bab i pendahuluan a. latar...

17
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kawasan pemukiman akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang mengiringinya. Beragam pengalaman yang didapat masyarakat dari waktu ke waktu akan berpengaruh terhadap pola perilakunya dalam membangun sebuah tatanan pemukiman. Ahimsa-Putra (1997) menjelaskan bahwa suatu pola pemukiman adalah pengejawantahan/ekspresi konsepsi manusia tentang ruang, sekaligus merupakan hasil upayanya untuk mengubah serta memanfaatkan lingkungan fisik berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya atas lingkungan tersebut. Pecinan Pasar Gede sebagai salah satu kawasan bersejarah telah mengalami berbagai macam kejadian dan peristiwa dalam pasang surut perubahan jaman. Peristiwa-peristiwa itu terekam melalui tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di dalamnya. Tinggalan arkeologis di kawasan Pecinan Pasar Gede bersifat multi culture tempat budaya Cina, Jawa hingga Belanda berkembang secara beriringan dalam satu wilayah. Hal itu menjadi keunikan tersendiri mengingat pada masa Kolonial, orang-orang Cina harus hidup terpisah dari kelompok lain dalam strata sosial kemasyarakatan. Kehadiran orang-orang Cina di Surakarta berawal dari peradaban Sungai Bengawan Sala yang menjadi penghubung antara wilayah pesisir pedalaman maupun Jawa Tengah Jawa Timur. Ketika Kasultanan Pajang berkuasa pada tahun 1500 1600, di sepanjang Bengawan Sala terdapat empat bandar

Upload: dangtu

Post on 27-Aug-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kawasan pemukiman akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai

dengan dinamika kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang

mengiringinya. Beragam pengalaman yang didapat masyarakat dari waktu ke

waktu akan berpengaruh terhadap pola perilakunya dalam membangun sebuah

tatanan pemukiman. Ahimsa-Putra (1997) menjelaskan bahwa suatu pola

pemukiman adalah pengejawantahan/ekspresi konsepsi manusia tentang ruang,

sekaligus merupakan hasil upayanya untuk mengubah serta memanfaatkan

lingkungan fisik berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya atas lingkungan

tersebut.

Pecinan Pasar Gede sebagai salah satu kawasan bersejarah telah

mengalami berbagai macam kejadian dan peristiwa dalam pasang surut

perubahan jaman. Peristiwa-peristiwa itu terekam melalui tinggalan-tinggalan

arkeologis yang terdapat di dalamnya. Tinggalan arkeologis di kawasan Pecinan

Pasar Gede bersifat multi culture tempat budaya Cina, Jawa hingga Belanda

berkembang secara beriringan dalam satu wilayah. Hal itu menjadi keunikan

tersendiri mengingat pada masa Kolonial, orang-orang Cina harus hidup terpisah

dari kelompok lain dalam strata sosial kemasyarakatan.

Kehadiran orang-orang Cina di Surakarta berawal dari peradaban Sungai

Bengawan Sala yang menjadi penghubung antara wilayah pesisir – pedalaman

maupun Jawa Tengah – Jawa Timur. Ketika Kasultanan Pajang berkuasa pada

tahun 1500 – 1600, di sepanjang Bengawan Sala terdapat empat bandar

2

perdagangan, di antaranya Bandar Nusupan di Semanggi, Bandar Kabanaran di

Laweyan, Bandar Pecinan di Kali Pepe, dan Bandar Arab di Kali Jenes

(Qomarun dan Prayitno, 2007: 81). Interaksi yang terjadi antarpedagang dari

berbagai daerah melalui bandar-bandar perdagangan tersebut dapat memicu

terjadinya kontak kebudayaan lintas etnis.

