bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id sistem, pendekatan sistem, dan model ... (198 1) ada...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistem, Pendekatan Sistem, dan Model
2.1.1 Sistem
Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977). Sedangkan,
Marimin (2004) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri
atas bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam
suatu lingkungan yang kompleks. Selanjutnya, Chechland (1981) menyatakan
bahwa sistem merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling
berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas:
komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut:
(1) komponen adalah merupakan bagian-bagian sistem yang terdiri atas input,
proses dan output. Setiap komponen sistem mengasumsikan berbagai nilai untuk
menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau
lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen,
komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian
komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah
sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem.
Atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, dan
(3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut.
Menurut Chechland (1981) ada beberapa persyaratan dalam berpikir sistem
(system thinking) diantaranya (1) Holistik, system thinkers harus berpikir holistik
10
tidak reduksionis. Yang dimaksud holistik di sini adalah tidak mereduksionis
permasalahan kepada bagian yang lebih kecil (segmentasi) atau tidak hanya
berpikir secara parsial dari sudut pandang mono disiplin tapi harus interdisiplin;
(2) Sibernetik (goal oriented), system thinkers harus mulai dengan berorientasi
tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented).
Jadi mulai dengan tujuannya apa, kemudian identifikasi masalah yaitu gap antara
tujuan (kondisi informatif) dengan keadaan aktual baru problem solving; dan
(3) Efektif, dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen di
mana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang
dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan
efisien.
Menurut Muhammadi et al (2001) untuk berfikir sistem (system thinkers)
syaratnya adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu
kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Kejadian apapun baik fisik
maupun non fisik dilihat secara keseluruhan sebagai interaksi antar unsur sistem
dalam batas lingkungan tertentu. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif
dibanding efisien. Jadi ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan
lebih baik lagi bila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien.
2.1.2 Pendekatan sistem
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya
pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen.
Dengan cara ini dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan
11
keberhasilan suatu organisasi atau sistem. Pendekatan sistem dapat memberi
landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab
ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin, 2004).
Saat ini dalam dunia nyata banyak permasalahan yang kompleks dan
beragam sehingga penyelesaiannya tidak mungkin dapat berhasil diselesaikan
oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
sistem (System Approach). Dalam teori sistem dinyatakan bahwa kesisteman
adalah suatu meta disiplin, dimana proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan
pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh dan Carnavayal dalam
Eriyatno, 1999).
Keutamaan pendekatan sistem adalah dapat menyelesaikan permasalahan
yang kompleks yang sulit diselesaikan dengan pendekatan lainnya. Seperti
dinyatakan oleh Chechland (1981) bahwa system thinking muncul akibat dari
reaksi terhadap ketidakmampuan natural science dalam memecahkan
permasalahan dunia nyata yang kompleks. Selanjutnya, Manetsch dan Park (1977)
berpendapat bahwa untuk permasalahan multidisiplin yang komplek pendekatan
sistem memberikan penyelesaian masalah dengan baik. Persoalan yang
diselesaikan dengan pendekatan sistem umumnya persoalan yang memenuhi
karakteristik: (1) Kompleks, di mana interaksi antar elemen cukup rumit,
persoalan menyangkut multidisiplin dan multifaktor; (2) Dinamis, dalam arti,
faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan;
dan (3) Stokastik, yaitu diperlukannya fungsi peluang (probabilistik) dalam
12
inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
Menurut Eriyatno (1999) dalam metodologi sistem ada enam tahap analisis
sebelum tahap sintesa atau rekayasa, yaitu: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi
sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi
dari realisasi fisik, social, dan politik, dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan
keuangan. Tahap ke satu sampai dengan ke enam umumnya dilakukan dalam satu
kesatuan kerja yang dikenal sebagai analisis sistem.
2.1.3 Model
Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata
yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu
(Manetsch dan Park, 1977). Menurut Eriyatno (1999) model merupakan suatu
abstraksi dari realitas, yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun
tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat
dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji.
Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan
evaluasi kebijakan yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan
memformulasikan kebijakan (Tasrif, 2004). Model dikelompokkan menjadi tiga
tipe yaitu model kuantitatif, kualitatif, dan ikonik (Muhammadi et al, 2001).
Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik, statistik atau
komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau
matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model kualitatif tidak
digunakan rumus matematik, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model
yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan meskipun
13
skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Menurut Manetsch dan Park (1977)
model diklasifikasikan menjadi dua yaitu model makro dan model mikro, yang
ada kaitannya dengan derajad agregasinya.
