bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Industri minyak dan gas bumi mengalami goncangan yang luar biasa di 10
tahun terakhir ini. Kesulitan dalam investasi dan usaha dibidang minyak dan gas
bumi ini mencapai puncaknya saat harga minyak mentah dunia mencapai
US$145 per barrel di pertengahan tahun 2008. Harga ini kemudian anjlog
menjadi US$40 diakhir 2008. Pada tahun 2009-2011 harga minyak kembali
merangkak naik dari US$75 hingga sekitar US$100. Situasi ini telah memicu
krisis ekonomi global dan meroketnya harga bahan bakar minyak (BBM) di
Indonesia, yang pada gilirannya memberikan tekanan fiskal negara karena
menggelembungnya subsidi BBM. Situasi inilah yang mendorong pemerintah
semakin fokus untuk mengganti penggunaan BBM dengan gas bumi.
Gas bumi, yang sering juga disebut sebagai gas alam atau gas rawa, adalah
bahan bakar fosil hasil proses alami berupa hidrokarbon, yang terutama terdiri
dari metana (CH4), yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer akan
berupa fasa gas, yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi
(ESDM [2011]). Untuk selanjutnya dalam tulisan ini, istilah “gas”, “gas bumi”
dan “gas alam” dapat saling dipertukarkan penggunaannya.
2
Gambar 1.1. Komposisi Gas & Pemanfaatannya.
Dalam sejarahnya, cadangan gas yang cukup besar ditemukan di Sumatera
Selatan pada tahun 1960
jaringan pipa transmis
awal 1970-an dikembangkanlah jaringan transmisi di Jawa Barat untuk
mendukung industri baja di Cilegon, dan kemudian di Kalimantan Timur untuk
mendukung fasilitas Kilang LNG Bontang, yang disusul deng
pabrik Pupuk Kalimantan Timur. Pada tahun 1977, pemanfaatan gas berkembang
lebih jauh lagi dengan dibangunnya Pabrik Pupuk Iskandar Muda dan Asean Aceh
Fertilizer di Aceh serta fasilitas Kilang LNG di Arun. Sehingga pada tahun 1980
an, dengan telah beroperasinya kilang LNG Bontang dan Arun secara penuh,
Gambar 1.1. Komposisi Gas & Pemanfaatannya.
(Bahan Paparan Pertagas [2011])
Dalam sejarahnya, cadangan gas yang cukup besar ditemukan di Sumatera
Selatan pada tahun 1960-an, yang segera dimanfaatkan dengan dibangunnya
jaringan pipa transmisi dan disalurkan ke Pabrik Pupuk Sriwidjaja. Pada tahun
an dikembangkanlah jaringan transmisi di Jawa Barat untuk
mendukung industri baja di Cilegon, dan kemudian di Kalimantan Timur untuk
mendukung fasilitas Kilang LNG Bontang, yang disusul dengan pembangunan
pabrik Pupuk Kalimantan Timur. Pada tahun 1977, pemanfaatan gas berkembang
lebih jauh lagi dengan dibangunnya Pabrik Pupuk Iskandar Muda dan Asean Aceh
Fertilizer di Aceh serta fasilitas Kilang LNG di Arun. Sehingga pada tahun 1980
n telah beroperasinya kilang LNG Bontang dan Arun secara penuh,
Gambar 1.1. Komposisi Gas & Pemanfaatannya.
Dalam sejarahnya, cadangan gas yang cukup besar ditemukan di Sumatera
an, yang segera dimanfaatkan dengan dibangunnya
i dan disalurkan ke Pabrik Pupuk Sriwidjaja. Pada tahun
an dikembangkanlah jaringan transmisi di Jawa Barat untuk
mendukung industri baja di Cilegon, dan kemudian di Kalimantan Timur untuk
an pembangunan
pabrik Pupuk Kalimantan Timur. Pada tahun 1977, pemanfaatan gas berkembang
lebih jauh lagi dengan dibangunnya Pabrik Pupuk Iskandar Muda dan Asean Aceh
Fertilizer di Aceh serta fasilitas Kilang LNG di Arun. Sehingga pada tahun 1980-
n telah beroperasinya kilang LNG Bontang dan Arun secara penuh,
3
Indonesia menjadi eksportir LNG terbesar didunia (Pertagas, Agustus 2011).
Posisi ini bertahan sekitar 20 tahun, dan pada awal tahun 2000-an, Qatar dan
Australia telah berhasil mengambil alih posisi sebagai eksportir LNG terbesar
nomor satu dan dua dunia.
