bab ii kajian teori a. pengertian judul · adalah karya arsitektur atau desainer yang khusus...

112
10 BAB II KAJIAN TEORI A. PENGERTIAN JUDUL 1. Judul Desain Interior Museum Film HororAsia di Jakarta Dengan Tema Horor 2. Definisi Judul a. Desain Suatu sistem yang berlaku untuk segala macam jenis perancangan dimana titik beratnya adalah melihat sesuatu persoalan tidak secara terpisah atau tersendiri melainkan sebagai suatu kesatuan dimana satu masalah dengan lainnya saling kait mengkait. (Suptandar, 1999 : 12). b. Interior Bagian dalam gedung (ruang, dsb), tatanan perabot (hiasan, dsb) di ruang dalam gedung. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014). c. Desain Interior Adalah karya arsitektur atau desainer yang khusus menyangkutbagian dalam dari suatu bagunan. (Suptandar, 1999 : 11). d. Museum 1) Gedung yang dipergunakan sebagai tempat untuk pameran tetatp benda-benda yang patut mendapat perhatian umum seperti peninggalan sejarah, seni, dan ilmu.

Upload: buidung

Post on 10-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A. PENGERTIAN JUDUL

1. Judul

Desain Interior Museum Film HororAsia di Jakarta Dengan Tema Horor

2. Definisi Judul

a. Desain

Suatu sistem yang berlaku untuk segala macam jenis perancangan

dimana titik beratnya adalah melihat sesuatu persoalan tidak secara

terpisah atau tersendiri melainkan sebagai suatu kesatuan dimana satu

masalah dengan lainnya saling kait mengkait. (Suptandar, 1999 : 12).

b. Interior

Bagian dalam gedung (ruang, dsb), tatanan perabot (hiasan, dsb) di

ruang dalam gedung. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014).

c. Desain Interior

Adalah karya arsitektur atau desainer yang khusus menyangkutbagian

dalam dari suatu bagunan. (Suptandar, 1999 : 11).

d. Museum

1) Gedung yang dipergunakan sebagai tempat untuk pameran tetatp

benda-benda yang patut mendapat perhatian umum seperti

peninggalan sejarah, seni, dan ilmu.

11

2) Tempat menyimpan barang kuno. (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2014).

e. Film

1) Selaput tipis yang terbuat dari seluloid untuk tempat gambar

negative (yang akan dibuat potret) atau tempat gambar positif

(yang akan dimainkan di bioskop).

2) Lakon (cerita) gambar hidup (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2014).

f. Film Horor

1) Salah satu genre utama dalam film. Genre film horor kurang lebih

adalah sekumpulan film yang dimaksudkan untk memancing atau

menerbitkan rasa takut.

2) Film – film „mengganggu‟ yang dirancnag untuk menakuti atau

membuat panic, menimbulkan rasa ngeri dan wapada, dan untuk

memancing berbagai ketakutakan terburuk kita yang tersembunyi.

Sering, pancingan itu ada dalam sebuah akhir kisah yang

mengerikan dan membuat shock, sekaligus menghibur kita dengan

memberikan sebuah pengalamankatartik.

(www.filmsite.org/horrorfilms)

g. Jakarta

Merupakan ibu kota Negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-

satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi.

(“Jakarta”, wikipedia)

12

h. Horor

1) Sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut (Kamus

Besar Bahasa Indonesi, 2014)

2) Fear (ketakutan / rasa takut) adalah emosi yang paling kuat dan

ketautan akan sesuatu asing atau tak dikenal boleh jadi merupakan

satu rasa takut yang paling purba. Ini bersangkut – paut dengan hal

yang dirasakan setiap orang; sejak bayi kita ditakut – takuti akan

gelap dan sesuatu yang asing. (Carrol, 1990 : 12)

B. TINJAUAN UMUM TENTANG MUSEUM

1. Pengertian Museum

a. Museum berasal dari kata “Mouseion” yang merupakan kuil klasik

tempat pemujaan Dewi Muse dalam mitologi Yunani, yang dipercaya

sebagai lambang cabang ilmu pengetahuan dan kesenian. (Sutaarga,

1989 : 7)

b. Museum adalah suatu lembaga yang bersifat badan hukum tetap, tidak

mencari keuntungan dalam pelaksanaannya kepada masyarakat, tetapi

untuk memajukan masyarakat lingkungannya, serta terbuka untuk

umum. Museum mengadakan kegiatan pengadaan, pengawetan, riset,

komunikasi dan pameran segala macam benda bahan pembuktian

tentang kehadiran umat manusia dan lingkungannya untuk tujuan

tertentu, pengkajian dan pendidikan maupun kesenangan. (Sutaarga,

1989 : 23)

13

c. Merupakan gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran

tetap benda-benda yang patut mendapat perhatian umum seperti

peninggalan sejarah, ilmu dan seni, tempat penyimpanan barang-

barang kuno. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014)

d. Sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan,

melayani rakyat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang

memperoleh, merawat, menghubungkan, dan memamerkan, untuk

tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang

pembuktian manusia dan lingkungannya. (Silalahi, 1989 :5)

2. Sejarah dan Perkembangan Museum

Sejarah museum diawali dengan munculnya naluri ilmiah manusia,

yaitu naluri untuk melakukan pengumpulan (collecting instinct). Sejak

85.000 tahun silam sudah merupakan tukang himpun, terbukti dari oleh

hasil penelitian para arkeolog dalam gua-gua di Eropa dimana berdiam

manusia Neanderthal. Dimana didalam gua ini ditemukan kepingan-

kepingan batu yang disebut juga oker, fosil aneka bentuk, serta bebatuan

lainnya. Koleksi ini merupakan penyajian pertama yang disebut

Curiokabinet dan merupakan yang tertua dan nama ini merupakan

museum pertama dalam sejarah dunia.

Pada akhir abad 18 di Eropa Barat, banyak muncul kegiatan – kegiatan

yang dilakukan oleh masyarakat Eropa dalam bidang – bidang ilmiah,

hingga banyak pula berdiri perkumpulan atau lembaga ilmiah. Salah

satunya berdiri sejenis museum yang disebut dengan Institutional

14

Museum. Diawali dengan pecahnya revolusi Perancis, yang kemudian

melahirkan semboyan Liberte, Egalite et Fraternite (merdeka, persamaan

dan persaudaraan), membawa perubahan pada sendi – sendi kehidupan

yang lama dengan lahirnya bibit – bibit demokrasi barat yang menjadi

sebuah tatanan kehidupan baru bagi bangsa Eropa. Perubahan tatanan

kehidupan ini menyebabkan disitanya banyak istana milik raja maupun

para bangsawan oleh negara dan semua koleksi yang awalnya hanya

diperuntukan khusus bagi keluarga raja beserta kerabatnya dan para

bangsawan, menjadi terbuka untuk umum atau rakyat. Sebagai contoh

adalah museum Le Louvre di Paris, Perancis, yang berasal dari koleksi

Raja Frans I yang selanjutnya diperluas oleh Raja Louis XIV dari

Fotainebleau ke istana Louvre sekarang. Sejak saat itulah kemudian

museum menjadi salah satu lambang bagi kedaulatan rakyat khususnya

dibidang ilmu pengetahuan, kebudayaan maupun seni dan tidak lagi hanya

menjadi monopoli kaum bangsawan dan kaum cendikiawan saja, tetapi

telah menjadi milik umum dan seluruh laisan masyarakat.

Dalam perkembangan berikutnya museum lebih menonjolkan fungsi

rekreasi daripada fungsi edukatifnya. Setalah perang dunia II banyak

negara yang sadar bahwa kehidupan cultural, seperti halnya dunia

pendidikan dipandang perlu untuk dimasukan dalam jangkauan strategis

kebudayaan dan dikelola oleh system administrasi kebudayaan. Secara

internasional perlu adanya kerjasama di bidang kebudayaan dan tugas ini

kemudian dipercayakan pada UNESCO, sebagai salah satu badan PBB

15

yang mengurusi masalah pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya dibidang permuseuman, UNESCO membentuk suatu lembaga

yang mengurusi masalah permuseuman secara internasional, yang disebut

dengan International Council of Museum, disingkat ICOM. Pada tahun

1981, ICOM memiliki anggota kurang lebih 7000 anggota dari semua

negara anggota PBB.

Di Indonesia sendiri mempunyai sejarah ilmu dan kesenian yang

paling tua diantara negara – negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini

dikaitkan dengan sejarah jaman kolonialisme dan imperialism. Pada

tanggal 24 April 1778, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen, badan usaha yang bertujuan memajukan penelitian dalam

bidang seni, ilmu, khususnya bidang ilmu sejarah, arkeologi, etnografi,

dan fisika serta menerbitkan berbagai penelitian, mendirikan suatu

lembaga ilmu pengetahuan. JCM. Radermacher, sebagai pendiri

menyumbangkan sebuah rumah berikut koleksi budaya sebagai cikal bakal

museum di Indonesia.

Dan dengan bertambahnya jumlah koleksi, pada awal abad ke 19, Sir

Thomas Stanford Raffles membangun gedung baru di Jalan Majapahit

nomor 3, yang diberi nama Literary Society. Dan pada tahun 1862,

pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun gedung

museum baru yang dapat digunakan sebagai kantor sekaligus untuk

memamerkan koleksi. Gedung itu terletak di Jalan Merdeka Barat nomor

12, Jakarta Pusat. Diresmikan pada tahun 1868, yang kemudian dikenal

16

dengan nama Museum Gajah, karena terdapat patung gajah yang terbuat

dari perunggu, yang merupakan hadiah dari raja Culalongkorn, dari

Thailand. Museum ini disebut Museum Arca, karena didalamnya

tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai kurun

waktu.

Pada tanggal 29 Februari 1950, lembaga tersebut menjadi Lembaga

Kebudayaan Indonesia, pada tanggal 17 September 1962 diserahkan

kepada pemerintah Indonesia dan menjadi Museum Pusat, dan pada

tanggal 28 Mei 1979 berubah nama menjadi Museum Nasional yang

merupakan museum tertua di Indonesia. Pada abad 20 didirikan Museum

Aceh pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan diresmikan oleh

Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jendral HMA Swart pada tanggal 31 Juli

1915, Museum ini dikembangkan menjadi Museum Negeri Provinsi Aceh.

Yahun 1922 Von Faber, warga Surabaya keturunan Jerman mendirikan

Museum Steelijk Historish Museum Surabaya, yang saat ini berubah

namanya menjadi Museum Negeri Mpu Tantular.

Di Bali pada tanggal 8 September 1932 diresmikan sebuah museum

dengan nama Bali Museum, yang kemudian pada tahun 1965 diserahkan

kepada pemerintah, dan saat ini namanya menjadi Museum Negeri

Provinsi Bali. Di Yogyakarta sejak tahun 1924 dirintas sebuah Museum

Sonobudoyo, kemudian setelah proklamasi museum ini dikelola oleh

pemerintah daerah, dan akhirnya pada tahun 1974 museum ini diserahkan

ke pemerintah pusat. Setalah tahun 1945 museum – museum di Indonesia

17

terus bermunculan baik yang didirikan oleh pihak pemerintah maupun

swasta. Sampai saat ini telah berdiri sekitar 140 buah museum di

Indonesia.

3. Fungsi, prinsip, tujuan dan tugas museum

a. Fungsi museum

Menurut IOCM, fungsi museum dengan praktek pengelolaan

museum sehari – hari, sebagai berikut :

1) Pengumpulan dan pengamatan warisan dan budaya

2) Dokumentasi, informasi, dan penelitian alam

3) Konservasi dan preservasi

4) Penyebaran dan pemerataan ilmu pengetahuan untuk masyarakat

umum

5) Pengenalan dan penghayatan kesenian

6) Pengenalan kebudayaan lintas daerah dan lintas bangsa

7) Visualisasi warisan budaya alam dan budaya

8) Cermin tumbuhnya dan berkembangnya peradaban umat manusia

9) Pembangkit rasa bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa

10) Rekreasi dan berbagi aktivitas masyarakat

b. Prinsip museum

Menurut Sukarela (2003) prinsip museum sebagai berikut :

1) Menghindari bangsa dari kemiskinan kebudayaan

2) Memajukan kesenian dan kerajinan rakyat

18

3) Turut menyalurkan dan memperluas pengetahuan dengan cara

massal

4) Memberikan kesempatan bagi penikmat seni

5) Membentuk metodik dan didaktik pihak sekolah dengan cara kerja

yang berfaedah pada setiap kunjungan murid – murid ke museum

6) Memberikan kesempatan dan bantuan dalam penyelidikan ilmiah

c. Tujuan museum

Tujuan museum menurut Sukarela (2003), dapat dibagi menjadi

dua tujuan, yaitu tujuan institutional dan tujuan fungsional.

1) Tujuan Institutional

Memberikan pengertian kepada Bangsa Indonesia, khususnya

generasi muda tentang kebudayaan yang pernah ada, hal ini

merupakan watak dan kesadaran bangsa, bahwa kebudayaan yang

dimiliki Indonesia khususnya, sangat agung, juga sebagai

pelindung dan pemelihara dari pengaruh budaya asingyang tiak

sesuai.

2) Tujuan Fungsional

Sebagai wadah tujuan fungsional agar dapat berlaku secara efektif

terhadap dua kepentingan yang saling berpengaruh, yaitu :

a) Kepentingan Obyek

Memberikan wadah atau tempat untuk menyimpan serta

melindungi benda – benda koleksi yang mempunyai nilai

19

budaya, dari kerusakan atau kemusnahan yang disebabkan,

antara lain pengaruh iklim, alam, biologis, maupun manusia.

b) Kepentingan Umum

Menyimpulkan penemuan – penemuan benda, pemelihara dari

kerusakan, penyajian benda – benda koleksi kepada

masyarakat umum agar dapat menarik sehingga menimbulkan

rasa bangga dan bertanggung jawab dan dipelajari dan

menunjang ilmu pengetahuan.

d. Tugas museum

Tugas museum disamping sebagai koleksi, preparasi, edukasi,

maupun rekreasi, tugas pokok museum dapat diterangkan sebagai

berikut :

1) Melaksanakan pengumpulan, perawatan dan penyajian benda yang

bernilai budaya dan bernilai historis.

2) Melaksanakan dan menyebarluaskan hasil penelitian kebudayaan

daerah dan bangsa berdasarkan koleksi

3) Melaksanakan perpustakaan, dokumentasi, dan penelitian ilmiah

4) Membuat reproduksi karya kebudayaan nasional

5) Melaksanakan tata usaha

Selain seperti diuraikan di atas, terdapat pula tugas museum

dibidang tourisme sebagai usaha untuk memperkenalkan harta budaya

bangsa kepada para wisatawan asing.

20

4. Jenis Museum

Sutaarga (1975) dalam buku Persoalan Museum di Indonesia,

membagi – bagi jenis museum yang ada dewasa ini berdasarkan macam –

macam ilmu pengetahuan dengan sendirinya membawa pengaruh dalam

segala hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tersebut, seperti

halnya teori, obyek – obyek yang dipelajari dan sebagainya.

Pembagian museum berdasarkan perbedaan dalam ilmu pengetahuan

adalah sebagai berikut :

a. Museum ilmu pengetahuan alam dan teknologi, yang termasuk

museum ini adalah museum zoology, museum botani, museum

industry, museum kesehatan, museum pertanian, museum lalu lintas

dan lain – lain.

b. Museum sejarah dan kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah

museum seni rupa, museum etnografi, museum akeologi, museum

kesenian, museum antropologi, museum perjuangan, museum

pendidikan jasmani dan lain – lain.

Disamping perbedaan berdasarkan kategori ilmu pengetahuan,

pembagian museum dapat diklasifikasikan berdasarkan tipenya, sebagai

berikut (Sutaarga, 1975 : 2) :

a. Museum ilmu hayat

b. Museum sejarah dan antropologi

c. Museum ilmu pengetahuan dan teknologi

21

d. Museum seni

Dalam Surat Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan nomor

075/1975, bagian XFVI, pasal 728 dikemukakan bahwa sistem klasifikasi

museum sebenarnya lebih bersifat fleksibel agar dapat menuju kearah

tujuan yang hendak dicapai yaitu pembinaan dan pengembangan –

pengembangan museum di Indonesia. Hal tersebut di atas dikemukakan

lagi dalam seminar pengelolaan dan pendayagunaan museum di Indonesia,

yang selanjutnya diterbitkan dlam buku dengan judul yang sama dengan

tema tersebut di atas. Dalam buku tersebut bahwa Direktorat

Permuseuman membagi museum menjadi tiga tipe (berdasarkan jenis

koleksinya), sebagai berikut :

a. Museum Umum, yaitu museum yang tidak membatasi jenis

koleksinya. Koleksinya berupa kumpulan bukti material manusia dan

lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu

pengetahuan dan teknologi maupun berbagai cabang – cabang seni.

b. Museum Khusus, yaitu museum yang membatasi jenis koleksinya,

berupa kumpulan bukti material atau lingkungannya yang berkaitan

dengan satu cabang ilmu pengetahuan atau satu cabang seni atau satu

cabang teknologi.

c. Museum Pendidikan, yaitu museum yang jenis koleksinya

dikhususkan pada tingkat pendidikan umum.