Membangun model umum (generic model) dimulai dengan menyusun
elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis.
Kemudian mengidentifikasi gejala sampai menghasilkan sruktur permasalahan
untuk analisis kebijakan. Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa untuk
menghasilkan model yang bersifat sistemik ada beberapa langkah yang harus
ditempuh yaitu: (1) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata,
(2) identifikasi kejadian yang diinginkan, (3) identifikasi kesenjangan antara
kenyataan dengan keinginan, (4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan, dan
(5) analisis kebijakan. Dalam simulasi model setiap gejala dalam proses dapat
distrukturkan ke dalam kategori atau kombinasi kategori tertentu seperti level,
rate, auxilliary, constanta, flow, serta fungsi fungsi tertentu seperti delay, step,
pulse, graph, if , table, dan timecycle.
Perilaku dinamis dalam model ini dapat dikenali dari hasil simulasi model.
Simulasi model itu sendiri terdiri dari beberapa tahap yaitu: penyusunan konsep,
pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi (Eriyatno, 1999).
Selanjutnya, dikatakan bahwa validasi hasil simulasi bertujuan untuk mengetahui
kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model
dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap
gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang
sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses
14
serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi
pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.
Validasi juga memberikan keyakinan sejauh mana model dapat dipertanggung
jawabkan dalam analisis kebijakan untuk pemecahan masalah.
2.1.4 Pemodelan dinamik
Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model
didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi.
Sistem yang dibatasi ini merupakan sistem yang meliputi semua konsep dan
variabel yang saling berhubungan dengan permasalahan dinamik (dynamic
problem) yang ditentukan (Richardson dan Pugh, 1986).
Forrester (1961) menyatakan bahwa model yang dikembangkan dengan
sistem dinamik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Menggambarkan hubungan sebab akibat dari sistem
b. Sederhana dalam mathematichal nature
c. Sinonim dengan terminology dunia industry, ekonomi, dan sosial dalam
tatanama, dan
d. Dapat melibatkan perubahan yang tidak kontinyu jika dalam keputusan
memang dibutuhkan.
Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) atau
perancangan kebijaksanaan. Berbeda dengan model statis, pendekatan model
dinamik bersifat deduktif dan mampu menghilangkan kelemahan-kelemahan
dalam asumsi-asumsi yang dibuat sehingga kesepakatan atas asumsi-asumsi dapat
15
diperoleh. Model dinamik menekankan pada proses perubahan dari satu kondisi
ke kondisi lainnya. Karena perubahan memakan waktu, delay memjadi hal
penting dalam pemodelan dinamik. Apabila dalam model statis tingkat variabel
keadaan dan kelakuan sistem yang lalu menentukan tingkat stok dan kelakuan
sistem sekarang, maka dalam model sistem dinamik hubungan temporal hanya
berlaku untuk tingkat stok saja dan tidak untuk kelakuan sistem. Kelakuan sistem
pada saat sekarang tidak dapat diterangkan oleh kelakuannya pada waktu yang
lalu, melainkan oleh mekanisme interaksi struktur mikro dalam system
(Tasrif, 1993).
Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa penyusunan model dinamik
mengalami tiga tingkatan alternatif yaitu:
a. Verbal
Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata.
b. Visual (analog model kualitatif)
Deskripsi visual dinyatakan secara diagram dan menunjukkan hubungan sebab
akibat banyak variabel dalam keadaan sederhana dan jelas. Analisis deskripsi
visual dilakukan secara kualitatif.
c. Matematis
Model visual dapat direpresentasikan ke dalam bentuk matematis yang merupakan
perhitungan-perhitungan terhadap suatu sistem. Semua bentuk perhitungannya
bersifat ekuivalen, yang mana setiap bentuk berperan sebagai alat bantu untuk
dimengerti bagi yang awam.
16
Permasalahan dalam sistem dinamik dilihat tidak disebabkan oleh pengaruh
dari luar namum dianggap disebabkan oleh struktur internal sistem. Tujuan
metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi kausal (sebab akibat) adalah
mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang tata cara kerja suatu system
(Asyiawati, 2002). Tahapan dalam pendekatan system dinamik adalah:
a. Identifikasi dan definisi masalah
b. Konseptualisasi sistem
c. Formulasi model
d. Simulasi model
e. Analisis kebijakan
f. Implementasi kebijakan.
Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri dengan
pemahaman sistem dan permasalahannya sehingga membentuk suatu lingkar
tertutup. Proses dari pendekatan sistem dinamik dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Pendefinisian masalah merupakan tahap yang sangat penting dilakukan
untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan sistem perlu dilakukan. Tahap
selanjutnya adalah merupakan tujuan dan batas permasalahan dari sistem yang
akan dimodelkan. Batas sistem menyatakan komponen-komponen yang termasuk
dan tidak termasuk dalam pemodelan sistem. Batas sistem ini meliputi kegiatan-
kegiatan di dalam sistem sehingga perilaku yang dipelajari timbul karena interaksi
dari komponen-komponen di dalam sistem (Purnomo, 2003).
17
Implementasimodel
Pemahamansistem
Analisis IdentifikasiKebijakan masalah
Simulasi Konseptualisasimodel sistem
Formulasi model
Sumber: Widayani (1999)Gambar 2.1
Tahapan Pendekatan Sistem Dinamik
Selanjutnya, konseptualisasi model dilakukan atas dasar permasalahan yang
didefinisikan. Ini dimulai dengan identifikasi komponen atau variabel yang
terlibat dalam pemodelan. Variabel-variabel tersebut kemudian dicari
interrelasinya satu sama lain dengan menggunakan ragam metode seperti diagram
sebab akibat (causal), diagram kotak panah (stock and flow), dan diagram sekuens
(aliran). Konseptualisasi model ini memberikan kemudahan bagi pembaca agar
dapat mengikuti pola pikir yang tertuang dalam model sehingga menimbulkan
pemahaman yang lebih mendalam atas sistem (Purnomo, 2003).
18
Pada tahap formulasi (spesifikasi) model dilakukan perumusan makna yang
sebenarnya dari setiap relasi yang ada dalam model konseptual, ini dilakukan
dengan memasukkan data kuantitatif ke dalam diagram model. Spesifikasi model
dilakukan terhadap model variabel-variabel yang saling berhubungan dalam
diagram. Pemodel dapat menentukan nilai parameter dan melakukan percobaan-
percobaan terhadap pengembangan model dengan mengkomunikasikan kepada
aktor-aktor yang terlibat. Dalam hal ini, model diformulasikan dengan
persamaan matematik (Purnomo, 2003).
Pada prinsipnya, model sistem dinamik dapat dinyatakan dan dipecahkan
secara numerik dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat lunak khusus
untuk sistem dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo, Stella, Powersim,
Vensim, Ithink, dan lain-lain. Pemilihan Powersim sebagai perangkat lunak untuk
simulasi model adalah karena kemudahan dan kecanggihannya yang terus
berkembang. Dalam Powersim, model kualitatif disajikan dalam bentuk grafik
dari satu atau lebih variabel terhadap waktu. Pada model yang telah dibuat, data
kuantitatif berupa data, informasi dimasukkan dengan mengklik variabel-variabel
yang tersedia seperti level, rate, auxiliary, dan konstanta dan kemudian
nilai/formula dimasukkan ke dalam variabel-veriabel tersebut. Selanjutnya,
metode numerik dan time step dapat dipilih untuk mengkalkulasi model
(Muhammadi et al. 2001).
Tahap selanjutnya adalah melakukan simulasi terhadap model dan
melakukan validasi model yang juga akan menimbulkan umpan balik terhadap
permasalahan sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) simulasi model
19
dilakukan untuk memahami gejala atau proses sistem, membuat analisis dan
peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Sedangkan validasi
model dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala
atau proses yang ditirukan. Hasil validasi ini kemudian akan menimbulkan proses
perbaikan dan reformulasi model. Akhirnya dilakukan analisis kebijakan pada
model yang telah valid dan ini akan menambah pemahaman sistem.
2.2 Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan yang dikemukakan para ilmuwan atau lembaga
internasional bervariasi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “situasi dimana setiap orang pada
setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang cukup,
aman dan bergizi untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan seleranya
bagi kehidupan yang aktif dan sehat“. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Riely et al. (1999, dalam Dharmawan dan Kinseng, 2006) di mana
ketahanan pangan dirumuskan sebagai “access for all people at all times to
enough food for an active and healty life”. Hal penting dari kedua konsep di atas
adalah ketersediaan pangan sepanjang waktu, sehingga dalam pembahasan
ketahanan pangan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai pola produksi
dan distribusi di suatu daerah serta sistem komunitas yang memanfaatkan sumber
pangan tersebut.
