bab ii kajian pustaka€¦ · penyakit jantung iskemik pada individu berumur 40-89 tahun...
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi dan Prehipertensi
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang hingga kini masih menjadi
masalah kesehatan utama di dunia. Hipertensi menduduki peringkat ketiga sebagai
penyebab kematian di dunia dan merupakan faktor risiko mayor peyakit arteri
koroner, stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal (Kumar, 2013). Hipertensi atau
yang di masyarakat lebih dikenal dengan tekanan darah tinggi sering disebut
sebagai “the silent killer” karena banyak orang tidak merasakan gejala atau tanda
penyakit ini sampai tekanan darah mereka sangat tinggi dan mengancam nyawa
(Bell et al., 2015).
Prehipertensi yang merupakan titik awal terjadinya hipertensi hingga saat ini
masih jarang mendapatkan perhatian. Pada prehipertensi sudah terjadi kerusakan
target organ subklinis yang jika dibiarkan akan mengarah ke kerusakan target
organ yang lebih lanjut. Penatalaksanaan pasien prehipertensi secara
komprehensif akan dapat mencegah progresi prehipertensi ke arah hipertensi dan
mencegah kejadian kardiovaskular yang diakibatkannya (Kaplan, 2009).
2.1.1 Definisi dan klasifikasi tekanan darah
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah arteri sistemik diatas
normal yang terjadi secara kronis. Berdasarkan Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC 7) hipertensi adalah tekanan darah yang lebih tinggi atau
9
2
sama dengan 140/90 mmHg (Chobanian et al., 2003; Martin, 2008; Giles et al.,
2009).
Berdasarkan JNC 7 tekanan darah dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu:
1). Tekanan darah normal yaitu tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan tekanan
darah diastolik < 80 mmHg, 2). Prehipertensi yaitu tekanan darah sistolik 120-139
mmHg atau tekanan darah diastolik 80-89 mmHg, 3). Hipertensi stadium I yaitu
tekanan darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg,
dan 4). Hipertensi stadium II yaitu tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥ 100 mmHg (Chobanian et all., 2003). Klasifikasi
tekanan darah pada JNC 7 lebih sederhana bila dibandingkan dengan JNC 6 yang
mengelompokkan tekanan darah menjadi 7 kategori (Martin, 2008).
Gambar 2.1 Perubahan klasifikasi tekanan darah (Chobanian et al., 2003).
2.1.2 Epidemiologi hipertensi dan prehipertensi
Pada tahun 2000 prevalensi hipertensi pada penduduk dewasa di seluruh
dunia adalah 26,4% atau sekitar 972 juta orang. Insiden hipertensi meningkat
dari 17.307 per 100.000 orang pada tahun 1990 menjadi 20.525 per 100.000 orang
di tahun 2015 (Krumholz, 2017). Prevalensi hipertensi cenderung meningkat dari
3
tahun ke tahun, dimana jumlahnya diperkirakan akan menjadi lebih dari 1.56
milyar orang di tahun 2025 (Chockalingam et al., 2006). Di Amerika Serikat
prevalensi hipertensi meningkat dari 23,9% pada tahun 1994 menjadi 29% pada
tahun 2008 (Bolivar, 2013; Gillespie dan Hurvitz, 2013; MacGill, 2016),
sedangkan prevalensi hipertensi pada orang dewasa di Amerika Serikat tahun
2016 adalah 29%, dimana 30,2% terjadi pada laki-laki dan 27,7% pada wanita
(Fryar et al., 2017). Di Meksiko prevalensi hipertensi meningkat dari 25% pada
tahun 1993 menjadi 43,2% di tahun 2006. Di Canada prevalensi hipertensi
meningkat dari 15,3% di tahun 1995 menjadi 24,5% di tahun 2005 (Bolivar,
2013). Di Indonesia sendiri prevalensi hipertensi juga cenderung meningkat.
Pada tahun 2001 sekitar 8,3% penduduk Indonesia menderita hipertensi dan
meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004 serta menjadi 32.2% pada tahun 2007
(Rahajeng dan Tuminah, 2009). Prevalensi hipertensi berdasarkan jenis kelamin
hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Pada tahun 2012 prevalensi
hipertensi diperkirakan adalah 29,2% pada laki-laki dan 24,8% pada perempuan.
Sekitar 90% laki-laki dan perempuan yang tidak menderita hipertesi pada usia 55-
65 tahun akan mengalami hipertensi pada saat usia mereka 80-85 tahun (Kumar,
2013). Menurut RISKESDAS 2018 prevalensi hipertensi di Indonesia meningkat
lagi menjadi 34,1% (Anonim, 2018).
Berdasarkan National Health and Nutrition Examination Survey tahun 1999-
2006 prevalensi prehipertensi di seluruh dunia pada orang dewasa adalah 36,3%.
Di Amerika Serikat prevalensi prehipertensi adalah sekitar 31% (Muruganathan,
2012). Di Asia prevalesi prehipertensi adalah 31,6% di Korea, 31,8% di Jepang,
dan 35,15% di Cina. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi prehipertensi lebih
4
banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Di Amerika Serikat prevalensi
prehipertensi adalah 39% pada laki-laki dan 23% pada perempuan, di Israel
adalah 50,6% pada laki-laki dan 35,9% pada wanita, dan di Cina adalah 43,75%
pada laki-laki dan 23,56% pada wanita (Muruganathan, 2012; Wang et al., 2015).
Data WHO tahun 2002 menunjukkan hipertensi menduduki peringkat ketiga
sebagai penyebab kematian di dunia (Chockalingam et al., 2006). Pada tahun
2004 hipertensi menyumbangkan jumlah kematian sebayak 12,8% atau sekitar 7,5
juta kematian dari 58,8 juta kematian di seluruh dunia. Hipertensi merupakan
faktor resiko mayor peyakit arteri koroner, stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal.
Hipertensi bertanggung jawab terhadap 51% kematian akibat penyakit
serebrovaskuler dan 45% kematian akibat penyakit jantung iskemik di dunia
(Kumar, 2013).
Kejadian hipertensi terjadi tidak hanya pada negara maju juga pada negara
berkembang dengan berbagai strata ekonomi. Bahkan masyarakat dengan
penghasilan menengah ke bawah memiliki resiko hipertensi lebih dari dua kali
lipat mengalami kematian akibat hipertensi (Kumar, 2013). The American Heart
Association (AHA) memperkirakan total biaya yang dihabiskan untuk mengobati
tekanan darah tinggi di Amerika Serikat tahun 2003 adalah sekitar 50,3 milyar
dollar, dimana 37,2 milyar dollar dihabiskan untuk biaya pengobatan dan 13,1
milyar dollar adalah biaya tidak langsung karena hilangnya produktivitas yang
diakibatkan karena morbiditas maupun mortalitasnya (Elliott, 2003).
5
2.1.3 Prehipertensi merupakan titik awal hipertensi dan penyakit
kardiovaskular
Prehipertensi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya adalah tekanan darah
sitolik antara 120-19 mmHg atau tekanan darah sistolik 80-89 mmHg. Kondisi ini
merupakan titik awal dari rangkaian penyakit kardiovaskular (Kaplan, 2009).
Klasifikasi prehipertensi dibuat untuk: 1). Meningkatkan kewaspadaan
terhadap perkembangan kearah hipertensi, 2). Meningkatkan kewaspadaan untuk
menurunkan risiko komplikasi kardiovaskular, 3). Mengadakan intervensi secara
individual dengan modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah, dan
4). Menurunkan kecepatan progresifitas kearah hipertensi (Muruganathan, 2012).
Selama lebih dari 100 tahun data epidemiologi menunjukan bahwa semakin
tinggi tekanan darah akan semakin tinggi kerusakan kardiovaskular yang
diakibatkannya (Wang et al., 2015).
Gambar 2.2 Hubungan antara tekanan darah dengan kematian akibat
penyakit jantung iskemik pada individu berumur 40-89 tahun
(Muruganathan, 2012)
6
Adanya prehipertensi merupakan prediktor peningkatan risiko terjadinya
hipertensi pada populasi yang berisiko tinggi. Bila dibandingkan dengan individu
dengan tekanan darah normal, orang dengan prehipertensi memiliki risiko sebesar
31% terkena penyakit arteri koroner, 49% lebih besar terkena stroke, dan 44%
lebih besar mengalami kejadian kardiovaskular total. Prehipertensi sering
dihubungkan dengan kerusakan organ target seperti ateroskerosis dini, kerusakan
pembuluh darah kecil, kalsifikasi arteri koroner, remodeling pembuluh darah, dan
hipertropi ventrikel kiri (Wang et al., 2015). Metaanalisis dari sekitar satu juta
orang pada 61 penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa pada tekanan darah
diatas 115/75 mmHg, setiap peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 20
mmHg atau tekanan darah diastolik sebesar 10 mmHg akan terjadi peningkatan
risiko kematian akibat penyakit arteri koroner dan stroke sebesar dua kali lipat
(Muruganathan, 2012).
Insiden hipertensi diperkirakan meningkat dari sekitar 10 % pada umur 30
tahun menjadi 30% pada umur 60 tahun. Peningkatan tekanan darah seiring umur
merupakan hal yang umum terjadi pada pasien normotensi. Prediktor onset
hipertensi sangat bervariasi yang tergantung pada tekanan darah sebelumnya.
Laporan dari Framingham heart Study yang bertujuan untuk mengetahui insiden
hipertensi selama empat tahun mendapatkan bahwa insiden hipertensi adalah
masing-masing 5% pada subjek yang sebelumnya memiliki tekanan darah optimal
(< 120/80 mmHg), 18% pada subjek yang sebelumnya memiliki tekanan darah
normal (120-129/80-84 mmHg), dan 37% pada subjek yang sebelumnya memiliki
tekanan high-normal (130-139/85-89 mmHg) (Muruganathan, 2012).
7
Gambar 2.3 Progresifitas insiden hipertensi berdasarkan kalompok tekanan
darah (Muruganathan, 2012).
2.1.4 Etiologi hipertensi
Berdasarkan etiologinya hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu
hipertensi primer dan hipertensi sekunder (bolivar, 2013; Bell et al, 2015).
Hipertensi primer atau hipertensi essensial adalah hipertensi yang penyebabnya
tidak diketahui. Sebagian besar pasien hipertensi (> 90%) adalah hipertensi
primer. Tekanan darah pada hipertensi primer cenderung naik secara bertingkat
selama beberapa tahun. Hipertensi primer tidak dapat diobati, namun dapat
dikontrol dengan terapi yang sesuai dengan obat-obatan dan modifikasi gaya
hidup. Faktor genetik merupakan faktor yang sangat penting dalam
perkembangan hipertensi primer (Bolivar 2013; Bell et al, 2015).
8
Tabel 2.1 Penyebab hipertensi sekunder (Bell et al, 2015)
Penyakit Obat-obatan
Penyakit ginjal Obat anti inflamasi non steroid
(NASID)
Tumor kelenjar adrenal Pil kontrasepsi
Penyakit tiroid Dekongestan
Kelainan pembuluh darah kongenital Kokain
Penyalah gunaan alcohol kronis Amfetamin
Obstructive sleep apnea Kortikosteroid
Makanan tinggi garam
Alkohol
Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang disebabkan karena suatu
kondisi medis tertentu. Prevalensinya hanya < 10% dari pasien hipertensi.
Penyebab hipertensi sekunder yang paling banyak adalah berhubugan dengan
penyakit ginjal kronik atau renovaskular. Tipe tekanan darah pada hipertensi ini
biasanya naik secara mendadak dan seringkali sangat tinggi bila dibandingkan
dengan hipertensi primer. Pengobatan dilakukan dengan mengobati penyakit dasar
atau penyebab diharapkan dapat memulihkan tekanan darah (Bell et al, 2015).
Sekitar 40% pasien dengan hipertensi primer juga menderita
hiperkolesterolemia. Penelitian genetik mendapatkan hubungan antara hipertensi
dan dislipidemia. Hipertensi juga juga banyak didapatkan pada pasien diabetes,
dimana prevalensi hipertensi didapatkan dua kali lipat pada pasien diabetes
dibandingkan dengan pasien non diabetes (Oparil et al., 2003).
Hipertensi, resistensi insulin, dislipidemia, dan obesitas juga sering muncul
bersamaan. Abnormalitas lain yang berhubungan yaitu mikroalbuminuria, kadar
asam urat yang tinggi, hiperkoagulabilitas, dan aterosklerosis. Kondisi ini
mengindikasikan adanya sindrom resistensi insulin atau metabolik sindrom yang
dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular. Setiap faktor resiko yang
9
berhubungan dengan hipertensi harus didiagnosis dan diterapi secara individual
(Oparil et al., 2003).
Penelitian klinis, epidemiologi, dan fisiologi pada binatang dan manusia
mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara asupan garam (natrium clorida),
pengaturan natrium ginjal, dan tekanan darah. Bukti menunjukkan terdapat
hubungan antara asupan tinggi garam yang kronis dengan kejadian hipertensi,
dimana hipertensi terjadi jika ginjal tidak mampu mengekskresikan sejumlah
natrium (Bolivar, 2013).
2.1.5 Patofisiologi hipertensi dan prehipertensi
Masih banyak ketidakpastian tentang patofisiologi hipertensi. Seperti sudah
disebutkan sebelumnya, sebagian besar hipertensi tidak diketahui penyebabnya.
Hanya sebagian kecil saja didapatkan adanya penyakit dasar yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan darah (Bolivar, 2013).
Hipertensi banyak didapatkan pada suatu kelompok keluarga yang
menunjukkan adanya interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan dalam
terjadinya penyakit ini. Hipertensi terjadi jika tidak ada keseimbangan antara
faktor risiko yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan faktor
pengontrol yang menjaga tekanan darah tetap normal (Bolivar, 2013).
Diperkirakan banyak faktor yang berperan dalam pathogenesis terjadinya
hipertensi primer. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu faktor genetik, sistem
saraf otonom, cardiac output dan resistensi perifer, retensi natrium ginjal,
disfungsi endotel, faktor-faktor yang didapat (obesitas, defisiensi mikronutrien,
alkohol), sistem endokrin (sistem renin-angiotensin-aldosteron, kinin-kallikrein,
insulin) dan substansi vasoaktif seperti bradikinin, endotelin, nitrix oxide, atrial
10
natriuretic peptide, dan quabain (Beevers et al., 2001; Oparil et al., 2003; DPhil
dan Sear, 2004).
Penelitian terbaru mendapatkan hubungan langsung antara inflamasi dengan
hipertensi. Proses inflamasi mengakibatkan perubahan fungsi jantung, perubahan
resistensi pembuluh darah perifer dan perubahan pengaturan volume dan elektrolit
oleh ginjal. Inflamasi pada pembuluh darah akan mengakibatkan peningkatan
stres oksidatif dan disfungsi endotel yang mengakibatkan terjadinya aterogenesis
(Montecucco et al., 2011).
Gambar 2.4 Mekanisme patofisiologi hipertensi
(AME: apparent mineralocorticoid excess; CNS: central nervous system; GRA:
glucocorticoid-remediable aldosteronism) (Oparil et al, 2003)
2.1.5.1 Genetik
Hipertensi biasanya terdapat dalam kelompok keluarga tertentu
mengindikasikan adanya pengaruh faktor genetik dengan timbulnya penyakit
(Oparil et al., 2003; Bolivar, 2013).
