bab ii kajian pustaka 2.1. kajian teori 2.1.1. tujuan...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Tujuan Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika menurut Muhsetyo (2008: 26) adalah proses
pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan
yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan
matematika yang dipelajari. Sedangkan menurut Rahayu (2007: 2) pembelajaran
matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk
menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan seseorang melaksanakan
kegiatan belajar matematika dan pembelajaran matematika harus memberikan
peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang
matematika.
Dengan demikian, pembelajaran matematika adalah suatu kegiatan yang
sengaja dirancang agar peserta didik memperoleh pengetahuan dari hal yang telah
dipelajari. Adapun tujuan pembelajaran matematika menurut NCTM (2000)
adalah: komunikasi matematis, penalaran matematis, pemecahan masalah, koneksi
matematis dan representasi matematis. Sedangkan tujuan pembelajaran
matematika seperti yang diuraikan dalam Kurikulum 2006 (BSNP, 2006) adalah
agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Secara lebih terinci, menurut (Permendiknas: 2006) tujuan pembelajaran
matematika sebagai berikut: (1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik
kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen,
8
menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. (2)
Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu,
membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. (3) Mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah. (4) Mengembangkan kemampuan
menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui
pembicaraan lisan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Berdasarkan pemaparan di atas, tujuan dari pembelajaran matematika
adalah agar siswa memiliki komunikasi matematis, penalaran matematis,
pemecahan masalah, koneksi matematis, dan representasi matematis. Kemampuan
pemecahan masalah menjadi salah satu tujuan pembelajaran matematika karena
dengan mengasah kemampuan pemecahan masalah, seseorang akan terbiasa
ketika menghadapi permasalahan bukan hanya dalam bidang matematika akan
tetapi juga dalam bidang lainnya.
2.1.2. Kemampuan Pemecahan Masalah
(a) Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah adalah suatu proses terencana yang perlu
dilaksanakan agar memperoleh penyelesaian tertentu dari sebuah masalah yang
mungkin tidak didapat dengan segera (Saad & Rajendran, 2008: 120). Menurut
Krulik dan Rudnik (1995: 4) pemecahan masalah adalah suatu usaha individu
menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahamannya untuk menemukan
solusi dari suatu masalah. Solso (2007: 434) menyatakan bahwa pemecahan
masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan
suatu solusi/ jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.
9
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemecahan
masalah adalah sebuah proses terencana yang dilakukan dengan menggunakan
pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk memperoleh suatu solusi.
Sedangkan kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan seseorang dalam
melakukan suatu tindakan yang menggunakan pemahaman dan pengetahuan
matematika untuk menyelesaikan masalah yang juga merupakan metode
penemuan solusi.
(b) Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Pemecahan Masalah
Siswono (2008:35) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah yaitu:
1. Pengalaman awal.
Pengalaman terhadap tugas-tugas menyelesaikan soal cerita atau soal aplikasi.
Pengalaman awal seperti ketakutan (pobia) terhadap matematika dapat
menghambat kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
2. Latar belakang matematika.
Kemampuan siswa terhadap konsep-konsep matematika yang berbeda-beda
tingkatnya dapat memicu perbedaan kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah.
3. Keinginan dan motivasi.
Dorongan yang kuat dari dalam diri (internal), seperti menumbuhkan
keyakinan saya “BISA” maupun eksternal, seperti diberikan soal-soal yang
menarik, menantang, kontekstual dapat mempengaruhi hasil pemecahan
masalah.
10
4. Struktur Masalah.
Struktur masalah yang diberikan kepada siswa seperti kompleksitas (tingkat
kesulitan soal), bahasa soal, maupun pola masalah satu dengan masalah yang
lain dapat mempengaruhi kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan pemaparan tentang kemampuan pemecahan masalah di atas,
penelitian ini akan mengkategorikan kemampuan pemecahan masalah siswa
menjadi 3 yaitu tinggi, sedang, rendah, dan hal itu dapat diukur berdasarkan skor
yang diperoleh melalui bagaimana cara siswa dalam memecahkan masalah dengan
menggunakan pengetahuan yang dimilikinya sehingga dapat menemukan sebuah
solusi.
2.1.3. Perilaku Pemecahan Masalah
Perilaku pemecahan masalah adalah langkah-langkah yang ditunjukkan
siswa ketika proses penyelesaian masalah mulai dari cara perhitungan sampai
dengan menemukan solusi dari permasalahan yang dapat menggambarkan
bagaimana pemahaman siswa terhadap suatu permasalahan. Oleh karena itu,
langkah siswa dalam menyelesaikan masalah akan berbeda-beda, tergantung
bagaimana pemahaman siswa dalam memahami sebuah permasalahan.