Ketahanan pangan berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang pangan
diartikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
20
aman, merata dan terjangkau”. Pengertian mengenai ketahanan pangan di atas
secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan
Pangan, 2001), yaitu : (1) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang
cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas yang bermanfaat
bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (2) terpenuhinya pangan dengan kondisi
yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman
dari kaidah agama, (3) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata,
diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air,
dan (4) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah
diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Agak berbeda dengan pandangan sebelumnya, Maxwell dan Timothy (1992)
memberikan batasan ketahanan pangan dengan menggunakan tolok ukur dimensi
spasial dan temporal sebagai faktor pembeda, yang dideskripsikan melalui dua
situasi kerawanan pangan yaitu: (1) kerawanan pangan kronis (Chronic food in
security: the inability of the people to meet food needs on going basis) dan (2)
kerawanan pangan sementara atau transien (Transitory food insecurity: When the
inability to meet food needs is temporary). Kerawanan pangan terjadi apabila
rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan
pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan
kesehatan para individu anggotanya.
Kerawanan pangan kronis (terus menerus) biasanya sering terjadi pada
kawasan yang kurang menguntungkan secara ekologis, kawasan terpencil atau
21
terisolasi, kawasan yang ekologisnya rusak dan terancam, sehingga bencana
kelaparan berlangsung secara berulang, biasanya kerawanan pangan seperti ini
terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, keterisolasian, ketidak
berdayaan dalam mengontrol sumberdaya dan mengakses sumber pangan.
Kerawanan pangan yang terjadi terus menerus seperti ini akan berdampak pada
penurunan status gizi dan kesehatan. Sedangkan, kerawanan pangan sementara
(transien) terbagi pada dua tipe yaitu (1) kerawanan pangan yang bersifat
sementara, yang akan segera menghilang setelah faktor-faktor pengaruhnya dapat
diatasi dan (2) kerawanan pangan yang bersifat siklikal, yang bergerak menguat
dan melemah sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan faktor- faktor
eksternal yang ada.
Konsep ketahanan pangan (food security) berkaitan dengan beberapa konsep
turunannya yaitu kemandirian pangan (food resilience) dan kedaulatan pangan
(food sovereignty). Di mana pengertian ketiganya sering dipertukarkan dalam
penggunaannya (Dharmawan dan Kinseng, 2006). Kemandirian pangan
menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasional) untuk memenuhi kebutuhan
pangannya secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar proporsi pangan
dan bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan tersebut,
maka semakin berkurang kemandiriannya dalam penyediaan pangan dan
sebaliknya. Kemandirian pangan yang rendah juga ditunjukan oleh lemahnya
kapasitas kawasan (nasional) untuk menyediakan pangan melalui usaha-usaha
mandiri tanpa bantuan pihak lain. Sedangkan, kedaulatan pangan seperti pada
kemandirian pangan tetapi dengan mengaitkan pada penguasaan atas sumber
22
pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi
penguasaan sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu dan
keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, semakin tinggi derajat
kedaulatan pangannya. Sebuah sistem pangan dari suatu kawasan yang berdaulat
berarti sistem tersebut telah melalui tahapan kemandirian pangan.
Saad (1999) menyatakan indikator ketahanan pangan dipengaruhi oleh tiga
komponen yaitu: (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) akses pangan
(food access) dan pemanfaatan pangan (food utilization) yang saling berkaitan
membentuk suatu sistem. Ketersediaan pangan tergantung pada sumberdaya
(alam, manusia, fisik) dan produksi (usahatani dan non usahatani). Aksessibilitas
pangan tergantung pada pendapatan (usahatani dan non usahatani), produksi dan
konsumsi. Sedangkan, pemanfaatan pangan sangat tergantung pada nutrisi yang
dapat dimanfaatkan oleh anak maupun dewasa. Ketahanan pangan di suatu
daerah atau wilayah dapat dilihat dari berbagai indikator, indikator ketahanan
pangan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Peningkatan ketahanan pangan seperti yang tertulis di dalam GBHN 1999-
2004 sebaiknya dilaksanakan dengan berbasis sumber daya pangan, kelembagaan
dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan para pelaku usaha skala
kecil, dengan pengaturan yang didasari Undang-Undang. Hal ini mengisyaratkan
bahwa kebutuhan pangan sejauh mungkin harus dapat dipenuhi dari produksi
dalam negeri, dengan mengandalkan keunggulan sumberdaya, kelembagaan,
budaya, termasuk kebiasaan makan, yang beragam di masing- masing daerah.