Menurut H. S. Tjie Tjay Ing (2006) dalam Mutiari (2010: 4), orang-orang

Cina yang berdagang di Bengawan Sala berasal dari kota lain di Jawa, seperti

Lasem, Blora, Klaten, Rembang, dan Kediri, mereka sebagian besar terdiri dari

suku Hok, Fuji, dan Gek yang berasal dari Hokkien, Fujian, dan Kuantung (Cina

Selatan). Semakin lama, komunitas pedagang Cina membangun sarana dan

prasarana untuk mendukung perniagaannya. Beberapa peninggalan yang masih

tersisa sampai sekarang antara lain Kelenteng Avalokiteswara Tien Kok Sie,

Pasar Gede, dan Bandar Pecinan (sekarang BNI 46 Balaikota). Kelenteng

Avalokiteswara Tien Kok Sie telah ada sejak pertengahan abad XV (Sajid, 1984).

Awalnya, kelenteng ini digunakan sebagai tempat persinggahan bagi para

saudagar Cina, kemudian setelah Keraton Kasunanan Surakarta berdiri pada

tahun 1745, Sunan Paku Buwana II (1726 – 1746) meresmikannya sebagai

tempat ibadah (Mutiari, 2010: 4).

Keterbukaan sunan terhadap masyarakat Cina membuat mereka lebih

leluasa dalam berhubungan dengan warga pribumi. Interaksi sosial yang terjadi

memberi kesempatan bagi etnis Cina untuk lebih mengetahui kebudayaan Jawa

serta mengembangkan usaha dagangnya. Pada kalangan elite, orang-orang

Cina banyak berhubungan dengan para bangsawan dan kerabat keraton.

Kehidupan yang terjalin secara harmonis antara orang Cina dan Pribumi

membuat Pemerintah Kolonial Belanda khawatir apabila mereka bersatu untuk

3

melawan kekuasaannya di Surakarta (Setiono, 2002: 81). Oleh karena itu,

Belanda mulai mengawasi gerak-gerik orang-orang Cina.

Sebagai penguasa kolonial, Pemerintah Belanda memiliki kekuatan untuk

memberi tekanan kepada kelompok minoritas Cina melalui kebijakan tertentu.

Miriam Budiardjo (2005) menjelaskan bahwa power atau kekuasaan dapat

digunakan untuk melaksanakan kebijakan dan kewenangan yang berpengaruh

terhadap tingkah laku seseorang atau kelompok masyarakat tertentu sesuai

dengan keinginan dari pelaku, cara yang dipakai dapat bersifat meyakinkan dan

jika perlu bersifat paksaan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Beberapa

kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang berpengaruh terhadap kehidupan

masyarakat Cina di wilayah Surakarta, antara lain: (diambil dari berbagai sumber;

Juwono, 1999: 55 – 56; Rusyanti, 2006: 32 – 33; Mutiari, 2010):

1. Sistem opsir atau kapitan Cina (1745 – 1930)

2. Undang-Undang Agraria (1870 – 1945)

3. Wijkenstelsel (1871 – 1919)

4. Passenstelsel (1891 – 1919)

5. Kedudukan hukum atau gelijkstelling (1907 – 1945)

6. Reorganisasi administrasi negara dan agraria (1918 – 1926)

Berbagai kebijakan tersebut sangat kontradiktif dengan kehidupan

masyarakat Cina yang dikenal kuat memegang teguh kebudayaannya serta

berorientasi pada ajaran Konfusius. Namun sebagai imigran sekaligus kelompok

minoritas, masyarakat Cina harus mengikuti berbagai situasi yang dikontrol oleh

pihak penguasa kolonial pada lingkungan tempat mereka tinggal. Hal itu dapat

menimbulkan pengaruh terhadap pola pemukiman kawasan Pecinan Pasar Gede

yang telah lama terbentuk sehingga akan diikuti dengan perubahan komponen-

4

komponen fisik yang terdapat di dalamnya. Dari beragam fenomena di atas,

menarik untuk dikaji pengaruh kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap

pemukiman Cina di kawasan Pasar Gede pada tahun 1745 – 1945.

