bab ii presus interna

18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Lupus Erimatosus Sistemik ( SLE ) II.1.1 Definisi Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai

Upload: restu-fajar-forwendy

Post on 18-Feb-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Presus Interna

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Lupus Erimatosus Sistemik ( SLE )

II.1.1 Definisi

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,

sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus

erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit

kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.

Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan

Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan

manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi

pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah

penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,

pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada

beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode

sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.

Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit

yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibody yang muncul

dan organ yang terlibat.

II.1.2 Epidemiologi

Sistemik lupus eritematosus terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak

pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita: laki-laki 5:1. Dalam 30

tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi SLE di

berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 –

400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, China, dan

mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Prevalensi SLE di Amerika 15-50 per

Page 2: BAB II Presus Interna

100.000 penduduk dengan etnis terbanyak yakni Amerika Afrika. Faktor ekonomi dan geografi

tidak mempengaruhi distribusi penyakit.

Insiden tahunan SLE di Amerika sekitar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE

di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk dengan rasio gender wanita dan laki-

laki 9-14 : 1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh wilayah

Indonesia. Data tahun 2002 di RSCM didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien

di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin bandung terdapat

291 pasien SLE atau 10,5% dari totoal pasien yang berobat ke poliklinik reumatolohi selama

2010.

II.1.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor

predisposisi dapat berperan dalam proses pathogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara

beberapa faktor predisposisi tersebut sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling

dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut beberapa faktor predisposisi yang

berperan dalam timbulnya penyakit SLE :

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk

autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah

ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot

berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah

58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini

adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang

memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II

khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya

SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah

satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan

defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan

Page 3: BAB II Presus Interna

bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi

menderita SLE.

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)

akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor

yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya

sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor

yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan

teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen

dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis

sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi

yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk

memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi

autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi

menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi

lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan

sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan

Page 4: BAB II Presus Interna

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam

tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.

Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan

Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi

kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan

sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat

tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.

c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu

ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE

pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.

d. Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan

Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE

diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

II.1.4 Patogenesis

Etiologi dan pathogenesis SLE belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian,

terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh

faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun. Faktor genetik memegang

peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE

Page 5: BAB II Presus Interna

mempunya kerabat dekat yang juga menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada kembar

identik 24-69% lebih tinggi dari saudara kembar non identik 2-9%.

Penelitian terakhir yang menunjukkan beberapa gen berikut HLA_DR 2 dan HLA-DR 3

berperan dalam mengkode unsur sistem imun. Gen lain yang ikut berperan seperti gen yang

mengkode sel reseptor T, imunoglobulin, dan sitokin. Sistem neuroendokrin ikut berperan

melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. Penelitian menunjukkan bahwa sistem

neuroendokrin dengan sistem imun saling mempunyai hubungan timbal balik. Beberapa

penelitian berhasil menunjukkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu pada individu yang mempunyai predisposisi

genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal pada sel CD4 mengakibatkan hilangnya

toleransi sel T terhadap self antigen. Akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang menyebabkan

induksi dan ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel

memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian diduga hormon seks, sinar UV, infeksi.

Pada SLE autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada

nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan di

antaranya adalah dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan kompleks

protein RNA. Ciri khas autoantigen ini mereka tidak tissue spesific dan merupakan komponen

integrasi dari semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibodi). Dengan antigen

spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar di sirkulasi. Klirens kompleks imun

menurun, meningkatnya kelarutan kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun

dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa terjadi pada SLE. Sehingga

kompleks imun tersebut deposit ke luar sistem fagosit mononuklear. Endapannya di berbagai

organ mengakibatkan aktivasi komplemen sehingga terjadi peradangan. Organ tersebut bisa

berupa ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dll.

II.1.5 Gambaran Klinis

Gejala Konstitusional

Seperti fatigue, penurunan berat badan, demam yang sifatnya tidak mengancam jiwa.

Penurunan berat badan yang terjadi dapat dibarengi dengan gejala gastrointestinal. Demam dapat

lebih dari 400C tanpa leukositosis.

