bab ii landasan teori teori strukturaleprints.umm.ac.id/39804/3/bab ii.pdfa. dapat...
TRANSCRIPT
15
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Struktural
Pada dasarnya, sebuah karya sastra dibangun oleh unsur yang
membentuknya. Menurut Teeuw (1984: 121), analisis struktur merupakan
keutamaan dan pokok dalam mengkaji suatukajian dibanding teori-teori lain.
Dewasa ini, pendekatan struktural merupakan suatu pendekatan awal
dalam sebuah penelitian sastra. Di samping itu, pendekatan struktural juga sangat
penting bagi sebuah analisis karya sastra. Strukturalisme sastra adalah pendekatan
yang menekankan unsur intrinsik yang membangun karya. Oleh sebab itu, dengan
tidak adanya analisis melalui struktural, makna intrinsik dalam suatu karya sastra
tidak dapat tergali secara dalam. Selain itu, analisis struktural memiliki tujuan
adalah memahami secara teliti, menyuguhkan, membongkar secara tepat, detail,
dan sekuat mungkin melalui analisis struktural berupa suatu isi dengan hasil
makna yang baik dalam suatu karya (Teeuw, 1984: 135).
Struktural memiliki tiga sifat yaitu total, transformasi, dan pengaturan diri.
Total yang dimaksud adalah struktur terbentuk secara menyeluruh (totalitas)
dengan rangkaian unsur yang tetap memiliki kaidah. Demikian daripada itu,
susunan rangkaian tersebut menjadikan satu kesatuan yang akan menjadi konsep
sempurna. Selanjutnya transformasi, pada dasarnya, transformasi dimaksudkan
bahwa adanya perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur yang akan
merubah atau menjadikan perbedaan antar unsur lainnya. Pengaturan diri
dimaksudkan adalah struktur tersebut dibentuk oleh adanya kaidah intrinsik dari
hubungan antarstruktur yang dapat mengatur dirinya sendiri kalau ada satu unsur
16
hilang (Piaget dalam Sangidu, 2004: 16). Adapun langkah-langkah analisis
struktural adalah sebagai berikut:
a. dapat mengidentifikasikan unsur-unsur intrinsik dengan membangun suatu
karya sastra secara lengkap dan jelas, dapat membedakan antara tema dan
tokoh
b. dapat mengkaji sebuah unsur yang telah diindentifikasikan sehingga dapat
dideskripsikan perbedaan tema, alur, penokohan, dan latar dalam sebuah karya
sastra, dan
c. dapat menghubungkan unsur masing-masing sehingga mendapatkan kepaduan
makna secara totalitas dari suatu karya sastra (Nurgiyantoro, 20013: 36).
Di samping itu, Stanton (dalam Jabrohim, 1965: 12), menyatakan bahwa
dapat mendiskripsikan suatu unsur pembangun struktur yang terdiri atas tema,
fakta cerita dan karya sastra. Dalam hal ini, Tema adalah dasar cerita, sebuah
gagasan atau ide pokok yang mendasari kayra sastra. Fakta cerita terdiri dari
cerita, alur, dan latar. Selain itu, unsur intrinsik akan menjadi sarana analisis karya
sastra terdiri dari simbol-simbol, sudut pandang, gaya bahasa, imajinasi selain itu
juga mengetahui cara memilih judul dalam suatu karya sastra.
2.1.1 Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik merupakan segala unsur-unsur memiliki keterkaitan
langsung dalam sastra dengan membangun sebuah karya, yang turut serta dalam
proses pembangunan suatu cerita. Selain itu, terkait unsur intrinsik, Nurgiyantoro
(2013: 23) mengatakan bahwa unsur intrinsik adalah alat atau media dasar dalam
sebuah karya sastra yang dapat memberikan dampak pada pencapaian pengarang
untuk mewujudkan karya sastranya. Di samping itu, unsur–unsur instrinsik seperti
17
tema, tokoh, dan latar dapat membantu seorang pengarang dalam mengungkapkan
perasaannya pada pembaca. Agar lebih jelas, di bawah ini terdapat ulasan yang
detail terkait unsur instrinsik karya sastra.
2.1.1.1 Tokoh
Pada dasarnya tokoh memiliki suatu peran yang penting dalam sebuah
cerita. Demikian daripada itu, tokoh pada novel adalah orang yang berbuat
sesuatu dan orang yang dihadapkan pada sesuatu. Melalui pengarang, tokoh dapat
menampilkan karakternya melalui alur persoalan dalam cerita. Tokoh menunjuk
pada pembaca atau penikmat sastra, bahwa seorang tokoh adalah pelaku cerita.
Dengan demikian, keberadaan tokoh akan membuat alur menjadi lebih hidup dan
bermakna, ditambah, dengan hadirnya seorang tokoh dengan dibumbui berbagai
konflik yang dihadapi. Selain itu, dengan kajian tokoh, dapat kita ketahui bahwa
bagaimana seseorang tokoh pada suatu novel, atau bahkan film. Di smaping itu,
tokoh dalam sebuah karya sastra dibedakan melalui tingkat penting dan peranan
seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2013: 176-177):
a. Tokoh Utama
dalam hal ini, seorang tokoh utama dalam artian sangat utama yang
ditampilkan secara berulang kali sehingga cenderung mendominasi sebuah cerita.
Selain itu, sebagian besar cerita mengisahkan tentang seorang tokoh sehingga
tokoh utama tersebut dapat mengembangkan suatu cerita dengan luas. Di samping
itu, tokoh ini muncul sebagai seseorang yang dihadapkan konflik dalam suatu
peristiwa.
18
b. Tokoh Tambahan
Berbeda dengan tokoh utama, tokoh tambahan dikisahkan dalam porsi
yang cukup pendek. Di samping itu, tokoh tambahan merupakan tokoh yang
dimunculkan agar membantu tokoh utama baik secara langsung maupun tidak
langsung.
2.1.1.2 Latar
Latar adalah tempat. Namun demikian, latar dalam suatu cerita dapat
diartikan tempat, waktu dan kondisi sosial yang mendukung cerita agar lebih
mudah dipahami oleh para pembaca. Selain itu, seorang tokoh dalam karya sastra
berperan dengan ciri-ciri yang sesuai dengan latar yang melingkupinya. Latar
dapat membantu pembaca mengerti tentang suasana tertentu yang terjadi dalam
cerita. Selain itu, latar bisa memberikan dampak perwujudan sikap dan perasaan
tokoh dalam suatu cerita. Selain itu, latar dibedakan menjadi dua ketegori yaitu
latar spiritual dan latar fisik (Nurgiyantoro, 2013: 218-219).
a. Latar Spiritual
Dalam hal ini, latar spiritual adalah latar yang mengandung nilai yang
melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Di samping itu, latar spiritual erat dengan
lingkungan sekitar dalam cerita. Pada dasarnya latar spiritual terdiri atas tradisi,
adat, sudut pandang dan cara berfikir seseorang bahkan status sosial.
b. Latar Fisik
Latar Fisik berbeda dengan latar spiritual. Oleh sebab itu, latar fisik terdiri atas :
1) Waktu
Latar waktu terkait dengan suatu kejadian “kapan” terjadinya suatu
peristiwa yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi, seperti novel.
