bab ii kajian pustaka 2.1. osteomielitis kronik 2.1.1 ... ii.pdf · sebagai tulang mati yang...

26
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Osteomielitis Kronik 2.1.1. Definisi Osteomielitis adalah infeksi pada tulang. Berasal dari kata osteon (tulang) dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi dengan itis (inflamasi) untuk menggambarkan kondisi klinis dimana tulang terinfeksi oleh mikroorganisme (Madder dkk, 1997, Lazzarini dkk, 2004). Osteomielitis kronis didefinisikan sebagai osteomielitis dengan gejala lebih dari 1 bulan (Dormans & Drummond, 1994). Osteomielitis kronis dapat juga didefinisikan sebagai tulang mati yang terinfeksi didalam jaringan lunak yang tidak sehat (Cierny & Madder, 2003). Gambaran patologi dari osteomielitis kronis adalah adanya tulang mati, pembentukan tulang baru, dan eksudat dari leukosit polymorphonuclear bersama dengan jumlah besar dari limfosit, histiosit, dan juga sel plasma (Lazzarini dkk, 2004). Pada osteomielitis kronis dapat terjadi episode infeksi klinis yang berulang (Spiegel & Penny, 2005). Tulang tibia merupakan tempat paling sering terjadinya infected nonunion dan osteomielitis kronis setelah trauma (Patzakis dkk, 2005)

Upload: dinhdiep

Post on 06-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Osteomielitis Kronik

2.1.1. Definisi

Osteomielitis adalah infeksi pada tulang. Berasal dari kata osteon

(tulang) dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi dengan itis (inflamasi)

untuk menggambarkan kondisi klinis dimana tulang terinfeksi oleh

mikroorganisme (Madder dkk, 1997, Lazzarini dkk, 2004). Osteomielitis

kronis didefinisikan sebagai osteomielitis dengan gejala lebih dari 1 bulan

(Dormans & Drummond, 1994). Osteomielitis kronis dapat juga didefinisikan

sebagai tulang mati yang terinfeksi didalam jaringan lunak yang tidak sehat

(Cierny & Madder, 2003).

Gambaran patologi dari osteomielitis kronis adalah adanya tulang

mati, pembentukan tulang baru, dan eksudat dari leukosit polymorphonuclear

bersama dengan jumlah besar dari limfosit, histiosit, dan juga sel plasma

(Lazzarini dkk, 2004). Pada osteomielitis kronis dapat terjadi episode infeksi

klinis yang berulang (Spiegel & Penny, 2005).

Tulang tibia merupakan tempat paling sering terjadinya infected

nonunion dan osteomielitis kronis setelah trauma (Patzakis dkk, 2005)

2

2.1.2. Etiologi

Penyebab osteomielitis kronis multifaktor. Adanya kondisi avaskuler

dan iskemik pada daerah infeksi dan pembentukan sequestrum pada daerah

dengan tekanan oksigen rendah sehingga tidak bisa dicapai oleh antibiotik.

Rendahnya tekanan oksigen mengurangi efektivitas bakterisidal dari

polymorpholeukocytes dan juga merubah infeksi aerobik menjadi anaerob

(Wirganowicz, 1999). Penyebab tersering osteomielitis termasuk patah tulang

terbuka, penyebaran bakteri secara hematogen, dan prosedur pembedahan

orthopaedi yang mengalami komplikasi infeksi (DeCoster dkk, 2008).

Organisme utama penyebab infeksi adalah Staphylococcus aureus,

organisme ini ditemukan baik sendiri maupun kombinasi dengan patogen

yang lain pada 65% hingga 70% pasien. Pseudomonas aeruginosa, penyebab

tersering kedua, ditemukan pada 20% hingga 37% pasien. Osteomielitis

biasanya terdapat lebih dari satu organisme pada 32% hingga 70% pasien.

Atypical mycobacteria atau jamur dapat menjadi patogen pada pasien dengan

immunocompromised. Adanya implant dapat mendukung terjadinya

perlengketan mikroba dan pembentukan biofilm, dan dapat mengganggu

proses fagositosis sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Menghilangkan

biofilm dengan cara mengeluarkan implant dan debridemen jaringan mati

diperlukan dalam pengobatan infeksi yang sukses (Patzakis dkk, 2005,

Salomon dkk, 2010).

3

Zat-zat yang diproduksi oleh biofilm Staphylococcus aureus dapat

memberikan konstribusi terhadap kehilangan tulang selama osteomielitis

kronis dengan cara menurunkan viabilitas osteoblas dan potensi osteogenik

sehingga membatasi pertumbuhan tulang baru dan meningkatkan resorpsi

tulang dengan cara peningkatan ekspresi RANK-L oleh osteoblas (Sanchez

dkk, 2013).