Page 6: BAB II Presus Interna

Manifestasi Renal

Komplikasi ini mengancam jiwa dan terjadi pada 30% pasien dengan SLE. Nefritis

terjadi pada beberapa tahun awal SLE. Gejala awal bisa asimtomatik, sehingga pemeriksaan

urinalisis dan tekanan darah penting. Karakteristik manifestasi renal berupa proteinuria >500

mg/urin 24 jam, sedimen eritrosit. Klasifikasi glomerulonefritis akibat SLE terdiri dari beberapa

kelas.

1. Minimal mesangial lupus nefritis

2. Mesangial proliferatif lupus nefritis

3. Fokal lupus nefritis

4. Difus lupus nefritis

5. Membranosa lupus nefritis

6. Sklerosis lupus nefritis

Manifestasi neuropsikiatrik

Terdapat 19 manifestasi lupus neuropsikiatrik yang bisa dibuktikan hanya dengan biopsi.

Gejala yang dirasakan berupa nyeri kepala, kejang, depresi, psikosis, neuropati perifer.

Manifestasi sistem saraf pusat berupa aseptik meningitis, penyakit serebrovaskuler, sindrom

demielinasi, nyeri kepala, gangguan gerakan, mielopati, kejang, penurunan kesadaran akut,

kecemasan, disfungsi kognitif, gangguan mood, psikosis. Manifestasi sistem saraf perifer berupa

polineuropati perifer akut, gejala autonom, mononeuropati, miastenia gravis, neuropati kranial,

pleksopati.

Manifestasi Muskuloskeletal

Manifestasi yang satu ini merupakan manifestasi yang paling sering mengungkap terjadi

SLE pada pasien. Atralgia dan mialgia merupakan gejala tersering. Keluhan ini sering kali

dianggap mirip dengan artritis reumatoid dan bisa disertai dengan faktor reumatoid positif.

Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan deformitas, durasi kejadian hanya beberapa

menit.

Manifestasi Kulit

Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan diskoid. Sering dicetuskan oleh

fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia. Manifestasi oral berupa terbentuknya ulkus atau

Page 7: BAB II Presus Interna

kandidiasis, mata dan vagina kering. Perhatikan gambar 1 berikut malar rash dan gambar 2

alopesia berat akibat SLE.

Manifestasi Hematologi

Berupa anemia normokrom normositer,trombositopenia, leukopenia. Anemia yang terjadi

bisa terjadi akibat SLE maupun akibat manifestasi renal pada SLE sehingga mengakibatkan

terjadinya anemia. Limfopenia < 1500/uL terjadi pada 80% kasus. 3,5

Manifestasi Paru

Berupa pneumositis, emboli paru, hipertensi pul,onal, perdarahan paru, pleuritis. Pleuritis

memiliki gejala nyeri dada, batuk, sesak napas. Efusi pleura juga bisa terjadi dengan hasil cairan

berupa eksudat. Shrinking lung syndrome merupakan sistemik yang terjadi akibat atelektasis

paru basal yang terjadi akibat disfungsi diafragma.3-5

Manifestasi Gastrointestinal

Gejala tersering berupa dispepsia, yang bisa terjadi baik akibat penyakit SLE itu sendiri

atau efek samping pengobatannya. Hepatosplenomegali (+). Terjadinya vaskulitis mesenterika

merupakan komplikasi paling mengancam nyawa karena dapat menyebabkan terjadinya

perforasi sehingga memerlukan penatalaksanaan berupa laparotomi. 3-5

Manifestasi Vaskuler

Fenomena raynaud, livedo reticularis yang merupakan abnormalitas mikrovaskuler pada

ekstremitas, trombosis merupakan komplikasi yang terjadi. Gambar berikut 3 menunjukkan

livedo retikularis.

Manifestasi Kardiovaskuler

SLE dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya dapat

mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina pektoris, valvulitis, vegetasi

pada katup jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya.