11
Banyak bukti yang mendukung adanya pengaruh genetik terhadap tekanan
darah. Tekanan darah pada kembar monozigot didapatkan lebih serupa bila
dibandingkan dengan kembar dizigot. Selain itu perbandingan tekanan darah
anggota keluarga dalam satu keluarga juga lebih serupa jika dibandingkan dengan
tekanan darah dengan anggota keluarga lain (Oparil et al., 2003). Kemungkinan
hipertensi pada seseorang yang kedua orang tuanya menderita hipertensi adalah 2
kali lipat dibandingkan dengan orang tua tanpa hipertensi. Banyak penelitian
epidemiologi yang memperkirakan faktor genetik berperan sebanyak 30% pada
variasi tekanan darah pada sejumlah populasi (Beevers et al., 2001).
Beberapa mutasi genetik yang langka juga dapat menyebabkan hipertensi
diantaranya yaitu Liddle’s syndrome, glucocorticoid-remediated aldosteronism,
congenital adrenal hyperplasia akibat defisiensi 11β-hidroksilase, syndrome of
apparent mineralocorticoid excess, congenital adrenal hyperplasia akibat
defisiensi 17α-hidroxilase, dan Gordon syndrome. Peningkatan kadar
angiotensinogen plasma juga didapatkan pada pasien hipertensi dan anak-anak
yang orang tuanya menderita hipertensi (Beevers et al., 2001).
2.1.5.2 Sistem saraf otonom
Pusat pengaturan vasomotor terdapat pada nucleus tractus solitarius pada
medulla dorsalis (integrasi baroreseptor), bagian rostral medulla ventralis (bagian
tekanan), pons, dan midbrain (DPhil dan Sear, 2004).
Serat saraf autonom memiliki peranan penting dalam memelihara tekanan
darah yang normal. Peningkatan aktivitas serat saraf simpatis dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan darah melalui stimulasi jantung, pembuluh
12
darah perifer, dan ginjal. Hal ini mengakibatkan peningkatan cardiac output,
resistensi vaskular, dan retensi cairan.
Gambar 2.5 Sistem saraf otonom dan pengaruhnya terhadap tekanan darah
(Beevers et al, 2001)
Ketidakseimbangan autonom yang lama dimana terjadi peningkatan aktivitas
serat saraf simpatis dan penurunan serat saraf parasimpatis berhubungan dengan
berbagai macam penyakit metabolik yang mengakibatkan peningkatan morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular (Oparil et al., 2003).
Gambar 2.6 Peranan serat saraf simpatis dalam pathogenesis penyakit
kardiovaskular
13
2.1.5.3 Cardiac output dan resistensi perifer
Keseimbangan antara cardiac output dan resistensi pembuluh darah perifer
sangatlah penting untuk menjaga tekanan darah agar tetap normal.
Sebagian besar pasien hipertensi primer memiliki cardiac output yang normal
dan resistensi perifer yang meningkat. Resistensi perifer diukur pada arteriol kecil
yang dindingnya terdiri dari otot polos. Kontraksi otot polos tersebut berhubungan
dengan peningkatan konsentrasi calcium intrasel. Kontraksi otot polos yang
memanjang (diperantarai oleah angiotensin) mengakibatkan terjadinya perubahan
struktur berupa penebalan dinding arteriol yang mengakibatkan terjadinya
resistensi perifer yang ireversibel (Beevers et al., 2001).
Peningkatan tekanan darah pada fase awal hipertensi lebih disebabkan karena
peningkatan cardiac output akibat aktivasi serat saraf simpatis, bukan akibat
peningkatan resistensi perifer. Peningkatan resistensi perifer yang terjadi
kemudian merupakan mekanisme kompensasi untuk mencegah peningkatan
tekanan darah diteruskan ke kapiler yang kemungkinan akan mempengaruhi
keseimbangan sel (Beevers et al., 2001).
Gambar 2.7 Sistem renin angiotensin lokal dan sistemik (Beevers et al, 2001)
14
2.1.5.4 Sistem renin-angiotensin
Sistem renin-angiotensin merupakan bagian endokrin yang paling penting
dalam mengatur tekanan darah. Renin disekresikan dari apparatus
juktaglomerulus ginjal sebagai respon terhadap perfusi glomerulus yang rendah,
penurunan asupan garam, dan aktivasi serat saraf simpatis. Renin berfungsi untuk
mengubah angiotensinogen (substrat renin) menjadi angiotensin I. Angiotensin I
kemudian diaktifkan menjadi angiotensin II oleh ACE di paru-paru. Angiotensin
II merupakan vasokonstriktor pembuluh darah yang sangat poten yang dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Angiotensin II juga merangsang
aldosteron pada zona glomerulosa kelenjar adrenal yang mengakibatkan
peningkatan tekanan darah akibat retensi natrium dan air (Beevers et al., 2001).
Gambar 2.8 Sistem renin-angiotensin dan efeknya terhadap tekanan darah dan
pelepasan aldosteron (Beevers et al, 2001)
15
2.1.5.5 Inflamasi, stress oksidatif dan disfungsi endotel
Inflamasi merupakan suatu respon protektif terhadap suatu injury atau infeksi.
Inflamasi merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan sel-sel
inflamatori pada jaringan yang terkena, penarikan leukosit ke jaringan, eliminasi
faktor peyebab, dan perbaikan tempat yang mengalami injury. Inflamasi
memerlukan interaksi antara permukaan sel, matrik ekstraseluler, dan mediator
proinflamatori. Inflamasi yang berlebihan memiliki efek yang merusak dan
berperan dalam progresifitas penyakit-penyakit kronik seperti aterosklerosis,
rheumatoid atritis, dan sistemik lupus eritematosus (Dinh et al., 2014).
C-reactive protein (CRP) adalah suatu protein fase akut yang terlibat dalam
respon imum dan memiliki peranan penting dalam aktivasi sistem komplemen
dan meningkatkan phagositosis. CRP dapat menstimulasi monosit untuk
melepaskan sitokin proinflamasi seperti interleukin-6 (IL-6), interleukin-1 β(IL-
1β), dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α), serta merangsang sel endotel untuk
melepaskan intracellular adhesion molecule (IICAM-1) dan vascular cell
adhesion molecule (VCAM-1) yang semua efeknya akan memicu proses inflamasi
(Dinh et al., 2014).
CRP merupakan marker inflamasi yang memiliki hubungan yang kuat dengan
hipertensi. Beberapa penelitian klinis menunjukkan peningkatan kadar CRP (Dinh
et al., 2014).
Prehipertensi merupakan suatu kondisi satu langkah ke depan menuju
hipertensi. Faktor-faktor yang terlibat dalam pathogenesis hipertensi dan
prehipertensi adalah sama (Muruganathan, 2012).
16
Peningkatan konsentrasi CRP, TNF-α, low density lipoprotein (LDL)
teroksidasi, gamma-glutamyl transferase, micoalbuminuria, dan marker inflamasi
yang lain berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Prehipertensi juga
merupakan awal dari perkembangan hipertropi ventrikel kiri dan disfungsi
diastolik (Muruganathan, 2012). Penelitian ATTICA yang dilakukan oleh Toika
dkk yang bertujuan untuk mengetahui aterosklerosis subklinis pada subjek dengan
melakukan pengukuran ketebalan intima media atreri carotis dan brachialis. Hasil
yang didapat menunjukkan bahwa pada subjek prehipertensi baik laki-laki
maupun perempuan memiliki 31% kadar CRP, 32% TNF-α, 15% LDL troksidasi,
9% kadar amyloidal, 6% kadar homosistein, dan 10% sel darah putih yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan subjek tekanan darah normal. Hal ini
menunjukkan bahwa inflamasi juga memegang peranan yang signifikan dalam
prehipertensi (Muruganathan, 2012).
Gambar 2.9 Hubungan antara hipertensi dan inflamasi
17
Mekanisme potensial yang berperan dalam pathogenesis hipertensi akibat
inflamasi adalah melalui disfungsi endotel (Dinh et al., 2014).
Endotel merupakan suatu lapisan seluler yang melapisi pembuluh darah.
Pada orang dewasa endotel memiliki berat sekitar 1 kg yang terdiri dari 1,6 x 1013
sel dan memiliki luas permukaan antar 1-7 m2. Sel endotel memiliki panjang
antara 25–50 μm, lebar 10–15μm, dan tinggi sampai 5 μm (Vadas dan Limaye,
2005; Pries dan Kuebler, 2006).
Sel endotel mengatur aliran darah dan tonus vasomotor dengan melepaskan
suatu vasodilator dan vasokonstriktor. Vasodilator pembuluh darah yaitu NO,
prostacyclin, dan prostaglandin I2 (PGI2). Sedangkan vasokontriktor yaitu ET
dan platelet activating factor (PAF). Nitric oxide dan ET merupakan regulator
utama tonus vaskular. PGI2 dan PAF hanya berperan bila terjadi gangguan fungsi
vaskular atau hemodinamik (Vadas dan Limaye, 2005; Pries dan Kuebler, 2006).
Nitric oxide dihasilkan oleh sel endotel melalui oksidasi l-arginin menjadi l-
citrullin oleh enzim endothelial nitric oxide synthase (eNOS). NO memiliki efek
pleotropik yang mengakibatkan relaksasi otot polos pembuluh darah melalui
ikatan dengan guanyl cyclase sehingga tonus vaskular basal dapat terpelihara. NO
juga menurunkan tonus pada arteriol kecil. NO juga memegang peranan penting
untuk menghambat thrombosis dengan mencegah oksidasi LDL, menghambat
aktivasi dan adesi platelet serta meningkatkan degradasi platelet. NO juga
menghambat adhesi leukosit ke sel endotel dan menghambat kerusakan yang
diakibatkan oleh ploriferasi neointima dengan menghambat ploriferasi dan
migrasi sel otot polos (OParil et all, 2003; Vadas dan Limaye, 2005; Pries dan
Kuebler, 2006).
18
Setelah penemuan bahwa endotel pembuluh darah melepaskan NO yang
merupakan faktor relaksasi pembuluh darah, Yanagisawa dkk menemukan faktor
yang mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah yaitu endothelin (Stauffer et
al., 2008). Endothelin terdiri dari 3 jenis yaitu ET-1, ET-2, dan ET-3. Endotelin
tersebut dihasilkan oleh tipe sel yang berbeda yang berfungsi untuk mengatur
tonus vasomotor, ploriferasi seluler, dan produksi hormon. Sel endotel hanya
memproduksi ET-1 yang dihasilkan pada sel otot polos pembuluh darah.
Endotelin-1 bekerja melalui ikatan dengan reseptor spesifik pada sel otot polos
yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. ET-1 merupakan
vasokonstriktor endogen yang paling kuat, dimana kekuatannya 100 kali lebih
besar dari noradrenaline (Vadas dan Limaye, 2005; Pries dan Kuebler, 2006).
Endothelin-1 merupakan bentuk endotelin yang paling poten dan yang paling
dominan pada sistem kardiovaskular manusia dan memegang peranan penting
dalam mengatur tonus vaskular dan sebagai penyebab penyakit aterosklerosis
(Stauffer et al., 2008).
Endotelin dihasilkan dari pemecahan proteolitik dari big endothelin-1 oleh
endothelin converting enzyme (ECE). Endotelin-1 endotel sebagian besar (sekiar
80%) dilepaskan ke otot polos. Konsentrasi endotelin-1 lokal pada dinding
pembuluh darah adalah 100 kali lebih besar dibandingkan kadar yang bersirkulasi
di plasma. Aktivitas endotelin -1 ditentukan oleh dua reseptor endotelin yaitu
reseptor ETA yang berlokasi pada otot polos pembuluh darah dan reseptor ETB
yang berlokasi pada otot polos pembuluh darah dan permukaan endotel. Ikatan
endotelin-1 dengan reseptor ETA dan ETB pada sel otot polos pembuluh darah
mengaktifkan jalur phospholipase C-inositol triphosphate yang menyebabkan
19
peningkatan calcium intrasel yang menyebabkan phosphorilasi myosin kinase dan
meyebabkan kontraksi otot polos. Sebaliknya aktivasi reseptor ETB pada sel
endotel mengakiatkan pelepasan NO melalui aktivasi calcium-dependent
endothelial nitric oxide synthase (eNOS) mengakibatkan vasodilatasi (Stauffer et
al., 2008). Selain sebagai vasoregulator, aktivasi sistem endotelin-1 merupakan
patogenesis penyakit aterosklerosis dan pembuluh darah. Mekanisme yang terlibat
diantaranya yaitu endotelin-1 merangsang pembentukan jaringan fibrosa dan
menghambat sintesis NO endotel. Endothelin-1 juga merangsang agregasi
trombosit, adhesi sel, dan ploriferasi sel otot polos pembuluh darah dan fibroblast
mural yang semuanya merupakan komponen dalam aterosklerosis. Endothelin-1
juga mengaktivasi kemotaksis leukosis dan inflamasi pada pembuluh darah
dengan menstrimulasi sitokin seperti interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α,
serta mediator proinflamatori seperti NF-kB yang merupakan faktor sentral dalam
komponen inflamasi dalam aterosklerosis (Stauffer et al., 2008).
Prostacyclin (PGI2) merupakan suatu eicosanoid yang diproduksi bila terjadi
gangguan fungsi endotel atau gangguan hemodinamik pembuluh darah. PGI2
berikatan dengan reseptor spesifik pada platelet dan sel otot polos pembuluh darah
untuk membatasi vasokonstriksi dan mempengaruhi deposisi platelet (Vadas dan
Limaye, 2005; Pries dan Kuebler, 2006).
Platelet activating factor merupakan suatu fosfolipid yang berikatan dengan
permukaan sel endotel dan bekerja dengan berikatan dengan reseptor pada
leukosit. PAF tidak disekresikan untuk mengatur tonus vaskular basal. Efek PAF
bila diinfuskan secara intravena adalah bervariasi dari vasodilatasi sampai
vasokonstriksi tergantung dosis dan vaskular bed yang terlibat. Efek
20
terpentingnya adalah rekrutmen leukosit ke permukaan sel endotel (Vadas dan
Limaye, 2005; Pries dan Kuebler, 2006).
Disfungsi endotel terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara substansi
vasodilator dan vasokonstriktor yang dihasilkan pada sel endotel. Disfungsi
endotel secara phenotif adalah perubahan dari lapisan endotel pembuluh darah
yang ditandai dengan suatu kondisi protrombotik dan proinflamasi
(Dharmashankar dan Widlansky, 2010). Disfungsi endotel sering terjadi pada
pasien dengan hipertensi primer dan memegang peranan dalam kerusakan
vaskular yang diakibatkan oleh hipertensi (Brunner et al., 2005; Deanfield et al.,
2005; Pries dan Kuebler, 2006; Savoia et al., 2011).
Adanya stres oksidatif dan inflamasi pembuluh darah merupakan mekanisme
dasar dari disfungsi endotel. Penekanan stres oksidatif dan inflamasi pembuluh
darah dapat memperbaiki disfungsi endotel yang telah terjadi (Dharmashankar
dan Widlansky, 2010). Inflamasi kronis merangsang adanya stres oksidatif yang
berhubungan dengan hipertensi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
inflamasi merupakan suatu proses yang bertujuan untu mengeliminasi patogen
dan memperbaiki kerusakan jaringan. Sel imun innate seperti netrofil dan
makrofag menghasilkan reactive oxygen species (ROS) seperti superoksid dan
hydrogen peroksida untuk menghancurkan pathogen. Nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate-oxidase (NADPH) merupakan sumber ROS mayor pada
sel imun dan pembuluh darah. Proses inflamasi akan terus berlangsung sampai
semua patogen telah disingkirkan dan penyembuhan jaringan selesai. Namun
adanya inflamasi yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya overproduksi
ROS. Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi dan
21
penghancuran ROS, merupakan penyebab mayor disfungsi endotel (Dinh, et al.,
2014).