22

Museum juga dapat digolongkan menurut kedudukannya (ruang

lingkup wilayah tugas), sebagai berikut :

a. Museum Nasional, adalah museum yang koleksinya terdiri dari

kumpulan benda – benda yang berasal dari, mewakili maupun yang

berkaitan dengan bukti material manusia dan atau lingkungannya dari

seluruh wilayah Indonesia yang bernilai nasional.

b. Museum Regional Propinsi, adalah museum yang benda koleksinya

merupakan kumpulan benda – benda yang berasal, mewakili, serta

berkaitan dengan bukti material manusia atau lingkungannya dari

wilayah propinsi tertentu.

c. Museum Lokal, adalah museum yang benda koleksinya terdiri

kumpulan benda yang berasal, mewakili, dan berkaitan dengan bukti

material manusia dan lingkungannya dari wilayah local setempat,

kabupaten atau kotamadya tertentu.

Menurutpenyelenggaraannya (berdasarkan status hukumnya), museum

dibagi dalam kategori, sebagai berikut :

a. Museum Pemerintah, yaitu museum yang diselenggarakan serta

dikelola oleh pemerintah. Museum ini dapat dibagi lagi menjadi

museum yang dikelola oleh pemerintah pusat dan museum yang

dikelola oleh pemerintah daerah.

23

b. Museum Swasta, yaitu museum yang diselenggarakan serta dikelola

oleh pihak swasta.

Sedangkan berdasarkan bentuk bangunannya, museum dapat dibagi

dalam kategori, sebagai berikut :

a. Museum Tertutup, museum yang koleksinya berada di dalam suatu

bangunan permanen.

b. Museum Terbuka, museum yang sebagian besar koleksinya berada di

luar bangunan permanen.

c. Museum Kombinasi, museum yang koleksinya berada di dalam dan di

luar bangunan permanen.

5. Persyaratan Museum

a. Lingkungan Museum

1) Lokasi museum harus strategis, mudah dijangkau untuk umum.

2) Lokasi museum harus sehat;

a) Tidak terletak di daerah industri yang udaranya sudah tercemar

b) Tidak berada pada daerah berawa, tanah berlumpur, tanah

berpasir, dengan elemen – elemen iklim yang berpengaruh

pada lokasi tersebut.

c) Nilai lingkungan sekitar museum yang bersifay sebagai pusat

rekreasi

d) Sesuai dengan peruntukkan bangunan umum.

b. Persyaratan Bangunan

24

1) Persyaratan Umum :

a) Bangunan dikelompokan dan dipisahkan menurut : fungsi dan

aktivitasnya, ketenangan dan keramaian, serta keamanan.

b) Pintu masuk utama (main entrance) adalah untuk pengunjung

museum

c) Pintu khusus (service entrance) untuk bagian pelayanan,

perkantoran, rumah serta ruang – ruang pada bangunan khusus.

d) Area publik (public area), terdiri dari bagian :

(1) Bagian utama (pameran tetap dan pameran temporer)

(2) Auditorium, merchandise shop, kafetaria, pos jaga, ticket

box, penitipan barang, ruang duduk, toilet, dan sebagainya.

e) Area semi publik (semi public area), terdiri dari : bangunan

administrasi (perpustakaan dan ruang penerangan, ruang rapat,

dan lain – lain)

f) Area privat (private area), terdiri dari :

(1) Pelayanan teknis (laboratorium, storage, dan lain – lain)

(2) Kantor pengelola.

2) Persyaratan Khusus :

a) Bangunan Utama (pameran tetap dan temporer)

(1) Memuat benda – benda koleksi yang dipamerkan

(2) Mudah dicapai dari luar maupun dalam

25

(3) Merupakan bangunan yang harus memiliki daya tarik

sebagai bangunan pertama yang dikunjungi oleh

pengunjung museum.

(4) Mempunyai system keamanan yang baik, dari segi

konstruksi, spesifikasi ruang untuk mecegah rusaknya

benda – benda secara alami maupun kriminalitas dan

pencurian.

b) Bangunan Auditorium

(1) Mudah dipakai untuk umum

(2) Dapat dipakai untuk ruang pertemuan, diskusi, dan

ceramah.

c) Bangunan Khusus

(1) Terletak pada ruang tenang

(2) Mempunyai pintu khusus

(3) Memiliki system keamanan yang baik (terhadap kerusakan,

kebakaran, kriminalitas) yang menyangkut segi – segi

konstruksi maupun spesifikasi ruang.

d) Bangunan Administrasi;

(1) Terletak strategis baik terhadap pencapaian umum maupun

bangunan – bangunan lain

(2) Mempunyai pintu masuk khusus

6. Koleksi Museum

a. Pengertian Koleksi

26

Pengertian koleksi secara harafiah adalah kumpulan (gambar,

benda – benda bersejarah, lukisan dan sebagainya) yang sering

dikaitkan dengan minat atau hobby berarti pula sebagai kumpulan

segala hal yang berhubungan dengan studi penelitian. (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 2014)

b. Syarat – syarat Koleksi Museum

Adapun syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh koleksi museum,

yaitu antara lain :

1) Mempunyai nilai sejarah dan ilmiah (termasuk niali estetika)

2) Dapat diidentifikasi mengenai wujudnya (morfologi), tipenya

(tipologi), gayanya (style), fungsinya, maknanya, asalnya secara

historis dan geografis, genusnya (dalam orda biologi), atau

periodenya (dalam geologi khususnya benda – benda sejarah alam

dan teknologi).

3) Harus dapat dijadikan dokumen dalam arti sebagai bukti kenyataan

dan kehadirannya realitas dan eksistensinya bagi penelitian ilmiah.

4) Dapat dijadikan suatu monument atau bakal jadi monument dalam

sejarah alam atau budaya.

5) Benda asli, replika atau reproduksi yang sah menurut persyaratan

permuseuman.

c. Jenis – jenis Koleksi Museum

Terbagi dalam dua kategori :

27

1) Koleksi Umum, yang berkaitan dengan berbagai cabang seni,

disiplin ilmu dan teknologi

2) Koleksi Khusus, yang berkaitan dengan satu cabang seni, disiplin

ilmu dan teknologi.

Adapun koleksi dari sebuah museum itu dapat bermacam – macam

bentuknya, yaitu dapat berupa :

1) Etnografika : yaitu kumpulan benda – benda hasil budaya

suku –suku bangsa

2) Prehistorika : yaitu kumpulan benda – benda prasejarah

3) Arkeologika : yaitu kumpulan benda – benda arkeologi

4) Historika : yaitu kumpulan benda – benda bernilai sejarah

5) Numustika dan heraldika, yaitu kumpulan benda – benda alat tukar

dan lambang peninggalan sejarah, misalnya mata uang, cap,

lencana, tanda jasa, dan surat – surat berharga

6) Naskah – naskah kuno dan bersejarah

7) Keramik asing

8) Buku dan majalah anti kuariat

9) Karya seni dan seni kriya

10) Benda – benda grafika, berupa foto, peta asli, atau setiap

reproduksi yang dapat dijadikan dokumen

11) Diorama, yaitu gambaran berbentuk tiga dimensi

12) Benda – benda sejarah alam, berupa flora, fauna, benda batuan

maupun mineral

28

13) Replika yaitu tiruan dari benda sesungguhnya

14) Miniature yaitu tiruan dari benda sesungguhnya namun berukuran

kecil

15) Koleksi hasil abstrak

Sutaarga,1989 : 77merumuskan tentang koleksi museum sebagai

berikut :

1) Economic hoard collection (koleksi persedian ekonomi)

2) Social prestige collection (koleksi kebanggaan sosial)

3) Magic collection (koleksi kepercayaan magis)

4) Collection as an expression of group loyalty (koleksi sebagai

sebuah pernyataan kesetiaan kelompok)

5) Collection stimulating curiosity and inguire (koleksi memancing

keingatan dan pertanyaan)

6) Collection of art stimulating emotional experience (koleksi seni

yang memancing pengalaman emosional).

Berdasarkan sumber dasar materialnya, terdiri dari dua sumber,

yaitu :

1) In Organik

Merupaka koleksi yang berupa batuan dan kekayaan alam. Seperti

batu alam, metal, keramik, kaca.

2) Organik

29

Merupakan koleksi yang sumber dasarnya terbuat dari tanaman

dan hewan

d. Pengadaan

Sebuah museum, untuk melengkapi koleksinya diperlukan adanya

suatu proses pengadaan koleksi museum, yaitu suatu kegiatan

pengumpulan benda – benda realita atau pembuatan replika, yang

dapat dijadikan suatu koleksi museum dan berguna sebagai bahan

pembuktian sejarah alam dan budaya manusia serta lingkungannya.

Tujuan dari pengadaan koleksi museum ini sendiri adalah untuk

menghimpun, mencatat, melestarikan dan mengkomunikasikan benda

– benda sejarah dan budaya untuk kepentingan studi, pendidikan dan

rekreasi yang sehat, sehingga terhimpunnya dan termanfaatkannya

benda – benda sejarah dan budaya tersebut bagi masyarakat.

Adapun pengadaan koleksinya dilakukan dengan :

1) Penemuaan / penggalian

2) Pembelian

3) Hadiah / hibah

4) Titipan dari perorangan atau badan hukum

e. Konservasi Koleksi

Pada suatu bangunan museum terdapat beberapa hal yang harus

menjadi perhatian khusus, agar keutuhan koleksi didalamnya dapat

terjaga dengan baik dan aman. Diantaranya hal – hal yang harus

diperhatikan antara lain :

30

1) Debu dan Sinar

Debu dan sinar cahaya dalam banyak hal dapat masuk dengan

mudah ke ruang – ruang penyimpanan dan ruang pameran.

2) Gas

Ada kerusakan yang disebabkan oleh gas – gas yang merusakkan

yang dapat disebabkan oleh bahan vitrin atau penyangga koleksi.

Hal ini dapat dihindari dengan pemilihan bahan vitrin yang tidak

mengandung asam dan pegutamaan pada ventilasi.

3) Perlindungan terhadap pencurian

Di ruang pamer harus terdapat suatu instruksi agar para

pengunjung tidak dapat memegang obyek.

4) Ruang penyimpanan

Syarat – syarat pada ruang penyimpanan, antar lain :

a) Tempat obyek koleksi pada lemari yang cukup ventilasi

b) Usahakan ruang gerak secukupnya untuk dapat menangani

obyek

c) Jangan meletakan obyek di tempat orang – orang berjalan.

d) Kumpulkan bagian obyek di satu tempat.

e) Jangan saling menumpuk obyek.

5) Sinar cahaya dan Penolakan Sinar Matahari

Sinar cahaya dan sinar UV dapat merusakan obyek – obyek,

seperti rapuhnya dan lunturnya warna – warna tekstil, kertas, kayu.

31

Kerusakan ini dalam kebanyakan hal permanent dan kumulatif.

Banyaknya cahaya yang terlihat dinyatakan dalam Lux, banyaknya

sinar UV dengan mikro-Watt per Lumen. Nilai ini diukur dengan

meteran Lux dan UV. Standar yang berlaku adalah 50 Lux dan 75

Mikro Watt per Lumen untuk bahan peka cahaya seperti kertas dab

tekstil, maksimal 200 Lux dan 75 Mikro-Watt per Lumen untuk

bahan kurang peka cahaya seperti kayu yang tidak di cat dan

lukisan. Untuk batu tidak berlaku nilai Lux.

Penerangan didalam vitrin mempunyai kerugian tambahan,

yaitu temperature dalam vitrin naik dan kelembaban udara relative

turun. Tetapi kalau lampu dimatikan yang terjadi kebalikannya.

Didalam ruang – ruang pameran semua museum dipakai berbagai

macam lampu, dengan temperature warna berbeda. Lampu

fluoresen bertemperatur lebih tinggi dari pada lampu pijar, yang

terlihat cahaya putih. Lampu pijar memberi cahaya kekuning –

kuningan.

6) Kutu dan Serangga

Di gedung – gedung banyak digunakan pemakaian bahan

kimia,seperti penyemprotan insektisida, dengan memperhatikan

cara pertahanan, pencegahan, dan pensialiran adanya insiden

tersebut, yaitu disebut pendekatan IPM (Integrated Pest

Management).

32

Di gedung – gedung tidak terdapat alat penahan masuknya

insek, pintu dan jendela terbuka untuk waktu yang lama dan

bercelah – celah dibagian sambungan – sambungan dan ambang –

ambang pintu. Inspeksi memang sulit karena ruang – ruang

museum tidak teratur secara sistematis.

7) Musibah

Dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran C02 pada setiap

ruang dan disertai penjaga malam pada gedung. Lima menit

pertama sangat menentukan apakah kebakaran tersebut menjalar

atau tidak.

7. Metode Penyajian Koleksi

a. Pengertian Metode Penyajian Koleksi

Merupakan sebuah cara yang bertujuan untuk mengkomunikasikan

suatu gagasan yang berhubungan dengan koleksi terhadap pihak lain.

b. Jenis – jenis Metode Penyajian Koleksi

Metode Penyajian Koleksi terbagi 3, yaitu :

1) Metode Intelektual / Edukatif

Memamerkan benda – benda beserta segi – segi yang berkaitan

dengan benda tersebut, seperti proses pembuatan, cara

penggunaan, fungsi an lainnya dalam rangka penyebarluasaan

informasi tentang arti, guna dan fungsi koleksi.

2) Artistik / Estetik

33

Memamerkan benda – benda yang mengandung undur keindahan

untuk menganggkat penghayatan terhadap nilai – nilai artistik dari

koleksi tersebut.

3) Romatik / Evokatif

Benda – benda yang dipamerkan disertai unsur lingkungan dimana

benda tersebut berada untuk menggugah suasana penuh pengertian

dan harmoni pengunjung.

8. Peralatan Museum

a. Pengertian Peralatan Museum

Setiap alat atau benda yang dipergunakan untuk melaksanakan

kegiatan – kegiatan administrasi dan teknik permuseuman.

b. Jenis – jenis Peralatan Museum

Peralatan museum terbagi menjadi :

1) Peralatan kantor

Setiap benda bergerak yang dipergunakan untuk melaksanakan

kegiatan – kegiatan administrative perkantoran museum.

2) Peralatan teknis

Setiap jenis alat atau benda bergerak yang dipergunakan untuk

melaksanakan kegiatan – kegiatan teknik permuseuman.

9. Struktur Organisani Museum

Sistem dan Struktur permuseuman di Indonesia diatur antara lain :

a. Keputusan Presiden RI No. 45 Th. 1974

b. Surat Keputusan Menteri P&K No. 079 / 0 / Th. 1975

34

Pada dasarnya museum di Indonesia ditangani langsung oleh

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdiknas) yang termasuk di

dalamnya adalah Direktorat Museum, Direktorat Sejarah dan

Kepurbakalaan. Sedangkan Direktorat Jendral Kebudayaan akan

menugaskan kepada unit – unit Pembina teknis terhadap masing – masing

badan dengan bidangnya.

Skema 2.1. Struktur Organisasi Museum Pemerintah

Sumber :Sutaarga,1989:40

Skema 2.2. Struktur Organisasi Museum secara Umum

Sumber :Sutaarga,1989:43

Berdasarkan tugas dan fungsi museum, setiap museum mempunyai

sturktur organisasi sebagai berikut :

a. Pembidangan Tata Usaha, meliputi kegiatan dalam registrasi

ketertiban / keamanan, kepegawaian, dan keuangan.

35

b. Pembidangan pengelolaan koleksi meliputi kegiatan yang

berhubungan dengan identifikasi, klasifikasi, katalogisasi koleksi

sesuai dengan jenis koleksi. Menyusun konsepsi dalam kegiatan

presentasi, penelitian / pengkajian koleksi termasuk penulisan ilmiah

dan persiapan bahan koleksi.

c. Pembidangan pengelola koleksi yang meliputi konservasi preventif,

dan kuratif serta mengendalikan keadaan kelembaban suhu ruang

koleksi dan gudang serta penanganan laboratorium koleksi.

d. Pembidangan preparasi yang meliputi pelaksanaan restorasi koleksi,

penataan pameran, pengadaaan alat untuk menunjang kegiatan

edukatif kultural dan penanganan bengkel reparasi.

e. Pembidangan bimbingan dan publikasi yang meliputi kegiatan

bimbingan edukatif kultural, dan penerbitan yang bersifat ilmiah dan

populer dan penanganan peralatan audiovisual.

f. Pembidangan pengelolaan perpusatakaan yang meliputi kegian

penanganan kepustakaan / refrensi.

Setiap pembidangan tersebut di atas dipimpin oleh kepala yang

bertanggung jawab kepada kepala museum. Susunan organisasi dan tata

kerja museum, tergantung kepada tingkat kedudukan dan status museum.

10. Pengunjung Museum

a. Pembagian pengunjung museum

Berdasarkan jumlahnya, terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :

1) Perorangan

36

a) Pengunjung perorangan pada umumnya sudah tahu seluk beluk

museum

b) Yang sudah biasa berurusan dengan “orang dalam”

c) Untuk keperluan studi atau riset

d) Mengisi waktu luang dengan melihat pameran

2) Kelompok

a) Berdasarkan status sosial, terbagi atas : Pelajar / Mahasiswa,

Seniman, dan Tamu bisnis.

b) Berdasarkan asalnya, terbagi atas :

(1) Pengunjung local, dikunjungi pelh pengunjung pada radius

5 mil dari museum.

(2) Pengunjung regional, mencakup pengunjung pada jarak 2

jam dari sekitar museum

(3) Pengunjung nasional, mencakup seluruh penduduk satu

negara.