19
2) Tempat
Mengisahkan tentang tempat peristiwa dalam suatu kisah. Selain itu, latar
tempat dapat menjadi nama sebuah tempat, atau tempat-tempat tertentu yang
mempunyai ciri–ciri khusus. Pembaca dalam hal ini, lebih mudah mengerti dan
paham ketika mereka merasa tak asing dengan tempat yang diwujudkan dalam
cerita.
2.1.1.3 Tema
Selanjutnya, tema merupakan suatu gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara
berulang-ulang dimunculkan lewat suatu motif yang dilakukan secara implisit
(Nurgiyantoro, 2013: 115). Di samping itu, tema belum tentu disampaikan secara
eksplisit, seorang pengarang bisa saja menggunakan teka teki yang dapat
dirasakan dan disimpulkan oleh para penikmat karya sastra.
Dewasa ini, seorang penulis biasanya mengungkapkan sasaran tujuan
melalui tema. Suatu kisah yang tidak mempunyai tema tentu tidak memiliki
manfaat. Tema menjadi inti atau pokok dalam sebuah fiksi. Hal ini karena tema
dan unsur cerita dapat bergabung sebagai pembangun sebuah kesatuan dalam
cerita. Dalam hal ini, pengarang dapat menciptakan sebuah tema sebab diinspirasi
oleh kenyataan yang ada disekitarnya. Di dalam sebuah kehidupan, manusia
mengalami sebuah kompleksitas masalah. Masalah ini bisa bersifat kolektif
ataupun pribadi.
Tema menurut Nurgiyantoro (2013: 77) dapat digolongkan menjadi dua,
tema tradisional dan nontradisional. Tema tradisional adalah tema yang biasa atau
sudah diketahui secara umum oleh masyarakat. Tema ini banyak digunakan dalam
20
berbagai cerita seperti, kebenaran dan keadilan mengalahkan kajahatan, kawan
sejati adalah kawan di masa dulu, atau setelah menderita orang baru mengingat
Tuhan. Selain itu, tema tradisional bersifat universal dan sebuah novel khusus
sering memakai tema tradisional dalam kajian atau alur ceritanya. Tema
selanjutnya adalah tema nontrdisional. Tema nontradisional adalah lawan dari
tema tradisional yang artinya tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca
atau melawan arus. Di samping itu, pada dasarnya pembaca menikmati dan gemar
dengan hal-hal baik, jujur, pahlawan atau sosok protagonis yang harus utama
dalam cerita, namun pada tema nontradisional tidak seperti itu.
2.1.1.4 Alur
Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013: 14) mengemukakan bahwa alur
merupakan kisah yang mengandung peristiwa namun demikian, tokoh-tokoh
dalam cerita tersebut adalah sebagai unsur terpenting. Pada dasarnya, pentingnya
alur tersebut dapat bermanfaat bagi tokoh yang berperan sebagai seseorang
pemain sehingga kisah tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Stanton (dalam
Nurgiyantoro, 2013: 113) juga mengemukakan bahwa alur adalah kisah yang
mengandung serangkaian peristiwa namun demikian setiap peristiwa tersebut
hanya terhubung melalui sebab akibat dan peristiwa yang lain.
2.1.2 Unsur Ekstrinsik
Setelah menguraikan pentingnya unsur intrinsik bagi karya sastra, unsur
Ekstrinsik juga tak kalah penting dari unsur intrinsik. Unsur Ekstrinsik sendiri ada
beberapa yaitu ekonomi, lingkungan masyarakat, spiritual, politik terkait
psikologi (Nurgiyantoro, 2013: 24). Dalam hal ini, akan dijabarkan tentang unsur
luar dari suatu karya sastra yaitu dalam novel Napas Mayat dari teropong
21
psikologi. Penelitian ini akan menggunakan teori Carl Gustav Jung, yaitu suatu
teori psikologi memiliki fokus utama tipologi Jung, selain itu tentang keterpaduan
fungsi juga sikap seseorang, serta teori sebatu yang ada kaitannya dengan topik
kajian berupa shadow. Pada dasarnya, teori kepribadian atau sering disebut
psyche berisi mengenai suatu pikiran, jiwa seseorang, perasaan serta perilaku,
manusia baik sadar atau tidak sadar.
Suatu kepribadian dapat menunjukkan manusia dalam arah penyesuaian
diri terhadap lingkungan sosial dan karakter orang lain. Di dalam pribadi
seseorang memiliki sikap ekstrovet dan introvet serta memiliki kepekaan indera
dan perasaan yang kuat. Hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupannya dalam
bersosialisasi dengan masyarakat. Kepribadian dan kegunaan dalam diri seseorang
membangun suatu kesatuan, menimbulkan salah satu dari pribadi dalam diri
seseorang lebih menonjol (Nurgiyantoro, 2013: 25). Namun, dalam penelitian ini
arsetip pada shadow (bayangan) yang mempengaruhi tokoh utama yang akan
diuraikan dalam bentuk-bentuk shadow untuk mendeskripsikan lebih jelas.
2.2 Konsep Perilaku
2.2.1 Pengertian Perilaku
Pada dasarnya tingkah laku manusia merupakan kegiatan sehari-hari atau
perbuatan seseorang baik terlihat maupun tidak, dilakukan secara sadar atau tidak
sadar saat dihadapkan pada keadaan tertentu (Puspitawati, 2012: 12). Dalam hal
ini, suatu bahan ajar mengandung tentang teori tingkahlaku seseorang serta
gangguan kejiwaan disebut Psikologi. Contohnya: cara berbicara, cara berjalan,
emosi, berpikir, mendengar, melihat, dan persepsi.
22
Tingkah laku seseorang juga dapat diartikan sebagai kegiatan yang
dilakukan seseorang. Selain itu, tingkah laku terkait suatu kejadian yang akan
dialami oleh manusia tersebut, dapat dilihat secara eksplisit dan implisit.
Demikian daripada itu, tingkah laku terjadi jika ada suatu peristiwa yang
memerlukan kepekaan diri seseorang akibat kode dari orang lain, maka
pengkodean orang tersebut dapat menimbulkan perbuatan secara refleks dari
dalam diri seseorang (Notoatmodjo, 2007: 114).
Menurut Skinner (dalam Notoatmodjo, 2007: 113) tingkah laku adalah
suatu jawaban dari manusia terhadap orang lain. Oleh sebab itu, tingkah laku
muncul dari diri seseorang akibat adanya hubungan sosial, demikian daripada itu,
teori skinner disebut teori “S-O-R atau stimulus organisme respon. Skinner juga
membagi beberapa cara :
a. Respondent respon atau reflexsive, yaitu suatu jawaban diberikan seseorang
kepada orang lain. Stimulus semacam ini disebut electing stimulation sebab
menimbulkan jawaban pasti. Misal: minuman manis dan nikmat membuat
seseorang ingin untuk minum, sinar gelap membuat seseorang takut. Selain itu,
respondent respon dapat mengaitkan tingkah laku perasaan emosi misalnya
merasakan musibah yang berat membuat menangis, nilai kuliah baik merayakan
kegembiraan dengan bernyanyi bersama teman-teman.
b. Operant respon atau instrumental respon, merupakan jawaban seseorang
memberikan efek berkembang terhadap suatu perasaan. Misalnya ada seorang
perawat melakukan kerja maksimal, setelah itu mendapatkan hadiah bosnya, jadi
perawatan itu akan melakukan kerjanya lebih maksimal lagi.