Stres oksidatif menyebabkan disfungsi endotel melalui reaksi kimia langsung
antara soperoksid dengan NO yang menghasilkan peroksinitrit. Reaksi antara NO
dan superoksid sangat cepat dibandingkana dengan pemecahan superoksid oleh
superoksid dismutase. Peroksinitrit yang terbentuk mengakibatkan gangguan
kadar NO dan meningkatkan strek oksidatif melalui hambatan aktivitas eNOS
melalui oksidasi dari 4-tetrahydrobiopterin (BH4) yang merupakan kofaktor
eNOS. Hal ini mengakibatkan tidak terjadi coupling eNOS dimana eNOS
menghasilkan superoksid sebagai ganti NO. ROS yang berlebihan juga dapat
memicu kerusakan vaskular karena dapat secara langsung bereaksi dengan DNA,
lipid, dan protein yang mengakibatkan gangguan fungsi dan struktur pembuluh
darah. Stres oksidatif juga dapat memicu proses inflamasi dengan mengaktifkan
faktor transkripasi seperti NF-kB (Dinh, et al., 2014).
Adanya inflamasi mengakibatkan gangguan kecepatan sintesis dan degradasi
vasodilator dan vasokonstriktor termasuk NO, dan gangguan bioativitas NO
berhubungan dengan hipertensi. Percobaan pada tikus yang diberikan inhibitor
eNOS yaitu N-nitro-L-arginin methyl ester memiliki tekanan darah yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Inflamasi mengakibatkan penurunan
aktivitas eNOS. CRP dan TNF memiliki kemampuan menurunkan produksi NO
dengan merusak mRNA eNOS yang mengakibatkan penurunan ekspresi protein
NOS sehingga vasodilatasi pembuluh darah (Dihn et al., 2014).
22
Gambar 2.10 Inflamasi dan stress oksidatif memicu disfungsi endotel.
a). Relaksasi endotel sehat; b). Gangguan relaksasi endotel (Dinh et al., 2014).
Inflamasi lokal dan sistemik juga terjadi menyebabkan peningkatan aktivasi
complement factor 3 (C3) dan meningkatkan kerusakan pembuluh darah melalui
penurunan aktivitas endothelial progenitor cell (EPC) dan peningkatan inflamasi.
Adanya resultan stres oksidatif dan inflamasi mengakibatkan disfungsi
endothelium-dependent vasomotor. Adanya disfungsi endotel akan memperburuk
tekanan darah tinggi (Dharmashankar dan Widlansky, 2010).
Gambar 2.11 Mekanisme potensial terjadinya hipertensi akibat disfungsi
endotel (Dharmashankar dan Widlansky, 2010)
23
Pada pembuluh darah yang hipertensi terjadi penurunan NO dan peningkatan
aktifitas vasokonstriksi ET-1 yang diperantarai reseptor ETA mengakibatkan
peningkatan tonus pembuluh darah dan hipertropi tunika media yang
menimbulkan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik.
Ketidakseimbangan faktor endotel pada arteri tersebut menyebabkan suatu kondisi
proaterosklerotik yang ditandai dengan oksidasi LDL, adhesi dan migrasi
trombosit, serta terbentuknya sel busa (foam cel). Proses ini menyebabkan
terbentuknya plak aterosklerosis yang bila lepas akan mengakibatkan thrombosis
intravaskular (OParil et al., 2003).
Penelitian Rotterdam, yang merupakan penelitian prospektif melibatkan
1.900 subjek yang berumur > 55 tahun (730 orang dengan tekanan darah normal
dan 1.161 dengan prehipertensi) mendapatkan bahwa subjek dengan prehipertensi
memiliki rasio diameter arteri-vena yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
subjek dengan tekanan darah normal. Hal ini mengindikasikan bahwa kerusakan
mikrovaskular telah terjadi bahkan sebelum terjadi hipertensi (Muruganathan,
2012).
24
Gambar 2.12 Fungsi endotel pada pembuluh darah normal dan hipertensi
(OParil et al., 2003).
Manifestasi disfungsi endotel pada organ spesifik meningkatkan kejadian
penyakit kardiovaskular juga lebih umum terjadi pada individu prehipertensi
dibandingkan dengan individu dengan tekanan darah normal. Juga terdapat
hubungan antara kadar asam urat pada subjek prehipertensi seperti yang terjadi
pada subjek hipertensi (Muruganathan, 2012).
Fungsi endotel dapat diukur dengan metode invasif dan non invasif. Metode
ini pada prinsipnya adalah mengukur vasodilatasi endotel terhadap berbagai
rangsangan seperti obat-obatan (contoh acetilkolin atau bradikinin), rangsangan
25
mekanik, atau keduanya. Respon vasodilatasi terhadap berbagai stimulus secara
primer sangat tergantung dari kapasitas porduksi NO. NO merupakan pusat
pengaturan fungsi endotel sehingga hilangnya bioavailabilitas NO merupakan
karakteristik utama disfungsi endotel. Disfungsi endotel diukur dengan berbagai
cara seperti venous plethysmography, high-resolution ultrasound pada sirkulasi
perifer, dan yang terbaru menggunakan digital pulse arterial tonometri. Tes
reaktivitas arteri brachialis menggunakan high-resolution ultrasound untuk
mengukur vasodilatasi arteri bracialis terhadap merupakan metode yang paling
umum digunakan untuk mengukur disfungsi endotel karena cara ini tidak invasif
dan memiliki validitas yang tinggi. Vasodilatasi endotel pada arteri brachialis
adalah nitric oxide-dependent, yang berhubungan dengan fungsi endotel arteri
koroner, dan merupakan faktor prediktor independen resiko kardiovaskuler pasien
dengan atau tanpa penyakit aterosklerosis (Dharmashankar dan Widlansky,
2010).
2.1.5.6 Faktor resiko kardiovaskular yang didapat
Sekitar 40% pasien dengan hipertensi primer juga menderita
hiperkolesterolemia. Penelitian genetik mendapatkan hubungan antara hipertensi
dan dislipidemia. Hipertensi juga juga banyak didapatkan pada pasien diabetes,
dimana prevalensi hipertensi didapatkan dua kali lipat pada pasien diabetes
dibandingkan dengan pasien non diabetes (Oparil et al., 2003).
Hipertensi, resistensi insulin, dislipidemia, dan obesitas juga sering muncul
bersamaan. Abnormalitas lain yang berhubungan yaitu mikroalbuminuria, kadar
asam urat yang tinggi, hiperkoagulabilitas, dan aterosklerosis. Kondisi ini
mengindikasikan adanya sindrom resistensi insulin atau metabolik sindrom yang
26
dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular. Setiap faktor resiko yang
berhubungan dengan hipertensi harus didiagnosis dan diterapi secara individual
(Oparil et al., 2003).
Penelitian klinis, epidemiologi, dan fisiologi pada binatang dan manusia
mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara asupan garam (natrium clorida),
pengaturan natrium ginjal, dan tekanan darah. Bukti menunjukkan terdapat
hubungan antara asupan tinggi garam yang kronis dengan kejadian hipertensi,
dimana hipertensi terjadi jika ginjal tidak mampu mengekskresikan sejumlah
natrium (Bolivar, 2013).
2.1.5.7 Zat vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang berperan dalam transport natrium dan
mengatur tonus pembuluh darah untuk menjaga tekanan darah tetap normal
(Gambar 2.8) (Beevers et al., 2001).
Bradikinin merupakan vasodilator yang poten yang dapat diinaktifasi oleh
ACE. Endotelin merupakan vasokonstriktor endotel yang sangat kuat yang dapat
mengaktivasi sistem renin-angiotensin lokal. Endotelin dapat membangkitkan
pelepasan NO yang merupakan vasodilator (Beevers et al., 2001).
Atrial natriuretic peptide merupakan hormon yang disekresikan oleh atrium
dalam merespon volume darah. Efeknya adalah meningkatkan ekskresi natrium
dan air melalui ginjal. Defek hormon ini dapat mengakibatkan retensi cairan dan
hipertensi (Beevers et al., 2001).
Transport natrium pada otot polos dinding pembuluh darah berhubungan
dengan transport calcium. Quabain merupakan suatu substansi menyerupai steroid
27
yang mempengaruhi transport natrium dan calcium yang mengakibatkan
vasokonstiksi pembuluh darah (Beevers et al., 2001).
Gambar 2.13 Pengontrol resistensi arteriol perifer (Beevers et al., 2001).
2.1.6 Diagnosis hipertensi dan prehipertensi
Hipertensi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya sering disebut sebagai silent
disease karena terkadang tidak menunjukkan gejala atau tanda terkadang bahkan
hingga hiperteni stadium II. Karena hal inilah di masyarakat lebih banyak orang
dengan prehipertensi dibandingkan dengan hipertensi. Satu-satunya cara untuk
mendeteksi prehipertensi dan hipertensi adalah dengan melakukan pengukuran
tekanan darah secara teratur. Sangatlah penting melakukan screening untuk
mendeteksi dini adanya hipertensi maupun prehipertensi. Screening sebaiknya
28
dilakukan pada setiap orang yang berusia ≥ 18 tahun (Muruganathan, 2012; Chris
et al., 2014).
Diagnosis hipertensi ditegakkan dengan jalan melakukan dua kali pengukuran
tekanan darah, yaitu saat kunjungan pertama kali dan mengulang pemeriksaan
tekanan darah yang kedua di rumah atau tempat kerja pasien. Prehipertensi
didiagnosis bila dalam dua kali pemeriksaan tekanan darah sistolik 120-139
mmHg atau tekanan darah diastolik 80-90 mmHg. Hipertensi stadium I bila
tekanan darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg.
Hipertensi stadium II bila tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥ 100 mmHg (Chris et al., 2014).
Saat diagnosis sudah ditegakkan perlu dicari faktor-faktor yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah diantaranya yaitu riwayat keluarga, pemakaian obat-
obatan tertentu (steroid, estrogen, NSAID, obat simpatomimetik, dan penekan
nafsu makan), jumlah asupan garam, konsumsi alkohol, obat-obatan terlarang,
dan merokok. Ditanyakan juga apakah pasien mempunyai riwayat penyakit
tertentu yang berhubungan dengan hipertensi seperti obstructive sleep apnea atau
diabetes mellitus (Chris et al., 2014).
Pemeriksaan penunjang rutin yang dilakukan diantaranya yaitu pemeriksaan
rekam jantung (electrocardiografi), pemeriksaan kadar kolesterol, gula darah,
kalium, natrium, dan creatinin. Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan
diantaranya pemeriksaan urin, kimia darah, hematokrit, elektrolit, BUN, dan
fungsi hati (Chris et al., 2014).
29
2.1.7 Penatalaksanaan hipertensi dan prehipertensi
Prehipertensi bukanlah suatu kategori penyakit walaupun terminologi ini
digunakan untuk mengidentifikasi individu yang beresiko tinggi mengalami
hipertensi. Dokter maupun pasien harus berhati-hati terhadap kondisi ini dan
melakukan penatalaksanaan untuk mencegah atau menunda perkembangan
prehipertensi menuju hipertensi. Penatakaksanaan prehipertensi dan hipertensi
mencakup penatalaksanaan non farmakologi dan farmakologi (Kaplan, 2008).
2.1.7.1 Penatalaksanaan non farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi prehipertensi dan hipertensi hampir sama
meliputi modifikasi gaya hidup. Hal ini mencakup perubahan pola makan,
penurunan berat badan, penurunan asupan garam dan alkohol, meningkatkan
olahraga aerobik dan berhenti merokok (Kaplan, 2008; Bell et al., 2015).
Perencanaan makan The Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH)
merekomendasikan setiap pasien harus membatasi asupan natrium, menurunkan
asupan lemak jenuh, meningkatkan asupan lemak tak jenuh, meningkatkan
konsumsi buah, sayur serta makanan yang kaya kalium dan serat (30 gram /hari),
konsumsi protein sebesar 18% dari total kalori/hari, membatasi karbohidrat
sebanyak 55% dari total kalori/hari dan kolesterol 150 mg (Kaplan, 2008; Bell et
al., 2015; Seyedmazhari, 2012).
Menurunkan asupan natrium dan meningkatkan asupan kalium sangat penting
dalam terapi non farmakologik hipertensi. Bukti menunjukkan bahwa populasi
yang konsumsi natriumnya tinggi ( > 2,3 gram/hari) memiliki jumlah pasien
hipertensi lebih banyak. Asupan natrium yang tinggi dapat meningkatkan volume
darah yang menyebabkan peningkatan tekanan pada jantung untuk memompa
30
darah ke seluruh tubuh sehingga tekanan darah juga meningkat. American Heart
Association (AHA) merekomendasikan asupan natrium < 1,5 gram/hari.
Perubahan pola makan dapat dilakukan dengan mengurangi asupan makanan
kemasan (biasanya tinggi kandungan natriumnya) dan menggantinya dengan
buah-buahan, sayur-sayuran, gandum utuh, dan ikan (Bell et al., 2015). Makanan
yang tinggi kalium diantaranya yaitu pisang, jeruk, tomat, dan alpukat. Pasien
hipertensi yang mendapatkan terapi yang menghambat ekskresi kalium seperti
ACE inhibitor, digoxin, atau diuretik hemat kalium tidak boleh mendapatkan
suplementasi kalium (Seyedmazhari, 2012).
Asam lemak omega 3 yang banyak ditemukan pada ikan juga sangat baik
untuk membantu mengatasi masalah hipertensi. Asam lemak omega 3 menjaga
elastisitas pembuluh darah dan membantu melindungi sistem saraf
(Seyedmazhari, 2012).
Asupan alkohol juga harus dikurangi mengingat populasi peminum alkohol
yang berlebihan memiliki prevalensi hipertensi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan peminum alkohol sedang. DASH menganjurkan
mengurangi konsumsi alkohol menjadi < 2x minum/hari pada laki-laki dan ≤ 1x
minum/hari pada wanita (Bell et al., 2015).
Mengurangi stres dan memperbaiki gangguan tidur juga dapat membantu
mengatasi hipertensi. Kurangnya tidur dapat meningkatkan tekanan darah pada
pasien hipertensi yang diakibatkan peningkatan hormon adrenalin. Adrenalin
dapat meningkatkan aktivasi serat saraf simpatis dan meningkatkan tekanan darah
(Seyedmazhari, 2012).
31
Table 2.2 Intervensi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah
(Muruganathan, 2012)
Intervensi Rekomendasi Penurunan tekanan darah
sistolik
Penurunan
berat badan
Menjaga body mass index < 23
kg/m2
5-20 mm Hg per 10 kg
penurunan berat badan
Diet DASH Mengkonsumsi diet kaya buah,
sayur, rendah lemak jenuh
8-14 mm Hg
Restriksi
natrium
Menurunkan asupan natrium
<100 mmol/hari (2.4 g natrium atau
6 g natrium clorida
2-8mm Hg
Aktivitas fisik Meningkatkan olahraga aerobik
contohnya berjalan sekitar 30 menit
sehari
4-0 mm Hg
Pembatasan
alkohol
Laki-laki < 60ml per hari dua kali
seminggu
Wanita <60 ml per hari dua kali
seminggu
2-4mmHg
Merokok Berhenti total -
Olahraga aerobik juga sangat dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah.
Contoh olahraga aerobik adalah berjalan, jogging, berenang, dan bersepeda.
Untuk dapat menurunkan tekanan darah AHA merekomendasikan olahraga
aerobik selama 40 menit dengan intensitas sedang 3-4x seminggu (Bell et al.,
2015). Olahraga teratur dapat memperbaiki elastisitas arteri yang dapat
memperbaiki aliran darah dan menormalkan tekanan darah. Olahraga dengan
intensitas tinggi tidak lebih efektif menurunkan tekanan darah daripada olahraga
rutin dengan intensitas yang sedang (Seyedmazhari, 2012).