Page 8: BAB II Presus Interna

II.1.6 Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut :No Kriteria Batasan 1 Rash malar Eritema, datar atau timbul di atas

eminensia malar dan bisa meluas ke lipatan nasolabial

2 Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik dan sumbatan folikel. Pada SLE lanjut ditemukan parut atrofi

3 Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar matahari

4 Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri

5 Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer dengan karakteristik efusi, nyeri, dan bengkak

6 Pleuritis atau perikarditis

a. Pleuritis: nyeri pleuritik, ditemukannya pleuritik rub atau efusi pleura

b. Perikarditis: EKG dan pericardial friction rub

7 Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau kualifikasi >+++

b. Sedimen eritrosit, granular,

Page 9: BAB II Presus Interna

tubular atau campuran8 Gangguan

neurologisa. Kejang- tidak disebabkan oleh

gangguan metabolik maupun obat-obatan seperti uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan elektrolit

b. Psikosis- tanpa disebabkan obat maupun kelainan metabolik di atas

9 Gangguan hematologi

a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis

b. Leukopenia < 4000/uLc. Limfopenia < 1500/uLd. Trombositopenia< 100,000/uL

10 Gangguan imunologi

a. antiDNA meningkatb. anti Sm meningkatc. antibodi antifosfolipid: IgG IgM

antikardiolipin meningkat, tes koagulasi lupus (+) dengan metode standar, hasil (+) palsu dan dibuktikan dengan pemeriksaan imobilisasi T.pallidum 6 bulan kemudian atau fluoresensi absorsi antibodi

11 Antibodi antinuklear (ANA)

Titer ANA meningkat dari normal

II.1.7 Penatalaksanann

Page 10: BAB II Presus Interna

Tidak ada kata sembuh untuk SLE, remisi komplit pun jarang terjadi. Oleh karena itu

perlu diperhatikan untuk mengendalikan serangan akut dan mengatur stratefi sehingga dapat

mensupresi terjadinya kerusakan target organ. Tatalaksana diberikan sesuai manifestasi klinis

yang terjadi dan dibagi dalam kelompok yang mengancam nyawa dan tidak mengancam nyawa.

II.1.7.1 Terapi non farmakologis

Penyuluhan dan edukasi penting diberikan pada pasien dengan SLE yang baru

terdiagnosis. Berikut adalah beberapa hal penting dalam edukasi SLE:

Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya

Masalah terkait fisik misalnya penggunaan kortikosteroid untuk tatalaksana SLE bisa

menyebabkan osteoporosis sehingga perlu dibarengi dengan latihan jasmani, istirahat,

diet, dan mengatasi infeksi secepatnya serta menggunakan kontrasepsi

Menggunakan payung, lengan panjang atau krem sinar matahari jika terpapar matahari

Memberikan edukasi mengenai terapi yang akan diberikan. Pasien dengan SLE

mengancam nyawa diberikan terapi agresif yakni imunosupresan dan kortikosteroid dosis

tinggi, sedangkan yang tidak mengancam nyawa diberikan terapi konservatif.

II.1.7.2 Terapi farmakologi

1. Sistemik lupus eritematosus ringan

Artritis, artalgia, mialgia : Keluhan ringan diberikan analgetik atau NSAID. Jika tidak

membaik dipertimbangkan pemberian hidroksiklorokuin 400mg/hari. Jika dalam 6 bulan tidak

berefek juga maka stop. Dapat diberikan kortikosteroid dosis rendah 15mg tiap pagi. Atau

metrotreksat 7,5-15 mg/minggu. Atau bisa dipertimbangkan pemberian cox-2 inhibitor.1,7

Lupus kutaneus : Menggunakan sunscreen untuk melindungi tubuh sehingga mengurangi gejala

fotosensitivitas. Sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio atau gel yang mengandung PABA,

ester, benzofenon, salisilat dan sinamat. Sunscreen dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.

Dermatitis lupus diberikan kortikosteroid topikal krem, salep atau injeksi. Antimalaria juga dapat

digunakan karena memiliki efek sunblock dan sunscreen.

Page 11: BAB II Presus Interna

Fatiq dan keluhan sistemik : Tidak memerlukan terapi spesifik. Cukup menambah waktu

istirahat dan menunjukkan empati.