23
2.2.2 Wujud Perilaku Shadow
Tingkah laku sendiri berarti tindakan, sifat dalam diri manusia
(Puspitawati, dkk. 2012: 12). Selain itu, shadow menurut Alwisol (2009:44)
adalah bayangan atau arketip tentang cerminan perilaku seseorang yang
menyerupai binatang yang sudah diturunkan nenek moyang pada generasi
manusia saat ini. Menurut Darwin (dalam Alwisol, 2009: 44) terkait sifat shadow
mencerminkan diri seseorang dalam artian seseorang berasal dari binatang, serta
memiliki sifat menyerupai binatang yang ada dalam seseorang, dengan wujud
shadow atau bayangan. Selain itu, perilaku shadow merupakan sifat atau perilaku
kebinatangan yang dimiliki seseorang, arketip, spontanitas, serta memiliki unsur
kreatif, shadow dapat membangun diri seseorang.
Wujud adalah rupa suatu bentuk yang nyata bukan suatu benda yang tidak
nyata (roh). Wujud Shadow jika dimunculkan akan menjadi rupa dengan keaslian
sisi gelapnya dapat menjadi hantu dalam kehidupan nyata. Shadow dapat
membuat seseorang tiba-tiba memiliki pikiran serta perilaku tidak baik terhadap
lingkungan hidupnya. Shadow sebenarnya tersembunyi dalam kesadaran
seseorang paling bawah.
Oleh sebab itu, shadow dapat memunculkan perilaku buruk yang tidak
dapat dikendalikan yang tidak bisa dipengaruhi oleh ego. Padahal shadow serta
ego dapat dipersatukan dan dapat bermanfaat bagi tingkah laku seseorang.
Pengaruh ego membuat seseorang dapat menjalani hidup dengan baik. Namun
demikian, jika shadow dan ego tidak dapat bersatu, maka akan menjadi agresi,
menjadi sisi jahat dan dapat menghancurkan diri juga orang lain. Selain itu,
shadow merupakan sifat binatang dan dapat menyesuaikan dengan kenyataan
24
hidup, menjaga diri (survival). Sifat binatang layaknya hal tersebut memiliki
pengaruh yang besar terhadap keadaan yang mendesak, sebab shadow bisa
menjadikan tingkah laku terkendali. Namun demikian, jika shadow tidak bisa
dijadikan manfaat dalam hidup, seseorang dapat mengalami tertekan dan dilema
saat dihadapkan pada peristiwa yang mengancam diri, sehingga seseorang bisa
berperilaku buruk (Alwisol, 2009: 44).
Menurut Sebatu (1994: 9) shadow adalah sisi jahat dari aku dan ego. Kata
shadow digunakan Jung untuk menunjukkan sisi yang gelap atau sisi yang jahat
dalam diri kita. Fresbach (dalam Sebatu, 1994: 9) mengungkapkan bahwa shadow
sebagai sisi kebinatangan dalam kepribadian manusia. Namun demikian,
penjelasan Fresbach bertentangan dengan pendapat Fehr (dalam Sebatu, 1994: 9)
Fehr mengungkapkan bahwa shadow sebagai sisi kebinatangan, yang tidak dapat
kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Shadow berhubungan degan
taraf tak sadar dan justru menampakkan “dunia kejahatan”. Oleh sebab itu, pada
dasarnya Shadow mempunyai aspek tak sadar personal. Dalam taraf tak sadar
personal, shadow adalah sebuah kenangan yang berkumpul yang tidak diterima
sesorang karena sebuah karakter atau perilaku buruk. Misalnya kita menolak
dorongan seks yang tidak dapat diterima, kecenderungan agresif, dan sebagainya.
Jadi shadow dapat dikatakan merupakan campuran antara insting seks-nya Freud
dan keinginan akan kuasanya Adler. Shadow di sini merupakan setan atau sisi
gelap dalam berbagai bentuknya (Sebatu, 1994: 9).
Cerita tentang ular dan setan yang menggoda Hawa di Firdaus adalah
contoh yang paling baik dari shadow. Bahkan dalam hal shadow, bentuk godaan
setan yang kita alami sebelum melakukan hal-hal yang dianggap dosa, adalah
25
karya dari shadow. Shadow muncul dalam berbagai bentuk, seperti perangai
buruk, sakit tak tahu sebabnya, keinginan untuk mencelakai orang lain dan
sebagainya. Bahkan shadow bekerja secara independen dalam taraf tak sadar, di
mana mereka menyatu dengan dorongan-dorongan lain. Kekuatan dari shadow
dapat menampakkan diri dalam taraf sadar, seperti misalnya dalam bentuk
kemarahan.
Shadow kadang-kadang dapat juga mengalahkan ego. Seorang yang amat
baik misalnya, tiba-tiba bersifat agresif terhadap teman-temannya. Sementara
berbagai pikiran yang irrasional adalah hasil kerja shadow yang mengalahkan ego.
Shadow sebenarnya dapat juga berdampak positif. Misalnya, seorang wanita tidak
jadi membunuh korbannya, karena dia ingat akan kekasihnya. Selain itu contoh
lain adalah seoarang pendosa yang tiba-tiba bertobat. Ini adalah aspek positif dari
shadow. Ego dan shadow berlawanan satu sama lain. Ego adalah sisi positif dari
pribadi manusia, sementara shadow adalah sisi yang negatifnya. Mereka dapat
bekerja secara berdampingan. Ego dapat mengontrol daya kekuatan shadow
sehingga tidak berubah menjadi kekuatan jahat yang membahayakan diri orang
lain dalam kehidupan. Dari sudut ini kita juga bisa meneropong bahwa shadow
dapat dikontrol melalui ego, namun juga dapat tidak terkontrol apabila perilaku
shadow yang dialami sangat kuat ke lingkungan. Oleh sebab itu, Shadow dapat
menguasai seseorang sedemikian hebat, sehingga seseorang itu dapat mengontrol
dan nampak tidak waras (Sebatu, 1994:10).
Menurut Sebatu (1994: 9) shadow mempunyai aspek primer. Shadow
berhubungan dengan taraf tak sadar personal. Dalam taraf tak sadar personal,
shadow misalnya sebatu mengungkapkan bahwa adanya kecenderungan agresi,
26
menolak dorongan seks. Selain itu, shadow merupakan merupakan personifikasi
universal dari bentuk kejahatan. Seperti: Penggoda, penghancur. Jadi dari
penjelasan Sebatu tersebut, sebatu mengklarifikasi adanya beberapa wujud dari
shadow yaitu, berperilaku agresi, penggoda, dan penghancur.
2.2.2.1 Agresi
Dewasa ini, agresi didefinisikan oleh para psikolog sebagai setiap bentuk
perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang
bertentangan dengan kemauan orang itu. Pada dasarnya perilaku agresi berarti
bahwa menyakiti orang lain sengaja, dan bukanlah perilaku agresi jika pihak yang
dirugikan menghendaki perilaku agresi terjadi. Misalnya jika dalam suatu
hubungan seksual seorang partner ingin ditampar atau diperlakukan secara kasar,
tindakan itu tidak akan dianggap agresif sebab tindakan itu memang dikehendaki.