Demi konsistensi, dalam penelitian konsep Cina lebih cenderung

digunakan dari pada Tionghoa. Hal tersebut merujuk pada sejarah dan kultur

budayanya, kata Cina lebih dahulu digunakan di Nusantara dari pada kata

Tionghoa. Dalam bahasa Belanda sendiri sebutan geografis untuk Negara

Tiongkok/Cina adalah Chi’na dan masyarakatnya dipanggil Chinees. Hindia

Belanda sebagai salah satu daerah jajahan Belanda mengadopsi kata Cina,

Cino, dan sebagainya dalam bahasa setempat. Sementara untuk kata Tionghoa

mulai muncul pada tahun 1900an, yaitu pada perkumpulan Tiong Hoa Hwee

Koan di Batavia (Williams, 2002 dalam Kwartanada, 2004: 3). Penggunaan istilah

Tionghoa sempat dilarang setelah terjadi peristiwa G30S/PKI namun pasca

reformasi 1998, istilah tersebut kembali digunakan.

B. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang

akan dikaji adalah apa saja komponen kawasan Pecinan Pasar Gede yang

dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1745 –

1945 dan bagaimana pengaruhnya?

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini

yaitu untuk menyusun kronologi perkembangan lingkungan fisik kawasan

Pecinan Pasar Gede dalam kaitannya dengan kebijakan Pemerintah Kolonial

Belanda pada tahun 1745 – 1945.

5

C. BATASAN PENELITIAN

Batasan yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari batasan ruang atau

wilayah, batasan materi, dan batasan waktu. Batasan ruang atau wilayah

difokuskan pada kawasan Pecinan Pasar Gede yang meliputi Kelurahan

Sudiroprajan, Kelurahan Kepatihan Wetan, dan Kelurahan Kepatihan Kulon.

Cakupan penelitian ini dalam skala semi-makro dengan mempelajari persebaran

dan hubungan antarbangunan di dalam sebuah situs, serta persebaran dan

hubungan antara bangunan-bangunan dengan kondisi lingkungan maupun

sumber daya alam.

Batasan materi yang diambil sesuai bidang kajian Arkeologi, yaitu

berkaitan dengan proses perubahan komponen kawasan Pecinan Pasar Gede

sebagai akibat dari kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda. Komponen tersebut

meliputi pemukiman, sarana-prasarana transportasi, fasilitas keagamaan,

fasilitas pemerintahan, fasilitas umum, dan fasilitas ekonomi. Batasan waktu

yang digunakan dalam penelitian ini dimulai pada tahun 1745 yang ditandai

dengan perpindahan pusat keraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta

sekaligus menjadi awal diterapkannya kebijakan Pemerintah Belanda terhadap

masyarakat Cina di Surakarta, yaitu sistem opsir atau kapitan Cina. Untuk batas

akhir diambil hingga tahun 1945 saat kekuasaan kolonial di Hindia Belanda telah

usai.

D. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian yang secara khusus membahas mengenai korelasi antara

kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1745 – 1945 dengan

perkembangan pola pemukiman dan komponen kawasan Pecinan Pasar Gede

6

dalam skala semi makro masih jarang dilakukan. Beberapa penelitian yang

membahas Pecinan di Pasar Gede di antaranya:

1. Thesis oleh Dhani Mutiari dari Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik,

Universitas Gadjah Mada tahun 1996 yang berjudul Keragaman Spasial

Perkampungan Cina di Surakarta: Studi Kasus di Kampung Pecinan sekitar

Pasar Gedhe. Penelitian ini membahas kaitan antara keragaman spasial

dengan keragaman pola perilaku masyarakat Cina sekitar Pasar Gede

seperti budaya dan tuntutan hidup pada era 1990-an.

2. Disertasi oleh Dhani Mutiari dari Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik,

Universitas Gadjah Mada tahun 2010 yang berjudul Pengaruh Politik

terhadap Arsitektur Rumah Cina: Studi Kasus Pecinan Pasar Gedhe

Surakarta. Penelitian ini membahas mengenai bentuk arsitektur rumah Cina

seperti pembagian ruang, keletakan, arah hadap, orientasi, fasad, dan

interior yang dipengaruhi oleh gaya kolonial.

Penelitian yang telah dilakukan tentu memiliki persamaan dan perbedaan

dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan jelas lebih dominan baik menyangkut

rumusan masalah, batasan penelitian, metode penelitian, kesimpulan, dan

sebagainya.