2.1.3. Patofisiologi

Terdapat tiga mekanisme dasar terjadinya osteomielitis. Osteomielitis

hematogen biasanya terjadi pada tulang panjang anak-anak, jarang pada orang

dewasa, kecuali bila melibatkan tulang belakang. Osteomielitis dari

insufisiensi vaskuler sering terjadi pada diabetes melitus. Contiguous

osteomielitis paling sering terjadi setelah terjadi cedera pada ekstremitas.

Berbeda dari osteomielitis hematogen, kedua yang terakhir biasanya dengan

infeksi polimikroba, sering Staphylococcus aureus bercampur dengan patogen

lain (Swiontkowski dkk, 1999).

Infected nonunion dan osteomielitis post trauma disebabkan oleh

karena kontaminasi mikroba setelah suatu patah tulang terbuka atau

pembedahan pada patah tulang tertutup. Pembentukan biofilm merupakan

kunci dari perkembangan infeksi. Biofilm merupakan suatu kumpulan koloni

4

mikroba yang ditutupi matriks polisakarida ekstraseluler (glycocalyx) yang

melekat pada permukaan implan atau tulang mati (Patzakis dkk, 2005).

Fokus primer dari osteomielitis akut pada anak-anak terdapat pada

metafise. Bila tidak ditangani, terjadi peningkatan tekanan intramedula dan

eksudat menyebar melalui korteks metafise yang tipis menjadi abses

subperiosteal. Abses subperiosteal dapat menyebar dan mengangkat

periosteum sepanjang diafise. Nekrosis tulang terjadi karena kehilangan aliran

darah akibat dari peningkatan tekanan intramedulari dan kehilangan suplai

darah dari periosteal. Bagian yang avaskular dari tulang yang dikenal sebagai

sequestrum, dan seluruh panjang dari tulang dapat menjadi sequestrum.

Fragmen ini menjadi tempat berkumpulnya mikroorganisme dan dapat terjadi

episode infeksi klinis yang berulang. Abses dapat keluar melalui kulit,

membentuk sinus. Respon pasien dibentuk oleh periosteum sebagai usaha

memagari atau menyerap fragmen ini dan mengembalikan stabilitas, disebut

involucrum (Song dkk, 2001, Spiegel & Penny, 2005, Salomon dkk, 2010).

Infeksi bakteri ke tulang dapat terjadi karena inokulasi langsung,

penyebaran hematogen atau invasi lokal dari tempat infeksi lain. Fisis yang

avaskuler membatasi penyebaran infeksi ke epifise kecuali pada neonatus dan

bayi. Pembuluh darah menyebrang fisis hingga umur 15 hingga 18 bulan,

berpotensi terjadinya septic arthritis. Hal ini dapat terjadi sekitar 75% dari

kasus osteomielitis neonatus (Song dkk, 2001).

5

Bakteri dapat muncul dalam bentuk biofilm atau planktonik. Biofilm

memberikan proteksi, kerangka, yang dapat memfasilitasi aktivitas metabolik

dan bahkan komunikasi antara anggotanya. Pada bentuk planktonik, tidak

terdapat struktur organisasi antara sel-sel, demikian juga tidak terbentuk

lapisan kimia. Bakteri dalam bentuk planktonik memudahkan penyebaran

infeksi ke tempat lain (bacteremia atau sepsis); namun lebih rentan diserang

oleh sistem imun atau antibiotik (Arnold, 2013).

Setelah terinfeksi, osteomielitis melunakan tulang secara progresif dan

terjadi nekrosis tulang sehingga terbentuknya sequestrum. Pada stadium ini,

debridemen dengan pembedahan menjadi pilihan terapi. Adanya implant pada

lokasi infeksi dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat

pengobatan yang sukses (Eid & Berbari, 2012).

2.1.4. Klasifikasi

Klasifikasi oleh Cierny-Mader berdasarkan pada karakteristik anatomi

dari tulang dan fisiologi dari inang. Debridemen osteomielitis ditentukan dari

evaluasi karakteristik anatomi. Dengan memperhatikan karakteristik fisiologi

baik lokal maupun sistemik, dapat membantu mengidentifikasi potensi

masalah. Optimalisasi kondisi pasien sebelum operasi dan hindari prosedur

rekonstruksi kompleks pada pasien yang bermasalah (Cierny dkk, 2003).