Agresi melibatkan setiap bentuk penyiksaan, termasuk penyiksaan psikologis atau
emosional. Oleh sebab itu, misalnya, mempermalukan, menakut-nakuti, atau
mengancam seseorang adalah perilaku agresi.
Kekerasan didefinisikan sebagai tindakan di mana ada usaha sengaja untuk
mencederai secara fisik. Mencederai secara tidak sengaja bukanlah kekerasan.
Perbedaan antara mencederai secara sengaja dan tidak sengaja ini dilakukan baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam sistem hukum. Dalam menjelaskan
agresi dan kekerasan, para psikolog biasanya membedakan antara bentuk-bentuk
instrumental dan emosional dari agresi atau kekerasan. Agresi atau kekerasan
instrumental terutama merupakan saran menuju suatu tujuan yang lain. Psikiater
yang ditikam ketika seorang klien berusaha mencuri obat-obatan psikotropika
memang disengaja agar klien dapat melarikan diri, bukan karena marah atau
27
penasaran pada psikiaternya. Sebaliknya, kekerasan emosional atau kadang-
kadang disebut kekerasan dengan kemarahan dengan sengaja bertujuan
mencederai, termasuk penyiksaan psikologis dan emosional (Breakwell, 1997: 17-
18).
2.2.2.2 Penggoda
Penggoda ialah sikap seseorang yang berniat untuk menggoda orang lain
ke arah hal buruk. Penggoda mempunyai kecenderungan untuk berfantasi erotis.
Kalau orang mempunyai kecenderungan untuk berfantasi erotis, menyenangi
pornogafi, senang menonton pertunjukkan strip-tease dan sebagainya, dia pasti
dikuasai oleh anima negatif.
Dewasa ini ada sebuah kisah, penggoda diwakili oleh Siren ini amat
berbahaya bagi Odysseus dan para pengikutnya karena daya godaannya hebat.
Circle misalnya pura-pura menjamunya dengan hebat, tetapi pada saat mereka
mabuk pesta dia melepaskan kutukannya. Sama halnya dengan Siren yang
menggoda setiap manusia dengan nyanyian mereka yang merdu dengan kata-kata
bijaksana. Ketika orang benar-benar terpikat untuk mengunjungi mereka, mereka
membunuhnya. Wanita-wanita tadi memiliki daya goda yang hebat, yang dapat
menjatuhkan pria dengan janji-janji kenikmatan. Pria yang terkena godaan
biasanya menjadi tak berdaya. Dalam keadaan seperti itu, mereka langsung
dihancurkan. Sementara saudari-saudari Psike ingin menghancurkan Psike karena
iri hati.
Kisah seperti ini banyak terjadi dalam dunia modern masa kini. Dewasa
ini, banyak pejabat pemerintah, direktur perusahaan dan bahkan profesor terlibat
dalam skandal seks dengan berbagai wanita cantik atau mempunyai istri simpanan
28
karena sikap penggoda. Kasus ini terjadi karena mereka sering kali mengalami
cinta pada pandangan pertama. Selain itu, cinta jenis ini adalah cinta yang tidak
matang, yang menurut Jung (dalam Sebatu, 1994: 59) adalah akibat dari shadow
yang negatif. Dalam setiap kasus cinta pada pandangan pertama itu orang merasa
seperti baru kali itu mereka mendapatkan pasangannya yang amat cocok.
Namun, lama-kelamaan mereka tidak menyadari bahwa hubungan itu
membuahkan hasil negatif. Mereka harus terpaksa berpisah dengan istri dan anak,
bahkan sampai meninggalkan kedudukannya sebagai pejabat tinggi, yang telah
diperjuangkannya dengan susah payah. Kalau orang itu tetap tidak sadar, orang itu
akan tetap menjadi budak dalam kehidupan cintanya (Sebatu, 1994: 59). Bentuk
penyimpangan contohnya menggoda agar berlaku tidak jujur, melakukan
kecurangan, ketidakadilan, kelicikan, serta kejahatan yang merupakan dosa
(Cohen dama Siahaan, 2009:12).
2.2.2.3 Penghancur
Wujud perilaku shadow selanjutnya adalah penghancur, yang merupakan
bagian dari perilaku yang menghendaki kehancuran dalam kehidupan. Shadow
sebenarnya mencakup penggoda, penghancur, dan sumber tabiat yang buruk.
Shadow dan anima negatif menurut Jung (dalam Sebatu, 1994: 61) mempunyai
sifat yang sama.
Dalam kisahnya, wanita nampak sebagai aspek penghancur hidup dan
mental dari para pria. Anima negatif dari wanitalah bekerja pada setiap pria.
Hanya demikian intensitas daya hancurnya berbeda pada setiap orang. Kuatnya
daya hancur dari anima yang negatif nampak dalam kasus bunuh diri yang amat
tinggi yang dialami pria di seluruh dunia.
29
Anima yang negatiflah yang berubah menjadi shadow penyebab semua
kasus bunuh diri itu. Misalnya, laporan dari Amerika Serikat misalnya,
menyatakan bahwa kasus bunuh diri dalam masyarakat tiga kali lebih tinggi pada
pria daripada wanita.
Percobaan bunuh diri memang tinggi pada wanita, namun hanya sedikit
yang berhasil. Sementara itu, lebih sedikit jumlah orang yang mengadakan bunuh
diri pada pria, namun hampir semuanya berhasil. Oleh sebab itu, peristiwa
tersebut terjadi karena wanita lebih tahan terhadap penderitaan daripada pria.
Kehancuran atau breakdown, depresi, keterasingan dan berbagai kesulitan lainnya
pria justru tidak tahan (Sebatu, 1994: 63).
2.3 Latar belakang Perilaku Shadow
Setelah membahas tentang wujud perilaku shadow, selanjutnya latar
belakang terjadinya perilaku shadow adalah adanya aspek negatif dari anima atau
animus. Sebatu (1994:11) menjelaskan bahwa anima dan animus negatif dapat
membawa dampak negatif berupa perangai buruk (perilaku shadow). Menurut
Alwisol (2009: 43) persona juga dapat menjadi latar belakang perilaku shadow,
jika diidentifikasi sepenuhnya akan menimbulkan perasaan asing dalam diri
seseorang, menjadi manusia palsu sehingga dapat melakukan apa saja dalam
menghadapi publik. Selain persona, latar belakang seseorang dapat melakukan
perilaku buruk adalah karena adanya muatan emosi yang kuat. Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Sebatu (1994: 11) latar belakang seseorang melakukan
perilaku shadow adalah adanya bentuk anima dan animus negatif, persona dan
emosi dalam diri seseorang.
30
2.3.1 Anima dan Animus
Jung (Sebatu, 1994: 11) berkeyakinan bahwa pria dan wanita mempunyai
unsur dari jenis seks yang lain dalam dirinya, sedangkan wanita mempunyai aspek
maskulin dalam dirinya. Dalam hal ini arketip wanita dalam diri pria disebut
anima, sedangkan arketipe pria dalam wanita disebut animus. Berkaitan dengan
shadow, seperti anima dan animus dapat membawa dampak positif dan sekaligus
juga negatif. Anima bekerja positif pada seorang pria bila dia membangkitkan
inspirasi, kemampuan intuitif, dapat memberikan peringatan. Selain itu, anima
juga dapat membawa dampak negatif, berupa perangai buruk atau wanita beraspek
positif bila menampakkan diri dalam argumentasi yang berdasarkan pemikiran
yang logis dan masuk akal. Aspek negatifnya, bila wanita bermulut tajam, tanpa
perasaan dan sebagainya.