E. LANDASAN TEORI

Hindia Belanda sebagai wilayah koloni Negara Belanda tentu telah

mengalami beragam eksploitasi sebagai bagian dari bentuk penjajahan.

Ekploitasi yang dilakukan tidak hanya menyangkut masalah sumber daya alam,

tetapi juga campur tangan dalam urusan pemerintahan dan kemasyarakatan

wilayah setempat. Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1991: 5) menjelaskan

7

bahwa sebuah gerakan kolonialisme yang dilakukan oleh penguasa dapat

memunculkan sistem kolonial (colonial system) dan situasi kolonial (colonial

situation) di negara jajahan.

Regulasi kolonial yang berkembang di masyarakat menjadi dasar

terbentuknya struktur dan pola hubungan sosial yang hierarkis. Hal itu akan

menghasilkan diskriminasi rasial yang menempatkan penguasa ke dalam puncak

teratas kelas sosial kemasyarakatan (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 6). Wujud

nyata dari keadaan di atas adalah adanya dominasi kolonial golongan elit

minoritas terhadap mayoritas. Dominasi minoritas-mayoritas akhirnya melahirkan

superioritas-inferioritas penguasa terhadap pihak yang dikuasai dalam segala

bidang kehidupan, seperti politik, militer, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Dengan power dan superioritas yang dimiliki, Belanda sebagai penguasa dapat

mengambil langkah untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan, salah satunya

melalui kebijakan.

Berbicara mengenai kebijakan, banyak ahli memiliki pendapat yang

berbeda-beda mengenai definisinya. Berikut ini beberapa pendapat dari para ahli

mengenai kebijakan, di antaranya (dikutip dari Suharno, 2010):

1. Edi Suharto (2005) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.

2. Richard Rose (1969) menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan dari pada sebagai suatu keputusan tersendiri.

3. Ealau dan Kenneth Prewitt mengartikan kebijakan sebagai sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik oleh yang membuatnya maupun oleh mereka yang mentaatinya.

4. Carl Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

8

5. James Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dicermati bahwa sebuah kebijakan

mengandung unsur tindakan, keputusan/ketetapan, dan tujuan. Apabila unsur

kebijakan tersebut disatukan dengan kolonialisme maka dapat diartikan sebagai

sebuah tindakan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh elite minoritas

terhadap mayoritas melalui power dan superioritas yang dimilikinya dengan

tujuan menguasai kehidupan masyarakat di segala bidang.

Pada dasarnya kebijakan memiliki tahapan-tahapan di dalam proses

pembuatannya, yaitu penyusunan kebijakan (policy formulation), penerapan

kebijakan (policy implementation), dan evaluasi kebijakan (policy evaluation)

(Maftuh, 2009: 33). Untuk penelitian ini, tahapannya difokuskan pada penerapan

kebijakan (policy implementation) Pemerintah Kolonial Belanda terhadap

masyarakat Cina di Surakarta, khususnya kawasan Pecinan Pasar Gede. Dalam

melakukan pengamatan terhadap implementasi kebijakan perlu menyertakan tiga

komponen dasarnya, yaitu (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (2) adanya

aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan, (3) adanya hasil kegiatan (Wibawa

dkk, 1994 dalam Effendi, 2012: 17). Ketiga komponen itu akan dikorelasikan

dengan perubahan lingkungan fisik yang terjadi pada kawasan Pecinan Pasar

Gede antara tahun 1745 – 1945.

Untuk mengintegrasikan/menggabungkan penelitian mengenai situs

pemukiman, secara umum harus ditekankan pada pola pemukimannya

(Dwiyanto, 1994: 29). Pola pemukiman adalah cara yang dilakukan oleh manusia

dalam mengatur dirinya sendiri pada lingkungan tempat mereka tinggal (Parsons,

1972 dalam Subroto, 1983: 1176). Dengan demikian, pola pemukiman dapat

9

digunakan untuk menggambarkan tempat tinggal manusia, susunan bangunan,

sifat, dan watak bangunan yang merupakan refleksi dari lingkungan alam, tingkat

penguasaan teknologi serta pranata yang berlaku dalam suatu komunitas

(Parsons, 1972 dalam Dwiyanto, 1994: 29).