Perilaku pemecahan masalah menurut Hegarty et al. (1995) ada dua yaitu,
Pendekatan Terjemah Langsung (Direct Translation Approach) dan Pendekatan
Berbasis Makna (Meaning Based Approach), kemudian melalui penelitiannya,
Pape (2004: 199) mengembangkan perilaku pemecahan masalah tersebut menjadi
lima yaitu: DTA - mahir (Direct Translation Approach - proficient), DTA - tidak
mahir (Direct Translation Approach - not proficient), DTA – konteks terbatas
(Direct Translation Approach - limited context), MBA – konteks penuh (Meaning
11
Based Approach - full context), MBA- pembenaran (Meaning Based Approach -
justification).
Adapun karatteristik dari perilaku DTA dan MBA adalah:
1. Pendekatan Terjemah Langsung (Direct Translation Approach)
Karakteristik Pendekatan Terjemah Langsung (Direct Translation
Approach) yaitu siswa mengartikan secara langsung. Dalam kategori ini siswa
melakukan pemecahan masalah secara langsung tanpa menggunakan konteks
permasalahan ditandai dengan kurangnya bukti transformasi informasi masalah
(yaitu merekam informasi yang diberikan) atau menggunakan konteks masalah
dan hubungan antara unsur-unsur masalah.
Siswa mengulangi angka yang diberikan tanpa konteks yang relevan
atau berulang kali membaca kalimat tanpa merekam atau mengubah informasi
yang diberikan. Salah satu sub kategori yang dilakukan siswa dengan perilaku
Pendekatan Terjemah Langsung adalah melakukan perhitungan matematika
tanpa mengacu atau membaca ulang teks masalah.
2. Pendekatan Berbasis Makna (Meaning Based Approach)
Karakteristik dari Pendekatan Berbasis Makna (Meaning Based Approach)
ditandai dengan perilaku transformatif siswa, yang memiliki tiga definisi
karakteristik: merekam informasi yang diberikan, penggunaan konteks, dan
memberikan penjelasan atau pembenaran untuk operasi matematika. Salah satu
perilaku dominan dari siswa merekam informasi yang diberikan dengan konteks
yang sesuai, mengatur informasi untuk mendukung proses solusi. Siswa
memberikan penjelasan untuk langkah-langkah perhitungan yang dilakukan.
12
Menurut Pape (2004) karakteristik perilaku siswa dalam memecahkan
masalah dapat dikategorikan menjadi 5 yaitu:
1) DTA-mahir (Direct Translation Approach–proficient)
Ciri-ciri dari DTA-mahir (Direct Translation Approach–proficient) adalah:
siswa langsung melakukan perhitungan tanpa menggunakan konteks
permasalahan, tidak memberikan urutan atau sistematika dari informasi yang
diberikan dan tidak menuliskan hasil akhir walaupun jawaban yang dinyatakan
dapat dinyatakan dalam konteks masalah akan tetapi siswa tidak kesulitan dalam
menemukan solusi.
2) DTA-tidak mahir (Direct Translation Approach–not proficient)
Ciri-ciri dari DTA-tidak mahir (Direct Translation Approach–not
proficient) adalah: siswa kurang terampil dalam memahami masalah, ragu-ragu
dan tidak dapat melakukan perhitungan menuju solusi permasalahan, perhitungan
yang dilakukan kurang bermakna dan hanya berfungsi untuk menyelesaikan soal
dan siswa mengalami kesulitan dalam proses pemecahan masalah.
3) DTA–konteks terbatas (Direct Translation Approach–limited context)
Ciri-ciri dari DTA–konteks terbatas (Direct Translation Approach-limited
context) adalah: siswa melakukan pemecahan masalah sesuai dengan konteks akan
tetapi terbatas dalam memberikan penjelasan dari perhitungan yang telah
dilakukan.
4) MBA–konteks penuh (Meaning Based Approach-full context)
Ciri-ciri dari MBA–konteks penuh (Meaning Based Approach-full context)
adalah pemecahan masalah yang dilakukan sesuai dengan konteks akan tetapi
tidak disertai dengan pembenaran untuk jawaban yang telah diperoleh.
13
5) MBA–pembenaran (Meaning Based Approach–justification)
Ciri-ciri dari MBA–pembenaran (Meaning Based Approach–justification)
adalah pemecahan masalah yang dilakukan sesuai dengan konteks dan disertai
dengan pembenaran untuk jawaban yang telah diperoleh.