Selanjutnya, disebutkan juga pentingnya aspek pengembangan usaha bisnis
23
pangan dan pengembangan kelembagaan pangan yang dapat menjamin
keanekaragaman produksi, penyediaan dan konsumsi pangan serta menjamin
penyediaan gizi bagi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan mengandung
makna makro maupun mikro. Makna makro terkait dengan penyediaan pangan di
seluruh wilayah setiap saat, sedangkan makna mikro terkait dengan kemampuan
rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan dan gizi sesuai kebutuhan
dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Sehingga ketahanan
pangan sangat terkait pada individu, keluarga, masyarakat, wilayah hingga tingkat
nasional.
Komitmen nasional maupun dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan
didasarkan atas peran strategis perwujudan ketahanan pangan dalam:
(1) memenuhi salah satu hak azasi manusia; (2) membangun kualitas sumber
daya manusia; dan (3) membangun salah satu pilar bagi ketahanan nasional
(Nurmalina, 2007).
Ketahanan pangan juga merupakan salah satu pilar bagi pembangunan
sektor-sektor lainnya karena tidak satupun negara dapat membangun
perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan masalah pangannya.
Ketidaktahanan atau kerawanan pangan sangat berpotensi memicu
kerawanan sosial, politik maupun keamanan. Kondisi demikian tidak menunjang
pelaksanaan program pembangunan secara keseluruhan, yang berarti ketahanan
nasional tidak mungkin terwujud.
24
Sumber : Saad (1999)Gambar 2.2
Indikator Ketahanan Pangan
2.3 Konsumsi dan Ketersediaan Beras
Stabilitas pasokan pangan terutama beras sangat penting peranannya dalam
pemenuhan konsumsi masyarakat. Cadangan beras merupakan komponen yang
KetersediaanPangan
AksessibilitasPangan
PengembanganPangan
IndikatorKategori
Sumberdaya
Alam :1.Curah hujan2.Kualitas tanah3.Ketersediaan air4.Sumber daya
hutan5.Aksessibilitas
ikan
Fisik :1. Infrastruktur2.Kepemilikan
hewan3.Kepemilikan alat
pertanian4.Kepemilikan
lahan5.Aset fisik lainnya
Manusia :1.Pendidikan2.Tingkat buta
huruf3.Rasio
ketergantungan4.Anggota RT5.Umur anggota RT6.Gender of
household
IndikatorKategori
Produksi
1.Total arealtanam
2.Areal irigsi3.Areal yang
belum ditanami4.Aksessibilitas
padapenggunaaninput
5.Produktifitastanamansemusim
6.Crop diversity7.Produksi8.Jumlah
pendapatan diluar usahatani
9.Cottageindustryproduction
10. Genderdivision oflabour
IndikatorKategori
Pendapatan
1.Totalpendapatan
2.Pendapatan dariusahatani(tanaman danternak)
3.Upah tenagakerja
4.Pendapatanmigrasi
5.Pasar
IndikatorKategori
Konsumsi
1.Pengeluarantotal
2.Harga pangan3.Harga non
pangan4.Frekuensi
makan5.Dietary intake
IndikatorKategori
Nutrisi
1.Tingaktmortalitas
2.Tingkatmorbedetas
3.Tingkatkesuburan
4.Akses fasilitaskesehatan
5.Akses padasanitasi
6.Akses padasanitasi yangmemadai
Sumberdaya :AlamFisikManusia
Produksi :UsahataniNon usahatani
Pendapatan :UsahataniNon usahatani
Konsumsi :PanganNon pangan
Nutrisi :Anak-anakDewasa
25
sangat penting dalam penyediaan pangan. Informasi mengenai stok beras ini
sangat penting untuk mengetahui situasi ketahanan pangan, baik di tingkat rumah
tangga, kabupaten, wilayah maupun nasional. Informasi stok beras pemerintah
relatif lebih mudah diperoleh karena penyelenggaranya adalah instansi
pemerintah (Dolog). Namun demikian, informasi mengenai stok beras di
masyarakat lebih sulit diperoleh dan data stok ini tidak tersedia secara rutin
(Pudjadi dan Harisno, 2007).