2.3.2 Topeng
Topeng yang digunakan di sini diambil untuk menerjemahkan kata
persona. Persona berasal dari bahasa latin. Selain itu, Persona berarti orang atau
topeng. Dalam bahasa Yunani kata sepadan dengan kaa porsopon, yang juga
berarti topeng atau muka. Dalam hal ini, topeng sering digunakan dalam drama
atau teater.
Menurut Jung (dalam Sebatu, 1994: 7) bahwa tiap orang menggunakan
topeng yang digunakan sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Peran dalam
tuntutan lingkungan itu tak dipikirkan lagi, tetapi berjalan secara otomatis. Tiap
orang mempertunjukkan dalam tingkah lakunya. Di samping itu, topeng, dapat
dikatakan sebagai bentuk kompromi antara tuntutan lingkungan dan kepentingan
norma-norma batiniah seseorang. Topeng ini lain dari perasaan kita yang nyata.
31
Oleh sebab itu, kita menggunakan topeng agar kita dapat bergaul sepantasnya
dengan orang lain, meskipun lain daripada perasaan dalam hati nurani kita, namun
kita menggunakan topeng untuk kebaikan di mata lingkungan sosial.
Demikian daripada itu, jika kita terus mengembangkan persona/ topeng,
kita akan terasingkan dari kodrat kita. Kita akan mengalami ketegangan antara
topeng yang terlalu berkembang di satu pihak dengan kepribadian yang tak
berkembang di pihak lain. Kalau ego mengidentifikasi diri dengan topeng, hal itu
disebut inflasi. Pada dasarnya, orang yang mengalami inflasi kepribadian akan
mementingkan dirinya terus-menerus. Oleh sebab itu, jika orang itu mempunyai
kuasa, dia akan memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang telah dilakukannya
(Sebatu, 1994: 8).
2.3.3 Emosi
Emosi mengacu kepada kata yang berarti reaksi-reaksi positif dan negatif
terhadap situasi-situasi tertentu. Tidak ada yang disebut emosi netral. Misalnya,
diperlakukan tidak adil membuat kita marah, melihat orang menderita membuat
kita sedih, dan berada dekat dengan orang yang disayangi menjadikan kita
bahagia.
Emosi terdiri atas pola-pola perubahan fisiologis dan perilaku yang
menyertainya atau setidaknya desakan untuk melakukan perilaku-perilaku ini.
Respon-respon disertai perasaan. Bahkan, sebagaian besar orang menggunakan
kata emosi untuk mengacu kepada perasaan, bukan kepada perilaku. Respon
emosional terdiri atas tiga jenis komponen: perilaku, otonom, dan hormonal.
Komponen perilaku terdiri atas gerakan-gerakan otot yang sesuai dengan situasi
yang memicunya. Respons otonom adalah respon utama bagi emosi dalam diri
32
manusia, respon tersebut memfasilitasi perilaku dan menyediakan mobilisasi
cepat energi untuk gerakan kuat. Dalam hal ini, emosi marah sangat berbahaya
bagi setiap orang. Misalnya emosi saat diri kita tersakiti orang lain, merasa
diremehkan atau dikucilkan (Carlson, 2012: 2).
2.4 Dampak Psikologis
Dampak psikologis yang dialami oleh Aku dalam novel Napas Mayat
akibat diawali oleh seseorang yang menghina dan meremehkannya yang
menyebabkan seseorang itu akhirnya dendam, berperangai buruk dan membunuh.
Setelah itu, ia seseorang dapat merasakan kecanduan untuk membunuh dan
memakan daging manusia karena adanya bayangan negatif dalam diri. Membunuh
adalah peristiwa yang keji dan berbahaya. Oleh sebab itu, dampak psikologis bisa
dialami seseorang yang telah membunuh. Berikut dijelaskan dampak psikologis.
Menurut Carlson (2012: 210) beberapa dampak psikologis terhebat yang
dapat dialami seseorang adalah skizofrenia yakni pikiran yang terpecah tidak
rasional, gangguan kecemasan, dan stress yang dapat dialami seorang pembunuh
sehingga pada akhirnya penyesalan, ketakutan (kecemasan), stres dapat terjadi.
2.4.1 Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan mental serius yang menimpa sekitar 1 persen
dari populasi dunia. Biaya untuk mengatasi gangguan ini sangat besar. Menurut
Thaker dan Carpenter (dalam Carlson, 2012: 210) di Amerika, angkanya melebihi
biaya dari semua jenis kanker. Sedangkan menurut Jeste (dalam Carlson, 2012:
210) deskripsi gejala dalam tulisan-tulisan kuno menunjukkan bahwa gangguan
tersebut telah ada selama ribuan tahun. Selain itu, Flaum dan Andreasen (dalam
33
Carlson 2012: 210) Gejala-gejala utama skizofrenia bersifat universal, dan para
ahli kliis telah mengembangkan kriteria untuk mendiagnosis kelainan itu pada
orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Di samping itu, Skizofrenia
merupakan istilah psikologi yang paling kerap disalahgunakan. Kata tersebut
secara harfiah berarti „pikiran yang terpecah‟, namun bukan berarti kepribadian
ganda.
Menurut Mueser dan McGurk (dalam Carlson 2012: 210) Skizofrenia
ditandai dengan tiga kategori gejala: positif, negatif, dan kognitif. Gejala positif
membuat diri mereka dikenal karena kehadiran mereka. Gejala positif termasuk
pemikiran tidak rasional, halusinasi, dan delusi. Dalam pemahamannya, gangguan
pemikiran seseorang tidak teratur, pemikiran tidak rasional merupakan gejala
yang paling penting dari skizofrenia. Penderita skizofrenia sangat kesulitan
mengatur pikiran mereka secara logis dan memilah kesimpulan yang masuk akal
dari yang tidak masuk akal. Dalam percakapan, mereka melompat dari satu topik
ke topik lain ketika asosiasi baru muncul. Kadang-kadang mereka mengucapkan
kata-kata tak bermakna atau memilih kata-kata bersajak daripada bermakna.
Setelah itu, gejala lain adalah Delusi.
Delusi adalah keyakinan yang jelas-jelas berentangan dengan fakta. Delusi
dikejar-kejar (persecution) adalah keyakinan yang salah bahwa orang lain sedang
merencanakan dan bersekongkolan melawan dirinya. Delusi keagungan
(grandeur) adalah keyakinan salah yang menganggap dirinya memiliki kekuasaan
dan orang yang sangat penting, seperti keyakinan bahwa dia memiliki kekuatan
dewa atau memiliki pengetahuan khusus yang tidak ada orang lain yang
memilikinya. Delusi kontrol (control) terkait dengan delusi dikejar-kejar, orang
34
tersebut percaya bahwa ia sedang dikendalikan oleh orang lain melalui cara
seperti radar atau penerima radio kecil yang ditanamkan di otaknya.