Dalam perkembangannya, studi tentang pola pemukiman dapat dibagi

menjadi tiga kajian, yaitu: (1) kajian mikro, (2) kajian semi-makro, (3) kajian

makro. Dalam kajian mikro dipelajari persebaran ruang dan hubungan antarruang

dalam satu bangunan, serta hubungan antarunsur-unsur bangunan dengan

komponen lingkungan alam. Kajian semi-makro mempelajari persebaran dan

hubungan antarbangunan dalam sebuah situs, serta persebaran dan hubungan

antara bangunan dengan kondisi lingkungan alam dan sumber daya alam. Dalam

kajian makro dipelajari persebaran dan hubungan antarsitus dalam satu wilayah,

serta persebaran antara situs-situs dengan kondisi lingkungan alam dan sumber

daya alam (Mundardjito, 1990: 22).

Selain tiga kajian di atas, studi mengenai pola pemukiman juga dapat

mencakup beberapa bidang, di antaranya (Subroto, 1983: 1178 – 1182):

1. Hubungan antara pola pemukiman dengan gejala-gejala geografis,

seperti keadaan topografis, tanah, tipe vegetasi, dan curah hujan.

Hubungan itu dapat ditunjukkan secara nyata melalui sistem

distribusi situs-situs. Diperkirakan bahwa persebaran situs,

persebaran populasi, dan kepadatan penduduk berkaitan erat dengan

faktor-faktor fisik, antara lain perbedaan relief tanah dan perbedaan

iklim. Daerah yang terpilih sebagai pemukiman akan mendapat

perhatian yang lebih besar sehingga dalam perkembangannya

10

berubah menjadi pusat segala aktivitas pemerintahan maupun

kegiatan kebudayaan.

2. Hubungan antara pola pemukiman dengan struktur sosial, seperti

organisasi politik dan organisasi seremoni. Dalam bidang ini,

pengkajian dapat dilakukan pada bangunan secara individu maupun

dari situs tempat bangunan-bangunan itu disusun oleh suatu

komunitas.

Bangunan termasuk unsur pokok yang berfungsi sebagai alat

studi pola pemukiman. Dalam sebuah komunitas yang masih dalam

tingkat sederhana, bangunan yang dijumpai mungkin hanya satu

macam dan bersifat uniform. Hal itu disebabkan mereka belum

membutuhkan beragam bangunan dengan fungsi khusus.

Sementara untuk komunitas yang kompleks, banyak dijumpai

bermacam-macam bangunan baik bangunan umum maupun khusus

seperti public building, bangunan suci, benteng, nisan, dan

sebagainya.

Selain itu, situasi tempat bangunan-bangunan tersebut berada

juga dapat dipakai untuk memperoleh gambaran mengenai

organisasi sosial, politik, ekonomi, dan kepercayaan. Salah satu

contohnya adalah pengamatan terhadap struktur, macam, dan

susunan tata letak bangunan yang dapat digunakan untuk

mengetahui nilai-nilai dan orientasi suatu komunitas tertentu.

Kedua bidang studi di atas dapat diaplikasikan pada pola pemukiman di

kawasan Pecinan Pasar Gede. Bidang studi yang pertama mengenai hubungan

antara pola pemukiman dengan gejala-gejala geografis. Bidang studi ini dapat

11

digunakan untuk mengamati pemilihan lokasi pemukiman tradisional Cina.

Pengamatannya dilakukan dengan menggunakan konsep Feng Shui yang

mendasari seluruh pola tata letak tanah di Negeri Cina (Skinner, 1997: 9). Seni

tataletak tanah di Cina serasi dengan kegiatan alam sekitar termasuk pembagian

musimnya. Konsep ini juga dapat diterapkan pada pertanahan di negara-negara

lain (Skinner, 1997: 9).