Di sisi lain, data stok ini sangat dibutuhkan dalam penentuan kebijakan
sector pertanian karena menyangkut ketersediaan beras dalam suatu wilayah.
Konsumsi merupakan faktor yang sangat penting dalam menghitung kebutuhan
beras di suatu wilayah baik tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Data
konsumsi beras per kapita sampai saat ini sangat variatif, tergantung kepada
masing-masing instansi pemerintah yang berkepentingan kepada data tersebut.
Data produksi selama ini telah dikumpulkan oleh BPS dan
Departemen/Kementerian Pertanian. Untuk menghitung ketersediaan beras di
suatu wilayah diperlukan data produksi dan perdagangan (impor dan ekspor serta
data antar pulau). Untuk menghitung kebutuhan beras diperlukan data konsumsi.
Selisih antara ketersediaan dan kebutuhan merupakan stok. Besarnya stok perlu
diuji sehingga perlu survei stok yang selanjutnya diolah menjadi model stok
(Sugianto et al. 2002).
Informasi ketersediaan dan kebutuhan beras yang dihitung dari konsumsi
dan stok beras sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan apakah harus
melakukan impor atau tidak, apakah harus mendatangkan beras dari wilayah lain
26
atau tidak, apakah cadangan beras mencukupi dan haarga terjangkau. Untuk dapat
menjawab permasalahan tersebut maka diperlukan survei stok dan konsumsi
gabah/beras di suatu wilayah. Konsumsi beras per kapita berdasarkan Susenas
2012 adalah sebesar 1.716 kg/kapita/minggu atau 89,48 kg/kapita/tahun. Nilai
tersebut hanya konsumsi rumah tangga, belum termasuk konsumsi di luar rumah
tangga, seperti makanan yang dibeli dari luar dan tidak diolah di rumah.
Perhitungan kebutuhan beras memerlukan data konsumsi langsung yaitu data
konsumsi yang berasal dari rumah tangga dan dari luar rumah tangga (Pudjadi dan
Harisno, 2007).
2.4 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian tentang penyediaan dan konsumsi beras nasional telah
dilakukan, namun sebagian besar dilakukan dengan pendekatan ekonometrika,
dan tidak terintegrasi dengan lingkungan. Beberapa penelitian yang berhubungan
dengan penyediaan dan konsumsi beras diantaranya sebagai berikut :
Mulyana (1998) melakukan penelitian mengenai “Keragaan Penawaran dan
Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan
Bebas. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan meramalkan masa depan
swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral,
multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan
beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik. Peneliti menggunakan
Analisis Model Ekonometrika penawaran dan permintaan beras di pasar domestik
dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima wilayah yaitu Jawa dan
Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia, sedangkan
27
permintaannya secara agregat nasional.
Hasil pendugaan model Mulyana (1998) menunjukkan bahwa secara
regional areal sawah di Jawa dan Bali telah mencapai kondisi closing cultivation
frontier, yaitu mencapai batas maksimal lahan subur yang layak untuk areal sawah
akibat meningkatnya kompetisi penggunaan lahan. Karena itu respon areal padi
terhadap harga gabah di Jawa dan Bali lebih inelastis dibandingkan wilayah
lainnya. Faktor lain yang berpengaruh pada areal padi di seluruh wilayah adalah
curah hujan, areal irigasi, kinerja penyuluhan, target program produksi dan
konversi lahan sawah di Jawa dan Bali.
Secara umum hasil simulasi model Mulyana (1998) menunjukkan bahwa
penerapan alternatif kebijakan yang seragam secara nasional tidak selalu direspon
dengan arah yang sama oleh komponen penawaran beras di setiap wilayah dan
dapat berbeda dampaknya tehadap kesejahteraan petani. Implikasi penting dari
hal itu adalah diperlukan penerapan kebijakan dan perbaikan kesejahteraan petani
sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada beras periode 1984 sd
1996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan harga dasar 15,38 persen,
menambah areal irigasi 3,61 persen, menambah areal intensifikasi 5,25 persen
atau mendevaluasi rupiah 100 persen namun dampaknya berlawanan bagi
perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu diperlukan kombinasi
kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras sekaligus
meningkatkan kesejahteraan petani dan konsumen.