Calcium mengatur tonus tekanan darah otot polos pembuluh darah.
Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan diet calcium yang cukup memiliki
tekanan darah yang normal. Hipertensi sendiri dapat meningkatkan ekskresi
calcium (Seyedmazhari, 2012).
32
2.1.7.2 Penatalaksanaan farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi untuk prehipertensi masih menjadi kontroversi
sedangkan terapi farmakologi untuk pasien hipertensi telah ditetapkan oleh JNC
VIII.
a. Penatalaksanaan prehipertensi
Penatalaksanaan farmakologi untuk pasien prehipertensi masih kontroversi.
Terapi utama adalah perubahan gaya hidup, kecuali pasien prehipertensi
dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik yang gagal dengan modifikasi
gaya hidup dimana tekanan darahnya masih belum mencapai < 130/80 mmHg
(Kaplan, 2008).
Target yang ingin dicapai adalah mencapai teknan darah normal,
mencegah kenaikan berat badan seiring umur, monitoring gejala kerusakan
target organ, dan mencegah penyakit kardiovaskular yang berhubungan
dengan tekanan darah (Muruganathan, 2012).
Penelitian TROPHY merupakan penelitian yang meneliti efek
candesartan cilextil dibandingkan placebo pada pasien prehipertensi. Subjek
dirandomisasi untuk mendapatkan efek candesartan cilextil atau placebo
selama dua tahun, dan dilanjutkan pemberian placebo pada semua subjek dua
tahun berikutnya. Didapatkan hasil bahwa selama dua tahun pertama resiko
hipertensi menurun 66,3% pada subjek yang mendapatkan candesartan
dibandingkan placebo. Risiko menurun menjadi 16% setelah empat tahun dan
masih signifikan bila dibandingkan dengan placebo (Muruganathan, 2012).
Penelitian PHARAO juga merupakan penelitian yang dilakukan pada
subjek prehipertensi dengan memberikan ramipril atau placebo selama tiga
33
tahun. Penelitian ini mendapatkan terjadi penurunan risiko hipertensi secara
signifikan sebesar 34% pada kelompok ramipril (Muruganathan, 2012).
Penelitian CAMELOT melakukan pemeriksaan coronary intravascular
ultrasound saat awal dan setelah dua tahun dengan memberikan amlodipin,
enalapril maleate, atau placebo. Pasien yang mendapatkan terapi aktif dan
yang mencapai tekanan darah dalam rentang prehipertensi tidak menunjukkan
perubahan mayor (0,9 mm3 volume ateroma), sedangkan subjek yang menjadi
atau masih hipertensi memiliki peningkatan volume ateroma sebesar 12 mm3,
dan yang mencapai tekanan darah normal mengalami penurunan volume
ateroma sebesar 4.6 mm3 (Muruganathan, 2012).
Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk mengetahui apakah
terdapat peranan terapi farmakologi pada prehipertensi, khususnya pada
individu yang bukan merupakan indikasi pemberian terapi (pasien gagal
ginjal kronik, gagal jantung) (Muruganathan, 2012).
b. Penatalaksanaan hipertensi
Pada tahun 2014, Eighth Joint National Committee (JNC 8) menetapkan garis
besar penatalaksanaan hipertensi pada orang dewasa. Dalam garis besar
tersebut terdapat sembilan rekomendasi penatalaksanaan hipertensi yaitu:
Rekomendasi 1: pada populasi yang berumur ≥ 60 tahun, terapi obat anti
hipertensi dimulai jika tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg atau tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg (level eviden A).
Rekomendasi 2: untuk subjek yang berumur < 60 tahun terapi farmakologik
dimulai bila tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (level eviden A untuk umur
30-59 tahun dan level eviden E untuk umur 18-29 tahun).
34
Rekomendasi 3: untuk subjek yang berumur < 60 tahun, terapi farmakologik
dimulai bila tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg (level eviden E).
Rekomendasi 4: pada populasi yang berumur ≥ 18 tahun dengan penyakit
ginjal kronik, terapi farmakologik dimulai bila tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Target tekanan darah yang
ingin dicapai yaitu tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik < 90 mmHg (level eviden E).
Rekomendasi 5: pada populasi yang berumur ≥ 18 tahun dengan diabetes,
target tekanan darah yang ingin dicapai yaitu tekanan darah sistolik < 140
mmHg dan tekanan darah diastolik < 90 mmHg (level eviden E).
Rekomendasi 6: terapi permulaan yang dipakai untuk pasien yang bukan ras
kulit hitam (termasuk pasien diabetes) harus mencakup diuretik thiazid,
calcium channel blocker, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor,
atau angiotensin receptor blocker (ARB) (level eviden B).
Rekomendasi 7: untuk pasien ras kulit hitam, terapi awal harus terdiri dari
diuretik thiazid atau calcium channel blocker (level eviden C). Terapi ini juga
berlaku bila pasien mengalami diabetes mellitus (level eviden B).
Rekomendasi 8: untuk pasien yang berumur ≥ 18 tahun dengan penyakit
ginjal kronik, terapi awal harus mencakup ACE inhibitor atau ARB tanpa
memandang ras atau status diabetes (level eviden B).
Rekomendasi 9: bila dalam jangka waktu 1 bulan target tekanan darah tidak
tercapai, dapat dilakukan penambahan dosis obat yang dipakai saat terapi
permulaan atau menambahkan obat kedua dari salah satu obat yang terdapat
dalam rekomendasi 6. Obat ke tiga juga dapat ditambahkan bila target
35
tekanan darah tidak tercapai dengan dua kombinasi obat. Obat dari kelompok
yang lain dapat ditambahkan bila obat yang direkomendasikan tidak dapat
mencapai target tekanan darah. Jika terdapat kontraindikasi penggunaan salah
satu obat yang direkomendasikan di atas, ACE inhibitor sebaiknya tidak
dikombinasikan dengan ARB pada pasien yang sama (level eviden E) (Vila,
2015).
Penatalaksanaan farmakologi hipertensi menggunakan obat-obat anti
hipertensi (Bell et al., 2015). Penatalaksanaan famakologik lini pertama
terdiri dari diuretik thiazid, CCB, ACE inhibitor, dan ARB. Sedangkan lini ke
dua terdiri dari beta-bloker, antagonis aldosteron, alpha-bloker, dan direct
rennin inhibitor. Pada JNC 7 terapi lini pertama mencakup diuretik thiazid,
CCB, ACE inhibitor, ARB, dan beta-bloker. Namun pada JNC 8 tidak
memasukkan beta-bloker sebagai terapi lini pertama (Bell et al., 2015).
Beberapa terapi antihipertensi seperti angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitors, angiotensin II receptor blockers, aldosterone antagonists,
dan nebivolol (sejenis beta-blocker) dapat menurunkan tekanan darah dan
memperbaiki fungsi endotel. Sedangkan obat-obatan seperti calcium channel
blockers dan diuretic thiazide belum menunjukkan hasil yang konsisten dalam
memperbaiki fungsi endotel (Dharmashankar dan Widlansky, 2010).
Terapi kombinasi dapat langsung diberkan bila tekanan darah sistolik di
awal ≥ 160 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 100 mHg, atau tekanan
darah sistolik > 20 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 10 mmHg diatas
target tekanan darah yang ingin dicapai. Jika tekanan darah tidap tercapai
dengan kombinasi dua obat antihipertensi, dapat ditambahkan obat ketiga.
36
Obat lini kedua dapat ditambahkan bila target tekanan darah tidak tercapai
dengan terapi lini pertama (Bell et al., 2015).
Thiazid dan thiazide like diuretic merupakan terapi utama
penatalaksanaan hipertensi yang telah digunakan sejak lama. Obat ini tetap
digunakan karena banyak bukti menunjukkan bahwa obat ini secara konsisten
menurunkan resiko penyakit jantung, stroke, dan kematian. Jenis diuretik
thiazid yang paling umum digunakan adalah hydrochlorthiazide (HCT) dan
chlorthalidone. Diuretik thiazid menghambat absorbsi natrium dan clorida
pada ginjal sehingga menyebabkan ekskresi air yang lebih banyak. Hal ini
dapat menurunkan volume darah dan tekanan pada jantung sehingga
menurunkan tekanan darah. Diuretik ini juga mengakibatkan vasodilatasi
pembuluh darah jika digunakan jangka panjang yang juga berkontribusi
terhadap penurunan tekanan darah. Hydrochlorthiazide dapat digunakan
mulai dengan dosis 12,5-25 mg/hari dengan dosis target 25-50 mg. karena
waktu paruhnya yang pendek maka pemberiannya dapat dibagi menjadi dua
dosis dalam sehari. Chlorthalidone dapat diberikan mulai dengan dosis 12,5
mg/hari dengan dosis target 12,5-25 mg/hari. Efek samping pemberian obat
ini adalah kencing banyak, haus, pusing, dan tekanan darah rendah. Kencing
berlebihan biasannya hanya terjadi pada awal terapi saja. Efek samping yang
serius adalah gangguan keseimbangan elektrolit, namun efek samping ini
tidak signifikan dengan terapi dosis rendah (12,5-25 mg/hari) (Bell et al.,
2015).
Calcium channel blocker yang digunakan untuk terapi hipertensi di
antaranya yaitu amlodipin, felodipin, isradipin, nicardipine sustained-release,
37
nifedipine long-acting, dan nisoldipin. Secara normal kalsium seharusnya
masuk ke sel otot pembuluh darah. Dalam hal ini CCB yang diberikan
berikatan dengan calcium-channel yang menyebabkan blokade calcium
channel sehingga mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah. Efek samping
yang sering diakibatkan akibat pemberian CCB di antaranya sakit kepala,
pusing, dan bengkak pada kaki dan tangan (Bell et al., 2015).
Tabel 2.3 Dosis calcium channel blocker (Bell et al., 2015).
Nama generik Dosis (mg/hari)
Amlodipin 2,5-10
Felodipin 2,5-10
Isradipine sustained-release 5-10
Nicardipine sustained-release 60-120
Nifedipine long-acting 30-90
Nisoldipin 17-34
Golongan antihipertensi ACE inhibitor di antaranya yaitu benazepril,
captopril, enalapril, fosinopril, perindopril, lisinopril, moexipril, quinapril,
ramipril, dan trandolapril. Obat ini bekerja dengan mencegah terbentuknya
angiotensin II. Angiotensin II berfungsi untuk vasokonstriksi pembuluh darah.
Selain itu agiotensin II juga merangsang keluarnya aldosteron yang berfungsi
untuk mempertahankan air dan natrium di dalam tubuh. Dengan dihambatnya
angiotensin II maka tekanan darah akan diturunkan. ACE inhibitor dapat
mencegah kematian pada pasien dengan gagal jantung dan pada semua pasien
yang memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi jantung. ACE inhibitor
juga dapat menurunkan proteinuri pada pasien diabetes. Efek samping
pemberian ACE inhibitor diataranya yaitu batuk, sakit kepala, tekanan darah
rendah, dan angioedema. ACE inhibitor dikontraindikasikan pada wanita
hamil karena mengakibatkan kecacatan pada janin (Bell et al., 2015).
38
Tabel 2.4 Dosis ACE inhibitor dan ARB (Bell et al., 2015).
ACE inhibitor ARB
Nama generik Dosis Nama generik Dosis
Benazepril 80 mg Azilsartan 80 mg
Captopril 50 mg Candesartan 32 mg
Enalapril 40 mg Eprosartan 800 mg
Fosinopril 80 mg Irbesartan 300 mg
Lisinopril 40 mg Losartan 100 mg
Moexipril 30 mg Olmesartan 40mg
Perindopril 16 mg Telmisartan 80mg
Quinapril 80 mg Valsartan 320 mg
Ramipril 20 mg Azilsartan 80 mg
Trandolapril 8 mg Candesartan 32 mg
Angiotensin II receptor blocker memiliki mekanisme kerja hampir sama
dengan ACE inhibitor. Jenis ARB yang digunakan diantaranya yaitu
azilsartan, candesartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan,
telmisartan, and valsartan. Selain mencegah pembentukan angiotensin II, ARB
juga mencegah angiotensin II berikatan dengan reseptornya sehingga
angiotensin II tidak dapat bekerja untuk meningkatkan tekanan darah. ARB
dan ACE inhibitor memiliki mekanisme kerja yang serupa, oleh karena itu
maka sebaiknya kedua obat ini tidak dikombinasikan. Efektifitas ARB dan
ACE inhibitor juga serupa, namun efek samping ARB seperti batuk atau
angioedema secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan ACE inhibitor.
ARB juga kontraindikasi pada ibu hamil (Bell et al., 2015).
Beta bloker yang digunakan sebagai terapi antihipertensi diantaranya
yaitu atenolol, bisoprolol, metoprolol tartrate, metoprolol succinate lepas
lambat, carvedilol, dan labetalol. Beta bloker menghambat aktivasi reseptor
beta pada jantung. Aktivasi reseptor beta pada jantung mengakibatkan
peningkatan denyut jantung dan memperkuat kontraktilitas jantung. Dengan
39
dihambatnya reseptor ini maka tekanan darah juga akan turun. Beta bloker
bukan merupakan terapi lini pertama pada pasien hipertensi. Hal ini adalah
karena terjadi peningkatan insiden serangan jantung atau stroke bila
digunakan sebagai terapi antihipertensi pada pasien yang tidak memiliki
indikasi spesifik. Berdasarkan JNC 8, beta bloker digunakan sebagai terapi
lini ke dua, kecuali pasien dengan indikasi khusus seperti serangan jantung
atau stroke yang akut (Bell et al., 2015).
Antagonis aldosteron juga merupakan terapi lini kedua. Jenis aldosteron
antagonis diantaranya adalah spironolakton dan eplerenone. Antagonis
aldosteron bekerja dengan menghambat aktivitas aldosteron sehingga
menurunkan tekanan darah (Bell et al., 2015).
Terapi alternatif yang belum disebutkan dalam JNC 8 yaitu alpha-1
blocker, central alpha-2 blocker, dan direct rennin inhibitor. Alpha-1
antagonist (doxazosin, prazosin, terazosin) menyebabkan pembuluh darah
kecil tetap terbuka yang menurunkan tekanan darah. Suatu penelitian yang
membandingkan penggunaan doxazosin dengan terapi antihipertensi lain
mendapatkan bahwa kelompok doxazosin memiliki insiden gagal jantung dan
kejadian kardiovaskular yang lebih tinggi. Sehingga doxazosin tidak
digunakan sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi. Alpha-2 agonists
diantaranya yaitu clonidine, guanfacine, dan methyldopa bekerja di secara
sentral di otak untuk menghambat neurotransmiter yang akan meningkatkan
denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini sangat jarang digunakan karena
efek sampingnya (pusing, sakit kepala, dan lemas). Direct renin inhibitor
aliskerin bekerja hampi rsama dengan ARBs dan ACE inhibitor. Direct renin
40
inhibitor menghambat renin, yang mengakibatkan terhambatnya
pembentukan angiotensin II. Vasodilator seperti minoxidil dan hydralazine
bekerja dengan melebarkan pembuluh darah untuk mengurangi tekanan darah.
Obat ini digunakan sebagai terapi lini terakhir dalam penatalaksanaan
hipertensi (Bell et al., 2015).