(4) Pengunjung internasional, untuk dikunjungu oleh

pengunjung dari luar negara pada waktu – waktu tertentu.

b. Motivasi pengunjung museum

Ada tiga motivasi pengunjung museum :

1) Motivasi Estetik

Publik museum yang mempunyai motivasi estetik menghendaki

adanya system pameran benda – benda koleksi yang benar – benar

terencana baik dengan latar belakang yang netral yang meberikan

37

tempat artistic bagi koleksi yang dipamerkan, ditata menurut cara

yang seefektif mungkin.

2) Motivasi Romantik

Pengunjung yang mempunyai motivasi romatik menghendaki

suatu pameran yang menampilkan satu seri benda – benda koleksi

secara murni menampilkan kepentingan – keoentingan manusiawi,

sedemikian rupa sehingga dengan denikian dapat mengundang

partisipasi dan identifikasi masyarakat yang diwakili oleh benda –

benda koleksi yang dipamerkan.

3) Motivasi Intelektual

Pengunjung dengan motivasi intelektual terdapat hasrat untuk

menambah pengetahuan dan untuk itu diperlukan, dan untuk

system pameran yang skematis, yang memudahkan bimbingan

menurut tahap–tahap yang dikehendaki, dari awal hingga akhir,

dari suatu sugesti atau kesimpulan kepada tahap berikutnya.

C. TINJAUAN KHUSUS MUSEUM (Lobby dan Ruang Pamer)

1. Tinjauan Ruang Museum

a. Lobby

1) Pengertian

Pengertian secara harafiah adalah ruang teras dekat dengan

pintu masuk yang dilengkapi dengan beberapa perangkat meja –

kursi yang berfungsi sebagai ruang duduk atau ruang tunggu.

38

Penataan lobby yang baik sangat diperlukan dalam manajemen

pengunjung dalam sebuah museum. Lobby merupakan ruang

kontrol yang cukup untuk pengorganisasian ruang, disamping itu

lobby harus cukup lapang, menarik, baik dalam penerangan,

ventilasi maupun penataan ruangnya.

2) Fungsi Lobby

a) Sebagai Fungsi Ekonomi, yaitu pengunjung dapat

memanfaatkan fasilitas – fasilitas yang tersediadi lobby dan

tanpa harus pergi ke tempat lain, sehingga menghemat tenaga

dan biaya.

b) Sebagai Fungsi Sosial, dapat memberikan informasi kepada

pengunjung tentang fasilitas – fasilitas yang disediakan di

lobby agar pengunjung dapat saling berinteraksi dengan

pengunjung lain serta karyawan.

c) Lobby sebagai alat penghubung, yaitu memberikan informasi

serta fasilitas sebagai tujuan pendidikan maupun pariwisata.

3) Fasilitas

Untuk dapat memenuhi kebutuhan aktifitas dalam museum,

maka lobby museum sebaiknya(Coleman, 1933 :155).

a) Tersedianya ruang pengecekan dan meja informasi.

b) Tersedianya fasilitas telepon umum.

39

c) Tersedianya counter penjualan (dapat dilakukan di meja

informasi), jika menjual kartu pos dapat disediakan meja untuk

menulis.

d) Tersedia pula display buku dan barang – barang cetakan.

e) Tersedia fasilitas pameran pendahuluan (memamerkan apa

yang menarik dari museum).

b. Ruang Pamer

1) Pengertian

Ruang pamer dalam bahasa inggrisnya disebut dengan Show

room, yaitu….”room used for the display of good or

merchandise”(Neufert, 1987:359). Pengertian tersebut dapat

diterjemahkan sebagai berikut, ruang pamer adalah ruangan yang

digunakan untuk kepentingan benda – benda koleksi atau barang –

barang dagangan. Dari pengertian di atas, maka ruang pamer

museum memiliki arti suatu ruangan yang digunakan untuk menata

dan memamerkan benda – benda koleksi agar dapat dilihat oleh

pengunjung.

Sementara menurut Hadisutjipto (1998 : 34) ruang pamer

merupakan tempat untuk mewujudkan komunikasi antara benda

pamer dan pengunjung. Ruang pamer dapat dianggap sebagai

kunci pameran yang berbicara tentang kekayaan dari koleksi.

2) Tipe Ruang Pamer

Ruang pamer dapat dibagi ke dalam dua jenis tipe, yaitu :

40

a) Ruang pamer tetap, ruang pamer ini digunakan untuk

memamerkan materi koleksi dalam jangka waktu yang lama

sekurang – kurangnya5 tahun, bedasarkan sistem dan metode

tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan apresiasi

masyarakat terhadap nilai – nilai warisan alam dan budaya

bangsa.

b) Ruang pamer temporer, ruang ini digunakan atau menyajikan

koleksi dalam jangka waktu tertentu yang relative singkat

dengan mengambil tema tertentu, yang bertujuan untuk

memberikan dimensi tambahan informasi pameran tetap

kepada masyarakat dengan tema khusus dalam rangka

meningkatkan apresiasi masyarakat.

Skala maupun proporsi ruang pamer dapat berubah seiring

dengan waktu dan kebutuhan. Untuk bangunan – bangunan

masa kini, lazim ruangan digunakan berukuran sedang, untuk

bangunan – bangunan kuno banyak menggunakan ruangan –

ruangan berukuran besar.

Tipe – tipe Ruang Pamer, adalah sebagai berikut :

a) Kamar sederhana berukuran sedang merupakan bentuk yang

paling lazim.

b) Aula dengan balkon merupakan bentuk ruangan yang juga

lazim dan salah satu yang tertua.

41

c) Aula pengadilan (Ciere Story Hall) merupakan aula besar

dengan jendela – jendela tinggi di kedua sisinya.

d) Galeri lukis terbuka (Skylighted Picture Gallery) merupakan

tipe ruang yang paling umum dalam museum seni. Ruangan ini

tampak paling sederhana bagi pengunjung maupun bagi

arsitek, dianggap sebagai ruang yang paling sulit dirancang.

e) Koridor pertunjukan merupakan tipe ruang pamer yang

sesungguhnya bukan ruangan, tetapi merupakan suatu jalan

atau lorong. Digunakan untuk display supaya tidak tampak

kosong.

f) Tipe ruangan yang bebas, dapat dibagi – bagi saat ada

pameran. Ruangan ini tidak berjendela tapi ada tempat yang

dapat dibuka untuk cahaya alami.

3) Sarana Ruang Pamer

Sarana pameran di museum dapat dibedakan menjadi dua kategori,

yaitu :

a) Sarana pokok pameran .

Sarana pokok pameran mutlak diperlukan dalam penataan

pameran, karena tanpa sarana tersebut pameran tidak akan

berhasil dalam mencapai tujuan.

Prinsip – prinsip dalam tata pamer sebuah museum meliputi :

(1) Faktor cerita (story line)

42

Museum merupakan salah satu dari infra struktur media

informasi. Informasi yang diberikan oleh museum harus

dapat dikomunikasikan dengan baik kepada pengunjung,

maka sistematikanya harus disesuaikan dengan kronologis

perkembangan sejarahnya. Pada umumnya jalur cerita dari

seting museum direncanakan dan dibuat oleh kelompok

fungsional koleksi.

(2) Faktor koleksi

Pengadaan koleksi baru harus dapat mendukung cerita

yang disajikan. Jadi disini terlihat bahwa pengadaan

koleksi yang dilaksanakan oleh setiap museum terdiri dari

dua prioritas, di mana prioritas pertama adalah pengadaan

koleksi yang akan mendukung cerita, sedangkan prioritas

kedua adalah pengadaan koleksi yang berhubungan dengan

pengamanan benda budaya yang hamper musnah.

Yang temasuk sarana pokok pameran antara lain :

(1) Panil

Merupakan sarana pokok pameran yang digunkan untuk

menggantungkan atau menempel koleksi, terutama yang

bersifat dua dimensi dan cukup dilihat dari sisi depan. Kadang

– kadang panil hanya digunakan untuk menempelkan label atau

koleksi penunjang lain seperti peta, grafik, dan lain – lain.

43

Kalau koleksi yang digantung di panil mempunyai nilai tinggi,

maka diperlukan pengamanan khusus.

Gambar 2.1. Panil kayu kakinya dapat dilepas-lepas

Sumber : DPK,1994:34

(2) Vitrin

Merupakan salah satu jenis sarana pokok pameran yang

diperlukan untuk tempat meletakkan benda – benda koleksi

yang umumnya tiga dimensi, relative bernilai tinggi, serta

mudah dipindahkan. Vitrin mempunyai fungsi sebagai

pelindung koleksi baik dari gangguan manusia, maupun dari

gangguan lingkungan yang berupa kelembaban udara ruangan,

efek negative cahaya, serta perubahan suhu udaran ruangan.

Gambar 2.2. a. Vitrin tunggal; b. Vitrin ganda

Sumber : DPK,1994:37

44

Gambar 2.3. Vitrin dinding atau Vitrin tepi

Sumber : DPK, 1994 : 40

Gambar 2.4. Vitrin tengah

Sumber : DPK, 1994 : 43

Gambar 2.5. Vitrin sudut

Sumber : DPK, 1994 : 45

Ukuran vitrin tidak boleh terlalu tinggi ataupun terlalu

rendah. Tinggi rendahnya sangat relative, untuk patokan

disesuaikan dengan tinggi rata – rata orang Indonesia.

45

Misalnya tinggi rata – rata orang Indonesia kira – kira antara

160 – 170 cm, dan kemampuan gerak anatomi leher manusai

kira – kira sekitar 300, gerak ke atas, ke bawah, ke samping,

maka tinggi vitrin seluruhnya kira – kira 210 cm sudah cukup.

Alas terendah 65 – 70 cm dan tebal 50 cm. ukuran dan bentuk

vitrin harus memperhitungkan ruangan dan bentuk bangunan

dimana vitrin itu diletakkan. Dalam membuat vitrin ataupun

panil harus diperhitungkan mengenai maslah konstruksinya.

Gambar 2.6. Ukuran vitrin dan panil yang ideal serta

lebar gang antara vitrin yang baik

Sumber : DPK, 1994 : 17

Gambar 2.7. Panil yang dapat dilepas-lepas bentuknya

Sumber : DPK, 1994 : 26

46

Gambar 2.8. Rangkaian panil

Sumber : DPK, 1994 : 26

Gambar 2.9. Gabungan panil dan alas koleksi

Sumber : DPK, 1994 : 35

(3) Pedestal atau alas koleksi

Merupakan tempat meletakkan tempat koleksi, biasanya

berbentuk tiga dimensi. Jika koleksi yang diletakkan di

pedestal bernilai tinggi dan berukuran besar, maka perlu

mendapat pengamanan, yaitu paling tidak diberi jarak yang

cukup aman dari jangkauan pengunjung. Alas koleksi yang

berukuran kecil diletakkan di vitrin sebagai alat bantu agar

47

benda dalam vitrin dapat disajikan dengan baik. Ukuran tinggi

rendahnya harus disesuaikan dengan besar kecilnya koleksi

yang diletakkan diatasnya.

Gambar 2.10.Padestal atau alas koleksi

Sumber : DPK, 1994 : 47

Gambar 2.11. Bentuk-bentuk padestal atau alas koleksi

Sumber : DPK, 1994 : 54

4) Persyaratan Ruang Pamer

Beberapa persyaratan teknis ruang pamer sebagai berikut :

a) Pencahayaan dan penghawaan

Pencahayaan dan penghawaan merupakan aspek teknis yang

utama yang perlu diperhatikan untuk membantu memperlambat

proses pelapukan dari koleksi. Untuk museum dengan koleksi

utama kelembaban yang disarankan adalah 50% dengan suhu

21°C-26°C. intensitas cahaya yang disarankan sebesar 50lux

48

dengan meminimalisir radiasi ultra violet. Beberapa ketentuan

dan contoh penggunaan cahaya alami pada museum sebagai

berikut.

Gambar 2.12. Pencahayaan alami

Sumber : Technical report of the illuminating engineering

society,1970

b) Ergonomi dan tata letak

Untuk memudahkan pengunjung dalam melihat, menikmati,

dan mengapresiasi koleksi, maka meletakan peraga atau

koleksi turut berperan. Berikut standar – standar perletakan

koleksi dirang pamer museum.

Gambar 2.13.Perletakan panil koleksi

Sumber : Technical report of the illuminating engineering

society,1970

49

c) Jalur sirkulasi didalam ruang pamer

Jalur sirkulasi didalam ruang pamer harus dapat

menyampaikan informasi, membantu pengunjung memahami

koleksi yang dipamerkan. Penentuan jalur sirkulasi bergantung

juga pada runtutan cerita yang ingin disampaikan dalam

pameran.

Gambar 2.14. Sirkulasi ruang pamer

d) Sarana penunjang pameran

Sarana penunjang ini dimaksudkan sebagai unsur yang

melengkapi terwujudnya suatu pameran. Sesuai dengan

fungsinya sebagai sarana penunjang, sarana ini selain membuat

pengunjung lebih nyaman, juga pengunjung mudah menikamti

sajian koleksi dan mudah memahami informasi yang

disampaikan melalui pameran.

Menurut buku Pedoman Teknis Pembuatan Sarana Pameran

Museum (1994), yang termasuk sarana penunjang dalam

museum antara lain :

(1) Label

50

Merupakan bentuk informasi verbal, bias disingkat dan

bias diperpanjang sesuai dengan kedudukannya. Label

dibagi dalam lima jenis, yaitu : label judul, label sub

judul, label pengantar, label kelompok, dan label

individu.

(2) Sarana penunjang koleksi

Koleksi penunjang biasanya dibuat untuk memudahkan

pengunjung untuk memperoleh gambaran yang lebih

lengkap dan jelas. Kolesi penunjang dapat berupa peta,

denah, foto, sketsa lukisan, grafik, miniature, patung

peraga, dan lain – lain.

- Sarana pengamanan

Sarana ini ada yang berbentuk sederhana seperti

pagar pembatas, rambu – rambu petunjuk dan

larangan di dalam ruang pameran, serta berupa

peralatan canggih yang berupa cctv, perlatan alarm,

dan lain- lain.

- Sarana publikasi

Bentuk sarana ini berupa poster, spanduk, lembaran

lepas, folder, brosur, iklan, dan lain – lain.

- Sarana pengatur cahaya

Merupakan sarana penunjang yang sangat

berpengaruh pada keberhasilan suatu pameran.

51

Karena pengadaan cahya buatan akan

membutuhkan banyak biaya, maka sebaiknya

desainer perlu memanfaatkan cahaya alam yang

masih mungkin digunakan pada maeran yang buka

pada siang hari, untuk mengurangi beban biaya

pencahyaan pameran, terutama pada pameran tetap

museum. Namun perlu diingat bahwa penggunaan

harus diusahakan pengurangan efek negatifnya

terlebih dahulu, misalnya melalui penggunaan filter

atau penggunaan reflector yang dapat meyerap sinar

ultra violet. Sarana tata cahaya ini umumnya berupa

instalasi lampu listrik di dalam vitrin atau di luar

vitrin.

- Sarana pengatur warna

Untuk memilih warna supaya ada hubungan yang

serasi antara benda dan ruangan yang ada, perlu

petunjuk warna. Hal ini dapat diperoleh dari agen –

agen cat. Memilih warna membutuhkan kepekaan

khusus yang diperoleh melalui latihan – latihan

dalam menggunakan warna.

- Sarana pengatur udara

Dalam ruangan pameran, hal ini sering kurang

mendapat perhatian. Banyak ruangan pameran

52

terasa panas karena kurang lancarnya sirkulasi

udara dalam ruangan, sehingga pengunjung kurang

memperoleh suplay udara segar dari luar. Untuk

ruangan yang tidak menggunakan AC, perlu

menggunakan kipas angin untuk membantu

pemasukan dan pengedaran udara segar ke dalam

ruang pameran.

- Sarana audiovisual

Sarana ini baik digunakan untuk menambah

informasi tentang benda – benda koleksi yang

dipamerkan. Selain itu membuat pengunjung

semakin mudah untuk menangkap informasi

pameran, bahkan mempunyai daya tarik tersendiri

yang dapat menambah semaraknya suasana

pameran. Sarana ini biasanya berupa rekaman video

dengan monitornya, atau penyangan yang memberi

penjelasan tentang slide yang ditayangkan.

- Sarana angkutan dalam ruang

Hal ini sering diabaikan oleh penyelenggara

pameran, padahal sarana ini sangat diperlukan

terutama untuk mengangkut koleksi yang mudah

pecah. Sarana ini berupa rak dorong.

53

- Dekorasi ruang

Termasuk sarana penunjang karena secara tidak

langsung berpengaruh terhadap kenyamanan dan

kebersihan ruang pamer. (DPK, 1994 : 9)

e) Penunjang koleksi :

(1) Foto

Foto untuk sarana penunjang koleksi sebaiknya dibuat

dengan ukuran yang tidak terlalu kecil. Sehingga sangat

sulit untuk dilihat pengunjung dalam jarak ±3m. ukuran

30x45, 45x60, sudah cukup jelas terlihat oleh pengunjung.

Bingkai untuk penunjang koleksi sebaiknya jangan terlalu

menonjol.