Selain itu, gejala positif ketiga skizofrenia adalah halusinasi, persepsi
stimuli yang tidak benar-benar ada. Pada dasarnya, halusinasi skizofrenia yang
paling umum adalah pendengaran (auditoris), tetapi juga dapat melibatkan indra
lainnya. Ditambah lagi, halusinasi skizofrenia khas, terdiri dari suara-suara
berbicara orang yang mengalaminya, serta sering kali, suara-suara itu
memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, memarahinya karena ia tidak
berharga, atau hanya mengucapkan frase tak bermakna. Halusinasi penciuman
(olfaktoris) juga cukup umum ditemui; sering kali menciptakan delusi yang
menyebutkan bahwa orang lain berusaha untuk membunuhnya dengan gas
beracun.
Berbeda dengan gejala positif, gejala negatif skizofrenia dikenal dengan
berkurangnya atau tidak adanya perilaku yang normal: respons emosional yang
datar, kemampuan bicara yang buruk, kurangnya inisiatif dan ketekunan,
anhedonia (ketidakmampuan untuk mengalami/ merasakan kesenangan) dan
menarik diri secara sosial. Gejala kognitif skizofrenia berhubungan erat dengan
gejala negatif dan dapat dihasilkan oleh kelainan akibat tumpang tindihnya daerah
otak. Dewasa ini, gejala kognitif akan melibatkan seseorang mengalami kesulitan
dalam mempertahankan perhatian, rendahnya tingkat kecepatan psikomotor
(kemampuan untuk menggerakkan jari-jari, tangan dan kaki secara cepat),
penurunan kemampuan (defisit) dalam belajar dan memori, buruknya kemampuan
berpikir secara abstrak, serta buruknya kemampuan pemecahan masalah (Carlson,
2012: 210).
35
2.4.2 Gangguan Kecemasan
Dewasa ini, gangguan kecemasan (anxiety disorder) ditandai oleh
ketakutan tidak berdasar dan kecemasan yang tidak realistis. Dalam hal ini,
dengan prevalensi seumur hidup sekitar 28 persen, gangguan kecemasan adalah
gangguan kejiwaan yang paling umum. Selain itu, gangguan kecemasan
berkontribusi terhadap terjadinya depresi dan gangguan penyalahgunaan zat.
Gangguan kecemasan tampaknya memiliki penyebab biologi: gangguan panik
(panic disorder), gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder) dan
gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder).
Gangguan panik (panic disorder) menderita serangan episodik kecemasan
akut periode akut dan teror dengan terus menerus menyerang seseorang yang
mengalami trauma sepanjang waktu yang bervariasi, dari beberapa detik sampai
beberapa jam. Selain itu, menurut Schumacher (dalam Carlson, 2012: 244) tingkat
gangguan ini sekitar 3-5 persen. Demikian dari hasil tersebut, perempuan
tampaknya memiliki kemungkinan lebih besar menderita gangguan panik, sekitar
dua kali lipat, dibanding laki-laki. Serangan panik meliputi banyak gejala fisik,
seperti: sesak napas, keringat dingin, detak jantung tidak teratur, pusing, pingsan,
dan perasaan tak nyata (halusinasi).
Demikian, dengan kata lain, korban dengan serangan panik sering merasa
bahwa ia akan meninggal dan mencari bantuan di ruang gawat darurat rumah
sakit. Di antara waktu serangan panik, banyak orang dengan gangguan panik
menderita kecemasan antisipatif (anticipatory anxiety)- cemas bahwa serangan
panik yang lain akan menyerang mereka. Selain itu, kecemasan antisipatif ini
36
sering mengarah pada perkemabangan gangguan fobia serius: agorafobia
(agoraphobia; agora berarti “ruang terbuka”).
Dewasa ini, agrofobia bisa sangat mematikan, beberapa orang dengan
gangguan ini tinggal di dalam rumah selama bertahun-tahun, takut untuk berjalan-
jalan ke luar karena khawatir mengalami serangan panik di depan umum. Pada
dasarnya, karakteristik utama gangguan kecemasan umum (generalized anxiety
disorder) adalah kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan, kesulitan
mengendalikan gejala-gejala ini, dan secara klinis menunjukkan tanda-tanda
penderitaan dan kekacauan signifikan. Pada umumnya, tingkat gangguan
kecemasan adalah sekitar 3 persen, dan kejadiannya adalah sekitar dua kali lebih
besar pada wanita dibanding pada pria.
Selanjutnya, gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder) juga
disebut fobia sosial (social phobia) adalah ketakutan yang berlebihan dan menetap
jika terekspose dan menjadi sorotan orang lain sehingga menyebabkannya
menghindari situasi sosial saat orang tersebut diminta untuk tampil (seperti
berbicara atau tampil di depan umum). Jika situasi tidak dapat dihindari, orang itu
mengalami kecemasan dan penderitaan yang intens. Dalam hal ini terkait
prevalensi gangguan kecemasan sosial, kecenderungannya sama pada pria dan
wanita adalah sekitar 5 persen (Carlson, 2012: 244).
2.4.3 Gangguan Stres
Pada dasarnya gangguan stres adalah gangguan yang sangat berbahaya.
Stimuli aversif (stimuli yang tidak menyenangkan) dapat membahayakan
kesehatan seseorang. Kata stres diambil dari istilah teknik yang mengacu pada
aksi kekuatan fisik struktur mekanis. Kata tersebut bisa menjadi kata benda atau
37
kata kerja, dan kata benda dapat mengacu pada situasi atau respon individu
terhadap situasi tersebut. Ketika kita mengatakan bahwa seseorang mengalami
stres, kita benar-benar bermaksud bahwa seseorang tersebut terkena situasi yang
menimbulkan reaksi tertentu pada dirinya, yang disebut respons stres.
Selain itu, gangguan stres pascatrauma (posttraumatic stress disorder/
PTSD) disebabkan oleh situasi ketika seseorang mengalami, menyaksikan, atau
dihadapkan pada peristiwa atau banyak peristiwa yang melibatkan kematian nyata
atau ancaman kematian, cedera serius, atau ketakutan terhadap integritas fisik diri
sendiri atau orang lain yang memprovokasi respons yang melibatkan ketakutan
intens, ketidakberdayaan, atau horor. Gejala-gejala yang dihasilkan oleh paparan
tersebut termasuk mimpi berulang atau ingatan dari peristiwa tersebut, perasaan
bahwa peristiwa traumatis sedang berulang (episode “kilas-balik”), dan tekanan
psikologis yang intens.
Dewasa ini, seperti mimpi, kenangan, atau episode kilas-balik ini, dapat
menyebabkan orang menghindari pemikiran tentang peristiwa traumatis, yang
sering kali menurunkan minat dalam kegiatan sosial, perasaan terpisah dari orang
lain, tekanan perasaan emosional, dan perasaan bahwa masa depannya suram dan
kosong. Gejala psikologis meliputi kesulitan untuk tetap tidur, lekas marah,
mudah meledak amarahnya, kesulitan berkonsentrasi, dan reaksi meningkat
terhadap suara atau gerakan tiba-tiba. Seperti yang digambarkan oleh deskripsi
ini, orang-orang dengan PTSD memiliki fungsi kesehatan mental. Menurut
Zeyfert (dalam Carlson, 2012: 267) mereka yang stres juga cenderung memiliki
kesehatan fisik yang secara umum buruk.