Berdasarkan pemaparan tentang perilaku pemecahan masalah di atas,
dalam penelitian ini akan mengkategorikan siswa berdasarkan: (1) Pemahaman
siswa dalam menerima informasi yang ada pada soal hal itu dapat dilihat dari cara
siswa membaca soal secara berulang dan hati-hati (2) Merekam informasi yang
telah diterima (3) Kesesuaian antara perhitungan yang dilakukan dengan konteks
yang ada pada soal (4) Adanya pembenaran dari perhitungan yang dilakukan.
2.1.4. Prosedur Pemecahan Masalah Polya
Model dalam menyelesaikan masalah ada beberapa macam, diantaranya
Model Polya, Lester dan Pendekatan Metakognitif. Dalam penelitian ini, model
yang digunakan adalah model Polya. Model Polya telah banyak
diimplementasikan untuk menyelesaikan masalah matematika, baik dalam
pembelajaran matematika di pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun
atas, bahkan di perguruan tinggi pun juga digunakan sebagai dasar dalam
menyelesaikan masalah matematika (In’am, 2015). Secara detil keempat tahapan
yang dikemukakan Polya dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Memahami Permasalahan
Memahami masalah disini yang dimaksud adalah: mengidentifikasi
variabel yang berkaitan dengan maslah, menghubungkan antar variabel yang telah
diketahui dan menggunakan variabel yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
masalah. Pada langkah ini, siswa harus dapat menentukan apa yang diketahui dan
apa yang dinyatakan dalam soal yang diberikan. Hal ini harus disusun sebelum
14
siswa merencanakan penyelesaian untuk menghindari kesalahan yang mungkin
terjadi ketika proses pemecahan masalah.
2) Merencanakan Tahap Penyelesaian
Setelah memahami, langkah selanjutnya adalah merencanakan tahapan
yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah. Beberapa aspek perencanaan
yang perlu disiapkan dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah
adalah sebagai berikut: Aspek pertama pilihlah tahapan yang sesuai dengan
informasi yang diperoleh mengenai permasalahan yang akan diselesaikan, Aspek
kedua buatlah diagram yang tepat, dan hal ini sangat membantu untuk
menentukan langkah yang tepat dalam menyelesaikan masalah.
Aspek yang selanjutnya lakukan analogi, hal ini diperlukan sebagai
usaha untuk menentukan strategi, pendekatan dan metode yang tepat dengan
membuat analog terhadap permasalahan yang relatif sama dengan
permasalahan yang akan dicari pemecahannya dan aspek yang terakhir adalah
memilih pendekatan yang tepat, sebab masalah yang berbeda pendekatan yang
dilakukan adalah berlainan dan tidak setiap strategi, pendekatan dan metode
dapat digunakan untuk menyelesaikan segala permasalahan.
3) Melaksanakan Tahap Penyelesaian
Setelah merencanakan tahapan apa yang akan digunakan, maka langkah
selanjutnya adalah melaksanakan tahapan yang telah ditentukan sehingga dapat
memperoleh penyelesaian atau solusi dari permasalahan tersebut.
4) Mereview Hasil yang Telah diperoleh
Ketika solusi telah diperoleh, dilanjutkan dengan tahapan yang terakhir
yaitu mereview kembali, hal itu dilakukan untuk memeriksa apakan perhitungan
sudah sesuai dengan tahapan yang telah direncanakan atau belum. Salah satu cara
15
yang dapat digunakan adalah dengan mensubtitusikan hasil tersebut ke dalam soal
sehingga dapat diketahui kebenarannya.
Berdasarkan 4 langkah Polya yang telah dipaparkan di atas, peneliti
menggunakan langkah-langkah tersebut untuk mengkategorikan kemampuan dan
juga perilaku siswa ketika memecahkan msalah yaitu: (1) bagaimana pemahaman
siswa terhadap soal yang telah tersedia (2) apa rencana yang dilakukan siswa
untuk memecahkan permasalahan (3) bagaimana langkah siswa ketika
melaksanakan tahap penyelesaian dan (4) apakah siswa memeriksa kembali solusi
yang telah ditemukan.
2.1.5. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Langkah
Polya
Kemampuan pemecahan masalah matematika berdasarkan langkah Polya
adalah kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tindakan dengan
menggunakan pemahaman dan pengetahuan matematika yang dimilikinya untuk
menyelesaikan permasalahan berdasarkan langkah Polya. Adapun indikator dari
tiap tahapan yang digunakan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah
siswa adalah sebagai berikut:
Tahapan pertama yaitu bagaimana pemahaman siswa terhadap soal yang
telah tersedia dalam hal ini meliputi kemampuan siswa untuk menuliskan apa
yang diketahui dan yang ditanyakan dari soal tersebut, siswa dapat menyebutkan
informasi yang diberikan dari pertanyaan yang diajukan. Tahapan kedua yaitu apa
rencana yang akan dilakukan siswa untuk memecahkan permasalahan serta siswa
dapat memberikan alasan penggunaannya.