Seperti diuraikan diatas, pada awalnya pemanfaatan gas bumi memang tidak
menjadi prioritas, karena produsen gas enggan untuk mengembangkan cadangan
yang tidak terlalu besar. Terlebih jika lokasi sumber gas terpencil dan tidak ada
infrastruktur transportasinya. Disamping itu, harga gas juga rendah dan tidak
kompetitif dibandingkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mendapatkan
subsidi Pemerintah. Berbeda dengan sistem pada produksi minyak bumi,
pengembangan dan penjualan gas hanya berdasarkan volume secara ekonomi
(Reserves Depletion Gas Sales).
Perubahan yang mendasar terjadi pada awal tahun 2000-an, dimana
Pemerintah menghapus subsidi BBM untuk industri. Hal ini berdampak cukup
besar, dimana harga BBM industri meningkat pesat sehingga konsumen industri
mencoba beralih dari BBM ke gas bumi, dan menyebabkan permintaan gas
meningkat tajam. Namun demikian, peningkatan permintaan ini sulit dipenuhi
oleh produsen gas, karena pengembangan lapangan gas membutuhkan waktu dan
biaya besar, sedangkan harga gas domestik masih rendah dibandingkan harga
minyak mentah. Undang-undang No. 21 tahun 2001 yang mengatur tentang
4
industri gas dan minyak bumi menjadi pemicu semakin cepatnya industri gas
berkembang (Pertagas, [Agustus 2011]).
Pada tahun 2006, terbitlah Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional, yang tujuan dan sasarannya mewujudkan energy mix
yang optimal pada tahun 2025. Minyak bumi yang pada tahun 2006 masih 52%,
ditargetkan menjadi kurang dari 20% pada tahun 2025; gas bumi dari 29%,
menjadi lebih dari 30%; batubara dari 15%, menjadi lebih dari 33%; energi
terbarukan yang masih 2%, menjadi 15%; dan bahan bakar lain yang berasal dari
pencairan batubara, dari 1% menjadi lebih dari 2%.
Dengan situasi seperti diatas, muncullah permasalahan demand vs supply dalam
industri gas, dimana demand dalam negeri naik dengan cepat yang tidak bisa
dipenuhi oleh supply. Muncul pula masalah terkonsentrasinya demand di Jawa,
yang letaknya terpisah jauh dari supply. Kesenjangan ini diperparah dengan belum
tersedianya infrastruktur transportasi gas yang memadai. Pada sisi lain, terdapat
tarik-menarik atas kebutuhan dalam negeri yang meningkat pesat, dengan
keterikatan kontrak ekspor jangka panjang, serta adanya kesenjangan harga ekspor
yang tinggi dibandingkan dengan harga domestik yang rendah.
Hal ini membuka peluang besar bagi industri hulu untuk menggenjot naik
produksi gasnya, salah satunya adalah Pertamina. Melalui anak perusahaannya di
5
bidang hulu, yakni Pertamina EP dan Pertamina HE, Pertamina muncul sebagai
produsen gas terbesar kedua setelah PT Total Indonesie EP.
Peluang besar juga muncul di sektor hilir, dimana keunggulan daya-saing
akan muncul jika memiliki dan menguasai infrastruktur transportasi gas.
Kompetensi Pertamina dalam mengelola usaha gas selama 30 tahun, menjadi
salah satu dasar untuk membentuk strategic business unit di sektor hilir industri
gas bumi. Strategic business unit ini kemudian diubah menjadi perseroan
tersendiri bernama PT Pertamina Gas, selanjutnya disebut Pertagas, yakni
perusahaan yang bergerak di sektor hilir dalam peran usaha niaga gas,
transportasi gas, pemrosesan gas dan distribusi gas, serta bisnis lainnya yang
terkait dengan gas alam dan produk turunannya.
Struktur industri hilir gas nasional secara umum terdiri dari Usaha
Pengolahan, Usaha Pengangkutan, Usaha Penyimpanan, dan Usaha Niaga.
Taksonomi bidang usaha industri gas direpresentasikan sebagai berikut:
6
Gambar 1.2. Taksonomi Bidang Usaha Industri Gas (DESDM [2005] ).
Industri gas yang padat investasi dan memiliki entry barrier yang relatif
tinggi membentuk struktur pasar oligopoli. Peran regulator industri gas cukup
dominan, termasuk dalam penentuan harga gas. Harga gas non pipa ditentukan
secara business-to-business, sedangkan harga gas pipa ditetapkan oleh BPH
Migas terkait dengan Peraturan BPH Migas No 16/P/BPH Migas/VII/ tahun 2008
tentang Penetapan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa (toll fee). Harga
gas bumi yang diperuntukkan bagi industri dan PLN ditetapkan oleh pemerintah,
sesuai dengan pasal 72 Peratuan Pemerintah (PP) No 30 tahun 2009.
Adapun perusahaan hilir gas nasional paling terkemuka adalah PT.
