
vasodilator renal, seperti dopamine, fenoldopam, ddan prostaglandin atau
obat-obat antagonis vasokonstriktor renal, seperti seralasin, ACEI dan
antagonis endothelin. Akan tetapi tidak ada penelitian yang menyatakan
bahwa penggunaan vasodilator renal menunjukkan perbaikan dalam
perfusi ginjal atau GFR (12,15).
Penelitian Barnardo dkk dan Bennett dkk elaporkan infu dopamine
dosis rendah selama 24 jam memperbaiki aliran darah korteks dan
tampilan angiografi dari korteks renal tanpa memperbaiki GFR atau aliran
urin. Pemberian pada PGs intravena atau pengobatan dengan misoprostol
(analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hatidengan SHR juga tidak
diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Pemberian antagonis endothelin
spesifik segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien
SHR. Karena efek samping dan kurangnya manfaat, penggunaan
vasodilator renal dalam SHR sudah banyak ditinggalkan (4, 12, 13, 16).
Vasokonstriktor
Vasokonstriktor sistemik merupakan agen farmakologis yang
paling menjanjikan dalam manajemen SHR. Vasokonstriktor sistemik
digunakan untuk mengatasi vasodilatasi splanik. Vasokonstriktor meliputi
vasopressin analog (ornipressin dan terlipressin), somastotstatin analog
(octreotide), dan alfa-adrenergik dengan agonis (midodrine dan
norepinefrin) (12, 13).
16
Pemberian vaokonstriktor segera (norepinefrine, angiotensin II,
ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan
vasokonsriksi arteri, yang mana meningkatkan tekanan arteri dan resistensi
vaskuler sistemik (12,17,18).
Infus ornipressin dikombinasikan dengan ekspansi volume atau dopamine
dosis rendah dikaitkan perbaikan yang bermakna pada perfusi ginjal,
peningkatan RPF, GFR, dan eksresi natrium. Penelitian Angeli dkk
menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin dengan
penambahan voume plasma dengan albumin memperbaiki fungsi ginjal da
menormalkan perubahan hmodinamik pada paisen sirosis dengan SHR.
Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat enormalkan
aktifitas yang berlebihan dari rennin-angiotensin dan sistem saraf simpatis.
Peningatan kadar natriuetik pptide areri dan hanya memperbaiki sedikit
fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari,
perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus. Tetapi, terapi ini dapat digunakan dengan
kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan
karena komplikasi iskemik (12,13, 18,19).
Portosystmic shunt
Anastomosis shunt, belum merupakan terapi standar dalam
pelaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien dengan
penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode
17
nonbedah dari kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatik
portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini dibanding dengan
operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi.
Komplikasi yang paling sering pada pasien yang mendapat pengobatan
dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent.
Beberapa laoptran yang melibatkan sejumlah pasien cenderung
memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada
pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan
tranplantasi hati (3).
Hubungan antara penurunan tekanan portal yang diinduksi oelh
insersi TIPS dan perubahan yang bermanfaat dalam faktor-faktor
neurohumoral, fungsi ginjal pada pasien sirosis, dan asites refraktori.
Mekanisme TIP pada efek tersebt masih spekulatif, namun mungkin akibat
penurunan tekanan portal, penekanan reflex hepatorenal, perbaikan volme
sirkulasi (6).
Dialisa
Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada
penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus
dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walaupun tidak terdapat
penelitian control yang mengevaluasi efektifitas dari dialisa pada kasus ini,
tetapi pada laopran penelitian tanpa control menunjukkan efektifitas yang
buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan
terdapat insidn efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat
18
penelitian hmodialisa masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien
dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati (12,20).
Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk
penderita SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun
disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama
mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk
tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati,
kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam
setelah itu GFR mulai mengalami perbaikan (4,7,13).
Ada tiga kriteria umum resipin yang akan dilakukan transplantasi
hati, yaitu pasien tidak sembuh dengan tindakan pengobatan apapun
termasuk operasi dan medikamentosa, tidak ada kontraindikasi
dilakukannya transpalntasi hati, dan adanya pengertian keluarga pasien
mengenai penyakit serta konsikuensi dari tindakan transplantasi yang akan
dilakukan, meliputi risiko, keuntungan dan biaya yang diperlukan (21).
Ada empat macam kategori penyakit hati yang diindikasikan untuk
dilakukan transplantasi hati, yaitu: 1) Penyakit hati kronik irreversible oleh
sebab apapun; 2) Keganasan hati non metastasik; 3) Gagal hati Fulminan;
4) Gangguan metabolism herediter (21).
19