(2) Sketsa / lukisan

Informasi kadang – kadang tidak jelas bila disampaikan

melalui penggambaran kata – kata atau kalimat saja bila

diutarakan dengan kata – kata terlalu panjang. Sketsa

adalah suatu penggambaran visual tentang suatu peristiwa

atau kejadian pada suatu tempat. Biasanya dibuat secara

tepat dan sangat sederhana, baik dalam pewarnaan, maupun

dalam bentuknya namun sudah cukup mengesankan atau

mewakili objek yang diwakilkan.

(3) Lukisan

54

Penggambaran yang lebih lengkap dari sketsa. Disamping

itu warna, komposisi, dan bentuk harus lebih jelas. Suasana

yang digambarkan hendaknya diungkapkan dengan

dukungan teknik penguasaan warna dan garis yang

ekspresif sehingga hasilnya lebih hidup dan berkesan

dinamis. Disamping sebagai penunjang koleksi yang

disajikan, lukisan juga dapat memberikan nilai artistik yang

dapat memenuhi kebutuhan perasaan keindahan

pengunjung museum.

(4) Miniatur

Bentuknya lebih kecil dari benda yang sebenarnya.

Pembuatannya berdasarkan skala. Bahan yang digunakan

tidak harus sama jenisnya dengan benda yang aslinya.

Namun harus dibuat setepat mungkin sama dengan benda

asli, hanya ukurannya saja yang berbeda. Misalnya dalam

pewarnaan dan ornament harus sama.

(5) Patung / peraga

Patung peraga sangat penting untuk menunjang koleksi

yang dipamerkan. Patung adalah benda yang bersifat tiga

dimensional yang wujudnya dapat dilihat dengan jelas.

Pembuatan patung peraga harus memperlihatkan segi

anatomi disamping tujuan penyajiannya harus jelas, untuk

mewakili apa patung tersebut dibuat.

55

(6) Kapstok

Kapstok adalah salah satu alat bantu / peraga untu

menyajikan koleksi tekstil. Tujuannya agar benda koleksi

tersebut Nampak penggunaannya dalam kehidupan

manusia. Contohnya : untuk menyajikan sebuah gaun agar

kelihatan bentuk dan penggunaannya perlu dibuatkan

kapstoknya. Kain – kain yang mempunyai hiasan,

ornament yang indah perlu diperlihatkan. Juga susunan

ornament harus diperhatikan agar posisinya jangan sampai

terbalik. Dengan menggunakan kapstok kain tersebut dapat

diatur menurut keinginan penyaji sesuai dengan penataan

pameran koleksi museum.

f) Sarana pameran

Untuk tujuan penyajian koleksi museum dalam bentuk

pameran diperlukan sarana pameran baik yang langsung

maupun tidak. Bentuk harus disesuaikan dengan bentuk ruang

dan koleksi yang akan dipamerkan. Disamping itu perlu

dipertimbangkan keamanan, keawetan, dan keindahan koleksi

g) Peralatan museum

Museum harus memiliki sarana dan prasarana museum

berkaitan erat dengan kegiatan pelestarian, seperti vitrin, sarana

perawatan koleksi (AC, dehumidifier, dll), pengamanan

(CCTV, alarm system, dll), lampu label, dan lain – lain.

56

h) Organisasi dan ketenagaan

Pendirian museum sebaiknya ditetapkan secara hukum.

Museum harus memiliki organisasi dan ketenagaan di museum,

yang sekurang – kurangnya terdiri dari kepala museum, bagian

administrasi, pengelola koleksi (kurator), bagian konservasi

(perawatan), bagian penyajian (preparasi), bagian pelayanan

masyarakat dan bimbingan edukasi, serta pengelola

perpustakaan.

i) Sumber dana tetap

Museum harus memiliki sumber dana tetap dalam

penyelenggaraan dan pengelolaan museum.

2. Tinjauan Sirkulasi

Menurut Ching (1996) jalan sirkulasi dapat diartikan sebagai tali yang

terlihat yang menghubungkan ruang – ruang suatu bangunan atau suatu

deretan ruang – ruang dalam maupun luar bersama.

a. Sirkulasi umum pengunjung (sirkulasi antar ruang – ruang museum)

Sirkulasi atau pergerakan pengunjung di dalam ruang pamer,

polanya berdasarkan dari lay out bangunan, namun tidak menutuo

kemungkinan tergantung pula pada perilaku pengunjung sendiri.

Perilaku pengunjung dapat diketahui dari apa yang akan dilakukan

orang dalam ruangan tersebut.

Penggunaan tangga juga sangat diperlukan dalam sirkulasi di

sebuah gedung, gunanya sebagai penghubung antar lantai. Yang perlu

57

diperhatikan dalam penggunaan tangga ini adalah tidak menimbulkan

kesulitan dalam segi arsitektur, juga memudahkan bagi penyandang

cacat untuk melaluinya disamping pula kemudahan untuk

memindahkan barang – barang.

Tangga hendaknya diatur dalam satu kelompok tingkat dan tidak

terpisah – pisah, seperti ada 2 – 3 tingkat dari ruang depan ke lobby,

kemudain dari lobby ke ruang pamer disebalhnya, demikian pula

untuk ruang – ruang lainnya.

Tangga utama sebaiknya dihubungkan dengan lobby dengan

pertimbangan kenyamanan dan ekonomis ruang, tidak semestinya di

letakkan di ruang pamer, karena akan mengganggu sirkulasi dan

maupun penataan benda koleksi. Untuk penganggulangan kebakaran,

sebaiknyasetiap tangga diatur serta dihubungkan dengan pintu – pitu

yang dapat dibuka dan ditutup dengan cepat.

Anak tangga sebaiknya disusun sederhana sehingga tidak

menggangu sirkulasi yang tidak penting serta dibuat senyaman

mungkin. Tangga – tangga harus mempunyai penerangan buatan yang

cukup. Elevator juga dapat dipasang pada bangunan museum,

jumlahnya tergantung pada kondisi museum, museum besar umumnya

memiliki dua elevator. Elevator untuk manusia dan barang

menggunakan tombol – tombol otomatis, pintu elevator pun dibuat

secara otomatis. Untuk barang pintu elevator terbagi dua secara

horizontal di tengah dan dibuka ke atas dan bawah.

58

Sebagai alternatif pengganti tangga dan elevator, dapat

dipergunakan jalur landai (ramp) dan escalator yang banyak

dipergunakan pada bangunan modern. Untuk bangunan museum,

penggunaan jalur landai maupun escalator dianggap masih baru dan

umumnya dipakai untuk membentuk ruang. Ramp atau jalur landau

tidak mahal dalam pengkonstruksian maupun pengoperasionalnya,

sedangkan escalator lebih mahal baik dalam hal pemasangan maupun

pengoperasiannya.

b. Penerapan Sistem Sirkulasi pada Bangunan

1) Sirkulasi Eksternal Bangunan

a) Sistem Pencapaian Bangunan

Pencapain menuju bangunan dipilih pencapaian berputar

dengan pertimbangan salah satu fungsi bangunan sebagai arena

pameran (outdoor dan indoor) yang menonjolkan unsur

informatif dan memerulkan akses yang mendukung kondisi

tersebut, pencapaian berputar juga sesuai dengan multi fungsi

dimana akan mempermudah akses terhadap fasilitas – fasilitas

yang ada pada bangunan tersebut.

b) Pengolahan Sistem Eksternal

Karena bangunan yang direncanakan merupakan bangunan

multi fungsi dengan berbagai macam pelaku kegiatan, maka

perlu dilakukannya pemisahan entrance site tiap – tiap pelaku

59

terseut. Pemisahan enterance site juga dilakukan antara

sirkulasi umum dengan sirkulasi kegiatan service.

2) Sirkulasi Internal Bangunan

a) Sirkulasi Vertikal

Adalah cara pencapaian pada lantai tertentu dalam bangunan

secara vertical atau cara mencapai ruang tertentu yang berada

diatasnya atau sebaliknya. Sirkulasi vertical juga ditekankan

sebagai jalur darurat bila suatu saat terjadi bencana. Sirkulasi

ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa fasilitas,

seperti : ramp, tangga, escalator, dan lift.

b) Sirkulasi Horizontal

(1) Sistem Memusat

Yaitu dimana hall berfungsi sebagai pusat enterance dari

barbagi ruang. System ini sesuai diterapkan pada ruang –

ruang pamer.

(2) Sistem Jalur Tunggal

System dengan menggunakan koridor sebagai penghubung

antara ruang – ruang utama dan hall berada diujung koridor

tersebut. System ini seakan diterapkan pada ruang – ruang

pertemuan.

60

c. Sirkulasi Koleksi

Skema 2.3. Arus dan sirkulasi didalam museum

A,B,C,D, dan E : daerah dan tempat dimana koleksi diadakan atau asal

dimana koleksi diperoleh

Sumber : Depdikbud, 1992/1993 : 89

d. Sirkulasi Pengunjung Museum

Skema 2.4. Arus dan Sirkulasi Pengunjung di dalam Museum

Sumber : Depdikbud, 1992/1993 : 88

61

e. Sirkulasi Khusus Pengunjung (sirkulasi ruang pamer)

Menurut Robillard sirkulasi dalam museum dapat dibagi menjadi

beberapa jenis berdasarkan entuk konfigurasinya, yaitu :

Tabel 2.1

Pola sirkulasi dalam museum

Gambar Tipe Sirkulasi

a. Langsung (straight), alur lintasan pengunjung

diarahkan oleh ruang interior dengan pintu

masuk salah satu sisi dan pintu keluar pada sisi

yang lainnya.

b. Linier (linear), sirkulasi diarahkam oleh

rancangan bangunan yang permanen,

pengunjung biasanya memakai pintu masuk

keluar yang sama. Selain itu pengunjung

berjalan melalui jalur yang menerus, tidak

perduli masih pada area yang sama.

c. Terbuka (open), dalam hal ini tidak disertakan

dinding display permanen didalam ruang pamer,

sehingga elemen sirkulasi dan ruang pamer

benar – benar menyatu. Ruang – ruang dari jenis

pola terbuka ini cenderung simetris, dan jalan –

jalan masuk yang ada tidak dirancang untuk

mempengaruhi orientasi perjalanan pengunjung.

d. memutar (loop), partisi / dinding pembatas

menjadi suatu yang dominan pada pola ini.

Ruang – ruang pamer diletakkan sejajar atau

saling berdekatan membentuk suatu yang teratur

yang mengarahkan pengunjung untuk mengitari

62

pusat ruang tersebut, seperti courtyard, dan

kelompok yang lainnya.

e. Membentuk cabang (branch, lobby foyer), suatu

tipe sirkulasi yang memiliki area pusat yang

kemudian menyebar menuju arah ruang pamer

yang berlainan. Dalam hal ini secara visual tidak

mengganggu sirkulasi.

f. Membentuk cabang (branch, gallery – lobby).

g. Membentuk cabang (branch, linear).

Sumber : Robillard, 1982 : 41

f. Hubungan Sirkulasi dan Ruang Pamer

Beberapa pola keterkaitan ruang pamer dan sirkulasi antara lain :

Tabel 2.2.

Pola hubungan antara sirkulasi dan ruang pamer

Gambar Pola Keterkaitan Ruang Pamer dan Sirkulasi

a. Sirkulasi dari ruang ke ruang (room to room),

pengunjung mengunjungi ruang pamer secara

berurutan dari ruang yang satu ke ruang pamer

berikutnya.

63

b. Sirkulasi dari koridor ke ruang pamer (corridor

to room), memungkinkan pengunjung untuk

megitari jalan sirkulasi dan memilih untuk

memasuki ruang pamer melalui koridor. Bila

pengunjung tidak mengkhendaki ke suatu ruang

pamer tertentu maka pengunjung dapat langsung

menuju ke ruang pamer berikutnya.

c. Sirkulasi dari ruang pusat ke ruang pamer (nave

to room), di sini pengunjung dapat memilih

secara langsung seluruh pintu ruang pamer,

sehingga memudahkan pengunjung untuk

memilih memasuki ruang pamer yang disukai.

d. Sirkulasi terbuka (open), sirkulasi pengunjung

menyatu dengan ruang pamer. Seluruh koleksi

yang dipajang dapat terkait secara langsung oleh

pengunjung dan pengunjung dapat bergerak

bebas dan cepat untuk memilih koleksi mana

yang hendak diamati.

e. Sirkulasi linier, dalam suatu ruang pamer

terhadap sirkulasi utama yang membentuk linier

dan menembus ruang pamer tersebut.

Sumber : Robillard, 1982 : 47

Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan yang

memungkinkan pengunjung untuk bergerak mengunjungi ruang –

ruang pamer, antara lain :

64

1) Keragaman antara ruang pamer, pengunjung tertarik memasuki

ruang yang berbeda dengan harapan memperoleh pengalaman yang

berbeda pula.

2) Kejelasan pandangan terhadap suatu jalur sirkulasi utama,

sehingga memudahkan pengunjung pada suatu ruang pamer untuk

kembali atau pindah ke ruang lainnya melalui jalur utama yang

dirasakan cepat.

3) Peta – peta dan tanda – tanda pada jalan masuk ruang pamer.

4) Pandangan keluar, memberikan suasana santai dan menciptakan

kesan tetap adanya kedekatan dengan lingkungan luar.

5) Pembagian ruang dengan memanfaatkan kolom – kolom

bangunan.

Coleman (1933)juga membahas tentang tingkah laku pengunjung

dalam mengamati koleksi pamerandi museum. Ada yang hanya

mengamati benda secara sepintas saja, tetapi ada pula yang mengamati

secara cermat dengan waktu yang relatif lama. Untuk itu diperlukan

adanya satu system yang sesuai dengan tuntutan itu. Hal ini

dimaksudkan agar pengunjung yang ingin mengamati lebih mendalam

koleksi pameran tidak terganggu oleh pengunjung yang hanya melihat

secara sepintas saja. Tetapi cara ini memerlukan ruang yang lebih luas

dan lebih banyak peralatannya.

g. Orientasi

65

Antara sirkulasi dan orientasi yang berupa isyarat – isyarat spasial

memiliki keterkaitan erat. Pengaruh isyarat tersebut terhadap

pengunjung selama memasuki ruang – ruang museum harus

dioerhatikan secara terpadu. Selain itu, rasa bingung para pengunjung

akibat dari kurang memadai system sirkulasi dan isyarat – isyarat

spasial yang ada, ternyata dapat pula menimbulkan kelelahan

pengunjung. Untuk melawan tekanan dan rasa bingung, pengunjung

memerlukan suatu system orientasi yang dapet memberikan ingatan

yang kuat.

Pengunjung sangat membutuhkan penempatan tanda – tanda dan

peta – peta pada titik – titik lintasan utama seperti tangga, elevator,

escalator, teras tempat menunggu, tempat penyebrangan, titik

pertemuan koridor, dan pintu masuk ke ruang pamer.

Pencarian orientasi oleh pengunjung museum

Tabel 2.3.

Pencarian orientasi

a. Terlalu banyak pilihan membingungkan

pengunjung.

b. Kebanyakan pengunjung bingung terhadap

posisi arah di dalam ruang pamer seperti barat,

timur, utara dan selatan. Pengunjung

menghendaki petunjuk arah untuk membantu

meraka dalam menentukan arah. Kebanyak

pengunjung menemukan peta denah yang sulit

66

untuk diikuti.

c. Kebanyakan pengunjung kembali mengikuti

jalur semula selama mengunjungi ruang – ruang

pamer. Pengunjung menggunakan peta untuk

mencapai semua tempat mengikuti petunjuk –

petunjuk yang dianggap menunjukan arah yang

menyenangkan dan menentukan jalur khusus.

Pengunjung lebih cenderumg tertarik pada

petunjuk arah daripada membaca peta.

d. Pengunjung yang memanfaatkan buku pedoman,

membaca petunjuk arah dan menayakan kepada

penjaga cenderung tinggal lebih lama daripada

yang tidak sama sekali. Pengunjung yang tidak

terarah cenderung cepat merasa bosan dan

langsung cepat meninggalkan ruang pamer.

Petunjuk yang tidak memadai merupakan

penyebab utama timbulnya kelelahan

pengunjung.

e. Alat petunjuk biasanya berupa peta dan denah,

buku pedoman, tanda – tanda staf informasi dan

isyarat – isyarat penting lainnya. Pengunjung

memerlukan system orientasi fisik yang

menunjukan arah yang akan dikunjungi baik

jenis koleksi maupun jalur pencapaian yang

mudah dan cepat.

f. Pengunjung mencari titik utama sebagai acuan

arah seperti foyer, penyebrangan, pertemuan

koridor dan lainnya. Beberapa pengunjung

cenderung mengikuti suatu rangkaian sesuai

maksud dan merancang ruang pamer.

Sumber : Robillard,1982

67

Sirkulasi harus memberikan variasi titik utama (focal point),

pemandangan (vista), dan perubahan suasana. Selain itu, harus

menyediakan pusat orientasi yang jelas dimana pengunjung dengan

mudah dan cepat dapat memetakan kedalam pemikirannya seluruh

konfigurasii jalur – jalur yang ada dalam museum.

Beberapa tanda yang dapat digunakan sebagai orientasi adalah

landmark dalam bentuk ruang, landmark dalam bentuk benda, arah

sirkulasi, kesinambungan dan skala jalur, pemakaian peta dan petunjuk

yang jelas, serta penempatan lokasi peta, petunjuk dan landmark yang

jelas.

Gambar 2.15.Tipe dasar dari orientasi pengunjung di ruang pamer

(Sumber : Robillard, 1982 : 43)

Tanda yang dapat digunakan sebagai orientasi adalah landmark,

baik dalam bentuk ruang, bentuk benda, arah sirkulasi.