Terdapat empat tipe anatomi dari osteomielitis: medula, superfisial,

lokal dan difus (Tabel 2.1). Osteomielitis medula (type I) melibatkan

6

permukaan intramedula. Osteomielitis superfisial (type II) melibatkan

permukaan tulang. Ini disebabkan oleh infeksi langsung ketika permukaan

tulang berdekatan dengan luka jaringan lunak. Osteomielitis lokal (type III)

melibatkan seluruh tebal korteks dan menyebar ke kanal intramedula, namun

pengeluaran sequestrum dengan pembedahan tidak mempengaruhi stabilitas

tulang. Osteomielitis difus (type IV) melibatkan tulang secara melingkar,

membutuhkan reseksi tulang dan stabilisasi. Instabilitas pada osteomielitis

difus, dapat terjadi baik sebelum maupun sesudah debridemen. Infected

nonunions, yang melibatkan osteomielitis difus, memberikan tantangan paling

besar (Cierny dkk, 2003).

Status fisiologi dari pasien dibagi menjadi tipe A, B, atau C

berdasarkan adanya faktor lokal dan sistemik, yang memberikan peran besar

pada hasil akibat dari interaksi mikroorganisme dan inang. Tipe A

mempunyai sistem pertahanan yang baik, vaskularisasi lokal yang baik dan

respon fisiologi yang normal terhadap infeksi dan pembedahan. Tipe B dibagi

menjadi masalah sistemik, lokal dan kombinasi dalam penyembuhan luka dan

respon terhadap infeksi. Faktor sistemik, seperti penyakit ginjal stadium akhir,

keganasan, diabetes mellitus, penggunaan alkohol, malnutrisi, penyakit

reumatologi atau status immunocompromised (infeksi HIV, terapi

imunosupresif), dapat mengurangi kemampuan sistem imun. Defisiensi lokal

dapat disebabkan oleh penyakit arteri, stasis vena, radiasi, bekas luka, atau

7

merokok yang dapat mengurangi vaskularisasi (Tabel 2.2). Cedera awal dan

pembedahan yang menyertai sering berakhir dengan fragmen tulang yang

avaskuler dan bekas luka pada jaringan diatasnya. Pada inang tipe C, faktor

lokal dan sistemik begitu beratnya sehingga bahaya dari terapi melebihi

penyakit itu sendiri (Cierny dkk, 2003).

8

Tabel 2.1. Klasifikasi Osteomielitis Kronis Menurut Cierny-Mader

(Cierny III dkk, 2003)

Tipe Anatomi

Tipe I Osteomielitis Medula

Tipe II Osteomielitis Superfisial

Tipe III Osteomielitis Lokal

Tipe IV Osteomielitis Difus

Kelas Fisiologi

Host – A Sistem imun baik

Host – B Sistem imum terganggu baik lokal (BL)

atau sistemik (BS)

Host – C Membutuhkan supresif atau tidak ada

terapi, terapi lebih buruk dari

penyakitnya, bukan kandidat

pembedahan.

9

Gambar 2.1. Klasifikasi anatomi dari osteomielitis kronis menurut Cierny-Mader

(Cierny III dkk, 2003)

Tabel 2.2. Faktor sistemik atau lokal yang mempengaruhi imun,

metabolisme dan vaskularisasi lokal (Cierny III dkk, 2003)

Sistemik Lokal

Malnutrisi Limfedema kronik

Gagal hati, gagal ginjal Stasis vena

Penyalahgunaan alkohol Gangguan pembuluh darah

utama

Defisiensi imun Arteritis

Hipoksia kronis Bekas luka yang luas

Keganasan Fibrosis akibat radiasi

Diabetes mellitus

10

Umur tua

Terapi steroid

Penyalahgunaan tembakau

2.1.5. Manifestasi Klinis

Pasien dapat menderita nyeri pada daerah yang terkena, eritema,

bengkak dan terdapat sinus. Demam biasanya tidak ditemukan pada

osteomielitis kronis (Patzakis dkk, 2005, Salomon dkk, 2010). Oleh karena

infeksi biasanya tenang, diperlukan kecurigaan yang tinggi dalam diagnosis,

terutama pada pasien dengan atrophic nonunion setelah patah tulang terbuka

atau fiksasi internal dari patah tulang tertutup. Pada sekitar 0.2% hingga 1.6%

pasien, sinus yang kronik dapat berakhir pada metaplasia pada epitel traktus

sinus, tranformasi ganas dan pembentukan squamous cell carcinoma

(Marjolin’s ulcer) (Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk, 2005, Steinrücken dkk,

2012).

Osteomielitis multifokal kronis merupakan kondisi yang jarang

dengan penyebab yang belum diketahui. Gambaran klinis berupa lemas yang

memberat, nyeri lokal dan nyeri tekan pada tempat infeksi. Lesi tulang dapat

muncul berurutan dengan lokasi predominan pada metafise tulang panjang,

dapat juga melibatkan bagian medial clavicula, korpus vertebra atau sendi

sacroiliakus. Lesi tulang sering berulang dan dapat simetris (Carr, 1993).