2.1.7.3 Peranan obat antiinflamasi sebagai antihipertensi
Hingga saat ini obat antiinflamasi belum digunakan untuk mengobati
hipertensi. Beberapa obat antiinflamasi secara potensial dapat digunakan sebagai
antihipertensi. Mycophenolatemofetil, yang memblok sel T dan dengan
menghambat inosine monophosphate dehydrogenase memiliki efek penurunan
tekanan darah pada subjek psoriasis dan rheumatoid arthritis dengan hipertensi
dan juga pada tikus. Imunosupresan lain contohnya tacrolimus yang merupakan
suatu calcineurin inhibitor yang menghambat aktivasi sel T dilaporkan
menurunkan hipertensi pada Dahlsalt-sensitive rats. Pasien gagal ginjal kronik
dengan hipertensi yang mendapatkan terapi imunosupresan didapatkan
memerlukan obat antihipertensi yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan
pasien yang tidak mendapatkan obat imunosupresan. Obat imunsupresan dapat
menimbulkan efek yang serius sehingga penggunaannya harus berhati-hati. Obat
anti inflamasi non steroid justru dapat meningkatkan tekanan darah akibat retensi
natrium (Dinh et al., 2014).
Statin yang selama ini digunakan untuk menghambat sintesis kolesterol
dengan menghambat HMG-CoA reduktase juga memiliki efek antiinflamasi. Obat
ini dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah sistolik pada pasien
hiperkolesterolemia dan efeknya lebih besar pada subjek dengan tekanan darah
41
yang lebih tinggi pada awal terapi. Statin dapat menurunkan kadar sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-𝛼, ICAM-1, dan CRP. Jika digunakan pada
pasien tanpa hiperkolesterolemia rosuvastatin dapat menurunkan kadar CRP dan
berhubungan dengan insiden penyakit kardiovaskular yang lebih rendah. Efek
antiinflamasi statin juga berkaitan dengan NO. Statin dapat meningkatkan mRNA
dan ekspresi eNOS pada sel endotel dengan menghambat phosforilasi rho-kinase
geranylgeranyl, dan seperti yang telah disebutkan NO memiliki efek
antiinflamasi. Statin juga meningkatkan coupling eNOS dengan cara menurunkan
kadar asymmetrical dimethylarginine (ADMA) plasma dimana ADMA
berhubungan dengan uncoupling dari eNOS (Dinh et al., 2014).
Alopurinol yang selama ini merupakan obat yang banyak digunakan untuk
menurunkan konsentrasi asam urat serum untuk mencegah serangan akut gout
yang berulang ternyata juga memiliki efek antihipertensi (Day et al., 2007).
Terapi alopurinol secara signifikan menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik dibandingkan dengan placebo (Feig et al., 2008). Mekanisme kerjanya
diperkirakan melalui penghambatan terhadap aktivitas enzim xanthin oksidase
(XO) yang mengakibatkan penurunan produksi ROS yang menurunkan stres
oksidatif dan menurunkan katabolisme vasodilator NO sehingga memperbaiki
tekanan darah (Whelton, 2012).
2.2 Peranan Xanthine Oksidase dalam Patogenesis Hipertensi
Xanthine oksidase merupakan enzim yang memegang peranan penting dalam
metabolisme asam urat. Enzim XO selama ini hanya identik dengan
hiperurisemia dan arthritis gout. Saat ini penelitian epidemiologi dan
eksperimental menunjukkan bahwa XO dan hiperurisemia juga berhubungan
42
dengan berbagai penyakit metabolik seperti hipertensi, penyakit jantung,
diabetes, penyakit ginjal kronik, dan penyakit kardiovaskular lainnya (Mazzali et
al., 2001; Dincer et al., 2002; Johnson et al., 2003; Berry et al., 2004; Pacher et
al., 2006; Zoccali et al., 2006; Edwards, 2009).
Banyak penelitian eksmerimental dan epidemiologi yang mendapatkan
hubungan antara hiperurisemia dan hipertensi, khususnya dalam hubungannya
dengan disfungsi endotel (Zoccali et al., 2006; Grayson, 2011; Feig, 2012; Puddu
et al. 2012). Mekanisme pathogenesis yang bertanggung jawab terhadap
peningkatan resiko terjadinya hipertensi akibat hiperurisemia masih belum
diketahui secara pasti. Hal ini diperkirakan terjadi akibat peranan dari enzim XO
itu sendiri yang dalam reaksinya memecah purin menjadi asam urat
mengakibatkan pelepasan ROS yang merupakan efek dari reaksi yang terjadi.
Radikal bebas ini menyebabkan terjadinya inflamasi yang merupakan dasar dari
disfungsi endotel dalam hipertensi (Deanfield et al., 2005; Savoia et al., 2011).
2.2.1 Hiperurisemia
Asam urat merupakan suatu asam lemah yang didistribusikan melalui cairan
ekstraseluler sebagai sodium urat. Kadar asam urat di darah tergantung dari kadar
asupan purin sehari-hari, biosintesis urat, dan kecepatan ekskresi asam urat
(Kutzing dan Firestein, 2008).
2.2.1.1 Definisi
Hiperurisemia merupakan suatu kondisi dimana kadar asam urat serum > 7.0
mg/dL pada laki-laki dan > 6,0 mg/dL pada wanita. (Dincer et al., 2002; Johnson
et al., 2003; Messina et al., 2011).
43
Pada laki-laki kadar asam urat terus meningkat dengan kadar 3,5 mg/dL saat
pubertas dan mencapai kadar 5.0 ± 2.0 mg/dL saat dewasa. Pada wanita kadar
asam urat cenderung konstan pada periode premenapause karena adanya hormon
estrogen yang merangsang eksresi asam urat. Kadar asam urat yang normal pada
wanita adalah 4.0 ± 2.0 mg/dL (Dincer et al., 2002; Johnson et al., 2003; Messina
et al., 2011).
2.2.1.2 Prevalensi
Prevalensi hiperurisemia meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir.
Hal ini diperkirakan berhubungan dengan meningkatnya prevalensi obesitas,
peningkatan konsumsi gula, makanan tinggi purin, dan alkohol (Qazi dan
Batuman, 2016). Di Amerika Serikat prevalensi hiperurisemia pada populasi
umum diperkirakan berkisar antara 2-13% (Qazi dan Batuman, 2016). Pada tahun
2007-2008 prevalensi gout pada orang dewasa di Amerika Serikat adalah 3,9%
(Zhu et al., 2011). Di Australia prevalensi gout pada suku Aborigin meningkat
dari nol% di tahun 1965 menjadi 9,7% pada laki-laki dan 2,9% pada wanita di
tahun 2002 (Robinson et al., 2012). Di China prevalensi hiperurisemia adalah
21,6% pada laki-laki dan 8,6% pada wanita (Liu et al., 2011). Hiperurisemia
prevalensinya relatif lebih banyak ditemukan di wilayah Asia Pasifik. Hal ini
diperkirakan berhubungan dengan fraksional eksresi asam urat yang rendah (Qazi
dan Batuman, 2016). Di Jepang prevalensi hiperurisemia meningkat 5 kali lipat
sejak tahun 1980-2000, dimana pada tahun 1980 prevalensi hiperuricemia di
Jepang adalah 4% dan meningkat menjadi 26% di tahun 2000 (Smith dan March,
2015). Di Indonesia, khususnya di Bali prevalensi hiperurisemia adalah 28%
dimana 21% adalah laki-laki dan 7% adalah wanita (Kurniari et al., 2011).
44
Hiperurisemia dan arthritis gout cenderung lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan wanita. Di Jepang laki-laki berusia di bawah 65 tahun memiliki
resiko 4 kali lipat mengalami hiperurisemia dibandingkan dengan wanita. Namun
pada umur di atas 65 tahun perbandingan hiperurisemia antara laki-laki dan
wanita adalah 3:1 (Qazi dan Batuman, 2016).
2.2.1.3 Etiologi
Hiperurisemia dapat terjadi akibat peningkatan produksi asam urat,
penurunan ekskresi atau gabungan keduanya (Dincer et al., 2002; Qazi dan
Batuman, 2016).
Penyebab penurunan ekskresi asam urat diantaranya yaitu hiperurisemia
idiopatik, familial juvenile gouty nephropathy, insufisiensi ginjal, sindroma
metabolik, obat-obatan (diuretik, salisilat, ciclosporin, pirazinamid, ethambutol,
levodopa, dan asam nicotinic), hipertensi, asidosis, preeklamsia dan eklamsia,
hipotiroid, hiperparatiroid, sarcoidosis, dan trisomi 21 (Dincer et al., 2002; Qazi
dan Batuman, 2016).
Sedangkan penyebab peningkatan produksi asam urat disebabkan beberapa
kondisi yaitu ideopatik, hypoxanthine guanine phosphoribosyltransferase
(HGPRT) deficiency (Lesch-Nyhan syndrome), partial deficiency of HGPRT
(Kelley-Seegmiller syndrome), partial deficiency of HGPRT (Kelley-Seegmiller
syndrome), peningkatan aktifitas 5-phospho-alpha-d-ribosyl pyrophosphate
(PRPP) synthetase, diet tinggi purin, peningkatan turnover asam urat (pada
anemia hemolitik dan keganasan hematologi), tumor lisis sindrom, dan pemaparan
polutan organik yang persisten (contoh pestisida organoclorin) (Dincer et al.,
2002; Qazi dan Batuman, 2016).
45
Gabungan peningkatan produksi dan penurunan ekskresi asam urat terjadi
pada peminum alkohol, asupan soft drink dengan pemanis fruktosa, olahraga,
defisiensi aldolase B (fructose-1-phosphate aldolase), dan defisiensi glucose-6-
phosphatase (Dincer et al., 2002; Qazi dan Batuman, 2016).
2.2.1.4 Patofisiologi
Asam urat merupakan produk akhir dari metabolism purin. Sebagian besar
asam urat adalah hasil dari metabolism purin endogen dan sebagian kecil berasal
dari makanan yang kaya purin. Asam urat dihasilkan dari pemecahan asam
nukleat dan nukleotida purin bebas. Pemecahan ini menghasilkan nuleotida purin
antara yaitu hypoxanthine dan xanthine. Xanthine dioksidasi menjadi asam urat
yang dikatalisis oleh enzim xanthine oxidase (Dincer et al., 2002; Johnson et al.,
2003; Berry et al., 2004; Pacher et al., 2006).
Gambar 2.14 Diagram jalur pemecahan purin (Pacher et al., 2006)
46
Pada sebagian besar mamalia, asam urat dipecah menjadi allantoin melalui
enzim uricase. Alantoin kemudian diekskresi secara bebas melalui urin untuk
menjaga kadar asam urat di darah tetap stabil. Namun pada era Moicen sekitar 15
juta tahun yang lalu diperkirakan terjadi mutasi pada gen uricase yang berfungsi
untuk menghasilkan enzim uricase. Mutasi ini terjadi pada datu dari empat nenek
moyang Hominid. Hal ini menyebabkan tidak berfungsinya gen uricase sehingga
memberikan imbas pada kadar asam urat manusia dan apes besar seperti gorilla
dan simpanse yang memiliki kadar asam urat yang lebih tinggi yaitu > 2 mg/dL
dibandingkan dengan mamalia lain yang hanya <2 mg/dL (Heinig dan Johson,
2006; Kutzing dan Firestein, 2008).
Asam urat merupakan produk akhir metabolisme yang diekskresi melalui
ginjal dan usus. Sepertiga dari asam urat didegradasi oleh bakteri dalam usus,
sedangkan dua pertiga diekskresi melalui ginjal. (Dincer et al., 2002; Berry et al.,
2004).
Kadar asam urat plasma diatur oleh 4 komponen transport ginjal yang
meliputi filtrasi glomerulus, reabsorbsi, sekresi, dan reabsorbsi post sekretori
(Kutzing dan Firestein, 2008). Hanya 5% asam urat yang terikat plasma dan
sisanya akan difiltrasi secara bebas oleh glomerulus. Dari semua asam urat yang
difiltrasi, 99% akan direabsorpsi oleh tubulus proksimal (Dincer et al., 2002;
Berry et al., 2004).
Hiperurisemia timbul bila kadar asam urat melebihi kelarutannya pada serum
dan ruang ekstraseluler seperti sendi dan jaringan lunak. Batas kelarutan asam urat
adalah 6,8 mg/dL pada suhu 37o C. Jika kadar asam urat melebihi batas ini maka
asam urat akan mengendap dalam bentuk kristal monosodium urat pada
47
kompartemen tersebut. Manifestasi penumpukan kristal yang kronik dapat
muncul kemudian berupa arthritis gout, walaupun hiperurisemia asimptomatik
dapat berlangsung selama bertahun-tahun karena penumpukan kristal tersebut
tidak selalu menimbulkan respon keradangan. (Mustafa, 2014).
2.2.1.5 Klasifikasi
Secara umum stadium perkembangan penyakit hiperurisemia terdiri dari 4
fase yaitu: 1). Stadium 1: hiperurisemia asimptomatik dimana pada stadium ini
deposisi asam urat tidak menimbulkan gejala. 2). Stadium 2 dan 3 dimana terjadi
arthritis gout akut dan periode interkritikal. 3). Serangan gout akut akibat kristal
yang menumpuk di sekitar sendi dilepaskan ke celah sendi dan memicu reaksi
radang. 4). Stadium arthritis gout kronik dimana pada fase ini penumpukan kristal
monosodium urat terus terjadi. Pasien biasanya mengalami kekakuan dan
pembengkakan sendi, terdapat topus, dan nefrolitiasis. Perkembangan penyakit
dari hiperurisemia asimptomatik ke arthritis gout kronik sangat bervariasi dari
satu orang ke yang lain. Pada beberapa orang memerlukan waktu hingga
bertahun-tahun (Mustafa, 2014).
2.2.1.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada
pasien hiperurisemia, anamnesis dilakukan untuk mengetahui apakah pasien
mengalami hiperurisemia asimptomatik atau simptomatik, dan mengidentifikasi
penyebab serta kondisi komorbid pasien. Simptomatik hiperurisemia berhubungan
dengan gout dan nefrolitiasis. Pasien dengan gout biasanya mengeluhkan nyeri
sendi terutama pada ibu jari kaki. Sedangkan pasien dengan nefrolitiasis asam urat
48
biasanya mengeluhkan nyeri pada pinggang, perut, atau daerah inguinal dan dapat
disertai dengan mual dan muntah (Qazi dan Batuman, 2016).
Karena sebagian besar pasien merupakan hiperurisemia asimptomatik, maka
pada pemeriksaan fisik pasien dengan hiperurisemia asimptomatik biasanya tidak
didapatkan kelainan yang spesifik. Sedangkan pada arthritis gout akut dapat
didapatkan pembengkakan, kemerahan, dan nyeri sendi. Pada pasien dengan
arthritis gout kronik didapatkan adanya topus, sedangkan pada pasien dengan
nefrolitiasis didapatkan adanya nyeri ketok sudut costophrenikus (Qazi dan
Batuman, 2016).
Pemeriksaan penunjang utama yang memastikan diagnosis adalah
pemeriksaan kadar asam urat serum. Pemeriksaan lainnya meliputi kadar asam
urat urin, ekskresi asam urat fraksional pada diet rendah purin, dan rasio asam
urat urine dengan creatinin. Pemeriksaan penunjang lain seperti darah lengkap,
creatinin, elektrolit, fungsi hati, glukosa, profil lipid, kadar thyroid stimulating
hormone disesuaikan dengan penyakit dasar yang dicurigai sebagai pencetus
hiperurisemia (Dincer et al., 2002; Johnson et al., 2003; Messina et al., 2011;
Qazi dan Batuman, 2016).
a. Kadar asam urat serum.
Diagnosis hiperurisemia ditegakkan bila kadar asam urat serum > 7.0 mg/dL
pada laki-laki dan > 6,0 mg/dL pada wanita.
b. Kadar asam urat urin 24 jam
Perkiraan ekskresi asam urat perlu dilakukan pada pasien laki-laki muda
dengan hiperurisemia, wanita premenapause, orang dengan asam urat serum >
11 mg/dL, dan pasien dengan gout.