38
Di samping itu, menurut Fulltron (dalam Carlson, 2012: 267) Meskipun
laki-laki lebih sering terkena peristiwa traumatis daripada perempuan, namun
perempuan memiliki kecenderungan untuk mengembangkan PTSD setelah
terkena peristiwa serupa. Selain itu, pengobatan yang paling umum untuk PTSD
adalah terapi perilaku kognitif, terapi secara kelompok (Carlson, 2012: 267).
2.5 Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra
Endraswara (dalam Minderop, 2016:16). Demikian daripada itu, mempelajari
psikologi sastra sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam, sisi
batin dan kejiwaan. Mungkin aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang
membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar
psikologi sastra amat indah, oleh sebab itu, kita dapat memahami sisi kedalaman
jiwa manusia, jelas amat dalam. Makna interpretatif terbuka lebar (Endraswara
(dalam Minderop, 2016:14). Dalam hal ini, daya tarik psikologi sastra ialah pada
masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Selain itu, tidak hanya jiwa sendiri
yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili orang lain. Setiap pengarang
kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman
pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain (Minderop, 2016: 59).
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan pemahaman dan pengertian
pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional
yang terkandung dalam sastra. Di samping itu, aspek-aspek kemanusiaan inilah
yang merupakan objek utama psikologi sastra karena kenyatannya dalam diri
manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan disatukan. Oleh sebab itu,
39
penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui
pemahaman teori-teori psikologi diadakan analisis terhadap suatu karya sastra.
Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek
penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk
melakukan analisis (Ratna, 2009: 344). Pada penelitian ini menggunakan cara
yang kedua, yakni dengan menentukan sebuah karya sstra sebagai objek
penelitian, kemudian menentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan
untuk melakukan analisis.
Oleh sebab itu, tanpa kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan
kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Kecerdasan sastrawan
yang sering melampaui batas kewajaran mungkin bisa dideteksi lewat psikologi
sastra. Itulah sebabnya pemunculan psikologi sastra perlu mendapat sambutan.
Setidaknya sisi lain dari sastra akan terpahami secara proposional dengan
penelitian psikologi sastra (Endraswara (dalam Minderop, 2016:7).
Menurut Wellek dan Warren (2014: 90) bahwa pendekatan psikologi
sastra dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra dan pembaca.
Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan
tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan
pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan
pengarang dan karya sastra. Jika perhatian penelitian lebih dominan di tujukan
kepada pengarang, maka model penelitiannya menggunakan pendekatan ekspresif,
namun jika penelitian lebih fokus kepada karya sastra maka modal penelitiannya
lebih dekat dengan pendekatan objektif yaitu dengan cara menganalisis secara
rinci karya sastra tersebut. Penelitian psikologi sastra ini, mulai menunjukkan
40
kecermerlangannya dalan kajian sastra. Hal tersebut di sebabkan kerena ketidak
puasan peneliti sebelumnya yaitu penelitan sosiologi sastra atau yang lainnya
yang dianggap kurang memperhatikan aspek psikologis.
Siswantoro (2004: 31), menyatakan bahwa sastra berbeda dengan
psikologi sebab sebagaimana kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi,
drama, puisi, dan esay yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi
merujuk pada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Dalam hal
ini, perbedaan tidak membuat keduanya tidak berkesinambungan, karena
keduanya tetap memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari
manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi
jelas terlibat erat karena psikologi mempelajari perilakunya. Labih lanjut,
Siswantoro (2004: 32) mengemukakan bahwa psikologi sastra mempelajari
lingkup tentang fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam
karya sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungannya.
Demikian daripada itu, gejala kejiwaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh
dalam sebuah karya sastra.
Sastra dan psikologi mempunyai hubungan fungsional yaitu sama-sama
untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, gejala dan diri
manusia dalam sastra adalah imajiner yang berasal dari cipta penulis, sedangkan
dalam psikologi adalah manusia-manusia riil (nyata). Keduanya dapat saling
melengkapi dan mengisi untuk memperoleh pemaknaan yang mendalam terhadap
kejiwaan manusia.
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi
dan peranan studi psikologis. Pada dasarnya, psikologi turut berperan penting
41
dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan
karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Di
samping itu, dengan cara memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan
dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Secara umum
dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga
menyatu dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Oleh
sebab itu, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi
Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia
sastra tidak bisa dipisahkan dengan nilai kejiwaan, batin seseorang yang tersirat
dalam karya sastra (Ratna, 2009 :350).
2.6 Psikologi Analitik Carl Gustav Jung
Dalam psikologi Carl Gustav Jung, Jung mendobrak psikoanalitik
ortodoks dan membangun teori kepribadian yang terpisah yang disebut dengan
psikologi analitik. Di samping itu, teori ini berasumsi bahwa fenomena yang
berhubungan dengan kekuatan gaib atau magic (occult) bisa dan memang
berpengaruh pada kehidupan semua manusia. Jung percaya bahwa setiap dari kita
termotivasi bukan hanya oleh pengalaman yang ditekan, melainkan juga oleh
pengalaman emosional tertentu yang dipengaruhi oleh para leluhur.
Ketidaksadaran kolektif meliputi elemen-elemen yang tidak pernah dialami
seseorang secara individual, namun merupakan sesuatu yang diturunkan oleh
leluhur kita. Selain itu, gambaran yang diturunkan (inherited image) merupakan
sesuatu yang disebut Jung sebagai ketidaksadaran kolektif (Feist dan Feist 2012:
116-117).
42
Beberapa elemen dari ketidaksadaran kolektif menjadi sangat
berkembang, yang kemudian disebut sebagai arketipe-arketipe (archetypes).
Pengertian arketipe yang paling meluas adalah gagasan mengenai realisasi diri
(self-realization), yang hanya bisa dicapai dengan adanya keseimbangan antara
dorongan-dorongan kepribadian yang berlawanan. Jadi dalam hal ini, teori Jung
mengungkapkan mengenai kepribadian yang berlawanan. Kepribadian setiap
orang meliputi introvet dan ekstrovet, rasional dan irasional, laki-laki dan
perempuan, kesadaran dan ketidaksadaran, serta didorong olek kejadian-kejadian
di masa lalu yang ditarik oleh harapan-harapan di masa depan (Feist dan Feist
2012:117).
Di samping itu, teori Jung juga berbeda dari semua pendekatan lain
tentang kepribadian karena tekanannya yang kuat pada dasar-dasar ras dan
filogenetik kepribadian. Jung melihat kepribadian individu sebagai produk dan
wadah sejarah leluhur. Manusia pada masa kini dibentuk dan dicetak ke dalam
bentuknya sekarang melalui pengalaman-pengalaman kumulatif generasi-generasi
masa lampau yang merentang jauh ke belakang sampai asal-usul manusia yang
samar-samar dan tidak diketahui (Hall dan Lindzey 1993:181) Masih menurut
Hall dan Lindzey (1993:181), dasar-dasar kepribadian bersifat arkhaik, primitif,
bawaan, tak sadar dan mungkin universal. Freud menekankan asal-usul
kepribadian pada kanak-kanak sedangkan Jung menekankan asal-usul kepribadian
pada ras.