11

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

Laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) merupakan tanda dari

proses inflamasi, baik disebabkan oleh infeksi maupun tidak. Keduanya dapat

meningkat sekitar 64% pada pasien osteomielitis kronis. Hitung sel darah

putih (WBC) sering normal pada sebagian besar pasien dengan osteomielitis

kronik atau infected nonunion. Pemeriksaan x-ray dapat menunjukan daerah

yang mencurigakan terhadap infeksi, berupa resorpsi tulang, sequestrum,

pembentukan tulang baru pada periosteal atau endosteal dan iregularitas

korteks. Gambaran sequestrum pada x-ray dapat dilihat pada gambar 2.2.(A).

CT scan menjelaskan tulang lebih detail, adanya sequestrum dan perubahan

kecil seperti erosi atau kerusakan korteks, reaksi periosteal atau endosteal, dan

fistula intraoseus. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dipercaya untuk

mendeteksi perubahan pada sum-sum tulang akibat dari infeksi. Ini

merupakan modalitas dengan sensitivitas tinggi untuk menilai pasien dengan

osteomielitis. Peningkatan cairan sekunder karena edema atau hyperemia

menunjukan penurunan sinyal sum-sum tulang pada T1, dan peningkatan

sinyal pada T2. Erdman dkk menggunakan MRI untuk mengevaluasi 110

pasien yang dicurigai menderita osteomielitis dan mendapatkan sensitivitas

sebesar 98% dan spesifisitas sebesar 75% (Patzakis dkk, 2005).

12

Gambar 2.2. Osteomielitis kronis tulang tibia. (A). Tampak pada x-ray sdh terbentuk

involucrum. (B). Bagian tulang sudah avaskuler. (C). Bagian tulang sangat mudah di

angkat (Spiegel & Penny, 2005)

Standar baku untuk diagnosis infeksi yaitu mengisolasi patogen dari

kultur. Pengecatan Gram dapat juga membantu. Pemberian antibiotik

sebelumnya atau penanganan yang salah saat mengambil spesimen dapat

mengganggu pertumbuhan kuman. Kultur yang diambil dari swab luka dan

biopsi dengan jarum pada tempat infeksi tidak cukup untuk menentukan

patogen. Perry dkk melaporkan bahwa swab luka dan biopsi jarum

mengidentifikasi patogen yang sama dengan pada spesimen saat debridemen

sebesar 62% dan 55% dari pasien, secara berurutan (Patzakis dkk, 2005).

2.1.7. Terapi

Tahap pertama penanganan osteomielitis kronis adalah membuat

diagnosis. Karena diferensial diagnosis pada pemeriksaan radiologi termasuk

neoplasma, sering diperlukan biopsi. Setelah menegakkan diagnosis,

13

penanganan osteomielitis kronis adalah pembedahan. Sangat penting untuk

memperbaiki status fisiologi inang melalui nutrisi yang baik, koreksi anemia,

dan terapi infeksi lain yang ada (Spiegel & Penny, 2005).

Manajemen osteomielitis dan infected nonunions termasuk kontrol

infeksi dengan debridemen dan antibiotik, stabilisasi fraktur, penanganan

defek dengan tujuan memperoleh union tulang yang aseptik. Penyelamatan

ekstremitas pada osteomielitis kronis yang difus terdiri dari debridemen,

stabilisasi tulang, pemberian antibiotik sistemik dan lokal, penutupan jaringan

lunak, dan manajemen patah tulang yang belum union serta defek tulang

(Patzakis dkk, 2005, DeCoster dkk, 2008).

Tahap pertama: Debridemen, stabilisasi tulang dan terapi antibiotik.

Debridemen

Ahli bedah Perancis yang mempopulerkan istilah “débridement,” yang

artinya memotong jaringan yang kontraktur disekitar luka. Saat ini istilah

tersebut digunakan untuk prosedur yang lebih ekstensif dari insisi dan eksisi

jaringan yang rusak. Untuk menentukan jaringan mana yang akan di eksisi,

ahli bedah mengidentifikasi otot yang masih hidup dengan bantuan 4 C:

contraction (kontraksi saat dijepit), consistency (tidak lunak), capillary

bleeding saat dipotong, dan color (warna merah, bukan pucat atau gelap)

(Bowyer, 2006).

14

Tahap pertama dimulai dengan debridemen radikal terhadap semua

jaringan mati dan terinfeksi, termasuk kulit, jaringan lunak dan tulang. Untuk

memastikan semua fokus infeksi sudah dibuang, debridemen dilakukan

hingga berdarah, jaringan yang hidup harus terdapat pada batas reseksi.