68

Gambar 2.16. Petunjuk tentang ruangan di ruang pamer

(Sumber : Robillard, 1982 : 44)

Landmark dapat juga dijadikan pedoman dalam pencarian arah

yang tepat, misalnya dalam ruang ruang pamer tersebut ditengah

dipasang materi koleksi yang dapat menarik pengunjung (point of

interest), tentu tujuan utama pengunjung kearah materi tersebut baru

melihat – lihat yang lain.

Gambar 2.17. Objek dari penunjuk arah di ruang pamer

(Sumber : Robillard, 1982 : 44)

h. Pemilihan Rute

Pemilahan rute merupakan motivasi pengunjung untuk memilih

rute – rute kunjungan yang lebih jelas dan pasti, berusaha menemukan

69

tempat – tempat terbaik, seperti halnya berusaha mencari hall dan

ruang pameran utama.

Pengunjung sangat jarang membuat jalur pengamatan lengkap

pada ruang pamer. Mereka cenderung melihat kea rah area dinding

sebelah kanan. Pengunjung lebih banyak mengambil rute terpendek di

antara pintu masuk dan pintu keluar.

Tabel 2.4.

Pola pengunjung dalam pemilihan rute

a. Setelah memasuki ruang pamer

kebanyakan pengunjung akan belok ke

kiri membentuk rute pengamatan

berlawanan dengan arah jarum jam.

b. Faktor yang mempengaruhi pengunjung

untuk belok ke kanan setelah memasuki

ruang pamer adalah posisi pintu keluar

ruang pamer, arah petunjuk pada pintu

masuk.

c. Jarak dinding dari pengunjung pada

titik pintu masuk, ukuran luas ruangan

galeri dan kebiasaan berjalan

pengunjung.

d. Faktor yang mempengaruhi pencarian

sebuah rute adalah lokasi pintu masuk

dan keluar, jalur dari pintu masuk ke

pintu keluar yang dianggap dapat

memberikan suatu hal – hal baru,

landmark dan ruang pamer yang

menarik, lebar, dan keteraturan jalur

yang dilalui.

70

e. Pengunjung tidak akan memasuki ruang

pamer yang tidak memiliki pintu keluar

atau pintu keluarnya tidak terlihat

dengan jelas.

f. Pengunjung cenderung melalui

jaluryang searah dari pintu ke pintu.

g. Kebanyakan pengunjung tidak memulai

untuk memasuki ruang pamer secara

sistematis (seperti lantai pertama,

kedua, dan ketiga).

Sumber : Robillard, 1982

i. Jalur Lintasan

Alur lintasan pengunjung merupakan kecenderungan gerak lintasan

pengunjung kepada suasana yang lebih disenangi dalam memulai

pengamatan ketika memasuki ruang pamer. Kepadatan orang pada

ruang dan waktu yang bersama dapat mempengaruhi kualitas

komunikasi yang dimaksudkan oleh pengunjung.

Tabel 2.5.

Pola pengunjung dalam pemilihan rute

a. Alur lintasan dari kanan ke kiri lebih

sering dilakukan pengunjung daripada

dari kiri ke kanan.

71

b. Pengelompokan sculpture, tempat duduk

dan lainnya letaknya di tengah ruangan

akan mengganggu alur lintasan.

c. Peletakan kelompokan koleksi benda di

tengah ruan pamer cenderung

mempercepat alur lintasan pengunjung.

d. Ruang pamer yang memberikan

pengontrolan terhadap alur lintasan

pengunjung adalah lebih baik dibanding

yang tanpa kontrol.

Sumber : Robillard, 1982

j. Kejenuhan Terhadap Obyek dan Ruang Pamer

Faktor penunjang kejenuhan juga bias diakibatkan oleh kejenuhan

terhadap obyek dan ruang pamer (kemonotonan penataan obyek

koleksi baik mengenai gayanya, periode, pengelompokan subyek, dan

lainnya). Hal ini menunjukan bahwa kurangnya minat pengunjung

memiliki keterkaitan dengan suasana pameran yaitu keragaman,

kekontrasan antara ruang – ruang pamer yang bersebelahan.

Tabel 2.6.

Kejenuhan pengunjung terhadap obyek dan ruang pamer

a. Kurangnya keragaman dan kekontrasan

dalam rancangan ruang pamer (seperti

pencahayaan, kontras special dan

lainnya) akan memperpendek waktu

72

pengamatan terhadap area pameran

yang dilalui.

b. Kurangnya keragaman dan kontras ini

menyebabkan masalah kejenuhan

pengunjung yang paling utama

daripada kelelahan fisik setelah

mengamati koleksi.

c. Pengunjung mengamati sedikit lebih

lama pada obyek yang diminati dan

melewati banyak koleksi dan ruang

pamer yang tidak diminati.

d. Pengunjung menambah kecepatan

berjalannya bila tidak sesuatu yang

menarik pada ruang pamer tersebut.

e. Pengunjung tinggal lebih lama pada

ruang pamer pertama dari pada ruang

pamer selanjutnya.

f. Pengunjung tinggal memberikan

perhatian secara luas kadangkala

berhenti sejenak pada obyek tertentu

dan melewatkan beberapa obyek yang

tidak diminati.

g. Lamanya waktu yang dihabiskan di

depan sebuah pameran dan jumlah

obyek yang diminati semakin

berkurang setelah memasuki ruang

pamer.

h. Di ruang pamer yang besar

kemungkinan bahwa pengunjung akan

mengamati beberapa obyek yang

tersedia adalah lebih kecil daripada di

73

ruang pamer kecil.

i. Banyaknya obyek yang dipamerkan

kadangkala sedikit waktu diluangkan

pengunjung untuk mengamatinya

daripada area yang memiliki obyek

tidak terlalu banyak.

Sumber : Robillard, 1982 : 29

k. Luas Pergerakan dalam Ruang Pamer

Luas pergerakan pengunjung ini lebih dipengaruhi karena keinginan

untuk mengamati benda yang belum pernah dilihatnya dan memasuki

ruangan yang belum pernah dilihat dan dialaminya. Warna lantai,

dinding, lokasi pintu masuk dan pintu keluar dapat mempengaruhi luas

pergerakan pengunjung di dalam ruang pamer.

Tabel 2.7.

Luas area ruang pamer yang dilalui pengunjung

a. Pengunjung lebih banyak memanfaatkan area

dinding sebelah kanan dibanding area sebelah

kiri ruang pamer.

b. Pengunjung menggunakan lebih sedikit area

ketika ruang galeri tidak memiliki pintu keluar.

74

c. Pengunjung cenderung lebih banyak berjalan –

jalan di ruang pamer yang warna lantai,

dinding atapnya yang sedikit lebih gelap bila

dibandingkan dengan ruang pamer yang

berwarna lebih terang.

d. Pengunjung pria lebih banyak mengunjungi

area pamer dibandingkan pengunjung wanita.

Pengunjung pria lebih banyak berjalan – jalan

di dalam ruang pamer.

e. Pengung akan berlama – lama dan berjalan –

jalan dalam ruang pamer bila terpampang

banyak informasi yang dibutuhkan pengunjung

bila terdapat kekontrasan di dalam ruang

pamer.

Sumber : Robillard, 1982 : 30

l. Penarikan dan Pengalihan Perhatian

Penataan seluruh bagian ruang pamer juga sama pentingnya dengan

obyek lokasi itu sendiri. Segala sesuatunya bisa dilakukan untuk

menghindari konflik antara obyek pameran atau keadaan sekitarnya,

dan berusaha untuk meningkatkan mutu museum agar dapat

melakukan komunikasi yang lebih baik dengan para pengunjung dari

berbagai kalangan dan pengunjung yang hanya bersifat sementara.

75

Tabel 2.8.

Penarik dan pengalih perhatian dalam ruang pamer

a. Peletakan pintu ruang pamer (terutama

pintu keluar) yang kurang tepat bisa

menyebabkan pengunjung menuju

pintu keluar tanpa memperhatikan

obyek yang dipamerkan.

b. Terlalu jauhnya jarak tempuh terhadap

pbyek yang harus diamati pengunjung

cenderung mengabaikannya dan

langsung menuju pintu keluar.

c. Pengunjung memberikan banyak

perhatian kepada lingkungan yang

belum pernah dikenal sebulumnya.

Ruang pamer yang cenderug monoton

tidak banyak mendapat perhatian

pengunjung.

Sumber : Robillard, 1982 : 31

3. Tinjauan Organisasi Ruang

Organisasi ruang tergantung pada permintaan atas program bangunan

seperti : hubungan fungsional, persyratan keluasan ruang klasifikasi

hirarki ruang – ruang dan syarat – syarat penempatan cahaya atau

pemandangan.

Syarat - syarat organisasi ruang sebagai berikut :

a. Memiliki fungsi – fungsi yang khusus atau kesamaan fungsi secara

jamak.

76

b. Penggunaan fleksible dengan bebas dapat dimanipulasikan

c. Memiliki fungsi serupa dan dapat dikelompokan menjadi suatu cluster

fungsional atau dapat diulang dalam suatu urutan linier.

d. Menghendaki adanya celah terbuka untuk mendapatkan cahaya,

ventilasi, pemandangan atau pencapaian keluar bangunan.

e. Pemisah sesuai dengan fungsi ruang dan mudah dijangkau.

Bentuk organisasi ruang dapat dibedakan antara lain sebagai berikut :

Tabel 2.9.

Bentuk organisasi ruang

No Bentuk Organisasi

Ruang Keterangan

1 Organisasi Ruang Tertutup

a. Sebuah ruang besar dan dominan

sebagai pusat ruang – ruang di

sekitarnya.

b. Ruang sekitar mempunyai bentuk,

ukuran dan fungsi sama dengan ruang

lainnya.

c. Ruang sekitar berbeda dengan ruang

yang lainnya, baik bentuk, ukuran

maupun fungsi.

2 Organisasi Ruang Linier

a. Merupak deretan ruang – ruang.

b. Masing – masing dihubungkan dengan

ruang lain yang sifatnya memanjang.

c. Masing – masing dihubungkan secara

langsung.

d. Ruang mempunyai bentuk dan ukuran

berbeda, tapi yang berfungsi penting

diletakkan pada deretan ruang.

77

3 Organisasi Ruang Secara

Radial

a. Kombinasi dari organisasi yang

terpusat dan organisasi linier.

b. Organisasi yang terpusat mengarah ke

dalam sedangkan yang linier mengarah

keluar.

c. Lengan radial dapat berbeda satu

dengan yang lainnya, tergantung pada

kebutuhan dan fungsi ruang.

4 Organisasi Ruang

Mengelompok

a. Organisasi ini merupakan pengulangan

dari bentuk fungsi yang sama, tetapi

komposisinya dari ruang – ruang yang

berbeda ukurannya, bentuk, dan fungsi.

b. Perbedaan sumbu membantu sususnan

organisasi.

5 Organisasi Ruang Secara

Grid

a. Terdirir dari beberapa ruang yang

posisi ruangnya tersusun dengan pola

grid.

b. Organisasi ruang terbentuk hubungan

antara ruang dari seluruh fungsi posisi

dan sirkulasi.

c. Penggunaan ruang yang disusun secara

grid banyak dijumpai pada interior

ruang perkantoran yang terdiri dari

banyak devisi.

Sumber : Ching, 1996 : 205

4. Komponen Pembentu Ruang

a. Lantai

Menurut Suptandar (1999) lantai ruang pamer seharusnya tidak

licin dan ekonomis dalam pemasangannya atau perawatannya. Perlu

78

diingat warna permukaan yang mengkilat akan memantulkan cahaya,

permukaan yang terlalu gelap akan meyerap cahaya dan akan

mengkontraskan kecemerlangan yang akan mempengaruhi

penglihatan, demikian pula jika permukaan terlalu terang.

Lantai ruang pamer seharusnya tampak baik secara umum dan

fungsi. MenurutChing (1996) lantai yang berwarna terang akan

meningkatkan tingkat kekuatan cahaya dalam suatu ruang, sedangkan

lantai yang berwarna gelap akan meyerap sebagaian besar cahaya yang

jatuh dia atas permukaannya. Lantai menyalurkan kualitas fisiknya,

tekstur dan kepadatannya langsung kepada kita ketika kita berjalan

diatas permukaannya.

b. Dinding

Dalam sebuah museum tentu dinding memberikan peranan penting

dalam memberikan suatu suasan dan kesan pada ruang pamer,

sehingga pengolahan dinding dalam ruang pamer merupakan factor

penting untuk memvisualisasikan benda koleksi secara maksimal.

Beberapa cara peletakan materi koleksi yang terletak di dinding

adalah menggunakan :

1) Dinding galeri kayu dilapisi pabrik

2) Rel gantung

3) Draperis (sebagai latar belakang obyek yang berdiri bebas)

c. Langit – langit

79

Pada ruang pamer, agar dapat menarik pengunjung dibuat ceiling

yang kontras, saling bersaing untuk dapat menonjolkan diri dan

memberi kesan mewah. (Suptandar, 1999 : 132).

Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi,

telah memberikan penemuan – penemuan di bidang industry,

khususnya terciptanya bahan – bahan bangunan termasuk bahan untuk

langit – langit, sehingga memungkinkan untuk memenuhi segala jenis

ruang, khusus untuk museum, ruang pamer yang menggunakan

pencahyaan buatan memerlukan ketinggian antara 12 -14 kaki.

Apabila diterapkan penggunaan skylight adalah 18 – 19 kaki.

Sedangkan apabila diterapkan keduanya (mixed lighting), ketinggian

langit 0 langit dapat bervariasi. Dari aspek konstruksi harus

dipertimbangkan penempatan ducting udara, sirkulasi lampu, serat

segi keamanannya karena mungkin terdapat berbagai peralatan

elektrik, AC, lampu, dan lain – lain.

5. Sistem Interior

a. Pencahayaan

1) Pencahayaan

Suatu ruang pamer museum membutuhkan pecahayaan buatan

dengan kualitas sebaik mungkin, dengan indeks penampakan

warna maksimal 90, suhu warna ± 4000 kelvin. Untuk itu dapat

digunakan pencahayaan umum, berupa lampu – lampu TL putih

yang mempunyai arus cahaya khusus.

80

Meskipun pemakian lampu atau penerangan lain

“menghidupkan benda – benda yang sedang dipamerkan,

pengaruhnya terhadap koleksi yang berada di ruang penyimpanan

dalam jangka waktu yang lama dapat berakibat buruk. Para curator

sepakat untuk menghindari pemakaian cahaya yang langsung

menyinari tempat penyimpanan barang seperti lemari kava, vitrin

dan lain – lain. Bila pencahyaan ini memang diperlukan, maka

pemakaian filter yang meyerap radiasi sinar ultra violet sangat

disarankan, sehingga diperoleh cahaya dengan inteitas sebesar +

100 foot candles saja. Intensitas sebesar inilah yang terbaik bagi

benda – benda yang mudah rusak oleh pengaruh cahaya.

Tabel 2.10.

Ukuran penggunaan iluminasi cahaya terhadap benda – benda koleksi

museum

OBYEK MAKSIMUN

ILLUMINASI Benda – benda yang tidak sensitive

terhadap cahaya antara lain : logam, batu,

kaca, keramik, barang perhiasan (batu –

batu intan, berlian, dan sebagainya),

tulang.

Bebas dari ukuran

cahaya

Benda – benda yang sensitive terhadap

cahaya : lukisan, lukisan dinding, kulit,

tanduk.

150 LUX

Benda – benda yang sangat sensitive

terhadap cahaya, tekstil, pakaian, seragam,

lukisan cat air, lukisan tempera, printing

50 LUX

81

dan drawing, naskah, benda – benda

etnografi dan sejenis dengan itu.

Sumber :Herman, 1981 : 72

2) Sistem Peletakan Sumber Pencahyaan Buatan Khusus Museum

Pencahyaan khusus adalah pencahayaan yang ditujukan

terhadap benda pamer museum.

Gambar 2.18.Pencahayaan khusus pada ambalan tempat benda

pamer diletakkan

(Sumber : Technical Report of the illuminating Engineering Society,

1970 : 20)

Pencahayaan harus disesuaikan dengan sifat benda, yang dalam hal

ini dapat dibagi :

a) Pencahayaan khusus terhadap benda koleksi dua dimensi.

b) Pencahayaan khusus terhadap benda koleksi tiga demensi.

Penerapan pencahyaan khusus terhadap benda koleksi dua dimensi

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a) Untuk benda pamer pada bidang vertikal.

Peletakan benda pamer pada bidang vertical, sebaiknya sumber

cahayanya memiliki sudut 30 derajat dari bidang tempat

pemasangan benda pamer tersebut.

82

b) Untuk benda pamer pada bidang horizontal

Benda pamer yang terletak pada bidang horizontal, sebaiknya

peletakan pencahayaan ada di luar daerah refleksi. Hal ini

disebabkan oleh sering terjadinya kesilauan yang mengganggu

pengunjung.

Gambar 2.19 Pencahayaan khusus pada ambalan tempat

benda pamer dibidang horizontal

(Sumber : Technical Report of the illuminating Engineering Society,

1970 : 20)

c) Untuk mengatasi timbulnya kesilauan perlu dibuat daerah

gelap pada langit – langit atau lantai yang berada pada benda

pamer tersebut. Hal ini berguna untuk menyerap pantulan yang

terjadi

Gambar 2.20 Daerah refleksi pencahayaan terhadap benda

Pamer pada bidang vertikal

(Sumber : Technical Report of the illuminating Engineering Society,

1970 : 20)

83

Untuk pencahyaan khusus terhadap benda koleksi tiga dimensi

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

(1) Untuk benda pamer pada kotak terbuka.