Bidang studi yang kedua mengenai hubungan antara pola pemukiman

dengan struktur sosial. Kajian ini dapat digunakan untuk memberi gambaran

mengenai perubahan kondisi sosial, budaya, dan politik yang terjadi pada

masyarakat Cina di kawasan Pasar Gede. Cara-cara yang telah dipaparkan di

atas diharapkan dapat menjelaskan kronologi perkembangan pemukiman Cina di

kawasan Pasar Gede mulai dari awal pemilihan lokasi hingga berubah menjadi

komunitas yang kompleks.

F. METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif, yaitu mendeskripsikan

secara sistemik data-data yang telah diperoleh untuk mendapatkan sebuah

gambaran mengenai suatu fakta dan gejala tertentu sehingga akan terlihat

hubungan antarbagian-bagian yang diamati. Cara penalarannya menggunakan

metode induktif, yaitu kajian yang bergerak dari fakta-fakta atau gejala-gejala

yang bersifat khusus untuk kemudian ditafsirkan sebagai gejala-gejala yang

bersifat umum atau generalisasi empiris (Tanudirjo, 1989: 34).

Penelitian ini diawali dengan observasi (pengamatan), baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk menemukan fakta-fakta yang nampak

pada obyek penelitian. Fakta-fakta tersebut kemudian disajikan secara sistematis

12

dan terukur sehingga menjadi data (Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, 1977).

Semua data yang diperoleh termasuk data lama dan konsep-konsep dianalisis

dan disintesiskan untuk memperoleh penafsiran baru. Dari analisis data

kemudian ditarik sebuah kesimpulan atau generalisasi empiris.

Penelitian ini difokuskan terhadap berbagai macam perubahan dan

perkembangan yang terjadi pada lingkungan fisik kawasan Pecinan Pasar Gede,

seperti pemukiman, jaringan transportasi, fasilitas ekonomi, fasilitas keagamaan,

fasilitas pemerintahan, dan sebagainya. Hal tersebut dikaji berdasarkan

kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1745 – 1945 baik yang

langsung ditujukan kepada masyarakat Cina (passenstelsel, wijkenstelsel, sistem

opsir, gelijkstelling) maupun kebijakan yang bersifat umum (Undang-Undang

Agraria, reorganisasi administrasi negara dan agraria).

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu:

1. Tahap pengumpulan data

Dalam penelitian ini akan digunakan dua jenis data, yaitu:

a. Data primer

Diperoleh melalui observasi langsung dan tidak langsung.

Observasi langsung dilakukan dengan pengamatan di lapangan

terhadap kondisi Pecinan Pasar Gede terutama tinggalan-tinggalan

fisiknya (jaringan transportasi, fasilitas keagamaan, fasilitas ekonomi,

fasilitas pemerintahan, pemukiman, dan sebagainya), melakukan

pendokumentasian serta plotting tinggalan-tinggalan arkeologi dengan

menggunakan GPS.

Observasi tidak langsung dilakukan dengan menganalisis

peta, denah serta rangkaian foto antara tahun 1745 – 1945. Beberapa

13

peta dan denah penelitian yang terkumpul antara lain peta tahun

1821, 1857, 1903, 1920, 1927, 1944, dan denah Desa Sala tahun

1500, 1550, dan 1750. Peta dan foto tersebut dikumpulkan dari

beberapa tempat, di antaranya Museum Radya Pustaka serta melalui

website KIT.NL dan KITLV.NL. Untuk denah Desa Sala diambil dari

artikel karangan Qomarun dan Ikaputra (2007: 110 – 118) yang

berjudul Urban Space Morphology and Typology of The City of Solo In

The Early Period (1500 – 1750).

b. Data sekunder

Data ini berupa studi kepustakaan mengenai berbagai

kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda, sejarah, kehidupan sosial-

budaya, dan ekonomi di Kota Surakarta khususnya masyarakat Cina

di kawasan Pasar Gede. Studi kepustakaan yang digunakaan berasal

dari buku-buku sejarah, arsip-arsip, publikasi akademik, laporan

penelitian serta literatur yang berhubungan dengan penelitian.