Hasil peramalan Mulyana (1998) tanpa alternatif kebijakan menunjukkan
bahwa kontribusi wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan
28
meningkat dalam produksi beras pada masa mendatang sedangkan peranan
wilayah Jawa dan Bali berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan liberalisasi perdagangan. Indonesia diperkirakan akan
berswasembada beras secara absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras
mulai tahun 2013. Tampak bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup
prospektif.
Untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan, Mulyana
(1998) merekomendasikan untuk meningkatkan areal sawah irigasi dan
intensifikasi di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan
memperbaiki efisiensi biaya dan teknologi usahatani padi sesuai dengan
spesifikasi wilayah, perlu diefektifkan kebijakan harga dasar yang didukung
dengan peningkatkan pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi pemasaran
beras dalam dan antar wilayah, meningkatkan teknologi penyimpanan
beras/gabah. Sistem operasi pasar beras masih tetap diperlukan dalam jangka
pendek. Karena itu peran pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog masih perlu
dipertahankan dalam jangka pendek.
Rachman (2001) melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Pola
Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)”. Data
yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun1996
yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi
beras terlihat mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat secara
keseluruhan, menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan, walaupun
konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI masih rendah dibandingkan
29
Nasional.
Hasil analisis Rachman (2001) menunjukan bahwa proyeksi produksi beras
pada tahun 2005 berdasarkan data time series dari tahun 1997-2001 adalah sebesar
28,47 juta ton, kemudian tahun 2010 sebesar 28,53 juta ton dan pada tahun 2015
adalah sebesar 28,59 juta ton. Proyeksi konsumsi beras tahun 2005 dan 2010
berdasarkan standar kecukupan gizi adalah masing-masing sebesar
116,80 kg/kapita/tahun dan 113,15 kg/kapita/tahun. Sedangkan konsumsi beras
tahun 2015 berdasarkan standar kecukupan gizi adalah 109,5 kg/kapita/tahun,
sehingga proyeksi kebutuhan konsumsi beras nasional pada tahun 2005, 2010 dan
2015 menurut standar kecukupan gizi diperkirakan adalah sebesar 26,06 juta ton,
26,97 juta ton dan 27,77 juta ton. Pada tahun 2015, jika konsumsi penduduk
Indonesia sesuai dengan kecukupan gizi yang diperlukan, maka dari hasil analisis
diketahui bahwa produksi dalam negeri mampu untuk memenuhi permintaannya.
Namun demikian perlu diwaspadai adanya peningkatan konsumsi beras per kapita
sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi pada tahun 2015
mendatang. Sehingga kita harus selalu waspada dan selalu tetap berusaha untuk
meningkatkan pertumbuhan produksi beras dalam negeri.
Pergeseran pola pangan pokok yang mengarah ke beras juga ditunjukkan
oleh bergesernya pola pangan pokok di provinsi-provinsi wilayah Kawasan Timur
Indonesia. Pada tahun 1979 hanya provinsi Kalimantan Selatan yang berpola
pangan pokok beras, namun demikian pada tahun 1996 provinsi lainnya seperti
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi
30
Selatan menjadi provinsi-provinsi dengan pola pangan pokok beras. Beras sudah
mengarah pada komoditas bergengsi yang ditunjukkan oleh meningkatnya
konsumsi beras dengan makin tingginya pendapatan.
Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerja sama
dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002), melakukan
penelitian mengenai “Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional
Hingga 2015 Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian.” Penelitian
dilaksanakan pada tahun 2002 dengan menggunakan analisis ekonometrika. Hasil
analisis menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 ada peluang Indonesia mengalami
kondisi dimana tingkat produksi akan lebih besar dari pada tingkat konsumsi.
Kondisi surplus terutama tercipta oleh peningkatan produksi yang lebih cepat dari
pada peningkatan konsumsi. Surplus beras akan lebih cepat tercapai apabila
diterapkan kebijakan yang bersifat mendukung. Dari berbagai kebijakan yang
disimulasikan, ternyata kebijakan tersebut adalah peningkatan dana irigasi dan
anggaran pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh positif yang lebih
besar dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan skenario kebijakan
lainnya, seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun kebijakan harga
dasar.
Lembaga Penelitian UI bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan
Pangan, Departemen Pertanian (2002) melakukan penelitian “Analisis Proyeksi
Produksi dan Konsumsi Beras Nasional.” Analisis ini dilakukan dengan
menggunakan analisis regresi linear (Trend Analysis). Untuk memperkirakan
kecukupan zat gizi (energi) dari tahun 2002 sampai dengan 2015 dilakukan
31
analisis berdasarkan angka kecukupan Zat gizi dari Widya Karya Pangan dan Gizi
tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupan ini diterjemahkan dalam bentuk
kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang.