Manusia dilahirkan dengan membawa kecenderungan yang diwariskan
oleh leluhur-leluhurnya, kecenderungan ini membimbing tingkah lakunya dan
sebagia menentukan apa yang akan disadarinya dan diresponnya dalam dunia
43
pengalamannya. Dengan kata lain, terbentuknya kepribadian kolektif yang dibuat
sebelumnya berdasarkan ras yang secara selektif menjangkau dunia pengalaman
dan diubah serta diperkaya oleh pengalaman-pengalaman yang diterimanya.
Kepribadian individu merupakan hasil daya-daya batin yang mengenai dan
dikenai oleh daya-daya dari luar.
Dalam hal ini, pemikiran Jung tentang kepribadian manusia menarik untuk
dikaji sebab berhasil mengungkapkan hubungan antara kejadian masa lalu dengan
kejadian saat ini yang terjadi pada individu. Di samping itu, Jung meyakini bahwa
manusia saat ini secara psikis masih dipengaruhi dengan adanya bayangan dari
nenek moyang pada masa lampau. Dewasa ini, pengaruh seperti itu yang secara
tidak sadar telah membentuk kebiasaan atau tingkah laku manusia saat ini.
Menurut Jung, manusia dilahirkan dengan membawa kecenderungan yang
diwariskan oleh leluhurnya, kecenderungan ini membimbing tingkah lakunya dan
sebagian menentukan apa yang akan disadarinya dan diresponnya dalam dunia
pengalaman.
2.6.1 Arketip
Dalam hal ini, arketip adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang
mengandung untuk emosi yang besar. Bentuk pikiran yang menciptakan suatu
gambaran dan bentuk dalam kehidupan sadar berkaitan dengan situasi kejadian
yang dialami seseorang. Misalnya arketip tentang Ibu akan menghasilkan tentang
gambaran Ibu disertai persepsi yang terbangun dari sikap Ibu. Dewasa ini, dalam
dunia pendidikan dapat digambarkan bahwa jika sejak awal seorang guru telah
menampilkan sosok penyayang, baik hati suka membimbing dan mencintai
siswanya, maka sosok itulah yang melekat dalam benak siswa tentang guru.
44
Namun demikian, jika sebaliknya kesan buruk yang muncul sejak pertama
kali, seperti pemarah, suka memukul dengan penampilan yang menakutkan,
berantakan, maka kesan seseorang terhadap sosok guru atau orang yang kita
kenal. Selain itu, dapat terbentuk karena seringnya kejadian dan pengalaman itu
terjadi dan dilihat. Pengalaman yang konstan dan terulang inilah yang tertanam
dalam ketidaksadaran kolektif dalam bentuk arketipe.
Ada banyak arketipe yang dijelaskan Jung, namun dalam bagian arketipe
ada 4 yaitu yang paling penting dalam pembentukan kepribadian dan tingkah laku
manusia: persona, anima dan animus, bayang-bayang (shadow) dan diri sendiri
(Alwisol, 2009: 111-113) .
Selain itu, ada banyak arketipe yang dijelaskan Jung, namun demikian,
dalam bagian arketipe ada 4 yaitu yang paling penting dalam pembentukan
kepribadian dan tingkah laku manusia: persona, anima dan animus, bayang-
bayang (shadow) dan diri sendiri. Menurut Feist dan Feist (2012:125) arketipe
(archetype) adalah bayangan-bayangan leluhur atau arkaik (archaic) yang datang
dari ketidaksadaran kolektif. Selain itu, arketipe sama dengan kompleks karena
mereka merupakan kumpulan bayangan yang dikuasai dan diwarnai dengan
perasaan emosi sangat kuat. Perbedaan kompleks dengan arketipe adalah
kompleks merupakan komponen ketidaksadaran personal yang diindividuasi,
sedangkan arketipe merupakan konsep yang umum dan muncul dari isi
ketidaksadaran kolektif. Arketipe harus dibedakan dari insting. Jung
mendefinisikan insting sebagai ketidaksadaran impuls fisik pada tindakan,
sedangkan arketipe adalah pasangan psikis dari sebuah insting.
45
Pada dasarnya, arketipe mempunyai dasar biologis, tetapi asalnya
terbentuk melalui pengulangan pengalaman dari para leluhur manusia, khususnya
nenek moyang. Pada diri seorang manusia, terdapat arketipe yang tidak dapat
dihitung jumlahnya. Arketipe dengan jumlah besar tersebut aktif pada saat proses
pertemuan pengalaman personal dengan bayangan (shadow) (Feist dan Feist
2012:125).
Arketipe itu sendiri tidak dapat muncul sendiri, tetapi ketika aktif muncul
dalam beberapa bentuk, kebanyakan muncul dalam bentuk mimpi, fantasi dan
delusi. Selama pertengahan kehidupannnya, Jung mengalami banyak mimpi
arketipe dan fantasi. Dalam hal ini, memang arketip sering kali memunculkan
dengan fantasi, membayangkan dirinya menuju luar semesta (cosmic abbys) yang
sangat dalam. Pada saat tersebut, ia dapat merasakan bayangan dan mimpinya.
Kemudian, ketika ia mulai memahami bahwa bayangan mimpi dan bentuk
fantasinya adalah arketipe, pengalaman-pengalaman ini menjadi sangat bermakna
dan sama sekali baru (Feist dan Feist 2012:125).
Dalam hal ini mimpi merupakan sumber utama material arketipe.
Beberapa mimpi diajukan Jung sebagai bukti dari keberadaan arketipe. Selain itu,
mimpi ini menghasilkan dorongan yang tidak dikenal oleh orang yang
memimpikannya melalui pengalaman personal. Dorongan-dorongan ini sering kali
berhubungan dengan sesuatu yang dikenal sebagai orang di zaman kuno atau
penduduk asli yang menggantikan suku aborigin (Feist dan Feist 2012:125).
Meskipun banyak arketipe yang muncul dalam bayangan yang lazim, namun
hanya sebagian yang sampai pada titik di mana bayangan itu bisa
46
dikonseptualisasikan. Hal yang menjadi catatan penting dari konsep yang diajukan
Jung adalah pesona, bayangan (shadow), anima.
2.6.2 Kepribadian
Kepribadian atau psyche adalah mencakup keseluruhan pikiran, perasaan,
dan tingkahlaku, kesadaran dan ketidaksadaran. Kepribadian membimbing orang
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Sejak
awal kehidupan, kepribadian adalah kesatuan atau berpotensi membentuk
kesatuan. Ketika mengembangkan kepribadian, orang harus berusaha
mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen kepribadian.
Pemikiran Jung terkait kepribadian dan kejiwaan manusia menarik untuk
dikaji karena berhasil mengungkapkan hubungan antara kejadian masa lalu
dengan kejadian saat ini yang terjadi pada diri seseorang, sebab Jung meyakini
bahwa manusia sekarang secara psikis dipengaruhi oleh bayangan masa lampau
dari nenek moyangnya. Selain itu, pengaruh seperti itu yang secara tidak sadar
telah membentuk kebiasaan atau pola tingkah laku negatif pada diri seseorang
kini. Manusia yang dilahirkan dengan membawa kecenderungan yang diwariskan
oleh leluhurnya, dan pada masa kini secara tidak sadar membentuk tingkah positif
atau bahkan negatif yang diaplikasikan dalam dunia pengalaman (Alwisol, 2009:
39-40).