Tulang yang hidup ditandai dengan titik-titik perdarahan (paprika sign).

Debridemen harus radikal dan tidak dibatasi oleh kekhawatiran membuat

defek tulang atau jaringan lunak seperti yang terlihat pada Gambar 2.2

(Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk, 2005).

Tidak ada perbedaan bermakna dari angka kejadian infeksi pada patah

tulang terbuka yang dilakukan debridemen awal dan terlambat berdasarkan

waktu (Schenker, 2012).

Bila terdapat jaringan lunak yang sehat untuk menutup luka dan

pembentukan involucrum yang cukup, sequesterektomi, drainase, debridemen

jaringan nekrotik dan irigasi yang banyak harus dikerjakan. Perhatian harus

diberikan untuk tidak merusak jaringan lunak diatas periosteum dan merusak

involucrum. Periosteum sebaiknya diinsisi secara longitudinal untuk

membuang sequestrum. Meninggalkan sequestrum di dalam involucrum tidak

dianjurkan karena dapat membentuk tempat pertumbuhan bakteri. Periosteum

harus dipertahankan dan dijahit membentuk struktur tubuler. Imobilisasi

sangat penting setelah operasi. Pemasangan gips dapat membantu.

Debridemen dengan pembedahan merupakan hal penting dalam penanganan

15

osteomielitis kronis selain antibiotik dan imobilisasi pada anak-anak (Unal

dkk, 2006).

Debridemen agresif menggunakan high-speed, saline-cooled burr

diperlukan untuk membuang jaringan tulang yang nekrotik. Osseous laser

Doppler flowmetry dengan nilai lebih dari 100 mV digunakan untuk

meyakinkan tulang yang tersisa masih viabel, level normal pada tulang

kortikal adalah 100 mV (Swiontkowski dkk, 1999).

Infeksi kronik sulit ditangani dengan cara tanpa pembedahan. Untuk

mencegah kekambuhan, biofilm harus dieksisi dan luka harus di revitalisasi.

Luka yang hidup, bersih dan dapat dikendalikan sangat diperlukan untuk

keberhasilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil termasuk kesehatan

inang, ekstensi dari jaringan nekrotik, lokasi dari infeksi, dan keterbatasan

karena penyakit. Pemilihan pasien untuk penyelamatan ekstremitas, amputasi

ataupun paliatif diperlukan pada faktor tersebut (Cierny III & DiPasquale,

2006).

16

Gambar 2.3. Debridemen radikal terhadap semua jaringan mati dan terinfeksi (A).

Debridemen yang kurang baik. (B). Debridemen yang baik. (C). Pemberian bone

graft untuk menutup defek (Song & Sloboda, 2001)

Prosedur dari Lautenbach melibatkan debridemen, intramedullary

reaming dan pemasangan double-lumen tubes untuk membuat sistem

antibiotik lokal dan analisis ruangan untuk volume dan kultur. Hasil akhir dari

terapi saat irigasi menghasilkan kultur yang bersih tiga kali berturut-turut

disertai perbaikan pada darah dan hilangnya ruangan kosong (Hashmi dkk,

2004).

Irigasi pada patah tulang terbuka tetap menjadi komponen yang sangat

penting dalam penanganan luka, dengan tujuan mengurangi jumlah benda

asing dan jaringan nekrotik serta jumlah bakteri, sehingga dapat mengurangi

angka kejadian infeksi. Penelitian pada hewan menunjukan bahwa irigasi

dengan tekanan yang tinggi dan jumlah yang banyak lebih efektif untuk

mengurangi bakteri dan debris dibandingkan dengan tekanan yang rendah dan

17

jumlah yang sedikit (dengan syringe). Walaupun jumlah volume yang pasti

tidak diketahui, kebanyakan setuju cairan irigasi sebanyak 6 sampai 10 liter

diperlukan untuk irigasi patah tulang terbuka grade 2 atau 3 (Anglen, 2001).

Stabilisasi tulang

Stabilisasi tulang pada fraktur nonunion diperlukan untuk kontrol

infeksi. Namun, dengan adanya fiksasi interna, mikroorganisme dilindungi

oleh biofilm yang melekat pada permukaan implan. Oleh karena itu,

keputusan untuk mempertahankan atau mengeluarkan implant yang terinfeksi

berbeda-beda untuk setiap pasien, bergantung pada beberapa faktor yaitu

status penyambungan tulang, stabilitas yang disediakan oleh implant, lokasi

fraktur, dan waktu sejak dilakukan fiksasi fraktur (Patzakis dkk, 2005).

Antibiotik lokal.