49
Protokol yang dilakukan dalam pemeriksaan ini yaitu menampung urin
selama 24 jam untuk memeriksa kliren creatinin dan ekskresi asam urat.
Pengumpulan urin dilakukan sebanyak dua kali. Pengumpulan pertama
dilakukan saat pasien mengkonsumsi makanan dan alkohol seperti biasa, dan
di akhir 24 jam pertama kemudian dilakukan pemeriksaan kadar creatinin dan
asam urat serum untuk memperkirakan kliren creatinin. Kemudian pasien
melakukan diet rendah purin dan bebas alkohol selama 6 hari. Setelah itu
kembali dilakukan pengumpulan urin 24 jam diikuti dengan pemeriksaan
serum kreatinin dan asam urat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar asam urat urin 24 jam sebelum dan
setelah pembatasan diet purin, pasien hiperurisemia dikelompokkan menjadi 3
kelompok yaitu: Pasien dengan asupan purin yang tinggi: asam urat urin
prediet > 6 mmol/hari, post diet < 4 mmol/hari; overproduksi: asam urat urin
prediet > 6 mmol/hari, post diet > 4,5 mmol/hari; dan underekskresi: asam
urat urin prediet < 6 mmol/hari, post diet 2 4,5 mmol/hari.
c. Fraksional ekskresi asam urat pada diet rendah purin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui derajat underekskresi pada
pasien dengan hiperurisemia dan gout yang sebabnya tidak diketahui. Fraksi
ekskresi asam urat dihitung dengan rumus berikut:
Fraksi asam urat = [(asam urat urin)×(serum creatinin) ×(100%)] ÷[(asam urat
serum)×( creatinin urin)]
Nilai yang normal pada pasien dengan diet rendah purin dan fungsi ginjal
yang normal adalah pada laki-laki 7-9,5%, wanita 10-14%, dan anak-anak 15-
50
22%. Disebut underekskresi jika nilai yang didapatkan kurang dari batas
bawah tersebut.
d. Rasio asam urat urin dengan creatinin.
Jika pemeriksaan asam urat urin 24 jam tidak memungkinkan untuk
dilakukan, dapat dilakukan pemeriksaan rasio asam urat dengan creatinin
melalui pemeriksaan urin sewaktu. Jika rasio yang didapatkan > 0,8
mengindikasikan kondisi overproduksi. Rasio ini membantu membedakan
nefropati asam urat akut dengan hiperurisemia sekunder akibat gagal ginjal.
Pada nefropati asam urat akut rasio bisanya > 0,9 dan pada hiperurisemia
sekunder akibat gagal ginjal rasio yang didapatkan < 0,7.
Pemeriksaan radiologi pada pasien gout dapat menunjukkan adanya
pembengkakan sendi dan kista subkortikal. Sedangkan pada pasien hiperurisemia
dengan gangguan ginjal dicari apakah terdapat batu asam urat (Qazi dan Batuman,
2016).
Aspirasi sendi juga merupakan diagnosis yang penting dalam mendiagnosis
akut gouty arthritis dengan menemukan adanya kristal monosodium urat pada
cairan sendi dibawah mikroskop (Qazi dan Batuman, 2016).
2.2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hiperurisemia dikelompokkan menjadi 2 yaitu
penatalaksanaan untuk hiperurisemia asimptomatik dan untuk hiperurisemia
simptomatik.
a. Asimptomatik hiperurisemia
Belum ada protokol yang baku penatalaksanaan pasien dengan hiperurisemia
asimptomatik karena kurangnya penelitian randomized clinical trial yang
51
menyelidiki tentang hal ini. Sebagian berpendapat bahwa hiperurisemia
asimptomatik tidak perlu mendapatkan terapi karena progresifitas penyakit ini
sangat bervariasi dari satu individu ke individu yang lain. Sebagian besar
pasien hiperurisemia tidak pernah mengalami gout ataupun batu. Sehingga
pemberian terapi untuk hiperurisemia asimptomatik dianggap tidak efektif dan
membuang biaya. Hiperurisemia asimptomatik dapat diberikan terapi pada
pasien memiliki kadar asam urat yang sangat tinggi, pada pasien malignansi
yang mendapatkan terapi sitolitik untuk mencegah nefropati asam urat, atau
pada orang yang memiliki resiko tinggi terjadi komplikasi seperti riwayat
keluarga dengan gout, batu ginjal, atau nefropaati asam urat (Dincer et al.,
2002; Mustafa, 2014; Qazi dan Batuman, 2016).
Hiperurisemia bukan hanya dihubungkan dengan gout namun juga
diperkirakan berhubungan dengan berbagai kondisi penyakit kardiovaskular,
ginjal, dan metabolik. Banyak data penelitian epidemiologi mendapatkan
hubungan antara kadar asam urat serum dengan berbagai penyakit
kardivaskular dan metabolik, walaupun hal ini masih kontroversi. Belum ada
data yang menunjukkan bahwa mengobati hiperurisemia asimptomatik dapat
mencegah penyakit-penyakit tersebut. Namun penurunan kadar asam urat
serum kemungkinan dapat memberikan manfaat dalam penatalaksanaan
penyakit tersebut (Qazi dan Batuman, 2016; Zechman, 2016).
b. Simptomatik hiperurisemia
Kondisi hiperurisemia asimptomtik meliputi gout, batu asam urat, dan
nefropati asam urat (Qazi dan Batuman, 2016).
52
Pada arthritis gout akut penatalaksanaan utama yang dilakukan adalah
mengatasi nyeri dan keradangan yang terjadi dengan memberikan NSAID
seperti indomethacin selama 7-10 hari atau sampai 3-4 hari setelah semua
gejala keradangan menghilang. Cholchisin yang berfungsi menghambat
aktivasi netrofil juga efektif digunakan dengan pemberian 0,6 mg setiap jam
sampai terjadi perbaikan. Efek samping pemberian colchisin yaitu gangguan
gastrointestinal seperti mual, nyeri perut, dan diare. Kortikosteroid dapat
digunakan bila terdapat kontraindikasi penggunaan NSAID. Steroid
intraartikuler juga dapat diberikan pada pasien yang mengalami arthritis gout
berulang yang gagal diterapi dengan NSAID atau colchicines (Qazi dan
Batuman, 2016).
Terapi arthritis gout kronik dilakukan dengan memberikan obat penurun
asam urat. Pilihan obat penurun asam urat yaitu obat uricosurik yang
meningkatkan ekskresi asam urat, dan xanthin oxidase inhibitor yang
menghambat produksi asam urat (Qazi dan Batuman, 2016).
Probenesid merupakan obat urikosurik yang menghambat reabsorbsi
asam urat sehingga meningkatkan sekresi asam urat. Dapat diberikan dengan
dosis awal 250 mg dua kali sehari dan dapat dinaikkan hingga 3 gr/hari.
Indikasi penggunaan probenesid adalah eksresi asam urat urin 24 jam < 800
mg, tidak ada batu ginjal, dan fungsi ginjal baik (kliren creatinin > 80
ml/menit) (Qazi dan Batuman, 2016).
Alopurinol merupakan obat antihiperurisemia yang paling luas
digunakan. Metabolit utama alopurinol adalah oxypurinol yang sama-sama
merupakan kompetitif inhibitor enzim xantin oxidase. Idealnya alopurinol
53
diberikan pada pasien dengan overproduksi asam urat, terdapat insufisiensi
ginjal, batu ginjal, topus, dan pasien yang memiliki resiko terjadi nefropati
asam urat. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 200-300 mg/hari,
dimana pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal harus dilakukan
penyesuaian dosis. Allopuriol aman diberikan pada sebagian besar pasien,
kecuali pasien alergi terhadap alopurinol. Reaksi alergi yang muncul biasanya
diawali dengan kemerahan pada kulit sehingga jika terdapat reaksi ini setelah
pemberian alopurinol maka obat harus segera dihentikan (Qazi dan Batuman,
2016).
Febuxostat juga merupakan xanthin oxidase inhibitor yang
direkomendasikan oleh US Food and Drug Administration (FDA) untuk
penatalaksanaan gout. Dosis yang diberikan adalah 40-80 mg/hari. Febuxostat
memiliki afektivitas dan keamanan yang serupa dengan alopurinol (Qazi dan
Batuman, 2016).
Lesinurad (Zurampic) merupakan selective uric acid reabsorption
inhibitor (SURI) pertama yang di setujui oleh FDA. Obat ini menghambat
transporter asam urat yaitu URAT1 yang berfungsi mereabsorbsi asam urat
pada ginjal. Obat ini juga menghambat organic anion transporter (OAT4)
yang merupakan transporter asam urat pada hiperurisemia yang disebabkan
oleh diuretik. Pemberian lesinurad harus dikombinasikan dengan xanthine
oxidase inhibitor dan diindikasikan untuk terapi gout pada pasien yang target
asam uratnya tidak dapat dicapai dengan xanthine oxidase inhibitor saja. Obat
ini tidak disarankan pada hiperurisemia asimptomatik dan kontraindikasi pada
peningkatan asam urat akibat tumor lysis syndrome atau Lesch-Nyhan
54
syndrome. Pemberian monoterapi obat ini serta pemberian diatas dosis yang
dianjurkan dapat mengakibatkan peningkatan serum creatinin, sehingga terapi
tidak boleh diberikan bila kliren creatinin < 45 ml/menit (Qazi dan Batuman,
2016).
Pegloticase (Krystexxa) merupakan suatu rekombinan pegylated enzim
asam urat spesifik yang mengkatalisis oksidasi asam urat menjali allantoin.
Digunakan pada orang dewasa dengan arthritis gout kronik yang gagal dengan
terapi konvensional. Obat ini diberikan dengan infuse intravena (Qazi dan
Batuman, 2016).
c. Batu asam urat
Alopurinol merupakan obat pilihan untuk pasien hiperurisemia dengan batu
asam urat. Kalium sitrat dan natrium bicarbonate atau acetazolamid
kemungkinan diperlukan untuk alkalinisasi urin sehingga dapat meningkatkan
kelarutan asam urat. Hidrasi yang adekuat sangat diperlukan untuk
memelihara produksi kencing minimal 2 liter/hari, kecuali ada kondisi medis
tertentu yang merupakan kontraindikasi pemberian cairan (Qazi dan Batuman,
2016).
d. Nefropati asam urat
Pencegahan nefropati asam urat khususnya pada pasien keganasan dapat
menurunkan mortalitas nefropati asam urat. Hidrasi intravena dengan normal
salin dan pemberian manitol atau furosemid sangat penting untuk mencegah
presipitasi asam urat. Alkalinisasi urin dengan natrium bicarbonate atau
acetazolamid juga kemungkinan diperlukan untuk meningkatkan ekskresi urin
(Qazi dan Batuman, 2016).
55
Rasburicase (Elitek) merupakan suatu rekombinan oxidase urat
digunakan untuk mencegah hiperurisemia pada tumor lysis syndrome. Obat ini
mengubah asam urat menjadi allantoin. Dosis rasburicase yang tinggi (600-
900 mg/hari) diberikan sebelum kemoterapi untuk mencegah produksi asam
urat setelah kemoterapi pada pasien limfoma dan leukemia. Pemberian
alopurinol dan hidrasi juga dilanjutkan beberapa hari setelah kemoterapi. Jika
terjadi gagal ginjal akut walaupun setelah pemberian terapi tersebut maka
harus segera dilakukan hemodialisis untuk memperbaiki fungsi ginjal (Qazi
dan Batuman, 2016).
2.2.2 Hubungan xanthine oksidase dengan penyakit kardiovaskular dan
hipertensi
Dahulu asam urat seringkali hanya dikaitkan dengan gout, namun saat ini asam
urat saat ini sering dihubungkan dengan berbagai macam penyakit kardiovaskular.
Banyak penelitian epidemiologi yang mendapatkan hubungan antara asam urat
dan gout dengan penyakit seperti hipertensi, diabetes, sindrom metabolik, stroke,
penyakit arteri koroner, preeklamsia, gangguan ginjal dan penyakit degeneratif
(Mazzali et al., 2001; Johnson et al., 2003; Zoccali et al., 2006; Jin et al., 2012).
Banyak penelitian eksmerimental dan epidemiologi yang menduga adanya
hubungan antara hiperurisemia dan hipertensi, khususnya dalam hubungannya
dengan disfungsi endotel namun tidak semua penelitian berhasil membuktikan
hubungan kausal antara asam urat dengan terbentuknya penyakit jantung koroner
atau kematian akibat penyakit kardiovaskular. Penelitian epidemiologi banyak
memfokuskan hubungan antara asam urat dengan gangguan kardiovaskular seperti
penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan sindrom metabolik. Pada pasien
56
dengan gagal jantung kronik, hiperurisemia berhubungan dengan kejadian
serangan yang lebih sering (Puddu et al., 2012).
Hubungan antara asam urat dengan penyakit kardiovaskular tidak hanya
terjadi pada hiperurisemia saja (kadar asam urat > 7 mg/dL pada laki-laki, dan > 6
mg/dL pada wanita) namun juga terjadi pada kadar asam urat normal ke tinggi
(5,2 – 6 mg/dL) (Puddu et al., 2012).
Hiperurisemia berhubungan dengan peningkatan morbiditas pada pasien
hipertensi serta berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada wanita dan
orang tua (Qazi dan Batuman, 2016). Hiperurisemia juga berhubungan dengan
peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas pada penyakit jantung koroner. Li
dkk melalui ulasan sistemik dan metaanalisis mendapatkan bahwa setiap
peningkatan 1 mg/dL kadar asam urat serum terjadi peningkatan resiko relatif
mortalitas pada penyakit jantung koroner sebesar 1,13 (95% CI 1.06 - 1.20) (Li et
al., 2016).
Hingga saat ini masih menjadi kontroversi apakah asam urat merupakan
faktor independen terjadinya penyakit kardiovaskular atau tidak. Juga masih
belum jelas apakah asam urat merupakan faktor penyebab, faktor kompensasi,
atau faktor koinsiden. Sulitnya mencari peranan asam urat sebagai faktor resiko
independen penyakit kardiovaskular adalah karena hubungan yang komplek
antara hiperurisemia dengan faktor resiko konvensional yang lainnya. Suatu
ulasan sistemik dengan metaanalisis dari 26 penelitian cohort prospektif
menunjukan hiperurisemia merupakan faktor resiko independen terjadinya
kejadian kardiovaskular. Resiko kematian akibat penyakit arteri koroner
57
meningkat 12% untuk peningkatan 1 mg asam urat terutama untuk orang muda
dan wanita (Puddu et al., 2012).
2.2.3 Asam urat sebagai penyebab hipertensi
Dugaan asam urat berhubungan dengan hipertensi bukanlah hal yang baru. Pada
tahun 1870 Frederick Mahomed menyatakan bahwa hipertensi terjadi akibat
toksin yang beredar pada sirkulasi, dimana dia menyatakan terdapat beberapa
kandidat melekul sebagai penyebab hipertensi salah satunya yaitu asam urat.
Frederick Mahomed memberikan contoh pasien gout dengan hipertensi. Beberapa
tahun kemudian Alexander Haig juga menghubungkan asam urat dengan
hipertensi, dimana diet yang menurunkan asam urat juga akan menurunkan
tekanan darah. Pada awal tahun 1913 penelitiaan eksperimental pertama
mendukung hubungan asam urat dengan hipertensi, dimana injeksi asam urat ke
kelinci menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hingga abad ke 20 penelitian
tentang asam urat dan hipertensi hanya menunjukkan sedikit perkembangan dan
belum banyak penjelasan yang dapat menjelaskan mekanisme patofisiologi
hubungan diantara keduanya (Feig, 2012).