2. Tahap analisis data

Analisis data yang dilakukan:

a. Inventarisasi tinggalan-tinggalan arkeologi di kawasan Pecinan Pasar

Gede.

b. Deskripsi tinggalan-tinggalan arkeologi di kawasan Pecinan Pasar

Gede melalui data lapangan yang didukung dengan sumber pustaka.

c. Melakukan plotting tinggalan arkeologi ke dalam peta.

d. Melakukan analisis deskriptif-interpretatif terhadap data sejarah dan

data spasial.

14

Data sejarah yang digunakan dalam analisis deskriptif-

interpretatif antara lain:

Studi kepustakaan mengenai sejarah perkembangan Kota

Surakarta pada umumnya dan kawasan Pecinan Pasar Gede

pada khususnya

Studi kepustakaan mengenai kebijakan Pemerintah Kolonial

Belanda terhadap masyarakat Cina di Surakarta tahun 1745 –

1945

Denah Desa Sala tahun 1500, 1550 dan 1750

Rangkaian foto Kota Surakarta tahun 1745 – 1945 baik yang

bertema fisik maupun non fisik

Sementara data spasial yang digunakan untuk analisis adalah

peta tematik Kota Surakarta antara tahun 1745 – 1945 hasil dari

pengolahan software ArcView GIS 3.2. Tahapan pengolahan data

spasial tersebut:

Input data, terdiri dari scanning dan register peta.

Scanning dilakukan pada peta kuno dan RBI. Peta kuno

yang digunakan untuk analisis, antara lain:

No Peta Sumber

1 Peta Surakarta tahun 1821 Qomarun dan Prayitno, 2007

2 Peta Surakarta tahun 1857 KIT.NL

3 Peta Surakarta tahun 1903 Museum Radya Pustaka

4 Peta Surakarta tahun 1920 KIT.NL

4 Peta Surakarta tahun 1927 KIT.NL

5 Peta Surakarta tahun 1944 KIT.NL

Tabel 1.1

Tabel Peta Sumber

Setelah scanning selesai kemudian dilakukan registrasi

peta, yaitu proses memberikan koordinat pada peta kuno dengan

15

acuan koordinat peta RBI. Sistem proyeksi yang digunakan dalam

register peta adalah sistem koordinat UTM. Berikut adalah

gambaran dari proses registrasi peta kuno:

Gambar 1.1

Proses Registrasi Peta Dibuat oleh Amukti Palapa Aji

Gambar 1.2

Hasil Proses Registrasi Peta Dibuat oleh Amukti Palapa Aji

16

Manajemen data

Dilakukan dengan proses digitasi peta, yaitu mengkonversi

atau mengubah data analog/peta hardcopy (raster) menjadi data

digital/peta digital (vector). Objek-objek tertentu seperti jalan,

sungai, bangunan, sawah, batas wilayah, dan lain-lain yang

sebelumnya berformat raster diubah ke dalam format digital.

Masing-masing objek tersebut akan disajikan ke dalam bentuk

titik, garis, dan area/polygon.

Digitasi dilakukan dengan membuat theme baru (titik,

garis, polygon) yang kemudian akan dimasukkan informasi spasial

berdasarkan jenis datanya. Misalnya, theme tata guna lahan akan

disajikan ke dalam bentuk area/polygon. Theme tata guna lahan

akan diisi informasi-informasi yang berkaitan dengan objek

tersebut, seperti pemukiman, pasar, sawah, dan sebagainya.

Gambar 1.3 Proses Digitasi Peta

Dibuat oleh Amukti Palapa Aji

17

Output data berupa peta tematik

Analisis deskriptif-interpretatif berdasarkan peta tematik untuk

mengetahui perkembangan pola pemukiman, jalan, dan

bangunan.

3. Tahap kesimpulan

Setelah analisis data dilakukan maka diperoleh sebuah

kesimpulan yang akan menjelaskan pengaruh kebijakan Pemerintah

Kolonial Belanda pada tahun 1745 – 1945 terhadap komponen kawasan

Pecinan Pasar Gede.

G. BAGAN ALIR PENELITIAN