Ruangan kosong yang terjadi akibat debridemen dapat diisi oleh

polymethylmethacrylate (PMMA) beads yang dikombinasi dengan antibiotik,

seperti tobramycin, vancomycin, atau antibiotik spesifik lainnnya yang tahan

panas dan tersedia dalam bentuk serbuk (Patzakis dkk, 2005). Penggunaan

PMMA beads dengan antibiotik lokal dapat mengurangi insiden infeksi pada

patah tulang terbuka yang berat. Bila perlu, debridemen ulang dapat dilakukan

setelah 24 hingga 48 jam berdasarkan tingkat kontaminasi dan kerusakan

jaringan lunak (Ostermann, 1995).

18

Konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi dan rendahnya level sistemik

meningkatkan kerja terhadap patogen dan mengurangi efek sistemik. Jumlah

yang direkomendasikan per 40 g PMMA adalah 2.4 hingga 4.8 g tobramycin,

dan vancomycin. Antibiotic-impregnated beads digunakan bila terdapat

ruangan kosong dan revisi akan dikerjakan, seperti debridemen ulang,

penutupan jaringan lunak dan bone graft. Bila memungkinkan, defek dapat

diisi dengan flap otot. Selain itu, beads dapat digunakan sebagai pengisi

dibawah flap hingga digantikan oleh bone graft pada prosedur berikutnya

(Patzakis dkk, 2005, DeCoster dkk, 2008).

Banyak antibiotik mempunyai penetrasi yang buruk ke dalam tulang.

Antibiotic beads, sebaliknya menyediakan konsentrasi antibiotik lokal yang

tinggi, tidak bergantung pada aliran darah ke dalam tulang (Spiegel & Penny,

2005, DeCoster dkk, 2008).

Pada patah tulang tertutup, konsentrasi tinggi antibiotik dari antibiotic-

impregnated polymethylmethacrylate (PMMA) beads dapat menghilangkan

koloni biofilm. Lebih lanjut, antibiotic-impregnated polymethylmethacrylate

(PMMA) beads dapat mengisi ruangan kosong (spacer effect). Setelah

penyembuhan luka, depot dapat dibuang dan dapat dilakukan rekonstruksi

sebagai pembedahan yang bersih (Forsberg dkk, 2011).

Beads menutupi ruangan kosong sehingga mencegah akumulasi

hematom yang dapat berpotensi sebagai tempat infeksi. Beads antibiotik juga

19

dapat mengurangi pembentukan jaringan parut pada defek tulang. Bila infeksi

menetap, debridemen ulang, kultur dan pergantian beads antibiotik dapat

dikerjakan beberapa hari atau minggu kemudian. Setelah infeksi telah

terkontrol, beads dikeluarkan. Untuk kasus non union, bone graft dapat

ditempatkan pada daerah beads (DeCoster dkk, 2008).

Antibiotik sistemik

Pemberian secara intravena biasanya diberikan selama 4 sampai 6

minggu dan dapat dikerjakan pada pasien rawat jalan. Manajemen dengan

periode yang lebih singkat dari terapi intravena (hingga 1 minggu), diiikuti

oleh antibiotik oral selama 6 minggu, sukses dicatat pada 91% pasien

(Swiontkowski, 1999, Mader dkk, 1999).

Tahap dua : manajemen luka

Bergantung pada ekstensi dari infeksi, penundaan atau penutupan luka

primer dapat dikerjakan pada pasien dengan jaringan lunak yang cukup.

Debridemen ulang sering diperlukan. Dengan adanya jaringan yang rusak,

penutupan dapat dicapai dengan flap lokal atau free flap, tergantung pada

lokasi dan ekstensi defek jaringan lunak (Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk,

2005).

Penutupan luka primer setelah debridemen yang cermat tidak

berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi, dapat mencegah kontaminasi

sekunder dan dapat mengurangi morbiditas, lama dirawat dan biaya. Akan

20

tetapi dapat berpotensi terjadinya clostridial myonecrosis, yang dapat berakhir

bukan hanya hilangnya ekstremitas tetapi juga kehilangan nyawa (Zalavras,

2003).

Negative pressure wound therapy (NPWT) telah menjadi terapi

tambahan yang penting pada manajemen luka trauma dan insisi pembedahan

yang berhubungan dengan trauma musculoskeletal. Mekanisme kerja NPWT

termasuk stabilisasi lingkungan luka, mengurangi edema, meningkatkan

perfusi jaringan, dan stimulasi sel-sel pada permukaan luka. NPWT

menstimulasi jaringan granulasi dan angiogenesis dapat mendukung

penutupan primer dan mengurangi kebutuhan untuk transfer jaringan. Sebagai

tambahan, NPWT mengurangi kontaminasi bakteri gram negatif (Streubel

dkk, 2012).