Benda pamer yang terletak pada kotak tanpa penutup,

dibutuhkan peletakan sumber cahaya dengan tingkat

iluminasinya yang tinggi dengan tujuan untuk menonjolkan

benda pamer serta menghilangkan bayangan. Salah satu

cara tepat dalam hal ini adalah dengan dua buah lampu

sorot dengan sudut 30 derajat dari titik pusat benda. Namun

apabila ingin mendapatkan efek cahaya yang istimewa

dapat dicoba dengan mengubah – ubah letak sumber

pencahyaannya.

Gambar 2.21Letak sumber pencahayaan terhadap benda pamer 3D

(Sumber : Brawe, 1981 : 175)

(2) Untuk benda pamer dalam kotak kaca

Benda pamer dalam kotak kaca harus menghindari

penyilauan. Hal ini karena sifat kaca menimbulakn refleksi,

menyebabkan pengamat menjadi silau. Untuk mengatasi

refleksi pada bidang kaca ada tiga cara, yaitu :

84

(a) Peletakan bidang kaca dengan vertikal

Refleksi dapat diatasi dengan memberikan latar

belakang yang gelap atau menggunakan lampu yang

tersembunyi di bawah ambalan

Gambar 2.22.Penempatan kisi-kisi di bawah lampu untuk mengatasi

pengaruh refleksi cahaya

(Sumber : Brawe, 1981 : 176)

(b) Peletakan bidang kaca miring ke arah vertikal

Untuk peletakan bidang kaca dengan arah miring kea

rah vertikal, refleksinya dapat diatasi dengan meletakan

lampu yang dilengkapi dengan penutup dibagian dalam

kotak (pada bagian atas) dan meletakan cermin di

bagian bawah kotak.

Gambar 2.23.Refleksi pencahyaan pada bidang kaca miring ke arah

vertikal

(Sumber : Technical Report of the illuminating Engineering

Society, 1970 : 21)

(c) Peletakan bidang kaca miring ke arah horizontal

85

Gambar 2.24.Refleksi pencahyaan pada bidang kaca miring ke arah

horizontal

(Sumber : Technical Report of the illuminating Engineering

Society, 1970 : 21)

b. Penghawaan

Sistem penghawaan buatan yang umum digunakan di dalam

sebuah museum adalah :

a) Sistem heating atau radiator, fungsinya untuk meninggikan suhu

dengan cara sistem pemanasan air. System ini biasa digunakan di

daerah yang beriklim sub tropis.

b) Air Conditioning (AC), berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

temperature, kelembaban, aliran udara dan untuk menjaga kualitas

udara yang betul terpelihara. System penggunaan AC ini pada

umumnya dipakai pada daerah yang beriklim tropis. (Coleman,

1933 : 150).

c. Tata Warna

Peranan warna sangat penting dalam pameran, diamping

mempengaruhi perasaan akan situasi ruangan, juga memberikan

sesuatu yang lain, yang bersifat kejiwaan. Jenis – jenis warna berikut,

menjelaskan pengaruhnya padaa ruang, antara lain :

86

a) Ruang pamer yang dicat dengan warna gelap, kelihatan

menyempit.

b) Ruang pameran yang dicat dasar terang terasa lebih luas dari

ukuran yang sebenarnya.

c) Warna merah, kuning, jingga adalah warna panas yang mempunyai

kekuatan merangsang, cepat menarik perhatian / menimbulkan

perasaan suka. Warna trsebut dapat dipergunakan dalam pameran

temporer ataupun pameran keliling.

d) Sedangkan warna biru, ungu adalah warna dingin, tenang, dan

menyejukan mata.

e) Hijau adalah warna diantara panas dan dingin. Hijau akan menjadi

panas apabila berubah kekuning – kuningan, dan akan menjadi

dingin apabila berubah kebiruan – biruan.

f) Warna biru, hijau, dan merah merupakan urutan yang paling baik.

g) Jingga, merah, dan biru, kuat menarik perhatian.

h) Sedangkan kuning, hijau, dan jingga, merupakan warna – warna

yang paling terang. Untuk ruangan pameran tetap, sebaiknya

menggunakan warna netral, misalnya krem, broken white, atau

menggunakan warna pastel.

d. Akustik

Pengkondisian suara bertujuan mengurangi gangguan bunyi yang

ditimbulkan oleh suara baik dari dalam, maupun dari luar bangunan

museum. Gangguan bunyi khususnya pada suatu nuseum, biasanya

87

berasal dari faktor kebisingan dari luar (seperti keramaian kendaraan

pada jalur transportasi atau pada area parkir) serta kebisingan yang

berasal dari dalam (seperti bunyi langkah kaki, pembicaraan

pengunjung, dan bunyi yang ditimbulkan dari ruang pamer yang

menggunakan efek sound system).

Klasifikasi bahan penyerap, antara lain adalah bahan berpori.

Karakteristik dari bahan berpori, yaitu :

a) Penyerapan bunyi lebih efisien pada frekuaensi tinggi

dibandingkan pada frekuensi rendah.

b) Efisiensi akustiknya membaik pada jangkauan frekuensi rendah

dengan bertambahnya tebal lapisan penahan yang padat dan

dengan bertambahnya jarak dari lapisan penahan ini, contohnya

seperti : papan serat (fiber board), mineral wools, selimut isolasi

(semacam jaringan seluler dengan pori – pori saling berhubungan,

plester lembut (soft plaster).

6. Sistem Keamanan

Pengamanan museum merupakan suatu kegiatan untuk melindungi

bangunan koleksi, peralatan, personil dan pengunjung museum dari

gangguan yang merugikan. Tujuan dari pengamanan museum ini, untuk

mencegah, menghindarkan, dan menanggulangi kemungkinanyang dapat

mengakibatkan kehilangan, kerusakan, kebakaran, dan gangguan

ketertiban demi terwujudnya situasi dan kondisi museum yang tertib dan

88

aman, baik bangunan, koleksi, peralatan personel dan pengunjung serta

lingkungan. (DPK, 1994 :39).

Tujuan pengamanan museum ialah terciptanya suatu museum yang

utuh, lengkap dan tentram dimana para pengunjung merasa tentram,

nyaman, dan tenang selama berada dan menikmati benda – benda yang

dipamerkan. Demikian pula para staf museum yang terdiri dari curator,

educator, preparatory, konservator serta tenaga administrasi dapat bekerja

dengan tenang karena museum bebas dari gangguan keamanan, baik yang

datang dari luar maupun dari dalam.

Sifat kerja pengamanan museum adalah dinamis. Di dalam

pelaksanaan teknisnya, sifat kerja pengamanan museum dapat dibedakan

atas dua macam, yaitu : yang bersifat statis, dan yang bersifat dinamis /

mobile (keliling).

Sifat pengamanan museum statis ditujukan khusus pada pengunjung

museum. Ia melaksanakan tugas pengawasan yaitu mengawasi para

pengunjung yang sedang melihat pameran di ruang pameran tetap, jadi

tugasnya menjaga ruang pameran. Pengamanan museum yang kedua

bersifat dinamis / mobile (keliling), tugasnya melakukan pemeriksaan

keliling ke ruangan – ruangan, pameran tetap, auditorium, ruang

administrasi, ruang kuratorial, ruang preparasi, ruang edukasi, ruang

konservasi, dan laboratorium serta kompleks museum dimana terdapat

koleksi – koleksi terbuka.

89

Adapun waktu pengamanan museum tersebut adalah ketika museum

akan dibuka, museum sedang dibuka, maupun ketika museum menjelang

ditutup serta malam hari.

Ada beberapa faktor unsur pengamanan museum yang perlu

diperhatikan, antara lain :

a. Manusia, meliputi :

1) Banyaknya pengunjung museum yang datang dengan tujuan

serta kepentingan yang berbeda satu sama lain, sebagai contoh,

misalnya ada pengunjung museum yang memanfaatkan untuk

mengadakan studi atau penelitian, ada sekedar untuk berekreasi

dengan keluarga, tetapi ada juga yang memanfaatkan untuk

mencari keuntungan sendiri dengan cara mencuri barang –

barang koleksi yang ada di museum.

2) Secara sengaja mengotori, moncorat – coret dinding dan pagar,

merusak taman yang merugikan pihak museum, dan

membuang sampah sembarangan temat, sehingga mengganggu

kenyamanan dan ketertiban pengunjung museum.

b. Fisik bangungan, meliputi :

1) Bahan – bahan kimia untuk laboratorium dan konservasi tidak

disimpan di tempat yang baik dan aman.

2) Pintu jendela dan lemari – lemari koleksi tidak terpasang

dengan kunci – kunci yang baik dan kuat.

90

3) Pemilihan serta penentuan bahan – bahan bangunan sebaiknya

memilih bahan yang tidak mudah terbakar oleh api, dll.

c. Peralatan dan sarana, meliputi :

1) Belum tersedianya alat pemadam api, sehingga bila timbul

bahaya kebakaran akan berakibat fatal dan tidak tertolong lagi.

2) Pada umumnya saluran air hydrant (wall dan freezing hydrant)

sulit diperoleh, karena jaraknya yang terlalu jauh atau hanya

pada lokasi gedung yang ada di kota besar saja yang sudang

ada jaringan saluran dari PAM, dll.

d. Alam dan lingkungan, meliputi :

1) Udara di daerah yang lembab, bisa merusak koleksi.

2) Gangguan hewan atau binatang sejenis insect yang menyerang

dan merusak koleksi jenis kayu, kain, kertas, dan juga jenis

jamur untuk koleksi perunggu, batu, dan sebagainya.

3) Terjadinya bencana alam yang secara tiba – tiba dan tak

terduga yang bisa berakibat rusaknya bangunan museum

maupun koleksi di dalamnya, dll.

Cara pengamanan benda – benda koleksi dapat dilakukan dengan cara:

a. Pengamanan umum melalui tata kerja dan tata ruang

Untuk menjamin benda – benda koleksi ini maka perlu ada

pembagian tugas dan kewajiban yang tegas dan ketat diantara para

petugas. Adapun tugas – tugas itu antara lain :

(1) Memeriksa ruang – ruang penyimpanan secara rutin / berkala

91

(2) Menyelenggarakan pengamanan umum bagi seluruh fasilitas

penyimpanan

(3) Membuat peraturan ketat.

Dalam perencanaan sebuah gedung harus diperhatikan

hubungan antara ruang – ruang penympanan dan bagian

gedung lainnya agar tidak memudahkan terjadi pencurian atau

perusakan oleh tangan – tangan jahil. Pengunjung ruang

penyimpanan harus diantar oleh seorang petugas kurator dan

harus melalui ruang registrasi yang merupakan ruang

pengawasan.

b. Pengamanan terhadap pencurian dan tangan – tangan jahil

Ada dua jenis pengamanan untuk dipakai diseluruh bangunan. Alat

yang dimaksud adalah :

1) Sistem Perlindungan Sekitar (Perimeter Protection System)

Sistem ini dipakai untuk melindungi bangunan terhadap

bahaya dari luar. Penekanan pengamanan terutama ditunjukan

pada jendela, pintu, atap, lubang ventilasi dan dinding –

dinding yang mudah ditembus.

Didalam ruang pamer ada beberapa kekuatiran dan

kerusakan benda koleksi pameran, seperti yang dikemukakan

oleh Dadang Udansyah dalam bukunya berjudul Sarana

Pameran di Museum, antara lain :

92

a) Vandalisme

Kebiasaan vandalisme ini banyak terjadi karena keisengan

dan kurangnya kesadaran akan benda – benda yang

bernilai sejarah dan kurangnya apresiasi kepada nilai –

nilai kebuadayaan bangsa kebisaan ini misalnya, menusuk

– nusuk, menggoresi benda koleksi, mencoret – coret, dan

sebagainya.

b) Touch Complex

Umumnya orang tidak puas melihat saja, mereka masih

penasaran apabila tidak meraba benda – benda koleksi

yang dilihatnya.

c) Kelalaian yang dilakukan oleh pengunjung

Bersandar pada benda koleksi, panil atau benda lainnya,

membuang sampah sembarangan, meludah, menaikkan

kaki pada benda koleksi merupakan sedikit contoh

kelalaian yang sering dilakukan oelh pengunjung.

d) Kebiasaan merokok

Disamping asap rokok yang bisa menyebabkan polusi

udara, terutama apabila ruangan tersebut menggunakan

AC, abu rokokpun menyebabkan ruangan menjadi kotor,

apalgi bila membuang punting rokok tidak pada

tempatnya, apabila punting rokok tersebut masih menyala

dapat mengakibatkan kebakaran.

93

e) Pencurian

Meskipun pencurian jarang terjadi, tetapi apabila ini

sampai terjadi sangat merugikan sekali baik bagi pihak

museum maupun pihak pengunjung sendiri.

2) Sistem Perlindungan Dalam (Interior Protection System)

Jenis ini sangat bermanfaat dalam pengamanan gedung,

apabila ternyata sistem perimeter gagal berfungsi, misalnya

bila pencuri / penjahat telah berhasil menyelinap masuk dan

bersembunyi di dalam gedung sebelumnya saat pintu – pintu

ditutup. Contoh yang paling sederhana dari jenis ini ialah

kunci.

Kalau alat diatas banyak pula ragamnya. Ada yang bekerja

secara mekanis, ada yang secara elektris. Diantaranya adalah :

a) Saklar magnetic (magnetic contact switch)

b) Pita kertas logam (metal foil tape)

c) Sensor pemberitahuan / pencegahan bila kaca pecah (glass

breaking sensor)

d) Kamera pemantau (photoelectronic eyes)

e) Pendeteksi getaran (vibration detectors)

f) Pemberitahuan / peringatan getaran (internal vibration

sensor)

g) Alat pemasuk data pada pintu (acces control by remote

door control)

94

h) Pengubah sinar infra merah (passive infra – red)

c. Pengamanan terhadap kebakaran

Perlindungan terhadap bahaya kebakaran dapat dimulai dengan

pemasangan konstruksi bangunan tahan api terutama di ruangan

yang mudah terbakar. Ruangan juga perlu memiliki pintu – pintu

api, juga dapat pula digunakan dinding – dinding khusus.

Bagian penting dalam penrencanaan pengisolasian bencana

(api) adalah dengan menempatkan tangga pada tempat yang tepat.

Tangga utama mungkin tidak didesain seperti ini, tapi tangga

sekunder untuk umum dan staf hendaknya di dekat dinding dan

pintu.

Berkaitan dengan benca kebakaran, ruangan museum terbagi

dua :

1) Ruangan – ruangan dimana air untuk memadamkan api dapat

juga merusak, seperti halnya api itu sendiri. Contoh : ruang

pamer, ruang kuratorial, ruang penyimpanan.

2) Ruang yang bila ada kerusakan tidak terlalu serius. Contoh :

bengkel mekanik, penyimpanan barang persediaan peralatan,

peti.

Ruang yang disebutkan pertama sebaiknya tidak menggunakan

air sebagai pemadam api tap CO2 yang dapat dipasang otomatis

ataupun portable.

95

Ruangan yang punya perlindungan air otomatis biasanya

adalah basement sehingga dapat diapasang instalasi air di sana,

sedangkan ruang bagian atas basement tidak memerlukannya tetapi

perlu diawasi atau dijaga jika ada keadaan darurat. Juga dipasang

alarm api atau alat deteksi. Di bagian – bagian tertentu harus

disediakan selang air dan perlengkapan kebakaran lain.

Berkaitan pula dengan perlindungan terhadap api adalah

masalah yang timbul akibat resiko perang dan juga gempa bumi.

Resiko bahaya dari hal ini dapat muncul dengan pemakaian kca di

atas kepala yang terlalu berlebihan atau konstruksi lain yang

rendah tingkat keselamatannya.

Ada dua sistem alat pendeteksi yang dikenal, yaitu :

1) Pendeteksi panas (thermal detector), yang akan bereaksi

terhadap perubahan suhu.

2) Pendeteksi asap (smoke detector), yang bereaksi terhadap gas

atau aerosol yang keluar pada saat kebakaran.

Mengenai alat pemadam kebakaran dapat dipilih di bawah ini :

1) Sistem penyemprotan (sprinkle system)

2) Sistem pemadaman dengan gas (gas system)

3) Tabung pemadaman api (portable fire extinguisher)

Untuk ruang penyimpanan koleksi seperti ini, maka portable

fire extinguisher, yaitu jenis dry chemical extinguisher kiranya

96

paling menguntungkan, karena tepung residu yang ditinggalkan

tidak merusak semua jenis benda. (Soekono, 1996 : 15)

D. TINJAUAN FILM

1. Pengertian Film

Sebuah film juga disebut film atau gambar gerak, adalah serangkaian

diam atau gambar bergerak. Hal ini dihasilkan oleh merekam gambar foto

dengan kamera, atau dengan membuat gambar menggunakan animasi

teknik atau efek visual. Proses pembuatan film telah berkembang menjadi

sebuah bentuk seni dan industri.

Film adalah artefak budaya yang diciptakan oleh spesifik budaya, yang

mencerminkan budaya, dan pada gilirannya mempengaruhi mereka. Film

ini dianggap sebagai penting seni bentuk, sumber hiburan populer, dan

metode yang kuat untuk mendidik atau mengindoktrinasi warga negara.