Saat ini masih terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang
disebabkan oleh terlalu tingginya peran padi-padian (khususnya beras) di satu sisi,
dan masih rendahnya peran beberapa pangan, terutama pangan hewani, sayuran
dan buah serta belum tercukupinya minyak dan lemak. Berdasarkan hal itu, maka
konsumsi per kapita padi-padian, khususnya beras sepanjang 2000- 2015
diproyeksikan menurun, sedangkan komoditas lain, khususnya sayuran dan buah,
pangan hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan diproyeksikan
meningkat.
Berdasarkan hasil analisis AHP, di antara berbagai fungsi yang diperkirakan
mendukung ketahanan pangan, ternyata fungsi ketersediaan ditemukan sebagai
yang terpenting. Sedangkan fungsi lainnya seperti distribusi, konsumsi dan
kewaspadaan pangan memperoleh bobot yang jauh lebih kecil dari pada fungsi
ketersediaan. Pendapat bahwa fungsi ketersediaan pangan merupakan yang
terpenting didukung oleh pendapat responden di semua provinsi contoh. Dengan
demikian, pendekatan produksi dan availability masih menjadi tema yang
dianggap mampu menjamin ketahanan pangan.
Otonomi daerah yang telah diberlakukan diperkirakan akan memberikan
pengaruh yang besar terhadap tercapainya ketahanan pangan. Implikasinya,
pemerintah daerah tingkat II memainkan peranan penting sejak dari tahapan
perencanaan hingga tahapan evaluasi. Komponen-komponen yang diperlukan bagi
32
pelaksanaan proses manajemen ketahanan pangan tersebut juga diharapkan
menjadi penanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Namun ada satu
komponen penting dimana peranan pemerintah pusat diharapkan tetap menonjol.
Komponen tersebut adalah pendanaan. Dengan kata lain, diharapkan sumber
pendanaan utama bagi kebijakan ketahanan pangan adalah dari pemerintah pusat.
Irawan (2005) melakukan penelitian “Analisis Ketersediaan Beras
Nasional Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”. Analisis ini
menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik
Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan
penyederhanaan yaitu tidak mencakup sub sistem distribusi dan tata niaga,
mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras
terhadap tingkat penawaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada
beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus
berlanjut sebagaimana keadaan tahun 1992-2002 (-0.77 % per tahun) dan
penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun
1990-2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa
dan luar Jawa dapat ditekan masing masing sampai nol persen dan 0.72 persen per
tahun mulai tahun 2010. Pada saat yang sama upaya peningkatan produktivitas
padi sebesar 2.0 - 2.5 persen per tahun sebagaimana prestasi yang pernah dicapai
pada saat swasembada beras (1983 sd 1985) diperlukan. Kebijakan perluasan areal
lahan sawah di luar Jawa sebanyak satu juta hektar selama lima tahun tidak akan
cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan
33
selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak
berubah.
Shintasari (1988) melakukan penelitian terhadap dinamika persediaan
daging sapi dengan pendekatan model dinamik untuk wilayah DKI Jakarta.
Simulasi model dibuat berdasarkan fluktuasi tingkat persediaan daging sapi
dengan software Dynamo untuk menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
mampu mengatasi ketidakstabilan dalam produksi dan persediaan sehingga dapat
menghemat sejumlah besar biaya.
Waskito (2005) membuat pemodelan ekonometrik dan dinamik sistem
terhadap daya saing ekspor komoditas agroindustri karet alam Indonesia. Daya
saing ekspor melalui pemodelan dinamik terbagi menjadi tiga subsistem
(submodel) yaitu submodel agroindustri, submodel perdagangan, dan submodel
makroekonomi. Pada setiap submodel terdapat faktor-faktor yang saling
mempengaruhi dalam hubungan sebab akibat.
Kajian disertasi ini menggunakan model sistem dinamik dengan
pertimbangan bahwa model tersebut akan memberikan pandangan yang lebih
holistik serta pemahaman terhadap perilaku sistem yang lebih dalam , khususnya
untuk kajian wilayah Provinsi Bali. Model sistem dinamik juga lebih mampu
memprediksi perubahan perilaku system yang dinamis dibandingkan alat
manajemen ilmiah lainnya.