Setelah merencanakan, tahap selanjutnya adalah bagaimana langkah siswa
ketika melaksanakan tahap penyelesaian, apakah siswa telah melakukan
16
perhitungan sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan tahap yang terakhir
adalah apakah siswa mereview kembali solusi yang telah ditemukan seperti
memeriksa kembali dengan mensubtitusikan jawaban yang telah diperoleh ke
dalam soal sehingga dapat diketahui kebenarannya.
Adapun indikator yang digunakan untuk dapat mengatakan bahwa siswa
mampu menyelesaikan masalah apabila: (1) Siswa mampu menuliskan informasi
dari soal (2) Merencanakan penyelesaian yang akan mengarahkan pada jawaban
yang benar (3) Memperoleh jawaban dengan benar, jelas dan lengkap (4)
Memeriksa kembali untuk melihat kebenaran proses dan hasil.
2.1.6. Perilaku Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Langkah
Polya
Perilaku siswa dalam menyelesaikan masalah berdasarkan langkah Polya
adalah langkah yang dilakukan siswa ketika menyelesaikan sebuah permasalahan
matematika yang dapat menggambarkan pemahaman mereka terhadap soal
berdasarkan langkah Polya yaitu: (1) Bagaimana pemahaman siswa terhadap soal
(2) apa rencana siswa untuk memecahkan permasalahan (3) bagaimana langkah
siswa ketika melaksanakan tahap penyelesaian (4) Apakah siswa melakukan
review terhadap jawaban yang telah diperoleh. Adapun indikator untuk perilaku
pemecahan siswa berdasarkan langkah Polya adalah sebagai berikut
Tahapan pertama yaitu bagaimana pemahaman siswa terhadap soal dapat
dilihat dari cara siswa dalam membaca soal secara berulang-ulang dari soal.
Tahapan selanjutnya adalah apa rencana yang dilakukan siswa untuk memecahkan
permasalahan dalam hal ini dilihat dari langkah apa saja yang akan dilakukan
siswa untuk menemukan solusi, rumus apa yang dibutuhkan untuk menemukan
solusi.
17
Perilaku
Tahap
Polya
Setelah merencanakan penyelesaian, tahapan ketiga adalah bagaimana
langkah siswa ketika melaksanakan tahap penyelesaian dalam hal ini dilihat dari
kesesuaian antara konteks soal dan langkah perhitungan yang dilakukan siswa,
menuliskan jawaban dari hasil perhitungan yang dilakukan, tahapan terakhir yaitu
memberikan kesimpulan di akhir jawaban, dan mampu memberikan alasan atau
pembenaran dari perhitungan yang telah dilakukan. Setelah siswa melakukan
ketiga tahapan tersebut, maka akan dikategorikan ke dalam 5 perilaku pemecahan
masalah. Adapun indikator masing-masing dari kelima perilaku tersebut adalah:
Tabel 2.1. Indikator Perilaku Pemecahan Masalah
Memahami Merencanakan Melaksanakan Mereview
Membaca
Berulang
Merekam
Informasi
Menentukan
Strategi
Sesuai
Konteks
Masalah
Menyer
takan
Hasil
Menjelas
kan
Semua
Langkah
Memberi
Alasan
Jawaban
DTA Mahir Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak
DTA Tidak
Mahir Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
DTA
Konteks
Terbatas
Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak
MBA
Konteks
Penuh
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak
MBA
Pembenaran Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
18
2.2. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:
Stepani Elsa (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Kesalahan dan Perilaku Pemecahan Masalah Siswa dalam Mengerjakan Soal
Cerita Bangun Ruang Sisi Datar Kelas VII D SMP Negeri 4 Yogyakarta Tahun
2015/2016”. Dalam penelitiannya disimpukkan bahwa perilaku siswa yang
ditunjukkan dalam penelitian adalah MBA Full Context sebesar 6,45%, DTA
Limited Context sebesar 19,35%, DTA proficient sebesar 41,94% dan DTA not
proficient sebesar 32,26%.
Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah penelitian yang akan diteliti oleh peneliti yaitu menganalisis kemampuan
pemecahan masalah siswa dan juga perilaku pemecahan masalah siswa
berdasarkan dengan kemampuan pemecahan matematika berdasarkan teori Polya.
Sedangkan penelitian sebelumnya adalah tentang kesalahan dan perilaku
pemecahan masalah berdasarkan tahapan Newman.