Unsur – unsur visual dari bioskop memberikan gambar gerakan universal

kekuatan komunikasi. Beberapa film telah menjadi atraksi populer di

seluruh dunia dengan menggunakan dubbing atau sub judul, yang

menerjemahkan dialog ke dalam bahasa penampil.

Film terdiri dari serangkaian gambar individu yang disebut frame.

Ketika gambar – gambar yang akan ditampilkan dengan cepat berturut –

turut, pemirsa memiliki ilusi bahwa gerakan yang terjadi. Pemirsa tidak

bisa melihat kerlip antara frame karena efek yang dikenal sebagai

kegigihan dari visi, dimana mata mempertahankan citra visual untuk

97

sepersekian detik setelah sumber telah dihapus. Pemirsa memandang

gerak karena efek psikologis yang disebut gerakan beta.

Asal usul “Film” berasal dari fakta bahwa film fotografi (juga disebut

stok film). Secara historis utama media utama untuk merekam dan

menampilkan gambar bergerak. Istilah lain ada untuk film individu,

termasuk gambar, pertunjukan gambar, gambar bergerak, foto-play dan

film. Sebuah nama umum untuk film di Amerika Serikat adalah film,

sementara di Eropa film panjang lebih disukai. Ketentuan tambahan untuk

bidang pada umumnya termasuk layar lebar, layar perak, bioskop dan

film.

2. Sejarah Film

Film berasal dari ribuan tahun yang lalu, film pada awalnya berasal

dari drama dan tarian, memiliki unsur – unsur umum, seperti : naskah,

perlengkapan, kostum, produksi, arahan, aktor, penonton, storyboard, dan

skor. Banyak terminologi yang berlaku dan kemudian digunakan dalam

teori film dan kritik, seperti adegan en mise (gambaran visual keseluruhan

pada satu waktu). Animasi visual dan aural di film belum bisa

ditayangkan, dikarenakan tidak adanya teknologi yang memadai saat itu

untuk melakukannya.

Pada tahun 1860-an, akhirnya didapatkan mekanisme yang bisa

menghasilkan gambar dua dimensi dalam gerak, yang ditunjukan dengan

perangkat seperti zoetrope, mutoscope, dan praxinoscope. Mesin – mesin

ini hasil perkembangan dari perangkat optic sederhana (seperti lentera

98

sihir), dan akan menampilkan urutan gambar diam dengan kecepatan yang

cukup sehingga gambar 2 dimensitampak bergerak, fenomena tersebut

adalah ketekunan penglihatan. Tentu gambar perlu hati – hati dirancang

untuk mencapai efek yang diinginkan, dan prinsip yang mendasari

menjadi dasar bagi perkembangan film animasi.

Dengan perkembangan seluloid film untuk masih fotografi, menjadi

mungkin untuk langsung menangkap objek bergerak secara real time.

Percobaan 1878 oleh Inggris fotografer Eadweard Muybridge di Amerika

Serikat, menggunakan 24 kamera menghasilkan serangkaian gambar

stereoscopic dari kuda yang berderap, ini bisa dibilang yang pertama

„film‟, meskipun tidak dipanggil dengan nama ini. Ini teknologi yang

dibutuhkan seseorang untuk melihat ke dalam mesin melihat untuk

melihat gambar yang merupakan cetakan kertas terpisah yang melekat

pada drum diputar oleh sebuah handcrank. Gambar – gambar yang

ditampilkan pada kecepatan variable dari sekitar 5 sampai 10 gampar per

derik, tergantung pada seberapa cepat engkol diputar. Versi komersial dari

mesin yang dioperasikan koin.

Pada 1880-an perkembangan kamera film diizinkan, gambar

komponen individual yang akan diambil dan disimpan pada satu

gulungan, dan memimpin cepat untuk perkembangan film proyektor untuk

bersinar cahaya melalui film diproses dan dicetak dan memperbesar ini

„bergerak gambar menunjukkan‟ ke layar seluruh penonton. Ini gulungan

sehingga dipamerkan, kemudian dikenal sebagai „gambar bergerak‟. Film

99

awal adalah statis gambar yang menunjukkan suatu peristiwa atau

tindakan tanpa mengedit atau teknik sinematik lainnya. Pameran publik

pertama dari film yang diproyeksikan di Amerika ditunjukan di Music

Hall Koster dan Bial di New York City pada tanggal 23 April 1896.

Mengabaikan WKL Dickson eksperimen suara awal (1894), gambar

bergerak komersial adalah murni seni visual melalui akhir abad 19, tetapi

ini inovatif film bisu telah mendapatkan suatu pegangan pada imajinasi

publik. Sekitar pergantian abad ke-20, film mulai mengembangkan

struktur narasi dengan merangkai adegan sama untuk bercerita. Adegan itu

kemudian dipecah menjadi beberapa gambar dari berbagai ukuran dan

sudut. Teknik lain seperti gerakan kamera direalisasikan sebagai cara yang

efektif untuk menggambarkan cerita dalam film. Daripada meninggalkan

penonton dengan sura proyektor bioskop awal, pemilik bioskop akan

menyewa seorang pianis atau organis, atau penuh orkestra memainkan

music yang akan menutupi suara proyektor. Akhirnya, musisi akan mulai

sesuai dengan mood film pada saat tertentu. Pada awal 1920-an, film yang

paling datang dengan daftar yang disiapkan lembaran musik untuk tujuan

ini, dengan lenkap skor film yang sedang digarap produksi utama.

Munculnya bioskop di Eropa terputus oleh pecahnya Perang dunia I,

ketika industry film di Amerika Serikat berkembang dengan munculnya di

Hollywood,ditandai paling menonjol oleh karya inovatif besar DW

Griffith di Kelahiran Nation (1914) dan Intoleransi (1916). Namun pada

tahun 1920, pembuat film Eropa seperti Sergei Eisenstein, FW Murnau,

100

dan Fritz Lang, dalam banyak terinspirasi oleh kemajuan masa perang

meroket melalui film Griffith, bersama dengan konstribusi dari Charles

Chaplin, Buster Keaton, dan lainnya, dengan cepat menangkap dengan

Amerika pembuatan film dan terus lebih memajukan medium. Pada 1920-

an, teknologi baru ini memungkinkan pembuat film untuk melampirkan

setiap film yang soundtrack berbicara, musik dan efek suara disinkronkan

dengan aksi di layar. Ini film suara awal dibedakan dengan menyebut

mereka „gamabar berbicara‟ atau talkie.

Langkah besar berikutnya dalam pengembangan bioskop adalah

pengenalan yang disebut „alami warna‟, yang berarti warna yang fotografi

direkam dari alam daripada yang ditambahkan ke hitam-putih cetakan

dengan tangan-mewarnai, stensil-mewarnai atau prosedur sewenang –

wenang lainnya, walupun proses awal biasanya menghasilkan warna yang

jauh dari „alami‟ dalam penampilan. Sementara penambahan suara cepat

hilang cahanya film bisu dan musisi teater, warna diganti hitam-putih jauh

lebih bertahap. Jumlah film yang dibuat dalam warna perlahan – lahan

meningkat dari tahun ke tahun.

Pada awal 1950-an, sebagai proliferasi hitam-putih televisi mulai

serius kehadiran teater menyedihkan di AS, penggunaan warna dipandang

sebagai salah satu cara untuk memenangkan penonton kembali. Beberapa

film Hollywood arus utama penting masih dibuat dalam warna hitam-

putih hingga akhir pertengahan 1960-an, tetapi mereka menandai akhir

sebuah era. Warna penerima televisi telah tersedia di Amerika Serikat

101

sejak pertengahan 1950-an, namun pada awalnya mereka sangat mahan

dan siaran beberapa berada di warna. Selama tahun 1960, harga secara

bertahap turun, siaran warna menjadi umum, dan penjualan televisi

berwarna set menggelegar. Preferensi yang kuat dari mayarakat umum

untuk warna sudah jelas. Setelah kesibukan akhir hitam-putih rilis film di

pertengahan decade, semua produksi besar Hollywood studio fim secara

eksklusif dalam warna, dengan sedikit pengecualian enggan dibuat hanya

atas desakan direksi „bintang‟ seperti Peter Bogdanovich dan Martin

Scorsese.

Sejak penurunan dari sistem studio pada tahun 1960, dekade berhasil

melihat perubahan dalam produksi dan gaya dari film. Gerakan

gelombang berbagai baru (termasuk New Wave Perancis, India New Wave,

Jepang New wave, dan meniru gaya) dan munculnya sekolah film dididik

pembuat film independen semua bagian dari perubahan medium pada

paruh kedua abad ke-20. Teknologi digital telah menjadi kekuatan

pendorong dalam perubahan sepanjang 1990-an dan ke 2000-an.

Teknologi 3D meningkat pada penggunaan dan telah menjadi lebih

populer sejak 2010-an awal.

3. Teori Film

Film dapat diartikan sebagai sebuah industri, yang mengutamakan

eksistensi dan ketertarikan cerita yang dapat mengajak banyak orang

untuk terlibat. Film berbeda dengan cerita buku atau cerita sinetron,

walaupun sama – sama mengangkat nilai esensial dari sebuah cerita, film

102

mempunyai asas sendiri. Asas yang membedakan film dengan cerita

lainnya adalah asas sinematografi. Asas sinematografitidak dapat

digabungkan dengan dengan asas – asas lainnya karena asas ini berkaitan

dengan pembuatan film. Asas sinematografi berisikan bagaimana tata

letak kamera sebagai alat pengambilan gambar, bagaimana tata letak

properti dalam film, tata artistik, dan berbagai pengaturan pembuatan film

lainnya.

4. Bahasa Film

Film dianggap memiliki bahasa sendiri. James Monaco menulis teks

klasik tentang teori film berjudul ”Cara Membaca Film”. Direktur Ingmar

Bergman terkenal berkata, “Andrei Tarkovsky bagi saya adalah direktur

terbesar, orang yang menciptakan bahasa baru, benar sifat dari film,

karena menangkap hidup sebagai kehidupan, refleksi sebagai mimpi”.

Contoh dari bahasa itu urutan gambar bolak – balik berbicara di depan

profil kiri satu aktor, diikuti oleh berbahasa profil lainnya benar aktor,

maka pengulangan ini, yang merupakan bahasa yang dimengerti oleh

penonton untuk menunjukkan percakapan. Contoh lain adalah zoom pada

dahi seorang aktor dengan ekspresi refleksi diam, kemudian berubah ke

adegan seorang actor muda yang samar – samar mirip aktor pertama,

menunjukkan aktor pertama adalah memiliki memori dari masa lalu

mereka sendiri.

103

5. Montage

Parallels untuk pengiring music telah berkembang menjadi teori montage,

diperpanjang sari superimpsisi kompleks gambar dalam film bisu awal

untuk penggabungan bahkan lebih kompleks dari music tandingan –

tandingan bersama dengan visual melalui adegan en mise dan editing,

seperti dalam balet atau opera. misalnya, seperti yang digambarkan dalam

adegan perkelahian geng sutradara Francis Ford Coppola film, Rumble

Fish.

6. Industri Filn

Membuat dan menampilkan gambar bergerak menjadi sumber

keuntungan segera setelah proses itu diciptakan. Setelah melihat

keberhasilan penemuan baru mereka, dan produk mereka berada di

Perancis, Lumieres cepat mengatur tentang tur benua untuk memamerkan

film – film swasta pertama untuk royalty dan secara terbuka kepada

massa. Di setiap negara, mereka biasanya akan menambah baru adegan

lokal untuk katalog mereka, dan cukup cepat menemukan pengusaha lokal

di berbagai negara di Eropa untuk membeli peralatan mereka dan foto,

ekspor, impor, dan produk tambahan layar komersial. Para Gairah

Oberammergau putar tahun 1898 adalah film komersial pertama yang

pernah di produksi. Gambar lain segera mengikuti, dan film menjadi

industri tersendiri yang dibayangi dunia vaudeville. Dedikasi bioskop dan

perusahaan dibentuk secara khusus untuk memproduksi dan

mendistribusikan film, sementara gerakan aktor utama gambar menjadi

104

selebriti dan memerintahkan biaya besar untuk pertunjukan mereka. Tahun

1917 Charlie Chaplin memiliki kontrak yang meyerukan gaji tahunan

sebesar satu juta dolar. Dari tahun 1931 sampai 1956, film yang juga

menyimpan foto saja dan sistem pemutaran untuk program televisi sampai

diperkenalkannya perekam kaset video.

Di Amerika Serikat saat ini, banyak dari industri film ini berpusat di

sekitar Hollywood. Pusat daerah lain yang ada di banyak bagian dunia,

seperti Mumbai berpusat di Bollywood, para industry film India Hindi

bioskop yang menghasilkan jumlah terbesar film di dunia. Meskipun biaya

yang terlibat dalam pembuatan film telah menyebabkan produksi bioskop

untuk berkonsentrasi di bawah naungan studio film, kemajuan terbaru

dalam film terjangkau membuat perlatan memiliki memungkinkan

produksi film independen untuk berkembang.

Laba adalah kekuatan kunci dalam industri, karena sifat mahal dan

berisiko pembuatan film, film besar banyak mengeluarkan biaya, contoh

terkenal adalah Kevin Costner dalam filmnya yang berjudul Waterworld.

Namun pembuat film banyak berusaha untuk menciptakan karya – karya

penting sosial abadi. The Academy Awards (juga dikenal sebagai

“OSCAR”) adalah penghargaan film paling menonjol di Amerika Serikat,

memberikan pengakuan setiap tahun untuk film, pura – pura berdasarkan

manfaat artistic mereka. Ada juga industry besar untuk film pendidikan

dan instruksional yang dibuat sebagai pengganti atau sebagai tambahan

untuk perkuliahan dan teks.

105

E. TINJAUAN KHUSUS FILM

1. Film Horor

Film horor adalah salah satu genre utama dalam film. Genre film horor

kurang lebih adalah sekumpulan film yang dimaksudkan untuk memancing

atau menerbitkan rasa takut pada penonton. Menurut Wikipedia film horror

dirancang untuk menerbitkan rasa takut, ngeri, terror, jijik, atau horor pada

penontonnya. Dalam plot film horor, berbagai ketakutan, kejadian, atau

karakter jahat, terkadang semua berasal dari dunia supranatural, memasuki

dunia keseharian kita. Dalam pengertian ini, film horor memusatkan diri pada

tema kejahatan (evil) dalam berbagai ragam bentuknya. Rasa takut, terror, jijik

atau horor adalah efek yang diinginkan.

2. Genre Film Horor

Genre film horor telah hadir sejak masa film awal (early cinemas) di

akhir abad ke-19. George Mèliès, pelopor film fiksi ilmiah pertama di

dunia, membuat sebuah film dengan judul le Manoir du diable pada akhir

tahun 1896. Kemudian F.W. Murnau dari Jerman dengan film Nosferatu,

sosok vampire pertama yang muncul di film pada tahun 1922. Selanjutnya

tokoh – tokoh seperti mumi, drakula, monster frankenstein, manusia

serigala, dan sebagainya mulai menjadi figure – figure yang menghiasi

film – film horor sepanjang zaman.

Pinel dalam bukunya Genres etMouvements Au Cinéma (2006:124),

menyebutkan bahwa film horor adalah film yang penuh dengan eksploitasi

unsur – unsur horor yang bertujuan membangkitkan ketegangan penonton.

106

Genre ini mencakup sejumlah sebugenre dan tema – tema yang terus

berulang, seperti pembunuhan berantai, vampire, zombie dan

sebangsanya, kesurupan, terror makhluk asing, kanibalisme, rumah

angker, dan sebaginya.

Seorang kritikus film Amerika, Charles Derry dalam bukunya Dark

Dreams: A Psychological History of the Modern Horror Film (1977:97)

membagi genre film horor dalam tiga subgenre, yaitu : horror-of-

personality (horor psikologis), horror-of-armageddon (horor bencana),

dan horror-of-the-demonic (horor hantu).

Horor jenis pertama adalah horror-of-personality atau horor

psikologis, yang tidak lagi menjadikan tokoh – tokoh mitos, seperti

vampire, iblis, dan monster sebagai tokoh utamanya. Dalam horor jenis

ini, kita dihadapkan dengan tokoh – tokoh manusia biasa yang tampak

normal, tetapi di akhir film mereka memperlihatkan sisi “iblis” atau

“monster” mereka. Biasanya mereka adalah individu – individu yang

“sakit jiwa” atau terasing secara sosial. Seperti dalam film Psycho karya

Alferd Hitchcock (1960) dan The Silence of the Lamb (1991) adalah dua

figure kuat yang mewakili genre ini.

107

Gambar 2.25a.Poster film Psycho; b.Poster film The Silence of the Lambs

(Sumber : http://www.freemovieposters.net/)

Horror-of-the-armageddon atau horor bencana adalah jenis film horor

yang menganggkat ketakutan laten manusia pada hari akhir dunia, atau

hari kiamat. Manusia percaya bahwa suatu hari dunia akan hancur dan

umat manusia akan binasa. Di dalam film horor bencana ini kehancuran

dunia disebabkan oleh beberapa faktor, seperti peristiwa alam (tabrakan

meteor, tsunami, atau ledakan gunung berapi), serangan makhluk asing,

serangan binatang, atau percampuran semua faktor tersebut.