Perusahaan Gas Negara (PGN) TbK, yang menguasai dan memimpin pasar
industri gas nasional tanpa ada pesaing yang berarti sampai dengan lahirnya
7
Pertagas. PGN menguasai 5900 km pipa transmisi dan distribusi serta mampu
melakukan transportasi gas sebanyak 840 MMScfd, dan melakukan distribusi gas
sebanyak 800 MMScfd. Jaringan transmisi gas milik PGN terutama berada di
Sumatra, dan sekarang terhubung ke Jawa-barat, sementara pipa distribusinya
menguasai wilayah Sumatra Utara, Jawa Barat bagian utara, Jakarta, dan
Surabaya dan sekitarnya (PGN, Company Profile [2011]).
Pertagas, sebagai anak perusahaan PT. Pertamina (Persero), langsung
mewarisi kemampuan transmisi gas dan minyak bumi dari Pertamina. Sampai
dengan tahun 2009 saja, sudah mampu melaksanakan transportasi gas sebanyak
1.276 MMScfd yang sudah langsung mampu melampaui prestasi PGN.
Disamping itu, Pertagas juga sudah mampu melaksanakan tranportasi minyak
bumi sebanyak 9.646 BOPD.
Pertagas menunjukkan kemajuan yang sangat tinggi. Keuntungan
bersih melesat dari Rp. 243 milyar di akhir tahun 2008, menjadi diatas 808
miliar diakhir tahun 2011 dan 1,213 triyun pada akhir 2012. Peningkatan ini
sebesar 49% dibanding 2011 (year-on-year). Volume usaha juga meningkat
dengan baik. Namun demikian, masih jauh tertinggal jika dibandingkan
dengan PGN, yang keuntungan bersih tahun 2008 sebesar Rp. 1,281 trilyun,
melesat menjadi Rp. 7,654 triyun diakhir 2011 dan Rp. 8,86 triyun sepanjang
tahun 2012, atau naik 30,3% dibanding 2011 (year-on-year).
8
1.2. Perumusan Masalah
Upaya Pertagas untuk menjadi pemimpin pasar industri gas nasional
mengindikasikan hasil-hasil yang cukup memuaskan, terbukti dengan
peningkatan keuntungan bersih yang berlipat ganda hanya dalam beberapa tahun
terakhir. Saat ini Pertagas telah menjadi runner up dalam industri gas nasional.
Pertanyaannya kemudian adalah:
Apakah strategi pertumbuhan yang sudah dikembangkan oleh
Pertagas dalam beberapa tahun terakhir ini sehingga mampu menjadi
runner-up dalam memimpin industri gas nasional?
Apakah pilihan value proposition pertumbuhan PT Pertagas untuk
bisa menjadi pemimpin pasar industri gas nasional dimasa mendatang?
1.3. Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini akan dikaji struktur industri gas nasional saat ini,
dimana akan didapat gambaran posisi Pertagas saat ini dan relatif terhadap PGN
selaku pemimpin pasar. Setelah diketahui apakah value proposition yang dipilih
PGN hingga mampu menjadi pemimpin pasar, akan dikaji pula apa pilihan value
proposition Pertagas sebagai dasar strateginya untuk mengejar ketertinggalannya
terhadap PGN.
9
Penelitian ini juga akan bisa digunakan oleh Pertagas sebagai referensi dalam
penyusunan dan evaluasi strateginya lebih lanjut untuk mempercepat capaiannya
sebagai pemimpin pasar industri gas nasional.
1.4. Kerangka Analisis
Untuk mendapatkan strategi pertumbuhan yang sudah dikembangkan oleh
Pertagas dalam beberapa tahun terakhir ini, dilakukan beberapa langkah
analisis:
Lingkungan ancaman dari luar Pertagas menggunakan the five-forces
model Porter sebagai alat analisisnya. Dimana akan didapatkan threat of
entry, threat of rivalry, threat of substitute, threat of suppliers, threat of
buyers, dan secara keseluruhan akan menentukan level dari threat in an
industry.
Struktur industri yang sudah didapatkan gambarannya tersebut, akan
tetap digunakan untuk melihat peluang yang muncul. Berdasarkan
literatur telah didapat beberapa generik struktur industri yang akan
melahirkan peluang yang berbeda. Industri gas nasional yang
sebenarnya sudah berusia lebih dari seabad ini, kemudian berubah pada
tahun 2000-an menjadi emerging industy. PGN tentu saja mendapatkan
peluang sebagai first-mover advantage, sebagaimana juga menghadapi
dis-advantage sebagai first-mover. Peluang apakah yang didapatkan
oleh Pertagas sebagai second-movers.