Peningkatan asam urat serum sering terjadi pada penderita hipertensi.
Hiperurisemia terdapat pada 25% penderita hipertensi secara umum, pada 50%
pasien hipertensi yang mendapatkan terapi diuretik, dan pada 75% pasien dengan
hipertensi maligna (Mazzali et al., 2001; Johnson et al., 2003).
Walaupun telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa hiperurisemia
berhubungan dengan hipertensi, namun sampai saat ini hiperurisemia belum
diakui sebagai true risk factor hipertensi oleh Joint National Committee atau
organisasi ahli lainnya (Feig et al., 2008).
58
Beberapa penelitian yang mendapatkan hubungan antara hiperurisemia
dengan hipertensi diantaranya yaitu Mazzali dkk yang melakukan penelitian pada
tikus untuk mengetahui peranan asam urat terhadap perkembangan hipertensi dan
penyakit ginjal. Hiperurisemia pada tikus dibuat dengan memberikan inhibitor
enzim uricase yaitu oxonic acid. Hasilnya menunjukkan bahwa hipertensi terjadi
pada tikus hiperurisemia dalam waktu 3 minggu sementara pada tikus kontrol
tidak. Perkembangan hipertensi dihambat dengan memberikan terapi xanthine
oxidase inhibitor (alopurinol) atau agen urikosurik (benziodarone). Suatu korelasi
positif didapatkan antara tekanan darah dan kadar asam urat (r = 0,75), dimana
peningkatan tekanan darah sebesar 10 mmHg ditemukan pada peningkatan kadar
asam urat sebesar 0,03 mmol/l (5 mg/dl) (Mazzali et al., 2001).
Sundstro dkk mengadakan penelitian cohort untuk mengetahui hubungan
antara asam urat serum dengan insiden hipertensi pada 3329 peserta Framingham
Study. Pada awal penelitian subjek tidak menderita hipertensi, infark myokard
gagal jantung, gagal ginjal, atau gout. Setelah follow up selama 4 tahun
didapatkan 13.8% mengalami hipertensi dan 36.1% mengalami progresi
peningkatan tekanan darah. Pada analisis multivariat untuk variable umur, jenis
kelamin, indek masa tubuh, diabetes, merokok, asupan alkohol, creatinin serum,
proteinuria, laju filtrasi glomerulus, tekanan darah di awal, dan peningkatan berat
badan didapatkan bahwa peningkatan serum asam urat 1 standar deviasi (SD)
berhubungan dengan 1,17 peningkatan resiko mengalami hipertensi dan 1,11
untuk mengalami progresi tekanan darah. (Sundstro et al., 2005).
Penelitian Jones dkk juga mendapatkan hubungan antara hiperurisemia
dengan hipertensi primer pada anak. Penelitian diakukan dengan melakukan
59
pengukuran tekanan darah 24 jam dan asam urat serum pada 104 anak-anak yang
menderita hipertensi. Kadar asam urat secara signifikan berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah diastolik (P=0.0063) (Jones et al., 2008).
Penelitian Nakanishi di Jepang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
asam urat serum dengan perkembangan hipertensi, gangguan toleransi gula darah
puasa (IFG) dan diabetes mellitus tipe II. Penelitian dilakukan pada 2310 laki-
laki berumur 35-59 tahun dengan follow up 6 tahun. Subjek penelitian tidak
menderita hipertensi, IFG, diabetes, atau riwayat penyakit kardiovaskular lain
pada saat awal penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam urat serum
berhubungan dengan peningkatan resiko hipertensi (Nakanishi et al., 2003).
Peningkatan kadar asam urat serum juga diperkirakan meningkatkan risiko
prehipertensi. Banyak penelitian yang menunjukkan hasil yang kontroversi.
Metaanalisis terhadap delapan penelitian cross-sectional terhadap 21.832 pasien
prehipertensi menunjukkan bahwa kadar asam urat berhubungan dengan
peningkatan risiko prehipertensi (OR: 1.84; 95% CI: 1.42–2.38) baik pada laki-
laki (OR: 1.60; 95% CI: 1.12–2.21) maupun perempuan (OR: 1.59; 95% CI: 1.17–
2.16) (Jiang et al., 2016).
Kadar asam urat serum juga berhubungan kuat dengan mikroalbuminuri pada
subjek prehipertensi. Suatu penelitian cross-sectional pada 6.771 orang
mendapatkan bahwa mikoalbuminuria didapatkan pada 7,9% subjek prehipertensi
dibandingkan dengan 4% pada subjek dengan tekanan darah normal. Subjek
prehipertensi dengan mikroalbuminuria memiliki kadar asam urat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan subjek prehipertensi tanpa mikroalbuminuria. Tidak
60
didapatkan perbedaan kadar asam urat antara subjek mikroalbuminuria dengan
yang tanpa mikroalbuminuria pada yang normotensi (Lee et al., 2006).
Mekanisme dibalik kerusakan organ yang disebabkan oleh asam urat masih
belum diketahui sepenuhnya. Peningkatan kadar asam urat serum dapat
meningkatkan resiko perkembangan hipertensi dan meningkatkan resiko kematian
penyakit kardiovaskular. Di sisi lain hipertensi juga dapat menyebabkan
peningkatan asam urat (Mazzali et al., 2001).
Hiperurisemia dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi. Hipertensi sendiri
juga dapat meningkatkan asam urat. Mekanisme pasti terjadinya peningkatan
asam urat pada hipertensi juga masih belum jelas. Diperkirakan peningkatan kadar
asam urat pada pasien hipertensi terjadi akibat penurunan aliran darah ke ginjal.
Aliran darah ke ginjal yang rendah pada pasien hipertensi akan meningkatkan
absorbsi urat (Johnson et al., 2003; Berry dan Hare, 2004).
Hipertensi juga menyebabkan terjadinya penyakit mikrovaskular yang dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan. Asam laktat yang banyak dihasilkan
pada keadaan hipoksia dapat mengakibatkan penurunan sekresi urat melalui
inhibisi kompetitif terhadap asam urat pada transporter anion organik. Selain
akibat pelepasan laktat yang memblok sekresi urat pada tubulus proksimal,
iskemia juga dapat mengakibatkan peningkatan sintesis asam urat. Saat terjadi
iskemia terjadi pemecahan ATP menjadi adenine dan xanthine dan juga
meningkatkan produksi XO. Peningkatan xanthine dan XO menyebabkan
peningkatan produksi asam urat (Johnson et al., 2003; Berry dan Hare, 2004).
61
Gambar 2. 15 Hipotesis Ischaemia-reperfusion injury (Berry dan Hare, 2004)
2.2.4 Xanthine oxidase, stres oksidatif, dan disfungsi endotel pada
patogenesis hipertensi
ROS seperti hidrogen peroksida, anion radikal superoksid, dan siglet oksigen
seringkali berhubungan dengan berbagai kondisi fisiopatologis pada manusia.
Stres oksidatif disebabkan akibat ketidakseimbangan antara sistem antioksidan
dan produksi oksidan termasuk ROS. Stres oksidatif memegang peranan penting
dalam patogenesis berbagai penyakit metabolik dan degeneratif (Kostic et al.,
2015).
ROS dihasilkan dalam tubuh manusia akibat paparan zat kimia eksogen dari
lingkungan (radiasi sinar ultraviolet, Rontgen sinar X, dan lain sebagainya) dan
atau dari proses metabolik endogen dalam tubuh manusia yang melibatkan enzim
redok dan transfer elektron. Faktor endogen yang dapat melepaskan ROS
diantaranya yaitu makrofag dan netrofil selama proses inflamasi, mitokondria
yang mengkatalisis transport elektron, metabolisme sitokrom P450, peroksisom,
62
aktivasi sel-sel inflamasi dan berbagai mekanisme lainnya. Enzim XO yang
mengkatalisis reaksi hipoxhantin menjadi xanthin dan xanthin menjadi asam urat
juga merupakan sumber radikal superoksid endogen (Kostic et al., 2015).
Hiperurisemia melalui peranan dari enzim XO dapat mengakibatkan
hipertensi diperkirakan karena: 1). Hiperurisemia memiliki efek proinflamasi dan
mengakibatkan disfungsi endotel, 2). Hiperurisemia merangsang jalur renin
angiotensin, dan 3). Hiperurisemia dapat mengakibatkan ploriferasi otot polos
pembuluh darah (Zoccali et al., 2006; Grayson, 2011; Feig, 2012; Puddu et al.
2012).
2.2.4.1 Mekanisme kerja xanthine oksidase dan stres oksidatif
Xanthin oxidoreductase (XOR) pertama kali ditemukan oleh Schardinger
pada tahun 1902. Gen yang mengkode XOR berada pada kromosom dua. XOR
didistribusikan melalui berbagai organ seperti hati, usus, paru, ginjal, jantung,
otak, dan plasma (Berrry dan Hare, 2004; Pacher et al., 2006). XOR terdiri dari
dua bentuk fungsional yaitu xanthine dehydrogenase (XDH) dan XO. Xanthine
oxidase dihasilkan dari XDH melalui reaksi proteolisis (Puddu et al, 2012).
Perbedaan dari 2 enzim ini yaitu XO hanya mereduksi oksigen, sedangkan XDH
dapat mereduksi oksigen dan NAD+ (Berrry dan Hare, 2004; Pacher et al., 2006).
XO merupakan melekul dengan berat 290 kDa dan termasuk golongan
themolybdenum-protein yang terdiri dari satu molybdenum, satu flavin adenine
dinucleotides (FAD), dan dua besi-sulfida (2Fe-2S). Enzim ini terdiri dari dua
substrate-binding sites yang terpisah (Berrry dan Hare, 2004; Pacher et al., 2006;
Kostic et al., 2015).
63
Baik XDH maupun XO memiliki transport elektron internal yang dapat
menghasilkan ROS. XO merupakan sumber ROS pada sistem pembuluh darah.
Substrat fisiologis yaitu xanthine dan hipoxanthine berikatan dengan XO yang
telah teroksidasi dan mendonorkan dua elektron kepada kovaktor molybdenum
dan mengubahnya dari MoVI menjadi MoIV. Xanthine dan hipoxanthine kemudian
mengalami hidroksilasi oleh H2O di sisi molybdenum dan elektron berpindah ke
FAD melalui dua residu besi sulfide. FAD kemudian dapat direoksidasi secara
divalent oleh oksigen dan menghasikan hidrogen peroksida, atau secara univalent
menghasilkan radikal superoksid (Johnson et al., 2003; Berry dan Hare, 2004;
Puddu et al., 2012). XO yang telah tereduksi memiliki 6 elektron dan
reoksidasinya melibatkan transfer elektron ke melekul oksigen yang menimbulkan
pembentukan dua H2O2 dan dua O2- untuk setiap melekul XO yang tereduksi
(Berrry dan Hare, 2004; Pacher et al., 2006).
Gambar 2.16 Mekanisme reaksi xanthine oxidoreductase dengan xanthine;
A) reductive half reaction; B) oxidative half reaction (Berry dan Hare, 2004)
64
Gambar 2.17 Peranan xanthin oxidase dalam pelepasan radikal bebas
(Berry dan Hare, 2004)
Ekspresi XOR pada manusia bervariasi, dimana bisa meningkat sampai tiga
kali lipat dan rata-rata lebih tinggi 20% pada laki-laki dibandingkan wanita.
Walaupun pada kondisi basal ekspesi XOR pada manusia adalah rendah, namun
transkripsinya bisa meningkat dengan adanya hipoksia, IL-1, IL-6, TNF-α,
lipopolisakarida, dan terapi steroid (Berrry dan Hare, 2004; Pacher et al., 2006).
2.2.4.2 Xanthin oksidase dan disfungsi endotel
Asam urat sebelumnya diperkirakan memiliki efek antioksidan yang dapat
menangkal adanya stres oksidatif pada sel otot jantung, pembuluh darah, dan
saraf. Namun dalam dua dekade terakhir beberapa penelitian justru mendapatkan
hasil sebaliknya dimana asam urat berhubungan dengan kejadian penyakit
kardiovaskular (Puddu et al. 2012).
Pada tahun 2005 penelitian klinis dan eksperimental pertama yang menduga
bahwa peningkatan asam urat berhubungan dengan penurunan kadar NO yang
menyebabkan disfungsi endotel. Asam urat menurunkan kadar NO pada kultur sel
65
endotel, menghambat vasodilatasi cincin aorta, dan menurunkan kadar nitrit
sirkulasi pada binatang. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa hiperurisemia
mengakibatkan terjadinya hipertensi dan penyakit vaskular yang reversible
dengan pemberian NOS substrat yaitu L-arginin. Penelitian Gersch dkk,
mendapatkan bahwa asam urat bereaksi secara langsung dengan NO dalam suatu
reaksi cepat yang irreversible menghasilkan 6-aminourasil dengan konsekuensi
berkurangnya NO (Puddu et al. 2012).
Radikal superoksid yang dihasikan oleh XDH maupun XO dapat mengikat
NO dan membentuk peroxynitrite (OONO-) yang merupakan suatu non radical
oxidant species yang sangat poten. Radikal bebas ini ini menyebabkan terjadinya
inflamasi mengarah kepada disfungsi endotel yang mengakibatkan penurunan NO
sehingga terjadi gangguan vasodilatasi pembuluh darah (Johnson et al., 2003;
Berry dan Hare, 2004; Puddu et al., 2012). NO berfungsi mengatur tonus
pembuluh darah, mencegah adhesi leukosit, mencegah agregasi dan adhesi
platelet, dan menekan ploriferasi intima sehingga penurunan NO memicu disfungi
endotel (Puddu et al., 2012).
Gambar 2.18 Reaksi pembentukan asam urat dan pelepasan ROS
(NO, nitric oxide; O2−, superoxide anion; OONO−, peroxynitrite; XD,
xanthine dehydrogenase; XO, xanthine oxidase) (Puddu et al., 2012).
66
2.2.4.3 Hiperurisemia mengakibatkan ploriferasi otot polos pembuluh darah
Percobaan pada tikus yang dilakukan oleh Johnson menduga bahwa
hiperurisemia menginduksi terjadinya hipertensi melalui dua fase. Fase pertama
yaitu asam urat secara langsung mengaktivasi sistem renin angiotensin dan
menurunkan produksi NO yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi
pembuluh darah. Pada fase ini penurunan asam urat mengakibatkan relaksasi
pembuluh darah dan memperbaiki tekanan darah. Fase kedua terjadi dimana
peningkatan asam urat yang lama memicu terjadinya aterosklerosis pembuluh
darah. Asam urat masuk ke sel otot polos pembuluh darah melalui URAT-1
channel menyebabkan aktivasi kinase, nuclear transcription factor, cyclo-
oxygenase generasi kedua, peningkatan growth factor (PDGF), dan protein
inflamasi (C-reactive protein dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1).
Hal ini mengakibatkan stimulasi autokrin dari ploriferasi sel otot polos pembuluh
darah, penebalan dinding pembuluh darah, hilangnya compliance pembuluh
darah, dan pergeseran tekanan natriuresis. Proses ini tidak reversible lagi dengan
penurunan asam urat (Feig, 2012).
Gambar 2.19 Mekanisme hiperurisemia menginduksi hipertensi
(Feig, 2012)
67
2.2.4.4 Hiperurisemia merangsang jalur angiotensin
Asam urat juga memiliki pengaruh terhadap pengaturan tekanan darah oleh
ginjal. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya hiperurisemia kronis akan
merangsang sistem renin angiotensin dan menghambat pelepasan NO endotel
yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal serta peningkatan
tekanan darah (Feig et al., 2008).