Gambar 2.26.Poster film 2012

(Sumber : http://www.freemovieposters.net/)

Ketiga, horror-of-the-demonic atau horor hantu yang paling dikenal

dalam dunia perfilman horor. Film horor jenis ini menawarkan tema

tentang dunia (manusia) yang menderita ketakutan karena kekuatan setan

menguasai dunia, dan mengancam kehidupan manusia. Kekuatan setan

108

dapat berupa penampakan sosok spiritual. Seperti dalam Don’t Look Now

(1973) karya Nicolas Roeg, atau dapat pula muncul sosok hantu, penyihir

jahat, iblis, setan, dan sebagainya. Beberapa film yang termasuk dalam

kategori ini adalah Nightmare on Elm Street, Child’s Play, dan Friday

13th

.

Gambar 2.27. Poster film Nightmare on Elm Street

(Sumber : http://www.freemovieposters.net/)

Sebagai sebuah genre, film horor memiliki beberapa formula yang

mencakup seting ruang dan waktu, tokoh, dan alur yang harus dipenuhi.

Will Wright, seorang sineas Amerika independen, dalam tulisannya yang

berjudul Understanding Genres: The Horror Films merinci beberapa

formula genre film horor, sebagai berikut :

a. Tokoh utama biasanya adalah korban yang mengalami terror atau

tokoh pembawa bencana.

b. Tokoh antagonis atau tokoh pembawa kejahatan biasanya terasing

atau tersingkir secara sosial / bukan bagian dari dunia nyata.

c. Dekor ruang relative monoton. Misalnya sebuah rumah, kota

terpencil, rumah sakit. Dekor waktu didominasi malam hari /

suasana gelap.

109

d. Tokoh agama sering dilibatkan untuk menyelesaikan masalah.

e. Hal – hal supranatural / tahayul dipakai untuk menjelaskan

peristiwa – peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara rasional.

f. Tokoh anak biasanya memiliki kekuatan berkat kemurnian jiwa

mereka.

g. Adegan kekerasan fisik sering menjadi warna utama, misalnya

pembunuhan, terror, mutilasi, dan darah.

h. Teknologi sering menjadi salah satu pemicu masalah. Kearifan

lokal dan kedekatan manusia dengan alam justru yang menjadi

penenang.

Gambar 2.28.Genre film horor dan subgenrenya

(Sumber : www.filmsite.org)

Selama beberapa tahun terakhir ini film horor kembali menjadi

primadona di berbagai belahan dunia dengan beragam subgerenya.

Beberapa film horor yang sukses di tahun sebelum – sebelumnya dibuat

sekuelnya atau didaur ulang dengan versi yang lebih segar, meskipun

110

tidak selalu lebih baik / sukses dari pendahulunya. Daur ulang tidak hanya

berlaku untuk film – film Amerika saja, tetapi juga untuk film horor

Jepang seperti The Ring, Dark Water dan The Eye. Film horor

kontemporer juga mulai mengangkat dunia remaja dan dunia kaum muda

urban. Seperti film Scream I, Scream II, Scream III, I Know What You Did

Last Summer, dan The Grudge. Film – film yang disebut terakhir inilah

yang kemudian dianggap sebagai model bagi film – film horor Indonesia

generasi baru.

3. Film Horor Asia

a. Film Horor Jepang

Dalam artikel J Horor dan Kajian tentang Jepang yang ditulis

oleh Dippo, Inuhiko (2008) mengatakan ”Film horor sangatlah

menarik, karena film itu sebenarnya mempresentasikan sisi gelap

suatu masyarakat. Menceritakan tentang hal – hal yang kita takuti

bersama, meski dalam simbol – simbol yang perlu diterjemahkan.

Film horor mewakili ketakutan kolektif kita.”

(jepangindonesia.wordpress.com)

Ross (2007)menyatakan bahwa cerita – cerita Jepang pertama

kali ditulis pada tahun 712 dan 720. Kojiki atau catatan tentang

perkara – perkara kuno, ditulis pada tahun 712. Sementara Nihon Soki,

yang berarti sejarah tentang Jepang ditulis tahun 720. Kojiki memuat

tentang sejarah Jepang yang bersifat supranatural. Hal – hal yang

berkaitan dengan mitologi, kepercayaan, dan pemujaan semua diulas

111

dalam kojiki, sedangkan nihon soki memaparkan tentang silsilah

keturunan orang Jepang da nasal muasal tradisi Jepang yang

bersumber dari sejarah dan legenda Jepang itu sendiri.

Salah satu kepercayaan Jepang yang banyak dituliskan dalam

cerita – ceritanya adalah tentang adanya hantu. Cerita supranatural di

Jepang mengalami kebangkitan pada masa Edo, walaupun cerita –

cerita tersebut sudah ada sejak berabad – berabad sebelumnya. Pada

masa Edo, cerita hantu banyak beredar adalah tentang hantu

perempuan. Pada umumnya, mereka adalah perempuan yang tersiksa

dan tidak mendapatkan perlakuan yang adil semasa hidupnya. Hantu –

hantu perempuan tersebut dikenal dengan sebutan yurei.

Akan tetapi, dunia supranatural tidak hanya menceritakan

tentang hantu perempuan saja. Dalam teater kabuki, hantu laki – laki

menjadi karakter yang populer. Salah satunya adalah hantu sakura

sogor, pahlawan yang diceritakan dalam sandiwara kabuki. Disamping

hantu, masyarakat Jepang juga percaya dengan adanya yokai atau

obake (monster). Mereka merupakan symbol dari sifat buruk dan sisi

gelap yang terdapat pada setiap manusia. Masyrakat Jepang juga

mempercayai keberadaan tengu (jin/setan). Tengu adalah makhluk

gaib yang jahat, bahkan dapat menyebarkan penyakit.

Disebabkan oleh kepercayaan masyarakat Jepang yang kuat

terhadap hal – hal supranatural inilah, tidak heran kalau

ketergantungan masyarakat Jepang terhadap hal – hal gaib tentang

112

hidup seiring dengan pesatnya kemajuan industri di negara tersebut.

Hantu, dewa, hewan gaib, dan makhluk – makhluk supranatural

lainnya masih dipercaya hidup di tengah – tengah masyarakat Jepang

yang serba modern tersebut.

Salah satu perwujudannya tersebut dapat dilihat dalam film –

film buatan Jepang. Contoh yang paling nyata dapat ditemukan dalam

film horor Jepang. Ringu, Chakusin Ari, dan Kairo adalah contoh –

contoh film yang menggabungkan Jepang sebagai negara yang percaya

dengan kekuatan supranatural dengan Jepang sebagai negara yang

maju pesat dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi.

Gambar 2.29. a.Poster film The Ring; b.Poster film Chakusin Ari

(Sumber : http://www.freemovieposters.net/)

J-Horor (Japanese Horor) adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan sejumlah film bergenre horor yang berasal dari

Jepang. Istilah ini digunakan terutama untuk film – film horor Jepang

yang diproduksi dari mulai keluarnya film horor yang di produseri

oleh Hideo Nakata dengan judulRingu (1998). Bahkan bisa dikatakan

Ringu adalah film pertama yang menyandang predikat J-Horor.Setelah

113

itu mulai bermuculan j-horor lainnya, seperti Ju-On, Sadako, dan

Kuroyuri Danchi yang merupakan salah satu film J-Horor yang

ditayangkan di International Film Festival di Rotterdam, Belanda.

Gambar 2.30. a.Poster film Ju-On 3; b.Poster film Sadako; c. Poster film

Kuroyuri Danchi

(Sumber : http://www.freemovieposters.net/))

b. Film Horor Indonesia

Di Indonesia, genre film horor juga telah hadir sejak lama. Berbeda

dengan masyrakat Eropa dan Amerika yang cenderung lebih rasional,

masyrakat Indonesia sangat dekat dengan dunia supranatural. Mengingat

dunia supranatural, tahayul, dan cerita – cerita hantu menjadi bagian yang

terpisahkan dalam kehidupan masyarakatnya, maka sangat masuk akal

apabila genre ini tumbuh subur dan disukai.

Ada dua film yang sering disebut sebgai film horor Indonesia pertama.

Tercatat Tengkorak Hidoep(1941) karya Tan Tjoei Hock dan Lisakarya

M.Shariefuddin yang diproduksi tahun 1971 yang menjadi peletak dasar

genre horor di Indonesia. Tengkorak Hidoep menampilkan sebuah horror

of the demonic, sedangkan Lisa merupakan sebuah horror of the

personality. Menurut Adi Wicaksono & Nurrudin Asyhadi (2006:3),

114

perkembangan film horor Indonesia merupakan pertarungan dua jenis

horor tersebut, antara film horor psikologis dan film horor hantu. Sejarah

membuktikan bahwa subgenre horor hantu lebih manarik. Terbukti bahwa

film Tengkorak Hidoep lebih banyak ditonton dibanding film Lisa.

Beberapa tahun setelah Lisa diproduksi muncul film horor psikologis lain

yang berjudul Pemburu Mayat (1972), pada saat yang bersamaan muncul

film – film seperti Beranak dalam Kubur (1971). Film Beranak dalam

Kubur bahkan menandai kelahiran “sang ratu” abadi film horor Indonesia,

Suzanna, yang kemudia merajai dunia horor di Indonesia era tahun 70-

80an.Di era 1980an tercatat ada 69 film bergenre horor yang diproduksi.

Pada masa itu hantu menjadi film favorit penonton, bahkan film Ratu

Pantai Selatan (1980) dianugrahi penghargaan piala LPKJ pada FFI 1981.

Gambar 2.31.a.Poster film Lisa; b.Poster film Beranak dalam Kubur

(Sumber : http://www.filmindonesia.or.id)

Memasuki tahun 2000an, film horor Indonesia memulai era baru.

Kebangkitan film horor di Indonesia dimulai lagi ketika Jose Purnomo dan

Rizal Mantovani merilis film Jelangkung (2001). Film Jelangkung

memberi sentuhan yang berbeda dengan mengandalkan kekuatannya

dalam fotografi, editing, dan suara. Film ini menandai kembalinya

115

penonton ke bioskop – bioskop. Pada Festival Film Bandung 2002, film

Jelangkung mendapatkan penghargaan terpuji untuk efek khusus. Seperti

halnya Jelangkung, film – film horor era baru yang menyerbu penonton

Indonesia tidak lagi bergantung pada legenda – leganda tradisional, seperti

Nyai Roro Kidul / Nyai Blorong. Sebagian besar film, menghadirkan

karakter – karakter remaja dan lingkungan perkotaan yang sebelumnya

tidak pernah disentuh oleh film horor Indonesia. gelombang film horor

internasional sangat mempengaruhi film horor Indonesia baru. Film

Jelangkung ini juga dipengaruhi film – film horor Jepang. Karakter –

karakter remaja dan kehidupan urban dalam film horor semakin merebak,

melalui film Jelangkung ini pula istilah legenda urban mulai memasuki

wacana perfilman Indonesia, khusunya film bergenre horor.

Selain tema legenda urban, film – film horor Indonesia banyak

didominasi oleh dua sosok hantu yang menarik minat penonton. Kedua

sosok hantu ini dianggap sosok yang paling menakutkan bagi penonton

Indonesia. hal itu terlihat dari judul – judul film yang sebagian besar

mengeksploitasi dua hantu tersebut, yaitu hantu pocong dan kuntilanak. Di

antara dua jenis hantu tersebut, kuntilanak telah dikenal lebih luas dan

menjadi sosok hantu yang sering muncul di film – film Indonesia.

Sedangkan hantu pocong adalah hantu orang mati yang hidup kembali

dengan masih menggunkan kain kafan yang membungkus mayatnya. Jenis

hantu ini sebelumnya telah dapat dilihat dalam beberapa adegan film horor

116

era Suzanna, tetapi masih sebagai hantu “peran pembatu” dan biasanya

tidak lepas dari dekor tanah kuburan yang menjadi tempat tinggalnya.

Sejak Rudi Soedjarwo membuat film berjudul Pocong (2006), yang

diikuti dengan Pocong 2 (2006), dan Pocong 3 (2007), maka dengan

segera sosok pocong menjadi salah satu hantu yang paling banyak muncul

dalam film – film horor Indonesia. Sebut saja Pocong vs Kuntilanak

(2009), Tali Pocong Perawan (2008), 40 Hari Pembalasan Hantu Pocong

(2008), Pocong Kamar Sebelah (2009), dan masih banyak lainnya. Hingga

tahun 2009, film – film yang menampilkan hantu jenis ini masih terus

diproduksi.

Sejak tahun 2003 produksi film horor Indonesia meningkat tiap

tahunnya. Berikut ini grafik yang menunjukkan jumlah produksi filom

horor Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2013.

Gambar 2.32.Jumlah produksi film horor Indonesia tahun 2001-2013

(Sumber : http://www.filmindonesia.or.id)

Dari data di atas bisa dilihat bahwa film horor Indonesia mengalami

lonjakan secara drastis dalam hal jumlah baru di tahun 2007 yaitu

sebanyak 23 film dari tahun sebelumnya hanya 9 film. Data ini bisa

117

diartikan bahwa pada tahun 2007 inilah posisi film horor semakin mapan

setidaknya sebagai komoditi bisnis. Kepopuleran film – film horor

sebelumnya mampu meyakinkan para produser untuk lebih banyak lagi

membuat film sejenis.Sebagai sebuah genre, film horor termasuk populer

dan sangat mewrnai perfilman Indonesia. indikasinya terlihat dari

maraknya produksi film horor dan banyaknya jumlah penonton film horor

dibanding film dengan genre lain.

“Jelangkung..Jelangkung…Datang tak dijemput, pulang tak diantar..”,

penggalan kalimat tersebut tiba – tiba menjadi populer di kalangan remaja

pada tahun 2001, tepatnya sejak kehadiran film Jelangkung. Film ini

mendapat apresiasi baik dari penonton maupun sesame sineas film.

Terobaran kedua sutradaranya dari segi teknik fotografi, editing, dan suara

film pada Jelankung memberikan pengalaman yang berbeda dalam dunia

perfilman horor Indonesia. Film Jelangkung juga sempat meramaikan

kembali gedung – gedung bioskop yang sempat mati suri. Pada tahun

2002 film Jelangkung mendapatkan perhargaan dalam Festival Film

Bandung untuk kategori efek terbaik.Sebagai film horor pertama yang

muncul pascareformasi, film Jelangkung menjadi titik balik tren tematik

film horor Indonesia, yaitu urban legend.

118

Gambar 2.33. Poster film Jelangkung

(Sumber : http://www.filmindonesia.or.id)

Meskipun horor selalu identik dengan sosok hantu yang

menyeramkan, ada juga sub-genre thriller yang tujuannya memberikan

ketegangan emosi penonton. Kehadiran thriller sebagai alternative horor

menjadi obat kejenuhan penonton terhadap film horor setan, horor

komedi, dan horor seks. Sebagian besar film thriller Indonesia justru

memiliki nilai produksi atau kualitas film yang lebih baik ketimbang horor

konvensional. Alur ceritanyapun tidak melibatkan hal – hal supranatural,

tetapi lebi rasional. Seperti film Kala (2007), Pintu Terlarang (2009),

Rumah Dara (2010), Modus Anomali (2012), Hi5teria (2012).

Gambar 2.34. a.Poster film Kala; b.Poster film Rumah Dara; c.Poster film

Modus Anomali

(Sumber : http://www.filmindonesia.or.id)

119

F. TINJAUAN KOTA JAKARTA

Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), adalah ibu kota negara

Indonesia. Jakarta merupakan satu – satunya kota di Indonesia yang memiliki

status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa.

Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km², dengan penduduk berjumlah

9.588.198 jiwa (2010). Jakarta juga merupakan metropolitan terbesar di

Indonesia atau urutan keenam dunia.

Gambar 2.35.Peta Kota Jakarta

(Sumber : http://www.jakarta.go.id/)

1. Keadaan Geografi

Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ciliwung,

Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata –

rata 8 meter dpl. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir.

Sebelah selatan Jakarta merupakan daerah pegunungan dengan curah

hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke

Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah

kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan

120

provinsi Jawa Barat dan di sbelah barat berbatasan dengan provinsi

Banten.

2. Iklim

Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim

tropis. Terletak dibagian barat Indonesia, jakarta mengalami puncak

musim penghujan pada bulan Januari dan Februari dengan rata – rata

curah hujan 350 milimeter dengan suhu rata – rata 27°C. curah hujan

antara bulan Januari dan awal Februari sangat tinggi, pada saat itulah

Jakarta dilanda banjir setiap tahunnya, dan puncak musim kemarau pada

bulan Agustus dengan rata – rata curah hujan 60 milimeter. Bulan

September dan awal Oktober adalah hari – hari sangat panas di Jakarta,

suhu udara dapat mencapai 40°C. suhu rata – rata tahunan berkisar 25°-

38°C (77°-100°F).

3. Pemerintahan

Dasar hukum bagi DKI Jakarta adalah Undang – Undang Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 2007, tentang Pemerintahan Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia. UU ini menggantikan UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik

Indonesia Jakarta, serta UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan

Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta,

yang keduanya tidak berlaku lagi.

121

Jakarta berstatus setingkat provinsi dan dipimpin oleh seorang

gubernur. Berbeda dengan provinsi lainnya, Jakarta hanya memiliki

pembagian di bawahnya berupa kota administratif dan kabupaten

administratif, yang berarti memiliki perwakilan rakyat tersendiri.