Serositis : Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini diatasi dengan

NSAID, antimalaria atau glukokortikoid dosis 15 mg/hari. Pada keadaan berat memerlukan

kostikosteroid sistemik.

II.1.7.3 Sistemik lupus eritematosus yang mengancam jiwa

Keterlibatan organ dapat menyebabkan kerusakan yang ireversibel. Contohnya pasien

dengan lupus nefritis dapat menjadi gagal ginjal kronik. Pasien dengan manifestasi kardiak bisa

menyebabkan gagal jantung, insufisiensi katup jantung, atau tamponade perikardial. Anemia

berat atau trombositopenia bisa mengancam nyawa. Keadaan yang demikian memerlukan

campur tangan spesialisasi SLE.

Berikut ini adalah contoh manifestasi yang mengancam nyawa dari SLE

Jantung: vaskulitis/ vaskulopati koroner, endokarditis, miokarditis, perikardial

tamponade, hipertensi maligna

Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia < 1000/uL, trombositopenia < 50000/uL,

trombotik trombositopenia purpura, trombosis vena atau arterial

Neurologis: kejang, penurunan kesadaran akut-koma, stroke, mielopati tranversal,

mononeuritis, polineuritis, optik neuritis, psikosis, sindrom demielinasi

Otot: miositis

Pulmo: hipertensi pulmonal, perdarahan pulmo, pneumositis, emboli/infark paru,

shringking lung, fibrosis interstisial

Gastrointestinal: vaskulitis mesenterika, pankreatitis

Renal: nefritis persisten, glomerulonefritis progresif, sindroma nefrotik

Kulit: vaskulitis, ruam dengan ulserasi difus

Konstitusional: demam tinggi tanpa infeksi yang jelas

Glukokortikoid : Prednison oral 1-1,5 mg/kg/hari atau metilprednisolon bolus 1gram selama 3-

5 hari yang dilanjutkan dengan prednison oral. Respon terapi dilihat selama 6 minggu pertama,

Page 12: BAB II Presus Interna

jika respon baik maka dosis steroid diturunkan 5-10% tiap minggu. Setelah sampai dosis 30

mg/hari diberikan penurunan 2,5 mg/minggu, jika sudah sampai dosis 10-15 mg/hari, turunkan

dosis 1mg/minggu. Jika terjadi eksaserbasi berikan dosis efektif, lalu turunkan lagi.

Imunosupresan : Imunosupresan ini diberikan jika hanya tidak respon dengan terapi steroid,

setelah 4 minggu pemberian. Contoh imunosupresan yang bisa diberikan berupa siklofosfamid,

azatioprin, metotreksat, klorambusil, siklosporin. Pilihan obat tergantung keadaan. Untuk artritis

berat pilihannya adalah metotreksat. Nefritis lupus diberikan siklofosfamid atau azatioprin.

Siklofosfamid bolus 0,5-1 gr/m2 dalam 250 cc NS selama 1 jam diikuti pemberian cairan 2-3

L/24 jam. Jika ada nefritis, dosis siklofosfamid hanya 500-750 mg/m2. Pemberiannya selama 6

bulan, kemudian dalam 3 bulan selama 2 tahun. Azatioprin oral 1-3 mg/kg/hari selama 6-12

bulan. Siklosporin 3-6 mg/kg/hari untuk nefritis SLE. Metotreksat 7,5-20 mg/minggu terbagi 3

dosis oral atau injeksi.

Terapi lain seperti imunoglobulin 300-400 mg/kg/hari selama 5 hari berturut-turut untuk

mencegah kekambuhan masih dalam proses penelitian. Selain itu, plasmaferesis juga masih

dalam penelitian.

II.1.8 Prognosis

Studi di Eropa pada 1000 pasien SLE menunjukkan 92% dengan terapi optimal

memiliki survival rate 10 tahun, dan menurun 88% pada pasien dengan nefropati. Usia rata-

rata kematian 44 tahun, dan usia tertua untuk kematian 81 tahun. Penyebab kematian terbesar

adalah lupus nefritis.