Tahap Tiga : Manajemen defek tulang dan fraktur nonunion

Bone Graft

Bone graft dari iliac crest dapat digunakan untuk penanganan defek

tulang hingga 6 cm. Bone graft dikerjakan bila jaringan lunak penutup sudah

sembuh, adanya flap yang viabel dan infeksi telah terkontrol, biasanya dalam

6 hingga 8 minggu setelah transfer otot (Patzakis dkk, 2005).

Tulang cancellous mempunyai daya tahan yang lebih dibandingkan

dengan tulang kortikal, mungkin karena paling terakhir terjadi gangguan

21

vaskularisasi. Untuk vaskularisasi graft diperlukan dasar graft yang baik

vaskularisasinya (DeOliveira, 1971).

Prosedur rekonstruksi khusus

Defek tulang >6 cm membutuhkan prosedur rekonstruksi khusus,

seperti vascularized bone grafts atau distraction osteogenesis. Distraction

osteogenesis berguna untuk rekonstruksi defek tibia yang terinfeksi (Patzakis

dkk, 2005).

Alasan terjadinya angka kekambuhan yang tinggi adalah (1) tidak

adekuatnya debridemen dalam membuang semua sequestrum, (2) penurunan

aliran darah secara primer atau sekunder karena operasi menurunkan kapasitas

penyembuhan dan resistensi terhadap infeksi berulang, (3) jaringan parut atau

sisa ruangan mati sebagai tempat berkembangnya infeksi, dan (4) adanya

kombinasi infeksi bakteri aerobik dan anaerobik (Wirganowicz, 1999).

Waktu dilakukan intervensi pembedahan masih kontroversi. Ada yang

merekomendasikan sequesterektomi dini untuk eradikasi infeksi dan

memberikan lingkungan yang lebih baik untuk periosteum, yang lain

merekomendasikan untuk menunggu hingga sudah terbentuk involucrum

sebelum mengerjakan sequesterektomi untuk mengurangi resiko komplikasi

seperti fraktur, nonunion, deformitas, dan kehilangan tulang. Untuk

kehilangan tulang, dapat dikerjakan bone graft atau bone transport (Ilizarov

atau implan yang lain) (Spiegel & Penny, 2005).

22

Profesor Simpson dkk. di Edinburgh telah menghasilkan informasi

yang berguna untuk menilai efek eksisi terhadap tulang. Mereka secara

prospektif mempelajari, 50 pasien yang menderita osteomielitis kronis. Pasien

dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok pertama: reseksi luas, dengan

batas bersih 5 mm atau lebih, kelompok ke dua yaitu reseksi marginal dengan

batas bersih kurang dari 5 mm dan kelompok ke tiga yaitu intralesi, dengan

cara debulking daerah yang bermasalah. Semua pasien mendapatkan antibiotik

intravena selama enam minggu, diikuti antibiotik oral selama enam minggu

berikutnya. Tidak ada pasien di kelompok satu yang mengalami kekambuhan.

Pada pasien dengan reseksi marginal, delapan dari 29 (28%) mengalami

kekambuhan. Semua pasien yang dikerjakan debulking mengalami

kekambuhan dalam waktu setahun setelah operasi. Eksisi yang cermat sangat

diperlukan (Simpson dkk, 2001).

2.2. Debridemen dengan High speed burr

Tulang yang mengalami osteomielitis harus secara ekstensif dibersihkan

dengan kuretase atau dengan high speed burr untuk memastikan semua

jaringan yang mati dan terinfeksi dibuang (Wirganowicz, 1999). Penggunaan

high speed burr memudahkan kita untuk membuang jaringan mati dengan

lebih merata hingga mencapai jaringan yang sehat.

Panas yang diakibatkan oleh pengeboran tulang merupakan fenomena

kompleks. Jika panas yang diakibatkan sangat tinggi, thermonecrosis dapat

23

mengganggu fiksasi dan mengancam tulang. Semakin besar ukuran diameter,

semakin besar temperatur tulang. Untuk menghindari nekrosis tulang, tekanan

mata bor yang tinggi dan feed rates yang tinggi secara efektif dapat

mengurangi temperature karena pengeboran. Temperature mata bor

meningkat hingga diameter mata bor 4,5 mm dan kemudian menurun lagi

pada diameter bor 6 mm (Karaca dkk., 2013).

Eriksson dan kawan-kawan (1982) mendapatkan batasan temperatur

untuk panas yang bisa menginduksi kerusakan jaringan tulang adalah pada

suhu 47oC selama 1 menit. Banyak faktor yang mempengaruhi efek

pengeboran terhadap panas yang ditimbulkan diantaranya adalah diameter

mata bor, bahan mata bor, dan kecepatan mata bor (Nam dkk., 2006; Karaca

dkk., 2011, Fincham & Jaeblon, 2011).