Gambar 2.20 Mekanisme hiperurisemia sebagai mediator hipertensi pada
ginjal (Feig et al., 2008)
Vasokonstriksi ginjal yang persisten juga dapat mengakibatkan terjadinya
aterosklerosis pada pembuluh darah ginjal. Lesi tersebut kemudian
mengakibatkan terjadinya iskemia yang menimbulkan peningkatan asam laktat
sehingga menghambat sekresi asam urat. Peningkatan asam urat sendiri akan
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim XO yang aktifitasnya akan melepaskan
68
radikal bebas secara langsung. Stres oksidatif tersebut akan semakin menurunkan
NO dan memperburuk disfungsi endotel. Lesi pada ginjal ini dapat menyebabkan
terjadinya salt-sensitive hypertension, walaupun hiperurisemia telah dikoreksi
(Feig et al., 2008).
2.3 Peranan XO Inhibitor Alopurinol Dalam Penatalaksanaan Hipertensi
Selama ini banyak penelitian yang mencoba meneliti tentang efek inhibisi
enzim XO oleh alopurinol dan pengaruhnya terhadap tekanan darah, dimana
hasilnya hingga saat ini masih kontroversi (Johnson et al., 2003; Berry dan Hare,
2004; Szasz et al., 2010; Savoia et al., 2011).
Feig dkk melakukan penelitian untuk mengetahui apakah penurunan asam
urat serum akan menurunkan tekanan darah. Penelitian ini merupakan penelitian
randomized, double blind, placebo controlled, cross over, yang melibatkan 30
orang dewasa muda dengan hiperurisemia yang baru terdiagnosis hipertensi.
Hiperurisemia diterapi dengan memberikan alopurinol 200 mg 2 kali sehari
selama 4 minggu dan placebo 2 kali sehari selama 4 minggu dengan periode wash
out selama 2 minggu. Rata-rata perubahan tekanan darah sistolik untuk alopurinol
adalah −6.9 mm Hg (95% CI, −4.5 - −9.3 mm Hg) berbanding −2.0 mm Hg (95%
CI, 0.3- −4.3 mm Hg; P = 0,009) untuk placebo. Penurunan tekanan darah
diastolik untuk alopurinol adalah −5.1 mm Hg (95% CI, −2.5 - −7.8 mm Hg)
berbanding −2.4 (95% CI, 0.2 - −4.1; P = 0,05) untuk placebo. Dua puluh orang
dari 30 partisipan yang mendapatkan alopurinol mencapai tekanan darah normal
berbanding 1 partisipan yang mendapatkan placebo (P < 0,001). Hasilnya
69
menunjukkan terapi alopurinol secara signifikan menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolik dibandingkan dengan placebo (Feig et al., 2008).
Penelitian Dawson dkk pada pasien dengan diabetes mellitus untuk
mengetahui respon pemberian infus NG-monomethyl-l-arginin (L-NMMA)
sebelum dan setelah pemberian alopurinol atau placebo. Titik akhirnya adalah
perubahan aliran darah arteri karotis interna setelah diberikan infus L-NMMA.
Hasilnya didapatkan bahwa alopurinol memperbaiki respon terhadap L-NMMA
jika dibandingkan dengan placebo (p = 0,032) dimana median aliran darah arteri
karotis interna setelah infus L-NMMA adalah 3,144 ml (95% CI 375-7,143). Hal
ini menunjukkan bahwa penghambatan XO dengan alopurinol menyebabkan
terjadinya bioavailabilitas NO serebral yang memberikan repson lebih besar
terhadap infus NG-monomethyl-l-arginin (L-NMMA) (Dawson et al., 2009).
Butler dkk, melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian XO
inhibitor alopurinol terhadap disfungsi endotel pada pasien diabetes dengan
hipertensi ringan. Subjek penelitian diberikan alopurinol 300 mg selama 1 bulan
dengan cara randomized placebo-controlled. Hasilnya menunjukkan bahwa
alopurinol secara signifikan meningkatkan rata-rata aliran darah lengan yang
berespon terhadap asetilkolin 30% (3,16 ± 1,21 alopurinol berbanding 2,54 ±
0,76 ml placebo, p= 0.012, 95% CI 0,14-1,310), dimana alopurinol menurunkan
fungsi endotel hampir ke kondisi normal. Alopurinol juga menurunkan aktifitas
radikal bebas, di mana kadar malondialdehid secara signifikan menurun
(0,30±0,04 µmol/l untuk alopurinol berbanding 0,34 ± 0,05 µmol/l untuk placebo)
(Butler et al., 2000). Penelitian ini menunjukkan alopurinol memperbaiki fungsi
70
endotel dengan menurunkan stress oksidatif pembuluh darah dan bukan dengan
menurunkan asam urat (George et al., 2006).
Suatu penelitian eksperimental randomized double blind pada remaja obese
dengan prehipertensi menunjukkan bahwa pemberian alopurinol mmenurunkan
tekanan darah secara bermakna. Alopurinol menurunkan tekanan darah sitolik
sebesar -10,1 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar -8,0 mmHg. Sedangkan
pada kelompok placebo malah terjadi peningkatan tekanan darah sistolik sebesar
1.7 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 1,6 mmHg. Pemantauan tekanan
darah 24 jam juga menunjukkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar -9,2
mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar -6,1 mmHg pada kelompok alopurinol
(Feig dan Soletsky, 2012).
2.3.1 Xanthin oxidase inhibitor alopurinol
Alopurinol merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk menurunkan
konsentrasi asam urat serum. Tujuan utama pemberian obat ini adalah untuk
mencegah serangan akut gout yang berulang (Day et al., 2007).
Alopurinol ditetapkan oleh Food and Drug Administration pada tahun 1966
sebagai terapi lini pertama dalam penatalaksanaan hiperurisemia primer dan
sekunder. Obat inhibitor XO yang lain seperti febuxostat memiliki rasio biaya
berbanding keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan alopurinol
sehingga dipakai sebagai terapi ini ke dua untuk pasien-pasien yang tidak bisa
menggunakan alopurinol (George dan Struther, 2009).
Alopurinol secara kimia dikenal dengan sebutan 1,5-dihydro-4 H-pyrazolo
[3,4-d] pyrimidin-4-one merupakan inhibitor XO yang diberikan secara oral.
Terdapat dua sediaan tablet yaitu yang mengandung 100 mg dan 300 mg
71
alopurinol. Kelarutannya dalam air pada suhu 370 C adalah 80 mg/dL dan lebih
besar pada larutan basa (George dan Struther, 2009; Anderson et al., 2016).
Struktur alopurinol mirip dengan hypoxanthine. Alopurinol merupakan
penghambat enzim XO, yang merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap
perubahan hypoxanthine menjadi xanthine dan xanthine menjadi asam urat.
Alopurinol dimetabolisme secara cepat menjadi oxipurinol (alloxanthine) yang
juga merupakan inhibitor enzim XO (Anderson et al. 2016). Efek hipourisemik
yang dimiliki alopurinol tergantung dari hasil metabolitnya ini (Day et al., 2007).
Gambar 2.21 Struktur kimia alopurinol dan oxypurinol dan aksinya terhadap
hambatan pembentukan asam urat (Anderson et al., 2016)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya hypoxhantin merupakan suatu
produk yang dihasilkan dari metabolisme purin (guanine dan cytosine) dan
dengan adanya XO fungsional hypoxanthine akan diubah menjadi xanthine dan
kemudian menjadi asam urat yang kemudian diekskresikan melalui urin. Suatu
72
purin analog (struktur serupa purin) dapat bersaing dengan hypoxhanttin dan
xanthine untuk dimetabolisme oleh XO. Alopurinol dan metabolitnya memiliki
struktur yang mirip dengan purin dan pirimidin dan dapat mempengaruhi kerja
enzim dalam jalur metabolisme purin dan pirimidin (Busti, 2015).
Alopurinol merupakan suatu analog purin. Obat ini dan metabolitnya yaitu
oxypurinol menghambat aktivitas XO. Alopurinol juga dimetabolisme oleh enzim
hypoxanthine-guanine phosphoribosyltransferase (HGPRT) dan orotate
phosphoribosyltransferase (OPRT) yang menghasilkan nukleotida analog yang
menghambat purine nucleoside phosphorylase (PNP) pada metabolisme purin dan
orotidine-5'-monophosphate decarboxylase (OMPDC) yang diperlukan dalam
sintesis pirimidin yang akhirnya digunakan untuk sintesis DNA dan RNA (Busti,
2015).
Gambar 2.22 Mekanisme kerja alopurinol (Busti, 2015)
73
Melalui pemberian oral, alopurinol secara cepat diabsorbsi. Sekitar 90%
alopurinol diabsorbsi melalui saluran cerna. Alopurinol memiliki waktu paruh
yang lebih pendek di plasma yaitu antara 2-3 jam, sedangkan oxypurinol memiliki
waktu paruh yang lebih panjang yaitu 14-30 jam (Pacher et al., 2006; George dan
Struther, 2009). Setelah pemberian alopurinol 300 mg secara oral, kadar plasma
tertinggi dicapai dalam waktu 1,5 jam untuk alopurinol dan 4,5 jam untuk
oxipurinol. Kadar plasma maksimal adalah sekitar 3 mcg/mL untuk alopurinol
dan 6.5 mcg/mL untuk oxipurinol. Efektivitas penghambatan XO dicapai selama
24 jam dengan pemberian alopurinol dosis tunggal. Sekitar 20% alopurinol yang
ditelan diekskresikan melalui feces. Alopurinol dibersihkan oleh ginjal melalui
filtrasi glomerulus, sedangkan oxipurinol mengalami reabsorbsi pada tubulus
ginjal serupa dengan reabsorbsi asam urat. (Anderson et al. 2016).
Pemberian alopurinol secara umum akan menurunkan kadar asam urat serum
dan urin setelah 2-3 hari. Derajat penurunan asam urat dapat dikendalikan dengan
mengatur dosis obat. Agar efek terapi terlihat diperlukan sedikitnya pemberian
alopurinol selama 7-10 hari karena bersihan oxipurinol yang lebih lambat. Pada
beberapa pasien penurunan asam urat secara dramatis kemungkinan tidak terjadi,
terutama pada pasien gout dengan topus. Hal ini disebabkan karena berpindahnya
asam urat dari jaringan ke serum pada saat kadar asam urat serum mulai menurun
(Anderson et al. 2016).
Serangan gout akut dapat terjadi pada pemberian awal alopurinol, sehingga
disarankan untuk memberikan terapi profilaksis dengan cholchisin. Dosis yang
disarankan pada saat awal adalah 100 mg dinaikkan bertahap setiap minggu
sampai mencapai kadar asam urat ≤ 6 mg/dL. Dosis maksimal alopurinol adalah
74
800 mg/hari. Pasien dengan gangguan fu ngsi ginjal memerlukan dosis alopurinol
yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien dengan fungsi ginjal yang normal.
Pada pasien dengan gangguan ginjal berat, waktu paruh oxypurinol sangat
memanjang sehingga hanya dibutuhkan dosis alopurinol 100 mg/hari atau 300 mg
dua kali seminggu atau kurang untuk mempertahanan efek inhibisi XO yang
adekuat untuk menurunkan kadar asam urat (Anderson et al. 2016).
Efek samping yang umum dari alopurinol adalah gangguan gastrointestinal
(mual, muntah, diare), reaksi hipersensitifitas, dan kemerahan pada kulit (Pacher
et al., 2006; George dan Struther, 2009). Kontraindikasi pemberian alopurinol
adalah pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap alopurinol. Faktor resiko
terjadinya reaksi alergi berat pada pemberian alopurinol adalah individu dengan
allel HLA-B*58:01 dan adanya faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi obat
seperti penurunan fungsi ginjal (Stamp et al. 2016). Pemberian alopurinol harus
dihentikan bila terdapat reaksi kemerahan pada kulit atau tanda lain yang
mengindikasikan adanya suatu reaksi alergi, untuk mencegah munculnya reaksi
alergi yang lebih berat seperti sindroma Stevens-Johnson (erythema multiforme
exudativum), vaskulitis generalisata dan gangguan hati. Penggunaan alopurinol
pada wanita hamil dan menyusui juga harus berhati-hati, di mana Alopurinol
dimasukkan dalam daftar obat kategori C (Anderson et al. 2016).
Pemberian alopurinol harus berhati-hati jika dikombinasikan dengan beberapa
obat. Kombinasi thiazid dan alopurinol akan meningkatkan resiko reaksi alergi
bila pasien memiliki gangguan fungsi ginjal. Resiko kemerahan pada kulit juga
akan meningkat jika alopurinol dikombinasi dengan antibiotik ampicillin dan
amoxicillin. Alopurinol akan meningkatkan waktu paruh obat obatan seperti
75
chlorpropamide, cyclosporine, antikoagulan dicumarol, mercaptopurine dan
azathioprine sahingga pada kombinasi obat-obat ini degan alopurinol harus
dilakukan penyesuaian dosis (Anderson et al. 2016). Alopurinol juga
kemungkinan dapat `meningkatkan efek cyclo-phosphamide dan menghambat
metabolisme koagulan oral dan probenesid (Pacher et al., 2006; George dan
Struther, 2009). Penekanan sumsum tulang juga pernah dilaporkan pada pasien
yang medapatkan terapi alopurinol dengan cyclophosphamide (Anderson et al.
2016).
Setiap pasien yang mendapatkan terapi alopurinol harus diberikan informasi
tentang hal-hal berikut: 1). Obat harus segera dihentikan jika ada alergi seperti
tanda kemerahan pada kulit, bengkak pada mulut atau mata, dan segera hubungi
dokter jika terjadi hal terseut. 2). Melanjutkan obat untuk serangan gout akut
karena efek optimal alopurinol baru akan terlihat setelah 2-6 minggu. 3). Minum
air putih yang banyak untuk mencegah batu ginjal. 4). Jika pasien lupa satu hari
minum obat, tidak perlu minum obat dobel untuk jadwal berikutnya. 5). Resiko
pemberian alopurinol jika dikombinasi dengan obat-obat seperti dicumarol,
sulfinpyrazone, mercaptopurine, azathioprine, ampicillin, amoxicillin, dan
diuretik thiazide. 6). Terkadang pemberian alopurinol dapat mengakibatkan
kantuk. 7). Minum alopurinol sesudah makan untuk mencegah iritasi lambung
(Anderson et al. 2016).
2.3.2 Mekanisme terapeutik xanthin oxidase inhibitor alopurinol terhadap
penurunan tekanan darah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ROS memegang peranan penting
dalam patogenesis hipertensi, yang merupakan suatu penyakit dimana terjadi
76
peningkatan kadar ROS dan marker stres oksidatif. ROS merupakan suatu efek
sampingan reaksi yang dikatalisasi oleh enzim XO (Johnson et al., 2003; Berry
dan Hare, 2004; Szasz et al., 2010; Savoia et al., 2011).
Penghambatan terhadap aktivitas enzim XO berhubungan dengan beberapa
efek klinis yang penting yaitu: 1). Penurunan sinyal produksi asam urat endogen
akibat penurunan konsentrasi asam urat sistemik, 2). Penurunan konsumsi oksigen
lokal yang digunakan dalam menghasilkan xanthine dan asam urat, 3). Penurunan
produksi ROS yang menurunkan stres oksidatif, 4). Penurunan katabolisme
adenosine monophosphate yang mengakibatkan jarigan bekerja lebih baik, dan
5). Penurunan katabolisme vasodilator NO. Pada pasien hipertensi pertanyaan
yang masih sulit dijawab adalah apakah perbaikan tekanan darah akibat
penurunan asam urat itu sendiri atau akibat efek independen dari penghambatan
XO (Whelton, 2012).