10
Setelah mendapatkan gambaran makro dari lingkungan luar yang bisa
menjelaskan mengenai kecenderungan, maka akan dilakukan kajian
mengenai kekuatan dan kelemahan dari dalam perusahaan Pertagas
sendiri. Untuk itu akan diidentifikasi kapabilitas dan sumberdaya
internal yang dimiliki oleh Pertagas, dengan menggunakan value-chain
analysis Porter. Sumberdaya yang teridentifikasi tersebut akan diuji
dalam kerangka-kerja yang disebut dengan VRIO (value-rarity-
imitability-organization). Jika sumberdaya tersebut memenuhi syarat
VRIO, maka dapat dikatakan bahwa sumberdaya tersebut bisa
diandalkan sebagai competitive advantage Pertagas.
Atas dasar sumberdaya tersebut diatas, Pertagas melakukan pilihan
strategi pertumbuhan dengan melakukan ekspansi ke bisnis saat ini, baik
dengan melakukan pengembangan produk, pasar, dan cakupan
geografis. Disamping itu, Pertagas juga melaksanakan strategi integrasi
vertikal (perluasan rantai nilai).
Disamping menentukan pilihan strategi pertumbuhan, agar PT Pertagas
benar-benar bisa menjadi pemimpin pasar industri gas nasional dimasa
mendatang, perlu ditentukan pilihan value proposition-nya. Perusahaan yang
berhasil jadi pemimpin pasar dunia di industrinya masing-masing seperti
Dell Computer, Home Depo, dan Nike, dengan seksama memilih value
proposition yang tepat bagi produk mereka masing-masing, apakah value
disciplines operational excellence, customer intimacy, ataukah product
11
leadership. Karena sudah ada PGN yang saat ini menjadi pemimpin pasar di
industri gas, maka urutan analisis yang akan dilakukan adalah:
Dimana posisi PGN dalam skema value frontier, dan apa pilihan
value proposition-nya; setelah itu kemudian dilakukan juga
terhadap Pertagas.
Sebagai second-movers, bagaimana Pertagas memanfaatkan
peluang yang muncul, dengan memanfaatkan dis-advantage yang
dialami PGN sebagai first-mover.
Dalam strategi partnership yang dipilih oleh Pertagas untuk
memanfaatkan peluang yang ada, apa dasar pemilihan partner
tersebut, apa keunggulannya, dan bagaimana bentuk partnershipnya
(JV, equity alliances, atau bentuk lain)
Bagaimana mengimplementasikan value disciplines pilihan
Pertagas untuk melakukan percepatan pertumbuhan.
Bagaimana percepatan itu akan semakin baik jika strategi go-public
nanti telah dilakukan.
1.5. Batasan Permasalahan
Informasi yang digunakan hanya yang tersedia di Pertagas semata,
dilengkapi dengan penelusuran menggunakan internet.
12
Struktur industri yang disusun adalah struktur industri nasional,
sehingga beberapa perusahaan MNC dibidang gas tidak diikutkan
dalam analisis.
Jika ada pembatasan yang dihadapi Pertagas sebagai anak
perusahaan Pertamina (persero), dimana strategi tersebut ditetapkan
oleh Pertamina (persero) sebagai holding, maka hal tersebut akan
dianggap sebagai given.
1.6. Metoda penulisan penelitian
Penyususnan penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metoda
studi kasus. Penulis hanya akan melihat dari pilihan-pilihan strategi Pertagas.
Laporan keuangan dan sebagainya tidak akan ikut dianalisis, hanya digunakan
sebagai indikator semata. Untuk itu, penelitian ini akan dilakukan dengan:
Studi literatur
Wawancara
Analisis dan Kesimpulan.
Adapun sistematika penulisan penelitian ini akan disusun sebagai berikut:
Bab-1 Pendahuluan, yang akan menjelaskan secara keseluruhan latar
belakang permasalahan, alasan mengapa judul penelitian ini dipilih,
kerangka teori dan metoda penelitian, serta kesimpulan seperti apa yang
diharapkan.
13
Bab-2 Landasan Teori, akan membahas kerangka teori yang digunakan
dalam penelitian ini. Ada beberapa teori yang akan digunakan sebagai
elemen dari kerangka teori yang digunakan di penelitian ini.
Bab-3 Pengumpulan dan Pengolahan Data, menguraikan hasil-hasil
pengumpulan dan pengolahan data mengenai Pertagas dan PGN sebagai dua
pemimpin industri gas saat ini.
Bab-4 Analisis, dimana kerangka teori tersebut akan digunakan dalam
analisis struktur industri, pesaing khususnya PGN, pilihan strategi Pertagas
dalam strategi pertumbuhannya, dan analisis strategi Pertagas untuk
menjadi Pemimpin pasar di industri gas nasional.
Bab-5 Kesimpulan yang akan menyampaikan dan mendeskripsikan
apakah strategi pertumbuhan yang sudah dipilih Pertagas selama ini dapat
dipertahankan untuk mencapai tujuan dan sasaran Perusahaan, ataukan
diperlukan penyesuaian seiring dengan dinamika bisnis gas nasional dan
global.