Banyak penelitian tentang efek kecepatan bor terhadap suhu panas

yang ditimbulkan pada tulang. Thompson (1958) berkonsentrasi pada low

speed drilling berkisar 0-3000 rpm dan menyimpulkan bahwa peningkatan

kecepatan bor juga akan meningkatkan suhu tulang yang dibor. Akan tetapi

peningkatan suhu ini hanya terjadi sampai batasan kecepatan bor dikisaran

10.000 rpm dan suhu tulang tidak akan meningkat signifikan pada kecepatan

bor diatas 10.000 rpm (Nam dkk, 2006; Augustin dkk., 2007).

Agak sulit dalam menentukan batasan kecepatan untuk high speed

drilling karena berbeda-beda sesuai obyek yang diperuntukkan. Bor yang

24

biasa digunakan oleh kedokteran gigi berkisar 3600-7500 rpm sedangkan

dalam bidang orthopaedi biasa menggunakan bor dengan kecepatan 60-800

rpm (Karmani, 2006). Sedangkan pada bagian bedah saraf menggunakan bor

dengan kecepatan tinggi 70.000 rpm dan kecepatan rendahnya adalah 20.000

rpm (Roitberg dkk., 1997).

Panas dapat menyebabkan denaturasi protein enzim dan membran,

menurunkan aktivitas osteoklas dan osteoblas, dehidrasi, kekeringan, yang

berkontribusi kepada kematian sel. Thermal osteonecrosis dapat terjadi bukan

hanya karena peningkatan temperatur, tapi juga penurunan temperatur

dibawah suhu fisiologis seperti pada cryosurgery yang disebabkan oleh

nitrogen cair. Suhu obtimal maksimal saat memasang implant adalah 47 °C,

dengan waktu pengeboran kurang dari 1 menit (Augustin dkk, 2012, Pandey

& Panda, 2013).

Mata bor yang tumpul dapat menimbulkan temperatur yang lebih

tinggi dan bahkan asap, sementara peningkatan tekanan saat mendorong mata

bor menyebabkan kontrol mata bor yang buruk sehingga bisa patah (Natali,

1996).

Tulang merupakan konduktor panas yang jelek, dengan konduksi

panas pada tulang kortikal segar beriksar antara 0.38- 2.3 J/msK. Mortiz and

Henrique menemukan bahwa sel epitel yang terkena suhu 70 oC dapat terjadi

kerusakan seketika, bila terkena suhu 55 oC selama 30 detik memberikan hasil

25

yang sama. Pada umumnya, di literatur menunjukan bila temperatur

meningkat diatas 55oC selama lebih dari setengah menit, kerusakan yang

serius akan terjadi, yang membutuhkan waktu beberapa minggu untuk sembuh

(Hillery, 1999).

2.3. Kultur dan Hitung Koloni Kuman

Perhitungan secara kuantitatif koloni Staphylococcus aureus per gram

tulang tibia dapat dihitung pada sampel penelitian. Setelah kelinci di

korbankan, tulang tibia dibersihkan dari semua jaringan lunak. Implan

didalam sum-sum tulang dikeluarkan, kemudian diambil metafise tulang tibia

proximal (Shirtliff dkk, 2002).

Fragment tulang metafise kemudian di gerus dan dibuat bubuk. Hasil

akhirnya kemudian ditimbang. Kemudian dilakukan penambahan cairan NaCl

0,9 % ke bubuk tulang dengan perbandingan 3:1 (3 mL NaCl/g tulang) dan

kemudian suspense diaduk selama 5 menit (Shirtliff dkk, 2002).

Dibuat 5 suspensi, dengan pengenceran kelipatan 10 dengan campuran

cairan salin-tulang. Dua puluh mikroliter sampel dari setiap 5 pengenceran

ditanamkan pada plat agar darah dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24

jam. Kemudian dihitung colony forming units (CFU) per gram tulang. CFU

kemudian dihitung pada setiap sampel tulang tibia. Log rata-rata dari CFU

26

pada kelima plat dan rata-rata konsentrasi Staphylococcus aureus pada setiap

grup perlakuan dihitung (Shirtliff dkk, 2002).

Berikut cara menghitung dan melaporkan hasil kultur secara

kuantitatif::

Tabel 2.3. Konversi perhitungan kuantitatif koloni kuman (Shirtliff dkk, 2002)

Derajat pertumbuhan Jumlah koloni

(CFU/gram)

Jumlah yang

dilaporkan

Tabung I (10-1

) N N x 101

Tabung II (10-2

) N N x 102

Tabung III (10-3

) N N x 103

Tabung IV (10-4

) N N x 104

Tabung V (10-5

) N N x 105